Anda di halaman 1dari 13

PELAYANAN KEDOKTERAN GIGI

DALAM SISTEM JKN (JAMINAN


KESEHATAN NASIONAL)

DISUSUN OLEH:

RESKY RAMADHANI
M JANUR IHSAN
ERMITA SARI
EKA FATMAWATI
INDAH TRESNAWATI
SAFIRA MAULIDA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERISTAS HASANUDDIN
2022
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

I.2 Tujuan Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Filosofi Kesehatan Gigi dalam Bidang Ilmu Spesialistik Perio

BAB III. PEMBAHASAN

BAB IV. PENUTUP

IV.1 Kesimpulan

IV.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kesehatan salah satu faktor yang penting dalam kehidupan seseorang, selain kesehatan
tubuh, kesehatan gigi dan mulut juga perlu diperhatikan. Kesehatan gigi dan mulut sangatlah
berpengaruh pada kesehatan tubuh seseorang. Karena apabila terjadi kerusakan pada gigi maka
akan mengganggu kesehatan tubuh seseorang dan akan menghambat aktivitas sehari-hari
(Nurlila et al., 2016). Di Indonesia kesehatan gigi dan mulut masyarakat masih rendah, hal itu
terjadi karena beberapa faktor salah satunya dalam masalah biaya.
Untuk meminimalisir terjadinya peningkatan penyakit gigi dan mulut, pemerintah
menyelenggarakan upaya dalam mewujudkan jaminan kesehatan untuk seluruh penduduk
Indonesia atau jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage). Pemerintah membentuk
program pelayanan kesehatan, yang telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004,
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dari Undang-Undang tersebut terbentuklah
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sistem tersebut wajib digunakan seluruh masyarakat
Indonesia, yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS
Kesehatan) pada 1 Januari 2014 (Irwandy, 2016; BPJS Kesehatan, 2014).
Program SJSN dapat diterapkan pada salah satu program pelayanan kesehatan tingkat
pertama yaitu klinik pratama. Di dalam Permenkes NomorM9 Tahun 2014 pasal 1 ayat 1,
disebutkan bahwa “klinik merupakan fasilitasMpelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik”. Sebuah
klinik dapat diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan di pimpin oleh
seorang tenaga medis (Kumara, et al., 2015; Permenkes No. 9 tahun 2014 pasal 1).
Berjalannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional, merupakan awal mulai terjadinya
tantangan bagi seorang praktisi di dunia kesehatan salah satunya Dokter Gigi, karena dalam
kebijakan sistem tersebut diharapkan pelayanan kesehatan menjadi lebih baik, terstruktur serta
terkendalinya mutu dan biaya. Dokter gigi yang memberikan jasa pelayanan kesehatan pada era
JKN harus mempersiapkan diri dalam pelayanan kesehatan terutama pelayanan primer dapat
dirasakan manfaatnya. Dalam pemberian pelayanan hendaknya dokter memberikan pelayanan
yang berkualitas tinggi dengan menegakan diagnosis dan terapi yang tepat. Perubahan tata cara
pelayanan JKN di bidang kedokteran gigi harus di iringi dengan penyesuaian diri dokter gigi
berdasarkan kriteria pelayanan jasa kesehatan yang ditetapkan dalam Sistem Jaminan Kesehatan
Nasional (Iwan Dewanto, 2014; Kurnia & Nurwahyuni, 2017)
Permasalahan yang muncul dalam pelayanan kesehatan gigi pada era JKN di Fasilitas
pelayanan kesehatan pertama yaitu, permasalahan system kapitasi. Karena dana kapitasi yang di
berikan kepada FKTP oleh pihak BPJS kesehatan setiap bulan tercatat besar dalam satu tahun,
namun apabila dilihat dari kebutuhan FKTP ternyata dana kapitasi sangatlah kecil untuk
membayar pemberi jasa kesehatan. Sehingga PPK hanya memberikan pelayanan promotif dan
preventif. Padahal masyarakat akan datang ke FKTP bila ia merasakan sakit yang sudah parah.
Dari permasalahan tersebut menurunkan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan (Utilization
Rate) yang diterima oleh masyarakat (Dewanto & Lestari, 2014; Fitrianeti et al., 2017).

I.2 Tujuan Penulisan


a. Memahami pelayanan kesehatan gigi dalam system jaminan kesehatan nasional.
b. Mempelajari masalah dan kendala terkait kesehatan gigi dalam system jaminan kesehatan
nasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN) di Indonesia yang di implementasikan
pada tahun 2014 merupakan tantangan untuk dapat melakukan perubahan pelayanan yang lebih
terstruktur. Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam pelaksanaannya masih belum dipahami
dengan baik, namun demikian hal tersebut sebenarnya merupakan proses tahapan yang harus
dilalui oleh dokter gigi di Indonesia. Konsep pelayanan sistem jaminan kesehatan nasional di
Indonesia membagi pelayanan menjadi 3 struktur layanan yaitu pelayanan primer, pelayanan
sekunder dan pelayanan tersier. Pembiayaan yang digunakan untuk pelayanan primer adalah
sistem kapitasi, sedangkan untuk pelayanan sekunder dan tersier menggunakan sistem DRG
(diagnosis related Group) yang di Indonesia digunakan istilah Indonesia Case-Based Group (INA
CBG`s).1 PDGI sebagai organisasi profesi bidang kedokteran gigi telah menetapkan bahwa
pelayanan kedokteran gigi berada dalam strata pelayanan primer dan sekunder pada sistem
jaminan kesehatan nasional. Perubahan yang akan terjadi dengan penerapan sistem kapitasi di
JKN mungkin akan mendapatkan reaksi oleh dokter gigi yang berbeda-beda bahkan sampai
mengusik rasa yang tidak nyaman (uncomfort zone).1
- Gambaran bidang kedokteran gigi di Indonesia
Indonesia merupakan sebuah negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia adalah 237.556.363
jiwa.6 Permasalahan kesehatan pada negara dengan jumlah penduduk yang begitu besar,
tentunya memerlukan perhatian dan manajemen pelayanan kesehatan yang baik. Kesehatan gigi
dan mulut yang merupakan bagian integral dari kesehatan umum tentunya sangat perlu
mendapatkan perhatian. Berbagai indikator capaian kesehatan gigi berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2007,3 dapat diketahui bahwa 23,43% penduduk
mengalami permasalahan gigi dan mulut, dan dari penduduk yang mengalami permasalahan gigi
dan mulut tersebut, hanya sejumlah 32,73% yang menerima perawatan atau pengobatan dari
tenaga kesehatan gigi. Masalah terbanyak adalah penyakit karies, dimana prevalensi nasional
karies aktif adalah 43,4% dan 75% penduduk Indonesia mengalami riwayat karies gigi dengan
nilai DMF-T adalah 4,85. Prevalensi karies berkisar antara 74,4 sampai 93.4 %. Proporsi
penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut provinsi. Proporsi penduduk
yang berobat ke dokter gigi spesialis terbanyak di DI Yogyakarta (16,4%). Responden yang
berobat ke dokter gigi lebih banyak di kota besar, seperti di DKI Jakarta (76,3%), dan Banten
sebesar (61,5%). Pemanfaatan pelayanan dokter gigi terendah di Kalimantan Barat (19,5%).
Pemanfaatan pelayanan perawat gigi terbanyak di Kalimantan Barat (51,2%) dan terendah di
DKI Jakarta (5,8%)4 . Terdapat tiga penyakit gigi dan mulut yang masuk dalam 10 besar
penyakit di Puskesmas yaitu penyakit gusi dan jaringan periodontal, penyakit pulpa dan jaringan
periapikal, dan penyakit jaringan keras gigi/karies gigi.
- Gambaran kesehatan gigi di berbagai Negara
Pelayanan kesehatan di berbagai negara di belahan dunia mempunyai berbagai ciri khas
yang mencerminkan karakteristik dan kebutuhan akan kesehatan yang dimiliki masing-masing
negara. Akan tetapi, pada dasarnya hampir semua negara di dunia menggunakan sistem
pelayanan kesehatan berjenjang seperti halnya Sistem Kesehatan Nasional yang telah ada di
Indonesia. Perbedaan yang dapat diamati adalah implementasi dari sistem tersebut, dimana pada
negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Selandia Baru dan Jepang sistem rujukan
berjalan dengan sangat baik, yang tentunya telah didukung oleh sistem jaminan kesehatan/
sistem asuransi yang memadai.1
Beberapa negara maju yang telah mengimplementasikan jaminan kesehatan dengan baik
telah menjalani proses yang panjang dan melalui perbaikan-perbaikan yang menyempurnakan.
Keadaan sosial masyarakat tentu sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam tujuan akhir
untuk pelaksanaan jaminan kesehatan suatu negara. Penetapan pembagian jumlah populasi dalam
pola kepesertaan jaminan kesehatan memberikan kontribusi yang bermakna dalam peningkatan
kesehatan gigi dan mulut. Suatu kelompok sosial masyarakat yang memberikan efek kohesi di
negara ASIA memiliki hubungan dan solidaritas yang tinggi dalam meningkatkan kesehatan gigi
dan mulut. Solidaritas masyarakat yang saling terhubung satu dengan yang lainnya akan
memudahkan dalam memberikan dampak informasi dan referensi tentang penyakit serta upaya
agar meningkatkan keadaan kesehatan gigi dan mulut mereka.2
- Dokter gigi dalam Sistem Jaminan Keseatan Nasional
WHO Global conference ke 7, disebutkan bahwa terdapat 3 elemen kunci untuk segera
dapat dilaksanakan, yaitu 1. Kesehatan gigi dan mulut adalah hak asasi setiap manusia dan
merupakan bagian integral dari kesehatan umum dan sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup
manusia, 2. Promosi kesehatan gigi dan mulut serta program pencegahan penyakit gigi dan mulut
harus disediakan melalui Pelayanan Kesehatan Primer dan tergabung dalam promosi kesehatan
umum. Pendekatan yang terintegrasi adalah merupakan cara yang paling efektif, efisien dan
realistis untuk menutup kesenjangan perawatan kesehatan gigi dan mulut di seluruh dunia, 3.
Pemberdayaan masyarakat dalam promosi kesehatan gigi dan mulut serta pencegahan penyakit
gigi dan mulut yang terintegrasi membutuhkan kebijakan dan sumber daya manusia serta
finansial yang memadai untuk meminimalkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin3
Peraturan Menteri Kesehatan No 001 tahun 2012 tentang sistem rujukan pelayanan
kesehatan di Indonesia secara jelas telah menempatkan dokter gigi pada posisi sebagai pemberi
pelayanan primer/ strata pertama.15 Peraturan dari kementrian kesehatan ini, sebenarnya telah
memberikan arahan bahwa bidang kedokteran gigi sudah diposisikan dalam pelayanan
primer/strata pertama dalam sistem kesehatan nasional. Pembiayaan yang diterapkan pada dokter
gigi pelayanan primer dalam sistem JKN menggunakan sistem kapitasi. Sistem ini mempunyai
harapan agar dokter gigi layanan primer berusaha semaksimalmungkin untuk menekan
penggunaan biaya saat melakukan prosedur kuratif. Dokter gigi layanan primer diharapkan dapat
lebih menyentuh dan mengutamakan aspek promotif dan preventif agar sumber daya dan dana
dapat dimanfaatkan sebaikbaiknya. Kedudukan badan pengelola jaminan sosial bidang kesehatan
(BPJS Kesehatan) dapat mengontrol kualitas pekerjaan dokter gigi layanan primer berdasarkan
mekanisme penjaminan mutu yang dapat dilakukan melalui proses kredensialing dan kontrol
keluhan masyarakat terhadap mutu pelayanan dokter gigi layanan primer tersebut.4
- Kendala pelayanan kesehatan gigi dalam system jaminan kesehatan nasional.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang
bersifat wajib (mandatory) melalui suatu badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) (Khariza,
2015). BPJS sendiri dibagi menjadi dua yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Program JKN dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan (Agnifa, 2015). JKN memiliki tujuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap
peserta yang telah membayar iuran atau iuran tersebut dibayarkan oleh Pemerintah. Asuransi
kesehatan ini memberi kepastian pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan (sustainabilitas) dan
dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia (portabilitas). Pemerintah mewajibkan asuransi
kesehatan ini dengan harapan seluruh masyarakat mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan
(Kemenkes, 2013). 5
Berlakunya Jaminan Kesehatan Nasional mulai tanggal 1 Januari 2014 menjadi tantangan
bagi praktisi kesehatan temasuk Dokter Gigi, karena diharapkan pelayanan kesehatan menjadi
lebih baik, terstruktur serta terkendalinya mutu dan biaya. Dokter gigi sebagai salah satu
penyedia layanan jasa kesehatan dalam JKN harus mempersiapkan diri agar pelayanan kesehatan
terutama pelayanan primer dapat dirasakan manfaatnya. Perubahan mekanisme pelayanan JKN
khususnya di bidang kedokteran gigi, harus diiringi penyesuaian diri dokter gigi berdasarkan
kriteria pelayanan jasa kesehatan yang ditetapkan dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional
(Dewanto dan lestari, 2014). 5
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional menemui beragam masalah dari berbagai
aspek. Ketersediaan aspek pelayanan kesehatan yang masih menjadi masalah yang menghambat
pelaksanaan JKN yaitu pemerataan tenaga dan fasilitas kesehatan yang kurang dan terpusat di
kota-kota besar (Geswar dkk., 2014). Permasalahan yang menjadi hambatan juga muncul pada
unsur implementasi, seperti sistem kapitasi, standarisasi obat dan bahan medis, kesiapan fasilitas
pada pelayanan kesehatan primer serta pengetahuan peserta maupun tenaga medis mengenai
prosedur pelayanan JKN seperti yang tercantum dalam pemberitaan media massa elektronik
(Jamkesindonesia, 2015). Beberapa pemberitaan di media massa juga memberitakan berbagai
masalah serupa yang muncul dalam implementasi JKN.5
Menurut Dewanto dan Lestari (2014) sebelum pemerintah menetapkan besaran kapitasi
untuk dokter gigi, PB PDGI telah melakukan perhitungan dan mengajukan usulan besaran
kapitasi beserta paket manfaat yang dicakup. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 menetapkan besaran kapitasi untuk dokter gigi
sebesar Rp.2000,-. Besaran ini lebih rendah dibandingkan usulan PDGI yaitu sebesar Rp. 3.208,-
sehingga perlu adanya perhitungan utilisasi dan jenis pelayanan yang telah diusulkan akibatnya
terdapat beberapa jenis pelayanan yang tidak dapat dicakup. Penyesuaian ini sebenarnya
memungkinkan berdampak pada resiko keuangan dokter gigi dan dapat mengurangi mutu
pelayanan dokter gigi sebagai provider.5
Pada tanggal 1 agustus melalui Peraturan BPJS No. 02 tahun 2015 BPJS mengeluarkan
peraturan penetapan besaran kapitasi. Penetapan besaran kapitasi untuk puskesmas didasarkan
pada kriteria tertentu seperti jumlah dokter dan lama waktu puskesmas beroperasi setiap hari.
Keluarnya peraturan ini tidak sedikit menuai pro dan kontra terutama bagi puskesmas yang
memiliki dokter lebih sedikit dan beroperasi kurang dari 24 jam sehari. Peraturan ini dinilai
terlalu mendadak dan belum disosialisasikan padahal beban kerja puskesmas cukup berat dalam
era JKN ini.5
Berdasarkan penelitian Dalinjong dan Laar (2012) provider menjadi tidak cukup
termotivasi untuk implementasi jaminan kesehatan karena pemerintah dianggap belum
memberikan kompensasi yang sesuai dengan beban kerja yang ditanggung. Robyn, dkk (2013)
juga menyatakan bahwa besaran kapitasi yang terlalu rendah untuk provider dapat menurunkan
motivasi untuk menjaga mutu pelayanan kesehatan yang diberikan terhadap peserta jaminan
kesehatan. Menurut hasil jawaban responden pada kuesioner persepsi mengenai managed cared,
sebagian besar responden menjawab setuju dan sangat setuju pada pernyataan sistem kapitasi
memotivasi untuk memberikan pelayanan preventif dan promotif dan pada pertanyaan tuntutan
pasien yang semakin banyak memotivasi untuk memberikan pelayanan yang lebih baik lagi.5
BAB III
PEMBAHASAN

Pengetahuan yang tinggi mengenai sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang dimiliki
oleh dokter gigi ini mungkin didasari oleh beberapa hal. Sosialisasi yang sudah tepat dan merata
tentang sistem JKN memungkinkan dokter gigi memiliki pengetahuan yang baik. Selain itu
dokter gigi mungkin telah mempelajari mekanisme yang berlaku di JKN karena perannya
sebagai provider di FTKP menuntutnya untuk memahami regulasi yang berlaku agar dapat
memberikan pelayanan kesehatan yang optimal. Penyedia layanan kesehatan perlu memahami
dan menerima program kesehatan dengan baik. Hal ini dikarenakan penyedia layanan kesehatan
diperlukan untuk menjadi ujung tombak pelaksanaan sistem yang akan diterapkan. Namun
seiring dalam perjalanannya, pemahaman provider ini akan dipengaruhi oleh persepsi pribadi
tentang program tersebut
Terdapat pengaruh yang luas antara pengetahuan, persepsi pemanfaatan, penerimaan atau
akseptibilitas dan kelancaran dalam pelaksanaan program kesehatan. Implementasi suatu
program kesehatan termasuk sistem pembiayaan yang baru akan menuntut adanya pemahaman.
Pemahaman yang mendalam tentang risiko dan manfaat terkait sistem yang akan dijalankan
perlu dimiliki oleh provider sebagai penyedia jasa kesehatan maupun pasien sebagai klien atau
penerima layanan kesehatan.
Pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai sistem Jaminan Kesehatan Nasional
pada kenyataannya tetap membuat dokter gigi memiliki persepsi bahwa besaran kapitasi
menghambat pelayanan kesehatan. Persepsi ini dapat ditimbulkan karena isu-isu dalam
pemberitaan yang beredar menciptakan stigma bahwa besaran kapitasi untuk dokter gigi praktik
sangat kecil yaitu Rp. 2.000,-. Dokter gigi fungsional di Puskesmas sebenarnya tidak secara
langsung merasakan dampak rendahnya besaran kapitasi, akan tetapi nilai besaran kapitasi
tersebut seringkali diberitakan negatif sehingga responden mungkin menganggap besaran
kapitasi kurang sepadan dengan beban kerja dokter gigi. Anggapan ini pada akhirnya menjadi
persepsi dokter gigi tanpa melihat manajemen kapitasi yang dapat dilakukan dengan besaran
kapitasi Rp. 2.000,- per orang per bulan.
Persepsi dokter gigi yang menyatakan kapitasi menjadi faktor hambatan dengan nilai
tertinggi dalam memberikan pelayanan bukan karena pengetahuan dokter gigi yang rendah.
Penyebab utamanya karena besaran kapitasi dianggap tidak cukup.
Penetapan besaran kapitasi untuk puskesmas didasarkan pada kriteria tertentu seperti
jumlah dokter dan lama waktu puskesmas beroperasi setiap hari. Keluarnya peraturan ini tidak
sedikit menuai pro dan kontra terutama bagi puskesmas yang memiliki dokter lebih sedikit dan
beroperasi kurang dari 24 jam sehari. Peraturan ini dinilai terlalu mendadak dan belum
disosialisasikan padahal beban kerja puskesmas cukup berat dalam era JKN ini.
Peningkatan jumlah kunjungan pasien akan meningkatkan beban kerja provider. Beban
kerja yang meningkat cenderung akan menurunkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan.
Pernyataan tersebut juga sesuai dengan teori bahwa beban kerja yang berlebih akan berpengaruh
terhadap kualitas pelayanan yang akan diberikan. Beban kerja memiliki dampak yang signifikan
terhadap kinerja pekerja, beban kerja yang tinggi harus sesuai dengan kemampuan dan potensi
pekerja untuk menghindari stress.
BAB IV
PENUTUP

IV.1 KESIMPULAN
Pelayanan kesehatan gigi dan mulut memerlukan upaya yang berjenjang yang
dilaksanakan secara efektif dan efisien, sehingga pola pelayanan kesehatan gigi dan mulut harus
diletakkan pada pelayanan primer dalam system jaminan kesehatan nasional.
Dalam pelaksanaan suatu kegiatan sering kali menghadapi kendala yang dapat
menyebabkan pelaksanaan suatu kegiatan tidak berjalan dengan lancar. Begitu juga dengan
pelaksanaan program JKN terkait penerimaan pasien, pengolahan data medis, pelaporan serta
pendanaan masih ditemukan kendala dalam pelaksanaannya.
Besaran kapitasi atau sumber daya pembiayaan jaminan kesehatan dapat menjadi
hambatan utama dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Besaran kapitasi dapat
menjadi penentu utama jenis-jenis pelayanan yang tercakup dalam paket manfaat. Besaran
kapitasi yang rendah ditambah dengan beban kerja yang berat dapat menurunkan motivasi
provider untuk menjaga mutu pelayanan yang diberikan.

IV.2 SARAN
Dokter gigi dalam sistem JKN masih harus banyak dibenahi,

DAFTAR PUSTAKA
1. PENETAPAN DOKTER GIGI LAYANAN PRIMER
2. Aida J, Ando Y, Oosaka M, Niimi K, Morita M. Contributions of social context to inequality in
dental caries:a multilevel analysis of Japanese 3-year-old children. Community Dental Oral
Epidemiology Journal. 2008; 36: 149–56.
3. Petersen PE, Kwan S. The 7th Global Conference on Health Promotion-towards Integration
of Oral Health. Community Dental Health Journal. 2010; 27: 129-36.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 001/ Menkes/PER/X/2012 tentang Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan
5. GAMBARAN HAMBATAN DOKTER GIGI SEBAGAI PROVIDER DALAM MEMBERIKAN
PELAYANAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
(JKN) DI PUSKESMAS KABUPATEN BANTUL

Anda mungkin juga menyukai