Anda di halaman 1dari 909

i Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

IKHTISAR
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 2003-2008
TIDAK DIPERJ UALBELIKAN
ii Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
iii Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 2003-2008
Penerbit
Sekretariat J enderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi
2008
TIDAK DIPERJ UALBELIKAN
iv Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Tim Penyusun Sinopsis dan Kaidah Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi, serta Kompilasi Penafsiran
Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945 Tahun 2003 - 2008
Ikhtisar
Putusan Mahkamah Konstitusi 2003 - 2008
Jakarta; Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
xxvi + 882 hlm; 14,7 cm x 22.5 cm, Cet. Pertama, Agustus 2008

ISBN : 978-602-8308-19-9
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
All rights reserved
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 , Jakarta Pusat
Telp. 021 . 2352 9000, Faks. 021 . 352 0177
email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id
v Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
DARI PENERBIT
Berpijak pada Pasal 24 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
adalah lembaga negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ditentukan
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(UU MK), yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
Selain itu, Mahkamah Kontitusi memiliki satu kewajiban
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 juncto
Pasal 10 ayat (2) UU MK, yakni memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Kewajiban itu lebih dikenal sebagai kewajiban untuk
memutus impeachment.
Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003
hingga berakhirnya masa bakti hakim konstitusi periode 20032008
pada 15 Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan tiga
vi Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kewenangannya yakni menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Adapun untuk perkara
pembubaran partai politik dan impeachment Presiden dan/atau Wakil
Presiden, sampai saat ini Mahkamah Konstitusi belum memeriksa
perkara itu karena belum ada perkara jenis tersebut yang diajukan.
Sejalan dengan pelaksanaan kewenangan di atas, Mahkamah
Konstitusi telah memeriksa dan memutus 205 perkara. Perincian
perkara yang telah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi
terdiri dari 150 perkara pengujian undang-undang, 10 perkara
sengketa kewenangan lembaga negara, dan 45 perkara perselisihan
hasil pemilihan umum. Agar masyarakat dengan mudah dan cepat
dapat memahami putusan Mahkamah Konstitusi dalam kurun
waktu tersebut, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi memandang penting untuk menerbitkan buku yang
memuat ikhtisar perkara-perkara di atas yang telah diputus oleh
Mahkamah Konstitusi.
Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada Bapak Ketua MK, Wakil Ketua dan Bapak-bapak
Hakim Konstitusi periode 20032008 yang telah memberikan
pengarahan dalam penyusunan buku Ikhtisar Putusan Mahkamah
Konstitusi 20032008, serta memberikan kepercayaan kepada kami
untuk menerbitkan buku ini. Seiring dengan itu, kami mengucapkan
terima kasih kepada tim penyusun yang telah mendukung penyusunan
buku ini dan teknis penerbitannya.
Semoga buku ini dapat memberi manfaat dalam rangka
memasyarakatkan putusan Mahkamah Konstitusi periode 20032008
agar pembaca memahami seutuhnya putusan Mahkamah Konstitusi.
Jakarta, Agustus 2008
Sekretaris Jenderal
Mahkamah Konstitusi,
Janedjri M. Gaffar
vii Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
PENGANTAR

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
I
Perubahan UUD 1945 mengubah secara mendasar
ketatanegaraan Republik Indonesia. Dengan perubahan UUD 1945
tersebut tidak dikenal lagi istilah lembaga tertinggi negara dan
lembaga tinggi negara. Semua lembaga negara memiliki kedudukan
yang sejajar, baik lembaga legislatif, eksekutif, maupun lembaga
yudikatif. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang semula
memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, dengan adanya
perubahan UUD 1945 menjadi lembaga negara yang kedudukannya
sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya.
Kesetaraan kedudukan lembaga negara tersebut memerlukan
hadirnya lembaga negara baru yang memperkuat sistem checks and
balances antarlembaga negara, sekaligus menyelesaikan apabila
terjadi sengketa antarlembaga negara bersangkutan. Atas dasar itu
muncul pemikiran untuk membentuk Mahkamah Konstitusi (MK).
Setelah melalui pembahasan mendalam, pada akhirnya pemikiran
tersebut diakomodasi dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 yang
disahkan MPR pada 9 November 2001.
Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 yang dirumuskan dalam
Perubahan Keempat UUD 1945, menyebutkan bahwa MK dibentuk
selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003, dan sebelum dibentuk
segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Memenuhi
amanat Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 maka dibentuklah UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang disetujui
bersama oleh DPR dan Pemerintah sekaligus diundangkan oleh
viii Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Presiden Megawati Soekarnoputri pada 13 Agustus 2003.
Tugas konstitusional yang diemban MK diatur dalam Pasal
24C ayat (1) UUD 1945, yaitu mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Satu lagi kewajiban
yang diemban oleh MK sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C
ayat (2) UUD 1945 terkait dengan pemakzulan (impeachment), yakni
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/
atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
II
Sejak pembentukannya hingga kini, tak terasa sudah lima
tahun MK berdiri. Selama kurun waktu itu, MK telah melaksanakan
tiga kewenangannya, yaitu menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Adapun
kewenangan MK dalam hal memutus pembubaran partai politik serta
kewajiban MK terkait pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau
Wakil Presiden belum dilaksanakan oleh MK karena memang belum
ada permohonan perkara yang bersangkutan.
Memperhatikan kewenangan MK tersebut, lembaga negara
ini memiliki peran strategis karena Putusan MK mengikat seluruh
warga negara Indonesia dan penyelenggara negara. Itulah sebabnya
Putusan MK perlu diketahui bahkan dipahami seutuhnya oleh
masyarakat luas termasuk oleh penyelenggara negara. Berangkat
dari hal itu, perlu disusun suatu sinopsis/ikhtisar Putusan MK hasil
kerja Hakim Konstitusi Periode 2003-2008, yang disusun secara
sederhana untuk memudahkan pembaca memahami Putusan MK
dalam waktu singkat.
ix Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Buku Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi 2003-2008 ini
memuat sinopsis/ikhtisar seluruh Putusan MK sejak dibentuknya
lembaga negara ini pada 13 Agustus 2003 sampai dengan Putusan
MK yang diucapkan pada 15 Agustus 2008 yang sekaligus mengakhiri
periode Hakim Konstitusi 2003-2008.
Semoga kehadiran buku ini dapat memberi manfaat bagi
penyelenggara negara dan masyarakat dalam ikhtiar memahami
Putusan MK sekaligus mendorong pemahaman terhadap fungsi MK
dalam mengawal konstitusi demi mewujudkan negara Indonesia
sebagai negara hukum yang demokratis sekaligus negara demokrasi
berdasar atas hukum.
Jakarta, 15 Agustus 2008
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
x Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
xi Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
DAFTAR ISI
Dari Penerbit ....................................................................................................... v
Pengantar Ketua Mahkamah Konstitusi .................................................. vii
Daftar Isi ............................................................................................................... xi
Ikhtisar
Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 .................................. 1
Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
tentang Ketentuan Unbunding dan Penguasaan
Negara terhadap Cabang Produksi Listrik ............................. 3
Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003
tentang Privatisasi Minyak dan Gas Bumi .............................. 9
Putusan Perkara Nomor 003/PUU-I/2003
tentang Surat Utang Negara ......................................................... 15
Putusan Perkara Nomor 004/PUU-I/2003
tentang Syarat-Syarat Calon Hakim Agung dan
Pembatasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Menguji Undang-Undang ............................................................... 21
Putusan Perkara Nomor 005/PUU-I/2003
tentang Pemberian Status Lembaga Negara dan
Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia;
Diskriminasi Perihal Jangkauan Siaran, Iklan,
Keanggotaan Komisi Penyiaran Indonesia, Politik
Sensor; serta Kebebasan dan Kemerdekaan Pers ............... 25
Putusan Perkara Nomor 006/PUU-I/2003
tentang Pembubaran KPKPN dan Peleburannya
sebagai Bagian dari Fungsi KPK ................................................. 35
xii Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Ketetapan Perkara Nomor 007/PUU-I/2003
tentang Penarikan Kembali Pengujian Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum ............. 43
Ketetapan Perkara Nomor 008/PUU-I/2003
tentang Penarikan Kembali Pengujian Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik ...................... 45
Putusan Perkara Nomor 009/PUU-I/2003
tentang Kewenangan Daerah di Bidang Pertanahan ......... 47
Putusan Perkara Nomor 010/PUU-I/2003
tentang Konstitusionalitas Pemekaran Daerah ................... 53
Putusan Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003
tentang Larangan Menjadi Anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
bagi Bekas Anggota Organisasi Terlarang
Partai Komunis Indonesia, termasuk Organisasi
Massanya, atau Orang yang Terlibat Langsung
atau Tidak Langsung dalam G.30.S/PKI
atau Organisasi Terlarang lainnya ............................................. 57
Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003
tentang Pembatasan Berserikat, Pemborongan
Pekerjaan, dan PHK tanpa PPHI ................................................. 65
Putusan Perkara Nomor 013/PUU-I/2003
tentang Asas Retroaktif Dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme .............................................................. 71
Putusan Perkara Nomor 014/PUU-I/2003
tentang Tindakan Paksa Badan dan Penyanderaan
dalam Undang-Undang Susduk .................................................. 81
Ketetapan Perkara Nomor 015/PUU-I/2003
tentang Verifikasi Keabsahan Partai Politik
Sebagai Badan Hukum .................................................................... 85
Ketetapan Perkara Nomor 016/PUU-I/2003
tentang Pengujian Terhadap Putusan Peninjauan
Kembali Mahkamah Agung ........................................................... 87
Putusan Perkara Nomor 018/PUU-I/2003
tentang Pemekaran Provinsi Papua .......................................... 89
Putusan Perkara Nomor 019/PUU-I/2003
tentang Pengangkatan Advokat, Perlindungan Atas
Profesi Advokat, dan Pembatasan Organisasi Advokat ..... 95
xiii Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Putusan Perkara Nomor 020/PUU-I/2003
tentang Persyaratan Partai Politik; Pengawasan Partai
Politik; dan Pengawasan Partai Politik oleh Pemerintah ..... 99
Ketetapan Perkara Nomor 023/PUU-I/2003
tentang Penarikan Kembali Permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik ...................................................................... 103
Putusan Perkara Nomor 024/PUU-I/2003
tentang Sanksi Pidana Pencucian Uang ................................... 105
Ikhtisar
Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2004 .............................. 107
Putusan Perkara Nomor 001/PUU-II/2004
tentang Pelaksanaan Pemilu dan Syarat Calon
Presiden/Wakil Presiden .............................................................. 109
Putusan Perkara Nomor 002/PUU-II/2004
tentang Sistem Pemilu dan Penentuan Daerah
Pemilihan Umum .............................................................................. 113
Putusan Perkara Nomor 003/PUU-II/2004
tentang Hasil Verifikasi Partai Politik ...................................... 119
Putusan Perkara Nomor 004/PUU-II/2004
tentang Kedudukan Pengadilan Pajak ..................................... 123
Putusan Perkara Nomor 005/PUU-II/2004
tentang Pelaksanaan Kesejahteraan Sosial ............................ 127
Putusan Perkara Nomor 006/PUU-II/2004
tentang Ancaman Pidana Dalam UU Advokat dan
Hak Untuk Mendapat Bantuan Hukum ................................... 131
Putusan Perkara Nomor 007/PUU-II/2004
tentang Mekanisme Pengusulan Calon Presiden
dan Wakil Presiden Melalui Partai Politik .............................. 137
Putusan Perkara Nomor 008/PUU-II/2004
tentang Syarat Mampu Jasmani dan Rohani
bagi Calon Presiden dan Wakil Presiden ................................ 141
Putusan Perkara Nomor 009/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon
Anggota DPR Daerah Pemilihan Irian Jaya Barat,
Pemilihan Kotamadya Jakarta Barat II Kecamatan
Palmerah, Depok II Kecamatan Cimanggis, Depok IV
xiv Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Kecamatan Pancoran Mas, Kabupaten Rokan Hulu II,
Kabupaten Kampar III, Kabupaten Sangihe Talaud III,
Kabupaten Bulungan, Kabupaten Sanggau I
Kalimantan Barat, Maluku Utara, Kota Tangerang,
Kabupaten Barito Timur ................................................................ 145
Putusan Perkara Nomor 010-017/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Peserta Pemilihan
Umum 2004 Untuk Daerah Pemilihan Provinsi
Sumatera Selatan .............................................................................. 151
Putusan Perkara Nomor 011/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota
DPRD Daerah Pemilihan Medan 2, Pasaman Barat 2,
Nias 1, Nias 3, Bengkulu Selatan III, Bekasi IV
Kecamatan Tambun Utara, Sambas 2, Kapuas Hulu 3,
dan Calon Anggota DPR Daerah Pemilihan Papua ............. 157
Putusan Perkara Nomor 012/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Peserta Pemilihan Umum
2004 Untuk Daerah Pemilihan Provinsi Gorontalo ............ 161
Putusan Perkara Nomor 013/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon
Anggota DPD Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan ............. 163
Putusan Perkara Nomor 014-027/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon
Anggota DPD Provinsi Jawa Tengah .......................................... 165
Putusan Perkara Nomor 015/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Untuk Calon Anggota DPR, DPRD, DPRD I dan DPRD II
dari Partai Nasional Banteng Kemerdekaan ......................... 169
Putusan Perkara Nomor 016/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Perolehan Suara Partai Persatuan Pembangunan .............. 173
Putusan Perkara Nomor 018-030/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Calon Anggota DPD Provinsi Sulawesi Utara ........................ 185
Putusan Perkara Nomor 019/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Calon Anggota DPD Provinsi Nusa Tenggara Barat ............ 193
xv Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Putusan Perkara Nomor 020/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Calon Anggota DPD Provinsi Jambi ........................................... 195
Putusan Perkara Nomor 021/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
dari Partai Demokrat ....................................................................... 197
Putusan Perkara Nomor 022/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Calon Anggota DPD Provinsi Riau ............................................. 209
Putusan Perkara Nomor 023/PHPU.C1-II/2004
tentang Peselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Calon Anggota DPRD Partai Buruh Sosial Demokrat ........ 211
Putusan Perkara Nomor 024/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Calon Anggota DPR dan DPRD Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan ..................................................................... 219
Putusan Perkara Nomor 025/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Calon Anggota DPD Provinsi Banten ....................................... 225
Putusan Perkara Nomor 026/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004 Calon
Anggota DPR dan DPRD Partai Sarikat Indonesia ................ 229
Putusan Perkara Nomor 028/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004 Calon
Anggota DPR, dan DPRD Partai Bintang Reformasi ........... 237
Putusan Perkara Nomor 029/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Anggota DPR dan DPRD Partai Patriot Pancasila ............... 247
Putusan Perkara Nomor 031/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004 Calon
Anggota DPR dan DPRD Partai Kebangkitan Bangsa ........ 257
Putusan Perkara Nomor 032/PHPU-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu 2004 Calon Anggota
DPD Provinsi DKI Jakarta .............................................................. 267
Putusan Perkara Nomor 033/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004 Calon
Anggota DPRD Partai Nasional Indonesia Marhaenisme.... 269
xvi Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Putusan Perkara Nomor 034/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu Calon Anggota DPR dan
DPRD Daerah Nangroe Aceh Darussalam, Kabupaten
Aceh Utara, Kota Bima, Provinsi Kalimantan Barat,
Daerah Sumatera Utara, Daerah Sulawesi Tengah,
Daerah Sumba Barat, Daerah Kabupaten Muaro Jambi,
Daerah Sumatera Utara, Daerah Sulawesi Selatan,
Daerah Provinsi Papua, Daerah Kabupaten Bekasi ............ 273
Putusan Perkara Nomor 035/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Calon Anggota DPRD Partai Karya Peduli Bangsa .............. 285
Putusan Perkara Nomor 036/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu 2004 Calon Anggota
DPR dan DPRD Partai Keadilan Sejahtera .............................. 295
Putusan Perkara Nomor 037/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu 2004 Calon Anggota
DPR dan DPRD Partai Penegak Demokrasi Indonesia ...... 303
Putusan Perkara Nomor 038/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu 2004 Calon Anggota
DPR dan DPRD Partai Pelopor .................................................... 307
Putusan Perkara Nomor 039/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu
Partai Amanat Nasional ................................................................. 313
Putusan Perkara Nomor 040/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu 2004 Calon Anggota
DPRD Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia ................. 317
Putusan Perkara Nomor 041/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu 2004 Anggota
DPR dan DPRD Partai Persatuan Daerah ............................... 321
Putusan Perkara Nomor 042/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu 2004 Calon Anggota
DPRD Partai Merdeka ..................................................................... 325
Putusan Perkara Nomor 043/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu 2004 Calon Anggota
Dewan Perwakilan Daerah Sumatera Barat .......................... 329
Putusan Perkara Nomor 044/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu 2004 Calon Anggota
Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Sumatera Utara ........ 331
xvii Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Putusan Perkara Nomor 045/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu 2004 Calon Anggota
DPR dan DPRD Partai Bulan Bintang ....................................... 335
Putusan Perkara Nomor 046/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Calon Anggota DPD Provinsi DKI Jakarta ............................... 337
Putusan Perkara Nomor 047/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Calon Anggota DPD Provinsi Sumatera Selatan ................... 341
Putusan Perkara Nomor 048/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu 2004
Calon Anggota DPD Provinsi Sulawesi Selatan .................... 343
Putusan Perkara Nomor 049/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilu 2004
Calon Anggota DPD Provinsi Sulawesi Selatan .................... 345
Putusan Perkara Nomor 050/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Calon Anggota DPD Provinsi Bengkulu ................................... 349
Putusan Perkara Nomor 051/PHPU.A-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Calon Anggota DPD Provinsi Jawa Barat ................................ 353
Putusan Perkara Nomor 052/PHPU.C1-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Calon Anggota DPR dan DPRD Partai Persatuan
Demokrasi Kebangsaan .................................................................. 357
Putusan Perkara Nomor 053/PUU-II/2004
tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Tanah ............... 359
Putusan Perkara Nomor 054/PUU-II/2004
tentang Calon Presiden dan Wakil Presiden Perseorangan ....363
Putusan Perkara Nomor 055/PUU-II/2004
tentang Pengadilan Pelanggaran Pemilu ................................ 367
Putusan Perkara Nomor 056/PUU-II/2004
tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten
Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten
Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna,
Kabupaten Kuantan Singingi, Dan Kota Batam .................... 371
Putusan Perkara Nomor 057/PUU-II/2004
tentang Mekanisme Pengusulan Calon Presiden
xviii Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dan Wakil Presiden Melalui Partai Politik .............................. 373
Putusan Perkara Nomor 061/PUU-II/2004
tentang Gugatan Terhadap Putusan Perdamaian ............... 377
Putusan Perkara Nomor 062/PHPU.B-II/2004
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004
Calon Presiden dan Wakil Presiden .......................................... 381
Ketetapan Perkara Nomor 064/PUU-II/2004
tentang Jangka Waktu Mengajukan Permohonan
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
di Mahkamah Konstitusi ................................................................ 391
Putusan Perkara Nomor 065/PUU-II/2004
tentang Penerapan Asas Berlaku Surut
dalam Kasus Pelanggaran Ham Berat ...................................... 393
Putusan Perkara Nomor 066/PUU-II/2004
tentang Pembatasan Untuk Membentuk Organisasi
Industri dan Keberadaan Kadin ................................................. 397
Putusan Perkara Nomor 067/PUU-II/2004
tentang Pengawasan Advokat ...................................................... 409
Putusan Perkara Nomor 068/SKLN-II/2004
tentang Sengketa Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah
dengan Presiden Mengenai Pemilihan Anggota DPD ........ 415
Putusan Perkara Nomor 069/PUU-II/2004
tentang Asas Retroaktif Penanganan Korupsi Oleh KPK ..... 419
Putusan Perkara Nomor 070/PUU-II/2004
tentang Kewajiban Provinsi Induk Terhadap
Provinsi Pemekaran ......................................................................... 423
Putusan Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004
tentang Independensi Dan Tanggungjawab KPUD
dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah ............ 427
Ikhtisar
Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2005 .............................. 433
Putusan Perkara Nomor 071/PUU-II/2004 dan
001-002/PUU-III/2005
tentang Ketentuan Pembatasan untuk Mengajukan
Permohonan Pernyataan Pailit dan Permohonan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Perusahaan
Asuransi hanya oleh Menteri Keuangan ................................. 435
xix Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Putusan Perkara Nomor 003/PUU-III/2005
tentang Ketentuan Peralihan tentang Kegiatan
Penambangan di Hutan Lindung ................................................ 439
Putusan Perkara Nomor 004/PUU-III/2005
tentang Kekuasaan Ketua Pengadilan dalam
Pelaksanaan Putusan ...................................................................... 445
Putusan Perkara Nomor 005/PUU-III/2005
tentang Persyaratan Memperoleh Kursi di DPRD
untuk Mengajukan Calon Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah ....................................................................... 449
Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005
tentang Calon Perseorangan dalam Pemilihan
Kepala Daerah .................................................................................... 455
Putusan Perkara Nomor 007/PUU-III/2005
tentang Hak Pemerintahan Daerah Untuk Ikut
Mengembangkan Sistem Jaminan Sosial ................................ 461
Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004
dan 008/PUU-III/2005
tentang Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Air .......... 467
Putusan Perkara Nomor 009-014/PUU-III/2005
tentang Jabatan Notaris ................................................................. 473
Putusan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005
tentang Syarat Perolehan Suara Partai Politik untuk
Mencalonkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ..... 485
Putusan Perkara Nomor 011/PUU-III/2005
tentang Pengalokasian Dana Pendidikan Secara Bertahap
Kurang dari 20 persen dari APBN dan APBD ....................... 491
Putusan Perkara Nomor 012/PUU-III/2005
tentang Penetapan Alokasi Anggaran Pendidikan
Tahun 2005 Kurang dari 20 Persen dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ........................... 499
Putusan Perkara Nomor 013/PUU-III/2005
tentang Ketentuan tentang Pencantuman Kata
Pengangkutan, Mengangkut, dan Alat Angkut dalam
UU Kehutanan yang Berlaku bagi Kapal-kapal Pelayaran,
serta Adanya Larangan dan Sanksi Pidana bagi
Alat-alat Angkut yang Beroperasi di Lingkungan Hutan .... 505
xx Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Putusan Perkara Nomor 015/PUU-III/2005
tentang Tanggung Jawab Kurator Terhadap Kesalahan
atau Kelalaiannya dalam Melaksanakan Tugas
Pengurusan dan/atau Pemberesan yang
Menyebabkan Kerugian Terhadap Harta Pailit .................... 509
Putusan Perkara Nomor 016/PUU-III/2005
tentang Pemekaran Dan Pembentukan Daerah
Kota Singkawang ............................................................................... 515
Putusan Perkara Nomor 017/PUU-III/2005
tentang Pengawasan Hakim ......................................................... 521
Putusan Perkara Nomor 018/PUU-III/2005
tentang Perlindungan Anak dalam Memilih Agama .......... 525
Putusan Perkara Nomor 019-020/PUU-III/2005
tentang Persyaratan Badan Hukum bagi Wakil Pelaksana
Penempatan TKI Swasta di Luar Negeri ................................. 529
Putusan Perkara Nomor 021/PUU-III/2005
tentang Perampasan Hak Milik yang Digunakan
untuk Kejahatan ................................................................................ 535
Putusan Perkara Nomor 022/PUU-III/2005
tentang Kekuasaan Presiden Memberikan Remisi ............. 541
Ketetapan Perkara Nomor 023/PUU-III/2005
tentang Penarikan Kembali Permohonan Pengujian
UU-MK dan Keputusan Gubernur Sumatera Selatan ......... 545
Putusan Perkara Nomor 024/PUU-III/2005
tentang Pemberhentian Sementara Kepala Daerah/
Wakil Kepada Daerah tanpa Melalui Usulan DPRD ............ 547
Ketetapan Perkara Nomor 25/SKLN-III/2005
tentang Penarikan Perkara Sengketa Kewenangan Gubernur
Provinsi Lampung Dengan DPRD Provinsi Lampung ....... 553
Putusan Perkara Nomor 026/PUU-III/2005
tentang Ketentuan Pengalokasian Dana Pendidikan
Kurang dari 20 persen dalam APBN Tahun 2006 ............... 555

Ikhtisar
Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2006 .............................. 561
Putusan Perkara Nomor 001/PUU-IV/2006
tentang Pengujian Putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung Mengenai Hasil Pemilihan
xxi Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Kepala Daerah Depok ...................................................................... 563
Putusan Perkara Nomor 002/SKLN-IV/2006
tentang Sengketa Kewenangan mengenai Permohonan
Peninjauan Kembali oleh KPUD Kota Depok ke Mahkamah
Agung terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Negeri
Bandung Nomor 01/Pilkada/2005/Pt.Bdg. .......................... 567
Putusan Perkara Nomor 003/PUU-IV/2006
tentang Perbuatan Melawan Hukum Materiil
dalam Tindak Pidana Korupsi ..................................................... 571
Putusan Perkara Nomor 004/SKLN-IV/2006
tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Antara
Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bekasi dengan
Presiden RI, Menteri Dalam Negeri dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ............................................ 575
Putusan Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006
tentang Pengawasan Komisi Yudisial terhadap
Hakim Agung dan Hakim Konstitusi ........................................ 579
Putusan Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ........................ 585
Putusan Perkara Nomor 007/PUU-IV/2006
tentang Perlindungan Hukum dalam UU MA dan UU KY .... 589
Putusan Perkara Nomor 008/PUU-IV/2006
tentang Recalling Anggota DPR .................................................. 593
Putusan Perkara Nomor 009/PUU-IV/2006
tentang Ketentuan Peralihan Undang-Undang Advokat .... 603
Putusan Perkara Nomor 010/PUU-IV/2006
tentang Pengujian Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ................................. 607
Putusan Perkara Nomor 011/PUU-IV/2006
tentang Ketentuan Melakukan Banding di Pengadilan Pajak ...609
Putusan Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006
tentang Kekuasaan KPK Dan Keberadaan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi ................................................................... 613
Putusan Perkara Nomor 013-022/PUU-IV/2006
tentang Pasal Penghinaan Terhadap Presiden dan/atau
Wakil Presiden Republik Indonesia .......................................... 625
Putusan Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006
tentang Wadah Tunggal Organisasi Advokat ........................ 629
xxii Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Putusan Perkara Nomor 015/PUU-IV/2006
tentang Pembentukan Wadah Tunggal Organisasi Advokat ...635
Ketetapan Perkara Nomor 017/PUU-IV/2006
tentang Penarikan Kembali Permohonan
Pengujian Undang-Undang Pemerintahan Daerah ............ 637
Putusan Perkara Nomor 018/PUU-IV/2006
tentang Konstitusionalitas Perintah Penahanan ................. 639
Putusan Perkara Nomor 020/PUU-IV/2006
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ........................ 643
Putusan Perkara Nomor 021/PUU-IV/2006
tentang Badan Hukum Pendidikan ........................................... 647
Putusan Perkara Nomor 023/PUU-IV/2006
tentang Panitia Urusan Piutang Negara .................................. 651
Putusan Perkara Nomor 024/PUU-IV/2006
tentang Hak Politik Anggota Polri ............................................. 655
Putusan Perkara Nomor 025/PUU-IV/2006
tentang Sertifikasi Guru dan Dosen .......................................... 659
Putusan Perkara Nomor 026/PUU-IV/2006
tentang Anggaran Pendidikan pada APBN 2007 ................. 663
Putusan Perkara Nomor 027/SKLN-IV/2006
tentang Sengketa Kewenangan Antara Ketua dan
Wakil Ketua DPRD Poso Provinsi Sulawesi Tengah
terhadap Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah ..................... 667
Putusan Perkara Nomor 028-029/PUU-IV/2006
tentang Pembatasan Usia TKI dalam
Undang-Undang PPTKI .................................................................. 671
Putusan Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006
tentang Sengketa Kewenangan Antara Komisi Penyiaran
Indonesia terhadap Presiden Republik Indonesia
c.q. Menteri Komunikasi dan Informatika .............................. 675
Putusan Perkara Nomor 031/PUU-IV/2006
tentang Kewenangan Pengaturan Komisi
Penyiaran Indonesia ........................................................................ 679
Ikhtisar
Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2007 .............................. 683
xxiii Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Putusan Perkara Nomor 1/PUU-V/2007
tentang Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan
atas Keputusan Tata Usaha Negara ........................................... 685
Putusan Perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007
tentang Hukuman Mati ................................................................... 687
Putusan Perkara Nomor 4/PUU-V/2007
tentang Pembatasan Jumlah Tempat Praktik
dan Ancaman Pidana bagi Dokter ............................................. 693
Putusan Perkara Nomor 5/PUU-V/2007
tentang Calon Perseorangan Dalam Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah .............................................. 701
Putusan Perkara Nomor 6/PUU-V/2007
tentang Kritik atau Pendapat Terhadap Pemerintah
yang Dikualifikasikan sebagai Delik atau Tindak Pidana
dalam KUHP ........................................................................................ 705
Ketetapan Perkara Nomor 7/PUU-V/2007
tentang Penarikan Kembali Permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana ....................................................................... 711
Putusan Perkara Nomor 8/PUU-V/2007
tentang Konstitusionalitas Undang-Undang Bank Indonesia ...713
Ketetapan Perkara Nomor 9/PUU-V/2007
tentang Penarikan Kembali Permohonan
Pengujian Undang-Undang Pemerintahan Daerah ............ 717
Ketetapan Perkara Nomor 10/PUU-V/2007
tentang Penarikan Kembali Permohonan
Pengujian Undang-Undang Kejaksaan ..................................... 719
Putusan Perkara Nomor 11/PUU-V/2007
tentang Pembatasan Luas Lahan Tanah Pertanian ............ 721
Putusan Perkara Nomor 12/PUU-V/2007
tentang Konstitusionalitas Pengaturan Poligami ................ 725
Ketetapan Perkara Nomor 13/PUU-V/2007
tentang Penarikan Kembali Permohonan Pengujian
Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia ................ 727
Putusan Perkara Nomor 14-17/PUU-V/2007
tentang Persyaratan Tidak Pernah Dipidana
untuk Menduduki Jabatan Publik .............................................. 729
xxiv Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Putusan Perkara Nomor 15/PUU-V/2007
tentang Ketentuan Batas Usia Calon Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah .............................................................. 737
Putusan Perkara Nomor 16/PUU-V/2007
tentang Ketentuan Electoral Threshold bagi
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum .................................. 743
Putusan Perkara Nomor 18/PUU-V/2007
tentang Keterlibatan DPR dalam Proses
Pembentukan Pengadilan HAM AD HOC ................................. 749
Putusan Perkara Nomor 19/PUU-V/2007
tentang Persyaratan Calon Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi ................................................................ 753
Putusan Perkara Nomor 20/PUU-V/2007
tentang Legal Standing Anggota DPR dalam
Pengujian Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi ............. 757
Putusan Perkara Nomor 21-22/PUU-V/2007
tentang Kekuasaan Negara dalam Kegiatan
Penanaman Modal ............................................................................ 761
Putusan Perkara Nomor 23/PUU-V/2007
tentang Keputusan Pejabat Daerah Pembatasan
Kasasi Terhadap Perkara TUN .................................................... 773
Putusan Perkara Nomor 24/PUU-V/2007
tentang Inkonstitusionalitas Pasal 49 Ayat (1)
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Berkenaan dengan Gaji Pendidik ............................................... 777
Putusan Perkara Nomor 25/PUU-V/2007
tentang Penarikan Pengujian UU Partai Politik
Mengenai Persyaratan Pembentukan Partai Politik .......... 781
Putusan Perkara Nomor 26/SKLN-V/2007
tentang Sengketa Kewenangan antara KIP Tingkat
Kab. Aceh Tenggara dan DPR Kab. Aceh Tenggara ............. 783
Putusan Perkara Nomor 27/PUU-V/2007
tentang Ketentuan Larangan bagi Pejabat Publik
untuk Menjadi Pengurus KONI ................................................... 787
Putusan Perkara Nomor 28/PUU-V/2007
tentang Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan .............. 791
Putusan Perkara Nomor 29/PUU-V/2007
tentang Ketentuan Sensor Film .................................................. 795
xxv Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Ketetapan Perkara Nomor 30/PUU-V/2007
tentang Penarikan Kembali Pengujian Undang-Undang
Sistem Keolahragaan Nasional .................................................... 801
Putusan Perkara Nomor 31/PUU-V/2007
tentang Legalitas Pembentukan Kota Tual
di Provinsi Maluku ........................................................................... 803
Ketetapan Perkara Nomor 32/SKLN-V/2007
tentang Penarikan Kembali Permohonan Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara antara KPU
Provinsi Maluku Utara terhadap KPU ...................................... 807
Ikhtisar
Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2008 .............................. 809
Putusan Perkara Nomor 1/SKLN-VI/2008
tentang Sengketa Kewenangan antara Panitia Pengawas
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Morowali
terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Kabupaten Morowali ....................................................................... 811
Putusan Perkara Nomor 2/PUU-VI/2008
tentang Kedudukan Pekerja Dalam Perusahaan Pailit yang
Berada di Bawah Kreditor Separatis ........................................ 815
Putusan Perkara Nomor 3/PUU-VI/2008
tentang Kewenangan BPK Untuk Memeriksa Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terhadap
Informasi Pajak Atas Harta Benda Wajib Pajak ................... 819
Putusan Perkara Nomor 4/PUU-VI/2008
tentang Pembagian Wilayah Hasil Pembentukan
Kabupaten Serdang Bedagai ........................................................ 827
Ketetapan Perkara Nomor 5/PUU-VI/2008
tentang Penarikan Kembali Permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana ...................................................... 831
Putusan Perkara Nomor 6/PUU-VI/2008
tentang Ketentuan Mengenai Pemindahan Ibukota
Banggai Kepulauan dari Banggai Kepulauan ke Salakan
sejak Berdirinya Kabupaten Banggai Kepulauan ................ 833
Ketetapan Perkara Nomor 7/SKLN-VI/2008
tentang Penarikan Kembali Permohonan Sengketa
xxvi Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Kewenangan antara Bank Indonesia terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi ................................................................ 837
Putusan Perkara Nomor 8/PUU-VI/2008
tentang Pembatasan Syarat Pencalonan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah Selama Dua Kali Masa Jabatan
dalam Jabatan yang Sama .............................................................. 839
Ketetapan Perkara Nomor 9/PUU-VI/2008
tentang Penarikan Kembali Permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 ...... 843
Putusan Perkara Nomor 10/PUU-VI/2008
tentang Syarat Domisili bagi Calon Anggota DPD ............... 845
Putusan Perkara Nomor 11/PUU-VI/2008
Tentang Konstitusionalitas Otonomi Daerah
di Tingkat Provinsi pada Provinsi DKI Jakarta ..................... 849
Putusan Perkara Nomor 12/PUU-VI/2008
tentang Ketentuan Peralihan dalam UU Pemilu .................. 855
Putusan Perkara Nomor 13/PUU-VI/2008
tentang Inkonstitusionalitas Prosentase Anggaran
Pendidikan dalam UU APBN-P Tahun 2008 .......................... 859
Putusan Perkara Nomor 15/PUU-VI/2008
tentang Syarat Tidak Pernah Dipidana bagi
Calon Anggota DPR .......................................................................... 863
Putusan Perkara Nomor 16/PUU-VI/2008
tentang Ketentuan Pihak-Pihak yang Bersangkutan dapat
Mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung
tidak Bertentangan dengan UUD 1945 .................................... 867
Putusan Perkara Nomor 17/PUU-VI/2008
tentang Inkonstitusionalitas Syarat Pengunduran Diri
dari Jabatan bagi Calon Incumbent Peserta Pemilu
Kepala Daerah .................................................................................... 871
Putusan Perkara Nomor 19/PUU-VI/2008
tentang Inkonstitusionalitas Kewenangan Pengadilan
Agama Memeriksa Perkara antara
Orang-Orang Beragama Islam ..................................................... 877
Tim Penyusun ................................................................................................... 881
1 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
2003
2 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
3 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 001-021-022/PUU-I/2003
TENTANG
KETENTUAN UNBUNDING DAN PENGUASAAN NEGARA
TERHADAP CABANG PRODUKSI LISTRIK
Pemohon : Perkara Nomor 001/PUU-I/2003 :
1. APHI (Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia; 2. PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia Indonesia); 3. Yayasan 324 (Pemohon I).
Perkara Nomor 021/PUU-I/2003 :
Ir. Ahmad Daryoko dan M. Yunan Lubis, S.H. [bertindak untuk dan
atas nama PT. PLN (Pemohon II).
Perkara Nomor 022/PUU-I/2003 :
Ir. Januar Muin dan Ir. David Tombeng (Pemohon III).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenaga-
listrikan (UU Ketenagalistrikan) terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
Pokok Perkara : 1. Prosedur pembentukan UU Ketenagalistrikan tidak sesuai
dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945;
2. UU Ketenagalistrikan secara keseluruhan bertentangan dengan
Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyangkut cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
Amar Putusan : Menolak permohonan Pemohon I dalam pengujian formil;
Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan
Pemohon II dalam pengujian materil untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Rabu, 15 Desember 2004.
4 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon mengajukan Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan). Sesuai dengan ketentuan Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan tersebut.
Berkenaan dengan kedudukan hukum (legal standing), berdasarkan Pasal 51 ayat
(1) UU MK, Pemohon I dalam perkara nomor 001/PUU-I/2003 adalah APHI, PBHI, dan
Yayasan 324 yang dapat dikualikasikan sebagai badan hukum privat atau setidak-
tidaknya perorangan warganegara Indonesia yang mendalilkan hal-hak konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya UU Ketenagalistrikan. Pemohon II dalam perkara nomor 021/
PUU-I/2003 adalah Serikat Pekerja PT. PLN yang dapat dikualikasikan sebagai badan
hukum privat atau setidak-tidaknya perorangan warganegara Indonesia yang mendalilkan
hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Ketenagalistrikan. Pemohon III
dalam perkara nomor 022/PUU-I/2003 Ir. Januar Muin dan Ir. David Tombeng yang dapat
dikualikasikan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang mendalilkan hak-hak
konstitusionalnya juga dirugikan oleh berlakunya UU Ketenagalistrikan.
Kerugian hak konstitusional para Pemohon tidak selalu bersifat aktual, tetapi bisa
bersifat potensial. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I, Pemohon
II, dan Pemohon III mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan pengujian UU Ketenagalistrikan.
Menyangkut pengujian formil, Pemohon I mendalilkan bahwa prosedur (tata cara)
pembentukan UU Ketenagalistrikan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1)
UUD 1945 yang diimplementasikan dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sehubungan dengan hal tersebut, alasan Pemohon I adalah prosedur pengesahan UU
Ketenagalistrikan dalam Sidang Paripurna DPR tidak memenuhi kuorum karena tidak
dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah Anggota DPR. Selain itu, masih ada perbedaan
pendapat di antara para anggota dan fraksi-fraksi DPR.
Akan tetapi, dalil Pemohon di atas dibantah oleh DPR dalam keterangan tertulisnya,
yang dilampiri pula dengan Risalah Sidang Paripurna DPR tanggal 4 September 2002.
Atas dasar itu, ternyata Pemohon tidak dapat membuktikan dalilnya. Oleh karena itu,
permohonan Pemohon I tidak beralasan sehingga Mahkamah menolak permohonan
Pemohon I dalam pengujian formil UU Ketenagalistrikan.
Menyangkut pengujian materil, Pemohon I mendalilkan bahwa UU Ketenagalistrikan
bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 karena telah mendorong privatisasi
pengusahaan tenaga listrik sehingga merugikan hak konstitusional Pemohon I. Atas
dasar itu, Pemohon I dalam petitumnya meminta agar UU Ketenagalistrikan dinyatakan
5 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya, Pemohon II mendalilkan bahwa Pasal 8 ayat (2), Pasal 16, Pasal
17 ayat (3), dan Pasal 30 ayat (1) UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan Pasal
33 ayat (2) UUD 1945 karena telah mereduksi makna dikuasai oleh negara untuk
cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Dalam konteks ini, kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistim
unbunding, yakni usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, penjualan, agen penjualan,
pengelola pasar, dan pengelola sistim tenaga listrik oleh badan usaha yang berbeda,
serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya untuk usaha transmisi dan distribusi,
merupakan upaya privatisasi pengusahaan tenaga listrik yang menjadikan tenaga listrik
sebagai komoditas pasar. Hal ini tidak memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat
yang belum mampu menikmati listrik.
Adapun Pemohon III mendalilkan bahwa beberapa aspek UU Ketenagalistrikan tidak
sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, yakni :
aspek kompetisi bebas yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (3)
UU Ketenagalistrikan meningkatkan krisis ketenagalistrikan di Indonesia sehingga
semakin memberatkan konsumen listrik;
aspek unbunding yang tercantum dalam Pasal 16 UU Ketenagalistrikan yang
menentukan bahwa berbagai usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan secara
terpisah oleh badan usaha yang berbeda, serta Pasal 29 ayat (1) ayat (2) yang
menentukan bahwa pemegang ijin usaha Penyediaan Tenaga Listrik dilarang
melakukan penggabungan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan
pasar dan persaingan usaha yang tidak sehat, kecuali yang mendorong esiensi
tetapi tidak menganggu kompetisi. Kebijakan unbunding tersebut mengakibatkan
PLN harus unbundied menjadi beberapa jenis usaha, padahal PLN selama ini
memiliki ijin yang terintegrasi secara vertikal;
aspek penetapan harga jual yang diserahkan kepada kompetisi yang wajar dan
sehat [vide Pasal 38 ayat (1) UU Ketenagalistrikan] tidak sejalan dengan makna
Pasal 33 UUD 1945 yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menafsirkan makna dikuasai
oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam konteks ini,
pengertian dikuasai oleh negara itu mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih
luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh
negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan
rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun
ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui
sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan
bernegara, sesuai dengan doktrin dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam
pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik
oleh rakyat secara kolektif.
6 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dengan demikian, perkataan dikuasai oleh negara haruslah diartikan mencakup
makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi
kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan
publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara
kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk
mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad)
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad)
oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan
dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).
Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi
oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif).
Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham
(share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha
Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui
mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber
kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian
pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q.
Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan
oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup
orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
seluruh rakyat.
Terkait dengan pengertian di muka, penguasaan dalam arti kepemilikan perdata
(privat) yang bersumber dari konsepsi kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang
banyak yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara, tergantung pada
dinamika perkembangan kondisi masing-masing cabang produksi. Yang harus dikuasai
oleh negara adalah cabang-cabang produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau
yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu: (i) cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak
menguasai hajat hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai
hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada Pemerintah bersama
lembaga perwakilan rakyat untuk menilainya apa dan kapan suatu cabang produksi itu
dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang
produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting lagi bagi negara
dan tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak. Akan tetapi Mahkamah berwenang
pula untuk melakukan penilaian dengan mengujinya terhadap UUD 1945 jika ternyata
7 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
terdapat pihak yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena penilaian pembuat
undang-undang tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, jikalau cabang produksi listrik sungguh-sungguh dinilai
oleh Pemerintah bersama DPR telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai
hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang itu diserahkan pengaturan,
pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar. Namun, jikalau cabang
produksi dimaksud masih penting bagi negara dan/atau masih menguasai hajat hidup
orang banyak, maka negara c.q. Pemerintah tetap diharuskan menguasai cabang produksi
yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasinya
agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di
dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai
instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah
dalam pengelolaan cabang produksi listrik dimaksud. Dengan demikian, konsepsi
kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang menyangkut
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang
banyak tidak dapat didikotomikan ataupun dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan
oleh negara. Keduanya tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab
itu, negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinya
sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak
sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaannya atas sumber-
sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Untuk menjamin prinsip esiensi berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan, perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, esiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, maka penguasaan dalam
arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu
harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan
sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun
Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan
dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha
yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham
Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap
bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat,
ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu
tidak meniadakan penguasaan negara c.q. Pemerintah untuk menjadi penentu utama
kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai
hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara
para pelaku usaha, sepanjang kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara
8 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad),
mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam persidangan Mahkamah Konstitusi, terungkap fakta bahwa tenaga listrik
merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak, sehingga sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, maka cabang
produksi tenaga listrik tersebut haruslah dikuasai oleh negara. Hal ini berarti tenaga listrik
harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah
(negara) atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistim kemitraan.
Dengan demikian, hanya BUMN yang boleh mengelola usaha tenaga listrik, sedangkan
perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak oleh BUMN.
Sejalan dengan itu, pengelolaan tenaga listrik dapat dilakukan oleh PLN selama PLN
masih mampu dan bisa lebih esien, namun jika tidak maka PLN dapat berbagi tugas
dengan BUMN lain atau BUMD dengan PLN sebagai holding company.
Berdasarkan pertimbangan di muka, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk
mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian dengan menyatakan Pasal
16, Pasal 17 ayat (3), serta Pasal 68 UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD
1945, sehingga pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun demikian, pasal-pasal tersebut merupakan jantung UU Ketenagalistrikan,
padahal seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi atau
persaingan dalam pengelolaan listrik dengan sistim unbunding sebagaimana tercermin
dalam konsideran menimbang huruf b dan huruf c UU Ketenagalistrikan. Itulah sebabnya,
Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III dalam
pengujian materil untuk seluruhnya.
Guna menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka undang-undang yang
lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1986 tentang
Ketenagalistrikan berlaku kembali. Namun pembentuk undang-undang disarankan untuk
menyiapkan RUU Ketenagalistrikan yang baru sesuai Pasal 33 UUD 1945.
Oleh karena Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan para Pemohon, maka
Mahkamah pun menyatakan UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945
sehingga UU Ketenagalistrikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya,
Mahkamah memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara.
9 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 002/PUU-I/2003
TENTANG
PRIVATISASI MINYAK DAN GAS BUMI
Pemohon : 1. APHI / Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia (Pemohon I); 2. PBHI / Perhimpunan Bantuan Hukum
dan hak Asasi Manusia Indonesia (Pemohon II); 3. Yayasan 324
(Pemohon III); 4. SNB / Solidaritas Nusa Bangsa (Pemohon IV);
5. SP KEP FSPSI Pertamina (Pemohon V); 6. Dr. Ir. Pandji R.
Hadinoto, PE, M.H. (Pemohon VI).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
Dan Gas Bumi (UU Migas) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak Dan Gas Bumi dan Pengujian Materiil Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon VI tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard);
Menolak permohonan para Pemohon dalam pengujian formil;
Mengabulkan permohonan para Pemohon dalam pengujian
materiil untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Selasa, 21 Desember 2004.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon adalah LSM dan/atau kelompok masyarakat yang tumbuh dan
berkembang secara swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat,
yang bergerak, berminat dan didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan
perlindungan dan penegakan Keadilan, Hukum dan Hak Asasi Manusia, termasuk hak-
hak pekerja di Indonesia.
10 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon mengajukan pengujian formiil dan materiil terhadap Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (UU Migas).
Dalam pengujian formiil, Pemohon mendalilkan bahwa Prosedur Persetujuan RUU
Minyak Dan Gas Bumi menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan
dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD
jo. Keputusan DPR R.I. Nomor 03A/DPR RI/1/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib
DPR R.I.
Dalam pengujian materiil, Pemohon mendalilkan bahwa UU Migas bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 karena keberadaan UU Migas ternyata
tidak menjalankan prinsip-prinsip perekonomian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 UUD 1945, sehingga akan berdampak pada kesulitan Pemerintah untuk menjamin
kesejahteraan dan/atau kemakmuran seluruh rakyat Indonesia yang berujung pada
ketidakpastian untuk mewujudkan hak konstitusional rakyat sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk
memeriksa dan memutus Permohonan Pengujian dengan menyatakan menerima dan
mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini; menyatakan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3)
UUD 1945; menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas
Bumi tidak mempunyai kekuatan mengikat; memerintahkan pencabutan pengundangan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi dalam Lembaran
Negara R.I. dan Tambahan Lembaran Negara R.I. atau setidak-tidaknya memerintahkan
pemuatan petitum ini dalam Lembaran Negara R.I. dan Tambahan Lembaran Negara
R.I.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon I sampai dengan V, terlepas
dari tidak dapat dibuktikannya apakah para Pemohon dimaksud berstatus sebagai badan
hukum atau tidak, namun berdasarkan anggaran dasar masing-masing perkumpulan
yang mengajukan permohonan ini (Pemohon I sampai dengan V) telah ternyata bahwa
tujuan perkumpulan tersebut adalah untuk memperjuangkan kepentingan umum (public
interests advocacy) yang di dalamnya tercakup substansi dalam permohonan a quo,
Pemohon I sampai dengan V memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai
Pemohon dalam permohonan a quo.
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon VI, DR. Ir.
Pandji R. Hadinoto, PE., M.H. adalah Wakil Rektor II Universitas Kejuangan 45, tidak
menerangkan dengan jelas kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
berkenaan dengan kualikasinya sebagai Pembantu Rektor II Universitas Kejuangan 45
akibat diberlakukannya Undang-Undang a quo, sehingga tidak tampak adanya hubungan
kepentingan antara substansi permohonan dan kualikasi Pemohon yang bertindak atas
11 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
nama Universitas Kejuangan 45, dan oleh karenanya Mahkamah berpendapat, terlepas
dari adanya 2 (dua) Hakim Konstitusi yang berpendapat lain, Pemohon VI tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon di hadapan Mahkamah dalam
permohonan a quo.
Guna membuktikan kebenaran dalil Pemohon tersebut Mahkamah Konstitusi telah
memeriksa Risalah Rapat Paripurna Ke-17 DPR Masa Persidangan I Tahun Sidang
2001-2002, bertanggal 23 Oktober 2001, yakni rapat paripurna yang mengesahkan RUU
Minyak dan Gas Bumi menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi. Dalam risalah dimaksud, dalil Pemohon yang menyebutkan ada 12
(dua belas) Anggota DPR yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap RUU Minyak
dan Gas Bumi dengan mengajukan minderheidsnota terbukti benar (vide Risalah hal.
70-74). Namun, dalam risalah yang sama, Mahkamah juga menemukan fakta bahwa
pada bagian akhir rapat paripurna dimaksud, tatkala seluruh fraksi telah menyampaikan
Pendapat Akhir-nya dan pimpinan rapat (A.M. Fatwa) menanyakan apakah RUU a quo
dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang, risalah mencatat bahwa seluruh
Anggota DPR setuju tanpa ada lagi pernyataan keberatan atau tidak setuju, sehingga
pimpinan rapat kemudian mempersilahkan wakil Pemerintah, Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral, untuk menyampaikan sambutannya (vide Risalah hal. 158).
Berdasarkan Risalah Sidang Paripurna tanggal 23 Oktober 2001 yang mengesahkan
Rancangan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi menjadi undang-undang, keterangan
tertulis DPR maupun keterangan lisan yang disampaikan dalam persidangan, ternyata
para Pemohon tidak dapat meyakinkan Mahkamah Konstitusi dalam membuktikan
kebenaran dalil permohonannya, sehingga dengan demikian permohonan pengujian
formil Pemohon terhadap Undang-Undang a quo harus ditolak.
Sebelum memeriksa dalil para Pemohon dalam pengujian secara materiil, Mahkamah
Konstitusi menjelaskan beberapa pengertian penting yang terdapat dalam Pasal 33 ayat
(2) UUD 1945 yang menyatakan, Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 yang menyatakan, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Pengertian dikuasai oleh negara haruslah diartikan mencakup makna penguasaan
oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan
rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik
oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara
kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk
mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)
untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad)
12 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan
dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie).
Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi
oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan
(beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau
melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan
Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q.
Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk
digunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan
oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam
rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara
atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besar
kemakmuran seluruh rakyat.
Dalam kerangka pengertian yang demikian, penguasaan dalam arti kepemilikan
perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi kepemilikan publik berkenaan dengan
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara, tergantung pada
dinamika perkembangan kondisi kekayaan masing-masing cabang produksi. Yang harus
dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai
hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat
hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada Pemerintah bersama lembaga
perwakilan rakyat untuk menilai apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting
bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada
suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu
yang lain dapat berubah menjadi tidak penting bagi negara dan/atau tidak lagi menguasai
hajat hidup orang banyak;
Atas dasar kerangka pemikiran demikian, jikalau cabang produksi minyak dan
gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, oleh Pemerintah dan DPR dinilai
telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka
dapat saja cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi itu diserahkan pengaturan,
pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar. Namun, jikalau cabang-
cabang produksi dimaksud oleh Pemerintah dan DPR dinilai masih penting bagi negara
dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka Negara, c.q. Pemerintah, tetap
diharuskan menguasai cabang produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur,
mengurus, mengelola, dan mengawasinya agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup
pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat
13 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi
minyak dan gas bumi dimaksud.
Dengan demikian, konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-
badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/
atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan atau dialternatifkan
dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya bersifat kumulatif dan tercakup
dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu, negara tidak berwenang
mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham
dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara
negara mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk
tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Di samping itu, untuk menjamin prinsip esiensi yang berkeadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
esiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional, maka penguasaan dalam
arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak
harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan
sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun
Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam
proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan, maka
divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha
milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33
UUD 1945.
Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi,
asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q. Pemerintah, untuk
menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara
dan/atau menguasai orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi
di antara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan
oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus
(bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad)
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup
orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hak menguasai negara dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 bukan berarti memiliki,
tetapi negara sebagai organisasi diberi kewenangan yang darinya dimungkinkan
timbulnya hak-hak, seperti hak pengelolaan, hak pengusahaan. Hak menguasai negara
dalam hubungan dengan minyak dan gas bumi mencakup hak untuk mengatur dan
menentukan status hukum pengelolaan dan pengusahaan atas minyak dan gas bumi.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, penguasaan negara diatur berkaitan
14 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang terdiri atas kegiatan
usaha hulu dan usaha hilir. Sebagian kewenangan negara dalam pengelolaan dan
pengusahaan minyak dan gas bumi dapat diserahkan kepada badan usaha dan bentuk
usaha tetap, sedangkan pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha minyak dan gas
bumi tetap ada pada Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan atas minyak
dan gas bumi.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh para
Pemohon tidak cukup beralasan, sehingga tidak terbukti pula Undang-Undang a quo
secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945. Karena substansi penguasaan
oleh negara tampak cukup jelas dalam alur pikiran Undang-Undang a quo baik pada
sektor hulu maupun hilir, kendatipun menurut Mahkamah masih ada hal-hal yang harus
dipastikan jaminan penguasaan oleh negara tersebut. Hal tersebut berbeda dengan
Undang-undang Ketenagalistrikan yang telah diuji oleh Mahkamah dengan Putusan
Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang dibacakan pada tanggal 15 Desember
2004, yang alur pikir tentang prinsip penguasaan negara dimaksud tidak tampak dengan
jelas penjabarannya dalam pasal-pasal Undang-Undang Ketenagalistrikan tersebut yang
seharusnya menjadi acuan pertama dan utama sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD
1945. Perbedaan alur pikir dimaksud tercermin dalam konsiderans Menimbang kedua
undang-undang yang bersangkutan, yang kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal kedua
Undang-Undang a quo.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan
Pemohon VI tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); menolak permohonan
para Pemohon dalam pengujian formil; mengabulkan permohonan para Pemohon dalam
pengujian materiil untuk sebagian, yakni Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata
diberi wewenang, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata paling banyak, dan
Pasal 28 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; serta menolak permohonan para
Pemohon selebihnya. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan agar Putusan Nomor 002/
PUU-I/2003 ini dimuat dalam Berita Negara paling lambat 30 hari kerja sejak putusan ini
diucapkan, yakni pada tanggal 21 Januari 2005.
15 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 003/PUU-I/2003
TENTANG
SURAT UTANG NEGARA
Pemohon : 1. APHI / Asosiasi Penasehat Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Indonesia (Pemohon I); 2. PBHI / Perhimpunan Bantuan Hukum
Dan Hak Asasi Manusia Indonesia (Pemohon II); 3. Yayasan 324
(Pemohon III); 4. SNB / Solidaritas Nusa Bangsa (Pemohon IV); 5.
LBH APIK (Pemohon V); 6. ICEL (Pemohon VI); 7. Solidaritas Buruh
Maritim & Nelayan Indonesia / SBMNI (Pemohon VII); 8. Federasi
Serikat Pekerja Mandiri /FSPM (Pemohon VIII); 9. Serikat Pekerja
Tekstil Sandang & Kulit / SPTSK (Pemohon IX); 10. SBN (Pemohon
X); 11. UPC (Pemohon XI).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pengujian Pasal 20 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara bertentangan dengan Penjelasan Pasal 33
ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Amar Putusan : Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya.
Tanggal Putusan : Jumat, 29 Oktober 2004.
Ikhtisar Putusan :
Keberadaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara, sebagaimana akan diuraikan dalam butir V telah dan akan merugikan
kepentingan bangsa, Negara dan rakyat Indonesia (merugikan kepentingan publik).
Oleh karenanya pengajuan permohonan pengujian ini adalah untuk memperjuangkan
secara kolektif hak konstitusional dalam rangka membangun masyarakat, bangsa, dan
Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
a quo, yang telah dan akan terhambat jika Undang-Undang Nomor 24 Tahun
16 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
2002 tentang Surat Utang Negara, yang merugikan kepentingan bangsa, Negara
dan rakyat Indonesia (merugikan kepentingan publik), tetap diberlakukan.
Pengajuan permohonan pengujian ini adalah untuk melaksanakan hak konstitusional
berupa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
dan berdasar atas esiensi berkeadilan, berkelanjutan, sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 28 D ayat (1) jo. Pasal 33 ayat (1) dan (4) jo. Pembukaan alinea keempat Undang-
Undang Dasar 1945 a quo. Hak tersebut tidak akan terwujud jika Pasal 20 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara yang melanggar prinsip
esiensi berkeadilan, berkelanjutan dan dapat menyebabkan kebangkerutan negara
Indonesia tetap diberlakukan.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan / atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
perorangan, warga Negara Indonesia; 1.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan 2.
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; 3.
lembaga negara. 4.
Para Pemohon adalah warga masyarakat pembayar pajak (tax payers), sehingga
dipandang memiliki kepentingan sesuai Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
Hal dimaksud sesuai dengan adagium no taxation without participation dan sebaliknya
no participation without tax, sehingga hak dan kepentingan mereka terpaut pula dengan
pinjaman (loan) yang dibuat Negara cq. Pemerintah dengan pihak lain yang akan
membebani warga negara sebagai pembayar pajak. Upaya pembayaran dan pelunasan
utang negara antara lain berasal dari pemasukan pajak. Dalam kaitan dimaksud,
Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon a quo yang menganggap hak konstitusional
mereka dirugikan dengan berlakunya Pasal 20 UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara, dapat dibenarkan sehingga Pemohon a quo memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk berperkara di hadapan Mahkamah;
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 jo Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, salah satu kewenangan Mahkamah adalah melakukan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Kemudian berdasarkan Pasal 50
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 beserta Penjelasannya, undang-undang yang
dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah
Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 19 Oktober 1999, sedangkan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2002
17 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110. Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili dan
memutuskan permohonan a quo.
Pengujian undang-undang yang dimohonkan Pemohon a quo adalah Pasal 20
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara yang dipandang
bertentangan dengan Pasal 23, Pasal 33 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar 1945
karena legalisasi utang-utang negara menurut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2002 dimaksud diadakan bukan untuk kemakmuran rakyat dan tidak berdasarkan
demokrasi ekonomi, sebagaimana dimaksud pasal-pasal Undang-Undang Dasar di
atas.
UU Nomor 24 Tahun 2002 adalah Undang-Undang tentang Surat Utang Negara,
yang mengatur;
Tujuan Penerbitan Surat Utang Negara, 1.
Kewenangan dan Kewajiban penerbitan Surat Utang Negara 2.
Pengelolaan Surat Utang Negara, 3.
Akuntabilitas dan transparansi dalam penatausahaan, pertanggungjawaban atas 4.
pengelolaan Surat Utang Negara,
Ketentuan Pidana terhadap pihak yang meniru atau memalsukan Surat Utang Negara 5.
serta penerbitan Surat Utang Negara yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Selain hal-hal tersebut, dalam Undang-Undang a quo juga diatur ketentuan peralihan
yaitu Pasal 20 yang menyatakan bahwa Surat Utang Negara atau Obligasi Negara yang
telah diterbitkan oleh Pemerintah dalam rangka:
program rekapitalisasi bank umum, 1.
pinjaman luar negeri dalam bentuk surat utang atau obligasi, 2.
pinjaman dalam negeri dalam bentuk surat utang, 3.
pembiayaan kredit program; 4.
Dengan adanya UU Nomor 24 Tahun 2002 maka negara, dalam hal ini Pemerintah
tidak dapat secara sepihak dan dengan mudah menerbitkan Surat Utang Negara, karena
harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPR, yang dalam persetujuan tersebut
jumlah atau nilai Surat Utang Negara yang akan diterbitkan pun harus ditentukan.
Persetujuan diberikan secara transparan karena dilakukan pada saat pengesahan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan demikian jelas bahwa
lahirnya UU Nomor 24 Tahun 2002 dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan Pasal 23,
Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, dan Pasal 23D UUD 1945;.UU Nomor 24 Tahun 2002
secara konstitusional lebih menjamin kepastian hukum dalam melaksanakan ketentuan
UUD 1945 dibandingkan dengan praktik sebelumnya di mana Surat Utang Negara
diatur dalam ketentuan yang tersebar dan tidak dalam bentuk undang-undang, yaitu:
(1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1978 tentang Pinjaman
Luar Negeri dalam bentuk Surat Utang Negara atau obligasi yang memberi wewenang
18 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kepada Menteri Keuangan mengeluarkan surat utang atau obligasi secara sepihak tanpa
persetujuan DPR, dan (2) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1998 tentang Pinjaman
Dalam Negeri dalam bentuk surat utang, yang penerbitannya cukup dilakukan oleh
Pemerintah tanpa persetujuan DPR, meskipun kewajiban yang timbul sebagai akibat
diterbitkan surat utang dibebankan pada APBN.
Penerbitan Surat Utang Negara ternyata berkaitan dengan pengelolaan anggaran.
Hal dimaksud tercantum dalam Pasal 4 UU Nomor 24 Tahun 2002, karena tujuannya
adalah untuk: (a) membiayai desit APBN, (b) menutup kekurangan kas jangka pendek
akibat ketidaksesuaian antar arus kas penerimaan dan pengeluaran dari rekening kas
negara dalam satu tahun anggaran, (c) mengelola portofolio utang negara. Persoalan-
persoalan anggaran yang mungkin timbul dalam pengelolaan APBN akan dapat dibantu
pemecahannya dengan dimungkinkannya negara menerbitkan Surat Utang Negara yang
berarti negara akan dapat menjalankan kewajiban konstitusionalnya yang tercermin
dalam kemampuan untuk menyediakan anggaran sebagaimana disusun dalam APBN.
Dengan adanya keterkaitan antara pengelolaan anggaran dengan Surat Utang
Negara, maka sudah seharusnya Surat Utang Negara diatur dalam undang-undang
karena menyangkut hak DPR, dan kepastian hukum bagi pemegang Surat Utang Negara,
karena Surat Utang Negara atau obligasi tersebut dapat diperdagangkan sebagai
surat berharga. Penerbitan Surat Utang Negara merupakan salah satu instrumen bagi
pengelolaan keuangan negara secara modern dengan tujuan yang dibatasi oleh Pasal
4 Undang-Undang a quo. Dengan demikian di samping sebagai sarana yang diperlukan
bagi pengelolaan keuangan Negara, UU Nomor 24 Tahun 2002 telah memenuhi ketentuan
konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
UU Nomor 24 Tahun 2002 memuat Peraturan Peralihan pada Pasal 20 yang
substansinya menyatakan sah tetap berlaku sampai dengan jatuh tempo surat utang
atau obligasi Negara yang telah diterbitkan oleh Pemerintah dalam rangka;
program rekapitalisasi bank umum, 1.
pinjaman luar negeri dalam bentuk surat utang atau obligasi, 2.
pinjaman dalam negeri dalam bentuk surat utang, 3.
pembiayaan kredit program. 4.
Penjelasan pasal a quo menyatakan bahwa surat utang atau obligasi Negara yang
dinyatakan sah atau tetap berlaku adalah surat utang atau obligasi Negara yang telah
diterbitkan berdasarkan:
Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang Rekapitalisasi Bank Umum, 1.
Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1978 tentang Pinjaman Luar Negeri dalam 2.
Bentuk Surat Utang atau Obligasi,
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban 3.
Bank Umum, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1998 tentang Pinjaman Dalam
Negeri Dalam Bentuk Surat Utang, Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 1998
tentang Penerbitan Jaminan Bank Indonesia, serta Penerbitan Jaminan Bank
19 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
oleh Bank Pesero dan Bank Pembangunan Daerah untuk Pinjaman Luar Negeri,
Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat,
Keputusan Presiden Nomor 176 Tahun 1999 tentang Penerbitan Surat Utang 4.
Pemerintah dalam Rangka Pembiayaan Kredit Program.
Surat Utang Negara yang diterbitkan dalam rangka Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia dapat ditukar dengan surat utang lainnya dengan ketentuan dan persyaratan
(terms and conditions) yang disepakati Pemerintah dan Bank Indonesia setelah mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Surat Utang Negara atau obligasi yang diterbitkan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 20 Undang-Undang a quo dapat dibedakan dalam:
1. Surat Utang Negara atau obligasi yang penerbitannya berkaitan langsung dengan
usaha untuk mempercepat pemulihan ekonomi sebagai dampak krisis moneter
1997,
2. Surat Utang Negara atau obligasi yang penerbitannya tidak berhubungan dengan
usaha untuk mempercepat pemulihan ekonomi sebagai dampak krisis moneter
1997.
Surat Utang Negara yang diterbitkan dalam usaha untuk mempercepat pemulihan
ekonomi akibat dampak krisis moneter 1997 dalam kenyataannya digunakan untuk
mengatasi krisis perbankan yang sangat parah menerima dampak krisis moneter.
Lemahnya pengelolaan perbankan sebelum krisis menyebabkan banyak bank yang tidak
cukup liquid pada masa krisis sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat
terjadi penarikan dana secara besar-besaran oleh masyarakat. Kepercayaan masyarakat
menjadi sangat turun terhadap dunia perbankan bahkan dapat dikatakan hampir hilang
sama sekali. Hal tersebut akan mempunyai akibat yang sangat parah pada dunia
perekonomian pada umumnya.
Untuk mengatasinya telah ditempuh kebijakan darurat berupa rekapitalisasi bank
umum dan kebijakan lainnya dalam sektor perbankan. Kebijakan tersebut memang
ternyata menjadi beban negara, terlebih pula dengan terjadinya banyak penyimpangan
dan pelanggaran dalam pelaksanaan rekapitalisasi yang kian membebani negara. Namun
demikian, penyimpangan dan pelanggaran tersebut bukan termasuk lingkup pelanggaran
konstitusi, sehingga dengan demikian Mahkamah berpendapat tidak ada pertentangan
(tegenstelling) antara pasal dimaksud dengan pasal-pasal konstitusi.
Penting bagi negara untuk membayar kembali kewajiban yang ditimbulkan oleh
kebijakannya, karena hal tersebut menyangkut kredibilitas Pemerintah yang akan
mempunyai pengaruh pada jangka panjang apabila Pemerintah memandang perlu untuk
menerbitkan Surat Utang Negara, di samping negara juga harus memenuhi kewajiban
perdatanya guna menjamin kepastian hukum atas kebijakan yang dilakukan pada masa
lalu, meskipun hal tersebut sangat membebani.
20 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Terhadap penerbitan Surat Utang Negara yang tidak berhubungan langsung dengan
kebijakan untuk pemulihan ekonomi akibat krisis moneter, adalah hal yang wajar dan
bahkan wajib dilakukan. Negara telah menikmati hasil dari diterbitkannya Surat Utang
Negara untuk membiayai keperluannya, dan jika jatuh tempo wajar untuk membayar
kembali kewajibannya. Sebagai subjek hukum yang beritikad baik (ter goeder trouw) maka
negara harus melaksanakan kewajibannya dengan baik sesuai dengan norma hukum
yang berlaku, sehingga dengan demikian cita negara hukum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar dapat diperlihatkan secara nyata dalam pergaulan antar
bangsa.
Dengan perkataan lain, walaupun UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian pinjaman (loan
agreement) bilateral maupun multilateral yang dibuat oleh Pemerintah dengan pihak
lain namun penerbitan surat utang atau obligasi negara oleh Negara c.q. Pemerintah
merupakan tindak lanjut dan konsekuensi logis dari perbuatan hukum keperdataan yang
diadakan negara, sehingga negara dalam kaitan subjek hukum privat mendapat jaminan
kepercayaan dari pihak lain guna melakukan pembayaran dan pelunasan kewajibannya.
Pasal 20 UU Nomor 24 Tahun 2002 memuat penegasan belaka bahwa surat-surat
utang atau obligasi Negara terdahulu adalah sah dan tetap berlaku.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa permohonan para Pemohon
ditolak seluruhnya.
Pendapat Berbeda:
Dua orang Hakim Konstitusi berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki legal
standing, karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003. Suku kata nya dalam anak kalimat ...
yang menganggap kewenangan konstitusionalnya yang tercantum dalam Pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang a quo, mengandung arti bahwa kerugian konstitusional itu harus
bersifat spesik dan merupakan kerugian aktual atau potensial yang mempunyai kaitan
yang cukup jelas dengan berlakunya undang-undang tersebut. Dalam kaitan ini kerugian
yang dialami oleh Pemohon a quo tidak spesik dan tidak cukup jelas kaitannya dengan
berlakunya undang-undang tersebut, karena kerugian tersebut bersifat umum yang
dialami oleh semua pembayar pajak, sementara itu kaitan antara pajak yang dibayar
oleh Pemohon a quo dengan legalisasi surat utang negara tidak menunjukkan kaitan
yang cukup (sufcient). Lagipula kerugian yang mungkin dialami oleh Pemohon a quo
bukanlah kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud oleh Penjelasan Pasal 51 ayat
(1), melainkan kerugian sebagai akibat dari adanya kebijakan pemulihan perekonomian
nasional, sebagaimana akan diuraikan dalam Pokok Perkara.
21 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 004/PUU-I/2003
TENTANG
SYARAT-SYARAT CALON HAKIM AGUNG DAN PEMBATASAN KEWENANGAN
MAHKAMAH KONSTITUSI MENGUJI UNDANG-UNDANG
Pemohon : Machri Hendra.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (UU MA) terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
Pokok Perkara : Pasal 7 ayat (1) huruf g UU MA mengenai syarat-syarat Calon
Hakim Agung bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), (2), Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), (2), (3), dan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945 menyangkut hak warga negara dan hak asasi manusia.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan : Selasa, 30 Desember 2003.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon bernama Machri Hendra, S.H. adalah seorang hakim karir pada
Pengadilan Negeri Padang, yang terhambat menjadi calon Hakim Agung, karena adanya
syarat untuk menjadi calon Hakim Agung yang ditentukan oleh Pasal 7 ayat (1) huruf g
Undang-Undang Mahkamah Agung yakni berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim
Tingkat Banding untuk menjadi calon Hakim Agung bagi hakim karir menurut Pemohon
didasarkan pada pasal syarat calon Hakim Agung dalam Undang-Undang Mahkamah
Agung. Persyaratan tersebut hanya berlaku bagi hakim karir, namun pada Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Mahkamah Agung memberlakukan syarat yang lebih ringan bagi hakim
non karir, yakni adanya pengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun, tanpa disyaratkan adanya jenjang jabatan
dan kepangkatan. Atas dasar tersebut, Pemohon mendalilkan bahwa syarat calon Hakim
22 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Agung bagi hakim karir mempersulit Pemohon untuk diangkat menjadi calon Hakim
Agung dan diskriminatif dibandingkan dengan syarat untuk pengangkatan Hakim Agung
dari jalur non karir. Dalam penjelasan permohonan, Pemohon menyatakan bahwa syarat
calon Hakim Agung tersebut merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon
untuk mendapatkan perlakuan yang sama atau tidak diskriminatif, sebagaimana dijamin
dan dilindungi oleh UUD 1945.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 7
ayat (1) huruf g Undang-Undang Mahkamah Agung bertentangan dengan Pasal 27 ayat
(1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal
28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Atas dasar tersebut, Pemohon memohon
kepada Mahkamah Konstitusi agar menyatakan pasal tersebut sepanjang menyangkut
syarat calon Hakim Agung tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala
akibat hukumnya.
Undang-Undang Mahkamah Agung yang diajukan Pemohon dibentuk sebelum
Perubahan Pertama UUD 1945 tahun 1999. Menyangkut kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat ketentuan
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut UU MK) dapat menghambat pelaksanaan tugas konstitusional
Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Pasal 50 UU MK menimbulkan kekosongan dimana
tidak ada badan peradilan atau lembaga tertentu yang berwenang menguji undang-
undang sebelum perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999. Mengingat Mahkamah
Konstitusi tidak boleh menolak perkara atas dasar tidak ada hukumnya dan wajib
menemukan norma dimaksud sehingga terlepas dari ketentuan Pasal 50 UU MK, maka
Mahkamah Konstitusi tetap memeriksa perkara yang diajukan Pemohon.
Menyangkut pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-
Undang Mahkamah Agung telah mengalami perubahan, termasuk didalamnya Pasal 7
ayat (1) huruf g Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengalami perubahan dalam
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
yang telah mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah sesuai dengan
ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Dalam konteks ini, Pasal 7 ayat (1) huruf g
Undang-Undang Mahkamah Agung tersebut diubah menjadi Pasal 7 ayat (1) huruf f yang
menyatakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon Hakim Agung dari
karir yakni Berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun menjadi Hakim
termasuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun menjadi Hakim Tinggi. Adapun Pasal 7
ayat (2) menentukan Apabila dibutuhkan Hakim Agung dapat diangkat tidak berdasarkan
sistim karir dengan syarat berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi
hukum sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun, sehingga adanya diskriminasi
dalam penentuan syarat calon Hakim Agung telah ditiadakan.
Dengan disetujuinya perubahan Undang-Undang Mahkamah Agung yang
menghapuskan syarat-syarat calon Hakim Agung yang dipandang diskriminatif tersebut
23 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
menyebabkan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Pendapat Berbeda:
Tiga orang Hakim Mahkamah Konstitusi mengemukakan pendapat yang berbeda
dalam putusan pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini. Pendapat berbeda
tersebut menyangkut kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang
Mahkamah Agung yang dibentuk sebelum perubahan pertama UUD 1945 pada tahun
1999. Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung karena diundangkan sebelum
perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999. Apabila Pasal 50 UU MK dipandang
cacat hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka Pasal 50 UU
MK tersebut hanya dapat diuji melalui legislative review.
24 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
25 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 005/PUU-I/2003
TENTANG
PEMBERIAN STATUS LEMBAGA NEGARA DAN KEWENANGAN KOMISI
PENYIARAN INDONESIA; DISKRIMINASI PERIHAL JANGKAUAN SIARAN, IKLAN,
KEANGGOTAAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA, POLITIK SENSOR;
SERTA KEBEBASAN DAN KEMERDEKAAN PERS
Pemohon : 1. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia/IJTI (Pemohon I); 2. Persatuan
Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia/PRSSNI (Pemohon II);
3. Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia/PPPI (Pemohon
III); 4. Assosiasi Televisi Siaran Indonesia/ATVSI (Pemohon IV);
5. Persatuan Sulih Suara Indonesia/PERSUSI (Pemohon V); 6.
Komunitas Televisi Indonesia/KOMTEVE (Pemohon VI).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran (UU Penyiaran) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 7 ayat (2), Pasal 10 ayat (1) huruf g, Pasal 14 ayat (1), Pasal
15 ayat (1) huruf c dan d, Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal
19 huruf a, Pasal 20, Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 26
ayat (2) huruf a, Pasal 27 ayat (1) huruf a, Pasal 31 ayat (2), (3),
dan (4), Pasal 32 ayat (2), Pasal 33 ayat (4) dan (8), Pasal 34 ayat
(5) huruf a, e, f Pasal 36 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 47, Pasal
55 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 60 ayat (3), Pasal 62 ayat (1) dan (2)
bertentangan dengan UUD 1945.
1. Pasal 7 ayat (2) UU Penyiaran bertentangan dengan pengaturan
struktur lembaga negara dalam UUD 1945 [pemberian status
lembaga negara untuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)];
2. Pasal 10 ayat (1) UU Penyiaran bertentangan dengan Pasal
28C ayat (2) jo. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 (ketentuan
diskriminatif karena membatasi keanggotaan KPI yang berasal
dari Organisasi Penyiaran);
26 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
3. Pasal 14 ayat (1) jo. Pasal 15 ayat (1) huruf c dan d jo. Pasal
31 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 19 huruf a jo. Pasal
31 ayat (3) UU Penyiaran bertentangan dengan Pasal 28I ayat
(2) UUD 1945 (pasal-pasal diskriminatif perihal jangkauan
siaran);
4. Pasal 14 ayat (1) jo. Pasal 15 ayat (2) jo. Pasal 31 ayat (2)
jo. Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 19 ayat (a) jo. Pasal 31 ayat
(3) dan Pasal 21 ayat (1) jo. Pasal 22 ayat (2) UU Penyiaran
bertentangan dengan Pasal 28I UUD 1945 (ketentuan
diskriminatif perihal iklan);
5. Pasal 44 ayat (1) UU Penyiaran bertentangan dengan Pasal 28
D ayat (1) jo. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 (negasi kebebasan
dan kemerdekaan pers in casu penyiaran dengan ketentuan
wajib ralat berita atas adanya sanggahan);
6. Pasal 47 UU Penyiaran bertentangan dengan Pasal 28E ayat
(2) jo. Pasal 28F jo. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 (politik
sensor yang diskriminatif).
Pasal 55 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (2) jo. Pasal 55 ayat (3) UU
Penyiaran bertentangan dengan Bab XA UUD 1945 dan Pasal 34
ayat (5) huruf a, e, f UU Penyiaran bertentangan dengan Pasal 28F
jo. Pasal 28H ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 (kewenangan
KPI yang potential mematikan kebebasan berpendapat, kebebasan
ekspresi, dan kebebasan lembaga penyiaran).
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Rabu, 28 Juli 2004.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon sebagai warga negara mengajukan judicial review karena beberapa
hal dan pasal dalam UU Penyiaran bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur
dalam UUD 1945. Hak konstitusional para Pemohon dirugikan sebagaimana diatur dalam
Pasal 28F UUD 1945.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (2) UU Penyiaran yang memberikan
status lembaga negara kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertentangan dengan
UUD 1945, karena UUD 1945 tidak mengenal lembaga negara seperti KPI.
KPI dengan kewenangan yang begitu besar yang diberikan oleh UU Penyiaran akan
menjadi lembaga seperti Departemen Penerangan masa lalu yang bersifat represif yang
akan mematikan kebebasan dan kemerdekaan lembaga penyiaran, seperti ditunjukkan
oleh adanya ketentuan Pasal 31 ayat (4) jo. Pasal 32 ayat (2) jo. Pasal 33 ayat (4) dan
ayat (8) jo. Pasal 55 ayat (3) jo. Pasal 60 ayat (3) jo. Pasal 62 ayat (1) dan (2) UU
27 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Penyiaran yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Bab XA UUD 1945. Karena,
menurut Pemohon, keseluruhan ketentuan tersebut membuktikan bahwa kemandirian
KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen adalah semu belaka sehubungan
dalam membuat dan menjalankan regulasi harus bersama-sama Pemerintah.
UU Penyiaran telah menciptakan KPI yang merupakan reinkarnasi Departemen
Penerangan pada rezim Orde Baru dengan kewenangannya untuk mematikan lembaga
penyiaran melalui sanksi administratif seperti ditunjukkan oleh ketentuan Pasal 55 ayat
(1), (2), dan (3) UU Penyiaran, sehingga bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945.
UU Penyiaran menerapkan kebijakan yang diskriminatif dan tidak adil karena lembaga
penyiaran tidak dilibatkan dalam KPI, seperti ditunjukkan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf g,
sehingga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) jo. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. UU
Penyiaran mengandung pasal-pasal yang diskriminatif seperti ditunjukkan dalam Pasal
14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1) huruf c dan d, Pasal 31 ayat (2), Pasal 16 huruf a jo. Pasal
31 ayat (3) sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
UU Penyiaran menerapkan kebijakan diskriminatif, karena lembaga penyiaran
publik boleh memuat siaran iklan komersial, sedangkan lembaga penyiaran komunitas
tidak, lembaga penyiaran berlangganan dibandingkan lembaga penyiaran swasta dalam
masalah luas jangkauan siaran, dan masalah sensor internal oleh lembaga penyiaran
berlangganan, sedangkan lembaga penyiaran lain sensor harus oleh lembaga sensor.
UU Penyiaran menerapkan kebijakan represif dengan adanya ketentuan Pasal
34 ayat (5) tentang alasan-alasan pencabutan ijin penyelenggaraan penyiaran yang
dianggap bertentangan dengan Pasal 28F jo. Pasal 28H ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945.
Ketentuan Pasal 36 ayat (2) UU Penyiaran yang berbunyi isi siaran dan jasa
penyiaran televisi yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran swasta dan lembaga
penyiaran publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) mata
acara yang berasal dari dalam negeri telah menegasikan kemerdekan dan kebebasan
pers in casu penyiaran untuk menyampaikan informasi serta mengurangi hak masyarakat
untuk mendapatkan informasi (the right to information), sehingga bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28F UUD 1945.
Adanya ketentuan wajib ralat berita meskipun hanya didasarkan pada sanggahan
atas isi siaran/berita seperti tercantum dalam Pasal 44 ayat (1) UU Penyiaran telah
menegasikan kebebasan dan kemerdekaan penyiaran, karena sanggahan belum tentu
benar.
UU Penyiaran telah menerapkan kebijakan sensor seperti tersebut dalam Pasal 47
Isi siaran dalam bentuk lm dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari
lembaga yang berwenang sehingga bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2), Pasal
28F, dan Pasal 28I ayat (1).
28 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Ketentuan Pasal 18 dan Pasal 20 jo. Pasal 55 ayat (1) UU Penyiaran telah menegasikan
hak masyarakat untuk bebas melakukan kegiatan usaha (right to do business), sehingga
bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Adanya sanksi administratif
seperti tersebut dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Penyiaran telah menciptakan
ketakutan terhadap lembaga penyiaran untuk menyampaikan informasi.
Menurut Mahkamah, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
jo. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (UU MK), salah satu kewenangan Mahkamah adalah melakukan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945. Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU
MK jo. Penjelasannya, undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah
undang-undang yang diundangkan setelah perubahan pertama UUD 1945 tanggal
19 Oktober 1999, sedangkan UU Penyiaran diundangkan pada tanggal 28 Desember
2002. Sehingga Mahkamah menyatakan berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan a quo.
Merujuk ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, para Pemohon termasuk kategori
perorangan WNI, dalam hal ini adalah kelompok orang, yaitu para insan penyiaran, yang
mempunyai kepentingan sama terhadap adanya suatu Undang-Undang Penyiaran yang
diharapkan dapat melindungi dan mengakomodasi kepentingan dan hak konstitusional
mereka. Hak konstitusional para Pemohon a quo yang diatur dalam UUD 1945, sebagai
insan penyiaran, antara lain ialah hak yang diatur dalam Pasal 28F yang berbunyi Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia. Hak konstitusional ini menurut anggapan para Pemohon dirugikan
oleh berlakunya UU Penyiaran (Kerugian hak konstitusional sebagai akibat berlakunya
suatu undang-undang tidak perlu bersifat real/aktual sampai menunggu jatuhnya korban
undang-undang, tetapi cukup bersifat potensial berdasarkan objective constitutional
invalidity dan broad approach in fundamental rights litigation).
Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 7 ayat (2) UU Penyiaran yang memberikan
status lembaga negara kepada KPI bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945
tidak mengenal lembaga negara seperti KPI, Mahkamah berpendapat, bahwa dalam
sistim ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga negara tidak selalu dimaksudkan
sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam UUD yang keberadaannya atas dasar
perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara yang dibentuk atas perintah Undang-
Undang dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar Keppres. KPI yang
oleh UU Penyiaran disebut lembaga negara tidak menyalahi dan tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon bahwa kemandirian KPI sebagai lembaga negara yang
bersifat independen adalah semu belaka sehubungan dalam membuat dan menjalankan
regulasi harus bersama-sama Pemerintah, Mahkamah melihat adanya ambiguitas
29 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon karena di satu pihak mendalilkan KPI akan menjadi reinkarnasi Departemen
Penerangan, dan di lain pihak Pemohon memohon untuk menghapuskan pasal-pasal yang
sesungguhnya membatasi kewenangan KPI yang terlalu besar yang dikhawatirkan oleh
Pemohon. Mahkamah berpendapat, bahwa sebagai lembaga negara yang independen,
seyogianya KPI juga diberi kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal
yang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran.
Pasal 62 UU Penyiaran menyatakan bahwa kewenangan regulasi KPI bersama
Pemerintah tersebut dituangkan dalam bentuk produk hukum Peraturan Pemerintah,
pada hal berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, Peraturan Pemerintah
adalah produk hukum yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-
Undang sebagaimana mestinya. Presiden dalam membuat Peraturan Pemerintah dapat
saja memperoleh masukan dari berbagai sumber yang terkait dengan pokok masalah
yang akan diatur, tetapi sumber dimaksud tidak perlu dicantumkan secara eksplisit dalam
UU yang memerlukan Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaannya. Dengan demikian,
ketentuan dalam Pasal 62 UU Penyiaran tersebut memang bertentangan dengan UUD
1945, sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Oleh karena itu, seyogianya kewenangan regulasi di bidang penyiaran dikembalikan
kepada ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Penyiaran yang menyatakan bahwa KPI sebagai
lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran, akan
tetapi dalam pemahaman bahwa kewenangan mengatur yang demikian melalui Peraturan
KPI adalah dalam kerangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan
UU Penyiaran. Perlu ditambahkan, bahwa sesuai dengan prinsip pembatasan kekuasan
negara hukum, KPI sebagai lembaga negara tidak boleh sekaligus melaksanakan
fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi yustisi, sehingga fungsi membuat Peraturan
Pemerintah harus dikembalikan sepenuhnya kepada Pemerintah (Presiden).
Terhadap dalil Pemohon bahwa UU Penyiaran telah menciptakan KPI yang
merupakan reinkarnasi Departemen Penerangan (Deppen) pada rezim Orde Baru dengan
kewenangannya untuk mematikan lembaga penyiaran melalui sanksi administratif seperti
ditunjukkan oleh ketentuan Pasal 55 ayat (1), (2), dan (3) UU Penyiaran, Mahkamah
berpendapat ketentuan Pasal 55 ayat (2) huruf g yang menyediakan sanksi pencabutan
ijin penyelenggaraan siaran yang alasan-alasannya tercantum dalam Pasal 34 ayat
(5) UU Penyiaran hanya memuat jenis-jenis sanksi administratif salah satunya adalah
pencabutan ijin penyiaran yang oleh para Pemohon dipandang merupakan hukuman
mati bagi lembaga penyiaran yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945
yang berbunyi Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, karena hukuman mati tersebut
hanya boleh dilakukan melalui due process of law Pasal 34 ayat (5) huruf f. Hal ini juga
menjawab dalil Pemohon terkait anggapan adanya kebijakan represif UU Penyiaran
30 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan adanya ketentuan Pasal 34 ayat (5) tentang alasan-alasan pencabutan ijin
penyelenggaraan penyiaran yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28F jo. Pasal
28H ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon bahwa UU Penyiaran menerapkan kebijakan yang
diskriminatif dan tidak adil karena lembaga penyiaran tidak dilibatkan dalam KPI, seperti
ditunjukkan oleh ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf g, menurut Mahkamah kebijakan itu
sudah tepat, karena hal itu justru akan menjaga independensi KPI agar terhindar dari
konik kepentingan, dan bukan merupakan kebijakan yang diskriminatif, serta tak ada
kaitannya dengan ketentuan Pasal 28C ayat (2) jo. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon bahwa UU Penyiaran mengandung pasal-pasal yang
diskriminatif, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon telah salah dalam memahami
makna diskriminatif yang dimaksud dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pengertian
diskriminasi harus difahami sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: Diskriminasi adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik ..
yang bersesuaian dengan Article 26 International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR). Pembedaan lembaga penyiaran dalam lembaga penyiaran publik, swasta,
komunitas, berlangganan, dan asing dengan status, hak, dan kewajiban yang berbeda
seperti yang diatur dalam UU Penyiaran bukanlah kebijakan yang bersifat diskriminatif
seperti yang dimaksud dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Tidak diperbolehkannya orang yang berasal dari media massa menjadi anggota KPI,
bukanlah suatu kebijakan yang diskriminatif, melainkan semata-mata untuk menghindari
konik kepentingan (conict of interest) dalam rangka menjaga independensi KPI. Hal ini
juga menjawab dalil Pemohon terkait lembaga penyiaran publik boleh memuat siaran
iklan komersial, sedangkan lembaga penyiaran komunitas tidak, lembaga penyiaran
berlangganan dibandingkan lembaga penyiaran swasta dalam masalah luas jangkauan
siaran, dan masalah sensor internal oleh lembaga penyiaran berlangganan, sedangkan
lembaga penyiaran lain sensor harus oleh lembaga sensor.
Terhadap dalil Pemohon bahwa ketentuan Pasal 36 ayat (2) UU Penyiaran
yang berbunyi isi siaran dan jasa penyiaran televisi yang diselenggarakan oleh
lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran publik, wajib memuat sekurang-
kurangnya 60% (enam puluh persen) mata acara yang berasal dari dalam negeri telah
menegasikan kemerdekan dan kebebasan pers in casu penyiaran untuk menyampaikan
informasi serta mengurangi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi (the right to
information), sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28E ayat (2) dan Pasal
28F UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa hal itu adalah terkait dengan fungsi
dan tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia seperti tersebut dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 dan
31 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
merujuk ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis, sehingga tidaklah bertentangan dengan pasal-
pasal UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon terkait dengan adanya ketentuan wajib ralat berita meskipun
hanya didasarkan pada sanggahan atas isi siaran/berita seperti tercantum dalam Pasal
44 ayat (1) UU Penyiaran telah menegasikan kebebasan dan kemerdekaan penyiaran,
karena sanggahan belum tentu benar, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon
tersebut dapat dibenarkan, sehingga bagian dari Pasal 44 ayat (1) tersebut yaitu anak
kalimat atau terjadi sanggahan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) jo. Pasal 28G
ayat (1) jo. Pasal 28F UUD 1945, dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, kecuali apabila pengertian ralat berita yang didasarkan pada
sanggahan tersebut ditafsirkan sebagai disiarkannya sanggahan dimaksud oleh lembaga
penyiaran dalam media siaran. Sanggahan tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa
suatu berita atau siaran tidak benar atau keliru. Sesuai dengan prinsip cover both sides,
jika terdapat bantahan atau sanggahan terhadap suatu berita atau siaran, maka dengan
menyiarkan bantahan atau sanggahan itu saja sudah cukup memenuhi prinsip cover
both sides, kecuali jika terdapat bukti-bukti pendukung lain yang kuat dan sesuai dengan
prinsip due process of law. Lebih-lebih dengan adanya penegasan pada ayat (3) Pasal
44 UU Penyiaran yang menyatakan bahwa ralat tidak membebaskan suatu lembaga
penyiaran dari tanggung jawab atau tuntutan hukum dari pihak yang merasa dirugikan,
sehingga akan sangat ganjil apabila ralat sudah dilakukan atas dasar adanya sanggahan
atau bantahan, yang berarti sanggahan atau bantahan itulah yang benar, akan tetapi
dalam proses di pengadilan ternyata terbukti bahwa sanggahan atau bantahan itulah
yang salah.
Oleh karena itu, kewajiban untuk melakukan ralat yang didasarkan atas adanya
sanggahan atau bantahan berarti telah mengesampingkan asas praduga tak bersalah
(presumption of innocence), sebab rumusan tersebut mengandung anggapan bahwa
dengan adanya sanggahan atau bantahan, suatu siaran atau berita sudah pasti
salah, sehingga harus dilakukan ralat dan tidak cukup hanya menyiarkan sanggahan
atau bantahan termaksud. Pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah berarti
pelanggaran terhadap due process of law dan karenanya bertentangan dengan Pasal
1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal itu
dapat dibandingkan dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers yang dapat menjadi rujukan untuk membedakan hak jawab atas dasar
tanggapan atau sanggahan dengan hak koreksi (ralat) untuk membetulkan kekeliruan
informasi yang diberikan oleh pers (vide Pasal 1 butir 11 dan 12, serta Pasal 5 ayat 2 dan
ayat 3 UU Pers).
32 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Terhadap dalil Pemohon bahwa UU Penyiaran bahwa UU Penyiaran telah menerapkan
kebijakan sensor seperti tersebut dalam Pasal 47 Isi siaran dalam bentuk lm dan/atau
iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang sehingga
bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2), Pasal 28F, dan Pasal 28I ayat (1). Menurut
Mahkamah adalah tidak benar, karena kebijakan itu adalah untuk melindungi masyarakat
sebagai konsumen penyiaran sesuai dengan Pembukaan dan ketentuan Pasal 28J ayat
(2) UUD 1945. Kenyataan yang dihadapi masyarakat dewasa ini sehubungan dengan
materi siaran tertentu dari lembaga penyiaran telah mengukuhkan pendapat tersebut.
Terhadap dalil Pemohon bahwa UU Penyiaran bahwa ketentuan Pasal 18 dan
Pasal 20 jo. Pasal 55 ayat (1) UU Penyiaran telah menegasikan hak masyarakat untuk
bebas melakukan kegiatan usaha (right to do business), sehingga bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa hal itu adalah
dalam rangka mencegah terjadinya monopoli dalam dunia penyiaran, karena akan
mengakibatkan terjadinya monopoli arus informasi oleh sebuah perusahaan lembaga
penyiaran.
Terhadap dalil Pemohon bahwa UU Penyiaran bahwa adanya sanksi administratif
seperti tersebut dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Penyiaran telah menciptakan
ketakutan terhadap lembaga penyiaran untuk menyampaikan informasi, Mahkamah
berpendapat bahwa ketentuan sanksi administratif tersebut adalah wajar asalkan
penerapannya memenuhi due process of law.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa permohonan para Pemohon
dikabulkan untuk sebagian, yakni Pasal 44 ayat (1) untuk bagian anak kalimat atau
terjadi sanggahan, Pasal 62 ayat (1) dan (2) untuk bagian anak kalimat KPI bersama
UU Penyiaran yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Serta, Mahkamah menolak permohonan
para Pemohon selebihnya, yakni Pasal 7 ayat (2), Pasal 10 ayat (1) huruf g, Pasal 14
ayat (1), Pasal 15 ayat (1) huruf c dan d, Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19
huruf a, Pasal 20, Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 26 ayat (2) huruf a, Pasal 27
ayat (1) huruf a, Pasal 31 ayat (2), (3), dan (4), Pasal 32 ayat (2), Pasal 33 ayat (4) dan
(8), Pasal 34 ayat (5) huruf a, e, dan f, Pasal 36 ayat (2), Pasal 47, Pasal 55 ayat (1), (2),
dan (3), serta Pasal 60 ayat (3) UU Penyiaran.
Pendapat Berbeda:
Seorang Hakim Konstitusi berpendapat Pemohon tidak memiliki legal standing
dengan alasan:
Menurut Pemohon dalam permohonannya Pemohon merupakan suatu Badan
Hukum Privat sebagaimana yang diatur oleh Buku III Bab 9 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang Persekutuan Perdata (Maatschap), khususnya
Pasal 1653, Pasal 1654, dan Pasal 1655 KUH Perdata;
Ketentuan sebagaimana diatur oleh Buku III Bab 9 KUH Perdata tentang Persekutuan
33 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Perdata (Maatschap) bukanlah ketentuan yang mengatur apakah suatu Bentuk Usaha
merupakan suatu Badan Hukum seperti Perseroan Terbatas (P.T), Koperasi, atau
Yayasan;
Pemohon dalam Tambahan Penjelasan Mengenai Alas Hak (Legal Standing)
para Pemohon dalam suratnya tanggal 11 Februari 2004, mengatakan bahwa selain
mendalilkan pada Pasal 1655 KUH Perdata juga mendalilkan pada Keputusan Raja
28 Maret 1870, S. 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum
(Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen);
Suatu perkumpulan untuk menjadi suatu Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan
Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) harus mendapatkan pengesahan dari
Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia cq. Direktorat Jenderal Administrasi
Hukum Umum, tidak cukup pendiriannya hanya dengan Akte Notaris lebih-lebih tanpa
Akte Notaris;
Pemohon bukan merupakan subjek hukum yang dimaksud Pasal 51 UU MK
dalam kualitas sebagai Badan Hukum Privat, sebagai konsekuensi hukumnya Pemohon
tidak mengalami kerugian yang berkaitan dengan hak konstitusionalnya sebagaimana
dimaksud Pasal 51 UU MK;
Setelah Memperhatikan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa Pemohon tidak
mempunyai kedudukan hukum sebagaimana diatur Pasal 51 UU MK;
Disamping itu, dua orang Hakim Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan Pasal
55 ayat (2) huruf g jo. Pasal 34 ayat (5) UU Penyiaran terkait kewenangan KPI untuk
mematikan lembaga penyiaran melalui sanksi administratif harus dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat karena dipandang bertentangan dengan Pasal
28F UUD 1945.
Selanjutnya seorang Hakim Konstitusi membenarkan dalil Pemohon tentang adanya
diskriminasi terhadap lembaga penyiaran swasta dalam luas jangkauan siaran dan
pemuatan siaran iklan komersial yang memandang lembaga penyiaran swasta dengan
jangkauan nasional dapat dititipi sebagian misi yang menjadi kewajiban lembaga penyiaran
publik melalui pengaturan, perbedaan lembaga penyiaran dalam klasikasi non-prot dan
prot-oriented atau komersial tidak cukup menjadi dasar untuk mengadakan pembedaan
tersebut.
34 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
35 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 006/PUU-I/2003
TENTANG
PEMBUBARAN KPKPN DAN PELEBURANNYA
SEBAGAI BAGIAN DARI FUNGSI KPK
Pemohon : 1. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN);
2. Anggota Masyarakat Indonesia atau Perorangan Warga Negara
Indonesia : 1. Ir. H. Muchayat (Anggota KPKPN), H. Paiman
Manansatro, Ph. D. (Anggota KPKPN), Prof. Drs. Djakfar Murod,
M.M. (Anggota KPKPN), dst.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPTPK) terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pengujian Pasal
13 huruf a, Pasal 69 ayat (1) dan (2), Pasal 26 ayat (3) huruf a, Pasal
71 ayat (2), Pasal 12 ayat (1) huruf a dan i, serta Pasal 40 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1),
(2), (3), (4) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon I tidak dapat diterima;
Menolak permohonan para Pemohon II seluruhnya.
Tanggal Putusan : Selasa, 30 Maret 2004.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon baik selaku badan hukum publik (KPKPN), maupun masing-
masing sebagai anggota masyarakat atau perorangan warga negara Indonesia,
menganggap bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
36 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPTPK) khususnya Pasal 13 huruf a;
Pasal 69 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 26 ayat (3) huruf a; Pasal 71 ayat (2); Pasal 12 ayat
(1) huruf a dan i serta Pasal 40 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2), (3), (4) dan
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Menurut Pemohon berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a dan c dan Pasal 51 ayat
(3) huruf a dan b UU MK, maka Pemohon merasa memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dalam hal ini
menguji Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 terhadap UUD 1945.
Dalam permohonan, Pemohon mendalilkan pengujian formil terhadap UU KPTPK
yaitu:
Di dalam konsideran Menimbang UU KPTPK, sama sekali tidak dicantumkan
mengenai aspirasi rakyat dan dinamika kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia
yang sedang berkembang saat itu seperti yang termuat di dalam konsideran Menimbang
TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, padahal UU KPTPK mempunyai keterkaitan langsung
dengan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998.
Dalam konsideran Mengingat UU KPTPK sama sekali tidak menyebutkan Tap
MPR Nomor XI/MPR/1998 dan Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001, padahal UU KPTPK
ini merupakan amanat UUD 1945 melalui Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 dan Tap MPR
Nomor VIII/MPR/2001.
Dalam konsideran Mengingat UU KPTPK menyebutkan dasar pembentukannya
adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU Nomor 30 Tahun 2002 sama sekali tidak
menyebutkan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 dan Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001
sebagai dasar pembentukannya, padahal UU Nomor 28 Tahun 1999 dan UU Nomor 31
Tahun 1999 dibentuk berdasarkan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998.
Pembentukan UU KPTPK telah mengenyampingkan ketetapan MPR yang merupakan
aturan hukum yang lebih tinggi dari pada undang-undang sehingga aspirasi rakyat dan
dinamika kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia yang sedang berkembang pada
saat itu, sama sekali tidak dijadikan sumber dan pedoman dalam pembentukan pasal-
pasal UU KPTPK.
UU KPTPK bertentangan dengan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 dan Tap MPR Nomor
VIII/MPR/2001 sehingga hal ini merupakan pelanggaran Tap MPR Nomor III/MPR/2000
pada Pasal 4 ayat (1), karena kedua ketetapan MPR ini merupakan pelaksanaan dari
ketentuan UUD 1945, maka berarti pembentukan UU KPTPK bertentangan dengan
ketentuan UUD 1945.
37 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Di samping itu, Pemohon mendalilkan pengujian materiil terhadap UU KPTPK
yaitu:
Ketentuan Pasal 13 huruf a UU KPTPK tersebut adalah sangat bertentangan
dengan amanat dan ketentuan UUD 1945 serta jelas-jelas telah merugikan kewenangan
konstitusional Pemohon (KPKPN) khususnya seperti dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7,
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) dan Pasal 18
ayat (1), (2) dan (3) UU Nomor 28 Tahun 1999.
Materi muatan Pasal 69 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 26 ayat (3) huruf a Undang-
Undang a quo jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 juga jelas-jelas telah
merugikan kewenangan konstitusional Pemohon (KPKPN) karena ketentuan-ketentuan
tersebut telah menghilangkan kewenangan konstitusional Pemohon (KPKPN) yang
diberikan oleh UUD 1945 seperti yang dirumuskan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999.
Pasal 71 ayat (2) UU KPTPK, kecuali bertentangan dengan UUD 1945, juga jelas-
jelas merugikan kewenangan konstitusional Pemohon (KPKPN), karena ketentuan
pasal tersebut telah menghilangkan eksistensi Pemohon KPKPN dan kewenangan
Konstitusionalnya yang ditetapkan oleh UUD 1945 seperti yang dirumuskan dalam UU
Nomor 28 Tahun 1999.
Penerapan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPTPK, tanpa ada pembatasan, kriteria
dan kualikasi tentang kapan dimulainya terhadap siapa saja dan kaitan perkara apa
saja serta bagaimana jaminan kerahasiaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap
hasil pembicaraan yang disadap dan direkam, telah sangat mengganggu rasa aman,
perlindungan diri pribadi, keluarga kehormatan, martabat dan harta benda dari setiap
anggota masyarakat, karena setiap waktu terancam oleh perbuatan penyadapan dan
merekam pembicaraan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tanpa proteksi dan pembatasan yang jelas dari UU KPTPK itu sendiri.
Tidak adanya pembatasan/proteksi dan kriteria atau kualikasi tentang kapan
dimulainya penyadapan dan rekaman pembicaraan dan terhadap siapa saja penyadapan
dan rekaman itu dapat dilakukan serta sejauh mana jaminan hasil sadapan dan rekaman
itu tidak disalahgunakan untuk pemerasan dan tujuan-tujuan negatif lainnya hal itu telah
sangat mengganggu rasa aman dan perlindungan dari pribadi setiap anggota masyarakat
pada umumnya dan khususnya setiap penyelenggara, baik di bidang eksekutif dan
legislatif maupun penyelenggara Negara di bidang yudikatif serta penyelenggaran bidang
lainnya. Jadi Pasal 12 ayat (1) huruf i jelas bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945.
Pasal 40 UU KPTPK bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 karena ketentuan
pasal tersebut tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi
penyelenggara Negara atau siapapun juga sebagai tersangka manakala dari hasil
penyidikan yang dilakukan oleh KPTPK tidak cukup bukti atas dugaan korupsi terhadap
tersangka. Padahal Surat Penghentian Penyidikan itu sangat diperlukan bagi setiap
tersangka kasus korupsi, yang terkait dengan ketentuan Pasal 12 huruf e UU KPTPK yang
38 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
mengatur tentang Pemberhentian Sementara Tersangka dari jabatannya. Ketentuan ini
juga telah menutup jalan bagi masyarkat dalam menjalankan fungsi kontrolnya terhadap
penyidikan dan penuntutan kasus korupsi oleh KPTPK.
Selanjutnya Pemohon memohon agar Majelis Hakim Konstitusi memberikan
keputusan dengan menyatakan menerima permohonan Pemohon seluruhnya;
menyatakan bahwa materi muatan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan UUD 1945; menyatakan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat; atau setidak-tidaknya menyatakan Pasal 13 huruf a, Pasal 69 ayat (1)
dan (2), Pasal 26 ayat (3) huruf a, Pasal 71 ayat (2), Pasal 12 ayat (1) huruf a dan i, Pasal
40, Pasal 13 huruf a, Pasal 69 ayat (1) dan (2), Pasal 26 ayat (3) huruf a dan Pasal 71
ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Terhadap dalil-dalil Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003,
ternyata bahwa Pemohon II (Ir. H.Muchayat dkk.) sebagai anggota KPKPN mempunyai
kepentingan langsung dengan akibat yang ditimbulkan oleh berlakunya UU KPTPK, dalam
kapasitasnya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang pada saat permohonan
diajukan, merupakan anggota KPKPN. Sebagai warga negara, anggota KPKPN dapat
melakukan fungsi dan tugas pencegahan praktik KKN. Dengan berlakunya UU KPTPK,
fungsi dan tugas yang dimiliki oleh anggota KPKPN tersebut menjadi berkurang bahkan
akan hilang sama sekali. Dengan demikian para Pemohon II mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.
Bahwa KPKPN dibentuk oleh Presiden berdasarkan Ketetapan MPR Nomor XI/
MPR/1998. Ketetapan dimaksud kemudian dimutakhirkan dengan Ketetapan MPR Nomor
VIII/MPR/2001, yang antara lain memerintahkan kepada pembuat undang-undang untuk
membentuk KPK serta membuat undang-undang untuk men-sinkronisasi-kan berbagai
undang-undang yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi secara
konsisten.
Dalam rangka menciptakan sinkronisasi dan konsistensi diterbitkanlah UU KPTPK
yang antara lain merevisi dan menghapuskan beberapa pasal Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999, khususnya yang berkaitan dengan KPKPN, dan sebuah pasal Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan diterbitkannya UU KPTPK yang antara lain mengatur tentang berakhirnya
keberadaan (eksistensi) KPKPN selaku lembaga negara yang mandiri dan pengalihan
fungsi-fungsinya ke dalam KPK, pembuat undang-undang telah menjalankan wewenang-
nya sesuai dengan UUD dan perundang-undangan lain yang diturunkan (derived) dari
UUD.
Oleh karena itu, tidak mungkin suatu badan atau lembaga yang sudah kehilangan
39 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
eksistensinya mempunyai hak dan atau kewenangan konstitusional yang dirugikan
dengan diundangkannya UU KPTPK oleh karena itu Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa Pemohon I (KPKPN) tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa, maksud sesungguhnya (original intent)
dari UUD 1945 adalah memberantas korupsi, sedangkan cara untuk mewujudkan maksud
tersebut merupakan kebijakan instrumental (instrumental policy) yang menjadi wewenang
dari pembuat undang-undang untuk memilih dari berbagai alternatif yang ada.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa pilihan yang dijatuhkan oleh para pembentuk
undang-undang dalam rangka pemberantasan korupsi sebagaimana diamanatkan oleh
UUD melalui Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tidak bertentangan dengan pasal
dan jiwa yang terkandung dalam UUD.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 hanya mengatur tentang pencegahan
korupsi, belum mengatur tentang pemberantasan korupsi yang bersifat represif.
Ahli Prof. Dr. Muladi, S.H. mengakui, dalam kata pemberantasan sebenarnya telah
tercakup sisi preventif dan represif. Diakuinya pula bahwa UU KPTPK telah mencakup
baik sisi preventif maupun sisi represif dari pemberantasan korupsi. Kedua sisi itu
seharusnya bersifat saling melengkapi dan tidak dapat dipisah-pisahkan (komplementer).
Adapun kekurangan yang dilihat oleh ahli adalah bahwa antara fungsi preventif dengan
fungsi represif dalam undang-undang itu tidak proporsional, fungsi represif terlalu besar,
sedangkan fungsi preventif yang selama ini dijalankan oleh KPKPN menjadi kecil,
sehingga terjadi pengerdilan (down-grading) KPKPN.
Ahli Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. juga mengakui bahwa fungsi preventif dan
fungsi represif telah terdapat dalam UU KPTPK.
Tentang perbandingan antara fungsi represif dan preventif dari KPK yang termuat
dalam UU KPTPK merupakan pilihan instrumental kebijakan (instrumental policy) yang
ditentukan pembentuk undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden) dari
berbagai alternatif sebagai cara terbaik untuk memberantas korupsi.
Tentang cara mana yang lebih baik dalam upaya pemberantasan korupsi, apakah
dengan mempertahankan KPKPN di samping KPK, atau membubarkan KPKPN dan
mengalihkan fungsinya ke dalam KPK, hal dimaksud merupakan sesuatu yang berkaitan
dengan efektivitas suatu undang-undang yang masih bersifat prediktif. Efektivitas suatu
undang-undang tidak hanya tergantung kepada materi muatan yang terkandung di
dalamnya, tetapi juga kepada hal lain, seperti faktor manusia atau sarana dan prasarana
yang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang itu.
Mahkamah Konstitusi tidak mungkin menyatakan suatu undang-undang
bertentangan dengan UUD hanya karena undang-undang itu dianggap kurang effektif
dalam mewujudkan amanat yang diberikan oleh UUD.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa
40 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
UU KPTPK, baik dari segi pembentukan maupun dari segi materi muatannya, tidak
bertentangan dengan UUD.
Akan tetapi walaupun pembentukan lembaga pemberantasan yang berwenang
menangani pemberantasan korupsi merupakan wewenang dari pembentuk undang-
undang (DPR dan Presiden), namun Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa di masa
yang akan datang, pembentuk undang-undang seyogianya tidak begitu saja membentuk,
mengubah, atau membubarkan suatu lembaga tanpa memperhatikan pentingnya
kesinambungan dan kepastian hukum. Hal ini sejalan dengan semangat yang terkandung
dalam Pasal 17 ayat (4) UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka terhadap
permohonan para Pemohon a quo Mahkamah menyatakan bahwa permohonan Pemohon
I tidak dapat diterima, menolak permohonan para Pemohon II seluruhnya.
Pendapat Berbeda:
Dua Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda mengenai legal standing dan
pokok perkara sebagai berikut.
Dalam legal standing, Mahkamah seharusnya menempuh pendekatan yang luas
dalam menafsirkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, terutama
pada masa awal keberadaannya, dalam rangka menegaskan mandat atau perintah
konstitusi, untuk menegakkan konstitusi tersebut. Mandat juga harus dilihat sebagai
perintah kepada Mahkamah Konstitusi untuk memajukan tujuan, semangat atau jiwa
konstitusi. Sedangkan pada pokok perkara, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 memerintahkan dibentuknya KPKPN dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 memerintahkan dibentuknya KPK adalah dua badan yang diamanatkan
melaksanakan lahirnya penyelenggaraan Negara yang bebas KKN dan pemberantasan
Tindak Pidan Korupsi yang eksistensinya dapat bersinergi, serta dipandang sebagai
tafsiran dan jiwa serta semangat yang lebih sesuai dengan UUD 1945, sehingga Pasal
13a, 26 ayat (2) a, 69, dan 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya
tidak sah dan tidak mengikat secara hukum.
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 bahwa permohonan Pemohon adalah
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sehingga sesuai dengan pasal a quo.
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa permohonan yang
diajukan oleh Pemohon. Berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
dan Penjelasannya mengenai undang-undang yang dimohonkan untuk diuji adalah
undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 yakni Perubahan
Pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999. Oleh karena itu, Hakim Mahkamah
berwenang melakukan pengujian Undang-Undang a quo karena undang-undang yang
dimintakan pengujian oleh Pemohon adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
41 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002. Untuk kedudukan
hukum (legal standing) bahwa para Pemohon mempunyai kedudukan hukum sebagai
Pemohon yakni anggota KPKPN dan/atau lembaga KPKPN adalah sebuah institusi
yang dibentuk berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,
yang dibentuk sebagai manifestasi dari semangat yang tertuang dalam Ketetapan MPR
Nomor XI/MPR/1998. Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya karena berlakunya
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang merubah kedudukan dan lembaga KPKPN
yang dulu sebagai lembaga negara menjadi bagian dari KPK dan posisi hukumnya
berubah yang menyebabkan kewenangan KPKPN menjadi berkurang. Oleh karena itu,
materi muatan Pasal 13 huruf a, Pasal 26 ayat (3) huruf a, Pasal 69 ayat (1) dan (2), dan
Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002 bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
42 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
43 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 007/PUU-I/2003
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM
Pemohon : Umar Tuasikal, S.H. dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : -
Ketetapan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk menarik kembali
permohonannya.
Tanggal Ketetapan : 3 Maret 2004.
Ikhtisar Ketetapan :
Pemohon mengajukan Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Permohonan Pemohon telah tercatat dalam buku registrasi Mahkamah Konstitusi
dengan Nomor 007/PUU-I/ 2003 tanggal 15 Oktober 2003.
Dalam sidang pemeriksaan pada hari Rabu, 3 Maret 2004, Pemohon menarik
kembali permohonannya secara lisan. Penarikan permohonan oleh Pemohon tersebut
tidak bertentangan dengan undang-undang, oleh karenanya haruslah dikabulkan. Dengan
penarikan permohonan oleh Pemohon mengakibatkan pengujian Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 terhadap UUD 1945 tidak dapat diajukan kembali. Kemudian,
Mahkamah memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret perkara Nomor 007/PUU-
I/2003 tersebut dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

44 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
45 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 008/PUU-I/2003
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31
TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK
Pemohon : Dewan Pimpinan Pusat Komite Penyelamat Partai Persatuan
Pembangunan Reformasi (PPP Reformasi).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik (UU Parpol) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 2 ayat (3) huruf c, Pasal 19 ayat (1) huruf e Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik mengenai persyaratan
pendaftaran Partai Politik bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD
1945.
Amar Ketetapan : Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk menarik kembali
permohonannya.
Tanggal Ketetapan : Jumat, 14 November 2003
Ikhtisar Ketetapan :
Pemohon adalah Dewan Pimpinan Pusat Komite Penyelamat Partai Persatuan
Pembangunan Reformasi yaitu Parpol yang telah mendaftarkan diri sebagai Partai Politik
dan sah eksistensinya sebagai Partai Politik berdasarkan ketentuan UU Parpol dan telah
mempunyai kepengurusan partai di berbagai daerah di Indonesia.
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 2 ayat (3) huruf c dan Pasal 19 ayat (1) huruf
e UU Parpol terhadap UUD 1945.
Pemohon pada tanggal 13 November 2003 dengan surat Nomor A3/EUA/Eks/
XI/2003 telah menyatakan menarik kembali permohonan Pengujian Pasal 2 ayat (3) huruf
c dan Pasal 19 ayat (1) huruf e UU Parpol.
Mahkamah Konstitusi dalam Ketetapannya, berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan (2)
46 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
penarikan permohonan Pemohon tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang,
oleh karenanya haruslah dikabulkan. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa perkara permohonan Nomor 008/PUU-I/2003 tentang Pengujian Pasal 2 ayat (3)
huruf c dan Pasal 19 ayat (1) huruf e UU Parpol terhadap UUD 1945 ditarik kembali, serta
permohonan Pemohon tersebut tidak dapat diajukan kembali. Mahkamah Konstitusi juga
memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret perkara dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi.
47 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 009/PUU-I/2003
TENTANG
KEWENANGAN DAERAH DI BIDANG PERTANAHAN
Pemohon : Assosiasi Pejabat Pembuat Akta Tanah Indonesia (ASPPAT
Indonesia).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, khususnya ketentuan Pasal 11 ayat (2), yang menyerahkan
bidang-bidang pemerintahan yang wajib diilaksanakan oleh daerah
kabupaten dan daerah kota dalam otonomi, sepanjang mengenai
bidang pertanahan, bertentangan dengan UUD 1945 khususnya
Pasal 33 ayat (3).
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan : Jumat, 26 Maret 2004.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon adalah sebuah organisasi yang beranggotakan orang-perorangan
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang mengajukan pengujian Pasal 11 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyerahkan bidang-
bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota
dalam otonomi, sepanjang mengenai bidang pertanahan, bertentangan dengan Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Para Pemohon merasa telah dilanggar hak konstitutionalnya dengan berlakunya
Pasal 11 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah. Sehingga berdasarkan Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dianggap memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 dalam hal ini melakukan pengujian UU Pemerintahan
48 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Daerah terhadap UUD 1945.
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, para Pemohon yang
mengajukan permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, yang diundangkan sebelum perubahan pertama UUD 1945 yaitu pada tanggal
7 Mei 1999. Pasal 132 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaksanaan
undang-undang ini secara efektif selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkan,
dan Pasal 134 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa undang-undang ini mulai berlaku
sejak diundangkan. Dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi pada Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum tidak membatasi terhadap undang-undang
yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi atas dasar pengundangan. para Pemohon
dalam permohonan tidak mengajukan pengujian materiil Pasal 50 UU MK sehingga
Mahkamah Konstitusi harus menolak untuk memeriksa setiap permohonan terhadap
undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar. Namun,
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dapat dikesampingkan penerapannya
dalam permohononan Pemohon sehingga Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pemohon untuk melakukan uji
materiil terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diundangkan sebelum perubahan UUD
1945.
Para Pemohon mendalilkan bahwa permohonan Pemohon juga memiliki kedudukan
hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. para Pemohon mendalilkan bahwa meskipun UU
Pemerintahan Daerah telah disahkan pada tanggal 7 Mei 1999, namun keberlakuan
efektif Undang-Undang ini adalah pada 1 Januari 2001. Tanggal pemberlakuan efektif
ini memberikan penafsiran bahwa permohonan Pemohon memiliki kedudukan hukum
(legal standing) sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 50 UU MK. Hal ini dikarenakan
UU Pemerintahan Daerah ini termasuk dalam kategori undang-undang yang dapat diuji
oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dikarenakan Mahkamah Konstitusi hanya berwenang
melakukan pengujian undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945
yakni 19 Oktober 1999. Dengan argumentasi di atas, maka Pemohon mendalilkan bahwa
permohonan Pemohon telah sesuai dengan syarat sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 50 UU MK.
Para Pemohon menyatakan bahwa keberlakuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang
Pemerintahan Daerah telah merugikan hak konstitutional Pemohon dengan alasan;
Sepanjang mengenai bidang pertanahan, pelaksanaan ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU
Nomor 22 Tahun 1999 tersebut akan menimbulkan ketidakpastian mengenai a) status
hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan b) kelanjutan eksistensinya sebagai
49 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pejabat tingkat nasional, bahkan c) bagi kelanjutan eksistensi hukum tanah nasional
sendiri, yang merupakan dasar hukum pelaksanaan fungsi dan tugas PPAT.
Dengan adanya Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang a quo daerah akan mempunyai
kewenangan yang luas di bidang pertanahan. Kewenangan yang luas tersebut menurut
para Pemohon dikhawatirkan akan menimbulkan akibat adanya pluralisme dalam hukum
pertanahan di Indonesia, sehingga akan menghapuskan hukum tanah yang bersifat
nasional.
Hapusnya hukum tanah nasional yang digantikan oleh hukum tanah yang sifatnya
kedaerahan akan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, karena menurut
para Pemohon penguasaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya haruslah dilakukan oleh pemerintah pusat. Dengan diberikannya kewenangan
yang luas kepada daerah dalam bidang pertanahan menurut para Pemohon akan dapat
menimbulkan disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Timbulnya kewenangan daerah yang sangat kuat dalam bidang pertanahan
disebabkan oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan urusan tersebut kepada daerah
secara otonomi sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 11 ayat (2). Sesuai dengan asas
negara kesatuan dan sesuai dengan semangat dan jiwa yang terkandung dalam UUD
1945, pemberian urusan pertanahan seharusnya tidak dengan cara pemberian otonomi
melainkan dengan cara tugas pembantuan (medebewind), sehingga Pasal 11 ayat (2)
bertentangan dengan jiwa dan semangat negara kesatuan sebagaimana terdapat dalam
UUD 1945.
Apabila terdapat pluralisme hukum tanah sebagai akibat Pasal 11 ayat (2) UU Nomor
22 Tahun 1999, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pejabat yang diangkat oleh
Pemerintah Pusat akan sangat dirugikan karena Pemerintah Daerah dapat membuat
peraturan daerahnya sendiri.
Penyebab utama ketidakpastian tersebut adalah ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU
Nomor 22 Tahun 1999 mengenai penyerahan kewenangan bidang pertanahan dalam
otonomi kepada daerah kabupaten dan daerah kota, yang bertentangan dengan jiwa,
semangat dan ketentuan UUD 1945, khususnya sebagai yang diamanatkan dalam Pasal
33 ayat (3) UUD 1945, khususnya sebagai yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3).
Tidak dapat dibenarkan, apabila tanah, sebagai permukaan bumi, dikuasai sepenuhnya
dalam otonomi oleh masing-masing daerah kabupaten dan daerah kota, di puluhan ribu
pulau besar dan kecil, yang kenyataannya sangat beragam keadaannya, demikian juga
kemungkinan akan beragamnya kebijakan dan kebijaksanaan pemerntahan daerahnya
serta aspirasi masyarakatnya mengenai tanah yang berada dalam penguasaannya.
Hal itu akan menghambat terwujudnya kemakmuran rakyat secara adil, merata dan
menyeluruh, sebagai yang diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Para Pemohon memberikan pertimbangan yuridis yang mendalilkan bahwa
persyaratan penyerahannya tidak dipenuhi. Dalam Pasal 8 ayat (1) dipersyaratkan bahwa
50 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi
harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia, sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, P3D tersebut oleh Pemerintah tidak diserahkan.
Karena persyaratan bagi penyerahannya tidak dipenuhi, maka ketentuan Pasal 11 ayat
(2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tersebut tidak berlaku terhadap bidang pertanahan.
Sedangkan secara materiil Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 11 ayat (2) UU
Pemerintahan Daerah telah bertentangan dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001 mengenai
desentralisasi. Desentralisasi menurut pengertian Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR RI IX/MPR/2001) bukan berupa penyerahan
seluruh kewenangan kepada daerah kabupaten dan daerah kota sebagai yang diartikan
dalam UU 22/1999, melainkan berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional,
daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan
pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam, sebagai yang dinyatakan dalam
Pasal 4 huruf l. Dengan demikian jelas pengertian desentralisasi / otonomi dalam UU
Nomor 22 Tahun 1999, bertentangan dengan pengertian produk peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dan diterbitkan kemudian.
Soal agraria menurut sifatnya dan pada dasarnya merupakan tugas Pemerintah
Pusat (Pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar 1945). Dengan demikian maka
pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah
itu adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut
keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi
daerah.
Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon berada dalam lingkup
wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya.
Disamping itu, kepentingan para Pemohon tidak dirugikan oleh Pasal 11 ayat (2) UU
Nomor 22 Tahun 1999, karena permohonan para Pemohon hanya didasarkan atas
kekhawatiran yang masih premature, namun materi permohonan para Pemohon layak
mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari pembuat undang-undang dalam
penyempurnaan UU Nomor 22 Tahun 1999.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan para
Pemohon tidak dapat diterima.
Concurring Opinion:
Satu orang Hakim Konstitusi berpendapat bahwa permohonan para Pemohon
sebenarnya tidak dapat diterima karena Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
beserta Penjelasan karena undang-undang yang menjadi objek permohonan adalah
undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan pertama UUD 1945 pada tanggal
51 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
19 Oktober 1999 yaitu undang-undang yang diundangkan pada tanggal 7 Mei 1999.
Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa permohonan Pemohon karena
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 mengikat Mahkamah Konstitusi karena
materinya adalah materi hukum acara sehingga tidak dikesampingkan. Serta subtansi
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 adalah substansi yang oleh UUD
diberikan kepada pembuat undang-undang untuk mengaturnya meskipun pelaksanaan
UU Nomor 22 Tahun 1999 secara efektif selambat-lambatnya 2 tahun sejak diundangkan
yaitu pada tanggal 7 Mei 2001, yang berarti diundangkan pada tanggal 7 Mei 1999,
Mahkamah Konsutusi berarti termasuk undang-undang yang diundangkan sebelum
perubahan UUD 1945.
52 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
53 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 010/PUU-I/2003
TENTANG
KONSTITUSIONALITAS PEMEKARAN DAERAH
Pemohon : H. Jefry Noer.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu,
Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun,
Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 4 ayat (1) huruf d, dan Pasal 4 ayat (2) mengenai
Konstitusionalitas Pemekaran Daerah bertentangan dengan Pasal
18B ayat (2) UUD 1945 menyangkut Kesatuan Hukum adat dan
hak-hak tradisionalnya.
Amar Putusan : Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Kamis, 26 Agustus 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 4 ayat (1) huruf d, dan Pasal 4 ayat (2)
bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2 ) UUD 1945.
Pemohon mendalilkan bahwa di dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2003 telah ditiadakan atau dihapus kalimat yang berbunyi,
kecuali Desa Tandun, Desa Aliantan, dan Desa Kabun, yang semula terdapat dalam
Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999, kemudian pada Pasal 4 ayat
(2)-nya berbunyi, Kecamatan Tandun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
wilayahnya adalah seluruh desa dalam Kecamatan Tandun yang sebelumnya berada
dalam wilayah eks Pembantu Bupati Kampar Wilayah I termasuk Desa Tandun, Desa
Aliantan, dan Desa Kabun.
54 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 4 ayat 1 huruf d dan Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003
sangat merugikan Pemohon dan sangat merugikan masyarakat Desa Tandun, Desa
Aliantan, dan Desa Kabul.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d dan Pasal 4 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2003, telah menghilangkan/menghapus sebagian wilayah
pemerintahan Pemohon yang berakibat hilangnya kewenangan konstitusional Pemohon
atas Desa Tandun, Desa Aliantan, dan Desa Kabun dimana Pemohon menjabat sebagai
Bupati Kampar yang berwenang mengatur, mengurus, dan menjalankan pemerintahan
atas ketiga desa tersebut. dari fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang diliputi oleh
berbagai media massa berdasarkan Undang-Undang Pers, dapat disimpulkan bahwa
penerapan Pasal 4 ayat (1) huruf d dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2003, telah nyata-nyata menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, adanya
permainan-permaian politik adu domba dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di
Kabupaten Rokan Hulu yang mengadu domba masyarakat dan mengganggu ketertiban
dengan ancaman-ancaman sik dan pembakaran terhadap masyarakat Desa Tandun,
Desa Aliantan, dan Desa Kabun yang menginginkan tetap berada dalam wilayah
Kabupaten Kampar. Hal ini membuktikan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d dan Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 bertentangan dengan Ketentuan Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945. Pertentangan ini jelas terlihat dimana kejadian-kejadian atau fakta-
fakta yang dapat dihimpun oleh Pers, menunjukkan bahwa tidak ada penghormatan dan
perlindungan terhadap kesatuan-kesatuan hukum adat dan hak-hak tradisional mereka
di Desa Tandun, Desa Aliantan, dan Desa Kabun.
Hal yang paling menonjol dari fakta-fakta yang dapat dihimpun oleh Pers adalah
munculnya pemaksaan-pemaksaan kehendak dan penekanan-penekanan serta
ancaman-ancaman sik dari pihak-pihak tertentu terhadap masyarakat. Atas dasar hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d dan Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003, jelas-jelas bertentangan dengan jiwa dan
semangat ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Terkait dengan Legal Standing, Pemohon merasa bahwa sebagai perorangan warga
negara Indonesia, telah memiliki Legal Standing untuk mengajukan pengujian materiil
dari Pasal 4 ayat (1) huruf d, dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak,
Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam
terhadap Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), antara lain, menyatakan bahwa Mahkamah
berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
nal untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Permohonan para
55 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon adalah pengujian undang-undang, yakni pengujian materiil Pasal 4 ayat (1)
huruf d, dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten
Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten
Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam terhadap
UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan para Pemohon.
Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon a quo telah keliru menafsirkan maksud
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tidaklah
dimaksukan untuk dijadikan dasar pembagian wilayah negara melainkan merupakan
penegasan bahwa negara berkewajiban untuk mengakui dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya yang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang, oleh karenanya Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
tidak ternyata dijadikan alasan hukum (rechtsgrond) dalam konsideran Mengingat
dalam pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan
Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan
Singingi dan Kota Batam, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, permohonan Pemohon a quo harus dinyatakan
ditolak.
56 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
57 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 011-017/PUU-I/2003
TENTANG
LARANGAN MENJADI ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI, DAN DPRD
KABUPATEN/KOTA BAGI BEKAS ANGGOTA ORGANISASI TERLARANG PARTAI
KOMUNIS INDONESIA, TERMASUK ORGANISASI MASSANYA, ATAU ORANG
YANG TERLIBAT LANGSUNG ATAU TIDAK LANGSUNG DALAM G.30.S/PKI ATAU
ORGANISASI TERLARANG LAINNYA
Pemohon : Perkara Nomor 011/PUU-I/2003
1. Deliar Noer; 2. Ali Sadikin; 3. Sri Bintang Pamungkas; 4. Ny.
Sri Husadhati; 5. Robert Soepomo D.P.; 6. Mohamad Toyibi; 7.
Buntaran Sanusi; 8. Moch. Sifa Amin Widigdo; 9. Krisno Pudjonggo;
10. Judilherry Justam; 11. Soenardi; 12. Urgik Kurniadi; 13. Syamsul
Hilal; 14. Syanuddin; 15. Sunaryo; 16.Affanulhakim Umar; 17.Bagus
Satriyanto; 18. Christianus Siner Key Timu; 19.Ny. Hariati; 19.Ny.
Rustiah; 20. Bambang Subono; 21. Ny. Sri Rejeki Suninto; 22.
Payung Salenda; 23. Gorma Hutajulu; 24. Rhein Robby Sumolang;
25. Sri Panuju; 26. Suyud Sukma Sendjaja; 27. Margondo Hardono
(Pemohon I).
Perkara Nomor 017/PUU-I/2003
1. Sumaun Utomo; 2. Achmad Soebarto; 3. Mulyono; 4. Said
Pradono Bin Djaja; 5. Ngadiso Yahya Bin Somoredjo; 6. Tjasman
Bin Setyo Prawiro; 7. Makmuri Bin Zahzuri (Pemohon II).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU
Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
58 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
mengenai larangan menjadi Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota bagi mereka yang bekas anggota
organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi
massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau tidak
langsung dalam G.30.S/PKI atau organisasi terlarang lainnya
bertentangan dengan Pasal 27 dan Pasal 28A s.d. Pasal 28J UUD
1945 menyangkut hak warga negara dan hak asasi manusia.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan pengujian undang-undang yang
diajukan oleh sebagian Pemohon I dan seluruh Pemohon II.
Tanggal Putusan : Selasa, 24 Februari 2004
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon I yakni Deliar Noer, Ali Sadikin, Sri Bintang Pamungkas, Ny. Sri
Husadhati, Robert Soepomo D.P., Mohamad Toyibi, Buntaran Sanusi, Moch. Sifa Amin
Widigdo, Krisno Pudjonggo, Judilherry Justam, Soenardi, Urgik Kurniadi, Syamsul Hilal,
Syanuddin, Sunaryo, Affanulhakim Umar, Bagus Satriyanto, Christianus Siner Key Timu,
Ny. Hariati, Ny. Rustiah, Bambang Satriyanto, dan Ny. Sri Rejeki Suninto merupakan
tokoh-tokoh masyarakat yang sudah dikenal dalam perjuangan penegakan hukum, hak
asasi manusia dan demokrasi, meskipun secara langsung mereka tidak dirugikan hak
konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 60 huruf g UU Pemilu dan Payung Salenda,
Gorma Hutajulu, Rhein Robby Sumolang, Ir. Sri Panudju, Suyud Sukma Sendjaja dan
Margondo Hardono adalah bekas tahanan politik, yang telah ditahan atau dipenjara
karena dituduh terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa G.30.S
(Gerakan 30 September 1965), yang dirugikan haknya untuk dipilih sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 60 huruf g UU Pemilu.
Para Pemohon II adalah orang-perorangan warga negara Indonesia yang tergabung
dalam Lembaga Kesatuan Masyarakat, yang didirikan berdasarkan Akte Notaris H. Rizul
Sudarmadi, S.H., tanggal 21 Oktober 2002 Nomor 51, dengan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga yang sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia. Dalam Akte
Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga para Pemohon II secara tegas
dinyatakan untuk memperjuangkan rehabilitasi warga negara yang di-G.30.S-kan dalam
peristiwa G.30.S. Tahun 1965, yang secara konstitusional hak kewargarnegaraannya sah
menurut Undang-Undang. Akan tetapi hak kewarganegaraan para Pemohon II tersebut
tanpa alasan dan tanpa dasar hukum yang jelas telah dicabut atau telah dibatasi oleh
berlakunya Pasal 60 huruf g UU Pemilu.
Menurut Mahkamah, para Pemohon I yakni Deliar Noer, Ali Sadikin, Sri Bintang
Pamungkas, Ny. Sri Husadhati, Robert Soepomo D.P., Mohamad Toyibi, Buntaran Sanusi,
Moch. Sifa Amin Widigdo, Krisno Pudjonggo, Judilherry Justam, Soenardi, Urgik Kurniadi,
Syamsul Hilal, Syanuddin, Sunaryo, Affanulhakim Umar, Bagus Satriyanto, Christianus
Siner Key Timu, Ny. Hariati, Ny. Rustiah, Bambang Satriyanto, dan Ny. Sri Rejeki Suninto
59 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) guna tampil selaku para Pemohon
pengujian undang-undang karena tidak terbukti terdapat adanya keterkaitan sebab akibat
(causal verband) yang menunjukkan bahwasanya hak konstitusional mereka dirugikan
oleh berlakunya Pasal 60 huruf g UU Pemilu. para Pemohon dimaksud bukan bekas
Anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk organisasi massanya, dan bukan
pula orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G.30.S./PKI serta bukan
bekas anggota organisasi terlarang lainnya. Oleh karena itu, mereka tidak memenuhi
persyaratan kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
Sebagian dari para Pemohon I yakni Payung Salenda, Gorma Hutajulu, Rhein
Robby Sumolang, Ir. Sri Panudju, Suyud Sukma Sendjaja, Margondo Hardono, dan
para Pemohon II yakni Sumaun Utomo, Achmad Soebarto, Mulyono, Said Pradono bin
Djaja, Ngadiso Yahya bin Somoredjo, Tjasman bin Setyo Prawiro, dan Makmuri bin
Zahzuri, memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan pengujian Pasal 60 huruf g UU Pemilu, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK. Sebagian para Pemohon I dan para Pemohon II seluruhnya
adalah bekas tahanan politik. Mereka telah ditahan atau dipenjara karena dituduh terlibat
secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa G.30.S./PKI.
UUD 1945 melarang diskriminasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2). Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai penjabaran ketentuan Pasal 27 dan Pasal
28 UUD 1945 tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku,
ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik. Pasal 60 huruf g UU Pemilu melarang sekelompok Warga Negara
Indonesia (WNI) untuk dicalonkan serta menggunakan hak dipilih berdasarkan keyakinan
politik yang pernah dianut.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Ditegaskan pula dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, bahwa setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Hal tersebut sesuai pula dengan Article 21 Universal Declaration of Human Rights
yang menyatakan:
Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or 1.
through freely chosen representatives.
Everyone has the right of equal access to public service in his country. 2.
The will of people shall be the basis of the authority of government; this will shall be 3.
expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal
60 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent free voting procedures.
Selain itu, dalam perkembangan selanjutnya mengenai hak-hak manusia yang
berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik, Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Tahun
1966 telah menghasilkan kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang dikenal dengan
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) berlaku sejak tanggal 1
Januari 1991, di mana 92 negara dari 160 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
menjadi negara anggota.
Article 25 tentang Civil and Political Rights dimaksud mengatur sebagai berikut:
Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions
mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions:
To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely chosen a)
representatives;
To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and b)
equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression
of the will of the electors;
To have access, on general terms of equality, to public service in his country. c)
Hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to
be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi
internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak
dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.
Menurut Mahkamah, bahwa memang Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 memuat ketentuan
dimungkinkannya pembatasan hak dan kebebasan seseorang dengan undang-undang,
tetapi pembatasan terhadap hak-hak tersebut haruslah di dasarkan atas alasan-alasan
yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. Pembatasan tersebut
hanya dapat dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis; tetapi pembatasan hak dipilih seperti ketentuan
Pasal 60 huruf g UU Pemilu tersebut justru karena hanya menggunakan pertimbangan
yang bersifat politis. Di samping itu dalam persoalan pembatasan hak pilih (baik aktif
maupun pasif) dalam pemilihan umum lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan
ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan
(impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif.
Dari sifatnya, yaitu pelarangan terhadap kelompok tertentu warga negara untuk
mencalonkan diri sebagai Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pasal 60 huruf g UU Pemilu
jelas mengandung nuansa hukuman politik kepada kelompok sebagaimana dimaksud.
Sebagai negara hukum, setiap pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan
hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan yang
61 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara
Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan
untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-
Leninisme juncto Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002, yang dijadikan alasan hukum Pasal 60 huruf g UU Pemilu adalah
berkaitan dengan pembubaran Partai Komunis Indonesia dan larangan penyebarluasan
ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme yang sama sekali tidak berkaitan dengan
pencabutan atau pembatasan hak pilih baik aktif maupun pasif warga negara, termasuk
bekas anggota Partai Komunis Indonesia.
Suatu tanggung jawab pidana hanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya
kepada pelaku (dader) atau yang turut serta (mededader) atau yang membantu
(medeplichtige), maka adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa
keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum apabila tanggung jawab
tersebut dibebankan kepada seseorang yang tidak terlibat secara langsung.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dan keterangan Pemerintah serta DPR
serta alat-alat bukti tertulis, saksi, dan ahli, Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan
Pasal 60 huruf g UU Pemilu yang berbunyi, bukan bekas anggota organisasi terlarang
Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massa, atau bukan orang yang terlibat
langsung maupun tak langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia
atau organisasi terlarang lainnya, merupakan pengingkaran terhadap hak asasi warga
negara atau diskriminasi atas dasar keyakinan politik, dan oleh karena itu, bertentangan
dengan hak asasi yang dijamin oleh UU Pemilu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
dan Pasal 28D ayat (1), ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2).
Oleh karena itu, cukup beralasan untuk menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g UU
Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu, materi ketentuan
sebagaimana terkandung dalam Pasal 60 huruf g UU Pemilu dipandang tidak lagi
relevan dengan upaya rekonsiliasi nasional yang telah menjadi tekad bersama bangsa
Indonesia menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan. Meskipun
keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam peristiwa G.30.S. pada tahun 1965 tidak
diragukan oleh sebagian terbesar bangsa Indonesia, terlepas pula dari tetap berlakunya
Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 juncto Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan
MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tetapi orang perorang bekas anggota
Partai Komunis Indonesia dan organisasi massa yang bernaung di bawahnya, harus
diperlakukan sama dengan warga negara yang lain tanpa diskriminasi.
Dalam putusannya, Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian Undang-
62 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Undang yang diajukan oleh sebagian Pemohon I, yakni Payung Salenda, Gorma
Hutajulu, Rhein Robby Sumolang, Ir. Sri Panudju, Suyud Sukma Sendjaja, Margondo
Hardono; dan seluruh Pemohon II, yakni Sumaun Utomo, Achmad Soebarto, Mulyono,
Said Pradono Bin Djaja, Ngadiso Yahya Bin Somoredjo, Tjasman Bin Setyo Prawiro, dan
Makmuri Bin Zahzuri. Disamping itu, Mahkamah juga menyatakan bahwa Pasal 60 huruf
g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Pendapat Berbeda:
Seorang Hakim Konstitusi berpendapat bahwa permohonan para Pemohon I yang
memiliki legal standing dalam Perkara Nomor 011/PUU-I/2003 dan seluruh para Pemohon
II dalam Perkara Nomor 017/PUU-I/2003 harus ditolak dengan alasan sebagai berikut.
Pasal 60 huruf g UU Pemilu berbunyi: bukan bekas anggota organisasi terlarang
Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat
langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya.
Pasal ini seolah-olah tidak terlalu sejalan dengan semangat yang terkandung dalam
beberapa pasal dari UUD 1945, yaitu:
Pasal 27 ayat (1): persamaan hak dalam hukum dan pemerintahan a.
b. Pasal 28C ayat (2): hak untuk memperjuangkan haknya secara kolektif.
c. Pasal 28D ayat (1): hak atas perlakuan yang sama di depan hukum.
d. Pasal 28D ayat (3): hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
e. Pasal 28I ayat (2): hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Namun demikian, dalam membaca dan mencari makna pasal-pasal UUD hendaknya
tidak parsial, tetapi harus dikaitkan secara sistimatis dengan pasal-pasal lainnya, dalam
hal ini terutama Pasal 22E ayat (6), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD
1945.
Pasal 22E ayat (6) berbunyi, Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu diatur dengan
Undang-Undang. Pasal ini memberi mandat kepada pembuat undang-undang (Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden) untuk membuat ketentuan yang lebih rinci tentang
Pemilu. Sebagaimana lazimnya mandat seperti itu bisa meliputi persyaratan, penegasan
(konrmasi), pengulangan (repetisi), dan pembatasan (restriksi) sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Itulah yang telah dilakukan oleh pembuat
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yaitu membuat pembatasan seperti tercantum dalam Pasal 60 huruf a (pembatasan
umur), Pasal 60 huruf c (pendidikan), Pasal 60 huruf g (konduite politik), dan Pasal 145
(status pemilih).
Pembatasan seperti itu mempunyai alas konstitusional yaitu Pasal 28J ayat (2) dan
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pasal 28J ayat (2) berbunyi: Dalam menjalankan hak
63 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
oleh Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pasal ini memberikan wewenang kepada
pembuat undang-undang untuk membuat pembatasan bagi setiap orang dalam
menjalankan haknya dengan pertimbangan tertentu. Adapun salah satu pertimbangan
yang bisa digunakan sebagai dasar pembatasan itu adalah pertimbangan keamanan dan
ketertiban umum.
Walaupun rujukan terakhir adalah UUD 1945., tetapi pembatasan tersebut
bersesuaian dengan Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights yang
berbunyi, In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to
such limitations determined by law solely for the purpose of securing due recognation
and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements
of morality, public order and the general welfare in a democratic society. Sebagai
perbandingan, pembatasan hak individual karena konduite politik, yaitu misalnya bekas
anggota suatu Partai Politik tertentu, bisa terjadi juga di negara lain, termasuk negara-
negara yang demokratis.
Dari keterangan ahli, Frans Magnis Soeseno, dalam sidang, terungkap bahwa di
Jerman, setidak-tidaknya sewaktu pendudukan Sekutu (1945-1949) dan di awal era
Republik Federasi Jerman (1949-1953) telah dilakukan tindakan de-NAZI-kasi, yang
antara lain berupa pembatasan terhadap bekas anggota partai Nazi untuk menduduki
jabatan-jabatan tertentu (misalnya jabatan menteri). Ahli juga mengakui bahwa Sekutu
yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis adalah Negara demokratis,
walaupun belum tentu bertindak demokratis. Pembatasan yang diberlakukan di Jerman
tidak bersifat permanen, tetapi semakin longgar dan akhirnya berakhir pada tahun 1956.
Sementara itu, ahli menerangkan juga bahwa walaupun hak asasi manusia tidak
bisa dilanggar dengan menggunakan alasan raison detat, namun dalam kenyataannya
dengan menggunakan alasan kepentingan nasional (national interest) kadang-kadang
pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dilakukan oleh negara-negara demokratis.
Pemerintah Amerika Serikat melakukan penangkapan terhadap warga Afghanistan yang
dicurigai terlibat Al-Qaida dan kemudian menahan mereka di sebuah kamp di Guatanamo
(Cuba).Walaupun tindakan Pemerintah Amerika Serikat seperti itu mungkin tidak akan
dibenarkan oleh Hakim-hakim Amerika Serikat, tetapi demi raison detat dan national
interest ternyata Pemerintah Amerika melakukannya.
Di Indonesia, berdasarkan UUD 1945, pembatasan seperti itu bisa dilakukan oleh
pembuat undang-undang terhadap semua hak asasi manusia, yang tercantum dalam
keseluruhan Bab XV HAK ASASI MANUSIA, kecuali terhadap hak-hak yang tercantum
dalam Pasal 28I, yaitu a. hak hidup; b. hak untuk tidak disiksa; c. hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani; d. hak beragama; e. hak untuk tidak diperbudak; f. hak untuk
64 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
diakui sebagai pribadi di depan hukum; g. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut.
Pembatasan yang diatur dalam Pasal 60 huruf g UU Pemilu tidak termasuk dalam
salah satu hak yang disebut dalam Pasal 28I ayat (1). Oleh karena itu pembatasan
dalam Pasal 60 huruf g tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dari keterangan Dewan
Perwakilan Rakyat dan Pemerintah terungkap bahwa ketika Pasal 60 huruf g dibahas telah
secara mendalam dipertimbangkan alasan-alasan pembatasan tersebut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Pembatasan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang sebagaimana
tercantum dalam Pasal 60 huruf g bukanlah pembatasan yang bersifat permanen,
melainkan pembatasan yang bersifat situasional, dikaitkan dengan intensitas peluang
penyebaran kembali faham (ideologi) Komunisme/Marxisme-Leninisme dan konsolidasi
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sebagaimana diketahui penyebaran ideologi komunisme dan konsolidasi PKI tidak
dikehendaki oleh rakyat Indonesia, dengan tetap diberlakukannya TAP MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966 oleh MPR hingga saat ini. Menurut keterangan ahli, Dr. Thamrin Amal
Tomagola, TAP MPR itu secara formal adalah sah, karena dibuat oleh lembaga negara
yang berwenang.
Bahwasanya pembatasan ini bersifat situasional, dapat ditelusuri dengan semakin
longgarnya perlakuan terhadap bekas anggota PKI dan lain-lain dari Undang-Undang
Pemilu yang terdahulu ke Undang-Undang Pemilu berikutnya. Dalam Undang-Undang
Pemilu sebelumnya bekas anggota PKI dan lain-lain, bukan saja dibatasi hak pilih pasif
(hak untuk dipilih), tetapi juga hak pilih aktif (hak untuk memilih). Sedangkan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(UU Pemilu) yang dibatasi hanya hak pilih pasif saja.
Dalam rangka rekonsiliasi nasional, di masa datang pembuat Undang-Undang
diharapkan untuk mempertimbangan kembali pembatasan itu, yang diikuti oleh legislative
review, untuk memutakhirkan bunyi Pasal 60 huruf g sesuai dengan pertimbangan-
pertimbangan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Hal ini
dikarenakan sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) yang diberikan wewenang
untuk membuat pertimbangan atas pembatasan itu adalah pembuat Undang-Undang
(DPR dan Presiden), bukan lembaga negara lain.
Setiap lembaga negara termasuk Mahkamah Konstitusi memang boleh saja
memberikan penilaian terhadap situasi keamanan dan ketertiban umum untuk
menentukan atau menghapuskan pembatasan, tetapi secara konstitusional yang diberi
mandat sebagai pemegang kata akhir (ultimate decision maker) dalam hal ini adalah
pembuat undang-undang (DPR dan Presiden).
65 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 012/PUU-I/2003
TENTANG
PEMBATASAN BERSERIKAT, PEMBORONGAN PEKERJAAN, DAN
PHK TANPA PPHI
Pemohon : 1. Saepul Tavip, 2. Hikayat Atika Karwa, 3. Ilhamsyah, dkk.
(sebanyak 37 orang yang merupakan pemimpin dan aktivis
organisasi serikat buruh atau pekerja).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 106 ayat (3), Pasal 119,
Pasal 120, Pasal 121, Pasal 151, Pasal 158, Pasal 159, Pasal
170, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 1 angka 3, Pasal 1 angka 15,
Pasal 1 angka 50, Pasal 1 angka 26, Pasal 68, Pasal 69, Pasal
1 angka 23, Pasal 137, Pasal 74 ayat (2) a, b dan c, Pasal 52
ayat (1) d, Pasal 1 angka 26, Pasal 68, Pasal 69 ayat (2) huruf
d, Pasal 76 ayat (1), Pasal 1 angka 18, Pasal 102 ayat (2), dan
Pasal 69 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
mengenai Pembatasan Berserikat, Pemborongan Pekerjaan,
dan PHK tanpa PPHI bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1)
dan (2), Pasal 28, serta Pasal 33 UUD 1945 menyangkut hak
kebebasan berserikat, dan hak untuk memperoleh pekerjaan
dan penghidupan yang layak.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan dikabulkan untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Kamis, 28 Oktober 2004.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon merupakan pemimpin dari berbagai kelompok masyarakat dan
66 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
organisasi non-Pemerintah yang bergerak dan didirikan atas dasar kepedulian untuk
dapat memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum dan HAM khususnya
bagi buruh/pekerja.
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 106 ayat (3),
Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 151, Pasal 158, Pasal 159, Pasal 170, Pasal
140, Pasal 141, Pasal 1 angka 3, Pasal 1 angka 15, Pasal 1 angka 50, Pasal 1 angka 26,
Pasal 68, Pasal 69, Pasal 1 angka 23, Pasal 137, Pasal 74 ayat (2) a, b dan c, Pasal 52
ayat (1) d, Pasal 1 angka 26, Pasal 68, Pasal 69 ayat (2) huruf d, Pasal 76 ayat (1), Pasal
1 angka 18, Pasal 102 ayat (2), Pasal 69 UU Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.
UU Ketenagakerjaan dianggap telah tidak berpihak kepada kepentingan buruh/
pekerja dan cenderung lebih mengadopsi kepentingan pemilik modal, nasional dan
terutama internasional, serta tidak cukup mempertimbangkan dampak negatifnya
terhadap buruh/pekerja Indonesia.
Para Pemohon mendalilkan bahwa UU Ketenagakerjaan telah disusun dengan
melanggar prinsip-prinsip dan prosedural penyusunan dan pembuatan sebuah undang-
undang yang patut karena tidak ada naskah akademis yang memberi dasar pertimbangan
ilmiah perlunya UU Ketenagakerjaan, dan UU Ketenagakerjaan diwarnai kebohongan
publik oleh DPR.
Selain pelanggaran formil, para Pemohon juga menyatakan bahwa UU
Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 106, Pasal 119, Pasal 120,
dan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan dianggap melanggar Pasal 28 UUD 1945 karena
ketentuan dalam pasal-pasal tersebut memberikan batasan dalam kebebasan hak
berserikat bagi para buruh. Menurut para Pemohon Pasal 106 dianggap mengurangi
secara signikan peran dan fungsi serikat buruh/pekerja yang berakibat pada penurunan
secara besar-besaran keanggotaan serikat buruh/pekerja. Sedangkan Pasal 119 yang
mensyaratkan jumlah anggota bagi serikat buruh untuk membuat PKB, memberikan
dampak pada kebebasan berserikat bagi buruh. Demikian juga dengan Pasal 120
yang memperketat persyaratan serikat buruh, serta Pasal 121 yang mengatur bahwa
keanggotaan serikat buruh/pekerja harus dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Ke semua ketentuan dalam pasal-pasal tersebut menurut Pemohon telah membatasi
kebebasan berserikat para buruh.
Terhadap Pasal 64 66 UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang sistim kerja
pemborongan pekerjaan, para Pemohon menyatakan bahwa ketentuan tersebut telah
menempatkan buruh sebagai faktor produksi semata, yang dengan mudah dipekerjakan
bila dibutuhkan dan di-PHK ketika tidak dibutuhkan lagi, sehingga komponen upah
sebagai salah satu biaya (costs) bisa ditekan seminimal mungkin.
Para Pemohon juga menyatakan bahwa Pasal 158 ayat (1) dan (2), Pasal 170
UU Ketenagakerjaan telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, karena
pasal-pasal tersebut membenarkan PHK dengan alasan melakukan kesalahan berat
67 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
yang masuk kualikasi tindak pidana, yang menurut Pasal 170 prosedurnya tidak perlu
mengikuti ketentuan Pasal 151 ayat (3) yaitu dapat tanpa penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Bahkan para Pemohon juga menunjuk Konvensi ILO
sebagai Hukum Internasional yang dilanggar oleh substansi UU Ketenagakerjaan.
Menurut Mahkamah, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili
dan memutus permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan yang diundangkan setelah
perubahan pertama UUD 1945 yaitu setelah tanggal 19 Oktober 1999.
Para Pemohon memiliki legal standing dalam mengajukan pengujian UU
Ketenagakerjaan, karena para Pemohon adalah para pemimpin dan aktivis organisasi
serikat buruh/pekerja yang tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak
dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang bergerak dan didirikan atas kepedulian
untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum dan hak asasi
manusia di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja. Sebagai perorangan atau kumpulan
perorangan yang bertindak untuk diri sendiri maupun untuk para buruh yang tergabung
dalam organisasi yang dipimpin para Pemohon, maka para Pemohon memenuhi
kualikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu sebagai perorangan atau kelompok orang yang
memiliki kepentingan yang sama.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi dalam menguji secara formil UU Ketenagakerjaan
berpendapat bahwa terdapat cacat hukum secara prosedural yang menyebabkan
UU Ketenagakerjaan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam
Pertimbangannya Mahkamah berpendapat bahwa keberadaan naskah akademis
bukanlah merupakan keharusan konstitusional dalam proses pembentukan undang-
undang. Oleh karena itu, ketiadaan naskah akademis RUU Ketenagakerjaan bukanlah
merupakan cacat hukum yang mengakibatkan batalnya undang-undang. Terkait dengan
dalil para Pemohon tentang ada kebohongan publik oleh DPR, Mahkamah berpendapat
bahwa jika proses penyusunan undang-undang kurang aspiratif, hal ini tidak menjadikan
hal dimaksud bertentangan dengan prosedur pembentukan undang-undang menurut
UUD 1945.
Dalam pertimbangannya Mahkamah menyetujui dalil para Pemohon bahwa Pasal
158 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1)
karena Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan
alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui
putusan pengadilan yang independen dan imparsial. Di lain pihak, Pasal 160 menentukan
bahwa buruh/pekerja yang ditahan oleh pihak yang berwajib karena diduga melakukan
tindak pidana tetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlakukan sesuai dengan
asas praduga tidak bersalah yang sampai bulan keenam masih memperoleh sebagian
dari hak-haknya sebagai buruh, dan apabila pengadilan menyatakan buruh/pekerja
yang bersangkutan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali buruh/
pekerja tersebut. Hanya kasus yang bukan diadukan oleh pengusaha yang diperlakukan
68 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
demikian, hal ini jelas merupakan diskriminasi.
Terkait dengan pengujian Pasal 159 Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan
tersebut melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja untuk
membuktikan ketidaksalahannya, sebagai pihak yang secara ekonomis lebih lemah yang
seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih, Pasal 159 juga menimbulkan
kerancuan berpikir dengan mencampuradukkan proses perkara pidana dengan proses
perkara perdata secara tidak pada tempatnya.
Dalam Pasal 186 ditentukan sanksi bagi buruh yang melanggar Pasal 137 dan 138,
diancam dengan pidana minimum 1 (satu) bulan dan maksimum 4 (empat) tahun penjara
dan/atau denda minimum Rp. 10.000.000., maksimum Rp. 400.000.000,-. Menyangkut
hal ini Hakim Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 186 UU Ketenagakerjaan bertentangan
dengan UUD 1945, oleh karena sanksi-sanksi pidana dalam Undang-Undang a quo bagi
buruh/pekerja dipandang tidak proporsional dan berlebihan.
Mengenai dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 64 - 66 UU
Ketenagakerjaan memandang buruh hanya sebagai komoditi, karena kecenderungan
sistim outsourcing dalam pola pekerjaan Mahkamah berpendapat bahwa para
Pemohon tidak dapat membuktikan dasar dari dalil tersebut. Hubungan kerja antara
buruh dengan perusahaan penyedia jasa yang melaksanakan pelaksanaan pekerjaan
pada perusahaan lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 64 - 66 UU Ketenagakerjaan,
mendapat perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama dengan perlindungan kerja
dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mahkamah berpendapat aturan yang mensyaratkan satu serikat buruh/pekerja
di perusahaan memperoleh hak untuk mewakili pekerja/buruh dalam perundingan
pembuatan Perjanjian Kerja Bersama apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50%
dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, dan jikalau jumlah
50% tidak tercapai, untuk dapat berunding serikat buruh/pekerja yang bersangkutan
memerlukan dukungan lebih dari 50% dari seluruh jumlah buruh/pekerja, yang akan
dicapai oleh serikat buruh/pekerja melalui musyawarah dan mufakat di antara sesama
buruh/pekerja, sedang jika serikat buruh/pekerja lebih dari satu dan tidak mencapai jumlah
lebih dari 50%, dapat dilakukan koalisi di antara serikat buruh/pekerja di perusahaan
tersebut untuk mewakili buruh dalam perundingan dengan pengusaha, dan jika hal inipun
tidak dicapai tim perunding ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota
masing-masing serikat buruh/pekerja. Aturan tersebut dipandang cukup wajar dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
Demikian pula persyaratan kartu anggota sebagai alat bukti bagi tanda keanggotaan
seseorang dalam satu serikat pekerja/buruh, adalah merupakan hal yang wajar dalam
organisasi untuk dapat secara sah menyatakan klaim mewakili anggota, dan sama sekali
tidak cukup mendasar untuk dipandang bertentangan dengan UUD.
Mengenai ketentuan Pasal 106 UU Ketenagakerjaan Mahkamah berpendapat tidak
69 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ada hal yang bertentangan dengan UUD 1945, karena penunjukan unsur buruh/pekerja
yang akan duduk dalam forum tersebut dilakukan secara demokratis, yang dapat ditarik
setiap saat jika ternyata bukan kepentingan buruh yang dipertahankan dalam forum
konsultasi dimaksud.
Dengan pertimbangan tersebut di atas, Hakim Konstitusi memutuskan untuk
mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon, degan menyatakan Pasal 158,
Pasal 159, Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat . bukan atas
pengaduan pengusaha , Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat . kecuali
Pasal 158 ayat (1), , Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat . Pasal 158
ayat (1), Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat . Pasal 137 dan Pasal 138
ayat (1) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Serta, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan para
Pemohon untuk selebihnya.
Pendapat Berbeda:
Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian UU Ketenagakerjaan
2 orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda. Kedua Hakim Konstitusi
berpendapat bahwa permohonan yang dikabulkan seharusnya lebih banyak dari amar
Putusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonan pengujian formal UU Ketenagakerjaan, kedua Hakim dissenter
berpendapat seharusnya Putusan MK mengabulkan permohonan para Pemohon.
Seharusnya UU Ketenagakerjaan disusun dengan memperhatikan berbagai peraturan
perundang-undangan saat itu seperti Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie
(AB, Stb.1847: 23), UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR, dan DPRD yang
lahir atas perintah UUD 1945 yang kemudian juga memerintahkan pengaturan lebih lanjut
dalam Peraturan Tata Tertib DPR (yang memuat ketentuan tentang naskah akademik),
dan Keppres Nomor 188 Tahun 1998 jo Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999.
Dalam Pengujian materil kedua Hakim Dissenter berpendapat bahwa kebijakan
outsourcing yang tercantum dalam Pasal 64 66 UU Ketenagakerjaan telah mengganggu
ketenangan kerja bagi buruh/pekerja yang sewaktu-waktu dapat terancam pemutusan
hubungan kerja (PHK). Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 UUD 1945.
Selain itu kebijakan yang tercantum dalam Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, dan Pasal
106 UU Ketenagakerjaan yang intinya memperberat persyaratan untuk merundingkan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) bagi serikat buruh/serikat pekerja, merupakan kebijakan
terselubung guna mengurangi hak buruh/pekerja untuk memperjuangkan hak-haknya
dan mereduksi hakikat kebebasan berserikat bagi buruh. Ketentuan ini bertentangan
dengan Pasal 28 UUD 1945.
Kebijakan prosedural administratif mengenai mogok kerja yang cenderung
mereduksi makna mogok kerja sebagai hak dasar buruh/pekerja seperti yang tercantum
dalam Pasal 137 sampai 140 UU Ketenagakerjaan. Kebijakan ini bertentangan dengan
Pasal 28 UUD 1945.
70 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
71 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 013/PUU-I/2003
TENTANG
ASAS RETROAKTIF DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
Pemohon : Masykur Abdul Kadir.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan Bom Bali tanggal
12 Oktober terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Keseluruhan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pada peristiwa
peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober bertentangan dengan
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk pengujian Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali tanggal
12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tanggal Putusan : Jumat, 23 Juli 2004.
72 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Ikhtisar Putusan:
Pemohon adalah seorang warga negara Indonesia yang merasa hak konstitutionalnya
telah dilanggar. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pemohon merasa memiliki keududukan hukum
(legal standing) untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dalam
hal ini menguji Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap UUD 1945
Pemohon mengajukan pengujian seluruh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan
Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 terhadap Pasal 28A dan Pasal 34 ayat (1), (2) dan (4)
UUD 1945.
Pemohon menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang
berlaku surut adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun serta tidak
sesuai dengan prinsip legalitas dan bertentangan dengan UUD 1945 dengan mengutip
beberapa ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
menyebutkan Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi dan Pasal 28I
ayat (1) Perubahan kedua (Amandemen II) UUD 1945 yang menyebutkan, Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon agar Majelis Hakim Konstitusi memberikan
putusan dengan menyatakan menerima permohonan Pemohon seluruhnya; menyatakan
bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
mencabut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 dan menyatakan tidak berlaku.
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa undang-
undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan
setelah perubahan pertama UUD 1945 tanggal 19 Oktober 1999, sedangkan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2003 diundangkan pada tanggal 4 April 2003 dengan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4285. Dengan demikian, Mahkamah berwenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan a quo.
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu perorangan warga
negara Indonesia, atau kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
73 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang, atau badan hukum publik atau privat, atau
lembaga negara.
Pemohon, Masykur Abdul Kadir, adalah seorang warga negara Indonesia yang
menjadi salah seorang terdakwa dalam kasus peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober
2002 yang menganggap hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2003, yaitu hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi, Hak untuk hidup hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Padahal,
terhadap Pemohon telah diterapkan hukum yang berlaku surut, yaitu Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2003, karena terhadap kasus yang terjadi pada tanggal 12 Oktober
2002 (Peristiwa Peledakan Bom di Bali) telah diterapkan Perpu Nomor 1 Tahun 2002
yang diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2002 (Lembaran Negara RI Tahun 2002
Nomor 106). Dengan demikian, Pemohon a quo memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2003 terhadap UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pada dasarnya hukum itu harus berlaku
ke depan (prospectively). Adalah tidak fair, jika seseorang dihukum karena perbuatan
yang pada saat dilakukannya merupakan perbuatan yang sah. Adalah tidak fair pula
jika pada diri seseorang diberlakukan suatu ketentuan hukum yang lebih berat terhadap
suatu perbuatan yang ketika dilakukannya diancam oleh ketentuan hukum yang lebih
ringan, baik yang berkenaan dengan hukum acara (procedural), maupun hukum material
(substance).
Asas non-retroaktif lebih mengacu kepada loso pemidanaan atas dasar
pembalasan (retributive), padahal asas ini tidak lagi merupakan acuan utama dari sistim
pemidanaan di negara kita yang lebih merujuk kepada asas preventif dan edukatif.
Telah menjadi pengetahuan umum, pengesampingan asas non-retroaktif membuka
peluang bagi rezim penguasa tertentu untuk menggunakan hukum sebagai sarana balas
dendam (revenge) terhadap lawan-lawan politik sebelumnya. Balas dendam semacam
ini tidak boleh terjadi, oleh karena itu harus dihindari pemberian peluang sekecil apapun
yang dapat memberikan kesempatan ke arah itu.
Saat ini tengah berlangsung upaya penegakan hukum (rule of law) termasuk
penegakan peradilan yang fair. Adapun jaminan minimum bagi suatu proses peradilan
yang fair adalah: asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), persamaan
kesempatan bagi pihak yang berperkara, pengucapan putusan secara terbuka untuk
umum, asas ne bis in idem, pemberlakuan hukum yang lebih ringan bagi perbuatan
yang tengah berproses (pending cases), dan larangan pemberlakuan asas retroaktif.
74 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dengan mengacu kepada syarat-syarat minimum tersebut di atas maka Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2003 justru berselisihan arah dengan jaminan bagi suatu peradilan
yang fair, karena jelas-jelas telah melanggar salah satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu
pemberlakuan asas retroaktif.
Untuk menunjukkan betapa asas retroaktif tidak diinginkan, Mahkamah mengutip
beberapa peraturan internasional dan peraturan di negara-negara lain yang telah
mempunyai sejarah penegakan hukum yang panjang sebagai berikut:
Amerika Serikat dalam konstitusinya melarang penerapan asas a. retroaktif
sebagaimana termuat dalam Article I Section 9 yang berbunyi: No bill of attainder or
ex post pacto law shall be passed.
Universal Declaration of Human Rights b. dalam Article 11 (2) menyatakan; No one
shall be held guilty of any penal offence on account of any act or omission which did
not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when
it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was
applicable at the time the penal offence was committed.
European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms c.
and Its Eight Protocols Article 7 (1) menyatakan; No one shall be held guilty of any
criminal offence on account of any act or omission which did not constitute a criminal
offence under national or international law at the time when it was committed. Nor
shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the
criminal offence was committed, sedangkan pada ayat (2) dinyatakan: This article
shall not prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission
which, at the time when it was committed, was criminal according to the general
principles of law recognized by civilised nations.
United Nations International Covenant on Civil and Political Rights d. (1966) pada Article
4 (2) menyatakan bahwa: No derogation from articles 6, 7, 8 (paragraphs 1 and 2),
11, 15, 16 and 18 may be under this provision; pada Article 15 ayat (1) dan (2)
dinyatakan bahwa: (1) No one shall be held guilty of any criminal offence on account
of any act or omission which did not constitute a criminal offence, under national or
international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be
imposed than the one that was applicable at the time when the criminal offence was
committed. If, subsequently to the commission of the offence, provision is made
by law for the imposition of a lighter penalty, the offender shall benet thereby, (2)
Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any
act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to
the general principles of law recognized by the community of nations.
American Convention on Human Rights e. dalam Article 9 menyatakan bahwa:
Freedom from Ex Post Facto Laws No one shall be convicted of any act or omission
that did not constitute a criminal offence, under the applicable law, at the time it
was committed. A heavier penalty shall not be imposed than the one that was
applicable at the time the criminal offence was committed. If subsequent to the
commission of the offence the law provides for the imposition of a lighter punishment,
the guilty person shall benet there from.
75 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Rome Statute of the International Criminal Court f. (1998) dalam bagian 3 General
Principles of Criminal Law Article 22, Nullum crimen sine lege menyatakan: (1) A
person shall not be criminally responsible under this statute unless the conduct in
question constitutes, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the
Court; (2) The denition of a crime shall be strictly construed and shall not extended
by analogy. In case of ambiguity, the denition shall be interpreted in favour of
the person being investigated, prosecuted or convicted; (3) This article shall not
affect the characterization of any conduct as criminal under the international law
independently of this Statute. Article 23 Nulla poena sine lege: A person convicted
by the Court may be punished only in accordance with this Statute. Article 24: Non-
retroactivity ratione personae (1) No person shall be criminally responsible under this
Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute; (2) In the event of a
change in the law applicable to a given case prior to a nal judgement, the law more
favourable to the person being investigated, prosecuted or convicted shall apply.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penerapan prinsip retroaktif dalam
hukum pidana hanya merupakan suatu pengecualian yang hanya dapat diberlakukan
pada perkara pelanggaran HAM berat (gross violation on human rights) sebagai suatu
kejahatan yang serius (extra ordinary cime), sedangkan terorisme bukan termasuk
kategori pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun di dalam Statuta Roma 1998 tentang
International Criminal Court sehingga kejahatan terorisme dapat dikategorikan sebagai
kejahatan ordinary crime.
Mahkamah berpendapat bahwa sesuai dengan Stufen Theorie des Recht dari Hans
Kelsen, undang-undang sebagai produk legislatif berisi kaidah-kaidah hukum mengatur
(regels) yang bersifat umum dan abstrak (abstract and general norms). Undang-undang
tidak memuat kaidah-kaidah yang bersifat individual dan konkrit (individual and concrete
norms), sebagaimana kaidah-kaidah yang terdapat dalam keputusan hukum yang dibuat
oleh pejabat tata usaha negara yang berupa penetapan administrasi (beschikking)
ataupun produk hukum pengadilan berupa putusan (vonis). Dapat dikatakan bahwa pada
pokoknya bukanlah kewenangan pembentuk undang-undang untuk menerapkan sesuatu
norma hukum yang seharusnya bersifat umum dan abstrak ke dalam suatu peristiwa
konkrit, karena hal tersebut sudah seharusnya merupakan wilayah kewenangan hakim
melalui proses peradilan atau kewenangan pejabat tata usaha negara melalui proses
pengambilan keputusan menurut ketentuan hukum administrasi negara.
Mahkamah berpendapat bahwa sekiranya pemberlakuan kaidah hukum oleh
pembentuk undang-undang terhadap sesuatu peristiwa konkrit yang terjadi sebelumnya,
sebagaimana dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 seperti
tersebut di atas dibenarkan adanya, atau dianggap konstitusional oleh Mahkamah,
maka hal tersebut di masa-masa yang akan datang dapat menjadi preseden buruk yang
dijadikan rujukan bahwa pembentuk undang-undang dapat memberlakukan sesuatu
kaidah hukum dalam undang-undang secara eksplisit atau expressis verbis terhadap
76 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
satu atau dua persitiwa konkrit yang telah terjadi sebelumnya, hanya atas dasar
penilaian politis (political judgement) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-
sama Pemerintah bahwa peristiwa hukum yang telah terjadi sebelumnya itu termasuk
kategori kejahatan yang sangat berat bagi kemanusiaan. Padahal, dalam kenyataannya
untuk menanggulangi dan melakukan penindakan terhadap kejahatan dimaksud telah
tersedia perangkat hukum yang cukup atau setidaknya belum terbukti bahwa berbagai
perangkat hukum yang tersedia tersebut telah dipergunakan secara maksimal dalam
upaya menindak kejahatan dimaksud.
Mahkamah berpendapat bahwa penindakan terhadap setiap bentuk kejahatan yang
terjadi haruslah dilakukan dengan menegakkan hukum (law enforcement) secara adil dan
pasti, bukan dengan cara membuat norma hukum baru (law making) melalui pembentukan
Perpu ataupun undang-undang baru. Apalagi jika ternyata kebijakan legislasi semacam
itu didasarkan atas pertimbangan yang bersifat politis (political judgement). Jikalau
kejahatan yang terjadi di depan mata, selalu dihadapi dengan membuat hukum baru,
maka niscaya tidak akan pernah ada hukum yang kita tegakkan, karena hukum yang
tersedia selalu dirasakan tidak mencukupi.
Oleh sebab itu, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun pembaruan hukum
Indonesia yang menyeluruh dewasa ini sungguh sangat mendesak untuk dilakukan
dalam upaya membangun sistim hukum yang makin tertib dan berkeadilan, namun
tindakan penegakan hukum secara nyata tidak boleh ditunda-tunda karena pertimbangan
bahwa hukum yang tersedia tidak sempurna. Keadilan yang ditunda sama dengan
keadilan yang diabaikan (justice delayed, justice denied). Preseden kekeliruan seperti
diuraikan di atas apabila dibiarkan dapat merusak sendi-sendi negara hukum, karena
membenarkan pertimbangan politik dijadikan sebagai panglima yang paling menentukan
berlaku tidaknya sesuatu kaidah hukum ke dalam sesuatu peristiwa yang bersifat konkrit
dan membiasakan tindakan yang salah yaitu mengatasi suatu peristiwa kejahatan yang
bersifat konkrit dengan membuat hukum baru. Preseden semacam itu akan memperlemah
upaya perwujudan prinsip negara hukum sebagaimana yang seharusnya ditegakkan
berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang secara tegas menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum. Padahal, hakikat keberadaan Mahkamah
Konstitusi sebagai pelembagaan upaya untuk mengawal konstitusi dan menegakkan
prinsip supremasi hukum dalam sistim ketatanegaraan Indonesia setelah era reformasi,
tidak lain ialah upaya untuk memperkuat perwujudan cita-cita Negara Hukum itu.
Berdasarkan Pasal 56 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan
Pemohon dan menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan
Bom Di Bali tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan
77 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pendapat Berbeda:
Apabila hak asasi manusia (HAM) pelaku yang dilindungi dengan dalil larangan
perlakuan asas retroaktif, hal tersebut justru membiarkan pelanggaran HAM yang lebih
besar dan parah. Oleh karenanya keadilan merupakan landasan yang rasional untuk
mengesampingkan asas non-retroaktif, dalam keadaan tertentu secara terbatas.
Ketentuan Pasal 28I UUD 1945 yang mengatakan sebagai hukum dasar berlakunya
asas non-retroaktif, yang merupakan HAM yang tidak dapat dikesampingkan dalam
keadaan apapun? Meskipun rumusan harah demikian menimbulkan kesan seolah-olah
asas retroaktif tersebut bersifat mutlak, akan tetapi jika dilihat secara sistimatik, satu HAM
tidaklah bersifat mutlak, karena dalam menjalankan hak dan kebebasannya, ia wajib
menghormati Hak Asasi Manusia orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang
ditentukan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin penegakan
dan penghormatan atas Hak dan Kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban
umum dalam satu masyarakat demokratis [Pasal 28J ayat (2)].
Ukuran untuk menentukan keseimbangan kepastian hukum dan keadilan khususnya
dalam menegakkan asas retroaktif, dapat dilakukan dengan formula yaitu a. Nilai keadilan
tidak diperoleh dari tingginya nilai kepastian hukum, melainkan dari keseimbangan
perlindungan hukum atas korban dan pelaku kejahatan; b. Semakin serius satu kejahatan,
maka semakin besar nilai keadilan yang harus dipertahankan lebih dari nilai kepastian
hukum (Naskah Akademis Penelitian Hak Asasi Manusia, Mahkamah Agung 2003).
Dalam kasus Bom Bali, delik yang diatur pada dasarnya telah merupakan kejahatan
yang dilarang dan diancam pidana dalam undang-undang tindak pidana sebelumnya
dan dengan ancaman pidana maksimum yang sama dengan yang diatur dalam undang-
undang sebelumnya telah ada dan kesadaran hukum yang hidup sebelum pemberlakuan
undang-undang tersebut telah juga menganggapnya satu kejahatan (Mala Propria), oleh
karenanya secara substantife larangan Nulla Poena, Nullum Delictum Sine Lege Praevia,
tidak dilanggar meski ada aspek lain dalam UU Nomor 15 dan 16 Tahun 2002 yang
menyangkut acara juga dinyatakan surut.
Bahwa prinsip atau asas non-retroaktif, yang dalam bahasa asalnya adalah sebuah
maksim Latin yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege punali,
sesungguhnya bukanlah prinsip atau asas hukum yang berdiri sendiri. Ada sejumlah
asas hukum yang mendahului asas nullum delictum tadi. Asas-asas hukum dimaksud
adalah asas nullum crimen sine poena (tiada kejahatan tanpa hukuman), nullum crimen
sine lege (tidak ada kejahatan kecuali ditentukan oleh hukum atau undang-undang),
nulla poena sine lege (tiada hukuman kecuali ditentukan oleh hukum atau undang-
undang). Dengan demikian ternyatalah bahwa gagasan yang berada di belakang atau
yang mendahului asas non-retroaktif itu adalah berupa sejumlah asas hukum yang pada
78 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
akhirnya, sebagaimana dikatakan James Popple, bermuara pada satu pemahaman atau
pengertian yaitu bahwa tidak ada kejahatan atau hukuman di luar yang ditentukan oleh
hukum (there is no crime or punishment except in accordance with law).
Selanjutnya dalam Pengadilan Nuremburg tersebut dikemukakan pula sejumlah
argumen mengapa prinsip non-retroaktif tidak bersifat mutlak dalam keseluruhannya
sehingga, dalam batas-batas tertentu, justru dirasakan ada kebutuhan untuk
memberlakukannya. Argumen-argumen tersebut, antara lain, adalah:
Argumen yang diistilahkan sebagai a. Strong Radbruch argument of the superior and
compelling needs of justice. Dengan argumen ini dimaksudkan bahwa bahkan jika
perbuatan itu (maksudnya, perbuatan terdakwa dalam Pengadilan Nuremburg) legal
pun, perbuatan tersebut sedemikian tercelanya sehingga keadilan membenarkan
(atau menuntut kita) untuk menghukum perbuatan tersebut sekarang. Oleh karena
itu, penghukuman yang diberikan saat ini adalah retroaktif, namun ini adalah contoh
dimana penghukuman yang bersifat retroaktif dibenarkan karena prinsip-prinsip
keadilan yang lebih tinggi derajatnya mengalahkan prinsip non-retroaktif (even if the
action was legal at the time when it was committed, the action was so reprehensible
that justice allows [or requires us] to penalize that action now. Therefore, present
penalization is retroactive, but this is an instance in which retroactive penalization
is justied because superior principles of justice outweigh the principle of non-
retroactivity);
Argumen Pengetahuan akan kesalahan dan/atau pengetahuan bahwa perbuatan b.
tersebut dapat dikenakan hukuman yang dijatuhkan kemudian (Knowledge of Guilt
and/or Knowledge that the Action Could be Subject to Later Punishment). Maksudnya,
bahkan jikalaupun perbuatan itu legal pada saat dilakukan, si pelaku sesungguhnya
mengetahui (a) bahwa dalam beberapa pertimbangan penting perbuatan itu adalah
salah, dan/atau (b) bahwa perbuatan tersebut dapat dihukum yang dijatuhkan di
kemudian hari. Dikarenakan adanya pengetahuan ini, penghukuman yang dijatuhkan
saat ini mungkin bersifat retroaktif namun prinsip yang mendasarinya adalah untuk
memajukan keamanan dengan cara melindungi harapan-harapan yang masuk akal
akan tiadanya hukuman, namun di sini tidak ada harapan yang masuk akal bahwa
perbuatan tersebut pada akhirnya tidak akan dihukum. Dalam keadaan apa pun,
prinsip tersebut tidak boleh melindungi seseorang yang tahu bahwa perbuatannya
adalah salah (even if the action was legal at the time when it was committed, the
actor knew [a] that in some important senses the action was wrong, and/or [b] that
the action could well be subject to later punishment. Because of this knowledge,
present penalization may be retroactive, but the underlying principle seeks to
enhance security by preserving reasonable expectations of non-penalization, but
here there was no reasonable expectation that the action would not be penalized
eventually. In any case, the principle should not protect a person who knew his
actions were wrong);
Argumen Prinsip-prinsip umum keadilan mengesampingkan hukum nasional yang c.
ada/berlaku (General Principles of Justice Override Existing Domestic Law). Prinsip
ini menyatakan, bahkan jikalaupun perbuatan itu secara formal sah menurut
79 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
rejim hukum sebelumnya, perbuatan tersebut sedemikian tercelanya sehingga
sesungguhnya menurut rejim hukum sebelumnya pun perbuatan itu tidak sungguh-
sungguh legal karena perbuatan itu telah melanggar prinsip-prinsip umum keadilan
yang mengesampingkan hukum positif yang berlaku saat itu. Oleh karena itu,
penghukuman yang dilakukan saat ini bukanlah retroaktif, sebab prinsip-prinsip
keadilan yang lebih tinggi mengesampingkan bahkan hukum formal yang ada pada
saat perbuatan itu dilakukan (Even if the action was formally legal under the law
of the prior regime, the action was so reprehensible that it was not truly legal even
then, because it violated principles of justice which overrode positive law at the time.
Therefore, present penalization is not retroactive, because superior principles of
justice overrode the formal law even then);.
Argumen Ketidakberlakusurutan melalui reinterpretasi terhadap hukum terdahulu d.
(Non-retroactivity through Re-interpretation of the Prior Law), maksudnya: perbuatan
tersebut sedemikian tercelanya sehingga sesungguhnya berdasarkan hukum yang
berlaku sebelumnya pun perbuatan tersebut tidak benar-benar legal secara formal;
artinya, jika hukum nasional yang berlaku sebelumnya diiterpretasikan dengan
tepat, meskipun didasarkan atas hukum yang berlaku pada saat itu pun perbuatan
tersebut seharusnya telah dihukum, namun hukum tersebut telah diinterpretasikan
sedemikian rupa sehingga tidak menghukum perbuatan tersebut (The action was so
reprehensible that it was not even formally legal under the law of the prior regime:
the domestic law of the prior regime, if properly interpretated, penalized the action at
the time when it was committed even though, under the legal practice of the prior
regime, the law was interpreted in a manner that did not penalize the action);
Argumen Pelanggaran yang nyata terhadap hukum sebelumnya ( e. Clear Violation
of Prior Law). Maksudnya, perbuatan tersebut sedemikian tercelanya sehingga
perbuatan itu bahkan tidak benar-benar legal secara formal berdasarkan hukum
yang berlaku sebelumnya; hukum tersebut, melalui setiap interpretasi yang masuk
akal, menghukum perbuatan itu pada saat dilakukan. Oleh karena itu, penghukuman
yang dilakukan pada saat ini bukanlah retroaktif karena hukum sebelumnya pun,
melalui setiap interpretasi yang masuk akal, sesungguhnya menghukum perbuatan
tersebut bahkan pada saat dilakukan (the action was so reprehensible that it was not
even formally legal under the law of the prior regime; the law, under any plausible
interpretation, penalized the action at the time when it was committed. Therefore,
present penalization is not retroactive because the law of the prior regime, in any
plausible interpretation, penalized the action even then).
Pengeboman yang berlangsung di Kuta-Bali itu bukanlah kejahatan perang dan
juga tidak memenuhi denisi yuridis kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi ketiadaan
denisi hukum tidaklah serta-merta berarti meniadakan peristiwa dan akibat hukum yang
ditimbulkannya dan apalagi membebaskan pelakunya, karena hal itu akan mencederai
asas yang sangat mendasar dalam hukum pidana umum yang bahkan telah diakui
sebagai norma dasar (jus cogens, peremptory norm) yaitu setiap kejahatan tidak boleh
dibiarkan berlalu tanpa hukuman (aut punere aut de dere, nullum crimen sine poena).
Ketentuan Pasal 29 (2) Deklarasi Umum PBB di atas dapat disimpulkan bahwa
80 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
limitasi terhadap hak asasi itu diperbolehkan (permissible) bahkan memenuhi kreteria
just (adil) menurut moralitas (morality), public order, dan kemakmuran umum dalam
masyarakat demokratis (general welfare in a democratic society). Kovenan tentang hak
sipil dan politik International Covenant on Civil and Political Rights memperbolehkan
pelunakan (derogation) terhadap ketentuan-ketentuan kovenan yang ditentukan dalam
keadaan darurat (emergency).
Sesuai dengan amanat sebagaimana dikemukakan dalam Pembukaan UUD 1945
yakni, agar negara melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya dari setiap
ancaman kejahatan baik bersifat nasional, transnasional apalagi bersifat internasional.
Negara juga berkewajiban untuk mempertahankan kedaulatan dirinya serta memelihara
keutuhan dan integritas nasionalnya dari setiap bentuk ancaman baik yang datang dari
dalam maupun dari luar. Berdasarkan pertimbangan yang disebut di atas pemerintah
melihat adanya kebutuhan yang mendesak (public emergency) untuk mengeluarkan
Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal
12 Oktober 2002.
Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 jo. Perpu Nomor 2 Tahun
2002 tentang perberlakuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Perpu Nomor
1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara retroaktif atau
berlaku surut pada peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 tidak
bertentangan dengan UUD 1945, karena dilakukan secara terbatas dan dilakukan demi
tegaknya rasa keadilan dalam situasi yang khusus, serta tidak terdapat alasan yang
memaksakan (compelling reason) untuk tidak memperlakukan Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut, pada Peristiwa Peledakan Bom Bali
tanggal 12 Oktober 2002.
81 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 014/PUU-I/2003
TENTANG
TINDAKAN PAKSA BADAN DAN PENYANDERAAN DALAM
UNDANG-UNDANG SUSDUK
Pemohon : 1. O. C. Kaligis, S.H.; 2. Humala Simanjuntak, S.H; 3. Rico Pandeirot,
S.H., LL.M; dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 30 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah mengenai pihak-pihak lain seperti pejabat pemerintah,
badan hukum dan warga masyarakat harus tunduk kepada UU
SUSDUK, bertentangan dengan Pasal 24, Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28G ayat (1) dan (2) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945
menyangkut kekuasaan kehakiman, kewarganegaraan, dan hak
asasi manusia.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan : Jumat, 26 Maret 2004.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon mengajukan pengujian atas Pasal 30 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan
ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Susduk) terhadap UUD 1945, Pasal 24 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 27 ayat (1) tentang warga negara, dan Pasal 28G ayat
82 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(1) dan ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) tentang Hak Asasi Manusia.
Pemohon merasa dirugikan dengan diberlakukannya UU Susduk yang merupakan
peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, dalam arti seharusnya hanya
berlaku bagi anggota MPR, DPR, dan DPRD, namun ternyata di dalam Pasal 30 ayat (2),
ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) disebutkan bahwa pihak-pihak lain, yaitu pejabat pemerintah,
badan hukum dan warga masyarakat juga diharuskan tunduk pada ketentuan undang-
undang tersebut.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 30 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU
Susduk memberlakukan penyanderaan terhadap pejabat negara atau warga masyarakat
umum dengan memberikan kekuasaan yudikatif kepada DPR dan DPRD. Selain itu,
Undang-Undang a quo memberikan kekuasaan terhadap DPR, MPR maupun DPRD
untuk merampas kemerdekaan dan kebebasan seorang pejabat negara dan warga
masyarakat yang tidak memenuhi panggilan mereka. Sebaliknya, Anggota DPR, MPR
maupun DPRD tidak dapat dituntut di muka hukum apabila membuat suatu pernyataan
dan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan atau tulisan dalam rapat-rapat DPR
dan DPRD. Kenyataan ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2)
yang memberikan kekuasaan kehakiman yang merdeka kepada MA dan badan-badan
peradilan yang berada di bawahnya serta MK; Pasal 27 ayat (1) 1945 yang menjamin
persamaan di depan hukum serta mewajibkan warga negara menjunjung hukum dan
pemerintahan dengan tidak ada kecualinya; dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang
memberikan kebebasan kepada setiap orang dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, para Pemohon memohon kepada
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk menyatakan Pasal 30 ayat (2), ayat
(3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki legal standing karena
dalil para Pemohon tidak membuktikan adanya keterkaitan sebab akibat (causal verband)
yang menunjukkan bahwasanya hak konstitusional para Pemohon dirugikan oleh
berlakunya Pasal 30 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU Susduk. para Pemohon
tidak akan mengalami kerugian potensial maupun aktual dengan berlakunya ketentuan
UU Susduk, karena ketentuan tersebut hanya berlaku dalam rangka penggunaan
hak angket DPR/DPRD yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, Mahkamah berpendapat bahwa pemanggilan oleh DPR yang diatur
dalam Pasal 30 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU Susduk hanya berkaitan
dengan pelaksanaan hak angket, yaitu hak untuk mengajukan usul penyelidikan
mengenai suatu hal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Artinya, tindakan
paksa badan maupun penyanderaan itu tidaklah dilakukan sendiri oleh DPR, melainkan
diserahkan kepada mekanisme hukum (due process of law). Kepentingan DPR hanyalah
83 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sebatas mengenai cara agar pihak-pihak yang diperlukan kehadirannya dalam rangka
pelaksanaan fungsi pengawasan DPR melalui penggunaan hak angket dapat benar-
benar hadir dalam persidangan.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan para
Pemohon tidak dapat diterima.
84 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
85 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 015/PUU-I/2003
TENTANG
VERIFIKASI KEABSAHAN PARTAI POLITIK SEBAGAI BADAN HUKUM
Pemohon : Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Nasional Indonesia (DPP-
PPNl).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik (UU Parpol) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU Parpol mengenai verifikasi
keabsahan Partai Politik sebagai badan hukum bertentangan
dengan UUD 1945.
Amar Ketetapan : Menyatakan Mahkamah Konstitusi Republik lndonesia tidak
berwenang mengadili Permohonan Pemohon.
Tanggal Ketetapan : Selasa, 30 Desember 2003.
Ikhtisar Ketetapan :
Pemohon adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat
Partai Persatuan Nasional lndonesia (DPP-PPNI).
Pemohon memohon agar dinyatakan Partai Persatuan Nasional lndonesia (PPNl)
diikutsertakan dalam Pemilu Tahun 2004, dan Menteri Kehakiman dan HAM Rl memikul
segala kerugian yang dialami Partai Persatuan Nasional lndonesia (PPNl).
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa telah ternyata permohonan Pemohon
secara absolut tidak termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) juncto Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 juncto Pasal 10
ayat (1) dan (2) UU MK, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang mengadili
Permohonan Pemohon.
86 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
87 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 016/PUU-I/2003
TENTANG
PENGUJIAN TERHADAP PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG
Pemohon : Main bin Rinan, dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung mengenai pengujian terhadap putusan
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai hak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Amar Ketetapan : Menyatakan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tidak
berwenang mengadili permohonan Pemohon.
Tanggal Ketetapan : Selasa, 30 Desember 2003.
Ikhtisar Ketetapan :
Pemohon mengajukan pengujian Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah
Agung (MA) yang didasarkan pada Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang MA.
Pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan dikeluarkannya
putusan Mahkamah Agung dalam perkara Peninjauan kembali (PK) Nomor 179PK/
PDT/1998 karena alasan adanya kekeliruan mengenai penghitungan tenggang waktu
yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 69 a Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985, sehingga Pemohon tidak dapat memperoleh haknya atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum yang dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan
88 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 179PK/PDT/1998 tanggal 7 September 2001
tidak mencerminkan keadilan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menyatakan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 179PK/
PDT/1998 tanggal 7 September 2001 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pemohon mendalilkan bahwa putusan Mahkamah Agung dalam perkara Peninjauan
Kembali (PK) Nomor 179PK/PDT/1998 memang telah melaksanakan kekuasaan yang
merdeka, akan tetapi tidak melaksanakan penegakan hukum dan keadilan (supremasi
hukum).
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa berdasarkan
Pasal 24 ayat (1) dan (2) Jo. Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang intinya menentukan kewenangan Mahkamah
Konstitusi sedangkan permohonan Pemohon tidak termasuk dalam kewenangan
Mahkamah Konstitusi dimaksud. Atas dasar tersebut Mahkamah Konstitusi menetapkan
bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon.
89 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 018/PUU-I/2003
TENTANG
PEMEKARAN PROVINSI PAPUA
Pemohon : Drs. John Ibo, MM.
(Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya,
dan Kota Sorong, diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun
1999 tentang Pembentukan Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya
Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak
Jaya, dan Kota Sorong terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 1 huruf c, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9 ayat (1) dan
(2), Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), (2), (7), dan (8 Pasal 13 ayat
(1) dan (2), Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 15 ayat (1), (2), dan
(3), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20
ayat (1), (2), (3), (4) sebagaimana telah diubah di dalam Pasal
20 ayat (1), (3), (4) dan (5) di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2001, Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan (2), Pasal
23 ayat (1), (2), (4) dan (5), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal
26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999
tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian
Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten
Puncak Jaya, dan Kota Sorong, diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Irian Jaya Tengah,
Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,
Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong mengenai Pemekaran
90 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Provinsi Papua bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945
menyangkut pengakuan dan penghormatan Negara terhadap
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa,
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.
Amar Putusan : Menyatakan Permohonan Pemohon dikabulkan.
Tanggal Putusan : Kamis, 11 November 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Drs. Jhon Ibo, MM dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Provinsi Papua, juga mewakili kepentingan DPRD Papua (sesuai
Hasil Rapat Pleno DPRD Provinsi Papua) yang beralamat di Jalan Sam Ratulangi No.3
Jayapura, Papua.
Drs. Jhon Ibo, MM mengajukan permohonan dengan surat permohonan bertanggal
13 November 2003 dan mengajukan Pengujian Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999
tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten
Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.
Pemohon dalam permohonannya mendalilkan bahwa DPRD mempunyai tugas dan
wewenang yang salah satunya berkaitan dengan pengawasan terhadap Pelaksanaan
Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lain serta menampung dan
menindaklanjuti aspirasi daerah dan masyarakat, selain mempunyai kewajiban
berupa memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan
masyarakat, serta memfasilitasi tindak penyelesaiannya.
Kemudian Drs. Jhon Ibo, MM juga menegaskan bahwa pembentukan atau
pemekaran suatu di Papua harus didasarkan pada Pasal 76 Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua menegaskan bahwa Pemekaran
Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas dasar persetujuan MRP dan
DPRD setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya,
kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi serta perkembangan di masa
mendatang juncto Pasal 74 yang menyatakan, Semua peraturan perundangan yang ada
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur di dalam perundangan ini serta Pasal 75
yang menegaskan, Peraturan Pelaksanaan yang dimaksud Undang-Undang Otonomi
Khusus ditetapkan paling lambat 2 (dua) sejak diundangkan. Dari ketentuan tersebut
disimpulkan bahwa pembentukan atau pemekaran dan segala bentuk pelaksanaannya
harus mendapat persetujuan legislatif di daerah.
Pemohon juga mendalilkan bahwa maksud dan tujuan dimasukkannya Pasal 18B
ke dalam UUD 1945 oleh pembuat konstitusi antara lain merupakan pengakuan dan
penghormatan atas keragaman masyarakat, baik satuan pemerintah daerah maupun
91 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kesatuan masyarakat hukum, mereka masing-masing mempunyai kekhususan,
keistimewaan dan hak-hak tradisional dan pengakuan dan penghormatan tersebut di
eksplisitkan di dalam Pasal 18B UUD 1945 dalam konteks Otonomi Daerah Papua, telah
ditindak lanjuti oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang dibawahnya yaitu:
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000, TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-
Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 dan pembentukan UU No.21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Sehingga Pemohon menegaskan implikasi hukum dari penerapan Pasal 18B UUD
1945 dan peraturan lain sebagaimana disebutkan di atas menyebabkan semua peraturan
perundangan lainnya bertentangan atau melanggar semangat, asas, prinsip, dan pasal
perundangan a quo dinyatakan tidak berlaku.
Dalam petitumnya Drs. Jhon Ibo, MM meminta kepada Majelis Mahkamah Konstitusi
untuk menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Pasal 1 huruf c, Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9 ayat (1) dan (2), Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), (2), (7), dan (8 Pasal
13 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 17 ayat
(1), Pasal 18 (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), (2), (3), (4) sebagaimana telah diubah
di dalam Pasal 20 ayat (1), (3), (4) dan (5) di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001,
Pasa1 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan (2), Pasal 23 ayat (1), (2), (4) dan (5), Pasal 24,
Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,
Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun
1999 tentang Pembentukan Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten
Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Pemohonan yang didasarkan pada
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 UU No.24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kemudian Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi ditegaskan bahwa meskipun adanya perbedaan pendapat di
antara para hakim konsitusi terhadap ketentuan Pasal 50 Mahkamah berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pemohon.
Dalam kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Mahkamah mengategorikan sebagai lembaga negara. Oleh karena itu Mahkamah
Konstitusi berpendapat Pemohon memiliki legal standing.
Mahkamah Konstitusi berpendapat tentang kesahihan (validitas) Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 1999 karena dasar konstitusional pembentukannya berdasarkan Pasal
18 UUD 1945 sebelum amandemen tidak terbukti, namun adanya suatu tertib hukum baru
92 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(new legal order) yang mengakibatkan tertib hukum lama (old legal order) kehilangan
daya lakunya.
Juga dalam pertimbangannya Mahkamah menyebutkan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tidak taat asas (inkonsisten) dan bersifat mendua (ambivalen). Inkonsistensi
dan ambivalensi tersebut terlihat dalam penjelasan umum Undang-Undang a quo yang
mengakui wilayah Provinsi Papua terdiri atas 12 (dua belas) kabupaten dan 2 (dua)
kota, termasuk Kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya dan Kota Sorong yang dibentuk
dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999. Sementara itu Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2001 tidak menyinggung sedikit pun keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat dan
Irian Jaya Tengah, padahal kedua Provinsi itu pun dibentuk dengan Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 1999.
Kemudian Mahkamah menyebutkan pula walaupun materi muatan yang diatur oleh
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
berbeda, tetapi dalam beberapa hal bersinggungan, yang pada gilirannya menimbulkan
perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya. Perbedaan penafsiran itu secara yuridis
akan menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, dan secara sosial politis dapat
menimbulkan konik dalam masyarakat, sehingga untuk mengakhiri ketidakpastian hukum
serta mencegah timbulnya konik dalam masyarakat Mahkamah berpendapat bahwa
perbedaan yang timbul karena terjadinya perubahan atas UUD 1945 yang mengakibatkan
sebagian materi muatan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tidak sesuai lagi dengan
UUD 1945 khususnya Pasal 18B ayat (1). Dalam amar putusan Mahkamah menyatakan
permohonan Pemohon dikabulkan, bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya
Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten
Puncak Jaya, dan Kota Sorong bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian,
sejak diucapkannya Putusan Nomor 018/PUU-I/2003, Undang-Undang Nomor 45 Tahun
1999 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pendapat Berbeda dan/atau alasan berbeda:
Satu orang hakim menyatakan alasan berbeda (concurring opinion), meskipun
menyetujui diktum putusan dalam perkara a quo tapi berbeda dengan pendapat mayoritas
dalam pertimbangan hukum yang menyangkut akibat hukum dari diktum putusan.
Menurutnya Pembentukan Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat yang didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 45 Tahun l999, secara faktual baru dilaksanakan setelah adanya
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 bertanggal 27 Januari 2003, yaitu setelah
diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 pada tanggal 11 November
Tahun 2001. Oleh karenanya sesungguhnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun l999 tidak
berlaku lagi sejak tanggal tahun 2001, atas dasar adanya perubahan undang-undang
dengan diperlakukannya undang-undang baru yang memberi otonomi khusus bagi
Provinsi Papua, dan meskipun tidak secara tegas dinyatakan Undang-Undang Nomor
93 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
45 Tahun 1999 tidak berlaku lagi, tetapi sepanjang yang sudah diatur dalam Undang-
Undang 21 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dengan sendirinya tidak
berlaku lagi.
94 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
95 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 019/PUU-I/2003
TENTANG
PENGANGKATAN ADVOKAT, PERLINDUNGAN ATAS PROFESI ADVOKAT, DAN
PEMBATASAN ORGANISASI ADVOKAT
Pemohon : 1. APHI / Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Azasi Manusia
Indonesia (Pemohon I); 2. Hotma Timbul H, S.H (Pemohon II);
3. Saor Siagian S.H (Pemohon III); 4. Mangapu l Silalahi S.H
(Pemohon IV); 5. Piterson Tanos S.H (Pemohon V); 6. Jon B.
Sipayung S.H (Pemohon VI); 7. Ester I. Jusuf S.H (Pemohon VII);
8. Charles Hutabarat S.H (Pemohon VIII); 9. Norma Endawati S.H
(Pemohon IX); 10. Reinhart Parapat S.H (Pemohon X); 11. Basir
Bahuga, S.H. (Pemohon XI).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 14 sampai
17, Pasal 32 ayat (2), dan ayat (3) UU Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat mengenai Pengangkatan Advokat, Perlindungan
atas Profesi Advokat, Pembatasan Organisasi Advokat terhadap
Pasal 24, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E
ayat (3), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyangkut hak
diperlakukan sama di hadapan hukum, Hak mendapat jaminan
dan perlindungan termasuk terhadap profesinya.
Amar Putusan : Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Senin, 18 Oktober 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 019/PUU-I/2003 mengajukan pengujian Pasal 2 ayat (1),
Pasal 3 ayat (1), Pasal 14 sampai 17, Pasal 32 ayat (2), dan ayat (3) UU No. 18 Tahun
96 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
2003 tentang Advokat. Pemohon yakni APHI (Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi
Manusia Indonesia), Hotma Timbul H, S.H, Saor Siagian, S.H, Mangapul Silalahi, S.H,
Piterson Tanos, S.H, Jon B. Sipayung, S.H, Ester I. Jusuf, S.H, Charles Hutabarat, S.H,
Norma Endawati, S.H, Reinhart Parapat, S.H, Basir Bahuga, S.H. Hak konstitusional
para Pemohon menjadi dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang Advokat.
Dalam Petitumnya para Pemohon memohon Majelis Hakim Konstitusi menyatakan
Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 14 sampai 17, Pasal 32 ayat (2), dan ayat (3)
UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Pasal 24, Pasal 27 ayat (1), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Atas dasar tersebut para Pemohon memohon kepada
Mahkamah Konstitusi agar menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 telah dibatasi
dengan pemberlakuan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3). Karena Pemohon I merupakan
organisasi profesi advokat yang juga telah melakukan praktik advokasi sekian lama,
namun tidak termasuk dalam organisasi advokat sebagaimana disebut dalam Pasal
32 ayat (3) Undang-Undang a quo. Pasal 32 ayat (2) dan (3) mengatur bahwa untuk
sementara tugas dan wewenang organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang a quo, dijalankan bersama oleh beberapa organisasi advokat. Dan
Pemohon I tidak termasuk dalam organisasi advokat sebagaimana dimaksud. tidak
termasuknya Pemohon I sebagai organisasi advokat yang dimaksud dalam Pasal 32
ayat (3) a quo menunjukkan campur tangan negara yang terlalu jauh dalam kehidupan
advokat dengan hanya memandang sebelah mata terhadap para pengacara/advokat
yang konsisten dalam pembela HAM yang keberadaannya telah diketahui umum jauh
sebelum UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat di undangkan. Dengan demikian hak
konstitusional Pemohon yang diatur dalam UUD 1945 telah dibatasi, sehingga merugikan
Pemohon I.
Selain itu dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang menggolongkan lulusan perguruan
tinggi militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian dalam pengertian berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum menurut para Pemohon adalah bertentangan dengan Ketentuan
Pasal 24 UUD 1945 yang menghendaki profesi advokat sebagai profesi yang bebas dan
mandiri. Pasal 24 pada pokoknya secara tegas mengatur bahwa kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan yang merdeka. Hal ini membawa implikasi bahwa profesi advokat juga
harus bebas dan mandiri. Dengan ketentuan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang a quo ini maka akan terbuka kesempatan campur tangan dari pihak militer dalam
profesi advokat. Karena lulusan perguruan tinggi militer merupakan anggota militer yang
aktif yang terikat pada struktur dan komando sehingga tidak bersifat bebas. Sedangkan
perguruan tinggi kepolisian bukanlah perguruan tinggi hukum, sehingga ilmu hukum
hanya merupakan sebagian dari ilmu yang dipelajari.
Pembatasan usia 25 tahun untuk diangkat sebagi advokat juga dinilai para Pemohon
97 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945,
yang menjamin hak warga Negara untuk diperlakukan sama di hadapan hukum dan
Pemerintahan. Pembatasan usia 25 tahun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf d merupakan perlakukan yang tidak adil dan diskriminatif terhadap para lulusan
sarjana hukum yang berusia 21 atau 22 tahun.
Pemohon juga mendalilkan bahwa tidak adanya ketentuan mengenai sanksi pidana
terhadap adanya tindakan yang membatasi atau menghalang-halangi hak-hak advokat
dalam menjalankan profesinya dalam UU No.18 Tahun 2003 adalah bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang mengatur hak warga negara untuk mendapat jaminan
dan perlindungan termasuk terhadap profesinya.
Dalam pertimbangan hukumnya terkait dengan legal standing, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa para Pemohon beralasan untuk menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003.
Sehingga Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan perkara ini, karena para
Pemohon adalah perorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang
sama dan sebagian tergabung dalam APHI (Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi
Manusia Indonesia), sesuai dengan Pasal 51 ayat 1 UU MK.
Dalam pertimbangan hukumnya pula Mahkamah menyatakan bahwa Mahkamah
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pemohon, karena
undang-undang yang diminta untuk diuji, diundangkan pada tanggal 5 April 2003 atau
diundangkan setelah Perubahan Pertama UUD 1945 yaitu tanggal 1999.
Menanggapi dalil para Pemohon mengenai tidak termasuknya Pemohon I sebagai
organisasi advokat yang dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) a quo yang menunjukkan
campur tangan negara yang terlalu jauh dalam kehidupan advokat, Mahkamah
berpendapat bahwa untuk membaca Pasal 32 UU a quo harus kembali dilihat prosesnya,
tidak hanya sekilas. Karena pengertian untuk sementara yang tercantum dalam Pasal 32
ayat (3) Undang-Undang a quo harus dibaca tidak limitatif hanya pada delapan organisasi
yang disebut di dalam pasal a quo akan tetapi terbuka pada organisasi advokat lain yang
telah terbentuk sebelum Undang-Undang a quo diundangkan.
Mengenai Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang menggolongkan lulusan perguruan
tinggi militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian dalam pengertian berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum, Mahkamah berpendapat bahwa untuk memahami Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) harus dikaitkan dengan Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa untuk
dapat diangkat sebagai advokat, seseorang harus memenuhi syarat antara lain yaitu
bukan pegawai negeri atau pejabat negara. Sehingga seorang lulusan PTIK ataupun
PTHM yang dapat diangkat menjadi advokat adalah yang memenuhi persyaratan bukan
Pegawai negeri atau pejabat negara, termasuk militer ataupun polisi. Dengan demikian
mata rantai komando militer tidak lagi mengikat yang bersangkutan.
Mengenai pembatasan usia 25 tahun untuk diangkat sebagi advokat, Mahkamah
98 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
berpendapat bahwa pembatasan usia untuk memberikan kualikasi seperti yang
disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang a quo dibenarkan oleh Pasal 28J
ayat (2) UUD 1945. Pembatasan usia semacam itu telah lazim diadakan dalam undang-
undang. Untuk memantapkan kemampuannya seorang advokat perlu dilengkapi
dengan pengalaman dan praktik di lapangan untuk memadukan dan menyempurnakan
pengetahuan teoritis yang telah diperolehnya di lembaga pendidikan.
Terkait dengan tidak adanya ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap adanya
tindakan yang membatasi atau menghalang-halangi hak-hak advokat dalam menjalankan
profesinya, Mahkamah berpendapat bahwa tidak semua ketentuan hukum yang tercantum
dalam pasal atau seluruh pasal harus secara langsung disertai dengan sanksi yang
dicantumkan secara tegas dalam salah satu atau seluruh pasal dalam undang-undang
tersebut. Sehingga terkait dengan Pasal 14-17 Undang-Undang a quo, sanksi dapat
dijatuhkan berdasarkan pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut atau ketentuan-
ketentuan hukum yang termuat dalam perundang-undangan lainnya
Dengan pertimbangan di muka, Mahkamah memutuskan untuk menolak permohonan
para Pemohon untuk seluruhnya.
99 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 020/PUU-I/2003
TENTANG
PERSYARATAN PARTAI POLITIK; PENGAWASAN PARTAI POLITIK; DAN
PENGAWASAN PARTAI POLITIK OLEH PEMERINTAH
Pemohon : Haji Agus Miftach.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pengujian formil dan pengujian materil Pasal 2 ayat (3) sub b,
Pasal 3 ayat (2), Pasal 23 huruf a, b, c, d UU No. 31 Tahun
2002 tentang Partai Politik mengenai kualifikasi Partai Politik;
pengawasan Partai Politik; dan Pengawasan Partai Politik oleh
Pemerintah terhadap Pasal 28C ayat 2, Pasal 28D ayat (1) dan
(3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat
(1), (2), dan (4), Pasal 22E ayat (3) dan (6), Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyangkut Hak
Berserikat dan Berkumpul, dan Melakukan Aktivitas Intelektual.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Selasa, 13 Juli 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon bernama Haji Agus Miftach adalah perorangan warga negara Indonesia,
yang mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
(selanjutnya disebut UU Parpol) terutama pada Pasal 2 ayat (3) sub b, Pasal 3 ayat (2),
Pasal 23 huruf a, b, c, d. Berlakunya UU Parpol telah menimbulkan kerugian secara
luas dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya bagi Pemohon baik
secara moril maupun materil, karena dengan ketentuan dalam UU Parpol Pemohon tidak
bisa ikut serta sebagai partai politik peserta Pemilu, serta tidak diakui keberadaannya
oleh Departemen Kehakiman.
100 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon mendalilkan bahwa pembentukan UU Parpol secara formil tidak memenuhi
ketentuan, karena Komisi Pemilihan Umum belum pernah mensahkan Berita Acara dan
Sertikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum 7 Juni 1999, sehingga
kedudukan Presiden dan DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang dalam hal
ini UU Parpol adalah tidak sah, dengan demikian undang-undang yang dihasilkan juga
tidak sah.
Pemohon juga mendalilkan bahwa secara materil beberapa ketentuan dalam
UU Parpol bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang esensinya menjamin hak
kebebasan individu dan kolektif untuk melakukan aktivitas intelektual dan berorganisasi
serta berpolitik, termasuk mendirikan Partai Politik dalam rangka menyalurkan aspirasi
masyarakat secara sehat serta mewujudkan hak-hak politik rakyat dalam rangka
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian pengaturan perundangan, tidak
boleh mengurangi sedikitpun makna kebebasan yang terpancar dari Pasal 28 Undang-
Undang Dasar 1945.
Ketentuan yang dimaksud bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 adalah Pasal 2
ayat (3) sub b UU Parpol yang memberikan kualikasi bahwa partai politik harus memiliki
kepengurusan di 50% provinsi, 50% dari kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan,
dan 25% kecamatan dari kabupaten/kota yang bersangkutan. Pasal 3 ayat (2) UU Parpol
yang menyatakan bahwa pengesahan partai politik sebagai badan hukum dilakukan
oleh Menteri Kehakiman selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah penerimaan
pendaftaran. Juga ketentuan dalam Pasal 23 huruf a, b, c, dan d UU Parpol yang berisi
kewenangan Pemerintah untuk melakukan tugas pengawasan atas partai politik, juga
dinilai bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 mengandung
makna bahwa partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat dalam
mengembangkan kehidupan demokrasi, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip
kebebasan, kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran. Dan di dalam UUD 1945 tidak
ada pasal yang dengan tegas memerintahkan pembuatan undang-undang tentang partai
politik, hanya secara tersirat dalam Pasal 22E ayat (6) dinyatakan bahwa ketentuan lebih
lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang. Dengan demkian, UU
Partai Politik secara tersendiri tidak diperlukan. Ketentuan mengenai partai politik cukup
termaktub dalam UU Pemilu.
Dalam pertimbangan hukumnya Hakim menyatakan bahwa Pemohon memiliki legal
standing untuk mengajukan permohonan pengujian UU Parpol terhadap UUD 1945,
karena Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya UU Parpol, karena Partai Politik yang
dipimpinnya (PPRI) tidak diakui keberadaannya oleh Depertemen Kehakiman dan HAM
Republik Indonesia dan tidak dapat menjadi peserta Pemilu sehingga menimbulkan
kerugian moril maupun materill.
Dalam pertimbangan hukumnya pula, Mahkamah menyatakan memiliki kewenangan
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian UU Parpol yang
101 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002 atau setelah Perubahan Pertama UUD
1945 yaitu tanggal 19 Oktober 1999.
Atas permohonan Pengujian Formil UU Parpol, Mahkamah Konstitusi tidak
mempunyai kewenangan untuk menilai sah tidaknya hasil Pemilu 1999, sehingga
Mahkamah juga tidak mempersoalkan keabsahan Presiden dan DPR sebagai pembentuk
UU Parpol menurut ketentuan UUD 1945. Secara prosedural, pembentukan UU Parpol
sama sekali tidak menyalahi ketentuan yang tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) s.d. ayat
(5) UUD 1945.
Menanggapi dalil Pemohon mengenai Pasal 2 ayat (3) huruf b UU Parpol yang
menyatakan bahwa partai politik harus memiliki kepengurusan di 50% provinsi, 50%
dari kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, dan 25% kecamatan dari kabupaten/
kota yang bersangkutan, Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan ini dimaksudkan
agar partai politik dapat tumbuh dan berkembang dengan kredibilitas dan didukung oleh
ketersebaran kepengurusan di seluruh Indonesia, serta memiliki dukungan massa yang
kuat dan bersifat nasional.
Mengenai dalil Pemohon atas substansi Pasal 2 ayat (3) UU Parpol yang
mengharuskan partai politik didaftarkan di Departemen Kehakiman, Pasal 3 ayat (2) yang
mengatur pengesahan partai politik, dan Pasal 23 huruf a, b, c, dan d yang mengatur
pengawasan pelaksanaan UU Parpol, Mahkamah berpendapat ketentuan-ketentuan
tersebut justru merupakan pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting
guna menjamin agar penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang tidak
mengganggu kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan
Pemohon ditolak.
Pendapat Berbeda:
Tiga orang Hakim Konstitusi menyatakan pendapat berbeda atas Putusan Pengujian
UU Parpol ini. Ketiga Hakim menyatakan bahwa permohonan Pemohon seharusnya
dikabulkan sebagian. Pendapat berbeda yang disampaikan ketiga Hakim berkaitan
dengan pengujian Pasal 2 ayat (3) huruf b dan Pasal 23 huruf b UU Parpol.
Didalilkan bahwa tidak ada perintah UUD 1945 untuk adanya undang-undang
organik tentang Partai Politik, sehingga jika harus diadakan UU Partai Politik, isinya tidak
boleh mereduksi hakikat dan makna kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin
oleh Pasal 28 UUD 1945.
Sistem multipartai sederhana yang diharapkan serta terungkap dalam Penjelasan
Umum UU Parpol seyogjanya berlangsung secara alamiah melalui seleksi pemilihan
umum secara periodik bukan melalui seleksi administratif yang dilakukan oleh Pemerintah
102 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan UU Parpol, seperti ketentuan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2002.
Partai Politik sebagai pelembagaan dari kebebasan warga negara untuk berserikat
dan berkumpul yang dijamin oleh UUD 1945 yaitu Pasal 28E ayat (3).
Persyaratan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 jelas menghambat hak-hak warga negara.
Adanya pasal ini tidak menjadikan hukum dalam hal ini undang-undang sebagai alat
rekayasa sosial (social engineering) ke arah demokrasi, tetapi malah sebaliknya menjadi
alat rekayasa penghambat proses demokrasi.
103 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 023/PUU-I/2003
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PERMOHONAN PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK
Pemohon : 1. Drs. Ahmad Zainal Abidin; 2. H. Hazairin Ahmad, MA.; 3. Drs.M.
Tauk Rahman.
Jenis Perkara : Pengujian atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 2 ayat (3) huruf d, Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3), Pasal
23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal
28, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 menyangkut hak untuk berserikat.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk menarik kembali
permohonannya.
Tanggal Putusan : Kamis, 25 Maret 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk membentuk partai
politik melalui Pasal 2 ayat (3) huruf d, Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 23 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik mengenai persyaratan adanya
penyebaran kepengurusan dalam pembentukan partai politik sekurang-kurangnya 50%
dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi dan 25% dari jumlah kecamatan dan
kabupaten. Ketentuan tersebut telah dianggap sebagai alat partai politik besar untuk
sengaja menghalangi atau mengurangi, tidak memberikan ruang lingkup terhadap partai
politik baru sehingga menghambat dan menghalangi kebebasan setiap warga negara
untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin konstitusi. Pemohon berpendapat
bahwa ketentuan dalam Undang-Undang 31 Tahun 2002 sebagaimana tersebut
104 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Menghambat,
merugikan, bahkan mematikan hak dan aspirasi kelompok Pemohon di dalam berserikat
guna ikut serta dalam upaya membangun bangsa dan negara.
Pemohon memohon agar Majelis Hakim Konstitusi memberikan keputusan
agar Pasal 2 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Parpol
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28E ayat (3).
Dalam perkembangannya Pemohon melakukan penarikan kembali permohonannya
dengan alasan bahwa adanya perubahan undang-undang yang sedang diuji.
Berdasarkan pada Pasal 35 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tentang
penarikan kembali permohonan maka Mahkamah Konstitusi mengabulkan penarikan
kembali permohonan para Pemohon dan menyatakan bahwa para Pemohon tidak dapat
mengajukan kembali permohonan atas pengujian pasal-pasal pada undang-undang yang
sama. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret perkara
Nomor 023/PUU-I/2003 tersebut dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
105 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 024/PUU-I/2003
TENTANG
SANKSI PIDANA PENCUCIAN UANG
Pemohon : Boediman Moenadjad.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002 terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 3 ayat (1) huruf g dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 mengenai ketentuan pidana bertentangan dengan Pasal
28A juncto Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyangkut hak
untuk mempertahankan hidup dan kehidupan serta jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Selasa, 13 Juli 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 024/PUU-I/2003 mengajukan pengujian Pasal 3 ayat (1)
dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 (UU Pencucian Uang).
Pemohon menganggap sanksi hukuman dalam UU Pencucian Uang terlalu ringan.
Pemohon selaku nasabah BRI merasa dirugikan oleh kasus pembobolan BRI yang
dilakukan oleh Yudi Kartolo dkk. karena kepercayaan Pemohon, Isteri Pemohon dan
anak Pemohon menjadi rusak.
106 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan
bahwa materi muatan UU Pencucian Uang, terutama Pasal 3 ayat (1) huruf g yang memuat
ketentuan pidana, dan Pasal 6 ayat (1) yang memuat ketentuan pidana bertentangan
dengan Pasal 28A juncto Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Atas dasar tersebut, Pemohon
meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa:
Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Pencucian Uang, yang memuat ketentuan pidana, diubah a.
sehingga menjadi: g. menukarkan atau perbuatan lainnya dst. s/d tindak pidana,
dipidana paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama hukuman seumur hidup
dan denda paling sedikit Rp. 15.000.000.000.00 (lima belas milyar rupiah) dan
paling banyak Rp. 50.000.000.000.00 (lima puluh milyar rupiah);
Perlu penambahan satu ayat baru dalam Pasal 3, sehingga pasal ini terdiri atas b.
3 (ayat) 2 baru berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta melakukan pula tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana paling singkat 20 (dua puluh)
tahun dan paling lama hukuman mati dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000.000.00
(lima puluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.000.00 (satu triliyun
rupiah);
Pasal 3 ayat (2) berubah menjadi ayat (3); c.
Pasal 6 ayat (1), terutama ketentuan pidana dikembalikan seperti yang dimaksud d.
dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang;
Atau setidak-tidaknya materi muatan Pasal 3 ayat (1) huruf g dan Pasal 6 ayat (1) e.
terutama mengenai ketentuan pidananya, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Konstitusi berpendapat bahwa
Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa Pemohon telah mengalami kerugian
konstitusional dengan diberlakukannya UU Pencucian Uang, khususnya Pasal 3 ayat
(1) huruf g dan Pasal 6 ayat (1). Menurut Majelis Hakim, Pasal 28 A dan Pasal 28 D ayat
(1) UUD 1945 pada dasarnya mengatur hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
kehidupan serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil,
dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, yang tidak ada relevansinya dengan berat-
ringannya hukuman yang diancamkan dalam tindak pidana pencucian uang sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g dan Pasal 6 ayat (1) UU Pencucian Uang.
Dengan tidak adanya kerugian hak-hak konstitusional Pemohon berarti tidak terdapat
kepentingan Pemohon terhadap pemberlakuan UU Pencucian Uang, khususnya Pasal 3
ayat (1) huruf g dan Pasal 6 ayat (1). Padahal, pengajuan pengujian undang-undang
harus didasarkan pada adanya faktor kepentingan.
Majelis Hakim berpendapat bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing) sehingga Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
107 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
2004
108 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
109 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 001/PUU-II/2004
TENTANG
PELAKSANAAN PEMILU DAN SYARAT CALON PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN
Pemohon : 1. Fathul Hadie (F. Hadie Ustman)., 2. Dra. Mursyidah Thohir, MA.,
3. Swandoko Soewono, dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) terhadap Undang-
Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 5 ayat (3), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4), Pasal 101, Pasal
1 butir 5, Pasal 26 ayat (3), dan Pasal 67 ayat (1) UU Pilpres
mengenai pelaksanaan Pemilu dan persyaratan calon Presiden
dan Wakil Presiden bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan
Pasal 22E ayat (2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal
28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 28H
ayat (2) UUD 1945, dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 menyangkut
hak memilih dalam Pemilu.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan : Kamis, 22 April 2004.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai calon pemilih
Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu Tahun
2004.
Para Pemohon mengajukan pengujian Pasal 5 ayat (3), Pasal 4 UU Pilpres
bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, Pasal 5 ayat
(4) dan Pasal 101 UU Pilpres bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1), Pasal 28D ayat (3),
Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3)
UU Pilpres bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945,
Pasal 67 ayat (1) UU Pilpres bertentangan dengan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945.
110 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Para Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya sangat dirugikan sesuai
dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK) terhadap Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (3) UU Pilpres karena
dipisahkannya antara Pemilihan DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden secara sendiri-sendiri dalam waktu yang berbeda dalam waktu yang
relatif cukup lama sekali yaitu Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan
pada tanggal 5 April 2004, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahap pertama
dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004, dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden tahap kedua dilaksanakan pada tanggal 20 September 2004.
Hak konstitusional para Pemohon sebagai seorang warga negara Indonesia untuk
dapat memilih Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara
bersama-sama dalam waktu yang sama dalam putaran pertama telah dilanggar karena
tidak menjamin adanya kepastian hukum dan apabila Pemilu harus dilaksanakan tiga kali
putaran akan berakibat berlarut-larut dan panjangnya proses pemilihan umum.
Ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 4 UU Pilpres yang menyatakan, pendaftaran
Calon Presiden dan Wakil Presiden serta pelaksanaan Pemilihan Umum DPR
bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, karena
sudah jelas dan tegas menyatakan bahwa Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilihan Umum
sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum yang diselenggarakan untuk memilih Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
Pemisahan Pemilu DPR, DPD, DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
secara sendiri-sendiri merupakan upaya paksa dan ada kemungkinan besar dapat terjadi
3 (tiga) kali hak Pemilu, sehingga bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.
Kalau dilihat dari konteks dan struktur kalimat yang ada dalam Pasal 22E ayat (2)
UUD 1945 terdiri dari beberapa kalimat tunggal yang digabungkan yaitu, Pemilihan
umum diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR dan untuk memilih anggota DPD
dan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilih DPRD. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa antara Pemilu DPR dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahap
pertama harus digabungkan bersama-sama dalam satu rangkaian yang tidak harus
dipisahkan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) UU Pilpres
yang menyatakan, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu rangkaian
dengan pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Ketentuan Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 101 UU Pilpres yang memberlakukan sistim
electoral threshold atau perolehan suara 15% (3% khusus untuk Pemilu tahun 2004)
perolehan kursi DPR partai peserta Pemilu sebagai persyaratan bagi Calon Presiden
dan Wakil Presiden yang akan mendaftarkan diri ke KPU sebagai peserta pemilihan
umum, baik yang diajukan oleh partai politik maupun gabungan antara partai politik telah
bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 karena sama sekali tidak mengaitkan
111 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan perolehan kursi partai politik sebagai persyaratan bagi Calon Presiden dan
Wakil Presiden serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, sebab dengan diberlakukannya
persyaratan perolehan kursi DPR (electoral threshold) berarti telah melanggar hak-hak
seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden yang
semestinya diberi kemudahan, kesempatan yang sama dan diberlakukan secara adil dan
tanpa diskriminasi;
Ketentuan Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3) UU Pilpres yang menetapkan
pelarangan terhadap gabungan partai politik untuk mencalonkan pasangan lebih dari satu
pasangan telah membatasi hak para Pemohon untuk memperoleh Calon Presiden dan
Wakil Presiden, lebih banyak dapat merugikan atau kesempatan untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden juga semakin terbatas, karena nantinya masyarakat pasti tidak lagi
melihat dari mana dan oleh siapa calon tersebut diajukan tetapi seberapa besar kualitas
dan profesionalitas dari Calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut.
Ketentuan Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3) UU Pilpres yang membatasi dan
melarang gabungan partai politik mencalonkan lebih dari satu Pasangan Calon Presiden
dan Wakil Presiden bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 28H ayat (2) UUD
1945, karena dengan tegas tidak melarang gabungan partai politik untuk mencalonkan
lebih dari satu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan seharusnya semua
partai diberi hak yang sama secara adil baik untuk mencalonkan Presiden dan Wakil
Presiden secara sendiri-sendiri atau gabungan dengan partai lain yang diajukan
sebelum pelaksanaan Pemilu. Tidak ada alasan yang rasional dan konstitusional apabila
gabungan partai politik dilarang, bahkan apabila gabungan partai politik dapat diberi hak
untuk mencalonkan lebih dari satu pasangan dengan perjanjian yang jelas bahwa suara
terbanyak calon tersebutlah yang berhak mewakili menjadi pasangan Presiden dan Wakil
Presiden apabila dalam gabungan tersebut sudah memperoleh suara 50% lebih.
Ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU Pilpres belum lengkap dan tidak sesuai dengan
Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang semestinya ada perubahan kalimat yang berbunyi,
Dan pemenangnya langsung dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga
pasal tersebut juga harus dibatalkan atau dilengkapi sebab dalam pasal tersebut belum
disebutkan siapa pemenangnya.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk
menyatakan Pasal 5 ayat (3) UU Pilpres bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan
Pasal 22E ayat (2) UUD 1945; Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 101 UU Pilpres bertentangan
dengan Pasal 6 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945; Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3) UU Pilpres bertentangan dengan Pasal
6 ayat (2) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945; Pasal 67 ayat (1) UU Pilpres bertentangan
dengan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945; dan menyatakan Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat
(4), Pasal 101, Pasal 1 butir 5, Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (1) UU Pilpres tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
112 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa yang dapat mengajukan permohonan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat
(1) UU MK adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu dapat berupa antara lain
perorangan warga negara Indonesia. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD
1945.
Mahkamah Konstitusi berpendapat, para Pemohon tidak memiliki kedudukan
hukum (legal standing) sebagai para Pemohon untuk mengajukan pengujian UU
Pilpres sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK karena tidak terbukti
hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat
(4), Pasal 101, Pasal 1 butir 5, Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (1) UU Pilpres.
para Pemohon secara tegas telah menyatakan dalam permohonannya bahwa mereka
adalah calon pemilih dan bukan pimpinan partai politik ataupun calon Presiden dan Wakil
Presiden dalam pemilihan umum tahun 2004. Dengan demikian kerugian konstitusional
para Pemohon tidak terbukti, sehingga para Pemohon tidak memenuhi persyaratan
kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK. Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan para Pemohon a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima.
113 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 002/PUU-II/2004
TENTANG
SISTEM PEMILU DAN PENENTUAN DAERAH PEMILIHAN UMUM
Pemohon : 1. Fathul Hadie (Pemohon I); 2. Drs. Mursyidah Thohir, MA (Pemohon
II); 3. Swandoko Soewono (Pemohon III); 4. Dra. Hamdanah, M.
Hum (Pemohon IV); 5. Drs. Thohir Afandi, MPA (Pemohon V); 6.
Drs. Abd. Halim Soebahar, MA (Pemohon VI).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU
Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 107 ayat (2) huruf b, Pasal 93 ayat (1), Pasal 46 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 106 huruf b dan huruf c, Pasal 1 angka 7
dan 8 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan (2),
Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 19 (1), Pasal 22E ayat (1)
dan (2), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 26 ayat (1)
dan (2) UUD 1945 menyangkut perlakuan diskriminatif.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon I, III, V, dan VI tidak dapat diterima
Menyatakan permohonan Pemohon II dan IV ditolak.
Tanggal Putusan : Kamis, 22 April 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon I s.d VI adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya UU
Pemilu a quo.
Pemohon I, III,V, dan VI adalah warga negara Indonesia yang bertindak untuk dan
atas nama perorangan sebagai pemilih dalam pemilihan calon DPR maupun DPRD.
Pemohon II dan IV adalah warga negara Indonesia yang bertindak untuk dan atas
114 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
nama perorangan sebagai pemilih dan calon terpilih Anggota DPR maupun DPRD.
Para Pemohon mendalilkan dalam permohonan pengujian UU Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD Pasal 107 ayat (2) huruf b, Pasal 93 ayat (1), Pasal 46 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 106 huruf b dan huruf c, Pasal 1 angka 7 dan 8 terhadap UUD 1945.
Para Pemohon mengajukan pengujian UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Pasal 107 ayat (2) huruf b, Pasal 93 ayat (1), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 106
huruf b dan huruf c, Pasal 1 angka 7 dan 8 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan (2),
Pasal 19 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 22E ayat (1) dan (2), Pasal 22H
ayat (2), Pasal 26 ayat (1) dan (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, tidak berlaku umum
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Para Pemohon mendalilkan bahwa UU Pemilu Pasal 107 ayat (2) huruf b
memberikan kedudukan yang sangat istimewa terhadap keberadaan nomor urut seorang
calon Anggota DPR maupun DPRD untuk bisa menjadi calon terpilih Anggota DPR
maupun DPRD hanya karena didasarkan pada nomor urut saja dan bukan atas dasar
perolehan suara. Dengan ketentuan pasal a quo seorang calon anggota legislatif yang
berada di nomor urut atas bisa menjadi anggota tetap DPR atau DPRD, walaupun tidak
memperoleh suara yang signikan atau sama sekali tidak memperoleh suara, tetapi
tetap saja dapat mengalahkan calon lain yang berada di bawah nomor urutnya walaupun
yang bersangkutan mendapat suara lebih banyak. Hal tersebut merupakan perampokan
demokrasi dan kedaulatan rakyat yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 19 ayat
(1), Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945. Sangatlah tidak adil
manakala penentuan calon terpilih Anggota DPR dan DPRD hanyalah didasarkan pada
nomor urut saja yang seharusnya memberi kesempatan yang sama kepada setiap calon
untuk berebut menjadi Anggota DPR dan DPRD berdasarkan perolehan suara secara adil
untuk mencari dukungan dan simpati dari rakyat pemilih yang sebagaimana diatur dalam
Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Penentuan calon terpilih Anggota DPR dan DPRD yang
hanya berdasarkan nomor urut adalah merupakan tindakan yang sangat diskriminatif,
sebab atas dasar apapun tindakan yang diskriminatif itu harus dihapuskan dan dijamin
oleh UUD 1945 Pasal 28I ayat (2).
Para Pemohon mendalilkan Pasal 93 ayat (1) UU Pemilu apabila hanya mencoblos
tanda gambar saja berarti tidak terjadi reformasi Pemilu yang menggunakan sistim
proporsional terbuka dan tetap seperti Pemilu sebelumnya yang menggunakan sistim
proporsional tertutup. Pemilu tidak lagi memilih secara langsung calon Anggota DPR, dan
DPRD sebagaimana ketentuan yang ada dalam UUD 1945 yang terdapat dalam Pasal 19
ayat (1), Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 22E ayat (1) dan (2) yang pada intinya menekankan
bahwa Anggota DPR dan DPRD dipilih melalui Pemilu secara langsung. Apabila dalam
Pemilu ada partai politik yang hanya dicoblos tanda gambarnya saja berarti partai politik
tersebut tidak berhak memperoleh wakil di lembaga legislatif, sebab calon legislatif dari
partai tersebut tidak ada yang dipilih langsung oleh rakyat; sedangkan jumlah suaranya
selanjutnya hanya diperhitungkan secara nasional sekedar untuk memenuhi electoral
115 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
threshold 5% suara nasional agar dapat mengikuti Pemilu 5 tahun ke depan.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 46 ayat (1) dan (2) UU Pemilu mempersempit
daerah pemilihan Anggota DPR menjadi provinsi atau bagian provinsi; untuk daerah
pemilihan Anggota DPRD provinsi menjadi kabupaten/kota dan/atau gabungan
kabupaten/kota dan untuk daerah pemilihan Anggota DPRD kabupaten/kota menjadi
kecamatan atau gabungan kecamatan adalah bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 19
ayat (1), Pasal 1 ayat (1), dan Pasal 18 ayat (1) dan (3) yang pada intinya menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara kesatuan bukan negara bagian atau federal atau distrik,
yang dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi lagi atas kabupaten/kota
yang masing-masing mempunyai lembaga perwakilan menurut tingkatannya.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 106 huruf b dan c UU Pemilu yang pada intinya
menetapkan bahwa sisa suara harus dibagi habis di daerah pemilihan yang dipersempit
dan kalau tidak ada sisa kursi, sisa suara tadi akan hangus atau dibuang secara percuma
dan tidak dapat diakumulasikan kepada daerah pemilihan lainnya dengan demikian
bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) dan (3). Untuk DPRD
provinsi daerah pemilihannya adalah satu provinsi, bukan hanya kabupaten/kota atau
gabungan kabupaten/kota. Untuk DPRD kabupaten/kota adalah satu kabupaten/kota,
bukan lagi kecamatan atau gabungan kecamatan.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 7 dan 8 UU Pemilu secara teks jelas-jelas
berlawanan dengan Pasal 26 ayat (2) UUD 1945 meskipun secara konstitusional tidak
merugikan. Namun oleh karena pengertian penduduk pada Undang-Undang a quo tidak
sama dengan pengertian penduduk dalam UUD 1945 Pasal 26 ayat (2).
Menurut Mahkamah, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD juncto Pasal
10 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat nal untuk menguji UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
terhadap UUD 1945.
Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I, Pemohon III, Pemohon V dan Pemohon
VI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai para Pemohon dalam
pengujian UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, karena tidak terbukti bahwasanya
hak konstitusional mereka dirugikan oleh berlakunya Pasal 107 ayat (2) huruf b, Pasal
93 ayat (1), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 106 b dan c, Pasal 1 angka 7 dan 8 UU
Pemilu. para Pemohon dimaksud bukanlah calon Anggota DPR, bukan calon anggota
DPD, dan bukan pula calon Anggota DPRD; bahkan para Pemohon dimaksud tidak
terbukti pernah menjadi calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD periode tahun 2004. Bahwa meskipun Pemohon I, III, V dan
Pemohon VI adalah warga negara Indonesia dan merupakan calon pemilih, setelah
dicermati ternyata tidak ada satu pun hak-hak konstitusional para Pemohon a quo baik
potensial maupun aktual yang dirugikan dengan demikian, para Pemohon a quo tidak
116 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
memiliki legal standing untuk mengajukan pengujian Undang-Undang a quo.
Mahkamah berpendapat, Pemohon II (Dra. Mursyidah Thohir, MA.) dan Pemohon IV
(Dra. Hamdanah, M.Hum.) berdasarkan bukti yang diajukan oleh para Pemohon (Bukti P-5
dan P-9), memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan pengujian pasal Undang-Undang a quo, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Pemohon II (Dra. Mursyidah
Thohir, MA.) adalah warga negara Indonesia dan merupakan calon Anggota DPR RI dari
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Daerah Pemilihan Jawa Timur III, dan Pemohon
IV (Dra. Hamdanah, M.Hum.) adalah warga negara Indonesia yang juga merupakan
calon Anggota DPRD Kabupaten Jember dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang
berasal dari Daerah Pemilihan I dengan nomor urut 6. Mereka terdaftar sebagai calon
Anggota DPR dan calon Anggota DPRD Kabupaten Jember dan mereka menganggap
hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 107 ayat (2) huruf b, Pasal 93 ayat
(1), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 106 b dan c, Pasal 1 butir 7 dan 8 UU Pemilu,
oleh karena itu walaupun Pemohon II dan Pemohon IV belum secara nyata dirugikan
dengan berlakunya UU Pemilu, tetapi sebagai calon Anggota DPR dan DPRD mereka
mempunyai kepentingan dan kemungkinan dirugikan hak konstitusionalnya. Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili perkara
a quo dan sebagian dari para Pemohon yakni Pemohon II (Dra. Mursyidah Thohir, MA.)
dan Pemohon IV (Dra. Hamdanah, M.Hum.) mempunyai kedudukan hukum (legal
standing).
Mahkamah berpendapat bahwa substansi pasal-pasal UU Pemilu yang dimohonkan
pengujian oleh para Pemohon a quo sepenuhnya berada dalam ranah kewenangan
pembentuk undang-undang sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (6) UUD
1945. Pembentuk undang-undang bebas menentukan isi undang-undang, kecuali hal-
hal yang secara tegas sudah digariskan oleh Undang-Undang Dasar, khususnya yang
terkait dengan permohonan a quo, seperti yang mencakup asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil, periodisasi (setiap lima tahun sekali), tujuan Pemilu
(memilih Anggota DPR dan DPRD), peserta Pemilu (partai politik), dan penyelenggara
Pemilu (KPU). Tentang sistim Pemilu, apakah sistim pluralistis mayoritas (distrik), semi
proporsional atau proporsional dengan segala variannya, daerah pemilihan apakah
berbasis pembagian wilayah/daerah administrasi atau bukan, dan hal-hal lain yang bersifat
teknis diserahkan kepada pembentuk undang-undang. Dalam UU Pemilu, pembentuk
undang-undang telah memilih sistim proporsional dengan daftar calon terbuka untuk
pemilihan Anggota DPR dan DPRD. Sistem apapun yang digunakan mempunyai sisi
positif dan negatif, dan untuk menentukan pilihan kebijaksanaan instrumental merupakan
kewenangan dari pembentuk undang-undang. Ketika menentukan pilihan kebijaksanaan
itu pembentuk undang-undang telah mempertimbangkan sisi positif dan negatif itu, serta
telah mempertimbangkan pula peranan Parpol serta hak-hak para calon legislatif yang
diusulkan oleh Parpol yang bersangkutan.
117 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mahkamah berpendapat terhadap dalil para Pemohon mengenai Pasal 107 ayat (2)
b, Pasal 93 ayat (1) UU Pemilu, bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari
pilihan sistim proporsional dengan daftar terbuka yang memasukkan unsur sistim distrik,
sehingga tidak dapat dianggap diskriminatif yang bertentangan dengan Pasal 28I ayat
(2) UUD.
Mahkamah berpendapat terhadap dalil para Pemohon mengenai Pasal 46 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 106 b dan c UU Pemilu, bahwa bentuk negara kesatuan tidak ada
kaitannya dengan sistim pemilihan umum proporsional dengan daftar terbuka. Hilangnya
sisa suara adalah konsekuensi dari masuknya unsur sistim distrik dalam sistim Pemilu
proporsional yang menjadi pilihan pembentuk undang-undang. Oleh karena itu pasal-
pasal tersebut tidak dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip negara
kesatuan dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1)
dan (2), Pasal 18 ayat (1) dan (3), dan Pasal 19 ayat (1) UUD.
Mahkamah berpendapat bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai Pasal
1 angka 7 dan 8 UU Pemilu, tidak ada relevansinya dengan permohonan. Pengertian
penduduk dalam Pasal 1 angka 7 dan 8 UU Pemilu harus dipahami secara terbatas
sebagai pengertian operasional dari UU Pemilu. Meskipun demikian, Mahkamah
Konstitusi menghargai para Pemohon dalam mencermati pertentangan pengertian
tentang penduduk yang terdapat di dalam Undang-Undang a quo dengan UUD
1945. Oleh karena itu pembentuk undang-undang di masa yang akan datang dalam
merumuskan suatu pengertian seharusnya memperhatikan kesesuaiannya dengan
pengertian-pengertian di dalam UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa permohonan para Pemohon terbukti
tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu permohonan para Pemohon
harus ditolak.
118 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
119 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 003/PUU-II/2004
TENTANG
HASIL VERIFIKASI PARTAI POLITIK
Pemohon : S.M.Hasugian, S.H dan Drs.H.A.Rusli.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pengujian Formil dan Materiil Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik mengenai verifikasi
yang seharusnya 9 (sembilan) bulan hanya dilakukan 6 (enam)
bulan bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvantelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Jumat, 20 Agustus 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Reformasi Indonesia
(PRI) dan Sekretaris Jenderal Partai Reformasi Indonesia yang bertindak untuk dan atas
nama Partai Reformasi Indonesia.
Sebagaimana layaknya operasional dari badan hukum ada dua yaitu pelaksanaan
hak dan pelaksanaan kewajiban, terhadap pelaksanaan kewajiban Pemohon untuk
menjadi peserta pemilihan umum telah mengajukan permohonan kepada Departemen
Kehakiman dan HAM RI pada tanggal 15 Agustus 2003 dan tanggal 29 September 2003
serta pada tanggal 16 September 2004 permohonan diajukan pula kepada KPU, namun
permohonan tersebut tidak diterima.
Terhadap permohonan tersebut Departemen Kehakiman dan HAM RI tidak
merekomendasikan ke Komisi Pemilihan Umum untuk menjadi salah satu partai politik
peserta pemilihan umum tahun 2004 dengan alasan Partai Reformasi Indonesia belum
diverikasi kejajaran yang lebih rendah untuk seluruh Indonesia karena sempitnya
waktu.
120 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Akibat tindakan Departemen Kehakiman dan HAM RI dan Komisi Pemilihan Umum
secara konstitusional merugikan Pemohon, karena tidak ikut sertanya sebagai partai politik
peserta pemilihan umum tahun 2004, sehingga tidak bisa berperan serta memperbaiki
dari dalam, dan kerugian moril karena undang-undang kepartaian bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen 1,2,3
dan 4.
Terhadap permohonannya Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi:
Menerima permohonan Pemohon untuk menerima seluruhnya; 1.
Membatalkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan 2.
memberlakukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik;
Memerintahkan untuk memperhentikan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 3.
31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan segala akses tindak lanjut yang timbul
darinya;
Memerintahkan agar disosialisasikan UUD Negara RI Tahun 1945 hasil amandemen 4.
kepada seluruh subjek hukum/orang guna diketahui UUD Negara RI Tahun 1945
telah berubah dan diketahui akan hak dan kewajiban darinya;
Menyatakan Keppres Nomor 70 Tahun 2001 tanggal 5 Juni 2001 tidak setingkat 5.
dengan undang-undang;
Memerintahkan agar pelaksanaan Pemilu diatur dengan undang-undang; 6.
Menyampingkan atau membatalkan Keppres Nomor 70 Tahun 2001 tanggal 5 Juni 7.
2001 dari pemilihan umum tahun 2004;
Menyampaikan keputusan ini keseluruh pihak/instansi terkait; 8.
Memasukkan keputusan ini kedalam berita negara; 9.
Menetapkan Partai Reformasi Indonesia (PRI) adalah peserta pemilihan umum 10.
tahun 2004 (setelah pemilihan umum tahun 1999);
Memberi sanksi hukum kepada pihak manapun yang melanggar hak badan hukum 11.
atau subjek hukum.
Menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan, salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dan menurut Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 menyebutkan undang-undang yang dapat dimohonkan
untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah
berwenang untuk menguji Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
121 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon dalam permohonannya mengajukan permohonan agar Mahkamah
memutuskan untuk:
Memerintahkan agar disosialisasikan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 1.
hasil amandemen kepada seluruh subjek hukum/orang guna diketahui Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah berubah dan akan
diketahui juga akan hak dan kewajiban darinya;
Menyatakan Keppres Nomor 70 Tahun 2001 tanggal 5 Juni 2001 tidak setingkat 2.
dengan undang-undang;
Memerintahkan agar pelaksanaan pemilihan umum diatur dengan undang-undang; 3.
Menyampingkan atau membatalkan Keppres Nomor 70 Tahun 2001 tanggal 5 Juni 4.
2001 dari pemilihan umum tahun 2004;
Menyampaikan keputusan ini keseluruh pihak/instansi terkait; 5.
Menetapkan Partai Reformasi Indonesia (PRI) adalah peserta pemilihan umum 6.
tahun 2004 (setelah pemilihan umum tahun 1999);
Memberikan sanksi hukum kepada pihak manapun yang melanggar hak badan 7.
hukum atau subjek hukum.
Oleh karena substansi yang dimohonkan tersebut bukan merupakan kewenangan
Mahkamah, maka terhadap permohonan tersebut Mahkamah tidak mempertimbangkan
lebih lanjut.
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan, Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya undang-undang yaitu:
perorangan warga negara Indonesia; a.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan b.
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau c.
lembaga negara. d.
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya telah dirugikan karena:
1. Konsideran lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
adalah kepentingan perorangan, kelompok atau kebebasan berserikat (privat) dan
tidak mengambil konsideran dari Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945;
2. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1999 telah dinyatakan batal, tetapi kenyataannya partai
politik yang memperoleh 2% suara atau lebih pada pemilihan umum tahun 1999
secara otomatis menjadi peserta pemilihan umum tahun 2004, hal mana menurut
Pemohon menimbulkan dualisme hukum khususnya dalam Undang-Undang
Pemilihan Umum, seharusnya karena Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 telah
122 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dibatalkan maka segala sesuatu yang diatur juga tidak dapat berlaku kembali;
3. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik,
menyatakan Partai Politik yang menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik telah disahkan sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman
RI diakui keberadaannya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan undang-
undang ini selambat-lambatnya 9 (sembilan) bulan sejak berlakunya undang-undang
ini. Tetapi ternyata oleh Menteri Kehakiman waktu 9 (sembilan) bulan tersebut tidak
dilaksanakan secara penuh melainkan hanya diberlakukan 6 (enam) bulan, hal ini
dianggap merugikan Pemohon dan mengakibatkan Partai Reformasi Indonesia tidak
lolos verikasi serta tidak ikut sebagai partai peserta pemilihan umum tahun 2004;
4. Akibat tindakan Menteri Kehakiman yang tidak melaksanakan sosialisasi
sebagaimana yang ditentukan undang-undang tersebut, sangat merugikan partai
politik yang akan menjadi peserta pemilihan umum tahun 2004 khusunya partai
Pemohon, hal mana dapat diketahui dari 84 partai politik yang telah mendaftarkan
di Departemen Kehakiman dan HAM RI, hanya 24 partai politik yang lolos verikasi
dan yang berhak mengikuti pemilihan umum tahun 2004, sedang 60 partai politik
dinyatakan tidak lolos verikasi;
5. Akibat penyimpangan yang dilakukan oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI tersebut,
Pemohon menganggap sangat dirugikan hak konstitusionalnya, sehingga sudah
selayaknya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik harus
dinyatakan tidak berlaku dan memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1999 tentang Partai Politik.
Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan, yakni
tidak ikut serta sebagai partai politik peserta pemilihan umum tahun 2004, sehingga, tidak
bisa berperan memperbaiki dari dalam, hal mana disebabkan Departemen Kehakiman
dan HAM RI, dalam melakukan verikasi seharusnya 9 (sembilan) bulan tetapi hanya
dilakukan 6 (enam) bulan, tidak sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2002, serta hal-hal lain yang merugikan partai Pemohon, sehingga tidak
lolos dalam verikasi serta tidak ikut dalam pemilihan umum tahun 2004.
Mahkamah berpendapat bahwa walaupun benar Pemohon mempunyai kepentingan
tetapi kerugian yang didalilkan bukan merupakan kerugian akibat berlakunya Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2002, melainkan akibat keputusan yang diambil oleh
Departemen Kehakiman dan HAM RI, sehingga tidak memenuhi pengertian kerugian
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
Oleh karena mana, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki legal standing untuk
bertindak sebagai Pemohon dihadapan Mahkamah. Maka permohonan Pemohon harus
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
123 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IIKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 004/PUU-II/2004
TENTANG
KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK
Pemohon : Ir. Cornelio Moningko Vega, MBA mewakili PT Apota Wibawa Pratama.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak (UU Pengadilan Pajak) terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
Pokok Perkara : Pasal 1 ayat (7), Pasal 12, Pasal 9 huruf (f), Pasal 25 ayat (1),
Pasal 33 ayat (1), Pasal 36 ayat (4), Pasal 40, Pasal 44 ayat (1) dan
(2), Pasal 77 ayat (1) dan (3), Pasal 80 ayat (1) dan (2), Pasal 88
ayat (1) UU Pengadilan Pajak, mengenai konstitusionalitas dari
pengadilan Pajak yang tidak termasuk dalam lingkup peradilan
di bawah Mahkamah Agung bertentangan dengan Pasal 24, 27
dan 28A s.d. 28J UUD 1945 menyangkut kekuasaan kehakiman
yang merdeka, persamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan, serta jaminan, perlindungan serta kepastian
hukum yang adil.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Senin, 13 Desember 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon Ir. Cornelio Moningka Vega, MBA adalah Direktur dari PT Apota Wibawa
Pratama seorang warga negara Indonesia mendalilkan bahwa UU Pengadilan Pajak telah
dibentuk dengan mengabaikan aspek formal yaitu tidak mengikuti prosedur/proses dan
tata cara penyusunan sesuai dengan norma-norma hukum yaitu tidak adanya naskah
akademik, tidak adanya pertimbangan dan kajian hukum. serta untuk meningkatkan
sumber pajak setinggi-tingginya.
Banding terhadap sengketa pajak hanya dapat dilakukan setelah membayar
124 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
terlebih dahulu pajak terhutang sebanyak 50% merupakan peniadaan terhadap jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil kepada Pemohon. Ketentuan tersebut telah
melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Pembentukan Pengadiilan Pajak adalah keliru pembentukannya dilakukan sendiri
oleh eksekutif dan tidak oleh pihak yudikatif. Sehingga Pengadilan Pajak bukanlah suatu
peradilan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan Pemerintah.
Pemohon mendalilkan bahwa UU Pengadilan Pajak a quo tidak sesuai dengan
asas hukum dasar negara seperti termuat dalam Pasal 33 ayat (1) jo. Pasal 77 ayat (1)
karena terhadap putusan Pengadilan pajak bukan upaya hukum banding, kasasi, dan
peninjauan kembali, proses Pengadilan Pajak sama dengan proses pemeriksaan pada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara karena tersedianya upaya untuk menyatakan
keberatan terhadap penetapan pajak kepada instansi yang lebih tinggi dalam jajaran
Direktorat Jenderal Pajak.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung,
Pasal 77 ayat (3) bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan
kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, serta Pasal 9A
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-
undang, telah cukup menjadi dasar bahwa Pengadilan Pajak dalam lingkup peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945.
Pemohon mendalilkan dengan adanya Pasal 33 ayat (1) jo. Pasal 77 ayat (1)
Undang-Undang a quo Pengadilan Pajak tidak sesuai dengan asas hukum dasar
negara karena terhadap putusan Pengadilan Pajak tidak ada upaya banding, kasasi,
dan langsung peninjauan kembali, sehingga kedua pasal tersebut bertentangan dengan
proses peradilan sesuai dengan UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU
No. 35 Tahun 1999. Dalam kaitannya dengan adanya dalil yang diajukan Pemohon,
kewenangan Mahkamah adalah untuk menguji undang-undang terhadap UUD dan tidak
untuk menguji kesesuaian antara satu undang-undang dengan undang-undang yang
lain. Mahkamah berpendapat bahwa proses Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-
Undang a quo adalah sama dengan proses pemeriksaan pada Pengadilan Tata Usaha
Negara karena tersedianya upaya banding administratif bagi pencari keadilan. Wajib
pajak mempunyai upaya untuk menyatakan keberatan terhadap penetapan pajak kepada
instansi yang lebih tinggi dalam jajaran Direktorat Jenderal Pajak.
Adanya pendapat Pemohon bahwa karena ketiadaan upaya kasasi pada Pengadilan
Pajak menyebabkan Undang-Undang a quo tidak sah. Mahkamah berpendapat meskipun
secara formal terhadap putusan Pengadilan Pajak tidak dapat dilakukan upaya kasasi
karena ketentuan Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang a quo, namun secara substantif
125 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung secara tidak langsung akan dilakukan, hal
ini dikarenakan salah satu alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan peninjauan
kembali menurut Pasal 91 huruf (e) Undang-Undang a quo adalah jika suatu putusan
nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dasar alasan ini secara substantif sama dengan alasan untuk mengajukan kasasi yang
disebutkan dalam Pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang
telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa kasasi dijaukan
dengan alasan : (a) pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas kewenangan, (b)
pengadilan salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, (c) lalai memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan-peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Dasar untuk pembatalan puusan pada tingkat kasasi tersebut tentulah terdapat
pada peraturan perundang-undangan, sehingga secara substantif peninjauan kembali
dalam UU Pengadilan Pajak sebagaimana termuat dalam Pasal 91 huruf e sama dengan
substansi kasasi. Meskipun dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 disebutkan Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, namun hal ini tidaklah berarti bahwa
untuk menentukan bahwa lingkungan peradilan itu berpuncak pada Mahkamah Agung
haruslah selalu dibuka kemungkinan untuk mengajukan kasasi bagi setiap perkara yang
diputus oleh pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 22 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan,
terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukan lain. Mahkamah berpendapat bahwa tiadanya upaya kasasi pada Pengadilan
Pajak tidak berarti bahwa Pengadilan Pajak tidak berpuncak pada Mahkamah agung.
Adanya ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
yang menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan
oleh Mahkamah Agung, Pasal 77 ayat (3) bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat
mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah
Agung, serta Pasl 9A UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan di lingkungan Pengadilan
Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang,
telah cukup menjadi dasar bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2)
UUD 1945. Alasan Mahkamah tersebut di atas sekaligus dapat digunakan dasar untuk
mempertimbangkan dalil Pemohon bahwa Pasal 80 ayat (2) yang menyatakan bahwa
terhadap putusan Pengadilan Pajak tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, dan
kasasi adalah bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah telah menyatakan pendapatnya dalam menanggapi dalil-dalil Pemohon
sebagaimana tersebut di atas dan terhadap hal-hal lain yang dikemukakan oleh Pemohon
tetapi Mahkamah tidak memberikan pertimbangan terhadap hal tersebut karena tidak
126 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
relevan untuk diperiksa oleh Mahkamah sesuai dengan kewenangannya. Dengan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan
Pemohon tidak beralasan, oleh karena itu harus ditolak.
Pendapat Berbeda :
UU Pengadilan Pajak yang diundangkan pada tanggal 12 April 2002 adalah undang-
undang yang dibuat setelah berlakunya Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan
bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya. UU
Pengadilan Pajak seharusnya mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan Pasal 24
UUD 1945 yaitu merupakan bagian dari sebuah lembaga peradilan yang merdeka dan
harus berada dalam salah satu peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Pengadilan Pajak tidak tunduk pada jenjang pengawasan secara teknis yuridis
dalam bentuk upaya hukum biasa seperti misalnya banding dan kasasi, serta secara
administrastif organisatoris tidak berada dalam pengawasan berjenjang dari peradilan
yang lebih tinggi di bawah Mahkamah Agung yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara
maupun Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Persyaratan upaya banding ke Pengadilan Pajak harus terlebih dahulu membayar
50% pajak terhutang adalah merupakan pelanggaran terhadap hak atas jaminan hukum
yang adil. ketentuan tersebut menutup akses bagi justisiabelen yang tidak mampu
membayar 50% untuk memperoleh second opinion dalam bentuk upaya banding.
Pengadilan Pajak tidak memenuhi syarat sebagai salah satu Kekuasaan Kehakiman
seperti yang dimaksud dalam Pasal 24 UUD 1945 dan bahkan bertentangan dengannya.
Seyogianya, UU Pengadilan Pajak dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
127 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 005/PUU-II/2004
TENTANG
PELAKSANAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pemohon : Boediman Moenadjat.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1974) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Keseluruhan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 mengenai
kesejahteraan sosial bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 34
ayat (1), (2) dan (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyangkut hak
untuk hidup dan berkehidupan.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Selasa, 13 Juli 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah seorang warga negara Indonesia yang merasa hak konstitutionalnya
telah dilanggar. Sehingga berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) maka Pemohon merasa memiliki
keududukan hukum (legal standing) untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945 dalam hal ini menguji Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 terhadap UUD
1945.
Pemohon mengajukan pengujian materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974
terhadap Pasal 28A dan Pasal 34 ayat (1), (2) dan (4) UUD 1945.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan tiga alasan pengujian materiil
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 terhadap UUD 1945.
Pertama, hak konstitusional Pemohon yakni hak hidup, hak mempertahankan hidup
dan penghidupan telah dirugikan dengan belum dirasakannya sistim jaminan sosial
128 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sebagaimana yang dimaksud Pasal 34 ayat (2) dan (4) UUD 1945. Alasan ini diajukan
karena Pemohon merasa telah terganggu dengan hadirnya masyarakat terlantar seperti
pengamen, pengemis dan pelacur (masyarakat lemah) yang seharusnya dipelihara
oleh negara. Kehadiran masyarakat dan terlantar ini pada akhirnya menimbulkan
permasalahan sosial-masyarakat yang merugikan Pemohon seperti ketidaknyamanan
dalam menggunakan fasilitas publik. Padahal jaminan atas pelayanan fasilitas umum
yang layak seharusnya menjadi tanggung jawab Negara sebagaimana yang dijelaskan
dalam Pasal 34 ayat (4) UUD 1945. Pemohon mendalilkan bahwa sistim jaminan sosial
sebagaimana yang telah dijamin dalam Pasal 34 ayat (2) dan (4) UUD 1945 belum
terlaksana sehingga hak konstitusional Pemohon merasa dirugikan.
Kedua, Pemohon juga mendalilkan bahwa pembentukkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1974 telah menyimpang dari proses hukum yang berlaku. Pembentukan undang-
undang ini dianggap produk dari kepentingan intern Departemen Sosial sehingga tidak
mampu menanggulangi berbagai jenis masalah sosial pada umumnya sehingga Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1974 sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Hal ini dikarenakan bahwa konsideran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 yakni
UUD 1945 sudah diamandemen sebanyak 4 (empat) kali yang mengakibatkan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1974 yang sudah berusia 30 tahun dianggap sudah tidak lagi
sesuai, tidak layak dan cacat hukum.
Ketiga, bahwa hak untuk hidup dan kehidupannya sebagaimana yang dijamin dalam
Pasal 28A bertentangan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974.
Sehingga secara keseluruhan Pemohon menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1974 bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 34 ayat (1), (2) dan (4) UUD
1945.
Dalam Petitumnya, Pemohon memohon agar Majelis Hakim Konstitusi memberikan
putusan dengan menyatakan menerima permohonan Pemohon seluruhnya; menyatakan
bahwa materi muatan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 secara keseluruhan atau
setidak-tidaknya semua pasal dan atau ayat yang menyatakan ....diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundang-undangan, dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28A
dan Pasal 34 ayat (1), (2) dan (4) UUD 1945; menyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat atas seluruhnya atau setidak-tidakna semua pasal dan atau ayat
yang menyatakan; ..... diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan,
dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 34 ayat (1), (2) dan (4) UUD
1945.
Menurut Mahkamah, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal
10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-
undang terhadap UUD1945. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk
menguji Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 dengan UUD 1945.
129 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mahkamah Konstitusi tidak sependapat dengan alasan kerugian atas hak
konstitusional yang diajukan oleh Pemohon. Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa Pemohon tidak memiliki legal standing untuk melakukan pengujian undang-
undang (judicial review) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Hal
ini dilandasi bahwa kerugian yang disebutkan Pemohon sebagai kerugian konstitusional
adalah tidak signikan dan proporsional. Hal ini dikarenakan kerugian yang didalilkan
Pemohon yakni hak hidup serta hak mempertahankan hidup dan kehidupan dalam
keseharian merupakan masalah-masalah Negara, bangsa dan Pemerintah yang hingga
kini belum teratasi secara tuntas sehingga tidak relevan dengan kerugian konstitusional
sebagaimana dimaksud Pasal 51 UU MK.
Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa permohonan Pemohon yang bertitik
tolak dari kelalaian pembuat undang-undang (legislative omission) dalam penyusunan
undang-undang sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tidak
memberikan kedudukan hukum (legal standing) pada Pemohon untuk mengajukan
permohonan pengujian terhadap Undang-Undang a quo.
Oleh karena Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk melakukan pengujian Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1974 terhadap UUD 1945 maka Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
130 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
131 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 006/PUU-II/2004
TENTANG
ANCAMAN PIDANA DALAM UU ADVOKAT DAN
HAK UNTUK MENDAPAT BANTUAN HUKUM
Pemohon : Drs. Muhadjir Effendy, MAP.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU
Advokat) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 31 UU Advokat bertentangan dengan isi rumusan Pasal
28C ayat (1) ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) ayat (3) Perubahan
ke-2 UUD 1945.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan.
Tanggal Putusan : Senin, 13 Desember 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang membawahkan
Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
(LKPH-UMM), merasa dirugikan oleh berlakunya UU Advokat, in casu Pasal 31, kerugian
mana secara nyata telah dialami Pemohon karena ditolaknya kehadiran Pemohon oleh
pihak penyidik di Kepolisian Resort Malang pada saat melakukan pendampingan selaku
kuasa hukum dari seorang klien karena tidak mampu menunjukkan identitas advokat
yang diminta oleh penyidik.
Pemohon mengajukan Pengujian Pasal 31 UU Advokat. Menurut Pemohon Pasal
31 Undang-Undang a quo yang berisi, Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan
pekerjaan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan
Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta)
rupiah.
Ancaman pidana penjara dan denda yang terdapat dalam Pasal 31 UU Advokat
a quo sangat diskriminatif serta merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana
132 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.
Lahirnya ketentuan Pasal 31 UU Advokat menurut Pemohon mengakibatkan
seluruh aktivitas Pemohon dan lembaga LKPH yang dipimpin oleh Pemohon, tidak
memungkinkan lagi untuk dijalankan secara regular dan profesional. Oleh karena seluruh
aktivitas Pemohon dapat ditafsirkan sebagai kegiatan yang seolah-olah menyerupai
profesi advokat. Implikasi dari hal ini Pemohon secara psikologis menjadi tidak tenang
dan tidak konsentrasi di dalam menjalankan profesinya sebagai tenaga pendidik yang
pada akhirnya dikhawatirkan kondisi psikologis ini mengakibatkan proses pendidikan
menjadi terganggu dan mengorbankan kepentingan mahasiswa.
Jadi dengan adanya ketentuan Pasal 31 UU Advokat, maka Pemohon yang saat
ini berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum UMM dan Pejabat pada LKPH UMM
merasa dirugikan hak konstitusional Pemohon berupa hak asasi di dalam hukum dan
pekerjaan. Sebagai warga negara yang telah bekerja di dunia akademis hukum sekurang-
kurangnya selama lebih dari 12 (dua belas) tahun, Pemohon merasa dirugikan hak-hak
konstitusionalnya atas dicantumkannya ketentuan Pasal 31 UU Advokat yang secara
tegas sangat diskriminatif dan tidak adil.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi untuk
mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya; menyatakan isi Pasal 31 UU Advokat
tentang ancaman pidana terhadap siapapun yang bukan advokat menjalankan
aktivitas atau bertindak seolah-olah advokat bertentangan dengan UUD 1945;
menyatakan isi Pasal 31 UU Advokat tentang ancaman pidana terhadap siapapun
yang bukan advokat menjalankan aktivitas atau bertindak seolah-olah advokat, tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan
Hukum UMM dan atau semua Lembaga Bantuan Hukum di Perguruan Tinggi Hukum
di seluruh Indonesia.
Menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang
menyatakan, salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap UUD
1945. Untuk undang-undang yang dimohonkan, in casu UU Advokat, diundangkan pada
tanggal 5 April 2003 maka, terlepas dari adanya perbedaan pendapat di antara para
hakim mengenai Pasal 50 UU MK, Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutus
permohonan a quo;
Pasal 51 UU MK menyatakan, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/
atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, dengan
ditolaknya kehadiran Pemohon oleh pihak penyidik di Kepolisian Resort Malang pada
saat melakukan pendampingan selaku kuasa hukum dari seorang klien karena tidak
mampu menunjukkan identitas advokat yang diminta oleh penyidik. Dengan demikian
terdapat kepentingan Pemohon terkait berlakunya Pasal 31 Undang-Undang a quo yang
133 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
telah merugikan hak-hak konstitusionalnya. Oleh karenanya Mahkamah berpendapat
bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku
Pemohon di hadapan Mahkamah.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan Indonesia adalah negara hukum
berarti bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sebagai bagian dari hak asasi
manusia, harus dianggap sebagai hak konstitusional warga negara, kendatipun Undang-
Undang Dasar tidak secara eksplisit mengatur atau menyatakannya, dan oleh karena itu
negara wajib menjamin pemenuhannya. Dalam rangka menjamin pemenuhan hak untuk
mendapatkan bantuan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud, keberadaan
dan peran lembaga-lembaga nirlaba semacam LKPH UMM, yang diwakili Pemohon,
adalah sangat penting bagi pencari keadilan, teristimewa bagi mereka yang tergolong
kurang mampu untuk memanfaatkan jasa penasihat hukum atau advokat profesional.
Oleh karena itu, adanya lembaga semacam ini dianggap penting sebagai instrumen bagi
perguruan tinggi terutama Fakultas Hukum untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan
Tinggi dalam fungsi pengabdian kepada masyarakat. Di samping itu, pemberian jasa
bantuan hukum juga dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan tinggi hukum
dengan kategori mata kuliah pendidikan hukum klinis dan ternyata membawa manfaat
besar bagi perkembangan pendidikan hukum dan perubahan sosial, sebagaimana
ditunjukkan oleh pengalaman negara-negara Amerika Latin, Asia, Eropa Timur, Afrika
Selatan, bahkan juga negara yang sudah tergolong negara maju sekalipun seperti
Amerika Serikat, seperti dikatakan Mc. Clymont & Golub, ...university legal aid clinics
are now part of the educational and legal landscape in most regions of the world. They
have already made contributions to social justice and public service in the developing
world, and there are compelling benets that recommend their consideration in strategies
for legal education and public interest law... (vide lebih jauh Mary McClymont & Stephen
Golub, Many Roads to Justice, 2000, hal. 267-296).
Peran demikian menjadi tidak mungkin lagi dijalankan oleh LKPH UMM atau lembaga-
lembaga lain sejenis, sebagaimana telah ternyata dari pengalaman dan keterangan para
kuasa Pemohon di hadapan persidangan tanggal 30 September 2004, dan diperkuat oleh
keterangan Pihak Terkait dari lembaga Biro Bantuan Hukum Universitas Padjadjaran yaitu
Eva Laela, S.H. dan Dedi Gozali, S.H. pada persidangan tanggal 30 September 2004,
yang menyatakan keduanya telah disidik oleh penyidik dengan sangkaan telah melanggar
ketentuan Pasal 31 UU Advokat, meskipun penyidikan kemudian dihentikan. Namun
penghentian penyidikan tersebut dilakukan bukan karena alasan yang bersangkutan tidak
memenuhi unsur-unsur Pasal 31 UU Advokat, melainkan peristiwa yang disangkakan
tersebut terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang a quo.
Dalam praktik, rumusan Pasal 31 UU Advokat dimaksud bukan hanya mengakibatkan
tidak memungkinkan lagi berperannya lembaga-lembaga sejenis LKPH UMM memberikan
bantuan dan pelayanan hukum kepada pihak-pihak yang kurang mampu, melainkan
ketentuan dalam pasal dimaksud juga dapat mengancam setiap orang yang hanya
134 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
bermaksud memberikan penjelasan mengenai suatu persoalan hukum, dikarenakan
pengertian Advokat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU UU Advokat
adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang
ini, sehingga seseorang yang memberikan penjelasan tentang suatu persoalan hukum
kepada seseorang lainnya dan kemudian sebagai ucapan terima kasih orang yang
disebut terdahulu menerima suatu pemberian, yang sesungguhnya tidak dimaksudkan
sebagai honorarium oleh pihak yang memberi, dapat dituduh telah melakukan perbuatan
bertindak seolah-olah sebagai advokat dan karenanya diancam dengan pidana yang
sedemikian berat.
Pasal 31 jo. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang a quo membatasi kebebasan seseorang
untuk memilih sumber informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 karena
seseorang yang melakukan konsultasi hukum di luar pengadilan oleh Undang-Undang
a quo hanya dibenarkan apabila sumber informasi tersebut adalah seorang advokat. Jika
seseorang bukan advokat memberikan informasi hukum, terhadapnya dapat diancam
oleh Pasal 31 Undang-Undang a quo. Pencari informasi akan sangat terbatasi dalam
memilih sumber informasi karena yang bukan advokat terhalang untuk memberikan
informasi dengan adanya Pasal 31 Undang-Undang a quo.
Dalam persidangan Mahkamah tanggal 30 September 2004, telah ternyata
bahwa sejarah lahirnya perumusan Undang-Undang a quo, pasal tersebut memang
dimaksudkan agar yang boleh tampil beracara di hadapan pengadilan hanya advokat,
yang dengan demikian berarti Undang-Undang a quo telah mengatur materi muatan
yang seharusnya menjadi materi muatan undang-undang yang mengatur hukum
acara. Bahkan, andaikatapun maksud demikian tidak ada, sebagaimana diterangkan
Pemerintah (c.q. Dirjen Hukum dan Perundang-undangan) pada persidangan tanggal 23
Agustus 2004, rumusan Pasal 31 undang-undang a quo dapat melahirkan penafsiran
yang lebih luas daripada maksud pembentuk undang-undang (original intent) yang dalam
pelaksanaannya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi
banyak anggota masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan dan bantuan hukum
karena Pasal 31 UU Advokat dimaksud dapat menjadi hambatan bagi banyak anggota
masyarakat yang tak mampu menggunakan jasa advokat, baik karena alasan nansial
maupun karena berada di wilayah tertentu yang belum ada advokat yang berpraktik di
wilayah itu, sehingga akses masyarakat terhadap keadilan menjadi makin sempit bahkan
tertutup. Padahal, akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain negara
hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang
(accessible to all), sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran kontemporer
tentang negara hukum. Jika seorang warga negara karena alasan nansial tidak memiliki
akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan sesungguhnya juga kewajiban para
advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru menutupnya (vide Barry M. Hager, The
Rule of Law, 2000, hal. 33).
135 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Jika pun benar maksud perumusan Pasal 31 UU Advokat tersebut adalah untuk
melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan penipuan yang dilakukan oleh
orang-orang yang mengaku-aku sebagai advokat, kepentingan masyarakat tersebut
telah cukup terlindungi oleh ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sehingga
oleh karenanya ketentuan Pasal 31 Undang-Undang a quo harus dinyatakan sebagai
ketentuan yang berlebihan yang berakibat pada terhalanginya atau setidak-tidaknya
makin dipersempitnya akses masyarakat terhadap keadilan, yang pada gilirannya dapat
menutup pemenuhan hak untuk diadili secara fair (fair trial), terutama mereka yang secara
nansial tidak mampu, sehingga kontradiktif dengan gagasan negara hukum yang secara
tegas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Sebagai perbandingan, akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak untuk
diadili secara fair adalah melekat pada ciri negara hukum (rule of law), dan karenanya
dinilai sebagai hak konstitusional, sudah merupakan communis opinio sebagaimana
terlihat antara lain dalam putusan Pengadilan Inggris dalam kasus R v Lord Chancellor
ex p Witham (1998) yang di antaranya menyatakan, ... the right to a fair trial, which of
necessity imports the right of access to the court, is as near to an absolute right as
any which I can envisage... It has been described as constitutional right, though the
cases do not explain what that means (vide Helen Fenwick & Gavin Phillipson, Text,
Cases & Materials on Public Law & Human Rights, 2nd edition, 2003, hal. 142).
Dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat,
Pasal 31 UU Advokat bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28F UUD 1945.
Dalam putusannya, Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dan
menyatakan Pasal 31 UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan pemuatan putusan
ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion):
Penolakan hakim atau pihak lain terhadap orang lain yang bukan advokat beracara
di pengadilan (atau di luar pengadilan) tidak dapat dijadikan alasan guna pengujian
(apalagi membatalkan) Pasal 31 UU Advokat karena hal dimaksud berpaut dengan
salah penerapan Pasal 31 UU Advokat, tidak terletak pada substansi normatif yang
dimaksud pembuat undang-undang. Kesalahan penerapan pasal a quo terungkap pula
dari keterangan dan kesaksian dalam persidangan. Memang di tempat-tempat tertentu,
dalam hal ini di Bandung dan Malang, pemberian kuasa kepada LBH Perguruan Tinggi
pernah dipersoalkan oleh Polisi atau Pengadilan dengan mendasarkan pada Pasal a quo,
tetapi di tempat-tempat lain pemberian kuasa semacam itu tidak pernah dipersoalkan,
artinya tetap berjalan seperti yang dilakukan sebelum pasal a quo berlaku. Lagipula
proses penanganan perkara tersebut baik di Bandung maupun di Malang pada akhirnya
tidak dilanjutkan.
136 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dengan demikian ketentuan Pasal 31 UU Advokat tidak ada kaitannya dengan
perlakuan diskriminatif yang didalilkan Pemohon sehingga bertentangan dengan Pasal
28C ayat (1), (2) dan Pasal 28D ayat (1), (3) UUD 1945.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 UU Advokat, jika dibaca sepintas memang
seolah-olah memberikan perlindungan yang berlebihan kepada advokat. Tetapi jika
dipahami secara cermat, perlindungan terhadap advokat itu, pada dasarnya dimaksudkan
untuk melindungi kepentingan masyarakat. Kerugian yang mungkin diderita oleh
masyarakat sebagai akibat ulah dari mereka yang mengaku-aku sebagai advokat, dapat
berpengaruh lebih luas dan lebih besar daripada akibat yang ditimbulkan oleh penipuan
biasa, sehingga wajar saja jika diberikan ancaman pidana khusus selain ancaman pidana
umum yang terdapat dalam KUHP.
Perlindungan itupun tidak berarti menutup pintu bagi Perguruan Tinggi untuk
memberikan pelatihan praktis kepada para mahasiswa Fakultas Hukum, bahkan
pelatihan itu akan berlangsung lebih terarah, lebih realistis dan lebih sejalan dengan
Pasal 13 a quo, jika misalnya dilakukan melalui kerjasama antara Perguruan Tinggi
dengan Asosiasi (Perkumpulan) advokat, sebagaimana yang dilakukan oleh Perguruan
Tinggi dengan Rumah Sakit dalam rangka pelatihan mahasiswa Fakultas Kedokteran.
Adapun dalil Pemohon yang menyatakan dengan munculnya ketentuan Pasal 31
UU Advokat telah dipengaruhi oleh ketakutan akan berkurangnya atau sedikitnya lahan
rezeki Advokat adalah bersifat tendensius dan berburuk sangka karena berdasarkan
hasil Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat di DPR (Ketetapan
DPR dan Pemerintah) pernyataan Pemohon tidak benar. Pemohon sebagai anggota
Civitas Academica Universitas Muhammadiyah Malang yang bukan merupakan
institusi Pemerintah (tidak berstatus Pegawai Negeri) dapat mendaftarkan diri untuk
menjadi advokat asal saja memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU
Advokat, dengan catatan bahwa setiap profesi sudah seharusnya dituntut untuk bekerja
secara profesional di bidangnya masing-masing, termasuk advokat hendaknya bekerja
profesional di bidangnya, demikian pula tenaga pengajar hendaknya juga profesional dan
tidak berdwifungsi.
Adapun dalil Pemohon yang menyatakan UU Advokat bukan undang-undang yang
baik karena tidak ada aturan pengecualiannya, tidak tepat, karena tidak selalu harus suatu
undang-undang mempunyai pasal atau ketentuan pengecualian (escape clausule).
Oleh karena itu, kami berpendapat dalil yang dikemukakan oleh Pemohon bahwa
Pasal 31 UU Advokat adalah bertentangan (tegengesteld) dengan UUD 1945, tidak
terbukti.
137 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 007/PUU-II/2004
TENTANG
MEKANISME PENGUSULAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
MELALUI PARTAI POLITIK
Pemohon : Drs. Agus Abdul Djalil, Pdp.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 25 UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden mengenai
mekanisme pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden
melalui Parpol bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal
28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945, serta Peraturan Hukum Internasional menyangkut
hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif, hak mendapatkan pekerjaan
dan penghidupan layak, hak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan, dan hak untuk memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa,
dan negara.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan : Jumat, 23 Juli 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Hak konstitusional Pemohon dimaksud diatur dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat
(2), dan Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
138 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 25 UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
karena Undang-Undang a quo telah membatasi hak politik Pemohon untuk mencalonkan
diri sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden melalui jalur non partai. Menurut Pemohon,
bukan hanya orang partai yang mampu menjadi Presiden atau Wakil Presiden, tetapi
masih banyak orang yang berada di luar partai yang mampu memimpin Negara ini. Oleh
karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK),
maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji UU Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden terhadap UUD 1945 sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon.
Pemohon mendalilkan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Konvensi Internasional mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang
Konvensi ILO mengenai Penghapusan Diksriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan.
Bahwa kedua undang-undang dimaksud pada pokoknya mengatur mengenai larangan
berlaku diskriminasi. Apabila kedua undang-undang tersebut dikaitkan dengan Pasal
25 UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal
25 UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang memuat aturan pembatasan terhadap
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh Parpol atau gabungan
Parpol peserta Pemilu. Oleh karena itu, Pasal 25 UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan Peraturan Hukum Internasional
sebagaimana telah diuraikan di atas.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa
kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, kemudian
ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK yang antara lain Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, terkait
dengan permohonan Pemohon bahwa Pemohon mengajukan pengujian UU Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji UU Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945.
Mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Mahkamah menyatakan
bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
suatu undang-undang. Kemudian mengenai apa yang dimaksud hak konstitusional telah
dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yaitu hak-hak yang diatur dalam
UUD 1945.
Menurut Mahkamah, UUD 1945 membedakan antara hak konstitusional warga
negara dan hak konstitusional partai politik, hal demikian demikian diatur dalam Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945 berbunyi, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan sebelum pelaksanaan
pemilihan umum. Dengan demikian, hanya partai politik yang memiliki hak hak
139 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
konstitusional untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan Pasal
25 UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanyalah merupakan pengulangan sekaligus
penegasan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, Pasal 25 UU Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dengan sendirinya tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Meskipun Pemohon mempunyai hak konstitusional untuk menjadi calon Presiden
menurut Undang-Undang Dasar, namun jika tidak diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta Pemilu, maka Pemohon in casu tidak mempunyai hak
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar.
Oleh karena Pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, maka permohonan Pemohon
harus dinyatakan tidak dapat diterima.
140 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
141 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 008/PUU-II/2004
TENTANG
SYARAT MAMPU JASMANI DAN ROHANI BAGI
CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Pemohon : 1. K.H. Abdurrahman Wahid; 2. Dr. Alwi Abdurrahman Shihab.
Jenis perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok permohonan : Pasal 6 huruf d dan s UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
mengenai ketentuan syarat mampu jasmani dan rohani bagi calon
Presiden dan Wakil Presiden serta bukan bekas anggota PKI,
termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat
langsung dalam G 30 S/PKI bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28C ayat (2) Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945 yang menjamin persamaan dihadapan hukum
dan pemerintahan, serta larangan terhadap tindakan diskriminatif.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal
6 huruf s Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diterima;
Menyatakan permohonan para Pemohon berkenaan dengan
pengujian Pasal 6 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ditolak.
Tanggal Putusan : Jumat, 23 April 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon I adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Ketua Umum Dewan Syuro Partai
Kebangkitan Bangsa), dan Pemohon II adalah Dr. Alwi Abdurrahman Shihab (Ketua
Umum Dewan Tandziyah) sebagai warga negara Indonesia yang bertindak selaku
perseorangan maupun sebagai badan hukum mewakili Partai Kebangkitan Bangsa
142 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(PKB) yang mendalilkan hak konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Pasal 6 huruf d
dan s UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Menurut Pemohon I, dengan diberlakukan ketentuan tersebut maka hak
konstitusionalnya untuk mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia hilang.
Begitu juga dengan Pemohon II yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena
tidak dapat mencalonkan Pemohon I sebagai Presiden Republik Indonesia karena
adanya ketentuan pasal tersebut. Untuk itu berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1)
huruf a dan c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU
MK), Pemohon merasa memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan pengujian Pasal 6 huruf d dan s UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 6 huruf d dan s UU Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak
setiap orang untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara; menjamin perlakuan
yang sama dihadapan hukum; menjamin hak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden), menjamin tidak adanya
perlakuan diskriminatif dan menjamin bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Seandainya hak-hak tersebut dilakukan
pembatasan, maka harus dilakukan oleh lembaga peradilan.
Dalam petitumnya, Pemohon mengajukan permohonan provisi kepada Mahkamah
Konstitusi agar menyatakan dan memerintahkan Pasal 6 UU Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden untuk sementara dinyatakan tidak berlaku sampai adanya keputusan yang
berkekuatan hukum tetap dan nal atas perkara ini. Sementara dalam pokok perkara,
Pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar menyatakan
Pasal 6 UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bertentangan UUD 1945 dan menyatakan
tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah berpendapat sesuai
dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) UU MK,
Mahkamah mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat nal guna menguji Pasal 6 huruf d, atau keseluruhan Pasal 6 UU
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945.
Mengenai legal standing Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I,
K.H. Abdurrahman Wahid, sebagai perorangan warga negara Indonesia yang diusulkan
sebagai calon Presiden oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) maupun sebagai Ketua
Umum Dewan Syuro PKB, memiliki kedudukan hukum (legal standing) guna mengajukan
permohonan pengujian terhadap Pasal 6 huruf d UU Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
Namun terhadap Pemohon II, Dr. Alwi Abdurrahman Shihab, dalam kapasitas
sebagai perorangan warga negara Indonesia, tidak memiliki legal standing karena
143 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dalam kapasitas tersebut tidak ada hak konstitusional Pemohon II yang dirugikan oleh
berlakunya undang-undang tersebut. Sedangkan dalam kapasitas sebagai Ketua Umum
Dewan Tandz PKB yang akan mengusulkan Pemohon I sebagai calon Presiden PKB,
Pemohon II memiliki legal standing.
Sementara untuk pengujian yang diajukan kedua Pemohon terhadap Pasal 6 huruf
s UU No. 23 Tahun 2003 tentang persyaratan Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat
diterima karena para Pemohon bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk
organisasi massanya, serta bukan orang yang terlibat langsung dalam G 30 S/PKI
sehingga tidak ada kerugian konstitusional.
Terhadap permohonan provisi, Mahkamah berpendapat bahwa hukum acara
pengujian undang-undang berdasarkan UU MK, lembaga provisi tidak dikenal. Oleh
karena itu Mahkamah menyatakan tidak dapat diterima.
Terhadap pokok perkara Mahkamah berpendapat bahwa rumusan Pasal 6 huruf d UU
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mensyaratkan calon Presiden dan calon Wakil
Presiden mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai Presiden dan Wakil Presiden merupakan pengulangan redaksional belaka dari
Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak bertentangan (tegengesteld) dengan UUD
1945. Selain itu, pencantuman persyaratan kemampuan secara rohani dan jasmani bagi
calon Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dipandang diskriminatif karena seseorang
warga negara yang terpilih sebagai Presiden atau Wakil Presiden harus memenuhi
persyaratan agar kelak mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan
kewajiban kenegaraan sebagai seorang Presiden atau Wakil Presiden. Dengan demikian,
Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan para Pemohon terhadap pengujian Pasal
6 huruf d UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditolak.
Sedangkan permohonan pengujian Pasal 6 huruf s UU Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak dapat diterima karena para Pemohon
tidak mempunyai legal standing.
144 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
145 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 009/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM CALON ANGGOTA DPR DAERAH
PEMILIHAN IRIAN JAYA BARAT, PEMILIHAN KOTAMADYA JAKARTA BARAT II
KECAMATAN PALMERAH, DEPOK II KECAMATAN CIMANGGIS, DEPOK IV
KECAMATAN PANCORAN MAS, KABUPATEN ROKAN HULU II, KABUPATEN
KAMPAR III, KABUPATEN SANGIHE TALAUD III, KABUPATEN BULUNGAN,
KABUPATEN SANGGAU I KALIMANTAN BARAT, MALUKU UTARA,
KOTA TANGERANG, KABUPATEN BARITO TIMUR
Pemohon : 1. Dr. Ruyandi Hutasoit, Sp.U, D.Min, ML; 2. Denny Tewu, SE, MM.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR dan Anggota DPRD.
Pokok Perkara : Penetapan hasil suara Pemilihan Umum Calon Anggota DPR
Daerah Pemilihan Irian Jaya Barat, dan Calon Anggota DPRD
Daerah Pemilihan Kotamadya Jakarta Barat II Kecamatan
Palmerah, Depok II Kecamatan Cimanggis, Depok IV Kecamatan
Pancoran Mas, Kabupaten Rokan Hulu II, Kabupaten Kampar III,
Kabupaten Sangihe Talaud III, Kabupaten Bulungan, Kabupaten
Sanggau I Kalimantan Barat, Maluku Utara, Kota Tangerang,
Kabupaten Barito Timur.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon sebagian.
Tanggal Putusan : Senin, 14 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon Dr. Ruyandi Hutasoit, Sp.U, D.Min, ML. dan Denny Tewu, SE, MM masing-
masing adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Damai Sejahtera (PDS)
Peserta Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2004 yang terdaftar di
KPU Nomor 19 tanggal 7 Desember 2004 tentang Partai Politik Peserta Pemilu Tahun
2004 registrasi Nomor 678.
146 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon mengajukan keberatan terhadap hasil Penetapan Komisi Pemilihan
Umum dan memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum pada beberapa titik daerah pemilihan Anggota DPR dan DPRD.
Pemohon berkeberatan atas hasil penghitungan suara Pemilihan Umum Anggota
DPRD Tahun 2004 secara nasional untuk Daerah Pemilihan Kotamadya Jakarta Barat II
yang menetapkan hasil penghitungan untuk PDS adalah 230.757 suara untuk tingkat
Provinsi DKl, 64.783 suara untuk tingkat Kotamadya Jakarta Barat, 4.555 suara
untuk tingkat Kecamatan Palmerah, 1.715 suara untuk tingkat Kelurahan Palmerah.
Sedangkan menurut pengamatan Pemohon hasil penghitungan yang benar adalah
233.157 suara untuk tingkat Provinsi DKI, 67.183 suara untuk tingkat Kotamadya
Jakarta Barat, 6.955 suara untuk tingkat Kecamatan Palmerah, 4.115 suara untuk
tingkat Kelurahan Palmerah.
Pada Daerah Pemilihan Irian Jaya Barat Pemohon juga memiliki penghitungan
yang berbeda dari penghitungan KPU. Menurut Penghitungan KPU, Partai Golkar
sebagai urutan pertama dengan perolehan 70,781 suara, peringkat kedua PDIP
dengan 37,239 suara, ketiga PPDK 29,808 suara, dan selanjutnya PDS 23,412 suara.
Berbeda dengan penghitungan KPU, menurut penghitungan Pemohon urutan pertama
adalah Partai Golkar dengan 70,781 suara, kedua PDS dengan 38,139 suara, ketiga
PDIP 37,239 suara, selanjutnya PPDK 29,808 suara.
Untuk Daerah Pemilihan Depok II, Kecamatan Cimanggis, Pemohon berpendapat
ada ketidaklaziman perolehan suara antara PKB dan PDS pada perolehan suara
Pemilihan DPR RI, DPR Provinsi, dan DPRD Kota Depok. Pada Pemilihan Anggota
DPR PDS unggul 543 suara, pada Pemilihan Anggota DPR Provinsi PDS unggul 1.228
suara, namun pada Pemilihan Anggota DPR Kota Depok PDS kalah 218 suara, padahal
sesuai survey Pemohon di lapangan, bahwa setiap pemilih PDS yang mencoblos di
tingkat Provinsi secara otomatis mencoblos PDS pula di tingkat kabupaten/kota, bahkan
seharusnya suara untuk tingkat kabupaten/kota lebih tinggi perolehannya dari tingkat
Provinsi.
Pemohon berkeberatan atas penghitungan suara yang dikeluarkan KPU untuk Daerah
Pemilihan Depok IV Kecamatan Pancoran Mas. Dari data yang Pemohon catat dari setiap
Kelurahan, PDS memperoleh 5.909 suara. Data sementara yang Pemohon peroleh dari
Interpolres Kota Depok dimana PDS mendapat 4.750 suara, sementara PKS memperoleh
34.917. Namun PPK Kecamatan Pancoran Mas mengeluarkan hasil suara DPRD Kota
Depok dimana PDS memperolah 5.340 suara, sementara PKS 36.741 suara. Pemohon
menduga adanya penggelembungan perolehan suara PKS. Sementara itu Panwaslu Kota
Depok mengeluarkan daftar hasil penghitungan suara Pemilu 2004 untuk Kecamatan
Pancoran Mas PDS memperoleh 6.284 suara, sementara PKS memperoleh 36.542 suara.
Dari data ini PKS memperoleh 2 (dua) kursi DPRD Kota dengan BPP 15.547 maka sisa
suara PKS 5.448, dibandingkan dengan perolehan suara PDS 6.284 maka seharusnya
PDS unggul 836 suara dan memperoleh 1 (satu) kursi DPRD Kota Depok.
147 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon berkeberatan atas penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU pada
Daerah Pemilihan Kabupaten Rokan Hulu II Riau, Daerah Pemilihan Kabupaten Kampar
III Riau, Daerah Pemilihan Kabupaten Sangihe Talaud III Sulawesi Utara, Daerah
Pemilihan Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur, Daerah Pemilihan Maluku Utara,
Daerah Pemilihan Kota Tangerang. Penghitungan suara KPU atas beberapa titik daerah
pemilihan ini dinilai Pemohon merugikan PDS yang mengakibatkan perolehan jumlah
kursi PDS berkurang untuk daerah pemilihan ini.
Pemohon berkeberatan atas penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU pada
Daerah Pemilihan Kabupaten Sanggau I Kalimantan Barat. Pemohon menyatakan
bahwa ada penghitungan suara PDS di TPS 6, PPS 17 Kelurahan Bunut yang tidak
dilaporkan sebanyak 25 suara. Perolehan suara ini jika ditambah dengan suara yang
telah dilaporkan ke KPU sebanyak 1.903 suara, berarti menjadi 1928 suara. Sementara
PKPB memperoleh suara sebanyak 1.918 suara di DP I Sanggau Kapuas dan Mukok,
sehingga seharusnya PDS unggul 10 suara.
Pemohon berkeberatan atas penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU pada
Daerah Pemilihan Kabupaten Barito Timur Kalimantan Tengah, karena PDS merasa
kehilangan sejumlah 25 suara di PPS No. 014 pada PPK Dusun Timur. Sehingga pada
tahap rekapitulasi akhir Keputusan KPU Kabupaten Barito Timur, PDS dikalahkan oleh
hasil suara Partai Demokrat, yang mengakibatkan kursi yang seharusnya diperoleh PDS,
beralih kepada Partai Demokrat.
Mahkamah berpendapat, bahwa Mahkamah memiliki kewenangan untuk memutus
perselisihan hasil pemilihan umum ini berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf d jo. Pasal 74
dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo.
Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
Terkait dengan legal standing Pemohon, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah
mendasarkan pada Salinan Keputusan KPU Nomor 678 Tahun 2003 tentang Penetapan
Partai Politik sebagai Peserta Pemilihan Umum Tahun 2004, bahwa Pemohon adalah
Partai Politik sebagai Peserta Pemilihan Umum Tahun 2004, maka oleh karena itu
berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (1) huruf c Undang- undang Nomor 24 Tahun
2003, Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai
Pemohon.
Dalam Pokok Perkara bahwa permohonan Pemohon yang menyangkut Daerah
Pemilihan Kabupaten Rokan Hulu II, Kabupaten Kampar III, Kabupaten Sangihe Talaud III,
Kabupaten Bulungan, Kabupaten Sanggau I, Kabupaten Maluku Utara, Kota Tangerang,
Kabupaten Barito Timur, telah ternyata diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
pada hari Sabtu tanggal 8 Mei 2004 pukul 12.30 WIB, akan tetapi karena belum memenuhi
persyaratan Pemohon telah diwajibkan melengkapi Permohonan selambat-lambatnya
148 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pada hari Senin tanggal 10 Mei 2004 pukul 12.30 WIB, dan ternyata permohonan yang
lengkap tersebut baru diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Senin
tanggal 10 Mei 2004 pukul 17.30 WIB sesuai dengan catatan Tanda Terima Kelengkapan
Berkas Perkara, oleh karena itu Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon
yang menyangkut daerah-daerah pemilihan tersebut di atas telah melewati tenggat yang
ditentukan dan dengan demikian tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
Menyangkut Daerah Pemilihan Kota Depok II, Kecamatan Cimanggis, dan Kota
Depok IV, Kecamatan Pancoran Mas, Pemohon tidak mengajukan keberatan atas hasil
penghitungan suara di tingkat PPK sebagaimana terlihat dari bukti tertulis berupa Berita
Acara Rekapitulasi Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004,
atau setidak-tidaknya Pemohon tidak dapat membuktikan. Dengan demikian Permohonan
Pemohon terkait dengan daerah pemilihan ini harus dinyatakan tidak dapat diterima
karena berdasarkan Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pemohon seharusnya
mengajukan keberatan atas hasil penghitungan suara menurut jenjang penghitungan
suara yang seandainya keberatan itu beralasan akan dilakukan pembetulan seketika.
Terkait dengan keberatan Pemohon atas Penetapan hasil oleh KPU pada Daerah
Pemilihan Jakarta Barat II Kecamatan Palmerah, di mana Pemohon mengajukan
keberatan atas diubahnya jumlah perolehan suara PDS karena protes dari PKS. Atas
keberatan ini Mahkamah mempertimbangkan kesaksian dari Saksi Rudy Nico Pelamonia
yang merupakan saksi Pemohon saat penghitungan suara. Ketika perubahan itu saksi
tidak langsung memprotes, dan saksi tidak dapat memastikan jumlah angka yang benar
karena tidak menghitung perolehan suara pada tingkat PPS.
Mahkamah juga mempertimbangkan pendapat Pihak Terkait PKS yang menyatakan
bahwa pengurangan yang terjadi tersebut dilakukan karena saksi dari PKS melakukan
protes atas terjadinya kesalahan penulisan angka dari 1.715 menjadi 4.115, protes yang
diterima oleh KPU karena sesuai dengan data Rekapitulasi dari PPS maupun PPK dan
tidak ada keberatan dari saksi-saksi Peserta Pemilu termasuk saksi Pemohon.
Dengan demikian penghitungan suara yang diperoleh PDS sebagaimana didalilkan
adalah karena kesalahan penulisan semata dan perbaikan yang dilakukan oleh KPU
adalah sah menurut hukum dan undang-undang sedangkan di lain pihak Pemohon tidak
berhasil membuktikan sebaliknya. Maka permohonan keberatan pada daerah pemilihan
ini ditolak oleh Mahkamah.
Dalam putusannya, Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk
sebagian yakni dengan membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/
SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai
Damai Sejahtera untuk calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Daerah Pemilihan
Irian Jaya Barat, menyatakan hasil penghitungan suara yang benar bagi Partai Damai
Sejahtera untuk calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Daerah Pemilihan Irian
149 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Jaya Barat adalah sebesar 30.812 (tigapuluh ribu delapan ratus dua belas) suara, serta
menyatakan permohonan Pemohon sepanjang menyangkut perolehan suara untuk : (1).
Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Depok dari Daerah Pemilihan
Kota Depok II Kecamatan Cimanggis, (2). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kota Depok dari Daerah Pemilihan Kota Depok IV Kecamatan Pancoran Mas, (3).
Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Rokan Hulu dari Daerah
Pemilihan Kabupaten Rokan Hulu II, (4). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Kampar dari Daerah Pemilihan Kabupaten Kampar III, (5). Calon
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sangihe Talaud dari Daerah
Pemilihan Kabupaten Sangihe Talaud III, (6). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Bulungan dari Daerah Pemilihan Kabupaten Bulungan, (7). Calon
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sanggau dari Daerah Pemilihan
Kabupaten Sanggau I, (8). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Maluku Utara dari Daerah Pemilihan Kabupaten Maluku Utara, (9). Calon Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang dari Daerah Pemilihan Kota Tangerang, (10).
Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Barito Timur dari daerah
Pemilihan Kabupaten Barito Timur II tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Mahkamah juga menyatakan menolak permohonan Pemohon selebihnya. Untuk
selanjutnya, Mahkamah memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan
Putusan Nomor 009/PHPU.C1-II/2004 ini.
150 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
151 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 010-017/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN
DAERAH (DPD) PESERTA PEMILIHAN UMUM 2004 UNTUK DAERAH PEMILIHAN
PROVINSI SUMATERA SELATAN
Pemohon : Perkara No. 10/PHPU.A-II/2004 :
Steven Kusumanegara (Pemohon I)
Perkara No. 17/PHPU.A-II/2004 :
Ir. Ruslan Wijaya, SE., Msc. (Pemohon II)
Termohon : Komisi Pemilihan Umum
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Tahun 2004.
Pokok Perkara : Keberatan atas Penetapan Komisi Pemilihan Umum Nomor
44/SK/KPU/TAHUN 2004, tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil
Penghitungan suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD Tahun 2004 secara nasional untuk daerah pemilihan
Sumatera Selatan yang diumumkan pada hari Rabu, tanggal 5
Mei 2004.
Amar Putusan : Untuk Pemohon I :
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Untuk Pemohon II :
Mengabulkan permohonan Pemohon.
Tanggal Putusan : Selasa, 1 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon I adalah calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) peserta
Pemilihan Umum Tahun 2004 untuk daerah pemilihan Provinsi Sumatera Selatan, yang
152 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan Keputusan Nomor 44/SK/KPU/
TAHUN 2004, tanggal 5 Mei 2004 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Calon
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Sumatera Selatan.
Pemohon I keberatan terhadap Penetapan KPU Nomor 44/SK/KPU/TAHUN 2004,
tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Pemilihan Umum Calon Anggota Dewan Perwakilan
Daerah Provinsi Sumatera Selatan secara nasional yang diumumkan pada hari Rabu,
tanggal 5 Mei 2004, pukul 13:55 WIB yang hasil penghitungannya adalah peringkat 1 : Hj.
Asmawati, SE. MM. 447.540 suara, peringkat 2 : Drs. HM. Kafrawi Rahim 203.262 suara,
peringkat 3 : M.Jum Perkasa 193.920 suara, peringkat 4 : Ir. Ruslan Wijaya, SE., MSc.
143.451 suara, peringkat 5 : Steven Kusumanegara, SE 143.022 suara.
Pemohon I berpendapat bahwa hasil penghitungan suara tersebut terdapat
kesalahan, sehingga merugikan Pemohon I, yang mengakibatkan berkurangnya
perolehan jumlah suara Pemohon I di Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera Selatan.
Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara yang benar adalah peringkat 1
:Hj. Asmawati, SE. MM. 447.540 suara, peringkat 2 : Drs. HM. Kafrawi Rahim 203.262
suara, peringkat 3 : M.Jum Perkasa 193.920 suara, peringkat 4 : Steven Kusumanegara,
SE 143.534 suara, peringkat 5 : Ir. Ruslan Wijaya, SE., MSc. 143.451 suara.
Pemohon II adalah calon Anggota DPD peserta Pemilihan Umum Tahun 2004
untuk Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera Selatan yang terdaftar di KPU berdasarkan
Penetapan KPU Nomor 209/CDPD/KPU SS/XII/2003 tanggal 16 Desember 2003 tentang
Pelaksanaan Undian Urutan Nama Calon Perseorangan Anggota Dewan Perwakilan
Daerah Provinsi Sumatera Selatan.
Pemohon II, berkeberatan terhadap Penetapan KPU Nomor 44/SK/KPU/TH2004,
tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Pemilihan Umum Tahun 2004 secara nasional yang
diumumkan pada hari Jumat tanggal 7 Mei 2004, pukul 14.40 WIB untuk daerah pemilihan
Provinsi Sumatera Selatan yang hasil penghitungannya adalah 1. Ir. Ruslan Wijaya, SE,
MSc Nomor urut 20 sebanyak 143.451 suara, 2. Steven Kesumanegara, SE Nomor urut
24 sebanyak 143.022 suara.
Pemohon II, berpendapat bahwa hasil penghitungan suara tersebut terdapat
kesalahan pada KPUD Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKU Timur) dan
KPUD Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), sehingga merugikan Pemohon II yang
mengakibatkan terpilih dengan selisih minimal yang mempunyai potensi nyaris untuk
tidak terpilih sebagai Anggota DPD untuk Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera Selatan.
Pemohon II berpendapat bahwa hasil penghitungan suara benar adalah 1. Ir. Ruslan
Wijaya, SE, Msc Nomor urut 20 di Kabupaten OKU Timur 14.538 suara tertulis pada
Berita Acara KPUD 13.958 suara dan di Kabupaten OKU 6.177 suara tertulis pada Berita
Acara KPUD 3.969 suara sehingga selisih kurang 2.788 suara, 2. Steven Kesumanegara,
SE Nomor urut 24 di Kabupaten OKU Timur 23.884 suara tertulis pada Berita Acara
KPUD 27.759 suara dan di Kabupaten OKU Induk 4.137 suara tertulis pada Berita Acara
153 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
KPUD 5.200 suara sehingga selisih lebih 4.938 suara.
Menurut Mahkamah, terhadap dalil Pemohon I yaitu antara lain, telah ternyata terjadi
kesalahan penulisan suara yang dilakukan oleh KPU Kecamatan Pagaralam Selatan
tertulis 742 suara seharusnya 1.254 suara, berdasarkan Dokumen KPU Kota Pagaralam
berupa Berita Acara Panitia Pemilihan Kecamatan Pagaralam Selatan Kota Pagaralam
bertanggal 26 April 2004, Surat Pokja Penghitungan Suara KPU Kota Pagaralam
yang ditujukan kepada Ketua KPU cq. Ketua Pokja Penghitungan Suara Nomor 684/
KPU/KPA/2004 bertanggal 26 April 2004 perihal Hasil Penghitungan Suara, dan Hasil
Perolehan Suara Sah Anggota Dewan Perwakilan Daerah Panitia Pemungutan Suara
Panitia Pemilihan Kecamatan Pagaralam Selatan tanggal 12 April 2004.
Setelah diadakan pengecekan penghitungan pada persidangan Mahkamah tanggal
11 Mei 2004, perolehan suara Pemohon I menjadi 1.242 suara, karena untuk Kelurahan
Tebat Giri Indah I terjadi kesalahan penghitungan yang semula 181 suara setelah dihitung
ulang dipersidangan menjadi 169 suara, dan hal tersebut telah disetujui oleh Pemohon I
dan KPU Pusat di persidangan.
Terhadap kesalahan yang dilakukan oleh KPU Kota Pagaralam tersebut pihak
KPU Provinsi Sumatera Selatan tidak seketika merubahnya, disebabkan KPU Provinsi
Sumatera Selatan telah menerbitkan Surat Ketua KPU Provinsi Sumatera Selatan yang
ditujukan kepada Ketua KPU Kabupaten/Kota Se Sumatera Selatan Nomor 321/KPU.
SS/IV/2004 bertanggal 27 April 2004 perihal berkas susulan, yang salah satu isinya
menyatakan Jika masih terjadinya komplain/keberatan dari pihak-pihak terkait, agar
diajukan langsung ke KPU Pusat.
Berdasarkan bukti yang diajukan Pemohon I tersebut dan dibandingkan dengan
bukti KPU Kecamatan Pagaralam Selatan, Majelis Hakim (Mahkamah) berkesimpulan
memang telah terjadi kesalahan penjumlahan untuk daerah Kecamatan Pagaralam
Selatan yang seharusnya berjumlah 1.242 suara menjadi 742 suara sehingga memiliki
selisih 500 suara dan bila dijumlah secara keseluruhan untuk Kota Pagaralam adalah
2.033 suara.
Mahkamah menyatakan batal penetapan hasil penghitungan suara yang diumumkan
oleh KPU Nomor 44/SK/KPU/TAHUN 2004, tanggal 5 Mei 2004 untuk Dewan Perwakilan
Daerah atas nama Steven Kusumanera, SE., Nomor urut 5 dengan jumlah 143.022
suara, dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar adalah hasil penghitungan
suara menurut Pemohon I yaitu jumlah 143.022 suara ditambahkan dengan kekurangan
suara dari Kecamatan Pagaralam Selatan sebesar 500 suara sehingga menjadi 143.522
suara.
Menurut Mahkamah, terhadap dalil Pemohon II yaitu antara lain telah ternyata terjadi
kesalahan penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu
Timur dan Kabupaten Ogan Komering Ulu untuk PPK yang dinyatakan bermasalah oleh
Pemohon II, didapat perincian sebagai berikut:
154 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Komisi Pemilihan Umum Ogan Komering Ulu Timur di PPK Martapura tertulis
1.844 suara seharusnya 2.078 suara selisih 234 suara, di PPK Belitang tertulis: 1.600
suara seharusnya 1.724 suara selisih 124 suara, di PPK Belitang II tertulis: 1.177
suara seharusnya 1.267 suara selisih 90 suara, di PPK Belitang III tertulis: 897 suara
seharusnya 967 suara selisih 70 suara, di PPK Semendawai Suku III tertulis: 1.707suara
seharusnya 1.817 suara selisih 110 suara, di PPK Buay Madang: 2.117 suara seharusnya
2.177 suara selisih 60 suara. Jumlah selisih adalah: 688 suara.
Komisi Pemilihan Umum Ogan Komering Ulu di PPK Baturaja Barat tertulis 601
suara seharusnya 641 suara selisih 40 suara, di PPK Baturaja Timur tertulis 763 suara
seharusnya 1.853 suara selisih 90 suara, di PPK Lubuk Batang tertulis: 261 suara
seharusnya 658 suara selisih 397 suara, di PPK Peninjauan tertulis: 503 suara seharusnya
1.131 suara selisih 628 suara, di PPK Semidang Aji tertulis 312 suara seharusnya 316
suara selisih 4 suara, di PPK Lengkiti tertulis: 0 suara seharusnya 1.020 suara selisih
1.020 suara. Jumlah selisih 2.179 suara.
Dengan demikian seluruhnya memiliki selisih 2.867 suara untuk kedua Kabupaten
tersebut.
Dari hitungan tersebut maka jumlah total keseluruhan untuk Kabupaten Ogan
Kemering Ulu Timur, yang semula 13.968 suara menjadi 14.658 suara dan jumlah total
keseluruhan untuk Kabupaten Ogan Kemering Ulu, yang semula 3.969 suara menjadi
6.143 suara.
Majelis Hakim (Mahkamah) berkesimpulan memang telah terjadi kesalahan
penghitungan di PPK-PPK bermasalah tersebut, yang memiliki selisih untuk Kabupaten
Ogan Komering Ulu Timur adalah sebesar 688 suara dan untuk Kabupaten Ogan
Komering Ulu adalah sebesar 2.179 suara, sehingga bila ditotal secara keseluruhan
untuk Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yang semula berjumlah 13.968 suara
menjadi 14.658 suara dan untuk Kabupaten Ogan Komering Ulu yang semula 3.968
suara menjadi 6.143 suara, sehingga secara keseluruhan total suara Pemohon II adalah
143.451 suara ditambah dengan selisih 2.867 suara menjadi 146.318 suara.
Setelah dilakukan pengecekan penghitungan oleh Majelis Hakim, maka perolehan
suara Steven Kusumanegara, SE., menjadi, untuk Kabupaten Ogan Komering Ulu
Timur semula 27.759 suara menjadi sebesar 23.309 suara dan untuk Kabupaten Ogan
Kemering Ulu semula 5.200 suara menjadi sebesar 3.912 suara, dengan demikian suara
Steven Kusumanegara, SE., secara nasional setelah dijumlahkan 500 suara dari daerah
Kota Pegaralam dan dikurang 4.450 suara dari daerah Kabupaten Ogan Komering
Ulu Timur serta dikurang 1.288 suara dari daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu,
sehingga jumlah suara Steven Kusumanegara menjadi 137.284 suara dengan demikian
tidak mempengaruhi terpilihnya Steven Kusumanegara sebagai Anggota DPD Provinsi
Sumatera Selatan, oleh karenanya Majelis Hakim harus menyatakan permohonan
Pemohon I tidak dapat diterima.
155 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon I tidak dapat
diterima dan mengabulkan permohonan Pemohon II. Serta, Mahkamah membatalkan
Penetapan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/TAHUN 2004, tanggal 5 Mei 2004
tentang Hasil Penghitungan suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Tahun 2004 secara nasional untuk daerah pemilihan Sumatera Selatan yang diumumkan
pada hari Rabu, tanggal 5 Mei 2004, sepanjang yang berkaitan dengan perolehan suara
Pemohon II (Ir. Ruslan Wijaya, SE, MSc), menetapkan hasil penghitungan suara
yang benar untuk Pemohon II (Ir. Ruslan Wijaya, SE, MSc) adalah 146.318 (seratus
empat puluh enam ribu tiga ratus delapan belas) suara. Untuk selanjutnya, mahkamah
memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan putusan ini.
156 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
157 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 011/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPRD DAERAH PEMILIHAN
MEDAN 2, PASAMAN BARAT 2, NIAS 1, NIAS 3, BENGKULU SELATAN III,
BEKASI IV KECAMATAN TAMBUN UTARA, SAMBAS 2, KAPUAS HULU 3,
DAN CALON ANGGOTA DPR DAERAH PEMILIHAN PAPUA
Pemohon : 1. Dr. Sjahrir; dan 2. Leksda TNI (Purn) Sumitro (bertindak atas
nama Partai Perhimpunan Indonesia Baru).
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR dan Anggota
DPRD.
Pokok Perkara : Penetapan hasil suara Pemilihan Umum Calon Anggota DPR
Daerah Pemilihan Papua dan Calon Anggota DPRD Daerah
Pemilihan Medan 2, Pasaman Barat 2, Nias 1, Nias 3, Bengkulu
Selatan III, Bekasi IV Kecamatan Tambun Utara, Sambas 2, dan
Kapuas Hulu 3.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon di daerah pemilihan Pasaman
Barat 2 untuk pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Pasaman Barat, daerah pemilihan Nias 1
untuk pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Nias, daerah pemilihan Nias 3 untuk pemilihan umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Nias,
daerah pemilihan Bengkulu Selatan III untuk pemilihan umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bengkulu
Selatan, daerah pemilihan Bekasi IV Kecamatan Tambun Utara
untuk pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Bekasi, daerah pemilihan Sambas 2 untuk pemilihan
umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Sambas, daerah pemilihan Kapuas Hulu 3 untuk pemilihan umum
158 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kapuas
Hulu, daerah pemilihan Papua untuk pemilihan umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
Menolak permohonan Pemohon di daerah pemilihan Medan 2 untuk
pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
Medan.
Tanggal Putusan : Selasa, 15 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon Dr. Sjahrir dan Leksda TNI (Purn) Sumitro masing-masing sebagai Ketua
dan Sekretaris Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) peserta Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun
2004.
Pemohon berkeberatan terhadap Surat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan
Nomor 270/2072/KPU-MDN/2004 mengenai hasil penghitungan suara untuk DPRD
Kota Medan pada Daerah Pemilihan Medan-2. Pemohon berpendapat bahwa hasil
penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan, sehingga sangat merugikan Pemohon,
yang mengakibatkan perolehan jumlah kursi Pemohon berkurang untuk Kota Medan.
Pemohon mendalilkan adanya kecurangan yang dilakukan oleh KPU Kota Medan
pada PPK Medan Tuntungan, dengan pengurangan jumlah suara sebanyak 1.054 suara.
Pemohon mendasarkan penghitungannya pada hasil pencatatan serta perolehan data
saksi Pemohon dan data riel PPK Medan Tuntungan sebanyak 1.612 suara, sedangkan
Rekapitulasi Hasil Perolehan Suara yang dikeluarkan KPU Kota Medan untuk PPK
Medan Tuntungan sebanyak 558 suara.
Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara KPU atas Pemilihan Umum
Anggota DPRD Daerah Pemilihan Pasaman Barat 2 terdapat kesalahan, sehingga sangat
merugikan Pemohon, yang mengakibatkan perolehan jumlah kursi Pemohon berkurang
untuk Kabupaten Pasaman Barat, khususnya PPK Kinali, Luhak Nan II, dan Sasak RP.
KPU menetapkan suara yang diperoleh PIB sebanyak 1.522 suara, sedangkan menurut
penghitungan Pemohon adalah sebanyak 1.778 suara.
Pemohon mengajukan Keberatan atas penetapan jumlah suara oleh KPU untuk
Daerah Pemilihan Nias 1 untuk Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Nias. KPU menetapkan
perolehan suara PIB adalah 1.737 suara, sedangkan menurut penghitungan Pemohon
adalah sejumlah 1.712 suara. Namun jumlah suara yang diperoleh partai lain justru
semakin besar. Sehingga jumlah kursi yang diperoleh oleh PIB menjadi berkurang,
karena salah penghitungan tersebut.
Pemohon keberatan atas penetapan jumlah suara oleh KPU untuk Daerah Pemilihan
Nias 3 untuk Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Nias. KPU menetapkan perolehan suara
159 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
PIB adalah 1.768 suara, sedangkan menurut penghitungan partai adalah sejumlah 1.765
suara. Dengan adanya perbedaan suara baik untuk PIB maupun partai lainnya posisi PIB
menjadi tergeser, sehingga tidak memperoleh kursi.
Untuk Daerah Pemilihan Bengkulu Selatan 3 Pemilu Anggota DPRD Kabupaten
Bengkulu Selatan, Pemohon mengajukan keberatan atas penetapan dari KPU. Pemohon
berpendapat terdapat kesalahan pada penjumlahan DA-1 untuk Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan (PNBK) di Daerah Pemilihan Bengkulu Selatan III Kecamatan Seginim
dan Daerah Pemilihan Bengkulu Selatan III Kecamatan Manna, yang mengakibatkan
perolehan kursi PIB menjadi berkurang.
Pemohon berkeberatan atas penetapan jumlah suara oleh KPU untuk Daerah
Pemilihan Bekasi IV Kecamatan Tambun Utara Pemilu Anggota DPRD Kabupaten
Bekasi. KPU menetapkan perolehan suara PIB adalah 1.235 suara, sedangkan menurut
penghitungan partai adalah sejumlah 7.067 juara.
Pemohon mendalilkan adanya perbedaan jumlah surat suara antara pengumuman
KPUD Kabupaten Sambas berdasarkan data jumlah TPS, Pemilih dan alamat TPS Pemilu
2004 Kecamatan Pemangkat. Hal ini sangat merugikan Partai PPIB karena menggeser
rangking Partai PIB sehingga tidak termasuk dalam partai politik yang memperoleh
kursi di DPRD Kabupaten Sambas. KPU menetapkan ada 30.358 surat suara yang
sah di Kabupaten Sambas, namun penghitungan Pemohon terdapat 43.224 pemilih di
Kabupaten Sambas.
Terhadap penetapan KPU untuk Daerah Pemilihan Kapuas Hulu 3 Pemilu Anggota
DPRD Kabupaten Kapuas Hulu, Pemohon mencermati terdapat kecurangan yang
dilakukan KPU Kabupaten Kapuas Hulu, yaitu pada penghitungan perolehan suara sah
oleh partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, dengan dihitungnya suara terhadap calon
legislatif dari partai yang bersangkutan yang telah mengundurkan diri sebagai suara
sah dan manipulasi angka perolehan suara dari calon legislatif tersebut. Hal ini sangat
merugikan PIB karena menggeser ranking PIB sehingga tidak termasuk dalam partai
politik yang memperoleh kursi di DPRD Kabupaten Kapuas Hulu.
Pemohon berkeberatan terhadap Rekapitulasi Hasil Pemilihan Suara Anggota DPR
secara nasional untuk Daerah Pemilihan Papua. KPU menetapkan jumlah suara untuk
PIB sebesar 34.429 suara, sedangkan menurut penghitungan Pemohon adalah sebesar
38.966 suara.
Menurut Mahkamah, perkara yang diajukan oleh Pemohon merupakan kewenangan
Mahkamah,berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf d jo. Pasal 74 dan Pasal 75 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 134 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD.
Terkait dengan legal standing dari Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa
160 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon sebagai Partai Politik perserta Pemilu Tahun 2004 sesuai dengan Salinan
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 678 Tahun 2003 tentang Penetapan Partai
Politik, oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003, Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk
bertindak sebagai Pemohon di dalam perkara perselisihan hasil Pemilu.
Mahkamah berpendapat, bahwa Pemohon tidak mengajukan keberatan sesuai
dengan tingkat proses penghitungan suara yang seharusnya, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, di
daerah pemilihan yang dinyatakan terdapat kesalahan penghitungan oleh Pemohon, yaitu
Pasaman Barat 2, Nias 1, Nias 3, Bengkulu Selatan III, Bekasi IV Kecamatan Tambun
Utara, Sambas 2, dan Kapuas Hulu 3, dan Papua. Dengan demikian permohonan
Pemohon terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Daerah Pemilihan ini tidak dapat
diterima.
Terkait dengan permohonan Pemohon di Daerah Pemilihan Medan 2, Mahkamah
berpendapat bahwa perbedaan perolehan suara, terjadi karena kesalahan cara
penghitungan suara yang dilakukan oleh PPK Kecamatan Medan Tuntungan, sehingga
KPU Kota Medan bersama Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kota Medan melakukan
penghitungan ulang berdasarkan data rekapitulasi PPS yang ada pada KPU Kota
Medan.
Mahkamah juga melakukan pemeriksaan setempat, yang hasilnya diperoleh fakta
dari data rekapitulasi pada tingkat PPS dari 9 (sembilan) Kelurahan di Kecamatan Medan
Tuntungan, perolehan suara Pemohon justeru lebih rendah dari pada yang didalilkan
Pemohon maupun hasil rekapitulasi KPU Kota Medan, selanjutnya meragukan kembail
keabsahan dokumennya oleh Pemohon. Namum Pemohon tidak dapat membuktikan
ketidakbenaran penghitungan KPU Kota Medan, seperti yang didalilkan Pemohon. Oleh
karenanya permohonan Pemohon untuk Daerah Pemilihan Medan 2 untuk Pemilihan
Umum Anggota DPRD Kota Medan harus ditolak.
Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon di Daerah Pemilihan Pasaman
Barat 2, Nias 1, Nias 3, Bengkulu Selatan III, Bekasi IV Kecamatan Tambun Utara,
Sambas 2, Kapuas Hulu 3 untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten setempat, serta Daerah Pemilihan Papua untuk Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Selanjutnya, Mahkamah menolak permohonan Pemohon di Daerah Pemilihan Medan 2
untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan.
161 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 012/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN
DAERAH (DPD) PESERTA PEMILIHAN UMUM 2004 UNTUK DAERAH PEMILIHAN
PROVINSI GORONTALO
Pemohon : Jufri Liputo.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum calon Anggota DPD Nomor urut
21 Daerah Pemilihan Provinsi Gorontalo.
Pokok Perkara : Keberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU),
tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Pemilihan Umum Tahun 2004
secara nasional yang diumumkan pada hari Rabu, tanggal 5 Mei
2004, Pukul 10.00 WIB untuk Daerah Pemilihan Provinsi Gorontalo.
Amar Putusan : Menolak permohonan Pemohon.
Tanggal Putusan : Selasa, 1 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) peserta Pemilihan
Umum Tahun 2004 untuk daerah pemilihan Provinsi Gorontalo yang terdaftar di Komisi
Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor
542/15/VII/2003, tanggal 14 Oktober 2003 tentang Pendaftaran dan Penelitian Peserta
Pemilu Anggota DPD sebagai Pemohon.
Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU), tanggal
5 Mei 2004 tentang Hasil Pemilihan Umum Tahun 2004 secara nasional yang diumumkan
pada hari Rabu, tanggal 5 Mei 2004, pukul 10.00 WIB untuk Daerah Pemilihan Provinsi
Gorontalo yang hasil penghitungannya adalah Calon DPD Nomor urut 21 memperoleh
8.055 suara.
Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan,
162 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sehingga merugikan Pemohon yang mengakibatkan tidak terpilih sebagai Anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) untuk Daerah Pemilihan Provinsi Gorontalo;.
Pemohon berpendapat bahwa penghitungan suara yang benar adalah untuk Calon
DPD Nomor urut 21 memperoleh 49.052 suara.
Pemohon mohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan dengan
mengabulkan permohonan Pemohon; menyatakan membatalkan hasil penghitungan
suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk daerah pemilihan
Provinsi Gorontalo; menetapkan hasil penghitungan suara yang benar untuk Daerah
Pemilihan Provinsi Gorontalo suara sah adalah 478.450 suara dan Calon DPD Nomor
urut 21 memperoleh 49.052 suara. Serta, Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan
Umum (KPU) untuk melaksanakan putusan ini.
Majelis Hakim berpendapat bahwa setelah membandingkan bukti yang diajukan oleh
Pemohon yang berupa Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Sah Anggota DPD Daerah
Pemilihan Provinsi Gorontalo dengan dokumen yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) yaitu Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004
tanggal 5 Mei 2004 ternyata tidak terjadi kesalahan dalam penghitungan suara yang
dilakukan oleh KPU atau dengan kata lain jumlah perolehan suara yang dikeluarkan oleh
KPU Provinsi Gorontalo adalah sama dengan jumlah suara yang ditetapkan oleh KPU
yaitu sejumlah 8.055.
Pemohon mengklaim bahwa perolehan suaranya adalah sebesar 49.052 suara,
namun Pemohon tidak menjelaskan darimana ia memperoleh angka tersebut dan juga
setelah Majelis meneliti dengan seksama bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon maka
menurut hemat Majelis tidak terdapat bukti-bukti yang dapat menguatkan dalil-dalil yang
dikemukan oleh Pemohon tersebut.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbagan tersebut di atas dan berdasarkan Pasal 77
ayat (4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka
Mahkamah harus menolak permohonan Pemohon.
163 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 013/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM CALON ANGGOTA DPD
DAERAH PEMILIHAN SULAWESI SELATAN
Pemohon : Moh. Alifuddin.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Pokok Perkara : Perselisihan jumlah suara antara hasil penghitungan Pemohon dan
KPU Provinsi Sulawesi Selatan.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan : Selasa, 18 Mei 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) peserta Pemilu
Tahun 2004 untuk Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan.
Pemohon berkeberatan atas penetapan hasil rekapitulasi KPU tentang hasil Pemilu
Tahun 2004 di Hotel Imperial Aryaduta pada hari Minggu tanggal 25 April 2004 jam 09.00
WITA untuk Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Selatan. Pemohon berpendapat bahwa
terdapat kesalahan dalam hasil penghitungan suara sehingga merugikan Pemohon
yang mengakibatkan tidak terpilih sebagai anggota DPD. Pemohon mendalilkan bahwa
telah terjadi selisih jumlah suara perolehan Pemohon di Kabupaten Pinrang, Kabupaten
Jeneponto, Kabupaten Bantaeng dan di beberapa kabupaten lainnya.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi membatalkan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU untuk Daerah Pemilihan Provinsi
Sulawesi Selatan; mengadakan penghitungan ulang hasil suara secara transparan dan
dihadiri serta ditandatangani oleh beberapa saksi termasuk Tim Kerja calon DPD; dan
menghukum/membatalkan calon DPD atau anggota KPPS, PPS, PPK, KPUD, KPU, dan
birokrat yang terbukti melakukan kecurangan atau money politic.
164 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Majelis Hakim Konstitusi berpendapat bahwa permohonan Pemohon termasuk
kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf d jo. Pasal 74, dan
75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Jo. Pasal 134
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
dan DPRD. Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan Pemohon di persidangan, Majelis
Hakim berpendapat bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing),
yaitu sebagai perseorangan warga negara Indonesia calon Anggota DPD peserta
Pemilihan Umum.
Setelah membandingkan bukti Pemohon yang berupa rekapitulasi hasil penghitungan
suara yang dikeluarkan oleh KPU Provinsi Sulawesi Selatan dengan dokumen yang
diajukan oleh KPU, Majelis Hakim Konstitusi tidak menemukan kesalahan penghitungan
suara yang dilakukan oleh KPU. Jumlah perolehan suara Pemohon yang dikeluarkan
KPU Provinsi Sulawesi Selatan sama dengan jumlah suara yang ditetapkan oleh
KPU. Meskipun Pemohon mendalilkan telah terjadi selisih jumlah suara dalam hasil
penghitungan, namun dalil Pemohon tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti otentik
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.
Menurut hasil penghitungan Majelis Hakim Konstitusi berdasarkan selisih suara
perolehan Pemohon yang tercatat dalam bukti Pemohon berupa rekapitulasi hasil
perolehan suara Pemohon yang dibuat oleh Sekretariat Tim Kerja Pemohon yaitu
sejumlah 5.955 suara tidak akan mempengaruhi terpilihnya Pemohon sebagai calon
anggota DPD Provinsi Sulawesi Selatan. Sebab, sekalipun dijumlahkan perolehan suara
Pemohon hanya berjumlah 69.651 suara sedangkan jumlah perolehan suara untuk calon
anggota DPD nomor 4 dari Provinsi Sulawesi Selatan adalah 175.697 suara.
Terkait dengan dugaan adanya kecurangan atau manipulasi yang dilakukan pihak-
pihak tertentu termasuk pihak penyelenggara Pemilu di Provinsi Sulawesi Selatan, Majelis
Hakim Konstitusi berpendapat bahwa sesuai Pasal 127 ayat (1) dan (2) UU Nomor 12
Tahun 2003 Pemohon dapat melaporkannya kepada Panwaslu dan selanjutnya dapat
diselesaikan oleh Panwaslu dan yang memiliki unsur pidana diteruskan kepada penyidik
sedang yang sifatnya administratif diteruskan ke KPU.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka permohonan Pemohon
dinyatakan tidak dapat diterima.
165 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 014-027/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM CALON ANGGOTA DPD
PROVINSI JAWA TENGAH
Pemohon : Perkara 014/PHPU.A-II/2004:
KH. Achmad Chalwani (Pemohon I).
Perkara 027/PHPU.A-II/2004:
Drs. Dahlan Rais M. Hum (Pemohon II).
Termohon : Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Tengah.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPD Provinsi Jawa
Tengah.
Pokok Perkara : Penetapan hasil suara Pemilihan Umum Calon Anggota DPD
Provinsi Jawa Tengah yang benar dan Pembatalan atas penetapan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan
Umum Calon Anggota DPD Provinsi Jawa Tengah.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II.
Tanggal Putusan : Selasa, 1 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon I bernama KH. Achmad Chalwani adalah perorangan warga negara
Indonesia, yang merupakan calon anggota DPD peserta Pemilihan Umum Tahun 2004
untuk Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Tengah yang telah terdaftar dengan Nomor
Peserta 15 di Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 270/91 tanggal 8 Oktober 2003 tentang
penyampaian hasil Penelitian Faktual Syarat Domisili dan Syarat Dukungan Calon
Anggota DPD. Pemohon II bernama Drs. Dahlan Rais M. Hum adalah peserta Pemilihan
Umum (Pemilu) 2004 untuk calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) daerah
pemilihan Provinsi Jawa Tengah dengan Nomor Peserta 37, yang terdaftar di Komisi
Pemilihan Umum.
166 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon I mengajukan perkara Nomor 014/PHPU.A-II/2004 dan Pemohon II
mengajukan perkara Nomor 027/PHPU.A-II/2004 mengenai permohonan perselisihan
hasil Pemilihan Umum Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Jawa
Tengah. Dalam permohonannya, para Pemohon menolak hasil penghitungan suara
Pemilihan Umum Calon Anggota DPD Provinsi Jawa Tengah yang diumumkan oleh
Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Tengah.
Para Pemohon mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum
kepada Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan hasil suara Pemilihan Umum Calon
Anggota DPD Provinsi Jawa Tengah yang benar dan pembatalan atas penetapan hasil
penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU Calon Anggota DPD Provinsi Jawa
Tengah.
Penetapan KPU Nomor 270/399 tanggal 27 April 2004 terhadap hasil penghitungan
suara calon Anggota DPD Provinsi Jawa Tengah diumumkan secara nasional, antara
lain :
Dra. Hj. Nasah Sahal (4) dengan perolehan sejumlah 1.767.178; 1.
Ir. H. Budi Santoso (47) dengan perolehan sejumlah 1.043.376; 2.
Drs. H. Sudharto, MA (40) dengan perolehan sejumlah 1.007.669; 3.
Drs. H. Dahlan Rais, M.Hum (37) dengan perolehan sejumlah 894.271 4. ;
KH. Achmad Chalwani (15) dengan perolehan sejumlah 875.710 5. .
Para Pemohon menilai hasil Penetapan KPU tersebut telah terjadi kekeliruan
atau kesalahan, sehingga para Pemohon tidak terpilih menjadi Anggota DPD Jawa
Tengah. Berdasarkan Berita Acara Hasil Rekapitulasi terdapat selisih penghitungan
suara Pemilihan Umum Calon Anggota DPD Provinsi Jawa Tengah di 5 kabupaten
karena terdapat kesalahan penulisan perolehan suara, yakni Kabupaten Purbalingga,
Kabupaten Grobogan, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Semarang, dan
Kabupaten Purworejo. Pada Kabupaten Purbalingga, khususnya PPK Kecamatan
Bukateja, PPK Kecamatan Pengadegan dan PPK Kecamatan Kaligondang,
Kabupaten Grobogan, Kecamatan Pulo Kulon, khususnya pada data yang tertulis
di KPU Provinsi Jawa Tengah, di PPK Kec. Kalibawang dan PPK. Kec. Kepil, Kab.
Wonosobo, khususnya pada data yang tertulis di KPUD Kab. Wonosobo, di PPK
Kec. Bergas, khususnya pada data yang tertulis di KPUD Kab. Semarang, dan
adanya kesalahan dalam penjumlahan suara PPK Kec. Bener (PPS Kaliwader, PPS
Pekacangan, PPS Jati), PPK Kec. Butuh, PPK Kec. Grabag, PPK. Kec. Kutoarjo,
Kabupaten Purworejo, yang mempengaruhi jumlah perolehan suara Pemohon I.
Sedangkan Pemohon II menyatakan terdapat selisih hasil penghitungan suara di
10 Kabupaten, yakni kesalahan dalam penulisan perolehan suara pada rekapitulasi
yang dibuat oleh KPUD Kabupaten Purbalingga untuk Kecamatan Bukateja dan
Kecamatan Karangmoncol yang merugikan jumlah perolehan suara sebanyak 1.732
suara, terjadi kesalahan dalam penjumlahan dan penulisan perolehan suara oleh
167 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
KPUD Kab. Purworejo, khususnya PPK Kecamatan Bener, PPK Kecamatan Butuh,
PPK Kecamatan Purwodadi dan PPK Kecamatan Grabag yang menyebabkan
berkurangnya perolehan suara sebanyak 276 suara, terjadi kesalahan dalam
penulisan rekapitulasi perolehan suara yang dibuat PPK Kecamatan Sapuran
dan PPK Kecamatan Kepil, wilayah Kabupaten Wonosobo yang menyebabkan
berkurangnya perolehan suara sebanyak 306 suara, terjadi kesalahan dalam
penjumlahan dan penulisan perolehan suara dalam rekapitulasi perolehan suara
yang dibuat KPUD Kab. Pemalang, khususnya PPK Kecamatan Warungpring, PPK
Kecamatan Pulosari, PPK Kecamatan Ulujami yang menyebabkan berkurangnya
perolehan suara sebanyak 443 suara, terjadi kesalahan dalam penulisan rekapitulasi
perolehan suara yang dibuat PPS Kemambang, Kecamatan Banyubiru, wilayah
Kabupaten Semarang yang menyebabkan berkurangnya perolehan suara sejumlah
89 suara, terjadi kesalahan dalam penjumlahan dan penulisan perolehan suara
dalam rekapitulasi perolehan suara yang dibuat KPUD Kab. Blora, khususnya PPK
Kecamatan Blora, PPK Kecamatan Sonorejo yang menyebabkan berkurangnya
perolehan suara sebanyak 152 suara, terjadi kesalahan dalam penjumlahan dan
penulisan perolehan suara dalam rekapitulasi perolehan suara yang dibuat KPUD
Kab. Klaten, khususnya PPK Kecamatan Wedi yang menyebabkan berkurangnya
perolehan suara sebanyak 630 suara, terjadi kesalahan dalam penjumlahan dan
penulisan perolehan suara dalam rekapitulasi perolehan suara yang dibuat KPUD
Kab. Grobogan, khususnya PPK Kecamatan Pulokulon yang menyebabkan
berkurangnya perolehan suara sebanyak 118 suara, terjadi kesalahan dalam
penjumlahan dan penulisan perolehan suara dalam rekapitulasi perolehan suara
yang dibuat KPUD Kab. Batang, khususnya PPK Kecamatan Grinsing (PPS Lebo),
PPK Kecamatan Batang (PPS Proyongganan Utara, dan PPS Proyongganan
Selatan) yang menyebabkan berkurangnya perolehan suara sebanyak 173 suara,
dan terjadi kesalahan dalam penjumlahan dan penulisan perolehan suara dalam
rekapitulasi perolehan suara yang dibuat KPUD Kab. Banyumas, khususnya PPK
Kecamatan Sumpiuh, PPS Pandak yang menyebabkan berkurangnya perolehan
suara sebanyak 98 suara.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi menyangkut Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Jo. Pasal 10 ayat (1) huruf d Jo. Pasal
74 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut UU MK). Oleh karena itu, Majelis Hakim berpendapat, permohonan Pemohon I
dan Pemohon II termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Pemohon I dan Pemohon II adalah perorangan warga negara Indonesia, yang
merupakan calon anggota DPD peserta Pemilihan Umum Tahun 2004 untuk Daerah
Pemilihan Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu, para Pemohon memenuhi syarat
kedudukan hukum (legal standing) dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK).
168 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalil Pemohon I bahwa terjadi kekeliruan
atau kesalahan dalam hasil penghitungan suara Pemilihan Umum Calon Anggota DPD
Provinsi Jawa Tengah di Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Grobogan, Kabupaten
Wonosobo, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Purworejo adalah terbukti dan
benar. Sedangkan, dalil Pemohon II di Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo,
Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Blora,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Batang, dan Kabupaten Banyumas
adalah terbukti dan benar. Namun, terhadap dalil Pemohon II di Kabupaten Wonosobo
untuk Kec. Kepil tidak dipertimbangkan (219 suara) sehingga dalil Pemohon II ditolak.
Dalam putusannya, Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon
II, menyatakan batal Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 44/SK/KPU/2004
tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota dalam Pemilu Tahun 2004, lampiran II/13 Hasil penghitungan suara
Anggota DPD dalam Pemilu Tahun 2004 Provinsi Jawa Tengah sepanjang menyangkut
hasil penghitungan suara bagi para Pemohon, dan menetapkan hasil penghitungan suara
yang benar sebagai berikut :
Pemohon I : K.H. Achmad Chalwani = 881.050 suara
Pemohon II : Drs. Dahlan Rais, M.Hum. = 880.774 suara.
Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan kepada KPU untuk melaksanakan Putusan
Nomor 014-027/PHPU.A-II/2004 ini.
169 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 015/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004 UNTUK CALON ANGGOTA DPR,
DPRD, DPRD I DAN DPRD II DARI PARTAI NASIONAL BANTENG KEMERDEKAAN
Pemohon : 1. Erros Djarot; 2. Suhardi Sudiro, Ir,MSc.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sejumlah Daerah di Indonesia
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2004 untuk Calon
Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan disejumlah wilayah.
Pokok Perkara : Penetapan hasil suara Pemilihan Umum Tahun 2004 untuk Calon
Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan di sejumlah wilayah yang benar dan Pembatalan
atas penetapan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
Komisi Pemilihan Umum.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Jumat,11 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal yang bertindak untuk dan
atas nama Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, peserta pemilihan umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004 yang merasa dirugikan atas penghitungan KPU dan
KPUD di berbagai wilayah.
Pemohon berkeberatan terhadap sejumlah penghitungan hasil suara yang
dikeluarkan oleh KPU. Pertama, Pemohon berkeberatan terhadapan Penetapan Komisi
Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Gianyar Bali Tentang Hasil Penghitungan Suara
Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten Gianyar Tahun 2004 secara nasional untuk
Daerah Pemilihan Gianyar 3 Kabupaten Gianyar yang disebut oleh KPU adalah 2.145
suara namun menurut Pemohon adalah 2.166.
170 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Kedua, Pemohon berkeberatan atas Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun
2004 , suara PNBK untuk Daerah Pemilihan 1 Jembrana Provinsi Bali, adalah 2.093
suara yang seharusnya 2.295 suara.
Ketiga, Pemohon berkeberatan atas Keputusan Sidang Pleno KPU Provinsi
Sumatera Utara Untuk Pemilihan Anggota DPRD Provinsi yang hasil penghitungannya
menyebutkan bahwa PNBK untuk Provinsi Sumatera Utara Tahun 2004, Daerah
Pemilihan Sumatera Utara 9 Simalungun, Pematang Siantar adalah sebanyak 21.022
suara. Padahal Pemohon mendalilkan bahwa hasil suara yang benar adalah 21.572
suara.
Keempat, bahwa menurut hasil rekapitulasi penghitungan suara KPU PNBK untuk
Daerah Pemilihan 2, Binjai Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara memperoleh 1.565 suara,
sedang untuk Daerah Pemilihan 3 Binjai, PNBK memperoleh 1.678 suara. Namun dengan
adanya penambahan suara untuk Partai Golongan Karya, Partai Demokrat dan Partai
Bintang Reformasi tersebut peringkat Partai Nasional Banteng Kemerdekaan menjadi
menurun sehingga tidak memperoleh kursi dari sisa suara untuk Daerah Pemilihan 2 dan
3 Binjai.
Kelima, Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Nomor : 44/SK/KPU/2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Anggota DPR, DPD,
DPRD Tahun 2004 secara nasional untuk provinsi Sumatera Utara Daerah Pemilihan 2
(dua) Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Deli Serdang Daerah Pemilihan 3 (tiga)
yang hasil penghitungan menyatakan bahwa PNBK mendapatkan 13.115 suara. Menurut
Pemohon, hasil suara yang benar bagi PNBK adalah 15.451 sehingga PNBK berhak
mendapatkan satu kursi.
Keenam, Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Nomor 44/SK/KPU/2004 yang hasil penghitungannya menyatakan hasil perolehan
PNBK mendapat 2.283 suara, sedangkan menurut Pemohon hasil perolehannya adalah
2.472 suara.
Ketujuh, Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan KPU tentang Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR-RI Tahun 2004 Rekapitulasi
Hasil Penghitungan Suara Komisi Pemilihan Umum Untuk Pemilihan Umum Anggota
DPR Nomor 54/15-BA/IV/2004, dengan penghitungan perolehan suara PNBK dan
Partai Bintang Reformasi untuk Provinsi Kalimantan Barat sebesar 72.639 dan 68.943.
sedangkan menurut Pemohon jumlah suara yang benar bagi PNBK adalah 89.236 suara,
dan PBR sebesar 58.243 suara.
Kedelapan, Pemohon berkeberatan terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 01/V/KPU-GM tentang Hasil Penghitungan Suara Anggota DPR,DPD,DPRD Tahun
2004 secara nasional untuk Daerah Pemilihan Gunung Mas 2 yang hasil penghitungan
menyatakan PNBK mendapatkan 684 suara yang menurut Pemohon seharusnya adalah 1.117
suara.
Kesembilan, Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum
171 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Nomor 44/SK/KPU/2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota
DPRD Tahun 2004 secara nasional yang hasil penghitungannya menyatakan bahwa
suara partai Pemohon untuk Daerah Pemilihan 1 Tapanuli Utara yang dalam penghitungan
oleh KPU Kabupaten Tapanuli Utara sebesar 1.691 suara. Namun menurut Pemohon
harusnya sebesar 1.717 suara.
Kesepuluh, Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 44/SK/KPU/2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota
DPRD Tahun 2004 secara nasional seharusnya adalah 1.475 suara namun oleh PPK
dikurangi sebesar 434 sehingga tidak memperoleh satu kursi.
Kesebelas, bahwa dapat disampaikan pula perolehan suara partai Pemohon sebelum
pengumuman KPU Kota Sibolga berdasarkan data perolehan di TPS-TPS Daerah
Pemilihan terdapat suara sebanyak lebih dari 773 suara. Setelah pengumuman oleh
KPU Kota Sibolga menjadi hanya 653 suara. Sementara itu perolehan Partai Merdeka
pada TPS-TPS hanya memperoleh 574 suara dan setelah pengumuman KPUD Kota
Sibolga menjadi membengkak menjadi 690 suara. Dengan demikian patut diduga suara
PNBK yang berkurang sebanyak 57 suara tersebut lari ke Partai Merdeka. Sehingga
calon legislatif dari partai Merdeka menjadi calon legislatif tetap dengan menggeser calon
legislatif dari partai Pemohon Kota Sibolga.
Kedua belas, menurut Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara KPU Suara untuk
Partai Nasional Banteng Kemerdekaan Daerah Pemilihan Provinsi Papua sebanyak
52.510 suara yang menurut Pemohon adalah 47.013 yang berarti telah ada penambahan
suara.
Ketiga belas, Pemohon sangat berkeberatan terhadap Penetapan KPU sebagaimana
termaktub dalam Berita Acara dan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Komisi
Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 83/1-BA/IV/2004 dengan perolehan
suara partai Pemohon adalah 63.767 suara. Sedangkan menurut Pemohon, total
perolehan suara partai Pemohon untuk Daerah Pemilihan Sulawesi Tenggara adalah
67.587 suara dan berhak mendapatkan 1 kursi di DPR Republik Indonesia.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf d jo. Pasal 74 dan Pasal 75 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 134 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon termasuk kewenangan
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan bukti Pemohon berupa Salinan Keputusan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 678 Tahun 2003 tentang Penetapan Partai Politik Sebagai Peserta Pemilihan
Umum Tahun 2004 bertanggal 7 Desember 2003, Pemohon adalah partai politik sebagai
peserta pemilihan umum tahun 2004, maka oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal
74 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003, Pemohon mempunyai kedudukan hukum
172 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon di dalam perkara permohonan a quo.
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah memutuskan untuk mengabulkan
permohonan Pemohon untuk sebagian; Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 5 Mei 2004 sepanjang menyangkut
perolehan suara Partai Nasional Banteng Kemerdekaan untuk : (1) Calon Anggota Dewan
Perkawilan Rakyat Daerah Kabupaten Gianyar dari Daerah Pemilihan 3 Gianyar, (2) Calon
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai dari Daerah Pemilihan 2 Binjai
dan perolehan suara Partai Golongan Karya untuk Calon Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kota Binjai dari Daerah Pemilihan 2 Binjai; menetapkan perolehan suara
yang benar bagi Partai Nasional Banteng Kemerdekaan untuk : (1) Calon Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Gianyar di Daerah Pemilihan 3 Gianyar adalah
2.166 suara, (2) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai di Daerah
Pemilihan 2 Binjai adalah 1.565 suara, dan perolehan suara untuk Partai Golkar di Daerah
Pemilihan 2 Binjai adalah 8.206 suara. Serta, menyatakan permohonan Pemohon untuk
: (1) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah Pemilihan 2 dan
3 Kabupaten Deli Serdang, (2) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Daerah
Pemilihan Kalimantan Barat, (3) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari
Daerah Pemilihan 2 Kota Sibolga, tidak dapat di terima (niet ontvankelijk verklaard);
menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya; dan memerintahkan Komisi Pemilihan
Umum untuk melaksanakan putusan ini.
173 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 016/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM
PEROLEHAN SUARA PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN
Pemohon : 1. Dr. H. Hamzah Haz; 2. H.M. Yunus Yosah.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD.
Pokok Perkara : Penetapan hasil suara Pemilihan Umum Tahun 2004 untuk Partai
Persatuan Pembangunan.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Kamis, 17 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal, bertindak untuk dan atas
nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Peserta Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD Tahun 2004.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa permohonan Pemohon termasuk kewenangan
MK. Penilaian ini didasarkan pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1)
huruf d, Pasal 74 UU MK jo. Pasal 134 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Setelah memeriksa bukti-bukti dan keterangan yang diberikan Pemohon, Mahkamah
menilai Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud
Pasal 74 ayat (1) huruf c UU MK yaitu sebagai partai politik peserta pemilu.
Pertimbangan dan putusan MK terhadap permohonan Pemohon tersebut di bawah ini.
I. Daerah Pemilihan 6, DPRD Kabupaten Magelang
Berdasarkan Rekapitulasi Penghitungan Suara Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Magelang dari Daerah Pemilihan 6 memperoleh sebanyak 23.052 suara, yang berasal
174 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dari Kecamatan Secang 3.571 suara, Kecamatan Grabag 11.710 suara dan Kecamatan
Ngablak 7.771 suara.
Pemohon mendalilkan untuk Daerah Pemilihan 6 Kabupaten Magelang seharusnya
jumlah perolehan suara adalah 23.124 suara, dengan demikian terdapat selisih 72 suara.
Menurut Pemohon, kesalahan penghitungan jumlah perolehan suara PPP terjadi pada
PPS Desa Candisari sebanyak 26 suara, PPS Pirikan sebanyak 8 suara dan PPS
Jambewangi sebanyak 40 suara.
Setelah memeriksa, meneliti, dan mempertimbangkan alat-alat bukti yang
disampaikan baik oleh Pemohon maupun KPU untuk perolehan suara Pemilu Anggota
DPRD di Daerah Pemilihan 6 Kabupaten Magelang (Kecamatan Secang, Kecamatan
Grabag dan Kecamatan Ngablak) Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon telah dapat
membuktikan kebenaran dalil permohonannya, oleh karena itu permohonan Pemohon
harus dikabulkan.
II. Daerah Pemilihan Karimun
Pemohon mendalilkan telah terjadi penggelembungan suara pada tingkat PPK
Kecamatan Meral untuk DPR sebanyak 7.823, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
sebanyak 921, DPRD Kabupaten sebanyak 1.086, PPK Kecamatan Kundur Barat untuk
DPR sebanyak 37 suara, PPK Kecamatan Kundur Utara untuk DPR sebanyak 4 suara,
dan PPK Kecamatan Buru untuk DPR sebanyak 55 suara.
Pemohon hanya menyampaikan alat bukti berupa Surat dari DPC PPP Kabupaten
Karimun No. 50/DPC PPP/Krm/IV/2004 tertanggal 26 April 2004 yang ditandatangani
oleh Zakaria Usman (Ketua DPC PPP) dan H.Eriyawanto, S.H. (Sekretaris DPC PPP)
ditujukan kepada DPP PPP di Jakarta (bukti P-1) yang tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 99 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan berdasarkan Pasal
77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, maka Mahkamah berpendapat
bahwa Pemohon tidak dapat membuktikan kebenaran dalil permohonannya, sehingga
permohonan Pemohon harus ditolak.
III. Daerah Pemilihan Anggota DPR Kepulauan Riau
Setelah Mahkamah memeriksa, meneliti, dan mempertimbangkan alat-alat bukti
yang disampaikan baik oleh Pemohon maupun KPU untuk perolehan suara Pemilu
Anggota DPRD di Daerah Pemilihan Kepulauan Riau, Mahkamah berkesimpulan bahwa
Pemohon hanya mengajukan alat bukti berupa Surat dari DPC PPP Kabupaten Karimun
No. 50/DPC PPP/Krm/IV/2004 tertanggal 26 April 2004 yang ditandatangani oleh Zakaria
Usman (Ketua DPC PPP) dan H. Eriyawanto, S.H. (Sekretaris DPC PPP) ditujukan
kepada DPP PPP di Jakarta (bukti P-1) yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 99
ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan berdasarkan Pasal
175 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, maka Mahkamah harus menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
III. Daerah Pemilihan 1 DPRD Kabupaten Aceh Tenggara
Permohonan untuk Daerah Pemilihan 1 Aceh Tenggara diterima Mahkamah lewat 3 x 24 jam
setelah KPU mengumumkan hasil pemilihan umum secara nasional. Mahkamah berpendapat
permohonan tersebut tidak sesuai ketentuan Pasal 74 ayat (3) UU MK sehingga permohonan
Pemohon tidak dapat diterima.
Daerah Pemilihan 2 DPRD Aceh Tenggara
Pemohon menyatakan perolehan suaranya di Dapil 2 Aceh Tenggara untuk Daerah
Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Aceh Tenggara adalah
666 suara (sebagaimana tercantum dalam Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/TAHUN
2004, tanggal 5 Mei 2004 untuk DPRD Kabupaten Aceh Tenggara) ditambah dengan
selisih perolehan suara di Kecamatan Bambel sebanyak 89 suara menjadi 755 suara,
Mahkamah berpendapat bahwa jumlah suara tersebut dapat memberikan 1 (satu) kursi
kepada Pemohon.
Tetapi karena alat-alat bukti Pemohon tidak dapat dijadikan dasar yang memperkuat
dalil Pemohon karena bukan merupakan bukti perolehan suara yang sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004, maka Mahkamah harus menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Daerah Pemilihan 3 DPRD Aceh Tenggara
Permohonan Pemohon mengenai Dapil 3 Aceh Tenggara diterima MK lewat 3 x 24
jam setelah pengumuman hasil pemilihan umum secara nasional oleh KPU. Hal tersebut
tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 74 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, serta berdasarkan Pasal 77 ayat (1)
UU MK, permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
IV. Daerah Pemilihan 3 Sulawesi Tengah Kabupaten Parigi Mountong
Pemohon menyatakan perolehan suaranya di Dapil 3 Sulawesi Tengah untuk
Pemilihan Umum Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah adalah 15.263 suara
(sebagaimana tercantum dalam Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004, Tanggal
5 Mei 2004 untuk DPRD Provinsi Sulawesi Tengah) ditambah selisih perolehan suara di
Kabupaten Parigi Mountong sebanyak 23.024 suara menjadi 38.287 suara. Jumlah suara
tersebut dapat memberikan 1 (satu) kursi lagi sehingga perolehan Pemohon menjadi 2
(dua) kursi.
Setelah memeriksa, meneliti, dan mempertimbangkan alat-alat bukti yang
disampaikan baik oleh Pemohon maupun KPU untuk perolehan suara Pemilu Anggota
DPRD Provinsi Sulawesi Tengah di Daerah Pemilihan 3 Sulawesi Tengah, Mahkamah
berpendapat alat-alat bukti Pemohon tidak dapat dijadikan dasar yang memperkuat dalil
Pemohon karena bukan merupakan bukti perolehan suara yang sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 77 ayat
176 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(1) UU MK, maka Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
V. Daerah Pemilihan 4 DPRD Kabupaten Aceh Selatan
Alat-alat bukti yang disampaikan oleh Pemohon untuk mendukung permohonan
Pemohon hanya berupa keterangan saksi dan bukan Berita Acara dan Sertikat Rekapitulasi
Hasil Pemilu PPK yang memenuhi ketentuan perundang-undangan, khususnya Pasal 98
ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, maka Mahkamah berpendapat alat-alat
bukti yang diajukan Pemohon tersebut tidak dapat dipertimbangkan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan berdasarkan Pasal
77 ayat (4) UU MK, permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
VI. Daerah Pemilihan 5 Kabupaten Karawang
Permohonan untuk Dapil 5 Kabupaten Karawang tidak menyatakan hal yang
dimohonkan secara jelas (obscuur libel), maka berdasarkan Pasal 77 ayat (1) UU MK,
permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
VII. Daerah Pemilihan 1 DPRD Kabupaten Maluku Tenggara
Pemohon dalam permohonannya menyatakan bahwa telah terjadi kesalahan
penghitungan oleh KPU untuk Dapil 1 Maluku Tenggara Pemilu Anggota DPRD
Kabupaten Maluku Tenggara dimana dalam Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun
2004 Pemohon tercatat memperoleh 1.074 suara. Sedangkan Pemohon mendalilkan
seharusnya adalah 1.842 suara dan Pemohon memperoleh 1 (satu) buah kursi di
Dapil 1 Maluku Tenggara. Pemohon tidak mengajukan alat-alat bukti yang cukup untuk
dipertimbangkan. Dengan demikian permohonan Pemohon harus ditolak.
VIII. Daerah Pemilihan Selayar
Pemohon mendalilkan telah terjadi kesalahan penghitungan suara di Kecamatan
Pasimasunggu yang meliputi Desa Bonto Malling 3 TPS yaitu TPS I, TPS II dan TPS III,
dalam penghitungan awal ditingkat PPK adalah 117 suara setelah penghitungan ulang
menjadi 159 suara; Desa Bonto Baru 6 TPS dalam penghitungan awal 343 suara setelah
penghitungan ulang menjadi 349 suara; dan Desa Bonto Bulaeng dalam penghitungan
awal 80 suara dalam penghitungan ulang menjadi 78 suara.
Pemohon mendalilkan perolehan suara di Kabupaten Pasimasunggu adalah 953
suara dan di Kecamatan Takabonerate 95 suara, sehingga perolehan suara di 2 (dua)
kecamatan adalah 1.048 suara. Sedangkan perolehan suara Pemohon yang tercatat di
KPU Kabupaten/Kota adalah 1.002 suara.
Pemohon juga mendalilkan di TPS III Desa Bonto Malling Kecamatan Pasimasunggu
hanya diakui 63 suara sedangkan menurut Pemohon adalah 93 suara. Setelah diadakan
penghitungan ulang di TPS III perolehan suara Pemohon 139 suara.
Pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk menetapkan
perolehan suara di TPS III yang meliputi Desa Bonto Malling, Desa Bonto Baru dan Desa
Bonto Bulaeng sejumlah 139 (seratus tiga puluh sembilan) suara.
177 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa sebagian bukti
yang diajukan Pemohon merupakan bukti tertulis Pemohon yang tidak dapat dijadikan
dasar untuk memperkuat dalil Pemohon. Sementara bukti-bukti yang lain merupakan
Hasil Penghitungan Suara yang dibuat tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 96 ayat (5),
97 ayat (5) , 98 ayat (5) dan 99 ayat (7) UU Nomor 12 Tahun 2003, sehingga tidak dapat
dijadikan dasar untuk memperkuat dalil Pemohon.
Karena Pemohon tidak dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil permohonannya
sehingga berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK maka Mahkamah menyatakan
permohonan Pemohon harus ditolak.
IX. Daerah Pemilihan 4 DPRD Kabupaten Kerinci
Pemohon mendalilkan pada Daerah Pemilihan 4 (Kabupaten Kerinci), angka perolehan
suara untuk Partai PNI Marhaenisme berdasarkan penetapan KPU Kabupaten Kerinci
10.062 suara telah terdapat kesalahan sehingga merugikan PPP yang mengakibatkan
tidak memperoleh kursi karena beralih kepada partai PNI Marhaenisme.
Berdasarkan hasil temuan Panwaslu terhadap Rekapitulasi Hasil penghitungan
Suara Partai PNI Marhaenisme di Kecamatan Gunung Kerinci dari 25 Desa/Kelurahan
dengan 91 TPS terdapat penggelembungan suara pada tingkat PPK adalah 4.770
- 4.417 = 353 suara, sedangkan di tingkat PPS adalah 4.417 - 3.503 = 914 suara
sehingga dalam penjumlahan pada tingkat TPS ke tingkat PPK penggelembungan
suara berjumlah 353 + 914 = 1.267 suara.
Berdasarkan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi untuk Daerah Pemilihan 4 Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi
Model DB DPRD Provinsi tercantum jumlah perolehan dari 11 PPK untuk partai PNI
Marhaenisme sebanyak 10.062.
Mahkamah menimbang, jika permohonan Pemohon dikabulkan maka akan
mendapatkan 1 (satu) kursi tambahan dari sisa suara. Selain itu Pemohon, Ramli Taha
(Wakil Ketua DPC PPP Kabupaten Kerinci) telah mengadukan permasalahan tersebut di
atas kepada Panwaslu melalui surat bertanggal 26 April 2004; dan Ketua KPU Kabupaten
Kerinci mengakui terjadinya penggelembungan perolehan suara Partai PNI Marhaenisme
untuk DPRD Provinsi Jambi dari PPS ke PPK Gunung Kerinci sebanyak 1.267 suara.
Setelah Mahkamah memeriksa, meneliti, dan mempertimbangkan, alat-alat bukti
yang disampaikan Pemohon di dalam persidangan ternyata tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 98 ayat (5) UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Dengan
demikian berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK, Mahkamah menyatakan permohonan
Pemohon harus ditolak.
X. Daerah Pemilihan Lombok Timur
Pemohon menyatakan telah terjadi kesalahan penghitungan oleh KPU untuk Daerah
Pemilihan 4 Nusa Tenggara Barat Pemilu Anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat
178 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dimana dalam Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/TAHUN 2004 Pemohon tercatat
memperoleh 38.216 suara. Terhadap perolehan suara tersebut, Pemohon menyatakan
dalam permohonannya bahwa jumlah suara Pemohon yang seharusnya adalah 479
suara lebih banyak, hal mana dapat memastikan Pemohon untuk memperoleh 1 (satu)
buah kursi tambahan. di daerah pemilihan tersebut.
Mahkamah menilai bahwa alat-alat bukti yang diajukan oleh Pemohon tidak
meyakinkan, maka Mahkamah berpendapat bahwa kesalahan oleh KPU dalam
melakukan rekapitulasi hasil Pemilu Anggota DPRD Provinsi NTB di Dapil 4 NTB tidak
terbukti; sehingga berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK Permohonan harus ditolak.
XI. Daerah Pemilihan 2 DPRD Kabupaten Sintang
Setelah memeriksa, meneliti, dan mempertimbangkan alat-alat bukti yang
disampaikan baik oleh Pemohon maupun KPU untuk perolehan suara Pemilu DPRD
Kabupaten Sintang di Daerah Pemilihan 2 Sintang, Mahkamah berkesimpulan bahwa
hilangnya suara Pemohon di daerah pemilihan tersebut sebanyak 55 suara tidak
mempengaruhi perolehan kursi Pemohon sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 74
ayat (2) butir c UU MK. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dan berdasarkan
Pasal 77 ayat (1) UU MK, maka Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak
dapat diterima.
XII. Daerah Pemilihan1 Buton DPRD Kabupaten Buton
Berdasarkan Lampiran IV/27.7 Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor
44/SK/KPU/TAHUN 2004 tertanggal 5 Mei 2004 dan data perolehan suara DB-1 DPRD
Kabupaten yang dibuat oleh KPU Kab. Buton tertanggal 5 Mei 2004, Pemohon dinyatakan
memperoleh 3.138 suara di Dapil Buton 1 untuk Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Buton
sehingga Pemohon tidak memperoleh satu buah kursi pun di daerah pemilihan tersebut.
Pemohon dalam permohonannya memohon pada Mahkamah untuk menetapkan
perolehan suaranya menjadi 4.471 suara, jumlah mana dapat memberikan 1 (satu) kursi
kepada Pemohon di daerah pemilihan tersebut;
Setelah memeriksa, meneliti, dan mempertimbangkan bukti-bukti baik yang
disampaikan oleh Pemohon maupun KPU, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun
KPU Kabupaten Buton telah memberikan kesempatan kepada partai politik untuk
melakukan pengecekan ulang terhadap data Model C-2 di PPK maupun PPS, Mahkamah
berpendapat bahwa hasil pengecekan ulang partai politik tersebut tidak meyakinkan
karena tidak ditandatangani Ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota PPK
atau PPS sesuai dengan ketentuan Pasal 97 ayat (5) dan Pasal 98 ayat (5) UU MK.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan berdasarkan Pasal 77 ayat (4)
UU MK, maka Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Daerah Pemilihan 1 DPRD Kabupaten Wakatobi
Permohonan mengenai Dapil Wakatobi 1 disampaikan kepada Mahkamah melebihi
tenggat waktu 3 x 24 jam. Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon menyangkut
179 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dapil 1 Wakatobi untuk Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Wakatobi tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 74 ayat (3) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK Nomor 04/PMK/2004.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan berdasarkan Pasal 77 ayat (1)
UU MK, maka Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
XIII. Daerah Pemilihan 2 DPRD Provinsi DKI Jakarta
Pemohon dalam permohonannya menyatakan telah terjadi kesalahan penghitungan
oleh KPU untuk Daerah Pemilihan 2 DKI Jakarta Pemilu Anggota DPRD Provinsi DKI
Jakarta dimana dalam Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/TAHUN 2004 Pemohon tercatat
memperoleh 81.084 suara. Terhadap perolehan suara tersebut, Pemohon menyatakan
dalam permohonannya bahwa jumlah suara Pemohon yang seharusnya adalah 81.567
suara, keadaan mana dapat memastikan Pemohon untuk memperoleh 1 (satu) buah kursi
di daerah pemilihan tersebut. Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon
telah memenuhi ketentuan Pasal 74 ayat (2) huruf c UU MK.
Mahkamah berpendapat telah terjadi kesalahan penghitungan suara yang dilakukan
oleh KPU dan kesalahan ini telah diakui oleh KPU Provinsi DKI Jakarta dalam persidangan
pada hari Kamis, 27 Mei 2004.
Berdasarkan penghitungan di atas, perolehan suara Pemohon yang benar adalah
81.605 suara sehingga Pemohon dapat membuktikan dalil permohonannya dan
memperoleh tambahan 1 (satu) kuris. Berdasarkan Pasal 77 ayat (2) UU MK, Mahkamah
harus mengabulkan permohonan Pemohon.
XIV. Kabupaten Lombok Tengah
Pemohon menyatakan bahwa telah terjadi kesalahan penghitungan oleh KPU untuk
Dapil 3 Lombok Tengah dimana dalam Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004
Pemohon tercatat memperoleh 2.330 suara. Menurut Pemohon, jumlah suara Pemohon
seharusnya adalah 2.694 suara, keadaan mana dapat memastikan Pemohon untuk
memperoleh 1 (satu) kursi tambahan di daerah pemilihan tersebut.
Setelah memeriksa, meneliti, dan mempertimbangkan alat-alat bukti yang
disampaikan baik oleh Pemohon maupun KPU, Mahkamah berpendapat alat bukti yang
disampaikan oleh Pemohon berupa data perolehan suara yang dibuat oleh saksi untuk
PPS Marong, PPS Mujur, PPS Sukeraje, PPS Sengkerang, PPS Ganti, PPS Landah, PPS
Bilelando, PPS Beleka, PPS Semoyang dan PPS Kidang tidak meyakinkan karena tidak
ditandatangani oleh Ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota PPS sehingga
tidak memenuhi ketentuan Pasal 97 ayat (5) UU MK. Sehingga, berdasarkan Pasal 77
ayat (4) UU MK, Mahkamah harus menyatakan menolak Permohonan Pemohon.
XV. Daerah Pemilihan 3 DPRD Provinsi Maluku
Pemohon menyatakan bahwa telah terjadi kesalahan penghitungan oleh KPU untuk
Dapil 3 Maluku yang mengakibatkan Pemohon kehilangan suara sebanyak 1.417 suara
dari Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah.
180 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Setelah memeriksa, meneliti dan mempertimbangkan alat-alat bukti yang
disampaikan baik oleh Pemohon maupun KPU, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon
tidak mengajukan alat-alat bukti yang cukup untuk membuktikan dalil-dalilnya. Dengan
demikian Mahkamah harus menyatakan menolak permohonan Pemohon.
XVI. Daerah Pemilihan 2, Kabupaten Musi Rawas
Menurut Pemohon, PPK Kecamatan Karang Jaya telah melakukan kecurangan dan
manipulasi data yang merugikan Pemohon sehingga tidak memperoleh kursi di DPRD
Kabupaten Musi Rawas. Pemohon merasa adanya ketidakbenaran terhadap perolehan
suara Partai Golkar di Kecamatan Karang Jaya, pada 12 April 2004 memperoleh 4.358
suara, kemudian di tingkat PPK berubah menjadi 5.896 suara.
Surat KPU Kabupaten Musi Rawas menyatakan terjadi pembengkakan suara pada
Partai Golkar sejumlah 1.538 suara. Rapat pleno ulang yang dihadiri oleh saksi partai
politik, PPK beserta Panwaslu Karang Jaya untuk pengecekan dan pembuktian data yang
diumumkan KPU Kabupaten Musi Rawas menyatakan benar telah terjadi pembengkakan
1.538 suara, maka rapat pleno tersebut mencabut data yang ada di KPU dan memasukan
data pembanding sebagai data yang benar. Selanjutnya KPU Kabupaten Musi Rawas
merekomendasikan keputusan ke KPU Provinsi dan KPU Pusat untuk dapat ditetapkan.
Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagian
besar merupakan bukti tertulis yang dapat dipertimbangkan dan cukup meyakinkan,
namun bukti Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Anggota DPRD Kabupaten Musi
Rawas tidak ditandatangani Ketua dan Anggota PPK Karang Jaya, sehingga tidak sesuai
dengan bentuk dan isi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 98 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak
dapat dijadikan sebagai dasar untuk memperkuat dalil Pemohon. Dengan demikian,
berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK, Mahkamah menolak permohonan Pemohon.
XVII. Daerah Pemilihan 4 DPRD Kabupaten Nganjuk
Pemohon mendalilkan ada penambahan suara pada PKB di Dapil 4, Kabupaten
Nganjuk, khususnya di TPS XIX, Desa Joho, perolehan suara PKB adalah 31 suara,
namun pada tingkat PPK Kecamatan Pace berubah menjadi 131 suara.
Pemohon mengajukan bukti-bukti, namun Mahkamah berpendapat bahwa alat bukti
tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Sehingga Mahkamah menyatakan permohonan
Pemohon ditolak.
XVIII. Daerah Pemilihan 5, DPRD Kota Palembang
Setelah memeriksa, meneliti, dan mempertimbangkan alat-alat bukti yang disampaikan
oleh Pemohon dan KPU untuk perolehan suara Pemilu DPRD Kota Palembang di Dapil
5 Palembang, yang meliputi Kecamatan Gandus, Bukit Kecil, Ilir Barat I, dan Ilir Barat
II, Mahkamah berpendapat bahwa ternyata terjadi kesalahan penghitungan suara yang
dilakukan oleh KPU dan permohonan Pemohon terbukti untuk sebagian.
181 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berdasarkan penghitungan, Pemohon di Dapil 5 Palembang memperoleh 6.496
suara, sehingga Pemohon berhasil membuktikan dalil permohonannya, maka berdasarkan
Pasal 77 ayat (2) UU MK, Mahkamah harus mengabulkan permohonan Pemohon.
XIX. Daerah Pemilihan 1 Kabupaten Tulang Bawang
Pemohon mendalilkan perolehan suara PPP di KPU Kabupaten Tulang Bawang
adalah 2.475 suara, sesuai dengan hasil Rapat Pleno KPU Kabupaten Tulang Bawang.
Namun menurut Pemohon perolehan suara yang benar adalah 2.817 suara, sesuai
dengan hasil yang diperoleh dari formulir C1.TI-DPRD Kabupaten, sehingga terdapat
selisih 342 suara.
Setelah memeriksa dan meneliti bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Mahkamah
berpendapat bahwa bukti tersebut merupakan bukti tertulis yang dapat dipertimbangkan
dan cukup meyakinkan. Namun bukti Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara yang
diajukan Pemohon tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah, karena tidak sesuai dengan
bentuk dan isi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 98 ayat (5) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2003 dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sehingga tidak dapat
dijadikan sebagai dasar untuk memperkuat dalil Pemohon.
Dengan demikian Pemohon tidak dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil
permohonannya sehingga berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK, Mahkamah harus
menolak permohonan Pemohon.
XX. Daerah Pemilihan 3 DPRD Kabupaten Tanjung Jabung Barat
Pemohon menyatakan telah terjadi kesalahan penghitungan oleh KPU untuk Dapil
Tanjung Jabung Barat 3 Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Dalam
Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/TAHUN 2004 Pemohon tercatat memperoleh 833
suara, sementara menurut Pemohon jumlah suara yang seharusnya adalah 1.552 suara.
Jumlah 1.552 suara ini memastikan Pemohon untuk memperoleh 1 (satu) kursi di daerah
pemilihan tersebut.
Setelah memeriksa, meneliti, dan mempertimbangkan alat-alat bukti yang
disampaikan baik oleh Pemohon maupun KPU, Mahkamah berpendapat bahwa alat bukti
yang disampaikan oleh Pemohon berupa Sertikat Rekapitulasi Hasil Pemilu Model DB-1
DPRD Kab/Kota yang dibuat oleh KPU Kabupaten Tanjung Jabung Barat pada tanggal 6
Mei 2004 meyakinkan karena telah memenuhi ketentuan Pasal 100 ayat (7) UU MK, dan
oleh karenanya Mahkamah menyatakan perolehan suara Pemohon yang benar adalah
1.552, sehingga Pemohon berhak memperoleh 1 (satu) kursi. Berdasarkan Pasal 77 ayat
(2) UU MK, Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon.
XXI. Kabupaten Majene
Pemohon mendalilkan perolehan suara Partai Demokrat seharusnya 2 suara, dan
bukan 42 suara. Namun alat bukti Pemohon tidak sesuai dengan Pasal 97 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah
berpendapat Pemohon tidak dapat membuktikan dalil permohonannya. Dengan demikian,
182 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sesuai ketentuan Pasal 77 ayat (4) UU MK, permohonan Pemohon harus ditolak.
XXII. Daerah Pemilihan 8 DPRD Provinsi Jawa Barat
Permohonan untuk daerah pemilihan ini diterima oleh Mahkamah pada persidangan
hari Rabu, 2 Juni 2004; lewat dari tenggat 3 x 24 jam yang diberikan. Maka Mahkamah
berpendapat permohonan Pemohon sepanjang menyangkut Dapil 8 Jawa Barat untuk
Pemilu Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 74 ayat
(3) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK Nomor 04/PMK/2004.
Berdasarkan hal tersebut, dan berdasarkan Pasal 77 ayat (1) UU MK, maka
Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Selengkapnya bunyi amar Putusan mengenai permohonan ini adalah:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004
tanggal 5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai Persatuan
Pembangunan Untuk : (1). Calon Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah
Pemilihan 6 Kabupaten Magelang, (2). Calon Dewan Perwakilan Rakyar Daerah
dari daerah pemilihan 2 Provinsi DKI Jakarta, (3). Calon Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dari daerah pemilihan 5 Kota Palembang, (4). Calon Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dari daerah pemilihan 3 Kabupaten Tanjung Jabung Barat ;
Menetapkan perolehan suara yang benar bagi Partai Persatuan Pembangunan
Untuk : (1). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Magelang
dari Daerah Pemilihan 6 Kabupaten Magelang adalah 23.126 Suara, (2). Untuk
Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta dari daerah
Pemilihan 2 adalah 81.567 suara, (3). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kota Palembang dari Daerah Pemilihan 5 adalah 6.616 suara, (4). Calon
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat dari
Daerah Pemilihan 3 adalah 1.552 suara.
Menyatakan Permohonan Pemohon untuk: (1). Calon Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Karimun, (2). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Kepulauan Riau, (3). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kepulan
Riau dari Daerah Pemilihan 3, (4). Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah Kabu-
paten Aceh Tenggara dari Daerah Pemilihan 1 Aceh Tenggara (5). Calon Anggota
Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Aceh Tenggara dari Daerah Pemilihan 2
Aceh Tenggara, (6). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Aceh Tenggara dari Daerah Pemilihan 3, (7). Calon Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Sulawesi Tengah dari Daerah Pemilihan 3, (8). Calon Anggota
Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Aceh Selatan dari Daerah Pemilihan 4, (9).
Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Karawang dari Dae-
rah Pemilihan 5, (10). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Sintang dari Daerah Pemilihan 2, (11). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
183 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Daerah Kabupaten Wakatobi dari Daerah Pemilihan 1, (12). Calon Anggota Daerah
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat dari Daerah Pemilihan 8, tidak da-
pat diterima.
Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya.
Memerintahkan Kepada Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan Keputusan
ini.
184 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
185 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 018-030/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004 CALON ANGGOTA DPD
PROVINSI SULAWESI UTARA
Pemohon : 1. Dr. Frits Hendrik Eman, Ph.D (Pemohon I); 2. Drs. H. J. A Damapolii
(Pemohon II).
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon Anggota DPD Provinsi
Sulawesi Utara.
Pokok Perkara : Keberatan atas Penetapan KPU Nomor 44 /SK/KPU/Tahun 2004,
tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Pemilihan Umum secara nasional
yang diumumkan pada hari Rabu, tanggal 5 Mei 2004 tentang Calon
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Sulawesi Utara.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Senin 14 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon I Dr. Frits Hendrik Eman, Ph.D adalah Calon Anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) peserta Pemilihan Umum Tahun 2004 untuk Daerah Provinsi Sulawesi
Utara yang terdaftar di KPU berdasarkan Penetapan KPU Nomor 06 tanggal 03 Februari
2004 tentang Penetapan Urutan Nama Calon Anggota DPD dalam Pemilihan Umum
Tahun 2004 setiap Provinsi seluruh Indonesia nomor urut 18.
Pemohon II H. J. A Damapolii adalah Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) peserta Pemilihan Umum Tahun 2004 untuk Daerah Provinsi Sulawesi Utara yang
terdaftar di KPU berdasarkan Penetapan KPU Nomor 44. SK/KPU/2004 tanggal 5 Mei
2004 tentang Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Sulawesi Utara.
Pemohon I dan II mendalilkan bahwa telah terjadi kesalahan penghitungan perolehan
186 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
suara atas nama Calon Anggota DPD Dra. Sientje Sondakh-Mandey dalam rekapitulasi
perolehan suara yang dibuat oleh KPU Kabupaten Kepulauan Talaud yang dikirim ke
KPU Provinsi Sulawesi Utara, dan selanjutnya disampaikan kepada KPU, dan hal ini
berpengaruh terhadap perolehan suara Pemohon I dan Pemohon II.
Pemohon I mendalilkan bahwa telah terjadi kesalahan penghitungan perolehan
suara atas nama Calon Anggota DPD Dra. Sientje Sondakh-Mandey dalam rekapitulasi
perolehan suara yang dibuat oleh KPU Kabupaten Bolaang Mongondow yang dikirim
ke KPU Provinsi Sulawesi Utara, dan selanjutnya disampaikan kepada KPU, dan hal ini
berpengaruh terhadap perolehan suara Pemohon I.
Pemohon I mendalilkan bahwa telah terjadi kesalahan penghitungan perolehan
suara atas nama Calon Anggota DPD Dra. Sientje Sondakh-Mandey dalam rekapitulasi
perolehan suara yang dibuat oleh KPU Kota Bitung yang dikirim ke KPU Provinsi Sulawesi
Utara, dan selanjutnya disampaikan kepada KPU, dan hal ini berpengaruh terhadap
perolehan suara Pemohon I.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945; Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 74,
dan 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003, Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan Pemohon I dan Pemohon
II termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 74 Pemohon I dan
II memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan
perselisihan hasil pemilihan umum karena Pemohon I dan Pemohon II memiliki
keterkaitan dalam perolehan suara yang mempengaruhi terpilihnya Calon Anggota DPD
Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Utara.
Dra. Sientje Sondakh-Mandey selaku Pihak Terkait pada 5 Juni 2003 telah
mengajukan tanggapan tertulis yang menegaskan bahwa perolehan suara para calon
Anggota DPD di Provinsi Sulawesi Utara sebagaimana tertera dalam Keputusan KPU
Nomor 44/SK/KPU/TAHUN 2004 tertanggal 5 Mei 2004 adalah benar.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa terhadap dalil
Pemohon I dan Pemohon II yang menyatakan telah terjadi kesalahan penghitungan
perolehan suara atas nama Pemohon I, Pemohon II dan Calon Anggota DPD Dra. Sientje
Sondakh-Mandey dalam rekapitulasi perolehan suara yang dibuat oleh KPU Kabupaten
Kepulauan Talaud yang dikirim ke KPU Provinsi Sulawesi Utara, dan selanjutnya
disampaikan kepada KPU. Hal ini berpengaruh terhadap perolehan suara Pemohon I
dan Pemohon II, maka berdasarkan alat bukti yang sah yang diajukan oleh Pemohon I,
Pemohon II, dan KPU, Majelis yang memeriksa permohonan ini berkesimpulan bahwa
dalil Pemohon I dan Pemohon II terbukti untuk sebagian, dan oleh karenanya Majelis
menyatakan bahwa perolehan suara yang benar untuk Pemohon I, Pemohon II, dan
Calon Anggota DPD Dra. Sientje Sondakh-Mandey, adalah:
Untuk Pemohon I (Dr. Frits Hendrik Eman, Ph.D) menurut hasil rekapitulasi KPU
Kabupaten Kepulauan Talaud di Kecamatan Lirung 563 suara, menurut Pemohon I
783 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 783 suara (Bukti P I-1 dan P II-15); di
187 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Kecamatan Melonguane 292 suara, menurut Pemohon I 652 suara sedangkan menurut
Majelis Hakim 652 suara (Bukti P I-5b dan P II-8); di Kecamatan Kabaruan 75 suara,
menurut Pemohon I 75 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 75 suara (Bukti P I-2
dan P II-8); di Kecamatan Beo 29 suara, menurut Pemohon I 2.015 suara sedangkan
menurut Majelis Hakim 29 suara (Bukti T II-5); di Kecamatan Rainis 32 suara, menurut
Pemohon I 32 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 32 suara (Bukti P I-3a dan P II-
10); di Kecamatan Essang 25 suara, menurut Pemohon I 179 suara sedangkan menurut
Majelis Hakim 25 suara (Bukti T II-1); di Kecamatan Gemeh 49 suara, menurut Pemohon
I 47 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 49 suara (Bukti T II-3); di Kecamatan
Nanusa 32 suara, menurut Pemohon I 32 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 32
suara (Bukti P I-4 dan P II-9); sehingga total menurut KPU Kabupaten Kepulauan Talaud
1.341 suara, menurut Pemohon I 2.015 suara dan menurut Majelis Hakim 1.677 suara.
Untuk Pemohon II (Drs. H.J.A. Damapolii) menurut hasil rekapitulasi KPU
Kabupaten Kepulauan Talaud di Kecamatan Lirung 0 suara, menurut Pemohon II 10
suara sedangkan menurut Majelis Hakim 10 suara (Bukti P I-1 dan P II-15); di Kecamatan
Melonguane 3 suara, menurut Pemohon II 3 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 3
suara (Bukti P I-5b dan P II-8); di Kecamatan Kabaruan 0 suara, menurut Pemohon II 0
suara sedangkan menurut Majelis Hakim 0 suara (Bukti P I-2 dan P II-8); di Kecamatan
Beo 0 suara, menurut Pemohon II 8 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 0 suara
(Bukti T II-5); di Kecamatan Rainis 1 suara, menurut Pemohon II 2 suara sedangkan
menurut Majelis Hakim 1 suara (Bukti P I-3a dan P II-10); di Kecamatan Essang 0 suara,
menurut Pemohon II 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 0 suara (Bukti T II-1);
di Kecamatan Gemeh 2 suara, menurut Pemohon II 2 suara sedangkan menurut Majelis
Hakim 2 suara (Bukti T II-3); di Kecamatan Nanusa 0 suara, menurut Pemohon II 0
suara sedangkan menurut Majelis Hakim 0 suara (Bukti P I-4 dan P II-9); sehingga total
menurut KPU Kabupaten Kepulauan Talaud 6 suara, menurut Pemohon II 25 suara dan
menurut Majelis Hakim 16 suara.
Untuk Calon Anggota DPD No. 13, Dra. Sientje Sondakh-Mandey menurut hasil
rekapitulasi KPU Kabupaten Kepulauan Talaud di Kecamatan Lirung 2.716 suara, menurut
Pemohon I 586 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 568 suara (Bukti P I-1 dan P II-15); di
Kecamatan Melonguane 1.230 suara, menurut Pemohon I 588 suara sedangkan menurut
Majelis Hakim 588 suara (Bukti P I-5b dan P II-8); di Kecamatan Kabaruan 1.150 suara,
menurut Pemohon I 600 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 411 suara (Bukti P I-2
dan P II-8); di Kecamatan Beo 1.706 suara, menurut Pemohon I 469 suara sedangkan
menurut Majelis Hakim 1.706 suara (Bukti T II-5); di Kecamatan Rainis 1.049 suara,
menurut Pemohon I 493 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 493 suara (Bukti P I-3a
dan P II-10); di Kecamatan Essang 251 suara, menurut Pemohon I 228 suara sedangkan
menurut Majelis Hakim 248 suara (Bukti T II-1); di Kecamatan Gemeh 298 suara, menurut
Pemohon I 274 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 297 suara (Bukti T II-3); di
Kecamatan Nanusa 886 suara, menurut Pemohon I 486 suara sedangkan menurut
188 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Majelis Hakim 486 suara (Bukti P I-4 dan P II-9); sehingga total menurut KPU Kabupaten
Kepulauan Talaud 9.286 suara, menurut Pemohon I 3.724 suara dan menurut Majelis
Hakim 4.797 suara.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa terhadap dalil
Pemohon I yang menyatakan telah terjadi kesalahan penghitungan perolehan suara
atas nama Pemohon I dan Calon Anggota DPD Dra. Sientje Sondakh-Mandey dalam
rekapitulasi perolehan suara yang dibuat oleh KPU Kabupaten Bolaang Mongondow
yang dikirim ke KPU Provinsi Sulawesi Utara, dan selanjutnya disampaikan kepada KPU,
dan hal ini berpengaruh terhadap perolehan suara Pemohon I, maka berdasarkan alat
bukti yang sah yang diajukan oleh Pemohon I dan yang diajukan oleh KPU, Majelis yang
memeriksa permohonan ini berkesimpulan bahwa dalil Pemohon I tidak terbukti, dan oleh
karenanya Majelis menyatakan bahwa perolehan suara yang benar untuk Pemohon I dan
Calon Anggota DPD Dra. Sientje Sondakh-Mandey, adalah:
Untuk Pemohon I (Dr. Frits Hendrik Eman, Ph.D) menurut hasil rekapitulasi KPU
Kabupaten Bolaang Mongondow di Kecamatan Bintahuna 211 suara, menurut Pemohon
I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 211 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan
Bolaang 201 suara, menurut Pemohon I 2.021 suara sedangkan menurut Majelis Hakim
201 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Bolang Itang 128 suara, menurut Pemohon I 0
suara sedangkan menurut Majelis Hakim 128 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Bolang
Uki 81 suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 81 suara
(Bukti T I-7); di Kecamatan Dumoga Barat 175 suara, menurut Pemohon I 0 suara
sedangkan menurut Majelis Hakim 175 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Dumoga Timur
615 suara, menurut Pemohon I 1.168 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 615
suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Dumoga Utara 240 suara, menurut Pemohon I 785
suara sedangkan menurut Majelis Hakim 240 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Kaidipang
39 suara, menurut Pemohon I 1.485 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 39 suara
(Bukti T I-7); di Kecamatan Kotabunan 181 suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan
menurut Majelis Hakim 181 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Kotamobagu 951 suara,
menurut Pemohon I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 951 suara (Bukti T I-7); di
Kecamatan Lolak 207 suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim
207 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Lolayan 321 suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan
menurut Majelis Hakim 321 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Modayag 365 suara, menurut
Pemohon I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 365 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan
Nuangan 50 suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 50 suara
(Bukti T I-7); di Kecamatan Passi 404 suara, menurut Pemohon I 3.896 suara sedangkan
menurut Majelis Hakim 404 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Pinogaluman 219 suara,
menurut Pemohon I 2.676 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 219 suara (Bukti
T I-7); di Kecamatan Pinolosian 107 suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan
menurut Majelis Hakim 107 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Poigar 583 suara,
189 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
menurut Pemohon I 2.045 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 583 suara (Bukti
T I-7); di Kecamatan Posigadan 89 suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan
menurut Majelis Hakim 89 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Sangtombolang 296 suara,
menurut Pemohon I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 296 suara (Bukti T I-7);
sehingga total menurut KPU Kabupaten Bolaang Mongondow 5.463 suara, menurut
Pemohon I 14.076 suara dan menurut Majelis Hakim 5.463 suara.
Untuk Calon Anggota DPD No. 13, Dra. Sientje Sondakh-Mandey menurut
hasil rekapitulasi KPU Kabupaten Bolaang Mongondow di Kecamatan Bintahuna
59 suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 59
suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Bolaang 114 suara, menurut Pemohon I 73 suara
sedangkan menurut Majelis Hakim 114 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Bolang
Itang 118 suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 118
suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Bolang Uki 587 suara, menurut Pemohon I 0 suara
sedangkan menurut Majelis Hakim 587 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Dumoga Barat
211 suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 211 suara
(Bukti T I-7); di Kecamatan Dumoga Timur 849 suara, menurut Pemohon I 849 suara
sedangkan menurut Majelis Hakim 849 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Dumoga
Utara 279 suara, menurut Pemohon I 279 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 279
suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Kaidipang 24 suara, menurut Pemohon I 445 suara
sedangkan menurut Majelis Hakim 24 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Kotabunan 151
suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 151 suara
(Bukti T I-7); di Kecamatan Kotamobagu 450 suara, menurut Pemohon I 0 suara
sedangkan menurut Majelis Hakim 450 suara (Bukti T I-7) ; di Kecamatan Lolak
1.052 suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 1.052
suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Lolayan 241 suara, menurut Pemohon I 0 suara
sedangkan menurut Majelis Hakim 241 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Modayag 348
suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 348 suara (Bukti
T I-7); di Kecamatan Nuangan 77 suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan menurut
Majelis Hakim 77 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Passi 123 suara, menurut Pemohon
I 123 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 123 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan
Pinogaluman 26 suara, menurut Pemohon I 586 suara sedangkan menurut Majelis
Hakim 26 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Pinolosian 93 suara, menurut Pemohon I
0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 93 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Poigar
455 suara, menurut Pemohon I 455 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 455 suara
(Bukti T I-7); di Kecamatan Posigadan 42 suara, menurut Pemohon I 0 suara sedangkan
menurut Majelis Hakim 42 suara (Bukti T I-7); di Kecamatan Sangtombolang 70 suara,
menurut Pemohon I 0 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 70 suara (Bukti T I-7);
sehingga total menurut KPU Kabupaten Bolaang Mongondow 5.369 suara, menurut
Pemohon I 2.810 suara dan menurut Majelis Hakim 5.369 suara.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa terhadap
dalil Pemohon I yang menyatakan telah terjadi kesalahan penghitungan perolehan
suara atas nama Pemohon I dan Calon Anggota DPD Dra. Sientje Sondakh-Mandey
190 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dalam rekapitulasi perolehan suara yang dibuat oleh KPU Kota Bitung yang dikirim ke
KPU Provinsi Sulawesi Utara, dan selanjutnya disampaikan kepada KPU, dan hal ini
berpengaruh terhadap perolehan suara Pemohon I, maka berdasarkan alat bukti yang
sah yang diajukan oleh Pemohon I dan yang diajukan oleh KPU, Majelis yang memeriksa
permohonan ini berkesimpulan bahwa dalil Pemohon I terbukti, dan oleh karenanya
Majelis menyatakan bahwa perolehan suara yang benar untuk Pemohon I dan Calon
Anggota DPD Dra. Sientje Sondakh-Mandey, adalah:
Untuk Pemohon I (Dr. Frits Hendrik Eman, Ph.D) menurut hasil rekapitulasi KPU
Kota Bitung di Kecamatan Bitung Barat 1.042 suara, menurut Pemohon I 1.497 suara
sedangkan menurut Majelis Hakim 1.042 suara (Bukti T I-1); di Kecamatan Bitung Tengah
1.775 suara, menurut Pemohon I 1.935 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 1.775
suara (Bukti T I-4); di Kecamatan Bitung Timur 1.125 suara, menurut Pemohon I 1.180
suara sedangkan menurut Majelis Hakim 1.180 suara (Bukti P I-40d); di Kecamatan
Bitung Utara 515 suara, menurut Pemohon I 552 suara sedangkan menurut Majelis Hakim
552 suara (Bukti P I-40e); di Kecamatan Bitung Selatan 515 suara, menurut Pemohon
I 609 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 515 suara (Bukti T I-5); sehingga total
menurut KPU Kota Bitung 4.972 suara, menurut Pemohon I 5.773 suara dan menurut
Majelis Hakim 5.108 suara.
Untuk Calon Anggota DPD No. 13, Dra. Sientje Sondakh-Mandey menurut hasil
rekapitulasi KPU Kota Bitung di Kecamatan Bitung Barat 531 suara, menurut Pemohon I
620 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 531 suara (Bukti T I-1); di Kecamatan Bitung
Tengah 747 suara, menurut Pemohon I 805 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 747
suara (Bukti T I-4); di Kecamatan Bitung Timur 731 suara, menurut Pemohon I 741 suara
sedangkan menurut Majelis Hakim 741 suara (Bukti P I-40d); di Kecamatan Bitung Utara
253 suara, menurut Pemohon I 290 suara sedangkan menurut Majelis Hakim 290 suara
(Bukti P I-40e); di Kecamatan Bitung Selatan 83 suara, menurut Pemohon I 73 suara
sedangkan menurut Majelis Hakim 83 suara (Bukti T I-5); sehingga total menurut KPU
Kota Bitung 2.345 suara, menurut Pemohon I 2.529 suara dan menurut Majelis Hakim
2.398 suara.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan berdasarkan Pasal
77 ayat (2) dan (3) UU MK, maka Majelis Hakim harus menyatakan batal penetapan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU Nomor 44/SK/KPU/TAHUN 2004
tanggal 5 Mei 2004 untuk Dewan Perwakilan Daerah atas nama Pemohon I, Pemohon II
dan Dra. Sientje Sondakh-Mandey serta menetapkan hasil penghitungan suara yang
benar adalah di Manado untuk Pemohon I 6.693 suara, Pemohon II 2.837 suara,
Dra. Sientje Sondakh-Mandey 11.000 suara, di Minahasa untuk Pemohon I 14.438 suara,
Pemohon II 542 suara, Dra. Sientje Sondakh-Mandey 18.670 suara; di Tomohon untuk
Pemohon I 3.745 suara, Pemohon II 127 suara, Dra. Sientje Sondakh-Mandey 5.198
suara; di Minahasa Utara untuk Pemohon I 3.591 suara, Pemohon II 2.846 suara,
Dra. Sientje Sondakh-Mandey 9.439 suara; di Bitung untuk Pemohon I 5.108 suara,
191 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon II 537 suara, Dra. Sientje Sondakh-Mandey 2.398 suara; di Minahasa Selatan
untuk Pemohon I 14.841 suara, Pemohon II 2.121 suara, Dra. Sientje Sondakh-Mandey
11.219 suara; di Bolaang Mongondow untuk Pemohon I 5.463 suara, Pemohon II 62.083
suara, Dra. Sientje Sondakh-Mandey 5.369 suara; di Sangihe untuk Pemohon I 4.042
suara, Pemohon II 623 suara, Dra. Sientje Sondakh-Mandey 3.842 suara, sehingga total
di Provinsi Sulawesi Utara untuk Pemohon I 59.598 suara, Pemohon II 71.732 suara,
Dra. Sientje Sondakh-Mandey 71.932 suara.
Dari seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas Majelis berpendapat perubahan
suara tersebut tidak mempengaruhi peringkat Pemohon I dan Pemohon II, sehingga tidak
pula mengakibatkan salah satu atau kedua-duanya terpilih sebagai Anggota DPD dari
Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Utara sehingga Mahkamah Konstitusi menyatakan
permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
192 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
193 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
v
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 019/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004 CALON ANGGOTA DPD
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
Pemohon : Ir. Rioza Mandarid.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum calon Anggota Dewan Perwakilan
Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pokok Perkara : Sengketa terhadap penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU
Nomor 33 yang telah diumumkan secara Nasional untuk Daerah
Pemilihan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Amar Putusan : Menolak permohonan Pemohon.
Tanggal Putusan : Selasa 18 Mei 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah peserta Pemilu Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2004 Daerah
Pemilihan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Menurut Pemohon Penetapan Komisi Pemilihan Umum Nomor 33 tentang Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Umum Tahun 2004 yang diumumkan secara Nasional
yang mengakibatkan tidak terpilihnya Pemohon sebagai anggota DPD untuk Daerah
Pemilihan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pemohon mendalilkan terdapat kesalahan hasil
penghitungan suara oleh KPU. Penghitungan yang benar menurut Pemohon adalah untuk
Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, perolehan suara 25.037.
Diperkirakan 21.830 suara hilang di KPPS dan PPS. Begitu juga untuk Kabupten Lombok
Timur telah hilang suara 20.000, Kabupaten Lombok Barat 5.000 suara, Kotamadya
Mataram 5.000 suara, Kabupaten Bima 5.000 suara dan Kabupaten Bima 6.000 suara.
Perkiraan suara yang hilang untuk Provinsi NTB adalah 62.000 suara.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan
194 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
putusan dengan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU
untuk Daerah Pemilihan Provinsi NTB; menetapkan hasil penghitungan suara yang benar
menurut dalil-dalil Pemohon.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan Pemohon termasuk
kewenangan Mahkamah sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf
d jo. Pasal 74 dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kapasitas Pemohon telah sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 74 ayat (1) huruf a, yaitu sebagai
perseorangan warga negara Indonesia calon Anggota DPD peserta Pemilihan Umum.
Mahkamah Konstitusi berpendapat dalil Pemohon yang tidak didukung cukup
bukti-bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Terutama karena ketiadaan saki-saksi
Pemohon sebagai peserta Pemilu yang menyaksikan penyelenggaraan penghitungan
surat suara di tiap TPS. Apabila terjadi dugaan kesalahan atau manipulasi yang dilakukan
oleh pihak-pihak tertentu termasuk calon anggota DPD lain maupun oleh penyelenggara
Pemilu, maka menurut Pasal 127 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003, Pemohon dapat melaporkan kepada Panwaslu dan diselesaikan oleh Panwaslu.
Mahkamah berpendapat berdasarkan pertimbangan tersebut dan mengacu pada
Pasal 77 ayat (4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
maka Majelis Hakim harus menolak permohonan Pemohon.
195 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 020/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004
CALON ANGGOTA DPD PROVINSI JAMBI
Pemohon : Zainul Chalikin.
Termohon : Panitia Pengawas Pemilu Provinsi Jambi.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Daerah.
Pokok Perkara : Sengketa terhadap hasil penghitungan suara oleh Panwaslu
Provinsi Jambi.
Amar Putusan : Permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan : Selasa, 18 Mei 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah peserta Pemilu Dewan Perwakilan Daerah di Provinsi Jambi
dengan nomor urut calon 3 (tiga).
Pemohon menemukan bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan oleh calon Anggota
DPD nomor urut 8 atas nama Muhammad Nasir berupa potongan gambar bagian kepala
di dalam surat suara pada saat pencoblosan dan selanjutnya diserahkan kepada calon
anggota DPD Muhammad Nasir secara rahasia. Pemotongan surat suara pada saat
pencoblosan jelas-jelas tidak seusai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilu.
Pelanggaran yang dilakukan oleh calon Anggota DPD Muhammad Nasir tersebut
oleh Panwaslu Provinsi Jambi tetap dianggap sah sehingga tidak dilakukan penghitungan
ulang surat suara hal tersebut dalil Pemohon jelas-jelas merugikan hak Pemohon.
Pemohon mendalilkan bahwa Panwaslu telah merugikan hak Pemohon untuk
memperoleh suara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
196 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berdasarkan alasan-alasan Pemohon tersebut di atas, Pemohon memohon kepada
Mahkamah Konstitusi untuk meneliti kembali surat suara di TPS-TPS; melakukan
penghitungan kembali surat suara yang sah dan atau yang tidak sah; menyelesaikan
sengketa antara saksi pelapor dengan Panwaslu; dan memerintahkan Panwaslu
memenuhi tuntutan saksi pelapor.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa secara kapasitas sebagai Pemohon telah
sesuai dengan Pasal 74 ayat (1) huruf Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, namun dilihat dari dalil permohonan Pemohon tersebut bukan
terhadap penetapan hasil Pemilihan Umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi
Pemilihan Umum yang mempengaruhi terpilihnya Pemohon sebagai calon anggota
DPD.
Mahkamah Konstitusi berdasarkan pertimbangannya tersebut dan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, maka Majelis
Hakim berpendapat permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
197 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 021/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004 DARI PARTAI DEMOKRAT
Pemohon : 1. Prof. Dr. S. Budhisantoso; 2. E.E. Mangindaan, S. I. P.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon Anggota DPRD Kabupaten
Sulawesi Utara, Banten, Kepulauan Riau, Kendari, Barito Timur,
Kepulaun Talaud, Sidoarjo, Sulawesi tengah, Subang 5, Subang 3,
Jawa Barat, Maluku Tenggara Barat, Binjai dan Langkat.
Pokok Perkara : Keberatan Atas Penetapan Hasil Suara Pemilihan Umum Calon
Anggota DPRD di Daerah Pemilihan Sulawesi Utara, Banten,
Kepulauan Riau, Kendari, Barito Timur, Kepuluan Talaud, Sidoarjo,
Sulawesi tengah, Subang 5, Subang 3, Jawa Barat, Maluku
Tenggara Barat, Binjai dan Langkat.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Senin, 14 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Ketua dan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat yang bertindak
untuk dan atas nama Partai Demokrat. Partai Pemohon adalah peserta Pemilihan Umum
Tahun 2004.
Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor
44/SK/KPU/2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum
Anggota DPRD Tahun 2004 secara nasional untuk Daerah Pemilihan Sulawesi Utara,
Banten II, Kepri IV, Kota Kendari I, Barito Selatan I, Barito Timur I, Kepuluan Taulud,
Sidoarjo 5, Sulawesi Tengah 6, Subbang 5, Subang 3, Jawa Barat 8, Kabupaten Maluku
Tenggara Barat 3, Binjai 1, Langkat 1, yang menyebabkan hilangnya kursi di DPRD.
198 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
1. Daerah Pemilihan Sulawesi Utara 6
Penetapan penghitungan suara hasil Pemilu yang telah disahkan oleh KPU Nomor
44/SK/KPU/2004 tanggal 5 Mei 2004 hanya didasarkan atas hasil penghitungan suara
KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe saja tertanggal 22 April 2004 Nomor 324/KPU-
Sangihe/IV/2004 sebesar 3.742 suara, tanpa menambahkan hasil penghitungan suara
di Kabupaten Kepulauan Talaud sebesar 5.805 suara. Seharusnya jumlah suara Partai
Demokrat untuk daerah Sulawesi Utara 6 adalah jumlah suara Partai Demokrat di
Kabupaten Kepulauan Sangihe untuk DPRD Provinsi Sulawesi Utara ditambah suara
Partai Demokrat di Kabupaten Kepulauan Talaud untuk DPRD Provinsi Sulawesi Utara
yaitu 3742 + 5805 = 9547 suara. Menurut Pemohon hasil penghitungan suara tersebut
terdapat kesalahan, sehingga merugikan Partai Demokrat yang mengakibatkan perolehan
jumlah kursi Partai Demokrat berkurang untuk Daerah Pemilihan Sulawesi Utara 6.
2. Daerah Pemilihan Banten 2
Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/
SK/ KPU/2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, DPRD Tahun 2004 secara nasional untuk Daerah Pemilihan Banten
II yang diumumkan pada hari Senin tanggal 5 Mei 2004 yakni DPR RI sebanyak 160.817
suara, DPRD Provinsi sebanyak 125.125 suara, DPRD Kabupaten Kota sebanyak
155.122 suara, menurut Pemohon hasil penghitungan suara yang benar adalah DPR RI
sebanyak 161.821 suara (selisih 1004 suara), DPRD Provinsi sebanyak 127.790 suara
(selisih 2.665 suara), DPRD Kabupaten Kota sebanyak 155.922 (selisih 800 suara).
3. Daerah Pemilihan Kepri 4
Pemohon keberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum Kota Batam
tanggal 5 Mei 2004 yang diumumkan secara lisan tentang hasil penghitungan suara
Pemilihan Umum Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2004 untuk Daerah
Pemilihan Kepri IV yang hasil penghitungannya untuk Partai PIB 5.705 suara, PAN
29.769 suara, PDS 22.018 suara, suara sah seluruh Partai 217.847 suara, BPP
10.373 suara, menurut Pemohon PIB melakukan markup sebanyak 2.158 suara, PAN
sebanyak 1.406 suara, PDS sebanyak 75 suara dan partai lainnya 54 suara sehingga
Partai Demokrat mengalami pengurangan sebanyak 86 suara pada tiga kelurahan
yaitu Kelurahan Teluk Tering sebanyak 56 suara, Kelurahan Baloi Permai 15 suara,
Kelurahan Belian 15 suara dan mengakibatkan perolehan jumlah kursi Partai Demokrat
untuk Daerah Kepri IV dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) markup
sebanyak 800 suara sesuai pernyataan tertulis dari Sdr. Muklis Nasution selaku anggota
PPS Kelurahan Tanjung Piayu tentang penambahan suara sebanyak untuk PNBK atas
perintah Sdr. Mulyadi selaku Ketua PPK Kecamatan Sei Beduk pada saat pembuatan
rekapitulasi perolehan suara di Hotel Haris Resort Marina City Batam, yang mana sangat
berpengaruh terhadap jumlah BPP yang dihitung berdasarkan jumlah suara sah dibagi
jumlah alokasi kursi. Menurut Pemohon hasil penghitungan suara yang benar adalah
jumlah suara sah seluruh partai 214.257 suara dengan BPP 10.202; jumlah suara sah
199 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Partai PIB sebanyak 3543; jumlah suara Partai Demokrat 13.845 + 86 (suara hilang) =
13.931 suara; sisa suara setelah dikurangi BPP sebanyak 33728 suara.
4. Daerah Pemilihan Kendari 1
Pemohon keberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/
KPU/2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2004 secara nasional untuk daerah pemilihan
Kota Kendari 1 (satu). Menurut Pemohon jumlah suara sah tidak sesuai dengan jumlah
yang sebenarnya. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan Ketua POKJA Daerah Pemilihan
1 (satu) Kota Kendari pada Media Kendari tanggal 10 April 2004. Pemohon berpendapat
bahwa hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan sehingga merugikan Partai
Demokrat yang mengakibatkan perolehan jumlah kursi Partai Demokrat tidak terpenuhi
untuk Daerah Pemilihan Kota Kendari 1 (satu), Provinsi Sulawesi Tenggara. Menurut
Pemohon, hasil penghitungan suara yang benar adalah suara sah pada Daerah Pemilihan
Kota Kendari 1 (satu) sebanyak 31.175 agar bilangan pembagi sebesar 3.896 sehingga
Partai Demokrat Kota Kendari 1 (satu) memperoleh 1 kursi pada kursi Nomor 8 (delapan)
DPRD Kota Kendari 1 (satu).
5. Daerah Pemilihan Kabupaten Barito Selatan 1
Pemohon keberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/
KPU/2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2004 secara nasional untuk daerah pemilihan
Kabupaten Barito Selatan I. Perolehan suara Partai Demokrat di Barito Selatan I untuk
Kecamatan Janamas sebesar 192, Dusun Hilir 412, Kecamatan Karau Kuala 254.
Pemohon berpendapat hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan, sehingga
merugikan Partai Demokrat yang mengakibatkan perolehan jumlah kursi Partai Demokrat
berkurang untuk daerah pemilihan Barito Selatan 1. Pemohon berpendapat bahwa hasil
penghitungan yang benar Partai Demokrat di Barito Selatan I untuk Kecamatan Janamas
sebesar 192, Dusun Hilir 412. Hasil penghitungan ulang PPK Karau Kuala yang disahkan
dalam rapat pleno tanggal 25 April 2004 seharusnya adalah 264. Dengan demikian pada
daerah Pemilihan Barito Selatan I perolehan suara Partai Demokrat berjumlah 868.
6. Daerah Pemilihan Barito Timur 1
Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor
44/SK/KPU/2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum
Anggota DPRD Tahun 2004 secara nasional untuk Daerah Pemilihan Barito Timur I untuk
Partai Demokrat sebesar 735. Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara
tersebut terdapat kesalahan, sehingga merugikan Partai Demokrat yang mengakibatkan
perolehan jumlah kursi Partai Demokrat berkurang untuk Daerah Pemilihan Kabupaten
Barito Timur I. Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan yang benar adalah
Partai Demokrat 934 suara, hal ini didasarkan rekapitulasi penghitungan suara yang
dibuat oleh DPC Partai Demokrat Barito Timur I.
200 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
7. Daerah Pemilihan Kabupaten Kepulauan Talaud
Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan KPU Nomor 44/SK/KPU/2004 tanggal
5 Mei 2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
DPRD Tahun 2004 secara nasional untuk Daerah Pemilihan Kabupaten Kepulauan
Talaud. Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan yang benar adalah sesuai rapat
pleno KPU Kabupaten Talaud tanggal 15 April 2004 Partai Demokrat khusus di Daerah
Pemilihan 3 Kecamatan Kabaruan dan Kecamatan Lirung jumlahnya adalah sebesar
4.435 suara. Setelah diperbaiki sesuai surat PPK Kecamatan Kabaruan tertanggal
26 April 2004 jumlahnya menjadi 3496 suara karena semula hasil penghitungan PPK
Kecamatan Kabaruan jumlah suaranya 1280 menjadi 1541 suara. Tetapi penghitungan
suara PPK Kecamatan Kabaruan untuk Partai Demokrat tidak mengalami perubahan,
yaitu tetap 1280 suara, seharusnya sudah diubah menjadi 1541 suara. Ini mengakibatkan
berkurangnya kursi Partai Demokrat di Daerah Pemilihan 3 Kecamatan Kabaruan.
8. Daerah Pemilihan Kabupaten Sidoarjo 5
Pemohon berkeberatan terhadap Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/2004 tanggal 5
Mei 004 tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD
Tahun 2004 secara nasional untuk Daerah Pemilihan Kabupaten Sidoarjo V untuk tingkat
DPRD Kabupaten yang diumumkan pada hari Senin tanggal 5 Mei 2004 pukul 13.45 WIB
yang hasil penghitungannya yaitu perolehan suara Partai Demokrat di Daerah Pemilihan
Kabupaten Sidoarjo V adalah sebesar 28.625. Pemohon berpendapat perolehan suara
Partai Pemohon yang benar adalah sebesar 15.945 suara untuk Kecamatan Waru dan
29.412 suara untuk Kecamatan Taman.
9. Daerah Pemilihan 6 Sulawesi Tengah
Pemohon berkeberatan terhadap Keputusan KPU 44/SK/KPU/2004 tanggal 5 Mei
2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan
DPRD Tahun 2004 secara nasional di Daerah Pemilihan Sulawesi Tengah 6 (Daerah
Pemilihan 6), menurut Pemohon suara Partai Demokrat yang sesungguhnya untuk Dapil
6 Sulawesi Tengah adalah 8.308 suara, tetapi dicatat direkap oleh KPU hanya 7.063
suara, hal mana terjadi karena terdapat kekurangan penghitungan dari PPK 1, 2, dan 3
sebesar 1.218 suara.
10. Daerah Pemilihan Kabupaten Subang 5
Pemohon berkeberatan terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor
44/SK/KPU/2004 tanggal 5 Mei 2004 yang hasil penghitungannya perolehan suara PPP
dinyatakan sebesar 7.330 suara, Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara
tersebut terdapat kesalahan sehingga merugikan Partai Demokrat yang mengakibatkan
perolehan kursi Partai Demokrat jadi hilang untuk Daerah Pemilihan 5 Kabupaten
Subang, Jawa Barat. Menurut Pemohon hasil penghitungan yang benar perolehan suara
PPP adalah 6.182 suara akan tetapi KPU menetapkan perolehan PPP tersebut secara
salah sebesar 7.730 suara.
201 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
11. Daerah 3 Kabupaten Subang
Pemohon berkeberatan terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/
SK/ KPU/2004 tanggal 5 Mei 2004 yang penghitungannya yaitu suara sah Daerah
Pemilihan III dengan alokasi kursi sebanyak 6 kursi Kecamatan Kalijati 44.338 suara,
Kecamatan Cipendeuy 22.702 suara, Kecamatan Pabuaran 39.134. BPP untuk Daerah
Pemilihan Subang III adalah 106.174 suara dibagi enam kursi sama dengan 17.659
suara. Penghitungan tersebut menghasilkan alokasi kursi yaitu Golkar jumlah suara
38.841 mendapat 2 kursi, PDIP jumlah suara 32.373 mendapat 2 kursi, PKS jumlah suara
7.401 mendapat 1 kursi, PKPB jumlah suara 4.950 mendapat 1 kursi, Partai Demokrat
jumlah suara 4.827 tidak mendapatkan kursi. Berdasarkan investigasi yang dilakukan
Pemohon, PKPB telah mengalami penggelembungan sebanyak 37 suara dan oleh
karenanya perolehan suara PKPB sebenarnya adalah 4.950 - 37 = 4.913 suara.
12. Daerah pemilihan Jawa Barat 8
Pemohon keberatan terhadap keputusan jumlah suara partai Pemohon sebesar
104.732 suara sebagaimana ditetapkan melalui Keputusan KPU Nomor 119/15-BA/
V/2004 tanggal 5 Mei 2004, di mana menurut Pemohon perolehan suara sebenarnya
adalah 107.126 suara.
13. Daerah Pemilihan 3 Kabupaten Maluku Tenggara Barat
Menurut Pemohon Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/2004
tanggal 5 Mei 2004 terdapat kesalahan yang berakibat berkurangnya perolehan kursi
partai Pemohon di Daerah Pemilihan III Kabupaten Maluku Tenggara Barat sejumlah 1
(satu) kursi. Menurut Pemohon hasil penghitungan suara yang benar untuk perolehan
suara partai Pemohon di Daerah Pemilihan 3 Kabupaten Maluku Tenggara Barat adalah
sebesar 1.449 suara, perolehan suara mana didapat setelah mengubah perolehan suara
Pemohon atas nama Petrus Canisius Jauan di Desa Watmuri sebesar 222 suara dan di
Desa Manglusi sebesar 61 suara yang berada di wilayah Kecamatan Nirunmas, sehingga
total perolehan suara Pemohon atas nama Petrus Canisius Jauan di Kecamatan
Nirunmas menjadi berjumlah 283 suara, jumlah mana menjadikan perolehan suara partai
Pemohon di Kecamatan Nirunmas sebesar 610 suara.
14. Daerah Pemilihan Binjai 1
Pemohon keberatan atas hasil perolehan suara yang diumumkan oleh KPU dengan
Keputusan Nomor 44/SK/KPU/2004 bertanggal 5 Mei 2004 yang menyatakan perolehan
suara Partai Golkar untuk Anggota DPRD Daerah Pemilihan Binjai 1 sebesar 14.298
suara yang semestinya menurut Pemohon adalah 9.433 suara, sementara perolehanan
suara Pemohon adalah benar sebesar 2.733 suara.
15. Daerah Pemilihan Langkat 1 Kabupaten Langkat
Pemohon mendalilkan bahwa Pemohon telah kehilangan suara sebesar 401 suara
di PPK Kecamatan Stabat dan untuk membuktikan dalil permohonan tersebut, Pemohon
menyatakan adanya kesalahan rekapitulasi penghitungan suara di 4 PPS dari 10 PPS
202 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
yang ada di Kecamatan Stabat;
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 jo. Pasal 10 ayat
(1) huruf d jo. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan
Pemohon merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan salinan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 678 Tahun
2003 tentang Penetapan Partai Politik sebagai Peserta Pemilihan Umum Tahun 2004
bertanggal 7 Desember 2003, Pemohon adalah Partai Politik sebagai peserta Pemilihan
Umum Tahun 2004, maka oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal
standing) untuk bertindak sebagai Pemohon didalam permohonan a quo, kecuali untuk
Permohonan di Daerah Pemilihan 3 Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan permohonan
Pemohon menurut Daerah Pemilihan yang diajukan sebagai berikut:
1. Daerah Pemilihan Sulawesi Utara 6
Mahkamah Konstitusi pada sidang tanggal 17 Mei 2004 melalui teleconference
telah mendengar keterangan KPU Sulawesi Utara yang menyanggah dalil Pemohon,
oleh karenanya Mahkamah memerintahkan KPU Provinsi Sulawesi Utara untuk segera
mengirimkan data-data Rekapitulasi KPU Kabupaten Talaud yang digunakan sebagai
dasar rekapitulasi penghitungan suara KPU Provinsi Sulawesi Utara, tetapi sampai saat
terakhir perintah tersebut tidak dilaksanakan, sehingga dalil Pemohon tidak disanggah
secara wajar, dan oleh karenanya dalil Pemohon dianggap benar.
Berdasarkan pertimbangan tersebut Pemohon berhasil membuktikan dalil
permohonannya, perolehan suara partai Pemohon untuk Daerah Pemilihan 6 Sulawesi
Utara yang benar akan ditetapkan sebesar 9.547 suara. Oleh karena itu Mahkamah
berpendapat permohonan Pemohon sepanjang menyangkut Daerah Pemilihan 6
Sulawesi Utara dikabulkan sebagian.
2. Daerah Pemilihan Banten 2
Setelah Mahkamah mencermati permohonan Pemohon, tampak bahwa Pemohon
telah menggabungkan perolehan suara baik untuk DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota yang diperoleh di Daerah Pemilihan Banten II, sedangkan menurut
undang-undang Daerah Pemilihan untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/
Kota memiliki daerah pemilihan yang berbeda, sehingga permohonan menjadi rancu.
oleh karena yang dimohon oleh Pemohon adalah perolehan suara partai Pemohon di
Daerah Pemilihan Banten II, yang harus diartikan untuk pemilihan Calon Anggota DPR,
akan tetapi alat bukti yang diajukan adalah Model DB untuk DPRD Kabupaten/Kota,
Model DA untuk DPRD Provinsi, serta data penghitungan suara yang dibuat sendiri oleh
Pemohon, Mahkamah Konstitusi berpendapat Pemohon tidak berhasil membuktikan
203 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dalil permohonannya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut dan terlepas dari kerancuan yang timbul oleh
karena digabungkannya permohonan Pemohon tentang keberatan perolehan suara
untuk Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota yang menyebabkan
permohonan menjadi kabur, akan tetapi dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon
sebagaimana yang telah disebutkan di atas maka permohonan Pemohon ditolak.
3. Daerah Pemilihan Kepri 4
Dari alat-alat bukti yang diajukan oleh Pemohon, keterangan saksi-saksi, keterangan
KPU, Mahkamah berkesimpulan bahwa disatu pihak telah terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang menyebabkan tidak terdapat
data penghitungan suara yang akurat dan meyakinkan, dan di lain pihak alat-alat bukti
Pemohon tidak mendukung penghitungan angka yang pasti tentang perolehan suara
partai Pemohon untuk menguatkan dalil permohonannya maupun untuk membuktikan
adanya penggelembungan suara terhadap Partai PIB dan partai lainnya.
Kendati demikian, guna lebih memperoleh keyakinan, Mahkamah lebih jauh telah
menggali data-data tentang kebenaran dalil Pemohon dengan mengadakan persidangan
melalui teleconference pada Rabu, 2 Juni 2004 untuk mendengarkan keterangan KPU
Provinsi Riau. Diperoleh fakta bahwa pada saat rekapitulasi penghitungan suara yang
dilakukan oleh KPU Provinsi Riau, yang wilayah kerjanya meliputi Provinsi Kepulauan
Riau, tidak ada keberatan dari Pemohon; dan partai yang hadir hanya PPP. Meskipun
boleh jadi partai Pemohon tidak mengetahui adanya rapat pleno penghitungan suara
termaksud, hal mana dipandang tidak relevan karena sebagai peserta Pemilu, Pemohon
memiliki kepentingan mencari informasi tentang hal tersebut. Berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
Pemohon ditolak.
4. Daerah Pemilihan Kendari 1
Pemohon hanya meminta jumlah suara sah yang benar dan BPP yang benar
menurut Pemohon sebagaimana diuraikan di atas dengan hanya mendasarkan pada
pernyataan Ketua POKJA Daerah Pemilihan 1 Kota Kendari pada harian Media Kendari
Ekspres, sebagaimana disebutkan di atas, tanpa menyatakan seberapa besar angka hasil
penghitungan suara yang didalilkan keliru tersebut. Maka seandainya pun constateering
Pemohon itu benar, komposisi perolehan suara tentu akan berubah dengan sendirinya
yang menyebabkan peringkat perolehan suara partai Pemohon tidak dapat diketahui,
sehingga dengan demikian Mahkamah tetap tidak dapat mengetahui pula apakah hal
tersebut berpengaruh atau tidak terhadap perolehan kursi partai Pemohon, karena tidak
diketahui penambahan suara yang benar tersebut akan ditambahkan kepada partai
apa dan seberapa besar. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat
permohonan Pemohon kabur, oleh karena permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
204 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
5. Daerah Pemilihan Kabupaten Barito Selatan 1
Alat bukti yang diajukan Pemohon adalah surat pengantar Nomor 99/PPK/KK/IV/2004
yang lampirannya berupa berita acara rapat Panitia Pemilihan Kecamatan Karau Kuala
dalam rangka pengecekan ulang sertikat rekapitulasi hasil rekapitulasi penghitungan
suara PPK. Bukti P-10 yang diajukan oleh Pemohon yaitu berupa surat keterangan
bertanggal 29 April 2004 yang dibuat oleh Ketua PPK Kecamatan Karau Kuala yang
menerangkan bahwa perolehan suara Partai Demokrat pada PPS 11 Desa Babai suara
Calon Legislatif 4 suara ditambah suara Partai Politik 6 suara, sehingga keseluruhannya
berjumlah 10 suara. berdasarkan Pasal 98 ayat 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
Ketua PPK tidak berwenang mengeluarkan surat keterangan perolehan suara melainkan
harus dilakukan dalam bentuk berita acara dan sertikat rekapitulasi hasil penghitungan
suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota
PPK serta ditandatangani saksi peserta Pemilu. berdasarkan uraian tersebut di atas,
alat-alat bukti yang diajukan oleh Pemohon untuk mendukung dalil permohonannya
dipandang tidak memiliki kekuatan bukti yang sah karena tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 98 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Dengan demikian, Mahkamah
Konstitusi berpendapat Pemohon tidak dapat membuktikan dalil permohonannya
sehingga permohonan Pemohon ditolak.
6. Daerah Pemilihan Barito Timur 1
Mahkamah dalam pertimbangannya menyatakan Pemohon telah menggunakan
alat bukti yang tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sah menurut Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003, karena dibuat oleh Pemohon sendiri dan Pemohon tidak berhasil
membuktikan dalilnya, oleh karenanya permohonan Pemohon ditolak.
7. Daerah Pemilihan 3 Kabupaten Talaud
Mahkamah dalam pertimbangannya menyatakan dalil-dalil dalam permohonan
Pemohon sangat tidak jelas (obscuur libel) sehingga Mahkamah tidak dapat
mempertimbangkan secara wajar permohonan Pemohon, oleh karenanya permohonan
Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.
8. Daerah Pemilihan Kabupaten Sidoarjo 5
Dalam persidangan Mahkamah Konstitusi, Pemohon tidak menyertakan bukti-bukti
yang sah menurut undang-undang yang dapat mendukung dalil permohonan Pemohon
tersebut. Setelah Mahkamah meneliti secara seksama permohonan Pemohon ternyata
tidak jelas baik posita maupun petitumnya.Terlepas dari ketidakjelasan posita maupun
petitum permohonan Pemohon, maka Mahkamah berpendapat Pemohon tidak berhasil
membuktikan dalil permohonannya, karena alat-alat bukti yang diajukan terutama Model
DB tidak melampirkan daftar rekapitulasi penghitungan suara yang bersifat nal. Dengan
pertimbangan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat Pemohon tidak berhasil
membuktikan dalil permohonannya, oleh karenanya permohonan Pemohon ditolak.
205 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
9. Daerah Pemilihan 6 Sulawesi Tengah
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan permohonan Pemohon
tidak cukup beralasan karena dalil Pemohon yang menyatakan kehilangan suara 1.218
dari PPK 1, 2, dan 3 tidak dapat terlihat dari data rekapitulasi KPU Kabupaten dalam
perbandingan dengan data rekapitulasi PPK 1, 2, dan 3, karena bukti P-1 sampai dengan
P-4b setelah diteliti ternyata penghitungannya dibuat sendiri oleh Ketua PPK dan tidak
sesuai dengan ketentuan Pasal 98 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003,
di mana ditentukan bahwa penghitungan suara harus dalam bentuk berita acara dan
sertikat rekapitulasi yang ditandatangani oleh Ketua PPK dan sekurang-kurangnya 2
(dua) orang anggota. Dengan pertimbangan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa Pemohon tidak berhasil membuktikan dalil permohonannya, sehingga permohonan
Pemohon ditolak.
10. Daerah Pemilihan Kabupaten Subang 5
Panwaslu di depan persidangan Mahkamah menyampaikan bahwa secara
keseluruhan telah terjadi kesalahan teknis penghitungan di Kecamatan Binong,
Kabupaten Subang (Panwaslu menyampaikan 6 contoh); sejak tanggal 29 Panwaslu
meminta kepada KPU untuk klarikasi, tetapi KPU Subang tidak memberikan dengan
alasan keamanan dan dampak yang diakibatkannya.
Mahkamah dalam Pertimbangannya menyatakan bahwa berdasarkan alat-alat bukti
yang diajukan oleh Pemohon serta keterangan KPU di persidangan dapat ditemukan
fakta, bahwa penghitungan suara telah terjadi kesalahan teknis secara menyeluruh,
sehingga penggelembungan dan pengurangan suara-suara tersebut akan terjadi pada
semua partai, oleh karenanya tidak dapat ditentukan partai mana yang dirugikan dan
mana yang diuntungkan.
Menurut Mahkamah Konstitusi, andaikata pun terbukti adanya penggelembungan
akan tetapi penggelembungan tersebut juga terjadi pada partai lain sebagaimana
disebutkan di atas, sehingga seharusnya pelanggaran Pemilu yang bersifat pidana
demikian diselesaikan oleh Panwaslu dengan menyerahkan pelanggaran tersebut
kepada Penyidik, namun demikian angka perolehan bagi PPP tidak dapat dibuktikan
oleh Pemohon secara akurat dengan alat-alat bukti yang diajukannya. Berdasarkan
pertimbangan di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat permohonan Pemohon
ditolak.
11. Daerah Pemilihan 3 Kabupaten Subang
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa alat-alat bukti
yang diajukan Pemohon tidak tampak secara meyakinkan kehilangan 109 suara bagi
Partai Demokrat dan penggelembungan 37 suara bagi PKPB. Oleh karena data PPK
yang diuji dan dipermasalahkan tidak dilampiri dengan data PPS dengan Berita Acara
yang sah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Terlepas dari tidak
diajukannya alat-alat bukti yang sah dari Pemohon, untuk mendukung permohonannya
206 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ternyata Pemohon sesuai dengan permohonannya baru mengadakan penelitian
rekapitulasi penghitungan suara di KPU Kabupaten dan tidak mengajukan keberatan
terhadap rekapitulasi yang diadakan di tingkat PPS dan PPK. Dengan memperhatikan
pertimbangan di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat Pemohon tidak dapat
membuktikan dalil permohonannya oleh karenanya permohonan Pemohon ditolak.
12. Daerah Pemilihan Jawa Barat 8
Dalam pertimbanganya Mahkamah Konstitusi menyatakan seandainya permohonan
Pemohon dikabulkan untuk menetapkan perolehan suara partai Pemohon sebesar
107.126 suara, sesuai dengan permohonannya, dengan perolehan suara partai Pemohon
tersebut, Pemohon tetap tidak memperoleh kursi oleh karena jumlah kursi telah habis
terbagi untuk partai-partai yang peringkat perolehan suaranya lebih tinggi dari perolehan
suara partai berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
13. Daerah Pemilihan 3 Kabupaten Maluku Tenggara Barat
Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa berdasarkan
Pasal 74 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, yang diakui memiliki legal standing untuk bertindak sebagai Pemohon dalam
sengketa perselisihan hasil pemilihan umum adalah partai politik peserta Pemilu dan
bukan perorangan. Meskipun dalam persidangan di hadapan Mahkamah tanggal 21
Mei 2004 Pemohon telah diberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan terhadap
permohonannya akan tetapi perbaikan mana tidak dilakukan, sehingga dengan demikian
permohonan a quo yang diajukan oleh Pemohon atas nama Petrus Canisius Jaaun
sebagai perorangan Calon Anggota DPRD untuk Kabupaten Maluku Tenggara Barat,
telah ternyata diajukan oleh pihak yang tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing), oleh karenanya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
14. Daerah Pemilihan Binjai 1
Dalam pertimbanganya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa terlepas dari
cacat prosedural dalam mekanisme penghitungan ulang yang dilakukan KPU Kota Binjai
sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
dan tidak adanya bukti yang menunjukkan bahwa penghitungan ulang itu telah dilakukan
dengan kehadiran semua partai-partai peserta Pemilu sebagai bukti keterbukaan/
transparansi, maka yang menjadi persoalan pokok sekarang adalah apakah benar data
PPS telah menegasikan dalil Pemohon, sehingga oleh karenanya data PPS yang berasal
dari dua sumber yang berbeda akan diuji oleh Mahkamah secara proporsional, dengan
penilaian sebagai berikut:
Surat tentang Berita Acara rekapitulasi penghitungan suara PPS-PPS dimaksud 1.
yang diajukan oleh KPU menunjukkan angka perolehan suara Partai Golkar dari
penghitungan di Daerah Pemilihan 1 Kota Binjai ternyata benar 14.298 suara;
207 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Bahwa meskipun data-data PPS yang diajukan oleh KPU memiliki cacat-cacat 2.
tertentu akan tetapi dilihat dari catatan yang dibuat hanya sepanjang mengenai cara
penjumlahan perolehan suara masing-masing partai, sehingga cacat dimaksud tidak
cukup signikan untuk menyatakan hasil keseluruhan penghitungan suara tersebut
tidak benar.
Dengan memperhatikan penilaian Mahkamah terhadap alat-alat bukti yang diajukan
oleh KPU yang meragukan kebenaran penghitungan suara yang dilakukan, maka demi
kepastian hukum (rechtszekerheid) dan kepastian politik (politiekezekerheid) Mahkamah
akan berpegang pada Pasal 98 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, di mana
keberatan salah satu peserta Pemilu seharusnya telah ditindaklanjuti secara seketika
oleh PPK tersebut, dan apabila tidak ditindaklanjuti oleh PPK, KPU boleh turun satu
tingkat, oleh karena mana perbaikan penghitungan yang dilakukan oleh KPU atas dasar
data rekapitulasi penghitungan suara di PPS harus diterima sebagai benar. Berdasarkan
uraian tersebut di atas, Mahkamah memperoleh keyakinan untuk mempercayai rekapitulasi
penghitungan oleh KPU Kota Binjai dengan menggunakan data PPS, sehingga dengan
pertimbangan tersebut di atas, permohonan Pemohon ditolak.
15. Daerah Pemilihan Langkat 1 Kabupaten Langkat
Keterangan KPU di depan persidangan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan
perolehan suara yang dikemukakan oleh Pemohon adalah tidak benar, karena
berdasarkan penghitungan menurut Model DA PPK Kecamatan Stabat perolehan suara
partai Pemohon sebesar 1.538 suara dan untuk mendukung suara Model D dari seluruh
PPS di Kecamatan Stabat.
Mahkamah dalam pertimbangnya menyatakan bahwa dari alat-alat bukti yang diajukan
dan dibuat Pemohon sendiri telah ternyata alat-alat bukti tersebut tidak bersesuaian
yang satu dengan yang lain dan tidak merujuk kepada data penghitungan PPS berupa
berita acara dan sertikat rekapitulasi penghitungan suara yang dikeluarkan secara sah
menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, oleh karena itu Mahkamah berpendapat
Pemohon tidak mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk menegasikan bukti-bukti yang
diajukan oleh KPU tersebut, sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon tidak dapat
membuktikan permohonannya secara sah dan meyakinkan. Berdasarkan pertimbangan
tersebut di atas dan berdasarkan Pasal 77 ayat (4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003, permohonan Pemohon ditolak.
Selengkapnya amar putusan Mahkamah Konstitusi berbunyi sebagai berikut.
- Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
- Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004
tanggal 5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai Demokrat untuk
Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Sulawesi Utara dari Daerah
Pemilihan 6 Sulawesi Utara;
- Menetapkan perolehan suara yang benar bagi Partai Demokrat untuk Calon Anggota
208 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Utara dari Daerah Pemilihan 6
Sulawesi Utara adalah sebesar 9.547 suara;
- Menyatakan permohonan Pemohon sepanjang menyangkut: (1) Daerah Pemilihan
Kepulauan Riau 4 untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi Kepulauan Riau, (2) Daerah Pemilihan Kota Kendari 1 untuk
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Kendari,
(3) Daerah Pemilihan Kabupaten Barito Selatan 1 untuk Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Barito Selatan, (4) Daerah Pemilihan
Barito Timur 1 untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Barito Timur, (5) Daerah Pemilihan Kabupaten Talaud untuk Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud,
(6) Daerah Pemilihan Kabupaten Sidoarjo untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sidoarjo, (7) Daerah Pemilihan Kabupaten
Maluku Tenggara Barat untuk Pemlihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Barat, (8) Daerah Pemilihan Jawa Barat VIII
untuk pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard);
- Menolak permohonan Pemohon selebihnya;
- Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan Putusan ini.
209 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 022/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004
CALON ANGGOTA DPD PROVINSI RIAU
Pemohon : H. Arbi, S.H., MM.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPD Provinsi Riau.
Pokok Perkara : Penetapan hasil suara Pemilihan Umum Calon Anggota DPD
Provinsi Riau yang penghitungan suaranya tidak melalui prosedur
yaitu mengundang calon DPD untuk menyaksikan penghitungan
suara.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan : Selasa, 18 Mei 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) peserta Pemilu
Tahun 2004 untuk Daerah Pemilihan Provinsi Riau. Pemohon merasa keberatan terhadap
Penetapan KPU Nomor 44/SK/KPU/2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Pemilihan
Umum Tahun 2004 secara nasional yang diumukan pada hari Rabu tanggal 5 Mei 2004
pukul 12.00 WIB yang hasil penghitungannya adalah 89.954 suara.
Pemohon menganggap bahwa penghitungan suara tersebut tidak sesuai tahapan/
prosesur sebagaimana diatur dalam Pasal 96 s.d Pasal 103 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut ketentuan Pasal 96
s.d Pasal 103 UU Pemilu bahwa proses penghitungan suara, baik di TPS, PPS, PPK,
KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi harus disaksikan oleh DPD, namun hal tersebut
tidak pernah dilakukan. Atas kesalahan tersebut, Pemohon dan Calon DPD lainnya
mengajukan keberatan tertulis kepada KPU dengan surat Nomor 21/C.DPD-7/IV/2004
tertanggal 27 April 2004, namun KPU Provinsi Riau tidak menanggapinya.
210 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Penghitungan suara yang menimbulkan kerugian bagi Pemohon, yaitu di Kabupaten
Indragiri Hilir ada kelebihan suara sebanyak 50.000 suara; di Kabupaten Idragiri Hulu
ada kelebihan suara sebanyak 26.000 suara; di Kabupaten Rokan Hulu ada kelebihan
suara sebanyak 37.058 suara; adanya perbedaan rekapitulasi antara KPU Kabupaten
Bengkalis dan KPU Provinsi Riau, misalnya terhadap Caleg DPD No. 5 (Tauk Ikram
Jamil). Rekapitulasi KPU Kabupaten Bengkalis Caleg DPD No. 5 memperoleh suara
26.318 suara dan rekapitulasi KPU Provinsi Riau berubah menjadi 33.687 suara,
sehingga mengalami kenaikan 7.369 suara. Caleg DPD No. 9 (Dinawati) rekapitulasi
KPU Kabupaten Bengkalis memperoleh suara 21.821 dan rekapitulasi KPU Provinsi Riau
berubah menjadi 24.434 suara, sehingga mengalami kenaikan 2.602 suara. Caleg DPD
No. 8 (Ir.Nawasir) rekapitulasi KPUD Kabupaten Bengkalis memperoleh suara 8.631 dan
rekapitulasi KPUD Provinsi berubah menjadi 5.396 suara, sehingga kekurangan suara
sebesar 3.235 suara.
Terhadap permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan
pendapatnya bahwa Pemohon memiliki kepasitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
74 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
namun dalam perbaikan permohonannya Pemohon tidak menyebutkan perolehan
suaranya dan perolehan suara calon lain yang dapat mempengaruhi terpilihnya Pemohon
sebagai anggota DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga dengan demikian permohonan
Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.
211 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 023/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PESELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004
CALON ANGGOTA DPRD PARTAI BURUH SOSIAL DEMOKRAT
Pemohon : 1. DR. Muchtar Pakpahan, SH., MA.; 2. Drg. Diah Indriastuti
Termohon : Komisi Pemilihan Umum
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Pokok Perkara : Peselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPRD Partai Buruh
Sosial Demokrat.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Jumat, 18 Juni 2004
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Buruh Sosial
Demokrat (PBSD) peserta Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun
2004 yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan Penetapan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 678/2003 tanggal 7 Desember 2003 tentang Penetapan Partai
Politik sebagai Peserta Pemilu Tahun 2004.
Pemohon berkeberatan terhadap proses penyelenggaraan Pemilu 2004 oleh KPU
yang diketuai Prof. DR. Nazaruddin Syamsuddin, karena telah banyak terjadi banyak
pelanggaran-pelanggaran dan kecurangan-kecurangan yang berpotensi mempengaruhi
hasil Pemilihan Umum sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi perolehan suara
PBSD secara Nasional. Pelanggaran KPU tersebut menyangkut pelanggaran terhadap
Pasal 67 ayat (5), Pasal 43 ayat (1), Pasal 45 ayat (3), Pasal 81 ayat (1), Pasal 13,
Pasal 97 ayat (1), Pasal 98 ayat (1), dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu).
Pemohon mohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan KPU yang
diketuai oleh Prof. DR. Nazaruddin Syamsuddin dan menetapkan untuk membentuk KPU
212 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
baru yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri dengan beranggotakan seluruh Partai
Politik yang ada.
Pemohon berkeberatan atas perolehan suara yang diumumkan oleh KPU Nomor 44/
SK/KPU/2004 tanggal 5 Mei 2004, yaitu masing-masing:
Daerah Pemilihan II Sumatera Utara untuk Calon Anggota DPR I.
Menurut penetapan suara yang diumumkan KPU bahwa partai Pemohon untuk
Daerah Pemilihan II Sumatera Utara memperoleh suara 49.827. Perolehan suara
tersebut tidak sesuai dengan penghitungan yang dilakukan oleh Pemohon, yaitu untuk
partai Pemohon memperoleh suara 63.535. Perbedaan perolehan suara tersebut terjadi
karena adanya penggelembungan suara partai-partai lain di Kabupaten Nias Selatan
dan Tapanuli Selatan. Misalnya di Kabupaten Nias Selatan, Partai Pelopor memperoleh
63.700 suara, padahal menurut penghitungan suara KPU Nias Selatan tanggal 15 April
2004, Partai Pelopor hanya memperoleh 13.000 suara.
Daerah Pemilihan 5 Kota Medan untuk Calon Anggota DPRD Kota Medan II.
Menurut penetapan suara yang diumumkan KPU bahwa partai Pemohon untuk di
Daerah Pemilihan 5 Kota Medan memperoleh suara 6.735, perolehan suara yang benar
menurut Pemohon adalah 7.363 suara. Pemohon keberatan atas perolehan suara Partai
Patriot Pancasila sebesar 6.787 suara dan mengenai perolehan Partai Patriot Pancasila
tidak disebutkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo.
Daerah Pemilihan 3 Tapanuli Tengah untuk Anggota DPRD Kabupaten Tapanuli III.
Tengah
Menurut penetapan suara yang diumumkan KPU bahwa partai Pemohon untuk
Daerah Pemilihan 3 Tapanuli Tengah memperoleh 1.110 suara, perolehan suara yang
benar menurut Pemohon adalah di Kecamatan Tapian Nauli 695 suara; di Kecamatan
Sitahuis 179 suara; di Kecamatan Kolang 116 suara; di Kecamatan Sorkam 154 suara;
di Kecamatan Sorkam Barat 305 suara, sehingga total sebesar 1.149 suara.
Dengan perolehan suara 1.149 tersebut, partai Pemohon akan memperoleh satu
kursi berdasarkan sisa suara.
Daerah Pemilihan 2 Kabupaten Nias untuk Anggota DPRD Kabupaten Nias IV.
Menurut penetapan suara yang diumumkan KPU bahwa partai Pemohon untuk
Daerah Pemilihan 2 Kabupaten Nias memperoleh 1.482 suara, perolehan suara yang
benar menurut Pemohon adalah 2.649 suara terdiri dari perolehan PBSD di Kecamatan
Gido sebesar 1.449 suara dan di Kecamatan Bawolato serta Kecamatan Idanogawo
sebesar 1.200 suara.
Daerah Pemilihan 5 Aceh Tenggara untuk Anggota DPRD Kabupaten Aceh V.
Tenggara
Menurut penetapan suara yang diumumkan KPU bahwa partai Pemohon untuk
Daerah Pemilihan 5 Aceh Tenggara memperoleh 860 suara, perolehan suara yang
213 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
benar menurut Pemohon adalah 1.080 suara yang terdiri dari perolehan suara PBSD
di Kecamatan Badar sebesar 894 suara, dan Kecamatan Darul Hasanah sebesar 186
suara.
Daerah Pemilihan 1 Pelalawan untuk Anggota DPRD Kabupaten Pelalawan VI.
Menurut penetapan suara yang diumumkan KPU bahwa partai Pemohon untuk Daerah
Pemilihan 1 Pelalawan memperoleh 1.217 suara, perolehan suara yang benar menurut
Pemohon adalah 1.301 suara. Suara Pemohon di Daerah Pemilihan 1 Pelalawan hilang
84 suara, semestinya selisih suara yang terjadi sebesar 84 suara tersebut ditambahkan
ke dalam suara Pemohon. Selisih suara tersebut terjadi karena di TPS 10 Desa Sikijang
Mati Kecamatan Kerinci perolehan suara Pemohon ditulis 0 suara.
Daerah Pemilihan 4 Kutai Kartanegara untuk Anggota DPRD Kabupaten VII.
Menurut penetapan suara yang diumumkan KPU bahwa partai Pemohon untuk
Daerah Pemilihan 4 Kutai Kartanegara memperoleh 531 suara, perolehan suara yang
benar menurut Pemohon adalah 9.397 suara.
Daerah Pemilihan 2 Manokwari untuk Anggota DPRD Kabupaten Manokwari VIII.
Menurut penetapan suara yang diumumkan KPU bahwa partai Pemohon untuk
Daerah Pemilihan 2 Manokwari memperoleh 2.229 suara, perolehan suara yang benar
menurut Pemohon adalah 2.716 suara, sehingga menurut penghitungan Pemohon bahwa
dengan jumlah suara tersebut akan mendapat satu kursi dari sisa suara.
Daerah Pemilihan 1 Nias Selatan untuk untuk Anggota DPRD Kabupaten Nias IX.
Selatan
Menurut penetapan suara yang diumumkan KPU bahwa partai Pemohon untuk
Daerah Pemilihan 1 Nias Selatan memperoleh 1994 suara, perolehan suara yang benar
menurut Pemohon adalah 1.807 suara yang terdiri dari perolehan suara Partai Buruh
Serikat Demokrat di Kecamatan Teluk Dalam sebesar 1.417 suara, dan di Kecamatan
Lahusa sebesar 390 suara. Pemohon mendalilkan telah terjadi pelanggaran dan
kecurangan di Kecamatan Teluk Dalam, yang mengakibatkan Pemohon kehilangan
suara sebanyak 567 dari desa-desa di PPK Teluk Dalam, yaitu Hiligeho, Hilisondrekha,
Lahusa Fau, Botohilitano, Hilimaenamolo, Bawogosali, Bawoganowo, Bawolahusa,
Hilinamozaua, Hilimandregeraya, yang setelah dihitung oleh Pemohon bahwa suaranya
yang hilang sebesar 381 suara.
Daerah Pemilihan 1 Kabupaten Simalungun untuk Anggota DPRD Kabupaten X.
Simalungun
Menurut penetapan suara yang di umumkan KPU bahwa partai Pemohon untuk
Daerah Pemilhan 1 Kabupaten Simalungun memperoleh 1.586 suara, perolehan suara
yang benar menurut Pemohon adalah 1.776 suara yang didapat dari Kecamatan Tanah
Jawa sebesar 1.178 suara, dan Kecamatan Hatonduhan sebesar 598 suara.
214 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Daerah Pemilihan 2 Mamuju untuk Anggota DPRD Kabupaten Mamuju XI.
Menurut penetapan suara yang di umumkan KPU bahwa partai Pemohon untuk
Daerah Pemilhan 2 Mamuju memperoleh 854 suara, perolehan suara yang benar
menurut Pemohon adalah 1.362 suara.
Daerah Pemilihan 1 Kota Palopo untuk DPRD Kabupaten Nias Selatan XII.
Menurut penetapan suara yang di umumkan KPU bahwa partai Pemohon untuk
Daerah Pemilhan 1 Kota Palopo memperoleh 854 suara, Partai Serikat Indonesia
memperoleh 862 suara. Menurut Pemohon perolehan suara PBSD yang benar adalah
854 suara, sedangkan perolehan suara Partai Serikat Indonesia yang benar adalah 827
suara. Perbedaan perolehan suara Partai Serikat Indonesia terjadi karena Partai Serikat
Indonesia di TPS 04 Kelurahan Pontap Kecamatan Wara Utara tidak mendapatkan
suara, sedangkan penghitungan di PPS Pontap Partai Serikat Indonesia memperoleh
35 suara.
Terhadap permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan bahwa sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo.
Pasal 10 ayat (1) huruf d jo. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK) jo. Pasal 134 UU Pemilu, Mahkamah berwenang untuk
memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Pemohon.
Selanjutnya berdasarkan Salinan Keputusan KPU Nomor 678 Tahun 2003 tentang
Penetapan Partai Politik sebagai Peserta Pemilihan Umum Tahun 2004 bertanggal
7 Desember 2003, Pemohon adalah Partai Politik sebagai Peserta Pemilihan Umum
Tahun 2004, maka oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (1) huruf c UU
MK, Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai
Pemohon di dalam permohonan a quo.
Sehubungan dengan permohonan Pemohon yang memohon agar KPU yang
dipimpin Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin dibubarkan dan membentuk KPU baru yang
diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang beranggotakan seluruh partai politik, Mahkamah
berpendapat bahwa Pasal 77 ayat (4) UU MK tidaklah mencakup tuntutan-tuntutan
dimaksud, oleh karena itu Mahkamah tidak akan mempertimbangkan mengenai tuntutan
Pemohon tersebut.
Setelah Mahkamah menyatakan mempunyai kewenangan untuk memeriksa
permohonan Pemohon dan Pemohon dinyatakan mempunyai kedudukan hukum (legal
standing), selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon,
sebagai berikut:
I. Daerah Pemilihan II Sumatera Utara untuk calon Anggota DPR
KPU Nias Selatan pada sidang tanggal 18 Mei 2004 telah mengajukan alat bukti
berupa Rekapitulasi Model DB1 yang untuk PBSD memperoleh 2.071 suara, sedangkan
Partai Pelopor memperoleh 55.106 suara. Angka yang diperoleh Pemohon tidak berbeda
215 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan angka yang tercantum dalam Rekapitulasi Model DA dari 8 Kecamatan Nias
Selatan dengan Model DB Kabupaten Nias Selatan. Rekapitulasi Model DA tidak
ditandatangani dan penghitungannya meragukan, sedangkan Model DB tidak sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD, sehingga menurut Mahkamah bukti dimaksud sah.
Pemohon mendalilkan bahwa terdapat perbedaan penghitungan suara antara
rekapitulasi KPU dengan data yang dimiliki oleh Pemohon. Mengenai dalil Pemohon
tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa Pemohon tidak dapat membuktikan berapa
jumlah suara yang digelembungkan tersebut. Karena Pemohon tidak dapat membuktikan
dalil-dalilnya, maka Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon dinyatakan ditolak.
II. Daerah Pemilihan 5 Kota Medan untuk Calon Anggota DPRD Kota Medan
Terhadap permohonan Pemohon, Mahkamah Konstitusi menugaskan Timnya
untuk melakukan pemeriksaan setempat. Dari pemeriksaan setempat tersebut dapat
diketahui bahwa KPU Kota Medan yang menggunakan data PPK diprotes oleh partai-
partai termasuk partai Pemohon. Sehubungan adanya protes tersebut, KPU Kota
Medan menyerahkan kepada seluruh partai untuk mengambil data di PPS. Kemudian
KPU melakukan penghitungan ulang yang didasarkan pada data PPS. Tim Mahkamah
Konstitusi juga mendapatkan sampel penghitungan di tingkat PPS Kelurahan Mabar dan
Kelurahan Titipapan Kecamatan Medan Deli, dimana KPU Medan menjelaskan bahwa
penghitungan suara Partai Pemohon menimbulkan keraguan yang suara Pemohon
melebihi 300 suara. Oleh karena dilakukan penghitungan ulang dan ternyata memang
terdapat kekeliruan dalam penjumlahan di PPS dan TPS-TPS. Berdasarkan hal-
hal tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa alat bukti Pemohon diragukan
kebenarannya karena adanya ketidaksesuaian antara rakapitulasi PPK dengan data-
data yang diperoleh dari TPS. Dengan demikian permohonan Pemohon harus dinyatakan
ditolak.
III. Daerah Pemilihan 3 Tapanuli Tengah untuk Anggota DPRD Kabupaten Tapanuli
Tengah
Rekapitulasi penghitungan suara yang dibuat oleh Pimpinan Cabang Partai Pemohon
tanpa dukungan data-data PPS dan PPK, sehingga tidak memiliki kekuatan bukti secara
sah menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, serta tidak dapat menegasikan bukti
yang diserahkan KPU berupa Model DA dan DB, dimana menurut bukti tersebut partai
Pemohon memperoleh 1.110 suara. Oleh karena Pemohon tidak dapat membuktikan
dalil-dalil permohonannya, maka Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon
dinyatakan ditolak.
IV. Daerah Pemilihan 2 Kabupaten Nias untuk Anggota DPRD Kabupaten Nias
Berdasarkan penetapan suara oleh KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004, partai
Pemohon untuk Daerah Pemilihan 2 Kabupaten Nias memperoleh 1.482 suara. Perolehan
suara yang benar menurut Pemohon adalah 2.649, jikapun Mahkamah mengabulkan
216 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
permohonan Pemohon, hal tersebut tidak berpengaruh pada perolehan kursi partai
Pemohon. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
V. Daerah Pemilihan 5 Aceh Tenggara untuk Anggota DPRD Kabupaten Aceh
Tenggara
Berdasarkan Rekapitulasi yang dibuat oleh KPU Aceh Tenggara (Model DB),
perolehan suara partai Pemohon untuk Daerah Pemilihan 5 Aceh Tenggara sebesar
580 suara yang terbagi atas 484 suara untuk Kecamatan Badar dan 96 suara untuk
Kecamatan Darul Hasanah. Perolehan suara tersebut sama dengan hasil rekapitulasi
yang diumumkan oleh KPU pada tanggal 5 Mei 2004. Jikapun permohonan Pemohon
dikabulkan untuk 1.080 suara, hal tersebut tidak mempengaruhi perolehan kursi bagi
Pemohon berdasarkan penghitungan sisa suara. Oleh karena Pemohon tidak berhasil
membuktikan dalil permohonannya, maka permohonan Pemohon oleh Mahkamah
dinyatakan ditolak.
VI. Daerah Pemilihan 1 Pelalawan untuk Anggota DPRD Kabupaten Pelalawan
Pemohon mendalilkan bahwa telah kehilangan 84 suara, hal tersebut terjadi karena
tidak dimasukkannya perolehan suara Pemohon di TPS 10 ke dalam rekapitulasi
pengitungan suara PPS Sikijang Mati Kecamatan Kerinci. Pemohon telah mengajukan
keberatan kepada ke Panwaslu Kecamatan Kerinci, ke Panwaslu Kabupaten Pelalawan
yang meminta KPU Kabupaten Pelalawan untuk melakukan penghitungan ulang terutama
di TPS 10 Desa Sikijang Mati Kecamatan Kerinci. Terhadap dalil Pemohon tersebut,
KPU dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi tidak memberikan keterangan yang
menyatakan sebaliknya, sehingga Mahkamah berkeyakinan bahwa perolehan suara
partai Pemohon tidak direkapitulasi dalam data penghitungan suara di PPK, dengan
demikian permohonan Pemohon dikabulkan.
VII. Daerah Pemilihan 4 Kutai Kartanegara untuk Anggota DPRD Kabupaten Kutai
Kartanegara
Alat bukti yang diajukan Pemohon berupa Berita Acara hasil penghitungan suara
PPK Muara Badak, dan juga lampiran hasil penghitungan suara di tingkat kecamatan
tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, karena dalam alat bukti tersebut tidak
mencantumkan nama kecamatan dimaksud. Mahkamah meragukan data rekapitulasi
Model DB KPU Kabupaten Kutai Kartanegara dan Berita Acara PPK yang diajukan oleh
Pemohon, karena suara sah yang diperoleh semua partai sebesar 16.525 suara, hal
tersebut tidak sesuai dengan suara sah menurut penghitungan suara tiap partai di PPK
Muara Badak sebesar 19.177 suara. Oleh karena Pemohon tidak dapat membuktikan
dalilnya bahwa telah memperoleh 9.397 suara, maka Mahkamah menyatakan
permohonan Pemohon ditolak.
VIII. Daerah Pemilihan 2 Manokwari untuk Anggota DPRD Kabupaten Manokwari
Berdasarkan Penetapan KPU Nomor 44/SK/KPU/2004, Pemohon memperoleh
217 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
satu kursi dari sisa kursi. Sekalipun suara Pemohon ditetapkan menjadi 2.716 suara, hal
tersebut tidak mempengaruhi perorehan kursi partai Pemohon untuk DPRD Kabupaten
Manokwari. Dengan demikian permohonan Pemohon oleh Mahkamah dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
IX. Daerah Pemilihan 1 Nias Selatan untuk Anggota DPRD Kabupaten Nias Selatan
Pemohon mendalilkan telah kehilangan suara sebesar 567 suara di PPK Teluk
Dalam. Untuk mendukung dalilnya tersebut, Pemohon telah mengajukan alat bukti berupa
Laporan Perolehan Suara PBSD yang merupakan hasil penghitungan suara dari masing-
masing TPS dalam wilayah Teluk Dalam. Namun alat bukti Pemohon tersebut tidak
didukung dengan alat bukti lain, sehingga satu alat bukti tidak dapat digunakan sebagai
alat bukti yang sah untuk mendukung dalilnya. Karena Pemohon tidak dapat membuktikan
dalil permohonannya, maka Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon ditolak;
X. Daerah Pemilihan 1 Kabupaten Simalungun untuk Anggota DPRD Kabupaten
Simalungun
Pemohon keberatan atas penetapan hasil perolehan suara yang diumumkan oleh
KPU, dimana partai Pemohon memperoleh 1.586 suara. Menurut Pemohon pertainya
memperoleh 1.776 suara yang didapat dari 1.178 suara dari Kecamatan Tanah Jawa,
dan 598 suara dari Kecamatan Hatonduhan. Pemohon dalam permohonannya tidak
menyertakan alat bukti yang dapat mendukung dalilnya tersebut. Oleh karena itu
Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
XI. Daerah Pemilihan 2 Mamuju untuk Anggota DPRD Kabupaten Mamuju
Pemohon mendalilkan telah memperoleh suara sebesar 1.141 suara, hasil suara
mana didasarkan atas data yang dikeluarkan oleh Abdul Azis yang mengatasnamakan
KPU. Mahkamah mengesampingkan penghitungan suara yang dikeluarkan oleh Abdul
Azis, karena surat tersebut tidak dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan tidak
menurut bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, Surat KPU
Kabupaten Mamuju Nomor 199/KPU-MU/V/2004 tanggal 24 Mei 2004 dijadikan pedoman
Mahkamah untuk menentukan penghitungan suara yang benar, dimana menurut surat
penetapan perolehan suara KPU tersebut, Pemohon memperoleh 863 suara. Oleh karena
Pemohon tidak dapat membuktikan dalilnya, maka Mahkamah menyatakan permohonan
Pemohon ditolak.
Dalam putusannya, Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk
sebagian; membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/Tahun
2004 tanggal 5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai Buruh Sosial
Demokrat untuk calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pelalawan
di Daerah Pemilihan 1 Kabupaten Pelalawan; menyatakan hasil penghitungan suara yang
benar bagi Partai Buruh Sosial Demokrat untuk calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Pelalawan di Daerah Pemilihan 1 Kabupaten Pelalawan sebesar
1.301 suara; menyatakan permohonan Pemohon sepanjang menyangkut perolehan
218 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
suara untuk : (1) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Nias
di Daerah Pemilihan 2 Kabupaten Nias, (2) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Manokwari di Daerah Pemilihan 2 Kabupaten Manokwari tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard); menolak permohonan Pemohon selebihnya; dan
memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan putusan ini.
219 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 024/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004 CALON ANGGOTA DPR DAN
DPRD PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN
Pemohon : Megawati Sukarno Putri dan Ir. Sutjipto
Termohon : Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sejumlah Daerah di Indonesia.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon Anggota DPR dan DPRD
dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Pokok Perkara : Penetapan hasil suara Pemilu Anggota DPR Daerah Pemilihan
Maluku Utara; Anggota DPRD Kabupaten Gunung Kidul Daerah
Pemilihan Gunung Kidul 2; Anggota DPRD Kabupaten Pasaman
Barat Daerah Pemilihan Pasaman Barat 1; Anggota DPRD Kota
Palembang Daerah Pemilihan Palembang 1; Anggota DPRD
Kabupaten Minahasa Daerah Pemilihan Minahasa 3; Anggota
DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan Daerah Pemilihan Tapanuli
Selatan 6; Anggota DPRD Kabupaten Simalungun Daerah Pemilihan
Sumatera Utara 9; Anggota DPRD Kota Sibolga Daerah Pemilihan
Sibolga 1; Anggota DPRD Provinsi Bengkulu Daerah Pemilihan
Bengkulu 5; Anggota DPRD Provinsi Sumatera Selatan Daerah
Pemilihan Sumatera Selatan 2; Anggota DPRD Kabupaten Berau
Daerah Pemilihan Berau 4.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Selasa, 15 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang bertindak untuk dan atas nama
PDIP peserta Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2004.
220 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon berkeberatan terhadap sejumlah penghitungan hasil suara yang
dikeluarkan oleh KPU berdasarkan Keputusan KPU Nomor 44/2004, yaitu:
Pertama, untuk penghitungan suara akhir Pemilu calon legislatif DPR Pusat pada Daerah
Pemilihan Maluku Utara. Menurut KPU secara nasional PDIP mendapatkan suara
sebanyak 37.651 sedangkan menurut KPU Provinsi Maluku Utara PDIP mendapatkan
43.083 suara. Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara yang benar bagi
PDIP versi KPU adalah 40.387 dan KPU Provinsi adalah 40.000.
Kedua, jumlah hasil suara Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Gunung Kidul daerah pemilihan
Gunung Kidul 2 yang dikeluarkan oleh KPU Daerah telah mengalami penggelembungan suara
pada 4 kecamatan sebanyak 218 suara. Suara sah yang masuk versi KPUD adalah 72.257,
seharusnya yang benar suara tersebut harus dikurangi 218 suara hasil penggelembungan,
sehingga menjadi 72.039 suara sah. Bahwa adapun perolehan suara PDIP berdasarkan data
di PPS/PPK yang kemudian diplenokan pada tingkat KPU Daerah adalah sebanyak 22.027
suara, dengan BPP 9.032 berarti PDIP mendapat jatah 2 kursi dengan sisa suara sebanyak
3.983 untuk sisa suara di 4 (empat) kecamatan. Menurut Pemohon, penetapan KPUD adalah
salah. Oleh karena itu, Pemohon minta pada Mahkamah Konstitusi untuk Menetapkan PDIP
Daerah Pemilihan Gunung Kidul lI Kabupaten Gunung Kidul Provinsi DIY mendapatkan 3
(tiga) kursi DPRD Kabupaten yang diperoleh dari: 2 (dua) kursi karena memenuhi BPP dan 1
(satu) kursi diperoleh karena sisa suara PDIP sebanyak 4.017 suara.
Ketiga, untuk penghitungan suara pada Daerah Pemilihan Pasaman Barat 1, Kabupaten
Pasaman, Sumatera Barat, yang mengakibatkan perolehan jumlah kursi PDIP hilang dan/
atau berkurang atau sekurang-kurangnya mempengaruhi perolehan kursi DPRD Kabupaten
Pasaman Barat bagi Pemohon. Bahwa dalam hal dilakukannya penghitungan suara ulang,
menyebabkan PDI Perjuangan tidak mendapatkan jatah kursi DPRD Kabupaten Pasaman.
Pada penghitungan awal PDIP mendapatkan 1.229 suara sehingga berhak mendapatkan
satu kursi, namun setelah penghitungan suara PDIP mendapatkan 1.222 suara sehingga
tidak mendapatkan satu kursi pun.
Keempat, untuk penghitungan KPUD DAPIL I Kota Palembang, Sumatra Selatan. Bahwa
melalui penghitungan suara yang dikeluarkan KPUD DAPIL I Kota Palembang adalah PDI
P sebanyak 19.195 suara sehingga mendapatkan satu suara. Sedangkan menurut PPK
DAPIL 1 Kota Palembang adalah PDIP mendapatkan 19.347 suara sehingga seharusnya
mendapatkan 2 kursi.
Kelima, untuk penghitungan suara pada Daerah Pemilihan Minahasa III Provinsi
Sulawesi Utara. Dari hasil penghitungan suara pemilihan Anggota DPRD/Legislatif
Kabupaten Minahasa, Daerah Pemilihan Minahasa III diperoleh hasil pemilihan suara
bagi PDIP yakni mendapatkan suara 8.098 suara. Pemohon merasa bahwa telah
terjadi kesalahan dan kecurangan dalam penghitungan suara yang ada. Sehingga
Pemohon mendalilkan bahwa seharusnya mendapatkan 8.101 suara.
Keenam, untuk penghitungan suara pada Daerah Pemilihan Tapsel VI Kabupaten
221 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Bahwa telah terjadi penggelembungan
dan pengurangan suara di tingkat PPK Kecamatan Barumun pada 7 PPS dan 11 TPS.
Perolehan suara versi TPS/PPS adalah 1.912 dan perubahan suara setelah di PPK
adalah 3.038 sehingga terjadi penggelembungan sebanyak 1.126 suara. Akibatnya
adalah bahwa PDIP tidak mendapatkan jatah sisa kursi yang seharusnya.
Ketujuh, untuk Daerah Pemilihan (Dapem IX) Kabupaten Siantar-Simalungun tertanggal
20 April 2004 tentang Berita Acara Penghitungan Perolehan Suara untuk PDIP, keberatan
mana terlihat dalam penghitungan perolehan suara pada beberapa kecamatan di
Kabuapaten Simalungun. Berdasarkan Data KPU Daerah, Daerah Pemilihan-IX untuk
daerah Siantar dan Simalungun, perolehan suara PDIP memperoleh 90.331 suara.
Berdasarkan jumlah sisa suara yang dimiliki oleh PDIP, yakni sebanyak 22.389 suara
secara otomatis dapat memperoleh tambahan jatah 1 kursi untuk DPRD. Akan tetapi
dalam kenyataanya 1 kursi yang semestinya menjadi hak PDIP bergeser ke Partai
Keadilan Sejahtera yang hanya memperoleh suara 21.126. Sehingga Pemohon
mendalilkan bahwa telah terjadinya kekeliruan dan kecurangan dalam perolehan suara
pada beberapa kecamatan di Kabupaten Simalungun.
Kedelapan, untuk Daerah Pemilihan (Dapem I) Kota Sibolga tentang Berita Acara
Penghitungan Suara, dimana dalam Berita Acara tersebut PDIP memperoleh suara di
Kecamatan Sibolga Utara, sebanyak 1.756 suara dan Kecamatan Sibolga Kota, sebanyak
1.054 suara. Bahwa atas Penetapan KPU daerah tersebut, Pemohon berkeberatan sebab
tidak bersesuaian dengan Hasil Rekapitulasi di PPK tertanggal 9 April 2004 yang hasilnya
adalah pada Kecamatan Sibolga Utara, sebanyak 1.796 suara dan Kecamatan Sibolga
Kota, sebanyak 1.280 suara. Sehingga total suara sebanyak 3.076 suara.
Kesembilan, untuk Daerah Pemilihan (DP-5) Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu
yang hasil penghitungannya adalah sebesar 4.447 suara, sedangkan menurut data yang
dimiliki oleh Pemohon hasil penghitungan suaranya sebesar 4.811.
Kesepuluh, Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara Daerah Pemilihan
Sumatera Selatan 2 untuk pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi Sumatera Selatan terdapat kesalahan dan manipulasi. Hasil penghitungan
suara yang didapatkan oleh PDIP disebutkan total sebanyak 93.014, sedangkan menurut
Pemohon disertai bukti-bukti seharusnya adalah 123.540 suara.
Kesebelas, untuk penetapan KPU Daerah Berau, Dapel IV, Kalimantan Timur yang
menyatakan bahwa hasil penghitungan suara PDIP adalah 1164 suara untuk DPRD
kabupaten. Sedangkan menurut penghitungan PDIP data yang seharusnya adalah
1345 suara untuk DPRD Kabupaten.
Menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1)
huruf d, Pasal 74, dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (UU MK) jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu), Mahkamah berpendapat
bahwa permohonan Pemohon termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi.
222 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berdasarkan bukti bahwa Pemohon adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal
Dewan Pimpinan Pusat PDIP, oleh karena itu berdasarkan Pasal 74 UU MK jo. Pasal 5
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Pemilu, Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai
Pemohon di dalam permohonan tersebut.
1. Dapil Maluku Utara (DPR)
Terlepas dari benar tidaknya alat-alat bukti tertulis maupun saksi yang diajukan
dalam persidangan, Mahkamah menilai permohonan Pemohon kabur (obscuur libel)
karena tidak jelas versi penghitungan mana yang diperjuangkan oleh Pemohon dalam
permohonannya. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka permohonan
Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvanklijk verklaard).
2. Dapil Gunung Kidul 2 (DPRD Kabupaten)
Dalil Pemohon yang menyatakan telah terjadi penggelembungan perolehan suara
partai-partai politik di Dapil Gunung Kidul 2 tidak didukung oleh alat-alat bukti yang
meyakinkan Mahkamah. Terlepas dari dalil-dalil Pemohon beserta alat-alat bukti yang
diajukannya, Mahkamah menilai bahwa petitum permohonan yang diperbaiki pada
tanggal 25 Mei 2004 adalah tidak sesuai dengan Pasal 75 UU MK. Oleh karena itu
Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon kabur (obscuur libel), sehingga
harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
3. Dapil Pasaman Barat 1 (DPR Kabupaten)
Setelah Mahkamah membandingkan bukti yang diajukan oleh Pemohon dengan
dokumen yang dikeluarkan oleh KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 5 Mei 2004
telah ternyata tidak terdapat kesalahan dalam penghitungan. Berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut dan berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK, maka Mahkamah
harus menolak permohonan Pemohon.
4. Dapil Palembang 1 (DPRD Kota)
Dalam persidangan, saksi yang diajukan Pemohon menerangkan tentang terjadinya
pelanggaran yang dilakukan oleh jajaran KPU di tingkat PPK. Terlepas dari penghitungan
hasil perolehan suara yang dipersoalkan oleh Pemohon, sepanjang pelanggaran
dimaksud terjadi dalam proses penghitungan suara, lagi pula UU Pemilu telah mengatur
secara rinci tentang pelanggaran dan tindak pidana serta prosedur penanggulangannya,
maka pelanggaran dan tindak pidana yang terjadi harus diproses sesuai dengan prosedur
yang tersedia pada setiap tahap. Terhadap upaya dimaksud Mahkamah menghormati
segala langkah penegakan hukum yang ditempuh baik oleh Panwaslu maupun oleh
aparat penegak hukum yang berwenang. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut dan berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK, maka Mahkamah harus menolak
permohonan Pemohon.
5. Dapil Minahasa 3 (DPRD Kabupaten)
Dalam keterangan tertulis maupun dalam persidangan, serta kesimpulan, ternyata
223 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
KPU tidak mengajukan bantahan yang dapat mementahkan dalil-dalil Pemohon.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan berdasarkan Pasal 77 ayat (2)
UU MK, maka Mahkamah harus mengabulkan permohonan Pemohon.
6. Dapil Tapanuli Selatan 6 (DPD Kabupaten)
Terlepas dari pertimbangan terhadap alat-alat bukti, Pemohon telah mengajukan
perbaikan permohonan, namun petitum yang diajukan oleh Pemohon dalam perbaikan
permohonan tersebut tidak meminta penetapan perolehan suara yang benar menurut
Pemohon, sehingga permohonan tidak memenuhi ketentuan Pasal 75 UU MK.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka Mahkamah harus menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
7. Dapil Sumatera Utara 9 (DPRD Provinsi)
Pemohon mengklaim perolehan suara PDIP Dapil Sumatera Utara 9 untuk kursi
DPRD Provinsi adalah sebesar 104.036 suara. Jumlah suara dimaksud setelah diteliti
secara saksama bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, maka menurut Mahkamah tidak
terdapat bukti-bukti yang menguatkan dalil-dalil Pemohon. Berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut dan berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK, maka Mahkamah
berpendapat permohonan tidak beralasan, oleh karena itu harus ditolak.
8. Dapil Kota Sibolga 1 (DPRD Kota Sibolga)
Meskipun perolehan kursi suara sisa didasarkan atas versi penghitungan KPU
ataupun versi penemuan Mahkamah tersebut tersebut di atas, ternyata partai Pemohon
tetap menduduki peringkat perolehan kursi suara sisa yang keenam dari jumlah enam
kursi sisa suara. Oleh karena itu permohonan Pemohon tidak akan mempengaruhi
perolehan kursi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) huruf c UU MK.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan berdasarkan Pasal 77 ayat
(1) UU MK, maka permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
9. Dapil Bengkulu 5 Mukomuko (DPRD Provinsi)
Setelah Mahkamah membandingkan bukti yang diajukan oleh Pemohon bukti P-1
s.d. bukti P-63 berupa laporan saksi di tingkat TPS, bukti berupa data PPS, bukti berupa
Sertikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPRD
Provinsi Tingkat KPU Kabupaten/Kota, bukti lain berupa Rekapitulasi Penghitungan
Suara DPRD Provinsi Bengkulu, bukti berupa surat Panwaslu Kabupaten Mukomuko
Nomor 70/Panwaslu-Kab MM/IV/2004 bertanggal 23 April 2004 tentang Penerusan
Kasus Penolakan Hasil Penghitungan Suara, ditujukan kepada KPU Kabupaten
Mukomuko, dan bukti berupa surat Panwaslu Provinsi Bengkulu Nomor 815/Panwaslu-
Prov/IV/2004 bertanggal 21 April 2004 tentang Penghitungan dan Rekapitulasi Ulang,
yang ditujukan kepada KPU Provinsi Bengkulu, Mahkamah berpendapat bukti-bukti
tertulis yang diajukan dan saksi-saksi Pemohon ternyata tidak cukup kuat mendukung
dalil-dalil Pemohon. Oleh karena itu permohonan Pemohon tidak beralasan. Berdasarkan
224 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pertimbangan-pertimbangan tersebut dan berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK, maka
permohonan Pemohon harus ditolak.
10. Dapil Sumatera Selatan 2 (DPRD Provinsi)
Setelah Mahkamah meneliti secara sakasama bukti dokumen yang dikeluarkan
oleh KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 5 Mei 2004 dan dokumen yang
diterbitkan oleh KPU Provinsi Sumatera selatan ternyata pula tidak terjadi kesalahan
dalam penghitungan suara yang dapat memperkuat alasan Pemohon. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut dan berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK, maka
permohonan Pemohon tidak beralasan, sehingga permohonan Pemohon harus ditolak.
11. Daerah Pemilihan Berau 4 (DPRD Kabupaten)
Pemohon menghadirkan saksi yang pada pokoknya menerangkan dalam
persidangan tentang kejanggalan dalam penghitungan suara di PPK dan terjadinya
pelanggaran ketentuan tentang penyelenggaraan dalam penghitungan suara hasil Pemilu
bahkan ada dugaan tidak pidana yang dilakukan oleh penyelenggara. Demikian pula
pihak terkait menerangkan dalam persidangan tentang keberatan yang disampaikannya
kepada Panwaslu Kabupaten. Apabila menggunakan permohonan yang diperbaiki
yang diajukan pada tanggal 31 Mei, maka Mahkamah berpendapat bahwa perbaikan
tersebut telah melewati tenggat waktu, sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 74 UU
MK jo. PMK Nomor 04/PMK/2004. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut,
Mahkamah berpendapat permohonan Pemohan tidak memenuhi syarat dan oleh karena
itu permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mengabulkan permohonan
Pemohon untuk sebagian dan membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor
44/SK/KPU/Tahun 2004 tentang Hasil Pemilihan Umum 2004 tanggal 5 Mei 2004
sepanjang menyangkut perolehan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai
Golkar untuk Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten dari Daerah
Pemilihan Minahasa 3; menetapkan hasil penghitungan suara yang benar bagi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah 8.101 suara, sedangkan untuk Partai Golongan
Karya adalah 13.608 suara.
Menyatakan permohonan Pemohon untuk Daerah Pemilihan (1) Maluku Utara
(DPR); (2) Gunung Kidul 2 (DPRD Kabupaten Gunung Kidul); (3) Tapanuli Selatan 6
(DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan); (4) Kota Sibolga 1 (DPRD Kota Sibolga), (5) Berau
4 (DPRD Kabupaten Berau) tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dan
menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya.
225 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 025/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004
CALON ANGGOTA DPD PROVINSI BANTEN
Pemohon : H. Ace Suhaedi Madsupi.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum Provinsi Banten
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPD Provinsi Banten.
Pokok Perkara : Penetapan hasil suara Pemilihan Umum Calon Anggota DPD
Provinsi Banten yang benar dan Pembatalan atas penetapan hasil
penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum
Calon Anggota DPD Provinsi Banten.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Sabtu, 29 Mei 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah H. Ace Suhaedi Madsupi yang merupakan calon Anggota Dewan
Perwakilan Daerah peserta Pemilihan Umum Tahun 2004 untuk daerah pemilihan Provinsi
Banten dengan nomor urut 13 yang meliputi Daerah Pemilihan Banten II (Kabupaten
Tangerang)/untuk 26 kecamatan (PPK) dan yang meliputi Daerah Pemilihan Banten
I (Kabupaten Serang)/untuk 1 kecamatan (PPK) dan yang telah terdaftar di Komisi
Pemilihan Umum.
Pemohon mengajukan permohonan keberatan terhadap Penetapan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2004 yang dilakukan secara nasional oleh Komisi
Pemilihan Umum, yang diumumkan pada hari Rabu, tanggal 5 Mei 2004, khusus Anggota
Dewan Perwakilan Daerah untuk Daerah Pemilihan Provinsi Banten.
226 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon berpendapat hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan,
sehingga telah nyata-nyata merugikan Pemohon yang mengakibatkan tidak terpilihnya
Pemohon sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah untuk Daerah Pemilihan Provinsi
Banten. Data KPU menunjukkan bahwa Pemohon mendapatkan jumlah suara sebanyak
73.077 di Daerah Pemilihan Banten II (Kabupaten Tangerang) dan Daerah Pemilihan
Banten I (Kabupaten Serang) Kecamatan Jawilan adalah 1437. Sedangkan jumlah
yang seharusnya menurut Pemohon berbeda dengan data KPU. Menurut Pemohon, ia
mendapatkan jumlah suara sebanyak 159264 Daerah Pemilihan Banten II (Kabupaten
Tangerang) dan Daerah Pemilihan Banten I (Kabupaten Serang) Kecamatan Jawilan
adalah 2817. Atas kesalahan penghitungan suara Anggota Dewan Perwakilan Daerah oleh
Komisi Pemilihan Umum tersebut Pemohon telah kehilangan suara yang keseluruhannya
sejumlah 69.567 suara.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk
menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; menyatakan batal
hasil penghitungan suara atas nama Pemohon yang diumumkan oleh KPU untuk Daerah
Pemilihan Provinsi Banten sebagaimana tersebut dalam posita angka 2 permohonan
Pemohon; menetapkan hasil penghitungan suara yang benar atas nama Pemohon untuk
Daerah Pemilihan Provinsi Banten adalah sebagaimana tersebut dalam posita angka 5
permohonan Pemohon tersebut di atas.
Menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1)
huruf d jo. Pasal 74 dan 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan
Pemohon termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Pemohon adalah calon anggota
DPD Provinsi Banten untuk Pemilu Tahun 2004, maka oleh karena itu berdasarkan Pasal
74 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tersebut, Pemohon mempunyai kedudukan
hukum untuk bertindak sebagai Pemohon di dalam permohonan tersebut.
Setelah membandingkan bukti Pemohon dengan dokumen-dokumen yang ada dan
membandingkan pula dengan dokumen-dokumen yang diajukan oleh Panitia Pengawas
Pemilu Provinsi Banten, tidak terbukti telah terjadi kesalahan penghitungan suara yang
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Terlepas dari penghitungan Pemohon dan penghitungan Komisi Pemilihan Umum,
sesuai dengan keterangan Pemohon di persidangan terdapat fakta bahwa Pemohon dan/
atau saksi dari Pemohon tidak melakukan keberatan terhadap jalannya penghitungan
suara di TPS, PPS, PPK dan KPU Kota/Kabupaten [vide Pasal 96 ayat (8), ayat (9) jo.
Pasal 97 ayat (3), ayat (4) jo. Pasal 98 ayat (3), ayat (4) jo. Pasal 99 ayat (5), ayat (6)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003].
Berdasarkan uraian tersebut di atas dan terlepas dari kenyataan tidak dapat
227 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dibuktikannya kesalahan penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum tanggal 5
Mei 2004 tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 44/SK/KPU/2004, maka permohonan
Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Dengan mengingat Pasal 74 ayat (2) huruf a dan Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 jo. Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2003 serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, Mahkamah
Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
228 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
229 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 026/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004
CALON ANGGOTA DPR DAN DPRD PARTAI SARIKAT INDONESIA
Pemohon : 1. Rahardjo Tjakraningrat; 2. Moh. Jumhur Hidayat.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Pokok Perkara : Penetapan Penghitungan Suara Calon Anggota DPR dan DPRD
Tahun 2004 dari Partai Sarikat Indonesia di beberapa daerah
pemilihan oleh KPU.
Amar Putusan : Permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan : Senin, 14 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Sarikat Indonesia
bertindak untuk dan atas nama partai. para Pemohon merupakan Partai Politik Peserta
Pemilu Tahun 2004 yang terdaftar di KPU berdasarkan Penetapan KPU Nomor 678
tanggal 7 Desember 2003 tentang Penetapan Partai Politik sebagai Peserta Pemilihan
Umum Tahun 2004 Nomor urut 22.
Para Pemohon mendalilkan bahwa para Penyelenggara Pemilihan Umum Tahun
2004, di Daerah Pemilihan Provinsi Maluku, Provinsi Maluku, Provinsi Riau, Provinsi
Sumatera Utara, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi
Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Barat, dan Provinsi Papua, pada semua
tingkatan yakni KPPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugas serta
kewajibannya tidak mematuhi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum, berakibat terjadi kecurangan diantaranya pengurangan perolehan suara yang
merugikan Parpol peserta Pemilu khususnya Partai Sarikat Indonesia.
230 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Daerah Pemilihan Provinsi Maluku Utara
Para penyelenggara Pemilu pada semua tingkatan sebagaimana disebutkan di atas
sengaja membuka peluang untuk terjadinya kecurangan dan sengaja pula menempuh
cara untuk mempersulit Parpol peserta Pemilu khususnya Partai Sarikat Indonesia
melakukan pengontrolan/penelitian hasil perolehan suara. Para penyelenggara
Pemilu baik KPPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi tidak pernah
memberikan 1 (satu) eksemplar Salinan Berita Acara dan Sertikat Hasil Penghitungan
Suara kepada saksi peserta Pemilu sebagaimana ditegaskan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2003. Para Penyelenggara Pemilu tersebut melakukan penghitungan serta
pembuatan Rekapitulasi Jumlah Suara dan Sertikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara secara tertutup. Tindakan para penyelenggara Pemilu Maluku Utara tersebut, oleh
peserta Pemilu termasuk Partai Sarikat lndonesia telah dilaporkan ke Panwaslu dan oleh
Panwaslu telah melakukan penelitian tetapi hasil penelitian Panwaslu tidak digubris oleh
penyelenggara Pemilu.
Para Pemohon mendalilkan dalam permohonannya untuk dapat dikabulkan oleh
Mahkamah dalam hal menyatakan batal Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Tahun
2004 secara Nasional untuk Daerah Pemilihan Provinsi Maluku Utara, khususnya Daerah
Pemilihan Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi
Maluku Utara, dengan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut tata
cara yang diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.
Daerah Pemilihan Dumai 1, DPRD Kota Dumai.
Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan KPU Nomor 119/15-BA/V 2004 tanggal
5 Mei 2004 yang diumumkan secara nasional khusus untuk Daerah Pemilihan Dumai I,
Kecamatan Dumai Barat, Kota Dumai, Provinsi Riau.
Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan
sehingga merugikan Partai Sarikat Indonesia (PSI) Kota Dumai yang mengakibatkan
perolehan jumlah kursi Partai Sarikat Indonesia (PSI) berkurang untuk Daerah Pemilihan
Dumai 1, Kecamatan Dumai Barat, Kota Dumai, Provinsi Riau.
Dengan melihat keganjilan ini Partai Sarikat Indonesia (PSI) Kota Dumai
menyampaikan Surat Keberatan ke KPUD Kota Dumai Nomor 033/DPC PSI/Dmi/
IV/2004 (PB.1) tembusan ke Panwaslu Kota Dumai, tentang permohonan untuk dapat
membetulkan temuan kekeliruan ini, surat keberatan PSI tidak mendapat respon dari
Ketua POKJA KPUD Kota Dumai, maka Panwaslu Kota Dumai langsung merespon Surat
PSI demi terciptanya keadilan.
Berdasarkan hasil penghitungan ulang tersebut antara Rekapitulasi PPS dan PPK
dengan kertas suara yang sah pada Kotak TPS 1, 2, 3, 4 dan 17. ditemukan selisih
suara sebanyak 688, dengan perincian pada TPS 1 ditemukan selisih suara sebanyak
163 suara, TPS 2 ditemukan selisih suara sebanyak 181 suara, TPS 3 ditemukan selisih
231 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
suara sebanyak 178 suara, TPS 4 ditemukan selisih suara sebanyak 17 suara, TPS 17
ditemukan selisih suara sebanyak 17 suara,
Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan ulang yang di perbaiki oleh
Panwaslu Kota Dumai dilanjutkan dengan berita acara yang dibuat Panwaslu kepada
KPU terhadap penghitungan ulang suara, itulah suara sah yang sebenarnya untuk
Daerah Pemilihan Dumai 1, Kecamatan Dumai Barat, Kota Dumai.
Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan,
membatalkan Penetapan KPU Nomor 119/15-BA/V/2004 tertanggal 5 Mei 2004 hari
Rabu jam 14.00 WIB tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilu Anggota DPR dan DPRD
Tahun 2004 secara nasional khusus untuk Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara DPRD
Kota Dumai, Daerah Pemilihan Dumai I Kecamatan Dumai Barat, Provinsi Riau.
Daerah Pemilihan Medan 1, DPRD Kota Medan.
Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan,
sehingga sangat merugikan Partai Sarikat Indonesia (PSI) yang mengakibatkan perolehan
suara Partai Sarikat Indonesia tidak memenuhi untuk mendapatkan kursi DPRD Provinsi
di Daerah Pemilihan 1, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara.
Pemohon berkesimpulan bahwa telah terjadi penghilangan atau manipulasi suara
Partai Sarikat Indonesia untuk DPRD Provinsi Sumatera Utara oleh Komisi Pemilihan
Umum Kota Medan sebanyak 33.156 suara.
Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan,
membatalkan penghitungan suara Pemilihan Umum Anggota DPRD Provinsi yang
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Medan untuk Daerah Pemilihan 1, Kota
Medan, Provinsi Sumatera Utara. Menetapkan hasil penghitungan suara yang benar
yaitu total perolehan suara Partai Sarikat Indonesia Daerah Pemilihan 1, Kota Medan,
Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 41.029 suara.
Daerah Pemilihan Sekadau 3, DPRD Kabupaten Sanggau.
Pemohon berkeberatan terhadap hasil penghitungan suara dalam Pemilihan Umum
(KPU) Nomor 119/15-BAN/2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Penghitungan Suara
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004 yang diumumkan secara
Nasional untuk Daerah Pemilihan Sekadau 3, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan
Barat.
Di PPK Kecamatan Belitang Hilir suara Partai Sarikat Indonesia (PSI) tidak
dimasukkan kedalam Rekapitulasi Perolehan Suara oleh PPS Desa Merbang sebanyak
3 suara yang sah, tepatnya pada TPS Merbang Raya A (05) dan pada PPS Desa Tapang
Pulau sebanyak 23 suara yang sah, tepatnya di TPS Melanjau A.
Dengan tidak dimasukkannya jumlah suara yang sah tersebut di atas sebanyak 26
suara sah (23+3) pada rekapitulasi perolehan suara pada masing-masing PPS tersebut
di atas, maka Partai Sarikat lndonesia (PSI) dirugikan dengan kehilangan kursi pada
232 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
DPRD Kabupaten/ Kota dan bila suara tersebut dimasukan dalam rekapitulasi perolehan
suara maka PSI mendapatkan satu kursi, dengan catatan jumlah suara yang sah untuk
PPK Kecamatan Belitang Hilir bertambah menjadi 241 + 3 + 23 = 267 suara.
Jadi, kursi untuk DPRD Kabupaten/Kota yang terakhir adalah milik PSI bukan Milik
Partai Amanat Nasional seperti yang telah diumumkan.
Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan,
membatalkan Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 119/15-BA/V/2004
tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD Tahun 2004 yang diumumkan secara nasional untuk Daerah Pemilihan
Sekadau 3, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.
Daerah Pemilihan Maluku 3, DPRD Provinsi Maluku
Pemohon berkeberatan terhadap hasil penghitungan suara dalam Pemilihan Umum
Anggota DPRD Provinsi Tahun 2004 untuk Daerah Pemilihan Maluku 3 Provinsi Maluku
yang hasil penghitungannya berdasarkan hasil pleno KPUD Provinsi Maluku adalah
sebanyak 3.775 suara untuk Partai Sarikat Indonesia sedangkan hasil penghitungan
yang seharusnya terekap di KPUD Provinsi Maluku.
Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara yang benar adalah
sebanyak 7.395 suara untuk Partai Sarikat Indonesia di Daerah Pemilihan Maluku 3,
dengan rincian sebanyak 5.598 suara di Kecamatan Maluku Tengah dan sebanyak 1.797
suara di Kecamatan Seram Timur.
Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan hasil
penghitungan suara Pemilihan Umum Anggota DPRD Provinsi yang diumumkan oleh
Komisi Pemilihan Umum Daerah Provinsi Maluku untuk Daerah Pemilihan Maluku 3,
Provinsi Maluku. Menetapkan hasil penghitungan suara yang benar yaitu total perolehan
suara Partai Sarikat Indonesia Daerah Pemilihan Maluku 3, Provinsi Maluku adalah
sebanyak 7.395 suara.
Daerah Pemilihan Lombok Barat 4, DPRD Lombok barat
Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan,
sehingga sangat merugikan Partai Sarikat Indonesia (PSI) yang mengakibatkan perolehan
suara Partai Sarikat lndonesia (PSI) berkurang untuk DPRD Provinsi Nusa Tenggara
Barat di Daerah Pemilihan 4, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat
dinyatakan tidak diterima.
Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan dan
membatalkan hasil penghitungan suara untuk Pemilihan Umum Anggota DPRD Provinsi
tahun 2004 untuk Daerah Pemilihan 4, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara
Barat
Daerah Pemilihan Landak 5, DPRD Kabupaten Landak.
Pemohon berkeberatan terhadap hasil penghitungan suara dalam Penetapan
233 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
KPU Nomor 119/15-BA/V/2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Penghitungan Suara
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004 yang diumumkan secara
nasional untuk Dapil Landak 5, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat.
Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan,
sehingga merugikan PSI yang mengakibatkan perolehan jumlah kursi PSI berkurang
untuk Daerah Pemilihan Landak 5, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat.
Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) menambahkan suaranya pada
PPS 13 Desa Tengon Pelaik, Kecamatan Air Besar, Kabupaten Landak dengan cara
mengurangi suara dari Partai Demokrat sebanyak 94 suara, dengan demikian Partai
Demokrat merasa sangat dirugikan oleh PNBK (bukti kecurangan PNBK terlampir dan
bukti Keberatan Partai Demokrat terlampir). Hal tersebut di atas dilakukan oleh PNBK
agar dapat mengungguli suara PSI.
Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan
Penetapan KPU Nomor 119/15-BA/V/2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Penghitungan
Suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004 yang diumumkan
secara nasional pada hari Rabu tanggal 5 Mei 2004 untuk Daerah Pemilihan Landak 5,
Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat.
Daerah Pemilihan Kupang 1 dan Kupang 3, DPRD Kabupaten Kupang.
Pemohon berkeberatan terhadap hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten Kupang untuk Daerah Pemilihan Kupang 1 dan Kupang 3, Kabupaten
Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan
suara tersebut terdapat kesalahan, sehingga sangat merugikan PSI) yang mengakibatkan
perolehan jumlah kursi PSI berkurang untuk Dapil Kupang 1 dan Kupang 3, Kabupaten
Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan hasil
penghitungan suara untuk Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun
2004 yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kupang untuk Daerah
Pemilihan Kupang 1 dan Kupang 3, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur;
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar yaitu total perolehan suara PSI Dapil
Kupang 1 Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sebanyak 1.865
suara; dan total perolehan suara Partai Sarikat lndonesia Daerah Pemilihan Kupang 3,
Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sebanyak 1.611 suara.
Daerah Pemilihan Papua 4, DPRD Kabupaten Jayawijaya.
Pemohon berkeberatan terhadap hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Jayawijaya untuk Anggota DPRD Provinsi Tahun
2004 di Daerah Pemilihan Papua 4, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua.
Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara yang seharusnya dalam
rekapitulasi KPU Provinsi Papua adalah 10.571 suara untuk Partai Sarikat Indonesia.
234 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dalam hal ini telah terjadi kesalahan pada hasil penghitungan suara tersebut, merugikan
PSI yang mengakibatkan perolehan jumlah kursi PSI berkurang untuk DPRD Provinsi
Papua.
Kesalahan penghitungan suara terjadi di KPU Kabupaten Jayawijaya pada 2
(dua) distrik yaitu Distrik Hubikosi dan Distrik Kenyam Kabupaten Jayawijaya. Hasil
penghitungan yang terekap dalam Berita Acara oleh KPU Kabupaten Jayawijaya yang
disampaikan ke KPU Provinsi adalah perolehan suara sementara yang disampaikan oleh
kedua Ketua PPK Distrik tersebut.
Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan hasil
penghitungan suara untuk Pemilihan Umum Anggota DPRD Provinsi Papua Tahun 2004
yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua untuk Dapil Papua 4,
Provinsi Papua; menetapkan hasil penghitungan suara yang benar yaitu total perolehan
suara PSI Dapil Papua 4 Provinsi Papua adalah sebanyak 10.571 suara.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa berdasarkan salinan Keputusan KPU
Nomor 678 Tahun 2003 tentang Penetapan Partai Politik sebagai Peserta Pemilihan
Umum Tahun 2004 bertanggal 7 Desember 2003, Pemohon adalah Partai Politik sebagai
peserta Pemilihan Umum Tahun 2004, maka oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal
74 ayat (1) huruf C UU MK, Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing)
untuk bertindak sebagai Pemohon di dalam permohonan a quo.
Daerah Pemilihan Provinsi Maluku Utara
Pendapat Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang menyangkut Daerah
Pemilihan Provinsi Maluku Utara, Pemohon tidak jelas menyebutkan Daerah Pemilihan
yang hasil penghitungan suaranya berpengaruh terhadap terpilihnya Pemohon untuk
Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Halmahera Selatan dan
Halmahera Tengah. Oleh karena permohonan Pemohon tidak jelas objek yang dimaksud,
maka permohonan Pemohon sepanjang mengenai Daerah Pemilihan Provinsi Maluku
Utara, harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Daerah Pemilihan Dumai 1, DPRD Kota Dumai.
Pendapat Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang menyangkut Daerah
Pemilihan Dumai 1, Kecamatan Dumai Barat, Kota Dumai, Pemohon telah mengajukan
bukti-bukti. Dokumen yang diajukan oleh Pemohon yang berkaitan dengan rekapitulasi
penghitungan suara merupakan dokumen yang dibuat sendiri oleh Pemohon, sehingga
tidak dapat dijadikan alat bukti untuk memperkuat dalil yang dikemukakan oleh Pemohon
untuk menyanggah alat bukti otentik yang diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Sehubungan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon tidak dipertimbangkan, maka
permohonan Pemohon harus ditolak.
Daerah Pemilihan Medan 1, DPRD Kota Medan.
Pendapat Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang menyangkut Daerah
Pemilihan Medan 1, DPRD Kota Medan, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti. Meskipun
235 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
penghitungan suara yang diajukan oleh Pemohon sesuai dengan yang didalilkan, namun
dokumen yang diajukan oleh Pemohon yang berkaitan dengan rekapitulasi penghitungan
suara merupakan dokumen yang dibuat sendiri oleh Pemohon, sehingga tidak dapat
dijadikan alat bukti untuk memperkuat dalil yang dikemukakan oleh Pemohon untuk
menyanggah alat bukti otentik yang diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Sehubungan
bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon tidak dipertimbangkan, maka permohonan
Pemohon harus ditolak.
Daerah Pemilihan Sekadau 3, DPRD Kabupaten Sanggau.
Pendapat Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang menyangkut Daerah
Pemilihan Sekadau 3, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti. Meskipun penghitungan suara yang diajukan oleh Pemohon
sesuai dengan yang didalilkan, namun dokumen yang diajukan oleh Pemohon yang
berkaitan dengan rekapitulasi penghitungan suara merupakan dokumen yang tidak
ditandatangani oleh Ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota PPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (5) UU Nomor 12 Tahun 2003, sehingga
tidak dapat dijadikan alat bukti untuk memperkuat dalil yang dikemukakan oleh Pemohon
untuk menyanggah alat bukti otentik yang diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Sehubungan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon tidak dipertimbangkan, maka
permohonan Pemohon harus ditolak.
Daerah Pemilihan Maluku 3, DPRD Provinsi Maluku
Pendapat Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang menyangkut Daerah
Pemilihan Maluku 3, Provinsi Maluku, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti. Meskipun
penghitungan suara yang diajukan oleh Pemohon sesuai dengan yang didalilkan, namun
dokumen yang diajukan oleh Pemohon yang berkaitan dengan rekapitulasi penghitungan
suara merupakan dokumen yang dibuat sendiri oleh Pemohon, sehingga tidak dapat
dijadikan alat bukti untuk memperkuat dalil yang dikemukakan oleh Pemohon untuk
menyanggah alat bukti otentik yang diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Sehubungan
bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon tidak dipertimbangkan, maka permohonan
Pemohon harus ditolak.
Daerah Pemilihan Lombok Barat 4, DPRD Lombok barat
Pendapat Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang menyangkut Daerah
Pemilihan 4 Lombok Barat DPRD Lombok Barat, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti.
Permohonan Pemohon hanya mempersoalkan perolehan suara Pemohon pada Daerah
Pemilihan dimaksud dan tidak mempermasalahkan perolehan kursi. Sehubungan dengan
permohonan Pemohon, maka permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak diterima.
Daerah Pemilihan Landak 5, DPRD Kabupaten Landak.
Pendapat Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang menyangkut Daerah
Pemilihan Landak 5 DPRD Kabupaten Landak, Pemohon telah mengajukan bukti-
bukti. Meskipun penghitungan suara yang diajukan oleh Pemohon sesuai dengan
236 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
yang didalilkan, namun dokumen yang diajukan oleh Pemohon yang berkaitan dengan
rekapitulasi penghitungan suara merupakan dokumen yang tidak ditandatangani oleh
Ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota PPS atau PPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (5) jo. Pasal 98 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003, sehingga tidak dapat dijadikan alat bukti untuk memperkuat dalil yang
dikemukakan oleh Pemohon untuk menyanggah alat bukti otentik yang diajukan oleh
KPU. Sehubungan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon tidak dipertimbangkan, maka
permohonan Pemohon harus ditolak.
Daerah Pemilihan Kupang 1 dan Kupang 3, DPRD Kabupaten Kupang.
Pendapat Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang menyangkut Dapil
Kupang 1 dan Kupang 3, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Pemohon
telah mengajukan bukti-bukti. Meskipun penghitungan suara yang diajukan oleh
Pemohon sesuai dengan yang didalilkan, namun dokumen yang diajukan oleh Pemohon
yang berkaitan dengan rekapitulasi penghitungan suara merupakan dokumen yang
tidak ditandatangani oleh Ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota PPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003,
sehingga tidak dapat dijadikan alat bukti untuk memperkuat dalil yang dikemukakan oleh
Pemohon untuk menyanggah alat bukti otentik yang diajukan oleh Komisi Pemilihan
Umum. Sehubungan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon tidak dipertimbangkan,
maka permohonan Pemohon harus ditolak.
Daerah Pemilihan Papua 4, DPRD Kabupaten Jayawijaya.
Pendapat Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang menyangkut Daerah
Pemilihan Papua 4, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, Pemohon telah mengajukan
bukti-bukti. Meskipun penghitungan suara yang diajukan oleh Pemohon sesuai dengan
yang didalilkan, namun dokumen yang diajukan oleh Pemohon yang berkaitan dengan
rekapitulasi penghitungan suara merupakan dokumen yang tidak ditandatangani oleh
Ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota PPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 98 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, sehingga tidak dapat dijadikan
alat bukti untuk memperkuat dalil yang dikemukakan oleh Pemohon untuk menyanggah
alat bukti otentik yang diajukan oleh KPU. Sehubungan bukti-bukti yang diajukan oleh
Pemohon tidak dipertimbangkan, maka permohonan Pemohon harus ditolak.
Mahkamah Konstitusi berdasarkan pertimbangannya tersebut dan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, maka Majelis
Hakim berpendapat permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
237 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 028/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004
CALON ANGGOTA DPR, DAN DPRD PARTAI BINTANG REFORMASI
Pemohon : 1. H. Zainuddin Hamidy (DR. KH. Zainuddin MZ), 2. H. Djafar
Bajeber, M.Si.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Deli Serdang.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota .
Pokok Perkara : Penetapan hasil suara Pemilihan Umum Calon Anggota DPR, DPD,
dan DPRD di Daerah Pemilihan (DP) 1 DPRD Kabupaten Deli
Serdang, DP 2 DPRD Kabupaten Deli Serdang, DP 1 DPRD Kota
Medan, DP 4 DPRD Kota Medan, DP 1 DPRD Kabupaten Enrekang,
DP 2 DPRD Kabupaten Bulukumba, DP Kalimantan Barat DPR-RI,
DP 5 DPRD Kabupaten Ketapang, dan DP Jawa Timur X DPR-RI.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Rabu, 16 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 028/PHPU.C1-II/2004 yakni H. Zainuddin Hamidy (DR.
KH. Zainuddin MZ) dan H. Djafar Bajeber, M.Si., masing-masing sebagai Ketua Umum
dan Sekretaris Jenderal, bertindak untuk dan atas nama Partai Bintang Reformasi
merupakan peserta Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004.
Pemohon mengajukan perkara perselisihan hasil pemilihan umum di 9 (sembilan) daerah
pemilihan, yaitu Daerah Pemilihan (DP) 1 DPRD Kabupaten Deli Serdang, DP 2 DPRD
Kabupaten Deli Serdang, DP 1 DPRD Kota Medan, DP 4 DPRD Kota Medan, DP 1 DPRD
Kabupaten Enrekang, DP 2 DPRD Kabupaten Bulukumba, DP Kalimantan Barat DPR-RI,
DP 5 DPRD Kabupaten Ketapang, dan DP Jawa Timur X DPR-RI.
238 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon mendalilkan bahwa di Daerah Pemilihan 1 DPRD Kabupaten Deli Serdang
dan Daerah Pemilihan 2 DPRD Kabupaten Deli Serdang telah terjadi pengurangan dan
penggelembungan perolehan suara partai-partai politik, Daerah Pemilihan 1 DPRD Kota
Medan bahwa Pemohon telah kehilangan 628 suara di Kecamatan Medan Denai serta
telah terjadi penambahan suara terhadap partai-partai lain. Untuk Daerah Pemilihan 4
DPRD Kota Medan bahwa Pemohon telah kehilangan 324 suara di PPK Kecamatan
Medan Tembung serta telah terjadi penambahan suara bagi partai-partai lain dan
Daerah Pemilihan 1 DPRD Kabupaten Enrekang bahwa Pemohon telah kehilangan
8 (delapan) suara. Untuk Daerah Pemilihan 2 DPRD Kabupaten Bulukumba bahwa
Pemohon telah kehilangan 675 suara di DP 2 DPRD Kabupaten Bulukumba serta telah
terjadi penambahan suara terhadap Partai Patriot Pancasila, PDIP, dan Partai Persatuan
Nahdlatul Ummah Indonesia. Untuk Daerah Pemilihan Kalimantan Barat DPR-RI bahwa
telah terjadi penambahan 13.553 suara terhadap Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
(PNBK) di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Melawi. Untuk Daerah Pemilihan 5 DPRD
Kabupaten Ketapang telah terjadi penambahan terhadap suara PAN di Desa Banjarsari,
Kecamatan Kedawangan. Daerah Pemilihan Jatim X DPR-RI sehingga Pemohon telah
kehilangan 40.056 suara di DP Jatim X DPR-RI. Oleh karena itu, Pemohon memohon
kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan batal Keputusan KPU Nomor 44/SK/
KPU/Tahun 2004 tanggal 5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai
Bintang Reformasi dan menetapkan perolehan suara yang benar.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf d jo. Pasal 74 ayat
(1) huruf c UU MK, Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan
Pemohon termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi. Setelah Mahkamah memeriksa
dengan seksama bukti-bukti Pemohon dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh
Pemohon yang telah diajukan di hadapan persidangan, maka dapat dinyatakan bahwa
Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing), sebagaimana dimaksud Pasal
74 ayat (1) huruf c UU MK, yaitu sebagai partai politik peserta pemilihan umum.
Untuk Daerah Pemilihan 1 DPRD Kabupaten Deli Serdang, Pemohon mendalilkan
bahwa telah terjadi pengurangan dan penggelembungan perolehan suara partai-partai
politik di DP 1 DPRD Kabupaten Deli Serdang, maka partai Pemohon mempunyai
komposisi suara di DP 1 DPRD Kabupaten Deli Serdang dengan memperebutkan 11
(sebelas) kursi. Perolehan suara Partai Bintang Reformasi versi KPU adalah 9.499
suara sedangkan versi Pemohon adalah 9.657 suara. Mahkamah berkesimpulan
bahwa permohonan Permohon mempengaruhi perolehan kursi Pemohon di DP 1 DPRD
Kabupaten Deli Serdang. Pada persidangan tanggal 21 Mei 2004, Pemohon telah
menyampaikan perbaikan permohonan untuk DP 1 DPRD Kabupaten Deli Serdang.
Akan tetapi, karena perbaikan tersebut telah melewati tenggang waktu 3 x 24 jam setelah
pemeriksaan pendahuluan (sidang pertama) yang dilangsungkan pada tanggal 14 Mei
204, maka berdasarkan Pasal 7 ayat (3) PMK Nomor 04/PMK/2004 tentang Pedoman
239 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, perbaikan permohonan tersebut
tidak dapat dipertimbangkan lagi.
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 158 suara di DP 1 DPRD Kabupaten Deli
Serdang. Menurut data KPU, suara Pemohon di DP 1 DPRD Kabupaten Deli Serdang
berjumlah 9.499 suara, sedangkan menurut Pemohon berjumlah 9.657 suara. Kehilangan
158 suara tersebut terjadi di tiga PPS di Kecamatan Sunggal, yaitu Desa Mencirim (PPS
2) berdasarkan versi KPU 216 suara dan versi Pemohon 277 suara sehingga terdapat
selisih penambahan 61 suara, Desa Sei Semayang (PPS 10) berdasarkan versi KPU
657 suara dan versi Pemohon 777 suara sehingga terdapat selisih 120 suara, serta
Desa Purwodadi (PPS 15) berdasarkan versi KPU 176 suara dan versi Pemohon 153
suara sehingga terdapat selisih pengurangan 23 suara, sehingga secara keseluruhan
158 suara.
Adanya dua versi penghitungan suara terjadi karena PPK Kecamatan Sunggal
mengadakan penghitungan ulang, karena KPU Kabupaten Deli Serdang menilai banyak
kesalahan dalam penghitungan suara di PPK Kecamatan Sunggal. Penghitungan
pertama dilakukan pada tanggal 20 April 2004 dan penghitungan kedua (penghitungan
ulang) dilakukan pada tanggal 22 April 2004. Penghitungan ulang dilaksanakan di KPU
Kabupaten Deli Serdang dengan dihadiri saksi-saksi dari Partai Damai Sejahtera, PDIP,
PKS, PBR, dan Partai Patriot Pancasila. Kecuali saksi dari PBR, semua saksi yang hadir
membubuhkan tanda tangan di Berita Acara Penghitungan Ulang.
Dalam penghitungan ulang tersebut suara Pemohon untuk PPS Desa Mencirim
sejumlah 216 suara, PPS Desa Sei Semayang 657 suara, dan PPS Desa Purwodadi 176
suara. Secara keseluruhan perolehan suara Pemohon di Kecamatan Sunggal berjumlah
4.628 suara. Jumlah inilah yang menjadi dasar dalam penghitungan suara Pemohon
di tingkat KPU Kabupaten Deli Serdang. Terhadap hasil penghitungan ulang tersebut,
saksi PBR Drs. Syarifuddin Rosha, mengajukan keberatan yang intinya menyatakan
bahwa sertikat penghitungan suara yang disampaikan PPK Kecamatan Sunggal tidak
sesuai dengan sertikat penghitungan suara dari PPS-PPS yang ada di Kecamatan
Sunggal. Karena Pemohon mempersoalkan data PPK Sunggal, Mahkamah merasa perlu
memeriksa data PPS yang dinilai Pemohon bermasalah ketika direkap di PPK, yaitu PPS
Desa Mencirim (PPS 2), PPS Desa Sei Semayang (PPS 10), dan PPS Desa Purwodadi
(PPS 15).
Setel ah membandi ngkan bukti Pemohon dengan bukti KPU terhadap data
ti ga PPS yang di persoal kan, ternyata data PPS Desa Sei Semayang yang
di aj ukan Pemohon berbeda dengan data yang di aj ukan KPU, sedangkan
data PPS l ai nnya sama. Karena Pemohon ti dak mempersoal kan data yang
di buat di ti ngkat PPS, Mahkamah meni l ai data PPS dari KPU-l ah yang harus
di gunakan untuk menghi tung perol ehan suara dari PPS Desa Menci ri m (25
TPS), PPS Desa Sei Semayang (60 TPS), dan PPS Desa Purwodadi . Untuk
perol ehan suara Partai Persatuan Daerah dan Partai Pel opor di PPS 15 Desa
240 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Purwodadi , karena data rekapi tul asi di PPS bai k yang di aj ukan Pemohon
maupun KPU ti dak l engkap, Mahkamah mendasarkan penghi tungan pada
data PPK Kecamatan Sunggal yang di sampai kan bai k Pemohon maupun
KPU. Ol eh karena i tu, perol ehan suara Pemohon yang benar di PPS Desa
Menci ri m adal ah 216 suara, PPS Desa Sei Semayang 777 suara, dan PPS
Desa Purwodadi 153 suara. Berdasarkan komposi si perol ehan suara, dengan
perol ehan suara 9.596 suara, Pemohon tetap ti dak mendapatkan kursi di DP
1 DPRD Del i Serdang karena berada di peri ngkat ke del apan dari 7 (tuj uh)
kursi si sa yang di perebutkan. Pemohon ternyata ti dak dapat membukti kan
kebenaran dal i l permohonan sehi ngga permohonan Pemohon harus di tol ak.
Untuk Daerah Pemilihan 2 DPRD Kabupaten Deli Serdang, Pemohon mendalilkan
bahwa telah terjadi pengelembungan dan pengurangan perolehan suara partai-partai di
DP2 DPRD Kabupaten Deli Serdang, maka komposisi suara di DP 2 DPRD Kabupaten
Deli Serdang dapat diperebutkan 9 (sembilan) kursi. Mahkamah berpendapat suara
yang dipersoalkan Pemohon dapat mempengaruhi perolehan kursi Pemohon di DP 2
DPRD Kabupaten Deli Serdang.
Pemohon mendalilkan telah terjadi penggelembungan terhadap beberapa partai di
DP 2 DPRD Kabupaten Deli Serdang sehingga menambah total suara menjadi 141.556
suara. Menurut Pemohon, total suara yang benar di DP 2 DPRD Kabupaten Deli Serdang
adalah 141.971 suara sehingga dengan klaim suara 6.825 suara Pemohon memperoleh
satu kursi. Berdasarkan bukti diketahui bahwa pada tanggal 21 April 2004 KPU Kabupaten
Deli Serdang telah mengadakan kegiatan rekapitulasi hasil suara Pemilihan Umum
Anggota DRPD Kabupaten Deli Serdang untuk DP 2. Berdasarkan bukti dapat diketahui
bahwa saksi PBR, M. Fauzi Riduan, telah mengajukan keberatan atas hasil penghitungan
suara yang dilakukan. Saksi PBR pada pokoknya menyatakan bahwa rekapitulasi hasil
penghitungan suara di PPK Kecamatan Percut Sei Tuan berbeda dengan yang dibacakan
di KPU Kabupaten Deli Serdang. Karena yang dipersoalkan adalah data PPK, Mahkamah
merasa perlu memeriksa data PPS yang menjadi basis data PPK. Namun, karena
Pemohon mengklaim kursi yang diperoleh Partai Golkar dan Partai Patriot Pancasila,
Mahkamah memeriksa terlebih dulu perolehan suara yang benar dari Pemohon, Partai
Golkar, dan Partai Patriot Pancasila. Setelah melakukan pemeriksaan data 20 PPS di DP
2 Kabupaten Deli Serdang didapat komposisi perolehan suara dari ketiga partai bahwa
partai Pemohon memperoleh 6.334 suara, Pemohon memperoleh satu kursi di DP 2
Kabupaten Deli Serdang. Oleh karena itu, permohonan Pemohon dikabulkan.
Untuk Daerah Pemilihan 1 DPRD Kota Medan bahwa Pemohon telah kehilangan
628 suara di Kecamatan Medan Denai serta telah terjadi penambahan suara terhadap
partai-partai lain, seandainya permohonan benar maka komposisi suara di DP 1 DPRD
Kota Medan yang memperebutkan 10 (sepuluh) kursi akan terpengaruh. Pemohon
mendalilkan telah terjadi kesalahan penghitungan suara di DP 1 DPRD Kota Medan.
Kesalahan terjadi di Kecamatan Medan Denai karena penghitungan suara tidak sesuai
241 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan data yang ada pada Pemohon yang didasarkan pada rekapitulasi penghitungan
suara di 6 PPS. Mahkamah tetap mengadakan penghitungan perolehan suara yang
dipersoalkan Pemohon, yaitu di PPK Medan Denai yang meliputi enam PPS dengan
berdasarkan kepada keterangan dari KPU yang disampaikan dalam persidangan.
Berdasarkan komposisi perolehan suara 7.424 suara Pemohon memperoleh kursi di DP
1 DPRD Kota Medan, Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon.
Untuk Daerah Pemilihan 4 DPRD Kota Medan bahwa Pemohon telah kehilangan
324 suara di PPK Kecamatan Medan Tembung serta telah terjadi penambahan suara
bagi partai-partai lain, seandainya permohonan benar maka komposisi suara Pemohon
untuk DP 4 DPRD Kota Medan yang memperebutkan 8 (delapan) kursi akan berubah.
Pemohon mendalilkan telah terjadi kesalahan penghitungan suara di DP 4 DPRD Kota
Medan. Kesalahan terjadi di Kecamatan Medan Tembung karena data dari PPS yang
digunakan KPU Kota Medan untuk melakukan penghitungan suara tidak sesuai dengan
data yang ada pada Pemohon, yang didasarkan pada rekapitulasi penghitungan suara di
7 PPS. Setelah memeriksa alat bukti lebih lanjut , Mahkamah menilai hanya rekapitulasi
tiga PPS yang bisa dipertimbangkan, yaitu PPS Tembung, PPS Bantan, dan PPS Bandar
Selamat. Data dari PPS lain tidak bisa dipertimbangkan karena hanya berupa surat
keterangan dari PPS dan hanya ditandatangani oleh ketua PPS sehingga tidak memenuhi
ketentuan Pasal 97 ayat (5) UU Nomor 12 Tahun 2003. Karena Pemohon bermaksud
mengklaim kursi yang diperoleh PKS, Mahkamah menghitung perolehan suara Pemohon
dan PKS di PPS Tembung, PPS Bantan, dan PPS Bandar Selamat, bahwa terbukti terjadi
penggelembungan suara baik untuk Pemohon maupun PKS. Namun, penggelembungan
suara untuk Pemohon jauh lebih besar (1.642 suara) dibandingkan PKS (178 suara).
Dengan demikian, seandainya pun terjadi koreksi perolehan suara dapat dipastikan
bahwa pengurangan suara Pemohon akan lebih besar dibandingkan pengurangan suara
terhadap PKS. Oleh karena Pemohon tidak dapat membuktikan dalilnya, permohonan
Pemohon ditolak.
Untuk Daerah Pemilihan 1 DPRD Kabupaten Enrekang bahwa Pemohon telah
kehilangan 8 (delapan) suara di DP 1 DPRD Kabupaten Enrekang, seandainya permohonan
benar maka komposisi suara Pemohon di DP 1 DPRD Kabupaten Enrekang yang
memperebutkan 9 (sembilan) kursi akan berubah. Pemohon mendalilkan telah kehilangan
8 (delapan) suara di TPS 1 Desa Tallang Rilau yang bila terbukti dapat mempengaruhi
perolehan kursi Pemohon di DP 1 DPRD Kabupaten Enrekang. Berdasarkan surat
keterangan tertulis tentang pengaduan PBR Enrekang di Mahkamah Konstitusi Nomor
655/KPU-EK/V/2004 tanggal 7 Mei 2004 yang dibuat oleh KPU Kabupaten Enrekang
dan ditandatangani oleh Ketua KPU Kabupaten Enrekang H. Thamsir Koto, ternyata
bahwa pada tanggal 29 April 2004 telah diadakan pembukaan kotak suara untuk TPS
1 Desa Tallang Rilau, Kecamatan Bungin, yang dihadiri oleh Panwaslu Kabupaten
Enrekang, Polres Enrekang, pimpinan dan saksi PAN Enrekang, pimpinan dan saksi PBR
Enrekang, dan anggota KPU Kabupaten Enrekang. Hasil dari pembukaan kertas suara
242 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
itu terbukti PBR hanya mendapatkan 1 (satu) suara, yaitu suara pemilih yang mencoblos
tanda gambar dan sekaligus calon Anggota DPRD Kabupaten Enrekang nomor urut
2 atas nama M. Thalib MS. Karena Pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya,
permohonan Pemohon ditolak.
Untuk Daerah Pemilihan 2 DPRD Kabupaten Bulukumba bahwa Pemohon telah
kehilangan 675 suara di DP 2 DPRD Kabupaten Bulukumba serta telah terjadi penambahan
suara terhadap Partai Patriot Pancasila, PDIP, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia, seandainya permohonan benar maka komposisi suara Pemohon di DP 2
DPRD Kabupaten Bulukumba yang memperebutkan 8 (delapan) kursi akan terpengaruh.
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 673 suara di DP 2 DPRD Kabupaten Bulukumba.
Kehilangan tersebut terjadi di PPK Kecamatan Bulukumba sejumlah 630 suara yang
tersebar di PPS 3, PPS 7, PPS 10, PPS 11, PPS 12, PPS 15, dan PPS 17, serta PPK
Kecamatan Rilau Ale sejumlah 45 suara yang terjadi di PPS 10. Berdasarkan Rekapitulasi
Penghitungan Suara Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bulukumba
DP Bulukumba 2 yang ditandatangani oleh Ketua KPU Kabupaten Bulukumba beserta
empat orang anggota dapat diketahui bahwa Pemohon memperoleh 1.056 suara di DP
2 DPRD Bulukumba. Suara tersebut berasal dari dua PPK, yaitu PPK Bulukumba (530
suara) dan PPK Rilau Ale (526 suara). Berdasarkan Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tingkat PPK Bulukumba dapat diketahui
bahwa Pemohon memperoleh 530 suara di PPK Bulukumba. Akan tetapi, setelah hasil 16
PPS yang tercantum di bukti P6-2 tersebut dijumlahkan, total suara Pemohon bukan 530
suara, melainkan 1.160 suara (selisih 630 suara). Dengan demikian, berdasarkan bukti
yang diajukan Pemohon sendiri, tidak betul terjadi kesalahan memasukkan data 7 PPS
di PPK Bulukumba. Yang betul adalah kesalahan menjumlahkan suara 16 PPS, yang
seharusnya 1.160 suara tetapi hanya tertulis 530 suara. Setelah memeriksa lebih lanjut
bukti, Mahkamah menemukan kejanggalan-kejanggalan, yaitu sangat tidak sebandingnya
perolehan suara bagi partai dan bagi para calon Anggota DPRD Kabupaten Bulukumba.
Misalnya di PPS 7, suara bagi partai berjumlah 191 suara (yang didapat dari pemilih yang
memilih partai saja serta memilih partai dan calon sekaligus), tetapi suara untuk calon
hanya 15 suara saja yang diperoleh calon A. Syamsul Alam Ahmad (11 suara), A. Ichwan
AS. A, MA (1 suara), dan Nuraeni B, S.Ag (3 suara). Di PPS 10, suara untuk partai
berjumlah 151 suara, tetapi yang diperoleh calon hanya 8 suara. Hal yang sama terjadi
pula di PPS 4, PPS 12, dan PPS 15 dalam rekapitulasi PPK Bulukumba.
Setelah memeriksa bukti Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilu Anggota
DPRD Kabupaten/Kota Tingkat PPK Rilau Ale, Pemohon memperoleh 526 suara di PPK
Rilau Ale.
Akan tetapi, setelah hasil 13 PPS yang tercantum di bukti P6-2b itu dijumlahkan,
total suara Pemohon bukan 526 suara, melainkan 571 suara (selisih 45 suara). Dengan
demikian, berdasarkan data Pemohon sendiri, tidak betul terjadi kesalahan memasukkan
data PPS 10 di PPK Rilau Ale. Yang betul adalah kesalahan menjumlahkan suara 13 PPS,
243 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
yang seharusnya 571 suara tetapi hanya tertulis 526 suara. Terhadap persoalan di PPS
seharusnya Pemohon menyampaikan bukti-bukti perolehan PPS yang dipermasalahkan,
tetapi Pemohon ternyata tidak menyertakan bukti perolehan suara di PPS. Dengan
demikian Pemohon tidak memiliki dasar yang kuat untuk mempermasalahkan kesalahan
penghitungan di PPS. Karena Pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya
permohonan Pemohon ditolak.
Untuk Daerah Pemilihan Kalimantan Barat DPR-RI bahwa telah terjadi penambahan
13.553 suara terhadap Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) di Kabupaten
Sintang dan Kabupaten Melawi, seandainya permohonan dikabulkan maka terjadi
komposisi suara Pemohon untuk DP Kalbar DPR-RI yang memperebutkan 10 kursi.
Pemohon mendalilkan telah terjadi penggelembungan suara PNBK di DP Kalbar
DPR-RI sebanyak 13.533 suara, yang terjadi di Kabupaten Sintang (7.919 suara) dan
Kabupaten Melawi (5.634 suara). Sebaliknya telah terjadi pengurangan suara terhadap
11 (sebelas) partai lainnya di DP Kalbar DPR-RI, yaitu PNI Marhaenisme, Partai
Buruh Sosial Demokrat, Partai Merdeka, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan,
Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia, Partai Karya Peduli Bangsa, dan Partai Damai Sejahtera. Pengurangan
terhadap perolehan suara sebelas partai itu berjumlah 13.533 suara, atau sama dengan
penggelembungan terhadap PNBK yang didalilkan Pemohon.
Menurut data Pemohon, perolehan suara PNBK untuk Kabupaten Sintang adalah
6.998 suara dan di Kabupaten Melawi sejumlah 1.957 suara. Sedangkan menurut data
KPU Kabupaten Sintang yang disampaikan pihak KPU dalam persidangan adalah 16.018
suara di Kabupaten Sintang dan 7.591 suara untuk Kabupaten Melawi. KPU Pusat
pun tidak menggunakan data yang disampaikan keempat anggota KPU Kabupaten
Sintang. Hal itu terbukti dari total suara yang berbeda antara data keempat anggota
KPU Kabupaten Sintang dan data KPU Pusat. Dengan demikian, keterangan keempat
Anggota KPU Kabupaten Sintang dalam persidangan yang menyatakan bahwa mereka
telah menyampaikan rekapitulasi penghitungan suara sebenarnya dari KPU Kabupaten
Sintang ke KPU Pusat patut diragukan. Mahkamah mempertimbangkan pula perbandingan
perolehan suara Pemohon dan PNBK di Kabupaten Sintang dan Melawi untuk tingkat
pemilihan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten (untuk tingkat DPRD provinsi) dan untuk
tingkat DPRD provinsi. Berdasarkan perolehan suara untuk tingkat DPRD kabupaten,
di Kabupaten Sintang PBR memperoleh 3.808 suara, sedangkan PNBK memperoleh
1.978 suara. Di Kabupaten Melawi PBR memperoleh 10.675 suara, sedangkan PNBK
241 suara. Dengan demikian, perolehan suara Pemohon di dua kabupaten itu melebihi
perolehan suara PNBK (di Sintang perolehan suara PBR lebih besar 1.830 suara dan
di Melawi lebih besar 10.434 suara daripada perolehan suara PNBK). Untuk perolehan
suara tingkat DPRD provinsi, di DP 7 yang terdiri dari Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten
Sintang, dan Kabupaten Melawi, perolehan suara PBR berjumlah 16.526 suara,
244 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sedangkan PNBK berjumlah 4.714 suara. Dengan demikian, PBR juga tetap unggul
dengan 11.812 suara. Sebagai Pihak Terkait PNBK telah menyampaikan bukti-bukti
yang diakuinya sebagai Hasil Penghitungan Suara dan Lampiran Hasil Penghitungan
Suara Pemilu Anggota DPR RI Kabupaten Melawi, Berita Acara Rekapitulasi Hasil Suara
PPK Tanah Pinoh Kabupaten Sintang, PPK Sayan Kabupaten Melawi, PPK Belimbing
Kabupaten Melawi, PPK Nagga Pino Kabupaten Melawi. Bukti yang diajukan oleh Pihak
Terkait ternyata merupakan fotokopi dokumen yang sebagian tidak ditandatangani dan
bentuk serta isinya tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 99 ayat (7) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan ketentuan perundang-undangan lainnya. Oleh
karena itu Mahkamah berpendapat permohonan Pihak Terkait dikesampingkan. Oleh
karena itu, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan.
Untuk Daerah Pemilihan 5 DPRD Kabupaten Ketapang bahwa telah terjadi
penambahan terhadap suara PAN di Desa Banjarsari, Kecamatan Kedawangan.
Seandainya permohonan benar maka komposisi suara Pemohon untuk DP 5 DPRD
Kabupaten Ketapang yang memperebutkan 7 (tujuh) kursi. Pemohon mempersoalkan
perolehan suara PAN di PPS 2 Desa Banjarsari yang menurut Pemohon seharusnya
berjumlah 425 suara dan bukan 485 suara (selisih 60 suara). Dari bukti yang ditandatangani
oleh Ketua KPU Kabupaten Ketapang beserta empat orang anggota saksi-saksi PDIP,
Partai Golkar, PAN, dan Partai Demokrat dapat diketahui bahwa pada hari Senin tanggal
19 April 2004 telah dilakukan kegiatan rekapitulasi hasil suara Pemilu Anggota DPRD
Kabupaten Ketapang. Berdasarkan bukti P8-3 dapat diketahui bahwa PAN mendapatkan
2.316 suara di DP 5 Kabupaten Ketapang yang berasal dari dua kecamatan, yaitu
Kecamatan Matan Hilir Selatan (503 suara) dan Kecamatan Kendawangan (1.813 suara).
Terhadap perolehan suara tersebut Pemohon tidak mengajukan keberatan.
Berdasarkan data PPK Kendawangan, perolehan suara PAN adalah 1.813 suara
yang berasal dari 20 PPS. Di PPS 2 (Desa Banjarsari) tercantum perolehan suara PAN
berjumlah 485 suara. Berdasarkan Rekapitulasi Penghitungan Suara Anggota DPRD
Kabupaten Ketapang Desa Banjarsari, Kecamatan Kendawangan (Lampiran Model D1
DPRD Kab/Kota) diketahui bahwa perolehan suara PAN untuk Kecamatan Kendawangan
adalah 425 suara yang berasal dari 9 TPS. Dengan demikian terjadi perbedaan antara
data yang dibuat PPS Desa Banjarsari (425 suara) dan data yang tercantum di PPK
Kendawangan (485 suara). Pihak KPU telah menyampaikan Berita Acara Perbaikan
Perolehan Suara Pemilu 2004 Calon Legislatif DPRD Kabupaten Ketapang Nomor:
02/PPK-KDW/V/2004 tanggal 1 Mei 2004 yang dikeluarkan oleh PPK Kecamatan
Kendawangan dan ditandatangani Ketua PPK Kecamatan Kendawangan H. Pujiono
bersama dua orang anggota, Usran Ali dan M. Lanang (bukti KPU). Berita acara tersebut
pada pokoknya menyatakan bahwa perolehan suara PAN yang benar adalah 425 suara,
bukan 485 suara. Dengan demikian suara PAN di DP 5 DPRD Kabupaten Ketapang yang
benar adalah 2.256 suara yang berasal dari dua kecamatan, yaitu Kecataman Matan Hilir
Selatan (503 suara) dan Kecamatan Kendawangan (1.753 suara) sehingga Mahkamah
245 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan.
Untuk Daerah Pemilihan Jatim X DPR-RI bahwa Pemohon telah kehilangan 40.056
suara di DP Jatim X DPR-RI, seandainya permohonan benar maka komposisi suara
Pemohon di DP Jatim X DPR-RI yang memperebutkan 8 (delapan) kursi akan berubah.
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 17.027 suara di Kabupaten Bangkalan dan
23.029 suara di Kabupaten Sampang. Mahkamah berpendapat bahwa permohonan
Pemohon tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya alat-alat bukti, seperti data perolehan
suara Model DB-1 DPR-DPD, baik yang dibuat oleh KPU Kabupaten Bangkalan maupun
oleh KPU Kabupaten Sampang sehingga Mahkamah tidak dapat membandingkan kedua
data perolehan suara untuk sampai pada kesimpulan bahwa permohonan Pemohon
harus dikabulkan. Karena Pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil permohonan,
permohonan Pemohon ditolak.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa mengabulkan
permohonan Pemohon untuk sebagian; menyatakan batal Keputusan KPU Nomor 44/
SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai
Bintang Reformasi untuk (1) Daerah Pemilihan 2 DPRD Kabupaten Deli Serdang, (2)
Daerah Pemilihan 1 DPRD Kota Medan, (3) Daerah Pemilihan 5 DPRD Kabupaten
Ketapang, dan (4) Daerah Pemilihan Kalimantan Barat DPR-RI; menetapkan perolehan
suara yang benar untuk Daerah Pemilihan 2 DPRD Kabupaten Deli Serdang (1) Partai
Bintang Reformasi : 6.825 suara; (2) Partai Golkar : 21.346 suara; (3) Partai Patriot
Pancasila : 5.484 suara; menetapkan perolehan suara yang benar untuk Daerah Pemilihan
1 DPRD Kota Medan: (1) Partai Nasional Indonesia Marhaenisme adalah 2.342 suara;
(2) Partai Buruh Sosial Demokrat adalah 2.471 suara; (3) Partai Bulan Bintang adalah
3.539 suara; (4) Partai Merdeka adalah 697 suara; (5) Partai Persatuan Pembangunan
adalah 18.921 suara; (6) Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan adalah 1.308 suara;
(7) Partai Perhimpunan Indonesia Baru adalah 6.107 suara; (8) Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan adalah 1.007 suara (9) Partai Demokrat adalah 32.608 suara; (10) Partai
Keadilan Dan Persatuan Indonesia adalah 7.120 suara; (11) Partai Penegak Demokrasi
Indonesia adalah 740 suara; (12) Partai Persatuan Nahdlatul Ummah adalah 1.623
suara; (13) Partai Amanat Nasional adalah 27.815 suara; (14) Partai Karya Peduli Bangsa
adalah 1.785 suara; (15) Partai Kebangkitan Bangsa adalah 2.158 suara; (16) Partai
Keadilan Sejahtera adalah 35.068 suara; (17) Partai Bintang Reformasi adalah 7.424
suara; (18) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah 15.889 suara; (19) Partai
Damai Sejahtera adalah 16.976 suara; (20) Partai Golongan Karya adalah 25.476 suara;
(21) Partai Patriot Pancasila adalah 4.565 suara; (22) Partai Sarikat Indonesia adalah
893 suara; (23) Partai Persatuan Daerah adalah 3.134 suara; (24) Partai Pelopor adalah
885 suara; Total suara adalah 220.551; menetapkan perolehan suara yang benar untuk
Daerah Pemilihan Kalimantan Barat : (1) Partai Nasional Indonesia Marhaenisme adalah
14.822 suara; (2) Partai Buruh Sosial Demokrat adalah 18.775 suara; (3) Partai Merdeka
20.883 suara (4) Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan adalah 50.287 suara; (5)
246 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Partai Perhimpunan Indonesia Baru adalah 21.621 suara; (6) Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan adalah 59.086 suara; (7) Partai Demokrat adalah 118.550 suara (8) Partai
Keadilan Dan Persatuan Indonesia adalah 32.982 suara; (9) Partai Penegak Demokrasi
Indonesia adalah 28.774 suara; (10) Partai Persatuan Nahdlatul Ummah adalah 13.159
suara; (11) Partai Karya Peduli Bangsa adalah 46.451 suara; (12) Partai Bintang Reformasi
adalah 68.943 suara; (13) Partai Damai Sejahtera adalah 80.436 suara; menetapkan
suara yang benar untuk Daerah Pemilihan 5 DPRD Kabupaten Ketapang :
- Partai Bintang Reformasi : 2.265 suara;
- Partai Amanat Nasional : 2.256 suara;
Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya. Selanjutnya, Mahkamah
memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan putusan ini.
247 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 029/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004
ANGGOTA DPR DAN DPRD PARTAI PATRIOT PANCASILA
Pemohon : 1. Japto S. Soerjosoemarno, SH., 2. Sophar Maru, S.H, M.H.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara, Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah, Komisi
Pemilihan Umum Provinsi Bengkulu, Komisi Pemilihan Umum
Daerah pemilihan Jawa Timur III Kabupaten Bondowoso, Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten Siak Provinsi Riau, Komisi Pemilihan
umum Provinsi Sumatera Selatan.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Daerah Pemilihan I Kota Medan
Sumatera Utara, Daerah Pemilihan DPRD Provinsi Sumatera Utara,
Daerah Pemilihan 1 DPR RI Sumatera Utara, Daerah Pemilihan 10
Kabupaten Karo Sumatera Utara, Daerah Pemilihan 1 Kabupaten
Katingan Kalimantan Tengah, Daerah Pemilihan 1 Kabupaten
Rejang Lebong Bengkulu, Daerah Pemilihan Kabupaten Bondowoso
Jawa Timur, Daerah Pemilihan 3 Kabupaten Siak Riau, dan Daerah
Pemilihan DPR Sumatera Selatan.
Pokok Perkara : Penetapan hasil suara Pemilihan Umum Calon Anggota DPR,
DPD, dan DPRD Pemilihan I Kota Medan Sumatera Utara, Daerah
Pemilihan DPRD Provinsi Sumatera Utara, Daerah Pemilihan 1 DPR
RI Sumatera Utara, Daerah Pemilihan 10 Kabupaten Karo Sumatera
Utara, Daerah Pemilihan 1 Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah,
Daerah Pemilihan 1 Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu, Daerah
Pemilihan Kabupaten Bondowoso Jawa Timur, Daerah Pemilihan
3 Kabupaten Siak Riau, dan Daerah Pemilihan DPR Sumatera
Selatan.
248 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Kamis, 17 Juni 2004
Ikhtisar Putusan :
Pemohon Japto S. Soerjosoemarno, SH dan Sophar Maru, S.H, M.H. adalah Ketua
Umum dan Sekretaris Jenderal bertindak untuk dan atas nama Partai Patriot Pancasila
peserta pemilihan umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2004. Pemohon
mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum untuk Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Umum
Tahun 2004, yakni Daerah Pemilihan I Kota Medan Sumatera Utara, Daerah Pemilihan
DPRD Provinsi Sumatera Utara, Daerah Pemilihan 1 DPR RI Sumatera Utara, Daerah
Pemilihan 10 Kabupaten Karo Sumatera Utara, Daerah Pemilihan 1 Kabupaten Katingan
Kalimantan Tengah, Daerah Pemilihan 1 Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu, Daerah
Pemilihan Kabupaten Bondowoso Jawa Timur, Daerah Pemilihan 3 Kabupaten Siak Riau,
dan Daerah Pemilihan DPR Sumatera Selatan.
Pemohon mendalilkan kehilangan perolehan kursi Partai Pemohon untuk Daerah
Pemilihan 1 Kota Medan, Sumatera Utara sehingga Pemohon merasa keberatan dengan
KPU Kota Medan yang menetapkan Hasil Perolehan suara dengan data yang tidak
jelas karena tidak mengacu pada data PPK yang menurut UU Nomor 12 Tahun 2003
menjadi sumber data yang harus dipergunakan oleh KPU Kota Medan untuk menetapkan
Perolehan Hasil Suara. Seharusnya Partai Patriot Pancasila memperoleh 1 kursi dengan
perolehan suara 16.703 untuk DPRD Kota Medan. Untuk Daerah Pemilihan 1 Sumatera
utara (DPRD Provinsi Sumut), Pemohon merasa keberatan karena KPU Kota Medan
dalam menetapkan hasil penghitungan suara untuk Kecamatan Medan Tembung, Medan
Denai, Medan Kota, Medan Area dan Medan Amplas tidak jelas dari mana asalnya, karena
tidak mengacu pada data PPK yang menurut UU No. 12 Tahun 2003 menjadi sumber
data yang harus dipergunakan oleh KPU Kota Medan untuk menetapkan perolehan hasil
suara, yang mengakibatkan Partai Patriot Pancasila kehilangan kursi untuk Anggota
DPRD Provinsi dari Daerah Pemilihan 1 Sumatera Utara. Pemohon mendalilkan bahwa
data yang ada pada Pemohon perolehan suara Partai Patriot Pancasila untuk Anggota
DPRD Provinsi dari Daerah Pemilihan 1 Sumatera Utara adalah sebesar 42.440 suara,
sedangkan pada Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004
adalah 18.141 suara, sehingga Pemohon memohon pembatalan Penetapan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang hasil
penghitungan suara Pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara tahun
2004 secara nasional untuk Daerah Pemilihan 1 Sumatera Utara yang diumumkan pada
tanggal 5 Mei 2004.
Untuk Daerah Pemilihan 1 Sumatera Utara (DPR-RI) terdapat penambahan suara
jumlah perolehan suara bahwa DPR RI Sumatera Utara 1 sekitar tanggal 24 April
249 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
2004 antara Partai Patriot Pancasila (PP) dengan Partai Bintang Reformasi (PBR),
masing-masing Patriot Pancasila memperoleh 66.554 suara, PBR memperoleh 64.978
suara, sehingga terdapat selisih kelebihan suara untuk PP = 1.576 suara. Pada saat
penyampaian laporan akhir ke KPU Pusat jumlah yang diperoleh oleh PBR, adalah
74.225 suara sehingga selisih menjadi 9.247 suara untuk kelebihan PBR sehingga
Pemohon menolak kelebihan suara tersebut karena dianggap tidak logis dan masuk
akal.
Untuk Daerah Pemilihan 10 Kabupaten Karo Sumut (DPRD Kab. Karo) bahwa Partai
Patriot Pancasila berkeberatan terhadap revisi Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Tanah Karo tanggal 30 april 2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum
DPRD tahun 2004 secara nasional untuk Daerah Pemilihan 10 Sumatera Utara, KPU
Sumatera Utara telah mengadakan rapat pleno rekapitulasi perolehan suara pada
tanggal 24/25 April 2004 yang dihadiri oleh seluruh Parpol peserta Pemilu dan hasil
rekapitulasi tersebut partai Pemohon memperoleh 1 kursi untuk DPRD Provinsi
Sumatera Utara dari Daerah Pemilihan 10 Karo KPU Kabupaten Karo mengadakan
revisi hasil pleno KPU Kabupaten Karo tanpa mengundang partai peserta Pernilu
khususnya Partai Patriot Pancasila yang menjadi partai yang dirugikan dengan
berkurangnya suara sebesar 1057 suara. Revisi tersebut dibawa ke KPU Provinsi
Sumatera Utara dan diteruskan oleh KPU Provinsi ke KPU tanpa mengundang partai
politik dengan alasan terbatas oleh waktu.
Untuk Daerah Pemilihan 1 Kab. Katingan Kalimantan Tengah, Pemohon berkeberatan
terhadap penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 44/SK/KPU/04, tanggal 5
Mei 2004 tentang hasil penghitungan Suara Pemilihan Umum DPRD tahun 2004 secara
nasional untuk Daerah Pemilihan 1 Katingan. Jumlah perolehan suara partai Pemohon
adalah sebesar 999 suara untuk pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten. Daerah
Pemilihan 1 Kabupaten Rejang Lebong Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 5 mei 2004 tentang
hasil penghitungan suara Pemilihan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/
Kota Tahun 2004 secara nasional daerah pemilihan Rejang Lebong I (Kabupaten Rejang
Lebong) Provinsi Bengkulu seharusnya adalah 956 suara. Pemohon berpendapat bahwa
hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan, sehingga merugikan Partai Patriot
Pancasila yang mengakibatkan perolehan jumlah kursi Partai Patriot Pancasila berkurang
untuk Daerah Pemilihan Rejang Lebong I (DPRD Kabupten/Kota). Pemohon berpendapat
bahwa hasil penghitungan suara yang benar adalah sebagai berikut:
Jumlah perolehan suara Partai Patriot Pancasila sebesar 1.055 suara; 1.
Bahwa letak kesalahan penghitungan suara yang ada pada KPU. Adalah pada 2.
rekapitulasi penghitungan suara pada PPK Luruk Kabupaten Rejang Lebong
berjumlah 811 suara, yang benar adalah 911 suara dan rincian suara partai, pada
penghitungan suara hari pertama sebanyak 98 suara ditulis oleh PPK sebesar 96
berarti selisih 2 suara;
250 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Caleg Nomor 2 atas nama Erwi Likanah penghitungan suara pertama sebanyak 3.
188 suara dihitung kembali oleh KPUD Rejang Lebong sebesar 186 suara, berarti
selisih 2 suara;
Caleg atas nama Hj. Jusmaniar Rekapitulasi pada PPK Kecamatan Curup ditulis 4.
177 suara dengan rincian penghitungan hari pertama 57 suara hari kedua 59 suara
hari ketiga 55 suara seharusnya jumalah tersebut 171 suara tetapi PPK Curup telah
salah cara menjumlahkannya, sedang yang benar adalah penghitungan rekapitulasi
hari pertama sebesar 64 suara hari kedua 59 suara hari ketiga 55 suara dijumlahkan
sehingga menjadi 178 suara.
Terhadap permasalahan selisih penghitungan suara atas nama Hj. Jusmaniar
Pemohon pernah mengajukan keberatan melalui saksi atas nama Limi Aslan, SH di KPU
Kabupaten Rejang Lebong mengenai suara di TPS 5 Jln. Baru Kecamatan Curup pada
tanggal 17 April 2004, bahwa ternyata rekapitulasinya hanya 2 suara tetapi menggunakan
tip ex. Setelah diperiksa secara seksama ternyata tulisan dibelakang tip ex tersebut 11.
Maka dengan seketika ketua KPU Rejang Lebong atas nama Andi Arif merubah menjadi
11 berarti ada penambahan 9 suara, maka seketika itu juga saksi Partai Patriot Pancasila
menyatakan menuntut karena penambahan 9 suara tidak disertai dengan berita acara
atas penambahan suara tersebut.
Untuk Daerah Pemilihan Kabupaten Bondowoso, bahwa Partai Patriot Pancasila
berkeberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum 44/SK/KPU/Tahun 2004
tanggal 5 Mei 2004 pukul 16.03 WIB tentang hasil penghitungan suara Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2004 secara nasional untuk daerah pemilihan
Jawa Timur III Kabupaten Bondowoso, untuk Kecamatan Cerme karena tertangkap
basah tindak pelanggaran Pemilu dengan memanipulasi data oleh PPK Kecamatan
Cerme Kabupaten Bondowoso yang dilindungi oleh KPU Kabupaten Bondowoso. Yaitu
jumlah pemilih berdasarkan SK KPU No. 6 Tahun 2004 adalah 31.793 pemilih tetapi pada
waktu rekapitulasi manual jumlah pemilih sah adalah 32.767 pemilih, dengan ini KPU
Kabupaten Bondowoso menutupnutupi perbaikan jumlah data dengan tidak melibatkan
saksisaksi dari Parpol. Pemohon menyatakan hasil penghitungan suara yang benar
sebagai berikut :
- Kecamatan Cerme buka kembali bersama sama Formulir C 2 yang benar;
- Kecamatan Tapen perolehan suara Partai Patriot Pancasila = 511 suara
- Kecamatan Klabang Perolehan suara Partai Patriot Pancasila = 1.697 suara;
- Kecamatan Prayekan perolehan suara Partai Patriot Pancasila = 685 suara.
Untuk Daerah Pemilihan 3 Kabupaten Siak Pemohon berkeberatan terhadap
penetapan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 5 Mei 2004
tentang hasil penghitungan suara Pemilihan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan
DPRD Kab/Kota Tahun 2004 secara nasional daerah pemilihan Siak III Khususnya
Kecamatan Kandis Kabupaten Siak Provinsi Riau yang di kirimkan kepada KPU Daerah
Siak oleh PPK Kecamatan Kandis tertanggal 13 April 2004. Pemohon berpendapat bahwa
251 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
hasil penghitungan suara tersebut terdapat mark-up, sehingga merugikan Partai Patriot
Pancasila yang mengakibatkan perolehan jumlah kursi Partai Patriot Pancasila menjadi
hilang untuk Daerah Pemilihan 3 Kabupaten Siak.
Untuk Daerah Pemilihan Sumatera Selatan (DPR-RI) bahwa Partai Patriot Pancasila
berkeberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan umum Provinsi Sumatera Selatan
tentang hasil penghitungan suara Pemilihan Umum DPRD Provinsi tahun 2004 secara
Nasional untuk Dapil, Sumatera Selatan, dalam penghitungan suara hasil Pemilu tanggal
5 April 2004, Komisi Pemilihan Umum Sumatera Selatan karena adanya keterlambatan
penghitungan perolehan suara baik di tingkat kota / kabupaten, maupun PPK dan PPS
khususnya di kota Palembang dan terindikasi ada manipulasi suara oleh Ketua PPK
Seberang Ulu II, sehingga Pemohon menuntut penghitungan ulang di semua lini (TPS,
PPK dan KPU) se-Provinsi Sumatera Selatan untuk suara DPRD Kota / Kabupaten,
Provinsi dan DPR RI.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf d jo. Pasal
74 dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD, bahwa permohonan Pemohon termasuk kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Berdasarkan bukti Pemohon berupa Salinan Keputusan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 678 Tahun 2003 tentang Penetapan Partai Politik Sebagai Peserta
Pemilihan Umum Tahun 2004 bertanggal 7 Desember 2003, Pemohon adalah partai
politik sebagai peserta pemilihan umum tahun 2004, maka berdasarkan ketentuan Pasal
74 UU MK, Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak
sebagai Pemohon di dalam perkara permohonan a quo.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Daerah
Pemilihan 1 Kota Medan (DPRD Kota) berdasarkan dalil Pemohon bahwa partai Pemohon
yang seharusnya memperoleh 16.703 suara untuk Daerah Pemilihan 1 Kota Medan bagi
Calon Anggota DPRD Kota Medan Sumatera Utara ternyata oleh KPU Kota Medan hanya
dinyatakan 4.614, karena KPU Kota Medan dalam melakukan rekapitulasi penghitungan
suara tanggal 26 April 2004 tidak mendasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara
tingkat PPK, yang didasarkan pada kesepakatan beberapa partai politik dengan KPU.
Data rekapitulasi hasil penghitungan suara Anggota DPRD Kota Medan berupa data
rekapitulasi penghitungan suara di tingkat PPK yang dilakukan oleh KPU Kota Medan
yakni suara Pemohon di Kecamatan Medan Kota 692 suara, suara Pemohon di Kec.
Medan Denai 1.261 suara, suara Pemohon di Kecamatan Medan Amplas 1.463 suara,
suara Pemohon di Kec. Medan Area 1.198 suara, sehingga total suara 4.614 suara.
Rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh PPK menurut versi Pemohon yakni
suara Pemohon di Kecamatan Medan Kota 3.897 suara, suara Pemohon di Kecamatan
Medan Denai 5.843 suara, suara Pemohon di Kecamatan Medan Amplas 1.463 suara,
suara Pemohon di Kecamatan Medan Area 5.480 suara, sehingga hasil total suara untuk
keempat kecamatan tersebut 16.683 suara. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa :
252 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
1. penghitungan suara di tingkat KPU Kota Medan yang mendasarkan penghitungannya
pada data PPK telah diragukan kebenarannya sehingga diambil kebijaksanaan untuk
menghitung dengan mempergunakan data hasil penghitungan suara PPS;
2. meskipun Pemohon mendalilkan suaranya di 4 (empat) kecamatan tersebut,
adalah sebesar 16.703, namun karena adanya kebijaksanaan yang dilakukan untuk
melakukan penghitungan berdasarkan data penghitungan yang dilakukan PPS,
maka rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh PPK menurut versi
Pemohon tidak dapat dipergunakan lagi sebagai dasar penghitungan yang sah;
3. dari sampel data PPS yang diperoleh oleh Tim Mahkamah Konstitusi dari KPU
Kota Medan telah ternyata tidak mendukung dalil Pemohon, sedang di pihak lain
Pemohon tidak dapat menunjukkan data-data PPS yang mendukung data PPK versi
Pemohon.
Terlepas dari ketidakmampuan Pemohon untuk mengajukan data-data PPS untuk
mendukung data-data PPK versi Pemohon, maka Pemohon juga melakukan kekeliruan
karena memohon pembatalan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Medan, padahal
menurut Pasal 74 ayat (2) huruf c UU MK, permohonan pembatalan harus ditujukan
kepada keputusan KPU yang diumumkan secara nasional. Pemohon dipandang tidak
berhasil membuktikan dalil permohonannya, sehingga permohonan Pemohon sepanjang
menyangkut Daerah Pemilihan 1 Kota Medan untuk calon Anggota DPRD Kota Medan
ditolak.
Untuk Daerah Pemilihan 1 Provinsi Sumatera Utara (DPRD Provinsi), Pemohon
berkeberatan terhadap Keputusan KPU No. 44/SK/KPU/Tahun 2004 yang menyatakan
perolehan suara Pemohon sebesar 18.141 yang menurut Pemohon berdasarkan hasil
rekapitulasi penghitungan suara tanggal 26 April 2004 di tingkat PPK, Khususnya PPK
Medan Kota, PPK Medan Tembung, PPK Medan Denai, PPK Medan Area dan PPK
Medan Amplas yang menurut Pemohon seharusnya adalah sebesar 42.440 suara.
Mahkamah menyatakan bahwa
1. ternyata hasil rapat pleno pada tanggal 25 April 2004 di KPU Kota Medan yang
menggunakan data-data PPK telah banyak diprotes oleh partai-partai, namun tidak
termasuk partai Pemohon;
2. untuk mengakomodir banyaknya protes pada tanggal 25 April 2004 a quo, KPU Kota
Medan bersedia untuk menghitung ulang perolehan suara dengan memberi surat
mandat kepada masing-masing partai untuk mengambil secara langsung data-data
PPS di 6 (enam) kecamatan, yaitu Medan Tembung, Medan Denai, Medan Kota,
Medan Area dan Medan Amplas;
3. KPU Kota Medan menyatakan dalam melakukan rekapitulasi mendasarkan data
PPS tersebut atas kesepakatan saksi partai politik, adalah benar tetapi tidak semua
saksi partai politik peserta pleno menyetujuinya termasuk partai Pemohon yang tidak
menyetujui;
4. ada lima Ketua PPK dari Daerah Pemilihan Kota Medan yang menjadi DPO karena
253 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ada dugaan melakukan penggelembungan suara terhadap suara partai tertentu
khususnya PPK yang bermasalah tersebut;
5. saksi partai politik peserta Pemilu tidak semuanya mendapatkan hasil rekapitulasi
penghitungan suara dari tingkat KPPS,PPS, PPK dan KPU Kota Medan secara
lengkap, disebabkan banyak hal misalnya adanya saksi partai politik yang tidak
hadir dan adanya data PPK yang di bawa lari oleh Ketua PPK yang menjadi DPO
tersebut;
6. KPU Kota Medan pada tanggal 10 Mei 2004 telah mengeluarkan revisi hasil
penghitungan suara untuk daerah pemilihan Kota Medan, hal mana dilakukan
menurut KPU Kota Medan karena adanya kesalahan rekapitulasi.
Dari alat-alat bukti yang diajukan Pemohon dan temuan Tim Mahkamah Konstitusi,
meskipun terdapat petunjuk bahwa data rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan
KPU Kota Medan dan KPU Provinsi Sumatra Utara yang menyangkut penghitungan
suara di Daerah Pemilihan 1 Sumatra Utara diragukan karena adanya juga temuan
penggelembungan maupun pengurangan suara. Akan tetapi beban bukti tetap ada pada
Pemohon untuk membuktikan dalilnya yang menyatakan bahwa perolehan suara Partai
Pemohon di Daerah Pemilihan 1 Sumatera Utara sebesar 42.440 suara, yang tidak
berhasil dilakukan Pemohon, oleh karena itu permohonan Pemohon ditolak.
Untuk Daerah Pemilihan 1 Sumatera Utara (DPR-RI) adalah apakah benar suara
partai Pemohon berdasarkan data Pemohon sendiri sebesar 66.554 suara dan Partai
Bintang Reformasi sebesar 64.978 suara secara keliru telah ditetapkan oleh KPU
sebesar 72.725 suara untuk Partai Bintang Reformasi, sehingga terdapat selisih 9.247.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa berbeda dengan penghitungan Pemohon
ternyata dalam keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/2004 bertanggal 5 Mei 2004 perolehan
suara untuk Partai Bintang Reformasi sebesar 74.225 suara dan Partai Pemohon 66.637
suara, sehingga menjadi pertanyaan data mana yang dipergunakan oleh Pemohon
untuk mendukung dalilnya. Pemohon yang mendalilkan karena adanya ketidakjelasan
penghitungan suara akhir dari Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Badagai,
maka hal itu akan dinilai dari alat-alat bukti Pemohon sendiri.
Dari bukti-bukti yang diajukan Pemohon tidak tampak penggelembungan suara
untuk Partai Bintang Reformasi dilakukan dan untuk jumlah suara berapa, oleh karena
yang didalilkan Pemohon sebagai hasil penghitungan suara oleh KPU berbeda dengan
data rekapitulasi suara di dalam Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/2004 bertanggal
5 Mei 2004, sehingga permohonan Pemohon menjadi tidak jelas (obscuur libel). Oleh
karena itu, permohonan Pemohon sepanjang untuk Daerah Pemilihan Sumatra 1 untuk
Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat diterima.
Untuk Daerah Pemilihan 10 Kabupaten Karo (DPRD Kabupaten), Pemohon
mendalilkan bahwa suara partai Pemohon berdasarkan data Pemohon sendiri sebesar
66.554 suara dan Partai Bintang Reformasi sebesar 64.978 suara secara keliru telah
ditetapkan oleh KPU sebesar 72.725 suara untuk Partai Bintang Reformasi, sehingga
254 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
terdapat selisih 9.247. Pemohon dengan suratnya tanggal 12 Mei 2004 telah menarik
Kembali permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, Anggota DPRD Tahun 2004
untuk Daerah Pemilihan 10 Kabupaten Karo yang tercatat dalam Register Mahkamah
Konstitusi Nomor 029/PHPU-C1-II/2004 tanggal 08 Mei 2004. Oleh karena permohonan
Pemohon khususnya Hasil Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2004 untuk
Anggota DPRD Daerah Pemilihan 10 Kabupaten Karo ditarik kembali, sesuai dengan
Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 029/PHPU-C1-II/2004 bertanggal 14 Mei 2004,
sehingga oleh karena mana dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 029/PHPU-
C1-II/2004 tanggal 14 Mei 2004 permohonan Pemohon sepanjang mengenai Daerah
Pemilihan 10 Kabupaten Karo tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
Untuk Daerah Pemilihan 1 Kabupaten Katingan (DPRD Kabupaten), Pemohon
mendalilkan bahwa perolehan suara sebenarnya partai Pemohon di Daerah Pemilihan
Katingan adalah 999 suara dan bukan 951 sebagaimana ditetapkan oleh KPU dalam
Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/2004 bertanggal 5 Mei 2004. Untuk membuktikan
dalilnya Pemohon telah mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi.
Untuk Daerah Pemilihan 1 Kabupaten Rejang Lebong (DPRD Kabupaten), Pemohon
mendalilkan bahwa perolehan suara sebenarnya partai Pemohon di Daerah Pemilihan
Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu sebesar 956 suara sebagaimana ditetapkan oleh KPU
dalam Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/2004 bertanggal 5 Mei 2004, tetapi menurut
Pemohon perolehan Partai Patriot Pancasila mendapat 1.055 suara, kesalahan mana
timbul karena kesalahan rekapitulasi penghitungan suara pada Kecamatan Curup, yang
salah menjumlahkan perolehan partai Pemohon sebesar 811 suara padahal yang benar
adalah 911 suara. Dari alat-alat bukti yang diajukan Pemohon dan saksi-saksi, maka
ternyata alat-alat bukti tersebut merupakan catatan penghitungan suara yang dibuat oleh
Pemohon sendiri, meskipun dibubuhi stempel PPK, tetapi tanpa didukung oleh data PPS
maupun data PPK yang sah menurut undang-undang, sehingga oleh karena mana alat-
alat bukti tersebut dipandang tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sah menurut
undang-undang. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak
dapat membuktikan dalil permohonannya, sehingga permohonan Pemohon sepanjang
menyangkut Daerah Pemilihan 1 Rejang Lebong, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi
Bengkulu ditolak.
Untuk Daerah Pemilihan 3 Kabupaten Bondowoso (DPRD Kabupaten) bahwa
Pemohon mendalilkan bahwa telah terjadi kesalahan fatal dalam penghitungan suara
yang sangat merugikan partai Pemohon di Daerah Pemilihan Jawa Timur 3, Kabupaten
Bondowoso, Provinsi Jawa Timur, terutama karena adanya tindak pelanggaran Pemilu
berupa manipulasi data oleh PPK Kecamatan Cerme, dan penghitungan yang benar
bagi Partai Pemohon untuk Kecamatan Cerme dengan membuka kembali formulir C2,
Kecamatan Tapen, Kecamatan Klabang, Kecamatan Prayekan adalah 685. Dari peta
Daerah pemilihan KPU Kabupaten Bondowoso dan bukti, ternyata bahwa Kecamatan
Cermee, Kecamatan Klabang, Tapen dan Prayekan adalah termasuk wilayah Daerah
255 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemilihan 2 Kabupaten Bondowoso dan bukan Daerah Pemilihan 3, sehingga tampak
bahwa permohonan Pemohon kabur (obscuur libel), dan meskipun telah diberikan
kesempatan dalam persidangan tanggal 21 Mei 2004 untuk melakukan perbaikan
permohonan, Pemohon hanya menyatakan perbaikan secara lisan dengan memfokuskan
pada Daerah Pemilihan 2 Kabupaten Bondowoso dan menambahkan petitum pada
angka 5 permohonan Pemohon untuk membuka kembali formulir C2 di kecamatan-
kecamatan lain di Kabupaten Bondowoso. Di samping itu Pemohon ternyata memohon
Mahkamah Konstitusi untuk membuka kembali formulir C2, yang bukan merupakan
kewenangan Mahkamah Konstitusi maupun objek petitum sengketa perselisihan
hasil pemilihan umum menurut Pasal 74 ayat (2) huruf c UU MK. Di dalam positanya
ternyata mempermasalahkan jumlah pemilih terdaftar di Kecamatan Cerme Kabupaten
Bondowoso, yang tidak ada relevansinya dengan petitum dalam permohonan Pemohon
maka permohonan Pemohon dipandang kabur (obscuur libel) sehingga permohonan
Pemohon tidak dapat di terima (niet ontvankelijk verklaard).
Untuk Daerah Pemilihan 3 Kabupaten Siak Riau (DPRD Kabupaten), Pemohon yang
mendalilkan bahwa telah terjadi penggelembungan suara sah sebesar 1.769 suara dalam
penghitungan suara di PPS Kelurahan Telaga Sam Sam, Kelurahan Simpang Belutu dan
Desa Sam Sam, Kecamatan Kandis, sehingga merugikan Partai Patriot Pancasila yang
mengakibatkan hilangnya kursi Partai Patriot Pancasila untuk DPRD Kabupaten Siak,
Provinsi Riau. Meskipun telah beberapa kali ditanyakan, petitum maupun dalam posita
Pemohon tidak menguraikan bukan saja jumlah suara yang benar yang diperoleh Partai
Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003,
tetapi juga Pemohon tidak menguraikan apakah seandainya dalil Pemohon terbukti benar,
Pemohon memperoleh kursi sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (2) huruf c UU
MK. Sehingga oleh karena itu permohonan Pemohon dipandang kabur (obscuur libel).
Oleh karena permohonan Pemohon tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur
dalam Pasal 74 ayat (2) huruf c dan Pasal 75 UU MK, tanpa perlu mempertimbangkan
permohonan Pemohon lebih lanjut, permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Untuk Daerah Pemilihan Sumatera Selatan (DPRD Provinsi), Pemohon mendalillkan
bahwa terdapat keterlambatan penghitungan suara baik di tingkat KPU Kabupaten, PPK
maupun PPS di Kota Palembang serta adanya indikasi manipulasi suara dan rekap
partai-partai yang dihimpun oleh KPU Provinsi Sumsel tidak sama dengan rekapitulasi
PPK untuk Pemilihan Umum Anggota DPRD Provinsi Sumatera Selatan (Model DA).
Petitum maupun dalam posita Pemohon tidak menguraikan bukan saja jumlah suara
yang benar yang diperoleh partai Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 75 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003, oleh karena itu permohonan Pemohon hanya memohon
penghitungan suara di semua lini, yaitu TPS, PPK dan KPU se-Provinsi Sumatera
Selatan untuk suara DPRD Kota/Kabupaten, Provinsi dan DPR RI, sehingga permohonan
Pemohon dipandang kabur (obscuur libel). Oleh karena itu, permohonan Pemohon tidak
256 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (2) huruf c dan Pasal 75
UU MK, tanpa perlu mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut, permohonan
Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian; membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/
Tahun 2004 tanggal 5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai Patriot
Pancasila untuk Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan
dari Daerah Pemilihan Katingan 1, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah;
menetapkan perolehan suara yang benar bagi Partai Patriot Pancasila untuk Calon
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan di Daerah Pemilihan
1 Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah adalah 999 suara; menyatakan
permohonan Pemohon untuk : (1) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Daerah
Pemilihan I Sumatera Utara, (2) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari
Daerah Pemilihan 3 Bondowoso, (3) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dari Daerah Pemilihan 3 Siak, (4) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari
Daerah Pemilihan Sumatera Selatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
dan menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya. Selanjutnya, Mahkamah
memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan Putusan Nomor 029/
PHPU-C1-II/2004 ini.
257 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 031/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004 CALON ANGGOTA DPR DAN
DPRD PARTAI KEBANGKITAN BANGSA
Pemohon : 1. Prof Dr. H. Alwi Shihab, 2. Drs. Amin Said.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR/ DPD/ DPRD.
Pokok Perkara : Terdapat kesalahan penghitungan suara untuk Pemohon (Parta
Kebangkitan Bangsa) di 11 daerah pemilihan (Dapil).
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Kamis, 17 Juni 2004
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Ketua Umum dan Wakil Sekretaris Jenderal Tandz Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB).
I. Dapil Kutai Timur 1
PBSD memperoleh suara sebanyak 1526, PDIP memperoleh suara sebanyak
5061 dan PKB memperoleh suara sebanyak 1452. Pemohon berpendapat bahwa
hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan, sehingga merugikan PKB yang
mengakibatkan perolehan jumlah kursi PKB berkurang untuk Dapil Kutai Timur 1, meliputi
Kecamatan Sangatta dan Bangelon. Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan
suara yang benar adalah 1.391 suara untuk PBSD. PDIP memperoleh suara sebanyak
843 dan PKB memperoleh suara sebanyak 1.452. Sehingga terjadi manipulasi data/
perpindahan suara dari PDIP kepada PBSD sebesar 135 suara.
II. Dapil Kediri IV Meliputi Kecamatan Wates, Ngancar, Plosokaten
Perolehan suara Pemohon untuk Kecamatan Plosoklaten sebanyak 9.411, perolehan
suara di Kecamatan Wates sebanyak 12.478, perolehan suara di Kecamatan Ngancar
sebanyak 3.153, total suara 25.042. Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan
suara tersebut terdapat kesalahan, sehingga merugikan PKB yang mengakibatkan
258 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
perolehan jumlah kursi PKB berkurang untuk Dapil Kediri IV. Pemohon berpendapat
bahwa hasil penghitungan suara yang benar untuk PKB hdala 25.632 suara.
III. Dapil III Provinsi Aceh Meliputi Wilayah Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten
Aceh Raya, Kabupaten Nagan Raya
Perolehan suara Pemohon untuk daerah pemilihan Provinsi Aceh, yang meliputi
Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Raya, dan Kabupaten Nagan Raya sebanyak
9.632, Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara tersebut terdapat
kesalahan, sehingga merugikan PKB yang mengakibatkan perolehan jumlah kursi PKB
untuk Dapil III Nanggroe Aceh Darusalam berkurang 1. Pemohon berpendapat bahwa
hasil Penghitungan Suara yang benar adalah sebanyak 9.978.
IV. Dapil Nganjuk IV Meliputi Wilayah Kecamatan Sukomoro, Kecamatan Tanjung
Anom, Kecamatan Pace Provinsi Jawa Timur
Perolehan suara Pemohon adalah sebanyak 28.946, Pemohon berpendapat bahwa
hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan, sehingga merugikan PKB yang
mengakibatkan peroleh jumlah kursi PKB berkurang untuk Daerah Pemilihan Nganjuk
IV Provinsi Jawa Timur. Pemohon berpendapat bahwa hasil Penghitungan Suara yang
benar adalah 28.946 ditambah 251 sehingga menjadi 29.197.
V. Dapil Jawa Timur X Kabupaten Sampang Madura
Perolehan suara Pemohon adalah sebanyak 178.884, Berdasarkan rekapitulasi hasil
penghitungan suara sementara Anggota DPRD Kabupaten Sampang, Dapil X Jawa Timur
tanggal 19 April 2004, Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara tersebut
terdapat kesalahan, sehingga merugikan PKB yang mengakibatkan perolehan jumlah
kursi PKB berkurang untuk Dapil X Provinsi Jawa Timur, hal ini dikarenakan rekapitulasi
hasil penghitung suara tersebut bersifat sementara, tetapi oleh KPU rekapitulasi tersebut
sudah diumumkan sebagai hasil akhir penghitungan suara.
VI. Dapil Mojokerto I Kota Mojokerto, Jawa Timur
Perolehan suara Pemohon adalah sebanyak 9.270, Pemohon berpendapat bahwa
hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan, sehingga merugikan PKB yang
mengakibatkan peroleh jumlah kursi PKB berkurang untuk Daerah Pemilihan Nganjuk
IV Provinsi Jawa Timur. Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara yang
benar adalah 9.309.
VII. Dapil Probolinggo I Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
Perolehan suara Pemohon adalah sebanyak 28.450, Pemohon berpendapat bahwa
hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan, sehingga merugikan PKB yang
mengakibatkan peroleh jumlah kursi PKB berkurang untuk Daerah Pemilihan Nganjuk
IV Provinsi Jawa Timur. Pemohon berpendapat bahwa hasil Penghitungan Suara yang
benar adalah 29.197. Kemudian Perolehan suara untuk Kecamatan Kademangan
sebanyak 9175, menurut Pemohon yang benar adalah 10279.
259 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
VIII. Dapil V Kabupaten Lampung Barat, Meliputi Wilayah Kecamatan Sumber Jaya
Dan Way Tenong
Perolehan suara Pemohon adalah sebanyak 2.185. Pemohon berpendapat bahwa
hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan, sehingga merugikan PKB yang
mengakibatkan perolehan kursi PKB berkurang untuk Daerah Pemilihan Nganjuk IV
Provinsi Jawa Timur. Pemohon berpendapat bahwa hasil Penghitungan Suara yang
benar adalah 2.415.
IX. Dapil III Kabupaten/Kota Kendari, Sulawesi Tenggara
Perolehan suara Pemohon adalah sebanyak 756, Pemohon berpendapat bahwa
hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan, kecerobohan, pemaksaan
kehendak, sehingga merugikan PKB serta partai-partai lain peserta Pemilu tahun 2004 di
Dapil Kota Kendari III Meliputi Wilayah Kecamatan Baruga, yaitu :
a. Rekapitulasi Penghitungan di KPPS tidak boleh disaksikan oleh saksi dari partai
politik (Petugas di Kelurahan Menghambat);
b. Rekapitulasi Penghitungan di PPK Kecamatan Baruga Kota Kendari tidak diboleh
disaksikan oleh saksi dari partai politik (di Rekap Sendiri oleh Tim PPK, Petugas di
Kecamatan Menghambat);
c. Pengumuman Daftar sementara di luar sekretariat PPK tidak pernah diadakan
walaupun Parpol-Parpol telah mengajukan secara lisan agar dipasang tetapi tidak
pernah dipenuhi (diacuhkan);
d. Rekapitulasi Penghitungan Suara Anggota DPRD Kabupaten/Kota Kota Kendari
terkesan asal-asalan karena terdapat 2 Versi hasil penghitungan suara yaitu versi
pertama terjadi penggelembungan suara jauh melebihi wajib pilih yang terdaftar
dimana suara sah menjadi + 42.000 (Empat Puluh dua ribu) di Kec. Baruga Kota
kendari sedang wajib pilih hanya + 36.000 (Tiga puluh enam ribu) di Kec. Baruga
Kota Kendari. Versi kedua dimunculkan setelah versi pertama mendapat sorotan
dari peserta pleno (partai politik). Suara sah menjadi + 23. 800 (dua puluh tiga ribu
delapan ratus) penghitungan ini tidak dilengkapi rekapitulasi dari KPPS (data tidak
ada);
e. Terjadi Penggelembungan atau mark up salah satu contoh adalah di Dapil III
Kecamatan Baruga Kota Kendari (Rekapitulasi dari PPK) .
X. Dapil Kabupaten Kota Berau IV Meliputi Kecamatan Tasilayan, Kecamatan
Biduk, Kecamatan Pulau Derawan dan Kecamatan Maratua
Perolehan suara Pemohon adalah sebanyak 1.292, Pemohon berpendapat bahwa
hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan, sehingga merugikan PKB yang
mengakibatkan perolehan jumlah kursi PKB berkurang untuk Dapil Berau V. Pemohon
berpendapat bahwa hasil penghitungan suara yang benar adalah 1.292
XI. Dapil Kabupaten/Kota Deli Serdang Sumatera Utara.
Perolehan suara Pemohon adalah sebanyak 5.140, Pemohon berpendapat bahwa
260 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
hasil penghitungan suara tersebut terdapat kesalahan, sehingga merugikan PKB yang
mengakibatkan perolehan jumlah kursi PKB berkurang untuk Dapil Berau V. Pemohon
berpendapat bahwa hasil penghitungan suara yang benar adalah 5.983.
Oleh karena itu, Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi berkenan memutus
dengan amar putusan sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan batal Penetapan KPU Nomor 44, Tanggal 5 Mei 2004 tentang hasil
penghitungan suara Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004 secara nasional
untuk Dapil Kabupaten Kutai Timur I meliputi Kecamatan Sangatta dan Bangelon yang
diumumkan pada tanggal 21 April 2004;
Menetapkan Putusan yang benar adalah yang menurut Pemohon.
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus
permohonan a quo.
Untuk Daerah Pemilihan Kutai Timur 1 (DPRD Kabupaten) Mahkamah berpendapat :
- Dalil Pemohon mengenai penggelembungan perolehan suara PBSD dari 212
menjadi 347 suara (135 suara) tidak cukup beralasan karena lampiran bukti tidak
memenuhi unsur Pasal 99 ayat (7) UU No. 12 Tahun 2003;
- Pengurangan perolehan suara PDIP dari 5.196 menjadi 5.061 suara, ternyata
dalam bukti tertulis yang diajukan Pemohon tidak ditemukan, oleh karena itu klaim
pengurangan perolehan suara PDIP sebesar 135 suara, dan ditambahkan ke
perolehan suara PBSD tidak terbukti;
- Dalam persidangan telah didengar keterangan Panwaslu Kabupaten Kutai Timur
yang pada pokoknya membenarkan adanya pembetulan, namun sebagaimana bukti
P-10 pembetulan tersebut dilakukan oleh KPU Kabupaten Kutai Timur Pada tanggal
9 Mei 2004;
- Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan seperti diuraikan di atas dan berdasarkan
Pasal 77 ayat (4) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak beralasan, maka Mahkamah harus
menolak permohonan Pemohon.
Untuk Daerah Pemilihan Kediri 4 (DPRD Kabupaten) Mahkamah berpendapat :
- Untuk menunjukkan terjadinya penggelembungan dimaksud Pemohon mengajukan
bukti tertulis resmi dari KPU yang telah mengalami perubahan dengan tip ex;
- Untuk memperkuat dalil-dalilnya Pemohon mengajukan alat-alat bukti berupa
Laporan Hasil Penghitungan Suara di TPS yang dibuat oleh Kepolisisan Sektor dalam
Kecamatan Plosoklatenyang menunjukkan jumlah perolehan suara partai Pemohon.
Bukti-bukti tersebut didukung pula oleh bukti-bukti lainya berupa keterangan saksi
dan Pihak Terkait dalam persidangan;
- KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten Kediri tidak mengajukan bukti sebaliknya
261 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
yang membantah dalil-dalil Pemohon;
- Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan seperti diuraikan di atas dan berdasarkan
Pasal 77 ayat (4) UU MK berpendapat permohonan Pemohon beralasan, oleh
karenanya harus dikabulkan.
Untuk Daerah Pemilihan Nanggroe Aceh Darussalam 3 Kediri 4 (DPRD Provinsi)
Mahkamah berpendapat :
- Menurut Pemohon kesalahan penghitungan terjadi pada tingkat KPU Kabupaten
Nagan Raya, perolehan partai Pemohon tertulis 131, seharusnya 477 suara.
Kesalahan, menurut Pemohon, telah diperbaiki oleh PPK Kuala dan kemudian
disampaikan kepada PKU Kabupaten Nagan Raya melalui surat No. 227/35/PPK/
IV/2004 bertanggal 29 April 2004 tentang ralat (Bukti P-2). Selanjutnya oleh KPU
Nagan Raya perbaikan tersebut disampaikan kepada KPU Provinsi NAD dan KPU
di Jakarta melalui surat No. 270/942-A/2004 bertanggal 29 April 2004 tentang
perihal ralat hasil penghitungan suara (Bukti P-4). Hal yang sama dilakukan oleh
KPU Provinsi NAD melalui surat No. 277/2653 bertanggal 30 April 2004 prihal
Perbaikan Penghitungan Suara DPRD Provinsi NAD ditujukan kepada KPU di
Jakarta (Bukti-6);
- PBB mengajukan permohonan selaku Pihak Terkait yang mendalilkan bahwa dalil-
dalil Pemohon tidak benar. Menurut Pihak Terkait, perolehan suara Pihak Terkait
sebesar 9.876 suara dan perolehan suara partai Pemohon sudah benar sebesar
9.632 suara, sehingga partai Pihak Terkait lebih berhak memperoleh kursi di DPRD
Provinsi mewakili Dapil NAD 3;
- Pihak Terkait dalam membantah dalil-dalil Pemohon menyatakan bahwa KPU Nagan
Raya tidak berwenang lagi melakukan perubahan Rekapitulasi Penghitungan Hasil
Perolehan Suara untuk Pemilu DPR dan DPRD Provinsi NAD pada tanggal 5 Mei
2004, sebab pada tanggal tersebut KPU secara nasional telah mengumumkan hasil
Pemilu 2004;
- Setelah Mahkamah membandingkan bukti-bukti Pemohon dengan bukti-bukti Pihak
Terkait, ternyata dalil-dalil Pihak Terkait lebih beralasan untuk diterima;
- Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas dan sesuai pula dengan Pasal 77
ayat (4) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka
Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan, karena itu
harus ditolak.
Untuk Daerah Pemilihan Nganjuk 4 (DPRD Kabupaten) Mahkamah berpendapat:
- Berdasarkan penetapan KPU No. 44/SK/KPU/2004, perolehan suara partai Pemohon
di Dapil Nganjuk 4 adalah sebesar 29.946 suara, dengan demikian jika klaim Pemohon
benar, maka hal itu akan berpengaruh terhadap perolehan kursi PKB;
- Klaim Pemohon yang menyatakan kurang 251 suara tersebut diajukan secara lisan
dalam persidangan, selain itu kekurangan perolehan suaratersebut tidak ditunjukkan
secara jelas dalam permohonan, di mana dan mengapa terjadi kekurangan;
262 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
- Pemohon untuk membuktikan dalil-dalilnya mengajukan bukti berupa Model DB
DPRD Kab/Kota yang pada lampirannya tertera partai Pemohon memperoleh 29.161
suara, Model C DPRD Kab/Kota beserta lampirannya, namun demikian bukti ini tidak
dapat dipertimbangkan sebagai bukti yang sah karena meragukan;
- Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan seperti diuraikan di atas dan berdasarkan
Pasal 77 ayat (4) UU MK, maka Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon
tidak beralasan, oleh karena itu harus ditolak.
Untuk Daerah Pemilihan Jawa Timur X (DPR) Mahkamah berpendapat:
Terhadap dokumen Model D yang diterima dari para anggota PPK tersebut Mahkamah
telah melakukan pengecekan ulang dengan hasil sepanjang berkaitan dengan perolehan
suara Pemilu Anggota DPR-RI yang menjadi objek permohonan sebagai berikut:
263 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
- Saksi Puji Rahardjo dalam persidangan menyatakan bahwa jumlah surat suara DPD yang
terpakai di Kecamatan Ketapang adalah 37.000 lembar padahal untuk DPR-RI, jumlah
surat suara yang terpakai adalah 54.000 lembar, hal mana merupakan sesuatu yang
tidak lazim sehingga akurasi dokumen Model DA yang dibuat oleh PPK Ketapang
tidak meyakinkan;
- KPU Provinsi Jawa Timur dalam persidangan menyatakan bahwa dokumen-dokumen
Model D telah dibawa pergi oleh para anggota PPK, maka Mahkamah berpendapat
bahwa akurasi dari dokumen Model D tidak meyakinkan;
- Jumlah dokumen Model C yang dicek ulang sangat sedikit jumlahnya dan bahwa
akurasi dokumen Model D tidak meyakinkan akurasinya, maka mustahil bagi
Mahkamah untuk mengabulkan permohonan Pemohon;
- Pemohon dalam permohonannya tidak menunjukkan kesalahan penghitungan yang
dilakukan oleh KPU dan tidak menyatakan jumlah perolehan suara Pemohon yang
benar sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 74 ayat (2) dan Pasal 75 UU MK;
- Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, berdasarkan Pasal 77 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, maka Mahkamah harus menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Untuk Daerah Pemilihan Mojokerto 1 (DPRD Kota) Mahkamah berpendapat:
- Setelah Mahkamah meneliti permohonannya ternyata memang Pemohon
mencampuradukkan antara Kota Mojokerto dengan Kota Probolinggo, sehingga
permohonan Pemohon menjadi kabur;
- Karena permohonan Pemohon kabur (obscuur libel), maka Mahkamah harus
menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Untuk Daerah Pemilihan Probolinggo 1 (DPRD Kota) Mahkamah berpendapat :
- Pemohon dalam permohonannya mencampuradukkan Dapil Kota Probolinggo
dengan Dapil Kabupaten Probolinggo dan Dapil Jawa Timur II, sehingga
permohonannya tidak jelas apakah berkaitan dengan perolehan suara DPR atau
DPRD dan pada Dapil mana penghitungan perolehan suara dipermasalahkan. Oleh
karena itu,Mahkamah menilai bahwa permohonan Pemohon kabur (obscuur libel);
- Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat permohonan
Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Untuk Daerah Pemilihan Lampung Barat 5 (DPRD Kabupaten) Mahkamah berpendapat :
- Untuk memperkuat dalil-dalilnya Pemohon mengajukan bukti-bukti. Namun demikian
setelah Mahkamah meneliti bukti-bukti tersebut secara saksama ternyata tidak
mendukung dalil-dalil Pemohon karena Bukti P-8 tidak ditandatangani ketua dan anggota
PPS, serta lampirannya hanya ditandatangani oleh seorang anggota saja. Dengan
demikian, Bukti P-8 beserta lampirannya tersebut tidak memenuhi unsur Pasal 99
ayat (7) UU Nomor 12 Tahun 2003. Demikian juga Bukti P-16 dan lampirannya tidak
dapat dipertimbangkan sebagai bukti yang sah karena meragukan;
264 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
- Dalam persidangan Pemohon mengajukan saksi yang pada pokoknya membenarkan
bahwa partai Pemohon kehilangan suara sebesar 152 suara, selanjutnya saksi
mempertanyakan hal berkurangnya perolehan suara partai Pemohon ke PPK tetapi
tidak digubris;
- Dalam persidangan KPU menerangkan tentang tidak diajukannya keberatan oleh
saksi PKB baik pada tingkat KPU kabupaten maupun pada tingkat KPU provinsi.
Terhadap keterangan KPU tersebut Pemohon tidak menyampaikan bantahan;
- Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat
tidak terdapat bukti-bukti yang memperkuat dalil-dalil Pemohon, oleh karena itu
permohonan Pemohon tidak beralasan;
- Oleh karena permohonan Pemohon tidak beralasan, maka permohonan Pemohon
harus ditolak.
Untuk Daerah Pemilihan Kendari III (DPRD Kota) Mahkamah berpendapat:
- Menurut Pemohon hasil penghitungan suara di Dapil Kota Kendari 3 terdapat kesalahan
karena terjadi kecerobohan sebagaimana terlihat dari suara sah sebesar 42.000
padahal jumlah pemilih hanya 36.000 orang. Penggelembungan tersebut merugikan
perolehan suara PKB;
- Berdasarkan Keputusan KPU No. 44/SK/KPU/2004 telah ternyata bahwa perolehan
suara partai Pemohon Dapil Kota Kendari 3 sejumlah 756 suara, akan tetapi Pemohon
tidak menjelaskan berapa seharusnya perolehan suara partai Pemohon jika tidak
terjadi pengelembungan suara sah, sehingga dari dalil-dalil Pemohon tidak diketahui
secara jelas berapa perolehan PKB yang diklaim Pemohon. Dengan demikian tidak
dapat diketahui apakah permohonan Pemohon berpengaruh terhadap perolehan
kursi bagi PKB;
- Oleh karena permohonan Pemohon tidak jelas keterpengaruhannya terhadap
perolehan suara, maka permohonan Pemohon tidak sesuai dengan Pasal 75 huruf
a dan b UU No. 24 Tahun 2003, oleh karena itu permohonan Pemohon harus
dinyatakan tidak dapat diterima.
Untuk Daerah Pemilihan Deli Serdang 3 (DPRD Kabupaten) Mahkamah berpendapat:
- Pemohon dalam permohonannya tidak menunjukkan alasan-alasan terjadinya
kesalahan hasil penghitungan suara dan kesalahan tersebut terjadi di mana, apakah
di TPS, PPS, PPK atau KPU baik KPU Kabupaten, KPU Provinsi ataupun KPU;
- Selain itu Pemohon dalam permohonan yangsudah diperbaiki pada tanggal 25 Mei
2004 juga mencampuradukkan Dapil Deli Serdang 3 dengan Dapil Berau 5 (lihat
permohonan halaman 34);
- Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah menilai bahwa
permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur, oleh karena itu permohonan Pemohon
harus dinyatakan tidak dapat diterima.
265 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Untuk Daerah Pemilihan Berau 4 (DPRD Kabupaten) Mahkamah berpendapat :
- Pemohon tidak menjelaskan tentang sebab-sebab terjadinya kekurangan perolehan
suara partai Pemohon, dan tempat di mana terjadinya kesalahan penghitungan
suara;
- Pemohon dalam permohonannya tidak menunjukkan alasan-alasan terjadinya kesalahan
hasil penghitungan suara dan kesalahan tersebut terjadi di mana, apakah di TPS, PPS,
PPK atau KPU baik KPU Kabupaten, KPU Provinsi ataupun KPU;
- Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah menilai bahwa permohonan
Pemohon tidak jelas atau kabur, oleh karena itu permohonan Pemohon harus dinyatakan
tidak dapat diterima.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian; membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/
Tahun 2004 tanggal 5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara bagi Partai
Kebangkitan Bangsa untuk Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Kediri dari Daerah Pemilihan Kediri 4; menetapkan perolehan suara yang benar bagi
Partai Kebangkitan Bangsa untuk Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Kediri dari Daerah Pemilihan Kediri 4 adalah 25.632 suara; menyatakan
permohonan Pemohon untuk : (1) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Daerah
Pemilihan Jawa Timur X; (2) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
dari Daerah Pemilihan Mojokerto 1 ; (3) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Probolinggo dari Daerah Pemilihan Probolinggo1 ; (4) Calon Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Kendari 3 dari Daerah Pemilihan Kota Kendari
3; (5) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang 3 dari
Daerah Pemilihan Deli Serdang 3; (6) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Berau 4 dari Daerah Pemilihan Berau 4 tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard); menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya; dan memerintahkan
kepada Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan Putusan ini.
266 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
267 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 032/PHPU-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU 2004
CALON ANGGOTA DPD PROVINSI DKI JAKARTA
Pemohon : Prof. Dr. Hj. Kemala Motik Gofur, SE, MM
Termohon : Komisi Pemilihan Umum
Jenis Perkara : Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Daerah.
Pokok Perkara : Keberatan atas penetapan KPU.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan : Selasa, 1 Juni 2004
Ikhtisar Putusan :
Dalam perkara PHPU DPD ini Pemohon keberatan atas Penetapan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Nomor 44/SK/KPU/TAHUN 2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang Penetapan
Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
dalam Pemilihan Umum tahun 2004 yang diumumkan secara nasional untuk Daerah
Pemilihan DKI Jakarta. Pemohon merasa kehilangan suara sebanyak 466 di TPS 001
s.d. TPS 069 di Kelurahan Pasar Manggis, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan,
sehingga suara yang dilaporkan adalah 504 suara. Seharusnya jumlah suara yang
diperoleh adalah sebanyak 960, sesuai dengan surat pengakuan dari KPU DKI Jakarta
tertanggal 28 April 2004. Namun koreksi pengakuan dari KPU DKI Jakarta hanya sampai
pada kelurahan, tidak langsung pada kecamatan dan data KPU DKI Jakarta.
Pemohon beranggapan bahwa apabila dalam satu kelurahan jumlah suara Pemohon
yang hilang sebanyak 466 pada satu TPS, dan di DKI Jakarta ada 266 TPS, maka
kemungkinan jumlah kehilangan suara Pemohon yang hilang adalah 266 x 466 = 123.956
suara atau lebih. Oleh karena itu, Pemohon mengajukan data perolehan suara seluruh
TPS, PPS, PPK dan KPUD DKI Jakarta. Namun sampai perkara ini diselesaikan di
MK Pemohon belum pernah mendapatkannya. Pemohon saat ini menempati peringkat
8 dalam perolehan suara dengan jumlah suara sebanyak 188.598, namun apabila
268 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kehilangan suara di setiap kelurahan dapat dibuktikan, maka ada kemungkinan akan
dapat menaikkan ranking Pemohon menjadi peringkat 4 dengan total suara 188.598 +
312.554 = 312.554 suara.
Dalam petimbangan hukumnya Mahkamah menjelaskan bahwa sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam acara Perselisihan Hasil Pemilu pada Mahkamah
Konstitusi yaitu Pasal 7 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004
tenggat yang tersedia bagi Pemohon untuk melengkapi permohonannya adalah 3 x 24
jam (tiga kali dua puluh empat) jam. Terkait dengan ketentuan di atas, Pemohon pada
tanggal 19 Mei 2004 mengajukan perpanjangan tenggat tersebut hingga tanggal 28 Mei
2004 dan dengan demikian tidak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi a quo,
maka oleh karenanya harus ditolak.
Pemohon sampai saat disidangkannya perkara ini menempati peringkat 8 dalam
perolehan suara dengan jumlah suara sebanyak 188.598 dan apabila kehilangan suara
di setiap kelurahan dapat dibuktikan, maka ada kemungkinan akan dapat menaikkan
peringkat Pemohon menjadi peringkat 4 dengan total suara 188.598 + 312.554 = 312.554
suara.
Calon yang menduduki peringkat 4 berdasarkan Ketetapan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Nomor 44/SK/KPU/TAHUN 2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang Penetapan Hasil
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Umum
tahun 2004 yang diumumkan secara nasional untuk Daerah pemilihan DKI Jakarta adalah
Ir. H. Marwan Batubara MSc. dengan perolehan suara sebanyak 316.528.
Seandainya permohonan Pemohon dapat membuktikan bahwa ia memperoleh
suara sebanyak 312.554 suara, maka penambahan suara itu belum juga dapat
melampaui perolehan suara peringkat 4 berdasarkan Ketetapan KPU yang memperoleh
suara sebanyak 316.528 suara. Dalam hal ini Pemohon memiliki kapasitas sebagaimana
dimaksud Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 74 ayat (1) huruf a, namun
demikian permohonan Pemohon tersebut diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan
umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum tidak mempengaruhi
terpilihnya Pemohon sebagai calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 74 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003.
Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya memperhatikan pula keterangan tertulis
Komisi Pemilihan Umum Nomor 1/KH-KPU/5/04 dalam persidangan, bahwa berdasarkan
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) KPU DKI
Jakarta ternyata sama sekali tidak ada keberatan sehubungan dengan substansi
permohonan Pemohon dari peserta Pemilu atau warga masyarakat melalui saksi peserta
pemilu terhadap Hasil Penghitungan Suara baik di tingkat KPPS, PPS, PPK dan KPUD
Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan berdasarkan pula
ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
269 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 033/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004 CALON ANGGOTA DPRD
PARTAI NASIONAL INDONESIA MARHAENISME
Pemohon : Diah Mutiara Sukmawati Sukarno; Ahmad Marhaen Suwarno Putro.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Calon Anggota DPRD Kota Batam,
DPRD Kabupaten Seluma, DPRD Kab. Ende II, DPRD Kabupaten
Ende IV, DPRD Kepahiang, Bengkulu, DPRD Rejang Lebong, dan
DPRD Nabire.
Pokok Perkara : Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan KPU Nomor 44/SK/
KPU/TAHUN 2004 tentang hasil penghitungan suara Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Tahun 2004 secara nasional.
Amar Putusan : Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Permohonan Ditolak.
Tanggal Putusan : Senin, 7 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 033/PHPU C 1-II/2004 mengajukan keberatan atas
Penetapan KPU Nomor 44/SK/KPU/TAHUN 2004 Tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil
Penghitungan suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota Tahun 2004 secara nasional. Keberatan Pemohon terhadap perolehan
suara untuk calon Anggota DPRD dari daerah pemilihan Batam IV, daerah pemilihan
Kabupaten Seluma, daerah pemilihan Ende II, daerah pemilihan Ende IV,daerah
pemilihan Kepahiang II Bengkulu, daerah pemilihan Rejang Lebong, daerah pemilihan
Nabire. Pemohon adalah perseorangan yang mewakili partai politik peserta pemilihan
umum.
Pemohon mendalilkan bahwa seharusnya pada daerah pemilihan Batam IV, Pemohon
270 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
seharusnya memperoleh suara sebesar 2117 bukan 453 sebagaimana ditetapkan KPU.
Kemudian untuk daerah pemilihan Kabupaten Seluma seharusnya memperoleh suara
sebesar 838. Selanjutnya untuk daerah pemilihan Ende II seharusnya memperoleh
suara 1.540 bukan 1.429 sebagaimana ditetapkan KPU. Untuk daerah pemilihan Ende
IV seharusnya memperoleh suara 1.422, bukan 1.176 sebagaimana ditetapkan KPU,
selanjutnya untuk daerah pemilihan Kepahiang II Bengkulu, seharusnya memperoleh
suara 1.011 dari 73 suara versi KPU. Untuk daerah pemilihan Rejang Lebong seharusnya
1.367 dari 1.173 suara yang ditetapkan KPU. Untuk daerah pemilihan Nabire seharusnya
1.322 dari 1.300 suara sebagaimana ditetapkan KPU secara nasional.
Atas dasar itulah Pemohon dalam petitumnya mengajukan kepada Majelis Hakim
Konstitusi untuk:
- Mengabulkan permohonan Pemohon;
- Menyatakan batal Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 44/SK/KPU/
TAHUN 2004 Tanggal 5 Mei 2004 tentang hasil penghitungan Suara Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2004 secara
nasional, khusus daerah pemilihan Batam IV, daerah pemilihan Kabupaten Seluma,
daerah pemilihan Ende II, daerah pemilihan Ende IV,daerah pemilihan Kepahiang II
Bengkulu, daerah pemilihan Rejang Lebong, daerah pemilihan Nabire;
- Menetapkan hasil penghitungan suara untuk DPRD dari Daerah Pemilihan IV Kota
Batam sebesar 2.117 suara, daerah pemilihan Kabupaten Seluma sebesar 838
suara, daerah pemilihan Ende II sebesar 1.540 suara , daerah pemilihan Ende IV
sebesar 1.422 suara, daerah pemilihan Kepahiang II Bengkulu sebesar 1.011 suara,
daerah pemilihan Rejang Lebong sebesar 1.367 suara, daerah pemilihan Nabire
sebesar 1.322 suara.
- Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan
Putusan ini.
set el ah Maj el i s Haki m memeri ksa dengan seksama t erhadap bukt i -bukt i
Pemohon yang t el ah di aj ukan di hadapan persi dangan, t ernyat a bahwa
Pemohon memi l i ki kapasi t as (l egal st andi ng) unt uk bert i ndak sebagai
Pemohon sebagai mana di maksud Pasal 74 ayat (1) huruf c dan Pasal 74
ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan permohonan Pemohon untuk
masing-masing daerah pemilihan sebagai berikut:
DAERAH PEMILIHAN BATAM IV UNTUK CALON ANGGOTA DPRD KOTA 1.
BATAM
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan Pemohon dipandang
memenuhi Pasal 74 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, akan
tetapi permohonan Pemohon juga meminta agar ditetapkan perolehan suara yang
sebenarnya bagi partai-partai lain, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah Pemohon
271 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
memiliki kewenangan (legal standing) bertindak untuk partai-partai lain meskipun yang
dimohonkan oleh Pemohon mempengaruhi perolehan kursi bagi partainya.
Meskipun ada bukti bahwa Pemohon keberatan terhadap hasil penghitungan suara
yang dilakukan KPU Kota Batam, akan tetapi secara berjenjang ketika rekapitulasi
dilakukan di KPU Provinsi Riau tidak ada keberatan yang diajukan oleh Pemohon sesuai
dengan keterangan KPU Provinsi Riau melalui teleconference yang dilakukan pada
hari Rabu, tanggal 2 Juni 2004 yang tidak dibantah oleh Pemohon karena Pemohon
menyatakan tidak memperoleh pemberitahuan. Akan tetapi hal tersebut dipandang tidak
relevan karena partai peserta Pemilu memiliki kepentingan untuk mencari informasi
tentang kapan rekapitulasi penghitungan suara tersebut dilakukan.
Dengan uraian tersebut di atas, Pemohon dipandang tidak berhasil membuktikan
dalil permohonannya oleh karenanya permohonan Pemohon untuk Daerah Pemilihan
Batam IV harus ditolak.
DAERAH PEMILIHAN I Kecamatan SELUMA UNTUK CALON ANGGOTA DPRD 2.
KABUPATEN SELUMA
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permasalahan pokok yang harus
dipertimbangkan di dalam permohonan Pemohon ini adalah apakah benar terjadi
pembengkakan suara bagi Partai Syarikat Indonesia yang mempengaruhi perolehan
kursi bagi PNI-Marhaenisme, dan apakah penghitungan ulang yang dilakukan KPU
Kabupaten Seluma benar telah merugikan partai Pemohon. Terhadap dalil-dalil yang
dikemukakan oleh Pemohon, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa bukti-bukti yang
diajukan Pemohon tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sah dan Pemohon juga
tidak mampu menunjukkan data rekapitulasi penghitungan suara di tingkat PPS yang
menunjukkan adanya kesalahan sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Oleh karena
itu, permohonan Pemohon sepanjang menyangkut Daerah Pemilihan I Kecamatan
Seluma, Kabupaten Seluma harus ditolak.
DAERAH PEMILIHAN ENDE 2 UNTUK CALON ANGGOTA DPRD KABUPATEN 3.
ENDE
Dalam persidangan, Pemohon telah menerangkan bahwa berdasarkan data real
yang dilaporkan hanya menyatakan keberatan kepada PPK Kecamatan Ndona Timur.
Sedangkan sisa 74 suara Pemohon tidak memperoleh data yang direkap di lapangan.
Oleh karenanya menjadi persoalan apakah dengan demikian dalil dan petitum Pemohon
yang menyatakan telah kehilangan 111 suara telah berubah, hal mana tidak ditegaskan
oleh Pemohon.
Oleh karena itu permohonan Pemohon menjadi kabur (obscuur) menjadi tidak
jelas berapa penghitungan suara Pemohon yang dianggap benar dan berapa yang
harus dibuktikan oleh Pemohon, sehingga Mahkamah Konstitusi bependapat bahwa
permohonan Pemohon sepanjang mengenai daerah pemilihan Ende II dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
272 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
DAERAH PEMILIHAN ENDE 4 UNTUK CALON ANGGOTA DPRD KABUPATEN 4.
ENDE
Terhadap alat-alat bukti yang diajukan Pemohon maka ternyata sebagian besar alat
bukti tersebut dipandang tidak memiliki kekuatan bukti yang sah menurut hukum karena
ternyata merupakan penghitungan yang dibuat sendiri oleh Pemohon. Lagi pula jika
dihubungkan satu dengan yang lain terdapat inkonsistensi dan sama sekali tidak dapat
mendukung dalil-dalil Pemohon. Sehingga Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan Pemohon sepanjang menyangkut daerah pemilihan Ende 4 untuk calon
Anggota DPRD Kabupaten Ende harus dinyatakan ditolak.
DAERAH 5. PEMILIHAN KEPAHIANG II BENGKULU UNTUK CALON ANGGOTA
DPRD KABUPATEN KEPAHIANG
Jumlah perolehan suara partai Pemohon berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan
di atas tidak mencapai angka yang didalilkan sebesar 1.011 sehingga oleh karenanya
Pemohon tidak dapat membuktikan dalil permohonannya.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka
permohonan Pemohon sepanjang menyangkut daerah pemilihan Kepahiang II Bengkulu
harus ditolak.
DAERAH PEMILIHAN REJANG LEBONG UNTUK CALON ANGGOTA DPRD 6.
KABUPATEN
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dari alat-alat bukti yang digunakan
Pemohon untuk mendukung permohonannya berupa P-1 sampai dengan P-10 ditambah
dengan bukti-bukti tambahan tidak ternyata mendukung penghitungan yang didalilkan
Pemohon atas perolehan suara PNI-Marhaenisme sebesar 1.367 suara.
Berdasar uraian sebagaimana tersebut di atas, Pemohon dipandang tidak berhasil
membuktikan dalil permohonannya dengan alat-alat bukti yang sah menurut hukum,
sehingga permohonan Pemohon harus ditolak.
DAERAH PEMILIHAN NABIRE UNTUK CALON ANGGOTA DPRD KABUPATEN 7.
NABIRE
Mahkamah Konstitusi memandang Bukti P-7 yang diajukan Pemohon tersebut
tidak merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang oleh karenanya tidak dapat
mengesampingkan Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004.
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, Mahkamah Konstitusi memandang
bahwa Pemohon tidak berhasil membuktikan dalilnya sehingga oleh karenanya sepanjang
menyangkut daerah pemilihan Nabire untuk calon Anggota DPRD Kabupaten Nabire
permohonan Pemohon harus ditolak.
273 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 034/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU CALON ANGGOTA DPR DAN DPRD DAERAH
NANGROE ACEH DARUSSALAM, KABUPATEN ACEH UTARA, KOTA BIMA,
PROVINSI KALIMANTAN BARAT, DAERAH SUMATERA UTARA, DAERAH
SULAWESI TENGAH, DAERAH SUMBA BARAT, DAERAH KABUPATEN MUARO
JAMBI, DAERAH SUMATERA UTARA, DAERAH SULAWESI SELATAN, DAERAH
PROVINSI PAPUA, DAERAH KABUPATEN BEKASI
Pemohon : 1. Ir. Akbar Tandjung
2. Budi Harsono
Termohon : Komisi Pemilihan Umum Daerah Nangroe Aceh Darussalam,
Kabupaten Aceh Utara, Kota Bima, Provinsi Kalimantan Barat, Daerah
Sumatera utara, Daerah Sulawesi Tengah, Daerah Sumba Barat,
Daerah Kabupaten Muaro Jambi, Daerah Sumatera Utara, Daerah
Sulawesi Selatan, Daerah Provinsi Papua, dan Daerah Kabupaten
Bekasi.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum DPR dan DPRD :
I. Daerah Pemilihan Nangroe Aceh Darussalam II DPR RI,
II. Daerah Pemilihan VI DPRD Kabupaten Aceh Utara,
III. Daerah Pemilihan II DPRD Kota Bima,
IV. Daerah Pemilihan II Provinsi Kalimantan Barat,
V. Daerah Pemilihan II DPR RI Sumatera utara,
VI. Daerah Pemilihan II DPR RI Sulawesi Tengah,
VII. Daerah Pemilihan DPRD Sumba Barat,
VIII. Daerah Pemilihan DPRD Kabupaten Muaro Jambi,
IX. Daerah Pemilihan III DPR RI Sumatera Utara,
X. Daerah Pemilihan I DPR RI Sulawesi Selatan,
XI. Daerah Pemilihan II DPR RI Sulawesi Selatan,
274 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
XII. Daerah Pemilihan Provinsi Papua,
XIII. Daerah Pemilihan V DPRD Kabupaten Bekasi.
Pokok Perkara : Penetapan hasil suara Pemilihan Umum Calon Anggota DPD
Provinsi Sulawesi Utara yang benar dan Pembatalan atas penetapan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan
Umum Calon Anggota DPD Provinsi Sulawesi Utara.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Senin, 14 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon Ir. Akbar Tandjung dan Budi Harsono adalah Ketua dan Sekretaris Jenderal
Partai Golongan Karya, peserta Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun
2004, yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan Penetapan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Nomor 678 Tanggal 2003 tentang Penetapan Partai Politik
Sebagai Peserta Pemilihan Umum Tahun 2004. Pemohon bertindak untuk dan atas
nama Partai GOLKAR, Peserta Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun
2004.
Pemohon mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum kepada
Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan hasil suara Pemilihan Umum Calon Anggota
DPR dan DPRD Pemilihan Nangroe Aceh Darussalam II DPR RI, Daerah Pemilihan VI
DPRD Kabupaten Aceh Utara, Daerah Pemilihan II DPRD Kota Bima, Daerah Pemilihan
II Provinsi Kalimantan Barat, Daerah Pemilihan II DPR RI Sumatera Utara, Daerah
Pemilihan II DPR RI Sulawesi Tengah, Daerah Pemilihan DPRD Sumba Barat, Daerah
Pemilihan DPRD Kabupaten Muaro Jambi, Daerah Pemilihan III DPR RI Sumatera Utara,
Daerah Pemilihan I DPR RI Sulawesi Selatan, Daerah Pemilihan II DPR RI Sulawesi
Selatan, Daerah Pemilihan Provinsi Papua, dan Daerah Pemilihan V DPRD Kabupaten
Bekasi yang benar dan pembatalan atas penetapan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh KPU.
Pemohon mendalilkan bahwa di Daerah Pemilihan Nangroe Aceh Darussalam
(NAD) II DPR-RI, Pemohon telah kehilangan 31.051 suara di Kabupaten Aceh Tengah
dan 19.400 suara di Kabupaten Bener Meriah sehingga semuanya berjumlah 50.451
suara. Untuk Daerah Pemilihan 6 DPRD Kabupaten Aceh Utara, Pemohon telah
kehilangan 1.439 suara di DP 6 DPRD Kabupaten Aceh Utara. Untuk Daerah Pemilihan
2 DPRD Kota Bima, Pemohon telah kehilangan 333 suara. Daerah Pemilihan 2 DPRD
Kabupaten Pontianak, Daerah Pemilihan 2 Provinsi Kalimantan Barat, dan Daerah
Pemilihan 1 DPRD Kabupaten Landak. Untuk Daerah Pemilihan 2 DPRD Kabupaten
Pontianak, Pemohon meminta pembatalan Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun
2004 untuk DP 2 DPRD Kabupaten Pontianak, karena telah terjadi penambahan suara
di DP 2 DPRD Kabupaten Pontianak, yaitu data dari PPS yang semula berjumlah 29.452
suara menjadi 48.505 suara ketika sampai di PPK, untuk Daerah Pemilihan 2 Provinsi
275 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Kalimantan Barat, Pemohon mendalilkan telah terjadi pengurangan suara di DP 2 DPRD
Provinsi Kalimantan Barat, yaitu data dari PPS yang semula berjumlah 7.001 suara
menjadi 6.612 suara ketika sampai di PPK. Untuk Daerah Pemilihan 1 DPRD Kabupaten
Landak, Pemohon telah kehilangan 441 suara di DP 1 DPRD Kabupaten Landak yang
memperebutkan 8 (delapan) kursi. Untuk Daerah Pemilihan Sumatera Utara II DPR-RI
dan DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan, bahwa Daerah Pemilihan Sumatera Utara II
DPR-RI, Pemohon telah kehilangan 365 suara di Kecamatan Lolomatua, 587 suara di
Kecamatan Gomo, 40.000 suara di Kabupaen Tapanuli Selatan yang bila dijumlahkan
akan menjadi 40.952 suara, maka komposisi suara Pemohon di DP Sumut II DPR-RI
yang memperebutkan 9 (sembilan) kursi. Untuk DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan,
Pemohon mendalilkan telah terjadi penggelembungan suara di Kecamatan Barumun
serta telah terjadi penggelembungan suara calon legislatif atas nama Afner Azis dan
Syahwil Nasution di Kecamatan Barumun.
Untuk Daerah Pemilihan Sulawesi Tengah DPR-RI, Pemohon mengajukan
permohonan perselisihan hasil pemilu di Provinsi Sulawesi Tengah Daerah Pemilihan
Palu II Kecamatan Palu Selatan. Untuk Daerah Pemilihan 1 DPRD Kabupaten Sumba
Barat, Pemohon mendalilkan bahwa suara Partai Golkar seharusnya 12.227 suara, Partai
Persatuan Demokrasi Kebangsaan seharusnya 1.832 suara, Partai Kebangkitan Bangsa
seharusnya 1.737 suara. Untuk Daerah Pemilihan 2 DPRD Kabupaten Muaro Jambi,
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 531 suara. Untuk Daerah Pemilihan Sulawesi
Selatan I DPR-RI dan DPRD Kabupaten Selayar, yakni Daerah Pemilihan Sulsel I DPR-RI,
Pemohon mendalilkan telah terjadi penggelembungan suara untuk PPP sebanyak 14.561
suara di Kabupaten Bone, penggelembungan suara 34.585 suara di Kota Makassar,
serta kehilangan suara Pemohon sebanyak 91 suara di Kabupaten Takalar, 159 suara di
Kabupaten Jeneponto, 4.053 suara di Kabupaten Bulukumba. Dalam DPRD Kabupaten
Selayar, Pemohon memohonkan perselisihan hasil Pemilu di DPRD Kabupaten Selayar.
Pada Daerah Pemilihan Sulsel II DPR-RI bahwa Pemohon mendalilkan telah kehilangan
5.909 suara di Kabupaten Mamuju, 2.791 suara di Kabupaten Polewali Mamasa, dan
4.218 suara di Kabupaten Mamasa yang semuanya berjumlah 12.918 suara.
Untuk daerah-daerah pemilihan di Papua, yakni Daerah Pemilihan 1 DPRD Kota
Jayapura, Pemohon mendalillkan bahwa suara sah untuk DP 1 DPRD Kota Jayapura
yang memperebutkan 11 (sebelas) kursi berjumlah 26.144 suara, bukan 43.814 seperti
yang tercantum dalam Rekapitulasi Penghitungan Suara Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Jayapura. Pada Daerah Pemilihan 3 DPRD Kota
Jayapura, Pemohon mendalilkan suara sah untuk DP 3 DPRD Kota Jayapura yang
memperebutkan 11 (sebelas) kursi berjumlah 25.683 suara, bukan 32.188 seperti yang
tercantum dalam Rekapitulasi Penghitungan Suara Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota. Dalam DPRD Kabupaten Yapen Waropen, Pemohon memohon
agar Komisi Pemilihan Umum mengadakan penghitungan ulang surat suara di DPRD
Kabupaten Yapen Waropen. Pada DPRD Kabupaten Jayawijaya, Pemohon memohon
276 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
agar Komisi Pemilihan Umum mengadakan penghitungan ulang surat suara di Distrik
Wamena, Kurulu, Hubikasi, dan Hasologaima. Pada DPRD Provinsi Papua, Pemohon
memohon agar Komisi Pemilihan Umum mengadakan penghitungan ulang surat suara
DPRD Provinsi Papua Daerah Pemilihan Kabupaten Yapen Waropen, Kota Jayapura,
Distrik Jayapura Utara, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Yahukimo. Daerah
Pemilihan 5 DPRD Kabupaten Bekasi, Pemohon memohon perkara perselisihan hasil
Pemilu di DP 5 DPRD Kabupaten Bekasi.
Menurut Mahkamah, Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing),
sebagaimana dimaksud Pasal 74 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), yaitu sebagai partai politik peserta pemilihan
umum.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 74
dan 75 UU MK jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Oleh karena itu, permohonan Pemohon termasuk
kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Dalam pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa untuk
Daerah Pemilihan Nangroe Aceh Darussalam (NAD) II DPR-RI, permohonan Pemohon
tidak mempengaruhi perolehan kursi Pemohon di Daerah Pemilihan NAD II DPR-RI.
Pemohon untuk mempersoalkan perolehan suara partai lain dalam Daerah Pemilihan
NAD II DPR-RI dimaksudkan agar Pemohon dapat memperoleh tambahan kursi, maka
berdasarkan Pasal 7 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004
tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, perbaikan
permohonan hanya dapat dilakukan dalam tenggat waktu paling lama 3 x 24 jam setelah
pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan pendahuluan telah dilakukan pada persidangan
pertama dengan menyampaikan perbaikan permohonan yang tidak mempersoalkan
perolehan suara partai-partai lain di Daerah Pemilihan NAD II DPR-RI, maka Pemohon
tidak dapat lagi memperbaiki materi permohonan pada persidangan karena telah melebihi
tenggat waktu 3 x 24 jam sejak persidangan pertama tanggal 19 Mei 2004. Berdasarkan
Pasal 74 ayat (2) huruf c permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil
pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang
mempengaruhi perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah
pemilihan, sehingga permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Untuk Daerah Pemilihan 6 DPRD Kabupaten Aceh Utara, Mahkamah berkesimpulan
suara yang dipersoalkan Pemohon dapat mempengaruhi perolehan kursi Pemohon di DP
6 Kabupaten Aceh Utara. Pemohon telah mempersoalkan perolehan suara Pemohon di
PPK Kecamatan Seunuddon yang seharusnya berjumlah 3.265 suara, tetapi menurut
KPU Kabupaten Aceh Utara hanya berjumlah 1.826 suara, sehingga Pemohon kehilangan
1.439 suara, bahwa Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Anggota DPRD Kabupaten
Aceh Utara Daerah Pemilihan Aceh Utara 6 yang merupakan data KPU Aceh Utara dan
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Anggota DPRD Kabupaten/Kota Kecamatan
277 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Seunuddon Daerah Pemilihan Aceh Utara 6 yang merupakan data PPK Kecamatan
Seunuddon, terdapat perbedaan perolehan suara Pemohon di Kecamatan Seunuddon.
Pada data KPU Aceh Utara, suara Pemohon berjumlah 1.826 suara, sedangkan di PPK
Kecamatan Seunuddon suara Pemohon berjumlah 3.265. Dengan demikian perbedaan
suara di dua tempat itu berjumlah 1.439 suara.
Pada data KPU Aceh Utara, salah seorang calon Anggota DPRD Kabupaten Aceh
Utara, Hamdani AG, memperoleh 2.749 suara di Kecamatan Seunuddon, padahal
perolehan suara partai sendiri tercatat hanya 1.826 suara, sangat tidak mungkin perolehan
suara salah seorang calon legislatif melebihi perolehan suara partai. Oleh karena itu
Majelis Hakim berkesimpulan bahwa KPU Kabupaten Aceh Utara telah melakukan
kesalahan ketika memasukkan data perolehan suara Pemohon. Data KPU kabupaten/
kota harus didasarkan pada data di PPK-PPK, termasuk data KPU Kabupaten Aceh
Utara, maka perolehan suara Pemohon yang benar di Kecamatan Seunuddon berjumlah
3.265 suara.
Ketua PPK Kecamatan Seunuddon Tgk. Jalaluddin Yunus menyatakan bahwa
perolehan suara Pemohon di Kecamatan Seunuddon berjumlah 3.265 suara. Dalam
Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 5 Mei 2004 suara Pemohon di
DP 6 DPRD Kabupaten Aceh Utara ditetapkan sebanyak 8.954 suara. Dengan tambahan
1.493 suara dari Kecamatan Seunuddon maka perolehan suara Pemohon di DP 6 DPRD
Kabupaten Aceh Utara adalah 8.954 + 1.439 = 10.393 suara, sehingga permohonan
Pemohon harus dikabulkan.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa untuk Daerah Pemilihan 2 DPRD Kota
Bima telah kehilangan 333 suara di DP 2 DPRD Kota Bima karena terjadinya perbedaan
antara data KPU dan data Pemohon. Menurut KPU, perolehan suara Pemohon di DP 2
DPRD Kota Bima berjumlah 5.558 suara, sedangkan menurut Pemohon berjumlah 5.891
suara. Kehilangan tersebut terjadi di tiga PPS di Kecamatan Rasanae Barat, yaitu PPS
Paruga, PPS Sarae, dan PPS Monggonao. Data ketiga PPS versi Pemohon didasarkan
pada catatan saksi-saksi Pemohon di TPS-TPS dengan tidak didukung oleh bukti-bukti
lain yang sah yang dapat menguatkan dalil permohonan Pemohon sehingga permohonan
Pemohon ditolak.
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa untuk Daerah Pemilihan 2 DPRD
Kabupaten Pontianak, Daerah Pemilihan 2 Provinsi Kalimantan Barat, dan Daerah
Pemilihan 1 DPRD Kabupaten Landak, bahwa Daerah Pemilihan 2 DPRD Kabupaten
Pontianak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 UU MK, Pemohon wajib menguraikan
dengan jelas tentang : (a) kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon; dan (b) permintaan untuk
membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan
hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon. Meskipun dalam petitum Pemohon
telah memintakan pembatalan Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004 untuk
DP 2 DPRD Kabupaten Pontianak, namun dalam permohonan Pemohon hanya
278 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
mendalilkan telah terjadi penambahan suara di DP 2 DPRD Kabupaten Pontianak, yaitu
data dari PPS yang semula berjumlah 29.452 suara menjadi 48.505 suara ketika sampai
di PPK. Pemohon sama sekali tidak menyinggung hasil penghitungan suara di DP 2
DPRD Kabupaten Pontianak yang diumumkan KPU dan tidak pula menyertakan hasil
penghitungan yang benar menurut Pemohon, sehingga permohonan Pemohon tidak
dapat diterima.
Untuk Daerah Pemilihan 2 Provinsi Kalimantan Barat sesuai dengan ketentuan
Pasal 75 UU MK, Pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang (a) kesalahan hasil
penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar
menurut Pemohon; dan (b) permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan yang benar menurut
Pemohon. Pemohon telah memintakan pembatalan Keputusan KPU Nomor 44/SK/
KPU/Tahun 2004 untuk DP 2 DPRD Provinsi Kalimatan Barat, namun Pemohon hanya
mendalilkan telah terjadi pengurangan suara di DP 2 DPRD Provinsi Kalimantan Barat,
yaitu data dari PPS yang semula berjumlah 7.001 suara menjadi 6.612 suara ketika
sampai di PPK. Pemohon sama sekali tidak menyinggung hasil penghitungan suara di
DP 2 DPRD Provinsi Kalimantan Barat yang diumumkan KPU dan tidak pula menyertakan
hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon, sehingga permohonan Pemohon
tidak dapat diterima. Untuk Daerah Pemilihan 1 DPRD Kabupaten Landak, berdasarkan
Pasal 74 ayat (2) huruf c permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil
pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang
mempengaruhi perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah
pemilihan sehingga permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Untuk Daerah Pemilihan Sumatera Utara II DPR-RI dan DPRD Kabupaten Tapanuli
Selatan, yakni Daerah Pemilihan Sumatera Utara II DPR-RI, bahwa suara yang
dipersoalkan Pemohon tidak mempengaruhi perolehan kursi Pemohon di DP Sumut
II DPR-RI. Berdasarkan Pasal 74 ayat (2) huruf c permohonan hanya dapat diajukan
terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi
Pemilihan Umum yang mempengaruhi perolehan kursi partai politik peserta pemilihan
umum di suatu daerah pemilihan, sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan
tidak dapat diterima.
Untuk DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan sesuai dengan ketentuan Pasal 75 UU
Nomor 24 Tahun 2003, Pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang (a) kesalahan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar
menurut Pemohon; dan (b) permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan yang benar menurut
Pemohon. Permohonan Pemohon hanya mendalilkan telah terjadi penggelembungan
suara di Kecamatan Barumun serta telah terjadi penggelembungan suara calon legislatif
atas nama Afner Azis dan Syahwil Nasution di Kecamatan Barumun. Permohonan
Pemohon juga tidak menyebut secara jelas daerah pemilihan yang dipersoalkan. Pemohon
279 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sama sekali tidak menyinggung hasil penghitungan suara di Kabupaten Tapanuli Selatan
dan tidak pula menyertakan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon. Dengan
demikian, permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 74 dan 75 UU MK, sehingga permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Untuk Daerah Pemilihan Sulawesi Tengah DPR-RI bahwa yang dimohonkan
Pemohon adalah perselisihan hasil pemilu di Daerah Pemilihan 2 DPRD Kota Palu.
Berdasarkan Pasal 74 ayat (3) UU MK, permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka
waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak KPU mengumumkan
penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Karena KPU telah mengumumkan
penetapan hasil Pemilu secara nasional pada tanggal 5 Mei 2004 pukul 13.55 WIB,
tenggat waktu pengajuan permohonan habis pada tanggal 8 Mei 2004 pukul 13.55
WIB. Oleh karena itu pengajuan permohonan perselisihan hasil Pemilu untuk daerah
pemilihan yang baru tidak diperbolehkan setelah tanggal 8 Mei 2004 pukul 13.55 WIB,
sekalipun untuk menggantikan permohonan perselisihan hasil Pemilu yang telah diajukan
sebelumnya. Pemohon telah mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu pada
tanggal 19 Mei 2004 saat sidang pertama yang berarti telah melewati tenggat waktu yang
telah ditentukan, sehingga permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa untuk Daerah Pemilihan 1 DPRD
Kabupaten Sumba Barat, bahwa permohonan Pemohon mempengaruhi perolehan kursi
Pemohon di DP 1 DPRD Kabupaten Sumba Barat dan Pemohon telah mengajukan
bukti-bukti di persidangan, yaitu Surat DPD Partai Golkar Kabupaten Sumba Barat
Nomor: B-III/DPD II/Golkar/V/2004 tanggal 1 Mei 2004 perihal penghitungan ulang, Surat
Panwaslu Nomor Laporan: 21/Panwas SB/IV/2004 tanggal 30 April 2004, Surat Polres
Sumba Barat Nomor B/772/v/2004 Res. SB tentang tanggapan laporan pelanggaran/
sengketa Pemilu, dan Surat Pernyataan Herry Gah, saksi Partai Golkar tanggal 20
April 2004, ternyata bukti-bukti tersebut tidak kuat. Satu-satunya bukti mengenai hasil
penghitungan suara yang diperselisihkan yang dibuat oleh DPD Partai Golkar Kabupaten
Sumba Barat dengan tidak didukung oleh bukti lain yang sah yang dapat memperkuat
dalil-dalil Pemohon, sehingga permohonan Pemohon ditolak.
Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa untuk Daerah Pemilihan 2 DPRD
Kabupaten Muaro Jambi bahwa Pemohon telah menyatakan kehilangan 531 suara di DP
2 DPRD Kabupaten Muaro Jambi. Kehilangan suara tersebut terjadi di PPS Desa Sungai
Gelam (72 suara), PPS Desa Sumber Jaya (140 suara), PPS Kelurahan Tanjung (243
suara), PPS Desa Seponjen (34 suara), dan PPS Desa Pulau Mentaro (42 suara). Dalam
Berita Acara Ralat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Panitia Pemilihan Kecamatan
untuk Suara Partai Golongan Karya pada DPRD Kabupaten/Kota di Desa Seponjen dan
Desa Pulau Mentaro yang dikeluarkan oleh PPK Kecamatan Kumpeh pada tanggal 21
April 2004 dan ditandatangani oleh Ketua PPK Kecamatan Kumpeh beserta empat orang
anggota terbukti bahwa suara Pemohon memang berkurang sejumlah 34 suara di PPS
Desa Seponjen dan sejumlah 42 suara di PPS Desa Pulau Mentaro, dan dalam Berita
280 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Panitia Pemilihan Kecamatan untuk Suara
Partai Golongan Karya pada DPRD Kabupaten/Kota di PPS Kelurahan Tanjung yang
dikeluarkan oleh PPK Kecamatan Kumpeh pada tanggal 15 April 2004 dan ditandatangani
Ketua PPK Kecamatan Kumpeh ulu beserta empat orang anggota terbukti bahwa suara
Pemohon memang berkurang sejumlah 243 suara di PPS Kelurahan Tanjung. Serta
dalam Berita Acara Ralat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Panitia Kecamatan
untuk Suara Partai Golongan Karya pada DPRD Kabupaten/Kota di Desa Sumber Jaya
dan Desa Sungai Gelam yang dikeluarkan oleh PPK Kumpeh Ulu pada tanggal 16 April
2004 dan ditandatangani oleh Ketua PPK Kecamatan Kumpeh Ulu beserta empat orang
anggota terbukti bahwa suara Pemohon memang berkurang sejumlah 140 suara di PPS
Desa Sumber Jaya dan 72 suara di PPS Sungai Gelam. Berdasarkan bukti-bukti tersebut
bahwa telah terbukti Pemohon kehilangan 531 suara di DP 2 DPRD Kabupaten Muaro
Jambi. Berdasarkan Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 5 Mei 2004
suara Pemohon di DP 2 DPRD Kabupaten Muaro Jambi berjumlah 10.668 suara, sehingga
dengan tambahan 531 suara tersebut, jumlah suara Pemohon di DP 2 DPRD Kabupaten
Muaro Jambi berjumlah 11.199 suara, sehingga permohonan Pemohon dikabulkan.
Untuk Daerah Pemilihan Sumut III DPR-RI, berdasarkan surat dari kuasa hukum
Pemohon, Alberth M. Sagala dan Zul Amali Pasaribu, SH, Nomor 25/A/BAKUHAM-LH/
VI/ 2004 tanggal 6 Juni 2004 yang ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi RI, Pemohon
telah menarik permohonan untuk DP Sumut III DPR RI, sehingga Majelis Hakim tidak
memeriksa lebih lanjut permohonan perselisihan hasil Pemilu untuk DP Sumut III DPR-
RI.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa untuk Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan
I DPR-RI dan DPRD Kabupaten Selayar, yakni Daerah Pemilihan Sulsel I DPR-RI bahwa
Pemohon mendalilkan telah terjadi penggelembungan suara untuk PPP sebanyak 14.561
suara di Kabupaten Bone, penggelembungan suara 34.585 suara di Kota Makassar,
serta kehilangan suara Pemohon sebanyak 91 suara di Kabupaten Takalar, 159 suara di
Kabupaten Jeneponto, 4.053 suara di Kabupaten Bulukumba. Seandainya permohonan
Pemohon benar maka komposisi suara di DP Sulsel I DPR-RI yang memperebutkan 12
(dua belas) kursi akan berubah, ternyata suara sah menjadi 2.029.681 dengan Bilangan
Pembagi Pemilihan (BPP) 169.140 suara. Suara Pemohon yang didalilkan menjadi
925.427 suara hanya akan mendapatkan 5 (lima) kursi dengan sisa suara 47.137 suara.
Karena permohonan Pemohon tidak mempengaruhi perolehan kursi Pemohon di Daerah
Pemilihan Sulsel I DPR-RI maka permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
DPRD Kabupaten Selayar bahwa berdasarkan Pasal 74 ayat (3) UU MK, permohonan
hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat)
jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. KPU
telah mengumumkan penetapan hasil Pemilu secara nasional pada tanggal 5 Mei 2004
pukul 13.55 WIB, tenggat waktu pengajuan permohonan habis pada tanggal 8 Mei 2004
pukul 13.55 WIB. Oleh karena itu pengajuan permohonan perselisihan hasil Pemilu untuk
281 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
daerah pemilihan yang baru tidak diperbolehkan setelah tanggal 8 Mei 2004 pukul 13.55
WIB. Pemohon telah mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu pada tanggal
19 Mei 2004 saat sidang pertama. Oleh karena itu, permohonan Pemohon tidak dapat
diterima.
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa untuk Daerah Pemilihan Sulsel
II DPR-RI, bahwa berdasarkan penghitungan suara yang dibuat Pemohon terbukti
bahwa jumlah sisa suara Pemohon adalah 62.448 suara dan menempati peringkat ke
delapan sehingga tidak memperoleh tambahan kursi dari sisa suara, sehingga suara
yang dipersoalkan Pemohon tidak mempengaruhi perolehan kursi Pemohon di DP Sulsel
II DPR-RI. Berdasarkan Pasal 74 ayat (2) huruf c permohonan hanya dapat diajukan
terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi
Pemilihan Umum yang mempengaruhi perolehan kursi partai politik peserta pemilihan
umum di suatu daerah pemilihan sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak
dapat diterima.
DPRD Kabupaten Pangkajene Kepulauan bahwa berdasarkan Pasal 74 ayat (3) UU
MK, permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali
dua puluh empat) jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara
nasional. karena KPU telah mengumumkan penetapan hasil Pemilu secara nasional pada
tanggal 5 Mei 2004 pukul 13.55 WIB, tenggat waktu pengajuan permohonan habis pada
tanggal 8 Mei 2004 pukul 13.55 WIB. Oleh karena itu pengajuan permohonan perselisihan
hasil Pemilu untuk daerah pemilihan yang baru tidak diperbolehkan setelah tanggal 8
Mei 2004 pukul 13.55 WIB. Pemohon telah mengajukan permohonan perselisihan hasil
Pemilu pada tanggal 19 Mei 2004 saat sidang pertama sehingga sudah melebihi tenggat
waktu yang ditentukan, sehingga permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Untuk Daerah-daerah Pemilihan di Papua, yakni Daerah Pemilihan 1 DPRD Kota
Jayapura bahwa suara sah untuk DP 1 DPRD Kota Jayapura yang memperebutkan 11
(sebelas) kursi berjumlah 26.144 suara, bukan 43.814 seperti yang tercantum dalam
Rekapitulasi Penghitungan Suara Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/
Kota Jayapura. Terdapat dua macam total suara pada alat bukti, yaitu:
1. Sejumlah 26.144 suara merupakan total suara sah yang diperoleh seluruh calon
Anggota DPRD Kota Jayapura;
2. Sejumlah 43.814 suara merupakan total suara sah yang diperoleh seluruh partai
politik peserta Pemilu di DP 1 DPRD Kota Jayapura.
Perolehan kursi didasarkan pada suara sah seluruh partai politik di suatu daerah pemilihan dan
bukan didasarkan pada suara sah yang diperoleh seluruh calon Anggota DPRD, dengan demikian
penghitungan KPU sudah benar, sehingga permohonan Pemohon ditolak. Pada Daerah Pemilihan
3 DPRD Kota Jayapura terdapat dua macam total suara sah, yaitu:
1. Sejumlah 25.683 suara merupakan total suara sah yang diperoleh seluruh calon
282 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Anggota DPRD Kota Jayapura dari Daerah Pemilihan 3;
2. Sejumlah 43.814 suara merupakan total suara sah yang diperoleh seluruh partai
politik peserta Pemilu di DP 3 DPRD Kota Jayapura.
Perolehan kursi didasarkan pada suara sah seluruh partai politik di suatu daerah
pemilihan dan bukan didasarkan pada suara sah yang diperoleh seluruh calon Anggota
DPRD, dengan demikian penghitungan KPU sudah benar, sehingga permohonan
Pemohon ditolak.
DPRD Kabupaten Yapen Waropen bahwa terhadap permohonan Pemohon
agar Komisi Pemilihan Umum mengadakan penghitungan ulang surat suara di DPRD
Kabupaten Yapen Waropen, maka berdasarkan Pasal 75 huruf b UU MK, yang harus
dimintakan Pemohon di dalam permohonan adalah pembatalan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan penghitungan suara yang benar menurut
Pemohon, sehingga permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Pada DPRD Kabupaten
Jayawijaya terhadap permohonan Pemohon agar Komisi Pemilihan Umum mengadakan
penghitungan ulang surat suara di Distrik Wamena, Kurulu, Hubikasi, dan Hasologaima,
maka berdasarkan Pasal 75 huruf b UU MK, yang harus dimintakan Pemohon di dalam
permohonan adalah pembatalan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
KPU dan menetapkan penghitungan suara yang benar menurut Pemohon, sehingga
permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Pada DPRD Provinsi Papua bahwa terhadap
permohonan Pemohon agar Komisi Pemilihan Umum mengadakan penghitungan ulang
surat suara DPRD Provinsi Papua Daerah Pemilihan Kabupaten Yapen Waropen, Kota
Jayapura, Distrik Jayapura Utara, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Yahukimo,
maka berdasarkan Pasal 75 huruf b UU MK, yang harus dimintakan Pemohon di dalam
permohonan adalah pembatalan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
KPU dan menetapkan penghitungan suara yang benar menurut Pemohon, sehingga
permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa untuk Daerah Pemilihan 5 DPRD
Kabupaten Bekasi, Pemohon yang memohonkan perselisihan hasil Pemilu di DP 5 DPRD
Kabupaten Bekasi, bahwa berdasarkan Pasal 74 ayat (3) UU MK bahwa permohonan
hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat)
jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Karena
KPU telah mengumumkan penetapan hasil Pemilu secara nasional pada tanggal 5 Mei
2004 pukul 13.55 WIB, tenggat waktu pengajuan permohonan habis pada tanggal 8 Mei
2004 pukul 13.55 WIB. Oleh karena itu pengajuan permohonan perselisihan hasil Pemilu
untuk daerah pemilihan yang baru tidak diperbolehkan setelah tanggal 8 Mei 2004 pukul
13.55 WIB. Pemohon telah mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu pada
tanggal 19 Mei 2004 saat sidang pertama. Oleh karena itu, permohonan Pemohon tidak
dapat diterima.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian; membatalkan Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 5
283 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai Golkar untuk Dewan Perwakilan
Daerah Kabupaten Aceh Utara dari Daerah Pemilihan Aceh Utara 6, dan untuk DPRD
Kabupaten Muaro Jambi dari Daerah Pemilihan Muaro Jambi 2; menetapkan perolehan
suara yang benar bagi Partai Golkar untuk Calon Anggota DPRD Kabupaten Aceh Utara
dari Daerah Pemilihan Aceh Utara 6 adalah 10.393 suara dan untuk Calon Anggota
DPRD Kabupaten Muaro Jambi dari Daerah Pemilihan Muaro Jambi 2 adalah 11.199
suara; menyatakan permohonan Pemohon Untuk: (1). Calon Anggota DPR dari Daerah
Pemilihan Nangroe Aceh Darussalam II; (2). Calon Anggota DPRD dari Daerah Pemilihan
2 Kabupaten Pontianak; (3). Calon Anggota DPRD dari Daerah Pemilihan 2 Provinsi
Kalimantan Barat; (4). Calon Anggota DPRD dari Daerah Pemilihan 1 Kabupaten Landak;
(5). Calon Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Sumatera II; (6). Calon Anggota DPRD
dari Daerah Pemilihan Kabupaten Tapanuli Selatan; (7). Calon Anggota DPR dari Daerah
Pemilihan Sulawesi Tengah; (8). Calon Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Sulawesi
Selatan I; (9). Calon Anggota DPRD dari Daerah Pemilihan Kabupaten Selayar; (10). Calon
Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan II; (11). Calon Anggota DPRD dari
Daerah Pemilihan Kabupaten Pangkajene Kepulauan; (12). Calon Anggota DPRD dari
Daerah Pemilihan Kabupaten Yapen Waroen; (13). Calon Anggota DPRD dari Daerah
Pemilihan Kabupaten Jaya Wijaya; (14). Calon Anggota DPRD dari Daerah Pemilihan
Provinsi Papua; (15). Calon Anggota DPRD dari Daerah Pemilihan 5 Kabupaten Bekasi
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); menolak permohonan Pemohon
untuk selebihnya; dan memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan
putusan ini.
284 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
285 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 035/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004 CALON ANGGOTA DPRD
PARTAI KARYA PEDULI BANGSA
Pemohon : 1. H.R. Hartono, 2. H. Ary Mardjono.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Pokok Perkara : Keberatan terhadap hasil penghitungan suara Pemilihan Umum
di: 1. Daerah Pemilihan 5 Kabupaten Lampung Tengah untuk
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Provinsi Lampung, 2. Daerah Pemilihan Kepahiang 1
Kabupaten Rejanglebong untuk Pemilihan Umum Anggota DPRD
Kabupaten Rejanglebong, 3. Daerah Pemilihan Jembrana 1
Kabupaten Jembrana untuk Pemilihan Umum Anggota DPRD
Kabupaten Jembrana, 4. Daerah Pemilihan Jambi 1 Kota Jambi
untuk pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi Jambi, 5. Daerah
Pemilihan Kota Pontianak untuk Pemilihan Umum Anggota DPRD
Kota Pontianak, 6. Daerah Pemilihan Provinsi Papua untuk Pemilihan
Umum Anggota DPR Provinsi Papua, 7. Daerah Pemilihan Nusa
Tenggara Timur 6 untuk Pemilihan Umum Anggota DPRD Provinsi
Nusa Tenggara Timur, 8. Daerah Pemilihan Medan 4 Kota Medan
untuk Pemilihan Umum Anggota DPRD Kota Medan.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Kamis 17 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon yakni H.R. Hartono dan H. Ary Mardjono yang bertindak untuk dan atas
nama Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) mengajukan sengketa perselisihan hasil
pemilihan umum tahun 2004.
Pemohon berkeberatan terhadap hasil penghitungan suara Pemilihan Umum di
286 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Daerah Pemilihan 5 Kabupaten Lampung Tengah untuk pemilihan umum Anggota DPRD
Provinsi Lampung, Daerah pemilihan Kepahiang 1 Kabupaten Rejanglebong untuk
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten Rejanglebong, Derah pemilihan Jembrana
1 Kabupaten Jembrana untuk pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten Jembrana,
Daerah Pemilihan Jambi 1 Kota Jambi untuk pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi
Jambi, Daerah Pemilihan Kota Pontianak untuk pemilihan umum Anggota DPRD Kota
Pontianak, Daerah Pemilihan Provinsi Papua untuk pemilihan umum Anggota DPR
Provinsi Papua, Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Timur 6 untuk pemilihan umum
Anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur, Daerah Pemilihan Medan 4 Kota Medan
untuk pemilihan umum Anggota DPRD Kota Medan.
Menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat
(1) huruf d, Pasal 74 ayat (1) huruf c, ayat (2) huruf c, ayat (3) dan Pasal 75 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 134 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon a quo termasuk kewenangan
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan bukti Pemohon berupa Salinan Keputusan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 678 Tahun 2003 tentang Penetapan Partai Politik Sebagai Peserta Pemilihan
Umum Tahun 2004 bertanggal 7 Desember 2003 (Bukti P-2), Pemohon adalah partai
politik sebagai peserta pemilihan umum tahun 2004, maka oleh karena itu berdasarkan
ketentuan Pasal 74 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Pemohon
mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon di
dalam perkara permohonan a quo.
DAERAH PEMILIHAN 5 KABUPATEN LAMPUNG TENGAH UNTUK PEMILIHAN
UMUM ANGGOTA DPRD PROVINSI LAMPUNG.
Permasalahan pokok dalam permohonan a quo adalah apakah benar telah terjadi
penggelembungan perolehan suara untuk Partai Bintang Reformasi (PBR) di daerah
pemilihan Lampung 5 Kabupaten Lampung Tengah untuk pemilihan umum Anggota
DPRD Provinsi Lampung yang merugikan partai Pemohon untuk memperoleh kursi
Anggota DPRD Provinsi Lampung.
Untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti-
bukti surat yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-8, dan bukti-bukti tambahan yang
disampaikan oleh Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi pada tanggal 7 Juni 2004 yang
diberi tanda P-9 sampai dengan P-12, bukti-bukti mana terutama P-5 sampai dengan P-8,
serta P-12 dikaitkan dengan temuan di lapangan berupa Berita Acara Pengecekan Ulang
atas perintah Mahkamah Konstitusi dalam pemeriksaan setempat tanggal 1 Juni 2004
telah ternyata bahwa perolehan suara PBR di Desa Terbanggi Besar adalah 3.360, hal
mana berarti tidak benar terjadi penggelembungan suara sebagaimana yang didalilkan
oleh Pemohon.
287 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dari pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh Tim Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 1 Juni 2004, ternyata pernyataan M. Rasyidi tersebut telah disangkal oleh semua
anggota PPK Terbanggi Besar lainnya, yang juga dikuatkan oleh keterangan Panwaslu
Kabupaten Lampung Tengah bahwa memang benar tidak ada laporan penggelembungan
suara, oleh karena mana pernyataan M. Rasyidi tersebut harus dinilai sebagai suatu hal
yang berdiri sendiri yang tidak mempunyai kekuatan pembuktian karena tidak diberikan
di bawah sumpah dan tidak didukung oleh bukti-bukti lainnya, yang jikalau benar adalah
merupakan suatu tindak pidana yang harus diteruskan oleh Panwaslu kepada Penyidik.
Meskipun dilihat dari tata cara pengajuan keberatan telah bertentangan dengan
Pasal 115 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Pemohon sendiri tidak dapat
membuktikan dalil-dalil permohonannya, sehingga oleh karena mana permohonan
Pemohon sepanjang menyangkut daerah pemilihan Lampung 5 Kabupaten Lampung
Tengah untuk pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi Lampung harus ditolak.
DAERAH PEMILIHAN KEPAHIANG 1 KABUPATEN REJANG LEBONG UNTUK
PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPRD KABUPATEN REJANG LEBONG.
Permasalahan pokok dalam permohonan Pemohon a quo di daerah pemilihan
Kepahiang 1 Kabupaten Rejang Lebong untuk pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten
Rejang Lebong adalah apakah betul Pemohon memperoleh suara sejumlah 74 di TPS 1
Desa Simpang Kota Bingin, Kecamatan Ujan Mas, Kabupaten Rejang Lebong bukan 8
suara.
Setelah Mahkamah meneliti dengan seksama bukti Pemohon yang diberi tanda P-4
adalah merupakan Surat Mandat bertanggal 3 April 2004 Nomor SM.31/DPD-PKPB/
IV/2004 dari DPD PKPB Kabupaten Rejang Lebong kepada Ruslan untuk menjadi saksi
di TPS 01 Desa Simpang Kota Bingin, Kecamatan Ujan Mas, sedangkan lampirannya
adalah berupa fotokopi tulisan-tulisan dan angka-angka penghitungan perolehan jumlah
suara Pemohon yang dibuat Ruslan Efendi sendiri dan penuh dengan coretan-coretan;
Oleh karena mana Mahkamah berpendapat Bukti P-4 tersebut bukanlah merupakan
Laporan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon (vide posita permohonan point 4 dan
point 11 butir 11.4). Selain itu lampiran Bukti P-4 tersebut angka jumlah akhir perolehan
suara Pemohon dicoret sehingga tidak jelas berapa perolehan suara Pemohon
yang sebenarnya di TPS 01 Desa Simpang Kota Bingin. Oleh karena itu Mahkamah
berpendapat Bukti P-4 tersebut tidak mempunyai nilai pembuktian yang sempurna
dan tidak sah karena bentuk/formatnya tidak sebagaimana ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dengan tidak adanya keberatan Pemohon di tingkat PPS maupun di tingkat PPK,
perolehan suara Pemohon sebanyak 74 di TPS 1 Desa Simpang Kota Bingin tidak
jelas asal perolehannya, disamping seandainya permohonan Pemohon benar apakah
perolehan suara Pemohon signikan mempengaruhi perolehan kursi Anggota DPRD
Kabupaten Rejang Lebong, dari bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon dan dokumen-
dokumen yang terlampir dalam berkas permohonan tidak diketahui dengan pasti apakah
288 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
perolehan suara Pemohon siqnikan mempengaruhi perolehan kursi Anggota DPRD
Kabupaten Rejang Lebong, dengan uraian pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon a quo adalah tidak jelas (obscuur
libel), karena itu permohonan Pemohon di daerah pemilihan Kepahiang 1 Kabupaten
Rejang Lebong untuk pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten Rejang Lebong harus
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
DAERAH PEMILIHAN JEMBRANA 1 KABUPATEN JEMBRANA UNTUK PEMILIHAN
UMUM ANGGOTA DPRD KABUPATEN JEMBRANA.
Dalam permohonannya Pemohon mendalilkan di Daerah Pemilihan Jembrana 1
Kabupaten Jembrana, Kecamatan Negara telah terjadi penggelembungan perolehan
suara untuk Partai Golkar khususnya di Desa Pendem, Desa Cupel, Desa Baler Bale
Agung dan Desa Air Kuning.
Terlepas dari kebenaran substansi permohonan Pemohon, setelah Mahkamah
memeriksa dan meneliti dengan seksama permohonan Pemohon a quo, diperoleh fakta
bahwa di dalam posita permohonan, Pemohon tidak menyebutkan berapa total jumlah
perolehan suaranya, juga di dalam petitum permohonan, Pemohon tidak menuntut
kepentingannya supaya Mahkamah menetapkan berapa angka perolehan suara yang
benar untuk Pemohon; Sehingga permohonan Pemohon tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 75 huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
jo. Pasal 5 ayat (4) huruf b PMK Nomor 4/PMK/2004.
Seandainya dalil permohonan Pemohon benar telah terjadi penggelembungan
perolehan suara Partai Golkar, apakah perolehan suara Pemohon signikan mempengaruhi
perolehan kursi Anggota DPRD Kabupaten Jembrana, dari bukti-bukti yang diajukan
oleh Pemohon dan dokumen-dokumen yang terlampir dalam berkas permohonan tidak
diketahui dengan pasti berapa jumlah perolehan suara untuk Pemohon dan apakah
perolehan suara Pemohon siqnikan mempengaruhi perolehan kursi Anggota DPRD
Kabupaten Jembrana, sehingga Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon a quo
adalah permohonan yang tidak jelas (obscuur libel), karena itu sesuai dengan ketentuan
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 permohonan Pemohon di
Daerah Pemilihan Jembrana 1 Kabupaten Jembrana untuk pemilihan umum Anggota
DPRD Kabupaten Jembrana harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
DAERAH PEMILIHAN JAMBI 1 KOTA JAMBI UNTUK PEMILIHAN UMUM ANGGOTA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAMBI.
Permasalahan pokok dalam permohonan Pemohon di Daerah Pemilihan 1 Kota
Jambi Kecamatan Telanaipura untuk pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi Jambi,
adalah sebagai berikut:
1. Pemohon keberatan terhadap Keputusan KPU Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004
tanggal 5 Mei 2004 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
289 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
DPRD Provinsi, Dan DPRD Kabupaten/Kota Dalam Pemilihan Umum Tahun 2004
di Daerah Pemilihan 1 Kota Jambi Kecamatan Telainapura untuk pemilihan umum
Anggota DPRD Provinsi Jambi;
2. Pemohon berpendapat adanya kesalahan hasil penghitungan suara dan telah terjadi
penggelembungan perolehan suara di Kecamatan Telanaipura oleh PPK untuk PPP
yang mengakibatkan Pemohon tidak mendapat kursi di DPRD Provinsi Jambi;
3. Pemohon mendalilkan adanya indikasi manipulasi hasil perolehan suara di 4
(empat) PPS Kecamatan Telanaipura, yaitu PPS 2, PPS 5, PPS 8 dan PPS 9; dalam
mana semula pada 11 (sebelas) PPS di Kecamatan Telanaipura perolehan suara
PPP adalah berjumlah 1.284 suara, terjadi penggelembungan menjadi 2.489 suara
untuk PPP (vide posita permohonan point 4), berdasarkan Berita Acara tanggal
26 April 2004 PPK Telanaipura telah melakukan rapat pleno koreksi penghitungan
suara Pemilu Anggota DPRD Provinsi Jambi khusus mengenai perolehan suara
PPP dimana jumlah yang tertulis 2.409 seharusnya 1.277 suara, adanya kesalahan
penghitungan suara di PPK Telanaipura khusus mengenai perolehan suara PKPB
jumlah yang tertulis 1.357 seharusnya 1.410 (vide posita permohonan point 10);
4. Pemohon mendalilkan, Pemohon sangat dirugikan atas perolehan kursi Anggota
DPRD Provinsi Jambi dengan terbitnya Berita Acara Nomor 81/KPU-JBI/V/2004
bertanggal 6 Mei 2004 tentang Penetapan Hasil pemilihan Umum Perolehan Kursi
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Dan Penetapan Calon Terpilih Anggota
DPRD Provinsi Jambi Pemilihan Umum Tahun 2004 (Bukti P-4).
Setelah Mahkamah memeriksa dan meneliti bukti-bukti yang diajukan Pemohon
yang antara lain berupa Surat Laporan bertanggal 22 April 2004 dari Dewan Pimpinan
PKPB Provinsi Jambi (Tim Monitoring DPD PKPB Provinsi Jambi) ditujukan kepada
Ketua Panwaslu Kota Jambi (diberi tanda P-5), Surat bertanggal 23 April 2004 Nomor
93/PW-KJ/IV/2004 perihal Pelimpahan Berkas Pengaduan Parpol DPW PKPB Provinsi
Jambi dari Panwaslu Kota Jambi yang ditujukan kepada Ketua Panwaslu Provinsi Jambi
(diberi tanda P-6) dan lampirannya antara lain Formulir Tanda Bukti Penerimaan Laporan
bertanggal 23 April 2004, Surat bertanggal 23 April 2004 dari Ketua PPK Telanaipura
yang ditujukan kepada Ketua KPU Kota Jambi, Surat masing-masing bertanggal 23 April
2004 Nomor 17/PPK.Tlp/2004, perihal kesalahan penghitungan suara di PPK, dari PPK
Telanaipura yang ditujukan kepada Ketua KPU Kota Jambi, Berita Acara Rekapitulasi
Hasil Suara Komisi Pemilihan Umum Provinsi Untuk Pemilihan Umum Anggota DPRD
Provinsi Nomor 80/KPU-JB/IV/2004, Model DC DPRD Provinsi bertanggal 24 April 2004
dari Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jambi (diberi tanda P-8), terbukti bahwa Pemohon
telah mengajukan laporan dan keberatan terhadap hasil penghitungan suara di PPK
Telanaipura sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Bukti P-11 dan P-12 ternyata telah terjadi kesalahan penghitungan
suara di PPK Telanaipura khusus mengenai perolehan suara Partai PKPB dan Partai
PPP. Menurut data Bukti P-11 dan P-12 kesalahan penghitungan suara di PPK
290 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Telanaipura pada Model DA-DPRD Provinsi khusus mengenai perolehan suara Partai
Karya Peduli Bangsa (PKPB) jumlah yang tertulis 1.357 suara telah dikoreksi/diperbaiki
oleh PPK Telanaipura menjadi/seharusnya 1.410 suara, sedangkan perolehan suara
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) jumlah yang tertulis 2.489 suara telah dikoreksi/
diperbaiki oleh PPK Telanaipura menjadi/seharusnya 1.277 suara; Perolehan suara
Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) di daerah pemilihan Jambi 1 jumlah yang tertulis
8.059 suara telah dikoreksi/diperbaiki oleh KPU Kota Jambi menjadi/seharusnya 8.112
suara, sedangkan perolehan suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) jumlah yang
tertulis 9.315 suara telah dikoreksi/diperbaiki oleh KPU Kota Jambi menjadi/seharusnya
8.103 suara.
Dari kenyataan sebagaimana telah dipertimbangkan tersebut di atas, terbukti bahwa
telah terjadi kesalahan penghitungan suara yang dilakukan oleh PPK Telanaipura, yaitu
telah terjadi penggelembungan perolehan suara PPP dari 1.277 menjadi 2.489 suara,
sedangkan perolehan suara Pemohon (PKPB) telah berkurang dari 1.410 menjadi 1.357
suara, akan tetapi sesuai dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon (vide Bukti P-5,
P-6, P-7, P-8, P-9, P-10, P-11, dan P-12) kesalahan tersebut telah dikoreksi/diperbaiki
sesuai dengan prosedur/mekanisme hukum yang berlaku oleh penyelenggara pemilihan
umum.
Setelah Mahkamah membandingkan Bukti P-11 dan P-12 dengan Bukti P-4 telah
ternyata Pemohon dirugikan dengan terbitnya Bukti P-4 yang menjadi dasar bagi terbitnya
Bukti P-3. Terlepas dari apakah perolehan suara Pemohon signikan mempengaruhi
perolehan kursi untuk Anggota DPRD Provinsi Jambi karena yang terbukti perolehan
suara Pemohon di PPK Telanaipura adalah sejumlah 1.410 suara maka Mahkamah
berpendapat permohonan Pemohon yang dapat/beralasan dikabulkan adalah perolehan
suara sejumlah 1.410.
DAERAH PEMILIHAN KOTA PONTIANAK UNTUK PEMILIHAN UMUM ANGGOTA
DPRD KOTA PONTIANAK.
Permasalahan pokok dalam permohonan Pemohon di Daerah Pemilihan Kota
Pontianak untuk pemilihan umum Anggota DPRD Kota Pontianak adalah apakah benar
perolehan jumlah suara Pemohon berkurang untuk Daerah Pemilihan Kota Pontianak
yang seharusnya 1.648 suara menjadi 1.642 suara; Pemohon mendalilkan berkurangnya
perolehan suara tersebut karena terdapat kesalahan penghitungan suara di TPS 28
Kelurahan Tengah dan di TPS 11 Kelurahan Darat Sekip. Untuk mendukung dalil-dalil
permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis.
Setelah meneliti dengan seksama seluruh bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon
maupun dokumen-dokumen yang terlampir dalam berkas permohonan, keterangan
Pemohon, keterangan Komisi Pemilihan Umum, Mahkamah berpendapat permohonan
tidak beralasan karena Pemohon tidak berhasil membuktikan dalil-dalil permohonannya,
sehingga oleh karenanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan
ketentuan Pasal 77 ayat (4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
291 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Konstitusi, permohonan Pemohon di Daerah Pemilihan Kota Pontianak untuk pemilihan
umum Anggota DPRD Kota Pontianak harus ditolak.
DAERAH PEMILIHAN PROVINSI PAPUA UNTUK PEMILIHAN UMUM ANGGOTA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Pemohon di dalam permohonannya mendalilkan berdasarkan berita acara
penghitungan suara di Daerah Pemilihan Provinsi Papua pada tanggal 25 April 2004
total perolehan suara Pemohon berjumlah 51.799 suara, akan tetapi dari berita acara
hasil rekapitulasi perolehan suara Pemohon di KPU ternyata berubah menjadi 32.506
suara; Perolehan suara Partai Pemohon yang tidak dimasukkan dalam rekapitulasi oleh
KPU sebanyak 19.293 suara. Suara yang tidak dimasukkan dalam rekapitulasi oleh KPU
adalah yang diperoleh Pemohon dari Daerah Pemilihan Kabupaten Jayawijaya.
Pemohon di hadapan persidangan Mahkamah Konstitusi telah memperbaiki
permohonannya khususnya mengenai angka perolehan suara Pemohon dan angka
yang dianggap Pemohon tidak dimasukkan dalam rekapitulasi oleh KPU, pada posita
permohonan point 4 semula yang tertulis 51.799 diubah menjadi 46.758, point 5 semula
yang tertulis 19.293 diubah menjadi 14.252 dan point 8 semula yang tertulis 51.799
dirubah menjadi 46.758 serta petitum point 10.3. huruf a semula yang tertulis 32.506
diubah menjadi 46.758.
Permasalahan pokok dalam permohonan Pemohon di Daerah Pemilihan Provinsi
Papua untuk pemilihan umum Anggota DPR adalah apakah benar perolehan jumlah
suara Pemohon sebanyak 46.758 suara.
Setelah meneliti dengan seksama seluruh bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon
maupun dokumen-dokumen yang terlampir dalam berkas permohonan, keterangan
Pemohon, keterangan Komisi Pemilihan Umum maka Mahkamah berpendapat
permohonan tidak beralasan karena Pemohon tidak berhasil membuktikan dalil-dalil
permohonannya, sehingga oleh karenanya permohonan Pemohon di Daerah Pemilihan
Provinsi Papua untuk pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat harus
ditolak.
DAERAH PEMILIHAN NUSA TENGGARA TIMUR 6 UNTUK PEMILIHAN UMUM
ANGGOTA DPRD PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR.
Pemohon di dalam permohonannya mendalilkan, dari hasil pengumuman KPU
Provinsi Nusa Tenggara Timur tentang Laporan Perolehan Suara Sementara Anggota
DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur tanggal 13 April 2004 dan tanggal 17 April 2004
menunjukkan perolehan suara Pemohon untuk Kabupaten Sikka sejumlah 8.445 suara,
akan tetapi dalam rapat pleno KPU Provinsi Nusa Tenggara Timur tanggal 22 April 2004
untuk pembuatan Berita Acara Dan Rekapitulasi Perolehan Suara Anggota DPR, DPD,
dan DPRD Provinsi sebagaimana dimuat dalam Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara
Anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Timur
6, perolehan suara Pemohon khusus di Kabupaten Sikka menjadi 3.051 suara.
292 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Setelah meneliti dengan seksama seluruh bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon
maupun dokumen-dokumen yang terlampir dalam berkas permohonan, keterangan
Pemohon, keterangan Komisi Pemilihan Umum, Mahkamah berpendapat permohonan
tidak beralasan karena Pemohon tidak berhasil membuktikan dalil-dalil permohonannya,
sehingga oleh karenanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan
ketentuan Pasal 77 ayat (4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, permohonan Pemohon di Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Timur 6 untuk
pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur harus ditolak.
DAERAH PEMILIHAN MEDAN 4 KOTA MEDAN UNTUK PEMILIHAN UMUM
ANGGOTA DPRD KOTA MEDAN.
Pemohon di dalam permohonannya mendalilkan di dalam Berita Acara Penghitungan
Suara PPK Medan Tembung Model DA DPRD Kabupaten/Kota, perolehan suara Pemohon
berjumlah 7.472 suara, berdasarkan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Anggota
DPRD Kota Medan Daerah Pemilihan 4 Kota Medan total perolehan suara Pemohon
berjumlah 9.323 suara. Akan tetapi berdasarkan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara
Anggota DPRD Kota Medan Daerah Pemilihan Medan 4 Kota Medan bertanggal 30
April 2004 perolehan suara Pemohon turun menjadi 2.505 suara, sedangkan khusus
di Kecamatan Medan Tembung yang semula perolehan suara Pemohon 7.472 suara
turun/berubah menjadi 645 suara, sehingga merugikan perolehan kursi Pemohon untuk
Anggota DPRD Kota Medan.
Setelah meneliti dengan seksama seluruh bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon
maupun dokumen-dokumen yang terlampir dalam berkas permohonan, keterangan
Pemohon, keterangan Komisi Pemilihan Umum, Mahkamah berpendapat permohonan
tidak beralasan karena Pemohon tidak berhasil membuktikan dalil-dalil permohonannya,
sehingga oleh karenanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan
ketentuan Pasal 77 ayat (4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, permohonan Pemohon di Daerah Pemilihan Medan 4 Kota Medan untuk
pemilihan umum Anggota DPRD Kota Medan harus ditolak.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon untuk
sebagian; membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/2004
tanggal 5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai Karya Peduli Bangsa
(PKPB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Daerah Pemilihan Jambi 1 Kota
Jambi, untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Provinsi Jambi; menetapkan hasil penghitungan suara yang benar bagi Partai Karya
Peduli Bangsa (PKPB) untuk calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Jambi adalah sejumlah 1.410 (seribu empat ratus sepuluh) suara di PPK Telanaipura
dan 8.112 (delapan ribu seratus dua belas) suara di daerah pemilihan Jambi 1 Kota
Jambi, Provinsi Jambi; dan bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejumlah 1.277
(seribu dua ratus tujuh puluh tujuh) suara di PPK Telanaipura dan 8.103 (delapan ribu
seratus tiga) suara di daerah pemilihan Jambi 1 Kota Jambi, Provinsi Jambi; menyatakan
293 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
permohonan Pemohon di daerah pemilihan Kepahiang 1 Kabupaten Rejang Lebong untuk
pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Rejang
Lebong dan daerah pemilihan Jembrana 1 Kabupaten Jembrana untuk pemilihan umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jembrana, tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard); menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya;
dan memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan Putusan ini.
294 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
295 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 036/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU 2004 CALON ANGGOTA DPR DAN
DPRD PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
Pemohon : 1. Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, M.A; 2. Muhammad Anis.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Pokok Perkara : Keberatan Pemohon terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Umum Tahun
2004.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Jumat, 18 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera
yang bertindak untuk dan atas nama Partai Keadilan Sejahtera. Partai Keadilan Sejahtera
adalah peserta pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tahun 2004
dengan nomor urut 16. Berkaitan dengan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf d jo. Pasal
74, dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(UU MK) jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, permohonan Pemohon termasuk kewenangan
Mahkamah Konstitusi.
Pemohon adalah partai politik peserta pemilihan umum. Oleh karena itu, berdasarkan
Pasal 74 UU MK, Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam
296 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
permohonan itu.
Dalam permohonannya, Pemohon mengajukan keberatan terhadap Keputusan KPU
mengenai hasil pemilihan umum secara nasional mengenai hasil penghitungan suara
sebagai berikut :
pemilihan umum Anggota DPR untuk daerah pemilihan Bengkulu; 1.
pemilihan umum Anggota DPR untuk daerah pemilihan Riau; 2.
pemilihan umum Anggota DPR untuk daerah pemilihan Jawa Tengah 4; 3.
pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi untuk daerah pemilihan Sumatera Selatan 4; 4.
pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi untuk daerah pemilihan Jawa Timur 8; 5.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Seluma 2; 6.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Bengkalis 5; 7.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Pinrang 4; 8.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Kapuas 2; 9.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Pontianak 2; 10.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Banyuasin 6; 11.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Banyuasin 4; 12.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Aceh Utara 5; 13.
pemilihan umum Anggota DPRD Kota untuk daerah pemilihan Cilegon 3; 14.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Pandeglang 3; 15.
pemilihan umum Anggota DPRD Kota untuk daerah pemilihan Binjai 3; 16.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Langkat 1; 17.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Tapanuli 18.
Selatan 3;
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Waropen 19.
Bawah 1;
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Barito Timur 1; 20.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Tulang Bawang 1; 21.
pemilihan umum Anggota DPRD Kota untuk daerah pemilihan Bandar Lampung 2; 22.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Muara Jambi 4; 23.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Sragen. 24.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk
menjatuhkan putusan sebagai berikut.
- Mengabulkan permohonan Pemohon.
- Menyatakan membatalkan penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2004
secara nasional untuk daerah pemilihan Bengkulu, Riau, Jawa Tengah 4, Sumatera
Selatan 4, Jawa Timur 8, Seluma 2, Bengkalis 5, Pinrang 4, Kapuas 2, Pontianak,
297 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Banyuasin 6, Banyuasin 4, Aceh Utara 5, Cilegon 3, Pandeglang 3, Binjai 3, Langkat,
Tapanuli Selatan 3, Waropen Bawah 1, Barito Timur 1, Tulang Bawang 1, Bandar
Lampung 2, Muara Jambi 4, dan Sragen.
Berkaitan dengan permohonan di muka, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah
Konstitusi berpendapat sebagai berikut.
1. Mengenai pemilihan umum Anggota DPR untuk daerah pemilihan Bengkulu,
Pemohon mendalilkan terjadinya penggelembungan suara untuk Partai Persatuan
Pembangunan sehingga hak kursi Partai Keadilan Sejahtera beralih kepada Partai
Persatuan Pembangunan. Namun demikian, bukti-bukti yang ada tidak menguatkan
dalil Pemohon sehingga dalil Pemohon tidak beralasan. Oleh karena itu, permohonan
Pemohon ditolak.
2. Mengenai pemilihan umum Anggota DPR untuk daerah pemilihan Riau, Pemohon
mendalilkan terjadinya penggelembungan suara Partai Amanat Nasional yang
menyebabkan Pemohon kehilangan suara. Namun demikian, dalil Pemohon
tidak terbukti sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan. Oleh karenanya,
berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK, permohonan Pemohon ditolak.
3. Mengenai pemilihan umum Anggota DPR untuk daerah pemilihan Jawa Tengah 4,
Pemohon mendalilkan adanya penggelembungan suara Partai Demokrat sehingga
mengurangi perolehan suara Pemohon. Setelah Mahkamah Konstitusi menelaah
bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, ternyata tidak ada satu bukti pun yang
membuktikan bahwa Pemohon mengajukan keberatan pada setiap tingkatan
penghitungan suara, baik tingkat TPS, PPS, PPK dan KPU Kabupaten, maupun KPU
Provinsi sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (8) jo.Pasal 97 ayat (3) jo.Pasal 98
ayat (3) jo.Pasal 99 ayat (5) jo.Pasal 100 (5) dan Pasal 101 ayat (6) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Oleh karenanya, berdasarkan Pasal 77 ayat (4UU MK maka permohonan Pemohon
tidak beralasan, sehingga Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Pemohon.
4. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi untuk daerah pemilihan
Sumatera Selatan 4, Pemohon mendalilkan terjadinya kesalahan penghitungan
suara untuk partai Pemohon. Namun bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa
permohonan Pemohon tidak beralasan. Oleh karenanya berdasarkan Pasal 77 ayat
(4) UU MK maka permohonan Pemohon harus ditolak.
5. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi untuk daerah pemilihan Jawa
Timur 8, Pemohon mendalilkan terjadinya penggelembungan suara Partai Amanat
Nasional. Namun bukti-bukti yang ada tidak mendukung dalil Pemohon sehingga
permohonan Pemohon tidak beralasan. Oleh karenanya berdasarkan Pasal 77 ayat
(4) UU MK maka permohonan Pemohon harus ditolak.
6. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Seluma 2, Pemohon mendalilkan terjadinya penggelembungan suara Partai Karya
Peduli Bangsa yang menyebabkan Pemohon kehilangan suara. Berdasarkan bukti-
298 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
bukti yang ada, permohonan Pemohon beralasan. Oleh karenanya berdasarkan
Pasal 77 ayat (2) UU MK maka Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan
Pemohon.
7. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Bengkalis 5, Pemohon mendalilkan bahwa terjadi kesalahan penghitungan yang
mengakibatkan berkurangnya perolehan kursi partai Pemohon di DPRD Kabupaten
Bengkalis. Namun setelah memeriksa bukti-bukti yang ada ternyata dalil Pemohon
tidak beralasan. Oleh karenanya berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK maka
permohonan Pemohon harus ditolak.
8. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Pinrang 4, Pemohon mendalilkan terjadinya penggelembungan suara Partai
Merdeka yang mengakibatkan Pemohon kehilangan hak 1 kursi DPRD. Namun bukti
yang ada tidak menunjukkan terjadinya kesalahan penghitungan suara untuk Partai
Merdeka. Oleh karenanya berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK maka permohonan
Pemohon harus ditolak.
9. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Kapuas 2, Pemohon mendalilkan kehilangan suara untuk partainya. Setelah
memeriksa bukti-bukti yang ada ternyata kesalahan penghitungan suara tersebut
tidaklah ternyata mempengaruhi perolehan kursi Pemohon. Oleh karenanya
berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (2) huruf c dan Pasal 77 ayat (1) UU MK maka
permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
10. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Pontianak 2, Pemohon mendalilkan terjadinya kesalahan penghitungan suara yang
menyebabkan hilangnya suara partai Pemohon. Namun Mahkamah Konstitusi
tidak menemukan terjadinya kesalahan penghitungan suara seperti yang didalilkan
Pemohon. Oleh karenanya berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK maka permohonan
Pemohon harus ditolak.
11. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Banyuasin 6, Pemohon mendalilkan kesalahan hasil penghitungan suara sehingga
Pemohon kehilangan suara yang mempengaruhi perolehan kursi bagi partai
Pemohon. Bukti-bukti yang ada menunjukkan dalil Pemohon beralasan. Oleh
karenanya berdasarkan Pasal 77 ayat (2) UU MK maka permohonan Pemohon
dikabulkan.
12. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Banyuasin 4, Pemohon mendalilkan kehilangan suara untuk partai Pemohon
sehingga merugikan hak perolehan kursi partai Pemohon. Namun bukti-bukti yang
ada tidak menunjukkan terjadinya kesalahan hasil penghitungan suara seperti yang
didalilkan Pemohon. Oleh karenanya berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK maka
permohonan Pemohon harus ditolak.
13. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan Aceh
Utara 5, Pemohon mendalilkan kehilangan suara untuk partai Pemohon. Namun
299 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mahkamah Konstitusi menilai kesalahan penghitungan suara yang didalilkan Pemohon
meragukan. Oleh karenanya berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK maka permohonan
Pemohon harus ditolak.
14. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kota untuk daerah pemilihan Cilegon 3,
Pemohon mendalilkan terjadi kekeliruan hasil penghitungan suara berupa kesalahan
penjumlahan data terhadap perolehan suara Partai Bulan Bintang untuk Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Cilegon pada daerah pemilihan 3 (Grogol-
Pulomerak), yang mengakibatkan hilangnya kursi Pemohon. Bukti-bukti yang
ada telah menimbulkan kesan bahwa dimunculkannya kembali nama Caleg PBB
Tubagus Abdul Nasser seakan-akan melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tentang Pemilu, padahal hal dimaksud tidak mempengaruhi bertambah atau
berkurangnya perolehan suara PBB, karena menurut Pasal 93 ayat (1) huruf b dan c
Undang-Undang Pemilu, pemberian suara dilakukan selain mencoblos tanda gambar
partai juga mencoblos nama caleg, sehingga dengan dicantumkannya kembali nama
Tubagus Abdul Nasser tidak merugikan perolehan suara partai Pemohon. Oleh
karenanya berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK maka permohonan Pemohon
harus ditolak.
15. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Pandeglang 3, Pemohon mendalilkan terjadinya penggelembungan suara untuk
Partai Persatuan Pembangunan sehingga merugikan perolehan suara partai
Pemohon. Mahkamah Konstitusi telah menelaah keterangan yang disampaikan oleh
KPU dalam persidangan namun tidak ternyata mematahkan dalil-dalil Pemohon,
oleh karena itu dalil permohonan Pemohon beralasan. Oleh karenanya berdasarkan
Pasal 77 ayat (2) UU MK permohonan Pemohon harus dikabulkan.
16. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kota untuk daerah pemilihan Binjai
3, Pemohon mendalilkan terjadinya penggelembungan suara Partai Demokrat
sehingga merugikan hak perolehan kursi Pemohon. Setelah ditelaah kembali
tetap ternyata tidak mempengaruhi perolehan kursi Partai Demokrat serta tidak
pula mempengaruhi perolehan kursi Pemohon. Mahkamah menilai permohonan
Pemohon tidak beralasan. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 74 ayat (2) huruf c
dan Pasal 77 ayat (1) UU MK maka permohonan ini tidak dapat diterima.
17. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Langkat 1, Pemohon mendalilkan terjadinya penggelembungan suara Partai
Keadilan Bangsa. Keterangan petugas Panwaslu Kabupaten Langkat membenarkan
dalil Pemohon tersebut. Berdasarkan Pasal 77 ayat (2) UU MK maka permohonan
Pemohon dikabulkan.
18. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Tapanuli Selatan 3, Pemohon mendalilkan kehilangan suara untuk partainya sehingga
merugikan perolehan kursi DPRD bagi Pemohon. Dalam perkara ini, Pemohon
mampu membuktikan dalil permohonannya. Oleh karenanya, berdasarkan Pasal 77
300 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ayat (2) UU MK maka permohonan Pemohon dikabulkan.
19. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Waropen Bawah 1, Pemohon mendalilkan adanya kesalahan penghitungan suara
yang merugikan 1 hak perolehan kursi Pemohon. Namun bukti-bukti yang ada
tidak dapat meyakinkan karena tidak diperkuat oleh bukti lainnya. Oleh karena itu,
permohonan Pemohon tidak beralasan karenanya berdasarkan Pasal 77 ayat (4)
UU MK maka permohonan Pemohon harus ditolak.
20. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Barito Timur 1, Pemohon mendalilkan kehilangan suara untuk partainya sehingga
menimbulkan hilangnya kursi Pemohon untuk DPRD Barito Timur 1. Mahkamah
Konstitusi telah memeriksa alat-alat bukti baik lisan dalam persidangan maupun
tertulis oleh KPU beserta pihak terkait, namun Mahkamah tidak menemukan adanya
alat-alat bukti yang dapat melemahkan alat bukti yang diajukan oleh Pemohon. Oleh
karenanya, berdasarkan Pasal 77 ayat (2) UU MK maka permohonan Pemohon
dikabulkan.
21. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Tulang Bawang 1, Pemohon mendalilkan terjadinya kehilangan suara untuk partai
Pemohon pada setiap PPS yang ada dalam lingkup PPK Gedung Meneng. Mahkamah
Konstitusi telah memeriksa alat-alat bukti baik lisan dalam persidangan maupun
tertulis oleh KPU beserta pihak terkait, namun Mahkamah tidak menemukan adanya
alat-alat bukti yang dapat melemahkan alat bukti yang diajukan oleh Pemohon. Oleh
karenanya, berdasarkan Pasal 77 ayat (2) UU MK maka permohonan Pemohon
dikabulkan.
22. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kota untuk daerah pemilihan Bandar
Lampung 2, Pemohon mendalilkan telah kehilangan suara sehingga mempengaruhi
perolehan kursi partai Pemohon. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa Pemohon
memang kehilangan suara sehingga permohoan Pemohon beralasan. Oleh
karenanya, berdasarkan Pasal 77 ayat (2) UU MK maka permohonan Pemohon
dikabulkan.
23. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Muara Jambi 4, Pemohon mendalilkan terjadinya kesalahan penghitungan suara
yang menyebabkan kurangnya suara yang diperoleh Pemohon. Namun bukti-bukti
yang ada tidak mendukung permohonan Pemohon. Oleh karena itu, permohonan
Pemohon tidak beralasan karenanya berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK maka
permohonan Pemohon harus ditolak.
24. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten untuk daerah pemilihan
Sragen, Pemohon menarik kembali permohonannya. Mahkamah Kontitusi telah
mengeluarkan Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 036/PHPU.C1-II/2004
tanggal 26 Mei 2004 yang menyatakan permohonan Pemohon sepanjang mengenai
daerah pemilihan Sragen II telah ditarik kembali. Dengan demikian permohonan
301 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon tidak perlu dipertimbangkan kembali.
Berdasarkan seluruh pendapat di atas, Mahkamah Konstitusi memutuskan sebagai
berikut.
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004
tanggal 5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara untuk Calon Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota :
(1) Bagi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Karya Peduli Bangsa untuk Daerah
Pemilihan Seluma 2;
(2) Bagi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat untuk Daerah Pemilihan
Banyuasin 6;
(3) Bagi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan untuk
Daerah Pemilihan Pandeglang 3;
(4) Bagi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa untuk Daerah
Pemilihan Langkat 1;
(5) Bagi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Pelopor untuk Daerah Pemilihan
Tapanuli Selatan 3;
(6) Bagi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bintang Reformasi untuk Daerah
Pemilihan Barito Timur 1;
(7) Bagi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa untuk Daerah
Pemilihan Tulang Bawang 1;
(8) Bagi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bintang Reformasi untuk Daerah
Pemilihan Bandar Lampung 2.
Menetapkan hasil penghitungan suara yang benar untuk Calon Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bagi:
(1) Partai Keadilan Sejahtera sebesar 1.992 suara dan Partai Karya Peduli Bangsa
1.943 suara di Daerah Pemilihan Seluma 2;
(2) Partai Keadilan Sejahtera sebesar 1.860 suara dan Partai Demokrat 1.792
suara di Daerah Pemilihan Banyuasin 6;
(3) Partai Keadilan Sejahtera sebesar 4.954 suara dan Partai Persatuan Pembangunan
17.314 suara di Daerah Pemilihan Pandeglang 3;
(4) Partai Keadilan Sejahtera sebesar 4.785 suara dan Partai Kebangkitan Bangsa
4.304 suara di Daerah Pemilihan Langkat 1;
(5) Partai Keadilan Sejahtera sebesar 2.519 suara dan Partai Pelopor 2.509 suara
di Daerah Pemilihan Tapanuli Selatan 3;
(6) Partai Keadilan Sejahtera sebesar 908 suara dan Partai Bintang Reformasi 773
suara di Daerah Pemilihan Barito Timur 1;
(7) Partai Keadilan Sejahtera sebesar 3.400 suara dan Partai Kebangkitan Bangsa
3.263 suara di Daerah Pemilihan Tulang Bawang 1;
302 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(8) Partai Keadilan Sejahtera sebesar 11.360 suara dan Partai Bintang Reformasi
2.763 suara di Daerah Pemilihan Bandar Lampung 2.
Menyatakan permohonan Pemohon untuk Daerah Pemilihan Binjai 3 dan Daerah
Pemilihan Kapuas 2 tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya;
Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan putusan ini.
303 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 037/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU 2004 CALON ANGGOTA DPR DAN DPRD
PARTAI PENEGAK DEMOKRASI INDONESIA
Pemohon : 1. Dimmy Haryanto,
2. Joseph Williem Lea Wea.
Termohon : 1. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Labuan Batu, Sumatera
Utara.
2. Komisi Pemilihan Umum Kota Manado.
3. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Nias Selatan.
Jenis Perkara : 1. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon Anggota DPRD
Kabupaten Labuan Batu V Sumatera Utara,
2. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon Anggota DPRD
Kota Manado,
3. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon Anggota DPRD
Kabupaten Nias Selatan.
Pokok Perkara : Keberatan atas Penetapan hasil suara Pemilihan Umum Calon
Anggota DPRD di daerah Pemilihan Labuhan Batu V, daerah
Pemilihan Manado IV dan Nias Selatan III.
Amar Putusan : Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Kamis, 17 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Ketua dan Sekretaris Jenderal Partai Penegak Demokrasi
Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Partai Penegak Demokrasi Indonesia.
Partai Pemohon adalah peserta Pemilihan Umum Tahun 2004.
Pemohon merasa dirugikan karena adanya kecurangan dalam penetapan hasil suara
di 3 daerah pemilihan yaitu daerah Pemilihan Labuhan Batu V, daerah pemilihan Manado
304 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
IV dan Nias Selatan III yang menyebabkan hilangnya kesempatan partai Pemohon untuk
memperoleh kursi di DPRD.
Pada daerah pemilihan Labuhan Batu, dalam Berita Acara Rekapitusi Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Umum yang diumumkan pada tanggal 23 April 2004
menyebutkan Partai Penegak Demokrasi Indonesia memperoleh suara 3.553, Partai
Golkar memperoleh suara 13.164. Pemohon berpendapat hasil suara yang diperoleh
Partai golkar terdapat kesalahan akibat kecurangan KPU Kabupaten Labuhan Batu,
karena dalam rapat Pleno KPU tanggal 22 April 2004 KPU Kabupaten Labuhan Batu
mengumumkan perolehan suara sebagai berikut: Partai Penegak Demokrasi Indonesia
memperoleh 3.553 suara dan Partai Golkar memperoleh 13.114 suara. Sehingga dari
terdapat selisih 50 suara dengan keuntungan bagi Partai Golkar, jika selisih suara ini
tidak ada seharusnya Pemohon dapat memperoleh 1 kursi di DPRD Kabupaten Labuhan
Batu, Sumatera Utara.
Untuk daerah pemilihan Kota Manado, menurut KPU perolehan suara Partai Penegak
Demokrasi Indonesia di Kecamatan Singkil memperoleh 1151 suara dan di Kecamatan
Mapanget memperoleh 714 suara sehingga jumlah keseluruhan 1865 suara. Pemohon
berpendapat jumlah penghitungan suara yang seharusnya diperoleh adalah untuk
Kecamatan Singkil memperoleh 1151 suara dan di Kecamatan Mapanget memperoleh
831 suara, total jumlah suara yang seharusnya diperoleh oleh partai Pemohon adalah
1982.
Jika dilihat dari Rekapitulasi akhir Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kabupaten
Nias Selatan di Kecamatan Lolowau dan Lolomatua, Pemohon berpendapat terdapat
kesalahan dalam penghitungan suara yang diperoleh oleh Partai Sarikat Indonesia dan
Partai Pelopor. Dalam Rekapitulasi tersebut Partai Sarikat Indonesia memperoleh 1141
suara di Kecamatan Lolowau dan 848 suara di Kecamatan Lolomatua, sedangkan untuk
Partai Pelopor memperoleh 1060 suara di Kecamatan Lolomatua. Menurut Pemohon,
penghitungan yang benar dapat dilihat dari hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara
Pemilu tingkat kecamatan Lolomatua tanggal 11 April dan Kecamatan Lolowau tanggal 9
April 2004 yaitu Partai Sarikat Indonesia memperoleh 666 suara di Kecamatan Lolowau
dan 846 di Kecamatan Lolomatua, sedangkan Partai Pelopor memperoleh 779 suara di
Kecamatan Lolowau dan dan 813 suara di Kecamatan Lolomatua. Keberadaan jumlah
suara ini telah dilaporkan lepada Panwaslu Kabupaten Nias Selatan, Kapolres Nias, KPU
Kabupaten Nias Selatan dan KPU Provinsi Sumatera Utara. Hal ini telah menyebabkan
desempatan Partai Penegak Demokrasi Indonesia untuk memperoleh 1 Kursi di DPRD
Kabupaten Nias Selatan.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Mahkamah berpendapat
bahwa permohonan Pemohon termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi.
305 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Salinan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 678 Tahun 2003 tentang
Penetapan Partai Politik sebagai peserta Pemilihan Umum Tahun 2004 menyatakan
Pemohon adalah Partai Politik peserta Pemilihan Umum 2004 maka menurut Ketentuan
Pasal 74 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Pemohon mempunyai
kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon.
Terhadap dalil Pemohon mengenai adanya kesalahan dalam penghitungan suara
yang menyebabkan keuntungan bagi Partai Golkar di berdasarkan Dokumen yang
diajukan oleh KPU yaitu berupa Berita Acara Perubahan Suara DPRD Kabupaten
Labuhan Batu yang dilakukan oleh PPS Desa Air Hitam, Kecamatan Kualuh Leidong
bertanggal 13 April 2004 dan Berita Acara Perubahan Jumlah Suara DPRD Kabupaten/
Kota Labuhan Batu yang dilakukan oleh PPK Kecamatan Kualuh Leidong bertanggal 15
April 2004, Mahkamah Konstitusi berkeyakinan bahwa perubahan yang dilakukan oleh
PPS Desa Air Hitam dan PPK Kualuh Leidong di atas adalah benar dan sah menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku karena antara data yang termuat dalam
berita acara rekapitulasi penghitungan suara model DA PPK Kualuh Leidong yang
memuat perubahan angka dengan melakukan pencoretan yang dibubuhi paraf oleh
Ketua PPK dan anggota serta distempel, dibandingkan dengan penghitungan suara
dan penjumlahan yang dilakukan dalam model D di PPS Air Hitam yang ternyata keliru,
dengan mana penambahan suara untuk Partai Golongan Karya sebanyak 50 suara yang
diambil dari Partai PIB ternyata telah diperbaiki secara seketika sesuai dengan Pasal 98
ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, berdasarkan bukti ini Pemohon tidak
dapat membuktikan dalil Permohonannnya.
Pemohon mendalilkan terdapat perbedaan perolehan suara di daerah Pemilihan
Kota Manado IV, untuk itu membuktikan dalilnya Pemohon mengajukan bukti Berita
Acara Penghitungan Suara PPK Singkil Model DA bertanggal 13 April 2004 dan Sertikat
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/
Kota tingkat PPK Mapanget Model DA-1 bertanggal 13 April 2004, dengan mana
perolehan suara Pemohon masing-masing 1.151 untuk Kecamatan Singkil dan 831
untuk Kecamatan Mapanget sehingga perolehan suara Pemohon berjumlah 1.982 suara.
Dalam Pemeriksaan oleh Mahkamah, kedua alat bukti tersebut tidak dapat dipandang
sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang oleh karena di satu pihak Berita
Acara yang diajukan tidak lengkap dan sementara di lain pihak Berita Acara Hasil
Verikasi/Klarikasi Antara KPU Kota Manado dengan PPK Mapanget bertanggal 21
April 2004 telah ternyata adanya keberatan dari pihak Pemohon terhadap perolehan
suara di Kecamatan Mapanget yang ternyata setelah diverikasi jumlah perolehan suara
Pemohon bukan 831 tetapi 699 suara. Selain itu pihak terkait (PKS) mengungkapkan
adanya temuan Panwaslu Provinsi Sulawesi Utara tentang Ketua PPK Mapanget yang
mengembalikan uang yang diterimanya dari caleg PPDI, dan Ketua PPK Mapanget telah
dinonaktifkan oleh KPU Kota Manado melalui suratnya Nomor 118/KPU-MDO/V/2004
bertanggal 06 Mei 2004, keterangan tersebut tidak dibantah oleh Pemohon.
306 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dalil Pemohon mengenai penggelembungan suara yang terjadi di Daerah Pemilihan
Nias Selatan III, disertai dengan alat-alat bukti berupa Surat Pernyataan tentang Laporan
Manipulasi Data Rekapitulasi Penghitungan suara Tingkat PPK Lolomatua bertanggal
25 April 2004 dan Surat Pernyataan Keberatan tiga anggota PPK Lolowau bertanggal
21 April 2004 terhadap Pembuatan dan pengiriman laporan penghitungan suara kepada
KPU Kabupaten Nias Selatan, tidak merujuk suatu angka konkret perolehan suara Partai
Pemohon, tetapi sebaliknya merujuk pada penggelembungan suara yang diperoleh
Partai Sarikat Indonesia dan Partai Pelopor. Dalam Pemeriksaan walaupun ada petunjuk
terjadinya penggelembungan suara akan tetapi dari bukti-bukti yang diajukan, Pemohon
tidak berhasil membuktikan perolehan suara yang sebenarnya sesuai dengan yang
didalilkan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat Pemohon
tidak dapat membuktikan dalil permohonannya sehingga permohonan Pemohon ditolak
untuk seluruhnya.
307 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 038/PHPU.CI-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU 2004 CALON ANGGOTA DPR DAN
DPRD PARTAI PELOPOR
Pemohon : 1. Hj. Rachmawati Soekarnoputri; 2. Eko Santjojo, BBA.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Pokok Perkara : Keberatan Pemohon atas Penetapan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) tentang Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Daerah
Pemilihan Provinsi Papua untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Daerah Pemilihan Banten 3 untuk Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten,
Daerah Pemilihan Siak I untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Siak, Daerah Pemilihan
Bali 5 untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi Bali, Daerah Pemilihan Sulawesi Tengah 2 untuk
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Donggala, Daerah Pemilihan Mamasa 3 untuk Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Mamasa, Daerah Pemilihan Sukabumi 1 untuk Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sukabumi,
Daerah Pemilihan Lombok Barat 1, 2, 3, 4, dan 5 untuk Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Lombok Barat.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Selasa, 15 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon bernama Hj. Rachmawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Pelopor
308 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dan Eko Santjojo, BBA, Sekretaris Jenderal Partai Pelopor, dalam perkara ini bertindak
untuk dan atas nama Partai Pelopor. Pemohon adalah peserta pemilihan umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD), dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tahun 2004. Dalam perkara perselisihan hasil
pemilihan umum ini, Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) mengenai hasil penghitungan suara sebagai berikut :
pemilihan umum Anggota DPR untuk daerah pemilihan Papua; 1.
pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi Banten untuk daerah pemilihan Banten 3; 2.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten Siak untuk daerah pemilihan Siak I; 3.
pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi Bali untuk daerah pemilihan Bali 5; 4.
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten Donggala untuk daerah pemilihan 5.
Sulawesi Tengah 2;
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten Mamasa untuk daerah pemilihan 6.
Mamasa 3;
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi untuk daerah pemilihan 7.
Sukabumi 1;
pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten Lombok Barat untuk daerah pemilihan 8.
Lombok Barat 1, 2, 3, 4, dan 5.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 74, dan
Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK)
jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu), Mahkamah berpendapat bahwa permohonan
Pemohon termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan bukti Pemohon berupa Salinan Keputusan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 678 Tahun 2003 tentang Penetapan Partai Politik sebagai Peserta Pemilihan
Umum Tahun 2004 bertanggal 7 Desember 2003, Pemohon adalah Partai Politik sebagai
peserta pemilihan umum tahun 2004 maka oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal
74 ayat (1) huruf c UU MK, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
bertindak sebagai Pemohon di dalam perkara permohonan a quo.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk
menjatuhkan putusan sebagai berikut :
- mengabulkan permohonan Pemohon;
- menyatakan batal Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tentang Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004
Secara Nasional untuk Daerah Pemilihan Papua;
- menyatakan batal Penetapan Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) tentang Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004
Secara Nasional untuk Daerah Pemilihan Kabupaten Tangerang (Provinsi Banten);
- menyatakan batal Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tentang Hasil
309 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
penghitungan suara Pemilihan umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004
secara Nasional untuk Daerah Pemilihan Siak 1;
- menyatakan batal Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tentang Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2004
secara Nasional untuk Daerah Pemilihan Bali 5;
- menyatakan batal Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tentang Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun
2004 secara Nasional untuk DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Daerah Pemilihan
Kabupaten Donggala);
- menyatakan batal Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tentang Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2004
secara Nasional untuk Daerah Pemilihan Kabupaten Mamasa;
- menyatakan batal Penetapan Komisi pemilihan Umum (KPU) tentang Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004
secara Nasional untuk Daerah Pemilihan Kabupaten Sukabumi;
- menyatakan membatalkan Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor
44/SK/KPU/Tahun 2004, tanggal 5 Mei 2004 tentang Hasil Penghitungan Suara
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Tahun 2004 secara Nasional untuk
Daerah Pemilihan Lombok Barat I, Lombok Barat II, Lombok Barat III, Lombok Barat
IV dan Lombok Barat V.
Menyangkut perselisihan hasil pemilihan umum Anggota DPR untuk daerah pemilihan
Provinsi Papua, berdasarkan bukti-bukti yang ada, ternyata kondisi geogras daerah
Yahukimo yang tidak sama dengan daerah lain, dan pola pemilihan suara Kabupaten
Yahukimo ditentukan pilihannya oleh Kepala Suku setempat. Oleh karena itu, pola
penyebaran suara di Kabupaten Yahukimo untuk DPR Rl hanya tersebar untuk Partai
PNBK 14.117 suara, Partai Golkar 33.263 suara, Partai Patriot Pancasila 8.600 suara dan
Partai Pelopor 27.819 suara. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, ternyata Komisi Pemilihan
Umum telah menggunakan data sementara hasil perolehan suara sebelum KPU
Kabupaten Yahukimo selesai menghitung suara yaitu pada tanggal 21 April 2004 dimana
Partai Pelopor memperoleh suara sejumlah 16. 819 suara. Atas dasar itu, Mahkamah
Konstitusi berpendapat Pemohon telah dapat membuktikan dalil permohonannya. Sesuai
ketentuan dalam Pasal 77 ayat (2) dan (3) UU MK, Mahkamah Konstitusi menyatakan
permohonan Pemohon dikabulkan dan menyatakan batal penetapan hasil penghitungan
suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/Tahun 2004 tanggal
5 Mei 2004, sepanjang yang berkaitan dengan perolehan suara Partai Pelopor untuk
Daerah Pemilihan Kabupaten Yahukimo. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi menetapkan
hasil penghitungan yang benar adalah Pemohon memperoleh 27.819 suara untuk
pemilihan umum calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dari Daerah Kabupaten
Yahukimo Provinsi Papua.
Menyangkut perselisihan hasil pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi Banten
310 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
untuk daerah pemilihan Banten 3, diperoleh fakta bahwa berdasarkan surat KPU
Provinsi Banten kepada Ketua DPD Partai Pelopor Provinsi Banten Nomor 280/402-
KPD/2004 bertanggal 29 April 2004, perihal Keterangan Data Hasil Penghitungan
Suara Sementara, jumlah perolehan suara Pemohon yang diperoleh dari PPK, ratel
dan faksimili yang validasinya bersifat sementara yang ditandatangani oleh Sekretaris
KPU Kabupaten Tangerang pada tanggal 15 April 2004 adalah 56.540 suara. Sedangkan
jumlah perolehan suara Pemohon yang ditetapkan KPU Kabupaten Tangerang pada
Rapat Pleno tanggal 26 April 2004 adalah 3.464 suara. Pemohon pun tidak mengajukan
bukti-bukti yang berupa Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara maupun
Sertikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara yang dibuat oleh PPS, PPK maupun
KPU Kabupaten Tangerang mengenai perolehan suara Partai Pelopor. Atas dasar itu,
Mahkamah Konstitusi berpendapat bukti-bukti tersebut tidak meyakinkan, karena tidak
memenuhi ketentuan Pasal 99 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Oleh
karena itu, berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK, Mahkamah Konstitusi menyatakan
permohonan Pemohon ditolak.
Menyangkut perselisihan hasil pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten Siak
untuk daerah pemilihan Siak I, diperoleh bukti sebagai berikut :
- perolehan suara Pemohon pada Rekapitulasi PPS Desa Teluk Mesjid adalah benar
sejumlah 37 suara;
- perolehan suara Pemohon pada Rekapitulasi PPS Desa Laksamana adalah benar
sejumlah 21 suara;
- perolehan suara Pemohon pada Rekapitulasi PPS Desa Paluh adalah benar
sejumlah 23 suara;
- perolehan suara Pemohon pada Rekapitulasi PPS Desa Jayapura terdapat
kesalahan penjumlahan, yang seharusnya berjumlah 35 suara, yang diperoleh
dari (17+3+4+3+8) dan bukan 25 suara, sehingga bila dijumlah (35+3+1+1+100+1)
menjadi 141 suara dan bukan 131 suara;
- perolehan suara Pemohon pada Rekapitulasi PPS Desa Buantan Lestari, adalah
benar sejumlah 207 suara yang diperoleh dari (3+33+2+2+1+1+161+6+1).
Dari fakta-fakta di atas, jika 2.183 suara + (30 suara) maka akan berjumlah 2.218
suara, bukan 2.314 suara sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian
Pemohon tidak dapat membuktikan dalil permohonannya, dan sesuai ketentuan dalam
Pasal 77 ayat (4) UU MK, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
Pemohon harus dinyatakan ditolak.
Menyangkut perselisihan hasil pemilihan umum Anggota DPRD Provinsi Bali untuk
daerah pemilihan Bali 5, diperoleh fakta-fakta sebagai berikut :
- untuk Kecamatan Kubutambahan, perolehan suara yang didalilkan oleh Pemohon
untuk Desa Tajun terdapat selisih 149 suara, untuk Desa Bila selisih 10 suara, untuk
Desa Tunjung selisih 4 suara adalah benar;
311 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
- untuk Kecamatan Sawan, walaupun terdapat bukti berupa Rekapitulasi PPS tetapi
tidak diperkuat dengan alat bukti lain, sehingga Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa Pemohon tidak membuktikan kebenaran dalil permohonannya.
Dari fakta-fakta di atas, Pemohon tidak dapat membuktikan dalil permohonannya
sehingga sesuai ketentuan Pasal 77 ayat (4) UU MK, Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak.
Menyangkut perselisihan hasil pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten Donggala
untuk daerah pemilihan Sulawesi Tengah 2, diperoleh fakta-fakta berikut :
- dalam bukti Berita Acara Rekapitulasi Hasil Suara Komisi Pemilihan Umum Model
DB tanggal 18 April 2004, dan Sertikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara
Model DB 1 tertulis dalam Lampiran Model DB 1, Partai Pelopor memperoleh 13.450
suara;
- dalam bukti Berita Acara Rekapitulasi Hasil Suara Pemilihan Umum Model DC
tanggal 24 April 2004, dan Sertikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Model
DC 1 tertulis dalam Lampiran Model DC, Partai Pelopor memperoleh 3.139 suara.
Dari fakta-fakta di atas, ternyata terjadi kesalahan penulisan perolehan suara yang
dilakukan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Tengah, karena telah mencantumkan
data yang tidak sesuai dengan data yang tercantum dalam Berita Acara Rekapitulasi Hasil
Suara Komisi Pemilihan Umum Model DB, dan Sertikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Model DB 1 tanggal 18 April 2004 tertulis dalam Lampiran Model DB 1 yang dibuat
oleh KPUD Kabupaten Donggala yang menyatakan Partai Pelopor memperoleh 13.450
suara. Hal ini diperkuat oleh Surat Pernyataan Drs. Abdullah Malabbang, Ketua Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten Donggala. Dari fakta-fakta tersebut, Pemohon telah dapat
membuktikan suara yang benar adalah 13.450 suara. Dengan demikian sesuai ketentuan
dalam Pasal 77 ayat (2) UU MK, Mahkamah Konstitusi berpendapat permohonan
Pemohon dikabulkan.
Menyangkut perselisihan hasil pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten Mamasa
untuk daerah pemilihan Mamasa 3, Mahkamah Konstitusi tidak memperoleh bukti
penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU, sehingga bukti-bukti yang ada diragukan
keabsahannya atau kevaliditasannya. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat
Pemohon tidak dapat membuktikan dalil permohonannya, dan sesuai ketentuan Pasal 77
ayat (4) UU MK, Mahkamah Konstitusi berpendapat permohonan Pemohon dinyatakan
ditolak.
Menyangkut perselisihan hasil pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi
untuk daerah pemilihan Sukabumi 1, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dalil
permohonan Pemohon tidak didukung oleh bukti yang cukup kuat untuk membuktikan
hilangnya suara Pemohon di Daerah Pemilihan tersebut sejumlah 11.568 suara. Oleh
karena itu, berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK, Mahkamah Konstitusi berpendapat
permohonan Pemohon dinyatakan ditolak.
312 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Menyangkut perselisihan hasil pemilihan umum Anggota DPRD Kabupaten Lombok
Barat untuk daerah pemilihan Lombok Barat 1, 2, 3, 4, dan 5, Pemohon menyatakan
menarik permohonannya. Sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU MK, Pemohon dapat
menarik kembali permohonannya sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah
Konstitusi berlangsung. Penarikan permohonan mengakibatkan permohonan tidak dapat
diajukan kembali sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU MK. Penarikan permohonan
tersebut tidak melanggar peraturan perundang-undangan dan karenanya dikabulkan
oleh Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan seluruh pendapat Mahkamah Konstitusi di atas, Mahkamah Konstitusi
mengabulkan permohonan Pemohon sebagian; mengabulkan permohonan Pemohon
sebagian; membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/
TAHUN 2004, tanggal 5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai Pelopor
: (1) untuk calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Daerah Pemilihan Provinsi
Papua, dan (2) untuk Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi
Tengah dari Daerah Pemilihan Sulawesi Tengah 2; menetapkan hasil penghitungan suara
yang benar bagi Partai Pelopor : (1) untuk calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari
Daerah Pemilihan Provinsi Papua adalah 27.819, sehingga jumlah keseluruhan perolehan
suara Pemohon untuk Provinsi Papua adalah 45.061 suara dan (2) untuk calon Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Tengah dari Daerah Pemilihan
Sulawesi Tengah 2 adalah 13.450 suara; menolak permohonan Pemohon selebihnya;
dan memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan Putusan ini.
313 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 039/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU PARTAI AMANAT NASIONAL
Pemohon : 1. M. Amien Rais, 2. M. Hatta Rajasa.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD).
Pokok Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum DPRD di 20 Dapil, antara lain:
1. Jawa Barat VII (DPR),
2. Sulawesi Tengah (DPR),
3. Jawa Tengah 2 (DPRD Provinsi),
4. Sulawesi Tanggara 1 (DPRD Provinsi),
5. Banyuasin 1 (DPRD Kabupaten),
6. Kota Medan 1 (DPRD Kota),
7. Sumbawa 3 (DPRD Kabupaten),
8. Jambi 4 (DPRD Kota),
9. Batam 2 (DPRD Kota),
10. Bengkulu Selatan 3 (DPRD Kabupaten),
11. Indragiri Hilir 1 (DPRD Kabupaten),
12. Solok Selatan 1 (DPRD Kabupaten),
13. Kota Binjai 4 (DPRD Kota),
14. Sumatera Selatan 1 (DPRD Provinsi),
15. Kabupaten Semarang 2 (DPRD Kabupaten),
16. Suwawa Bone Bolango 3 (DPRD Kabupaten),
17. Kota Balikpapan 1 (DPRD Kota),
18. Sulawesi Tengah 3 (DPRD Provinsi),
19. Lampung Tengah 4 (DPRD Kabupaten),
20. Bulukumba 4 (DPRD Kabupaten).
314 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Selasa, 15 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PAN, peserta Pemilu Anggota
DPR, DPD dan DPRD Tahun 2004 yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU)
berdasarkan Penetapan KPU Nomor 825/15/X/2003 tanggal 17 Oktober 2003 tentang
Pemberitahuan PAN telah memenuhi syarat sebagai Partai Politik Peserta Pemilu Tahun
2004.
Pemohon berkeberatan terhadap Keputusan KPU No. 44/SK/KPU/Tahun 2004
tanggal 5 Mei 2004 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu Tahun 2004 yang diumumkan pada tanggal 5
Mei 2004 karena merugikan Pemohon akibat tidak diperolehnya kursi yang semestinya
menjadi hak Pemohon pada 20 Dapil, yaitu:
Jawa Barat 1. VII (DPR),
Sulawesi Tengah (DPR) 2. ,
Jawa Tengah 3. 2 (DPRD Provinsi),
Sulawesi Tanggara 4. 1 (DPRD Provinsi),
Banyuasin 5. 1 (DPRD Kabupaten),
Kota Medan 6. 1 (DPRD Kota),
Sumbawa 7. 3 (DPRD Kabupaten),
Jambi 8. 4 (DPRD Kota),
Batam 9. 2 (DPRD Kota),
Bengkulu 10. Selatan 3 (DPRD Kabupaten),
Indragiri Hilir 11. 1 (DPRD Kabupaten),
Solok 12. Selatan 1 (DPRD Kabupaten),
Kota Binjai 13. 4 (DPRD Kota),
Sumatera Selatan 14. 1 (DPRD Provinsi),
Kabupaten Semarang 15. 2 (DPRD Kabupaten),
Suwawa Bone Bolango 16. 3 (DPRD Kabupaten),
Kota Balikpapan 17. 1 (DPRD Kota),
Sulawesi Tengah 18. 3 (DPRD Provinsi),
Lampung Tengah 19. 4 (DPRD Kabupaten),
Bulukumba 20. 4 (DPRD Kabupaten).
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk memutus perselisihan tentang hasil
Pemilu [Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 jo Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD dan DPRD jo Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi].
315 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas maka
Mahkamah berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan
mengadili perkara a quo.
Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/2004 tanggal
5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai Amanat Nasional untuk :
(1). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Daerah Pemilihan Sulawesi Tengah,
(2). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dari Daerah Pemilihan
Sulawesi Tenggara 1, (3). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
dari Daerah Pemilihan Banyuasin 1, (4). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kota dari Daerah Pemilihan Kota Batam 2, (5). Calon Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten dari Daerah Pemilihan Semarang 2.
Menetapkan hasil penghitungan suara yang benar bagi Partai Amanat Nasional
untuk: (1). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Daerah Pemilihan Sulawesi
Tengah adalah 62.203 (enam puluh dua ribu dua ratus tiga) suara, (2). Calon Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dari Daerah Pemilihan Sulawesi Tenggara 1
adalah 25.732 (dua puluh lima ribu tujuh ratus tiga puluh dua) suara, (3). Calon Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten dari Daerah Pemilihan Banyuasin 1
adalah 2.677 (dua ribu enam ratus tujuh puluh tujuh) suara, (4). Calon Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota dari Daerah Pemilihan Batam 2 adalah 7.696 (tujuh ribu
enam ratus sembilan puluh enam) suara, (5). Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten dari Daerah Pemilihan Semarang 2 adalah 4.561 (empat ribu lima
ratus enam puluh satu) suara.
Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/2004 tanggal
5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai Amanat Nasional dan Partai
Persatuan Pembangunan untuk Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten dari Daerah Pemilihan Sumbawa 3 dan menetapkan hasil penghitungan
suara yang benar bagi Partai Amanat Nasional adalah 7.072 suara sedangkan untuk
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah 7.030 (tujuh ribu tiga puluh) suara.
Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/2004 tanggal
5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai Amanat Nasional dan Partai
Perhimpunan Indonesia Baru untuk Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kota dari Daerah Pemilihan Kota Jambi 4 dan menetapkan hasil penghitungan suara
yang benar bagi Partai Amanat Nasional adalah 8.291 (delapan ribu dua ratus sembilan
puluh satu) suara sedangkan Partai Perhimpunan Indonesia Baru adalah 1.812 (seribu
delapan ratus dua belas) suara.
Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/2004 tanggal
5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan suara Partai Amanat Nasional dan Partai
Nasional Banteng Kemerdekaan untuk Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten dari Daerah Pemilihan Bengkulu Selatan 3 dan menetapkan hasil penghitungan
316 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
suara yang benar bagi Partai Amanat Nasional adalah adalah 3.922 (tiga ribu sembilan
ratus dua puluh dua) suara sedangkan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan adalah
1.057 (seribu lima puluh tujuh) suara.
Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya.
317 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 040/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU 2004 CALON ANGGOTA DPRD
PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA
Pemohon : 1. Edi Sudrajat; 2. Semuel Samson.
Termohon : 1. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Takalar Dapil I,
2. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Takalar Dapil II,
3. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Merangin 1,
4. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Banyuasin,
5. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Rokan Hulu 1,
6. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Ogan Komering Ulu 2,
7. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lampung Utara 2.
Jenis Perkara : 1. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum calon Anggota DPRD
Kabupaten Takalar Dapil 1.
2. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum calon Anggota DPRD
Kabupaten Takalar Dapil 2.
3. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum calon Anggota DPRD
Kabupaten Merangin 1.
4. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum calon Anggota DPRD
Kabupaten Banyuasin.
5. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum calon Anggota DPRD
Kabupaten Rokan Hulu 1.
6. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum calon Anggota DPRD
Kabupaten Ogan Komering Ulu 2.
7. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum calon Anggota DPRD
Kabupaten Lampung Utara 2.
Pokok Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum menyangkut Keberatan atas
hasil penghitungan suara di tujuh Daerah Pemilihan yang diajukan
oleh Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
318 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Amar Putusan : Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Senin, 14 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Ketua dan Sekretaris Jenderal Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
Partai Pemohon adalah peserta Pemilihan Umum Tahun 2004.
Pemohon merasa dirugikan karena adanya kecurangan dalam penetapan hasil
suara di 7 daerah pemilihan yaitu daerah Pemilihan Takalar Dapil 1, daerah pemilihan
Takalar Dapil 2, daerah pemilihan Merangin 1, daerah pemilihan Banyuasin, daerah
pemilihan Rokan Hulu 1, daerah pemilihan Ogan Komering Ulu 2, daerah pemilihan
Lampung Utara 2 yang menyebabkan hilangnya Kesempatan partai Pemohon untuk
memperoleh kursi di DPRD.
Pada daerah pemilihan Takalar Dapil 1, terjadi penggelembungan untuk Partai
Golkar sebanyak 388 Suara, seharusnya memperoleh 658 suara menjadi 1046 suara.
Secara keseluruhan di Dapil Takalar 1, Partai Golkar tercatat memperoleh 31.899 suara,
seharusnya 31.511 suara, sedangkan PKPI memperoleh 1.819 suara. Penggelembungan
suara Partai Golkar tersebut mengakibatkan PKPI kehilangan perolehan kursi pada Dapil
Takalar 1.
Untuk daerah pemilihan Takalar 2, Pemohon mendalilkan terdapat kecurangan
berupa penggelembungan suara pada Partai PDK sebesar 291 suara, yakni dari 3.888
suara menjadi 4.179 suara. Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara yang
benar adalah Partai PDK memperoleh 3.888 suara, sedangkan PKPI memperoleh 1.215
suara. Sehingga Partai PDK sesudah memperoleh 1 kursi menurut BPP memiliki sisa
suara 1.110 yang lebih kecil jika dibandingkan dengan perolehan suara PKPI sebesar
1.215 suara.
Jika dilihat dari Pengumuman KPU Kabupaten Merangin 1, terdapat kesalahan
Penulisan perolehan suara daerah pemilihan Merangin 1. Kesalahan terjadi di PPS
17 Kecamatan Sungai Manau. PKPI seharusnya memperoleh 19 suara namun yang
tertulis 16 suara. Selisih 3 suara yang seharusnya diperoleh PKPI menjadi milik PNI
Marhaenisme. Dalam pengumuman jumlah suara PNI Marhaenisme memperoleh 1540
suara seharusnya 1537, dan PKPI memperoleh suara 1537 suara seharusnya 1540
suara.
Pemohon keberatan terhadap penetapan hasil penghitungan suara KPU untuk daerah
pemilihan Banyuasin. Menurut Pemohon terjadi kecurangan berupa penggelembungan
suara untuk PKB dari 2300 suara yang diperoleh menggelembung menjadi 3804 suara;
terjadi penambahan 1504 suara. Pemohon berpendapat dalam penghitungan hasil suara,
jika tidak ada penggelembungan jumlah suara untuk PKB maka PKPI dapat memperoleh
3634 suara sehingga PKPI berhak mendapat 1 kursi di DPRD.
319 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pada tanggal 4 Mei 2004, KPUD Kabupaten Rokan Hulu menetapkan hasil
penghitungan suara partai politik peserta Pemilu. Pemohon Keberatan terhadap hasil
penghitungan suara tersebut. Keberatan yang diajukan Pemohon diantaranya pada
TPS I, TPS-II dan TPS-III desa Sungai II Indah sebesar 125 suara, namun tercatat
pada PPK Ramba Hilir hanya sebesar 79 suara (terjadi pegurangan 48 suara). Pada
Desa Muara Musu Kecamatan Rambah Hilir dari 5 (lima) TPS yang tercatat oleh saksi
PKPI, adalah sebanyak 93 suara, namun dalam rekapitulasi di PPK Ramba Hilir hanya
tercatat 80 suara. (terjadi pengurangan 13 suara). Pada Kecamatan Rambah Samo,
jumlah perolehan suara PKP Indonesia, tercatat oleh saksi perolehan suara PKPI adalah
sebesar 287 suara, namun dalam Rekapitulasi PPK Rambah Samo hanya sebesar
201 suara (terjadi pengurangan sebesar 86 suara). Akibat kesalahan tersebut PKPI
kehilangan suara sebesar 48 + 13 + 86 suara = 147 suara, sebagaimana penetapan
KPUD Kabupaten Rokan Hulu, padahal perolehan suara PKPI adalah sebesar 1.996
suara.
Dalam Penetapan KPU Kabupaten Ogan Komerin Ulu 2, PKPI memperoleh 1952
suara seharusnya berhak atas 1 kursi di DPRD, namun terjadi penambahan sebanyak
157 suara untuk PAN dari 1807 suara yang diperoleh menjadi 1964 suara. Penambahan
suara bagi PAN menyebabkan PKPI tidak memperoleh tambahan kursi.
Menurut Pemohon di daerah pemilihan Kabupaten Lampung Utara terdapat
penggelembungan suara untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari 2.155 menjadi
2.215 suara. Dalam penetapan KPU tersebut, tercatat perolehan suara PKPI adalah
sebesar 2.195 suara dan seharusnya berhak memperoleh 1 (satu) kursi dari 11 kursi
yang tersedia di Dapil Lampung Utara. Hal tersebut tidak dapat terlaksana, dikarenakan
oleh terjadinya penambahan suara untuk PKS tersebut.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Mahkamah berpendapat
bahwa permohonan Pemohon termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia.
Berdasarkan Bukti P-1 Pemohon adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal
Dewan Pimpinan Pusat PKPI, oleh karena itu berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003, Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai
Pemohon.
Setelah Mahkamah membandingkan dan meneliti bukti-bukti yang diajukan oleh
Pemohon dengan dokumen yang dikeluarkan oleh KPU No. 44/SK/KPU/Tahun 2004
tanggal 5 Mei 2004 tidak ternyata terjadi kesalahan dalam penghitungan suara yang
dilakukan oleh KPU. Untuk daerah pemilihan Takalar 1 jumlah perolehan suara PKPI
maupun Partai Golkar yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten Takalar 1 sama dengan
320 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
jumlah perolehan suara yang ditetapkan oleh KPU. Daerah pemilihan Takalar 2, Terhadap
dalil Pemohon adanya penggelembungan suara menurut Mahkamah tidak terdapat bukti-
bukti yang mendukung dalil-dalil Pemohon. Pada Daerah Pemilihan Kabupaten Marangin
tidak ternyata terjadi kesalahan dalam penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU atau
jumlah perolehan suara PKPI yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten Merangin sama
dengan jumlah perolehan suara yang ditetapkan oleh KPU, yaitu sebesar 1.537 suara.
Pemohon mendalilkan perolehan suara PKPI untuk kursi DPRD Kabupaten
Banyuasin adalah sebesar 3.634 suara, sedangkan PNI Marhenisme memperoleh
3.540 suara. Perolehan dimaksud setelah Mahkamah meneliti dengan seksama bukti-
bukti yang diajukan oleh Pemohon, menurut Mahkamah tidak terdapat bukti-bukti
yang mendukung dalil-dalil Pemohon. Pemohon mengklaim bahwa perolehan suara
PKPI untuk kursi DPRD Kabupaten Rokan Hulu adalah sebesar 1.996 suara, jumlah
tersebut setelah Mahkamah meneliti dengan seksama bukti-bukti yang diajukan oleh
Pemohon, ternyata tidak terjadi kesalahan dalam penghitungan suara yang dilakukan
oleh KPU. Kemudian Mahkamah membandingkan bukti yang diajukan oleh Pemohon
dengan dokumen yang dikeluarkan oleh KPU No. 44/SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 5 Mei
2004 tidak ternyata terjadi kesalahan dalam penghitungan suara yang dilakukan oleh
KPU atau dengan kata lain jumlah perolehan suara PKPI yang dikeluarkan oleh KPU
Kabupaten Ogan Komering Ulu sama dengan jumlah perolehan suara yang ditetapkan
oleh KPU tidak ternyata terjadi kesalahan dalam penghitungan suara yang dilakukan oleh
KPU. Setelah Mahkamah membandingkan bukti yang diajukan oleh Pemohon berupa
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Sah DPRD Daerah Pemilihan Lampung Utara
2 dengan dokumen yang dikeluarkan oleh KPU, tidak ternyata terjadi kesalahan dalam
penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat Pemohon
tidak dapat membuktikan dalil permohonannya sehingga permohonan Pemohon sepanjang
menyangkut perolehan suara untuk (1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Banyuasin dari Daerah Pemilihan Banyuasin dan (2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi Lampung dari Daerah Pemilihan Lampung Utara tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard) dan menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya.
321 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 041/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU 2004 ANGGOTA DPR DAN DPRD
PARTAI PERSATUAN DAERAH
Pemohon : 1. Dr. Oesman Sapta; 2. H. Ronggo Soenarso S.I.P
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD.
Pokok Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan umum Anggota DPR dan DPRD
untuk daerah pemilihan Provinsi Papua, Provinsi Sumatera Utara
(Kabupaten Nias Daerah Pemilihan 1, Kabupaten Nias Daerah
Pemilihan 2, Kabupaten Nias Selatan Daerah Pemilihan 1, Kabupaten
Nias Selatan Daerah Pemilihan 3, Kota Sibolga Daerah Pemilihan
1), Provinsi Kalimantan Tengah (Kabupaten Kapuas dan Kabupaten
Katingan), Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (Kabupaten Aceh
Barat, Daerah Pemilihan 2), dan Provinsi Sulawesi Tengah.
Amar Putusan : - Sepanjang menyangkut perolehan suara untuk calon Anggota
DPR dari Daerah Pemilihan Kabupaten Kapuas Provinsi
Kalimantan Tengah dan untuk calon Anggota DPR dari Daerah
Pemilihan Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
- Menolak permohonan Pemohon selebihnya.
Tanggal Putusan : Rabu, 16 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Daerah
(PPD) peserta Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Tahun 20042009 yang
terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan Penetapan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Nomor 678 Tahun 2003 tanggal 7 Desember 2003 tentang Penetapan
Partai Politik sebagai Peserta Pemilihan Umum Tahun 2004.
322 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon berkeberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Nomor 119/15-BA/V/2004 tanggal 5 Mei 2004 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, DPRD yang diumumkan secara nasional pada hari Rabu Tanggal
05 Mei 2004 pukul 16.00 WIB tanggal 5 Mei 2004 tentang Penetapan Hasil Penghitungan
Suara DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2004-2009 untuk Daerah Pemilihan Provinsi Papua,
Kabupaten Provinsi Sumatera Utara (Kabupaten Nias Daerah Pemilihan 1, Kabupaten
Nias Daerah Pemilihan 2, Kabupaten Nias Selatan Daerah Pemilihan 1, Kabupaten Nias
Selatan Daerah Pemilihan 3, Kota Sibolga Daerah Pemilihan 1), Provinsi Kalimantan
Tengah (Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Katingan), Provinsi Nangroe Aceh Darusalam
(Kabupaten Aceh Barat, Daerah Pemilihan 2), dan Provinsi Sulawesi Tengah.
Pemohon adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP Partai Persatuan
Daerah, maka berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Pemohon
mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon.
Untuk Daerah Pemilihan Provinsi Papua (DPR RI), berdasarkan bukti-bukti yang
diajukan Pemohon tidak terdapat Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara
maupun Sertikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara. Bukti yang diajukan merupakan
hasil penghitungan yang dilakukan oleh Pemohon sendiri dan bukan hasil penghitungan
PPS, PPK, KPUD Kabupaten maupun KPUD Provinsi, oleh karena itu tidak dapat
dijadikan dasar untuk menguatkan permohonan Pemohon. Selain itu, berdasarkan berita
di Cendarawasih Post, Pemohon mendalilkan seharusnya mendapat 1 kursi untuk DPR
bukti P-8, P-9 dan P-10, Mahkamah berpendapat bahwa bukti yang diambil dari berita di
Koran tidak dapat dijadikan sebagai bukti yang sah. Pada saat pembacaan Rekapitulasi
Hasil Penghitungan suara di setiap tingkat, tidak terdapat keberatan yang diajukan oleh
Pemohon ataupun Saksi Partai. Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak dapat
membuktikan dalil permohonannya sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan
ditolak.
Untuk Provinsi Sumatera Utara, Daerah Pemilihan 3, DPRD Kabupaten Nias
Selatan, dari bukti-bukti yang diajukan Pemohon tidak satupun terdapat Berita Acara
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara maupun Sertikat Rekapitulasi Penghitungan
Suara, oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa bukti yang diajukan Pemohon
diragukan keabsahannya sehingga tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat Pemohon telah tidak dapat membuktikan
dalil permohonannya, oleh karena itu permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak.
Untuk Provinsi Sumatera Utara, Daerah Pemilihan 1, DPRD Kabupaten Sibolga,
data hasil penghitungan Mahkamah menunjukkan Pemohon tetap tidak berhak untuk
memperoleh 1 (satu) buah kursi. Berdasarkan Pasal 77 ayat (4) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003, maka Mahkamah harus menolak permohonan Pemohon.
Untuk Provinsi Kalimantan Tengah, DPR Untuk Kabupaten Kapuas, Pemohon
mendalilkan perolehan suara di PPK Kecamatan Kapuas Tengah sejumlah 271 suara,
323 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
namun di KPUD Kabupaten hanya sejumlah 160 suara, sehingga Pemohon merasa
kehilangan 111 suara, namun Pemohon beserta beberapa partai politik membuat Surat
Pernyataan Bersama menolak dan tidak menerima hasil pelaksanaan Pemilu dan tidak
menandatangani Berita Acara Hasil Pemilu. Terhadap permohonan Pemohon agar
dilakukan penghitungan ulang terhadap hasil penghitungan suara mulai dari TPS, PPS,
PPK dan KPU Kabupaten, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon bukan
merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi oleh karenanya tidak dapat diterima.
Untuk Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah, Pemohon mendalilkan pasti
ada partai yang kehilangan suara dan tidak mendapat bagian kursi dan sebaliknya pasti
ada partai yang mendapat kursi tetapi tanpa didasarkan pada kebenaran, Mahkamah
berpendapat bahwa dalil tersebut merupakan perkiraan Pemohon yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya. Berdasarkan Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah harus menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Berdasarkan bukti-bukti dan pertimbangan hukum putusan ini, Mahkamah
menyatakan permohonan Pemohon sepanjang menyangkut perolehan suara untuk calon
Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah
dan untuk calon Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Kabupaten Katingan Provinsi
Kalimantan Tengah tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); dan Menolak
permohonan Pemohon selebihnya.
324 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
325 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 042/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU 2004 CALON ANGGOTA DPRD PARTAI MERDEKA
Pemohon : 1. Adi Sasono; 2. Ir. Muslich Zainal Asikin, MBA., M.T.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Pokok Perkara : Keberatan Pemohon terhadap Penetapan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Umum
Tahun 2004.
Amar Putusan : Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Selasa, 15 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Merdeka peserta
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004 yang terdaftar di Komisi
Pemilihan Umum berdasarkan Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 678
tahun 2003 tentang Penetapan Partai Politik menjadi Peserta Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 74, dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa permohonan Pemohn termasuk kewenangan Mahkamah
Konstitusi.
Berkenaan dengan kedudukan hukum (legal standing), Pemohon adalah Ketua
Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Merdeka. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 74
326 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ayat (1) huruf c UU MK maka Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak
sebagai Pemohon dalam permohonan tersebut.
Dalam permohonannya, Pemohon mengajukan keberatan terhadap Keputusan KPU
mengenai hasil pemilihan umum secara nasional mengenai hasil penghitungan suara
sebagai berikut :
1. pemilihan umum Anggota DPRD untuk daerah pemilihan 1, Kabupaten Musi
Banyuasin;
2. pemilihan umum Anggota DPRD untuk daerah pemilihan 5, Kabupaten Musi
Banyuasin;
3. pemilihan umum Anggota DPRD untuk daerah pemilihan 2, Kabupaten Bulukumba;
4. pemilihan umum Anggota DPRD untuk daerah pemilihan 1, Provinsi Nusa Tenggara
Timur.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk
menjatuhkan putusan sebagai berikut.
- Mengabulkan permohonan Pemohon.
- Menyatakan membatalkan penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2004
secara nasional untuk daerah pemilihan Kabupaten Musi Banyuasin, Bulukumba,
dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai berikut:
1. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD untuk daerah pemilihan 1, Kabupaten
Musi Banyuasin, data yang diajukan Pemohon merupakan hasil penghitungan
sendiri. Lagi pula keterangan tertulis lainnya tidak sesuai dengan Pasal 98 ayat (5)
UU Pemilu sehingga tidak dapat dijadikan dasar yang memperkuat dalil Pemohon.
Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK maka Mahkamah Konstitusi
menolak permohonan Pemohon.
2. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD untuk daerah pemilihan 5, Kabupaten
Musi Banyuasin, Pemohon mendalilkan terjadinya pengurangan suara partai
Pemohon. Namun bukti-bukti yang ada tidak dapat membuktikan kebenaran dalil-
dalil Pemohon. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK maka
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Pemohon.
3. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD untuk daerah pemilihan 2, Kabupaten
Bulukumba, Pemohon mendalilkan terjadinya kesalahan penghitungan suara.
Namun bukti-bukti yang ada tidak mendukung dalil permohonan Pemohon. Oleh
karena itu, berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK maka Mahkamah Konstitusi
menolak permohonan Pemohon.
4. Mengenai pemilihan umum Anggota DPRD untuk daerah pemilihan 1, Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Pemohon mendalilkan terjadinya kesalahan penghitungan suara
Partai Persatuan Daerah yang merugikan perolehan suara partai Pemohon. Namun
327 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
bukti-bukti yang ada tidak dapat dijadikan dasar untuk memperkuat dalil Pemohon.
Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU MK maka Mahkamah Konstitusi
menolak permohonan Pemohon.
Berdasarkan seluruh pendapat di atas, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak
permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
328 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
329 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 043/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU 2004 CALON ANGGOTA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH SUMATERA BARAT
Pemohon : Budi Putra.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten atau Kota Provinsi
Sumatera Barat.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum calon Anggota Dewan Perwakilan
Daerah.
Pokok Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum menyangkut Penghitungan
Ulang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Calon Anggota DPD
Sumatera Barat .
Amar Putusan : Menyatakan Permohonan Pemohon Tidak Dapat Diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : 29 Mei 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Peserta Pemilu
Tahun 2004 untuk Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera Barat nomor urut 16.
Pemohon mendalilkan telah terjadi pengurangan sebanyak 121 suara terhadap
Pemohon, selisih penghitungan terjadi antara KPUD Kabupaten Lima Puluh Kota
dan KPUD Provinsi Sumatera Barat. Rekapitulasi Suara Pemilu Tahun 2004 di KPUD
Kabupaten atau Kota di Provinsi Sumatera Barat (yang didasarkan atas kumpulan
dari rekapitulasi suara dari PPK-PPK di wilayah kerja dan tanggung jawab dari KPUD
Kabupaten/Kota yang bersangkutan), tanpa dilampiri barang bukti rekapitulasi dari PPS-
PPS maupun TPS-TPS dan tidak diumumkan kepada masyarakat wilayah Kabupaten
atau Kota yang diketahui oleh Panwaslu sebagai saksi selain saksi dari Parpol sebagai
peserta Pemilu, dan KIPP maupun LSM dunia sebagai pemantau. Hal tersebut terjadi
330 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pula pada Rekapitulasi Suara Pemilu Tahun 2004 di KPUD Provinsi (Sumatera Barat)
dan KPU (Pusat).
Mahkamah memeriksa dengan saksama terhadap bukti-bukti yang telah diajukan
Pemohon, Pemohon tidak memberikan bukti tertulis yang menyatakan dirinya mempunyai
kapasitas sebagai Calon Anggota DPD untuk Daerah Pemilihan Sumatera Barat
sebagaimana dimaksud Pasal 74 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.
Pemohon telah mengajukan permohonan penghitungan ulang rekapitulasi hasil
penghitungan suara anggota DPD Sumatera Barat dan permohonan tersebut hanya akan
dipertimbangkan jika berdasarkan bukti-bukti dan alasan yang sah Mahkamah Konstitusi
memandang perlu untuk dilakukan penghitungan ulang dari rekapitulasi. Pemohon
menyatakan telah terjadi pengurangan sebanyak 121 suara terhadap Pemohon, selisih
penghitungan antara KPUD Kabupaten Lima Puluh Kota dan KPUD Provinsi Sumatera
Barat, namun Pemohon tidak mengajukan permohonan perbaikan terhadap perolehan
suaranya sendiri. Kalaupun perolehan suara yang didalilkan Pemohon benar, jumlah
suara tersebut tidak akan mempengaruhi terpilihnya Pemohon sebagai anggota DPD
sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat Pemohon
tidak dapat membuktikan dalil permohonannya sehingga permohonan Pemohon tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
331 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 044/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU 2004
CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH
PROVINSI SUMATERA UTARA
Pemohon : Parlindungan Purba, S.H.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Pokok Perkara : Keberatan Pemohon terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum tahun 2004 untuk
daerah pemilihan Provinsi Sumatera Utara.
Amar Putusan : Menolak permohonan Pemohon.
Tanggal Putusan : Jumat, 18 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) peserta Pemilihan
Umum Tahun 2004 untuk daerah pemilihan Provinsi Sumatera Utara, yang terdaftar di
Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Nomor 6 Tahun 2004 tanggal 3 Februari 2004 tentang Penetapan Urutan Nama Calon
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Dalam Pemilihan Umum Tahun 2004 Setiap Provinsi
Seluruh lndonesia. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1), Pasal
74, dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(UU MK) jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan Pemohon termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Berkenaan dengan kedudukan hukum (legal standing), Pemohon adalah
perseorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta Pemilu. Dengan
demikian, sesuai dengan Pasal 74 ayat (1) huruf a UU MK, Pemohon mempunyai legal
332 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
standing dalam permohonannya.
Dalam permohonannya, Pemohon mengajukan keberatan terhadap Penetapan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 5 Mei 2004
tentang Hasil Pemilihan Umum Tahun 2004 secara nasional untuk daerah pemilihan
Sumatera Utara. Pemohon mendalilkan adanya kesalahan yang merugikan Pemohon
sehingga Pemohon tidak terpilih sebagai anggota DPD untuk daerah pemilihan Sumatera
Utara.
Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan
sebagai berikut :
mengabulkan permohonan Pemohon;
menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) untuk daerah pemilihan Provinsi Sumatera Utara;
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar untuk daerah pemilihan Provinsi
Sumatera Utara adalah sebagai berikut.
memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Melaksanakan
Putusan ini.
Mahkamah Konstitusi telah memeriksa bukti-bukti yang ada. Selanjutnya, Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa hasil penghitungan suara yang benar adalah sebagai
berikut.
Kabupaten/Kota
Calon Anggota DPD Sumatera Utara
Pemohon Pihak Terkait
Medan 31.540 58.166
Deli Serdang 23.453 45.943
Serdang Bedagai 10.229 10.409
Tebing Tinggi 1.676 1.047
Labuhan Batu 6.190 19.174
Asahan 4.756 12.755
333 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Tanjung Balai 729 1.195
Tapanuli Selatan 1.654 22.112
Padang Sidempuan 711 17.731
Mandailing Natal 711 24.827
Nias 30.820 30.820
Nias Selatan 11.317 6924
Tapanuli Tengah 8.126 900
Sibolga 864 543
Tapanuli Utara 7.973 338
Humbang Hasundutan 17.782 157
Toba Samosir 4.214 1.611
Samosir 14.182 439
Simalungun 38.448 7.765
Pematang Siantar 5.549 1.004
Karo 5.355 2.440
Dairi 10.905 2.627
Pakpak Bharat 193 467
Langkat 5.062 12.820
Binjai 2.782 11.259
TOTAL SUMATERA UTARA 245.221 277.649
Namun demikian, Mahkamah Konstitusi berpendapat perubahan suara di atas tidak
mempengaruhi peringkat Pemohon. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 77 ayat (4) UU
MK maka Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Pemohon.
334 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
335 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 045/PHPU.C1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU 2004
CALON ANGGOTA DPR DANDPRD PARTAI BULAN BINTANG
Pemohon : Prof. Dr.Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum Pusat.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Pokok Perkara : Keberatan terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2004.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Kamis, 17 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Permohonan Keberatan terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2004 diajukan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza
Mahendra, S.H., M.Sc., Ketua Umum Partai Bulan Bintang. Berdasarkan Pasal 24C ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1)
huruf d jo. Pasal 74, dan 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan
Pemohon termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Pemohon juga dinilai memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak
sebagai Pemohon berdasarkan bukti berupa Salinan Keputusan KPU Nomor 678 Tahun
2003 tentang Penetapan Partai Politik sebagai Peserta Pemilihan Umum Tahun 2004
bertanggal 7 Desember 2003, yang menunjukkan Pemohon adalah Partai Politik peserta
pemilihan umum tahun 2004.
Pemeriksaan Mahkamah terhadap Permohonan menunjukkan bahwa seharusnya
336 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
perolehan suara Pemohon untuk Daerah Pemilihan Banten II ditambah 12.380 suara,
sehingga menjadi 70.215 suara. Namun penambahan suara tersebut tidak mengubah
perolehan kursi bagi Pemohon, oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa
permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak.
Untuk penghitungan suara di Daerah Pemilihan Bekasi II, Mahkamah menilai
dalil Pemohon terbukti bahwa jumlah perolehan suara Pemohon yang benar di daerah
pemilihan sebagaimana tersebut di atas adalah 7.027 suara, bukan 6.172 suara. Dengan
demikian Pemohon mendapatkan 1 (satu) buah kursi di daerah pemilihan tersebut.
Pemohon juga mengajukan keberatan terhadap penghitungan suara di beberapa
daerah lain. Tetapi terhadap keberatan tersebut Mahkamah menyatakan permohonan
Pemohon ditolak karena Pemohon tidak dapat membuktikan dalilnya secara
meyakinkan.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian; membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/
KPU/TAHUN 2004, tanggal 5 Mei 2004 sepanjang menyangkut perolehan Partai Bulan
Bintang untuk Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten dari Daerah
Pemilihan Bekasi 2; menetapkan hasil penghitungan suara yang benar bagi Partai
Bulan Bintang untuk Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten dari Daerah
Pemilihan Bekasi 2 adalah 7.027 suara; menyatakan permohonan Pemohon sepanjang
menyangkut perolehan suara untuk Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Rembang dari Daerah Pemilihan Rembang 7 tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard); dan menolak permohonan Pemohon selebihnya.
337 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 046/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM
CALON ANGGOTA DPD PROVINSI DKI JAKARTA
Pemohon : KH. Drs. Saifuddin Amsir.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPD Provinsi DKI Jakarta.
Pokok Perkara : Penetapan hasil suara Pemilihan Umum Calon Anggota DPD
Provinsi Jawa Tengah yang benar dan Pembatalan atas penetapan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan
Umum Calon Anggota DPD Provinsi Jawa Tengah.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Selasa, 15 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon yang bernama KH. Drs. Saifuddin Amsir merupakan Calon Anggota DPD
DKI Jakarta No. 29. Pemohon mengajukan perkara perselisihan hasil pemilihan umum,
yakni permohonan penolakan terhadap hasil penghitungan suara KPU tahun 2004 untuk
daerah pemilihan Provinsi DKI Jakarta, dengan berdasarkan pada Berita Acara Hasil
Perolehan Suara Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD Provinsi DKI Jakarta tanggal
28 April 2004 yang diterbitkan oleh KPU Provinsi DKI Jakarta. Serta surat kepada Ketua
KPU Provinsi DKI Jakarta No. 026/TPK/IV/2004 tanggal 18 April 2004 perihal Pernyataan
Ketidaksetujuan terhadap Hasil Penghitungan Suara Caleg DPD DKI Provinsi DKI
Jakarta.
Pemohon mendalilkan bahwa proses awal pelaksanaan Pemilu 2004 bagi calon
anggota DPD dimulai dari pengumpulan fotokopi KTP. Dalam proses pengumpulan,
pemeriksaan kebenaran KTP dan pencocokan dengan pemegang KTP yang bersangkutan,
338 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
KPU DKI Jakarta sangat tidak transparan dan mengabaikan kejujuran. Adanya indikasi-
indikasi kecurangan dalam jumlah KTP, sedangkan pihak KPU tidak pernah transparan
memberikan bukti-bukti kesalahan atau kekurangan tersebut. Di samping itu, pada
tahap penghitungan suara hasil Pemilu 2004, Tim Pencari Data Pemohon menemukan
indikasi kecurangan-kecurangan yang dilakukan dengan kesalahan-kesalahan yang
berunsur kesengajaan, yakni adanya selisih penghitungan suara antara penghitungan
KPU dan penghitungan Tim Pemohon, adanya selisih antara penghitungan KPU dengan
penghitungan PPK. Selisih dimana suara Pemohon dikurangi adalah di Kecamatan
Cempaka Putih (minus 2), Kemayoran (minus 303), Sementara anggota DPD lainnya
diuntungkan seperti di Kecamatan Cideng (Marwan Batubara plus 60), Kecamatan Duri
Pulo (Biem T. Benyamin plus 194) dan Kecamatan Petojo Utara (Sarwono plus 20).
Pemohon juga mendalilkan bahwa KPU tidak serius menangani perbedaan-
perbedaan angka perolehan suara dengan menyodorkan hasil-hasil dari TPS, kelurahan
dan kecamatan. Data hasil penghitungan suara di TPS-TPS, kelurahan dan kecamatan
semuanya dalam kekuasaan KPU, dan tidak dapat diperoleh oleh para peserta Pemilu
dengan mudah. KPU sebagai instansi yang ditunjuk untuk melaksanakan Pemilu 2004
telah tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan jujur, serta terdapat kecurangan-
kecurangan yang disengaja dan tidak transparan dalam penentuan hasil pemungutan
suara, dan tidak berusaha untuk menemukan kebenaran dari perbedaan-perbedaan data
yang ada.
Oleh karena itu, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk
membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU karena adanya
selisih data; menugaskan KPU untuk mencari data yang akurat dari TPS-TPS untuk
penghitungan ulang karena mencari data yang akurat adalah tugas KPU yang diberikan
tugas untuk melaksanakan pemilihan umum yang jujur, dan mengambil tindakan
hukum terhadap kecurangan-kecurangan yang telah dilakukan oleh KPU yang secara
diskriminatif telah menguntungkan caleg-caleg tertentu dan merugikan caleg-caleg lain.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 1 ayat (1) huruf d jo. Pasal 74
dan 75 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut UU MK) jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, bahwa permohonan
Pemohon termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada Rabu, 26 Mei 2004, Pemohon telah
diberitahukan dan telah dipanggil secara sah dan patut untuk hadir dalam persidangan.
Namun, pada hari persidangan tersebut, Pemohon atau kuasanya tidak hadir menghadap
persidangan dan tidak menyampaikan alasan ketidak hadirannya kepada Majelis Hakim.
Atas ketidakhadiran Pemohon, Majelis menetapkan untuk menunda persidangan pada
hari Selasa tanggal 1 Juni 2004, yang telah diberitahukan secara patut oleh Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi.
339 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Setelah Pemohon dipanggil dengan patut akan tetapi Pemohon tidak hadir, dan
ketidakhadiran Pemohon tidak berdasarkan alasan yang sah secara hukum, maka
Majelis menganggap Pemohon tidak bersungguh-sungguh dengan permohonannya.
Oleh karena itu, Majelis menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
340 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
341 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA 047/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004
CALON ANGGOTA DPD PROVINSI SUMATERA SELATAN
Pemohon : Drs. KH. Thohlon Abd Rauuf.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sematera Selatan.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Daerah.
Pokok Perkara : 1. Penetapan hasil suara Pemilihan Umum Calon Anggota DPD
Provinsi Sumatera Selatan yang benar.
2. Pembatalan atas Penetapan Hasil Penghitungan Suara yang
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Calon Anggota DPD
Provinsi Sumatera Selatan.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan : Selasa, 1 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Drs. KH. Thohlon Abd Rauf, adalah perorangan warga negara Indonesia yang
merupakan calon anggota DPD peserta Pemilihan Umum Tahun 2004 untuk Daerah
Pemilihan Provinsi Sumatera Selatan yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU)
berdasarkan Penetapan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 174/CDPD/KPU-PT.SS/
XI/2003, bertanggal 13 November 2003, tentang Penetapan Calon Anggota DPD Provinsi
Sumatera Selatan untuk Pemilihan Umum tahun 2004. Undian nomor urut untuk di Surat
Suara Pemilu ialah Nomor 31 (S.K. No: 209/CDPD/KPU-PT.SS/XII/2003, bertanggal 12
Desember 2003.
Pemohon mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Sumatera Selatan kepada
Mahkamah Konstitusi. Dalam permohonannya, Pemohon menolak hasil penghitungan
suara Pemilihan Umum Calon Anggota DPD Provinsi Sumatera Selatan yang telah
342 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Selatan. Drs. KH. Thohlon
Abd Rauf, Calon Anggota DPD No. 31, menilai terjadi kekeliruan dalam hasil penetapan
KPU Provinsi Sumatera Selatan. Sehingga Pemohon tidak terpilih untuk menjadi Anggota
DPD Provinsi Sumatera Selatan.
Berdasarkan Berita Acara Hasil Rekapitulasi Hasil Suara Provinsi Sumatera
Selatan untuk Pemilihan Umum Anggota DPD pada Senin, 27 April 2004 terdapat selisih
penghitungan suara Pemilihan Umum Calon DPD Provinsi Sumatera Selatan di 7 (tujuh)
TPS. Sejumlah 114 (seratus empat belas) suara di tipp-ex, yakni di Kecamatan Kata Kayu
Agung, Kabupaten OKI, Provinsi Sumatera Selatan, sehingga menyebabkan perolehan
suara anggota DPD Pemohon merasa berkurang sebanyak 114 suara.
Menurut Mahkamah, Perselisihan Hasil Pemilihan Umum adalah kewenangan
Mahkamah sebagaimana terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10
ayat (1) huruf d jo. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Mahkamah juga menilai Pemohon, sebagai perorangan warga negara Indonesia,
yang merupakan Calon Anggota DPD peserta Pemilihan Umum tahun 2004 untuk
Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera Selatan, memenuhi syarat kedudukan hukum (legal
standing) sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah menyatakan, meskipun Pemohon mendalilkan telah terjadi kesalahan
penghitungan suara, namun hal tersebut tidak mempengaruhi terpilihnya Pemohon
sebagai calon anggota DPD. Serta, dalil tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti otentik
sebagaimana yang ditentukan undang-undang.
Mahkamah menyatakan bahwa, seandainya ada dugaan kesalahan ataupun
manipulasi yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu di Provinsi Sumatera Selatan,
maka menurut Pasal 127 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum, Pemohon dapat melaporkannya kepada Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Selanjutnya dapat diselesaikan oleh Panwaslu. Sedangkan yang mengandung unsur
pidana, diteruskan kepada Penyidik; sementara yang bersifat administratif diteruskan
kepada KPU. Dengan demikian, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak
dapat diterima.
343 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 048/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU 2004
CALON ANGGOTA DPD PROVINSI SULAWESI SELATAN
Pemohon : Arman Arfah, S.E.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Daerah.
Pokok Perkara : 1. Pembatalan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Daerah Pemilihan
Provinsi Sulawesi Selatan;
2. Penghitungan ulang untuk Daerah Pemilihan kota Makasar
dan Jeneponto;
3. Pemilihan ulang untuk daerah yang tingkat kecurangannya
dilakukan secara sistimatis.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Selasa, 1 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Arman Arfah, S.E., calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah di
Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Selatan dengan Nomor Urut Calon 20 berdasarkan
Penetapan KPU No. 06 Tahun 2004 tanggal 3 Februari 2004 tentang Penetapan Nomor
Urut Calon Anggota DPD Provinsi Sulawesi Selatan.
Pemohon menganggap terdapat kesalahan dalam Penetapan KPU Nomor 44 Tahun
2004 tentang Hasil Pemilihan Umum secara Nasional untuk Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan, yang mengakibatkan pengurangan suara Pemohon di beberapa daerah.
Sehingga mengakibatkan kerugian Pemohon, menjadi tidak terpilih sebagai angota DPD
Provinsi Sulawesi Selatan karena berada pada urutan ke 5 (lima).
344 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon mohon kepada Mahkamah
Konstitusi RI untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU
untuk Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Selatan; melakukan penghitungan ulang
untuk Daerah Pemilihan Kota Makasar dan Jeneponto; melakukan pemilihan ulang
untuk daerah yang tingkat kecurangannya dilakukan secara sistimatis hingga hilangnya
beberapa data dari TPS (yaitu Kabupaten Takalar untuk seluruh Kecamatan; Kabupaten
Bone untuk 5 Kecamatan; Kabupaten Tator untuk seluruh Kecamatan; dan Kabupaten
Jeneponto untuk seluruh Kecamatan).
Pada hari persidangan yang telah ditentukan, 26 Mei 2004, Pemohon atau
Kuasanya tidak hadir tanpa alasan yang dapat diterima, sehingga perkara a quo tidak
perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
Mahkamah menilai ketidakhadiran Pemohon atau Kuasanya di depan persidangan
menunjukkan bahwa Pemohon tidak bersungguh-sungguh dengan permohonannya,
dengan demikian permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
345 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 049/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILU 2004
CALON ANGGOTA DPD PROVINSI SULAWESI SELATAN
Pemohon : Nurhayati Aziz, S.E., M. Si.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum Pusat
Jenis Perkara : Permohonan Keberatan terhadap Keputusan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2004.
Pokok Perkara : 1. Menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Daerah
Pemilihan Provinsi Sulawesi Selatan.
2. Melakukan penghitungan ulang untuk daerah pemilihan Kota
Makasar dan Takalar.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Sabtu, tanggal 29 Mei 2004
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Nurhayati Aziz, S.E., M.Si., calon Anggota Dewan Perwakilan
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan yang terdaftar di KPU berdasarkan Penetapan KPU
Nomor 06 Tahun 2004 tanggal 3 Februari 2004 tentang Penetapan Nomor Urutan Calon
Anggota DPD Provinsi Sulawesi Selatan Nomor Urut Calon 6. Menurut Pemohon, terdapat
kesalahan dalam hasil penghitungan suara sehingga mengakibatkan kerugian berupa
tidak terpilihnya Pemohon sebagai Anggota DPD untuk Daerah Pemilihan Sulawesi
Selatan.
Kesalahan penghitungan suara, menurut Pemohon, terlihat dari hasil rekapitulasi
penghitungan suara di tingkat TPS yang tidak sesuai dengan rekapitulasi akhir
346 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
KPU. Di Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, berdasar hasil rekapitulasi
Panwaslu, Pemohon mendapat 1.362 suara. Sementara rekapitulasi dari KPU Kabupaten
untuk Kecamatan Mangarabombang hanya menunjukkan 60 suara.
Mark up suara, khususnya di Kabupaten Takalar, dilakukan terhadap calon anggota
DPD nomor urut 4, yaitu Rusdin Abdullah. Perolehan suara yang didapatkan Rusdin
Abdullah di Kabupaten Takalar menunjukkan jumlah 11.369 suara, berubah menjadi
41.953 suara.
Suara Pemohon hilang di beberapa daerah Pemilihan, yaitu sejumlah: (i) Daerah
Pemilihan Kabupaten Takalar sebanyak 2.646 suara; (ii) Daerah Pemilihan Gowa
sebanyak 181 suara; (iii) Daerah Pemilihan Kabupaten Jeneponto sebanyak 1.228
suara; (iv) Daerah Pemilihan Kota Makasar sebanyak 5.094 suara. Total suara yang
hilang sebanyak 11.068 suara. Kerugian yang dialami Pemohon karena hilangnya suara
adalah tidak terpilihnya Pemohon sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
untuk Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Selatan.
Pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar membatalkan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk
Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Selatan; dan melakukan penghitungan ulang untuk
daerah pemilihan Kota Makasar dan Takalar.
Terhadap permohonan dimaksud, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo.
Pasal 10 ayat (1) huruf d jo. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Mahkamah berpendapat bahwa
permohonan termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah juga menilai
Pemohon memiliki kapasitas sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 74 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan telah kehilangan perolehan suara di
daerah pemilihan (i) Kabupaten Takalar, (ii) Kabupaten Gowa, (iii) Kabupaten Jeneponto,
(iv) Kota Makasar, (v) Kabupaten Maros, (vi) Sinjai, (vii) Pinrang, (viii) Polmas, (ix) Sidrap,
(x) Wajo, (xi) Luwu, dan (xii) Mamasa, akibat mark up suara, khususnya di Kabupaten
Takalar pada calon anggota DPD No. 4.
Akan tetapi terhadap proses hasil penghitungan suara ternyata Pemohon
tidak mengajukan keberatan sesuai dengan jenjang penghitungan suara. Sehingga
permohonan ini tidak memenuhi ketentuan Pasal 96 ayat (8), Pasal 97 ayat (3), Pasal 98
ayat (3), Pasal 99 ayat (5), Pasal 100 ayat (5), dan Pasal 101 ayat (6) Undang-Undang
No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD.
Keberatan Pemohon atas penghitungan suara hasil pemilihan umum tersebut belum
dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku, yaitu harus berdasarkan putusan rapat
pleno KPU, yang disertai dengan Berita Acara dan Sertikat Penghitungan suara setelah
melalui pembetulan seketika pada saat keberatan diterima oleh KPU. Hal ini diatur Pasal
347 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
98 ayat (4) dan pasal 99 ayat 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu.
Mahkamah berpendapat bahwa permohonan hanya dapat diajukan terhadap
penetapan hasil Pemilihan Umum yang dilakukan secara nasional oleh KPU, yang
mempengaruhi terpilihnya calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seperti
diatur dalam Pasal 74 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004 tentang
Pemilu. Namun demikian bahwa kesalahan penghitungan suara oleh KPU berdasarkan
penetapan hasil Pemilu yang dilakukan secara nasional oleh KPU, yang diumumkan pada
Rabu, 5 Mei 2004, pukul 13.55 WIB, ternyata tidak mempengaruhi terpilihnya Pemohon
sebagai anggota DPD Provinsi Sulawesi Selatan.
Andai pun Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon, penghitungan suara
yang benar menurut Pemohon tidak akan mempengaruhi urutan/ranking Pemohon.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan berdasarkan ketentuan
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, maka Mahkamah menyatakan
bahwa permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
348 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
349 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 050/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004
CALON ANGGOTA DPD PROVINSI BENGKULU
Pemohon : M. Syamlan, Lc.
Termohon : KPU Provinsi Bengkulu
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD.
Pokok Perkara : Keberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum Nomor:
44/SK/KPU/2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah pada Pemilihan Umum Tahun 2004
secara nasional, khususnya mengenai Anggota Dewan Perwakilan
Daerah untuk Daerah Pemilihan Provinsi Bengkulu.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Sabtu, tanggal 29 Mei 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mengajukan keberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Nomor 44/SK/KPU/Tahun 2004 untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Daerah
Pemilihan Provinsi Bengkulu. Pemohon mengajukan keberatan sebab hasil penghitungan
dalam ketetapan tersebut berbeda dengan data perolehan suara calon anggota DPD
yang dimuat dalam Berita Acara Penghitungan Suara KPU Provinsi Bengkulu untuk
Pemilihan Umum Anggota DPD.
Permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah permohonan penyelesaian
perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPD Daerah Pemilihan Provinsi
Bengkulu. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat
350 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(1) huruf d UU MK jo. Pasal 74 UU MK jo. Pasal 75 UU MK jo. Pasal 134 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
(UU Pemilu), maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus permohonan a quo.
Berdasar Pasal 74 ayat (1) huruf a UU MK yang dimaksud Pemohon adalah
perorangan warga negara Indonesia calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta
pemilihan umum. Dalam permohonan ini Pemohon mendalilkan dirinya sebagai
perseorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD daerah pemilihan Provinsi
Bengkulu. Dengan demikian, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
KPU Provinsi Bengkulu menetapkan bahwa perolehan suara Pemohon adalah 41.657
suara, dimana Pemohon menempati peringkat ke 5 dari 18 calon. Adapun berdasar data
perolehan suara calon anggota DPD yang ditetapkan KPU Provinsi Bengkulu melalui
Berita Acara Penghitungan Suara KPU Provinsi Bengkulu untuk Pemilihan Umum
Anggota DPD, Pemohon memperoleh 55.925 suara atau menempati peringkat ke 5 dari
18 calon. Perbedaan penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU Pusat dengan yang
dimuat dalam Berita Acara Penghitungan Suara KPU Provinsi Bengkulu ini menimbulkan
keyakinan dalam diri Pemohon bahwa terdapat 14.268 suara untuk Pemohon dari Kota
Bengkulu yang tak ikut dihitung oleh KPU Pusat sehingga total suara yang diperoleh
Pemohon seharusnya 56.084 suara dan Pemohon menempati peringkat ke 4 dari 18
calon.
Selisih hasil penghitungan suara antara jumlah perolehan suara untuk Pemohon
yang ditetapkan oleh KPU Pusat dengan jumlah perolehan suara untuk Pemohon
yang dimuat dalam Berita Acata Penghitungan Suara KPU Povinsi Bengkulu ini
menyebabkan kerugian pada Pemohon berupa kehilangan kursi sebagai Anggota DPD
Provinsi Bengkulu sebab yang dipergunakan dan berlaku adalah hasil penghitungan
suara yang ditetapkan KPU dalam Penetapan KPU Nomor: 44/SK/KPU/Tahun 2004 dan
diumumkan secara nasional.
Atas perbedaan hasil penghitungan suara untuk pemilihan umum anggota DPD untuk
daerah pemilihan Provinsi Bengkulu tersebut, Pemohon menyatakan bahwa pihaknya
telah mengajukan keberatan di tingkat PPK Gading Cempaka Kota Bengkulu, di tingkat
KPU Kota Bengkulu, dan di tingkat KPU Provinsi Bengkulu.
Dra. Eni Khairani, M.Si., sebagai pihak terkait dalam permohonan ini mengajukan
keberatan terhadap permohonan yang diajukan oleh Pemohon. Keberatan diajukan
sebab apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka keputusan Mahkamah tersebut
akan merugikan posisi Dra. Eni Khairani, M.Si. sebagai Calon Anggota DPD Provinsi
Bengkulu yang menempati peringkat ke 4 dari 18 calon. Pada pokoknya, pihak terkait
memohon kepada Mahkamah untuk menolak semua permohonan yang diajukan
Pemohon dan menguatkan Penetapan Hasil Pemilu 2004 oleh KPU, serta menyatakan
351 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
bahwa terhadap rekapitulasi penghitungan suara untuk Anggota DPD Provinsi Bengkulu
di semua tingkatan, Pemohon belum pernah mengajukan keberatan kepada PPS, PPK,
KPU Kabupaten, KPU Provinsi dan KPU.
Berdasar alat-alat bukti yang diajukan oleh Pemohon maupun fakta-fakta di
persidangan, Pemohon tidak terbukti telah mengajukan keberatan di tingkat PPS maupun
PPK kecuali yang menyangkut PPS Belakang Pondok Kecamatan Gading Cempaka,
sehingga oleh karenanya Mahkamah hanya akan mempertimbangkan perbedaan
penghitungan suara PPK Gading Cempaka yang berbeda dengan rekapitulasi PPS
Belakang Pondok.
Perolehan suara pihak terkait Dra. Eni Khairani, M.Si. di PPK Lubuk Pinang,
Kabupaten Mukomuko mendapat tambahan 50 suara, karena adanya kesalahan
pengetikan yang telah diperbaiki oleh KPU Kabupaten Mukomuko. Namun jumlah
perolehan suara pihak terkait setelah kesalahan pengetikan tersebut diperbaiki tetap di
atas perolehan suara Pemohon, oleh karenanya tidak mengubah posisi perolehan suara
Pemohon untuk terpilihnya menjadi Anggota DPD Provinsi Bengkulu.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
352 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
353 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 051/PHPU.A-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004
CALON ANGGOTA DPD PROVINSI JAWA BARAT
Pemohon : Drs. Walid Syaikhun.
Termohon : KPU Provinsi Jawa Barat.
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum DPD Provinsi Jawa Barat.
Pokok Perkara : Keberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum Nomor
44/SK/KPU/2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah pada Pemilihan Umum Tahun 2004
secara nasional, khususnya mengenai Anggota Dewan Perwakilan
Daerah untuk Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Barat.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Sabtu, tanggal 29 Mei 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mengajukan keberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Nomor 44/SK/KPU/2004 tentang Hasil Penghitungan Suara Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
pada Pemilihan Umum Tahun 2004 secara nasional, khususnya mengenai Anggota Dewan
Perwakilan Daerah untuk Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Barat. Pemohon mengajukan
keberatan sebab dalam rapat pleno KPU Pusat menyatakan perolehan suara Calon
Anggota Jawa Barat Walid Syaikhun sebesar 906.483 suara. Atas hasil penghitungan
tersebut, Pemohon menyatakan telah terjadi kesalahan ketika KPU Provinsi Jawa Barat
membuat Daftar Laporan Sementara Perolehan Suara Sah DPD Provinsi Jawa Barat,
dan ketika membuat Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Daerah Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Barat yang menjadi acuan dalam
354 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Rapat Pleno KPU Provinsi Jawa Barat. Menurut Pemohon, berdasar data yang diperoleh
dari tim IT KPU Pusat, pihaknya menghitung bahwa Pemohon seharusnya memperoleh
1.240.379 suara. Akibat dari kesalahan penghitungan perolehan suara tersebut maka
Pemohon menderita kerugian berupa kehilangan kursi sebagai anggota DPD Provinsi
Jawa Barat.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi menyatakan
membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) untuk daerah pemilihan Provinsi Jawa Barat, serta menetapkan perolehan suara
sah untuk peserta Walid Syaikhun sebesar 1.240.379, atau melakukan penghitungan
ulang secara jujur dan transparan dengan menyertakan data-data autentik dari setiap
PPS dan PPK di seluruh Jawa Barat.
Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia dan calon anggota DPD
daerah pemilihan Provinsi Jawa Barat yang hak konstitusionalnya dirugikan dengan
adanya Penetapan KPU Nomor: 44/SK/KPU/Tahun 2004. Berdasarkan ketentuan Pasal
74 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(UU MK) yang menyebutkan Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia calon
Anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum, maka Drs. Walid Syaikhun
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon di dalam
permohonan a quo.
Pasal 10 ayat (1) huruf d UU MK menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang,
antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal
untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Adapun Pasal 134 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
(UU Pemilu) yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi perselisihan tentang hasil Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, diperiksa dan diputuskan untuk tingkat pertama
dan terakhir oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, berdasar ketentuan Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf d UU MK jo. Pasal 134 UU Pemilu, Majelis
Hakim berpendapat bahwa permohonan Pemohon termasuk kewenangan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia.
Berdasar keterangan tertulis yang dikemukakan oleh KPU, dinyatakan bahwa data
tim IT KPU adalah penghitungan sementara dan tidak dapat dijadikan data rujukan
ataupun acuan bagi Pemohon untuk menyatakan hasil penghitungan yang benar karena
penghitungan yang resmi oleh KPU berdasarkan penghitungan manual. Apalagi bukti
yang diajukan oleh Pemohon di persidangan adalah print out data tim IT KPU yang tidak
bertanggal, tidak bertanda tangan, dan tidak bercap, sehingga data tersebut masih ada
kemungkinan untuk terus berubah-ubah jumlah suaranya.
KPU juga menyebutkan bahwa Pemohon tidak melakukan keberatan penghitungan
suara sebelum sidang Pleno KPUD, keberatan yang diajukan di luar forum rapat Pleno
sebagaimana yang dilakukan Pemohon, adalah tidak sah menurut hukum, seperti diatur
355 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dalam Pasal 99 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
(UU Pemilu).
Berdasar Pasal 96 ayat (8), Pasal 97 ayat (3), Pasal 98 ayat (3), Pasal 99 ayat
(5), Pasal 100 ayat (5), dan Pasal 101 ayat (6) UU Pemilu, peserta Pemilu dan warga
masyarakat melalui saksi peserta Pemilu yang hadir dapat mengajukan keberatan
terhadap jalannya dan hasil penghitungan suara di TPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/
Kota, KPU Provinsi, dan KPU apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pada kasus ini Pemohon tidak terbukti menyatakan
keberatan pada setiap tahapan penyelenggaraan penghitungan suara, ini terbukti
dengan tidak dapat diperlihatkannya bukti keberatan penghitungan suara model DA I,
II secara berjenjang serta Berita Acara dan Sertikat penghitungan suara yang benar
menurut Pemohon.
Dalam hal Pemohon mengajukan keberatan penghitungan suara setelah pentahapan
penyelenggaraan Pemilu selesai, ini bertentangan dengan UU Pemilu serta peraturan
pelaksanaannya. Artinya, menurut hukum proses penghitungan suara dianggap sama
sekali tidak ada perkara atau perselisihan Pemilu.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
356 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
357 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 052/PHPU.C.1-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004
CALON ANGGOTA DPR DAN DPRD
PARTAI PERSATUAN DEMOKRASI KEBANGSAAN
Pemohon : 1. Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, MA.; 2. Rivai Pulungan, Dipl. Ing.
Termohon : Komisi Pemilhan Umum (KPU).
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD
Kabupaten Kerom I, Provinsi Papua.
Pokok Perkara : Pembatalan hasil penghitungan suara Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD dan DPRD tahun 2004-2009 secara nasional untuk
Daerah Pemilihan Kabupaten Kerom I Provinsi Papua.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Senin, 14 Juni 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Daerah
Pemilihan Kabupaten Kerom I Provinsi Papua. Pemohon yang berkedudukan sebagai
Presiden dan Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, merasa
keberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 44/SK/KPU/Thn
2004, tanggal 5 Mei 2004, tentang hasil penghitungan suara Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD tahun 2004-2009 secara nasional untuk Daerah Pemilihan
Kabupaten Kerom I Provinsi Papua yang hasil penghitungannya menyatakan jumlah
Penghitungan suara Partai Bintang Reformasi (PBR) sebesar 405 suara, dan jumlah
perolehan suara Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK) sebesar 393 suara.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk membatalkan
Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 44/SK/KPU/Thn 2004, tanggal 05 Mei
358 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
2004, tentang hasil penghitungan suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD tahun 2004 2009 secara nasional untuk Daerah Pemilihan Kabupaten Kerom I
Provinsi Papua. Atas dasar tersebut, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar yakni hasil penghitungan suara Partai
Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK) sebesar 366 suara.
Pemohon berpendapat bahwa hasil penghitungan suara secara nasional untuk
Daerah Pemilihan Kabupaten Kerom I Provinsi Papua terdapat kesalahan, sehingga
merugikan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan yang mengakibatkan perolehan
jumlah kursi Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan berkurang untuk Daerah Pemilihan
Kabupaten Kerom I Provinsi Papua.
Mahkamah mendasarkan penilaian pada pengumuman penetapan hasil Pemilu
secara nasional dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu, 5 Mei 2004
pukul 13.55 WIB. Sementara itu, Pemohon mengajukan permohonannya melalui faksimili
pada hari Sabtu tanggal 8 Mei 2004 pukul 14.02 WIB dan berkas asli permohonan
Pemohon diajukan pada Selasa, 11 Mei 2004 pukul 18.00 WIB. Oleh karena itu
Mahkamah berpendapat permohonan tersebut telah melewati tenggang waktu 3x24
(tiga kali dua puluh empat) pengajuan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum,
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 74 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Sesuai dengan ketentuan Pasal 77 ayat (1) UU
MK, yang menjelaskan bahwa dalam hal Mahkamah berpendapat Pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1),
maka Mahkamah menyatakan bahwa permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
359 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 053/PUU-II/2004
TENTANG
PEMBERIAN HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH
Pemohon : Marto Sumartono.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pokok Perkara : 1. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
mengenai pencantuman hak pengelolaan sebagai hak atas
tanah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 mengenai demokrasi ekonomi dan
kepastian hukum.
2. Pasal 2 ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 20 tahun
2000 mengani pencantuman hak pengelolaan sebagai hak
atas tanah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 mengenai demokrasi ekonomi dan
kepastian hukum.
3. Pasal 24 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
mengenai setoran BPHTP sebelum penerbitan SK bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (4) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945
mengenai demokrasi ekonomi dan kepastian hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Jumat 17 Desember 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Marto Sumartono bertindak untuk dan atas nama Direktur Utama
PT. Mustika Lodan yang bergerak di bidang pengembang, merasa hak konstitusionalnya
dirugikan sehubungan dengan berlakunya beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor
360 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
20 Tahun 2000.
Pemohon mengajukan permohonan agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal
1 ayat (3), Pasal 2 ayat (3) huruf f, dan Pasal 24 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon mendalilkan bahwa status HGB di atas HPL tidak sama dengan status HGB
sebagai kelanjutan dari pelepasan hak (kode BPHTB No. 21) dan HGB diluar pelepasan
hak (kode BPHTB No. 22) karena mempunyai substansi yang berbeda, yaitu hak perdata
dengan hak pemanfaatan. Kewenangan pemegang HGB di atas HPL tidak dapat secara
penuh sehingga tidak adil mempersamakan HGB di atas HPL dengan HGB di atas tanah
Negara karena tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat (4) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
oleh karena Status HGB di atas HPL tidak sama dengan status HGB sebagai kelanjutan
dari pelepasan hak dan HGB diluar pelepasan hak yang mempunyai substansi yang
berbeda, yaitu hak perdata dengan hak pemanfaatan.Status HGB di atas HPL tidak diatur
dalam UU Nomor 20 Tahun 2000, karena tidak mempunyai kode pengenaan BPHTB,
sehingga tidak termasuk objek pajak BPHTB.
Pemohon mendalilkan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 24
ayat (2a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 sangat tidak mencerminkan keadilan
dan kepastian hukum yang jelas-jelas telah menimbulkan kerugian konstitusional serta
tidak sesuai dengan perlindungan Hak Asasi Manusia Pemohon sebagaimana dijamin
oleh UUD 1945.
Pemohon mendalilkan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 2 ayat (3) huruf f Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000 yang mengatur tentang pencantuman Hak Pengelolaan sebagai
hak atas tanah tidak adil karena hak tersebut telah diatur secara jelas dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA),
dan kemudian dalam pemberian HGB di atas HPL bukan berdasarkan SK pemberian hak
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000.
Pemohon mendalilkan pencantuman hak pengelolaan sebagai hak atas tanah
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 2 ayat (3) huruf f Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2000 adalah tidak adil dan tidak esien yang menjadikan para
pengusaha pengembang termasuk Pemohon merasa tidak adanya keadilan disebabkan
tidak adanya kepastian hukum serta menimbulkan biaya ekonomi yang sangat tinggi,
karena tentang hak atas tanah telah diatur secara jelas dalam UU PA dan bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (4) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon mendalilkan status HGB di atas HPL tidak berdiri sendiri, kewenangan
pemegang HGB di atas HPL tidak penuh, HGB di atas HPL merupakan hak terkekang,
karena menumpang di atas HPL adalah tidak adil mempersamakan HGB di atas HPL
dengan HGB di atas tanah Negara karena tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat (4) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon mendalikan dengan adanya kontradiksi antara Pasal 9 ayat (1) huruf j
361 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dan k dengan Pasal 24 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 mengakibatkan
tidak adanya kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah berpendapat undang-undang yang dimohonkan untuk diuji adalah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang diundangkan
tanggal 2 Agustus 2000, terlepas dari perbedaan pendapat Hakim Konstitusi mengenai
Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah berwenang untuk memeriksa permohonan
a quo.
Mahkamah berpendapat bahwa sesuai dalil Pemohon dalam permohonannya
yang menyatakan sebagai Direktur Utama PT. Mustika Lodan yang bergerak di bidang
Pengembangan yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya
pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000. Dengan demikian Pemohon
mempunyai kedudukan (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.
Mahkamah berpendapat dengan adanya hak pengelolaan dalam hukum nasional
tertuang dalam Penjelasan Umum II (dua) UU PA yang mengatur mengenai hak-hak
atas tanah dapat diberikan oleh Negara kepada seorang atau badan hukum, sepanjang
diatur diatur dalam Pasal 28 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1975, serta
tata cara permohonan dan penyelesaian pemberian hak atas bagian-bagian tanah hak
pengelolaan serta pendaftarannya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1977.
Mahkamah berpendapat bahwa perolehan hak pengelolaan menjadi objek pajak
seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1977 tentang BPHTB
yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 adalah wajar dimana dalam
pelaksanaannya, apabila instansi pemegang Hak Pengelolaan kemudian menggunakan
kewenangannya untuk menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga
dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga dalam pengelolaan tanah, maka pihak ketiga
dikenakan BPHTB karena pihak ketiga tersebut telah menerima kenikmatan manfaat dari
tanah yang digunakannya.
Mahkamah berpendapat bahwa Hak Pengelolaan bukan Hak Atas Tanah yang
murni, melainkan merupakan gempilan hak menguasai dari Negara dan oleh karena itu
selain mengandung kewenangan untuk menggunakan tanah bagi keperluan usahanya
juga diberi kewenangan untuk melaksanakan kegiatan yang merupakan sebagian dari
kewenangan Negara.
Mahkamah berpendapat terhadap pemberian HGB di atas HPL tetap dilakukan
dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau yang ditunjuk berdasarkan usul
pemegang Hak Pengelolaan (sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 1977).
Mahkamah berpendapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20
362 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Tahun 2000 disebutkan bahwa perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang BPHTB dimaksudkan untuk lebih memberi kepastian hukum dan keadilan bagi
masyarakat pelaku ekonomi untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan
sesuai dengan kewajibannya, hingga perlu memperluas cakupan objek pajak untuk
mengantisipasi terjadinya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dalam bentuk
dan terminologi yang baru.
Mahkamah berpendapat Pasal 9 ayat (1) huruf j pemberian hak baru atas tanah
sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan
diterbitkannya Surat Keputusan pemberian hak, dan huruf k pemberian hak baru di luar
pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan
pemberian hak adalah kontradiksi dengan Pasal 24 ayat (2a) Undang-Undang a quo
yang berbunyi, Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat
keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan
surat keputusan dimaksud pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak
berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Mahkamah berpendapat bahwa pencatuman atau pemberian syarat atas
diterbitkannya Surat Keputusan (beschikking) dibenarkan oleh hukum administrasi
negara. Dengan demikian pasal a quo tidak saling bertentangan yang menimbulkan tidak
adanya kepastian hukum dan tidak adanya keadilan sehingga Mahkamah berpendapat
bahwa pasal-pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah berpendapat pasal-pasal a quo tidak terbukti bertentangan dengan
Pasal-pasal 28A sampai dengan 28J UUD 1945. Apabila Pemohon merasa keberatan
atas ketentuan pajak yang harus dibayar, sesuai bunyi Pasal 18 Undang-Undang a quo,
Pemohon dapat mengajukan ke badan peradilan pajak, bahkan dalam kondisi tertentu
atas permohonan wajib pajak dengan Keputusan Menteri dapat dilakukan pengurangan
pajak terutang sesuai Pasal 20 Undang-Undang a quo, berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut di atas Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak dapat
membuktikan dalil permohonannya dengan meyakinkan sesuai ketentuan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003, sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan
ditolak.
363 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 054/PUU-II/2004
TENTANG
CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PERSEORANGAN
Pemohon : 1. Yislam Alwini; 2. Berar Fathia; 3. Tatang Isalhansyah WD, dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pokok Perkara : a. Pengujian formil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
b. Pengujian materiil Pasal 1 ayat (6), Pasal 5 ayat (1), (2), (3),
dan (4), Pasal 6 huruf I dan Pasal 6 huruf r serta Pasal 25
UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan
seluruh pembukaan, Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan
ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28J ayat (1)
UUD 1945 mengenai hak untuk diperlakukan sama dan tidak
diskriminasi.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Rabu 6 Oktober 2004.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil UU Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden karena tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan UUD 1945 dan pengujian materiil Pasal 1 ayat (6), Pasal 5 ayat (1), (2), (3)
dan (4), Pasal 6 huruf I dan Pasal 6 huruf r, serta Pasal 25 UU Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden bertentangan dengan seluruh pembukaan, Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1)
dan ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2),
Pasal 28I ayat (2), Pasal 28J ayat (1) UUD 1945.
364 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Para Pemohon, Yislam Alwini dkk. merasa sangat dirugikan hak konstitusionalnya
atas berlakunya UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang telah dijadikan alasan
oleh Komisi Pemilihan Umum Pusat untuk menolak memproses lebih lanjut pendaftaran
Pemohon sebagai Calon Presiden dan atau Calon Wakil Presiden pada Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004.
Pemohon mendalikan bahwa:
1. UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak mendasarkan kepada seluruh
pembukaan UUD 1945 tetapi hanya mendasarkan pada alinea keempat pembukaan
UUD 1945. (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 pada I Umum I Dasar Pemikiran
alinea I).
2. UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak mencerminkan asas tujuan nasional,
karena tidak mendasarkan pada alinea ke dua UUD 1945. Padahal Pemilu diadakan
tanpa maksud dan tujuan untuk mencapai tujuan nasional bertentangan dengan
konstitusi khususnya pembukaan UUD 1945 alinea kedua.
3. UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sekalipun mendasarkan kepada Pasal 1
ayat (2) UUD 1945 tetapi di dalam praktiknya menyimpang dari semangat pasal
dimaksud karena terbukti telah menggeser prinsip Kedaulatan adalah ditangan
rakyat dilaksanakan menurut UUD menjadi Kedaulatan adalah di tangan Partai
Politik dilaksanakan tidak menurut UUD. Terbukti pasangan Calon Presiden/Calon
Wakil Presiden yang dapat diterima menurut UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
harus dari Parpol atau Gabungan Parpol sedangkan dari Non-Parpol ditolak.
4. UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden khususnya Pasal 5 ayat (1), (2), (3), (4)
Pasal 6 L, Pasal 1 ayat (6) tidak mencerminkan aaas persamaan di dalam hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan (3) UUD 1945 karena undang-
undang a quo dijadikan alasan oleh Komisi Pemilihan Umum Pusat untuk menolak
pendaftaran pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dari Non-Politik.
5. UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pasal 5 ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 6 L, Pasal
1 ayat (6) telah menghilangkan hak orang (perorangan) untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa dan negaranya sehingga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD
1945.
6. UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden khususnya Pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4)
dan Pasal 1 ayat (6), Pasal 6L mengingkari persamaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 28 dan ayat (1) dan (3) dengan menolak Calon Presiden/Calon Wakil Presiden
non Parpol.
7. UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden khususnya Pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4),
Pasal 1 ayat (6), Pasal 6 L bertentangan 1945 Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan, Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan.
365 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
8. UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden khususnya Pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan
(4), Pasal 1 ayat (6) dan Pasal 6 I bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28I ayat
(2) yang menyatakan, Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
9. UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden khususnya Pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4),
Pasal 1 ayat (6) dan Pasal 6L bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28J ayat (1)
yang menyatakan, Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan
pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, menyatakan bahwa Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Atau
menyatakan materi muatan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Pasal 1 ayat
(6), Pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4), Pasal 6 I dan 6 r, serta Pasal 25 bertentangan
dengan UUD 1945 yaitu seluruh pembukaan, Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan ayat
(3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I
ayat (2), Pasal 28J ayat (1), atau menyatakan materi muatan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2003 Pasal 1 ayat (6), Pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4), Pasal 6 I dan 6 r, Pasal 25
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang
menyatakan, salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, untuk undang-undang yang dimohonkan, in casu UU Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada tanggal 31 Juli Tahun 2003 maka,
terlepas dari adanya perbedaan pendapat di antara para hakim mengenai Pasal 50 UU
MK, Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutus permohonan a quo.
Untuk dapat diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi seseorang atau suatu pihak terlebih
dahulu harus menjelaskan:
Kualikasinya dalam permohonan 1. a quo, apakah sebagai perorangan warga negara
Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum (publik atau privat),
ataukah sebagai lembaga negara;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dideritanya dalam kualikasi 2.
tersebut;
Para Pemohon adalah Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dari non partai
politik yang sebagian di antaranya telah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum
(KPU) tetapi tidak menjelaskan siapa di antara para Pemohon yang mencalonkan diri
sebagai Presiden dan siapa yang mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden, juga tidak
366 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
menjelaskan siapa dari para Pemohon dimaksud yang telah mendaftarkan diri ke KPU,
sehingga mengakibatkan sebagian dari keterangan para Pemohon yang berkaitan
dengan identitas para Pemohon menjadi tidak jelas.
Menurut UUD 1945, Pasal 6A ayat (2), Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum, yang dengan demikian berarti, hak untuk mengusulkan
pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden adalah hak konstitusional partai
politik.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanyalah
mengulangi substansi Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, sehingga tidak terdapat pertentangan
dengan UUD 1945.
Diberikannya hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan Calon Presiden
dan Wakil Presiden kepada partai politik oleh UUD 1945 bukanlah berarti hilangnya
hak konstitusional warga negara, in casu Pemohon, untuk menjadi Calon Presiden atau
Calon Wakil Presiden karena hal itu dijamin oleh UUD 1945, sebagaimana ditegaskan
oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 apabila warga negara yang
bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 6 dan dilakukan
menurut tata cara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, persyaratan
mana merupakan prosedur atau mekanisme yang mengikat terhadap setiap orang yang
berkeinginan menjadi Calon Presiden Republik Indonesia.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, dan dengan menghargai
kepedulian para Pemohon untuk melaksanakan UUD 1945 yang melindungi hak asasi
manusia, tidak ternyata terdapat kerugian konstitusional para Pemohon sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon
tidak memiliki legal standing dalam permohonan a quo.
Selain itu, para Pemohon dalam petitum permohonannya ternyata memohon
agar Mahkamah menyatakan Pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tanpa menjelaskan prosedur atau tata cara
pembentukan undang-undang yang dilanggar atau tidak memenuhi ketentuan UUD
1945, sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 51 ayat (3) huruf a UU MK, dan meskipun
hal ini sudah dinasihatkan oleh Mahkamah pada persidangan tanggal 28 Juni 2004 agar
para Pemohon memperbaiki permohonannya, namun ternyata para Pemohon tidak
sepakat dengan nasihat dimaksud sebagaimana tampak dalam perbaikan permohonan
para Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 6 dan 7 Juli 2004 serta
pernyataan para Pemohon pada persidangan Mahkamah tanggal 12 Agustus 2004, oleh
karena mana permohonan para Pemohon menjadi rancu dan kabur atau tidak jelas.
Dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana terurai di atas, Mahkamah
berpendapat permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard), sehingga pokok permohonan tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
367 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 055/PUU-II/2004
TENTANG
PENGADILAN PELANGGARAN PEMILU
Pemohon : Pieter T. Radjawane, SH, MM
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) terhadap
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Pokok Perkara : Pasal 133 ayat (2) UU Pemilu mengenai pelanggaran Pemilu
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyangkut hak untuk mendapatkan
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Amar Putusan : Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Jumat 3 September 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah warga negara Indonesia yang menjabat sebagai Ketua Dewan
Pimpinan Cabang (DPC) Partai Pelopor Kabupaten Merauke yang karena memenuhi
undangan Kampanye Dialogis di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STAI) Karya Dharma
Merauke sesuai UU Pemilu Pasal 74 huruf G dan penjelasannya dijatuhi pidana penjara
selama 2 (dua) bulan dan denda Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) atas pelanggaran
jadwal kampanye KPU Pasal 138 ayat (3) UU Pemilu dengan Putusan No.01/PID.S/2004/
PN.MRK. Oleh karena itu, Pemohon merasa bahwa hak konstitutionalnya telah dilanggar
oleh berlakunya pasal-pasal dalam UU Pemilu. Sehingga berdasarkan Pasal 51 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK)
maka Pemohon merasa memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk melakukan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 133 ayat (2) UU Pemilu terhadap Pasal 27
ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
368 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon mendalilkan bahwa berlakunya Pasal 133 ayat (2) UU Pemilu karena
putusan yang merampas kemerdekaan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum
bagi Pemohon sehingga tidak dapat banding (tidak ada upaya hukum lanjutan) dan itu
bertentangan dengan hak konstitutional Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Penerapan Pasal 133 ayat (2) UU Pemilu sangatlah diskriminatif dan tidak memberi
persamaan kedudukan dalam hukum serta tidak memberi ruang untuk membela diri
(banding) apabila putusan pengadilan negeri salah dalam penerapan hukum. Pasal
133 ayat (2) tersebut memiliki dampak negatif dengan memberi kewenangan kepada
Pengadilan Negeri sebagai eksekutor di bidang politik dan bukan hukum, karena peradilan
pada kasus pelanggaran pada tingkat Pengadilan Negeri dipimpin oleh hakim tunggal
sehingga pertimbangan rasa keadilan dan hukum hanya diukur oleh pertimbangan
seorang hakim.
Dalam petitumnya, berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan Pasal
57 ayat (1) juncto Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK), Pemohon memohon kapada Mahkamah Konstitusi
agar berkenan memutus dengan menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon;
menyatakan UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; atau menyatakan
Pasal 133 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat
(1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; membatalkan atau menyatakan tidak berlakunya
Pasal 133 ayat (2), Pasal 138 ayat (3) UU Pemilu; memerintahkan Pemerintah Republik
Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia untuk memperbaharui Pasal 133 ayat (2) UU
Pemilu dan mengajukannya kepada DPR RI untuk disahkan menjadi produk perundang-
undangan yang baru; membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada
Negara.
Menurut Mahkamah, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal
10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-
undang terhadap UUD1945. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk
menguji UU Pemilu dengan UUD 1945.
Ketentuan Pasal 133 ayat (2) UU Pemilu tersebut yang tidak memperkenankan
diajukannya banding dan/atau kasasi terhadap pelanggaran yang diancam dengan pidana
kurang dari 18 (delapan belas) bulan, adalah merupakan undang-undang yang secara
langsung mengenai hak-hak Pemohon sebagai terdakwa yang didalilkan bertentangan
dengan konstitusi, sehingga Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon
memenuhi syarat kualikasi dan kerugian konstitusional sebagaimana disebut Pasal
51 ayat (1) UU MK. Oleh karena itu, Pemohon dipandang memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang, sehingga
Mahkamah harus memeriksa pokok perkara.
369 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pengertian diskriminasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah perlakuan yang berbeda atas dasar
ras, suku, agama, keyakinan politik, bahasa, jenis kelamin dan lain-lain, yang sesuai
pula Pasal 2 Bagian II ayat (1) ICCPR, sehingga oleh karenanya pembedaan perlakuan
terhadap Pemohon sebagai terdakwa dalam perkara tindak pidana Pemilu sebagaimana
diatur dalam Pasal 71 ayat (3) jo. Pasal 138 ayat (3) jo. Pasal 133 ayat (1) UU Pemilu
merupakan pengaturan yang bersifat khusus yang merupakan pengecualian dari
pengaturan yang bersifat umum yang dapat dibenarkan oleh sistim hukum karena adanya
sifat-sifat yang berbeda dari aturan yang bersifat umum tersebut.
Mahkamah berpendapat oleh karena sifat tindak pidana Pemilu yang membutuhkan
penyelesaian secara cepat, pengaturan mana terkait dengan agenda ketatanegaraan
yang memerlukan kepastian hukum, pengaturan khusus yang demikian cukup beralasan
dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Selanjutnya, Mahkamah berpendapat jika benar telah terjadi kesalahan yang
mencolok dalam menerapkan Pasal 138 ayat (3) jo. Pasal 71 ayat (3) UU Pemilu yang
menurut Pemohon dirinya mendapat undangan untuk melakukan kampanye dialogis
sehingga unsur-unsur Pasal 138 ayat (3) UU Pemilu tidak terbukti secara sah, maka
perlindungan hukum terhadap Pemohon yang dirugikan hak konstitusionalnya karena
penerapan hukum yang didalilkan menunjukkan kekhilafan hakim dan kekeliruan
(rechterlijke dwaling) yang nyata, masih dapat diperoleh melalui upaya hukum luar biasa
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung yang berwenang memperbaiki kekeliruan
putusan yang telah berkekuatan tetap [Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP], karena
terhadap putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak diperbolehkan untuk diajukan
banding dan kasasi adalah sebagai upaya hukum biasa, akan tetapi upaya hukum luar
biasa tetap terbuka dalam hal terjadi kekhilafan hakim atau kekeliruan yang demikian
sebagaimana didalilkan telah terjadi dalam Putusan Nomor 01/Pid.S/2004/PN.MRK
a quo.
Berdasarkan pertimbangan di atas dan memperhatikan Pasal 56 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah
menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Pendapat Berbeda:
Dalam putusan ini, seorang Hakim Konstitusi memberikan pendapat berbeda yang
intinya adalah bahwa pembenaran atas dilakukannya pembedaan perlakuan dalam
perlindungan hukum, yang dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak dan kebebasan
yang asasi hanya berdasarkan kebutuhan untuk adanya kepastian hukum secara cepat,
dipandang tidak seimbang dan dipandang melanggar prinsip proporsionalitas yang
telah dikemukakan di atas, sehingga meskipun pembatasan hak dan kebebasan asasi
dapat dibenarkan menurut Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, akan tetapi pembatasan yang
dilakukan dalam Pasal 133 ayat (3) UU Pemilu tidak proporsional dilihat dari pertimbangan
370 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain yang juga perlu dilindungi dan dihormati.
Tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan pembatasan upaya hukum tersebut
tidak dapat menghilangkan perlindungan hukum terhadap ancaman kebebasan dan
hak asasi manusia dalam bentuk second opinion dalam pemeriksaan banding yang
akan menilai secara juridis putusan pengadilan tingkat pertama sebagai satu bentuk
pengawasan terhadap kekeliruan atau kesalahan dan kesengajaan yang mungkin timbul.
Dengan pertimbangan demikian Hakim dissenter berpendapat bahwa Pasal 133 ayat (3)
UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat.
371 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 056/PUU-II/2004
TENTANG
PEMBENTUKAN KABUPATEN PELALAWAN, KABUPATEN ROKAN HULU,
KABUPATEN ROKAN HILIR, KABUPATEN SIAK, KABUPATEN KARIMUN,
KABUPATEN NATUNA, KABUPATEN KUANTAN SINGINGI, DAN KOTA BATAM
Pemohon : H. Moh. Kholiq Widiarto, S.H., M.H., MBA.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu,
Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun,
Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pokok Perkara : Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu,
Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun,
Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam
bertentangan dengan UUD 1945.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk menarik kembali
permohonannya.
Tanggal Putusan : Selasa 31 Agustus 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon H. Moh. Kholiq Widiarto, S.H., M.H., MBA dalam surat permohonan tanggal
7 Juni 2004 yang telah diperbaiki tanggal 22 Juli 2004 mengajukan Pengujian Undang-
Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten
Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten
Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam.
Pemohon mengajukan surat penarikan permohonan bertanggal 23 Agustus 2004,
yang ditandatangani oleh Pemohon sendiri H. Moh. Kholiq Widiarto, S.H.,M.H MBA yang
372 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Agustus 2004.
Dengan mengingat Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah mengabulkan penarikan permohonan
karena tidak bertentangan dengan undang-undang.
Dengan demikian Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk menarik
kembali permohonannya. Menyatakan perkara permohonan Nomor 056/PUU-II/2004,
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Palawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak,
Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditarik kembali.
Menyatakan permohonan Pemohon mengenai pengujian terhadap undang-undang
tersebut di atas, tidak dapat diajukan kembali. Memerintahkan kepada Panitera untuk
mencatat penarikan perkara Nomor 056/PUU-II/2004 tersebut dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi.
373 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 057/PUU-II/2004
TENTANG
MEKANISME PENGUSULAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN MELALUI
PARTAI POLITIK
Pemohon : 1. Mulyo Wibisono M.Sc (Pemohon I); 2. Dion Bambang Soebroto
MBA (Pemohon II).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pokok Perkara : Pasal 5 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 UU Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden mengenai mekanisme pengusulan Calon
Presiden dan Wakil Presiden melalui Parpol bertentangan dengan
jiwa dan semangat UUD 1945, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat
(4), Pasal 28J ayat (1), dan ayat (2) dan Pasal 27 ayat (1) UUD
1945 mengenai kepastian hukum, hak warga negara diperlakukan
sama dalam hukum dan pemerintahan, dan tidak didiskriminasi.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan : Rabu 6 Oktober 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon I dan Pemohon II (para Pemohon) adalah calon presiden dari kelompok
independen/non partai politik menganggap hak konstitusionalnya dirugikan berlakunya
Pasal 5 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 10 UU Pemilu. Menurut para Pemohon,
ketentuan pasal a quo telah menutup peluang dan membatasi hak konstitusional para
Pemohon untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 5 ayat (1), Pasal 9 ayat
(1), dan Pasal 10 UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
374 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Para Pemohon mendalilkan bahwa persetujuan DPR terhadap Rancangan UU
Pemilu menjadi UU Pemilu bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 juncto
Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD, juncto Keputusan DPR Nomor 1 Tahun 2001-2002 tentang
Peraturan Tata Tertib DPR. Dengan persetujuan DPR tersebut, maka DPR sama halnya
telah menyetujui pembatasan dan penghapusan hak setiap orang untuk ikut di dalam
sistim pemerintahan.
Pembentukan UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden telah bertentangan dengan
jiwa dan semangat UUD 1945, karena tidak mencantumkan Pasal 1, Pasal 27, Pasal
28 UUD 1945 secara lengkap dan utuh dalam konsiderans. Ketentuan pasal a quo juga
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28J ayat (1), dan
ayat (2) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 33 ayat (2), dan ayat (5) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR juncto Keputusan
DPR Nomor 1 Tahun 2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Republik lndonesia.
Mahkamah Kontistusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa
kewenangan Mahkamah diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, kemudian ditegaskan
kembali dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (UU MK) yang antara lain menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji
undang-undang terhadap UUD 1945. para Pemohon dalam permohonannya mengajukan
pengujian Pasal 5 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 10 UU Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden. Bahwa UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diundangkan pada tanggal
31 Juli, terlepas dari adanya perbedaan pendapat dikalangan para hakim mengenai
ketentuan Pasal 50 UU MK, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili
dan memutus permohonan pengujian UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terhadap
UUD 1945.
Menyangkut kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, Pasal 51 ayat (1)
UU MK menegaskan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu, perorangan
warga negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang; badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Kemudian Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menegaskan bahwa
yang dimaksud hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.
UUD 1945 telah membedakan antara hak konstitusional untuk menjadi calon
Presiden atau Wakil Presiden dan hak konstitusional mengenai prosedur pencalonan
sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Setiap warga negara berhak menjadi Presiden
dan Wakil Presiden sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat
375 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(3) UUD 1945, namun untuk dapat dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden
harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945
yang tata cara pencalonannya diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yaitu harus
diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berbunyi,
Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan calon yang diusulkan
secara berpasangan oleh partai Politik atau gabungan Partai Politik, merupakan
pengulangan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, oleh karenanya tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berbunyi, Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum, merupakan
pelaksanaan dari ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menentukan bahwa
Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap dan mandiri. Pemilihan Umum, menurut Pasal 22E ayat (2) UUD 1945
adalah mencakup Pemilihan Umum untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden dan
Wakil Presiden, dan DPRD. Dengan demikian tidak terdapat pertentangan antara Pasal
9 ayat (1) UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan UUD 1945.
Karena tidak satupun ketentuan UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dapat
ditafsirkan sebagai ketentuan yang menghilangkan hak warga negara, termasuk para
Pemohon untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden, maka tidak pula terdapat kerugian
hak konstutusional para Pemohon sebagaimana yang didalilkan. Oleh karena itu sesuai
dengan maksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, para Pemohon tidak dapat dipandang memiliki
legal standing dalam permohonan a quo.
Pemohon dalam permohonannya telah menyampurbaurkan antara pengujian
formil dan pengujian materiil suatu undang-undang, sehingga membuat permohonan
para Pemohon menjadi kabur. Karena Pemohon tidak memiliki legal standing, maka
permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard),
sehingga pokok permohonan tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
376 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
377 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 061/PUU-II/2004
TENTANG
GUGATAN TERHADAP PUTUSAN PERDAMAIAN
Pemohon : H. Drs. Raden Prabowo Surjono, S.H., M.H.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pokok Perkara : Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman mengenai upaya/gugatan terhadap putusan perdamaian
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, nal dan mengikat
bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 mengenai
perlindungan hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan : Kamis 21 Oktober 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dahulu Pasal 14, Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970.
Pemohon, H. Drs. Raden Prabowo Surjono, S.H., M.H. merasa dirugikan oleh
berlakunya Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang mengakibatkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak dapat menolak
upaya/gugatan Yayasan Fatmawati terhadap putusan perdamaian yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, nal dan mengikat, sehingga pengadilan Negari Jakarta Selatan
tidak dapat menjamin kepastian hukum, sehingga masyarakat tidak dapat memperoleh
perlindungan hukum dan keadilan, dan bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD
1945.
Pemohon tidak bermaksud untuk meniadakan seluruh substansi materi yang
378 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
terkandung dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, hanya melengkapi
materi dalam ayat (1), untuk mempertegas perkara yang dilarang oleh Undang-Undang
diajukan kepengadilan, karena materi dalam Pasal 16 tersebut secara keseluruhan
bersifat universal dan di Indonesia diatur sejak dalam Pasal 22, Algemene Bepalingen
Van Wetgeving voor Indonesie (Staatsblad 1847 No.123, 30 April 1847), dan hingga saat
ini masih berlaku berdasarkan Pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945.
Ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang dahulu Pasal 14
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak dapat
menolak upaya/gugatan Yayasan Fatmawati terhadap Putusan Perdamaian yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, nal dan mengikat, sehingga Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan tidak dapat menjamin kepastian hukum, menegakan hukum dan keadilan,
sehingga lembaga Peradilan di Indonesia tidak dapat menjamin adanya kepastian
hukum, tegaknya hukum dan keadilan, sehingga masyarakat tidak dapat memperoleh
perlindungan hukum dan keadilan, dan bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD
1945.
Pemohon mendalillkan bahwa materi dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004, menimbulkan masalah dan kerancuan dalam Peradilan di
Indonesia, khususnya dalam peradilan perdata:
Pasal tersebut yang mendalilkan tentang Pengadilan tidak boleh menolak untuk a.
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas, Khususnya dalam perkara perdata mengakibatkan
timbulnya ketidak pastian hukum dalam rangka penegakan hukum untuk mencapai
keadilan, yang semestinya di dalam undang -undang tersebut harus ditetapkan
macam gugatan perkara perdata yang mana saja yang boleh dan yang tidak boleh
diajukan ke Pengadilan untuk diperiksa, diadili dan diputus.
Bunyi dan isi Pasal 16, tersebut di atas dapat menimbulkan multl interprestasi baik b.
oleh Hakim, Panitera, Pengacara/Advokat, maupun Pihak yang berperkara, yang
mengakibatkan dan menciptakan peluang untuk timbulnya kolusi diantara penegak
hukum dengan pihak yang berperkara, sehingga masyarakat pencari perlindungan
dan keadilan hukum tidak dapat memperolehnya.
Bunyi dan isi Pasal 16, bertentangan dengan bunyi dan isi Pasal 24 ayat (1), UUD c.
1945.
Pemohon dalam petitumnya meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal
16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD
1945; menyatakan bahwa Pemohon telah dilanggar hak konstitusinya terhadap UUD
1945; menyatakan materi Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dirubah
menjadi Pasal 16 ayat (1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, kecuali suatu
perkara yang dilarang oleh Undang-Undang, dan Pasal 16 ayat (2) Pengecualian
379 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam usaha penyelesaian perkara
perdata, Pengadilan tidak boleh menerima untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, nal dan mengikat, dan yang
subjek dan objeknya sama, tetapi tidak menutup usaha menyelesaikan perkara perdata
secara perdamaian.
Menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang menyatakan
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, untuk undang-undang yang dimohonkan in casu Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2004, maka Mahkamah berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pemohon a quo.
Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan, Pemohon adalah pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
yaitu, a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan
hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.
Untuk mengetahui tentang ada atau tidak adanya hak konstitusional Pemohon yang
dirugikan dengan berlakunya Pasal 16 Undang-Undang a quo, Mahkamah merasa perlu
menguraikan latar belakang sejarah dari frasa yang berbunyi, pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas yang terkandung dalam pasal tersebut.
Frasa dimaksud didasarkan pada adagium ius curia novit, yang bermakna bahwasanya
pengadilan mengetahui hukumnya (de rechtbank kent het recht), artinya memahami
penyelesaian hukum atas perkara yang diajukan kepadanya.
Pada awal era kodikasi hukum, adagium tersebut telah dijadikan salah satu asas
hukum dan termuat dalam Code Civil, yang merupakan bagian dari Code Napoleon di
Perancis. Pada mulanya asas itu ditafsirkan secara sempit, yaitu hakim tidak boleh
menolak untuk memeriksa perkara dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas.
Penafsiran tersebut didasarkan keyakinan yang berkembang saat itu, bahwa hukum
tertulis yang terkodikasi itu telah secara lengkap memuat aturan tentang seluruh
peristiwa hukum dan hubungan hukum yang mungkin terjadi dalam seluruh segi
kehidupan manusia. Namun kemudian ternyata bahwa hukum yang telah terkodikasi
itu tidak pernah lengkap dan selalu tertinggal oleh perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat. Oleh karenanya asas itu kemudian ditafsirkan secara luas, yaitu memberikan
wewenang kepada pengadilan (hakim) untuk menemukan hukum (rechtsvinding) untuk
mengadili perkara yang diajukan kepadanya, manakala hukum yang terkodikasi belum
mengaturnya.
380 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Penemuan hukum itu dimaksudkan agar para pencari keadilan (justitiabelen)
tetap terjamin haknya untuk memperoleh keadilan, walaupun hukum tertulis belum
mengaturnya. Asas tersebut kemudian diserap dan diterima secara universal.
Di Belanda, asas tersebut dimuat dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB),
kemudian Indonesia (Nederlandsche Indie) mencantumkan asas tersebut dalam Pasal
22 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlandsche Indie (Staatsblad 1847
Nomor 23), yang berbunyi, De regter, die weigert regt te spreken, onder voorwendsel
van stilzwijgen, duisterheid of onvolledigheid der wet, kan uit hoofde van regtsweigering
vervolgd worden.
Dengan menelusuri sejarahnya, ternyata ketentuan yang tercantum dalam Pasal 16
Undang-Undang a quo, bukan hanya merupakan ketentuan umum (algemene norm),
melainkan merupakan asas yang dianut secara universal dalam sistim peradilan. Oleh
karena itu tepat sekali pembuat undang-undang menempatkan Pasal 16 itu di bawah
Bab II dengan berjudul Badan Peradilan dan Asasnya. Sebagai perbandingan, Filipina
mencantumkan asas itu dalam The Civil Code of The Philippines Article 9 yang berbunyi,
No judge or court shall decline to render judgement by reason of the silence, obscurity
or insufciency of the laws
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa asas pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas; sama sekali tidak bertentangan dengan
jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh kepastian hukum, sebaliknya asas itu
justru memperkukuh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Kalaupun benar anggapan
Pemohon bahwa Pemohon telah mengalami kerugian dengan adanya beberapa putusan
Pengadilan yang tidak konsisten, kerugian tersebut bukan disebabkan oleh berlakunya
Pasal 16 Undang-Undang a quo, melainkan oleh perbedaan penafsiran dan penerapan
hukum yang dilakukan oleh pengadilan (hakim).
Dengan demikian tidak terbukti adanya hak konstitusional Pemohon yang dirugikan
dengan berlakunya Pasal 16 Undang-Undang a quo, oleh karena itu Pemohon tidak
mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 16 Undang-
Undang a quo terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga permohonannya harus
dinyatakan tidak dapat diterima.
Seandainya pun Pemohon memiliki legal standing, dengan uraian pertimbangan di
atas, permohonan Pemohon harus ditolak karena Pasal 16 Undang-Undang a quo tidak
ternyata bertentangan dengan UUD 1945.
381 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 062/PHPU.B-II/2004
TENTANG
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 2004
CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Pemohon : 1. H. Wiranto, S.H.; 2. Ir.H.Salahuddin Wahid.
Termohon : Komisi Pemilhan Umum (KPU).
Jenis Perkara : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Pokok Permohonan : Pembatalan Penetapan dan Pengumuman Hasil Rekapitulasi
Penghitungan Suara Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2004.
Amar Putusan : Menolak permohonan Pemohon seluruhnya.
Tanggal Putusan : Senin, 9 Agustus 2004.
Ikhtisar Permohonan :
Pemohon mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden. Pemohon, sebagai pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil
Presiden (Cawapres), merasa keberatan dan tidak dapat menerima Keputusan KPU
Nomor 79/SK/KPU/Tahun 2004 tentang Penetapan dan Pengumuman Hasil Rekapitulasi
Penghitungan Suara Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Nomor
125/15-BA/VII/2004 tentang Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, tanggal 26 Juli 2004. Dalam Keputusan
KPU tersebut hasil penghitungan sebagai berikut:
No Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Jumlah perolehan suara
1
H. Wiranto, S.H. dan
Ir. H. Salahuddin Wahid
26.286.788
2
Hj. Megawati Soekarnoputri dan
K.H. Hasyim Muzadi
31.569.104
3
Prof. Dr.H. Amin Rais dan
Dr. Ir. Siswono Yudo Husodo
17.392.931
382 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
4
H. Susilo Bambang Yudhoyono dan
Drs.H. Muhammad Yusuf Kalla
39.838.184
5
Dr. H. Hamzah Haz dan
H. Agum Gumelar
3.569.861
Jumlah suara sah 118.656.868
Dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk membatalkan hasil
penghitungan suara untuk Pasangan Capres dan Cawapres Wiranto dan Salahuddin
Wahid pada putaran pertama Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun
2004 dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar untuk Pasangan Capres
dan Cawapres Wiranto dan Salahuddin Wahid pada putaran pertama Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 adalah berjumlah 31.721.448 (tiga puluh satu
juta tujuh ratus dua puluh satu ribu empat ratus empat puluh delapan) suara.
Pemohon beralasan bahwa Penetapan KPU dalam hal hasil penghitungan suara
tersebut terdapat kesalahan/kekeliruan penghitungan suara baik yang disengaja maupun
tidak disengaja oleh pihak KPU, sehingga hasil penghitungan tersebut berakibat Pemohon
kehilangan jumlah suara yang signikan. Hal ini mengakibatkan posisi Pemohon berada
pada urutan Nomor 3, sehingga Pemohon tidak masuk sebagai Pasangan Capres dan
Cawapres dalam putaran kedua Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun
2004.
Lebih lanjut, Pemohon mendalilkan hal yang bersifat kualitatif, yakni adanya
penyimpangan-penyimpangan oleh KPU, di antaranya perbedaan tentang jumlah
TPS, PPS, PPK, jumlah pemilih menurut SK KPU Nomor 39 Tahun 2004 dengan
SK. KPU Nomor 79/SK/KPU/Tahun 2004, sistim pelaporan KPU Provinsi yang tidak
sinkron. Pemohon juga mendalilkan adanya PPS yang menerbitkan 2 versi berita
acara rekapitulasi penghitungan suara, keluarnya Surat Edaran KPU Nomor 1151/15/
VII/2004 tanggal 5 Juli 2004 perihal Surat Suara Sah yang hanya ditandatangani Drs.
Anas Urbaningrum, M.A. atas nama Ketua KPU yang diikuti Surat KPU Nomor 1152/15/
VII/2004 tentang Penghitungan Ulang Surat Suara di TPS oleh KPPS yang menimbulkan
ketidakpastian hukum, masalah intimidasi di PTPN XII Banyuwangi, dan masalah Tabulasi
Nasional Pemilu (TNP), dan penghitungan suara berbasis teknologi informasi (TI) yang
menyesatkan dan penuh keanehan.
Terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, sesuai dengan
Keputusan KPU Nomor 36 Tahun 2004 dan Keputusan KPU Nomor 56/SK/KPU/Tahun
2004, adalah pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden peserta Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden Tahun 2004 dengan nomor urut 1 dan mengajukan permohonan
perselisihan hasil pemilihan umum yang diregistrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 29 Juli 2004 pukul 19.13, sedangkan pengumuman KPU pada hari Senin
tanggal 26 Juli 2004 pukul 20.10 WIB., sehingga masih memenuhi tenggat 3 x 24 jam
sejak pengumuman KPU. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat
bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
383 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
permohonan perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
Menanggapi argumentasi Pemohon, Mahkamah membagi pertimbangannya, yakni
yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Untuk yang bersifat kualitatif, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa berbagai hal yang bersifat kualitatif yang didalilkan oleh Pemohon
sebenarnya telah disediakan mekanisme penyelesaiannya oleh UU Pilpres, baik pada
setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu, mulai dari pendaftaran pemilih sampai dengan
penetapan hasil Pemilu, maupun pada setiap jenjang penyelenggara Pemilu, mulai
dari KPPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi sampai KPU. Mahkamah
menyatakan pelanggaran-pelanggaran tersebut belumlah merupakan pelanggaran yang
mengancam prinsip-prinsip Pemilu yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5)
UUD 1945 yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah, dan secara kuantitatif juga
tidak mempengaruhi signikansi angka perolehan suara Pemohon untuk dapat lolos ke
putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk membuktikan dalil Pemohon yang mendalilkan kehilangan 5.434.660 suara,
Mahkamah telah memeriksa satu demi satu perolehan suara Pemohon di masing-masing
provinsi.
1. Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan hasil pemeriksaan bukti-bukti dan setelah mendengar keterangan
Pemohon, KPU, Panwaslu, dan pihak terkait dalam persidangan, Mahkamah berpendapat
Pemohon tidak mampu membuktikan dalil permohonannya bahwa Pemohon kehilangan
1.038.855 suara di Provinsi Jawa Barat.
Mengenai Surat Bupati Subang No. III/1096/Pem, tanggal 8 Juni 2004, perihal
Partisipasi Dana Sukses Mega-Hasyim, yang ditujukan kepada kepala dinas/instansi/
badan/kantor se-Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, yang ditandatangani oleh
Maman Yudia (Wakil Bupati) a.n. Bupati Subang, Mahkamah menilai surat tersebut
bukanlah alat bukti yang dapat secara langsung membuktikan kerugian riil perolehan
suara Pemohon di Kabupaten Subang seperti yang didalilkannya.
Dalam pemeriksaan, Mahkamah juga sama sekali tidak menemukan perbedaan
antara data jumlah pemilih dan data jumlah surat suara yang masuk. Sehingga Mahkamah
berkesimpulan dalil Pemohon untuk Provinsi Jawa Barat tidak terbukti.
2. Provinsi Jawa Tengah
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 752.552 suara untuk Provinsi Jawa Tengah.
Setelah Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan bukti KPU dapat disimpulkan bahwa
kedua alat bukti tersebut tidak berbeda. Sehingga Mahkamah berkesimpulan dalil
Pemohon untuk Provinsi Jawa Tengah tidak terbukti.
3. Provinsi Jawa Timur
Pemohon mendalilkan jumlah suara yang hilang di Provinsi Jawa Timur sebesar
768.339. Walaupun terdapat perbedaan jumlah pemilih untuk Provinsi Jawa Timur
384 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
menurut Pemohon antara SK KPU Nomor 39/2004 sejumlah 27.622.791 dengan laporan
KPU Provinsi dalam SK KPU Nomor 79/SK/KPU/Tahun 2004 tentang Penetapan dan
Pengumuman Hasil Penghitungan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun
2004 bertanggal 26 Juli 2004 sejumlah 26.881.452 yang menjadikan selisih perbedaan
sejumlah 741.339, tetapi Pemohon tidak dapat membuktikan pengaruhnya terhadap
perolehan hasil suara Pemohon. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi berkesimpulan
bahwa untuk Provinsi Jawa Timur dalil tersebut tidak terbukti.
4. Provinsi Banten
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 466.045 suara untuk Provinsi Banten. Dari
bukti yang diajukan oleh Pemohon dan KPU ternyata alat bukti kedua belah pihak tentang
perolehan suara Pemohon tidak berbeda, yaitu Model DC-PWP dan lampirannya.
Berdasarkan dalil Pemohon yang mendalilkan kehilangan suara 466.045 suara, namun
dalam permohonannya Pemohon tidak secara jelas menyebutkan berapa sebenarnya
jumlah perolehan suara Pemohon dan tidak pula menunjukkan penghitungan hasil
perolehan suara menurut Pemohon, sehingga selain permohonannya menjadi kabur,
klaim kehilangan suara dimaksud juga tidak terbukti.
5. Provinsi Sumatera Selatan
Pemohon mendalilkan telah kehilangan suara sebesar 963.661 suara. Akan tetapi
setelah Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan KPU dapat disimpulkan kedua alat
bukti tersebut tidak berbeda, karena baik bukti Pemohon maupun bukti KPU perolehan
suara Pemohon di Provinsi Sumatera Selatan berjumlah 640.294 suara. Tidak ditemukan
adanya bukti kehilangan sebesar 963.661 suara seperti yang didalilkan Pemohon. Pada
persidangan-persidangan di Mahkamah Konstitusi, Pemohon juga mempersoalkan
perbedaan data jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih (daftar pemilih tetap yang
menggunakan hak pilih ditambah pemilih dari TPS lain di wilayah Provinsi Sumatera
Selatan) dengan data suara masuk (suara sah ditambah suara tidak sah). Khusus untuk
Provinsi Sumatera Selatan, Mahkamah menemukan perbedaan data di Kota Palembang,
Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Lahat, Kabupaten Ogan
Komering Ulu, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu
Selatan, Kabupaten Musi Rawas dan Kabupaten Lubuk Linggau. Meskipun terdapat
perbedaan, namun Mahkamah menilai Pemohon sama sekali tidak dapat membuktikan
selisih suara tersebut merupakan suara milik Pemohon. Seandainya pun selisih tersebut
merupakan milik Pemohon, hal itu sama sekali tidak mendukung dalil Pemohon bahwa
telah kehilangan 963.661 suara. Berdasarkan uraian tersebut, maka dalil Pemohon
sepanjang mengenai jumlah suara Pemohon di Provinsi Sumatera Selatan, tidak
terbukti.
6. Provinsi DKI Jakarta
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 348.878 suara untuk Provinsi DKI Jakarta.
Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa bukti yang diajukan oleh Pemohon
dan KPU ternyata alat bukti kedua belah pihak tidak berbeda. Berdasarkan hal-hal
385 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tersebut, Mahkamah Konstitusi berkesimpulan dalil Pemohon di Provinsi DKI Jakarta
tidak terbukti.
7. Provinsi Riau
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 145.991 suara. Setelah Mahkamah
memeriksa bukti Pemohon dan KPU dapat disimpulkan kedua alat bukti tersebut tidak
berbeda. Perolehan suara Pemohon di Provinsi Riau berjumlah 504.017 suara. Tidak
ditemukan adanya bukti pengurangan sebesar 145.991 suara seperti yang didalilkan
Pemohon, kecuali berdasarkan keterangan saksi Hadi M. Lu di persidangan adanya
pengurangan perolehan suara Pemohon setelah dilakukan penghitungan suara ulang
di satu TPS dari 9 suara turun menjadi 8 suara, jumlah mana sangat tidak signikan.
Berdasarkan bukti Model DC 2PWP dapat diketahui bahwa terhadap penetapan
perolehan suara yang dilakukan oleh KPU Provinsi Riau sama sekali tidak ada keberatan
dari saksi Pemohon. Bahkan saksi Pemohon (Mastar) ikut menandatangani Berita Acara.
Untuk Provinsi Riau, Mahkamah tidak menemukan perbedaan data tersebut. Oleh karena
itu, dalil Pemohon sepanjang mengenai jumlah suara Pemohon di Provinsi Riau, tidak
terbukti.
8. Provinsi Kepulauan Riau
Pemohon mendalilkan telah kehilangan suara sebesar 250.746 suara. Setelah
Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan KPU dapat disimpulkan bahwa kedua alat
bukti tidak berbeda. Perolehan suara Pemohon di Provinsi Kepulauan Riau berjumlah
81.816 suara. Tidak ditemukan adanya bukti pengurangan sebesar 250.746 suara yang
didalilkan Pemohon. Sehingga Mahkamah Konstitusi berkesimpulan dalil Pemohon untuk
Provinsi Kepulauan Riau tidak terbukti.
9. Provinsi Nangroe Aceh Darusalam
Pemohon menyatakan telah mengalami kerugian akibat jumlah suara yang hilang
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 131.911 suara. Setelah Mahkamah
memeriksa bukti Pemohon dan KPU dapat disimpulkan bahwa kedua alat bukti tersebut
sama. Perolehan suara sah Pemohon di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam berjumlah
204.534 suara. Pemohon juga mendalilkan adanya perbedaan antara data jumlah pemilih
dan data jumlah suara suara yang masuk. Namun, setelah Mahkamah mengadakan
penghitungan ulang terhadap bukti Pemohon dan bukti KPU, tidak ditemukan perbedaan.
Sehingga Mahkamah Konstitusi berkesimpulan dalil Pemohon untuk Provinsi Nanggroe
Aceh Darusalam tidak terbukti.
10. Provinsi Sulawesi Selatan
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 224.881 suara untuk Provinsi Sulawesi
Selatan. Setelah Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan KPU dapat disimpulkan
bahwa kedua alat bukti tersebut sama yakni perolehan suara Pemohon di Provinsi
Sulawesi Selatan berjumlah 678.445 suara. Tidak ditemukan adanya bukti pengurangan
sebesar 224.881 suara yang didalilkan Pemohon. Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah
386 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
berkesimpulan dalil Pemohon di Provinsi Sulawesi Selatan tidak terbukti.
11. Provinsi Kalimantan Timur
Dalam permohonannya Pemohon mendalilkan telah kehilangan 37.411 suara untuk
Provinsi Kalimantan Timur. Setelah Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan KPU dapat
disimpulkan bahwa kedua alat bukti tersebut sama. Perolehan suara Pemohon di Provinsi
Kalimantan Timur berjumlah 246.715 suara tidak ditemukan adanya bukti pendukung
dalil Pemohon tentang kehilangan perolehan suara sebesar 37.411 suara. Maka dalil
Pemohon, sepanjang mengenai perolehan suara Pemohon di Provinsi Kalimantan Timur,
dinyatakan tidak terbukti.
12. Provinsi Nusa Tenggara Timur
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 5.306 suara untuk Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Sesuai dengan bukti yang diajukan oleh Pemohon dan KPU ternyata alat bukti
kedua belah pihak sama, yakni perolehan suara Pemohon di Provinsi Nusa Tenggara
Timur berjumlah 432.823 suara, sedangkan pengurangan sebesar 35.792 suara di
Provinsi Nusa Tenggara Timur yang didalilkan Pemohon, berdasarkan penghitungan,
ternyata hanya sebesar 634 suara. Pemohon tidak secara jelas menyatakan jumlah
perolehan suara Pemohon dan tidak pula menunjukkan penghitungan hasil perolehan
suara menurut Pemohon di Provinsi Nusa Tenggara Timur, sehingga Mahkamah Konstitusi
menyimpulkan kesalahan dalam penghitungan suara di Provinsi Nusa Tenggara Timur
tidak terbukti.
13. Provinsi Sulawesi Utara
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 32.126 suara untuk Provinsi Sulawesi Utara.
Setelah Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan KPU dapat disimpulkan bahwa kedua
alat bukti tersebut sama. Maka dalil Pemohon, sepanjang mengenai perolehan suara
Pemohon di Provinsi Sulawesi Utara, dinyatakan tidak terbukti.
14. Provinsi Irian Jaya Barat
Dalam permohonannya Pemohon mendalilkan telah kehilangan 25.895 suara
untuk Provinsi Irian Jaya Barat. Pemohon mendalilkan adanya perbedaan antara data
jumlah pemilih dan data jumlah suara suara yang masuk sebesar 25.895 suara. Namun,
setelah Mahkamah mengadakan penghitungan ulang terhadap bukti Pemohon dan bukti
KPU, tidak ditemukan perbedaan sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon tersebut.
Meskipun ada perbedaan suara hampir di semua kabupaten seperti yang tertera dari
data penghitungan KPU Provinsi Irian Jaya Barat, namun berdasarkan penghitungan
Mahkamah Konstitusi, selisih suara di tingkat provinsi secara keseluruhan 5 (lima) suara
saja, bukan sebesar 25.895 suara. Berdasarkan bukti P-39 Lampiran 2 Model DC1-PWP
saksi Pemohon memang tidak menandatangani Berita Acara Penghitungan Suara di
Provinsi Irian Jaya Barat, namun tidak juga ditemukan adanya keberatan Pemohon dalam
berita acara tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut, Mahkamah Konstitusi berkesimpulan
dalil Pemohon untuk Provinsi Irian Jaya Barat tidak terbukti.
387 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
15. Provinsi Kalimantan Selatan
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 21.228 suara untuk Provinsi Kalimantan
Selatan. Setelah Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan bukti KPU dapat disimpulkan
bahwa kedua alat bukti tersebut tidak berbeda. Karena Mahkamah tidak menemukan
perbedaan data tersebut, sehingga Mahkamah berkesimpulan dalil Pemohon untuk
Provinsi Kalimantan Selatan tidak terbukti.
16. Provinsi Jambi
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 19.705 suara untuk Provinsi Jambi. Setelah
Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan KPU dapat disimpulkan alat bukti Pemohon
mencakup pada tingkatan yang lebih rendah, yaitu hingga kecamatan, sedangkan alat
bukti KPU hanya pada tingkat provinsi. Dari kedua bukti tersebut, perolehan suara
Pemohon di Provinsi Jambi berjumlah 364.651 suara. Tidak ditemukan adanya bukti
pengurangan suara sebesar 19.705 suara yang didalilkan Pemohon.
Oleh karena itu, Mahkamah berkesimpulan dalil Pemohon di Provinsi Jambi tidak
terbukti
17. Provinsi Nusa Tenggara Barat
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 16.965 suara di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Menimbang bahwa bukti-bukti yang diajukan Pemohon tersebut ternyata tidak
dapat menjelaskan kekurangan angka 16.965 suara, dan juga Pemohon tidak dapat
membuktikan dalam persidangan baik melalui keterangan saksi ataupun keterangan
pihak lain. Setelah diteliti secara seksama, Mahkamah menilai bahwa alat bukti
tersebut tidak mempunyai nilai pembuktian yang dapat memberikan keyakinan kepada
Mahkamah untuk dapat membenarkan klaim Pemohon. Oleh karena itu, dalil Pemohon
yang menyatakan telah kehilangan suara sebesar 723.484 suara untuk Provinsi NTB
tidak terbukti.
18. Provinsi Bangka Belitung
Pemohon mendalilkan telah kehilangan suara sebesar 15.912 suara. Setelah
Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan KPU dapat disimpulkan kedua alat bukti
tersebut tidak berbeda. Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah berkesimpulan dalil
Pemohon untuk Provinsi Bangka Belitung tidak terbukti.
19. Provinsi Kalimantan Tengah
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 6.420 suara untuk Provinsi Kalimantan
Tengah. Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan seksama bukti
Pemohon, tidak diperoleh keterangan apa pun yang dapat menjelaskan dalil permohonan
bahwa Pemohon telah kehilangan 6.420 suara di Provinsi Kalimantan Tengah. Sehingga
Mahkamah berkesimpulan dalil Pemohon untuk Provinsi Kalimantan Tengah tidak
terbukti.
388 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
20. Provinsi Maluku Utara
Dalam permohonannya Pemohon mendalilkan telah kehilangan 5.519 suara untuk
Provinsi Maluku Utara. Setelah Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan KPU dapat
disimpulkan bahwa kedua alat bukti tersebut sama, perolehan suara Pemohon di Provinsi
Maluku Utara berjumlah 181.373 suara tidak ditemukan adanya bukti pendukung dalil
Pemohon tentang kehilangan perolehan suara sebesar 5.519 suara. Dari pertimbangan
tersebut di atas, maka dalil Pemohon, sepanjang mengenai perolehan suara Pemohon di
Provinsi Maluku Utara, harus dinyatakan tidak terbukti.
21. Provinsi Gorontalo
Pemohon mendalilkan telah mengalami kehilangan 4.084 suara untuk Provinsi
Gorontalo. Setelah Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan KPU dapat disimpulkan
bahwa kedua alat bukti tersebut sama yakni berjumlah 402.162 suara. Tidak ditemukan
adanya bukti pengurangan sebesar 4.084 suara yang didalilkan Pemohon. Mahkamah
tidak menemukan perbedaan data tersebut, sehingga Mahkamah berkesimpulan dalil
Pemohon di Provinsi Gorontalo tidak terbukti.
22. Provinsi Kalimantan Barat
Dalam permohonannya Pemohon mendalilkan telah kehilangan 5.306 suara untuk
Provinsi Kalimantan Barat. Setelah Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan KPU
dapat disimpulkan bahwa kedua alat bukti tersebut sama, perolehan suara Pemohon
di Provinsi Kalimantan Barat berjumlah 415.492 suara. Tidak ditemukan adanya bukti
pengurangan sebesar 5.306 suara yang didalilkan Pemohon. Berdasarkan pemeriksaan
tersebut, Mahkamah berkesimpulan dalil Pemohon untuk Provinsi Kalimantan Barat
tidak terbukti.
23. Provinsi Bali
Pemohon dalam permohonannya menyatakan perolehan suara Pasangan Calon di
Provinsi Bali menurut KPU adalah 210.784 suara, sedangkan menurut klaim Pemohon
menyebutkan bahwa angka tersebut masih kurang sebesar 7.983 suara. Untuk mendukung
klaim kekurangan angka 7.983 suara tersebut, Pemohon mengajukan bukti-bukti tertulis
berupa rekapitulasi Hasil Pemilu Presiden Tahun 2004 yang disusun oleh Pemohon (diolah
oleh Yusri) pada tanggal 22 Juli 2004. Dalam persidangan untuk Provinsi Bali, Pemohon
tidak mengajukan saksi-saksi untuk memperkuat permohonannya. Setelah Mahkamah
meneliti bukti tersebut secara cermat, ternyata alat bukti tersebut tidak mempunyai nilai
pembuktian yang yuridis sehingga tidak dapat memberikan keyakinan kepada Mahkamah
untuk dapat membenarkan klaim Pemohon. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
di atas, maka Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon untuk Provinsi Bali tidak
terbukti.
24. Provinsi Sulawesi Tengah
Pemohon mendalilkan telah kehilangan 10.206 suara untuk Provinsi Sulawesi
Tengah. Menimbang bahwa, setelah Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan KPU
389 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dapat disimpulkan bahwa kedua alat bukti tersebut sama. Berdasarkan uraian di
atas, Mahkamah berkesimpulan dalil Pemohon untuk Provinsi Sulawesi Tengah tidak
terbukti.
25. Provinsi Sulawesi Tenggara
Pemohon mendalilkan kehilangan 33.882 suara untuk Provinsi Sulawesi Tenggara.
Setelah Mahkamah memeriksa bukti Pemohon dan bukti KPU dapat disimpulkan bahwa
kedua alat bukti tersebut sama, perolehan suara Pemohon di Provinsi Sulawesi Tenggara
berjumlah 361.386 suara. Tidak ditemukan adanya bukti pengurangan sebesar 33.882
suara yang didalilkan Pemohon. Berdasarkan uraian di atas, Mahkamah berkesimpulan
dalil Pemohon untuk Provinsi Sulawesi Tenggara tidak terbukti.
26. Provinsi DI Yogyakarta
Pemohon mendalilkan jumlah suara yang hilang di Provinsi DI Yogyakarta sebesar
64.364 suara. Menurut Pemohon terdapat perbedaan jumlah pemilih untuk Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta antara SK-KPU Nomor 39 tahun 2004 sejumlah 2.559.084
dengan SK KPU Nomor 79/SK/KPU/Tahun 2004 tentang Penetapan dan Pengumuman
Hasil Penghitungan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 bertanggal
26 Juli 2004 sejumlah 2.531.341 yang menjadikan selisih perbedaan sejumlah 27.743.
akan tetapi ternyata Pemohon tidak dapat membuktikan hubungannya dengan hilangnya
perolehan suara Pemohon. Dari bukti-bukti yang diajukan Pemohon ternyata dalil
Pemohon yang menyatakan bahwa terjadi selisih antara jumlah daftar pemilih tetap
ditambah dengan jumlah pemilih dari TPS lain yang dibandingkan dengan jumlah
suara sah ditambah dengan jumlah suara tidak sah, yang setelah diperiksa Mahkamah
ternyata tidak terdapat selisih. Berdasarkan uraian di atas, Mahkamah berkesimpulan
dalil Pemohon untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terbukti.
Setelah meneliti satu demi satu secara cermat perolehan suara di 26 Provinsi
yang dipermasalahkan oleh Pemohon sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah
berkesimpulan bahwa Pemohon ternyata tidak berhasil membuktikan dalil tentang
kesalahan hasil penghitungan suara yang mengakibatkan Pemohon kehilangan sebesar
5.434.660 suara. Oleh karena itu, permohonan Pemohon tidak beralasan, sehingga
harus ditolak
Mahkamah Konstitusi juga memberikan beberapa catatan penting, sebagaimana
dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan, diantaranya hal-hal yang bersifat
kualitatif yang didalilkan oleh Pemohon sudah sepantasnya menjadi perhatian KPU guna
perbaikan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada putaran kedua.
390 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
391 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 064/PUU-II/2004
TENTANG
JANGKA WAKTU MENGAJUKAN PERMOHONAN PERSELISIHAN HASIL
PEMILIHAN UMUM DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Pemohon : Asir, SE.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK) terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pokok Perkara : Pasal 74 ayat (3) UU MK mengenai jangka waktu pengajuan
permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bertentangan
dengan Pasal 22W ayat (1) UUD 1945 mengenai pelaksanaan
Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk menarik kembali
permohonannya.
Tanggal Putusan : Jumat 17 Desember 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon Asir, S.E dalam surat permohonannya bertanggal 31 Juli 2004 dan telah
diperbaiki pada tanggal 16 Agustus 2004 mengajukan Pengujian Pasal 74 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 mengenai permohonan hanya dapat diajukan
dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak komisi
pemilihan umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional
bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon mengajukan Surat Pencabutan permohonan yang ditandatangani oleh
Kuasa Pemohon bertanggal 16 Desember 2004 dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi melalui Faksimili pada tanggal 16 Desember 2004.
Mahkamah mengabulkan penarikan permohonan Pemohon karena tidak
bertentangan dengan undang-undang dengan memperhatikan Pasal 35 ayat (1) dan
392 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia. Serta menyatakan permohonan Pemohon mengenai pengujian terhadap UU
a quo tidak dapat diajukan kembali. Mahkamah juga memerintahkan kepada Panitera
untuk mencatat pencabutan perkara Nomor 064/PUU-II/2004 tersebut dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.
393 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 065/PUU-II/2004
TENTANG
PENERAPAN ASAS BERLAKU SURUT
DALAM KASUS PELANGGARAN HAM BERAT
Pemohon : Abilio Jose Osorio Soares.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pokok Perkara : Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM mengenai penerapan asas
retroaktif terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia bertentangan
dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 mengenai hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Amar Putusan : Menolak Permohonan Pemohon.
Tanggal Putusan : Kamis, 3 Maret 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon, Abilio Jose Osorio Soares (mantan Gubernur KDH Tingkat I Timor
Timur) adalah seorang warga negara Indonesia yang telah menjalani proses sebagai
Terdakwa dalam perkara pelanggaran hak asasi manusia berat di Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Jakarta Pusat menganggap hak
konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM yaitu hak yang
diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyangkut hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut.
Pemohon divonis oleh Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan HAM Jakarta
Pusat selam tiga tahun penjara yang kemudian dikuatkan dengan putusan Pengadilan
Tinggi Ham Ad Hoc Jakarta dan Mahkamah Agung. Perbuatan yang dituduhkan oleh
Jaksa Penuntut Umum Ad Hoc kepada Pemohon adalah pelanggaran HAM Berat berupa
pembunuhan dan penganiayaan terhadap para penduduk sipil Pro Kemerdekaan antara
bulan April dan September tahun 1999 Timor Timur. Tempus delicti dari perkara tersebut
394 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sebelum diberlakukannya UU Pengadilan HAM.
Namun akibat adanya ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM, yang
menentukan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya UU Pengadilan HAM diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM
Ad Hoc, maka Pemohon terkena ketentuan pasal tersebut dan dijatuhi hukuman pidana
penjara selama 3 tahun. Sehingga Pemohon mendalilkan dirinya mempunyai legal
standing untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan
HAM terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.
Pemohon juga mendalilkan bahwa sesuai dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, bersifat mutlak, tanpa kecuali dan
tidak dapat disimpangi dengan alasan apapun, termasuk alasan keadaan luar biasa atau
extraordinary. International Criminal Court melalui Statuta Roma 1998 juga menolak
penerapan asas retroaktif terhadap kejahatan genosida (genocide) dan kejahatan
terhadap kemanusiaan (Crimes Against Humanity).
Menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
salah satu kewenangan Mahkamah adalah melakukan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945. Pasal 50 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pun menyatakan
bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang
diundangkan setelah perubahan pertama UUD 1945 tanggal 19 Oktober 1999, sedangkan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diundangkan tanggal 23
November 2000. Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili
dan memutuskan permohononan Pemohon.
Dalam pertimbangan hukumnya, terhadap kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon Abilio Jose Osorio Soares (mantan
Gubernur KDH Tingkat I Timor Timur), adalah seorang Warga Negara Indonesia yang
telah menjalani proses sebagai Terdakwa dalam perkara pelanggaran hak asasi manusia
berat di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Hak Asasi Manusia
Jakarta Pusat menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 43 ayat (1) UU
Pengadilan HAM yaitu hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pasal 43
ayat (1) UU Pengadilan HAM, yang menentukan bahwa pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM diperiksa dan
diputuskan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc telah diterapkan terhadap
Pemohon. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 43 ayat (1) UU
Pengadilan HAM.
Terkait dengan pokok perkara, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya melihat
pembentukan Pengadilan HAM yang tertuang dalam UU Pengadilan HAM, didasarkan atas
395 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pertimbangan, pertama, untuk menjawab sejumlah persoalan HAM yang selalu berulang
(recurrent) yang telah dihadapi Bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang
waktu yang relatif lama sehingga Pengadilan HAM ini diharapkan dapat menyelesaikan
sejumlah persoalan HAM masa lalu agar tidak selalu menjadi ganjalan yang tak
terselesaikan; kedua, untuk menjawab sejumlah persoalan yang bersifat kontemporer
atau muncul sebagai burning issues yang berdimensi luas mengingat Indonesia tidak
dapat mengisolasi dirinya dari sejumlah persoalan hak asasi manusia yang dihadapi oleh
bangsa-bangsa di dunia sebagai persoalan kolektif hak asasi manusia kontemporer,
dan ketiga, untuk memberdayakan institusi-institusi hak asasi manusia dalam menjawab
sejumlah persoalan hak asasi manusia di masa kini dan masa mendatang.
Sedangkan pemberlakuan undang-undang secara retroaktif dalam Pasal 43 ayat
(1), Mahkamah berpendapat sebagai upaya Pemerintah untuk menyelesaikan secara
terhormat perkara pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi sebelum UU
Pengadilan HAM diundangkan tanpa campur tangan dunia internasional melalui cara-
cara beradab dan menggunakan standard yang berlaku dalam menangani kejahatan-
kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes).
Mahkamah juga berpendapat pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc jauh dari
maksud untuk memberikan impunity dan/atau menciptakan pengadilan pura-pura (sham
proceeding), tetapi semata-mata dijiwai oleh semangat dan kehendak (willingness) dan
memperlihatkan kemampuan (ability) untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran berat
hak asasi manusia melalui mekanisme pengadilan nasional (domestic mechanism as
a primary forum) secara terhormat dan profesional dengan mengadopsi Rome Statute
of International Criminal Court 1998, sepanjang menyangkut elemen-elemen kejahatan
(elements of crimes) yang berkaitan dengan kejahatan genosida (genocide) dan kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).
Mahkamah juga berpendapat bahwa Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tidak dapat
dibaca secara terpisah dengan ketentuan Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Atas dasar itu, Mahkamah berpendapat hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum
yang berlaku surut (retroaktif) tidaklah bersifat mutlak, sehingga dalam rangka memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban, dapat dikesampingkan.
Lebih lanjut Mahkamah berpendapat, penerapan secara retroaktif suatu undang-
undang tidaklah otomatis menyebabkan undang-undang yang bersangkutan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan serta-merta menjadi tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Pemberlakuan demikian juga tidak selalu dengan sendirinya
mengandung pelanggaran hak asasi, melainkan harus dinilai dari dua faktor atau syarat
yang harus dipenuhi dalam pemberlakuan hukum atau undang-undang secara retroaktif.
Pertama, besarnya kepentingan umum yang harus dilindungi undang-undang tersebut;
Kedua, bobot dan sifat (nature) hak-hak yang terlanggar akibat pemberlakuan undang-
undang demikian lebih kecil dari kepentingan umum yang terlanggar.
396 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Atas dasar itu semua, permohonan Pemohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 43
ayat (1) dan ayat (2) UU Pengadilan HAM bertentangan dengan UUD 1945, tidak terbukti.
Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Pemohon.
Pendapat Berbeda :
Tiga orang hakim konstitusi mengemukakan pendapat berbeda dalam putusan ini.
Pendapat berbeda tersebut menyangkut pokok perkara. Penerapan asas retroaktif yang
diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM menyalahi ketentuan Pasal 28I ayat
(1) UUD 1945. Penerapan asas tersebut juga bertentangan dengan asas hukum yang
dianut oleh hampir seluruh sistim hukum pidana di dunia. Selain itu, asas retroaktif juga
bertentangan dengan salah satu standar minimal dalam menjamin proses pengadilan
yang baik (fair trial) sebagai tonggak yang tonggak dalam penegakan rule of law (negara
hukum).
Larangan untuk menerapkan asas retroaktif juga dinyatakan secara tegas dalam
Pasal 11 ayat (2) The Universal Declaration of Human Rights PBB tahun 1948, Pasal
19 huruf d Deklarasi HAM Islami Cairo yang dibuat oleh konferensi negara-negara OKI.
Selain itu, Pasal 11 ayat (1), Pasal 24 ayat (2) Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court/ICC) tahun 1998 juga melarang penerapan
asas retroaktif.
Dengan demikian menurut para Hakim yang berbeda pendapat, seyogyanya
Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon.
397 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 066/PUU-II/2004
TENTANG
PEMBATASAN UNTUK MEMBENTUK ORGANISASI INDUSTRI
DAN KEBERADAAN KADIN
Pemohon : 1. DR. Elias L. Tobing; 2. DR. RD.H. Naba Bunawan, M.M., M.B.A.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (UU KADIN) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pokok Perkara : 1. Pasal 50 UU MK mengenai undang-undang yang dapat
dimohonkan diuji di MK bertentangan dengan Pasal 28C ayat
(2) UUD 1945 mengenai hak kolektif.
2. Pasal 4 UU KADIN mengenai pembatasan untuk membentuk
organisasi industri bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan
(2), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyangkut hak berserikat
dan persamaan didepan hukum serta hak mendapatkan
imbalan dari pekerjaan.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Selasa 12 April 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah warga negara Indonesia sebagai pengusaha di bidang Usaha Kecil
Menengah (UKM) yang bergabung dan membentuk Kamar Dagang dan Industri Usaha
Kecil Menengah sejak tanggal 11 Juni 2001, berdasarkan Akta Nomor 31 tanggal 11 Juni
2001 pada Notaris Darbi, S.H. di Jakarta.
Pemohon mendalilkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK) menetapkan undang-undang yang dapat dimohonkan untuk
398 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, sehingga
telah menghambat konstitusionalitas dan merugikan Pemohon dalam memperjuangkan
hak untuk memajukan diri secara kolektif membangun masyarakat, bangsa dan negara
dalam organisasi Kamar Dagang dan Industri Usaha Kecil Menengah, maka Pasal 50 UU
MK tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Pemohon mendalilkan bila tetap konsisten berpegang pada Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003, akan tercipta tolak ukur ganda dalam sistim hukum Indonesia
dengan tetap membiarkan berlaku sahnya suatu undang-undang yang bertentangan
dengan UUD 1945 in casu Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 yang jelas-
jelas merugikan hak konstitusi Pemohon beserta puluhan ribu anggota untuk membentuk
organisasi yang sebanding dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia tersebut.
Pemohon mendalilkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 telah
merugikan hak konstitusional Pemohon untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat dalam organisasi Kamar Dagang dan Industri Usaha Kecil Menengah (Kadin
UKM) seperti yang ditetapkan dalam Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) ayat (2)
UUD 1945 hak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
tidak diperoleh Pemohon, dengan adanya penolakan Departemen Kehakiman dan HAM
RI ketika Pemohon mengajukan pendaftaran Badan Hukum atas Akta Pendirian Kamar
Dagang dan Industri Usaha Kecil Menengah dengan alasan adanya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1987, demikian juga ketika Pemohon mengajukan pendaftaran merek
Kadin UKM juga ditolak dengan alasan merek tersebut telah dimiliki oleh Kadin Indonesia
sebagai satu-satunya wadah bagi pengusaha Indonesia meskipun pada mulanya
Direktorat Jenderal HAKI Departemen Kehakiman dan HAM RI telah mendaftar merek
Kadin UKM yang kemudian ditolak berdasarkan keberatan dari Kadin Indonesia.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk
mengabulkan permohonan Pemohon; menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat; menyatakan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Mahkamah berpendapat bahwa undang-undang yang dimohonkan untuk diuji materiil
adalah dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar
Dagang dan Industri, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Dalam pengujian ini keduanya mempunyai hubungan yang erat untuk
menentukan kewenangan Mahkamah karena putusan Mahkamah terhadap permohonan
uji materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 50 akan menentukan putusan
Mahkamah terhadap permohonan uji materiil Pasal 4 dari Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. Oleh karena itu untuk menetapkan
kewenangan Mahkamah guna memeriksa dan memutus permohonan Pemohon untuk uji
materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 akan dinyatakan di dalam pokok perkara
pertama yang memeriksa dan memutus permohonan uji materiil terhadap Undang-
399 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Undang Nomor 24 Tahun 2003. Akan tetapi, terlepas dari hal tersebut di atas, Mahkamah
telah mempunyai pendirian terhadap permohonan pengujian undang-undang yang
diundangkan sebelum perubahan undang-undang dasar sebagaimana dimaksud Pasal
50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, sebagaimana tertuang dalam putusan perkara
Nomor 004/PUU-I/2003. Oleh karena itu terlepas dari adanya perbedaan pendapat di
antara hakim konstitusi mengenai Pasal 50 tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa
Mahkamah berwenang memeriksa dan memutus permohonan a quo.
Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon adalah masing-masing sebagai Ketua
Umum dan Sekretaris Jenderal Kamar Dagang dan Industri Usaha Kecil Menengah,
dengan demikian Pemohon memenuhi kualikasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal
51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yaitu sebagai perorangan warga
negara Indonesia.
Berdasarkan dalil Pemohon yang menyatakan hak konstitusionalnya yang dijamin
oleh Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 telah dirugikan karena adanya Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003, menurut Mahkamah dapat digunakan sebagai dasar bagi
Pemohon untuk memenuhi persyaratan terdapatnya kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon untuk mengajukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Bahwa terhadap fakta-fakta di atas, terlepas dari adanya
pendirian seorang hakim konstitusi yang menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai
legal standing, Mahkamah berpendapat memang terdapat kerugian hak konstitusional
Pemohon dalam permohonan a quo, sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Pemohon dinilai memiliki kedudukan hukum
(legal standing).
Di samping itu Pemohon juga menyatakan bahwa hak konstitusionalnya yang
dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 juga telah dirugikan oleh Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. Pemohon sebagai
pengusaha telah mendirikan Kamar Dagang dan Industri Usaha Kecil Menengah (Kadin
UKM) dengan Akta Notaris dan permohonan Pemohon untuk mendapatkan pengesahan
sebagai Badan Hukum telah ditolak oleh Menteri Kehakiman dan HAM (pada waktu
itu) dengan alasan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar
Dagang dan Industri bahwa di Indonesia hanya satu wadah kamar dagang dan industri
sehingga permohonan pengesahan yang diajukan Pemohon ditolak. Namun demikian,
pemeriksaan terhadap permohonan pengujian Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1987 tentang Kamar Dagang dan Industri akan ditentukan oleh putusan Mahkamah dalam
pemeriksaan permohonan pengujian Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang akan diputus terlebih dahulu dalam pemeriksaan
permohonan a quo.
Mahkamah berpendapat Pemohon dalam permohonannya mendalilkan Pasal 50
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi telah merugikan hak konstitusional Pemohon
karena Pasal 50 Undang-Undang a quo menghalangi Pemohon untuk mendapatkan
400 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
jaminan atas hak Pemohon sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28C ayat (2) UUD
1945, dan Pasal 50 Undang-Undang a quo, menurut Pemohon, telah menimbulkan tolok
ukur ganda dalam sistim hukum Indonesia karena tetap membiarkan berlakunya suatu
undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, in casu Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1987, melanggar hak konstitusional Pemohon. Berdasarkan pertimbangan
enam orang Hakim Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 24C
ayat (1) sehingga permohonan Pemohon, sepanjang menyangkut Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus dikabulkan.
Selanjutnya, dengan adanya pendapat Mahkamah sebagaimana dinyatakan di atas
bahwa Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
bertentangan dengan UUD 1945, yang substansinya akan tertuang dalam amar putusan
perkara ini, maka pemeriksaan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987
sebagaimana dimohonkan Pemohon dapat dilanjutkan karena tidak lagi terhalang oleh
adanya Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pemohon menganggap, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 telah
merugikan dan mengeliminir hak Pemohon sebagaimana diatur oleh Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945 dimaksud. Terhadap dalil Pemohon ini, dapat dikemukakan pertimbangan
bahwa mengingat sistim campuran yang dianut Indonesia dalam pengaturannya tentang
keberadaan kamar dagang dan industri, maka tidak terdapat keharusan bagi pengusaha,
perusahaan, atau organisasi pengusaha untuk bergabung dengan Kadin karena
keanggotaan dalam sistim demikian sifatnya sukarela, meskipun Kadin-nya sendiri
dibentuk dengan undang-undang. Dengan demikian, secara a contrario, tidak adanya
keharusan demikian berarti dapat pula diartikan bahwa pengusaha, perusahaan, atau
organisasi perusahaan bebas untuk membentuk wadahnya sendiri atau tidak membentuk
wadah untuk berhimpun sesuai dengan keinginan dan/atau kebutuhan mereka sendiri,
sesuai dengan ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh
Pemohon. Namun dalam hal pelaku usaha yang bersangkutan ingin membentuk wadah
berhimpun sesuai dengan keinginannya, tidak terdapat larangan apapun, sepanjang
tidak menggunakan nama Kadin. Dengan demikian, Pasal 4 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1987 tidak boleh diartikan termasuk oleh Pemerintah sebagai keharusan atau
kewajiban bagi pengusaha, perusahaan, atau organisasi pengusaha untuk bergabung ke
dalam Kadin.
Mahkamah berpendapat bahwa berdasarkan dalil Pemohon yanag menyatakan
Kadin harus dilindungi oleh hukum itu adalah Kadin yang dibentuk berdasarkan undang-
undang, in casu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987, yaitu Kadin yang merupakan
singkatan dari Kamar Dagang dan Industri, yang sebagaimana telah dikemukakan di atas
melaksanakan sebagian fungsi organ negara dalam arti luas. Oleh karena itu, sesuai
dengan sistim yang dipilih, pemerintah atau negara boleh melarang jika ada pihak-pihak
yang mendirikan suatu wadah berhimpun yang menggunakan nama Kadin. Sehingga,
401 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
penolakan yang dialami Pemohon, baik oleh pihak departeman yang pada saat itu
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia maupun oleh departemen yang pada
saat itu Departemen Perindustrian dan Perdagangan, sebagaimana diuraikan dalam
permohonan a quo, terjadi bukanlah karena adanya kesalahan yang terdapat dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 melainkan sebagai konsekuensi logis
dari sistim yang dianut yang menempatkan Kadin sebagai organ negara dalam arti luas,
sehingga larangan penggunaan nama Kadin di luar Kadin yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 adalah semata-mata agar tidak terjadi kerancuan
antara Kadin yang melaksanakan sebagian fungsi organ negara dalam arti luas dan
wadah atau organisasi lain yang menggunakan nama sama namun tidak melaksanakan
fungsi-fungsi demikian.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 4 Undang-Undang a quo tidak
menghalangi hak Pemohon yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 untuk
membentuk wadah berserikat sepanjang wadah tersebut tidak dimaksudkan atau dapat
ditafsirkan sebagai dimaksudkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi Kadin yang dibentuk
dengan undang-undang, baik sebagian maupun seluruhnya. Mahkamah tidak pula melihat
adanya korelasi Pasal 4 Undang-Undang a quo dengan terlanggarnya hak-hak Pemohon
sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 untuk bekerja dan mendapat
imbalan yang layak dalam hubungan kerja, sehingga dalil Pemohon yang mengaitkan
Pasal 4 undang-undang a quo dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidaklah relevan.
Oleh karena itu, permohonan Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1987 harus dinyatakan tidak cukup beralasan untuk dikabulkan.
Dengan pertimbangan tersebut di atas Mahkamah megabulkan permohonan
Pemohon untuk sebagian, serta menyatakan Pasal 50 MK bertentangan dengan UUD
1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan terkait Pasal 4 UU
KADIN Mahkamah menolak permohonan Pemohon.
Pendapat Berbeda :
Pendapat tiga Hakim Konstitusi, terkait dengan pengujian Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pendapat Hakim bahwa Mahkamah niscaya tidak boleh menjangkau terlalu jauh
guna menguji Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 (yang diundangkan pada
tanggal 28 Januari 1987). Manakala Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
dinyatakan tidak lagi mengikat secara hukum maka berarti Mahkamah Konstitusi telah
melucuti kewenangan formeel recht yang diberikan de wetgever kepada dirinya. Padahal
formeel recht (acara) dibuat guna menegakkan kaidah hukum materiil. Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tidak saja menentukan pengujian sebatas undang-undang
yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 guna menghindari tumpukan perkara
(papieren muur) tetapi juga Mahkamah itu sendiri merupakan lembaga produk masa
perubahan (amandemen) UUD 1945.
402 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pendapat Hakim terhadap Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sama
sekali tidak dimaksud mereduksi kewenangan konstitusional Mahkamah sehubungan
dengan pengujian undang-undang terhadap UUD [Pasal 24C ayat (1) UUD 1945]
tetapi justru melaksanakan dan menjabarkan kewenangan konstitusional dimaksud,
sebagaimana lazimnya suatu undang-undang, wet, gesetz melaksanakan dan
menjabarkan UUD, Grondwet atau Grndgesetz.
Pendapat Hakim dalam pada itu, dilihat dari waktu (tempus) pengundangan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1987 di kala tanggal 28 Januari 1987 maka undang-undang
tersebut harus dipandang tetap berlaku, berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945
yang menetapkan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang masih ada tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD (amandemen) ini, maksudnya
perubahan daripadanya hanya mungkin melalui pembuatan undang-undang baru oleh
DPR bersama Presiden. Peraturan perundang-undangan (algemene verbindende
voorschriften) dimaksud tidak dapat diubah melalui putusan hakim, termasuk putusan
Mahkamah Konstitusi.
Pendapat Hakim dari sudut pendekatan dari sisi yuridis, bahwa tidak terjadi
pengurangan atau penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003. Oleh karena itu ketentuan yang terdapat dalam Pasal 50
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, bukan berarti pengurangan, melainkan berupa
penjabaran atau penjelasan lebih lanjut dari wewenang Mahkamah Konstitusi yang
tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) dalam bidang hukum acara. Kalaupun penjabaran itu
dirasakan seolah-olah berupa pembatasan, pembatasan seperti itu telah lazim terdapat
dalam undang-undang yang merupakan penjabaran dari pasal tertentu UUD 1945. Oleh
karena itu materi Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang penentuan
tenggat waktu untuk dapatnya suatu undang-undang di uji terhadap UUD 1945, tidak
dapat dianggap sebagai pengurangan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), sehingga pasal a quo tidak bertentangan dengan
UUD 1945.
Pendapat Hakim dari sudut Pendekatan dari Sisi Tujuan Hukum, keberadaan Pasal
50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dapat diuji dengan menggunakan pendekatan
ketiga tujuan hukum tersebut. Pendekatan Keadilan Hukum setiap undang-undang dibuat
dengan mengacu kepada ruh yang terkandung dalam undang-undang dasar yang berlaku
saat itu. Jika undang-undang dasar berubah, berarti ruh yang terkandung di dalamnya
berubah pula. Sementara itu undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan
undang-undang dasar tetap mengacu kepada undang-undang dasar lama (sebelum
terjadi perubahan). Oleh karena itu tidak adil (fair) rasanya jika suatu undang-undang
yang dibuat berdasarkan undang-undang dasar yang lama diuji dengan undang-undang
dasar baru. Keadilan hukum akan terasa jika suatu undang-undang diuji dengan undang-
undang dasar yang dijadikan dasar pada saat penyusunan dan pengundangan undang-
undang tersebut. Dengan demikian jalan pikiran (logika) dan konstruksi hukum pembuat
403 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
undang-undang yang membatasi undang-undang yang dapat dilakukan pengujian adalah
undang-undang yang diundangkan setelah Perubahan Pertama UUD 1945 (19 Oktober
1999), dengan menggunakan pendekatan keadilan hukum sungguh dapat dipahami.
Pemahaman ini bukan berarti undang-undang yang diundangkan sebelum Perubahan
Pertama UUD 1945 tidak bisa diuji, undang-undang tersebut tetap dapat diuji melalui
legislative review, bukan melalui judicial review.
Pendapat Hakim dari sudut pendekatan kepastian hukum, demikianlah tenggat waktu
yang terkandung dalam Pasal 50 boleh jadi tidak memenuhi rasa keadilan sesaat, karena
adanya perlakuan yang berbeda, yaitu ada undang-undang yang dapat diuji (undang-
undang yang diundangkan setelah Perubahan Pertama UUD 1945) dan ada undang-
undang yang tidak dapat diuji (undang-undang yang diundangkan sebelum Perubahan
Pertama UUD 1945). Tetapi pembedaan ini justru diperlukan agar terdapat kepastian
bagi para penegak hukum dan masyarakat dalam upaya memantapkan penegakan
hukum (law enforcement).
Pendapat Hakim dari sudut Pendekatan Kegunaan Hukum, pembatasan waktu yang
terdapat dalam Pasal 50 juga diperlukan karena pembuat undang-undang mengaitkannya
dengan perkiraan akan melimpahnya permohonan pengujian undang-undang yang
diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Perkiraan itu sangat beralasan dengan melihat
pengalaman yang dialami Mahkamah Agung selama ini, di mana tunggakan perkara
semakin bertumpuk dan tidak kunjung terselesaikan. Akibat penyelesaian perkara yang
terlampau lama, maka putusan Mahkamah Agung seringkali merupakan keadilan yang
terlambat atau keadilan yang sudah basi. Hal tersebut dapat terulang pada Mahkamah
Konstitusi, jika tidak diadakan pembatasan. Lagi pula, hakim konstitusi hanya berjumlah 9
(sembilan) orang, padahal rapat permusyawaratan hakim untuk memutus semua perkara
harus dihadiri oleh seluruh hakim konstitusi.
Pendapat hakim dari sudut pendekatan dari sisi etika persidangan, selain
menggunakan pendekatan dari sisi yuridis dan tujuan hukum, pengujian Pasal 50
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, juga harus ditinjau dari sisi etika persidangan.
Dalam menyidangkan suatu perkara, semua peradilan pada dasarnya selalu
mempertimbangkan keterkaitan antara pihak yang berperkara atau objek perkara
dengan para hakim yang bertugas memeriksa, menyidangkan, dan memutus perkara
tersebut. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut bukan berarti konstitusionalitas
Pasal 50 tidak dapat diuji. Pengujian konstitusionalitasnya tetap terbuka tetapi bukan oleh
Mahkamah Konstitusi melalui judicial review, melainkan oleh pembuat undang-undang
melalui pengujian legislatif (legislative review).
Pendapat Hakim terhadap Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 hanya menentukan macam
kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi (constitutioneele bevoegdheden)
yang antara lain kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-
undang dasar, tentu diperlukan undang-undang organik yang mengatur bagaimana cara
melaksanakan kewenangan yang telah diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan
404 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
mengacu pada Pasal 24C ayat (6) yang berbunyi, Pengangkatan dan pemberhentian
Hakim Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi
diatur dengan undang-undang, yang sekaligus merupakan amanat konstitusi, sudahlah
tepat DPR dan Pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang materi muatannya mengatur antara lain hukum
acara Mahkamah (vide BAB V) termasuk ketentuan mengenai undang-undang mana
yang dapat dimohonkan untuk diuji yaitu undang-undang yang diundangkan setelah
perubahan UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999 (vide Pasal 50). Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua macam kewenangan; pertama kewenangan
konstitusional (constitutioneele bevoegdheden) yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1)
dan kedua, kewenangan hukum acara (procedure bevoegdheden) yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang merupakan undang-undang organik
sebagai pelaksanaan dari perintah Pasal 24C ayat (6) UUD 1945, sehingga pengaturan
kewenangan prosedural (procedure bevoegdheden) Mahkamah Konstitusi yang diatur
dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tidak menghilangkan atau
mereduksi kewenangan konstitutional (constitutioneele bevoegheden) dari Mahkamah
Konstitusi. Oleh karena itu keberadaan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Pendapat Hakim dalam pada itu, sebagai suatu perbandingan, praktik pada
Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundes-Verfassungsgericht) juga menetapkan batas
waktu untuk pengajuan sebuah pengaduan konstitusional. Tergantung dari apakah yang
digugat itu sebuah keputusan salah satu instansi negara atau undang-undang sendiri,
tenggat ini dapat ditentukan berbeda-beda. Di Jerman batas waktu untuk mengajukan
pengaduan konstitusional terhadap satu keputusan saja adalah satu bulan, sebaliknya
untuk menggugat undang-undang adalah satu tahun sejak undang-undang tersebut
mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan memperhatikan uraian di atas pendapat
berbeda menyatakan bahwa permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard), kalau tidak, berarti Mahkamah telah menanggalkan
kewenangan yang diberikan undang-undang dasar melalui pembentuk undang-undang
(Wetgever).
Pendapat tiga Hakim Konstitusi, terkait dengan pengujian Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri.
Pendapat Hakim Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 menetapkan
Kadin sebagai satu-satunya organisasi dagang dan industri, yang merupakan wadah
bagi pengusaha Indonesia, baik yang bergabung maupun yang tidak bergabung dalam
organisasi pengusaha dan/atau organisasi perusahaan. Uraian ini dan fakta-fakta
dipersidangan melahirkan kesimpulan, bahwa tidak diperkenankan berdirinya Kadin
Usaha Kecil dan Menengah, yang oleh Pemohon dipandang merupakan aturan undang-
undang yang bertentangan dengan Konstitusi. Kami menyetujui pendapat Pemohon
dengan alasan di bawah ini.
405 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Memang dapat dianggap baik apabila organisasi Kadin secara tunggal memungkinkan
terserapnya seluruh aspirasi komponen pelaku usaha di bidang perdagangan dan industri,
baik yang besar, menengah, maupun kecil akan tetapi dari bukti-bukti keterangan ahli
maupun saksi yang diajukan Pemohon, telah ternyata pengurus Kadin tidak memberikan
keleluasaan yang cukup bagi pengusaha kecil dan menengah untuk memperoleh
perhatian di dalam perjuangan Kadin.
Usaha besar dalam praktik melakukan hal-hal yang kadang-kadang sifatnya justru
tidak adil terhadap usaha kecil dan usaha besar secara alamiah dalam Hukum Ekonomi
Pasar akan memakan usaha yang kecil sehingga keduanya tidak dapat disatukan dalam
satu wadah organisasi Kadin. Upaya usaha kecil dan menengah untuk membentuk
organisasi sendiri yang terhimpun dalam Kadin UKM telah mendapat hambatan karena
didasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 yang mengharuskan
organisasi Kadin bersifat tunggal. Pasal 4 tersebut dan semua tindakan yang membatasi
terbentuknya Kadin UKM melanggar Undang-Undang Dasar khususnya Pasal 28D ayat
(1) dan (2) serta Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Apakah Kadin sebagai satu-satunya wadah bagi Pengusaha Indonesia dalam
undang-undang, apakah dapat diartikan bahwa Kadin adalah satu badan atau lembaga
Pemerintah atau lembaga publik yang memiliki kewenangan hukum publik tertentu.
Terlepas dari penegasan yang telah disebut dalam Pasal 5 Undang-Undang a quo,
bahwa Kadin bersifat mandiri, bukan organisasi pemerintah dan bukan organisasi politik.
Kadin tidak ternyata memenuhi kriteria yang telah ditentukan dalam Pasal 5 UU a quo,
kecuali bahwa fungsi lembaga tersebut penting bagi masyarakat berhubungan dengan
pelayanan Pemerintah, sehingga Kadin tidak dapat dipandang sebagai organisasi atau
lembaga pemerintahan yang memiliki kewenangan publik. Hal demikian menyebabkan
bahwa kewenangan membatasi hak-hak dasar warganegara yang diatur Pasal 28E ayat
(3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Meskipun demikian yang harus menjadi pertanyaan apakah dengan menyatakan
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 bertentangan dengan UUD 1945,
dimaksudkan akan diperkenankan tumbuhnya Kadin secara jamak tanpa satu prinsip
yang dapat dipedomani, yang dapat dipergunakan untuk menggalang kekuatan pelaku
usaha dalam membangun industri dan perdagangan Indonesia yang sangat lemah. Harus
ada satu prinsip yang mendasari hal ini, yaitu prinsip kepentingan yang sama, tujuan
yang sama, tanpa mana tidak akan adil untuk memaksakan adanya organisasi tunggal.
Komponen-komponen yang menjadi anggota organisasi tersebut haruslah memiliki
kepentingan yang sama yang diperjuangkan untuk tujuan yang sama yang dijadikan
sebagai landasan kerja organisasi, sehingga tidak boleh terdapat benturan kepentingan
di antara komponennya yang menyebabkan organisasi tunggal menjadi kontra-produktif.
Kondisi dan situasi sosial politik yang berubah, serta diadopsinya hak-hak dasar dalam
UUD l945 seharusnya mengubah seluruh paradigma yang dianut, sehingga undang-
undang yang dibentuk dan berlaku sebelum perubahan UUD 1945, dengan sendirinya
406 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
mengalami ujian yang menyebabkannya bertentangan dengan undang-undang dasar,
jika tidak sesuai dengan paradigma baru dalam perubahan UUD 1945, dan berdasar
doctrine of eclipse (kepudaran) yang terjadi secara alamiah undang-undang demikian
seperti halnya Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987, seharusnya dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pendapat Hakim mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 adalah undang-
undang yang lahir dalam masa berlakunya kebijakan yang serba monolitik dalam seluruh
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik ideologi, politik,
ekonomi, maupun hukum. Semua organisasi, agar mudah pengendaliannya, disatukan
dan diseragamkan secara top down, istilah wadah tunggal menjadi istilah yang begitu
populer dan merupakan keharusan pada waktu itu. Oleh karena itu, dapat dimengerti
adanya ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 yang menyatakan,
Dengan undang-undang ini ditetapkan adanya satu Kamar Dagang dan Industri yang
merupakan wadah bagi pengusaha Indonesia, baik yang tidak bergabung maupun yang
bergabung dalam organisasi pengusaha dan/atau organisasi perusahaan, yang sering
ditafsirkan oleh Pemerintah dan Pengurus Kadin bahwa hanya Kadin Indonesia yang
merupakan wadah tunggal para pengusaha Indonesia.
Nama Kadin seolah-olah seperti sebuah merk dagang atau paten sebuah hasil
temuan yang harus didaftarkan di Departemen Hukum dan HAM, padahal istilah kamar
dagang dan industri (di singkat Kadin) yang merupakan terjemahan/padanan istilah
chambers of commerce and industry Akan tetapi, kini dalam era reformasi yang ditandai
dengan proses demokratisasi dan penghormatan terhadap HAM, kebijakan yang serba
satu (monolit) atau seragam atau wadah tunggal yang bersifat top down tidak tepat
lagi, kalau toh ada kecenderungan menjadi satu seperti para advokat biarlah itu muncul
dari bawah. Di berbagai negara memang biasanya ada satu Kadin yang bersifat nasional
yang merupakan konfederasi dari macam-macam Kadin apakah yang terbentuk atas
dasar teritori (distrik/daerah) atau atas dasar ras (seperti di Singapura) atau skala usaha,
misal small business. Dalam perspektif Konstitusi kita, UUD 1945, kebijakan yang ketat/
kaku tentang wadah tunggal yang dipaksakan dari atas tentulah tidak sesuai, jika tak
mau dikatakan bertentangan dengan UUD 1945 mengenai kebebasan berserikat dan
berkumpul [Pasal 28 dan 28E ayat (3) UUD 1945]. Oleh karena itu, Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1987 seyogianya dinyatakan inkonstitusional dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah seharusnya dalam posisi tidak untuk menilai apakah keberadaan
Kadin telah benar-benar sesuai dengan maksud dibentuknya satu Kadin sebagaimana
tercantum dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 a quo,
namun Mahkamah seharusnya menilai apakah hal-hal yang dipertimbangkan dalam
konsideran tersebut cukup bernilai atau penting untuk mengurangi hak konsitusional
Pemohon. Saya berpendapat bahwa hal-hal yang diuraikan dalam konsideran belumlah
cukup untuk digunakan dasar mengurangi hak konstitusional Pemohon, karena hal
407 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tersebut masih dapat dicapai tanpa harus merugikan hak konsitusional Pemohon; Pasal
28C ayat (2) UUD 1945 yang didalilkan Pemohon sebagai hak konstitusional yang
dirugikan, tidaklah dapat dipisahkan dengan hak-hak lain yang dilindungi oleh konstitusi
di antaranya adalah hak yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi, Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Jaminan bahwa seseorang berhak untuk memperjuangkan haknya secara kolektif
sebagaimana dilindungi oleh Pasal 28C ayat (2) akan berkait erat dengan hak untuk
berserikat, berkumpul dalam arti membentuk suatu organisasi sebagaiamana dijamin
oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Dalam pelaksanaanya kedua jaminan tersebut
tidaklah cukup diberikan secara formal saja dalam arti tiadanya hambatan untuk
menggunakan hak tersebut, tetapi seseorang juga harus mendapatkan perlakuan yang
sama di depan hukum sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 28D ayat (1). Penggunaan
kata kamar dagang dan industri oleh Pemohon sebagai nama organisasi juga menjadi
penghambat untuk mendapatkan status badan hukum. Kata kamar dagang dan industri
adalah padanan kata bahasa Inggris Chamber of commerce and Industry, yang telah
mempunyai pengertian tersendiri yang dibedakan dengan pengertian asosiasi pengusaha,
atau perhimpunan karena chamber of commerce and industry bersifat lintas sektoral,
dengan demikian mempunyai pengertian yang bersifat generik. Kamar dagang dan
industri akan mempunyai pengertian khusus apabila dihubungkan dengan kata lain yang
menunjukkan spesikasinya, sebagai misal Kamar Dagang dan Industri Indonesia, atau
Kamar Dagang dan Industri Kecil dan Menengah sebagai sebuah nama.
Hak berserikat adalah hak yang sangat esensial bagi manusia karena sesuai
dengan kodrat manusia sebagai mahluk sosial. Hak-hak lain yang diberikan oleh undang-
undang dasar sangat dipengaruhi oleh terjaminnya pelaksanaan hak ini. Sesuai dengan
kodrat manusia maka hak untuk hidup serta hak untuk mempertahankan kehidupannya
secara nyata akan dapat dinikmati apabila manusia dijamin kebebasan untuk berserikat,
karena berserikat adalah cara yang paling efektif bagi manusia untuk mempertahankan
eksistensinya. Demikian juga hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta perlindungan dari kekerasan. Hak untuk mengembangkan diri melalui kebutuhan
dasarnya, hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif,
hak untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, hak untuk berkomunikasi,
hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan, hak hidup sejahtera lahir
batin, hak atas identitas budaya, dimana hak-hak tersebut dijamin dalam UUD 1945. Oleh
karena itu terhadap kegiatan warga negara untuk berserikat yang prima facie adalah
berserikat secara damai, tidak ada dasar untuk dibatasi. Mahkamah harus menggunakan
test yang ketat (strict scrutiny) apabila terdapat pembatasan atas hak berserikat.
Dengan dasar pertimbangan di atas, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987
tidak cukup mempunyai dasar alasan konstitusional untuk membatasi hak konstitusional
Pemohon dan dengan demikian seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan
Pemohon.
408 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
409 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 067/PUU-II/2004
TENTANG
PENGAWASAN ADVOKAT
Pemohon : 1. Domunggus Maurits Luitnan, S.H.; 2. L.A. Lada, S.H.; 3. H. Azi Ali
Tjasa, S.H., M.H.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (UU Mahkamah Agung) terhadap Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pokok Perkara : Pasal 36 UU Mahkamah Agung beserta penjelasannya mengenai
pengawasan advokat bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan
(3) UUD 1945 mengenai hak atas kepastian hukum.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon.
Tanggal Putusan : Senin 14 Februari 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah para advokat yang berstatus sebagai penegak hukum. Sesuai
dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat),
advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum
dan peraturan perundang-undangan.
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 36 dan penjelasannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomo4 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (UU Mahkamah Agung) terhadap Pasal 24 ayat (1) dan (3)
UUD 1945.
Pemohon mendalillkan hak konstitutionalnya diabaikan dengan berlakunya Pasal
36 UU Mahkamah Agung tentang ketentuan bahwa Mahkamah Agung dan Pemerintah
melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris telah membatasi kekuasaan
Kehakiman yang dimiliki oleh advokat sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 24 ayat (1)
dan (3) UUD 1945.
410 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon mendalilkan bahwa berlakunya Pasal 36 UU Mahkamah Agung yang
memberikan kewenangan Mahkamah Agung dan Pemerintah (dalam hal ini diwakili
oleh Menteri Kehakiman) untuk mengawasi advokat adalah kontradiktif dengan Pasal 12
UU Advokat yang memberikan kewenangan bagi Organisasi Advokat untuk melakukan
pengawasan terhadap advokat. Akibatnya telah terjadi ketidakpastian hukum dalam
pengawasan terhadap Pemohon dan Advokat pada umumnya. Pengawasan yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah atas kinerja para advokat dianggap
sebagai bentuk mengekangan yang bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945
yang berbunyi, Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, maupun Pasal 24
ayat (3) yang berbunyi, Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang.
Pemohon berpotensi mengalami kerugian langsung dengan berlakunya Pasal 36
UU Mahkamah Agung dimana Mahkamah Agung dan Pemerintah (Menteri Kehakiman)
berhak untuk melakukan penindakan berupa; pemberhentian sementara advokat dari
jabatan advokat hingga pencabutan praktik ijin sebagai advokat. Dengan demikian,
maka Mahkamah Agung dan Pemerintah (Menteri Kehakiman) dianggap dapat dengan
sewenang-wenang melakukan penindakan pada advokat yang pada akhirnya mencederai
kemandirian advokat sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon Majelis Hakim Konstitusi untuk menerima
dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; menyatakan UU Nomor
5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung Khusus Pasal 36 berikut Penjelasannya sepanjang mengenai Mahkamah Agung
dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum, bertentangan dengan
UUD 1945; menyatakan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Khusus Pasal 36 berikut Penjelasannya sepanjang
menyangkut Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat
Hukum tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam menentukan apakah Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili dan
memutus permohonan a quo sebagaimana ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo.
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (UU MK), maka Mahkamah melakukan sejumlah penalaran yakni;
Sudah diterima doktrin yang menyatakan, dalam menafsirkan konstitusi tatkala
terjadi pertentangan satu undang-undang dengan undang-undang lain maka asas-asas
yang berlaku dalam penafsiran hukum, yaitu (1) lex posteriore derogat legi priori, (2)
lex superiore derogat lex inferiori, (3) lex specialis derogat lex generalis, juga berlaku.
Hal demikian, antara lain, ditegaskan oleh Prof. Dr. H.C. Heinrich Scholler, ... the legal
interpretation mentioned above (constitutional interpretation principles) is also the basis
of the principles on constitutional interpretation; in reality we can support the idea that
basically legal interpretation and constituional interpretation are grounded on the same
411 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
principles [...penafsiran hukum sebagaimana disebutkan di atas (asas-asas penafsiran
konstitusi) adalah juga merupakan landasan bagi penerapan asas-asas dalam penafsiran
konstitusi; pada kenyataannya kita dapat menyetujui pemikiran bahwa pada dasarnya
penafsiran hukum dan penafsiran konstitusi berlandaskan pada asas-asas yang sama].
Dalam melakukan penafsiran dimaksud, terlepas dari metode penafsiran mana pun
yang dipilih, Mahkamah berpegang pada sejumlah dalil (proposisi), yaitu:
konstitusi atau undang-undang dasar adalah seperangkat aturan; 1.
aturan-aturan yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar memiliki 2.
kedudukan tertinggi;
aturan-aturan yang dituangkan dalam undang-undang adalah lebih rendah 3.
kedudukannya;
dalam hal terjadi pertentangan atau kontradiksi maka aturan yang lebih rendah harus 4.
memberi jalan kepada yang lebih tinggi;
dalam hal terjadi sengketa, adalah hakim yang menentukan standar penilaian 5.
konstitusionalitas berdasarkan konstitusi itu sendiri, bukan berdasarkan apa yang
disukai oleh hakim yang diartikan sebagai apa yang dimaksud oleh konstitusi.
Dalil-dalil di atas, yang oleh Mahkamah dijadikan ukuran dalam menilai kewenangan
Mahkamah atas permohonan a quo, karena terdapat dua atau lebih undang-undang
yang saling bertentangan dan menimbulkan keragu-raguan dalam penerapannya yang
bermuara pada tidak adanya kepastian hukum sehingga menurut penalaran yang normal
keadaan demikian potensial mengakibatkan terlanggarnya atau tidak terlaksanakannya
ketentuan Undang-Undang Dasar dan/atau prinsip-prinsip yang melekat padanya, oleh
karena itu telah nyata bagi Mahkamah bahwa terdapat persoalan konstitusionalitas undang-
undang. Sebagai pengawal konstitusi, tidak terdapat keragu-raguan pada Mahkamah
untuk menyatakan diri berwenang guna memeriksa dan memutus permohonan a quo,
terlepas dari terbukti tidaknya dalil-dalil para Pemohon setelah dilakukan pemeriksaan
dalam persidangan.
Meskipun, dengan pernyataan demikian, tidak terkandung maksud bahwa Mahkamah
berwenang mengadili setiap persoalan pertentangan antar undang-undang, melainkan
hanya apabila pertentangan demikian menurut penalaran yang normal menimbulkan
persoalan konstitusionalitas berupa peluang terlanggarnya atau tidak terlaksananya
ketentuan UUD 1945 dan/atau prinsip-prinsip yang melekat di dalamnya, sebagaimana
tercermin dalam permohonan a quo.
Mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sebagaimana Pasal
51 UU MK, mensyaratkan adanya kerugian langsung yang diajukan oleh perorangan
warga negara Indonesia, masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat dan
lembaga negara. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon adalah
sebagai advokat, sehingga terlepas dari terbukti atau tidaknya kerugian konstitusional
yang didalilkan, para Pemohon mempunyai kepentingan langsung dengan substansi
412 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
permohonan, oleh karenanya Pemohon memiliki legal standing untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan a quo.
Dalam pertimbangannya Mahkamah memberikan perhatian pada perubahan Pasal
54 UU Nomor 2 Tahun 1986 sebagai berikut:
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pekerjaan penasihat hukum
dan notaris di daerah hukumnya, dan melaporkan hasil pengawasannya kepada
Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman;
(2) Berdasarkan hasil laporan tersebut dalam ayat (1), Menteri Kehakiman dapat
melakukan penindakan terhadap penasihat hukum dan notaris yang melanggar
peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan yang bersangkutan, setelah
mendengar usul/pendapat Ketua Mahkamah Agung dan organisasi profesi yang
bersangkutan;
(3) Sebelum Menteri Kehakiman melakukan penindakan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), kepada yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk mengadakan
pembelaan diri;
(4) Tata cara pengawasan dan penindakan serta pembelaan diri sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur lebih lanjut oleh Ketua Mahkamah Agung
dan Menteri Kehakiman berdasarkan undang-undang;
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 di atas kemudian diubah oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1986 (butir 35) sehingga menjadi berbunyi:
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pekerjaan notaris di daerah
hukumnya, dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi,
Ketua Mahkamah Agung, dan Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi
jabatan notaris;
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris dapat melakukan penindakan
terhadap notaris yang melanggar peraturan perundang-undangan yang mengatur
jabatan yang bersangkutan, setelah mendengar pendapat organisasi profesi yang
bersangkutan;
(3) Sebelum Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada yang bersangkutan diberi kesempatan
untuk mengadakan pembelaan diri;
(4) Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh
Mahkamah Agung;
(5) Ketentuan mengenai tata cara penindakan dan pembelaan diri.
Kata penasihat hukum dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, yang
diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tersebut, dihapus. Dengan demikian,
penasihat hukum (yang setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
413 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
disebut Advokat) sejak saat itu telah tidak lagi berada di bawah pengawasan Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi (sebagai bagian dari pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum di bawah Mahkamah Agung).
Menggunakan penafsiran gramatikal dan sistimatis, sesungguhnya Pasal 54
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 (yang telah diubah oleh Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004) telah dicabut secara menyeluruh oleh Undang-Undang Jabatan
Notaris yang dengan demikian secara tidak langsung juga berarti telah mengubah
ketentuan Pasal 36 UU Mahkamah Agung sehingga membawa implikasi yuridis bahwa
pengawasan terhadap advokat (yang sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 disebut penasihat hukum) yang sebelumnya dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang berada di
bawahnya, yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, sudah tidak berlaku lagi dan
yang berlaku adalah ketentuan Pasal 12 UU Advokat yang ayat (1)-nya menyatakan,
Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh organisasi Advokat, sementara pada
ayat (2)-nya dikatakan, Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi
Advokat dan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan analisis dan alur pikir sebagaimana diuraikan di atas, ternyata di satu
pihak, Mahkamah tidak menemukan adanya hak konstitusional sebagaimana didalilkan
oleh para Pemohon yang dilanggar dengan tidak diubahnya ketentuan Pasal 36. Namun
di pihak lain, telah nyata bagi Mahkamah bahwa pembentuk undang-undang tidak cermat
dalam melaksanakan kewenangannya yang berakibat pada timbulnya inkonsistensi
antara satu undang-undang dan undang-undang lainnya. Inkonsistensi demikian telah
menimbulkan keragu-raguan dalam implementasi undang-undang bersangkutan yang
bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum, keadaan mana potensial menimbulkan
pelanggaran terhadap hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum. Ketidakpastian hukum demikian juga inkonsisten dengan semangat untuk
menegakkan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum di
mana kepastian hukum merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan.
Mahkamah juga tidak sependapat dengan para Pemohon yang dalam permohonannya
menganggap dirinya memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan ayat
(3) UUD 1945, yang digunakan para Pemohon untuk mendalilkan bahwa Pasal 36 UU
Advokat bertentangan dengan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman karena Pasal
36 dimaksud memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung dan Pemerintah untuk
melakukan pengawasan terhadap advokat. Pengawasan terhadap Advokat yang menurut
Pasal 12 ayat (1) UU Advokat kewenangannya diberikan kepada Organisasi Advokat,
adalah dengan maksud agar dalam menjalankan profesinya, Advokat selalu menjunjung
414 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tinggi kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 12 ayat (2) UU Advokat.
Mahkamah berkesimpulan bahwa ketidakcermatan dalam proses perubahan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004,
yang tidak mengubah Pasal 36 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dimaksud, telah
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya, sehingga setelah berlakunya
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat maka keberadaan dan
keberlakuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan oleh
karenanya permohonan para Pemohon harus dikabulkan. Dengan pertimbangan tersebut,
dalam amar Putusannya Mahkamah memutuskan untuk mengabulkan permohonan para
Pemohon dan emnyatakan Pasal 36 UU Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, serta memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
415 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 068/SKLN-II/2004
TENTANG
SENGKETA KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DENGAN PRESIDEN
MENGENAI PEMILIHAN ANGGOTA DPD
Pemohon : Dewan Perwakilan Daerah diwakili oleh:
1. I Wayan Sudirta, SH.; 2. Ir. Ruslan Wijaya, SE., MSc.; 3. Anthony
Charles Sunarjo; dkk.
Termohon : 1. Presiden Republik Indonesia; 2. Menteri Sekretaris Negara.
Jenis Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Antara Dewan Perwakilan
Daerah dengan Presiden.
Pokok Perkara : Sengketa kewenangan DPD memberikan pertimbangan dalam
memilih Anggota Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 23F Undang-Undang Dasar 1945.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Rabu, 10 November 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan Keputusan Presiden
Nomor 185/M Tahun 2004 bertanggal 19 Oktober 2004 tentang Pemberhentian Anggota
Badan Pemeriksa Keuangan Periode 1999-2004 dan Pengangkatan Anggota Badan
Pemeriksa Keuangan Periode 2004-2009 karena telah mengabaikan kewenangan
konstitusional Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana ditentukan oleh Pasal 23F UUD
1945 yang menyatakan bahwa Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah
dan diresmikan oleh Presiden.
Pemohon memohon agar Majelis Hakim Konstitusi memutuskan bahwa apakah
benar Keputusan Presiden Nomor 185/M Tahun 2004 bertanggal 19 Oktober 2004
mengabaikan kewenangan konstitusional DPD sebagaimana ditentukan dalam Pasal
416 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
23F UUD 1945, atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan
yang adil dan bijaksana.
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pada
tanggal 8 Oktober 2003 masa jabatan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan periode
1998-2003 telah berakhir, yang oleh karenanya, sesuai dengan maksud Undang-Undang
Dasar, Dewan Perwakilan Rakyat wajib untuk memilih Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan untuk periode berikutnya (2004-2009), pada saat mana di satu pihak
keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah, bahkan lembaga Dewan Perwakilan Daerah
itu sendiri, belum terbentuk, dan di pihak lain undang-undang tentang Badan Pemeriksa
Keuangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23G ayat (2) UUD 1945 juga belum dibuat
dan diundangkan, sehingga dengan demikian berarti bagi Dewan Perwakilan Rakyat
tersedia dua pilihan, menunggu terbentuknya Dewan Perwakilan Daerah dan sekaligus
pula menunggu terbentuknya undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 23F ayat (2)
UUD 1945 atau melaksanakan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Menurut
Mahkamah kedua pilihan itu sama-sama benar secara konstitusional.
Dengan memperhatikan rumusan Pasal 23F ayat (1) dan Pasal 23G ayat (2) UUD
1945 di atas berarti ada 2 (dua) jenis dan sekaligus tahapan kegiatan dalam pengangkatan
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan yaitu tahap pemilihan yang dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah,
dan tahap peresmian yang dilakukan oleh Presiden, di mana kedua proses tersebut harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, yang dalam hal ini undang-
undang yang dimaksud adalah undang-undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan tanggal 8 November
2004, proses pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan telah selesai dilaksanakan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 2 Juni 2004 dan pada tanggal 19
Oktober 2004, dengan Keppres Nomor 185/M Tahun 2004, Presiden telah melakukan
Pemberhentian Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Periode 1998-2003 dan
Pengangkatan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Periode 2004-2009; sedangkan
pelantikan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Periode 2004-2009 dilaksanakan pada
tanggal 1 Oktober 2004, sehingga dengan demikian Dewan Perwakilan Daerah baru ada
ketika Dewan Perwakilan Rakyat telah selesai melaksanakan proses pemilihan Calon
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
Antara tanggal 16 September 2003 sampai dengan 7 Juni 2004 (pemilihan Anggota
Badan Pemeriksa Keuangan 2004-2009) dan tanggal 1 Oktober 2004 telah dilakukan
pelantikan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Periode 2004-2009, yang berarti Dewan
Perwakilan Daerah baru ada setelah Dewan Perwakilan Rakyat selesai melaksanakan
proses pemilihan Calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Sebelum tanggal 1
Oktober 2004 Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga negara memang telah diatur
dalam Pasal 22C dan 22D UUD 1945, namun pengaturan konstitusional itu tidak berarti
wewenang yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Daerah itu telah dapat dijalankan, karena
417 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
wewenang Dewan Perwakilan Daerah selaku lembaga negara baru dapat dijalankan
setelah lembaga itu ada anggotanya (geen bevoegheden zonder rechtssubject).
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan
bahwa proses pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan periode 2004-2009
tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan dengan demikian tidak terbukti pula bahwa
Presiden mengabaikan kewenangan konstitusional sebagaimana didalilkan. Di samping
itu, terlepas dari kelemahan dalam permohonan Pemohon yang dapat menyebabkan
permohonan Pemohon dinilai kabur (obscuur), Pemohon juga tidak berhasil meyakinkan
Mahkamah guna membuktikan dalil-dalilnya, sehingga oleh karenanya permohonan
Pemohon harus ditolak.
Pendapat Berbeda :
Alasan yang dipakai para Termohon yang menyatakan bahwa DPD belum ada dan UU
BPK baru yang diamanatkan Pasal 23G ayat (2) UUD 1945 belum ada, sehingga kemudian
merujuk ke UU BPK Nomor 5 Tahun 1973 atas dasar Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945
tidaklah tepat, sebab secara terang benderang (expresis verbis) Konstitusi (UUD 1945)
telah mengatur tentang mekanisme pemilihan dan pengangkatan anggota BPK yang
sama sekali berbeda dengan ketentuan Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 sebelum perubahan
yang mendelegasikannya kepada undang-undang. Penggunaan Pasal I Aturan Peralihan
UUD 1945 yang menjadi akses diberlakukannya peraturan perundang-undangan lama
tanpa kritikal atau secara membabi buta tanpa memperhatikan konstitusionalitasnya,
akan berakibat kemungkinan didomplengi oleh peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan konstitusi/UUD 1945.
Meskipun Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 tidak secara eksplisit memuat ketentuan
seperti yang diatur dalam Pasal 192 ayat (2) yang mensyaratkan diberlakukannya
peraturan perundang-undangan dengan klausula sekedar peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan itu tidak berlawanan dengan ketentuan-ketentuan Konstitusi ini,
tetapi klausula semacam itu sudah lazim diterima sebagai asas umum/doktrin. Demikian
juga ketika kita menafsirkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum Perubahan, tak
mungkin kita memakai peraturan perundang-undangan lama (apalagi warisan kolonial)
yang secara jelas bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945), setidak-tidaknya harus
ditafsirkan menurut semangat dan jiwa Konstitusi.
Dalih bahwa tidak dilibatkannya DPD karena DPD belum ada tidaklah tepat, karena
DPD sudah eksis sejak termuat dalam Konstitusi jo UU Susduk Nomor 22 Tahun 2003,
terlebih lagi pada tanggal 5 Mei 2004 anggota terpilih DPD telah diumumkan oleh KPU
tinggal tunggu pelantikan. Tambahan lagi, setelah keluarnya Keppres Nomor 178/M
Tahun 2003 yang menurut istilah mantan Presiden Megawati bersifat terbuka (tak
dibatasi limit waktu), mestinya DPR RI Periode 1999-2004 yang akan segera purna tugas
tak perlu tergesa memproses pemilihan calon anggota BPK, melainkan menunaikan
fungsi utamanya yang ditentukan Konstitusi yakni fungsi legislasi, segera memproses
418 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pembentukan undang-undang BPK yang baru sesuai amanat Pasal 23G ayat (2) UUD
1945 untuk mengganti UU Nomor 5 Tahun 1973. Sedangkan pemilihan anggota BPK
baru periode tahun 2004-2009 diserahkan saja kepada DPR baru menurut mekanisme
yang tercantum dalam Pasal 23F ayat (1) UUD 1945.
Kewenangan Presiden yang diwujudkan dalam Keputusan Presiden Nomor l85/
M/2004 sebagai kelanjutan kewenangan DPR untuk memilih anggota BPK, telah dilakukan
berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan, merupakan pelanggaran konstitusi yang menyolok (Flagrant Violation),karena
dengan perubahan ketiga UUD l945, kewenangan tentang pemilihan pimpinan dan
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan telah berubah secara mendasar. Terlepas dari
perbedaan pendapat bahwa belum terbentuknya DPD tidak memungkinkan dijalankan
wewenangnya secara konstitusional (Er is geen bevoegheden zonder rechtssubjecten),
akan tetapi Pemerintah dan DPR tidak dapat menjalankan kewenangannya secara
bertentangan dengan konstitusi dengan merujuk pada Undang-Undang BPK, karena
telah diatur secara tegas dan dibatasi oleh Pasal 23F UUD 1945, yang seharusnya
dipatuhi dan dipegang teguh dengan selurus-lurusnya sebagai hukum tertinggi dalam
penyelenggaraan negara. Undang-Undang Dasar tersebut harus selalu menjadi rujukan
dalam membaca dan menerapkan aturan perundang-undangan yang dinyatakan masih
berlaku melalui aturan peralihan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, seharusnya Mahkamah mengabulkan
permohonan Pemohon dan menyatakan bahwa Keppres Nomor 185/M Tahun 2004 batal
demi hukum.
Dalam hubungannya dengan Pasal 23F UUD 1945 Presiden mempunyai hak
untuk meresmikan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Perintah UUD
ditujukan kepada DPR untuk mempertimbangkan pertimbangan DPD bukan kepada
Presiden. Bahwa kemudian ternyata DPR dalam memilih anggota BPK tidak meminta
pertimbangan DPD maka yang menjadi objek sengketa kewenangan berdasarkan
konstitusi adalah Keputusan DPR tentang pemilihan anggota BPK dan bukan Keputusan
Presiden tentang peresmian anggota BPK.
Oleh karena itu, permohonan Pemohon sesuai dengan ketentuan Pasal 61 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard) dan bukan ditolak, karena terjadi eror in persona.
419 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 069/PUU-II/2004
TENTANG
ASAS RETROAKTIF PENANGANAN KORUPSI OLEH KPK
Pemohon : Bram H.D. Manoppo, MBA.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945.
Pokok Perkara : Pasal 68 UU KPK mengenai konstitusionalitas penanganan
tindak pidana korupsi sebelum terbentuknya KPK oleh KPK.
Pasal 28I ayat (1) dan (4) UUD 1945 mengenai hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Selasa, 15 Februari 2004.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Direktur Utama PT Putera Pobiagan Mandiri, dimana hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 68 Undang-Undang
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), yang memberikan
adanya persepsi keliru suatu landasan Kewenangan KPK melakukan pemeriksaan
berdasarkan Asas Berlaku Surut atas Asas Retroaktif.
Pemohon mendalilkan bahwa pembentukan UU KPK memiliki sisi tersendiri,
khususnya dalam kerangka penegakkan hukum secara institusional yang meluas. Pemohon
secara limitatif menyebutkan bahwa materi yang dimohon untuk diuji adalah Pasal 68 UU
KPK yang menyebutkan : Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Hak untuk tidak dilakukan penyidikan/penuntutan dengan menggunakan Asas
420 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berlaku Surut adalah hak asasi manusia yang ada pada setiap orang tanpa kecuali dan
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, dimana ketentuan ini secara jelas dan
tegas diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu dalam Pasal 28
huruf I ayat (1). Penerapan Asas Berlaku Surut yang diatur dalam Pasal 68 UU KPK
mengakibatkan Pemohon harus menjalani proses penyidikan sebagai Tersangka.
Pasal 28 I ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan
sumber hukum tertinggi di Negara Republik Indonesia dan berada pada urutan tertinggi
dalam tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia
secara tegas jelas menyatakan bahwa untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun, dimana ketentuan ini adalah bersifat mutlak, tanpa kecuali dan tidak dapat
disimpangi dengan alasan apapun, termasuk alasan extraordinary yang telah dijadikan
alasan pembenar untuk memberlakukan Asas berlaku surut atas pemeriksaan perkara
TPK yang didakwakan kepada Pemohon. Kewenangan KPK yang dilakukan dengan
menerapkan perluasan asas Berlaku Surut ini secara tegas bertentangan atau melanggar
dengan asas Kepastian Hukum (Rechtmatigeheid), yaitu bertentangan dengan Pasal 28
I UUD 1945.
Terkait dengan kewenangan Mahkamah menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
salah satu kewenangan Mahkamah adalah untuk melakukan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945. Berdasarkan tanggal diundangkannya Undang-Undang a quo
maka Mahkamah menyatakan berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan ini.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 68 Undang-Undang a quo
mengandung asas berlaku surut atau asas retroaktif yang merugikan hak konstitusional
Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Dari keterangan KPK selaku Pihak Terkait beserta Para Ahli yang diajukannya, diketahui
bahwa penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh KPK terhadap Pemohon bukan
didasarkan Pasal 68 Juncto Pasal 9, tetapi didasarkan atas Pasal 6C Undang-Undang
a quo. Lagi pula dalam persidangan terungkap keterangan Pemohon yang menyatakan
bahwa sebelum diperiksa oleh KPK, Pemohon belum pernah diperiksa baik oleh pihak
Kepolisian maupun Kejaksaan tersebut, padahal pemeriksaan oleh Kepolisian atau
Kejaksaan itu merupakan syarat yang harus dipenuhi agar KPK dapat menggunakan
Pasal 68 Undang-Undang a quo. Dengan demikian tidak ada kerugian konstitusional
Pemohon yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 68 Undang-Undang a quo, sehingga
permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima. Oleh karena itu, sesuai
dengan ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, terdapat 2 (dua) Hakim Konstitusi yang berkesimpulan tidak terdapat kerugian
hak konstitusional yang diderita oleh Pemohon, sehingga Pemohon tidak ternyata
memiliki legal standing guna bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo.
421 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mahkamah menafsirkan bahwa suatu ketentuan adalah mengandung pemberlakuan
hukum secara retroaktif (ex post facto law) jika ketentuan dimaksud:
a. menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang
ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat
dipidana;
b. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau
pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
Pasal 68 Undang-Undang a quo, sama sekali tidak mengandung salah satu dari
dua unsur dimaksud. Sebab, pengambilalihan yang dilakukan berdasarkan Pasal 68
adalah tidak mengubah sangkaan atau tuduhan atau tuntutan, yang secara logis berarti
tidak pula mengubah atau menambah pidana atau hukuman terhadap perbuatan yang
penanganannya diambilalih oleh KPK tersebut.
Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 Undang-Undang a quo tidak mengandung
asas retroaktif, walaupun KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannnya Undang-
Undang KPK (vide Pasal 72) sampai dengan terbentuknya KPK (vide Pasal 70),
sebagaimana telah diuraikan di atas.
Berdasarkan uraian sebagaimana disebut di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa
Pemohon tidak dapat membuktikan dalilnya secara sah dan meyakinkan sehingga
permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak.
422 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
423 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 070/PUU-II/2004
TENTANG
KEWAJIBAN PROVINSI INDUK TERHADAP PROVINSI PEMEKARAN
Pemohon : H.M. Amin Syam (Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (UU Nomor 26 Tahun 2004)
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pokok Perkara : Pasal 15 ayat (7) dan ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 mengenai
kewajiban Provinsi induk membantu dana kepada provinsi hasil
pemekaran dan adanya sanksi berupa penundaan penyaluran
pemberian dana perimbangan ke Kas Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2), ayat (5), ayat
(6), ayat (7), Pasal 18A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 27 UUD
1945 mengenai hubungan Provinsi induk dengan Provinsi yang
dimekarkan.
Amar Putusan : Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Selasa 12 April 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah badan hukum publik yang dalam hal ini diwakili oleh H.M. Amin
Syam, Gubernur Sulawesi Selatan sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 huruf
f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda)
yang berbunyi, "Setiap daerah dipimpin oleh Kepala Pemerintahan yang disebut Kepala
Daerah". Gubernur sebagai Kepala Daerah berhak mewakili daerahnya di dalam dan di
luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya.
Pemohon beranggapan, hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dijamin
oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7), Pasal 18A ayat (2), Pasal 22A,
424 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 27 UUD 1945 menjadi hilang atau berkurang akibat diberlakukannya Pasal 15 ayat
(7) dan (9) UU Nomor 26 Tahun 2004.
Pasal 15 ayat (7) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang berbunyi, Provinsi Sulawesi
Selatan wajib memberikan bantuan dana kepada Provinsi Sulawesi Barat selama 2 (dua)
tahun berturut-turut sejak diundangkannya undang-undang ini paling sedikit sejumlah
Rp.8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah) setiap tahun anggaran.
Pasal 15 ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang berbunyi, Pemerintah
memberikan sanksi berupa penundaan penyaluran pemberian dana perimbangan ke Kas
daerah Provinsi Sulawesi Selatan apabila pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tidak
melaksanakan ketentuan ayat (7) dan ayat (9).
Dalam pertimbangan hukumnya, terhadap Kewenangan Mahkamah bahwa UU
Nomor 26 Tahun 2004 diundangkan pada tanggal 5 Oktober 2004 memenuhi persyaratan
yang ditentukan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) sehingga
Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Pemohon.
Terhadap legal standingnya, Pemohon mendalilkan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan
adalah badan hukum publik yang dibentuk oleh undang-undang, yang mengemban
hak dan kewajiban, memiliki kekayaan, dan dapat mengggugat dan digugat dimuka
Pengadilan. Selaku Gubernur/Kepala Daerah sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal
25 huruf f UU Pemda berhak mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan
dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya. Pemohon beranggapan, hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (6) dan ayat
(7), Pasal 18A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 27 UUD 1945 menjadi hilang atau berkurang
akibat diberlakukannya Pasal 15 ayat (7) dan (9) UU Nomor 26 Tahun 2004. Mahkamah
berpendapat bahwa anggapan Pemohon cukup beralasan sehingga Pemohon dinilai
mempunyai legal standing.
Terkait dengan pokok perkara, menurut Pemohon Pasal 15 ayat (7) UU Nomor 26
Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2), ayat (5) ayat (6) dan ayat (7) UUD
1945, Mahkamah berpendapat bahwa suatu daerah yang diberikan otonomi yang seluas-
luasnya tetap merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga
tetap harus menaati ketentuan dan pembatasan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Sehingga pembebanan kewajiban sebagaimana dituangkan dalam Pasal 15 ayat (7)
UU Nomor 26 Tahun 2004 melalui Perda tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar.
Menurut Pemohon Pasal 15 ayat (7) dan ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004
bertentangan dengan prinsip equal justice before the law dalam Pasal 27 UUD 1945
dibandingkan dengan undang-undang tentang pembentukan provinsi lainnya. Mahkamah
berpendapat keadilan bukan berarti semua subjek hukum diperlakukan sama tanpa melihat
kondisi yang dimiliki oleh setiap pihak masing-masing, keadilan justru harus menerapkan
425 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
prinsip proporsionalitas artinya memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama dan
memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda. Karena diskriminasi
baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakuan yang berbeda tanpa adanya alasan
yang masuk akal (reasonable Law Dictionary, 2004, hlm 500, differential treatment; ...
a failure to treat all persons equally, when no reasonable distinction can not be found
between those favored and those not favored). Karena itu anggapan Pemohon bahwa
Pasal 15 ayat (7) dan ayat (9) Undang-Undang a quo mengandung unsur diskriminasi
dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tidak cukup berdasar.
Sanksi yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 sebenarnya
hanya merupakan penegasan dari wewenang melekat (inherent power) yang dimiliki
oleh Pemerintah Pusat dan pengulangan ketentuan yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan sebelumnya. Dengan demikian Pasal 15 ayat (9) UU Nomor 26
Tahun 2004 tidak ternyata bersifat diskriminatif, dan oleh karena itu tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
Pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (7) dan (9) UU Nomor 26 Tahun 2004
bertentangan dengan Pasal 22A UUD 1945 karena tidak mengandung keadilan,
persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mahkamah telah menjelaskan
bahwa Pasal 15 ayat (7) dan ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 telah memperhatikan dan
memuat unsur keadilan, persamaan dalam hukum dan pemerintahan serta keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, sesuai dengan kondisi daerah masing-masing secara
proposional. Oleh karena itu Pasal 15 ayat (7) dan ayat (9) Undang-Undang a quo telah
sejalan dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan yang telah dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat
bahwa dalil yang dikemukakan Pemohon tidak cukup beralasan, sehingga permohonan
Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Pendapat Berbeda :
Satu orang hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda dalam Putusan
Pengujian Undang-Undang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat menyangkut pokok
permohonan. Provinsi Sulawesi Selatan selaku badan hukum publik berhak mendapatkan
perlakuan yang sama dan adil dengan provinsi-provinsi lainnya yang ditunjuk selaku
provinsi induk bagi suatu provinsi yang baru dibentuk, sebagaimana dijamin konstitusi
atas dasar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Pasal 15 ayat (7) dan ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 pada hakikatnya merupakan
perlakuan diskriminatif tatkala provinsi-provinsi induk lainnya tidak ternyata dibebani
kewajiban dan sanksi serupa sehubungan dengan pemekaran terhadap provinsi-provinsi
di daerah-daerahnya.
Seharusnya diberlakukan undang-undang (wet) yang mengikat secara umum dalam
426 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
makna een algemene wet voorschrift, bukannya memperlakukan Pemohon secara tidak
sama (diskriminatif) dan tidak adil, dengan provinsi-provinsi induk lainnya. Discrimination
happens when someone is treated worse (less favourably in legal terms) than another
person in the same situation. (Community Legal Service, London, June 2001). Hal
dimaksud berlaku pula bagi setiap legal person (badan hukum).
Pasal 15 ayat (7) dan ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Provinsi Sulawesi Barat jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Terhadap pemberlakuan Pasal 15 ayat (7) dan ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004,
pemerintah pusat bertindak tidak adil serta tidak selaras dalam hal hubungan keuangan
dengan pemerintah daerah, sebagaimana dijamin konstitusi menurut Pasal 18A ayat (2)
UUD 1945 yang menekankan bahwa hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dilaksanakan secara adil dan selaras, pada ketika provinsi-provinsi
induk lainnya tidak dibebani kewajiban pendanaan dan sanksi serupa sehubungan
pemekaran terhadap provinsi-provinsi di daerah-daerahnya.
Pasal 15 ayat (7) dan ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Provinsi Sulawesi Barat jelas bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 oleh
karena itu Mahkamah seyogianya mengabulkan permohonan Pemohon.
427 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 072-073/PUU-II/2004
TENTANG
INDEPENDENSI DAN TANGGUNGJAWAB KPUD DALAM PENYELENGGARAAN
PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Pemohon : Perkara Nomor 072/PUU-II/2004
1. Yayasan Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) (Pemohon I); 2.
Yayasan Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (Jamppi)
(Pemohon II); 3. Yayasan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat
(JPPR) (Pemohon III); 4. Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif,
dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) (Pemohon IV); 5.
Indonesian Corruption Watch (ICW) (Pemohon V).
Perkara Nomor 073/PUU-II/2004
1. Muhamad Tauk; 2. Drs. Setia Permana; 3. Indra Abidin, dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah (UU Pemda) terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pokok Perkara : Pasal 1 angka 21, Pasal 57 ayat (1), Pasal 65 ayat (4), Pasal
66 ayat (3) huruf e, Pasal 67 ayat (1) huruf e, Pasal 82 ayat
(2), Pasal 89 ayat (3), Pasal 94 ayat (2), Pasal 114 ayat (4) UU
Pemda mengenai penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menyangkut prinsip demokrasi
yang bebas, jujur dan adil.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Senin, 21 Maret 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 72/PUU-II/2004 adalah badan hukum privat yang memiliki
428 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kepedulian dan berkepentingan terhadap terlaksananya Pemilihan Umum Kepala dan
Wakil Kepala Daerah (Pilkada) yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil (luber jurdil).
Pemohon perkara Nomor 73/PUU-II/2004 adalah Ketua dan anggota Komisi Pemilihan
Umum Provinsi yang juga memiliki kepentingan langsung atas terselenggarakannya
Pilkada yang luber jurdil.
Pemohon perkara Nomor 72-73/PUU-II/2004 mengajukan pengujian Pasal 1 angka
21, Pasal 57 ayat (1), Pasal 65 ayat (4), Pasal 66 ayat (3) huruf e, Pasal 67 ayat (1) huruf
e, Pasal 82 ayat (2), Pasal 89 ayat (3), Pasal 94 ayat (2), Pasal 114 ayat (4) UU Pemda.
Para Pemohon merasa bahwa dengan berlakunya beberapa pasal dalam UU
Pemda telah berpotensi menyebabkan tidak terselenggaranya Pemilu kepala dan wakil
kepala daerah yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sehingga
para Pemohon merasa hak konstitutionalnya telah dirugikan. Ada tiga hal yang menjadi
perhatian para Pemohon yang dianggap inkonstitutional yakni;
Pertama, bahwa seharusnya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 bahwa Pilkada dilaksanakan secara demokratis maka seharusnya Pilkada
masuk juga dalam rezim Pemilu sebagaimana dalam Pasal 22E UUD 1945. Namun UU
Pemda tidak mencantumkan Pasal 22E UUD 1945 sebagai dasar pertimbangan hukum
karena seolah-olah pelaksanaan Pilkada langsung dapat menyimpangi atas Pemilu luber
dan jurdil.
Kedua, mengenai independensi pelaksanaan Pilkada disebabkan sejumlah
klausul dalam UU Pemda yang memberikan kewenangan bukan kepada KPU sebagai
lembaga yang dijamin sebagaimana Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Misalnya pegaturan
pelaksanaan yang diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah dan
pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD yang dianggap mencenderai independensi
Pilkada karena harus merujuk pada peraturan pemerintah dan bertanggung jawab pada
DPRD yang sarat dengan kepentingan politik.
Ketiga, Pemohon berpendapat bahwa kewenangan penyelenggaraan Pilkada
langsung hanya oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD secara nyata telah
mengingkari prinsip penyelenggaraan Pemilu yang bersifat nasional dan mandiri
karena KPUD (KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota) hanyalah bagian dari KPU.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi untuk
mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dengan menyatakan
bahwa Pasal 1 angka 21 sepanjang menyangkut anak kalimat yang diberi wewenang
khusus oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota; Pasal 57 ayat (1)
sepanjang menyangkut anak kalimat yang bertanggung jawab kepada DPRD; Pasal
65 ayat (4) sepanjang menyangkut anak kalimat dengan berpedoman pada Peraturan
Pemerintah; Pasal 66 ayat (3) huruf e; Pasal 67 ayat (1) e; Pasal 82 ayat (2) sepanjang
429 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
menyangkut anak kalimat ...oleh DPRD; Pasal 89 ayat (3) sepanjang menyangkut anak
kalimat diatur dalam Peraturan Pemerintah; Pasal 94 ayat (2) sepanjang menyangkut
anak kalimat berpedoman pada Peraturan Pemerintah; dan Pasal 114 ayat (4)
sepanjang menyangkut anak kalimat diatur dalam Peraturan Pemerintah; UU Pemda
bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan
Pasal 22E ayat (5) dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam pertimbangan hukumnya, terkait dengan kedudukan hukum (legal standing)
para Pemohon, dianggap memiliki kedudukan hukum untuk menjadi Pemohon dalam
pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah berpendapat bahwa para
Pemohon dalam perkara Nomor 072/PUU-II/2004 adalah 5 (lima) Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang berbentuk badan hukum privat yang memiliki kepentingan dalam
pembaharuan Pemilu. Sedangkan para Pemohon dalam perkara Nomor 073/PUU-II/2004
adalah para Ketua dan Anggota KPU Provinsi yang mewakili 21 Provinsi yang dinamakan
oleh UU Pemda dinamakan KPUD sehingga dianggap turut mengalami kerugian langsung
sehingga dianggap memiliki kedudukan hukum untuk menjadi Pemohon di Mahkamah
Konstitusi.
Para Pemohon mendalilkan Pilkada langsung yang diamanatkan oleh UU Pemda
adalah sesuai dengan semangat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, namun terdapat kesalahan
materi UU Pemda yang mengatur Pilkada sebagaimana diatur dalam Pasal 56 hingga
Pasal 119 UU Pemda. Kesalahan tersebut adalah pelaksanaan Pilkada langsung tidak
menunjuk kepada Pasal 22E UUD 1945. UU Pemda dalam pertimbangan hukumnya tidak
mencantumkan Pasal 22E UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, sehingga Undang-
Undang a quo telah melanggar UUD 1945 secara serius, seolah-olah pelaksanaan
Pilkada langsung dapat menyimpangi asas pemilihan umum luber-jurdil.
Para Pemohon mendalilkan penyelenggara pemilihan umum secara nasional
hanyalah KPU sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, sehingga
keberadaan KPUD sebagaimana ditetapkan oleh UU Pemda untuk menyelengarakan
Pilkada yang bertanggung jawab kepada DPRD adalah mengingkari prinsip
penyelengaraan pemilihan umum yang bersifat nasional dan mandiri. KPUD sebagai
penyelenggara Pilkada seharusnya bertanggung jawab kepada KPU dan hanya
memberikan laporan kepada DPRD.
Dasar-dasar dalil para Pemohon yang didukung oleh ahli pada intinya bertolak dari
dua hal yaitu pengertian dipilih secara demokratis sebagaimana dicantumkan dalam
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dan; Pilkada langsung sebagaimana diatur oleh UU Pemda
dapat dikategorikan sebagai Pemilu menurut Pasal 22E UUD 1945, sehingga pengaturan
yang berlaku untuk Pemilu menurut Pasal 22E UUD 1945 berlaku juga bagi Pilkada
langsung.
Untuk memberi pengertian dipilih secara langsung sebagaimana dicantumkan dalam
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Mahkamah juga mengaitkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
430 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yang sebagaimana halnya dengan Pasal 18 ayat
(4) UUD 1945 adalah hasil perubahan kedua UUD 1945 Tahun 2000. Pasal 18B ayat (1)
berbunyi, Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dengan
dirumuskan dipilih secara demokratis maka ketentuan Pilkada juga mempertimbangkan
pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerah-daerah yang bersifat khusus dan
istimewa sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas.
Ternyata dalam menjabarkan maksud dipilih secara demokratis dalam Pasal 18
ayat (4) UUD 1945 pembuat undang-undang telah memilih cara Pilkada secara langsung
maka menurut Mahkamah sebagai konsekuensi logisnya, asas-asas penyelenggaraan
pemilihan umum harus tercermin dalam penyelenggaraan Pilkada yaitu langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil) yang diselenggarakan oleh lembaga yang
independen.
Terhadap pendapat apakah Pilkada langsung termasuk kategori Pemilu yang
secara formal terkait dengan ketentuan Pasal 22E UUD 1945 dan segala peraturan
penjabaran dari pasal a quo, Mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak
termasuk dalam kategori pemilihan umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 22E UUD
1945. Namun demikian Pilkada langsung adalah pemilihan umum secara materiil untuk
mengimplementasikan Pasal 18 UUD1945. Oleh karena itu dalam penyelenggaraannya
dapat berbeda dengan Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945,
misalnya dalam hal regulator, penyelenggara, dan badan yang menyelesaikan
perselisihan hasil Pilkada, meskipun harus tetap didasarkan atas asas-asas pemilihan
umum yang berlaku.
Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan permohonan para Pemohon
untuk sebagian. Dengan demikian maka Pasal 57 ayat (1) sepanjang anak kalimat
yang bertanggung jawab kepada DPRD; Pasal 66 ayat (3) huruf e meminta
pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD; Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang
anak kalimat kepada DPRD; Pasal 82 ayat (2) sepanjang anak kalimat oleh
DPRD UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Sedangkan, untuk permohonan lainnya, Mahkamah memutuskan untuk
menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya.
Mahkamah Memerintah pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Pendapat Berbeda:
Tiga Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda dalam Putusan Pengujian
UU Pemda ini. Salah satu Hakin yang berbeda pendapat menyatakan bahwa Mahkamah
seharusnya mengabulkan semua permohonan para Pemohon, kecuali yang berpaut
dengan Pasal 1 butir 21 UU Pemda manakala status KPUD sekalu penyelenggara
Pilkada langsung adalah dalam kaitan selaku penerima delegasi. Hal ini didasarkan pada
431 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pemberian wewenang khusus kepada KPUD selaku penyelenggara Pilkada langsung,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 21 UU Pemda bermakna kewenangan atas
dasar delegation of authority.
Pendapat berbeda lainnya menyatakan bahwa paradigma berpikir yang dipakai
dalam memaknai pemilihan kepala daerah secara langsung (disingkat Pilkada langsung)
bisa berbeda-beda. Pembentuk undang-undang berangkat dari paradigma bahwa Pilkada
langsung adalah urusan penyelenggaran pemerintahan daerah, sehingga termasuk rezim
hukum pemerintah daerah dan tak ada kaitannya dengan pemilihan umum (Pemilu) dan
rezim hukum Pemilu menurut Pasal 22E UUD 1945, meskipun secara tidak segan-segan
mengadopsi prinsip-prinsip hukum Pemilu, dan bahkan meminjam aparat Pemilu, yaitu
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang merupakan aparat dan bagian yang tak
terpisahkan dengan KPU dengan diberi baju KPUD (sehingga lepas ikatannya dengan
KPU) dan ruh independensinya dikurangi (antara lain harus bertanggung jawab kepada
DPRD), untuk menjadi penyelenggara Pilkada langsung. Sementara itu, para Pemohon
berangkat dari paradigma bahwa Pilkada langsung tak lain adalah Pemilu, oleh karena
itu harus tunduk pada rezim hukum Pemilu, sehingga semua prinsip-prinsip Pemilu harus
dianut oleh Pilkada langsung, penyelenggara dan wewenang regulasinya harus ada pada
KPU.
Pengabulan beberapa petitum permohonan justru malah akan merusak seluruh
desain bangunan Pilkada langsung yang memang bersandar pada sebuah paradigma
tertentu. Sebaliknya, permohonan para Pemohon yang berangkat dari paradigma Pemilu
dalam desain Pasal 22E UUD 1945, pengabulan sebagian dari petitum permohonannya,
tidaklah bermakna apa-apa jika dikaitkan dengan alur penalaran hukum yang mendasari
dalil-dalil dalam positanya. Oleh karena itu, dalam menyikapi permohonan pengujian
pasal-pasal UU Pemda yang berkaitan dengan Pilkada langsung tersebut, seharusnya
Mahkamah berdiri pada titik tolak yang jelas dan tidak mendua, yaitu bahwa Pemilihan
kepala daerah (Pilkada) secara demokratis adalah pemilihan kepala daerah secara
langsung (Pilkada langsung), Pilkada langsung adalah Pemilu, dan Pemilu adalah
Pemilu yang secara substansial berdasarkan prinsip-prinsip yang ditentukan dalam Pasal
22E UUD 1945.
Pendapat lainnya adalah bahwa permohonan para Pemohon untuk seluruhnya
seyogianya dikabulkan. Hal ini didasarkan pada bahwa adalah benar bahwasanya
seharusnya pembuat undang-undang membaca dan menafsirkan Pasal 18 ayat (4)
dalam konteks perubahan ketiga yang menghasilkan Pasal 22E dalam Bab VIIB tersebut,
sehingga tidak dapat ditafsir lain bahwa pemilihan Kepala Daerah secara demokratis
dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah dengan Pemilihan Umum yang dimaksud
Pasal 22E Bab VIIB UUD 1945.
Sedangkan mengenai pengertian mandiri atau independen adalah melakukan
tugasnya secara bebas dari pengaruh pihak manapun adalah satu sistim jaminan
untuk memungkinkan adanya penyelenggara yang imparsial atau tidak memihak dalam
432 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
rekrutmen penyelenggara pemerintahan, yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik. Pemberian independensi pada penyelenggara Pemilu dimaksudkan
untuk dapat bersikap imparsial, merupakan sistim yang harus diberlakukan dalam
penyelenggaraan Pilkada tersebut sebagaimana telah dilakukan dalam Pemilu secara
nasional tahun 2004 yaitu secara mandiri juga diatur oleh penyelenggara itu sendiri.
Sehingga pendapat berbeda dari salah seorang hakim berpendapat untuk mengabulkan
seluruh permohonan para Pemohon.
433 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
2005
434 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
435 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 071/PUU-II/2004 dan 001-002/PUU-III/2005
TENTANG
KETENTUAN PEMBATASAN UNTUK MENGAJUKAN PERMOHONAN
PERNYATAAN PAILIT DAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI HANYA OLEH
MENTERI KEUANGAN
Pemohon : Perkara Nomor 071/PUU-II/2004 :
Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia (YLKAI)
Perkara Nomor 001/PUU-III/2005 :
Aryunia Candra Purnama
Perkara Nomor 002/PUU-III/2005 :
Suharyanti
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU
Kepailitan dan PKPU) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 2 ayat (5), Pasal 6 ayat (3), Pasal 223, dan 224 ayat (6) (UU
Kepailitan dan PKPU) mengenai ketentuan tentang pembatasan
untuk mengajukan permohonan Pernyataan Pailit dan permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Perusahaan
Asuransi hanya oleh Menteri Keuangan bertentangan dengan Pasal
24 ayat (1), Pasal 24 ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 24C ayat (1),
Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyangkut
hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Selasa, 17 Mei 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 071/PUU-II/2004 yakni Yayasan Lembaga Konsumen
436 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Asuransi Indonesia (YLKAI) yang merupakan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM) berbentuk yayasan berstatus badan hukum yang mempunyai Hak
Gugat (Legal standing) mewakili kepentingan konsumen asuransi di Indonesia.
Pemohon perkara Nomor 001/PUU-III/2005 yakni Aryunia Candra Purnama dan
Pemohon perkara Nomor 002/PUU-III/2005 yakni Suharyanti merupakan perorangan
warga negara Indonesia yang dirugikan akibat adanya ketentuan tentang pembatasan
untuk mengajukan permohonan Pernyataan Pailit dan permohonan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang terhadap Perusahaan Asuransi hanya oleh Menteri Keuangan, serta
penolakan permohonan pailit oleh Panitera yang diajukan Pemohon terhadap Perusahaan
Asuransi oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 2 ayat (5), Pasal 6
ayat (3), Pasal 223, dan 224 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU)
yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan tentang pembatasan bagi Konsumen
Asuransi untuk mengajukan permohonan Pernyataan Pailit dan permohonan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap Perusahaan Asuransi pada Pengadilan
Niaga, yang hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan merupakan pelanggaran
terhadap hak konstitusional para Pemohon dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27
ayat (1) UUD 1945, yakni hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Di samping itu,
adanya ketentuan mengenai Panitera wajib menolak permohonan Pernyataan Pailit
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap perusahaan asuransi
yang diajukan oleh institusi lain selain Menteri Keuangan dalam Pasal 224 ayat (6)
menyebabkan kewenangan Hakim dalam ruang lingkup Judicial telah diintervensi oleh
Panitera yang hanya merupakan petugas administratif sehingga bertentangan dengan
asas independensi dan otonomi peradilan yakni Hakim sebagai pejabat negara di bidang
Judicial sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945.
Menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK),
salah satu wewenang Mahkamah adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan pengujian UU Kepailitan dan PKPU yang diajukan para Pemohon.
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, Pemohon
perkara Nomor 001/PUU-III/2005 dan Pemohon perkara Nomor 002/PUU-III/2005 adalah
warga negara Indonesia yang menganggap telah dirugikan hak konstitusionalnya oleh
berlakunya Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU, dengan
ditolaknya permohonan pailit yang diajukan Pemohon terhadap PT. Prudential Life
437 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Insurance oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Para Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga untuk
memailitkan kedua perusahaan asuransi itu, Pengadilan Niaga tetap tidak akan menerima
permohonan Pemohon karena tidak diajukan oleh Menteri Keuangan, sebagaimana
diharuskan oleh ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan
bahwa yang dapat mengajukan permohonan pailit perusahaan asuransi hanya Menteri
Keuangan, sehingga kerugian para Pemohon atas hak konstitusionalnya dengan
berlakunya Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU cukup memenuhi ketentuan Pasal
51 ayat (1) UU MK, sehingga para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan tersebut.
Pemohon perkara Nomor 071/PUU-II/2004, YLKAI, sebagai suatu badan hukum yang
berbentuk Yayasan. Namun dalam persidangan terungkap bahwa status badan hukum
Pemohon diragukan, karena YLKAI belum terdaftar atau belum pernah mengajukan
permohonan pengesahan atau pemberitahuan ke Departemen Hukum dan HAM. YLKAI
belum mendapat pengesahan, namun berdasarkan Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun
2004 tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang berbunyi,
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, yayasan yang .., atau b. telah didaftarkan
di Pengadilan Negeri dan mempunyai ijin melakukan kegiatan dari instansi terkait tetap
diakui sebagai badan hukum .., maka YLKAI diakui sebagai badan hukum. Serta,
YLKAI telah didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan telah
memperoleh ijin untuk melakukan kegiatan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sesuai dengan Pasal 46 ayat
(1) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka YLKAI sebagai
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, berhak mewakili kepentingan
konsumen dalam lingkup kegiatannya untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal
2 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (3) yang dianggap merugikan hak konstitusional konsumen
sehingga Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak
selaku Pemohon dalam permohonan tersebut. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi
mempunyai kewenangan dan para Pemohon mempunyai legal standing maka Mahkamah
akan mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil dan petitum para Pemohon dalam duduk
perkara.
Dalam pertimbangan hukumnya yang berkaitan dengan pokok perkara, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa pembatasan hak dalam Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan dan
PKPU mengenai pengajuan permohonan Pernyataan Pailit dan permohonan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Perusahaan Asuransi hanya oleh Menteri
Keuangan, dapat dilakukan oleh undang-undang, dengan syarat bahwa pembatasan itu
memenuhi keseimbangan yang rasional dan dimaksudkan demi melindungi kepentingan
yang lebih besar. Selain itu, bagi pihak yang terkena pembatasan itu terdapat alternatif
upaya hukum lain, sehingga memungkinkan pihak tersebut memperjuangkan haknya.
Oleh karena itu, Pasal 2 ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan
438 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta pembatasan itu dibenarkan
oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Di samping itu, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal
6 ayat (3) secara sistimatik harus dikaitkan dengan ayat (1) dan ayat (2), serta Penjelasan
Pasal 6 ayat (3) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari pasal yang dijelaskan
maka dengan sendirinya Penjelasan pasal tersebut diperlakukan sama dengan pasal
yang dijelaskannya.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dalam rumusan Pasal 224 ayat (6)
UU Kepailitan dan PKPU yakni apabila Panitera diberikan wewenang untuk menolak
mendaftarkan permohonan pernyataan pailit suatu perusahaan asuransi maka panitera
telah mengambil alih kewenangan hakim untuk memberi keputusan atas suatu permohonan
sehingga menghilangkan hak Pemohon untuk mendapatkan penyelesaian sengketa
hukum dalam suatu proses yang adil dan terbuka untuk umum. Hal ini bertentangan
dengan prinsip due process of law dan access to courts yang merupakan pilar utama
bagi tegaknya rule of law sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan para
Pemohon dikabulkan untuk sebagian, yakni Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya
dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga Pasal 224 ayat (6) UU Kepailitan dan PKPU seharusnya berbunyi Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5), berlaku
mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajiban
pembayaran utang sebagaimana dimaksud ayat (1). Serta, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa permohonan para Pemohon ditolak untuk selebihnya, yakni Pasal 2
ayat (5) dan Pasal 223 UU Kepailitan dan PKPU. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan
pemuatan Putusan Nomor 071/PUU-II/2004 dan 001-002/PUU-III/2005 ini dalam Berita
Negara sebagaimana mestinya.
Pendapat Berbeda :
Satu Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion) bahwa
Pembuat UU Kepailitan dan PKPU yang menentukan permohonan pernyataan pailit
terhadap perusahaan asuransi dan/atau perusahaan hanya dapat diajukan oleh Menteri
Keuangan ke Pengadilan Niaga [vide Pasal 2 ayat (5)], pada hakikatnya membatasi
kebebasan berkontrak dari para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian asuransi
dan/atau perjanjian reasuransi, yang berkekuatan undang-undang bagi para pihak, serta
persyaratan prosedural yang ditentukan de wetgever tersebut mengandung perlakuan
diskriminasi yang dilarang konstitusi atas dasar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh
karena itu, seyogianya Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan para Pemohon.
439 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 003/PUU-III/2005
TENTANG
KETENTUAN PERALIHAN TENTANG
KEGIATAN PENAMBANGAN DI HUTAN LINDUNG
Pemohon : 1. Indro Sugianto, S.H., MH.; 2. Sandra Moniaga, S.H.; 3. N.M.
Wahyu Kuncoro, S.H., dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutananan menjadi
Undang-Undang (UU Nomor 19 Tahun 2004) terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pengujian Formil dan Materiil atas Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang
mengenai kegiatan penambangan di hutan lindung bertentangan
dengan Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (1), dan
Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyangkut hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat dan hak atas kemakmuran bersama.
Amar Putusan : Menolak permohonan para Pemohon.
Tanggal Putusan : Kamis, 7 Juli 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mengajukan pengujian materiil dan formil atas Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004, yakni Indro Sugianto, S.H., M.H., dkk. para Pemohon merupakan lembaga
swadaya masyarakat yang berbentuk badan hukum yang bergerak atas dasar kepedulian
terhadap lingkungan hidup dan penghormatan, pemajuan, perlindungan, serta penegakan
hukum dan keadilan, demokrasi, serta hak asasi manusia, dan warga negara Indonesia
440 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(WNI) sebagai perseorangan yang meliputi para warga masyarakat yang tinggal di
lokasi beroperasinya 13 perusahaan pertambangan di hutan lindung yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 dan para warga masyarakat
aktivis lingkungan, serta para mahasiswa anggota organisasi pecinta alam.
Dalam permohonannya, para Pemohon menyatakan bahwa dalam proses
pembentukan UU Nomor 19 Tahun 2004 tidak dapat dilepaskan dari Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Perpu Nomor 1 Tahun
2004), apabila proses pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tidak memenuhi syarat
pembentukannya menurut UUD 1945 maka mutatis mutandis proses pembentukan UU
Nomor 19 Tahun 2004 juga tidak memenuhi syarat pembentukannya menurut UUD 1945
dan lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tidak memenuhi syarat hal ihwal kegentingan
yang memaksa dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yakni suatu keadaan dimana
negara dalam keadaan darurat untuk segera dilakukan penyelamatan, serta proses dan
bentuk UU Nomor 19 Tahun 2004 bertentangan dengan prinsip negara hukum, yakni
terjadinya kebijakan tumpang tindih kawasan pertambangan di kawasan lindung, adanya
pengabaian tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, tindakan
Presiden yang mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang kemudian ditetapkan
menjadi UU Nomor 19 Tahun 2004 mengandung unsur sewenang-wenang, telah terjadi
tindakan penyalahgunaan wewenang dalam proses pembentukan UU Nomor 19 Tahun
2004, UU Nomor 19 Tahun 2004 telah menetapkan Perpu N omor 1 Tahun 2004 menjadi
undang-undang yang merupakan produk hukum yang cacat karena tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, dan ada indikasi terjadinya suap dalam penetapan
Perpu Nomor 1 Tahun 2004 menjadi undang-undang oleh UU Nomor 19 Tahun 2004
sehingga para Pemohon mengajukan pengujian formil atas UU Nomor 19 Tahun 2004.
Di samping itu, para Pemohon mengajukan pengujian materiil UU Nomor 19
Tahun 2004, yakni materi muatan norma dalam UU Nomor 19 Tahun 2004 tidak layak
sebagai suatu undang-undang, karena materi muatan UU Nomor 19 Tahun 2004 bukan
merupakan norma yang bersifat umum abstrak, tetapi hanya merupakan norma yang
bersifat individual konkrit dan eenmalig berupa penetapan (beschikking) perijinan,
konsiderans Menimbang UU Nomor 19 Tahun 2004 beserta Penjelasan Umum-nya,
dan Pasal 83A dan Pasal 83B Perpu Nomor 1 Tahun 2004 bertentangan dengan hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, karena
memungkinkan adanya penambangan di hutan lindung, konsiderans Menimbang UU
Nomor 19 Tahun 2004 beserta Penjelasan Umum dan isi pasal Perpu Nomor 1 Tahun
2004 yang menjadi lampiran UU Nomor 19 Tahun 2004 bertentangan dengan asas-
asas pembangunan yang berkelanjutan sebagaimana tercantum dalam dokumen yang
dihasilkan United Conference on Environment and Development (UNCED) Tahun 1992
dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, keberadaan tambang di hutan
lindung sebagai akibat berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2004 juncto Perpu Nomor 1 Tahun
441 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
2004 akan menimbulkan dampak kerugian ekonomi, lingkungan, sosial budaya sehingga
bertentangan dengan UUD 1945, Pemerintah telah mengabaikan kemakmuran rakyat
dan lebih mengutamakan para investor asing, sehingga bertentangan dengan Pasal 33
UUD 1945, UU Nomor 19 Tahun 2004 juncto Perpu Nomor 1 Tahun 2004 menimbulkan
ketidakpastian hukum, karena tidak sinkron dengan undang-undang yang lain, yakni UU
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistimnya
dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sehingga bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon pengujian formil dan materiil UU Nomor
19 Tahun 2004 kepada Mahkamah Konstitusi agar menyatakan UU Nomor 19 Tahun
2004 bertentangan dengan UUD 1945, baik dalam proses pembentukannya maupun
materi muatannya dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut Mahkamah, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a dan Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), menyatakan bahwa salah satu
kewenangan Mahkamah ialah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, baik proses
pembentukannya (pengujian formil) maupun materi muatannya (pengujian materiil).
Permohonan para Pemohon adalah mengenai pengujian UU Nomor 19 Tahun 2004,
baik pengujian formil maupun pengujian materiil, sehingga Mahkamah berwenang untuk
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal terhadap
permohonan para Pemohon.
Menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, para Pemohon dapat dikualikasikan
sebagai Pemohon badan hukum privat dan perseorangan WNI, yang memiliki hak
konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, antara lain Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2),
dan Pasal 28H ayat (1), dan hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Nomor
19 Tahun 2004. Di samping itu, kerugian hak konstitusional para Pemohon bersifat
khusus (spesik), yaitu mengenai kerusakan lingkungan dan yang potensial akan terjadi
jika kegiatan penambangan di hutan lindung oleh berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2004
tetap berlangsung, sehingga dipandang terdapat hubungan kausal antara kerugian hak
konstitusional dengan UU Nomor 19 Tahun 2004 dan diprediksikan tidak akan terjadi
jika permohonan para Pemohon dikabulkan. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat
para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan pengujian UU Nomor 19 Tahun 2004 dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan 5
(lima) persyaratan kerugian hak konstitusional dalam Perkara Nomor 006/PUU-III/2005
dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005, sehingga Mahkamah mempunyai kewenangan
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan tersebut, dan para Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing).
Dalam pengujian formil UU Nomor 19 Tahun 2004, Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa alasan dikeluarkannya sebuah Perpu oleh Presiden, termasuk Perpu Nomor 1
Tahun 2004 yaitu karena hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam Pasal 22 ayat
442 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(1) UUD 1945 tidak sama dengan keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD 1945 dan
pengaturannya dalam UU (Prp) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang
memang harus didasarkan atas kondisi objektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-
undang, bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa memang hak subjektif Presiden
yang kemudian akan menjadi objektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai
undang-undang, serta meskipun hal ihwal kegentingan yang memaksa yang menjadi
pertimbangan dikeluarkannya sebuah Perpu alasannya bersifat subjektif, di masa datang,
alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Presiden untuk mengeluarkan sebuah Perpu
agar lebih didasarkan pada kondisi objektif bangsa dan negara yang tercermin dalam
konsiderans Menimbang dari Perpu tersebut.
Dalam pengujian materiil UU Nomor 19 Tahun 2004, Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa Konsiderans Menimbang UU Nomor 19 Tahun 2004 pada dasarnya hanya
mengambil alih konsiderans Menimbang Perpu Nomor 1 Tahun 2004. Sedangkan isi
Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang mengubah UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
pada intinya hanya menambahkan dua pasal pada Bab XVII tentang Ketentuan Penutup,
yaitu Pasal 83A dan Pasal 83B sehingga mengacu Ketentuan Peralihan dan Ketentuan
Penutup menurut UU Nomor 10 Tahun 2004 beserta Lampirannya maka Pasal 83A Perpu
Nomor 1 Tahun 2004 termasuk kategori Ketentuan Peralihan, sedangkan Pasal 83B-
nya termasuk kategori Ketentuan Penutup, jadi seharusnya Pasal 83A dan Pasal 83B
tidak semuanya merupakan Ketentuan Penutup seperti ketentuan dalam Perpu Nomor
1 Tahun 2004. Selain itu, materi muatan Pasal 83A merupakan norma umum abstrak
yang termasuk norma ketentuan peralihan, demikian pula Pasal 83B, materi muatannya
merupakan norma umum abstrak yang termasuk dalam Ketentuan Penutup yang sifatnya
menjalankan (eksekutif), yaitu penunjukan pejabat tertentu, yakni Presiden, yang diberi
kewenangan untuk memberikan ijin dengan Keputusan Presiden.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dari sudut materi muatannya, Pasal 83A
Perpu Nomor 1 Tahun 2004 memang merupakan penyimpangan sementara ketentuan
Pasal 38 ayat (4) yang berbunyi, Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan
penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Sifat sementaranya adalah pada
kata-kata sampai berakhirnya ijin atau perjanjian dimaksud sehingga pada dasarnya
penambangan dengan pola pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung tetap
dilarang di Indonesia, kalau pun ada penyimpangan sifatnya adalah transisional
(sementara). Penambangan dengan pola pertambangan terbuka di kawasan hutan
lindung mempunyai berbagai bahaya dan dampak negatif, tetapi alasan pembentuk
undang-undang tentang perlunya ketentuan yang bersifat transisional yang diberlakukan
bagi suatu pelanjutan keadaan hukum atau hak-hak yang telah diperoleh (vested rights/
acquired rights), yaitu ijin atau perjanjian yang telah diperoleh perusahan pertambangan
sebelum berlakunya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa seharusnya Pemerintah konsisten dan
memiliki ukuran-ukuran yang objektif dalam menentukan apakah suatu kawasan hutan
443 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
merupakan kawasan hutan lindung atau bukan, agar memberikan kepastian hukum bagi
semua pihak yang berkepentingan, dan ada koordinasi yang baik antara departemen
yang membawahkan sektor kehutanan dengan departemen yang membawahkan sektor
pertambangan, agar jangan terjadi tumpang tindih dan kekacauan kebijakan. Selain itu,
Pembentuk undang-undang dalam merumuskan ketentuan peralihan, seharusnya dapat
menentukan syarat-syarat penyesuaian bagi semua perusahaan pertambangan yang
telah mendapat ijin penambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan UU Nomor 41 Tahun 1999.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa UU Nomor 19 Tahun 2004 juncto Perpu
Nomor 1 Tahun 2004 secara substansial tidaklah inkonstitusional sepanjang dalam
pelaksanaannya ijin-ijin atau perjanjian-perjanjian yang telah ada sebelum berlakunya
UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyesuaikan dengan UU Nomor 19
Tahun 2004, setidak-tidaknya bagi perusahaan-perusahan yang masih dalam tahap
studi kelayakan dan eksplorasi. Selain itu, Pemerintah harus melakukan pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan dengan melihat dari sisi biaya dan manfaat (cost and benet)
yang diberikan kepada masyarakat, bangsa dan negara, dan melakukan perubahan
syarat-syarat kontrak karya untuk mengantisipasi dampak negatif kegiatan penambangan
terhadap lingkungan hidup yang disertai dengan kewajiban untuk merehabilitasi atau
memperkecil dampak negatif demi kepentingan generasi sekarang maupun generasi
mendatang, dengan pencabutan ijin penambangan jika terjadi pelanggaran syarat-syarat
ijin penambangan yang ditentukan.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa permohonan para Pemohon
dalam pengujian formil dan pengujian materiil UU Nomor 19 Tahun 2004 tidak bertentangan
dengan UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon ditolak.
444 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
445 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 004/PUU-III/2005
TENTANG
KEKUASAAN KETUA PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN
Pemohon : Melur Lubis, S.H.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pengujian Bab VI Pelaksanaan Putusan Pengadilan Pasal 36 ayat
(1), (2) dan (3) UU Kekuasaan Kehakiman mengenai Kekuasaan
Ketua Pengadilan yang Absolut bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 menyangkut hak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum.
Amar Putusan : Permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
Tanggal Putusan : Kamis, 14 April 2005.
Ikhtisar Putusan :
Melur Lubis, S.H. bertindak sebagai Pemohon perseorangan yang mengajukan
pengujian materil Bab VI Pelaksanaan Putusan Pengadilan Pasal 36 ayat (1), (2), (3)
UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon adalah warga Negara Indonesia asli, perorangan yang melakukan
pekerjaan advokat dengan demikian mempunyai hak/kewenangan konstitusional
sebagaimana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan mendalilkan telah
dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya UU Kekuasaan Kehakiman, karena
Pasal 36 ayat (1), (2), dan (3) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 sebab ketentuan dalam ayat tersebut telah menempatkan Ketua
446 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pengadilan sebagai pimpinan dan pengawas pelaksanaan putusan Pengadilan yang
menimbulkan kekuasaan absolut.
Dalam pelaksanaan putusan perkara perdata, Ketua Pengadilan mempunyai
jabatan rangkap yaitu pimpinan dan pengawas yang menimbulkan Kekuasaan Absolut.
Kekuasaan absolut ini menyebabkan timbulnya perbuatan yang sewenang- wenang
dengan berbuat melebihi kekuasaannya, seperti yang terjadi dalam pelaksanaan putusan
perkara perdata Nomor 4080 K/PDT/1998 juncto Nomor 385/PDT/1997/PT.Mdn juncto
Nomor 16/Pdt.G/1997/PN PsP. Kekuasaan Ketua Pengadilan yang absolut ini telah
dipergunakan secara sewenang-wenang terhadap diri pribadi sehingga hak kewenangan
konstitusional Pemohon telah dirugikan. Sampai dengan saat sidang Mahkmah
Konstitusi ini digelar, putusan perkara perdata dimaksud belum selesai dilaksanakan dan
penyebabnya yang pasti adalah Ketua Pengadilan memiliki kekusaan yang absolut dan
tidak dapat digugat. Bahwa dengan demikian disimpulkan bahwa pelaksanaan putusan
perkara perdata Nomor 4080 K/PDT/1998 juncto Nomor 385/PDT/1997/PT.Mdn juncto
Nomor 16/Pdt.G/1997/PN.PsP Tidak Memperhatikan Nilai Kemanusian (Sila Ke 2 dari
Pancasila) dan Keadilan (Sila Ke 5 dari Pancasila).
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang
antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
nal untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; hal tersebut
ditegaskan kembali dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, sehingga permohonan pengujian UU Kekuasaan Kehakiman,
khususnya Pasal 36 ayat (1), (2), dan (3) dimaksud merupakan kewenangan Mahkamah.
Meskipun Pemohon mendalilkan bahwa sebagai orang-perorangan yang melakukan
pekerjaan Advokat dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 36 UU a quo,
dari keseluruhan bukti-bukti ternyata putusan pengadilan dalam perkara adalah antara
Ny. Badariah Mawar Harahap lawan Parlindungan Harahap, dkk. sebagai penggugat-
tergugat.
Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki legal standing sebagaimana
disyaratkan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi karena tidak terdapat kepentingan konstitusional Pemohon
secara pribadi yang dirugikan sebagaimana yang didalilkan dalam permohonannya.
Dalil Pemohon dalam permohonannya bukan menyangkut konstitusionalitas Pasal 36
ayat (1), (2), dan (3) UU Kekuasaan Kehakiman, karena menyangkut pelaksanaan
eksekusi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan tetap sehingga bukan merupakan
kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Kepentingan konstitusional yang dianggap
telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 36 ayat (1), (2) dan 3 UU Kekuasaan Kehakiman
adalah kepentingan konstitusional Ny. Badariah Mawar Harahap yang diterangkan
telah meninggal dunia dan dilanjutkan oleh ahli warisnya H. Muchtar Siregar dan bukan
mengenai kerugian pribadi Pemohon, oleh karena itu Pemohon sama sekali tidak
dirugikan oleh berlakunya UU Kekuasaan Kehakiman.
447 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Oleh karena Pemohon tidak mempunyai legal standing sebagaimana diuraikan dalam
pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan, tanpa perlu memasuki pokok
perkara, permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
448 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
449 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 005/PUU-III/2005
TENTANG
PERSYARATAN MEMPEROLEH KURSI DI DPRD UNTUK MENGAJUKAN CALON
KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH
Pemohon : 1. Mayjen. Purn. Ferry Tinggogoy (Ketua DPW Partai Kebangkitan
Bangsa/PKB Provinsi Sulawesi Utara); 2. Jack C. Parera, S.E., MBA
(Ketua DPD Partai Perhimpunan Indonesia Baru/PPIB Provinsi
Sulawesi Utara); 3. Brigjen. Purn. Anthon.T. Dotulong (Ketua DPD
Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan/PPDK Provinsi Sulawesi
Utara); 4. Drs. E. Bulahari (Ketua DPD Partai Sarikat Indonesia/
PSI Provinsi Sulawesi Utara); 5. Sonny Lela (Ketua DPD Partai
Merdeka/PM Provinsi Sulawesi Utara); 6. Liang Gun Wa, S.E.
(Ketua DPD Partai Buruh Sosial Demokrat/PBSD Provinsi Sulawesi
Utara); 7. H. Achmad Buchari, S.H. (Ketua DPW Partai Bintang
Reformasi/PBR Provinsi Sulawesi Utara); 8. Wilson H. Buyung, Bsc
(Ketua DPD Partai Penegak Demokrasi Indonesia/PPDI Provinsi
Sulawesi Utara); 9. Abdullah Satjawidjaja (Ketua DPW Partai
Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia/PPNUI Provinsi Sulawesi
Utara); 10. Drs. Danny Watti, Ketua DPD Partai Persatuan Daerah/
PPD Provinsi Sulawesi Utara); 11. Firasat Mokodompit, S.E. (Ketua
DPD Partai Karya Peduli Bangsa/PKPB Provinsi Sulut); 12. Brigjen.
Purn.Ferdinand D. Lengkey (Ketua DPD Partai Nasional Indonesia
Marhaenisme/PNI-M Provinsi Sulawesi Utara).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda) terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
Pokok Perkara : Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Pasal 18 ayat (4),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (3), Pasal 28I ayat (2),
450 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(4) dan (5) UUD 1945 menyangkut hak untuk mendapat perlakuan
yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon.
Tanggal Putusan : Senin, 21 Maret 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon berjumlah 13 orang yakni Mayjen. Purn. Ferry Tinggogoy, Jack C. Parera,
S.E., MBA., Brigjen. Purn. Anthon.T. Dotulong, Drs. E. Bulahari, Sonny Lela, Liang Gun
Wa, SE, H. Achmad Buchari, S.H., Wilson H. Buyung, Bsc, Abdullah Satjawidjaja, Drs.
Danny Watti, Firasat Mokodompit, S.E., Brigjen. Purn. Ferdinand D. Lengkey, mengajukan
pengujian Pasal 59 ayat (1) UU Pemda.
Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok
orang) dan sebagai badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat 1 huruf
a dan c undang-undang tersebut, oleh karena itu para Pemohon sangat berkepentingan
terhadap pemilihan kepala daerah baik untuk mencalonkan diri atau dicalonkan. Demikian
pula sebagai Partai Politik, para Pemohon berkepentingan untuk menjalankan fungsi
partai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik.
Para Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional para Pemohon yang
dirumuskan dalam permohonan ini adalah hak atas Pemilu yang demokratis, langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, dan lebih khusus lagi adalah hak untuk ikut dalam
Pemilu, hak untuk memilih dan dipilih [Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia].
Para Pemohon beranggapan pemberlakuan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda
berpotensi menyebabkan tidak terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, dan terlebih lagi Penjelasan Pasal 59 ayat (1)
tersebut telah menghalangi hak konstitusional para Pemohon baik secara pribadi warga
negara Indonesia maupun sebagai badan hukum partai politik untuk mencalonkan dan
dicalonkan sebagai kepala daerah dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah.
Para Pemohon berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan
pengujian karena undang-undang tersebut diundangkan setelah perubahan UUD 1945.
Demikian pula berdasarkan Pasal 24C ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 Juncto Pasal
10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat nal antara lain untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD
1945.
Pemohon berpendapat bahwa Penjelasan Pasal 59 ayat (1) telah mengaburkan dan
menghilangkan substansi dari batang tubuh Pasal 59 ayat (1) dan (2) yang mengatur
boleh mengusulkan pasangan calon adalah Partai Politik atau gabungan Partai Politik
451 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
yang memiliki sekurang-kurangnya 15 % (Lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD
atau 15 % (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum
Anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Dengan adanya Penjelasan Pasal 59 ayat
1 tersebut, itu berarti bahwa Pasal 59 ayat (2) yang memberikan kesempatan kepada
gabungan Partai Politik yang memiliki 15 % (lima belas persen) akumulasi perolehan
suara sah dalam pemilihan umum Anggota DPRD di daerah yang bersangkutan sudah
dianulir, karena yang dimungkinkan untuk mengusulkan pasangan calon dengan adanya
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tersebut hanyalah Partai Politik atau gabungan Partai Politik
yang memperoleh 15 % (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD. Pasal 59 ayat (1)
dan Pasal 59 ayat (2) diperhadapkan dengan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) terdapat
Contradictio in Terminis, sehingga dengan demikian menjadikan Penjelasan Pasal 59
ayat (1) cacat hukum. Seharusnya Pasal 59 ayat (1) sudah tidak memerlukan penjelasan,
karena sudah sangat jelas.
Para Pemohon disini adalah sebahagian dari Partai Politik Peserta Pemilu tahun
2004 di Provinsi Sulawesi Utara, baik yang memiliki anggota (kursi) DPRD namun tidak
mencapai jumlah 15 % (lima belas persen) kursi di DPRD, maupun Partai Politik yang
tidak memiliki kursi di DPRD, jika dijumlahkan akumulasi perolehan suara sah pada
Pemilu DPRD Provinsi Sulawesi Utara ternyata partai-partai politik tersebut, telah
berhasil mengumpulkan 34,3 % suara sah. Suara rakyat yang telah disalurkan lewat
partai-partai politik tersebut seyogianya dihargai oleh UU Pemda dengan memberikan
kesempatan kepada partai-partai politik tersebut, untuk dapat mengusulkan pasangan
calon, dengan adanya Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda tersebut, angka enam
pasangan calon yang akan turut dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) sudah pasti
tidak akan dicapai, karena setiap daerah pemilihan sudah pasti akan ada kursi yang
diperoleh dari sisa suara. Dengan demikian karena ada kursi yang diperoleh partai politik
dengan tidak memenuhi bilangan pembagi maka sudah dapat dipastikan angka 15 %
kursi di DPRD akan lebih kecil bila dikonversi dengan 15 % suara. Apabila mengacu
pada Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tersebut maka dalam PILKADA yang akan datang
hanya akan ada 4 (empat) pasangan calon, namun apabila Penjelasan Pasal 59 ayat
(1) tersebut tidak ada maka akan terbuka kesempatan tambahan satu pasangan calon
dari gabungan partai politik yang memperoleh 15 % akumulasi suara sah dalam Pemilu
DPRD, sehingga dalam Pilkada Sulawesi Utara yang datang akan ada 5 (lima) pasangan
calon yang akan ikut serta dalam Pilkada tersebut.
Menurut Mahkamah, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (UU MK) maka salah satu kewenangan Mahkamah adalah melakukan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945. In casu dalam permohonan a quo, meskipun yang
dimohonkan untuk diuji adalah Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda, akan tetapi
karena penjelasan adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan
satu kesatuan dengan undang-undang yang bersangkutan maka permohonan a quo
452 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
adalah menyangkut pengujian UU Pemda terhadap UUD 1945 dan undang-undang
yang dimohonkan oleh Pemohon adalah undang-undang yang diundangkan setelah
perubahan pertama UUD 1945 yaitu tanggal 19 Oktober 1999. Dengan demikian
Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
Pasal 51 ayat (1) UU MK menentukan bahwa pihak yang dapat mengajukan
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah perorangan
warganegara Indonesia (termasuk kelompok orang yang memiliki kepentingan yang
sama), atau kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang, atau badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara, yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan.
Dalam hal ini Pemohon mengajukan permohonan dalam kualikasi sebagai kumpulan
perorangan maupun sebagai para Ketua Dewan Pimpinan Wilayah dari 12 partai politik di
Sulawesi Utara yang tidak memperoleh kursi dalam pemilihan umum yang lalu, akan tetapi
memperoleh dukungan suara secara keseluruhan sebanyak 34,3 % suara, dan sebagai
gabungan partai politik akan mengajukan pasangan calon dalam pemilihan Gubernur/
Wakil Gubernur di daerah Provinsi Sulawesi Utara yang akan datang. Dalam kapasitas
sebagai perorangan WNI atau kelompok perorangan yang mempunyai kepentingan yang
sama, para Pemohon dipandang memiliki kedudukan hukum (legal standing), sedangkan
dalam kapasitas sebagai badan hukum atau partai politik oleh karena tidak ternyata
memiliki surat kuasa atau persetujuan dari tiap-tiap pengurus pusat partai politik yang
bersangkutan sebagaimana mestinya, sehingga dalam kapasitasnya sebagai badan
hukum kedudukan hukumnya (legal standing-nya) tidak dipertimbangkan.
Para Pemohon a quo mendalilkan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda telah
menegasikan atau menghilangkan substansi norma (batang tubuh) Pasal 59 ayat (1) dan
ayat (2) UU Pemda, padahal Pasal 59 ayat (1) sudah jelas substansinya. Keberadaan
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda telah menghambat hak konstitusional para
Pemohon untuk mencalonkan atau dicalonkan dalam pemilihan kepala daerah, sehingga
hal itu bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan
(3), Pasal 28I ayat (2), (4) dan (5) UUD 1945, serta bertentangan juga dengan Pasal
43 ayat (1), (2) dan (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan oleh
karenanya para Pemohon meminta agar Penjelasan Pasal 59 ayat (1) dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut Mahkamah, sesungguhnya Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda
memang bertentangan dengan norma yang terkandung dalam Pasal 59 ayat (1) dan
(2), dan bahkan telah menegasikan norma yang ada itu. Pasal 59 ayat (1) dan (2)
tersebut telah dengan jelas mengatur bahwa yang boleh mengajukan pasangan calon
kepala daerah/wakil kepala daerah adalah partai politik atau gabungan partai politik yang
memperoleh 15% kursi di DPRD atau yang memperoleh 15% akumulasi suara dalam
Pemilu Anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Kata atau dalam Pasal 59 ayat (2)
453 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
merujuk pada alternatif di antara dua pilihan yang disebut, sesuai dengan keterangan ahli,
terhadap mana Mahkamah sependapat sebagai sikap akomodatif terhadap semangat
demokrasi yang memungkinkan bagi calon dari partai yang tidak memiliki kursi di DPRD
tetapi memiliki akumulasi suara 15% atau pun calon independen sepanjang diajukan
oleh partai atau gabungan partai untuk turut serta dalam Pilkada langsung. Hal demikian
juga merupakan penghargaan terhadap mereka yang memberikan suara terhadap partai
politik tapi tidak memiliki wakil di DPRD, yang karena persyaratan Bilangan Pembagi
Pemilihan (BPP) kadang-kadang suara pemilihnya lebih besar dari pada partai yang
memperoleh kursi di DPRD. Mahkamah berpendapat aturan demikian dipandang sudah
sesuai dengan visi demokrasi yang dianut dalam UUD 1945, karena partai-partai politik
yang tidak mencapai electoral threshold pada Pemilu 2004 yang lalu adalah tetap sah
sebagai partai politik menurut UU Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang Partai
Politik (UU Nomor 31 Tahun 2002), walaupun untuk mengikuti Pemilu berikutnya tidak
diperkenankan karena tidak mencapai electoral threshold tersebut.
Dengan demikian Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon a quo
cukup beralasan, sehingga permohonan para Pemohon harus dikabulkan, yakni dengan
menyatakan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945
dan menyatakan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan agar putusan Nomor 005/
PUU-III/2005 dimuat dalam Berita Negara.
454 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
455 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 006/PUU-III/2005
TENTANG
CALON PERSEORANGAN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Pemohon : Biem Benjamin.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda) terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pengujian Pasal 24 ayat (5), Pasal 59 ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 56 sampai dengan Pasal 67, Pasal 70, Pasal 75 sampai
dengan Pasal 80, Pasal 82, sampai dengan Pasal 86, Pasal 88,
Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95 sampai dengan Pasal 103, Pasal 106
sampai dengan Pasal 112 dan paragraf keenam, Pasal 115 sampai
dengan Pasal 119 UU Pemda mengenai Calon Independen Kepala
Daerah bertentangan dengan Pasal 22E ayat (3) dan (4), Pasal 27
ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyangkut hak atas
kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon sepanjang menyangkut
Pengujian Pasal 24 ayat (5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 56, Pasal 58
sampai dengan Pasal 65, Pasal 70, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77,
Pasal 79, Pasal 82, sampai dengan 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal
92, Pasal 95 sampai dengan 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal
112, Paragraf keenam, Pasal 115 sampai dengan 119 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) tidak dapat diterima
(niet ontvankelijkeverklaard);
Menolak permohonan mengenai Pengujian Pasal 59 ayat (1) dan ayat
(3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun
456 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
2004, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437).
Tanggal Putusan : Selasa, 31 Mei 2005.
Ikhtisar Putusan :
H. Biem Benyamin adalah Pemohon perseorangan mengajukan permohonan
pengujian UU Pemda terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pemohon sebagai perorangan Warga Negara Indonesia, beranggapan pemberlakuan
pada sebagian Pasal dalam UU Pemda tidak sesuai dengan perintah konstitusi, sehingga
Pemohon merasa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya berpotensi dirugikan oleh
berlakunya undang-undang tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon adalah sebagai bakal calon perseorangan yang
akan mendaftarkan diri sebagai calon Kepala Daerah dan sebagai pemilih yang harus tetap
konsisten atas terselenggaranya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Penyelenggaraan
Pilkada yang telah mempunyai kekuatan hukum dalam bentuk UU Pemda, dan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005, berpotensi dapat mengakibatkan kerugian atas
hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dengan uraian sebagai berikut:
Pemohon adalah perseorangan yang telah terpilih pada Pemilihan Umum a.
2004 sebagai anggota DPD RI mewakili Provinsi DKI Jakarta, yang itu berarti
Pemohon berhak mengajukan diri sebagai bakal calon kepala daerah di provinsi
yang bersangkutan. Berkaitan dengan itu, Pemohon hak dan/atau kewenangan
konstitusinya telah dirugikan karena peluang Pemohon sebagai perseorangan untuk
mengajukan diri secara langsung dan mandiri sebagai bakal calon kepala daerah
tidak dimungkinkan menurut Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemda;
Sementara peluang perseorangan maupun partai politik menurut konstitusi
bersamaan kedudukan/sejajar dalam hal kesempatan berpolitik, sebagaimana
dimaksud pada Pasal 22E ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945;
Pemohon adalah perseorangan yang berpotensi sebagai bakal calon kepala daerah, b.
berkaitan dengan itu, Pemohon hak dan/atau kewenangan konstitusinya telah
dirugikan karena telah terjadi diskriminasi politik (dilarang oleh konstitusi), yang
dalam hal ini berbentuk perbedaan persyaratan yang lebih memberatkan bagi calon
kepala daerah berbanding dengan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu
2004. Padahal baik Pemilu tahun 2004 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung oleh rakyat, maupun pemilihan kepala daerah secara demokratis
(dipilih langsung oleh rakyat) sama-sama diselenggarakan untuk pertama kali dan
sama-sama guna mengisi lembaga eksekutif;
Sementara Pemohon baik sebagai warga negara Indonesia, sesuai dengan Pasal
27 ayat (1) UUD 1945, bukan saja bersamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan tetapi juga berkewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya, dan sebagaimana diamanatkan Pasal 28I ayat
457 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(2) UUD 1945, Pemohon/setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak untuk mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang memungkinkan terjadinya segala sesuatu yang bersifat
diskriminatif itu;
Pemohon adalah perseorangan yang berpotensi sebagai bakal calon kepala daerah, c.
berkaitan dengan itu, Pemohon hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah
dirugikan, karena menurut penafsiran Pemohon, Pilkada diselenggarakan hanya
untuk memilih kepala daerah. Oleh karenanya, menetapkan wakil kepala daerah
sebagai satu pasangan calon kepala daerah dapat dikategorikan sebagai sesuatu
yang tidak sesuai dengan perintah konstitusi;
Sementara, Pemohon sebagai warga negara Indonesia, sesuai dengan Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945, bukan saja bersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
tetapi juga berkewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya, dan khusus berkaitan dengan Pilkada, wajib taat atas perintah
konstitusi dengan tetap konsisten pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
Dalam pandangan Pemohon, banyak terdapat materi muatan dalam UU Pemda tidak
sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945. Ketidaksesuaian sebagaimana
dimaksud meliputi:
a. Menetapkan hanya Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang dapat
mengusulkan secara berpasangan calon Kepala Daerah.
Menetapkan hanya Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang dapat
mengusulkan calon kepala daerah, sehingga menghilangkan peluang perseorangan
untuk mengajukan diri secara langsung dan mandiri sebagai calon kepala daerah
dalam Pilkada sebagaimana tercantum dalam Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3)
UU Pemda, menurut Pemohon merupakan sebuah ketetapan yang tidak sesuai
dengan BAB VII B***) PEMILIHAN UMUM, Pasal 22E ayat (3) dan ayat (4), BAB
X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK**), Pasal 27 ayat (1), dan BAB XA**) HAK
ASASI MANUSIA Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;
b. Persyaratan pengajuan calon Kepala Daerah.
Membedakan persyaratan yang lebih memberatkan atas pengajuan calon kepala
daerah dalam Pilkada (calon dari partai politik atau gabungan partai politik dan/atau
calon perseorangan) berbanding dengan persyaratan atas pengajuan pasangan
calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 59 ayat (2)
UU Pemda berbanding Pasal 101 UU Pilpres, menurut Pemohon merupakan sebuah
ketetapan yang tidak sesuai dengan BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK**)
Pasal 27 ayat (1) dan BAB XA**) HAK ASASI MANUSIA Pasal 28D ayat (3) dan
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
c. Wakil Kepala Daerah sebagai satu pasangan calon Pilkada
Menetapkan wakil kepala daerah sebagai pasangan kepala daerah dalam Pilkada
sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 ayat (5) UU Pemda, menurut Pemohon
458 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
merupakan sebuah ketetapan yang tidak sesuai dengan BAB VI Pemerintahan
Daerah, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan
memutus permohonan Pemohon, yakni 1. mengabulkan permohonan Pemohon untuk
seluruhnya; 2. membatalkan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemda serta menyatakan
ayat (1) dan ayat (3) Pasal 59 sebagaimana tersebut di atas tidak memiliki kekuatan hukum
yang mengikat; 3. membatalkan Pasal 59 ayat (2) UU Pemda, serta menyatakan ayat (2)
Pasal sebagaimana tersebut di atas tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat; 4.
membatalkan UU Pemda, bagian keempat Pemerintah Daerah, Paragraf Kesatu Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 24 ayat (5) berikut pasal-pasal yang berkaitan,
yang di dalamnya terdapat kalimat: Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasangan Calon, Pasangan Calon
Gubernur dan Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, Pasangan
Calon Walikota dan Wakil Walikota, yaitu pada Pasal 56 sampai dengan Pasal 67, Pasal
70, Pasal 75 sampai dengan Pasal 80, Pasal 82 sampai dengan Pasal 86, Pasal 88,
Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95 sampai dengan Pasal 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal
112. Paragraf keenam, Pasal 115 sampai dengan Pasal 119. Serta menyatakan Pasal-
pasal sebagaimana tersebut di atas tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang kemudian
ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), maka salah satu wewenang Mahkamah
adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, sehingga dengan
demikian Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan
Pemohon.
Timbulnya kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon terjadi dengan
diundangkannya UU Pemda khususnya pasal yang telah diutarakan di atas, terutama
Pasal 24 ayat (5) tentang keberadaan jabatan wakil kepala daerah dalam Undang-
Undang a quo secara bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, serta perbedaan
syarat perolehan suara partai politik dalam pemilihan lalu, untuk pencalonan Presiden/
Wakil Presiden 3% dari kursi di DPR atau suara sah 5%, sedang untuk calon kepala
daerah harus 15% kursi DPR atau 15% suara sah, tidak dapat dibuktikan Pemohon
baik secara spesik (khusus) maupun secara potensial apalagi aktual. Di samping itu
tidak terdapat hubungan kausal (causal verband) yang rasional antara UU dimaksud
dengan kerugian hak konstitusional Pemohon, karena seandainya juga Pasal 24 ayat
(5) bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, keberadaan wakil kepala daerah,
tidak berhubungan, baik langsung maupun tidak dengan kemungkinan terpilihnya
Pemohon sebagai perseorangan dalam pemilihan kepala daerah, karena Pemohon tidak
membuktikan bahwa kualitasnya baik secara politik, sosial, ekonomi dan intelektual,
maupun kapasitas dan kapabilitasnya sebagai calon kepala daerah secara mutlak akan
dirugikan dalam perolehan suara dalam pemilihan kepala daerah tersebut.
459 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Ketidaksamaan syarat persentase perolehan suara partai politik untuk mencalonkan
Presiden/Wakil Presiden dengan pencalonan kepala/wakil kepala daerah, sama sekali
tidak memiliki keterkaitan dengan hak konstitusional Pemohon sebagai perorangan,
karena perbedaan tersebut yang dianggap sebagai diskriminasi jika juga benar terjadi
-quod non- bukanlah menyangkut kerugian hak konstitusional Pemohon, melainkan
kerugian hak konstitusional partai politik semata-mata. Seandainya juga hal demikian telah
merugikan hak Pemohon secara tidak langsung, persona standi in judicio (legal standing)
dalam hal demikian tetap berada pada partai politik yang merasa dirugikan dengan
ketentuan perundang-undangan dimaksud. Demikian juga jika Pilkada bukan pemilihan
umum, yang menurut Pemohon seharusnya bukan KPUD yang menjadi penyelenggara
pemilihan kepala daerah, tetapi Pemohon tidak menunjukkan kerugiannya yang bersifat
spesik (khusus) maupun secara potensial yang telah mengancam kepentingan atau hak
konstitusionalnya, karena sebagai perseorangan calon kepala daerah ketentuan undang-
undang tersebut tidak memiliki hubungan kausal yang langsung dengan kemungkinan
terpilihnya Pemohon sebagai kepala daerah.
Terhadap pengujian Pasal 59 ayat (1) dan (3) UU Pemda, Pemohon tidak dapat
membuktikan kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan
pengujian terhadap Pasal 24 ayat (5) berikut pasal-pasal yang berkaitan yaitu Pasal 56
sampai 67, Pasal 70, Pasal 75 sampai dengan Pasal 80, Pasal 82 sampai dengan Pasal
86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95 sampai dengan Pasal 103, Pasal 106 sampai
dengan Pasal 112, Paragraf keenam Pasal 115 sampai dengan Pasal 119, sehingga
oleh karenanya tanpa memasuki pokok perkara sepanjang menyangkut pasal-pasal yang
diuraikan di atas, permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Meskipun kerugian Pemohon yang diakibatkan oleh berlakunya Pasal 59 ayat (1)
dan ayat (3) UU Pemda sebagai calon perorangan yang tidak melalui partai politik tidak
dapat mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah belum merupakan hal yang aktual
akan tetapi sebagai anggota DPD yang terpilih untuk mewakili DKI Jakarta, menurut
penalaran yang wajar, sudah dapat dipastikan akan ditolak oleh penyelenggara Pilkada,
sehingga dengan demikian kriteria kedudukan hukum (legal standing) yang diuraikan di
atas telah terpenuhi. Dengan demikian, sepanjang menyangkut permohonan pengujian
atas Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang a quo, Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing). Dengan Demikian Mahkamah mempunyai kewenangan untuk
memeriksa permohonan a quo, dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
maka Mahkamah lebih lanjut akan mempertimbangkan pokok permohonan sepanjang
menyangkut atas Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemda.
Dalam pokok permohonannya Pemohon telah mendalilkan Pasal 59 ayat (1)
dan (3) yang menetapkan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang dapat
mengusulkan secara berpasangan calon kepala/wakil kepala daerah, hal mana telah
menghilangkan peluang perseorangan untuk mengajukan diri secara langsung dan
mandiri sebagai calon kepala daerah, dipandang bertentangan dengan Pasal 22E ayat
460 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(3) dan (4), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Dalam perkara Nomor 005/PUU-III/2005 yang telah diputus dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat yang juga berkenaan dengan Pasal 59 UU Pemda, dalam
pertimbangan hukumnya terdapat ratio decidendi (nalar putusan) yang relevan dengan
permohonan a quo. Terlepas dari belum adanya amar putusan Mahkamah yang telah
memutus tentang Pasal 59 UU Pemda tersebut, akan tetapi ratio decidendi putusan
Mahkamah dalam perkara Nomor 005/PUU-III/2005 tersebut relevan dengan perkara in
casu dan dipandang menjadi bagian dari putusan dalam perkara ini.
Persyaratan pengusulan calon pasangan kepala daerah/wakil kepala daerah harus
melalui pengusulan partai politik adalah merupakan mekanisme atau tata cara bagaimana
pemilihan kepala daerah dimaksud dilaksanakan, dan sama sekali tidak menghilangkan
hak perseorangan untuk ikut dalam pemerintahan, sepanjang syarat pengusulan
melalui partai politik dilakukan, sehingga dengan rumusan diskriminasi sebagaimana
diuraikan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 maupun Pasal
2 International Covenant on Civil and Political Rights, yaitu sepanjang pembedaan yang
dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status
sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik, maka pengusulan
melalui partai politik demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945,
karena pilihan sistim yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat
diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan
pembuat undang-undang (detournement de pouvoir).
Mahkamah berpendapat, permohonan Pemohon sepanjang menyangkut pengujian
atas Pasal 24 ayat (5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 56, Pasal 58 sampai dengan Pasal 65,
Pasal 70, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 79, Pasal 82 sampai dengan 86, Pasal
88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95 sampai dengan 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal
112, Paragraf keenam, Pasal 115 sampai dengan 119 UU Pemda tidak dapat diterima;
sedangkan permohonan Pemohon menyangkut Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) tidak
cukup beralasan, sehingga harus dinyatakan ditolak. Disamping itu, Mahkamah juga
menyatakan permohonan Pemohon sepanjang menyangkut pengujian Pasal 24 ayat (5),
Pasal 59 ayat (2), Pasal 56, Pasal 58 sampai dengan Pasal 65, Pasal 70, Pasal 75, Pasal
76, Pasal 77, Pasal 79, Pasal 82 sampai dengan 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal
95 sampai dengan 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal 112, Paragraf keenam, Pasal
115 sampai dengan 119 UU Pemda tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard)
dan menolak permohonan Pemohon mengenai pengujian Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3)
UU Pemda.
461 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 007/PUU-III/2005
TENTANG
HAK PEMERINTAHAN DAERAH UNTUK IKUT MENGEMBANGKAN SISTEM
JAMINAN SOSIAL
Pemohon : 1. Drs. H. Fathorrasjid, M.Si. dan Saleh Mukaddar, S.H. (Pemohon
I); 2. Edy Heriyanto, S.H. (Pemohon II); 3. Dra. Nurhayati Aminullah,
MHP., HIA. (Pemohon III).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 52 UU
SJSN mengenai tertutupnya peluang Pemerintahan Daerah untuk
ikut mengembangkan sistim jaminan sosial bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (3), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 28D ayat (1), Pasal
28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2), Pasal 33 ayat (4), dan Pasal 33
ayat (5) UUD 1945 menyangkut hak atas jaminan sosial.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Rabu, 31 Agustus 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon Drs. H. Fathorrasjid, M.Si. dan Saleh Mukaddar S.H. (Pemohon I), Edy
Heriyanto, S.H. (Pemohon II), dan Dra. Nurhayati Aminullah, MHP., HIA. (Pemohon III)
mengajukan permohonan pengujian Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4),
dan Pasal 52 UU SJSN mengenai tertutupnya peluang Pemerintahan Daerah untuk ikut
mengembangkan sistim jaminan sosial yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal
18, Pasal 18A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2), Pasal 33 ayat
(4), dan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 menyangkut hak atas jaminan sosial.
Pemohon I sebagai lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga perwakilan
rakyat di Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur, yang bertindak untuk dan atas nama
462 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
DPRD Provinsi Jawa Timur sesuai tugasnya sebagai unsur Pimpinan DPRD untuk mewakili
DPRD dan/atau alat kelengkapan DPRD di pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 58
huruf f Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juncto Pasal 36 ayat (1) huruf f Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2004 tentang Peraturan
Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Timur. Pemohon II sebagai
Badan Hukum Publik, yang bertindak untuk dan atas nama Satuan Pelaksana Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (SATPEL JPKM) berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor 08 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat. Pemohon III sebagai perorangan WNI atau kelompok yang
berkepentingan, yang bertindak untuk dan atas nama Perhimpunan Badan Penyelenggara
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (PERBAPEL JPKM) yang didirikan sesuai
hukum yang berlaku dengan bukti Surat tanda terima pemberitahuan keberadaan organisasi
Nomor Inventarisasi 33/D.I/IX/2000 tertanggal 26 September 2000.
Pemohon I mengajukan permohonan pengujian Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (3),
Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 52 UU SJSN karena ketentuan tersebut mengabaikan fungsi
pengawasan, legislasi, dan penganggaran Pemohon I dalam membuat Peraturan Daerah dan
mengatur serta mengawasi pelaksanaan kewenangan penanganan di bidang pemerintahan,
ketenagakerjaan, sosial dan kesehatan serta pelaksanaan kewajiban pengembangan sistim
jaminan sosial yang menjadi urusan wajib dalam rangka pemenuhan hak dan pelayanan
dasar warga negara melalui pemberian perlindungan atas hak konstitusional warga negara
di daerah oleh pemerintah daerah sehingga tidak dapat dijalankan menurut asas otonomi
yang seluas-luasnya dan tugas pembantuan.
Pemohon II dan Pemohon III mengajukan permohonan pengujian Pasal 5 ayat (1),
Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 52 UU SJSN karena tidak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan tidak mendapatkan hak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama dihadapan
hukum, serta mendapat perlakuan yang bersifat diskriminatif atas berlakunya Pasal 5 ayat
(1), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 52 UU SJSN dan tidak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif dari Pemerintah Pusat cq. Departemen
Kesehatan.
Pemohon I berkedudukan sebagai lembaga negara, Pemohon II berkedudukan
sebagai badan hukum publik, dan Pemohon III berkedudukan sebagai perorangan WNI.
Kerugian Pemohon I akibat berlakunya Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat
(4), dan Pasal 52 UU SJSN yakni pelaksanaan urusan wajib yang menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah tidak dapat dijalankan menurut prinsip otonomi yang seluas-
luasnya, tidak berfungsinya Pemohon I sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah
dalam melaksanakan fungsi pengawasan, pengaturan, dan penganggaran yang
terkait dengan penyelenggaraan jaminan sosial di daerah berdasarkan keragaman,
463 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kekhususan, dan karakteristik sesuai kebutuhan dan aspirasi Warga Negara Indonesia di
daerah yang mengakibatkan kurang terjaminnya penyelenggaraan jaminan sosial sesuai
aspirasi dan kebutuhan warga di daerah serta kurang terjaminnya esiensi dan efektivitas
penggunaan keuangan daerah. Kerugian Pemohon I dan II akibat berlakunya Pasal 5
ayat (1), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 52 UU SJSN yakni kewenangan
Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut
asas otonomi dan tugas perbantuan tidak dapat dijalankan karena penyelenggaraan
jaminan sosial dilakukan hanya oleh 4 BUMN sebagai Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) yang telah ditunjuk UU SJSN yang menghambat tercapainya tujuan
pemberian otonomi luas kepada daerah yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat. Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 52
UU SJSN merugikan hak/kewenangan konstitusional para Pemohon karena dapat
menurunkan daya saingnya sebagai pelaku pembangunan di daerah, keberadaan Pasal
5 ayat (1), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 52 UU SJSN telah merusak
hubungan wewenang dalam keuangan dan pelayanan umum antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, terutama Pemohon I dan Pemohon II, yang telah diatur dan
dilaksanakan secara tidak adil dan tidak selaras dengan asas otonomi yang seluas-
luasnya dan tugas pembantuan, tetapi justru diatur dan dilaksanakan secara sentralistik
dan monopoli berdasarkan Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), dan
Pasal 52 UU SJSN dengan tidak memperhatikan dan menghargai prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
daerah dalam rangka penyelenggaraan dan pengembangan sistim jaminan sosial dalam
Pasal 18A UUD 1945. Pemohon I memenuhi syarat dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK
sehingga memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon
dalam permohonan, sedangkan Pemohon II tidak menjelaskan dalam permohonannya
apakah dalam kedudukannya sebagai Ketua Satuan Pelaksana Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat Rembang Sehat Pemohon II berhak bertindak untuk dan atas
nama SATPEL JPKM sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan Pemohon II jelas
memiliki kualikasi yang berbeda dengan Pemohon I, namun dalam permohonannya
Pemohon II telah menggunakan argumentasi yang sebagian sama dengan argumentasi
Pemohon I dalam menjelaskan kerugian konstitusional yang dideritanya sebagai
akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Oleh karenanya,
Pemohon II tidak memenuhi persyaratan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK serta syarat
kerugian konstitusional yang telah menjadi pendirian Mahkamah, sehingga Mahkamah
berpendapat bahwa Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
permohonan.
Pada Pemohon III bahwa tidak ada satu pun hak-hak konstitusional Pemohon
III dirugikan oleh berlakunya Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (3), dan Pasal 5 ayat (4)
UU SJSN. Di pihak lain, Pasal 18 ayat (6) dan (7) UUD 1945, jika pun di dalamnya
terkandung substansi hak maka hak tersebut bukan hak konstitusional Pemohon III
464 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dalam kualikasi sebagai perorangan warga negara Indonesia. Pemohon III baik sebagai
perorangan warga negara Indonesia maupun atas nama PERBAPEL JPKM, tidak
memenuhi persyaratan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK sehingga harus dinyatakan
tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan. Oleh karena
itu, Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan pengujian UU SJSN yang
diajukan oleh para Pemohon yang salah satu di antaranya memiliki kedudukan hukum
(legal standing) selaku Pemohon maka Mahkamah akan mempertimbangkan materi atau
substansi permohonan lebih lanjut.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
juncto Pasal 10 ayat (1) UU MK yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk:
(a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
(b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(c) memutus pembubaran partai politik;
(d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Terhadap permohonan pengujian UU SJSN terhadap UUD 1945 maka Mahkamah
berwenang untuk mengadili dan memutus perkara tersebut.
Mahkamah menyatakan bahwa sepanjang menyangkut sistim jaminan sosial yang
dipilih, UU SJSN telah cukup memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, bahwa
sistim jaminan sosial yang dipilih mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk
meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan. Oleh karenanya, UU SJSN dengan sendirinya merupakan
penegasan kewajiban negara terhadap hak atas jaminan sosial sebagai bagian dari hak
asasi manusia, sebagaimana dimaksud Pasal 28H ayat (3) UUD 1945, yang mewajibkan
negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan menjamin
pemenuhannya (to full). Selain itu, ketentuan Pasal 5 UU SJSN menutup peluang
Pemerintahan Daerah untuk ikut mengembangkan suatu sub-sistim jaminan sosial
dalam kerangka sistim jaminan sosial nasional sesuai dengan kewenangan Pasal 18
ayat (2) dan (5) UUD 1945 merupakan ketentuan yang saling bertentangan serta sangat
berpeluang menimbulkan multi-interpretasi yang menyebabkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid) sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 5 ayat (1) UU SJSN harus ditafsirkan untuk
pembentukan badan penyelenggara tingkat nasional yang berada di pusat, sedangkan
465 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
untuk pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah dapat dibentuk
dengan peraturan daerah dengan memenuhi ketentuan tentang sistim jaminan sosial
nasional sebagaimana diatur dalam UU SJSN. Rumusan yang saling bertentangan
dalam Pasal 5 ayat (1) UU SJSN dan berpeluang menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid) karena Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk
dengan undang-undang, sementara dalam Pasal 5 ayat (3) UU SJSN bahwa Persero
JAMSOSTEK, Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES adalah Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, yang tidak semua badan-badan tersebut dibentuk
dengan undang-undang. Pembentuk undang-undang bermaksud menyatakan bahwa
selama belum terbentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), badan-badan sebagaimana disebutkan pada ayat (3) diberi
hak untuk bertindak sebagai badan penyelenggara jaminan sosial, yang diatur dalam
Ketentuan Peralihan pada Pasal 52 UU SJSN. Rumusan dalam Pasal 5 ayat (1) UU
SJSN, pembentuk undang-undang bermaksud bahwa badan penyelenggara jaminan
sosial harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam UU SJSN maka penggunaan
kata dengan pada ayat (1) tidak memungkinkan untuk diberi tafsir demikian. Frasa
dengan undang-undang menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan setiap badan
penyelenggara jaminan sosial harus dengan undang-undang, sedangkan frasa dalam
undang-undang menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan badan penyelenggara
jaminan sosial harus memenuhi ketentuan undang-undang. Oleh karenanya, berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) UU SJSN bahwa badan penyelenggara jaminan sosial
harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri.
Mahkamah juga berpendapat bahwa dengan menghubungkan ketentuan ayat (1),
(2), (3), dan (4) dari Pasal 5 UU SJSN, memang kehendak pembentuk undang-undang
untuk menyatakan bahwa JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI, dan ASKES saja yang
merupakan badan penyelenggara jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
serta tidak mungkin lagi membentuk badan penyelenggara jaminan sosial lain di luar itu.
Oleh karena daerah menjadi tidak mempunyai peluang untuk mengembangkan sistim
jaminan sosial dan membentuk badan penyelenggara sosial, sementara di pihak lain
keberadaan undang-undang yang mengatur tentang pembentukan badan penyelenggara
jaminan sosial nasional di tingkat pusat merupakan kebutuhan maka Pasal 5 ayat (1) UU
SJSN cukup memenuhi kebutuhan dimaksud dan tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar sepanjang ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UU SJSN ditafsirkan semata-
mata dalam rangka pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial nasional di tingkat
pusat.
Ketentuan Pasal 52 UU SJSN justru dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum
(rechtsvacuum) dan menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid), karena belum adanya
badan penyelenggara jaminan sosial yang memenuhi persyaratan agar UU SJSN dapat
dilaksanakan. Selain itu, Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (2) UU SJSN akan menimbulkan
multitafsir dan ketidakpastian hukum, serta Pasal 5 ayat (4) UU SJSN dapat menutup
466 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
peluang bagi Pemerintahan Daerah untuk membentuk dan mengembangkan badan
penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah dalam kerangka sistim jaminan sosial
nasional. Sedangkan Pasal 5 ayat (1) UU SJSN tidak bertentangan dengan UUD 1945
asalkan ditafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah pembentukan
badan penyelenggara jaminan sosial tingkat nasional yang berada di Pusat.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan Pemohon
dikabulkan untuk sebagian, yakni Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), dan Pasal 5 ayat
(4) UU SJSN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, serta menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak untuk selebihnya.
Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan pemuatan Putusan Nomor 007/PUU-III/2005 ini
dalam Berita Negara sebagaimana mestinya.
467 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 058-059-060-063/PUU-II/2004
DAN PERKARA NOMOR 008/PUU-III/2005
TENTANG
PENGUASAAN NEGARA ATAS SUMBER DAYA AIR
Pemohon : Perkara Nomor 058/PUU-II/2004 :
Munarman, S.H., dkk, sebanyak 53 WNI (Pemohon I)
Perkara Nomor 059/PUU-II/2004 :
Longgena Ginting, dkk, sebanyak 16 WNI (Pemohon II)
Perkara Nomor 060/PUU-II/2004 :
Zumrotun, dkk, sebanyak 868 WNI (Pemohon III)
Perkara Nomor 063/PUU-II/2004 :
Suta Widhya (Pemohon IV)
Perkara Nomor 008/PUU-III/2005
Suyanto, dkk, sebanyak 2063 WNI (Pemohon V)
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (UU SDA) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : 1. Pengujian formil UU SDA
Pasal 5, Pasal 6 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 7 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), Pasal 10, Pasal 11 ayat (3), Pasal 26 ayat (7),
Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (5), Pasal 38 ayat (2),
Pasal 39 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), ayat (4), dan ayat (7), Pasal 45
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 41, Pasal 45, Pasal 46
ayat (1), Pasal 49, Pasal 80, Pasal 91 serta Pasal 92 ayat (1), ayat
(2) serta ayat (3) UU SDA mengenai pengambilalihan oleh swasta
atas sumber daya air untuk kepentingan komersial bertentangan
dengan Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28H
468 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ayat (1), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (4),
Pasal 28I ayat (5), Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), serta
Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menyangkut hak atas kemakmuran
atau kesejahteraan bersama.
Amar Putusan : Menolak permohonan para Pemohon.
Tanggal Putusan : Selasa, 19 Juli 2005.
Ikhtisar Putusan :
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005 merupakan gabungan dari 5 perkara pengujian Undang-Undang Nomor
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). para Pemohon Pengujian UU
SDA tersebut adalah sebagai berikut.
Para Pemohon dalam perkara nomor 058/PUU-II/2004 sebanyak 53 WNI. Pertama 1.
bernama Munarman, S.H. dan yang terakhir adalah Ahmad Frantagore. Mereka
tergabung dalam Tim Advokasi Koalisi Rakyat untuk hak atas air. Selanjutnya, para
Pemohon dalam perkara nomor 058/PUU-II/2004 disebut Pemohon I.
Para Pemohon dalam perkara nomor 059/PUU-II/2004 sebanyak 16 WNI. Pertama 2.
bernama Longgena Ginting dan yang terakhir adalah Henry Saragih. Mereka
menamakan diri Rakyat Menggugat bersama-sama WALHI, PBHI, UPC, Somasi
NTB.
Para Pemohon dalam perkara nomor 060/PUU-II/2004 sebanyak 868 WNI. Pertama, 3.
bernama Zumrotun dan yang terakhir adalah Pdt. Serdy R. Pratastik.
Pemohon dalam perkara nomor 063/PUU-II/2004 bernama Suta Widya, yakni 4.
perorangan warga negara Indonesia.
Para Pemohon dalam perkara nomor 008/PUU-III/2005 sebanyak 2063 WNI. 5.
Pertama bernama Suyanto dan yang terakhir adalah P. Siburian.
Berkenaan dengan pengujian UU SDA tersebut, Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian UU SDA itu. Karena
berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a dan Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK),
salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap
UUD 1945, baik proses pembentukannya (pengujian formil) maupun materi muatannya
(pengujian materiil).
Menyangkut kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon di atas, sesuai
dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK, para Pemohon menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. Selain
itu, Mahkamah Konstitusi telah mengemukakan pendapatnya yang dimuat dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-
III/2005. Dalam konteks ini, kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu
undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 syarat, yaitu : a.
469 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak konstitusional
Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang
yang diuji; c. kerugian konstitusional Pemohon bersifat spesik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa
dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi.
Para Pemohon dapat dikualikasikan sebagai perorangan WNI dan/atau badan
hukum privat bagi LSM yang berbentuk Yayasan yang menganggap dirugikan hak
konstitusionalnya yang tercantum dalam UUD oleh berlakunya UU SDA. Dengan
demikian, para Pemohon dalam lima perkara itu mempunyai legal standing untuk
mengajukan permohonan pengujian UU SDA terhadap UUD 1945.
Menyangkut dalil permohonan, para Pemohon mengajukan pengujian formil dan
matril atas UU SDA. Dalam konteks pengujian formil, para Pemohon mendalilkan bahwa
prosedur pengesahan UU SDA bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, Pasal
33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, serta Keputusan DPR RI No. 03A/DPR RI/2001-
2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR, sehingga UU SDA cacat hukum. Selain itu,
para Pemohon juga mendalilkan bahwa pengambilan keputusan persetujuan Rancangan
UU SDA seharusnya dilakukan secara voting, bukan dengan musyawarah mufakat.
Karena ada sebagian Anggota DPR yang hadir menolak RUU SDA, sehingga proses
pengambilan keputusan itu secara musyawarah mufakat tidak sah.
Terhadap dalil permohonan di atas, terungkap dalam persidangan Mahkamah
Konstitusi yang pada intinya membuktikan bahwa para peserta Sidang Paripurna DPR
secara bersama menyatakan setuju untuk mengesahkan Rancangan UU SDA menjadi
undang-undang. Selain itu, Mahkamah Konstitusi tidak menemukan adanya unsur-unsur
pembentukan UU SDA yang bertentangan dengan UUD 1945. Atas dasar itu, Mahkamah
Konstitusi menilai bahwa pengujian formil UU SDA tidak cukup beralasan, sehingga
Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak permohonan pengujian formil UU
SDA.
Dalam konteks pengujian materil, para Pemohon mengajukan sebanyak 19 pasal
UU SDA, yaitu Pasal 5, Pasal 6 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 7 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 9 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), Pasal 10, Pasal 11 ayat (3), Pasal 26 ayat (7), Pasal 29 ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5), Pasal 38 ayat (2), Pasal 39, Pasal 40 ayat (1), ayat (4), ayat (7), Pasal 41 ayat (2),
ayat (3), dan ayat (5), Pasal 45 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 46 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 49, Pasal 80 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat
(6), Pasal 91, serta Pasal 92 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). para Pemohon menilai ke-19
pasal UU SDA itu bertentangan dengan UUD 1945 karena privatisasi dan komersialisasi
470 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
atas sumber daya air mengubah fungsi sosial air menjadi komoditas ekonomi semata
sehingga air berubah menjadi barang komersial. Menurut para Pemohon, hal itu
bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (2), serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) mengenai hak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat, hak memperoleh pelayanan kesehatan, hak mendapat kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mendapat persamaan dan keadilan, hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu, serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat meskipun UU
SDA membuka peluang peran swasta untuk mendapatkan hak guna usaha air dan ijin
pengusahaan sumber daya air, namun hal itu tidak akan mengakibatkan penguasaan air
jatuh ke tangan swasta. Negara dalam melaksanakan hak penguasaan atas air meliputi
kegiatan : 1. merumuskan kebijaksanaan (beleid); 2. melakukan tindakan pengurusan
(bestuurdaad); 3. melakukan pengaturan (regelendaad); 4. melakukan pengelolaan
(beheersdaad); dan 5. melakukan pengawasan (toezichtthoundendaad).
Menyangkut dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa UU SDA menyebabkan
komersialisasi terhadap air karena menganut prinsip penerima manfaat jasa pengelolaan
sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan", Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa prinsip tersebut justru menempatkan air tidak sebagai objek untuk
dikenai harga secara ekonomi. Karena tidak ada harga air sebagai komponen dalam
menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Oleh karenanya prinsip
tersebut tidak bersifat komersial.
Sejalan dengan pendapat di atas, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak
permohonan para Pemohon.
Pendapat Berbeda :
Dalam pengujian UU SDA terdapat dua orang hakim yang mengemukakan
pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim dissenter (hakim yang berbeda pendapat)
mengemukakan seyogianya Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan
para Pemohon dengan alasan sebagai berikut.
Pengaturan oleh negara atas sumber daya air, seharusnya hanya menyangkut
pengaturan dalam pengelolaan (manajemen) sumber daya air, agar air dapat digunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka penghormatan (to respect),
perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulll) hak manusia atas air (the right to
water) yang secara universal sudah diakui sebagai hak asasi manusia. Bukan pengaturan
dalam bentuk pemberian hak-hak tertentu atas air (water right) kepada perseorangan dan/
atau badan usaha swasta, seperti yang dianut oleh UU SDA. Oleh karena itu, seyogyanya
471 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 6 ayat (3), Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 26 ayat (7),
Pasal 29 ayat (3), Pasal 38 ayat (2), Pasal 39, Pasal 40 ayat (4), Pasal 41 ayat (5) UU
SDA dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga negara atas air,
maka Pemerintah atas nama negara juga telah diberi perintah dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 untuk melaksanakan amanat Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Konsepsi dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 adalah untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat [vide Perkara Nomor
01-021-022/PUU-I/2003 mengenai pengujian UU Noomor 20 tahun 2002 dan 02/PUU-
I/2003 mengenai pengujian UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Minyak dan Gas Bumi].
Oleh karena itu, Mahkamah seyogyanya menyatakan Pasal 7, Pasal 9, Pasal 40 ayat
(4), Pasal 45 ayat (3), Pasal 98 UU SDA bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
472 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
473 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 009-014/PUU-III/2005
TENTANG
JABATAN NOTARIS
Pemohon : Perkara 09/PUU-III/2005 :
1. Persatuan Notaris Reformasi Indonesia/PERNORI (bertindak
selaku pribadi maupun dalam kedudukan selaku Ketua Umum,
DR. H.M. Ridhwan Indra Romeo Ahadian, S.H., M.M., M.Kn.); 2.
Himpunan Notaris Indonesia/HNI (bertindak selaku pribadi maupun
dalam kedudukannya selaku Sekretaris Umum DR. H. Teddy Anwar,
S.H. [Pemohon I].
Perkara 014/PUU-III/2005
Hady Evianto, S.H., Sp.N.; 2. H.M. Ilham Pohan, S.H., Sp.N.; 3.
Ukon Krisnajaya, S.H., Sp.N., dkk. [Pemohon II].
(Kesemua Pemohon adalah Notaris).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris) terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 1 ayat (5), Pasal 15 ayat (2) huruf f dan g, Pasal 67 ayat
(1) sampai dengan (6), dan Pasal 82 ayat (1) UU Jabatan Notaris
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), 28D ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyangkut
hak kebebasan untuk berserikat, hak atas jaminan kepastian hukum,
dan hak untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Selasa, 13 September 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara 009/PUU-III/2005 mengajukan pengujian materiil Pasal 1 ayat
(5) dan Pasal 82 ayat (1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945 dengan
474 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
alasan sebagai berikut:
1. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 berbunyi:
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat;
2. Pasal 28G ayat(1) UUD 1945 berbunyi:
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi;
3. Pasal 28E UUD 1945 sebagaimana disebutkan pada angka III.2 a quo tersebut
sudah dipertegas oleh Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia yang berbunyi, Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan
berserikat untuk maksud-maksud damai;
4. Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
5. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
Segala warga negara berasamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
Juncto Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat
dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi;
6. Pasal 67 ayat (3) b UU Jabatan Notaris bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945;
7. Pasal 77 adalah berlebihan dan menimbulkan diskriminasi hukum karena
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN;
8. Pasal 78 UU Jabatan Notaris tersebut berlebihan dan menimbulkan diskriminasi
hukum karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
9. Bahwa, pembentukan undang-undang yang didasari suap menurut Pemohon dengan
sendirinya bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
475 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
Pemohon perkara 014/PUU-III/2005 mengajukan pengujian formil tentang
Pembentukan Undang-Undang a quo tidak memenuhi ketentuan Pembentukan Undang-
Undang berdasarkan UUD 1945, dalam hal ini bertentangan dengan Pasal 22A UUD
1945.
Pasal 22A UUD 1945 menetapkan:
Ketentuan lebih lanjut tentang tata-cara pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang.
Pada tanggal 22 Juni 2004 ditetapkan dan mulai berlaku Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya
disebut UU Nomor 10 Tahun 2004). UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A UUD 1945. Frasa pada tanggal 22 Juni
2004 ditetapkan dan mulai berlaku berarti bahwa Asas-asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik dan Asas-asas yang terkandung dalam Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan mulai diberlakukan pada Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan berikutnya yang dibuat setelah UU Nomor 10 Tahun 2004.
Disamping itu, Pemohon mengajukan pengujian materiil antara lain sebagai berikut:
1. Pasal 16 ayat (1) butir k Undang-Undang a quo bertentangan dengan ketentuan
Pasal 36C UUD 1945. Pasal 36C UUD 1945 menetapkan bahwa, Ketentuan lebih
lanjut mengenai Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur
dengan undang-undang.
Pasal 16 ayat (1) butir k UU Jabatan Notaris menetapkan bahwa, Dalam menjalankan
jabatannya, Notaris berkewajiban mempunyai cap/stempel yang memuat Lambang
Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama,
jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 16 ayat (1) butir k UU Jabatan Notaris
bertentangan dengan ketentuan Pasal 36C UUD 1945, dengan alasan karena
sebelum diundangkannya UU Jabatan Notaris, setiap Notaris dalam menjalankan
jabatannya berhak dan/atau berwenang menggunakan Lambang Negara dalam Cap
Jabatan dan Surat Jabatannya. Ada atau tidak ada-nya undang-undang dimaksud,
setiap Notaris dalam menjalankan jabatannya menggunakan Lambang Negara
dalam Cap Jabatan dan Surat Jabatannya.
Penggunaan Lambang Negara dalam Cap Jabatan dan Surat Jabatan yang dilakukan
oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya adalah berdasarkan atas ketentuan
yang termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara.
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958 tentang
Penggunaan Lambang Negara, selengkapnya (disesuaikan dengan ejaan dan
476 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
konteksnya pada keadaan saat ini) berbunyi sebagai berikut:
(1) Cap jabatan dengan Lambang Negara didalamnya hanya dibolehkan untuk
cap jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat, Ketua Konstituante ( Majelis Permusyawaratan Rakyat Pemohon),
Ketua Dewan Nasional (Ketua Komisi Nasional yang dibentuk dengan
undang-undang Pemohon), Ketua Mahkamah Agung (termasuk pula Ketua
Mahkamah Konstitusi Pemohon), Ketua Dewan Pengawas Keuangan (Ketua
Badan Pengawas Keuangan Pemohon), Kepala Daerah dari tingkat Bupati
(Kepala Daerah Tingkat I/Gubernur, Kepala Daerah Tingkat II/Bupati/Walikota/
Walikotamadya Pemohon) dan Notaris.
(2) Lambang Negara dapat digunakan pada surat jabatan Presiden, Wakil
Presiden, Menteri, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Konstituate (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Pemohon), Ketua Dewan Nasional (Ketua Komisi
Nasional yang dibentuk dengan undang-undang Pemohon), Ketua Mahkamah
Agung (termasuk pula Ketua Mahkamah Konstitusi Pemohon), Jaksa Agung,
Ketua Dewan Pengawas Keuangan (Ketua Badan Pengawas Keuangan
Pemohon), Gubernur Kepala Daerah dan Kepala Daerah yang setingkat,
Direktur Kabinet Presiden dan Notaris.
2. Pasal 1 butir 5 juncto Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang a quo dalam proses
perumusannya dan juga pelaksanaannya saat ini telah disalah-tafsirkan sehingga
karenanya bertentangan dengan asas/semboyan Bhinneka Tunggal Ika,
bertentangan pula dengan ketentuan Pasal 22A juncto Pasal 36A UUD 1945, pada
akhirnya pula bertentangan dengan Sila Ketiga, Sila Keempat dan Sila Kelima dari
Dasar Negara (Pancasila).
Pasal 36A UUD 1945 menetapkan bahwa, Lambang Negara ialah Garuda Pancasila
dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Pasal 22A UUD 1945 juncto Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 menetapkan
bahwa, Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas (antara
lain) Bhinneka Tunggal Ika.
Pasal 1 butir (5) UU Jabatan Notaris menetapkan bahwa, Organisasi Notaris adalah
organisasi profesi jabatan notaris yang berbentuk perkumpulan yang berbadan
hukum.
Pasal 82 ayat (1) UU Jabatan Notaris menetapkan bahwa, Notaris berhimpun
dalam satu wadah Organisasi Notaris.
3. Pasal 16 ayat (1) butir k UU Jabatan Notaris bertentangan dengan ketentuan Pasal
36C UUD 1945;
4. Pasal 1 butir 5 juncto Pasal 82 ayat (1) UU Jabatan Notaris dalam proses
perumusannya dan pelaksanaannya saat ini bertentangan dengan asas/semboyan
Bhinneka Tunggal Ika juncto ketentuan Pasal 36A juncto Pasal 22A UUD 1945 ;
Menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang kemudian
477 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), salah satu wewenang Mahkamah adalah
melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Berdasarkan Pasal 51 ayat
(3) huruf a dan b UU MK, pengujian tersebut meliputi pengujian formil dan pengujian
materi muatan (materiil) undang-undang yang bersangkutan. Permohonan para Pemohon
baik dalam Perkara Nomor 009/PUU-III/2005 maupun dalam Perkara Nomor 014/PUU-
III/2005 adalah mengenai pengujian formil maupun pengujian materiil UU Jabatan
Notaris. Karena itu, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a dan b dan Pasal 51 ayat (3) huruf a dan b UU MK,
Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan para Pemohon a quo.
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan lima syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005, bahwa
para Pemohon dalam Perkara Nomor 009/PUU-III/2005 (Pemohon Perkara 009), yaitu
DR. H. M. Ridhwan Indra RA., S.H., M.H., M.Kn., dan DR. H. Teddy Anwar, S.H., mengaku
dirinya sebagai perorangan warga negara dan masing-masing juga Ketua Umum Persatuan
Notaris Reformasi Indonesia (PERNORI) dan selaku Sekretaris Umum Himpunan Notaris
Indonesia (HNI) sesuai dengan Anggaran Dasar PERNORI dan Surat Kuasa dari Ketua
Pengurus Pusat HNI bertindak atas nama PERNORI dan HNI. Dengan demikian dalam
kedudukannya sebagai perorangan warga negara dan atas nama PERNORI dan HNI
dapat dianggap sebagai kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama, dalam
hal ini para Notaris yang bergabung dalam PERNORI dan HNI sehingga telah memenuhi
ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK beserta Penjelasannya.
Para Pemohon dalam Perkara Nomor 014/PUU-III/2005 (Pemohon Perkara 014),
yaitu Hadi Evianto S.H., Sp.N., dan kawan-kawan, 5 (lima) orang, mengaku dirinya
sebagai perorangan warga negara dan Notaris. Dengan kedudukan sebagai perorangan
warga negara dan kelompok orang (dalam hal ini sebagai Notaris) yang mempunyai
kepentingan sama telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK beserta
Penjelasannya.
Para Pemohon 009 dan 014, mendalilkan bahwa para Pemohon mempunyai hak
konstitusional yang ditentukan dalam UUD 1945, dalam hal ini antara lain hak yang
ditentukan dalam Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon
menganggap hak konstitusional tersebut di atas dirugikan oleh berlakunya UU Jabatan
Notaris, khususnya Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 82 ayat (1) yang merugikan hak
kebebasan untuk berserikat; Pasal 15 ayat (2) huruf f dan g yang merugikan hak atas
jaminan kepastian hukum, dan Pasal 67 ayat (1) sampai dengan (6) yang merugikan hak
untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pemohon mendalilkan bahwa kerugian konstitusional itu adalah spesik, yaitu hanya
berlaku bagi Notaris dan telah terjadi (faktual) antara lain dengan ditolaknya permohonan
para Pemohon untuk mendaftarkan HNI sebagai badan hukum oleh Departemen Hukum
dan Perundang-undangan (sekarang Departemen Hukum dan HAM), dan penolakan
478 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
itu potensial akan dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM terhadap permohonan
serupa yang diajukan oleh organisasi Notaris selain HNI. Seandainya permohonan para
Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah maka kerugian yang dialami dan diperkirakan oleh
para Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Mahkamah menilai bahwa anggapan para
Pemohon Perkara 009 dan 014 cukup beralasan, sehingga para Pemohon dipandang
memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon dalam permohonan a
quo;
Dalam permohonan pengujian formil, para Pemohon Perkara 009 mendalilkan
pembentukan UU Jabatan Notaris tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 22A UUD 1945
sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 terutama Pasal 5 dan Pasal
6.
Tentang kaitan antara UU Nomor 10 Tahun 2004 dengan UUD 1945, Mahkamah
berpendapat sebagai berikut:
1. Dalam Konsiderans Mengingat UU Nomor 10 Tahun 2004 dicantumkan Pasal 20,
Pasal 21 dan Pasal 22A UUD 1945.
Pasal 20 UUD 1945 berbunyi,
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Pasal 21 UUD 1945 berbunyi:
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan
undang-undang.
Pasal 22A UUD 1945 berbunyi :
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang.
2. Sementara itu UU Nomor 10 Tahun 2004 dalam rangka melaksanakan perintah
Pasal 22A UUD 1945 tersebut menyatakan hal-hal sebagai berikut:
- Tentang tujuan diundangkannya UU Nomor 10 Tahun 2004, alinea kedua
479 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Penjelasan Umum menyatakan:
untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, diperlukan
berbagai persyaratan yang berkaitan dengan materi, asas, tata cara penyiapan
dan pembahasan, teknik penyusunan maupun pemberlakuannya.
- Tentang denisi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 angka
1 UU Peraturan menyatakan:
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai
dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
3. Tujuan diundangkannya UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah agar proses pembentukan
undang-undang di satu sisi secara substansial bersesuaian dengan ketentuan
yang tercantum dalam Pasal 20A dan Pasal 21 UUD 1945, di sisi lain secara
teknis memenuhi syarat sebagai undang-undang yang baik. Ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945, walaupun tampaknya hanya
mengatur tentang proses pembentukan undang-undang, tetapi di dalamnya termuat
kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dalam pengusulan, persetujuan, pengesahan, dan pengundangan. Oleh
karena itu jika suatu undang-undang tidak memenuhi ketentuan dalam proses
pembentukan yang ditentukan dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945, yang
kemudian dijabarkan oleh UU Nomor 10 Tahun 2004 maka undang-undang itu
secara formil bertentangan dengan UUD 1945, sehingga dapat dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
Selain menjabarkan Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945, UU Nomor 10 Tahun 2004
juga memuat petunjuk atau pedoman tentang teknik penyusunan undang-undang yang
baik, dengan menetapkan cara dan metode yang pasti dan baku (standar) sebagaimana
dinyatakan dalam konsiderans Menimbang UU Nomor 10 Tahun 2004 tersebut. Dengan
demikian, suatu undang-undang yang tidak memenuhi persyaratan teknis pembentukan
undang-undang yang baik (behoorlijke wetgeving) tidak dengan sendirinya secara formil
bertentangan dengan UUD 1945;
Dalam keterangan tertulisnya, Pihak Terkait Ikatan Notaris Indonesia (INI)
menyatakan bahwa walaupun UU Nomor 10 Tahun 2004 berlaku pada saat diundangkan
(22 Juni 2004), akan tetapi menurut Pasal 58 UU Nomor 10 Tahun 2004, UU Nomor 10
Tahun 2004 mulai dilaksanakan pada tanggal 1 November 2004, sedangkan UU Jabatan
Notaris mulai berlaku saat diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004. Oleh karena itu
ketentuan UU Peraturan tidak dapat diterapkan terhadap UU Jabatan Notaris. Mahkamah
berpendapat bahwa perbedaan saat pengundangan dengan saat pemberlakuan suatu
undang-undang seperti yang terdapat dalam Undang-Undang a quo, dapat dibenarkan.
Hal itu diperlukan guna mempersiapkan pelaksanaan undang-undang yang bersangkutan
dan hal itu sesuai dengan Pasal 50 UU Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan,
Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada
480 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tanggal diundangkan kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
Sesuai dengan Pasal 10 UU MK, Mahkamah tidak berwenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana dalam proses pembentukan undang-
undang. Namun, sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-undang (PMK Nomor 06/PMK/2005), seandainya Pemohon dapat menunjukkan
adanya bukti-bukti yang cukup mengenai telah terjadinya tindak pidana korupsi dalam
pembentukan suatu undang-undang, Mahkamah dapat menghentikan sementara
pemeriksaan permohonan atau menunda putusan dan memberitahukan kepada pejabat
yang berwenang untuk menindaklanjuti adanya sangkaan tindak pidana dimaksud.
Lagi pula, Pemerintah dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa KPK telah
memberikan klarikasi tidak terdapatnya tindak pidana korupsi dalam pembahasan
UU Jabatan Notaris. Hal mana dalam persidangan ternyata tidak dibantah oleh para
Pemohon sebagaimana mestinya, sehingga tidak terdapat cukup alasan bagi Mahkamah
untuk mempertimbangkan penerapan Pasal 16 ayat (2) PMK tersebut. Oleh karena
itu, Mahkamah berpendapat bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh para Pemohon
sepanjang menyangkut pengujian formil tidak cukup beralasan.
Dalam permohonan Pemohon Perkara 009 yakni Pasal 1 angka 5 UU Jabatan
Notaris bahwa para Pemohon menganggap bahwa Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 82
ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Mahkamah menyatakan
bahwa Notaris adalah suatu profesi dan sekaligus pejabat umum (public ofcial) yang
melaksanakan sebagian dari tugas pemerintah, sebagaimana diatur dalam Bab III UU
Jabatan Notaris yang meliputi kewenangan, kewajiban, dan larangan bagi Notaris. Oleh
karena itu bukan hanya wajar, tetapi memang seharusnya Organisasi Notaris yang
merupakan perkumpulan profesi dari para Notaris sebagai pejabat umum dimaksud berdiri
sendiri dalam lalu lintas hukum (rechtsverkeer). Dengan demikian dipersyaratkannya
Organisasi Notaris sebagai badan hukum (rechtspersoon) merupakan hal yang sudah
semestinya. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ketentuan yang termuat dalam
Pasal 1 angka 5 UU Jabatan Notaris tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga
permohonan para Pemohon mengenai hal ini tidak cukup beralasan.
Dalam Pasal 3 huruf d, Pasal 8 ayat (3), dan Pasal 12 ayat (2) huruf f dan huruf
g bahwa para Pemohon menyinggung Pasal 3 huruf d, Pasal 8 ayat (3), dan Pasal 15
ayat (2) huruf f dan huruf g UU Jabatan Notaris. Oleh karena itu Mahkamah menyatakan
bahwa Pasal 3 huruf d berbunyi, Sehat jasmani dan rohani. Menurut para Pemohon
persyaratan itu harus lebih terinci, misalnya dengan menyatakan bahwa Notaris tidak
boleh tuna netra kedua matanya, tuna rungu, lumpuh tangannya sehingga tidak dapat
membubuhkan tanda tangan. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, perumusan
seperti tersebut dalam Pasal 3 huruf d telah cukup, lebih-lebih dengan adanya Pasal
14 UU Jabatan Notaris yang berbunyi, Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata
481 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
cara pengangkatan dan pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 diatur dalam peraturan menteri.
Pasal 8 ayat (3) [sic!], seharusnya Pasal 8 ayat (2) berbunyi, Ketentuan umur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diperpanjang sampai berumur 67
(enam puluh tujuh) tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan.
Menurut para Pemohon pasal itu kurang lengkap karena tidak dirinci pertimbangan yang
mendasari perpanjangan tersebut. Mahkamah berpendapat, persyaratan perpanjangan
dimaksud termasuk ruang lingkup tata-cara pengangkatan dan pemberhentian Notaris
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 14 UU Jabatan Notaris tersebut di atas.
para Pemohon yang mendalilkan bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf f akan menyebabkan
ketidakpastian hukum, karena:
1) ada beberapa pejabat umum lainnya yang mempunyai wewenang membuat akta
pertanahan yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) [vide Pasal 1 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 10 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan Pasal 24
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Biaya Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan].
2) Undang-undang tersebut dalam angka 1) di atas tidak dicabut oleh UU Jabatan
Notaris.
3) adanya kekhawatiran, bahwa BPN hanya akan memerima akta yang berkaitan
dengan pertanahan yang dibuat oleh PPAT, dan tidak akan menerima akta yang
dibuat oleh Notaris.
Mahkamah telah mempertimbangkannya di dalam pengujian formil tersebut di atas
dan lagi pula pasal tersebut tidak dimohonkan dalam petitum permohonan maka tidak
dipertimbangkan lebih lanjut. Secara mutatis mutandis, pertimbangan ini berlaku juga
untuk Pasal 15 ayat (2) huruf g.
Dalam Pasal 67 ayat (1) sampai dengan ayat (6) UU Jabatan Notaris bertentangan
dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa karena anggota
Majelis Pengawas sebanyak 3 (tiga) orang dari 9 (sembilan) orang anggota berasal
dari organisasi Notaris, dan organisasi Notaris yang diakui hanyalah INI maka para
Pemohon mengkhawatirkan objektivitas perlakuan para Notaris yang menjadi anggota
Majelis Pengawas terhadap Notaris yang mempunyai pertentangan (konik) kepentingan
dengan Notaris yang menjadi anggota Majelis Pengawas. Mahkamah menilai bahwa
kekhawatiran para Pemohon tentang objektivitas anggota Majelis Pengawas yang
berasal dari organisasi Notaris itu berlebihan. Anggota Majelis Pengawas yang berasal
dari organisasi Notaris tidak mungkin dapat bertindak sewenang-wenang, karena mereka
hanya berjumlah 3 (tiga) orang, sedangkan Majelis Pengawas berjumlah 9 (sembilan)
orang, sehingga tidak mungkin memaksakan untuk memenangkan kepentingan pribadi
dan kelompoknya, oleh karena masih ada 6 (enam) orang anggota di luar unsur Notaris.
Dengan demikian, semua Notaris diperlakukan dan diberi kesempatan yang sama
482 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
untuk menjadi anggota Majelis Pengawas, dengan melalui seleksi sehingga Pasal 67
UU Jabatan Notaris tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28G ayat
(1) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil
yang dikemukakan oleh para Pemohon mengenai hal tersebut tidak cukup beralasan.
Para Pemohon menganggap bahwa kewenangan yang diberikan kepada Majelis
Pengawas dalam kedua pasal a quo berlebihan dan bertentangan dengan Pasal 27
ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, Segala warga negara bersamaan kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya, dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi.
Pemberhentian sementara yang dilakukan oleh Majelis Pengawas sambil menunggu
Keputusan Menteri atas usul pemberhentian dengan tidak hormat merupakan tindakan
yang penting. Hal itu diperlukan, di satu sisi, untuk mencegah tindakan yang tidak
diinginkan dari notaris terlapor selama tenggang waktu tersebut, dan di sisi lain, untuk
mencegah kesewenang-wenangan Majelis Pengawas. Pemberhentian sementara dan
pengusulan untuk memberhentikan dengan tidak hormat, merupakan tindakan tata usaha
negara (administratief rechtshandeling). Oleh karena itu, Pasal 77 dan 78 UU Jabatan
Notaris tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28G UUD 1945.
Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 82 ayat (1) bertentangan dengan Pasal
22A, Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa Pasal 82 ayat (1) UU Jabatan Notaris tidak melarang bagi setiap
orang yang menjalankan profesi Jabatan Notaris untuk berkumpul, berserikat dan
mengeluarkan pendapat. Namun dalam hal melaksanakan hak berserikat, mereka
harus berhimpun dalam satu wadah organisasi notaris, karena Notaris adalah pejabat
umum yang diangkat oleh negara, diberi tugas dan wewenang tertentu oleh negara
dalam rangka melayani kepentingan masyarakat, yaitu membuat akta otentik. Tugas
dan wewenang yang diberikan oleh negara harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
dan setepat-tepatnya, karena kekeliruan, lebih-lebih penyalahgunaan, yang dilakukan
oleh Notaris dapat menimbulkan akibat terganggunya kepastian hukum, dan kerugian-
kerugian lainnya yang tidak perlu terjadi. Oleh karena itu diperlukan upaya pembinaan,
pengembangan, dan pengawasan secara terus menerus, sehingga semua notaris
semakin meningkatkan kualitas pelayanan publik. Untuk itu diperlukan satu-satunya
wadah (wadah tunggal) organisasi notaris dengan satu kode etik dan satu standar
kualitas pelayanan publik. Dengan hanya ada satu wadah organisasi notaris, Pemerintah
akan lebih mudah melaksanakan pengawasan terhadap pemegang profesi notaris yang
diberikan tugas dan wewenang sebagai pejabat umum.
Merujuk kepada pertimbangan Perkara Nomor 066/PUU-II/2004 dalam Pengujian
483 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang
putusannya diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum pada tanggal 12
April 2005, Mahkamah menilai bahwa notaris merupakan organ negara dalam arti luas,
meskipun bukan dalam pengertian lembaga sebagaimana lazim dalam perbincangan
sehari-hari, dan oleh karena itu negara berkepentingan akan adanya wadah tunggal
organisasi notaris. Mahkamah berpendapat bahwa status badan hukum organisasi notaris
sebagai wadah bagi Notaris yang berfungsi sebagai pejabat umum memang dibentuk agar
organisasi itu bersifat mandiri. Dengan demikian, konik antara kepentingan organisasi
dan kepentingan pengurus serta anggota organisasi tersebut dapat diminimalisasi,
sehingga kinerjanya akan lebih objektif, berwibawa, dan terpercaya.
Dalam UU Jabatan Notaris tidak disebut organisasi Notaris sebagai wadah tunggal
dimaksud adalah INI. Jika dalam kenyataannya Pemerintah menetapkan INI sebagai
wadah tunggal organisasi notaris sebagaimana dimaksud oleh Pasal 82 ayat (1) UU
Jabatan Notaris, ketentuan ini tidak berada pada tataran normatif undang-undang,
melainkan pada tataran pelaksanaan undang-undang, sehingga tidak menyangkut
persoalan konstitusionalitas. Jika para Pemohon tidak puas terhadap keputusan atau
pengaturan lebih lanjut sebagai pelaksanaan undang-undang tersebut maka para
Pemohon dapat melakukan upaya hukum, namun bukan kepada Mahkamah Konstitusi.
Karena, sesuai dengan Pasal 10 UU MK, Mahkamah tidak berwenang untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara demikian.
Permohonan Pemohon dalam Perkara 014 bahwa pengujian UU Jabatan Notaris
terhadap UUD 1945, yakni Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 16 ayat
(1) huruf k UU JN bertentangan dengan UUD 1945 1), Mahkamah berpendapat bahwa
Perkara Nomor 009 mutatis mutandis berlaku juga bagi Perkara Nomor 014.
Pasal 16 ayat (1) huruf k UU Jabatan Notaris menyatakan bahwa dalam menjalankan
jabatannya notaris berkewajiban mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara
Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan
tempat kedudukan yang bersangkutan, menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal
36A juncto Pasal 36C UUD 1945. Pasal 36A berbunyi, Lambang Negara adalah Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Pasal 36C UUD 1945 berbunyi,
Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta lagu
kebangsaan diatur dengan undang-undang. Mahkamah berpendapat bahwa hal itu
hanya merupakan penilaian subjektif para Pemohon yang tidak dapat dijadikan dasar
dalam pertimbangan hukum. Lagi pula dalam persidangan para Pemohon mengakui
bahwa permohonannya yang berkaitan dengan Pasal 16 huruf k hanya didorong oleh
perasaan risi (rikuh) karena notaris seolah-olah diperlakukan lebih istimewa daripada
pejabat negara dalam penggunaan lambang negara. Dalam persidangan diakui pula oleh
para Pemohon, bahwa berlakunya Pasal 16 huruf k tidak menyebabkan kerugian baik
moril maupun materil yang diderita oleh para Pemohon.
Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang tercantum dalam Pasal 16 huruf k
484 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
UU Jabatan Notaris yang telah mengatur penggunaan lambang negara oleh notaris dalam
undang-undang, tidak bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam Pasal 36C
UUD 1945 sepanjang hal itu digunakan dalam rangka pelaksanaan tugasnya sebagai
pejabat umum. Sementara itu, di luar tugasnya sebagai pejabat umum, penggunaan cap/
stempel yang memuat lambang negara, tidak termasuk lingkup pelaksanaan Pasal 16
huruf k UU Jabatan Notaris. Memang benar bahwa Pasal 36C UUD 1945 mengamanatkan
lambang negara harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Namun demikian, tanpa
bermaksud menyatakan bahwa pengaturan sebagaimana termuat dalam Pasal 16 huruf
k UU Jabatan Notaris sebagai pelaksanaan dari Pasal 36C UUD 1945, Mahkamah
berpendapat ketentuan demikian tidaklah bertentangan dengan Pasal 36C UUD
1945 tersebut, sehingga dalil Pemohon tidak beralasan. Berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan di atas, baik dalil Pemohon Perkara 009 maupun Pemohon Perkara 014
tidak cukup beralasan sehingga permohonan para Pemohon harus ditolak.
485 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 010/PUU-III/2005
TENTANG
SYARAT PEROLEHAN SUARA PARTAI POLITIK UNTUK MENCALONKAN
KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH
Pemohon : Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
(memberikan mandat kepada : 1. Febuar Rahman, S.H., Ketua
Dewan Pimpinan Daerah Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
(DPD PNBK) Sumatera Selatan; 2. A. H. Endaryadi, S.H., Ketua
Dewan Pimpinan Cabang Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
(DPD PNBK) Kota Palembang).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda) terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 59 ayat (2) UU Pemda mengenai persyaratan pendaftaran
pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bagi partai
politik atau gabungan partai politik bertentangan Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3)
menyangkut hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
Pemerintahan.
Amar Putusan : Menolak Permohonan Pemohon.
Tanggal Putusan : Selasa, 31 Mei 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon yakni Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
memberikan mandat kepada Febuar Rahman, S.H., Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai
Nasional Banteng Kemerdekaan (DPD PNBK) Sumatera Selatan dan A. H. Endaryadi,
S.H., Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (DPD
PNBK) Kota Palembang untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang bertentangan
486 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan UUD 1945.
Menurut para Pemohon Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan, para Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu a. Perorangan warga negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c.
Badan hukum publik atau privat; atau; d. Lembaga negara.
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemohon dalam hal ini telah mendapat Surat Mandat dari Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan (DPN-PNBK) untuk mewakili Kepentingan Partai sebagai Pemohon dalam
mengajukan permohonan Hak Uji Materiil terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 59 ayat (2).
Pembentukan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) sesuai dengan BAB
II Pasal 2 ayat (1), (2), (3) huruf a, b, c, dan d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik. Dengan demikian PNBK merupakan partai politik yang sah dan
peserta Pemilihan Umum tahun 2004 dengan nomor urut 8 (delapan).
Pemohon dalam hal ini sebagai Badan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 ayat (1) huruf c UU MK.
Perolehan suara Pemohon (PNBK) pada Pemilihan Umum tahun 2004 di seluruh
Indonesia untuk calon anggota Legislatif, baik pada tingkat kabupaten/kota, maupun
provinsi tidak mencukupi 15% (lima belas persen) dari total suara yang sah.
Pasal 59 ayat (2) UU Pemda mengatur persyaratan partai politik yang dapat
mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerah; Partai politik atau gabungan partai politik
dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-
kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen)
dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD di daerah
yang bersangkutan.
Dengan diberlakukannya Pasal 59 ayat (2) UU Pemda, menurut Pemohon merupakan
pemaksaan penggabungan partai politik, karena menurut Pemohon setiap partai politik
mempunyai ciri-ciri, cita-cita, kehendak dan program kerja tersendiri untuk berpartisipasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang-
undang, sebagaimana yang telah diatur dalam BAB III Pasal 5 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Dengan berlakunya UU Pemda khususnya Pasal 59 ayat (2) maka telah merugikan
487 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
hak-hak konstitusional Pemohon. Hak-hak konstitusional yang dimaksud oleh Pemohon
adalah hak-hak yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat
(2) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Materi UU Pemda Bagian Kedelapan Pasal 56 sampai dengan Pasal 119 mengatur
mengenai Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, ternyata ada pasal yang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yaitu Pasal 59 ayat (2) UU Pemda.
Yang menjadi fokus perhatian Pemohon adalah persyaratan pendaftaran pasangan
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mengenai persyaratan pendaftaran
pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, UU Pemda mengatur sebagai
berikut:
Pasal 59 ayat (2) berbunyi, Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi
persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi
DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan
Umum Anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Ketentuan tersebut menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945,
terutama pasal-pasal sebagai berikut:
a. Pasal 27 ayat (1) berbunyi, Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
b. Pasal 28C ayat (2) berbuny, Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa
dan negaranya.
c. Pasal 28D ayat (1) berbunyi, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.
d. Pasal 28D ayat (3) berbunyi, Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon Kepada Mahkamah Konstitusi untuk
mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; menyatakan, Pasal 59 ayat (2)
Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-
kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen)
dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD di daerah
yang bersangkutan UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3).
Menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang kemudian
ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, salah satu wewenang Mahkamah
488 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sehingga dengan
demikian Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan
Pemohon.
Pasal 51 ayat (1) UU MK telah menetapkan 2 (dua) kriteria yang harus dipenuhi agar
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), yaitu:
a. Kualikasi Pemohon apakah sebagai perorangan warga negara Indonesia (termasuk
kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama), kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang,
badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara;
b. Anggapan bahwa dalam kualikasi demikian, terdapat hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang;
Pasal 59 ayat (2) menentukan, Calon Kepala/Wakil Kepala Daerah harus diajukan
oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 15% dari jumlah kursi
DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum Anggota
DPRD di daerah yang bersangkutan. Ketentuan tersebut dipandang merugikan hak
konstitusional Pemohon. Karena, menurut Pemohon, seharusnya partisipasi politik
merupakan hak asasi manusia dan pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik
ialah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, dilaksanakan melalui kegiatan bersama
yang merupakan penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Sedangkan,
Pasal 59 ayat (2) tersebut merupakan pemaksaan penggabungan partai politik padahal
setiap partai politik mempunyai ciri-ciri, cita-cita, kehendak dan program kerja tersendiri
untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Tidak dapatnya Pemohon mendaftarkan pasangan calon kepala daerah/wakil
kepala daerah tersebut adalah disebabkan karena adanya aturan Pasal 59 ayat (2)
Undang-Undang a quo, hubungan kausal mana terjadi secara langsung, dan Pemohon
menganggap hal itu telah merugikan hak konstitusionalnya yang dijamin dalam UUD
1945. Anggapan Pemohon tersebut telah memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum
(legal standing) sebagaimana diuraikan di atas, sehingga Mahkamah berpendapat
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing).
Pasal 27 ayat (1) berbunyi, Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 27 tersebut berada di bawah Bab X tentang Warganegara dan Penduduk,
yang memberikan hak yang sama bagi warga negara dalam hukum dan pemerintahan
yang lazim disebut equality before the law, dan tidak diperbolehkan untuk memberikan
perlakuan yang berbeda antara warga negara yang satu dengan yang lain, baik dalam
kesempatan dalam pemerintahan dan perlakuan di depan hukum. Oleh karena Pemohon
adalah badan hukum partai politik yang mendalilkan bahwa pembatasan threshold dalam
489 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 59 ayat (2) sebagai pembatasan partisipasi politik bagi partai yang tidak mencapai
threshold 15% dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah
dalam Pemilu yang lalu maka dalil permohonan Pemohon menyangkut Pasal 27 ayat
(1) ini tidak relevan, sehingga oleh karenanya harus dikesampingkan, karena syarat ini
bukan hanya berlaku bagi Pemohon, tetapi bagi semua warga negara dan partai politik.
Pasal 28C ayat (2) berbunyi, Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kollektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya.
Dari fakta dan dalil yang dikemukakan tidak ternyata Pemohon terhalang haknya
untuk memajukan diri dan memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun
masyarakat, bangsa dan negara, dan jika yang dimaksud sebagai perwujudan hak
demikian adalah untuk memajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah, maka prosedur dan mekanisme untuk mengatur hak-hak demikian adalah
merupakan pilihan kebijakan tentang sistim yang akan diterapkan yang berlaku untuk
setiap orang atau badan hukum tanpa pengecualian.
Pasal 28D ayat (3) berbunyi, Setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam Pemerintahan.
Kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan berupa hak memilih
dan dipilih adalah dijamin, akan tetapi terhadap kesempatan tersebut juga ditentukan
syarat-syarat tertentu maupun prosedur atau mekanisme tertentu yang wajib dipatuhi
oleh setiap orang dan badan hukum.
Lebih jauh perlu dipertimbangkan keterangan ahli yang dilampirkan oleh Pemohon
sendiri yang mengakui perlunya dilakukan pembatasan calon kepala daerah/wakil
kepala daerah, akan tetapi mengatakan bahwa keadilan dan kebebasan sebagai prinsip
demokrasi tidak dapat dikorbankan dengan pembatasan yang tidak arif dan dewasa
tersebut demi esiensi maka yang menjadi pertanyaan apakah pilihan kebijakan yang
dipandang tidak arif dan dewasa tersebut merupakan masalah konstitusionalitas suatu
undang-undang.
Sepanjang pilihan kebijakan demikian tidak merupakan hal yang melampaui
kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan
kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945
maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah.
Lagi pula pembatasan-pembatasan dalam bentuk mekanisme dan prosedur dalam
pelaksanaan hak-hak tersebut dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J
ayat (2) yang berbunyi, Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
490 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tentang pengujian Pasal 59 ayat (2)
UU Pemda terhadap UUD 1945, tidak cukup beralasan untuk dikabulkan, sehingga oleh
karenanya permohonan Pemohon harus ditolak.
491 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 011/PUU-III/2005
TENTANG
PENGALOKASIAN DANA PENDIDIKAN SECARA BERTAHAP
KURANG DARI 20 PERSEN DARI APBN DAN APBD
Pemohon : 1. Fathul Hadie Utsman, 2. Drs. Abd. Halim Soebahar, M.A., 3. Dr.
M. Hadi Purnomo, M.Pd., 4. Drs. Zainal Fanani, 5. Sanusi Afandi
S.H.,M.M., 6. Dra. Hamdanah, M. Hum., 7. Dra. Sumilatum, 8.
Darimia Hidayati, S.P., 9. JN. Raisal Haq.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Pokok Perkara : Penjelasan Pasal 49 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU
Sisdiknas mengenai pengalokasian dana pendidikan secara
bertahap kurang dari 20 persen dari APBN dan APBD bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1)
dan ayat (3), serta Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menyangkut hak
atas pendidikan.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Rabu, 19 Oktober 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah perorangan (sekelompok) warga negara Indonesia yang terdiri
dari siswa/ pelajar, mahasiswa, wali murid, guru, dosen, kepala sekolah, dan pihak-pihak
lain yang berkepentingan dan terkait, serta bertanggung jawab atas terselenggaranya
pendidikan.
Pemohon mengajukan pengujian atas Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas
yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan telah disahkan oleh Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 8 Juli 2003 terhadap UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan
Pasal 17 ayat (1) dan (2) UU Sisdiknas terhadap UUD 1945 Pasal 31 ayat (2).
492 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dengan disahkannya UU Sisdiknas tersebut maka Pemohon berhak mengajukan
hak uji atas undang-undang tersebut sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945,
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Bahwa berkenaan hal tersebut di atas, dengan berdasarkan pada UU MK maka
Mahkamah Konstitusi berhak dan berwenang untuk melakukan uji materiil atas UU
Sisdiknas terhadap UUD 1945.
Dengan berlakunya penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas adalah sangat
merugikan hak konstitusional para Pemohon sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK
yang menyatakan, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. Perorangan
warga negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. Badan hukum publik atau privat; atau;
d. Lembaga negara.
Berdasarkan alat-alat bukti Pemohon, Pemohon sudah memenuhi syarat
sehingga mempunyai legal standing. Oleh karena itu, Pemohon merasa berhak untuk
mengajukan permohonan hak uji atas UU Sisdiknas sebab Pemohon menganggap hak
konstitusionalnya dirugikan.
Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan, Pemenuhan
pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap. [Pasal 49 ayat (1) sebagai
berikut, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD].
Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31
ayat (4) yang mulai berlaku sejak tanggal ditetapkannya pada tanggal 10 Agustus 2002,
menyatakan, Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.
Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tersebut adalah dapat melegitimasi
tidak terpenuhinya anggaran pendidikan yang minimal harus 20% dari APBN dan APBD,
berarti sudah jelas sangat bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) di atas yang
sudah dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan.
Jelas bahwa pemenuhan pendanaan pendidikan menurut UUD 1945 Pasal 31 ayat
(4), tidak boleh kurang dari 20% APBN maupun dari APBD dan harus mulai dilaksanakan
493 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sejak penetapannya tanggal pada 10 Agustus 2002 pada perubahan ke-4 UUD 1945.
Keberadaan penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan,
Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap, harus ditinjau
kembali dan kiranya Mahkamah Konstitusi berkenan menguji penjelasan pasal tersebut,
sebab jelas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) serta bertentangan pula
dengan Pasal 46 ayat (2) UU Sisdiknas itu sendiri.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konsritusi untuk
menyatakan bahwa a. Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan
Pasal 31 ayat (4) UUD 1945; b. Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan
dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945; menyatakan bahwa penjelasan Pasal 49 ayat (1)
dan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon adalah mengenai pengujian
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301). Dengan demikian, Mahkamah berwenang untuk memeriksa,
mengadili dan memutus permohonan para Pemohon.
Para Pemohon mendalilkan mempunyai hak konstitusional yang tercantum dalam
Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. para
Pemohon menganggap hak konstitusional tersebut di atas dirugikan oleh berlakunya UU
Sisdiknas, khususnya oleh berlakunya ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), serta
Penjelasan Pasal 49 ayat (1). para Pemohon mendalilkan kerugian konstitusional itu
adalah spesik dan faktual, karena telah dialami oleh para Pemohon sebagai wali murid,
guru, dosen, pelajar dan mahasiswa, antara lain berupa:
Wajib belajar yang seharusnya dibiayai oleh negara dan tidak boleh memungut a.
biaya pada kenyataannya belum sepenuhnya dibiayai oleh negara dan tetap saja
memungut biaya dari siswa/wali murid;
Tenaga kependidikan dan pendidik yang seharusnya berhak memperoleh penghasilan b.
dan jaminan kesehatan yang pantas dan memadai sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a UU Sisdiknas, pada kenyataannya masih banyak
mendapat penghasilan jauh di bawah upah minimun regional/Kabupaten/Kota;
Sarana dan prasarana sekolah masih belum bisa terpenuhi di daerah-daerah yang c.
tergolong kurang mampu;
Subsidi pemerintah terhadap lembaga pendidikan swasta masih sangat rendah, d.
termasuk pada sekolah swasta yang menyelenggarakan program wajib belajar;
Sumbangan dana pemerintah terhadap pendidikan formal dan non formal dan e.
pendidikan yang berbasis kemasyarakatan juga masih sangat rendah;
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa para Pemohon memiliki legal standing
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, kecuali Pemohon JN. Raisal Haq, oleh
494 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
karena yang bersangkutan belum cukup umur (minderjarig) untuk beracara di hadapan
Mahkamah sehingga tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum (onbekwaam)
termasuk memberikan kuasa kepada Pemohon Fathul Hadie Utsman.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah terlebih dahulu akan menelaah politik
hukum (legal policy) di bidang pendidikan menurut arahan UUD 1945 sebagai berikut:
1. Salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ialah mencerdaskan
kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945, Alinea ke-4);
2. NKRI adalah negara hukum [Pasal 1 ayat (3) UUD 1945] yang bercorak negara
kesejahteraan (welfare state) yang dalam tradisinya di negara-negara Eropa
membebaskan biaya pendidikan, bahkan sampai universitas;
3. Negara menjamin hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan [Pasal 31
ayat (1) UUD 1945], karena pendidikan merupakan instrumen pengembangan diri
manusia sebagai bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana ketentuan Pasal 28C
ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia;
4. Sistem pendidikan nasional yang diatur dalam undang-undang organik (UU
Sisdiknas) harus mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berorientasi 4 (empat) hal, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai agama, memelihara
persatuan bangsa, memajukan peradaban, dan memajukan kesejahteraan umat
manusia [Pasal 31 ayat (3) dan (5) UUD 1945];
5. Sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 bahwa Setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya,
maka pembiayaan anggaran pendidikan merupakan tanggung jawab utama
pemerintah, termasuk pemerintah daerah, sehingga negara memprioritaskan
anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD [Pasal 31 ayat (4) UUD
1945]. Bahkan seharusnya untuk pendidikan dasar, baik negeri maupun swasta,
harus cuma-cuma, karena menjadi tanggung jawab negara yang telah mewajibkan
setiap warga negara mengikuti pendidikan dasar.
Berdasarkan politik hukum di bidang pendidikan menurut arahan UUD 1945 tersebut
dan fakta yang terungkap dalam persidangan, maka Mahkamah berpendapat sebagai
berikut:
1. Dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU Sisdiknas
bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, hanya didasarkan atas asumsi
yang tidak didukung alat bukti dan juga tidak didukung oleh keterangan pihak-
pihak terkait. Selain itu, Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 juga tidak mengatur secara
limitatif tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan dasar, tetapi menyerahkan
pengaturannya dengan undang-undang mengenai sistim pendidikan nasional. Wajib
495 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
belajar melalui pendidikan dasar 9 tahun juga lazim dianut oleh hampir semua
negara, sebagaimana dikemukakan oleh Pemerintah dan DPR. Dengan demikian,
dalil para Pemohon bahwa ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan
dengan UUD 1945 tidak cukup beralasan;
2. Dalil para Pemohon yang menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas
bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon
dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa pada hakikatnya pelaksanaan ketentuan
Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. UUD 1945 secara expressis verbis telah
menentukan bahwa anggaran pendidikan minimal 20% harus diprioritaskan yang
tercermin dalam APBN dan APBD tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-
perundangan yang secara hierarkis berada di bawahnya. Penjelasan Pasal 49 ayat
(1) UU Sisdiknas juga telah membentuk norma baru yang mengaburkan norma yang
terkandung dalam Pasal 49 ayat (1) yang ingin dijelaskannya, sehingga ketentuan
dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) tersebut juga bertentangan dengan prinsip-
prinsip dan teori perundang-undangan yang sudah lazim diterima dalam ilmu hukum
yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (vide Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 005/PUU-III/2005 dalam permohonan pengujian Penjelasan Pasal 59 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Terlebih lagi pendidikan di Indonesia sudah sangat tertinggal, sehingga sudah
waktunya pendidikan harus menjadi prioritas utama pembangunan di Indonesia yang
perwujudannya antara lain adalah pemberian prioritas di bidang anggaran. Adanya
Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas menjadi alasan bagi Pemerintah, baik
Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah untuk tidak memenuhi pagu 20% anggaran
pendidikan dalam APBN dan APBD, sehingga dalil para Pemohon cukup beralasan.
Dalam putusannya, Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian, yakni pada Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas yang bertentangan
dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah
juga menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya, yakni Pasal 17 ayat (1)
dan ayat (2) UU Sisdiknas. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan pemuatan Putusan
Nomor 011/PUU-III/2005 ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pendapat Berbeda:
Tiga Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda menyatakan bahwa Pasal 49
ayat (1) UU Sisdiknas dan Penjelasan Pasal 49 ayat (1), yang berbunyi Dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari
APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD, (Pemenuhan pendanaan
pendidikan dapat dilakukan secara bertahap). Dengan adanya penjelasan Pasal 49
ayat (1) UU Sisdiknas, tidaklah melahirkan kerugian hak konstitusional Pemohon yang
diatur oleh UUD 1945, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 UU MK. Jikapun dianggap
adanya kerugian hak konstitusional Pemohon, namun kerugian Pemohon bukan lahir
496 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dari adanya undang-undang yang dimohonkan. Dengan kata lain tidak ada sebab akibat
(causal verband) antara kerugian Pemohon dengan berlakunya Undang-Undang a quo.
Pencapaian dana 20% untuk anggaran pendidikan yang dilakukan secara bertahap,
menurut Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, tidaklah bertentangan dengan
konstitusi, mengingat UUD 1945 merupakan ketentuan yang mengatur secara umum,
yang harus dijabarkan oleh pembentuk undang-undang.
Dana anggaran untuk pendidikan berkait dengan APBN dan APBD maka UU
Sisdiknas, khususnya penjelasan Pasal 49 ayat (1), mengatur pemenuhan dana 20%
dilakukan secara bertahap. Kata bertahap tidak bermakna sebagai bertentangan
karena pentahapan menunjukan bahwa setiap tahap secara berangsur bergerak sejalan
ke depan untuk mencapai sasaran yang ditentukan. Sedangkan bertentangan harus
dimaknai terjadinya benturan (kontradiksi) antara dua hal yang datang dari arah yang
berlawanan. Dengan demikian pengaturan tersebut bukanlah pelanggaran konstitusi,
oleh karena itu kami berpendapat Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas hanya
merupakan upaya negara untuk memenuhi ketentuan Pasal 49 UU Sisdiknas, dengan
memperhatikan keadaan keuangan negara sehingga Penjelasan 49 ayat (1) UU Sisdiknas
tidak bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.
Pasal 17 ayat (1) dan (2) UU UU Sisdiknas, yang merupakan penjabaran dari Pasal
31 ayat (2) UUD 1945, mewajibkan setiap warga negara mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya. Oleh karena Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, hanya
menyebut pendidikan dasar, maka pembentuk undang-undang mengatur lebih lanjut
mengenai pendidikan dasar, yang di dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) UU Sisdiknas,
disebutkan, pendidikan dasar merupakan pendidikan yang melandasi pendidikan
menengah yang berbentuk Sekolah Dasar serta Sekolah Menengah Pertama. Dengan
demikian Pasal 17 ayat (1) dan (2) UU Sisdiknas tidak menimbulkan kerugian bagi
Pemohon.
Bila dikaitkan dengan keberadaan Pemohon prinsipal 2 sampai dengan 8 maka
tidak terdapat adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; karena hak-hak konstitusional
yang diatur dalam Pasal 31 ayat (2) dan (4), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (2), Pasal
28 H ayat (1) dan (3) UUD 1945 tidaklah dilanggar oleh ketentuan Penjelasan Pasal
49 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (1) dan (2) UU Sisdiknas, berdasarkan uraian tersebut di
atas, kami berpendapat, bahwa Pemohon prinsipal 2 sampai dengan 8 tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945.
Terungkap dipersidangan, Pemohon prinsipal 9, JN. Raisal Haq, masih dibawah
umur atau belum dewasa maka berdasarkan ketentuan Bab XV Kebelumdewasaan
dan Perwalian, Bagian Ke Satu Tentang Kebelumdewasaan, Pasal 330 ayat (1), Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi Apabila peraturan perundang-undangan
497 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
memakai istilah belum dewasa maka sekedar mengenai bangsa Indonesia, dengan
istilah itu yang dimaksudkan: segala orang yang belum mencapai umur genap 21 tahun
dan tidak lebih dahulu telah kawin, Pemohon JN. Raisal Haq berada dalam kekuasaan
orang tuanya (onderlijkemacht), dalam hal ini adalah Pemohon Fathul Hadie Utsman
selaku kuasa , dimana dalam perkara permohonan inipun Fathul Hadie Utsman selaku
Pemohon tidak mengalami kerugian oleh berlakunya Undang-Undang a quo, karena
tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, sehingga Pemohon JN Raisal Haq tidak
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945, sebagaimana telah diuraikan dalam uraian tersebut
di atas.
Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing), sehingga
berdasarkan Pasal 56 ayat (1) UU MK, permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
498 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
499 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 012/PUU-III/2005
TENTANG
PENETAPAN ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN TAHUN 2005 KURANG DARI
20 PERSEN DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
Pemohon : 1. Fathul Hadie Utsman (bertindak untuk dan atas nama sendiri dan
selaku kuasa dari : 2. Drs. Abd Halim Soebahar, M.A. (wali murid,
Dosen); 3. Dr. M. Hadi Purnomo, M.Pd. ( Kepala Sekolah SMA);
4. Drs. Zainal Fanani (Kepala Sekolah, SMP); 5. Sanusi Afandi,
S.H., M.M. (Guru/Dosen); 6. Dra. Hamdana, M.hum. (Dosen); 7.
Dra. Sumilatum (Guru); 8. Darimia Hidayati, S.P. (Mahasiswa Pasca
Sarjana); 9. JN. Raisal Haq (Pelajar SLTP/MTS).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005 mengenai
penetapan alokasi anggaran pendidikan tahun 2005 kurang
dari 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal
28H ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 31 ayat (2) serta ayat (4) UUD
1945 menyangkut hak atas pendidikan.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Rabu, 19 Oktober 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara 012/PUU-III/2005 bernama Fathul Hadie Utsman, bertindak untuk
dan atas nama sendiri dan selaku kuasa dari Drs. Abd Halim Soebahar, M.A., Dr. M.
Hadi Purnomo, M.Pd., Drs. Zainal Fanani, Sanusi Afandi, S.H., M.M., Dra. Hamdana,
500 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
M.Hum., Dra. Sumilatum, Darimia Hidayati, S.P. JN. Raisal Haq, yang masing-masing
adalah perorangan warga negara Indonesia meliputi wali murid, guru, kepala sekolah,
dosen, mahasiswa, dan pelajar (selanjutnya disebut para Pemohon). para Pemohon
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005 (selanjutnya disebut
UU APBN Tahun 2005) yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat
(2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 31 ayat (2) serta ayat (4) UUD 1945.
Dalam penjelasan permohonan, para Pemohon mendalilkan bahwa penetapan alokasi
anggaran pendidikan tahun 2005 kurang dari 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yakni sebesar 7 persen dalam UU APBN Tahun 2005 yang merugikan
hak konstitusional para Pemohon yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat
(2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 31 ayat (2) serta ayat (4) UUD 1945 yakni
hak atas pendidikan.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU
MK), salah satu wewenang Mahkamah adalah melakukan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945. Permohonan para Pemohon adalah mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2005 (selanjutnya disebut UU APBN). Sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (3)
UU MK, Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan para Pemohon a quo, pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal.
Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon menurut ketentuan Pasal 51 ayat
(1) UU MK dan syarat kerugian dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 serta
Perkara Nomor 010/PUU-III/2005. Pemohon Nomor 9, atas nama JN Raisal Haq, yang
dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1992, belum dewasa, sehingga Pemohon a quo belum
dapat bertindak sendiri untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam permohonan dan
keterangan di persidangan para Pemohon/Kuasanya tidak ternyata menjelaskan siapa
yang merupakan wali dari Pemohon Nomor 9 tersebut yang akan bertindak mewakili
Pemohon Nomor 9 di persidangan. Atas pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat
bahwa Pemohon Nomor 9 tidak mempunyai legal standing. Sedangkan terhadap para
Pemohon lainnya Mahkamah menilai anggapan para Pemohon cukup beralasan,
sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon mempunyai (legal standing). Oleh
karena Mahkamah mempunyai wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo, dan sebagian para Pemohon dianggap memiliki kedudukan hukum
maka Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut Pokok Perkara.
Dalam pokok perkara, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kewajiban
negara terhadap warga negara dalam bidang pendidikan mempunyai dasar yang lebih
fundamental, sebab salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(het doel van de staat) adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana
501 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dalam alinea keempat. Dengan demikian, salah
satu kewajiban tersebut melekat pada eksistensi negara dalam arti bahwa justru untuk
mencerdaskan kehidupan bangsalah maka negara Indonesia dibentuk. Hak warga negara
untuk mendapatkan pendidikan tidak hanya sebatas kewajiban negara untuk menghormati
dan melindungi tetapi menjadi kewajiban negara untuk memenuhi hak warga negara
tersebut. Karena demikian pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia, menyebabkan
pendidikan tidak hanya semata-mata ditetapkan sebagai hak warga negara saja, bahkan
UUD 1945 memandang perlu untuk menjadikan pendidikan dasar sebagai kewajiban
warga negara. Agar kewajiban warga negara dapat dipenuhi dengan baik maka Pasal 31
ayat (2) UUD 1945 mewajibkan kepada pemerintah untuk membiayainya.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 31 ayat (4) UUD 1945
berhubungan dengan hak untuk mendapatkan pendidikan dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara. UU APBN mempunyai batas waktu berlaku hanya untuk satu tahun
anggaran, hal ini berbeda dengan UU lain yang tidak membatasi jangka berlakunya. UU
APBN diperlukan adanya setiap tahun, dan apabila UU APBN tidak dapat ditetapkan
karena DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden maka Pemerintah
menjalankan APBN tahun anggaran sebelumnya. Pemberlakuan APBN sebelumnya
dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum), mengingat APBN
sangatlah penting untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan.
Mahkamah berpendapat bahwa dari segi substansi, UU APBN adalah rencana
keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk satu tahun anggaran. Pilihan
kebijakan tersebut menyangkut perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan
akan terjadi dalam suatu periode di masa depan. Sebagai UU yang mempunyai kekuatan
mengikat, UU APBN terutama mengikat Pemerintah dalam menghimpun pendapatan
baik dari aspek jumlah maupun sumber pendapatan tersebut dan demikian juga halnya
dalam pembelanjaannya. Sebagai rencana maka UU APBN terbuka untuk dilakukan revisi
atau perubahan apabila asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya
mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian, namun tetap dalam jangka
batas waktu berlakunya APBN, yaitu satu tahun anggaran.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam hubungannya dengan hak warga
negara atas pendidikan, kewajiban negara adalah sebagai obligation to result dan
dengan memanfaatkan sumber daya semaksimal mungkin, dengan beritikad baik, yang
realisasinya secara progresif. Namun dengan adanya Pasal 31 ayat (4) UUD 1945
yang menentukan untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20
persen dari APBN, maka sifat obligation to result dalam memenuhi hak warga negara
atas pendidikan telah menjadi lebih kuat yaitu menjadi obligation to conduct. Dengan
demikian, apabila ternyata dalam sebuah UU APBN alokasi minimal 20 persen untuk
penyelenggaraan pendidikan tidak dipenuhi maka UU APBN tersebut bertentangan
dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.
Mahkamah juga menyatakan bahwa Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 tidak memberi
502 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
batasan apa yang termasuk dalam anggaran pendidikan. Dalam usaha untuk
menentukan komponen anggaran pendidikan, atas persetujuan bersama Presiden
dan DPR telah ditetapkan bahwa yang termasuk dalam anggaran pendidikan adalah
pendidikan yang langsung dinikmati oleh masyarakat sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (selanjutnya disebut UU Sisdiknas), yaitu dana untuk pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, untuk selalu menaikkan persentase anggaran
pendidikan dari tahun ke tahun sehingga dalam jangka waktu lima tahun ke depan
ketentuan UUD dapat dipenuhi.
Mahkamah Konstitusi menegaskan dalam Perkara Nomor 011/PUU-III/2005 yang
pada amarnya menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan alasan karena penjelasan Pasal 49 ayat
(1) UU Sisdiknas bahwa pemenuhan ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 tentang
alokasi anggaran 20 persen tidak dilakukan secara bertahap dan negara mempunyai
kewajiban yang termasuk dalam kewajiban negara untuk memenuhinya. Adanya alokasi
anggaran pendidikan dalam UU APBN yang kurang dari 20 persen adalah bertentangan
dengan perintah Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan bahwa anggaran tersebut
diprioritaskan sekurang-kurangnya 20 persen.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan para Pemohon adalah
beralasan, namun apabila Mahkamah menyatakan permohonan dikabulkan maka
berdasarkan Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 akan berlaku ketentuan APBN tahun yang
lalu. Hal tersebut tidak mungkin diterapkan pada permohonan a quo, karena akan
menimbulkan kekacauan (governmental disaster) dalam administrasi keuangan negara,
yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan bahkan
akibatnya dapat akan lebih buruk apabila ternyata anggaran pendidikan pada APBN
sebelumnya lebih kecil jumlahnya. Oleh karena itu, meskipun UU APBN bertentangan
dengan UUD 1945, namun terdapat cukup alasan-alasan objektif yang menyebabkan UU
APBN Tahun 2005 tidak dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Alasan Berbeda (Concurring Opinion):
Dua Hakim Konstitusi mengemukakan alasan berbeda (Concurring Opinion) sebagai
berikut.
Pengertian anggaran pendidikan dalam Pasal 31 ayat (4) diartikan dengan dana
pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD akan membawa konsekuensi kepada
semakin berkurangnya porsi alokasi anggaran untuk pembangunan sektor lain di luar sektor
pendidikan. Apabila undang-undang APBN dibatalkan maka APBN akan menggunakan
APBN tahun lalu, yang berarti besaran APBN akan berkurang yang sekaligus merugikan
Pemohon. para Pemohon tidak mengalami kerugian karena tidak ada kerugian Pemohon
baik aktual maupun potential yang dirugikan dengan adanya Undang-Undang Nomor
503 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
36 Tahun 2004 serta tidak adanya hubungan sebab akibat (causal verband) jikapun
menurut Pemohon terdapat kerugian dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2004.
Anggaran pendidikan untuk Tahun 2005 adalah sebesar 7 % dari APBN. Secara
prima facie, bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Namun, jika
permohonan Pemohon dikabulkan maka, menurut Pasal 57 ayat (1) UU MK, ketentuan
dalam UU APBN tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebagai konsekuensinya, Pemerintah harus melaksanakan APBN tahun sebelumnya,
yakni APBN Tahun 2004, padahal anggaran pendidikan dalam APBN Tahun 2004 hanya
6,6 %.
Dengan demikian, permohonan Pemohon sesuai dengan Pasal 56 ayat (1) UU MK
harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Pendapat Berbeda (Dissenting Opion):
Dua Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion)
bahwa alokasi dana untuk penyelenggaraan pendidikan nasional dalam APBN Tahun
2005 belum mencapai 20%, tidak secara mutlak harus dimaknai sebagai bertentangan
dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, melainkan ketertinggalan. Disamping itu, jika ke
dalam anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan diperhitungkan pula komponen
gaji pendidik (guru) dan biaya pendidikan kedinasan maka persentase anggaran untuk
penyelenggaraan pendidikan telah mencapai lebih dari 20 persen dari APBN dan APBD
2005 sehingga permohonan para Pemohon seharusnya dinyatakan ditolak.
504 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
505 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 013/PUU-III/2005
TENTANG
KETENTUAN TENTANG PENCANTUMAN KATA PENGANGKUTAN,
MENGANGKUT, DAN ALAT ANGKUT DALAM UU KEHUTANAN YANG
BERLAKU BAGI KAPAL-KAPAL PELAYARAN, SERTA ADANYA LARANGAN DAN
SANKSI PIDANA BAGI ALAT-ALAT ANGKUT YANG BEROPERASI
DI LINGKUNGAN HUTAN
Pemohon : Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat/
DPP PELRA (diwakili oleh para pengurusnya : H. M. Yunus dan Drs.
H. Abd. Rasyid Gani).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (UU Kehutanan) terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
Pokok Perkara : Pasal 50 ayat (3) huruf h dan Penjelasannya, Pasal 50 ayat (3)
huruf j dan Penjelasannya, Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya
UU Kehutanan mengenai ketentuan tentang pencantuman kata
pengangkutan, mengangkut, dan alat angkut dalam UU
Kehutanan yang berlaku bagi kapal-kapal pelayaran, serta adanya
larangan dan sanksi pidana bagi alat-alat angkut yang beroperasi
di lingkungan hutan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal
28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat
(1), Pasal 28I ayat (3), Pasal 33 ayat (4), dan Pasal 28H ayat
(1) UUD 1945 menyangkut hak atas pekerjaan dan memperoleh
penghidupan yang layak, serta hak atas perlakuan yang adil dan
sama di hadapan hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Selasa, 13 September 2005.
506 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat
(DPP PELRA), yang diwakili oleh para pengurusnya masing-masing bernama H.M. Yunus
dan Drs. H. Abd. Rasyid Gani.
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 50 ayat (3) huruf h dan Penjelasannya,
Pasal 50 ayat (3) huruf j dan Penjelasannya, Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya UU
Kehutanan yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (3), Pasal 33 ayat (4), dan Pasal
28H ayat (1) UUD 1945.
Pemohon mendalilkan bahwa pencantuman kata-kata pengangkutan, mengangkut,
dan alat angkut dalam UU Kehutanan, serta larangan dan sanksi pidana bagi alat-alat
angkut yang beroperasi dilingkungan hutan berlaku juga bagi kapal-kapal Pelayaran
Rakyat, dengan alasan yang bertentangan dengan penangkapan, maka UU Kehutanan
telah membatasi dan menghambat usaha-usaha Pemohon dalam rangka menjalankan
aktitas pengangkutan khususnya pengangkutan kayu-kayu olahan yang menjadi
penopang utama dan andalan pengangkutan. Setiap Kapal Pelra yang mengangkut kayu
olahan akan mengalami pencegatan, pemeriksaan dan bahkan penahanan oleh aparat
pelaksana UU Kehutanan sejak bertolak dari pelabuhan asal sampai dengan pelabuhan
tujuan akan selalu dicurigai mengangkut kayu yang tidak sesuai dengan dokumen Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Dalam setiap pemeriksaan, walaupun barang
angkutan adalah berdokumen, namun oknum aparat akan menahan surat-surat kapal
dan nakhoda sambil dilaksanakan negosiasi sehingga pada saat terjadi kesesuaian
harga barulah surat-surat dan nakhoda dilepas.
Pemohon juga mendalilkan bahwa adanya penangkapan-penangkapan kapal,
seringkali aparat memperlakukan Pemohon sebagai biang keladi perusakan hutan
padahal Pemohon hanyalah pengangkut yang tidak memiliki akses langsung dengan
hutan, melainkan mengangkut kayu-kayu olahan dari kapal timbal setelah terjadi
transaksi jual beli dan setelah diberikan SKSHH, oleh Dinas kehutanan atas permohonan
Pemilik Kayu. Pemohon mendalilkan bahwa yang bertanggung jawab adalah Pemilik
kayu bukan Pemohon sebagai Pemilik kapal pengangkut, karena Pemohon hanyalah
pengangkut kayu yang telah memiliki SKSHH berdasarkan permohonan Pemilik Kayu.
Oleh karena itu, Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya, yakni hak atas pekerjaan dan
memperoleh penghidupan yang layak, serta hak atas perlakuan yang adil dan sama di
hadapan hukum.
Menurut Mahkamah, berdasarkan pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(UU MK), Mahkamah antara lain berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Yang dimohonkan oleh Pemohon adalah pengujian UU Kehutanan maka Mahkamah
507 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Pemohon.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK terdapat dua kriteria yang harus dipenuhi
agar Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), yaitu:
a. Kualikasi Pemohon apakah sebagai perorangan warga negara Indonesia (termasuk
kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama), kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang,
badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara;
b. Anggapan bahwa dalam kualikasi demikian, terdapat hak dan/atau kewenangan
konsitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Di samping itu, mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005 tanggal 31 Mei 2005, maka adanya kerugian konstitusional yang timbul karena
berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5
(lima) syarat, yakni:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diatur dalam UUD 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan
oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon dimaksud bersifat spesik (khusus) dan
aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Pemohon adalah warga negara yang berusaha di bidang pelayaran rakyat (Pelra)
mendalilkan memiliki hak dan kewenangan konstitusional yang dilindungi oleh UUD
1945, yakni hak atas pekerjaan dan memperoleh penghidupan yang layak, serta hak
atas perlakuan yang adil dan sama di hadapan hukum.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kata-kata dan anak kalimat yakni maka
hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti,
termasuk alat angkutnya, dan kata kapal yang dihubungkan dalam Pasal 50 ayat (3)
huruf h dan huruf j serta Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan dan Penjelasannya dengan
UU Pelayaran adalah menyangkut harmonisasi 2 (dua) undang-undang yang bukan
merupakan kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya sepanjang tidak berkait dengan
persoalan konstitusionalitas.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa politik hukum kehutanan Indonesia melalui
UU Kehutanan adalah dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi manusia Indonesia
sekarang dan generasi yang akan datang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang
sehat dan dalam rangka implementasi pembangunan nasional yang berkesinambungan
508 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(sustainable development) sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945,
khususnya di bidang pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup.
Di samping itu, kerugian Pemohon bukan disebabkan oleh ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h dan huruf j dan Penjelasannya serta Pasal 78 ayat
(15) dan Penjelasannya dari UU Kehutanan, melainkan karena pelaksanaan penegakan
hukum di lapangan yang dilakukan oleh para aparatur penegak hukum (Polisi Kehutanan,
POLRI, TNI-AL). Seandainya pun benar bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum
di lapangan terdapat ekses yang merugikan atau dapat diduga merugikan hak-hak
Pemohon, namun hal dimaksud tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas
undang-undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, kerugian Pemohon tidak
terbukti sehingga Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan Pemohon tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
509 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 015/PUU-III/2005
TENTANG
TANGGUNG JAWAB KURATOR TERHADAP KESALAHAN ATAU KELALAIANNYA
DALAM MELAKSANAKAN TUGAS PENGURUSAN DAN/ATAU PEMBERESAN
YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HARTA PAILIT
Pemohon : Tommy S. Siregar, S.H., LL.M.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU
Kepailitan) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Penjelasan Pasal 59 ayat (1),
Pasal 83 ayat (2), Pasal 104 ayat (1), Pasal 127 ayat (1), Pasal
244 dan Penjelasan Pasal 228 ayat (6) UU Kepailitan mengenai
ketentuan tentang Kurator bertanggungjawab terhadap kesalahan
atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/
atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta
pailit bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1),
dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyangkut hak atas kepastian
hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Rabu, 14 Desember 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon Tommy S. Siregar, S.H., LL.M. selaku kurator adalah anggota aktif IKAPI
dan menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia
(IKAPI).
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Penjelasan
Pasal 59 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), Pasal 104 ayat (1), Pasal 127 ayat (1), Pasal 244 dan
Penjelasan Pasal 228 ayat (6) UU Kepailitan yang bertentangan dengan dengan Pasal 1
ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
510 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 17 ayat (2), Pasal 18
ayat (3), Penjelasan Pasal 59 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), Pasal 104 ayat (1), Pasal 127 ayat
(1), Pasal 244 dan Penjelasan Pasal 228 ayat (6) UU Kepailitan menyebabkan Pemohon
dalam menjalankan profesinya sebagai Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan
atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang
menyebabkan kerugian terhadap harta pailit sehingga bertentangan dengan hak atas
kepastian hukum. Disamping itu, Pemohon selaku Kurator terjadi perselisihan maka
Pemohon selaku Kurator tidak memperoleh kepastian hukum tentang pengadilan mana
yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang disebabkan oleh adanya bantahan
suatu pihak, apakah Pengadilan Niaga atau Pengadilan Negeri?
Menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU
MK) menyatakan antara lain bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar. Permohonan yang diajukan Pemohon adalah
permohonan pengujian UU Kepailitan terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang
untuk mengadili dan memutus permohonan Pemohon.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK bahwa agar seseorang atau suatu pihak dapat
diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD
1945 maka orang atau pihak tersebut terlebih dahulu harus menjelaskan:
a. kualikasinya dalam permohonan a quo, apakah sebagai perorangan warga
negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat (yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf b), badan hukum (publik atau privat),
atau lembaga negara;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualikasi dimaksud yang
dianggap telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang.
Berdasarkan dua ukuran dalam menilai dimiliki atau tidaknya kedudukan hukum
(legal standing) sebagai Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,
Mahkamah melalui sejumlah putusannya, antara lain Putusan Nomor 006/PUU-III/2005
dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah menegaskan pula syarat-syarat kerugian
konstitusional. Pemohon telah menjelaskan kualikasinya dalam permohonan yaitu
sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai kurator. Kualikasi
sebagai perorangan warga negara Indonesia. salah satu hak konstitusional yang diberikan
kepada setiap orang adalah hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Pemohon dalam permohonannya telah menjelaskan, hak konstitusionalnya
sebagai kurator guna memperoleh kepastian hukum dinilai telah dirugikan oleh ketentuan-
ketentuan dalam UU Kepailitan. Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan dan Mahkamah berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan dan Pemohon memiliki kedudukan
511 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon.
Mahkamah menyatakan bahwa terdapat kekurangcermatan penulisan (clerical error)
pembentuk undang-undang di mana kata pengadilan dalam anak kalimat dimaksud
seharusnya menggunakan huruf P kapital karena yang dimaksud adalah Pengadilan
Niaga, sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 angka 7 UU Kepailitan,
meskipun Mahkamah berpendapat telah terdapat kekurangcermatan (clerical error) dalam
penulisan kata pengadilan pada anak kalimat dalam Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan,
namun tidak sampai mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum. Apabila kata
pengadilan dalam anak kalimat yang berbunyi Hakim Pengawas memerintahkan kedua
belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di [p]engadilan diartikan bukan
sebagai Pengadilan Niaga justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena akan
mengakibatkan berlarut-larutnya proses beracara di Pengadilan Niaga sehingga tidak
sesuai dengan salah satu gagasan dasar dibentuknya Pengadilan Niaga, sebagaimana
antara lain diuraikan dalam Penjelasan Umum UU Kepailitan yang berbunyi, Untuk
kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil,
cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya.
Oleh karena itu, ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan dan Penjelasannya tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah juga menyatakan bahwa hak Kurator menguasai boedel pailit, bukan
menguasai dalam pengertian sebebas-bebasnya sebagaimana layaknya menguasai
hartanya sendiri. Dalam hubungan ini, Kurator yang pada hakikatnya menerima kuasa
dari undang-undang, dalam menjalankan tugasnya harus tunduk pada amanat pemberi
kuasa, yakni UU Kepailitan. Istilah mengurus dan membereskan pada hakikatnya
berarti memberi kewenangan kepada Kurator untuk menjaga, membereskan, dan
menyalurkan harta pailit dimaksud kepada pihak-pihak yang berhak sebagaimana
ditentukan dalam UU Kepailitan, yang atas jasanya itu Kurator mendapatkan imbalan yang
semuanya ditentukan oleh majelis hakim yang menangani perkara yang bersangkutan
yang rancangannya datang dari Kurator dan setelah mendengar pertimbangan Hakim
Pengawas [Penjelasan Pasal 17 ayat (2)].
Penjelasan Pasal 17 ayat (2) UU Kepailitan hanya mengatur mengenai penetapan
biaya kepailitan saja tanpa mengatur mengenai imbalan jasa Kurator sehingga penjelasan
pasal tersebut menimbulkan interpretasi bahwa pengertian biaya kepailitan juga
mencakup imbalan jasa Kurator, tidak cukup beralasan karena Pasal 76 UU Kepailitan
secara tegas menyatakan bahwa besarnya imbalan jasa yang harus dibayarkan kepada
Kurator ditetapkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan perundang-undangan.
Berkaitan dengan ini, Keputusan Menteri dimaksud telah diterbitkan yaitu Keputusan
Menteri Kehakiman Nomor M.09-HT.05-10 Tahun 1998 tentang Pedoman Besarnya
Imbalan Jasa Bagi Kurator dan Pengurus. Dengan demikian, Hakim dalam Pasal 17 ayat
(2) UU Kepailitan dan penjelasannya, dalam menetapkan biaya kepailitan dan imbalan
512 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
jasa Kurator terikat oleh ketentuan ini. Kurator tetap dijamin haknya untuk mendapatkan
imbalan jasa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 75 dan Pasal 76 UU Kepailitan
sehingga Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (3) tidak bertentangan dengan UUD
1945.
Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepailitan telah
memberikan jaminan kepastian hukum kepada Kurator dalam melaksanakan tugasnya
dan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan tidak dapat ditafsirkan sebagai mengurangi
jaminan kepastian hukum yang diberikan oleh UU Kepailitan kepada Kurator. Sebab,
kreditor separatis yang telah mulai melaksanakan haknya tidak mau menyerahkan benda
agunan kepada Kurator meskipun masa waktu dua bulan setelah insolvensi telah lewat,
maka kesalahan tidak berada pada pihak Kurator, sepanjang Kurator yang bersangkutan
telah melaksanakan keharusan dalam Pasal 59 ayat (2) UU Kepailitan sehingga
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Secara umum, Pasal 83 adalah ketentuan yang mengatur tentang Panitia Kreditor,
yang dalam sistimatika UU Kepailitan termasuk dalam ruang lingkup Bagian Ketiga
mengenai Pengurusan Harta Pailit yang dimulai dari Pasal 65 sampai dengan Pasal 92
yang terbagi atas 5 (lima) paragraf, yaitu Paragraf 1 tentang Hakim Pengawas (Pasal 65
sampai dengan Pasal 68), Paragraf 2 tentang Kurator (Pasal 69 sampai dengan Pasal
78), Paragraf 3 tentang Panitia Kreditor (Pasal 79 sampai dengan Pasal 84), Paragraf
4 tentang Rapat Kreditor (Pasal 85 sampai dengan Pasal 90), dan Paragraf 5 tentang
Penetapan Hakim (Pasal 91 sampai dengan Pasal 92). Sedangkan Pasal 104 adalah
ketentuan yang termasuk dalam ruang lingkup pengaturan Bagian Keempat UU Kepailitan
mengenai Tindakan Setelah Pernyataan Pailit dan Tugas Kurator (yang meliputi Pasal 93
sampai dengan Pasal 112). Rumusan Pasal 83 ayat (2) UU Kepailitan menunjuk pada
keadaan sebelum adanya putusan pailit atau sedang dalam proses menuju putusan pailit.
Apabila dalam proses tersebut Kurator, sesuai dengan tugasnya, bahwa perusahaan
dalam pailit perlu diteruskan atau tidak, dalam hal demikianlah ketentuan Pasal 83 ayat
(1) tidak diberlakukan. Namun hal itu pun dibatasi sepanjang berkenaan dengan hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 59 ayat (3), Pasal
106, Pasal 107, Pasal 184 ayat (2), dan Pasal 186. Mahkamah berpendapat, sepanjang
menyangkut Pasal 83 ayat (2) UU Kepailitan tidak bertentangan dengan UUD 1945 .
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 246 mengatur tentang pemberlakuan
secara mutatis mutandis pelaksanaan hak Kreditor dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan
dan Kreditor yang diistimewakan, kecuali mengenai kata-kata ayat (1) dalam Pasal 244
butir c, menjadi tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih jauh karena hak atau piutang-
piutang para Kreditor (c.q. Kreditor separatis dan Kreditor preferen) yang dipersoalkan
oleh Pemohon sudah dengan sendirinya terpenuhi karena dijamin oleh Pasal 55 ayat (1),
sehingga pada dasarnya tidak ada kebutuhan lagi untuk ikut serta dalam pembicaraan
tentang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Walaupun demikian, apabila
pemenuhan atau pelunasan piutang-piutang Kreditor separatis dan Kreditor preferen
513 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
yang telah dijamin oleh Pasal 55 ayat (1) ternyata tidak mencukupi atau kurang maka
berdasarkan ketentuan Pasal 246 juncto Pasal 60 dan Pasal 138 UU Kepailitan,
kekurangan tersebut tetap dapat ditagih dengan hak jaminan sebagai Kreditor konkuren,
termasuk hak suara selama PKPU berlaku. Kekurangan yang belum terbayar tersebut
dapat diajukan dalam rapat verikasi (pencocokan utang) sebagai Kreditor konkuren
yang dalam UU Kepailitan diatur pada Bagian Kelima mengenai Pencocokan Piutang
(Pasal 113 sampai dengan Pasal 143). Oleh karena itu, ketentuan Pasal 222 ayat (2)
adalah ketentuan yang justru konsisten dengan pemahaman mengenai pihak-pihak
dalam PKPU, sebagaimana diatur dalam Pasal 228 ayat (4) dan penjelasannya, tentang
peserta rapat dalam mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian di mana
pesertanya, selain Debitor, disebutkan dalam Penjelasan Pasal 224 ayat (4) adalah
baik Kreditor konkuren, Kreditor separatis, maupun Kreditor lainnya yang didahulukan.
Sebab, Pasal 222 ayat (2) dan Pasal 228 ayat (4) adalah ketentuan yang berkenaan
dengan rencana perdamaian, jadi belum merupakan PKPU tetap. Dalam Pasal 244 dan
Penjelasan Pasal 228 ayat (6) UU Kepailitan terdapat konsistensi UU Kepailitan baik
dalam pengaturan mengenai kepailitan maupun dalam pengaturan tentang penundaan
kewajiban pembayaran utang.
Selanjutnya, tercantumnya kata ayat (1) dalam rumusan Pasal 244 huruf c,
Mahkamah berpendapat telah terjadi kekurangcermatan dalam penulisan (clerical error)
kata ayat (1) dalam Pasal 244 huruf c, namun, kekurangcermatan demikian tidak cukup
untuk menyatakan bahwa materi muatan Pasal 244 tidak memberikan kepastian hukum
bagi Kurator, sehingga tidak serta-merta mengakibatkan ketentuan dimaksud menjadi
inkonstitusional. Meskipun demikian, kata ayat (1) harus dipandang tidak ada. Oleh
karena itu, Pasal 244 dan Penjelasan Pasal 228 ayat (6) UU Kepailitan tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 17 ayat (2),
Pasal 18 ayat (3), Penjelasan Pasal 59 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), Pasal 104 ayat
(1), Pasal 127 ayat (1), Pasal 244 dan Penjelasan Pasal 228 ayat (6) UU Kepailitan
tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon ditolak untuk
seluruhnya.
Pendapat Berbeda:
Seorang Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion)
bahwa pembuat undang-undang (de wetgever) seyogianya menjelaskan mengenai
bantahan menurut Pasal 127 ayat (1) berkaitan atau sama sekali tidak berkaitan dengan
de merites van een zaak dari Pengadilan Niaga, walaupun sesungguhnya terdapat
pertentangan (contradictief ) antara Penjelasan Pasal 127 ayat (1) dengan Pasal 1 ayat
(7) yang tidak menjamin kepastian hukum bagi para pencari keadilan (justiciabellen),
yakni kurator. Oleh karena itu, seyogianya Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan dinyatakan
tidak mengikat secara hukum karena bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945.
514 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
515 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 016/PUU-III/2005
TENTANG
PEMEKARAN DAN PEMBENTUKAN DAERAH KOTA SINGKAWANG
Pemohon : Minhad Ryad.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kota Singkawang terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
Pokok Perkara : Konsideran Menimbang huruf a, konsideran Menimbang huruf b,
Pasal 3, Pasal 6, Penjelasan Umum alinea 4 UU No. 12 Tahun 2001
tentang Pembentukan Kota Singkawang mengenai pemekaran dan
pembentukan daerah Kota Singkawang bertentangan dengan Pasal
1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 28J ayat (1)
UUD 1945 menyangkut hak untuk diperlakukan sama dalam bidang
hukum dan pemerintahan, hak untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai keadilan, hak untuk bebas
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif, dan hak untuk mendapat
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Amar Putusan : Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Rabu, 19 Oktober 2005.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 016/PUU-III/2005 mengajukan pengujian konsideran
Menimbang huruf a, konsideran Menimbang huruf b, Pasal 3, Pasal 6, Penjelasan Umum
alinea 4 UU No. 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang.
Sebagaimana Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi bahwa Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia
yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang.
516 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berawal dari pemekaran Kabupaten Sambas (UU No.10 Tahun 1999) menjadi
Kabupaten Sambas dan Kabupaten Bengkawang. Dengan dibentuknya Kabupaten
Bengkayang, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU No. 10 Tahun 1999, ibukota Kabupaten
Sambas dipindahkan dari Singkawang ke Sambas. Akibat dari pemekaran ini, wilayah
Kabupaten Sambas pasca pemekaran terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan yaitu
Kecamatan Sambas, Sejangkung, Selakau, Tebas, Pemangkat, Jawai, Teluk Keramat,
Paloh dan Sajingan Besar, sedangkan Kabupaten Bengkayang terdiri dari 7 (tujuh)
kecamatan yaitu Kecamatan Bengkayang, Ledo, Sanggau Ledo, Seluas, Samalantan,
Jagoi Babang, Pasiran, Roban, Tujuhbelas dan Sungai Raya. Selain itu, terdapat Kota
Administratif (Kotif) Singkawang yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 49 Tahun 1981 (selanjutnya disingkat PP No. 49 Tahun 1981). Pada Pasal 6
PP No. 49 Tahun 1981 disebutkan bahwa wilayah Kotif Singkawang terdiri dari 2 (dua)
kecamatan yaitu Kecamatan Pasiran dan Kecamatan Roban. Pemohon dan masyarakat
KSR sejak tanggal 26 September 1999 telah mendirikan Kelompok Peduli Masyarakat
Kecamatan Sungai Raya (KPM KSR) sebagai bentuk kepedulian untuk memperjuangkan
aspirasi agar Pemerintah menggabungkan Kecamatan Sungai Raya (KSR) ke dalam
lingkungan wilayah daerah Otonom Singkawang (bisa berbentuk kabupaten maupun
kota). Perlu pula dikemukakan bahwa terdapat aspirasi dari masyarakat Kecamatan
Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang yang berkeinginan masuk dalam wilayah
Daerah Kota Singkawang dan berkeberatan untuk masuk dalam wilayah Kabupaten
Bengkayang, dengan alasan utama semakin jauh dari pusat pemerintahan yakni 124 km
ke Bengkayang, sedangkan ke Singkawang hanya 54 km. Perjuangan yang dilakukan
Pemohon bersama dengan KPM KSR dan masyarakat KSR sejak tanggal 26 September
1999 hingga kini tidak membuahkan hasil sama sekali. Hal ini adalah karena UU No.
12 Tahun 2001 sebagai dasar Pembentukan Kota Singkawang hanya terdiri dari tiga
kecamatan yaitu Kecamatan Pasiran, Kecamatan Roban dan Kecamatan Tujuhbelas,
tanpa memasukan Kecamatan Sungai Raya.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk:
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan Pemohon;
2. Menyatakan bahwa:
a. konsideran Menimbang huruf a UU No. 12 Tahun 2001 pada anak kalimat yang
berbunyi:
.. aspirasi yang berkembang dalam masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan.. dan seterusnya;
perlu ditambah setelah kata masyarakat dengan anak kalimat yang berbunyi:
Kecamatan Pasiran, Kecamatan Roban, Kecamatan Tujuhbelas dan
Kecamatan Sungai Raya;
sehingga keseluruhannya berbunyi:
. aspirasi yang berkembang dalam masyarakat Kecamatan Pasiran,
Kecamatan Roban, Kecamatan Tujuhbelas dan Kecamatan Sungai Raya
517 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
untuk meningkatkan kesejahteraan.. dan seterusnya;
b. konsideran Menimbang huruf b UU No. 12 Tahun 2001 pada anak kalimat yang
berbunyi:
pertimbangan lain di Kota Administratif Singkawang Kabupaten
Bengkayang, meningkatnya beban . dan seterusnya; perlu diubah
dengan anak kalimat yang berbunyi:
Kecamatan Pasiran, Kecamatan Roban, Kecamatan Tujuhbelas dan
Kecamatan Sungai Raya; sehingga keseluruhannya berbunyi:
pertimbangan lain di Kecamatan Pasiran, Kecamatan Roban, Kecamatan
Tujuhbelas dan Kecamatan Sungai Raya, meningkatnya beban dan
seterusnya;
c. Pasal 3 UU No. 12 Tahun 2001 pada kalimat yang berbunyi:
Kota Singkawang berasal dari sebagian daerah Kabupaten Bengkayang yang
terdiri dari:
a. Kecamatan Pasiran;
b. Kecamatan Roban; dan
c. Kecamatan Tujuhbelas;
perlu ditambahkan setelah huruf c dengan huruf d, yang berbunyi:
d. Kecamatan Sungai Raya
sehingga keseluruhannya berbunyi:
Kota Singkawang berasal dari sebagian daerah Kabupaten Bengkayang yang
terdiri dari:
a. Kecamatan Pasiran;
b. Kecamatan Roban;
c. Kecamatan Tujuhbelas; dan
d. Kecamatan Sungai Raya;
d. Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2001 pada anak kalimat yang berbunyi:
c. sebelah selatan dengan Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang
perlu diubah dengan anak kalimat yang berbunyi:
c. sebelah selatan dengan Kecamatan Sungai Kunyit Kabupaten Pontianak;
sehingga keseluruhannya berbunyi:
Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2001
(1) Kota Singkawang mempunyai batas-batas wilayah:
a. sebelah utara dengan Kecamatan Selakau Kabupaten Sambas;
b. sebelah timur dengan Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang;
c. sebelah selatan dengan Kecamatan Sungai Kunyit Kabupaten
Pontianak;
d. sebelah barat dengan Laut Natuna;
518 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
e. Penjelasan Umum alinea 4 UU No. 12 Tahun 2001 pada anak kalimat yang
berbunyi:
. dan Kecamatan Tujuhbelas perlu dibentuk menjadi .. dan
seterusnya;
perlu ditambah setelah kata Tujuhbelas, dengan anak kalimat yang
berbunyi:
serta Kecamatan Sungai Raya sehingga keseluruhannya berbunyi:
., Kecamatan Roban dan Kecamatan Tujuhbelas serta Kecamatan
Sungai Raya perlu dibentuk menjadi Kota Singkawang;
3. Menyatakan bahwa:
a. konsideran Menimbang huruf a UU No. 12 Tahun 2001 pada anak kalimat yang
berbunyi:
.. aspirasi yang berkembang dalam masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan.. dan seterusnya;
b. konsideran Menimbang huruf b UU No. 12 Tahun 2001 pada anak kalimat yang
berbunyi:
pertimbangan lain di Kota Administratif Singkawang Kabupaten
Bengkayang, meningkatnya beban . dan seterusnya;
c. Pasal 3 UU No. 12 Tahun 2001 yang berbunyi:
Kota Singkawang berasal dari sebagian daerah Kabupaten Bengkayang yang
terdiri dari:
a. Kecamatan Pasiran;
b. Kecamatan Roban; dan
c. Kecamatan Tujuhbelas;
d. Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2001 pada anak kalimat yang berbunyi:
c. sebelah selatan dengan Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang;
e. Penjelasan Umum alinea 4;
pada anak kalimat yang berbunyi:
., Kecamatan Roban dan Kecamatan Tujuhbelas perlu dibentuk menjadi
Kota Singkawang;
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 28J ayat
(1) UUD 1945;
4. Menyatakan bahwa:
a. konsideran Menimbang huruf a UU No. 12 Tahun 2001 yaitu:
Pada anak kalimat yang berbunyi:
.. serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan.. dan seterusnya;
519 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
b. konsideran Menimbang huruf b UU No. 12 Tahun 2001:
Pada anak kalimat yang berbunyi:
pertimbangan lain di Kota Administratif Singkawang Kabupaten
Bengkayang, meningkatnya beban tugas . dan seterusnya;
c. Pasal 3 UU No. 12 Tahun 2001 pada kalimat yang berbunyi:
Kota Singkawang berasal dari sebagian daerah Kabupaten Bengkayang yang
terdiri dari:
a. Kecamatan Pasiran;
b. Kecamatan Roban; dan
c. Kecamatan Tujuhbelas;
d. Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2001;
pada anak kalimat huruf c yang berbunyi:
c. sebelah selatan dengan Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang
e. Penjelasan Umum alinea 4 UU No. 12 Tahun 2001 pada anak kalimat yang
berbunyi:., Kecamatan Roban dan Kecamatan Tujuhbelas perlu dibentuk
menjadi Kota Singkawang.
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
d. Menyatakan bahwa Pemerintah pada umumnya dan para pihak terkait lainnya wajib
memberikan ganti rugi atas segala kerugian yang diderita oleh Pemohon selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan pengujian UU No. 12 tahun 2001
terhadap UUD 1945 ini memiliki kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji
undang-undang terhadap UUD 1945.
Mahkamah berpendapat oleh karena yang dimohonkan oleh Pemohon adalah
pengujian UU No. 12 Tahun 2001 maka pengujian tersebut merupakan kewenangan
Mahkamah, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus
permohonan Pemohon tersebut.
Selanjutnya, Mahkamah berpendapat bahwa apa yang didalilkan oleh Pemohon
sebagai kerugian konstitusional setelah diberlakukannya Undang-Undang a quo,
khususnya Pasal 3 dan Pasal 6, yaitu antara lain bahwa jarak ke ibukota kabupaten menjadi
lebih jauh, bahwa Singkawang adalah pusat bisnis sedangkan Bengkayang hanyalah kota
kecamatan yang ditingkatkan statusnya menjadi ibukota kabupaten, dan sebagainya,
sebagaimana telah diuraikan di atas, sekalipun secara faktual memang terjadi, tetapi hal
tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya pemekaran wilayah. Konsekuensi
demikian di samping bukan merupakan kerugian hak konstitusional sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK juga bukan merupakan pelanggaran terhadap
520 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
UUD 1945 yang menyebabkan Pemohon kehilangan kedudukan dan haknya untuk
diperlakukan sama dalam bidang hukum dan pemerintahan, atau hak untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai keadilan, maupun hak untuk bebas
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif dan hak untuk mendapat perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa berdasarkan uraian sebagaimana
dijelaskan di atas maka kendatipun berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK Pemohon
dalam kualikasi sebagai perorangan warga negara Indonesia memang diakui memiliki
hak untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang a quo terhadap UUD
1945 tetapi telah ternyata bahwa dalam kualikasi demikian tidak ada satu pun hak
konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang a quo,
khususnya Pasal 3 dan Pasal 6 sebagaimana yang didalilkan, sehingga Pemohon tidak
dapat dinyatakan memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku
Pemohon dalam permohonan a quo.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi
berpendapat dalam amar putusannya bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan
hukum (legal standing), sehingga berdasarkan Pasal 56 ayat (1) UU MK, permohonan
Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
521 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 017/PUU-III/2005
TENTANG
PENGAWASAN HAKIM
Pemohon : 1. Dominggus Maurits Luitnan, S.H.; 2. H. Azi Ali Tjasa, S.H.; 3. Toro
Mendrofa, S.H.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 11 ayat 1, Pasal 12 ayat (1),(2), Pasal 13 ayat (1), (2) dan
Pasal 32 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No.
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf
e dan Pasal 23 ayat (3),(4),(5),(6) mengenai pengawasan hakim
bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyangkut hak yang sama di depan
hukum dan pemerintahan.
Amar Putusan : Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Jumat, 6 Januari 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 017/PUU-III/2005 mengajukan pengujian Pasal 11 ayat
(1), Pasal 12 ayat (1),(2), Pasal 13 ayat (1),(2) dan Pasal 32 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004
tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan Pasal 23 ayat
(3),(4),(5),(6). Pemohon yang dalam menjalankan tugas profesinya sering berhadapan
dengan perilaku hakim yang tidak benar, terkait dengan kejahatan yang dilakukan oknum
hakim, merasa kebingungan dalam melaporkan tingkah laku dan prilaku hakim yang
tidak benar itu, apakah harus melapor ke Mahkamah Agung atau ke Komisi Yudisial,
522 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
karena terdapat ketidakpastian hukum mengenai kewenangan pengawasan terhadap
perilaku hakim. Apakah pengawasan dilakukan oleh Mahkamah Agung ataukah
Komisi Yudisial, sehingga terjadi ketidakpastian hukum dari segi pengawasan yang
tercantum di dalam kedua Undang-Undang tersebut.
Pemohon adalah masing-masing baik selaku warga negara Republik Indonesia
dan/atau selaku Para Advokat yang tergabung dalam Lembaga Advokat/Pengacara
Dominika, sebagai salah satu unsur penegak hukum dalam permohonan a quo merasa
memiliki hak/ kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1),
28D ayat (1), Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK
yang menyebutkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang maka Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian UU No. 5 Tahun 2004
dan UU No. 22 Tahun 2004.
Permohonan a quo adalah permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang pasal-
pasal tentang pengawasan dalam kedua Undang-Undang tersebut dianggap oleh para
Pemohon bertentangan dengan UUD 1945, sehingga oleh karenanya merupakan
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan a quo
berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Undang-
Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung Khusus Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1),(2), Pasal 13 ayat
(1),(2), menyangkut kalimat atas usul Ketua/Mahkamah Agung dan Pasal 32 ayat (2),
menyangkut kalimat : Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan Para
hakim, dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khusus Pasal 21, Pasal 22
ayat (1) huruf e dan Pasal 23 ayat (3),(4),(5),(6), bertentangan dengan Pasal 24B ayat
(1), Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; dan menyatakan Undang-
Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung Khusus Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1),(2), Pasal 13
ayat (1),(2) menyangkut kalimat : atas usul Ketua/Mahkamah Agung dan Pasal 32
ayat (2) menyangkut kalimat Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan
Para hakim, dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khusus Pasal 21, Pasal
22 ayat (1) huruf e dan Pasal 23 ayat (3),(4),(5),(6), tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Pemohon mendalilkan bahwa keberadaan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat
(1),(2), Pasal 13 ayat (1),(2), menyangkut kalimat atas usul Ketua/Mahkamah Agung
dan Pasal 32 ayat (2), menyangkut kalimat Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku
dan perbuatan Para hakim, ketentuan yang demikian telah terjadi benturan kepentingan
523 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khusus Pasal 21, Pasal 22 ayat
(1) huruf e dan Pasal 23 ayat (3),(4),(5),(6), dua ketentuan Pasal dan ayat tersebut saling
tumpang tindih menyangkut pengawasan, mengakibatkan kemandirian Komisi Yudisial
tidak berfungsi/tidak berjalan efektif, sehingga tidak sesuai/bertentangan dengan Pasal
24B ayat (1) UUD 1945, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (1) UUD
1945.
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan oleh Pemohon, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa apa yang didalilkan para Pemohon tentang hak konstitusional yang
disebut dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tidaklah merupakan
hak konstitusional yang berkaitan dengan Undang-Undang yang dimohon untuk diuji,
karena Pasal 27 ayat (1) adalah menyangkut hak warga negara dan penduduk yang
mempunyai hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan serta tidak diperkenankan
adanya perlakuan yang diskriminatif atas hak dalam hukum dan pemerintahan tersebut.
Argumen yang diajukan para Pemohon tentang adanya Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2002, yang tidak memperkenankan Hakim, Panitera, dan Jurusita untuk
memenuhi panggilan penyidik atas perkara yang sedang ditanganinya, sama sekali tidak
menyangkut satu hak konstitusional yang dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 sepanjang mengenai
pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji, yang keseluruhannya adalah menyangkut
pengawasan terhadap hakim, yang dilakukan baik oleh Mahkamah Agung atau oleh
Komisi Yudisial.
Kemudian, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kemandirian Komisi Yudisial
dalam melakukan wewenangnya yang ditentukan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945,
yang oleh para Pemohon didalilkan telah dijabarkan oleh pasal-pasal dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
secara bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah memandang bahwa dalam hal
tersebut para Pemohon tidak dirugikan hak konstitusionalnya, karena hak konstitusional
tersebut tidak menyangkut para Pemohon, melainkan menyangkut pihak lain, sehingga
para Pemohon tidak dapat mendasarkan diri pada Pasal 24B ayat (1) Undang Undang
Dasar 1945 sebagai landasan untuk mengkonstruksikan adanya hak konstitusional
para Pemohon yang dirugikan, baik secara aktual maupun potensial, yang timbul
dalam hubungan sebab-akibat (causal verband) dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, dengan alasan dan
pertimbangan yang demikian maka Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon
tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa permohonan para Pemohon
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion):
Dalam pemeriksaan pendahuluan ini, seorang Hakim Konstitusi berpendirian bahwa
524 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
para Pemohon memiliki legal standing dengan alasan bahwa kepentingan konstitusional
yang timbul berdasar Pasal 24B UUD 1945 memang tidak menyangkut para Pemohon,
akan tetapi terdapat hak konstitusional yang timbul secara derivatif dari adanya Pasal
28D ayat (1) yang secara tegas didalilkan, dan pasal-pasal lainnya dalam Bab XA UUD
1945 meskipun secara tegas tidak didalilkan, yang menyangkut hak asasi, terutama jika
dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pembukaan UUD 1945. Hak konstitusional secara
derivatif itu meliputi hak setiap orang untuk memperoleh perlindungan yang adil melalui
satu peradilan yang bebas, mandiri, bersih, dan berwibawa berdasarkan hukum dan
keadilan (fair trial, due process of law, and justice for all).
525 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 018/PUU-III/2005
TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK DALAM MEMILIH AGAMA
Pemohon : dr. Ruyandi. M. Hutasoit.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 86 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28A,
Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945
menyangkut hak dan kebebasan berbicara.
Amar Putusan : Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Senin, 16 Januari 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 018/PUU-III/2005 mengajukan pengujian Pasal 86
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemohon adalah
seorang Warga Negara Indonesia, yang kegiatan atau aktivitasnya sering memberikan
dan menyampaikan pelajaran agama, pendidikan agama, bimbingan agama, penyuluhan
agama dan pelayanan masyarakat umum baik beragama kristen atau nonkristen yang
berupa pelajaran dan/Khotbah menurut agamanya, kepada orang-orang yang sudah
dewasa dan belum dewasa atau anak-anak, yang dilakukan di gereja, tempat-tempat
ibadah, balai/tempat pertemuan umum dan di tempat-tempat pendidikan.
Berdasarkan ketentuan pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut UU MK), Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
526 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan sebagai
berikut:
I. Menerima dan mengabulkan Permohonan Uji Materiil atas Pasal 86 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimohon dan diajukan oleh
Pemohon beserta seluruh alasan-alasannya ;
II. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 dan/atau bagian dari Undang-Undang dimaksud, adalah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terutama dalam
Pasal 28 dan 28E ayat (1) dan (2) ;
III. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
dan/atau bagian dari Undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Pemohon mendalilkan bahwa dengan berlakunya Pasal 86 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tersebut, hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon untuk
melakukan kegiatan atau aktivitasnya telah dirugikan, dengan alasan-alasan sebagai
berikut :
a) Kegiatan yang dilakukan Pemohon tersebut dapat dianggap telah melakukan tindak
pidana yang dimaksud dan diatur pada Pasal 86 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 ;
b) Bahwa ketentuan yang diatur Pasal 86 Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002,
tentang Perlindungan Anak, akan dan dapat memberikan peluang serta mudah
disalahgunakan untuk meniadakan, mengekang ataupun mengurangi hak dan
kebebasan berbicara Pemohon atau orang lain yang sama kegiatan atau aktivitasnya
dengan Pemohon dengan dalih bahwa perbuatan yang di lakukan itu adalah sebagai
perbuatan dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauan sendiri .
Terhadap dalil-dalil yang telah disampaikan oleh Pemohon, Mahkamah Konstitusi
berpendapat sebagai berikut:
Pemohon memang dapat dikualikasikan sebagai Pemohon perorangan warga a.
negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK;
Sebagai perorangan warga negara Indonesia, Pemohon memang memiliki hak b.
konstitusional yang tercantum dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Adapun Pasal 28 UUD 1945 yang didalilkan oleh Pemohon tidak ada kaitannya
dengan hak konstitusional karena ketentuan pada pasal dimaksud memuat perintah
kepada pembentuk Undang-Undang;
Hak konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon tidak ada hubungan sebab-akibat c.
(causal verband) dengan ketentuan Pasal 86 UU Perlindungan Anak. Karena,
dengan adanya Pasal 86 UU Perlindungan Anak sama sekali tidak mengurangi hak
konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2)
527 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
UUD 1945. Justru sebaliknya, ketentuan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 86
UU Perlindungan Anak tersebut merupakan penegasan bahwa negara bertanggung
jawab untuk melindungi hak setiap anak yang belum berakal dan belum mampu
bertanggung jawab dari kemungkinan tipu muslihat, kebohongan, atau bujukan yang
menyebabkan anak tersebut memilih agama tertentu bukan atas kesadarannya
sendiri;
Ketentuan Pasal 86 UU Perlindungan Anak adalah ketentuan pidana untuk d.
seseorang yang melakukan dengan sengaja menggunakan tipu muslihat,
rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan
atas kemauannya sendiri padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak
tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama
yang dianutnya, sehingga apabila Pemohon atau siapa saja tidak memenuhi
unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana dimaksud pasal a quo, tidak perlu
takut atau khawatir dalam berdakwah atau menyebarkan agamanya. Adapun
contoh kasus yang dikemukakan oleh Pemohon di dalam persidangan, tidak dapat
dipertimbangkan oleh Mahkamah karena tidak ada kaitannya dengan penentuan
kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;
Dengan demikian, unsur-unsur kerugian hak konstitusional yang dipersyaratkan oleh e.
Pasal 51 ayat (1) UU MK juncto yurisprudensi Mahkamah tidak terpenuhi, sehingga
Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan pengujian Pasal 86 UU Perlindungan Anak.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa oleh karena Pemohon tidak
memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo maka lebih lanjut pokok
perkara tidak perlu dipertimbangkan, sehingga permohonan Pemohon dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
528 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
529 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 019-020/PUU-III/2005
TENTANG
PERSYARATAN BADAN HUKUM BAGI WAKIL PELAKSANA
PENEMPATAN TKI SWASTA DI LUAR NEGERI
Pemohon : Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 :
1. Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI); 2.
Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasic (AJASPAC); 3. Himpunan
Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (HIMSATAKI).
Perkara Nomor 020/PUU-III/2005 :
Soekitjo J.G, Dicky R. Hidayat, dan Kevin Giovanni Abay.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri (UU PPTKI) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 13 ayat (1) huruf b dan c, Pasal 14 ayat (2) huruf b dan d,
Pasal 18 ayat (1) huruf b, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35
huruf d, Pasal 46, Pasal 69 ayat (1), Pasal 75 ayat (1) dan ayat
(3), Pasal 82, Pasal 103, Pasal 104, dan Pasal 107 ayat (1) UU
PPTKI mengenai persyaratan bagi setiap pelaksana penempatan
TKI swasta yang ingin mengirimkan TKI ke luar negeri bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (2),
Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (4), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945
menyangkut hak atas perlindungan kepastian hukum yang adil.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon dalam Perkara Nomor 020/
PUU-III/2005, tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
Menyatakan permohonan para Pemohon dalam Perkara Nomor
019/PUU-III/2005, dikabulkan untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Selasa, 28 Maret 2006.
530 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 019/PUU-III/2005 yakni Asosiasi Perusahaan Jasa
Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasic (AJASPAC),
dan Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (HIMSATAKI) mengajukan
permohonan pengujian Pasal 13 ayat (1) huruf b dan c, Pasal 14 ayat (2) huruf b dan
d, Pasal 18 ayat (1) huruf b, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35 huruf d, Pasal 46,
Pasal 69 ayat (1), Pasal 75 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 82, Pasal 103, Pasal 104, Pasal
107 ayat (1) UU PPTKI yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28 ayat (2), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (4), Pasal 33
ayat (1) UUD 1945.
Pemohon perkara 020/PUU-III/2005 yakni Soekitjo J.G, dkk. selaku Ketua Umum,
Wakil Ketua Umum, dan Sekretaris Umum dari Yayasan Indonesia Manpower Watch
(IMW), masing-masing bertindak atas nama Yayasan IMW dan untuk kepentingan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Luar Negeri dan Perusahaan Jasa Pengiriman Tenaga
Kerja Indonesia (PJTKI) mengajukan permohonan pengujian Pasal 13 ayat (1) huruf b
dan c, Pasal 35 huruf a dan d UU PPTKI yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Dalam penjelasan permohonan, para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 13 ayat
(1) huruf b dan c, Pasal 14 ayat (1) dan (2) huruf b dan d, Pasal 18 ayat (1) huruf b,
Pasal 20 ayat (1) dan (2), Pasal 35 huruf d, Pasal 46, Pasal 69 ayat (1), Pasal 75 ayat
(3), Pasal 82, Pasal 103 ayat (1) huruf e, Pasal 104 ayat (1), dan Pasal 107 ayat (1)
UU PPTKI bersifat membatasi, menghambat, menghilangkan, dan mendiskriminasikan
hak-hak dan atau kepentingan para Pemohon dalam melakukan serangkaian tugasnya
terutama dan tidak terbatas pada pemenuhan persyaratan administratif, perekrutan,
penempatan, maupun pasca penempatan calon TKI dan atau TKI, dan telah merugikan
hak konstitusional para Pemohon dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1)
dan (2), Pasal 28H ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) dan (4) UUD 1945, yakni hak atas
perlindungan kepastian hukum yang adil.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Mahkamah
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal,
antara lain untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Yang dimohonkan oleh
para Pemohon adalah pengujian UU PPTKI maka Mahkamah Mahkamah berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan para Pemohon tersebut.
Para Pemohon dalam perkara Nomor 019/PUU-III/2005 merupakan asosiasi
dari berbagai perusahaan berbadan hukum yang usaha dan kegiatannya melakukan
pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri bahwa dengan berlakunya UU PPTKI
telah merugikan hak konstitusional para Pemohon dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28H ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) dan (4) UUD
531 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
1945. Pemohon perkara Nomor 019/PUU-III/2005 telah memenuhi ketentuan Pasal 51
UU MK dan kelima syarat kerugian konstitusional berdasarkan yurisprudensi Mahkamah.
Oleh karenanya, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai
Pemohon dalam permohonan pengujian UU PPTKI.
Para Pemohon dalam perkara Nomor 020/PUU-III/2005 adalah yayasan yang
belum sah sebagai badan hukum privat berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf c UU MK, para Pemohon
Perkara Nomor 020/PUU-III/2005 tidak mempunyai kapasitas sebagai Pemohon. Oleh
karenanya, para Pemohon dalam perkara Nomor 020/PUU-III/2005 tidak memenuhi
syarat untuk mengajukan permohonan pengujian UU PPTKI terhadap UUD 1945,
sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
Oleh karena itu, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
pengujian UU PPTKI, dan para Pemohon Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 memiliki
kedudukan hukum (legal standing) maka Mahkamah perlu mempertimbangkan pokok
permohonan perkara Nomor 019/PUU-III/2005 lebih lanjut.
Dalam pertimbangan hukumnya, terkait dengan pokok perkara, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa Pasal 13 ayat (1) huruf b UU PPTKI merupakan aturan yang bersifat
umum yang berlaku bagi semua Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta
dan bersifat eksibel, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi TKI dari
tindakan yang tidak bertanggung jawab oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta sehingga dapat menjamin hak-hak asasi warga negara yang bekerja di
luar negeri agar tetap terlindungi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (2) UUD
1945. Selain itu, ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) huruf b dan d UU PPTKI merupakan
pilihan kebijakan (policy) pembentuk undang-undang, yang dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid), kepastian berusaha (bedrijfszekerheid),
perlindungan hukum (rechtsbescherming) baik untuk pengusaha, majikan, calon TKI dan
atau TKI, maupun pemerintah sendiri, yang saling terkait dan sama-sama bertanggung
jawab dalam rangka perlindungan TKI yang merupakan manifestasi dari negara
kesejahteraan (welvaartsstaat, welfare state) sehingga tidak bertentangan dengan Pasal
28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa Pasal 20 ayat (2) UU PPTKI yakni
wakil Pelaksana Penempatan TKI Swasta harus berbadan hukum negara setempat,
kecuali apabila negara tujuan penempatan TKI berdasarkan hukum yang berlaku di negara
yang bersangkutan mengharuskan wakil Pelaksana Penempatan TKI Swasta berbadan
hukum, tidak bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang dimaknai bahwa keharusan
wakil Pelaksana Penempatan TKI Swasta di negara tujuan penempatan berbadan hukum
berdasarkan peraturan perundang-undangan di negara tujuan diwajibkan oleh ketentuan
negara tujuan. Artinya, Pasal 20 ayat (2) UU PPTKI tidak berlaku pada negara-negara
di mana ketentuan hukumnya tidak mensyaratkan hal yang demikian. Dengan demikian,
532 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
konstitusionalitas Pasal 20 ayat (2) UU PPTKI adalah dengan syarat (conditionally
constitutional) bahwa dalam pelaksanaannya negara tujuan memang mengharuskan
perwakilan dimaksud berbadan hukum. Selain itu, ketentuan Pasal 82 UU PPTKI tidak
terlepas dari ketentuan Pasal 52 UU PPTKI yang mengatur hak dan kewajiban antara
pengguna jasa TKI, pelaksana penempatan TKI dan calon TKI dan atau TKI, yang salah
satunya diatur dalam Pasal 82 UU PPTKI atau tanggung jawab yang harus dilakukan oleh
pelaksana penempatan TKI swasta tersebut sebelumnya sudah diatur dalam perjanjian
dalam penempatan TKI antara calon TKI dan atau TKI dengan pelaksana penempatan
TKI swasta sehingga ketentuan Pasal 82 UU PPTKI tidak bertentangan dengan Pasal
28I ayat (4) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 35 huruf d UU PPTKI mengenai
pembatasan tingkat pendidikan sekurang-kurangnya SLTP atau sederajat bagi calon TKI
yang ingin ke luar negeri, bahwa di antara hak asasi yang lain, hak untuk hidup, hak untuk
mempertahankan hidup dan kehidupan merupakan hak yang sangat penting sehingga
hak untuk hidup dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 sebagai salah satu hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pelaksanaan hak untuk hidup harus didukung
oleh jaminan terhadap hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, serta hak
hidup dimiliki oleh setiap orang tanpa harus dibeda-bedakan. Selain itu, untuk pekerjaan
tertentu diperlukan syarat khusus tertentu tidak ditafsirkan sebagai menghilangkan hak
seseorang untuk bekerja. Namun, penentuan syarat usia tertentu adalah sangat tepat
agar dapat terhindarkan praktik memperkerjakan anak-anak di bawah umur, dan syarat
sehat jasmani dan rohani, serta adanya larangan terhadap seorang yang sedang hamil
dimaksudkan untuk melindungi agar tidak membahayakan kesehatan baik anak yang
dikandung maupun ibunya. Larangan tersebut dapat diterima karena justru bermaksud
untuk melindungi pencari kerja yang secara moral, hukum, dan kemanusiaan perlu
dilindungi.
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa batasan tingkat pendidikan
(SLTP) hanya dapat dibenarkan apabila persyaratan pekerjaan memang memerlukan
hal tersebut. Pembatasan tingkat pendidikan di luar persyaratan yang ditentukan oleh
pekerjaan dalam Pasal 35 huruf d UU PPTKI justru tidak mempunyai dasar alasan
pembenar (rechtsvaardigingsgrond) menurut Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 guna
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan
tidak bertentangan dengan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, serta tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, serta menjadi
tidak relevan apabila dikaitkan dengan kewajiban konstitusional Pemerintah untuk
wajib membiayai pendidikan dasar sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, yang
seandainya telah dipenuhi oleh Pemerintah, dengan sendirinya angkatan kerja Indonesia
sudah mencapai tingkat pendidikan minimal Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pemohon dalam
533 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Perkara 020/PUU-III/2005 tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga
permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Selain
itu, Pasal 13 ayat (1) huruf b dan c, Pasal 14 ayat (1) dan (2) huruf b dan d, Pasal 18 ayat
(1) huruf b, Pasal 20 ayat (1) dan (2), Pasal 46, Pasal 69 ayat (2), Pasal 75 ayat (3), Pasal
82, Pasal 103 ayat (1) huruf e, Pasal 104 ayat (1), dan Pasal 107 ayat (1) UU PPTKI
tidak bertentangan dengan UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon Perkara
Nomor 019/PUU-III/2005 dinyatakan ditolak. Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan
sebagian permohonan para Pemohon Perkara 019/PUU-III/2005 yakni Pasal 35 huruf d
UU PPTKI yang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan pemuatan Putusan Nomor
019-020/PUU-III/2005 ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pendapat Berbeda:
Dua Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion)
sebagai berikut.
Tidak ada keterkaitan kepentingan hukum (rechtsbelangen) Pemohon sebagai
Perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia swasta dengan calon
TKI yang berpendidikan sekurang-kurangnya lulusan Sekolah Lanjutan Pertama
(SLTP) atau sederajat. Pengaturan mengenai syarat pendidikan calon TKI sama sekali
tidak ada keterkaitan dengan hak konstitusional Pemohon sehingga merugikan hak
konstitusionalnya. Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan pengujian syarat pendidikan sehingga seharusnya permohonan
Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Persyaratan lulus pendidikan SLTP atau sederajat dalam Pasal 35 huruf d UU PPTKI
berlaku terhadap setiap orang sehingga tidak ada diskriminasi. Kalaupun ada perbedaan
perlakuan terhadap lulusan SLTP dan bukan lulusan SLTP, justru didasarkan pada
asas keadilan yang memberikan perlakuan yang berbeda terhadap hal yang memang
berbeda. Selain itu, Persyaratan lulus pendidikan SLTP atau sederajat dalam Pasal
35 huruf d UU PPTKI merupakan pilihan kebijakan (policy) pembuat undang-undang
(DPR dan Presiden) dalam penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, sehingga
permohonan para Pemohon berkaitan dengan Pasal 35 huruf d UU PPTKI seharusnya
ditolak.
534 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
535 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 021/PUU-III/2005
TENTANG
PERAMPASAN HAK MILIK YANG DIGUNAKAN UNTUK KEJAHATAN
Pemohon : PT. Astra Sedaya Finance.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang telah diubah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Menjadi Undang-Undang (UU Kehutanan) terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasan Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan
mengenai pasal multi tafsir tentang perampasan untuk negara
terhadap semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran
dan atau alat-alat angkutnya untuk melakukan kejahatan dan atau
pelanggaran bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G
ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 menyangkut hak akan
kepastian hukum yang adil, hak atas perlindungan harta benda
yang berada di bawah kekuasaannya, dan hak untuk mempunyai
hak milik yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh
siapa pun.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Rabu, 1 Maret 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon, PT. Astra Sedaya Finance, sebagai perusahaan pembiayaan (nancing)
adalah badan hukum privat berkedudukan di Jakarta, yang diwakili oleh Hendra Sugiharto,
Wakil Presiden Direktur PT. Astra Sedaya Finance.
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasan Pasal 78 ayat
536 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(15) UU Kehutanan yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1),
dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Dalam penjelasan permohonan, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 78 ayat (15)
dan Penjelasan Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan menyebabkan kerugian bagi Pemohon
berupa perampasan untuk negara terhadap hak kepemilikan Pemohon atas benda/
barang yang dijaminkan dusia, dalam hal ini 3 (tiga) unit mobil truk Toyota New Dyna,
telah dikuatkan dengan Perjanjian Fidusia antara Pemohon sebagai Penerima Fidusia
dan pemilik barang sebagai Pemberi Fidusia dan Putusan Pengadilan Negeri Sengeti
dalam perkara Perdata Nomor 04/Pdt.Plw/2005/PN.Sgt. Disamping itu, Pasal 78 ayat (15)
dan Penjelasan Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan dapat menimbulkan multi tafsir melalui
frasa dan atau tentang perampasan untuk negara terhadap semua hasil hutan dari hasil
kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat angkutnya untuk melakukan kejahatan dan
atau pelanggaran sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat
(1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 menyangkut hak akan kepastian hukum yang adil,
hak atas perlindungan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, dan hak untuk
mempunyai hak milik yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) juncto Pasal 12
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal,
antara lain untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Permohonan Pemohon
adalah mengenai pengujian secara materiil Pasal 78 ayat (15) beserta Penjelasannya UU
Kehutanan. Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan dan Penjelasannya memang merupakan
salah satu pasal dan ayat yang pernah dimohonkan pengujian dalam Perkara Nomor
013/PUU-III/2005, tetapi Putusan Mahkamah atas perkara dimaksud dalam amarnya
menyatakan bahwa Permohonan Tidak Dapat Diterima (niet ontvankelijk verklaard),
karena Pemohonnya tidak memiliki legal standing, sehingga belum sampai memasuki
substansi permohonan mengenai konstitusional-tidaknya pasal dan ayat dimaksud.
Dengan demikian, diujinya kembali pasal dan ayat tersebut tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 60 UU MK yang berbunyi Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/
atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus permohonan Pemohon untuk menguji konstitusionalitas materi muatan
Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan beserta Penjelasannya terhadap UUD 1945.
Kedudukan hukum Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK
dan Penjelasannya dan dalam yurisprudensi Mahkamah terdapat lima syarat kerugian
hak konstitusional Pemohon. Pemohon adalah PT. Astra Sedaya Finance yang diwakili
oleh Wakil Presiden Direkturnya, Hendra Sugiharto, telah memenuhi syarat sebagai
badan hukum privat sehingga Pemohon mempunyai kapasitas sebagai badan hukum
privat untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
537 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf c UU MK.
Meskipun Pemohon mempunyai kapasitas untuk mengajukan permohonan, tetapi
masih harus dibuktikan apakah Pemohon sebagai badan hukum memiliki hak konstitusional
yang diberikan oleh UUD 1945 dan apakah hak konstitusional yang didalilkannya
dirugikan oleh berlakunya Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan beserta Penjelasannya.
Sebagai badan hukum privat, Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan
oleh UUD 1945, yaitu hak akan kepastian hukum yang adil [Pasal 28D ayat (1) UUD
1945], hak atas perlindungan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya [Pasal
28G ayat (1) UUD 1945], dan hak untuk mempunyai hak milik yang tidak boleh diambil
secara sewenang-wenang oleh siapa pun [Pasal 28H ayat (4) UUD 1945]. Indonesia,
sebagai negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, mengandung prinsip
yang salah satunya melindungi hak asasi manusia (HAM), termasuk hak milik (protection
of property rights).
Oleh karena itu, meskipun hak-hak tersebut dalam UUD 1945 masuk dalam Bab
XA Hak Asasi Manusia dengan rumusan Setiap orang , akan tetapi telah menjadi
pandangan yang diterima secara universal bahwa dalam hal-hal tertentu, termasuk
hak milik, ketentuan hak-hak asasi tersebut dapat diberlakukan pula terhadap badan
hukum (legal person, rechtspersoon). Pemohon sebagai perusahaan pembiayaan dalam
menjalankan usahanya memberikan jasa penjaminan kepada konsumennya yang salah
satu di antaranya adalah dalam bentuk jaminan dusia, sehingga hubungan hukum,
dalam hal ini perjanjian, antara Pemohon dan konsumennya terikat oleh ketentuan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia). Menurut
Pasal 1 angka 1 UU Fidusia, yang dimaksud dengan Fidusia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang
hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda maka hak
keperdataan berupa hak milik atas benda yang dijaminkan dusia telah beralih ke tangan
Penerima Fidusia, dalam hal ini adalah Pemohon. Hak kepemilikan Pemohon atas benda/
barang yang dijaminkan dusia, dalam hal ini 3 (tiga) unit mobil truk Toyota New Dyna,
telah dikuatkan dengan Perjanjian Fidusia antara Pemohon sebagai Penerima Fidusia
dan pemilik barang sebagai Pemberi Fidusia dan Putusan Pengadilan Negeri Sengeti
dalam perkara Perdata Nomor 04/Pdt.Plw/2005/PN.Sgt.
Hak konstitusional Pemohon sebagai Penerima Fidusia yang berupa hak milik
atas barang yang dijaminkan dusia telah dianggap dirugikan oleh berlakunya dan
diterapkannya UU Kehutanan, khususnya Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya yang
berakibat barang-barang dimaksud dirampas untuk negara, yang berarti telah jelas ada
hubungan kausal antara hak konstitusional Pemohon dan berlakunya Pasal 78 ayat (15)
UU Kehutanan, serta telah nyata pula bahwa kerugian hak konstitusional Pemohon bersifat
spesik dan aktual yang apabila permohonan dikabulkan diyakini kerugian tersebut tidak
akan terjadi. Menurut Mahkamah dalil Pemohon sepanjang mengenai kedudukan hukum
(legal standing) cukup beralasan, sehingga Mahkamah menyatakan Pemohon memiliki
538 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
legal standing untuk mengajukan permohonan a quo.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa rumusan Pasal 78 ayat (15) UU
Kehutanan memang berbeda jika dibandingkan dengan rumusan Pasal 39 ayat (1)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara eksplisit menyatakan:
Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja
dipergunakan untuk melakukan kejahatan dapat dirampas, atau dengan rumusan
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang dalam Pasal
77 ayat (3) menyatakan Dalam hal alat yang dirampas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, maka pemilik dapat mengajukan
keberatan terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat
pertama sehingga dapat menimbulkan kemungkinan terjadinya multi interpretasi dalam
penerapannya, namun tidak berarti bahwa materi muatan pasal dan ayat a quo serta-
merta inkonstitusional, karena:
hak milik menurut UUD 1945 bukan merupakan HAM yang bersifat absolut, tetapi a.
dalam pelaksanaannya wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk antara lain kepentingan
keamanan dan ketertiban umum [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945];
ketentuan Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan adalah untuk melindungi kepentingan b.
nasional, khususnya keamanan kekayaan negara dan lingkungan hidup dari
kejahatan pembalakan liar (illegal logging) yang saat ini sudah sangat merajalela
yang secara tidak langsung juga mengganggu dan bahkan membahayakan hak
asasi orang lain atau masyarakat umum, merugikan negara, membahayakan
ekosistim, dan kelangsungan kehidupan;
hak kepemilikan Pemohon yang diperoleh melalui perjanjian dusia masih tetap c.
terlindungi oleh berbagai ketentuan dalam UU Fidusia dan juga dalam praktik
penerapan hukum oleh Pengadilan Negeri Sengeti dalam perkara perdata Nomor 04/
Pdt.Plw/PN.Sgt yang mengabulkan perlawanan (verzet) Pemohon atas perampasan
hak kepemilikannya atas barang yang dirampas oleh kejaksaan;
terjadinya perampasan barang-barang (truk) yang merupakan hak kepemilikan d.
Pemohon dalam perkara Pidana di PN Sengeti adalah persoalan penerapan hukum
sebagaimana juga terungkap dalam persidangan, sehingga bukan merupakan
persoalan konstitusionalitas norma yang terkandung dalam Pasal 78 ayat (15) UU
Kehutanan beserta Penjelasannya;
berdasarkan Pasal 103 KUHP, ketentuan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP mengenai e.
perampasan barang berlaku pula terhadap perbuatan pidana yang diatur oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan lain di luar KUHP kecuali undang-undang
tersebut menentukan lain. Dengan demikian, dalam menerapkan Pasal 78 ayat (15)
UU Kehutanan beserta Penjelasannya haruslah tetap merujuk pada ketentuan
dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP.
539 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Hak milik merupakan penghargaan terhadap eksistensi kodrati manusia, yang
dalam hal-hal tertentu dapat pula diberlakukan terhadap badan hukum (rechtspersoon).
Di samping hak milik, dikenal pula hak milik yang dikonstruksikan oleh undang-undang,
seperti yang terdapat dalam konsep dusia, yakni Pasal 1 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hak milik yang didalilkan oleh Pemohon
atas objek dusia tidak sama dengan hak milik yang didasarkan pada hubungan inheren
antara pemegang hak milik dengan objek hak milik, sehingga perlindungan hukum
terhadapnya tidak dapat diperlakukan secara sama pula, terutama untuk kepentingan
umum yang lebih besar. Disamping itu, tidak setiap perampasan hak milik serta-merta
bertentangan dengan UUD 1945. Perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang
dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, terlebih lagi terhadap hak milik
yang lahir karena konstruksi hukum (legal construction), in casu hak milik yang lahir
dari perjanjian jaminan dusia. Namun demikian, terlepas dari keabsahan perampasan
hak milik sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, hak milik dari
pihak ketiga yang beritikad baik (ter goeder trouw, good faith) tetap harus dilindungi. Oleh
karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan beserta
Penjelasannya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, permohonan
Pemohon harus ditolak untuk seluruhnya.
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion):
Dua orang Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion)
mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sebagai berikut.
Pasal-pasal hukum formal (het formeel wet artikel) dibuat guna menegakkan dan
melindungi hak asasi (basic right). Namun, dalam menjalankan hak asasi, seseorang
atau badan hukum tidak boleh melanggar hukum dan undang-undang. Penggunaan hak
asasi tidak boleh melanggar hak asasi dan kebebasan orang lain [Pasal 28J ayat (2)
UUD 1945]. Menurut hukum, semua hasil kejahatan dan pelanggaran, termasuk alat
angkut, yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran memang
seharusnya dirampas (worden verbeurd verklaard) untuk negara. Oleh karena itu,
Pemohon tidak dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya aturan pasal hukum
formal (het formeel recht artikel).
Pemohon mendalilkan bahwa mobil-mobil tersebut menjadi milik Pemohon
berdasarkan Perjanjian Pembiayaan dengan Jaminan Fidusia antara Pemohon dengan
konsumen bernama Juli Andriansyah dan Febriansah. Dengan adanya perampasan
terhadap mobil-mobil a quo yang terjadi adalah beralihnya penguasaan mobil tersebut
dari debitor kepada negara sedangkan mobil-mobil tersebut menjadi objek dusia yang
merupakan perjanjian ikutan.
Dalam permohonan, Pemohon tidak menjelaskan status hubungannya dengan
debitor yang dengan debitor tersebut perjanjian dusia dibuat. Kepastian tentang
540 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
hubungan hukum tersebut tidak dapat ditentukan sendiri oleh Pemohon, namun
harus ditentukan secara hukum, yaitu apakah pihak debitor masih mengakui adanya
kewajiban untuk membayar utangnya. Dengan belum jelasnya status kepemilikan
Pemohon terhadap mobil-mobil tersebut, karena belum adanya putusan pengadilan
yang menentukan hubungan hukum antara Pemohon dengan debitor, bahwa adanya
kepentingan Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, yang telah diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 belum dapat dibuktikan.
Dengan demikian, permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard).
541 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 022/PUU-III/2005
TENTANG
KEKUASAAN PRESIDEN MEMBERIKAN REMISI
Pemohon : Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK), diwakili oleh :
1. Bahrul Ilmi Yakup, S.H.; 2. Dhabi K. Gumayra, S.H.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemayarakatan terhadap Undang-Undang dasar 1945.
Pokok Perkara : Pengujian Pasal 14 ayat (1) butir i dan Penjelasannya, serta
Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemayarakatan bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) jo Pasal 14
UUD 1945.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Rabu, 1 Maret 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK) yang diwakili oleh Bahrul
Ilmi Yakup, SH (Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi/AAK) dan Dhabi K. Gumayra, S.H.
(Sekretaris Asosiasi Advokat Konstitusi/AAK). para Pemohon mengajukan permohonan
pengujian Pasal 14 ayat (1) butir i dan Penjelasannya, serta Pasal 14 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemayarakatan terhadap UUD 1945.
Hak konstitusional para Pemohon yang dirasakan telah dirugikan karena berlakunya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah, hak agar
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan dapat diwujudkan sesuai UUD 1945 Pasal 24 ayat (1)
dapat diwujudkan secara konsisten dan konsekuen. Berlakunya Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan khususnya Pasal 14 ayat (1) butir i dan ayat
(2) berikut Penjelasannya, telah merugikan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; sebab, ketentuan
542 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
a quo menjadi entry point bagi Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
negara (eksekutif) untuk mengintervensi kekuasaan kehakiman dalam bentuk merubah
substansi putusan pengadilan yang berkekuatan tetap (inkracht van gewijsde). Akibat
keberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan khususnya
Pasal 14 ayat (1) butir i dan ayat (2) berikut Penjelasannya a quo, ribuan putusan
pengadilan dalam perkara pidana yang sudah berkekuatan tetap (inkracht van gewijsde)
telah dirubah strafmaatnya oleh Menteri Hukum dan HAM secara sepihak;
Secara konstitusional, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak memberi wewenang
kepada Presiden untuk memberi remisi (pengurangan masa pidana) kepada narapidana
yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan yang merupakan kekuasaan kehakiman.
Dengan demikian, munculnya wewenang Eksekutif untuk memberikan remisi kepada
Napi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 khususnya Pasal 14 ayat
(1) butir i dan ayat (2) a quo merupakan pengingkaran terhadap Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, ipso jure bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Sesuai Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara; hanya memiliki empat wewenang
pseudo yudisial, yaitu memberi grasi dan rehabilitasi; dan memberi amnesti dan abolisi.
Dalam melaksanakan grasi dan rehabilitasi, Presiden harus memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung; sedangkan untuk memberi amnesti dan abolisi Presiden harus
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian,
Presiden tidak bersifat otonom dalam melaksanakan kekuasaan pseudo yudisialnya.
Oleh karena itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi berkenan
memutus dengan amar putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal
14 ayat (1) butir i berikut Penjelasannya dan Pasal 14 ayat (2) bertentangan dengan
UUD 1945.
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal
14 ayat (1) butir i yang berbunyi: Narapidana berhak mendapatkan pengurangan
masa pidana (remisi).
Penjelasannya berbunyi:
Diberikan hak tersebut setelah narapidana yang bersangkutan memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 14 ayat (2) berbunyi:
Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Penjelasannya: Cukup jelas.
tidak memiliki kekuatan Hukum mengikat sejak dibacakan putusan dalam
543 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Permohonan ini.
Mahkamah berpendapat kewenangan untuk mengurangi hukuman (remisi) dapat
diberikan kepada cabang eksekutif karena pengurangan hukuman telah lama dikenal
dalam sistim pemenjaraan, terlebih lagi dalam sistim pemasyarakatan, yang keduanya
sama-sama terkait dengan lingkup tanggung jawab pemegang kekuasaan pemerintahan
negara.
Selain itu, Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. selaku ahli di dalam persidangan, dengan
merujuk pada pendapat J. M. van Bemmelen, menyatakan bahwa ruang lingkup acara
pidana mencakup 7 (tujuh) tahap,yaitu:
1. Mencari kebenaran;
2. Mencari pembuat (tindak pidana);
3. Menangkap pembuat dan kalau perlu menahannya;
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti untuk diajukan ke pengadilan;
5. Pengambilan putusan oleh hakim;
6. Upaya hukum untuk melawan putusan hakim tersebut; dan
7. Pelaksanaan putusan hakim (eksekusi).
Dengan eksekusi yang dilakukan oleh jaksa, menurut Ahli dimaksud maka
berakhirlah proses (due process) acara pidana. Selanjutnya, pembinaan narapidana
tidak lagi berada dalam ranah kekuasaan kehakiman (yudikatif), tetapi beralih ke
dalam ranah kekuasaan eksekutif, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Lembaga
Pemasyarakatan yang berada di bawah Departemen Hukum dan HAM. Remisi diberikan
kepada narapidana yang telah dijatuhi hukuman berdasarkan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah menjalani pidana yang dijatuhkan untuk
periode tertentu, serta harus dipenuhi syarat-syarat tertentu oleh narapidana yang
bersangkutan.
Terlepas dari pendapat Ahli di atas, Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada hak
konstitusional para Pemohon yang bersifat spesik dan aktual atau potensial yang
dirugikan, yang timbul dari hubungan sebab akibat (causal verband) berlakunya Pasal 14
ayat (1) butir I dan ayat (2) UU Pemasyarakatan, sehingga Mahkamah berpendapat para
Pemohon tidak memiliki kedudukan Hukum (legal standing). Oleh karena itu Mahkamah
tidak perlu mempertimbangkan lebih lanjut permohonan Pemohon dan menyatakan
Permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa permohonan para Pemohon
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
544 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
545 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 023/PUU-III/2005
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PERMOHONAN PENGUJIAN UU MK DAN
KEPUTUSAN GUBERNUR SUMATERA SELATAN
Pemohon : Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK), diwakili oleh Barul Ilmi Yakup,
S.H., dan Dhabi K. Gumayra, S.H., masing-masing sebagai Ketua
dan Sekretarisnya (bertindak untuk dan atas nama Asosiasi Advokat
Konstitusi).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan Surat Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pengujian Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sepanjang menyangkut frasa
Undang-Undang dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983 mengenai
Penghapusan Pemerintahan Marga Di Sumatera Selatan.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon.
Tanggal Putusan : Jumat, 3 Februari 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK) yang diwakili oleh Barul Ilmi
Yakup, S.H., dan Dhabi K. Gumayra, S.H., masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris
yang bertindak untuk dan atas nama Asosiasi Advokat Konstitusi. Pemohon mengajukan
permohonan pengujian Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) sepanjang menyangkut frasa Undang-Undang
dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan Nomor 142/
KPTS/III/1983 mengenai Penghapusan Pemerintahan Marga Di Sumatera Selatan yang
dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
546 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon mendaftarkan permohonannya di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia pada hari Senin tanggal 28 November 2005 dengan Nomor Register
023/PUU-IV/2005 perihal permohonan uji konstitusionalitas UU MK dan Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983 sebagai
Dasar Hukum Penghapusan Pemerintahan Marga Di Provinsi Sumatera Selatan.
Dalam perkara itu terdapat beberapa ketetapan dan Berita Acara Persidangan, yakni
Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 023/TAP.MK/2005
tanggal 29 November 2005 tentang Penetapan Panel Hakim, Ketetapan Ketua Panel
Hakim Nomor 23/PUU-III/2005 tanggal 14 Desember 2005 tentang Penetapan Hari
Sidang Pertama, Berita Acara Persidangan tanggal 12 Januari 2006 dan Berita Acara
Persidangan tanggal 3 Februari 2006.
Pada tanggal 1 Februari 2006, Pemohon menyampaikan surat perihal mencabut
permohonan uji konstitusionalitas UU MK Pasal 10 ayat (1) butir a dan Surat Keputusan
Gubernur Sumatera Selatan No.142/KPTS/III/1983, yang ditandatangani oleh kuasa
Pemohon yang diserahkan di persidangan pada hari Jumat tanggal 3 Februari 2006.
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU Mahkamah Konstitusi,
yang berbunyi (1) Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama
pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan. (2) Penarikan kembali sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali.
Dalam hal ini, Mahkamah berpendapat bahwa penarikan permohonan Pemohon tidak
bertentangan dengan undang-undang sehingga harus dikabulkan. Disamping itu,
Mahkamah menyatakan penarikan permohonan menyebabkan Pemohon tidak dapat
mengajukan kembali permohonannya terhadap Pasal dan Surat Keputusan Gubernur
Sumatera Selatan tersebut. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan kepada Panitera
untuk mencatat penarikan kembali perkara Nomor 023/PUU-III/2005 dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.
547 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 024/PUU-III/2005
TENTANG
PEMBERHENTIAN SEMENTARA KEPALA DAERAH/WAKIL KEPADA DAERAH
TANPA MELALUI USULAN DPRD
Pemohon : Drs. H. Muhammad Madel, M.M.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur
pemberhentian sementara Kepala Daerah/Wakil Kepada Daerah
tanpa melalui usulan DPRD, karena melakukan tindak pidana
korupsi, tindak pidana terorisme, makar dan/atau tindak pidana
terhadap keamanan Negara, telah merugikan hak konstitusional
Pemohon yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945.
Amar Putusan : Menyatakan Permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Rabu, 29 Maret 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang menjabat sebagai Bupati Kepala
Daerah TK. II Kab. Sarolangun, Provinsi Jambi. Pemohon beranggapan pemberlakuan
Pasal 31 ayat (1) dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebabkan Pemohon sebagai
Kepala Daerah TK. II Kabupaten Sarolangun, tidak independent, tidak demokratis,
dan konsekuensinya, potensial terjadi kesewenang-wenangan baik yang dilakukan
oleh Gubernur Kepala Daerah TK. I, Menteri Dalam Negeri maupun Presiden
dalam menggunakan kekuasaannya sehingga Pemohon merasa dirugikan hak-hak
konstitusionalnya.
Berdasarkan dalil-dalil sebagaimana uraian di atas, Pemohon berkesimpulan bahwa
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
548 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon dalam perkara 024/PUU-III/2005 memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk bertindak selaku Pemohon dihadapan Mahkamah dalam permohonan a
quo karena Pemohon sesuai kualikasi yang ada di dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor
24 Tahun 2003 yaitu sebagai perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak
dan/atau kewenangan kontitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 31 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan
UUD 1945 karena ketentuan tersebut melanggar asas praduga tak bersalah, asas
persamaan di muka hukum, dan asas kepastian hukum, dan bersifat diskriminatif.
Sebelum menjawab pertanyaan apakah pemberhentian sementara seorang pejabat
publik, in casu bupati, yang didakwa melakukan kejahatan tertentu, sebagaimana diatur
dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, bertentangan dengan prinsip atau asas praduga tak
bersalah (presumption of innocence), Mahkamah menjelaskan terlebih dahulu mengenai
prinsip atau asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yaitu prinsip atau asas
yang berlaku dalam bidang hukum pidana yang merupakan hak seorang tersangka atau
terdakwa untuk dianggap tak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap. Hak demikian bukan hanya dijamin oleh UUD 1945, sebagai konstitusi
dari sebuah negara hukum, tetapi secara universal juga telah diterima sebagai bagian
dari hak-hak sipil dan politik yang karenanya harus dihormati, dilindungi, dan dijamin
pemenuhannya. Pasal 14 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights
1966 (ICCPR) menyatakan, Everyone charged with a criminal offence shall have the
right to be presumed innocent until proved guilty according to law. Indonesia, sebagai
negara hukum, telah pula mencantumkan ketentuan demikian dalam berbagai Undang-
Undang, antara lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi.
Berdasarkan ketentuan baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional,
sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam sejumlah Undang-Undang di atas, telah
nyata bahwa prinsip atau asas praduga tak bersalah hanya berlaku dalam bidang hukum
pidana, khususnya dalam rangka due process of law. Secara lebih khusus lagi, asas
tersebut sesungguhnya berkaitan dengan beban pembuktian (burden of proof, bewijslast)
di mana kewajiban untuk membuktikan dibebankan kepada negara c.q. penegak hukum,
sedangkan terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah, kecuali dalam hal-hal tertentu di mana prinsip pembuktian terbalik (omgekeerde
bewijslast) telah dianut sepenuhnya. Sementara itu, yang dirumuskan oleh Pasal 31
ayat (1) UU Pemda dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, yang dimohonkan
pengujian dalam permohonan a quo, adalah keadaan yang menggambarkan bekerjanya
dua proses dari dua bidang hukum yang berbeda namun berhubungan, yaitu proses
hukum tata usaha negara dalam bentuk tindakan administratif (administrative treatment)
berupa pemberhentian sementara terhadap seorang pejabat tata usaha negara, in casu
bupati, dan proses hukum pidana yaitu dituntutnya pejabat tata usaha negara tersebut
549 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan dakwaan melakukan tindak pidana tertentu.
Dalam kasus a quo, presumptive evidence atau circumstancial evidence tersebut
adalah fakta perihal telah dimulainya proses penuntutan terhadap seorang pejabat
administrasi negara, in casu bupati, yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana
disebut dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda. Tatkala presumptive evidence demikian
belum ada maka dengan sendirinya tindakan administratif pemberhentian sementara itu
tidak dapat dilakukan. Dengan kata lain, jika dihubungkan dengan permohonan a quo,
apabila berkas dakwaan atas dugaan kejahatan yang dilakukan oleh seorang kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 31 ayat (1) UU
Pemda, telah diserahkan ke pengadilan oleh penuntut umum maka berarti telah terdapat
presumptive evidence yang cukup untuk melakukan tindakan administratif pemberhentian
sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut.
Dari uraian di atas maka dalil Pemohon yang mengkualikasikan pemberhentian
sementara sama dengan hukuman dalam pengertian hukum pidana, yang dengan cara itu
kemudian dibangun konstruksi pemikiran bahwa pemberhentian sementara bertentangan
dengan asas praduga tak bersalah adalah tidak tepat.
Dengan demikian, pemberhentian sementara justru merealisasikan prinsip
persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27
ayat (1) maupun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, dengan adanya pemberhentian
sementara terhadap seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang didakwa
melakukan kejahatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tersebut,
setiap orang secara langsung dapat melihat bahwa siapa pun yang melakukan tindak
pidana atau kejahatan maka terhadapnya akan berlaku proses hukum yang sama, dalam
arti bahwa jabatan yang dipegang seseorang tidak boleh menghambat atau menghalangi
proses pertanggungjawaban pidana orang itu apabila ia didakwa melakukan suatu tindak
pidana.
Pemohon yang mendalilkan bahwa Pasal 31 ayat (1) UU Pemda bersifat diskriminatif.
Terhadap hal ini, penting untuk dipahami bahwa diskriminasi dapat dikatakan terjadi jika
terdapat setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras etnik, kelompok,
golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan
aspek kehidupan lainnya (vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia).
Di samping itu, dalam menilai ada-tidaknya persoalan diskriminasi dalam suatu
Undang-Undang juga dapat dilihat dari perspektif bagaimana konstitusi merumuskan
perlindungan terhadap suatu hak konstitusional, dalam arti apakah hak tersebut oleh
550 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
konstitusi perlindungannya ditempatkan dalam rangka due process ataukah dalam
rangka perlindungan yang sama (equal protection). Pembedaan demikian penting
dikemukakan sebab seandainya suatu Undang-Undang mengingkari hak dari semua
orang maka pengingkaran demikian lebih tepat untuk dinilai dalam rangka due process.
Namun, apabila suatu Undang-Undang ternyata meniadakan suatu hak bagi beberapa
orang tetapi memberikan hak demikian kepada orang-orang lainnya maka keadaan
demikian dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap equal protection (vide Erwin
Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies, 1997, h. 639). Dalam hubungan
dengan permohonan a quo, Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tidak ternyata memuat salah
satu dari dua keadaan di atas, sehingga oleh karenanya tidak terdapat persoalan
diskriminasi. Adapun contoh-contoh yang oleh Pemohon dianggap sebagai adanya
praktik diskriminasi, sebagaimana dikemukakan Pemohon dalam permohonannya, adalah
persoalan-persoalan praktik yang berada di luar konteks pengujian konstitusionalitas
Undang-Undang a quo.
Ketentuan mengenai pemberhentian sementara sebagai tindakan administratif yang
serupa dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda sudah
merupakan aturan yang diterima secara umum. Hal tersebut antara lain tertuang dalam
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian, Pasal 24 dan 25
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 13 dan 14
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Pemohon juga mendalilkan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda menimbulkan ketidakpastian
hukum karena dakwaan yang ditujukan kepada Pemohon belum mempunyai kekuatan
hukum tetap namun Pemohon sudah diusulkan untuk diberhentikan sementara oleh
Gubernur Jambi. Oleh karena itu, menurut Pemohon, Pasal 31 ayat (1) UU Pemda
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon ini Mahkamah
berpendapat bahwa Pemohon telah mencampuradukkan atau menyamakan dakwaan
dengan putusan pengadilan dan pada saat yang sama juga mencampuradukkan bentuk
tindakan administratif pemberhentian sementara dengan hukuman (pidana). Yang dapat
memiliki kekuatan hukum tetap adalah putusan pengadilan, yang merupakan kewenangan
hakim untuk menjatuhkannya, bukan dakwaan, yang merupakan kewenangan penuntut
umum, yang tunduk pada pembuktian dan penilaian hakim. Sedangkan mengenai
perbedaan antara tindakan administratif dengan hukuman (pidana) telah dijelaskan pada
uraian sebelumnya.
Selain mengemukakan dalil-dalil kerugian hak konstitusional akibat diberlakukannya
ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, Pemohon juga mempersoalkan 2 (dua) hal :
Pertama, tidak dilibatkannya persetujuan DPRD dalam proses pemberhentian
sementara seorang kepala daerah dalam hal yang bersangkutan didakwa melakukan
tindak pidana sebagaimana disebut dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, padahal kepala
daerah dipilih langsung oleh rakyat, sehingga hal tersebut oleh Pemohon dianggap
551 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
mencederai demokrasi.
Kedua, bahwa dakwaan terhadap Pemohon berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda
tersebut telah dijadikan bahan kampanye negatif (black campaign) untuk mencemarkan
nama baik Pemohon oleh lawan-lawan politiknya dalam pencalonan pemilihan Bupati
Sarolangun.
Tentang tidak dilibatkannya DPRD dalam proses pemberhentian sementara kepala
daerah yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 31 ayat (1)
UU Pemda, Mahkamah berpendapat bahwa persetujuan atau pendapat DPRD diperlukan
dalam hal-hal yang berkait dengan tindakan atau perbuatan kepala daerah sebagai
penyelenggara pemerintahan daerah di mana DPRD sebagai unsur perwakilan rakyat
daerah merupakan bagian dari pemerintahan daerah dan sekaligus sebagai lembaga
yang harus mengawasi kepala daerah. Pengawasan oleh DPRD adalah pengawasan
yang bersifat politis terutama dalam rangka penentuan kebijakan pemerintahan daerah
bagi kesejahteraan rakyat di daerah yang bersangkutan sesuai dengan tujuan otonomi
daerah. Sementara itu, pemberhentian sementara kepala daerah sebagai tindakan
administratif dilakukan karena adanya dakwaan bahwa kepala daerah yang bersangkutan
melakukan tindak pidana yang tidak ada sangkut-pautnya dengan fungsi pemerintahan
daerah. Tanggung jawab pidana adalah bersifat individual atau personal yang berlaku
terhadap siapa saja tanpa membeda-bedakan atas dasar kedudukan atau status sosial
seseorang sesuai dengan prinsip kesamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Oleh karena itu, tindak pidana adalah tanggung jawab individual yang tidak terkait dengan
tanggung jawab jabatan. Justru untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan
hukum (equality before the law), seorang kepala daerah yang didakwa melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, harus dijamin
bersih dari pengaruh proses politik yang dapat terjadi apabila untuk melakukan tindakan
pemberhentian sementara dipersyaratkan adanya persetujuan DPRD. Terlebih lagi, Pasal
31 ayat (1) UU Pemda diperlukan karena tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme,
makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara menyangkut kepentingan
umum yang berdampak luas dan penanganannya membutuhkan langkah-langkah yang
cepat, esien, dan efektif.
Mengenai kemungkinan dimanfaatkannya ketentuan pemberhentian sementara
sebagai bahan kampanye negatif (black campaign) oleh lawan atau saingan politik
dalam hal seorang kepala daerah hendak mengajukan diri kembali sebagai calon kepala
daerah, sebagaimana yang didalilkan telah terjadi pada diri Pemohon, hal tersebut
bukanlah persoalan konstitusional karena merupakan masalah penerapan Undang-
Undang yang dimanfaatkan sebagai praktik persaingan politik yang tidak sehat. Apabila
sebagai akibat praktik persaingan politik yang tidak sehat tersebut ternyata merugikan
Pemohon maka tetap tersedia upaya hukum bagi Pemohon untuk mempertahankan
kepentingan hukumnya (rechtsbelang), sehingga oleh karena itu, dalil Pemohon
sepanjang menyangkut hal dimaksud tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
552 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Atas dasar seluruh uraian di atas, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 31
ayat (1) UU Pemda dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan
UUD 1945 adalah tidak beralasan sehingga tidak pula terdapat alasan bagi Mahkamah
untuk mengabulkan permohonan Pemohon sehingga Mahkamah menyatakan
permohonan Pemohon ditolak.
553 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
NOMOR 25/SKLN-III/2005
TENTANG
PENARIKAN PERKARA SENGKETA KEWENANGAN GUBERNUR PROVINSI
LAMPUNG DENGAN DPRD PROVINSI LAMPUNG
Pemohon : Sjachroedin, Z.P. (Gubernur Lampung).
Termohon : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Lampung.
Jenis Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.
Pokok Perkara : Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara
Gubernur Lampung dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi Lampung.
Amar Ketetapan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk menarik kembali
permohonan.
Tanggal Ketetapan : Kamis, 5 Januari 2006.
Ikhtisar Ketetapan :
Perkara Nomor 025/SKLN-III/2005 a quo telah diregistrasi di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi dan telah ditetapkan Panel Hakim dan hari sidang.
Pemohon dalan permohonan penarikannya mendalilkan bahwa memperhatikan
situasi di Provinsi Lampung yang kelihatannya cenderung membaik maka Pemohon
mengajukan penarikan permohonan terhadap permohonan Pemohon.
Berdasarkan hasil Rapat Pleno Hakim, penarikan kembali permohonan a quo perlu
dikonrmasi kepada Pemohon dalam Sidang Panel.
Pemohon pada persidangan tanggal 5 Januari 2006, hari ini, telah menerangkan
bahwa penarikan kembali permohonan dimaksud dalam surat Pemohon bertanggal 26
Desember 2005 benar adanya.
Berdasarkan hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa penarikan kembali permohonan Pemohon a quo tidak bertentangan
554 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan undang-undang, oleh karenanya permohonan Pemohon untuk menarik kembali
permohonannya harus dikabulkan dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali
Perkara Nomor 025/SKLN-III/2005 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
antara Gubernur Lampung dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Lampung.
Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat penarikan
kembali Perkara Nomor 025/SKLN-III/2005 dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
555 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 026/PUU-III/2005
TENTANG
KETENTUAN PENGALOKASIAN DANA PENDIDIKAN KURANG DARI 20 PERSEN
DALAM APBN TAHUN 2006
Pemohon : Pengurus Besar PGRI, Pengurus Ikatan Sarjana Pendidikan
Indonesia (ISPI), Yayasan Nurani Dunia, M. Arif Pribadi Prasodjo,
Drs. Oeng Rosliana dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2006 terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2006 tentang ketentuan
pengalokasian dana pendidikan kurang dari 20 persen dalam
APBN Tahun 2006 bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD
1945 menyangkut kewajiban untuk memprioritaskan alokasi dana
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.
Amar Putusan : Menyatakan Pemohon III dan IV tidak dapat diterima.
Menyatakan Pemohon I,II, dan V dikabulkan untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Rabu, 22 Maret 2006.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon perkara Nomor 026/PUU-III/2005 mengajukan pengujian Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun 2006, Jumlah anggaran/alokasi dana pendidikan hanya berkisar 8,1 % dari APBN
2006, hal tersebut ternyata melanggar amanat UUD 1945 yang mengharuskan untuk
memprioritaskan alokasi dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN maupun
APBD, sebagaimana dikatakan dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa Pemohon adalah pihak yang mengganggap
556 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang.
Para Pemohon yang terdiri dari badan hukum dan perseorangan warga negara Indonesia
mempunyai tujuan dan komitmen melaksanakan amanat Pasal 28C ayat (1) dan ayat
(2) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, para Pemohon merasa sangat dirugikan, karena
dengan demikian pelaksanaan maksud, tujuan dan fungsi para Pemohon untuk berperan
serta aktif mencapai tujuan nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membentuk manusia Indonesia seutuhnya, melaksanakan dan mengembangkan Sistem
Pendidikan Nasional, tidak bisa tercapai secara maksimal, dan secara faktual Pendidikan
di Indonesia tertinggal, demikian pula penyediaan sarana dan prasarana secara wajar
tidak dapat terpenuhi (causal verband).
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi untuk:
Menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2006 bertentangan dengan Pasal 31 ayat
(4) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2006 tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat ;
Menetapkan bahwa ketentuan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara harus mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari jumlah
Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara di kemudian hari sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.
Dalam memeriksa kedudukan hukum para Pemohon, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa PGRI adalah organisasi guru seluruh Indonesia merupakan
perkumpulan berbadan hukum (rechtspersoonlijke vereniging) berdasarkan Penetapan
Menteri Kehakiman bertanggal 20 September 1954 Nomor J.A.5/82/12, sehingga
sebagaimana dimaksud oleh penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK dipandang memiliki
kedudukan hukum (legal standing). Pasal 28 ayat (4) Anggaran Dasar PGRI dinyatakan
bahwa PB PGRI diberi wewenang untuk, antara lain, mewakili PGRI di dalam dan di
luar pengadilan yang pelaksanaannya diatur dalam peraturan organisasi PGRI, sehingga
Pemohon I, H.M. Rusli Yunus, adalah Ketua PB PGRI yang berdasarkan Keputusan Rapat
Pengurus Besar PGRI tanggal 14 Desember 2005 diberi wewenang untuk mewakili PB
PGRI mengajukan permohonan Pengujian UU APBN terhadap UUD 1945 ke hadapan
Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon II, ISPI, sebagai kumpulan
perorangan memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan
pengujian UU APBN sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo, hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan jurisprudensi Mahkamah tentang kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan permohonan di Mahkamah telah dipenuhi.
557 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon III, Imam Budi Darmawan Prasodjo, yang bertindak mewakili Yayasan
Nurani Dunia yaitu yayasan yang berbadan hukum yang telah didaftarkan di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 14 Mei 2002 yaitu sebelum berlaku efektif Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Walaupun dalam Pasal 3 Anggaran
Dasar Yayasan dimaksud ditentukan antara lain bahwa yayasan melaksanakan kegiatan
mendirikan, menyelenggarakan, dan menyediakan fasilitas pendidikan baik formal
maupun informal, namun tidak cukup keterangan untuk menilai kerugian konstitusionalnya,
sehingga Mahkamah tidak dapat menentukan kualikasinya menurut Pasal 51 ayat (1)
UU MK. Oleh karena itu, Mahkamah tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut perihal
kedudukan hukum (legal standing) Pemohon III.
Pemohon IV, M. Arif Pribadi Prasodjo, yang mendalilkan dirinya sebagai koordinator
Yayasan Nurani Dunia, sebagaimana halnya Pemohon III, juga tidak menyertakan
bukti-bukti yang menunjukkan kualikasi yang bersangkutan maupun organisasi yang
diwakilinya serta hak-hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya UU APBN,
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK. Oleh karenanya, kedudukan hukum
(legal standing) Pemohon IV juga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Pemohon V adalah sekelompok orang yang terdiri atas guru, dosen, dan pensiunan
guru maka pertimbangan sebagaimana diuraikan untuk Pemohon I secara mutatis
mutandis juga berlaku terhadap Pemohon V, oleh karena sebagian Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) maka Mahkamah harus mempertimbangkan pokok
permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon V lebih lanjut.
Dalam memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
ketentuan Undang-Undang untuk disebut bertentangan dengan UUD 1945, tidak
selalu harus dilihat bertentangan atau conict dalam posisi diametral dengan Undang-
Undang Dasar, melainkan dapat juga terjadi karena ketentuan tersebut tidak konsisten
(inconsistent) atau tidak sesuai (non-conforming, unvereinbar) dengan Undang-Undang
Dasar sebagai hukum tertinggi, in casu dalam perkara a quo. Karena, jumlah konkrit
persentase anggaran pendidikan yang disebut Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 merupakan
salah satu ukuran konstitusionalitas UU APBN maka telah terbukti sebagaimana
diuraikan di atas bahwa alokasi anggaran pendidikan dalam APBN tersebut tidak sesuai
(non-conforming, unvereinbar) dengan amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, sehingga
oleh karenanya alokasi anggaran pendidikan sebesar 9,1% (sembilan koma satu persen)
dalam UU APBN tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional).
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan para Pemohon I, II, dan
V cukup beralasan. Akan tetapi, untuk meniadakan dampak negatif seoptimal mungkin
terhadap pelaksanaan APBN 2006, Mahkamah hanya dapat mengabulkan permohonan
para Pemohon untuk sebagian, dengan menyatakan bahwa UU APBN, sepanjang
mengenai anggaran pendidikan dalam APBN 2006 sebesar 9,1% (sembilan koma satu
persen) dari APBN sebagai batas tertinggi, adalah bertentangan dengan UUD 1945. Untuk
menghindari kemacetan dan kekacauan dalam penyelenggaran pemerintahan, putusan
558 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mahkamah ini hanya memberi akibat hukum terhadap inkonstitusionalitas anggaran
pendidikan tersebut secara terbatas, yaitu tentang batas tertinggi, dan bukan terhadap
keseluruhan UU APBN. Hal itu berarti bahwa UU APBN tetap mengikat secara hukum
dan dapat dilaksanakan sebagai dasar hukum pelaksanaan APBN berdasarkan UU a
quo dengan kewajiban bagi Pemerintah dan DPR untuk mengalokasikan kelebihan dana
yang akan diperoleh dari hasil penghematan belanja negara dan/atau hasil peningkatan
pendapatan pada anggaran pendidikan dalam APBN-P 2006.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi
berkesimpulan bahwa permohonan para Pemohon I, II, dan V cukup beralasan sepanjang
menyangkut jumlah/persentase anggaran pendidikan dalam APBN 2006 sebagai batas
tertinggi, karena bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon
I, II, dan V harus dikabulkan sebagian. Sedangkan para Pemohon III dan IV, oleh karena
tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang cukup, permohonan para Pemohon
III dan IV harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Alasan Berbeda (Concurring Opinion):
Dua orang Hakim Konstitusi mempunyai alasan yang berbeda bahwa permohonan
a quo adalah berkenaan dengan anggaran pendidikan, yang dalam konteks Pasal 31
UUD 1945 adalah berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan nasional sebagai
sebuah sistim, di mana di dalamnya guru dan dosen merupakan bagian integral maka
dalam permohonan a quo, mereka yang berkualikasi guru atau dosenlah yang
memiliki kualikasi untuk bertindak selaku Pemohon. Adapun perihal kerugian hak
konstitusional dari mereka yang memenuhi kualikasi dimaksud baru dapat ditentukan
atau diketahui setelah mempertimbangkan pokok permohonan. Hal tersebut dikarenakan,
dalam permohonan a quo, dalil kerugian hak-hak konstitusional dari mereka yang
memiliki kualikasi tersebut oleh Pemohon sendiri dikaitkan langsung dengan anggaran
pendidikan dalam UU APBN. Sementara itu, cara penghitungan anggaran pendidikan
dalam UU APBN dimaksud justru merupakan bagian dari pertimbangan terhadap pokok
permohonan a quo. Sehingga dengan demikian, kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon pun baru dapat ditentukan setelah mempertimbangkan pokok permohonan.
Bahwa dari perspektif sejarah perumusan Pasal 31 UUD 1945, khususnya Pasal
31 ayat (4), dapat disimpulkan bahwa pendidikan kedinasan memang dikecualikan
dari pengertian pendidikan dalam Pasal 31 UUD 1945, sehingga dengan demikian,
anggaran pendidikan kedinasan juga harus dikecualikan dari pengertian anggaran
pendidikan dalam APBN. Sementara itu, tidak terdapat catatan yang menunjukkan
dikecualikannya anggaran untuk gaji guru dari pengertian anggaran pendidikan. Oleh
karena itu, sekalipun Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas ternyata telah mengeluarkan
anggaran untuk gaji guru (dan anggaran pendidikan kedinasan) dari penghitungan
dana pendidikan, namun secara konstitusional yang dijadikan acuan dalam menilai
konstitusionalitas anggaran pendidikan dalam APBN Tahun 2006 haruslah Pasal 31 ayat
(4) UUD 1945. Selain itu, apabila anggaran untuk gaji guru dikecualikan atau dikeluarkan
559 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dari penghitungan anggaran pendidikan dalam APBN, in casu APBN 2006 maka cara
penghitungan demikian mengakibatkan guru harus dianggap tidak memiliki kualikasi
untuk mengajukan permohonan pengujian UU APBN yang berkait dengan anggaran
pendidikan, yang konsekuensi selanjutnya adalah bahwa Pemohon dalam permohonan
a quo, in casu Pemohon I dan sebagian dari Pemohon V, harus dianggap tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian UU APBN
2006. Kesimpulan demikian jelas bertentangan dengan hakikat pendidikan di mana guru
atau dosen merupakan unsur melekat di dalamnya.
Anggaran pendidikan pada APBN 2006 belum memenuhi amanat Pasal 31 ayat (4)
UUD 1945 dan dengan demikian telah pula merugikan para Pemohon yang memenuhi
kualikasi sebagaimana telah diuraikan di atas, tidaklah berarti bahwa seluruh ketentuan
dalam UU APBN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat (dalam pengertian yang sesuai dengan cara penghitungan sebagaimana telah
diuraikan di atas yaitu yang menghasilkan persentase sebesar 16,8 % dari APBN) harus
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat untuk seluruhnya melainkan bahwa
yang harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat adalah apabila jumlah
tersebut dinyatakan nal sebagai anggaran pendidikan untuk Tahun 2006. Artinya,
melalui mekanisme pembahasan APBN-P (APBN Perubahan), Presiden bersama DPR
berkewajiban untuk menambah jumlah anggaran pendidikan Tahun 2006 sebagaimana
yang tertera dalam lampiran UU APBN yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
Undang-Undang a quo.
Pendapat Berbeda I (Dissenting Opinion I):
Dua orang Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat yang berbeda bahwa
anggaran pendidikan yang belum mencapai 20% (duapuluh persen) dari APBN serta APBD
tidak serta merta berarti bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, tetapi harus
dimaknai sebagai ketertinggalan yang secara bertahap harus terus ditingkatkan dalam
APBN berikutnya, sehingga pada gilirannya angka 20% (duapuluh persen) akan tercapai.
Peningkatan anggaran pendidikan secara bertahap itu telah menjadi kesepakatan antara
Pemerintah dan DPR, dan persentase sebesar 20% (duapuluh persen) harus tercapai
dalam APBN tahun 2009.
Muatan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 bersifat normatif, tetapi adalah tidak realistik
(tidak membumi) jika kententuan normatif itu diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi
objektif pendapatan negara. Bertolak dari ketentuan normatif yang dikaitkan dengan
kondisi objektif pendapatan negara itu, saya berpendapat bahwa walaupun anggaran
pendidikan belum mencapai angka 20% (duapuluh persen) dari APBN, hal itu tidak
berarti bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang persentase anggaran pendidikan
pada tahun berjalan lebih tinggi daripada persentase anggaran pendidikan dalam APBN
tahun sebelumnya.
560 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pendapat Berbeda II (Dissenting Opinion II):
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam hal ini Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2006, termasuk Undang-Undang yang tidak mengikat masyarakat
umum, sehingga Pemohon tidak mempunyai Legal Standing sekaligus tidak dirugikan
hak konstitusionalnya menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya Mahkamah seharusnya
menyatakan permohonan para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
561 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
2006
562 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
563 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 001/PUU-IV/2006
TENTANG
PENGUJIAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG
MENGENAI HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH DEPOK
Pemohon : 1. Drs. Badrul Kamal, M.M.; 2. KH.Syihabuddin Ahmad, B.A.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
Pokok Perkara : Pengujian Putusan Mahkamah Agung Nomor 01PK/Pilkada/2005
yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah sehingga dinilai bertentangan
dengan Pasal 24 UUD 1945 menyangkut kekuasaan kehakiman.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Rabu, 25 Januari 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon bernama Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad adalah pasangan calon
Walikota dan Wakil Walikota Kota Depok, peserta Pemilihan Kepala Daerah Kota Depok
Tahun 2005, yang mengajukan judicial review terhadap Putusan Mahkamah Agung No.
01 PK/PILKADA/2005 yang isinya pembatalan Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat
No. 01/PILKADA/2005/PT Bandung.
Putusan Mahkamah Agung tersebut dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon
karena membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang memenangkan
Pemohon untuk menjadi Walikota dan Wakil Walikota Depok. Pemohon juga mendalilkan
bahwa judicial review terhadap Putusan Mahkamah Agung bisa diajukan karena Putusan
Mahkamah Agung --setelah menjadi yurisprudensi-- setara dengan undang-undang.
Mahkamah Konstitusi menyatakan Putusan Mahkamah Agung bukanlah undang-
undang dalam pengertian objek kewenangan pengujian Mahkamah menurut Pasal 24C
564 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ayat (1) UUD 1945. Karena undang-undang yang dimaksud dalam rangka pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945 adalah undang-undang sebagaimana dimaksud
pada Pasal 20 UUD 1945 dan Pasal 1 butir 3 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu Peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Hal tersebut diperkuat dengan ketentuan Pasal 51 ayat (3), Pasal 56 ayat (4) dan ayat
(5), serta Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU MK.
Menurut yurisprudensi Mahkamah, kerugian yang timbul karena berlakunya suatu
undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat
sebagai berikut:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang sedang diuji;
c. kerugian konstitusional itu bersifat spesik dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional
Pemohon dan undang-undang yang sedang diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Pasal 51
UU MK juncto yurisprudensi Mahkamah, karena:
a. meskipun Pemohon dapat dikualikasikan sebagai Pemohon perorangan warga
negara Indonesia, tetapi Pemohon tidak menjelaskan hak konstitusionalnya yang
diberikan oleh UUD 1945, yang hak konstitusionalnya itu dirugikan oleh berlakunya
undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
b. bahwa seandainya pun ada kerugian yang diderita oleh Pemohon dalam perkara
a quo, kerugian dimaksud bukanlah disebabkan oleh berlakunya suatu ketentuan
undang-undang, melainkan secara prima facie, sebagaimana didalilkan oleh
Pemohon, disebabkan karena penerapan undang-undang;
c. bahwa ketentuan Pasal 51 ayat (3), Pasal 56 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 57
ayat (1) dan ayat (2) UU MK lebih mempertegas bahwa yang dimaksud dengan
undang-undang yang diuji terhadap UUD 1945 adalah undang-undang sebagaimana
dimaksud oleh UUD 1945 seperti yang telah diuraikan di atas, sehingga memperkuat
butir a dan b di atas Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memenuhi ketentuan
sebagai Pemohon perkara pengujian undang-undang.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menilai Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon, sehingga Mahkamah Konstitusi
menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
565 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pendapat Berbeda :
Terhadap putusan MK, dua orang hakim konstitusi menyampaikan pendapat
berbeda menyangkut kewenangan Mahkamah Konstitusi, legal standing, dan pokok
permohonan.
Mahkamah berwenang mengadili permohonan karena Pasal 51 ayat (1) huruf a UU
MK menyebutkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu: (a) perorangan
warga negara Indonesia. Dalam konteks ini kerugian konstitusional harus ditafsirkan
secara luas yang mencakup pula putusan pengadilan yang merugikan hak konstitusional
seseorang. Selain itu hak Pemohon untuk mengajukan judicial review muncul karena yang
dikemukakan Pemohon adalah constitutional complaint warga negara atas pelanggaran
UUD 1945. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili permohonan
para Pemohon.
Menyangkut legal standing, hakim dissenter berpendapat Pemohon mempunyai
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan. Kedudukan hukum
timbul karena Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh Putusan MA
No. 01 PK/PILKADA/2005 tanggal 16 Desember 2005 yang membatalkan putusan PT
Jawa Barat No. 01/PILKADA/2005/PT.BDG tanggal 4 Agustus 2005 yang sudah bersifat
nal dan mengikat; sehingga Pemohon tidak jadi dilantik sebagai Walikota dan Wakil
Walikota Depok.
Menyangkut pokok permohonan, hakim dissenter berpendapat seharusnya
Mahkamah tidak menilai substansi putusan MA No. 01 PK/PILKADA/2005, akan
tetapi memeriksa dan mengadili apakah dalam putusan MA terdapat pelanggaran hak
konstitusional seorang warga negara in casu pelanggaran hak konstitusional Pemohon.
Hak konstitusional yang didalilkan Pemohon diperoleh dari putusan PT Jawa Barat
menjadi batal karena hak konstitusional tersebut diperoleh dari putusan PT Jawa Barat di
mana dalam mengadili sengketa a quo tidak melaksanakan wewenangnya seperti yang
dimaksud oleh ketentuan Pasal 106 UU Pemda. Dengan demikian, Putusan Mahkamah
Agung No. 01 PK/PILKADA/2005 tanggal 16 Desember 2005 tidak bertentangan dengan
UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan dan oleh karenanya
harus ditolak.
566 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
567 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 002/SKLN-IV/2006
TENTANG
SENGKETA KEWENANGAN MENGENAI PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI
OLEH KPUD KOTA DEPOK KE MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN TINGGI NEGERI BANDUNG NOMOR 01/PILKADA/2005/PT.Bdg.
Pemohon : 1. Drs. Badrul Kamal, M.M.; 2. KH.Syihabuddin Ahmad, B.A.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok
Jenis Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Drs. H. Badrul
Kamal, M.M., dkk terhadap Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
Kota Depok.
Pokok Perkara : Pengujian kewenangan KPUD Kota Depok yang mengajukan
permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung atas
putusan Pengadilan Tinggi Negeri Nomor 01/PILKADA/2005/
PT.Bdg.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Rabu, 25 Januari 2006.
Ikhtisar Putusan :
Drs. H. Badrul Kamal, M.M., dan KH. Syihabuddin Ahmad, B.A., adalah calon Walikota
dan Wakil Walikota Depok yang memenangkan pemilihan berdasarkan keputusan
Pengadilan Tinggi Negeri Jawa Barat Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg. Dengan adanya
keputusan PTN ini para Pemohon dapat dikategorikan sebagai lembaga negara yang
kewenangannya diatur dalam UUD RI Tahun 1945, sehingga para Pemohon mempunyai
legal standing seperti yang diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK).
Termohon adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok. Termohon selaku
penyelenggara pemilihan kepala daerah yang diberi tugas secara khusus berdasarkan
568 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pelaksanaan Pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945, mempunyai kewenangan dan kewajiban yang telah diatur
secara tegas dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005,
sehingga Termohon (KPUD) telah melaksanakan sebuah tugas lembaga negara yaitu
Pemilihan Kepala Daerah sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
1945.
Para Pemohon memohon pengujian kewenangan yang dimiliki oleh KPUD Kota
Depok yang telah mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung atas
putusan Pengadilan Tinggi Negeri Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg.
Komisi Pemilihan Umum Daerah kota Depok telah mengajukan pengujian kembali
ke Mahkamah Agung terhadap keputusan Pengadilan Tinggi Negeri Jawa Barat Nomor
01/PILKADA/2005/PT.Bdg yang memenangkan para Pemohon sebagai calon Walikota
dan Wakil Walikota Depok.
Para Pemohon mendalilkan berdasarkan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2005 jo. Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada wewenang ataupun tugas Termohon
untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali atas suatu putusan pengadilan yang
bersifat nal dan mengikat sebagaimana layaknya kejaksaan yang berfungsi sebagai
pengacara negara, atau seperti salah satu pihak yang berkepentingan langsung terhadap
suatu putusan pengadilan selain daripada kewajiban untuk melaksanakan putusan yang
bersangkutan.
Kerugian konstiusional yang dialami oleh para Pemohon adalah dengan
dikabulkannya permohonan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung melalui putusan
Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005 yang membatalkan putusan Pengadilan
Tinggi Jawa Barat yang sudah bersifat nal dan mengikat maka Pemohon terancam batal
dilantik menjadi Walikota dan Wakil Walikota Depok.
Permohonan para Pemohon mengenai kewenangan KPUD Kota Depok mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 01/
Pilkada/2005/PT.Bdg, bukanlah sengketa kewenangan konstitusional yang dimaksudkan
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf b UU MK, melainkan
hak yang timbul karena adanya kewenangan sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (1)
UU Pemda yang memuat tugas dan wewenang KPUD dalam pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah, dengan demikian objek sengketa bukanlah objek sengketa
kewenangan konstitusional antar lembaga negara sebagaimana ditentukan Pasal 61
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Kepala Daerah dalam hal ini Walikota dan Wakil Walikota Terpilih, menurut ketentuan
Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(selanjutnya disebut UU Pemda dan Pasal 100 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
569 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Daerah dan Wakil Kepala Daerah (selanjutnya disebut PP Nomor 6 Tahun 2005), masih
mempersyaratkan pengesahan pengangkatan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama
Presiden dan pelantikan oleh Gubernur atas nama Presiden, sesuai ketentuan Pasal
110 ayat (1) dan Pasal 111 ayat (2) UU Pemda dan Pasal 102 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun
2005. Dengan demikian, pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Terpilih belum
menjadi kepala daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 juncto UU
Pemda juncto PP Nomor 6 Tahun 2005.
KPUD Kota Depok merupakan KPUD yang kewenangannya diberikan oleh undang-
undang dalam hal ini UU Pemda. Dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), menurut
UU Pemda dan sebagaimana juga diakui oleh para Pemohon, KPUD bukanlah bagian
dari KPU yang dimaksudkan Pasal 22E UUD 1945. Dengan demikian, meskipun KPUD
adalah lembaga negara, namun dalam penyelenggaraan Pilkada kewenangannya
bukanlah kewenangan yang diberikan oleh UUD, sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945 dan UU MK.
Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan pengajuan peninjauan kembali oleh
Termohon dalam hal ini KPU Kota Depok adalah bukan kewenangan yang diberikan oleh
UU Pemda Pasal 66 kepada Termohon, Mahkamah berpendapat harus dibedakan antara
kewenangan dan hak yang lahir dari hukum acara. Pengajuan peninjauan kembali tersebut
memang bukan kewenangan organik KPUD Kota Depok, melainkan merupakan hak
untuk mendapatkan keadilan dalam proses peradilan, sebagaimana setiap subjek hukum
memiliki kebebasan untuk mencari dan mendapatkan keadilan. Berdasarkan seluruh
pertimbangan tersebut di atas, baik dari segi objek sengketa kewenangan konstitusional
maupun dari segi subjek para Pemohon dan Termohonnya maka permohonan a quo
bukanlah termasuk lingkup perkara sengketa kewenangan konstitusional antarlembaga
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat
(1) huruf b juncto Pasal 61 UU MK.
570 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
571 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 003/PUU-IV/2006
TENTANG
PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Pemohon : Ir. Dawud Djatmiko.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan
Pasal 3 (sepanjang menyangkut kata dapat), dan Pasal 15
(sepanjang mengenai kata percobaan) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyangkut
prinsip kepastian hukum perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Selasa, 25 Juli 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon bernama Ir. Dawud Djatmiko mengajukan pengujian Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU PTPK). Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Mahkamah
Konstitusi berwenang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Pemohon.
Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan
dengan berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3,
572 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Penjelasan Pasal 3 (sepanjang menyangkut kata dapat), dan Pasal 15 (sepanjang
mengenai kata percobaan) UU PTPK. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf
a UU MK, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan tersebut.
Dalam permohonannya, Pemohon mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut.
Kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK mempunyai pengertian a.
ganda.
Suatu tindak pidana yang mempunyai 2 macam akibat yang sangat berbeda diancam b.
dengan hukuman yang sama.
Ancaman pidana untuk percobaan tindak pidana disamakan dengan tindak pidana c.
pokoknya.
Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, Pasal d.
15 (sepanjang mengenai kata percobaan) UU PTPK mengesampingkan prinsip-
prinsip yang universal tentang ancaman hukuman.
Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, Pasal e.
15 (sepanjang mengenai kata percobaan) UU PTPK menimbulkan berbagai
penafsiran (multi tafsir).
Permohonan pengujian UU PTPK ini disertai permohonan Putusan Provisi (Putusan
Sela) Mahkamah Konstitusi berupa penagguhan sementara proses persidangan atas diri
Pemohon sebagai Terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam perkara tindak
pidana korupsi. Namun Mahkamah menolak permohonan putusan provisi yang diajukan
Pemohon dalam permohonan, karena memberikan provisi merupakan kewenangan
pengadilan bersangkutan.
Sebagaimana dikutip dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 003/PUU-IV/2006, menyangkut Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK, Mahkamah
Konstitusi mengemukakan frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang ditafsirkan
bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung meskipun belum
terjadi.
Menyangkut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, Mahkamah Konstitusi
berpendapat penjelasan demikian tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan
kepastian hukum karena ukuran kepatutan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa
keadilan berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, sehingga bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menyangkut Pasal 15 UU PTPK, Mahkamah Konstitusi berpendapat ketentuan
tersebut merupakan pengecualian atau penyimpangan yang dibenarkan sistim Hukum
Pidana sebagai diatur dalam Pasal 103 KUHP. Dalam konteks ini, ketentuan pidana
dalam Bab I sampai dengan Bab VIII KUHP berlaku bagi peraturan perundang-undangan
lain, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-undang.
573 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berlandaskan pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk
mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dengan menyatakan Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang frasa yang berbunyi, Yang dimaksud dengan
secara melawan hukum dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Serta, Mahkamah
menolak Pemohon selebihnya yakni Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal
3 (sepanjang menyangkut kata dapat), dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata
percobaan) UU PTPK. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan pemuatan Putusan
Nomor 003/PUU-VI/206 dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pendapat berbeda:
Satu hakim memberikan pendapat berbeda terhadap putusan ini. Hakim dissenter
tersebut berpendapat pencantuman kata dapat pada frasa yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
PTPK mengandung cakupan makna (begrippen) yang kurang jelas serta tidak memenuhi
rumusan kalimat yang disyaratkan bagi asas legalitas suatu ketentuan pidana, yaitu lex
certa (harus jelas dan tidak membingungkan). Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi
seharunya menyatakan kata dapat dalam frasa yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK
dinyatakan tidak mengikat secara hukum karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD Tahun 1945.
574 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
575 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 004/SKLN-IV/2006
TENTANG
SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA ANTARA BUPATI DAN WAKIL
BUPATI KABUPATEN BEKASI DENGAN PRESIDEN RI, MENTERI DALAM NEGERI
DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Pemohon : 1. Drs. H.M. Saleh Manaf; 2. Drs. Solihin Sari.
Termohon : 1. Presiden Republik Indonesia; 2. Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia; 3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi.
Jenis Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.
Pokok Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Bupati dan Wakil
Bupati Kabupaten Bekasi dengan Presiden RI, Menteri Dalam
Negeri, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Rabu, 12 Juli 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 004/SKLN-IV/2006 adalah Drs. H.M. Saleh Manaf
sebagai Bupati Bekasi dan Drs. Solihin Sari sebagai Wakil Bupati Bekasi. para Pemohon
mendalilkan telah terjadi sengketa kewenangan lembaga negara antara Pemohon dengan
Termohon yakni Presiden Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi (DPRD Kabupaten Bekasi).
Sengketa kewenangan lembaga negara tersebut disebabkan oleh tindakan Menteri
Dalam Negeri menerbitkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11
Tahun 2006 bertanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan
Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat
dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 Tahun 2006 bertanggal
576 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
19 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-
37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan
Wakil Bupati Bekasi Jawa Barat. Terhadap DPRD Kabupaten Bekasi, sengketa
kewenangan terjadi karena tindakan DPRD Kabupaten Bekasi menetapkan Keputusan
DPRD Kabupaten Bekasi Nomor 06/KEP/172.2-DPRD/2006 bertanggal 28 Februari
2006 tentang Persetujuan DPRD Kabupaten Bekasi terhadap ditetapkannya Rancangan
Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bekasi
Tahun 2006.
Menurut Pemohon, Presiden seharusnya mengoreksi tindakan Menteri Dalam Negeri
karena Menteri Dalam Negeri merupakan pembantu Presiden. Tindakan Menteri Dalam
Negeri merupakan tanggung jawab Presiden yang mengangkat dan memberhentikan
Menteri Dalam Negeri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945. Pemohon mendalilkan tindakan Menteri Dalam Negeri dalam penerbitan
2 (dua) Surat Keputusan tersebut di atas telah melakukan tindakan yang melampaui
kewenangannya (ultra vires) sebagaimana ditentukan dalam konstitusi karena tindakan
tersebut nyata-nyata dilakukan tanpa alasan dan tanpa melalui mekanisme pemberhentian
yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18A UUD 1945 juncto
Pasal 29 sampai dengan Pasal 33 UU Nomor 32 Tahun 2004.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi mengemukakan bahwa
rumusan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar", mempunyai maksud bahwa hanya kewenangan yang diberikan
oleh UUD saja yang menjadi objectum litis dari sengketa dan Mahkamah Konstitusi
mempunyai wewenang untuk memutus sengketa yang demikian. Apabila ada sengketa
kewenangan yang tidak mempunyai objectum litis kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar maka Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Hal itulah yang dimaksud oleh UUD 1945.
Menyangkut dalil Pemohon yang menyatakan tindakan Menteri Dalam Negeri
melampaui kewenangannya (ultra vires) karena pemberhentian Pemohon tidak
didasarkan atas ketentuan Pasal 29 sampai dengan Pasal 33 UU Nomor 32 Tahun
2004, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kewenangan lembaga negara tidak
cukup hanya dilihat secara tekstual tetapi juga adanya kewenangan yang implisit yang
terdapat dalam suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan (necessary
and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang pengaturannya dapat saja
dimuat dalam undang-undang. Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 29 sampai dengan 33 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 bukanlah merupakan kewenangan kepala daerah baik secara tekstual, implisit,
maupun kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan
kewenangan pokok yang diberikan oleh UUD. Oleh karenanya, ketentuan dalam Pasal
29 sampai dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak dapat dijadikan
sebagai dasar objectum litis oleh kepala daerah dalam sengketa kewenangan lembaga
577 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 mengatur keterlibatan DPRD dalam pemberhentian kepala daerah dengan cara
memberikan kewenangan-kewenangan tertentu. Apabila terjadi pemberhentian kepala
daerah yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut, seharusnya yang berkepentingan
dalam persoalan pemberhentian demikian adalah DPRD, bukan Pemohon. Dengan
demikian, kewenangan tersebut tidak termasuk dalam pengertian kewenangan kepala
daerah yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga apabila timbul sengketa dari pelaksanaan
ketentuan Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka
hal tersebut bukanlah kewenangan dari Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan
memutusnya. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa sengketa antara
Pemohon dengan Menteri Dalam Negeri bukanlah sengketa kewenangan sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 sehingga permohonan Pemohon tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, permohonan Pemohon
tidak beralasan.
Menyangkut sengketa antara Pemohon dan DPRD Bekasi, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa Bupati adalah organ pemerintahan yang juga lembaga negara
dalam proses pembuatan Peraturan Daerah. Kewenangan Bupati tersebut diberikan oleh
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam undang-undang tersebut tidak terdapat
kewenangan Bupati yang diberikan oleh UUD. Dengan demikian, sengketa yang terjadi
antara Pemohon dengan DPRD Kabupaten Bekasi bukanlah sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 24C UUD 1945 sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan.
Menyangkut sengketa antara Pemohon dengan Presiden Republik Indonesia,
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Presiden Republik Indonesia yang tidak
mengoreksi perbuatan Menteri Dalam Negeri bukanlah termasuk pengertian sengketa
kewenangan lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945. Oleh
karenanya, permohonan Pemohon tidak beralasan.
Berlandaskan alasan-alasan yang telah diuraikan di muka, ternyata objectum
litis permohonan a quo bukan merupakan sengketa kewenangan lembaga negara
sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 61 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, Mahkamah
Konstitusi menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
Alasan Berbeda (Concurring Opinion):
Dalam putusan ini, seorang Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda.
Hakim concurrer (hakim yang mengemukakan alasan berbeda) berpendapat bahwa
permohonan para Pemohon dapat dipertimbangkan sebagai perkara sengketa
578 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD karena Bupati/
Wakil Bupati Bekasi, Presiden, Menteri Dalam Negeri, DPRD Bekasi diatur dalam UUD
1945. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berwenaang untuk memeriksa dan memutus
perkara ini.
Menyangkut legal standing, hakim concurrer berpendapat bahwa para Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara ini karena pemberhentian
para Pemohon sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bekasi berkaitan langsung terhadap
kewenangan lembaga negara yang dipersengketakan.
Menyangkut pokok perkara, hakim concurrer berpendapat bahwa tindakan Menteri
Dalam Negeri mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri yang mencabut
pengesahan pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati Bekasi Provinsi
Jawa Barat adalah tindakan Menteri Dalam Negeri selaku organ administratif dan bukan
mewakili lembaga negara. Oleh karena itu, hakim concurrer berpendapat permohonan
Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion):
Dalam putusan ini, dua orang Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda.
Hakim dissenter (hakim yang mengemukakan pendapat berbeda). Dalam konteks
ini, hakim dissenter berpendapat bahwa kewenangan konstitusional para Pemohon
telah diambil, diganggu, bahkan dicabut oleh Termohon. Semestinya Termohon tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dipersengketan itu.
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi seyognyanya mengabulkan permohonan para
Pemohon.
579 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 005/PUU-IV/2006
TENTANG
PENGAWASAN KOMISI YUDISIAL TERHADAP
HAKIM AGUNG DAN HAKIM KONSTITUSI
Pemohon : 1. Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, S.H.; 2. Drs. H. Andi Syamsu
Alam, S.H., M.H.; 3. Drs. H. Ahmad Kamil, S.H., M.Hum., dkk.
(Semua Pemohon adalah Hakim Agung pada Mahkamah Agung
RI).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan
ayat (5), Pasal 23 ayat (2), ayat (3) serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1),
Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) UU Komisi Yudisial, serta Pasal 34
ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman, sepanjang yang menyangkut
Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, bertentangan
dengan Pasal 24B dan Pasal 25 UUD 1945 menyangkut Hakim
Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk
sebagian.
Tanggal Putusan : Rabu, 23 Agustus 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai Hakim Agung pada
Mahkamah Agung yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini karena
Pemohon menganggap hak dan kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan
pengawasan hakim yang diatur dalam Bab III Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf e
dan ayat (5) serta yang berkaitan dengan usul penjatuhan sanksi yang diatur dalam
580 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25
ayat (3) dan ayat (4) dihubungkan dengan Bab I Pasal 1 butir 5 Undang-Undang tersebut.
Dengan berlakunya pasal-pasal tersebut menimbulkan kerugian terhadap para Pemohon
sebagai Hakim Agung termasuk juga Hakim MK menjadi atau sebagai objek pengawasan
serta dapat diusulkan sebagai objek penjatuhan sanksi oleh KY.
Dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 disebutkan Komisi Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku Hakim. Menurut para Pemohon, bahwa apabila kalimat tersebut dibaca dalam
satu nafas dan konteksnya satu sama lain maka bermakna bahwa Komisi Yudisial
mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah dalam rangka melaksanakan
kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung.
Pasal 25 UUD 1945 mengatur bahwa syarat-syarat untuk menjadi dan untuk
diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Dalam hal ini jelas
bahwa kewenangan KY tidak menjangkau Hakim MA dan Hakim MK, karena untuk
menjadi Hakim Agung dan Hakim MK tidak seluruhnya berasal dari Hakim Tingkat I dan
Hakim Banding.
Menurut Pemohon, KY tidak berwenang untuk mengadakan pengawasan terhadap
Hakim Ad Hoc. Dari sini jelas terlihat bahwa yang dimaksud dengan kata hakim di
dalam Pasal 24B UUD 1945 bukan terhadap seluruh hakim. Berdasarkan hal tersebut,
maka yang dimaksudkan oleh Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tentang kewenangan lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim adalah hakim yang akan menjadi Hakim Agung pada MA.
Pengawasan oleh KY dengan cara memanggil Hakim Agung karena memutus
suatu perkara merupakan sebab-akibat (causal verband), hilangnya atau terganggunya
kebebasan hakim yang dijamin oleh UUD 1945.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang melakukan
pengujian terhadap UU KY dan UU KK terhadap UUD 1945.
Meskipun MK berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan
a quo, akan tetapi untuk menghilangkan adanya keragu-raguan akan objektivitas,
netralitas, dan imparsialitas Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya
yang diberikan oleh UUD 1945, perlu lebih dahulu mempertimbangkan permohonan
kuasa hukum KY, selaku Pihak Terkait Langsung, yang secara khusus disampaikan pada
persidangan tanggal 11 April 2006 agar MK membuat pernyataan (deklarasi). Deklarasi
dimaksud, oleh Pihak Terkait KY, agar MK mengesampingkan atau menganggap dan
menyatakan tidak akan melakukan pengujian terhadap ketentuan-ketentuan dalam UU
KY yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo sepanjang menyangkut Hakim
Konstitusi, baik secara eksplisit maupun implisit. Atas permohonan pernyataan deklarasi
581 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tersebut MK menyatakan bahwa, meskipun permohonan deklarasi oleh KY tersebut
dimaksudkan untuk mencegah MK menjadi hakim dalam perkaranya sendiri dan agar MK
terhindar dari sikap memihak karena dipandang memiliki kepentingan yang menjadikan
dirinya tidak imparsial, yang memang merupakan prinsip-prinsip hukum acara dalam
peradilan yang baik, tetapi MK berpendapat bahwa hal tersebut tidak boleh menegasikan
ketentuan hukum yang lebih tinggi, yaitu konstitusi (UUD 1945) yang telah memberikan
kewenangan konstitusional kepada Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara-perkara konstitusi secara independen, termasuk salah satunya adalah
untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Karena itu, sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), Mahkamah
menyatakan tidak terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan deklarasi
sebagaimana dimohonkan Pihak Terkait Langsung (KY).
Pihak Terkait KY dalam persidangan berpendapat para Pemohon tidak memiliki legal
standing untuk mengajukan permohonan a quo, karena tidak jelas hak konstitusionalnya
yang dirugikan oleh UU KY dan UU KK, yaitu bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 adalah
mengenai kemerdekaan pelaku kekuasaan kehakiman, yakni MA dan badan-badan
peradilan di bawah MA serta Mahkamah Konstitusi, bukan para hakimnya sebagai
pejabat kekuasaan kehakiman yang tidak dapat mewakili kepentingan pelaku kekuasaan
kehakiman. Selain itu, KY juga berpendapat bahwa para Pemohon keliru menyimpulkan
bahwa hak konstitusionalnya dirugikan hanya karena menjadi objek pengawasan, yang
berarti mengabsolutkan independensi hakim agung.
Terhadap persoalan legal standing tersebut Mahkamah berpendapat bahwa para
Pemohon memenuhi kualikasi Pemohon perorangan Warga Negara Indonesia, termasuk
kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama. Serta, sebagai hakim, memiliki hak
konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yakni hak kebebasannya sebagai hakim
dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang ditanganinya, seperti diatur
dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan, sedangkan ayat (2)-nya berbunyi, Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Hal
tersebut kemudian dijabarkan dalam ketentuan Pasal 31 dan Pasal 33 UU KK. Pasal 31
UU KK berbunyi, Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
diatur dalam undang-undang, sedangkan Pasal 33 UU KK berbunyi, Dalam menjalankan
tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
Menurut Mahkamah, ada hubungan kausal (causal verband) antara kerugian hak
konstitusional para Pemohon dengan ketentuan mengenai pengaturan pengawasan
yang tercantum dalam UU KY dan UU KK beserta cara-cara pelaksanaannya oleh KY.
582 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dengan uraian pertimbangan di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat para
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing, legitima persona standi in judicio)
untuk mengajukan permohonan a quo, dengan seorang Hakim Konstitusi berpendapat
lain bahwa, sepanjang menyangkut ketentuan yang berkaitan dengan Hakim Konstitusi,
para Pemohon tidak mempunyai legal standing karena tidak ada kerugian hak atau
kewenangan konstitusional yang bersifat spesik yang dialami oleh para Pemohon,
selaku Hakim Agung, sebagai akibat dari berlakunya ketentuan yang mengatur tentang
Mahkamah Konstitusi dan Hakim Konstitusi dalam UU KY.
Oleh karena Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan a quo dan para Pemohon memiliki legal standing maka lebih lanjut
Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon;
Setelah mendengarkan keterangan dan kesimpulan para Pemohon, keterangan
Pemerintah, keterangan DPR, keterangan KY sebagai Pihak Terkait Langsung, dan
keterangan Pihak Terkait Tidak Langsung, serta memeriksa alat bukti tertulis yang
diajukan para Pemohon dan mendengarkan keterangan para ahli, baik yang diajukan para
Pemohon maupun KY, serta keterangan saksi-saksi, Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa dalam mempertimbangkan permohonan para Pemohon a quo, terdapat beberapa
hal substansial yang harus dipertimbangkan yang menyangkut pengertian pengertian
sebagai berikut:
Pengertian Hakim, apakah termasuk Hakim Konstitusi dan Hakim Agung; 1.
Hubungan Antar Lembaga Negara dan Konsep Pengawasan; dan 2.
Perilaku Hakim. 3.
Berdasarkan pertimbangan, Mahkamah sampai pada kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut perluasan pengertian
hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi terbukti
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon harus dikabulkan.
Dengan demikian, untuk selanjutnya, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian
hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial.
Kedua, permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut pengertian hakim menurut
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim agung, terbukti tidak cukup beralasan.
Persoalan yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hakim menurut Pasal 24B ayat
(1) UUD 1945 meliputi pengertian hakim agung atau tidak, tidaklah dapat ditemukan
dasar-dasar konstitusional yang meyakinkan. Oleh karena itu, permohonan para
Pemohon sepanjang menyangkut hakim agung tidak terdapat cukup alasan untuk
mengabulkannya.
Ketiga, hal yang justru lebih substansial atau mendasar untuk diputus adalah permoho-
nan para Pemohon yang berkaitan dengan pengaturan mengenai prosedur pengawasan.
Mengenai hal ini Mahkamah berpendapat bahwa:
(i) Perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UU KY mengenai wewenang lain
583 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan rumusan
kalimat yang berbeda sehingga menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam
UU KY yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid);
(ii) UU KY terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak jelas dan
tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen
apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Hal
tidak jelas dan tidak rincinya pengaturan mengenai pengawasan dalam UU KY serta
perbedaan dalam rumusan kalimat seperti dimaksud pada butir (i) menyebabkan
semua ketentuan UU KY tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan
menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam pelaksanaannya;
(iii) Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UU KY didasarkan atas paradigma
konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan antara MA dan KY
berada dalam pola hubungan checks and balances antarcabang kekuasaan
dalam konteks ajaran pemisahan kekuasaan (separation of powers), sehingga
menimbulkan penafsiran yang juga tidak tepat, terutama dalam pelaksanaannya.
Jika hal ini dibiarkan tanpa penyelesaian, ketegangan dan kekisruhan dalam pola
hubungan antara KY dan MA akan terus berlangsung dan kebingungan dalam
masyarakat pencari keadilan akan terus meningkat, yang pada gilirannya juga dapat
mendelegitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat menjadikannya semakin
tidak dipercaya.
Oleh karena itu, segala ketentuan UU KY yang menyangkut pengawasan harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
Untuk mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama berkaitan dengan
tugas KY, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan perilaku
hakim, UU KY segera harus disempurnakan melalui proses perubahan undang-undang
sebagaimana mestinya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka Mahkamah menyatakan permohonan
para Pemohon dikabulkan untuk sebagian, yakni Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai
kata-kata hakim Mahkamah Konstitusi, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf
e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 24
ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata dan/atau Mahkamah Konstitusi, Pasal 25 ayat
(3) sepanjang mengenai kata-kata dan/atau Mahkamah Konstitusi, Pasal 25 ayat (4)
sepanjang mengenai kata-kata dan/atau Mahkamah Konstitusi UU KY dan Pasal 34 ayat
(3) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan kepada Panitera
untuk memuat amar Putusan Nomor 005/PUU-VI/2006 dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
584 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
585 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 006/PUU-IV/2006
TENTANG
KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI
Pemohon : 1. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM (Pemohon
I); 2. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan/Kontras
(Pemohon II); 3. Solidaritas Nusa Bangsa/SNB (Pemohon III); 4.
Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan/Imparsial
(Pemohon IV); 5. Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65/LPKP 65
(Pemohon V); 6. Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim
Orba/LPR-KROB (Pemohon VI); 7. Raharja Waluya Jati (Pemohon
VII); 8. H. Tjasman Setyo Prawiro (Pemohon VIII).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 1 angka 9, Pasal 27, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), serta
Pasal 28I ayat (2) dan (5) menyangkut prinsip kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Amar Putusan : Mengabulkan Permohonan para Pemohon.
Tanggal Putusan : Kamis, 7 Desember 2006.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon yakni Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB),
Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Keadilan (Imparsial), Lembaga Perjuangan
Rehabilitasi Korban Rezim Orba (LPR-KROB), Raharja Waluya Jati, dan H. Tjasman
Setyo Prawiro mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo.
586 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(UU MK), Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan para Pemohon tersebut.
Berkenaan dengan kedudukan hukum (legal standing), para Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya UU KKR. para Pemohon yaitu Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Solidaritas
Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Keadilan (Imparsial),
Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orba (LPR-KROB) mendalilkan dirinya
sebagai badan hukum privat sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf c UU
MK. Namun berdasarkan alat bukti yang diajukan tidak ditemukan adanya pengesahan
oleh Departemen Hukum dan HAM bahwa para Pemohon adalah badan hukum. Di lain
pihak, para Pemohon tersebut mendasarkan diri sebagai organisational standing (hanya
sebagai perkumpulan). Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi berpendapat para
Pemohon tersebut hanya dapat dikualikasikan sebagai perorangan warga negara atau
kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama. Dengan demikian kualikasinya
sama dengan Pemohon bernama Raharja Waluya Jati dan H. Tjasman Setyo Prawiro,
yakni sebagai perorangan warga negara Indonesia.
Dalam permohonannya, para Pemohon mengajukan pengujian Pasal 27, Pasal 44,
dan Pasal 1 angka 9 UU KKR karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), serta Pasal 28I ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 berdasarkan alasan-alasan
berikut.
1. Ketentuan Pasal 27 UU KKR membuat hak korban atas kompensasi dan rehabilitasi
bergantung pada dikabulkannya amnesti, bukan pada substansi perkara.
2. Amnesti dalam Pasal 27 UU KKR mensyaratkan adanya pelaku. Konsekuensinya
tanpa adanya pelaku yang ditemukan maka amnesti tidak akan mungkin diberikan,
sehingga korban tidak mendapat jaminan atas pemulihan.
3. Ketentuan ini telah mendudukkan korban dalam keadaan yang tidak seimbang dan
tertekan sebab korban diberikan persyaratan berat untuk mendapatkan haknya,
yakni bergantung pada pemberian amnesti.
4. Implikasi dari perumusan Pasal 27 UU KKR telah membuat kedudukan yang tidak
seimbang antara korban dan pelaku dan telah mendisriminasikan hak atas pemulihan
yang melekat pada korban, dan tidak bergantung pada pelaku dan tidak menghargai
korban yang telah menderita akibat pelanggaran HAM yang berat yang dialaminya.
5. Pasal 44 UU KKR memposisikan KKR sebagai lembaga yang sama dengan lem-
baga pengadilan telah menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian
melalui proses yudisial.
6. Pengaturan Pasal 44 UU KKR yang tidak memperkenankan lagi pemeriksaan di
Pengadilan HAM Ad Hoc, apabila pemeriksaan tersebut telah diselesaikan melalui
KKR telah menghilangkan hak negara dalam menuntut pelaku pelanggaran HAM
587 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
yang berat sebagaimana yang diatur dalam hukum internasional baik yang diatur
dalam praktik maupun dalam perjanjian-perjanjian internasional.
7. Amnesti bagi pelanggaran HAM berat bertentangan dengan hukum internasional,
namun dalam rumusan Pasal 1 Angka 9 UU KKR justru menjelaskan bahwa
amnesti diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM berat sehingga pasal tersebut
bertentangan dengan prinsip hukum yang diakui oleh masyarakat internasional.
Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik untuk memeriksa
dan memutus Permohonan Uji Materil UU KKR terhadap UUD 1945, sebagai berikut:
menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian UU para Pemohon; 1.
menyatakan materi muatan Pasal 27 UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi 2.
Kebenaran dan Rekonsiliasi, bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27
ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
menyatakan materi muatan Pasal 44 UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi 3.
Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28D
ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945;
menyatakan materi muatan Pasal 1 ayat (9) UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi 4.
Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28D
ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945;
menyatakan materi muatan Pasal 27, Pasal 44 dan Pasal 1 ayat (9) UU No. 27 5.
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menilai Pasal 1 Angka 9 UU
KKR hanya merupakan pengertian atau denisi yang termuat dalam ketentuan umum
dan bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan terkait dengan pasal-pasal
yang lain. Menyangkut Pasal 44 UU KKR, Mahkamah Konstitusi menilai ketertutupan
proses hukum melalui Pengadilan HAM Ad Hoc apabila memperoleh penyelesaian di
KKR merupakan akibat logis dari mekanisme alternative dispute resolution, sehingga
Mahkamah berpendapat tidak terdapat dasar dan alasan konstitusional yang cukup untuk
mengabulkannya.
Menyangkut Pasal 27 UU KKR, Mahkamah Konstitusi menilai ketentuan tersebut
mengandung kontradiksi yakni menyangkut tekanan yang melihat pada pelaku secara
perorangan dalam invidual criminal responsibility (pertanggungjawaban pidana
seseorang). Padahal peristiwa pelanggaran HAM sebelum berlakunya UU Pengadilan
HAM, baik pelaku maupun korban serta saksi-saksi lainnya sungguh-sungguh sudah tidak
mudah ditemukan lagi. Rekonsiliasi antara pelaku dan korban yang dimaksud dalam UU
KKR menjadi hampir mustahil diwujudkan, jika dilakukan dengan pendekatan individual
criminal responsibility. Penentuan adanya amnesti sebagai syarat, merupakan hal yang
mengesampingkan perlindungan hukum dan keadilan yang dijamin oleh UUD 1945.
Dikabulkannya permohonan mengenai Pasal 27 UU KKR membuat UU KKR
588 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
secara keseluruhan tidak bisa dilaksanakan karena seluruh operasionalisasi UU KKR
bergantung dan bermuara pada Pasal 27 UU KKR. Dengan demikian, Mahkamah
Konstitusi memutuskan untuk mengabulkan permohonan para Pemohon sehingga UU
KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan pemuatan Putusan Nomor 006/PUU-VI/2006 ini
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pendapat berbeda:
Terhadap putusan Mahkamah tersebut, terdapat seorang hakim yang memiliki
pendapat berbeda. Meskipun Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945,
permohonan seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima karena pengabulan permohonan
untuk Pasal 27 UU KKR akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi para
Pemohon karena berakibat meniadakan kemungkinan para Pemohon untuk memperoleh
kompensasi dan rehabilitasi.
589 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 007/PUU-IV/2006
TENTANG
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM UU MA DAN UU KY
Pemohon : F.X. Cahyo Baroto.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 13 ayat (1) dan
(2), Pasal 32 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung dan Pasal 21, Pasal 22 ayat (1e), Pasal
23 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6) UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1), Pasal 28D
ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyangkut hak atas
perlindungan hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Selasa, 20 Juni 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mengajukan pengujian materiil karena menganggap dirugikan oleh
keberadaan Pasal 11 ayat (1) huruf e, Pasal 12 ayat (1) huruf b, ayat (2), Pasal 13 ayat
(1) Pasal 32 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU
MA) dan Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan Pasal 23 ayat (2), (3), (4), (5) dan
(6) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY). Pemohon
merasa mendapat perlakuan tidak adil dari oknum hakim, dan menilai adanya oknum
590 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
hakim tersebut dilindungi oleh Mahkamah Agung.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 11 ayat (1)
huruf e, Pasal 12 ayat (1) huruf b, ayat (2), Pasal 13 ayat (1), khusus kalimat atas
usul Ketua Mahkamah Agung, Pasal 32 ayat (1), (2), (3), (4), (5) UU MA menyangkut
pengawasan Mahkamah Agung terhadap perilaku hakim; serta Pasal 21, Pasal 22 ayat
(1) huruf e dan Pasal 23 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6) UU KY bertentangan dengan Pasal
27 ayat (1), juncto Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28H ayat (4) UUD 1945;
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Permohonan Pemohon didasarkan pada peristiwa hukum yang dialami Pemohon.
Pemohon memiliki hak milik tanah di Jl. Jenderal Gatot Soebroto Jakarta Selatan Kav. 96
dan 97 dibuktikan dengan dikuatkannya Putusan PK No.79/PK/Pdt/1993 tanggal 19 Mei
1997 jo Putusan Kasasi No.3619 K/Pdt/1988 tanggal 24 Juni 1992 jo. Putusan No.160/
Pdt/1988/PT.DKI tanggal 23 Mei 1988 jo No 2002/Pdt.G/1985/PN.JKT.SEL tanggal 19
Nopember 1987 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam pelaksanaannya Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan
Penetapan Eksekusi No.202/Pdt.G/1985/PN.JKT.SEL dan terhadap tanah tersebut
telah diserahkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada Pemohon (selaku ahli
waris Drs. R.J Kaptin Adisumarta), sesuai Berita Acara Penyerahan No.202/Pdt.G/1985/
PN.JKT.SEL tanggal 13 April 1999.
Dua tahun kemudian Ketua PN Jakarta Selatan mengeluarkan Penetapan Eksekusi
No. 188/Pdt.G/1990/PN.JKT.SEL tanggal 10 Oktober 2000 terhadap objek yang sama
berdasarkan Putusan PK Nomor 618 PK/Pdt/1993 tanggal 28 Mei 1997. Penetapan
tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan alasan batas-batas tanah tidak jelas. Namun
oleh Pengadilan yang sama, dengan Ketua PN yang sama, mengeluarkan Penetapan
Revisi No. 188/Pdt.G/1990/PN.JKT.SEL tanggal 20 Agustus 2001 terhadap Penetapan
tanggal 10 Oktober 2000 dilaksanakan berdasarkan Berita Acara No. 188/Pdt.G/1990/
PN. JKT.SEL tanggal 17 September 2001, sehingga terhadap objek yang sama terdapat
dua putusan Mahkamah Agung yang keduanya masing-masing mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Kedua putusan MA ini adalah putusan yang saling bertentangan. Pemohon mohon
pembatalan terhadap putusan tersebut kepada Mahkamah Agung sesuai surat No.
SUM.1/027/LAPD/III/03 tanggal 31 Maret 2003, tetapi laporan Pemohon tidak direspon.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) menyatakan salah satu
kewenangan MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat nal dan mengikat untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Berdasar
ketentuan tersebut maka Mahkamah berwenang mengadili undang-undang yang
dimohonkan Pemohon.
Selain itu putusan Mahkamah Nomor 066/PUUII/2004 memutuskan bahwa
591 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ketentuan Pasal 50 UU MK yang mengatur undang-undang yang dapat dimohonkan
untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, telah
dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat. Oleh karena itu MK memiliki kewenangan
untuk menguji UU MA dan UU KY.
Menyangkut kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Pasal 51 ayat (1)
huruf a UU MK menyebutkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Dengan
memperhatikan dalil Pemohon yang intinya menerangkan bahwa Pemohon merasa
dirugikan dengan adanya perlakuan Ketua PN Jakarta Selatan yang tidak adil dan
sewenang-wenang yaitu melakukan eksekusi dua kali terhadap objek sengketa yang
sama. Atas dasar hal-hal tersebut, Mahkamah menilai bahwa Mahkamah berwenang
menguji UU MA dan UU KY. Mahkamah juga menilai Pemohon mempunyai legal standing
untuk mengajukan permohonannya.
Menurut penilaian Mahkamah, kalaupun benar Pemohon telah menderita kerugian
dalam proses peradilan di Pengadilan yang berada dalam ruang lingkup pengawasan
MA, kerugian dimaksud sama sekali tidak ada hubungannya dengan ketentuan-ketentuan
dari kedua undang-undang yang oleh Pemohon didalilkan bertentangan dengan Pasal 27
ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Hak-hak konstitusional Pemohon sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang dijadikan
dasar pengajuan permohonan, sama sekali tidak dirugikan oleh berlakunya ketentuan-
ketentuan dalam UU MA dan UU KY sebagaimana diuraikan di atas, karena tidak
terdapat hubungan kausal (causal verband) antara hak-hak konstitusional dimaksud dan
ketentuan undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Kalaupun benar Pemohon menderita kerugian, penyebab kerugian dimaksud
bukanlah ketentuan-ketentuan dalam kedua undang-undang, UU MA dan UU KY,
melainkan merupakan praktik peradilan di mana terhadap hal demikian Mahkamah tidak
dapat menilainya.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon tidak
dapat diterima.
592 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
593 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 008/PUU-IV/2006
TENTANG
RECALLING ANGGOTA DPR
Pemohon : Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (UU Susduk) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik (UU Parpol) terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
Pokok Perkara : Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk mengenai pemberhentian
Anggota DPR atas usulan partai politik yang bersangkutan; dan Pasal
12 huruf b UU Parpol mengenai salah satu alasan pemberhentian
Anggota DPR karena diberhentikan dari keanggotaan partai
politik bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2), Pasal
28C ayat (2,) Pasal 28D ayat (1) dan (2), serta pasl 28I ayat (2)
UUD 1945 mengenai pelaksanaan pemilihan umum secara jurdil
dan luber untuk memilih Anggota DPR; hak untuk memajukan diri
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negara; hak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil; hak untuk bekerja;
dan hak bebas dari perlakuan yang diskriminatif.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Kamis, 28 September 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang pada waktu permohonan
diajukan masih menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dari Fraksi Partai
Amanat Nasional yang dipilih melalui proses pemilihan umum tahun 2004, dan selama
594 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
proses persidangan Mahkamah untuk melakukan pemeriksaan permohonan berlangsung,
Pemohon telah diberhentikan sebagai Anggota DPR berdasarkan Pasal 85 ayat (1) huruf
c UU Susduk.
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya dirugikan karena telah diberhentikan
sebagai Anggota DPR berdasarkan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12
huruf b UU Parpol. Jabatan sebagai Anggota DPR diberikan oleh konstituen dalam kurun
waktu 5 (lima) tahun membawa pada sebuah konsekuensi kepastian hukum bahwa
masa jabatan seorang Anggota DPR adalah lima tahun. Hal itu juga berarti membawa
konsekuensi bahwa Anggota DPR baru dapat diberhentikan setelah masa jabatannya
selesai 5 tahun, kecuali terpilih lagi dalam pemilihan umum berikutnya.
Menurut Pemohon, kriteria pemberhentian yang diatur Pasal 85 ayat (1) butir c:
diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan yang lazim disebut sebagai recall
merupakan kriteria yang tidak terukur karena sifatnya yang subjektif dan berpotensi
terjadinya kesewenang-wenangan oleh oligarchi partai. Oleh karena itu ketentuan
tersebut bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, keadilan, fairness maupun
akuntabel. Ketentuan tersebut membatasi hak-hak Anggota DPR dalam memberikan
pertanggungjawaban moral dan politik kepada konstituen dan mengebiri hak politiknya
dalam menjalankan tugas yang diemban dari konstituennya, serta melawan asas
kepastian hukum karenanya ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1)
dan (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Berdasarkan hal-hal yang telah uraikan di atas, Pemohon mengajukan permohonan
kepada Mahkamah Konstitusi, untuk memeriksa dan memutuskan menyatakan isi Pasal
85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan
Pasal 22E ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (2,) Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945
serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pemohon dinyatakan memenuhi kualikasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK sebagai perorangan warga negara Indonesia yang
menjadi Anggota DPR yang mempunyai kepentingan terkait dengan permohonan
pengujian undang-undang yang dimohonkan. Pada waktu permohonan diajukan,
Pemohon masih menjadi Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional yang dipilih
melalui proses pemilihan umum tahun 2004, dan selama proses persidangan Mahkamah
untuk melakukan pemeriksaan permohonan berlangsung, Pemohon telah diberhentikan
sebagai Anggota DPR berdasarkan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk.
Mahkamah berpendapat bahwa demokrasi akan dapat berlangsung dengan baik
jika kebebasan dan persamaan antara warga negara terjamin. Yang paling mendasar di
antara sejumlah kebebasan yang perlu dijamin itu adalah kebebasan mengemukakan
pendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat. Kedua kebebasan itu saling
tergantung dan tidak dapat dipisahkan. Kebebasan menyatakan pendapat akan lumpuh
jika tidak ada jaminan bagi setiap orang untuk berkumpul dan berserikat. Sebaliknya
595 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kebebasan berkumpul dan berserikat tidak akan bermakna jika kebebasan menyatakan
pendapat tidak dijamin.
Partai politik merupakan salah satu bentuk organisasi sebagai wahana pelaksanaan
kebebasan mengeluarkan pendapat serta hak berkumpul dan berserikat. Dalam negara
demokrasi partai politik berperan (berfungsi), antara lain, sebagai sarana penghubung
timbal balik antara pemerintah dan rakyat, sebagai pelaku utama dalam memadukan
(mengagregasikan) berbagai kepentingan, sebagai garda terdepan dalam melakukan
perubahan mendasar dalam negara, sebagai tempat merekrut calon-calon pemimpin
politik, sebagai sarana pendidikan politik, dan lembaga yang memobilisasi pemilih agar
ikut dalam pemilihan umum dan menentukan pilihannya. Oleh karena perannya yang
sangat besar dalam sistim politik maka keberadaan partai politik sebagai infrastruktur
politik merupakan keniscayaan dalam negara yang demokratis, sehingga harus terus
diberdayakan (empowering) agar mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan
baik.
Keinginan untuk memberdayakan partai politik telah tercermin dalam Perubahan
UUD 1945 dengan dicantumkannya berbagai ketentuan yang berkaitan dengan partai
politik, antara lain, dalam Pasal 6A ayat (2), Pasal 8 ayat (3), dan Pasal 22E ayat (3).
Salah satu upaya memberdayakan partai politik adalah dengan memberikan hak atau
kewenangan kepada partai politik untuk menjatuhkan tindakan dalam menegakkan disiplin
terhadap para anggotanya, agar anggota bersikap dan bertindak tidak menyimpang,
apalagi bertentangan dengan AD/ART, serta kebijaksanaan, dan program kerja yang
digariskan oleh partai politik yang bersangkutan. Hal ini adalah konsekuensi logis dari
seseorang yang menjadi anggota suatu organisasi, dalam hal ini organisasi partai politik.
Penegakan disiplin partai sangat menentukan dalam mewujudkan program kerja partai
yang telah ditawarkan oleh partai politik tersebut dalam kampanye pemilihan umum.
Selain itu, disiplin partai juga sangat diperlukan dalam membangun dan memantapkan
tradisi partai.
Jika partai politik tidak diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi (tindakan)
terhadap anggotanya yang menyimpang dari AD/ART dan kebijaksanaan partai maka
anggota partai bebas untuk berbuat semena-mena. Mahkamah berpendapat, adalah
tidak tepat mempertentangkan antara kebijaksanaan dan program kerja partai politik
dengan kepentingan rakyat, sebab kebijaksanaan dan program kerja partai politik itu
sejatinya adalah pemaduan (agregasi) yang dilakukan oleh partai politik dari berbagai
kepentingan rakyat yang beragam. Sebagai infrastruktur politik, partai politik berfungsi
memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah diagregasikan itu. Jika anggota terpilih
menyimpang dari kebijaksanaan partai politik, adalah wajar dan proporsional jika partai
politik itu memberhentikannya dari keanggotaan partai yang diikuti dengan pengusulan
PAW, sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c dan Penjelasannya UU Susduk
juncto Pasal 12 huruf b UU Parpol.
Partai politik harus dilindungi dari perilaku pragmatis kader partai yang hanya
596 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
menggunakan partai politik sekadar sebagai kendaraan (vehicle) atau batu loncatan
untuk menjadi anggota badan legislatif, yang dikemas dalam retorika memperjuangkan
aspirasi rakyat, bukan lagi aspirasi partai politik yang mencalonkannya. Sebaliknya,
anggota yang telah terpilih sebagai anggota badan legislatif harus dilindungi pula dari
kesewenang-wenangan (pengurus) partai politik yang dapat menjatuhkan sanksi kepada
anggotanya hanya atas dasar suka atau tidak suka (like or dislike) yang dikemas dalam
retorika berbuat menyimpang dari peraturan dan kebijaksanaan, yang telah digariskan
partai. Untuk melindungi anggota partai dari kesewenang-wenangan, sudah seharusnya
setiap partai politik menyediakan forum dan merumuskan mekanisme internalnya
masing-masing dalam AD/ART-nya untuk menampung kedua kebutuhan di atas secara
seimbang, adil, dan tidak sewenang-wenang.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 85 ayat (1) huruf c UU
Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), Pasal
22E ayat (2), Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut tidaklah beralasan. Pasal 22E
ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 berisikan norma tentang asas, periodisasi, serta tujuan
pemilihan umum, yaitu untuk memilih Anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, dan Wakil
Presiden. Apabila akan dikaitkan dengan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal
12 huruf b UU Parpol yang menjadi titik singgung di antaranya adalah adanya ketentuan
bahwa pemilihan umum diselenggarakan setiap lima tahun sekali atau menyangkut
periodisasi pelaksanaan pemilihan umum. Dengan dinyatakan pemilihan umum
dilaksanakan lima tahun sekali tidak berarti bahwa dalam masa lima tahun tersebut
tidak dimungkinkan adanya penggantian sama sekali baik terhadap Anggota DPR, DPD,
DPRD, maupun Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih dalam pemilihan umum. Adanya
praktik di negara lain yang berbeda dengan UUD 1945 di mana tidak dikenal recall, atau
diberhentikannya seorang dari keanggotaan lembaga perwakilan atau parlemen sebelum
masa jabatannya berakhir, tidak merupakan dasar yang kuat bahwa hal tersebut harus
dianut dalam sistim ketatanegaraan di Indonesia. Praktik tersebut harus diterima sebagai
adanya keragaman sistim yang dapat dipilih, dan menunjukkan adanya perbedaan pola
(pattern) saja dan bukan menjadi sebuah keharusan konstitusional.
Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal
12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, Mahkamah
berpendapat bahwa tidak ada titik singgung atau keterkaitan antara Pasal 28C ayat (2)
UUD 1945 dengan kedua pasal yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon. Dengan
adanya Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk, dan Pasal 12 huruf b UU Parpol tidak
menghilangkan hak setiap orang sebagaimana dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) UUD
1945 tersebut di atas. Hak untuk memperjuangkan secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negara tidaklah dimaknai sebagai hak bagi setiap orang untuk
menjadi Anggota DPR atau terus-menerus menjadi Anggota DPR. Apabila Pasal 28C
ayat (2) UUD 1945 ditafsirkan sebagai hak untuk menjadi Anggota DPR justru akan
mempersempit makna Pasal 28C ayat (2) tersebut, karena hak tersebut menjadi hanya
597 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dimiliki oleh sedikit orang, yaitu hanya sejumlah Anggota DPR saja.
Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal
12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, hal yang
demikian menyebabkan Pemohon harus di-recall dari keanggotaan DPR oleh partai yang
mencalonkan. Mahkamah berpendapat bahwa hak yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 tidaklah dimaksudkan untuk menjamin agar seseorang yang telah menduduki
jabatan apapun tidak dapat diberhentikan hanya dengan alasan untuk menjamin dan
melindungi kepastian hukum. Kepastian hukum yang dimaksudkan adalah kepastian
hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama di depan hukum. Ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk bukan hanya berlaku untuk
Pemohon, melainkan untuk setiap Anggota DPR. Oleh karena itu, ketentuan tersebut
tidak mengandung ketentuan yang bersifat diskriminasi.
Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal
12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, Mahkamah
berpendapat bahwa titik singgung atau kaitan antara Pasal 28D ayat (2) UUD 1945
dengan hak Pemohon adalah bahwa Pemohon diberhentikan dari keanggotaan DPR atas
dasar Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol, sehingga
dapat ditafsirkan sebagai mengganggu hak untuk bekerja menurut Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945. Sesungguhnya, ketentuan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah ketentuan
yang mengatur tentang hak-hak ekonomi. Sedangkan, yang menjadi persoalan utama
dalam perkara ini adalah menyangkut hak-hak sipil dan politik. Namun, kalaupun
dikaitkan dengan hak untuk bekerja sebagaimana didalilkan oleh Pemohon maka
tidaklah harus ditafsirkan bahwa seseorang yang telah bekerja tidak dapat diberhentikan
sama sekali dari pekerjaannya. Jika keanggotaan di DPR dianggap sebagai pekerjaan,
sebagaimana anggapan Pemohon maka pemberhentian dari pekerjaan, dalam hal
ini karena diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang berakibat berhentinya
Pemohon dari keanggotaannya di DPR, tidaklah bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(2) UUD 1945 sepanjang dilakukan berdasarkan alasan dan melalui prosedur yang adil,
rasional, dan sah.
Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal
12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak beralasan
karena dengan adanya Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU
Parpol hak Pemohon yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sama sekali tidak
dihilangkan. Berhentinya Pemohon dari keanggotaan DPR karena diusulkan oleh partai
politik yang diwakilinya akibat diberhentikannya Pemohon dari keanggotaan partai
yang mencalonkannya, bukanlah karena dihilangkannya hak konstitusional Pemohon.
Pemohon sebagai anggota partai politik telah setuju dengan AD/ART partai politik
tersebut. Apabila Pemohon merasa dirugikan hak-haknya, upaya hukum untuk itu tidaklah
dilakukan dengan cara mengajukan permohonan pengujian UU Susduk dan UU Parpol
598 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kepada Mahkamah Konstitusi.
Pemohon mendalilkan pula dalam permohonannya dasar-dasar yang bersifat
anti diskriminasi yang terdapat dalam Article 21 Universal Declaration of Human
Rights. Terhadap dalil Pemohon tersebut, meskipun Mahkamah tidak secara langsung
mendasarkan pendapatnya pada ketentuan-ketentuan dalam Universal Declaration
of Human Rights, namun Mahkamah memandang perlu untuk menjelaskan perihal
kedudukan dan kekuatan mengikatnya secara hukum Universal Declaration of Human
Rights. Hendaknya dipahami bahwa Universal Declaration of Human Rights hanya
merupakan statement of ideals sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum (legal
binding) secara langsung. Walaupun demikian, materi yang termuat dalam Article 21
Universal Declaration of Human Rights telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.
Berdasar pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menyatakan bahwa tidak
terdapat alasan untuk menyatakan ketentuan Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas jaminan kepastian hukum.
Justru adanya ketentuan Pasal 12 huruf b inilah yang memberikan kepastian hukum
bagi berhenti antarwaktunya seseorang dari keanggotaan DPR karena diusulkan oleh
partainya, sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk. Juga tidak
ada alasan hukum untuk menyatakan Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan
Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang sama sekali tidak mengandung muatan hak
konstitusional. Sekaligus, tidak pula ada alasan hukum untuk menguji konstitusionalitas
Pasal 12 huruf b UU Parpol dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, yang mengatur
tentang hak-hak ekonomi (economic rights) sementara yang menjadi masalah (legal
issue) perkara ini berada di wilayah hak-hak sipil dan politik (civil and political rights).
Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat dalil-dalil Pemohon tidak beralasan sehingga
seluruh permohonan Pemohon ditolak.
Pendapat Berbeda:
Terkait dengan sistim pemerintahan, lazimnya hak recall dianut di negara-negara
dengan sistim parlementer, sedangkan pada sistim presidensiil lazimnya tidak dianut hak
recall. Legal policy mengenai hak recall sangat dipengaruhi oleh kemauan politik (political
will) supra struktur politik (pemerintah dan DPR) dan infra struktur politik (partai politik)
sendiri yang tidak selalu sesuai dengan hakikat kedaulatan rakyat dan hakikat bahwa
Anggota DPR sebagai wakil rakyat, bukan perwakilan partai. Recalling oleh partai politik
atas anggotanya yang duduk di lembaga perwakilan dengan alasan pelanggaran AD/ART
(Pasal 12 huruf b UU Parpol) tidak menjamin prinsip due process of law yang merupakan
salah satu prinsip negara hukum, karena bisa bersifat subjektif pimpinan partai politik
yang sulit dikontrol oleh publik. Yang masih bersifat objektif dan dapat diterima ialah
recalling atas dasar alasan Pasal 12 huruf a UU Parpol (mengundurkan diri dari Parpol
atau masuk Parpol lain) dan alasan Pasal 12 huruf c UU Parpol (melanggar peraturan
perundang-undangan).
599 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Sebagai perbandingan, meskipun Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara
langsung oleh rakyat [Pasal 6A ayat (1) UUD 1945] diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik [Pasal 6A ayat (2) UUD 1945], tidak berarti partai politik yang
mengusulkannya boleh atau berhak melakukan recall terhadap mereka setelah terpilih.
Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih dalam pemilihan umum secara langsung
adalah Presiden dan Wakil Presiden seluruh Rakyat Indonesia, bukan Presiden dan Wakil
Presiden dari partai politik yang mengusulkannya sebagai pasangan calon. Demikian
pula, Anggota DPR yang telah terpilih dalam Pemilu yang semula diusulkan oleh partai
politik, setelah terpilih mereka adalah wakil rakyat Indonesia, bukan wakil partai politik.
Dengan perkataan lain, Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh bergeser menjadi Dewan
Perwakilan Partai.
Seorang calon Anggota DPR yang direkrut satu partai politik sebagai peserta Pemilu
untuk menjadi Anggota DPR, setelah dipilih oleh rakyat pemilih dan mengucapkan sumpah
jabatan sebagai Anggota DPR, memiliki hubungan hukum, bukan hanya dengan partai
politik yang merekrut dan mencalonkannya dalam pemilihan umum, tetapi pilihan rakyat
pemilih yang kemudian dikukuhkan dengan pengangkatan dan pengambilan sumpah
sebagai Anggota DPR, telah melahirkan hubungan hukum baru di samping yang telah
ada antara partai politik yang mencalonkan dan calon terpilih tadi. Hubungan hukum yang
baru tersebut, timbul di antara Anggota DPR, dengan rakyat pemilih dan Anggota DPR
dengan (lembaga) negara DPR. Hubungan hukum yang demikian melahirkan hak dan
kewajiban yang dilindungi oleh konstitusi dan hukum, dalam rangka memberi jaminan
bagi yang bersangkutan untuk menjalankan peran yang dipercayakan padanya, baik oleh
partai maupun oleh rakyat pemilih.
Sistim pemilihan dan partai politik yang meletakkan suatu hubungan hukum antara
partai politik dengan anggotanya yang didudukkan dalam DPR tidak dapat lagi secara
mutlak mengesampingkan hubungan hukum antara Anggota DPR dengan rakyat pemilih
dan negara melalui lembaga negara DPR yang tunduk pada hukum publik (konstitusi),
dalam kedudukannya sebagai pejabat negara. Hubungan hukum yang bersifat publik
demikian, memang harus juga memperhitungkan hubungan hukum yang ada antara
partai politik dengan Anggota DPR yang dicalonkan Partai, akan tetapi hubungan hukum
anggota dengan partainya, adalah dalam semangat dan diatur dalam hukum yang bersifat
keperdataan (privaatrechtelijk).
Oleh karenanya, meskipun rekrutmen dan pencalonan seorang anggota menjadi
Anggota DPR memiliki dimensi hukum, moral dan disiplin organisasi yang tidak dapat
dinakan, bidang hukum yang mengatur aspek hubungan tersebut sepanjang menyangkut
anggota yang telah disahkan dan diambil sumpahnya sebagai Anggota DPR, harus dilihat
dalam semangat konstitusi yang menjadi hukum tertinggi. Oleh karenanya dalam melihat
hubungan hukum anggota partai politik yang menjadi Anggota DPR dengan partai politik
yang mencalonkannya, harus secara proporsional dengan menempatkan peran hukum
publik pada tempat yang tepat. Aspek hubungan hukum calon Anggota DPR dengan
600 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
partai politik yang mengusungnya yang bersifat privat (privaatrechtelijk), dengan demikian
telah bergeser titik beratnya menjadi hubungan hukum yang bersifat hukum publik.
Konsekuensi ketundukkan pengaturan hubungan partai politik dengan Anggota DPR
yang diusungnya tetapi telah diangkat dan disumpah, kepada hukum publik (konstitusi)
maka juga akan mengakibatkan bahwa recalling yang dilakukan partai politik terhadap
anggotanya yang duduk di DPR, baik karena alasan-alasan disiplin partai dan alasan
pelanggaran anggaran dasar dan rumah tangga, di samping diatur oleh hukum privat
AD/ART partai juga harus tunduk pada hukum publik. Oleh karenanya apa yang disebut
oleh Pasal 12 huruf b UU Parpol yang dikukuhkan dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c UU
Susduk sesungguhnya telah membiarkan hukum yang bersifat privat (privaatrechtelijk)
mengesampingkan hukum publik dalam masalah konstitusional hubungan antara
wakil rakyat dengan rakyat pemilih dan dengan lembaga negara yang memperoleh
kewenangannya dari UUD 1945.
Harus dicegah terjadinya pergeseran dari sesuatu yang seharusnya turut
diatur dengan hukum publik ke arah pengaturan yang semata-mata bersifat privat
(privaatrechtelijk) dalam Pasal 12 huruf b UU Parpol yang memberi kewenangan kepada
partai politik untuk menarik anggotanya dari keanggotaan di DPR tanpa satu pengujian,
ketentuan mana kemudian diadopsi dalam Pasal 85 ayat (1) c UU Susduk. Recalling
Anggota DPR semata-mata atas dasar pelanggaran AD/ART partai yang bersifat
hukum privat, merupakan pengingkaran atas sifat hubungan hukum Anggota DPR
dengan konstituen dan (lembaga) negara, yang seyogianya tunduk pada hukum publik
(konstitusi). Pergeseran ini merupakan proses verprivaatrechtelijking van het publieke
recht, pada hal justru yang seharusnya terjadi atau yang seharusnya dilakukan adalah
verpubliekerechtelijking van het privaat recht, khususnya dalam pengaturan masalah titik
singgung partai politik dengan lembaga negara, yang diatur oleh hukum konstitusi, dengan
mana dimungkinkan proses pertumbuhan demokrasi dikawal oleh hukum (konstitusi).
Berhentinya seseorang dari keanggotaannya sesuatu partai politik dapat saja
dijadikan salah satu alasan untuk memberhentikannya dari keanggotaan DPR, asalkan
terpenuhi 2 (dua) persyaratan. Pertama, proses pemberhentian yang bersangkutan di
intern partai politik haruslah dilakukan berdasarkan due process of law sesuai peraturan
perundang-undangan. Kedua, DPR sendiri sebagai lembaga negara harus berperan
menjatuhkan keputusan memberhentikannya dari keanggotaan DPR berdasarkan
prinsip due process of law pula sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Artinya, haruslah ada mekanisme hukum yang jelas di DPR sendiri untuk mengambil
keputusan mengenai hal tersebut, sehingga keputusan pemberhentian oleh partai politik
tidak bersifat mutlak dan otomatis. Pemberhentian yang tidak sah dan bersifat sewenang-
wenang oleh partai politik tidak dapat dijadikan dasar bagi tindakan lebih lanjut oleh DPR
untuk memberhentikan seorang wakil rakyat dari keanggotaannya di DPR.
Dengan demikian, seseorang yang sudah diberhentikan dari keanggotaan partai
politiknya dapat saja diberhentikan dari keanggotaannya sebagai Anggota DPR apabila
601 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tersedia prosedur yang memenuhi syarat prinsip due process of law baik di internal
partai politik maupun di internal DPR. Selama UU Parpol dan UU Susduk belum memuat
ketentuan yang jelas mengenai kedua prosedur dimaksud maka ketentuan mengenai
recalling sebagai alasan pemberhentian Anggota DPR tidak dapat dibenarkan secara
konstitusional.
Pada umumnya, recall (recall legislation) diadakan di negara-negara yang
menganut direct democratic device system, seperti di negara-negara bagian Amerika
(the state or Oregon and local governments), Amerika dan delapan kanton di Swiss (N.
Jayapalan, 2000: 102, 103). Di negara-negara yang menganut direct democracy device
system tersebut, para warga turut serta dalam pengambilan putusan penyelenggaraan
pemerintahan secara langsung tanpa melalui perwakilan (without intermediaries), dengan
menggunakan instrumen-instrumen referendum, inisiatif dan me-recall wakil-wakilnya.
UUD 1945 tidak secara tegas memberikan hak recall kepada partai-partai politik
guna menarik kembali anggota-anggota partainya yang terpilih sebagai Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan/atau anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Hak recall (recall recht) sama sekali tidak digagaskan oleh the founding fathers dalam
rapat-rapat BPUPKI/PPKI di kala pembahasan konstitusi. Juga tidak digagaskan dalam
sidang-sidang MPR di kala diadakan perubahan-perubahan UUD 1945. Hak recall (recall
recht) tidak termasuk constitutional given buat partai-partai politik. Oleh karena hak recall
diatur dalam undang-undang (in de wet geregeld) maka hak recall dapat selalu diuji
berdasarkan hal kesesuaian atau pertentangannya terhadap UUD.
Tidak lazim recall legislation diberlakukan di parlemen negara-negara yang
menganut pemerintahan presidensiil, yang anggota-anggotanya dipilih menurut sistim
distrik atau single member constituency. Penggunaan hak recall (recall recht) oleh partai
politik terhadap anggota-anggotanya di parlemen, cenderung menjadikan partai politik
yang bersangkutan dominan terhadap anggota-anggota partainya itu, sehingga anggota-
anggota dewan lebih mementingkan kepentingan partainya ketimbang membawakan
aspirasi rakyat banyak (konstituent). Anggota dewan yang bersangkutan takut pada
tindakan recall yang sewaktu-waktu dapat dikenakan terhadap dirinya. Parlemen menjadi
tidak solid serta tidak stabil, dikendalikan oleh elit partai-partai politik dari luar.
Recall memberikan kedudukan yang kuat kepada pimpinan partai. Seseorang
anggota dewan yang di-recall partainya niscaya tidak dapat mengajukan dirinya guna
memperjuangkan haknya secara kolektif dalam menjalankan tugas konstitusionalnya
di DPR, sebagaimana dimaksud Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Recall menyebabkan
seseorang anggota dewan tidak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum, serta perlakuan yang adil dalam menjalankan tugas konstitusionalnya
selaku Anggota DPR, sebagaimana dijamin konstitusi, berdasarkan Pasal 28D ayat (1)
dan (2) UUD 1945.
Anggota DPR yang terpilih berdasarkan sistim proporsional representation, yang
602 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dipadu dengan list system (sistim daftar calon terbuka) tidak usah terlalu takut untuk
dikenakan recall karena ia lebih terpanggil untuk memperjuangkan konstituennya,
utamanya di daerah-daerah serta menjembatani aspirasi rakyat pada umumnya, kata
Miriam Budiardjo (1994: 310). Anggota partai politik yang dipilih berdasarkan sistim
proporsional dengan daftar calon terbuka -secara konstitusional- tidak dapat di-recall
oleh partainya. Me-recall anggota dewan yang bersangkutan berarti mengingkari atau
me-negasi hasil pemilihan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan. Anggota DPR
mewakili rakyat banyak, sesuai namanya: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pada
hakikatnya adalah negarawan. Ia tidak boleh sekedar perpanjangan tangan partainya.
Manuel Luis Quezon (1878-1944), Presiden I Philippina (1935-1944), yang di masa
hidupnya pernah menjabat Ketua Senat Phillipina (1916-1935), berkata, My loyalty to
my party ends, where my loyalty to my country begins. Konstitusi seyogianya melindungi
para Anggota DPR yang terpilih dari perlakuan recall, berdasarkan sistim pemilihan
proporsional dengan calon terbuka.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan
Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
603 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 009/PUU-IV/2006
TENTANG
KETENTUAN PERALIHAN UNDANG-UNDANG ADVOKAT
Pemohon : 1. A. Wahyu Purwana, S.H.,M.H., (Pemohon I); 2. M. Widhi Datu
Wicaksono, S.H. (Pemohon II); 3. A. Dhatu Haryo Yudo, S.H.
(Pemohon III); 4. Mohammad Sofyan, S.H. (Pemohon IV).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), (2), Pasal 28D
ayat (1), (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyangkut hak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian yang sama
di depan hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Rabu, 12 Juli 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mengajukan pengujian materiil karena merasa dirugikan hak
konstitusionalnya atas berlakunya ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU Advokat) yang menyangkut
kesamaan kedudukan antara advokat dengan konsultan hukum, sebagaimana dijamin
dan dilindungi oleh UUD 1945.
Para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 32 ayat (1) UU Advokat
sepanjang menyangkut kesamaan kedudukan antara advokat dengan konsultan hukum
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), (2), Pasal 28D ayat (1), (3), Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945. Atas dasar tersebut, para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi
agar menyatakan pasal-pasal tersebut sepanjang menyangkut kesamaan kedudukan
antara advokat dengan konsultan hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
604 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan segala akibat hukumnya.
Pemohon I sebagai advokat dan konsultan hukum menganggap hak konstitusionalnya
dirugikan dengan berlakunya Pasal 32 ayat (1) UU Advokat karena Pemohon I tidak
bisa melimpahkan atau memberikan pekerjaan kepada Pemohon II, III dan IV yang
belum menjadi advokat. Sehingga Pemohon II, III, IV tidak dapat bekerja, sementara
perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan hukum sudah mencapai
tingkat yang relatif sangat tinggi namun tidak sebanding dengan jumlah advokat yang
ada.
Terkait dengan kedudukan hukum dan kepentingan para Pemohon dimana kedudukan
Pemohon I adalah sebagai advokat dan Pemohon II, III, IV adalah pihak yang sehari-hari
bekerja sebagai staf advokat maka para Pemohon termasuk dalam kualikasi Pemohon
perorangan warga negara Indonesia menurut Pasal 51 ayat (1) butir a UU MK.
Pemohon mendalilkan bahwa sangat dirugikan hak konstitusionalnya oleh Undang-
Undang a quo sehingga mengajukan permohonan agar Mahkamah, berdasarkan
kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
nal untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 sebagaimana diatur dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, berkenan memeriksa
permohonan dan memutus.
Pemohon I menganggap dengan adanya persamaan antara advokat dengan
konsultan hukum menurut Pasal 32 ayat (1) UU Advokat menyebabkan tidak dapat
memberikan wewenang atau pekerjaan kepada Pemohon II, III, IV untuk melakukan
pekerjaan di bidang hukum praktik karena yang bersangkutan belum menjadi advokat,
sehingga Pemohon II, III, IV tidak dapat melakukan pekerjaan di bidang praktis hal ini sangat
merugikan hak konstitusional Pemohon II, III, IV karena tidak dapat mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk membangun masyarakat bangsa dan
negaranya.
Dengan tidak dibedakannya antara kedudukan advokat dengan konsultan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) UU Advokat, Pemohon I
yang mencantumkan pekerjaan Pemohon II sebagai konsultan hukum dianggap
telah melakukan tidak pidana pemalsuan yaitu menggunakan surat palsu sehingga
menyebabkan Pemohon I dan II dianggap melanggar KUHP. Hal ini merugikan hak
konstitusional para Pemohon berupa hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian yang sama di depan hukum.
Menyangkut kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Pasal 51 ayat (1)
huruf a UU MK menyebutkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Dengan
memperhatikan dalil Pemohon yang intinya menerangkan bahwa Pemohon merasa
dirugikan karena persamaan kedudukan maka Mahkamah berpendapat Pemohon
memenuhi persyaratan adanya kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud oleh
605 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 sehingga Pemohon mempunyai
kedudukan hukum (legal standing).
Terhadap pokok permohonan, yaitu Pasal 32 ayat (1) UU Advokat, Bab XII Ketentuan
Peralihan yang berbunyi; Advokat, penasehat hukum, pengacara praktik dan konsultan
hukum yang telah diangkat pada saat undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan
sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, Mahkamah menilai:
Pasal 32 ayat (1) UU Advokat adalah ketentuan Peralihan maka materi muatannya
bukanlah mengenai batasan pengertian atau denisi sebagaimana yang lazim
merupakan materi muatan ketentuan umum suatu undang-undang. Ketentuan
Peralihan memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang
sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku, agar
peraturan perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar. Selain itu ketentuan
peralihan lazimnya memuat asas hukum mengenai hak-hak yang telah diperoleh
sebelumnya tetap diakui, disamping itu ketentuan peralihan diperlukan untuk
menjamin kepastian hukum bagi kesinambungan hak serta mencegah kekosongan
hukum.
Pasal 32 ayat (1) UU Advokat bukanlah ketentuan yang bermaksud mencampur-
aduKkan pengertian advokat, penasehat hukum, pengacara praktik, dan konsultan
hukum, melainkan sekedar pengakuan atas suatu status hukum lama ke dalam
status hukum baru menurut UU Advokat yang justru menguntungkan bagi mereka
yang sebelumnya tidak berstatus advokat.
Ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU Advokat sama sekali tidak ada hubungan sebab
akibat (causal verband) dengan hak konstitusional sehingga tidak merugikan hak
konstitusional para Pemohon.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi permohonan para Pemohon tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
606 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
607 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 010/PUU-IV/2006
TENTANG
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pemohon : Masyarakat Hukum Indonesia (MHI).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Pokok Perkara : Konsiderans Menimbang huruf c, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
Pasal 14, Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39,
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal
47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53,
Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal
60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyangkut
prinsip kepastian hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Selasa, 25 Juli 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon yakni Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) mengajukan permohonan
pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo.
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan Pemohon.
608 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berkenaan dengan kedudukan hukum (legal standing), Pemohon adalah Masyarakat
Hukum Indonesia (MHI), yang dalam hal ini, berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat
(1) Anggaran Dasar MHI, diwakili oleh Direktur Eksekutifnya yaitu A.H. Wakil Kamal.
Pemohon dalam permohonannya mendalilkan dirinya sebagai perkumpulan yang akta
pendiriannya telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Timur, namun
status badan hukumnya belum jelas. Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal
51 ayat (1) UU MK, Pemohon tidak memenuhi syarat untuk dikualikasikan sebagai badan
hukum publik atau privat melainkan hanya dapat dikualikasikan sebagai kelompok orang
yang mempunyai kepentingan sama.
Dalam permohonannya, Pemohon beralasan bahwa UU KPK telah menutup peluang
warga negara Indonesia di luar kepolisian dan kejaksaan untuk menjadi penyelidik,
penyidik, dan penuntut umum pada KPK. Hal itu, menurut Pemohon, bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Setelah menilai dalil-dalil Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak-hak
konstitusionalnya sehubungan dengan berlakunya UU KPK, dalam pertimbangan
hukumnya Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai berikut.
Pemohon tidak dapat menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan 1.
konstitusionalnya dalam kualikasi sebagai perorangan warga negara Indonesia,
in casu sekelompok orang yang mempunyai kepentingan sama, sebagai akibat
berlakunya ketentuan-ketentuan dalam UU KPK;
Apa yang oleh Pemohon dianggap sebagai kerugian hak dan/atau kewenangan 2.
konstitusional sesungguhnya lebih tepat jika dinilai sebagai kritik terhadap
keberadaan maupun kinerja KPK, bukan terhadap konstitusionalitas UU KPK dalam
konteks pengujian undang-undang.
Kalaupun segala anggapan dan penilaian Pemohon terhadap UU KPK dan KPK 3.
sebagai lembaga benar, di mana hal itu harus dibuktikan lebih jauh, jika hal itu
yang menjadi tujuan permohonan a quo maka permohonan ini lebih tepat jika
diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, selaku lembaga negara yang memiliki
kewenangan untuk membentuk undang-undang, sebagai bahan masukan dalam
rangka peninjauan oleh pembentuk undang-undang (legislative review).
Tidak jelasnya kualikasi Pemohon dan kerugian hak dan/atau kewenangan 4.
konstitusional Pemohon yang oleh Pemohon dianggap telah dirugikan dalam
kualikasi tadi telah pula mengakibatkan permohonan ini menjadi kabur (obscuur)
karena terjadi percampuradukan antara alasan judicial review dan legislative review
yang meskipun dapat saling mendukung namun keduanya memiliki perbedaan-
perbedaan. Sehingga, permohonan a quo bukan hanya tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK tetapi juga tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) UU MK.
Berdasarkan seluruh pendapat di atas, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
609 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 011/PUU-IV/2006
TENTANG
KETENTUAN MELAKUKAN BANDING DI PENGADILAN PAJAK
Pemohon : 1. Amirudin; 2. Putut Aji Pusara, S.Kom.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 menyangkut ketentuan melakukan banding
di Pengadilan Pajak.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Rabu, 4 Oktober 2006.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon adalah perorangan yang merasa dirugikan dengan adanya ketentuan
Pasal 36 ayat (4) Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak.
Terhadap ketentuan Pasal 36 ayat (4) sudah pernah diputus oleh Mahkamah
Konstitusi dalam perkara Nomor 004/PUU-II/2004. Pemohon mendalilkan bahwa
permohonan yang diajukan menyebutkan alasan-alasan konstitusional yang berbeda
dengan alasan konstitusional dalam perkara Nomor 004/PUU-II/2004.
Alasan konstitusional para Pemohon dalam perkara Nomor 004/PUU-II/2004
yang antara lain dalam pertimbangannya menyebutkan kewajiban membayar 50%
bukan didasarkan atas vonis kesalahan pidana atau hukuman denda, tetapi sebagai
pembayaran sebagian utang wajib pajak dan sekaligus merupakan syarat untuk
mengajukan hak banding. Apabila kemudian ternyata putusan Pengadilan Pajak
menetapkan jumlah utang wajib pajak yang disengketakan lebih kecil maka kewajiban
610 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
negara untuk mengembalikan selisihnya, demikian juga jika ternyata lebih besar, maka
wajib pajak hanya menambahkan kekurangannya. Apabila negara harus mengembalikan
selisih pembayaran bahkan diwajibkan oleh hukum untuk juga membayar bunga 2% tiap
bulan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 87 Undang-Undang a quo.
Dalam perkara 11/PUU-V/2006, para Pemohon sebagai wajib pajak menganggap hak
konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak yang tidak
mencerminkan rasa keadilan, membatasi hak-hak wajib pajak, memberatkan wajib pajak untuk
melakukan upaya hukum di Pengadilan Pajak. Hal tersebut secara jelas dan nyata, menurut
para Pemohon, menyimpang dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Ketentuan bahwa banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud
telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen), bukan hanya merugikan dalam bentuk
rupiah, tetapi merupakan ketidakadilan karena membatasi hak wajib pajak melakukan
upaya hukum untuk memperoleh keadilan. para Pemohon menganggap Pasal 36 ayat
(4) UU Pengadilan Pajak, selain bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana tersebut
pada angka 1 dan 2 di atas, juga bertentangan dengan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang disebut dalam konsiderans UU
Pengadilan Pajak.
Berdasarkan Pasal 51 UU MK para Pemohon memenuhi kualikasi sebagai Pemohon,
para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai wajib pajak yang
mempunyai kepentingan terkait dengan permohonan pengujian UU Pengadilan Pajak.
Permohonan terhadap Pasal 36 ayat (4) sudah pernah diajukan dalam perkara
Nomor 004/PUU-II/2004. Menurut Pasal 60 UU MK, materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
Sementara itu, Pasal 42 ayat (2) PMK 06/PMK/2005 menyatakan, permohonan pengujian UU
terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah
diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat
konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda
Uraian dalam permohonan para Pemohon tidak terdapat syarat-syarat
konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan para Pemohon yang berbeda dengan
syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan dalam permohonan Perkara Nomor
004/PUU-II/2004.
Mahkamah berpendapat permohonan pengujian Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan
Pajak terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh para Pemohon tidak memenuhi syarat-
syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan berbeda sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 42 ayat (2) PMK 06/PMK/2005.
Mahkamah berpendapat substansi permohonan para Pemohon adalah pengujian undang-
undang terhadap undang-undang yang lain, yaitu Undang-Undang Pengadilan Pajak terhadap
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, bukan terhadap UUD 1945.
Bahkan undang-undang yang disandingkan atau yang dijadikan dasar pengujian justru Undang-
611 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang sebenarnya telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
Mahkamah menimbang permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat-syarat
konstitusionalitas dengan alasan yang berbeda sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat
(2) PMK 06/PMK/2005. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UU MK, Mahkamah
tidak berwenang lagi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus materi permohonan
a quo, sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
612 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
613 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 012-016-019/PUU-IV/2006
TENTANG
KEKUASAAN KPK DAN KEBERADAAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pemohon : Perkara 012/PUU-IV/2006 :
Mulyana Wirakusumah (Pemohon I).
Perkara 016/PUU-IV/2006 :
1. Nazaruddin Sjamsuddin; 2. Ramlan Surbakti; 3. Rusadi
Kantaprawira, dkk. (Pemohon II).
Perkara 019/PUU-IV/2006 :
Capt. Tarcisius Walla (Pemohon III).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terhadap Undang-
Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : 1. Perkara 012/PUU-IV/2006
Pasal 6 huruf c UU KPK mengenai kekuasaan KPK dalam melakukan
pemberantasan korupsi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 mengenai jaminan, perlindungan dan kepastian hukum;
dan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK mengenai wewenang KPK
melakukan penyadapan bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945
mengenai hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
2. Perkara 016/PUU-IV/2006
Pasal 1 Angka 3, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 11 huruf b, Pasal 12 ayat (1)
huruf a, Pasal 20, Pasal 40, dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mengenai kekuasaan KPK dan kedudukan pengadilan
tindak pidana korupsi, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1),
dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 mengenai prinsip negara hukum,
614 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kekuasaan kehakiman, hak atas persamaan di depan hukum,
jaminan perlindungan dan kepastian hukum, serta hak bebas dari
perlakuan yang diskriminatif.
3. Perkara Nomor 019/PUU-IV/2006
Pasal 72 UU KPK mengenai pemberlakuan UU KPK bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai jaminan pengakuan
persamaan di hadapan hukum dan perlindungan hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon II dikabulkan untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Selasa, 19 Desember 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon I adalah perorangan warga negara Republik Indonesia yang hak
konstitusionalnya telah dilanggar dengan adanya ketentuan Pasal 6 huruf c dan Pasal
12 ayat (1) huruf a UU KPK, Pemohon telah disidik, dituntut dan diadili sehingga
Pemohon berstatus sebagai terpidana berdasarkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 03/PID.B/TPK/2005/PN.JKT.PST
tertanggal 12 September 2005.
Pemohon II adalah perorangan warga negara Indonesia yang hak konstitusionalnya
yang diberikan/dijamin oleh UUD 1945 telah dirugikan karena diperiksa di persidangan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) dan/atau telah menerima putusan
Pengadilan Tipikor, baik di tingkat pertama, banding dan/atau kasasi.
Pemohon III, sebagai perorangan warga negara Indonesia yang telah disidik,
dituntut, dan dipidana berdasarkan UU KPK padahal tempus delicti perbuatannya terjadi
sebelum UU KPK diundangkan dan diberlakukan.
Pemohon I mengajukan permohonan agar Majelis Mahkamah Konstitusi memberikan
putusan Pasal 6 huruf c UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945; serta
Pasal 6 huruf c UU KPK dan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Pemohon I mendalilkan hak konstitusionalnya telah dilanggar dengan berlakunya
Pasal 6 huruf c dan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK karena telah menjadi objek
pemeriksaan secara inqusatoir, oleh KPK sebagai lembaga yang dianggap tidak memiliki
mekanisme check and balances. Pemberlakuan Pasal 6 huruf c UU KPK memuat
penyatuan fungsi-fungsi penegakan hukum yang mengandung potensi pertentangan dari
sisi sengketa kewenangan yang dimiliki lembaga-lembaga penegak hukum lain, yaitu
Kepolisian dan Kejaksaan. Hal itu menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Padahal
kepastian hukum merupakan hak konstitusional Pemohon yang telah dijamin berdasarkan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Permohonan Pemohon I juga diajukan terkait dengan hak Pemohon selaku warga
615 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945. Hak tersebut telah terlanggar
dengan berlakunya Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK, dengan melakukan penyadapan
terhadap hubungan telekomunikasi Pemohondan digunakan untuk mengumpulkan bukti
secara tidak fair. Hal itu telah melanggar asas non self incrimination.
Pemohon II mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa
dan memutus permohonan menyatakan materi muatan Pasal 1 angka 3, Pasal 2, Pasal
3, Pasal 11 huruf b, Pasal 12 ayat (1) huruf a, Pasal 20, Pasal 40, dan Pasal 53 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal
28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Pemohon II mendalilkan hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena penanganan
perkara yang bersangkutan dilakukan oleh KPK, sehingga hukum acara yang berlaku
atau diterapkan adalah hukum acara yang diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta UU KPK sebagai
ketentuan khusus (lex specialis). Berbeda halnya, jika penanganan perkaranya dilakukan
oleh Kepolisian, Kejaksaan dan/atau Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Timtastipikor). Pemohon tidak dapat memilih hukum mana yang berlaku
berkaitan dengan adanya dua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang mengatur tentang hal yang sama. Penanganan perkara yang dilakukan oleh KPK
telah merugikan Pemohon karena UU KPK menempatkan para Pemohon sebagai pihak
yang tidak dilindungi atau telah dilanggar hak-hak asasinya, sehingga secara jelas tidak
memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Selain itu, Pasal 40
UU KPK yang meniadakan kewenangan KPK untuk mengeluarkan Surat Penghentian
Penyidikan dan Penuntutan (SP3), berarti bahwa ketentuan UU KPK melanggar asas
praduga tidak bersalah, suatu asas utama dalam hukum acara, yang harus diterapkan
dan ditegakkan sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sebagai negara hukum.
Para Pemohon II mendalilkan bahwa telah dirampas kemerdekaannya dan tidak
menikmati asas kesetaraan dan keseimbangan dalam proses pidana, karena Pengadilan
Tipikor hanya diberikan waktu 90 hari kerja untuk memeriksa dan memutus perkara,
sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1) UU KPK. Berbeda dengan pengadilan umum
lainnya yang memeriksa perkara tindak pidana korupsi yang menggunakan hukum acara
sesuai KUHAP tanpa harus dibatasi oleh batas waktu yang sangat terbatas tersebut.
Para Pemohon II juga mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 3, dan Pasal 53 UU
KPK melanggar prinsip kemandirian dan kemerdekaaan kekuasaan kehakiman serta
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan
616 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 1 angka 3 UU KPK, telah menempatkan Pengadilan Tipikor sebagai bagian dari
fungsi pemberantasan tindak pidana korupsi, yang menunjukkan bahwa (a) Pengadilan
Tipikor tidak berada dalam bagian kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif); dan
(b) Pengadilan Tipikor justru lebih erat dan/atau merupakan bagian dari kekuasaan
pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif). Oleh karena itu, sangat sulit diharapkan
Pengadilan Tipikor dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara merdeka, mandiri dan
imparsial sebagai suatu lembaga pengadilan. Selain itu, Pasal 2 UU KPK, Pasal 3, Pasal
20 ayat (1), Pasal 11 huruf b, Pasal 12 ayat (1), telah menjadikan KPK sebagai lembaga
yang (a) mempunyai kekuasaan yang berada di luar kerangka sistim ketatanegaraan; (b)
tidak memiliki sistim pengawasan dan sistim pertanggungjawaban yang accountable; dan
(c) melakukan pemangkasan peran dan fungsi kepolisian dan kejaksaan yang berada di
bawah Presiden.
Para Pemohon II mendalilkan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK melanggar hak
warga negara atas rasa aman dan jaminan perlindungan dan kepastian hukum,
sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Hal ini dikarenakan selain belum adanya undang-undang yang mengatur penyadapan,
penyadapan terhadap warga negara berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang
mempunyai kekuasaan dan mempunyai kepentingan tersendiri (vested interest). Adanya
ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf UU KPK secara nyata telah menimbulkan kekhawatiran
dan bahkan ketakutan serta perasaan tidak aman pada diri para Pemohon, yang terus
menerus dihantui dan dibayang-bayangi oleh perasaan takut dan kekhawatiran bahwa
segala hal yang dia ucapkan dan lakukan sedang dalam penyadapan dan perekaman
oleh KPK.
Para Pemohon II juga mendalilkan bahwa Pasal 11 huruf b UU KPK menimbulkan
ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945. Pasal 11 huruf b UU KPK menyatakan KPK berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian
yang meresahkan masyarakat. Permasalahannya adalah apa yang menjadi ukuran
suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai yang meresahkan masyarakat? Adalah
sangat sumir jika sesuatu yang tidak ada tolok ukurnya, serta merta dijadikan bahan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK.
Pemohon III, menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 72
UU KPK yang berbunyi, Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Pemohon mendalilkan bahwa berlakunya Pasal 72 UU KPK telah merugikan hak
konstitusional Pemohon atas kepastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945. Pasal 72 UU KPK, menurut Pemohon, telah menimbulkan perbedaan
tafsir di kalangan ahli tentang apakah UU KPK berlaku ke depan atau dapat diberlakukan
surut. Sebagai akibat perbedaan tafsir tersebut, Pemohon telah disidik, dituntut, dan
dipidana berdasarkan UU KPK padahal tempus delicti perbuatannya terjadi sebelum UU
617 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
KPK diundangkan dan diberlakukan.
Obyek permohonan adalah UU KPK, oleh karena itu berdasarkan Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, Mahkamah menyatakan berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan. Mahkamah juga menyatakan
bahwa Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III memiliki kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan pengujian UU KPK sebagai perorangan warga negara yang hak
konstitusionalitasnya dirugikan oleh ketentuan UU KPK yang dimohonkan, berdasarkan
Pasal 51 ayat (1) UU MK dan memenuhi syarat-syarat yang menjadi pendirian Mahkamah
yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005.
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 2 UU KPK juncto Pasal 20 UU KPK
telah melanggar prinsip dan konsep negara hukum sehingga bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena, kedua ketentuan tersebut telah mengacaukan
sistim ketatanegaraan, Mahkamah berpendapat bahwa dalam perkembangan sistim
ketatanegaraan saat ini, keberadaan komisi-komisi negara semacam KPK telah
merupakan suatu hal yang lazim. Doktrin klasik tentang pemisahan kekuasaan negara
ke dalam tiga cabang kekuasaan kini telah jauh berkembang, antara lain, ditandai oleh
diadopsinya pelembagaan komisi-komisi negara yang di beberapa negara bahkan
bersifat kuasi lembaga negara yang diberi kewenangan melaksanakan fungsi-fungsi
kekuasaan negara. Justru ketentuan dalam Pasal 20 UU KPK, yang oleh Pemohon II
didalilkan sebagai ketentuan yang inkonstitusional, secara umum mencerminkan ciri-ciri
komisi-komisi negara dimaksud. Di samping itu, di satu pihak, keberadaan suatu lembaga
negara untuk dapat disebut sebagai lembaga negara tidaklah selalu harus dibentuk atas
perintah atau disebut dalam undang-undang dasar, melainkan juga dapat dibentuk atas
perintah undang-undang atau bahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Oleh karena itu dalil Pemohon II sepanjang menyangkut inkonstitusionalitas Pasal 2 dan
Pasal 20 UU KPK adalah tidak beralasan.
Terhadap dalil Pemohon II bahwa Pasal 3 UU KPK yang berbunyi, Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana
pun yang menunjukkan bahwa KPK memiliki kekuasaan yang absolut, Mahkamah
berpendapat bahwa independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan mana
pun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Tidak terdapat persoalan
konstitusionalitas dalam rumusan Pasal 3 UU KPK tersebut. Dengan pertimbangan itu,
dalil Pemohon II sepanjang menyangkut inkonstitusionalitas Pasal 3 UU KPK adalah
tidak beralasan.
Terhadap dalil Pemohon I bahwa Pasal 6 huruf c UU KPK yang berbunyi, Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. ...; b. ...; c. melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi telah menyebabkan
Pemohon I menjadi objek pemeriksaan secara inquisitoir dan juga telah menjadikan
KPK sebagai lembaga superbody sehingga melanggar hak konstitusional Pemohon
618 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
atas kepastian hukum, Mahkamah berpendapat bahwa hal itu tidak tidak benar, karena
dalam proses pemeriksaan oleh KPK, Pemohon tetap diperlakukan sebagai subjek
yang dapat didampingi advokat secara terbuka (acqusatoir). KPK juga tidak serta merta
menjadi superbody karena yang menyebabkan adanya pelanggaran atas prinsip-prinsip
due process of law, sebab dalam menjalankan tugasnya KPK juga harus tunduk kepada
KUHAP yang menjamin prinsip-prinsip due process of law dimaksud, sebagaimana diatur
dalam Pasal 38 ayat (1) dan (2) UU KPK. Dengan demikian, dalil Pemohon sepanjang
menyangkut ketentuan Pasal 6 huruf c tidak cukup beralasan.
Terhadap dalil Pemohon II bahwa Pasal 11 huruf b UU KPK yang berbunyi,
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang: a. .....; b. mendapat perhatian yang meresahkan
masyarakat; c. ..., Mahkamah memberikan pertimbangannya bahwa yang menjadi
masalah adalah bahwa acapkali suatu konsep atau pengertian yang berada di alam
kehendak (wollen, sollen) tatkala diverbalkan ke dalam rumusan kata-kata ternyata
tidak menghasilkan denisi yang mampu merepresentasikan keseluruhan konsep
yang dikehendaki itu sehingga pernyataan atau proposisi yang dihasilkan pun menjadi
tidak mudah untuk dipahami. Bagaimanapun sulitnya menemukan ukuran atau denisi
hukum tentang sesuatu yang meresahkan masyarakat itu bukan berarti fakta tentang
keresahan itu tidak ada. Selain itu terdapat persyaratan lain yang harus dipenuhi
(bersifat mutlak), sedangkan yang meresahkan masyarakat lebih bersifat alternatif.
Mahkamah berpendapat dalil Pemohon II, menyangkut Pasal 11 huruf b UU KPK, tidak
cukup beralasan.
Terhadap dalil Pemohon I dan II bahwa Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK yang
berbunyi, Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang: a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan .... bertentangan
dengan UUD 1945, Mahkamah menegaskan bahwa pasal dimaksud telah pernah
dimohonkan pengujian yang diajukan oleh (pada saat itu) Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara dan sejumlah perorangan warga negara Indonesia dengan amar
putusan menyatakan permohonan ditolak (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/
PUU-I/2003). Mahkamah juga menyatakan bahwa tidak terdapat alasan konstitusional
yang berbeda dalam dalil-dalil Pemohon, sehingga permohonan Pemohon mengenai
inkonstitusionalitas Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK adalah tidak beralasan.
Terhadap dalil Pemohon II bahwa Pasal 40 UU KPK yang berbunyi, Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi bertentangan dengan
UUD 1945 karena melanggar prinsip praduga tak bersalah [Pasal 1 ayat (3) UUD 1945],
melanggar prinsip persamaan di muka hukum [Pasal 27 ayat (1) UUD 1945], serta
menimbulkan ketidakpastian hukum dan bersifat diskriminatif [Pasal 28D ayat (1) dan
619 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945], Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 40 UU KPK juga
sudah pernah dimohonkan pengujian dan telah pula diputus oleh Mahkamah sebagaimana
tertuang dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 dengan amar yang menyatakan
permohonan ditolak, sehingga pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan terhadap
permohonan pengujian Pasal 12 ayat (1) huruf a di atas mutatis mutandis berlaku pula
terhadap permohonan pengujian Pasal 40 UU KPK yang diajukan oleh Pemohon karena
tidak ditemukan alasan konstitusionalitas yang berbeda.
Terhadap dalil Pemohon II bahwa Pasal 53 UU KPK juncto Pasal 1 angka 3 UU KPK
yang pada intinya mengenai kedudukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berada
dalam lingkungan eksekutif, Mahkamah berpendapat bahwa pembentukan pengadilan-
pengadilan khusus, sepanjang masih berada dalam salah satu dari empat lingkungan
peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, dimungkinkan. Pasal
24A ayat (5) UUD 1945 menyatakan, Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum
acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-
undang. Pengertian frasa diatur dengan undang-undang dalam Pasal 24A ayat (5)
UUD 1945 tersebut berarti pembentukan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung
harus dilakukan dengan undang-undang. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 15
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai
implementasi dari Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. Di samping itu, frasa yang berbunyi diatur
dengan undang-undang yang tersebut dalam Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 juga berarti
bahwa susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta
badan peradilan di bawahnya itu tidak boleh diatur dengan bentuk peraturan perundang-
undangan lain selain undang-undang. Pengadilan Tipikor sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 53 UU KPK tersebut, menurut Pasal 54 ayat (1) UU KPK, berada di lingkungan
Peradilan Umum. Pengadilan Tipikor oleh pembentuk undang-undang dimaksudkan
sebagai pengadilan khusus, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU KPK.
Penggolongan Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus hanya atas dasar kriteria
bahwa Pengadilan Tipikor secara khusus menangani perkara tindak pidana korupsi yang
penuntutannya dilakukan oleh KPK, ditambah dengan beberapa ciri lain yaitu susunan
majelis hakim terdiri atas dua orang hakim peradilan umum dan tiga orang hakim ad
hoc, yang harus menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi tersebut dalam jangka
waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak perkara dilimpahkan [Pasal 58
ayat (1) UU KPK]. Dengan kriteria kekhususan demikian, terdapat dua pengadilan yang
berbeda dalam lingkungan peradilan yang sama. Kenyataan yang terjadi dalam praktik
di pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor selama ini, menunjukkan bukti adanya
standar ganda dalam upaya pemberantasan korupsi melalui kedua mekanisme peradilan
yang berbeda. Dilihat dari aspek yang dipertimbangkan di atas, Pasal 53 UU KPK yang
melahirkan dua lembaga jelas bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi pembentukan
Pengadilan Tipikor dalam UU KPK dan bukan dengan undang-undang yang tersendiri,
meskipun dari segi teknik perundang-undangan kurang sempurna, namun tidak serta
620 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
merta bertentangan dengan UUD 1945 asalkan norma yang diatur di dalamnya secara
substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan
timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian Pasal 53 UU
KPK telah ternyata bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (5),
serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terhadap permohonan Pemohon yang mengaitkan Pasal 53 dengan Pasal 1 angka
3 UU KPK, yang rumusannya telah dikutip di atas, bertentangan dengan UUD 1945,
Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon dimaksud tidak beralasan. Pasal 1 angka
3 UU KPK hanyalah memuat pengertian tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
yang mencakup baik segi-segi preventif maupun represif. Berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut, meskipun seorang Hakim Konstitusi berpendirian lain, Mahkamah
berpendapat bahwa dalil para Pemohon menyangkut inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 3
UU KPK adalah tidak beralasan.
Terhadap dalil Pemohon III bahwa Pasal 72 UU KPK yang berbunyi, Undang-
Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan melanggar hak atas kepastian
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berpendapat
bahwa ketentuan Pasal 72 UU KPK adalah ketentuan penutup yang memang harus ada
dalam setiap undang-undang. Jika pasal tersebut tidak ada justru tidak ada kepastian
hukum. Sebab kita menjadi tidak tahu kapan undang-undang tersebut (UU KPK) mulai
berlaku. Dengan demikian permohonan Pemohon sepanjang mengenai Pasal 72 UU
KPK tidak beralasan.
Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon, kecuali sepanjang mengenai
Pasal 53 UU KPK yang menyangkut Pengadilan Tipikor, tidak ternyata beralasan untuk
dikabulkan. Sedangkan ketentuan Pasal 53 UU KPK tersebut telah nyata bertentangan
dengan UUD 1945. Namun, sebelum menentukan akibat hukum atas kekuatan hukum
mengikat Pasal 53 tersebut, Mahkamah mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Akibat hukum atas kekuatan mengikat Pasal 53 UU KPK tersebut harus cukup
mempertimbangkan agar proses peradilan Tipikor atas pemeriksaan perkara yang
sedang ditangani tidak terganggu atau tidak macet, apa lagi menimbulkan kekacauan
hukum;
2. Putusan yang diambil oleh Mahkamah jangan sampai menyebabkan timbulnya
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang dapat mengakibatkan kekacauan
dalam penanganan atau pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Putusan Mahkamah tersebut jangan sampai pula menimbulkan implikasi melemahnya
semangat (disinsentive) pemberantasan korupsi yang telah menjadi musuh bersama
bangsa dan masyarakat Indonesia;
4. Untuk melakukan penyempurnaan UU KPK dan penataan kelembagaan pengadilan
khusus yang diperlukan untuk itu, tidak dapat diselesaikan seketika sehingga
dibutuhkan waktu yang cukup.
621 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Apabila Pasal 53 UU KPK yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat
maka pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh KPK dan Pengadilan Tipikor yang sedang
berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Hal
demikian dapat menyebabkan proses pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami
kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD
1945. Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya menyediakan
waktu bagi proses peralihan yang mulus (smooth transition) untuk terbentuknya aturan
yang baru.
Menimbang bahwa Mahkamah memandang tindak pidana korupsi yang telah
merugikan hak asasi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia adalah kejahatan yang
luar biasa dan musuh bersama (common enemy) masyarakat dan bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Oleh karena itu, tujuan perlindungan hak asasi yang hendak dicapai
melalui pengujian ketentuan dimaksud di depan Mahkamah dipandang skalanya lebih
kecil dibanding dengan perlindungan hak asasi ekonomi dan sosial rakyat banyak yang
dirugikan oleh tindak pidana korupsi. Dengan memperhatikan keadaan objektif di atas,
meskipun telah nyata Pasal 53 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, namun diberikan
pembatasan akibat hukum yang dilakukan dengan menangguhkan tidak mengikatnya
Pasal 53 UU KPK dengan memberi waktu yang cukup bagi pembuat undang-undang
untuk melakukan perbaikan agar sesuai dengan UUD 1945. Hal demikian juga sekaligus
dimaksudkan agar pembuat undang-undang secara keseluruhan memperkuat dasar-
dasar konstitusional yang diperlukan bagi keberadaan KPK dan upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Untuk menyelesaikan kedua hal tersebut, beserta penataan kelembagaannya,
Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama tiga tahun. Apabila
dalam jangka waktu tiga tahun tidak dapat dipenuhi oleh pembuat undang-undang
maka ketentuan Pasal 53 UU KPK dengan sendirinya, demi hukum (van rechtswege),
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Sebelum terbentuknya DPR dan
Pemerintahan baru hasil Pemilu 2009, perbaikan undang-undang dimaksud sudah
harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya guna memperkuat basis konstitusional
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Apabila pada saat jatuh tempo tiga tahun
sejak putusan ini diucapkan tidak dilakukan penyelarasan UU KPK terhadap UUD 1945
khususnya tentang pembentukan Pengadilan Tipikor dengan undang-undang tersendiri
maka seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum, Mahkamah berpendapat
bahwa permohonan para Pemohon dapat dikabulkan sebagian sepanjang menyangkut
substansi Pasal 53 UU KPK dan menolak permohonan selebihnya. Oleh karena itu,
Mahkamah menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan
622 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat
3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan ini diucapkan. Mahkamah juga menyatakan bahwa
permohonan Pemohon II ditolak untuk selebihnya, menyatakan permohonan Pemohon I
ditolak untuk seluruhnya, menyatakan permohonan Pemohon III ditolak untuk seluruhnya.
Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan pemuatan Putusan Nomor 012-016-019/PUU-
VI/2006 dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pendapat Berbeda :
Pasal 53 UU KPK menunjukkan bahwa pembentukan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya disebut Pengadilan Tipikor) tidak diatur dengan undang-undang
tersendiri, sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena
pembentukan Pengadilan Tipikor dicantelkan belaka pada UU KPK, tidak diatur dengan
undang-undang tersendiri, sebagaimana lazimnya dengan undang-undang pembentukan
badan pengadilan, incasu pengadilan khusus maka pembentukan Pengadilan Tipikor
hanya diatur dalam undang-undang (in de wet geregeld), tidak ternyata diatur dengan
undang-undang (bij de wet geregeld). Het is niet geregeld bij de wet.
Dalam pada itu, tatkala sesuatu diatur dengan undang-undang (bij de wet geregeld)
maka sifatnya imperatif, merupakan perintah konstitusi bahwasanya hal sesuatu tersebut
hanya dapat secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri. Manakala hal
sesuatu tersebut tidak ternyata diatur dengan undang-undang (niet geregeld bij de wet)
maka dinyatakan inkonstitusional.
UUD 1945 mensyaratkan bahwa pembentukan semua badan peradilan, incasu
pengadilan khusus, harus diatur dengan undang-undang (bij de wet geregeld). Maka hal
pembentukan Pengadilan Tipikor selaku pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan
Umum, sebagaimana dimaksud pada Pasal 53 UU KPK adalah inkonstitusional,
bertentangan dengan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945.
Putusan Mahkamah berkekuatan mengikat secara ex nunc (van nu af, slechts voor
de toekomst van kracht), tidak berdaya surut dalam makna ex tunc (van toen af). Hal
itu juga ditegaskan dalam Pasal 47 dan Pasal 57 ayat (2) UU MK. Putusan Mahkamah
berkekuatan hukum mengikat (in kracht van gewijsde) sejak diucapkan, serta tidak ada
lagi upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan tersebut. Daya tidak mengikat
(not legally binding) putusan dimaksud bersamaan (samen val van momentum) dengan
pengucapan putusan. Akibat hukum (rechtsgevolg) dari putusan Mahkamah bermula sejak
diucapkan dan keberlakuan suatu norma materi, muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang yang telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh Mahkamah,
tidaklah boleh lagi direntang ulur ke depan.
Korupsi yang kini melanda negeri ini tetap harus diberantas. Daar moet een eind
aankomen! Ke depan, harus segera dibentuk Pengadilan Tipikor menurut due process
of law yang benar, berdasarkan konstitusi. Penegakan hukum materil (materiele recht)
harus ditegakkan oleh hukum formal (formeele recht) yang benar dan berdaya efektif.
623 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Masalahnya tidak lagi bersahaja, tatkala tindak pidana korupsi ditegakkan melalui hukum
formal yang bercacat hukum (juridische gebreken) secara konstitusional. Permohonan
Pengujian terhadap Pasal 53 UU KPK yang dipandang bertentangan dengan UUD 1945
seyogianya dikabulkan, dan tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat sejak diputuskan.
624 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
625 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 013-022/PUU-IV/2006
TENTANG
PASAL PENGHINAAN TERHADAP PRESIDEN DAN/ATAU
WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Pemohon : Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 :
Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si.
Perkara Nomor 022/PUU-IV/2006 :
Pandapotan Lubis.
Jenis Perkara : Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP mengenai
Penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik
Indonesia bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
menyangkut prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan, Pasal 28 jo. Pasal 28 E ayat (2) dan (3) UUD 1945
menyangkut prinsip mengeluarkan pendapat, Pasal 28F menyangkut
prinsip memperoleh informasi, serta Pasal 28J menyangkut prinsip
penghormatan terhadap hak asasi orang lain.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk
seluruhnya.
Tanggal Putusan : Rabu, 6 Desember 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 bernama Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si.
dan Pemohon perkara Nomor 022/PUU-IV/2006 bernama Pandapotan Lubis mengajukan
Pengujian Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) tentang Penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik
Indonesia. Oleh karena perkara yang diajukan oleh para Pemohon adalah pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945 (in casu pengujian KUHP terhadap UUD 1945)
626 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
maka sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maka Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan para Pemohon.
Menyangkut kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, para Pemohon adalah
warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian,
Pemohonan para Pemohon dianggap memenuhi syarat sebagai Pemohon pengujian
KUHP, yakni sebagai perorangan warga negara Indonesia yang hak-hak konstitusionalnya
yang diberikan oleh UUD 1945.
Alasan permohonan yaitu berawal dari kedatangan Pemohon perkara nomor
013/PUU-IV/2006, Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si., bertemu dengan Ketua KPK. Ia
mempertanyakan kemungkinan adanya indikasi KKN mengenai bonus jasa produksi ECW
NELOE yang tidak dibayarkan oleh Bank Mandiri dan kemudian mempertanyakan pula
atau klarikasi tentang rumors yang berkembang bahwa ada pengusaha yang memberikan
mobil mungkin jenisnya Jaguar kepada Kementrian Sekab dan Juru Bicara Presiden,
juga kepada Presiden yang kemudian dipakai oleh anaknya yang dibenarkan oleh Ketua
KPK bahwa rumors tersebut telah didengarnya sejak 1 (satu) tahun lalu. Informasi yang
telah disampaikan oleh Pemohon kepada Ketua KPK dan serta kepada para wartawan
seperti tersebut di atas, oleh aparat penegak hukum dalam hal ini Polda Metro Jaya
dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta/Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan laporan
Polisi No.16/K/F/2006/SPK Unit II, tanggal 6 Januari 2006, atas nama pelapor Bripka
Ahmad Fadilah, Spdl (anggota Polri Sat I Kamneg Dit Reskrimum) dianggap merupakan
tindakan penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 134 KUHP jo Pasal 136 bis KUHP sehingga Pemohon dicekal berdasarkan
Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Kep-057/O/DSP.3/02 tanggal
15 Februari 2006, tentang pencegahan dalam perkara pidana dan menjadi terdakwa di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara pidana Reg Nomor 1411/Pid.B/2006/PN/
Jkt/Pst sehingga Pemohon merasa sangat dirugikan hak konstitusionalnya berdasarkan
Pasal 28F UUD 1945. Pemohon tidak setuju dengan pasal yang mengatur tentang
penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, karena itu harus
dilakukan perubahan untuk mengatur secara khusus, tegas, jelas dan lengkap dalam
undang-undang tersendiri untuk menjamin adanya kepastian hukum. Undang-undang
tersebut haruslah memuat mengenai denisi penghinaan dengan sengaja terhadap
Presiden dan/atau Wakil Presiden, siapa dan instansi apa yang mempunyai wewenang
untuk mengusut jika terjadi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, sanksi
apa yang dijatuhkan terhadap penghina Presiden dan/atau Wakil Presiden dan lain-lain
sehubungan dengan perkembangan masyarakat saat ini, bukan seperti yang diatur
dalam Pasal 134 KUHP dan Pasal 136 bis KUHP yang selama ini dianggap sebagai
pasal karet.
Sedangkan pengajuan Permohonan perkara Nomor 022/PUU-IV/2006 berawal dari
627 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon, Pandapotan Lubis yang ditangkap di Taman Ismail Marzuki pada siang hari
tanggal 18 Mei 2006 oleh beberapa anggota Polri. Pemohon dibawa ke Kantor Kepolisian
Daerah (Polda Metro Jaya) dan diminta menandatangani Surat Penangkapan, tanpa
menjelaskan alasan penangkapan, selain membaca apa yang tertulis di dalam Surat
Penangkapan setelah melakukan demo pada tanggal 19 Maret 2006 di sekitar Bunderan
Hotel Indonesia, serta mengadakan rapat 16 Mei 2006 di Jalan Diponegoro 74. Dalil
Pemohon mengajukan permohonan adalah bahwa pasal-pasal tentang penghinaan
terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut tidak menyebutkan secara tegas,
pasti dan limitatif tentang perbuatan apa yang diklasikasikan sebagai penghinaan.
Akibatnya tidak ada kepastian hukum serta mengakibatkan tindakan sewenang-wenang
dari pihak Penguasa dan Aparat Hukum.
Menurut sejarahnya, setelah Indonesia merdeka, KUHP yang berasal dari Wetboek
van Strafrecht tersebut dengan beberapa perubahan dinyatakan berlaku melalui
beberapa undang-undang. Dalam KUHP, kata Presiden atau Wakil Presiden dibuat
untuk menggantikan Penguasa Belanda, yaitu Ratu atau Gubernur Jenderal dan
Penguasa Belanda di daerah-daerah Hindia Belanda. Yang dimaksud dengan Ratu
adalah Ratu Negeri Belanda (Nederland). Adapun yang dimaksud dengan Gubernur
Jenderal adalah penguasa tunggal di Hindia Belanda selaku wakil Ratu Belanda untuk
tanah jajahan, yang kemudian disebut Indonesia. Oleh sebab itu, pasal-pasal tersebut
di atas pada hakekatnya adalah pasal-pasal penjajah yang digunakan untuk memidana
rakyat jajahan dengan cara yang sangat mudah, yaitu dengan tuduhan telah menghina
penguasa (penjajah) Belanda, agar melalui ancaman penjara itu rakyat bisa dipertakuti,
ditundukkan dan diatur hidupnya untuk tidak melawan penjajah Belanda.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi mengemukakan bahwa Pasal
134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana bisa menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan
pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Hal dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 dan pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan
perolehan informasi, yang dijamin Pasal 28F UUD 1945. Pasal 134, Pasal 136 bis, dan
Pasal 137 KUHP berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran
dengan lisan, tulisan dan ekspresi sikap tatkala ketiga pasal pidana dimaksud selalu
digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan. Hal
dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E ayat (2), dan
ayat (3) UUD 1945.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mengabulkan
permohonan para Pemohon untuk seluruhnya karena bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan
pemuatan Putusan Nomor 013-022/PUU-VI/2006 ini dalam Berita Negara sebagaimana
mestinya.
628 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pendapat Berbeda :
Empat Hakim Konstitusi mengajukan pendapat berbeda dengan alasan sebagai
berikut.
Dari perspektif hukum tata negara, jika dalam sebuah negara yang berbentuk
Monarki Konstitusional, martabat negara dianggap melekat dalam diri Raja/Ratu maka
dalam sebuah negara yang berbentuk Republik dengan sistim Presidensial seperti
Indonesia, martabat negara adalah melekat dalam diri Presiden, karena Presiden adalah
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Oleh karena hukum tata negara adalah
hukum khusus yang mengikat seorang Presiden dalam kedudukannya maka tindakan
hukum seorang Presiden tidak dipertanggungjawabkan kepada pribadi orang (prive),
melainkan dalam kedudukannya sebagai pemangku jabatan (ambtsdrager). Adalah logis
menurut hukum apabila dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang mengatur perlindungan
terhadap kepribadian pemangku jabatan, seperti yang diatur dalam Pasal 134, Pasal 136
bis, Pasal 137 KUHP, untuk Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 207 KUHP untuk
Penguasa Umum. Berlandaskan alasan itu, permohonan para Pemohon seharusnya
dinyatakan ditolak.
629 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 014/PUU-IV/2006
TENTANG
WADAH TUNGGAL ORGANISASI ADVOKAT
Pemohon : 1. Sudjono, S.H.; 2. Drs. Artono, S.H., M.H.; 3. Ronggur Hutagalung,
S.H., M.H.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
(UU Advokat) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 1 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), Pasal
32 ayat (4) UU Advokat bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(3), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945 menyangkut hak memperoleh kesempatan yang sama untuk
memperoleh kebebasan berserikat dan berkumpul dengan tetap
berkewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Kamis, 30 November 2006.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang diangkat dengan Surat
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia yang telah diambil sumpahnya sebagai
Advokat dan atau Pengacara dan atau Penasehat Hukum oleh Pengadilan Tinggi dalam
wilayah kedudukan masing-masing tempat kedudukan para Pemohon.
Dalam permohonannya, para Pemohon menyatakan bahwa dahulu mereka yang
tergabung dalam Persekutuan Hukum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) menyatakan
dapat memperjuangkan asas monopoli profesi guna melindungi kepentingan masyarakat
pencari keadilan. Namun sejak diberlakukannya undang-undang profesi, dalam hal ini
UU Advokat, para Pemohon semakin menjadi tidak berdaya. Lebih parah lagi, sejak
dinyatakannya Pasal 31 UU Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam
putusan perkara Nomor 006/PUU-II/2004 oleh Mahkamah Konstitusi RI.
630 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Setelah para Pemohon diangkat sebagai Advokat, para Pemohon menggabungkan
diri dalam Persekutuan Hukum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), yang kemudian
tergabung dalam Persekutuan Hukum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) karena adanya
Musyawarah Advokat Indonesia di Jakarta pada 10 Nopember 1985 dengan dihadiri oleh
seluruh unsur-unsur Advokat dari seluruh pelosok tanah air, yang disaksikan pula oleh
antara lain Menhankam Pangab i.c Jenderal L.B. Moerdani, Ketua Mahkamah Agung RI,
Jaksa Agung RI, Menteri Kehakiman RI, Kapolri dan lain-lain.
Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat adalah untuk menyatukan para Advokat
dalam satu bentuk organisasi dan atau menyatukan Organisasi Advokat Indonesia
antara lain Ikadin. Namun demikian, dalam implementasinya, nyata-nyata merugikan
Persekutuan Hukum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) di mana para Pemohon dengan
susah payah telah ikut mendirikan dan atau ikut membina selama lebih dari 21 tahun,
bahkan telah terdaftar dan menjadi anggota International Bar Association (IBA) harus
dipaksakan menjadi wadah tunggal dalam bentuk yang lain.
Peradi, dalam formulir pendaftaran ulang, pendaftar dipaksa untuk membuat
pernyataan akan tunduk dan patuh peraturan yang dibuat Peradi, baik yang telah ada
maupun yang akan ada di kemudian hari. Dalam catatan butir 9 disebutkan bahwa
siapapun yang tidak mendaftar pada batas waktu yang telah ditentukan akan dianggap
mengundurkan diri sebagai Advokat dan apabila mereka ingin menjadi Advokat harus
mengikuti proses sebagaimana diatur dalam UU Advokat. Menurut para Pemohon ini
adalah bukti dari pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia dan hak konstitusional seperti
tercantum dalam Bab XA Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Para Pemohon menjadi Advokat berdasarkan Surat Pengangkatan dari Menteri
Kehakiman dengan persetujuan Mahkamah Agung, dan disumpah oleh Ketua Pengadilan
Tinggi setempat, dan Surat Pengangkatan tersebut berlaku selama seumur hidupnya.
Karena itu Pasal 32 ayat (4) yang memerintahkan untuk dibentuk wadah tunggal Advokat
(single bar), juga bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Peradi yang
menyatakan dirinya sebagai wadah tunggal organisasi advokat, adalah produk dari Pasal
28 ayat (1) UU Advokat, adalah melanggar dan bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945.
Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, menurut para Pemohon, mengikuti pola berpikir era
Orde Baru dan sangat bertentangan dengan era Reformasi seperti tercantum dalam
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Asas wadah tunggal yang tercantum dalam Pasal 28
ayat (1) UU Advokat menghilangkan hak konstitusional para Pemohon yang sejak 1985
berjuang untuk kebebasan organisasi sampai proses pembentukan di Komisi III DPR.
Saat itu Pemohon menjabat Ketua Umum DPP Ikadin dan Ketua KKAI (Komite Kerja
Advokat Indonesia) yang terdiri delapan organisasi advokat dan non advokat. para
Pemohon menginginkan UU Advokat yang bukan merupakan wadah tunggal (single bar),
tapi berbasis pada federasi (multi bar).
631 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK),
Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Permohonan para Pemohon adalah mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4282, selanjutnya
disebut UU Advokat), khususnya Pasal 1 angka 1 dan angka 4, Pasal 28 ayat (1) dan
ayat (3), serta Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4), sehingga secara prima facie Mahkamah
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo. Akan tetapi,
khusus untuk Pasal 32 ayat (3) karena pernah diuji oleh Mahkamah dalam Perkara Nomor
019/PUU-I/2003 maka akan dipertimbangkan bersama pokok perkara apakah terdapat
alasan konstitusional yang berbeda dalam permohonan a quo sebagaimana pendapat
Mahkamah terhadap Pasal 60 UU MK dalam Perkara Nomor 011/PUU-IV/2006.
Sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya, Mahkamah
telah menentukan lima syarat mengenai kerugian hak konstitusional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, sebagai berikut:
1. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
2. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
3. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesik dan
aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
4. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian;
dan
5. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
Ketiga Pemohon adalah advokat anggota Ikadin, bertindak sebagai pribadi, dan
mendalilkan hal-hal sebagai berikut:
1. Para Pemohon adalah WNI yang berprofesi sebagai Advokat dan tergabung dalam
Organisasi Advokat Peradin, kemudian menjadi Ikadin;
2. Para Pemohon tidak menjelaskan secara spesik hak-hak konstitusionalnya yang
dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal UU Advokat yang dimohonkan pengujian,
632 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
serta tidak menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya baik yang bersifat aktual
maupun potensial;
3. Para Pemohon hanya mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 1 dan angka 4 UU Advokat
bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat
(3), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945; bahwa Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945; bahwa Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat bertentangan dengan
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal
28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, tetapi tidak disertai alasan atau argumentasi
mengapa dikatakan bertentangan;
4. Para Pemohon menilai terbentuknya Organisasi Advokat Peradi merugikan Ikadin
yang telah didirikannya dengan susah payah;
5. Para Pemohon mengkuatirkan kebijakan pendaftaran ulang Advokat yang dilakukan
Peradi akan merugikan hak-hak konstitusionalnya sebagai WNI dan sebagai Advokat
yang telah diangkat secara resmi oleh Pemerintah.
Dengan demikian, para Pemohon termasuk kualikasi Pemohon perorangan WNI
dan sebagai perorangan WNI memiliki hak-hak konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945, meskipun tidak didalilkan secara eksplisit, tetapi dapat disimpulkan dari pasal-
pasal UUD 1945 yang oleh para Pemohon dianggap dilanggar oleh beberapa pasal UU
Advokat yang dimohonkan pengujian.
Sebagai Advokat para Pemohon berkepentingan terhadap UU Advokat dan berhak
mempersoalkan apakah UU Advokat merugikan diri dan profesinya atau tidak. Maka,
sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Advokat, para
Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian UU Advokat
terhadap UUD 1945. Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan a quo dan para Pemohon memiliki legal standing
maka Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan yang diajukan
oleh para Pemohon.
Dalam pokok permohonan, Mahkamah menilai ketentuan yang tercantum dalam
Pasal 1 angka 1 dan angka 4 tidak mengandung persoalan konstitusionalitas sebagaimana
didalilkan oleh para Pemohon, karena hanya memuat denisi atau pengertian
sebagaimana lazimnya dalam ketentuan umum suatu undang-undang; ketentuan tersebut
juga tidak merujuk bahwa nama organisasi advokat yang didirikan menurut UU Advokat
harus bernama Organisasi Advokat sebagaimana dikemukakan oleh Ahli dari Pemohon,
karena istilah organisasi advokat dimaksud hanya untuk memudahkan penyebutan yang
berulang-ulang dalam UU Advokat tentang satu-satunya wadah profesi advokat.
Penulisan istilah Organisasi Advokat dengan huruf O dan A kapital, meskipun benar
secara gramatikal menurut ilmu perundang-undangan menunjukkan sebagai nama diri,
namun pendekatan gramatikal saja tanpa memperhatikan pendekatan historis tentang
633 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
maksud (intent) pembentuk undang-undang maupun konteks materi yang diatur oleh
Undang-Undang a quo secara keseluruhan (sistimatis-kontekstual), dapat menimbulkan
pengertian yang menyesatkan. Karena, menurut maksud (intent) pembentuk undang-
undang maupun dari segi konteks keseluruhan materi Undang-Undang a quo, penulisan
Organisasi Advokat dengan huruf O dan A kapital tersebut dimaksudkan bukan sebagai
nama diri tertentu, melainkan sebagai kata benda biasa yang menunjukkan makna
umum.
Pasal 28 ayat (1) UU Advokat yang arahnya menuju single bar organization,
tetapi dari fakta persidangan menurut keterangan PERADI dan delapan organisasi yang
mengemban tugas sementara Organisasi Advokat sebelum organisasi dimaksud terbentuk
[vide Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat], yakni Ikadin, AAI, IPHI, SPI, HAPI,
AKHI, HKHPM, dan APSI, kedelapan organisasi pendiri PERADI tersebut tetap eksis
namun kewenangannya sebagai organisasi profesi Advokat, yaitu dalam hal kewenangan
membuat kode etik, menguji, mengawasi, dan memberhentikan Advokat [vide Pasal 26
ayat (1), Pasal 3 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) UU
Advokat], secara resmi kewenangan tersebut telah menjadi kewenangan PERADI yang
telah terbentuk. Adapun kedelapan Organisasi Advokat pendiri PERADI tetap memiliki
kewenangan selain kewenangan yang telah menjadi kewenangan PERADI, sehingga
tidak dapat dikatakan bahwa Pasal 28 ayat (1) UU Advokat meniadakan eksistensi
kedelapan organisasi, yang karenanya melanggar prinsip kebebasan berserikat dan
berkumpul sebagaimana diatur UUD 1945 (vide Putusan Mahkamah Nomor 019/PUU-
I/2003). Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 28 ayat (1) UU
Advokat bertentangan dengan UUD 1945 tidak beralasan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Advokat yang memberikan status kepada Advokat
sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak
hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan menunjukkan bahwa karena
kedudukannya itu diperlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah
profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. Karena,
Pasal 28 ayat (1) UU Advokat menyebutkan, Organisasi Advokat merupakan satu-
satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas
profesi Advokat, maka organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat
pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent
state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara (vide Putusan Mahkamah Nomor
066/PUU-II/2004); bahwa penyebutan secara eksplisit nama delapan organisasi yang
tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) dan Pasal 33 UU Advokat tidaklah menyalahi hakikat
suatu aturan peralihan yang oleh Ahli dari Pemohon dianggap memihak kelompok
tertentu, melainkan hanya untuk mengukuhkan fakta hukum tertentu (legal fact) yang
ada dan peralihannya ke dalam fakta hukum baru menurut UU Advokat.
Larangan rangkap jabatan yang tercantum dalam Pasal 28 ayat (3) UU Advokat
634 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tidak ada persoalan konstitusionalitas dalam pasal tersebut, dalam arti tidak terdapat
pelanggaran hak konstitusional, melainkan sebagai konsekuensi logis pilihan atas suatu
jabatan tertentu.
Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang
sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah
terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah
profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.
Selain itu, Pasal 32 ayat (3) UU Advokat pernah dimohonkan pengujian kepada
Mahkamah yang oleh Mahkamah dalam Putusannya Nomor 019/PUU-I/2003 telah
dinyatakan ditolak.
Kekuatiran para Pemohon tentang nasibnya sebagai Advokat yang telah diangkat
dan diambil sumpah, sebenarnya tidak perlu ada karena telah dijamin oleh Pasal 32 ayat
(1) UU Advokat, sedangkan masalah heregistrasi Advokat yang dilakukan oleh Peradi
lebih merupakan kebijakan dan/atau norma organisasi yang tidak ada kaitannya dengan
konstitusional tidaknya UU Advokat. Selain itu, menurut keterangan Ketua Umum PERADI
di persidangan, adanya ketentuan yang dipersoalkan para Pemohon dalam Pengumuman
PERADI 16 Juni 2006 (Bukti P-5) sebenarnya sudah dicabut dalam Pengumuman PERADI
berikutnya yang tidak disertakan sebagai alat bukti dalam permohonan. Sehingga, dalil-
dalil para Pemohon sepanjang mengenai kekuatiran sebagaimana dimaksudkan para
Pemohon, tidak beralasan.
Dengan demikian dalil-dalil para Pemohon tidak cukup beralasan, sehingga
permohonan Pemohon dinyatakan ditolak untuk seluruhnya.
635 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 015/PUU-IV/2006
TENTANG
PEMBENTUKAN WADAH TUNGGAL ORGANISASI ADVOKAT
Pemohon : Fatahilah Hoed, S.H.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat mengenai konstitusionalitas organisasi Advokat
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal
28F UUD 1945 menyangkut prinsip hak mengembangkan diri.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Kamis, 30 November 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon bernama Fatahilah Hoed, S.H. adalah Sarjana Hukum lulusan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia yang dalam permohonan tertulis menyatakan bekerja sebagai
Konsultan Hukum pada Law Firm Lubis Ganie Surowidjojo, tetapi dalam persidangan
mengaku hanya sebagai karyawan biasa pada Law Firm dimaksud. Sebagai sarjana
hukum lulusan pendidikan tinggi hukum, Pemohon berminat untuk mengembangkan diri
di bidang hukum baik secara praktik maupun pendalaman teori. Permohonan Pemohon
adalah mengenai pengujian Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat (UU Advokat). Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal
10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU
MK), maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan tersebut.
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing), Pemohon menganggap
dirugikan hak konstitusionalnya yang tercantum dalam Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945 dan oleh berlakunya Pasal 32 ayat (3) UU Advokat. Menurut Pemohon, ketentuan
tersebut hanya berlaku 2 tahun sampai dengan tahun 2005 sesuai dengan ketentuan
636 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 32 ayat (4) UU Advokat bahwa Organisasi Advokat yang merupakan wadah tunggal
para Advokat sudah harus terbentuk, padahal Peradi yang dibentuk tidak memenuhi
syarat organisasi karena tidak dibentuk secara demokratis melalui kongres para Advokat
(hanya berdasarkan konsensus delapan organisasi tersebut) dan tidak memiliki Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga). Keadaan tersebut menyebabkan ketidakjelasan
bagi Pemohon yang berminat mengembangkan dirinya menjadi Advokat yang harus
mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh organisasi Advokat, tetapi organisasi Advokat
sebagaimana yang dimaksud UU Advokat belum ada, sebab kenyataannya delapan
organisasi yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) UU Advokat masih tetap eksis.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk :
menyatakan tugas dan kewenangan Organisasi Advokat yang tercantum pada Pasal 1.
32 ayat (3) UU Advokat telah habis masa berlakunya sampai dengan tahun 2005,
sehingga setiap aktitas yang dilaksanakan berkaitan dengan pelaksanaan tugas
dan kewenangan tersebut termasuk pendirian Peradi dan pemilihan pengurus Peradi
melalui konsensus dinyatakan tidak mengikat secara hukum karena telah melewati
waktu dua tahun sebagaimana digariskan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat karena
tidak taat hukum dalam hal ini mematuhi ketentuan UU Advokat sehingga berakibat
terjadinya dampak sebagaimana dikemukakan di atas, yang mana bertentangan
dengan hak konstitusional Pemohon dalam UUD 1945;
menyatakan bahwa Organisasi Advokat yang tercantum pada Pasal 32 ayat (3) UU 2.
Advokat telah melaksanakan tugasnya menyalahi UU Advokat sehingga merugikan
hak-hak Pemohon sebagaimana diatur UUD 1945 dan menimbulkan preseden buruk
untuk menciptakan kepatuhan terhadap hukum;
menyatakan bahwa Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) bukanlah Organisasi 3.
Advokat yang sesuai dengan kriteria dalam UU Advokat karena keberadaan Peradi
tidak sesuai sebagaimana yang diatur UU Advokat dan telah melanggar hak-hak
konstitusional Pemohon disebabkan tidak adanya kejelasan dan menimbulkan
banyak masalah yang menghambat hak konstitusional Pemohon sesuai Pasal 24C
dan Pasal 28C ayat (1) dan (2) serta Pasal 28F UUD 1945.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
meskipun Pemohon memenuhi kualikasi sebagai Pemohon perorangan warga negara
Indonesia dan memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28C ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945, tetapi tidak ada kaitan antara hak konstitusional tersebut dengan
berlakunya Pasal 32 ayat (3) UU Advokat dan juga tidak ada kerugian hak konstitusional
Pemohon, baik secara aktual maupun potensial, serta seandainya pun permohonan
dikabulkan tidak akan berpengaruh apa pun kepada Pemohon. Dengan demikian,
Pemohon tidak memenuhi syarat legal standing untuk mengajukan Permohonan
Pengujian Pasal 32 ayat (3) UU Advokat terhadap UUD 1945. Oleh karena Pemohon
tidak memiliki legal standing maka pokok perkara tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut
dan oleh karena itu permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
637 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 017/PUU-IV/2006
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PERMOHONAN
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH
Pemohon : 1. Yandril, S.Sos. (Ketua DPRD Kabupaten Agam); 2. H. Anwar
Maksum (Ketua Perhimpunan Nagari Se-Kabupaten Agam); 3. H.
Mino Aldi (St. Bgd. Basa, Wali Nagari Batu Taba), dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945 .
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk menarik kembali
permohonannya.
Tanggal Putusan : 9 November 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon melalui kuasa hukumnya, M.Luthe Hakim, S.H., dkk, mengajukan
permohonan pengujian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda); dan memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 7
ayat (2) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Agam Nomor
13 Tahun 2006, Pemohon menarik kembali perkara Nomor 17/PUU-IV/2006 perihal
Pengujian Pasal 7 ayat 2 UU Pemda terhadap UUD 1945.
Mahkamah mengabulkan penarikan Pemohon karena tidak bertentangan dengan
UUD 1945 dengan memperhatikan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi Pemohon dapat menarik kembali
permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.
Serta memperhatikan pula ayat (2) yang menyatakan Penarikan kembali sebagaimana
638 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali. Oleh
karena itu, Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk menarik kembali
permohonannya, serta menyatakan perkara Nomor 017/PUU-IV/2006 tentang Pengujian
Pasal 7 ayat (2) UU Pemda terhadap UUD 1945 ditarik kembali sehingga permohonan
para Pemohon tidak dapat diajukan kembali. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan
kepada Panitera untuk mencatat penarikan kembali perkara Nomor 017/PUU-IV/2006
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
639 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 018/PUU-IV/2006
TENTANG
KONSTITUSIONALITAS PERINTAH PENAHANAN
Pemohon : Mayor Jenderal (Purn). H. Suwarna Abdul Fatah.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengenai Konstitusionalitas Perintah
Penahanan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2)
jo. Pasal 28G ayat (1) jo. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menyangkut
hak pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Rabu, 20 Desember 2006.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 018/PUU-IV/2006 bernama Mayor Jenderal (Purn). H.
Suwarna Abdul Fatah mengajukan Pengujian Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK), Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus permohonan Pemohon.
Berkenaan dengan kedudukan hukum (legal standing), berdasarkan Pasal 51 ayat
(1) huruf a UU MK, Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa
dirugikan oleh berlakunya Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Dalam konteks ini, Pemohon telah
ditahan di Rumah Tahanan Negara Bareskrim Polri oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi (dhi T. H. Panggabean, S.H.) berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Akibat
penahanan tersebut, Pemohon kehilangan haknya untuk bekerja sebagai Gubernur
Kalimantan Timur. Bahkan Pemohon merasa diperlakukan sebagai objek dihadapan
hukum sehingga kehilangan perlakuan sebagai pribadi di hadapan hukum. Berdasarkan
640 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
hal-hal tersebut, Pemohon memenuhi syarat sebagai Pemohon dalam pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945, karena hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945
dianggap dirugikan oleh berlakunya Pasal 21 ayat (1) KUHAP.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 21 ayat (1) KUHAP
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 28G ayat (1) jo. Pasal 28I
ayat (1) UUD 1945 menyangkut hak pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Selanjutnya Pemohon
mendalilkan kekuasaan mutlak penyidik/penuntut umum untuk menahan seseorang
perlu adanya pengawasan yang rasional yang dilakukan oleh badan peradilan (judicial
supervision of pre trial procedure) karena penyelidikan yang bersifat tertutup dan rahasia,
menimbulkan kekuatiran dalam masyarakat bahwa penyelidik akan menggunakan
wewenang yang berlebihan (over exceeding power) untuk mendapatkan pengakuan
tersangka atau keterangan saksi. Agar ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP tersebut tidak
bertentangan dengan UUD 1945 maka frasa melakukan tindak pidana dan frasa dalam
hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP
haruslah dihilangkan dengan cara dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa frasa-
frasa tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Terkait dengan dalil permohonan dimuka, dalam pertimbangan hukumnya,
Mahkamah Konstitusi mengemukakan pendapat sebagai berikut.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 21 ayat (1) KUHAP
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Mahkamah berpendapat,
bahwa keberadaan Pasal 21 ayat (1) KUHAP tidak dapat dilepaskan dengan
adanya Pasal 77 KUHAP. Pasal 21 ayat (1) KUHAP dari aspek norma cukup untuk
mempertemukan dua kepentingan, yaitu kepentingan umum untuk menegakkan
ketertiban, serta kepentingan individu yang harus dilindungi hak asasinya, hal
demikian diperkuat lagi dengan adanya pranata praperadilan sebagaimana diatur
dalam Pasal 77 KUHAP. Adapun adanya praktik yang selama ini dalam penerapan
Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP yang dipandang kurang melindungi hak
terdakwa atau tersangka adalah berada dalam ranah penerapan hukum dan bukan
masalah konstitusioanalitas norma.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 21 ayat (1) KUHAP
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945,
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal tersebut tidak beralasan karena Pasal
21 ayat (1) KUHAP sama sekali tidak berhubungan dengan substansi Pasal 28D
ayat (2) UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan
dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berpendapat, bahwa
pranata penahanan memang secara langsung bersinggungan dengan hak asasi
manusia termasuk di dalamnya hak yang dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) UUD
641 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
1945. Namun dengan perumusan yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP
pembentuk undang-undang telah berusaha juga untuk mempertimbangkan adanya
hak asasi pada terdakwa atau tersangka, oleh karenanya KUHAP juga menyediakan
pranata praperadilan. Secara norma rumusan Pasal 21 ayat (1) KUHAP telah
seimbang, karena mempertemukan dua kepentingan, yaitu kepentingan umum
dan kepentingan perlindungan individual. Pranata penahanan dari sudut hak asasi
manusia dan kepentingan umum menjadi suatu hal menyakitkan tetapi diperlukan
(a necessary evil) dan tidak dapat dihindari, namun ketentuan Pasal 21 ayat (1)
KUHAP secara norma tidaklah eksessif atau berlebihan, sehingga sesuai dengan
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, keberadaan Pasal 21 ayat (1) KUHAP masih dalam
batas rasionalitas yang dapat dibenarkan.
Berdasarkan seluruh pendapat di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat
permohonan Pemohon tidak beralasan. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi
memutuskan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
642 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
643 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 020/PUU-IV/2006
TENTANG
KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI
Pemohon : 1. Drs. Arukat Djaswadi (Pemohon I); 2. K.H. Ibrahim (Pemohon
II); 3. K.H.M. Yusuf Hasyim (Pemohon III); 4. H. Murwanto S.
(Pemohon IV); 5. Abdul Munim, S.H. (Pemohon V); 6. Drs. Moh.
Said (Pemohon VI).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 1 ayat (1), (2), (5), Pasal 18 ayat (1) dan (2), dan Pasal 24
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyangkut
keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Kamis, 7 Desember 2006.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai pelaku sejarah
melawan pengkhianatan Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) PKI dan sekaligus
pegiat dan pengurus organisasi yang berkhidmat di dalam menangkal bangkitnya
kembali organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ideologi Komunisme/
Marxisme-Leninisme yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini.
Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) yang dimaksudkan
sebagai instrumen extra judicial untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat
masa lalu, yang menurut para Pemohon termasuk di dalamnya peristiwa pemberontakan
PKI yang terjadi pada tahun 1948 dan 1965, justru tidak mencantumkan Pancasila
644 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sebagai acuan utama mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.
Pemohon mendalilkan bahwa dalam Pasal 1 angka 1 UU KKR menyebutkan,
kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat diungkapkan berkenaan dengan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat baik mengenai korban, tempat, maupun
waktu. Namun di dalam UU KKR tidak dijumpai pasal-pasal yang menjelaskan tetang
ukuran atau norma kebenaran suatu peristiwa tersebut, oleh karena itu validitas dan
efektifitas konsep dan pembuktian kebenaran menurut UU KKR ini menjadi subjektif
dan tidak terukur, sehingga UU KKR ini tidak mewujudkan kepastian hukum (legal
certainty).
Pasal 1 angka 2 UU KKR berbunyi, hasil dari suatu proses pengungkapan
kebenaran, pengakuan, dan pengampunan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM berat untuk terciptanya perdamaian
dan persatuan bangsa. Menurut Pemohon konsep atau batasan pengertian
rekonsiliasi yang digunakan oleh UU KKR sungguh absurd dan ahistoris. Pasal UU
KKR secara sengaja telah mengonstruksi sejarah dan peristiwa pelanggaran HAM
di masa lampau dengan sedemikian rupa sehingga seolah-olah seluruh peristiwa
pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lampau dan seluruh korban
pelanggaran HAM adalah orang-orang yang tidak bersalah (innocence). Pemohon
sangat menyangsikan mekanisme rekonsiliasi di dalam UU KKR ini bisa memenuhi
aspek keadilan semua pihak serta dapat berlaku efektif.
Rumusan korban dalam Pasal 1 angka 5 UU KKR yang berbunyi, Korban adalah
orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik sik, mental,
maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi
manusia yang berat; termasuk korban adalah juga ahli warisnya. Menurut Pemohon
perluasan subjek hukum korban yang demikian ini sangat potensial untuk terjadinya
distorsi dan manipulasi terhadap proses KKR itu sendiri. Pemohon merasa dirugikan
hak-hak konstitusionalnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.
Para Pemohon ingin menegaskan bahwa pada prinsipnya Pemohon tidak
menolak rekonsiliasi yang dilakukan dengan jujur, adil, serta dikemas dengan
mekanisme yang elegant dan fair.
Dalam memutus permohonan ini Mahkamah melihat dan memperhatikan putusan
perkara Nomor 006/PUU-IV/2006, yang dalam pertimbangannya, menyatakan, bahwa
semua fakta dan keadaan ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, baik dalam
rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk
mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan. Dengan memperhatikan pertimbangan
yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR,
sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang a quo, tidak mungkin
645 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid).
Oleh karena itu, Mahkamah menilai Undang-Undang a quo secara keseluruhan
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian
pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat
ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan
hukum (undang-undang) yang lebih serasi dengan UUD dan instrumen HAM yang
berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik
dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.
Dari pertimbangan Mahkamah di atas, amar putusan Perkara Nomor 006/PUU-
IV/2006 tersebut berbunyi, Mengabulkan Permohonan para Pemohon; Menyatakan
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan
Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Memerintahkan pemuatan
putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Akibatnya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji yaitu UU KKR telah
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat putusan mana memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang Pleno terbuka untuk
umum (vide Pasal 47 UU MK) maka permohonan para Pemohon perkara Nomor
20/PUU-IV/2006 kehilangan objeknya (objectum litis), sehingga permohonan para
Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), karena undang-
undang yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya sudah tidak lagi mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
646 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
647 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 021/PUU-IV/2006
TENTANG
BADAN HUKUM PENDIDIKAN
Pemohon : 1. Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Indonesia/ABPPTSI (Pemohon I); 2. Yayasan Rumah Sakit Islam
Indonesia/Yayasan Yarsi (Pemohon II); 3. Yayasan Pesantren
Islam Al-Azhar (Pemohon III); 4. Yayasan Pendidikan Tinggi
As-Syaiyah (Pemohon IV); 5. Yayasan Wakaf UMI Makasar
(Pemohon V); 6. Yayasan Trisakti (Pemohon VI); 7. Yayasan
Universitas Prof.Dr. Moestopo (Pemohon VII); 8. Yayasan Pembina
Lembaga Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia/YPLP-
PGRI (Pemohon VIII); 9. Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan
Perguruan Tinggi Persatuan Guru Republik Indonesia (YPLP-
PT-PGRI) Prov. Sumatera Selatan (Pemohon IX); 10. Yayasan
Pembina Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi IKIP Persatuan
Guru Republik Indonesia (YPLT-IKIP-PGRI) Prov Bali (Pemohon
X); 11. Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi
IKIP Persatuan Guru Republik Indonesia (YPLT-PT-PGRI) Daerah
Kalimantan Selatan (Pemohon XI); 12. Yayasan Pembina Lembaga
Pendidikan Dikdasmen PGRI. Prov Bali (Pemohon XII); 13. Komisi
Pendidikan Konferensi Wali Gereja Indonesia/Komisi Pendidikan
KWI atau Komdik KWI (Pemohon XIII); 14. Yayasan Tarakanita
(Pemohon XIV); 15. Yayasan Karya Sang Timur (Pemohon XV);
16. Yayasan Mardi Yuana (Pemohon XVI).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
Pokok Perkara : Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Pasal 27 ayat
648 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G
ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyangkut keberadaan
yayasan dalam rangka menyelenggarakan pendidikan.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Kamis, 22 Februari 2007.
Ikhtisar Putusan :
Permohonan para Pemohon yaitu Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi
Swasta Indonesia (ABPPTSI), Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia (Yayasan Yarsi),
Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar, Yayasan Pendidikan Tinggi As-Syaiyah, Yayasan
Wakaf UMI Makasar, Yayasan Trisakti, Yayasan Universitas Prof.Dr. Moestopo, Yayasan
Pembina Lembaga Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (YPLP-PGRI), Yayasan
Pembina Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi Persatuan Guru Republik Indonesia
(YPLP-PT-PGRI) Prov. Sumatera Selatan, Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan
Perguruan Tinggi IKIP Persatuan Guru Republik Indonesia (YPLT-IKIP-PGRI) Prov Bali,
Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi IKIP Persatuan Guru Republik
Indonesia (YPLT-PT-PGRI) Daerah Kalimantan Selatan, Yayasan Pembina Lembaga
Pendidikan Dikdasmen PGRI Prov Bali, Komisi Pendidikan Konferensi Wali Gereja
Indonesia (Komisi Pendidikan KWI atau Komdik KWI), Yayasan Tarakanita, Yayasan
Karya Sang Timur, dan Yayasan Mardi Yuana adalah mengenai pengujian Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berdasarkan Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, perkara tersebut termasuk kewenangan Mahkamah
Konstitusi sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan a quo.
Para Pemohon berkualikasi sebagai badan hukum privat yang mendalilkan bahwa
hak konstitusional para Pemohon dirugikan oleh berlakunya Pasal 53 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Sesuai Pasal 51 ayat (1) huruf c UU MK, para Pemohon mempunyai kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.
Pemohon Perkara Nomor 21/PUU-IV/2006 mengajukan pengujian materiil Pasal 53
ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya ketentuan
Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003, yaitu hak konstitusional yayasan yang saat
ini sedang menyelenggarakan pendidikan akan hilang, sebab yayasan-yayasan tersebut
tidak dimungkinkan lagi turut serta menyelenggarakan pendidikan dan di sisi lain tidak
mungkin menjadi badan hukum pendidikan. Selain itu juga menghilangkan peran serta
masyarakat dalam mengembangkan pendidikan yang diselenggarakan oleh yayasan
yang diakui keberadaannya oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 jo. UU Nomor
16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
649 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyangkut keberadaan
yayasan dalam rangka menyelenggarakan pendidikan. Dalam konteks ini, berlakunya
Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas telah menakan dan mengeliminasi keberadaan yayasan-
yayasan dan peranannya dalam ikut serta memajukan dan mengembangkan pendidikan
di Indonesia. Hal ini disebabkan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas menyebutkan bahwa
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Padahal Pemohon adalah yayasan
yang sudah berstatus badan hukum untuk menyelenggarakan pendidikan. Adanya
ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas menyebabkan Pemohon tidak mungkin lagi
menyelenggarakan pendidikan.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal
53 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C
ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sehingga
pasal-pasal UU Sisdiknas tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan
segala akibat hukumnya.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa karena
undang-undang mengenai badan hukum pendidikan yang dimaksud untuk melaksanakan
Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas belum ada maka tidak terdapat kerugian hak konstitusional
Pemohon yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas. Karena
Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas masih merupakan perintah agar penyelenggara dan/
atau satuan pendidikan berbentuk badan hukum pendidikan dengan fungsi dan prinsip
sebagaimana tersebut dalam Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Sisdiknas, sehingga belum
mengandung substansi aturan mengenai badan hukum pendidikan yang dipersoalkan
oleh para Pemohon. Meskipun Pemohon memiliki legal standing, tetapi karena tidak
ternyata bahwa Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas menimbulkan kerugian hak konstitusional
para Pemohon, maka Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan para Pemohon
harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Mahkamah Konstitusi juga memberikan catatan dalam pertimbangan hukumnya,
antara lain ada beberapa aspek yaitu: aspek fungsi Negara untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa; aspek losos yakni mengenai cita-cita untuk membangun sistim
pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa; aspek
sosiologis yakni realitas mengenai penyelenggaraan pendidikan yang sudah ada
termasuk yang diselenggarakan oleh berbagai yayasan; serta aspek yuridis yakni tidak
menimbulkan pertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya; aspek
pengaturan mengenai badan hukum pendidikan dalam undang-undang; dan aspek
aspirasi masyarakat harus mendapat perhatian di dalam pembentukan undang-undang
mengenai badan hukum pendidikan agar tidak menimbulkan masalah baru dalam dunia
pendidikan di Indonesia.
650 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
651 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 023/PUU-IV/2006
TENTANG
PANITIA URUSAN PIUTANG NEGARA
Pemohon : 1. Kasdin Simanjuntak, S.H.; 2. Yon Richardo, S.H.; 3. Binoto
Nadapdap., S.H., M.H., dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960
tentang Panitia Urusan Piutang Negara terhadap Undang-
Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960
tentang Panitia Urusan Piutang Negara, bertentangan dengan
Pasal 28 huruf I ayat (2) UUD 1945 menyangkut kebebasan dari
perlakuan yang diskriminatif.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Kamis, 21 Desember 2006.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon adalah advokat, warga negara Indonesia, baik sebagai perorangan
atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama yang menganggap hak
konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Pasal 12 ayat (2) UU PUPN.
Para Pemohon telah pernah mengajukan proposal penanganan kredit macet kepada
salah satu Bank Milik Negara (Bank BUMN) dan para Pemohon mendapat jawaban
berupa penolakan dengan alasan bahwa menurut ketentuan Pasal 12 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU PUPN),
pengurusan piutang negara dilarang diserahkan kepada pengacara.
Dalam Pasal 12 ayat (1) UU PUPN disebutkan bahwa Instansi-Instansi Pemerintah
dan Badan-Badan Negara yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini diwajibkan
menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum
akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada
652 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Panitia Urusan Piutang Negara.
Karena Pasal 12 ayat (1) ini tidak memiliki penjelasan lebih lanjut maka para
Pemohon berpendapat bahwa pengertian atau maksud dari Pasal 12 ayat (1) adalah,
apabila suatu instansi pemerintah atau badan negara mempunyai suatu piutang yang
sudah tergolong sebagai piutang macet, maka instansi atau badan dimaksud diwajibkan
menyerahkan piutang macet tersebut kepada Panitia Urusan Piutang Negara.
Selanjutnya, dalam Pasal 12 ayat (2) UU PUPN, disebutkan bahwa Dalam hal seperti
dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini maka dilarang menyerahkan pengurusan piutang
negara kepada pengacara. Karena terhadap Pasal 12 ayat (2) ini tidak ada penjelasan
lebih lanjut maka para Pemohon berpendapat bahwa pengertian atau maksud dari
Pasal 12 ayat (2) adalah, instansi pemerintah atau badan negara dilarang menyerahkan
pengurusan piutang macet kepada pengacara.
Menurut para Pemohon, adalah hak dari negara atau pemerintah untuk menunjuk
suatu instansi atau badan untuk mengurus piutang negara, sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 12 ayat (1) tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, negara atau pemerintah
telah menunjuk Panitia Urusan Piutang Negara untuk mengurus piutang negara. Akan
tetapi, ketika negara atau pemerintah juga menentukan bahwa instansi pemerintah atau
badan negara dilarang menyerahkan pengurusan piutang negara kepada seseorang
atau kelompok profesi tertentu, dalam hal ini pengacara, maka negara atau pemerintah
telah bertindak secara diskriminatif terhadap profesi pengacara, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 12 ayat (2) tersebut.
Para Pemohon juga menganggap negara atau pemerintah telah membuat suatu
peraturan yang sifatnya merendahkan dan meremehkan harkat atau martabat profesi
pengacara; berupa pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung ataupun
tak langsung yang didasarkan pada pembedaan kelompok, golongan atau status sosial
sebagai pengacara yang berakibat pengurangan atau penghapusan pengakuan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Dalam hal ini, pengujian materiil yang diajukan para Pemohon adalah menyangkut
dikriminasi tentang status sosial dimana status sosial dari para Pemohon adalah pekerjaan
sebagai Advokat. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945.
Meskipun UU PUPN diundangkan jauh sebelum Perubahan UUD 1945, yakni pada
14 Desember 1960, tetapi Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan a quo, karena Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) yang berbunyi Undang-
undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan
setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan
Nomor 066/PUU-III/2005.
653 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Selain itu, sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya,
Mahkamah telah menentukan lima syarat mengenai kerugian hak konstitusional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK sebagai berikut :
harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh a.
UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh b.
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesik dan aktual, c.
atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
ada hubungan sebab akibat ( d. causal verband) antara kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian;
dan
ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian e.
hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
Para Pemohon dapat dikualikasikan sebagai perorangan warga negara Indonesia
maupun kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama dalam profesi mereka
sebagai Advokat, yang menganggap hak konstitusionalnya yang tercantum dalam Pasal
28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi Setiap orang berhak bebas dari perlakuan
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 ayat (2) UU
PUPN yang berbunyi Dalam hal seperti dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini maka
dilarang menyerahkan pengurusan piutang negara kepada Pengacara. Kerugian hak
konstitusional para Pemohon berdasarkan Bukti P-2 bersifat spesik dan aktual, serta
mempunyai hubungan sebab akibat dengan berlakunya Pasal 12 ayat (2) UU PUPN,
sehingga diyakini bahwa apabila permohonan dikabulkan kerugian dimaksud tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Dengan demikian, para Pemohon mempunyai legal standing untuk mengajukan
permohonan pengujian Pasal 12 ayat (2) UU PUPN terhadap UUD 1945;
Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon tidak tepat, karena profesi
advokat/pengacara bukanlah status sosial sebagaimana didalilkan para Pemohon.
Sementara itu, Pasal 12 ayat (2) UU PUPN yang berisi larangan menyerahkan urusan
piutang negara kepada pengacara (advokat) karena hal itu oleh undang-undang telah
diserahkan kepada PUPN yang bersifat interdepartemental yang keanggotaannya terdiri
dari pejabat-pejabat pemerintah. Karena itu, perbedaan kewenangan yang diberikan
kepada PUPN dengan hak profesi pengacara/advokat tidak dapat dibandingkan satu
dengan yang lain dan dijadikan ukuran adanya diskriminasi sebagaimana dimaksud
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
654 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tentang Hak Asasi Manusia, karena larangan tersebut berlaku juga kepada semua pihak
ketiga di luar advokat/pengacara. Dengan demikian, Pasal 12 ayat (2) UU PUPN tidak
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Bahwa dengan telah diterbitkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang
baru, khususnya dengan persoalan penyelesaian hutang bermasalah atau kredit macet
(non performing loan) pada Bank-bank BUMN yang diserahkan sepenuhnya kepada
mekanisme korporasi, dapat dikatakan sudah mereduksi maksud semula dari UU PUPN.
Seharusnya, permasalahan yang pernah dihadapi para Pemohon berkenaan dengan
penolakan proposalnya ke suatu Bank BUMN tidak ada kaitan dengan ketentuan Pasal
12 ayat (2) UU PUPN. Akan tetapi, karena berbagai peraturan perundang-undangan
pelaksanaannya telah berubah dari maksudnya semula, sehingga tidak terdapat lagi
halangan bagi profesi advokat untuk menjadi kuasa BUMN (corporate) apabila ditunjuk
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, karena derajat peraturan-peraturan
pelaksanaan dimaksud lebih rendah dari pada UU PUPN maka peraturan-peraturan
dimaksud tidak menghapuskan keberadaan Pasal 12 ayat (2) UU PUPN.
Bahwa meskipun Pasal 12 ayat (2) UU PUPN tidak bertentangan dengan UUD 1945,
tetapi karena raison detre dan suasana kebatinan UU PUPN sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan sekarang, sebagaimana diakui sendiri oleh Pemerintah maka
Mahkamah berpendapat bahwa pembentuk undang-undang perlu segera melakukan
pembaharuan atas UU PUPN dimaksud agar tertib hukum berdasarkan UUD 1945 tertata
dan terjamin konstitusionalitasnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalil-dalil para Pemohon terhadap Pasal 12
ayat (2) UU PUPN tidak cukup beralasan, sehingga permohonan harus ditolak.
655 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 024/PUU-IV/2006
TENTANG
HAK POLITIK ANGGOTA POLRI
Pemohon : Kombes. Pol.(Purn.) Drs. H.M. Sofwat Hadi, S.H.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD, Undang-Undang 23 Tahun 23
tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, dan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 145 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Pasal 102 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,
Pasal 230 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah; Pasal 28 angka 2 Undang-Undang Nomor
2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI; Pasal 39 angka 4
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia; bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyangkut
hak atas perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Kamis, 18 Januari 2007.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mengajukan pengujian materiil Pasal 145 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut
UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD); Pasal 102 Undang-Undang Nomor 23
656 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU
Pilpres); Pasal 230 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(selanjutnya disebut UU Pemda); Pasal 28 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara RI (selanjutnya disebut UU Kepolisian); Pasal 39 angka
4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI)
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 22E ayat (1), Pasal
28I ayat (2) UUD 1945 menyangkut penggunaan hak memilih.
Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan karena Pasal 145 UU Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pasal 102 UU Pilpres, Pasal 230 UU Pemda, Pasal 28
angka 2 UU Kepolisian, Pasal 39 angka 4 UU TNI, memberikan perlakuan diskriminasi
terhadap setiap warga negara karena perbedaan pekerjaan dan status sosial sebagai
anggota TNI Polri. Padahal negara wajib memberikan perlakuan yang sama dan adil
terhadap semua warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK:
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-undang, yaitu:
1. Perorangan warga negara Indonesia;
2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-undang;
3. Badan hukum publik atau privat; atau
4. Lembaga Negara.
Pemohon mengajukan permohonan pengujian beberapa undang-undang tersebut
karena :
Pemberlakuan kelima pasal-pasal dalam Undang-Undang a. a quo, berkaitan dengan
larangan penggunaan hak berpolitik untuk memilih dan dipilih bagi anggota TNI-Polri
dalam pemilihan umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah. Pemberlakuan tersebut menurut
Pemohon bertentangan dengan asas Pemilu diantaranya asas umum. Sebagaimana
dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Larangan untuk memberikan hak memilih dan dipilih dalam Pemilu, merupakan b.
salah satu bentuk diskriminasi terhadap setiap warga Negara karena perbedaan
pekerjaan dan status sosial yaitu sebagai anggota TNI-Polri. Padahal Negara wajib
memberikan perlakuan yang sama dan adil tanpa diskriminasi terhadap semua
anggota warga Negara karena perbedaan pekerjaan dan status sosial sebagaimana
tercantum dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Larangan untuk menggunakan hak pilih bagi setiap anggota TNI-Polri membuat c.
anggota TNI-Polri tidak memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan, karena keikutsertaannya dalam Pemilu. Padahal mengikuti Pemilu
adalah bagian dari tanggung jawab semua warga Negara yang ditegaskan dalam
657 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan kedudukan yang sama dijamin dan dilindungi oleh
UUD 1945 yaitu Pasal 28D ayat (1).
Pemberlakuan kelima pasal dalam UU Pemilu, DPR, DPD dan DPRD, UU Pemilihan d.
Presiden dan UU Pemda, memiliki semangat tidak menghormati dan tidak menghargai
Hak Asasi Manusia khususnya Anggota TNI-Polri, padahal hak-hak tersebut dijamin
dan dilindungi oleh UUD 1945.
Menyangkut kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Pasal 51 ayat (1)
huruf a UU MK menyebutkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Dengan
memperhatikan dalil Pemohon yang intinya menerangkan bahwa Pemohon merasa
mendapat perlakuan yang tidak bersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
merasa tidak berhak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum dan merasa tidak berhak bebas
dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun.
Mahkamah berpendapat Pemohon harus memenuhi persyaratan adanya kerugian
konstitusional sebagaimana dimaksud oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/
PUU-III/2005 sehingga Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Untuk
menetapkan bahwa Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional yang disebabkan
oleh berlakunya UU maka harus dipenuhi lima syarat yang bersifat kumulatif yaitu:
1. adanya hak konstitusional yang diberikan oleh UUD RI Tahun 1945;
2. hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang sedang diuji;
3. kerugian konstitusional tersebut bersifat spesik (khusus) dan aktual atau setidak-
tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
4. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional
Pemohon dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
5. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Mahkamah memeriksa pokok permohonan Pemohon dengan mempertimbangkan
hal-hal pokok sebagai berikut :
a. Pasal 64 dan Pasal 145 UU Pemilu, Pasal 102 UU Pilpres, Pasal 230 UU Pemda,
Pasal 28 angka 2 UU Polri, dan Pasal 39 angka 4 UU TNI a quo memang berisi
pembatasan terhadap hak konstitusional, dalam hal ini hak politik warga Negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pengaturan tentang Pembatasan dalam Undang-Undang a quo ditujukan bagi
kelompok warga negara tertentu, dalam hal ini warga negara yang berstatus sebagai
Anggota TNI atau Polri.
b. Pemohon adalah pensiunan anggota Polri. Apakah pensiunan Anggota Polri secara
658 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
hukum memiliki kualikasi yang sama dengan Anggota Polri yang masih aktif sehingga
dapat bertindak seolah-olah sebagai Anggota Polri yang masih aktif? Menurut sistim
hukum yang berlaku di Indonesia, pensiunan tentara atau polisi tidak sama statusnya
dengan tentara atau polisi aktif. Oleh karena Pemohon tidak dapat bertindak seakan-
akan anggota Polri aktif. Sebagai pensiunan anggota Polri, Pemohon tidak dapat
mengatasnamakan anggota Polri yang masih aktif, sebagaimana tercantum dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK mempersyaratkan bahwa kerugian itu harus lah kerugian
yang dialami sendiri bukan kerugian yang diderita oleh pihak lain.
c. Kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya undang-undang a qou
dimana pada masa lalu Pemohon mengajukan diri sebagai bakal calon Anggota DPD
Kalimantan Selatan harus mengundurkan diri dari dinas Polri dengan hak pensiun.
Namun sekiranya permohonan dikabulkan tidak akan memulihkan hak konstitusional
yang dirugikan dimaksud karena kualikasi Pemohon pada saat ini berbeda dengan
kualikasi Pemohon pada saat kerugian hak konstitusional itu terjadi.
Sesuai dengan persyaratan kedudukan hukum yang telah menjadi pendirian
Mahkamah sejak Putusan 006/PUU-III/2005, sebagaimana telah diuraikan di atas,
permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.
659 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 025/PUU-IV/2006
TENTANG
SERTIFIKASI GURU DAN DOSEN
Pemohon : 1. Fathul Hadie Utsman; 2. Dr. Abd. Halim Suebahar MA; 3. Dr. Abd.
Kholiq Syafaat, MA., dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 9, Pasal 10, Pasal 15 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (1) dan
(2), Pasal 20 b, Pasal 24 ayat (1) dan (4), Pasal 25 ayat (2) dan (3),
Pasal 46 ayat (2) a, Pasal 47 ayat (1) c, Pasal 52 ayat (2) dan (3),
Pasal 54 ayat (1) dan (2), Pasal 60 c, Pasal 80 ayat (1) a dan b,
Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal
28D ayat (1) dan (2), Pasal 28H ayat (2) dan (3), Pasal 28I ayat (1),
(2) dan (3), Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyangkut hak
mendapatkan pendidikan, hak untuk diperlakukan sama di depan
hukum, dan hak bebas dari perlakuan diskriminatif.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Kamis, 22 Februari 2007.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 15 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (1) dan (2), Pasal 20 b,
Pasal 24 ayat (1) dan (4), Pasal 25 ayat (2) dan (3), Pasal 46 ayat (2) a, Pasal 47 ayat
(1) c, Pasal 52 ayat (2) dan (3), Pasal 54 ayat (1) dan (2), Pasal 60 C, Pasal 80 ayat
(1) a dan b, Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen (UU Guru dan Dosen) bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D
ayat (1) dan (2), Pasal 28H ayat (2) dan (3), Pasal 28I ayat (1), (2) dan (3), Pasal 31
ayat (1) dan (2) UUD 1945. Karena Pemohon sebagai guru yang sebelumnya sudah
660 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dianggap memenuhi persyaratan, dengan berlakunya pasal-pasal tersebut dianggap
tidak memenuhi persyaratan lagi sebagai guru dan harus mencari sertikat pendidikan
serta mengikuti pendidikan di perguruan tinggi untuk kualikasi akademik atau profesi
melalui pendidikan profesi.
Mahkamah menilai Pemohon memiliki legal standing berdasar Pasal 51 ayat (1)
UU MK. Mahkamah juga menilai bahwa Mahkamah memiliki kewenangan untuk menguji
undang-undang bersangkutan berdasar kewenangan sebagaimana diatur Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK.
Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 UU MK, salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final dan mengikat untuk menguji undang-undang terhadap UUD
1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
066/PUUII/2004 maka Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU Guru dan Dosen.
Menyangkut kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Pasal 51 ayat (1)
huruf a UU MK menyebutkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Dengan
memperhatikan dalil Pemohon yang intinya menerangkan bahwa Pemohon merasa
mendapat perlakuan yang tidak bersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
merasa tidak berhak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum dan merasa tidak berhak bebas
dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun.
Terhadap pokok permohonan, Mahkamah memberikan pandangan sebagai
berikut.
Mahkamah dapat menerima keterangan Pemerintah dan DPR bahwa semangat a.
UU Guru dan Dosen bertujuan untuk mengembalikan dan mengangkat martabat
guru dan dosen, dan dengan loso yang mendasarinya, Undang-Undang a quo
dipandang sebagai pelaksanaan amanat Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur
hak warga negara untuk memperoleh pendidikan. Undang-undang tersebut justru
dimaksudkan untuk melindungi warga negara agar tidak mendapatkan pendidikan
yang tidak bermutu.
Untuk memperoleh pendidikan yang bermutu diperlukan kondisi bahwa guru dan b.
dosen sebagai tenaga pendidik harus merupakan tenaga professional, sehingga
untuk tujuan tersebut beberapa hal harus dipenuhi, antara lain guru/dosen harus
terkualikasi, yaitu dengan memiliki kualikasi S1 atau DIV bagi guru, sedang dosen
harus sekurang-kurangnya memperoleh pendidikan S2.
Keseluruhan pasal-pasal undang-undang yang dimohon untuk diuji pada c.
permohonan para Pemohon yang mensyaratkan kualikasi tertentu bagi guru dan
dosen serta kewajiban untuk memiliki kompetensi melalui sertikasi, justru sangat
661 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
bersesuaian dan dipandang sebagai penjabaran salah satu tugas bernegara dalam
Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, serta Pasal 31
UUD 1945 yang menetapkan hak warga Negara untuk memperoleh pendidikan,
dimana dalam konteks persaingan (competition) yang terjadi dan dialami diantara
anggota masyarakat bangsa-bangsa secara regional maupun global, memerlukan
guru dan dosen profesional yang senantiasa meningkatkan dan mengembangkan
kompetensi dan kualikasi mereka masing-masing secara berkelanjutan sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mampu sejajar
dengan bangsa-bangsa lain.
Penentuan jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai batas bagi mereka d.
yang saat ini sudah bekerja sebagai guru dan dosen tetapi belum memiliki sertikat
pendidik untuk tetap menikmati tunjangan fungsional dan maslahat tambahan
sebagaimana dimaksud Pasal 80 dan Pasal 82 UU Guru dan Dosen, juga tidak
dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya hal tersebut justru
harus dilihat sebagai motivasi bagi peningkatan diri masing-masing sebagai guru
dan dosen yang professional sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika hal itu dilakukan maka upaya mencerdaskan bangsa dan mendidik generasi
muda menjadi cerdas dapat dipastikan tidak akan berhasil. Lagipula tenggang waktu
10 tahun cukup memberi keleluasaan bagi guru dan dosen untuk memperoleh
kualikasi akademis dan sertikat pendidik sebagaimana dimaksud UU guru dan
Dosen. Hal demikian juga merupakan ketentuan peralihan yang memungkinkan
tejadinya transisi yang mulus (smooth transition) dari keadaan lama dan aturan lama
menuju keadaan dan efektivitas aturan yang baru.
Semua pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya tidak dipandang mengingkari e.
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang sama dan tidak
berkaitan dengan penuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut (retroactive)
yang didalilkan oleh para Pemohon. Apabila undang-undang yang diuji diperlakukan
terhadap guru dan dosen yang telah diangkat dan telah menjalankan tugas sebagai
guru sebelum Undang-Undang a quo diundangkan, pemberlakuan undang-undang
tidak termasuk ruang lingkup larangan penuntutan atas dasar hukum yang berlaku
surut sebagaimana dimaksud Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3) UU Guru dan Dosen f.
menyangkut kebutuhan guru yang memenuhi syarat bagi sekolah negeri yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah dan kewajiban sekolah yang diselenggarakan oleh
masyarakat untuk memenuhi guru tetap dengan syarat tertentu yang didasarkan
dan diatur dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama, tidak dapat
dianggap bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1), Pasal
28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2), karena masing-masing sekolah tersebut
dikelola oleh penyelenggara atau satuan pendidikan yang berbeda dalam hubungan
kerja yang berbeda, hak dan kewajiban hukum berbeda. Dengan demikian tidak
dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945 yang berkenaan dengan hak
662 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
mendapatkan pendidikan dan hak untuk diperlakukan sama didepan hukum dan
bebas dari perlakuan diskriminatif.
Berdasarkan uraian tersebut, Mahkamah berpendapat permohonan pengujian
terhadap UU Guru dan Dosen yang diajukan oleh para Pemohon tidak beralasan karena
materi undang-undang yang dimohonkan pengujian tidak ternyata bertentangan dengan
UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon harus ditolak untuk seluruhnya.
663 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 26/PUU-IV/2006
TENTANG
ANGGARAN PENDIDIKAN PADA APBN 2007
Pemohon : 1. Pengurus Besar PGRI; 2. Santi Suprihatin; 3. Abdul Rosid, dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2006 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007 terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2006 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007 sepanjang
menyangkut anggaran pendidikan sebesar 11,8% (sebelas koma
delapan persen) sebagai batas tertinggi bertentangan dengan Pasal
31 ayat (4) UUD 1945 menyangkut prioritas anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya.
Tanggal Putusan : Selasa, 1 Mei 2007.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon yakni Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (Pengurus
Besar PGRI), Santi Suprihatin, Abdul Rosid, Sumarni, dan Zulkii mengajukan pengujian
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2007 (UU APBN TA 2007). Dalam putusan perkara nomor
026/PUU-III/2005, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Undang-Undang tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk dalam pengertian undang-undang
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 sehingga Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk melakukan pengujian terhadap UU APBN.
Berkenaan dengan kedudukan hukum (legal standing), dalam putusan perkara
nomor 026/PUU-III/2005 Mahkamah Konstitusi telah memberikan kedudukan hukum
(legal standing) kepada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dengan kualikasi
664 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sebagai perorangan atau kumpulan perorangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51
UU MK untuk mengajukan permohonan pengujian atas UU Nomor 13 Tahun 2005 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006. Oleh karenanya,
dalam permohonan ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa PGRI tetap memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian UU APBN
TA 2007. Adapun para Pemohon selebihnya yaitu Santi Suprihatin, Abdul Rosid, Sumarni,
dan Zulkii, Mahkamah Konstitusi berpendapat para Pemohon tersebut termasuk dalam
kualikasi perorangan atau kumpulan perorangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal
51 UU MK yang memiliki hak konstitusional dalam bidang pendidikan sebagaimana
dimaksudkan oleh Pasal 31 UUD 1945, oleh karenanya kepada para Pemohon tersebut
haruslah diberikan kedudukan hukum (legal standing).
Dalam permohonannya, para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa UU APBN TA 2007 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan
sebesar 11,8% (sebelas koma delapan persen) sebagai batas tertinggi adalah
bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 yang berkaitan dengan besaran (persentase) anggaran
pendidikan sebagai berikut.
1. Perkara Nomor 011/PUU-III/2005.
Dalam perkara ini, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Penjelasan Pasal 49
ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UU Sisdiknas) bertentangan dengan UUD 1945 karena memuat norma baru yang
berbeda dengan norma Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas. Amar putusan ini selanjutnya
menjadi dasar untuk memutus perkara nomor 012/PUU-III/2005 dan perkara nomor
026/PUU-III/2005 yang menyangkut soal persentase anggaran pendidikan dalam
UU APBN TA 2005 dan 2006. Dengan adanya putusan tersebut maka alokasi
anggaran pendidikan nasional sebesar 20% tidak dapat dilakukan secara bertahap
tetapi harus dipenuhi untuk setiap tahun anggaran.
2. Perkara Nomor 012/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 026/PUU-III/2005.
Dalam dua perkara ini, Mahkamah Konstitusi telah menggunakan formula atau
rumus yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden untuk menentukan komponen
anggaran pendidikan yang dimaksudkan oleh Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yaitu
sebagaimana tertuang dalam Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas yang terdiri atas dana
untuk pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Formula
atau rumusan tersebut dilatarbelakangi niat untuk dapat terlaksananya ketentuan
konstitusional dengan baik, karena apabila dalam formula tersebut kemudian
dimasukkan di dalamnya komponen gaji pendidik dan pendidikan kedinasan, hal
demikian akan menjadikan jumlah nominal anggaran pendidikan yang cukup besar
sehingga jumlahnya menjadi mendekati angka 20%, namun penghitungan yang
665 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
demikian tidak banyak artinya secara langsung dalam memperbaiki dunia pendidikan
nasional.
Berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi di muka, telah jelas cara
menghitung anggaran pendidikan dan selaman masih di bawah 20% pasti bertentangan
dengan UUD 1945. Dengan demikian selama tiada perubahan tentang komponen
anggaran pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas
dan apabila terjadi permohonan pengujian serupa kepada Mahkamah Konstitusi maka
Mahkamah Konstitusi akan menggunakan cara penghitungan yang sama. Mengingat
sifat imperatif Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mengingatkan agar
anggaran pendidikan minimal 20% dalam APBN harus diprioritaskan dan diwujudkan
dengan sungguh-sungguh agar jangan sampai Mahkamah Konstitusi harus menyatakan
keseluruhan APBN yang tercantum dalam UU APBN tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat yang disebabkan oleh adanya bagian dari UU APBN, yaitu mengenai anggaran
pendidikan, yang bertentangan dengan UUD 1945.
Berlandaskan uraian di muka, Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa
permohonan Pemohon cukup beralasan. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi
memutuskan untuk mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya, yakni dengan
menyatakan UU APBN TA 2007 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar
11,8% (sebelas koma delapan persen) sebagai batas tertinggi, adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya,
Mahkamah memerintahkan pemuatan Putusan Nomor 026/PUU-IV/2006 ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
666 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
667 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 027/SKLN-IV/2006
TENTANG
SENGKETA KEWENANGAN ANTARA KETUA DAN WAKIL KETUA DPRD POSO
PROVINSI SULAWESI TENGAH TERHADAP
GUBERNUR PROVINSI SULAWESI TENGAH
Pemohon : 1. Drs. S. Pelima; 2. H. Abdul Munim Liputo; 3, Herry M. Sarumpaet.
Termohon : Gubernur Kepala Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah.
Jenis Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara DPRD Poso dan
Gubernur Kepala Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah.
Pokok Perkara : Pengujian kewenangan berkaitan dengan adanya tindakan
Gubernur yang melampaui batas kewenangan dan tidak sesuai
dengan ketentuan Pasal 42 ayat (I) huruf d Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Senin, 12 Maret 2007.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon yaitu Drs. S. Pelima, H. Abdul Munim Liputo, dan Herry M. Sarumpaet
masing-masing adalah Ketua dan para Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Poso (DPRD Kabupaten Poso). Adapun yang menjadi pokok persoalan dalam
permohonan a quo adalah perihal kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Bupati/
Wakil Bupati Poso dengan berlandaskan pada Pasal 18 UUD 1945. Namun demikian,
pengaturan untuk mengusulkan pengangkatan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
diserahkan kepada undang-undang. UUD 1945 hanya memberikan arahan (guidance)
dan penegasan kepada pembentuk undang-undang bahwa dalam membentuk undang-
undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah itu pembentuk undang-undang
haruslah memperhatikan:
668 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
bahwa pemerintahan daerah itu, baik provinsi maupun kabupaten/kota, mengatur a.
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan [Pasal 18 ayat (2)];
bahwa otonomi yang dijalankan oleh pemerintahan daerah itu, baik pemerintahan b.
daerah provinsi maupun kabupaten/kota, adalah seluas-luasnya, kecuali urusan
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat [Pasal
18 ayat (5)];
bahwa kepala daerah (baik kepala daerah provinsi maupun kabupaten/kota) harus c.
dipilih secara demokratis [Pasal 18 ayat (4)];
bahwa untuk menjalankan otonomi dan tugas pembantuan, pemerintahan daerah d.
berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain;
sementara itu, kata dalam undang-undang pada Pasal 18 ayat (7) UUD 1945 e.
adalah merujuk pada undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan
daerah sebagaimana dimaksud oleh ketentuan dalam ayat (1) dari Pasal 18 UUD
1945.
Oleh karena itu, objectum litis dari permohonan a quo, yaitu masalah kewenangan
pengusulan pengangkatan kepala daerah, baik untuk daerah provinsi maupun
kabupaten/kota adalah bagian dari substansi atau materi muatan undang-undang yang
mengatur tentang pemerintahan daerah, in casu UU Pemda. Sehingga sesuai dengan
ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf b UU Mahkamah
Konstitusi, sengketa antara Pemohon dan Termohon bukanlah kewenangan Mahkamah
untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya. Atas dasar itu, Mahkamah Konstitusi
menyatakan permohonan Permohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Pendapat Berbeda:
Dalam putusan ini, seorang Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda.
Menurut hakim dissenter (hakim yang mengemukakan pendapat berbeda), Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan
yang diajukan oleh Pemohon. Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (6) mengatur
Pemerintahan Daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan yang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat dan untuk melaksanakan otonomi seluas-
luasnya tersebut, Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan
Peraturan lain. Kewenangan untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya diberikan oleh
Pasal 18 ayat (6) kepada Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Gubernur, Bupati atau
Walikota sebagai Kepala Pemerintah Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kedudukan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai Kepala Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945
sebagai lembaga yang menjalankan Pemerintahan Daerah, masing-masing adalah
lembaga negara, yang memiliki kewenangan yang dapat dibedakan dan dipisahkan
(severable) satu dari yang lain. Yang satu bukan menjadi bawahan dari yang lainnya.
Nampak bahwa Pemohon telah mendasarkan sikap lembaganya baik menyangkut
669 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
keberatan hasil Pilkada dan proses penetapan calon terpilih dan pengusulannya tidak
mengacu pada Undang-Undang yang berlaku, sehingga tidak terdapat alasan untuk
mengabulkan permohonan Pemohon dan seyogianya permohonan Pemohon harus
ditolak.
670 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
671 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 028-029/PUU-IV/2006
TENTANG
PEMBATASAN USIA TKI DALAM UNDANG-UNDANG PPTKI
Pemohon : Perkara Nomor 28/PUU-IV/2006 :
1. Jamilah Tun Sadiah; 2. Nuryanih; 3. Siti Munawaroh, dkk.
(Pemohon I).
Perkara Nomor 029/PUU-IV/2006 :
1. Esti Nuryani; 2. Martina Septi Mayasari; 3. Denyati, dkk. (Pemohon
II).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri (UU PPTKI) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 35 huruf a UU PPTKI sepanjang bagian kalimat atau frasa
yang berbunyi bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada
pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua
puluh satu), bertentangan dengan UUD 1945.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Kamis, 12 April 2007.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 028-029/PUU-IV/2006 mengajukan pengujian Pasal 35
huruf a UU PPTKI. Pemohon menyatakan bahwa undang-undang tersebut melanggar
hak-hak konstitusional Pemohon selaku Calon Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri
(yang dikenal sebagai buruh migran) untuk mendapatkan penghidupan yang layak,
sebagaimana diatur dan dilindungi oleh UUD 1945, khususnya pada Pasal 27 ayat (2)
dan Pasal 28D ayat (2).
Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 35 huruf a UU PPTKI sepanjang
bagian kalimat atau frasa yang berbunyi bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada
pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun
672 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Karena keberadaan pasal tersebut menghalangi Pemohon untuk bekerja sebagai TKI di
luar negeri.
Maksud pengaturan dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI, menurut Pembuat Undang-
Undang, adalah untuk menghindari kemungkinan pelecehan seksual kepada TKI. Pembuat
Undang-Undang menilai bahwa TKI yang berusia 21 tahun memiliki kematangan psikis
sehingga menjamin aman dari tindakan pelecehan seksual.
Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 35 huruf a UU PPTKI bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, dimana hak untuk mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Selain itu juga
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, yang mengatur mengenai hak untuk
bekerja serta hak untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak.
Pemohon membandingkan pengaturan UU PPTKI dengan konsep yang dibakukan
oleh International Labour Organization (ILO) yang memberikan batasan seseorang untuk
memulai suatu pekerjaan (penuh waktu dan dibayar) adalah 18 tahun.
Berdasarkan pertimbangan bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara
Indonesia yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan alasan tidak dapat
bekerja di luar negeri karena terhalang oleh adanya ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI,
Mahkamah berpendapat para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan pengujian UU PPTKI. Namun, khusus mengenai status
Soekitjo J.G. dan Kurnia Wamilda Putra, S.H., LL.M. yang mengatasnamakan Indonesia
Manpower Watch selaku kuasa Pemohon tidak akan dipertimbangkan.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemberian syarat usia tertentu adalah
tepat agar dapat terhindarkan praktik mempekerjakan anak-anak di bawah umur.
Demikian juga syarat sehat jasmani dan rohani, serta adanya larangan terhadap seorang
yang sedang hamil dimaksudkan untuk melindungi agar tidak membahayakan kesehatan
anak yang dikandung maupun ibunya. Larangan tersebut dapat diterima karena justru
bermaksud untuk melindungi pencari kerja yang secara moral, hukum, dan kemanusiaan
perlu dilindungi.
Pemohon menyatakan bahwa Pasal 35 huruf a UU PPTKI yang mensyaratkan usia
21 tahun kepada TKI, yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan, telah
mendiskriminasikan hak-hak para Pemohon untuk bekerja dan hak atas suatu pekerjaan,
sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa untuk melihat apakah ketentuan
Pasal 35 huruf a UU PPTKI bersifat diskriminatif atau bukan, terlebih dahulu harus
diketahui apakah yang dimaksud dengan pengertian diskriminatif dalam ruang lingkup
hukum hak asasi manusia (human rights law).
Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi,
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau
673 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Ketentuan mengenai larangan diskriminasi di
atas juga diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang
telah diratikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang terkandung
dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI bukanlah merupakan penghapusan hak terhadap
suatu pekerjaan. Melainkan merupakan persyaratan yang dapat dibenarkan dalam rangka
pemenuhan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya yang dipekerjakan
pada Pengguna perseorangan di luar negeri.
Mahkamah menilai Pasal 35 huruf a UU PPTKI tidak mengandung sifat diskriminatif
sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Pasal tersebut juga tidak bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Terlebih lagi, kedua
ketentuan UUD 1945 dimaksud tidak mengatur hak konstitusional yang berkaitan dengan
diskriminasi.
Berdasarkan seluruh pertimbangan, permohonan para Pemohon yang mendalilkan
Pasal 35 huruf a UU PPTKI bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat
(2) UUD 1945 ternyata tidak beralasan sehingga Mahkamah menyatakan permohonan
para Pemohon harus dinyatakan ditolak.
Pendapat Berbeda (Disenting Opinion):
Empat hakim menyatakan pendapat berbeda terhadap putusan ini.
Pembatasan usia dimaksudkan oleh Pembuat Undang-Undang untuk mencegah
potensi pelecehan seksual bagi TKI bersangkutan. Karena, menurut Pembuat Undang-
Undang, dalam praktiknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu
mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna. Sehingga pada pekerjaan
di tempat Pengguna perseorangan diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek
kepribadian dan emosi, agar resiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi.
Dissenter menilai alasan pertimbangan (ratio legis) Pembuat Undang-Undang
mengandung unreasonable distinction terhadap kedua kelompok calon TKI. Bagaimana
menjamin bahwa terhadap TKI wanita yang berusia 21 (dua puluh satu) tahun tidak bakal
terjadi kasus pelecehan seksual bagi dirinya di tempat Pengguna perseorangan, dimana
TKI wanita bekerja. Perbedaan perlakuan yang unreasonable terhadap persyaratan
usia bagi kedua kelompok calon TKI dimaksud bukan merupakan upaya perlindungan
bagi calon TKI yang akan bekerja di tempat Pengguna perseorangan, tetapi merupakan
pembatasan belaka bagi suatu kelompok calon TKI tertentu yang tidak ternyata dapat
bekerja di tempat Pengguna perseorangan karena belum berusia 21 (dua puluh satu)
674 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tahun, sedangkan kelompok calon TKI lainnya dapat bekerja di perusahaan atau tempat
semacamnya, dengan persyaratan sekurang-kurangnya berusia 18 (delapan belas)
tahun.
Dengan demikian permohonan pengujian oleh para Pemohon beralasan untuk
dikabulkan karena Pasal 35 huruf a UU PPTKI bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2)
dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Pembatasan usia, yang tidak memungkinkan para
Pemohon mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, dan hak untuk bekerja
serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
secara bebas menurut pilihan Pemohon, adalah bertentangan dengan hak yang diatur
dalam UUD 1945.
675 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 030/SKLN-IV/2006
TENTANG
SENGKETA KEWENANGAN ANTARA KOMISI PENYIARAN INDONESIA
TERHADAP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA C.Q. MENTERI KOMUNIKASI DAN
INFORMATIKA
Pemohon : Komisi Penyiaran Indonesia, yang diwakili oleh Dr. S. Sinansari Ecip;
Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D; Dr. H. Andrik Purwasito, D.E.A., dkk.
Termohon : Presiden Republik Indonesia q.q. Menteri Komunikasi dan
Informatika, yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia serta Menteri Komunikasi dan Informatika.
Jenis Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.
Pokok Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Komisi
Penyiaran Indonesia terhadap Presiden Republik Indonesia q.q.
Menteri Komunikasi dan Informatika menyangkut pemberian ijin
penyelenggaraan penyiaran dan pembuatan aturan dalam hal
penyiaran.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Selasa, 17 April 2007.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006 yakni Komisi Penyiaran Indonesia,
yang diwakili oleh Dr. S. Sinansari Ecip, dkk. mengajukan permohonan sengketa
kewenangan lembaga negara antara Komisi Penyiaran Indonesia terhadap Presiden
Republik Indonesia q.q. Menteri Komunikasi dan Informatika menyangkut pemberian ijin
penyelenggaraan penyiaran dan pembuatan aturan dalam hal penyiaran.
Pemohon mendalilkan bahwa KPI sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka
13 dan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
676 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(UU Penyiaran) adalah lembaga negara yang independen dan mempunyai kewenangan
konstitusional menyangkut pemberian ijin penyelenggaraan penyiaran dan pembuatan
aturan dalam hal penyiaran. Walaupun KPI tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUD
1945, akan tetapi secara derivative diberi wewenang oleh UUD 1945 melalui Pasal 28F
UUD 1945, yang dicantumkan dalam Konsiderans Mengingat

UU Penyiaran.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) UU
MK, Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat nal, antara lain untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Pemohon dalam permohonannya
mengatasnamakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan menganggap KPI adalah
lembaga negara yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
diberikan oleh UUD 1945, dan kewenangan dimaksud, menurut Pemohon telah
terganggu atau diambil alih oleh Termohon, yaitu Presiden q.q. Menteri Komunikasi dan
Informatika.
Berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU MK, Pemohon dalam sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 adalah
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai
kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Dalam
Putusan Nomor 004/SKLN -IV/2006 tanggal 12 Juli 2006, Mahkamah telah menentukan
objectum litis dan subjectum litis mengenai kewenangan yang dipersengketakan dan
lembaga negara yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto
Pasal 61 ayat (1) UU MK, sebagai berikut.
kewenangan yang dipersengketakan haruslah kewenangan yang diberikan oleh UUD a.
1945;
lembaga negara dimaksud adalah lembaga negara yang mempersengketakan b.
kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945.
Dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah untuk mengadili dan memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945,
Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sejak Putusan Mahkamah Nomor 004/SKLN-
IV/2006, antara lain, Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
permohonan sengketa kewenangan lembaga negara harus mempertimbangkan adanya
hubungan yang erat antara kewenangan dan lembaga yang melaksanakan kewenangan
tersebut. Sehingga, dalam menetapkan apakah Mahkamah berwenang untuk memeriksa
permohonan sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah harus mengaitkan
secara langsung pokok yang disengketakan (objectum litis) dengan kedudukan lembaga
negara yang mengajukan permohonan, yaitu apakah kepada lembaga negara tersebut
kewenangan itu diberikan, sehingga dengan demikian masalah kewenangan dimaksud
terkait erat dengan legal standing Pemohon yang akan menentukan berwenang atau
tidaknya Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ....
677 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Penempatan kata sengketa kewenangan sebelum kata lembaga negara mempunyai
arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 adalah memang sengketa kewenangan atau tentang apa yang disengketakan
dan bukan tentang siapa yang bersengketa. Pengertiannya akan menjadi lain apabila
perumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 itu berbunyi, ... sengketa lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Dalam rumusan yang
disebut terakhir, hal yang merupakan pokok persoalan adalah pihak yang bersengketa,
yaitu lembaga negara, dan tidak menjadi penting tentang objek sengketanya. Sehingga
apabila demikian rumusannya maka konsekuensinya Mahkamah Konstitusi akan
menjadi forum penyelesai sengketa lembaga negara tanpa mempertimbangkan materi
yang dipersengketakan oleh lembaga negara, dan hal demikian menurut Mahkamah
bukanlah maksud dari Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Karena, apabila dirumuskan ...
sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
Mahkamah Konstitusi akan berwenang untuk memutus sengketa apa pun yang tidak ada
sangkut-pautnya sama sekali dengan persoalan konstitusionalitas kewenangan lembaga
negara, sepanjang yang bersengketa adalah lembaga negara ....
Menimbang bahwa kata lembaga negara terdapat dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945, sehingga Mahkamah harus menetapkan lembaga negara mana yang
dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) tersebut. Dalam menetapkan siapa yang dimaksud
dengan lembaga negara oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berlandaskan
pada uraian di atas bahwa kewenangan Mahkamah adalah untuk memutus sengketa
kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk menentukan apakah
sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 maka yang pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya kewenangan
tertentu dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa
kewenangan-kewenangan tersebut diberikan. Karena kewenangan sifatnya terbatas
dan untuk sesuatu hal yang tertentu, maka sifat kelembagaan negara tidaklah dapat
ditentukan secara umum, tetapi terkait dengan kewenangan yang diberikan atau dengan
kata lain sebuah lembaga yang disebut dengan nama apapun berkedudukan sebagai
lembaga negara menurut pengertian Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 apabila lembaga
tersebut mempermasalahkan atau dipermasalahkan kewenangannya yang diberikan
oleh UUD 1945 .... Menimbang bahwa rumusan sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar mempunyai maksud
bahwa hanya kewenangan yang diberikan oleh UUD saja yang menjadi objectum litis
dari sengketa dan Mahkamah mempunyai wewenang untuk memutus sengketa yang
demikian. Ketentuan yang menjadi dasar kewenangan Mahkamah tersebut sekaligus
membatasi kewenangan Mahkamah, yang artinya apabila ada sengketa kewenangan
yang tidak mempunyai objectum litis kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, maka Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian itulah yang dimaksud oleh
UUD 1945. Sengketa kewenangan yang kewenangan tersebut diberikan oleh undang-
678 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
undang tidaklah menjadi kewenangan Mahkamah.
Dilihat dari subjectum litis dalam permohonan, Pemohon adalah KPI dan Termohon
adalah Presiden q.q. Menteri Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan ketentuan
yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal (5), dan Pasal (7) UUD 1945, Presiden
q.q. Menteri Komunikasi dan Informatika adalah lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Termohon merupakan subjectum litis dalam
perkara ini. Sementara itu, UUD 1945 tidak menyebut, apalagi memberikan kewenangan
konstitusional kepada KPI. Dengan demikian, keberadaan KPI bukan merupakan
lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 61
ayat (1) UU MK.
Dalam kaitannya dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa kewenangan
konstitusional Pemohon mengalir secara derivative dari Pasal 28F UUD 1945, Mahkamah
berpendapat bahwa Pasal 28F UUD 1945 mengatur tentang hak setiap orang untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan bukan mengatur hak dan/atau kewenangan
lembaga negara, apalagi memberikan kewenangan kepada lembaga negara yang berkaitan
dengan penyiaran.
Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa KPI adalah lembaga negara
yang dibentuk dan kewenangannya diberikan oleh undang-undang bukan oleh
Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, karena KPI bukan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, maka KPI tidak memenuhi syarat
kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan Pasal 61 ayat (1) UU
MK untuk mengajukan permohonan. Oleh karena itu, dalam putusannya, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa KPI sebagai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum
(legal standing) sehingga permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
679 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 031/PUU-IV/2006
TENTANG
KEWENANGAN PENGATURAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA
Pemohon : Komisi Penyiaran Indonesia.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 33 ayat 5, Pasal 62 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang menentukan bahwa
kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia diatur dalam bentuk
Peraturan Pemerintah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum bagi setiap orang.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Selasa, 17 April 2006.
Ikhtisar Putusan :
Komisi Penyiaran Indonesia (selanjutnya disebut KPI) selaku Pemohon, mengajukan
pengujian Pasal 33 ayat 5, Pasal 62 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). KPI merupakan lembaga negara yang
bersifat independen. Selaku lembaga negara yang bersifat independen, pengaturan
tentang kewenangan KPI seharusnya diletakkan di tingkat undang-undang. Apabila
kewenangannya diatur di bawah kepentingan eksekutif (dalam hal ini kewenangan KPI
diatur dalam Peraturan Pemerintah), akan berpotensi mempengaruhi independensi KPI
dalam menjalankan kewenangannya. Pasal 7 ayat (2) UU Penyiaran bahkan menyatakan
bahwa salah satu ciri lembaga independen adalah mempunyai kewenangan pengaturan
sendiri atas bidang kerjanya (self regulatory body).
Dengan demikian Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 33 ayat 5, Pasal 62
ayat (1) dan (2) UU Penyiaran bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebab
tidak memberikan kepastian hukum.
680 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang menyebutkan Pemohon adalah pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang. Serta penilaian bahwa Pasal 33 ayat 5, Pasal 62 ayat (1) dan (2) UU
Penyiaran berpotensi merugikan Pemohon maka Mahkamah menilai Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian UU Penyiaran.
Pemohon mendalilkan bahwa rumusan Pasal 62 ayat (1) dan (2) UU Penyiaran
tidak memberikan kepastian hukum. Seharusnya sebagai lembaga negara independen
(independent agency), KPI diberi hak untuk mengatur sendiri kewenangannya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 sesungguhnya telah
mengakui konsep self regulatory body tersebut dengan menyatakan, Mahkamah
berpendapat bahwa sebagai lembaga negara yang independen, seyogianya KPI juga
diberi kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal yang sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 dan 8 UU 32/2002.
Jika rincian kewenangan KPI dimonopoli pengaturannya oleh Peraturan Pemerintah;
alih-alih menjadi independent agency, KPI akan cenderung menjelma menjadi executive
agency. Executive agency jelas-jelas termasuk klasikasi cabang kekuasaan eksekutif,
padahal tidak demikian halnya dengan lembaga negara independen.
Pemohon juga mendalilkan bahwa frasa oleh Negara dalam rumusan Pasal
33 ayat (5) UU Penyiaran yang berbunyi Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) huruf c, secara administratif ijin penyelenggaraan penyiaran
diberikan oleh Negara melalui KPI, tidak memberikan kepastian hukum dan karenanya
harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Frasa oleh Negara dalam praktiknya diartikan sebagai oleh Pemerintah,
khususnya Depkominfo. Menurut Pemohon, jika yang dimaksud negara itu adalah
Pemerintah maka frasanya harus tegas menyatakan diberikan oleh Pemerintah melalui
KPI. Ketegasan demikian akan konsisten dengan denisi Pasal 1 Butir 12 UU Penyiaran
bahwa Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden atau
Gubernur.
Berdasar dalil yang dikemukakan di atas, Pemohon menyatakan Pasal 33 ayat 5,
Pasal 62 ayat (1) dan (2) UU Penyiaran bertentangan prinsip kepastian hukum. Oleh
karena itu dalam petitumnya Pemohon memohon agar Pasal a quo sepanjang berkaitan
dengan frasa oleh Negara dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1)
huruf a UU MK, Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-III/2005
memutuskan bahwa ketentuan Pasal 50 UU MK yang mengatur undang-undang yang
681 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah
perubahan UUD 1945, telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah permohonan pengujian UU
Penyiaran terhadap UUD 1945 sehingga dengan demikian Mahkamah berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
Terkait dengan pokok permohonan, sebelumnya UU Penyiaran Pasal 6 ayat (1)
dan (2) sudah pernah dimohonkan pengujiannya dan telah pula diputus oleh Mahkamah
Konstitusi. Terhadap hal ini dapat dicari jalan keluarnya pada Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Pasal 42 ayat (2) yang menyatakan pengujian undang-
undang terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara
yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan kembali dengan syarat-syarat
konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. Dengan
demikian karena dalam permohonannya Pemohon juga mengajukan pengujian Pasal
33 ayat 5 UU a quo yang belum pernah dimohonkan pengujiannya maka Mahkamah
Konstitusi tetap berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK menentukan yang dimaksud Pemohon adalah pihak
yang menanggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003
bertanggal 28 Juli 2004, Mahkamah telah menetapkan bahwa istilah lembaga negara
tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945
yang keberadaannya atas perintah konstitusi, tetapi ada juga lembaga negara yang
dibentuk atas perintah undang-undang dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk
atas dasar peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pada permohonan
ini KPI, selaku Pemohon, mendalilkan dirinya sebagai lembaga negara. Hal ini dibenarkan
oleh Mahkamah dengan menyatakan bahwa KPI adalah lembaga negara yang dibentuk
dan kewenangannya diberikan oleh undang-undang, in casu UU Penyiaran
Mahkamah menyatakan memiliki wewenang untuk menguji UU Penyiaran serta
perihal kedudukan hukum atau legal standing Pemohon akan dipertimbangkan bersama-
sama dengan Pokok Perkara.
Dalil Pemohon bahwa UU Penyiaran, khususnya Pasal 62 ayat (1) dan (2) serta
Pasal 33 ayat (5), merugikan kewenangan konstitusionalnya, tidak dapat dibenarkan oleh
Mahkamah dengan alasan bahwa Pemohon memperoleh kewenangan sebagai lembaga
negara dari UU Penyiaran. Akan tetapi, UU Penyiaran sebagai sumber kewenangan KPI,
sekaligus sebagai undang-undang yang membentuk dan melahirkannya tidak mungkin
menimbulkan kerugian bagi kewenangannya karena rumusan, ruang lingkup, serta isi
wewenang KPI tersebut dirumuskan dalam undang-undang yang membentuk lembaga
KPI itu sendiri. Mahkamah berpendapat, KPI sebagai lembaga negara yang merupakan
produk atau sebagai anak kandung Undang-Undang a quo, tidak mempunyai
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian terhadap
undang-undang yang melahirkannya, karena hal itu sama dengan mempersoalkan
682 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
eksistensi atau keberadaannya sendiri.
Mahkamah menilai tidak tepat jika Pemohon, sebagai lembaga negara, mendasarkan
pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi, Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum, sehingga jelas bahwa yang menjadi subjek hukum dalam
pasal ini adalah orang dalam pengertian orang pribadi (natuurlijke persoon).
Mahkamah tidak menakan keadaan bahwa UU Penyiaran merupakan hasil
kompromi politik. Kompromi demikian tidaklah dilarang sepanjang tidak bertentangan
dengan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Tetapi legal standing untuk
mempersoalkan undang-undang yang melahirkan lembaga tertentu, tidak berada pada
lembaga yang lahir dari undang-undang yang diuji. Dengan kata lain, kalaupun benar
ada -quod non- kekaburan atau terdapatnya pertentangan dalam diri undang-undang
tersebut (self-contradictory) sehingga tidak sesuai dengan semangat dan cita-cita yang
mendorong kelahirannya, hal itu tidaklah dapat dijadikan alasan oleh lembaga negara
yang dilahirkan oleh suatu undang-undang untuk mengajukan permohonan pengujian
atas undang-undang yang melahirkannya. Hal demikian terpulang kepada pembuat
undang-undang untuk menegaskan kebijakan yang dipilihnya.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah Konstitusi menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion):
Terhadap kedudukan hukum atau legal standing Pemohon, dua orang Hakim
Konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Dissenter menilai
Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing, karena berdasarkan
pendirian MK dalam perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006 telah dinyatakan bahwa
kewenangan yang dimiliki oleh KPI bukan merupakan kewenangan konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945, sehingga mutatis mutandis dalam masalah pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945, KPI juga tidak memiliki kewenangan konstitusional, dan
oleh karenanya tidak ada kerugian konstitusional yang diderita oleh KPI sebagai akibat
berlakunya UU Penyiaran. Dengan pendirian demikian, hakim dissenter berpendapat
bahwa tanpa memasuki Pokok Permohonan, Mahkamah dapat segera menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
683 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
2007
684 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
685 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 1/PUU-V/2007
TENTANG
TENGGANG WAKTU PENGAJUAN GUGATAN
ATAS KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Pemohon : Drs. H. Endo Suhendo.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha mengenai
tenggang waktu pengajuan gugatan atas Keputusan Tata Usaha
Negara bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
mengenai hak atas kepastian hukum yang adil.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Senin, 12 Maret 2007.
Ikhtisar Putusan :
Permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian Pasal 55 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 (selanjutnya disebut UU Peratun), sehingga permohonan Pemohon
berada dalam Iingkup kewenangan Mahkamah.
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
yakni hak atas kepastian hukum yang adil, telah dirugikan karena adanya ketentuan
Pasal 55 UU Peratun yang mengatur mengenai Gugatan dapat diajukan hanya dalam
tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan
686 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Peratun dan Pasal 188 Reglemen Indonesia
yang Diperbaharui (RIB), yang telah diubah dengan Undang-Undang 1947 Nomor 20
tentang Pengadilan Peradilan Ulangan, Pasal 6, Pemohon masih mempunyai hak untuk
mengajukan banding ke Pengadilan Tingkat Banding sesuai tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang yang bersangkutan.
Dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan tidak mendapat kepastian
hukum yang adil akibat berlakunya ketentuan Pasal 55 UU Peratun, sebenarnya tidaklah
demikian, karena sesuai Pasal 122 UU Peratun, Pemohon masih mempunyai kesempatan
untuk mengajukan upaya hukum banding guna mendapatkan kepastian hukum yang adil,
namun hal tersebut tidak dilakukan oleh Pemohon Pengertian perorangan warga negara
Indonesia dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK tidak sama dengan perorangan warga
negara Indonesia dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR sebagaimana didalilkan
para Pemohon. Sebab, perorangan warga negara Indonesia yang bukan Anggota DPR
tidak mempunyai hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) dan
Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, yaitu hak-hak yang dijadikan sebagai dalil kerugian hak
konstitusional untuk mengajukan permohonan a quo.
Terlepas dari alasan bahwa pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU
Peratun telah merupakan kelaziman demi kepastian hukum (rechtszekerheid), dari
tenggang waktu selama lebih dari tiga tahun sejak Pemohon menerima surat keputusan
pensiun pada akhir bulan Desember tahun 2001 dan Pemohon mengajukan keberatan
atau gugatan di Pengadilan TUN Jakarta tanggal 18 April 2005 yang di dalam posita
gugatannya, tidak ternyata bagi Mahkamah bahwa tenggang waktu yang diatur Pasal
55 UU Peratun tersebut merupakan hal yang menimbulkan kerugian konstitusional
Pemohon. Lebih-lebih, dari pengalaman Pemohon sebagai seorang mantan diplomat,
selayaknya Pemohon sudah mengetahui adanya ketentuan tentang tenggang waktu
yang diatur dalam UU Peratun tersebut.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa kerugian
yang dialami oleh Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional sebagai akibat
diberlakukannya undang-undang seperti dimaksudkan oleh Pasal 51 UU MK. Dengan
demikian, Pemohon tidak memenuhi syarat ketentuan tentang kedudukan hukum (legal
standing) sebagai Pemohon. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka permohonan
Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
687 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 2-3/PUU-V/2007
TENTANG
HUKUMAN MATI
Pemohon : Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 :
1. Edit Yunita Sianturi (Pemohon I); 2. Rani Andriani (Melisa Aprilia)
(Pemohon II); 3. Myuran Sukumuran (Pemohon III); 4. Andrew Chan
(Pemohon IV) [para Pemohon I].
Perkara Nomor 3/PUU-V/2007 :
Scott Anthony Rush [Pemohon I].
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 80 ayat (1) huruf a, Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat
(3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a,
Pasal 82 ayat (2) huruf a, dan Pasal 82 ayat (3) huruf a Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengenai
konstitusionalitas pidana mati bertentangan dengan Pasal 28A,
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD
1945 menyangkut hak hidup.
Amar Putusan : - Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II dalam
Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 ditolak untuk seluruhnya.
- Menyatakan permohonan Pemohon III dan Pemohon IV
dalam Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
- Menyatakan Permohonan Perkara Nomor 3/PUU-V/2007 tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Selasa, 30 Oktober 2007.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat
688 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
(3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan
ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (selanjutnya
disebut UU Narkotika). para Pemohon berkewarganegaraan Indonesia dan diantaranya
ada pula yang berkewarganegaraan Australia, yakni Myuran Sukumuran, Andrew Chan,
dan Scott Anthony Rush. para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas
berlakunya hukuman mati dalam Undang-Undang Narkotika.
Putusan hukuman mati bagi para Pemohon didasarkan pada pasal-pasal ancaman
pidana mati dalam UU Narkotika, yang putusannya telah mempunyai kekuatan
hukum mengikat (in kracht van gewijsde). Namun terhadap diri para Pemohon belum
dilaksanakan hukuman mati. Dalam penjelasan permohonan, para Pemohon menyatakan
bahwa putusan hukuman mati tersebut jelas sangat merugikan kepentingan dan hak
konstitusional para Pemohon untuk hidup, sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh UUD
1945.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal
80 ayat (1) huruf a, Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3)
huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, dan Pasal 82 ayat (3) huruf
a Undang-Undang Narkotika sepanjang menyangkut pidana mati bertentangan dengan
Pasal 28A, Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Atas dasar tersebut,
para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar menyatakan pasal-pasal
tersebut sepanjang menyangkut pidana mati tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
dengan segala akibat hukumnya.
Terkait dengan adanya Pemohon berkewarganegaraan asing, kuasa hukum
Pemohon menjelaskan bahwa banyak hal yang asasi dan fundamental terkait hak asasi
manusia, salah satunya tentang hak hidup, yang sebenarnya tak semata menjadi hak
warga negara saja, tetapi menjadi hak setiap orang (human rights). Oleh karenanya,
warga negara asing mempunyai legal standing dan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU
MK) tidak dapat menghalangi warga negara asing yang hak asasinya dilanggar untuk
dapat mengajukan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi.
Para Pemohon mendalilkan bahwa pidana mati bertentangan dengan hak untuk
hidup (right to life) yang dijamin oleh Pasal 28A dan Pasal 28I UUD 1945 dimana hak
untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Selain itu,
pidana mati bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 karena sistim peradilan
pidana tidaklah sempurna yang dapat menghukum orang yang tidak bersalah. Padahal
Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 mewajibkan negara untuk aktif melindungi hak asasi
manusia yang di dalamnya termasuk hak untuk hidup. Di samping itu, para Pemohon
juga mendalilkan bahwa kejahatan narkotika tak termasuk dalam kejahatan serius yang
patut dikenai sanksi hukuman mati, karena kejahatan narkotika tak secara langsung
mengakibatkan kematian pada manusia.
689 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Selanjutnya, menurut para Pemohon The core of rights (hak inti) dari non derogable
rights itu ada empat hal, antara lain, pertama, right to life, hak untuk bebas dari penyiksaan
dan perlakuan yang merendahkan martabat. Kedua, hak untuk tidak dianiaya. Ketiga,
right to free from slavery atau hak bebas dari perbudakan atau diperhambakan. Keempat,
hak untuk tidak diadili oleh post facto law atau hukum yang berlaku surut.
Para Pemohon juga mendasarkan argumentasinya menyangkut hubungan antara
hak untuk hidup dan pidana mati dengan Pasal 6 International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) yang telah diratikasi Indonesia dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005. Atas dasar tersebut, para Pemohon menyimpulkan pidana mati
bertentangan dengan hak untuk hidup.
Dalam pertimbangan hukumnya, terkait dengan kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon warga negara asing, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 51 ayat (1) huruf
a UU MK beserta penjelasannya dengan tegas menentukan perorangan yang berhak
mengajukan permohonan pengujian undang-undang hanya warga negara Indonesia,
sedangkan warga negara asing tidak mempunyai hak konstitusional yang diberikan
UUD 1945. Oleh karena itu para Pemohon yang berkewarganegaraan asing tidaklah
mempunyai kedudukan hukum, sehingga Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan
Myuran Sukumaran, Andrew Chan dan Scott Anthony Rush tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Menanggapi argumentasi pokok yang diajukan para Pemohon bahwa pidana mati
bertentangan dengan hak untuk hidup (right to life) yang menurut rumusan Pasal 28I
ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun, Mahkamah Konstitusi mendasarkan pada original intent pembentuk UUD 1945
yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi. Hal ini diperkuat pula dengan
penempatan Pasal 28J UUD 1945 sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang
mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945. Jadi, secara penafsiran
sistimatis (sistimatische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan hak asasi manusia yang
diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Ketidakmutlakan hak untuk hidup (right to life), baik yang berwujud ketentuan-
ketentuan yang membolehkan diberlakukannya pidana mati dengan pembatasan-
pembatasan tertentu ataupun ketentuan-ketentuan tentang penghilangan nyawa secara
absah, dapat juga ditemukan dalam sejumlah instrumen hukum internasional yang
mengatur tentang atau berkait dengan hak asasi manusia, di antaranya, International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Protocol Additional I to the 1949
Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conict,
Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims
of Non-International Armed Conict, Rome Statute of International Criminal Court,
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European
Convention on Human Rights), American Convention on Human Rights, Protocol No.
690 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms
Concerning the Abolition of the Death Penalty.
Sebagai contoh, ICCPR yang digunakan para Pemohon untuk mendukung dalil-
dalilnya, tidaklah melarang negara-negara pihak (state parties) untuk memberlakukan
pidana mati, tetapi ada pembatasan diberlakukan hanya terhadap kejahatan-kejahatan
yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan
tersebut (the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the
commission of the crime..) [Pasal 6 ayat (2) ICCPR]. Artinya, dengan dimungkinkannya
suatu negara memberlakukan pidana mati (meskipun dengan pembatasan-pembatasan),
hal itu merupakan bukti bahwa hak untuk hidup tidaklah bersifat mutlak.
Terkait dengan itu, Mahkamah menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan yang diatur
dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3)
huruf a, serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika
tergolong ke dalam kelompok kejahatan yang paling serius baik menurut UU Narkotika
maupun menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku pada saat kejahatan
tersebut dilakukan. Selain itu, kualikasi kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di
atas dapat disetarakan dengan the most serious crime menurut ketentuan Pasal 6
ICCPR. Dengan demikian, ketentuan pidana mati dimaksud tidak bertentangan dengan
UUD 1945 sehingga Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak permohonan
para Pemohon.
Mahkamah Konstitusi juga memberikan beberapa catatan penting, sebagaimana
dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan, salah satunya adalah ke depan, dalam
rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan pidana mati maka perumusan, penerapan, maupun
pelaksanaan pidana mati dalam sistim peradilan pidana di Indonesia hendaklah
memperhatikan dengan sungguh-sungguh bahwa pidana mati bukan lagi merupakan
pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Pidana
mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila
terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau
selama 20 tahun. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum
dewasa, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa
ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit
jiwa tersebut sembuh. Selain itu, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah Konstitusi
juga menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap (in kracht van gewijsde) segera dilaksanakan.
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) :
Empat orang Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda dalam Putusan
Pengujian Undang-Undang Narkotika ini. Pendapat berbeda tersebut menyangkut
kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berkewarganegaraan asing dan
691 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pokok permohononan.
Menyangkut kedudukan hukum (legal standing) Pemohon warga negara asing,
Bab XA UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia menggunakan kata setiap orang dalam
menyebutkan hak-hak yang tercantum dalam Pasal 28A s.d. Pasal 28J UUD 1945. Hak
Asasi Manusia menjadi tolok ukur dalam menilai konstitusionalitas undang-undang.
Dengan demikian, pengakuan hak-hak konstitusional tersebut diberikan kepada setiap
orang termasuk warga negara asing. Oleh karena itu, seharusnya Mahkamah Konstitusi
memberikan status legal standing kepada para Pemohon warga negara asing. Hal ini
dilakukan dengan penafsiran secara luas ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hak konstitusional yang diartikan
dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi meliputi pula hak fundamental atau hak asasi manusia yang tidak hanya
memiliki daya laku nasional, melainkan juga universal.
Menyangkut pokok permohonan, ketentuan pidana mati dalam Pasal 80 ayat (1)
huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, serta Pasal 82
ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika bertentangan dengan
hak untuk hidup yang merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun. Lagi pula, hidup adalah karunia Tuhan yang tidak dapat dicabut oleh siapapun.
Oleh karena itu, ketentuan pidana mati dalam UU Narkotika tersebut dinilai bertentangan
dengan Pasal 28A jo. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
692 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
693 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 4/PUU-V/2007
TENTANG
PEMBATASAN JUMLAH TEMPAT PRAKTIK
DAN ANCAMAN PIDANA BAGI DOKTER
Pemohon : 1. dr. Anny Isfandyarie Sarwono, Sp.An., S.H. (Pemohon I); 2. dr.
Pranawa Sp.PD. (Pemohon II); 3. Prof. Dr. R.M. Padmo Santjojo
(Pemohon III); 4. dr. Bambang Tutuko (Pemohon IV); 5. dr. Chamim
(Pemohon V); 6. dr. Rama Tjandra SpOG (Pemohon VI); 7. H.
Chanada Achsani, S.H. (Pemohon VII).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 37 ayat (2), Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 79 huruf a, dan
Pasal 79 huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran mengenai ketentuan tentang pembatasan
tempat praktik kedokteran maksimal tiga tempat bertentangan
dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2)
UUD 1945 menyangkut hak untuk memperoleh kepastian hukum
dan terbebas dari rasa cemas dan ketakutan dalam menjalankan
praktik kedokteran, hak untuk melakukan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat, serta hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dari
profesi kedokteran.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk
sebagian.
Tanggal Putusan : Selasa, 19 Juni 2007.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon perkara Nomor 4/PUU-V/2007 yakni dr. Anny Isfandyarie Sarwono,
Sp.An., S.H. (Pemohon I), dr. Pranawa Sp.PD (Pemohon II), Prof. Dr. R.M. Padmo
694 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Santjojo (Pemohon III), dr. Bambang Tutuko (Pemohon IV), dr. Chamim (Pemohon
V), dan dr. Rama Tjandra Sp.OG (Pemohon VI). Pemohon I sampai dengan
VI adalah perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dokter
spesialis, sedangkan Pemohon VII adalah perorangan warga negara Indonesia yang
merupakan pasien penderita hipertensi. para Pemohon mengajukan permohonan
pengujian Pasal 37 ayat (2), Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 79 huruf a, dan
Pasal 79 huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran) yang bertentangan dengan Pasal 28C
ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat
(1), Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Para Pemohon mendalilkan bahwa dibatasinya tempat praktik kedokteran
maksimal 3 (tiga) tempat, sebagaimana diatur Pasal 37 ayat (2) dan Pasal 76 UU
Praktik Kedokteran menyebabkan tereduksinya ruang gerak profesi kedokteran
untuk melakukan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan menimbulkan beban
moral pada diri para Pemohon karena bertentangan dengan sumpah dokter (Sumpah
Hipokrates) yang menegaskan adanya noblesse oblige profesi dokter. Dengan
adanya pembatasan tempat praktik kedokteran, yang disertai sanksi berupa ancaman
pidana tiga tahun penjara atau denda maksimal seratus juta rupiah, para Pemohon
tidak mungkin lagi melayani pasien di luar tiga tempat praktik yang diijinkan oleh
Dinas Kesehatan setempat.
Selain itu, kerugian konstitusional lain yang dialami Pemohon I sampai dengan
VI adalah munculnya perasaan cemas dan ketidaktenangan dalam menjalankan
profesinya karena adanya sanksi berat yang tercantum di dalam Pasal 75 ayat (1),
Pasal 76, Pasal 79 huruf a, dan Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran. Menurut
para Pemohon, perbuatan yang diancam pidana dalam pasal-pasal tersebut hanyalah
pelanggaran administratif atau pelanggaran etika, sehingga tidak seharusnya
diancam dengan sanksi pidana melainkan cukup dengan sanksi administratif dan
sanksi profesi.
Selain itu, kriminalisasi terhadap dokter yang melakukan praktik kedokteran
dengan secara sengaja tidak memasang papan nama (Pasal 79 huruf a UU Praktik
Kedokteran) dan juga dokter yang lalai akan kewajibannya untuk menambah ilmu
pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran (Pasal 79 huruf c), tidak
dapat diterima oleh akal sehat.
Sementara itu, Pemohon VII mendalilkan dirinya secara objektif mengalami
kerugian materi atau finansial sebagai akibat diberlakukannya UU Praktik Kedokteran,
yaitu harus menanggung biaya layanan kesehatan yang relatif lebih mahal
dibandingkan dengan sebelumnya. Pemohon VII dirugikan hak konstitusionalnya,
sebagai akibat diberlakukannya Pasal 37 ayat (2) UU Praktik Kedokteran yang
membatasi tempat praktik dokter atau dokter gigi maksimal tiga tempat, yakni hak
untuk memperoleh layanan kesehatan secara otonom berdasarkan pilihan dan
695 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kebutuhannya. Oleh karena itu Pasal 37 ayat (2), Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal
79 huruf a, dan Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan hak
untuk memperoleh kepastian hukum dan terbebas dari rasa cemas dan ketakutan
dalam menjalankan praktik kedokteran, hak untuk melakukan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat, serta hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dari profesi
kedokteran, sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Dalam persidangan terungkap fakta yang dikemukakan oleh Pemerintah bahwa
pembatasan tempat praktik kedokteran maksimal tiga tempat untuk melindungi
pasien dan masyarakat pada umumnya, serta khususnya untuk melindungi para
dokter dan dokter gigi dari kecapaian, kelelahan, kecerobohan, keteledoran, dalam
menjalankan praktiknya. Karena jika tidak dibatasi maka sebagai manusia, baik fisik
maupun psikis dokter, pasti ada keterbatasannya. Dengan adanya pembatasan,
maka pelayanan kesehatan yang dapat diberikan kepada pasien (masyarakat)
dapat diberikan secara prima sehingga semua pemeriksaan, pendiagnosaan, dan
pengobatannya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara standar profesi
medik.
Di samping itu, sanksi pidana bagi dokter dan dokter gigi, yang dengan sengaja
melakukan perbuatan/tindakan praktik kedokteran tidak memiliki ijin praktik, adalah
dalam rangka penegakan hukum (law enforcement) pasca pencabutan ijin praktik.
Hal ini sangat penting, karena sifat dan jenis pekerjaan dokter dan dokter gigi yang
berhubungan langsung dengan nyawa manusia. Dikemukakan juga oleh Pemerintah
bahwa kriminalisasi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (DPR dan
Presiden) yang dituangkan dalam undang-undang tertentu.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), antara lain, menyatakan
bahwa Mahkamah berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar. Permohonan para Pemohon adalah pengujian undang-undang, yakni
UU Praktik Kedokteran terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan para Pemohon.
Pemohon I sampai dengan VI sebagai perorangan warga negara Indonesia telah
nyata memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) yang diatur Pasal 51 ayat (1)
UU MK, maupun syarat kerugian hak konstitusional dalam Putusan Mahkamah Nomor
006/PUU-IlI/2005. Oleh karenanya, Pemohon I sampai dengan VI mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan.
Sementara itu, Pemohon VII mengalami kerugian nansial karena harus
mengeluarkan biaya lebih besar jika hendak memilih dokter sesuai dengan keinginannya
sebagai akibat dari adanya pembatasan tiga tempat praktik dalam Pasal 37 ayat (2) UU
696 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Praktik Kedokteran. Hal ini tidak menghilangkan hak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, sehingga kerugian yang telah dialami oleh Pemohon VII bukan kerugian hak
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK. Kerugian nansial (bukan
kerugian hak konstitusional) yang dialami Pemohon VII bukan diakibatkan oleh cacat
konstitusional norma undang-undang yang dipersoalkan melainkan oleh implementasi
UU Praktik Kedokteran. Oleh karena itu, Pemohon VII tidak memenuhi persyaratan
kerugian hak konstitusional sehingga Pemohon VII tidak dapat diterima sebagai pihak
yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon
dalam permohonan.
Berkaitan dengan pokok perkara, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU Praktik Kedokteran ditinjau dari 2 (dua) sudut
pandang. Pertama, adalah perlindungan dan kepastian hukum (rechtsbescherming dan
rechtszekerheid), bahwa sifat hubungan antara dokter dan pasien adalah sangat pribadi
(tertutup) yang pada umumnya didasarkan pada prinsip kepercayaan (vertrouwenlijk
beginsel). Dokter, sebagai manusia, mempunyai keterbatasan sik dan psikis. Dengan
pembatasan tiga tempat praktik, dokter dapat mengatur jam praktiknya, sehingga
pembatasan tiga tempat praktik tersebut memberikan jaminan perlindungan dan kepastian
hukum bagi kesehatan sik dan mental dokter dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
memberikan jasa pelayanan kesehatan secara prima kepada pasien.
Dilihat dari sudut keperdataan, hubungan dokter dan pasien terikat dengan
perjanjian berdasarkan upaya (inspanning verbintennis), bukan perjanjian berdasarkan
hasil (resultate verbinteniss). Oleh karena itu, pembatasan tiga tempat praktik akan
memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kesehatan dokter secara sik dan
psikis, sehingga dalam memberikan analisa dan diagnosa kepada pasien dapat dilakukan
secara tepat karena dilakukan secara berhati-hati, cermat, dan penuh rasa tanggung
jawab sesuai dengan standar profesi medik yang disesuaikan secara situasional dan
kondisional. Sehingga pembatasan tiga tempat praktik memberikan kepastian hukum
(rechtszekerheid) dan perlindungan hukum (rechtsbescherming), baik kepada dokter
sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan (health provider) maupun kepada pasien
penerima jasa pelayanan kesehatan (health receiver).
Kedua, adalah pemerataan pemberian jasa pelayanan kesehatan. Bahwa
pembatasan tiga tempat praktik akan memberikan kesempatan kerja (praktik) bagi
dokter-dokter muda di seluruh Indonesia, sehingga pemerataan pemberian lapangan
kerja sekaligus pemerataan pelayanan jasa kesehatan kepada masyarakat dapat
diberikan secara simultan sesuai dengan hak asasi manusia dalam Pasal 28H ayat (1)
UUD 1945.
Mahkamah berpendapat bahwa keadaan, yakni apakah harus menolong orang
sesuai dengan sumpahnya dan kewajiban hukum sebagaimana ditentukan oleh Pasal
304 dan Pasal 531 KUHP dengan risiko diancam pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 79 huruf a UU Praktik Kedokteran dan melanggar ketentuan tentang pembatasan
697 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tiga tempat praktik dalam Pasal 37 ayat (2) UU Praktik Kedokteran, ataukah harus
menolak memberikan pertolongan yang berarti telah melanggar sumpahnya sebagai
dokter atau dokter gigi dan sekaligus melanggar ketentuan Pasal 304 dan Pasal 531
KUHP bahwa seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran dalam
keadaan semacam itu harus ditafsirkan sebagai bukan tindak pidana dalam ketentuan
Pasal 79 huruf a juncto Pasal 41 ayat (1) maupun ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU Praktik
Kedokteran, yang bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat di satu pihak dan
kepentingan dokter atau dokter gigi di pihak lain secara seimbang. Tujuan dibentuknya
UU Praktik Kedokteran adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan
masyarakat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Namun, pada saat yang sama, harus pula dijamin bahwa
alasan untuk melindungi kepentingan masyarakat tersebut jangan sampai membuat
dokter atau dokter gigi kehilangan rasa aman dan terancam ketakutan justru pada saat
hendak melakukan tugas atau kewajibannya untuk melayani kepentingan masyarakat
itu.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Perbuatan yang diatur dalam Pasal 75
ayat (1), Pasal 76, serta Pasal 79 huruf a dan Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteraan
telah sesuai dengan teori hukum pidana. Dalam perspektif teori hukum pidana, suatu
perbuatan untuk dapat dipidana setidak-tidaknya harus memenuhi dua syarat yaitu (i)
kesalahan (schuld) dan (ii) melawan hukum (onrechtmatigedaad/wederechtelijk). Sedang
untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum harus dipenuhi empat unsur, yaitu (i)
harus ada yang melakukan perbuatan (er moet een daad zijn verricht), (ii) perbuatan
itu harus melawan hukum (die daad moet onrechtmatige zijn), (iii) perbuatan itu harus
menimbulkan kerugian (die daad moet aan een ander schade heb ben toegebracht) dan
(iv) perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya (die daad moet aan
schuld zijn te wijten).
Perumusan dengan menggunakan kata dengan sengaja (met opzet) berarti
perbuatan tersebut memang dikehendaki dan diketahui (willen en weten) oleh si pelaku
(dader). Dengan demikian terhadap pelaku (dader) dapat dimintakan pertanggungjawaban
atas perbuatannya. Terhadap perbuatan yang demikian tentu secara tidak langsung
akan menimbulkan kerugian terhadap pasien. Oleh karenanya, perumusan ketentuan
pidana dalam Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, serta Pasal 79 huruf a dan huruf c UU Praktik
Kedokteran dapat dibenarkan (gerechtvaardigd, justied) dari sudut teori hukum pidana.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ancaman pidana yang diatur dalam Pasal
75 ayat (1), Pasal 76, serta Pasal 79 huruf a dan huruf c UU Praktik Kedokteran yang
berupa ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun dan ancaman pidana kurungan
paling lama satu tahun, adalah tidak tepat dan tidak proporsional. Karena pemberian
sanksi pidana harus memperhatikan perspektif hukum pidana yang humanistis dan
terkait erat dengan kode etik. Sehingga ancaman pidana tidak boleh dipakai untuk
mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama
698 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
efektifnya dengan penderitaan dan kerugian yang lebih sedikit. Ancaman pidana tidak
boleh digunakan apabila hasil sampingan (side effect) yang ditimbulkan lebih merugikan
dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasi. Ancaman pidana harus rasional.
Ancaman pidana harus menjaga keserasian antara ketertiban, sesuai dengan hukum,
dan kompetensi (order, legitimation, and competence). Serta ancaman pidana harus
menjaga kesetaraan antara perlindungan masyarakat, kejujuran, keadilan prosedural
dan substantif (social defence, fairness, procedural and substantive justice).
Ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun, yang ditentukan dalam Pasal 75
ayat (1) dan Pasal 76 UU Praktik Kedokteran, serta pidana kurungan paling lama satu
tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 79 UU Praktik Kedokteran tidak proporsional.
Sehingga menimbulkan ancaman dan rasa takut terhadap dokter atau dokter gigi
dalam melakukan praktik kedokteran dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Oleh karena itu, ancaman pidana penjara dan pidana kurungan yang diatur
dalam Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, dan Pasal 79 UU Praktik Kedokteran bertentangan
dengan UUD 1945.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan para
Pemohon dikabulkan untuk sebagian, yakni Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang
mengenai kata-kata penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau, Pasal 79 sepanjang
mengenai kata-kata kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau, serta Pasal 79 huruf c
sepanjang mengenai kata-kata atau huruf e UU Praktik Kedokteran. Serta, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa permohonon para Pemohon ditolak untuk selebihnya,
yakni Pasal 37 ayat (2) UU Praktik Kedokteran. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan
pemuatan putusan Nomor 4/PUU-V/2007 ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pendapat Berbeda:
Tiga Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Pasal
37 ayat (2), Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 79 huruf a, dan Pasal 79 huruf c UU
Praktik Kedokteran tidak dapat dinyatakan sebagai pasal-pasal (ayat-ayat) perbuatan
pidana karena tidak mengandung unsur sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid), dan
pada hakikatnya tidak melindungi diri pribadi, kehormatan, martabat para Pemohon,
menimbulkan rasa tidak aman dan ancaman ketakutan guna menjalankan profesi
pelayanan kesehatan terhadap orang banyak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28G ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah
seyogianya mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon.
Perbandingan jumlah dokter atau dokter gigi, terutama dokter spesialis, yang
tidak sebanding dengan jumlah penduduk, serta penyebaran yang tidak seimbang di
seluruh daerah Indonesia dengan kondisi demogra dan geogra yang amat bervariasi
dengan tingkat kesulitan yang juga amat berbeda, menyebabkan tidak rasionalnya
pengambilan kebijakan dalam Pasal 37 ayat (2) UU Praktik Kedokteran. Pasal 75
ayat (1) UU Praktik Kedokteran merupakan kriminalisasi atas perbuatan yang masih
699 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
multi tafsir akan menyebabkan enforcement atau penegakannya menjadi tidak efektif
atau memungkinkan penyalahgunaan. Pasal 76, Pasal 79 huruf a dan 79 huruf c yang
melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran atas pembatasan tiga ijin tempat praktik,
dan kelalaian penambahan ilmu pengetahuan para dokter, secara lebih efektif ditegakkan
melalui sanksi dalam hukum tata usaha negara, yakni pencabutan SIP dan STR. Oleh
karena itu, seyogianya Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan para
Pemohon.
700 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
701 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 5/PUU-V/2007
TENTANG
CALON PERSEORANGAN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
DAN WAKIL KEPALA DAERAH
Pemohon : Lalu Ranggalawe.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat
(5) huruf a, ayat (5) huruf c dan Pasal 60 ayat (2), ayat (3), ayat
(4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah mengenai ketentuan yang hanya membuka
kesempatan bagi partai politik atau gabungan partai politik dalam
pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertentangan
dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan
(3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyangkut hak untuk ikut
dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara
perseorangan tidak melalui jalur pencalonan oleh partai politik
(Parpol) atau gabungan Parpol .
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Senin, 23 Juli 2007.
Ikhtisar Putusan :
Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda) diajukan Pemohon perkara Nomor 5/PUU-V/2007
bernama Lalu Ranggalawe, perorangan warga negara Indonesia yang menjadi Anggota
DPRD Kabupaten Lombok Tengah. Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal
56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) huruf a, ayat (5) huruf
c dan Pasal 60 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU Pemda yang bertentangan
dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (3), serta Pasal 28I
702 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ayat (2) UUD 1945.
Dalam penjelasan permohonan, Pemohon menyatakan bahwa ketentuan yang hanya
membuka kesempatan bagi partai politik atau gabungan partai politik dalam pencalonan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak memberikan kesempatan yang sama
dalam pemerintahan kepada Pemohon sebagai calon perorangan (independen) untuk
mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai Gubenur atau Wakil Gubernur di daerah Nusa
Tenggara Barat pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada Tahun 2008, sebagaimana
dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.
Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang hak dan kepentingan
konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) huruf a, ayat (5) huruf c dan Pasal 60 ayat (2), ayat (3),
ayat (4) dan ayat (5) UU Pemda, yang hanya membuka kesempatan bagi partai politik
atau gabungan partai politik dalam pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
sehingga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1)
dan (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yakni hak untuk ikut dalam pencalonan kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan tidak melalui jalur pencalonan
oleh partai politik (Parpol) atau gabungan Parpol. Pemohon memenuhi syarat kedudukan
hukum (legal standing) dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
(UU MK) dan syarat kerugian hak konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005, sehingga Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal
standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU
MK juncto Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat nal, antara lain untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian UU Pemda terhadap UUD 1945,
sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan
tersebut.
Menanggapi argumentasi yang diajukan Pemohon bahwa pencalonan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik bertentangan
dengan UUD 1945, Mahkamah berpendirian bahwa bukanlah pencalonan kepala
daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
bertentangan dengan UUD 1945, melainkan pada pencalonan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang hanya menjadi hak partai politik dan tidak membuka kesempatan
kepada perseorangan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil
kepala daerah.
Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan yang dijamin oleh
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 bahwa pengaturan tata cara pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah merupakan kebijakan (policy) pembentuk undang-undang yang
703 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
harus berlaku umum atau sama dalam setiap ketentuan peraturan perundang-undangan
di daerah masing-masing, sehingga tidak menimbulkan dualisme hukum antara warga
negara Indonesia yang bertempat tinggal di daerah satu dengan daerah lainnya. Selain
itu, pemberian kesempatan kepada calon perseorangan bukan merupakan suatu
perbuatan yang dilakukan karena keadaan darurat ketatanegaraan yang terpaksa harus
dilakukan (staatsnoodrecht), tetapi lebih sebagai pemberian peluang oleh pembentuk
undang-undang dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
agar lebih demokratis.
Mahkamah Konstitusi memberikan beberapa catatan penting dalam pertimbangan
hukum putusan bahwa persamaan hak warga negara yang dijamin oleh Pasal 28D ayat
(1) dan ayat (3) UUD 1945 mengharuskan UU Pemda untuk menyesuaikan dengan
perkembangan baru yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang sendiri, yaitu
dengan memberikan hak kepada perseorangan untuk dapat mencalonkan diri sebagai
kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa harus melalui partai politik atau gabungan
partai politik. Di samping itu, calon perseorangan harus dibebani kewajiban yang berkaitan
dengan persyaratan jumlah dukungan minimal terhadap calon yang bersangkutan agar
terjadi keseimbangan dengan partai politik yang disyaratkan mempunyai jumlah wakil
minimal tertentu di DPRD atau jumlah perolehan suara minimal tertentu untuk dapat
mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, bahwa penentuan
syarat dukungan minimal bagi calon perseorangan dan penyempurnaan UU Pemda
merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian, yakni Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1) sepanjang mengenai frasa
yang berbunyi, yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, Pasal
59 ayat (2) sepanjang frasa yang berbunyi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan
Pasal 59 ayat (3) sepanjang mengenai frasa yang berbunyi, Partai politik atau gabungan
partai politik wajib membuka, frasa yang berbunyi, yang seluas-luasnya, dan frasa dan
selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan
transparan UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Oleh karena itu, UU Pemda yang dikabulkan oleh Mahkamah menjadi
berbunyi Pasal 59 ayat (1) : Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
adalah pasangan calon, Pasal 59 ayat (2) : Partai politik atau gabungan partai politik
dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-
kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen)
dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum Anggota DPRD di daerah
yang bersangkutan, dan Pasal 59 ayat (3) : Membuka kesempatan bagi bakal calon
perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui
mekanisme yang demokratis dan transparan. Mahkamah juga menolak permohonan
Pemohon untuk selebihnya, yakni Pasal 59 ayat (4), Pasal 59 ayat (5) huruf a, Pasal 59
ayat (5) huruf c, Pasal 60 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU Pemda. Selanjutnya,
704 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mahkamah memerintahkan pemuatan Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Pendapat Berbeda:
Tiga Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion)
bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diajukan
oleh Parpol atau gabungan Parpol yang diatur dalam UU Pemda merupakan penentuan
pilihan kebijaksanaan (legal policy) dari pembentuk undang-undang, sehingga tidak
bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur)
dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang (detournement de pouvoir),
serta tidak menghilangkan hak perseorangan untuk menjadi calon kepala daerah/wakil
kepala daerah, bahwa pembatasan tersebut dibenarkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD
1945. Oleh karena itu, permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak untuk seluruhnya
atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
705 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 6/PUU-V/2007
TENTANG
KRITIK ATAU PENDAPAT TERHADAP PEMERINTAH YANG DIKUALIFIKASIKAN
SEBAGAI DELIK ATAU TINDAK PIDANA DALAM KUHP
Pemohon : dr. R. Panji Utomo.
Jenis Perkara : Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207
dan Pasal 208 KUHP mengenai penyampaian kritik atau pendapat
terhadap Pemerintah yang dikualikasikan sebagai delik atau tindak
pidana dalam KUHP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal
28, Pasal 28C ayat (1) dan (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat
(2) dan (3), Pasal 28F UUD 1945 menyangkut hak atas kepastian
hukum dan kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Selasa, 17 Juli 2007.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 6/PUU-V/2007 bernama dr. R. Panji Utomo adalah Dokter/
Direktur FORAK (Forum Komunikasi Antar Barak), seorang warga negara Indonesia yang
telah diadili dan dijatuhi pidana penjara 3 bulan dalam perkara tindak pidana Kejahatan
terhadap Ketertiban Umum. Tindak pidana dimaksud berupa telah menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian atau penghinaan di muka umum terhadap Pemerintah Republik
Indonesia. Sehingga dr. R. Panji Utomo divonis dengan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 154 dan 155 KUHP yakni di muka umum mengeluarkan pernyataan
permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Negara Indonesia,
berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 232/Pid.B/2006/PN-
BNA tanggal 18 Desember 2006. Terhadap putusan Pengadilan tersebut, Pemohon
tidak mengajukan upaya hukum banding sehingga Putusan tersebut telah mempunyai
706 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pemohon mengajukan permohonan
pengujian Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207 dan Pasal
208 KUHP yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon mendalilkan bahwa penyampaian kritik atau pendapat terhadap Pemerintah
yang dikualikasikan sebagai delik atau tindak pidana dalam Pasal 107, Pasal 154, Pasal
155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP merugikan hak konstitusional
Pemohon atas kepastian hukum dan kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat.
Sehingga pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal
28C ayat (1) dan (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28F UUD
1945.
Dalam persidangan, Ahli Dr. Mudzakir, S.H., M.H., memberikan keterangan bahwa
Pasal 154 KUHP bermata dua. Jika ditafsirkan secara objektif dan diterapkan secara
tepat dalam mengatasi situasi dan kondisi tertentu yang membahayakan negara maka
dapat memberikan manfaat yang baik. Sebaliknya, jika ditafsirkan secara subjektif dapat
disalahgunakan dan menyimpangi asas lex certa. Rumusan tindak pidana menyatakan
perasaan permusuhan, kebencian, dan penghinaan dapat ditafsirkan secara luas dan
serba meliputi sehingga dapat diberlakukan terhadap perbuatan lain yang seharusnya
tidak boleh dilarang dalam hukum pidana karena merupakan hak warga negara yang
dijamin oleh konstitusi, yaitu hak untuk menyampaikan pendapat, sebagaimana diatur
dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
DPR memberikan keterangan dalam persidangan, bahwa hak menyampaikan
pendapat di muka umum perlu dilakukan secara bertanggung jawab sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dapat dilakukan
pembatasan-pembatasan tertentu sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD
1945. Jika Pemohon menganggap dirinya tidak bersalah dan hak konstitusionalnya
dirugikan karena telah dijatuhi pidana berdasarkan ketentuan pasal-pasal dalam KUHP,
seharusnya Pemohon menggunakan upaya-upaya hukum (banding, kasasi).
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut UU MK) menyatakan antara lain, bahwa Mahkamah berwenang
untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Objek permohonan yang
diajukan oleh Pemohon adalah permohonan pengujian Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155,
Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207, Pasal 208 KUHP terhadap UUD 1945 maka Mahkamah
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pemohon.
Pemohon adalah seorang warga negara Indonesia yang telah diadili dan dijatuhi
pidana penjara 3 bulan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh karena
dinilai terbukti melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 154 dan 155 KUHP.
707 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Terhadap putusan Pengadilan tersebut, Pemohon tidak mengajukan upaya hukum
banding sehingga Putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde). Hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945, yang
secara spesik dan aktual, telah dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 154 dan Pasal
155 KUHP, adalah hak atas kepastian hukum dan kemerdekaan untuk menyampaikan
pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat
(2) serta ayat (3) UUD 1945. Yang dimaksud dengan kerugian konstitusional yang tidak
akan atau tidak lagi terjadi, harus diartikan bahwa :
(i) seandainya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian itu tidak ada maka
Pemohon tidak akan pernah mengalami kerugian hak konstitusional;
(ii) seandainya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian ditiadakan maka
potensi kerugian bagi pihak-pihak lain tidak akan terjadi lagi.
Mahkamah berpendapat bahwa sepanjang menyangkut Pasal 154 dan 155 KUHP
Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon
dalam permohonan. Sedangkan dalam kaitan dengan Pasal 107, 160, 161, 207, dan
208 KUHP, tidak ada relevansinya dengan dalil tentang kerugian hak konstitusional yang
telah diderita oleh Pemohon dalam permohonan, sehingga tidak memenuhi ketentuan
Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun syarat-syarat kerugian hak konstitusional. Oleh karena
itu, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon
pengujian terhadap Pasal 107, 160, 161, 207, dan 208 KUHP sehingga Mahkamah tidak
perlu mempertimbangkan konstitusionalitas norma yang terkandung dalam Pasal 107,
160, 161, 207, dan 208 KUHP.
Dalam kaitannya dengan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa berdasarkan sejarah singkat KUHP dan politik hukum pidana
Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat, yang tercermin dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, bahwa ketentuan
Pasal V Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 yang berbunyi, Peraturan hukum pidana
yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan
dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai
arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian tidak berlaku. Sejak tahun 1946
pembentuk undang-undang sesungguhnya telah menyadari bahwa ada ketentuan dalam
KUHP yang tidak mungkin lagi diterapkan karena tidak sesuai lagi dengan kedudukan
Republik Indonesia sebagai negara merdeka. Frasa Republik Indonesia sebagai negara
merdeka harus diartikan bahwa Republik Indonesia yang didirikan berdasarkan UUD
1945 yang menurut Pasal 1 ayat (3) merupakan negara hukum.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kualikasi delik atau tindak pidana
yang dirumuskan dalam Pasal 154 dan 155 KUHP adalah delik formil yang hanya
mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare
handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya, rumusan
kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan
708 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa.
Hak seorang warga negara untuk menyampaikan kritik atau pendapat terhadap
Pemerintah, merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945, akan dengan
mudah dikualikasikan oleh penguasa sebagai pernyataan perasaan permusuhan,
kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah sebagai akibat dari tidak adanya
kepastian kriteria dalam rumusan Pasal 154 maupun 155 KUHP untuk membedakan
kritik atau pernyataan pendapat dengan perasaan permusuhan, kebencian, ataupun
penghinaan. Karena menurut pasal tersebut, penuntut umum tidak perlu membuktikan
apakah pernyataan atau pendapat yang disampaikan oleh seseorang itu benar-benar
telah menimbulkan akibat berupa tersebar atau bangkitnya kebencian atau permusuhan
di kalangan khalayak ramai.
Mahkamah juga berpendapat bahwa Pasal 154 dan 155 KUHP tidak rasional,
karena seorang warga negara dari sebuah negara merdeka dan berdaulat tidak mungkin
memusuhi negara dan pemerintahannya sendiri yang merdeka dan berdaulat, kecuali
dalam hal makar. Sementara, ketentuan tentang makar sudah diatur tersendiri dalam
pasal lain dan bukan dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP. Dengan demikian, ketentuan
Pasal 154 dan 155 KUHP, menurut sejarahnya, memang dimaksudkan untuk menjerat
tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di Hindia Belanda (Indonesia). Sehingga telah
nyata pula bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP bertentangan dengan kedudukan
Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat, sebagaimana dimaksud Pasal V
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Mahkamah menyatakan pendiriannya dalam Pengujian Pasal 134, Pasal 136
bis, dan Pasal 137 KUHP, dalam Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Dalam
pertimbangan hukum putusan, antara lain, Indonesia sebagai suatu Negara hukum yang
demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak
asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika
dalam KUHPidananya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan
Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan
mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian
hukum. Sehingga, dalam RUU KUHPidana yang merupakan upaya pembaharuan
KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama
atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana.
Di samping itu, konsep rancangan KUHP Baru meskipun tetap memuat ketentuan
tindak pidana yang serupa, formulasi deliknya tidak lagi berupa delik formil melainkan
diubah menjadi delik materiil. Hal ini menunjukkan telah terjadinya perubahan sekaligus
pembaharuan politik hukum pidana ke arah perumusan delik yang tidak bertentangan
dengan semangat mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan
negara demokrasi yang berdasar atas hukum yang merupakan jiwa (geist) UUD 1945.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 154 dan 155 KUHP tidak
709 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
menjamin adanya kepastian hukum, dan secara tidak proporsional menghalang-halangi
kemerdekaan untuk menyatakan pikiran dan sikap serta kemerdekaan menyampaikan
pendapat sehingga bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) UUD
1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon dikabulkan untuk sebagian, yakni pada
Pasal 154 dan 155 KUHP dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah
juga menyatakan permohonan Pemohon selebihnya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard), serta memerintahkan pemuatan putusan 6/PUU-V/2007 dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
710 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
711 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 7/PUU-V/2007
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Pemohon : Rahmat.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Penjelasan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945.
Amar Ketetapan : Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk menarik kembali
permohonannya.
Tanggal Ketetapan : 10 April 2007.
Ikhtisar Ketetapan :
Pemohon, melalui Kuasa Hukumnya H.M Mahendradatta, S.H., MA., M.H., dkk
yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim (TPM) Pusat, mengajukan permohonan
pengujian Penjelasan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
Pada persidangan 10 April 2007, Pemohon telah menerangkan bahwa Pemohon
menarik kembali permohonan Perkara Nomor 7/PUU-V/2007 tentang pengujian
penjelasan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) terhadap UUD 1945, sebagaimana disebut pada angka 4 bagian membaca
dalam ketetapan Perkara Nomor 7/PUU-V/2007 adalah benar adanya.
Mahkamah mengabulkan penarikan Pemohon karena tidak bertentangan dengan
UUD 1945 dengan memperhatikan Pasal 35 ayat (1) UU MK yang berbunyi Pemohon
dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah
Konstitusi dilakukan; ayat (2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali. Berdasarkan ketentuan
712 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 35 UU MK tersebut Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo.
Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat penarikan
kembali perkara Nomor 7/PUU-V/2007 dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
713 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 8/PUU-V/2007
TENTANG
KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG BANK INDONESIA
Pemohon : Koperasi Proyek Ruang Hidup 100 Juta Generasi Muda (Koperasi
Proyek RH-100-GM).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(UU BI) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : 1. Pasal 4 ayat (1) UU BI mengenai Bank Indonesia sebagai bank
sentral Republik Indonesia.
2. Pasal 4 ayat (2) UU BI mengenai Bank Indonesia sebagai
lembaga negara yang independen.
3. Pasal 11 ayat (4) UU BI mengenai Bank Indonesia memberikan
fasilitas pembiayaan darurat kepada bank yang mengalami
kesulitan keuangan.
4. Pasal 62 ayat (3) UU BI mengenai kewajiban Pemerintah
menutup kekurangan modal Bank Indonesia jika modal Bank
Indonesia kurang dari 2 triliun.
5. Pasal 77A UU BI mengenai ketentuan tentang mata uang diatur
oleh undang-undang tersendiri.
Bertentangan dengan:
1. Pasal 23B UUD 1945 mengenai ketentuan bahwa macam dan
harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
2. Pasal 23D UUD 1945 mengenai bank sentral diatur dengan
undang-undang.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Senin, 12 Maret 2007.
714 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Ikhtisar Putusan :
Pemohon, yaitu Koperasi Proyek Ruang Hidup 100 Juta Generasi Muda, Jakarta
Timur, yang diwakili oleh D. Sjafri, Desi Natalia, Andi Yuliani, Tay Meyer, dan Farah Diba,
mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11 ayat
(4), Pasal 62 ayat (3), dan Pasal 77A UU BI.
Mahkamah memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan ini karena permohonan yang diajukan adalah pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945. Selain itu, Mahkamah juga menilai Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing), karena menurut UU Koperasi, Pemohon adalah badan hukum.
Kedudukan hukum (legal standing) ini berkesesuaian dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK.
Pemohon mendalilkan bahwa terbitnya UU BI menyebabkan Bank Indonesia memiliki
kewenangan dalam hal menentukan jumlah dan peredaran mata uang yang mana pasal
tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga dapat
dikatakan pasal tersebut inkonstitusional.
Pemohon menganggap dirinya mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945 melalui Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28H ayat
(2) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa pasal-
pasal dimaksud adalah mengenai hak asasi manusia (HAM) yang dengan frasa Setiap
orang sebenarnya dimaksudkan untuk orang sebagai manusia pribadi (natuurlijke
persoon). Akan tetapi, Mahkamah berpendapat bahwa pasal-pasal tentang HAM tertentu
dapat juga berlaku bagi badan hukum (rechtspersoon), in casu Pasal 28H ayat (2) UUD
1945. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pemohon sebagai
badan hukum memiliki hak konstitusional cukup beralasan.
Meskipun Pemohon dalam kualikasi sebagai badan hukum privat mempunyai
hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, masih harus dibuktikan apakah hak
konstitusional dimaksud dirugikan oleh berlakunya beberapa ketentuan dalam UU BI
yang dimohonkan pengujian, yakni:
Konsideran Mengingat UU BI tidak memuat Pasal 23B UUD 1945 yang berbunyi, 1.
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang, padahal,
menurut Pemohon, Pasal 77A UU BI memuat aturan-aturan mengenai macam dan
harga mata uang yang berbunyi, Ketentuan mengenai mata uang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23
undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku hingga diatur dengan undang-undang
tersendiri.
Pasal 4 ayat (1) UU BI berbunyi, Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik 2.
Indonesia. Menurut Pemohon, Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 23D
UUD 1945 yang berbunyi, Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan
undang-undang.
715 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 4 ayat (2) UU BI berbunyi, Bank Indonesia adalah lembaga negara yang 3.
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur
tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas
diatur dalam undang-undang ini. Menurut Pemohon, pasal tersebut bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, sebab seharusnya Bank Indonesia sebagai
cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara yang diwakili oleh Pemerintah, sehingga seharusnya BI tidak boleh
independen.
Pasal 11 ayat (4) UU BI yang berbunyi, Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan 4.
keuangan yang berdampak sistimik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang
membahayakan sistim keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas
pembiayaan darurat yang pembiayaannya menjadi beban Pemerintah, dan Pasal 62
ayat (3) UU BI berbunyi, Dalam hal setelah dilakukan upaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) jumlah modal Bank Indonesia kurang dari Rp. 2.000.000.000.000,00
(dua triliun rupiah), Pemerintah wajib menutup kekurangan tersebut yang
dilaksanakan setelah mendapat persetujuan DPR. Menurut Pemohon, hal ini
menyebabkan upaya Pemerintah mewujudkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD
1945 tidak dapat direalisasikan.
Menurut Mahkamah, meskipun hak-hak sebagaimana didalilkan di atas benar
merupakan hak konstitusional Pemohon, tetapi hak konstitusional dimaksud bukan saja
tidak dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal dalam UU BI yang dimohonkan pengujian,
tetapi bahkan tidak ada relevansinya dengan Pemohon dalam kualikasinya sebagai
koperasi yang berbadan hukum. Mahkamah menilai:
1. Tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya UU BI, in
casu pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, baik secara aktual maupun secara
potensial yang berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi.
2. Tidak ada hubungan kausal (causal verband) antara hak konstitusional Pemohon
dengan pasal-pasal UU BI yang dimohonkan pengujian.
3. Seandainya pun permohonan Pemohon dikabulkan, tidak akan berpengaruh
terhadap hak konstitusional Pemohon.
Karena tidak terdapat kerugian hak konstitusional Pemohon oleh berlakunya
pasal-pasal UU BI yang dimohonkan pengujian maka Pemohon tidak memenuhi syarat
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian pasal-
pasal a quo, sehingga Mahkamah menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
716 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
717 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 9/PUU-V/2007
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PERMOHONAN
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH
Pemohon : 1. H. Nur Ismanto, S.H., M.Si.; 2. Zairin Harahap, S.H., M.Si.; 3.
Ahmad Khairun H, S.H., M.Hum.; dst.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pengujian Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945.
Amar Ketetapan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk menarik kembali
permohonannya.
Tanggal Ketetapan : 1 Mei 2007.
Ikhtisar Ketetapan :
Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 58 huruf f Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal tersebut didalilkan Pemohon
bertentangan dengan UUD 1945.
Pada persidangan 1 Mei 2007, Pemohon menarik kembali perkara Nomor 9/PUU-
V/2007 perihal Pengujian Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Mahkamah mengabulkan penarikan Pemohon karena tidak bertentangan dengan
UUD 1945 dengan memperhatikan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi Pemohon dapat menarik kembali
permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan;
dan ayat (2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
permohonan tidak dapat diajukan kembali. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan
718 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kepada Panitera untuk mencatat penarikan kembali perkara Nomor 9/PUU-V/2007 dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
719 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 10/PUU-V/2007
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PERMOHONAN
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG KEJAKSAAN
Pemohon : 1. H. Wahyudi, S.H.; 2. Endang Iskandar AR., B.A..
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
Pokok Perkara : Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan UUD 1945.
Amar Ketetapan : Mengabulkan penarikan kembali/pencabutan permohonan para
Pemohon.
Tanggal Ketetapan : 29 Mei 2007.
Ikhtisar Ketetapan :
Pemohon, melalui Kuasa Hukumnya Yusri H. Pammai, S.H., dkk, mengajukan
permohonan pengujian Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia.
Pada persidangan 7 Mei 2007, Pemohon melalui Kuasa Hukumnya, telah
mengirimkan surat Permohonan Penarikan Kembali/Pencabutan Perkara Nomor
10/PUU-V/2007, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
pada tanggal 9 Mei 2007. Kemudian Pemohon menyusulkan surat bertanggal 28 Mei
2007 yang pada pokoknya Pemohon menarik kembali Permohonannya.
Mahkamah mengabulkan penarikan Pemohon karena tidak bertentangan dengan
UUD 1945 dengan memperhatikan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi Pemohon dapat menarik kembali
permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan;
dan ayat (2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
720 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
permohonan tidak dapat diajukan kembali. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan
kepada Panitera untuk mencatat penarikan kembali/pencabutan perkara Nomor 10/PUU-
V/2007 dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
721 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 11/PUU-V/2007
TENTANG
PEMBATASAN LUAS LAHAN TANAH PERTANIAN
Pemohon : Yusri Adrisoma.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU PLTP) terhadap Undang-
Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : 1. Pasal 10 ayat (3) UU PLTP mengenai jatuhnya tanah kepada
negara tanpa hak menuntut ganti rugi apapun apabila terjadi
tindak pidana bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 mengenai pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian,
serta perlakuan sama di hadapan hukum.
2. Pasal 10 ayat (3) UU PLTP mengenai jatuhnya tanah kepada
negara tanpa hak menuntut ganti rugi apapun apabila terjadi
tindak pidana bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD
1945 mengenai perlindungan terhadap hak milik pribadi.
3. Pasal 10 ayat (4) UU PLTP, mengenai penyitaan tanah tanpa
ganti rugi oleh negara terhadap pemilik tanah yang dipidana
berdasar UU PLTP, bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 mengenai pengakuan, jaminan, perlindungan,
kepastian, serta perlakuan sama di hadapan hukum.
4. Pasal 10 ayat (4) UU PLTP, mengenai penyitaan tanah tanpa
ganti rugi oleh negara terhadap pemilik tanah yang dipidana
berdasar UU PLTP, bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4)
UUD 1945 mengenai perlindungan terhadap hak milik pribadi.
5. Pasal 10 ayat (4) UU PLTP, mengenai penyitaan tanah tanpa
ganti rugi oleh negara terhadap pemilik tanah yang dipidana
berdasar UU PLTP, bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945 mengenai jaminan bebas dari perlakuan diskriminatif
722 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dan mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif.
6. Penjelasan Pasal 10 UU PLTP, mengenai pelaksanaan
ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan (4) UU PLTP tidak memerlukan
keputusan pengadilan, bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 mengenai pengakuan, jaminan, perlindungan,
kepastian, serta perlakuan sama di hadapan hukum.
7. Penjelasan Pasal 11 UU PLTP, mengenai pelaksanaan
ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan (4) UU PLTP tidak memerlukan
keputusan pengadilan, bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 mengenai pengakuan, jaminan, perlindungan,
kepastian, serta perlakuan sama di hadapan hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Kamis, 20 September 2007.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon, Yusri Adrisoma, adalah ahli waris dari pihak (Dukrim bin Suta) yang
tanahnya terkena pembatasan oleh UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian (UU PLTP). Pemohon menyatakan mengalami kerugian konstitusional
karena peristiwa hukum yang dialami orang tuanya, yaitu terkenanya orang tua Pemohon
oleh UU PLTP.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pemohon mengajukan permohonan agar Mahkamah
Konstitusi menyatakan Pasal 10 ayat (3), ayat (4), dan Penjelasan Pasal 10 dan Pasal
11 UU PLTP bertentangan terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4) dan Pasal
28I ayat (2) UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah menilai Pemohon memenuhi persyaratan adanya kerugian konstitusional
sehingga mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud oleh
Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005.
Mahkamah berpendapat pasal-pasal dalam UU PLTP, yang mengatur batas
maksimal luas tanah pertanian yang dapat dimiliki oleh perorangan/keluarga warga
negara Indonesia, telah memberikan aturan yang jelas atau memberikan kepastian
hukum (rechtszekerheid) dalam rangka penataan ulang kepemilikan tanah (landreform)
khususnya tanah pertanian. Penataan ulang kepemilikan tanah bersesuaian dengan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, UU PA, dan UU PLTP yang mencerminkan tanah dan
kepemilikannya memiliki fungsi sosial.
Berkaitan dengan Pasal 10 ayat (3) UU PLTP yang mengatur bahwa tanah kelebihan
akan jatuh pada Negara tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian berupa apa pun, dinilai
Mahkamah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi UU PA mengatur bahwa ganti
rugi diberikan jika tanah yang disita negara tersebut diserahkan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam UU 56 Tahun 1960.
723 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mengenai dalil Pemohon bahwa pembuatan UU PLTP tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, Mahkamah berpendapat
lain. Mahkamah berpendapat tidak ada pelanggaran terhadap UUD 1945 baik secara
prosedural maupun substansial.
Pemohon mendalilkan terjadi pelanggaran konstitusional oleh Pasal 10 ayat (4) UU
PLTP terkait hak kepemilikan yang dilindungi Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Pasal 28H
ayat (4) UUD 1945 mengatur hak setiap orang untuk mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Menurut Mahkamah, pemberian sifat terkuat dan terpenuh, sesuai dengan Penjelasan
Pasal 20 UU PA, tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak mutlak yang tak terbatas dan
tidak dapat diganggu gugat, sebagaimana hak eigendom menurut pengertian Burgerlijk
Wetboek. Karena sifat yang demikian bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi
sosial dari tiap-tiap hak. Padahal UU PA maupun UU PLTP berlandaskan hukum adat.
Kata-kata terkuat dan terpenuh dimaksudkan untuk membedakannya dengan hak guna
usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak lainnya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menyatakan permohonan
Pemohon ditolak.
Pendapat Berbeda:
Terhadap putusan ini tiga Hakim Konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting
opinion). Dissenter berpendapat permohonan sangat beralasan dan seyogianya
Mahkamah menyatakan Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) UU PLTP bertentangan dengan
UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah menilai UU PA masih relevan dan legitimate dalam penyelenggaraan
tujuan bernegara tetapi sudah selayaknya diperbaharui sesuai perkembangan zaman.
Jika pemilikan tanah minimum dipandang sebagai sesuatu yang konstitusional, hal
demikian dapat diartikan menimbulkan kewajiban konstitusional baru bagi negara dan
Pemerintah R.I. untuk menyediakan tanah bagi semua keluarga yang memiliki tanah di
bawah minimum yang ditentukan, sehingga tidak sesuai dengan paradigma bernegara
saat ini.
Dissenter juga berpendapat bahwa tindak pidana pelanggaran merupakan tindak
pidana ringan yang harus dipertimbangkan proporsionalitasnya antara tindak pidana
yang dilakukan dengan barang milik terdakwa sebagai hasil kejahatan atau alat untuk
melakukan kejahatan. Di samping itu pengambilalihan milik tanpa ganti rugi, melalui
hukuman tambahan dalam putusan Pengadilan, yang menyangkut tanah hanya
diperbolehkan dengan alasan barang yang dirampas tersebut telah digunakan sebagai
alat untuk melakukan kejahatan atau diperoleh sebagai hasil dari kejahatan.
Konsep landreform sebagai kebijakan yang dirumuskan dalam UU PA sebagai
peraturan dasar pokok-pokok agraria, tidak mengadopsi metode pengambilalihan tanpa
724 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ganti rugi. UU PA menggariskan allocation and reallocation of economic resources yang
merupakan kebijakan untuk mengatasi kesenjangan dan untuk mencapai kesejahteraan
bersama.
725 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 12/PUU-V/2007
TENTANG
KONSTITUSIONALITAS PENGATURAN POLIGAMI
Pemohon : M. Insa, S.H.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : 1. Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan mengenai azas perkawinan
bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri,
dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan ijin Pengadilan kepada seorang
suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Pasal 4 ayat (1) UU Perkawinan mengenai kewajiban seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang untuk mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
4. Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan mengenai prasyarat ijin
Pengadilan kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang.
5. Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan mengenai syarat pengajuan
permohonan kepada Pengadilan.
6. Pasal 9 UU Perkawinan mengenai larangan kawin lagi bagi
seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain.
7. Pasal 15 UU Perkawinan mengenai hak yang dimiliki seseorang
untuk mencegah perkawinan yang baru jika seseorang tersebut
masih terikat perkawinan dengan salah satu pihak dalam
perkawinan baru.
8. Pasal 24 UU Perkawinan mengenai hak yang dimiliki seseorang
untuk membatalkan perkawinan baru jika seseorang tersebut
masih terikat perkawinan dengan salah satu pihak dalam
perkawinan baru.
726 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
bertentangan dengan UUD 1945:
1. Pasal 28B ayat (1) mengenai hak setiap orang untuk membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah.
2. Pasal 28E ayat (1) mengenai kebebasan memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya.
3. Pasal 28I ayat (1) mengenai hak beragama adalah hak asasi
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
4. Pasal 28I ayat (2) mengenai hak untuk bebas dari perlakuan
diskriminatif.
5. Pasal 29 ayat (1) mengenai negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa.
6. Pasal 29 ayat (2) mengenai jaminan kebebesan oleh Negara
terhadap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat
menurut agama masing-masing.
Amar Putusan : Menyatakan Permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Rabu, 3 Oktober 2007.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon, M. Insa, adalah warga negara Indonesia yang berniat melakukan ibadah
poligami. Tetapi menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan), Pemohon tidak memenuhi syarat untuk melakukan poligami. Berdasar
alasan tersebut Pemohon mengajukan pengujian undang-undang terhadap UU
Perkawinan, khususnya mengenai pasal-pasal yang mengatur poligami.
Terhadap permohonan tersebut Mahkamah berpendapat syarat-syarat berpoligami
tetap diperlukan untuk menjamin terwujudnya tujuan perkawinan. Pasal-pasal dalam
UU Perkawinan yang memuat alasan, syarat, dan prosedur poligami, sesungguhnya
adalah upaya untuk menjamin terpenuhinya hak-hak isteri dan calon isteri dalam rangka
mewujudkan tujuan perkawinan. Dengan demikian, hal dimaksud tidak dapat diartikan
meniadakan ketentuan yang memperbolehkan perkawinan poligami.
Ketentuan yang tercantum dalam UU Perkawinan yang menyatakan bahwa asas
perkawinan adalah monogami. Poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan
prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Bahwa ketentuan-ketentuan dalam UU Perkawinan tidak bertentangan dengan hak
untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama, dan beribadat menurut
agamanya, hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana
diatur dalam Pasal 28B ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan ayat (2),
serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Dengan demikian Mahkamah menilai dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon tidak
beralasan sehingga permohonan Pemohon dinyatakan ditolak.
727 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 13/PUU-V/2007
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PERMOHONAN PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Pemohon : Bambang Kristiono.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
Pokok Perkara : -
Amar Ketetapan : Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon.
Tanggal Ketetapan : 21 Agustus 2007.
Ikhtisar Ketetapan :
Mahkamah Konstitusi, pada 8 Mei 2007, mencatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi Nomor 13/PUU-V/2007 permohonan bertanggal 24 April 2007 perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya berdasar surat bertanggal 16 Juli 2007, Pemohon melalui Kuasa
Hukumnya, mengajukan permohonan pencabutan atau penarikan kembali perkara
Nomor 13/PUU-V/2007.
Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim Konstitusi, pada 26 Juli 2007, memutuskan
penarikan kembali permohonan a quo cukup beralasan secara hukum dan tidak
bertentangan dengan undang-undang. Oleh karena itu, permohonan penarikan kembali
dikabulkan. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat
penarikan kembali Perkra Nomor 13/PUU-V/2007 dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi.
728 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
729 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 14-17/PUU-V/2007
TENTANG
PERSYARATAN TIDAK PERNAH DIPIDANA
UNTUK MENDUDUKI JABATAN PUBLIK
Pemohon : Perkara 14/PUU-V/2007 :
H. Muhlis Matu (Pemohon I)
Perkara 17/PUU-V/2007 :
1. Henry Yosodiningrat, S.H.; 2. Sudjatmiko, M.Sc., M.Phil.; 3.
Ahmad Tauk (Pemohon II).
Jenis Perkara : 1. Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda) terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
2. Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres)
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
3. Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK) terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
4. Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (UU MA) terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
5. Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) terhadap Undang-
Undang Dasar 1945..
Pokok Perkara : Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Pasal 6 huruf t Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
Pasal 16 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
730 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 7 ayat (2) huruf d Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal
13 huruf g Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa, yang pada intinya menentukan bahwa untuk memangku
suatu jabatan publik (in casu Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Hakim Konstitusi, Hakim
Agung, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan) maka calon
harus memenuhi persyaratan berupa tidak pernah dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
lebih, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I
ayat (5) UUD 1945 menyangkut hak atas persamaan perlakuan di
depan hukum dan pemerintahan.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II ditolak.
Tanggal Putusan : Selasa, 11 Desember 2007.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 58 huruf f UU Pemda, karena Pemohon
merasa dirugikan dengan adanya persyaratan bahwa untuk dapat memangku suatu
jabatan publik (in casu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, Hakim Konstitusi, Hakim Agung, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan),
calon harus memenuhi persyaratan berupa tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau lebih. Pemohon pernah menjalani hukuman penjara karena dianggap/dinyatakan
oleh pengadilan telah melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman lebih dari
5 (lima) tahun. Berlakunya ketentuan tersebut mengakibatkan Pemohon tidak dapat
ikut serta dalam seleksi calon Wakil Bupati untuk daerah pemilihan Kabupaten Takalar,
Sulawesi Selatan.
Senada dengan alasan permohonan di atas, Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 ayat
(1) huruf d UU MK, Pasal 7 ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13
huruf g UU BPK juga dimintakan uji materiil karena Pemohon merasa dirugikan. Kerugian
muncul karena ketentuan dalam UU a quo menyatakan bahwa salah satu persyaratan
untuk dapat berpartisipasi secara formal dalam pemerintahan, in casu memangku jabatan
publik, haruslah tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih.
731 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, yang menyebutkan
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, serta berdasarkan persyaratan adanya
kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud oleh Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005, Mahkamah menilai Pemohon memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan pengujian UU Pemda.
Pemohon I mendalilkan bahwa rumusan Pasal 58 huruf f UU Pemda yang berbunyi
...tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun... adalah tidak jelas. Rumusan
Pasal ini harusnya detail dan terperinci dalam memberikan kualikasi tindak pidana-
tindak pidana tertentu yang secara jelas dan nyata-nyata atau paling tidak dianggap
membahayakan/mengancam kehidupan masyarakat atau ketertiban umum, (misalnya
tindak pidana terorisme, pengedaran/pemakaian obat-obat terlarang, korupsi,
pemerasan, dan lain-lain, serta dibatasi sampai dalam waktu tertentu).
Berdasar dalil yang telah dikemukakan di atas, Pemohon memohon agar Pasal
58 huruf f UU Pemda dinyatakan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sehingga tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat lagi. Argumen yang digunakan Pemohon adalah, berdasar
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 ketentuan yang terdapat dalam Pasal 58 huruf f UU Pemda bertentangan dengan
prinsip persamaan dan kesederajatan di depan hukum dan pemerintahan, serta prinsip
kebebasan dan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif.
Sementara terhadap persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden,
calon Hakim Konstitusi, calon Hakim Agung non karir, calon Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah, serta calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana tersebut
dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 ayat (2) huruf
d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13 huruf g UU BPK adalah diskriminatif;
bersifat pemberangusan/pengekangan terhadap hak-hak politik warga negara. Berdasar
alasan tersebut Pemohon memohon agar pasal-pasal UU a quo dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (5).
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf
a UU MK, Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945. Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-III/2005
memutuskan bahwa ketentuan Pasal 50 UU MK yang mengatur undang-undang yang
dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah
perubahan UUD 1945, telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Permohonan yang diajukan oleh Pemohon I dan Pemohon II adalah permohonan
732 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sehingga dengan demikian Mahkamah
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
Terhadap pokok permohonan, Mahkamah berpendapat bahwa setiap jabatan publik
atau jabatan dalam pemerintahan dalam arti luas, baik yang pengisiannya dilakukan
melalui pemilihan maupun melalui cara lain, menuntut syarat kepercayaan masyarakat.
Oleh karena itu, setiap calon pejabat publik harus memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu sehingga nantinya didapatkan pejabat yang benar-benar bersih, berwibawa,
jujur, dan mempunyai integritas moral yang tinggi.
Mahkamah berpendapat bahwa pencalonan seseorang untuk mengisi suatu jabatan
publik dengan tanpa membeda-bedakan orang sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945 tidaklah berarti bahwa negara tidak boleh mengatur atau menentukan
persyaratannya, sepanjang pengaturan dan/atau persyaratan itu merupakan tuntutan
objektif yang dibutuhkan oleh suatu jabatan atau aktivitas pemerintahan tertentu, dan
sepanjang pengaturan dan/atau persyaratan tersebut tidak bersifat diskriminatif dalam
pengertian tidak membeda-bedakan orang atas dasar agama, ras, suku, bahasa, jenis
kelamin, keyakinan politik, atau status sosial tertentu lainnya.
Mahkamah menyatakan pendiriannya, sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor
15/PUU-V/2007, bahwa pada dasarnya hak-hak yang diatur dalam Pasal 28C ayat (2)
UUD 1945 adalah apa yang dikenal sebagai bagian dari hak untuk mengembangkan diri,
yang mencakup antara lain, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar, hak atas pendidikan,
hak untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya,
dan sebagainya. Sementara itu, substansi hak yang dipersoalkan oleh Pemohon II dalam
hubungan ini adalah hak untuk turut serta dalam pemerintahan sebagai bagian dari hak-
hak sipil dan politik, sehingga tidaklah relevan pengujian konstitusionalitasnya didasarkan
atas hak untuk mengembangkan diri.
Mahkamah berpendapat bahwa hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan hukum yang sama di hadapan hukum dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidaklah secara langsung berhubungan dengan kesempatan
untuk menduduki jabatan publik atau hak untuk turut serta dalam pemerintahan, melainkan
lebih pada konteks penerapan prinsip due process of law dalam negara hukum yang
demokratis.
Mahkamah tidak melihat adanya unsur diskriminasi dalam rumusan Pasal 58 huruf
f UU Pemda sebagai salah satu persyaratan yang berlaku umum bagi setiap warga
negara Indonesia yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil
kepala daerah. Lebih lanjut Mahkamah berpendapat bahwa pengertian diskriminasi,
yang telah diterima secara universal, adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan,
733 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. [vide Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Article
2 Paragraph (1) International Covenant on Civil and Political Rights].
Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 adalah ketentuan yang
berisikan perintah konstitusi bahwa penegakan dan perlindungan HAM dalam negara
hukum yang demokratis akan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, Pasal
28I ayat (5) UUD 1945 tidak mengandung materi muatan hak konstitusional tertentu yang
dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji konstitusionalitas suatu norma undang-
undang. Oleh karena itu tidaklah tepat menggunakan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 untuk
menilai konstitusionalitas syarat tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana
dengan ancaman 5 (lima) tahun atau lebih yang diatur Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal
16 ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda,
Pasal 13 huruf g UU BPK.
Seseorang dapat dipidana bukan semata-mata karena melakukan tindak pidana yang
mengandung unsur kesengajaan (dolus), baik dalam hal kejahatan maupun pelanggaran,
melainkan juga karena kealpaan (culpa), dalam hal ini kealpaan ringan (culpa levis).
Dalam kealpaan demikian sesungguhnya tidak terkandung unsur niat jahat (mens rea).
Oleh karena itu, orang yang dipidana karena kealpaannya pada hakikatnya bukanlah
orang yang jahat, sehingga syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih,
sebagaimana tersurat dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 ayat (1) huruf d UU MK,
Pasal 7 ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, dan Pasal 13 huruf g UU BPK
tersebut, jika diartikan mencakup pula tindak pidana yang lahir karena kealpaan maka
penafsiran demikian sesungguhnya tidak sepenuhnya sejalan dengan tujuan dibuatnya
syarat itu yaitu menentukan suatu standar moral yang bersifat umum bagi seseorang
yang hendak menduduki suatu jabatan publik. Sebab, pemidanaan terhadap seseorang
karena suatu perbuatan kealpaan sesungguhnya tidaklah menggambarkan adanya
moralitas kriminal pada diri orang itu melainkan semata-mata karena kekuranghati-
hatiannya, dalam hal ini kekuranghati-hatian yang berakibat timbulnya perbuatan yang
dapat dipidana.
Dengan kata lain, jika syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
lebih dijadikan sebagai standar moral bagi seseorang yang hendak memangku suatu
jabatan publik maka syarat tersebut hanya dapat diterima apabila yang dimaksud adalah
seseorang yang pernah dipidana karena terbukti sengaja melakukan perbuatan padahal
diketahuinya perbuatan itu adalah perbuatan yang dapat dipidana dengan ancaman
734 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pidana lima tahun atau lebih.
Dengan demikian, Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 ayat (1) huruf d UU MK, Pasal
7 ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13 huruf g UU BPK dapat
dipandang memenuhi tuntutan objektif bagi penentuan persyaratan untuk menduduki
suatu jabatan publik dan karenanya konstitusional hanya jika :
Rumusan dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 ayat (1) huruf d UU MK, Pasal a.
7 ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13 huruf g UU BPK
tersebut tidak mencakup tindak pidana yang timbul karena kealpaan ringan (culpa
levis), meskipun ancaman pidananya 5 (lima) tahun atau lebih;
Rumusan dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 ayat (1) huruf d UU MK, Pasal b.
7 ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13 huruf g UU BPK
tersebut tidak mencakup kejahatan politik.
Pasal 56 UU MK menentukan hanya ada 3 (tiga) kemungkinan amar putusan, yaitu
permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (yakni jika Pemohon atau permohonannya
tidak memenuhi syarat), permohonan dinyatakan dikabulkan (yakni jika permohonan
beralasan), atau permohonan dinyatakan ditolak (yakni jika permohonan tidak beralasan).
Padahal terhadap kasus a quo, dengan berpegang pada pertimbangan di atas, amar
putusan tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga kemungkinan bunyi amar
putusan tersebut. Oleh sebab itu, satu-satunya jalan adalah dengan menyatakan dalam
Pertimbangan Hukum putusan ini bahwa Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 ayat (1)
huruf d UU MK, Pasal 7 ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13
huruf g UU BPK konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).
Berdasarkan pertimbangan demikian, Mahkamah Konstitusi menyatakan
permohonan Pemohon I dan Pemohon II ditolak, yakni Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal
16 ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda,
dan Pasal 13 huruf g UU BPK.
Pendapat Berbeda:
Terhadap putusan Mahkamah tersebut di atas, seorang Hakim Konstitusi mempunyai
pendapat berbeda (dissenting opinion). Dissenter berpendapat pertimbangan moral dan
demi kredibilitas tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan
yang disebabkan oleh inkonsistensi pembentuk undang-undang dalam merumuskan
klausula serupa sebagai persyaratan untuk menduduki berbagai jabatan publik di negeri
ini, maka yang seolah-olah konstitusional justru menjadi inkonstitusional.
Akibat dari ketidakkonsistenan atau barang kali penggunaan standar moral yang
ganda maka Pemohon I (Muhlis Mutu) bisa menjadi Anggota DPRD Kabupaten Takalar,
tetapi sungguh ironis bahwa wakil rakyat tersebut justru tidak bisa menjadi calon kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah. Ketidakkonsistenan dan penggunaan standar
moral yang ganda akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, yang
berarti bahwa undang-undang yang memuat materi muatan yang demikian bertentangan
735 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dengan konstitusi [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945].
Oleh karena itu, seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon,
sebagai upaya pembelajaran agar Pembentuk Undang-Undang lebih cermat dan hati-
hati, serta tidak ambivalen dalam membuat suatu undang-undang. Sebab jika tidak,
justru akan memelihara ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.
736 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
737 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 15/PUU-V/2007
TENTANG
KETENTUAN BATAS USIA CALON KEPALA DAERAH
DAN WAKIL KEPALA DAERAH
Pemohon : Toar Semuel Tangkau.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda) terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 58 huruf d UU Pemda mengenai usia minimal bagi
pencalonan kepala daerah bertentangan dengan Pasal 18 ayat
(4), Pasal 27 ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28J ayat (1) dan ayat
(2) UUD 1945 menyangkut hak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan dan berhak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Selasa, 27 April 2007.
Ikhtisar Putusan :
Dalam permohonannya, Pemohon menyatakan bahwa salah satu persyaratan untuk
menjadi Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana disebutkan di dalam
Pasal 58 butir d UU Pemda adalah berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Hal ini pada dasarnya melanggar hak asasi warga negara Indonesia, khususnya bagi
Pemohon untuk tampil sebagai dalam pemilihan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala
Daerah.
Menurut Pemohon, batas usia minimal 30 (tiga puluh) tahun sebagaimana disebutkan
di dalam Pasal 58 huruf d UU Pemda sangat tidak relevan, karena kematangan seorang
pemimpin tidak harus diukur dari usia, melainkan harus diukur dari tingkat kecerdasan
738 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pemimpin yang bersangkutan, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual maupun
kecerdasan emosional.
Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa haknya secara
konstitusional telah dirugikan. Oleh karena itu, Pemohon memenuhi persyaratan selaku
Pemohon untuk mengajukan Permohonan ini berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) UU MK, Mahkamah
menyatakan memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya, Mahkamah
telah menentukan lima syarat mengenai kerugian hak konstitusional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, yaitu (a) harus ada hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; (b) hak dan/atau kewenangan
konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian; (c) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut
bersifat spesik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (d) ada hubungan sebab akibat (causal verband)
antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang
yang dimohonkan pengujian; dan (e) ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan
tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Dalil-dalil yang diajukan Pemohon dan pendapat Mahkamah adalah sebagai
berikut.
Pasal 58 huruf d UU Pemda bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 1.
yang menyatakan, Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Pemohon beranggapan bahwa ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut
berarti siapapun dapat dipilih sebagai kepala daerah. Istilah demokratis diartikan
di samping mengacu kepada kualitas pribadi seseorang, juga dimaknai sebagai
kesempatan atau hak untuk turut serta dalam pemilihan kepala daerah dan usia
bukanlah sebagai parameter utama karena yang terpenting adalah kualitas seperti
kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan integritas moral serta komitmen
kebangsaan dan keberpihakan kepada rakyat yang akan dipimpinnya.
Terhadap dalil Pemohon ini, Mahkamah berpendapat, Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 bukanlah ketentuan yang secara langsung memuat pengaturan tentang hak
konstitusional warga negara melainkan ketentuan tentang cara pengisian jabatan
739 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota). Dengan pernyataan ini bukanlah berarti
suatu undang-undang, in casu UU Pemda, tidak dapat diuji terhadap Pasal 18 ayat
(4) UUD 1945. UU Pemda tetap dapat diuji terhadap UUD 1945, namun pengujian
dimaksud tidaklah didasarkan atas adanya pelanggaran hak konstitusional
perorangan warga negara Indonesia, sebagaimana didalilkan Pemohon.
Ada dua substansi yang menjadi amanat Konstitusi yang terkandung dalam Pasal 18
ayat (4) UUD 1945 tersebut. Pertama, bahwa pengisian jabatan kepala daerah harus
dilakukan melalui pemilihan. Kedua, pemilihan tersebut harus dilakukan secara
demokratis, artinya harus memenuhi kaidah-kaidah demokrasi. Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 tidak mewajibkan pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden)
untuk menggunakan satu prosedur atau tata cara pemilihan tertentu, secara langsung
ataupun tidak langsung. Hal itu sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-
undang, sepanjang telah terpenuhinya kaidah-kaidah demokrasi.
Dengan demikian, mendalilkan persyaratan usia minimum sebagai calon kepala
daerah atau wakil kepala daerah dengan argumentasi adanya pelanggaran hak
konstitusional berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, sebagaimana didalilkan
Pemohon tidak beralasan.
Pasal 58 huruf d UU Pemda bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 2.
yang menyatakan, Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 27 ayat (2)
UUD 1945 tersebut mengandung pengertian bahwa setiap warga berhak menjadi
kepala daerah, karenanya tidak relevan apabila ditentukan harus berumur sekurang-
kurangnya 30 tahun.
Terhadap dalil ini, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon telah mencampuradukkan
persyaratan untuk menduduki jabatan publik (public ofce) in casu persyaratan untuk
menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah dengan persyaratan untuk mendapatkan
pekerjaan (beroep). Oleh karena itu, dalil Pemohon bahwa Pasal 58 huruf d UU
Pemda yang mengatur tentang persyaratan untuk menduduki jabatan publik (in
casu jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah) bertentangan dengan hak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah tidak tepat.
Pasal 58 huruf d UU Pemda bertentangan dengan Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 3.
yang menyatakan, Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara. Menurut Pemohon, istilah pembelaan negara mengandung
pengertian bahwa dengan menjadi kepala daerah dengan sendirinya telah ikut
dalam pembelaan negara dalam arti luas.
Terhadap dalil Pemohon ini, Mahkamah berpendapat, ketentuan dalam Pasal
27 ayat (3) tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 30 ayat (1) UUD 1945.
Substansinya adalah sama, yaitu hak bela negara yang merupakan bagian dari
hak-hak warga negara (citizens rights). Ruang lingkup hak bela negara mencakup
bidang pertahanan dan keamanan negara, sebagaimana secara lebih rinci diatur
740 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dalam Pasal 30 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UUD 1945. Sementara
itu, substansi yang dipersoalkan Pemohon adalah persyaratan tentang pengisian
jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bukan merupakan bagian
dari ruang lingkup pertahanan, juga bukan bagian dari ruang lingkup pengertian
keamanan, sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945. Bahkan andaikata pun benar,
quod non, bahwa menjadi kepala daerah adalah termasuk dalam pengertian
pembelaan negara sebagaimana didalilkan Pemohon, tidaklah berarti bahwa
pengaturan tentang keikutsertaan warga negara dalam pembelaan negara itu tidak
boleh mempersyaratkan pembatasan usia minimum. Oleh karena itu, dalil Pemohon,
sepanjang menyangkut konstitusionalitas Pasal 58 huruf d UU Pemda terhadap
Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 adalah tidak tepat.
Pasal 58 huruf d UU Pemda bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 4.
yang menyatakan, Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia. Menurut Pemohon, mengembangkan diri
adalah hak setiap orang, tanpa harus dibatasi oleh umur. Melalui pengembangan
diri tersebut maka yang bersangkutan dapat memenuhi kebutuhan dasarnya seperti
pendidikan, pekerjaan, perumahan maupun kesehatan.
Terhadap dalil Pemohon ini, Mahkamah mengakui bahwa Pemohon memang
memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
Namun, interpretasi Pemohon terhadap pengertian hak untuk mengembangkan
diri dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 tersebut, telah keluar dari konteks hak
yang dimaksud oleh pasal itu. Maksud dari penafsiran Pemohon tersebut adalah
untuk menyatakan bahwa hak untuk mengembangkan diri itu berhubungan dengan
pekerjaan, sementara menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, menurut
Pemohon, adalah sebuah pekerjaan. Padahal, Pasal 58 huruf d UU Pemda yang
mengatur persyaratan tentang batas usia minimum untuk menjadi kepala daerah
atau wakil kepala daerah adalah termasuk ruang lingkup hak-hak sipil dan politik
(civil and political rights). Sedangkan, ketentuan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945
mengatur hak yang merupakan bagian dari hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
(economic, social, and cultural rights).
Pertimbangan Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 2 di atas mutatis
mutandis berlaku terhadap dalil Pemohon pada angka 4 ini, sehingga dalil Pemohon
dalam hal ini pun tidak beralasan.
Pasal 58 huruf d UU Pemda bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang 5.
menyatakan, Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Menurut Pemohon, istilah memajukan dirinya mengandung pengertian bahwa
siapapun berhak untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui proses apa saja tanpa
741 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
harus dibatasi oleh umur;
Terhadap dalil ini Mahkamah berpendapat bahwa dalam hubungan ini pun Pemohon
telah membuat penafsirannya sendiri terhadap Pasal 28C ayat (2) UUD 1945
sehingga keluar dari konteksnya. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 mengatur tentang
hak mengembangkan diri. Yang tergolong ke dalam hak untuk mengembangkan diri
ini, antara lain, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar, hak atas pendidikan, hak
untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
dan sebagainya. Dengan kata lain, hak-hak yang tergolong ke dalam kelompok hak
untuk mengembangkan diri tidak ada sangkut pautnya dengan hak setiap warga
negara untuk ikut serta dalam pemerintahan. Sementara itu, Pasal 58 huruf d UU
Pemda yang konstitusionalitasnya dipersoalkan oleh Pemohon berkaitan dengan
hak untuk turut serta dalam pemerintahan, yang merupakan bagian dari hak-hak
sipil dan politik. Karena itu, tidak ada relevansinya mempersoalkan konstitusionalitas
Pasal 58 huruf d UU Pemda terhadap Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, sehingga
dengan demikian dalil Pemohon dalam hubungan ini juga tidak beralasan;
Pasal 58 huruf d UU Pemda bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 6.
yang menyatakan, Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan. Hak setiap orang untuk memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan oleh Pemohon diartikan bahwa setiap orang berhak
menjadi kepala daerah sehingga negara wajib menyediakan kesempatan bagi setiap
warga yang berkeinginan menjadi kepala daerah;
Terhadap dalil Pemohon ini, Mahkamah berpendapat, dalam kaitan ini Mahkamah telah
berulang-ulang menyatakan (terakhir vide Putusan Nomor 19/ PUU-V/2007) bahwa
pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya,
sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan
yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan
tidak mengandung unsur diskriminasi. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan
sehubungan dengan permohonan a quo adalah apakah persyaratan usia minimum
30 tahun untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 58 huruf d UU Pemda, merupakan kebutuhan objektif bagi
jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia
minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau
aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan
usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata
lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal
policy) pembentuk undang-undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimum
untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-
beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
742 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mungkin saja batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau
kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang
sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya
merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang tidak dilarang. Bahkan,
seandainya pun suatu undang-undang tidak mencantumkan syarat usia minimum
(maupun maksimum) tertentu bagi warga negara untuk dapat mengisi suatu jabatan
atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan tertentu, melainkan menyerahkan
pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya, hal demikian
pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 58
huruf d UU Pemda bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 juga tidak
beralasan.
Pasal 58 huruf d UU Pemda bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 yang 7.
menyatakan, Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam hubungan
ini Pemohon menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang
diberikan oleh Tuhan, siapapun tidak berhak mencabut hak asasi tersebut dan
setiap orang termasuk pembuat undang-undang wajib menghormati HAM tersebut.
Keinginan Pemohon untuk menjadi kepala daerah adalah hak asasi Pemohon,
akan tetapi keinginan Pemohon tersebut secara tidak langsung terampas dengan
ketentuan Pasal 58 huruf d UU Pemda;
Terhadap dalil ini, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 28J ayat (1) UUD 1945
mengatur kewajiban setiap orang untuk menghormati hak asasi orang lain.
Sehingga, pasal ini tidak relevan digunakan untuk menguji konstitusionalitas syarat
usia minimum sebagaimana dimaksud Pasal 58 huruf d UU Pemda. Oleh karena itu,
dalil Pemohon yang mengatakan bahwa Pasal 58 huruf d UU Pemda bertentangan
dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan.
Atas dasar pertimbangan tersebut, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon
ditolak.
743 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR NOMOR 16/PUU-V/2007
TENTANG
KETENTUAN ELECTORAL THRESHOLD BAGI
PARTAI POLITIK PESERTA PEMILIHAN UMUM
Pemohon : 1. Partai Persatuan Daerah/PPD (Pemohon I); 2. Partai Perhimpunan
Indonesia Baru/PPIB (Pemohon II); 3. Partai Bintang Reformasi/
PBR (Pemohon III); 4. Partai Damai Sejahtera/PDS (Pemohon
IV); 5. Partai Bulan Bintang/PBB (Pemohon V); 6. Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia/PKPI (Pemohon VI); 7. Partai Penegak
Demokrasi Kebangsaan/PPDK (Pemohon VII); 8. Partai Nasional
Banteng Kemerdekaan/PNBK (Pemohon VIII); 9. Partai Pelopor/
PP; 10. Partai Penegak Demokrasi Indonesia/PPDI (Pemohon IX);
11. Partai Buruh Sosial Demokrat/PBSD (Pemohon XI); 12. Partai
Serikat Indonesia/PSI (Pemohon XII); 13. Partai Karya Peduli
Bangsa/PKPB (Pemohon XIII).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-
Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945 menyangkut hak konstitusional kemerdekaan berserikat,
berkumpul, mengeluarkan pendapat, memperjuangkan haknya
secara kolektif, tanpa diskriminatif atas dasar apapun juga, serta
bersamaan kedudukannya didepan hukum tanpa ada kecualinya,
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara.
744 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Selasa, 23 Oktober 2007.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,
secara konstitusional setiap orang telah diberikan hak yang sangat mendasar, berupa
kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat, memperjuangkan haknya
secara kolektif, tanpa diskriminatif atas dasar apapun juga, bersamaan kedudukannya
didepan hukum tanpa ada kecualinya, untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negara. Maka atas dasar hak-hak konstitusional itulah para Pemohon, mendirikan partai
politik dan telah memenuhi persyaratan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Karena para Pemohon telah memenuhi persyaratan sebagai Partai politik maka
dengan sendirinya berdasarkan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, para Pemohon telah
diberikan hak secara konstitusional sebagai peserta Pemilu. Baik secara implisit maupun
eksplisit, Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, tidak mensyaratkan batas minimal perolehan
suara, untuk dapat mengikuti Pemilu selanjutnya. Maka Pasal 22E ayat (3) UUD 1945
dengan tegas menyatakan bahwa Peserta Pemillihan umum untuk memilih Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai
politik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepanjang para Pemohon telah
memenuhi persyaratan sebagai partai politik maka secara konstitusional berhak untuk
mengikuti Pemilu selanjutnya.
Di samping para Pemohon telah memenuhi syarat sebagai Partai Politik dan telah
memenuhi persyaratan sebagai peserta Pemilu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal
7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dan para
Pemohon telah pula mengikuti Pemilu pada tahun 2004, dengan perolehan suara rata-
rata kurang dari 3 % dari jumlah kursi DPR.
Dengan diberlakukannya Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, yang pada pokoknya menyatakan, bahwa yang
dapat mengikuti Pemilu yang akan datang adalah Partai Politik yang memperoleh suara
minimal 3% dari jumlah kursi DPR. Oleh karena para Pemohon hanya memperoleh suara
rata-rata kurang dari 3% dari jumlah kursi DPR maka para Pemohon telah dirugikan hak
konstitusionalnya, sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945,
karena tidak dapat mengikuti Pemilu tahun 2009 yang akan datang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan
konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar.
745 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Permohonan para Pemohon adalah untuk menguji UU Pemilu terhadap UUD 1945
maka Mahkamah menyatakan berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo.
Para Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai
partai politik untuk mengikuti pemilihan umum yang dijamin oleh Pasal 22E ayat (3) UUD
1945 dirugikan oleh berlakunya Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu, karena para
Pemohon tidak dapat mengikuti Pemilu berikutnya yakni pada Pemilu 2009 sebagai
akibat adanya ketentuan pasal a quo.
Undang-undang yang diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 adalah
UU Pemilu yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon yang antara lain memuat
ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) yang intinya berkaitan dengan persyaratan bagi
partai politik agar dapat mengikuti Pemilu berikutnya, yakni partai politik harus:
1) memenuhi ketentuan electoral threshold (ET) yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1)
UU Pemilu.
2) bergabung dengan partai politik lainnya apabila ketentuan ET tidak terpenuhi [Pasal
9 ayat (2) UU Pemilu].
Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak
bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945, sebagaimana didalilkan oleh para
Pemohon, yakni:
1) Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945 tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
karena Pasal a quo hanya memuat persyaratan objektif bagi semua Parpol tanpa
kecuali apabila ingin mengikuti Pemilu berikutnya dan tidak mengurangi kedudukan
warga negara dalam hukum dan pemerintahan, bahkan seharusnya para Pemohon
sebagai warga negara Indonesia wajib menjunjung ketentuan tersebut;
2) Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28A
UUD 1945 tentang hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya, karena
ketentuan mengenai hak hidup yang tercantum dalam Pasal 28A UUD 1945 adalah
diperuntukkan bagi orang dalam arti manusia (natuurlijke persoon), bukan orang
dalam arti badan hukum (rechtspersoon). Dengan demikian, mengkaitkan Pasal 9
ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu dengan Pasal 28A UUD 1945 tidaklah tepat;
3) Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2)
UUD 1945 tentang hak setiap orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negaranya,
karena pasal a quo tidak menghalangi para Pemohon untuk berjuang secara kolektif
membangun masyarakat, bangsa dan negara, termasuk ikut Pemilu berikutnya, asal
memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Pasal a quo. Bahkan apabila ditempuh
cara yang ditentukan oleh Pasal 9 ayat (2) UU Pemilu ada kemungkinan perjuangan
kolektif tersebut akan lebih dahsyat;
746 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
4) Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28G
ayat (2) UUD 1945, karena ketentuan yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) dan
ayat (2) tersebut tidak menimbulkan ancaman bagi pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda para Pemohon, serta tidak mengurangi rasa aman dan
tidak menimbulkan ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang terkait dengan eksistensi para Pemohon sebagai partai politik;
5) Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena
persyaratan untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya itu berlaku untuk semua partai
politik setelah melewati kompetisi secara demokratis melalui Pemilu. Terpenuhi atau
tidak terpenuhinya ketentuan ET yang menjadi syarat untuk ikut Pemilu berikutnya
tergantung partai politik yang bersangkutan dan dukungan dari pemilih, bukan
kesalahan undang-undangnya. Hal yang demikian juga bukan merupakan sesuatu
yang diskriminatif menurut perspektif hak asasi manusia sebagaimana dimaksud UU
HAM dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR);
Mahkamah menambahkan bahwa berdasarkan UU Pemilu memang partai politik
yang telah berstatus sebagai badan hukum menurut UU Parpol tidak secara serta merta
(otomatis) dapat mengikuti Pemilu, karena masih harus memenuhi persyaratan yang
ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verikasi administratif dan verikasi faktual oleh Komisi
Pemilihan Umum (vide Pasal 7 UU Pemilu), sehingga eksistensi partai politik dengan
keikutsertaan partai politik dalam Pemilu memang merupakan dua hal yang berbeda
dan tidak dapat dicampuradukkan. Setidak-tidaknya, hal itulah yang menjadi kebijakan
hukum (legal policy) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak
bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan mandat
bebas kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, termasuk mengenai
persyaratan untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya dengan ketentuan ET.
Ketentuan tentang ET sudah dikenal sejak Pemilu 1999 yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang kemudian diadopsi
lagi dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, yang menaikkan ET dari 2% (dua
persen) menjadi 3% (tiga persen), sehingga para Pemohon seharusnya sudah sangat
memahami sejak dini bahwa ketentuan tentang ET tersebut memang merupakan pilihan
kebijakan dari pembentuk undang-undang dalam rangka membangun suatu sistim
multipartai sederhana di Indonesia. Menurut Mahkamah, kebijakan hukum (legal policy)
di bidang kepartaian dan Pemilu tersebut bersifat objektif, dalam arti sebagai seleksi
alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistim multipartai yang hidup kembali
di Indonesia di era reformasi, setelah dianutnya sistim tiga partai pada era Orde Baru
melalui penggabungan partai yang dipaksakan. Dalam hal ini, di antara para Pemohon
bahkan ada yang ikut menentukan besaran ET tersebut, dan secara keseluruhan para
Pemohon dengan mengikuti Pemilu 2004 berarti secara sadar sudah menerima adanya
ketentuan tentang ET dalam UU Pemilu.
747 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mahkamah menilai bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan keharusan untuk
bergabung bagi partai politik yang tidak memenuhi ET sangat sulit misalnya bagi Partai
Bulan Bintang (PBB) yang memperjuangkan syariat Islam secara demokratis dan
konstitusional dan bagi Partai Damai Sejahtera (PDS) yang aspirasinya Kristiani, menurut
Mahkamah hal itu tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas Pasal 9 ayat (1) dan ayat
(2) UU Pemilu. Lagi pula, berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UU Parpol setiap partai politik
harus bersifat terbuka bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi.
Dari perspektif HAM sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak mempengaruhi hak
untuk berserikat dan berkumpul, termasuk hak untuk mendirikan partai politik, serta
tidak ada unsur yang bersifat diskriminatif, sehingga ketentuan dalam pasal a quo tidak
bertentangan dengan hak asasi manusia.
Mahkamah menilai Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, dalil-dalil yang
dikemukakan oleh para Pemohon tidak beralasan sehingga permohonan para Pemohon
harus dinyatakan ditolak.
748 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
749 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 18/PUU-V/2007
TENTANG
KETERLIBATAN DPR DALAM PROSES
PEMBENTUKAN PENGADILAN HAM AD HOC
Pemohon : Eurico Guterres.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
mengenai keterlibatan DPR dalam proses pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc bertentangan dengan Pasal 24A ayat
(5), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyangkut hak untuk memperoleh
perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan sebagian.
Tanggal Putusan : Kamis, 21 Februari 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 18/PUU-V/2007 bernama Eurico Guterres. Pemohon
mengajukan pengujian Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (selanjutnya disebut UU
Pengadilan HAM) yang bertentangan dengan Pasal 24A ayat (5), Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, antara
lain menentukan bahwa Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar. Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut UU MK). Objek permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah pengujian
750 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
undang-undang, in casu Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM beserta Penjelasannya
terhadap UUD 1945, bahwa sepanjang menyangkut Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM
pernah dimohonkan pengujian dalam perkara Nomor 065/PUU-II/2004. Sesuai dengan
Pasal 60 UU MK juncto Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Kontitusi Nomor 06/
PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang
berbunyi,...permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang
sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian
kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang
bersangkutan berbeda. Dalam perkara Nomor 065/PUU-II/2004 tersebut yang dijadikan
alasan oleh Pemohon adalah larangan menggunakan asas retroaktif karena bertentangan
dengan Pasal 28I UUD 1945, sedangkan dalam permohonan a quo yang menjadi alasan
adalah keterlibatan DPR dalam pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yang oleh Pemohon
dianggap bertentangan dengan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon bahwa untuk
dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus
memenuhi ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan sejak Putusan Mahkamah
Nomor 006/PUU-III/2005 hingga saat ini, yang telah menjadi pendirian Mahkamah
mengenai lima syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional. Pemohon
Eurico Guterres oleh Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dalam perkara Nomor 04/PID.HAM/AD.HOC/ 2002/PN.JKT.PST, telah dijatuhi pidana
penjara selama sepuluh tahun, putusan tersebut telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung
dalam Putusan Nomor 06 K/PID.HAM AD HOC/2005, tanggal 13 Maret 2006. Pemohon
selaku perorangan warga negara Indonesia dalam permohonannya mendalilkan telah
dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasannya.
Pemohon berdasarkan pasal tersebut telah ternyata diajukan ke Pengadilan HAM ad hoc
dan dijatuhi pidana penjara selama sepuluh tahun. Oleh karena itu, Pemohon memenuhi
syarat guna dinyatakan memiliki kedudukan hukum (legal standing) selaku Pemohon
dalam perkara ini.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU
Pengadilan HAM mengenai keterlibatan DPR dalam proses pembentukan Pengadilan
HAM ad hoc bertentangan dengan Pasal 24A ayat (5), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyangkut hak untuk
memperoleh perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
Disamping itu, Pemohon dalam permohonannya tidak mempersoalkan keberadaan
(the existence) Pengadilan HAM ad hoc, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1)
UU Pengadilan HAM, tetapi terhadap proses pembentukan Pengadilan HAM ad hoc
yang dipandang bertentangan dengan UUD 1945. Bagi Pemohon, proses pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc, menurut Pasal 43 ayat (2) UU a quo, diadakan atas usul DPR
berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden, dan dalam Penjelasannya,
751 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dinyatakan bahwa dalam hal DPR mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad
hoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum
diundangkannya UU Pengadilan HAM, pada hakikatnya membuka peluang intervensi
kekuasaan politik terhadap proses hukum yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman.
Bagi Pemohon DPR menurut UUD 1945, memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan, utamanya menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang.
Dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun secara normatif yang memberikan hak kepada
DPR untuk melakukan penilaian yang bersifat menghakimi suatu peristiwa hukum
pidana, sebagaimana secara normatif tercantum dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2).
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum telah
dibentuk dengan UU Pengadilan HAM. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc merupakan
kekhususan dari Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (5) UUD 1945
karena keberadaan Pengadilan HAM ad hoc merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari ruang lingkup Pengadilan HAM yang diatur dalam BAB VIII UU Pengadilan HAM,
sehingga keberadaan lembaga Pengadilan HAM ad hoc dengan Keputusan Presiden
(Keppres) tidak bertentangan dengan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa untuk menentukan perlu
tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut
locus dan tempus delicti memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan
representasi rakyat yaitu DPR. Namun, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri
tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang
berwenang, yaitu Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai
penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2003, sehingga kata
dugaan dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa permohonan Pemohon
dikabulkan sebagian, yakni Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, sepanjang
mengenai kata dugaan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Mahkamah juga menyatakan bahwa permohonan Pemohon
untuk selebihnya ditolak, yakni Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM. Selanjutnya,
Mahkamah memerintahkan pemuatan Putusan Nomor 18/PUU-V/2007 ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Pendapat Berbeda:
Satu orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion)
sebagai berikut :
Permohonan Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan
HAM harus dinyatakan ditolak, bahwa meskipun Pengadilan HAM ad hoc merupakan
752 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
penyelesaian persoalan transitional justice sehingga berbeda pembentukannya dengan
pengadilan lain dan merupakan keputusan politik, namun dengan pertimbangan dan
kehati-hatian yang mendalam, sebagaimana terdapat dalam Putusan Nomor 065/PUU-
II/2004. Selain itu, Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM harus dinyatakan
ditolak dengan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) bahwa keputusan
DPR untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden
diambil setelah terlebih dahulu ada hasil penyelidikan yang dilakukan oleh suatu institusi
independen yang khusus dibentuk dan diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan
terhadap dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebelum
berlakunya UU Pengadilan HAM yang locus maupun tempus delicti ditentukan secara
jelas.
753 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 19/PUU-V/2007
TENTANG
PERSYARATAN CALON KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Pemohon : Ravavi Wilson.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 29 huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai
persyaratan calon ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal
28I ayat (5), dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 menyangkut hak
setiap orang mendapat perlakuan sama di depan hukum serta
bebas dari perlakuan diskriminasi.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Selasa, 13 November 2007.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 29 huruf d Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut
UU KPTPK) karena merasa dirugikan dengan adanya pemberlakuan persyaratan
bahwa untuk dapat mendaftar sebagai calon ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(selanjutnya disebut KPK) maka semua calon harus berijazah Sarjana Hukum atau
Sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima
belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan. Persyaratan
ini diatur dalam Pasal 29 huruf d UU KPTPK. Oleh karena Pemohon tidak memenuhi
persyaratan tersebut maka panitia seleksi calon Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
tidak memberi kesempatan Pemohon untuk mendaftar sebagai calon Ketua KPK.
Pemohon memohon agar Pasal 29 huruf d UU KPTPK dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Argumen yang
754 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
digunakan Pemohon adalah berdasar Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal
28I ayat (5), dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945, ketentuan yang terdapat dalam Pasal
29 huruf d UU KPTPK melanggar hak asasi manusia, sebab menimbulkan diskriminasi
bagi warga negara yang tidak memiliki gelar kesarjanaan untuk dapat mencalonkan diri
sebagai Ketua KPK.
Selain itu, persyaratan memiliki gelar kesarjanaan menurut Pemohon merupakan
persyaratan teknis. Sehingga lebih tepat apabila persyaratan tersebut tidak dimuat dalam
undang-undang, melainkan dalam peraturan yang hierarkhinya lebih rendah dari undang-
undang.
Berdasar Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, yang dimaksud Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang. Dalam hal ini Pemohon memiliki hak konstitusional seperti
yang didalilkan, yaitu hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
dan hak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, sebagaimana masing-
masing diatur dalam Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Mahkamah
berpendapat Pemohon memenuhi persyaratan adanya kerugian konstitusional
sebagaimana dimaksud oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005
dan Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing).
Terhadap UU KPTPK, Mahkamah menyatakan memiliki kewenangan untuk menguji
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-III/2005 yang menyatakan
bahwa ketentuan Pasal 50 UU MK yang mengatur undang-undang yang dapat
dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan
UUD 1945, telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena
itu, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji UU KPTPK.
Mengenai Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, Mahkamah berpendapat
bahwa kata pemerintahan mengandung pengertian yang mencakup bidang kegiatan
yang sangat luas dan beragam. Masing-masing bidang itu memiliki sifat atau karakter
tersendiri dan karenanya timbul kebutuhan akan persyaratan tertentu untuk terlibat di
dalamnya.
Dalam hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan tersebut,
tidak berarti negara tidak boleh membuat pengaturan dan persyaratan bagi pemenuhan
hak tersebut dalam peraturan perundang-undangannya, sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 28H ayat (5) UUD 1945. Yang tidak boleh dilakukan oleh negara adalah membuat
pengaturan dan/atau persyaratan yang bersifat diskriminatif yang sama sekali tidak
ada hubungannya dengan kebutuhan yang dituntut oleh bidang kegiatan pemerintahan
dimaksud melainkan semata-mata dibuat berdasarkan pertimbangan ras, suku, agama,
bahasa, warna kulit, jenis kelamin, status ekonomi, status sosial, atau keyakinan politik
tertentu.
755 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Kejahatan atau tindak pidana korupsi sangat kompleks, sehingga untuk
memberantasnya bukan hanya diperlukan keahlian dan pengalaman dalam bidang
hukum, tetapi juga keahlian dalam bidang-bidang lain, terutama dalam bidang ekonomi,
keuangan, dan perbankan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 29 huruf d UU KPTPK
yang mempersyaratkan seorang calon Pimpinan KPK haruslah berijazah sarjana hukum
atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima
belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan merupakan
tuntutan kebutuhan sesuai dengan sifat kelembagaan KPK. Adalah benar bahwa
kemampuan seseorang tidak selalu tergambar dari kualikasi pendidikannya, akan tetapi
syarat pendidikan tertentu telah diterima secara umum sebagai ukuran objektif sebagai
tolok ukur kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas jabatan dalam
pemerintahan.
Terhadap Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, Mahkamah berpendapat
bahwa pengaturan dan pemberian persyaratan yang secara objektif memang dituntut
oleh suatu bidang kegiatan pemerintahan tertentu sesuai dengan sifat atau karakter
bidang kegiatan pemerintahan tersebut tidaklah dapat dianggap sebagai penghalang
terhadap hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Menurut Mahkamah, Frasa kemudahan dan perlakuan khusus dalam Pasal 28H ayat
(2) UUD 1945 tidaklah dapat ditafsirkan menyimpang dari konteks keutuhan pengertian
yang terkandung dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tersebut, yaitu tercapainya
persamaan dan keadilan. Sehingga, dalam hubungannya dengan permohonan a quo,
makna frasa tersebut adalah bahwa apabila seseorang telah memenuhi persyaratan
objektif untuk menjadi Pimpinan KPK maka negara tidak boleh membuat ketentuan atau
syarat-syarat lain yang menghambat hak orang itu, in casu hak untuk mengikuti seleksi
Pimpinan KPK. Dengan kata lain, keadaan-keadaan atau kekurangan yang dialami
seseorang tidaklah boleh menghambat hak orang itu untuk menjadi calon Pimpinan KPK,
sepanjang syarat-syarat objektif untuk itu telah terpenuhi.
Terhadap Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi Untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis
maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 29 huruf d UU KPTPK
tidak ada sangkut-pautnya dengan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945. Sebab Pasal 28I ayat
(5) UUD 1945 tidak mengatur substansi hak konstitusional tertentu warga negara yang
kemungkinan dapat dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. Ketentuan Pasal
28I ayat (5) UUD 1945 ini adalah berkait dan merupakan konsekuensi logis dari ketentuan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, Indonesia adalah negara hukum. Salah
satu unsur atau syarat dari negara hukum adalah adanya jaminan perlindungan hak asasi
manusia. Oleh karena itulah perlu ditegaskan bahwa, sebagai negara hukum, hak asasi
756 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
manusia itu dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Terhadap Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada relevansinya
menguji konstitusionalitas Pasal 29 huruf d terhadap Pasal 28J ayat (1) UUD 1945.
Sebab, nyata dan jelas bahwa Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 bukanlah mengatur hak
konstitusional melainkan mengatur kewajiban setiap orang untuk menghormati hak asasi
orang lain.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon
ditolak untuk seluruhnya.
757 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 20/PUU-V/2007
TENTANG
LEGAL STANDING ANGGOTA DPR DALAM
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG MINYAK DAN GAS BUMI
Pemohon : 1. Zainal Arin; 2. Sonny Keraf; 3. Alvin Lie; dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi (UU Migas) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi mengenai Kontrak Kerja Sama yang sudah
ditandatangani (Pemerintah cq BP Migas) harus diberitahukan
secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, bertentangan dengan Pasal Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A
ayat (1), Pasal 33 ayat (3), Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Amar Putusan : Permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
Tanggal Putusan : Kamis, 13 Desember 2007.
Ikhtisar Putusan :
Pengujian Pasal 20A ayat (1), Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) diajukan oleh Zainal Arin, Sonny Keraf,
Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparmono, Bambang Wuryanto, Dradjad Wibowo,
dan Tjatur Sapto Edy, yang keseluruhannya adalah perorangan warga negara Indonesia
dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR-RI. para Pemohon mendalilkan kerugian
hak konstitusional mereka karena adanya ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Migas yang
berbunyi, Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan
secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pengertian perorangan warga negara Indonesia dalam Pasal 51 ayat (1) huruf
a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) tidak sama dengan
perorangan warga negara Indonesia dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR
758 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
sebagaimana didalilkan para Pemohon. Sebab, perorangan warga negara Indonesia
yang bukan Anggota DPR tidak mempunyai hak konstitusional yang dijadikan dasar dalil
kerugian hak konstitusional Pemohon, yaitu hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 11
ayat (2) dan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945. UUD 1945 secara eksplisit telah menentukan
hak konstitusional bagi warga negara Indonesia, Anggota DPR, maupun DPR.
Hak konstitusional Anggota DPR tercantum dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945
yang menyatakan, Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar
ini, setiap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. Kemudian hak konstitusional DPR
untuk melaksanakan fungsinya, baik legislasi, anggaran, dan pengawasan, tercantum
dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang
diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Sementara
Pasal 21 UUD 1945 memberikan hak Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak
mengajukan usul rancangan undang-undang.
Bahwa yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang berdasarkan
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 adalah DPR sebagai institusi/lembaga. DPR sebagai
suatu organisasi yang berbentuk majelis (college), memiliki sejumlah pemangku jabatan
tunggal (eenmansambten) namun masing-masing anggota tidak mewakili dirinya sendiri,
melainkan dalam bentuk kerja sama secara kelembagaan (institutie). Sebagai keputusan
kelembagaan jabatan majemuk (DPR) maka keputusan dimaksud merupakan hasil yang
dicapai secara bersama-sama. Dengan demikian, jabatan Anggota DPR tidak tergolong
pemangku jabatan tunggal (nmansambt) tetapi merupakan jabatan majemuk atau
samengesteldeambt. Para anggotanya tidak dapat mewakili lembaga secara sendiri-
sendiri tetapi harus secara kolegial. Oleh karena itu, DPR secara kelembagaan tidak
dapat diwakili oleh para Pemohon secara sendiri-sendiri.
Terdapat perbedaan antara hak dan/atau kewenangan konstitusional Anggota DPR
dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional DPR selaku lembaga (institutie). Dalam
UUD 1945 hak dan/atau kewenangan konstitusional Anggota DPR terdiri dari lima hal
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 20A ayat (3). Sementara
itu, hak dan/atau kewenangan konstitusional DPR selaku lembaga terdiri atas lima belas
hal sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 ayat (3), Pasal 13
ayat (2), Pasal 14 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (2), Pasal 22 ayat (2), Pasal
24B ayat (1), Pasal 24A ayat (3), serta Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.
Substansi persoalan dalam permohonan a quo adalah persoalan legislative review,
bukan judicial review. Sebab, jika DPR menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Pasal 11 ayat (2) UU Migas, sementara kewenangan untuk membentuk dan
mengubah undang-undang ada di tangannya sendiri maka tentu sangatlah ganjil jika
DPR mengajukan permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah. Sebab,
jika demikian, berarti DPR mempersoalkan konstitusionalitas hasil tindakannya sendiri di
759 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
hadapan Mahkamah. Jika seandainya DPR alpa, sehingga membentuk undang-undang
yang merugikan hak konstitusionalnya sendiri, sesuatu yang sulit dibayangkan dapat
terjadi, maka tidak terdapat halangan konstitusional apa pun baginya untuk melakukan
perubahan terhadap undang-undang tersebut.
Mahkamah berpendapat, para Pemohon sebagai perorangan warga negara
Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR tidak memenuhi kualikasi sebagaimana
ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, sehingga tidak mengalami kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana didalilkan para Pemohon. Mahkamah
berkesimpulan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo, sehingga permohonan
para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Pendapat berbeda :
Berkaitan dengan legal standing Pemohon, dissenter berpendapat bahwa Anggota
DPR yang telah turut menyetujui RUU menjadi undang-undang, tidaklah memiliki
dasar untuk mengajukan uji materil atas undang-undang yang telah disetujuinya.
Sebab dia terikat pada konsensus yang diberikan, dan kalau tidak hal demikian akan
menimbulkan ketidakpastian hukum. Meskipun satu, jumlah minimal tertentu sebagai
syarat legal standing bagi Anggota DPR dapat memberi rasionalisasi atas bobot penting
uji konstitutionalitas norma yang diajukan. Paralel dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK
yang memberi standing kepada perorangan maka seorang Anggota DPR pun yang
mengajukan uji materi undang-undang terhadap UUD 1945 tidak akan mempengaruhi
keabsahan permohonan tersebut sepanjang dapat ditunjukkan adanya constitusional
bounds yang telah dilanggar.
Apabila terhadap Anggota DPR tidak diberi legal standing dalam kualikasi perorangan
warga negara Indonesia maka dapat disimpulkan bahwa penafsiran MK terhadap Pasal
51 ayat (1) UU MK menutup sama sekali Anggota DPR untuk mengajukan permohonan.
Hal demikian berarti tidak ada saluran hukum bagi seorang Anggota DPR, padahal hak
konstitusionalnya jelas-jelas disebut oleh UUD 1945.
Penafsiran demikian akan menyebabkan UU MK tidak memfasilitasi hukum
materiilnya, yaitu UUD 1945 yang di dalamnya memberikan hak konstitusional kepada
Anggota DPR. Dengan demikian, dalam hal ini, Pasal 51 ayat (1) UU MK dapat diajukan
untuk diuji karena menghilangkan hak konstitusional Anggota DPR.
Berdasar hal tersebut, seyogyanya Mahkamah memutuskan bahwa Pemohon memiliki
legal standing untuk mengajukan permohonan ini, dan selanjutnya mempertimbangkan
pokok permohonan.
760 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
761 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 21-22/PUU-V/2007
TENTANG
KEKUASAAN NEGARA DALAM KEGIATAN PENANAMAN MODAL
Pemohon : Perkara Nomor 21/PUU-V/2007 :
1. Diah Astuti (bertindak untuk dan atas nama Perhimpunan Bantuan
Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia/PBHI); 2. Henry Saragih
(bertindak untuk dan atas nama Federasi Serikat Petani Indonesia/
FSPI); 3. Muhammad Nur Uddin (bertindak untuk dan atas nama
Aliansi Petani Indonesia/API); 4. Dwi Astuti (bertindak untuk
dan atas nama Yayasan Bina Desa Sadajiwa/YBDS); 5. Salma
Satri Rahayaan (bertindak untuk dan atas nama Perserikatan
Solidaritas Perempuan/PSP); 6. Sutrisno (bertindak untuk dan
atas nama Federasi Serikat Buruh Jabotabek/FSBJ); 7. Khalid
Muhammad (bertindak untuk dan atas nama Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia/WALHI); 8. Usep Setiawan (bertindak untuk dan
atas nama Konsorsium Pembaruan Agraria/KPA); 9. Ade Rustina
Sitompul (bertindak untuk dan atas nama Suara Hak Asasi Manusia
Indonesia/SHMI); dan 10. Yuni Pristiwati (bertindak untuk dan atas
nama Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil/ASPPUK)
(Pemohon I).
Perkara Nomor 22/PUU-V/2007 :
1. Daipin; 2. Halusi Thabrani; 3. H. Sujianto; dkk. (Pemohon II).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 1 ayat (1), Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (2)
huruf a, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengenai inkonstitusional
perpanjangan di muka terhadap hak atas tanah dalam Undang-
762 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Undang Penanaman Modal bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 31 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 33 ayat (2), Pasal 33 ayat (3) Pasal 34 ayat (1) UUD 1945
menyangkut hak-hak ekonomi dan sosial warga negara sebagai
kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi melalui keterlibatan
atau peran negara.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Selasa, 25 Maret 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon Perkara Nomor 21/PUU-V/2007 adalah lembaga-lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang melakukan kegiatan atau aktivitas perlindungan, pembelaan; dan
penegakan keadilan, hukum, serta hak asasi manusia; mendayagunakan lembaga untuk
mengikutsertakan masyarakat dalam memperjuangkan penghargaan, penghormatan,
perlindungan, pembelaan, dan penegakan keadilan, hukum, dan hak asasi manusia.
Sementara Pemohon Perkara Nomor 22/PUU-V/2007 adalah sekelompok perorangan
warga negara Indonesia sekaligus mewakili organisasi-organisasi petani, nelayan, buruh,
dan pedagang tradisional.
Terhadap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (selanjutnya disebut UU Penanaman Modal), Mahkamah menyatakan
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya, karena yang dimohonkan
pengujian adalah undang-undang terhadap UUD 1945.
Kedua Pemohon dinilai memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
pengujian UU Penanaman Modal terhadap UUD 1945.
Beberapa ketentuan dalam UU Penanaman Modal yang didalilkan Pemohon
bertentangan dengan UUD 1945 adalah :
Pasal 1 ayat (1) mengenai pengertian penanaman modal. 1.
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d mengenai asas perlakuan yang sama dan tidak 2.
membedakan asal negara.
Pasal 4 ayat (2) huruf a mengenai perlakuan sama bagi bagi penanam modal 3.
dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan
nasional.
Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3) mengenai pengalihan aset penanam modal; dan hak 4.
penanam modal untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing.
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3) mengenai bidang/jenis usaha yang terbuka bagi 5.
kegiatan penanaman modal; dan penetapan oleh pemerintah berkaitan dengan
bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam
negeri.
763 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 21 mengenai kemudahan pelayanan dan/atau perijinan yang diberikan 6.
pemerintah kepada perusahaan penanaman modal.
Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) mengenai perpanjangan atau pembaruan perijinan 7.
hak atas; dan syarat pemberian dan perpanjangan hak atas tanah.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa seluruh ketentuan (lima ayat) dalam Pasal
33 UUD 1945 harus dipahami sebagai kesatuan yang bulat dan dengan semangat untuk
senantiasa menjadikan UUD 1945 sebagai konstitusi yang hidup (living constitution).
Pasal 33 UUD 1945 bertujuan mewujudkan perekonomian nasional yang memberikan
kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada rakyat.
Perekonomian nasional, yang berupa usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan
itu, tidak dapat diartikan lain selain sebagai bagian dari tugas Pemerintah Negara
Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam kerangka pikir itu pula makna
sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam Pasal 33 UUD 1945 itu harus dipahami,
bukan semata-mata pada bentuk. Hanya dengan pemahaman demikian pula dapat
diterima jalan pikiran pembentuk undang-undang bahwa terhadap bidang-bidang dan/
atau cabang-cabang produksi tertentu memang diperlukan penguasaan oleh negara.
Dengan penegasan tersebut di atas maka tiga hal berikut menjadi jelas:
1. Hak menguasai yang diberikan oleh UUD 1945 kepada negara bukanlah demi negara
itu sendiri. Melainkan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
2. Bagi orang perorangan pemegang hak atas tanah, termasuk badan hukum,
penegasan tersebut memberi kepastian bahwa dalam hak atas tanah yang
dipunyainya itu melekat pula pembatasan-pembatasan yang lahir dari adanya hak
penguasaan oleh negara.
3. Bagi pihak-pihak lain yang bukan pemegang hak atas tanah juga diperoleh kepastian
bahwa mereka tidak serta-merta dapat meminta negara untuk melakukan tindakan
penguasaan atas tanah yang terhadap tanah itu sudah melekat suatu hak tertentu.
Terkait dengan permohonan, terhadap Pasal 1 angka 1 UU Penanaman Modal,
Mahkamah tidak menemukan adanya persoalan inkonstitusionalitas di dalam rumusan
norma.
Terhadap Pasal 4 ayat (2), Mahkamah berpendapat bahwa negara masih memegang
kendali atas kegiatan penanaman modal.
Terhadap Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Penanaman Modal, Mahkamah
berpendapat bahwa tidak ada hubungannya dengan prinsip penguasaan oleh negara.
Terhadap Pasal 8 ayat (1) UU Penanaman Modal, Mahkamah berpendapat bahwa
aset adalah bagian dari harta benda yang setiap orang berhak memilikinya dan negara
wajib melindunginya. Hal ini tercantum dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Dengan berdasar pada ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, Pasal 8 ayat (1) UU
Penanaman Modal adalah konstitusional sepanjang dipenuhi salah satu dari dua syarat
764 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
bagi pembatasan itu. Dua syarat tersebut adalah:
1. Bahwa pembatasan, termasuk larangan, dilakukan semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
2. Bahwa pembatasan, termasuk larangan, dilakukan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Mengenai Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3) UU Penanaman Modal, Mahkamah
berpendapat bahwa baik ketentuan tentang pengalihan aset, sebagaimana diatur dalam
Pasal 8 ayat (1) UU Penanaman Modal, maupun ketentuan tentang hak untuk melakukan
transfer dan repatriasi dalam valuta asing, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU
Penanaman Modal, adalah ketentuan yang umum berlaku dalam bidang moneter.
Sehingga ketentuan yang mengatur tentang hak penanam modal untuk melakukan
transfer dan/atau repatriasi ini justru menegaskan adanya kepastian hukum itu.
Sementara Pemohon mendalikan Pasal 8 ayat (3) UU Penanaman Modal menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) UU Penanaman Modal
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Mahkamah berpendapat
perlu diperjelas beberapa pengertian. Pengertian yang perlu diperjelas adalah frasa
dikuasai oleh negara; perihal bidang-bidang di mana ketentuan dikuasai oleh negara
itu berlaku; perihal jawaban atas pertanyaan apakah terhadap bidang-bidang di mana
prinsip penguasaan oleh negara itu berlaku sama artinya dengan menyatakan bahwa
bidang-bidang itu tertutup bagi penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri; dan
perihal bagaimana UUD 1945 menentukan pengaturan lebih lanjut mengenai penguasaan
oleh negara.
Frasa dikuasai oleh negara mengandung pengertian bahwa rakyat secara kolektif
dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan
kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
Jika penguasaan oleh negara dihubungkan dengan isu konstitusional dari
pertanyaan a quo, menjadi teranglah bahwa konstitusionalitas Pasal 12 ayat (1) UU
Penanaman Modal bukanlah seluruhnya bergantung pada persoalan dinyatakan terbuka
atau tertutupnya suatu bidang usaha bagi penanaman modal melainkan pada persoalan
yang jauh lebih mendasar yaitu apakah negara akan mampu melaksanakan tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad),
dan pengawasan (toezichthoudensdaad) jika terhadap suatu bidang usaha dinyatakan
terbuka bagi penanaman modal sehingga tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat itu
tetap terjamin.
Apabila terdapat keraguan akan kemampuan negara untuk melaksanakan keempat
765 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
unsur yang melekat dalam pengertian dikuasai oleh negara itu yang mengakibatkan
terancamnya tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka adalah tepat jika terhadap
bidang-bidang usaha tersebut dinyatakan sebagai bidang-bidang yang tertutup bagi
penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri.
Pasal 12 UU Penanaman Modal jika ditafsirkan, salah satunya adalah bahwa bentuk
peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk mengatur bidang usaha yang
terbuka maupun tertutup adalah Peraturan Presiden.
Dengan penafsiran sistimatis demikian, jelaslah bahwa selain bidang-bidang usaha
yang oleh undang-undang telah secara eksplisit dinyatakan tertutup bagi penanaman
modal asing, Presiden masih diperbolehkan menambahkan bidang usaha lain sebagai
bidang usaha yang tertutup baik bagi penanaman modal asing maupun penanaman
modal dalam negeri, jika terdapat suatu kepentingan nasional yang menuntut dilakukannya
tindakan demikian (kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan
keamanan nasional, atau kepentingan nasional lainnya).
Frasa berdasarkan undang-undang dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b UU Penanaman
Modal disamakan pengertiannya dengan oleh undang-undang. Penyamaan ini untuk
mencegah timbulnya disharmoni antarsesama undang-undang.
Pasal 39 UU Penanaman Modal menyatakan, Semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan penanaman modal wajib
mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini. Ketentuan
ini sangat luas jangkauannya yaitu dikenakan kepada Semua ketentuan yang berarti
diberlakukan terhadap semua jenis peraturan perundang-undangan. Padahal, jenis
peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2003
tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan meliputi:
(a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
(b) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
(c) Peraturan Pemerintah,
(d) Peraturan Presiden,
(e) Peraturan Daerah.
Kata mendasarkan berarti merujuk pada peraturan perundang-undangan yang akan
dibentuk pada masa yang akan datang. Sehingga, penafsiran yang timbul adalah
bahwa peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk di masa yang akan datang,
sepanjang berkait langsung dengan penanaman modal, wajib mengacu pada Undang-
Undang a quo.
Undang-undang ini berusaha menerapkan asas yang terbalik, yaitu undang-undang
yang lama mengesampingkan undang-undang yang baru (lex priore derogat legi posteriori).
Dalam hal ini, Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan demikian bertentangan dengan
asas-asas hukum yang telah lazim berlaku bagi setiap negara hukum, terutama asas
bahwa undang-undang yang lahir kemudian mengesampingkan undang-undang yang
766 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
lahir lebih dahulu (lex posteriore derogat legi priori).
Kata menyesuaikan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang telah
ada. Sehingga, penafsiran yang timbul adalah bahwa semua peraturan perundang-
undangan yang telah ada, sepanjang berkait langsung dengan penanaman modal, wajib
menyesuaikan pengaturannya dengan Undang-Undang a quo.
Terhadap hal tersebut Mahkamah berpendapat bahwa kata-kata peraturan
perundang-undangan dalam Pasal 39 a quo harus diartikan peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang dan/atau jikalaupun yang dimaksud peraturan
perundang-undangan itu termasuk juga undang-undang, hal itu harus dibatasi yaitu:
a) sepanjang substansi atau materi muatan yang diatur dalam undang-undang lain itu,
baik undang-undang yang telah ada maupun yang akan dibentuk pada masa yang
akan datang, tidak mengatur substansi atau materi muatan yang dimaksud oleh
Pasal 12 ayat (2) huruf b Undang-Undang a quo;
b) sepanjang substansi atau materi muatan yang diatur dalam undang-undang lain itu,
baik undang-undang yang telah ada maupun yang mungkin dibentuk di masa yang
akan datang, tidak mengatur substansi atau materi muatan yang mengharuskan
adanya hak penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (2)
dan ayat (3) UUD 1945 dan/atau undang-undang tersebut bukan merupakan lex
specialis dari UU Penanaman Modal.
Dengan pemahaman terhadap Pasal 39 demikian maka tidak timbul keragu-raguan
mengenai konstitusionalitas Pasal 12 secara keseluruhan maupun khususnya Pasal
12 ayat (2) UU Penanaman Modal. Dengan demikian, apabila terdapat keragu-raguan
mengenai penafsiran terhadap konstitusionalitas Pasal 39 UU Penanaman Modal maka
yang berlaku adalah penafsiran Mahkamah sebagaimana diuraikan di atas.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas maka terhadap dalil Pemohon tentang
inkonstitusionalnya Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3) UU Penanaman Modal tidak beralasan,
dengan syarat sepanjang kata-kata berdasarkan undang-undang dalam Pasal 12 ayat
(2) huruf b UU Penanaman Modal dipahami sama pengertiannya dengan oleh undang-
undang, sehingga Pasal 12 ayat (2) huruf b UU Penanaman Modal adalah konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional). Jika di kemudian hari syarat dimaksud tidak
dipenuhi, sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi
(PMK) Nomor 06/PMK/2005, maka Pasal 12 ayat (2) huruf b UU Penanaman Modal
dapat diuji kembali karena terdapat syarat-syarat konstitusionalitas yang berbeda.
Jika yang menjadi kekuatiran, sebagaimana tersirat dalam dalil Pemohon II tersebut,
bahwa Undang-Undang a quo, khususnya Pasal 21, akan menjadikan penanam modal
(termasuk penanam modal dalam negeri) sebagai imperialis baru dan meniadakan
perlindungan terhadap rakyat yang bergerak di sektor riil, yang diistilahkan Pemohon
sebagai kelompok marjinal maka sejumlah ketentuan yang tersebar dalam Undang-
Undang a quo sesungguhnya justru memberikan perlindungan dimaksud. Ketentuan-
767 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ketentuan tersebut terdiri dari Pasal 4 ayat (2) huruf c; Pasal 10 ayat (1), ayat (3), dan
ayat (4); Pasal 12 ayat (5); Pasal 13; dan Pasal 16 huruf e UU Penanaman Modal.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat dalil
mengenai inkonstitusionalitas Pasal 21 UU Penanaman Modal adalah tidak beralasan.
Pemohon juga mendalilkan bahwa terdapat pertentangan antara Pasal 22 ayat (1)
huruf a, b, dan c UU Penanaman Modal dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;
pertentangan antara Pasal 22 ayat (1) huruf a, b, dan c UU Penanaman Modal dengan
Pasal 28C ayat (1) UUD 1945; pertentangan antara Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) UU
Penanaman dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD
1945.
Masalah yang selanjutnya harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam menguji
konstitusionalitas Pasal 22, khususnya ayat (1) dan ayat (2) UU Penanaman Modal
adalah:
a) apakah pemberian hak-hak atas tanah yang dapat diperpanjang di muka, sekaligus
sebagai fasilitas kepada perusahaan penanaman modal, sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dengan pengertian dikuasai oleh
negara yang dimaksud Pasal 33 ayat (3) UUD 1945;
b) apakah pemberian hak-hak atas tanah yang dapat diperpanjang di muka, sekaligus
sebagai fasilitas kepada perusahaan penanaman modal, sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dengan demokrasi ekonomi yang
dimaksud Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Terhadap kedua permasalahan tersebut, Mahkamah berpendapat tidak ditemukan
adanya korelasi langsung antara fasilitas atau insentif berupa pemberian hak-hak atas
tanah (in casu HGU, HGB, dan Hak Pakai) yang dapat diperpanjang di muka sekaligus
dengan peningkatan iklim penanaman modal apabila persoalan good governance,
kepastian hukum dan keamanan berusaha, serta persoalan ketenagakerjaan tidak
mengalami perbaikan. Dengan kata lain, masalah utama menciptakan iklim investasi
yang kondusif terletak pada persoalan good governance, kepastian hukum dan keamanan
berusaha, serta persoalan ketenagakerjaan. Dengan demikian pemberian fasilitas berupa
hak-hak atas tanah demikian an sich tidaklah bertentangan dengan prinsip penguasaan
oleh negara.
Namun, ketika pemberian hak-hak atas tanah demikian (HGU, HGB, dan Hak Pakai)
diberikan dengan perpanjangan di muka sekaligus, Mahkamah berpendapat bahwa
hal demikian dapat mengurangi, sekalipun tidak meniadakan, prinsip penguasaan oleh
negara. Dalam hal ini berkenaan dengan kewenangan negara untuk melakukan tindakan
pengawasan (toezichthoudensdaad) dan pengelolaan (beheersdaad).
Alasannya, karena meskipun terdapat ketentuan yang memungkinkan negara,
in casu Pemerintah, untuk menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah
dimaksud dengan alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (4)
768 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
UU Penanaman Modal, namun oleh karena hak-hak atas tanah dimaksud dinyatakan
dapat diperpanjang di muka sekaligus, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1)
dan ayat (2), kewenangan kontrol oleh negara untuk melakukan tindakan pengawasan
(toezichthoudens daad) maupun pengelolaan (beheersdaad) menjadi berkurang atau
bahkan terhalang.
Bagi Mahkamah, pemberian hak-hak atas tanah yang dapat diperpanjang di muka
sekaligus dalam rumusan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) maupun kata-kata sekaligus di
muka dalam Pasal 22 ayat (4) UU Penanaman Modal telah mengurangi, memperlemah,
atau bahkan dalam keadaan tertentu menghilangkan kedaulatan rakyat di bidang
ekonomi.
Dengan demikian, dalam menilai konstitusionalitas Pasal 22 UU Penanaman Modal
di atas, baik dilihat dari sudut pandang prinsip penguasaan oleh negara, yang di dalamnya
termasuk perlindungan terhadap kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi, maupun dari
sudut pandang kedaulatan rakyat di bidang ekonomi, sebagaimana terkandung dalam
pengertian Pasal 33 UUD 1945, telah ternyata bahwa pemberian hak-hak atas tanah
kepada perusahaan penanaman modal baik HGU, HGB, maupun Hak Pakai yang dapat
diperpanjang di muka sekaligus, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU Penanaman
Modal, bertentangan dengan prinsip penguasaan oleh negara maupun kedaulatan rakyat
di bidang ekonomi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 UUD 1945.
Dengan dinyatakannya Pasal 22 UU Penanaman Modal bertentangan dengan Pasal
33 UUD 1945, sementara Pasal 22 UU Penanaman Modal tersebut merujuk pada dan
berkait dengan Pasal 21 huruf a UU Penanaman Modal maka sesuai dengan pendirian
Mahkamah terhadap Pasal 39 UU Penanaman Modal sebagaimana telah diuraikan
di atas, ketentuan yang berlaku terhadap pemberian kemudahan dan/atau pelayanan
kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah adalah
ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang
berkaitan langsung dengan penanaman modal.
Khusus mengenai pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak-hak atas tanah
(HGU, HGB, dan Hak Pakai) berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 104 Tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043)
dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
Dari semua pertimbangan tersebut, Mahkamah memutuskan bahwa:
1. Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
2. Menyatakan:
Pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata di muka sekaligus dan
berupa:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima)
769 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus
selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh
lima) tahun;
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus
selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh)
tahun; dan
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan
cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat
puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata di muka sekaligus;
Pasal 22 ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata sekaligus di muka.
UU Penanaman Modal bertentangan dengan UUD 1945;
3. Menyatakan:
Pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata di muka sekaligus dan
berupa:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus
selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh
lima) tahun;
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus
selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh)
tahun; dan
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan
cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat
puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata di muka sekaligus;
Pasal 22 ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata sekaligus di muka.
Undang-Undang Penanaman Modal tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga Pasal 22 Undang-Undang Penanaman Modal menjadi berbunyi:
(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perijinan hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat
diperbarui kembali atas permohonan penanam modal.
(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan
diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara
lain:
a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait
dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya
saing;
770 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang
memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan
jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;
c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;
d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan
e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan
tidak merugikan kepentingan umum.
(3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya
masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat,
dan tujuan pemberian hak.
(4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang
dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal
menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau
memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak
atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pertanahan.
4. Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak untuk selebihnya.
Alasan Berbeda (Concurring Opinion) dan Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Terhadap putusan Mahkamah tersebut di atas, seorang Hakim Konstitusi mempunyai
alasan berbeda, dan seorang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda, yang
selengkapnya sebagai berikut.
Alasan Berbeda (Concurring Opinion):
Terdapat dua alasan yang menjadi landasan adanya alasan berbeda (concurring
opinion), yaitu:
1. Alasan tidak terdapatnya persoalan inkonstitusionalitas Pasal 12 ayat (2) huruf b
yang dikaitkan dengan Pasal 39 Undang-Undang Penanaman Modal
2. Kata-kata dapat diperpanjang di muka sekaligus dianggap telah mengurangi
dan melemahkan kedaulatan rakyat jika dihubungkan dengan Pasal 32 Undang-
Undang Penanaman Modal yang mengatur Penyelesaian Sengketa Penanaman
Modal, khususnya Pasal 32 ayat (4).
Pasal 39 UU Penanaman Modal merupakan pasal pada Ketentuan Penutup UU
Penanaman Modal. Ini berarti Pasal 39 Undang-Undang Penanaman Modal merupakan
Kaedah Penunjuk (anwijzing regel) yang memberikan arahan bahwa apabila dikemudian
hari ada ketentuan peraturan perundangan yang berkaitan secara langsung dengan
penanaman modal harus mengacu dan menyesuaikan pada UU Penanaman Modal.
Sehingga UU Penanaman Modal merupakan satu-satunya undang-undang yang
mengatur penanaman modal di Indonesia.
771 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Undang-undang ini berfungsi memberikan kepastian hukum (legal certainty)
kepada para Penanam Modal sehingga mereka dapat berbuat sesuai dengan apa yang
diharapkan dan apa yang harus mereka perbuat.
Keberadaan Pasal 32 UU Penanaman Modal tentang penyelesaian sengketa
khususnya ayat (4) UU Penanaman Modal sama sekali tidak adanya kaitan dengan
berkurangnya atau melemahnya kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion):
Undang-Undang Penanaman Modal yang baru sebagai mana termuat dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 menggambarkan kebijakan baru, yang amat
reseptif terhadap kekuatan global investor asing.
Tampak adanya satu sikap dalam kebijakan yang diambil bahwa untuk meningkatkan
competitiveness Indonesia adalah dengan membuka seluas-luasnya pintu investasi
berdasarkan prinsip equal treatment secara sama sebangun dengan national treatment
terhadap modal dalam negeri dari bangsa dan rakyat Indonesia sebagai pemilik kolektif
bumi, air dengan segala isi yang terdapat di dalam bumi Indonesia tersebut.
Perlakuan yang sama dalam realitas akan dimaknai sebagai keadilan, jika di
implementasikan dalam satu formula bahwa yang sama akan diperlakukan sama, sedang
yang tidak sama diperlakukan tidak sama. Memperlakukan yang tidak sama secara sama,
akan melahirkan ketidakadilan, yang secara jelas bertentangan dengan konstitusi.
Perlakuan yang sama antara investor asing dengan investor dalam negeri
mengakibatkan modal asing yang melakukan investasi di Indonesia memiliki hak yang
sama dengan pemodal dalam negeri.
Jikalau pembuat undang-undang konsisten bahwa perlakuan sama harus diterapkan
maka tentu saja pembedaan forum penyelesaian sengketa penanaman modal antara
Pemerintah Indonesia dengan penanam modal dalam negeri harusnya tidak berbeda
dengan forum penyelesaian sengketa bagi penanam modal asing, sebagaimana termuat
dalam Pasal 32 ayat (4) UU a quo, apalagi hal itu memang merupakan domain klausul
kontrak sebagai praktik yang diterima secara universal sebagai alternative dispute
resolution yang umum.
Jikalau bumi, air dan segala isinya dikuasai negara dalam konsepsi pemilikan kolektif
bangsa untuk kesejahteraan seluruh rakyat, maka menjadi tidak rasional dan logis jikalau
rakyat Indonesia sebagai pemilik kolektif bumi, air dan segala kekayaannya, diperlakukan
sama dalam fasilitas perolehan hak atas tanah dalam penanaman modal.
UU Penanaman Modal yang merupakan tindakan negara berdaulat justru telah
mengurangi kedaulatannya sendiri dengan mengikatkan dirinya pada komitmen
national-treatment dan non-discrimination dalam bidang investasi, termasuk yang
menyangkut pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang
menguasai hajat hidup orang banyak, secara liberal.
772 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pelimpahan wewenang untuk mengatur kriteria bidang usaha tertutup dan terbuka
kepada Presiden, menunjukkan bahwa penguasaan negara yang diperintahkan UUD
1945, telah diliberalisasi secara besar-besaran menyimpang dari amanat konstitusi.
Karena itu, seyogianya Mahkamah bersikap lebih jauh lagi, yaitu dengan mengabulkan
juga permohonan Pemohon lainnya dengan menyatakan:
1. Pasal 4 ayat (2) huruf a, dan
2. Pasal 12 ayat (3) dan (4).
juga bertentangan dengan UUD 1945, dan seyogianya harus pula dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
773 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 23/PUU-V/2007
TENTANG
KEPUTUSAN PEJABAT DAERAH
PEMBATASAN KASASI TERHADAP PERKARA TUN
Pemohon : Hendriansyah.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (MA) mengenai pembatasan kasasi bagi
perkara tata usaha negara bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1),
dan Pasal 28D ayat (1), Pasal 24 ayat (1), ayat (2), dan (3) serta
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mengenai perlakuan yang sama
dihadapan hukum dan prinsip kekuasaan kehakiman.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Senin, 14 Januari 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU MA). Pemohon merasa
dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya ketentuan pembatasan kasasi bagi
perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah
yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. Dalam
penjelasan permohonan, Pemohon menyatakan bahwa pembatasan tersebut telah
membatasi hak konstitusionalnya untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas
Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 60/B/2007/PT.TUN.JKT.,
tanggal 28 Juni 2007 dan Nomor 59/B/2007/PT.TUN. JKT., tanggal 28 Juni 2007.
774 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal
45A ayat (2) huruf c UU MA sepanjang menyangkut pembatasan kasasi bagi perkara tata
usaha negara bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 24 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Atas dasar tersebut, Pemohon
memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar menyatakan Pasal 45A ayat (2) UU MA
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pemohon mendalilkan bahwa pembatasan kasasi bagi perkara tata usaha negara
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena
telah mencabut, membatasi, menghilangkan hak Pemohon untuk mengajukan kasasi
ke Mahkamah Agung. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut telah melanggar hak
konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena itu,
pembatasan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA tersebut
telah menimbulkan diskriminasi, karena pasal tersebut hanya membatasi permohonan
kasasi terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan
pejabat daerah, sedangkan terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya
berupa keputusan pejabat pusat tidak dibatasi permohonan kasasinya.
Lebih lanjut, Pemohon berpendapat bahwa Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA
bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945, karena telah mencabut, membatasi, dan menghilangkan hak Pemohon untuk
memperoleh keadilan melalui lembaga yudikatif (access to justice) yang merupakan
prinsip kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Menanggapi argumentasi Pemohon, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 jika dihubungkan
dengan dalil Pemohon maka yang menjadi pertanyaan adalah: apakah ketentuan tentang
pembatasan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA telah
mengakibatkan Pemohon diperlakukan tidak sama di hadapan hukum dan pemerintahan,
tidak memperoleh kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan
hukum, serta diperlakukan secara diskriminatif. Dalam konteks permohonan, jelas bahwa
permohonan Pemohon tidak ada sangkut-pautnya dengan hak atas perlakuan yang sama
dalam pemerintahan.Oleh karena itu, sepanjang menyangkut hak atas perlakuan yang
sama dalam pemerintahan, dalil Pemohon tidaklah beralasan.
Sementara itu, menyangkut persoalan apakah ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf
c UU MA telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum terhadap
Pemohon, menurut Mahkamah, dalil demikian baru dapat diterima apabila terdapat
pihak lain yang mempunyai kualikasi yang sama dengan Pemohon tetapi memperoleh
perlakuan yang berbeda sebagai akibat diberlakukannya Pasal 45A ayat (2) huruf c UU
MA, hal mana telah ternyata tidak terbukti. Kalaupun terdapat peristiwa yang serupa
dengan yang dialami Pemohon namun peristiwa dimaksud terjadi sebelum dilakukannya
perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, hal demikian bukanlah
775 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
merupakan bukti perlakuan tidak sama di hadapan hukum melainkan sebagai konsekuensi
dari adanya perubahan undang-undang.
Demikian pula halnya dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 45A
ayat (2) huruf c UU MA telah melahirkan perlakuan yang bersifat diskriminatif, terlebih
dahulu haruslah dipahami apa yang dimaksud dengan diskriminasi menurut hukum.
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyatakan, Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama,
suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Dengan demikian jelaslah bahwa apa yang dialami oleh Pemohon tidaklah termasuk
dalam pengertian diskriminasi. Benar bahwa Pemohon telah mengalami perlakuan yang
berbeda namun perlakuan yang berbeda itu bukanlah lahir karena adanya norma undang-
undang yang bersifat diskriminatif melainkan karena adanya perubahan perundang-
undangan. Benar pula bahwa Pemohon telah dibatasi haknya untuk mengajukan kasasi,
sebagai akibat dari adanya perubahan dalam peraturan perundang-undangan, namun
pembatasan kasasi tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Dilihat dari sudut pandang
yang lain, dalam hal ini dari sudut pandang harmonisasi horizontal antar peraturan
perundang-undangan, dalam hal ini antara UU MA dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), pembatasan demikian-
pun dapat diterima sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 UU Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu, jikapun dalam putusan hakim yang terhadapnya tidak dapat dimohonkan kasasi
itu terdapat kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan yang dapat menyebabkan kerugian
hak konstitusional Pemohon maka Pemohon masih dimungkinkan untuk mengajukan
upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali ke Mahkamah Agung yang berwenang
memperbaiki kekeliruan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 23 ayat (1)
UU Kekuasaan Kehakiman).
Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA bertentangan
dengan Pasal 24 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 karena
telah mencabut, membatasi, dan menghilangkan hak Pemohon untuk mendapatkan
akses keadilan pada lembaga yudisial (acces to justice), Mahkamah Konstitusi
berpendapat perlu terlebih dahulu dipahami hakikat materi muatan yang diatur dalam
Pasal 24 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, apakah memang
benar mengandung materi muatan hak konstitusional sebagaimana dimaksud oleh Pasal
51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU
MK). Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan pasal-pasal tersebut tidaklah
mengatur materi muatan hak konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU
776 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
MK, melainkan mengatur tentang sifat dan pelaku kekuasaan kehakiman. Oleh karena
itu tidaklah relevan menjadikan ketentuan pasal-pasal UUD 1945 tersebut sebagai dalil
kerugian hak konstitusional. Dengan demikian dalil Pemohon dalam hubungan ini adalah
tidaklah beralasan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, ketentuan
pembatasan kasasi dimaksud tidak bertentangan dengan UUD 1945 sehingga Mahkamah
Konstitusi memutuskan untuk menolak permohonan Pemohon.
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion):
Satu orang hakim mengemukakan pendapat berbeda dalam Putusan Pengujian UU
MA ini. Pendapat berbeda tersebut menyangkut pokok permohonan.
Pembatasan kasasi bagi perkara tata usaha negara yang jangkauan keputusan
daripadanya berlaku di wilayah daerah otonom yang bersangkutan pada hakikatnya
merupakan pemberian peradilan secara diskriminatif terhadap para pencari keadilan
(justitiabelen) di daerah-daerah otonom. Hal dimaksud melanggar persamaan kedudukan
dalam hukum bagi para warga negara. Para pencari keadilan juga tidak akan mendapatkan
lagi perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum. Oleh karena itu, ketentuan pembatasan kasasi dalam UU MA tersebut dinilai
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
777 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 24/PUU-V/2007
TENTANG
INKONSTITUSIONALITAS PASAL 49 AYAT (1)
UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
BERKENAAN DENGAN GAJI PENDIDIK
Pemohon : 1. Dra. Hj. Rahmatiah Abbas; 2. Prof. Dr. Badryah Rifai, S.H.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2006
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2007
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : 1. Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan
Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 mengenai anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD.
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2006 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2007 bertentangan
dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 mengenai anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari
APBD.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Rabu, 20 Februari 2008.
Ikhtisar Putusan :
Objek permohonan yang diajukan oleh Rahmatiah Abbas dan Badryah Rifai
adalah pengujian undang-undang, in casu Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas yang
diundangkan pada tanggal 8 Juli 2003, terhadap UUD 1945. Oleh karena itu,
Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan.
Pasal 51 ayat (1) UU MK menentukan bahwa yang dapat bertindak sebagai
778 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon adalah (a) perorangan warga negara Indonesia, (b) kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, (c)
badan hukum publik atau privat, atau (d) lembaga negara. Dalam hal ini, para Pemohon
adalah perorangan warga negara Indonesia, sehingga memenuhi syarat atau kualikasi
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK.
Sejak Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-IlI/2005 hingga saat ini, telah menjadi
pendirian Mahkamah bahwa untuk dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional harus dipenuhi syarat-syarat:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugi-
kan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesik (khusus) dan aktual atau se-
tidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Dengan pertimbangan tersebut Mahkamah berpendapat Pemohon, yang masing-
masing berprofesi sebagai guru dan dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap undang-undang ini.
Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam UU Sisdiknas dan UU
APBN Tahun Anggaran 2007 tidak bermanfaat terhadap Guru dan Dosen sebagai
komponen pendidikan. Karena ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas mengecualikan
gaji pendidik dari anggaran 20% APBN/APBD.
Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 tidak merinci apa yang menjadi lingkup dua puluh
persen dari anggaran pendidikan. Namun menurut Mahkamah bukan berarti pasal
tersebut dapat ditafsirkan secara berbeda oleh Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas.
Dengan demikian rumusan makna Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas menjadi tidak
konsisten dengan rumusan makna Pasal 1 angka 3 dan angka 6 UU Sisdiknas itu sendiri.
Selain itu, rumusan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas telah mempersempit makna losos
Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, yang seharusnya tidak boleh dilakukan, mengingat UUD
1945 merupakan norma tertinggi bagi bangsa dan Negara.
Mahkamah berpendapat, dalil para Pemohon sepanjang menyangkut frasa gaji
pendidik dan dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan
779 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 adalah beralasan sehingga gaji pendidik harus secara penuh
diperhitungkan dalam penyusunan anggaran pendidikan.
Selanjutnya, berkait dengan dalil para Pemohon terhadap UU APBN Tahun
Anggaran 2007, Mahkamah berpendapat UU APBN mempunyai karakter yang berbeda
dengan undang-undang pada umumnya, di antaranya adalah bersifat eenmalig [vide
Pasal 23 ayat (1) UUD 1945] yang berlaku hanya untuk satu tahun dan sudah berakhir.
Oleh karena itu, terhadap dalil para Pemohon sepanjang menyangkut UU APBN Tahun
Anggaran 2007 tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
Atas pertimbangan tersebut Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon
dikabulkan untuk sebagian, yakni Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas sepanjang mengenai
frasa gaji pendidik dan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Mahkamah juga menyatakan permohonan para Pemohon
terhadap UU APBN TA 2007 tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Selanjutnya,
Mahkamah memerintahkan pemuatan Putusan Nomor 24/PUU-V/2007 ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Pendapat Berbeda:
Terhadap putusan Mahkamah tersebut di atas, tiga orang Hakim Konstitusi mempunyai
pendapat berbeda (dissenting opinions). Menurut hakim dissenter, argumentasi Pemohon
bahwa ketentuan tersebut telah mengeluarkan pendidik sebagai komponen utama
pendidikan sehingga merugikan hak konstitusional mereka sebagai pendidik --karena
gaji dan kesejahteraan mereka akan semakin kecil-- adalah tidak tepat.
Dissenter berpendapat apabila gaji pendidik dimasukkan dalam alokasi dana
pendidikan sebagaimana dimaksud Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas maka gaji para
pendidik seluruhnya baik yang PNS maupun non-PNS harus ditanggung oleh negara
lewat APBN dan APBD. Hal ini justru merugikan karena akan membuat alokasi anggaran
penyelenggaraan pendidikan (non gaji pendidik) menjadi lebih kecil dari yang saat ini
ada.
Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas seharusnya dilihat sebagai bentuk kebijakan
agar dana yang tersedia bagi penyelenggaraan pendidikan (termasuk untuk berbagai
tunjangan bagi guru dan dosen yang diatur dalam UU Guru dan Dosen) menjadi lebih
besar jika komponen gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan tidak dimasukkan.
Bukan dalam arti mengeluarkan pendidik sebagai komponen pendidikan, sebagaimana
dipahami oleh para Pemohon dan juga pendapat mayoritas.
Para Pemohon sama sekali tidak dirugikan oleh berlakunya Pasal 49 ayat (1) UU
Sisdiknas, bahkan secara konsepsional justru diuntungkan atas dialokasikannya dana
pendidikan minimal 20% dalam APBN dan APBD selain untuk gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan yang disediakan alokasi tersendiri dalam APBN.
Oleh karena itu, seharusnya Mahkamah menolak permohonan para Pemohon, atau
780 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
setidak-tidaknya menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard), karena memang tak ada hak konstitusional para Pemohon yang dirugikan
oleh berlakunya Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas.
Atau seyogianya Mahkamah hanya menyerahkan pada Pemerintah dan DPR,
apakah merevisi Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas sebagai bagian kebijakannya, dan tidak
menguji dan menyatakan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas sepanjang frasa gaji pendidik
dan yang memisahkan gaji pendidik dari penghitungan anggaran pendidikan dalam
APBN bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional), serta tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
781 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 25/PUU-V/2007
TENTANG
PENARIKAN PENGUJIAN UU PARTAI POLITIK
MENGENAI PERSYARATAN PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK
Pemohon : 1. Lieus Sungkharisme; 2. Laksamana Madya (Purn.) Sumitro.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik mengenai persyaratan pembentukan partai
politik bertentangan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 mengenai hak
memajukan dirinya secara kolektif.
Amar Putusan : Menetapkan mengabulkan penarikan kembali permohonan para
Pemohon.
Tanggal Putusan : Rabu, 2 Januari 2008.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon mengajukan pengujian Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (selanjutnya disebut UU Parpol). Pemohon
merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk membentuk partai politik (Partai
Reformasi Tionghoa) melalui Pasal 2 ayat (3) huruf b UU Pemilu mengenai persyaratan
adanya penyebaran kepengurusan dalam pembentukan partai politik sekurang-
kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah provinsi; 50% (lima puluh persen) dari
jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan; dan 25% (dua puluh
lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pemohon menyatakan bahwa persyaratan pembentukan partai politik tersebut jelas
sangat merugikan kepentingan dan hak konstitusional para Pemohon untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa, dan negaranya, sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.
782 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 2 ayat (3) huruf b UU
Parpol sepanjang menyangkut persyaratan adanya penyebaran kepengurusan dalam
pembentukan partai politik bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Atas
dasar tersebut, para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar menyatakan
pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
para Pemohon mendalilkan bahwa persyaratan penyebaran kepengurusan dalam
pembentukan partai politik sebagai alat partai politik besar untuk sengaja menghalangi
atau mengurangi, tidak memberikan ruang lingkup terhadap partai politik baru sehingga
menghambat dan menghalangi kebebasan warga negara secara kolektif memajukan
dirinya sebagaimana dijamin konstitusi. Lebih lanjut, para Pemohon berpendapat bahwa
ketentuan persyaratan pembentukan partai politik dalam UU Parpol menghambat,
merugikan, bahkan mematikan hak dan aspirasi kelompok Pemohon di dalam berserikat
guna ikut serta dalam upaya membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Dalam perkembangannya, para Pemohon melakukan penarikan kembali
permohonannya dengan alasan bahwa adanya perubahan undang-undang yang sedang
diuji. Hal ini didasarkan pada perkembangan Rancangan Undang-Undang Partai Politik
yang baru disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah pada 6 Desember 2007.
Terkait dengan penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Mahkamah
berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon dan menyatakan
bahwa para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan atas pengujian
pasal-pasal pada undang-undang yang sama. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan
Panitera untuk mencatat penarikan kembali Perkara Nomor 25/PUU-V/2007 dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.
783 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 26/SKLN-V/2007
TENTANG
SENGKETA KEWENANGAN ANTARA KIP TINGKAT KAB. ACEH TENGGARA
DAN DPR KAB. ACEH TENGGARA
Pemohon : 1. Komisi Independen Pemilihan (KIP) Tingkat Kabupaten Aceh
Tenggara (Pemohon I); 2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Kabupaten Aceh Tenggara (Pemohon II).
Termohon : 1. Komisi Independen Pemilihan Tingkat Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (Termohon I); 2. Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (Termohon II); 3. Presiden Republik Indonesia c.q.
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Termohon III)
Jenis Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Komisi
Independen Pemilihan Tingkat Kabupaten Aceh Tenggara dan Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh terhadap Komisi Independen
Pemilihan Tingkat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Gubernur
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan Presiden Republik
Indonesia c.q. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia.
Pokok Perkara : Sengketa kewenangan antara Pemohon I terhadap Termohon
I dalam hal menetapkan dan mengeluarkan Berita Acara Hasil
Penghitungan Pemilihan Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Aceh
Tenggara; dan sengketa kewenangan antara Pemohon II terhadap
Termohon II mengenai pengusulan pengangkatan dan penetapan
Bupati/Wakil Bupati terpilih menjadi Bupati/Wakil Bupati Kabupaten
Aceh Tenggara.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Selasa, 11 Maret 2008.
784 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Ikhtisar Putusan :
Dalam perkara ini, Komisi Independen Pemilihan Tingkat Kabupaten Aceh Tenggara
dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tenggara menjadi Pemohon. Sementara
sebagai Termohon adalah Komisi Independen Pemilihan Tingkat Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Presiden Republik Indonesia c.q. Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia.
Pemohon mendalilkan telah terjadi sengketa kewenangan lembaga negara antara
Pemohon I KIP Kabupaten Aceh Tenggara, Pemohon II DPR Kabupaten Aceh Tenggara,
terhadap Termohon I KIP Tingkat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Termohon
II Gubernur Provinsi NAD, Termohon III Presiden Republik Indonesia c.q. Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia.
Pihak-pihak yang bersengketa tersebut oleh para Pemohon didalilkan sebagai
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Pemohon beranggapan
telah terjadi intervensi terhadap kewenangan Pemohon. Karena Termohon mengambil
alih penghitungan suara dalam Pilkada Kabupaten Aceh Tenggara dan memutuskan
pasangan pemenang pilkada berbeda dengan hasil penghitungan Pemohon.
Mahkamah menimbang bahwa kewenangan Mahkamah maupun kedudukan hukum
(legal standing) para Pemohon saling terkait. Sehingga Mahkamah secara prima facie
belum dapat menentukan kewenangan maupun kedudukan hukum (legal standing)
para Pemohon hanya berdasarkan dalil-dalil yang diajukan Pemohon. Oleh karena itu
kewenangan Mahkamah maupun kedudukan hukum (legal standing) Pemohon akan
dipertimbangkan bersama-sama dengan pokok permohonan.
Mahkamah berpendapat kata lembaga negara dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
haruslah terkait erat dan tidak terpisahkan dengan frasa yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar. Dengan dirumuskannya anak kalimat lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, secara implisit terkandung
pengakuan bahwa terdapat lembaga negara yang kewenangannya bukan diberikan oleh
UUD.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara
dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara yang Kewenangannya
Diberikan oleh UUD 1945 menyatakan bahwa lembaga-lembaga negara yang dapat
menjadi Pemohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional di depan
Mahkamah adalah (a) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), (b) Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), (c) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), (d) Presiden, (e) Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), (f) Pemerintahan Daerah (Pemda) dan (g) Lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Sementara itu, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi NAD maupun KIP
Kabupaten Aceh Tenggara, bukanlah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam
785 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 08/PMK/2006.
KIP memperoleh kewenangannya dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, sehingga KIP provinsi/kabupaten/kota bukanlah lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 dan bukan pula lembaga yang
bersifat nasional dan tetap, melainkan hanya terdapat di Provinsi NAD.
Lembaga negara yang bersifat ad hoc bukanlah lembaga negara yang dimaksud oleh
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 61 UU Mahkamah Konstitusi, dan PMK Nomor 08/
PMK/2006. Pasal 22E UUD 1945 memang menyatakan pemilihan umum diselenggarakan
oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, sehingga
KPU provinsi/kabupaten/kota merupakan bagian dari KPU. Tetapi keberadaan KIP yang
ada pada saat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 diundangkan, hanya terkait dengan
tugas pemilihan kepala daerah provinsi/kabupaten/kota di NAD.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berkesimpulan bahwa baik dari
syarat objectum litis maupun subjectum litis, permohonan Pemohon tidak termasuk ruang
lingkup kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya. Selain
itu Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo.
Mahkamah juga menyatakan permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat yang
ditentukan Pasal 61 UU MK, sehingga permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
786 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
787 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 27/PUU-V/2007
TENTANG
KETENTUAN LARANGAN BAGI PEJABAT PUBLIK
UNTUK MENJADI PENGURUS KONI
Pemohon : Saleh Ismail Mukadar, S.H.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional mengenai ketentuan tentang larangan
bagi Pejabat Publik untuk menjadi Pengurus KONI bertentangan
dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945 menyangkut hak untuk memajukan diri untuk
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya, yakni untuk menyumbangkan
tenaga dan pikirannya bagi kemajuan dunia olahraga, hak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,
serta tidak diperlakukan secara diskriminatif.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Jumat, 22 Februari 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 27/PUU-V/2007 bernama Saleh Ismail Mukadar, S.H.,
adalah perorangan warga negara Indonesia yang menjabat Ketua Umum KONI
Surabaya dan juga sebagai pejabat publik yaitu sebagai Ketua Komisi E DPRD Jawa
Timur. Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 40 Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (selanjutnya disebut UU SKN)
yang bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat
(2) UUD 1945.
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C ayat (1) UUD
788 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
1945 menyatakan Mahkamah berwenang, antara lain, untuk mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar. Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Objek permohonan yang diajukan
oleh Pemohon adalah pengujian undang-undang, in casu Pasal 40 UU SKN yang
diundangkan pada tanggal 23 September 2005 terhadap UUD 1945. Oleh karena
itu, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan
a quo.
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon bahwa menurut
ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat mengajukan permohonan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945 ialah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, dan sejak
Putusan Nomor 006/PUU-III/2006 hingga saat ini, Mahkamah berpendirian terhadap lima
syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional. Pemohon menganggap hak
konstitusionalnya yang diberikan oleh Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal
28I ayat (2) UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya Pasal 40 UU SKN tentang larangan
bagi pejabat publik untuk menjadi pengurus KONI berupa hak untuk memajukan diri untuk
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya, yakni untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi kemajuan dunia
olahraga, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,
serta tidak diperlakukan secara diskriminatif. Dengan demikian, Pemohon mempunyai
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan.
Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 40 UU SKN telah telah memasung
para pejabat publik (Pemohon) yang ingin menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi
kemajuan dunia olahraga. Disamping itu, Pasal 40 UU SKN sangat diskriminatif dan
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, karena melarang pejabat publik
ikut aktif dalam memajukan dunia olahraga karena ditakutkan menyalahgunakan jabatan.
Larangan pejabat publik menjadi pengurus KONI tidak hanya diatur dalam Pasal 40 UU a
quo, tetapi juga Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Olahraga dalam Pasal 56 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), serta Pasal 123 Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 dalam ayat (6) dan ayat (7), Pasal 40 UU a quo dan
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 sangat diskriminatif, karena pengurus
cabang olahraga (cabor) tidak dilarang dijabat oleh pejabat publik. Serta, Pasal 40 UU
jika dikaitkan dengan hak asasi manusia maka bertentangan dengan Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitus berpendapat bahwa hak yang
diatur dalam Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945
adalah hak asasi manusia yang melekat kepada orang (naturlijke persoon). Sedangkan,
789 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 40 UU SKN bukan mengatur tentang pembatasan hak asasi manusia tetapi
mengatur tentang larangan rangkap jabatan bagi pejabat struktural dan pejabat publik.
Selanjutnya, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 40 UU SKN tidak mengandung
perlakuan diskriminatif, sebab pembatasan tersebut berlaku untuk setiap orang.
Pembedaan perlakuan didasarkan pada pembedaan antara mereka yang menduduki
jabatan struktural dan jabatan publik dengan mereka yang tidak menduduki jabatan
tersebut. Diskriminasi adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama.
Sebaliknya bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang
memang berbeda. Jika perlakuan terhadap manusia (setiap orang) tidak sama dengan
perlakuan terhadap pejabat struktural atau pejabat publik, hal itu bukan merupakan
perlakuan yang diskriminatif. Selain itu, keadilan yang diterapkan pada Pasal 40 UU SKN
adalah keadilan distributif, yang dapat digunakan dalam menentukan syarat yang harus
dipenuhi untuk menduduki jabatan tertentu, berupa penentuan batas usia, pendidikan,
pengalaman, kesehatan, rangkap jabatan, dan lain-lain.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pembatasan pejabat struktural dan hak
pejabat untuk tidak merangkap menjadi pengurus KON (dahulu KONI) dalam Pasal
40 UU SKN merupakan pilihan kebijakan yang terbuka bagi pembuat undang-undang
dengan tujuan untuk menciptakan good governance secara lebih efektif.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan
Pemohon ditolak.
790 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
791 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 28/PUU-V/2007
TENTANG
KEWENANGAN PENYIDIKAN OLEH KEJAKSAAN
Pemohon : 1. Ny. A. Nuraini (Pemohon I); 2. Subarda Midjaja (Pemohon II).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
Pokok Perkara : Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengenai kewenangan
ganda yang dimiliki Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyangkut hak atas
jaminan kepastian hukum yang adil.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Kamis, 27 Maret 2008.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon perkara Nomor 28/PUU-V/2007 yakni Ny. A. Nuraini adalah warga
negara Indonesia (Pemohon I), yang merupakan istri dari Pemohon II yakni Mayjen.
TNI. Purn. Subarda Midjaja. Pemohon II telah ditahan pihak Kejaksaan Agung selaku
Penyidik dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan dana PT. ASABRI/BPKPP (Badan
Pengelola Kesejahteraan dan Perumahan Prajurit) Departemen Pertahanan. Pemohon II
telah disidik dan ditahan oleh pihak Kepolisian tetapi kemudian telah dikeluarkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Namun, ternyata Pemohon II disidik kembali dan
dikenakan penahanan oleh pihak Kejaksaan. Tindakan Kejaksaan tersebut didasarkan
atas Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan. para Pemohon mengajukan permohonan
pengujian Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) yang bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Dalam penjelasan
792 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
permohonan, para Pemohon menyatakan bahwa kewenangan ganda yang dimiliki oleh
Kejaksaan merugikan kepentingan dan hak konstitusional para Pemohon atas jaminan
kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan
bahwa Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Atas dasar tersebut, para Pemohon memohon
kepada Mahkamah Konstitusi agar menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal
12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menyatakan bahwa Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat nal, antara lain, untuk menguji undang-undang terhadap
UUD 1945. Permohonan yang diajukan para Pemohon adalah pengujian Pasal 30 ayat
(1) huruf d UU Kejaksaan. Oleh karena itu, Mahkamah berwenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan para Pemohon.
Berkaitan dengan kedudukan hukum para Pemohon bahwa berdasarkan Pasal
51 ayat (1) UU MK, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945, adalah pihak-pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, antara lain perorangan
Warga Negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang
sama. Pemohon I dan Pemohon II adalah warga negara Indonesia sehingga termasuk
kategori perorangan Warga Negara Indonesia, dan karena itu telah memenuhi salah satu
unsur kualikasi dari kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon
dalam permohonan pengujian UU Kejaksaan. Akan tetapi, untuk memenuhi kualikasi
agar seseorang atau suatu pihak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagai
Pemohon pengujian undang-undang harus memenuhi syarat-syarat kerugian hak dan/
atau kewenangan konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor
006/PUU-III/2005 dan putusan selanjutnya, Mahkamah berpendapat bahwa kerugian
yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK,
harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai berikut:
a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. Hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang sedang diuji;
c. Kerugian itu bersifat spesik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional
dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
793 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Pemohon I mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan karena berlakunya
Pasal 30 ayat 1 huruf d UU Kejaksaan, antara lain :
a. Terhalangnya dan/atau terganggunya perekonomian para Pemohon sebagai akibat
dari penahanan Pemohon II oleh Kejaksaan Agung RI;
b. Malu yang tak terhingga diderita pribadi para Pemohon, anak-anak para Pemohon
serta Keluarga Besar para Pemohon, baik malu terhadap tetangga, kerabat, relasi,
teman sejawat, dan penderitaan batin yang terlalu panjang jika disebutkan satu per
satu;
c. Menderita tekanan psikologis;
d. Menyebabkan beberapa usaha bisnis yang telah dirintis dengan susah payah oleh
para Pemohon menjadi hancur berantakan;
e. Merasa terhina dan tercemar nama baik para Pemohon.
Sedangkan, Pemohon II mendalilkan bahwa pemeriksaan oleh Kejaksaan telah
merugikan hak Pemohon II yang diberikan oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28G ayat (1) dan (2), Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD 1945, yaitu jaminan akan
kepastian hukum yang adil dan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, dalam praktik
sering menyebabkan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana tertentu, disidik
oleh Polri kemudian disidik kembali oleh Kejaksaan, menyebabkan orang tersebut
kehilangan hak konstitusionalnya atas jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana
dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan juga telah terjadi pelanggaran terhadap
asas ne bis in idem.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat bahwa kerugian yang
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK adalah kerugian hak konstitusional, yaitu
hak-hak yang diatur dalam UUD 1945 dan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK. Oleh
karena itu, meskipun mungkin benar Pemohon I menderita kerugian, namun kerugian
tersebut bukan kerugian hak konstitusional dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Di samping
itu, yang didalilkan sebagai kerugian oleh Pemohon I adalah yang timbul sebagai
akibat dari kedudukan Pemohon I selaku isteri dari Pemohon II yang diduga melakukan
tindak pidana. Dengan demikian, tidak terdapat hubungan langsung antara ketentuan
undang-undang yang dimohonkan pengujian dan hal-hal yang oleh Pemohon I dianggap
sebagai kerugian. Dengan demikian, selain tidak ada hak konstitusional Pemohon I
yang dirugikan, juga tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
perorangan dengan berlakunya undang-undang yang akan diuji. Atas pertimbangan
tersebut Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I tidak mempunyai legal standing
untuk mengajukan permohonan pengujian UU Kejaksaan.
Terkait dengan dalil Pemohon II yang menyatakan bahwa penyidikan tumpang tindih
itu telah melanggar asas ne bis in idem, Mahkamah menegaskan bahwa asas ne bis
in idem berlaku terhadap suatu perkara yang telah diputus oleh pengadilan dan telah
794 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) sehingga asas tersebut
tidak dapat diterapkan kepada perkara-perkara yang masih dalam tahap penyidikan atau
penuntutan, tetapi belum pernah memperoleh putusan pengadilan yang bersifat tetap.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan
bertentangan atau tidak dengan UUD 1945, masih diperlukan pengkajian yang lebih
mendalam, karena pasal tersebut hanya merupakan pintu masuk, yang membuka peluang
bagi pembentuk undang-undang untuk memberikan kewenangan melakukan penyidikan
kepada Kejaksaan dalam undang-undang tertentu, sehingga konstitusionalitasnya
tergantung pada undang-undang tersendiri yang memberikan kewenangan penyidikan
tersebut. Apabila Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, maka kerugian hak konstitusional Pemohon II masih
akan tetap terjadi atau dialami oleh Pemohon II, karena Kejaksaan masih tetap dapat
melakukan penyidikan terhadap Pemohon II berdasarkan undang-undang lain, seperti
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan demikian, salah satu syarat kerugian hak konstitusional, yaitu ada kemungkinan
bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi tidak terpenuhi. Sehingga Pemohon II tidak
memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan.
Pemohon I dan Pemohon II tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing)
untuk bertindak sebagai pihak dalam perkara pengujian UU Kejaksaan. Oleh karena itu,
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan para Pemohon harus dinyatakan
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Terlepas dari tidak terpenuhinya syarat kerugian hak konstitusional Pemohon II,
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk mengatasi terjadinya tumpang tindih
fungsi penyidikan yang dilakukan oleh berbagai aparat penegak hukum, demi tegaknya
sistim peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), bahwa Pertama,
sudah saatnya pembentuk undang-undang menyelaraskan berbagai ketentuan undang-
undang yang berkaitan dengan kewenangan penyidikan, Kedua, dalam melakukan
fungsi penyidikan, apabila pilihan pembentuk undang-undang menetapkan Kejaksaan
sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu, maka seyogianya Kepolisian ditentukan
tidak lagi berwenang. Sebaliknya, apabila wewenang penyidikan memang sepenuhnya
akan diberikan kepada Kepolisian, maka jaksa hanya berwenang melakukan penuntutan,
dan Ketiga, sebelum penyerasian terwujud, semua aparat penegak hukum seyogianya
melakukan koordinasi jika ditengarai akan terjadi tumpang tindih dalam kasus-kasus
pelaksanaan wewenang penyidikan di antara sesama aparat penegak hukum.
795 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 29/PUU-V/2007
TENTANG
KETENTUAN SENSOR FILM
Pemohon : 1. Annisa Nurul Shanty K (Pemohon I); 2. Muhammad Rivai Riza
(Pemohon II); 3. Nur Kurniati Aisyah Dewi (Pemohon III); 4. Lalu
Rois Amriradhiani (Pemohon IV); 5. Tino Saroengallo (Pemohon
V).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perlman
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 1 angka 4, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 40, dan Pasal 41 ayat
(1) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perlman
mengenai ketentuan tentang sensor lm bertentangan dengan Pasal
28C ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945 menyangkut kebebasan
berekspresi, mendapatkan informasi, dan hak cipta lm yang utuh.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Rabu, 30 April 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 29/PUU-V/2007 yakni Annisa Nurul Shanty K, Muhammad
Rivai Riza, Nur Kurniati Aisyah Dewi, Lalu Rois Amriradhiani, dan Tino Saroengallo
(selanjutnya disebut para Pemohon) mengajukan permohonan pengujian Pasal 1
angka 4, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 40, dan Pasal 41 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perlman (selanjutnya disebut UU Perlman) yang dinilai
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Permohonan para
Pemohon adalah pengujian UU Perlman terhadap UUD 1945 yang diundangkan pada
tahun 1992. Setelah Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) yang berbunyi, Undang-undang yang dapat
796 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Nomor 065/PUU-III/2005
maka tidak ada halangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan pengujian undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan
pertama UUD 1945 tanggal 19 Oktober 1999. Dengan demikian, permohonan para
Pemohon termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Berkaitan dengan kedudukan hukum (Legal Standing) para Pemohon bahwa Pasal
51 ayat (1) UU MK telah menentukan kualikasi tentang siapa yang dapat menjadi
Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, yaitu mereka yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
suatu undang-undang. Sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan
berikutnya, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya telah menentukan 5 (lima) syarat
mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK. para Pemohon dalam pengujian UU Perlman adalah Annisa Nurul Shanty K,
aktris lm, sebagai Pemohon I, Muhammad Rivai Riza, sutradara lm, sebagai Pemohon
II, Nur Kurniati Aisyah Dewi, produser lm sebagai Pemohon III, Lalu Rois Amriradhiani,
penyelenggara festival lm, sebagai Pemohon IV, dan Tino Saroengallo, pengajar IKJ dan
sutradara lm, sebagai Pemohon V, yang mendalilkan diri sebagai perorangan WNI dan
kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama, menganggap hak konstitusionalnya
dalam Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya Pasal 1
angka 4, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 40, dan Pasal 41 ayat (1) huruf b UU Perlman yang
pada pokoknya berisi ketentuan mengenai sensor lm beserta akibat hukum dan sanksi
pidananya. Para Pemohon memenuhi kualikasi baik sebagai Pemohon perorangan WNI
maupun kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama yakni sebagai pekerja
lm, mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28C ayat (1) dan Pasal
28F UUD 1945 yang prima facie dirugikan oleh pasal-pasal UU Perlman, kerugian yang
bersifat spesik dan aktual, serta mempunyai hubungan kausal dengan UU Perlman
dan apabila permohonannya dikabulkan kerugikan dimaksud tidak akan terjadi. Dengan
demikian, para Pemohon mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan
pengujian UU Perlman terhadap UUD 1945.
Pemohon mendalilkan bahwa informasi yang disampaikan oleh para Pemohon dan
yang diterima atau diperoleh oleh masyarakat lewat lm menjadi tidak utuh akibat terkena
sensor, bahkan kemungkinan tidak dapat tersampaikan sama sekali. Penyensoran
terhadap lm yang dilakukan dengan cara peniadaan dan/atau pemotongan secara
utuh maupun sebagian dari gambar dan/atau suara tertentu pada lm merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Disamping itu, Pemohon mendalilkan bahwa
Pasal 1 angka 4, Pasal 33, dan Pasal 34 UU Perlman bertentangan dengan Pasal 28C
ayat (1) UUD 1945, yakni hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan
797 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia, serta hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Selanjutnya, Pasal 40 dan
Pasal 41 ayat (1) huruf b UU Perlman yang berisi ketentuan mengenai sanksi pidana bagi
yang melanggar ketentuan Pasal 33 UU Perlman bertentangan dengan Pasal 28F UUD
1945, karena penggunaan hak asasi para Pemohon yang dijamin oleh Pasal 28F UUD
1945 justru malah dapat dihukum penjara sebagai akibat adanya ketentuan sensor yang
dilakukan oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Oleh karena itu, para Pemohon menginginkan
agar kegiatan sensor lm ditiadakan dan Lembaga Sensor Film (LSF) diganti menjadi
Lembaga Klasikasi Film (LKF), karena para Pemohon menganggap telah dirugikan
hak konstitusionalnya oleh berlakunya sensor lm, yakni menderita kerugian material
berupa hilangnya biaya produksi akibat proses penyensoran dan kerugian immaterial
yang berupa terhambatnya kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi, serta
hak cipta lm yang utuh.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan
tentang HAM dijamin dalam Konstitusi Indonesia secara lebih rinci dalam Bab XA dari
Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945. Meskipun HAM bersifat fundamental dan
universal, namun dalam penerapannya tidaklah bersifat absolut, melainkan dalam hal-hal
tertentu dapat dibatasi oleh negara dalam Pasal 28J UUD 1945. Negara dapat membatasi
hak dan kebebasan seseorang dengan undang-undang, atas dasar pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis,
termasuk terhadap hak atas kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penafsiran mengenai sensor
di berbagai negara sangat ditentukan oleh ideologi dan kultur yang dianut oleh suatu
negara. Penafsiran atas dasar ideologi yang selanjutnya akan menentukan parameter
konstitusional tidaknya kebijakan sensor. Untuk mengatasi kelemahan dari kedua kubu
tersebut maka dalam perkembangannya lahirlah sistim liberal-social responsibility, yaitu
paham yang berusaha mencari jalan tengah. Tidak akan ada negara yang sepenuhnya
memberi toleransi kebebasan media komunikasi yang akan mengakibatkan perpecahan
negara, sehingga tetap perlu ada pengendalian kebebasan berpendapat dan berekspresi
yang memiliki ekses negatif. Paham liberal-social responsibility tetap membebaskan
media dari sensor pendahuluan, namun negara memiliki peraturan perundang-undangan
yang mengatur perlindungan individu, kelompok minoritas, dan keamanan negara.
Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai klasikasi lm sebagai alternatif
sensor mempunyai kelemahan dalam praktik, yaitu bahwa pengkategorian adults only
(khusus dewasa) justru malah akan mengundang minat bagi kelompok umur yang
belum dewasa, yang berarti malah menjadi publikasi gratis untuk menarik keingintahuan
anak-anak dan tidak selalu bisa menjamin konsistensi dalam penerapannya, terlebih
kecenderungan yang mungkin timbul bahwa pengusaha bioskop demi orientasi bisnisnya
tidak peduli dan tidak tegas untuk menolak penonton yang tidak sesuai dengan kategori
798 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
lm yang ditayangkan. Dengan demikian, sistim klasikasi lm dianggap juga tidak
sepenuhnya mampu memberikan perlindungan terhadap kelompok anak-anak. Oleh
karena itu, kebijakan sensor informasi, in casu sensor lm, merupakan instrumen penting
bagi upaya pengendalian oleh negara atas semua arus informasi di dalam masyarakat,
karena memang negara merupakan pemborong tunggal kebenaran. Ketika semangat
reformasi untuk membangun suatu masyarakat madani dengan mengurangi dominasi
dan hegemoni negara, serta lebih memberikan peranan yang besar kepada masyarakat
untuk mengurus kehidupannya sendiri, atau setidak-tidaknya prinsip keseimbangan
antara peranan negara dan masyarakat, secara umum UU Perlman yang berlaku saat
ini sudah kehilangan raison detre yang mendasari kehadirannya. Demikian juga halnya
dengan keberadaan sensor dan lembaga sensor lm, tidak terhindarkan bahwa harus
dikaji ulang, disesuaikan dengan perubahan-perubahan sosial mendasar, khususnya
semangat demokratisasi dan penghormatan terhadap HAM.
Mahkamah juga berpendapat bahwa seni termasuk lm, jika memasuki ranah
publik, perlu diberikan pembatasan-pembatasan baik secara represif (sesudah karya
seni itu beredar), maupun secara preventif (sebelum karya seni itu beredar). Tindakan
preventif perlu diadakan karena tanpa adanya tindakan preventif, semua lm boleh
beredar dahulu, baru apabila terdapat hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan norma
agama, etika, atau hukum dilakukan tindakan represif melalui jalur hukum maka akibat
negatif dari pengedaran lm itu telah telanjur diderita oleh masyarakat. Memang idealnya
penapisan preventif itu dilakukan sendiri secara internal oleh kalangan insan perlman
(self-censorship). Namun, dalam suatu masyarakat dengan sistim sosial dan ragam
peradaban apapun, penapis yang bersifat eksternal tetap diperlukan. Hal ini disebabkan
tolok ukur yang bersifat subjektif tersebut masih harus disesuaikan dengan nilai-nilai
yang hidup dalam lingkungan sosial berupa kultur, agama, adat, dan lingkungan lainnya
(situation gebundenheit). Suatu institusi yang berfungsi melakukan penilaian atas suatu
lm yang akan diedarkan ke masyarakat, apapun namanya, yang dibentuk oleh negara
bersama masyarakat perlman, memang tetap dibutuhkan agar lm yang diedarkan
tidak menganggu atau merugikan HAM orang lain. Institusi penilai lm tersebut, dengan
nama apapun, haruslah merupakan hasil kesepakatan (konsensus) antara negara yang
mewakili masyarakat luas di luar perlman dan masyarakat perlman sendiri, serta
mengatur secara jelas mekanisme penilaian dan mekanisme pengajuan keberatan atas
penilaian yang dilakukan institusi tersebut oleh mereka yang lmnya dinilai. Dengan
demikian, akan tercapai keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kewajiban
negara untuk melindungi kepentingan masyarakat luas. Ketentuan-ketentuan mengenai
sensor dan lembaga sensor yang tercantum dalam UU Perlman dihapuskan pada saat
ini, sedangkan undang-undang perlman yang baru yang memuat ketentuan mengenai
sistim penilaian lm dengan semangat baru yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi
HAM, khususnya kebebasan berekspresi, belum ada, maka penghapusan demikian
justru akan menimbulkan kekosongan hukum dan dapat mengakibatkan ketidakpastian
hukum; oleh karena itu, sebelum institusi penilaian dan penilai lm yang ideal yang
799 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
merupakan hasil konsensus antara negara sebagai wakil masyarakat di luar perlman
dan masyarakat perlman dapat diwujudkan melalui undang-undang perlman yang baru,
keberadaan mekanisme dan institusi yang saat ini ada, yakni sensor dan LSF, masih
dapat dipertahankan dengan catatan mekanisme pelaksanaannya disesuaikan dengan
semangat zaman, memberi kesempatan pembelaan diri kepada komunitas perlman
yang lmnya akan disensor, dan meniadakan nuansa pengekangan kreativitas dalam
dunia seni dan perlman.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa permohonan para Pemohon
ditolak karena Pasal 1 angka 4, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 40, dan Pasal 41 ayat (1)
huruf b UU Perlman tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28F UUD
1945. Namun, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Perlman yang berlaku
saat ini, termasuk ketentuan yang mengatur sensor dan lembaga sensor lm sudah tidak
sesuai dengan semangat zamannya, sehingga sangat mendesak untuk dibentuk undang-
undang perlman yang baru beserta ketentuan mengenai sistim penilaian lm yang
baru yang lebih sesuai dengan semangat demokratisasi dan penghormatan terhadap
HAM. Disamping itu, untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum yang berakibat
terjadinya ketidakpastian hukum, keberadaan UU Perlman beserta ketentuan tentang
sensor dan lembaga sensor lm yang termuat di dalamnya, tetap dapat dipertahankan
keberlakuannya, sepanjang dalam pelaksanaannya dimaknai dengan semangat baru
untuk menjunjung tinggi demokrasi dan HAM atau dengan kata lain UU Perlman a quo
yang ada beserta semua ketentuan mengenai sensor yang dimuat di dalamnya bersifat
conditionally constitutional (konstitusional bersyarat).
Pendapat Berbeda:
Satu Hakim Konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion)
sebagai berikut.
Pasal 1 angka 4, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 40, dan Pasal 41 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perlman mengenai penyensoran lm
yang dilakukan Lembaga Sensor Film (LSF) merupakan sensor preventif, yang dapat
menghambat, bahkan meniadakan hasil karya cipta lm sehingga bertentangan dengan
Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. Disamping itu, sensor lm, telah menghambat
dan menghalangi hak setiap orang mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, yang
dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945, artinya kreativitas yang diekspresikan melalui hasil karya
cipta lm terpasung oleh mesin sensor. Oleh karena itu, sistim klasikasi lm dianggap
sebagai metode yang paling konstitusional dibandingkan dengan penyensoran, karena
tidak memberikan batasan akan kebebasan berpendapat dan berekspresi melainkan
secara administratif rechtelijk - menetapkan pengelompokan penonton yang didasarkan
pada usia. Dengan demikian, permohonan para Pemohon beralasan dan seyogianya
dikabulkan.
800 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
801 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 30/PUU-V/2007
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
SISTEM KEOLAHRAGAAN NASIONAL
Pemohon : Ir. Syahrial Oesman, M.M.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistim
Keolahragaan Nasional terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistim
Keolahragaan Nasional bertentangan dengan UUD 1945.
Amar Ketetapan : Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon.
Tanggal Ketetapan : 31 Januari 2008.
Ikhtisar Ketetapan :
Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 40 Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2005 tentang Sistim Keolahragaan Nasional (selanjutnya disebut UU SKN)
bertentangan dengan UUD 1945.
Pada persidangan 8 Januari 2008 Mahkamah telah mendengar keterangan
Pemerintah dalam sidang Pleno. Kuasa Hukum menyampaikan surat dengan Nomor
069/PM-MK/USS/I/2008 bertanggal 22 Januari 2008 yang pada pokoknya Pemohon
menarik kembali permohonannya.
Mahkamah mengabulkan penarikan Pemohon karena tidak bertentangan dengan
UUD 1945 dengan memperhatikan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pemohon dapat menarik kembali
permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.
Sementara ayat (2) menyatakan Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali. Selanjutnya, Mahkamah
memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat penarikan kembali perkara Nomor 30/
PUU-V/2007 dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
802 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
803 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 31/PUU-V/2007
TENTANG
LEGALITAS PEMBENTUKAN KOTA TUAL DI PROVINSI MALUKU
Pemohon : 1. Abdul Hamid Rahayaan (Pemohon I); 2. Gasim Renuat (Pemohon
II); 3. Abdul Gani Refra (Pemohon III).
Jenis Perkara : Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan
Kota Tual Di Provinsi Maluku mengenai legalitas pembentukan
kota Tual di Provinsi Maluku bertentangan dengan Pasal 18 ayat
(1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 22A UUD
1945 menyangkut pembagian Kabupaten dan Kota, yakni Maluku
Tenggara menjadi Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Rabu, 18 Juni 2008.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon perkara Nomor 31/PUU-V/2007 yakni Abdul Hamid Rahayaan
(Pemohon I) sebagai Kepala Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, mewakili dan atas nama
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Lor Lim (Lim Itel) di Desa Feer, Kecamatan Kei Besar
Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, Gasim Renuat (Pemohon II) sebagai Kepala
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, yang mewakili dan atas nama Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat Ratschap Dullah, berkedudukan di Desa Dullah, Kecamatan Dullah Utara,
Kabupaten Maluku Tenggara, dan Abdul Gani Refra (Pemohon III) yang mewakili dan
atas nama Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Ratschap Lo Ohoitel berkedudukan
di Desa Nerong, Kecamatan Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara. para Pemohon
mengajukan permohonan pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 31
804 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku (UU Kota Tual) yang
bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal
22A UUD 1945.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dinyatakan dalam ketentuan Pasal 24C
UUD 1945, yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Permohonan yang diajukan para
Pemohon adalah permohonan pengujian undang-undang in casu UU Kota Tual terhadap
UUD 1945, maka permohonan para Pemohon termasuk dalam lingkup kewenangan
Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya.
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon bahwa syarat
sebagai Pemohon harus memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, serta lima syarat
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang terdapat dalam Putusan Nomor 006/
PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 serta putusan-putusan berikutnya.
Dalam permohonan, para Pemohon masing-masing menyatakan dirinya bertindak dalam
kedudukan dan jabatannya selaku Kepala Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Dengan
demikian, para Pemohon dalam permohonan a quo mendasarkan kedudukan hukumnya
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU
MK, yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh
berlakunya UU Kota Tual.
Para Pemohon mendalilkan bahwa UU Kota Tual pembentukannya tidak sesuai
dengan Pasal 20 UUD 1945 karena dibentuk oleh lembaga yang bukan pembentuk undang-
undang. Disamping itu, Pemohon mendalilkan bahwa UU Kota Tual pembentukannya
tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang harus mengacu pada
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Kota Tual
pembentukannya tidak sesuai dengan Pasal 22A UUD 1945 yang harus dibaca dalam
satu kesatuan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, serta UU Kota Tual merugikan hak konstitusional
kesatuan masyarakat hukum adat, yang diwakili oleh para Pemohon, sebagaimana
dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa suatu
kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup
(actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional
setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur (i) adanya masyarakat yang warganya memiliki
perasaan kelompok (in-group feeling); (ii) adanya pranata pemerintahan adat; (iii) adanya
harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan (iv) adanya perangkat norma hukum
adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat
unsur (v) adanya wilayah tertentu.
805 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Selanjutnya, Mahkamah berpendapat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat
apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut keberadaannya telah diakui
berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-
nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat
umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-
lain maupun dalam peraturan daerah, serta substansi hak-hak tradisional tersebut diakui
dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat
yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Mahkamah juga berpendapat bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yaitu
keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hal-hal yang terungkap dalam persidangan, Mahkamah menilai bahwa
para Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa para Pemohon secara sah dapat
mewakili kesatuan masyarakat hukum adat yang di atasnamakan oleh para Pemohon. Di
samping itu, para Pemohon juga tidak dapat membuktikan secara spesik dan tertentu
adanya kerugian hak konstitusional sebagai akibat berlakunya UU Kota Tual. Dengan
demikian, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan Pemohon dinyatakan
tidak dapat diterima.
806 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
807 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 32/SKLN-V/2007
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PERMOHONAN SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA
NEGARA ANTARA KPU PROVINSI MALUKU UTARA TERHADAP KPU
Pemohon : 1. M. Rahmi Husen (Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku
Utara); 2. Ir. Nurbaya Hi. Soleman, M.Pd, Anggota Komisi Pemilihan
Umum Provinsi Maluku Utara; 3. H. Zainudin Husain, BBA, Anggota
Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara.
Jenis Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Komisi Pemilihan
Umum Provinsi Maluku Utara terhadap Komisi Pemilihan Umum.
Pokok Perkara : Pengujian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Komisi
Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara terhadap Komisi Pemilihan
Umum.
Amar Putusan : Mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon.
Tanggal Putusan : 21 Januari 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon melalui kuasa hukum, Dr. Andi Muhamad Asrun, S.H., M.H. dan Suhardi
Lamaira, S.H. mengajukan permohonan pengujian Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara antara Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara terhadap Komisi Pemilihan
Umum.
Pada persidangan 21 Januari 2008, Pemohon melalui Kuasa Hukumnya Dr.
Andi Muhamad Asrun, S.H., M.H. dan Suhardi Lamaira, S.H. telah mengirimkan surat
Permohonan Penarikan Kembali/Pencabutan Perkara Nomor 32/SKLN-V/2007, yang
diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 8 Januari 2008
yang pada pokoknya Pemohon menarik kembali Permohonannya.
Mahkamah mengabulkan penarikan Pemohon karena tidak bertentangan dengan
UUD 1945 dengan memperhatikan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
808 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi Pemohon dapat menarik kembali
permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.
Serta memperhatikan pula ayat (2) yang menyatakan Penarikan kembali sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali.
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
tersebut, Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo. Selanjutnya,
Mahkamah memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat kembali Perkara Nomor 32/
SKLN-V/2007 dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
809 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
2008
810 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
811 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 1/SKLN-VI/2008
TENTANG
SENGKETA KEWENANGAN ANTARA PANITIA PENGAWAS PEMILIHAN BUPATI
DAN WAKIL BUPATI KABUPATEN MOROWALI TERHADAP KOMISI PEMILIHAN
UMUM (KPU) KABUPATEN MOROWALI
Pemohon : Panitia Pengawas Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
Morowali.
Termohon : Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Morowali.
Jenis Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Panitia Pengawas
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Morowali terhadap
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Morowali.
Pokok Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Jumat, 28 Maret 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 1/SKLN-VI/2008 diajukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Morowali, yang diwakili oleh Drs. H. Muhammad
Lufti, dkk. Pemohon mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara
antara Panitia Pengawas Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Morowali
terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Morowali. Dalam penjelasan
permohonan, Pemohon menyatakan bahwa kewenangan Pemohon sebagai Panwas
Pilkada berdasarkan Pasal 66 ayat (4) UU Pemda juncto Pasal 108 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sedangkan kewenangan
Termohon sebagai KPUD berdasarkan pada Pasal 66 ayat (1) UU Pemda.
812 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi bahwa salah satu kewenangan
konstitusional Mahkamah berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah memutus
sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945. Disamping itu, Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) telah menentukan hal-hal yang
berkaitan dengan SKLN sebagai berikut :
bahwa Pemohon SKLN adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan a.
oleh UUD 1945;
bahwa Pemohon mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang b.
dipersengketakan dan menguraikan dengan jelas dalam permohonannya;
bahwa Pemohon harus menguraikan kewenangan yang dipersengketakan; c.
bahwa Pemohon harus menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi d.
Termohon.
Pemohon mendalilkan bahwa telah terjadi sengketa kewenangan lembaga negara
antara Pemohon terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Morowali meskipun
sebagai lembaga negara tidak secara tekstual disebut dalam UUD 1945, namun hanya
disebut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU Pemda),
kewenangan Pemohon dan Termohon secara implisit merupakan kewenangan pokok
yang diamanatkan oleh UUD 1945 atau setidak-tidaknya merupakan kewenangan yang
diperlukan (necessary and proper) guna menjalankan kewenangan pokok tersebut, yakni
melaksanakan pemilihan kepala daerah secara demokratis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 juncto Pasal 56 ayat (1) UU Pemda.
Selanjutnya, Pemohon mendalilkan bahwa Termohon telah menghalang-halangi
pelaksanaan tugas dan wewenang, serta mengurangi dan merampas wewenang
Pemohon sebagai Panitia Pengawas Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
Morowali, yaitu Pertama, dalam penetapan pasangan calon bupati dan wakil bupati
telah melanggar batas waktu tujuh hari, telah salah menerapkan dasar hukum untuk
tindakan menggugurkan pasangan calon, dan tidak melakukan klarikasi terkait tentang
benar tidaknya surat dukungan yang ditandatangani partai politik, Kedua, dalam proses
pendaftaran pemilih, KPUD (Termohon) telah mengabaikan surat Panwaslih (Pemohon)
bahwa pendaftaran yang dilakukan Termohon tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, Ketiga, dalam kampanye, Termohon tidak menindaklanjuti surat-surat
Pemohon mengenai adanya pelanggaran kampanye yang dilakukan oleh pasangan
calon; Keempat, dalam pemungutan suara, dengan alasan banyak wajib pilih yang tidak
terdaftar, KPUD menerbitkan surat edaran yang mengijinkan wajib pilih yang tak terdaftar
menggunakan KTP atau surat keterangan kepala desa/lurah, sehingga di beberapa
TPS terjadi banyak pelanggaran berupa penggelembungan suara; dan Kelima, dalam
rekapitulasi penghitungan suara, KPUD telah mengabaikan surat Panwaslih (Pemohon)
untuk menunda rekapitulasi penghitungan suara dan mengabaikan laporan Pemohon
tentang telah terjadinya berbagai pelanggaran dalam Pilkada.
813 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kepala
daerah harus dipilih secara demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, tetapi tidak
selalu harus dilakukan melalui pemilihan kepala daerah secara langsung sebagaimana
dianut oleh UU Pemda, melainkan dapat juga dilakukan pemilihan secara tidak langsung
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagaimana yang dianut oleh Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999. Kedua cara tersebut tetap konstitusional dan demokratis,
sedangkan yang tidak konstitusional adalah apabila kepala daerah tidak dipilih secara
demokratis yaitu dengan cara penunjukan.
Terkait dengan legal standing Pemohon, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
keberadaan KPUD dan Panwaslih dalam Pilkada hanya dimungkinkan apabila Pilkada
dilakukan secara langsung berdasarkan suatu undang-undang, sedangkan apabila
undang-undang menentukan bahwa Pilkada dilakukan secara tidak langsung, maka
keberadaan KPUD dan Panwaslih dalam Pilkada tidak diperlukan. Berdasarkan Pasal
22E ayat (5) UUD 1945, tugas Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri adalah menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Anggota DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. Sedangkan wewenang KPUD dalam Pilkada
bukan atas perintah UUD 1945, melainkan atas perintah UU Pemda juncto Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, sehingga KPUD tidak
dapat dikualikasikan sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945. Disamping itu, berdasarkan Pasal 109 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005, Panwaslih merupakan lembaga ad hoc yang tugasnya berakhir 30 (tiga puluh) hari
setelah pengucapan sumpah/janji Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga
Panwaslih tidak dapat dikualikasikan sebagai lembaga negara, apalagi lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Selanjutnya, Mahkamah juga berpendapat bahwa berdasarkan alat-alat bukti yang
diajukan dan keterangan Pemohon di persidangan, tidak ada perselisihan hasil Pilkada
dalam penyelenggaraan Pilkada di Kabupaten Morowali, sehingga apa yang dipersoalkan
oleh Pemohon lebih merupakan masalah kerja sama dan komunikasi yang kurang atau
tidak harmonis antara Pemohon dan Termohon yang tidak ada pengaruhnya sama sekali
dengan keabsahan Pilkada di Kabupaten Morowali.
Mahkamah Konstutusi menyatakan bahwa sudah sangat terang benderang (expressis
verbis), baik dari segi objectum litis maupun dari segi subjectum litis tidak terpenuhi syarat
telah terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945 karena permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 61 UU MK
sehingga permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
814 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
815 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 2/PUU-VI/2008
TENTANG
KEDUDUKAN PEKERJA DALAM PERUSAHAAN PAILIT YANG BERADA DI BAWAH
KREDITOR SEPARATIS
Pemohon : 1. M. Komarudin; 2. Muhammad Hadz.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 55 ayat (2), Pasal 59 ayat
(1), Pasal 59 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 138 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang mengenai kedudukan Pekerja
dalam Perusahaan Pailit yang berada di bawah Kreditor Separatis
bertentangan dengan 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD
1945 menyangkut hak atas kepastian hukum yang adil bagi buruh
dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta hak untuk
mendapatkan upah atau imbalan yang layak.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Selasa, 6 Mei 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 2/PUU-VI/2008 yakni M. Komarudin dan Muhammad
Hadz, yang bertindak untuk dan atas nama Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia
(FISBI) (selanjutnya disebut para Pemohon) mengajukan permohonan pengujian Pasal
29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 55 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), Pasal 59 ayat (2), Pasal 59
ayat (3), dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU)
yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
816 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), salah
satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Permohonan para Pemohon adalah mengenai pengujian UU
Kepailitan dan PKPU terhadap UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, bahwa
berdasarkan syarat dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Penjelasan Pasal 51 ayat (1)
huruf a, serta lima syarat mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon dalam Putusan Nomor 06/PUU-III/2005 dan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi berikutnya. para Pemohon dalam pengujian UU Kepailitan dan PKPU tersebut
adalah M. Komarudin dan Muhammad Hadz, yang masing-masing adalah Ketua Umum
dan Sekretaris Umum Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI). Namun, para
Pemohon mengualikasikan diri sebagai kelompok orang warga negara Indonesia yang
mempunyai kepentingan sama yakni kepentingan sebagai pekerja yang menurut para
Pemohon mempunyai hak-hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1)
dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. para Pemohon mendalilkan hak-hak konstitusional
mereka telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 55 ayat (2),
Pasal 59 ayat (1), Pasal 59 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 138 UU Kepalilitan
dan PKPU. Menurut para Pemohon, pasal-pasal UU Kepailitan dan PKPU tersebut telah
mengabaikan hak-hak pekerja atas upah yang harus dibayarkan oleh perusahaan yang
mengalami pailit, yang berarti bertentangan dengan UUD 1945, karena tidak menempatkan
upah pekerja sebagai kreditor yang diistimewakan. Padahal, Pasal 95 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU
Ketenagakerjaan) menyatakan bahwa, Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau
dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan
hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Penjelasan ayat (4) berbunyi, Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah
pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya. Menurut Mahkamah
prima facie para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo.
Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 55 ayat (2),
Pasal 59 ayat (1), Pasal 59 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 138 UU Kepalilitan dan
PKPU bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, yakni
hak atas kepastian hukum yang adil bagi buruh dan perlakuan yang sama di hadapan
hukum, serta hak untuk mendapatkan upah atau imbalan yang layak. Disamping itu, Pasal
29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 55 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), Pasal 59 ayat (2), Pasal 59
ayat (3), dan Pasal 138 UU Kepalilitan dan PKPU tidak sesuai dengan Pasal 95 ayat (4)
UU Ketenagakerjaan karena menghilangkan hak-hak buruh yang diputuskan hubungan
kerjanya karena perusahaan tempat bekerjanya pailit, disebabkan gugurnya demi hukum
817 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
segala tuntutan yang sedang berjalan dan adanya pasal yang mengatur secara khusus
tentang keberadaan kreditor separatis sebagai kreditor pemegang hak tanggungan yang
mempunyai wewenang mutlak untuk melakukan eksekusi hak tanggungannya seolah-
olah tidak terjadi kepailitan, sehingga buruh kedudukannya berada satu tingkat di bawah
Kreditor pemegang gadai, jaminan dusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan
atau kebendaan lainnya, sehingga menghapus nuansa perlindungan terhadap hak-hak
buruh, baik selama berlangsungnya hubungan kerja maupun saat berakhirnya hubungan
kerja karena kepailitan.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menilai para Pemohon tidak
bersungguh-sungguh membuktikan kerugian hak-hak konstitusionalnya yang diakibatkan
oleh berlakunya pasal-pasal UU Kepailitan dan PKPU yang dimohonkan pengujian,
sehingga Mahkamah yang semula berpendapat bahwa para Pemohon yang dianggap
memiliki kedudukan hukum (legal standing), ternyata tidak mampu membuktikan bahwa
hak-hak konstitusionalnya dirugikan, sehingga permohonan para Pemohon tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
818 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
819 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 3/PUU-VI/2008
TENTANG
KEWENANGAN BPK UNTUK MEMERIKSA PENGELOLAAN DAN TANGGUNG
JAWAB KEUANGAN NEGARA TERHADAP INFORMASI PAJAK ATAS HARTA
BENDA WAJIB PAJAK
Pemohon : Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan mengenai kewenangan BPK untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara
terhadap informasi pajak atas harta benda wajib pajak bertentangan
dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 menyangkut kewenangan
BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan
Negara secara bebas dan mandiri.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Kamis, 15 Mei 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 3/PUU-VI/2008 adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
(selanjutnya disebut Pemohon) mengajukan permohonan pengujian Pasal 34 ayat
(2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU Perpajakan) yang dinilai
820 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut UU MK), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk, antara lain, menguji undang-undang
terhadap UUD 1945. Permohonan a quo adalah permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili,
dan memutusnya.
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon bahwa Pasal 51 ayat
(1) UU MK menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, dan sejak
Putusan Nomor 006/PUU-III/2006 yang disempurnakan dengan Putusan Nomor 011/
PUU-III/2007 mengenai lima syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional.
Pemohon telah menjelaskan kualikasinya sebagai lembaga negara yaitu Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia (BPK), sebagaimana dimaksud Pasal 23E ayat (1) UUD
1945 yang mengatakan, Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
Dengan demikian, Pemohon telah memenuhi kualikasi sebagaimana dimaksud Pasal
51 ayat (1) huruf d UU MK. Dengan demikian, yang selanjutnya harus dipertimbangkan
oleh Mahkamah adalah apakah dalam kualikasi Pemohon sebagai lembaga negara.
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya Pasal
34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan. Pemohon
secara konstitusional berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 memiliki kewenangan
untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas
dan mandiri. Kewenangan Pemohon memperoleh justikasi dan penegasan beberapa
undang-undang, yaitu Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut UU BPK),
serta Pasal 3 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU
Pemeriksaan Keuangan Negara). Dalam ketentuan Pasal 3 UU Pemeriksaan Keuangan
Negara juncto Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(selanjutnya disebut UU Keuangan Negara), BPK berwenang melakukan pemeriksaan
atas seluruh keuangan negara yang meliputi penerimaan negara baik berupa pajak dan
non-pajak, memeriksa seluruh aset dan piutang negara maupun utangnya, memeriksa
penempatan kekayaan negara serta penggunaan pengeluaran negara. Kewenangan
BPK yang diberikan oleh UUD 1945, yang diperkuat oleh beberapa undang-undang dan
telah dibatasi oleh norma yang terdapat dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan
Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan. Dikatakan membatasi karena, menurut norma yang
terdapat dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU Perpajakan, pejabat pajak dan
atau tenaga ahli hanya dapat memberikan keterangan kepada BPK setelah mendapat
821 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
penetapan oleh Menteri Keuangan. Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan dimaksud juga
menggambarkan bahwa kewenangan untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara
tidak hanya dimiliki oleh lembaga negara, yaitu BPK, tetapi juga dimiliki oleh instansi
pemerintah. Sementara itu, Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan dikatakan
membatasi sebab tidak semua data dan/atau keterangan dapat diberikan kepada BPK
selaku lembaga negara, melainkan hanya keterangan tentang identitas Wajib Pajak dan
informasi yang bersifat umum tentang perpajakan. Dengan demikian, kedua ketentuan
UU Perpajakan tersebut, menurut Pemohon, secara nyata dan tegas mengingkari
dan bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 dan undang-undang lainnya,
sehingga sangat merugikan kewenangan konstitusional Pemohon. Pemohon dirugikan
kewenangan konstitusionalnya karena dengan adanya ketentuan-ketentuan UU
Perpajakan tersebut Pemohon tidak dapat melakukan pemeriksaan penerimaan negara
yang bersumber dari sektor perpajakan secara bebas dan mandiri, sedangkan pajak
merupakan kontribusi Wajib Pajak kepada negara yang merupakan salah satu bentuk
penerimaan negara atau setidaknya bagian dari penerimaan keuangan negara menurut
Pasal 2 UU Keuangan Negara.
Pemohon mendalilkan bahwa kewenangan Pemohon yang diberikan oleh Pasal 23E
ayat (1) UUD 1945 telah dibatasi Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat
(2a) UU Perpajakan bahwa Pejabat Pajak dan atau Tenaga Ahli hanya dapat memberikan
keterangan kepada BPK setelah mendapat penetapan oleh Menteri Keuangan, karena tidak
semua data dan/atau keterangan dapat diberikan kepada BPK selaku Lembaga Negara
melainkan hanya keterangan tentang identitas wajib pajak dan informasi yang bersifat
umum tentang perpajakan sehingga merugikan kewenangan konstitusional Pemohon
yaitu untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara secara
bebas dan mandiri. Disamping itu, Pemohon dirugikan kewenangan konstitusionalnya
karena ketentuan-ketentuan UU Perpajakan yang menyebabkan Pemohon tidak dapat
melakukan pemeriksaan penerimaan negara yang bersumber dari sektor perpajakan
secara bebas dan mandiri, sedangkan pajak merupakan kontribusi Wajib Pajak kepada
negara yang merupakan salah satu bentuk penerimaan negara atau setidaknya bagian
dari penerimaan keuangan negara menurut Pasal 2 UU Keuangan Negara.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
kebebasan dan kemandirian dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 tidaklah boleh ditafsirkan
hanya dalam kaitan dengan pembentukan BPK melainkan juga mencakup kebebasan
dan kemandirian dalam pelaksanaan kewenangan konstitusional BPK yang diberikan
oleh UUD 1945. Sebab, tujuan dibentuknya BPK adalah untuk melakukan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Tujuan demikian tidak mungkin
dapat dicapai jika dalam melaksanakan kewenangannya BPK tidak bebas dan mandiri.
Namun, kebebasan dan kemandirian BPK dalam melaksanakan kewenangan dimaksud
bukanlah tanpa batas melainkan harus tetap tunduk pada ketentuan undang-undang
yang berkait dengan pelaksanaan kewenangannya itu, dalam hal ini undang-undang
822 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, sebagaimana
secara tegas dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (2) UU BPK. Tanpa pembatasan demikian,
kewenangan besar yang dimiliki BPK sebagai state auditor mengandung potensi untuk
disalahgunakan, sebagaimana halnya setiap kewenangan yang dimiliki oleh institusi
atau lembaga apa pun. Dengan kata lain, pembatasan demikian menjadi syarat yang
tak dapat ditiadakan guna memastikan bekerjanya mekanisme saling mengawasi dan
mengimbangi (checks and balances) antarlembaga atau antarorgan negara dalam negara
hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, mekanisme
mana merupakan salah satu mekanisme untuk menegakkan prinsip Constitutuonalism
yang merupakan syarat pertama negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi
yang berdasar atas hukum.
Persoalan yang timbul adalah sampai di manakah batas-batas pelaksanaan
kewenangan pemeriksaan BPK itu dapat dilaksanakan, karena di satu sisi, sebagai
konsekuensi dari prinsip self assessment yang dianut, maka negara in casu Pemerintah
melalui Menteri Keuangan (dan pejabat dalam lingkungannya) selaku skus dilarang untuk
memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahuinya atau diberitahukan
kepadanya oleh Wajib Pajak [Pasal 34 ayat (1) UU Perpajakan]; sementara di lain sisi ada
kewajiban untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi
Pemerintah yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dalam bidang
keuangan negara di mana sektor pajak (dalam hal ini hak negara untuk memungut pajak)
termasuk di dalamnya. Dalam hal pemeriksaan dimaksud dilakukan oleh BPK, hasilnya
kemudian akan diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya
dan setelah itu dinyatakan terbuka untuk umum [vide Pasal 7 ayat (1) juncto ayat (5) UU
BPK juncto Pasal 19 ayat (1) UU Pemeriksaan Keuangan Negara]. Meskipun terdapat
ketentuan yang menyatakan bahwa laporan hasil pemeriksaan yang dinyatakan terbuka
untuk umum tersebut tidak termasuk laporan yang memuat rahasia negara [vide Pasal
19 ayat (2) UU Pemeriksaan Keuangan Negara], timbul pertanyaan apakah data pribadi
Wajib Pajak dapat dianggap sebagai rahasia negara. Jika hal itu dianggap sebagai rahasia
negara, maka tetap menjadi tidak jelas dalam batas-batas mana BPK boleh memasuki
data pribadi Wajib Pajak. Sebaliknya, jika hal itu bukan dianggap sebagai rahasia negara,
maka berarti ia tunduk pada keharusan untuk dinyatakan sebagai data yang terbuka
untuk umum, yang berarti bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UU Perpajakan. Dalam
situasi demikian maka telah terjadi benturan antara dua kepentingan hukum yang sama-
sama dilindungi oleh konstitusi, yaitu:
Pertama, kepentingan hukum berupa hak konstitusional Wajib Pajak atas harta
bendanya sebagaimana dimaksud Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, dalam hal ini
jaminan kerahasiaan yang dilindungi undang-undang atas segala informasi yang telah
diberikannya kepada negara (skus) berkenaan dengan kewajibannya untuk membayar
pajak menurut prinsip self assessment;
Kedua, kepentingan hukum berupa kewenangan konstitusional BPK untuk melakukan
823 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pemeriksaan keuangan negara secara bebas dan mandiri [Pasal 23E ayat (1) UUD 1945]
sehingga mengharuskannya untuk memeriksa semua dokumen yang berkaitan dengan
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara [vide Penjelasan Pasal
9 ayat (1) huruf b UU BPK].
Dalam keadaan demikian, langkah yang telah dilakukan oleh BPK dan Menteri
Keuangan dengan membuat memorandum of understanding, guna menjembatani dua
kepentingan hukum yang berbenturan itu, untuk sementara, merupakan jalan keluar yang
tepat. Namun, dalam jangka panjang, harus ada penyerasian antara kedua Undang-
Undang a quo (UU Perpajakan dan UU BPK) dan undang-undang lain yang berkait
dengan keuangan negara sehingga menjamin terlindunginya kedua kepentingan hukum
tersebut, hal mana bukan merupakan kewenangan Mahkamah melainkan kewenangan
pembentuk undang-undang, in casu DPR dan Presiden (Pemerintah) dalam rangka
legislative review.
Dalam hal terjadi kasus di mana terdapat dua kepentingan hukum yang sama-
sama dijamin oleh konstitusi, tidaklah mungkin Mahkamah memutuskan kepentingan
yang satu adalah konstitusional sementara yang lain tidak konstitusional jika kasus
demikian diajukan sebagai permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
Hal demikian hanya mungkin terjadi dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah untuk
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945, bukan dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
Selanjutnya, Pemohon juga mendalilkan, kewenangan BPK yang diberikan oleh UUD
1945, yang diperkuat oleh beberapa undang-undang, telah dibatasi oleh norma yang
terdapat dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU Perpajakan karena, menurut norma yang
terdapat dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU Perpajakan, pejabat pajak dan
atau tenaga ahli hanya dapat memberikan keterangan kepada BPK setelah mendapat
penetapan oleh Menteri Keuangan, Mahkamah berpendapat bahwa sebagai konsekuensi
sistim self assessment yang dianut oleh UU Perpajakan maka hanya skus saja lah (in
casu Menteri Keuangan) yang berhak mengetahui segala informasi yang berkenaan
dengan Wajib Pajak dan skus dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala
informasi yang diketahuinya itu. Bahkan, larangan itu juga berlaku terhadap tenaga ahli
yang ditunjuk untuk membantu pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Namun, larangan itu dikecualikan atau tidak berlaku jika: (i) keterangan dimaksud
diperlukan untuk kepentingan pengadilan atau (ii) keterangan dimaksud diperlukan dalam
rangka pemeriksaan keuangan negara, baik yang dilakukan oleh lembaga negara (in
casu BPK) maupun instansi Pemerintah. Dengan kata lain, pihak yang dibenarkan atau
yang berwenang untuk memberikan keterangan dalam rangka pemeriksaan keuangan
negara adalah skus yaitu Menteri Keuangan. Karena kewenangan dimaksud ada pada
Menteri keuangan, adalah logis jika pihak lain yaitu pejabat pajak atau tenaga ahli yang
berada di bawah Menteri Keuangan hanya dimungkinkan memberikan keterangan jika
telah mendapatkan ijin atau penetapan Menteri Keuangan. Dengan demikian, tidak
824 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
terdapat hambatan apa pun bagi BPK untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara
dalam hubungan ini.
Sementara itu, terhadap adanya kata-kata instansi Pemerintah dalam Pasal 34 ayat
(2a) huruf b UU Perpajakan yang oleh Pemohon dianggap telah menghalangi kebebasan
dan kemandirian BPK, dengan argumentasi bahwa UUD 1945 hanya menghendaki
adanya satu Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah berpendapat bahwa kata satu
dalam Pasal 23E UUD 1945 itu merupakan penegasan bahwa tidak boleh ada badan
atau lembaga lain yang memiliki kewenangan memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara yang kebebasan dan kemandiriannya sama dengan BPK dan
kedudukannya sederajat dengan BPK. Jika Pemerintah (Presiden) untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan adanya internal audit memandang perlu membentuk suatu instansi
tersendiri, maka hal demikian dimungkinkan oleh UUD 1945. Kebebasan dan kemandirian
instansi demikian tidak sama dengan kebebasan dan kemandirian BPK. Kedudukannya
pun tidak sederajat dengan BPK, karena ia merupakan bagian dari Pemerintah
(Eksekutif). Oleh karena itu, adanya kata instansi Pemerintah dalam Pasal 34 ayat (2a)
huruf b UU Perpajakan tersebut tidaklah menghalangi kebebasan dan kemandirian BPK
dalam melakukan kewenangan konstitusionalnya. Justru BPK seharusnya terbantu oleh
adanya instansi Pemerintah tersebut. Sebab, menurut Pasal 9 ayat (1) UU Pemeriksaan
Keuangan Negara dikatakan, Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat
pengawasan intern Pemerintah. Bahkan, dalam rangka pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara dimaksud, menurut Pasal 9 ayat (2) UU Pemeriksaan
Keuangan Negara, hasil pemeriksaan intern Pemerintah itu wajib disampaikan kepada
BPK.
Pemohon juga mendalilkan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan telah
membatasi kewenangan BPK dengan argumentasi karena Penjelasan Pasal 34
ayat (2a) UU Perpajakan membuat norma baru yang tidak sesuai dengan hakikatnya
sebagai pengecualian terhadap Pasal 34 ayat (1) UU Perpajakan, bahwa terjadinya
benturan antara dua kepentingan hukum yang sama-sama dilindungi oleh konstitusi,
yaitu kepentingan hukum berupa hak konstitusional Wajib Pajak atas harta bendanya
sebagaimana dimaksud Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, dalam hal ini jaminan kerahasiaan
yang dilindungi undang-undang atas segala informasi yang telah diberikannya kepada
negara (skus) sesuai dengan prinsip self assessment yang dianut UU Perpajakan
dan kepentingan hukum berupa kewenangan konstitusional BPK untuk melakukan
pemeriksaan keuangan negara secara bebas dan mandiri yang mengharuskannya untuk
memeriksa semua dokumen yang berkaitan dengan pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah legislative
review oleh pembentuk undang-undang yang menjamin harmonisasi antarberbagai
undang-undang yang berkaitan dengan keuangan negara. Selanjutnya, sebagai jalan
keluar untuk jangka pendek, hal ini dapat diatur dalam bentuk peraturan tersendiri yang
825 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
menampung substansi yang sudah akan disepakati dalam rancangan memorandum of
understanding antara BPK dan Departemen Keuangan.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa sebelum dilakukannya penyerasian
berbagai undang-undang dalam bidang atau yang berkait dengan keuangan negara,
jika BPK dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya melakukan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara berdasarkan ketentuan Pasal 34
ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan menemukan indikasi
terjadinya tindak pidana, BPK dapat menggunakan alasan untuk kepentingan negara
sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (3) UU Perpajakan untuk memperoleh bukti tertulis
dari atau tentang Wajib Pajak.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tidak terdapat adanya
kerugian kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat diberlakukannya Pasal 34
ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan. Dengan demikian,
meskipun Pemohon memenuhi syarat kualikasi sebagai pihak yang dapat mengajukan
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 menurut ketentuan Pasal 51
ayat (1) huruf d UU MK, yakni in casu sebagai lembaga negara, namun dikarenakan tidak
terpenuhinya syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional mengakibatkan
tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal standing) maka permohonan Pemohon
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Pendapat Berbeda:
Satu Hakim Konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion)
sebagai berikut.
Berkaitan dengan legal standing bahwa penetapan yang diatur dalam Pasal 34
ayat (2a) UU Perpajakan, yang seharusnya dimaksudkan untuk membantu BPK dalam
pelaksanaan pemeriksaan keuangan negara, telah terbukti tidak selalu diberikan, yang
menyebabkan BPK tidak dapat melaksanakan pemeriksaan sebagai kewenangan
konstitusionalnya secara sepatutnya. Hal demikian dengan kata-kata dalam Pasal
51 ayat (1) UU MK, bahwa Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan,
dipandang cukup sebagai dasar bagi Mahkamah untuk menyatakan dipenuhinya syarat
legal standing bagi BPK untuk mengajukan permohonan pengujian a quo.
Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU Perpajakan sepanjang menyangkut frasa ditetapkan
Menteri Keuangan untuk merupakan mekanisme internal Departemen Keuangan,
dipandang tidak bertentangan UUD 1945, hanya dengan syarat (conditionally
constitutional) sepanjang ketetapan dimaksud dikeluarkan dalam jangka waktu secepat-
cepatnya, sehingga dapat dipahami sebagai upaya untuk mendukung dan tidak
menghambat pemeriksaan atau audit yang dilakukan BPK dengan cara yang sebaik-
baiknya. Disamping itu, Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU Perpajakan sepanjang menyangkut
frasa atau instansi Pemerintah dipandang tidak bertentangan dengan pasal 23E ayat
(1) UUD 1945, karena keberadaan badan pengawasan internal pemerintah seperti itu,
826 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
yang bertanggung jawab kepada Presiden dan berada di bawah koordinasi Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara, bukanlah satu badan pengawasan yang bebas dan
mandiri, melainkan lembaga yang melaksanakan sebagian tugas-tugas pemerintahan
Presiden di bidang pengawasan dan pemeriksaan keuangan.
Seluruh Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU Perpajakan, disamping telah
membentuk norma baru diluar norma yang dijelaskan secara bertentangan dengan
Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, juga membatasi akses
BPK terhadap dokumen dan data informasi Wajib Pajak secara tidak proporsional dan
rasional, yang bukan pula merupakan hak asasi yang non-derogable, bertentangan
dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, karena dipandang menghalangi dan menghambat
tugas Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang bebas
dan mandiri oleh BPK, dalam kerangka good governance, transparency dan accountability
secara adil. Dengan demikian, permohonan para Pemohon beralasan dan seyogianya
dikabulkan sebagian yakni Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU Perpajakan.
827 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 4/PUU-VI/2008
TENTANG
PEMBAGIAN WILAYAH HASIL PEMBENTUKAN
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Pemohon : Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur Wilayah Serdang Hulu
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : 1. Pasal 4 UU 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten
Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera
Utara mengenai penentuan wilayah Serdang Bedagai.
2. Pasal 6 ayat (2) UU 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi
Sumatera Utara mengenai batas wilayah Serdang Bedagai.
3. Penjelasan I.UMUM, alinea kelima UU 36 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang
Bedagai di Provinsi Sumatera Utara mengenai wilayah Serdang
Bedagai yang terdiri dari 13 (tiga belas) kecamatan.
Bertentangan dengan:
1. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 mengenai jaminan kebebasan bagi
setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.
2. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 mengenai jaminan bagi setiap
orang untuk bebas dan mendapat perlindungan dari perlakuan
diskriminatif atas dasar apapun.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Selasa, 27 Mei 2008.
828 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Ikhtisar Putusan :
Pemohon mendalilkan mengalami kerugian konstitusional karena berlakunya UU
Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang
Bedagai (selanjutnya disebut UU 36/2003) terutama Pasal 4 huruf k, l, m; Pasal 6 ayat (2)
huruf d serta Penjelasan I.UMUM alinea kelima UU 36/2003. Pasal-pasal tersebut pada
intinya mengatur tentang dimasukkannya sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang,
yaitu Kecamatan Kotarih; Kecamatan Bangun Purba yang terletak di sebelah timur dari
Sungai Buaya; dan Kecamatan Galang yang terletak di sebelah timur dari Sungai Ular,
menjadi wilayah Kabupaten Serdang Bedagai.
Terhadap diberlakukannya UU a quo, Pemohon merasa keberatan karena Pemohon
tidak memiliki kesempatan berpartisipasi dalam pembentukan Kabupaten Serdang
Bedagai. Pemohon juga mendalilkan penggabungan wilayah Pemohon, yang semula
wilayah Deli Serdang menjadi wilayah Serdang Bedagai, menimbulkan kesulitan dari
sisi jarak, sarana pendidikan, dan mengakibatnya hilangnya warisan budaya. Selain
itu UU a quo menimbulkan konik horizontal sebagai akibat pemberhentian sembilan
Kepala Desa (yang dulu di bawah Deli Serdang) dalam Kecamatan Bangun Purba oleh
pemerintah Serdang Bedagai.
Setelah mendengar keterangan Gubernur Sumatera Utara, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara, Bupati Deli Serdang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Deli Serdang, Bupati Serdang Bedagai,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Serdang Bedagai, Mahkamah
berpendapat bahwa dalam proses penyerapan aspirasi dan pelaksanaannya di lapangan
berkenaan pembentukan daerah otonom Kabupaten Serdang Bedagai, yang merupakan
hasil pemekaran Kabupaten Deli Serdang di Provinsi Sumatera Utara, komunikasi
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga Pemohon merasa haknya untuk
menyampaikan pendapat tidak didengar atau tidak mendapatkan tanggapan sesuai
dengan yang diinginkan.
Tetapi Mahkamah menilai hal demikian tidak dapat dinilai sebagai pelanggaran
prosedur pembentukan UU 36/2003 yang dapat mengakibatkan bertentangannya
Undang-Undang a quo dengan UUD 1945. Lagi pula, hal demikian yakni dinyatakan
bertentangannya seluruh UU 36/2003 dengan UUD 1945 bukanlah sesuatu yang
dikehendaki Pemohon.
Mahkamah juga menilai bahwa dalam proses pembentukan Kabupaten Serdang
Bedagai sebagai hasil pemekaran Kabupaten Deli Serdang di Provinsi Sumatera Utara
telah terjadi perubahan di lapangan. Pemekaran yang semula diusulkan menjadi tiga
kabupaten (yaitu Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Deli, dan Kabupaten Serdang
Bedagai) berubah menjadi hanya dua kabupaten (yaitu Kabupaten Deli Serdang dan
Kabupaten Serdang Bedagai). Perubahan tersebut telah mengakibatkan daerah di mana
Pemohon bertempat tinggal, yang dalam usul semula tidak termasuk ke dalam wilayah
829 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Kabupaten Serdang Bedagai, dimasukkan ke dalam bagian dari wilayah Kabupaten
Serdang Bedagai, sehingga Pemohon merasa dirugikan.
Terhadap dalil kerugian Pemohon, Mahkamah menilai bahwa kerugian tersebut
bukanlah kerugian hak konstitusional yang dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK.
Ketentuan-ketentuan dalam UU 36/2003 yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 4
huruf k, l, m; Pasal 6 ayat (2) huruf d serta Penjelasan I.UMUM alinea kelima mengatur
atau menjelaskan tentang batas-batas wilayah kabupaten, in casu Kabupaten Serdang
Bedagai. Dengan demikian, tidak ada relevansinya dengan pelanggaran terhadap hak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat [Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945]. Hal itu juga tidak ada relevansinya dengan hak untuk bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif [Pasal 28I ayat (2) UUD 1945].
Berdasarkan penilaian di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon, yaitu
Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur Wilayah Serdang Hulu, tidak mengalami
kerugian hak konstitusional sebagai akibat diberlakukannya ketentuan Pasal 4 huruf k,
l, m; Pasal 6 ayat (2) huruf d serta Penjelasan I.UMUM alinea kelima UU 36/2003,
sehingga syarat kedudukan hukum (legal standing) Pemohon tidak terpenuhi.
Mahkamah berkesimpulan bahwa substansi persoalan dalam permohonan a quo
sesungguhnya berada dalam ruang lingkup kewenangan eksekutif (Pemerintah) untuk
menyelesaikannya, yaitu tidak atau belum tuntasnya persoalan batas wilayah antara
Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai yang berakibat timbulnya
dualisme pemerintahan di 9 (sembilan) desa yang berada dalam perbatasan kedua
kabupaten dimaksud, dan bukan persoalan inkonstitusionalitas norma undang-undang.
Dengan demikian Mahkamah memutuskan permohonan dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
830 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
831 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 5/PUU-VI/2008
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Pemohon : Soeparno
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 77 huruf a, Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan
dengan UUD 1945.
Amar Putusan : Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon.
Tanggal Putusan : 13 Maret 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 5/PUU-VI/2008 bernama Soeparno mengajukan
permohonan pengujian Pasal 77 huruf a, Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945.
Pada sidang tanggal 3 Maret 2008, Pemohon tidak hadir di persidangan, namun
Pemohon telah menyampaikan surat melalui faksimili yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 3 Maret 2008. Kemudian Pemohon menyusulkan surat
bertanggal 29 Februari 2008 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 6 Maret 2008 yang pada pokoknya Pemohon menarik kembali permohonannya.
Mahkamah mengabulkan penarikan permohonan Pemohon karena tidak bertentangan
dengan UUD 1945 dengan memperhatikan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi (1) Pemohon dapat menarik kembali
permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan. (2)
Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan permohonan
tidak dapat diajukan kembali. Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU Mahkamah Konstitusi
832 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
tersebut menyebabkan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo.
Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan Panitera untuk mencatat penarikan kembali
perkara Nomor 5/PUU-VI/2008 a quo dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
833 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 6/PUU-VI/2008
TENTANG
KETENTUAN MENGENAI PEMINDAHAN IBUKOTA BANGGAI KEPULAUAN
DARI BANGGAI KEPULAUAN KE SALAKAN SEJAK BERDIRINYA KABUPATEN
BANGGAI KEPULAUAN
Pemohon : Pemohon I :
Moch. Chair Amir.
Pemohon II :
1. Alwi M. Dg. Liwang; S.H., 2. Arpat Liato; 3. Frans L. Bukamo,
BBA; dkk.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten
Banggai Kepulauan terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pokok Perkara : Pasal 11 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten
Banggai Kepulauan mengenai ketentuan mengenai pemindahan
ibukota Banggai Kepulauan dari Banggai Kepulauan ke Salakan
sejak berdirinya Kabupaten Banggai Kepulauan bertentangan
dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (3), dan
Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 menyangkut hak penghormatan atas
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
yang masih hidup dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif dan tekanan darimana pun termasuk oleh pemerintah.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Tanggal Putusan : Kamis, 19 Juni 2008.
834 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon perkara Nomor 6/PUU-VI/2008 yakni Moch. Chair Amir (Pemohon
I) merupakan Tomundo/Ketua Umum Lembaga Musyawarah Adat Banggai (LMAB)
sebagai Pemohon Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Banggai dan Alwi M. Dg. Liwang,
S.H., Arpat Liato, Frans L. Bukamo, BBA, M. Tanjung, Rizal Arwi, Yatno Lagona, Hasdin
Mondika, Sri Siti Hardianti, Maryam Yusuf, Harsono Saidia, serta Arsid Musa (Pemohon
II) sebagai Pemohon perorangan warga negara Indonesia. para Pemohon mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan (UU 51/1999)
yang bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 28J ayat (1) UUD
1945.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dinyatakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah ialah menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar. Permohonan para Pemohon ialah mengenai
pengujian UU 51/1999 yang diundangkan pada tanggal 4 Oktober 1999 terhadap UUD
1945 yang berarti diundangkan sebelum Perubahan UUD 1945 tanggal 19 Oktober 1999.
Namun, karena Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (UU MK) yang menjadi penghalang bagi pengujian undang-undang yang
diundangkan sebelum Perubahan UUD 1945 oleh Mahkamah telah dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Nomor 066/PUU-II/2004,
maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan
a quo.
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon bahwa
syarat yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, serta sejak Putusan Nomor 006/
PUU-III/2005 dan Nomor 11/PUU-V/2007 serta putusan-putusan selanjutnya terdapat
lima syarat kerugian dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon. para Pemohon
mendalilkan mempunyai hak-hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yakni
pada Pasal 18B ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28H ayat (2), Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 28J ayat (1). Pemohon I dirugikan hak-hak
konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 11 UU 51/1999 yang berisi ketentuan mengenai
pemindahan Ibukota Banggai Kepulauan dari Banggai ke Salakan setelah jangka waktu
lima tahun sejak berdirinya Kabupaten Banggai Kepulauan, karena Pemohon I kehilangan
kesempatan dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya masyarakat
adat Banggai, merasa diperlakukan diskriminatif, dan berakibat timbulnya perpecahan
masyarakat Banggai Kepulauan antara yang pro Banggai dan yang pro Salakan.
Sedangkan, para Pemohon II sebagai perseorangan warga negara Indonesia, memang
benar para Pemohon memiliki hak-hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945,
namun kerugian yang mereka derita sebagai akibat berlakunya Pasal 11 UU 51/1999
bukanlah kerugian hak konstitusional, melainkan kerugian hak nansial sebagai Anggota
835 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
DPRD yang menolak pindah ke Salakan dan kerugian sebagai akibat tindak pidana
terkait penolakan mereka atas kepindahan Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dari
Banggai ke Salakan. Dengan demikian, untuk para Pemohon perseorangan tidak cukup
dipenuhi kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK
dan oleh karena itu, para Pemohon II tidak memiliki legal standing untuk mengajukan
permohonan a quo.
Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan dalam Pasal 11 UU 51/1999 tentang
pemindahan ibukota Banggai Kepulauan dari Banggai Kepulauan ke Salakan sejak
berdirinya Kabupaten Banggai Kepulauan menyebabkan para Pemohon dirugikan hak
konstitusionalnya dalam Pasal 18B ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945
yang menyangkut hak penghormatan atas kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya yang masih hidup dan hak untuk bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif dan tekanan darimana pun termasuk oleh pemerintah.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa UUD
1945 memang mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya, namun harus memenuhi empat syarat, yaitu sepanjang masih
hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dalam undang-undang [vide Pasal 18B ayat (2)
UUD 1945]. Kemudian Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 juga menegaskan bahwa Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras perkembangan zaman dan
peradaban; Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 31/PUU-V/2007
telah menentukan tolok ukur adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 51
ayat (1) huruf b UU MK, bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya yang bersangkutan secara de facto masih ada dan/atau hidup (actual
existence), apabila setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur ada masyarakat yang
warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling), ada pranata pemerintahan
adat, ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, ada perangkat norma hukum adat,
dan khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat
unsur wilayah hukum adat tertentu. Selain itu, suatu kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya dimaksud sesuai dengan perkembangan masyarakat
apabila keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai
pencerminan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-
undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan,
perikanan, dan lain-lain, maupun dalam peraturan daerah dan substansi hak-hak
tradisionalnya diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat hukum adat yang
bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan
hak asasi manusia. Serta, suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya dianggap sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
836 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
apabila tidak mengganggu eksistensi NKRI sebagai satu kesatuan politik dan kesatuan
hukum, yaitu: (i) keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI; dan
(ii) substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa pemekaran suatu daerah memang
dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun selain harus
sesuai dengan syarat dan mekanisme yang ada, pemekaran daerah hendaknya jangan
sampai justru menimbulkan masalah-masalah baru. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bawa proses pembentukan Kabupaten Banggai Kepulauan melalui UU
51/1999 sudah sesuai dengan syarat dan mekanisme yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bahwa adanya nama Banggai dan Salakan
sebagai calon Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan memang sudah sejak semula
direkomendasikan, sehingga ketika pembentuk undang-undang menentukan dalam
Pasal 10 ayat (3) UU 51/1999 bahwa Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan adalah
Banggai dan kemudian Pasal 11 UU 51/1999 menentukan bahwa setelah lima tahun
ibukota dipindahkan ke Salakan, bukanlah suatu tindakan yang inkonstitusional, meskipun
penentuan ibukota tersebut menimbulkan kontroversi tersendiri. Sedangkan pada saat
ini konik yang terjadi akibat pemindahan Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dari
Banggai ke Salakan secara bertahap telah dapat diselesaikan, termasuk adanya upaya
pemekaran lebih lanjut Kabupaten Banggai Kepulauan menjadi dua kabupaten. Dengan
demikian, permohonan para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.
837 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 7/SKLN-VI/2008
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PERMOHONAN SENGKETA KEWENANGAN ANTARA
BANK INDONESIA TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Pemohon : Dr. Ir. Burhanudin Abdullah, MA., selaku Gubernur Bank Indonesia.
Termohon : Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jenis Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.
Pokok Perkara : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Bank Indonesia
terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi menyangkut proses
pemanggilan dan penyidikan Gubernur Bank Indonesia.
Amar Putusan : Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon.
Tanggal Putusan : 18 Maret 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 7/SKLN-VI/2008 yakni Gubernur Bank Indonesia yang
diwakili oleh Dr. Ir. Burhanudin Abdullah, MA. memberikan Surat Kuasa Khusus tanggal
15 Februari 2008 kepada Aa Dani Saliswijaya, SH., MH., dkk. bertindak untuk dan atas
nama Pemohon untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara
antara Bank Indonesia terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi telah mendengar keterangan
Pemohon dalam Sidang Panel tanggal 21 Februari 2008 dan telah menerima surat dari
Kuasa Hukum Pemohon dengan Nomor 04/SWP/MK/III/08 bertanggal 5 Maret 2008
perihal Pencabutan Perkara Nomor 7/SKLN-VI/2008, dengan alasan bahwa berdasarkan
Surat Bank Indonesia Nomor 10/2/GBI/DHk tanggal 5 Maret 2008 pihak Bank Indonesia
meminta Kuasa Hukum untuk mencabut perkara a quo. Pada sidang Pemeriksaan
Pendahuluan tanggal 21 Februari 2008 Panel Hakim memberikan tiga alternatif terhadap
perkara a quo antara lain, untuk dicabut dan dicari saluran yang pas, diperbaiki, atau
tetap pada permohonan semula. Setelah diadakan diskusi dan penelitian lebih lanjut
838 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
maka yang disampaikan oleh Panel Hakim sangat beralasan dan dapat dimengerti
secara logika hukum, sehingga Kuasa Hukum Pemohon berkesimpulan untuk mencabut
perkara ini dan kemungkinan akan menempuh dengan jalan lain.
Mahkamah mengabulkan penarikan permohonan Pemohon karena penarikan
kembali permohonan perkara Nomor 7/SKLN-VI/2008 tersebut beralasan dan tidak
bertentangan dengan undang-undang dengan memperhatikan Pasal 35 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi (1) Pemohon dapat
menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi
dilakukan. (2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
permohonan tidak dapat diajukan kembali. Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU
Mahkamah Konstitusi tersebut menyebabkan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali
permohonan a quo. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan kepada Panitera untuk
mencatat penarikan kembali perkara Nomor 7/SKLN-VI/2008 dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi.
839 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 8/PUU-VI/2008
TENTANG
PEMBATASAN SYARAT PENCALONAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA
DAERAH SELAMA DUA KALI MASA JABATAN DALAM JABATAN YANG SAMA
Pemohon : Drs. H.M. Said Saggaf, M.Si.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok Perkara : Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah mengenai pembatasan syarat pencalonan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mengenai ketentuan
belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala
Daerah selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyangkut hak atas persamaan
kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Selasa, 6 Mei 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon perkara Nomor 8/PUU-VI/2008 bernama Drs. H.M. Said Saggaf, M.Si.
mengajukan permohonan pengujian Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) yang dinilai
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD
1945.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang ditegaskan kembali
dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Permohonan Pemohon adalah
840 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
mengenai pengujian Pasal 58 huruf o UU Pemda. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan a quo.
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon bahwa Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut UU MK) dan lima syarat mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 serta putusan-
putusan selanjutnya Mahkamah. Pemohon dalam permohonannya telah menjelaskan
kualikasinya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang akan mencalonkan diri
sebagai Kepala Daerah di Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat Periode 2008-
2013. Dengan demikian menurut Mahkamah, Pemohon dapat dikualikasikan sebagai
perorangan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU
MK. Pemohon dalam permohonannya mendalilkan mempunyai hak dan/atau kewenangan
konstitusional yang diberikan oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat
(2) UUD 1945. Pemohon yang menganggap dirinya dirugikan oleh adanya Surat dari
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertanggal 25 September 2007 Nomor 725/15/IX/2007
dan Surat dari Menteri Dalam Negeri bertanggal 5 September 2007 Nomor 100/1680/
OTDA (Mendagri), yang pada pokoknya sebagai berikut:
Pemohon, Drs. H.M. Said Saggaf. M.Si., pernah menjabat sebagai Bupati Bantaeng
periode tahun 1993-1998 dan Bupati Mamasa periode tahun 2003-2008, sehingga
yang bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai calon Kepala Daerah/Bupati
Mamasa periode tahun 2008-2013 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf o
UU Pemda juncto Pasal 38 ayat (1) huruf o Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2007 (Surat KPU);
Pemohon, Drs. H.M. Said Saggaf M.Si., pernah menjabat sebagai bupati di
Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Mamasa. Oleh karena yang bersangkutan
telah dua kali menjabat sebagai bupati, maka berdasarkan ketentuan Pasal 58 huruf
o UU Pemda juncto Pasal 38 ayat (1) huruf o Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pemohon H.M. Said Saggaf M.Si. tidak dapat
dicalonkan kembali sebagai Bupati di Kabupaten Mamasa (Surat Mendagri).
Menurut Pemohon Surat KPU dan Surat Mendagri tersebut di atas didasarkan pada
Pasal 58 huruf o UU Pemda yang berbunyi Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: o. belum
pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali
masa jabatan dalam jabatan yang sama. Dengan berlakunya Pasal 58 huruf o UU Pemda,
maka Pemohon tidak dapat mencalonkan diri kembali sebagai Bupati di Kabupaten
Mamasa periode 2008-2013. Berlakunya Pasal 58 huruf o UU Pemda yang menjadi
dasar Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan kemudian dijadikan rujukan, baik
oleh KPU maupun Mendagri dalam menetapkan kebijakan, telah ternyata menghalangi
Pemohon untuk mencalonkan diri kembali sebagai Bupati Mamasa, sehingga anggapan
841 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon tentang kerugian hak konstitusionalnya sebagaimana didalilkan prima facie
dapat diterima. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat Pemohon memenuhi syarat
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian UU Pemda
terhadap UUD 1945.
Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 58 huruf o UU Pemda tentang pembatasan
syarat pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mengenai ketentuan belum
pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama dua kali masa
jabatan dalam jabatan yang sama merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD
1945, yakni hak atas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan.
Dalam pertimbangan hukumnya, bunyi Pasal 58 huruf o UU Pemda juncto Pasal
38 huruf o Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(selanjutnya disebut PP Nomor 6 Tahun 2005) beserta penjelasannya bahwa syarat
jabatan untuk dapat mencalonkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah lebih
menekankan pada frasa belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil
kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, baik
di daerah yang sama atau di daerah lain. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
Pemohon sebagai warga negara mempunyai hak konstitusional untuk ikut serta dalam
pemerintahan, in casu untuk menjadi bupati. Akan tetapi, hak konstitusional demikian
dapat dibatasi menurut Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dalam kaitan dengan jabatan kepala daerah,
pembatasan dimaksud dapat diimplementasikan oleh undang-undang dalam bentuk:
(i) pembatasan dua kali berturut-turut dalam jabatan yang sama, atau (ii) pembatasan
dua kali dalam jabatan yang sama tidak berturut-turut, atau (iii) pembatasan dua kali
dalam jabatan yang sama di tempat yang berbeda. Oleh karena pembatasan dimaksud
terbuka bagi pembentuk undang-undang sebagai pilihan kebijakan, maka hal demikian
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya, jika pembatasan demikian dianggap
bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, sehingga pasal
yang bersangkutan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka
tidak akan ada lagi pembatasan. Padahal, pembatasan demikian justru diperlukan dalam
rangka mewujudkan penyelenggaraan prinsip demokrasi dan pembatasan kekuasaan
yang justru menjadi spirit UUD 1945.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 58 huruf o UU Pemda
harus dipahami mengatur syarat untuk menduduki suatu jabatan sebagai Kepala Daerah
dan Wakil Kepada Daerah. Sedangkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD
842 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
1945 mengatur ketentuan yang mengenai persamaan kedudukan warga negara di dalam
hukum dan pemerintahan. Oleh karena itu setiap warga negara yang memenuhi syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU Pemda, khususnya huruf o, harus diperlakukan
sama untuk menduduki jabatan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pengertian diskriminasi dalam Pasal
1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi,
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku,
ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 58
huruf o UU Pemda yang mengatur mengenai syarat untuk menduduki jabatan sebagai
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang menentukan syarat pernah menjabat
dua kali sebagai kepala daerah tidak ada kaitannya dengan Pasal 28I ayat (2) UUD
1945. Pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU Pemda, khususnya huruf o,
dapat saja dilakukan sepanjang hal tersebut ditetapkan dengan undang-undang berlaku
terhadap semua orang tanpa pembedaan, sehingga tidak dapat dipandang sebagai
diskriminatif. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa jikapun Pemohon merasa
menderita kerugian akibat adanya Surat KPU dan Surat Mendagri sebagaimana yang
didalilkan dalam permohonan a quo, maka forum penyelesaiannya bukan di Mahkamah
Konstitusi, melainkan di peradilan dalam lingkungan Mahkamah Agung. Oleh karenanya,
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Pemohon.
843 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR KETETAPAN
PERKARA NOMOR 9/PUU-VI/2008
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 45 TAHUN 2007 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008
Pemohon : 1. Prof. Dr. H. Mohammad Surya, 2. H. M. Rusli Yunus, 3. Ir. Abdul
Azis Hoesein, Meng. Sc., Dipl. HE.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 terhadap
Undang-Undang Dasar 1945
Pokok Perkara : Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 bertentangan
dengan UUD 1945 .
Amar Putusan : Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon.
Tanggal Putusan : 6 Mei 2008.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohon perkara Nomor 9/PUU-VI/2008 yakni Prof. Dr. H. Mohammad Surya
adalah Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, H. M. Rusli Yunus dan Ir. Abdul Azis Hoesein,
Meng. Sc., Dipl. HE. adalah Ketua Pengurus Besar PGRI. para Pemohon mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 yang dinilai bertentangan dengan
UUD 1945.
Dalam Sidang Panel tanggal 9 April 2008, Mahkamah Konstitusi telah mendengar
keterangan para Pemohon untuk pemeriksaan perbaikan permohonan.
Pada tanggal 28 Maret 2008, para Pemohon dan kuasa hukumnya Dr. A. Muhammad
Asrun, S.H., M.H. dan Bachtiar Sitanggang, S.H. masing-masing menyampaikan surat
yang isinya adalah pengajuan permohonan penarikan kembali perkara Nomor 9/PUU-
844 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
VI/2008, dengan alasan karena adanya perubahan substansi terhadap Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2008 dengan telah disetujuinya oleh DPR mengenai RUU tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2008.
Dalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 5 Mei 2008, Hakim berpendapat
bahwa permohonan penarikan kembali para Pemohon cukup beralasan dan tidak
bertentangan dengan hukum sehingga harus dikabulkan.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon dengan mem-
perhatikan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi), yang berbunyi (1) Pemohon
dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah
Konstitusi dilakukan. (2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali. Berdasarkan ketentuan Pasal
35 UU Mahkamah Konstitusi tersebut menyebabkan Pemohon tidak dapat mengajukan
kembali permohonan a quo. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan kepada Panitera
untuk mencatat penarikan kembali perkara Nomor 9/PUU-VI/2008 dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi.
845 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 10/PUU-VI/2008
TENTANG
SYARAT DOMISILI BAGI CALON ANGGOTA DPD
Pemohon : A. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Pemohon I);
B. Perorangan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia (Pemohon II), bernama: (1) Dra. Hj. Mediati Hafni
Hanum, S.H.; (2) Lundu Panjaitan, S.H.; (3) Dr. Mochtar Naim;
(4) Drs. H. Soemardhi Thaher; (5) Muhammad Nasir; (6)
Ir. Ruslan; (7) Muspani, S.H.; (8) Hariyanti Syafrin, S.H.; (9)
Fajar Fairy S.H.; (10) Benny Horas Panjaitan; (11) Biem Triani
Benjamin; (12) KH. Sofyan Yahya, M.A.; (13) Drs. Sudharto,
M.A.; (14) Drs. Ali Warsito; (15) KH. A. Mujib Imron S.H.; (16)
R. Renny Pudjiati; (17) I Wayan Sudirta, S.H.; (18) H. Lalu
Abd. Muhyi Abidin, S.Ag.; (19) Joseph Bona Manggo; (20)
Sri Kadarwati; (21) Prof. KMA. M. Usop, M.A.; (22) Drs. H.
Muhamad Ramli; (23) Drs. Nursyamsa Hadis; (24) Marhany
Victor Poly Pua; (25) Drs. Roger Tobigo; (26) Ir. Abdul Aziz
Qahar M; (27) Drs. Pariama Mbyo, S.H.; (28) Prof. Dr. H. Nani
Tuloli; (29) Midin B.L., S.H.; (30) Ishak Pamumbu Lambe; (31)
Anthony Charles Sunarjo; (32) Tonny Tesar; (33) Drs. Wahidin
Ismail.
C. Perorangan warga negara Indonesia (Pemohon III), bernama:
(1) Hadar Nas Gumay; (2) Dr. Saafroedin Bahar; (3) Sulastio;
(4) Sebastianus KM Salang.
D. Perorangan yang tinggal di provinsi tertentu (Pemohon IV),
bernama: (1) Hariyono, S.P.; (2) Drs. Welky Karauwan, M.Si.;
(3) Hartono; (4) Ahmad Wali S.H.; (5) TB. A. Oman Jahid
Sulman, SC.; (6) Abdul Salim Ali Siregar; (7) Musriadi; (8)
Zulkar; (9) Karno Miko Sergye Rumondor; (10) Marhendi WH;
(11) Fauzan Azima, S.H.; (12) H.A. Syafei; (13) Natanael Mok.
846 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU
Pemilu) terhadap UUD 1945.
Pokok Perkara : 1. Penghilangan norma konstitusi dalam UU Pemilu.
2. Ketiadaan syarat domisili dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan
Pasal 67) bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) UUUD
1945 mengenai pengaturan bahwa anggota DPD dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum.
3. Ketiadaan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu (Pasal 22 dan
Pasal 67) bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
yang menyatakan bahwa peserta pemilihan umum anggota
DPD adalah perseorangan.
Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon I (DPD) dan Pemohon II
(Anggota DPD) untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Selasa, 1 Juli 2008
Ikhtisar Putusan :
Berkenaan dengan dalil Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa desain
konstitusional DPD sebagai organ konstitusi adalah (i) DPD merupakan representasi
daerah (territorial representation) yang membawa dan memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan daerah dalam kerangka kepentingan nasional; (ii) keberadaan DPR dan
DPD dalam sistim ketatanegaraan Indonesia yang seluruh anggotanya menjadi anggota
MPR bukanlah berarti bahwa sistim perwakilan Indonesia menganut sistim perwakilan
bikameral; (iii) meskipun kewenangan konstitusional DPD terbatas, namun dari seluruh
kewenangannya di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan pertimbangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, kesemuanya terkait dan berorientasi
kepada kepentingan daerah yang harus diperjuangkan secara nasional; (iv) bahwa
sebagai representasi daerah dari setiap provinsi, anggota DPD dipilih melalui Pemilu dari
setiap provinsi dengan jumlah yang sama, berdasarkan pencalonan secara perseorangan,
bukan melalui Partai, sebagai peserta Pemilu.
Mengenai legal standing Mahkamah menilai sebagian Pemohon, yaitu (lembaga)
DPD dan Anggota DPD memilikinya. Sehingga Mahkamah akan mempertimbangkan
pokok permohonan.
Pokok permohonan para Pemohon adalah mengenai konstitusionalitas Pasal 12 UU
10/2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili dan non-Parpol bagi calon anggota
DPD, serta Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak memuat ketentuan perlunya Kartu Tanda
Penduduk (KTP) di provinsi yang akan diwakilinya dan bukti keterangan non-Parpol bagi
kelengkapan syarat calon anggota DPD. Dengan demikian, yang dimohonkan pengujian
oleh para Pemohon adalah ketiadaan norma syarat domisili dan non-Parpol dalam Pasal
12 dan Pasal 67 UU 10/2008, bukan norma yang dirumuskan secara eksplisit dalam
847 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
pasal, ayat, atau bagian dari suatu undang-undang.
Mengenai tidak tercantumkannya syarat domisili bagi calon peserta Pemilu
dewan perwakilan, Mahkamah berpendapat bahwa syarat berdomisili di provinsi yang
diwakilinya bagi calon anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit melekat
pada ketentuan Pasal 22C ayat (1) yang berbunyi, Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum dan Pasal 22C ayat (2) yang berbunyi,
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah
seluruh Anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. Sehingga, seharusnya norma konstitusi yang bersifat implisit
tersebut dicantumkan sebagai norma yang secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 12
dan Pasal 67 UU 10/2008 sebagai syarat bagi calon anggota DPD. Sebagai akibatnya,
Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak memuat secara eksplisit ketentuan yang
demikian, harus dipandang inkonstitusional.
Mengenai tidak disebutnya syarat non-Parpol bagi calon peserta Pemilu dewan
perwakilan, Mahkamah berpendapat bahwa syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD
bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD
1945 yang berbunyi, Peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan. Kandungan norma yang tercantum dalam Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945 adalah bahwa untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD,
perseorangan harus mencalonkan dirinya sendiri sebagai peserta Pemilu, bukan
dicalonkan oleh Parpol. Hal itu berbeda dengan calon Anggota DPR, perseorangan
yang ingin menjadi Anggota DPR harus dicalonkan oleh Parpol yang merupakan peserta
Pemilu. Dengan demikian, syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD bukanlah norma
konstitusi yang bersifat implisit melekat pada istilah perseorangan dalam Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945, sehingga juga tidaklah mutlak harus tercantum dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008, sebagaimana pernah dicantumkan dalam UU 12/2003, atau berarti
bersifat fakultatif.
Selanjutnya, Mahkamah juga mempertimbangkan apakah ketiadaan suatu norma
konstitusi yang seharusnya dimuat dalam UU 10/2008 dapat dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya? Menurut Mahkamah, apabila mengacu kepada Pasal 51 ayat
(3) huruf b UU MK, memang tidak mungkin untuk diajukan permohonan pengujian.
Karena, permohonan yang demikian akan dianggap kabur (obscuur libel), tidak jelas,
yang berakibat permohonan tidak dapat diterima sebagaimana ditentukan dalam Pasal
56 ayat (1) UU MK.
Namun demikian, Mahkamah dapat juga menyatakan bahwa suatu pasal, ayat, dan/
atau bagian undang-undang yang tidak memuat suatu norma konstitusi yang implisit
melekat pada suatu pasal konstitusi yang seharusnya diderivasi secara eksplisit dalam
rumusan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang, oleh Mahkamah dapat dinyatakan
sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau inkonstitusional
bersyarat (conditionally unconstitutional).
848 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Setelah memberikan pertimbangan, Mahkamah memutuskan untuk.
- Mengabulkan permohonan Pemohon I (DPD) dan Pemohon II (Anggota DPD) untuk
sebagian;
- Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4277) tetap konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang
akan diwakili;
- Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4277) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai memuat
syarat domisili di provinsi yang akan diwakili;
- Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk selebihnya;
- Menyatakan permohonan Pemohon III dan Pemohon IV tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard);
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
Pendapat Berbeda:
Terhadap putusan Mahkamah tersebut, empat orang Hakim Konstitusi mempunyai
pendapat berbeda (dissenting opinions). Menurut dissenter, tidak terdapat kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon sebagai akibat berlakunya Pasal
12 dan Pasal 67 UU Pemilu, sehingga permohonan a quo seharusnya dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Sementara hakim dissenter lain berpendapat para Pemohon memenuhi syarat
sebagai subjek hukum yang mempunyai hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk
mengajukan permohonan pengujian undang-undang sebagaimana ditetapkan oleh Pasal
51 UU MK. Namun dalam hubungannya dengan pasal yang diuji dapat disimpulkan bahwa:
(i) pasal-pasal a quo tidak mempunyai hubungan yang bersifat causal verband terhadap
hal-hal yang dikhawatirkan terjadi tetapi hanya mempunyai hubungan dalam derajat
kemungkinan dapat menimbulkan pengaruh yang negatif sebagaimana dikhawatirkan
para Pemohon, yang mungkin juga pengaruh tersebut dapat positif; (ii) para Pemohon
tidak dapat membatasi secara pasti apa yang dimaksudkan dengan kepentingan daerah
yang menjadi hak/atau kewenangan para Pemohon sehingga karenanya tidak dapat juga
ditetapkan kerugian kepentingan daerah apa yang akan diderita oleh para Pemohon.
Dengan demikian, seharusnya Mahkamah menolak permohonan para Pemohon.
849 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 11/PUU-VI/2008
TENTANG
KONSTITUSIONALITAS OTONOMI DAERAH DI TINGKAT PROVINSI
PADA PROVINSI DKI JAKARTA
Pemohon : H. Biem Benjamin, B.Sc., M.M.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) dan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU
29/2007).
Pokok Perkara : - Pasal 227 ayat (2) UU 32/2004 yang menyatakan bahwa dalam
wilayah administrasi daerah otonom Provinsi DKI Jakarta tidak
dibentuk daerah yang berstatus otonom;
- Pasal 19 ayat (2) UU 29/2007 mengenai walikota/bupati adalah
pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan, dan diangkat
oleh Gubernur dengan pertimbangan DPRD Provinsi DKI
Jakarta;
- Pasal 19 ayat (3) UU 29/2007 mengenai walikota/bupati
diberhentikan oleh Gubernur berdasar ketentuan peraturan
perundang-undangan;
- Pasal 19 ayat (4) UU 29/2007 mengenai walikota/bupati
bertanggung jawab kepada Gubernur;
- Pasal 19 ayat (6) UU 29/2007 mengenai wakil walikota/wakil
bupati diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi
persyaratan;
- Pasal 19 ayat (7) UU 29/2007 mengenai wakil walikota/wakil
bupati diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur berdasar
ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Pasal 19 ayat (8) UU 29/2007 mengenai wakil walikota/wakil
850 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
bupati bertanggung jawab kepada walikota/bupati;
- Pasal 24 ayat (1) UU 29/2007 mengenai pembentukan dewan
kota/dewan kabupaten untuk membantu walikota/bupati dalam
penyelenggaraan pemerintahan;
- Pasal 24 ayat (2) UU 29/2007 mengenai keanggotaan dewan
kota/dewan kabupaten terdiri dari tokoh-tokoh yang mewakili
masyarakat dengan komposisi satu kecamatan satu wakil;
- Pasal 24 ayat (3) UU 29/2007 mengenai anggota dewan kota/
dewan kabupaten diusulkan oleh masyarakat dan disetujui
oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta untuk selanjutnya ditetapkan
oleh Gubernur;
- Pasal 24 ayat (4) UU 29/2007 mengenai pengaturan lebih lanjut
mengenai susunan, jumlah, kedudukan, tata kerja dan tata cara
pemilihan keanggotaan dewan kota/dewan kabupaten dalam
peraturan daerah;
bertentangan dengan
- Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 mengenai dibaginya Negara
Kesatuan Republik Indonesia atas daerah-daerah provinsi dan
kabupaten/kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah;
- Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 mengenai pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan;
- Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 mengenai pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum;
- Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 mengenai pemilihan secara
demokratis untuk gubernur, bupati, dan walikota sebagai
kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota;
- Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mengenai bersamaan kedudukan
segala warga negara dalam hukum dan pemerintahan dan
kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya;
- Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 mengenai hak warga negara untuk
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan;
- Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 mengenai hak setiap orang
untuk bebas dan mendapat perlindungan dari perlakuan
diskriminatif.
851 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan : Selasa, 5 Agustus 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon Biem Benjamin, B.Sc., M.M., adalah warga negara Indonesia yang
menjabat sebagai Anggota DPD RI. Pemohon mengajukan pengujian Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 29 Tahun
2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK,
salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap
UUD 1945. Karena permohonan a quo adalah mengenai pengujian UU 32/2004 dan UU
29/2007 terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus permohonan dimaksud.
Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya menyatakan bahwa yang dapat
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD
1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu (a) perorangan warga negara
Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); (b) kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang; (c) badan hukum publik atau privat; atau (d) lembaga negara.
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51
ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu (a) ada hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; (b) hak dan/atau kewenangan
konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian; (c) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesik
(khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang berdasarkan penalaran
yang wajar dipastikan akan terjadi; (d) ada hubungan sebab-akibat (causal verband)
antara kerugian yang dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian; (e) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Mahkamah menilai Pemohon memenuhi syarat sebagai subjek hukum dalam
pengujian UU 32/2004 dan UU 29/2007 terhadap UUD 1945, karena Pemohon adalah
perorangan warga negara Indonesia yang menduduki jabatan sebagai Anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia.
Pemohon mendalilkan mempunyai hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945, yang antara lain tercantum dalam: (a) Pasal 1 ayat (2); (b)
852 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal 18 ayat (1); (c) Pasal 18 ayat (2); (d) Pasal 18 ayat (3); (e) Pasal 18 ayat (4); (f)
Pasal 27 ayat (1); (g) Pasal 28D ayat (3); dan (h) Pasal 28I ayat (2).
Menurut Pemohon, berlakunya Pasal 227 ayat (2) UU 32/2004 dan Pasal 19 ayat
(2), (3), (4), (6), (7), dan (8) serta Pasal 24 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU 29/2007 telah
merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena sebagai penduduk
Provinsi DKI Jakarta, hanya berhak memilih dan dipilih sebagai (i) Anggota DPR, (ii)
anggota DPD, (iii) Presiden dan Wakil Presiden, (iv) Anggota DPRD provinsi dan (v)
Gubernur.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon
mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.
Pemohon memohon agar Mahkamah memberikan putusan (i) mengabulkan
permohonan Pemohon untuk seluruhnya; (ii) menyatakan bertentangan dengan UUD
1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Pasal 227 ayat (2) UU 32/2004;
(iii) menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, UU 29/2007 Pasal 19 ayat (2), Pasal 19 ayat (3), Pasal 19 ayat (4), dan Pasal
19 ayat (6), Pasal 19 ayat (7), Pasal 19 ayat (8), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (2),
Pasal 24 ayat (3), dan Pasal 24 ayat (4).
Selanjutnya Mahkamah berpendapat, perbedaan potensi, kemampuan daerah
serta kekhususan ekonomi, budaya, dan wilayah maupun adanya daerah-daerah yang
memiliki asal-usul yang bersifat istimewa, yang masing-masing memiliki peran dan
kontribusi yang berbeda dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Pasal 18B
UUD 1945 memberi kemungkinan untuk melakukan pengaturan secara tersendiri dari
ketentuan Pasal 18 UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan, telah dibentuk UU 32/2004. Susunan pemerintahan daerah yang
ditentukan terdiri atas: (a) Pemerintahan Daerah Provinsi yang terdiri atas pemerintah
daerah provinsi dan DPRD provinsi; (b) pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri
atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota [Pasal 3 ayat (1) UU
32/2004].
Untuk Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, karena kedudukannya sebagai Ibukota
Negara Republik Indonesia, diatur dengan undang-undang tersendiri dengan status
sebagai daerah otonom. Dalam wilayah administrasi tersebut tidak dibentuk daerah yang
berstatus otonom [Pasal 227 ayat (1) dan (2) UU 32/2004]. Dengan demikian DKI Jakarta
sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, di samping tunduk pada UU 32/2004
sebagai ketentuan umum tentang Pemerintahan Daerah juga diatur secara khusus dalam
undang-undang tersendiri yaitu UU 29/2007, yang mempunyai landasan konstitusional
Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.
853 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon mendalilkan bahwa kekhususan sebagai ibukota negara yang
menyebabkan dibenarkannya otonomi hanya pada Provinsi DKI Jakarta tidak sesuai
dengan prinsip kaidah hukum yang bersifat khusus (lex specialis) boleh berbeda dengan
undang-undang yang bersifat umum (lex generalis). Hal itu oleh Pemohon dianggap
bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 18 ayat (1) dan (2).
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 merupakan
aturan yang bersifat umum yang mengatur desentralisasi dan pembagian daerah otonom
pada umumnya yang membagi Negara Republik Indonesia atas daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten/kota, yang masing-masing mempunyai
pemerintahan daerah dengan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Ahli Pemohon (Bhenyamin Hoessein) berpendapat bahwa Pasal 18 ayat (1) UUD
1945, dalam hubungannya dengan pelaksanaan otonomi di wilayah Jakarta, menghendaki
terdapatnya hierarki daerah otonom yang tidak dapat disimpangi oleh daerah istimewa
dan daerah otonom yang bersifat khusus.
Mahkamah berpendapat bahwa pengaturan secara khusus demikian bukan
didasarkan pada Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, melainkan pada Pasal 18B
ayat (1) UUD 1945. Kedudukan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) dengan Pasal 18B UUD
1945 berada dalam posisi yang setara dan mempunyai kekuatan mengikat mandiri secara
sama, menyebabkan tidak relevan untuk mempertentangkan diletakkannya otonomi DKI
Jakarta hanya pada tingkat provinsi, dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Lagi pula kedudukan Jakarta, yang semula hanya merupakan satu kota besar (raya),
tidak akan memiliki persoalan konstitusional apapun, seandainya hanya diberi kedudukan
Kota-Raya Daerah Khusus Ibukota.
Karena kekhususan dan kedudukannya sebagai ibukota negara, dan dalam
hubungannya dengan Pemerintah Pusat, maka dipandang perlu memberikan status atau
kedudukan kepala daerah dan daerahnya setingkat provinsi yang dipimpin oleh seorang
Gubernur. Jadi, kekhususan Jakarta tidak harus dilihat dari Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD
1945 yang mewajibkan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten/kota yang otonom,
melainkan harus dilihat sebagai pelaksanaan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena
itu, untuk menyusun pemerintahan DKI Jakarta, yang mempunyai daerah-daerah di
bawahnya, tidak selalu harus dalam bentuk daerah otonom yang bertingkat, melainkan
harus disesuaikan dengan kebutuhan Jakarta sendiri sebagai daerah khusus.
Pemohon menyatakan bahwa pengaturan yang meletakkan otonomi DKI Jakarta
hanya pada tingkat provinsi saja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 227 ayat (2)
UU 32/2004, merupakan perlakuan yang diskriminatif terhadap warga Jakarta. Warga
dirugikan haknya untuk dipilih dan memilih, karena pilihan hanya terbatas pada Anggota
DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPRD provinsi dan Gubernur.
Pemohon menganggap hal ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
854 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Mahkamah tidak sependapat dengan dalil demikian. Tidak adanya hak Pemohon
untuk dipilih sebagai walikota di DKI Jakarta, dan tidak adanya hak warga Jakarta untuk
memilih Anggota DPRD kotamadya/kabupaten di DKI Jakarta, tidak dapat dianggap
sebagai diskriminasi, karena hal tersebut berlaku sama untuk semua warga negara tanpa
pengecualian atau pembedaan.
Pemberian otonomi terbatas pada tingkat Provinsi DKI Jakarta tidak relevan pula
untuk dianggap sebagai perlakuan yang berbeda (unequal treatment) yang dapat
menimbulkan kerugian konstitusional warga karena tidak dapat dipilih dan memilih
bupati/walikota dan Anggota DPRD kabupaten/kota di Jakarta. Kerugian demikian hanya
mungkin timbul manakala jabatan bupati/walikota dan Anggota DPRD kabupaten/kota
yang dipilih langsung oleh rakyat memang ada di Jakarta, namun ada warga tertentu
yang dihalangi haknya untuk dipilih dan/atau memilih. Oleh karena pengaturan secara
khusus DKI Jakarta dalam UU 32/2004 dan UU 29/2007 meletakkan otonomi hanya pada
tingkat provinsi, maka tidak ada warga yang kehilangan haknya untuk dipilih dan/atau
memilih.
Mahkamah juga menilai tidak tepat dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal
227 ayat (2) UU 32/2004 dan Pasal 19 dan Pasal 24 UU 29/2007 bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pengaturan yang meletakkan otonomi DKI Jakarta hanya di
tingkat provinsi menyebabkan tidak diperlukannya pemilihan bupati/walikota dan DPRD
kabupaten/kota secara langsung oleh rakyat di wilayah Jakarta. Hal demikian sama sekali
tidak mempunyai implikasi terhadap kesamaan kedudukan warga negara di hadapan
hukum dan pemerintahan. Semua warga negara berhak untuk dipilih dan/atau memilih
dalam jabatan pemerintahan yang ada dalam sistim ketatanegaraan Indonesia tanpa
kecuali, sepanjang syarat-syarat untuk itu dipenuhi. Menurut Mahkamah, pengaturan
demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah menarik kesimpulan bahwa (i) pengaturan yang meletakkan otonomi di
DKI Jakarta hanya pada tingkat provinsi, yang berbeda dengan otonomi daerah pada
umumnya di Indonesia berdasarkan Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7) UUD
1945, adalah konstitusional berdasarkan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945; (ii) Pasal 227
ayat (2) UU 32/2004 dan Pasal 19 ayat (2), (3), (4), (6), (7), dan (8), serta Pasal 24 ayat
(1), (2), (3), dan (4) UU 29/2007 tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sebagaimana
didalilkan Pemohon; (iii) Permohonan Pemohon tidak beralasan, sehingga oleh karenanya
permohonan harus ditolak.
Dari kesimpulan di atas, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon ditolak
untuk seluruhnya.
855 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 12/PUU-VI/2008
TENTANG
KETENTUAN PERALIHAN DALAM UU PEMILU
Pemohon : 1. Partai Persatuan Daerah (PPD); 2. Partai Perhimpunan Indonesia
Baru (PPIB); 3. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK); 4.
Partai Patriot Pancasila; 5. Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD);
6. Partai Sarikat Indonesia (PSI); 7. Partai Merdeka.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 10/2008).
Pokok Perkara : 1. Pasal 316 huruf d UU 10/2008 yang menyatakan bahwa
partai politik peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi syarat
berdasar Pasal 315 masih berhak mengikuti Pemilu 2009 jika
memiliki kursi di DPR. Pasal ini didalilkan bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara Hukum.
2. Pasal 316 huruf d UU 10/2008 yang menyatakan bahwa
partai politik peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi syarat
berdasar Pasal 315 masih berhak mengikuti Pemilu 2009 jika
memiliki kursi di DPR. Pasal ini didalilkan bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai hak setiap orang atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil.
3. Pasal 316 huruf d UU 10/2008 yang menyatakan bahwa
partai politik peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi syarat
berdasar Pasal 315 masih berhak mengikuti Pemilu 2009 jika
memiliki kursi di DPR. Pasal ini didalilkan bertentangan dengan
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang
untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun
856 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
dan hak untuk mendapatkan perlindungan atas perlakuan
diskriminatif.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan.
Tanggal Putusan : Kamis, 10 Juli 2008.
Ikhtisar Putusan :
Para Pemohan adalah partai politik yang telah mendapatkan status sebagai badan
hukum dari Departemen Hukum dan HAM. Sesuai dengan akta pendirian dan anggaran
dasarnya, Pemohon adalah badan hukum yaitu partai politik; dan telah menjelaskan
tujuan pembentukan masing-masing.
Pemohon mendalilkan bahwa hak dan/atau kewenangan konsitusionalnya sebagai
partai politik untuk mengikuti Pemilihan Umum, sebagaimana dijamin oleh Pasal 22E
ayat (3) UUD 1945 telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 316 huruf d UU 10/2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kerugian yang timbul adalah Pemohon tidak bisa
mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, yakni pada Pemilihan Umum 2009, sebagai akibat
adanya ketentuan pasal a quo yang sewenang-wewenang dan bersifat diskriminatif.
Pasal 316 huruf d UU 10/2008 dimaksud berbunyi Partai Politik Peserta Pemilu
2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan
ketentuan:
a. ...;
b. ...;
c. ...; atau
memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau.
Pemohon, sebagai partai yang pada Pemilu lalu memiliki suara di bawah electoral
threshold dan tidak memiliki kursi di DPR merasa dirugikan. Kerugian ini muncul karena
partai lain yang pada Pemilu lalu juga tidak memenuhi electoral threshold, namun memiliki
kursi di DPR, diperbolehkan ikut Pemilu yang akan datang (2009) tanpa verikasi Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Sementara partai Pemohon harus mengikuti tahap verikasi
KPU.
Terhadap permohonan ini Mahkamah memiliki kewenangan untuk memeriksa dan
mengadili permohonan ini, karena objek permohonan hak uji ini adalah UU 10/2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Menurut Mahkamah, meskipun hak-hak konstitusional yang didalilkan oleh para
Pemohon tersebut perumusannya dalam UUD 1945 dimulai dengan frasa, Setiap warga
negara atau Setiap orang, tetapi dengan merujuk Putusan Mahkamah Nomor 16/PUU-
V/2007 tanggal 23 Oktober 2007, berlaku juga untuk badan hukum; in casu Parpol-Parpol
yang menjadi para Pemohon dalam permohonan a quo.
857 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pembentuk undang-undang, yaitu DPR dengan persetujuan bersama Pemerintah,
melalui UU 10/2008 telah mengubah prinsip electoral threshold yang dianut oleh UU No.
12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2003) dengan
prinsip parliamentary threshold.
Berdasarkan prinsip parliamentary threshold sebagaimana dianut dalam Pasal 202
ayat (1) UU 10/2008, berlaku ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 ayat
(2) UU 10/2008, yaitu Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat
menjadi Peserta Pemilu berikutnya. Hanya saja, agar dapat mendudukkan wakilnya di
DPR, Parpol Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimal
2,5% (dua koma lima per seratus) dari jumlah suara sah secara nasional sebagaimana
dimaksud Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008.
Untuk mengatur masa transisi akibat perubahan dari electoral threshold ke
parliamentary threshold, UU 10/2008 melalui Ketentuan Peralihan (Bab XXIII) dalam
Pasal 315 dan Pasal 316 menentukan Parpol Peserta Pemilu tahun 2004 yang dapat
menjadi peserta Pemilu sesudah tahun 2004 (antara lain) memiliki kursi di DPR RI hasil
Pemilu 2004, meskipun tidak memenuhi electoral threshold.
Terhadap hal tersebut Mahkamah berpendapat Pasal 316 huruf d UU 10/2008 tidak
jelas ratio legis dan konsistensinya sebagai pengaturan masa transisi dari prinsip electoral
threshold ke prinsip parliamentary threshold yang ingin diwujudkan melalui Pasal 202 UU
10/2008.
Menurut Mahkamah Parpol-Parpol Peserta Pemilu 2004, baik yang memenuhi
ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008 maupun yang tidak memenuhi, sejatinya
mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak
memenuhi electoral threshold, sebagaimana dimaksud baik oleh Pasal 9 ayat (1) UU
12/2003 maupun oleh Pasal 315 UU 10/2008.
Mahkamah menegaskan bahwa Pasal 316 huruf d UU 10/2008 merupakan ketentuan
yang memberikan perlakuan yang tidak sama dan menimbulkan ketidakpastian hukum
(legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) terhadap sesama Parpol Peserta Pemilu
2004 yang tidak mememenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10/2008.
Oleh karena itu Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan;
Menyatakan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan Pasal 316
huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran
858 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
dan Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
859 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 13/PUU-VI/2008
TENTANG
INKONSTITUSIONALITAS PROSENTASE ANGGARAN PENDIDIKAN
DALAM UU APBN-P TAHUN 2008
Pemohon : (1) Prof. Dr. H. Mohammad Surya; (2) H. M. Rusli Yunus; (3) Ir.
Abdul Azis Hoesein, MEngSc, Dipl.HE; (4) Drs. Ramli Rasjid M.Si.,
M.Pd.; (5) Tamrin, S.Pd.; (6) Drs. H. Gusrizal, M.Pd.; (7) Ef Herman,
S.Pd.; (8) Zambi Akil, S.Pd.; (9) Drs. Aidil Fitrisyah; (10) Drs. Izhar
Matrian, M.M.; (11) Drs. Wahyo Pradono, M.M.; (12) Muhammad
Sibromulisi; (13) Sahiri Hermawan, S.H., M.H.; (14) Drs. Soedharto,
M.A.; (15) Drs. H. Sugito, M.Si.; (16) Drs. H. Matadjit, M.M.; (17) Drs.
Igd Wentan Aryasula, M.Pd.; (18) Drs. H.M. Ali H. Arahim; (19) Drs.
Ocro Ouwpoly; (20) Laspindo, S.Pd.; (21) Sutomo Aris Wijayanto,
S.Pd.; (22) M. Ali Daud; (23) Drs. H. Dahri; (24) Drs. H. Muhammad
Asmin, M.Pd.; (25) Drs. H. Muslimin, M.M.; (26) Drs. Laode Parisa
Syalik; (27) Dra. Hj. Z. Mentemas Jusuf; (28) Saparun Sitaniase;
(29) Eliseus Fasak.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008.
Pokok Perkara : Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 sepanjang
menyangkut anggaran pendidikan, bertentangan dengan Pasal
31 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen)
dari APBN serta dari APBD.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan.
Tanggal Putusan : Rabu, 13 Agustus 2008.
860 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Ikhtisar Putusan :
Dua puluh sembilan Pemohon yang mengajukan permohonan ini, antara lain adalah
Pengurus Besar PGRI, pengawas sekolah, dan guru-guru. Pemohon mendalilkan bahwa
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008
(UU 16/2008) sepanjang yang menyangkut anggaran pendidikan bertentangan dengan
Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.
Berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon, Mahkamah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat
(1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: (a) ada hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; (b) hak dan/atau kewenangan
konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian; (c) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesik
(khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang berdasarkan penalaran
yang wajar dipastikan akan terjadi; (d) ada hubungan sebab-akibat (causal verband)
antara kerugian yang dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian; dan (e) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan,
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Berdasarkan penjelasan para Pemohon, Mahkamah menilai para Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian UU 16/2008.
Mahkamah juga menyatakan memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus permohonan a quo karena permohonan adalah pengujian undang-undang,
in casu UU 16/2008, terhadap UUD 1945.
Persoalan dalam permohonan a quo adalah mengenai konstitusionalitas UU 16/2008
yang dianggap para Pemohon bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 karena
anggaran untuk bidang pendidikan yang dicantumkan kurang dari 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja negara.
Mahkamah telah empat kali memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan
pengujian Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sejak 2005. Hal
tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 012/PUU-III/2005, Nomor 026/PUUIII/2005,
Nomor 026/PUU-IV/2006, dan Nomor 24/PUU-V/2007. Oleh karena itu, Mahkamah
mengingatkan kembali pembentuk undang-undang, in casu DPR dan Presiden, akan
pertimbangan-pertimbangan Mahkamah dalam keempat putusan dimaksud.
a. Putusan Nomor 012/PUU-III/2005 yang diucapkan pada tanggal 19 Oktober
2005, yaitu putusan pengujian UU No. 36 Tahun 2004 tentang APBN 2005. Dalam
putusan ini, meskipun amarnya menyatakan permohonan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard), namun alasannya adalah semata-mata karena jika
permohonan dikabulkan maka Pemohon akan menjadi lebih dirugikan (jika UU
36/2004 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka akan berlaku
861 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
ketentuan APBN tahun lalu yang besaran anggaran pendidikannya lebih kecil).
b. Putusan Nomor 026/PUU-III/2005 yang diucapkan pada tanggal 22 Maret 2006,
yaitu putusan pengujian UU No. 13 Tahun 2005 tentang APBN 2006, yang amarnya
menyatakan mengabulkan permohonan untuk sebagian. Dalam putusan tersebut
Mahkamah menegaskan kembali pendiriannya, ... selama anggaran pendidikan
belum mencapai persentase 20% (dua puluh persen) sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, maka APBN demikian akan selalu bertentangan
dengan UUD 1945 ...
Namun UU APBN tersebut tetap mengikat secara hukum dan dapat dilaksanakan
sebagai dasar hukum pelaksanaan APBN dengan kewajiban bagi Pemerintah
dan DPR untuk mengalokasikan kelebihan dana yang akan diperoleh dari hasil
penghematan belanja negara dan/atau hasil peningkatan pendapatan pada anggaran
pendidikan dalam APBN-P 2006.
c. Putusan Nomor 026/PUU-IV/2006 yang diucapkan pada tanggal 1 Mei 2007,
yaitu putusan pengujian UU No. 18 Tahun 2006 tentang APBN 2007, yang amar
putusannya menyatakan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya, in casu,
sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 11,8% sebagai batas tertinggi.
Dalam putusan ini diingatkan agar anggaran pendidikan minimal 20% dalam APBN
harus diprioritaskan dan diwujudkan dengan sungguh-sungguh.
d. Putusan Nomor 026/PUU-IV/2006 yang diucapkan pada tanggal 1 Mei 2007, yaitu
putusan pengujian UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan UU No. 18 Tahun 2006 tentang APBN 2007, yang amarnya menyatakan
mengabulkan permohonan untuk sebagian. Dalam pertimbangan hukumnya,
Mahkamah menyatakan Bahwa dengan dimasukkannya komponen gaji pendidik
dalam penghitungan anggaran pendidikan, menjadi lebih mudah bagi Pemerintah
bersama DPR untuk melaksanakan kewajiban memenuhi anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dalam APBN... Oleh karena itu, dengan
adanya Putusan Mahkamah ini, tidak boleh lagi ada alasan untuk menghindar atau
menunda-nunda pemenuhan ketentuan anggaran sekurang-kurangnya 20% untuk
pendidikan, baik dalam APBN maupun APBD di seluruh provinsi, kabupaten, dan
kota di seluruh Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945...
Setelah keempat putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh pembentuk undang-
undang, Mahkamah menilai adanya kesengajaan pembentuk undang-undang melanggar
UUD 1945. Menurut Mahkamah, jika keadaan tersebut dibiarkan, di satu pihak, akan
berdampak pada berkembangnya sikap menisbikan kewajiban untuk menghormati
dan menaati UUD sebagai norma hukum tertinggi dalam negara hukum. Sementara di
lain pihak, sikap tersebut akan menjadi stimulasi atau dorongan bagi daerah (provinsi,
kabupaten/kota) untuk tidak memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20% dalam
APBD-nya sebagaimana juga diperintahkan oleh UUD.
862 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dengan memperhatikan secara cermat pertimbangan hukum pada empat putusan
Mahkamah dalam pengujian UU APBN sebelumnya, Mahkamah memandang telah
cukup memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk merumuskan
undang-undang yang menjamin ditaatinya ketentuan UUD 1945 yang menyangkut
anggaran pendidikan. Oleh karena itu, demi menegakkan wibawa UUD sebagai hukum
tertinggi sesuai dengan prinsip konstitusionalisme dalam negara hukum, sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Mahkamah harus menyatakan seluruh
ketentuan UU APBN-P 2008 mengenai anggaran pendidikan bertentangan dengan UUD
1945.
Berdasarkan seluruh pertimbangan, Mahkamah berkesimpulan: (1) Bahwa cara
penghitungan persentase anggaran pendidikan yang diterangkan Pemerintah yaitu
perbandingan anggaran fungsi pendidikan terhadap total anggaran belanja negara (yang
telah dikurangi dengan anggaran untuk beban subsidi energi dan pembayaran bunga
utang) bukanlah cara penghitungan yang dianut oleh UU APBN-P 2008, sehingga tidak
memiliki nilai hukum sebagai alat bukti untuk mempertimbangkan konstitusionalitas
anggaran pendidikan dalam UU APBN-P 2008 dan oleh karenanya harus dikesampingkan;
(2) Bahwa telah ternyata anggaran pendidikan dalam UU APBN-P 2008 hanya sebesar
15,6%, sehingga tidak memenuhi ketentuan konstitusional sekurang-kurangnya 20%
dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Dengan demikian, UU APBN-P 2008
bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon beralasan;
(3) Bahwa meskipun UU APBN-P 2008 bertentangan dengan UUD 1945, tetapi untuk
menghindari risiko kekacauan dalam penyelenggaraan administrasi keuangan negara,
UU APBN-P 2008 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan diundangkannya UU APBN
TA 2009.
Dengan demikian, Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan;
Menyatakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 63, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4848) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4848) tetap berlaku sampai diundangkannya Undang-Undang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009; dan memerintahkan
pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
863 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 15/PUU-VI/2008
TENTANG
SYARAT TIDAK PERNAH DIPIDANA BAGI CALON ANGGOTA DPR
Pemohon : Julius Daniel Elias Kaat.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 10/2008).
Pokok Perkara : Pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 yang menyatakan
syarat menjadi bakal calon Anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota antara lain tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan hak setiap orang
atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Kamis, 10 Juli 2008.
Ikhtisar Putusan :
Mahkamah memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo karena berkenaan dengan pengujian undang-undang, in casu UU
10/2008, terhadap UUD 1945.
Mahkamah, berdasar Pasal 51 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU MK,
mengakui legal standing kedudukan hukum Pemohon sebagai perorangan warga
negara Indonesia dan bekerja sebagai Kepala Desa Tribur, Kecamatan Alor Barat Daya,
Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain itu, Pemohon juga menjabat
sebagai Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) Partai Kebangkitan Bangsa.
864 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 50 ayat (1) huruf g UU
No. 10 Tahun 2008. Pasal a quo melarang Pemohon (dicalonkan dan) menjadi Anggota
DPR dengan alasan pernah menjalani pidana penjara selama dua tahun dan enam bulan
berdasarkan putusan PN Kalabahi, karena melakukan tindak pidana penganiayaan
berat.
Pasal 50 ayat (1) UU 10 Tahun 2008 tersebut berbunyi Bakal calon Anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan: a. ...
g. tidak pernah djatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
Menurut Pemohon, berdasar Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10 Tahun 2008 tersebut,
seseorang yang pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara kurang
dari 5 (lima) tahun boleh menjadi calon Anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota. Hal itu menunjukan adanya kepastian hukum yang tidak adil serta
perlakuan yang tidak sama di depan hukum dalam kaitannya dengan diri Pemohon.
Mahkamah berpendapat bahwa keadilan bukanlah selalu berarti memperlakukan
sama terhadap setiap orang. Keadilan dapat berarti memperlakukan sama terhadap hal-
hal yang memang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang
berbeda. Sehingga, justru menjadi tidak adil apabila terhadap hal-hal yang berbeda
diperlakukan sama. Dalam kasus konkret pada diri Pemohon, yang pernah dijatuhi
pidana penjara karena melakukan penganiayaan berat, jelas berbeda dengan seseorang
yang karena kealpaan ringan dijatuhi pidana maupun seseorang yang dipidana hanya
karena mengekspresikan sikap atau pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang
berkuasa (politieke overtuiging).
Sebab, dalam kedua contoh yang disebut terakhir sesungguhnya tidak terdapat
elemen niat jahat (mens rea) pada diri pelakunya. Keadaan demikian jelas sangat
berbeda dengan perbuatan penganiayaan, lebih-lebih penganiayaan berat.
Penganiayaan berat jelas mengandung unsur mens rea atau unsur niat jahat. Di
samping itu, dari segi kualikasi tindak pidana, penganiayaan berat juga digolongkan
sebagai mala in se, yaitu perbuatan yang karena hakikatnya sudah merupakan perbuatan
yang dilarang, bukan semata-mata karena undang-undang atau mala prohibita. Dengan
demikian, Pemohon sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan berat jelas berbeda dari
pelaku kealpaan ringan dan pelaku tindak pidana politik yang hanya karena perbedaan
pandangan politik dengan rezim yang berkuasa.
Menurut Mahkamah, dikecualikannya seseorang yang pernah melakukan kealpaan
ringan (culpa levis) dan mereka yang pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak
pidana politik dalam pengertian politieke overtuiging sebagai syarat untuk menduduki
jabatan publik bukanlah dikarenakan pertimbangan ancaman pidananya, yaitu di bawah
865 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
lima tahun, melainkan karena tidak terdapatnya sifat jahat atau moralitas kriminal dalam
kedua perbuatan dimaksud.
Atas dasar pertimbangan demikian, Mahkamah menyatakan Pasal 50 ayat (1)
huruf g UU 10 Tahun 2008 conditionally constitutional konstitusional bersyarat, yaitu
sepanjang tidak menyangkut kejahatan politik dan sepanjang tidak menyangkut tindak
pidana karena kealpaan ringan (culpa levis). Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan
permohonan Pemohon ditolak.
866 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
867 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 16/PUU-VI/2008
TENTANG
KETENTUAN PIHAK-PIHAK YANG BERSANGKUTAN DAPAT
MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI KE MAHKAMAH AGUNG
TIDAK BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945
Pemohon : Pollycarpus Budihari Priyanto.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Pokok Perkara : Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyangkut ketentuan pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjuan kembali ke Mahkamah
Agung bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
menyangkut hak atas jaminan dan perlindungan kepastian hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Jumat, 15 Agustus 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon Pollycarpus Budihari Priyanto adalah perorangan warga negara Indonesia
yang dijatuhi pidana dengan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor
109 PK/Pid/2007. Putusan Peninjauan Kembali itu diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum
berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (UU 4/2004). Sehubungan dengan itu, Pemohon mengajukan pengujian Pasal
23 ayat (1) UU 4/2004 dengan alasan ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 menyangkut hak atas jaminan dan perlindungan kepastian hukum.
Berkenaan dengan permohonan di muka, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa salah satu kewenangan
konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Oleh
868 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
karena permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, in casu UU 4/2004 terhadap UUD 1945 maka Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pemohon.
Menyangkut kedudukan hukum (legal standing), Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya menyebutkan
Pemohon yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UU
1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, salah satunya perorangan warga
negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama). Selain
itu, sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta
putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima
syarat, yaitu : a. ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesik (khusus) dan aktual, atau setidak-
tidaknya bersifat potensial yang berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan
terjadi; d. ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang dimaksud
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan
bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Konteks legal standing di atas dikaitkan dengan dalil permohonan Pemohon yang
menyatakan bahwa Peninjauan Kembali seharusnya didasarkan pada Pasal 263 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Mahkamah menilai
bahwa Pemohon yang bersangkutan memilki legal standing dalam pengujian Pasal 23
ayat (1) UU 4/2004 terhadap UUD 1945.
Menyangkut pokok permohonan, Pemohon mendalilkan Pasal 23 ayat (1) UU
4/2004 telah digunakan sebagai dasar pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Nomor
109/PK/Pid/2007 yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali Jaksa/Penuntut
Umum. Menurut Pemohon, hal itu bertentangan dengan kepastian hukum yang dijamin
UUD 1945. Seharusnya yang digunakan sebagai dasar hukum untuk peninjauan kembali
dalam perkara pidana adalah Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang secara limitatif menyebut
siapa yang berhak untuk mengajukan peninjauan kembali, dan Jaksa/Penuntut Umum
tidak termasuk di dalamnya. Mahkamah Agung seharusnya tidak boleh menggunakan
Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 karena adanya asas hukum KUHAP yakni lex specialis
derogat legi generali. Oleh karena rumusan frasa pihak-pihak yang bersangkutan kabur,
Pemohon berpendapat Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai
berikut.
869 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Dikabulkannya peninjauan kembali atas dasar penafsiran Pasal 23 ayat (1) UU
4/2004 bukanlah karena masalah konstitusionalitas norma.
Ada tiga alternatif penafsiran dalam memahami dan menilai hubungan Pasal 23
ayat (1) UU 4/2004 dengan undang-undang yang diamanatkan untuk dibentuk
yang mengatur syarat-syarat dan keadaam yang harus dipenuhi bagi diajukannya
peninjauan kembali, yaitu :
1. Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 merupakan asas atau aturan umum yang harus
dirinci dalam undang-undang tentang hukum acara, baik pidana maupun
perdata yang berlaku bagi masing-masing lingkungan peradilan dan peradilan
khusus di bawah Mahkamah Agung. Menyangkut perkara pidana, pihak yang
berhak mengajukan peninjauan kembali harus merujuk pada Pasal 263 ayat
(1) KUHAP yang menentukan keadaan atau syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk mengjaukan peninjauan kembali terhadap putusan pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
2. Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 merupakan paradigma baru yang berorientasi
kepada kepentingan korban kejahatan, di samping terdakwa, yang menyebabkan
Jaksa/Penuntut Umum atas namakorban diberi hak untuk mengajukan
peninjauan kembali;
3. frasa pihak-pihak yang bersangkutan dalam Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004
merupakan istilah kabur dan tidak jelas, yang mengakibatkan kepastian hukum
sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Frasa tersebut digunakan sebagai
dasar untuk menyampingkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menentukan
secara limitatif siapa yang berhak mengajukan peninjauan kembali, karena
Jaksa/Penuntut Umum diperkenankan mengajukan permohonan peninjauan
kembali terhadap putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dari ketiga tafsir di atas, Mahkamah memilih alternatif pertama karena sifat
norma Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 merupakan asas yang berlaku secara umum
untuk setiap badan peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Dalam
menentukan siapa yang berhak dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi untuk
menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh pihak-
pihak yang bersangkutan dapat diterima (admissible), harus diukur dari ketentuan
yang terdapat dalam undang-undang yang diamanatkan atau dirujuk oleh Pasal 23
ayat (1) UU 4/2004.
Sejalan dengan pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyimpulkan bahwa
Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Lagi pula adanya
putusan-putusan Mahkamah Agung yang menerima permohonan peninjauan kembali
yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum dengan menafsirkan secara luasa frasa pihak-
pihak yang bersangkutan yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 dengan
mengesampingkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP merupakan implementasi undang-undang,
yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004.
870 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Oleh karenanya, Mahkamah menilai permohonan Pemohon tidak beralasan sehingga
Mahkamah memutuskan untuk menolak permohonan Pemohon.
Alasan Berbeda (Concuring Opinion) :
Satu orang hakim mengemukakan alasan berbeda. Ia mengatakan dalil permohonan
yang bersangkutan merupakan masalah penerapan normaoleh Mahkamah Agung yang
dinilai terdakwa melanggar kepastian hukum. Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 merupakan
salah satu pasal yang penerapannya lebih lanjut diatur dalam hukum acara dalam
undang-undang. Sehingga seharusnya undang-undang yang mengatur hukum acaralah
yang dimohonkan untuk diuji, bukan Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004.
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) :
Dua orang hakim mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Mereka
mengemukakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 menimbulkan ketidakpastian
hukum karena pengertian pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali tidak
diterapkan secara konsisten dalam proses peradilan pidana. Karena pasal itu merupakan
sebab ketidakkonsistenan dalam penerapan ketentuan mengenai siapa yang berhak
mengajukan peninjauan kembali dalam perkara pidana, maka permohonan Pemohon
beralasan untuk dikabulkan.
871 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 17/PUU-VI/2008
TENTANG
INKONSTITUSIONALITAS SYARAT PENGUNDURAN DIRI DARI JABATAN BAGI
CALON INCUMBENT PESERTA PEMILU KEPALA DAERAH
Pemohon : Drs. H. Sjachroedin Zp, S.H.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 12/2008).
Pokok Perkara : - Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004 mengenai kepala daerah yang
berakhir masa jabatannya pada bulan Januari 2009 sampai
dengan bulan Juli 2009, akan diselenggarakan pemilihan
kepala daerah secara langsung pada bulan Desember 2008.
- Pasal 58 huruf q UU 12/2008 mengenai syarat pengunduran
diri sejak pendaftaran pemilihan kepala daerah, bagi calon
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah incumbent.
bertentangan dengan
- Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mengenai bersamaan kedudukan
segala warga negara dalam hukum dan pemerintahan dan
kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya;
- Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai hak setiap orang atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan untuk sebagian.
Tanggal Putusan : Jumat, 1 Agustus 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon Drs. H. Sjachroedin Zp, S.H. adalah warga negara Indonesia yang
872 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
menjabat sebagai Gubernur Lampung Periode 2004-2009. Pemohon menyatakan
bahwa berlakunya Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004 mengakibatkan Pemohon tidak
dapat menjalankan tugas/wewenang, kewajiban, dan kedudukannya sebagai Gubernur
Lampung selama 5 (lima) tahun dan jabatan Pemohon secara apriori telah dirampas
sebelum masa jabatan Pemohon berakhir hanya dikarenakan Pemohon mencalonkan
diri sebagai Gubernur untuk periode berikutnya.
Pemohon juga beranggapan bahwa rumusan Pasal 58 huruf q UU 12/2008
menimbulkan perlakuan yang tidak sama dengan pejabat negara yang lainnya, sehingga
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Substansi
batang tubuh Pasal 58 huruf q mengatur bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah
yang masih menduduki jabatannya (incumbent) mengundurkan diri sejak pendaftaran,
sedangkan terhadap pejabat negara lainnya yang bukan incumbent berbeda
pengaturannya dalam UU 12/2008.
Dalam Penjelasan Pasal 58 huruf q, antara lain disebutkan Pengunduran diri Gubernur
dan wakil Gubernur dibuktikan dengan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri
yang tidak dapat ditarik kembali disertai dengan surat persetujuan Menteri Dalam Negeri
atas nama Presiden, sedangkan keputusan Presiden tentang pemberhentian yang
bersangkutan sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah disampaikan kepada KPU
Propinsi selambat-lambatnya pada saat ditetapkan sebagai calon Gubernur dan wakil
Gubernur....
Menurut Pemohon rumusan penjelasan Pasal 58 huruf q terutama anak kalimat
yang tidak dapat ditarik kembali telah menimbulkan norma baru yang mempertegas
Pasal 58 huruf q, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghilangkan
hak konstitusional Pemohon selaku Gubernur. Ketentuan tersebut dianggap merampas
hak asasi Pemohon sebagai Gubernur karena Pemohon sebagai calon incumbent telah
kehilangan jabatannya sebagai Gubernur sejak pendaftaran sebagai calon kepala daerah.
Selain itu, ketentuan Pasal 58 huruf q dan penjelasannya sepanjang anak kalimat tidak
dapat ditarik lagi bertentangan dengan asas uniformity yang mengharuskan perlakuan
sama bagi setiap orang.
Berdasarkan Pasal 58 huruf q serta penjelasan Pasal 58 huruf q sepanjang anak
kalimat yang tidak dapat ditarik kembali UU 12/2008, dalam Pilkada Lampung, maka
Pemohon akan kehilangan haknya sebagai Gubernur Lampung sebelum masa jabatan
berakhir. Jabatan Pemohon sebagai Gubernur baru akan berakhir pada 2 Juni 2009
tetapi oleh karena ketentuan Pasal 58 huruf q UU Nomor 12 Tahun 2008, maka Pemohon
sudah harus mengundurkan diri pada tanggal 28 Mei 2008 ketika didaftarkan sebagai
pasangan calon Gubernur Lampung oleh Pengurus Daerah Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) Provinsi Lampung.
Pemohon mendalilkan kedua pasal tersebut, dan penjelasannya, bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
873 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pemohon mengajukan petitum agar Mahkamah (i) Menyatakan bahwa Pemohon
adalah Pemohon yang beritikad baik dan memiliki legal standing; (ii) Menyatakan
menerima serta mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; (iii) Menyatakan
Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004 bertentangan dengan UUD 1945; dan (iv) Menyatakan
Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004 batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat; (v) Menyatakan Pasal 58 huruf q UU 12/2008 bertentangan dengan
UUD 1945; (vi) Menyatakan bahwa Pasal 58 huruf q UU 12/2008 batal demi hukum dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; (vii) Memulihkan harkat dan martabat serta
kedudukan Pemohon sebagai Gubernur Lampung periode 2004-2009.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan konstitusional
Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
nal untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Permohonan a quo adalah mengenai
pengujian UU 32/2004 dan UU 12/2008 terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
Pasal 51 ayat (1) beserta Penjelasan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu (a) perorangan
warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama); (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang; (c) badan hukum publik atau privat; atau (d) lembaga negara.
Sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 hingga
saat ini, Mahkamah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu
(a) ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD
1945; (b) hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian; (c) kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional tersebut bersifat spesik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya
bersifat potensial yang berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi; (d)
ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang dimaksud dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; dan (e) adanya kemungkinan
bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Pemohon adalah warga negara Indonesia dan dilantik sebagai Gubernur Lampung
Periode 2004-2009 pada tanggal 2 Juni 2004 yang berakhir masa jabatannya pada
tanggal 2 Juni 2009 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 71/M Tahun 2004. Dengan
demikian, Pemohon memenuhi kedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK.
874 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Pasal yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon menyebabkan Pemohon sebagai
Gubernur Provinsi Lampung tidak dapat memegang masa jabatan penuh lima tahun
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004, sehingga seharusnya
jabatannya baru berakhir pada tanggal 2 Juni 2009. Dengan demikian, apabila tidak ada
ketentuan Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004 juncto Pasal 58 huruf q UU 12/2008, maka hak
Pemohon untuk memegang jabatan Gubernur Provinsi Lampung yang dijamin oleh Pasal
27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 sampai tanggal 2 Juni 2009 tidak akan
dirugikan. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan Permohonan a quo, sehingga Mahkamah
harus mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut.
Terhadap permohonan tentang Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004, Mahkamah perlu
mengetahui maksud diadakannya pasal a quo. Dari rumusan pasal a quo terdapat tiga
kemungkinan maksud pengaturan oleh pembentuk undang-undang, yakni (a) Pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah karena adanya perubahan undang-undang;
(b) Masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah karena adanya perubahan;
(c) Pemilihan kepala daerah di daerah-daerah yang kepala daerahnya berakhir masa
jabatan sebagaimana disebut pada ayat (1) dan ayat (2) pasal a quo.
Dengan diundangkannya UU 32/2004 tanggal 15 Oktober 2004 maka sejak saat
itu undang-undang ini berlaku. Dengan demikian tentunya pemilihan menurut undang-
undang baru ini akan diberlakukan di daerah-daerah yang kepala daerahnya telah
habis masa jabatannya. UU 32/2004 tidak bermaksud untuk mengadakan pemilihan
secara serentak di semua daerah sesuai dengan undang-undang yang baru. Artinya,
pelaksanaan pemilihan langsung disesuaikan dengan jadwal berakhirnya masa jabatan
kepala daerah dari suatu daerah tertentu.
Dengan demikian, yang menjadi objek pengaturan dari aturan peralihan seharusnya
adalah daerah dan bukan kepala daerah. Pasal 233 ayat (1) dan ayat (2) seharusnya
diawali dengan, Daerah yang kepala daerahnya berakhir. Rumusan UU 32/2004
dimulai dengan Kepala Daerah dan seterusnya, sehingga yang menjadi objek
pengaturan seolah-olah kepala daerah, padahal pemilihan kepala daerah di daerah-
daerah tertentu bukan semua daerah.
Materi yang dimuat dalam ayat (1) pasal a quo sebenarnya menyangkut penerapan
cara pemilihan kepala daerah yang diatur dalam undang-undang yang baru. Dengan
diundangkannya UU 32/2004 pada tanggal 15 Oktober 2004, jelas undang-undang ini
berlaku bagi daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada saat
atau setelah undang-undang ini diundangkan.
Namun, Pasal 233 ayat (1) menetapkan bulan Juni 2005 sebagai awal pelaksanaan
pemilihan umum kepala daerah secara langsung. Rumusan ayat (2) pasal a quo
merancukan tiga hal sebagaimana disebut di atas. Yang seharusnya diatur adalah
daerah-daerah yang kepala daerahnya berakhir masa jabatannya pada bulan Januari
875 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
2009 sampai dengan bulan Juli 2009, tetapi karena diawali dengan kata-kata Kepala
Daerah maka konsekuensinya yang diatur adalah kepala daerahnya.
Dengan dirumuskan diselenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini pada bulan Desember 2008
menimbulkan persoalan mengenai kejelasan maksud kalimat demikian. Mahkamah
berpendapat bahwa maksud dari klausula ini adalah untuk menetapkan waktu
pelaksanaan pemilihan kepala daerah dari daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tersebut untuk dilakukan lebih awal dari jadwal yang seharusnya.
Adanya perubahan sistim pemilihan dari undang-undang sebelumnya menyebabkan
tata cara pemilihan kepala daerah menurut undang-undang yang barulah yang akan
digunakan yaitu pemilihan secara langsung.
Kata pemilihan secara langsung pada ayat (2) ini bukanlah dasar hukum
dilaksanakannya pemilihan secara langsung di daerah-daerah yang disebutkan. Artinya,
daerah-daerah tersebut menyelenggarakan pemilihan langsung bukan karena adanya
ayat (2), melainkan sebagai akibat diubahnya sistim pemilihan dari undang-undang
sebelumnya.
Dengan demikian, pemilihan secara langsung dalam Pasal 233 ayat (2) ini bukan
merupakan substansi pokok yang diatur dalam aturan peralihan Pasal 233 ayat (2) UU
32/2004. Ketentuan ayat (2) juga tidak mengatur tentang jabatan kepala daerah karena
ayat (2) ini hanya mengatur tentang pelaksanaan pemilihan kepada daerah. Pasal 233
ayat (2) ini tidak menentukan bahwa karena pemilihan kepala daerah di daerah-daerah
yang dimaksud oleh ayat (2) tersebut diselenggarakan lebih awal maka jabatan kepala
daerah yang akan digantikan menjadi lebih singkat yaitu akan berakhir dengan serta-
merta setelah terpilihnya kepala daerah yang baru. Dengan demikian, masa jabatan
kepala daerah bukan substansi pokok dari ayat (2) Pasal 233 Undang-Undang a quo.
Ketentuan Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004 yang dimohonkan pengujian oleh
Pemohon yang berbunyi, Kepala Daerah yang berakhir masa jabatannya pada bulan
Januari 2009 sampai dengan bulan Juli 2009 diselenggarakan pemilihan kepala
daerah secara langsung sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini pada bulan
Desember 2008 ternyata telah mengalami perubahan dengan berlakunya Pasal 233
ayat (2) UU 12/2008 yang berbunyi Pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan November 2008
sampai dengan bulan Juli 2009 diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini paling
lama pada bulan Oktober 2008. Dengan demikian permohonan Pemohon tidak relevan
untuk dipertimbangkan karena Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004 sudah tidak berlaku lagi.
Oleh karena itu, permohonan pengujian terhadap Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004 tidak
memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 UU MK.
UU 32/2004 telah diubah berdasarkan UU 12/2008, di mana ayat (1) dari Pasal 233
UU 32/2004 telah dihapus. Menurut Mahkamah, penghapusan ayat (1) Pasal 233 UU
876 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
32/2004 sebenarnya tidak bermakna karena ayat (1) merupakan ayat yang hanya berlaku
sekali (eenmalig), yaitu di daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir
tahun 2004 sampai dengan bulan Juni 2005. Pada saat UU 12/2008 diundangkan, di
daerah-daerah tersebut telah diselenggarakan Pilkada sebagaimana diatur oleh UU
32/2004. Dengan demikian, sesuai dengan sifat peralihan, ketentuan ayat (1) Pasal 233
UU 32/2004 telah dengan sendirinya tidak berlaku.
UU 12/2008 adalah undang-undang tentang perubahan kedua UU 32/2004 yang
substansinya antara lain mengubah ketentuan Pasal 58 huruf d dan huruf f, menghapus
huruf l, dan menambahkan huruf q. Penambahan huruf q Pasal 58 Undang-Undang a quo
menyebabkan syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi bertambah
dari yang sebelumnya tidak ada ditambah dengan sebagaimana yang disebutkan dalam
huruf q, mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah yang masih menduduki jabatannya.
Mahkamah berpendapat bahwa upaya agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan
dalam proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah adalah tepat dan memang
seharusnya dilakukan. Namun sisi lain haruslah dipertimbangkan bahwa penggunaan
upaya demikian tidak boleh terlalu berlebihan sehingga merugikan hak-hak seseorang
yang dijamin oleh hukum.
Mahkamah berkesimpulan bahwa (i) Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004 tidak relevan
lagi untuk menjadi objek permohonan oleh karena Pasal 233 ayat (2) tersebut telah
diubah dengan Pasal 233 ayat (2) UU 12/2008, sehingga permohonan Pemohon harus
dinyatakan tidak dapat diterima; (ii) Syarat pengunduran diri bagi calon yang sedang
menjabat (incumbent) sebagaimana diatur Pasal 58 huruf q UU 12/2008 menimbulkan
ketidakpastian hukum (legal uncertainty, rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala
daerah yaitu lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan sekaligus perlakuan yang
tidak sama (unequal treatment) antarsesama pejabat negara [vide Pasal 59 ayat (5) huruf
i UU 32/2004], sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; (iii) Selain
itu, Pasal 58 huruf q UU 12/2008 juga mengandung ketentuan yang tidak proporsional
dan rancu, baik dari segi formulasi maupun substansi, karena menimbulkan perlakuan
yang tidak sama antarsesama pejabat negara dan mengakibatkan ketidakpastian hukum
(legal uncertainty, rechtson-zekerheid) sehingga permohonan Pemohon dalam pengujian
konstitusionalitas Pasal 58 huruf q Undang-Undang a quo beralasan menurut hukum
untuk dikabulkan.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, Mahkamah memutuskan: (i) menyatakan
permohonan Pemohon dikabulkan untuk sebagian; (ii) menyatakan Pasal 58 huruf q
UU 12/2008 bertentangan dengan UUD 1945; (iii) menyatakan Pasal 58 huruf q UU
12/2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; (iv) menyatakan permohonan
Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004 tidak dapat diterima;
(v) memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
877 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 19/PUU-VI/2008
TENTANG
INKONSTITUSIONALITAS KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA
MEMERIKSA PERKARA ANTARA ORANG-ORANG BERAGAMA ISLAM
Pemohon : Suryani.
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama).
Pokok Perkara : - Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya mengenai kewenangan
Pengadilan Agama memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
bertentangan dengan
- Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 mengenai kebebasan memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.
- Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 mengenai hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
- Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 mengenai berhak bebas atas
perlakuan yang diskriminatif dan mendapat perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
878 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
- Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 mengenai negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 mengenai jaminan kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Tanggal Putusan : Selasa, 12 Agustus 2008.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon, Suryani, adalah warga negara Indonesia yang mengajukan Pengujian
Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama beserta penjelasannya karena merasa dirugikan
akibat diberlakukannya ketentuan tersebut.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berwenang untuk mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam Pasal
12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU
Kekuasaan Kehakiman) dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Atas dasar itu maka Mahkamah berwenang
untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan yang bersangkutan.
Berkenaan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Pasal 51 ayat
(1) UU MK menentukan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/
atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
salah satunya perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama). Sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007, dan putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa
untuk dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional haruslah
dipenuhi syarat-syarat : a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut
oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian; c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi; d.adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunyan undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan
bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karena Pemohon telah memenuhi syarat
yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK dan memenuhi syarat kerugian
konstitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan
Mahkamah Nomor 11/PUU-V/2007, maka Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon
yang bersangkutan mempunyai legal standing untuk mengajukan pengujian UU Peradilan
Agama.
879 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Menyangkut pokok permohonan, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 49 ayat (1)
UU Peradilan Agama dan penjelasannya telah merugikan hak konstitusional Pemohon.
Karena hak konstitusional Pemohon untuk bebas beragama dan beribadat menurut
agama Pemohon, yakni agama Islam, telah dibatasi oleg negara melalui UU Peradilan
Agama.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat bahwa UU Peradilan
Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar kewenangan konstitusional yang sah
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. Kedua
pasal tersebut menentukan bahwa kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung
terdiri atas empat lingkungan peradilan yang mempunyai kompetensi absolutnya masing-
masing. Di samping itu, kedua pasal tersebut menunjukkan bahwa Peradilan Agama
merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan yang berwenang menegakkan
hukum dan keadilan yang ruang lingkup dan batas kompetensinya ditentukan oleh
undang-undang.
Lagipula, antara posita dan petitum Pemohon menunjukkan ketidaksesuaian.
Pemohon dalam petitumnya meminta pencabutan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama
tentang kompetensi absolut Peradilan Agama, sedangkan di dalam positanya meminta
penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup kompetensinya diperluas mencakup
hukum Islam yang lain termasuk hukum pidana (jinayah). Mahkamah tidak berwenang
menambah kompetensi absolut Peradilan Agama karena berdasarkan Pasal 24C UUD
1945 dan Pasal 10 UU MK, Mahkamah hanya dapat bertindak sebagai negative legislator
terhadap undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945.
Selanjutnya, Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU
Peradilan Agama sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan Pemohon untuk
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam Pasal
28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 49 ayat (2) UUD 1945. Atas dasar
keseluruhan pertimbangan di muka, Mahkamah menyimpulkan bahwa Pasal 49 ayat (1)
UU Peradilan Agama tidak bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat
(1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Mahkamah pun berpendapat
bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan. Oleh karenanya, Mahkamah menyatakan
permohonan Pemohon ditolak.
880 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
881 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008
Tim Penyusun
Narasumber
Prof. H.A.S. Natabaya S.H., L.L.M.
Soedarsono, S.H.
Pengarah
Janedjri M. Gaffar
H. Ahmad Fadlil Sumadi
Penanggung Jawab
Kasianur Sidauruk
Koordinator
Roqul Umam Ahmad
Ketua
Muhidin
Triyono Edy Budhiarto
Sekretaris
Dewi Nurul Savitri
Wiryanto
Penulis
Ida Ria Tambunan
Alus Ngatrin
Sunardi
Cholidin Nasir
Rizal Sofyan Gueci
Budi Hari Wibowo
Romi Sundara
Edy Subiyanto
Abdul Ghoffar
Luth Widagdo Eddyono
Winda Wijayanti
Qurrata Ayuni
Syukri Asyari
Rika Dewi Andriana
Rauddin Munis Tamar
M. Ali Safaat
Makhfud
Edy Purwanto
Mahmudah
Fadzlun Budi SN
Fritz Edward Siregar
Ina Zuchriah
Jefriyanto
Supriyanto
Ria Indriyani
Mardian Wibowo
Yunita Ramadhani
Irfan Nur Rachman
Nallom Kurniawan
Wiwik Budi Wasito
Ardli Nuryadi
Data dan Dokumentasi
Sutopo Toto Hermito
Nanang Subekti
Keuangan
Kurniasih Panti Rahayu
882 Ikhtisar Putusan MK 2003-2008

Anda mungkin juga menyukai