a. menghasilkan Dokter dan Dokter Gigi yang berbudi luhur, bermartabat, bermutu,
berkompeten, berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi, profesional,
berorientasi pada keselamatan pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistis,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial,
dan berjiwa sosial tinggi;
b. memenuhi kebutuhan Dokter dan Dokter Gigi di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia secara berkeadilan; dan
c. meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran
dan kedokteran gigi.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat perkembangan yang signifikan,
baik dari jumlah dokter spesialis, dokter umum, dan dokter gigi. Namun demikian,
dengan jumlah tersebut masih dijumpai adanya permasalahan. Pertama, belum
3
terpenuhinya rasio ideal antara dokter dan masyarakat di Indonesia. Menurut data
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), rasio antara dokter dan
masyarakat di Indonesia adalah 1:3500. Artinya, satu dokter melayani 3.500 warga.
Hal tersebut masih jauh dari ketetapan World Health Organization (WHO) yang
menentukan rasio ideal adalah 40 dokter umum per 100 ribu penduduk. Kurangnya
tenaga medis ini berdampak besar, bahkan berkontribusi terhadap tingginya angka
kematian akibat terlambatnya pertolongan medis (Metrotvnews.com, 2013). Untuk itu,
dengan adanya UU Dikdok diharapkan dapat mencapai jumlah rasio antara dokter dan
masyarakat yang ideal.
Permasalahan kedua adalah tidak meratanya persebaran tenaga dokter di seluruh
wilayah Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI (2013) tenaga dokter yang didayagunakan
pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) di Indonesia masih terkonsentrasi di
Pulau Jawa. Persentase persebaran tenaga dokter tersebut dapat dilihat pada grafik di
bawah ini.
Grafik 1. Persebaran Tenaga Dokter yang didayagunakan pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan (Fasyankes) di Indonesia pada Tahun 2013
7,89%
1,10%
1,59%
5,17%
Sumatera
2,42%
24,42%
57,41%
Papua
Sumber: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2013
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa persebaran tenaga dokter masih
terkonsentrasi di Jawa dan Bali, yaitu 57.41% atau sebanyak 54.195 dokter dari total
keseluruhan 94.407 dokter. Sementara itu, kawasan Indonesia timur yang meliputi Nusa
Tenggara Timur, Maluku, dan Papua masih kekurangan tenaga medis sehingga
pelayanan kesehatan menjadi tidak merata. Detail mengenai persebaran tersebut dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Dengan tidak meratanya persebaran tenaga dokter ini, maka dalam UU Dikdok
termuat kuota bagi calon mahasiswa yang berasal dari daerah tertentu di Indonesia.
Pada Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa program studi kedokteran dan program studi
kedokteran gigi hanya dapat menerima Mahasiswa sesuai dengan kuota nasional.
Kemudian Pasal 10 menyebutkan bahwa dalam hal adanya peningkatan kebutuhan
pelayanan kesehatan, Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dapat menugaskan
Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi untuk meningkatkan kuota
penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialissubspesialis, dan/atau dokter gigi spesialis-subspesialis sepanjang memenuhi daya
tampung dan daya dukung sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pendidikan kedokteran hendaknya dilaksanakan dengan mengacau pada prinsip
afirmatif agar dapat tercapai upaya pemerataan kesempatan memperoleh Pendidikan
kedokteran dan nantinya meningkatkan pemerataan layanan kesehatan. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Dikdok bahwa: Seleksi penerimaan mahasiswa
program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi
spesialis-subspesialis
harus memperhatikan prinsip afirmatif, transparan, dan
berkeadilan. Adapun, yang dimaksud dengan prinsip afirmatif adalah
prinsip
keberpihakan kepada calon mahasiswa yang berasal dari daerah terpencil,
terdepan/terluar, tertinggal, perbatasan, atau kepulauan, kesetaraan gender, generasi
penerus, masyarakat rentan, masyarakat secara ekonomi kurang mampu, masyarakat
rendah status kesehatannya dan tinggi risiko kesehatannya akibat kondisi struktural
ataupun akibat bencana.
Untuk itu, UU Dikdok diharapkan dapat memastikan adanya integrasi antara
Fakultas Kedokteran/Kedokteran Gigi dan juga kebutuhan kedokteran serta biaya
pendidikan yang bisa terjangkau. Seiring dengan penerapan jaminan kesehatan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan pada tahun 2014,
ketersediaan tenaga kesehatan, salah satunya tenaga medis dokter menjadi keharusan.
Seiring dengan membesarnya cakupan jaminan kesehatan yang diselenggarakan BPJS,
ketersediaan tenaga kesehatan ini pun nantinya harus diperluas agar pelayanan
kesehatan pada setiap fasilitas kesehatan di seluruh wilayah Indonesia dapat
terselenggara dengan baik .
B. Tiga Pilar Dasar Pendidikan Kedokteran
Salah satu tujuan dalam UU Pendidikan Kedokteran adalah meningkatkan
kompetensi dokter agar bisa melayani pasien di bidang pelayanan primer.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan perhatian ekstra terhadap tiga pilar dasar
yang terlibat dalam pendidikan kedokteran, yaitu institusi pendidikan melalui fakultas
kedokteran, institusi rumah sakit tempat dokter berpraktek, dan organisasi profesi
untuk pembinaan anggotanya.
Dalam UU Dikdok ini telah mengatur sinkroniasi pendidikan kedokteran, antara
lain bahwa tidak hanya institusi pendidikan saja yang membuat kurikulum, namun
organisasi profesi juga ikut terlibat yaitu dalam bentuk koordinasi seperti yang tertuang
dalam ketentuan umum Pasal 5, yaitu:
(1) Pendidikan Kedokteran diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
(2) Perguruan tinggi dalam menyelenggarakan Pendidikan Kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana
Pendidikan Kedokteran serta berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.
Disini terlihat bahwa tiga komponen dasar tersebut sudah terakomodasi dengan
baik di undang-undang ini. Walaupun sebenarnya banyak hal yang memang sudah
berjalan selama ini, namun sekarang dikukuhkan dalam bentuk hukum yang mengikat
yaitu undang-undang.
C. Standar Nasional Pendidikan Kedokteran
Standar Nasional Pendidikan Kedokteran adalah bagian dari standar nasional
pendidikan tinggi yang merupakan kriteria minimal dan harus dipenuhi dalam
penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran (Pasal 1). Standar Nasional Pendidikan
Kedokteran untuk Pendidikan Akademik terdiri atas: program Sarjana Kedokteran
dan program Sarjana Kedokteran Gigi; program magister; dan program doctor (Pasal
24 ayat (4)). Menurut Pasal 24 ayat (6) Standar Nasional Pendidikan Kedokteran
sebagaimana untuk Pendidikan Akademik paling sedikit memuat:
a) standar kompetensi lulusan, standar isi, proses, Rumah Sakit Pendidikan, Wahana
Pendidikan Kedokteran, Dosen, Tenaga Kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian;
b) standar penelitian;
c) standar pengabdian kepada masyarakat;
d) penilaian program pendidikan dokter dan dokter gigi yang harus ditingkatkan
secara berencana dan berkala;
e) standar kontrak kerja sama Rumah Sakit Pendidikan dan/atau Wahana
Pendidikan Kedokteran dengan perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan
Kedokteran; dan
f) standar pemantauan dan pelaporan pencapaian program profesi dokter dan dokter
gigi dalam rangka penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan.
Sementara itu, Standar
Nasional
Pendidikan
Kedokteran untuk
Pendidikan Profesi terdiri atas: program profesi dokter dan dokter gigi; dan program
dokter layanan primer, program dokter spesialis-subspesialis, dan program dokter
gigi spesialis-subspesialis (Pasal 24 ayat (5)). Menurut Pasal 24 ayat (7) Standar
Nasional Pendidikan Kedokteran sebagaimana untuk Pendidikan Profesi paling sedikit
memuat:
a) standar kompetensi lulusan, standar isi, proses, Rumah Sakit Pendidikan, Dosen,
Tenaga Kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian;
b) penilaian program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan
dokter gigi spesialis-subspesialis yang harus ditingkatkan secara berencana dan
berkala;
c) standar penelitian;
d) standar pengabdian kepada masyarakat;
e) standar kontrak kerja sama Rumah Sakit Pendidikan dan/atau Wahana
Pendidikan Kedokteran dengan perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan
Kedokteran; dan
f) standar pola pemberian insentif untuk Mahasiswa program dokter layanan
primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis atas
kinerjanya sebagai pemberi pelayanan kesehatan.
D. Kompetensi Profesi Kedokteran
Dalam UU Dikdok disebutkan para mahasiswa kedokteran harus lebih dahulu
lolos uji kompetensi dan baru diluluskan dari perguruan tinggi. Pada Pasal 36 UU
Dikdok disebutkan bahwa untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter
gigi, Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum
mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi (ayat 1). Mahasiswa yang lulus
uji kompetensi memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi
(ayat 2). Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi dilaksanakan oleh Fakultas
Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi
Profesi (ayat 3).
Kemudian pasal 39 ayat (1) menyebutkan bahwa Mahasiswa program dokter
layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis
paling sedikit 60 persen dari jumlah peserta didik baru yang diterima. Sementara
mulai 2013 lalu, SNMPTN hanya menggunakan mekanisme jalur Undangan
berdasarkan prestasi akademik selama di SMA. Jalur undangan ini membuat sekolah
mengambil nilai terbaik. Hal ini membuat sekolah termotivasi untuk mengobral nilai.
Sekolah bisa saja memanipulasi nilai demi meningkatkan keterserapan alumninya di
perguruan tinggi favorit.
3. Banyak Fakultas Kedokteran tidak imbang dosen dan peserta didiknya.
Idealnya, Fakultas Kedokteran memiliki rasio dosen dan mahasiswa 1:10 untuk
tahap preklinik dan pada tahap klinik 1:5.
4. Masalah perizinan dan akreditasi
Masih banyak Fakultas Kedokteran swasta yang berdiri atas izin Kemendiknas
(Kementerian Pendidikan Nasional) saja, padahal belum memiliki fasilitas yang
memadai. Menurut Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Menaldi Rasmin,
tahun 2008 hanya ada 52 fakultas kedokteran. Namun, tahun 2010 jumlahnya
menjadi 72 Fakultas Kedokteran. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) tahun 2009 menyebut, ada 69 fakultas kedokteran. Sebanyak 31
fakultas dikelola universitas negeri dan 38 fakultas dikelola swasta. Sementara pada
tahun yang sama menurut data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BANPT) menunjukkan hanya 16 fakultas kedokteran terakreditasi A, 18 terakreditasi B,
dan 10 terakreditasi C. Sisanya belum terakreditasi.
Pada tahun 2013, dari 74 Fakultas Kedokteran di Indonesia sekitar 69 persen di
antaranya memiliki akreditasi C ke bawah. Sementara Fakultas Kedokteran yang
memiliki akreditasi A dan B jumlahnya lebih sedikit hanya sebesar 31 persen.
Banyaknya Fakultas Kedokteran yang akreditasinya C berdampak pada kualitas
lulusan yang belum baik.
Mengingat masih adanya Fakultas Kedokteran yang belum terakreditasi dan
berdampak pada kualitas lulusan dokter maka diperlukan adanya standarisasi kualitas
pendidikan kedokteran institusi yang membuka fakultas kedokteran atau program
studi kedokteran. UU Dikdok pun mengakomodir standarisasi ini melalui persyaratan
Pembentukan FK maupun FKG yang disebutkan dalam Pasal 6 ayat (3) bahwa
Pembentukan Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi paling sedikit
harus memenuhi syarat dan ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki Dosen dan Tenaga Kependidikan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
b. memiliki gedung untuk penyelenggaraan pendidikan;
c. memiliki laboratorium biomedis, laboratorium kedokteran klinis, laboratorium
bioetika/humaniora kesehatan, serta laboratorium kedokteran komunitas dan
kesehatan masyarakat; dan
d. memiliki Rumah Sakit Pendidikan atau memiliki rumah sakit yang bekerja sama
dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran.
10
11
KELOMPOK
KURANG
MAMPU
DAN
khusus tersebut adalah beasiswa yang diberikan kepada Mahasiswa yang lahir di daerah
tertentu, menyelesaikan pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di
daerah kelahirannya, dan setelah lulus.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Dokter Layanan Primer (DLP) bukan berarti program studi khusus, tapi
merupakan program lanjutan dari profesi dokter. Ide awal DLP adalah untuk menjamin
dokter yang bekerja di layanan primer mampu menangani kasus. DLP adalah dokter
yang ditambah kompetensi khusus, sehingga levelnya setara spesialis, namun bukan
spesialis. Program DLP ditujukan untuk memenuhi kualifikasi sebagai pelaku awal pada
layanan kesehatan tingkat pertama, melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke
tingkat kedua, dan melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar
kompetensi dokter dalam sistem jaminan kesehatan nasional. Secara aturan
perundangan, konsep DLP sudah siap, namun belum tertulis dalam suatu peraturan
khusus. Karenanya, perlu peraturan khusus untuk dokter yang memberikan layanan
primer serta bagaimana keterlibatan mahasiswa dalam pelayanan primer tersebut. Akan
ada aturan konversi terhadap dokter yang ada saat ini untuk melakukan layanan primer
(Kesepakatan terkait mekanisme konversi perlu dibicarakan lebih lanjut antara
organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan).
13
IMPLIKASI UU
MAHASISWA
DIKDOK
TERHADAP
TENAGA
PENGAJAR
DAN
14
diberikan dalam bentuk ikatan dinas yang dapat bersumber dari: Pemerintah;
Pemerintah Daerah; Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi; atau pihak
lain.
PENUTUP
UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran menciptakan warna baru
dalam dunia pendidikan kedokteran di Indonesia. Dengan adanya UU Dikdok ini
diharapkan stigma pendidikan kedokteran yang mahal tidak ada lagi karena pendanaan
pendidikan kedokteran menjadi tanggung jawab bersama, diantaranya oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah melalui alokasi dalam APBN dan APBD. Selain itu, adanya
beasiswa/bantuan biaya pendidikan memberikan kesempatan bagi calon mahasiwa yang
kurang mampu namun cerdas sehingga dapat menempuh pendidikan kedokteran.
15
BIOGRAFI
16
17
Penulis menikah dengan Soraya dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Rifki
Shihab, Msc (Lulus Bsc dan Msc Magna Cumlaude dari Temple University, USA dan
sekarang aktif sebagai Dosen di Fakultas Ilmu Komputer UI), Raehana Shihab,
Bsc.,M.Kom (Lulus Bsc Magna Cumlaude dari Brigham Young University USA dan
Master Komunikasi di FISIP UI), Fachri Shihab (Mahasiswa di Jurusan Electrical
Engineering Brigham Young University). Ketiga putra penulis menempuh pendidikan di
USA dengan mendapatkan beasiswa prestasi dari Universitas yang bersangkutan. Saat
ini Penulis telah dikarunia seorang cucu bernama Aqila yang memiliki arti anak
perempuan yang cerdas.
18