Anda di halaman 1dari 19

IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN

2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN


Oleh dr Ahmad Nizar Shihab, SpAn
Anggota DPR RI Komisi IX Periode 2009-2014
Anggota Panja RUU Pendidikan Kedokteran

PERTEMUAN ILMIAH BERKALA XVIII


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASAR, 24 JANUARI 2014

LATAR BELAKANG UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN (UU DIKDOK)


Indonesia mulai tahun 2010-2035 akan mempunyai penduduk dengan usia
produktif yang jumlahnya luar biasa. Populasi tersebut akan menjadi bonus demografi
apabila berkualitas, namun sebaliknya akan menjadi bencana demografi apabila tidak
berkualitas. Disepakati bahwa Pendidikan dan Kesehatan menjadi kata kunci dalam
menentukan kualitas tersebut.
Pelayanan kesehatan bagi masyarakat seharusnya diselenggarakan secara
menyeluruh, terpadu, merata, dan dengan mutu yang baik serta dapat diterima atau
dirasakan masyarakat dengan harga yang terjangkau. Untuk memastikan layanan
kesehatan yang baik tersebut diperlukan penataan mulai dari sisi hulu yakni pendidikan
kedokteran.
Pendidikan kedokteran yang sangat strategis tersebut dirasakan masih
menghadapi banyak masalah, diantaranya masalah kompetensi lulusan dan disparitas
mutu. Pendidikan kedokteran sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional
seharusnya diselenggarakan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan untuk
menumbuhkembangkan penguasaan, pemanfaatan, penelitian, serta pemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga menghasilkan dokter yang bermutu, kompeten,
profesional, bertanggung jawab, beretika, bermoral, humanistis, dan berjiwa sosial
tinggi yang dilandasi dengan wawasan kesehatan untuk meningkatkan daya saing
bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang.
Upaya melakukan penataan pendidikan kedokteran untuk mencapai tujuan
sebagaimana dimaksud diatas belum diatur secara komprehensif dalam peraturan
perundang-undangan. Untuk itu, diperlukan adanya pembenahan sistem pendidikan
kedokteran yang lebih baik melalui suatu Undang-Undang.
Pada awalnya tujuan/latar belakang pembuatan UU Pendidikan Kedokteran
(Dikdok) adalah antara lain karena adanya keprihatinan akan biaya pendidikan
kedokteran yang sangat mahal sehingga memberatkan siswa-siswa yang cerdas namun
kurang mampu untuk melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Kedokteran. Menurut
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, ada dua persoalan utama yang
menyebabkan biaya pendidikan dokter mahal, yaitu akses keterjangkauan untuk menjadi
dokter dan faktor ketersediaan yang terkonsentrasi pada satu titik saja. Namun
demikian, biaya yang mahal tersebut ternyata tidak menjamin kualitas dokter di
Indonesia dapat memenuhi standar yang tinggi karena standar pendidikan kedokteran di
Indonesia masih tetap di bawah standar internasional.
Selain itu, UU Dikdok ini juga dibuat untuk memenuhi kebutuhan dokter di
seluruh wilayah Indonesia karena persebarannya yang tidak merata. Pada intinya, UU
Dikdok ini diharapkan dapat menjamin adanya kesempatan bagi calon dari daerah
sesuai dengan kebutuhan daerahnya, masyarakat berpenghasilan rendah, dan
menghasilkan lulusan dokter yang berkarakter.
Pendidikan Kedokteran dianggap sebagai bentuk pendidikan tinggi yang bersifat
khusus dimana pendidikan akademik dilaksanakan bersamaan dengan pendidikan

keprofesian. Oleh karena itulah, Pemerintah setuju untuk mengaturnya dalam UU


tersendiri sebagai Lex Specialis dari UU tentang Pendidikan Tinggi. Hal ini juga
didorong dengan kenyataan kurang meratanya penyebaran dokter dan kesempatan untuk
meraih pendidikan dokter. Dapat dikatakan UU Dikdok ini menjadi istimewa karena
statusnya sebagai UU pertama yang membahas kependidikan keprofesian di Indonesia.

SUBSTANSI UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN (UU DIKDOK)


UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran disahkan di Jakarta pada
tanggal 6 Agustus 2013 oleh Presiden RI, Dr.H. Susilo Bambang Yudhoyono. UU Dikdok
ini diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 agustus 2013 oleh Menteri Hukum dan HAM RI,
Amir Syamsudin. UU Dikdok ini terdiri dari 8 Bab dengan total keseluruhan 64 pasal,
yakni mencakup:
Bab I Ketentuan Umum
Bab II Penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran
Bab III Pendanaan Dan Standar Satuan Biaya Pendidikan Kedokteran
Bab IV Pemerintah Dan Pemerintah Daerah
Bab V Peran Serta Masyarakat
Bab VI Sanksi Administratif
Bab VII Ketentuan Peralihan
Bab VIII Ketentuan Penutup
Dalam UU Dikdok tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
Pendidikan Kedokteran adalah usaha sadar dan terencana dalam pendidikan
formal yang terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesi pada jenjang
pendidikan tinggi yang program studinya terakreditasi untuk menghasilkan lulusan
yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran atau kedokteran gigi (Pasal 1).
Pendidikan Akademik yang dimaksud tersebut terdiri atas (Pasal 7 ayat (3)):
a. program Sarjana Kedokteran dan program Sarjana Kedokteran Gigi;
b. program magister; dan
c. program doktor.
Sementara Pendidikan Profesi terdiri atas (Pasal 7 ayat (5)):
a. program profesi dokter dan profesi dokter gigi; dan
b. program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi
spesialis-subspesialis.
Yang dimaksud dengan Dokter adalah dokter, dokter layanan primer, dokter
spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri,
yang diakui oleh Pemerintah (Pasal 1).
Tujuan dari Pendidikan Kedokteran yang disebutkan pada Pasal 4 UU
Dikdok adalah sebagai berikut:

a. menghasilkan Dokter dan Dokter Gigi yang berbudi luhur, bermartabat, bermutu,
berkompeten, berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi, profesional,
berorientasi pada keselamatan pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistis,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial,
dan berjiwa sosial tinggi;
b. memenuhi kebutuhan Dokter dan Dokter Gigi di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia secara berkeadilan; dan
c. meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran
dan kedokteran gigi.

IMPLIKASI UU DIKDOK TERHADAP PENDIDIKAN KEDOKTERAN DI


INDONESIA
Implikasi UU Dikdok terhadap pendidikan kedokteran di Indonesia diantaranya
dapat dilihat dari ketersediaan jumlah tenaga dokter (dokter umum, dokter spesialis, dan
dokter gigi), tiga pilar dasar pendidikan kedokteran, standar nasional pendidikan
kedokteran, kompetensi profesi kedokteran, program dokter spesialis-subspesialis, dan
pendanaan pendidikan kedokteran. Penjelasan mengenai implikasi UU Dikdok terhadap
pendidikan kedokteran tersebut dapat dilihat pada uraian di bawah ini.
A. Meningkatkan Jumlah Dokter
Ketersediaan jumlah tenaga dokter di Indonesia mengalami pengingkatan dari
tahun ke tahun. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI (2013) jumlah dokter yang
didayagunakan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) di Indonesia dapat
dilihat pada tabel di bawah ini yang mencakup jumlah dokter spesialis, dokter umum,
dan dokter gigi dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013.
Tabel 1. Jumlah Dokter yang Didayagunakan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes) di Indonesia
Tahun
No.
Medis
2010
2011
2012
2013
1. Dokter Spesialis
8.403
16.574
27.333 38.895
2. Dokter Umum
25.333
33.172
37.364 42.398
3. Dokter Gigi
8.731
10.575
11.826 13.114
42.467
60.321
76.523 94.407
TOTAL
Sumber: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2013

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat perkembangan yang signifikan,
baik dari jumlah dokter spesialis, dokter umum, dan dokter gigi. Namun demikian,
dengan jumlah tersebut masih dijumpai adanya permasalahan. Pertama, belum
3

terpenuhinya rasio ideal antara dokter dan masyarakat di Indonesia. Menurut data
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), rasio antara dokter dan
masyarakat di Indonesia adalah 1:3500. Artinya, satu dokter melayani 3.500 warga.
Hal tersebut masih jauh dari ketetapan World Health Organization (WHO) yang
menentukan rasio ideal adalah 40 dokter umum per 100 ribu penduduk. Kurangnya
tenaga medis ini berdampak besar, bahkan berkontribusi terhadap tingginya angka
kematian akibat terlambatnya pertolongan medis (Metrotvnews.com, 2013). Untuk itu,
dengan adanya UU Dikdok diharapkan dapat mencapai jumlah rasio antara dokter dan
masyarakat yang ideal.
Permasalahan kedua adalah tidak meratanya persebaran tenaga dokter di seluruh
wilayah Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI (2013) tenaga dokter yang didayagunakan
pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) di Indonesia masih terkonsentrasi di
Pulau Jawa. Persentase persebaran tenaga dokter tersebut dapat dilihat pada grafik di
bawah ini.
Grafik 1. Persebaran Tenaga Dokter yang didayagunakan pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan (Fasyankes) di Indonesia pada Tahun 2013
7,89%

1,10%

1,59%

5,17%

Sumatera

2,42%
24,42%

Jawa dan Bali


Kep. Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Kep. Maluku

57,41%

Papua

Sumber: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2013

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa persebaran tenaga dokter masih
terkonsentrasi di Jawa dan Bali, yaitu 57.41% atau sebanyak 54.195 dokter dari total
keseluruhan 94.407 dokter. Sementara itu, kawasan Indonesia timur yang meliputi Nusa
Tenggara Timur, Maluku, dan Papua masih kekurangan tenaga medis sehingga
pelayanan kesehatan menjadi tidak merata. Detail mengenai persebaran tersebut dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. Persebaran Tenaga Dokter yang didayagunakan pada Fasilitas Pelayanan


Kesehatan (Fasyankes) di Indonesia pada Tahun 2013
Dokter
Dokter
Wilayah
Dokter Gigi
Jumlah
Persentase
Spesialis
Umum
Sumatera
8.371
1.1681
3.001
23.053
24.42 %
Jawa
dan
25.643
20.899
7.653
54.195
57.41 %
Bali
Kep. Nusa
648
1.318
323
2.289
2.42 %
Tenggara
Kalimantan
1.235
2.883
767
4.885
5.17 %
Sulawesi
2.482
3.921
1.043
7.446
7.89 %
Kep. Maluku
198
664
172
1.034
1.10 %
Papua
648
1.032
323
1.505
1.59 %
38.895
42.398
13.114
94.407
100.00 %
TOTAL
Sumber: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2013

Dengan tidak meratanya persebaran tenaga dokter ini, maka dalam UU Dikdok
termuat kuota bagi calon mahasiswa yang berasal dari daerah tertentu di Indonesia.
Pada Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa program studi kedokteran dan program studi
kedokteran gigi hanya dapat menerima Mahasiswa sesuai dengan kuota nasional.
Kemudian Pasal 10 menyebutkan bahwa dalam hal adanya peningkatan kebutuhan
pelayanan kesehatan, Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dapat menugaskan
Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi untuk meningkatkan kuota
penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialissubspesialis, dan/atau dokter gigi spesialis-subspesialis sepanjang memenuhi daya
tampung dan daya dukung sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pendidikan kedokteran hendaknya dilaksanakan dengan mengacau pada prinsip
afirmatif agar dapat tercapai upaya pemerataan kesempatan memperoleh Pendidikan
kedokteran dan nantinya meningkatkan pemerataan layanan kesehatan. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Dikdok bahwa: Seleksi penerimaan mahasiswa
program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi
spesialis-subspesialis
harus memperhatikan prinsip afirmatif, transparan, dan
berkeadilan. Adapun, yang dimaksud dengan prinsip afirmatif adalah
prinsip
keberpihakan kepada calon mahasiswa yang berasal dari daerah terpencil,
terdepan/terluar, tertinggal, perbatasan, atau kepulauan, kesetaraan gender, generasi
penerus, masyarakat rentan, masyarakat secara ekonomi kurang mampu, masyarakat
rendah status kesehatannya dan tinggi risiko kesehatannya akibat kondisi struktural
ataupun akibat bencana.
Untuk itu, UU Dikdok diharapkan dapat memastikan adanya integrasi antara
Fakultas Kedokteran/Kedokteran Gigi dan juga kebutuhan kedokteran serta biaya

pendidikan yang bisa terjangkau. Seiring dengan penerapan jaminan kesehatan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan pada tahun 2014,
ketersediaan tenaga kesehatan, salah satunya tenaga medis dokter menjadi keharusan.
Seiring dengan membesarnya cakupan jaminan kesehatan yang diselenggarakan BPJS,
ketersediaan tenaga kesehatan ini pun nantinya harus diperluas agar pelayanan
kesehatan pada setiap fasilitas kesehatan di seluruh wilayah Indonesia dapat
terselenggara dengan baik .
B. Tiga Pilar Dasar Pendidikan Kedokteran
Salah satu tujuan dalam UU Pendidikan Kedokteran adalah meningkatkan
kompetensi dokter agar bisa melayani pasien di bidang pelayanan primer.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan perhatian ekstra terhadap tiga pilar dasar
yang terlibat dalam pendidikan kedokteran, yaitu institusi pendidikan melalui fakultas
kedokteran, institusi rumah sakit tempat dokter berpraktek, dan organisasi profesi
untuk pembinaan anggotanya.
Dalam UU Dikdok ini telah mengatur sinkroniasi pendidikan kedokteran, antara
lain bahwa tidak hanya institusi pendidikan saja yang membuat kurikulum, namun
organisasi profesi juga ikut terlibat yaitu dalam bentuk koordinasi seperti yang tertuang
dalam ketentuan umum Pasal 5, yaitu:
(1) Pendidikan Kedokteran diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
(2) Perguruan tinggi dalam menyelenggarakan Pendidikan Kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana
Pendidikan Kedokteran serta berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.
Disini terlihat bahwa tiga komponen dasar tersebut sudah terakomodasi dengan
baik di undang-undang ini. Walaupun sebenarnya banyak hal yang memang sudah
berjalan selama ini, namun sekarang dikukuhkan dalam bentuk hukum yang mengikat
yaitu undang-undang.
C. Standar Nasional Pendidikan Kedokteran
Standar Nasional Pendidikan Kedokteran adalah bagian dari standar nasional
pendidikan tinggi yang merupakan kriteria minimal dan harus dipenuhi dalam
penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran (Pasal 1). Standar Nasional Pendidikan
Kedokteran untuk Pendidikan Akademik terdiri atas: program Sarjana Kedokteran
dan program Sarjana Kedokteran Gigi; program magister; dan program doctor (Pasal
24 ayat (4)). Menurut Pasal 24 ayat (6) Standar Nasional Pendidikan Kedokteran
sebagaimana untuk Pendidikan Akademik paling sedikit memuat:
a) standar kompetensi lulusan, standar isi, proses, Rumah Sakit Pendidikan, Wahana
Pendidikan Kedokteran, Dosen, Tenaga Kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian;
b) standar penelitian;
c) standar pengabdian kepada masyarakat;

d) penilaian program pendidikan dokter dan dokter gigi yang harus ditingkatkan
secara berencana dan berkala;
e) standar kontrak kerja sama Rumah Sakit Pendidikan dan/atau Wahana
Pendidikan Kedokteran dengan perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan
Kedokteran; dan
f) standar pemantauan dan pelaporan pencapaian program profesi dokter dan dokter
gigi dalam rangka penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan.
Sementara itu, Standar
Nasional
Pendidikan
Kedokteran untuk
Pendidikan Profesi terdiri atas: program profesi dokter dan dokter gigi; dan program
dokter layanan primer, program dokter spesialis-subspesialis, dan program dokter
gigi spesialis-subspesialis (Pasal 24 ayat (5)). Menurut Pasal 24 ayat (7) Standar
Nasional Pendidikan Kedokteran sebagaimana untuk Pendidikan Profesi paling sedikit
memuat:
a) standar kompetensi lulusan, standar isi, proses, Rumah Sakit Pendidikan, Dosen,
Tenaga Kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian;
b) penilaian program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan
dokter gigi spesialis-subspesialis yang harus ditingkatkan secara berencana dan
berkala;
c) standar penelitian;
d) standar pengabdian kepada masyarakat;
e) standar kontrak kerja sama Rumah Sakit Pendidikan dan/atau Wahana
Pendidikan Kedokteran dengan perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan
Kedokteran; dan
f) standar pola pemberian insentif untuk Mahasiswa program dokter layanan
primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis atas
kinerjanya sebagai pemberi pelayanan kesehatan.
D. Kompetensi Profesi Kedokteran
Dalam UU Dikdok disebutkan para mahasiswa kedokteran harus lebih dahulu
lolos uji kompetensi dan baru diluluskan dari perguruan tinggi. Pada Pasal 36 UU
Dikdok disebutkan bahwa untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter
gigi, Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum
mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi (ayat 1). Mahasiswa yang lulus
uji kompetensi memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi
(ayat 2). Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi dilaksanakan oleh Fakultas
Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi
Profesi (ayat 3).
Kemudian pasal 39 ayat (1) menyebutkan bahwa Mahasiswa program dokter
layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis

harus mengikuti uji kompetensi dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis,


dan dokter gigi spesialis-subspesialis yang bersifat nasional dalam rangka memberi
pengakuan pencapaian kompetensi profesi dokter layanan primer, dokter spesialissubspesialis dan dokter gigi spesialis-subspesialis.
Uji kompetensi dilakukan untuk menciptakan jaminan mutu atau kualitas praktik
kedokteran. Untuk Pendidikan Akademik, disebutkan dalam Pasal 17 ayat (1) bahwa
untuk pencapaian kompetensi lulusan, Fakultas Kedokteran dan Fakultas
Kedokteran Gigi menjamin kelangsungan Dosen yang memiliki keilmuan biomedis,
kedokteran klinis, bioetika/humaniora kesehatan, ilmu pendidikan kedokteran, serta
kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat. Sementara untuk Pendidikan Profesi,
disebutkan dalam Pasal 18 bahwa untuk pembelajaran klinik dan pembelajaran
komunitas, Mahasiswa diberi kesempatan terlibat dalam pelayanan kesehatan dengan
bimbingan dan pengawasan Dosen. Mahasiswa tetap harus mematuhi kode etik Dokter
atau Dokter Gigi, dan/atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur
keprofesian.
Pada tahun 2013 standar minimal kelulusan minimal mencapai nilai
62. Sebelumnya, standar kelulusan uji kompetensi hanya 48. Pada setiap uji kompetensi
persentase hasil kelulusan biasanya mencapai sekitar 70 persen dan 30 persen gagal.
Jumlah peserta uji kompetensi biasanya mencapai 3.000 hingga 4.000 dokter untuk
sekali ujian. Adapun, dalam setahun ada sebanyak empat kali uji kompetensi dokter.
Hingga akhir 2012 terdapat 2.000 dokter yang tidak lulus uji kompetensi yang
dimulai sejak 2006 tersebut. Jumlah ini hanyalah lima persen dari total keseluruhan
peserta ujian. Dari ribuan yang tidak lulus ini ada beberapa di antaranya yang sudah
beberapa kali mengikuti uji kompetensi namun gagal. Dari hasil identifikasi, mereka
kebanyakan berasal dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang berjumlah sekitar delapan
kampus (Republika Online, 2013). Tidak lulusnya uji kompetensi tersebut
menggambarkan bahwa kualitas dokter di Indonesia masih tidak memenuhi standar.
Menurut Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), pendidikan kedokteran di
Indonesia dinilai masih kurang kontrol baik dari pemerintah maupun dari masyarakat.
Hal ini menyebabkan kualitas dokter di Indonesia menurun dari tahun ke tahun. Selain
itu ada beberapa hal juga yang membuat kualitas dokter di Indonesia semakin
memburuk, seperti:
1. Masih ada 2.500 lulusan dokter gagal ujian kompetensi sampai 2013.
Lulusan dokter tersebut dinilai gagal lulus dalam Uji Kompetensi Dokter
Indonesia (UKDI) sehingga IDI melakukan pendampingan bagi sekitar 2.500 lulusan
dokter tersebut.
2. Tingginya kuota melalui jalur undangan.
Hal ini terkait dengan tingginya kuota penerimaan mahasiswa baru melalui jalur
Undangan berdasarkan nilai Rapor. Menurut pengamat pendidikan, Dr.
Dharmayuwati pane, MA, sesuai dengan Pasal 53 B Peraturan Pemerintah Nomor 66
Tahun 2010 disebutkan bahwa satuan pendidikan tinggi wajib menjaring peserta
didik baru program sarjana melalui pola penerimaam secara nasional (SNMPTN)

paling sedikit 60 persen dari jumlah peserta didik baru yang diterima. Sementara
mulai 2013 lalu, SNMPTN hanya menggunakan mekanisme jalur Undangan
berdasarkan prestasi akademik selama di SMA. Jalur undangan ini membuat sekolah
mengambil nilai terbaik. Hal ini membuat sekolah termotivasi untuk mengobral nilai.
Sekolah bisa saja memanipulasi nilai demi meningkatkan keterserapan alumninya di
perguruan tinggi favorit.
3. Banyak Fakultas Kedokteran tidak imbang dosen dan peserta didiknya.
Idealnya, Fakultas Kedokteran memiliki rasio dosen dan mahasiswa 1:10 untuk
tahap preklinik dan pada tahap klinik 1:5.
4. Masalah perizinan dan akreditasi
Masih banyak Fakultas Kedokteran swasta yang berdiri atas izin Kemendiknas
(Kementerian Pendidikan Nasional) saja, padahal belum memiliki fasilitas yang
memadai. Menurut Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Menaldi Rasmin,
tahun 2008 hanya ada 52 fakultas kedokteran. Namun, tahun 2010 jumlahnya
menjadi 72 Fakultas Kedokteran. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) tahun 2009 menyebut, ada 69 fakultas kedokteran. Sebanyak 31
fakultas dikelola universitas negeri dan 38 fakultas dikelola swasta. Sementara pada
tahun yang sama menurut data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BANPT) menunjukkan hanya 16 fakultas kedokteran terakreditasi A, 18 terakreditasi B,
dan 10 terakreditasi C. Sisanya belum terakreditasi.
Pada tahun 2013, dari 74 Fakultas Kedokteran di Indonesia sekitar 69 persen di
antaranya memiliki akreditasi C ke bawah. Sementara Fakultas Kedokteran yang
memiliki akreditasi A dan B jumlahnya lebih sedikit hanya sebesar 31 persen.
Banyaknya Fakultas Kedokteran yang akreditasinya C berdampak pada kualitas
lulusan yang belum baik.
Mengingat masih adanya Fakultas Kedokteran yang belum terakreditasi dan
berdampak pada kualitas lulusan dokter maka diperlukan adanya standarisasi kualitas
pendidikan kedokteran institusi yang membuka fakultas kedokteran atau program
studi kedokteran. UU Dikdok pun mengakomodir standarisasi ini melalui persyaratan
Pembentukan FK maupun FKG yang disebutkan dalam Pasal 6 ayat (3) bahwa
Pembentukan Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi paling sedikit
harus memenuhi syarat dan ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki Dosen dan Tenaga Kependidikan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
b. memiliki gedung untuk penyelenggaraan pendidikan;
c. memiliki laboratorium biomedis, laboratorium kedokteran klinis, laboratorium
bioetika/humaniora kesehatan, serta laboratorium kedokteran komunitas dan
kesehatan masyarakat; dan
d. memiliki Rumah Sakit Pendidikan atau memiliki rumah sakit yang bekerja sama
dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran.

Selain itu, untuk meningkatkan kualitas dokter dapat dilakukan melalui


program internship. Internsip adalah proses pemantapan mutu profesi dokter untuk
menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi,
komprehensif, mandiri serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam
rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Legal penyelenggaraan program internsip dokter di Indonesia adalah Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.299/Menkes/Per/II/2010 tentang
Penyelengaraan Program Internsip dan Penempatan Dokter Pasca Internsip. Konsil
Kedokteran Indonesia telah menerbitkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No.
1/KKI/Per/2010 tentang Registasi Dokter Program Internsip. Komite Internsip Dokter
Indonesia sebagai Pelaksana Program Internsip Dokter telah diangkat dan ditetapkan
melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
138/Menkes/SK/I/2011 tentang Komite Internsip Dokter Indonesia. Kemudian, legal
aspek pelaksanaan internsip ini diperkuat dengan ditetapkannya Undang-Undang No.20
tentang Pendidikan Kedokteran.
Dalam UU Dikdok disebutkan bahwa program profesi dokter dan profesi
dokter gigi dilanjutkan dengan program internsip (Pasal 7 ayat (7)). Yang dimaksud
dengan internsip adalah pemahiran dan pemandirian Dokter yang merupakan
bagian dari program penempatan wajib sementara, paling lama 1 (satu) tahun. Di
beberapa negara Eropa program internship berlangsung selama 2 sd 3 tahun setelah
lulus pendidikan dokter. Di Indonesia secara resmi program ini telah dibahas dan
disepakati oleh Kementerian Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) dan Kementerian Pendidikan Nasional sejak tahun 2008.
Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) dilaksanakan selama 1 (satu) tahun, yaitu 8
bulan di Rumah Sakit dan 4 bulan di Puskesmas.
Sepanjang kurun waktu 2010 sampai dengan Agustus 2013 sebanyak 9.275
dokter dari 39 Fakultas Kedokteran telah melaksanakan PIDI. Saat ini 4.774 dokter
yang berasal dari 39 Fakultas Kedokteran baik pemerintah maupun swasta sedang
melaksanakan PIDI dengan melibatkan 1.509 dokter pendamping di 429 Rumah Sakit
dan 598 Puskesmas di 26 Propinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,
Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Pasal 38 ayat (2) UU Dikdok menyebutkan bahwa penempatan wajib sementara
pada Program Internsip dihitung sebagai masa kerja merupakan dasar hukum Internsip.
Karenanya, peserta PIDI dalam melaksanakan kinerja sebagaimana tugas dan fungsi
dokter pada wahana RS dan Puskemas, memperoleh imbalalan sebagai penunjang
kebutuhan hidupnya yang diberikan dalam bantuk bantuan Biaya Hidup (BBH) sebesar
Rp. 1.200.000,-/bulan. Pada tanggal 23 Oktober 2013, Kementerian Keuangan atas
persetujuan Komisi IX DPR RI telah menetapkan kenaikan BBH menjadi Rp.2.500.000
per bulan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

10

E. Program Dokter Spesialis-Subspesialis


Pendidikan Kedokteran juga mengakomodasi mengenai ketersediaan dokterdokter hingga ke perifer Indonesia. Hal ini dapat menyeimbangkan persebaran institusi
pendidikan kedokteran yang belum merata dan terpusat di Pulau Jawa. Ketersediaan
dokter di puskesmas-puskesmas hingga ke pelosok pada akhirnya akan menjamin
terciptanya kualitas kesehatan primer yang baik di Indonesia.
UU Dikdok ini mendukung terciptanya kualitas pendidikan kedokteran yang
lebih baik dengan menunjang kebutuhan proses pembelajaran, seperti mengatur adanya
dosen berlatar belakang klinis dan kejelasan status spesialis-subspesialis. Program
dokter spesialis-subspesialis ini termasuk dalam Pendidikan Profesi sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 7 ayat (5). Adapun, pada Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa
program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi
spesialis-subspesialis dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas
Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program studi
kedokteran dan program studi kedokteran gigi.
Dokter yang akan mengikuti seleksi penerimaan Mahasiswa program dokter
layanan primer dan dokter spesialis-subspesialis serta Dokter Gigi yang akan
mengikuti seleksi penerimaan Mahasiswa program dokter gigi spesialis-subspesialis
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki surat tanda registrasi; dan
b. mempunyai pengalaman klinis di fasilitas pelayanan kesehatan terutama di daerah
terpencil, terdepan/terluar, tertinggal, perbatasan, atau kepulauan (Pasal 28 ayat (2)).
Dalam penyelenggaraan program dokter spesialis-subspesialis dan dokter gigi
spesialis-subspesialis, FK dan FKG dapat mendidik mahasiswa program tersebut di
Rumah Sakit Pendidikan dan/atau di Wahana Pendidikan Kedokteran. Pada Pasal 19
ayat (2) disebutkan bahwa mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialissubspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis dalam tahap mandiri pendidikan
dapat ditempatkan di rumah sakit selain Rumah Sakit Pendidikan setelah dilakukan
visitasi.
Yang dimaksud dengan tahap mandiri tersebut adalah tahap pendidikan setelah
memperoleh kompetensi tertentu yang dibutuhkan. Sementara visitasi adalah
kunjungan yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran ke rumah sakit selain Rumah Sakit
Pendidikan untuk menilai kelaikan rumah sakit tersebut sebagai tempat pemahiran
mahasiswa program dokter spesialis-subspesialis. Adapun. Rumah Sakit selain Rumah
Sakit Pendidikan adalah rumah sakit yang tidak memiliki dokter spesialis dengan
tujuan untuk keperluan afirmasi pemenuhan kebutuhan dokter spesialis. Penempatan
mahasiswa program pendidikan dokter spesialis-subspesialis tahap mandiri untuk
kompetensi tertentu, bertujuan meningkatkan pemahiran dan pemerataan pelayanan
spesialistik.

11

F. Pendanaan Pendidikan Kedokteran


Pendanaan pendidikan kedokteran tidak hanya ditanggung oleh satu pihak saja,
melainkan merupakan tanggung jawab beberapa pihak sebagaimana yang dicantumkan
dalam Pasal 48 UU Dikdok:
(1) Pendanaan Pendidikan Kedokteran menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi,
Rumah Sakit Pendidikan, dan masyarakat.
(2) Pendanaan Pendidikan Kedokteran yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dan
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam
anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja
daerah provinsi dan kabupaten/kota.
(3) Pendanaan Pendidikan Kedokteran yang menjadi tanggung jawab Fakultas
Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, dan Rumah Sakit Pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh dari kerja sama pendidikan, penelitian, dan
pelayanan kepada masyarakat.
(4) Pendanaan Pendidikan Kedokteran yang diperoleh dari masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk: hibah; zakat; wakaf; dan
bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
KEBERPIHAKAN TERHADAP
DAERAH TERLUAR

KELOMPOK

KURANG

MAMPU

DAN

UU Dikdok ini menunjukan adanya keberpihakan, baik terhadap kelompok


kurang mampu, maupun kepada calon mahasiswa yang berasal dari daerah terluar,
terpencil, tertinggal, atau perbatasan/kepulauan. Misalnya saja dengan adanya prinsip
afirmatif yang melandasi pendidikan kedokteran melalui UU Dikdok ini. Selain itu,
biaya pendidikan kedokteran yang memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa
di Indonesia dapat diminimalisir dengan adanya beasiswa yang ditawarkan kepada
mereka. Menurut Pasal 32, mahasiswa dapat memperoleh beasiswa dan/atau bantuan
biaya pendidikan, yang dapat bersumber dari: Pemerintah; Pemerintah Daerah; Fakultas
Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi; atau pihak lain.
Berdasarkan Pasal 33, beasiswa yang bersumber dari Pemerintah diberikan
kepada mahasiswa dengan kewajiban ikatan dinas untuk ditempatkan di seluruh wilayah
NKRI. Sementara yang bersumber dari Pemerintah Daerah diberikan kepada Mahasiswa
dengan kewajiban ikatan dinas untuk daerahnya. Bantuan biaya pendidikan yang
bersumber dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah diberikan kepada mahasiswa tanpa
kewajiban mengikat dalam rangka memenuhi program afirmasi. Kemudian, diberikan
dengan pertimbangan prestasi dan/atau potensi akademik.
Selain itu, pada Pasal 56 juga disebutkan bahwa Pemerintah Daerah dapat
memberikan beasiswa khusus dan bantuan biaya pendidikan kepada Mahasiswa yang
berasal dari daerahnya dan/atau yang mendapat tugas belajar berdasarkan kuota nasional
yang diberikan Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi. Beasiswa
12

khusus tersebut adalah beasiswa yang diberikan kepada Mahasiswa yang lahir di daerah
tertentu, menyelesaikan pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di
daerah kelahirannya, dan setelah lulus.

IMPLIKASI UU DIKDOK TERHADAP UU BPJS DI INDONESIA


Program Dokter Layanan Primer (DLP)

(1)

(2)

(3)
(4)

(5)

Dalam Pasal 8 UU Dikdok disebutkan bahwa:


Program dokter layanan primer, dokter spesialis- subspesialis, dan dokter gigi
spesialis-subspesialis hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan
Fakultas Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori tertinggi.
Dalam hal mempercepat terpenuhinya kebutuhan dokter layanan primer, Fakultas
Kedokteran dengan akreditas kategori tertinggi tersebut dapat bekerja sama dengan
Fakultas Kedokteran yang akreditasinya setingkat lebih rendah dalam menjalankan
program dokter layanan primer.
Program dokter layanan primer merupakan kelanjutan dari program profesi
dokter dan program internship yang setara dengan program dokter spesialis.
Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dalam menyelenggarakan
program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi
spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan
Organisasi Profesi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran
Gigi yang menyelenggarakan program dokter layanan primer, dokter spesialissubspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri.

Dokter Layanan Primer (DLP) bukan berarti program studi khusus, tapi
merupakan program lanjutan dari profesi dokter. Ide awal DLP adalah untuk menjamin
dokter yang bekerja di layanan primer mampu menangani kasus. DLP adalah dokter
yang ditambah kompetensi khusus, sehingga levelnya setara spesialis, namun bukan
spesialis. Program DLP ditujukan untuk memenuhi kualifikasi sebagai pelaku awal pada
layanan kesehatan tingkat pertama, melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke
tingkat kedua, dan melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar
kompetensi dokter dalam sistem jaminan kesehatan nasional. Secara aturan
perundangan, konsep DLP sudah siap, namun belum tertulis dalam suatu peraturan
khusus. Karenanya, perlu peraturan khusus untuk dokter yang memberikan layanan
primer serta bagaimana keterlibatan mahasiswa dalam pelayanan primer tersebut. Akan
ada aturan konversi terhadap dokter yang ada saat ini untuk melakukan layanan primer
(Kesepakatan terkait mekanisme konversi perlu dibicarakan lebih lanjut antara
organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan).

13

DLP harus mampu menangani hampir semua kasus di masyarakat. Waktu


pendidikan untuk meghasilkan DLP lebih panjang. DLP tidak menghilangkan posisi
DPU. Pada dasarnya pengembangan DLP merupakan tanggung jawab bersama. DLP
dibutuhkan oleh pengguna (kemkes) untuk memberikan kualitas layanan terbaik kepada
masyarakat. Amanah pengembangan DLP dalam UU Dikdok ini sejalan dengan UU
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Penerapan JKN menggunakan pola rujukan berjenjang yang dimulai dari sistem
layanan primer hingga tersier. Layanan primer terdiri atas puskemas, klinik pratama,
dan dokter praktek pribadi beserta jejaringnya. Sistem layanan primer ini mencakup 144
macam diagnosis dengan alur klinis (clinical pathway) yang sudah disusun organisasi
profesi terkait. Bila diagnosis ternyata di luar alur klinis yang dirancang, maka pasien
akan dirujuk ke sistem layanan sekunder. Dengan diimplementasikannya JKN pada
tahun 2014 ini, dokter layanan primer ini akan menjadi andalan bagi masyarakat.

IMPLIKASI UU
MAHASISWA

DIKDOK

TERHADAP

TENAGA

PENGAJAR

DAN

A. Implikasi UU Dikdok terhadap Tenaga Pengajar


Dosen Kedokteran yang selanjutnya disebut Dosen adalah pendidik profesional
dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi, humaniora kesehatan, dan/atau
keterampilan klinis melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
(Pasal 1). Dosen diangkat dan diberhentikan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 20)
yang dilakukan dengan persetujuan pejabat berwenang dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. Dosen sebagaimana
dimaksud tersebut mengampu kelompok keilmuan biomedis, kedokteran klinis,
bioetika/humaniora kesehatan, ilmu pendidikan kedokteran, serta kedokteran komunitas
dan kesehatan masyarakat
Berdasarkan Pasal 21 dosen dapat berasal dari perguruan tinggi, Rumah Sakit
Pendidikan, dan Wahana Pendidikan Kedokteran. Dosen di Rumah Sakit Pendidikan
dan Wahana Pendidikan Kedokteran melakukan pendidikan, penelitian, pengabdian
kepada masyarakat, dan pelayanan kesehatan. Dengan adanya UU Dikdok, dosen di
Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran memiliki kesetaraan,
pengakuan, dan angka kredit yang memperhitungkan kegiatan pelayanan kesehatan.
Peraturan pelaksanaan mengenai perubahan dokter pendidik klinis menjadi Dosen wajib
disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan (Pasal 61).
Untuk menjamin pemerataan kesempatan memperoleh peningkatan kualifikasi
dan kompetensi dosen dan/atau tenaga kependidikan maka mereka juga berhak
memperoleh beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 34. Adapun beasiswa dan/ atau bantuan biaya pendidikan tersebut

14

diberikan dalam bentuk ikatan dinas yang dapat bersumber dari: Pemerintah;
Pemerintah Daerah; Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi; atau pihak
lain.

B. Implikasi UU Dikdok terhadap Mahasiswa


Implikasi UU Dikdok juga dirasakan bagi calon mahasiswa maupun mahasiwa.
Bagi calon mahasiswa UU Dikdok ini mengatur mengenai seleksi penerimaan mereka
mengingat pendidikan kedokteran yang berkualitas bergantung pada kualitas
mahasiwanya juga. Pada Pasal 27 disebutkan bahwa Calon Mahasiswa harus lulus
seleksi penerimaan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu,
calon mahasiswa harus lulus tes bakat dan tes kepribadian. Dengan adanya seleksi
pernerimaan calon mahasiswa ini diharapkan dapat menjamin adanya kesempatan bagi
calon mahasiswa dari daerah sesuai dengan kebutuhan daerahnya, kesetaraan gender,
dan kondisi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Seleksi penerimaan ini juga
dimungkinkan untuk dilakukan melalui jalur khusus guna menjamin pemerataan
penyebaran lulusan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan
lebih lanjut mengenai seleksi penerimaan calon Mahasiswa ini diatur dalam Peraturan
Menteri.
Sementara itu implikasi bagi Mahasiwa adalah dalam menyelesaikan program
studinya sampai menjadi dokter. Pasal 36 menyebutkan bahwa untuk menyelesaikan
program profesi dokter atau dokter gigi, mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang
bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi.
Kemudian Pasal 38 menyebutkan bahwa Mahasiswa yang telah lulus dan telah
mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi harus mengikuti program
internsip yang merupakan bagian dari penempatan wajib sementara. Sementara itu,
mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter
gigi spesialis-subspesialis harus mengikuti uji kompetensi dokter layanan primer, dokter
spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis yang bersifat nasional
dalam rangka memberi pengakuan pencapaian kompetensi profesi dokter layanan
primer, dokter spesialis-subspesialis dan dokter gigi spesialis-subspesialis (Pasal 39).

PENUTUP
UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran menciptakan warna baru
dalam dunia pendidikan kedokteran di Indonesia. Dengan adanya UU Dikdok ini
diharapkan stigma pendidikan kedokteran yang mahal tidak ada lagi karena pendanaan
pendidikan kedokteran menjadi tanggung jawab bersama, diantaranya oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah melalui alokasi dalam APBN dan APBD. Selain itu, adanya
beasiswa/bantuan biaya pendidikan memberikan kesempatan bagi calon mahasiwa yang
kurang mampu namun cerdas sehingga dapat menempuh pendidikan kedokteran.

15

Kemudian, permasalahan menyangkut tidak meratanya persebaran jumlah


tenaga dokter di seluruh wilayah Indonesia dapat diatasi melalui prinsip afirmatif dalam
penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Selain itu juga diharapkan dapat diatasi
dengan adanya penetapan kuota penerimaan mahasiswa sebagaimana yang diatur
dalam UU Dikdok. Kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang tentunya
berkaitan dengan kualitas tenaga dokter di Indonesia masih dinilai kurang baik. Kualitas
tenaga dokter ini dengan adanya UU Dikdok diharapkan dapat meningkat seiring
dengan adanya legalisasi bagi seleksi penerimaan calon mahasiswa, pelaksanaan uji
kompetensi bagi lulusan dokter, standarisasi kualitas pendidikan kedokteran, dan
program internship. UU Dikdok ini tidak dapat dipungkiri berimplikasi pada tenaga
pengajar maupun mahasiswa dalam pendidikan kedokteran.
Implikasi lainnya adalah terhadap UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) dimana pada awal tahun 2014 ini, Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
sudah mulai diimplementasikan. Amanah pengembangan Dokter Layanan Prima (DLP)
dalam UU Dikdok sejalan dengan UU BPJS dan JKN. Penerapan JKN yang
menggunakan pola rujukan berjenjang dimulai dari sistem layanan primer hingga tersier
akan menmbuat DLP menjadi garda terdepan dalam melakukan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat. Dengan demikian, kehadiran UU Dikdok ini diharapkan dapat
membuat pelayanan kesehatan di Indonesia semakin berkualitas seiring dengan
peningkatan kualitas tenaga dokter.

BIOGRAFI

16

dr Ahmad Nizar Shihab, Sp.An adalah seorang dokter


spesialis anestesiologi. Beliau lahir pada tanggal 5
Desember 1950 di Makassar. Setelah lulus di Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin, beliau memulai
pengabdiannya sebagai dokter Inpres (wajib kerja sarjana)
di Puskesmas Panakkukang, Sulawesi Selatan. Selanjutnya
melanjutkan Pendidikan Spesialis Anestesiology di
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan untuk
kedua kalinya bertugas sebagai dokter Inpres (wajib kerja
sarjana) di bagian Anestesiologi Rumah Sakit Doris
Sylvanus, Palangkaraya (Kalimantan Tengah). Pengabdian
selanjutnya, di RS Fatmawati. Kemudian beliau dipercaya
sebagai Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Kebijakan Politik (2004 - 2009), Ketua
Tim Percepatan Pembangunan Kesehatan Propinsi Papua dan Papua Barat dan menjadi
Anggota DPR RI Periode 2009-2014 di Komisi IX yaitu komisi yang membidangi
Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi. Selain menempuh pendidikan dalam
negeri, Beliau mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan di luar negeri yaitu
Training Pain Management, Department of Anesthesiology, Temple University,
Philadelphia, USA dan Visiting Scholar, Department of Health Law & Policy, Faculty
of Law, Loyola University, Chicago, USA.
Beliau aktif dalam sejumlah organisasi. Saat ini beliau adalah Anggota Dewan
Pembina Partai Demokrat. Beliau juga anggota dewan pakar dari Ikatan Dokter
Indonesia (IDI). Selain itu, beliau juga aktif dalam kegiatan nasional dan internasional
terkait dengan isu pembangunan dan kependudukan serta menjabat sebagai Ketua
Forum Parlemen untuk Kependudukan dan Pembangunan (Indonesia Forum of
Parliamentarians on Population and Development). Beliau juga aktif dalam kegiatan
sosial untuk pencegahan kebutaan pada anak sebagai Ketua Yayasan Peduli
Kemanusiaan (YPK) dengan menggandeng beberapa instansi dan bekerja sama dengan
ikatan refraksionis optician Indonesia. Selama enam tahun ini telah memeriksa
ketajaman penglihatan kurang lebih lima ratus ribu anak SD dan SMP dan memberi
kacamata gratis pada anak-anak yang membutuhkan kurang lebih tujuh puluh ribu
kacamata di seluruh Indonesia. Selain itu, saat ini Beliau aktif untuk menginisiasi
Yayasan Clubfoot Ponsetti Indonesia untuk mengoreksi cacat bawaan pada kaki (club
foot) dengan bekerja sama dengan dokter ahli bedah tulang.
Dalam memenuhi tugas legislasi di DPR RI, dr. Ahmad Nizar Shihab, Sp.An,
yang ketika waktu tersebut menjabat Wakil Ketua Komisi IX, dipercaya sebagai Ketua
Pansus RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Bersama dengan anggota
pansus lainnya. Beliau berhasil mengantarkan RUU BPJS disahkan menjadi UU No 24
Tahun 2011 tentang BPJS. Undang-Undang ini menjadi satu tahap dasar dalam
implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional di Indonesia.
Ayah penulis adalah Prof. Abdul Rahman Shihab, pendiri dan mantan Rektor
Institut Agama Islam Negeri Alauddin Ujung Pandang (sekarang menjadi UIN Alauddin
Ujung Pandang) dan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ujung Pandang. Penulis
adalah anak kesembilan dari dua belas bersaudara yang umumnya adalah ulama, yaitu
Ali Shihab, Prof. Dr. Umar Shihab, Prof. DR.Quraish Shihab, dan Prof. DR.Alwi
Shihab, dan Abdul Muthalib Shihab, L.C.

17

Penulis menikah dengan Soraya dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Rifki
Shihab, Msc (Lulus Bsc dan Msc Magna Cumlaude dari Temple University, USA dan
sekarang aktif sebagai Dosen di Fakultas Ilmu Komputer UI), Raehana Shihab,
Bsc.,M.Kom (Lulus Bsc Magna Cumlaude dari Brigham Young University USA dan
Master Komunikasi di FISIP UI), Fachri Shihab (Mahasiswa di Jurusan Electrical
Engineering Brigham Young University). Ketiga putra penulis menempuh pendidikan di
USA dengan mendapatkan beasiswa prestasi dari Universitas yang bersangkutan. Saat
ini Penulis telah dikarunia seorang cucu bernama Aqila yang memiliki arti anak
perempuan yang cerdas.

18

Anda mungkin juga menyukai