Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Fungsi utama dari rumah sakit adalah memberikan perawatan dan
pengobatan yang sempurna kepada pasien baik pasien rawat jalan, rawat
inap maupun pasien rawat darurat. Pimpinan rumah sakit memiliki
kewajiban terhadap mutu pelayanan medik di rumah sakit yang diberikan
kepada semua pasien.
Rekam medis memiliki peran yang sangat penting dalam
mengemban pelayanan medik yang diberikan rumah sakit beserta staf
medisnya. Menurut Permenkes RI Nomor 269/MENKES/PER/III/2008,
rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen antara
lain identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan,
serta tindakan dari pelayanan yang telah diberikan kepada pasien. Fungsi
rekam medis adalah pemeiharaan kesehatan dan pengobatan pasien, alat
bukti dalam proses penegakkan hukum,disiplin kedokteran dan kedokteran
gigi, penegakkan etika kedokteran dan kedokteran gigi, keperluan
pendidikan dan penelitian, dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan,
serta data statistik kesehatan.
Rekam medis memiliki pengertian yang sangat luas, tidak hanya
sekedar kegiatan pencatatan, akan tetapi mempunyai pengertian sebagai
suatu sistem penyelenggaraan rekam medis. Penyelenggaraan rekam
medis adalah suatu proses kegiatan yang dimulai pada saat diterimanya
pasien di rumah sakit, diteruskan kegiatan pencatatan data medis pasien

selama pasien itu mendapat pelayanan dan perawatan, dilanjutkan dengan


penanganan

berkas

rekam

medis

yang

meliputi penyelenggaraan

penyimpanan serta pengeluaran kembali dari tempat penyimpanan untuk


melayani permintaan/peminjaman atau untuk keperluan lainnya (Huffman,
1994).
Data-data medis yang terdapat pada berkas rekam medis pasien
selanjutnya akan diolah untuk menghasilkan informasi-informasi yang
berguna bagi pihak rumah sakit dalam pengambilan keputusan terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan yang diberikan. Salah satu
kegiatan pengelolaan data medis ini adalah pengodean terhadap diagnosis
atau tindakan yang tercantum pada berkas rekam medis. Pelaksanaan
pengodean

ini

memegang

peranan

yang

cukup

penting

dalam

penyelenggaraan rekam medis di suatu rumah sakit. Dengan adanya kode


penyakit, petugas di bagian pengindeksan akan sangat terbantu khususnya
dalam pembuatan indeks penyakit dan operasi. Selain itu, pengodean juga
dapat mempercepat arus informasi medis yang dibutuhkan untuk keperluan
statistik dan penelitian (Abdelhak, 1998).
Hak

tingkat

hidup

yang

memadai

untuk

kesehatan

dan

kesejahteraan masyarakat merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh


segenap bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu
tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948
tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 25 Ayat (1) Deklarasi menyatakan,
setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan
kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan,
pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial

yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur,


menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau
keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di
luar kekuasaannya.
Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila
kelima juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga
termaktub dalam UUD 1945 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU
No 23 Tahun 1992 yang kemudian diganti dengan UU 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan. Dalam UU No 36 Tahun 2009 ditegaskan bahwa setiap
orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber
daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai
kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas,
pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan
masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan
perorangan.
Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan
menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan,
diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek
(Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima
pensiun, veteran dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak
mampu, pemerintah memberikan

jaminan melalui skema

Jaminan

Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah


(Jamkesda).

Namun

demikian,

skema-skema

tersebut

masih

terfragmentasi dan terbagi-bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan


menjadi sulit terkendali.
Untuk mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang
No 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU No 40 tahun
2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh
penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Menurut Shihab (2012), jaminan sosial merupakan satu bentuk
sistem perlindungan sosial. Dalam pelaksanaannya, jaminan sosial tidak
hanya memiliki batasan bidang yang dijamin, tetapi juga memiliki program,
jenis, metode, pembiayaan, jangka waktu, kepesertaan yang berbeda-beda
sehingga membutuhkan keterpaduan.
Undang-Undang No 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan
Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang
implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan
JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden,
antara lain: Peraturan Pemerintah No 101 Tahun 2012 tentang Penerima
Bantuan Iuran (PBI), Peraturan Presiden No 111 Tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan, dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan
Nasional).
Mendukung
memberikan

prioritas

pelaksanaan
kepada

tersebut,

jaminan

Kementerian

kesehatan

dalam

Kesehatan
reformasi

kesehatan. Kementerian Kesehatan tengah mengupayakan suatu regulasi

berupa Peraturan Menteri, yang akan menjadi payung hukum untuk


mengatur antara lain pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan tingkat
pertama dan pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Peraturan
Menteri juga akan mengatur jenis dan plafon harga alat bantu kesehatan
dan pelayanan obat dan bahan medis habis pakai untuk Peserta Jaminan
Kesehatan Nasional.
Tarif Indonesian Case Based Groups yang selanjutnya disebut
tarif INA CBGs adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan
kepada fasilitas kesehatan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang
didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit. Di dalam PMK No
69

tentang

Tarif

Pelayanan

Kesehatan

dikatakan

bahwa

cara

pembayarannya sendiri yaitu BPJS Kesehatan akan membayar kepada


Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk Fasilitas
Kesehatan rujukan tingkat lanjutan BPJS Kesehatan membayar dengan
sistem paket INA CBGs.
Pelayanan kesehatan saat ini menghadapi banyak tantangan.
Tantangan tersebut termasuk peningkatan usia harapan hidup, kebutuhan
pemeliharaan sumber daya kesehatan, peningkatan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) kedokteran dan pelayanan kesehatan yang diiringi oleh
minat konsumen dalam mengakses informasi melalui internet. Menghadapi
semua tantangan ini, organisasi pelayanan kesehatan harus mampu
mengoperasikan sistem pelayanannya secara efektif dan efisien dengan
memanfaatkan data medis dan ilmu pengetahuan yang mutahir, dalam
upaya menghadirkan produk pelayanan yang memenuhi standard kualitas
dan kebutuhan konsumen. Untuk menjawab kebutuhan ini, diperlukan

keseragaman perbendaharaan istilah yang akan digunakan dalam


pengembangan sistem informasi di fasilitas pelayanan, agar keluaran
sistem dapat dimanfaatkan secara bersama di tingkat nasional, regional
ataupun internasional (Hatta, 2008).
Salah satu upaya dalam meningkatkan pelayanan kesehatan
masyarakat di Indonesia adalah membuat perubahan dalam pelayanan
pasien dengan model pelayanan yang cepat, instan, tepat dan terjangkau
untuk semua kalangan dari menengah keatas hingga menegah kebawah.
Berdasarkan

Surat

Edaran

dari

Kementrian

Kesehatan

RI

Nomor:IR.03.01/I/570710,mulai tanggal 30 September 2010 grouper INA


DRGs dilakukan perubahan mekanisme pengendalian biaya yang dikenal
dengan nama INA CBGs. INA CBGs merupakan sistem Case-mix yang di
implementasikan di Indonesia saat ini.
Pada Buletin BUK edisi Mei 2013 dijelaskan bahwa sistem Casemix INA CBGs adalah suatu pengklasifikasian dari episode perawatan
pasien yang dirancang untuk menciptakan kelas-kelas yang digunakan dan
berisikan pasien-pasien dengan karakteristik klinik yang sejenis. Case
Base Groups (CBGs) yaitu cara pembayaran pelayanan kesehatan yang
berhubungan dengan mutu, pemerataan dan jangkuan dalam pelayanan
kesehatan yang menjadi salah satu unsur pembiayaan pasien berbasis
kasus campuran merupakan salah satu cara meningkatkan standar
pelayanan kesehatan Rumah Sakit.
Sistem pengolahan data tersebut sudah terkomputerisasi secara
mudah dapat dijalankan dan efisien. Dengan demikian, efektivitas

pelayanan kesehatan dapat terkontrol dan dievaluasi karena sistem yang


ada sudah memiliki standar dalam hal penggunaan berbagai sumber.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada bulan Januari 2014
yang dilaksanakan di Instalasi Rekam Meis Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta, melalui wawancara dengan kepala instalasi rekam diketahui
bahwa Rumah Sakit Panti Rapih merupakan salah satu yang telah
menerapkan sistem Case-mixIndonesianCase Base Groups (INA CBGs).
Program

JKN

yang

diselenggarakan

oleh

BPJS

sudah

serentak

diselenggarakan di seluruh layanan kesehatan di Indonesia pada 1 Januari


2014 yang lalu. BPJS Kesehatan memiliki kaitan yang sangat erat dengan
INA CBGs yaitu cara pembayarannya. Ketepatan kode yang diberikan akan
sangat mempengaruhi tarif yang akan diterima Rumah Sakit sebagai ganti
dari biaya pelayanan yang telah diberikan kepada pasien selama menerima
fasilitas pelayanan kesehatan. Ruang lingkup pelayanan BPJS kesehatan
di Rumah Sakit Panti Rapih adalah Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL),
Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL), Pelayanan persalinan, Pelayanan
Gawat Darurat, Pelayanan Obat, Pelayanan Alat Kesehatan, Alat
kesehatan lain sesuai dengan kebutuhan dan indikasi medis, Pelayanan
Rujukan Parsial, Pelayanan Ambulans, dan pelayanan kesehatan yang
tidak dijamin. Pada Rumah Sakit ini terdapat lima orang petugas
pengodeanyang melakukan pengodean pada pasien rawat jalan, rawat
darurat, dan rawat inap. Dengan adanya sistem Case-mixdan program JKN
yang diselenggarakan oleh BPJS kegiatan petugas pengodean di Rumah
Sakit Panti Rapih tidak hanya melakukan pengodean diagnosis dan
tindakan, namun ada beberapa tugas tambahan yang belum masuk di

dalam job description petugas pengodean. Selain itu, petugas pengodean


juga memiliki wewenang dan beberapa kesulitan yang dihadapi dalam
menghadapi program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS. Kesulitan
yang dihadapi antara lain terkait standar prosedur operasional (SPO),
sumber daya manusia (SDM), penulisan diagnosis dan tindakan, serta
program BPJS yang masih baru. SPO pengodean dan tindakan masih
digabungkan dengan SPO di bagian olah data, sertaSPO tentang petugas
pengodean INA CBGs juga belum ada. Petugas pengodean masih ada
yang belum menguasai tugasnya, sering mengalami perbedaan dalam
menentukan kode penyakit, dan tidak meratanya kesempatan pelatihan.
Dokter menulis diagnosis dan tindakan tidak lengkap, dokter tidak mengisi
resume, dan tulisan dokter tidak bisa terbaca. Sosialisasi terkait program
JKN masih kurang, pemahaman dan regulasi masih belum mendukung,
dan ketidaktahuan petugas pengodean dalam beberapa hal. Dari uraian
tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengambil penelitian dengan judul
Tinjauan Pelaksanaan Kegiatan Petugas Pengodean Terkait Program JKN
di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang
masalah, maka penulis dapat merumuskan masalah yang dibahas dalam
penelitian

ini

adalah

bagaimana

pelaksanaan

kegiatan

petugas

pengodean terkait program JKN di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

C.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang dilakukan dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.

Tujuan Umum
Untuk

mengetahui

pelaksanaan

kegiatan

petugas

pengodean terkait program JKN di Rumah Sakit Panti Rapih


Yogyakarta.
2.

Tujuan Khusus
a. Mengetahui tugas dan wewenang petugas pengodeanterkait
program JKN.
b. Mengetahui kesulitan yang dihadapi petugas pengodean terkait
program JKN.
c. Mengetahui upaya yang sudah dilakukan pihak rumah sakit dalam
menangani kesulitan yang dihadapi petugas pengodean terkait
program JKN.

D.

Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara
lain:
1.

Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi alat
evaluasi dan masukan bagi pihak rumah sakit dalam pelaksanaan
kegiatan

petugas

pengodean

terkait

program

JKN

yang

diselenggrakan

oleh

BPJS

di

Rumah

Sakit

Panti

Rapih

Yogyakarta.
b. Bagi Peneliti
1) Dapat memperoleh gambaran umum mengenai kegiatan
petugas pengodean terkait program JKN.
2) Dapat menambah wawasan, pengalaman, serta menerapkan
ilmu

yang

didapat

peneliti

selama

kuliah

untuk

mengidentifikasi serta memecahkan masalah yang ada pada


penelitian ini.
2.

Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan atau referensi
di perpustakaan yang dapat berguna bagi siapa saja yang
membutuhkan dalam mempelajari rekam medis.
b. Bagi Peneliti Lain
1) Dapat dijadikan acuan atau dasar pengembangan dalam
pendalaman materi yang memiliki kesamaan serta penelitianpenelitian yang lebih lanjut.
2) Menambah

wawasan

mengenai

pelaksanaan

kegiatan

petugas pengodean terkait program JKN di Rumah Sakit Panti


Rapih Yogyakarta.

E.

Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengetahuan peneliti, penelitian tentang Tinjauan
Pelaksanaan Kegiatan Petugas Pengodean Terkait Program JKN di

10

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta belum pernah dilakukan. Namun,


beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang memiliki
kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan antara lain :
1.

Setiyani, dkk (2013) Tinjauan Keakuratan Kode Diagnosis Utama


Pasien Rawat Inap Penyakit Chronic Renal Failure End Stage
Berdasarkan ICD-10 di RSUD Dr. Moewardi Bulan Januari 2013.
Tujuan penelitian adalah mengetahui keakuratan kode
diagnosis utama pasien rawat inap dengan penyakit cronic renal
failure end stage di RSUD Dr. Moewar di Bulan Januari Tahun 2013.
Jenis penelitian diskriptif dengan pendekatan retrospektif. Metode
pengumpulan
keakuratan

dataadalah

kode

observasi.

diagnosis

Variabel

penelitian

utamaberdasarkan

yaitu

ICD10.Populasi

penelitian yaitu dokumen rekam medis pasien rawat inap pada Bulan
JanuariTahun 2013sebesar 45 dokumen rekam medis pasien rawat
inap dan sampel penelitian adalah 45 dokumenrekam medis pasien
rawat inap. Teknik pengambilan sampel dengan sampel jenuh.
Analisis

datamenggunakan

analisis

diskriptif.

Hasil

penelitian

menunjukkan bahwa kode diagnosis utama pasien rawat inap yang


akuratadalah sebesar 35 dokumen rekam medis (77.78%) dan kode
diagnosis utama yang tidak akuratsebesar 10 dokumen rekam medis
(22.22%). Kesalahan terbanyak yang menyebabkanketidakakuratan
kode

diagnosis

utama

kodekategorikombinasi

adalah
pada

coder

ICD

10

kurang
Vol.

memperhatikan
2

dan

kurang

memperhatikan tata cara pengodean pada ICDVol. 2.

11

Perbedaannya dengan penelitian sekarang adalah peneliti


Setiyani, dkklebih mengarah pada keakuratan kode diagnosis utama
pasien rawat inap dengan penyakit cronic renal failure end stage.
Sedangkan penelitian yang sekarang ingin mengetahui pelaksanaan
kegiatan petugas pengodean terkait program JKN di Rumah Sakit
Panti Rapih. Selain itu pendekatan yang digunakan peneliti sekarang
adalah kualitatif sedangkan Setiyani, dkk adalah retrospektif.
Persamaan penelitian ini terletak pada metode penelitian
dan teknik pengambilan data yang dilakukan.
2.

Lestari (2011) Peran Petugas Pengodean Diagnosis dan Tindakan


dalam Pelaksanaan INA-DRGs di RSUD Wonosari.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peran petugas
pengodean dalam pelaksanaan INA-DRGs di RSUD Wonosari,
mengetahui tugas petugas pengodean terkait INA-DRGs, mengetahui
ketepatan hasil pengodean kode diagnosis dan tindakan pada lembar
case-mix, mengetahui kendala yang dihadapi petugas pengodean
dalam pelaksanaan INA-DRGs, mengetahui upaya yang dilakukan
oleh petugas pengodean terhadap kendala dalam pelaksanaan INADRGs. Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan
pendekatan

kualitatif.

Rancangan

penelitiannya

menggunakan

rancangan penelitian cross-sectional dan teknik pengambilan sampel


subjeknya menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian
ini diketahui bahwa petugas pengodean dalam pelaksanaan INADRGs sudah melakukan tugasnya dengan baik sesuai dengan
KepMenKes No 377/Menkes/SK/III/2007. Persentase ketepatan

12

pengodean diagnosis sebanyak 78,86% dan ketepatan pengodean


tindakan

sebanyak 79,25%.

kendala

yang

dihadapi

petugas

pengodean dalam pelaksanaan INA-DRGs terkait Prosedur Tetap


Rumah Sakit, SDM, dan pengembalian lembar case mix dari
verivikator. Dan upaya yang dilakukan oleh petugas pengodean
terhadap kendala dalam pelaksanaan INA-DRGs yaitu : Pelaksanaan
pengodean mengacu pada Prosedur Tetap Tentang Pengodean
Diagnosis Penyakit (Coding) RSUD Wonosari, sosialisasi, komunikasi
dengan dokter, dan melengkapi data yang masih kurang sesuai
dengan memo dari verifikator.
Perbedaan peneliti Lestari dengan peneliti sekarang terletak
pada tujuan khusus yang pertama. Peneliti Lestari hanya ingin
mengetahui tugas petugas pengodean terkait INA DRGs, sedangkan
peneliti yang sekarang tidak hanya ingin mengetahui tugas tapi juga
wewenang petugaspengodean terkait program JKN.
Persamaan penelitian ini terletak pada subjek penelitiannya
yaitu petugas pengodean. Dan metode penelitian yang digunakan
sama-sama menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif dan teknik pengambilan sampelnya menggunakan teknik
purposive sampling. Teknik pengambilan data dengan observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi.
3.

Utami (2011) Beban Kerja Petugas Rekam Medis dalam Penerapan


Sistem INA-DRGs di RS Grhasia Provinsi DIY.
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi bagaimana
pelaksanaan dan beban kerja petugas rekam medis dalam

13

pembuatan klaim INA-DRGs di Rumah Sakit Grhasia Provinsi DIY,


mengetahui gambaran umum pelaksanaan sistem INA-DRGs,
mengetahui beban kerja petugas rekam medis dalam pelaksanaan
sistem INA-CBGs, dan menghitung sumber daya manusia petugas
rekam medis dalam pelaksanaan tugas tambahan sistem INA-DRGs.
Metode

yang

pendekatan

digunakan

kualitatif.

adalah

Rancangan

penelitian

deskriptif

penelitiannya

dengan

menggunakan

rancangan penelitian cross-sectional dan teknik pengambilan sampel


subjeknya menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian
ini diketahui bahwa dalam pelaksanaan INA DRG ternyata petugas
yang suah ditetapkan menurut Surat Keputusan mengenai INA DRGs
tidak dapat menguasai pekerjaan diluar tanggungjawabnya. Beban
kerja petugas rekam medis terkait INA DRGs di RS Grhasia Provinsi
DIY berat, hal ini disebabkan karena petugas harus mengerjakan
tugas-tugas yang tidak menjadi tanggungjawabnya. Dan berdasarkan
hasil perhitungan menurut rumus WISN, bahwa dibutuhkan 2 orang
tenaga INA DRGs untuk petugas pengodean dan pengentrian data
klaim sesuai dengan kemampuan atau berasal dari profesi rekam
medis.
Perbedaan peneliti Utami dengan penelitian sekarang
terletak pada tujuan, lokasi serta objek yang ingin diteliti. Penelitian
Utami memiliki tujuan umum yaitu mengidentifikasi bagaimana
pelaksanaan dan beban kerja petugas rekam medis dalam
pembuatan klaim INA DRGs di Rumah Sakit Grhasia Provinsi DIY
sedangkan penelitian yang dilakukan sekarang bertujuan untuk

14

mengetahui pelaksanaan petugas pengodean terkait program JKN di


Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Selain itu juga penelitian Utami
ingin mengetahui gambaran umum pelaksanaan sistem INA DRGs,
beban kerja petugas rekam medis, dan menghitung sumber daya
manusia petugas rekam medis dalam pelaksanaan tugas tambahan
sistem INA DRGs. Sedangkan penelitian sekarang memiliki tujuan
khusus mengetahui tugas serta wewenang petugas pengodean
dalam terkait program JKN, mengetahui kesulitan yang dihadapi
petugas pengodean terkait program JKN, dan mengetahui upaya
yang sudah dilakukan pihak rumah sakit dalam menangani kesulitan
yang dihadapi petugas pengodean terkait program JKN.
Persamaan penelitian ini terletak pada subjek penelitiannya
yaitu petugas pengodean. Dan metode penelitian yang digunakan
sama-sama menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif dan teknik pengambilan sampelnya menggunakan teknik
purposive sampling. Teknik pengambilan data dengan observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi.
4.

Nasution (2010) Peran Petugas Coding dalam Pelaksanaan INA


DRGs (Indonesian Diagnostic Related Groups).
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran tentang
peran petugas pengodean dalam pelaksanaan INA DRGs di RSUP
H. Adam Malik Medan, mengetahui tugas, kewajiban, dan wewenang
petugas pengodean terkait INA DRGs, mengetahui hambatanhambatan yang dialami petugas pengodean dalam pelaksanaan INA
DRGs. Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan

15

pendekatan

kualitatif.

Rancangan

penelitiannya

menggunakan

rancangan penelitian cross-sectional dan teknik pengambilan sampel


subjeknya menggunakan teknik pruposive sampling. Hasil penelitian
ini

diketahui

bahwa

petugaspengodeanberperan

aktif

dalam

pelaksanaan INA DRGs. Tugasnya secara keseluruhan sudah sesuai


dengan tugas yang diserahkan kepada mereka. Hambatan-hambatan
dalam pelaksanaan coding INA DRGs terdiri darai hambatan internal
dan hambatan eksternal. Hambatan internal adalah pengetahuan
petugas coding tentang konsep INA DRGs masih kurang. Masalah
tersebut dikarenakan masih ada petugas coding yang belum pernah
mengikuti pelatihan.

Petugas

coding

yang berlatar belakang

pendidikan D3 Rekam Medis sudah memiliki kompetensi pengodean.


Tetapi petugas lainnya yang berlatar pendidikan D3 non Rekam
Medis

dan SMA sudah memiliki pengalaman kerja yang lama

sehingga mereka dapat mengikuti pekerjaan mereka. Hambatan


eksternal adalah kurang jelasnya kebijakan Rumah Sakit tentang
petugas coding khusus INA DRGs, belum adanya protap (prosedur
tetap) coding INA DRGs dan job description petugas coding khusus
INA DRGs tidak ada, keterlambatan pengembalian berkas rekam
medis dari poliklinik dan bangsal, serta penulisan diagnosis/tindakan
tidak menggunakan istilah medis dan penulisannya menggunakan
singkatan serta penulisan yang tidak jelas.
Perbedaan peneliti Nasution dengan penelitian sekarang
adalah peneliti Nasuitioningin mengetahui gambaran tentang peran
petugas

pengodean

dalam

pelaksanaan

INA

DRGs,

tugas,

16

kewajiban, wewenang, serta hambatan-hambatan yang dialami


petugas pengodean dalam pelaksanaan INA DRGs. Sedangkan
penelitian sekarang ingin mengetahui tugas dan wewenang petugas
pengodean terkait program JKN, mengetahui kesulitan yang dihadapi
petugas pengodean terkait program JKN, dan mengetahui upaya
yang sudah dilakukan pihak rumah sakit dalam menangani kesulitan
yang dihadapi petugas pengodean terkait program JKN.
Persamaan penelitian ini selain pada tujuan juga terletak
pada subjek penelitiannya yaitu petugas pengodean. Dan metode
penelitian yang digunakan sama-sama menggunakan penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan teknik pengambilan
sampelnya
pengambilan

menggunakan
data

dengan

teknik

purposive

observasi,

sampling.

wawancara,

dan

Teknik
studi

dokumentasi.

17

Anda mungkin juga menyukai