Fakultas Kedokteran
Maxmillion Budiman K. (Wakil Sekretaris Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)
Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya 2018
maxmillionbudiman@gmail.com
Jiyi Malikah Adilah (Staff Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)
Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 2017
jiyimalikaah@gmail.com
Achmad Cesario Ludiana (Staff Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung 2017
rionoted04@gmail.com
Nafisa Zulpa Elhapidi (Staff Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)
Fakultas kedokteran Universitas Tarumanegara 2017
napisazulpa123@gmail.com
Lucy Laila Felicia (Staff Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)
Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi 2017
lucylailafelicia@yahoo.com
Hana Maryam Solikhah (Staff Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran 2017
hanamaryam.hms@gmail.com
1.2 Angka Kelulusan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD)
Setiap universitas dengan prodi kedokteran wajib mengirimkan lulusannya untuk
mengikuti UKMPPD sebagai exit exam sejak tahun 2014. Berdasarkan analisis dari tim ahli
dan Panitia Nasional UKMPPD (PNUKMPPD), hasil UKMPPD berkorelasi positif dengan
akreditasi prodi kedokteran. Hingga akhir 2017, prodi kedokteran berakreditasi A sebagian
besar kelulusan UKMPPD >80%, sedangkan prodi kedokteran berakreditasi C sebagian besar
kelulusan UKMPPD <50%.
Pada tahun 2019, terdapat 2.700 calon dokter berulang kali gagal lulus uji kompetensi. (3)
Jumlah dokter di Indonesia saat ini sudah lebih dari cukup. Namun, dokter-dokter itu
tersentralisasi di sejumlah kota dan provinsi tertentu sesuai dengan data di tabel 1. Hal tersebut
disebabkan adanya pendapat bahwa fasilitas di pedalaman yang kurang lengkap. ”Persebaran
dokter tidak baik karena bertumpuk di Pulau Jawa ataupun kota-kota besar,” kata Menteri
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, di Jakarta. Jika mengacu pada
perhitungan beban kerja ideal dokter yang ditetapkan pemerintah, rasio satu dokter untuk 2.500
penduduk terlampaui. Rasio itu dihitung berdasarkan jumlah penduduk dengan asumsi 20
persennya sakit, luas wilayah, beban kerja, dan waktu layanan. Menurut data Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) per 9 Mei 2016, jumlah dokter 110.720 orang, artinya satu dokter
melayani 2.270 penduduk. Kemenristekdikti ingin rasio dokter Indonesia jadi satu dokter untuk
1.100 warga, seperti di Malaysia. Sesuai data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rasio dokter
di Malaysia pada 2010 mencapai satu dokter untuk 835 penduduk. Di Singapura pada 2013,
satu dokter untuk 513 penduduk. Sebagai perbandingan, di DKI Jakarta, sebagai provinsi
dengan rasio dokter terbaik, satu dokter menangani 608 penduduk. Di Sulawesi Barat, provinsi
dengan rasio terburuk, satu dokter mengurusi 10.417 penduduk. Meski demikian, rasio satu
dokter untuk 2.500 penduduk itu tidak bisa diterapkan secara merata. Di Jawa Barat, Jawa
Timur, dan Jawa Tengah, rasio dokter belum terpenuhi akibat jumlah penduduk yang besar. Di
Indonesia timur, standar itu sulit diterapkan akibat wilayah luas, medan sulit, dan penduduk
terpencar. Dari 9.731 puskesmas yang ada, 5 persen tidak punya dokter sama sekali. Selain itu,
9 persen puskesmas lain memiliki dokter, tetapi tempat tinggal dokternya jauh dari puskesmas
karena lokasi puskesmas terpencil. Meski pemerintah membuka berbagai program pemerataan
dokter, nyatanya dokter yang berminat ditempatkan di daerah tertentu amat kurang.
4. Urgensi
C. Kesimpulan
Seperti yang sudah dijabarkan dalam poin kualitas pendidikan kedokteran. Pendidikan
Kedokteran harusnya bertujuan untuk menghasilkan dokter yang profesional dan kompeten
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia secara berkeadilan . Artinya, kita tidak
hanya memerlukan tenaga dokter yang banyak untuk memenuhi kebutuhan, tetapi juga
memerlukan tenaga dokter yang profesional dan kompeten agar tujuan peningkatan kualitas
kesehatan dapat tercapai . Hal tersebut tidak hanya didukung dengan peningkatan fasilitas
kesehatan dan akses aksesnya, tetapi juga harus didukung dengan tenaga kesehatan yang
berkualitas .
Untuk mendapatkan tenaga kesehatan yang berkualitas diperlukan sistem pendidikan
kesehatan yang baik dimulai dari proses pendaftaran mahasiswa sampai proses kelulusan dan
proses distribusinya. Kualitas pendidikan dinilai dengan penilaian akreditasi, dari seluruh
fakultas kedokteran yang ada di Indonesia, terdapat 22 fakultas kedokteran yang masih
terakreditasi C. Menilik poin kelulusan UKMPPD di atas, fakultas kedokteran dengan
akreditasi C angka kelulusan UKMPPDnya <50 %, hal ini menyebabkan banyaknya
mahasiswa kedokteran yang mengulang atau biasa kita sebut retaker. Pada tahun 2019, terdapat
2.700 calon dokter berulang kali gagal lulus uji kompetensi.
Dengan maraknya pembukaan fakultas kedokteran di Indonesia, hal tersebut tidak
menjanjikan bahwa persebaran dokter di indonesia akan merata ke seluruh pelosok negeri. Di
Indonesia bagian timur dari 9.731 puskesmas yang ada, 5 persennya tak memiliki dokter sama
sekali. Hal tersebut membuktikan bahwa bukan jumlah dokter yang tidak terpenuhi sehingga
harus menambah lebih banyak fakultas kedokteran, melainkan sistem distribusi dokternya yang
harus diperbaiki dan dikaji lebih dalam.
Sistem distribusi yang paling ideal tidak hanya sekedar menempatkan tenaga dokter di
beberapa daerah, tetapi juga sistem tersebut juga harus berisi mengenai jaminan yang akan
diterima ketika dokter berada di daerah terpencil terlebih jika daerah tersebut masuk ke dalam
kategori daerah konflik. Jaminan kompensasi yang setimpal serta jaminan keamanan
merupakan hal yang wajib dicantumkan dalam sistem distribusi dokter nantinya.
Selain itu kurangnya peminat dalam mengisi kekosongan tenaga kesehatan di beberapa
daerah terpencil bukan hanya mengenai sistem distribusi yang perlu diperbaiki, melainkan juga
perlu kesadaran dari pola pikir dokter itu sendiri bahwasannya Indonesia memerlukan dokter
tidak hanya di daerah sentral, tetapi juga di daerah perifer seperti di Indonesia timur yang sudah
kita sebut di atas.
Problematika yang sangat kompleks dimulai dari banyaknya fakultas kedokteran yang
kualitasnya di bawah rata-rata namun jumlahnya kian menjamur sehingga distribusi dokter
tidak merata. Jika dilihat dari jumlah lulusan dokter setiap tahun, seharusnya jumlah dokter
saat ini sudah bisa memenuhi kebutuhan dokter di Indonesia.
Kemenristekdikti yang sekarang sudah beralih menjadi Mendikbud-dikti sepertinya
tidak menaruh perhatian besar dalam masalah moratorium fakultas kedokteran ini, alih-alih
melanjutkan moratorium yang sudah disepakati, tetapi tanpa pemberitahuan mencabut secara
sepihak kebijakan moratorium yang sudah ditandatangani. Padahal, kita tahu tujuan
moratorium sendiri untuk meningkatkan kualitas dokter di Indonesia.
Jika kualitas dokter menurun dikarenakan banyaknya fakultas kedokteran dengan
kualitas yang kurang serta maraknya pembukaan fakultas kedokteran secara besar-besaran. Hal
ini tentu akan mengguncang dunia kesehatan Indonesia di masa yang akan datang.
D. Rekomendasi
Dengan berbagai poin masalah yang sudah dipaparkan. HPS ISMKI Wilayah 2
memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1. Kemenristekdikti yang sekarang sudah beralih menjadi Mendikbud-Dikti untuk
memberlakukan kembali moratorium pembukaan fakultas kedokteran di Indonesia
sampai 3 tahun, sebagai waktu yang tepat untuk reakreditasi. Jika dalam waktu 3 tahun
masih banyak fakultas kedokteran yang akreditasinya tidak meningkat, maka
moratorium diperpanjang kembali setiap 3 tahun secara berkala.
2. Mendikbud-Dikti dan Kemenkes agar membuat kebijakan baru yang dapat
menyelesaikan masalah retaker UKMPPD yang tidak kunjung usai.
3. IDI, Kemenkes, dan kepala daerah bekerja sama untuk menyelesaikan masalah
distribusi tenaga dokter. Setiap kepala darerah mendata jumlah kebutuhan dokter di
daerahnya. Data ini akan digunakan sebagai database kemenkes dan IDI untuk
meredistrbusi tenaga dokter di daerah yang kekurangan tenaga dokter.
4. Kementerian kesehatan Indonesia membuat sistem distribusi tenaga dokter yang jelas
dan efisien. Terlebih kebijakan distribusi tenaga dokter pada daerah yang terpencil juga
daerah konflik disertai pemberian jaminan kompensasi dan jaminan keamanan.
Daftar Pustaka
(1)
Lokadata. Jumlah Dokter Umum dan Spesialis di Indonesia, 2019.
(2)
Petriella, Yunita. “Fakultas Kedokteran Makin Banyak, Mutu Jalan di Tempat”.
Bisnis.com. 20 Juni 2019 diakses dari :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190620/12/935795/fakultas-kedokteran-makin-
banyak-mutu-jalan-di-tempat
(3)
Petriella, Yunita. “2.700 Calon Dokter Berulang Kali Gagal Uji Kompetensi”.
Bisnis.com. 20 Juni 2019 diakses dari :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190620/12/935803/2.700-calon-dokter-berulang-kali-
gagal-uji-kompetensi
(4)
Petriella, Yunita. “Indonesia Kebanyakan Dokter, Tetapi Terpusat di Kota Besar”.
Bisnis.com. 20 Juni 2019 diakses dari :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190620/12/935811/indonesia-kebanyakan-dokter-
tetapi-terpusat-di-kota-besar.
(5)
Harususilo, Yohanes Enggar. “Dari 83 Fakultas Kedokteran di Indonesia, Baru 22%
Terakreditasi A”. Kompas. 19 Agustus 2018 diakses dari :
https://edukasi.kompas.com/read/2018/08/19/16240021/dari-83-fakultas-kedokteran-di-
indonesia-baru-22-terakreditasi-a?page=all)
(6)
Petriella, Yunita. “Pemilik Perguruan Tinggi Swasta Tolak Moratorium Fakultas
Kedokteran”. Bisnis.com. 20 Juni 2019 :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190620/12/935817/pemilik-perguruan-tinggi-swasta-
tolak-moratorium-fakultas-kedokteran
(7)
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia. “Potret Pendidikan Kedokteran di Indonesia dalam Menghadapi
Tantangan Era Revolusi Industri 4.0”. 17 Agustus 2018 diakses dari :
https://ristekdikti.go.id/kabar/potret-pendidikan-kedokteran-di-indonesia-dalam-
menghadapi-tantangan-era-revolusi-industri-4-0/#Y2zderwHJ49WIiwG.99