Anda di halaman 1dari 19

Moratorium

Fakultas Kedokteran

Health Policy Studies


2019
Tim Penyusun
Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2 2019

Maxmillion Budiman K. (Wakil Sekretaris Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)
Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya 2018
maxmillionbudiman@gmail.com

Jiyi Malikah Adilah (Staff Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)
Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 2017
jiyimalikaah@gmail.com

Achmad Cesario Ludiana (Staff Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung 2017
rionoted04@gmail.com

Inggit A. Nahdiyin (Staff Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)


Fakultas Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati 2017
aulianahdiyin@gmail.com

Ahmad Yurdiansyah (Staff Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)


Fakultas Kedokteran UIN Syahid Jakarta 2018
yurdi17ansyah@gmail.com

Nafisa Zulpa Elhapidi (Staff Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)
Fakultas kedokteran Universitas Tarumanegara 2017
napisazulpa123@gmail.com
Lucy Laila Felicia (Staff Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)
Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi 2017
lucylailafelicia@yahoo.com

Hana Maryam Solikhah (Staff Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran 2017
hanamaryam.hms@gmail.com

Hana Oktariani (HRD Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2)


Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi 2016
hanaoktarianialiyudin1999@gmail.com
A. LATAR BELAKANG

Menurut KBBI, moratorium merupakan penundaan atau penangguhan. Moratorium


Fakultas Kedokteran adalah penundaan pembukaan Fakultas Kedokteran. Moratorium
Fakultas Kedokteran sebelumnya sudah diberlakukan pada tahun 2015 dan dicabut pada tahun
2016. Jumlah dokter umum di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 50.198 orang.(1) Rasio
ideal yang diberikan oleh WHO adalah 1:2.500 penduduk.

1. Tujuan awal diberlakukannya moratorium

1.1 Akreditasi Fakultas Kedokteran


Indonesia memiliki 89 Fakultas Kedokteran, 38 di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan
51 di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan disparitas kualitas di seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan data status akreditasi prodi kedokteran dari LAM-PTKes, terdapat 22 prodi
terakreditasi A, 45 prodi terakreditasi B, dan 22 prodi terakreditasi C.(2)

1.2 Angka Kelulusan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD)
Setiap universitas dengan prodi kedokteran wajib mengirimkan lulusannya untuk
mengikuti UKMPPD sebagai exit exam sejak tahun 2014. Berdasarkan analisis dari tim ahli
dan Panitia Nasional UKMPPD (PNUKMPPD), hasil UKMPPD berkorelasi positif dengan
akreditasi prodi kedokteran. Hingga akhir 2017, prodi kedokteran berakreditasi A sebagian
besar kelulusan UKMPPD >80%, sedangkan prodi kedokteran berakreditasi C sebagian besar
kelulusan UKMPPD <50%.
Pada tahun 2019, terdapat 2.700 calon dokter berulang kali gagal lulus uji kompetensi. (3)

1.3 Jumlah dokter di Indonesia yang sudah mencukupi.


Menurut kemenkes, kebutuhan jumlah dokter di Indonesia cukup 45 dokter untuk 100
ribu penduduk.(3) Pada tahun 2019, tercatat sudah ada 50 dokter untuk 100 ribu penduduk.
Selain itu, kepala BPPSDMK (Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia Kesehatan) Kemenkes RI, Usman Sumantri, mengatakan lulusan kedokteran tahun
ini sangat besar yakni sampai 12.000 orang. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO juga
mengeluarkan rasio ideal dokter dengan pasien yakni 1 dokter untuk 2500 jiwa (1:2500). Tahun
ini, IDI juga mencatat terdapat 172 ribu dokter di Indonesia dan jumlah penduduk Indonesia
sudah mencapai 265 juta jiwa sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah dokter di Indonesia
sudah mencukupi.

2. Alasan Pemberlakuan Kembali Moratorium


Jumlah fakultas kedokteran baru di Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun.
Contohnya dari tahun 2018 ke 2019, terdapat peningkatan jumlah fakultas kedokteran dari 83
menjadi 89 fakultas.(4) Jika ini terus dibiarkan, kapan kualitas dokter Indonesia akan
ditingkatkan?(5)
B. PEMBAHASAN

1. Jumlah dokter berbanding masyarakat

Tabel 1 : Data rasio dokter per 100.000 penduduk tahun 2017

2. Kualitas pendidikan kedokteran Indonesia

2.1 Kualitas Pendidikan Kedokteran Indonesia


Pendidikan kedokteran sebagai bagian dari pendidikan tinggi selalu mendapatkan
perhatian khusus dari pemerintah, terutama sejak terbitnya UU No.20/2013 tentang Pendidikan
Kedokteran. Pendidikan Kedokteran bertujuan untuk menghasilkan dokter yang profesional
dan kompeten untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia secara berkeadilan. Selain
itu, pendidikan kedokteran juga bertujuan untuk meningkatkan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran.

2.2 Akreditasi Prodi Kedokteran :


Ketua Konsil Kedokteran Indonesia, Bambang Supriyatno, mengatakan fakultas
kedokteran yang telah terakreditasi A sebanyak 22 fakultas, lalu akreditasi B ada sebanyak 45
fakultas dan akreditasi C ada sebanyak 22 fakultas.(6)

2.3 Hubungan Moratorium dengan Kelulusan UKMPPD dan Distribusi Dokter


Ketika membicarakan kualitas Fakultas Kedokteran tentu tidak lepas dari kualitas hasil
lulusannya. Standar Nasional Pendidikan Kedokteran telah disusun pemerintah untuk menjadi
acuan dalam penyelenggaraan program pendidikan kedokteran, di dalamnya Uji Kompetensi
Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) ditetapkan sebagai exit exam. Artinya,
seorang mahasiswa kedokteran harus lulus UKMPPD agar dapat dinyatakan lulus dari Fakultas
Kedokteran. Uji kompetensi ini diselenggarakan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) bersama dengan Kementerian Kesehatan, Konsil
Kedokteran Indonesia, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, dan Asosiasi Institusi
Pendidikan Kedokteran Indonesia.
Sejak Agustus 2014 hingga Mei 2018, sekitar 39.000 dokter telah lulus UKMPPD. Saat
ini UKMPPD masih menyisakan 2400 retaker. Hasil kelulusan UKMPPD berkorelasi dengan
akreditasi prodi kedokteran. Prodi kedokteran yang terakreditasi A memiliki angka kelulusan
UKMPPD > 80% dengan total mahasiswa >500 sedangkan prodi yang terakreditasi C angka
kelulusan UKMPPD nya sebagian besar <50%.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Pertama, dari sistem seleksi
masuk untuk memastikan input dari prodi kedokteran merupakan orang-orang terpilih. Faktor
kedua, dari proses pembelajaran. Variabel proses belajar dinilai pada akreditasi fakultas
kedokteran dan dinilai secara keseluruhan untuk penjaminan mutu.
Tabel 2: Data Akreditasi Fakultas Kedokteran Tahun 2017
Sumber : Potret Pendidikan Kedokteran Indonesia. Kemenristekdikti (2018)
Tabel 3 : Data Akreditasi dan Persentase Kelulusan UKMPPD

2.4 Data Kelulusan UKMPPD :


Berdasarkan data dari Panitia Nasional UKMPPD, sejak Agustus 2014 hingga Mei
2018, UKMPPD telah meluluskan sekitar 39.000 dokter dan menyisakan sekitar 2400 retaker
(belum lulus uji kompetensi dokter). Berdasarkan analisis dari tim ahli, hasil UKMPPD
berkorelasi positif dengan status akreditasi prodi kedokteran. Berdasarkan data umpan balik
hasil UKMPPD hingga akhir 2017, prodi kedokteran yang terakreditasi A sebagian besar
kelulusan UKMPPD lebih dari 80% sedangkan prodi yang terakreditasi C sebagian besar
kurang dari 50%.
3. Distribusi Dokter

Jumlah dokter di Indonesia saat ini sudah lebih dari cukup. Namun, dokter-dokter itu
tersentralisasi di sejumlah kota dan provinsi tertentu sesuai dengan data di tabel 1. Hal tersebut
disebabkan adanya pendapat bahwa fasilitas di pedalaman yang kurang lengkap. ”Persebaran
dokter tidak baik karena bertumpuk di Pulau Jawa ataupun kota-kota besar,” kata Menteri
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, di Jakarta. Jika mengacu pada
perhitungan beban kerja ideal dokter yang ditetapkan pemerintah, rasio satu dokter untuk 2.500
penduduk terlampaui. Rasio itu dihitung berdasarkan jumlah penduduk dengan asumsi 20
persennya sakit, luas wilayah, beban kerja, dan waktu layanan. Menurut data Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) per 9 Mei 2016, jumlah dokter 110.720 orang, artinya satu dokter
melayani 2.270 penduduk. Kemenristekdikti ingin rasio dokter Indonesia jadi satu dokter untuk
1.100 warga, seperti di Malaysia. Sesuai data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rasio dokter
di Malaysia pada 2010 mencapai satu dokter untuk 835 penduduk. Di Singapura pada 2013,
satu dokter untuk 513 penduduk. Sebagai perbandingan, di DKI Jakarta, sebagai provinsi
dengan rasio dokter terbaik, satu dokter menangani 608 penduduk. Di Sulawesi Barat, provinsi
dengan rasio terburuk, satu dokter mengurusi 10.417 penduduk. Meski demikian, rasio satu
dokter untuk 2.500 penduduk itu tidak bisa diterapkan secara merata. Di Jawa Barat, Jawa
Timur, dan Jawa Tengah, rasio dokter belum terpenuhi akibat jumlah penduduk yang besar. Di
Indonesia timur, standar itu sulit diterapkan akibat wilayah luas, medan sulit, dan penduduk
terpencar. Dari 9.731 puskesmas yang ada, 5 persen tidak punya dokter sama sekali. Selain itu,
9 persen puskesmas lain memiliki dokter, tetapi tempat tinggal dokternya jauh dari puskesmas
karena lokasi puskesmas terpencil. Meski pemerintah membuka berbagai program pemerataan
dokter, nyatanya dokter yang berminat ditempatkan di daerah tertentu amat kurang.
4. Urgensi

Beberapa tahun lalu, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi


(Kemenristekdikti) mencabut SK moratorium pendirian fakultas kedokteran baru. Oleh karena
itu, jumlah fakultas kedokteran di Indonesia meningkat dengan pesat. Sejak tahun 2016, sudah
ada 14 fakultas kedokteran baru yang berdiri.(2) Selain itu, sudah ada beberapa perguruan tinggi
yang mengajukan diri untuk membuka fakultas kedokteran baru.
Menurut sebuah artikel yang berjudul “Fakultas Kedokteran Menjamur, Pembukaan
Prodi Kedokteran Baru Akan Dibatasi” pada halaman web detik.com, dari data yang dihimpun
oleh Konsil Kedokteran Indonesia, masih banyak FK yang belum memenuhi standar
ketersediaan tenaga pendidik atau dosen kedokteran serta persyaratan. Persyaratan tersebut
antara lain memenuhi jumlah tenaga dosen minimal 26 dosen dan memiliki rumah sakit
pendidikan atau bekerja sama dengan rumah sakit setempat.
Pada tahun 2018, hanya 22 dari 83 fakultas kedokteran di Indonesia terakreditasi A,
sisanya terakreditasi B dan C. Tentunya, tahun ini jumlah fakultas kedokteran yang belum
terakreditasi A bahkan yang belum terakreditasi akan meningkat. Pertanyaannya, kenapa kita
tidak meningkatkan kualitas fakultas kedokteran yang sudah ada, melainkan mendirikan
fakultas kedokteran baru. Jika ini terus dibiarkan, sampai kapan dokter Indonesia akan
memiliki cap “B” dan “C”? Sudah saatnya kita beraksi, sudah saatnya kita meningkatkan mutu
dokter Indonesia di mata dunia. Sudah saatnya fakultas-fakultas kedokteran Indonesia
menyaingi fakultas kedokteran di mancanegara. Semuanya balik ke diri kita masing-masing,
apakah kita memilih kuantitas atau kualitas?

C. Kesimpulan

Seperti yang sudah dijabarkan dalam poin kualitas pendidikan kedokteran. Pendidikan
Kedokteran harusnya bertujuan untuk menghasilkan dokter yang profesional dan kompeten
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia secara berkeadilan . Artinya, kita tidak
hanya memerlukan tenaga dokter yang banyak untuk memenuhi kebutuhan, tetapi juga
memerlukan tenaga dokter yang profesional dan kompeten agar tujuan peningkatan kualitas
kesehatan dapat tercapai . Hal tersebut tidak hanya didukung dengan peningkatan fasilitas
kesehatan dan akses aksesnya, tetapi juga harus didukung dengan tenaga kesehatan yang
berkualitas .
Untuk mendapatkan tenaga kesehatan yang berkualitas diperlukan sistem pendidikan
kesehatan yang baik dimulai dari proses pendaftaran mahasiswa sampai proses kelulusan dan
proses distribusinya. Kualitas pendidikan dinilai dengan penilaian akreditasi, dari seluruh
fakultas kedokteran yang ada di Indonesia, terdapat 22 fakultas kedokteran yang masih
terakreditasi C. Menilik poin kelulusan UKMPPD di atas, fakultas kedokteran dengan
akreditasi C angka kelulusan UKMPPDnya <50 %, hal ini menyebabkan banyaknya
mahasiswa kedokteran yang mengulang atau biasa kita sebut retaker. Pada tahun 2019, terdapat
2.700 calon dokter berulang kali gagal lulus uji kompetensi.
Dengan maraknya pembukaan fakultas kedokteran di Indonesia, hal tersebut tidak
menjanjikan bahwa persebaran dokter di indonesia akan merata ke seluruh pelosok negeri. Di
Indonesia bagian timur dari 9.731 puskesmas yang ada, 5 persennya tak memiliki dokter sama
sekali. Hal tersebut membuktikan bahwa bukan jumlah dokter yang tidak terpenuhi sehingga
harus menambah lebih banyak fakultas kedokteran, melainkan sistem distribusi dokternya yang
harus diperbaiki dan dikaji lebih dalam.
Sistem distribusi yang paling ideal tidak hanya sekedar menempatkan tenaga dokter di
beberapa daerah, tetapi juga sistem tersebut juga harus berisi mengenai jaminan yang akan
diterima ketika dokter berada di daerah terpencil terlebih jika daerah tersebut masuk ke dalam
kategori daerah konflik. Jaminan kompensasi yang setimpal serta jaminan keamanan
merupakan hal yang wajib dicantumkan dalam sistem distribusi dokter nantinya.
Selain itu kurangnya peminat dalam mengisi kekosongan tenaga kesehatan di beberapa
daerah terpencil bukan hanya mengenai sistem distribusi yang perlu diperbaiki, melainkan juga
perlu kesadaran dari pola pikir dokter itu sendiri bahwasannya Indonesia memerlukan dokter
tidak hanya di daerah sentral, tetapi juga di daerah perifer seperti di Indonesia timur yang sudah
kita sebut di atas.
Problematika yang sangat kompleks dimulai dari banyaknya fakultas kedokteran yang
kualitasnya di bawah rata-rata namun jumlahnya kian menjamur sehingga distribusi dokter
tidak merata. Jika dilihat dari jumlah lulusan dokter setiap tahun, seharusnya jumlah dokter
saat ini sudah bisa memenuhi kebutuhan dokter di Indonesia.
Kemenristekdikti yang sekarang sudah beralih menjadi Mendikbud-dikti sepertinya
tidak menaruh perhatian besar dalam masalah moratorium fakultas kedokteran ini, alih-alih
melanjutkan moratorium yang sudah disepakati, tetapi tanpa pemberitahuan mencabut secara
sepihak kebijakan moratorium yang sudah ditandatangani. Padahal, kita tahu tujuan
moratorium sendiri untuk meningkatkan kualitas dokter di Indonesia.
Jika kualitas dokter menurun dikarenakan banyaknya fakultas kedokteran dengan
kualitas yang kurang serta maraknya pembukaan fakultas kedokteran secara besar-besaran. Hal
ini tentu akan mengguncang dunia kesehatan Indonesia di masa yang akan datang.

D. Rekomendasi
Dengan berbagai poin masalah yang sudah dipaparkan. HPS ISMKI Wilayah 2
memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1. Kemenristekdikti yang sekarang sudah beralih menjadi Mendikbud-Dikti untuk
memberlakukan kembali moratorium pembukaan fakultas kedokteran di Indonesia
sampai 3 tahun, sebagai waktu yang tepat untuk reakreditasi. Jika dalam waktu 3 tahun
masih banyak fakultas kedokteran yang akreditasinya tidak meningkat, maka
moratorium diperpanjang kembali setiap 3 tahun secara berkala.
2. Mendikbud-Dikti dan Kemenkes agar membuat kebijakan baru yang dapat
menyelesaikan masalah retaker UKMPPD yang tidak kunjung usai.
3. IDI, Kemenkes, dan kepala daerah bekerja sama untuk menyelesaikan masalah
distribusi tenaga dokter. Setiap kepala darerah mendata jumlah kebutuhan dokter di
daerahnya. Data ini akan digunakan sebagai database kemenkes dan IDI untuk
meredistrbusi tenaga dokter di daerah yang kekurangan tenaga dokter.
4. Kementerian kesehatan Indonesia membuat sistem distribusi tenaga dokter yang jelas
dan efisien. Terlebih kebijakan distribusi tenaga dokter pada daerah yang terpencil juga
daerah konflik disertai pemberian jaminan kompensasi dan jaminan keamanan.
Daftar Pustaka

(1)
Lokadata. Jumlah Dokter Umum dan Spesialis di Indonesia, 2019.
(2)
Petriella, Yunita. “Fakultas Kedokteran Makin Banyak, Mutu Jalan di Tempat”.
Bisnis.com. 20 Juni 2019 diakses dari :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190620/12/935795/fakultas-kedokteran-makin-
banyak-mutu-jalan-di-tempat
(3)
Petriella, Yunita. “2.700 Calon Dokter Berulang Kali Gagal Uji Kompetensi”.
Bisnis.com. 20 Juni 2019 diakses dari :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190620/12/935803/2.700-calon-dokter-berulang-kali-
gagal-uji-kompetensi
(4)
Petriella, Yunita. “Indonesia Kebanyakan Dokter, Tetapi Terpusat di Kota Besar”.
Bisnis.com. 20 Juni 2019 diakses dari :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190620/12/935811/indonesia-kebanyakan-dokter-
tetapi-terpusat-di-kota-besar.
(5)
Harususilo, Yohanes Enggar. “Dari 83 Fakultas Kedokteran di Indonesia, Baru 22%
Terakreditasi A”. Kompas. 19 Agustus 2018 diakses dari :
https://edukasi.kompas.com/read/2018/08/19/16240021/dari-83-fakultas-kedokteran-di-
indonesia-baru-22-terakreditasi-a?page=all)
(6)
Petriella, Yunita. “Pemilik Perguruan Tinggi Swasta Tolak Moratorium Fakultas
Kedokteran”. Bisnis.com. 20 Juni 2019 :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190620/12/935817/pemilik-perguruan-tinggi-swasta-
tolak-moratorium-fakultas-kedokteran
(7)
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia. “Potret Pendidikan Kedokteran di Indonesia dalam Menghadapi
Tantangan Era Revolusi Industri 4.0”. 17 Agustus 2018 diakses dari :
https://ristekdikti.go.id/kabar/potret-pendidikan-kedokteran-di-indonesia-dalam-
menghadapi-tantangan-era-revolusi-industri-4-0/#Y2zderwHJ49WIiwG.99

Anda mungkin juga menyukai