Anda di halaman 1dari 20

PELAYANAN KEDOKTERAN GIGI DALAM SISTEM JKN

(JAMINAN KESEHATAN NASIONAL)

Disusun Oleh:

Kelompok 2

Resky Ramadhani J035212004

M. Janur Ihsan J025212002

Ermita Sari J025212003

Eka Fatmawati J025212004

Nurul Safira Maulida J015212003

Indah Tresnawati J015212004

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERISTAS HASANUDDIN

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur tak terhingga, kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dari Kelompok 2 Program Pendidikan
Dokter Gigi Spesialis Di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin - Makasar dapat
menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Pelayanan Kedokteran Gigi Dalam Sistem JKN
(Jaminan Kesehatan Nasional)”.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan dan informasi untuk para pembaca,
baik dilingkungan Fakultas Kedokteran Gigi Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialas, dokter
gigi, mahasiswa kedokteran gigi dilingkungan Universitas Hasanudin Makasar atau masyarakat
luas.

Namun kami menyadari dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan, oleh karena
itu kami berharap adanya kritikan, saran, dan masukan untuk perbaikan kedepannya.

Semoga makalah ini mudah di pahami oleh para pembaca, dan diharapkan dapat
meningkatkan ilmu pengetahuan terkait dengan pentingnya komunikasi dalam bidang kesehatan
gigi. Dan tidak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pengajar kami yang telah
memberikan kesempatan dan ilmu untuk membuat tugas makalah ini.

Makassar, Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii

BAB I...............................................................................................................................................4

PENDAHULUAN...........................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.................................................................................................................4

1.2 Tujuan Penulisan.............................................................................................................5

BAB II.............................................................................................................................................6

TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................6

2.1 Sistem Jaminan Kesehatan Nasional...............................................................................6


2.1.1 Definisi Jaminan Kesehatan Nasional.....................................................................6
2.1.2 Pelayanan Dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional..........................................6
2.1.3 Prosedur Pelayanan..................................................................................................6
2.1.4 Sistem Pembiayaan..................................................................................................7

2.2 Pelayanan Kedokteran Gigi dalam Jaminan Kesehatan Nasional...................................8


2.2.1 Pengertian Pelayanan Kedokteran Gigi di JKN.......................................................8
2.2.2 Prinsip Pelayanan Kedokteran Gigi Primer.............................................................9
2.2.3 Cakupan pelayanan kedokteran gigi primer di Jaminan Kesehatan Nasional.......10
2.2.4 Hambatan Dokter Gigi di Era Jaminan Kesehatan Nasional.................................11

BAB III..........................................................................................................................................15

PEMBAHASAN............................................................................................................................15

BAB IV..........................................................................................................................................17

PENUTUP.....................................................................................................................................17

4.1 Kesimpulan....................................................................................................................17

4.2 Saran..............................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................18

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan salah satu faktor yang penting dalam kehidupan seseorang, selain kesehatan
tubuh, kesehatan gigi dan mulut juga perlu diperhatikan. Kesehatan gigi dan mulut sangatlah
berpengaruh pada kesehatan tubuh seseorang. Karena apabila terjadi kerusakan pada gigi maka
akan mengganggu kesehatan tubuh seseorang dan akan menghambat aktivitas sehari-hari.1 Di
Indonesia kesehatan gigi dan mulut masyarakat masih rendah, hal itu terjadi karena beberapa
faktor salah satunya dalam masalah biaya.
Untuk meminimalisir terjadinya peningkatan penyakit gigi dan mulut, pemerintah
menyelenggarakan upaya dalam mewujudkan jaminan kesehatan untuk seluruh penduduk
Indonesia atau jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage). Pemerintah membentuk
program pelayanan kesehatan, yang telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004,
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dari Undang-Undang tersebut terbentuklah
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sistem tersebut wajib digunakan seluruh masyarakat
Indonesia, yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS
Kesehatan) pada 1 Januari 2014.2,3
Program SJSN dapat diterapkan pada salah satu program pelayanan kesehatan tingkat
pertama yaitu klinik pratama. Di dalam Permenkes Nomor 9 Tahun 2014 pasal 1 ayat 1,
disebutkan bahwa “klinik merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik”. Sebuah
klinik dapat diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan di pimpin oleh
seorang tenaga medis.2,4
Berjalannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional, merupakan awal mulai terjadinya
tantangan bagi seorang praktisi di dunia kesehatan salah satunya Dokter Gigi, karena dalam
kebijakan sistem tersebut diharapkan pelayanan kesehatan menjadi lebih baik, terstruktur serta
terkendalinya mutu dan biaya. Dokter gigi yang memberikan jasa pelayanan kesehatan pada era
JKN harus mempersiapkan diri dalam pelayanan kesehatan terutama pelayanan primer dapat

5
dirasakan manfaatnya. Dalam pemberian pelayanan hendaknya dokter memberikan pelayanan
yang berkualitas tinggi dengan menegakan diagnosis dan terapi yang tepat. Perubahan tata cara
pelayanan JKN di bidang kedokteran gigi harus di iringi dengan penyesuaian diri dokter gigi
berdasarkan kriteria pelayanan jasa kesehatan yang ditetapkan dalam Sistem Jaminan Kesehatan
Nasional.5,6
Indonesia merupakan sebuah negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia adalah 237.556.363
jiwa.6 Permasalahan kesehatan pada negara dengan jumlah penduduk yang begitu besar, tentunya
memerlukan perhatian dan manajemen pelayanan kesehatan yang baik. Kesehatan gigi dan mulut
yang merupakan bagian integral dari kesehatan umum tentunya sangat perlu mendapatkan
perhatian. Berbagai indikator capaian kesehatan gigi berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
Kementerian Kesehatan tahun 2007, dapat diketahui bahwa 23,43% penduduk mengalami
permasalahan gigi dan mulut, dan dari penduduk yang mengalami permasalahan gigi dan mulut
tersebut, hanya sejumlah 32,73% yang menerima perawatan atau pengobatan dari tenaga
kesehatan gigi.

Permasalahan yang muncul dalam pelayanan kesehatan gigi pada era JKN di Fasilitas
pelayanan kesehatan pertama yaitu, permasalahan sistem kapitasi. Karena dana kapitasi yang di
berikan kepada FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) oleh pihak BPJS kesehatan setiap
bulan tercatat besar dalam satu tahun, namun apabila dilihat dari kebutuhan FKTP ternyata dana
kapitasi sangatlah kecil untuk membayar pemberi jasa kesehatan. Sehingga PPK (Pemberi
Pelayanan Kesehatan) hanya memberikan pelayanan promotif dan preventif. Padahal masyarakat
akan datang ke FKTP bila ia merasakan sakit yang sudah parah. Dari permasalahan tersebut
menurunkan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan (Utilization Rate) yang diterima oleh
masyarakat.6,7

1.2 Tujuan Penulisan


1. Memahami pelayanan kesehatan gigi dalam system jaminan kesehatan nasional.
2. Mempelajari masalah dan kendala terkait kesehatan gigi dalam sistem jaminan
kesehatan nasional.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Jaminan Kesehatan Nasional


2.1.1 Definisi Jaminan Kesehatan Nasional

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 71 Tahun 2013 jaminan


kesehatan nasional merupakan jaminan perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh
manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh
pemerintah. Menurut Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat jaminan kesehatan adalah
sebuah sistem yang memungkinkan seseorang terbebas dari beban biaya berobat yang relatif
mahal yang menyebabkan gangguan pemenuhan kebutuhan dasar hidup lain.8 Menurut
International Labour Office (2014) universal health coverage atau jaminan kesehatan nasional
merupakan sebuah program yang ditujukan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
berkualitas kepada seluruh masyarakat yang disesuaikan dengan kebutuhan tanpa memandang
status sosioekonomi.9

2.1.2 Pelayanan Dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional

Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2013) terdapat dua jenis pelayanan
yang akan diperoleh oleh peserta jaminan kesehatan nasional. Pelayanan tersebut berupa
pelayanan kesehatan (manfaat medis) dan ambulans (manfaat non medis).8

2.1.3 Prosedur Pelayanan

Menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2013 Prosedur pelayanan dalam
jaminan kesehatan nasional ialah pertama peserta harus memperoleh pelayanan kesehatan pada
fasilitas kesehatan tingkat pertama tempat peserta terdaftar. Prosedur selanjutnya ialah apabila
peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, fasilitas kesehatan tingkat pertama

7
harus merujuk ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan terdekat sesuai dengan sistem
rujukan.10

2.1.4 Sistem Pembiayaan

Sistem pembiayaan yang digunakan Badan Pelaksanaan Jaminan Sosial (BPJS)


Kesehatan untuk membayar kepada fasilitas kesehatan adalah dengan sistem kapitasi pada
fasilitas kesehatan tingkat pertama (primer), serta sistem paket INA CBG’s untuk fasilitas
kesehatan tingkat kedua (sekunder).8

1) Sistem pembiayaan kapitasi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 59 Tahun 2014 tentang


standar tarif jaminan kesehatan nasional menyatakan bahwa tarif kapitasi adalah besaran
pembayaran perbulan yang dibayar di muka oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan
tingkat pertama. Jumlah besaran kapitasi yang diberikan ialah berdasarkan jumlah peserta yang
terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.11

Standar tarif kapitasi pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah Rp. 3000,-
(tiga ribu rupiah) sampai Rp. 6000,- (enam ribu rupiah) seperti pada puskesmas atau fasilitas
kesehatan yang setara. Pada rumah sakit kelas D pratama, klinik pratama, praktik dokter, atau
fasilitas pelayanan kesehatan yang setara mendapatkan tarif kapitasi sebesar Rp. 8000,- (delapan
ribu rupiah) sampai Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dan pada praktik perorangan dokter gigi
sebesar Rp. 2000,- (dua ribu rupiah).

Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor 31 Tahun 2014 menyebutkan bahwa besaran
kapitasi di puskesmas yang terdapat dokter gigi adalah sebesar Rp.6000,-. Penetapan jasa
pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama yang diatur oleh Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 adalah sekurang- kurangnya 60% dari alokasi dana kapitasi
dan sisanya dimanfaatkan untuk dukungan biaya operasional kesehatan. Pembagian jasa
pelayanan kesehatan dan non kesehatan ditetapkan dengan berdasarkan pertimbangan variabel
ketenagaan dan variabel kehadiran.12,13

8
2) Sistem pembiayaan berdasarkan INA CBG’s (Indonesia Case Based Groups).

Menurut Permenkes Nomor 59 Tahun 2014 tarif Indonesian - Case Based Groups atau
disebut tarif INA-CBG’s adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada
fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Besaran pemabayaran klaim pada paket INA- CBGs
diberikan berdasarkan paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit
dan prosedur.11,12

2.2 Pelayanan Kedokteran Gigi dalam Jaminan Kesehatan Nasional


2.2.1 Pengertian Pelayanan Kedokteran Gigi di JKN

Dewanto dan Lestari (2014) menyatakan bahwa pelayanan kedokteran gigi di dalam
sistem jaminan kesehatan nasional terletak pada strata pelayanan primer dan strata pelayanan
sekunder. Menurut BPJS Kesehatan (2014a) pelayanan kedokteran gigi pertama (primer) adalah
suatu pelayanan kesehatan dasar paripurna dalam bidang kesehatan gigi dan mulut yang
bertujuan untuk meningkatkan status kesehatan gigi dan mulut setiap individu dalam keluarga
binaannya. Contoh dari pelayanan kedokteran gigi primer adalah dokter gigi umum, sedangkan
pelayanan kedokteran gigi tingkat lanjutan (sekunder) merupakan pelayanan kedokteran gigi
yang merupakan rujukan dari pelayanan kedokteran gigi primer, contohnya ialah dokter gigi
spesialis.5,14

Peraturan Menteri Kesehatan No 001 tahun 2012 tentang sistem rujukan pelayanan
kesehatan di Indonesia secara jelas telah menempatkan dokter gigi pada posisi sebagai pemberi
pelayanan primer/ strata pertama.18 Peraturan dari kementrian kesehatan ini, sebenarnya telah
memberikan arahan bahwa bidang kedokteran gigi sudah diposisikan dalam pelayanan
primer/strata pertama dalam sistem kesehatan nasional. Pembiayaan yang diterapkan pada dokter
gigi pelayanan primer dalam sistem JKN menggunakan sistem kapitasi. Sistem ini mempunyai
harapan agar dokter gigi layanan primer berusaha semaksimal mungkin untuk menekan
penggunaan biaya saat melakukan prosedur kuratif. Dokter gigi layanan primer diharapkan dapat
lebih menyentuh dan mengutamakan aspek promotif dan preventif agar sumber daya dan dana
dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kedudukan badan pengelola jaminan sosial bidang
kesehatan (BPJS Kesehatan) dapat mengontrol kualitas pekerjaan dokter gigi layanan primer

9
berdasarkan mekanisme penjaminan mutu yang dapat dilakukan melalui proses kredensialing
dan kontrol keluhan masyarakat terhadap mutu pelayanan dokter gigi layanan primer tersebut.4

2.2.2 Prinsip Pelayanan Kedokteran Gigi Primer

Menurut BPJS Kesehatan (2014a) prinsip-prinsip pelayanan kedokteran gigi primer yaitu:

1) Kontak Pertama (First Contact)

Dokter gigi sebagai pemberi pelayanan yang pertama kali ditemui oleh pasien dalam
masalah gigi dan mulut. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1415 (2005) bahwa
dokter gigi primer sebagai kontak pertama dapat berfungsi sebagai penapis rujukan ke
fasilitas kesehatan tingkat lanjutan.

2) Layanan Bersifat Pribadi (personal care)

Adanya hubungan baik antara dokter gigi dengan pasien dan keluarganya. Prinsip ini
dapat memberikan kesempatan bagi dokter gigi keluarga untuk memahami masalah pasien
secara lebih luas.

3) Pelayanan Paripurna (Comprehensive)

Dokter gigi memberikan pelayanan menyeluruh dengan pendekatan pemeliharaan,


peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif)
dan pemulihan (rehabilitatif) sesuai kebutuhan pasien. Prinsip ini dapat membantu dokter
gigi untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada paradigma sehat.

4) Paradigma Sehat

Dokter gigi mampu mendorong masyarakat untuk bersikap mandiri dalam hal kesehatan.
Prinsip ini juga menekankan agar pasien dapat menjaga kesehatan mereka sendiri.

5) Pelayanan Berkesinambungan (Continous Care)

10
Prinsip tersebut merupakan prinsip yang melandasi hubungan jangka panjang antara
dokter gigi dan pasien dengan pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Prinsip tersebut dapat
menjadikan pelayanan yang berkesinambungan bagi dokter gigi dan pasien dalam beberapa
tahap kehidupan pasien.

6) Koordinasi dan Kolaborasi

Dokter gigi pada fasilitas kesehatan tingkat pertama perlu berkonsultasi dengan disiplin
lain. Dokter gigi juga perlu untuk merujuk ke spesialis, dan memberikan informasi sejelas-
jelasnya kepada pasien dalam rangka upaya mengatasi masalah pasien.

7) Family and Community Oriented

Dokter gigi di fasilitas kesehatan tingkat pertama mempertimbangkan kondisi pasien


terhadap keluarga. Pertimbangan tersebut juga tidak boleh mengesampingkan pengaruh
lingkungan sosial dan budaya setempat terhadap kesehatan pasien.

2.2.3 Cakupan pelayanan kedokteran gigi primer di Jaminan Kesehatan Nasional

Dewanto dan Lestari (2014) mengatakan bahwa tindakan kedokteran gigi yang termasuk
dalam paket manfaat pada pelayanan kedokteran gigi primer di jaminan kesehatan nasional ialah:

1. Konsultasi
2. Pencabutan gigi sulung
3. Pencabutan gigi permanen
4. Tumpatan dengan resin komposit (tumpatan sinar)
5. Tumpatan dengan semen ionomer kaca
6. Pulp capping (proteksi pulpa)
7. Kegawatdaruratan oro-dental
8. Scalling (pembersihan karang gigi) yang dibatasi satu kali pertahun
9. Premedikasi/pemberian obat
10. Protesa gigi (gigi tiruan lengkap maupun sebagian dengan ketentuan tersendiri).

11
2.2.4 Hambatan Dokter Gigi di Era Jaminan Kesehatan Nasional

Suatu hambatan atau kelemahan sebuah program dapat dikategorikan kedalam 2 kategori,
yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Hambatan eksternal adalah hambatan yang berasal dari
luar organisasi penyelenggara. Hambatan tersebut dapat berasal dari alam yakni iklim ataupun
kondisi geografis, tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah, serta sikap dan budaya
masyarakat yang tidak kondusif.

Hambatan internal merupakan hambatan yang berasal dari dalam organisasi


penyelenggara. Hambatan tersebut dapat berasal dari keterbatasan sumber daya manusia, dana
yang dibutuhkan kurang memadai, sarana dan prasarana yang minim, pengetahuan dan
keterampilan yang kurang serta arus informasi yang sangat lamban.

Besaran kapitasi merupakan salah satu hambatan internal yang terdapat pada sistem JKN
seperti yang disebutkan oleh Widiyani (2014) bahwa tarif kapitasi bagi pelayanan dokter gigi di
era JKN masih dinilai rendah. Khariza (2015) menyebutkan bahwa hambatan internal lainnya
pada sistem JKN yakni sarana kesehatan yang masih belum memadai. Hambatan internal lainnya
di era JKN seperti yang disebutkan oleh Dewanto dan Lestari (2014) adalah belum adanya
kejelasan pada paket manfaat. Despitasari (2014) juga menyebutkan bahwa hambatan dokter gigi
di era JKN dapat berasal dari peningkatan jumlah pasien di era JKN dan kurangnya pengetahuan
dokter gigi mengenai sistem JKN.

a. Besaran kapitasi

Pembayaran kapitasi dapat menurunkan kualitas pelayanan kesehatan. Penerapan sistem


kapitasi menunjukkan sebagian dokter mengalami tekanan akibat adanya pembatasan
pengobatan dalam sistem pelayanan terkendali dan hal ini akan berpengaruh pada pengobatan
pasien yang kurang optimal dan dapat menimbulkan ketidakpuasan pasien.

Sistem kapitasi merupakan strategi sistem pembayaran yang baik untuk jangka panjang,
namun sistem kapitasi yang tidak membedakan jenis pelayanan kesehatan dapat membatasi
tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan yang
membutuhkan biaya yang tinggi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

12
Januraga, dkk. (2010) yang menyatakan bahwa sistem kapitasi tidak lebih baik dari sistem
pembiayaan fee for service dalam hal menjaga mutu dan standar pelayanan kesehatan sehingga
ditakutkan dapat mengurangi tingkat kepuasan masyarakat.

b. Sarana kesehatan gigi

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2001) sarana adalah segala sesuatu yang dapat
dipakai sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Khariza (2015) menyebutkan bahwa salah satu
permasalahan yang ada pada jaminan kesehatan nasional yakni pelayanan kesehatan pada
puskesmas dan klinik yang ditunjuk sebagai penyedia layanan kesehatan di JKN belum
memadai, serta masih banyaknya fasilitas kesehatan yang masih belum memenuhi standar. Hal
tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Geswar, dkk. (2013) bahwa sarana
kesehatan pada fasilitas pelayanan primer maupun fasilitas pelayanan sekunder belum memadai
dikarenakan alat kesehatan yang masih kurang.

Permasalahan mengenai ketersediaan sarana kesehatan gigi yang ada dikhawatirkan dapat
menghambat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter gigi. Berdasarkan Permenkes
Nomor 71 Tahun 2013 disebutkan bahwa kelengkapan sarana dan prasarana kesehatan
merupakan salah satu syarat kredensialing yang harus terdapat dalam fasilitas pelayanan
kesehatan agar dapat dikontrak oleh BPJS Kesehatan.

c. Paket manfaat

Salah satu permasalahan awal pada sistem jaminan kesehatan nasional bidang kedokteran
gigi adalah belum adanya kejelasan mengenai syarat-syarat yang terdapat dalam jenis tindakan
yang termasuk dalam paket manfaat di dalam sistem JKN. Permasalahan lainnya yang timbul
pada paket manfaat ialah belum adanya kejelasan mengenai jenis tindakan yang dapat dirujuk ke
fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yang dijamin pembiayaannya oleh BPJS Kesehatan.

d. Beban kerja provider

Salah satu permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan JKN ialah beberapa tenaga medis di
puskesmas yang mengeluhkan bahwa terdapat peningkatan jumlah pasien semenjak era JKN

13
yang menambah beban kerja tenaga medis tersebut. Hal tersebut dapat menimbulkan
permasalahan sebab pada sistem pembagian alokasi dana kapitasi di puskesmas tidak
memperhitungkan variabel beban kerja setiap tenaga medis. Sistem pembagian dana kapitasi
yang tidak membedakan beban kerja antara tenaga kesehatan di puskesmas tersebut dapat
membuat beberapa tenaga kesehatan menjadi malas dalam memberikan pelayanan kesehatan
sehingga dapat menghambat pelayanan yang akan diberikan oleh tenaga kesehatan tersebut.
Peningkatan beban kerja tersebut dikhawatirkan dapat mempengaruhi pelayanan yang akan
diberikan oleh dokter gigi.

Dewanto dan Lestari (2014) juga menyebutkan bahwa penetapan besaran kapitasi di
puskesmas yang hanya berdasarkan variabel kehadiran dan variabel ketenagaan menimbulkan
beberapa permasalahan. Salah satu permasalahannya adalah tidak dibedakannya antara tenaga
medis yang memiliki beban kerja lebih tinggi dengan tenaga medis yang memiliki beban kerja
lebih rendah pada pembagian jasa pelayanan.

Teori yang dikemukakan oleh Huey dan Wickens (1993) menyatakan bahwa beban kerja
yang tinggi dapat meningkatkan timbulnya kesalahan dari tenaga kerja untuk menyelesaikan
tuntutan tugas-tugas yang penting. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusuma dan Soesatyo
(2014) juga menunjukkan bahwa semakin tinggi beban kerja maka stres kerja akan semakin
meningkat sehingga akan menurunkan kinerja yang diberikan.

e. Tingkat pengetahuan dokter gigi tentang JKN

Permasalahan berdasarkan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan seperti
yang diungkapkan oleh Despitasari (2014) yang menyebutkan bahwa pada pelaksanaan JKN
masih terdapat tenaga kesehatan yang belum memahami mekanisme dan prosedur dari JKN
sehingga peserta JKN sering dibuat kebingungan atau bahkan dirugikan. Jaminan Kesehatan
(Jamkes) Indonesia (2016) juga menyebutkan bahwa salah satu permasalahan dalam penerapan
jaminan kesehatan nasional ialah pada penerapan pelayanan berjenjang. Hal tersebut dapat
terlihat dari banyaknya kasus yang dapat ditangani oleh pelayanan primer atau sekunder namun
dirujuk ke pelayanan tersier karena ketidaksiapan tenaga kesehatan dan kurangnya fasilitas di
layanan kesehatan primer. Tenaga kesehatan semestinya dapat memahami secara jelas mengenai

14
sistem rujukan dan selalu meningkatkan kompetensi agar dapat memberikan pelayanan
kesehatan secara professional yang dibutuhkan pasien.

Menurut Dewanto (2013) dokter gigi dalam pelaksanaan sistem jaminan kesehatan nasional
harus dapat memahami analisa situasional daerah tempat praktek serta administrasi dan
manajemen keuangan. Analisa situasional daerah tempat praktek dapat membantu dokter gigi
untuk mengetahui kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat yang berhubungan dengan penyakit
gigi dan mulut sehingga dapat melakukan upaya preventif intervensi yang tepat. Hal ini dapat
membantu dokter gigi untuk menurunkan angka kesakitan masyarakat sehingga dana kapitasi
yang didapatkan akan menguntungkan dokter gigi. Administrasi dan manajemen keuangan juga
merupakan hal yang harus diperhatikan oleh dokter gigi. Administrasi yang dalam hal ini adalah
data utilisasi dapat membantu dokter gigi untuk melakukan revisi untuk peningkatan nilai
kapitasi setiap 2 tahun sekali sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013.
Manajemen keuangan dalam sistem JKN membutuhkan kerangka konsep budgeting yang lebih
menekankan dalam upaya intervensi preventif yang sesuai dengan analisa daerah setempat
dibandingkan dengan tindakan kuratif. Dokter gigi yang tidak memahami ketiga konsep tersebut
akan mengalami sejumlah kendala dalam melakukan pelayanan kesehatan di era JKN.

Tenaga kesehatan di era JKN juga harus memahami konsep paradigma sehat dalam sistem
kesehatan. Paradigma sehat tersebut meliputi pelayanan yang lebih mengutamakan promotif dan
preventif, namun tidak melupakan upaya kuratif, rehabilitatif, dan paliatif. Hal tersebut dapat
mewujudkan tercapainya kesehatan setinggi-tingginya yang tidak hanya berfokus pada kesehatan
untuk bertahan hidup tetapi juga kesehatan untuk pembangunan manusia. Berdasarkan hal
tersebut maka pengetahuan dokter gigi mengenai sistem JKN dapat dibagi menjadi komponen
paradigma sehat, manajemen kapitasi, sistem pada paket manfaat serta sistem rujukan.

15
BAB III

PEMBAHASAN

Pengetahuan yang tinggi mengenai sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang dimiliki
oleh dokter gigi ini mungkin didasari oleh beberapa hal. Sosialisasi yang sudah tepat dan merata
tentang sistem JKN memungkinkan dokter gigi memiliki pengetahuan yang baik. Selain itu
dokter gigi mungkin telah mempelajari mekanisme yang berlaku di JKN karena perannya
sebagai provider di FKTP menuntutnya untuk memahami regulasi yang berlaku agar dapat
memberikan pelayanan kesehatan yang optimal. Penyedia layanan kesehatan perlu memahami
dan menerima program kesehatan dengan baik. Hal ini dikarenakan penyedia layanan kesehatan
diperlukan untuk menjadi ujung tombak pelaksanaan sistem yang akan diterapkan. Namun
seiring dalam perjalanannya, pemahaman provider ini akan dipengaruhi oleh persepsi pribadi
tentang program tersebut.
Terdapat pengaruh yang luas antara pengetahuan, persepsi pemanfaatan, penerimaan atau
akseptibilitas dan kelancaran dalam pelaksanaan program kesehatan. Implementasi suatu
program kesehatan termasuk sistem pembiayaan yang baru akan menuntut adanya pemahaman.
Pemahaman yang mendalam tentang risiko dan manfaat terkait sistem yang akan dijalankan
perlu dimiliki oleh provider sebagai penyedia jasa kesehatan maupun pasien sebagai klien atau
penerima layanan kesehatan.
Pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai sistem Jaminan Kesehatan Nasional
pada kenyataannya tetap membuat dokter gigi memiliki persepsi bahwa besaran kapitasi
menghambat pelayanan kesehatan. Persepsi ini dapat ditimbulkan karena isu-isu dalam
pemberitaan yang beredar menciptakan stigma bahwa besaran kapitasi untuk dokter gigi praktik
sangat kecil yaitu Rp. 2.000,-. Dokter gigi fungsional di Puskesmas sebenarnya tidak secara
langsung merasakan dampak rendahnya besaran kapitasi, akan tetapi nilai besaran kapitasi
tersebut seringkali diberitakan negatif sehingga responden mungkin menganggap besaran
kapitasi kurang sepadan dengan beban kerja dokter gigi. Anggapan ini pada akhirnya menjadi
persepsi dokter gigi tanpa melihat manajemen kapitasi yang dapat dilakukan dengan besaran
kapitasi Rp. 2.000,- per orang per bulan.

16
Persepsi dokter gigi yang menyatakan kapitasi menjadi faktor hambatan dengan nilai
tertinggi dalam memberikan pelayanan bukan karena pengetahuan dokter gigi yang rendah.
Penyebab utamanya karena besaran kapitasi dianggap tidak cukup.
Penetapan besaran kapitasi untuk puskesmas didasarkan pada kriteria tertentu seperti
jumlah dokter dan lama waktu puskesmas beroperasi setiap hari. Keluarnya peraturan ini tidak
sedikit menuai pro dan kontra terutama bagi puskesmas yang memiliki dokter lebih sedikit dan
beroperasi kurang dari 24 jam sehari. Peraturan ini dinilai terlalu mendadak dan belum
disosialisasikan padahal beban kerja puskesmas cukup berat dalam era JKN ini.
Peningkatan jumlah kunjungan pasien akan meningkatkan beban kerja provider. Beban
kerja yang meningkat cenderung akan menurunkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan.
Pernyataan tersebut juga sesuai dengan teori bahwa beban kerja yang berlebih akan berpengaruh
terhadap kualitas pelayanan yang akan diberikan. Beban kerja memiliki dampak yang signifikan
terhadap kinerja pekerja, beban kerja yang tinggi harus sesuai dengan kemampuan dan potensi
pekerja untuk menghindari stress.

17
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pelayanan kesehatan gigi dan mulut memerlukan upaya yang berjenjang yang
dilaksanakan secara efektif dan efisien, sehingga pola pelayanan kesehatan gigi dan mulut harus
diletakkan pada pelayanan primer dalam system jaminan kesehatan nasional.
Dalam pelaksanaan suatu kegiatan sering kali menghadapi kendala yang dapat
menyebabkan pelaksanaan suatu kegiatan tidak berjalan dengan lancar. Begitu juga dengan
pelaksanaan program JKN terkait penerimaan pasien, pengolahan data medis, pelaporan serta
pendanaan masih ditemukan kendala dalam pelaksanaannya.
Besaran kapitasi atau sumber daya pembiayaan jaminan kesehatan dapat menjadi
hambatan utama dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Besaran kapitasi dapat
menjadi penentu utama jenis-jenis pelayanan yang tercakup dalam paket manfaat. Besaran
kapitasi yang rendah ditambah dengan beban kerja yang berat dapat menurunkan motivasi
provider untuk menjaga mutu pelayanan yang diberikan.

4.2 Saran
Oleh karena itu, kedepannya kami berharap dalam memberikan pelayanan kedokteran
gigi sistem JKN di lapangan Dokter gigi masih harus didukung penuh dengan organisasi profesi
PDGI untuk peran sertanya di JKN terutama dalam hal kapitasi yang berada di FKTP.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Nurlila RU, Fua JL, Meliana. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan tentang
kesehatan gigi pada siswa di sd Kartika xx-10 kota Kendari tahun 2015. Jurnal Al-Ta’dib
Vol.9 No. 1,Januari-Juni; 2016. h95-8.
2. Irwandy I. Kajian Literature: Evaluasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional Di
Indonesia. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia: Jkki, 5(3);2016. h110–114.
3. BPJS, Kesehatan. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan. Jakarta; 2014.
4. Permenkes No. 9 Tahun 2014 Pasal 1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2014. In Permenkes Klinik Vol. 205; 2014. h76–77.
5. Dewanto I. Penetapan dokter gigi layanan primer di Indonesia. Maj kedokteran gigi.
Desember 2014; 21(2): h109-116.
6. Kurnia AN, Nurwahyuni A. Analisis perhitungan kapitasi pada fasilitas kesehatan tingkat
pertama yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan KCU Kota Bogor Tahun 2015. Jurnal
Ekonomi Kesehatan Indonesia; 2017. h24-31.
7. Widaty D. Indikator pembayaran kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan pada
fasilitas kesehatan tingkat pertama di Surabaya. JAKI Vol 5 No 2 Juli-Desember 2017. h114-
5.
8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Bahan Paparan Jamina Kesehatan (Jkn)
Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. In Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Vol.
91, Pp. 399–404).
9. Dharmawan, I. R. (2018). Refleksi Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada
Pelayanan Kedokteran Gigi Di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Kota Tangerang Tahun
2017. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : Jkki, Vol. 6, Pp. 174–183.
10. Peraturan Presiden (PERPRES) No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; 2013.
11. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif
Jaminan Kesehatan Nasional
12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menke/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin
Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.

19
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi
Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya
Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.
14. BPJS, Kesehatan. (2014). Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan. Jakarta
15. Aida J, Ando Y, Oosaka M, Niimi K, Morita M. Contributions of social context to inequality
in dental caries:a multilevel analysis of Japanese 3-year-old children. Community Dental
Oral Epidemiology Journal. 2008; 36: 149–56.
16. Petersen PE, Kwan S. The 7th Global Conference on Health Promotion-towards Integration
of Oral Health. Community Dental Health Journal. 2010; 27: 129-36.
17. WHO, Regional Office for South-East Asia, 2013, Regional Oral Health Strategy 2013 –
2020
18. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 001/ Menkes/PER/X/2012 tentang Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan
19. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 071/ Menkes/PER/XI/2013 tentang Pelaksanaan
sistem Jaminan Kesehatan.
20. Departemen Kesehatan RI, 2008, Riset Kesehatan Dasar 2007, Badan Penelitian dan
Pengembangan Depkes RI, Jakarta
21. Kementerian Kesehatan RI, 2013, Riset Kesehatan Dasar 2013, Badan Penelitian dan
Pengembangan Depkes RI, Jakarta.

20

Anda mungkin juga menyukai