Anda di halaman 1dari 412

Skandal BLBI:

Ramai-ramai
Merampok Negara

Marwan Batubara
Kwik Kian Gie
Dr. Frans Hendra Winarta, SH., MH.
Dr. Ahmad Erani Yustika
Dr. M. Fadhil Hasan
Dr. Hendri Saparini
Aviliani
© Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi buku ini
tanpa seizin penerbit
Skandal BLBI:

Ramai-ramai
Merampok Negara

Marwan Batubara, dkk

Penerbit
Haekal Media Center
Januari 2008
Judul Buku:
Skandal BLBI:
Ramai-ramai Merampok Negara

Penulis:
Marwan Batubara, dkk

Penyusun Naskah:
Wahyutama, Shalihan Edwar
M. Ikrar Dinata, Deni Wigunadi

Penyunting Naskah:
Wahyutama, Shalihan Edwar
Gumanti

Tata letak isi:


Shalihan Edwar

Desain Cover:
Tim Haekal Media Center

Penerbit:
Haekal Media Center
HP. 0816 23 0065, 0856 9765 3043
E-mail: haekal_mc@yahoo.co.id
Cetakan Kedua, Maret 2008
ISBN: 978-979-15667-5-9
Kata
Pengantar
Sri-Edi Swasono (Guru Besar Fakultas Ekonomi UI)

Rakyat telah menggugat, rakyat mulai mendesak, pemerintah pun


bergeming terhadap skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan tentang adanya upaya
pihak-pihak tertentu yang menghalangi pemerintah memberantas korupsi.
Skandal BLBI adalah kasus penjarahan Indonesia, merampok rakyat,
meleceh negara, suatu persekongkolan luar biasa sepanjang sejarah
perbankan modern antara oknum-oknum pemerintahan yang menjadi
koruptor dengan para koruptor yang mendikte pejabat pemerintah. Ini
merupakan kejahatan akbar di dunia perbankan yang tidak ada duanya di
dunia.
Skandal BLBI dapat kita kategorikan sebagai suatu konspirasi global,
dengan sasaran untuk melumpuhkan (disempowering) Indonesia agar
selanjutnya mempermudah penaklukkan teritorial dan pengurasan kekayaan
Indonesia. Skenario pelumpuhan ini adalah awal dari upaya brutal untuk
menciptakan ketergantungan dan ketertundukan.

vii
Mengapa skenario global sejahat ini dapat berjalan begitu lancar? Ada
macam-macam jawaban dan penjelasan. Di dalam pengantar ini tidak
semuanya dapat dikemukakan. Namun yang paling pokok adalah hilangnya
patriotisme, nasionalisme, dan rasa berdaulat dari kepemimpinan nasional
kita dan tentu pula bersamaan dengan itu adalah mengganasnya globalisme-
imperialisme masing-masing dengan derivat-derivatnya. Satu sama lain
saling berkaitan dan saling menumbuhkan sinergisme kemalapetakaan.
Pemerintahan negara yang adigang-adigung-adiguna nepotistik, yang
mengabaikan meritokrasi dan tuntutan profesionalisme the right man in the
right place merupakan awal segala malapetaka. Orang-orang medioker pun
bisa masuk ke dalam pemerintah dan menikmati kewenangan dan kekuasaan
siap pakai. Dari sinilah kecerdikan dan kelicikan globalisme-imperialistik
memperoleh peluang lebih besar untuk melaksanakan skenario perampokan
dan penjarahan.
Dari dimensi lain, berkaitan dengan kejahatan akbar di atas, barangkali
menyangkut pula persistensi budaya minder bangsa bekas rakyat terjajah ini,
yang sebagiannya cenderung untuk mudah dirayu dan dipecah-belah, maka
jadilah itu. Belahan pertama adalah mereka yang kurang memiliki percaya diri,
lalu mengundang kembalinya penjajahan baru, yang hanging-loose, yang masa
bodoh terhadap masa depan bangsa dan negara, yang di masa doeloe disebut
sebagai kelompok Co (NICA). Belahan yang lain adalah mereka yang teguh
cita-cita, tetap bertahan dalam mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatan nasional, demi kebebasan, kebesaran dan kejayaan bangsa dan
negaranya, yang doeloe kita kenal sebagai kelompok nasionalis Republikein.
***
Dengan latar belakang aneka absurditas di atas, yang bukan misteri atau
ilusi fiktif, maka terbentuklah ketertundukan birokrasi (barangkali juga
ketertaklukkan) untuk melaksanakan perintah orang yang ditakuti (IMF),
ibarat kerbau dicocok hidung. Mengawali serangkaian kebijakan bunuh diri
(series of suicidal policy) adalah sikap yang dengan serta merta melaksanakan
perintah IMF untuk melikuidasi 16 bank tanpa persiapan dan pertimbangan
matang tentang segala akibatnya pada awal November 1997, semata-mata
karena merasa tak berdaulat lagi, lalu menerima begitu saja hasil evaluasi dan
rekomendasi IMF/LoI 31 Oktober 1997.

viii
IMF jelas tidak berpengalaman dengan psikologi dan alam pikiran
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kebijaksanaan melikuidasi 16 bank
itu, yang oleh IMF semula diharapkan dapat memulihkan kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan, pastilah meleset. Akibatnya malahan
direspon oleh masyarakat secara sebaliknya. Masyarakat justru makin ragu,
makin dirongrong oleh uncertainties, lalu makin melakukan penarikan (rush)
dan pengalihan dana (bank-run) secara besar-besaran.
Perbankan Indonesia, yang lebih mengenal dan sangat berpengalaman
menangani psikologi masyarakat Indonesia, mestinya berani menolak saran
IMF ini. Namun keminderan terhadap IMF membuat para otoritas moneter
kita mudah tunduk dan takluk sebagai the “yes man”.
Evaluasi dan rekomendasi IMF ternyata tidak saja keliru, tetapi malah
merupakan penyulut bagi makin meluasnya ketidakseimbangan antara
penarikan dan penerimaan (mismatch) perbankan. Makin banyak, bahkan
nyaris menyeluruh, terjadi saldo debet negatif pada giro-giro mereka di
Bank Indonesia.
Presiden Soeharto terperangkap pada skenario logis sebab-akibat ini,
diteror secara sistematis untuk lebih terjerumus. Dengan kenyataan kausal
terjadinya pembengkakan saldo debet di perbankan, maka pada tanggal 12
Desember 1997, Presiden Soeharto menyetujui Bank Indonesia menempuh
kebijakan pengganti saldo debet bank-bank dengan SBPUK (Surat
Berharga Pasar Uang Khusus) supaya tidak terjadi lagi likuidasi bank.
Namun, sebagaimana bisa diduga dari pengalaman-pengalaman
perbankan Indonesia masa lalu yang ringkih terhadap spekulasi dan
ketidakpastian, krisis justru makin memuncak, saldo debet makin meluas
dan berkelanjutan. Istana Negara makin terteror, tergiring ke arah jurang
pelumpuhan kegiatan ekonomi, meskipun harapan yang ada cukup rasional,
yaitu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada perbankan. Para
pembantu Presiden tiarap, membiarkan Presiden tergencet dalam
kesendirian.
***
Dalam situasi krisis mismatch itu maka dikucurkanlah mekanisme kliring
baru, yaitu BLBI (Bantuan Likuidasi Bank Indonesia), berdasarkan
keputusan Rapat Kabinet 3 September 1997 yang dipimpin Presiden

ix
Soeharto, sebagai dana talangan pemerintah lewat Bank Indonesia untuk
perbankan yang bersaldo debet.
Tahap pertama BLBI (3 September 1997 29 Juni 1999) ditetapkan
sebesar Rp 144,536 triliun (kemudian membengkak menjadi Rp 164,536
triliun).
Pada tanggal 15 Januari 1998, kita semua melihat Camdessus sedekap
bersilang-tangan di dada, disertai sikap congkak seorang mandor mengawasi
Presiden Soeharto menandatangani LoI. Presiden Soeharto mestinya tak
seharusnya off-guarded semacam itu, mestinya tidak dibiarkan terteror
sedahsyat itu, mengingat Prof. Widjojo Nitisastro berada tidak jauh berdiri
di situ.
Kelanjutan dari LoI itu adalah Keputusan Presiden No. 26/1998
tentang jaminan pemerintah untuk membayar seluruh kewajiban
perbankan, sebesar Rp 57,779 triliun, suatu program penjaminan yang
acapkali disebut sebagai blanket guarantee. Pemerintah melakukan
penjaminan melewati dana talangan dari Bank Indonesia yang kemudian kita
kenal dengan BLBI tahap kedua. Malapetaka yang besar mulai dari sini,
ibarat Lucifer turun ke bumi menyebar moral hazards, serba menggelembung
dan fiktif.
Kemudian, sebagai tindak lanjutnya, pemerintah pun mendirikan
BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) berdasar Keputusan
Presiden No. 27/1998 untuk mengalihkan program penjaminan. BPPN
gagal total, suatu badan korup penuh dengan persekongkolan bisnis makelar
jahat.
Maka lengkaplah skenario penjerumusan, suatu skenario disempowerment
untuk menumbuhkan dependensi Indonesia kepada kekuatan asing,
khususnya kepada IMF, yaitu tatkala pemerintahan bangsa ini menurut saja
terhadap ide obligasi rekap (BLBI tahap ketiga) dan rekayasa MSAA (Master
Settlement of Acquisition Agreement). MSAA di samping tidak masuk akal dan
tidak adil terhadap negara, juga sangat bertentangan dengan sistem hukum
Indonesia, antara lain yang berkaitan dengan release and discharge yang
mengabaikan supremasi hukum publik (pidana) terhadap hukum privat
(perdata). Seperti dikatakan oleh Kwik Kian Gie berkali-kali dalam berbagai
fora, ketika draft MSAA dimintakan legal opinion dari Kantornya Kartini
Mulyadi/Fred Tumbuan dan opini mereka menyatakan bahwa MSAA

x
melanggar sistem hukum Indonesia khususnya UU Perbankan, ahli hukum
berkebangsaan AS, yang diperkirakan suruhan IMF, dengan congkaknya
bilang ”...Then you change your law...”, suatu arogansi in optima forma tiada tara.
MSAA menginjak-injak UU Perbankan dan banyak menteri termasuk
Menteri Keuangan dan Menko, bahkan Presiden, ikut menginjak-injak UU
Perbankan. Presiden menerbitkan SKL atas dasar MSAA. Sementara itu
DPR-MPR ibaratnya mengamini semuanya ini. Lebih memalukan lagi,
ketika dibuat perjanjian (MSAA) antara obligor berkewarganegaraan
Indonesia dengan pemerintah Indonesia, perjanjian itu dibuat dalam bahasa
Inggris, bukan dalam bahasa nasional. Lagi-lagi, di sinilah, di dalam
pemerintahan kita, absurditas bertemu dengan mediokritas.
***
Pengantar saya ini hanyalah mempertegas betapa (maaf) mediokernya
para otoritas moneter kita yang telah dengan mudah terdikte oleh resep-
resep keliru IMF dalam penanganan krisis moneter. Dengan resep-resep
IMF itu justru krisis malahan memuncak, padahal secara teoretis kita
mestinya cukup paham dan andal untuk menolak, bahkan bisa dengan tegas
menuding dan memprotes kekonyolan dan ”kenorakan” teori-teori IMF,
yang kami sebut sebagai fallacious orthodox macro-economics. Kami memprotes
keras, protes ini disusun oleh the ”Eight Musketeers” (yaitu Oppusunggu,
Hartojo Wignjowijoto, Amin Aryoso, Dimyati Hartono, Farid
Prawiranegara, Arie Suta, Ichsanuddin Noorsy, dan saya sendiri, Sri-Edi
Swasono), setelah ditandatangani oleh sejumlah banyak anggota DPR, kami
kirimkan kepada Mr. Horst Koehler (IMF Chairman of Executive Board)
dan Mr. D. Wolfensohn (President of the World Bank) pada pertengahan
tahun 2001, dengan tembusan kepada Bank Indonesia, Menteri Keuangan,
DPR, dan lain-lain.
Resep-resep IMF untuk Indonesia bukan saja berdasar teori-teori
konvensional ortodoks yang menjerumuskan, yang serba generik yang tidak
akan cocok untuk local specifics Indonesia, tetapi sangat tegas terarah kepada
kepentingan IMF sendiri. Bantuan dana IMF yang disertai pendiktean-
pendiktean (forceful instructions) bukan diarahkan kepada efektivitas
pembiayaan pembangunan, tetapi untuk perbaikan neraca pembayaran dan
pengamanan rutinitas pembayaran utang luar negeri Indonesia.
***
xi
Saudara Marwan Batubara selalu konsisten dengan sikap patriotik dan
nasionalistiknya. Tahun lalu dengan keras ia menentang ”asingisasi”, ia
melawan melalui berbagai fora, khususnya melalui bukunya Tragedi dan Ironi
Blok Cepu, menggambarkan ketertekuklututan kita pada tekanan asing,
menyerahkan peluang emas anak cucu kita kepada EXXON.
Sekarang para kelompok Republikein, termasuk di sini Sdr. Marwan
Batubara dan kawan-kawannya, sekali lagi memberikan data dan informasi
tentang betapa jahatnya penjarahan, perampokan, serta konspirasi para
penyamun BLBI terhadap kelangsungan hidup bangsa ini dan terhadap
generasi mendatang, melalui buku ini. Konspirasi global untuk
melumpuhkan dan menguasai perekonomian Indonesia sebenarnya tidak
akan berhasil bila tidak didukung oleh konspirator-konspirator Indonesia,
oleh orang-orang kelompok Co baru yang dengan suka cita menjadi
komprador atau kaki tangan asing, yang ideologically disempowered atau lengah
misi, ataupun barangkali memang benar-benar medioker.
Saya ingin Saudara Marwan dan teman-temannya perlu meniti
kemungkinan untuk melakukan operasi darurat, antara lain: pertama,
mengupayakan ”membekukan” dana curian (BLBI) yang disembunyikan di
perbankan luar negeri. Ini tidak mudah, sikap luar negeri pun tidak memihak
Indonesia. Saya bisa pertemukan dengan para tracers profesional kenalan
saya untuk melacak dana curian itu sebagaimana mereka telah berhasil
melacak dan menemukan dana haram Presiden Ferdinand Marcos. Bila dana
curian itu tidak dapat ditarik, maka diatur agar dapat ”dibekukan”. Jumlah
yang sama yang ”dibekukan” itu membuka jalan bagi negara untuk dapat
mencetak uang baru sejumlah yang sama. Kedua, bunga obligasi rekap yang
harus dibayar negara seharusnya segera dihentikan saja, paling tidak segera
diturunkan rate-nya bertahap-tahap dan menjadi nol dalam waktu singkat,
sehingga negara bebas dari beban rekaannya sendiri.
Bila baru-baru ini kita baca headlines besar-besaran di front pages surat-
surat kabar seperti antara lain, ”Interpelasi BLBI: Awas DPR Dibeli
Konglomerat Hitam”, dan ”Hanya Dari Satu Obligor BLBI Negara
Dirugikan Rp 100 Triliun Lebih”, dan seterusnya dan seterusnya, hanyalah
lagu lama yang sejak dulu kita pekikkan dan sekarang diteriakkan ulang oleh
tokoh-tokoh DPR yang bangun kesiangan.

xii
Saya menyambut hadirnya buku yang ditulis Saudara Marwan Batubara
dkk ini dengan gembira, moga-moga buku ini bisa memberi pencerahan
kepada banyak kalangan yang selama ini tidak menyadari adanya skenario
pelumpuhan nasional terhadap Indonesia.
Saya pun menyambut baik sikap Presiden SBY yang terang-terangan
menyatakan (dua hari yang lalu) tentang adanya upaya pihak-pihak tertentu
yang menghalangi pemerintah untuk mencuci piring kotor setelah ramai
”berpesta BLBI” dan Presiden nampak bertekad maju terus membersihkan
yang kotor-kotor itu.

Jakarta, 30 November 2007


Sri-Edi Swasono

xiii
Pengantar
Penulis
Marwan Batubara (Anggota DPD RI Provinsi DKI Jakarta)

Ketika skandal BLBI kembali diangkat ke permukaan, mungkin


sebagian orang akan mempertanyakan mengapa catatan hitam Indonesia di
masa krisis tersebut kembali diungkit. Apa relevansinya? Apakah
bermanfaat menguak kembali berkas-berkas korupsi masa lalu untuk
kepentingan masa sekarang? Tidakkah lebih baik kasus tersebut dikubur dan
diterima saja sebagai ongkos krisis, meskipun sangat mahal harganya,
sehingga kita dapat memfokuskan diri pada agenda-agenda perbaikan
ekonomi di masa depan?
Jawabannya jelas: karena selain penyelesaiannya sarat dengan rekayasa
dan KKN, kasus BLBI juga memiliki dampak yang sangat luas pada
perekonomian bangsa saat ini dan bahkan hingga beberapa waktu ke depan.
Demikian besarnya kerusakan yang diakibatkan skandal BLBI, hingga
bebannya harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia berupa pembayaran
utang dalam APBN setiap tahunnya yang diperkirakan baru berakhir pada
sekitar tahun 2033. Jumlah minimal utang yang harus dibayar tersebut
mencapai Rp 630 triliun (berupa BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, tambahan
BLBI Rp 14,47 triliun, program penjaminan Rp 39,3 triliun, dan obligasi

xv
1
rekap Rp 431,6 triliun) . Bahkan, dalam skenario terburuk (seperti misalnya
jika pemerintah terus melakukan penjadwalan ulang terhadap utang-utang
tersebut), beban yang harus dibayar dapat mencapai Rp 2.000 triliun.
Membengkaknya jumlah utang negara itu sendiri terutama diakibatkan
oleh kebijakan pengucuran obligasi rekapitalisasi (OR) perbankan, yang tak
lain merupakan upaya lanjutan penyelamatan dan penyehatan bank-bank
nasional di saat krisis setelah kebijakan BLBI. Total dana yang dikucurkan
dalam kebijakan ini mencapai sekitar Rp 431 triliun, yang disuntikkan
pemerintah melalui penerbitan obligasi (surat utang). Karena diberikan
dalam bentuk obligasi, maka jumlah dana yang harus dibayarkan pemerintah
pun menjadi jauh lebih besar, sebagai akibat tambahan bunga obligasi yang
harus dibayarkan (yang nilainya bahkan lebih besar dari nilai pokoknya, yaitu
paling tidak sekitar Rp 600 triliun, dengan cicilan sekitar Rp 40-50 triliun tiap
tahunnya).
Beban pembayaran utang yang fantastis tersebut pada akhirnya
berujung pada minimnya kemampuan APBN dalam mengongkosi berbagai
kebutuhan negara. Berbagai pos pengeluaran terpaksa harus dipangkas
untuk menyesuaikan diri dengan kondisi keuangan APBN yang pas-pasan.
Sasaran paling mudah untuk penghematan tersebut, lagi-lagi adalah rakyat.
Anggaran berbagai pos kesejahteraan sosial, seperti pendidikan, kesehatan,
subsidi listrik, dan BBM harus ditekan semaksimal mungkin agar tidak
mengganggu kemampuan negara dalam membayar utang.
Minimnya anggaran negara juga memaksa pemerintah setiap tahunnya
harus menjual sejumlah aset untuk menutup defisit anggaran. Padahal,
penjualan berbagai aset ini pun umumnya tidak menghasilkan keuntungan
maksimal, karena harga jualnya yang jauh di bawah pasar. Hal ini sendiri
memang sesuatu yang sulit dihindarkan, mengingat penjualan aset-aset
1
Menurut perhitungan tim interpelator BLBI, jumlah dana yang dikeluarkan
pemerintah untuk rangkaian program penyehatan perbankan adalah sebesar
minimal Rp 702,5 triliun yang terdiri dari BLBI senilai Rp 144,5 triliun, obligasi
rekap Rp 425,5 triliun, program penjaminan Rp 73,8 triliun, dana talangan Rp 4,9
triliun, dan dana rekening 502 Rp 53,8 triliun. Sedangkan, berdasarkan jawaban
Presiden atas interpelasi BLBI, total biaya penyehatan perbankan selama periode
1997-2004 adalah sebesar Rp 640,9 triliun yang terdiri dari BLBI Rp 144,5 triliun,
program penjaminan Rp 53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp 20 triliun, dan
program rekapitalisasi Rp 422,6 triliun.

xvi
negara tersebut umumnya dilakukan untuk mengejar target penerimaan
negara dalam waktu yang relatif singkat. Obral aset pun menjadi pilihan
yang paling mudah untuk diambil pemerintah.
Penjualan aset-aset negara ini bahkan memiliki dampak yang lebih
buruk dalam jangka panjang. Patut diingat, bahwa aset-aset negara
merupakan penyumbang rutin bagi pemasukan negara dalam APBN.
Sehingga, dengan dijualnya aset-aset tersebut, maka negara sesungguhnya
juga kehilangan potensi penerimaannya di masa mendatang (future earning).
Sumber penerimaan negara setiap tahunnya akan berkurang. Dengan
demikian, Indonesia akan semakin terjebak dalam lilitan paceklik ekonomi,
karena himpitan beban utang yang harus dibayar di satu sisi bertemu dengan
terlucutinya sumber-sumber penerimaan negara di sisi yang lain.
Berbagai situasi sulit ini merupakan warisan segelintir orang di masa lalu
yang melakukan KKN dan secara sembrono menyimpangkan ratusan triliun
rupiah uang negara dalam skandal BLBI. Karena itu, sangat wajar jika pihak-
pihak yang terlibat dalam skandal BLBI dimintakan
pertanggungjawabannya atas kesalahan yang mereka lakukan, baik secara
perdata dengan mengembalikan uang negara yang telah mereka kuras,
maupun secara pidana dengan menjalani hukuman yang sepantasnya, sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Ironisnya, penyelesaian kasus ini tidak pernah dapat dilakukan secara
tuntas, meskipun telah melalui empat periode pemerintahan (Habibie, Gus
Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono). Masing-masing
pemerintahan justru mengeluarkan kebijakan kontroversial yang
merendahkan supremasi hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat.
Misalnya saja, pemerintahan Habibie yang memulai pola penyelesaian kasus
BLBI melalui out of court settlement (penyelesaian di luar jalur pengadilan),
pemerintahan Megawati yang menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2002
tentang release and discharge yang memberi ampunan penuh bagi obligor, dan
pemerintahan SBY yang menjanjikan pemberian Surat Keterangan Penyelesaian
Kewajiban (SKPK) bagi obligor yang melunasi utangnya (sehingga akan
mengesampingkan kasus pidana yang dilakukannya).
Kini, pemerintahan SBY dikabarkan tengah berupaya melakukan
penuntasan skandal BLBI dengan mengusut kembali kasus sejumlah
obligor. Dua nama yang kerap disebut adalah Soedono Salim dan Sjamsul

xvii
Nursalim. Kasus keduanya memang melibatkan jumlah uang yang sangat
besar, yaitu masing-masing Rp 52 triliun dan Rp 27 triliun. Keduanya diusut
terkait dugaan penggelembungan nilai aset yang mereka serahkan ke BPPN
sebagai pelunasan utang-utang mereka. Penggelembungan nilai aset ini
menyebabkan tingkat pengembalian uang negara dari penyelesaian kasus
BLBI menjadi sangat rendah.
Langkah pemerintah yang melakukan pengusutan terhadap kasus kedua
obligor besar BLBI tersebut tentu layak didukung. Meski demikian, kita
berharap penyelesaian kasus BLBI kali ini dapat dilakukan berdasarkan
hukum secara serius, tuntas, dan benar-benar berjalan adil. Kita tidak
menginginkan pemerintah kembali mengulang kesalahan pada masa-masa
sebelumnya, yaitu ketika pemerintah tidak bersikap tegas dan justru terus
menerus mengakomodasi kepentingan obligor, bahkan dengan melanggar
ketentuan hukum yang berlaku sekalipun. Terlebih, kita juga tidak ingin
penyelesaian kasus ini justru dijerumuskan dalam perangkap ketidakpastian hukum
sehingga menjadi sarana permainan para politisi untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Selain itu, pemerintah juga harus menyelesaikan kasus-kasus obligor
lain yang hingga kini belum jelas statusnya. Terakhir (saat tulisan ini
disusun), terdapat delapan obligor yang masih belum menyelesaikan
kewajibannya, dengan nilai total kewajiban sebesar Rp 2,54 triliun (menurut
perhitungan Depkeu, disamping sejumlah Rp 9,36 triliun yang dinyatakan
tak akan terbayar/default). Dari kedelapan obligor tersebut, satu orang
diantaranya (Agus Anwar), bahkan buron ke Singapura dan telah berganti
kewarganegaraan. Sangat disayangkan, pada kenyataannya sikap pemerintah
terhadap delapan obligor ini tidak tegas, setidaknya hingga tulisan ini
disusun.
Dalam kaitan itu, buku ini sesungguhnya merupakan wujud dari
ketidakpuasan dan protes kami terhadap penanganan kasus BLBI selama ini
yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Dengan banyaknya uang
negara yang telah terhamburkan, pemerintah tidak dengan tegas menindak
koruptor BLBI dan melakukan penegakan hukum. Para pengemplang BLBI
justru menikmati berbagai kemudahan hingga sebagian mereka kini telah
kembali bertengger sebagai orang-orang terkaya di Indonesia.
Untuk itu, melalui buku ini kami berupaya menyusun rangkaian
peristiwa di seputar skandal BLBI dan proses penyelesaiannya dalam sebuah

xviii
kerangka yang diharapkan cukup memadai agar peristiwa ini dapat lebih
mudah dimaknai, dan dengan demikian juga dapat secara lugas disikapi.
Atas tersusunnya buku ini, kami sampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada para kontributor yang telah
menyumbangkan pikirannya: Bapak Kwik Kian Gie, Dr. Frans Hendra
Winarta, S.H., M.H., Dr. Fadhil Hasan, Dr. Ahmad Erani Yustika, Dr.
Hendri Saparini, dan Ibu Aviliani. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya
juga kami sampaikan kepada Prof. Dr. Sri-Edi Swasono yang telah berkenan
memberikan kata pengantarnya untuk buku ini. Kami beruntung, dalam
kesibukan mereka yang luar biasa, para intelektual lintas generasi ini masih
bersedia meluangkan waktunya untuk berpartisipasi dalam penyusunan
buku ini.
Tak lupa, juga kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Faisal Ba'asyir
atas diskusi dan masukan yang diberikan serta Badan Pemeriksa Keuangan
RI (BPK RI) yang telah menyediakan data-data yang sangat kami perlukan
untuk penulisan buku ini. Ucapan yang sama kami tujukan kepada Saudara
Djoko Retnadi atas kesediaannya memberi penjelasan seputar kebijakan
obligasi rekapitalisasi dalam beberapa kesempatan.
Kami juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada
sejumlah sahabat yang telah konsisten melakukan advokasi skandal BLBI,
seperti antara lain Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch
(ICW), Patra M. Zen (YLBHI), Munarman (Tim Pembela Muslim/ TPM),
Chandra T. Wijaya dan Bagus Satrianto (Iluni UI Jakarta) dan Ismed Hasan
Putro (Masyarakat Profesional Madani/ MPM).
Harapan kami, buku ini dapat bermanfaat dalam memberi pemahaman
kepada masyarakat luas tentang duduk persoalan BLBI dan implikasi-
implikasi yang diakibatkannya. Termasuk pula bagi rekan-rekan di DPD RI,
khususnya di PAH IV (bidang APBN dan tindak lanjut hasil audit BPK)
tempat dimana kami bertugas. Meskipun, tentu saja terdapat banyak
kekurangan dalam buku ini, mengingat pengetahuan kami yang terbatas,
disamping kompleksnya permasalahan BLBI itu sendiri.
Akhirnya, melalui buku ini, kami berharap dapat menggugah kesadaran
berbagai pihak atas masih terus berlangsungnya ketidakadilan demi
ketidakadilan dalam penyelesaian kasus BLBI, sehingga kita bertanggung
jawab untuk melakukan segala upaya sesuai dengan kemampuan, untuk

xix
meluruskan berbagai kesalahan tersebut. Pemerintah dan DPR pun
bertanggung jawab untuk mengoreksi berbagai keputusan yang salah terkait
kasus ini. Termasuk diantaranya adalah meluruskan kebijakan obligasi rekap
(OR), dengan menghentikan pembayaran bunganya yang selama ini telah
menjadi beban APBN setiap tahun.
Kepada masyarakat, kami menghimbau partisipasi Anda dalam
berbagai gerakan dan aksi untuk mendesak dituntaskannya penyelesaian
kasus BLBI. Kepada pemerintah dan para penyelenggara negara, kami menuntut
Anda untuk segera menuntaskan penyelesaian kasus BLBI yang sudah berlangsung
selama satu dekade ini secara konsisten, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan
berkeadilan.

Jakarta, 2 Januari 2008


Marwan Batubara

xx
Daftar Isi
Kata Pengantar
Sri-Edi Swasono...............................................................................................vii

Pengantar Penulis ......................................................................................xv

Daftar Isi .......................................................................................................xxi

BAB 1
Definisi dan Pengertian BLBI
Marwan Batubara...............................................................................................1

BAB 2
Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI
Marwan Batubara ............................................................................................13

BAB 3
Korupsi dan Penyelewengan BLBI
Marwan Batubara ............................................................................................25

xxi
BAB 4
Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI
Marwan Batubara ............................................................................................49

BAB 5
Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan
Mengabaikan Hukum
Marwan Batubara ............................................................................................61

BAB 6
Inpres No. 8/2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan
Marwan Batubara ............................................................................................99

BAB 7
Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap
Uang Rakyat
Marwan Batubara ..........................................................................................119

BAB 8
Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
Marwan Batubara ..........................................................................................157

BAB 9
Kejahatan Obligor Menjarah BLBI
Marwan Batubara ..........................................................................................175

BAB 10
Peran BI dan BPPN dalam Skandal BLBI
Marwan Batubara ..........................................................................................223

BAB 11
Peran IMF dalam Kasus BLBI
Marwan Batubara ..........................................................................................243

BAB 12
BLBI: Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi
Marwan Batubara ......................................................................................... 261

xxii
BAB 13
Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara
Kwik Kian Gie ................................................................................................299

BAB 14
MSAA dan Drama Penerbitan R & D
Kwik Kian Gie ................................................................................................303

BAB 15
Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan
Kejanggalan MSAA
Frans Hendra Winarta ...................................................................................307

BAB 16
Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI
Ahmad Erani Yustika dan M. Fadhil Hasan ...................................................313

BAB 17
Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar
Kerugian
Hendri Saparini..............................................................................................331

BAB 18
Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank
dengan “Political Will” Pemerintah
Aviliani ...........................................................................................................343

Penutup
Rakyat Menggugat Skandal BLBI
Marwan Batubara ..........................................................................................351

Referensi ....................................................................................................375

Tentang Penulis ........................................................................................385

xxiii
Bab 1
DEFINISI DAN
PENGERTIAN BLBI
Marwan Batubara

Setelah lebih dari satu dekade berlalu dan melewati empat era
pemerintahan, kasus korupsi BLBI hingga kini tidak kunjung terselesaikan
secara tuntas. Padahal, kasus yang melibatkan persekongkolan jahat antara
pengusaha, banyak pihak penyelenggara pemerintahan, dan IMF ini, telah
merugikan negara setidaknya Rp 138,4 triliun (jumlah penyimpangan dalam
penyaluran BLBI menurut audit BPK). Angka ini belum lagi
memperhitungkan kerugian dari kebijakan pengucuran obligasi
rekapitalisasi perbankan yang memakan biaya sekitar Rp 431 triliun
(ditambah dengan bunga obligasi rekap sekitar Rp 600 triliun yang angkanya
masih terus bertambah seiring dengan penundaan pembayaran utang yang
dilakukan pemerintah). Akibat penyimpangan dan korupsi pada berbagai
rangkaian kebijakan tersebut, negara dan rakyat harus menanggung beban
cicilan pembayaran utang dalam APBN, yang bunganya saja dapat mencapai
Rp 50 triliun per tahun.
Namun, sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut, kita perlu terlebih
dahulu membahas beberapa pengertian dasar tentang apa yang disebut
Definisi dan Pengertian BLBI / 1
sebagai BLBI, agar dapat memahami letak permasalahan kasus ini dengan
lebih baik.

Definisi BLBI
Mantan Gubernur Bank Indonesia Prof. Dr. Soedradjad Djiwandono
pada sebuah tulisannya mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) sebagai fasilitas yang diberikan BI untuk menjaga kestabilan sistem
pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena
ketidakseimbangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada
bank-bank baik jangka pendek maupun panjang (Soedradjad Djiwandono,
“Permasalahan BLBI”, www.pacific.net.id).
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami dua hal pokok sebagai
berikut. Pertama, BLBI merupakan sebuah fasilitas khusus yang diberikan
BI kepada pihak perbankan. Kedua, pemberian BLBI dimaksudkan untuk
menanggulangi masalah yang dihadapi perbankan akibat adanya
ketidakseimbangan antara dana yang diterima dengan kewajiban
pembayaran yang harus dikeluarkannya.
Menurut Soedradjad, bantuan likuiditas dari BI kepada pihak
perbankan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Namun, istilah BLBI
baru dipergunakan secara khusus sejak 1998 untuk merujuk pada bantuan
likuiditas yang diberikan BI kepada pihak perbankan di saat terjadinya krisis
moneter dan krisis ekonomi di Indonesia. Istilah BLBI sendiri diambil dari
istilah liquidity supports, yang dipergunakan dalam letter of intent (LoI) antara
IMF dengan pemerintah Indonesia dan dinyatakan sebagai bagian dari
program pemulihan ekonomi.
Soedradjad juga menyatakan, BLBI dibedakan dengan fasilitas BI
lainnya seperti KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) berdasarkan aspek
tujuan pengucurannya. Jika BLBI ditujukan untuk mengatasi kondisi
likuiditas perbankan dalam situasi krisis, maka KLBI ditujukan untuk
membantu perbankan dalam menyukseskan program-program
pembangunan ekonomi yang dicanangkan pemerintah seperti
pembangunan rumah sederhana, peningkatan hasil pertanian, mendorong
pertumbuhan UKM, dan sebagainya.

2 / Definisi dan Pengertian BLBI


Terdapat lima jenis fasilitas perbankan yang digolongkan sebagai BLBI,
yaitu antara lain:
1. Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaran
yang bisa terganggu karena adanya mismatch atau kesenjangan antara
penerimaan dan penarikan dana perbankan.
2. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka sejalan dengan program
moneter (Surat Berharga Pasar Uang/SBPU) lelang dan bilateral
3. Fasilitas dalam rangka penyehatan bank atau kredit likuiditas darurat
dan kredit subordinasi
4. Fasilitas untuk mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan
sistem pembayaran sehubungan dengan terjadinya rush dalam bentuk
penarikan cadangan wajib (Giro Wajib Minimum/GWM) atau adanya
saldo negatif (saldo debet atau overdraft) bank di BI.
5. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat pada
perbankan dalam bentuk dana talangan untuk membayar kewajiban luar
negeri bank dan untuk pelaksanaan sistem penjaminan.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan,
BLBI adalah bantuan pinjaman dana yang diberikan BI kepada sejumlah
bank yang mengalami krisis likuiditas atau krisis persediaan uang saat
terjadinya krisis moneter pada tahun 1997. Bantuan dana itu terutama
disalurkan melalui mekanisme yang disebut dengan kliring, yaitu penalangan
yang dilakukan BI terhadap pembayaran kewajiban-kewajiban bank yang
tidak mampu melunasi kewajibannya. Dengan demikian, melalui
pengucuran BLBI, bank-bank dibantu untuk dapat memenuhi kewajiban-
kewajiban pembayarannya kepada pihak ketiga, khususnya nasabah.
Seperti diketahui, pada saat krisis moneter, terjadi aksi rush atau
penarikan uang besar-besaran oleh masyarakat yang membuat persediaan
likuiditas bank terkuras. Kondisi tersebut membuat bank kesulitan dalam
membayar dana nasabah-nasabahnya, sehingga membutuhkan bantuan dari
BI. Jadi, pengucuran BLBI terutama ditujukan untuk menjamin pembayaran
dana nasabah oleh bank yang bersangkutan. Dengan penjaminan tersebut,
diharapkan masyarakat dapat pulih kepercayaannya kepada perbankan.
Pengucuran BLBI juga merupakan implementasi dari salah satu langkah
ketahanan ekonomi nasional yang diputuskan dalam Rapat Kabinet pada 3
Definisi dan Pengertian BLBI / 3
September 1997 di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Langkah
ketahanan ekonomi nasional yang dimaksud adalah keputusan bahwa:
· Bank-bank nasional yang sehat namun mengalami kesulitan
likuiditas untuk sementara akan dibantu.
· Bank-bank yang secara nyata tidak sehat diupayakan
penggabungan atau akuisisi dengan bank-bank lain yang sehat. Jika
upaya itu tidak berhasil, akan dilikuidasi sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal
mungkin kepentingan para deposan, terutama deposan kecil.

Bentuk-bentuk Fasilitas BLBI


Seperti telah disinggung sebelumnya, dana BLBI dikucurkan kepada
pihak perbankan dalam sebuah mekanisme yang disebut kliring. Kliring
adalah proses yang menunjukkan posisi tagihan dan kewajiban yang dimiliki
setiap bank kepada bank lainnya. Proses kliring umumnya dilakukan setiap
hari di lembaga penyelenggara kliring, yaitu BI atau bank lain yang ditunjuk
BI. Melalui kliring, bank-bank ditetapkan posisi hak dan kewajibannya
(menerima pembayaran dan sebaliknya melakukan pembayaran) pada
periode tersebut.
Ketika terjadi krisis, karena mengalami penarikan dana besar-besaran
oleh nasabah, posisi pembayaran sejumlah bank yang mengikuti proses
kliring menunjukkan kedudukan negatif. Artinya, jumlah kewajiban yang
harus dibayarkan lebih besar daripada jumlah pembayaran yang diterima.
Dinyatakan, bank tersebut mengalami kalah kliring.
Dalam kegiatan kliring yang dilaksanakan BI, suatu bank tidak dapat
menolak penarikan dana nasabah dan kreditur lainnya, meskipun dana yang
ada pada rekening giro bank tersebut tidak mencukupi lagi. Karena itu, jika
hasil penghitungan kliring (disebut sebagai netting) suatu bank menunjukkan
mereka telah kalah kliring, maka mereka harus mencari sumber pendanaan
untuk menutupi kekurangan tersebut.
Pada awalnya, sumber pendanaan diperoleh dari dana simpanan bank
itu sendiri atau pinjaman yang diperoleh dari bank lain (yang biasanya
memberlakukan bunga sangat tinggi). Ketika kedua sumber pinjaman ini

4 / Definisi dan Pengertian BLBI


tidak mencukupi, maka kekurangan pembayaran akan diambil dari rekening
giro mereka di BI.
Jika penarikan rekening giro di BI terus berlanjut, maka bank tersebut
akan sampai pada tahap penyusutan Giro Wajib Minimum (GWM) mereka
di BI, yaitu jumlah dana simpanan wajib mereka di BI. Saat krisis, rekening
giro sejumlah bank terus ditarik hingga GWM yang mereka miliki pun telah
berada pada posisi negatif (overdraft). Di saat itulah, pemberian fasilitas
berupa BLBI diberikan BI. Dengan demikian, bentuk-bentuk fasilitas BLBI
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Saldo Debet
Seperti telah dinyatakan di atas, bank yang mengalami kalah kliring pada
akhirnya dapat menyebabkan rekening giro mereka di BI berada pada posisi
negatif. Hal ini dinamakan sebagai saldo debet atau overdraft. Sesuai dengan
ketentuan, jika suatu bank telah mengalami saldo debet, maka bank tersebut
sudah tidak bisa lagi mengikuti proses kliring kecuali ia menutup
kekurangannya sebelum kliring hari berikutnya dimulai. Jika tidak, bank
tersebut dinyatakan diskors (dihentikan sementara) keikutsertaannya
sebagai peserta kliring.
Namun, ketika krisis, pada kenyataannya Direksi BI tidak memberi
sanksi skors terhadap sejumlah bank yang mengalami saldo debet dengan
berbagai pertimbangan. Sejumlah bank tersebut diizinkan untuk
melanjutkan proses kliring hingga beberapa waktu berikutnya, sementara
kewajiban-kewajibannya dibayarkan oleh BI dengan menggunakan dana
talangan. Fasilitas inilah yang dinamakan sebagai fasilitas saldo debet dan
merupakan salah satu bentuk fasilitas BLBI yang diberikan BI.
2. Fasilitas Diskonto I & II (Fasdis I & II)
Pada intinya, fasilitas diskonto (fasdis) merupakan pembelian surat
berharga berupa promes (promes dan aset bank untuk Fasdis II) oleh BI dari
bank-bank yang mengalami saldo debet. Hal ini dilakukan untuk
mengkonversi (menukar) saldo debet bank di BI ke dalam bentuk yang lebih
memberikan jaminan dan ikatan hukum. Sesuai dengan ketentuan BI,
jumlah maksimum fasdis yang diberikan kepada bank adalah sebesar 3%-5%
dari dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dikumpulkan bank tersebut.
Namun, dalam perkembangannya, penetapan jumlah maksimum fasdis

Definisi dan Pengertian BLBI / 5


akhirnya diserahkan kepada Direksi BI, yang nilainya sebesar saldo debet
bank yang bersangkutan di BI, meskipun nilainya jauh di atas standar yang
ditetapkan.
Meskipun pemberian fasdis bertujuan untuk menghilangkan saldo
debet, pada akhirnya tagihan BI kembali dibebankan ke dalam rekening giro
bank di BI (bank tetap bersaldo debet), karena hingga jangka waktu yang
ditentukan bank tidak juga mampu melunasi fasdis yang diperolehnya.
Ironisnya, jaminan yang telah diambil BI ternyata juga dikembalikan kepada
pemilik bank.
3. Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (FSBPUK)
Tidak jauh berbeda dengan fasdis, fasilitas ini juga bertujuan untuk
menghapus saldo debet bank-bank di BI. FSBPUK adalah pembelian
promes nasabah bank-bank yang bersaldo debet oleh BI, dengan perjanjian
bank tersebut wajib membeli membeli kembali promes nasabah itu dalam
jangka waktu yang ditentukan atau saat jatuh tempo. Pembelian promes
nasabah harus disertai dengan jaminan tambahan senilai 50% dari FSBPUK
yang diberikan.
Dalam praktiknya, fasilitas ini juga mengalami banyak penyimpangan.
Antara lain, BI ternyata tidak memberi sanksi pembatalan FSBPUK atas
bank-bank yang tidak menyerahkan promes nasabah dan jaminan
tambahan. BI justru menyetujui penggantian promes nasabah cukup
dengan personal guarantee atau corporate guarantee tanpa didahului dengan
penilaian yang layak.
4. New Fasilitas Diskonto (New Fasdis)
New fasdis merupakan pengulangan dari pemberian fasdis-fasdis
sebelumnya, sehingga tidak memiliki banyak perbedaan secara substansi,
yaitu pembelian promes bank oleh BI beserta jaminan-jaminannya.
Bedanya, new fasdis memiliki jangka waktu pengembalian yang lebih
panjang.
5. Fasilitas Saldo Debet (FSD)
FSD sebenarnya adalah pengikatan hukum atas pemberian fasilitas
saldo debet yang telah dilakukan sebelumnya. FSD mengikat saldo debet
bank-bank dengan Akta Pengakuan Hutang (APH) dan Akta Pengakuan
Hutang dengan Jaminan (APHJ). FSD diberikan untuk mengkonversi saldo
6 / Definisi dan Pengertian BLBI
debet bank-bank di BI dalam kurun waktu 31 Desember 1997 s.d. 31 Juli
1998.
Penyimpangan yang terjadi dalam pemberian fasilitas ini antara lain
adalah tidak diberikannya sanksi yang tegas terhadap bank-bank yang tidak
menyerahkan jaminan aset untuk memperoleh fasilitas ini. Selain itu,
sebagian besar bank juga ternyata menggunakan aset yang pernah
dijaminkan untuk fasilitas BLBI lainnya sebagai jaminan untuk memperoleh
fasilitas ini.
Sampai hak tagih BLBI dialihkan ke pemerintah, sebagian besar FSD
belum dilunasi perbankan.
6. Fasilitas Dana Talangan
Fasilitas ini terdiri dari dua jenis, yaitu Dana Talangan Rupiah (DTR)
dan Dana Talangan Valas (DTV).
DTR diberikan BI kepada 16 bank yang dilikuidasi pemerintah (Bank
Dalam Likuidasi/BDL) sebagai bentuk penalangan atas dana nasabah yang
disimpan di bank tersebut. Jangka waktu pengembalian DTR ditetapkan
selama 1 tahun, bunganya senilai 0%, dan pengembalian kredit diambil dari
penjualan aset-aset BDL. Fasilitas ini pun tak lepas dari penyimpangan.
Antara lain, jumlah dana talangan yang disalurkan BI ternyata melebihi
kebutuhan sebenarnya (karena daftar nominatif atau daftar kebutuhan dana
talangan yang dibuat tidak akurat), dan hanya sebagian kecil DTR yang
dilunasi hingga waktu pengembalian yang ditetapkan jatuh tempo.
Sementara itu, DTV diberikan sebagai pelaksanaan Frankfurt Agreement
pada tanggal 4 Juni 1998, yaitu kesepakatan pemerintah dengan komite
perbankan internasional untuk menalangi utang-utang pihak swasta dalam
negeri (termasuk bank-bank dalam negeri) kepada pihak perbankan luar
negeri.
Seperti juga DTR, DTV sarat dengan sejumlah penyimpangan, antara
lain BI menalangi semua kewajiban luar negeri yang dilaporkan bank
termasuk kewajiban yang tidak layak ditalangi, tidak adanya prosedur
verifikasi dan konfirmasi yang memadai sebelum pembayaran DTV
dilaksanakan, tidak dilakukannya pengikatan hukum atas sebagian
pembayaran DTV, dan tidak dipersiapkannya prosedur pengendalian yang

Definisi dan Pengertian BLBI / 7


layak atas penggunaan DTV oleh bank dalam negeri (debitur) dan
pengembalian DTV (refund) oleh bank luar negeri (kreditur).

Beberapa Tahap Pengucuran BLBI dan Jumlahnya


Meskipun kasus BLBI secara khusus lebih sering dirujuk pada jumlah
dana BLBI yang dialihkan hak tagihnya dari BI kepada pemerintah (melalui
Badan Penyehatan Perbankan Nasional/BPPN) pada tanggal 29 Januari
1999 sejumlah Rp 144,5 triliun, kasus BLBI sesungguhnya melibatkan angka
yang lebih besar dan berlangsung dalam beberapa tahap.
Tahap pertama, adalah pengucuran dana kepada 54 bank nasional yang
dilakukan pada kurun waktu krisis (yaitu sekitar bulan September 1997
setelah Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Soeharto memutuskan untuk
memberi dana bantuan BLBI kepada pihak perbankan) hingga 29 Januari
1999 (posisi terakhir saat hak tagih BLBI dialihkan BI kepada BPPN).
Meskipun, jika dirunut lebih jauh, pengucuran BLBI tahap pertama ini
sebenarnya telah dilakukan sejak sekitar tahun 1996 saat BI mulai memberi
dispensasi bagi bank-bank yang telah bersaldo debet untuk terus mengikuti
kliring. Beberapa bank yang menerima dispensasi itu antara lain Bank Artha
Prima, Bank Harapan Sentosa, Bank Pacific, dan Bank Asta (Sukowaluyo
Mintorahardjo, BLBI Simalakama: Pertaruhan Kekuasaan Presiden Soeharto,
Jakarta: RESI, 2001). Nilai uang yang dikucurkan pada tahap awal ini
sejumlah Rp 144,536 triliun.
Awalnya, jumlah dana BLBI yang dikucurkan pada tahap satu ini
diperhitungkan sejumlah Rp 164,54 triliun. Namun, saat terjadi pengalihan
hak tagih BLBI dari BI kepada pemerintah melalui BPPN pada 29 Januari
1999, dinyatakan sejumlah Rp 20 triliun diperhitungkan menjadi penyertaan
modal pemerintah pada PT Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero),
sehingga jumlah yang dialihkan menjadi sebesar Rp 144,5 triliun. Jumlah Rp
144,5 triliun itu terdiri atas surat utang pemerintah kepada BI pada 25
September 1998 sebesar Rp 80 triliun dan surat utang pemerintah pada 8
Februari 1999 senilai Rp 64,536 triliun.
Penerima kucuran dana BLBI tahap satu ini antara lain Syamsul
Nursalim (BDNI) Rp 37,04 triliun, Soedono Salim atau Liem Sioe Liong
(BCA) Rp 26,596 triliun, Usman Admajaya (Bank Danamon) Rp 23,050

8 / Definisi dan Pengertian BLBI


triliun, Bob Hasan (BUN) Rp 12,068 triliun, dan Hendra Rahardja (BHS) Rp
3,866 triliun.
Tahap kedua, terjadi pada kurun waktu Februari 1999 hingga Mei 1999.
Hal ini terjadi karena BI ternyata masih mengucurkan dana BLBI kepada
pihak perbankan setelah pengalihan hak tagih BLBI dari BI ke BPPN.
Penyaluran BLBI diberikan dalam bentuk fasilitas saldo debet kepada
sejumlah bank, baik yang berstatus BDP (Bank Dalam Penyehatan) maupun
berstatus non BDP. BI beralasan, penyaluran BLBI itu dilakukan karena
program penyelamatan bank-bank saat itu belum selesai dilaksanakan.
Sementara itu, pemerintah sendiri belum dapat menyediakan dana. Karena
itulah, kebijakan penyaluran tambahan BLBI akhirnya dilakukan oleh BI.
Jumlah tambahan BLBI ini adalah sebesar Rp 14,447 triliun (sesuai dengan
perhitungan penyaluran BLBI pada tanggal 29 Januari 1999 hingga 14 Mei
1999).
Tahap selanjutnya dalam pengucuran BLBI adalah melalui program
penjaminan perbankan yang disebut dengan blanket guarantee. Program
penjaminan perbankan dilaksanakan berdasarkan Keppres No. 26 Tahun
1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum.
Program ini terutama dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan publik
terhadap perbankan yang saat itu sedang terpuruk, yang ditandai dengan
derasnya rush pada sejumlah bank. Melalui program ini, pemerintah
menjamin pembayaran dana nasabah yang terdapat pada sejumlah bank,
berapapun jumlahnya.
Dalam rangka menyediakan dana untuk program penjaminan tersebut,
pada tanggal 28 Mei 1999, pemerintah menerbitkan Surat Utang Pemerintah
(SUP) bernomor SU-004/MK/1999 sebesar Rp 53,779 triliun (seperti
terlihat, dana untuk program penjaminan perbankan baru dapat disediakan
pemerintah lebih dari setahun setelah kebijakan itu dikeluarkan). Dari
jumlah itu, kemudian ditetapkan bahwa dana yang digunakan untuk
program penjaminan adalah sebesar Rp 39,322 triliun, sedangkan sisanya
sebesar Rp 14,447 triliun digunakan untuk mengambil alih hak tagih
tambahan BLBI dari BI (sempat terjadi kontroversi karena pemerintah pada
awalnya tidak bersedia menerima pengalihan hak tagih tambahan BLBI
tersebut dari BI). Sehingga, jumlah BLBI yang dikucurkan untuk tahap
penjaminan perbankan ini adalah Rp 39,322 triliun.

Definisi dan Pengertian BLBI / 9


Setelah tiga tahap penyaluran BLBI tersebut, suntikan dana ke pihak
perbankan dilanjutkan melalui program rekapitalisasi perbankan.
Walaupun dinyatakan terpisah dengan kasus BLBI, namun pada hakikatnya
program ini merupakan kelanjutan dari pengucuran BLBI, sebagai bagian
tak terpisahkan dari rangkaian kebijakan penyelamatan perbankan di saat
krisis. Bank-bank yang mengikuti program ini pun, sebagian besarnya
merupakan bank-bank yang sebelumnya telah menerima dana BLBI.
Dalam hal jumlah uang negara yang dikeluarkan, program rekapitalisasi
perbankan bahkan menghabiskan uang yang jauh lebih besar. Untuk
program ini, pemerintah menyuntikkan dana berupa obligasi atau surat
utang (dikenal dengan obligasi rekapitalisasi/OR) sekitar Rp 431,6 triliun
kepada pihak perbankan. Penerbitan obligasi dilakukan karena pemerintah
tidak memiliki dana tunai untuk menyetorkan modal dalam bentuk uang
kepada bank-bank rekap. Namun akibatnya, pemerintah harus menyisihkan
dana setiap tahunnya dari APBN untuk membayar pokok dan bunga
obligasi rekap kepada perbankan.
Ditambah dengan bunga yang harus dibayarkan, jumlah total uang yang
harus dikeluarkan pemerintah dalam program ini paling sedikit mencapai
nilai Rp 1.031 triliun. Jumlah ini akan kian membengkak jika pemerintah
melakukan pengunduran jadwal atas pembayaran pokok maupun bunga
obligasi tersebut. Dalam skenario yang paling buruk, nilai total obligasi
rekap yang harus dibayarkan pemerintah mencapai Rp 2.000 triliun.
Pengucuran obligasi rekap sendiri merupakan implementasi dari
rekomendasi IMF untuk meningkatkan rasio pemodalan bank-bank
nasional (dikenal dengan istilah capital adequacy ratio/CAR) hingga di atas
angka 8% pada tahun 2001. Peningkatan modal itu dinyatakan diperlukan
untuk menstabilkan kondisi perbankan nasional. Dengan modal yang
cukup, bank dapat menjamin kemampuannya dalam membayar kewajiban-
kewajibannya, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
kembali pulih.
Pada kenyataannya, pengucuran obligasi rekap memang berdampak
pada peningkatan kinerja beberapa bank penerimanya. Hal ini terutama
karena bank-bank tersebut memperoleh pendapatan rutin dari pembayaran
bunga obligasi rekap yang diberikan pemerintah. Namun, yang perlu dicatat,
laba yang diperoleh pihak perbankan itu harus dibayar mahal oleh seluruh

10 / Definisi dan Pengertian BLBI


rakyat Indonesia melalui beban pembayaran obligasi rekap tiap tahunnya
dalam APBN.
Ada 3 kategori utama bank-bank peserta Program Rekapitalisasi
Perbankan untuk menerima obligasi rekap, berdasarkan jenis serta
kepemilikan bank tersebut, yaitu:
Bank Umum, diantaranya PT. Bank Lippo Tbk., PT. Bank Internasional
Indonesia Tbk., PT. Bank Bali Tbk., PT. Bank Umum Koperasi Indonesia,
PT. Bank Universal Tbk., PT. Bank Prima Express, PT. Bank Arta Media,
PT. Bank Patriot, PT. Bank Central Asia, PT. Bank Danamon Indonesia
Tbk., PT. Bank Tiara Asia Tbk., PT. Bank PDFCI Tbk. and PT. Bank Niaga
Tbk.;
Bank BUMN, diantaranya PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.,
PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Tabungan Negara
(Persero) Tbk., and PT. Bank Mandiri.;
Bank Pembangunan Daerah, di antaranya BPD Daerah Istimewa Aceh,
BPD Sumatera Utara, BPD Bengkulu, BPD Lampung, BPD Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa Timur, BPD
Kalimantan Barat, BPD Sulawesi Utara, BPD Maluku, BPD Nusa Tenggara
Barat and BPD Nusa Tenggara Timur.
Persoalan lebih serius muncul ketika bank-bank yang telah menerima
kucuran obligasi rekap dari pemerintah tersebut kemudian satu demi satu
dijual dengan harga yang jauh di bawah nilai asetnya. Hal ini terjadi karena
pada saat dilaksanakan divestasi atau penjualan atas bank-bank rekap, bank
yang bersangkutan masih memiliki obligasi rekap dalam portofolio
investasinya, yang nilainya berlipat-lipat lebih besar dibanding harga
penjualannya. Contoh paling fenomenal dalam hal ini adalah kasus
penjualan 51% saham BCA yang memiliki tagihan obligasi rekap senilai Rp
60,9 triliun dengan harga hanya Rp 5,3 triliun saja.

Definisi dan Pengertian BLBI / 11


Bab 2
LATAR BELAKANG
DAN KRONOLOGI
SKANDAL BLBI

Marwan Batubara

Latar Belakang : Krisis Ekonomi 1997


Kebijakan pengucuran BLBI oleh pemerintah tak dapat dilepaskan dari
kondisi krisis ekonomi yang secara cepat menjalar ke berbagai sektor
perekonomian di Indonesia saat itu, khususnya sektor perbankan.
Krisis bermula dari krisis ekonomi yang secara umum terjadi pada
negara-negara Asia di tahun 1997. Diawali dengan terpukulnya nilai rupiah
terhadap dolar, menyusul jatuhnya nilai Baht di Thailand. Baht yang selama
10 tahun terakhir diperdagangkan dengan nilai 25 per dolar, dalam waktu
semalam saja mendadak merosot nilainya hingga 25%. Hal ini memicu aksi
spekulan mata uang untuk menyebar dan menghantam Malaysia, Korea,
Filipina, dan Indonesia.
Begitu besarnya kontribusi aksi spekulan terhadap krisis, sehingga
dinyatakan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 di sejumlah wilayah

Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI / 13


Asia berakar pada terdepresiasinya nilai mata uang lokal (rupiah untuk kasus
Indonesia) terhadap dolar sebagai akibat dari permainan para spekulan.
Selain aksi spekulan, penyebaran krisis juga terjadi sebagai akibat dari
spillover. Yaitu dampak keterkaitan perdagangan (trade linkages) antar negara,
dimana devaluasi di suatu negara (dalam hal ini Thailand) akan berimbas
pada partner dagangnya (negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia).
Imbas tersebut akan kian kuat jika kedua negara memiliki fondasi ekonomi
yang sama-sama rapuh, seperti halnya Indonesia dan Thailand.
Ironisnya, meskipun bermula di Thailand, pada akhirnya Indonesia
merupakan negara yang paling parah mengalami dampak krisis. Tercatat,
pasar modal jatuh lebih dari 80% dan nilai tukar rupiah merosot 75%
terhadap dolar.
Mengatasi hal itu, Bank Indonesia lalu melakukan sejumlah upaya untuk
meredam gejolak rupiah. Diantara langkah-langkah yang dilakukan BI saat
itu adalah meningkatkan intervensi terhadap nilai tukar rupiah, menaikkan
suku bunga, dan menghentikan sementara transaksi surat berharga pasar
uang (SBPU). Melalui berbagai langkah itu, BI berupaya mengetatkan
likuiditas (membatasi jumlah uang beredar), sehingga nilai rupiah dapat
distabilkan.
Namun, sejumlah kebijakan moneter pemerintah tersebut justru
mengakibatkan krisis semakin menjadi. Pelebaran rentang intervensi
terhadap nilai tukar rupiah, misalnya, ternyata sama sekali tidak berhasil
menstabilkan nilai tukar rupiah. Padahal, kebijakan tersebut menguras habis
cadangan devisa dalam waktu singkat. Dalam waktu tiga hari saja selama
intervensi dilakukan (11 Juli14 Juli 1997), negara harus menggelontorkan
dana US$ 500 juta untuk membantu posisi nilai tukar rupiah dengan
membanjiri pasar uang dengan dolar.
Akhirnya, ketika rupiah terus tertekan, BI pun menyerah dan
memutuskan untuk mengambil kebijakan kurs mengambang
(menghentikan intervensi terhadap nilai tukar rupiah). Hal ini membuat
kepercayaan investor jatuh, dan menarik modalnya dari pasar modal dan
pasar mata uang.
Sementara itu, kebijakan pemerintah menaikkan tingkat suku bunga BI,
diikuti dengan melonjaknya suku bunga antar bank secara drastis dari

14 / Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI


semula berada pada kisaran 16%-17% menjadi 100%. Suku bunga antar
bank bahkan sempat mencapai angka 300% pada 22 Agustus 1997. Hal ini
membuat bank mengalami kelangkaan likuiditas (persediaan uang) yang
kemudian semakin membuat kondisi perbankan pada kondisi kritis.
Kesulitan likuiditas yang dialami perbankan memaksa bank untuk
menghimpun dana masyarakat melalui peningkatan suku bunga deposito.
Tetapi, kenaikan suku bunga deposito ini juga menyebabkan naiknya suku
bunga pinjaman. Akibatnya, kredit bermasalah atau non performing loan pun
bertambah karena sejumlah kreditor tidak sanggup membayar utang-
utangnya.
Kesulitan likuiditas juga membuat banyak bank melanggar ketentuan
Giro Wajib Minimum (GWM) di Bank Indonesia. GWM merupakan dana
cadangan yang wajib disetorkan setiap bank ke BI agar dapat mengikuti
kliring, yang jumlah minimumnya ditetapkan sebesar 5% (hal ini meningkat
dari sebelumnya 3%).
Kelangkaan likuiditas mengakibatkan banyak bank mengalami kalah
kliring atau saldo rekening gironya di BI berada dalam posisi debet/minus.
Berita mengenai kalah kliring sejumlah bank ini, ditambah dengan rumor-
rumor lain seperti bank yang rugi dalam transaksi valas dan larinya beberapa
bankir ke luar negeri, memicu keresahan masyarakat atas kondisi perbankan
dan akhirnya mengakibatkan terjadinya rush (penarikan uang dari bank
secara serentak). Apalagi, kemudian pemerintah melakukan likuidasi atas 16
bank nasional, sehingga membuat keresahan masyarakat kian meluas.
Dalam situasi kritis itulah, kebijakan untuk mengucurkan BLBI secara
besar-besaran diputuskan pemerintah. Program ini dimaksudkan untuk
membantu bank-bank yang sehat namun mengalami kesulitan likuiditas.
Melalui hal itu, diharapkan kondisi perbankan nasional yang tengah kritis
dapat diselamatkan. Meskipun, pada kenyataannya, BLBI ternyata juga
dikucurkan kepada bank-bank yang terbukti tidak sehat. Hal ini akhirnya
menimbulkan pertanyaan tentang maksud sesungguhnya di balik
pengucuran BLBI, yang dicurigai hanya sebagai bentuk penyelamatan
kekayaan keluarga penguasa.

Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI / 15


Kronologi Peristiwa Skandal BLBI
Selanjutnya, secara kronologis, pengucuran BLBI dan praktik korupsi
yang terdapat di dalamnya, terjadi melalui tahapan-tahapan peristiwa sebagai
berikut.
Juli 1997
Rangkaian krisis dimulai dengan terjadinya gejolak moneter, yaitu
merosotnya secara tajam kepercayaan terhadap rupiah. Menyikapi hal ini, BI
memperluas rentang intervensi kurs dari Rp 192 (8%) menjadi Rp 304
(12%). BI juga melakukan pengetatan likuiditas dan menaikkan suku bunga
SBI dari 6% menjadi 14%. Pemerintah pun kemudian terus memperketat
likuiditas dengan menghentikan untuk sementara pembelian SBPU dari
bank-bank.
Agustus 1997
Pemerintah melepaskan intervensi terhadap dolar dengan menerapkan
sistem mengambang (managed floating), sehingga nilai rupiah mengambang
bebas (free floating). Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan devisa yang
terkuras akibat dikucurkannya dolar dalam tindakan intervensi kurs yang
dilakukan sebelumnya. Dolar melonjak drastis, sehingga terjadi kepanikan
dan gerakan pembelian dolar dalam jumlah besar.
Pemerintah akhirya mengambil kebijakan moneter sangat ketat. Dana
yayasan milik pemerintah dan BUMN dialihkan ke SBI. BI menaikkan suku
bunga menjadi sebesar 30% (jangka waktu 1 bulan) dan 28% (jangka waktu 3
bulan). SBI Repo, fasdis, KLBI, dan fasilitas-fasilitas BI lainnya juga
dihentikan sementara.
Saldo debet bank-bank selanjutnya meningkat drastis, sehingga mereka
meminta kebijakan pelonggaran likuiditas dari BI. Hal ini pada gilirannya
membuat BI melonggarkan penyaluran BLBI. Direksi BI juga menyetujui
beberapa bank bersaldo debet untuk melakukan penarikan tunai (Bank
Harapan Sentosa, Bank Nasional, Bank Nusa).
Tingkat bunga di pasar uang melonjak drastis, seperti misalnya tingkat
bunga pinjaman antar bank (overnight) meningkat hingga 100%.
Investor, terutama luar negeri, melakukan aksi jual saham sehingga
menyebabkan IHSG anjlok. Para fund managers juga menarik dana mereka.

16 / Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI


September 1997
Pada tanggal 3 September, Presiden Soeharto memimpin rapat kabinet
yang menyetujui pengucuran BLBI untuk menolong permodalan bank-
bank yang sedang kritis.
Pemerintah mulai melonggarkan likuiditas, ditandai dengan
diturunkannya suku bunga SBI sebanyak 3 kali.
Beredar rumor di masyarakat tentang bank-bank kalah kliring, transaksi
valas merugi, larinya beberapa bankir ke luar negeri, dan bahkan penculikan
pemilik bank. Kondisi-kondisi ini praktis membuat masyarakat panik dan
kehilangan kepercayaan terhadap bank. Akibatnya, terjadi rush besar-
besaran. Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan pengucuran
BLBI untuk memadamkan rush (setelah rapat kabinet yang dipimpin
langsung Presiden pada 3 September 1997).
Oktober 1997
Dalam kondisi perekonomian yang kian terpuruk, pemerintah akhirnya
meminta bantuan kepada IMF. Pada tanggal 30 Oktober 1997, LoI
pemerintah dengan IMF ditandatangani (pemerintah diwakili Menkeu
Mar'ie Muhammad dan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono). Dengan
penandatanganan ini, pemerintah sepakat untuk mengikatkan diri pada
syarat-syarat ketat yang diberlakukan IMF.
Inti dari kesepakatan dengan IMF mencakup agenda-agenda seperti
restrukturisasi perbankan, restrukturisasi perekonomian, pengetatan
likuiditas, serta menaikkan tingkat suku bunga. Salah satu kesepakatan yang
menonjol adalah rencana penutupan 16 bank nasional.
Pada saat itu beredar selebaran gelap tentang bank-bank yang akan
ditutup. Akibatnya, kembali terjadi rush.
November 1997
Pada tanggal 1 November, 16 bank dilikuidasi berdasarkan SK Menteri
Keuangan No. Peng 86/1997. Kepercayaan terhadap bank semakin
merosot, kembali terjadi rush besar-besaran. Beredar pula rumor tentang
bank-bank yang akan dilikuidasi tahap kedua. Bank-bank akhirnya meminta
bantuan fasilitas BI sebagai the lender of the last resort.

Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI / 17


Kemudian terjadi capital flight. BLBI meningkat karena rush terus terjadi.
Akibatnya jumlah bank yang bersaldo negatif bertambah banyak.
Desember 1997
Terjadi perombakan Direksi BI (4 orang diberhentikan), diangkat
direktur baru (Miranda Gultom dan Aulia Pohan). Sementara itu, rush dan
capital flight terus meningkat.
Pada pekan awal Desember, BI kemudian mempersiapkan kebijakan
untuk menukar saldo debet bank-bank di BI yang kian membengkak dengan
pemberian fasilitas SBPUK. Misalnya Bank Danamon, disetujui untuk
memperoleh SBPUK senilai Rp 6 triliun.
Kebijakan pemberian SBPUK kepada beberapa bank akhirnya disetujui
Presiden pada 27 Desember 1997. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar
tidak banyak bank-bank yang bersaldo debet semakin kekurangan likuiditas
pada akhir tahun 1997.
Sehingga, pada bulan ini terjadi lonjakan penyaluran BLBI dalam
jumlah yang signifikan, hingga mencapai Rp 66 triliun. Pada waktu
bersamaan, terjadi pula lonjakan harga dolar yang sudah menembus Rp
5.000 per dolar. Angka ini terus melonjak hingga mencapai Rp 15.000 per
dolar pada Januari 1998.
Jadi terlihat ada kaitan antara terjadinya rush yang menggunakan dana
BLBI, dengan kenaikan dolar. Terindikasi, dana BLBI yang di-rush, justru
digunakan untuk membeli dolar.
Januari 1998
Pada bulan ini pemerintah mengumumkan RAPBN 1998 yang antara
lain mengasumsikan kurs rupiah Rp 4.000 per dollar, inflasi 9%, serta
pertumbuhan ekonomi sebesar 4%. Namun, RAPBN ini tidak mendapat
kepercayan pasar.
Letter of intent (Lol) antara pemerintah dengan IMF ditandangani pada
tanggal 15 Januari. Tidak seperti sebelumnya, kali ini untuk pertama
kalinya Presiden Soeharto sendiri yang menandatangani LoI, disaksikan
oleh Michael Camdesus di kediaman Soeharto di Cendana. Hal ini juga
mengundang pertanyaan tentang keretakan hubungan Soeharto dengan
Menteri Keuangan dan Gubernur BI (sebagai buntut dari pencabutan izin

18 / Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI


16 bank). Presiden Soeharto kemudian membentuk Dewan Pemantapan
dan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK), sehingga memegang
sendiri kendali perekonomian nasional. Muncul juga gagasan tentang
pemberlakuan currency board system (CBS).
Pada 22 Januari, nilai dolar mencapai Rp 17.000 per dolar. Sementara
itu, letter of credit (L/C) perbankan nasional di luar negeri ditolak. Termasuk
L/C untuk impor bahan-bahan baku dan barang-barang modal berorientasi
ekspor. Hal ini membuat sektor riil macet. Kondisi perbankan nasional pun
memburuk dan kebutuhan likuiditas meningkat.
Selanjutnya, pada tanggal 26 Januari, pemerintah mengeluarkan
Keppres No.26/1998 tentang program Penjaminan Pemerintah untuk
mengatasi krisis kepercayaan terhadap perbankan. Intinya, Keppres ini
menyatakan bahwa pemerintah memutuskan untuk menjamin seluruh
kewajiban pembayaran bank umum kepada para pemilik simpanan dan
krediturnya. Keputusan ini juga didorong oleh kenyataan tingginya
penarikan dana masyarakat dari perbankan saat itu.
Sebagai wujud dari pelaksanaan program penjaminan, dibentuk
BPPN melalui Keppres No. 27 tahun 1998 yang bertugas melakukan
penagihan utang kepada pihak obligor. Dengan demikian, penyelesaian
kewajiban BLBI dialihkan dari BI ke BPPN.
Pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah juga membentuk Tim
Penanggulangan Masalah Utang-Utang Swasta (TPMSUI) yang diketuai
Radius Prawiro. Tim mengumumkan pilihan bebas dalam pembayaran
utang luar negeri. Debitur yang sanggup membayar dipersilakan jalan terus.
Sedangkan, bagi debitur yang tidak mampu, pemerintah akan mencarikan
jalan keluar melalui negosiasi dengan kreditur. Di kemudian hari,
pemerintah akhirnya menanggung pembayaran debitur yang tak mampu
bayar melalui fasilitas BLBI yang dinamai dana talangan valas (DTV). Dalam
kaitan itu, pada tanggal 15 Januari, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita
memerintahkan BI untuk membayar L/C bank swasta senilai US$ 900 juta
berdasarkan Frankfurt Agreement.
Februari 1998
Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad memberikan persetujuan atas
pembayaran penuh simpanan dana pihak ketiga yang ada di 16 bank yang

Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI / 19


dilikuidasi. Sebelumnya, terjadi pemecatan atas Gubernur BI Soedradjad
Djiwandono dan Boediono. Posisi Soedradjad kemudian digantikan Sjahril
Sabirin.
Maret 1998
BI menaikkan suku bunga SBI dan denda Giro Wajib Minimum sebesar
150%, 200%, dan 400% dari suku bunga JIBOR (Jakarta Inter Bank Offer
Rate) Overnight. BI juga menaikkan bunga saldo debet sebesar 500% dari
suku bunga JIBOR Overnight. Kenaikan besar-besaran tingkat suku bunga ini
dimaksudkan agar bank-bank tidak menggunakan saldo debet dan bisa
dengan cepat mengembalikan BLBI yang diterimanya.
Pada bulan ini, pemerintah juga menetapkan ketentuan permodalan
bagi bank-bank umum melalui PP No.38 Tahun 1998, yaitu mewajibkan
penyesuaian modal setor menjadi Rp 1 triliun pada 1 Desember 1998, Rp 2
triliun pada 31 Desember 2000, dan Rp 3 triliun pada 31 Desember 2003.
April 1998
Pemerintah melalui Menkeu Fuad Bawazier membekukan 7 bank dan
mengambil alih 7 bank lainnya. Diantara bank-bank yang dibekukan
tersebut (BBO) adalah Bank Kredit Asia, Bank Subentra, Bank Hokindo,
dan Bank Surya. Diantara bank-bank yang diambil alih (take over) adalah
Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Danamon, Bank Umum
Nasional, Bank Modern, dan Bank Exim. Selain itu, pemerintah juga
mengumumkan 40 bank merupakan bank dalam penyehatan.
Kebijakan ini akhirnya menyebabkan terjadinya peningkatan atas
jumlah BLBI yang dikucurkan, karena bank-bank tersebut mengalami saldo
debet yang kian besar, seiring dengan jatuhnya kepercayaan masyarakat
kepada perbankan. Pemerintah juga terus mengetatkan likuiditas, seperti
menaikkan suku bunga SBI menjadi berada pada kisaran 9,52%-16,67%.
Hasilnya, rupiah menguat menjadi Rp 7.800 per dolar, namun inflasi juga
meningkat.
Sementara itu, tingginya suku bunga dan kenaikan kurs dolar
mengakibatkan sejumlah kredit perbankan mengalami macet. Akibatnya,
CAR bank mengalami penurunan drastis. Bank-bank yang menerima BLBI
juga mengalami tekanan bunga yang sangat tinggi, sehingga ikut menambah

20 / Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI


pembengkakan jumlah BLBI yang dikucurkan (akibat tingginya bunga yang
diberlakukan).
Dilakukan penggantian lagi atas Direksi BI, sehingga anggota Direksi
BI di bawah kepemimpinan Soedradjad telah diganti sepenuhnya.
Kepemimpinan BI menjadi di tangan Syahril Sabirin (Gubernur BI), Aulia
Pohan, Miranda Gultom, Iwan Prawiranata, Soebardjo Djojosumarto,
Achwan, Achjar Ilyas, dan Dono Iskandar.
Mei 1998
Kerusuhan meluas di Medan dan Jakarta. Situasi politik yang memanas
menyebabkan IMF menunda pencairan pinjaman senilai 1 miliar dolar AS
yang sedianya diberikan pada 4 Juni 1998. Terjadi peristiwa penembakan
yang menewaskan mahasiswa di Trisakti pada demonstrasi 13-15 Mei 1998.
Ketidakpastian politik menyebabkan terjadinya aksi capital flight
(pelarian dana ke luar negeri), sehingga terjadi kelangkaan likuiditas di dalam
negeri. Rupiah tertekan pada Rp 12.600 per dolar dan nilainya terus
merosot.
Sejumlah menteri ekonomi menolak duduk kembali dalam kabinet.
Beberapa tokoh masyarakat juga menolak diangkat dalam Dewan Reformasi
yang dibentuk Presiden Soeharto. Tekanan demi tekanan ini akhirnya
membuat Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden pada 20 Mei 1998.
Agustus 1998
Pada tanggal 21 Agustus, Pemerintah menandatangani skema PKPS
(Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) dalam bentuk MSAA dan MRA
dengan Anthony Salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), Sudwikatmono
(Surya-Subentra), dan Usman Admadjaja (Danamon).
Oktober 1998
Menteri Keuangan menerbitkan Surat Utang Pemerintah sebesar Rp 20
triliun untuk mengkonversikan BLBI menjadi penyertaan modal sementara
pemerintah pada Bank Exim. Dengan demikian, utang Bank Exim kepada
BI sebesar Rp 20 triliun telah dipindahkan menjadi kewajiban pemerintah.

Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI / 21


September 1998
Dibuat klausul release and discharge (R & D) pada 21 September, yang
membebaskan obligor dari tuntutan hukum asalkan sudah membayar utangnya
melalui penyerahan aset.
November 1998
Pada 10 November, pemerintah menetapkan pola PKPS dengan
ketentuan pengembalian BLBI dijadwalkan selama 4 tahun, yaitu 27% (dari
pokok dan bunga) dalam tahun pertama, dan sisanya dibagi rata selama 3
tahun berikutnya dengan bunga 30% per tahun. Pembayaran diambil dari
penjualan aset bank dan aset pemilik BBO dan BTO.
Namun, atas keberatan IMF, skema jangka waktu pembayaran ini
diubah dari satu tahun menjadi 4 tahun. IMF beralasan skema tersebut tidak
mungkin terlaksana dan akan mengganggu pemulihan ekonomi.
Januari 1999
Hak tagih BLBI sebesar Rp 144,5 triliun dialihkan dari BI ke BPPN pada 29
Januari 1999. Pengalihan hak tagih ke pemerintah ini merupakan
pelaksanaan agenda reformasi struktural yang disepakati dengan IMF.
Keputusan pengalihan hak tagih sesuai dengan Surat Menko Ekuin
Ginanjar Kartasasmita No.1799/MK/4/1998.
Februari 1999
Pada 6 Februari 1999, pengalihan hak tagih BLBI dari BI kepada
pemerintah secara resmi ditandatangani oleh Syahril Sabirin (Gubernur BI)
dan Bambang Subianto (Menteri Keuangan RI). Selanjutnya, pada 8
Februari 1999 pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliun
untuk membayar tambahan dana BLBI kepada BI. Hal ini karena ternyata BI
diketahui mengucurkan lagi BLBI kepada sejumlah perbankan di luar BLBI
senilai Rp 144,5 triliun yang dilaporkan per 29 Januari 1999.
Maret 1999
Pada 13 Maret 1999 pemerintah membekukan 38 bank, mengambil alih
29 bank, dan merekapitalisasi 7 bank. 74 bank lainnya tidak mengikuti
program rekapitalisasi karena pemiliknya memilih merekap sendiri banknya.
Penting dicatat, sebagian besar bank yang dibekukan pemerintah
ternyata merupakan bank yang sejak April menerima program rekapitalisasi
22 / Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI
dari BPPN dalam rangka penyehatan perbankan. Artinya, bank-bank
tersebut tetap tak terselamatkan meskipun telah menghabiskan uang negara
dalam jumlah besar melalui program pengucuran BLBI maupun
rekapitalisasi.
Januari 2000
Pada 5 Januari, pemerintah berbeda pendapat dengan BI soal jumlah
BLBI. Menurut pemerintah, BLBI adalah sejumlah Rp 164,5 triliun, yaitu
jumlah awal Rp 144,5 triliun ditambah dengan pengucuran dana ke Bank
Exim sejumlah Rp 20 triliun untuk menutup kerugian bank tersebut.
Namun, BI mengklaim terdapat Rp 51 triliun lagi dana BLBI yang harus
dibayar pemerintah dari tambahan BLBI yang dikucurkan BI kepada bank-
bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama periode November 1997-
Januari 1998.
Tak lama berselang, pada tanggal 29 Januari, BPK menyatakan
berdasarkan audit yang dilakukannya, 95,78% dari total BLBI yang
dikucurkan (Rp 144,5 triliun) tak bisa dipertanggungjawabkan.
Juli 2000
Beberapa waktu berikutnya, pada 22 Juli, audit BPKP juga
menunjukkan terjadi penyelewengan sejumlah Rp 54,5 triliun dari Rp 106
triliun BLBI yang diberikan kepada 10 bank beku operasi dan 32 bank beku
kegiatan usaha (posisi audit per 31 Januari 2000).
Agustus 2000
Sebulan kemudian, pada 5 Agustus, BPK mengumumkan hasil audit
final BLBI bahwa terdapat potensi kerugian negara sebesar Rp 138,4 triliun
dari Rp 144,5 triliun yang dikucurkan. BPK juga menyatakan terjadi
penyelewengan penggunaan BLBI sebesar Rp 84,8 triliun oleh 48 bank
penerima. Sehingga, hanya Rp 34,7 triliun (25%) dana BLBI yang dapat
dipertanggungjawabkan.

Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI / 23


Bab 3
KORUPSI DAN
PENYELEWENGAN
BLBI

Marwan Batubara

Telah diuraikan, pengucuran BLBI pada dasarnya bertujuan untuk


mengatasi kekurangan likuiditas yang dialami dunia perbankan saat terjadi
krisis moneter tahun 1997. Pengucuran BLBI diharapkan dapat
menyelamatkan dunia perbankan dari ancaman kematian setelah persediaan
uang mereka terkuras akibat macetnya pembayaran sejumlah debitur
dibarengi dengan penarikan besar-besaran dana nasabah.
Dalam konteks itu, pengucuran BLBI, berupa penyuntikkan dana tunai
kepada pihak perbankan dapat dipahami sebagai upaya untuk
mempertahankan kestabilan perbankan. Stabilnya perbankan sendiri
merupakan salah satu pilar penopang kestabilan perekonomian negara
secara umum.
Namun, dalam praktiknya, pengucuran BLBI ternyata tidak berfungsi
maksimal menolong kondisi perbankan nasional seperti tujuannya. Setelah

Korupsi dan Penyelewengan BLBI / 25


ratusan triliun rupiah dana dikucurkan kepada pihak perbankan, kondisi
bank-bank bermasalah penerima BLBI bukannya membaik, namun malah
kian sekarat. Bahkan, bank-bank tersebut satu demi satu bangkrut, sehingga
dibekukan atau ditutup oleh pemerintah. Hal ini membuktikan bahwa BLBI
sesungguhnya tidak banyak membawa manfaat bagi pemulihan
perekonomian nasional.
Di sisi lain, pengucuran BLBI justru telah menghabiskan uang negara
dalam jumlah yang sangat besar, yang bebannya harus ditanggung oleh
rakyat hingga saat ini dan bahkan sampai beberapa waktu mendatang.
Ironisnya lagi, dana BLBI sebagian besar justru diselewengkan dan mengalir
masuk ke kantong-kantong pribadi oknum perbankan, pejabat BI, maupun
pemerintah.
Karena itulah, oknum-oknum tersebut mutlak harus bertanggung
jawab atas kerugian besar yang dialami negara akibat pengucuran BLBI.
Tidak selayaknya terkurasnya uang negara hingga ratusan triliun rupiah
akibat BLBI dianggap sebagai ongkos krisis yang wajar ditanggung negara.
Berikut akan diuraikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
dalam skandal korupsi terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia
berdiri tersebut.

Hasil Audit BPK dan BPKP atas Penyaluran dan


Penggunaan BLBI
Korupsi BLBI telah secara gamblang ditunjukkan dalam audit BPK dan
BPKP atas 48 bank penerima BLBI dari BI. Hasil audit kedua lembaga
negara tersebut menemukan terdapat penyimpangan dalam penyaluran dan
penggunaan dana BLBI. Dalam hal penyaluran BLBI, kerugian negara
yang diakibatkan adalah senilai Rp 138,4 triliun atau 95,8% dari total
dana BLBI Rp 144,5 triliun (posisi per 29 Januari 1999). Sedangkan dalam
hal penggunaan BLBI, kerugian negara yang diakibatkan adalah
senilai Rp 84,842 triliun atau 58,7% dari total BLBI yang dikucurkan (data
selengkapnya terkait bank-bank penerima BLBI, jenis penyimpangan yang
terjadi, dan jumlah penyimpangan yang dilakukan masing-masing bank
dapat dilihat pada lampiran 1, 2, 3, dan 4 bab ini).

26 / Korupsi dan Penyelewengan BLBI


48 bank yang diaudit mencakup 5 Bank Take Over, 15 Bank Dalam
Likuidasi, 10 Bank Beku Operasi, dan 18 Bank Beku Kegiatan Usaha. Audit
dilaksanakan sejak akhir Februari 2000 s.d. 31 Juli 2000, dengan periode
audit sejak bank-bank menerima BLBI s.d. 29 Januari 1999.
Berikut secara garis besar temuan-temuan hasil audit BPK dan BPKP :
1. Terdapat kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan terhadap
Bank;
2. Bank-bank yang tidak sehat tetap dibiarkan beroperasi, sehingga
akhirnya tergantung pada bantuan likuiditas Bl;
3. Bl tidak tegas dalam menerapkan prinsip prudential banking (kehati-
hatian perbankan);
4. On site supervision (pemeriksaan langsung) yang wajib dilakukan BI
terhadap bank minimal setahun sekali, tidak dapat terlaksana karena
ketidakseimbangan jumlah bank yang harus diawasi dan jumlah
pengawas yang tersedia;
5. Laporan-laporan berkala yang dijadikan dasar penilaian kinerja dan
kesehatan bank tidak menggambarkan kondisi sebenarnya;
6. Banyak bank melakukan rekayasa laporan, sehingga penilaian tingkat
kesehatan bank tidak dapat dilakukan secara obyektif. Pelanggaran yang
paling umum adalah rekayasa transaksi untuk menghindari BMPK
(Batas Maksimum Pemberian Kredit) dengan berbagai modus
operandi.
Terdapat Kelemahan pada Manajemen Penyaluran BLBI
BI tidak menghentikan proses kliring (pencairan dana simpanan) pada
bank-bank yang rekening gironya di BI sudah bersaldo negatif (overdraft),
bahkan hingga kekurangan saldo tersebut sudah melampaui jumlah aset
yang dimiliki bank. Dengan alasan menghindari efek domino krisis
perbankan, BI terus mengizinkan proses kliring tanpa memberi batas nilai
overdraft. Hal ini akhirnya dimanfaatkan bankir nakal untuk melakukan
penarikan tunai dan transfer dana ke cabang-cabang sampai kondisi pasar
uang mereda.

Korupsi dan Penyelewengan BLBI / 27


Penyaluran BLBI melalui mekanisme kliring menyebabkan BI tidak
dapat mengetahui apakah BLBI digunakan sepenuhnya untuk
menanggulangi kesulitan likuiditas akibat rush nasabah, atau justru untuk
kepentingan grup pemilik bank.
Lembaga kliring yang semula hanya sebagai media tukar-menukar surat
berharga (warkat) dalam rangka memperlancar sistem pembayaran dan lalu
lintas giral, berubah menjadi sarana penyediaan dana bagi bank-bank yang
mengalami kesulitan likuiditas.
BI dinilai tidak konsisten melaksanakan Program Penjaminan
Kewajiban Bank Umum sebagaimana ditetapkan dalam Keppres
No.26/1998, dan justru bertahan untuk memberi bantuan likuiditas kepada
perbankan melalui mekanisme kliring.
Terdapat Potensi Kerugian Negara Akibat Penyaluran BLBI
Dalam penyaluran dana BLBI dari BI kepada pihak perbankan,
ditemukan penyimpangan, kelemahan sistem, dan kelalaian yang
menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 138,442 triliun atau
95,78% dari total BLBI sejumlah Rp 144,536 triliun (posisi per 29 Januari
1999).
Penyimpangan dalam penyaluran BLBI meliputi penyimpangan dalam
penyaluran Saldo Debet, Fasilitas Diskonto (I, II, dan New Fasdis), Fasilitas
Surat Berharga Pasar Uang Khusus (FSBPUK), Fasilitas Saldo Debet, Dana
Talangan Rupiah, dan Dana Talangan Valas (selengkapnya lihat lampiran 1).
Terdapat Penyimpangan dalam Penggunaan BLBI
Ditemukan pula penyimpangan dalam penggunaan dana BLBI oleh
pihak perbankan yaitu sebesar Rp 84,842 triliun atau 58,70% dari total BLBI.
Penyimpangan dalam penggunaan BLBI tersebut meliputi antara lain:
1. Pe n g g u n a a n B L B I u n t u k m e m b ay a r / m e l u n a s i m o d a l
pinjaman/pinjaman subordinasi (Rp 46,08 miliar);
2. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban pembayaran bank
umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya (nilai penyimpangan
Rp 46,088 miliar);

28 / Korupsi dan Penyelewengan BLBI


3. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait /
kelompok terafiliasi (Rp 20,36 triliun);
4. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak ketiga di
luar ketentuan (Rp 4,47 triliun);
5. Penggunaan BLBI untuk transaksi surat berharga (Rp 136,90 miliar);
6. Penggunaan BLBI untuk membiayai kontrak derivatif baru atau
kerugian karena kontrak derivatif lama jatuh tempo (Rp 22,46 triliun);
7. Penggunaan BLBI untuk membiayai placement/penempatan baru di
Pasar Uang Antar Bank/PUAB (Rp 9,82 triliun);
8. Penggunaan BLBI untuk membiayai ekspansi kredit atau merealisasikan
kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada (Rp 16,81 triliun);
9. Penggunaan BLBI untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap (aset
tak bergerak) seperti pembukaan cabang baru, rekrutmen karyawan
baru, peluncuran produk baru, dan penggantian sistem baru (Rp 456,35
miliar);
10. Penggunaan BLBI untuk membiayai over head (biaya operasional) bank
umum (Rp 87,14 miliar);
11. Penggunaan BLBI untuk keperluan lain yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan (Rp 10,06 triliun);
12. Penggunaan BLBI untuk berbagai keperluan di atas, merupakan hal
yang melanggar ketentuan karena pengucuran BLBI ditujukan untuk
mengatasi krisis likuiditas pada bank akibat terjadinya rush nasabah.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, sangat wajar jika BPK
menyimpulkan bahwa terdapat sangkaan tindak pidana dalam penyaluran
dan penggunaan BLBI yang mengakibatkan kerugian negara. Meski
demikian, pada kenyataannya, temuan BPK itu hingga saat ini belum
sepenuhnya digunakan untuk mengusut tuntas penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi.

Korupsi dan Penyelewengan BLBI / 29


Jenis-jenis Penyimpangan dalam Penyaluran BLBI
BPK dan BPKP juga mengungkapkan bahwa secara umum,
penyimpangan BLBI terjadi terutama karena penyalurannya yang dilakukan
melalui mekanisme kliring, padahal pemerintah telah menetapkan
mekanisme program penjaminan untuk memberi bantuan kepada pihak
perbankan. Program penjaminan merupakan prosedur pemberian bantuan
kepada pihak perbankan yang ditetapkan pemerintah dalam Keppres No.
26/1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum
Keppres No. 26/1998 ditetapkan pada tanggal 26 Januari 1998 dan
berisi keputusan bahwa pemerintah menjamin seluruh kewajiban
pembayaran bank umum kepada para pemilik simpanan dan kreditur.
Dengan program penjaminan, diharapkan kepercayaan masyarakat
terhadap dunia perbankan dapat dipulihkan.
Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya program ini merupakan bagian
tak terpisahkan dari kebijakan pengucuran BLBI, yaitu dalam rangka
penyelamatan kondisi perbankan nasional. Karena itu, pengucuran BLBI
sudah seharusnya mengacu pada prosedur yang ditetapkan dalam program
ini.
Berdasarkan program penjaminan, setiap bank umum nasional
diperbolehkan mengikuti program ini selama mereka bersedia menerima
pengawasan yang lebih ketat, menyampaikan laporan yang diminta,
memberikan jaminan, membayar premi, dan melaksanakan hal-hal lain yang
dianggap perlu. Sehingga, pada intinya, program penjaminan memberikan
persyaratan yang lebih ketat dan selektif bagi pihak perbankan untuk dapat
memperoleh penjaminan dari pemerintah.
Namun, dalam kenyataannya, BI dan BPPN sebagai institusi pelaksana
program penyehatan perbankan, justru tidak segera melaksanakan program
penjaminan. Penyaluran BLBI dibiarkan terjadi melalui mekanisme kliring.
Padahal, dengan mekanisme kliring, BI dan BPPN tidak dapat mengetahui
apakah kewajiban-kewajiban bank merupakan kewajiban yang dapat dijamin
dengan program pemerintah atau tidak.
Atas dasar hal ini, maka dapat dinyatakan bahwa tidak dilaksanakannya
program penjaminan merupakan salah satu penyebab dari berbagai
penyimpangan yang terjadi dalam penyaluran BLBI.

30 / Korupsi dan Penyelewengan BLBI


Akibatnya, penyimpangan BLBI terjadi pada hampir setiap jenis
fasilitas BLBI yang diberikan BI kepada pihak perbankan. Hal ini sekali lagi
menguatkan dugaan bahwa pengucuran BLBI sesungguhnya tidak didasari
oleh niat baik untuk menyelamatkan kondisi perbankan, namun lebih pada
upaya penyelamatan pribadi dan upaya menangguk keuntungan sebesar-
besarnya dari oknum-oknum tertentu.
Hal ini akhirnya membuat BPK dan BPKP mengaitkan ketidakseriusan
BI dalam melaksanakan program penjaminan, dan sebaliknya membiarkan
BLBI mengalir melalui mekanisme kliring, dengan keuntungan yang
diperoleh BI dari pembayaran denda maupun bunga oleh pihak perbankan.
Padahal, beban ini menjadi tanggungan pemerintah. Menurut BPK, dari
kebijakan penyaluran BLBI, BI setidaknya memperoleh pendapatan sebesar
Rp 34,57 triliun atau sekitar 23,92% dari jumlah BLBI yang dialihkan.
Penyimpangan BLBI dalam setiap jenis fasilitas BLBI beserta dengan
nilai penyimpangannya, dapat dilihat pada uraian berikut:
1. Saldo debet
Penyimpangan dalam fasilitas saldo debet terjadi dalam bentuk
pemberian dispensasi kepada setiap bank untuk terus mengikuti kliring,
meskipun rekening gironya di BI telah berada pada posisi negatif dalam
jumlah yang besar dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. BI
bahkan memberikan dispensasi ini tanpa menyebutkan batas jumlah dan
batas waktu yang tegas.
Hal tersebut antara lain dapat dilihat pada Keputusan Rapat Direksi
Bank Indonesia tertanggal 15 Agustus 2007 yang menyatakan, “Untuk
mengatasi kesulitan likuiditas bank-bank yang disebabkan penarikan dana
pihak ketiga dalam jumlah besar sehingga terjadi saldo giro debet di BI,
diputuskan untuk diberikan kelonggaran berupa fasilitas saldo debet,
sampai dengan gejolak pasar uang mereda”.
Dalam keputusan tersebut, dinyatakan pula bahwa bank-bank di kantor
pusat maupun cabang diperkenankan untuk menarik dana secara tunai di
kantor pusat BI maupun kantor BI dalam rangka melayani rush yang
dilakukan nasabah, meskipun rekening giro mereka telah bersaldo negatif
(saldo debet).

Korupsi dan Penyelewengan BLBI / 31


Setelah keluarnya keputusan tersebut, maka dispensasi diberikan BI
kepada bank-bank untuk terus mengikuti kliring, melakukan pengambilan
tunai, dan melakukan transfer dana ke cabang-cabang walau telah bersaldo
debet. Dispensasi juga diberikan kepada bank yang sebenarnya tidak
mengajukan permohonan akan hal tersebut. Hal ini dapat terjadi karena
keputusan direksi tidak menjelaskan secara detil nama-nama bank yang
perlu memperoleh dispensasi, melainkan berlaku bagi semua bank secara
umum. Sehingga, potensi ketidaktepatan penyaluran bantuan sangat besar
terjadi.
Apalagi, BI juga tidak melakukan pengecekan atas jenis-jenis transaksi
yang dibayar, karena penyaluran dana melalui mekanisme kliring tidak
memungkinkan hal tersebut. Sehingga, BI tidak dapat mengetahui apakah
BLBI yang disalurkan melalui mekanisme kliring tersebut benar-benar
mengalir ke nasabah.
Perlu pula dicatat, pemberian dispensasi kepada perbankan untuk
bersaldo debet sebenarnya sudah melanggar ketentuan hukum yang
dikeluarkan oleh BI sendiri. Dalam Pasal 9 Ayat 1 Keputusan Direksi BI
No.14/35/KEP/DIR/UPPB tentang penyelenggaraan kliring lokal,
disebutkan bahwa peserta dapat dihentikan sementara dari kliring lokal
apabila peserta (bank) yang bersangkutan mengalami salah satu kondisi
berikut :
· Tidak dapat menyelesaikan saldo negatif;
· Keadaan administratif, pimpinan, dan keuangannya tidak
memungkinkan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dalam
kliring lokal;
· Melanggar ketentuan Bank Indonesia yang memuat sanksi
penghentian sementara dari kliring lokal.
Hal-hal di atas menunjukkan mekanisme kliring telah berubah fungsi
dari mekanisme untuk memperlancar sistem pembayaran menjadi sarana
penyediaan dana tunai kepada bank-bank. Karena itulah, BPK menyatakan
kebijakan ini sebagai sesuatu yang tidak lazim dalam praktik bisnis
perbankan.
Terbukti, jumlah kerugian yang dialami negara akibat penyimpangan
dalam fasilitas ini mencapai Rp 18,16 triliun atau 100% dari total dana yang
32 / Korupsi dan Penyelewengan BLBI
dikucurkan. Artinya, BPK menyimpulkan keseluruhan dana yang
dikucurkan melalui fasilitas saldo debet tidak dapat dipertanggungjawabkan.
2. Fasilitas Diskonto I dan II
Pemberian Fasdis I maupun II seharusnya mengacu pada ketentuan BI
yang berlaku, yaitu Surat Keputusan Direksi BI No. 21/54/KEP/DIR
tanggal 17 Oktober 1998 jo. No. 23/64/KEP/DIR tanggal 28 Feburari
1991. Menurut ketentuan tersebut, Fasdis I disediakan sebagai fasilitas
untuk memperlancar pengaturan dana sehari-hari dengan jumlah
maksimum sebesar 5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam rupiah.
Sedangkan, Fasdis II disediakan untuk menanggulangi kesulitan likuiditas
sementara sebagai akibat ketidaksesuaian (mismatch) dalam rangka
pemberian kredit jangka menengah/panjang dengan jumlah maksimum
sebesar 3% dari DPK dalam rupiah.
Padahal, seperti telah diuraikan sebelumnya, pada kasus BLBI,
pemberian Fasdis I dan II dilakukan untuk mengkonversi saldo debet
rekening bank di BI. Karena itu, pemberian fasilitas Fasdis I dan II oleh BI
kepada perbankan pada kasus BLBI telah melanggar ketentuan yang
berlaku.
Pemberian Fasdis kepada pihak perbankan juga dilakukan sebagiannya
tanpa permohonan dari bank yang bersangkutan. Fasdis diberikan secara
umum kepada semua bank yang mengalami saldo debet berdasarkan rapat
Direksi BI.
Selain itu, penyimpangan juga terjadi ketika BI tidak melakukan sita atau
eksekusi jaminan terhadap kebendaan terhadap bank-bank yang hingga
Fasdis II jatuh tempo, tetap tidak dapat menutup kekurangan rekening
gironya di BI (tetap bersaldo debet). Akhirnya, BI membebani kembali
pelunasan Fasdis kepada rekening giro mereka di BI, yang membuat saldo
debet mereka kian besar. Sementara itu, aset jaminan bank justru
dikembalikan kepada bank atau pemilik bank.
3. Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus
Fasilitas SBPUK diberikan kepada pihak perbankan untuk menghindari
besarnya saldo debet bank di rekening giro BI. Berdasarkan ketentuan yang
berlaku, FSBPUK hanya dapat diberikan dengan sejumlah persyaratan
tertentu. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi itu antara lain adalah:
Korupsi dan Penyelewengan BLBI / 33
· FSBPUK hanya diberikan kepada bank yang terkategori solven (nilai
CAR/rasio kecukupan modal di atas 2%);
· Bank harus menyerahkan jaminan berupa aset bank/pemilik/
pengurus sebesar 50% dari FSBPUK yang diterima. Bank juga
harus menyerahkan seluruh sahamnya (untuk bank yang belum go
public) atau seluruh saham pendiri (untuk bank yang telah go public);
· Bank tidak lagi bersaldo negatif setelah 31 Desember 1997. Jika
bank masih bersaldo debet, maka bank harus dapat melunasinya
dalam waktu 1 x 24 jam. Jika belum juga mampu melunasi, maka
diberikan waktu lagi selama 5 hari. Jika setelah 5 hari berturut-turut
bank tidak mampu juga melunasi, maka akan dikenakan sanksi stop
kliring kepada perbankan;
· Bank harus melaksanakan program rehabilitasi yang disusun
pengurus/pemilik bank dan disetujui oleh BI.
Namun, dalam praktiknya, ternyata bank-bank melanggar berbagai
persyaratan yang telah ditentukan tersebut. Pelanggaran itu antara lain:
· Ditemukan bank yang mempunyai CAR di bawah 2% (Bank
Pesona Kriyadana, d/h Bank Utama);
· Promes nasabah yang diserahkan oleh bank kepada BI lebih kecil
dari FSBPUK yang diterima;
· Promes nasabah yang diserahkan bank, tidak di-endorse (didukung)
oleh bank yang bersangkutan. Artinya, promes-promes nasabah
yang diserahkan tersebut bukan promes yang terkategori lancar
bayar;
· Skala angsuran pembayaran promes nasabah yang diserahkan bank
lebih pendek dibandingkan dengan skala angsuran pembayaran
kembali FSBPUK yang diterima bank bersangkutan;
· Nilai jaminan yaitu aset bank/pemilik/pengurus yang diserahkan
kepada BI ternyata tidak mencapai 50% dari FSBPUK yang
diterimanya;
· Sebagian saham bank belum diserahkan kepada BI.

34 / Korupsi dan Penyelewengan BLBI


Selain itu, bank-bank juga tidak mentaati kewajiban-kewajibannya
sebagaimana yang dipersyaratkan sebelumnya untuk menerima fasilitas
SBPUK. Bentuk-bentuk ketidaktaatan itu adalah:
· Bank tidak melakukan pembelian kembali promes nasabah yang
dijualnya kepada BI sesuai jadwal angsuran yang ditetapkan dan
disepakati dalam akta perjanjian;
· Bank tidak mengganti promes nasabah yang telah jatuh tempo
sebelum jadwal pembelian kembali yang ditetapkan BI dan
disepakati dalam akta perjanjian;
· Bank tidak melaksanakan program rehabilitasi yang telah disepakati
bersama dengan BI;
· Bank tetap membiarkan rekening saldonya negatif di BI, lebih dari
lima hari berturut-turut.
Atas berbagai pelanggaran dan ketidaktaatan pihak bank tersebut, BI
tidak mengambil tindakan tegas sebagaimana yang menjadi kewenangannya,
yaitu mengeksekusi jaminan berupa aset bank yang diserahkan ke BI dan
mengambil alih penguasaan atas bank. Melainkan, BI langsung mendebet
tagihan SBPUK yang telah jatuh tempo tersebut ke dalam rekening giro
bank-bank bersangkutan di BI. Hal ini membuat jumlah saldo debet bank-
bank bermasalah tersebut di BI justru berlipat, bukannya hilang
sebagaimana yang menjadi tujuan awal pemberian fasilitas ini.
Karena itu, BPK menyimpulkan penyaluran fasilitas ini 100% tidak
dapat dipertanggungjawabkan dengan potensi kerugian negara mencapai
Rp 28,23 triliun.
4. New Fasilitas Diskonto
Pelanggaran yang terjadi dalam pemberian fasilitas ini adalah tetap
disalurkannya New Fasdis kepada bank-bank yang tidak dapat menyerahkan
jaminan berupa promes bank dan jaminan lainnya senilai dengan fasilitas
yang diterimanya. Padahal, penyerahan jaminan tersebut merupakan
persyaratan yang diwajibkan bagi pihak perbankan untuk dapat menerima
fasilitas ini.

Korupsi dan Penyelewengan BLBI / 35


BPK kemudian juga menyimpulkan bahwa pemberian fasilitas ini tidak
dapat dipertanggungjawabkan 100% dengan potensi kerugian mencapai Rp
28,53 triliun.
5. Fasilitas Saldo Debet
Tidak jauh berbeda dengan pelanggaran yang terjadi dalam pemberian
fasilitas-fasilitas BLBI sebelumnya, pelanggaran dalam pemberian fasilitas
ini juga berupa tetap diberikannya FSD kepada bank-bank yang tidak
menyerahkan jaminan yang dipersyaratkan. Padahal, FSD bertujuan untuk
mengikat kewajiban perbankan dalam pelunasan saldo debetnya dengan
jaminan dan akta notariil.
Penyelewengan fasilitas ini, menurut BPK, menimbulkan potensi
kerugian negara mencapai Rp 54,46 triliun atau 100% dari dana yang
dikucurkan.
6. Dana Talangan Valas dan Dana Talangan Rupiah
Dalam pemberian fasilitas DTV, BPK menilai BI telah mengabaikan
prinsip kehati-hatian dan justru memberi penafsiran berlebihan terhadap
Frankfurt Agreement (kesepakatan pemerintah dengan perbankan
internasional untuk menanggung kewajiban pembayaran utang bank-bank
nasional). Bentuk pengabaian prinsip kehati-hatian tersebut adalah:
· Tidak melakukan prosedur verifikasi dan konfirmasi yang memadai
sebelum memberikan DTV kepada perbankan (membayarkan
utang bank nasional kepada perbankan internasional);
· Pengikatan jaminan yang dilakukan kepada bank-bank nasional
sebagai debitur tidak sepenuhnya dapat menjamin pengembalian
DTV yang telah dikucurkan;
· Melakukan pembayaran kewajiban-kewajiban yang tidak
memenuhi syarat untuk ditalangi dengan fasilitas DTV;
· Tidak menciptakan prosedur pengendalian atas penggunaan DTV
oleh debitur (bank nasional) dan pengembalian dana (refund) oleh
kreditur (pihak perbankan luar negeri).

36 / Korupsi dan Penyelewengan BLBI


Tak heran, dengan berbagai penyimpangan tersebut, kerugian yang
dialami negara mencapai Rp 8,91 triliun atau 90,81% dari total DTV yang
dikucurkan (Rp 9,81 triliun).
Sementara itu, pengucuran DTR kepada bank-bank yang akan
dilikuidasi, menyeleweng karena daftar nominatif nasabah (daftar tagihan
pembayaran nasabah yang akan ditalangi oleh DTR) tidak dibuat secara
akurat. Akibatnya, jumlah dana talangan yang disalurkan BI melebihi
kebutuhan pembayaran nasabah yang sebenarnya.
Selain itu, jangka waktu pelunasan yang ditetapkan yaitu selama 1 tahun
(terhitung mulai Maret 1998), namun hingga akhir Maret 2000 (saat audit
dilakukan BPK) hanya sebagian kecil dana talangan tersebut yang sudah
dikembalikan kepada pemerintah.
Nilai kerugian negara akibat penyelewengan dalam penyaluran DTR ini
adalah Rp 142,9 miliar atau 2,68% dari total DTR yang dikucurkan sebesar
Rp 5,335 triliun.

Penyimpangan dalam Penggunaan BLBI


Hasil audit BPK juga mengungkapkan bahwa terjadi sejumlah
penyimpangan dalam penggunaan dana BLBI oleh pihak perbankan,
sehingga menyebabkan kerugian bagi negara. Karena itu, BPK
menyimpulkan terdapat sangkaan tindak pidana dalam kasus ini sehingga
para pelakunya harus diproses secara hukum.
Unsur-unsur tindak pidana dalam penggunaan BLBI ditunjukkan pada
hal-hal sebagai berikut :
· Penggunaan BLBI diluar kepentingan yang telah ditentukan
(yaitu untuk pembayaran dana nasabah), seperti untuk melunasi
pinjaman dan kewajiban pembayaran yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya, membayar utang kepada kelompok usahanya
sendiri, transaksi surat berharga, melunasi dana pihak ketiga yang
melanggar ketentuan, membiayai kontrak derivatif baru,
membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam bentuk
aktiva tetap, dan membiayai overhead (biaya operasional bank). Total
penyimpangan yang terjadi adalah senilai Rp 84.842.164 juta

Korupsi dan Penyelewengan BLBI / 37


(Rp 84,84 triliun) atau 58,70% dari jumlah BLBI yang dikucurkan
per 29 Januari 1999 (sebesar Rp 144,5 triliun).
· Pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), yaitu
nilai maksimum kredit yang dapat dikucurkan perbankan pada
kelompok usahanya sendiri. Pelanggaran BMPK, sesuai
dengan pasal 49 ayat (2) jo pasal 50 jo pasal 50 A UU No 10
Tahun 1998, merupakan tindak pidana.
· Pemberian fasilitas oleh BI yang mengizinkan perbankan untuk
tetap mengikuti proses kliring walaupun rekening gironya di BI
telah bersaldo negatif.
· Penggelembungan nilai aset oleh para obligor BLBI untuk
menutupi kewajiban yang harus dilunasinya dalam skema pola
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Salim Group, misalnya,
menyatakan nilai seluruh aset yang diserahkannya pada tahun 1998
adalah Rp 52 triliun (hal ini diterima oleh konsultan BPPN, yakni
Lehman Brothers, PT Danareksa, dan PT Bahana tanpa financial due
diligence terlebih dulu). Namun, audit PricewaterhouseCoopers
pada tahun 2000 ternyata menemukan nilai aset Salim hanya
berkisar Rp 12 triliun sampai dengan Rp 20 triliun.

Penyimpangan BLBI dalam Penyaluran Tambahan BLBI


dan Program Penjaminan Perbankan
Selain terjadi pada penyaluran BLBI tahap pertama senilai Rp 144,5
triliun, penyimpangan juga terjadi pada pengucuran BLBI tahap berikutnya,
yaitu pada pemberian tambahan BLBI dan program penjaminan perbankan
(dikenal dengan istilah blanket guarantee). Hal ini terungkap setelah BPK
menemukan penyimpangan terhadap penggunaan dana milik pemerintah di
rekening bernomor 502.000002 oleh Bank Indonesia. Karena itulah, kasus
ini sering pula disebut sebagai kasus ”Rekening 502”.
Rekening 502 adalah rekening milik pemerintah atas nama Menteri
Keuangan di Bank Indonesia. Rekening ini khusus dibentuk dalam rangka
pelaksanaan program penjaminan pemerintah terhadap bank-bank
nasional. Dalam pelaksanaan program penjaminan perbankan tersebut,

38 / Korupsi dan Penyelewengan BLBI


Menkeu memberikan kewenangan kepada BI dan BPPN, sesuai dengan
kewenangannya masing-masing, untuk menggunakan rekening 502.
Pengisian rekening 502 sendiri merupakan pelaksanaan dari
rekomendasi IMF kepada pemerintah untuk menyediakan dana yang
dibutuhkan untuk melaksanakan program penjaminan perbankan dan
agenda restrukturisasi perbankan lainnya, termasuk mengantisipasi
terjadinya likuidasi atau merger perbankan. Program ini juga bertujuan
mendukung program rekapitalisasi perbankan, yaitu mencapai target BI
bahwa pada akhir tahun 2001 seluruh perbankan nasional harus memiliki
CAR (capital adequacy ratio/rasio kecukupan modal) minimum 8% dan NPL
(non performing loan/kredit bermasalah) maksimum 5%.
Setelah sempat tertunda pelaksanaannya, pengisian rekening 502
akhirnya direalisasikan pemerintah pada September 2001. Segera setelah itu,
BI mendebet rekening 502 untuk keperluan program penjaminan
perbankan dan mengganti tambahan BLBI yang telah dikucurkannya.
Hingga 30 September 2001, tercatat BI telah mendebet dana dari rekening
502 sebesar Rp 23,623 triliun.
Dari total penggunaan tersebut, sejumlah Rp 14,447 triliun didebet dan
ditampung dalam rekening khusus (escrow account). Hal ini, menurut BI,
dilakukan atas dasar rekomendasi BPK RI dalam audit atas Laporan
Keuangan Tahunan Bank Indonesia tahun 1999 sebagai pengganti dana
talangan perbankan (tambahan BLBI) yang telah dikeluarkan BI
sebelumnya. Sedangkan, selebihnya, yaitu sekitar Rp 39,322 triliun dijadikan
sebagai dana penjaminan perbankan.
Terkait tambahan BLBI, hal itu dilakukan karena BI masih
mengucurkan BLBI kepada pihak perbankan setelah pengucuran BLBI
tahap pertama sejumlah Rp 144,5 triliun. Menurut BI, tambahan BLBI
dikucurkan karena program penyelamatan bank-bank nasional masih belum
selesai, sedangkan pemerintah belum menyediakan dana untuk program
tersebut. Karena itu, BI untuk sementara menalanginya untuk kemudian
akan menagihkannya kepada pemerintah. Dana tambahan BLBI
diperhitungkan berdasarkan jumlah dana yang dikucurkan BI kepada
perbankan setelah pengalihan hak tagih BI ke BPPN per 29 Januari 1999.

Korupsi dan Penyelewengan BLBI / 39


Meski demikian, pada kenyataannya, implementasi dari kebijakan ini
diwarnai dengan berbagai penyimpangan. Laporan Hasil Audit Investigasi
BPK RI menemukan telah terjadi penyimpangan penggunaan dana
rekening 502 oleh BI (terdapat alokasi penggunaan dana yang dinyatakan
tidak sah/tidak semestinya dibebankan pada rekening 502) dengan jumlah
mencapai Rp 17,762 triliun. Hal ini menyebabkan pemerintah tidak segera
menerima pendebetan rekening 502 oleh BI dan meminta BI untuk mengisi
kembali rekening tersebut.
Penggunaan dana penjaminan perbankan oleh para bankir juga kental
dengan praktik penyimpangan. Sejumlah kantor akuntan publik
menyatakan bahwa sebagian besar klaim antarbank yang diajukan untuk
memperoleh penjaminan merupakan klaim yang tidak layak. Ernst &
Young, misalnya menemukan dari 216 klaim antarbank, bank beku
operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), hanya ada 11
klaim antarbank yang eligible (layak) dibayarkan dengan dana
Rekening 502, secara substansi dan transaksi sesuai ketentuan program
penjaminan pemerintah.
Sementara itu, hasil audit kantor akuntan publik lainnya, Hans
Tuanakotta dan Mustofa (HTM), mengungkapkan dari realisasi pemakaian
dana Rekening 502 sebesar Rp 12 triliun untuk pembayaran klaim
antarbank, hanya senilai Rp 1,075 triliun yang layak (11 klaim).
Berbagai penyimpangan tersebut menunjukkan bahwa pengucuran
tambahan BLBI dan program penjaminan perbankan tidak sepenuhnya
dijalankan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Bahkan, dapat dinyatakan
kebijakan-kebijakan tersebut hanya meneruskan rangkaian penyelewengan
yang telah terjadi sebelumnya. Sehingga, dengan demikian, juga menambah
besar jumlah uang negara yang terkuras melalui skandal BLBI.

Tindak Lanjut Temuan


Sudah hampir 7 tahun sejak Laporan BPK tentang penyimpangan-
penyimpangan BLBI disampaikan kepada DPR dan juga dipublikasikan
pada tahun 2000 yang lalu. Namun, sejak era pemerintahan Habibie,
Megawati hingga SBY, belum memperlihatkan keseriusan untuk
menindaklanjuti temuan BPK tersebut. Pada masa pemerintahan SBY

40 / Korupsi dan Penyelewengan BLBI


misalnya, kita mencatat bahwa mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh
gagal memenuhi janjinya mengeluarkan memorandum khusus untuk
memaparkan dan menelaah penyelesaian korupsi BLBI. Kegagalan Abdul
Rahman ini kita khawatirkan akan diikuti oleh Jaksa Agung Hendarman
Supandji, yang pada awal masa jabatannya melantik 35 jaksa khusus untuk
menangani BLBI, tetapi belum juga menampakkan hasil nyata.
Laporan BPK sangat jelas menunjukkan berbagai penyimpangan BLBI
yang merugikan negara paling tidak sebesar Rp 138 triliun (jika ditambah
dengan kerugian dari penyaluran obligasi/SUN untuk penyehatan
perbankan, nilai kerugian membengkak menjadi senilai minimal Rp 600
triliun). Kerugian negara ini akan ditanggung oleh rakyat hingga berpuluh
tahun mendatang. Namun, seperti kita saksikan, pemerintah dari satu
presiden ke presiden lain tidak serius menuntaskan skandal korupsi ini.
Mereka seperti sama sekali tidak memiliki political will dan komitmen untuk
memberantas korupsi di negeri ini.
Pantaskah kita juga diam?

Korupsi dan Penyelewengan BLBI / 41


Lampiran 1
Daftar Potensi Kerugian Negara dalam Penyaluran BLBI

JUMLAH
POTENSI
PENYALURAN
NO URAIAN KERUGIAN
BANK (dalam %
NEGARA
juta Rp)
(dalam juta Rp)
I SALDO DEBET
1. BBO 10 6,175,250 6,175,250 100
2. BBKU 13 5,474,776 5,474,776 100
3. BDL 13 6,161,001 6,161,001 100
4. BTO 1 352,142 352,142 100
Jumlah I 37 18,163,169 18,163,169 100
II FASILITAS SALDO DEBET
1. BBO 3 30,065,401 30,065,401 100
2. BBKU 11 4,265,753 4,265,753 100
3. BDL 0 - -
4. BTO 2 18,134,741 18,134,741 100
Jumlah II 16 52,465,895 52,465,895 100
III NEW FASDIS
1. BBO 0 - -
2. BBKU 2 634,691 634,691 100
3. BDL 0 - -
4. BTO 3 29,891,277 29,891,277 100
Jumlah I 5 30,525,968 30,525,968 100
IV FSBPUK
1. BBO 8 15,165,818 15,165,818 100
2. BBKU 11 5,587,906 5,587,906 100
3. BDL 0 - -
4. BTO 3 7,477,757 7,477,757 100
Jumlah I 22 28,231,481 28,231,481 100
V DANA TALANGAN RUPIAH
1. BBO 1 680,496 - 0
2. BBKU 0 - -
3. BDL 15 5,335,003 142,903 2.68
4. BTO 0 - -
Jumlah I 16 6,015,499 142,903 2.38
VI DANA TALANGAN VALAS
1. BBO 5 5,599,982 5,599,982 100
2. BBKU 9 1,357,862 1,357,862 100
3. BDL 3 392,932 171,468 43.64
4. BTO 3 1,783,298 1,783,298 100
Jumlah I 20 9,134,074 8,912,610 97.58
Total 144,536,086 138,442,026 95.78

42 / Korupsi dan Penyelewengan BLBI


Lampiran 2
Bank-bank Penerima BLBI per 29 Januari 1999
(dalam juta rupiah)
No. NAMA BANK TOTAL PENANGGUNGJAWAB
I. BANK BEKU OPERASI (BBO)
1. Bank Centris Internasional 629.624 Hubertus Setyawan
2. Bank Dagang Indonesia 37.039.766 Sjamsul Nursalim
3. Bank Deka 152.918 Dewanto Kurniawan
4. Bank Hokindo 214.228 Hokianto
5. Bank Istimarat Indonesia 520.236 Hasim S. Djojohadikusumo
6. Bank Modern 2.557.693 Samadikun Hartono
7. Bank Pelita 1.989.832 Hasim S. Djojohadikusumo
8. Bank Subentra 860.853 Benny Suherman
9. Bank Surya 1.653.836 H. Sudwikatmono
10. Bank Umum Nasional 12.067.961 Mohammad Hasan, Kaharudin Ongko
Sub Total 57.686.947
II. BANK TAKE OVER (BTO)
1. Bank Central Asia 26.596.277 Sudono Salim
2. Bank Danamon Indonesia 23.049.526 Usman Atmadjaja
3. Bank PDFCI 1.995.000 -
4. Bank Tiara Asia 2.978.093 -
5. Bank Nusa Nasional/BNN 3.020.319 -
Sub Total 57.639.215
III. BANK BEKU KEGIATAN USAHA (BBKU)
1. Bank Aken 301.318 Indra Haryono SE
2. Bank Asia Pacific 2.054.975 Thomas Suyatno
3. Bank Baja Internasional 35.769 Riyanto
4. Bank Central Dagang 1.403.491 Sam Handojo
5. Bank Dagang Industri 481.548 Prof DR. H Sukamdani SG
6. Bank Danahutama 184.818 Sofjan Wanandi
7. Bank Dewa Rutji 609.408 Rudolf Kasenda
8. Bank Ficorinvest 917.853 Deddy Nurjaman
9. Bank Indonesia Raya 4.018.236 Atang Latief
10. Bank Intan 401.548 Fadel Muhammad
11. Bank Lautan Intan 240.817 Ulung Bursa
12. Bank Papan Sejahtera 928.911 Hasim S. Djojohadikusumo
13. Bank Pesona (d/h Bank Utama) 2.334.896 Sigit Harjojudanto
14. Bank Putra Surya Perkasa 1.938.945 Slamet S. Gondokusumo
15. Bank Tata Internasional 221.276 Ny. Susilawati Wijaya NG
16. Bank Umum Sertivia 361.976 Rijanto Sastroatmodjo
17. Bank Upindo 242.956 Miranda S Gultom
18. Sewu Internasional Bank 642.247 Dasuki Angkosubroto
Sub Total 17.320.988

Korupsi dan Penyelewengan BLBI / 43


IV. BANK DALAM LIKUIDASI (BDL)
1. Bank Anrico 210.081 Prof. Harun Alrasjid Zain
2. Bank Astria Raya 578.918 Henry Liem
3. Bank Citrahasta Danamanunggal 201.802 Suyoso Sukarno
4. Bank Dwipa Semesta 110.105 Dr Yoga Sugomo
5. Bank Guna Internasional 251.055 Letjen TNI (Purn) Sutopo Yuwono
6. Bank Harapan Sentosa 3.866.182 Hendra Rahardja
7. Bank Industri 511.470 Hasim Djojohadikusumo
8. Bank Jakarta 210.994 H. Probosutedjo
9. Bank Kosagraha Semesta 201.812 Setiawan Chandra
10. Bank Mataram Dhanarta 336.763 Sri Sultan HB X
11. Bank Pacific 2.133.366 Hendrik Willem T
12. Bank Pinaesaan 681.084 HR Rembert
13. Bank Umum Majapahit Jaya 8.555 Roy E. Tirtadji
14. Sejahtera Bank Umum 1.687.350 Hasudungan Tampubolon
15. South East Asia Bank 899.399 Tidjan Ananto
Sub Total 11.888.936
TOTAL 144.536.086*)
*) Angka dari BI adalah Rp 144.536.094.294.530, perbedaan terjadi karena
pembulatan.

44 / Korupsi dan Penyelewengan BLBI


Lampiran 3
Daftar Potensi Kerugian Negara dalam Penyaluran BLBI
berdasarkan Bank Penerima per 29 Januari 1999

TOTAL BLBI TOTAL


No. NAMA BANK
(dalam juta Rp) (dalam juta Rp)
I BANK BEKU OPERASI (BBO)
1. Bank Centris Internasional 629.624 629.624
2. Bank Dagang Nasional Indonesia 37.039.766 36.359.270
3. Bank Deka 152.918 152.918
4. Bank Hokindo 214.228 214.228
5. Bank Istimarat Indonesia 520.236 520.236
6. Bank Modern 2.557.693 2.557.693
7. Bank Pelita 1.989.832 1.989.832
8. Bank Subentra 860.853 860.853
9. Bank Surya 1.653.836 1.653.836
10. Bank Umum Nasional 12.067.961 12.067.961
Sub Total 57.686.947 57.686.947
II BANK TAKE OVER (BTO)
1. Bank Central Asia 26.596.277 26.596.277
2. Bank Danamon Indonesia 23.049.526 23.049.526
3. Bank PDFCI 1.995.000 1.995.000
4. Bank Tiara Asia 2.978.093 2.978.093
5. Bank Nusa Nasional/BNN 3.020.319 3.020.319
Sub Total 57.639.215 57.639.215
III BANK BEKU KEGIATAN USAHA (BBKU)
1. Bank Aken 301.318 301.318
2. Bank Asia Pacific 2.054.975 2.054.975
3. Bank Baja Internasional 35.769 35.769
4. Bank Central Dagang 1.403.491 1.403.491
5. Bank Dagang Industri 481.548 481.548
6. Bank Danahutama 184.818 184.818
7. Bank Dewa Rutji 609.408 609.408
8. Bank Ficorinvest 917.853 917.853
9. Bank Indonesia Raya 4.018.236 4.018.236
10. Bank Intan 401.548 401.548
11. Bank Lautan Berlian 240.817 240.817
12. Bank Papan Sejahtera 928.911 928.911
13. Bank Pesona (d/h Bank Utama) 2.334.896 2.334.896
14. Bank Putra Surya Perkasa 1.938.945 1.938.945
15. Bank Tata Internasional 221.276 221.276
16. Bank Umum Sertivia 361.976 361.976
17. Bank Upindo 242.956 242.956
18. Sewu Internasional Bank 642.247 642.247
Sub Total 17.320.988 17.320.988

Korupsi dan Penyelewengan BLBI / 45


IV BANK DALAM LIKUIDASI (BDL)
1. Bank Anrico 210.081 9.804
2. Bank Astria Raya 578.918 456.969
3. Bank Citrahasta Danamanunggal 201.802 158.404
4. Bank Dwipa Semesta 110.105 103.135
5. Bank Guna Internasional 251.055 0
6. Bank Harapan Sentosa 3.866.182 1.766.590
7. Bank Industri 511.470 232.346
8. Bank Jakarta 210.994 0
9. Bank Kosagraha Semesta 201.812 154.940
10. Bank Mataram Dhanarta 336.763 283.265
11. Bank Pacific 2.133.366 1.925.514
12. Bank Pinaesaan 681.084 411.118
13. Bank Umum Majapahit Jaya 8.555 8.555
14. Sejahtera Bank Umum 1.687.350 231.415
15. South East Asia Bank 899.399 733.317
Sub Total 11.888.936 6.475.372
TOTAL 144.536.086 138.442.026

46 / Korupsi dan Penyelewengan BLBI


Lampiran 4
Daftar Potensi Kerugian Negara dalam Peyimpangan Penggunaan
BLBI berdasarkan Bank Penerima per 29 Januari 1999

JUMLAH TEMUAN
NO NAMA BANK
(dalam juta Rp)
I BBO
1. Bank Centris Internasional 294.634
2. Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) 24.472.424
3. Bank Deka 105.668
4. Bank Hokindo 202.317
5. Bank Istimarat 60.743
6. Bank Modern 666.583
7. Bank Pelita 1.066.308
8. Bank Subentra 515.738
9. Bank Surya 281.196
10. Bank Umum Nasional (BUN) 5.093.545

II BTO
1. Bank Central Asia (BCA) 15.818.750
2. Bank Danamon 13.803.739
3. Bank Nusa Nasional/BNN 1.192.494
4. Bank PDFCI 982.222
5. Bank Tiara Asia 2.216.691

III BBKU
1. Bank Aken 127.322
2. Bank Asia Pacific (ASPAC) 850.467
3. Bank Baja Internasional 17.683
4. Bank Central Dagang (BCD) 1.554.565
5. Bank Dagang dan Industri (BDI 215.033
6. Bank Danahutama 88.282
7. Bank Dewa Rutji 459.580
8. Bank Ficorinvest 305.682
9. Bank Indonesia Raya (BIRA) 3.659.486
10. Bank Intan 103.458
11. Bank Lautan Berlian 18.103
12. Bank Papan Sejahtera 539.434
13. Bank Pesona (d/h Bank Utama) 2.042.095
14. Bank Putra Surya Perkasa (PSP) 1.875.575
15. Bank Sewu 494.891
16. Bank Tata 348.526
17. Bank Umum Sertivia 911.002
18. Bank Upindo 633.708

Korupsi dan Penyelewengan BLBI / 47


IV BDL
1. Bank Anrico -
2. Bank Astria Raya 162.741
3. Bank Citrahasta Danamanunggal 4.181
4. Bank Dwipa Semesta 32.021
5. Bank Guna Internasional 2.251
6. Bank Harapan Sentosa 539.486
7. Bank Industri 183.458
8. Bank Jakarta 85.353
9. Bank Kosagraha Semesta 22.134
10. Bank Mataram Dhanarta 17.909
11. Bank Pacific 2.249.785
12. Bank Pinaesaan 213.106
13. Bank Sejahtera Bank Umum (SBU) 151.668
14. Bank South East Asia Bank (SEAB) 154.403
15. Bank Umum Majapahit 5.722
885.784
-
IKHTISAR
JUMLAH BBO (10 Bank) 32.759.156
JUMLAH BTO (5 Bank) 34.013.896
JUMLAH BBKU (18 Bank) 14.244.892
JUMLAH BDL (15 Bank) 3.824.218
JUMLAH (48 Bank ) 84.842.162

48 / Korupsi dan Penyelewengan BLBI


Bab 4
INKONSISTENSI
PENEGAKAN HUKUM
DALAM KASUS BLBI

Marwan Batubara

Pada bagian sebelumnya, telah dinyatakan bahwa pengucuran BLBI


sarat dengan berbagai penyimpangan dan penyelewengan, hampir pada
setiap bentuk fasilitas yang diberikan. Akibat berbagai penyimpangan
tersebut, negara harus menanggung kerugian sangat besar, yang jika ditotal
secara keseluruhan, termasuk untuk program obligasi rekapitalisasi dan
bunganya, setidaknya mencapai lebih dari Rp 600 triliun. Dampaknya pun
masih harus ditanggung rakyat saat ini dan bahkan hingga beberapa waktu
yang akan datang.
Dengan dampak yang luar biasa tersebut, sangat wajar dan logis jika
pemerintah melakukan penanganan kasus BLBI secara sangat serius dan
meletakkannya sebagai prioritas utama agenda pemerintah. Hal ini terutama
agar uang negara yang telah terkucurkan dalam jumlah besar tersebut dapat
kembali, sehingga dapat digunakan untuk mengurangi beban berat

Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI / 49


pembayaran utang pemerintah dalam APBN (yang sebagian besarnya juga
merupakan akibat dari perbuatan para koruptor BLBI tersebut).
Keseriusan penanganan kasus BLBI seharusnya dapat terlihat dari
jumlah koruptor BLBI yang berhasil diadili dan dimintakan
pertanggungjawaban. Keseriusan itu juga seharusnya terlihat dari
pemberian sanksi hukum setimpal yang dikenakan kepada masing-masing
koruptor. Terakhir, adalah pada bagaimana mereka menyelesaikan
kewajiban-kewajiban pembayaran utang mereka kepada pemerintah.
Namun, pada kenyataannya proses penyelesaian kasus BLBI sama
sekali jauh dari indikasi keseriusan itu. Bahkan, proses itu sangat nyata
menampakkan ketidakadilan. Untuk memperoleh kembali uang negara yang
telah dikucurkan, pemerintah dengan sangat mudah memberikan
keringanan bagi obligor BLBI, seperti antara lain dengan memangkas
jumlah utang tunai yang harus dibayar dan membebaskan mereka dari
tuntutan hukum. Padahal, hasil yang didapat pun tidak maksimal, karena
tingkat pengembalian uang BLBI (termasuk obligasi rekap) nyatanya hanya
berkisar 28% saja.
Pemberian keringanan bagi obligor BLBI juga melanggar hukum dan
peraturan perundang-undangan yang ada. Hukum menghendaki
diberikannya perlakuan yang sama kepada semua orang, tanpa pandang
bulu. Sementara itu, berbagai fasilitas yang diberikan pemerintah kepada
obligor BLBI jelas menunjukkan tidak digunakannya asas tersebut.
Bagaimana mungkin para obligor diberikan kemudahan, padahal mereka
adalah pihak yang telah menyebabkan kerugian besar bagi negara?
Tulisan ini dan dua bab berikutnya akan menguraikan sejumlah
ketidakadilan dan inkonsistensi penegakan hukum dalam penyelesaian kasus
BLBI. Disini penulis hendak menunjukkan bahwa proses penegakan hukum
dalam kasus BLBI selama ini tidak memenuhi asas-asas kepatutan maupun
keadilan. Sebaliknya, penegakan hukum dalam kasus BLBI justru sarat
dengan kompromi, inkonsistensi, dan bahkan manipulasi. Padahal, tindakan
penyelewengan BLBI yang dilakukan para obligor jelas merupakan tindak
pidana yang harus diproses sepenuhnya secara hukum.
Karena itulah, fasilitas-fasilitas pengampunan yang diberikan
pemerintah kepada para obligor, seperti mekanisme PKPS (Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham) dapat dinyatakan sebagai langkah yang

50 / Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI


mengabaikan dan tidak menghormati otoritas hukum. Terlebih lagi
kebijakan pemberian release and discharge (R & D), yaitu penghapusan status
tindak pidana bagi para obligor kelas kakap yang telah melunasi sebagian
kecil utangnya. Hal ini jelas merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap
supremasi hukum yang tidak akan pernah dapat dibenarkan dalam sebuah
negara bersendikan hukum (rechstaat) seperti Indonesia.

Force Majeure sebagai Alasan Bangkrutnya Perbankan


Sebelum bentuk-bentuk inkonsistensi hukum dalam penyelesaian kasus
BLBI diuraikan, perlu disinggung terlebih dulu istilah mengenai force majeure.
Hal ini diperlukan, mengingat konsep force majeure kerap disebut sebagai
pijakan argumentasi dari pemberian ampun kepada para obligor BLBI.
Istilah force majeure berasal dari bahasa Perancis yang secara literal berarti
kekuatan yang lebih besar (greater force). Istilah ini sering digunakan dalam
kontrak untuk menyatakan bebasnya salah satu atau kedua belah pihak
dalam kontrak, dari beban atau kewajiban jika terjadi hal-hal atau keadaan
luar biasa yang berada di luar kendali pihak-pihak yang berkontrak. Keadaan
luar biasa yang dimaksud mencakup antara lain perang, demonstrasi,
kerusuhan, dan act of God/bencana alam (gempa bumi, banjir, gunung
meletus dan sebagainya).
Dasar pembebasan para pihak dari kewajiban ini adalah karena situasi-
situasi force majeure dianggap merupakan penghalang bagi salah satu atau
kedua belah pihak untuk melaksanakan kewajibannya. Sehingga, dengan
pencantuman ketentuan mengenai force majeure, pihak-pihak yang
berkontrak dapat berlepas diri dari kewajiban jika terjadi hal-hal di luar
perhitungan atau kendali manusia. Meski demikian, aturan ini sama sekali
tidak dimaksudkan untuk membenarkan tindakan penghindaran atau
pelepasan diri dari tanggung jawab pihak yang berkontrak dalam memenuhi
kewajibannya.
Dalam kasus BLBI, bank-bank dan obligor penerima BLBI kerap
berlindung dibalik alasan force majeure untuk melepaskan diri dari tanggung
jawab memenuhi kewajiban membayar seluruh utang-utangnya kepada
pemerintah. Hal ini karena, menurut mereka, krisis moneter (yang membuat
mereka menerima kucuran BLBI) merupakan kondisi keterpaksaan yang

Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI / 51


tidak dapat dihindari. Atau dengan kata lain, krisis moneter merupakan act of
God, sehingga sudah sewajarnya mereka menerima uluran bantuan dari
pemerintah melalui program BLBI untuk menyelamatkan diri dari krisis.
Atas dasar alasan itu pula, hendak diyakinkan bahwa bangkrutnya
perbankan meskipun telah menerima kucuran BLBI adalah sesuatu yang
harus ditanggung bersama sebagai ”ongkos krisis”.
Padahal, argumentasi-argumentasi tersebut jelas tidak sepenuhnya
benar (bahkan sangat kental dengan aspek moral hazard), dan harus
dipertanyakan lebih jauh.
Hasil pemeriksaan BPK, misalnya, menemukan bahwa kolapsnya
perbankan pada tahun 1998 (sehingga menyebabkan dana BLBI tidak
banyak membantu dalam menyehatkan kondisi perbankan) ternyata lebih
disebabkan oleh faktor lemahnya sistem pembinaan dan pengawasan bank
oleh BI. Bentuk-bentuk lemahnya pengawasan BI tersebut mencakup
pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) dan pemberian
kesempatan kepada bank-bank untuk melakukan proses kliring meskipun
rekening gironya di BI telah bersaldo negatif.
Selain itu, anggapan bahwa krisis moneter yang terjadi di Indonesia
merupakan peristiwa act of God juga dapat dibantah. Seperti diketahui, krisis
yang melanda Indonesia pada tahun 1998 bermula di Thailand pada tahun
1997. Secara bertahap, krisis baru kemudian menyebar ke wilayah-wilayah di
sekelilingnya, termasuk Indonesia. Karena itulah, menurut pengacara senior
Frans Hendra Winarta, krisis moneter di Indonesia tidak dapat
dikategorikan sebagai act of God. Menurut Frans, terjadinya krisis moneter di
Indonesia merupakan hal yang dapat diprediksi (predictable). Sehingga,
antisipasi terhadap terjadinya krisis juga sudah sewajarnya merupakan
tanggung jawab pihak-pihak terkait.

Penyelesaian Kasus BLBI melalui Mekanisme PKPS


Ketidakadilan dalam kasus BLBI sangat nampak dari proses
penyelesaian yang dilakukan pemerintah untuk menuntaskan kasus ini.
Walaupun uang yang dikucurkan pemerintah melalui BLBI demikian besar,
namun penyelesaiannya ternyata tidak dilakukan secara serius, konsekuen,
dan mempertimbangkan aspek keadilan masyarakat. Pemerintah justru

52 / Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI


memberikan banyak kemudahan dan fasilitas yang meringankan para
obligor BLBI dalam membayar dan melunasi utang-utangnya kepada
negara.
Pemberian sejumlah fasilitas itu, seperti dinyatakan pemerintah,
bertujuan agar pengembalian uang negara oleh para bankir dapat terealisasi
secara maksimal. Sehingga, fokusnya adalah agar uang pinjaman yang
dikucurkan melalui BLBI dapat ditarik kembali ke kas negara.
Logika ini sekilas mungkin terdengar realistis, namun jelas mengandung
ketidakadilan. Obsesi untuk memperoleh kembali uang negara justru seakan
meremehkan tindakan hukum yang seharusnya diberlakukan kepada para
obligor yang telah melanggarnya. Asalkan para obligor mengembalikan
uang, kasus hukum ditutup. Para penikmat uang rakyat itu pun dapat
melenggang bebas tanpa konsekuensi hukum apapun.
Apalagi, ternyata fasilitas yang sudah sangat murah hati tersebut
disalahgunakan juga oleh para obligor dengan melakukan berbagai
manipulasi, seperti penyerahan aset-aset fiktif dan sebagainya. Sehingga,
tujuan untuk memperoleh pengembalian uang negara pun pada akhirnya
tidak tercapai, dan obligor bebas tanpa sanksi pidana.
Untuk jelasnya, berikut akan dipaparkan sejumlah langkah yang
dilakukan pemerintah dalam penyelesaian kasus BLBI dan fasilitas yang
diberikan kepada para obligor BLBI dalam rangka pelunasan utang-
utangnya.
Dalam rangka mengoptimalkan pengembalian dana BLBI ke kas
negara, pemerintah melalui BPPN membuat beberapa langkah, yang pada
intinya berbentuk tiga hal sebagai berikut:
· Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham
pengendali (pemilik bank). Perjanjian ini khususnya diberlakukan
bagi bank-bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha
(BBKU). Pemerintah, bersama pemegang saham bank-bank
tersebut menandatangani perjanjian yang dinamakan sebagai
Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master
Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA).
· Mengkonversi BLBI menjadi Penyertaan Modal Sementara (PMS).
Pola ini diberlakukan pada bank-bank take over(BTO).

Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI / 53


· Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali, melalui
penandatanganan Akta Pengakuan Utang (APU).
Sejalan dengan langkah-langka di atas, ada beberapa pola perjanjian
yang dibuat pemerintah dengan obligor dalam rangka penyelesaian kasus
BLBI, yaitu :
MSAA(Master Settlement andAcqusitionAgreement)
Skema ini digunakan pada penerima BLBI yang asetnya dinilai mampu
mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya. MSAA
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu terhadap pemegang saham pengendali
BBKU dan BTO. Berdasarkan skema ini, obligor BLBI diberikan jangka
waktu 4 tahun untuk menyerahkan aset-asetnya kepada negara sebagai
bentuk pelunasan utang-utangnya. MSAA dikritik keras sejumlah kalangan
karena dinilai terlalu meringankan obligor dan banyak terjadi pelanggaran
dalam pelaksanaannya. Aset-aset yang diserahkan para obligor BLBI kepada
negara, pada kenyataannya, jauh lebih rendah daripada nilai kewajiban yang
harus dibayarnya. Hal ini karena para obligor me-mark up nilai aset yang
diserahkannya kepada negara. Diantara bank yang memasuki perjanjian ini
adalah Bank Central Asia (BCA), Bank Umum Nasional, Bank Dagang
Nasional Indonesia, Bank Surya, dan Bank Risyad Salim Internasional.
MRNIA(Master Refinancing and Notes IssuanceAgreement)
Skema ini digunakan pada penerima BLBI yang nilai asetnya tidak
mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya. Berdasarkan
skema ini, selain menyerahkan aset-aset yang dimilikinya, penandatangan
(obligor) juga harus menyerahkan jaminan pribadi (personal guarantee) dan
menyatakan kesediaan untuk menyerahkan tambahan aset jika aset yang
sudah diserahkan ternyata belum mencukupi. Jangka waktu yang diberikan
untuk pelunasan juga selama 4 tahun. Diantara bank yang menandatangani
perjanjian ini adalah Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon,
dan Bank Hokindo.
APU (Akta Pengakuan Utang)
Skema ini merupakan revisi dari model MSAA, sehingga inti perjanjian
sama dengan model tersebut, hanya saja pemegang saham pengendali harus
bertanggung jawab jika aset yang diserahkan ternyata tidak mencukupi
untuk melunasi pembayaran kewajibannya (mengembalikan dana BLBI

54 / Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI


yang diterima). Berdasarkan APU, pemegang saham harus menyelesaikan
kewajiban-kewajibannya secara tunai dan berkala dalam jangka waktu yang
ditentukan. Dalam pelaksanaannya, karena banyaknya obligor yang gagal
memenuhi target penyelesaian, sebagian skema APU telah direformulasi,
dimana jumlah kewajiban yang harus dibayar pemegang saham (JKPS)
dihitung ulang. Bank-bank yang menandatangani perjanjian ini adalah Bank
Bumi Raya Utama, BIRA, Bank Sewu, Bank Hastin, Bank Tata, Bank
Namura Yasonta, Bank Indotrade, Bank Putera, Bank Baja, Bank Lautan
Berlian, Bank Papan Sejahtera, Bank Yama, Bank Tamara, Bank Nusa
Nasional, Bank Intan, Bank PSP, Bank Namura Maduma, Bank
Metropolitan, Bank Umum Servitia, Bank Aken, Bank Mashill, dan Bank
Sanho.
Sejumlah pihak menilai skema-skema perjanjian di atas sesungguhnya
merugikan posisi pemerintah. Skema tersebut, misalnya, memungkinkan
obligor untuk menggelembungkan nilai asetnya, sehingga tidak sebanding
dengan jumlah kewajiban yang harus dibayarnya. Hal itu dapat terjadi karena
dalam perjanjian, kewajiban para obligor cukup dinyatakan dalam bentuk
pernyataan dan jaminan (representation and warranties). Obligor terlepas dari
kewajiban untuk menambah jumlah aset yang diserahkannya ke BPPN jika
ternyata ditemukan nilai aset tersebut di bawah estimasi awal. Akibatnya,
ditemukan recovery rate aset yang diserahkan para obligor hanya sekitar 28
persen dari nilai yang dinyatakannya.
Penyerahan aset-aset tersebut juga dinilai sebatas formalitas belaka,
mengingat pengelolaan aset tetap dilakukan pemilik lama (yaitu obligor
BLBI). Hal ini dikarenakan BPPN sebagai pihak yang diserahkan aset tidak
memiliki kelengkapan organisasi dan SDM yang diperlukan untuk
mengelola aset-aset tersebut. Artinya, secara de facto, aset tetap di tangan
pemilik lama. Para pemilik lama tersebut, bahkan diberi gaji untuk mengurus
aset-asetnya. Karena itu, kesepakatan ini jelas sangat menguntungkan posisi
obligor. Tabel 1

Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI / 55


Tabel 1
Struktur Perjanjian PKPS

Keterangan MSAA MRNIA APU


Jangka Waktu 4 Tahun 4 Tahun 4 Tahun
Aset yang Sebagai Mekanisme Sebagai Sebagai Jaminan
Diserahkan Penyelesaian Jaminan
Kewajiban (Asset
Settlement)
Kewajiban Sebatas Pernyataan Sejumlah Sejumlah
Pemegang Saham dan Jaminan yang Kewajiban Kewajiban Melalui
Disepakati dalam Melalui Akta Pengakuan
Perjanjian Mekanisme Utang yang
Jaminan Pribadi Diterbitkan oleh
(Personal Pemegang Saham
Guarantee)
Pembayaran Bersumber dari Pemegang Pembayaran Pokok
Penjualan Aset yang Saham, Tapi dan Bunga Secara
Dikuasai Pemerintah Tidak Ditetapkan Berkala
Secara Berkala
Tingkat Bunga - 20% per tahun SBI + 3% per tahun
Keterangan Lain Dibentuk Perusahaan Dibentuk Menggunakan
Induk untuk Perusahaan Prinsip "Co-
Memonitor Proses Induk untuk Debtor", Debitur
Penjualan Aset yang Memonitor (Perusahaan) dan
Diserahkan Proses Pemegang Saham
Penjualan Aset Menjadi Pengutang
yang Diserahkan Bersama

Sumber: I Putu Gede Arysuta, sebagaimana dimuat dalam Laporan “Position Paper
Penyelesaian Hukum Kasus BLBI”, Indonesia Corruption Watch, 2006.

Ketidakadilan dalam Penyelesaian Kasus BLBI


Selain skema-skema yang lebih banyak menguntungkan obligor seperti
diuraikan di atas, ketidakadilan dalam penyelesaian kasus BLBI ditambah
lagi dengan keluarnya Inpres No.8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan
Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak
Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan PKPS. Inpres ini lebih dikenal
dengan nama Inpres Release and Discharge (R & D). Disebut demikian karena

56 / Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI


Inpres ini membebaskan obligor BLBI dari semua tuntutan hukum
apabila mereka bersedia membayar sebagian kewajibannya.
Inpres ini pada dasarnya berisi instruksi pada sejumlah menteri dan
pejabat, khususnya di bidang ekonomi dan hukum (yaitu Menko Bidang
Perekonomian, Menteri Kehakiman dan HAM, Meneg BUMN, Jaksa
Agung, Kepala Kepolisian RI, dan Ketua BPPN) untuk mengambil langkah-
langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh kewajiban para
pemegang saham (obligor BLBI) kepada BPPN.
Namun, dalam rangka percepatan penyelesaian kewajiban tersebut,
pemerintah justru menetapkan peraturan yang sangat meringankan obligor,
yaitu bahwa mereka cukup membayar secara tunai 30% saja dari
keseluruhan kewajiban mereka dan membayar 70% sisanya dengan
sertifikat hak bukti kepada BPPN untuk memperoleh Surat Keterangan
Lunas (SKL). Dengan memegang SKL, semua obligor dibebaskan dari
tuntutan pidana. Bahkan, mereka yang sedang dalam proses
penyidikan, akan memperoleh SP 3 (Surat Penghentian Pengusutan
Perkara). Sedangkan, bagi mereka yang telah memasuki proses di
pengadilan, SKL akan dijadikan sebagai novum atau bukti baru yang
akan membebaskan mereka.
Berbagai fasilitas tersebut tentu saja menunjukkan ketidakadilan Inpres
ini. Inpres ini sekaligus menunjukkan proses penegakan hukum dapat
dikorbankan oleh keputusan politik. ICW mencatat, akibat Inpres R & D,
Kejaksaan menghentikan proses penyidikan terhadap sekitar 10 tersangka
korupsi BLBI di tahun 2004.
Sampai kini, proses penyelesaian kasus BLBI tidak juga berhasil
dituntaskan pemerintah (yang juga telah sekian kali berganti). Sejumlah
kasus hukum masih menunggu penyelesaian dan keputusan akhir dari
pengadilan. Menurut ICW, saat bubarnya, BPPN mewariskan 1.361 kasus
hukum yang meliputi 447 obligor dengan nilai utang mencapai Rp 25 triliun.
Dari 1.361 kasus hukum tersebut, sebanyak 178 kasus (13%) dimenangkan
BPPN, 56 perkara (4%) dimenangkan obligor, dan sejumlah 1.100 kasus
(81%) masih dalam proses di berbagai tingkat peradilan, baik banding
maupun kasasi.
Sementara itu, dari sekitar Rp 600 triliun dana BLBI dan rekapitalisasi
perbankan yang dikucurkan pemerintah, uang yang telah kembali adalah

Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI / 57


sebesar Rp 152,4 triliun, yang terdiri dari setoran tunai Rp 107,67 triliun,
obligasi Rp 14,994 triliun, tunai non APBN sejumlah Rp 9,7 triliun, dan
obligasi daur ulang (recycled bonds) sebesar Rp 20,541 triliun.

Pelanggaran Hukum dalam Inpres No. 8/2002 tentang


Release and Discharge
Dalam upayanya menyelesaikan kasus BLBI, pemerintah (khususnya di
masa kepemimpinan Megawati) justru telah melakukan pelanggaran hukum
sangat serius. Pelanggaran itu adalah dikeluarkannya Instruksi Presiden No.
8/2002 tentang Release and Discharge (R & D).
Inpres ini menginstruksikan segenap menteri dan pejabat terkait di
pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi
penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka penyelesaian
seluruh kewajibannya kepada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA,
MRNIA dan APU.
Seperti telah disebutkan di atas, dalam salah satu butirnya, Inpres ini
menginstruksikan agar obligor yang telah membayar utangnya secara tunai
sebesar minimum 30% dan bersedia membayar sisanya dengan sertifikat
bukti kepada BPPN, diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL). Dengan
memegang SKL, mereka yang diperiksa dalam proses penyidikan akan
diberikan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara), dan mereka yang
tengah diproses di pengadilan dapat dibebaskan dengan menjadikan SKL
sebagai novum atau bukti baru.
Dengan kata lain, Inpres ini pada intinya memberi putusan bebas bagi
obligor BLBI yang telah memenuhi skema penyelesaian utang yang
ditentukan pemerintah, meskipun mereka telah melakukan pelanggaran
hukum sekalipun.
Karena itu, melalui penerbitan Inpres R & D, pemerintah (saat itu
dipimpin Megawati) jelas telah melanggar prinsip equality before the law
(persamaan kedudukan di mata hukum). Mereka yang telah melakukan
tindak pidana, dapat dibebaskan dari jerat hukum hanya karena membayar
kewajibannya (itupun hanya 30% saja). Padahal, pembayaran kewajiban
merupakan bagian dari proses penyelesaian pada aspek perdata yang tidak
dapat menghapus tindak pidana yang telah dilakukan.

58 / Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI


Dengan penerbitan Inpres ini, pemerintah juga dinilai telah melakukan
intervensi terhadap kekuasaan yudikatif karena memerintahkan
penghentian proses hukum yang sedang berlangsung. Kasus BLBI yang
merupakan kasus pidana, diselesaikan oleh Presiden Megawati hanya
dengan pendekatan kekuasaan semata.
Dapat dinyatakan, sejumlah ketentuan hukum yang secara nyata
dilanggar oleh Inpres No. 8 Tahun 2002 antara lain mencakup Pasal 1 Ayat 3
UUD 1945, Tap MPR No. IX/MPR/1998, Tap MPR No. VIII/MPR/2001,
Tap MPR No. X/MPR/2001, Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999, Pasal 2 Ayat 1
UU No. 5 Tahun 1991, dan beberapa pasal dalam KUHP (penjelasan lebih
rinci tentang ketentuan yang dilanggar tersebut akan diuraikan dalam Bab 7).
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka keberadaan Inpres No. 8 Tahun
2002 tentang R & D dapat dinyatakan cacat hukum. Mahkamah Agung
sudah sepatutnya membatalkan Inpres ini dan membatalkan pula pemberian
fasilitas release and discharge kepada para obligor BLBI, termasuk
membatalkan SP3 yang dikeluarkan Kejaksaan Agung. Perlu dicatat,
pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor yang telah
menyelesaikan kewajibannya hanya dapat menghilangkan aspek
keperdataannya saja. Sedangkan, secara pidana, proses hukum terhadap
obligor BLBI tetap harus dilaksanakan hingga tahap persidangan di
pengadilan.
Kalaupun pemerintah tetap merasa perlu untuk memberi fasilitas
keringanan bagi obligor yang kooperatif (dengan tujuan agar pengembalian
uang negara dapat cepat terlaksana), hal itu hanya dapat dimungkinkan
melalui mekanisme pemberian grasi dari Presiden setelah ada putusan
hukum di pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan obligor
telah mengembalikan seluruh utangnya. Artinya, obligor tetap harus
mengikuti proses hukum dan memperoleh vonis pengadilan terlebih dulu,
setelah itu baru dapat diberikan keringanan atau dibebaskan dari hukuman.
Pemberian grasi merupakan hak prerogatif Presiden sehingga bukan
merupakan intervensi terhadap kekuasaan yudikatif.
Sampai saat ini, penyelesaian hukum kasus BLBI belum juga tuntas
meskipun sudah melalui empat kali pergantian masa pemerintahan. Hal ini
mengindikasikan kasus BLBI tak lepas dari keterlibatan sejumlah oknum

Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI / 59


pejabat di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Termasuk pula, indikasi judicial
corruption oleh oknum penegak hukum di pengadilan.

60 / Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI


Bab 5
MEKANISME PKPS :
MENYELESAIKAN KASUS
KORUPSI DENGAN
MENGABAIKAN HUKUM

Marwan Batubara

Hasil audit BPK pada tahun 2000 (No.06/01/Auditama II/AI/


VII/2000) menunjukkan terdapat berbagai penyimpangan dalam
penggunaan BLBI sehingga BPK kemudian menyimpulkan adanya
sangkaan tindak pidana atau perbuatan yang merugikan keuangan negara.
Selanjutnya, hasil audit BPK pada tahun 2006 (No.34G/XII/11/2006)
kembali menunjukkan sejumlah penyimpangan dalam kasus ini, kali ini
dalam penyelesaian kewajiban (pembayaran utang) obligor BLBI.
Tercatat, berdasarkan audit-audit BPK tersebut, terdapat beberapa
bentuk penyimpangan dalam kasus BLBI yang tidak saja terkategori sebagai
pelanggaran perdata, tetapi juga tindak pidana, seperti antara lain:
Pertama, penyalahgunaan dana BLBI, yaitu BLBI tidak digunakan untuk
membayar dana nasabah sebagaimana mestinya. Dana BLBI justru
digunakan para debitur/obligor untuk keperluan yang tidak sesuai dengan
Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 61
ketentuan, seperti untuk melunasi pinjaman subordinasi, melunasi
kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya, membayar kewajiban kepada pihak terkait, transaksi surat
berharga, melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayai
kontrak derivatif baru, membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi
dalam aktiva tetap, dan membiayai overhead bank umum.
Kedua, pengucuran BLBI kepada kelompok sendiri dengan melanggar
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). BMPK membatasi
pemberian kredit kepada kelompok sendiri, tapi dalam kenyataannya, kredit
justru diberikan kepada unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang
bersangkutan. Padahal, menurut pasal 49 ayat (2) jo pasal 50 jo pasal 50 A UU
No 10 Tahun 1998 pelanggaran BMPK merupakan tindak pidana.
Ketiga, terjadinya penggelembungan aset yang dilakukan para obligor
BLBI untuk menutupi kewajibannya melalui skema MSAA dan MRNIA.
Nilai dari aset-aset yang diserahkan para obligor dan debitur kepada
pemerintah pada kenyataannya jauh lebih kecil dari nilai utangnya.
Dengan berbagai temuan tersebut, ironisnya, hanya sebagian kecil dari
obligor BLBI yang diproses secara hukum melalui peradilan. Sebagian besar
obligor justru diproses di luar jalur peradilan atau disebut dengan istilah out
of court settlement melalui pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham
(PKPS). Hal-hal ini menunjukkan penyelesaian kasus BLBI secara nyata
dilakukan dengan cara yang jauh dari asas penegakan hukum dan rasa
keadilan. Puncak dari penyelewengan tersebut kemudian terjadi
dengan diterbitkannya Inpres No. 8/2002 tentang release and discharge
oleh Presiden Megawati.

Pola PKPS dan Dasar Hukumnya


Seperti namanya, PKPS atau Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham
adalah mekanisme yang disediakan pemerintah bagi obligor BLBI untuk
menyelesaikan kewajiban-kewajibannya terkait BLBI yang diterimanya.
Dalam definisi yang lebih rinci, PKPS dinyatakan sebagai:
· penyelesaian atas kredit, fasilitas dan manfaat lainnya yang diterima
secara tidak wajar oleh eks Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan
grupnya (affiliated loans) dari Bank Dalam Penyehatan (BDP);

62 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


· dan/atau pembebanan seluruh/sebagian kerugian BDP kepada eks
PSP.
Artinya, terdapat dua kategori debitur yang harus mengikuti PKPS,
yaitu debitur yang menerima BLBI secara tidak wajar (misalnya diberikan
oleh bank yang merupakan kelompok usahanya sendiri dengan melanggar
jumlah BMPK) dan debitur yang menerima pelimpahan kewajiban/utang
dari bank yang dimilikinya (bank yang sebagian besar sahamnya dimiliki
debitur).
PKPS diartikan sebagai perjanjian yang mengatur tata cara penyelesaian
kewajiban pihak terkait yang dibuat oleh dan antara eks PSP (pemegang
saham pengendali) dan Ketua BPPN dengan persetujuan Menteri
Keuangan. PKPS merupakan penyelesaian di luar jalur pengadilan (out of
court settlement) atas dugaan pelanggaran hukum atau transaksi tidak wajar
(irregularities) yang merugikan bank dan menguntungkan PSP atau pihak
terkait. Konon, penyelesaian PKPS di luar jalur pengadilan dimaksudkan
untuk mempercepat dan mengoptimalkan pengembalian uang negara.
Namun demikian, PKPS hanya dikenakan kepada PSP BTO (Bank
Take Over), BBO (Bank Beku Operasi), dan BBKU (Bank Beku Kegiatan
Usaha) yang bersedia dan kooperatif. Apabila PSP BTO, BBO dan BBKU
tidak bersedia dan tidak kooperatif, maka BPPN akan menyelesaikannya
melalui jalur hukum (litigasi), baik jalur hukum pidana maupun perdata.
Sebelumnya, perlu dijelaskan, BBO adalah bank-bank yang sudah
dibekukan karena tidak layak lagi untuk diteruskan operasinya, dimana
jumlah kewajiban yang harus diselesaikan oleh pemilik saham mayoritas
yang lama adalah jumlah total pasiva/kewajiban (di luar pinjaman dari pihak
yang terafiliasi) dikurangi dengan total nilai aktiva (aset) bersihnya.
Sementara itu, BTO adalah bank-bank yang masih diteruskan operasinya
tetapi telah dimiliki oleh pemerintah, dimana jumlah kewajiban yang harus
diselesaikan pemilik (pemegang saham mayoritas) bank yang lama adalah
sebesar jumlah pinjaman yang diberikan kepada pihak terafiliasi. PKPS
dilakukan melalui tiga pola, yaitu:
MSAA(Master Settlement andAcqusitionAgreement)
MSAA adalah suatu perjanjian antara eks PSP BTO/BBO dengan
pemerintah (diwakili oleh Menteri Keuangan dan Ketua BPPN) untuk

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 63


menyelesaikan kewajiban eks PSP BTO/BBO, dengan cara penyerahan aset
(asset settlement) dari PSP kepada BPPN yang nilainya setara dengan jumlah
kewajiban PSP, tanpa disertai jaminan pribadi.
MRNIA(Master Refinancing and Notes IssuanceAgreement)
MRNIA adalah perjanjian antara eks PSP BTO/BBO dan pemerintah
(diwakili oleh Menteri Keuangan dan Ketua BPPN) untuk menyelesaikan
kewajiban eks PSP BTO/BBO, dengan cara penyerahan aset (asset settlement)
dari PSP kepada BPPN yang nilainya lebih kecil dibandingkan dengan
jumlah kewajiban yang harus diselesaikan, disertai jaminan pribadi sebesar
nilai kewajiban yang harus diselesaikan PSP.
APU (Akta Pengakuan Utang)
Adalah suatu perjanjian antar eks PSP BTO dan BBKU dengan Ketua
BPPN (atau pejabat BPPN yang mewakili), untuk menyelesaikan kewajiban
eks PSP BTO atau BBKU disertai dengan jaminan aset.
Perjanjian PKPS yang pertama kali ditandatangani oleh Menkeu dan
Ketua BPPN adalah PKPS BCA (BTO) dan BDNI (BBO) pada tanggal 21
September 1998. Pada saat itu, tidak ada ketentuan perundang-undangan
yang secara tegas mengatur tentang PKPS. Pemerintah baru kemudian
menerbitkan peraturan dan berbagai kebijakan yang memberikan
landasan hukum atau legitimasi atas skema PKPS BBO dan BTO, setelah
penandatanganan PKPS dilakukan. Namun, untuk PKPS BDP, peraturan-
peraturan tersebut tetap tidak secara tegas mengaturnya.
Peraturan-peraturan itu antara lain adalah:
· UU No.10/1998 tentang Perbankan, khususnya pada pasal 37A
ayat 3 huruf l (disahkan pada tanggal 10 November 1998);
· PP No.17/1999 tentang BPPN pada pasal 44 (27 Februari 1999);
· SK Bersama Menkeu & Gubernur BI No.117/KMK.017/1999
dan No.31/15/KEP/GBI (tanggal 26 Maret 1999);
· UU No 25/2000 tentang Propenas, pada bab IV butir C.3.4.2
(tanggal 20 November 2000);
· Lampiran UU No.35/2000 tentang APBN 2001 pada butir II.2.3.7
(tanggal 21 Desember 2000);

64 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


· TAP MPR No.X/2001 yang menyatakan bahwa MPR menugasi
pemerintah, dalam hal ini BPPN, untuk secara konsisten
melaksanakan MSAA seusai undang-undang.
Sesuai Laporan BPK No.34G/XII/11/2006, sampai dengan tanggal 30
April 2004, BPPN mengelola 72 bank yang terdiri dari 65 Bank Dalam
Penyehatan (BDP) dan 7 bank Umum Peserta Rekapitalisasi (Bank Rekap).
Dari 65 BDP tersebut, 13 Bank diserahkan dengan status Bank Take
over(BTO), 10 bank diserahkan kepada BPPN dengan status Bank Beku
Operasi (BBO), 42 bank diserahkan dengan status Bank Beku Kegiatan
Usaha (BBKU).
Berdasarkan Legal Due Diligence (LDD) dan Financial Due Diligence (FDD)
yang dilakukan, BPPN mengelompokkan 65 BDP tersebut menjadi 3
kategori, yaitu:
· Kategori A, yaitu BDP yang menurut laporan LDD dan FDD tidak
ditemukan indikasi pelanggaran hukum dan/atau transaksi tidak
wajar yang menguntungkan eks PSP atau pihak terkait, sehingga
PSP tidak diwajibkan mengikuti PKPS (terdapat 16 bank);
· Kategori B, yaitu BDP yang menurut laporan FDD dan LDD
ditemukan indikasi pelanggaran hukum (irregularities) dan/atau
transaksi tidak wajar yang menguntungkan PSP atau pihak terkait,
sehingga PSP diwajibkan mengikuti PKPS dan PSP bersikap
kooperatif/bersedia mengikutinya (ada 39 bank, yaitu 32 bank
melaksanakan PKPS dan 7 bank melakukan pembayaran tunai);
· Kategori C, yaitu BDP yang menurut LDD dan FDD ditemukan
indikasi pelanggaran hukum (irregularities) dan/atau transaksi tidak
wajar yang menguntungkan PSP atau pihak terkait, sehingga PSP
wajib mengikuti PKPS, namun PSP bersikap tidak kooperatif/tidak
bersedia menjalani PKPS (ada 7 bank).
Dengan kategorisasi berdasarkan FDD dan LDD di atas, BPK telah
menyusun daftar BDP yang tidak mengikuti program PKPS (Kategori A
dan C) dan yang mengikuti program PKPS (Kategori B) seperti
diperlihatkan pada Lampiran 1. Adapun bank-bank yang mengikuti
program PKPS sesuai pola yang disepakati adalah sebagai berikut:

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 65


· PKPS MSAA, diikuti 5 bank yaitu: BCA, BDNI, BUN, Bank Surya
dan Bank RSI dengan total nilai JKPS (Jumlah Kewajiban
Pemegang Saham) sebesar Rp 89,875 triliun;
· PKPS MRNIA, terdapat 4 bank yaitu: Bank Danamon, Bank
Umum Nasional, Bank Modern dan Bank Hokindo dengan nilai
JKPS Rp 23,842 triliun;
· PKPS APU, ada 24 bank dengan nilai JKPS Rp 18,331 triliun.
Status penyelesaian PKPS 65 bank yang terkategori sebagai BDP,
setelah dikelola BPPN, dapat dirangkum sebagai berikut:

Tabel 1
Status Penyelesaian PKPS
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Selesai secara administratif :
- Membayar tunai tanpa PKPS 22 bank
- Ikut PKPS & Memperoleh SKL 22 bank
Sub-total 44 bank
2. Tidak selesai & diproses lebih lanjut:
- Ikut PKPS tetapi tidak memperoleh SKL 9 bank
- Tidak ikut PKPS dan tidak memperoleh SKL 12 bank
Sub-total 21 bank
----------
Total 65 bank

Seperti telah disebutkan, peraturan-peraturan pendukung untuk PKPS


diterbitkan oleh pemerintah, baik pada masa Habibie, Gus Dur maupun
Megawati, setelah penandatanganan PKPS untuk melegitimasi langkah-
langkah dan pola PKPS yang tengah dijalankan. Padahal, sesuai asas hukum
dan keadilan, pemerintah seharusnya menjalankan PKPS dengan mengacu
kepada undang-undang dan peraturan yang sudah ada sebelumnya.
Penetapan peraturan baru harus dilakukan secara objektif sesuai dengan
kebutuhan pelaksanaan PKPS. Singkatnya, PKPS-lah seharusnya yang
66 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum
menyesuaikan diri dan tidak bertentangan dengan berbagai peraturan
tersebut bukan sebaliknya.
Dengan demikian, lolosnya pelaku pidana dari jerat hukum melalui
PKPS merupakan akibat dari tidak ditegakkannya hukum, sikap korup
sebagian besar obligor dan oknum pejabat, serta kebijakan pemerintah yang
salah, termasuk pula adanya tekanan dan kepentingan IMF yang dengan
tunduk dipenuhi oleh Presiden-Presiden RI.
Langkah-langkah di atas diprogram untuk dilakukan oleh BPPN dalam
rangka pelaksanaan tugas penyehatan bank dan mengupayakan
pengembalian uang negara yang telah terkucurkan melalui BLBI, Dana
Talangan BPPN dan klaim Program Penjaminan, kepada BDP (Bank Dalam
Penyehatan) milik para debitur. Seperti diketahui, tugas BPPN itu tercantum
dalam UU No.10/1998 dan PP No.17/1999, dimana BPPN melaksanakan
program PKPS sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam
UU dan PP tersebut.
Dengan mengacu kepada Tabel 1, selanjutnya akan diberikan uraian
tentang obligor yang mendapat SKL, obligor yang tidak memperoleh SKL
meskipun ikut PKPS, dan obligor yang tidak mengikuti PKPS dan tidak
mendapat SKL. Perlu diingat bahwa obligor yang tidak mengikuti PKPS ini
adalah obligor yang melanggar hukum sesuai laporan FDD & LDD namun
tidak bersedia/kooperatif menjalankan PKPS.

Obligor yang Mendapat SKL dan SP3


Berdasarkan Inpres No.8/2002, Presiden antara lain memerintahkan
Ketua BPPN, setelah mendapat persetujuan KKSK dan Meneg BUMN,
agar para debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya (baik melalui
program MSAA, MRNIA dan APU) diberikan bukti penyelesaian berupa
pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum
sebagaimana diatur dalam perjanjian-perjanjian tersebut.
Untuk melaksanakan Inpres No.8/2002, BPPN telah membuat
Perjanjian Penyelesaian Akhir (PPA) dengan para pemegang saham (PS)
atau obligor yang telah menyelesaikan kewajibannya. Selain itu BPPN juga
telah mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada para obligor
yang telah menyelesaikan kewajibannya. Nama-nama obligor yang telah

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 67


menandatangani PPA dan memperoleh SKL adalah seperti diperlihatkan
pada tabel di bawah ini.

Tabel 2
Daftar Penerima Surat Keterangan Lunas

No. Nama Pemegang Saham Bank Nilai Utang (Juta Rp)


1. Soedono Salim Bank Central Asia (BCA) 52.767.575
2. Ibrahim Risjad Risjad Salim Internasional (RSI) 664.107
3. Samsul Nursalim BDNI 28.408.000
4. Bob Hasan BUN 6.189.882
5. Sudwikatmono Surya 1.886.400
6. Siti Hardijanti Rukmana Yakin Makmur (Yama) 213.291
7. Hasjim Djojohadikusumo Papan Sejahtera 298.300
8. Njoo Kok Kiong Papan Sejahtera 149.150
9. Honggo Wendratmo Papan Sejahtera 149.150
10. Andy Hartawan Sardjito Baja Internasional 42.543
11. Soeparno Adijanto Bumi Raya Utama 63.730
12. Mulianto Tanaga Indotrade 47.682
13. Philip S. Widjaja Mashill 67.854
14. Ganda Eka Handria Sanho 20.099
15. Nirwan Bakrie Nusa Nasional 5.106.509
16. Husudo Angkosubroto Sewu Internasional 258.845
17. Iwan Suhardiman Tamara 53.009
18. Thee Ning Khong Baja Internasional 73.539
19. The Tje Min Hastin 196.492
Sumber
20. :The
Laporan BPK No.34/XII/11/2006
Ning King Danahutama 18.062
Catatan: No 1-5: Pola MSAA; No 6-21: Pola APU. Tidak ada peserta pola MRNIA yang
21. Hendra
memperoleh Liem
SKL. Budi 17.632
Total 96,691,851
Sumber : Laporan BPK No.34G/XII/11/2006
Catatan: No 1-5: Pola MSAA; No 6-21: Pola APU. Tidak ada peserta pola MRNIA yang
memperoleh SKL.

68 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


Dengan memperoleh SKL, maka para obligor bebas dari tuntutan
pidana, mengingat pemerintah menetapkan penyelesaian kasus BLBI
melalui mekanisme di luar pengadilan. Padahal, seperti disampaikan di atas,
para obligor tesebut telah melanggar BMPK dan berbagai penyelewengan
lain seperti dilaporkan BPK. Selanjutnya, bahkan ditemukan bahwa
pelunasan atas PKPS dilakukan sejumlah obligor dengan penuh
manipulasi dan kecurangan, seperti menyerahkan aset-aset fiktif
kepada BPPN. Karena itu, SKL yang diperoleh sejumlah obligor
merupakan sesuatu yang harus ditinjau kembali kelayakannya (beberapa
contoh kasus obligor yang menyimpangkan BLBI dan memanipulasi
pelunasan melalui mekanisme PKPS akan dibahas dalam bab 9).

Obligor PKPS MRNIA yang Tidak Mendapat SKL


Meskipun telah mengikuti PKPS lebih dari 4 tahun, ternyata banyak
bank yang tidak mampu menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan JKPS.
Para PSP yang tidak mampu menyelesaikan kewajibannya tersebut, sehingga
tidak memperoleh SKL melalui PKPS MRNIA, diperlihatkan pada tabel
berikut ini.

Tabel 3
Daftar Peserta MRNIA yang Tidak Memperoleh SKL

No. Bank PSP JKPS (Juta Rp) Status


1. Danamon Ind. Usman Admadjaja 12.532.749 Tidak Ada Kepastian
2. Hokindo Ho Kianto/Ho Kiarto 297.571 Dialihkan ke TP-BPPN
3. BUN Kaharudin Ongko 8.347.882 Pengadilan: Bebas
4. Modern Samadikun Hartono 2.663.873 Pengadilan: Buron
Total 23,842,075
Sumber: Laporan BPK RI No.34G/XII/11/2006

Berdasarkan laporan BPK, nilai JKPS PSP empat bank yang mengikuti
pola MRNIA tersebut adalah Rp 23,842 triliun. Namun, pelaksanaan PKPS
tidak seluruhnya sesuai dengan perjanjian, terutama dilihat dari penyerahan

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 69


aset yang dijanjikan dan dijaminkan kepada BPPN, seperti aset yang tidak
berada dalam kondisi free and clear dan bahkan dalam kondisi dijaminkan
kepada pihak lain.
Berikut disampaikan latar belakang tidak keluarnya SKL kepada
beberapa obligor pola MRNIA.
Usman Admadjaja
Usman Admadjaja sebagai PSP Bank Danamon tidak memperoleh SKL
karena beberapa hal terkait kondisi aset-aset yang diserahkannya kepada
BPPN, seperti antara lain: penurunan jumlah saham perusahaan asuransi PT
ALICA yang dialihkan kepada perusahaan induk (BKA)/BPPN; adanya
tuntutan hukum dari pihak ketiga kepada PT Kuningan Persada, adanya
pembatalan HGB Milik PT Bahana Sukma Sejahtera (BSS), dan klaim atas
tanah milik PT Bentala Mahaya; serta perubahan jumlah saham PT BSS yang
diserahkan kepada BKA.
Banyaknya penyimpangan yang dilakukan Usman Admadjaja dalam
PKPS MRNIA menyebabkan recovery rate yang diperoleh hanya 15,21%.
Artinya, dari kewajiban JKPS Rp 12,533 triliun, BPPN hanya memperoleh
Rp 1,906 triliun dari aset-aset dan saham-saham perusahaan yang diserahkan
Usman!
Secara umum, BPPN juga menilai aset yang diserahkan Usman lebih
rendah dibandingkan penilaian yang diakui olehnya. Karena itu, sebagai
jaminan atas pelunasan JKPS, BPPN mewajibkan Usman untuk
menyerahkan jaminan tambahan berupa personal guarantee (jaminan pribadi).
Karena berbagai penyelewengan di atas, BPPN akhirnya tidak
mengeluarkan SKL kepada Usman. Dengan demikian, seperti ditulis BPK
dalam laporannya, tidak ada pula kepastian hukum bagi Bank Danamon.
Namun, meskipun belum memperoleh SKL, kita juga tidak mengetahui
kelanjutan PKPS Usman, serta pertanggungjawabannya atas kerugian
negara yang mencapai Rp 10 triliun (recovery rate atas utang Rp 12,533 triliun
hanya 15,21%). Yang kita tahu, hanyalah bahwa Usman kini merupakan
salah satu orang yang masuk dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia,
dengan kekayaan US$ 85 juta.

70 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


Kaharudin Ongko (BUN)
Sesuai dengan perhitungan, JKPS BUN adalah Rp 13,998 triliun yang
ditanggung oleh Muhammad Hasan (Bob Hasan) dan Kaharudin Ongko
masing-masing Rp 6,159 triliun (44%) dan Rp 7,839 triliun (56%).
Belakangan, dilakukan koreksi pada JKPS Ongko menjadi Rp 8,348 triliun
pada tanggal 22 Desember 1999. Setelah melalui proses selama 4 tahun, Bob
Hasan akhirnya memperoleh SKL. Namun tidak demikian dengan Ongko.
Secara umum, BPPN menilai aset yang diserahkan Ongko lebih rendah
dibandingkan penilaian yang diakuinya. Sebagai jaminan atas pelunasan
JKPS, BPPN mewajibkan Ongko menyerahkan jaminan tambahan berupa
personal guarantee (jaminan pribadi). Terjadi perbedaan nilai aset yang
diserahkan oleh Ongko kepada BPPN. Menurut Ongko, nilai asetnya
mencapai Rp 5,276 triliun, sedangkan menurut BPPN nilainya hanya Rp
1,664 triliun. Perbedaan nilai aset ini sudah menunjukkan itikad Ongko.
Dalam rangka pelaksanaan kewajiban menurut PKPS MRNIA, Ongko
diwajibkan menyerahkan seluruh asetnya kepada suatu holding company
bernama PT Arya Mustika Mulia Abadi (PT AMMA). AMMA, pada
kenyataannya pun dijalankan Ongko karena ia yang memiliki 99% saham
perusahaan ini (sisa 1% nya dimiliki oleh Santosa Arief Gunawan
Sastradiputra).
Ironisnya, meskipun AMMA mengelola aset yang demikian besar
sebagai sumber dana yang harus dikembalikan kepada negara, BPPN justru
tidak mempunyai direksi/komisaris sebagai wakil di AMMA. BPPN juga
tidak menyusun Overall Asset Disposal Plan (OADP) sebagai perencanaan
penjualan aet-aset eks pemegang saham yang telah dialihkan ke BPPN.
Dalam praktiknya, AMMA malah membentuk perusahaan lain untuk
mengelola aset properti Ongko, yaitu PT Anugrah Cermin Mulia (ACM).
Dengan melepas wewenang pengelolaan dan penjualan aset kepada
Ongko sebagai mantan pemiliknya, maka kemungkinan terjadinya
penyelewengan sangat besar. Sehingga tidak mengherankan kalau hasil
penjualan aset Ongko hanya sebesar Rp 103,026 miliar. Dengan kewajiban
Rp 8,306 triliun sebagaimana tercantum dalam PKPS, maka recovery rate
MRNIA Ongko hanya 1,23%! Dengan utang lebih dari Rp 8 triliun dan
hanya membayar sekitar Rp 103 miliar, maka Ongko sesungguhnya bukan

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 71


hanya tidak pantas mendapat SKL, tetapi juga harus dituntut di pengadilan
dan menyerahkan aset-aset lain yang dimilikinya.
Sayangnya, pemerintah hingga saat ini tidak menindak tegas Tuan
Ongko yang masih dapat hidup nyaman menghirup udara bebas. Fakta
bahwa Ongko tidak memperoleh SKL dan merampok uang rakyat Rp 10
triliun, rupanya belum cukup bagi pemerintah dan aparatnya untuk
melakukan tindakan hukum secara tegas. Ongko pun kini berjaya sebagai
salah satu dari 150 orang terkaya di Indonesia (peringkat 117) dengan
kekayaan senilai US$ 85 juta.
Samadikun Hartono (Bank Modern)
Berdasarkan hasil LDD dan FDD yang dilakukan BPPN, Bank Modern
diduga melakukan pelanggaran hukum antara lain memberikan kredit
kepada pemilik dan grup afiliasinya, melanggar BMPK, dan melakukan
transaksi tidak wajar lainnya yang memberi manfaat sepihak kepada
pemiliknya, Samadikun Hartono.
PKPS Bank Modern melalui pola MRNIA ditandatangani pada tanggal
18 Desember 1998, dengan nilai JKPS Rp 2,664 triliun. Samadikun
kemudian menyerahkan aset yang menurut penilaiannya sendiri adalah
sebesar Rp 2,170 triliun, padahal menurut BPPN nilainya hanya sebesar Rp
972,01 miliar.
BPPN menilai aset yang diserahkan oleh Samadikun selaku pemegang
saham pengendali lebih rendah dibandingkan penilaian yang diakuinya,
sehingga, seperti juga pada PSP-PSP lainnya yang nilai asetnya kurang,
BPPN mewajibkan Samadikun menyerahkan jaminan tambahan berupa
personal guarantee (jaminan pribadi) sebagai jaminan atas pelunasan
kewajibannya.
Dalam rangka memenuhi kewajibannya, Samadikun menyerahkan
seluruh asetnya kepada suatu holding company bernama PT Cakrawala Gita
Persada (CGP) yang bertugas menampung dan melakukan penjualan aset
eks miliknya tersebut. Aset-aset tersebut selanjutnya dijaminkan oleh CGP
beserta seluruh saham CGP kepada BPPN. Berdasarkan PKPS MRNIA,
Samadikun menyerahkan 10 saham perusahaan yang dituangkan dalam
dokumen Deed of Transfer (DoT) No.31, dihadapan notaris pada tanggal 9 Juli
1999.

72 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


Dana yang berhasil diperoleh BPPN sehubungan dengan PKPS
MRNIA sampai tanggal 30 April 2004 hanya Rp 269,58 miliar, atau 10,12%
dari kewajiban JKPS Samadikun yang sebesar Rp 2,664 triliun. Outstanding
promissory notes atau sisa tagihan yang dipegang BPPN namun tidak tertagih
adalah sebesar Rp 2,52 triliun. Atas dasar itu, BPPN tidak menerbitkan SKL
kepada Samadikun. Meski demikian, setelah menggasak uang negara senilai
lebih dari Rp 2 triliun tersebut, Samadikun kini masih hidup bebas!
Ho Kiarto dan Ho Kianto (Bank Hokindo)
Berdasarkan hasil LDD dan FDD yang dilakukan BPPN, Bank
Hokindo diduga melakukan pelanggaran hukum antara lain dengan
memberikan kredit kepada PSP dan grupnya, melanggar BMPK, dan
melakukan transaksi tidak wajar lainnya yang memberi manfaat kepada PSP
Bank Hokindo, yaitu Ho Kiarto dan Ho Kianto. PKPS Bank Hokindo
ditempuh melalui pola MRNIA yang ditandatangani pada tanggal 23 April
1999, yang kemudian diamandemen pada tanggal 22 Februari 2000
(amandemen pertama) dan pada tanggal 4 Juli 2000 (amandemen kedua).
Nilai JKPS Bank Hokindo adalah Rp 297,571 miliar. Sedangkan JKPS Ho
Kiarto dan Ho Kianto sebagai PSP Bank Hokindo, menurut BPK adalah
sebesar Rp 306,466 miliar.
BPPN menilai aset yang diserahkan oleh Ho Kiarto dan Ho Kianto
lebih rendah dibandingkan penilaian menurut mereka. Sebagai jaminan atas
pelunasan JKPS, BPPN mewajibkan kedua PSP tersebut menyerahkan
jaminan tambahan berupa personal guarantee (jaminan pribadi).
Dalam rangka penyelesaian mekanisme PKPS Bank Hokindo, didirikan
holding company bernama PT Hoswaya Persada (HP) untuk menampung dan
mengelola saham yang dijaminkan dari Group companies dan asset companies,
serta menjualnya sesuai dengan divestiture schedule. BPPN tidak menunjuk
direktur atau komisaris pada perusahaan pengelola ini, dan juga tidak
menyusun Overall Asset Disposal Plan (OADP) sebagai perencanaan atas
penjualan aset-aset PSP yang telah dialihkan ke BPPN. Dicatat juga bahwa
BPPN tidak melakukan pengawasan atas pemenuhan covenant yang
dilakukan oleh PT HP, karena komunikasi antara BPPN dengan PT HP
tidak berjalan baik.
Dengan berbagai penyimpangan dan permasalahan di atas, maka dana
yang berhasil diperoleh BPPN sampai tanggal 30 April 2004 adalah sebesar

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 73


Rp 45,201 miliar, atau hanya 15,19% dari kewajiban JKPS yang bernilai Rp
297,571 miliar. Selanjutnya, outstanding promissory notes (PN) PT HP yang
dipegang BPPN senilai Rp 259,785 miliar, dijual dengan harga Rp 33,426
miliar (12,87%). Dengan penjualan sisa PN (hak tagih/piutang BPPN)

sebesar Rp 259,785 miliar tersebut, maka hak tagih BPPN atas sisa
piutangnya di PT HP telah beralih kepada pembeli PN tersebut.
Dengan demikian, BPPN tidak lagi memiliki hak tagih kepada PT HP
atau Ho Kiarto dan Ho Kianto selaku PS Bank Hokindo. BPPN pun
kemudian tidak mengeluarkan SKL kepada keduanya, sehingga tidak ada
kepastian hukum pula mengenai PKPS Bank Hokindo.
Uraian tentang status penyelesaian PKPS MRNIA di atas menunjukkan
betapa tidak kooperatifnya 5 orang PSP yang menjadi obligor keempat bank
tersebut, sehingga recovery rate yang diperoleh dari aset-aset yang mereka
serahkan sebagai pelunasan JKPS sangat rendah, yaitu hanya 9,75% (lihat
tabel berikut).

Tabel 4
Recovery Rate PKPS 4 Obligor MRNIA

No. Nama PSP JKPS (Rp Jt) Recv. (Rp Jt) Recv. Rate (%)
1. Usman Admadjaja 12.532.749 1.905.933 15,21%
2. Ho Kianto/Ho Kiarto 297.571 45.201 15,19%
3. Kaharudin Ongko 8.347.882 103.026 1,23%
4. Samadikun Hartono 2.663.873 269.585 10,12%
Total 23.842.075 2.323.745 9,75%

Dengan rendahnya recovery rate JKPS dan tidak keluarnya SKL bagi para
obligor, pemerintah memang telah melakukan langkah-langkah lanjutan,
seperti pengalihan kepada Tim Pemberesan BPPN, maupun upaya-upaya
hukum. Yang jelas, patut dicatat bahwa kerugian negara dari kelima obligor
ini lebih dari Rp 20 triliun. Namun dua dari 5 orang tersebut, seperti

74 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


diberitakan Majalah Globe Asia edisi 7 Agustus 2007, terpampang sebagai
orang terkaya nomor 116 dan 117 di Indonesia. Usman Admadjaya dan
Kaharudin Ongko masing-masing mencatatkan kekayaan sebesar US$ 85
juta. Lalu bagaimana dengan personal guarantee seperti disyaratkan oleh PKPS
MRNIA, Adakah rasa keadilan?
Dengan demikian, dapat kita nyatakan rakyat memang telah dipaksa
untuk ikut menanggung kerugian negara Rp 20 triliun tersebut, sebagai
akibat ulah konglomerat rampok, oknum-oknum pemerintah, oknum-
oknum BPPN, dan oknum-oknum lembaga peradilan.

Obligor PKPS APU yang Tidak Mendapat SKL


PKPS pola APU yang diikuti 24 bank dan 29 PS/obligor dengan total
JKPS sebesar Rp 18,331 triliun, berakhir tidak sesuai harapan. Sebagian
besar obligor tidak melunasi atau mencicil kewajibannya sesuai perjanjian.
Oleh karena itu, pemerintah melalui Sidang Kabinet 7 Maret 2002 dan
kebijakan KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) pada tanggal 22
Agustus 2002 mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mempercepat proses
penyelesaian PKPS APU. Hal itu dilakukan antara lain dengan menghitung
kembali JKPS (disebut dengan JKPS Reformulasi) dengan potongan bunga
dan denda Group loans sebelum diserahkan kepada BPPN dan bunga atas
JKPS setelah perjanjian APU. Namun atas kebijakan tersebut, tidak semua
penandatangan PKPS APU memberikan respon positif.
Sampai dengan berakhirnya tugas BPPN, status penyelesaian PKPS
APU dibagi ke dalam 5 jenis sebagai berikut:
1. PS telah melunasi JKPS sebelum ada kebijakan percepatan penyelesaian
PKPS APU/JKPS Reformulasi (Status A);
2. PS bersedia mengikuti kebijakan percepatan PKPS APU dan
selanjutnya menyelesaikan PKPS Reformulasi sesuai kesepakatan
(Status B);
3. PS bersedia mengikuti kebijakan percepatan PKPS APU tetapi tidak
menyelesaikan PKPS Reformulasi sesuai kesepakatan (Status C);

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 75


4. PS tidak bersedia mengikuti kebijakan percepatan PKPS APU sehingga
penanganan selanjutnya diserahkan kepada aparat penegak hukum
(Status D);
5. PS bersedia mengikuti kebijakan percepatan PKPS APU, tetapi sampai
dengan berakhirnya tugas BPPN belum menandatangani perjanjian
percepatan PKPS APU dan PS tersebut terkait pula dengan
restrukturisasi Grup Texmaco (Status E).

Tabel 5
Status Penyelesaian APU

No. Status APU Jumlah Bank Jumlah PS PKPS Awal PKPS Reform.
1. A 2 2 35.694 -
2. B 14 14 6.740.193 4.552.193
3. C 5 5 2.138.440 1.456.913
4. D 8 8 8.099.132
5. E 1 1 1.317.595
Jumlah 18.331.054 6.009.106

Dari tabel di atas dapat dirangkum hal-hal yang masih menggantung dan
bermasalah sebagai berikut:
· Ada 8 bank dengan 9 orang Pemegang Saham (PS) yang mengikuti
PKPS APU Reformulasi namun tidak menyelesaikan kewajibannya
sampai tanggal 30 April 2004. Kedelapan BDP tersebut kemudian
dialihkan kepada Tim Pemberesan BPPN (TP-BPPN);
· Ada 8 bank dengan 8 PS yang tidak mengikuti PKPS Reformulasi
dan tidak menyelesaikan kewajibannya, yaitu: Bank Metropolitan
(dengan PSP Santoso Sumali), Bank Intan (Fadel Muhammad),
Bank Namura (Baringin P dan Joseph J), Bank Bahari (Santoso
Sumali), Bank PSP (T. Gondokusumo), Bank Tata Internasional
(Hengki W), Bank Aken (IM Sudirta/IG Darmawan) dan Bank
Umum Sertivia (David Nusa Wijaya/Tarunodjojo).

76 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


· Ada satu bank yang tidak menandatangani perjanjian PKPS
Reformulasi dan kemudian kasusnya dialihkan ke Kepolisian yaitu
Bank Putra dengan M. Sinivasan sebagai PSP.
Pada tabel berikut diperlihatkan daftar bank dan obligor PKPS APU
yang tidak memperoleh SKL, berikut statusnya pada saat berakhirnya tugas
BPPN pada tanggal 30 April 2004.

Tabel 6
Daftar Peserta APU yang Tidak Memperoleh SKL

No. Bank PSP JKPS (Juta Rp) Status


1. Tamara Lidia Mukhtar 202.802 Dialihkan ke TP-BPPN
Omar Putihrai 190.169 Dialihkan ke TP-BPPN
2. Namura BaringinP/J Januardy 158.933 Dialihkan ke TP-BPPN
A.Januardy/James 205.143 Dialihkan ke TP-BPPN
3. BIRA Atang Latief 447.449 Dialihkan ke TP-BPPN
4.. PSP T Gondokusumo 3.031.112 Dialihkan ke TP-BPPN
5. Lautan Berlian Ulung Bursa 876.908 Dialihkan ke TP-BPPN
6. Tata Hengki Wijaya 461.991 Ditangani Kepolisian
7. Intan Fadel Muhammad 88.155 Ditangani Kepolisian
8. Aken IM Sudiarta/ IG Darmawan 680.891 Ditangani Kepolisian
9. Sertivia David Nusa Wijaya 3.336.444 Ke Pengadilan: Buron
10. Bahari Santoso Sumali 295.050 Ditangani Kepolisian
11. Metropolitan Santoso Sumali 46.556 Ditangani Kepolisian
12. Putra M.Sinivasan 1.317.595 Ditangani Kepolisian
Total 11,339,198
Sumber: diolah dari Laporan BPK No.34G/XII/11/2006

Daftar di atas memperlihatkan bahwa terdapat 16 orang PSP


(mencakup 1 BTO dan 11 BBKU) yang tidak memperoleh SKL, meskipun
BPPN telah mengelola bank-bank yang mereka miliki selama sekitar 4
tahun. Dengan status demikian, maka ada 7 bank yang dialihkan ke TB-
BPPN. Sedangkan, sisanya di proses di lembaga peradilan, dimana salah
satunya adalah David Nusa Wijaya, pengemplang Rp 3 triliun uang rakyat
yang saat ini buron!
Berikut disampaikan ringkasan status penyelesaian JKPS dan recovery rate
kewajiban ke-16 orang PSP.

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 77


Lidia Mukhtar & Omar Putihrai (Bank Tamara)
Berdasarkan LDD dan FDD yang dilakukan, Bank Tamara diduga telah
melanggar hukum dengan memberi kredit kepada grup sendiri, melanggar
BMPK, serta melakukan transaksi tidak wajar lain yang merugikan bank
tetapi menguntungkan grup. Lidia Mukhtar mempunyai kewajiban JKPS
Reformulasi senilai Rp 202,802 miliar, tetapi hanya membayar Rp 14,301
miliar, atau hanya memiliki recovery rate 7,05%. Sedangkan, Omar Putihrai
yang mempunyai kewajiban JKPS Reformulasi sebesar Rp 190,169 miliar,
hanya membayar Rp 31,683 miliar (recovery rate 16,66%). Sehingga total
kerugian negara dari kasus ini adalah sebesar Rp 233,362 miliar. Kedua PSP
dialihkan kepada TP-BPPN.
David Nusa Wijaya (Bank BUS)
BPPN menyimpulkan bahwa David Nusa Wijaya adalah Pemegang
saham non kooperatif meskipun telah menandatangani APU dengan
BPPN, dengan JKPS awal Rp 3,336 triliun dan turun menjadi Rp 2,305
triliun berdasarkan JKPS Reformulasi. Disamping itu, David juga
melakukan banyak pelanggaran, sehingga uang negara yang bisa ditagih
kembali darinya hanya sebesar Rp 27,892 miliar, atau memiliki recovery rate
hanya 0,84%!
BPPN menyerahkan penanganan tindakan hukum atas David Nusa
Wijaya kepada Kepolisian, melalui surat No PROG-4968/BPPN/0404
tanggal 6 April 2004.
Atang Latif (Bank Bira)
Kewajiban Bank Bira awalnya adalah Rp 447,449 miliar dan kemudian
turun menjadi Rp 325,457 miliar melalui JKPS Reformulasi. Sampai dengan
30 April 2004, jumlah dana yang dibayarkan Latif kepada BPPN adalah
sebesar Rp 134,754 miliar, atau recovery rate 41,4%. Selanjutnya, penyelesaian
PKPS Bank Bira diserahkan kepada TP-BPPN.
Trijono Gondokusumo (Bank Putra Surya Perkasa/PSP)
JKPS PSP menurut APU tanggal 6 Oktober 2000 adalah Rp 3,031
triliun. Padahal hasil perhitungan BPK menunjukkan bahwa kewajiban
tersebut seharusnya Rp 5,048 triliun. Dalam hal ini BPK menganggap
BPPN telah salah melakukan perhitungan sehingga menguntungkan

78 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


obligor. Belakangan, melalui JKPS Reformulasi, kewajiban tersebut turun
lagi menjadi Rp 1,767 triliun.
Yang mengenaskan, meskipun kewajiban tersebut telah berkurang, total
pembayaran yang diperoleh dari obligor hanya Rp 127,069 miliar! Dengan
demikian, recovery rate hanya 4,19% dan kerugian negara mencapai lebih
dari Rp 1,5 triliun.
PSP Bank PSP tidak dapat menyelesaikan kewajiban PKPS APU
dengan BPPN, dan dianggap sebagai PSP yang tidak kooperatif. BPPN
kemudian melimpahkan penanganan kasus Bank PSP kepada Kepolisian
melalui surat No. PROG-228/BPPN/0103 tanggal 16 Januari 2003.
Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian)
Ulung Bursa adalah Pemegang Saham Pengendali (PSP) Bank Berlian
dengan kepemilikan saham 92,06%. Jumlah kewajiban JKPS Bank Lautan
Berlian menurut APU tanggal 6 Oktober 2000 adalah Rp 876,908 miliar,
yang harus diselesaikan dalam waktu 4 tahun sejak 6 Oktober 2000. Selain
itu, PS diwajibkan menyerahkan jaminan minimal 150% dari jumlah
kewajibannya.
Namun, BPK menemukan bahwa kewajiban Ulung seharusnya adalah
Rp 950,491 miliar, atau lebih tinggi sekitar Rp 73 miliar dari penghitungan
BPPN. Akibat adanya kebijakan KKSK untuk mempercepat penyelesaian
PKPS, BPPN mengurangi kewajiban PS, seperti tertuang dalam JKPS
Reformulasi menjadi Rp 615,443 miliar. Namun, sampai berakhirnya masa
perjanjian 6 Oktober 2004, Ulung Bursa hanya membayar kewajibannya
sebesar Rp 159,952 miliar. Dengan demikian, recovery rate utang obligor
hanya 25,99%. Oleh sebab itu, Ulung Bursa tidak memperoleh SKL dan
kasusnya dialihkan ke TP-BPPN. Sekarang, pada kenyataannya Ulung
masih bebas, tanpa proses hukum dan tanpa upaya penyelesaian
berarti.
Hengki Wijaya (Bank Tata Internasional)
Hengki memiliki kepemilikan saham sebesar 66,67% di Bank Tata.
Jumlah kewajiban JKPS Bank Tata menurut APU tanggal 5 Oktober 2000
adalah Rp 461,991 miliar, yang harus diselesaikan dalam 4 tahun hingga 5
Oktober 2004. Selain itu Hengki juga diwajibkan menyerahkan jaminan
minimal 150% dari kewajibannya. Namun BPK menemukan bahwa

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 79


kewajiban Hengki seharusnya sebesar Rp 596,794 miliar, atau terjadi
kekurangan penghitungan (yang dilakukan BPPN bersama obligor) sebesar
Rp 134,803 miliar. Dengan JKPS Reformulasi, sesuai kebijakan KKSK
untuk mengurangi kewajiban PS, jumlah kewajiban tersebut diturunkan lagi
menjadi Rp 295,080 miliar.
Meskipun telah memperoleh pengurangan begitu besar, hingga
berakhirnya masa PKPS, Hengki hanya membayar Rp 14,607 miliar.
Dengan demikian, recovery rate terhadap kewajiban PS hanyalah 3,16%.
Hengki tidak memperoleh SKL dan selanjutnya diserahkan kepada
Kepolisian melalui surat No. PROG-4968/BPPN/0404 tanggal 6 April
2004, untuk proses lebih lanjut. Sama seperti Ulung, Hengki pun masih
hidup bebas tanpa proses hukum, tanpa kejelasan status, dan juga
tanpa upaya yang jelas untuk menyelesaikan kasusnya.
Fadel Muhammad (Bank Intan)
Bank Intan diserahkan kepada BPPN sebagai BDP sesuai keputusan
Direksi BI No.30/240/KEP/DIR tanggal 14 Februari 1998, dan kemudian
ditetapkan sebagai BBKU terhitung sejak 13 Maret 1999. Pemegang Saham
Pengendali Bank Intan adalah Fadel Muhammad yang memiliki saham
49,6%. JKPS Bank Intan menurut PKPS APU tanggal 9 Oktober 2000
adalah Rp 88,155 miliar. Namun BPK menemukan, sesuai perhitungan yang
dilakukannya, kewajiban tersebut seharusnya sebesar Rp 136,43 miliar.
Setelah 4 tahun PKPS berjalan, PS Bank Intan hanya membayar Rp
4,903 miliar, atau recovery rate hanya 5,56%. PS tidak berusaha menyelesaikan
kewajibannya sesuai PKPS. Dengan kondisi demikian, PS tidak mendapat
SKL, dan dianggap sebagai PS non kooperatif. Selanjutnya kasusnya
dilimpahkan kepada Kepolisian sesuai surat No. PROG-228/BPPN/0103
tanggal 16 Januari 2003.
I Made Sudirta dan I Gde Darmawan (Bank Aken)
PKPS Bank Aken dilakukan melalui penandatanganan APU oleh PSP
Bank Aken yaitu I Made Sudirta (24,4%), I Gde Darmawan (26,1%), serta
PT Kresna Karya (49,50%) pada tanggal 17 Oktober 2000. Total kewajiban
PKPS para PSP tersebut adalah sebesar Rp 736,35 miliar (versi BPPN) atau
Rp 680,891 miliar (perhitungan versi BPK). Terlepas dari perbedaan

80 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


perhitungan tersebut, kewajiban tersebut turun menjadi Rp 416,982 miliar
berdasarkan JKPS Reformulasi.
Meskipun telah mendapat pengurangan sebesar Rp 263,909 miliar,
setelah 4 tahun masa PKPS, para obligor hanya membayar kewajiban
tersebut sebesar Rp 33,455 miliar (recovery rate 4,91%). Kedua obligor (I
Made Sudirta dan I Gde Darmawan) akhirnya tidak mendapat SKL, dan
kasusnya dialihkan kepada Kepolisian melalui surat BPPN No. PROG-
4968/BPPN/0404 tanggal 6 April 2004.
Baringin P., Joseph P., A. Januardy, dan J. Januardy (Bank Namura)
Bank Namura diserahkan kepada BPPN dan ditetapkan sebagai BBKU
pada tanggal 13 Maret 1999. APU Bank Namura ditandatangani pada
tanggal 11 Oktober 2000 oleh Grup Maduna (dengan PSP Baringin P. dan
Joseph P.) dan pada 16 Oktober 2000 oleh Grup Yasonta (James J. dan
Adisaputra J.). JKPS Grup Maduna adalah sebesar Rp 158,933 miliar,
sedangkan JKPS Grup Yasonta adalah Rp 205,143 miliar. Padahal, menurut
perhitungan BPPN, jumlah kewajiban mereka seharusnya masing-masing
Rp 170,144 miliar (Maduna) dan Rp 228,236 miliar (Yasonta).
Selanjutnya, jumlah kewajiban tersebut berkurang karena adanya
pengurangan seperti tertuang dalam JKPS Reformulasi, yaitu Rp 107,631
miliar untuk Maduna dan Rp 123,042 miliar untuk Yasonta. Namun
demikian, pengembalian dana yang diperoleh BPPN dari kewajiban JKPS
Grup Maduna hanya Rp 6,573 miliar, atau recovery rate 4,14%. Sedangkan,
dari grup Yasonta sebesar Rp 35,439 miliar, atau recovery rate 28,80%. Dengan
kondisi demikian, keempat PS tidak memperoleh SKL dan kasusnya
diserahkan kepada TP-BPPN.
BPPN juga kemudian menyimpulkan bahwa Grup Maduna sebagai PS
Bank Namura tidak kooperatif, sehingga mengalihkan penyelesaian
kasusnya kepada Kepolisian melalui surat No. PROG-228/BPPN/0103
tertanggal 16 Januari 2003. Sedangkan, Grup Yasonta dianggap masih
kooperatif, sehingga proses selanjutnya diserahkan kepada TP-BPPN.
Santoso Sumali (Bank Bahari dan Bank Metropolitan Raya)
Bank Bahari diserahkan kepada BPPN pada tanggal 13 Maret 1999
sebagai BBKU. Pemegang Saham Pengendali (PSP) Bank Bahari adalah
Santoso Sumali sebagai wakil dari keluarga Sumali (mayoritas saham Bank

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 81


Bahari sendiri dimiliki oleh Sutianto Sumali dan Kurniadi Sumali). JKPS
APU Bank Bahari dinyatakan sebesar Rp 295,05 miliar, lalu kemudian turun
menjadi Rp 215,5 miliar berdasarkan kebijakan KKSK melalui JKPS
Reformulasi.
Namun, PSP Bank Bahari tidak bersedia mengikuti kebijakan yang
ditetapkan KKSK, sedangkan BPPN pun tidak sepakat dengan perhitungan
JKPS Reformulasi. Sikap PSP yang tidak kooperatif untuk membahas
kewajibannya, akhirnya membuat BPPN melimpahkan penanganan
penyelesaian kasus Santoso Sumali kepada Kepolisian sesuai surat No.
PROG-228/BPPN/0103 tanggal 16 Januari 2003. Diperhitungkan, dari
nilai kewajiban keluarga Sumali sebesar Rp 295,05 miliar, BPPN
hanya menerima pengembalian Rp 8,88 miliar, atau hanya memiliki
recovery rate 3,01%!
Selain pada Bank Bahari, keluarga Sumali juga tersangkut kasus BLBI
pada kasus Bank Metropolitan Raya (BMR). BMR diserahkan kepada BPPN
sebagai BDP, dan kemudian pada tanggal 13 Maret 1999 berubah status
menjadi BBKU. Keluarga Santoso Sumali merupakan pemegang saham
pengendali BMR dengan porsi sebesar 79%. 21% saham lainnya dimiliki
oleh keluarga Hundani Harsono. Sesuai PKPS APU BMR yang
ditandatangani pada tanggal 12 Oktober 2000, pelunasan kewajiban PSP
harus selesai pada tanggal 12 Oktober 2004, dimana PSP harus
menyerahkan jaminan minimal 150% dari JKPS.
Berdasarkan PKPS APU tersebut, JKPS BMR adalah sebesar Rp 46,556
miliar, sedangkan berdasarkan perhitungan BPK, kewajiban tersebut adalah
sebesar Rp 70,46 miliar. Meski demikian, kebijakan KKSK menetapkan
perhitungan ulang atas jumlah kewajiban BMR melalui JKPS Reformulasi
menjadi sebesar Rp 34,076 miliar.
Ternyata, lagi-lagi keluarga Sumali sebagai PSP BMR berlaku tidak
kooperatif, sehingga BPPN melimpahkan penanganan kasus BMR kepada
Kepolisian sesuai surat No. PRO-228/BPPN/0103 tertanggal 16 Januari
2003.
Jumlah uang negara yang kembali dari kasus ini sangat kecil, dimana dari
nilai kewajiban sebesar Rp 46,556 miliar, BPPN hanya menerima Rp 368
juta, atau hanya memperoleh recovery rate sebesar 0,79%!

82 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa/BPM)
Bank Putra Multikarsa (BPM) diserahkan kepada BPPN sebagai BDP,
yang selanjutnya kemudian berubah menjadi BBKU pada tanggal 10
Desember 1999. Marimutu Sinivasan (MS) merupakan PSP BPM, dengan
kepemilikan saham 0,12% secara pribadi dan 88,10% melalui PT Multikarsa
Investama. Berdasarkan APU yang ditandatangani pada tanggal 30 Oktober
2000, PSP harus menyelesaikan pelunasan kewajiban selesai pada tanggal 30
Oktober 2004 ditambah dengan kewajiban menyerahkan jaminan minimal
150% dari JKPS.
Nilai JKPS BPM versi BPPN adalah Rp 1,317 triliun. Sedangkan, hasil
pemeriksaan BPK, nilai JKPS seharusnya mencapai Rp 1,336 triliun
(sehingga terdapat selisih penghitungan sebesar Rp 38,635 miliar). Dalam
rangka percepatan pengembalian uang negara dan penyelesaian masalah
PKPS, KKSK menetapkan kebijakan pengurangan komponen denda dan
bunga, sehingga diperoleh nilai JKPS Reformulasi Rp 1,13 triliun.
Ternyata, sampai batas waktu perjanjian 30 April 2004, PSP tidak dapat
memenuhi kewajibannya sesuai kesepakatan APU. Sehingga, selanjutnya
BPPN menyerahkan penyelesaian kasus BPM kepada TP-BPPN. Dana
yang diperoleh dari pelaksanaan PKPS BPM adalah Rp 249,337
miliar, atau hanya memiliki recovery rate sebesar 18,92%.
Sebagai rangkuman terhadap PSP 12 Bank yang menandatangani PKPS
APU dengan BPPN, diperoleh hal-hal sebagai berikut:
· Terdapat 8 bank dengan 10 orang PSP yang dialihkan kasusnya
kepada Kepolisian, yaitu Bank Sertivia (David Nusa Wijaya), Bank
PSP (T. Gondokusumo), Bank Tata Internasional (Hengki Wijaya),
Bank Intan (Fadel Muhammad), Bank Aken (I.M. Sudarta & I.G.
Darmaputra), Bank Namura (Baringin P. dan Joseph P.), Bank
Bahari (Santoso Sumali), dan Bank Metropolitan (Santoso Sumali).
· Terdapat 4 bank yang diserahkan kepada Tim Pemberesan BPPN,
yaitu Bank Tamara (Lidia Mukhtar dan Omar Putihrai), Bank Bira
(Atang Latif), Bank Lautan Berlian (Ulung Bursa), dan Bank Putra
Multikarsa (Marimutu Sinivasan).
Selanjutnya, akan dibahas proses pengadilan terhadap kedelapan bank
tersebut setelah dialihkan kepada Kepolisian.

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 83


Obligor dan Proses Hukum yang Bermasalah
Seperti telah diuraikan di atas, ada sejumlah bank yang berdasarkan
laporan FDD dan LDD terindikasi melakukan pelanggaran hukum, namun
tidak kooperatif untuk menjalani mekanisme PKPS. Sehingga, sampai
berakhirnya tugas BPPN, bank-bank tersebut tidak juga memperoleh SKL,
dan bahkan sampai saat ini pun, mereka belum juga menyelesaikan
kewajibannya.
Sebagai rangkuman atas proses penyelesaian kewajiban obligor BLBI
(PKPS dan non-PKPS) di atas, kita dapat menyusun daftar seluruh bank dan
para PSP yang masih bermasalah dan belum memperoleh SKL pada saat
dibubarkannya BPPN pada tanggal 30 April 2004 sebagai berikut:

Tabel 7
Daftar Peserta MRNIA yang Berm asalah

No. Bank PSP JKPS (Juta Rp) Status


1. Danamon Ind. Usman Admadjaja 12.532.749 Tidak Ada Kepastian
2. Hokindo Ho Kianto/Ho Kiarto 297.571 Dialihkan ke TP-BPPN
3. BUN Kaharudin Ongko 8.347.882 Proses Pengadilan: Bebas
4. Modern Samadikun Hartono 2.663.873 Proses Pengadilan: Buron
Total 23.842.075
Sumber: Laporan BPK RI No.34G/XII/11/2006

Tabel 8
Daftar Peserta APU yang Dialihkan Kasusnya ke TP -BPPN

No. Bank PSP JKPS (Juta Rp) Status


1. Tamara Lidia Mukhtar 202.802 Dialihkan ke TP-BPPN
Omar Putihrai 190.169 Dialihkan ke TP-BPPN
2. Namura Baringin P. / Joseph P. A. 158.933 Dialihkan ke TP-BPPN
Januardy/James Januardy 205.143 Dialihkan ke TP-BPPN
3. BIRA Atang Latief 447.449 Dialihkan ke TP-BPPN
4. PSP T. Gondokusumo 3.031.112 Dialihkan ke TP-BPPN
5. Lautan Berlian Ulung Bursa 876.908 Dialihkan ke TP-BPPN
Total 5,112,516
Sumber: Laporan BPK RI No.34G/XII/11/2006

84 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


Tabel 9
Daftar Peserta APU yang Diserahkan ke Kepolisian dan Pengadilan

No. Bank PSP JKPS (Juta Rp) Status


1. Tata Hengki Wijaya 461.991 Ditangani Kepolisian
2. Intan Fadel Muhammad 88.155 Ditangani Kepolisian
3. Aken IM Sudiarta/ IG Darmawan 680.891 Ditangani Kepolisian
4. Sertivia David Nusa Wijaya 3.336.444 Ke Pengadilan: Buron,
ditangkap kembali
5. Bahari Santoso Sumali 295.050 Ditangani Kepolisian
6. Metropolitan Santoso Sumali 46.556 Ditangani Kepolisian
7. Putra M. Sinivasan 1.317.595 Ditangani Kepolisian
Total 6,226,682
Sumber: Laporan BPK No.34G/XII/11/2006, diolah

Tabel 10
Daftar Obligor Non PKPS yang Bermasalah

No. Bank/Status PSP Status


1. Istimarat/BBKU Agus Anwar Buron, lari ke Singapura
2. Deka/BBO 1. Dewanto K Perdata: Tunggu Putusan MA
2. Royanto K Pidana: Penyelidikan Kejagung
3. Leo Lopullisa
4. Rasjim Wiraatmaja
3. Centris//BBO Andri/Tedjadharma/ Perdata: Tunggu Putusan MA
Prasetyo Utomo/Paul B Silalahi Pidana: Penyelidikan Kejagung
4. Aspac/BBKU Setiawan Harjono Penyidikan Kejagung
Hendrawan Harjono
5. BCD/BBKU Hindarto Tantular & Anton Penyelidikan Kejagung
Tantular
6. Dewa Rutji/BBKU Sjamsul Nursalim Penyelidikan Kejagung
7. Arya Pandrta BBKU Kaharudin Ongko Penyelidikan Kejagung
8. Dharmala BBKU Sujanto Gondokusumo Penyelidikan Kejagung
9. Orient/BBKU Kwan Benny Ahadi Penyelidikan Kejagung

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 85


Tabel 11
Daftar Obligor Bermasalah Lainnya

No. Bank PSP Status


1. BHS Hendra Raharja Vonis seumur hidup; buron &
meninggal di Australia
2. BHS Eko Adi Putranto Vonis seumur hidup; buron
Shemy Konjongian Vonis seumur hidup; buron
3. BUN Leonard Tanubrata Pengadilan Tinggi
4. Central Dagang Indarto H Tantular Proses Pengadilan

Daftar para obligor dari tabel 7 sampai 11 di atas memperlihatkan,


sedikitnya ada 8 obligor yang proses penyelesaiannya dialihkan kepada TP-
BPPN. Selain itu, minimal ada 30 obligor yang diserahkan kepada
Kepolisian/Kejaksaan untuk penuntasan aspek hukumnya. Disamping
obligor-obligor tersebut, terdapat pula puluhan tersangka lain yang terlibat
kasus korupsi BLBI.
Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), sejak kasus
BLBI ditangani oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2000, dari 65 orang
tersangka yang telah dilakukan pemeriksaan, hingga saat ini baru 16 orang
tersangka yang kasusnya dilimpahkan ke pengadilan. Dari 16 terdakwa
tersebut, 3 terdakwa dinyatakan bebas, 2 terdakwa divonis penjara masing-
masing 4 tahun dan 8 tahun. Selebihnya, sebanyak 5 orang, meskipun
divonis seumur hidup dan 5 tahun penjara namun putusannya dijatuhkan
tanpa kehadiran para terdakwa (in absentia), karena yang bersangkutan telah
melarikan diri.
Sehingga, sangat disayangkan terdapat 8 orang terdakwa yang melarikan
diri (diberi kesempatan melarikan diri?) keluar negeri ketika proses
hukumnya sedang berlangsung, yaitu:
· Hendra Raharja (BHS): lari ke Australia dan meninggal;
· Bambang Sutrisno (Bank Surya): lari ke Singapura;
· Eko Adi Putranto (BHS): lari ke Singapura;
· Andrian Kiki Ariawan (Bank Surya): lari ke Singapura;

86 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


· Shemy Konjongian (BHS): lari ke luar negeri (tidak jelas);
· David Nusa Wijaya (Rp 3,3 triliun, Bank Sertivia): lari ke Singapura,
ditangkap kembali;
· Samadikun Hartono (Rp 169 miliar, Bank Modern): lari ke luar
negeri (tidak jelas);
· Agus Anwar (Rp 1,9 triliun, Bank Pelita): lari ke Singapura.

Tabel 12
Pengadilan atas 16 Orang Tersangka BLBI

Vonis Pengadilan Jumlah (Orang)


1. Seumur hidup (in absentia) 3
2. 20 tahun penjara (in absentia) 2
3. 8 tahun 1
4. 4 tahun 1
5. Dibawah 1 tahun 6
6. Bebas 3
Total 16

Dengan mengevaluasi proses peradilan para obligor/koruptor BLBI


yang sudah berlangsung lebih dari 6 tahun (sejak tahun 2000), berdasarkan
catatan ICW, dapat dirangkum hal-hal sebagai berikut:
· Aparat hukum, terutama Kejaksaan Agung ditengarai tidak serius
menyelesaikan perkara korupsi BLBI. Hal ini terbukti dengan
rendahnya jumlah dan lambatnya penyelesaian perkara yang
ditangani. Mantan Jaksa Agung A. Rahman Saleh tidak
menunjukkan langkah konkret untuk menyelesaikan puluhan kasus
korupsi ini. Sementara itu, Jampidsus Hendarman Supandji pernah
berencana mengevaluasi sekitar 30 kasus BLBI, meskipun hingga
akhir 2005 belum ada satu pun kasus yang dilimpahkan ke
pengadilan. Kini, setelah menjadi Jaksa Agung, Hendarman
Supandji menyatakan keseriusannya untuk kembali mengusut
kasus BLBI, salah satunya dengan menyiapkan 75 orang jaksa.
Realisasi dari komitmen Jaksa Agung ini masih perlu kita tunggu
dengan cermat.
Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 87
· Aparat hukum selama ini, terutama Kejaksaan Agung, tidak
bersikap transparan dalam menyampaikan informasi tentang status
penanganan perkara korupsi BLBI. Keterangan rinci tentang
penanganan kasus BLBI hanya diberikan pada tanggal 6 Desember
2001, saat pertemuan dengan Komisi II DPR RI. Setelah itu,
seiring dengan terjadinya pergantian pemerintahan dan Jaksa
Agung, laporan terinci tidak pernah lagi diberikan. Bahkan
dicurigai, Kejaksaan Agung telah mengeluarkan beberapa SP3
kepada debitur secara sembunyi-sembunyi dan sengaja menutup-
nutupinya dari pengetahuan publik. Apakah karena adanya KKN
dan mafia peradilan?
· Keputusan pengadilan dicurigai penuh rekayasa dan tidak adil.
Dalam beberapa perkara, vonis hakim cukup tinggi seperti
hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara. Namun putusan itu
ditetapkan secara in absentia, dimana para tersangkanya diberi
kesempatan berobat ke luar negeri, tetapi kemudian tidak pernah
kembali ke Indonesia. Di sisi lain, ada pula beberapa keputusan
yang sangat ringan hingga vonis bebas, meskipun para tersangka
mengkorupsi uang negara ratusan miliar. Cukup banyak pula
terdakwa yang telah melarikan diri saat vonis hakim dijatuhkan.
Apakah ini terjadi secara kebetulan?
· Adanya indikasi judicial corruption dalam setiap tahap peradilan.
Dengan tidak tranparannya penyelesaian perkara BLBI, membuka
peluang bagi terjadinya korupsi dalam penanganan perkara, mulai
dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga putusan.
Tiga tersangka BLBI seperti Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian),
James Januardi (Bank Namura-Yasonta) dan Atang Latif (Bank
Bira) mengakui pernah diperas oleh oknum kejaksaan saat
menjalani proses penyelidikan/penyidikan. Dengan sikap oknum
aparat seperti ini, maka tidak mengherankan jika vonis bagi para
koruptor ratusan miliar rupiah uang negara menjadi sangat ringan,
seperti terlihat pada data sebagai berikut:
1. Hendri Sunaryo dan Jemy Sutjiwan, korupsi Rp 280 miliar,
divonis hanya dengan 10 bulan penjara;

88 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


2. Soemeri dan Supari Dhirjo Prawiro, diduga merugikan negara
Rp 305 miliar dalam kasus Bank Ficorinvest, hanya divonis 18
bulan penjara;
3. Setiawan Hartono, diduga menyelewengkan dana BLBI Bank
Aspac Rp 583 miliar, hanya dituntut 6 bulan penjara oleh Jaksa
Penuntut Umum;
4. Samadikun Hartono yang didakwa melakukan korupsi dana
BLBI Bank Modern Rp 169 miliar divonis bebas oleh PN
Jakarta Barat. Putusan ini belakangan dibatalkan ditingkat
kasasi setelah MA menyatakan Samadikun bersalah dan
divonis 4 tahun penjara. Namun karena terpidana telah (diberi
kesempatan?) melarikan diri, putusan MA tersebut tidak dapat
dieksekusi.
· Kejaksaan membutuhkan waktu yang lama untuk mengambil
keputusan hukum tetap dan dapat dieksekusi. Meskipun asas
proses peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana dan murah,
namun dalam prakteknya hal tersebut berlangsung lama, rumit dan
mahal. Hampir seluruh perkara korupsi BLBI membutuhkan
waktu lebih dari satu tahun. Perkara Hendrawan Hartono,
terpidana kasus Bank Aspac misalnya, membutuhkan waktu 4
tahun untuk sampai kepada putusan yang berkekuatan hukum
tetap. Sehingga, dari 16 kasus yang telah dilimpahkan, baru 5 kasus
yang telah divonis pada tingkat kasasi dan berkekuatan hukum
tetap. Sisanya, 11 perkara masih dalam proses dengan status yang
tidak jelas. Waktu yang lama ini jelas memberi kesempatan kepada
terdakwa untuk melarikan diri.
Problem utama penyelesaian kasus BLBI sebenarnya terletak pada
sejauh mana keseriusan pemerintah menyeret semua pihak yang terkait
penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI. Hasil audit BPK bisa dijadikan
petunjuk awal untuk melakukan penyidikan. Namun hingga kini tidak
terlihat komitmen yang kuat dari pemerintah untuk mengadili para
pengemplang uang negara tesebut. Banyak diantara mereka yang kini
melarikan diri keluar negeri, bahkan tidak sedikit pula yang dengan mudah
tetap dapat mengendalikan kegiatan bisnisnya, hingga kembali berjaya
sebagai konglomerat di tanah air.

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 89


Sementara, di sisi lain, rakyat terus bertambah miskin karena harus
menanggung beban utang debitur tersebut. Anehnya, pemerintah masih saja
mendahulukan penuntasan kasus ini secara perdata daripada secara
pidana meskipun penyelesaian secara perdata hingga kini tidak
membuahkan hasil yang maksimal. Laporan audit BPK pun sudah jelas
menunjukkan terjadinya penyimpangan yang mereka lakukan sehingga
terdapat sangkaan tindak pidana.

Peradilan terhadap Pejabat-pejabat BI


Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2000
mengindikasikan bahwa penyimpangan dalam penyaluran BLBI tidak hanya
disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu krisis moneter dan korupsi yang
dilakukan para konglomerat, namun juga tidak terlepas dari berbagai
penyimpangan dan lemahnya sistem pembinaan dan pengawasan bank oleh
BI. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan BI antara lain adalah:
· Mengabaikan fungsi pengawasan;
· Mengabaikan penerapan sanksi secara tegas dan konsekuen
terhadap berbagai pelanggaran;
· Mengabaikan langkah-langkah pengamanan terhadap
penyimpangan yang dilakukan oleh bank-bank yang melanggar
BMPK, melanggar prinsip prudential banking, membiarkan
pelanggaran mutasi akuntansi, membiarkan penggunaan dana
BLBI tanpa kendali, melakukan diskriminasi penyaluran BLBI,
melakukan intervensi valas melalui bank-bank yang rekening
gironya telah bersaldo debet, mengabaikan pelaksanaan program
penjaminan yang telah ditetapkan dalam Keppres No.26 tahun
1998, dan membiarkan bank-bank menyelesaikan kewajiban jatuh
tempo melalui mekanisme kliring.
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan BPK tersebut, Kejaksaan
Agung pada masa kepemimpinan Marzuki Darusman telah memeriksa 80
orang pejabat BI, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun,
termasuk mantan Gubernur BI Soedrajad Djiwandono. Namun, dari 80
orang pejabat yang diperiksa hanya 3 orang yang perkaranya dilimpahkan ke

90 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


pengadilan, yaitu Hendro Budiyanto, Heru Supraptomo dan Paul Sutopo
(ketiganya adalah mantan direksi BI).
Terhadap ketiga mantan direksi tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat menjatuhkan vonis masing-masing berupa 3 tahun penjara kepada
Hendro Budiyanto dan Heru Supraptomo, serta vonis 2 tahun 6 bulan
kepada Paul Sutopo. Selain itu, masing-masing juga dikenakan denda sebesar
Rp 20 juta. Ketiganya divonis atas dakwaan penyalahgunaan wewenang
karena tidak melaksanakan stop kliring sehingga merugikan negara dalam
penyaluran BLBI. Akibat kesalahan ini, untuk perkara Hendro Budiyanto,
negara ditaksir menderita kerugian Rp 9,793 triliun. Adapun untuk perkara
Heru Supraptomo dan Paul Sutopo, kerugian negara yang ditimbulkan
masing-masing Rp 6,36 triliun dan Rp 2,02 triliun.
Dalam tingkat banding, ketiganya dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi
Jakarta dengan alasan bahwa perbuatan mereka tidak dapat dihukum karena
tidak tergolong perbuatan pidana. Tetapi pada tingkat kasasi, Mahkamah
Agung akhirnya menghukum mereka dengan penjara 1 tahun 6 bulan serta
denda sebesar Rp 200 juta.
Berdasarkan uraian di atas, kita melihat bahwa dari 80 orang pejabat BI
yang telah diperiksa Jaksa Agung Marzuki Darusman pada masa tugasnya,
ternyata tidak ada kabar lebih lanjut tentang bagaimana hasil pemeriksaan
tersebut hingga saat ini, baik status maupun rencana tindak lanjut atas
pemeriksaan pejabat-pejabat BI tersebut. Meskipun BPK sudah demikian
gamblang menyampaikan berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh
para pejabat BI tersebut, tidak ada tindak lanjut signifikan yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga terkait, termasuk institusi peradilan, legislatif, dan
terutama pemerintah/Presiden. Sehingga, seolah-olah hasil audit BPK
sebagai lembaga tinggi negara tidak dipandang berarti.
Apakah hal ini terkait dengan temuan terbaru BPK tentang adanya
aliran dana BI kepada sejumlah kalangan, termasuk DPR dan aparat
penegak hukum, yang digelontorkan khususnya dalam rangka membela
pejabat-pejabat BI yang terlibat kasus hukum BLBI? Menarik untuk
ditunggu, meskipun kita masih berharap-harap cemas agar kasus ini tidak
lantas menguap sebagaimana halnya terjadi pada banyak kasus korupsi lain!
Untuk itu kita mendesak pemerintah agar bekerja lebih serius dan tidak
pandang bulu dalam mengungkap pihak-pihak yang terlibat dalam kasus

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 91


mega korupsi ini secara tuntas, termasuk menyeret oknum-oknum pejabat
BI yang terlibat. Mengingat skala kerugiannya yang sangat besar, rasanya
memang sudah selayaknya jika pemerintah mengerahkan segala upaya untuk
menuntaskan pengusutan kasus ini, dan bukan hanya memfokuskan diri
pada kasus-kasus korupsi kelas teri yang dilakukan para mantan bupati,
walikota, rektor, atau dosen!

Delapan Obligor Bermasalah Hingga Saat ini: Oktober


2007
Sampai buku ini ditulis, kita mencatat masih ada 8 obligor yang belum
menyelesaikan kewajibannya karena berbagai hal (lihat tabel dibawah).

Tabel 13
Obligor yang Belum Menyelesaikan Kewajibannya

Kewajiban Awal Kewajiban Reformulasi


No. Nama Bank
(miliar Rp) (miliar Rp)
1. M.Sinivasan BPM 1.317,59 1.130,60
2. Ulung Bursa Lautan Berlian 876,91 615,44
3. Agus Anwar Pelita & Istmrt 577,81 577,81
4. Atang Latief BIRA 447,45 325,45
5. Adi Saputra J. Namura Intr. 102,57 61,52
6. Lidya Muchtar Tamara 308,05 202,08
7. Omar Putihrai Tamara 300,88 190,17
8. James Januardi Namura Intr. 102,57 61,52
Total 4.033,83 3.164,59

PKPS APU antara kedelapan obligor tersebut dengan BPPN sebagian


besar ditandatangani pada tahun 2000, yaitu masing-masing BPM pada 30
Oktober, Bank Lautan Berlian pada 6 Oktober, Bank Bira pada 12 Oktober,
Bank Namura pada 11 Oktober, dan Bank Tamara pada 15 November.
Sedangkan, APU Bank Pelita ditandatangani pada 21 November 2003.
Seperti terlihat pada tabel, total JKPS bank-bank tersebut sesuai APU awal

92 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


(berdasarkan perhitungan BPK) adalah Rp 4,0338 triliun. Setelah dilakukan
reformulasi, total JKPS bank-bank tersebut kemudian turun menjadi Rp
3,164 triliun.
Reformulasi JKPS dilakukan setelah para obligor gagal melunasi JKPS
mereka hingga batas waktu yang ditentukan, yaitu Maret 2004. Melalui
reformulasi, pemerintah/ KKSK memberikan keringanan kepada obligor
berupa penurunan jumlah kewajiban mereka dalam APU. APU Reformulasi
ditandatangani oleh para obligor masing-masing pada tanggal 30 Juni 2003
(Bank Tamara, Bank Lautan Berlian, dan Bank Bira), 22 Agustus 2002
(BPM), dan 16 Juli 2003 (Bank Namura). Bank Pelita/Istimarat tidak
diberikan pengurangan utang melalui JKPS Reformulasi, karena Agus
Anwar selaku PSP sudah melarikan diri ke Singapura.
Dalam perkembangannya, total nilai JKPS kedelapan obligor menurut
BPK telah berubah menjadi Rp 2,297 triliun. Sedangkan, menurut
perhitungan Depkeu, total JKPS para obligor adalah Rp 2,541 triliun.
Dengan demikian, terjadi perbedaan perhitungan sekitar Rp 243 miliar. Atas
adanya perbedaan tersebut, pemerintah telah mengajukan permintaan
pertimbangan kepada DPR. Namun, penulis tidak menemukan informasi
lebih lanjut tentang skenario dan nilai JKPS mana yang akhirnya dipilih.
Selanjutnya, disamping memperoleh penurunan utang melalui JKPS
Reformulasi, para obligor juga memperoleh tambahan waktu untuk
melunasi utangnya hingga Maret 2006. Disamping itu, para obligor juga
diberi kelonggaran untuk menyelesaikan JKPS melalui kombinasi
pembayaran tunai dan penyerahan aset yang dilakukan secara mencicil. Jika
sampai jatuh tempo Maret 2006 para obligor gagal bayar (default), maka
perjanjian utang dikembalikan ke APU Awal. Ini berarti, para obligor harus
membayar utang pokok sesuai jumlah awal ditambah dengan denda dan
klaim sehingga total yang harus dibayar akan jauh lebih tinggi dibanding
JKPS Reformulasi yang ditandatangani tahun 2003.
Ternyata hingga Maret 2006 para obligor tersebut lagi-lagi gagal
memenuhi kewajibannya. Bahkan pemerintah kemudian memberikan
perpanjangan waktu hingga dua kali, yang juga tidak dapat dipenuhi oleh
para obligor. Akhirnya, pemerintah menganggap para obligor tersebut
sudah dalam posisi default. Dengan demikian, perhitungan kewajiban yang
harus dibayar oleh para obligor adalah utang pokok ditambah dengan denda

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 93


dan bunga. Dalam hal ini, pemerintah menetapkan total utang mereka
menjadi Rp 9,36 triliun.
Permasalahan muncul ketika para obligor menolak dasar perhitungan
pemerintah yang menambahkan beban bunga dan denda sebagai kewajiban.
Mereka beralasan bahwa dalam tiga tahun terakhir mereka telah mencicil
pembayaran utang mereka (meskipun jumlah yang dicicil tersebut sangat
kecil). Para obligor kemudian mengklaim bahwa JKPS yang harus mereka
bayar hanya sebesar Rp 2,216 triliun.
Ditengah ketidaksepakatan ini, BPK justru ikut menyampaikan
pendapat bahwa jumlah kewajiban para obligor adalah sebesar Rp 2,297
triliun. BPK beralasan, beberapa obligor telah menyerahkan beberapa aset
namun belum dihitung sebagai bagian dari pembayaran. Disamping itu, ada
permasalahan administrasi yang belum tuntas menyangkut dokumen asli
yang masih tersimpan di notaris. Dengan demikian terjadi perbedaan
perhitungan sekitar Rp 243 miliar.
Dengan adanya perbedaan sikap ini, maka kita menemukan ada 3 versi
perhitungan kewajiban para obligor, yaitu versi-versi pemerintah, obligor
dan BPK. Perbandingan kewajiban tersebut seperti terlihat pada tabel di
bawah ini.

Tabel 14
Beberapa Versi Perhitungan JKPS

Versi Depkeu (Jt Rp) Versi BPK Versi Obligor


JKPS
APU Awal APU Reformulasi (Jt Rp) (Jt Rp)
Total JKPS 2.540.900 9.386.719 2.297.235 2.216.743

Atas kesimpangsiuran dan ketidakpastian penyelesaian pembayaran


JKPS tersebut, pada bulan Februari 2007, Menkeu Sri Mulyani kembali
menyatakan pemerintah telah menyiapkan 3 skenario penyelesaian tagihan
piutang kepada kedelapan obligor BLBI, yaitu:
· Pertama, obligor dinyatakan default atau gagal bayar dengan nilai
JKPS sesuai APU awal, yang terdiri dari pokok, bunga dan denda;

94 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


· Kedua, obligor dinyatakan gagal bayar tetapi diberi keringanan
bunga dan denda. Namun jumlah utang yang harus dibayar sama
nilainya dengan total utang pokok berdasarkan APU awal;
· Ketiga, obligor dianggap tidak default namun harus membayar
jumlah utang berdasarkan APU Reformulasi.
Terhadap skenario pertama, obligor menyatakan keberatan dan tidak
mampu menyelesaikan utang-utangnya. Sedangkan, untuk skenario ketiga,
Menkeu menyebutkan hal itu sesuai dengan pendapat BPK. Dijelaskan
bahwa alternatif ketiga dapat mempercepat penyelesaian utang obligor
karena mereka mengakui dan menyanggupi penyelesaian utang berdasarkan
perhitungan tersebut. Atas adanya perbedaan tersebut, pemerintah telah
mengajukan permintaan pertimbangan kepada DPR. Namun juga tidak
diperoleh informasi lebih lanjut tentang skenario dan nilai JKPS mana yang
akan dipilih.
Uraian di atas menjelaskan kepada kita bagaimana pemerintah,
meskipun telah berganti beberapa kali, tidak serius dan tidak mampu/mau
menyelesaikan permasalahan korupsi BLBI kedelapan obligor tersebut.
Kita mencatat telah terjadi kelalaian dan ketidakterbukaan dalam mencari
dan menghitung aset-aset para obligor yang semestinya dikuasai negara. Ko-
ordinasi antar lembaga pemerintah juga lemah untuk menuntaskan kasus ini.
Pemerintah sangat lemah menegakkan ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian mengingat setiap kali para obligor melanggar kesepakatan,
pemerintah selalu memberi kesempatan untuk dilakukannya renegosiasi
perjanjian. Puncaknya adalah dilayaninya penolakan para obligor untuk
membayar bunga dan denda, padahal ketentuan tersebut telah tercantum
dalam PKPS.
PKPS telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu
pemerintah/BPPN dan obligor, sejak tahun 2000. APU tersebut
selanjutnya diubah beberapa kali pada tahun 2003, 2006 dan 2007, dalam
rangka mengakomodasi berbagai kepentingan, termasuk kepentingan para
obligor. Meskipun, APU dan APU Reformulasi tetap memuat ketentuan-
ketentuan sanksi jika terjadi default.
Atas dasar itu, layak dipertanyakan mengapa pemerintah, baik di masa
Habibie, Gus Dur, Megawati hingga masa SBY saat ini tidak serius dan tegas
terhadap para obligor. Apakah telah terjadi KKN oleh sejumlah oknum

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 95


pada berbagai masa pemerintahan tersebut, sebagaimana pemerintah Orde
Baru melakukannya saat memulai skandal BLBI?

Penutup
Kita telah mencatat bahwa lembaga-lembaga peradilan dan lembaga-
lembaga negara telah menghasilkan keputusan yang sebagian besar jauh dari
prinsip-prinsip hukum dan keadilan, sehingga merugikan keuangan negara
hingga ratusan triliun rupiah. Sebagian besar koruptor, yang telah
menghisap uang rakyat tersebut, dibiarkan bebas berkeliaran, lari ke luar
negeri dengan hasil korupsinya, dan kembali menguasai aset-asetnya yang
dahulu dinyatakan bangkrut (sebagian mereka bahkan juga kini masuk
dalam daftar orang-orang terkaya di Indonesia).
Hukuman pengadilan memang sempat dijatuhkan pada beberapa
obligor, namun jumlahnya tidak banyak dan vonisnya pun tidak setimpal
dengan kejahatan dan kerugian negara yang ditimbulkannya. Kalaupun ada
yang divonis berat seperti penjara seumur hidup atau puluhan tahun,
umumnya mereka telah lebih dulu “melarikan diri” atau “diberi kesempatan
berobat ke luar negeri”, sehingga tidak pernah kembali ke Indonesia. Ini
adalah sebagian kenyataan dari carut-marutnya penanganan skandal BLBI
oleh lembaga peradilan Indonesia yang korup.
Carut-marut hukum penanganan skandal BLBI semakin lengkap ketika
Presiden sebagai kepala negara, didukung oleh para menteri kabinet terkait,
mengeluarkan Inpres No.8/2002 tentang release and discharge. Dengan Inpres
ini, para tersangka tindak pidana korupsi BLBI dinyatakan bebas dari segala
bentuk tuntutan/gugatan pidana atas kejahatannya merampok ratusan
triliun rupiah uang rakyat.
Inpres No.8/2002 merupakan suatu bentuk rekayasa sistematis dan
manipulatif, serta skandal besar yang dilakukan oleh Presiden Megawati
bersama para menterinya (termasuk diantara yang menjabat saat itu
Boediono selaku Menteri Perekonomian, Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai Menko Polkam, Jusuf Kalla sebagai Menko Kesra, dan Yusril Ihza
Mahendra sebagai Menteri Sekretaris Negara). Mereka telah
menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk membebaskan para
pelaku tindak pidana yang telah merugikan rakyat dan melanggar berbagai

96 / Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum


aturan, mulai dari UUD 1945, TAP-TAP MPR, hingga berbagai undang-
undang yang berlaku.
Meskipun telah didukung dengan argumentasi dan fakta-fakta hukum
yang gamblang, gugatan judicial review atas Inpres No.8/2002 yang diajukan
oleh para penggugat ternyata ditolak oleh MA. Apa hendak dikata, MA
sebagai lembaga penegak hukum tertinggi di negara ini pun memilih
melegitimasi kebijakan yang dibuat kepala negara dibanding memenuhi rasa
keadilan masyarakat.
Di sisi lain, DPR yang menjadi lembaga penyeimbang pemerintah dan
mempunyai hak kontrol juga tidak melakukan fungsinya atas berbagai
penyelewengan tersebut. Tidak tercatat upaya maksimal dari anggota-
anggota DPR yang menjabat saat itu untuk mengoreksi kebijakan release and
discharge yang dibuat pemerintah.
Dengan demikian, lengkaplah sudah carut-marut penanganan hukum
skandal BLBI, dengan hasil terabaikannya penegakan hukum dan keadilan,
serta diabadikannya penderitaan rakyat yang hidup di bawah garis
kemiskinan demi pelunasan utang dan pembayaran bunga obligasi rekap
yang entah kapan akan berakhir. Pertanyaannya adalah, masih layakkah
mereka menyebut diri sebagai figur pro wong cilik, dengan menjabat sebagai
petinggi negara atau menteri, atau bahkan menyatakan keinginan untuk
mencalonkan diri sebagai presiden masa mendatang?
Bagi para obligor pengemplang uang rakyat, kita berharap masih ada
rasa kemanusiaan di hati mereka untuk menyadari kesalahannya dan segera
mengembalikan uang rakyat yang telah mereka nikmati. Catat kenyataan ini:
puluhan juta rakyat yang Anda ambil haknya kini hidup dengan pendapatan
Rp 167.000/bulan atau kurang dari Rp 6000/hari!

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum / 97


Bab 6
INPRES NO. 8/2002:
JALAN MENUJU
KETIDAKADILAN DAN
PEMISKINAN

Marwan Batubara

Sebelum Inpres No.8/2002 diterbitkan, pemerintah melalui BPPN


telah menetapkan berbagai konsep dan langkah penyehatan bank serta
pengupayaan pengembalian uang negara yang telah disalurkan kepada
perbankan (bank-bank yang terkategori sebagai Bank Dalam
Penyehatan/BDP) melalui berbagai fasilitas seperti BLBI, Dana Talangan
BPPN, dan klaim Program Penjaminan. Pengembalian uang negara
(recovery), yang dilakukan melalui mekanisme Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham (PKPS) juga dinyatakan sebagai salah satu fungsi utama
BPPN. Tugas BPPN ini sesuai dengan UU No.10/1998 tentang perubahan
UU No.7/1992 tentang Perbankan dan PP No.17/1999 tentang BPPN.
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, PKPS merupakan
mekanisme penyelesaian kewajiban Pemegang Saham Pengendali (PSP)
bank-bank penerima fasilitas BLBI yang dilaksanakan dengan 3 pola, yaitu

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan / 99


MSAA (Master Settlement and Acqusition Agreement), MRNIA (Master
Refinancing and Notes Issuance Agreement), dan APU (Akta Pengakuan Utang).
Pelaksanaan PKPS didasarkan kepada kewenangan yang dimiliki BPPN
dalam PP 17/1999, yang menetapkan bahwa dalam melaksanakan program
penyehatan terhadap bank-bank, BPPN mempunyai wewenang untuk
menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami BDP dan
membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan.
Bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi,
komisaris, atau pemegang saham, maka kerugian tersebut dibebankan
kepada mereka yang bersangkutan tersebut.
Usulan PKPS, sebagai mekanisme penyelesaian kasus BLBI di luar jalur
pengadilan, diputuskan pertama kali dalam Rakor Pengawasan
Pembangunan pada tanggal 21 Agustus 1998 yang dipimpin Menkowasbang
Hartarto, dihadiri oleh Gubernur BI, Menkeu, Jaksa Agung, Kepala BPKP
dan Ketua BPPN. Keputusan itu diambil setelah mendengarkan penjelasan
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Suhanjono
yang mengatakan bahwa proses hukum atas pelanggaran BMPK (Batas
Maksimum Pelanggaran Kredit) dan BLBI akan berjalan lama dan tidak jelas
tingkat pengembalian komersialnya.
Sebagai tindak lanjut, Menkeu mengeluarkan Surat Kuasa Khusus
(SKK) dengan hak substitusi kepada Jaksa Agung untuk dan atas nama
Menkeu melakukan penelitian mendalam permasalahan Bank Beku Operasi
(BBO) dan Bank Take over(BTO). Selanjutnya, sehubungan dengan
pelaksanaan SKK tersebut, Jaksa Agung menyampaikan laporan kepada
Presiden Habibie, dengan surat No.R-192/A/G.1/1998 tangal 23
September 1998, perihal laporan hasil kegiatan non litigasi terhadap 14 bank
bermasalah (BBO/BTO) oleh Tim Kejaksaan dan BPPN.
Dalam laporan tersebut dikemukakan bahwa para pemilik BBO dan
BTO mengakui banknya telah menerima BLBI, bertanggung jawab, dan
memiliki itikad baik untuk mengembalikan seluruh kewajiban BLBI, dengan
cara membayar tunai serta penyerahan aset-aset, baik milik pribadi maupun
kelompok perusahaannya.
Kebijakan pemerintah mengenai penyelesaian kewajiban BLBI oleh
PSP BBO/BTO yang dilakukan melalui out of court settlement dituangkan juga
dalam Letter of Intent (LoI) dengan IMF pada tanggal 11 September 1998.

100 / Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan


Namun kita mencatat pula adanya surat Presiden Habibie kepada
Menkeu yang meminta penyelesaian kasus BLBI dilakukan sesuai peraturan
yang berlaku. Seperti dinyatakan dalam surat bernomor B-
342/Pres/11/1998 tertanggal 6 November 1998, Presiden RI meminta
Menkeu dan Ketua BPPN untuk melakukan upaya dan pembahasan dengan
pemilik BBO dan BTO untuk mencari penyelesaian sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Apakah ini berarti Presiden belum firm dengan out
of court settlement?
Setelah terbitnya PP 17/1999 tentang BPPN dan tugasnya dalam
penyehatan bank-bank, sejumlah peraturan, berupa UU, PP, SKB, SK
Menteri, dan sebagainya telah diterbitkan oleh pemerintah selama tahun
2000 hingga 2004. Peraturan-peraturan dimaksud antara lain adalah:
· Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI
No,117/KMK.017/1999 dan No.31/15/KEP/GBI tanggal 26
Maret 1999 tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank
Dalam Penyehatan Yang Berstatus BTO;
· UU No.25/2000 tentang Propenas tahun 2000-2004;
· Lampiran UU No.35/2000 tentang APBN Tahun 2001;
· TAP MPR No. X Tahun 2001 yang menyatakan bahwa MPR
menugaskan Pemerintah dan BPPN untuk secara konsisten
melaksanakan MSAA sesuai dengan UU Propenas;
· Surat Keputusan Menteri Koordinator Ekuin/Ketua Komite
Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) No.12/M.EKUIN/04/2000
tanggal 7 April 2000 tentang Prinsip Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham Dari Bank Beku Kegiatan Usaha Kepada
Pemerintah Yang Timbul Sebagai Akibat Pembekuan Usaha Bank;
· Keputusan KKSK No. KEP.03/K.KKSK/1/2000 tanggal 10
November 2000 tentang penetapan agar para PSP dalam perjanjian
MSAA memenuhi kewajibannya dengan menyerahkan tambahan
aset dan saham perusahaan serta memberikan personal guarantee ;
· Keputusan KKSK No. KEP 01/K.KKSK/08/2002 tanggal 22
Agustus 2002 perihal perhitungan ulang kewajiban PSP PKPS
APU, yang disebut JKPS Reformulasi.

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan / 101


Instruksi Presiden No.8/2002 tanggal 30 Desember 2002 yang
mengatur tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur
yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada
Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

Esensi Inpres No. 8/2002


Inpres No. 8/2002 merupakan puncak dari berbagai peraturan dan
kebijakan pemerintah yang memilih penyelesaian kasus BLBI melalui jalur
out of court settlement, yaitu dengan memberinya landasan hukum. Melalui hal
ini, pemerintah menunjukkan sikapnya untuk lebih mengutamakan
pengembalian uang negara dibandingkan dengan penegakan hukum secara
adil dan konsekuen. Sehingga, penerbitan Inpres ini juga dapat diartikan
sebagai bentuk intervensi Presiden terhadap otoritas hukum (teks Inpres
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1).
Inpres tersebut menginstruksikan kepada Menko Bidang
Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK),
Menteri Kehakiman dan HAM, para Menteri Anggota KKSK, Meneg
BUMN, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BPPN untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan bagi penyelesaian kewajiban pemegang
saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya kepada BPPN
berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA dan APU.
Dalam menjalankan langkah-langkah tersebut, Inpres No.8/2002
memuat berbagai kebijakan pedoman sebagai berikut:
· Kepada para debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya, baik
MSAA, MRNIA dan APU, diberikan bukti penyelesaian berupa
pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum
sebagiamana diatur dalam perjanjian-perjanjian tersebut;
· Kepada para debitur yang sedang melakukan penyelesaian sesuai
perjanjian PKPS, baik MSAA, MRNIA dan APU, diberi
kesempatan untuk terus dan secepatnya menyelesaikan
kewajibannya dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh KKSK;
· Kepada para debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia
menyelesaikan kewajibannya kepada BPPN baik dalam rangka
102 / Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan
MSAA, MRNIA, dan APU sampai dengan berakhirnya batas waktu
yang telah ditetapkan KKSK, diambil tindakan hukum yang
tegas dan konkrit, yang dilaksanakan secara terkoordinasi
antara Ketua BPPN, Kepala Kepolisian, dan Jaksa Agung RI.
Dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud di atas,
menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung
dengan program PKPS, bagi debitur yang masih dalam tahap penyelidikan,
penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka
sekaligus juga dilakukan proses penghentian penanganan aspek
pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan
sebagaimana di atur di atas, dilakukan oleh Ketua BPPN setelah mendapat
persetujuan dari KKSK dan Meneg BUMN.
Sebagai akibat dari terbitnya Inpres No. 8/2002, KKSK menerbitkan
beberapa keputusan yang intinya memberikan keuntungan dan keringanan
kepada debitur/PSP, yaitu antara lain Keputusan KKSK
No.01/K.KKSK/04/2003 mengenai JKPS Reformulasi PKPS APU yang
mengurangi beban kewajiban para obligor, dan Keputusan KKSK No. KEP.
03/K.KKSK/09/2003 tanggal 18 September 2003 tentang kebijakan
bahwa pemberian PG bagi penandatangan MSAA tidak berlaku lagi.
Selain itu, berdasarkan Inpres ini, para debitur dianggap sudah
menyelesaikan utangnya, meskipun mereka hanya membayar tunai 30% saja
dari total kewajibannya sesuai JKPS, dan membayar 70% sisanya dengan
sertifikat bukti kepada BPPN. Atas dasar bukti ini, mereka yang sedang
diperiksa (dalam proses penyidikan), akan diberikan SP3 (Surat Penghentian
Penyidikan Perkara). Sedangkan, apabila perkaranya dalam proses
pengadilan, maka akan dijadikan bukti baru yang dapat membebaskan
mereka.
Sebagai akibat dari terbitnya Inpres ini, tercatat Kejaksaan Agung
menghentikan proses penyidikan terhadap sedikitnya 10 tersangka BLBI
pada tahun 2004 karena mereka telah mendapat Surat Keterangan Lunas
(SKL) dari BPPN.

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan / 103


Gugatan Judicial Review Terhadap Inpres No. 8 Tahun
2002
Disebabkan karena isinya yang kontroversial, penerbitan Inpres release
and discharge banyak mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Tercatat,
beberapa tokoh, elemen masyarakat, para pakar, dan LSM mengajukan
gugatan judicial review untuk meminta pembatalan Inpres tersebut oleh
Mahkamah Agung. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
mengawali pengajuan gugatan judicial review terhadap Inpres ini pada tanggal
23 Februari 2003.
Hal ini kemudian diikuti pula oleh beberapa tokoh nasional seperti
Hidayat Nurwahid, Laode Ida, Asmara Nababan, Teten Masduki,
Komarudin Hidayat, Nursyahbani Katjasungkana, dan Faisal Basri, dengan
diwakili oleh tim kuasa hukum yang diketuai Bambang Widjojanto. Gugatan
mereka ajukan secara resmi pada tanggal 27 Mei 2003. Berikut merupakan
dasar gugatan hak uji materiil Inpres No. 8 tahun 2002.
Pada dasarnya, para penggugat menilai bahwa Inpres No. 8 Tahun 2002
telah melanggar peraturan perundang-undangan di atasnya. Berdasarkan
ketentuan pasal 4 ayat 1 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan,
dinyatakan bahwa ”Setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan aturan hukum yang lebih tinggi (lex specialis derograt lex generalis)”.
Ketentuan ini mengandung arti bahwa:
· Aturan yang lebih rendah merupakan aturan pelaksana dari aturan
yang lebih tinggi;
· Aturan yang lebih rendah:
1. Tidak boleh mengubah substansi yang ada dalam aturan yang
lebih tinggi;
2. Tidak menambah, tidak mengurangi dan tidak menyisipi suatu
ketentuan baru;
3. Tidak memodifikasi substansi dan pengertian yang telah ada
dalam peraturan induknya.
Inpres No.8/2002 dinilai telah pula melanggar UUD 1945, berbagai
TAP MPR dan beberapa undang-undang, serta melanggar sejumlah prinsip

104 / Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan


hukum. Berikut beberapa ketentuan hukum yang dilanggar oleh Inpres
tersebut:
UUD 1945
Inpres No. 8 Tahun 2002 dinilai telah bertentangan dengan pasal 1 ayat
3 serta pasal 14 UUD 45. Pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa: “Negara Republik
Indonesia adalah negara hukum”. Ketentuan ini memberi makna bahwa segala
permasalahan tidak boleh diselesaikan dengan pendekatan kekuasaan
semata, tetapi harus tunduk pada ketentuan dan prosedur hukum.
Sedangkan, dalam Inpres No. 8 Tahun 2002, Presiden
menginstruksikan kepada penegak hukum, kepolisian, dan kejaksaan yang
sedang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tersangka yang statusnya sebagai debitur BPPN, untuk membebaskan
debitur yang telah memperoleh release and discharge (berupa Surat Keterangan
Lunas/SKL) dari pemerintah karena telah mengembalikan sebagian
utangnya. Padahal, menurut ketentuan hukum, seorang tersangka baru
dapat dinyatakan bebas dari tuntutan hukum apabila yang bersangkutan
telah diproses melalui pengadilan.
Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, para penggugat menilai bahwa
Presiden telah melakukan intervensi terhadap kekuasaan yudikatif dengan
menginstruksikan pembebasan seseorang yang tersangkut kasus pidana
tanpa proses hukum melalui peradilan, atau dengan kata lain presiden
menyelesaikan hukum dengan kekuasaan semata.
Selanjutnya, Inpres No. 8 Tahun 2002 juga dianggap bertentangan
dengan pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 UUD 45. Pasal 14 ayat 1 menjelaskan
bahwa “Presiden dalam memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan
pertimbangan dari Mahkamah Agung”. Sedangkan ayat 2 menjelaskan bahwa
“Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi dengan memerhatikan pertimbangan
dari Dewan Perwakilan Rakyat”.
Berdasarkan ketentuan ini, maka, seperti dinyatakan Pakar Hukum
Pidana UI Dr. Rudy Satrio, Presiden sebagai kepala negara hanya
mempunyai kewenangan memberikan grasi, amnesti, abolisi dan
rehabilitasi. Sehingga, tindakan Presiden yang menerbitkan Inpres No. 8
Tahun 2002 merupakan tindakan inkonstitusional serta dapat dikategorikan

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan / 105


sebagai penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau melampaui batas
kewenangan Presiden seperti yang diatur dalam pasal 14 UUD 45.
TAP No. XI/MPR/1998 dan TAP No. VIII/MPR/2001
Dalam pasal 4 Tap MPR No.XI/MPR/1998 dinyatakan antara lain
bahwa “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus
dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan
pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta atau
konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap
memperhatikan prinsip praduga tak bersalah serta Hak Asasi Manusia”.
Kemudian, dalam pasal 2 ayat 2 Tap MPR No. VIII/MPR/2001, MPR
merekomendasikan pemerintah untuk “Melakukan penindakan hukum
yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk
korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti
bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya”.
Sedangkan, Inpres No. 8 Tahun 2002 pada diktum pertama angka 4
menyebutkan bahwa “Dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek
pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan
dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga
dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang
pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Dari hal tersebut, sudah jelas bahwa penerbitan Inpres No. 8 Tahun
2002 oleh Presiden yang membebaskan debitur dari aspek pidana secara
nyata bertentangan dengan pasal 4 ketetapan MPR No.XI/MPR/1998
Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Padahal,
dalam membuat kebijakan, Presiden tidak boleh bertentangan dan bahkan
seharusnya berpedoman pada apa yang telah digariskan oleh MPR.
Presiden harus bertindak tegas tanpa pandang bulu terhadap semua
kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Termasuk dalam hal penyelesaian
masalah utang para konglomerat hitam yang telah banyak merugikan
keuangan negara, melalui pemberian tuntutan hukuman yang seberat-
beratnya.

106 / Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan


TAP No. X/MPR/2001
Dalam rangka mengelola dan menjual aset-aset BPPN, TAP No.
X/MPR/2001 antara lain menugaskan Presiden untuk (sebagaimana
terdapat dalam butir c), “Pemerintah perlu konsisten menjalankan MSAA dan
MRNIA, dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya sesuai Undang-
Undang No.25/2000 tentang Propenas butir C Nomor 2, 3, dan 4 perlu diambil
tindakan tegas”.
Dengan ketentuan ini maka Presiden diperintahkan untuk bertindak
tegas tanpa pandang bulu terhadap semua kasus KKN, termasuk dalam
menjalankan MSAA, MRNIA, dan APU secara konsisten. Namun yang
terjadi, Presiden (Megawati) justru mengkhianati amanat TAP MPR
tersebut. Presiden bahkan secara manipulatif menjadikan TAP MPR ini
sebagai dasar pertimbangan Inpres No. 8/2002.
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 menegaskan bahwa “Pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya
pelaku tindak pidana”. Namun, Inpres No. 8 tahun 2002 justru
mengistruksikan kejaksaan dan kepolisian untuk menghentikan penyidikan
dan penuntutan para tersangka debitur yang telah memperoleh release and
discharge. Padahal para tersangka tersebut disidik dan dituntut karena diduga
secara melawan hukum telah melakukan penyalahgunaan wewenang yang
berakibat timbulnya kerugian negara.
Oleh karena itu, Inpres No. 8 Tahun 2002 yang menginstruksikan
pembebasan para debitur dari tuntutan pidana karena dianggap sudah
mengembalikan uang negara adalah bertentangan dengan ketentuan UU
No. 31 Tahun 1999. UU ini secara gamblang telah menyatakan
pengembalian kerugian keuangan negara tidak dapat menghapus proses
pidana terhadap seseorang.
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
Pasal 1 angka 14 UU No. 8 Tahun 1981, menentukan bahwa,
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku pidana”.

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan / 107


Demikian juga pasal 109 ayat 2 antara lain menentukan, “Dalam hal penyidik
menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut
ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan karena
hukum....”
Berdasarkan ketentuan tersebut, seseorang dapat dinyatakan sebagai
tersangka apabila telah memenuhi bukti permulaan yang cukup sebagai
tersangka atau pelaku tindak pidana. Menurut hukum acara pidana, bila
penyidikan sudah selesai, maka berkas penyidikan dilimpahkan ke kejaksaan
untuk dilakukan penuntutan. Penuntutan hanya akan dihentikan apabila
dalam proses penyidikan ternyata tidak cukup bukti untuk menetapkan
tersangka pelaku tindak pidana, atau peristiwanya ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan karena hukum. Hanya
dalam kasus-kasus seperti itu penyidik dapat mengeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3).
Sedangkan Inpres No.8 Tahun 2002 justru memerintahkan kepada
penyidik untuk segera membebaskan debitur BPPN sebagai tersangka
korupsi jika ia telah mengembalikan sebagian uang negara, dan kemudian
memperoleh release and discharge dari pemerintah. Ketentuan Inpres ini
tentunya bertentangan dengan pasal 109 ayat 2 KUHAP, karena
pengembalian kerugian negara tidak dapat menghapus bukti tersangka
sebagai pelaku tindak pidana dan begitu juga dengan peristiwa pidananya.
UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Pasal 2 ayat 1 UU No.5 Tahun 1991 menyebutkan antara lain,
“...kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan
negara dibidang penuntutan”. Demikian juga pasal 1 ayat 3 menyatakan
bahwa : “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.
Berdasarkan ketentuan dalam UU Kejaksaan tersebut, secara tegas
dinyatakan bahwa kejaksaan melaksanakan kekuasaan negara dibidang
penuntutan. Artinya, Presiden sebagai kepala pemerintahan tidak dapat
semena-mena memerintahkan kejaksaan untuk membebaskan seseorang
yang diduga kuat, dan bahkan sudah cukup bukti, melakukan tindak pidana
korupsi. Sesuai hukum, kejaksaan harus tetap melimpahkan tersangka

108 / Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan


debitur BPPN ke pengadilan walaupun sudah mendapatkan release and
discharge.
Memang, Jaksa Agung dapat menggunakan hak oportunitasnya untuk
membebaskan debitur dengan alasan “kepentingan umum”, berdasarkan
argumentasi bahwa mereka telah mendapatkan release and discharge. Namun
jika itu dilakukannya, maka Jaksa Agung telah menyalahtafsirkan pengertian
“kepentingan umum”, karena Tap MPR telah secara tegas menggariskan
komitmen seluruh rakyat Indonesia untuk menindak tegas dan menghukum
seberat-beratnya para koruptor tanpa pandang bulu.
Sehingga, jika Jaksa Agung berdasarkan Inpres tersebut kemudian pada
akhirnya membebaskan para obligor dari tuntutan pidana, maka secara tidak
langsung Jaksa Agung telah menjalankan tugas dan wewenangnya secara
menyimpang dari ketentuan UU No.5 Tahun 1991. Pembebasan para
obligor dari tuntutan pidana bertentangan dengan keadilan dan kebenaran
serta mengingkari prinsip bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya di
depan hukum.
Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam Buku Kesatu Bab VIII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), dijelaskan bahwa peniadaan penuntutan atau penghapusan hak
menuntut hanya dapat dilakukan apabila:
· Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap mengenai
tindak pidana yang sama/nebis in idem (pasal 76 KUHP);
· Terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP);
· Perkara dinyatakan telah lewat waktu/kadaluarsa (pasal 78 KUHP);
· Pelanggaran yang diancam dengan denda saja (pasal 82 KUHP);
· Tidak ada pengaduan dalam hal perkara yang dimaksud adalah
berupa delik aduan (Pasal 72 s/d pasal 75 KUHP).
Dalam pasal-pasal di atas, dapat dilihat para obligor/debitur tidak
termasuk dalam kategori pihak yang bisa dilepaskan dari tanggung jawab
pidana. Oleh karena itu, Inpres No. 8 Tahun 2002 yang memberikan jaminan
untuk membebaskan debitur dari proses hukum, termasuk penghapusan
aspek pidana yang dilakukannya, bertentangan dengan ketentuan yang ada
dalam KUHP.

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan / 109


Prinsip Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The Law)
Penerbitan Inpres No. 8 Tahun 2002 yang memberikan jaminan
pembebasan debitur dari aspek pidana menunjukkan adanya diskriminasi
hukum oleh pemerintah. Seolah, debitur memiliki hak istimewa untuk
dibebaskan dari jerat pidana, karena pemerintah membutuhkan
pengembalian uang negara yang telah dicuri debitur tersebut.
Padahal, semua orang atau warga negara memiliki hak untuk
memperoleh perlakuan hukum yang sama. Hanya dengan hal itu kepastian
hukum dapat terjamin. Jika debitur BLBI yang telah mencuri uang negara
dibebaskan dari hukuman dengan alasan telah mengembalikan uang
tersebut, apakah pemerintah juga hendak membebaskan semua koruptor
dan pencuri jika mereka mengembalikan uang curian mereka?
Prinsip Jaminan Kepastian Hukum (Rechtsmatigheid)
Menurut hukum, suatu tindak pidana yang perkaranya telah diperiksa
berdasarkan mekanisme hukum acara pidana, maka kepastian hukumnya
hanya dapat diwujudkan bila proses tersebut sepenuhnya tunduk dan
mengikuti ketentuan-ketentuan hukum acara pidana. Begitu pula dengan
kasus BLBI, kepastian hukum dalam perkara pidana terhadap para debitur
MSAA, MRNIA, dan APU pada tingkat penyelidikan, penyidikan, maupun
tingkat penuntutan hanya dapat diwujudkan melalui pemeriksaan di sidang
pengadilan, sekalipun para tersangka atau terdakwa telah mengembalikan
kerugian negara. Apalagi, dalam kasus BLBI, uang yang dikembalikan
debitur juga tidak sebanding dengan jumlah uang yang diambilnya.
Hal ini telah diatur dalam berbagai ketentuan seperti UU No. 8 Tahun
1981 Tentang KUHAP (pasal 1 angka 14 dan pasal 109 ayat 2), UU No. 5
Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI (pasal 2 ayat 1 jo. pasal 1 ayat 3) serta
dalam UU No.31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (pasal 2, 3, dan 4).
Berdasarkan ketentuan di atas, maka penerbitan Inpres No. 8 Tahun
2002 oleh Presiden yang antara lain menginstruksikan Kejaksaan RI dan
Kepolisian RI untuk menghentikan proses penyidikan dan penuntutan para
debitor BPPN yang telah berstatus tersangka, justru telah menimbulkan
ketidakpastian hukum.

110 / Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan


Berbagai Keberatan terhadap Inpres No. 8/2002
Disamping pelanggaran terhadap berbagai ketentuan hukum seperti
diuraikan di atas, terdapat sejumlah alasan kuat untuk membatalkan Inpres
No. 8/2002 (serta juga pemberian SKL kepada obligor BLBI), yaitu antara
lain:
· Dalam diktum “pertimbangan” disebutkan bahwa Inpres No. 8
Tahun 2002 dibuat dalam rangka melaksanakan Ketetapan MPR
No.VI/MPR/2002 dan Ketetapan MPR No.X/MPR 2001.
Padahal, isi Inpres tersebut justru bertentangan dengan amanat
sesungguhnya dari TAP-TAP tersebut, yaitu untuk melakukan
tindakan hukum yang tegas terhadap penyelewengan perjanjian
PKPS;
· Penggunaan Ketetapan MPR No.VI/MPR/2002 dan Ketetapan
MPR No.X/MPR/2001 sebagai dasar pertimbangan bagi Inpres
No. 8/2002 juga dinilai salah, karena TAP-TAP MPR tersebut baru
ditetapkan setelah perjanjian PKPS antara BPPN dan para obligor
ditandatangani. Sebagaimana dinyatakan Tim Kuasa Hukum
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kedua
TAP tersebut semestinya tidak bisa dijadikan dasar pertimbangan
bagi Inpres No.8/2002, karena fakta hukumnya menunjukkan
perjanjian MSAA, MRNIA dan APU sudah dilakukan terlebih
dahulu sebelum terbitnya Ketetapan MPR No.VI/MPR/2002 dan
Ketetapan MPR No.X/MPR/2001;
· Dalam menerbitkan Inpres, Presiden semestinya tidak cukup hanya
mendasarkan pada asas kemanfaatan atau kebutuhan atau tujuan
tertentu (doelmatigheid), tetapi juga harus mempertimbangkan asas
legalitas hukum (rechmatigheid). Artinya, Inpres secara formal
maupun substansial tidak boleh melanggar asas-asas kaidah hukum
yang mendasar, dan tidak mendahului atau melebihi peraturan
dasarnya;
· Sementara itu, para penggugat lainnya menilai bahwa kalau pun
Presiden hendak melaksanakan MSAA, MRNIA, dan APU secara
konsisten, maka Presiden mempunyai kewajiban untuk
menghilangkan klausul-klausul perjanjian yang bertentangan
dengan kepentingan umum yang ada dalam perjanjian, walaupun

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan / 111


perjanjian tersebut telah dibuat dan ditandatangani oleh BPPN,
Menteri Keuangan, dan para debitur;
· Secara hukum, perjanjian yang bertentangan dengan kepentingan
umum merupakan perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya
perjanjian dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, sesuai dengan
pasal 1320 dan 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Penting pula dicatat, bahwa atas dasar kepentingan umum,
pemerintah dimungkinkan secara hukum untuk melakukan revisi
atas perjanjian MSAA, MRNIA, dan APU meskipun hal itu telah
ditandatangani BPPN dan para obligor. Namun, ternyata Presiden
tidak merevisinya, dan justru menguatkan klausul-klausul tersebut
dalam Inpres No. 8 Tahun 2002. Sehingga, Presiden turut pula
melibatkan diri dalam pelanggaran hukum yang terjadi;
· Secara hukum, status seseorang ditetapkan sebagai tersangka,
karena telah ditemukan bukti permulaan yang cukup bahwa orang
tersebut melakukan tindak pidana. Sehingga, Inpres No.8 Tahun
2002 yang memberikan pembebasan dan ampunan kepada debitur
tersangka kasus korupsi, padahal telah terdapat bukti yang cukup
pada orang tersebut melakukan tindak pidana, telah melanggar
hukum (termasuk melanggar Ketetapan MPR yang telah
mengamanatkan pemberantasan korupsi secara konsekuen).

Putusan MA yang Manipulatif dan Konspiratif


Rakyat sangat berharap agar Mahkamah Agung selaku benteng terakhir
penegakan hukum di Indonesia dapat membatalkan keberadaan Inpres No.
8 Tahun 2002 mengingat Inpres tersebut merupakan salah satu penghambat
upaya penuntasan hukum skandal BLBI. Namun, harapan itu hilang seketika
dengan keluarnya keputusan MA yang menolak gugatan judicial review yang
diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan beberapa tokoh
nasional (dikoordinir ICW). Keputusan penolakan gugatan judicial review atas
Inpres No.8/2002 ditetapkan oleh MA sesuai dengan Surat Putusan MA
No.06G/HUM/2003 tanggal 30 Desember 2003.
Keputusan MA tersebut ditetapkan dalam rapat permusyawaratan
Mahkamah Agung oleh Prof. Dr. Paulus E. Lotulung sebagai Ketua Majelis

112 / Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan


dan Prof. Dr. H Ahmad Sukarja SH dan Prof. Dr Muchsan SH sebagai
anggota. Namun satu keanehan dan kesengajaan perlu dicatat: bahwa
meskipun keputusan tersebut ”konon” ditetapkan tanggal 30 Desember
2003, Kuasa Hukum penggugat, Teten Masduki dkk., baru menerima
salinan sah putusan MA bernomor 06G/HUM/2003 tersebut pada tanggal
30 Mei 2007, sesuai surat pengantar dari MA bernomor
No.38/P.PTSN/2007/06G/HUM/2003.
Hal ini menunjukkan penggugat baru menerima keputusan MA atas
gugatan judicial review Inpres No.8/2002, setelah 4 tahun gugatan diajukan
pada tanggal 27 Mei 2003. Sangat dikhawatirkan, penundaan penyampaian
hasil putusan dan juga upaya penyembunyian hasil putusan dari
pengetahuan publik merupakan bagian dari skenario untuk mengamankan
dan melindungi para koruptor BLBI dari tuntutan hukum.
Dalam pertimbangan putusan hukum atas gugatan judicial review Inpres
No.8 Tahun 2002, MA menilai dan menyatakan bahwa:
· Inpres tersebut merupakan kebijakan dalam rangka pelaksanaan
perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang
berbentuk MSAA, MRNIA dan/atau APU. Kepada para debitor
yang patuh diberikan jaminan kepastian hukum berupa
pembebasan dari tuntutan pidana, dan kepada yang tidak patuh
tetap diterapkan proses hukum, termasuk tuntutan pidana;
· Presiden berwenang menetapkan langkah kebijakan (Beleid Regels)
tersebut, demi kepastian hukum serta menyelamatkan aset negara;
· Sebagai kebijakan, Inpres Release and Discharge tidak termasuk
sebagai obyek hak uji materiil. Oleh karena itu, MA menolak
gugatan hak uji materi Inpres No. 8 Tahun 2002.
Menyikapi putusan MA tersebut, berbagai kalangan menilai bahwa
dasar pertimbangan MA dalam memutuskan gugatan judicial review atas
Inpres No.8 Tahun 2002 sangat minim dari pertimbangan hukum. MA
menganggap Inpres No.8 Tahun 2002 merupakan kebijakan pemerintah
dalam bentuk produk hukum yang tidak dapat dijadikan objek sengketa atau
judicial review.
Logika dan paradigma yang digunakan MA ini tentunya sama sekali jauh
dari ketentuan konstitusional yang menegaskan bahwa negara Republik

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan / 113


Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan belaka. Sebab, jika
MA menilai bahwa Inpres No.8 tahun 2002 tidak boleh dipersoalkan melalui
mekanisme hukum, itu artinya secara tidak langsung MA sebagai pemegang
kekuasaan yudikatif telah meruntuhkan prinsip-prinsip negara hukum atau
”rechstaat” yang menjadi sendi utama negara Indonesia.
Dalam memutuskan gugatan judicial review terhadap Inpres No.8 Tahun
2002, terlihat sekali bahwa MA tidak memedulikan fakta-fakta hukum yang
menunjukkan bahwa Inpres release and discahrge telah melanggar peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, menimbulkan ketidakpastian
hukum, melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the
law) serta melanggar rasa keadilan masyarakat.
Setiap tahun, negara dan rakyat harus menanggung beban cicilan
pembayaran utang yang besar dan bunga obligasi rekapitalisasi sekitar 40
triliun hingga 50 triliun rupiah dalam APBN. Padahal, anggaran tersebut
semestinya bisa digunakan untuk merealisasikan program-program
pendidikan rakyat, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran.
Lalu, apakah dapat dibenarkan alasan MA yang menyatakan bahwa
penerbitan Inpres Release and Discharge dimaksudkan untuk menciptakan
kepastian hukum dan menyelamatkan aset negara? Jawabannya tentu saja
tidak, karena hingga kini, pada kenyataannya sejumlah koruptor BLBI tetap
tidak tersentuh oleh hukum. Sebagian besar mereka tetap bebas berkeliaran
dan dengan leluasa mengendalikan kembali kegiatan bisnisnya. Bahkan,
secara bertahap sejumlah obligor telah kembali mengambil alih aset-aset
yang dulu mereka serahkan kepada negara. Tak heran, kini mereka kembali
bertengger menjadi orang-orang terkaya di negeri ini, meninggalkan ratusan
juta rakyat miskin yang harus turut menanggung beban pembayaran utang-
utang mereka.

114 / Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan


Lampiran 1

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 8 TAHUN 2002

TENTANG

PEMBERIAN JAMINAN KEPASTIAN HUKUM KEPADA DEBITUR YANG TELAH


MENYELESAIKAN KEWAJIBANNYA ATAU TINDAKAN HUKUM KEPADA
DEBITUR YANG TIDAK MENYELESAIKAN KEWAJIBANNYA BERDASARKAN
PENYELESAIAN KEWAJIBAN PEMEGANG SAHAM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:
1. Bahwa dalam ragka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA
pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/2001
tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001, Badan Penyehatan Perbankan Nasional telah
melakukan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan debitur yang
berbentuk perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master of
Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan/atau Perjanjian Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta Pengakuan Utang/APU);
2. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut dalam huruf a, maka terhadap debitur yang
kooperatif dalam melaksanakan perjanjian dimaksud perlu diberikan jaminan kepastian
hukum dan bagi yang tidak menandatangani atau tidak melaksanakan perjanjian dimaksud
perlu diberikan tindakan hukum yang tegas dan konkret.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, dan
sesuai dengan Keputusan Sidang Kabinet Gotong Royong tanggal 7 Maret 2002, maka
dipandang perlu untuk mengeluarkan Instruksi Presiden;

Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana diubah dengan Perubahan
Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/2001
tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001;

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan / 115


3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002
tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002;
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472), sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
5. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 206);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 30, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3814) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4102);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas, dan
Kewenangan Menteri Keuangan pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional kepada Menteri
Negara Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4136);
8. Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 1999 tentang Komite Kebijakan Sektor Keuangan
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 143 Tahun 2000.

MENGINSTRUKSIKAN:
Kepada:
1. Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan
Sektor Keuangan;
2. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia;
3. Para Menteri Anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan;
4. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara;
5. Jaksa Agung Republik Indonesia;
6. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
7. Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Untuk:
PERTAMA:
Mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham
dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional
berdasarkan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA,
MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU, dengan berpedoman pada kebijakan sebagai
berikut:
1. Kepada para Debitur yang telah menyelesaikan kewajiban Pemegang Saham, baik yang
berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU, diberikan bukti
penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum
sebagaimana diatur dalam perjanjian-perjanjian tersebut;

116 / Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan


2. Kepada para Debitur yang sedang melakukan penyelesaian sesuai dengan perjanjian
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau
Akta Pengakuan Utang/APU, diberi kesempatan terus dan secepatnya menyelesaikan
kewajiban-kewajibannya dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh Komite Kebijakan Sektor
Keuangan (KKSK);
3. Kepada para Debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia menyelesaikan
kewajibannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional baik dalam rangka MSAA,
MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU sampai dengan berakhirnya batas waktu yang
telah ditetapkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), diambil tindakan hukum
yang tegas dan konkret, yang dilaksanakan secara terkoordinasi antara Ketua Badan Penyehatan
Perbankan Nasional, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik
Indonesia;
4. Dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut
pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau
penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses
penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

KEDUA:
Pemberian bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan sebagimana dimaksud dalam
Diktum PERTAMA angka 1, dilakukan oleh Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional setelah
mendapat persetujuan dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan Menteri Negara
Badan Usaha Milik Negara.

KETIGA:
Melaksanakan Instruksi Presiden ini sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab dan
melaporkan secara berkala atau sewaktu-waktu kepada Presiden.

Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.

Dikeluarkan di Jakarta
Pada Tanggal 30 Desember 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan / 117


Bab 7
OBLIGASI
REKAPITALISASI:
CARA SISTEMATIS
MENGHISAP UANG
RAKYAT

Marwan Batubara

Obligasi rekapitalisasi (OR) dikucurkan dalam rangka program


penyehatan perbankan, yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan likuiditas
dan kecukupan modal sejumlah bank saat krisis berlangsung. Ketika krisis,
kondisi keuangan sebagian besar bank memang limbung terutama karena
gejolak penarikan dana secara besar-besaran oleh masyarakat (rush).
Kondisi ini pun berlanjut sampai beberapa waktu sehingga mengancam
kestabilan perbankan nasional. Hal ini membuat pemerintah melakukan
langkah-langkah penyelamatan perbankan seperti melakukan take over,
menggabung sejumlah bank menjadi satu (merger), atau melikuidasi bank-
bank yang dinilai tidak dapat disehatkan kembali. Langkah-langkah ini
dilakukan, setelah sebelumnya pemerintah mengucurkan BLBI dan dana
penjaminan perbankan.

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 119


Dalam perjalanannya, bank-bank yang berhasil selamat dari krisis
tersebut, dinilai belum cukup stabil karena memiliki rasio pemodalan yang
rendah. Dalam kaitan itu, atas rekomendasi IMF, pemerintah melalui Bank
Indonesia kemudian mengucurkan obligasi rekapitalisasi kepada sejumlah
bank untuk memperkuat rasio pemodalan mereka (dinamakan dengan rasio
kecukupan modal/capital adequacy ratio/CAR). Selain karena pertimbangan
perlunya memperkuat modal perbankan, rekomendasi yang diberikan IMF
tersebut sesungguhnya memang mau tidak mau harus dijalankan oleh
pemerintah, karena ketergantungan pemerintah terhadap IMF saat itu.
Bantuan IMF baru akan dicairkan setelah pemerintah menyetujui dan
melaksanakan butir-butir kesepakatan dengan IMF yang tertuang dalam
Letter of Intent (LoI).
IMF, sebagaimana tercantum dalam LoI tanggal 20 Januari 2000,
meminta pemerintah mengucurkan dana ratusan triliun rupiah kepada
bank-bank yang dinilai memiliki CAR rendah. Langkah ini dilakukan dengan
target perbaikan CAR mencapai minimum sebesar 8% pada tahun 2001.
Dalam kebijakan sebelumnya, CAR minimum yang harus dipenuhi
perbankan adalah sebesar 2% saja. Menuruti rekomendasi IMF tersebut,
pemerintah pun akhirnya menginjeksi OR kepada perbankan
nasional dengan jumlah total sebesar Rp 431,6 triliun. Jumlah obligasi
sebesar ini akan menimbulkan beban bunga sekitar Rp 600 triliun jika
dibayarkan tepat pada saat jatuh tempo pembayarannya.
Bank-bank peserta program rekapitalisasi perbankan yang menerima
OR tersebut adalah sebagai berikut:
· Bank Umum, diantaranya PT. Bank Lippo Tbk., PT. Bank
Internasional Indonesia Tbk., PT. Bank Bali Tbk., PT. Bank Umum
Koperasi Indonesia, PT. Bank Universal Tbk., PT. Bank Prima
Express, PT. Bank Arta Media, PT. Bank Patriot, PT. Bank Central
Asia, PT. Bank Danamon Indonesia Tbk., PT. Bank Tiara Asia
Tbk., PT. Bank PDFCI Tbk. dan PT. Bank Niaga Tbk;
· Bank BUMN, diantaranya PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk., PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank
Tabungan Negara (Persero) Tbk., dan PT. Bank Mandiri;
· Bank Pembangunan Daerah, di antaranya BPD Daerah Istimewa
Aceh, BPD Sumatera Utara, BPD Bengkulu, BPD Lampung, BPD

120 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


Daerah Khusus Ibukota Jakarta, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa
Timur, BPD Kalimantan Barat, BPD Sulawesi Utara, BPD Maluku,
dan BPD Nusa Tenggara Barat.
Untuk memahami lebih jauh tentang pengertian obligasi dan obligasi
rekapitalisasi, berikut akan diuraikan terlebih dulu secara ringkas beberapa
pengertian terkait dengan obligasi.

Pengertian Obligasi
Obligasi dalam dunia keuangan merupakan suatu pernyataan utang dari
penerbit obligasi kepada pemegang/pembeli obligasi beserta janji untuk
membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada tanggal
jatuh tempo pembayaran tertentu. Dalam obligasi tersebut, dapat juga
dicantumkan identitas pemegang obligasi dan pembatasan atas tindakan
hukum yang dilakukan oleh penerbit obligasi. Obligasi umumnya
diterbitkan untuk jangka waktu tetap (di atas 10 tahun).
Atau secara singkat dapat dinyatakan, obligasi adalah utang tetapi dalam
bentuk sekuriti. Penerbit obligasi merupakan peminjam atau debitur,
pemegang obligasi adalah pemberi pinjaman atau kreditur, sedangkan
kupon obligasi adalah bunga pinjaman yang harus dibayar oleh debitur
kepada kreditur.
Istilah obligasi dan surat utang dibedakan penggunaannya berdasarkan
skala jumlah utang yang diterbitkan. Istilah obligasi biasanya digunakan
untuk penerbitan surat utang dalam jumlah besar yang ditawarkan secara
luas kepada publik, sedangkan “surat utang” digunakan untuk penerbitan
surat utang dalam skala kecil yang biasanya ditawarkan kepada sejumlah kecil
investor. Selain itu dikenal pula istilah surat perbendaharaan, yaitu suatu
sekuriti yang berpenghasilan tetap dengan masa jatuh tempo 3 tahun atau
kurang.
Penerbitan obligasi dapat dilakukan oleh berbagai kalangan, dengan
syarat harus mengikuti prosedur penerbitan yang ketat. Penerbit obligasi
antara lain adalah: 1) lembaga internasional, misalnya ADB, EIB, dsb., 2)
pemerintah negara, baik dalam mata uang sendiri (misalnya Surat Utang
Negara, SUN) atau mata uang asing (sovereign bond), 3) lembaga pemerintah
(agency bonds), dan 4) perusahaan (obligasi swasta). Proses yang umum

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 121


dikenal dalam penerbitan obligasi adalah melalui penjamin emisi atau
underwriting. Sedang penjualan obligasi pemerintah biasanya dilakukan
melalui proses lelang.
Berdasarkan jenisnya, obligasi dibedakan atas obligasi-obligasi 1) suku
bunga tetap, 2) suku bunga mengambang, floating rate note, yang mengacu
pada suatu indeks pasar uang, misalnya LIBOR, 3) junk bond, umumnya
berimbal hasil tinggi, 4) tanpa bunga, zero coupon bond, 5) obligasi inflasi,
dimana nilai pokoknya mengacu pada indeks inflasi, 6) obligasi indeks,
mengacu pada suatu indeks yang merupakan indikator bisnis, 7) obligasi
abadi, tidak memiliki masa jatuh tempo, 8) obligasi daerah (municipal bond).
Di Indonesia, jenis obligasi secara umum dapat dilihat dari siapa
penerbitnya, yaitu pemerintah atau perusahaan. Khusus obligasi
pemerintah, kita mengenal jenis-jenis sebagai berikut:
· Obligasi Rekapitalisasi: diterbitkan oleh pemerintah untuk tujuan
khusus yaitu dalam rangka program rekapitalisasi perbankan;
· Surat Utang Negara (SUN), biasanya diterbitkan untuk membiayai
defisit APBN;
· Obligasi Ritel Indonesia (ORI), sama dengan SUN, diterbitkan
untuk membiayai defisit APBN, namun dengan nilai nominal yang
kecil agar dapat dibeli secara ritel oleh masyarakat luas;
· Surat Berharga Syariah Negara, atau Obligasi Syariah, atau Obligasi
Sukuk, sama dengan SUN, diterbitkan untuk membiayai defisit
APBN, berdasarkan prinsip syariah.
Sebagai suatu ”efek”, obligasi bersifat dapat diperdagangkan, baik di
pasar primer maupun di pasar sekunder. Pasar primer adalah tempat
diperdagangkannya obligasi pada saat pertama kali diterbitkan. Untuk dapat
diperdagangkan, sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Pasar Modal,
obligasi harus dicatatkan di bursa efek untuk ditawarkan kepada masyarakat.
Sedang pasar sekunder adalah tempat diperdagangkannya obligasi setelah
diterbitkan dan dicatat di bursa efek.

122 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


Obligasi Rekapitalisasi (OR)
Obligasi rekapitalisasi (OR) adalah obligasi yang diterbitkan oleh
pemerintah untuk melaksanakan program penyehatan perbankan sebagai
kelanjutan dari penyaluran dana BLBI. Tujuan dari pengucuran OR
terutama adalah untuk mengatasi kesulitan modal yang dialami sejumlah
bank akibat krisis ekonomi tahun 1997. Melalui OR, pemerintah berupaya
memperbaiki tingkat kecukupan modal bank yang sebelumnya negatif
akibat tingginya angka kredit macet atau non-performing loan (NPL) pada
bank-bank tersebut. Seperti diketahui, karena krisis ekonomi (ditambah
dengan sejumlah persoalan lain yang mengikutinya seperti macetnya aset-
aset kredit, terjadinya penyalahgunaan dana bank, pelanggaran BMPK, dan
terjadinya rush), seluruh bank nasional, baik BUMN maupun swasta,
mengalami kerugian yang sangat besar. Akibatnya modal ekuiti dari bank-
bank tersebut terkuras habis atau malah ada yang menjadi negatif.
Seperti diuraikan dalam proposal penanganan obligasi rekap yang
dikeluarkan Kantor Meneg Bappenas 2003 berjudul ”Alternatif Solusi
Permasalahan Obligasi Rekapitalisasi Perbankan”, program rekapitalisasi
berpangkal dari ide dasar NPL atau kredit macet dikeluarkan dari aktiva
produktif bank, lalu direstrukturisasi oleh BPPN sehingga menjadi aset
kredit yang lancar. Agar aktiva produktif bank tidak merosot drastis, bank
disuntik dengan OR, dengan nilai yang diatur sedemikian rupa sehingga
diperoleh tingkat kecukupan modal yang aman.
Supaya bank mampu menutup kebutuhan biaya operasionalnya,
obligasi ini juga memperoleh/diberi bunga (kupon) oleh negara, yang
dananya diambil dari pos APBN. Selanjutnya, sesuai yang direncanakan, aset
kredit yang sudah direstrukturisasi tersebut akan dikembalikan kepada bank
dan ditukar dengan obligasi rekapitalisasi. Dengan demikian, aktiva
produktif bank akan kembali terisi dengan aset kredit yang lancar dan
pemerintah dapat meminimumkan kewajibannya membayar kupon/bunga
OR.
Namun, dalam kenyataannya, restrukturisasi aset berjalan lambat.
Bahkan BPPN pada waktu itu harus menjual aset tersebut dalam jumlah
yang besar dan waktu yang singkat, sehingga terjual dengan harga yang
murah. Hal itu dilakukan dengan alasan darurat, yaitu untuk menutup defisit

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 123


APBN. Akibat nilai jual aset kredit yang rendah tersebut, nilai OR yang bisa
ditebus pun menjadi sangat minim.
Dalam tulisan berikut akan diuraikan latar belakang dan cara kerja OR,
peran dan sikap IMF dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan OR, serta
berbagai penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan penyehatan bank
bermasalah. Perlu kami nyatakan, bahwa sebagian isi tulisan disusun dari
tulisan-tulisan Kwik Kian Gie pada tahun 2002-2003 di Harian Kompas,
makalah-makalah beliau pada sejumlah seminar, dan juga dari beberapa
kesempatan diskusi/pembicaraan langsung dengan beliau.

Bagaimana OR Bekerja
Penyehatan bank menggunakan instrumen obligasi dilakukan karena
pemerintah tidak mempunyai uang tunai untuk melakukan rekapitalisasi
bank-bank yang modalnya sudah negatif. Perlu dicatat, menurut kaidah
hukum perbankan maupun menurut undang-undang yang berlaku, bank
yang modalnya sudah mencapai titik sedemikian rendah atau malah negatif,
sebenarnya dapat dianggap bangkrut. Namun, karena berbagai
pertimbangan, seperti untuk menghindari gejolak atau kerusuhan yang
mungkin timbul dari para nasabah yang banknya dilikuidasi, atau untuk
memulihkan kodisi ekonomi yang carut marut, maka pemerintah memilih
tidak menutup bank-bank tersebut. Yang dilakukan adalah dengan
mempertahankannya hidup lewat instrumen OR.
OR atau surat utang yang diterima bank-bank dari pemerintah, akan
menjadi aset riil bagi bank, karena OR mempunyai nilai nominal, bunga, dan
tanggal jatuh tempo yang definitif. Disamping itu, sebagai pemegang
obligasi, bank akan menerima pembayaran bunga dari pemerintah secara
berkala, dalam hal ini setiap tiga bulan, sehingga akan menjadi sumber
pendapatan rutin bagi bank-bank tersebut. Ringkasnya, untuk menyehatkan
dan mencapai posisi kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) pada titik
tertentu (8%), bank memperoleh tambahan suntikan aset rill berupa OR
dan juga tambahan pemasukan rutin berupa pembayaran bunga OR
dari pemerintah.
Dengan adanya suntikan OR berikut bunga OR yang diterima, maka
akan diperoleh perbaikan kinerja bank secara bertahap sebagai berikut:

124 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


· Modal ekuiti akan meningkat, karena penerimaan obligasi didebet
oleh bank, dan sebagai lawannya, bank mengkredit modal ekuiti.
Dengan demikian, modal ekuiti yang awalnya negatif, bertempat di
sebelah kiri neraca (atau di sebelah kanan neraca dengan tanda
kurung), mendapat kredit. Jika jumlah kredit lebih besar dari posisi
semula ekuiti yang minus, maka modal ekuiti menjadi positif dan
pindah tempat ke pasiva;
· CAR akan meningkat, karena obligasi tidak menjadi pembagi dalam
menentukan CAR. Hal ini pada gilirannya akan memenuhi
persyaratan CAR oleh BI atau BIS (Bank for International Settlement);
· Rugi/laba bank membaik, karena mendapatkan pembayaran bunga
OR dalam bentuk tunai dari pemerintah. Hal ini akan membuat
bank dalam kondisi seolah-olah untung;
· Secara bertahap OR akan ditarik (sepanjang CAR yang
dipersyaratkan dapat terpenuhi), jika bank benar-benar dalam
kondisi untung, yaitu tercapainya profit dari berjalannya fungsi
intermediasi bank.
Perlu juga dicatat, bahwa parahnya kondisi bank-bank rekap
menyebabkan proses penyehatan ini membutuhkan waktu beberapa tahun.
Berikut merupakan tahap-tahap yang direncanakan menuju penyehatan
bank tersebut:
· Pada tahap awal, kondisi bank berada pada posisi ”seolah-olah
untung” karena pendapatannya hanya berasal dari uang tunai
berupa pembayaran bunga obligasi dari pemerintah.
· Selanjutnya bank akan memasuki tahap break even atau
membukukan sedikit laba. Pada tahap ini, bank mulai mampu
menarik giro, tabungan, dan deposito dari masyarakat. Dana yang
terkumpul dari masyarakat tersebut dipinjamkan kepada dunia
usaha dengan mengenakan bunga yang lebih tinggi dibanding yang
dibayarkan oleh bank kepada para penabung atau deposan (spread
positif).
· Lambat laun, dana masyarakat yang ditarik semakin meningkat,
sehingga spread yang diperoleh juga membesar, hingga melebihi

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 125


seluruh biaya yang dikeluarkan bank. Dengan demikian bank akan
memperoleh laba neto.
· Laba neto yang meningkat akan menjadikan modal ekuiti juga
meningkat (karena laba neto menjadi modal ekuiti). Dengan
demikian, CAR juga meningkat, melebihi nilai yang dipersyaratkan.
· Selanjutnya CAR diturunkan kembali kepada nilai yang disyaratkan.
Caranya adalah dengan mendebet (mengambil) modal ekuiti, dan
sebagai lawannya, obligasi pemerintah dikredit (ditebus atau
dibayarkan).
· Kemudian obligasi pemerintah yang dikredit di atas dapat ditarik
kembali oleh pemerintah. Dengan demikian, setahap demi setahap
obligasi menjadi nihil, dan pada tahap ini, bank sudah sehat dan
benar-benar untung.
· Bank yang sudah sehat ini kemudian membuat laba atas
kekuatannya sendiri. Pendapatan yang sebelumnya sebagian besar
berasal dari bunga obligasi, digantikan oleh laba neto yang berasal
dari spread yang lebih besar dari seluruh biaya bank.
· Laba neto yang muncul pada (sebelah kanan) neraca akan
menambah modal ekuiti. Modal ini diturunkan kembali dengan
cara menurunkan (menarik) obligasi (di sebelah kiri neraca) tanpa
mengganggu persyaratan minimum CAR.
Dengan proses di atas, diharapkan obligasi yang dikeluarkan
pemerintah setahap demi setahap dapat dikurangi hingga nihil berdasarkan
prinsip, meng-offset obligasi dengan laba neto yang berlebih, dengan tetap
berpedoman CAR yang dipersyaratkan tetap dipertahankan. Bank yang
sudah sehat ini, yaitu yang telah mampu memperoleh laba atas kekuatannya
sendiri, serta telah mengembalikan obligasi pemerintah, selanjutnya akan
dilepas kepada pihak swasta.
Menurut pengakuan Kwik Kian Gie, cara kerja konsep OR yang
dijelaskan di atas merupakan konsep yang diuraikan oleh Stanley Fischer
(Deputi I Direktur Pelaksana IMF) dan Hubert Neiss (Direktur IMF untuk
Asia Pasifik) kepada mantan Presiden Megawati, Laksamana Sukardi, dan
Kwik Kian Gie sendiri pada sekitar tahun 2000. Pertanyaannya adalah,
apakah pelaksanaan program sesuai dengan konsep awal tersebut?

126 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


Prinsip-Prinsip Dasar dalam Kebijakan OR
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu menjelaskan beberapa
hal prinsip menyangkut kebijakan dan konsep OR sebagai berikut:
· Kebijakan penyehatan bank-bank bermasalah menggunakan OR
merupakan konsep yang berasal dari IMF untuk dijalankan oleh
pemerintah RI. Konsep ini merupakan salah satu butir yang
tercantum dalam LoI IMF tertanggal 20 Januari 2000;
· Konsep rekapitalisasi dijalankan berdasarkan dogma bahwa CAR
bank harus mencapai 8% pada tahun 2001, sesuai persyaratan Bank
for International Settlement (BIS);
· Karena menerima BLBI dan OR, kepemilikan bank-bank beralih
kepada pemerintah, bukan lagi pemilik lama;
· Berdasarkan rencana awal, OR pada akhirnya akan ditarik jika
bank-bank bermasalah telah sehat kembali dan dapat hidup tanpa
menerima bunga obligasi dari pemerintah;
· Penjualan bank-bank hanya akan dilakukan jika bank tersebut
sudah sehat (sehingga nilai jualnya tinggi), mampu membuat laba,
dan telah mengembalikan OR kepada pemerintah;
· Cara penjualan bank-bank yang sudah sehat harus dilakukan
melalui tender terbuka secara transparan. Niat pemerintah untuk
menjual, dengan demikian, juga harus diumumkan secara
transparan kepada calon pembeli potensial di seluruh dunia;
· Pemerintah menentukan harga minimum bank, dan akan
dirahasiakan serta disimpan pada notaris yang ditunjuk bersama
oleh pemerintah dan IMF. Jika pada tanggal penjualan tersebut
belum diperoleh penawaran harga dari calon-calon pembeli yang
mencapai harga minimum tersebut, maka penjualan akan ditunda
pada lain kesempatan untuk memperoleh harga yang lebih baik
(memenuhi harga minimum yang ditetapkan).
Meski memiliki rencana awal yang cukup baik, pada praktiknya, prinsip-
prinsip dasar program penyehatan perbankan tersebut justru tidak
dijalankan secara konsisten. Penyimpangan demi penyimpangan terus
terjadi sehingga mengakibatkan kerugian besar bagi negara.

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 127


Kebijakan OR dan Penyimpangan yang Merugikan
Negara
Menurut undang-undang, bank yang rusak atau modalnya sudah
negatif harus dilikuidasi. Namun, karena alasan krisis dan berbagai alasan
lain, bank tersebut dibiarkan hidup dengan cara memberikan obligasi (OR)
seperti yang ditetapkan oleh IMF di atas. Menurut Kwik Kian Gie dalam
berbagai tulisannya, sebenarnya ada cara lain yang lebih tepat dan objektif
untuk menyehatkan bank dibanding cara ”pura-pura” yang diajukan IMF
tersebut.
Cara itu adalah dengan memberikan uang tunai secukupnya kepada
bank yang rusak, tanpa menyerahkan obligasi, dalam rangka “membeli
waktu” untuk mempertahankan agar bank tidak sampai tutup. Bank yang
rusak tercermin dari neraca, dimana modal ekuitinya sangat kecil atau
negatif, dan perincian rugi/laba yang terus merugi. Supaya bank tidak tutup,
perincian rugi/labanya dibenahi supaya setiap akhir bulan kondisi bank
menunjukkan posisi untung walaupun sedikit (di atas break even). Untuk
keperluan itu, pemerintah menyuntikkan sejumlah uang tunai sebagai
pendapatan bank untuk membantu bank mencapai posisi break even. Jumlah
uang yang disuntikkan akan bervariasi dan akan terus menurun sesuai
dengan kebutuhan pencapaian break even serta besarnya keuntungan yang
diperoleh dari dana para nasabah bank.
Jika kondisi ekonomi membaik dan bank tetap bertahan hidup, bank
akan dapat menarik tabungan, giran, dan deposan lebih besar. Dengan
demikian, lambat laun porsi pendapatan yang diperoleh bank dari bisnis
operasionalnya akan terus meningkat dibanding pendapatan yang diperoleh
dari suntikan pemerintah tersebut. Pada suatu waktu, bank akan mencapai
suatu titik dimana suntikan dari pemerintah tidak diperlukan lagi karena
bank sudah menjadi sehat dengan memperoleh keuntungan dari para
nasabah pengguna jasanya.
Karena pendapatan bank terus meningkat, maka laba netonya juga terus
bertambah, sehingga akan memperbesar modal sendiri (di bagian kanan
neraca). Jika modal terus meningkat, maka batas CAR minimum yang
dipersyaratkan juga akan dapat dicapai. Sehingga, dengan cara ini, tanpa
harus menginjeksikan obligasi (artinya pemerintah tidak perlu berutang

128 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


kepada bank yang dibantu), CAR dapat ditingkatkan dan tujuan penyehatan
bank dapat tercapai.
Dalam kaitan itu, berikut kami uraikan beberapa letak penyimpangan
atau kesalahan kebijakan yang dibuat pemerintah dalam hal menyehatkan
perbankan melalui kebijakan obligasi rekapitalisasi (OR).
Penyimpangan PERTAMA: Penyuntikan Obligasi Pemerintah
Konsep alternatif yang ditawarkan Kwik di atas terlihat mampu bekerja
untuk menyehatkan bank sakit tanpa menggunakan OR. Dengan demikian,
pemerintah tidak perlu berutang kepada bank, dan dapat terhindar dari
berbagai potensi dampak keuangan yang merugikan. Sayangnya alternatif
tersebut tidak dipilih. Hal ini dapat dikatakan sebagai penyimpangan,
disamping berbagai penyimpangan lain dalam pelaksanaannya seperti
diuraikan berikut.
Atas permintaan IMF, dengan alasan bahwa hal itu sesuai dengan
peraturan BIS, obligasi (OR) harus diinjeksikan oleh pemerintah agar modal
ekuiti meningkat dan CAR mencukupi. Seperti dinyatakan Kwik, ”Cara ini
mendistorsi kebenaran, melawan logika dan memasukkan kepura-puraan.
Mengapa? Karena pemerintah yang berbaik hati bersedia memberikan uang
tunai setiap bulannya selama diperlukan untuk mempertahankan agar bank
tidak kelelep (tutup), justru dihukum disuruh menyatakan utang (kepada
bank) dalam bentuk obligasi”.
Nyatanya, saat ini, kerugian negara akibat rekomendasi IMF yang salah
dan manipulatif itu telah ditanggung dan dirasakan oleh seluruh rakyat.
Dalam APBN, setiap tahun rakyat pembayar pajak harus menanggung
beban bunga obligasi puluhan triliun rupiah hingga tahun 2021, ditambah
ratusan triliun rupiah nilai pokok OR-nya yang akan jatuh tempo pada tahun
2021.
Dengan demikian, sangat wajar jika IMF dan pejabat-pejabat
pemerintah yang menerima dan menjalankan begitu saja rekomendasi yang
merugikan tersebut dituntut pertanggungjawabannya. Segenap rakyat harus
bangkit menggugat dan melawan kejahatan ini!

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 129


Penyimpangan KEDUA: OR Tidak Ditarik Meskipun Bank Sudah
Sehat
Pada saat bank-bank bermasalah telah kembali sehat dan mampu
memperoleh laba neto dari pendapatan usahanya (diluar bunga OR), serta
mencapai CAR yang disyaratkan, ternyata OR yang disuntikkan tidak
ditarik oleh pemerintah. Padahal, sesuai penjelasan para mantan Direktur
IMF (Stanley Fischer dan Hubert Neiss) sebagaimana diuraikan di atas, OR
dijanjikan akan ditarik setahap demi setahap sesuai laba neto yang diperoleh
dan CAR yang dipersyaratkan.
Jangankan menarik secara bertahap, pemerintah -karena kepatuhan dan
ketakutan kepada IMF- justru tetap membiarkan obligasi tersebut dipegang
oleh bank hingga belasan tahun ke depan. Bukankah ini merupakan bentuk
penghisapan yang dzalim?
Penyimpangan KETIGA: Obligasi Belum Ditarik pada Saat Bank
Dijual
Bank-bank bermasalah telah ditolong oleh pemerintah dalam 2 bentuk
bantuan: OR dan bunga OR. Sesuai prinsip dasar yang direkomendasikan
IMF di awal kesepakatan, bank hanya akan dijual jika OR-nya telah
dikembalikan kepada pemerintah. Ternyata, IMF dan penguasa tetap
menjual beberapa bank swasta meskipun masih memegang OR. Penjualan
ini jelas telah melanggar prinsip dasar yang awalnya juga direkomendasikan
IMF dan disepakati dengan pemerintah. Akibatnya negara harus membayar
bunga OR lewat APBN setiap tahun dan pokok OR pada saat jatuh
temponya. Negara dirugikan ratusan triliun rupiah!
Penjualan bank-bank dalam penyehatan yang memegang OR jelas
merupakan manipulasi dan kejahatan yang sangat nyata. Para pembeli bank,
IMF, BPPN, dan pejabat-pejabat pemerintah terkait har us
bertanggungjawab atas kejahatan ini. Kita layak dan harus menuntut!
Penyimpangan KEEMPAT: Penjualan Bank Tidak Dilakukan Melalui
Tender Terbuka
Pada awalnya, berdasarkan kesepakatan dengan IMF, bank-bank akan
dijual melalui tender terbuka. Namun, kesepakatan ini dilanggar. Atas
perintah IMF, bank harus dijual kepada strategic partner melalui prosedur yang
tidak jelas, termasuk dengan merujuk kepada harga pasar di BEJ. Akibatnya

130 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


bank-bank terjual dengan harga murah, sehingga negara dirugikan puluhan
triliun rupiah.
Perlu pula dicermati, terdapat indikasi kuat keterlibatan oknum-oknum
pejabat IMF dalam memanfaatkan kesempatan dari penjualan bank-bank ini
untuk kepentingan pribadi. Hal ini misalnya yang ditunjukkan pada kasus
penjualan BCA yang melibatkan mantan Direktur IMF untuk Asia Pasifik,
Hubert Neiss. Setelah sebelumnya, melalui IMF, Neiss gigih mendesak
pemerintah untuk menjual BCA kepada pihak swasta, tiba-tiba (tak lama
setelah berhenti menjabat di IMF) Neiss berganti baju menjadi wakil
Farallon Capital yang ikut melobi dan sukses memenangkan tender BCA
dengan harga sangat murah.
Karena itu, seperti juga penyimpangan-penyimpangan lainnya,
penjualan bank-bank rekap tanpa melalui tender ini adalah salah satu bentuk
manipulasi dan kejahatan yang harus dituntut pertanggungjawabannya dari
semua pihak terkait. Pejabat-pejabat IMF, termasuk para pejabat negara
yang bermental lemah dan mengikuti saja permintaan IMF, mutlak
merupakan pihak yang harus dituntut pertanggungjawabannya.
Penyimpangan KELIMA: Bank Tetap Dijual Meskipun Harga
Minimum Tidak Tercapai
K arena bank dijual tanpa tender terbuka yang dapat
dipertanggungjawabkan, dan IMF serta beberapa oknum pejabat
berkepentingan untuk mengambil keuntungan dari penjualan bank, maka
harga minimum penjualan bank yang ditetapkan akhirnya tidak dapat
diperoleh. Sehingga, hal ini tak lain hanya merupakan satu paket kejahatan
dengan berbagai penyelewengan yang telah terjadi sebelumnya.
Karena dampak kerugiannya yang sangat besar, berbagai
penyimpangan di atas harus dikoreksi dan pelakunya dituntut
pertanggungjawabannya. Namun untuk itu, kita perlu sebelumnya
menyelidiki mengapa dan atas dasar apa kebijakan tersebut dijalankan.

Sikap Pemerintah dan Peran IMF


Bagi negara, sesungguhnya hal yang paling merugikan dari kebijakan
pengucuran OR adalah bahwa sampai kini OR masih dipegang oleh bank,
sehingga bunganya harus dibayar pemerintah setiap tahun, hingga paling
Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 131
tidak sampai tahun 2021. Padahal, bank-bank tersebut sudah kembali sehat.
Sebagian telah go public, bahkan sudah dimiliki pihak swasta, termasuk pihak
asing. Setiap tahun, para pemegang saham bank (yang umumnya terdiri dari
orang-orang mampu), para investor, dan para pemilik bank (termasuk asing)
memperoleh pembayaran bunga obligasi dari pemerintah dalam APBN.
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa pihak-pihak terkait sektor
perbankan, yang sebagian besarnya merupakan orang-orang yang hidup
berkecukupan, merupakan penerima subsidi pemerintah melalui
pembayaran OR setiap tahunnya. Tentu, ini sesuatu yang sangat tidak adil.
Apalagi mengingat, di saat yang sama, subsidi bagi orang miskin justru terus
berkurang setiap tahun. Oleh sebab itu, demi keadilan, OR sudah sewajarnya
dicabut dari perbankan (dapat dilakukan salah satunya dengan menarik
modal pemerintah dari perbankan) dan pembayaran bunganya dihentikan
oleh pemerintah. Persoalannya, adakah political will dan komitmen
pemerintah untuk itu? Untuk menjawabnya, perlu kita ketahui alasan dan
latar belakang pemerintah mengeluarkan kebijakan OR.
Menurut pemerintah, seperti yang diungkapkan Boediono dalam
artikelnya “Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya” (www.depkeu.go.id),
pengucuran obligasi rekap pada waktu krisis harus dilakukan supaya tidak
terjadi lagi penutupan bank seperti terjadi sebelumnya pada 16 bank.
Setelah mengalami rush yang demikian hebat, pihak pemerintah kemudian
mengategorikan bank-bank yang tersisa menjadi bank yang setengah sehat
dan bank-bank yang sehat. Bank-bank yang setengah sehat belum bisa
beroperasi seperti bank-bank yang sehat, karena terbebani kredit macet yang
sangat besar. Bahkan modalnya terkuras untuk menutupi arus kas yang
keluar akibat rush. Bank-bank yang sakit ini harus melewati proses
penyehatan yang dilakukan oleh BPPN melalui program rekapitalisasi (OR).
Sedangkan bank-bank yang sehat posisinya diawasi secara langsung oleh
Bank Indonesia
Dinyatakan pemerintah, prasyarat penting bagi pemulihan ekonomi
adalah kembalinya fungsi perbankan. Karena itulah, proses penyehatan
perbankan melalui program rekapitalisasi perbankan tidak boleh
ditunda-tunda. Apalagi, atas rekomendasi IMF, pemerintah juga
menetapkan kewajiban bagi pihak perbankan untuk memenuhi CAR
minimal sebesar 4% sampai akhir tahun 1998, dan minimal 8% sampai akhir
tahun 2001. Demikian pentingnya pencapaian target-target ini, sehingga
132 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat
pemerintah kemudian juga menetapkan bila pemilik bank mengalami
kekurangan modal untuk mencapai CAR 4% pada tahun 1998 dan 8% pada
2001, maka pemerintah hanya meminta pemilik bank tersebut menyetor
seperlima bagian saja dari target CAR minimum, karena sisanya akan
ditanggung oleh pemerintah. Suntikan modal pemerintah (untuk mencapai
target minimum CAR) diberikan dalam bentuk penempatan obligasi
pemerintah pada bank-bank tersebut. Obligasi pemerintah sendiri, yang
akan menutup sebagian besar kebutuhan dana rekapitalisasi, dibuat melalui
penerbitan Surat Utang Negara (SUN). Obligasi pemerintah inilah yang
dikenal sebagai obligasi rekap.
Kesediaan pemerintah untuk menanggung sebagian besar kebutuhan
dana rekapitalisasi bank tersebut, menyebabkan kepemilikan pemerintah di
seluruh sektor perbankan pernah mencapai 95%! Artinya, telah terjadi
penumpukan kepemilikan di tangan negara atau secara tidak langsung telah
terjadi 'nasionalisasi' di sektor perbankan. Kondisi seperti ini dinyatakan
sebagai sesuatu yang tidak sehat, sehingga perlu 'dinormalisasi'. Keadaan
inilah yang kemudian menjadi alasan pemerintah melakukan divestasi atas
aset-aset produktif miliknya pada sektor perbankan, dan menyerahkan
pengelolaannya kepada publik atau swasta. Sedangkan pemerintah sendiri
bertugas merumuskan aturan-aturan main bagi perbankan dan mengawasi
agar aturan-aturan main itu dipatuhi, sehingga memberikan sebesar-
besarnya manfaat bagi rakyat.
Hal lain yang mendorong pemerintah melakukan divestasi, menurut
Boediono, adalah adanya faktor risiko yang tinggi dalam suatu usaha bisnis
perbankan, sehingga lebih cocok untuk dilakukan oleh swasta. Pengelolaan
yang kurang baik, pengawasan yang kurang cermat, kelalaian, dan
keteledoran dapat menimbulkan kerugian besar dalam waktu singkat. Kasus
pembobolan bank pun dinyatakan sering terjadi di bank-bank milik
pemerintah. Sehingga pemerintah harus meminimumkan risiko tersebut
dengan cara melepaskan saham miliknya.
Berdasarkan cara pandang pemerintah terkait OR di atas, dapat
disimpulkan sangat kecil kemungkinan pemerintah untuk mengubah
kebijakannya dalam hal OR, yaitu menarik OR dan memberhentikan
pembayaran bunganya. Padahal keduanya (OR dan bunganya) sangat
memberatkan keuangan negara. Sebagai contoh, pada tahun 2002/2003,
dari total utang dalam negeri sebesar Rp 643 triliun, beban pembayaran OR
Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 133
dan bunganya sudah memakan porsi mencapai dua pertiga bagiannya.
Sementara, sekitar seperempat utang dalam negeri lainnya berasal dari
kebijakan BLBI dan kebijakan penjaminan perbankan.
Disamping itu, terkait kebijakan OR, kita juga dapati bahwa pemerintah
tampak terlalu tunduk kepada permintaan IMF, sehingga mengorbankan
kepentingan rakyat yang lebih besar. Padahal, IMF dan negara-negara
”kreditor” pemberi utang telah diketahui secara luas tidak benar-benar tulus
membantu Indonesia keluar dari krisis. ”Bantuan” yang mereka berikan
justru lebih dilatarbelakangi oleh motif mencari keuntungan sebesar-
besarnya dari negara yang dibantunya. Sikap negara dan lembaga pemilik
modal ini sebenarnya sama saja dengan negara-negara imperialis di masa
lalu, yaitu mencari negara-negara jajahan baru yang lemah dan tak berdaya
untuk dieksploitasi habis-habisan.
Seperti dinyatakan Kwik Kian Gie, “Kebijakan merekapitalisasi bank-
bank yang rusak berat dengan memberikan surat utang negara yang
bernama Obligasi Rekapitalisasi (OR) adalah blunder yang menyengsarakan
rakyat banyak, dan membuat keuangan negara yang sangat terpuruk menjadi
terpuruk lagi”.
Kwik juga menambahkan, program OR merupakan hasil tekanan IMF
seperti terlihat pada LoI yang ditandatangani oleh Menko Perekonomian,
Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral atas nama pemerintah
dengan IMF. LoI mengandung rencana kerja dan rencana tindakan yang
harus dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Melalui LoI, IMF
memaksakan resep-resep ekonomi yang diberikannya dilaksanakan oleh
pemerintah. Bahkan IMF tak segan menunda pencairan pinjaman kepada
pemerintah jika pemerintah tidak dianggap cukup bersungguh-sungguh
dalam melaksanakan agenda-agenda tersebut.
Aroma kelicikan IMF terhadap rakyat Indonesia sebenarnya sudah
dapat dicium dari penggunaan kata Letter of Intent sendiri. Hal ini karena
nama dokumen perjanjian IMF dan pemerintah sebenarnya adalah
Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP). Namun, istilah IMF
justru lebih mempopulerkan penggunaan istilah LoI untuk merujuk pada
butir-butir rekomendasi kebijakan yang diberikannya kepada pemerintah
tersebut.

133 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


Menurut Kwik, istilah LoI lebih senang digunakan IMF karena seolah-
solah menunjukkan butir-butir kebijakan yang direkomendasikan IMF
tersebut merupakan kehendak pemerintah Indonesia sendiri (sebagaimana
istilah LoI secara bebas dapat diartikan sebagai ”surat pernyataan maksud”).
Melalui LoI, IMF seolah menunjukkan pihaknya hanya merespon keinginan
dan maksud yang disampaikan pemerintah.
Pada kenyataannya, seperti juga banyak pihak telah mengetahuinya,
keseluruhan isi LoI merupakan rancangan yang dibuat oleh IMF. Menurut
pengakuan Kwik, saat menjadi Kepala Bappenas, Tim IMF sering
mendatanginya dengan membawa rancangan MEFP yang sudah lengkap,
rapi, dan sistematis. Isi dokumen memang dirundingkan dengan
pemerintah, tetapi dalam posisi IMF selalu memaksakan kehendaknya
dalam tiap pembahasan. Bahkan, tidak jarang IMF juga mengancam akan
menghentikan hubungan kalau pihak Indonesia tidak setuju.
Akibat kebijakan OR yang dipaksakan IMF kepada pemerintah tersebut
(meskipun di sisi lain pemerintah justru menutupi kesalahan IMF dengan
berulangkali menyatakan pengucuran OR adalah kebutuhan objektif untuk
menyehatkan perbankan Indonesia), beban pembayaran utang dalam
APBN melonjak drastis. Sebagai contoh, hal ini dapat dilihat pada besarnya
beban pembayaran utang dalam APBN 2004 (lihat Tabel 1). Dalam tabel
tersebut tercantum, beban pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar
Rp 38,111 triliun dan bunga untuk utang luar negeri sebesar Rp 24,375
triliun. Sehingga, hanya untuk pembayaran bunga utang saja, secara total
pemerintah harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 62,486 trilun.
Sementara, pembayaran cicilan utang pokok dalam negeri yang jatuh tempo
adalah sebesar Rp 25,456 triliun dan luar negeri sebesar Rp 46,491 triliun,
sehingga total pembayaran cicilan utang pokok adalah sebesar Rp 71,947
triliun. Dengan demikian, secara total, beban pembayaran utang seluruhnya
pada tahun 2004 mencapai sebesar Rp 134,433 triliun.
Sebagaimana terlihat, pembayaran bunga utang saja sudah memakan
porsi sebesar 101,69% dari seluruh anggaran pembangunan yang sebesar Rp
61,45 triliun. Ditambah dengan pokoknya, beban pembayaran utang
memakan porsi 218,77% atau lebih dua kali lipat dari seluruh anggaran
pembangunan. Dengan kondisi seperti ini, maka Indonesia akan terus
menerus terjebak dalam lingkaran utang di tahun-tahun mendatang, kecuali

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 135


ada kemauan dan komitmen kuat dari pemerintah untuk mengurangi utang
secara besar-besaran.
Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa penerimaan rutin tidak cukup
untuk menutupi pengeluaran rutin, sehingga APBN mengalami defisit
sebesar Rp 91,287 triliun. Untuk menutupi defisit, maka pemerintah
melakukan langkah-langkah antara lain: menguras simpanan pemerintah
sebesar Rp 21,256 triliun, menjual BUMN sebesar Rp 3,52 triliun, menjual
aset BPPN sebesar Rp 15,751 triliun, dan menerbitkan obligasi dalam negeri
(utang baru dalam negeri) sebesar Rp 32,327 triliun.
Karena pos penerimaan dalam negeri ternyata tidak juga mencukupi,
maka pemerintah meminta tambahan utang ke CGI dan lembaga-lembaga
keuangan internasional dalam bentuk utang untuk program sebesar Rp
5,059 triliun dan utang untuk proyek sebesar Rp 13,375 triliun. Hal ini
akhirnya menambah parah lilitan utang yang dialami Indonesia.

Tabel 1
Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah dalam APBN Perubahan
tahun 2004 (miliar Rp)

Keterangan Jumlah
PENERIMAAN PEMERINTAH
Penerimaan pemerintah dari perpajakan 407,558.2
Penerimaan hibah dari luar negeri 278,0
Jumlah Penerimaan 407.836,2

PENGELUARAN PEMERINTAH
Pengeluaran rutin Pemerintah Pusat 173.529,0
Pengeluaran Daerah 129.712,0
Pengeluaran pembangunan 61.450,0
Pembayaran bunga utang dalam negeri 38.111,0
Pembayaran bunga utang luar negeri 24.375,0
Pembayaran cicilan pokok utang dalam negeri 25.456,0
Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri 46.491,0
Jumlah Pengeluaran 499.124,0
Surplus/Defisit (Pemerintah kekurangan dana) -91.287,8

136 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


PEMBIAYAAN MENUTUP D EFISIT
Menguras simpanan pemerintah 21.255,8
Menjual BUMN 3.520,0
Menjual aset BPPN 15.751,0
Utang baru dari rakyat Indonesia 32.327,0
Utang dari luar negeri untuk program 5.059,0
Utang dari luar negeri untuk proyek 13.375,0
Jumlah 91.287,8
Sumber : Departemen Keuangan RI

Seputar Divestasi Bank Rekapitalisasi


Seperti telah disebutkan sebelumnya, program divestasi perbankan oleh
pemerintah dilakukan karena keterpaksaan (menutup defisit anggaran) dan
agar terhindar dari risiko. Dari sisi bisnis, divestasi merupakan hal yang
lumrah, bahkan bisa menggairahkan perdagangan di bursa. Dari sisi
perusahaan yang akan dilakukan divestasi, pelepasan saham merupakan
langkah strategis dalam rangka penciptaan perusahaan yang efektif, efisien
dan mampu bersaing secara global. Sedangkan, dari sisi pemerintah,
program divestasi dilakukan dengan harapan pemerintah bisa menciptakan
bank yang sehat dan mendapatkan dana segar. Sementara dari sisi investor,
diharapkan keuntungan dari kenaikan harga saham jika situasi ekonomi
telah pulih, terutama karena besarnya potensi nasabah yang ada di
Indonesia.
Masalahnya, divestasi yang dilakukan pemerintah terhadap sejumlah
bank rekap tidak memenuhi syarat untuk dapat dikatakan sebagai proses
divestasi yang wajar dan memberi keuntungan maksimal bagi negara dalam
rangka menutup defisit keuangannya. Divestasi dilakukan dan tampaknya
akan terus dilakukan meskipun bank-bank yang menerima divestasi tersebut
masih memegang OR dari pemerintah dalam portofolionya. Sehingga,
akibat program divestasi yang dilakukannya, pemerintah harus
mengeluarkan lebih banyak uang pada masa-masa selanjutnya untuk
membayar pokok dan bunga OR yang terdapat pada bank yang dijualnya
tersebut. Padahal, ini pun bertentangan dengan prinsip awal saat program
OR direncanakan dan diimplementasikan.
Kerugian pemerintah akibat divestasi bank-bank rekap misalnya dapat
dilihat pada kasus divestasi bank-bank swasta sepanjang tahun 2002-2003.
Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 137
Divestasi bank-bank ini dilakukan atas desakan IMF, yang kemudian juga
memaksa divestasi dilakukan dengan segera. Dengan desakan dan
ketergesa-gesaan itu, bank-bank dijual dengan harga murah, padahal OR
pun belum ditarik keluar dari bank-bank tersebut. Sehingga, pembeli bank-
bank rekap (yang patut diduga sebagiannya memiliki keterkaitan dengan
sejumlah oknum di IMF) memperoleh keuntungan berlipat-lipat: harga beli
yang murah, aset OR yang besar, dan jaminan penerimaan rutin dari
pemerintah melalui bunga OR.
Akibat program divestasi tersebut, negara dan rakyat mengalami
kerugian yang sangat besar. Negara harus menanggung beban pembayaran
OR dan bunganya yang telah beralih kepemilikan kepada pihak swasta
(termasuk swasta asing) dengan nilai mencapai Rp 40 triliun per tahun
(untuk mengetahui distribusi portofolio OR yang masih dimiliki perbankan
periode 2000 2002 lihat Tabel 2).
Akibat potensi kerugian negara yang sangat besar, program divestasi
perbankan yang dilakukan pemerintah ditentang sengit sejumlah tokoh
nasional, pakar perbankan, dan pakar ekonomi. Namun sayangnya,
pemerintah dan DPR membiarkan saja divestasi berlangsung sesuai
skenario dan rencana IMF. Kondisi ini pun dimanfaatkan oleh para investor
(dan juga bahkan obligor BLBI) yang turut berupaya mengambil
kesempatan dari obral aset perbankan ini. Maka terlaksanalah divestasi
beberapa bank rekap seperti BCA, Danamon, BII, dan sebagainya.
Dalam divestasi BCA, sekitar 50% saham yang dimiliki pemerintah
dijual dengan harga sangat murah, yaitu sekitar Rp 5 triliun saja. Padahal,
sebagaimana diketahui, ketika dijual BCA masih memegang OR sebesar Rp
60,87 triliun dalam portofolionya. Belum lagi jika memperhitungkan bunga
obligasi rekap yang diterima BCA pertahunnya sekitar Rp 5 triliun hingga
Rp 6 triliun (pada tahun 2002 adalah sekitar Rp 8,6 triliun). Sehingga, hasil
penjualan ini jelas tidak masuk akal dan sangat merugikan negara.
Yang sangat diuntungkan dari transaksi tersebut tentu saja pembelinya.
Hanya dalam waktu satu tahun, BCA sudah dapat mengembalikan modal
pembelian yang dikeluarkan pembelinya, plus keuntungan dari bunga
obligasi rekap sebesar Rp 3,3 triliun. Belum lagi keuntungan investor dari
capital gain akibat kenaikan harga saham BCA yang lebih dari lima kali lipat
dibanding saat pembelian. Diketahui, harga per lembar saham BCA yang

138 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


awalnya Rp 1.202 pada saat divestasi bulan Maret 2002, telah naik menjadi
Rp 7.000 pada tanggal 13 November 2007.
Karena itulah, mantan Menko Perekonomian RI Dr. Rizal Ramli
menyatakan kasus penjualan BCA perlu diselidiki dan diungkap tuntas.
Menurutnya, pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (saat Rizal
menjabat sebagai Menko), IMF sudah menekan pemerintah agar BCA
segera dijual, namun tidak dituruti. Baru pada masa pemerintahan
Megawati, IMF berhasil memaksakan penjualan BCA oleh pemerintah.
Seperti dinyatakan olehnya, ”Hal ini sungguh ironis, sebab saat itu tagihan
BCA ke pemerintah Rp 60 triliun dan saat ini harga BCA Rp 91 triliun”
(Indopos, 12 Desember 2007).
Rizal selanjutnya menyarankan agar Kejaksaan Agung memanggil
sejumlah pejabat, karena mereka sangat berperan dalam peristiwa penjualan
BCA. Salah satu contohnya, disebutkan Rizal, adalah mantan Menteri
Keuangan Boediono (sekarang Menko Ekonomi) yang bertanggung jawab
atas penjualan BCA yang sarat rekayasa sehingga menimbulkan kerugian
negara puluhan triliun rupiah.

Status Obligasi Rekapitalisasi Tahun 2002


Hingga bulan Mei 2003, pemerintah telah mengeluarkan obligasi
sebesar Rp 640 triliun, dengan sejumlah Rp 370 triliun dari obligasi tersebut
berada di tangan perbankan pada tahun 2002. Selanjutnya, sekitar Rp 367
triliun atau 99,4% dari obligasi senilai Rp 370 triliun tersebut ternyata
dipegang oleh 20 bank besar saja, dari keseluruhan 137 bank yang beroperasi
di Indonesia (lihat Tabel 2). Dari tabel dapat dicatat bahwa bank-bank
BUMN merupakan pemegang obligasi terbesar, yaitu sekitar 60%, yang
kemudian disusul oleh kelompok bank-bank swasta, dan bank-bank asing.
Dari tabel terlihat pula bahwa jumlah OR yang dimiliki oleh bank-bank
rekapitalisasi telah turun, dari Rp 417,36 triliun pada tahun 2000, menjadi Rp
370 triliun pada tahun 2002. Namun perlu disadari bahwa penurunan terjadi
bukan karena OR dicabut oleh pemerintah (sehingga akan mengurangi
beban pembayaran bunga), tetapi karena dijual kepada pihak lain.
Akibatnya, besarnya nilai OR yang menjadi utang/beban pemerintah secara
keseluruhan tidak banyak berubah dibanding nilai awal, yakni sekitar Rp 400

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 139


triliun. Oleh sebab itu, dengan tingkat bunga bervariasi antara 9% hingga
14%, besarnya total kupon/bunga yang harus dibayar setiap tahun masih
tetap tinggi, yakni sekitar Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun.

Tabel 2
Distribusi Obligasi Rekap periode 2000 2002

2000 2001 2002


No. Bank
Rp (Juta) % Rp (Juta) % Rp (Juta) %

1. Bank Mandiri 176,895,296 42.38 153,493,218 38.41 148,845,927 40.18

2. Bank Negara Indonesia 62,463,750 14.97 60,644,983 15.18 53,181,617 14.36

3. Bank Central Asia 60,039,788 14.39 60,784,819 15.21 50,821,800 13.72

4. Bank Rakyat Indonesia 28,981,600 6.94 28,436,257 7.12 28,393,561 7.66

5. Bank International Indonesia 6,462,166 1.55 19,868,480 4.97 23,508,774 6.35

6. Bank Danamon Indonesia 47,025,433 11.27 27,768,254 6.95 15,639,724 4.22

7. Bank Tabungan Negara 13,994,778 3.35 13,775,120 3.45 14,190,737 3.83

8. Bank Permata - - - - 11,691,561 3.16

9. Bank Lippo 6,004,924 1.44 5,810,489 1.45 5,690,423 1.54

10. Bank Niaga 9,344,716 2.24 8,350,238 2.09 5,571,946 1.50

11. Deutsche Bank 98,377 0.02 608,277 0.15 3,032,245 0.82

12. Bank Mega 1,974,810 0.47 2,934,448 0.73 2,312,900 0.62

13. Bank Panin 1,818,996 0.44 11,585,489 2.90 1,881,626 0.51

14. Standard Chartered Bank 76,343 0.02 43,741 0.01 860,736 0.23

15. Bank Artha Graha 285,691 0.07 1,228,436 0.31 513,834 0.14

16. ABN Amro Bank - - 350,000 0.09 503,424 0.14

17. Bank Bukopin 367,359 0.09 367,274 0.09 449,995 0.12

18. Bank Danpac 141,750 0.03 312,037 0.08 425,230 0.11

19. BPD - Jawa Tengah 389,422 0.09 389,422 0.10 380,933 0.10

20. Bank Victoria International 164,062 0.04 744,933 0.19 327,468 0.09

Sub Total 416,529,261 99.80 397,495,915 99.47 368,224,461 99.40

Di luar 20 Bank Besar 835,532 0.20 2,121,044 0.53 2,226,345 0.60

Total Nasional 417,364,793 100 399,616,959 100 370,450,806 100

Sumber : Laporan publikasi bank, diolah oleh Grup Riset Bank BRI
Dikutip dari buku ”Obligasi Rekapitalisasi Perbankan : Geneologi, Masalah dan
Solusi”, Djoko Retnadi, dkk.

140 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


Seperti telah disinggung sebelumnya, karena bank-bank penerima OR
telah menjual OR yang dimilikinya, OR kini menyebar ke sejumlah pihak
mencakup bank-bank non-rekap (termasuk asing), lembaga keuangan non
bank, dan juga publik. Sehingga, kini beberapa bank non-rekap, seperti
Deutsche Bank, Bank Mega, Bank Panin, Standard Chartered Bank, Bank
Artha Graha, ABN Amro, Bank Danpac dan Bank Victoria International,
justru memiliki OR cukup besar. Dampak dari penyebaran kepemilikan OR
diluar bank-bank rekap ini adalah semakin sulitnya OR ditarik (ditebus atau
dibeli kembali) pemerintah dalam rangka mengurangi stok utang dalam
negeri. OR sendiri dijual oleh bank karena dana yang mereka peroleh dari
penjualan OR tersebut akan memberikan pendapatan yang lebih besar
dibanding yang diperoleh bank dari pemerintah sebagai bunga/kupon.
Perlu dicatat, bagi pemerintah, pembayaran OR sebenarnya tidak akan
terlalu bermasalah jika OR masih dipegang oleh bank-bank pemerintah,
karena dana itu akan kembali juga ke negara. Namun, dengan dijualnya OR,
serta bank-bank pemegang OR (BUMN atau swasta) kepada pihak lain,
seperti yang terjadi pada Bank Mandiri, BNI dan BRI, maka pemerintah
harus menyiapkan dana untuk membayar pokok dan bunga OR yang
demikian besar, kepada siapapun pemegang akhir OR tersebut.

Status Utang Negara dan OR Saat Ini


Kewajiban dan bunga OR merupakan beban berat yang harus
ditanggung APBN setiap tahun. Dengan beban utang dan bunga OR yang
demikian besar, pemerintah harus mengurangi berbagai anggaran untuk
pembangunan dan subsidi pelayanan publik. Pengalokasian anggaran yang
tidak adil ini akan berlangsung cukup lama akibat besarnya nilai pokok OR
yang dikucurkan serta dilakukannya reprofiling dan penjadwalan ulang waktu
jatuh tempo OR oleh pemerintah.

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 141


Tabel 3
Posisi Total Utang Pemerintah Juni 2007
(dalam Miliar USD)
Tahun
No. Uraian
2002 2003 2004 2005 2006 P 2007 Q2P
a. Pinjaman 63.60 68.75 68.41 62.92 62.02 59.05
Bilateral 29.19 34.27 34.97 32.32 31.83 30.43
Multilateral 20.61 19.96 19.46 18.78 18.84 17.94
Export Credit 13.35 14.13 13.68 11.63 11.22 10.59
Commercial Credit 0.07 0.08 0.07 0.06 0.07 0.06
Leasing 0.37 0.30 0.22 0.14 0.06 0.04
Bonds and Notes 0.17 0.17 0.17 0.17 - -

b. Surat Berharga Negara 73.81 76.97 71.45 71.06 82.34 86.00


Denominasi Rupiah 73.64 76.80 70.28 67.39 76.84 79.00
Denominasi USD 0.17 0.17 1.17 3.67 5.50 7.00
Total utang Pemerintah 137.40 145.71 139.86 133.98 144.36 145.05

Jumlah utang negara sampai bulan Juni 2007 mencapai US$ 145,1 miliar
atau ekuivalen Rp 1.313,3 triliun, yang terdiri dari pinjaman luar negeri
sebesar US$ 59,1 miliar atau Rp 534,7 triliun dan Surat Berharga Negara
(SBN) Rupiah sebesar US$ 86 miliar atau Rp 715,3 triliun, serta surat
berharga valuta asing US$ 7 miliar atau ekuivalen Rp 63,4 triliun (lihat Tabel
3). Lebih dari setengah nilai SBN sebesar Rp 715,3 triliun awalnya adalah
OR.
Sementara itu, profil jatuh tempo utang menunjukkan bahwa
konsentrasi utang jatuh tempo berada dalam periode waktu sampai dengan
tahun 2010 (lihat Grafik di bawah ini).

142 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


Grafik 1
Profil Jatuh Tempo Utang Negara per Juni 2007

Memperhatikan besarnya beban utang negara di atas, Departemen


Keuangan, seperti dijelaskan dalam Buku Nota Keuangan Tahun 2008, telah
menetapkan kebijakan pengelolaan utang berupa pengurangan (smoothing
out) jumlah utang pada periode puncak melalui pertukaran utang (debt switch)
untuk memperpanjang durasi utang, pembelian kembali (buyback) untuk
mengurangi pokok utang, dan penerbitan SBN jangka panjang. Secara
nominal, jumlah utang luar negeri semakin menurun dan jumlah Surat
Berharga Negara (SBN) akan semakin meningkat, terutama karena semakin
meningkatnya penggunaan SBN untuk pembiayaan defisit yang semakin
besar. Selain itu, untuk pelunasan atau pembiayaan kembali utang (debt
refinancing), pemerintah menerbitkan SBN dengan nilai diskonto untuk
membayar utang yang jatuh tempo sebesar nilai nominal. Diskonto
diperlukan sebagai insentif untuk meningkatkan perdagangan SBN agar
pasar sekundernya menjadi semakin aktif dan likuid.
Khusus untuk utang dalam negeri, kita mencatat bahwa nilainya terus
bertambah. Jika pada tahun 2002 utang dalam negeri adalah Rp 658,4 triliun,
maka pada tahun 2007 (posisi Juni) besarnya bertambah menjadi Rp 715,3
triliun, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Jumlah ini tampaknya akan terus

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 143


bertambah setiap tahun, sehingga anggaran yang harus disediakan dalam
APBN untuk membayar bunga dan pokok utang juga akan terus meningkat.

Tabel 4
Profil Utang Dalam Negeri Pemerintah (triliun Rp)

2002 2003 2004 2005 2006 Jun-2007


Tradable: 394,1 390,5 399,3 399,8 418,8 454,8
- Zero Coupon - - - - - 3,9
- Fixed Rate 154,5 159,0 178,7 189,2 238,6 276,2
- Variable Rate 239,6 231,4 220,6 210,7 180,2 174,8
Non Tradable: 264,3 259,6 253,6 258,8 274,4 260,4
- SU 236,2 245,3 250,9 258,8 274,4 260,4
- Hedge Bonds 28,1 14,3 2,7 - - -
Total 658,4 650,1 652,9 658,7 693,1 715,3

Untuk mengetahui kapasitas pemerintah dalam membayar kembali


utang (debt service) tanpa mengganggu ketahanan fiskal, kita dapat
mengukurnya dengan menggunakan parameter rasio utang terhadap PDB.
Penurunan nilai rasio pada parameter ini dapat menjadi indikator bahwa
setiap rupiah utang telah dimanfaatkan secara produktif untuk
meningkatkan PDB. Pada akhir tahun 2006, rasio utang sekitar 39%, sedang
target rasio utang pada tahun 2009 adalah 31,8%. Namun, meskipun debt
service menurun, dalam hal pembayaran bunga utang, secara nominal
perkembangannya selama 6 tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang
signifikan.

Tabel 5
Besar Beban Bunga Utang dalam APBN 2002-2008 (triliun Rp)

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008


61,10 55,00 62,48 65,00 79,00 86,30 91,54

144 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


Pada Tabel 5 di atas diperlihatkan perkembangan anggaran pemerintah
dalam APBN yang dialokasikan untuk membayar bunga utang yang
menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat setiap tahun. Tahun
2002, pemerintah membayar bunga sebesar Rp 61,1 triliun dan tahun 2007
sebesar Rp 86,3 triliun. Untuk tahun 2008, anggaran yang diproyeksikan
untuk membayar bunga utang sudah sebesar Rp 91,54 triliun, jauh di atas
anggaran untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan yang
hanya Rp 12,64 triliun dan anggaran Departemen Pertanian (sektor dimana
sekitar 60% orang Indonesia mencari sumber mata pencaharian) yang hanya
Rp 8,89 triliun.
Dalam catatan Departemen Keuangan, seperti yang dipublikasikan
oleh Ditjen Debt Monitoring Office (DMO) pada www.dmo.or.id, kita
mendapati bahwa nilai OR yang awal terbitnya berjumlah Rp 430 triliun
akan sulit terdeteksi. Hal ini terjadi karena telah dilakukannya debt switching
untuk perpanjangan durasi, reprofiling dan pembelian kembali SBN yang
lama dengan penerbitan SBN baru (lihat ”Outstanding Government Securities”
status 7 Desember 2007 pada Lampiran 1). Namun secara substansial,
jumlah OR tidak berubah dari jumlah Rp 400 an triliun, karena sejauh ini
pemerintah tidak pernah menariknya dari bank-bank rekap.
Perlu dicatat bahwa reprofiling memang dapat membantu meringankan
beban fiskal (APBN) dalam jangka pendek. Namun reprofiling pada
hakikatnya bukanlah mengurangi beban APBN, tetapi sekedar menunda
beban tersebut ke tahun-tahun yang akan datang. Akibatnya kewajiban
pembayaran bunga akan bertambah sampai waktu jatuh tempo baru. Ini
berarti reprofiling bukanlah proses akhir kebijakan pengurangan beban fiskal,
tetapi justru merupakan proses awal untuk diikuti oleh berbagai langkah
untuk mengurangi beban tersebut secara tuntas dikemudian hari. Dengan
reprofiling, beban kewajiban sekarang telah ditunda untuk diselesaikan oleh
generasi yang akan datang.
Dampak dari reprofiling bisa terlihat pada nota keuangan RAPBN 2008,
dengan konsentrasi utang dalam negeri yang jatuh tempo berada dalam
periode kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2027. Puncak jatuh
tempo utang dalam negeri terjadi pada tahun 2033, yang diperkirakan
mencapai lebih dari Rp 140 triliun. Sedangkan beban pembayaran utang
dalam negeri baru berakhir pada tahun 2037 (lihat Grafik 1 di atas). Selama

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 145


pembayaran kewajiban, pemerintah juga harus membayar bunga utang,
sehingga kondisi ini jelas menjadi beban berat bagi keuangan negara.
Dengan demikian, sebagai rangkuman, berikut merupakan hal-hal
penting yang perlu kita catat terkait dengan permasalahan status utang
pemerintah dan OR saat ini. Pertama, bahwa hingga saat ini anggaran yang
dialokasikan untuk membayar bunga utang sangat besar dan terus
meningkat, seiring dengan meningkatnya stok utang pemerintah. Kedua,
jumlah utang dalam negeri saat ini senilai Rp 715 triliun (posisi Juni 2007),
lebih dari setengahnya berasal dari OR yang besarnya sekitar Rp 400 triliun.
Ketiga, besar OR yang masih dipegang oleh bank-bank rekapitalisasi saat ini
lebih kecil dari Rp 400 triliun, namun hal itu terjadi karena OR telah dijual
kepada pihak ketiga, sehingga beban pembayaran bunga OR tetap tinggi,
yaitu berkisar Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun per tahun.
Terakhir, perlu kita ingat, bahwa beban utang negara yang besar tersebut
akan ditanggung cukup lama dalam beberapa waktu ke depan, karena
pemerintah yang lalu dan sekarang telah melakukan reprofiling atas waktu
jatuh tempo OR, sehingga generasi mendatang harus menerima beban
utang yang dibuat oleh generasi saat ini dan sebelumnya.

Upaya Pengurangan OR
Untuk menunjukkan beratnya beban OR terhadap APBN, kita dapat
merujuk kepada hasil kajian internal BPPN yang dilakukan pada tahun 2003.
Dengan total pembayaran pokok obligasi rekap sebesar sekitar Rp 400
triliun, jumlah kumulatif bunga OR yang harus dibayar pemerintah adalah
Rp 670 triliun. Beban ini diperoleh dengan catatan pemerintah
mengembalikan OR secara tunai sesuai dengan masa tenornya. Namun
kalau pemerintah tidak mampu membayar sesuai masa jatuh tempo OR,
maka pemerintah akan melakukan roll-over atau reprofiling, yaitu jumlah pokok
OR tidak dibayar pada saat jatuh tempo, sehingga beban bunganya semakin
membengkak. Sebagai contoh, jika semua OR di roll-over dalam satu termin
saja, maka jumlah seluruh kewajibannya akan melebihi Rp 2.000 triliun. Hal
ini jelas sangat membebani rakyat pembayar pajak.
Mengingat besarnya beban dan ketidakadilan di atas, Kantor Menneg
BAPPENAS pernah membuat kajian bersama Tim PASPORP (Pengkajian

146 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


Alternatif Solusi Permasalahan Obligasi Rekapitalisasi Perbankan) yang
menghasilkan berbagai alternatif solusi penyelesaian OR. Tujuannya adalah
agar utang (debt stock) dan beban bunga OR yang memberatkan rakyat lewat
pos APBN dalam jumlah besar dan waktu lama itu dapat dikurangi.
Tim PASPORP menyampaikan usulannya kepada pemerintah pada
bulan Agustus 2002. Ada 5 alternatif langkah yang disampaikan dalam
rangka mengurangi besarnya pembayaran bunga OR, yaitu 1) asset to bond
swap (AB Swap), 2) penyesuaian CAR, 3) obligasi tanpa waktu jatuh tempo
yang diberi bunga (interest bearing perpetual bonds, IBPB), 4) akuisisi antar bank
rekap, dan 5) pengumpulan obligasi rekap (bond pooling). Tim PASPORP
menyatakan bahwa berbagai alternatif usulan tersebut dapat dipilih salah
satunya, dikombinasikan, atau dimodifikasi sesuai dengan kondisi.
Ter.penting, bagi PASPORP, ada langkah signifikan yang dilakukan
pemerintah untuk mengurangi beban pembayaran pokok dan bunga OR.
Misalnya, jika alternatif 4 (akuisisi antar bank rekap) yang dipilih,
dikombinasikan dengan alternatif 3 (perpetual bonds), maka OR yang dapat
ditarik mencapai Rp 27,6 triliun, dengan penghematan bunga (pada suku
bunga 13%) sebesar Rp 3,59 triliun. Sedangkan jika alternatif 5 (bond pooling)
yang dipilih, maka bunga OR yang dapat dihemat sekitar Rp 8 triliun.
Secara umum setiap alternatif yang diusulkan oleh Tim PASPORP
mampu memberikan keuntungan keuangan bagi negara baik berupa
pengurangan OR maupun bunga yang harus dibayarkan setiap tahun.
Diakui pula bahwa setiap usulan tersebut mengandung konsekuensi atau
”ongkos”. Namun dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh, maka
Tim sangat yakin bahwa ongkos tersebut lebih rendah. Sebagaimana
disebutkan di atas, alternatif-alternatif yang ditawarkan bertujuan untuk
mengurangi debt stock, dan tentu ini demi kesinambungan fiskal dan kebaikan
seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Tim PASPORP, usulan mereka didasarkan kepada perpaduan
berbagai kepentingan yang saling bertentangan. Disebutkan bahwa IMF
ingin agar divestasi bank rekap tetap berjalan, dalam waktu cepat, untuk
menjaga stabilitas fiskal. Hal ini dinyatakan memang menguntungkan dalam
jangka pendek, tetapi merugikan dalam jangka panjang. Yang sesungguhnya
diuntungkan dari kebijakan ini adalah IMF dan para pemboncengnya,
seperti bank-bank, investor dan para kreditor asing, karena dapat membeli

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 147


bank dengan harga sangat murah (seperti pada kasus BCA). Sedangkan, bagi
masyarakat yang penting adalah pulihnya fungsi intermediasi perbankan
sehingga dapat mendorong pulihnya sektor ril, serta berkurangnya beban
OR dalam pos APBN.
Bagaimanapun, sangat disayangkan bahwa tidak satupun rekomendasi
yang disampaikan tim PASPORP tersebut diterima dan diimplementasikan
oleh pemerintah. Sebagaimana diceritakan oleh Kwik Kian Gie, salah satu
alasan penolakan yang dikemukakan pemerintah adalah bahwa usul-usul
tersebut dinilai tidak aplikatif.
Kita tidak mengetahui apakah alasan yang dikemukakan pemerintah
tersebut benar adanya atau justru hanya berpretensi melindungi
kepentingan tertentu. Yang jelas pemerintah memang mempunyai ”cara”
sendiri untuk menyelesaikan masalah OR seperti yang telah berlangsung
selama ini. Cara penyelesaian yang ditempuh itu adalah melalui 1) penukaran
obligasi dengan aset BPPN (asset to bond swap), 2) pembelian kembali obligasi
(buyback), 3) refinancing OR yang jatuh tempo dan 4) penataan kembali jatuh
tempo pokok OR (reprofiling).
Apakah cara-cara ini efektif dalam mengurangi besarnya beban bunga
OR? Pada kenyataannya tidak juga. Entah karena waktu yang disediakan
tidak banyak atau terjadinya praktik KKN, yang jelas beban bunga OR yang
harus dibayarkan dalam APBN masih besar. Sasaran-sasaran berupa
pulihnya fungsi intermediasi bank, berlangsungnya program divestasi sesuai
kesepakatan, dan dapat dikendalikannya beban OR, juga tidak terlihat
berjalan baik.
Sehingga, dengan pilihan kebijakan yang diambil pemerintah tersebut,
negara harus menanggung banyak kerugian dan rakyat akan memikul beban
OR dalam waktu yang berkepanjangan.
Dalam kesempatan ini, perlu juga disinggung peranan manajemen
bank-bank rekap dalam upaya mengurangi beban pembayaran pokok dan
bunga OR. Selain pemerintah, mereka juga patut bertanggung jawab
melakukan upaya pengurangan beban OR mengingat merekalah pihak yang
telah menikmati pembayaran bunga OR selama ini. Sebagai penerima
bantuan dari pemerintah (yang uangnya diambil dari pajak yang dibayarkan
rakyat) wajar jika para manajemen bank dituntut bekerja secara profesional,

148 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


bebas KKN, bertanggung jawab, sekaligus mempunyai rasa kepekaan sosial
yang tinggi terhadap rakyat yang telah menyumbangkan OR.
Sangat tidak adil jika manajemen bank hidup mewah dan boros,
menikmati gaji tinggi, memanfaatkan berbagai fasilitas berlebihan atas
beban perusahaan, menduduki ruang kantor yang luas dan sangat mewah
(bandingkan dengan standar hidup 37 juta orang miskin versi BPS tahun
2007), atau membelanjakan dana besar untuk pembodohan masyarakat
lewat promosi besar-besaran banknya, di tengah puluhan juta rakyat yang
hidup miskin akibat pengurangan subsidi. Terutama, mengingat semua
kenikmatan itu diperoleh menggunakan uang bunga hasil subsidi APBN!
Jika pemborosan dan foya-foya itu tetap berlangsung, apalagi tanpa
disertai dengan perbaikan kinerja bank agar bank dapat mandiri dan
menjalankan fungsinya dengan baik dalam mendorong tumbuhnya aktivitas
ekonomi, mungkin tidak salah anggapan bahwa kalangan tertentu di seputar
bisnis perbankan, yang telah kehilangan rasa tanggungjawab moral
sesungguhnya merupakan predator bagi sebagian besar rakyat Indonesia
yang terpuruk dalam kemiskinan.

Penutup
Krisis ekonomi bukan saja mewariskan utang yang sangat besar bagi
negara tetapi juga mengakibatkan puluhan juta rakyat harus hidup lebih
susah. Karena itu, sudah seharusnya kondisi ini menjadikan para elit
kekuasaan bekerja secara optimal untuk mengatasi krisis, hidup prihatin
bersama rakyat, menggalang solidaritas untuk meringankan beban kaum
miskin, serta menghasilkan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.
Dalam konteks kebijakan yang berpihak kepada rakyat, hal itu dapat
dilakukan, salah satunya dengan mengoreksi kebijakan OR.
Namun, ternyata kita saksikan rasa kebersamaan, solidaritas, dan
kepekaan terhadap penderitaan rakyat telah kian memudar. Jangankan
membantu, sebagian pejabat justru terlibat KKN, meloloskan obligor BLBI,
menerbitkan SKL, dan menyimpangkan kebijakan program OR.
Kita juga saksikan banyaknya orang miskin bukan hal yang merisaukan
lembaga internasional seperti IMF. Mereka justru menggunakan kemiskinan
dan pinjaman dana sebagai alat untuk memaksakan kehendak mereka

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 149


kepada pemerintah dalam rangka mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Seolah, tak sedikit pun tersisa rasa kemanusiaan pada diri mereka. Namun
sayangnya, para elit kekuasaan bukannya melakukan perlawanan atas
tekanan ini, tetapi malah tunduk dan bekerja sama. Tak pelak, pemimpin-
pemimpin berjiwa lemah seperti ini harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya sebelum mereka berpikir ambil bagian dalam pemilu di masa-
masa yang akan datang.
Masalah OR tidaklah bisa diabaikan dan diterima begitu saja
sebagaimana kondisinya sekarang tanpa ada tindakan korektif. Secara
ekonomi maupun politik, kebijakan pemerintah dalam program OR telah
menimbulkan persoalan besar berupa ketimpangan distribusi anggaran
dalam APBN. OR telah menjadi elemen terbesar dalam utang pemerintah
(debt stock) yang terus meningkat jumlahnya, sehingga pembayaran bunganya
harus dialokasikan setiap tahun dalam APBN. Ironisnya, pihak yang
diuntungkan dengan kondisi ini adalah golongan superkaya, kaya,
konglomerat, dan lembaga asing. Sementara, rakyat miskin harus berpuasa
karena berkurangnya anggaran yang dapat digunakan untuk peningkatan
kesejahteraan publik atau mendorong kemajuan ekonomi masyarakat akibat
beban pembayaran OR yang demikian besar.
Keputusan memang sudah diambil pada masa pemerintahan yang lalu,
khususnya pada periode 2002-2004. Namun bagaimanapun juga, harus kita
nyatakan keputusan itu salah, konspiratif, menjarah negara, dan sangat
melukai rasa keadilan. Kita tidak rela beban utang akibat konspirasi ini
ditanggung rakyat pembayar pajak dan berlangsung hingga puluhan tahun
yang akan datang. Pelaksanaan kebijakan OR yang berjalan selama ini juga
harus ditolak karena:
· Beban OR Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun per tahun dan pokok
OR yang akan jatuh tempo bukanlah ongkos krisis yang harus
ditanggung negara dalam APBN, tetapi rekayasa dan bentuk
penjajahan IMF dan seluruh pengikutnya di dalam dan luar negeri;
· IMF, sebagaimana umumnya para penjajah, sejak semula telah
mempunyai niat jahat untuk menjajah dan menguasai ekonomi
Indonesia, seperti ditunjukkan melalui pemaksaan penjualan aset-
aset BPPN dalam waktu singkat dan harga murah serta pemaksaan

150 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


divestasi bank-bank rekap meskipun masih memegang obligasi
pemerintah;
· Seluruh rangkaian pelaksanaan kebijakan OR tidak sesuai konsep
awal dan tidak dijalankan dengan kosisten;
· Pelaksanaan OR terlaksana dalam konspirasi jahat oleh IMF, para
investor, sejumlah konglomerat dan oknum-oknum elit kekuasaan
yang memperoleh keuntungan pribadi;
· Bank-bank rekap, terutama bank-bank swasta, saat ini telah kembali
sehat. Pemiliknya, baik asing, anak perusahaan Bank Dunia, swasta
nasional, maupun pemilik lama (yang kembali memiliki secara
”manipulatif ”), memperoleh keuntungan yang sangat besar dari
bunga OR yang dibayarkan lewat APBN setiap tahun. Untuk
pembayaran bunga ini, negara harus menambah beban utang,
menjual aset, memungut pajak dari rakyat, sekaligus mengurangi
subsidi bagi rakyat miskin. Bank-bank rekap yang dulunya sekarat
dan telah diselamatkan pemerintah, sekarang justru menjelma
menjadi lembaga penghisap APBN berupa bunga OR yang sangat
memberatkan negara.
Sejalan dengan sikap di di atas, terutama karena telah terjadinya KKN
dan konspirasi jahat, serta demi rasa keadilan, kami menuntut agar seluruh
keputusan terkait kebijakan OR dibatalkan dan dikoreksi, antara lain melalui:
· Menghentikan pembayaran bunga OR kepada seluruh bank rekap
karena kondisinya telah sehat kembali. Hal ini konsisten dengan
konsep awal penyuntikan OR sebagaimana diusulkan IMF. Seluruh
pihak yang terkait dengan kebijakan ini harus ikut bertanggung
jawab untuk memikul beban akibat pemberhentian pembayaran
bunga OR ini, seperti IMF, pemerintah, investor dan pemilik bank;
· Menghentikan proses privatisasi pada bank rekap sebelum OR nya
ditarik oleh pemerintah;
· Menghentikan proses divestasi lanjutan pada bank-bank BUMN
yang sebelumnya direncanakan oleh pemerintah dalam rangka
mengejar target penerimaan APBN.

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 151


Tuntutan di atas mungkin saja akan mendapat perlawanan, terutama
dari IMF, investor, pemilik-pemilik bank, dan para pemegang OR, dengan
berbagai alasan, seperti bertentangan dengan kesepakatan dan perjanjian
awal, melanggar hukum, bertentangan dengan kelaziman yang berlaku, dan
sebagainya. Kita juga dapat memperkirakan bahwa publik atau pihak non-
pemerintah yang kini telah memegang dan menikmati OR akan menolak
gagasan-gagasan tersebut.
Namun, di sisi lain, kami tetap harus nyatakan pelaksanaan program OR
telah dilakukan dengan penuh rekayasa, konspiratif dan KKN, dengan IMF
berperan sebagai penanggung jawab utamanya. Sehingga, adalah wajar jika
cara-cara tidak lazim yang telah mereka lakukan juga dilawan dan
diselesaikan dengan cara-cara yang extra-ordinary pula, demi tercapainya rasa
keadilan bagi seluruh rakyat. Seluruh unsur yang terlibat dalam kebijakan
OR harus bertanggung jawab untuk mengupayakan penghentian
pembayaran bunga OR dan turut menanggung konsekuensi yang mungkin
diterima jika hal itu dilakukan.
Kebijakan OR bukan semata berdimensi ekonomi, tetapi justru sarat
dengan dimensi politik sehingga gagal menghadirkan konsep-konsep dan
keputusan yang objektif. Kebijakan OR merupakan hasil atau kompromi
berbagai kepentingan, dengan kepentingan IMF sangat dominan di
dalamnya. Kepentingan politik yang kental mewarnai kebijakan ini
menyebabkan implementasi OR tidak konsisten dengan konsep awalnya.
OR pada akhirnya hanya menciptakan ketimpangan distribusi anggaran
dalam APBN.
Pendapat bahwa OR adalah ongkos yang harus dibayar untuk keluar
dari krisis tidak dapat kita terima. Demikian juga argumentasi bahwa nilai
bunga dan pokok OR tidak akan berarti dan justru akan ditelan oleh PDB
yang terus meningkat. Karena, masalahnya bukan saja pada jumlah uang,
tetapi terutama pada rasionalitas, objektivitas, rasa keadilan, dan cara-cara
yang dilakukan dalam pelaksanaan program rekapitalisasi perbankan dan
divestasi yang penuh konspirasi dan merampok uang negara.
Kita ingin pemerintah dan semua pihak menyelesaikan masalah OR
secara objektif, berkeadilan dan rasional serta bebas dari cara pandang dan
kepentingan politik yang sempit!

152 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


Lampiran 1
OUTSTANDING GOVERNMENT SECURITIES
As of December 6, 2007

(dalam triliun Rupiah)


No Series Maturity Date Coupon Face Value
A. TRADABLE SECURITIES
1. Rupiah Denominated
a. Zero Coupon
1. SPN 2008052801 30-Mei-07 Rp 4.169
2. ZC0001 30-Agust-07 Rp 6.000
3. ZC0002 20-Sep-07 Rp 3.000
4. ZC0003 22-Nop-07 Rp 1.500
Total Zero Coupon Rp 4.669
b. Fixed Coupon
1. FR0002 15-Jun-09 14,0000% Rp 15.376
2. FR0010 15-Mar-10 13,1500% Rp 9.988
3. FR0011 15-Mei-10 13,5500% Rp 800
4. FR0012 15-Mei-10 12,6250% Rp 1.808
5. FR0013 15-Sep-10 15,4250% Rp 4.735
6. FR0013 15-Nop-10 15,5750% Rp 1.205
7. FR0015 15-Feb-11 13,4000% Rp 5.695
8. FR0016 15-Agust-11 13,4500% Rp 4.118
9. FR0017 15-Jan-12 13,1500% Rp 8.269
10. FR0018 15-Jul-12 13,1750% Rp 6.455
11. FR0019 20-Nop-02 14,2500% Rp 11.856
12. FR0020 20-Nop-02 14,2750% Rp 11.856.
13. FR0021 24-Des-02 14,5000% Rp 2.479
14. FR0022 10-Apr-03 12,0000% Rp 7.334
15. FR0023 11-Sep-03 11,0000% Rp 13.433
16. FR0024 06-Nop-03 12,0000% Rp 4.404
17. FR0025 29-Apr-04 10,0000% Rp 6.801
18. FR0026 26-Agust-04 11,0000% Rp 11.382
19. FR0027 27-Jan-05 9,5000% Rp 9.100
20. FR0028 24-Feb-05 10,0000% Rp 10.100
21. FR0030 15-Mei-16 10,7500% Rp 5.330
22. FR0031 15-Nop-20 11,0000% Rp 11.469

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 153


23. FR0032 15-Jul-18 15,0000% Rp 1.560
24. FR0033 15-Mar-13 12,5000% Rp 9.945
25. FR0034 15-Jun-21 12,8000% Rp 10.379
26. FR0035 15-Jun-22 12,9000% Rp 6.600
27. FR0036 15-Sep-19 11,5000% Rp 3.711
28. FR0037 15-Sep-26 12,0000% Rp 2.450
29. FR0038 15-Agust-18 11,6000% Rp 3.083
30. FR0039 15-Agust-23 11,7500% Rp 4.175
31. FR0040 15-Sep-25 11,0000% Rp 12.914
32. FR0041 15-Nop-08 9,2500% Rp 1.100
33. FR0042 15-Jul-27 10,2500% Rp 14.426
34. FR0043 15-Jul-22 10,2500% Rp 12.653
35. FR0044 15-Sep-24 10,0000% Rp 5.589
36. FR0045 15-Mei-37 9,7500% Rp 6.400
37. FR0046 15-Jul-23 9,5000% Rp 5.359
38. FR0047 15-Feb-28 10,0000% Rp 7.850
39. FR0048 15-Sep-18 9,0000% Rp 4.217
40. ORI001 09-Agust-09 12,0500% Rp 3.284
41. ORI002 28-Mar-10 9,2800% Rp 6.233
42. ORI003 12-Sep-11 9,4000% Rp 9.368
Total Fixed Coupon Rp 295.289
c. Variable Coupon
1. VR0013 25-Jan-08 7,83333% Rp 7.720
2. VR0014 25-Agust-08 7,83333% Rp 9.270
3. VR0015 25-Des-08 7,83333% Rp 8.803
4. VR0016 25-Jul-09 7,83333% Rp 9.023
5. VR0017 25-Jun-11 7,83333% Rp 3.459
6. VR0018 25-Okt-12 7,83333% Rp 829
7. VR0019 25-Des-14 7,83333% Rp 11.406
8. VR0020 25-Apr-15 7,83333% Rp 9.899
9. VR0021 25-Nop-15 7,83333% Rp 7.546
10. VR0022 25-Mar-16 7,83333% Rp 9.667
11. VR0023 25-Okt-16 7,83333% Rp 8.652
12. VR0024 25-Feb-17 7,83333% Rp 9.909
13. VR0025 25-Sep-17 7,83333% Rp 6.909
14. VR0026 25-Jan-18 7,83333% Rp 5.442
15. VR0027 25-Jul-18 7,83333% Rp 5.442
16. VR0028 25-Agust-18 7,83333% Rp 7.034

154 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


17. VR0029 25-Agust-19 7,83333% Rp 12.212
18. VR0030 25-Des-19 7,83333% Rp 10.503
19. VR0031 25-Jul-20 7,83333% Rp 25.322
Total Variable Coupon Rp 169.047
Total Rupiah Denominated Rp 469.005
2. US Dollar Denominated
a. Fixed Coupon
1. RI0014 10-Mar-14 6,7500% USD 1.000.000.000,00
2. RI0015 20-Apr-15 7,2500% USD 1.000.000.000,00
3. RI0016 15-Jan-16 7,5000% USD 900.000.000,00
4. RI0017 09-Mar-17 6,8750% USD 1.000.000.000,00
5. RI0035 12-Okt-35 8,5000% USD 1.600.000.000,00
6. RI0037 17-Feb-37 6,6250% USD 1.500.000.000,00
Total Fixed Coupon USD 7.000.000.000,00
Total US Denominated /equivalen in Rupiah (1) Rp 64.680
TOTAL TRADABLE SECURITIES Rp 533.685

B. NON-TRADABLE SECURITIES (2)


1. Fixed Coupon
1. SU-002/MK/1998 (3) 01-Apr-25 1,00% Rp 20.000
2. SU-004/MK/1999 (3) 01-Des-25 3,00% Rp 53.780
3. SRBI-01/MK/2003 (4) 01-Agust-33 0,10% Rp 129.344
4. SU-007/MK/2007(5) 01-Agust-25 0,10% Rp 53.843
Total Fixed Coupon Rp 256.967
2. Variable Coupon
1. SU-005/MK/1999 (6) 10-Des-09 3 mos. SBI Rp 3.046
Total Variable Coupon Rp 3.046
TOTAL NON TRADABLE SECURITIES Rp 260.013

GRAND TOTAL Rp 793.698

Notes:
1) Assumed exchange rate for conversion (IDR/USD) is 9.240,00
2) Non-tradable Securities are held by Bank Indonesia.
3) These bonds were issued for guarantee program financing.
4) This bond was issued to replace SU-001 and SU-003. Its effective date is August 1, 2003.
5) This bond was issued to replace indexed face value of SU-002 and SU-004. Its effective
date is January 1, 2006.
6) The nominal amount of this bond is Rp9,97 trillions, but the amount that has been used is
Rp3.097 billions.

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat / 155


Quick overlook:
Average interest Average time to
Bond Type Proportion
rate maturity (years)
Zero Coupon 0,00000% 1,40 3,06%
FR 11,37837% 9,14 61,65%
VR 7,83333% 8,02 35,29%
Portfolio 9,77884% 8,51 100,00%

OUTSTANDING GOVERNMENT SECURITIES


As of December 6, 2007
(dalam triliun Rupiah)
No Series Maturity Date Coupon Face Value
A. TRADABLE SECURITIES
1. Rupiah Denominated
a. Zero Coupon
Total Zero Coupon Rp 4.669
b. Fixed Coupon
Total Fixed Coupon Rp 295.289
c. Variable Coupon
Total Variable Coupon Rp 169.047
Total Rupiah Denominated Rp 469.005
2. US Dollar Denominated
a. Fixed Coupon
Total US Denominated /equivalen in Rupiah (1) Rp 64.680
TOTAL TRADABLE SECURITIES Rp 533.685
B. NON-TRADABLE SECURITIES (2)
1. Fixed Coupon
Total Fixed Coupon Rp 256.967
2. Variable Coupon
Total Variable Coupon Rp 3.046
TOTAL NON TRADABLE SECURITIES Rp 260.013

GRAND TOTAL Rp 793.698

156 / Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat


Bab 8
SIAPA YANG HARUS
BERTANGGUNG
JAWAB?

Marwan Batubara

Setelah 10 tahun berlalu melewati empat era pemerintahan, kasus


korupsi dalam penyaluran dan penggunaan dana Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) hingga kini tidak kunjung selesai, meskipun ada sebagian
orang yang menganggapnya demikian. Padahal, kasus yang melibatkan
persekongkolan antara pengusaha dan banyak pihak penyelenggara
pemerintahan ini, telah merugikan negara ratusan triliun rupiah. Karena
sumber pendanaan bantuan tersebut berasal dari utang, maka negara dan
rakyat pun harus menanggung beban cicilan pembayaran pokok dan bunga
utang dalam APBN selama bertahun-tahun ke depan, termasuk untuk
membayar bunga obligasi rekapitalisasi yang mencapai sekitar Rp 40 triliun-
Rp 50 triliun per tahun hingga tahun 2021.
Kebijakan dan pelaksanaan BLBI merupakan cara sistematis untuk
terus memiskinkan rakyat. Berpangkal dari tindakan kriminal korupsi para
obligor, skandal BLBI akan terus merugikan rakyat akibat sikap pejabat-
pejabat eksekutif dan yudikatif yang justru memihak obligor. Kebijakan
Siapa yang harus Bertanggung Jawab? / 157
para eksekutif ini pun disetujui, atau setidaknya tidak mendapat
penentangan berarti dari pejabat-pejabat legislatif di masa kebijakan itu
dilahirkan, mulai dari Soeharto yang menerbitkan Keppres No. 26/1998 dan
Keppres No. 55/1998, hingga Megawati yang menerbitkan Inpres No.
8/2002.
Dalam hal Inpres No. 8/2002, para obligor pelaku tindak pidana kasus
BLBI telah mendapat surat keterangan lunas dan dinyatakan bebas dari
tuntutan hukum pidana di kemudian hari. Inpres kontroversial yang
diterbitkan oleh pihak eksekutif ini pun sepi dari kritik, pengawasan, atau
tindakan korektif pihak legislatif atau yudikatif yang menjabat saat itu.
Banyak kalangan berpendapat bahwa BLBI merupakan kebijakan orde
baru dalam situasi chaos untuk menyelamatkan sistem perbankan nasional
dibanding membiarkannya ambruk. Untuk itu berbagai kebijakan darurat
dikeluarkan dan ratusan triliun uang negara disuntikkan dalam konsep
penyelesaian yang tidak dirumuskan dengan jelas. Hasilnya, tingkat
pengembalian dana yang telah dikucurkan hanya sekitar 28%.
Mengingat situasi krisis, chaos, konsep yang tidak jelas, aset-aset yang
terpaksa diobral, serta ditambah lagi dengan terjadinya peralihan kekuasaan
dari Soeharto ke Habibie, maka kalangan tersebut, termasuk kalangan bisnis
dan beberapa media, berpendapat bahwa BLBI adalah kebijakan masa lalu
yang tidak perlu diusik-usik lagi. Kita diminta untuk tidak lagi melihat ke
belakang karena para penerima BLBI telah menjalankan kewajiban dan
mendapatkan keputusan hukum yang katanya harus dihormati. Rakyat
diminta untuk menanggung ratusan triliun sebagai ongkos krisis meskipun
langkah-langkah penyelesaian yang diambil, dibuat berdasarkan sikap
emosional dan logika berfikir yang tidak konsepsional. Dengan kata lain,
hendak diyakinkan bahwa kasus BLBI adalah ongkos korupsi masa
lalu yang harus ditanggung oleh seluruh rakyat. Wajar dan objektifkah
hal tersebut?
Disamping pendapat di atas, kita kutip pendapat beberapa tokoh terkait
korupsi BLBI, sebagaimana yang disebarkan oleh layanan berita
NewslinkSmc, sebagai berikut:
· Pengacara senior Maqdir Ismail menyatakan khawatir kasus BLBI
tidak akan pernah tuntas kalau Kejagung justru mengungkit

158 / Siapa yang harus Bertanggung Jawab?


obligor kooperatif yang sudah menyelesaikan kewajibannya
(27/7/2007);
· Hikmahanto Juwana, Dekan FHUI: ”Obligor BLBI yang teken
MSAA & sudah kantongi SKL, tidak bisa dipidanakan lagi karena
bisa ganggu kepercayaan investor asing (25/7/2007)”;
· Kejagung diingatkan agar tidak pakai standar ganda dalam
penyelesaian kasus BLBI. ”Perjanjian skema MSAA diakui dunia
internasional”, tegas Direktur CBC Deni Daruri (20/7/2007);
· Direktur LSKP Ichsanuddin Noorsy menegaskan, secara hukum
positif persoalan BLBI sudah selesai, karena sudah ada TAP MPR
& Keppres serta terikat LoI dengan IMF.
Kita tentu menerima pendapat untuk melihat ke depan, tidak lagi ke
belakang, seandainya saja seluruh data, fakta dan argumentasi untuk
menyimpulkan pendapat tersebut diungkap dan dipertimbangkan secara
seksama. Yang menjadi masalah, kerugian BLBI nyatanya bukan sekedar
disebabkan oleh sikap emosional, tidak konsepsional dan rumusan yang
tidak jelas, sehingga kita dapat melupakannya dan tidak perlu menuntut
keadilan. Namun, berbagai temuan justru menunjukkan skandal BLBI
merupakan tindak penyelewengan uang negara yang dilakukan secara
sengaja dan terencana.
Karena itu, kami menilai berbagai pendapat yang hendak mengaburkan
esensi terjadinya tindak pidana korupsi dalam skandal BLBI merupakan
penggelinciran opini dari sebagian besar obligor dan kelompok
kepentingan, yang disamping telah menguasai jaringan media yang luas, juga
mempunyai dana besar dan jaringan akses yang luas untuk mengendalikan
kebijakan dan membentuk opini.
Bagi kami, sikap mental korup dari pihak-pihak yang terlibat dalam
skandal BLBI merupakan biang keladi dan sumber masalah dari terjadinya
korupsi yang menguras uang negara pada kasus ini. Rakyat harus
menanggung beban kerugian ratusan triliun rupiah akibat ulah berbagai
oknum tersebut, yang mencakup para obligor hitam, rezim Soeharto dan
kroninya, oknum-oknum pejabat negara, dan oknum pemerintah (termasuk
pemerintahan Megawati yang telah menerbitkan Inpres No. 8/2002 yang
berujung pada bebasnya para konglomerat yang melanggar sejumlah
ketentuan hukum pidana).

Siapa yang harus Bertanggung Jawab? / 159


Mereka inilah pihak yang sesungguhnya telah melakukan kejahatan
kemanusiaan, memperoleh dan melanggengkan kekuasaan, menguasai
harta, membeli hukum, membohongi publik dan membodohi masyarakat di
tengah penderitaan puluhan juta rakyat miskin di Indonesia. Untuk itu,
rakyat harus bangkit, melawan dan menghukum secara adil, tanpa pandang
bulu!
Kita sepenuhnya menyadari bahwa semua kebijakan dan langkah
seputar BLBI dan penyelesaian masalahnya telah didukung dengan berbagai
persyaratan aspek legal dan administratif. Namun, kita juga menemukan
bahwa banyak aturan yang dikeluarkan karena kepentingan sempit dan
praktik KKN, tidak melalui kajian yang intensif, melanggar prosedur, tanpa
keterlibatan publik, atau malah bertentangan dengan aturan/undang-
undang di atasnya. Disamping itu, penanganan perkara-perkara BLBI oleh
lembaga peradilan lebih banyak menghasilkan keputusan yang tidak adil
akibat kendala penegakan hukum, mafia peradilan, oknum peradilan yang
korup (judicial corruption), intervensi penguasa, dan sogokan para obligor
kepada para oknum pejabat dengan menggunakan sebagian dana BLBI yang
dikorupsi.
Tulisan berikut dan beberapa bab selanjutnya akan menguraikan para
pelaku skandal BLBI, mencakup obligor, presiden, pemerintah, dan
lembaga-lembaga terkait lainnya, sehingga mendatangkan kesengsaraan
berkepanjangan bagi rakyat.

Obligor BLBI
Dapat dinyatakan, sebagian besar obligor BLBI merupakan biang kerok
utama pengurasan uang negara dalam skandal BLBI. Obligor melakukan
berbagai kecurangan pada saat sebelum krisis, saat menerima bantuan BLBI,
maupun pada proses penyelesaian kewajiban pemegang saham di bawah
pengawasan BPPN.
Sebelum terjadinya krisis moneter, telah terdapat beberapa kecurangan
yang dilakukan obligor, baik pada saat menarik dana masyarakat maupun
pada saat penyalurannya. Pada saat penarikan dana, obligor melakukan
kecurangan dengan memanipulasi profil dan kinerja bank dalam rangka
mempromosikan banknya secara besar-besaran. Pada saat penyaluran,
mereka memberikan/menyalurkan kredit pada kelompok/unit usahanya

160 / Siapa yang harus Bertanggung Jawab?


sendiri, sehingga melampaui Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).
Beberapa obligor bahkan juga melakukan mark up nilai kredit, yaitu nilai
kredit yang diajukan lebih besar dari biaya investasi yang sesungguhnya
digunakan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh selisih keuntungan dari
peminjaman yang akan mereka investasikan.
Perbuatan obligor ini, yaitu mengucurkan kredit di atas BMPK dan mark
up atas nilai kredit, merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana
kurungan dan denda, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 dan Pasal 50
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Dengan demikian, selain faktor eksternal berupa krisis yang dipicu oleh
anjloknya nilai mata uang baht Thailand, faktor internal yang berpangkal
dari perilaku KKN penguasa dan obligor jelas merupakan salah satu
penyebab utama berkepanjangannya krisis ekonomi di Indonesia. Para
obligor telah menyebabkan tumpukan kredit macet, melakukan praktik
perbankan yang tidak prudent, menyalahgunakan kredit jangka panjang untuk
membiayai kredit jangka pendek, membuat pinjaman valas menjadi bengkak
dan tidak di-hedge, membengkakkan jumlah utang swasta dan utang
pemerintah, melakukan praktik-praktik rente ekonomi, praktik bisnis tidak
fair, dan menjalankan struktur industri yang padat impor. Krisis pun
semakin parah akibat terjadinya depresiasi rupiah dan besarnya utang luar
negeri (yang sebagiannya merupakan utang para obligor) yang jatuh tempo.
Pada saat krisis, tercatat utang swasta jangka pendek milik obligor yang harus
dibayar mencapai US$ 10 miliar atau sekitar Rp 90 triliun.
Ironisnya, pada saat menerima BLBI, para obligor bukan menggunakan
dana bantuan tersebut untuk membayar dana nasabah sesuai dengan
ketentuan, tetapi justru disalahgunakan untuk berbagai keperluan, seperti
untuk melunasi modal pinjaman, membiayai transaksi surat berharga,
membiayai kontrak derivatif, membayar dana pihak ketiga yang melanggar
ketentuan, membiayai placement baru PUAB (Pasar Uang Antar Bank),
membiayai ekspansi kredit, membiayai overhead bank umum, membiayai
investasi untuk aktiva tetap, membayar kewajiban kepada pihak terkait, dan
sebagainya.
Jumlah penyimpangan penggunaan BLBI, seperti dilaporkan oleh BPK
adalah Rp 84,842 triliun, atau sama dengan 58,70% dari Rp 144,536 triliun
dana BLBI yang disalurkan. Secara keseluruhan, potensi kerugian negara
akibat penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku, kelemahan sistem
Siapa yang harus Bertanggung Jawab? / 161
maupun kelalaian dalam penyaluran BLBI adalah Rp 138,442 triliun, atau
95,78% dari Rp 144,536 dana BLBI.
Dalam proses penyelesaian BLBI dengan pemerintah, para obligor
BLBI berada di bawah koordinasi dan pengawasan BPPN. Bentuk
penyelesaian kewajiban tersebut dilakukan berdasarkan beberapa model
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yaitu MSAA, MRNIA
dan APU (Akta Perjanjian Utang). Namun, penyelesaian dalam tahap ini
pun diwarnai dengan kecurangan sebagian obligor, seperti yang telah
mereka lakukan pada saat sebelum dan ketika menerima BLBI.
Sejumlah obligor tersebut terlibat dan bersekongkol dalam berbagai
skenario untuk memotong jumlah utang mereka ataupun untuk menguasai
kembali aset-aset yang telah mereka serahkan kepada BPPN. Diantara
kecurangan yang mereka lakukan meliputi manipulasi harga/nilai aset,
menggoreng harga saham (agar nilainya anjlok saat BPPN melakukan
penjualan), sogok-menyogok, KKN dengan oknum pejabat pemerintah,
melakukan judicial corruption, hingga menggunakan special purpose vehicle (SPV)
di luar negeri sebagai kendaraan untuk membeli kembali aset-aset mereka.
Dalam kasus penguasaan kembali aset-aset yang diserahkan, salah satu
contohnya adalah penguasaan kembali Gajah Tunggal oleh Sjamsul
Nursalim. Kepemilikan BCA oleh Farindo, setelah tendernya dimenangkan
oleh Farallon Capital, juga disebut-sebut sebagai keberhasilan Kelompok
Salim dalam menguasai kembali asetnya, mengingat Farindo diduga kuat
terafiliasi dengan Salim.
Selain hal-hal itu, manuver curang juga dilakukan obligor dengan
bersekongkol dan berkolaborasi dengan pemerintah untuk menerbitkan
aturan yang menguntungkan mereka. Hasil nyata kolaborasi ini adalah
Inpres No.8/2002, yang antara lain berisi ketentuan release and discharge
(R&D) yang membebaskan para obligor dari aspek pidana kasus BLBI.
Akibat berbagai kecurangan yang dilakukan obligor dalam proses
penyelesaian kewajiban tersebut adalah rendahnya tingkat pengembalian
(recovery rate) dana BLBI, yaitu hanya sekitar 28%. Artinya telah terjadi
penyelewengan dan korupsi uang negara sekitar 72% x Rp 144,536 triliun =
Rp 104,065 triliun! Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan dana
sekitar Rp 430 triliun untuk merekapitalisasi bank-bank bangkrut, yang
diakibatkan ulah para obligor.

162 / Siapa yang harus Bertanggung Jawab?


Yang menyakitkan, kita kini menemukan bahwa sebagian mereka telah
kembali menguasai aset-aset yang dulu dijaminkan ke BPPN. Ada yang
bahkan lebih kaya dari masa sebelum krisis, dengan investasi aset tersebar di
berbagai negara seperti Singapura, India, Vietnam, atau China.

Mantan Presiden Soeharto dan Menteri-Menterinya


Disamping para obligor, pihak yang juga berperan besar sehingga harus
bertanggungjawab atas skandal BLBI adalah mantan Presiden Soeharto dan
sejumlah pejabat, termasuk menteri dan direksi BI, yang terlibat dalam
pengucuran BLBI.
Terkait peran mantan Presiden Soeharto, salah satunya dapat dilihat dari
disposisi yang ditulisnya untuk Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad pada
20 Agustus 1997. Disposisi itu berisi perintah agar menteri melakukan
langkah-langkah cepat mengatasi krisis. Salah satu langkah yang dimaksud
Soeharto dalam disposisi itu dapat dimengerti dalam disposisi lanjutan
melalui memo bernomor MO-67/MK/1997 yang diberikan Menkeu
kepada Gubernur BI J. Soedradjad Djiwandono pada tanggal 26 Agustus
1997, yaitu agar BI sesuai dengan kewenangannya menindaklanjuti rencana
merger PT Bank Harapan Sentosa dan PT Bank Utama (deskripsi lebih
lengkap lihat Sukowaluyo Mintorahardjo, BLBI Simalakama: Pertaruhan
Kekuasaan Presiden Soeharto, Riset Ekonomi Sosial Indonesia, Jakarta: 2001).
Merger kedua bank itu pada kenyataannya memang tidak terjadi, karena
Bank Harapan Sentosa dan 15 bank nasional lainnya terlanjur dilikuidasi
pada 1 November 1997. Namun demikian, Bank Utama terus dibantu
dengan berbagai fasilitas agar bertahan hidup. Misalnya, bank ini mendapat
fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK) sebesar Rp 531 miliar,
padahal Bank Utama tidak layak memperolehnya karena memiliki CAR
kurang dari 2%, sebagaimana yang disyaratkan oleh ketentuan BI.
Fasilitas yang diterima Bank Utama ini, sulit ditafsirkan lain, melainkan
karena adanya disposisi yang diberikan Soeharto kepada Menkeu yang
kemudian diteruskan kepada BI tersebut. Apalagi mengingat, sebagian besar
saham Bank Utama dimiliki oleh anak-anak Soeharto. Dengan demikian, hal
tersebut menunjukkan bagaimana Soeharto menyalahgunakan
kekuasaannya untuk menyelamatkan kepentingan keluarga dan kroninya.
Sedangkan, disisi lain, hal itu juga menunjukkan bagaimana pejabat-pejabat

Siapa yang harus Bertanggung Jawab? / 163


negara di sekeliling Soeharto hanya berperan sebagai ”yes man” atau
punggawa yang patuh tak berdaya atas perintah Soeharto sebagai raja yang
dijunjungnya.
Selanjutnya, peran mantan Presiden Soeharto dalam pengucuran BLBI
juga dapat dilihat pada berbagai produk kebijakan yang dikeluarkannya
sebagai berikut:
· Surat Setneg No. R-183/Msesneg/12/1997 yang berisi persetujuan
kepada BI untuk mengganti saldo debet sejumlah bank nasional
dengan SBPUK (Surat Berharga Pasar Uang Khusus). Dengan
pemberian SBPUK ini, bank-bank yang telah mengalami saldo
negatif di BI dipertahankan hidup dan diperkenankan untuk
kembali mengikuti kliring. Hal ini pada gilirannya, semakin
membengkaknya jumlah BLBI yang dikucurkan kepada pihak
perbankan. Untuk diingat, saldo debet terjadi karena krisis
likuiditas yang dialami sejumlah bank nasional, khususnya setelah
terjadinya rush. Rush kian besar setelah pemerintah melikuidasi 16
bank pada tanggal 1 November 1997, sehingga BI harus
memberikan rescue dana talangan senilai Rp 23 triliun. Dana
talangan inilah yang menandai pengucuran BLBI besar-besaran
kepada perbankan nasional. Tercatat, pada bulan Desember 1997
jumlah BLBI yang disuntikkan telah meningkat menjadi Rp 54
triliun.
· Keppres No.24/1998 tanggal 23 Januari 1998, yang menjamin
bahwa BI dapat memberikan jaminan atas pinjaman luar negeri
yang dilakukan dan atas Letter of Credit yang diterbitkan oleh bank.
· Keppres No.26/1998 tanggal 26 Januari 1998 yang berisi jaminan
pemerintah terhadap kewajiban pembayaran bank umum kepada
para pemilik simpanan dan krediturnya.
· Keppres No.55/1998 tanggal 6 April 1998 tentang penerbitan surat
utang dalam negeri yang merupakan pembayaran atau penggantian
atas dana yang dikeluarkan BI kepada bank-bank yang dialihkan
kepada BPPN.
Atas dasar berbagai kebijakan di atas, pemerintah kemudian
mengeluarkan berbagai aturan, ketentuan dan pedoman pelaksanaan
melalui berbagai SK Menkeu, SK Menko Ekuin, SK Direksi BI, Surat

164 / Siapa yang harus Bertanggung Jawab?


Gubernur BI, SK Bersama Direksi BI dan Ketua BPPN. Menurut laporan
hasil audit BPK bulan Juli 2000, tercatat ada sekitar 13 surat dan SK yang
dikeluarkan oleh menteri-menteri terkait dan direksi BI untuk menjadi
acuan pelaksanaan BLBI.
Berdasarkan hal itu, maka dapat dinyatakan peran mantan Presiden
Soeharto dalam pengucuran BLBI terletak pada arah kebijakan yang
diperintahkannya kepada menteri dan pejabat BI terkait. Arah kebijakan
tersebut, selain untuk mengamankan kepentingan perekonomian nasional
sebagaimana yang dinyatakannya, juga terlihat bertujuan untuk
mengamankan kepentingan keluarga dan kerabat-kerabatnya. Disposisi
kepada Menkeu dan BI untuk membantu Bank Utama, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, merupakan salah satu contoh dari langkah Soeharto
untuk mengamankan kepentingan usaha keluarganya tersebut.
Karena itulah, mantan Presiden Soeharto mutlak merupakan pihak
yang harus dimintakan pertanggungjawabannya atas kerugian negara akibat
penyelewengan yang terjadi pada kasus BLBI. Soeharto juga merupakan
figur kunci yang seharusnya dapat memberikan keterangan tentang peran
dan keterlibatan oknum-oknum pejabat yang berada di sekelilingnya,
termasuk menteri kabinet dan pejabat BI, dalam menyimpangkan BLBI. Hal
ini mengingat peran Soeharto yang demikian sentral saat itu sebagai
pemegang kendali semua kebijakan yang dibuat pemerintah.
Disamping itu, peran Soeharto dalam kasus BLBI dapat ditelusuri pula
pada masa sebelum krisis, yaitu ketika ia menunda-nunda pengambilan
tindakan, termasuk likuidasi, terhadap sejumlah bank bermasalah. Padahal,
laporan tentang bank-bank bermasalah tersebut telah diterimanya sejak
akhir 1996. Penundaan itu sendiri dinyatakan terkait dengan momen
pelaksanaan pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada Mei 1997.
Sehingga, penundaan tersebut dapat dinyatakan sebagai pertaruhan yang
dilakukan Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. Akibatnya,
seperti juga telah diketahui bersama, meski menang dalam pemilu 1997,
Soeharto dijungkalkan setahun kemudian melalui hantaman krisis
multidimensi secara bertubi-tubi. Sementara, kekalahannya tersebut harus
turut ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia melalui beban pembayaran
utang yang ia tinggalkan dari kasus BLBI.

Siapa yang harus Bertanggung Jawab? / 165


Pejabat-Pejabat Bank Indonesia
Tak pelak, BI adalah institusi pemerintah yang memiliki andil besar
dalam terjadinya skandal BLBI. Hal itu dikarenakan BI merupakan pihak
yang menyalurkan BLBI kepada pihak perbankan. Maka dari itu, BI
merupakan pintu pertama bagi terjadinya penyimpangan dan
penyelewengan. Hal ini pun dibuktikan oleh hasil audit BPK yang
menemukan bahwa 95,78% dari BLBI yang disalurkan oleh BI kepada pihak
perbankan telah menyimpang dengan nilai mencapai Rp 138,44 triliun.
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya (Bab 3), berdasarkan
audit BPK, penyimpangan BLBI oleh BI pada dasarnya terjadi karena dua
hal, yaitu adanya kelemahan BI dalam melakukan pembinaan dan
pengawasan perbankan serta lemahnya BI dalam melakukan manajemen
penyaluran BLBI. Dari dua kelemahan mendasar BI tersebut, terjadi
berbagai penyimpangan dalam penyaluran BLBI oleh BI. Secara garis besar,
berikut merupakan bentuk-bentuk penyimpangan dalam penyaluran BLBI
tersebut.
· BI cenderung membiarkan bank-bank yang tidak sehat
untuk tetap beroperasi dan bergantung pada BLBI. Hal ini
terlihat ketika BI membiarkan bank-bank untuk tetap mengikuti
kliring meskipun telah mengalami saldo negatif dalam jumlah yang
besar dan waktu cukup lama. Bahkan, BI membiarkan bank-bank
tersebut untuk terus menambah jumlah utang mereka di rekening
giro BI dengan tetap mengucurkan bantuan likuiditas kepada bank-
bank tersebut. Akibatnya, jumlah saldo debet bank-bank
membengkak sehingga tidak mampu dilunasi. BI pun akhirnya
harus memberi mereka fasilitas lain seperti fasilitas diskonto,
fasilitas SBPUK, new fasdis, dan fasilitas-fasilitas lainnya untuk
mengkonversi saldo debet mereka di BI. Hal ini membuat bank-
bank tersebut terus bergantung pada pemberian fasilitas BLBI,
yang pada kenyataannya tidak berfungsi efektif karena berbagai
fasilitas itu pun tak dapat dilunasi ketika jatuh tempo. Seiring
dengan penundaan-penundaan tersebut, jumlah kewajiban yang
harus dibayarkan bank-bank pun semakin besar (karena ditambah
dengan bunga dan sanksi-sanksi denda lain yang diberlakukan BI).
Ketika pada akhirnya bank-bank tersebut tidak juga mampu
melunasi kewajiban-kewajibannya, maka pemerintahlah yang

166 / Siapa yang harus Bertanggung Jawab?


kemudian menanggung beban pembayaran kewajibannya dengan
jumlah yang sangat membengkak. Dalam hal ini, BI telah
membiarkan terjadinya pembengkakan saldo debet pihak
perbankan dengan terus memberikan berbagai bentuk fasilitas
BLBI tanpa penilaian kelayakan atas kondisi bank-bank penerima.
Besarnya saldo debet pihak perbankan yang tak terbayar ini yang
kemudian harus ditanggung pembayarannya oleh rakyat melalui
pos APBN.
· BI tidak menjalankan prinsip kehati-hatian perbankan
(prudential banking). Selain membiarkan bank-bank untuk terus
mengikuti kliring meski saldonya negatif, BI juga melanggar prinsip
kehati-hatian perbankan dengan mengucurkan fasilitas BLBI tanpa
menyiapkan mekanisme kontrol yang memadai seperti prosedur
verifikasi dan konfirmasi atau melakukan pengikatan jaminan yang
kuat untuk menjamin pengembalian dana oleh pihak bank. Bahkan,
pada kasus penyimpangan dana talangan valas, BPK menemukan
BI melakukan pembayaran yang menyalahi ketentuan.
Dilanggarnya prinsip kehati-hatian tersebut oleh BI, di sisi lain,
memunculkan dugaan bahwa BI memang sengaja mempermudah
pengucuran BLBI kepada pihak perbankan. Karena itu, BI turut
bertanggung jawab atas penyimpangan BLBI yang terjadi.
· BI tidak tegas memberi sanksi kepada bank-bank yang melanggar
ketentuan sebagaimana yang disyaratkan dalam pemberian fasilitas
BLBI. Kecenderungan BI untuk menyimpangkan BLBI juga
terlihat dari tidak tegasnya BI dalam memberi sanksi kepada bank
yang melanggar ketentuan. Misalnya, seperti telah disinggung di
atas, BI tidak memberi stop kliring kepada bank yang telah
membengkak saldo negatifnya. BI bahkan membiarkan bank-bank
tersebut bersaldo negatif dan mengikuti kliring meskipun bank
telah dinyatakan tidak memiliki kemungkinan sehat.
Ketidaktegasan BI lainnya ditunjukkan dengan tidak dijatuhkannya
sanksi pada bank-bank yang tidak juga melunasi kewajiban hingga
berbagai fasilitas BLBI yang diterimanya jatuh tempo. BI, misalnya,
tidak melakukan eksekusi sita jaminan terhadap aset-aset bank yang
tidak mampu melunasi Fasdis II seperti yang disepakati, dan justru
membebankan kembali kepada rekening giro bank di BI. Atas

Siapa yang harus Bertanggung Jawab? / 167


berbagai bentuk penyimpangan penyaluran BLBI oleh BI di atas,
tak heran BPK menyimpulkan bahwa dasar kebijakan BI dalam
menyalurkan BLBI bersifat temporer, individual, dan subyektif. BI
dinilai cenderung membuat keputusan sepihak seperti
memberlakukan Keputusan Rapat Direksi yang bertentangan
dengan Surat Keputusan Direksi. Kebijakan BI bahkan juga tidak
transparan, yaitu mengandung kesan penyembunyian informasi
terhadap publik.

Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)


Pasca penyaluran BLBI, lembaga negara yang perannya sangat
menonjol dalam menangani kasus ini adalah Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). BPPN, yang memiliki fungsi dan kewenangan yang
sangat luas, mencakup menyelesaikan kewajiban pembayaran utang obligor
BLBI, mengelola aset-aset perusahaan dan kredit yang diserahkan obligor,
dan menjual aset-aset yang dikelolanya. Karena itu pula, atas berbagai
kerugian negara dan penyelewengan yang terjadi dalam penyelesaian kasus
ini, BPPN sangat layak dituntut pertanggungjawabannya.
Secara umum, dalam menyelesaikan kasus BLBI, BPPN dinilai telah
melakukan berbagai langkah dan tindakan yang merugikan negara sebagai
berikut:
· BPPN cenderung tidak transparan dalam proses pengambilan
keputusan. Hal ini terjadi, karena selain ulah oknum-oknum pejabat
BPPN sendiri, juga adanya intervensi pemerintah dalam persoalan-
persoalan teknis yang menyebabkan BPPN tidak independen.
· BPPN sekedar menyampaikan kebijakan makro, mengemukakan
data dan angka, tanpa menyampaikan progress report secara periodik
pelaksanaan tugasnya kepada publik, termasuk kepada DPR.
Akibatnya, kondisi sebenarnya dari proses penyelesaian kewajiban
yang telah dan akan dilakukan oleh obligor serta hasil penjualan aset
hanya diketahui oleh Pemerintah dan BPPN.
· BPPN tidak bersedia memenuhi tuntutan sejumlah anggota
Komisi IX DPR RI (periode 1999/2004) untuk membuka dan
mengumumkan secara transparan neraca dan laporan keuangan
obligor sebelum BPPN merestrukturisasi kredit macetnya. Hal ini
168 / Siapa yang harus Bertanggung Jawab?
jelas menyulitkan proses pengawasan DPR dalam rangka
memaksimalkan pengembalian uang negara.
· BPPN tidak transparan dalam melakukan analisis untung/rugi,
mengungkap permasalahan, dan menentukan alternatif pilihan
divestasi aset terhadap penyelesaian PKPS MSAA/MRNIA,
apakah dalam bentuk package deal atau secara retail.
· Penilaian aset-aset oleh BPPN umumnya dilakukan di ”belakang
meja”, tanpa mengecek kebenaran nilai tersebut di lapangan. Selain
itu, meskipun ada mekanisme uji tuntas (due diligent) secara random,
waktu yang tersedia hanya 1 bulan, padahal nilai aset yang perlu
diverifikasi sangat banyak dan bernilai puluhan triliun rupiah. Para
konsultan yang ditunjuk membantu BPPN untuk melakukan
penilaian pun tidak diperbolehkan membawa hasil penilaiannya
keluar dari suatu ruangan khusus yang disediakan BPPN.

Presiden Megawati dan Menteri Kabinet Terkait


Jika Soeharto merupakan pimpinan negara yang pertama kali
menelurkan kebijakan BLBI, maka Presiden Megawati adalah pimpinan
negara yang mengeluarkan kebijakan penyelesaian kasus BLBI dengan
sangat kontroversial dan melukai rasa keadilan masyarakat. Kebijakan
dimaksud adalah Inpres No.8 Tahun 2002 tanggal 30 Desember 2002
tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah
Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang
tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham.
Inpres ini menginstruksikan kepada Menteri Kehakiman dan HAM,
Menko Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan
(KKSK), para menteri anggota KKSK, Menteri Negara BUMN, Jaksa
Agung, Kapolri, dan Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan bagi Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam rangka
penyelesaian seluruh kewajibannya kepada BPPN berdasarkan perjanjian
MSAA, MRNIA dan APU. Esensi Inpres No.8/2002 adalah:
· Pemberian bukti/status penyelesaian berupa pelepasan dan
pembebasan (Release and Discharge) kepada para obligor BLBI,

Siapa yang harus Bertanggung Jawab? / 169


dalam rangka jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam
perjanjian-perjanjian MSAA, MRNIA dan APU;
· Dalam rangka pemberian kepastian hukum tersebut, maka para
obligor yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau
penuntutan oleh instansi penegak hukum, otomatis akan
memperoleh pembebasan atau penghentian penanganan aspek
pidana.
Ketetapan di atas telah mengakibatkan dihentikannya proses
penyidikan (SP3) terhadap sedikitnya 10 tersangka korupsi BLBI pada tahun
2004 oleh Kejaksaan Agung. Alasan penghentian adalah karena para
tersangka telah mendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) sebagai
konsekuensi dan pelaksanaan dari Inpres No.8/2002. Padahal, para
tersangka kasus BLBI telah melakukan tindak pidana dengan menggunakan
BLBI untuk berbagai keperluan yang tidak dibenarkan, seperti
menyalurkannya pada kelompok usahanya sendiri.
Oleh karena itu, dapat kita nyatakan, pembebasan para obligor pelaku
pidana ini oleh Presiden Megawati melalui Inpres No.8/2002 merupakan
perbuatan melawan hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat
(uraian lebih rinci tentang Inpres No.8/2002 akan diberikan pada bab
selanjutnya). Presiden Megawati harus bertanggung jawab atas kebijakan
yang telah dibuatnya tersebut!

International Monetary Fund (IMF)


Karena keterpurukan ekonomi yang semakin parah, pemerintah
akhirnya meminta bantuan IMF untuk mengatasi krisis. Bantuan kemudian
diberikan dalam bentuk bantuan siaga (stand by loan) sebesar US$ 40 miliar,
termasuk didalamnya US$ 17 miliar bantuan pemerintah negara-negara lain,
dan ditandatangani pada tanggal 30 Oktober 1997 oleh Menkeu Mar'ie
Muhammad dan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono. Bantuan pinjaman
ini ditandatangani dengan berbagai persyaratan yang ketat sehingga pada
akhirnya merugikan bangsa dan rakyat Indonesia.
Kebijakan resmi mengundang IMF dilakukan setelah Sidang Kabinet
minggu pertama Oktober 1997. Untuk sampai pada kesepakatan, telah
dilakukan negosiasi yang ketat dan alot dengan IMF. Dalam hal ini, IMF
telah menyodorkan lebih dari seribu persyaratan yang harus dipenuhi dan
170 / Siapa yang harus Bertanggung Jawab?
kelak dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) antara IMF dan pemerintah
Indonesia, menyangkut ”reformasi” dan pelaksanaan program-program
penyesuaian struktural berbagai sektor yang harus dijalankan oleh
pemerintah.
Beberapa persyaratan penting yang harus segera dijalankan oleh
Pemerintah adalah terkait dengan reformasi sektor riil, restrukturisasi sektor
keuangan/perbankan dan pelaksanaan kebijakan fiskal-moneter secara hati-
hati. Pada praktiknya, restrukturisasi perbankan telah diawali dengan
penutupan bank-bank yang tidak sehat dan rekapitalisasi bank-bank
bermasalah. Disamping itu dilakukan penguatan institusi keuangan, yang
meliputi perbaikan pengawasan, peraturan dan perundangan, sistem
pengadilan dan penegakan hukum, transparansi, dan good governance.
Program pertama yang dilaksanakan pemerintah adalah penutupan 16
bank pada tanggal 1 November 1997, atau hanya sehari setelah
penandatanganan LoI dilakukan. Akibat kebijakan ini, pemerintah harus
menanggung biaya likuidasi sekitar Rp 11,888 triliun (per 29 Januari 1999)
yang kemudian diperhitungkan sebagai dana BLBI.
Setelah penutupan tersebut, ironisnya kondisi perbankan bukan
semakin membaik, justru semakin buruk. Kepercayaan masyarakat kepada
perbankan nasional menurun dan mengakibatkan meningkatnya rush atau
penarikan dana masyarakat dari bank-bank secara besar-besaran. Akibatnya,
pemerintah pun terpaksa mengumumkan tidak akan melakukan penutupan
bank lagi.
Berbagai kebijakan IMF, seperti penutupan 16 bank, dianggap banyak
kalangan sebagai program/resep yang salah untuk mengatasi krisis ekonomi
di Indonesia. Permintaan bantuan kepada IMF pada kenyataannya justru
memperparah gejolak yang terjadi serta menciptakan beban yang tak
terduga pada masyarakat dan pemerintah Indonesia.
Secara umum, berbagai hal yang disyaratkan IMF dalam LoI yang
merugikan Indonesia antara lain adalah:
· IMF berkeras untuk terus menerapkan pengetatan fiskal dan
moneter serta memaksakan rangkaian reformasi kelembagaan dan
sektoral secara bersamaan dengan penerapan rasio kecukupan
modal yang lebih ketat bagi perbankan;

Siapa yang harus Bertanggung Jawab? / 171


· IMF memaksa penutupan bank secara ekstensif, namun tidak
didukung dengan persiapan yang matang, sehingga menimbulkan
kepanikan yang menyebabkan krisis perbankan semakin parah;
· Lonjakan tingkat bunga secara tajam antara tahun 1997/1998,
sehingga melemahkan kondisi keuangan perbankan dan
perusahaan domestik. Kebijakan tersebut bukan saja tidak mampu
mendongkrak nilai tukar rupiah, tetapi malah memicu runtuhnya
sistem perbankan nasional dan pailitnya perusahaan-perusahaan
domestik;
· Memaksa pemenuhan target uang ketat untuk menurunkan inflasi
dan tingkat suku bunga untuk mendorong investasi swasta;
· Meminta agar aturan anggaran berimbang terus dipertahankan,
dengan menjadikan utang luar negeri sebagai penutup defisit fiskal
yang pada gilirannya membuat Indonesia masuk dalam perangkap
utang;
· Mempercepat privatisasi badan-badan usaha milik negara dan
sektor-sektor strategis seperti listrik, migas, dan sebagainya dengan
dalih efisiensi dan pemberantasan KKN, sekaligus untuk menutup
defisit fiskal;
· Mempertahankan rezim kapital bebas yang tidak membatasi aliran
masuk modal baik jangka pendek maupun jangka panjang. Padahal,
kebijakan ini sangat rawan dengan dampak negatif yang
dimunculkan oleh aksi para spekulan;
· Sistem keuangan pada umumnya, dan perbankan pada khususnya
harus berjalan dalam sistem yang longgar. Sementara itu aset-aset
BPPN harus dijual dalam waktu sesingkat mungkin, sehingga bank-
bank yang telah dinasionalisasi dengan cepat kembali ke pemilik
swasta;
· Subsidi kepada rakyat harus segera dihapus untuk meningkatkan
sumber daya pemerintah. Padahal tujuan IMF sebenarnya adalah
mengamankan ketersediaan dan kelancaran pembayaran cicilan
utang oleh pemerintah.
Di sisi lain, meningkatnya beban pembayaran utang akan terus
memaksa pemerintah untuk meningkatkan harga-harga kebutuhan

172 / Siapa yang harus Bertanggung Jawab?


masyarakat seperti listrik dan BBM dan memaksakan percepatan penjualan
aset-aset BPPN meskipun hasilnya sangat rendah. Di sisi lain, para agen,
kolabolator dan afiliasi IMF akan mendapat kesempatan membeli aset-aset
tersebut dengan harga sangat murah.
· Menolak pemberlakuan currency board system (CBS) yang mematok
nilai mata uang domestik terhadap mata uang jangkar, dalam hal ini
rupiah terhadap dolar AS. Soeharto mengusulkan penerapan CBS
terutama untuk menghentikan ulah spekulan dan menahan
devaluasi rupiah. Namun usul ini ditolak oleh IMF, AS, Jerman,
Inggris, dan Jepang, termasuk sejumlah menteri kabinet dan
Gubernur BI. Alasan penolakan CBS disebutkan antara lain adalah
bahwa penerapannya harus didahului oleh ketersediaan devisa yang
besar dan kondisi ekonomi yang memenuhi kriteria tertentu.
Meskipun, penolakan tersebut sebenarnya lebih disebabkan CBS
dapat menghambat agenda-agenda IMF di Indonesia;
· Memaksakan penyelesaian kasus BLBI dengan pola PKPS MSAA,
MRNIA dan APU yang berisi berbagai kebijakan yang banyak
melanggar hukum/peraturan, termasuk mematok waktu
penyelesaian yang singkat;
· Memaksakan pelaksanaan rekapitalisasi perbankan dengan CAR
minimal 8% melalui penerbitan obligasi rekapitalisasi oleh
pemerintah;
· Memaksa penjualan aset-aset dan bank-bank yang dimiliki
pemerintah, meskipun masih memegang obligasi rekap, dalam
waktu singkat tanpa memperhitungkan aspek ekonomi yang
optimal.
Ringkasnya, apa yang dilakukan IMF sebenarnya bukan bantuan yang
terkonsep secara objektif agar Indonesia lepas dari krisis, tetapi justru penuh
dengan muatan kepentingan sepihak dari IMF sendiri. Kepentingan itu
diantaranya adalah mengeruk keuntungan dari penguasaan aset-aset
strategis nasional dengan harga murah, menjadikan Indonesia sebagai sapi
perah penghasil laba melalui pembayaran bunga utang, dan memformat
sistem ekonomi Indonesia agar sesuai dengan kepentingan kolonialisasinya
secara umum.

Siapa yang harus Bertanggung Jawab? / 173


Karena itu, langkah Soeharto yang mengundang keterlibatan IMF
dalam mengatasi krisis di Indonesia amat disayangkan. Meskipun, kita juga
dapat memahami hal itu sebagai episode kekalahan dari sang penguasa Orde
Baru yang terus menerus dan secara sistematis mengalami tekanan politik
dan ekonomi. Namun, bagaimanapun hal itu juga tak dapat dilepaskan dari
kebiasaan pemerintah yang telah berlangsung puluhan tahun untuk
bergantung pada utang yang diberikan berbagai lembaga asing seperti Bank
Dunia, ADB, dan sebagainya.
Kebiasaan berutang untuk mengongkosi pembangunan tersebut pada
akhirnya berakibat fatal, terjungkalnya pemerintah orde baru dan
terperangkapnya pemerintahan baru dalam krisis ekonomi berkepanjangan.

Penutup
Dampak skandal BLBI adalah diwariskannya beban utang dan bunga
obligasi ratusan triliun kepada sebagian besar rakyat miskin di Indonesia saat
ini dan puluhan tahun yang akan datang. Malapetaka ini bersumber dari
perilaku KKN yang dilakukan oleh sekelompok pengusaha dan penguasa
masa lalu, mencakup sebagian besar obligor BLBI, Soeharto dan kroninya,
oknum-oknum pejabat BI dan BPPN, hingga IMF dan Bank Dunia. Yang
menyakitkan, sebagian besar dari mereka kini masih menikmati hidup bebas
dan berkecukupan atau bahkan lebih kaya dibanding sebelumnya.
Kita berharap masyarakat dapat memahami masalah ini secara jelas,
sehingga dapat bergerak menuntut ditegakkannya hukum dan keadilan bagi
pelaku skandal yang merugikan negara dan rakyat ini. Kepada para pelaku,
terutama para obligor pengemplang uang negara, kita menuntut hati nurani
dan kesadarannya untuk bertanggungjawab kepada rakyat atas
perbuatannya!

174 / Siapa yang harus Bertanggung Jawab?


Bab 9
KEJAHATAN OBLIGOR
MENJARAH BLBI

Marwan Batubara

Pada uraian sebelumnya, telah diungkapkan bahwa hasil audit BPK dan
BPKP menemukan sejumlah penyelewengan dan penyimpangan pada
praktik pengucuran dana BLBI. Menurut kedua lembaga audit negara
tersebut, penyelewengan terjadi baik dalam hal penyaluran maupun
penggunaan dana BLBI. Akibat penyimpangan tersebut, negara mengalami
potensi kerugian hingga Rp 138,4 triliun atau 95,78% dari Rp 144,5 triliun
yang dikucurkan.
Pada kasus BLBI lainnya, yaitu Program Penjaminan Pemerintah,
lembaga audit independen seperti Ernst & Young dan Hans Tuanakotta &
Mustofa juga menemukan penyimpangan dalam pelaksanaan program ini.
Hasil audit yang mereka lakukan menemukan bahwa dari 216 klaim
antarbank senilai Rp 12 triliun, hanya ada 11 klaim (senilai Rp 1,075 triliun)
yang eligible (layak) dibayarkan dengan dana Program Penjaminan.
Berbagai fakta ini menunjukkan bahwa BLBI yang diberikan
pemerintah kepada pihak perbankan dalam kenyataannya tidak

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 175


dipergunakan sebagaimana mestinya. Justru, berbagai fasilitas yang
menggunakan uang negara tersebut disalahgunakan dan dimanfaatkan
untuk kepentingan-kepentingan pribadi segelintir oknum yang terlibat.
Banyaknya jumlah penyimpangan yang terjadi pada akhirnya
mengantarkan kita pada pertanyaan siapa pihak yang harus bertanggung
jawab atas kerugian yang dialami negara tersebut. Dua bab berikut akan
mencoba menguraikan pihak-pihak yang terlibat dalam penyelewengan
dana BLBI dan bentuk-bentuk kejahatan yang mereka lakukan. Bab ini akan
membahas bentuk-bentuk kejahatan yang dilakukan para obligor, sementara
bab selanjutnya akan membahas peran dua institusi pemerintah, yaitu BPPN
dan BI dalam skandal korupsi BLBI.

Modus Umum Obligor dalam Menyimpangkan BLBI


Para bankir nakal dan obligor pengemplang BLBI secara nyata
merupakan pihak yang menangguk keuntungan besar dari skandal BLBI.
Dengan menggunakan uang negara, mereka memperkaya diri, sehingga
membuat rakyat harus menanggung beban pembayaran utang negara yang
sangat besar.
Tabel berikut memperlihatkan sebagian nama-nama pengemplang
BLBI dan kerugian yang mereka akibatkan pada negara.

Tabel 1

Bank Pelaku Penyimpangan Terbesar Dana BLBI

Tabel di atas menunjukkan kerugian negara yang demikian besar, hal


baru memperhitungkan korupsi yang dilakukan 5 orang pengemplang BLBI
saja. Dari pengucuran BLBI tahap pertama tersebut (posisi per 29 Januari

176 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


1999), 5 obligor BLBI di atas setidaknya telah menyimpangkan uang negara
sebesar Rp 62,84 triliun atau 43,5% dari total penyimpangan yang terjadi.
Sebagai perbandingan, jumlah penyimpangan yang dilakukan 5 obligor
ini empat kali lipat lebih besar dari total anggaran pendidikan dalam APBN
pada periode yang sama (1998/1999) senilai Rp 12,171 triliun. Jumlah
penyimpangan ini bahkan 16 kali lipat besarnya dari anggaran kesehatan
dalam APBN 1998/1999 (Rp 3,813 triliun).
Nilai korupsi para obligor BLBI tersebut, masih terus membengkak jika
diperhitungkan pula pengucuran BLBI pada tahap-tahap berikutnya, yaitu
Program Penjaminan Perbankan (blanket guarantee) dan rekapitalisasi
perbankan (penyuntikkan perbankan dengan dana obligasi rekap).
Atas kerugian yang diakibatkannya pada negara, sudah sepantasnya para
obligor tersebut menjadi pihak utama yang dituntut
pertanggungjawabannya atas skandal BLBI. Penyelesaian kasus BLBI pun
sudah sepantasnya difokuskan pada penuntutan terhadap para obligor
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum dan
mengembalikan seluruh uang yang dinikmatinya kepada negara.
Dalam tindak korupsi BLBI, ada beberapa bentuk perbuatan jahat yang
dilakukan para obligor, yang secara garis besar dapat dijelaskan pada tahap-
tahap sebagai berikut:

Tahap Awal Krisis Moneter


Sesungguhnya sebelum kasus BLBI bergulir, berbagai bentuk
kecurangan telah dilakukan para bankir dalam rangka menyedot dana dari
masyarakat dan memanfaatkannya untuk memperkuat modal bank dan
kelompok-kelompok usaha yang dmilikinya. Seperti pernah dituturkan oleh
mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, beberapa modus kecurangan
yang dilakukan bankir sebelum terjadinya krisis antara lain sebagai berikut.
· Para bankir berhutang kepada pihak luar negeri dengan jumlah
mencapai ratusan juta dolar yang uangnya kemudian dikucurkan
kepada perusahaan-perusahaan kelompok afiliasinya. Selanjutnya,
ketika pembayaran debitur-debitur (yang merupakan perusahaan
afiliasi atau bahkan miliknya sendiri) itu macet, pihak bankir
memacetkan juga pembayaran kewajiban mereka kepada pihak luar
Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 177
negeri. Atas hal itu, bankir nakal tersebut justru mengancam hanya
bersedia membayar sebagian kecil dari total utangnya atau tidak
membayar sama sekali.
· Bankir-bankir nakal tersebut kemudian secara diam-diam
mendorong para debiturnya untuk membeli hak tagih atas utang
mereka dari kreditur luar negeri dengan harga lebih tinggi dari nilai
utang yang bersedia dibayar bank. Namun setelah terbeli, bank
tetap membayar 100 persen utang-utangnya kepada para
debiturnya (yang kini berubah posisi menjadi krediturnya).
Sehingga, pada hakikatnya, pihak bankir menyedot dana yang
terdapat di banknya dan memindahkannya ke kantong pribadi dan
jaringan kroninya.
· Para bankir juga memanfaatkan peraturan yang dikeluarkan
pemerintah pada Oktober 1988 yang memberi kemudahan
mendirikan bank untuk menarik dana dari masyarakat, padahal
mereka hanya memiliki modal seadanya. Dana masyarakat yang
terkumpul ini, dimanfaatkan bankir nakal untuk memberi kucuran
kredit pada unit-unit usahanya sendiri, hingga melampaui batas
BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit). Hal itu kadang
dilakukan pula dengan mark up harga (nilai kredit yang diajukan
lebih besar dari biaya investasi sesungguhnya yang digunakan), yang
kelebihan uangnya kemudian dipindahkan ke bank-bank di luar
negeri.
Berbagai manipulasi yang dilakukan bankir di atas, pada akhirnya turut
menjerumuskan bank pada kondisi krisis (selain faktor krisis nilai tukar mata
uang yang menghantam dunia perbankan saat itu). Krisis terjadi terutama
karena pelanggaran BMPK yang dilakukan para bankir untuk
menguntungkan kelompok usahanya menyebabkan fondasi bank yang
dikelolanya rapuh. Apalagi, kredit yang dikucurkan bank kepada kelompok-
kelompok afiliasinya tersebut kemudian mengalami macet. Modal bank yang
telah dikumpulkan dari masyarakat pada akhirnya tersangkut di tangan para
debitur-debitur yang macet pembayarannya tersebut.
Karena itu, krisis likuiditas yang dialami perbankan pada hakikatnya
juga terjadi akibat ulah para bankir nakal yang telah membuat kropos modal
bank yang dikelolanya sendiri.

178 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Tahap Penyaluran dan Penggunaan BLBI
Kesediaan pemerintah melalui BI untuk membantu kesulitan likuiditas
yang dialami perbankan saat terjadi krisis, jelas merupakan berita bahagia
bagi para bankir. Modal mereka yang dikuras oleh rush nasabah, tak perlu
dikhawatirkan karena akan ditalangi dulu oleh pemerintah. Terhentinya
pemasukan bank dari debitur-debitur macet (yang sebagiannya merupakan
kelompok-kelompok usahanya sendiri), juga bukan masalah karena BI
bersedia menanggung kewajiban-kewajiban pembayaran mereka melalui
pemberian fasilitas saldo debet.
Pada kenyataannya, fasilitas-fasilitas ini memang dipergunakan sebaik-
baiknya oleh para bankir, baik untuk menolong kondisi keuangan banknya
yang tengah sekarat, maupun untuk mempertebal kantong-kantong pribadi
serta kelompoknya sendiri. Memanfaatkan mekanisme penyaluran BLBI
yang tidak terkontrol baik, para bankir seolah berlomba menangguk
keuntungan dari pemberian fasilitas oleh pemerintah yang sesungguhnya
dimaksudkan untuk mengatasi krisis ini. Kecurangan dan manipulasi pihak
perbankan dalam menyimpangkan dana BLBI antara lain dilakukan melalui
bentuk-bentuk sebagai berikut:
· Merekayasa laporan keuangan, sehingga membuat kondisi
kesehatan bank yang sesungguhnya tidak dapat diketahui. Padahal,
kondisi kesehatan bank diperlukan untuk menilai kelayakan bank
dalam menerima fasilitas BLBI. Bentuk rekayasa yang paling umum
adalah rekayasa transaksi untuk menghindari ketentuan mengenai
BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit).
· Menggunakan dana BLBI bukan untuk membayar dana nasabah
sesuai dengan ketentuan, dan bahkan menggunakannya untuk
kepentingan kelompok usahanya sendiri. Hal ini terbukti dari
temuan BPK bahwa pihak perbankan mengucurkan dana BLBI
kepada kelompok afiliasinya dengan nilai total sekitar Rp 20,36
triliun.
· Terdapat kecurigaan bahwa pihak perbankan menyelewengkan
dana BLBI justru untuk membeli dolar sehingga kian melemahkan
rupiah dan memperparah kondisi krisis moneter yang terjadi. Hal
ini dapat ditunjukkan dari adanya hubungan antara pengucuran
BLBI sepanjang September 1997 hingga Maret 1998 dengan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 179


terjadinya gejolak rupiah pada periode yang sama. Sejumlah pihak
menduga, kucuran rupiah BLBI yang diterima perbankan
digunakan untuk melakukan aksi jual beli mata uang. Apalagi di saat
yang sama, BI melakukan intervensi terhadap mata uang dengan
mengucurkan dolar secara murah ke pasar. Tercatat, intervensi BI
pada mata uang sempat membuat dolar dijual pada harga Rp 2.680.
Namun, nilai dolar terus meroket hingga mencapai angka Rp
16.000 per dolar hanya dalam waktu singkat.
· Para bankir juga menggelembungkan (mark up) klaim rush nasabah,
sehingga dana BLBI yang diterima bank lebih besar daripada dana
yang harus dibayarkan kepada nasabah. Kelebihan dana ini
kemudian dinikmati oleh pihak bankir dan oknum-oknum pejabat
yang bekerja sama dengan mereka.
· Para bankir merekayasa laporan keuangan mereka dengan
mencantumkan utang dalam bentuk dolar di neraca keuangan. Hal
ini dilakukan untuk mengklaim adanya beban pembayaran utang
kepada pihak luar negeri beserta bunganya dalam bentuk dolar.
Dengan demikian, bank dapat mengajukan permohonan kepada
pemerintah untuk menanggung pembayaran utang mereka
berdasarkan ”Frankfurt Agreement”. Padahal, utang tersebut
diperoleh bank dengan menjaminkan uang tunai (juga dalam
bentuk dolar) di bank luar negeri. Artinya, utang tersebut tidak
harus dibayar karena hanya sekedar penukar uang jaminan tunai
yang disetorkan.
· Para bankir juga memanfaatkan tingginya suku bunga SBI di saat
krisis yang mencapai 50% -60% untuk menarik kembali uangnya
dari luar negeri untuk didepositokan. Investasi ini sangat
menguntungkan bankir, karena selain bunganya tinggi, pemerintah
memberi jaminan atas pengembalian uang yang disetorkan, berapa
pun jumlahnya (fasilitas blanket guarantee). Sehingga, para bankir
dapat menikmati pembayaran bunga sangat tinggi dari pemerintah
yang dananya dikeluarkan setiap tahun dari pos APBN.

180 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Tahap Penyelesaian Kewajiban Obligor BLBI
Sebagai langkah pamungkas, kecurangan kembali dilakukan para bankir
nakal untuk membebaskan diri mereka dari beban pembayaran utang BLBI
beserta jeratan sanksi hukum. Bahkan, mereka pun melakukan berbagai
upaya untuk menguasai kembali aset-aset mereka yang telah diserahkan
kepada BPPN.
Beberapa bentuk kecurangan yang mereka lakukan antara lain adalah:
· Menggunakan aset-aset fiktif, tak layak, dan di bawah nilai pinjaman
sebagai jaminan. Menurut audit BPK, dari total jaminan aset yang
diserahkan ke BPPN dari BI senilai Rp 132,77 triliun (jumlah ini
pun sudah lebih kecil dari dana BLBI yang dikucurkan yaitu Rp
144,5 triliun), nilai komersial aset hanya Rp 12,29 triliun.
Artinya terdapat mark up nilai aset sebesar Rp 120,5 triliun oleh
pihak perbankan. Sedangkan, selebihnya tidak mempunyai nilai
komersial, seperti tidak likuid (tidak laku dijual), bermasalah secara
hukum, dan fiktif. Dengan berbagai aset fiktif maupun aset di
bawah nilai tersebut, pihak perbankan mendapatkan fasilitas
pengampunan dari pemerintah berupa release and discharge (R & D)
sehingga bebas dari tuntutan pidana.
· Penyerahan aset-aset bank kepada pemerintah melalui BPPN pun,
dapat dikatakan hanya sekedar formalitas di atas kertas. Karena,
pada kenyataannya pengelolaan perusahaan-perusahaan maupun
bank yang telah diserahkan tersebut tetap dilakukan oleh para
obligor selaku pemilik bank yang lama. Hal ini dikarenakan BPPN
tidak memiliki unit pelaksana untuk mengelolanya. Artinya, secara
de facto, aset-aset tersebut tetap berada pada kendali pemilik lama
(obligor BLBI). Tentu saja, hal ini membuka lebar-lebar potensi
terjadinya kecurangan dan manipulasi. Seperti yang dikhawatirkan,
aset-aset tersebut kemudian ternyata tidak menghasilkan
keuntungan bagi negara, sehingga terpaksa dijual kembali dengan
nilai yang jauh lebih kecil. Para bankir pun, pada akhirnya kembali
menguasai aset-aset mereka yang dilelang BPPN dengan harga beli
yang sangat murah.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 181


Beberapa Kasus Kejahatan Obligor
Untuk memahami lebih jelas modus dan bentuk kejahatan yang
dilakukan para konglomerat obligor dalam melakukan korupsi BLBI,
berikut akan diuraikan beberapa kasus sebagai contoh. Kasus yang
dikemukakan di sini diantaranya menggambarkan contoh kasus dengan nilai
korupsi sangat besar (seperti Salim Group dan Sjamsul Nursalim) atau
memiliki tingkat pelanggaran hukum yang serius.
Juga ditampilkan, contoh kasus obligor (antara lain Prajogo Pangestu)
yang meskipun tidak terkait langsung dengan skandal BLBI (bukan
merupakan pemegang saham pengendali bank-bank penerima BLBI),
namun menerima kucuran dana BLBI dari bank-bank tersebut melalui
perusahaan yang dikelolanya. Para obligor ini turut ditampilkan, mengingat
besarnya kerugian yang mereka akibatkan kepada negara.
Salim Group
Salim Group merupakan salah satu obligor terbesar penyimpang BLBI.
Karena itu, kasus SG dapat melukiskan dengan jelas kecurangan yang
dilakukan para konglomerat obligor dalam perampasan uang negara melalui
BLBI. Salim bahkan dinilai punya andil atas terjadinya krisis moneter dan
ekonomi yang melatarbelakangi pengucuran BLBI.
Diawali pada masa sebelum krisis, Soedono Salim, pemilik SG, diketahui
telah memindahkan saham-sahamnya di Bogasari dan Indofood ke PT QAF
yang juga perusahaan miliknya di Singapura. Aksi ini berdampak positif bagi
Salim, karena aset-asetnya terhindar dari hantaman krisis moneter yang
terjadi di Indonesia.
Namun, di sisi lain, pemindahan aset-aset Salim ini, bersama dengan
aksi serupa yang dilakukan pengusaha nasional lain, ikut memicu terjadinya
krisis pada kondisi perekonomian di Indonesia. Hal ini karena eksodusnya
modal dari tanah air ke luar negeri (capital flight) menyebabkan terjadinya
kelangkaan likuiditas. Pada gilirannya, hal ini turut menekan nilai tukar
rupiah terhadap dolar, yang menjadi penanda awal krisis ekonomi yang
terjadi. Tercatat, pada pertengahan tahun 1996, terjadi pelarian modal
mencapai lebih dari 100 miliar dolar AS ke Singapura.

182 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Aksi Salim ini, menunjukkan dirinya telah mengetahui kondisi krisis
yang akan terjadi di Indonesia, sehingga ia melakukan antisipasi dengan
melarikan modalnya ke luar negeri. Aksi ini juga menunjukkan bahwa Salim
telah turut berperan menciptakan kondisi krisis dalam rangka
menyelamatkan, dan bahkan melipatgandakan nilai aset-asetnya.
Saat terjadi krisis, Salim, melalui BCA dan SG, kembali memanfaatkan
kesempatan dengan menerima fasilitas pengucuran BLBI dari pemerintah
(BI). BCA menerima fasilitas BLBI berupa New Fasdis dengan jumlah
mencapai Rp 26,596 triliun. Sementara itu, SG menikmati uang sejumlah Rp
52,726 triliun, dari pinjaman yang dilakukannya kepada BCA dan Bank
Risjad Salim Internasional (RSI). Pinjaman SG kepada kedua bank ini,
kemudian dialihkan kewajiban pembayarannya kepada pemerintah melalui
BPPN. Sehingga, pada hakikatnya SG juga menikmati fasilitas dari
pemerintah berupa pemberian pinjaman.
Berdasarkan audit BPK RI, diketahui bahwa dari kucuran BLBI yang
disalurkan kepada BCA senilai Rp 26,596 triliun, terjadi penyalahgunaan
BLBI oleh BCA dengan jumlah mencapai Rp 15,82 triliun (59%).
Penyalahgunaan BLBI tersebut, sebagian besarnya ternyata dilakukan dalam
bentuk pembayaran kewajiban kepada pihak terkait, yaitu sebesar Rp 10,51
triliun atau mencapai 66% dari total penyalahgunaan yang dilakukan.
Artinya, BLBI yang diterima BCA, ternyata sebagian besarnya mengalir
kepada kelompok-kelompok usaha Salim Group juga.
Selebihnya, penyalahgunaan BLBI oleh BCA dilakukan dalam bentuk
pembiayaan kontrak derivatif baru/kerugian karena kontrak derivatif lama
yang jatuh tempo (Rp 1,59 triliun), pembiayaan placement/penempatan baru
di Pasar Uang Antar Bank (Rp 681,45 miliar), pembiayaan ekspansi kredit
(Rp 2,58 triliun), dan penyalahgunaan lainnya (Rp 446,6 miliar).
Tak cukup sampai di situ, setelah statusnya berubah menjadi Bank Take
over(BTO), BCA kembali menerima bantuan dana dari pemerintah dalam
bentuk obligasi rekapitalisasi (obligasi rekap). Bahkan, dana yang diterima
BCA jauh lebih besar, yaitu mencapai Rp 60,9 triliun. Berkat obligasi rekap
yang dimilikinya ini, BCA akan memperoleh penerimaan bunga obligasi per
tahunnya senilai sekitar Rp 9 triliun (tingkat bunga berubah-ubah mengikuti
SBI). Bunga obligasi rekap ini pula yang menjadi nafas utama penerimaan
bagi BCA selama ini.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 183


Perlu diketahui, pemberian obligasi rekap merupakan bagian dari
program penyehatan perbankan yang digulirkan pemerintah atas
rekomendasi dari IMF. Untuk menyehatkan kondisi perbankan yang dinilai
masih rapuh pasca krisis, pemerintah diperintahkan IMF untuk
menyediakan dana tak terbatas untuk membantu permodalan bank-bank
yang mengikuti program tersebut. BCA sendiri masuk dalam program
penyehatan perbankan karena statusnya sebagai BTO (sahamnya diambil
alih pemerintah setelah tak mampu melunasi BLBI).
Tragedi terjadi ketika saham BCA yang telah dimiliki pemerintah
tersebut pada akhirnya di divestasi dengan harga yang sangat murah.
Transaksi penjualan BCA diketahui hanya menghasilkan dana sekitar Rp 5,3
triliun. Angka ini jelas tidak masuk akal. Karena, seperti telah disebutkan di
atas, saat dijual BCA masih memiliki obligasi rekap senilai Rp 60,9 triliun
dalam portofolionya. Sehingga, dari perhitungan itu saja, negara telah
merugi Rp 55 triliun lebih dari penjualan BCA. Hal ini belum lagi
memperhitungkan pembayaran bunga obligasi rekap per tahunnya senilai
sekitar Rp 9 triliun dan nilai keseluruhan aset lain yang dimiliki BCA.
Artinya, cukup hanya duduk diam, pemilik baru BCA sudah akan
memperoleh untung dua kali lipat hanya dalam waktu satu tahun. Siapakah
pemilik baru BCA yang beruntung tersebut? Di sinilah letak kontroversinya.
Dalam proses penjualan, perusahaan yang maju mengikuti tender,
termasuk mengikuti proses evaluasi dan penilaian adalah Farallon. Namun,
ketika Farallon dinyatakan sebagai pemenang tender BCA, tiba-tiba nama
perusahaan yang muncul untuk menandatangani kontrak adalah Farindo.
Farindo sendiri, didirikan di Mauritius dan dinyatakan sebagai special purpose
vehicle yang digunakan Farallon untuk membeli BCA. Masalahnya, karena
didirikan di Mauritius, identitas pemilik Farindo sebenarnya tidak dapat
diketahui karena Mauritius menjaga rapat kerahasiaan perusahaan yang
didirikan di wilayahnya.
Meski demikian, telah menjadi kecurigaan luas bahwa keluarga Salim
berada di belakang Farindo. Konsorsium Farallon memiliki hubungan tidak
langsung dengan kelompok Salim, melalui Alaerka Investment Ltd. yang
duduk sebagai pemilik Farallon bersama-sama dengan Farallon Capital
Management dan Farindo Investment Holdings (Mauritius) Ltd. Alaerka
sendiri adalah perusahaan yang berafiliasi dengan pabrik rokok Djarum
Kudus, yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga Salim.
184 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI
Jika Salim benar-benar berada di belakang Farindo, maka lengkap sudah
keuntungan berlipat yang diperoleh Salim dari pengucuran BLBI, program
penyehatan perbankan melalui obligasi rekap, hingga menguasai kembali
BCA dengan harga yang sangat murah.
Selain dari kasus-kasus itu, Salim masih memiliki catatan lain dari kasus
BLBI karena berhasil memperoleh Surat Keterangan Lunas (SKL) meski
tidak melunasi seluruh kewajibannya kepada pemerintah. Dengan SKL,
Salim dibebaskan dari jerat hukum atas tindak pidana korupsi yang
dilakukannya dalam kasus BLBI.
Salim memperoleh SKL dari pemerintah (BPPN), berkat kesediaannya
untuk menandatangani MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement).
MSAA merupakan salah satu skema penyelesaian kewajiban BLBI (yang
dikenal sebagai PKPS atau Pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham)
yang ditawarkan pemerintah kepada obligor. PKPS sendiri merupakan
mekanisme yang ditetapkan pemerintah sebagai penyelesaian kasus-kasus
BLBI yang fokus utamanya adalah pengembalian uang negara yang terkucur
melalui BLBI kepada pemerintah.
MSAA pada dasarnya berisi kesepakatan antara pemerintah dengan
pemilik bank-bank take over(BTO) dan bank beku operasi (BBO) penerima
BLBI, tentang jumlah kewajiban yang harus dibayarkan dan nilai aset yang
harus mereka serahkan sebagai pelunasan kewajiban tersebut. Para pemilik
bank (disebut sebagai PSP atau Pemegang Saham Pengendali) yang telah
menyelesaikan MSAA, selanjutnya akan diberikan SKL oleh BPPN. Dengan
SKL, para pemilik bank dapat membebaskan dirinya dari semua tuntutan
hukum terkait kasus BLBI.
Mengesampingkan aspek ketidakadilan dari pemberian SKL kepada
obligor BLBI (hal ini akan dibahas tersendiri pada bagian lain), MSAA yang
dijalani Salim pun tidak sepenuhnya dilakukan dengan jujur. Jumlah aset
yang diserahkan Salim untuk melunasi kewajiban-kewajibannya ternyata
jauh di bawah jumlah kewajiban yang harus dilunasinya kepada pemerintah.
Berdasarkan MSAA yang ditandatangani pihak SG dan BPPN (pertama
kali dilakukan pada 20 Agustus 1998 dan terakhir pada 30 Juni 1999 setelah
mengalami beberapa perubahan), disepakati jumlah kewajiban yang harus
dibayarkan SG kepada pemerintah (melalui BPPN) adalah sebesar Rp
52,726 triliun. Jumlah ini berasal dari pinjaman kelompok-kelompok usaha

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 185


terkait SG kepada BCA sebesar Rp 51,61 triliun serta kepada Bank Risjad
Salim Internasional sebesar Rp 1,11 triliun (yang kemudian dialihkan ke
BCA).
Disepakatinya nilai jumlah kewajiban ini pun sebenarnya sudah
bermasalah. Perhitungan jumlah kewajiban SG kepada BPPN dilakukan
tanpa proses financial due dilligence (FDD) dan hanya didasarkan atas data yang
disajikan dan disetujui oleh Tim Kuasa Direksi (TKD) BCA. Alasannya,
FDD tidak dapat dilakukan karena target waktu yang ditetapkan untuk
menyelesaikan perhitungan jumlah kewajiban sangat singkat, yaitu hanya
satu bulan. Sehingga, hal ini menunjukkan bahwa jumlah kewajiban Salim
sebagaimana yang disepakati kemungkinan besar masih jauh dari jumlah
kewajiban sesungguhnya yang harus dibayar.
Selanjutnya, jumlah kewajiban sebesar Rp 52,726 triliun itu dilunasi SG
dengan pembayaran uang tunai senilai Rp 100 miliar dan penyerahan
sejumlah aset senilai Rp 52,626 triliun yang terdiri atas saham dan surat-surat
piutang seperti exchangeable bonds (EB), convertible bonds (CB), dan piutang SG
kepada 57 perusahaan debitor BCA (yang telah dialihkan ke SG). Dari data
ini terlihat, bahwa dari jumlah kewajiban SG sebesar Rp 52,726 trilun, hanya
Rp 100 miliar atau 0,19% yang dibayar SG dalam bentuk uang tunai,
sedangkan selebihnya berupa aset-aset.
Namun, kenyataannya aset-aset yang diserahkan SG ini juga tidak senilai
dengan jumlah kewajiban yang disepakati harus dibayarnya. Berdasarkan
audit dan penilaian PricewaterhouseCoopers (PwC), nilai aset SG yang
diterima Holdiko (perusahaan holding yang khusus dibentuk oleh BPPN dan
SG untuk menangani aset-aset eks SG) telah mengalami penurunan nilai
sebesar Rp 29,5 triliun. Artinya, nilai aset SG sesungguhnya yang diterima
BPPN (melalui Holdiko) hanya senilai sekitar Rp 21 triliun.
Adanya perbedaan penghitungan ini, tidak dinyatakan sebagai tanggung
jawab SG, melainkan BPPN. Hal ini karena perubahan nilai aset sejak
diserahkan pemegang saham pengendali (SG) kepada BPPN atau holding
company yang ditunjuk (Holdiko) merupakan tanggung jawab dan risiko
BPPN berdasarkan skema ”asset settlement” yang diperjanjikan dalam MSAA.
Pada akhirnya, dari keseluruhan pembayaran yang dilakukan SG, BPPN
memperoleh dana tunai Rp 19,389 triliun yang terdiri dari pembayaran tunai
sebesar Rp 100 miliar, pembayaran klaim BPPN kepada SG sebesar Rp

186 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


729,8 miliar, dan hasil penjualan aset oleh Holdiko sebesar Rp 18,559 triliun.
Artinya, tingkat pengembalian uang negara yang berhasil diperoleh BPPN
dari SG hanya sebesar 36,77% saja dari total kewajiban yang harus dibayar
SG.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa dari kasus SG dan BCA saja,
negara telah mengalami kerugian demikian besar, yang dampaknya harus
ikut ditanggung seluruh rakyat sampai saat ini melalui pos pembayaran
utang dalam APBN. Pos pembayaran utang inilah yang sesungguhnya
menjadi virus penggerogot kemampuan keuangan negara dalam membiayai
pos-pos kesejahteraan rakyat seperti pendidikan atau kesehatan. Ironisnya,
para obligor, seperti SG, yang telah menanamkan virus penyakit tersebut
justru kini telah kembali berjaya. Menurut Globe Asia, misalnya, pada tahun
2007 ini Soedono Salim masih mencatatkan diri sebagai orang terkaya
nomor 4 di Indonesia dengan total kekayaan sebesar 2,8 miliar dolar AS atau
sekitar Rp 25,2 triliun!
Sjamsul Nursalim
Selain Soedono Salim, obligor BLBI yang juga mengakibatkan kerugian
negara dalam jumlah besar adalah Sjamsul Nursalim. Bank Dagang Nasional
Indonesia (BDNI) yang dimiliki Nursalim bahkan tercatat sebagai bank
yang melakukan penyimpangan BLBI terbesar yaitu mencapai Rp 24,47
triliun dari Rp 30,9 triliun total BLBI yang diterimanya.
Nursalim sendiri, berdasarkan MSAA, memiliki kewajiban pembayaran
kepada pemerintah senilai Rp 28,408 triliun. Bahkan, total kewajiban
Nursalim sebelumnya (berasal dari total kewajiban BDNI yang dibebankan
kepadanya) mencapai Rp 47,258 triliun. Namun, jumlah itu berkurang
setelah memperhitungkan nilai estimasi aset BDNI (di luar affiliated loans
kelompok Nursalim) senilai Rp 18,85 triliun.
Dari total kewajiban yang harus dibayarkannya tersebut, Nursalim
kemudian menyerahkan Rp 1 triliun kepada BPPN sebagai bentuk
pembayaran tunai, yang terdiri dari uang tunai sejumlah Rp 833 miliar dan
hasil penjualan aset properti senilai Rp 177 miliar. Sementara, sisa kewajiban
Nursalim disepakati untuk dibayarkan dari pengalihan saham 12 perusahaan
milik Nursalim kepada BPPN senilai Rp 27,495 triliun. Meski demikian,
review ulang yang dilakukan BPK atas aset-aset Nursalim tersebut ternyata

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 187


menunjukkan nilainya hanya Rp 25,131 triliun atau lebih kecil Rp 2,363
triliun (8,6%) dari nilai yang disepakati sebelumnya.
Seperti juga pada kasus Salim Group, aset-aset Nursalim tersebut
kemudian diserahkan kepada BPPN melalui sebuah perusahaan holding yang
dibentuk bersama oleh BPPN dan Nursalim. Perusahaan holding ini secara
khusus akan menampung dan mengelola aset-aset yang diserahkan
Nursalim sebelum akhirnya dijual ke pasar. Hal ini dilakukan karena BPPN
tidak memiliki unit operasional untuk melakukan pengelolaan. Sehingga,
melalui pengelolaan PT Tunas Sepadan Investama (TSI), perusahaan holding
tersebut, aset-aset Nursalim telah berbentuk uang tunai ketika diserahkan
kepada BPPN. Sebagai catatan, 100% saham TSI dimiliki oleh Nursalim.
Di sinilah letak persoalannya. Pengelolaan aset-aset obligor oleh
pemiliknya yang lama (melalui perusahaan holding) justru membuka lebar-
lebar peluang terjadinya penyimpangan. Indikasi penyimpangan tersebut
setidaknya terlihat dari penurunan nilai aset secara signifikan setelah dikelola
perusahaan holding. Dalam kasus Nursalim, nilai aset-aset tersebut ternyata
terpangkas hingga sekitar 17% saja.
PT Gajah Tunggal dan PT Gajah Tunggal Petrochem Indonesia
misalnya, ketika diserahkan kepada TSI dinyatakan nilainya mencapai Rp
7,533 triliun. Namun, penjualan kedua aset strategis Nursalim ini ternyata
hanya menghasilkan Rp 1,819 triliun bagi negara. Artinya, BPPN mengalami
kerugian hingga sekitar Rp 5,7 triliun.
Penurunan nilai aset Dipasena Group bahkan lebih dahsyat lagi. Saat
diserahkan kepada BPPN, Nursalim mengklaim nilai asetnya tersebut
mencapai Rp 19,961 triliun. Namun, estimasi akhir nilai aset Dipasena oleh
BPPN (sampai dibubarkannya, BPPN tidak sempat menjual Dipasena)
hanya sekitar Rp 2,312 triliun. Artinya, terjadi penurunan nilai aset hingga
Rp 17,65 triliun atau 88%.
Dipasena pun akhirnya terjual kepada pihak swasta pada Mei 2007 lalu.
Namun, harganya terus anjlok sehingga menyebabkan kerugian lebih besar
bagi negara. Di bawah pengelolaan PPA (Perusahaan Pengelola Aset, yaitu
lembaga yang diserahkan wewenang mengelola aset-aset obligor setelah
BPPN dibubarkan), Dipasena terjual kepada Konsorsium Neptune dengan
harga Rp 688,1 miliar. Artinya, recovery yang diterima negara dari penjualan
Dipasena kini menjadi hanya sekitar 3,4% saja.

188 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Uang yang dikeluarkan Neptune untuk membeli Dipasena sebenarnya
jauh lebih besar dari jumlah itu, yaitu mencapai Rp 2,668 triliun. Hal ini
karena dengan membeli Dipasena, Neptune dibebani pula dengan
kewajiban membayar utang-utang Dipasena yang mencapai Rp 1,98 triliun.
Utang Dipasena kepada plasma (petambak udang) sejumlah Rp 220 miliar
telah dibayar Neptune secara tunai. Sementara sisanya, yaitu utang Dipasena
kepada Recapital Advisor (Rp 738,8 miliar), Gajah Tunggal (Rp 392,8
miliar), Westford (Rp 304,6 miliar), dan eks-Bank Dewa Rutji (Rp 76,81
miliar), masih akan dibayar Neptune di kemudian hari. Selain utang-utang
ini, masih ada utang usaha dan biaya yang harus dibayar, yaitu masing-
masing sebesar Rp 210,28 miliar dan Rp 40,07 miliar. Sehingga, total utang
Dipasena yang masih harus dibayar mencapai Rp 1,76 triliun.
Ironisnya, tiga dari empat perusahaan yang memiliki tagihan kepada
Dipasena, yaitu Gajah Tunggal, Westford, dan Bank Dewa Rutji, ternyata
dimiliki oleh Nursalim. Tentu saja hal ini sangat janggal dan patut
dipertanyakan. Dipasena yang dulu diserahkan Nursalim sebagai
pembayaran utang-utangnya senilai Rp 27,4 triliun, justru kini
berutang kepada Nursalim senilai Rp 773 miliar saat dijual.
David Nusa Wijaya
Obligor lain yang perlu dikemukakan sebagai contoh adalah David
Nusa Wijaya. Tidak seperti obligor lain yang menempuh jalur PKPS dalam
menyelesaikan utang-utangnya, David justru menolak membayar dan
melarikan diri. David bahkan sempat melayangkan gugatan kepada BPPN
menuntut pembatalan kesepakatan jumlah utang yang harus dibayarnya
berdasarkan Akta Pengakuan Utang (APU). Ironisnya, pengadilan (PN
Jaksel) sempat pula mengabulkan gugatan David dan memerintahkan
BPPN untuk membatalkan APU dan mengembalikan uang sejumlah Rp 325
juta kepada David.
David Nusa Wijaya merupakan pemilik Bank Umum Servitia (BUS),
yang ditetapkan untuk menanggung pembayaran utang-utang bank tersebut
senilai Rp 3,336 triliun. Namun, menurut perhitungan BPK, jumlah
kewajiban yang harus dibayar David sebenarnya mencapai Rp 4,308 triliun.
BPK juga menyatakan, perbedaan tersebut disebabkan kurang cermatnya
BPPN dalam menghitung beberapa item seperti pinjaman langsung, surat
berharga, penyertaan, dan transaksi-transaksi lainnya.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 189


Dalam perkembangannya, jumlah ini pun masih dipangkas lagi melalui
penghitungan ulang atas utang yang disebut sebagai reformulasi JKPS
(Jumlah Kewajiban Pemegang Saham). Reformulasi JKPS yang dilakukan
BPPN memangkas jumlah utang David sebanyak Rp 1,031 triliun sehingga
menjadi Rp 2,305 triliun saja. Reformulasi ini dilakukan dengan maksud
mempercepat pelunasan utang-utang obligor kepada negara. Meskipun,
fasilitas pemotongan jumlah utang tersebut pada akhirnya tidak membuat
David berkomitmen melunasi kewajibannya.
Perlu pula diketahui, selain memiliki utang yang harus dibayarkan
kepada negara, dalam kasus BLBI David juga melakukan tindak pidana yang
membuatnya harus diproses oleh pengadilan. Hasil penyidikan kejaksaan
menyebutkan David telah menyalahgunakan BLBI untuk Bank Umum
Servitia yang merugikan negara sebesar Rp 1,29 triliun.
Penyalahgunaan BLBI dilakukan David sebagai Direktur Utama BUS
dan terjadi dalam beberapa bentuk. Pertama, digunakannya kucuran BLBI
kepada BUS untuk membayar kewajibannya kepada Bank Sanho, yang
merupakan kelompok terkait, sebesar Rp 988 miliar lebih. Hal ini dilakukan
dengan menerbitkan 34 nota kredit yang diserahkan kepada Bank Sanho
melalui mekanisme kliring di BI.
Kedua, adalah penerbitan Negotiable Certificate Deposit padahal saat itu
saldo BUS di BI telah berada pada posisi negatif. Hal ini dilakukan BUS
untuk memperoleh dana segar sebesar Rp 277 miliar. Penerbitan sertifikat
deposito dengan menggunakan saldo debet tersebut pada hakikatnya
merupakan penggunaan fasilitas BLBI.
Ketiga, melakukan ekspansi kredit (mengucurkan kredit baru) sebesar
Rp 25,6 miliar kepada PT Mitra Rona Wana Sejahtera, juga saat saldo BUS di
BI berada dalam keadaan negatif.
Atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan BUS tersebut, maka
sebagai Direktur Utama BUS yang merupakan penanggung jawab utama
terhadap kegiatan BUS, David pun diseret ke pengadilan oleh kejaksaan.
Proses pengadilan kemudian dijalani David di PN Jakarta Barat. Dalam
pengadilan ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut David empat tahun
penjara atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Namun, vonis majelis
hakim yang dijatuhkan kepada David ternyata jauh lebih ringan, yaitu hanya

190 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


satu tahun penjara saja. Lebih janggal lagi, majelis hakim yang diketuai T.A.
Sianipar tidak langsung menahan David yang statusnya telah menjadi
terdakwa, namun menangguhkan penahanannya.
Atas vonis tersebut, JPU mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi
(PT) DKI Jakarta. Banding ini dikabulkan, sehingga hukuman bagi David
kemudian ditambah menjadi empat tahun penjara. Selanjutnya, pada tingkat
kasasi di Mahkamah Agung (MA), hukuman bagi David kembali ditambah
menjadi 8 tahun penjara, denda Rp 30 juta, dan uang pengganti sebesar Rp
1,2 triliun.
Namun, kejanggalan lagi-lagi terjadi. Meskipun vonis telah jatuh, David
tak kunjung dieksekusi oleh kejaksaan. Alasannya, salinan putusan dari MA
yang lambat diterima oleh kejaksaan (pada kenyataannya, Kejaksaan Negeri
Jakarta Barat baru menerima salinan putusan MA setelah lebih dari setahun
putusan dikeluarkan).
Berlambat-lambatnya penahanan dan eksekusi terhadap David ini
dimanfaatkan dengan baik. David Nusa Wijaya pun lari dan menjadi buron.
Meskipun, David pada akhirnya berhasil ditangkap kembali pada masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Uniknya, di sela-sela ”pelariannya” David masih menyempatkan diri
menggugat BPPN. Lebih mengherankan lagi, gugatan yang didaftarkan
David dan Tarunodjojo Nusa (pemegang saham BUS lainnya) di PN Jakarta
Selatan tersebut diterima oleh pengadilan meskipun David dan Tarunodjojo
selaku penggugat berstatus buron dan tidak diketahui keberadaannya.
Materi gugatan pada intinya berisi tuntutan pembatalan terhadap Akta
Pengakuan Utang (APU). Menurut para penggugat, BPPN dinilai tidak
memenuhi komitmennya (gentlement agreement) untuk melakukan audit ulang
atas jumlah kewajiban yang harus mereka bayarkan (JKPS) dalam APU.
Padahal, mereka telah beritikad baik menandatangani APU.
Mereka menilai BPPN telah memanfaatkan posisinya yang lebih kuat
untuk menekan mereka dalam penandatanganan APU. Sehingga, JPKS
sebagaimana yang ditetapkan dalam APU merupakan keputusan sepihak
dari BPPN (APU tidak memenuhi asas kebebasan berkontrak). Hal ini,
menurut mereka, telah melanggar pasal 1320 KUH Perdata bahwa syarat

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 191


sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak yang
mengikatkan diri terhadap perjanjian tersebut.
Para penggugat kemudian menuding BPPN telah menyalahgunakan
keadaan dalam penandatanganan APU dengan tidak memperhatikan apa
yang menjadi hak dan kepentingan pemegang saham (yaitu David dan
Tarunodjojo). Sebaliknya, BPPN justru menjadikan APU hanya memberi
keuntungan sepihak bagi BPPN.
Atas dasar hal tersebut, para penggugat meminta majelis hakim untuk
membatalkan APU. Selain itu, para penggugat juga menuntut BPPN untuk
mengembalikan uang Rp 325 juta yang telah dibayarkan penggugat sebagai
pembayaran awal JKPS kepada BPPN. Uang tersebut dinyatakan dibayarkan
penggugat pada periode 13 Oktober 2000 sampai 7 Maret 2001.
Majelis hakim kemudian memberi putusan yang sangat kontroversial.
Dalam putusannya tanggal 20 November 2003, majelis hakim menyatakan
Akta Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan
Utang batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Majelis hakim juga
menghukum tergugat (BPPN) untuk mengembalikan uang pembayaran
sebesar Rp 325 juta kepada tergugat dalam waktu 14 hari setelah putusan
berkekuatan hukum tetap. Artinya, majelis hakim mengabulkan bulat-bulat
gugatan yang diajukan David dan Tarunodjojo meskipun keduanya saat itu
berstatus terdakwa pidana korupsi dan buron!
Karena itulah, atas putusannya yang kontroversial tersebut, majelis
hakim yang terdiri atas IDG Putrajadnya, SH (Hakim Ketua), Sudarjatno,
SH (Hakim Anggota), dan Zainal Abidin, SH (Hakim Anggota) dinilai
sejumlah kalangan telah berpihak kepada penggugat dan hanya mencari-cari
alasan pembenar untuk memenangkan penggugat. Hal ini pula yang menjadi
penilaian tim eksaminasi atas putusan PN Jaksel atas kasus ini.
Tim Eksaminasi Putusan Perkara David Nusa Widjaya dan Tarunodjojo
Nusa melawan BPPN dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa dalam
perkara tersebut diduga terdapat banyak kekeliruan penerapan hukum.
Majelis eksaminasi beranggotakan mantan hakim Eliyana, mantan Hakim
Agung J. Djohansjah, mantan jaksa Irdan Dahlan, akademisi Rosa Agustina,
serta advokat Harry Ponto, Tony Budidjaja, dan Abdul Fickar Hadjar.

192 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Berdasarkan eksaminasi publik (pengujian) yang mereka lakukan,
disimpulkan beberapa hal antara lain sebagai berikut. Pertama, bahwa
majelis hakim kurang cermat dalam meneliti dan melihat jalannya
persidangan, serta terlalu menyederhanakan pembahasan keabsahan Akta
Pengakuan Utang (APU). Pembahasan APU Bank Servitia ditafsirkan
dengan dukungan argumen yang kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Majelis hakim dinilai terlalu berpegangan pada asas 'patut dan adil' namun
menegasikan asas kepentingan umum.
Kedua, majelis hakim juga dinilai keliru menempatkan gentlement
agreement/commitment mengenai dilakukannya audit ulang dalam posisi yang
lebih tinggi dari APU.
Ketiga, pertimbangan mengenai misbruik van omstandigheden
(penyalahgunaan keadaan) oleh BPPN yang dikaitkan dengan
penyalahgunaan keunggulan ekonomi juga keliru, karena pada bagian
pertimbangan lainnya majelis hakim mengakui bahwa BPPN melaksanakan
tugas sesuai kewenangan yang diberikan pemerintah berkenaan dengan
penyehatan Bank Servitia.
Terkait dengan anggapan majelis hakim bahwa terdapat paksaan atau
tekanan dari BPPN terhadap David untuk menandatangani APU-Servitia,
Tim Eksaminasi menilai hal itu keliru. Menurut Tim Eksaminasi, adanya
paksaan atau tekanan itu harus dibuktikan terlebih dahulu.
Karena alasan-alasan itulah, Tim Eksaminasi menyimpulkan bahwa
terdapat kekeliruan dalam putusan yang dijatuhkan majelis hakim atas
perkara gugatan David Nusa Wijaya terhadap BPPN.
Kasus David Nusa Wijaya pada akhirnya menunjukkan bahwa
pengusutan dan penyelesaian kasus korupsi BLBI diperumit tidak hanya
oleh kelihaian obligor dalam melakukan manipulasi (dari mulai
menyalahgunakan BLBI, mengakali mekanisme penyelesaian kewajiban
utang / PKPS, hingga bahkan melarikan diri), namun juga oleh keterlibatan
oknum-oknum penegak hukum dalam memihak kepada para obligor.
Agus Anwar
Agus Anwar merupakan penerima dana BLBI melalui dua bank yang
dimilikinya bersama Hashim Djojohadikusumo, yaitu Bank Pelita dan Bank
Istimarat, dengan total kewajiban sebesar Rp 1,9 triliun. Ketika krisis, kedua

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 193


bank ini mengalami kekurangan likuiditas, yang membuat BI kemudian
mengucurkan dana senilai sekitar Rp 3,2 triliun kepada keduanya.
Karena kondisinya terus memburuk, Bank Pelita dan Bank Istimarat
pun kemudian masuk dalam program penyehatan BPPN dan statusnya
dibekukan. Dengan pembekuan status kedua bank ini, maka Agus dan
Hashim selaku pemegang saham pengendali dinyatakan menanggung
kewajiban pembayaran utang-utang Bank Pelita dan Istimarat sejumlah Rp
3,2 triliun tersebut.
Dalam perkembangannya, Agus pun kemudian masuk dalam kategori
kelompok obligor yang menandatangani Perjanjian Penyelesaian Sementara
Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 151/KMK 01/2006. Setelah beberapa kali
mengalami reformulasi, jumlah kewajiban yang harus dibayar Agus akhirnya
dinyatakan hanya sebesar Rp 577 miliar saja, meskipun angka ini sebenarnya
lebih merupakan jumlah yang bersedia dibayar Agus. Pemerintah sendiri
pernah menghitung jumlah utang Agus sebesar Rp 810,15 miliar.
Sedangkan, Badan Pemeriksa Keuangan bahkan mencatat kewajiban Agus
mencapai Rp 2,29 triliun.
Pada kenyataannya, jumlah ini pun tak kunjung dilunasi Agus. Agus
bahkan melarikan diri ke luar negeri dan bersembunyi di Singapura.
Akibatnya, pihak Kejaksaan Agung pun menetapkan status Agus sebagai
tersangka dan dinyatakan sebagai buronan.
Masalahnya, selain bermukim di Singapura, Agus pun ternyata telah
berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura. Tak pelak,
bergantinya kewarganegaraan Agus ini menimbulkan reaksi keras. Menteri
Luar Negeri Hassan Wirajuda misalnya sempat menuding pemerintah
Singapura melakukan tindakan tidak etis dengan melindungi Agus dan
memberikan status kewarganegaraan kepadanya. Pihak Kedutaan Besar RI
di Singapura juga bereaksi dengan tidak mengabulkan permohonan Agus
untuk melepaskan statusnya sebagai warga negara Indonesia hingga kini.
Untuk diketahui, Agus memperoleh kewarganegaraan Singapura
setelah permohonannya melalui surat permohonan bernomor 00953536
dikabulkan pihak Immigration and Checkpoints Authority. Pengabulan permohonan
itu diberikan melalui surat tertanggal 23 Desember 2003 yang ditandatangani oleh Kiat
Wai keong, Asisten Pedaftaran untuk Registrasi Warga Negara Singapura.

194 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Kementerian Luar Negeri Singapura menyatakan status
kewarganegaraan diberikan kepada Agus karena yang bersangkutan telah
memenuhi persyaratan konstitusi dan undang-undang untuk menjadi warga
negara Singapura. Namun, meskipun telah menjadi warga negaranya,
pemerintah Singapura menjanjikan pihaknya tidak akan menutup
kesempatan bagi siapapun, termasuk institusi berwenang di Indonesia untuk
menggugat Agus Anwar di pengadilan Singapura sekiranya yang
bersangkutan telah melanggar hukum.
Sementara proses hukum terhadap Agus Anwar masih terkendala,
kabar terbaru justru menyatakan Agus telah membeli saham dua perusahaan
Singapura, yaitu Keppel Telecommunication & Transportation (Keppel T &
T) dan Singapore Petroleum Company (SPC) dengan nilai total mencapai
252,7 juta dolar Singapura atau sekitar Rp 1,5 triliun (Investor Daily, 17 April
2007).
Pada Keppel T & T, Agus Anwar bersama dengan Tjia Marcel Han
Liong memiliki sekitar 9,05% saham melalui Kapital Asia Pte Ltd. dan
Kapital Asia Company Ltd. Pembelian itu dilakukan secara bertahap mulai
dari 4% pada periode Mei 2006, menjadi 6% pada Juni 2006, hingga akhirnya
menjadi 9,05% pada Maret 2007. Nilai saham Keppel T & T yang dimiliki
Agus dan Tjia mencapai sekitar 72,7 juta dolar Singapura atau sekitar Rp
454,375 miliar.
Sedangkan pada SPC, Agus dan Tjia membeli 28% saham SPC senilai
180 juta dolar Singapura (sekitar Rp 1,1 triliun). Yang menarik, saham SPC
dibeli oleh Agus dan Tjia melalui Kapital Asia dari Keppel T & T. Dengan
pembelian ini, saham SPC yang dimiliki Keppel menjadi tinggal sekitar 49%.
Kasus ini pun kemudian berkembang setelah Kapital Asia yang berganti
nama menjadi Satya Capital menjual kembali 88 juta lembar saham SPC
kepada China Aviation Oil. Penjualan ini dinyatakan Kapital Asia sebagai
bentuk kesepakatan yang telah dibuat sebelum Kapital Asia membeli SPC.
Karena itu, Kapital Asia sempat menggugat China Aviation Oil karena
perusahaan ini menolak melakukan pembelian terhadap saham SPC.
Gugatan akhirnya dimenangkan Kapital Asia, dengan kewajiban China
Aviation untuk membeli 88 juta lembar saham SPC sesuai dengan
kesepakatan, ditambah dengan membayar ganti rugi sebesar 28 juta dolar AS

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 195


karena membatalkan kesepakatan secara sepihak. Sehingga, dinyatakan dari
kasus ini Agus Anwar berhasil meraup total uang sekitar 51,73 juta dolar AS.
Pada akhirnya, ”keberhasilan-keberhasilan” Agus Anwar di negeri
seberang tersebut menjadi hal yang sangat kontras dengan tunggakan
kewajiban utang BLBI yang tak kunjung dibayarnya. Pemerintah pun dapat
dipastikan akan menemui banyak kesulitan untuk memproses Agus Anwar
secara hukum mengingat kewarganegaraannya yang telah berganti.
Hal ini tentu saja merupakan ironi yang menyakitkan, karena untuk
”menolong” Agus Anwar, uang negara triliunan rupiah telah dikucurkan, yang
kini bebannya harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia.
Kaharudin Ongko
Kasus BLBI yang terjadi pada Kaharudin Ongko, mantan pemilik Bank
Umum Nasional (BUN), merupakan bukti lain yang menunjukkan tidak
adanya upaya serius untuk mengembalikan uang negara yang telah dikemplang
para obligor BLBI.
Ketika terjadi krisis, pemerintah menyuntikkan dana BLBI kepada Bank
Umum Nasional (BUN) dengan tujuan menutup saldo debet dan menalangi
kas BUN yang sudah kritis. Saldo debet pertama terjadi pada November 1997,
dengan jumlah sekitar Rp 220 miliar. Tak sampai sebulan, pada pertengahan
Desember jumlah saldo debet sudah membengkak menjadi Rp 1,04 triliun.
Dana BLBI tahap pertama pun dikucurkan. Tapi krisis terus terjadi, sehingga
akhirnya BUN diambil alih pemerintah dan berada dibawah pengawasan
BPPN sejak tanggal 4 April 1998.
Laporan BPK menyebutkan bahwa jumlah kewajiban pemegang saham
(JKPS) BUN adalah sebesar Rp 13,99 triliun, yang harus ditanggung oleh dua
obligor, yaitu Mohammad Hasan (Bob Hasan) dan Kaharudin Ongko.
Menurut laporan BPK, jumlah kewajiban yang harus ditanggung Bob Hasan
adalah sebesar Rp 6,15 triliun, sedangkan jumlah kewajiban yang harus
ditanggung Kaharudin Ongko adalah sebesar Rp 7,38 triliun.
Untuk menyelesaikan kewajiban ini, maka pada tanggal 18 Desember
1998, Kaharudin Ongko dan BPPN menandatangani perjanjian MRNIA
dengan JKPS senilai Rp 7,38 triliun. Dalam perkembangannya, JKPS
Kaharudin Ongko inipun telah mengalami beberapa kali koreksi, yaitu pada

196 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


tanggal 19 Maret 1999 dan tanggal 22 Desember 1999 sehingga jumlah
kewajiban yang harus dibayarnya menjadi Rp 8,34 triliun.
Berdasarkan MRNIA, Kaharudin Ongko diharuskan menyerahkan 21
saham perusahaan dan sebagian propertinya. Namun dari 21 saham
perusahaan yang diperjanjikan akan diserahkan, ternyata baru 12
perusahaan yang diserahkan. Sedangkan 9 perusahaan lainnya tidak
diserahkan karena tidak mendapat persetujuan dari kreditur dan pemegang
saham lainnya. Bahkan diantara perusahaan yang diperjanjikan akan
diserahkan ada juga yang masih dalam status perkara di kepolisian.
Selain permasalahan tersebut, Kejaksaan ternyata menemukan fakta
bahwa kekosongan kas BUN bukan hanya lantaran ditarik oleh nasabah
pihak ketiga, tapi justru karena adanya penarikan besar-besaran dari
kelompok usaha Ongko sendiri. Perusahaan terafiliasi itu memiliki banyak
simpanan di BUN, seperti misalnya PT KIA Keramik Mas, PT Ongko
Sekuritas, PT Indokisar Djaya, dan PT Bunas Finance Indonesia. Pengalihan
dana dilakukan menggunakan cek, bilyet giro, dan transfer. Padahal, sesuai
dengan ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK),
dana BLBI tak boleh disalurkan ke pemilik dan manajemen bank serta
pihak-pihak terkait melebihi batas yang ditentukan.
Kejaksaan juga mensinyalir adanya upaya Ongko dalam memanipulasi
penggunaan dana BLBI yang diterima BUN pada kurun November 1997-
April 1998. Dana BLBI itu digunakan untuk ekspansi kredit baru ke grup
sendiri antara lain, PT Kiani Lestari milik Bob Hasan senilai Rp 97 miliar
plus 45 juta dolar AS, dan 13 juta dolar AS ke PT Indokisar milik Kaharudin
Ongko.
Berdasarkan data yang diungkap Majalah Tempo Edisi 07/XXXII/14 -
20 April 2003, juga tercatat bahwa setidaknya ada Rp 514 miliar plus 69,5 juta
dolar AS dana BLBI yang diambil perusahaan Ongko dan keluarganya. Dari
lembaran-lembaran bukti transfer, terungkap miliaran rupiah diantaranya
ditarik melalui rekening pribadi Ongko dan anak-anaknya. Ongko diketahui
pernah menarik 10 ribu dolar AS. Sedangkan, anak-anak Ongko, antara lain
Irjanto Ongko menarik Rp 107 juta plus 17 ribu dolar AS, Irwanto menarik
Rp 1,14 miliar, dan Irsanto menarik Rp 310 juta.
Masih ditulis Tempo, seorang mantan direksi BUN bersaksi bahwa
semua itu dilakukan atas sepengetahuan dan perintah Ongko. Berdasarkan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 197


anggaran dasar BUN, memang diatur bahwa setiap pemberian kredit di atas
3 persen dari modal harus disetujui dulu oleh komisaris, yang dalam hal ini
adalah Ongko sendiri. Sehingga, pengucuran kredit ke sejumlah kelompok
usaha Ongko seperti misalnya PT Raja Besi Semarang (senilai Rp 15,5
miliar), PT Landasan Terus Sentosa (Rp 9,5 miliar), dan PT Sumber
Keramik (Rp 86 miliar) ditandatangani oleh Ongko sendiri.
Terpidana BLBI yang juga mantan direktur BUN, Leonard Tanusubrata
turut memberikan kesaksian akan peran Ongko dalam menentukan
kebijakan pengucuran kredit BUN kepada kelompoknya sendiri tersebut.
Menurutnya, ketika itu Ongko adalah orang yang menentukan hitam
putihnya BUN. Seperti diibaratkan olehnya, bahkan untuk mengangkat
pesuruh pun harus melalui persetujuan Ongko.
Namun di pengadilan, Ongko mengaku tak ingat segala hal yang
dipersyaratkan dalam perjanjian pengucuran BLBI. Ia mengaku
membubuhkan tanda tangan semata karena diperintah pejabat BI. Bahkan
Ongko mengaku tak tahu sama sekali bahwa pada saat krisis, banknya
mengalami saldo debet. Alasannya, berdasarkan Undang-Undang Perseroan
Terbatas, sebagai komisaris ia tak ikut campur dalam urusan operasional
bank yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab direksi.
Dalih itulah yang kemudian justru ditelan mentah-mentah oleh hakim
(dipimpin oleh Amiruddin Zakaria). Menurut putusan hakim, berdasarkan
Undang-Undang Perseroan, Ongko dianggap tak bersalah. Walaupun
Ongko terbukti pernah menyetujui pengucuran kredit, hal itu tidak dapat
dianggap sebagai pengambilalihan tanggung jawab direksi oleh Ongko. Di
mata hakim, hal itu semata untuk memenuhi ketentuan internal perusahaan.
Wajar saja pertimbangan itu menuai protes keras banyak pihak. Ahli
hukum perbankan Pradjoto misalnya menyatakan Undang-Undang
Perseroan tak bisa dilihat berdiri sendiri. Menilai tindak pidana korupsi
dengan ketentuan perbankan juga tidak relevan. Faktanya, menurut
Pradjoto, direksi BUN jelas dipengaruhi kedudukan Ongko sebagai pemilik
sekaligus komisaris karena direksi tak mungkin bertindak atas inisiatifnya
sendiri. Sehingga pernyataan bahwa Ongko tidak memiliki pengaruh
apapun terhadap direksi merupakan sebuah bohong besar.
Pradjoto kemudian menyatakan, pasal yang tersedia dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk

198 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


menjerat Ongko. Salah satunya adalah unsur memperkaya diri sendiri, yaitu
menggunakan uang BLBI untuk kepentingan kelompok usahanya sendiri.
Walhasil, Ongko akhirnya melenggang bebas dari tindakan hukum.
Setelah divonis bebas, Ongko pun terbang ke luar negeri (banyak kalangan
menduga Ongko pergi ke Amerika atau Singapura). Menghilangnya Ongko
ini tak pelak menghambat proses kasasi yang tengah dipersiapkan aparat
kejaksaan. Proses hukum terhadap obligor BLBI kelas kakap ini pun
akhirnya tertunda, sampai waktu yang tidak dapat ditentukan.
Upaya pengembalian uang negara dari Ongko pun menjadi tak jelas.
Padahal, dari total utangnya sebesar Rp 8.34 triliun, Ongko baru membayar
sebesar Rp 8,6 miliar atau sekitar 0,1 persen saja.
Atang Latief
Atang Latief tersangkut kasus BLBI setelah Bank Indonesia Raya (Bank
Bira) yang dikelolanya menyalahgunakan dana BLBI senilai Rp 3,66 triliun.
Karena itu, sebagai pemilik dan Komisaris Utama Bank Bira, Atang Latief
harus menanggung pengalihan kewajiban pembayaran utang-utang bank
tersebut kepadanya.
Atang sebenarnya merupakan pemain lama dalam dunia bisnis di
Indonesia. Lahir dengan nama asli Lauw Tjin Ho (atau Lao Cheng Ho),
Atang merupakan pengusaha sezaman dengan Soedono Salim (usia Atang
kini sekitar 86 tahun). Atang sempat pula memegang hak lisensi awal Suzuki
di Indonesia sebelum kemudian beralih ke Indomobil. Atang juga
dikabarkan pernah memiliki usaha kasino di beberapa tempat (hal ini selaras
dengan pengakuan anaknya, Husni Muchtar, yang menyatakan Atang sangat
gemar berjudi).
Dalam rangka penyelesaian kewajiban-kewajibannya, Atang diharuskan
pemerintah mengikuti mekanisme PKPS melalui skema Akta Pengakuan
Utang (APU). Sayangnya, Atang tergolong obligor yang tidak kooperatif
pada awal-awal proses penyelesaian utangnya. Sampai batas waktu yang
telah ditentukan, Atang tidak kunjung menyelesaikan kewajibannya
meskipun telah beberapa kali diberi perpanjangan waktu. Jumlah kewajiban
Atang pun telah beberapa kali mengalami reformulasi sehingga kini hanya
senilai Rp 325 miliar.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 199


Hasil penilaian Tim Bantuan Hukum (TBH) yang pernah dibentuk
BPPN bahkan menyatakan Atang telah melakukan serangkaian pelanggaran
hukum dalam kasus BLBI, yaitu menggelapkan dana BLBI dan melanggar
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Karena itu, TBH
merekomendasikan agar Atang mempertanggungjawabkan perbuatannya
secara hukum. Namun, karena berbagai alasan, proses hukum terhadap
Atang selalu tersendat di tengah jalan.
Apalagi, Atang juga sempat melarikan diri ke Singapura pada sekitar
tahun 2000, serta menetap tinggal di negara tersebut beberapa lama.
Akibatnya, Atang pun tak pernah sempat diproses secara hukum, apalagi
hingga dihadapkan ke meja pengadilan.
Namun, pihak Atang membantah hijrahnya Atang ke Singapura sebagai
bentuk pelarian. Menurut mereka, Atang sudah menetap di Singapura sejak
tahun 1999 untuk mengurus berbagai bisnisnya di sana. Atang dikabarkan
memiliki kelompok bisnis bernama Lauw & Sons di Singapura yang
bergerak di beberapa bidang usaha seperti antara lain properti, alumunium,
dan kimia.
Selain itu, pihak Atang juga menyatakan ”mengungsinya” Atang
sementara waktu ke Singapura karena di Indonesia ada pihak yang menakut-
nakuti dan bahkan memeras Atang. Jika pemerintah dapat menjamin
perlakuan yang adil, menurut mereka, Atang akan kembali ke Indonesia
untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan tenang di tanah air.
Pada kenyataannya, Atang memang kemudian kembali ke Indonesia
untuk menyerahkan diri kepada pihak kepolisian pada 27 Januari 2006.
Kembalinya Atang ke tanah air tersebut dinyatakannya untuk melunasi sisa
utangnya yang tinggal sebesar Rp 170 miliar. Sebelumnya, Atang
menyatakan telah mencicil kewajiban pembayaran utangnya sebesar Rp 155
miliar dari total Rp 325 miliar yang harus dibayarnya.
Atas penyerahan diri Atang tersebut, pihak kepolisian menyatakan
menghargainya sebagai niat baik Atang untuk menyelesaikan persoalan
hukumnya di Indonesia, termasuk menyelesaikan pembayaran sisa
utangnya. Pihak kepolisian pun berjanji untuk memberi perlindungan
hukum dan perlakuan yang adil bagi Atang. Pihak kepolisian menegaskan,
Atang bukan sebagai buronan atau masuk daftar cekal, dan status hukumnya
akan ditentukan kemudian.

200 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Saat ini (seperti penuturan pengacaranya, Sugeng Teguh), kewajiban
Atang dinyatakan tersisa Rp 80 miliar lagi. Hal ini belum terlunasi karena,
menurut keterangannya, Atang sudah tak memiliki banyak aset lagi di
Singapura. Ia juga menyatakan, Atang sebenarnya bisa saja melunasi
utangnya seandainya uang yang dititipkannya kepada Husni Muchtar dan
Lisa Muchtar tidak digelapkan keduanya. Kasus penggelapan uang ini pun
sudah dilaporkan pihak Atang ke kepolisian dan kini sedang dalam
penyelidikan (Husni sudah ditahan). Menariknya, Husni dan Lisa yang
dilaporkan Atang ke pihak kepolisian tersebut tak lain adalah anak-anak
Atang sendiri dari istri pertamanya, Satiawati.
Nilai aset yang seharusnya dijual Husni (PT Bina Multi Finance)
dinyatakan Sugeng bernilai Rp 45 miliar. Sedangkan, aset yang dipegang Lisa
adalah restoran Texas Fried Chicken yang bernilai Rp 100 miliar. Sehingga,
jika kedua anaknya ini tidak menyalahgunakan aset yang dititipkan kepada
mereka, Sugeng menyatakan utang Atang sebenarnya sudah dapat dilunasi.
Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat dinyatakan penyelesaian kasus
BLBI Atang Latief nampaknya memang akan mengarah pada penuntasan.
Sisa kewajiban yang belum dilunasi pun ”tinggal” Rp 80 miliar. Sehingga,
bukan merupakan angka yang sulit untuk dipenuhi oleh pengusaha sekelas
Atang Latief.
Bagaimanapun, kasus ini tak lepas dari sejumlah catatan. Yang paling
nyata adalah terlalu mudahnya pemerintah dan aparat berwenang
memberikan berbagai keringanan bagi Atang dalam menyelesaikan
kewajiban dan kasus hukumnya. Sepulangnya dari Singapura, misalnya,
Atang sama sekali tidak memperoleh hambatan untuk kembali ke Singapura,
meskipun masih tercatat sebagai pengutang besar kepada negara.
Pemerintah nampak tidak melakukan upaya penjagaan secara ketat terhadap
Atang (mengingat statusnya sebagai pengutang BLBI dan pernah
menghilang), dan justru memberi keleluasaan penuh bagi Atang untuk
keluar masuk wilayah Indonesia.
Selanjutnya, sepulangnya ke Indonesia dari Singapura (setelah
menghilang selama sekitar lima tahun), perlakuan pemerintah terhadap
Atang pun ”amat sangat ramah”. Bersama dengan 3 obligor lainnya (Ulung
Bursa/Bank Lautan Berlian, James Januardy/Bank Namura, dan Omar
Putihrai/Bank Tamara), Atang yang diwakili oleh Lukman Astanto

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 201


(menantu Atang) diterima langsung oleh Jaksa Agung, Kapolri, dan Menteri
Ekonomi di Istana.
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah terhadap Atang dan para
pengutang BLBI tersebut pun terbilang sangat murah hati. Pemerintah
menjanjikan akan memberikan Surat Keterangan Penyelesaian Kewajiban
(SKPK) kepada pengutang yang telah membayar lunas kewajiban mereka
sesuai dengan jumlah APU yang disepakati. Artinya, pemerintah akan
mengesampingkan kasus pidana yang dilakukan para pengutang BLBI
tersebut asalkan mereka melunasi utang-utangnya. Bagi yang telah
menerima SKPK, maka pihak Kejaksaan dapat mengabaikan,
menghentikan, atau mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (SP3).
Dengan demikian, kebijakan ini mengulangi kebijakan Inpres No.8
Tahun 2002 yang menghapus aspek pidana obligor BLBI yang telah
menyelesaikan utangnya. Sehingga, kebijakan ini lagi-lagi menunjukkan
ketidakberdayaan hukum di depan intervensi kekuasaan politik. Lebih dari
itu, kebijakan ini juga mempertegas ketidakberpihakan pemerintah pada
rasa keadilan masyarakat dan hanya berorientasi pada pengembalian uang
negara (meskipun jumlah uang yang dapat dikembalikan pun jauh dari
optimal).
Rasa keadilan itu akan kian terusik mengingat gaya hidup yang dijalani
para pengutang BLBI tersebut jauh dari kesan sulit apalagi prihatin. Di
tengah kewajiban utang yang belum dibayarkannya, mereka justru masih
dapat menikmati gaya hidup sangat mewah. Atang Latief misalnya, justru
memiliki penthouse senilai sekitar 3 juta dolar Singapura (sekitar Rp 18 miliar)
di kawasan elit Bukit Timah, Singapura (Majalah Tempo No. 34/VI/Edisi
25 April 1 Mei 2006).
Sebagai tambahan pula, Atang kini masih tercatat pada urutan 94 orang
terkaya di Indonesia versi majalah Globe Asia, dengan total nilai aset 110 juta
dolar AS atau sekitar Rp 1 triliun.
Dengan nilai aset yang dimilikinya tersebut, wajar saja jika kemudian
sejumlah pihak mempertanyakan mengapa Atang tidak mampu untuk
melunasi seluruh kewajiban-kewajibannya dengan segera? Layakkah pula
negara yang menanggung pembayaran utang-utang Atang pada kasus BLBI
(yang jumlah keseluruhannya jauh melebihi jumlah yang bersedia dibayarnya

202 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


tersebut), padahal yang bersangkutan hidup dengan limpahan kemewahan
seperti itu?
Sukanto Tanoto
Keterlibatan Sukanto Tanoto dalam kasus BLBI berawal ketika
Unibank yang dimilikinya atas nama pribadi dan PT Persada Upaya Sakti
(sebesar total 33,04%) menerima BLBI di saat terjadinya krisis. Unibank pun
masuk ke dalam program pembinaan Bank Indonesia (BI). Padahal,
sebelum krisis, Unibank dikenal sebagai bank yang solid.
Dalam rangka menyelamatkan Unibank yang terancam kolaps, pihak BI
melakukan berbagai upaya pembinaan. Mulai dari penggantian pengurus,
penambahan modal, hingga membatasi kegiatan Unibank dalam rangka
Cease and Desist Order (CDO). Penambahan modal yang dilakukan BI adalah
dengan mengucurkan dana sebesar Rp 1,4 triliun kepada Sukanto Tanoto
sebagai pemilik bank tersebut. Karena tidak bisa diselamatkan, maka pada
tanggal 29 Oktober 2001 kegiatan Unibank pun akhirnya dibekukan oleh BI.
Unibank dibekukan oleh BI dan tidak dilakukan penyehatan karena
adanya permasalahan struktural, dimana Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) negatif, Non-Performing Loan (NPL) tinggi sebesar
48,1%, dan pelanggaran Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK) kepada
grup sendiri sebesar 51%. Sumber permasalahan tersebut terutama
disebabkan oleh tagihan bank kepada kelompok terkait (sendiri) senilai US$
230 juta untuk fasilitas wesel ekspor berjangka (WEB) yang dikategorikan
macet. Bahkan wesel ekspor itu tidak diakui oleh BI. Karenanya, ketika
dilakukan likuidasi, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR)
Unibank langsung turun ke posisi minus 200 persen pada akhir September
2001.
Tetapi kalau kita mencermati proses likuidasi Unibank, terdapat
beberapa keganjilan yang melatarbelakangi proses likuidasi tersebut.
Pertama, Unibank pernah mendapatkan peringkat A (kategori bagus
sekali) dari BI pada tahun 1999, sehingga mengherankan bank ini secara
tiba-tiba masuk kategori buruk sekali pada tahun 2001. Dari sisi NPL,
sebenarnya tidak bisa tiba-tiba memburuk, mengingat laporan keuangan
Unibank tahun 1999 hingga memasuki tahun 2001 tidak menunjukkan
adanya kredit macet. Tetapi, secara mengejutkan, dalam laporan keuangan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 203


Juni 2001, disebutkan ada kredit macet dan sekaligus terdapat penyertaan
saham Unibank di PT Prima Energi. Hal ini tentu sangat mencurigakan.
Kedua, pengalihan saham kepemilikan Sukanto Tanoto di Unibank,
terkesan tidak transparan dan penuh rekayasa. Saham milik Sukanto Tanoto
dan 4 investor lainnya sebesar 76%, telah ditransaksikan dengan cara crossing
di BEJ pada 21 Agustus 2000. Dengan adanya transaksi itu, saham 5 investor
itu sebagian dipecah kepada 16 pihak, sehingga totalnya terdapat 21
pemegang saham (di luar publik) yang masing-masing memiliki kepemilikan
saham kurang dari 5 persen.
Pengalihan saham ini bisa dikategorikan sebagai tindakan yang tidak
pada tempatnya (ultrafirez) dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum
(actiopaulina). Karena hal ini akan berakibat pada penghilangan kewajiban
dan tidak jelasnya posisi pemegang saham pengendali di Unibank. Semua
pemegang saham Unibank pun akhirnya lolos dari kewajiban penyerahan
jaminan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) setelah
Unibank dibekukan, termasuk Sukanto Tanoto.

Tabel 1
Posisi pemegang saham Unibank sebelum 21 Agustus 2000

No. Pemilik Komposisi (%)


1. Somers Nomenees 11,09
2. Tinah Bingei, Ny 7,92
3. PT Persada Upaya Sakti 24,81
4. PT Sinar Bekal Utama 24,81
5. Sukanto Tanoto 8,23
6. Masyarakat 23,05

Terbukti, ketika BPPN meminta Sukanto Tanoto yang pernah menjadi


pemegang saham pengendali di Unibank untuk bertanggung jawab atas
likuidasi yang dilakukan BI terhadap Unibank, ia menolak untuk
menyerahkan harta kekayaan dan jaminan pribadinya kepada Badan

204 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Alasan yang dikemukakannya
adalah pihaknya bukan lagi pemegang saham pengendali Unibank sejak
tahun 2000. Pada saat likuidasi Unibank, Sukanto Tanoto hanya memiliki
2,9% saham, sedangkan sisanya dimiliki oleh 21 pemegang saham lainnya,
termasuk masyarakat luas, yang besarnya masing-masing kurang dari 5%.
Berdasarkan laporan keuangan Unibank, terakhir sebelum dilikuidasi
tahun 2001, Sukanto Tanoto hanya mempunyai saham atas nama pribadi
sebesar 2,9%. Sisa pemegang saham lainnya adalah berbagai perusahaan
yang tidak jelas status kepemilikannya, sehingga patut diduga masih milik
Sukanto Tanoto juga. Sehingga, dengan memecah saham kepemilikannya,
maka Sukanto Tanoto bebas dari tanggung jawab atas kewajiban
pembayaran dana pihak ketiga Unibank yang jumlahnya mencapai Rp 3,1
triliun.
Berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
2/27/PBI/2000 tentang bank umum, maka yang dimaksud pemegang
saham pengendali sebuah bank adalah perorangan atau badan hukum yang
mempunyai 25 persen saham. Atau, mempunyai saham kurang dari 25
persen, tetapi dapat dibuktikan melakukan pengendalian bank secara
langsung atau tidak langsung. Maka, ketika Unibank dilikuidasi, menurut
peraturan BI tersebut Sukanto Tanoto tidak bisa dimintai
pertanggungjawabannya.
Sukanto Tanoto bisa saja berdalih mengatakan dirinya bukan pemegang
saham pengendali. Tetapi fakta yang harus diingat, ketika Unibank
menerima kucuran BLBI, Sukanto Tanoto masih merupakan pemegang
saham pengendali. Sukanto juga menikmati 51% (US$ 230 juta) kredit
Unibank dalam bentuk Wesel Ekspor Berjangka (WEB), yang dikucurkan
Unibank ke kelompok usahanya, sehingga hal ini merupakan pelanggaran
atas ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Kredit itu pun
kemudian mengalami gagal bayar (macet).
Selain WEB, Sukanto Tanoto juga harus bertanggung jawab terhadap
keberadaan 28 negotiable certificate deposit (NCD) terbitan Unibank milik PT
Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), yang tak kunjung dibayar.
Padahal, NCD bernilai total US$ 28 juta tersebut masuk ke dalam program
penjaminan Bank Indonesia (karena termasuk dalam perhitungan premi
penjaminan yang dibayar oleh Unibank).

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 205


Kasus NCD milik PT CMNP ini bermula ketika perusahaan tersebut
pada 12 Mei 1999 menjual surat berharga miliknya berupa obligasi CMNP II
senilai Rp 189 miliar dan surat utang jangka menengah Bank CIC senilai Rp
153 miliar kepada PT Drosophila Enterprise Pte., dengan perantara PT
Bhakti Investama (milik Hary Tanoesoedibjo). Kemudian, Drosophila yang
juga dimiliki Hary membayarnya dengan sertifikat deposito Unibank senilai
US$ 28 juta dengan tenor tiga tahun dan tingkat bunga sebesar 20,75%.
Tanggal 17 September 2001, persetujuan komisaris telah diberikan
kepada direksi CMNP, antara lain dalam hal penjualan harta kekayaan
CMNP berupa NCD Unibank sebesar 28 juta dolar AS. Tapi disinilah
persoalannya, Unibank sebagai penerbit surat berharga itu dibekukan oleh
BI pada 29 Oktober 2001. Sebelum keputusan pembekuan jatuh, pada 26
September 2001, Unibank menyatakan sertifikat deposito telah dilaporkan
ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam laporan simpanan dan
kewajiban. Akibatnya, CMNP punya hak tagih atas sertifikat deposito itu
kepada pemerintah. Tetapi ternyata saat jatuh tempo Mei 2002, NCD tak
bisa dicairkan. Pada 22 November, BPPN menyatakan sertifikat deposito itu
tidak dijamin dan tak dapat dibayarkan melalui program penjaminan
pemerintah.
Dari beberapa informasi yang diperoleh, ada beberapa kejanggalan
dalam transaksi NCD ini. Pertama, transaksi ini hanya dilakukan dan
ditandatangani oleh dua orang direksi dari CMNP, salah satunya bernama
Tito Sulistio, sedangkan komisaris dan direksi lainnya tidak mengetahui
adanya transaksi ini. Padahal, nilai transaksinya sekitar Rp 300 miliar atau
25-30 persen dari aset CMNP yang ketika itu lebih dari Rp 1 triliun. Empat
bulan setelah transaksi, Tito mundur dari jabatan direktur keuangan
perusahaan ini, dengan alasan berseberangan dengan Siti Hardiyanti
Rukmana. Ternyata, selanjutnya Tito bergabung dengan Hary Tanoe
sebagai wakil pemimpin umum di harian Seputar Indonesia, anak usaha
Media Nusantara Citra.
Kejanggalan kedua, adalah yang berkaitan dengan Unibank. Tiga bulan
sebelum penukaran NCD, yakni pada Februari 1999, modal Unibank minus
14,15 persen. Unibank butuh suntikan Rp 307 miliar agar rasio kecukupan
modalnya (CAR) 4 persen atau masuk peringkat A. Pemilik Unibank
kemudian berjanji menambah modal pada bulan Mei, sehingga BI bersedia
menaikkan peringkatnya. Tetapi pada kenyataannya, realisasi suntikan
206 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI
modal baru terjadi pada Agustus 1999, tiga bulan setelah transaksi surat
berharga. Yang menjadi permasalahan adalah mengapa CMNP berani
membeli NCD bank yang tengah bermasalah (Unibank)?
Kejanggalan ketiga, NCD Unibank yang dibeli ternyata penerbitannya
tidak mengikuti aturan penjaminan, yaitu melanggar prosedur dan aturan
Bank Indonesia tentang program penjaminan. Pelanggaran itu karena NCD
berdenominasi dolar, berjangka waktu tiga tahun, dan bunga 20,75 persen.
Seharusnya, sesuai ketentuan, surat berharga berdenominasi rupiah,
berjangka dua tahun dan bunganya sesuai penjaminan. Menurut Direktur
Hukum BI Oey Hoey Tiong, siapa pun perantaranya seharusnya
mengetahui jika surat berharga itu tidak memenuhi aturan. Terlebih lagi,
surat berharga tersebut tidak dilaporkan dalam laporan bulanan Unibank
per Januari 2001 yang disampaikan ke BI. Unibank baru memasukkannya
enam bulan kemudian, pada laporan bulanan Juli. Padahal, di saat
bersamaan, BI telah memutuskan membekukan bank ini, meski tertunda
hingga 29 Oktober karena rekening penjaminan kosong.
Kejanggalan keempat, transaksi NCD terbukti membuat perusahaan
CMNP merugi. Harga sahamnya di bursa Jakarta terus merosot dari Rp 900
pada 2000 menjadi Rp 490 pada 2003. Hal ini juga terbukti ketika dilakukan
audit oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & Co. atas laporan
keuangan CMNP pada akhir Desember 1999, transaksi surat berharga
tersebut telah merugikan perusahaan sebesar Rp 155,9 miliar. Demikian
juga hasil audit yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Amir Abadi
Jusuf (AAJ) pada 7 Desember 2000 menguatkan temuan Prasetio Utomo &
Co. Di situ dinyatakan, NCD berisiko tinggi tak bisa dicairkan.
Kasus ini akhirnya sampai ke meja hijau, pihak CMNP menggugat
Unibank, BPPN, pemerintah, dan BI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pada 8 Januari 2004. Pada 29 Juli 2004 keputusan Pengadilan Negeri Jakarta
memenangkan gugatan CMNP dengan memutuskan NCD Unibank milik
CMNP sah dan asli, sehingga berhak mendapatkan pencairan dana dari
pemerintah. Keputusan PN Jakarta Pusat ini kemudian diperkuat oleh
keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta. Atas dua putusan ini BPPN
menyatakan banding hingga kasus ini akhirnya sampai di Mahkamah Agung.
Pada 30 Mei 2006, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi
BPPN, yaitu NCD Unibank dianggap tidak memenuhi prosedur dan aturan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 207


BI. Selanjutnya pada 7 Juni 2007, MA mengumumkan putusan kasasi yang
memenangkan BPPN.
Meskipun saat Unibank dilikuidasi, Sukanto Tanoto bukan merupakan
pemegang saham mayoritas, tetapi karena permasalahan kredit yang
menimpa Unibank terkait dengan bisnis Sukanto Tanoto yang lainnya, yaitu
PT Prima Energi, anak perusahaan Raja Garuda Mas yang juga masih
miliknya, maka pada 31 Oktober 2001, Sukanto dalam suratnya ke BPPN
dan BI menyatakan diri sebagai pengendali Unibank melalui PT Persada
Upaya Sakti (100% saham dimiliki Sukanto Tanoto).
Bahkan untuk memperkuat hal tersebut, pada 30 November 2001,
Sukanto Tanoto membuat sebuah surat pernyataan dan kesanggupan (SPK)
di hadapan Hin Hoo Sing, notaris publik yang berdomisili di Singapura.
Dalam surat itu, Sukanto menyatakan kesanggupannya untuk membayar
kewajiban sebesar US$ 230 juta. Sebagai bukti keseriusannya, dua hari
sebelum SPK dibuat (28 November 2001), ia melakukan pembayaran di
muka (advance payment) ke rekening BPPN sebesar US$ 11,5 juta. Untuk lebih
meyakinkan pemerintah (dalam hal ini BPPN), Sukanto juga memberikan
jaminan senilai 150% dari total kewajibannya plus jaminan pribadi.
Butir lainnya dalam SPK tersebut adalah berupa kesanggupan Sukanto
untuk menyelesaikan kewajiban yang timbul akibat adanya selisih antara
aktiva Unibank dan realisasi pengembalian nasabah (butir 4). Bukan hanya
itu, ia juga menyatakan bersedia membayar pesangon karyawan Unibank
yang terkena PHK. Untuk dua hal ini, ia juga telah menyetor ke BPPN
sebesar Rp 100 miliar. Apabila ternyata pernyataan yang diberikan Sukanto
dalam surat pernyataan dan kesanggupan ini tidak benar atau tidak sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya, maka Sukanto menyatakan bersedia
untuk memperoleh sanksi berupa ganti rugi berdasarkan hukum dan
ketentuan yang berlaku.
Sampai di sini, kelihatannya semua berjalan lancar. Artinya, secara
langsung Sukanto mengakui kewajibannya sekaligus menyatakan
kesanggupan untuk membayar. Bahkan I Putu Gede Ary Suta, yang ketika
itu menjabat sebagai Ketua BPPN, menyatakan kasus Unibank akan selesai
paling lambat 31 Januari 2002.
Tapi, entah apa yang terjadi, hingga Putu diganti pada 22 April 2002,
kasus Sukanto Tanoto dengan kewajibannya itu tak kunjung tuntas. Tidak

208 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


jelas juga apa yang terjadi pada pengganti Putu, Syafruddin Arsyad
Tumenggung, hingga di tahun-tahun pertama kepemimpinannya ia
menurunkan sebuah surat bebas.
Di awal surat tertanggal 15 April, Syafruddin mengutip sebagian dari
kesanggupan yang dinyatakan Sukanto dalam SPK. Mulai ihwal uang muka
sebesar US$ 11,5 juta, pembayaran tunai sebesar Rp 100 miliar untuk
menutup kekurangan pengembalian dana pihak ketiga (DPK) yang terjadi di
Unibank, hingga biaya pesangon untuk karyawan bank sebesar Rp 15,5
miliar.
Yang terlihat agak aneh dari surat BPPN itu adalah butir keempat hingga
alinea penutupannya. Di situ disebutkan bahwa 39,52% saham milik
Sukanto di PT Prima Energi Indonesia yang dijaminkan ke BPPN telah
dijual seharga Rp 315 miliar. Pembelinya adalah Kalimantan Asset
Management.
Sedangkan sisanya (2,08%) yang juga dijadikan sebagai jaminan di
BPPN dianggap bernilai US$ 11,5 juta atau setara dengan uang muka yang
telah disetorkan. Dan, sesuai dengan permintaan Sukanto Tanoto, saham itu
dialihkan ke salah satu perusahaannya yang berbendera PT Asia Prima
Kimia Raya. Dengan demikian, total yang diterima pemerintah dari Sukanto
hanya US$ 11,5 juta plus Rp 430,5 miliar (Rp 106,95 miliar + Rp 430,5 miliar
= 537,45 miliar) yang merupakan hasil penjualan saham, kekurangan
pembayaran DPK plus pesangon untuk karyawan bank. Padahal total
kewajiban Sukanto Tanoto adalah sebesar Rp 1,4 triliun pengucuran BLBI
ke Unibank ditambah US$ 230 juta dari wesel ekspor berjangka dan US$ 28
juta dari kasus NCD (Rp 1,4 triliun + Rp 2,399 triliun = Rp 5,39 triliun).
Dengan demikian, recovery rate pembayaran utang Sukanto hanya sekitar
9,97%.
Jika dibandingkan dengan jumlah kewajibannya, angka pengembalian
tersebut jelas masih jauh. Tapi hebatnya, dengan model pembayaran
tersebut, kewajiban Sukanto Tanoto dianggap selesai. Itu tercermin pada
alinea terakhir surat tersebut yang berbunyi, “Dengan demikian, maka
kewajiban Sukanto Tanoto berdasarkan SPK maupun yang dimaksudkan
pada proposal ST berdasarkan surat tertanggal 20 Oktober 2003, untuk
melakukan pembelian kembali jangka panjang (long term buy back) saham-
saham PEI dimaksud dari BPPN, sudah tidak ada dan tidak relevan lagi”.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 209


Prajogo Pangestu
Kasus Prajogo Pangestu mengilustrasikan contoh lain dari fasilitas dan
kemudahan yang diterima konglomerat dari pemerintah dalam
menyelesaikan kewajiban-kewajibannya. Melalui Chandra Asri, perusahaan
kimia yang dimilikinya, Prajogo turut menikmati uang negara yang
terkucurkan melalui BLBI (secara tidak langsung melalui pemberian
pinjaman oleh bank-bank nasional) dan biaya restrukturisasi utang Chandra
Asri yang dikeluarkan BPPN. Berkat sokongan pemerintah tersebut (dengan
mengeluarkan uang negara dalam jumlah tak sedikit), Prajogo pun berhasil
melewati krisis dan bahkan kembali berjaya menguasai Chandra Asri.
Persoalannya, dana yang diterima Chandra Asri dalam rangka
menyelamatkan dirinya dari kematian tersebut penuh dengan kontroversi.
Pinjaman yang diperoleh Chandra Asri dari bank-bank domestik misalnya,
bersumber dari BLBI yang disimpangkan penyalurannya. Penyimpangan
tersebut terutama dilakukan melalui pelanggaran atas Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK).
Fasilitas lain yang diterima Chandra Asri yaitu berupa restrukturisasi
utang oleh BPPN juga mengandung ketidakadilan. Demi menyokong
kemampuan Chandra Asri dalam menyelesaikan utang-utangnya kepada
Marubeni (investor Chandra Asri asal Jepang), BPPN harus dengan sukarela
memotong piutangnya atas Chandra Asri melalui konversi utang perusahaan
tersebut menjadi penyertaan saham. Dengan statusnya sebagai pemegang
saham Chandra Asri, BPPN otomatis menanggung beban pembayaran
utang Chandra Asri kepada pihak-pihak krediturnya.
Celakanya, setelah uang negara telah banyak tersedot untuk
merestrukturisasi utang Chandra Asri, kepemilikan saham BPPN di
perusahaan kimia tersebut dijual dengan harga murah, yaitu hanya sekitar Rp
602 miliar saja. Pembelinya pun, Glazers and Putnam Investment, dinilai
tidak memiliki reputasi yang jelas.
Nyatanya, kini saham tersebut telah berpindah tangan kembali ke
Prajogo Pangestu melalui pembelian yang dilakukan Barito Pasific. Barito
membeli bagian saham bekas milik Glazers dan Putnam senilai 25,86% dari
Temasek Holding. Sehingga, secara langsung maupun tidak langsung Prajogo
kini kembali berkuasa di Chandra Asri dengan porsi kepemilikan saham
hingga 70%.

210 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Berikut adalah uraian lebih rinci untuk memahami kasus ini lebih dalam:
· Chandra Asri
Chandra Asri merupakan perusahaan kimia penghasil bahan baku
plastik yang didirikan pada tahun 1991 dengan modal senilai sekitar 1,6
miliar dolar AS. Kepemilikan Chandra Asri dipegang oleh Prajogo Pangestu
(40%), Bambang Trihatmodjo (25%), Henry Pribadi (25%), dan Peter
Gontha melalui PT Bimantara Citra (10%).
Dalam perjalanannya, perusahaan ini mengalami hambatan
permodalan akibat adanya kebijakan tim PKLN (Pengendalian Kredit Luar
Negeri) yang membatasi masuknya dana pinjaman dari luar negeri.
Mengatasi hal ini, Chandra Asri kemudian menyiasatinya dengan mengubah
statusnya dari perusahaan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri)
menjadi perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing).
Untuk maksud itu, didirikanlah dua perusahaan yaitu Siemene
International Ltd. dan Stallion Company Ltd. yang berbasis di Hongkong.
Selain kedua perusahaan itu, turut pula bergabung Japan Indonesia
Petrochemical Investment Corporation (JIPIC), perusahaan asal Jepang
yang dimodali oleh perusahaan induknya yaitu Marubeni Corporation.
Selain bertindak sebagai pemegang saham, Marubeni juga bertindak sebagai
peminjam dana bagi Chandra Asri. Dengan perubahan tersebut, Chandra
Asri pun kemudian resmi beroperasi pada September 1995.
Selama beroperasi, Chandra Asri juga kemudian menerima pinjaman
modal dari perbankan dalam negeri. Hingga tahun 1996, Chandra Asri
menerima kucuran kredit senilai 770 juta dolar AS dari sejumlah bank
domestik, yaitu antara lain Bank Bumi Daya/BBD (250 juta dolar AS), Bank
Danamon (420 juta dolar AS), dan Bank Dagang Negara/BDN (99,7 juta
dolar AS). Kemudian, sejak tahun 1997, BNI melanjutkan bantuan bagi
Chandra Asri dengan bertindak sebagai agen sindikasi pemberian kredit
modal kerja (KMK) dengan nilai sebesar 112 juta dolar AS.
Jauh sebelumnya, yaitu sejak 1991, Chandra Asri juga telah memperoleh
fasilitas pinjaman berupa kredit investasi (KI) dari bank-bank nasional.
Kredit yang nilainya mencapai 1.051 miliar dolar AS dan Rp 700 miliar
tersebut diperoleh dari Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara
(BDN), PT BDI, Japan Indonesia Petrochemical Investment Corporation

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 211


(JIPIC), konsorsium JIPIC, Stallion Company Limited, dan Siemene
International Limited.
Belakangan diketahui, pengucuran kredit kepada Chandra Asri oleh
berbagai bank domestik tersebut tidak steril dari manipulasi dan tindak
pelanggaran. Berdasarkan pemeriksaan BPK, disimpulkan bahwa terdapat
ketidakhati-hatian dalam pemberian berbagai kredit kepada Chandra Asri.
Menurut BPK, dana tetap diberikan padahal studi kelayakan menunjukkan
Chandra Asri tidak layak memperolehnya. Bank-bank tersebut juga dinilai
telah mengucurkan kredit kepada Chandra Asri dengan melanggar
ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).
· Kredit Macet Chandra Asri
Pelanggaran-pelanggaran ini pun akhirnya berbuah bencana. Saat
terjadi krisis pada tahun 1997, perusahaan ini limbung. Meskipun telah
memperoleh proteksi harga jual produk, Chandra Asri tetap kolaps dengan
tumpukan utang membengkak hingga Rp 27 triliun. Dampaknya,
pembayaran kredit Chandra Asri pada berbagai krediturnya tersebut pun
mengalami macet.
Kepada BNI misalnya, pembayaran kredit Chandra Asri macet sejak 23
Maret 1999 dengan jumlah kewajiban sebesar Rp 277,731 miliar. Sedangkan
kepada BBD (yang telah sejak sekitar tahun 1991 terlibat dalam pengucuran
pinjaman kepada Chandra Asri), kredit Chandra Asri juga dinyatakan macet
pada 31 Maret 1999 dengan jumlah kewajiban sebesar 56,510 juta dolar AS
atau sekitar Rp 450,638 miliar. Dengan macetnya pembayaran kredit
Chandra Asri kepada BNI, terhitung tanggal 31 Maret 1999 Chandra Asri
sudah diserahkan kepada BPPN. Di BPPN, Chandra Asri menerima
restrukturisasi agar performanya kembali sehat.
Selanjutnya, berdasarkan pemeriksaan BPK, dinyatakan bahwa
pemberian dana talangan oleh BNI kepada Chandra Asri telah melanggar
Batas Maksimum Pemberian Kredit senilai Rp 43,365 miliar. Sehingga,
menurut BPK, BNI berpotensi merugi 29,391 juta dolar AS. Pelanggaran itu
sendiri terjadi, menurut BPK, karena campur tangan Dirjen Lembaga
Keuangan dan mantan Direktur BI. Pejabat-pejabat itu dinilai turut
memberi persetujuan atas pemberian kredit kepada Chandra Asri.

212 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Hal ini senada dengan penjelasan yang diberikan BNI kepada BPK.
Disebutkan bahwa sejak awal BI dan Departemen Keuangan telah
mengetahui banyaknya penyimpangan, termasuk pelanggaran BMPK,
dalam pemberian fasilitas kredit modal kerja kepada Chandra Asri.
Dana yang dikucurkan BNI kepada Chandra Asri juga diduga
merupakan dana talangan yang disediakan untuk menalangi pembayaran
cicilan utang dan bunga Chandra Asri kepada pemberi pinjaman. Diketahui,
dana tersebut dikucurkan dengan memasukkannya langsung ke rekening
Chandra Asri, persis sesuai dengan permintaan, untuk kemudian dibayarkan
kepada para pemberi pinjaman. Hal ini menghindarkan Chandra Asri dari
munculnya pernyataan default (gagal bayar) yang dapat merusak reputasi
Chandra Asri di mata relasi bisnisnya. Artinya, secara implisit, dana talangan
yang diberikan BNI kepada Chandra Asri memang disadari dilakukan untuk
menolong Chandra Asri yang tengah mengalami sekarat.
Sementara itu, pada Bank Bumi Daya (BBD), BPK menemukan bahwa
pada 1 September 1997 BBD mengeluarkan Surat Direksi No. DIR/134/97
dalam rangka menyelamatkan kredit Chandra Asri. Surat itu memberikan
persetujuan atas penurunan jumlah total utang Chandra Asri di BBD dari
214,876 juta dolar AS menjadi 43,876 juta dolar AS.
Hal ini dilakukan dengan pemberian fasilitas Kredit Investasi (KI)
sebesar 171 juta dolar AS kepada PT Estika Yasa Kelola dan 54 juta dolar AS
kepada PT Inter Pertindo Inti Citra. Sebagai pendukung atas kredit yang
dikucurkan, Chandra Asri menyerahkan jaminan kepada BBD sebesar 2,8
miliar dolar AS yang terdiri dari sertifikat hipotik peringkat pertama, hak
tanggungan peringkat kedua, prasarana pabrik, mesin, peralatan, serta
personal guarantee (antara lain dari Prajogo Pangestu).
Meski demikian, BBD tetap menanggung potensi kerugian senilai
56,510 juta dolar AS atau sekitar Rp 450,638 miliar. Terdapat pula potensi
kerugian lain BBD sebesar 293,387 juta dolar AS yang terdiri dari kredit
senilai 171.000 dolar AS ke PT Estika Yasa Kelola dan 54.000 dolar AS ke PT
Inter Pertindo Inti Citra, dan dana lain yang dikeluarkan untuk kepentingan
Chandra Asri dan afiliasinya sebesar 65.877 dolar AS.
Pemberian kredit investasi sendiri sebenarnya telah melanggar surat
edaran BI yang melarang pencairan kredit untuk pembelian saham. Dalam

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 213


pengucuran kredit, BBD kemudian juga diketahui melanggar BMPK
dengan nilai mencapai lebih dari Rp 1,89 triliun.
Berbagai pelanggaran ini dapat terjadi karena selain keterlibatan para
pejabat dan Direksi BBD, juga adanya campur tangan pemerintah (melalui
Deperindag) dan pejabat BI saat itu. Restrukturisasi utang Chandra Asri
diketahui merupakan pelaksanaan hasil pertemuan yang dihadiri para
pejabat pemerintah tersebut.
· Keberpihakan Kepada Marubeni
Salah satu hal yang menonjol dalam upaya restrukturisasi utang Chandra
Asri adalah keberpihakan yang nyata pada kepentingan Marubeni
Corporation. Seperti telah disinggung, Marubeni merupakan perusahaan
Jepang yang memodali berdirinya Chandra Asri melalui saham yang
dimilikinya pada JIPIC. Selain itu, Marubeni juga sekaligus merupakan
debitur yang meminjamkan dananya kepada Chandra Asri.
Tindakan restrukturisasi utang Chandra Asri secara mencolok
diarahkan untuk mendorong kemampuan Chandra Asri dalam membayar
cicilan utang dan bunganya kepada Marubeni. Hal itu dilakukan melalui
kesediaan BPPN untuk mengkonversikan utang-utang Chandra Asri ke
bank-bank pemerintah menjadi penyertaan saham di PT Inter Peterindo Inti
Citra/ PT IPIC (perusahaan induk yang memegang saham Chandra Asri).
Sehingga hal ini sama artinya dengan bank-bank pemerintah melakukan
penjaminan atas pembayaran utang Chandra Asri.
Untuk mengakomodasi kepentingan Marubeni tersebut, pemerintah
bahkan secara sukarela menanggung kerugian negara dari dikonversikannya
utang Chandra Asri secara timpang dan tidak adil. Ketimpangan itu adalah
perlakuan tidak sama yang diterima BPPN dan JIPIC dalam hal
pengkonversian utang Chandra Asri menjadi penyertaan modal. Piutang
BPPN atas PT Chandra Asri sebesar US$ 417,4 juta dikonversi menjadi
kepemilikan saham dengan porsi 25,86%. Sedangkan, piutang JIPIC atas PT
Chandra Asri sebesar US$ 147 juta dikonversi menjadi kepemilikan saham
dengan porsi 24,59%. Sehingga, akibat ketimpangan ini, negara mengalami
kerugian setidaknya sekitar 170 juta dolar AS.

214 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Selain dengan pengkonversian utang, pembayaran kepada Marubeni
termasuk pula diupayakan dari hasil penjualan produk Chandra Asri yang
disimpan dalam sebuah rekening khusus (escrow account).
Berbagai akomodasi terhadap kepentingan Marubeni di atas, dinilai
berkaitan dengan hubungan pemerintah dengan Jepang sebagai salah satu
negara kreditur terbesar bagi RI. Melalui pemberian berbagai fasilitas itu,
pemerintah dinilai berupaya meringankan potensi kerugian Marubeni di
Chandra Asri.
· Barito Kembali Kuasai Chandra Asri
Kerugian yang diterima negara dari restrukturisasi utang Chandra Asri
kian berlipat saat akhirnya porsi kepemilikan BPPN di perusahaan tersebut
dijual dengan harga murah ke perusahaan investasi asal Thailand Glazers &
Putnam Investment Ltd, yaitu senilai Rp 602 miliar saja. Padahal, seperti
dinyatakan sebelumnya, pemerintah membelinya seharga 417 juta dolar AS
atau sekitar Rp 4 triliun. Nilai penjualan ini pun jauh lebih rendah dari jumlah
utang Prajogo Pangestu ke pemerintah, yaitu sekitar Rp 10 triliun. Utang
Prajogo sendiri merupakan konsekuensi yang ditanggungnya sebagai
pemegang saham pengendali Chandra Asri.
Tampilnya Glazers & Putnam juga menimbulkan pertanyaan baru,
karena perusahaan ini tidak terlalu dikenal reputasinya. Bahkan, seperti
ditulis Majalah Trust (edisi No. 50 / 17 Oktober 2007), nama perusahaan ini
tidak ditemukan pada data Thailand Business Registry tahun 2005 dan 2006.
Profil perusahaan juga sama sekali tak dapat ditemukan dari penelusuran di
internet.
Karena itu, berhembus kabar bahwa pemilik perusahaan misterius ini
tak lain adalah Prajogo Pangestu sendiri. Padahal, jika Glazers & Putnam
ternyata ditemukan memang milik Prajogo, maka telah terjadi pelanggaran
hukum serius. Seperti diketahui, sesuai dengan ketentuan, pemilik lama tidak
diperkenankan untuk mengikuti tender penjualan aset yang dilakukan
BPPN.
Prajogo memang terkenal licin dalam mengutak-atik kepemilikan
saham di berbagai perusahaan miliknya. Pada tahun 1998 misalnya, Prajogo
mendapat uang tunai 204 juta dolar AS dari penjualan saham PT Enim Musi
Lestari (EML) ke Barito. Prajogo memang menguasai mayoritas saham

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 215


EML melalui PT Tunggal Setia Pratama (50%) dan PT Muktilestari Kencana
(10%). Namun penjualan ini menjadi janggal karena saat dijual ke Barito,
40% saham EML ternyata sudah dimiliki Barito. Lebih janggal lagi, karena
ternyata Tunggal Setia Pratama dan Muktilestari Kencana adalah pemegang
saham Barito juga.
Alasan manajemen Barito untuk melakukan pembelian EML saat itu
adalah untuk menjamin keamanan pasokan kayu bagi anak-anak perusahaan
Barito. Namun, mengingat pemilik seluruh saham EML pada hakikatnya
adalah Prajogo juga, maka tanpa pembelian EML pun pasokan itu
seharusnya sudah terjamin dengan sendirinya. Proses jual beli saham EML
itu sendiri ke Barito, juga merupakan peralihan saham dari Prajogo ke
Prajogo.
Kembali ke Chandra Asri, kerugian yang dialami negara menjadi jelas
ketika Glazers & Putnam menjual saham Chandra Asri yang dimilikinya
kepada BUMN Singapura, Temasek Holding. Temasek membeli 25,86%
saham Chandra Asri yang dipegang oleh Glazers & Putnam sekaligus
24,59% saham Chandra Asri yang dipegang oleh Commerzbank
International Trust (yang memiliki saham Chandra Asri setelah mereka
membelinya dari JIPIC) dengan harga 700 juta dolar AS. Artinya, saham
Chandra Asri yang dimiliki Glazers & Putnam dibeli dengan nilai sekitar 350
juta dolar AS. Jelas, nilai ini jauh lebih besar dibandingkan dengan Rp 602
miliar (sekitar 75 juta dolar AS) yang dilepas BPPN sebagai harga jual
Chandra Asri.
Akhirnya, estafet perpindahan kepemilikan Chandra Asri itu berujung
pada rencana akuisisi 70% saham Chandra Asri, yaitu pembelian 38.360
lembar saham, oleh PT Barito Pasific pada 26 Oktober 2007 mendatang
(saat tulisan disusun, akuisisi belum berlangsung). Untuk kepentingan ini,
Barito menyatakan akan memperkuat permodalan dengan menerbitkan
rights issue senilai sekitar Rp 9 triliun ke pasar. Pihak Barito Pasific juga
menyatakan akuisisi tersebut akan dilakukan melalui pembelian langsung
atau tak langsung.
Pembelian akan dilakukan terhadap saham Chandra Asri yang kini
masih dipegang beberapa perusahaan, yaitu Strategic Investment Holdings
Ltd asal Malaysia (48,16%), Marigold Resources Ltd. asal Singapura
(7,24%), dan PT IPIC yang merupakan perusahaan milik Prajogo sendiri

216 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


(14,6%). Sementara sisanya, yaitu sekitar 30% tetap dipegang Glazers &
Putnam yang sudah dimiliki Temasek.
Namun, beredar pula kabar bahwa pembelian 70% saham Chandra Asri
oleh Barito tersebut sebenarnya dibekingi oleh Temasek. Hal ini karena dana
untuk membeli saham Chandra Asri tersebut disokong sepenuhnya dari
pinjaman yang diberikan bank Singapura DBS (The Development Bank of
Singapore) yang tak lain dimiliki BUMN Singapura pimpinan Nyonya Ho
Ching (istri Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Long) tersebut. Bank ini
disebutkan menyediakan dana 1 sampai 2 miliar dolar AS kepada Magna
Resources Corporation untuk melakukan pembelian Chandra Asri kalau-
kalau rencana penerbitan rights issue tidak berhasil (Magna Resources
Corporation bertindak sebagai stand by buyer). Magna Resources sendiri
santer dikabarkan dimiliki oleh Prajogo Pangeastu juga.
Sebelumnya, pada Juni 2007, DBS bersama dengan Standard Chartered
Bank (yang 15% sahamnya juga dimiliki Temasek) juga telah menyalurkan
pinjaman senilai 200 juta dolar AS kepada Chandra Asri.
Pada akhirnya, siapapun yang sesungguhnya berada dibalik rencana
pembelian Chandra Asri, aspek transparansi, akuntabilitas, dan keadilan
tetap harus dikedepankan. Sebagai perusahaan yang telah menyedot banyak
uang negara dalam rangka penyehatannya, publik berhak memperoleh
kejelasan tentang keseluruhan proses penjualannya. Jika kemudian diketahui
bahwa pihak yang akan menguasai Chandra Asri ternyata merupakan pihak
yang dahulu bertanggung jawab dan terlibat dalam bangkrutnya Chandra
Asri, sudah selayaknya kasus ini kembali dibuka. Pemerintah harus meminta
pertanggungjawaban atas kerugian yang mereka akibatkan sebelum mereka
kembali pegang kendali atas perusahaan yang menguasai salah satu industri
strategis di Indonesia ini.
Eka Tjipta Wijaya
Eka Tjipta Wijaya merupakan pendiri dan pemilik Sinar Mas Group
(SMG) yang berutang kepada BPPN senilai 1,25 miliar dolar. Utang ini
diperoleh dari pengalihan utang SMG ke BII kepada BPPN, setelah bank
tersebut dinyatakan masuk program penyehatan perbankan dan diambil alih
sebagian sahamnya oleh pemerintah. BII sendiri sebenarnya merupakan
unit usaha bekas milik keluarga Sinar Mas, namun grup ini keluar dari
manajemen BII ketika dihantam krisis. Meski demikian, Sinar Mas tetap ikut

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 217


merekapitalisasi BII (20%), sehingga saat itu bank ini tidak terkategori
sebagai bank penerima BLBI.
Untuk BII, pemerintah setidaknya telah mengeluarkan dana sekitar Rp
7,7 triliun yang terdiri dari biaya rekapitalisasi (sebesar Rp 6,3 triliun atau
57% dari total rekapitalisasi) dan pembayaran tagihan antar bank senilai Rp
1,4 triliun. Selain itu, sesuai dengan program blanket guarantee, pemerintah
juga menanggung kewajiban untuk menjamin pembayaran dana nasabah
senilai sekitar Rp 27 triliun. Sehingga, uang negara yang telah terkucurkan
untuk penyehatan BII memang tidak sedikit.
Di lain pihak, utang Sinar Mas senilai 1,25 miliar dolar AS kepada BII
(yang kemudian dialihkan ke BPPN) sebenarnya merupakan bentuk
pelanggaran hukum, karena telah melanggar Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK). Namun, dosa ini dianggap ”tertolong” oleh lancarnya
tingkat kolektibilitas (pembayaran) SMG kepada BII pada periode 1999
hingga tahun 2000. Pembayaran utang SMG sepanjang periode itu juga
menjadi pendapatan utama BII selain obligasi rekapitalisasi, karena besar
kredit Sinar Mas mencakup 62% dari total kredit BII.
Problem kemudian muncul ketika salah satu perusahaan andalan SMG,
yaitu Asia Pulp & Paper (APP) goyah sejak akhir 2000. Bahkan, sejak Maret
2001, APP menyatakan stand still, yaitu tidak mampu membayar kewajiban-
kewajibannya kepada kreditur-krediturnya (baik BII maupun kreditur-
kreditur asing) dan meminta restrukturisasi utang.
Dalam kaitan itu, pemerintah kemudian memutuskan untuk
memisahkan penyelesaian masalah BII dengan Sinar Mas dengan
mengeluarkan kredit Sinar Mas dari bank tersebut. Sebagai gantinya,
pemerintah memasukkan recycled bonds senilai 1,2 miliar dolar AS ke dalam
BII. Dengan demikian, beralih pula utang APP dan SMG dari BII kepada
pemerintah melalui BPPN.
Dalam rangka penyelesaian utang-utangnya tersebut, Sinar Mas harus
menyerahkan sejumlah asetnya sebagai jaminan ke BPPN. Aset yang harus
diserahkan SMG adalah senilai 145% dari nilai utangnya, ditambah dengan
personal guarantee Eka Tjipta Wijaya selaku pemilik. Jika ternyata aset yang
diserahkan bernilai kurang dari 145%, maka SMG pun wajib menambah
kekurangannya. Diantara aset yang harus diserahkan itu adalah 1,45 miliar

218 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


lembar saham (27%) PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk., dan 560 juta lembar
saham (42%) PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk.
Masalahnya, seperti telah disinggung, utang-utang SMG juga banyak
bertebaran di luar negeri yang totalnya mencapai 13,9 miliar dolar AS.
Sehingga, aset-aset SMG pun diincar oleh kreditur-krediturnya di luar
negeri. Hal ini misalnya yang dihadapi APP dengan menghadapi gugatan
pengadilan di AS terkait contract swap senilai 220 juta dolar. Dikhawatirkan,
aset-aset SMG yang dijadikan sebagai jaminan ke BPPN sebenarnya
merupakan aset-aset yang tidak boleh dijaminkan, karena sudah merupakan
jaminan bagi kreditur lain.
Mengantisipasi hal tersebut, BPPN dan kreditur-kreditur SMG lainnya
membentuk steering committee dan mengangkat auditor independen, yaitu
KPMG (Klynvelt Peat Marvick Goeldeler), untuk mengawasi aset-aset
SMG. Sementara BPPN berperan sebagai observer, KPMG bertugas
melakukan due dilligent terhadap laporan keuangan SMG dan menilai
kebenaran neraca perusahaan-perusahaan tersebut. Dengan demikian, uang
yang masuk ke SMG dapat diawasi penggunaannya, terutama untuk
pembayaran utang-utang SMG kepada para krediturnya.
Namun, pada kenyataannya, pembayaran utang-utang SMG kepada
krediturnya tersebut tetap diwarnai sejumlah persoalan. Seperti pembayaran
utang-utang APP yang terus menerus mengalami tarik ulur. Padahal, utang
perusahaan inti dari grup Sinar Mas ini sangat besar. Secara keseluruhan,
total utang APP mencapai 13,9 miliar dolar AS, yang terdiri dari utang APP
Indonesia sebesar 6,7 miliar dolar AS dan sisanya (sekitar 7,2 miliar dolar
AS) merupakan utang APP Cina.
Tarik ulur terutama terjadi karena banyaknya kepentingan masing-
masing pihak yang terlibat dalam penyelesaian kasus ini. Para kreditur
misalnya, khususnya perusahaan-perusahaan asing, berkepentingan untuk
memastikan agar utang APP benar-benar dikembalikan seutuhnya.
Sedangkan, SMG sendiri selaku pemilik APP berkepentingan untuk
menjaga asetnya tersebut dari incaran kreditur, karena APP merupakan
tambang utama penghasil keuntungan bagi SMG.
Pihak-pihak ini bahkan juga saling curiga satu sama lain. Kreditur asing
misalnya mencurigai BPPN melakukan kongkalikong dengan APP dalam
merestrukturisasi utangnya untuk melindungi kepentingan keluarga Eka

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 219


Tjipta. Di sisi lain, pihak APP mencurigai kreditur asing berusaha mencari
celah untuk menguasai aset APP.
APP juga kemudian dituding tidak transparan dalam melaporkan neraca
keuangannya. APP dinilai sengaja menyembunyikan informasi yang
diperlukan KPMG selaku kantor akuntan publik yang ditunjuk untuk
mengaudit APP. Kecurigaan ini dipicu oleh isu yang berkembang bahwa
APP Indonesia telah mengalihkan sejumlah asetnya ke APP Cina,
ditunjukkan dari terus berkembangnya APP Cina, sementara APP
Indonesia justru kian gembos.
Laporan KPMG bahkan selanjutnya menyatakan bahwa telah terjadi
penggelapan aset senilai 4,4 milyar dolar AS oleh APP melalui transfer pricing
dari anak-anak perusahaan APP di Indonesia, yaitu PT Indah Kiat, PT Tjiwi
Kimia, PT Pindo Deli, dan PT Lontar Papyrus ke APP Cina. Meskipun,
laporan ini mati-matian dibantah oleh APP.
Pada waktu berikutnya, perselisihan ini memang dapat diatasi satu
persatu. Restrukturisasi utang APP sebesar 6,7 miliar dolar AS misalnya
telah berhasil disepakati APP dengan BPPN, dan sejumlah kreditur asing
yang tergabung dalam Export Credit Agencies pada akhir Oktober 2003.
Beberapa kreditur yang bersedia menandatangani kesepakatan itu
diantaranya adalah kreditur asal Austria, Denmark, Finlandia, Perancis,
Jerman, Italia, Spanyol, dan Swedia
Pada Juni 2007, dua anak perusahaan Sinar Mas, yaitu PT Indah Kiat
Pulp & Paper Tbk. (INKP) dan PT Tjiwi Kimia Tbk. juga dilaporkan telah
menyelesaikan restrukturisasi utangnya senilai 532 juta dolar AS. INKP
telah membayar pokok pinjaman dan bunganya dengan total nilai 397 juta
dolar AS. Sedangkan TKIM telah melakukan pembayaran pokok dan bunga
sebesar 135 juta dolar AS.
Meski sebagian persoalan yang menjeratnya telah berhasil diselesaikan,
namun Sinar Mas tentu tidak dapat menghindarkan diri dari kewajiban
moral untuk bertanggung jawab atas kasus yang dialaminya saat krisis.
Bagaimanapun, SMG pernah menikmati kucuran uang negara melalui
ditalanginya utang-utang SMG oleh BPPN. Tak sedikit pula uang negara
yang telah dikeluarkan untuk menyehatkan BII, bank yang dimiliki SMG.

220 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Apalagi, di lain pihak, Eka Tjipta Wijaya selaku pemilik SMG kini justru
telah kembali bertengger pada urutan ketiga orang terkaya di Indonesia versi
Majalah Globe Asia. Total kekayaan yang dimiliki taipan ini dinyatakan
mencapai nilai 3,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 28 triliun. Dengan kondisi
ini, pertanyaan yang layak diajukan adalah apakah Eka Tjipta dan Sinar Mas
benar-benar pantas dibantu dengan kucuran uang negara?
Pada pertengahan 2007, nama SMG kembali disebut setelah perusahaan
tersebut bersama dengan 9 perusahaan lain dikabarkan memperoleh
kucuran kredit dari BNI dan Bank Mandiri senilai total Rp 5,1 triliun untuk
mengembangkan bahan bakar nabati (hal ini sempat mengundang reaksi
keras karena SMG dinilai tidak layak menerima kucuran kredit BUMN
mengingat track recordnya yang buruk sebagai salah satu perusahaan
pengemplang BLBI). Dari BNI, SMG bersama dengan Sampoerna Agro,
Sungai Budi Group, Rekayasa Group, dan Bioenergi Indonesia memperoleh
kesepakatan penyaluran kredit awal senilai Rp 1,2 triliun. Sedangkan, dari
Bank Mandiri, SMG bersama dengan Incassi Raya, Permata Sawit, dan
Satria Group, memperoleh kesepakatan pengucuran kredit senilai 432 juta
dolar AS.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 221


Bab 10
PERAN BI DAN BPPN
DALAM SKANDAL BLBI

Marwan Batubara

Betapapun licik dan curangnya para obligor, skandal BLBI tak akan
terjadi (atau setidaknya dapat diminimalisasi skala kerugiannya) jika sistem
dijalankan dengan baik oleh pemerintah selaku pemegang otoritas. Namun,
pada kenyataannya, justru institusi-institusi pemerintah yang berwenang
dalam penyaluran BLBI seperti Bank Indonesia dan BPPN, turut
memperparah bocornya keuangan negara. Bahkan, indikasi penyelewengan
juga sangat kental dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pada kedua
instansi tersebut.
Berikut merupakan uraian ringkas tentang peran masing-masing
institusi pemerintah, yaitu BI dan BPPN, dalam mendorong terjadinya
penyimpangan BLBI.

Bank Indonesia
Terlepas dari kenyataan bahwa pemerintahan Soeharto pada masa BLBI
dikucurkan merupakan pihak yang sangat berkuasa dan bisa mengendalikan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 223


seluruh pejabat di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, para
pejabat BI yang terlibat dalam kasus BLBI tidak bisa lari dari kenyataan
bahwa mereka turut bertanggungjawab atas penyelewengan yang terjadi
pada kasus ini. Mengapa mereka hanya ”membebek” dan tidak
menggunakan hati nuraninya?
Inilah hal yang dimaksudkan oleh Pasal 4 TAP MPR No.XI/MPR/1998
yang berbunyi: “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus
dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan
pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta atau
konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap
memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan HAM”.
Pejabat BI bahkan dapat dikatakan berperan besar dalam
penyimpangan yang terjadi dalam kasus BLBI karena merekalah pihak yang
terlibat langsung dalam penyaluran BLBI kepada pihak perbankan.
Berdasarkan UU No.13/1968 tentang Bank Sentral, BI memang
disebutkan menjalankan tugas pokoknya berdasarkan kebijakan
pemerintah, sehingga Direksi BI bertanggungjawab kepada Pemerintah.
Oleh sebab itu, BLBI dapat diartikan sebagai kebijakan pemerintah yang
dilaksanakan oleh BI. Hal ini juga membuahkan konsekuensi bahwa BI
seharusnya berada di bawah pengawasan pemerintah dalam penyaluran
BLBI.
Namun, perlu dicatat, disamping sebagai pimpinan BI, Gubernur BI
juga berkedudukan sebagai anggota Dewan Moneter dan anggota kabinet.
Sehingga, dengan demikian Gubernur BI juga merupakan bagian dari
pemerintah. Gubernur BI turut terlibat dalam rapat-rapat kabinet dan turut
bertanggungjawab atas aspek-aspek kebijakan yang dibuat terkait BI. Selain
itu, Gubernur BI pun bertanggung jawab penuh pada aspek pengelolaan
keuangan di lembaganya tersebut.
Yang menarik, berdasarkan keterangan mantan-mantan menteri
keuangan RI antara lain Mar'ie Muhammad, Fuad Bawazier, dan Bambang
Subianto, meskipun pengucuran BLBI merupakan kebijakan pemerintah,
namun dalam pelaksanaannya BI berjalan sendiri tanpa keterlibatan
Departemen Keuangan (Sukowaluyo Mintorahardjo, “BLBI Simalakama:
Pertaruhan Kekuasaan Presiden Soeharto”, Jakarta: RESI, 2001).

224 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Pengucuran BLBI sendiri bermula dari keputusan Sidang Kabinet
Terbatas Bidang Ekonomi Keuangan Wasbang dan Prodis 3 September
1997. Pada sidang tersebut Presiden Soeharto menginstruksikan Menkeu
Mar'ie Muhammad dan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono agar
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghadapi krisis
sektor keuangan dan perbankan.
Tetapi, BI kemudian melaksanakan kebijakan tersebut sendiri tanpa
banyak berkoordinasi dengan Depkeu. Dampaknya, penyaluran BLBI
menjadi tidak terkendali. Para mantan Menkeu tersebut bahkan menilai telah
terjadi penyelewengan oleh oknum-oknum pejabat BI dengan melakukan
tindakan sendiri-sendiri dalam menentukan penyaluran BLBI. Hal itu
dilakukan dengan berlindung di balik UU No.7/1992, yang mengatur
tentang kerahasiaan bank.
Berbagai pelanggaran yang dilakukan BI berakibat pada kerugian
negara yang sangat besar dalam skandal BLBI. Dalam hal ini, BPK memberi
catatan tentang tindakan dan langkah-langkah yang telah dilakukan BI
sebagai berikut:
· Kebijakan yang mendasari pemberian BLBI bersifat temporer,
individual, subyektif dan sering berubah, yang tampak dari
berbagai langkah seperti: 1) BI tidak berlaku tegas menerapkan
ketentuan; 2) kebijakan BI terkesan ditujukan untuk
menyembunyikan informasi kepada publik; 3) memberlakukan
Keputusan rapat direksi meskipun bertentangan dengan Surat
Keputusan Direksi; dan 4) terjadi tiga kali perubahan ketentuan
dalam waktu 4 bulan;
· Pemberian fasilitas SBPU Khusus tidak didasari atas analisis
kondisi keuangan bank;
· BI tetap memberikan fasilitas BLBI kepada bank-bank yang
melanggar UU Perbankan;
· Adanya kerancuan tugas dan fungsi yang dijalankan oleh BI dan
BPPN;
· Perhitungan bunga faslitas saldo debet (FSD) oleh BI tidak dapat
diyakini kewajarannya;

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 225


· Pelunasan FSD Bank Tiara dan Bank Dewa Rutji tidak jelas
statusnya;
· Saldo debet terus diberikan BI meskipun bank sudah dinyatakan
tidak ada harapan sehat.
Terhadap terjadinya penyalahgunaan BLBI oleh para obligor, BPK
menyimpulkan terdapat tanggung jawab BI sebagai berikut:
· Tidak melaksanakan fungsi pengawasan perbankan yang menjadi
wewenang dan tanggung jawab BI sebagaimana mestinya. Hal ini
terlihat dari berbagai penyimpangan/pelanggaran yang dilakukan
bank-bank secara berkesinambungan dan tetap terus terjadi tanpa
ada teguran dan sanksi yang tegas;
· Tidak menerapkan sanksi secara tegas dan konsekuen terhadap
setiap pelanggaran yang terjadi;
· Mengabaikan atau bahkan lalai dalam mengambil langkah-langkah
pengamanan yang diperlukan terhadap bank-bank yang pada
laporan berkalanya telah menunjukkan adanya pelanggaran
material, seperti:
¡ Pelanggaran BMPK selama beberapa periode laporan, bahkan
diantaranya telah terjadi beberapa tahun laporan, sehingga
pada gilirannya bank-bank tersebut mengalami kesulitan
likuiditas yang tidak lagi bersifat jangka pendek dan telah
menyebabkan bank-bank tersebut menggunakan BLBI untuk
menutupi kebutuhan likuiditasnya;
¡ Pelanggaran prinsip prudential banking dalam penempatan
dan pengambilan dana PUAB (Pasar Uang Antar Bank) yang
telah melanggar ketentuan yang berlaku;
¡ Kejanggalan-kejanggalan mutasi akuntansi yang tertuang
dalam laporan yang disampaikan bank-bank kepada BI;
¡ Tidak adanya pengendalian yang memadai terhadap
penggunaan dana-dana BLBI (giro bank di BI). Hal ini terlihat
dari tidak diterapkannya sanksi stop kliring bagi bank-bank
yang telah bersaldo debet yang melebihi batas ketentuan,
walaupun BI tidak dapat meyakini bahwa transaksi yang

226 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


dibayar melalui kliring benar-benar merupakan transaksi
pembayaran yang sesuai dengan tujuan pemberian BLBI.
Selain itu BI juga memberikan kemudahan kepada beberapa
bank tertentu menarik dana secara tunai atas rekening gironya
di BI atau menggunakan dana rekening giro di BI yang sudah
defisit (bersaldo debet), untuk melakukan transaksi valas yang
digunakan untuk mengisi rekening nostro (giro bank di luar
negeri) atau untuk spekulasi;
¡ Adanya pembedaan perlakuan dalam penyaluran BLBI kepada
bank-bank tertentu yang kepemilikan sahamnya mempunyai
keterkaitan dengan BI;
¡ Menerapkan kebijakan sistem pembayaran/pelunasan utang
luar negeri (trade finance) yang tidak menjamin keamanan
pembayarannya (eksistensi dan akurasi);
¡ Menyetujui pemilik saham bank-bank tertentu mengalihkan
sahamnya dengan melanggar hukum (di bawah tangan), dan
menerima penyerahan saham oleh pemilik yang sebenarnya
sudah merupakan agunan atas BLBI (Surat Berharga Pasar
Uang Khusus);
¡ Melakukan intervensi valas melalui bank-bank yang rekening
giro rupiahnya telah bersaldo debet;
¡ Tidak melaksanakan program penjaminan yang telah
ditetapkan dalam Keppres No. 26/1998 dan ketentuan
pelaksanaannya, dan tetap membiarkan bank-bank
menyelesaikan kewajiban yang jatuh tempo melalui mekanisme
kliring.
Disamping pendapat BPK, kita juga menemukan pendapat yang serupa
tentang peranan BI dalam kasus BLBI pada laporan yang ditulis BPKP.
Disebutkan dalam laporan itu, bahwa antara lain:
· BI tidak melakukan pengawasan sebagaimana mestinya;
· BI tidak menerapkan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi,
misalnya pelanggaran BMPK;
· BI lalai melakukan pengamanan terhadap bank yang laporannya

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 227


ada indikasi pelanggaran seperti BMPK, longgarnya ketentuan
(lemahnya prinsip prudential banking) dalam PUAB, dan kejanggalan
mutasi akuntansi;
· Tidak ada pengendalian yang memadai terhadap penggunaan
BLBI;
· Diskriminasi terhadap penggunaan BLBI.
Dengan berbagai kelalaian dan pelanggaran yang diuraikan di atas, tidak
diragukan lagi bahwa pejabat-pejabat BI merupakan pihak yang harus
bertanggungjawab dalam skandal BI. Namun, dalam menindaklanjuti
temuan BPK ini, pada kenyataannya penegakan hukum berjalan sangat
lemah. Tercatat, hanya 3 orang pejabat BI saja yang telah diputus perkaranya
di pengadilan dengan hukuman yang sangat ringan. Padahal, jumlah pejabat
BI yang pernah diperiksa mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman terkait
skandal BLBI mencapai 80 orang (daftar pejabat BI yang terlibat dalam
kasus BLBI dapat dilihat pada lampiran 1).
Fakta tentang keterlibatan oknum pejabat BI dalam kasus BLBI dan
sejumlah kasus korupsi lain, kini kembali terkuak dengan ditemukannya
penyimpangan dalam penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan
Indonesia (YPPI) milik BI untuk berbagai keperluan di luar ketentuan,
dengan nilai mencapai Rp 100 miliar. Padahal, sesuai dengan tujuan
pembentukannya, YPPI seharusnya hanya menyalurkan dana untuk
keperluan pelatihan dan pendidikan.
BPK menemukan, dana tersebut digunakan BI untuk berbagai
keperluan yang menyimpang, yaitu untuk memberi bantuan hukum kepada
mantan Gubernur BI, mantan Direksi BI, dan mantan Deputi Gubernur BI
terkait kasus BLBI dan kasus-kasus lainnya sejumlah Rp 68,5 miliar; serta
untuk ”membiayai” penyelesaian masalah BLBI dan perubahan UU No.23
Tahun 1999 tentang BI oleh Komisi IX DPR RI (bidang perbankan) periode
1999-2004 sejumlah Rp 31,5 miliar (lihat tabel 1). Dana ini juga dikeluarkan
tanpa mekanisme penerimaan dan pengeluaran resmi BI.

228 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Tabel 1
Skema Aliran Dana YPPI

Penerima Cek Tanggal Cair Jumlah Dana Penerima Dana


27 Juni 2003 Rp 2 milyar
2 Juli 2003 Rp 5 milyar
Oknum Anggota DPR
2 Juli 2003 Rp 500 juta
untuk penyelesaian BLBI
23 Juli 2003 Rp 7,5 milyar
Jumlah Rp 15 milyar
Diseminasi
Pejabat di Biro
Rp 31,5
Gubernur BI 17 Sept 2003 Rp 7,5 milyar
milyar Oknum Anggota DPR
17 Sept 2003 Rp 3 milyar
untuk Amandemen UU
4 Des 2003 Rp 6 milyar BI
Jumlah Rp 16,5 milyar

Total Rp 31,5 milyar

Penerima Cek Tanggal Cair Jumlah Dana Penerima Dana


7 Juli 2003 Rp 5,6 milyar Mantan anggota dewan
10 Juli 2003 Rp 7 milyar gubernur, lalu diberikan
Jumlah Rp 13,5 milyar ke penegak hukum

- Rp 5 milyar
13 Agus 2003 Rp 2,5 milyar
Oknum Anggota DPR
13 Agus 2003 Rp 6 milyar
Bantuan untuk Amandemen UU
Pejabat di 13 Agus 2003 Rp 10 milyar BI
Hukum
Direktorat 13 Agus 2003 Rp 1,5 milyar
Rp 68,5
Hukum BI Jumlah Rp 25 milyar
milyar
29 Agus 2003 Rp 10 milyar Mantan Direktur
29 Agus 2003 Rp 10 milyar Mantan Direktur
29 Agus 2003 Rp 10 milyar Mantan Direktur
Jumlah Rp 30 milyar

Total Rp 68,5 milyar

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 229


Tabel 2
Skema Aliran Dana YPPI (2)

BLBI

Tersangka/ Laporan BI
Terdakwa Disclaimer

Penerima (3 tersangka)
1. PS
RDG I
20 Maret 03
Direktorat Hukum 2. HB
3. HS
Rp. 15 M
Tanpa dipertanggungjawabkan

RDG II Penyediaan dana :


3 Juni 03 YPPI : Rp 100 miliar PSK YPPI
Sumber dana :
BI
1. YPPI : Rp 71,5 miliar
2. BI : Rp 42,7 miliar Pengurus YPPI yang
RDG III Persetujuan pemberian dana mencairkan:
22 Juli 03 kepada YPPI Rp 100 miliar Ketua: Baridjassalam Hadi
Bendahara: Ratnawati Sari
RDG IV Realisasi dana YPPI Rp 71,5 miliar
22 Juli 03 Pembentukan PSK
Aliran dana ke DPR
Dana bantuan hukum
Jumlah: Rp 31,5 miliar
Total: Rp 96,2 miliar
PJ: Rusli Simantuk

Ke Pengacara Rp 27,7 miliar Para terdakwa Perantara di DPR


1. Sudrajat: Rp 3,4 miliar Rp 68,5 miliar Sdr. Anthony Z. Abidin
2. Iwan 1. Sudrajat: Rp 25 miliar Penerima Komisi IX DPR RI
3. HS : Rp 6,7 miliar 2. Iwan : Rp 13,5 miliar o Pembahasan amandemen UU
4. HB : Rp 6,7 miliar 3. HS : Rp 10 miliar BI Rp 16,5 miliar
5. PS : Rp 6,7 miliar 4. HB : Rp 10 miliar o Pembahasan BLBI Rp 15 miliar
6. Gabungan 3 mantan Rp 4,09 miliar 5. PS : Rp 10 miliar

Sumber: Kompas, 13 Desember 2007

Tabel 3
Daftar Pejabat BI Penerima Bantuan Dana YPPI

Bantuan Hukum dari Anggaran BI


Nama Jumlah (Rp)
Mantan Gubernur 3.411.100.000
Mantan Direksi 6.748.500.000
Mantan Direksi 6.748.500.000
Mantan Direksi 6.748.500.000
Gabungan 3 Mantan Direksi 4.090.625.000
Total 27.747.225.000
Sumber : BPK (sebagaimana dimuat dalam Majalah Gatra Edisi 5 Desember 2007)

230 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Menurut BPK, dalam surat yang dikirimkan Ketua BPK Anwar
Nasution kepada Ketua KPK Taufiqurrahman Rukie pada 14 November
2006, pengucuran dana BI dari YPPI tersebut dilakukan atas perintah Rapat
Dewan Gubernur yang dipimpin Gubernur BI Burhanuddin Abdullah pada
22 Juli 2003, dengan merujuk kepada hasil rapat Dewan Gubernur tanggal 3
Juni 2003 (Harian Neraca, 12 November 2007).
Selain merupakan bentuk korupsi, mengalirnya sebagian besar dana
tersebut kepada aparat penegak hukum dan anggota DPR dalam
penyelesaian kasus BLBI menunjukkan adanya tindakan suap yang
dilakukan BI. Hal ini kembali menegaskan kentalnya aroma keterlibatan
oknum-oknum pejabat BI dalam menyalahgunakan dan menyelewengkan
dana BLBI.
Atas dasar hal-hal itu, maka pejabat-pejabat BI mutlak harus
bertanggungjawab terhadap penyelewengan yang terjadi dalam skandal
BLBI. Bahkan, temuan ini juga dapat menjadi bukti besarnya keterlibatan
dan peran BI dalam skandal korupsi BLBI. Pemerintah harus menyeret
seluruh oknum pejabat BI yang terlibat ke pengadilan, bukan membiarkan
mereka bebas atau malah mendudukkan mereka pada berbagai pos jabatan
strategis!

Badan Penyehatan Perbankan Nasional


Instansi pemerintah yang juga besar keterlibatannya dalam mendorong
terjadinya penyimpangan BLBI adalah Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Kontribusi BPPN dalam penyimpangan BLBI terutama
diakibatkan oleh ketidakhati-hatian (baik disengaja maupun tidak) dalam
melakukan pengelolaan atas aset-aset perbankan yang diserahkan
kepadanya, seperti memberikan penilaian yang keliru atas jaminan aset yang
diserahkan obligor, menyuntikkan obligasi senilai ratusan triliun rupiah
kepada bank-bank rekap tanpa diimbangi dengan pengendalian yang
memadai untuk menjamin pengembalian uang negara yang telah dikucurkan
tersebut, serta menjual aset-aset yang telah direstrukturisasinya dengan
menggunakan uang sangat besar (termasuk bank-bank hasil rekap) dengan
harga sangat murah.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 231


BPPN dibentuk berdasarkan Keppres No. 27 Tahun 1998 tentang
Pembentukan BPPN. Berdasarkan Keppres ini, tugas BPPN ditetapkan
mencakup tiga hal, yaitu menyehatkan kondisi perbankan, menyelesaikan
aset aset bank yang bermasalah, dan mengupayakan pengembalian uang
negara yang telah mengucur ke sektor perbankan selama krisis. Sementara
itu, kewenangan BPPN ditetapkan berdasarkan Keppres No. 34 Tahun 1998
tentang Tugas dan Kewenangan BPPN.
Sebagai lembaga yang khusus dibentuk pemerintah untuk mengambil
alih penyelesaian masalah perbankan pasca krisis moneter 1998, peran
BPPN sangat menentukan dalam kasus BLBI. Apalagi, wewenang lembaga
ini demikian besar, mulai dari merestrukturisasi perbankan, membuat
putusan hukum atas aset-aset bank yang berada dalam pengelolaannya,
hingga menjual aset-aset bank dengan jaminan perlindungan hukum atas
tindakannya tersebut. Wajar, dengan kewenangannya yang besar BPPN
disebut sebagai instansi super atau superbody.
Besarnya kewenangan BPPN diikuti juga dengan besarnya nilai aset
yang berada di bawah pengelolaannya. Total nilai aset yang dikelola BPPN
mencapai jumlah sekitar Rp 590 triliun, yang terdiri atas penyelesaian
kewajiban pemegang saham (PKPS) atau utang obligor senilai Rp 126,45
triliun, restrukturisasi/obligasi rekapitalisasi bank (khusus yang berada di
bawah pengelolaannya) senilai Rp 123,16 triliun, dan aset kredit macet (yang
dilimpahkan ke BPPN) sejumlah Rp 340 triliun.
Sebagai perbandingan, di negara lain, lembaga serupa BPPN hanya
memiliki sebagian dari fungsi-fungsi dan kewenangan yang dimiliki BPPN.
Thailand, misalnya, lembaga Financial Restructuring Agency (FRA) di negara
tersebut hanya berfungsi merestrukturisasi perbankan. Sementara,
Danaharta Malaysia memfokuskan kerjanya hanya pada pengelolaan aset-
aset berupa kredit macet.
Tentu saja, besarnya kewenangan BPPN tersebut, membuka peluang
besar pula bagi terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan. Indikasi-
indikasi penyelewengan BPPN dalam menangani kasus BLBI, setidaknya
dapat dilihat pada performa kinerja mereka pada tiga hal, yaitu penyelesaian
kewajiban obligor, penyelesaian aset-aset perbankan berupa kredit
bermasalah, penjualan aset, dan divestasi saham pemerintah pada bank-
bank rekap dalam rangka pengembalian uang negara.

232 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Penyelesaian Kewajiban Obligor
Dalam menyelesaikan kewajiban obligor, BPPN menggunakan
mekanisme yang dikenal dengan program Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham (PKPS). Pada intinya, mekanisme ini merupakan upaya
pengalihan kewajiban-kewajiban dari bank yang tidak memiliki harapan
sehat kepada pemilik atau pemegang saham pengendali dari bank yang
bersangkutan. Maksudnya, agar uang negara yang telah terkucurkan kepada
bank tersebut dapat ditarik kembali meskipun bank yang bersangkutan telah
bubar. Hal ini juga agar pemilik dan pemegang saham pengendali bank tidak
lepas tangan begitu saja atas kerugian yang diakibatkannya pada bank
tersebut.
Berdasarkan PKPS, kewajiban bank yang dapat dibebankan kepada
pemilik atau pemegang saham pengendali adalah kewajiban yang timbul
akibat kredit-kredit macet dari pihak terkait (yaitu kredit dari kelompok
usaha pemilik atau pemegang saham bank) dan kewajiban yang muncul
akibat transaksi tidak wajar atau mengandung pelanggaran hukum yang
menguntungkan pemilik bank secara sepihak.
Secara total, BPPN melakukan penyelesaian PKPS terhadap 72 bank
yang terdiri dari 65 bank terkategori Bank Dalam Penyehatan (BDP) dan 7
Bank Umum Peserta Rekapitalisasi. Dari 65 BDP tersebut, 10 bank
berstatus Bank Beku Operasi (BBO), 42 bank berstatus Bank Beku Kegiatan
Usaha (BBKU), dan 13 bank berstatus Bank Take over(BTO).
Pengelolaan PKPS oleh BPPN atas 65 BDP, menghasilkan tiga
kelompok bank, yaitu :
Kategori A, yaitu 16 BDP yang berdasarkan laporan Legal Due Diligence
(LDD) dan Financial Due Diligence (FDD) tidak ditemukan indikasi
pelanggaran hukum (irregularities) atau transaksi yang tidak wajar. Bank-
bank dengan kategori A ini tidak diwajibkan mengikuti PKPS.
Kategori B, yaitu 32 BDP yang berdasarkan laporan LDD dan FDD
menunjukkan indikasi pelanggaran hukum atau transaksi tidak wajar, namun
pemegang saham pengendali bersedia mengikuti PKPS (bersikap
kooperatif).
Kategori C, yaitu 7 BDP yang menurut Laporan LDD dan FDD
memiliki indikasi pelanggaran hukum atau tindakan transaksi tidak wajar,

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 233


namun pemegang saham pengendali tidak bersikap kooperatif, sehingga
PKPS tidak dapat dilaksanakan.
Dalam laporan auditnya, BPK menyatakan bahwa dalam pelaksanaan
PKPS, tidak ditemukan ketidaksesuaian material dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, kebijakan yang ditetapkan pemerintah,
dan perjanjian yang disepakati antara BPPN dan pemegang saham
pengendali. Artinya, BPK meluluskan kinerja BPPN dalam melaksanakan
PKPS.
Namun, jika dikaji lebih jauh, indikasi penyimpangan sangat kental
terutama dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada
pemegang saham pengendali bank (obligor). Sesuai dengan mekanisme
PKPS dan Inpres No. 8/2002, pemegang saham memang dapat
mengantungi SKL jika telah menyelesaikan kewajibannya. Persoalannya,
SKL telah diberikan meskipun pemegang saham hanya membayar sebagian
kecil dari total kewajibannya.
Soedono Salim misalnya, pemilik Salim Group ini memiliki total
kewajiban sejumlah Rp 52,72 triliun. Namun, melalui mekanisme PKPS,
Salim telah mengantungi SKL hanya dengan membayar sejumlah Rp 19,389
triliun atau sekitar 36,77% saja. Bahkan, jumlah kewajiban yang dibayar
dengan uang tunai oleh Salim hanya sebesar Rp 100 miliar saja. Sedangkan
selebihnya, diperhitungkan dari hasil penjualan aset-aset Salim. Metode
penilaian aset-aset Salim pun dipertanyakan banyak pihak karena dilakukan
dalam jangka waktu yang terlalu pendek.
Sjamsul Nursalim adalah contoh lainnya. Nursalim mengantungi SKL
setelah mantan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tersebut
dinyatakan telah melunasi utangnya sebesar Rp 28,488 triliun melalui aset-
aset yang diserahkannya. Namun perhitungan ulang yang dilakukan
PricewaterhouseCooper pada 2000, menyatakan nilai aset Sjamsul Nursalim
hanya bernilai Rp 1,441 triliun saja. Jelas, hal ini memperlihatkan
mencoloknya ketimpangan antara jumlah utang Nursalim dengan tingkat
pengembalian yang dilakukannya untuk memperoleh SKL.
Selain itu, terdapat juga persoalan moral hazard dari pemberian SKL.
Seperti telah dijelaskan, para pemegang saham pengendali yang mengikuti
PKPS pada dasarnya adalah pihak yang terbukti melakukan pelanggaran
hukum dan melakukan transaksi tidak wajar sehingga menguntungkan diri

234 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


dan kelompoknya sendiri. Karena itu, perbuatan mereka jelas merupakan
tindak pidana yang harus diproses secara hukum. Apalagi, nilai aset yang
mereka serahkan sebagai pembayaran kewajiban-kewajiban ternyata jauh
dari jumlah total kewajiban yang seharusnya mereka bayarkan.
Karena itu, merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, jika mereka yang
telah melanggar hukum dengan menggunakan uang negara untuk
kepentingan pribadi, kemudian hanya mengembalikan sebagian kecil dari
kewajibannya saja, lalu memperoleh surat keterangan lunas plus
pembebasan dari semua tuntutan hukum.
Sebagai pihak yang melaksanakan PKPS dan mengeluarkan SKL,
BPPN sudah seharusnya dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian
yang dialami negara dari penyelesaian kasus BLBI melalui mekanisme PKPS
ini.
Restrukturisasi Aset
Restrukturisasi aset berupa penyelesaian kredit-kredit bermasalah oleh
BPPN juga dinilai telah merugikan negara dalam jumlah sangat besar.
Sebagian besar aset-aset yang diserahkan pihak perbankan kepada BPPN
tersebut merupakan aset-aset bangkai, yang pembayarannya macet,
sedangkan dijual tidak laku. Akhirnya, aset-aset tersebut dilelang dengan
harga sangat murah, dan bahkan ada yang tetap tak terselesaikan (tak
terbayar dan tak terjual) hingga BPPN dibubarkan. Padahal, untuk
merestrukturisasi aset-aset perbankan tersebut, pemerintah telah
mengucurkan obligasi rekap senilai ratusan triliun rupiah yang cicilan pokok
dan bunganya harus dibayar tiap tahun hingga kini.
Perlu pula dicatat, bahwa merosotnya nilai aset dalam pengelolaan
BPPN tak lepas dari peran obligor mengingat pada kenyataannya merekalah
yang mengelola aset-aset tersebut melalui holding company yang dibentuknya
bersama dengan BPPN (lihat penyusutan nilai aset obligor saat dijual BPPN
pada lampiran 2). Hal ini terjadi karena BPPN, dengan cakupan tugasnya
yang sangat luas, tak mampu mengelola sendiri aset-aset tersebut. Obligor
sebagai bekas pemilik aset pun dilibatkan dalam pengelolaan karena
dianggap lebih memahami kondisi asetnya.
Restrukturisasi aset sendiri sebenarnya merupakan bagian dari upaya
penyehatan perbankan yang dilakukan BPPN. Restrukturisasi dilakukan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 235


dengan mengambil alih aset-aset perbankan yang bermasalah, yaitu tagihan-
tagihan utang kepada perusahaan yang macet bayar, untuk ditukar dengan
obligasi rekap yang diterbitkan pemerintah. Maksudnya, agar aset-aset
tersebut diperbaiki atau direstrukturisasi terlebih dulu, sehingga kondisinya
sudah layak (perusahaan dapat beroperasi dengan baik dan dapat membayar
utang-utangnya) ketika dikembalikan kepada sistem perbankan.
Restrukturisasi aset terutama dilakukan dalam dua hal, yaitu
restrukturisasi utang perusahaan dan restrukturisasi terhadap perusahaan
itu sendiri. Restrukturisasi utang dilakukan dengan memperpanjang masa
pembayaran, memberi diskon terhadap bunga, dan bahkan memotong
pokok utang. Sedangkan, restrukturisasi perusahaan biasanya dilakukan
dengan menempatkan wakil-wakil BPPN di direksi maupun komisaris agar
dapat mengawasi dan mengontrol jalannya perusahaan.
Indikasi korupsi dalam restrukturisasi aset misalnya tercium kuat dari
hasil kajian oversight committee (OC) BPPN yang menemukan bahwa pola
restrukturisasi yang dilakukan BPPN terhadap empat debitur telah
menyimpang dari prinsip-prinsip yang digariskan KKSK (Komite
Kebijakan Sektor Keuangan). Empat debitur yang dimaksud adalah PT
Chandra Asri (milik Prajogo Pangestu), PT Tirtamas Majutama (kelompok
Tirtamas), PT Seamless Pipe Indonesia Jaya (milik kelompok usaha Bakrie),
dan PT Permadani Khatulistiwa Nusantara (Kelompok Kodel).
Restrukturisasi utang PT Seamless Pipe senilai US$ 281 juta milik Bakrie
dinyatakan menyimpang karena BPPN tidak menentukan pembatasan dari
penjualan utang yang telah direstrukturisasi. Sesuai dengan pedoman
KKSK, seharusnya utang yang direstrukturisasi harus diperhitungkan agar
tingkat recovery-nya mencapai minimal 70%.
Pola restrukturisasi PT Permadani Khatulistiwa dengan nilai sebesar
US$ 160 juta juga dinyatakan menyimpang karena tidak adanya laporan uji
tuntas (due dilligence) atas kondisi keuangan dan laporan resmi proyeksi cash
flow. Terdapat pula perbedaan antara proyeksi keuangan versi perusahaan
dengan versi penasihat keuangan BPPN.
Penyimpangan dalam jumlah yang besar juga terjadi pada restrukturisasi
PT Chandra Asri milik Prajogo Pangestu. Total penyimpangan yang terjadi
dalam restrukturisasi aset PT Chandra Asri diperhitungkan mencapai US$
1,18 miliar.

236 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Salah satu bentuk penyimpangan itu adalah perlakuan tidak sama yang
diterima kreditor, dalam hal ini BPPN dan Japan Indonesia Petrochemical
Investment Corporation (JIPIC). Sesuai dengan kesepakatan yang
ditandatangani pihak-pihak terkait, piutang BPPN atas PT Chandra Asri
sebesar US$ 417,4 juta dikonversi menjadi kepemilikan saham dengan porsi
25,86%. Sedangkan, piutang JIPIC atas PT Chandra Asri sebesar US$ 147
juta dikonversi menjadi kepemilikan saham dengan porsi 24,59%. Konversi
piutang ke dalam bentuk kepemilikan saham ini jelas menunjukkan
ketimpangan luar biasa antara bagian yang diterima BPPN dengan JIPIC.
Kerugian BPPN kian parah karena perusahaan ini akhirnya dijual
dengan harga sangat murah, yaitu hanya sebesar Rp 602 miliar saja.
Pembelinya pun, PT Glazer and Putnam Investment Ltd dan Dresdner
Kleinwort Wasserstein, merupakan perusahaan investasi yang dinilai tidak
memiliki asal usul jelas. Sehingga, pemerintah mengalami kerugian baik dari
pola restrukturisasinya maupun dari tingkat recovery penjualan yang tidak
sampai 10%.
Sementara, penyimpangan dalam restrukturisasi aset PT Tirtamas
terjadi dalam bentuk pola restrukturisasi yang merugikan BPPN. Utang PT
Tirtamas senilai Rp 6 triliun direstrukturisasi dengan memberi tingkat bunga
yang jauh di bawah standar. OC juga memperkirakan Tirtamas akan
kesulitan melunasi utangnya kepada pemerintah dalam jangka waktu 10
tahun seperti yang ditetapkan. Padahal, obligasi Tirtamas kepada BPPN
tidak bisa dijual karena tingkat recovery yang rendah, yaitu hanya sekitar 20%.
Di sisi lain, konversi utang Tirtamas menjadi penyertaan saham pemerintah
juga tidak berhasil menjadikan pemerintah sebagai pemegang saham
mayoritas, padahal posisi itu dibutuhkan pemerintah untuk memastikan
pembayaran utang Tirtamas.
Penjualan Aset
Tugas lain yang dijalankan BPPN adalah menjual aset atau melakukan
divestasi saham pemerintah pada aset-aset perbankan (perusahaan yang
diambil alih pemerintah) dan bank-bank take over(BTO) yang telah direkap.
Hal ini dilakukan BPPN terutama untuk mengembalikan uang negara yang
telah terkucurkan melalui skema BLBI. Hal ini sekaligus pula merupakan
pelaksanaan tugas tambahan BPPN, yaitu mengejar target penerimaan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 237


negara untuk menutup defisit APBN. Target penerimaan negara yang harus
dicapai BPPN setidaknya mencapai Rp 42 triliun.
Divestasi saham pemerintah, memang merupakan bagian dari kebijakan
ekonomi pemerintah bersama dengan IMF dalam skala yang lebih luas.
Untuk mengimbangi APBN yang minim dana, IMF meminta pemerintah
untuk melakukan privatisasi atas sejumlah BUMN yang dimilikinya.
Pemerintah menargetkan Rp 6 triliun Rp 13 triliun per tahun dari privatisasi
BUMN. Divestasi juga dinyatakan IMF sebagai wujud komitmen
pemerintah untuk menerapkan reformasi ekonomi secara menyeluruh di
Indonesia.
Perlu diketahui sebelumnya, kepemilikan pemerintah atas saham di
sejumlah bank rekap (BTO) sebagiannya merupakan konversi dari utang
pihak perbankan kepada pemerintah yang tak terbayarkan seperti dari
pengucuran BLBI (senilai Rp 144,5 triliun) dan program penjaminan
pemerintah (senilai sekitar Rp 53,78 triliun). Perlu dicatat pula, dengan
statusnya sebagai BTO, bank-bank rekap ini juga menerima suntikan modal
berupa obligasi rekap dari pemerintah senilai sekitar Rp 431,6 triliun.
Persoalannya muncul ketika penjualan aset oleh BPPN ternyata tidak
mendatangkan keuntungan maksimal bagi negara. Bahkan, uang negara
yang kembali berkat penjualan aset ternyata jauh lebih kecil dari biaya yang
telah dikucurkan negara kepada bank-bank tersebut.
Kasus yang sangat fenomenal untuk menggambarkan hal ini adalah
penjualan BCA (sebagaimana juga telah diuraikan pada bab sebelumnya).
Dari kucuran dana kepada BCA sebesar Rp 29,1 triliun melalui BLBI dan Rp
60,9 triliun melalui obligasi rekap, negara ternyata hanya menerima
pengembalian sebesar Rp 5,3 triliun. BCA pun masih menerima
pembayaran bunga obligasi rekap per tahunnya dari pemerintah senilai
sekitar Rp 9 triliun. Karena itu, penjualan BCA dengan harga yang bahkan
tidak sampai 5% dari nilai aslinya tersebut sangat janggal dan tidak masuk
akal. Apalagi, kemudian juga berkembang dugaan bahwa pembeli BCA
masih terkait dengan pemilik lamanya juga (kelompok Salim).
Pembelian aset oleh pemilik lamanya juga belakangan kembali muncul
dari kasus PT Timor Putra Nasional (TPN), aset bekas milik Humpuss
Group (perusahaan milik Hutomo Mandala Putra/Tommy Soeharto), yang
dibeli oleh PT Vista Bella Pratama (Vista Bella). KPK menyatakan, pihaknya

238 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


menemukan adanya aliran dana dari Humpuss kepada Vista Bella untuk
membeli TPN. Berdasarkan hal itu, maka ditengarai Vista Bella hanya
merupakan perusahaan alat yang khusus dibentuk Humpuss untuk membeli
kembali aset-aset bekas miliknya dari BPPN.
TPN dibeli Vista Bella dari BPPN pada 15 April 2003 dengan harga Rp
521 miliar. Padahal, utang yang masih ditanggung TPN kepada BPPN saat
pembelian itu dilakukan adalah sebesar Rp 4,576 triliun. Dengan demikian,
akibat pembelian itu (pengalihan hak tagih BPPN atas TPN kepada Vista
Bella) negara mengalami kerugian Rp 4,046 triliun. Pembelian TPN oleh
perusahaan terafiliasi Humpuss juga telah melanggar salah satu syarat dalam
Perjanjian Jual Beli Piutang (PJBP) antara BPPN dan Vista Bella.
Kasus-kasus penjualan aset dengan harga murah di atas, pada akhirnya
mendudukkan BPPN sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas
kerugian negara yang diakibatkannya. Termasuk pula hal yang harus
diklarifikasi dan dipertanggungjawabkan BPPN adalah dugaan kolusi
oknum-oknum pejabatnya dengan para konglomerat obligor.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 239


Lampiran 1
DAFTAR NAMA DIREKSI/DEWAN GUBERNUR BI
TERKAIT DENGAN PENYALURAN BLBI
(Berdasarkan Data dari Direktorat Pengawasan Intern BI)

I. Periode 1 Juli 1996 - 28 Desember 1997


Nama Jabatan
1. J. Soedrajat Djiwandono* Gubernur BI
2. Hendrobudiyanto Direktur I Urusan Pengawasan
Bank Umum (UPB) I dan II
3. Heru Supraptomo Direktur I UPB III
4. Paul Soetopo T Direktur III UPB II
5. Mansjurdin Nurdin Direktur III UPB I dan II
6. Boediono Direktur III Urusan Pengawasan
Bank Pengkreditan Rakyat (UP BPR)
dan Urusan Pengaturan dan
Pengembangan Perbankan (UPPB)
7. Haryono Direktur I Urusan SDM
8. Mukhlis Rasyid Direktur I Urusan Kredit (UK)
dan Urusan Akunting dan
Sistem Pembayaran (UASP)
II. Periode 29 Desember 1997-13 April 1998
Nama Jabatan
1. J. Soedrajat Djiwandono* Gubernur BI
2. Mukhlis Rasyid Direktur I UPB I/ Direktur III UPB II dan III
3. Haryono Direktur II UPB I
4. Iwan R Prawiranata Direktur III UPB I/ Direktur I UPB II dan III
5. Miranda S Gultom Direktur I Urusan Statistik Ekonomi
dan Moneter (USEM) dan Urusan Riset
Ekonomi dan Kebijakan Moneter
6. Boediono Direktur I Urusan Operasional dan
Pengendalian Moneter (UOPM)
7. Aulia Pohan Direktur I UK/ Direktur II UPB II dan III
8. Syahril Sabirin Direktur I UASP dan Urusan
Pengedaran Uang
II. Periode 14 April 1998-30 Agustus 1999
Nama Jabatan
1. Syahril Sabirin Gubernur BI
2. Subarjo Joyosunarto Direktur I UPB I
3. Achwan Direktur I UPB II dan III
4. Iwan R Prawiranata Direktur III UPB I dan
Direktur III UPB II dan III
5. Aulia Pohan* Direktur I UK dan UASP/
Direktur II UPB II dan III
6. Dono Iskandar Dj Direktur I Urusan Luar Negeri

240 / Kejahatan Obligor Menjarah BLBI


Lampiran 2
Perkiraan Penurunan Aset 5 Holding company
(dalam triliun Rp)
Nilai Aset Perkiraan Perkiran
Nama Holding
Saat Diserahkan Nilai Aset Recovery rate Selisih 2-3
company
ke BPPN per April 2000 %
1. Holdiko Perkasa 52,62 20,00 38 32,62
2. Tunas Sepadan 28,41 8,30 29 20,11
Investama
3. Bentala Kartka 12,53 3,26 26 9,27
Abadi
4. Kiani Wirudha 6,16 3,40 55 2,76
5. Cakrawala Gita 2,66 n/a n/a n/a
Pratama
Sumber: BPPN (sebagaimana dikutip dalam buku “BLBI: Megaskandal Ekonomi
Indonesia,” Humanika, 2007)

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI / 241


Bab 11
PERAN IMF DALAM
KASUS BLBI

Marwan Batubara

Saat krisis kian parah, negara-negara Asia, termasuk Indonesia, akhirnya


menyadari bahwa mereka membutuhkan pinjaman untuk mengatasi krisis
tersebut. Ini yang mendorong mereka untuk kemudian berurusan dengan
IMF.
Pada 31 Oktober 1997, perjanjian pemerintah dengan IMF disepakati
dengan komitmen pinjaman senilai 7,3 miliar SDR (Special Drawing Rights)
atau setara dengan US$ 9,709 miliar dolar. Pinjaman sejumlah ini dikucurkan
dalam beberapa tahap. Untuk tahap awal, dana yang dikucurkan sebesar
2,202 miliar SDR (US$ 2,92 miliar).
Namun, tentu saja hal ini tidak diperoleh dengan gratis. Sebagai
kompensasi dari pinjaman yang diberikan IMF tersebut, pemerintah harus
setuju untuk mengimplementasikan sejumlah program reformasi ekonomi
menyeluruh yang diajukan IMF seperti privatisasi, pengurangan subsidi,
liberalisasi keuangan, dan reformasi sistem perbankan.

Peran IMF dalam Kasus BLBI / 243


Sejumlah program ini dituangkan dalam bentuk kesepakatan yang
dinamakan Memorandum on Economic and Financial Policies/ MEFP atau lebih
dikenal dengan Letter of Intent/ LoI (menurut Kwik Kian Gie, penyebutan
LoI lebih sering digunakan untuk menunjukkan bahwa seolah-olah
kehendak untuk melaksanakan butir-butir kebijakan yang
direkomendasikan IMF tersebut berasal dari pemerintah Indonesia sendiri).
Selama di bawah “program asistensi” IMF, tercatat pemerintah telah
menandatangani 1301 butir kesepakatan LoI. Besarnya jumlah kesepakatan
yang dibuat menunjukkan besarnya pula peran IMF dalam mengarahkan
kebijakan ekonomi Indonesia di masa krisis dan pasca krisis ekonomi 1997.
IMF pun senantiasa secara ketat melakukan monitoring terhadap
implementasi dari program-program yang direkomendasikannya. Jika IMF
menilai pemerintah tidak melaksanakan program sesuai dengan yang
dikehendakinya, IMF tak segan memberi peringatan dan bahkan
menangguhkan pemberian pinjaman. Sehingga, dana yang dipinjamkan
IMF sesungguhnya berfungsi pula sebagai instrumen bagi IMF untuk
mengendalikan kebijakan ekonomi Indonesia saat krisis. Karena itu, tak
berlebihan, jika dikatakan kebijakan reformasi ekonomi yang telah
dijalankan Indonesia pada masa-masa tersebut, termasuk pula pengucuran
BLBI dan obligasi rekap, dipengaruhi sebagian besar oleh IMF.

Campur Tangan IMF dalam Seluruh Aspek Kebijakan


Ekonomi Indonesia
Fakta yang paling mengganggu dari kehadiran IMF di Indonesia adalah
luasnya cakupan campur tangan IMF dalam menentukan kebijakan. Tidak
hanya berperan di bidang moneter, sesuai dengan kompetensi lembaga ini,
IMF meluaskan intervensinya dalam hampir seluruh kebijakan ekonomi
yang dibuat pemerintah, mencakup antara lain pemulihan aset, privatisasi
BUMN, deregulasi dan investasi, serta perdagangan luar negeri. Bahkan,
bidang-bidang non ekonomi juga tak lepas dari pengaruh intervensi IMF
seperti kebijakan jaring pengaman sosial, desentralisasi, hingga reformasi
hukum dan lingkungan. Sehingga, kebijakan ekonomi pemerintah di masa
krisis praktis hanya merupakan bentuk implementasi dari platform kebijakan
yang diinstruksikan oleh IMF. Seperti terlihat, platform kebijakan IMF

244 / Peran IMF dalam Kasus BLBI


tersebut bertumpu pada tiga pilar utama yaitu privatisasi, deregulasi, dan
liberalisasi.
Luasnya campur tangan IMF dalam berbagai bidang kebijakan ini
membuat pemerintah tidak dapat leluasa dalam merancang kebijakan
ekonominya sendiri. Apalagi, IMF secara ketat melakukan pengawasan
terhadap pemerintah untuk memastikan kebijakan-kebijakan yang
direkomendasikannya benar-benar dilaksanakan. Sedikit saja pemerintah
lambat atau menunda-nunda pelaksanaan kebijakan sebagaimana
dituangkan dalam LoI, IMF segera menggunakan instrumen modal yang
dimilikinya (dengan menunda pencairan pinjaman) untuk menekan
pemerintah.
Memang ada sebagian kalangan yang menilai bahwa tekanan IMF
tersebut justru merupakan hal yang positif agar agenda reformasi ekonomi
dapat benar-benar konsisten dijalankan pemerintah. Argumentasinya,
dengan pengawasan pun pemerintah kerap tidak konsisten, bagaimana jika
tidak ada pengawasan sama sekali? Sehingga dengan kata lain keberadaan
IMF dinilai penting untuk ”memandori” kerja pemerintah dalam
mereformasi kebijakan ekonomi.
Namun tak sedikit pula kalangan yang menilai bahwa keberadaan IMF
justru turut menambah kronis krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Mantan Menko Perekonomian RI Dr. Rizal Ramli misalnya, menyatakan
bahwa akibat resep-resep ekonomi yang dipaksakan IMF di saat krisis,
terjadi pembengkakan pengangguran menjadi 40 juta orang, dunia usaha
kian mengalami kebangkrutan, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia
anjlok dari rata-rata 6% per tahun menjadi -12,8% pada tahun 1998. Kondisi
ini selanjutnya mengantarkan Indonesia pada situasi chaos berupa terjadinya
kerusuhan sosial di mana-mana, yang ternyata juga terjadi pada negara-
negara lain dimana IMF berperan (karena itu fenomena ini disebut sebagai
”IMF Provoked Riots”).
Pada kenyataannya, dibanding negara-negara Asia lain yang mengalami
krisis seperti Thailand, Korsel, atau Malaysia, Indonesia yang paling taat
menjalankan agenda IMF justru paling lambat pulih kondisi
perekonomiannya. Bahkan, Indonesia kini telah terperosok jauh dalam
belitan utang yang akan membebani pemerintahan hingga kurun waktu
berpuluh tahun yang akan datang. Seperti kita tahu, belitan utang tersebut

Peran IMF dalam Kasus BLBI / 245


sebagian besarnya merupakan dampak dari kebijakan yang
direkomendasikan IMF seperti diantaranya penyuntikkan obligasi rekap Rp
430 triliun kepada pihak perbankan dan pengalihan utang-utang luar negeri
pihak perbankan dan perusahaan swasta nasional sebesar US$ 1,09 miliar
atau sekitar Rp 9,84 triliun kepada pemerintah.
Karena itu, untuk menilai kebijakan ekonomi Indonesia di masa krisis,
peran IMF harus menjadi bagian penting yang harus diperhatikan.
Tabel berikut merupakan ringkasan dari butir-butir kebijakan yang
direkomendasikan IMF melalui LoI :

Tabel 1
Rekapitulasi Butir-Butir Kebijakan Letter of Intent IMF

Kebijakan
No Bidang Kebijakan
Baru Pengulangan Lanjutan Jumlah
1. Restrukturisasi Perbankan 171 57 99 327
2. Restrukturisasi Utang Perusahaan 56 20 38 114
3. Desentralisasi 22 2 17 41
4. Lingkungan 12 - 33 45
5. Fiskal 76 36 57 169
6. Perdagangan Luar Negeri 18 27 37 82
7. Deregulasi dan Investasi 19 25 12 56
8. Reformasi Hukum 31 11 17 59
9. Pinjaman dan Pemulihan Aset 75 23 33 131
10. Kebijakan Moneter dan Bank Sentral 44 48 13 105
11. Privatisasi dan BUMN 39 20 61 120
12. Jaring Pengaman Sosial 8 4 14 36
13. Lain Lain 11 6 9 25
Total 582 297 440 1301
Sumber : Bappenas 2002, sebagaimana dikutip dalam buku ”Strategi Pembangunan
Indonesia Pasca IMF”, Syamsul Hadi dkk., Jakarta: Granit, 2004.

Selanjutnya, penulis akan membahas beberapa pengaruh langsung IMF


dalam kebijakan ekonomi pemerintah di saat krisis, khususnya pada sektor
perbankan. Sejumlah rekomendasi IMF tersebut merupakan contoh
kebijakan yang dinilai banyak pihak telah melenceng, merugikan, dan
menghancurkan fondasi-fondasi perekonomian Indonesia.

246 / Peran IMF dalam Kasus BLBI


Kebijakan-kebijakan itu secara garis besar meliputi kebijakan
pengetatan likuiditas, penutupan 16 bank nasional, peninjauan fungsi BI
sebagai the lender of the last resort, pengalihan utang-utang luar negeri pihak
swasta kepada pemerintah, pengucuran obligasi rekapitalisasi perbankan
(obligasi rekap), dan penjualan aset-aset negara (khususnya bank-bank yang
diambil alih oleh pemerintah).

Kebijakan Pengetatan Likuiditas (Tight Money Policy)


Salah satu fokus utama dari strategi penanganan krisis yang dijalankan
pemerintah atas rekomendasi IMF adalah mengatasi turunnya nilai tukar
rupiah dengan menerapkan kebijakan moneter ketat. Pengetatan moneter
bertujuan mengurangi jumlah peredaran rupiah di masyarakat yang dinilai
terlampau tinggi. Dengan pengetatan moneter, diharapkan inflasi dapat
diturunkan dan kestabilan nilai rupiah dapat dipertahankan.
Kesalahan paling mendasar dari rekomendasi yang diberikan IMF
kepada negara-negara yang dibantunya, termasuk Indonesia, adalah
memperlakukan semua negara secara sama rata tanpa memperhatikan
karakteristik perekonomian dan kondisi sosial politik yang bersifat unik
pada masing-masing negara. Hal ini terlihat dari tidak adanya upaya IMF
untuk mendefinisikan akar penyebab krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia. IMF juga cenderung hanya berfokus pada aspek-aspek ekonomi
makro, dan mengabaikan aspek-aspek mikro.
Tak heran, IMF kemudian secara sembrono menyimpulkan krisis
terjadi karena longgarnya kebijakan moneter yang diterapkan pemerintah.
Atas dasar analisis tersebut, IMF merekomendasikan kebijakan pengetatan
moneter kepada pemerintah untuk memperkuat nilai tukar rupiah.
Padahal, terjadinya penurunan nilai rupiah lebih disebabkan oleh
anjloknya kepercayaan masyarakat pada sektor finansial seperti perbankan.
Masyarakat cenderung menahan uangnya dan memilih tidak menyimpannya
di perbankan. Apalagi, saat itu faktor ketidakpastian ekonomi maupun
politik sedang sangat tinggi.
Walhasil, kebijakan pengetatan moneter akhirnya justru berdampak
pada macetnya aktvitas ekonomi. Suku bunga SBI yang tinggi memicu bank
untuk memberlakukan bunga pinjaman yang tinggi. Hal ini di satu sisi

Peran IMF dalam Kasus BLBI / 247


memang berfungsi menarik dana nasabah ke perbankan, namun di sisi lain
menghambat mengalirnya pinjaman dari bank ke sektor usaha. Dengan
bunga pinjaman yang demikian tinggi, maka sektor usaha mengalami
tekanan berat dalam memperoleh modal.
Hal itu juga melemahkan fungsi intermediasi bank, yaitu sebagai
penghubung pemilik modal (masyarakat) dengan peminjam modal (pelaku
usaha). Fungsi ini berperan penting dalam menggerakkan roda
perekonomian. Dengan hilangnya fungsi tersebut, kondisi perekonomian
pun segera mengalami krisis.

Penutupan 16 Bank
Resep kebijakan IMF lainnya yang menuai bencana adalah penutupan
16 bank swasta nasional. Rencana penutupan beberapa bank tersebut
dibahas dalam Rapat Dewan Moneter dan dilaporkan kepada Presiden pada
akhir Oktober 1997. Presiden menyetujui penutupan 16 bank dilaksanakan
pada tanggal 1 November 1997.
Rencana penutupan bank dimuat dalam Memorandum on Economic and
Financial Policies kepada IMF tanggal 31 Oktober 1997. Dalam
memorandum dinyatakan bahwa hal tersebut merupakan keputusan
bersama pemerintah dengan technical assistance dari IMF, World Bank dan
ADB untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada sistem
keuangan/perbankan.
Namun, rencana penutupan bank ternyata tidak dilakukan dengan
persiapan yang matang, seperti mempersiapkan bank pengganti untuk
menjamin pembayaran dana nasabah yang disimpan pada bank yang
dilikuidasi. Akibatnya, masyarakat panik dan berbondong-bondong
menarik simpanan mereka dari bank-bank nasional secara besar-besaran.
Selain menimbulkan kepanikan, penutupan bank juga menjatuhkan
kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Likuidasi bank
ditangkap masyarakat sebagai sinyal gawatnya masalah yang tengah dihadapi
sistem finansial negara.
Penarikan uang besar-besaran dari perbankan ini pada akhirnya
menyebabkan peredaran rupiah meningkat drastis. Nilai rupiah jatuh,
tingkat inflasi melambung, dan daya beli masyarakat merosot.

248 / Peran IMF dalam Kasus BLBI


Krisis pun kemudian menjalar ke seluruh dunia perbankan nasional.
Masyarakat kehilangan kepercayaannya pada perbankan secara umum.
Krisis melebar, dari hanya menimpa bank-bank bermasalah, menjadi
dialami semua bank-bank nasional yang sebenarnya masih sehat dan dapat
diselamatkan.
Krisis yang dialami perbankan akhirnya berujung pada krisis likuiditas
sangat parah. Bank-bank mengalami kelangkaan likuiditas untuk membayar
dana nasabahnya. Ini menyebabkan mereka harus meminjam kepada bank
lainnya dengan bunga yang sangat tinggi, sehingga menjadi beban yang
sangat berat bagi perbankan untuk bertahan.

Peninjauan Fungsi BI sebagai “The Lender of The Last


Resort”
Rekomendasi lainnya yang diberikan IMF kepada pemerintah
Indonesia adalah peninjauan fungsi BI sebagai the lender of the last resort
(penyedia pinjaman dana terakhir). Maksudnya, BI harus memainkan
fungsinya sebagai penyedia atau penyokong dana terakhir bagi pihak
perbankan, sehingga dapat mencegah kebangkrutan bank-bank yang saat itu
berada pada kondisi kritis. Hal ini tertuang dalam Letter of Intent dengan IMF
tertanggal 15 Januari 1998 tentang pentingnya liquidity support BI kepada
perbankan dalam fungsinya sebagai the lender of the last resort.
Liquidity support (bantuan likuiditas) diberikan melalui program
penjaminan kewajiban pembayaran bank umum, yaitu penjaminan
pemerintah atas pengembalian dana nasabah yang disimpan di bank,
berapapun jumlahnya. Hal ini terkait dengan rencana pemerintah bersama
dengan IMF saat itu untuk secara bertahap mengambil alih dan melikuidasi
sejumlah bank yang dinilai tidak memiliki harapan sehat. Dengan demikian,
program penjaminan ini bertujuan untuk menjaga kestabilan perbankan
ketika likuidasi terhadap bank dilakukan. Melalui penjaminan, kepercayaan
masyarakat kepada pihak perbankan berupaya dipertahankan agar rush tidak
terjadi.
Program penjaminan ini kemudian dituangkan dalam Keppres No. 26
Tahun 1998 tentang penjaminan pemerintah terhadap kewajiban

Peran IMF dalam Kasus BLBI / 249


pembayaran bank umum yang dikeluarkan pemerintah pada tanggal 26
Januari 1998.
Kebijakan ini pada kenyataannya memang cukup efektif meredam
gejolak masyarakat yang sangat berpotensi muncul dari penutupan dan
pengambilalihan bank. Meski pemerintah kemudian secara bergelombang
membekukan sejumlah bank, yaitu pada April 1998, Agustus 1998, dan
Maret 1999, rush tidak terjadi. Masyarakat berhasil diyakinkan bahwa uang
yang mereka simpan di bank tetap aman dengan adanya program
penjaminan.
Fenomena ini sekaligus membuktikan bahwa penutupan bank dapat
saja dilakukan jika disertai dengan perencanaan yang matang dan antisipasi
terhadap dampak negatifnya. Penutupan atau pengambilalihan bank
merupakan kebijakan berisiko tinggi yang dapat memicu terjadinya rush
ataupun macetnya aktivitas ekonomi. Hal inilah yang terjadi pada peristiwa
penutupan 16 bank pada bulan November 1997. Penutupan 16 bank
tersebut ternyata berdampak luar biasa pada kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan, sehingga menjadi salah satu penyebab utama dari
hancurnya dunia perbankan nasional pada saat krisis.
Meski demikian, kebijakan ini ternyata juga tidak steril dari masalah
dalam implementasinya. Program penjaminan perbankan, meski telah
digulirkan sejak Januari 1998, realisasinya sangat lambat dijalankan
pemerintah. Pemerintah tidak kunjung menyiapkan alokasi anggaran yang
dibutuhkan untuk menggulirkan program tersebut. Anggaran untuk
penjaminan perbankan baru kemudian disediakan pemerintah pada
September 2001 melalui pengisian Rekening 502 atas nama Departemen
Keuangan RI. Karena itulah, selama anggaran belum disediakan
pemerintah, dana penjaminan perbankan untuk sementara ditalangi oleh
Bank Indonesia.
Pada titik ini, terjadi penyimpangan dalam implementasi program
penjaminan perbankan, sehingga menambah daftar kerugian negara dari
kasus BLBI. Hal ini terjadi karena mekanisme penyaluran program
penjaminan perbankan oleh BI tidak dilakukan secara hati-hati dan sesuai
dengan prosedur yang semestinya. BI membiarkan dana penjaminan
mengalir melalui mekanisme kliring. Padahal, dengan mekanisme kliring, BI
tidak dapat mengetahui apakah kewajiban-kewajiban bank yang dibayarkan

250 / Peran IMF dalam Kasus BLBI


BI tersebut benar-benar merupakan kewajiban bank yang dijamin
pemerintah (yaitu pembayaran dana nasabah). Akibatnya, pengucuran dana
penjaminan perbankan turut membengkakkan jumlah BLBI yang
terkucurkan kepada pihak perbankan.

Pengalihan Utang-Utang Luar Negeri Pihak Swasta


kepada Pemerintah
Salah satu kebijakan pemerintah yang merugikan negara di saat krisis
adalah penalangan utang-utang luar negeri perbankan dan perusahaan
swasta oleh pemerintah. Jumlah total utang yang ditalangi pemerintah
tersebut mencapai US$ 1,34 miliar dolar atau sekitar Rp 11,98 triliun. Dari
jumlah itu, hanya sejumlah US$ 2,4 juta (Rp 2,18 triliun) yang dilunasi pihak
swasta kepada pemerintah. Dengan demikian, telah terjadi pengalihan utang
pihak swasta kepada pemerintah sebesar US$ 1,099 miliar atau sekitar Rp 9,8
triliun. Kebijakan yang merugikan ini dapat lahir berkat tekanan IMF,
beserta Bank Dunia dan ADB, kepada pemerintah untuk cepat-cepat
menanggulangi macetnya pembayaran utang bank dan perusahaan swasta di
Indonesia kepada perbankan luar negeri.
Kebijakan ini dilaksanakan sebagai implementasi dari Frankfurt
Agreement yang disepakati antara pemerintah dan konsorsium perbankan
internasional pada 4 Juni 1998. Kebijakan ini juga merupakan bagian dari
fasilitas BLBI yang diberikan pemerintah kepada perbankan, yang dikenal
dengan nama Dana Talangan Valas (DTV).
Lahirnya kebijakan ini dilatarbelakangi oleh krisis likuiditas yang
diderita perbankan nasional menyusul ditutupnya akses kredit (penutupan
credit line) bagi mereka oleh perbankan internasional. Hal ini sendiri terjadi
karena bank-bank nasional tak dapat melunasi kewajibannya kepada
krediturnya (perbankan internasional) saat utang-utang tersebut jatuh
tempo. Tercatat, total utang perusahaan swasta dan bank nasional kepada
perbankan luar negeri saat itu mencapai US$ 76 miliar. Keadaan itu
menyebabkan nilai tukar rupiah terpuruk (karena meningkatnya permintaan
terhadap dolar) yang pada akhirnya menambah hancurnya kemampuan
pihak swasta nasional untuk membayar utang-utangnya.

Peran IMF dalam Kasus BLBI / 251


Dalam keadaan itu, untuk menanggulangi krisis yang terus menjalar,
pemerintah menerbitkan Keppres No. 4 Tahun 1998 tentang pembentukan
Tim Penanggulangan Masalah Utang-utang Perusahaan Swasta Indonesia
yang bertugas melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengatasi krisis kepercayaan perbankan internasional terhadap Indonesia.
Tim diketuai oleh Radius Prawiro dan beranggotakan wakil-wakil dari
Menko Ekuin, Bappenas, Departemen Keuangan, dan Bank Indonesia
(pertemuan-pertemuan tim ini dilaksanakan di kantor Menko Ekuin Prof.
Dr. Ginandjar Kartasasmita).
Tim pemerintah selanjutnya melakukan serangkaian perundingan
dengan bank-bank luar negeri yang tercatat sebagai kreditur bagi bank-bank
dan perusahaan-perusahaan swasta Indonesia. Untuk memudahkan
perundingan, bank-bank luar negeri ini kemudian membentuk Steering
Committee (SC) yang diketuai oleh The Chase Manhattan Bank, Bank of
Tokyo Mitshubishi, dan Deutsche Bank. Serangkaian perundingan
selanjutnya dilaksanakan tim pemerintah dengan tim SC perbankan
internasional yang pada intinya membicarakan kerangka dasar penyelesaian
utang-utang perbankan dan perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia.
Setiap pertemuan tersebut juga selalu dihadiri oleh perwakilan IMF, Bank
Dunia, dan ADB.
Setelah melalui serangkaian perundingan, pada tanggal 4 Juni 1998 di
Frankfurt (Jerman), tim pemerintah dan tim SC perbankan internasional
akhirnya menyepakati beberapa hal sebagai berikut:
1. Trade Maintenance Facility, yaitu bahwa perbankan luar negeri akan
membuka kembali credit line dalam rangka trade finance (pembiayaan
perdagangan) bagi perbankan Indonesia;
2. Interdebt Exchange Offer, yaitu persetujuan perbankan luar negeri
untuk menjadwal ulang (melakukan rescheduling) pinjaman
perbankan Indonesia menjadi paling lama 4 tahun, namun
dengan syarat semua tunggakan interbank maupun L/C
(Letter of Credit) dan bunganya dilunasi sebelum akhir Juni
1998 dan L/C baru yang dibuka perbankan Indonesia
dijamin oleh BI;

252 / Peran IMF dalam Kasus BLBI


3. Restrukturisasi Utang Luar Negeri Pihak Swasta, yaitu penyelesaian
utang luar negeri pihak swasta melalui penjadwalan ulang selama 8
tahun.
Seperti terlihat, berdasarkan kesepakatan ini, pihak swasta dan
perbankan Indonesia berhasil memperoleh kembali akses pinjaman dan
fasilitas perpanjangan jadwal pembayaran utang dari perbankan luar negeri,
Namun, hal ini harus dibayar mahal dengan kesediaan pemerintah untuk
memberikan talangan atas pembayaran tunggakan utang perbankan dan
swasta nasional tersebut, agar memenuhi target pelunasan tanggal 30 Juni
1998.
Perlu dicatat, lahirnya kesepakatan ini tak lepas dari peran wakil-wakil
IMF, Bank Dunia, dan ADB yang menghadiri setiap pertemuan dan
mendorong agar masalah utang-utang pihak swasta sesegera mungkin
diselesaikan. Stanley Fischer, Deputy Managing Director IMF saat itu,
bahkan juga turut melakukan lobi kepada pihak SC agar dilakukan
pemecahan menyeluruh atas persoalan utang-utang swasta demi kebaikan
semua pihak.
Persoalan utama dari kesepakatan ini, meskipun dinyatakan sebagai
kebijakan darurat untuk mengatasi krisis perbankan, adalah besarnya
peluang penyalahgunaan dan penyelewengan. Terbukti, sebagian besar
utang swasta dan perbankan yang ditalangi pemerintah tersebut, ternyata
kemudian dikemplang atau tidak dibayar oleh pihak swasta. Seperti telah
disinggung sebelumnya, dari US$ 1,34 miliar utang swasta yang ditalangi
pemerintah, hanya US$ 2,4 juta yang dikembalikan kepada negara.
Selebihnya, sejumlah US 1,099 miliar dikemplang sehingga harus menjadi
tanggungan negara.
BPK juga menemukan, penalangan utang berupa penyaluran fasilitas
DTV kepada perbankan tersebut dilakukan oleh BI dengan mengabaikan
prinsip kehati-hatian dan dengan menafsirkan Frankfurt Agreement secara
berlebihan. Menurut BPK, BI tidak membuat prosedur verifikasi yang
memadai untuk menilai kelayakan dari utang-utang perbankan yang
ditalangi oleh pemerintah. BI menerima begitu saja klaim daftar tunggakan
utang yang diajukan oleh bank-bank nasional saat itu. Alasannya, klaim yang
diajukan sangat banyak, sedangkan jadwal yang dimiliki sangat singkat.
Akibatnya, berdasarkan audit BPK, jumlah DTV yang tidak dapat

Peran IMF dalam Kasus BLBI / 253


dipertanggungjawabkan penyalurannya mencapai Rp 8,91 triliun atau
90,81% dari DTV yang dikucurkan.
Terlepas dari hal-hal itu, penalangan utang-utang swasta oleh
pemerintah sendiri sebenarnya sudah bukan sesuatu yang layak. Risiko atas
tidak terbayarnya utang-utang swasta nasional kepada perbankan luar negeri
sudah seharusnya ditanggung bersama oleh pihak swasta dan perbankan
luar negeri, selaku debitur dan krediturnya. Macetnya pembayaran kredit
perbankan dalam negeri sudah seharusnya diperhitungkan pula oleh bank-
bank asing sebagai risiko dari pengucuran pinjaman yang mereka lakukan.
Apa hendak dikata, uang negara pun akhirnya harus dikucurkan untuk
menalangi tunggakan utang-utang yang diakibatkan kesalahan dan
kesembronoan pihak swasta dan bank-bank asing sendiri. Ironisnya,
menurut Rizal Ramli, pembayaran utang itu dilakukan dengan
menggunakan uang pinjaman dari IMF. Sehingga, uang pinjaman dari IMF
tersebut (yang harus dikembalikan pemerintah bersama dengan bunganya)
hanya sekedar ”masuk kantung kiri ke luar kantung kanan”, yaitu singgah
sejenak di kas pemerintah untuk kemudian mengalir kembali ke pihak asing.

Pengucuran Obligasi Rekap


IMF telah terbukti banyak memberikan rekomendasi yang salah dalam
memulihkan kondisi perekonomian Indonesia yang ditimpa krisis. Dengan
alasan agenda restrukturisasi perbankan merupakan prioritas bagi
pemulihan ekonomi, IMF memaksa pemerintah untuk menyediakan dana
tak terbatas untuk menyokong sektor ini. Padahal, seperti telah dibuktikan
melalui hasil audit BPK, kucuran dana tersebut sebagian besarnya justru
diselewengkan. Akibatnya, negara menderita kerugian sangat parah hingga
ratusan triliun rupiah. Namun, dari semua rekomendasi salah yang pernah
diberikan IMF, kebijakan yang paling merugikan negara barangkali adalah
pengucuran obligasi rekap kepada pihak perbankan.
Pengucuran obligasi rekap dilakukan pemerintah setelah IMF
menyatakan bank-bank nasional harus memiliki rasio kecukupan modal
(capital adequacy ratio) setidaknya 8% untuk menunjukkan bank tersebut
sehat. Kondisi perbankan saat itu, meski telah diberi kucuran dana BLBI,
memang masih rapuh dan belum menunjukkan perbaikan berarti. Termasuk

254 / Peran IMF dalam Kasus BLBI


dalam kategori bank yang sakit tersebut adalah sejumlah bank yang diambil
alih oleh pemerintah karena tidak mampu membayar utang-utangnya seperti
BCA (bank take over/BTO).
Desakan IMF kepada pemerintah untuk segera menolong bank-bank
yang sakit tersebut misalnya tertuang dalam LoI tertanggal 20 Januari 2000,
yang kemudian diperkuat dengan beberapa supplementary MEFP tertanggal
17 Mei, 31 Juli, dan 7 September 2000. Dinyatakan dalam dokumen-
dokumen tersebut bahwa pemerintah harus merealisasikan agenda
restrukturisasi perbankan, termasuk rekapitalisasi bank pemerintah dan
BTO seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank Danamon, dan BCA.
Restrukturisasi dilakukan dengan menyuntikkan dana untuk memperkuat
modal bank yang bersangkutan.
Namun, karena pemerintah saat itu tidak memiliki uang tunai, maka
penyuntikan modal dilakukan dengan pemberian obligasi rekapitalisasi
perbankan (obligasi rekap). Secara sederhana, dapat dinyatakan obligasi
rekap merupakan komitmen pemerintah kepada pihak perbankan untuk
memberikan sejumlah uang dalam bentuk utang yang lalu dikonversikan
menjadi kepemilikan saham pemerintah di bank tersebut. Jumlah total
obligasi rekap yang dikucurkan pemerintah adalah sekitar Rp 431,6 triliun
plus bunga yang akan dibayarkan setiap tahunnya. Diperhitungkan, jika
dibayar tepat waktu, maka total bunga obligasi yang harus dibayar
pemerintah adalah sekitar Rp 600 triliun. Sehingga, beban pembayaran
obligasi rekap pemerintah kepada perbankan seluruhnya minimal mencapai
Rp 1031 triliun (akan jauh lebih besar jika pemerintah melakukan
penundaan pembayaran).
Dengan suntikan obligasi rekap tersebut, posisi modal perbankan
memang menguat dengan signifikan. Performa bank pun meningkat, karena
membukukan laba tahunan yang tinggi sebagai akibat penerimaan bunga
obligasi rekap yang dibayarkan pemerintah.
Namun, konsekuensi dari pemberian obligasi rekap juga sangat besar.
Obligasi rekap yang tak lain merupakan bentuk subsidi kepada pihak
perbankan ini harus dibayar mahal oleh pemerintah dan seluruh rakyat
Indonesia melalui beban utang dalam APBN tiap tahunnya. Seperti
diketahui, beban pembayaran obligasi rekap dalam APBN mencapai sekitar
Rp 40-50 triliun per tahunnya.

Peran IMF dalam Kasus BLBI / 255


Akibat pembayaran bunga obligasi rekap yang demikian besar tersebut,
pemerintah akhirnya memangkas sejumlah anggaran publik seperti
pendidikan dan kesehatan. Dengan kata lain, melalui kebijakan obligasi
rekap, IMF memaksa pemerintah untuk mengalihkan subsidi bagi
kesejahteraan rakyat kepada sektor perbankan.

Penjualan Bank-Bank Hasil Rekap


Setelah merekomendasikan pengucuran obligasi rekap, langkah
intervensi IMF diteruskan dengan menekan pemerintah agar menjual bank-
bank pemerintah dan BTO hasil rekap. Di sinilah sesungguhnya kerugian
negara dalam jumlah sangat besar terjadi. Pemerintah yang telah dipaksa
menggelontorkan uang dalam jumlah besar untuk menyehatkan kondisi
perbankan, kemudian justru didesak IMF untuk menjual bank tersebut
kepada pihak swasta. Karena batas waktu penjualan yang diberikan IMF
sangat pendek, maka terjuallah bank-bank hasil rekap tersebut dengan harga
yang sangat murah.
Penjualan atau privatisasi bank-bank hasil rekap memang menjadi salah
satu fokus kebijakan yang direkomendasikan IMF dalam sektor perbankan.
Tercatat, agenda privatisasi BUMN terdapat dalam setidaknya 120 butir LoI
yang ditandatangani IMF dengan pemerintah. Ada sejumlah argumentasi
yang dikemukakan IMF sebagai alasan perlunya pemerintah melakukan
privatisasi, yaitu antara lain sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk
melepaskan perannya dalam berbisnis, untuk menyehatkan kinerja BUMN,
serta untuk meraih kepercayaan internasional terhadap iklim investasi di
Indonesia. Namun, di sisi pemerintah, alasan paling kuat untuk melakukan
privatisasi adalah target penerimaan negara untuk menutup APBN yang
selalu defisit setiap tahunnya.
Sebenarnya, jika dilakukan dengan benar dan perencanaan yang matang,
privatisasi mungkin saja dapat menjadi solusi bagi persoalan yang dialami
pemerintah dalam menutup defisit anggaran. Misalnya saja, privatisasi
dilakukan terhadap BUMN-BUMN yang memang berkinerja buruk dan
bukan merupakan sektor strategis bagi negara. Privatisasi seperti ini,
dimungkinkan memberi dampak positif bagi negara berupa mengalirnya
dana segar ke kas negara sekaligus membaiknya kinerja BUMN yang
diprivatisasi tersebut.

256 / Peran IMF dalam Kasus BLBI


Persoalannya, selama ini privatisasi justru kerap dilakukan terhadap
BUMN-BUMN strategis yang kinerjanya pun baik. BUMN-BUMN ini,
bahkan merupakan penyumbang penerimaan pemerintah dalam APBN.
Sehingga, dengan diprivatisasinya BUMN-BUMN tersebut, pemerintah
justru kehilangan future earning atau sumber pendapatan negara di masa yang
akan datang. Ironisnya, BUMN ini bahkan dijual dengan harga yang sangat
murah.
Demikian juga halnya yang terjadi dalam privatisasi bank-bank hasil
rekap. Di bawah pengawasan ketat dan tekanan IMF, bank-bank tersebut
terjual dengan harga yang sangat murah sehingga menyebabkan kerugian
besar bagi negara. Bahkan, saat dijual, sejumlah bank masih memiliki tagihan
obligasi rekap ke pemerintah dalam jumlah yang jauh lebih besar dari nilai
penjualan yang terjadi.
Wajar saja jika kemudian diduga sejumlah privatisasi kental dengan
praktik manipulasi dan kecurangan. Tender penjualan kerapkali dilakukan
secara tertutup dan tidak transparan. Kejanggalan-kejangalan pun sering
ditemukan, seperti merosotnya dengan tiba-tiba nilai saham bank rekap
menjelang penjualan dilakukan.
Pada kasus penjualan BCA, (oknum) IMF bahkan dengan nyata
menunjukkan keterlibatannya dalam manipulasi yang terjadi dalam proses
divestasi. Setelah berulangkali mendesak penjualan BCA, mantan Direktur
IMF untuk Asia Pasifik Hubert Neiss justru berbalik menjadi konsultan
Farallon Capital yang kemudian sukses memenangkan tender BCA dengan
harga murah. Berikut kronologi ringkasnya.
Agenda penjualan BCA sudah masuk dalam bidikan IMF sejak LoI 20
Januari 2000. Selanjutnya, dalam LoI 7 September 2000, penjualan BCA
(serta Bank Niaga) kembali dinyatakan sebagai agenda yang akan dijalankan
pemerintah. Karena itu, ketika target-target privatisasi ini nampaknya
lamban direalisasikan pemerintah, IMF segera menunjukkan reaksi
negatifnya. Hal ini seperti yang pernah diungkapkan John Dodsworth,
Kepala Perwakilan IMF di Indonesia saat itu, bahwa IMF sangat kecewa
dengan penundaan divestasi saham pemerintah di BCA dan Bank Niaga.
Dalam kata-kata Dodsworth, “Penjualan BCA merupakan komitmen
kebijakan besar, tidak hanya dalam LoI terakhir, tetapi juga dalam LoI-LoI
sebelumnya, yang ada sejak Februari. Jadi, mendengar bahwa itu ditunda,

Peran IMF dalam Kasus BLBI / 257


sangat mengecewakan. Paling tidak, menurut saya, itu merupakan
kemunduran sementara upaya restrukturisasi di Indonesia" (Kompas, 9
Oktober 2000).
Penjualan BCA, kemudian dicantumkan lagi dalam LoI Desember
2001. Dinyatakan dalam LoI tersebut, BPPN ditargetkan memperoleh Rp
27 triliun dari penjualan saham BCA melalui proses tender.
BCA pun akhirnya terjual pada 14 Maret 2002. 51% saham pemerintah
di bank bekas milik Salim tersebut dijual kepada Konsorsium Farallon
Capital dengan harga Rp 1.775 per lembar atau secara total hanya
menghasilkan sekitar Rp 5,3 triliun.
Penjualan ini tak pelak mendatangkan protes dari berbagai penjuru. Hal
ini mengingat, saat dijual, BCA masih memiliki obligasi rekap senilai Rp 60,9
triliun. Artinya, segera setelah berpindah tangan, dengan hanya
menyerahkan uang senilai Rp 5,3 triliun, pemilik baru BCA (bersama dengan
pemilik saham BCA halaman) memiliki tagihan kepada pemerintah
sejumlah dua belas kali lipat dari uang yang baru saja dibayarkannya tersebut.
Selain itu, dengan memegang obligasi rekap sebesar itu dari pemerintah,
pemilik BCA secara cuma-cuma akan memperoleh pendapatan senilai
sekitar Rp 9 triliun per tahunnya dari pembayaran bunga obligasi rekap.
Dapat dilihat, bahkan cukup dengan pendapatan bunga obligasi rekap
dalam setahun, pemilik baru BCA sudah memperoleh kembali 100%
modalnya.
Proses penjualan BCA pun tidak dilakukan dengan transparan. Seperti
penuturan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Kwik
Kian Gie, IMF mengingkari prosedur penjualan yang telah disepakati.
Sesuai kesepakatan antara Kwik dan Anoop Singh (Deputi Direktur IMF
untuk Asia Pasifik), penjualan BCA dilakukan melalui tender terbuka yang
transparan. Penawaran pun dilakukan secara sangat terbuka.
Dalam kesepakatan awal tersebut, menurut Kwik, pemerintah
menentukan harga minimum yang dirahasiakan dan disimpan pada notaris
yang ditentukan bersama. Semua penawaran yang masuk dibuka secara
serentak, dengan disaksikan orang banyak, pada tanggal yang telah
ditetapkan. Jika semua penawaran yang masuk tersebut ternyata tidak ada

258 / Peran IMF dalam Kasus BLBI


yang menyamai atau melebihi harga minimum yang ditetapkan, maka
penjualan ditangguhkan sampai waktu yang lebih baik.
Namun, prosedur penjualan yang transparan dan terbuka ini ternyata
tidak dilaksanakan. Penjualan kemudian justru dilakukan melalui penawaran
terbatas kepada calon pembeli potensial yang disebut sebagai strategic partner.
Ada empat pihak yang mengikuti proses ini yaitu Bank Mega, Standard
Chartered Bank, Konsorsium GKBI, dan Farallon Capital Indonesia
(Farindo). Selanjutnya, dalam perjalanannya, hanya tertinggal dua peserta
tender pada tahap akhir, yaitu Standard Chartered Bank dan Farindo.
Pada awalnya Standard Chartered Bank diprediksi akan tampil sebagai
pemenang tender. Namun, pada saat-saat akhir, berkat lobi Hubert Neiss
yang mewakili Deutsche Bank sebagai salah satu anggota konsorsium
Farallon Capital, Farindo akhirnya ditetapkan sebagai pemenang. Hasil ini
cukup mengejutkan, karena penawaran harga yang diajukan Farindo, yaitu
Rp 1.775 per lembar saham, lebih kecil dibanding harga penawaran Standard
Chartered Bank, yaitu Rp 1.800 per lembar saham. Disebutkan, keputusan
ini diambil pemerintah karena Farindo bersedia menarik keluar seluruh
obligasi rekap yang berada di dalam BCA. Meskipun pada kenyataannya,
obligasi rekap tersebut tak kunjung ditarik keluar oleh Farindo dari BCA.
Fakta lain yang juga penting dicatat, salah satu anggota konsorsium
Farindo adalah Alaerka Investment Ltd., yang berafiliasi dengan PT
Djarum. Sedangkan, PT Djarum sendiri telah lama diketahui memiliki
hubungan sangat dekat dengan Keluarga Salim, obligor BLBI dan pemilik
lama BCA. Dengan konstelasi ini, wajar jika banyak pihak kemudian
mencurigai bahwa Soedono Salim juga berada di belakang pemilik baru
BCA.

Penutup
Seperti diuraikan di atas, skandal BLBI ternyata tidak hanya melibatkan
pelaku dalam negeri, namun juga IMF sebagai lembaga keuangan
internasional yang bertugas “membantu” Indonesia saat terjadinya krisis.
Peran IMF bahkan sangat dominan mengingat lembaga inilah yang
merekomendasikan (atau bahkan mendesakkan) sejumlah program
pemulihan ekonomi yang dijalankan pemerintah. Termasuk dalam program

Peran IMF dalam Kasus BLBI / 259


yang direkomendasikan IMF tersebut adalah restrukturisasi perbankan
(salah satunya pengucuran obligasi rekap) yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari rangkaian kisah skandal perbankan akibat pengucuran
BLBI.
Dengan keterlibatan intensif IMF tersebut, maka sudah sepantasnyalah
jika IMF turut dituntut pertanggungjawabannya atas beban pembayaran
biaya perbankan yang terus menggerogoti kemampuan keuangan negara
hingga saat ini.

260 / Peran IMF dalam Kasus BLBI


Bab 12
BLBI : PEMISKINAN
DAN PEMBUNUHAN
GENERASI

Marwan Batubara

150 Orang Terkaya, Utang BLBI yang Tak Terbayar, dan


Rakyat Miskin
Majalah Globe Asia edisi Agustus 2007 merilis daftar 150 orang terkaya
di Indonesia, dengan total kekayaan US$ 46,6 miliar atau lebih dari Rp 438
triliun (dengan asumsi kurs US$ 1 senilai Rp 9.400). Jumlah ini mencapai
hampir dua pertiga anggaran belanja negara (APBN-P) tahun 2007 sebesar
Rp 763,6 triliun. Mereka yang muncul dalam daftar tersebut, mayoritasnya
merupakan nama-nama lama dalam dunia bisnis. Tak banyak nama baru
yang muncul.
Sebelumnya, daftar orang terkaya juga pernah dirilis oleh Majalah
Forbes Asia pada awal September 2006, dengan mencantumkan nama 40
orang terkaya di Indonesia. Tak jauh berbeda, 40 nama orang terkaya yang
ditulis Majalah Forbes Asia tersebut juga merupakan orang-orang terkaya
yang dicantumkan oleh Majalah Globe Asia, hanya saja dengan

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 261


pemeringkatan yang berbeda. Misalnya saja, Globe Asia menempatkan Budi
Hartono (Djarum Group) sebagai orang terkaya no.1 di Indonesia dengan
total kekayaan sebesar US$ 4,2 miliar, sedangkan majalah Forbes Asia justru
menempatkan Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas Group), pengusaha yang
dicurigai menggelapkan pajak senilai Rp 1,2 triliun (2002-2005), sebagai
orang terkaya dengan total kekayaan sebesar US$ 2,8 miliar (daftar lengkap
1
orang-orang kaya versi Globe Asia diperlihatkan pada lampiran 1) .
”Prestasi” pengusaha-pengusaha tanah air tersebut, sangat kontras
dengan kondisi mereka sepuluh tahun sebelumnya ketika krisis
menghantam Indonesia. Kala itu, selain mencekik kehidupan masyarakat,
krisis mengguncang sebagian besar bank, perusahaan, dan konglomerat.
Dahsyatnya krisis menyebabkan tidak sedikit diantara perusahaan-
perusahaan tersebut yang pada akhirnya bangkrut.
Dengan latar belakang itulah, kebijakan pengucuran BLBI kemudian
dikeluarkan pemerintah. BLBI dikucurkan sebagai bantuan darurat kepada
perbankan untuk menolong bank-bank yang tengah berada pada kondisi
kritis. Melalui BLBI, bank-bank tersebut memperoleh pasokan likuiditas,
sehingga kelangsungan hidupnya dapat dipertahankan (meskipun beberapa
bank hanya bertahan beberapa waktu). Itu pula sebabnya, BLBI disebut
sebagai ”ongkos krisis” yang tidak dapat dihindarkan oleh bangsa Indonesia.
Namun, yang penting dicatat, ”ongkos krisis” tersebut pada
kenyataannya tak sepenuhnya berfungsi memperbaiki kondisi
perekonomian Indonesia, namun lebih banyak diselewengkan dan

1
Untuk kelengkapan informasi, kami sertakan pula (pada lampiran 2) daftar 40
”Orang Terkaya Indonesia” versi majalah Forbes, edisi Desember 2007, yang terbit
beberapa hari sebelum buku ini dicetak. Jika dibandingkan dengan daftar yang dirilis
oleh Globe Asia seperti dijelaskan di atas, maka ditemukan adanya perubahan posisi
nomor urut orang-orang kaya tersebut. Menurut Forbes, Aburizal Bakrie adalah
orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan sekitar Rp 50 triliun, menggantikan
posisi Budi Hartono yang ditempatkan sebagai peringkat 1 terkaya versi Globe Asia.
Selain itu, Forbes mencatat Sukanto Tanoto sebagai peringkat 2 terkaya (Rp 43
triliun), yang menurut versi Globe Asia berada pada posisi 6. Perubahan posisi
dalam nomor urut ini, secara umum terjadi karena meningkatnya harga komoditas
yang menjadi portofolio bisnis masing-masing pengusaha, seperti CPO, batubara,
kertas, dan sebagainya. Dalam uraian selanjutnya, angka-angka dari Globe Asia yang
akan dirujuk.

262 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


disalahgunakan. Jumlahnya pun jauh membengkak dari biaya yang
seharusnya dikeluarkan, karena praktik KKN sejumlah oknum penguasa
dan pengusaha dalam menyalahgunakan BLBI.
Dalam kondisi krisis, oknum-oknum ini seolah berlomba
memanfaatkan kesempatan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya
bagi diri dan kelompoknya. BLBI lebih banyak disalurkan kepada kelompok
usaha pemilik bank dibandingkan untuk membayar nasabah (terjadi
pelanggaran BMPK). Pejabat yang berwenang pun (BI) seolah membiarkan
terjadinya penyalahgunaan tersebut dengan terus menyalurkan BLBI dan
bahkan terus mengizinkan bank-bank yang sudah tak layak untuk bersaldo
debet.
Di lain pihak, penanganan kasus ini oleh pemerintah pun berjalan secara
tidak konsisten. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam
rangka penyelesaian kasus ini tidak mencerminkan keadilan dan bahkan
kerap bertabrakan dengan ketentuan hukum. Misalnya saja, pemerintah
cenderung terus memberi keringanan bagi obligor dalam melunasi
kewajiban-kewajibannya melalui berbagai fasilitas (seperti diantaranya
reformulasi JKPS dan pemberian SKL meski obligor baru membayar
sebagian utangnya). Kebijakan pemerintah yang paling nyata menampakkan
ketidakadilan adalah Inpres No.8/2002 yang menghapuskan gugatan aspek
tindak pidana dari obligor selama mereka bersedia membayar utangnya.
Akibat berbagai kebijakan yang timpang memihak pada kepentingan
obligor tersebut, negara menanggung utang dan kesulitan keuangan
berkepanjangan. Uang negara yang telah terkucurkan kepada obligor, dan
tidak mereka kembalikan, harus ditanggung oleh seluruh rakyat dalam pos
pembayaran utang dalam APBN setiap tahunnya. Tercatat, sekitar 20% -
30% anggaran harus disisihkan dalam APBN untuk pos pembayaran utang.
Sehingga, pemerintah pun mau tak mau harus memangkas pos pengeluaran
lain untuk menghemat APBN, yang sebagian besarnya diambil dari berbagai
pos subsidi kebutuhan publik. Dengan pemangkasan berbagai pos
kebutuhan publik tersebut, sebagai konsekuensinya pemerintah harus
berhadapan dengan masalah kemiskinan yang terus meningkat.
Di pihak lain, sebagian obligor penerima BLBI yang dulu menyatakan
bangkut dan tak bisa melunasi utang-utangnya justru kini telah kembali
berjaya. Bahkan, sebagian mereka berhasil menjadi lebih kaya dibanding

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 263


sebelum krisis, sehingga duduk pada daftar orang-orang terkaya di
Indonesia. Mengingat mereka merupakan pihak-pihak yang turut
menyebabkan dan memperparah krisis, kenyataan ini tentu sangat
menyakitkan.
Hal ini juga jelas sangat merugikan rakyat, karena pada hakikatnya
merekalah yang menanggung beban pembayaran utang obligor melalui
pajak yang mereka bayarkan kepada pemerintah. Artinya, dengan
menyediakan alokasi anggaran untuk pembayaran utang, pemerintah telah
menjadikan rakyat pembayar pajak sebagai pemberi subsidi bagi
para obligor BLBI.
Padahal, seharusnya pemerintah mencari jalan lain untuk membiayai
utang dan bunga obligasi tersebut. Hal itu dapat dilakukan misalnya dengan
memaksimalkan penjualan aset-aset obligor yang masih berada di tangan
pemerintah. Pemerintah seharusnya juga menagih obligor yang masih
mengalami kurang bayar, akibat jumlah aset yang mereka serahkan ke BPPN
lebih kecil bila dibandingkan dengan kucuran BLBI yang diterima.
Pemerintah bahkan seharusnya dapat menghentikan pembayaran bunga
obligasi rekap yang dulunya digunakan untuk menyehatkan bank-bank yang
bangkrut.
Dalam daftar orang terkaya versi Majalah Globe Asia dan Majalah Forbes
Asia, sejumlah nama konglomerat yang dimuat sebagiannya merupakan
nama-nama orang yang pernah menerima Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI). Sebut saja Sudono Salim (Salim Group), Sukanto Tanoto
(Raja Garuda Mas Group), Keluarga Bakrie (Bakrie Group), Sjamsul Nursalim
(Gajah Tunggal) dan beberapa nama obligor BLBI lainnya.
Tak tertutup pula kemungkinan, terdapat sejumlah nama penikmat
BLBI yang tidak tercantum dalam daftar orang terkaya di Indonesia, padahal
mereka memiliki kekayaan yang besar, karena mereka menyembunyikan
jumlah kekayaan mereka yang sesungguhnya. Termasuk pula, mereka yang
tercantum sebagai orang-orang terkaya, namun memiliki jumlah kekayaan
yang lebih besar dibanding dengan angka yang tercantum.
Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah bagaimana para obligor yang
sebelumnya ”mengaku bangkrut” karena menyerahkan seluruh/sebagian
asetnya kepada BPPN untuk melunasi BLBI, kini telah kembali menjadi
orang-orang terkaya di Indonesia hanya dalam waktu kurang dari 8 tahun?

264 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


Apakah ada yang salah dengan mekanisme penyelesaian kasus BLBI?
Bagaimana bisa mereka yang dulunya ”bangkrut” bisa kembali menguasai
perusahaan-perusahaannya saat ini?
Tentu saja kita tidak bermaksud iri atau curiga dengan keberhasilan
mereka. Namun dengan kerugian negara yang demikian tinggi akibat ulah
sebagian obligor tersebut, kita berharap pemerintah bisa bersikap adil dan
mengambil tindakan tegas. Tindakan tegas terutama perlu dilakukan atas
ditemukannya aset bodong, penggelembungan nilai aset, pengecilan jumlah
kewajiban, dan manipulasi-manipulasi lainnya yang dilakukan obligor.

Profil Konglomerat Penikmat BLBI


l Sebagian besar melanggar hukum pidana (BMPK),
namun dibebaskan
l Sebagian buron ke luar negeri, bahkan ada yang berganti
kewarganegaraan (Singapura) dan dilindungi oleh
pemerintah yang bersangkutan
l Sebagian belum menyelesaikan kewajiban BLBI
l Sebagian menjadi lebih kaya dibanding sebelum krisis
(masuk dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia),
meskipun pernah mengaku bangkrut
l Sebagian diuntungkan oleh dukungan IMF dan pejabat
berkuasa
l Sebagian bekerja sama dan menjadi agen pihak asing
(IMF)

Yang lebih ironis, pembayaran utang-utang obligor melalui penyerahan


aset kepada BPPN, ternyata tidak sebanding (jauh lebih kecil) dengan dana
BLBI yang mereka terima. Bahkan, rata-rata tingkat pengembalian (recovery
rate) dari utang obligor tersebut sangat rendah, yaitu hanya sekitar 20%
hingga 30% saja. Ada juga yang bahkan tak sampai 1% sekalipun!
BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 265
Berikut ditampilkan perbandingan jumlah kewajiban beberapa obligor
kakap, kerugian negara yang mereka timbulkan, dan kekayaan yang mereka
miliki saat ini.
Salim Group
Salim Group (SG) adalah pemilik BCA, Indocement, Indofood dan
beberapa kelompok bisnis lainnya. Pada masa jayanya, pemilik SG, Soedono
Salim, merupakan 'taipan' papan atas di Indonesia. Tetapi begitu krisis
mendera, satu persatu unit usaha Salim rontok.
Ketika terjadi krisis, BCA mengalami rush besar-besaran dari
nasabahnya, sehingga menyebabkan BCA masuk dalam pengawasan BPPN
sebagai bank take over(BTO). Kewajiban SG, sebagai pemilik BCA, kepada
pemerintah diperhitungkan sebesar Rp 52,72 triliun atas BLBI yang
diterimanya.
Karena tidak sanggup membayar utang-utangnya dengan tunai,
sebagian besar utang SG (Rp 52,6 triliun) dibayar dengan penyerahan aset ke
BPPN. Namun, setelah diaudit oleh PricewaterhouseCoopers (PwC), total
aset yang dimiliki SG ternyata ditemukan hanya senilai Rp 21 triliun.

Kewajiban BLBI Salim


Kekayaan Saat Ini
Grup

Kewajiban BLBI: Rp 52,72 T Posisi: peringkat 4 terkaya di


Pembayaran: Rp 19,38 T Indonesia
Recovery Rate: 36,77% Bisnis: tersebar antara lain di
Indonesia, China, Hongkong,
India, Vietnam.

Kerugian Negara: Kekayaan:


Rp 33,33 triliun US$ 2,8 miliar atau
Rp 26,32 triliun

266 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


Pada akhirnya, diperhitungkan total pembayaran yang dilakukan SG ke
BPPN hanya bernilai Rp 19,389 triliun. Pembayaran kewajiban dilakukan
secara tunai (hanya Rp 100 miliar) dan sisanya dengan penyerahan
aset/saham. Sehingga, untuk kasus SG, negara mengalami kerugian senilai
Rp 33,33 triliun.
Dengan manipulasi yang telah dilakukannya tersebut, SG berhasil
mendapat SKL. Pemerintah tidak melakukan tindakan tegas meskipun
sudah ditipu mentah-mentah oleh SG. Saat ini, SG pun telah menjadi orang
terkaya No.4 di Indonesia, dengan kekayaan mencapai Rp 26,32 triliun.
Sukanto Tanoto
Sukanto Tanoto adalah pemilik 33,04% saham Unibank yang menerima
kucuran BLBI sebesar Rp 1,4 triliun saat terjadinya krisis. Unibank
melanggar BMPK dengan nilai pengucuran kredit hingga 51% dengan nilai
mencapai US$ 230 juta. Pengucuran kredit itu dilakukan Unibank terutama
melalui fasilitas Wesel Ekspor Berjangka (WEB) yang kemudian tidak diakui
oleh BI.
Untuk menyiasati kewajiban pembayaran utang BLBI, Sukanto dan 4
pemilik saham Unibank lainnya kemudian mengalihkan kepemilikan saham
mereka di Unibank kepada 16 pihak, sehingga tidak ada lagi pemegang
saham pengendali (PSP). Padahal pengalihan utang bank-bank penerima
BLBI kepada PSP harus dilakukan sesuai dengan mekanisme PKPS untuk
memudahkan proses penyelesaian. Dengan cara tersebut (memecah
kepemilikan sahamnya di Unibank), Sukanto bebas dari tanggungjawab
untuk membayar kewajiban utang BLBI.
Meski demikian, atas penyimpangan BLBI yang dilakukannya melalui
Unibank, Sukanto pernah dilaporkan oleh sebuah LSM (Komite
Pemberantasan Korupsi) ke Mabes Polri dengan tuduhan tindak pidana
korupsi atas fasilitas BLBI sebesar Rp 1,4 triliun, plus WEB senilai Rp 2,3
triliun (merupakan konversi dari wesel senilai US$ 230 juta). Penuntutan itu
dilakukan atas dasar Sukanto pernah menandatangani surat pernyataan dan
kesanggupan (SPK) di hadapan notaris Hin Hoo Sing, notaris publik yang
berdomisili di Singapura, yang menyatakan kesanggupan Sukanto untuk
menyelesaikan kewajiban yang timbul akibat adanya selisih antara aktiva
Unibank dan realisasi pengembalian nasabah. Selain itu, Sukanto juga

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 267


menyatakan kesediaan untuk membayar pesangon karyawan Unibank yang
di PHK.
Pada kenyataannya, Sukanto kemudian hanya membayar utangnya
sebesar US$ 11,5 juta dan Rp 430,5 miliar kepada pemerintah (melalui
BPPN) dari hasil penjualan saham. Sehingga, Sukanto masih mengalami
kekurangan bayar sebesar Rp 3,1 triliun.

Kewajiban BLBI Kekayaan Saat Ini

Kewajiban: BLBI Rp 1,4 Posisi: peringkat 6 terkaya di


triliun + Wesel Eksp or US$ Indonesia
230 juta = Rp 3,56 triliun Bisnis: Tersebar antara lain di
Pembayaran: Rp 538,6 Indonesia, China, Brazil,
miliar Malaysia, Finland.

Kerugian Negara: Kekayaan: US$ 1,3 miliar


Rp 3,02 triliun atau Rp 12,2 triliun

Kini, Sukanto sudah kembali sukses, dengan menduduki peringkat 6


orang terkaya di Indonesia. Jumlah kekayaannya tercatat mencapai Rp 26,32
triliun. Sukanto sukses, atas bantuan yang dinikmatinya dari negara melalui
BLBI, lalu kemudian meninggalkan kewajiban pembayaran sisa utang-
utangnya kepada pemerintah (yang kemudian mengambilnya dari pajak yang
dibayarkan rakyat).
Sjamsul Nursalim
Melalui BDNI, Sjamsul Nursalim memperoleh kucuran BLBI sebesar
Rp 30,9 triliun. Setelah diperhitungkan dengan nilai asetnya, kewajiban yang
harus dibayarkan Sjamsul kepada pemerintah adalah sebesar Rp 28,41
triliun.
Dari penerimaan pembayaran tunai dan penyerahan aset yang dilakukan
Sjamsul, BPPN hanya memperoleh nilai pembayaran sebesar Rp 4,92 triliun

268 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


(recovery rate 17,36%). Artinya, negara dirugikan sekitar Rp 23,49 triliun dari
penyelesaian kasus BLBI Sjamsul.
Kini, Sjamsul menikmati hidupnya di Singapura dengan memegang
predikat orang terkaya nomor 21 di Indonesia dan mencatatkan total
kekayaan sekitar Rp 4,18 triliun.

Kewajiban Sjamsul Kekayaan Saat Ini

Kewajiban: Rp 28,41 triliun Posisi: Peringkat 21 terkaya di


Pembayaran: Rp 4,92 triliun Indonesia
Recovery Rate: 17,36% Bisnis: Tersebar antara lain di
Indonesia, China, Singapore,
Hongkong, dsb.

Kerugian Negara: Kekayaan: US $ 445 juta


Rp 23,49 triliun atau Rp 4,18 triliun

Atang Latief
Atang Latief memiliki kewajiban sebesar Rp 447,45 miliar berdasarkan
APU Awal yang ditandatangani. Namun, pemerintah hanya menerima
pembayaran kewajiban sebesar Rp 134,75 miliar (recovery rate 30,11%) dari
Atang, sehingga negara dirugikan sekitar Rp 312 miliar. Saat ini, Atang
masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia (peringkat 94) dengan
kekayaan sekitar Rp 1 triliun.

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 269


Kewajiban Atang Latief Kekayaan Saat Ini

Kewajiban:Rp 447,45 miliar Posisi: peringkat 94 terkaya di


Pembayaran:Rp 134,75 miliar Indonesia
Recovery Rate: 30,11% Bisnis: Tersebar antara lain di
Indonesia, China, Singapore,
Hongkong,.

Kerugian Negara: Kekayaan: US $ 110 juta


Rp 312,7 miliar atau Rp 1,03 triliun

Usman Admadjaja
Usman Admadjaja adalah pemilik Bank Danamon yang mempunyai
kewajiban utang sebesar Rp 12,53 triliun berdasarkan perjanjian PKPS
MRNIA. Dari dana tunai dan aset yang diserahkan, BPPN hanya
memperoleh pembayaran sebesar Rp 1,095 triliun dari Usman. Sehingga,
negara dirugikan sebesar Rp 11,30 triliun. Sementara, Usman termasuk
dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan Rp 799 miliar.

Kewajiban Usman Kekayaan Saat ini

Kewajiban: Rp12,53 triliun Posisi: Peringkat 117 terkaya di


Pembayaran:Rp 1,095 triliun Indonesia
Recovery Rate: 15,21% Bisnis: Tersebar antara lain di
Indonesia, China, Singapore,
Hongkong.

Kerugian Negara: Kekayaan: US$ 85 juta


Rp 11,3 triliun atau Rp 799 miliar

270 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


Uraian di atas sekiranya dapat menunjukkan sebagian profil obligor
BLBI yang kini kembali sukses sebagai orang-orang terkaya di Indonesia,
padahal belum menyelesaikan kewajibannya secara utuh kepada negara.
Mereka hidup merdeka, bebas, dan bergelimang harta, tanpa adanya upaya
serius pemerintah dalam menuntut pengembalian uang negara yang mereka
nikmati.
Sementara itu, di sisi lain, kita menyaksikan penduduk miskin terus
bertambah jumlahnya dengan tingkat kesulitan hidup yang juga kian
meningkat. Negara “dengan terpaksa” harus mengurangi subsidi berbagai
kebutuhan publik (sebagaimana hal tersebut merupakan kewajiban
pemerintah), karena keterbatasan dana yang sebagiannya tersedot oleh
beban pembayaran utang yang ditinggalkan oleh para pengemplang BLBI!
Boks berikut akan menjelaskan curamnya jurang yang memisahkan
kedua golongan masyarakat tersebut: para pengusaha pengemplang BLBI di
satu sisi, dan kehidupan rakyat miskin di sisi lain. Dapat kita nyatakan, kedua
kondisi ekstrim tersebut tak akan pernah dapat tereduksi sepanjang tidak
ada keadilan dan tindakan korektif atas penyelesaian kasus BLBI dan juga
kasus-kasus korupsi lainnya di Indonesia.

Mereka yang Kaya dan Miskin di Indonesia

l Total kekayaan 150 orang terkaya di Indonesia :


US$ 46,6 miliar atau Rp 438 triliun
l Nilai kekayaan 150 orang terkaya tersebut sama
dengan :
o Total pendapatan 37,17 juta orang miskin
berpenghasilan Rp 167.000/bulan selama 5,7 tahun
o Total pendapatan 70 juta orang miskin
berpenghasilan US$ 1/hari selama 2 tahun

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 271


Negara mempunyai kewajiban untuk menghapus kemiskinan dengan
melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak rakyat. Untuk itu
pemerintah harus menyiapkan dana yang cukup dalam APBN. Namun
dana APBN yang dapat dialokasikan demikian kecil untuk kebutuhan
pengentasan kemiskinan yang begitu besar.
Dengan anggaran yang terbatas tersebut, negara masih harus
mengalokasikan dana yang jauh lebih besar untuk membayar pokok dan
bunga utang akibat skandal BLBI. Padahal sebagian obligor BLBI ini adalah
pelaku tindak pidana yang telah menggelapkan dana masyarakat dan
membobol banknya sendiri, termasuk menggelembungkan dan
menggelapkan aset/sahamnya dalam rangka memenuhi kewajiban
utangnya.
Belakangan, para obligor memperoleh SKL (release and discharge/R&D)
dari oknum-oknum penguasa yang korup, sehingga bebas dari segala
gugatan pidana. Kini, sebagian dari mereka telah kembali kaya raya dengan
meninggalkan beban utang kepada negara hingga puluhan tahun yang akan
datang. Dengan demikian, para obligor dan oknum pejabat yang ikut
membantu memuluskan jalan mereka, telah menikmati kekayaan dan
kesejahteraan di atas jutaan orang miskin yang hidup sengsara.
Pada uraian selanjutnya, akan dibahas sekelumit persoalan kemiskinan
di Indonesia, sebagai masalah yang serius dan nyata dihadapi oleh Indonesia,
sehingga seharusnya menjadi panduan bagi pemerintah dalam memutuskan
tiap kebijakan, termasuk memutuskan kebijakan terbaik dan adil dalam
menyelesaikan kasus BLBI.

Kemiskinan
Hari Anti Pemiskinan Sedunia, yang jatuh pada tanggal 17 Oktober
2007, diperingati secara luas di seluruh dunia, termasuk di Jakarta dan
berbagai daerah di Indonesia. Peringatan umumnya dihadiri oleh ribuan atau
bahkan puluhan ribu orang yang turun ke jalan, pusat-pusat keramaian atau
lapangan terbuka. Penyelenggaraan kampanye anti pemiskinan ini antara
lain dimaksudkan untuk menggalang kebersamaan dan dukungan
masyarakat luas demi penghapusan kemiskinan dalam rangka mencapai
tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs).

272 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


Indonesia sendiri termasuk 1 dari 189 negara yang mencanangkan tekad
mengurangi jumlah penduduk miskin berpendapatan US$ 1/hari menjadi
setengahnya antara tahun 1990 hingga 2015. Hal ini dilakukan mengingat
jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk yang terbesar di dunia.
Seperti diketahui, dampak terbesar dari krisis ekonomi 1997 adalah
meningkatnya jumlah penduduk miskin sebesar 45,5%, dari 34,01 juta jiwa
(9,42 juta jiwa di perkotaan dan 24,59 juta jiwa pedesaan) pada tahun 1996
menjadi 49,5 juta jiwa (17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di
pedesaan) pada tahun 1998 (Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas).
Setelah krisis 10 tahun berlalu, jumlah penduduk miskin pun masih tetap
tinggi, yaitu sebesar 37,17 juta jiwa, yang tersebar di wilayah perkotaan
sebesar 13,56 juta jiwa dan di pedesaan sebesar 23,61 juta jiwa (BPS, Maret
2007).
Artinya, segera setelah krisis, Indonesia masuk kembali ke dalam
kategori negara miskin. Hal ini terlihat dari penurunan GDP perkapita
Indonesia yang turun dari US$ 1.266,912 pada tahun 1996, menjadi US$
1.185,990 pada tahun 1997 dan menjadi US$ 512,993 pada tahun 1998.
Berdasarkan pengelompokan yang dilakukan oleh Bank Dunia, GDP
perkapita sebesar US$ 765 dikelompokkan sebagai low income country.
Sehingga, Indonesia selama dua periode, tahun 1998 dan 1999 masuk ke
dalam low income country, meskipun mulai tahun 2000 GDP perkapita
Indonesia naik kembali.
Selain meningkatnya kemiskinan, ongkos terbesar krisis ekonomi
adalah membengkaknya beban pemerintah untuk membayar pokok dan
bunga utang, baik luar maupun dalam negeri akibat penerbitan surat utang
negara (SUN). Penerbitan SUN dan obligasi pemerintah disebabkan
pemerintah tidak mempunyai dana cash untuk mengatasi kesulitan keuangan
yang dialami perbankan saat terjadinya krisis.
Kesulitan likuiditas yang dialami perbankan saat krisis juga membuat
pemerintah mengucurkan BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, yang kemudian
diikuti dengan pengucuran obligasi rekapitalisasi untuk memperkuat modal
perbankan sebesar Rp 431,6 triliun. Hal ini dilakukan melalui penerbitan
Surat Utang Negara (SUN) dan obligasi. Khusus untuk obligasi rekap, yang
akan berlaku hingga (paling tidak) tahun 2021, diperkirakan pemerintah
harus mengeluarkan dana untuk membayar bunga sebesar Rp 600 triliun

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 273


selama 10 tahun atau Rp 1.400 triliun selama 20 tahun, dengan tingkat suku
bunga 12%-14% per tahun.
Sebagai catatan, jumlah obligasi yang sudah diterbitkan oleh pemerintah
hingga akhir Mei 2003 adalah sebesar Rp 640 triliun. Sedangkan, jumlah
bunga obligasi yang telah dibayarkan oleh pemerintah sebesar Rp 266,778
triliun sejak tahun 1998 sampai 2004.
Di sisi lain, akibat membengkaknya pembayaran kewajiban dan bunga
utang, pemerintah harus mengurangi beberapa pos anggaran yang
dikeluarkan bagi rakyat, termasuk untuk pendidikan dan kesehatan.
Meskipun mungkin terdapat perdebatan atas terjadinya penurunan
anggaran kesejahteraan publik di tingkat makro, namun kian beratnya beban
yang ditanggung masyarakat (khususnya pada sektor pendidikan dan
kesehatan) di tingkat praktik sangat bisa dirasakan dengan nyata. Hal ini
antara lain terlihat dengan menghilangnya program pos pelayanan terpadu
(Posyandu), naiknya biaya berobat pada rumah sakit rumah sakit
pemerintah, naiknya biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri (setelah
status mereka berubah menjadi badan hukum milik negara/BHMN), dan
terus melambungnya harga BBM dan listrik (yang sebagiannya disebabkan
penurunan alokasi subsidi, selain adanya kenaikan harga minyak mentah
secara global).
Sehingga, untuk konteks Indonesia, kampanye penghapusan
kemiskinan sebenarnya lebih tepat dialamatkan kepada para elit
pemerintah. Karena, pada kenyataannya, merekalah pihak yang telah
melahirkan berbagai kebijakan yang merugikan rakyat dan menyebabkan
meningkatnya kemiskinan. Kebijakan yang memiskinkan rakyat itu salah
satunya ditunjukkan oleh kebijakan BLBI, mulai dari pengucuran hingga
penyelesaiannya. Pengucuran dan penyimpangan BLBI membuat negara
harus berutang, mengalokasikan anggaran lebih besar untuk mencicil
pembayaran utang, dan sekaligus mengurangi alokasi anggaran publik
(termasuk biaya pengentasan kemiskinan) dalam APBN.
Oleh sebab itu, hal mendasar yang harus dilakukan pemerintah untuk
mengentaskan kemiskinan adalah menetapkan kebijakan yang adil terkait
BLBI, dan para obligornya, serta menjalankan APBN yang memihak rakyat,
bukan sebaliknya, yaitu justru memberikan aneka subsidi kepada obligor.

274 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


Presiden SBY dalam kampanyenya pernah menyatakan bahwa jika
terpilih maka pemerintahannya akan mengurangi jumlah orang miskin
menjadi 8% dalam waktu 5 tahun masa jabatannya. Dalam RPJM 2006-2011
juga disebutkan bahwa target penduduk miskin pada tahun 2015 adalah
8,2%. Namun, dengan kondisi kemiskinan yang ada saat ini, janji SBY itu
nampak kian menjadi angan-angan belaka. Apalagi, terjadi pula gejolak
ekonomi global dan kenaikan harga minyak yang akan turut mempengaruhi
laju perekonomian tanah air. Barangkali, kalaupun pemerintah hendak
memaksakan turunnya jumlah penduduk miskin, hal itu hanya dapat
dilakukan dengan menurunkan lagi batas garis kemiskinan (yang
sebenarnya kini sudah rendah, yaitu sekitar Rp 5.500/hari), misalnya
menjadi Rp 3.500/hari. Artinya, seseorang harus benar-benar hidup melarat
(seperti makan hanya satu kali sehari) untuk diakui sebagai orang miskin di
Indonesia. Suatu hal yang sebenarnya merupakan bentuk pembohongan
publik dan diri sendiri, yang dilakukan sekedar untuk tidak terlihat gagal
mengentaskan kemiskinan.
Berikutnya, akan diuraikan berbagai hal terkait kemiskinan, termasuk
profil, data statistik, latar belakang, dampak, serta berbagai kepentingan
yang melingkupinya.

Definisi Kemiskinan
Definisi mengenai kemiskinan amat beragam. Beberapa lembaga
mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Yang lain mengartikan lebih luas dengan memasukkan dimensi-dimensi
sosial dan moral. Selain itu ada juga yang menafsirkan kemiskinan sebagai
ketidakberdayaan sekelompok masyarakat di bawah suatu sistem
pemerintahan yang menyebabkan mereka berada pada posisi yang sangat
lemah dan tereksploitasi. Yang terakhir ini dikenal dengan sebutan
kemiskinan struktural.
Namun, secara umum, ketika orang berbicara mengenai kemiskinan,
maka yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini
seseorang dikategorikan miskin apabila tidak mampu memenuhi standar
minimum kebutuhan pokoknya agar dapat hidup secara layak. Karena itu,
kemiskinan jenis ini disebut dengan kemiskinan konsumsi.

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 275


Sementara, Bank Dunia juga memberi definisi sendiri tentang
kemiskinan, yaitu, ”Kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan pada
taraf hidup manusia yang bisa berupa fisik dan sosial”. Kekurangan fisik
adalah ketidakcukupan kebutuhan dasar materi dan biologis (basic material
and biological needs), termasuk kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan
perumahan. Sedangkan, ketidakcukupan sosial adalah adanya resiko
kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri
yang kurang.
Tetapi apakah mendefinisikan orang miskin hanya dari sudut
pemenuhan konsumsi saja sudah cukup? Jawabnya tentu tidak. Definisi ini
mungkin masih berguna dan akan terus digunakan untuk mengukur
kemajuan tingkat kesejahteraan material, akan tetapi juga sangat tidak
memadai. Pengertian ini sering tidak berhubungan dengan definisi
kemiskinan yang dimaksud oleh orang miskin itu sendiri sehingga tidak
cukup mampu memahami realitas kehidupan dari sudut pandang mereka.
Pengertian ini juga dapat menjerumuskan kepada kesimpulan yang salah
bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan
makanan yang cukup.
Padahal, kemiskinan tidak hanya terkait dengan ketidakmampuan dalam
memenuhi kebutuhan material dasar, tetapi juga terkait erat dengan berbagai
dimensi lain kehidupan manusia, seperti kesehatan, pendidikan, jaminan
masa depan, dan peranan sosial. Oleh karena itu, kemiskinan hanya dapat
dipahami secara utuh apabila dimensi-dimensi lain dari kehidupan manusia
tersebut juga diperhitungkan.
Kemiskinan dalam pengertian ini misalnya diajukan oleh Armartya Sen.
Dalam buku berjudul Development as Freedom, Sen mendefinisikan kemiskinan
sebagai capability deprivation, yaitu kemampuan untuk mengakses hak-hak
dasar seperti memperoleh layanan yang pendidikan kesehatan, sumber daya
finansial dan kegiatan ekonomi produktif, kebebasan, dan berpartisipasi
dalam penetapan kebijakan publik.

Fakta dan Statistik Kemiskinan


Kemiskinan tidak dapat dipahami hanya dari angka-angka tentang
jumlah orang dengan tingkat konsumsi kurang dari “garis kemiskinan”.

276 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


Karena, pada kenyataannya, kemiskinan memiliki berbagai dimensi
sehingga pengukurannya jauh lebih lebih rumit dari itu.
Badan Pusat Statistik (BPS), menggunakan 14 variabel/kriteria untuk
mengkategorikan penduduk miskin. Variabel-variabel atau kriteria-kriteria
itu adalah: luas lantai bangunan; jenis lantai bangunan yang digunakan; jenis
dinding yang digunakan; ada tidaknya jamban/toilet; ada tidaknya sumber
penerangan rumah tangga; sumber air minum; jenis bahan bakar yang
digunakan untuk memasak sehari-hari; jumlah kosumsi daging, susu, ayam;
pengeluaran untuk pembelian sandang; tingkat konsumsi makanan;
pengeluaran untuk kesehatan; jumlah penghasilan kepala rumah tangga
dalam sebulan; tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga; dan
jumlah tabungan yang dimiliki. Seseorang akan dikategorikan miskin oleh
BPS jika memenuhi minimal 8 dari 14 kriteria/variabel tersebut.

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 277


Profil Orang Miskin Indonesia Versi Bappenas & BPS
(Versi Maret 2007)

Pendapatan: Rp 167.000/bulan/orang; atau Rp 5.500/hari/orang

Rumah: kurang dari 8 m2; lantai tanah/bambu; dinding bambu/rumbia

Jamban/toilet: Tidak ada

Penerangan: lampu'teplok' (minyak), tanpa listrik

Sumber air: sumur/air hujan

Bahan bakar memasak: kayu/minyak tanah

Makan: 1 atau maksimum 2 kali/hari

Konsumsi : daging/ayam/susu sebanyak 1 kali/minggu

Asupan Kalori: 2100/hari

Pakaian: membeli satu stel/tahun

Kesehatan: tidak sanggup membayar biaya pengobatan puskesmas

Pendidikan tertinggi: maksimum SD

Sumber penghasilan kepala rumah tangga: < Rp 600.000/bulan

Tabungan: Tidak ada

=================================

· Jumlah penduduk miskin di Indonesia dengan profil seperti di


atas tercatat sekitar 37.170.000 jiwa atau hampir dua kali
lipat jumlah pendudukAustralia

278 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


Meski tidak dapat menggambarkan secara menyeluruh kondisi
penduduk miskin, data dan statistik tentang kemiskinan penting untuk
diperhatikan. Dengan angka dan statistik, akar masalah dan persoalan
kemiskinan dapat dipahami secara mendasar, sehingga selanjutnya dapat
disusun konsep dan program konkret yang tepat untuk pemecahannya.
Dalam konteks ini, perlu dialamatkan koreksi atas pernyataan Presiden
SBY pada sidang paripurna di DPD tanggal 23 Agustus 2007. Saat itu,
Presiden mengatakan bahwa persoalan kemiskinan dan pengangguran
bukanlah permasalahan statistik dan angka, melainkan persoalan yang
menyangkut kondisi kehidupan rakyat yang harus dihadapi bersama oleh
pusat dan daerah. Perlu disadari, meskipun persoalan kemiskinan harus
ditangani secara subtantif dan mendasar, namun penanganan itu hendaklah
berangkat dari angka-angka statistik akurat yang menjadi dasar penetapan
kebijakan dan program, sehingga tindakan yang diambil juga memiliki
ketepatan dan akurasi.
Dengan definisi dan standar kemiskinan yang berbeda-beda, akan
terdapat statistik yang berbeda pula tentang angka kemiskinan di Indonesia.
BPS menggunakan asumsi pendapatan Rp 167.000/bulan (= US$ 0,6/hari)
sebagai garis kemiskinan. Berdasarkan standar ini saja, yang sebenarnya jauh
di bawah standar Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia telah
mencapai 37,17 juta orang (sesuai data BPS Maret 2007).
Sedangkan, asumsi pendapatan orang miskin versi PBB dalam MDG's
adalah sebesar US$ 1/hari (sekitar Rp 275.000/bulan) dan versi Bank Dunia
sebesar US$ 2/hari atau sekitar Rp 550.000/bulan. Dengan demikian, jika
standar PBB yang digunakan, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia
menjadi 70 juta orang. Jumlah tersebut menjadi lebih besar lagi, yakni 120
juta orang, jika standar Bank Dunia yang dipakai. Artinya, baik berdasarkan
standar Bank Dunia maupun PBB, akan diperoleh fakta bahwa lebih dari
setengah penduduk Indonesia tergolong miskin!
Dengan selisih yang demikian jauh, menarik untuk mempertanyakan
dasar pengkategorian orang miskin yang dilakukan oleh BPS. Apakah yang
digolongkan sebagai manusia menurut Bank Dunia dan PBB
berbeda dengan yang ”dikriteriakan” oleh BPS? Kalaupun kriteria
orang miskin versi Bank Dunia dan PBB dianggap terlalu tinggi, apakah
layak BPS menurunkannya menjadi hanya sepertiganya?

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 279


Mudah-mudahan pengecilan dan penyembunyian angka ini dilakukan
bukan karena ”pesanan” atau sekedar untuk menjaga citra pemerintah.
Faktanya, dengan berbagai definisi kemiskinan dan juga acuan kriteria Bank
Dunia, diyakini jumlah orang miskin di Indonesia adalah sebesar paling tidak
70 juta jiwa. Bagaimanapun, perlu diingatkan bahwa objektifitas dan
akurasi angka/statistik merupakan hal penting, terutama sebagai dasar
bagi penetapan program dan solusi yang efektif.
Disamping jumlah penduduk miskin yang demikian besar, yakni paling
tidak 70 juta orang (atau lebih banyak dari jumlah penduduk Inggris atau
Prancis), kita perlu pula memperhatikan berbagai statistik terkait
kemiskinan dan keterbelakangan dalam aspek wilayah, pendidikan,
kesehatan, tempat tinggal, dan sebagainya. Seperti misalnya kenyataan
bahwa kantung-kantung kemiskinan terdapat di 42.000 desa dari 66.000
desa yang ada, 1,4 juta anak usia sekolah terpaksa putus sekolah, serta 50%
penduduk Indonesia tinggal di rumah yang tidak layak huni (selengkapnya
lihat boks).

280 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


Potret Kemiskinan di Indonesia

Kuantitas dan Sebaran


· 37,17 juta orang hidup dengan pendapatan kurang dari US$
0,6/hari dan 70 juta orang hidup dengan pendapatan kurang dari
US$ 1/hari
· 630.000 orang miskin hidup di Jakarta sebagai Ibukota Negara
· Lebih dari 120 juta orang Indonesia hidup di bawah standar
kesejahteraan sapi, sapi di Eropa menerima subsidi US$ 2,5/hari
oleh Uni Eropa
· 23,61 juta orang miskin tinggal di desa, 13,56 juta orang tinggal di
kota
· 42.000 dari 66.000 desa yang ada dikategorikan sebagai desa
miskin
· 190 dari 440 kabupaten/kota dihuni penduduk miskin
· Terdapat seluas 56.000 hektar kawasan kumuh di perkotaan
Indonesia

Tempat Tinggal dan Konsumsi


· 3,5 juta anak Indonesia berstatus terlantar
· 50% penduduk tidak mempunyai rumah layak huni
· 17 juta keluarga Indonesia tinggal di kawasan kumuh padat
penghuni
· 40.000 anak jalanan hidup di Jakarta
· 1 diantara 5-6 orang kelaparan setiap hari
· 307 dari 100.000 ibu yang melahirkan meninggal dunia
· 2-4 dari 10 anak balita di 72 kabupaten menderita busung lapar
· 2,3 juta anak balita menderita gizi buruk dan 1,67 juta menderita
busung lapar

Pendidikan dan Pekerjaan


· 24 juta orang (10,4% dari total penduduk) adalah buta huruf
· 1,4 juta anak usia sekolah terpaksa tidak sekolah
· 4,18 juta anak usia sekolah putus sekolah dan menjadi pekerja
· Lebih dari 70% orang miskin hidup sebagai petani
· 13,6 juta petani hanya mempunyai lahan di bawah 0,5 ha
· Sekitar 10% angkatan kerja, atau 10,55 juta orang adalah
pengangguran

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 281


Kesulitan rakyat miskin juga meningkat dengan dicabutnya subsidi
dalam beberapa bidang. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) misalnya,
program pelayanan kesehatan bagi keluarga kurang mampu ini sempat
ditiadakan karena keterbatasan anggaran, padahal sangat dibutuhkan
masyarakat (kini sudah kembali bergulir). Selain itu, biaya pelayanan dan
berobat di rumah sakit milik pemerintah juga dinaikkan. Akibat
pengurangan subsidi pada beberapa pos kesehatan ini, beberapa kasus
penyakit yang sempat hilang selama beberapa tahun seperti busung lapar
(gizi buruk) dan polio kembali muncul di sejumlah daerah.
Selain kesehatan, pelayanan pemerintah dalam bidang pendidikan juga
dikurangi sehingga mengakibatkan biaya pendidikan menjadi mahal. Biaya
tinggi terutama dirasakan oleh pelajar yang melanjutkan pendidikan di
perguruan tinggi negeri (PTN). Biaya kuliah di PTN yang relatif terjangkau
saat sebelum krisis, mendadak menjulang berkali-kali lipat pasca krisis. Hal
ini terjadi karena status PTN yang sebelumnya negeri (dibiayai pemerintah),
berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang bersifat
otonom, termasuk dalam mengusahakan dan mengelola biaya pendidikan.
Dampaknya, pihak perguruan tinggi membebankan biaya pendidikan
seluruhnya (atau hampir seluruhnya) kepada siswa, sehingga menjadi sangat
tinggi.
Disamping itu, keterbatasan anggaran juga menyebabkan sejumlah
infrastruktur di Indonesia mengalami rusak berat. Jalur kereta api berkali-
kali dilaporkan anjlok akibat rel yang rusak, kapal laut tenggelam karena
sudah tidak laik beroperasi, atau jalan rusak parah sehingga mengakibatkan
meningkatnya jumlah kecelakaan kendaraan bermotor.
Uraian di atas menunjukkan betapa parahnya keterbelakangan dan
kesengsaraan yang dialami oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Perlu
pula kembali diingat bahwa angka-angka penduduk miskin yang kita terima
selama ini dari pemerintah diukur dengan standar yang sangat minimum,
meski hal itu pun jumlahnya sudah signifikan untuk ditangani secara
terencana, komprehensif, cermat, terintegrasi, berkeadilan dan
berkesinambungan. Bagaimana jika standar kemiskinan yang digunakan
adalah standar PBB atau Bank Dunia?

282 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


Peran Negara, Globalisasi, dan Pemiskinan
UUD 1945 antara lain mengamanatkan bahwa setiap orang dan anak
berhak hidup dan mempertahankan kelangsungan hidupnya (Pasal 28A dan
28B); mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapat
pendidikan, memperoleh manfaat dari berbagai kemajuan demi
kesejahteraan (28B); memperoleh perlindungan, kepastian dan perlakuan
hukum yang adil (28D); berhak untuk bekerja dan mendapat imbalan yang
adil dan layak (28D); dan hidup sejahtera lahir batin dan bertempat tinggal,
serta memperoleh pelayanan kesehatan (28H). Disamping itu, konstitusi
mengamanatkan pula bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar harus
dipelihara negara, serta negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (Pasal 34).
Meskipun telah nyata tercantum dalam konstitusi, kita justru kerap
menemukan terjadinya pengkhianatan atas amanat itu dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Jangankan menjalankan amanat untuk
segera memenuhi berbagai hak rakyat dan membantu puluhan juta orang
miskin, menghasilkan undang-undang yang mengatur pelaksanaan hak-hak
asasi rakyat dan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin saja (sesuai amanat
pasal 34) tidak mampu dilakukan para penyelenggara negara. Rakyat
dibiarkan terkatung-katung dalam kemiskinan dan kelaparan, padahal, di sisi
lain, pemerintah terus menganggarkan pembayaran bunga obligasi rekap
puluhan triliun untuk membantu bank-bank yang dimiliki para obligor dan
asing. Apa dasar dari kebijakan yang dijalankan penyelenggara negara
tersebut?
Banyak fakta yang menjelaskan bahwa kemiskinan tidak berdiri sendiri
sebagai realitas sepi dan tanpa sebab. Realitas kemiskinan itu ada sebagai
akibat dari sesuatu. Sesuatu itu terutama bukanlah masalah internal si
miskin, tetapi lebih banyak bersumber dari kekuatan eksternal, kekuatan
besar yang berdasarkan kuasa 'wewenang', ataupun kuasa 'modal' yang terus
mendesak mereka ke jurang kemiskinan. Oleh sebab itu, yang sesungguhnya
terjadi adalah proses pemiskinan.
Masalah kemiskinan terutama muncul karena karakter pertumbuhan
ekonomi yang tidak adil dan berkualitas yang justru meningkatkan
ketimpangan. Rakyat menjadi miskin karena sistem ekonomi yang
salah, perilaku KKN, dan kesalahan pengelolaan negara. Kemiskinan

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 283


bertambah akibat tidak jelasnya pengaturan institusi, lemahnya
political will, ketidakberpihakan para pengambil keputusan, serta
dominannya tekanan kepentingan asing dan kaum pemilik modal.
Dalam hal ketersediaan, terdapat cukup banyak makanan di Indonesia
dan dunia untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia sebesar 3500 kalori
per hari, apalagi hanya 2100 kalori seperti yang dikriteriakan BPS. Karena
itu, masalah kelaparan dan kekurangan gizi sesungguhnya bukan terletak
pada kelangkaan makanan, tetapi tidak adanya daya beli. Tidak adanya
pemerataan dan keadilan menambah ketimpangan yang terjadi sehingga
menyebabkan dialaminya kelaparan dan kurang gizi oleh puluhan juta orang.

Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan terjadi karena sistem ekonomi yang salah,
pemerintahan yang salah kelola, dan merajalelanya
praktik KKN.
Kemiskinan bertambah akibat tidak jelasnya pengaturan
institusional, lemahnya political will dan keberpihakan
para pengambil keputusan, serta dominannya tekanan dan
kepentingan asing, penguasa korup dan pemilik modal.
Di bawah ideologi neoliberal, IMF dan Bank Dunia
menjadi penekan pengintegrasian semua negara ke dalam
perekonomian global. IMF dan Bank Dunia
memperangkap banyak negara ke dalam jerat utang dan
sekaligus memaksa dijalankannya program penyesuaian
struktural berupa deregulasi di hampir semua sektor,
liberalisasi ekonomi dan keuangan, perdagangan bebas,
devaluasi mata uang, privatisasi BUMN, dan
pengurangan belanja publik.

Inilah sesungguhnya rangkaian proses pemiskinan


yang dialami Indonesia!

284 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


Secara lebih mendasar, dapat dinyatakan bahwa kemiskinan dan
ketidakadilan tidak terjadi dengan sendirinya tanpa sebab musabab. Ia
merupakan hasil dan konsekuensi dari sejarah panjang penjajahan Barat
selama lebih dari setengah abad. Selama itu pula Barat memaksakan doktrin-
doktrin sosial dan ekonominya ke seluruh dunia. Barat memulai dengan
aneksasi tanah bangsa lain, kolonialisme dan imperialisme, lalu kemudian
dilanjutkan dengan mendorong terciptanya sistem ekonomi pasar (pasar
bebas), budaya konsumerisme, dan paham kapital berupa pendewaan
terhadap uang di atas segala-galanya.
Globalisasi, berupa integrasi semua negara ke dalam sistem ekonomi
dunia tunggal, pada berbagai tingkat, merupakan kelanjutan kolonialisasi.
Oleh sebab itu, globalisasi adalah upaya Barat dan kaum kapitalis untuk
mengambil alih kekayaan dan sumber daya alam dunia, sekaligus membuka
pasar bagi produk-produk mereka.
Untuk ”mengelola” globalisasi, selain menciptakan doktrin
”pembangunan”, Barat mendirikan pula perangkat-perangkat institusi
seperti IMF, Bank Dunia (WB), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan WTO.
Di bawah ideologi neoliberal, IMF dan Bank Dunia menjadi penekan
pengintegrasian semua negara ke dalam perekonomian global. IMF dan
Bank Dunia memerangkap banyak negara ke dalam jerat utang dan sekaligus
memaksa mereka menjalankan program penyesuaian struktural berupa
liberalisasi ekonomi & keuangan, pembukaan pasar domestik &
perdagangan bebas, deregulasi, devaluasi mata uang (untuk ”daya saing),
privatisasi BUMN, dan mengurangi belanja publik (pendidikan, kesehatan,
dan sebagainya). Kondisi ini pula yang dialami Indonesia.
Pemaksaan oleh IMF dan Bank Dunia, serta pelaksanaan program
penyesuaian struktural ( structural adjustment program/ SAP), telah
merendahkan standar hidup, menurunkan upah, menaikkan harga-harga,
dan meningkatkan kemiskinan. Selain memangkas kesejahteraan rakyat,
para penguasa negara-negara berkembang bersedia memberikan
berbagai kesempatan, privilege, dan prioritas kepada investor asing dan pasar
finansial mereka karena telah mendapat utang, ”dukungan” ekonomi,
politis, keamanan dan stabilitas dari IMF, Bank Dunia, dan Barat. Hal inilah
yang telah dilakukan kaum neoliberal di Indonesia sejak orde baru hingga
saat ini.

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 285


Para penguasa telah membuat berbagai kebijakan dan undang-undang
yang pro asing dan tidak berpihak kepada rakyat serta sangat merugikan
negara dalam berbagai sektor kebijakan mencakup ekonomi, keuangan,
perdagangan, pengelolaan SDA (khususnya pertambangan & migas), dan
BUMN. Termasuk pula di dalamnya kebijakan tentang anggaran, utang, dan
pengurangan subsidi (seperti misalnya pengurangan subsidi pupuk yang
memarjinalkan sektor pangan dan pertanian, padahal sektor tersebut
merupakan tempat bergantung hidup 70% rakyat miskin).
Dengan kebijakannya, penguasa justru memberi kesempatan kepada
Freeport di Tembagapura, Exxon di Aceh, Cepu dan Natuna,
Caltex/Chevron di Riau, Inco di Sulawesi, Newmont di Minahasa dan NTB,
dan Beyond Petroleum di Tangguh (Papua) untuk menguras SDA
Indonesia. Para penguasa juga membuat kebijakan yang berpihak kepada
para konglomerat dan bankir nakal berupa pengucuran BLBI dan obligasi
rekapitalisasi perbankan. Kebijakan-kebijakan ini, tak dapat dibantah,
mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi negara.
Keseluruhan kebijakan tersebut juga merupakan proses pemiskinan
rakyat yang sangat nyata. Hal ini terjadi di luar kuasa rakyat miskin, karena
posisi mereka yang lemah dan selalu dimanfaatkan oleh pihak yang memiliki
kekuasaan, wewenang, dan modal.
Demikianlah ”sistematika” pemiskinan itu: dominasi, kolonialisasi, dan
pemaksaan oleh Barat lewat IMF, Bank Dunia, perusahaan multinasional,
dan kaum pemilik modal (baik internasional maupun domestik). Mereka
menjalankan misi ini melalui kerja sama dengan para penguasa yang salah
mengelola negara, tidak adil, pengidap KKN, haus kekuasaan, tidak mandiri,
dan lupa menjaga harga diri.
Orang miskin, disamping karena kesederhanaan keinginannya, juga
tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi kekuatan eksternal ini,
sehingga membuat mereka terpuruk dalam kemiskinannya. Mereka hanya
bisa pasrah menerima keadaan tanpa bisa berbuat apa-apa, meskipun
sesungguhnya hak mereka dijamin oleh UUD 1945.
Kemiskinan bukanlah soal kekurangan sumber daya, melainkan
digenggamnya kendali ekonomi oleh segelintir pihak, mencakup negara-
negara kaya, oknum penguasa korup, perusahaan multinasional, dan para

286 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


pemilik modal lokal/internasional yang melahap habis sumber-sumber
kekayaan dunia tanpa menyisakan bagian untuk mereka yang terpinggirkan.

Program Pemerintah
Diakui bahwa saat ini pemerintah telah menyusun berbagai program
untuk mengatasi kemiskinan yang pelaksanaannya berada dibawah
koordinasi Departemen Pekerjaan Umum. Program dimaksud adalah
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang secara
operasional dilakukan melalui Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) dan Program Peningkatan Kecamatan (PPK).
Untuk tahun 2007, PNPM Departemen PU dianggarkan sebesar Rp 1,7
triliun, sedangkan pada tahun 2008, naik menjadi Rp 2,1 triliun. Meski
demikian, sangat disayangkan 90% anggaran program ini berasal dari utang
kepada ADB, walaupun masa pengembaliannya berjangka waktu 30 tahun.
Disamping itu, juga layak dipertanyakan efektifitas program ini, karena
ternyata sejak P2KP dimulai pada tahun 1999 (Tahap I) hingga saat ini
belum terlihat hasil nyatanya dalam menekan angka kemiskinan.
Pada tahun 2008 mendatang, sama seperti tahun-tahun sebelumnya,
pemerintah juga menyiapkan PNPM dan Jaringan Pengaman Sosial (JPS)
sebagai upaya untuk menekan angka kemiskinan. Kedua program ini
diarahkan untuk menyerap tenaga kerja, antara lain melalui proyek-proyek
pembangunan jalan dan waduk.
Pada tahun 2008, pemerintah juga menargetkan jumlah penduduk
miskin sebesar 37,81 juta orang, atau 17,19% dari 220 juta penduduk.
Sedangkan, pada tahun 2009, target jumlah penduduk miskin adalah 18,8
juta orang. Target-target ini ditetapkan pemerintah ditengah kenaikan harga
minyak dunia dan tidak tercapainya sejumlah target ekonomi nasional.
Pemerintah, melalui Bappenas, untuk tahun 2008 juga memproyeksikan
3 (tiga) skenario garis dan angka kemiskinan, yang dikaitkan dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi sebagai berikut:
· Pertumbuhan 6,6%, garis kemiskinan Rp158.000/bulan: angka
kemiskinan 17,17%;

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 287


· Pertumbuhan 6,8%, garis kemiskinan Rp165.000/bulan: angka
kemiskinan 17,19%;
· Pertumbuhan 6,6%, garis kemiskinan Rp172.000/bulan: angka
kemiskinan 17,21%.
Berdasarkan tiga skenario di atas, terlihat bahwa pada tahun 2008 tidak
diproyeksikan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin, mengingat
tahun ini angka kemiskinan juga sebesar 17,17% atau 37,17 juta orang. Yang
sangat mengherankan adalah bahwa Bappenas tega menggunakan garis
kemiskinan yang sangat rendah, yaitu berkisar pada angka Rp 158.000 Rp
172.000 (atau sama dengan US 0,6/orang/hari!). Garis kemiskinan ini tidak
jauh berbeda atau bahkan lebih rendah dari garis kemiskinan tahun
sebelumnya yaitu Rp 167.000/bulan. Padahal, di sisi lain, kita sama-sama
mengetahui dan mencermati bahwa dalam 2 tahun terakhir, termasuk
perkiraan tahun depan, tingkat inflasi adalah sekitar 6-8% per tahun. Jika
inflasi terjadi, sedang pendapatan stagnan atau malah turun, maka daya beli
masyarakat juga turun. Dengan demikian, dengan adanya inflasi,
angka/garis kemiskinan juga selayaknya naik.
Dari uraian di atas, kita kesulitan memahami apa latar belakang dan
motivasi Bappenas menetapkan rendahnya garis kemiskinan tersebut.
Sejauh ini kita hanya dapat menyimpulkan bahwa pemerintah mencoba
menurunkan angka kemiskinan bukan dengan cara meningkatkan daya beli,
kesejahteraan dan taraf hidupnya, tetapi dengan cara menurunkan garis
kemiskinan agar jumlah rakyat miskin tampak berkurang atau setidaknya
tidak bertambah. Padahal, garis kemiskinan yang digunakan saat ini pun
sudah begitu rendah, bahkan jauh lebih rendah dari standar sapi di Eropa
atau standar PBB yang US$ hanya 1/orang/hari itu (sekitar Rp
270.000/orang/bulan). Dengan demikian, angka kemiskinan turun bukan
karena peningkatan kesejahteraan atau pendapatan tetapi karena standarnya
yang diturunkan. Hal ini, jelas merupakan upaya penurunan kemiskinan
yang bersifat semu dan hanya merupakan bentuk manipulasi citra.
Untuk itu, pada kesempatan ini kita hendak mengingatkan janji Presiden
SBY saat kampanye dahulu bahwa jumlah penduduk miskin akan
diturunkan menjadi 8% selama 5 tahun masa pemerintahannya. Dari realitas
yang ada, nampaknya janji itu akan sulit terealisasi. Karena itu, kita pun
khawatir, langkah yang dilakukan pemerintah untuk mencapai target

288 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


penurunan angka kemiskinan adalah lagi-lagi melalui penurunan standar
garis kemiskinan.

Dampak dan Urgensi Solusi Kemiskinan


Kemiskinan telah menimbulkan memburuknya kualitas hidup, krisis
pangan, gizi buruk, putus sekolah, kebodohan, dan berbagai
keterbelakangan lainnya. Kemiskinan juga menjadi salah satu sumber
malapetaka dan munculnya berbagai masalah sosial yang terjadi di
masyarakat seperti merebaknya kejahatan/kriminalitas, konflik sosial, dan
dekadensi moral. Kemiskinan merupakan penghalang bagi masyarakat
untuk bisa menjalani hidup secara terhormat, bermartabat dan sejahtera.
Terlepas dari program pemerintah yang telah diuraikan di atas, kita
membutuhkan langkah nyata dan penghentian politisasi orang miskin. Kita
menuntut pemerintah untuk jujur menyatakan jumlah penduduk miskin
yang sebenarnya, sekaligus menggunakan standar kriteria kemiskinan yang
lebih manusiawi. Dapat dinyatakan, standar kriteria kemiskinan yang
digunakan oleh pemerintah saat ini bahkan tak sebanding dengan standar
kehidupan ternak sekalipun (ingat subsidi sapi di Eropa yang seharga US$
2,5/ekor/hari).
Yang sesungguhnya dibutuhkan oleh sekitar 120 juta penduduk di
Indonesia hanyalah cukup makan, mampu berobat di puskesmas dan
tempat tinggal yang layak huni. Sementara, di perkotaan, rakyat miskin
hanya butuh tempat berdagang di lapangan terbuka, yang meskipun
kondisinya jauh di bawah standar mal-mal mewah yang mendapat
keistimewaan dari penguasa, namun bebas dari penggusuran dan diizinkan
untuk terus melangsungkan keberadaannya dan menyambung hidupnya.
Pada intinya, rakyat membutuhkan penguasa yang berpihak kepada
orang miskin: APBN yang meningkatkan pemerataan dan memihak rakyat
(dan bukannya konglomerat), penyelenggara negara yang bebas KKN,
birokrat bersih dan bermoral, serta pengusaha yang berperikemanusiaan.
Rakyat sudah bosan dijadikan objek dan diperalat oleh sebagian elit
kekuasaan yang berteriak-teriak mengkampanyekan slogan ”pro wong
cilik”, namun ternyata hanya bertujuan meraih kedudukan dan keuntungan
pribadi dan golongan. Setelah kekuasaan diraih, rakyat miskin dilupakan dan
dibiarkan sendiri menghadapi kesulitan hidup: sekolah mahal, ingin berobat
BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 289
tidak mempunyai uang, dapat beras miskin (raskin) sudah berulat, dan
bahkan untuk mati saja susah mencari lahan!
Indonesia mutlak membutuhkan pemimpin yang visioner, berkarakter,
berani bertindak sesuai kepentingan rakyat, menjadi panutan dalam
kebersamaan dan keprihatinan, tidak peragu, dan pantang bersikap basa
basi. Rakyat telah lelah dengan pemimpin yang memihak kepentingan asing,
investor atau konglomerat, termasuk kepada para pengemplang BLBI.
Rakyat membutuhkan pemimpin yang mengarahkan kerjanya langsung
pada sumber masalah (yaitu antara lain pada penyelesaian kasus BLBI secara
berkeadilan) dan bukannya sibuk bekerja memoles citra untuk
memenangkan dirinya dari satu pemilu ke pemilu yang lain.
Terkait dengan hal itu, kita mengharapkan pemimpin RI setidaknya
dapat menjalankan beberapa agenda penting berikut:
· Merevisi atau bahkan mencabut berbagai kebijakan, undang-
undang, dan peraturan yang menjadi sumber pemiskinan;
· Melaksanakan pembangunan ekonomi, sosial dan politik secara
terencana, komprehensif dan berkesinambungan, terutama bagi
masyarakat miskin;
· Memenuhi hak-hak dasar masyarakat sesuai amanat pasal 28 dan 34
UUD 1945.

Penutup
Kemiskinan merupakan masalah genting dan serius yang kita hadapi.
Jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sangat besar dan
berpotensi menjadi sumber berbagai masalah sosial yang dapat meledak
setiap waktu. Dari satu pemerintah ke pemerintah lain kita dapati bahwa
mereka menjadi objek kampanye para calon penguasa, namun nasib mereka
tidak banyak berubah dan populasinya tetap tinggi. Malah ada penguasa
yang tega ”merekayasa” standar dan kriteria kemiskinan dengan tujuan agar
jumlah mereka terlihat turun atau minimal tidak bertambah.
Sebaliknya, kita mencatat bahwa GDP negara (Rp 3.531 triliun-2007)
dan APBN (Rp 746 triliun-2007) terus meningkat, serta ekonomi juga terus
tumbuh. Namun hal ini terjadi dalam kondisi ketidakmerataan dan

290 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


ketidakadilan. Berdasarkan World Wealth Report 2007, warga superkaya
Indonesia periode 2005-2006 tumbuh 16%, dan berada di tempat ketiga
tertinggi di dunia setelah Singapura (22%) dan India (20%). Hal ini
menunjukkan jumlah warga superkaya di Inodnesia adalah sekitar 20.000
orang. Sedangkan, jumlah orang miskin pada periode yang sama tidak
banyak berubah, berkisar pada angka 37.000.000 orang. Dengan demikian,
kesenjangan antara orang berpunya dengan orang miskin semakin besar.
Orang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin tetap miskin atau
semakin miskin.
Ironisnya, kita juga menemukan ada sekelompok orang kaya yang
terlibat KKN, namun justru mendapat berbagai fasilitas, kemudahan, dan
perlindungan dari penguasa. Melalui manipulasi tersebut, sebagian mereka
bahkan sukses masuk dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia. Itulah
kelompok masyarakat yang membobol uang rakyat lewat BLBI yang
kemudian memperoleh status bebas melalui kebijakan release and discharge
(R&D).
Konstitusi mengamanatkan bahwa negara berkewajiban mengurangi
dan menghapus kemiskinan melalui pemberian santunan dan pemenuhan
hak-hak asasi mereka. Hal ini (seharusnya) dijalankan berdasarkan konsep
dan program yang terencana dan sistemik, serta didukung dengan anggaran
yang cukup. Namun kenyataannya, alokasi dana APBN untuk
menanggulangi kemiskinan masih jauh dari cukup karena anggaran negara
dalam APBN sangat terbatas. Di sisi lain, banyak program yang harus
dibiayai oleh APBN yang kondisinya serba terbatas tersebut. Salah satu
program itu adalah pembayaran pokok dan bunga utang, yang memakan
seperlima hingga seperempat bagian dari porsi APBN.
Yang menyakitkan, sebagian besar utang yang harus dibayar negara
tersebut (yang jumlahnya sangat besar), merupakan warisan dari skandal
KKN kasus BLBI. Tindakan KKN itu dilakukan sejumlah besar obligor
BLBI dengan menggelapkan dana masyarakat, membobol banknya sendiri,
menyerahkan aset-aset bodong, menggelembungkan nilai aset, dan
menggelapkan aset/sahamnya saat pelunasan utang. Atas berbagai tindak
kejahatan tersebut, para obligor ini belakangan malah bebas dari tuntutan
pidana dan memperoleh R&D.

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 291


Saat ini, sebagian mereka telah kembali kaya raya dengan meninggalkan
beban utang kepada negara dan rakyat hingga puluhan tahun yang akan
datang. Tak berlebihan jika kita katakan para obligor tersebut (dengan
bantuan para oknum pejabat yang meringankan beban utang dan
membebaskan mereka), telah menikmati status, kekayaan, dan kesejahteraan
di atas penderitaan jutaan orang miskin yang hidup sengsara.
Memperhatikan parahnya kemiskinan yang terjadi di Indonesia, maka
tidak ada jalan lain bagi kita selain segera melakukan terobosan dan langkah-
langkah besar untuk melakukan perbaikan, sehingga kemiskinan dapat
berkurang dan dampak negatifnya dapat dihindari. Rakyat tidak lagi
membutuhkan janji-janji politik, retorika dan tebar pesona para penguasa.
Yang dibutuhkan adalah makan, pekerjaan, berobat gratis, sekolah murah,
dan rumah untuk menetap. Untuk itu kita menuntut tindakan nyata para
pemimpin, agar berupaya maksimal mengentaskan kemiskinan, bertindak
adil terhadap seluruh lapisan masyarakat, memberantas KKN, menghukum
para penjahat dan pelaku pidana korupsi (termasuk skandal mega korupsi
BLBI), dan bersedia hidup dalam kebersamaan dan keprihatinan.

292 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


Lampiran 1
DAFTAR ORANG TERKAYA DI INDONESIA (Versi Majalah Globe
Asia, Agustus 2007)

No. NAMA PERUSAHAAN KEKAYAAN BISNIS


1. Budi Hartono Djarum $4.2 billion Cigarettes, banking,
property
2. Rachman Halim Gudang Garam $3.5 billion Cigarettes
3. Eka Tjipta Widjaja Sinar Mas $3.1 billion Palm oil, pulp and
paper, finance, property
4. Sudono Salim Salim Group $2.8 billion Food, palm oil,
telecommunication,
property
5. Putera Sampoerna Sampoerna $2.2 billion Cigarettes, casino,
investments
6. Sukanto Tanoto Raja Garuda Mas $1.3 billion Pulp and paper, palm
oil
7. Eddy William Katuari Wings Group $1.1 billion Consumer goods
8. Aburizal Bakrie Bakrie Group $1.05 billion Energy, property,
telecommunication
9. Arifin Panigoro Medco Energy $900 million Energy
10. Hary Tanoesoedibjo Global MediaCom $820 million Media
11. Boenjamin Setiawan Kalbe Farma $650 million Pharmaceutical
12. Martua Sitorus Wilmar Intl Holding $615 million Palm oil
13. Hashim Djojohadikusumo Nations Energy $595 million Energy
14. Mochtar Riady Lippo Group $585 million Proprty, retail,
healthcare
15. Chairul Tanjung Para Group $565 million Banking, media
16. Hasan Djojonegoro ABC $560 million Consumer foods
17. Prajogo Pangestu Barito Pacific $525 million Timber, petrochemicals
18. Edwin Soeryadjaya Saratoga Investama $520 million Mining, insfrastructure
19. Peter Sondakh Rajawali Group $510 million Telecommunication,
cement, hotel
20. Trihatma Haliman Agung Podomoro $505 million Property
21. Sjamsul Nursalim Gajah Tunggal $445 million Tyres, retail, mineral
22. Kartini Mulyadi Tempo Scan Pacific $415 million Pharmaceuticals
23. Osbert Lyman Satya Djaja Raya $400 million Timber, property
24. Paulus Tumewu Ramayana $395 million Retail
25. Tan Siong Kie Rodamas Group $375 million Manufacturing,
Consumer goods
26. Dasuki Angkosubroto Gunung Sewu Group $365 million Property
27. Murdaya Po Berca $350 million Manufacturing, property
28. Sri Praksh Lohia Indorama $345 million Textiles, petrochemical
29. Jan Darmadi Darmadi CoRp $340 million Property

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 293


30. Ciputra Ciputra Development $335 million Property
31. George & Sjakon Tahija Austindo Energy $330 million Energy
32. Teddy P. Rachmat Triputra Group/Adaro $320 million Coal mining,
manufacturing
33. Eddy Sariaatmadja SCTV $305 million Media
34. Gunawan Jusuf Sugar Group $295 million Sugar
35. Sofjan Wanandi Gemala & Santini Group $290 million Manufacturing,
insurance
36. Yos Sutomo Sumber Mas $280 million Timber
37. Eka Tjandranegara Mulia Group $278 million Property, building
materials
38. Sugianto Kusuma Agung Sedayu $275 million Property
39. Alexander Tedja Pakuwon $270 million Property, malls
40. Subianto Tjandra Atedja Group $265 million Textile, leather
41. Thee Nin Khing Argo PantesGroup $260 million Textile, property
42. Burhan Uray Djajanti Timber $260 million Timber
43. Hadi Surya Berlian Laju Tanker $255 million Shipping
44. Benjamin Jiaravanon CP Indonesia $255 million Feed mill
45. Adyansyah Masrin Lautan Luas $250 million Chemicals, paper
46. Sutanto Djuhar First Pacific $250 million China investment
47. Tatang Hermawan Fuji Palapa Textile $250 million Textile
48. Tan Kian Dua Mutiara $245 million Property, textile
49. Handojo Santosa Ometraco $240 million Feed mill, property
50. Henry Onggo Ratu Sayang Group $235 million Property
51. Bachtiar Karim Musim Mas $230 million Palm oil
52. Didi Darwis Ling Brothers $225 million Investment, property
53. Hutomo Mandala Putra Humpuss $220 million Shipping
54. Soetjipto Nagaria Summarecon $213 million Property
55. Mumin Ali Gunawan Panin $210 million Banking, Property
56. Jakob Oetama Kompas Gramedia $200 million Media
57. Kiki Barki Tanito Harum $195 million Coal Mining
58. Tomy Winata Artha Graha Group $185 million Property, Banking
59. Kris Wiluan Citra Mas Group $175 million Petrolium Supplier
60. Dahlan Iskan Jawa Pos $172 million Media
61. Gunawan Tjondro CNI $170 million Consumer goods,
property
62. Rudy Suliawan Mid Plaza $165 million Property
63. Jogi Hendra Atmadja Mayora $163 million Consumer foods
64. Johannes Kotjo Apac Centertex $162 million Manufacturing
65. Bambang Trihatmodjo Global MediaCom $160 million Media
66. Muljadi Budiman Honda Prospect $160 million Automotive
67. Rusdi Kirana Lion Air $160 million Airline
68. Luntung Honoris Modern Group $156 million Property, Fuji film

294 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


69. Rudy Unjoto Daliatex Kusuma $155 million Textile
70. Soedjono Wirasakti Adimulya $150 million Property
71. Soegiharto Sosrodjoyo Sosro $150 million Consumer foods
72. Eddy Tan Bandung Investments $150 million Textile, garments
73. Sugianto Metro Garmen $150 million Textiles
74. A Tong Roda Vivatex $150 million Textiles
75. Aksa Mahmud Bosowa Group $145 million Cocoa manufacturing
76. Mardjoeki Atmadiredja Surya Toto Indonesia $145 million Sanitary wares
77. Sri Sultan Hamengkubuwono Sultan of Yogyakarta $140 million Property
78. Sudhamek Garuda Food $135 million Consumer foods
79. Budi Purnomo Hadisurjo Optik Melawai $132 million Optic chain
80. Cahyadi Kumala Bukit Sentul $130 million Property
81. Basuki Wiwoho Tripatra Engineering $130 million Oil and gas contractor
82. G. Lukman Pudjiadi Jayakarta Group $128 million Property, hotels
83. Jusuf Kalla Hadji Kalla $125 million Heavy industry,
infrastructure
84. Sandy Bingei Sumatera Tobacco $125 million Tobacco company
85. Pontjo Sutowo Nugra Sentana Group $125 million Property, hotels
86. Sigit Harjojudanto Humpuss $120 million Investment
87. Honggo Wendratmo Tirtamas Group $120 million Petrochemicals
88. Soegiarto Adikoesoemo Aneka Kimia Raya $120 million Chemicals
89. Iskandar Widyadi Bank Jasa Jakarta $120 million Banking
90. Tan Tjai Kie Gunung Garuda Steel $113 million Manufacturing, mining
91. Susanto Lim Domba Mas Group $112 million Oleochemical, palm oil
92. Sukamdani Gitosardjono Sahid Group $110 million Property, hotels
93. Sudwikatmono Indika Group $110 million Entertainment
94. Atang Latief Group Atang Latief $110 million Banking
95. GS Margono Gapura Prima $110 million Property
96. Mintarjo Halim Sandratex $110 million Textile
97. Henry Pribadi Napan Group $105 million Investment
98. Surya Djuhadi Nojorono $105 million Cigarettes
99. Soedarpo Sastrosatomo Samudra Shipping $102 million Shipping
100. Alim Markus Maspion Group $100 million Consumer goods
101. Widarto Sungai Budi $98 million Consumer goods
102. Ishack Charlie Kurnia Tetap Mulia $98 million Hotels, shrimp farming
103. A Siang Rusli Kurnia Tetap Mulia $95 million Entertainment, property
104. Pramukti Surjaudaja NISP $94 million Banking
105. Raam Punjabi Multivision Plus $90 million Entertainment
106. Siti Hardijanti Rukmana Citra Lamtoro gung $90 million Investment
107. Beny Suherman Studio 21 $90 million Cinemas
108. Putra Masagung Gunung Agung $90 million Book stores, property
109. Marimut Maniwanen Busana Apparel $90 million Textile

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 295


110. Ibrahim Risjad Risjadson $90 million Investment
111 . Hendro Gondokusumo Dharmala Intiland $87 million Property
112. Dick Gelael Fast Foods Group $86 million Restaurant,
supermarket, mining
contractor
113. Joseph Chuang Petra Foods Group $86 million Consumer foods
114. Mulyadi Gunung Geulis $86 million Golf and country club
115. Joe Kamdani Datacrip $85 million IT, office equipment
116. Usman Admajaya Former Bank $85 million Investment
Danamon owner
117. Kaharudin Ongko Ongko Group $85 million Property, ceramics
118. Benjamin Soeryadjaya Surya Internusa $85 million Property, finance
119. Suryadharma Paloh Indo Cater & Media $82 million Media
120. Djoko Susanto Alfa Retalindo $81 million Retail
121. Husein Sutjiadi Davomas $80 million Cocoa Trading
122. Sandiaga Uno Saratoga Capital $80 million Investments
123. Steven Kusuma Bentoel $78 million Cigarettes
124. Fajar Suhendra Sumatera Growth $76 million Steel
125. Purnomo Chandra Blue Bird $75 million Transportation
126. Husen Lumanta Himalayatex $75 million Textile
127. Setiawan Djody Setdco Group $72 million Shipping
128. Boedi Maranata Jasa Angkasa Semesta $71 million Bird nest
129. Rachmat Gobel Gobel Internasional $70 million Electronics
130. SD Darmono Jababeka $70 million Property
131. Bambang Setijo Pan Brothers $70 million Textile
132. Eddy Tohir Trinugraha Tohir $70 million Media, investment
133. MS Hidayat MSH Group $70 million Property
134. Johannes Siegfried Deli Indah Perkasa $70 million Bird nest
135. Ilham &Tareq Habibie Ilthaby Rekatama $68 million Investment
136. Awong Hidjaya Bank Djasa Artha $67 million Banking
137. Sugiono Wiyono Trikomsel $65 million Electronics
138. Hendro Setiawan Pikko Group $63 million Property
139. Bambang Wiyogo Kuningan Protama $62 million Property
140. Probosutejo Mercu Buana Group $61 million Property
141. Jahja Santoso Sanbe Farma $60 million Pharmaceutical
142. Lesmna Basuki Sejahtera Bank Umum $60 million Banking
143. Frans Siswanto Saka Agung Abadi $58 million Property
144. Harry Harmain Diah AIA Indonesia $57 million Insurance
145. Sudjono Karim Capella Group $55 million Automotive
146. Oei Hong Djien Djarum $53 million Tobacco
147. Suzie Darmawan Body Shop, Centro $52 million Consumer goods
148. Rachmat Mulya Suryahusada Bank Bumi Artha $51 million Banking

296 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


149. Lisa Tirto Utomo Tirta Investama $50 million Investment
150. Ipung Kurnia Hero $50 million Retail

Sumber: Globe Asia (Special Edition), Volume 1 No.7, August 2007

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi / 297


Lampiran 2
Daftar 40 Orang Terkaya Indonesia (Versi Majalah Forbes,
24 Desember 2007)

No. NAMA PERUSAHAAN KEKAYAAN BISNIS


1. Aburizal Bakrie & Keluarga Bakrie Group $5.4 billion Inftruct, mining, tel, etc.
2. Sukanto Tanoto Raja Garuda Mas $4.7 billion pulp and paper, Palm Oil
3. R. Budi Hartono $3.14 billion Cigarettes
4. Michel Hartono Djarum $3.08 billion Cigarettes, banking, property
5. Eka Tjipta Widjaja & family Sinar Mas $2.8 billion Palm oil, finance, etc
6. Putera Sampoerna & family Sampoerna $2.2 billion Cigarettes, casino, etc
7. Martua Sitorus Wilmar Intl Holding $2.1 billion Palm oil
8. Rachman Halim & family Gudang Garam $1.6 billion Cigarettes
9. Peter Sondakh Rajawali Group $1.45 billion Telecom, cement, hotel, etc
10. Eddy W Katuari & Family Wings Group $1.6 billion Consumer goods, Banking
11. Anthoni Salim & family Salim Group $1.3 billion Food, Shipping, Bank, etc.
12. Mochtar riady & family Lippo Group $950 million Property, Retail, Finance
13. Murdaya Poo Berca $900 million Real Estate, Steel, Palm oil.
14. Arifin Panigoro Medco Energy $880 million Energy
15. Hary Tanoesoedibjo Global MediaCom $815 million Media, Real Estate
16. Trihatma Haliman Agung Podomoro $790 million Property
17. Sjamsul Nursalim & family Gajah Tunggal $550 million Tyres, retail, mineral
18. Chairul Tanjung Para Group $450 million Prprty, Energy, finance, etc
19. Paulus Tumewu Ramayana $440 million Retail
20. Prajogo Pangestu Barito Pacific $420 million Timber, petrochemicals
21. Soegiharto S & family Sosro $355 million Consumer foods
22. Sutanto Djuhar & family First Pacific $350 million China investment
23. Hadi Surya Berlian Laju Tanker $345 million Shipping
24. Aksa Mahmud Bosowa Group $340 million Cement, energy, Finance,
25. Harjo Susanto & family Wings $315 million Consumer Goods
26. Soegiarto Adikoesoemo & fml Aneka Kimia Raya $310 million Chemicals
27. Husein Djojonegoro ABC $305 million Consumer foods
28. Kartini Mulyadi Tempo Scan Pacfc. $260 million Pharmaceuticals
29. Edwin Soeryadjaya Saratoga Investama $250 million Mining, insfrastructure
30. Jusuf Kalla Hadji Kalla $230 million Heavy industry, Infstr.
31. Tan Kian Dua Mutiara $225 million Property, textile
32. Ciputra Ciputra Develop. $205 million Property
33. Bambang Trihatmodjo Global MediaCom $200 million Media
34. George & Sjakon Tahija Austindo Energy $195 million Energy, Tobacco, Finnce, Ev
35. Kris Wiluan Citra Mas Group $185 million Petrolium Supplier
36. Eka Tjandranegara & family Mulia Group $170 million Property, building materials
37. Alim Markus & family Maspion Group $140 million Consumer foods
38. Husein Sutjiadi Davomas $135 million Cocoa Trading
39. Jakob Oetama Kompas Gramedia $130 million Media
40. Boenjamin Setiawan Kalbe Farma $120 million Pharmaceutical

298 / BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi


Bab 13
IKHTISAR TENTANG
PENGHANCURAN
KEUANGAN NEGARA

Kwik Kian Gie

Istilah BLBI untuk menggambarkan keseluruhan masalah yang


dihadapi oleh bangsa kita beserta dampaknya yang cukup dahsyat agak
menyesatkan.
BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank yang
sedang menghadapi rush adalah hal yang sangat wajar, bahkan harus. Bank
Indonesia sebagai bank sentral berfungsi sebagai bank of the last resort harus
memberikan bantuannya untuk menghentikan rush.

Pakto dan Kelemahan Pengawasan


Yang merupakan kesalahan fatal ialah kebijakan BI yang
mendahuluinya. Pertama, tentu liberalisasi perbankan yang kita kenal
dengan nama Kebijakan Paket Oktober 1988 atau PAKTO. Liberalisasi ini
menghasilkan ratusan bank yang berhasil menghimpun dana masyarakat
dalam jumlah sangat besar yang dikelola sembarangan.
Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara / 299
Akibatnya banyak bank kalah clearing. Di sinilah cikal bakal kesulitan
yang kita hadapi. Bank yang kalah clearing tidak dihukum oleh BI, tetapi
justru ditolong dengan likuiditas yang dinamakan Fasilitas Diskonto sampai
berkali-kali.

IMF Beserta Kroninya yang Bodoh atau Jahat?


Ketika krisis moneter menimpa Indonesia di tahun 1997, dan kita minta
bantuan IMF, IMF melihat betapa dunia perbankan telah rusak berat.
Namun kerusakan ini tidak diketahui oleh masyarakat, karena laporan
keuangan dari bank-bank yang diumumkan masih dibuat bagus dan sehat.
Dalam kondisi seperti ini, masih bisa diperbaiki secara diam-diam. Tetapi
IMF melakukan kesalahan fatal yang merupakan titik awal dan serentetan
blunder demi blunder yang semuanya didiktekan oleh IMF dan dilaksanakan
secara membabi buta oleh pemerintah Indonesia.
Titik awal tersebut ialah ditutupnya 16 bank tanpa persiapan, sambil
mengatakan bahwa bank-bank ini terlampau rusak sehingga tidak dapat
dipertanggungjawabkan kalau masih dibolehkan beroperasi dan menerima
simpanan dari masyarakat.

BLBI (Bantuan Liquiditas Bank Indonesia)


Para nasabah bank-bank lainnya yang tidak ditutup merasa sangat tidak
aman, karena bagaimana mereka mengetahui bahwa banknya sehat? Maka
terjadilah rush besar-besaran. Ketika ini terjadi, memang tidak ada pilihan
lain kecuali menghentikannya dengan likuiditas berapa saja. Rush dihentikan
dengan mengucurkan dana sebesar Rp 144 triliun. Jumlah uang ini adalah
talangan dari BI kepada bank-bank yang terkena rush. Dipastikan bank-bank
itu tidak mungkin mampu membayarnya kembali. Maka dikonversi menjadi
modal ekuiti. Dengan demikian bagian terbesar atau bahkan 100% dari
modal ekuiti bank-bank swasta beralih ke tangan pemerintah.
Dengan beralihnya (atau disitanya) bank-bank ke tangan pemerintah,
utang para pemilik bank dalam bentuk BLBI sudah lunas dibayar dengan
kepemilikan banknya yang beralih ke tangan pemerintah. Dengan demikian
masalah BLBI selesai. Pemerintah kehilangan uang sebesar Rp 144 trilyun,
tetapi memperoleh kepemilikan banyak bank-bank swasta.
300 / Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara
Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (OR)
Oleh IMF bank-bank ini dinilai rusak dalam berbagai tingkat
keparahannya. Tindakannya ada bank yang ditutup, ada yang disehatkan
dengan cara menyuntik surat utang negara khusus yang dinamakan Obligasi
Rekapitalisasi Perbankan, yang kita kenal dengan singkatannya Obligasi
Rekap (OR). Jumlahnya sangat besar, yaitu Rp 430 trilyun. Kalau setiap
lembar OR dibayar tepat pada waktunya, kewajiban pembayaran bunganya
Rp 600 trilyun per tahun. Ini beban tersendiri yang jauh Iebih besar dari
BLBI.
Setelah bank-bank swasta beralih menjadi milik pemerintah, ternyata
bank-bank ini mempunyai tagihan dalam jumlah sangat besar kepada para
pemiliknya, karena mereka menggunakan dana masyarakat yang
dipercayakan dan dihimpun di dalam banknya untuk memberi kredit kepada
dirinya sendiri. Muncullah tagihan pemerintah kepada mantan pemilik bank.
Jumlahnya sangat besar. Keseluruhannya diperkirakan sejumlah Rp 400
trilyun lagi.

Utang Para Mantan Pemilik Bank Swasta


Para mantan pemilik bank tidak mampu membayarnya dengan uang
tunai. Mereka membayarnya dengan perusahaan-perusahaan dan aset
lainnya. Ketika dijual hanya menghasilkan sekitar 15% sampai 20% dari
keseluruhan jumlah utangnya. Sisanya kerugian pemerintah. Oleh
pemerintah ketika itu dinyatakan wajar bahwa negara yang terkena krisis
merugi sebesar itu.
Namun publik berpendapat lain. Mereka mengetahui adanya salah urus
dan manipulasi dalam skala besar. Maka masalah ini masih mengganjal
sampai saat ini, yang sampai sekarang masih belum selesai ditangani oleb
Kejaksaan Agung.

Resume
IMF dengan gegabah menutup 16 bank. Akibatnya rush besar-besaran
yang membuat BI terpaksa menghentikannya dengan Rp 144 trilyun, yang
notabene banyak yang disalah gunakan.

Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara / 301


Bank-bank yang sudah menjadi milik pemerintah karena konversi
talangan BLBI ke dalam modal ekuiti harus disehatkan atas perintah dan
dengan cara IMF, yaitu menginjeksi dengan surat utang negara yang
dinamakan Obligasi Rekap (OR). Maksudnya meningkatkan kecukupan
modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) sampai menjadi 8% sesuai dengan
ketentuan Bank for International Settlement (BIS) di Swiss.
Bank-bank yang di dalamnya mengandung tagihan kepada pemerintah
dalam jumlah sangat besar ini diharuskan dijual oleh IMF dalam waktu
singkat dan dengan harga berapa saja. Maka pemerintah memperoleh hasil
penjualan bank dalam jumlah kecil, tetapi membayar kepada pemilik baru
utangnya dalam bentuk OR beserta bunganya yang sampai sekarang dan
entah sampai kapan merupakan sekitar 25% dari APBN kita setiap
tahunnya.
Jadi ada tiga macam kerugian negara dalam jumlah besar. Yang pertama
ialah pengeluaran uang untuk menghentikan rush. Ini BLBI sejumlah sekitar
Rp 144 trilyun.
Setelah itu, menginjeksi bank-bank yang sudah menjadi milik
pemerintah dengan OR dengan kewajiban membayar oleh pemerintah yang
keseluruhannya, jumlah pokok dan bunganya sebesar Rp 1.030 trilyun.
Pemerintah yang memiliki bank-bank harus merugi lagi dalam bentuk
tagihannya kepada pemilik bank yang dibayar deng an
perusahaan-perusahaan dan aset lainnya, yang ketika dijual hanya laku
sekitar 20% saja.
Pemerintah menjual bank-bank yang di dalamnya mengandung tagihan
kepada dirinya sendiri dalam jumlah sangat-sangat besar dengan harga
sangat-sangat murah kepada swasta, domestik maupun asing.
Inilah garis besar kebijakan Pemerintah Republik Indonesia yang
didiktekan oleh IMF. Sangat konyol dan sangat bodoh, karena banyak cara
lain yang lebih efisien dan jauh lebih murah. Semuanya dikemukakan oleh
putera-putera terbaik bangsa Indonesia. Tetapi digilas oleh IMF yang
dibantu oleh Tim Ekonomi Pemerintah Indonesia sendiri. Pertanyaannya:
bodohkah, atau sebuah grand design yang sengaja merusak perekonomian
Indonesia?

302 / Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara


Bab 14
MSAA DAN DRAMA
PENERBITAN R & D

Kwik Kian Gie

Sejak awal hukum kita memang sudah diperkosa dan diinjak oleh
Dana Moneter Internasional (IMF) yang didukung sepenuhnya oleh
hampir semua menteri, kecuali satu orang.
Bayangkan, para bankir pengutang BLBI menggunakan uang
masyarakat yang dipercayakan kepada bank miliknya melampaui yang
dibolehkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan. Dalam Pasal 49 Ayat (2) butir (b), Pasal 50, dan Pasal 50A jelas
disebutkan bahwa pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK)
dapat diancam pidana bila ada kesengajaan pihak pengelola bank tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan
bank terhadap ketentuan BMPK.
Namun, IMF memerintahkan untuk menyelesaikannya secara perdata
melalui perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan aset (MSAA) yang
dirancang oleh ahli hukum Amerika yang masih ingusan. Maka, ditulisnya
dalam bahasa Inggris, dan bahasa Inggrisnya juga kacau, tidak profesional.

MSAA dan Drama Penerbitan R & D / 303


Toh MSAA ini yang diberlakukan sampai diberikannya pembebasan
dan pelunasan (release and discharge/R & D) oleh Presiden Megawati.

Drama Penerbitan R&D


Bagaimana caranya sampai Presiden Megawati memberikan R & D juga
melalui tekanan yang luar biasa oleh semua menterinya, kecuali dua orang.
Sebelum itu bahkan ada upaya maha ajaib oleh semua anggota KKSK,
kecuali satu orang. Orang yang satu ini tidak hadir dalam rapat KKSK yang
mengambil keputusan memberikan keringanan luar biasa kepada para
debitor BLBI.
Inti keputusan itu adalah memberi perpanjangan batas waktu buat para
pengutang BLBI dari empat tahun menjadi 10 tahun dan memberi
keringanan tingkat suku bunga menjadi 9 persen dari semula sama dengan
tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Setelah membaca keputusan rapat, satu menteri yang tidak setuju ini
langsung menelepon Presiden apakah beliau mengetahui dan
menyetujuinya. Ternyata tidak. Maka, dikatakan kepada Presiden bahwa
beliau akan mati-matian membatalkannya.
Akibatnya adalah dibawanya keputusan KKSK tersebut ke dalam
sidang kabinet sampai empat kali dengan menghadirkan Kepala BPPN
ketika itu. Dalam empat kali sidang kabinet tersebut terjadi perdebatan yang
sangat sengit antara satu menteri ini dan semua menteri yang
membidanginya.
Ada seorang menteri yang mengatakan supaya jangan main-main
dengan para pengutang BLBI itu karena mereka para konglomerat yang
sudah bermain di Hongkong dan Singapura dengan jaringannya yang luas.
Jadi, mereka sudah merupakan perusahaan multinasional.
Satu menteri penentang itu mengatakan dengan nada sangat tinggi
bahwa VOC sejak tahun 1602 sudah multinasional. VOC yang perusahaan
swasta itulah yang pada awalnya menjajah Indonesia dan baru belakangan
diambil alih oleh Pemerintah Belanda.
Kurang apa kekuatan VOC dan Pemerintah Belanda? Toh dapat
ditumbangkan oleh Bung Karno beserta seluruh pemimpin bangsa

304 / MSAA dan Drama Penerbitan R & D


Indonesia segenerasinya. Demikian pula kurang apa kekuatan Great Britain
yang katanya rules the waves. Toh dapat ditumbangkan oleh Mahatma Gandhi,
Jahawaral Nehru, beserta semua pejuang seangkatannya.
Kok setelah 57 tahun merdeka ada menterinya anak kandung Bung
Karno bersuara begitu, dan dimenangkan pula! Ketika itu Presiden
mempunyai kebiasaan rapat seminggu sekali hanya dengan tiga menkonya,
Panglima TNI, Kepala Polri, dan Jaksa Agung.
Dalam forum itulah Menko Kesra (waktu itu) Jusuf Kalla menggebrak,
menyelesaikan masalah tersebut dengan membatalkannya. Memang sejak
itu sudah terlihat beliaulah pengambil keputusan yang tegas dan berani.
Tentang pemberian R & D, lagi-lagi para menteri itu yang menekan
Presiden Megawati habis-habisan. Pada suatu sore, saya selaku menko
perekonomian waktu itu dihubungi di pesawat seluler, saya disuruh datang
ke kediaman Ibu Mega malam itu juga. Ketika tiba di sana, suasana sudah di-
set up seperti sidang kabinet terbatas.
Ternyata betul, yang dibicarakan adalah bahwa Presiden harus
memberikan R&D. Keesokan harinya saya ke Presiden dan mengatakan
bahwa saya akan membatalkannya. Saya juga memberikan keterangan
kepada pers bahwa tidak benar ada sidang kabinet yang memberi R & D.
Alasannya, karena undangan tertulis tidak ada, agenda tidak ada.
Presiden juga setuju dengan saya. Dalam waktu singkat setelah itu ada sidang
kabinet terbatas yang sesungguhnya. Para menteri ekonomi dengan
argumentasinya menekan Presiden supaya mengambil keputusan
memberikan R&D kepada para debitor BLBI tertentu.
Saya teriak, ”Mati aku!”. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) ketika
itu menanyakan, ”Kenapa?”. Saya menjawab, kalau Presiden menurutinya, ini
akan menjadi gugatan di kemudian hari. Kalaupun tidak oleh badan-badan
yang resmi, bisa jadi oleh rakyat.
Mensesneg memberikan catatan kepada Presiden, dan Presiden
menutup sidang kabinet terbatas dengan mengatakan, ”Sidang saya tutup
tanpa mengambil keputusan”. Pernyataan Presiden ini sangat melegakan.
Akan tetapi, dalam waktu singkat saya diundang lagi ke sidang kabinet
terbatas dengan agenda yang sama. Di sana saya benar-benar disudutkan
oleh para menteri ekonomi itu dengan gaya bicara yang keras dan mantap.
MSAA dan Drama Penerbitan R & D / 305
Presiden akhirnya bertekuk lutut, menutup sidang kabinet
terbatas dengan mengatakan, ”Ya, apa boleh buat, memang nasib saya harus
membersihkan piring kotor pestanya orang lain. Ya sudah, siapkan keppres-
nya”. Para menteri itu langsung bekerja. Jelas saya tidak diikutsertakan.
Maka, dengan hati pedih saya pulang. Dan terbitlah instruksi presiden
yang memberikan R&D.

306 / MSAA dan Drama Penerbitan R & D


Bab 15
KILAS BALIK
KRISIS MONETER,
PENYIMPANGAN
BLBI, DAN
KEJANGGALAN MSAA

Frans Hendra Winarta

Tidak terasa 10 tahun telah berlalu semenjak terjadinya krisis finansial


Asia yang mempengaruhi mata uang dan bursa saham di sebagian negara
Asia yang dijuluki “Macan Asia Timur” yaitu Korea Selatan, Thailand,
Malaysia dan Indonesia. Dampaknya sistem perekonomian di negara-negara
tersebut menjadi lumpuh bahkan porak-poranda. Mantan Perdana Menteri
Malaysia, Mahathir Muhamad sempat mengutuk dan mengecam George
Soros, sang spekulan sebagai biang kerok dari krisis tersebut.
Pada awal tahun 1997 sebenarnya Indonesia memiliki Inflasi yang
rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar dan persediaan mata
uang asing yang besar. Tidak seperti Thailand, sebagai negara di Asia

Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA / 307
Tenggara pertama yang mengalami krisis. Tetapi di pertengahan tahun 1998
rupiah mulai terserang akibat pertukaran floating teratur dengan pertukaran
floating bebas, sehingga International Monatery Fund (IMF) turun tangan
dengan memberikan bantuan sebesar 23 miliar dolar AS. Bantuan IMF tidak
membangkitkan nilai rupiah, malahan makin terpuruk karena ketakutan dari
kebanyakan perusahaan untuk melunasi utangnya dalam dolar Amerika dan
tingginya permintaan (demand) terhadap dolar Amerika.
Pemerintah gagal menstabilkan nilai rupiah, Presiden Soeharto terpaksa
turun dari puncak kekuasaan dengan desakan dari mahasiswa dan mau tidak
mau pemerintah harus didikte oleh IMF, antara lain dengan memberikan
dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang
mengalami masalah likuiditas.
Krisis moneter kemudian diplesetkan dan dijadikan kambing hitam oleh
para bankir dan pengusaha sebagai penyebab dari collapse-nya sektor
perbankan. Padahal Giro Wajib Minimum (dana minimum yang harus
disimpan di Bank Indonesia) mengalami saldo negatif tidak serta merta
diakibatkan oleh krisis moneter, melainkan karena pemberian kredit yang
melampaui Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) kepada anak-anak
perusahaan (subsidiary companies) si pemilik bank yang merupakan suatu
tindak pidana. Mengingat pada tahun 1998 pemerintah mengeluarkan
kebijakan kontroversial “Paket Oktober” (Pakto) 1998 mengenai liberalisasi
perbankan yang melahirkan ratusan bank dalam waktu singkat. Siapapun
diberikan kebebasan mendirikan bank tanpa melihat latar belakang dan
keahliannya.
Banyak opini yang mengatakan bahwa krisis moneter merupakan Act of
God atau dalam bahasa hukumnya dikenal dengan istilah force majeure, yang
berarti suatu keadaan yang tidak dapat diprediksi (unpredictable) yang
menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam
suatu perjanjian. Perlu diketahui bahwa krisis moneter melanda Indonesia
pada tahun 1998 dan bermula di Thailand pada tahun 1997. Oleh karena itu,
krisis moneter seharusnya dapat diprediksi (predictable) sebab terjadi lebih
dulu di Thailand. Dengan demikian, krisis moneter tidak dapat
dikategorikan sebagai Act of God, sebagaimana pernah terjadi di Meksiko
dan Argentina di awal tahun 90-an.

308 / Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA
Setelah BLBI dikucurkan, diharapkan sektor perbankan kembali pulih.
Namun pada kenyataannya bantuan BLBI menjadi boomerang bagi
pemerintah. Dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank tidak dapat
dikembalikan, bahkan dilakukan penyimpangan dalam penggunaannya.
Laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2000 mencatat
bahwa ditemukan penyimpangan dana BLBI sebesar Rp 84 triliun atau
58,70% dari total jumlah BLBI sebesar Rp 144 triliun.
Pemerintah kemudian menyusun skema MSAA dan MRNIA dengan
harapan dapat memperoleh kembali dana BLBI dengan cara menjual
kembali aset-aset dari obligor dan debitur MSAA ataupun MRNIA.
Ternyata nilai dari aset-aset yang diserahkan oleh obligor dan debitur kepada
pemerintah tidak sesuai dengan utangnya. Sebagai contoh, Salim Group.
Kelompok usaha milik Soedono Salim ini mengaku seluruh asetnya yang
diserahkan pada tahun 1998 bernilai Rp 52 triliun setelah dihitung oleh
konsultan BPPN yakni Lehman Brothers, PT Danareksa dan PT Bahana tanpa
melakukan Financial Due Diligence terlebih dahulu. Pada tahun 2000, aset
Salim Group dinilai kembali oleh PricewaterhouseCoopers dan ternyata
hanya bernilai antara Rp 12 triliun sampai Rp 20 triliun.
Anehnya, pemerintah harus menanggung kekurangan dari aset Salim
Group sebesar Rp 30 triliun, sedangkan apabila terdapat kelebihan dari hasil
penjualan aset akan dikembalikan kepada Salim Group. Sungguh tidak adil
jika negara harus menanggung kewajiban obligor, karena ujung-ujungnya
rakyat yang menderita dengan adanya kenaikan BBM, pajak, bahan pangan,
dan tentunya penurunan daya beli.
Pemerintah kemudian melakukan blunder dengan memberikan Surat
Keterangan Lunas (SKL) kepada Salim Group yang jelas-jelas belum
menyelesaikan kewajibannya. Patut dipertanyakan apakah motif dari
pemerintah dengan menerbitkan SKL kepada “pengemplang”, padahal saat
itu Tim Bantuan Hukum yang dibentuk oleh Komite Kebijakan Sektor
Keuangan (KKSK) menyarankan pemerintah untuk tidak menerbitkan
SKL kepada obligor kakap yang belum tuntas menyelesaikan kewajibannya.
Menjadi pertanyaan besar mengapa pemerintah tidak berusaha untuk
menguasai aset Salim Group yang dimiliki saat ini, padahal Pasal 1131 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa segala kebendaan si
berutang baik yang ada sekarang maupun akan datang menjadi jaminan

Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA / 309
utang. Dengan demikian, pemerintah seharusnya dapat mengambil alih aset
Salim Group yang dimilik saat ini seperti Indofood, BCA dan bahkan baru-
baru ini dikabarkan akan mengakuisisi saham London Sumatera Plantation.
Ditambah dengan aset-aset di luar negeri yaitu India, Singapura, Malaysia,
dan Singapura.
Belakangan ini Salim Group kembali menjadi perhatian dalam penjualan
aset Sugar Group Companies. Soedono Salim, Anthoni Salim, dan Andree
Halim diduga telah melakukan tindak pidana penggelapan dengan
menjaminkan aset-aset Sugar Group Companies kepada Marubeni Corporation
pada tahun 1999, 2000, dan 2001. Padahal saat itu Sugar Group Companies
termasuk salah satu aset yang diserahkan kepada pemerintah yang secara
hukum dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah. Tindakan tersebut disinyilar
dilakukan untuk memperoleh kembali aset-asetnya (buy back) dengan harga
murah. Tanpa bantuan otoritas hal tersebut tidak mungkin dilakukan.
Kejadian ini secara langsung maupun tidak langsung akan mengganggu
iklim investasi Indonesia yang mengakibatkan investor asing enggan untuk
berinvestasi di Indonesia.
Apabila pemerintah tidak segera mengusut secara tuntas kasus
penyimpangan dana BLBI, merevisi kembali SKL yang diberikan kepada
obligor yang wanprestasi dan mengusut kasus Sugar Group Companies,
maka jangan heran apabila Indonesia akan diberi label sebagai negara “antah
berantah”. Karena tidak ada satupun negara di dunia yang melindungi warga
negaranya yang mempunyai utang yang begitu banyak yang merugikan
negara dan diberikan fasilitas dalam melakukan usahanya bahkan dalam
melakukan ekspansi dalam rangka memperlebar imperium bisnisnya.
Setelah diberi privilege seperti BLBI dan usaha kembali masih saja
mempraktikkan cara business lama dengan menggunakan atau memperalat
pejabat untuk mencapai tujuannya.
Kerugian yang dialami negara akibat dari BLBI diperkirakan mencapai
Rp 600 triliun. Sangat memperihatinkan apabila pemerintahan SBY hanya
berdiam diri dan tidak mengambil tindakan konkret untuk menuntaskan
kasus BLBI. Seandainya pemerintah dapat menuntaskan kasus BLBI, maka
tidak mustahil bagi pemerintah untuk mengantar bangsa ini keluar dari krisis
yang berkepanjangan. Uang sebesar Rp 600 triliun dapat digunakan untuk
menutupi utang luar negeri, menambah anggaran pendidikan, membangun

310 / Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA
infrastruktur, dan lain-lain yang dapat menggerakkan roda perekonomian
bangsa.
Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh bangsa
Indonesia dan diharapkan pemimpin di generasi yang mendatang nantinya
untuk lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan, sehingga tidak terjebak
dalam kondisi seperti ini yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara.

Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA / 311
Bab 16
TINJAUAN
KELEMBAGAAN
KASUS BLBI

Dr. Ahmad Erani Yustika dan Dr. M. Fadhil Hasan

Krisis ekonomi yang mengguncang ekonomi nasional medio 1997/


1998 lalu masih menyisakan banyak persoalan yang sebagian belum
mendapatkan penyelesaian hingga kini. Salah satu masalah serius bawaan
krisis ekonomi tidak lain adalah kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia). Kasus BLBI mendapatkan sorotan yang begitu besar
sekurangnya karena dua hal. Pertama, menyangkut jumlah dana yang sangat
besar, yang mencapai Rp 600 triliun. Jumlah megadana tersebut setara
dengan jumlah utang luar negeri pemerintah yang tersisa saat ini. Jadi, bisa
dibayangkan apabila jumlah dana BLBI tersebut dapat dikembalikan secara
utuh dari para penerimanya, maka pemerintah dapat melunasi seluruh sisa
utang luar negeri. Kedua, penerima dana BLBI adalah para konglomerat
papan atas yang selama masa Orde Baru menguasai perekonomian nasional,
nyaris dari hulu sampai hilir. Sayangnya, jejak rekam para konglomerat
penerima BLBI itu sebagian besar buruk sehingga kasus ini dianggap sangat

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI / 313


menusuk aspek keadilan. Dua aspek inilah yang menyebabkan kasus BLBI
tersebut masih layak untuk terus dituntut penyelesaiannya.

Menelusuri Jejak BLBI


Krisis mata uang Bath Thailand yang akhirnya merembet ke Indonesia
merupakan salah satu pemicu terjadinya krisis mata uang rupiah pada
semester kedua tahun 1997. Implikasinya, muncul berbagai krisis ekonomi
di Indonesia, termasuk di dalamnya sektor keuangan. Pada periode tersebut
(yang juga masih bertahan hingga saat ini) pilar utama penyokong sektor
keuangan di Indonesia adalah perbankan. Oleh karena itu, krisis perbankan
menjadi penting untuk diperhatikan sekaligus dibuat solusinya. Hal ini tidak
terlepas dari peran perbankan sebagai bagian penting dari sistem keuangan
negara. Tanpa perbaikan di sektor perbankan, krisis yang sedang terjadi di
Indonesia pada saat itu bisa menjadi lebih parah.
Lebih lanjut, terdapat beberapa faktor yang saat itu menyebabkan sektor
perbankan mengalami krisis.
Pertama, struktur modal korporasi Indonesia masih didominasi oleh
kredit perbankan, baik perbankan domestik maupun asing. Pada awalnya,
korporasi yang mengalami tekanan berat akibat depresiasi rupiah terhadap
dollar AS masih terbatas pada korporasi dengan struktur modal dari
perbankan asing. Namun, dengan tidak kunjung membaiknya nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS telah menyebabkan implikasi krusial dalam
perekenomian Indonesia. Salah satunya yang tidak terhindarkan adalah
peningkatan harga-harga yang sangat tajam di pasar, mulai harga bahan
kebutuhan pangan untuk masyarakat luas sampai harga input produksi bagi
industri manufaktur. Selanjutnya, inflasi pada masa krisis menjadi sangat
tinggi, yakni menjadi sebesar 11,1% (year-on-year/y-o-y) pada tahun 1997 dan
pada tahun 1998 sebesar 77,6% (BI dan BPS, dalam Kompas 23 Juni 2007)
[Gambar 1]. Masa-masa gelap perekonomian memang terjadi pada masa itu.
Sebagai respon untuk mengatasi hal tersebut, suku bunga acuan
perbankan mutlak dinaikkan. Seperti terlihat dalam Gambar 1, suku bunga
acuan perbankan, misalnya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
terus meningkat mengikuti kecenderungan naiknya inflasi dan depresiasi
rupiah terhadap dollar AS. Mulai bulan Oktober 1997, suku bunga SBI

314 / Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI


sudah berada di atas 10% dan puncaknya terjadi pada medio Juli Oktober
1998, di mana suku bunga yang terjadi lebih dari 60%. Pada titik inilah,
komposisi utang korporasi Indonesia menjadi membengkak beberapa kali
lipat dari nilai pokoknya. Selain itu, penurunan daya beli masyarakat
terhadap sebagian besar produk korporasi menyebabkan daya bayar
korporasi-korporasi tersebut menjadi menurun. Pada kondisi inilah
akhirnya korporasi dengan struktur modal dari perbankan dalam negeri
terkena dampak krisis mata uang. Oleh karena itu, tidak mengherankan pada
masa krisis (pertengahan 1997 sampai 1999), tingkat kredit macet (non
performing loan/NPL) yang dialami perbankan berkisar Rp 100 triliun - Rp
300 triliun atau lebih dari 25% dari tingkat kredit yang disalurkan oleh
perbankan (loan to deposit ratio/LDR) [Gambar 2]. Dengan demikian,
masalah likuiditas yang awalnya hanya terjadi di korporasi akhirnya
merembet pula ke sektor perbankan. Kondisi ini merupakan sinyal negatif
dalam sistem keuangan negara. Pasalnya, dengan NPL perbankan yang
cukup tinggi berpotensi besar menyebabkan kerentanan dalam struktur
modal perbankan.

Gambar 1

Nilai Tukar Rupiah, Suku Bunga SBI, dan Tingkat Inflasi


Tahun 1997 2001

Sumber: Nasution, 2002:168

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI / 315


Kedua, terjadi krisis kepercayaan nasabah terhadap perbankan akibat isu
keterbatasan likuiditas yang dialami oleh perbankan. Pada masa tersebut,
sebagian besar masyarakat Indonesia belum memahami dengan baik kondisi
perbankan. Oleh karena itu, tidak mengherankan pada saat munculnya isu
keterbatasan likuiditas yang berujung pada penutupan bank, sebagian besar
masyarakat yang secara psikologis takut kehilangan simpanannya di
perbankan langsung mengambil uangnya di perbankan. Memang tidak
dapat dimungkiri bahwa ketakutan masyarakat tersebut memiliki dasar.
Pasalnya, terdapat beberapa bank yang benar-benar mengalami keterbatasan
likuiditas yang akhirnya berimbas pada struktur modal bank-bank tersebut.
Berpijak pada realitas ini, pemerintah (melalui BI) membekukan kegiatan
operasional 16 bank umum di Indonesia (Zulverdi, et. al., 2007:162). Fakta
ini sekilas telah menyiratkan bahwa kejadian-kejadian dalam sektor
perbankan merupakan peristiwa yang saling mempengaruhi dan memiliki
dampak yang cukup krusial/genting terhadap sistem keuangan negara.

Gambar 2

Perkembangan NPL dan LDR Perbankan Umum

Sumber: Zulverdi, et.al., 2007:162

316 / Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI


Dengan gabungan kedua fakta di atas, keterbatasan likuiditas yang
awalnya hanya terjadi di sebagian kecil bank akhirnya merembet pula ke
sebagian besar bank. Pararel dengan situasi di atas, keterbatasan likuiditas
pada sebagian besar bank akhirnya menjalar ke struktur modal perbankan.
Pada 1998, secara keseluruhan struktur modal bank menjadi negatif sebesar
Rp 98,5 triliun. Bahkan pada tahun 1999 modal perbankan menjadi negatif
sebesar Rp 244,6 triliun (Zulverdi, et. al., 2007:163). Modal negatif pada
periode ini merupakan kapital negatif terbesar dan belum pernah terjadi di
perbankan Indonesia. Kejadian 1999 tersebut lebih dikarenakan masa
pemulihan (recovery) perbankan dan hal ini menggambarkan bahwa krisis
yang terjadi pada perbankan membutuhkan waktu yang cukup untuk
memperbaiki dan mengembalikannya ke kondisi awal.
Argumentasi di atas muncul karena sekitar empat bulan pasca terjadinya
krisis, pemerintah melalui BI telah melakukan restrukturisasi perbankan.
Salah satu instrumen dalam restrukturisasi perbankan adalah bantuan
likuiditas. Pertanyaan yang kemudian muncul dari restrukturisasi perbankan
itu, terutama bantuan likuiditas, adalah seberapa penting sektor perbankan
sehingga BI mau memberikan bantuan likuiditas dengan jumlah yang sangat
besar? Seperti telah dijelaskan di depan bahwa perbankan merupakan pilar
utama sektor keuangan sekaligus sebagai salah satu bagian terpenting dari
sistem keuangan negara. Oleh karena itu, apabila terjadi krisis perbankan
yang berujung pada kehancuran perbankan, seperti yang terjadi pada medio
krisis, maka akan berimbas secara besar kepada sektor yang lainnya. Kondisi
ini jelas merupakan sinyal negatif terhadap kondisi perekonomian
Indonesia dan bisa berujung pada krisis lainnya, misalnya krisis sosial-politik
(dimana hal ini akhirnya terjadi juga). Oleh karena itu, menjadi jelas latar
belakang mengapa bantuan likuditas tersebut perlu dikucurkan oleh BI
kepada perbankan. Walaupun tidak dapat dimungkiri pula bahwa
sebenarnya terdapat instrumen lain dengan risiko yang lebih kecil yang bisa
digunakan untuk menyelamatkan perbankan Indonesia (apabila mau dikaji
lebih lanjut). Namun, dikarenakan keterbatasan waktu untuk menyediakan
instrumen lain dan juga faktor eksternal menyebabkan bantuan likuiditas
menjadi satu-satunya instrumen yang disodorkan BI untuk menyelamatkan
perbankan nasional.
Konkretnya, bantuan likuiditas ini berupa jaminan keseluruhan (blanket
guarantee) oleh BI atas semua tipe utang yang dimiliki oleh perbankan.

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI / 317


Jaminan ini kemudian disebut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI),
yang diumumkan pada 27 Januari 1998. Dengan BLBI tersebut, sedikit demi
sedikit bisa menurunkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan. Hal ini bisa terjadi karena telah terdapat proteksi atas segala
utang (termasuk dalam kategori ini adalah dana pihak ketiga/DPK
masyarakat) yang dimiliki oleh pihak-pihak terkait, sehingga ketakutan atas
potensi kehilangan dana yang berada di perbankan menjadi sirna. Oleh
karena itu, pasca pengumuman BLBI, rush yang terjadi ikut menurun pula.
Lebih lanjut, dalam pemberian bantuan likuiditas ini, 4 bank pemerintah
(BUMN) mendapatkan bantuan likuiditas sebesar 63% dari total bantuan
likuiditas. Sedangkan bank swasta yang diambil alih (take over) oleh Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN/Indonesian Bank Restructuring
Agency-IBRA) mendapatkan porsi bantuan likuiditas sekitar 37%. Pada saat
itu, jumlah bank yang berada di dalam wilayah perbaikan oleh BPPN
sebanyak 7 bank. Sementara itu, sisa bantuan likuiditas yang sebesar 0,3%
diberikan kepada 26 bank pembangunan daerah (Nasution, 2002:170).
Dengan demikian menjadi jelas bahwa kepentingan BI atas bantuan
likuiditas ini bukan hanya menyelamatkan perbankan secara umum tetapi
juga menyelamatkan aset negaranya, yakni bank BUMN.
Seiring dengan penurunan rush, secara berangsur-angsur kondisi
perbankan mulai membaik. Kondisi ini akhirnya juga berimbas ke sektor
keuangan lainnya, di mana dikarenakan faktor regional Asia yang telah
membaik, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS setelah bulan Oktober 1998
mulai menguat dan berangsur-angsur stabil pada kisaran Rp 10.000 per
dollar AS. Dengan demikian, secara sekilas BLBI telah memberikan dampak
ganda (multiplier effect) terhadap sektor perbankan. Pada titik inilah kontribusi
kebijakan BLBI cukup terasa, di mana BLBI merupakan instrumen yang
bisa menjadi katup pengaman sementara dari kehancuran perbankan,
sekaligus akibat penyelamatan tersebut bisa memperbaiki sektor keuangan
dan menjadi pemicu atas perbaikan kondisi perekonomian secara
keseluruhan.
Tetapi, tetap tidak dapat dimungkiri secara keseluruhan BLBI tidak
dapat memperbaiki sektor perbankan dalam jangka waktu relatif singkat.
Hal ini terlihat dari masih terjadinya modal negatif perbankan pada tahun
1999. Di balik sisi positif restrukturisasi perbankan, terutama dalam hal
BLBI ini, adalah tidak diikutsertakannya skema pengembalian atas bantuan

318 / Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI


yang diberikan oleh BI kepada bank-bank penerima bantuan tersebut.
Berpijak pada hal ini, maka penghitungan kadar kebermanfaatan BLBI
secara menyeluruh menjadi kurang penting karena disinyalir lebih banyak
memberikan beban kepada anggaran negara daripada memberikan manfaat
(walaupun seperti telah dijelaskan di depan bahwa secara khusus BLBI
memang bermanfaat dalam menyelamatkan perbankan Indonesia) kepada
perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Selain itu, yang tidak dapat dimungkiri dari realitas bantuan likuiditas
kepada perbankan ini adalah peran dari IMF. Dalam pandangan IMF,
stabilitas moneter mensyaratkan sehatnya sistem keuangan negara. Pada
masa tersebut dan juga saat ini sistem keuangan negara terefleksikan oleh
sektor perbankan. Oleh karena itu, sebagai upaya awal menstabilkan kondisi
moneter, salah satu caranya adalah memperbaiki kondisi perbankan. Oleh
karena itu, IMF menyarankan restrukturisasi perbankan, yang di dalamnya
terdapat bantuan likuiditas kepada perbankan. Restrukturisasi perbankan
sendiri merupakan elemen ketiga dari konsep perbaikan kondisi moneter di
Indonesia oleh IMF (Nasution, 2002:170). Peran IMF yang sedemikian
dominannya dalam perbaikan instabilitas moneter ini tidak dapat dilepaskan
dari penandatanganan kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan
Dewan Eksekutif IMF pada 5 November 1997.
Kondisi itu, apabila dikaitkan dengan tidak adanya tanggung jawab
jangka panjang yang terefleksikan oleh ketiadaan skema pengembalian
bantuan likuiditas oleh perbankan, mendeskripsikan bahwa instrumen yang
disodorkan oleh IMF merupakan resep instan. Memang tidak dapat
dimungkiri bahwa resep IMF itu merupakan resep turunan dari
pengalaman-pengalaman negara lain yang pernah ditanganinya, sehingga
potensi kegagalannya pasti besar. Pasalnya, kejadian di negara lain dan
Indonesia berbeda sehingga tidak mungkin penyakit itu diobati dengan
resep yang sama. Namun, yang lebih patut dipertanyakan, pemerintah lebih
memilih lembaga asing (IMF) untuk memperbaiki instabilitas moneter,
padahal pada saat yang bersamaan telah diketahui kurangnya kapabilitas
IMF dalam menstabilkan kondisi moneter. Di sisi lain teramat banyak
ekonom dosmetik yang memiliki pemahaman lebih akurat dibandingkan
IMF dalam memahami dan memetakan perekonomian nasional, sehingga
presisi kebijakan yang diformulasikan akan lebih kredibel.

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI / 319


Problem Kelembagaan BLBI
Kebijakan Salah Alamat
Di balik realitas keberhasilan BLBI dalam menyelamatkan perbankan
saat krisis ekonomi, yang terefleksikan oleh kecenderungan menurunnya
rush pasca pengumuman restrukturisasi perbankan, berbagai kelemahan
turut menyertai munculnya kebijakan BLBI. Kelemahan yang akhirnya lebih
terlihat sebagai kesalahan ini dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama,
kesalahan dalam level substantif (kebijakan). Dalam pengertian ini,
munculnya kebijakan BLBI yang merupakan instrumen restrukturisasi
perbankan tidak dapat dilepaskan dari penanganan instabilitas moneter
secara keseluruhan. Penandatanganan kesepakatan antara IMF dengan
pemerintah Indonesia pada 5 November 1997 merupakan babak awal dari
perbaikan instabilitas moneter secara komprehensif. Dua hal yang melekat
pada penandatanganan kesepakatan ini adalah (i) IMF memberikan
pinjaman sebesar US$ 10 miliar kepada Pemerintah Indonesia (Nasution,
2002:178); dan (ii) Pemerintah Indonesia memberikan kewenangan kepada
IMF untuk membuat kebijakan apa pun yang dirasa bisa menyelesaikan
instabilitas moneter dan pemerintah akan siap mengimplementasikan semua
kebijakan yang diinisiasi oleh IMF. Dalam persepektif ini, terlihat bahwa
BLBI bukan sekadar merupakan perbaikan di sektor perbankan tetapi juga
merupakan perbaikan pada sistem keuangan negara.
Di sinilah masalah itu bermula, di mana alternatif pemberian dana
BLBI bukan merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengantisipasi
krisis kepercayaan perbankan waktu itu. Pemicu krisis kepercayaan
perbankan saat itu tidak lain adalah likuidasi 16 bank yang merupakan
rekomendasi dari IMF sehingga hal ini memicu rush oleh nasabah pada
bank-bank lainnya. Tapi, jauh sebelum itu, bank-bank di Indonesia sudah
mengalami persoalan besar akibat praktik tata kelola yang tidak sehat. Hal itu
terjadi seiring dengan keluarnya deregulasi Paket Oktober (Pakto) 1988 yang
memberi kemudahan perbankan untuk membuka cabang maupun
membuat bank baru tanpa diimbangi dengan regulasi yang memadai dari
otoritas moneter (BI). Akibatnya, banyak sekali pelanggaran yang dilakukan
perbankan, khususnya mengenai batas maksimal pemberian kredit kepada
perusahaan satu induk (legal lending limit/LLL). BI mungkin tahu dengan
praktik tersebut, tetapi tidak menghiraukan sama sekali sehingga struktur

320 / Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI


keuangan perbankan sebetulnya sangat tidak sehat. Inilah yang sebetulnya
menjadi salah satu sumbu krisis perbankan saat itu.
Berpijak dari situasi itulah, sebetulnya alternatif yang dapat diambil oleh
pemerintah adalah memformulasikan fasilitas pembiayaan darurat (FPD)
dan bukan BLBI. Setidaknya terdapat enam alasan yang menyebabkan
kebijakan FPD lebih kredibel (Batunanggar, 2006:3-5): (i) kebijakan FPD
diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
untuk meyakinkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemberiannya; (ii)
pemberian FPD dilakukan secara sangat selektif, yakni hanya bank yang
memenuhi secara ketat (bank yang menghadapi kesulitan likuiditas yang
berdampak sistemik dan agunan/solven); (iii) pemberian FPD didasarkan
pada keputusan bersama Menteri Keuangan dan BI secara obyektif
sehingga potensi konflik dapat dihindari; (iv) pendanaan FPD berasal dari
APBN, termasuk dengan penerbitan SUN, sehingga BI tidak menghadapi
risiko kredit; (v) FPD wajib dijamin dengan agunan yang memadai untuk
meminimalkan risiko kredit; dan (vi) untuk meyakinkan agar tidak terjadi
penyalahgunaan (moral hazard), BI akan mengawasi bank penerima FPD
secara khusus.
Kedua, kesalahan dalam konteks teknis (aturan main). Kesalahan ini
walaupun merupakan ekses dari kesalahan dalam level substantif, namun di
sini dicoba dipisahkan dari konteks tersebut. Dengan pemisahan ini akan
terlihat bahwa terlepas dari siapa yang menginisiasi BLBI, konsep bantuan
likuiditas tersebut benar-benar merupakan instrumen yang kurang tepat
untuk mengatasi krisis perbankan. Lebih lanjut, kesalahan konteks teknis ini
tercakup dalam ketiadaan kelembagaan yang jelas pada saat pengucuran
bantuan likuiditas oleh BI kepada perbankan. Padahal jumlah bantuan
likuiditas itu sangat besar dan hal ini mempengaruhi secara umum anggaran
negara pada periode tersebut. Dalam pengertian ini, kelembagaan
merupakan aturan main yang harus ditaati oleh pihak-pihak terkait, baik itu
berupa kewajiban yang diperoleh oleh perbankan sebagai peneriman
bantuan, BI sebagai pemberi bantuan, maupun hak yang harus diterima oleh
perbankan dan BI sebagai pemberi bantuan.
Secara lebih rinci, ketiadaan kelembagaan tersebut tercermin dari tidak
adanya skema pembayaran yang harus dilakukan oleh perbankan pasca
pemberian bantuan tersebut. Dari perspektif ini, setidaknya terdapat empat
hal yang tidak nampak dalam skema pengembalian bantuan likuiditas
Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI / 321
tersebut, yakni: (i) mulai kapan dan berapa lama batasan waktu maksimal dari
bank yang mendapat bantuan likuiditas untuk mengembalikan bantuan
likuditas tersebut kepada BI; (ii) bagaimana mekanisme pengembalian
bantuan likuiditas tersebut; (iii) apa dan berapa besar imbal hasil yang
melekat dari bantuan likuiditas yang harus diserahkan oleh perbankan
penerima bantuan likuiditas kepada BI; dan (iv) sanksi apa yang akan
diperoleh perbankan apabila tidak dapat memenuhi kewajiban yang telah
ditetapkan, atau juga insentif apa yang bisa didapatkan oleh perbankan
apabila bisa memenuhi kewajibannya tepat waktu (atau lebih cepat dari
waktu yang telah ditentukan).
Selain itu, aturan main yang tidak ada (atau kalau pun ada tetapi tidak
jelas dan tegas) dalam pemberian bantuan likuiditas adalah apa saja kriteria
yang harus dimiliki oleh perbankan sehingga berhak mendapatkan BLBI
tersebut. Hal ini terefleksikan dari struktur perbankan yang memperoleh
bantuan likuiditas tersebut. Porsi mayoritas bantuan likuiditas perbankan
diberikan kepada empat bank milik pemerintah. Sedangkan sisanya, sekitar
37% diberikan kepada bank swasta yang telah diambil alih (take over) oleh
BPPN yang jumlahnya sebanyak tujuh bank dan kepada 26 bank
pembangunan daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagai catatan,
bantuan likuiditas kepada bank BUMN secara konsep tidak menjadi
masalah. Pasalnya, sebagai pemilik, pemerintah mempunyai tanggung jawab
sekaligus kewajiban yang harus dilakukan kepada unit bisnisnya. Namun,
bantuan likuiditas ini menjadi kurang tepat pada saat melihat jumlah bantuan
likuiditas. Dengan bantuan likuiditas yang sangat besar dan berekses kepada
anggaran negara secara keseluruhan menyebabkan esensi dari bantuan
tersebut menjadi kabur.
Sementara itu, yang menjadi permasalahan adalah pemberian bantuan
likuiditas kepada tujuh bank swasta, walaupun akhirnya tujuh bank tersebut
di-take overoleh BPPN sebagai lembaga wakil dari pemerintah. Letak
masalahnya adalah tujuh bank tersebut tidak memiliki karakteristik khusus
yang berbeda dengan bank-bank lain, misalnya dengan 16 bank yang telah
dibekukan kegiatan operasionalnya oleh BI karena keterbatasan likuiditas,
sehingga cukup mengherankan apabila tujuh bank swasta itu memperoleh
bantuan likuiditas sedangkan pada saat sebelumnya 16 bank swasta malah
ditutup dengan penyebab yang sama. Sedangkan untuk pemberian bantuan
likuiditas kepada BPD juga hampir sama dengan pemberian bantuan kepada

322 / Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI


bank BUMN, yang membedakannya hanya besaran bantuan. Dengan porsi
bantuan yang hanya 0,3%, bantuan ini juga tidak menjadi masalah yang
krusial. Namun, porsi yang relatif kecil ini apabila dikomparasikan dengan
anggaran di daerah menjadi cukup besar.
Satu hal lagi, sebagian penerima dana BLBI adalah bank-bank yang
jelas-jelas telah melakukan pelanggaran berat, seperti penyimpangan aturan
LLL (BMPK). Persoalannya, mengapa bank yang sudah jelas melakukan
pelanggaran masih diberi bantuan oleh BI. Secara teknis-ekonomis hal ini
sulit dijawab, sehingga jawabannya pasti di luar aspek tersebut (aspek
politis). Sehingga, secara substantif kebijakan BLBI dapat dikategorikan
sebagai kebijakan yang salah alamat. Dengan demikian, secara keseluruhan
terlihat bahwa BLBI sebagai salah satu instrumen restrukturisasi perbankan
hanya memiliki manfaat dalam jangka pendek, yakni sebatas memberikan
suntikan dana kepada perbankan dan akhirnya mengurangi, secara
berangsur-angsur, rush oleh nasabah. Namun, dalam perspektif jangka
panjang, BLBI lebih terlihat sebagai instrumen yang tidak memberikan
manfaat kepada perekonomian Indonesia. Bahkan pada pada tataran
tertentu, BLBI malah terlihat sebagai instrumen yang membebani
perekonomian negara, dilihat dari sudut pandang penyerapan bantuan
dengan jumlah yang sangat besar dan juga ketidakjelasan mekanisme
pengembalian bantuan likuiditas kepada BI.
BLBI dan Moral Hazard
Salah satu kritik atas kebijakan BLBI adalah ketidakmampuan BI dalam
mengelola dan mengawasi implementasi penggunaan dana bantuan
likuiditas untuk merestrukturisasi perbankan. Situasi ini merupakan ekses
dari ketiadaan kelembagaan (aturan main/rules of the game) yang mumpuni
dalam rangka restrukturisasi perbankan. Akibat dari ketiadaan kontrol yang
efektif dalam implementasi kebijakan BLBI, maka kesempatan untuk
melakukan tindakan-tindakan curang menjadi lebih besar. Potensi tindakan
curang (moral hazard) tersebut secara teoritis bisa dilacak dari teori principal-
agent, di mana prinsipal adalah pihak yang mempekerjakan agen untuk
melaksanakan pekerjaan atau layanan yang diinginkan oleh prinsipal. Dalam
konteks ini, prinsipal adalah BI dan agennya adalah penerima BLBI. Rumus
standar dari teori ini: apabila manfaat yang diperoleh dari penyimpangan
lebih besar dari biaya (risiko) yang dikeluarkan, maka tindakan moral hazard
akan dilakukan. Penyimpangan ini mudah dilakukan karena: (i) tindakan
Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI / 323
agen tidak dapat diamati secara langsung oleh prinsipal; atau (ii) pihak agen
membuat beberapa pengamatan yang tidak dikerjakan oleh prinsipal.
Menurut Arrow (1985; dalam Furubotn dan Richter, 2000:147), kasus yang
pertama biasa disebut dengan tindakan tersembunyi (hidden action) dan pada
kasus yang kedua biasa disebut dengan informasi tersembunyi (hidden
information).

Tabel 1
Beberapa Koruptor BLBI yang Kabur

Nama Asal Bank Kerugian Negara Negara Persembunyian


Andrian Kiki Bank Surya Rp 1,5 triliun Singapura
Bambang Sutrisno Bank Surya Rp 1,5 triliun Singapura
Eko Adi Putranto Bank BHS Rp 1,95 triliun -
Hendra Raharja* Bank BHS Rp 1,95 triliun Australia
Sherny Konjongiang Bank BHS Rp 1,95 triliun -
Sjamsul Nursalim BDNI Rp 6,9 triliun Singapura
Keterangan: *) Hendra Raharja sudah meninggal
Sumber: Litbang Jawa Pos; dalam Jawa Pos, 31 Januari 2006

Jika ditelisik dari kasus BLBI ini, maka terdapat beberapa motif dari
tindakan curang tersebut. Pertama, tindakan curang oleh pihak perbankan
(penerima BLBI). Motif ini dilakukan dengan cara: (i) secara sengaja tidak
mengembalikan bantuan likuiditas; (ii) menunda pembayaran bantuan
likuiditas dengan beberapa alasan, misalnya belum adanya kecukupan
likuiditas di perbankan; dan (iii) menggunakan dana BLBI tersebut untuk
keperluan di luar kesepakatan. Ketiga motif tersebut semuanya terbukti di
lapangan, di mana banyak pihak penerima BLBI yang mangkir melakukan
pembayaran, bahkan sebagian kabur ke luar negeri. Seperti tertera pada
Tabel 1, terdapat beberapa pengutang BLBI yang kabur ke luar negeri,
bahkan terdapat di antaranya yang sampai meninggal dunia. Sementara itu,
yang mengulur-ulur waktu pembayaran dapat dikatakan semua penerima
BLBI melakukan hal yang tersebut akibat ketiadaan rincian regulasi yang
disusun oleh BI. Sedangkan yang sengaja memanfaatkan dana BLBI untuk

324 / Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI


tujuan di luar kesepakatan (prinsipnya BLBI hanya boleh digunakan untuk
membayar nasabah), ternyata jumlahnya totalnya mencapai Rp 54,5 triliun
(khusus untuk 10 BBO dan 18 BBKU). Tabel 2 secara detail menjelaskan
penyimpangan penggunaan dana BLBI tersebut.

Tabel 2
Dugaan Penyimpangan Penggunaan BLBI oleh 10 BBO dan 18
BBKU

Penyimpangan Jumlah
Digunakan pembayaran pinjaman sub-ordinasi sebelum tahun 1997 38,1
Membayar kewajiban Bank Umum yang tidak dapat dibuktikan 426,4
Membayar kewajiban pada grup terkait 8.988,6
Membayar transaksi surat berharga 2.814,7
Membayar pihak ketiga melanggar ketentuan 7.699,2
Membayar kontrak derivatif/kerugian negara karena kontrak derivatif 10.320,3
lama yang jatuh tempo
Penempatan baru di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) atau 6.395,3
pelunasannya yang tidak sesuai ketentuan
Ekspansi kredit merealisasikan kelonggaran tarif 9.960,0
Biaya investasi rekruitmen personalia dan lain-lain 71,4
Membiayai over head bank 133,3
Biaya lain yang menyimpang 10.525,9
Jumlah 54.561,8
Sumber: Bank Indonesia, dalam Yuntho dan Rahayu, 2006:8

Kedua, perilaku curang yang dilakukan oleh pemberi otoritas, dalam hal
ini BI. Dengan ketiadaan kelembagaan yang mumpuni menyebabkan
pengawasan bisa lebih longgar. Pada posisi ini, kesempatan untuk
melakukan tindakan menyimpang menjadi lebih terbuka. Motif dari
tindakan curang ini adalah dengan menjalin kerjasama yang saling
menguntungkan dengan penerima bantuan. Lebih lanjut, salah satu ekses
dari hal ini adalah munculnya perbedaan jumlah dana yang seharusnya
diterima oleh BI dan yang wajib dibayarkan oleh penerimaan dana.

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI / 325


Perbedaan ini, seiring dengan berjalannya waktu, juga berimbas pada
perbedaan perhitungan oleh lembaga pemerintah lainnya. Seperti terlihat
dalam Tabel 3, muncul ketidaksamaan jumlah bantuan likuiditas yang harus
diserahkan oleh pihak perbankan di internal pemerintah sendiri. Di satu
pihak, Departemen Keuangan menghitung bahwa sampai dengan 2005,
total bantuan likuiditas yang belum dibayarkan sebanyak Rp 2,5 triliun.
Jumlah ini merupakan selisih bersih setelah dikurangi kemungkinan tidak
terbayarkannya bantuan likuiditas yang sebesar Rp 9,4 triliun. Sebenarnya,
apabila secara keseluruhan bantuan likuiditas dihitung, maka yang
seharusnya dibayarkan adalah sebesar Rp 11,9 triliun. Perhitungan ini juga
menggambarkan potensi tidak terbayarkannya bantuan likuiditas tersebut
jauh lebih tinggi daripada potensi bantuan yang akan dibayarkan.

Tabel 3
Tiga Versi Jumlah Utang Obligor BLBI (dalam juta rupiah)

Versi Depkeu
Obligor BLBI Versi Obligor Versi BPK
Default Akhir
Adhisaputra dan James 511.256 87.603 87.603 303
(Namura Internusa)
Atang Latief (Bira) 1.066.563 190.702 175.010 155.727
Ulung Bursa (Lautan Berlian) 2.207.233 455.330 424.657 424.656
Omar Putihrai (Tamara) 741.827 159.141 159.141 159.141
Lidia Mochtar (Tamara) 787.517 189.039 1.093 189.039
Marimutu Sinivasan (Putra) 3.244.168 881.273 791.427 790.557
Agus Anwar (Pelita) 810.155 577.812 577.812 577.182
Total 9.368.719 2.540.900 2.216.743 2.297.235
Sumber: Diolah dari laporan BPK, 30/10/2006; dalam Tempo, 5 - 11 Maret 2007

Sebagai catatan tambahan, dari potensi bantuan yang dibayar pun juga
belum terdapat kepastian kapan akan dilakukan pembayaran bantuan
likuiditas tersebut. Di pihak lain, BPK yang berpijak pada audit yang telah
dilakukannya, mencatat secara keseluruhan bantuan likuiditas yang harus
dibayarkan oleh penerima bantuan adalah sebesar Rp 2,3 triliun. Jumlah ini
sedikit lebih kecil dari perhitungan oleh Departemen Keuangan. Namun,

326 / Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI


perbedaan jumlah ini menyiratkan bahwa tata kelola pemberian bantuan
likuiditas tersebut tidak mengamalkan aspek transparansi dan akuntabilitas,
sehingga di internal pemerintah sendiri terdapat perbedaan. Di luar kedua
pihak itu, penerima bantuan likuiditas mengklaim bahwa total bantuan
likuiditas yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp 2,1 triliun. Jumlah yang
rendah ini memang menjadi hal yang lumrah, karena setiap penerima
bantuan pasti akan menghitung nilai minimal yang harus dibayarkannya.
Dari kasus ini terlihat adanya ketidakcermatan pemerintah dalam
menghitung masalah dana BLBI tersebut, entah itu disengaja maupun tidak.
Malpraktik BPPN
Dalam perjalanannya, pemerintah kemudian membentuk BPPN
sebagai lembaga yang diserahi untuk mengelola pengembalian uang negara
dari tangan para bankir, pemegang saham, maupun debitur masing-masing
bank yang mendapatkan dana BLBI. Sekurangnya terdapat tiga pola
perjanjian yang dibuat oleh BPPN untuk membuat penyelesaian kasus BLBI
(Yuntho dan Rahayu, 2006:9). Pertama, mengalihkan kewajiban bank
menjadi kewajiban pemegang saham pengendali. Pemerintah, bersama
pemegang saham bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha
(BBKU), menandatangani Master Settlement and Acquisition Agreement
(MSAA) dan Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement
(MRNIA). Tujuan dari dua perjanjian adalah untuk mengembalikan BLBI,
baik melalui penyerahan aset maupun pembayaran tunai kepada BPPN.
Kedua, pengkonversian BLBI pada bank-bank take-over (BTO) menjadi
penyertaan modal sementara (PMS). Ketiga, mengalihkan utang ke bank
pemegang saham pengendali melalui pola penyelesaian kewajiban
pemegang saham pengendali (PKPS). Caranya dengan menandatangani
akta pengakuan utang (APU).
Tetapi, dalam perjalanannya, BPPN lebih memerankan diri sebagai
agen dari pihak penerima bantuan daripada sebagai wakil pemerintah yang
berhak menarik atas bantuan likuiditas yang telah diberikannya. Selain itu,
dalam menjalankan tugas penyehatan perbankan, BPPN kurang optimal
menjalankan tugasnya. Hal ini tercermin dari beberapa kelemahan dalam
menjalankan tugas, seperti saat menghitung aset yang diserahkan oleh
penerima bantuan likuiditas. Sering kali aset yang dibayarkan oleh penerima
bantuan jauh di atas dari nilai pasar yang berlaku. Salah satu contohnya
adalah aset tambak udang raksasa, Dipasena, di Lampung, milik Sjamsul
Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI / 327
Nursalim yang diserahkan kepada BPPN dengan nilai sebesar Rp 20 triliun.
Padahal menurut perhitungan Menko Ekiun pada masa itu, Kwik Kian Gie,
nilai pasar dari tambak Dipasena tersebut hanya Rp 2 triliun (Tempo, 5
11/03/2007:96-97). Perbedaan yang sangat jauh itu jelas merupakan kabar
yang tidak menggembirakan dari kinerja BPPN. Inilah yang menjadi sebab
skema MSAA (yang diperuntukkan bagi penerima BLBI yang dinilai asetnya
mampu menutupi seluruh kewajiban) menjadi gagal karena sebagian besar
aset yang diserahkan nilainya tidak sebanding dengan jumlah utang yang
diperoleh oleh penerima dana BLBI.
Kelemahan BPPN tidak hanya berhenti pada saat menilai aset yang
dibayarkan oleh penerima bantuan. Kerap kali BPPN dalam menjual aset
yang dibayarkan oleh penerima bantuan dalam rangka mengkonversi aktiva
tetap menjadi uang kas jauh di bawah nilai pasar. Selain itu, lembaga ini juga
tidak maksimal dalam mengelola aset yang dibayarkan oleh penerimaan
bantuan, sehingga banyak aset yang dibayarkan oleh penerima bantuan
setelah berada di bawah kewenangan BPPN menjadi tidak terurus. Cerita
akhirnya, nilai aset tersebut menjadi jauh di bawah nilai pasar. Dengan
kinerja BPPN yang seperti ini, maka aset yang dibayarkan oleh penerima
bantuan likuiditas mengalami penurunan berganda setelah berada di bawah
BPPN. Praktik kinerja yang demikian ini jelas bukan mencerminkan
lembaga yang dibentuk dalam rangka mengelola aset perbankan yang
mendapatkan bantuan likuiditas dari BI. Singkatnya, BPPN bertindak
sebagai makelar ketimbang sebagai wakil dari pemerintah.
Kondisi tersebut selain dikarenakan ketiadaan cetak biru yang menjadi
pijakan operasional lembaga, juga disebabkan tindakan-tindakan curang
oleh oknum pimpinan dari lembaga tersebut. Dari beberapa nama yang
pernah memimpin lembaga BPPN tidak jarang dari mereka mempunyai
jejak rekam yang buruk, bahkan terdapat pula nama yang saat ini telah
terbukti melakukan tindakan curang. Kondisi yang demikian tidak dapat
dilepaskan dari mekanisme penentuan pejabat-pejabat BPPN yang
bersumber dari pemerintah. Selain itu, di samping beberapa kelemahan
dalam kegiatan operasional teknis dari pembayaran aset dan juga konversi
aset, kelemahan yang melekat dari BPPN adalah ketidakmampuan dalam
mendesain mekanisme pembayaran aset oleh perbankan yang menerima
bantuan likuiditas. Seperti telah diuraikan sebelumnya, dalam desain
restrukturisasi perbankan tidak dibuat kejelasan tentang skema pembayaran

328 / Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI


bantuan likuiditas. Oleh karena itu, dengan fakta gabungan ini menjadikan
pengembalian bantuan likuiditas sulit dilakukan, di samping realitas
terjadinya penurunan nilai aset akibat buruknya kinerja dari lembaga
penyehatan perbankan.
Akhirnya, dari keseluruhan dana Rp 600 triliun yang disuntikkan
pemerintah ke perbankan pasca krisis moneter, sampai dengan Oktober
2003, BPPN sudah mengembalikan sejumlah Rp 152,4 triliun. Dana
sejumlah itu terdiri dari setoran tunai Rp 107,167 triliun, obligasi Rp 14,994
triliun, tunai non-APBN Rp 9,7 triliun, dan recycle bonds Rp 20,541 triliun.
Dari obligasi yang sudah ditarik BPPN sebesar Rp 20,54 triliun ada yang
disuntikkan kembali ke Bank Internasional Indonesia (BII) dalam rangka
penyehatan perbankan sebesar Rp 18,67 triliun. Selain itu, ada juga yang
disuntikkan untuk Bank Permata dalam rangka merger. Sedangkan untuk
tunai non-APBN digunakan Rp 2,73 triliun untuk penyertaan tunai ke dalam
bank hasil merger Bank Permata. Selain itu, sebesar Rp 2,96 triliun
merupakan pendapatan lain-lain, yaitu iuran premi penjaminan kupon
obligasi dan dana pihak ketiga (Yuntho dan Rahayu, 2006:9). Jadi dari
gambaran tersebut sebetulnya dana yang berhasil diambil oleh BPPN dari
para penerima BLBI hanya sekitar 25,4% dari total dana yang digelontorkan
oleh pemerintah (Rp 600 triliun).

Penutup
Deskripsi di atas memberikan pengetahuan bahwa kebijakan BLBI yang
dilansir pemerintah pada saat krisis ekonomi 1997/1999 sebetulnya
mengalami persoalan, baik secara substansial maupun teknis. Dalam
pendekatan ekonomi kelembagaan, persoalan tersebut dapat
dikelompokkan dalam tiga level. Pertama, secara substantif kebijakan BLBI
kurang dapat dibenarkan karena dua hal: (1) krisis kepercayaan perbankan
tidak mesti harus diatasi dengan penyaluran likuiditas, tetapi mencari akar
dari krisis kepercayaan tersebut; dan (ii) secara teknis BLBI diberikan kepada
bank-bank yang jelas telah melakukan banyak penyimpangan, seperti
pelanggaran legal lending limit. Kedua, akibat ketidakjelasan aturan main yang
dibuat oleh BI bagi penerima dana BLBI menjadikan maraknya perilaku
moral hazard. Perilaku menyimpang itu antara lain dilakukan dengan jalan
memanfaatkan dana BLBI bagi kepentingan di luar kesepakatan, mengulur-

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI / 329


ngulur waktu pembayaran, dan sengaja kabur dari tanggung jawab. Ketiga,
BPPN sebagai institusi yang diserahi untuk mengurus pengembalian dana
BLBI justru terperangkap dalam permainan para obligor. Ini antara lain
ditunjukkan dengan penilaian aset yang jauh lebih tinggi dari harga pasar,
penjualan kembali aset yang sangat rendah (dan sebagian dibeli kembali oleh
pemilik lama dengan macam-macam mekanisme), dan mekanisme
pembayaran yang tidak lengkap.

330 / Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI


Bab 17
PENYELESAIAN
BLBI: MENEBUS
KETIDAKADILAN
DAN MEMBAYAR
KERUGIAN
Hendri Saparini

Sepuluh tahun telah berlalu, mega skandal Bantuan Likuiditas Bank


Indonesia (BLBI) yang terjadi saat krisis moneter 1998, belum juga berujung
pada kepastian dan ketegasan langkah penyelesaian dari pemerintah.
Namun, di penghujung tahun 2007, ada angin segar yang kembali ditiupkan
dari gedung parlemen untuk mendorong penyelesaian BLBI. Sekelompok
politisi dari berbagai fraksi telah berhasil mengusung usul interpelasi kasus
BLBI.
Banyak pihak pesimistis terhadap langkah penyelesaian BLBI yang
diusung para politisi. Kekawatiran bahwa proses interpelasi BLBI hanya
akan menjadi komoditas politik atau mandeg di tengah jalan adalah salah
satu alasan utamanya. Namun, pesimisme masyarakat yang besar tersebut
Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian / 331
sangat bisa dipahami. Fakta telah menunjukkan bahwa langkah
pengembalian kerugian negara dari kasus BLBI yang telah melewati
perjalanan hampir satu dasawarsa, tidak mampu memberikan hasil optimal.
Hampir dalam setiap penyelesaian seperti penjualan jaminan aset, negara
selalu dirugikan.
Pesimisme juga muncul karena pada realitanya para pengemplang BLBI
tidak hanya licin dan rapi bersembunyi di manca negara. Tapi justru karena
mereka tetap mendapat tempat terhormat di Indonesia. Sebagiannya
bahkan dekat dengan para penguasa dari berbagai rezim. Sedangkan para
pejabat di berbagai level yang semestinya bertanggung jawab terhadap
kebijakan BLBI, hingga saat ini bebas dari segala tanggung jawab. Bahkan
ada yang tetap dianggap layak untuk menduduki jabatan tinggi di
pemerintahan.
Padahal pada Februari 1999, DPR telah membentuk Panja BLBI dan
melakukan pemeriksaan dengan seksama terhadap kasus ini, antara lain
dengan memanggil nama-nama yang diduga terkait dengan penyaluran dana
tersebut. Panja menyimpulkan beberapa hal, antara lain penyaluran BLBI
tidak dilakukan dengan mekanisme yang transparan dan sarat dengan
nuansa penyelewengan. Akhirnya Panja merekomendasi 56 nama yang
diduga terkait dengan penyelewengan baik dalam penyaluran maupun
penggunaan dana BLBI. Namun, rekomendasi Panja yang tegas tersebut
hingga saat ini tidak diikuti tidak lanjut yang tegas.
Track record pemerintah dalam menyelesaikan kasus BLBI akhirnya
memang memaksa masyarakat untuk cenderung pesimis terhadap langkah
bongkar ulang kasus BLBI. Meski demikian, ada beberapa hal positif yang
dapat diambil dari langkah interpelasi kasus BLBI ini. Salah satunya, upaya
penyelesaian BLBI kali ini harus menjadi bagian penting dalam memberikan
pendidikan kepada masyarakat. Sangat penting untuk dibeberkan kepada
publik bahwa kesalahan dalam pengambilan kebijakan publik dalam kasus
BLBI akan menimbulkan dampak kerugian yang luar biasa dan sangat sulit
untuk diperbaiki. Oleh karenanya, pejabat publik seharusnya tidak akan
pernah terlepas dari tanggung jawab atas kebijakan yang pernah dibuatnya.
Apalagi untuk kasus BLBI yang tidak hanya merugikan negara dan rakyat
secara finansial dan ekonomi, tetapi di dalamnya juga sarat dengan vested
interest, korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

332 / Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian


Interpelasi BLBI juga semestinya dijadikan kesempatan untuk
memberikan pemahaman kepada publik bahwa kerugian dan ketidakadilan
yang diakibatkan oleh kebijakan BLBI tidak terlepas dari kesalahan fatal dari
Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Resep yang telah
meliberalkan dan merontokkan sektor finansial, merupakan salah satu resep
generik yang selalu diwajibkan oleh kedua lembaga multilateral tersebut
kepada negara-negara berkembang sebagai solusi dalam menyelesaikan
krisis. Telah banyak bukti bahwa saran kebijakan kontraktif ala IMF hanya
akan menyisakan beban keuangan negara yang sangat besar dan semakin
memporakporandakan struktur ekonomi, seperti terjadi di banyak negara
Latin Amerika yang mengalami krisis kambuhan sejak tahun 1970.
Penyelesaian kasus BLBI lewat interpelasi semestinya dapat
dimanfaatkan untuk menunjukkan kepada publik bahwa paradigma
konservatif ala Konsensus Washington yang telah diadopsi oleh kelompok
1
Mafia Berkeley selama lebih dari empat puluh tahun inilah yang telah
mengakibatkan kerapuhan ekonomi sehingga rentan terhadap hantaman
krisis. Prioritas kebijakan Mafia Berkeley untuk melakukan disiplin anggaran
dengan menghapus berbagai subsidi, melakukan liberalisasi perdagangan
dan industri tanpa mendasarkan pada kepentingan nasional, privatisasi yang
dilakukan untuk mengurangi peran negara, dll, adalah pilihan kebijakan yang
membawa Indonesia pada krisis ekonomi. Lebih lanjut, pakem konservatif
yang dianut oleh ekonom Mafia Berkeley dalam menyelesaikan krisis
moneter 1998 justru mengakibatkan krisis semakin semakin parah dan
meluas.

Kesalahan IMF dan pejabat pemerintah


Penyaluran BLBI dilakukan akibat terjadinya krisis moneter dan
finansial yang semakin meluas di Indonesia. Krisis ini yang merupakan
dampak lanjutan dari krisis moneter di Thailand pada bulan Juli 1997.
Semestinya dampak krisis moneter di kawasan Asia Tenggara tidak
berdampak terlalu buruk. Namun, sejumlah kebijakan keliru yang telah

1
Mafia Berkeley adalah kelompok ekonom yang berkuasa hampir 40 tahun sejak
pemerintahan Soeharto, Habibie, Megawati, dan SBY

Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian / 333


diambil oleh Bank Indonesia dan Departemen Keuangan pada awal krisis
justru semakin memperparah krisis di Indonesia.
Pertama, pada tahun 1996 mata uang Rupiah sudah mengalami over
valuasi sebesar 16%, sehingga Indonesia menjadi sasaran empuk bagi
spekulan pada tahun 1997. Namun, kondisi ini tidak direspon oleh
Departemen Keuangan dan Bank Indonesia dengan melakukan devaluasi
mata uang rupiah.
Kedua, dalam kondisi moneter dan keuangan yang amat rentan, Bank
Indonesia justru melaksanakan kebijakan moneter super ketat pada akhir
2
Agustus 1997 . Akibatnya, tingkat suku bunga interbank yang biasanya
hanya 16%-17%, melonjak mencapai 300% pada 22 Agustus 1997. Salah
langkah ini akhirnya mengakibatkan bank-bank mengalami kesulitan
likuiditas dan sangat rentan terhadap external shock atau guncangan akibat
faktor-faktor luar.
Ketiga, saran kelompok ekonom Mafia Berkeley untuk mengundang
IMF dalam menyelesaikan masalah penanganan krisis di Indonesia justru
memperparah keadaan. Langkah ini mendorong kebangkrutan dunia usaha,
menambah 40 juta pengangguran, dan membuat ekonomi Indonesia anjlok
dari rata-rata pertumbuhan 6% per tahun menjadi -12,8% pada tahun 1998.
Saran IMF yang mengakibatkan hancurnya lembaga perbankan Indonesia
adalah tindakan menutup 16 Bank pada bulan November 1997 tanpa
persiapan yang memadai. Sebagaimana diketahui, sebelum penutupan
bahkan tidak ada warning terhadap bank-bank yang akan ditutup.
Tidak pelak lagi, langkah ini akhirnya menimbulkan kepanikan
masyarakat yang berlanjut dengan penarikan besar-besaran (rush) terhadap
hampir semua bank-bank di Indonesia. Para nasabah berlomba-lomba
untuk menarik uangnnya dari bank-bank nasional dan memindahkannya ke
bank-bank asing. Ketidakpastian lain ditunjukkan dengan larinya modal ke
luar negeri (capital outflow) sebesar 8 milyar US dollar. Goncangan ini pun
akhirnya menghempaskan nilai tukar rupiah hingga ke level di atas Rp 10
ribu / dollar pada tahun 1997.
Kepanikan masyarakat dan gejolak sosial ekonomi semakin besar saat
pemerintah Indonesia, atas saran IMF, mengurangi berbagai subsidi untuk
2
Baca ECONIT “Economic Outlook 1998”, 5 November 1997

334 / Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian


menahan dampak negatif krismon. Kenaikkan harga BBM untuk minyak
tanah misalnya sebesar 25%, dan bensin 71%. Kerusuhan masyarakat yang
hebat akibat kenaikan harga minyak merupakan kesalahan fatal pemerintah
dan IMF. Pilihan kebijakan menaikkan harga BBM yang akan memicu
kenaikan harga-harga benar-benar tidak bisa diterima karena dilakukan
ditengah suasana politik yang mulai memanas paska terpilihnya kembali
Soeharto.
Kepanikan masyarakat dan berbagai kesalahan kebijakan ternyata
membawa dampak kepada terus meningkatnya saldo debet rekening giro
bank di Bank Indonesia. Untuk mengatasi peningkatan saldo debet rekening
giro bank di Bank Indonesia tersebut, maka Bank Indonesia mengambil
kebijakan untuk menyetujui permohonan bank-bank untuk mengkonversi
saldo debet tersebut dengan Fasilitas Diskonto (Fasdis) I dan/atau Fasdis II.
Namun, konversi fasdis tersebut tidak membawa hasil yang efektif.
Rekening giro bank-bank di Bank Indonesia terus mengalami saldo debet
atau negatif. Dalam suasana ini Bank Indonesia masih terus melanjutkan
untuk membantu bank dengan mengkonversikan saldo debet dengan Fasdis
I dan/atau Fasdis II.
Seharusnya kebijakan Fasdis didasarkan kepada kriteria-kriteria tertentu
seperti misalnya hanya diberikan kepada bank yang sehat tetapi sedang
mengalami krisis likuiditas sebagai dampak dari overkill monetary policy.
Sedangkan untuk bank yang mengalami krisis likuiditas karena
mismanagement dan ada potensi penyalahgunaan dana untuk kepentingan
pribadi, seharusnya tidak perlu untuk dibantu. Namun, Bank Indonesia
cenderung mengabaikan kriteria-kriteria tersebut. Yang menjadi tolok ukur
saat itu hanya satu yakni saldo harian rekening giro bank di Bank Indonesia.
Kebijakan yang berlangsung terus-menerus tersebut akhirnya sudah jauh
melampaui batas kemampuan Bank Indonesia dalam memberikan fasilitas
diskonto. Akhirnya Bank Indonesia menciptakan sejumlah fasilitas khusus
untuk keperluan tersebut, seperti Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang
Khusus, New Fasdis, dan Fasilitas Saldo Debet.
Penciptaan fasilitas-fasilitas khusus tersebut ternyata justru kontra-
produktif karena tanpa adanya pre-audit yang memadai, akhirnya justru
disalahgunakan oleh perbankan untuk mendapatkan dana dari Bank
Indonesia dan kemudian menggunakannya untuk keperluan-keperluan yang
menyimpang dari tujuan semula. Penyimpangan tersebut antara lain
Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian / 335
digunakan untuk: (i) ekspansi kredit yang bukan kredit usaha kecil; (ii)
tambahan kredit kepada Group (yang sudah melanggar BMPK); (iii)
peningkatan aktiva neto valas yang bukan untuk pengurangan/pelunasan
hutang luar negeri; (iv) pembangunan atau pembelian gedung baru; dan (v)
pembagian dividen.

Kerugian dan ketidakadilan


Hasil audit BPK menunjukkan bahwa sampai dengan tanggal 29 Januari
1999, Bank Indonesia dan Pemerintah telah menyalurkan dana sebesar Rp
621,6 triliun untuk keperluan penyehatan industri perbankan nasional
selama masa krisis itu. Sebesar Rp 144,5 triliun daripadanya adalah
merupakan BLBI yang di-cessie-kan oleh Bank Indonesia ke BPPN, sebesar
Rp 40,09 triliun disalurkan oleh Pemerintah untuk membiayai dana
penjaminan serta Rp 374,0 triliun merupakan nilai obligasi yang telah
dikeluarkan oleh Pemerintah untuk rekapitulasi industri perbankan. Sebesar
Rp 11,8 triliun dari BLBI Bank Dalam Likuidasi telah dikembalikan oleh
BPPN pada Pemerintah. Penyaluran dana Rp 621,6 triliun tersebut amat
sangat besar. Sebagai perbandingan, nilai tersebut setara dengan separuh
dari nilai PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia pada tahun 1998.
Diukur dari prosentasenya terhadap PDB, biaya rekapitalisasi perbankan di
Indonesia pada waktu itu adalah yang terbesar dalam sejarah dunia.
Kerugian besar juga terjadi pada fase penyelesaian BLBI pada saat
pemerintah mulai melakukan penjualan aset obligor yang telah diserahkan
kepada BPPN. Penurunan nilai aset merupakan sumber kerugian negara
lainnya dalam kasus BLBI. Penurunan nilai aset terjadi karena beberapa
faktor antara lain: Pertama, banyak aset yang diserahkan oleh para obligor
yang berupa aset produktif seperti pabrik, usaha perkebunan, perikanan, dll.
Aset-aset yang masuk ke BPPN tersebut kemudian dikelola oleh para
pejabat BPPN yang tidak memiliki keahlian dalam pengelolaan aset.
Akibatnya, pengelolaan yang semestinya memprioritaskan keberlanjutan
kegiatan produksi, banyak yang justru diperlakukan sebagai aset non-
produktif. Akhirnya keadaan semakin parah karena banyak aset-aset
produktif yang terbengkelai yang berakibat pada dilakukannya PHK secara
besar-besaran. Kedua, penjualan aset dilakukan pada masa krisis. Ketiga,

336 / Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian


penjulan aset dipercepat (diobral) untuk menambal defisit APBN sesuai
dengan saran IMF yang tertuang pada letter of intent (LoI).
Sebagus apa pun suatu aset, jika dilepas pada waktu yang tidak tepat dan
relatif dijual pada waktu bersamaan, maka dapat dipastikan harganya akan
jatuh. Jual obral aset ala BPPN ini sangat disayangkan karena langkah
tersebut telah merugikan semua pihak, baik pemerintah, rakyat, maupun
para obligor sendiri. Sejak itu mulai muncul permasalahan ekonomi baru di
Indonesia yang sebelum krisis tidak ditemukan yakni deindustrialisasi,
stagnasi pembangunan infrastruktur dan program dukungan bagi rakyat
baik lewat bantuan modal, teknologi, dll.
Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, sebagian obligor
dinyatakan kooperatif dan tuntas menunaikan kewajiban setelah melewati
proses hukum. Mereka diberikan surat keterangan lunas (SKL). Langkah ini
seolah tidak adil. Namun, betapapun beratnya kesalahan langkah
pemerintah ini telah menjadikan para obligor penandatangan MSAA
mendapatkan SKL dan harus dinyatakan sebagai pihak yang telah tuntas
menyelesaikan kewajiban BLBI. Oleh karenanya, menjadi tidak mudah dan
perlu kerja keras untuk mengajukan proses hukum baru karena harus ada
novum atau bukti baru tentang penyimpangan.
Penyelesaian kasus BLBI sementara dapat difokuskan pada pengusutan
terhadap para obligor yang tidak kooperatif dan sekarang masih buron.
Demi keadilan, yang harus diusut juga adalah para pejabat Bank Indonesia,
pejabat pemerintah, dan para mantan ketua BPPN. Mereka juga punya andil
sangat besar dalam penyimpangan BLBI dan jatuhnya nilai aset obligor.
Kerugian yang harus ditanggung negara rata-rata sekitar 85% dari nilai aset
yang dipakai untuk membayar. Dengan kata lain pengembalian uang yang
diterima negara (recovery rate) sangat rendah, rata-rata hanya 15%. Andaikan
aset-aset yang diserahkan kepada BPPN dikelola dengan benar dan baru
dijual setelah krisis berlalu, maka nilainya akan sangat jauh diatas kewajiban
para obligor.
Namun, keputusan mengundang IMF telah mengakibatkan berbagai
pilihan kebijakan tersebut tidak mungkin. Dalam kasus BCA misalnya,
keterlibatan IMF dan para pendukungnya di pemerintahan telah
mengakibatkan kerugian negara yang amat besar. Pada saat itu IMF
memerintahkan aset Grup Salim harus dijual sesuai dengan jadwal yang

Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian / 337


telah ditetapkan oleh IMF tanpa peduli berapa harga yang didapatkan.
Padahal seharusnya dalam penjualan BCA kesempatan untuk membukan
harga harus diberikan secara bersama-sama oleh semua penawar. Dan kalau
harga penawaran tertinggi lebih rendah dari harga minimum, maka
penjualan dibatalkan dan akan diulang kembali. Namun, para pejabat
pemerintah Megawati justru memilih penjualan aset model IMF dengan cara
obral tanpa harga minimum.
Akhirnya, dengan keterlibatan mantan pejabat tinggi IMF sebagai
pelobi Farralon untuk memenangkan pembelian 51% saham BCA telah
sangat merugikan keuangan negara. Penjualan BCA dengan harga Rp 5
triliun atau dinilai hanya sekitar Rp 10 triliun untuk 100%, merupakan
kerugian masyarakat dan negara yang sangat besar karena di dalam BCA
sendiri ada tagihan kepada pemerintah sebesar Rp 60 triliun. Kesalahan ini
pun harus dibayar mahal dengan kapitalisasi yang terjadi pada PT. BCA Tbk
karena nilai kapitalisasi saham PT. BCA Tbk pada 7 Desember 2007
mencapai Rp 91,87 triliun. Dengan menguasai 51,15%, maka tanpa kerja
keras Farallon kini mengantungi capital gain Rp 41.5 triliun. Kasus-kasus
penjualan aset ala BCA lainnya akibat mis-judgement dan kepentingan
segelintir orang sangat banyak terjadi.
Kesalahan kebijakan baik dalam penyaluran maupun pilihan
penyelesaian BLBI yang tidak kalah dampak negatifnya adalah kerugian dan
ketidakadilan yang harus ditanggung oleh rakyat. Besarnya dana yang
disalurkan lewat BLBI telah mengakibatkan munculnya beban pembayaran
bunga rekap dalam APBN. Beban bunga ini tidak hanya pada jumlahnya
yang sangat luar biasa tetapi juga pada jangka waktu pembayaran yang sangat
lama. Sebagaimana telah disebutkan di sebelumnya, beban utang
pemerintah kepada Bank Indonesia terkait BLBI adalah sebesar Rp144,5
triliun. Untuk menyelesaikan beban itu, pada awalnya pemerintah
menerbitkan surat utang Bank Indonesia dalam bentuk SU (surat utang),
SU1 dan SU3. Surat utang tersebut diterbitkan saat rekap yakni pada tahun
19981999. Kemudian pada saat pemerintah melakukan restrukturisasi tahun
2003, surat utang tersebut berganti nama menjadi SRBI01 dan dengan
perubahan jangka waktu hingga 30 tahun kemudian.
Dalam SRBI01 telah disepakati bahwa pemerintah akan mencicil beban
tersebut setiap tahun dimulai sejak tahun 2007. Dalam perjanjian ini
disebutkan pemerintah akan menggunakan surplus anggaran Bank
338 / Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian
Indonesia. Tahun 2007 misalnya, telah dibayar Rp 13,7 triliun dari surplus
Bank Indonesia tahun 2006. Sebelumnya, pada 2006 pemerintah telah
membayar Rp 1,5 triliun. Namun, setelah sepuluh tahun penyaluran BLBI,
beban APBN atas bunga rekap BLBI ini masih sangat besar. Pada tahun
2007 masih sebesar Rp 129,3 triliun atau baru berkurang sekitar Rp 15,2
triliun. Dengan gambaran ini jelas bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh
penyaluran BLBI ini masih akan ditanggung oleh keuangan negara dan
rakyat akan sangat berat dan lama.
Kewajiban pemerintah untuk membayar bunga rekap inilah yang telah
menciptakan kerugian dan ketidakadilan bagi rakyat. Besarnya dana yang
harus dialokasikan dalam APBN dan keputusan jangka waktu
pembayarannya yang lama telah, secara sepihak telah merebut hak rakyat.
Baik hak untuk mendapatkan stimulus ekonomi lewat berbagai program
pembangunan maupun melalui berbagai program pemenuhan hak dasar
rakyat. Masalah menjadi semakin parah saat pemerintah memilih untuk
lebih memprioritaskan pembayaran berbagai kewajiban utang dibanding
belanja-belanja penting yang berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat.
Lebih lagi, dengan alasan keterbatasan dana, semakin banyak belanja proyek
pembangunan dan subsidi untuk rakyat yang dikorbankan oleh pemerintah.
Beban APBN akibat besarnya bunga rekap yang harus dibayarkan jelas
tidak hanya menimbulkan kerugian secara finansial yakni kerugian karena
harus menyediakan dana APBN untuk pembayaran bunga utang. Tetapi ada
kerugian lain yang jauh lebih besar yakni kerugian ekonomi karena hilangnya
kesempatan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Sebagai
contoh, akibat beban berat bunga rekap maka pembangunan infrastruktur
yang menjadi prasyarat penting dalam mendorong kegiatan pembangunan
dan peningkatan kesejahteraan jalan ditempat. Pengurangan alokasi
anggaran untuk perawatan dan pembangunan irigasi maupun waduk-waduk
misalnya, tidak hanya telah menimbulkan penurunan daya saing dan tingkat
produksi pertanian tetapi juga mengakibatkan bencana banjir atau
kekeringan. Masih banyka akibat lain dari pilihan kebijakan yang
memprioritaskan pembayaran utang, mengakibatkan banyak kebijakan
fiskal yang tidak pro-kepentingan rakyat. Pengurangan subsidi BBM, pupuk,
listrik, dll seolah menjadi langkah yang benar yang tidak bisa dihindari untuk
dilakukan.

Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian / 339


Beban BLBI dalam APBN juga telah menimbulkan ketidakadilan karena
kesalahan kebijakan BLBI dengan mudah dibebankan kepada rakyat lewat
APBN. Sementara pihak-pihak lain yang semestinya bertanggung jawab,
belum ikut menanggung beban yang seharusnya bisa dibagi ini (burden sharing).
Seperti telah disebutkan di atas, usulan penutupan bank adalah saran dari IMF
yang kemudian dilaksanakan oleh para pejabat pemerintah. Kebijakan inilah
yang menjadi pemicu kepanikan. Oleh karenanya IMF/Bank Dunia serta para
pejabat Bank Indonesia dan pemerintah diberbagai level yang terkait dengan
kebijakan ini mustinya menjadi pihak yang juga harus ikut menanggung beban.
Dalam penyaluran dan penyelesaian kasus BLBI pun semakin banyak
pihak yang seharusnya ikut bertanggung jawab baik dari pihak pemerintah
maupun penerima BLBI karena telah melakukan berbagai penyimpangan.
Seperti telah disinggung sebelumnya, kelemahan dalam penyaluran BLBI
akhirnya memberi kesempatan banyak pihak untuk berbuat curang bagi
kepentingan pribadi dan kelompok seperti melakukan transaksi surat
berharga, membiayai kerugian karena kontrak derivatif yang jatuh tempo, dll.
Oleh karenanya menjadi sangat tidak adil bila sejak krisis hingga saat ini justru
rakyat yang harus terus menanggung beban lewat APBN.

Tuntutan dalam Interpelasi


Dari penjelasan di atas, ada beberapa hal penting terkait dengan langkah
interpelasi BLBI karena momen interpelasi harus dimanfaatkan secara
maksimal untuk mengurangi kerugian dan ketidak adilan yang terjadi selama
ini serta dimanfaatkan untuk memberikan pendidikan bagi masyarakat tentang
berbagai kesalahan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Hal-hal penting
tersebut adalah:
Pertama, langkah interpelasi BLBI harus dijadikan kesempatan emas untuk
menjelaskan kepada publik tentang beberapa hal penting. Publik harus
diberikan pemahaman tentang kebijakan ekonomi Mafia Berkeley dengan
menganut konsep Konsensus Washington yang terbukti telah membawa pada
struktur ekonomi Indonesia yang rapuh. Kasus BLBI menjadi salah satu
contoh bahwa pilihan penyelesaian krisis ala IMF justru telah membawa
Indonesia sebagai salah satu negara yang berpotensi mengalami krisis
ekonomi yang berulang.

340 / Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian


Kedua, kebijakan penanganan krisis dengan melibatkan IMF telah
mengakibatkan krisis ekonomi Indonesia 1998 menjadi semakin parah.
Langkah pejabat Bank Indonesia dan pejabat pemerintah dalam
menyalurkan BLBI untuk menyelamatkan perbankan dari langkah kebijakan
salah ala IMF, harus berakhir dengan rontoknya sektor perbankan dan
sektor ekonomi lain serta menyisakan beban berat pada ekonomi nasional.
Saran-saran menyesatkan dari IMF tidak hanya dilakukan pada tahap
penutupan bank tetapi juga pada tahap penyelesaian masalah BLBI.
Pembiaran keterlibatan IMF oleh para ekonom pro Washington Konsensus
inilah yang semakin menambah beban keuangan negara dan merugikan
ekonomi nasional.
Ketiga, dalam penyaluran BLBI tersebut Bank Indonesia tidak
menggunakan kriteria sesuai dengan ketentuan sehingga terjadi
penyimpangan. Mis-judgement dan salah kebijakan terjadi tidak hanya dalam
penyaluran BLBI tetapi juga pada tahap peralihan aset ke BPPN dan saat
penyelesaian lewat berbagai obral aset (fire-sale). Oleh karenanya, untuk
memberikan rasa keadilan, maka kesalahan dan penyimpangan dalam kasus
BLBI harus ditanggung renteng oleh pejabat pada tingkat kebijakan
strategis, kebijakan teknis, pengawasan bank dan juga para penerima atau
pengguna. Penyelidikan terhadap para auditor semestinya juga menjadi
bagian penting dari penyelesaian kasus BLBI karena akan dapat membuka
kasus ini dengan lebih jelas.
Keempat, penyelesaian masalah BLBI harus dapat mengoreksi kerugian
dan ketidakadilan yang ditanggung oleh rakyat selama ini. Hasil audit BPK
menunjukkan bahwa Bank Indonesia dan Pemerintah telah menyalurkan
dana sebesar Rp 621,6 triliun untuk keperluan penyehatan industri
perbankan nasional selama masa krisis. Dalam penyaluran BLBI terjadi
banyak bentuk penyimpangan yang menimbulkan kerugian sangat besar
baik secara finansial maupun ekonomi. Interpelasi BLBI semestinya dapat
menggunakan temuan ini sebagai acuan untuk segera dengan tegas
menyelesaikan masalah dengan temuan ini baik dari sisi perdata dan pidana.
Rekomendasi Panja DPR penting untuk menjadi agenda yang harus
segera ditindaklanjuti. Panja telah menyimpulkan banyak hal, antara lain
bahwa penyaluran BLBI tidak dilakukan dengan mekanisme yang
transparan. Bahkan sarat dengan nuansa penyelewengan yang antara lain
digunakan untuk: (i) ekspansi kredit yang bukan kredit usaha kecil; (ii)
Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian / 341
tambahan kredit kepada Group (yang sudah melanggar BMPK); (iii)
peningkatan aktiva neto valas yang bukan untuk pengurangan/pelunasan
hutang luar negeri; (iv) pembangunan atau pembelian gedung baru; dan (v)
pembagian dividen, harus segera ditindak lanjuti. Rekomendasi Panja untuk
memeriksa 56 nama yang diduga terkait dengan penyelewengan baik dalam
penyaluran maupun penggunaan dana BLBI harus segera dilaksanakan.
Untuk mengoreksi ketidakadilan yang selama ini telah terjadi maka langkah
membagi beban antara pejabat pemerintah dan pejabat Bank Indonesia
serta penerima BLBI harus dilakukan. Bahkan perlu diupayakan untuk
meminta IMF/Bank Dunia ikut menanggung kesalahan dari saran kebijakan
yang pernah diberikan saat terjadi krisis ekonomi.
Kelima, keputusan penetapan beban bunga rekap yang sangat merugikan
dan tidak adil bagi rakyat harus segera dihentikan. Tidak hanya pada
jumlahnya yang sangat luar biasa tetapi juga pada jangka waktu pembayaran
yang sangat lama sehingga sangat membebani APBN. Beban utang
pemerintah kepada Bank Indonesia terkait BLBI adalah sebesar Rp 144,5
triliun. Untuk menyelesaikan beban itu, telah dibuat kesepakatan bahwa
pemerintah akan mencicil beban tersebut setiap tahun selama 30 tahun
dimulai sejak tahun 2007. Upaya untuk segera mengurangi beban APBN
dari utang penyaluran BLBI harus menjadi fokus pembahasan dalam
interpelasi karena tidak hanya telah menimbulkan kerugian finansial tetapi
juga kerugian ekonomi yang sangat besar.
Oleh karenanya, langkah interpelasi BLBI yang diajukan oleh
sekelompok politisi DPR hanya akan memberikan dampak besar apabila
dapat mendorong Kejaksaan Agung untuk tidak hanya menuntut para
pengemplang BLBI, tetapi juga memeriksa dan menuntut
pertanggungjawaban para mantan menteri ekonomi pada awal krisis, pejabat
yang saat ini berkuasa dan menjadi antek serta kepanjangan tangan IMF
untuk menghancurkan ekonomi Indonesia melalui berbagai kebijakan
ekonomi yang salah. Hal lain yang harus menjadi prioritas adalah
mengoreksi keputusan atas beban utang pemerintah atas BLBI yang telah
sangat merugikan rakyat lewat kewajiban pembayaran utang yang menyedot
keuangan negara.

342 / Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian


Bab 18
MENGUPAYAKAN
PENYELESAIAN BLBI
DAN OBLIGASI
REKAP BANK
DENGAN
“POLITICAL WILL”
PEMERINTAH
Aviliani (Ekonom INDEF)

Ketika krisis terjadi tahun 1998, hampir sebagian bank mengalami


masalah likuiditas karena terjadi penarikan dana nasabah secara besar-
besaran terutama akibat penutupan 16 bank yang disarankan IMF. Untuk
mengatasi hal tersebut Bank Indonesia memberikan bantuan yang disebut
dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BLBI merupakan dana
talangan kepada bank-bank dalam rangka penjaminan pemerintah atas
pembayaran dana pihak ketiga serta kewajiban bank lainnya. Kucuran
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mengacu pada kebijakan
Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will" Pemerintah / 343
pemerintah yang tertuang dalam Keppres No.26/1998 dan Keppres
No.55/1998. Keppres itu terbit setelah sebelumnya didahului munculnya
Surat Gubernur BI (Soedrajad Djiwandono) tertanggal 26 Desember 1997
kepada Presiden dan disetujui oleh Presiden Soeharto sesuai surat
Mensesneg No.R183/M.sesneg/12/1997 karena adanya krisis moneter
yang luar biasa saat itu (Danuri, Juli 2007).
Di berbagai belahan dunia ketika terjadi krisis perbankan, liquidity support
seperti BLBI memang bukan merupakan suatu hal yang baru. Hal ini pernah
dilakukan secara massal oleh hampir semua negara yang mengalami krisis.
Hal ini tidak lepas dari fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort. Yang
menjadi masalah apakah kebijakan tersebut efektif dapat menyelesaikan
krisis atau mengihindari ekses negatif yang berlebihan. Dari studi yang
dilakukan Iman Sugema (2005) menunjukkan bahwa manfaat pemberian
BLBI ternyata bersifat marginal atau berarti bahwa dalam situasi krisis
pemberian BLBI tidak memberikan manfaat yang significant karena kinerja
ekonomi di masa krisis tidak akan jauh berbeda dengan ada atau tidaknya
BLBI.
Padahal, dengan adanya kebijakan pemerintah untuk memberi garansi
dalam bentuk BLBI untuk penyehatan perbankan nasional, hingga selesai
mencapai Rp 144,5 triliun, dana itu tersalur ke 48 bank. Ke 48 bank itupun
dibedakan atas kategori 10 Bank Beku Operasi (BBO) sebesar Rp 57,6
Triliun, 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) sebesar Rp 17,3 triliun, dan
15 bank Bank Dalam Likuidasi (BDL) sebesar Rp 11,9 triliun.
Walaupun kepanikan masyarakat telah berhenti, akan tetapi penyaluran
dana BLBI terus menerus meningkat sampai tahun 1999. Hal ini
menunjukkan bahwa masalah likuiditas tidak hanya disebabkan oleh
kepanikan tetapi juga karena memburuknya aset perbankan, masalah moral
hazard dan kemungkinan penjarahan. Sehingga sangat wajar bila dana BLBI
tersebut sampai sekarang masih menjadi isu kontroversial berbagai kalangan
karena menyangkut dana yang sangat besar, juga karena berkembang
pendapat bahwa penyaluran dana tersebut melibatkan berbagai korupsi,
penyalahgunaan, dan berbagai penyimpangan lain, misal pemberian kredit
baru atau menarik kelonggaran yang masih tersisa atau memberi
kesempatan kepada orang-orang terkait untuk menarik simpanannya yang
masih tersisa di bank dan sebagainya tanpa sepengetahuan/ seizin BI
/BPPN.
344 / Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will" Pemerintah
Atas berbagai persoalan BLBI, pertama kali mencuat ketika BPK
mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu
menyebutkan adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun
dari total dana Rp 147,7 triliun, dan adanya penyelewengan yang diterima 48
bank senilai Rp 80,4 triliun. Audit investigatif dengan hasil bahwa nilai
komersial dari jaminan aset para pemilik bank yang bermasalah dan para
obligor, yang kemudian dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN), ternyata hanya sebesar 8,54% atau ekuivalen dengan Rp12,35
triliun. Pada angka-angka inilah terjadi banyak penafsiran, baik dari segi
penyaluran, penggunaan, maupun penyelesaian baik dalam bentuk uang
tunai, saham di perusahaan, maupun dalam bentuk aset lainnya. Ada yang
beranggapan dana BLBI adalah sejenis penjarahan kekayaan nasional oleh
para konglomerat, ada yang memberi titel ini sebagai bail out persoalan privat
(swasta) oleh publik (rakyat), ada yang menilai ini adalah biaya krisis, ada
yang memberi pengertian bahwa kejadian di masa lalu ini sebagai produk
manajemen BLBI yang amburadul (Edward, 2007). Itu sebabnya, Bank
Indonesia kemudian meminta jaminan tambahan berupa jaminan pribadi
(personal guarantee) dari pemilik bank penerima BLBI, konon untuk
mendapatkan jaminan pribadi. Jumlah jaminan itu lebih kurang sama
dengan total jumlah BLBI sebesar Rp 144,5 triliun.
Yang menarik lagi adalah untuk mengetahui berapa penyimpangan, dan
berapa aset yang telah diserahkan pemilik bank atau obligor, ternyata untuk
obligor yang sama dilakukan lebih dari satu kali audit atau audit ulang yang
dilakukan oleh beberapa auditor. Hasil setiap auditor pun berbeda. Hal ini
tidak juga mampu menyelesaikan masalah BLBI.

Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will" Pemerintah / 345
Tabel 1
Hasil Audit BLBI

Auditor Objek audit Kesimpulan Rekomendasi


Dari BLBI Rp144,54 triliun, ada
BPK BLBI 48 bank Follow up pengadilan
penyimpangan 95,78%-nya
Dari BLBI Rp106,05 triliun, ada
BPKP BLBI 42 bank Follow up pengadilan
penyimpangan 51,45%
Dari utang BLBI Rp52,7 triliun, aset
Lehman Brothers BLBI Salim Grup Audit ulang
yang diserahkan Rp52,7 triliun
Pricewaterhouse Dari utang BLBI Rp52,7 triliun, aset
BLBI Salim Grup Audit ulang
Coopers (PWC) yang diserahkan Rp23 triliun
Dari utang BLBI Rp52,7 triliun, aset
KPMG BLBI Salim Grup Audit ulang
yang diserahkan lebih Rp240 miliar
Bahana dan Keduanya local partner Lehman
BLBI Salim Grup Audit ulang
Danareksa Brothers, hasilnya sama
BLBI Sjamsul Dari utang BLBI Rp28,41 triliun, aset
CSFB Audit ulang
Nursalim yang diserahkan pas
BLBI Sjamsul Dari utang BLBI Rp28,41 triliun, aset
E&Y Audit ulang
Nursalim yang diserahkan kelebihan US$1,3 juta
Tim Bantuan BLBI Sjamsul Dari utang BLBI Rp28,41 triliun, aset
Audit ulang
Hukum BPPN Nursalim yang diserahkan hanya Rp13,61 triliun
Sumber: Hasil audit masing-masing auditor (diolah)

Setelah itu pemerintah memutuskan bahwa pola penyelesaian utang


BLBI untuk BTO adalah utang BLBI dikonversikan menjadi saham
pemerintah sehingga pemerintah menjadi pemegang saham mayoritas bank
(90 persen). Selain itu, para pemilik BTO sekaligus menjadi debitur bank
tersebut, sehingga mereka wajib menyelesaikan pinjamannya. Dalam proses
penyelesaiannya, para debitur menyerahkan sebagian aset kepada
pemerintah sesuai dengan besar pinjaman, melalui skema Master of
Settlement Acquisition Agreement (MSAA), Master of Refinancing Notes Issuance
(MRNIA), ataupun Akta Pengakuan Utang (APU).
Penyelesaian BLBI oleh pemerintah masa lalu masih belum memuaskan
semua pihak, sehingga semua pihak masih menuntut pengembalian dana
BLBI yang seharusnya menjadi hak negara. Untuk memenuhi berbagai
aspirasi, Departemen Keuangan (Depkeu) mengajukan tiga skenario
alternatif penyelesaian utang piutang BLBI. Skenario pertama, obligor
BLBI dinyatakan default sehingga mereka harus membayar utangnya sesuai
ketentuan dalam Akta Pengakuan Utang (APU) awal plus pokok dan denda
346 / Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will" Pemerintah
yang jumlahnya untuk 7 obligor mencapai Rp 9,36 triliun. Skenario kedua,
obligor tetap dinyatakan default, namun diberi keringanan bunga dan
pembayaran denda. Sementara skenario ketiga, obligor tidak dinyatakan
default sehingga untuk pembayaran utang mereka berdasarkan perjanjian
APU Reformulasi.
Menurut catatan, yang masih menyisakan masalah ada delapan obligor
dengan nilai sebesar Rp 4,4 triliun, dan menurut Dirjen Kekayaan Negara
Depkeu Hadiyanto bahwa sejumlah aset yang diserahkan para obligor di
bawah nilai wajar, sehingga Depkeu juga memblokir beberapa aset, antara
lain tanah, ruko (rumah toko), dan saham. Namun recovery-nya hanya sekitar
14% dari total kewajiban utang.
Karenanya, bidikan pihak penyidik bahwa bank telah melakukan
penyalahgunaan dana BLBI dan dianggap melakukan tindak pindana
korupsi sulit atau tidak mudah diperoleh pembenaran kecuali apabila
sesudah BLBI dikucurkan/diterima para pengelola dan atau pemegang
saham telah menggunakan dana yang ada di bank untuk keperluan grup,
pribadi yang menyimpang dan melanggar larangan yang telah ditetapkan
oleh undang-undang maupun peraturan-peraturan lainnya. Agaknya
undang-undang No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi akan diberlakukan tidak saja berkaitan dengan penggunaan BLBI
yang menyimpang atau yang dianggap dapat merugikan keuangan negara
tetapi juga kemungkinan dikaitkan dengan penyimpangan yang dapat
merugikan dana masyarakat. Oleh karenanya, para pengelola maupun
pemegang saham perlu berhati-hati terhadap aplikasi ketentuan ini sebab
penerapannya dapat memiliki cakupan luas. Ada baiknya sejak dini bank-
bank yang masih memiliki kewajiban BLBI secara bertahap dapat
menyelesaikan atau kalau toh jumlahnya relatif cukup besar perlu ditutup
dengan jaminan/agunan.
Menurut anggota Komisi VI DPR Drajad Wibowo, setidaknya ada dua
jalan yang bisa ditempuh. Pertama, Presiden harus memerintahkan aparat
penegak hukum mengusut dugaan pelanggaran terhadap seluruh
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Kedua, telusuri dugaan
pembelian kembali aset oleh pemilik lama yang sudah berada di BPPN.
Sebab, menurut Drajad, indikasi ke arah itu sangat kuat apabila melihat
temuan KPK.

Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will" Pemerintah / 347
Melihat runtutan penyelesaian BLBI nampaknya sulit untuk dapat
diusut tuntas, apalagi BPPN sudah dibubarkan, dan masalah penilaian aset
kembali secara hukum sulit dibuktikan, yaitu bahwa nilai penjualan aset oleh
BPPN terlalu rendah atau nilai dari aset yang diserahkan lebih rendah dari
yang seharusnya. Karena pada masa itu, kondisi dianggap tidak normal
sehingga nilai wajar tidak dapat dijadikan patokan, termasuk penetapan
auditor.
Sebenarnya ada cara lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk
memperbaiki komposisi pengeluaran APBN dan digunakan sebagai
stimulus ekonomi. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan negosiasi
bank-bank rekap, terkait dengan bunga obligasi rekap.

Obligasi Rekap Bank


Banyak pihak rancu dengan BLBI dan obligasi rekap, sehingga segala
upaya hanya dikonsentrasikan pada BLBI, padahal selain BLBI bank-bank
bermasalah tetapi masih beroperasi juga memperoleh dana yang besar yaitu
melalui obligasi rekap yang pada waktu itu berjumlah Rp 600 triliun.
Penerbitan obligasi rekap merupakan bagian dari Program Rekapitalisasi
Perbankan. Tujuannya adalah untuk mengatasi kesulitan permodalan bank-
bank tersebut akibat pengaruh krisis ekonomi di akhir tahun 1997. Setelah
diterbitkan, obligasi rekap tersebut ditransfer kepada bank-bank tertentu
yang terpilih untuk mengikuti program tersebut sebagai realisasi dari upaya
penyertaan modal negara. Bank-bank yang memperoleh obligasi rekap
adalah sebagai berikut:
· Bank swasta nasional :PT. Bank Lippo Tbk., PT. Bank Internasional
Indonesia Tbk., PT. Bank Bali Tbk., PT. Bank Umum Koperasi
Indonesia, PT. Bank Universal Tbk., PT. Bank Prima Express, PT.
Bank Arta Media, PT. Bank Patriot, PT. Bank Central Asia, PT.
Bank Danamon Indonesia Tbk., PT. Bank Tiara Asia Tbk., PT.
Bank PDFCI Tbk. and PT. Bank Niaga Tbk;
· Bank BUMN: PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank
Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Tabungan Negara
(Persero) Tbk., and PT. Bank Mandiri;

348 / Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will" Pemerintah
· Bank Pembangunan Daerah: di antaranya BPD Daerah Istimewa
Aceh, BPD Sumatera Utara, BPD Bengkulu, BPD Lampung, BPD
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa
Timur, BPD Kalimantan Barat, BPD Sulawesi Utara, BPD Maluku,
BPD Nusa Tenggara Barat and BPD Nusa Tenggara Timur.
Di dalam perjalanannya, sebagian dari penerima obligasi rekap telah di-
merger dengan yang lain, ada yang sebagian telah di lunasi oleh pemerintah,
sehingga obligasi rekap dan saat ini masih sebesar Rp 400 triliunan dengan
jatuh tempo waktu sebagai berikut: obligasi rekapitalisasi yang akan jatuh
tempo pada tahun 2003 sebesar Rp33,23 triliun, tahun 2004 Rp76,98 triliun,
2005 (Rp67,37 triliun), 2006 (Rp83,26 triliun), 2007 (Rp94,02 triliun), 2008
(Rp106,75 triliun) dan tahun 2009 Rp111,3 triliun. Namun dengan
keterbatasan keuangan negara, maka obligasi yang jatuh tempo telah di-
reprofiling/diperpanjang hingga tahun 2020.
Pada saat itu dengan adanya dana rekap, hampir semua bank menjadi
milik pemerintah. Akan tetapi dalam perjalanannya sebagian bank-bank
tersebut telah didivestasi, dan menjadi milik asing. Saat ini yang
mendominasi bank berskala besar dan masih memiliki obligasi rekap cukup
besar adalah Temasek (Singapura), Khazanah (malaysia), dan Faralon.
Sedangkan, pemerintah hanya memiliki saham minoritas, bahkan ada yang
tidak lagi terdapat saham pemerintah.
Karena pemerintah tidak menjadi mayoritas, maka menurut peraturan,
pemerintah bukan sebagai pengendali, sehingga bank-bank tersebut
walaupun masih ada obligasi rekap tetapi tidak masuk keuangan negara yang
harus diperiksa oleh BPK. Hal ini menjadi rancu, karena nilai divestasinya
sangat rendah, tetapi konsekuensi pemerintah untuk membayar bunga
obligasi dan pencairan pokok obligasi juga besar. Setiap tahun bunga
obligasi rekap yang harus dibayar pemerintah dari APBN berkisar antara 35
sampai 40 triliun. Hal ini menjadi tidak fair, karena dalam kurun waktu 2
tahun keuntungan yang diperoleh bank yang telah di-take overasing dapat
menutup biaya divestasi, tetapi di sisi lain pemerintah masih terus harus
membayar bunga obligasi rekap.
Oleh karena itu, apabila pemerintah menginginkan jumlah significant
perolehan dana APBN, tidak ada salahnya untuk melakukan negosiasi
terkait dengan bunga obligasi rekap yang sebaiknya tidak lagi dibayarkan,

Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will" Pemerintah / 349
karena pada awal negosiasi dengan IMF, dana talangan tersebut tidak
mempunyai konsekuensi bunga, tetapi dalam praktik malah menimbulkan
beban tinggi. Hitung saja selama 8 tahun bila rata-rata beban bunga Rp 40
triliun, maka selama delapan tahun APBN telah menyumbang bank-bank
rekap sebesar Rp 320 triliun, yaitu setengah dari pokok obligasi. Dalam hal
ini apabila pemerintah tidak berupaya melakukan negosiasi, akan sulit untuk
menyelesaikan pokok obligasi rekap sampai kapanpun.
Dari tulisan ini, maka berbagai pihak tidak hanya fokus pada
penyelesaian BLBI yang walaupun secara hukum dalam Undang-Undang
No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas secara eksplisit menyebutkan,
"Debitor-debitor yang melanggar hukum harus diproses secara hukum dan proses
penyelesaian utangnya tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku".
Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 secara tegas menyebutkan, "Kepada
debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia menyelesaikan kewajibannya
kepada BPPN baik dalam rangka MSAA diambil tindakan hukum yang tegas dan
konkret, yang dilaksanakan secara terkoordinasi antara Ketua BPPN, Kepala
Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia".
Dengan demikian berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut
pemerintah diberikan mandat segera mengusut para obligor yang belum
melaksanakan kewajibannya kepada pemerintah. Bukan sebaliknya
melepaskan obligor yang belum menyelesaikan kewajibannya. Selain itu ada
yang sangat significant untuk dilakukan pemerintah yaitu melakukan negosiasi
obligasi rekap terutama terkait dengan beban bunga obligasi rekap. Semua
itu hanya membutuhkan political will yang besar dari pemerintah,
sehingga masalah ini tidak selalu menjadi bola panas dari satu rezim
ke rezim yang lain.

350 / Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will" Pemerintah
Penutup
RAKYAT
MENGGUGAT
SKANDAL BLBI
Marwan Batubara

Seperti telah diuraikan dalam buku ini, penyelesaian kasus BLBI secara
tuntas selalu menemui berbagai masalah karena tidak tegasnya pemerintah
maupun aparat hukum dalam menindak para obligor BLBI. Alasan utama
yang sering dikemukakan adalah bahwa pemerintah memprioritaskan
pengembalian uang negara dari obligor (atau bahwa obligor adalah
pengusaha andal yang akan menolong ekonomi negara), sehingga merasa
perlu untuk memberi berbagai kemudahan kepada mereka dalam melunasi
utang-utangnya.
Karena itu pula, proses hukum yang dijalani oleh para pengemplang
BLBI selama ini sangat jauh dari memadai. Meskipun telah nyata-nyata
bersalah, sebagian besar obligor BLBI justru tidak pernah menjalani proses
pengadilan, tidak dicekal untuk keluar masuk wilayah Indonesia, dan bahkan
dibebaskan dari segala tuntutan pidana hanya dengan membayar sebagian
kecil utang-utangnya.

Rakyat Menggugat Skandal BLBI / 351


Soedono Salim dan Sjamsul Nursalim, misalnya, dua obligor
penyimpang BLBI dengan jumlah total mencapai Rp 80 triliun itu
mengantungi Surat Keterangan Lunas dan dinyatakan bebas dari segala
tuntutan hukum. Padahal, selain telah melakukan tindak pidana dalam
penggunaan dana BLBI (seperti antara lain melanggar BMPK), nilai aset
yang dijadikan sebagai pelunasan kewajiban kedua obligor tersebut ternyata
juga jauh lebih kecil dari nilai estimasi awal yang mereka klaim (masing-
masing hanya senilai sekitar 36% dan 17% dari total nilai aset yang diklaim).
Selain puluhan obligor lain yang merampok uang negara, 8 obligor
BLBI bahkan hingga kini belum menyelesaikan kewajibannya. Penyebabnya
bermacam-macam, dari mulai melarikan diri, berganti kewarganegaraan,
hingga dengan lantang menolak penghitungan pemerintah atas jumlah
kewajiban yang harus dibayarnya. Kepada para obligor pembangkang ini,
pemerintah nampak tidak mengambil tindakan hukum yang tegas. Justru
sebaliknya, pemerintah bersikap sangat toleran dengan kesediaan untuk
berulangkali bernegosiasi tentang penghitungan jumlah kewajiban obligor
(reformulasi JKPS).

Ketidaktegasan Pemerintah
Pemerintahan pada masa Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya,
melalui sejumlah menteri kabinetnya, justru memberikan sambutan kepada
4 obligor BLBI di Istana (Kompas, 7 Februari 2006). Para obligor itu adalah
Atang Latief (diwakili menantunya, Lukman Astanto), Ulung Bursa, James
Januardi, dan Omar Putihrai. Penerimaan para obligor BLBI ini di Istana
tentu saja merupakan penghormatan yang berlebihan sekaligus tidak wajar
bagi para obligor yang sudah berstatus sebagai tersangka korupsi tersebut.
Apalagi mengingat, sebagai catatan, pada bulan yang sama Presiden SBY
sempat menolak permintaan resmi sejumlah tokoh nasional (antara lain Try
Sutrisno, Amien Rais, Wiranto, Dradjad Wibowo, Marwah Daud, dan lain-
lain) untuk bertemu dalam rangka menyampaikan aspirasi terkait sengketa
Blok Cepu.
Presiden Yudhoyono memang sempat membantah peristiwa tersebut
sebagai bentuk penyambutan pemerintah atau penggelaran karpet merah
bagi para koruptor BLBI. Menurut Presiden, kedatangan para debitur BLBI

352 / Rakyat Menggugat Skandal BLBI


itu ke Istana tak lebih dari keinginan mereka untuk bertemu dengan menteri
terkait dan mengembalikan utang senilai total Rp 1 triliun.
Bagaimanapun, dalam kacamata hukum tentu saja hal ini tidak patut.
Proses hukum terhadap para penyeleweng BLBI tidak selayaknya dicampuri
intervensi politik dari pemerintah, seperti halnya penyambutan langsung
oleh menteri kabinet di Istana Negara. Sangat wajar jika hal itu kemudian
memunculkan dugaan terjadinya ”deal” politik antara koruptor BLBI
dengan pemerintah sehingga menodai proses hukum yang sedang
dijalankan.
Tidak hanya terjadi pada masa pemerintahan SBY saat ini, sikap
akomodatif terhadap para obligor juga ditunjukkan oleh pemerintahan-
pemerintahan sebelumnya.
Dimulai pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, saat skandal
penjarahan uang negara ini bermula. Meskipun telah mengetahui dan
menerima laporan tentang kondisi sejumlah bank yang tidak sehat, Presiden
Soeharto justru mempertahankan bank-bank tersebut untuk tetap
beroperasi. Akibatnya, bank-bank ini kolaps, sehingga kemudian dana BLBI
dikucurkan untuk menyelamatkan bank-bank tersebut (yang sebagiannya
merupakan milik keluarga dan kerabat dekat Presiden Soeharto) dan bank-
bank lain yang terkena imbasnya.
Sementara, pada masa pemerintahan Habibie, pemerintah memberi
fasilitas kepada obligor BLBI berupa keringanan dalam menyelesaikan
kewajiban-kewajibannya melalui skema MSAA atau Master Settlement of
Acquisition Agreement (pertama kalinya dilakukan dengan Salim Group).
Model MSAA merupakan bentuk penyelesaian secara out of court settlement (di
luar jalur hukum) yang menekankan kewajiban obligor untuk membayar
utang-utangnya kepada negara dengan mengesampingkan aspek-aspek
pidana yang telah dilakukannya. Pertimbangannya, proses hukum atas
pelanggaran BMPK dan BLBI akan memakan waktu lama dan tidak jelas
tingkat pengembalian uangnya kepada negara.
Pengabaian aspek pidana yang dilakukan obligor misalnya dapat secara
jelas dilihat dari bunyi salah satu klausul MSAA berikut :
“BPPN and the Minister of Finance of the Government of the
Republic of Indonesia, representing the Government of the Republic

Rakyat Menggugat Skandal BLBI / 353


Indonesia, hereby acknowledge and agree that they will not commence
or prosecute any legal action or enforce any legal right that the Minister
of Finance, BPPN or the Government of the Republic of Indonesia may
have against ….in respect of any matters related to any statutory and
regulatory legal lending limit violations related to the Shareholder
Loans (as defined in the Master Agreement) or any matter related to the
Liquidity Support (as defined in the Master Agreement).”
Dengan demikian, melalui kebijakan ini, pemerintah telah mengabaikan
supremasi hukum hanya untuk memperoleh pengembalian uang negara.
Padahal, pelanggaran BMPK yang dilakukan pihak perbankan merupakan
tindak pelanggaran hukum serius. Barangkali karena hal itulah, Presiden
Habibie saat itu sempat menunjukkan keraguannya atas penggunaan model
ini dengan mengirimkan surat kepada Menkeu agar penyelesaian dilakukan
sesuai dengan peraturan yang berlaku..
Presiden Abdurrahman Wahid yang menggantikan Habibie, juga
dianggap tidak optimal melakukan tugasnya untuk menuntaskan skandal
BLBI. Beberapa kalangan menganggap Gus Dur cenderung akomodatif
terhadap permintaan dan kepentingan beberapa obligor, sehingga skandal
itu tidak mampu diselesaikan sebagaimana mestinya.
Puncak dari perlakuan istimewa pemerintah kepada para obligor
akhirnya diberikan oleh pemerintah di masa kepemimpinan Megawati.
Presiden Megawati yang menggantikan Gus Dur pada tanggal 30 Desember
2002 menerbitkan Inpres No.8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan
Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak
Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham.
Berdasarkan Inpres ini, maka obligor atau debitur yang telah
menyelesaikan pola PKPS diberikan bukti penyelesaian berupa Surat
Keterangan Lunas yang membebaskan obligor dari segala tuntutan hukum.
Segala tindak pidana yang pernah dilakukan obligor dalam kasus BLBI
dinyatakan dihapus jika yang bersangkutan telah menyelesaikan
kewajibannya. Pembebasan ini diberikan sebagai bentuk jaminan kepastian
hukum bagi obligor yang bersedia menyelesaikan kewajiban-kewajibannya.

354 / Rakyat Menggugat Skandal BLBI


Kebijakan ini dinyatakan sekaligus untuk memaksimalkan pengembalian
uang negara dari para obligor.
Berdasarkan Inpres ini, maka obligor atau debitur yang telah
menyelesaikan pola PKPS diberikan bukti penyelesaian berupa Surat
Keterangan Lunas yang membebaskan obligor dari segala tuntutan hukum,
sekaligus menghapus segala tindak pidana yang pernah dilakukannya
(termasuk berbagai penyimpangan BLBI seperti menyalurkan uang BLBI
kepada kelompoknya sendiri, menggunakannya untuk pembayaran fiktif,
dan sebagainya). Pembebasan ini diberikan sebagai bentuk jaminan
kepastian hukum bagi obligor yang bersedia menyelesaikan kewajiban-
kewajibannya. Kebijakan ini dinyatakan sekaligus untuk memaksimalkan
pengembalian uang negara dari para obligor..
Berdasarkan Inpres ini pula, maka proses pengusutan perkara korupsi
para obligor di tingkat pengadilan harus dihentikan melalui pemberian SP3
(Surat Penghentian Penyidikan Perkara), jika mereka telah membayar
kewajibannya. Dengan hal-hal itu, wajar jika penerbitan Inpres ini menjadi
sangat kontroversial dan mengundang reaksi keras banyak pihak.
Penghapusan aspek pidana melalui perjanjian perdata tidak dikenal dalam
sistem hukum yang dianut Indonesia selama ini, sehingga jelas tidak dapat
dibenarkan.
Lahirnya Inpres ini sendiri dinyatakan beberapa kalangan sebagai hasil
tekanan obligor dan menteri-menteri yang berada di pemerintahan saat itu.
Dengan alasan obligor memiliki kekuatan jaringan ekonomi yang besar,
Presiden didesak untuk memberi perlakuan akomodatif kepada mereka.
Perlu ditegaskan, kalaupun hal itu benar, tak dapat mengurangi tanggung
jawab kesalahan yang harus dipikul Presiden Megawati sebagai pimpinan
tertinggi pemerintahan saat itu, yang nyata-nyata telah memberikan
persetujuannya atas penerbitan Inpres.
Demikianlah para pemimpin negeri ini bersikap dan menghasilkan
kebijakan yang tidak adil, melanggar hukum, dan merugikan negara dalam
penyelesaian skandal BLBI. Oleh karena itu, sangat layak jika para mantan
Presiden Indonesia di atas dituntut pertanggungjawabannya atas terjadinya
penjarahan kekayaan negara senilai ratusan triliun rupiah tersebut (peran
dan keterlibatan pejabat pada masing-masing periode pemerintahan dalam
skandal BLBI dapat dilihat lebih jelas pada lampiran 1).

Rakyat Menggugat Skandal BLBI / 355


Penyimpangan oleh BI
Peran BI dalam skandal BLBI bahkan tak kalah serius. Dari Rp 144,5
triliun dana BLBI yang dikucurkan BI kepada perbankan, audit BPK
menunjukkan sebesar Rp 138,44 triliunnya tak dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini terjadi karena BI menyalurkan BLBI
kepada sejumlah bank tanpa standar dan mekanisme pengawasan yang jelas.
Dugaan terjadinya kongkalingkong antara oknum pejabat BI dan obligor
pun sangat wajar merebak.
Hal ini dikuatkan pengakuan beberapa menteri keuangan, seperti antara
lain Fuad Bawazier, Mar'ie Muhammad, dan Bambang Subianto yang
menyatakan BI cenderung berjalan sendiri dalam penyaluran BLBI tanpa
berkoordinasi dengan pemerintah. Nyatanya, belakangan terungkap ada
upaya BI untuk membela oknum-oknum pejabatnya yang terlibat, sekaligus
menutup kasus ini, dengan menggelontorkan dana kepada sejumlah pihak
mencakup pengacara, aparat penegak hukum, dan bahkan para anggota
DPR. Dana yang dikeluarkan pun diambil dari sumber yang tidak sah, yaitu
kas Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) yang seharusnya
hanya digunakan untuk kepentingan pendidikan.

KKN BPPN
Perilaku KKN pula yang ditunjukkan BPPN sehingga menyebabkan
pengembalian uang negara dari penyelesaian kasus ini tidak terlaksana
optimal. BPPN menerima penyerahan aset dengan harga yang telah
digelembungkan, memberikan SKL kepada sejumlah obligor meskipun
baru melunasi sebagian kecil kewajibannya, merestrukturisasi sejumlah aset
dengan menghabiskan uang besar, dan selanjutnya mengobral aset eks
obligor tersebut dengan harga sangat murah. Ironisnya, pembeli aset-aset itu
tak lain adalah obligor atau pihak-pihak yang terkait dengannya. Contoh
terbaru untuk hal ini adalah penjualan aset bekas milik Humpuss Group (PT
Timor Putra Nasional) oleh BPPN, yang ternyata dibeli oleh PT Vista Bella
Pratama yang tak lain merupakan perusahaan terafiliasi Humpuss juga.

356 / Rakyat Menggugat Skandal BLBI


Kejahatan Obligor
Penting pula dicatat, meskipun secara formal BPPN merupakan
penanggung jawab atas aset-aset obligor yang diserahkan kepadanya, pihak
yang sesungguhnya melakukan pengelolaan atas aset-aset tersebut adalah
pihak obligor sendiri melalui perusahaan holding yang dibentuknya bersama
BPPN. Pengelolaan oleh perusahaan holding ini dilakukan karena BPPN
tidak memiliki unit pelaksana untuk mengelola aset-aset tersebut.
Karena itu, sudah sepantasnya jika obligor, selaku pemilik perusahaan
holding yang melakukan pengelolaan atas aset-aset bekas miliknya tersebut,
dimintakan pertanggungjawabannya atas penurunan nilai aset yang terjadi.
Bahkan, patut pula diselidiki lebih jauh keterlibatan obligor dalam terjadinya
penurunan nilai aset saat aset tersebut akan dijual.
Faktanya, sebagian obligor diketahui kini telah kembali menguasai aset-
aset yang dahulu diserahkannya kepada BPPN. Misalnya Chandra Asri yang
telah kembali ke tangan Prajogo Pangestu ataupun Gajah Tunggal yang
kembali ke pangkuan Sjamsul Nursalim. Meskipun hingga kini tak ada bukti
eksplisit, namun Salim Group juga dikabarkan telah membeli kembali BCA.
Beberapa obligor tersebut, yang dahulu mengaku tak sanggup melunasi
kewajiban-kewajibannya, bahkan kini kembali berjaya dan tercatat dalam
daftar nama orang-orang terkaya di Indonesia. Soedono Salim, misalnya,
duduk di peringkat empat orang terkaya di Indonesia (versi Globe Asia
2007) dengan jumlah kekayaan mencapai 2,8 miliar dolar AS (sekitar Rp 26
triliun), sedangkan Sukanto Tanoto duduk di peringkat dua terkaya (versi
Forbes Asia 2007) dengan kekayaan 4,7 miliar dolar AS (sekitar Rp 42,77
triliun).
”Kesuksesan” mereka tersebut, berbanding terbalik dengan peliknya
persoalan ekonomi yang mereka tinggalkan bagi negara berupa beban
pembayaran utang sangat besar dalam APBN. Tercatat, untuk pembayaran
utang dalam negeri (yang sebagian besarnya didominasi oleh utang BLBI
dan obligasi rekap), pemerintah harus mengalokasikan dana rata-rata Rp 40-
Rp 50 triliun per tahunnya. Akibatnya, berbagai anggaran publik pun harus
dipangkas untuk menghemat pengeluaran. Tak heran, jumlah rakyat miskin
pun terus bertambah.

Rakyat Menggugat Skandal BLBI / 357


Kebusukan IMF
Jangan lupakan pula andil IMF dalam kejahatan penjarahan negara ini.
Berkat resep yang diberikannya berupa penutupan 16 bank tanpa persiapan
matang, krisis perbankan menjalar luas sehingga mengawali tragedi
pengucuran BLBI. IMF pula yang telah mendesak pemerintah
menggelontorkan obligasi rekap senilai ratusan triliun rupiah kepada
sejumlah bank, untuk kemudian memaksa pemerintah menjual bank-bank
tersebut dalam waktu sangat singkat (sehingga harga jualnya sangat rendah).
Oknum pejabat IMF (Hubert Neiss) diketahui pula memanfaatkan
kesempatan ini untuk kepentingan pribadinya dengan bertindak mewakili
pembeli saat bank (BCA) dijual dengan harga murah.

Inkonsistensi Aparat Penegak Hukum


Dengan berbagai kerugian yang ditimbulkannya, penyelesaian kasus
BLBI pun terus berlarut-larut akibat penegakan hukum yang lemah dan
tidak konsisten. Kejaksaan Agung dari masa ke masa tidak menunjukkan
keseriusannya untuk menyelesaikan kasus ini dalam proses hukum yang
tegas serta tak pandang bulu.
Abdul Rahman Saleh misalnya, semasa menjabat Jaksa Agung sempat
menyatakan dirinya akan menggunakan wewenang deponering
(mengesampingkan perkara pidana) terhadap obligor yang telah
mendapatkan surat keterangan menyelesaikan PKPS. Meskipun wewenang
ini tak sempat digunakan Abdul Rahman hingga akhir masa jabatannya,
rencana ini tak pelak menimbulkan kontroversi.
Jaksa Agung Hendarman Supandji, semasa menjabat sebagai Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus, juga sempat bersikap inkonsisten
dengan mengubah kebijakannya dari menyeret Agus Anwar ke persidangan
menjadi menerima tawaran pengembalian uang negara dari Agus senilai Rp
500 miliar.

Prospek Penyelesaian
Inkonsistensi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam
menyelesaikan skandal BLBI akhirnya membuat prospek penyelesaian

358 / Rakyat Menggugat Skandal BLBI


kasus ini menjadi suram. Apalagi hal ini ditambah dengan perilaku elit politik
yang cenderung memanfaatkan para obligor BLBI untuk kepentingannya
sendiri.
Kesempatan pemanfaatan itu kian terbuka dengan ketidakjelasan status
hukum dan jumlah utang para obligor. Negosiasi dan kesepakatan rahasia
pun sangat mungkin dilakukan debitur dan pemerintahan berkuasa
mengenai jumlah utang yang tersisa. Pada kenyataannya, Presiden Habibie
dan Megawati sama-sama menerbitkan release and discharge bagi debitur-
debitur besar, setelah mereka menyelesaikan sebagian kewajibannya.
Kasus korupsi yang dilakukan obligor juga seolah sengaja dibiarkan
menggantung penyelesaiannya, agar dapat dimanfaatkan para elit politik di
kemudian hari. Mudah diprediksi, obligor yang menghadapi tuntutan sanksi
penggantian uang negara triliunan rupiah, akan menyetujui pengucuran
beberapa ratus juta atau miliar rupiah untuk memperoleh pembelaan dan
perlindungan politik dari para elit.
Karena itu pula, prospek penyelesaian kasus ini disikapi pesimis
sejumlah kalangan. James Van Zorge, misalnya, analis ekonomi politik
Indonesia bagi pebisnis asing ini ragu atas kelanjutan interpelasi BLBI yang
tengah digulirkan DPR (yang baru saja dilakukan saat buku ini selesai ditulis,
lihat teks interpelasi selengkapnya pada lampiran 2). Menurutnya,
berdasarkan keterangan yang diterimanya dari salah seorang anggota DPR,
para anggota DPR hanya menginginkan uang dari pengguliran kasus ini.
Pemerintah dan debitor akan diperlakukan sebagai mesin uang bagi para
politisi tersebut (”Skandal BLBI: Akankah Terselesaikan?” Investor Daily, 19
Desember 2007).
Demikian juga, penyelidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung terhadap
sejumlah obligor BLBI. Salah seorang sumber di pemerintahan bahkan
dikatakan Zorge mengaku tak satu pun dari aksi-aksi tersebut yang benar-
benar serius bertujuan menyelesaikan masalah BLBI. Menurutnya,
penyelidikan hanya akan mengarah pada kesepakatan ”kamar rahasia”
seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Sehingga, penyelesaian kasus ini
akan diseret pada proses hukum panjang yang penuh ketidakpastian.
Pernyataan Van Zorge dan narasumbernya tersebut mungkin tak dapat
kita telan bulat-bulat. Setidaknya, kita tidak mengharapkan hal itu benar
adanya. Walaupun nyatanya, indikasi ketidakseriusan dalam penyelesaian

Rakyat Menggugat Skandal BLBI / 359


kasus BLBI itu belakangan kian kuat. Hal itu ditunjukkan dengan jawaban
interpelasi Presiden yang cenderung bersifat normatif dan tidak tegas
menjabarkan rencana kerja pemerintah untuk menuntaskan kasus ini.
Pemerintah bahkan juga menyatakan menghormati dan meneruskan
kebijakan pemerintahan sebelumnya terkait BLBI, termasuk pelaksanaan
Inpres No. 8/2002 tentang release and discharge..
Oleh karena itulah, kita harus terus menegaskan tuntutan kepada
Presiden/pemerintah, DPR, institusi, dan aparat hukum terkait untuk
bersungguh-sungguhmelakukan upaya penyelesaian kasus BLBI hingga
tuntas.Kita juga harus menggugat pertanggungjawaban semua pihak yang
terlibat dalam skandal ini, mencakup obligor BLBI, mantan Presiden
Soeharto dan keluarganya (yang telah memanfaatkan pengucuran BLBI
untuk menolong kroni-kroninya), mantan Presiden Habibie (yang memulai
penyelesaian kasus BLBI secara out of court settlement), mantan Presiden
Abdurrahman Wahid (yang tidak optimal menjalankan tugasnya dalam
mengusut skandal BLBI), dan mantan Presiden Megawati (yang
menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge).
Gugatan juga ditujukan kepada BI yang telah menyimpangkan besar-
besaran penyaluran dana BLBI, BPPN yang telah mengobral aset negara
dengan harga supermurah dan memberikan SKL kepada obligor meski tak
melunasi utang-utangnya, serta kepada IMF yang menciptakan skenario
busuk penjarahan negara melalui berbagai resep ekonomi dan tekanan yang
diberikannya kepada pemerintah.
Dalam kaitan itu, sebagai penutup atas uraian skandal BLBI dalam buku
ini, kami menuntut pemerintah, DPR, dan institusi penegak hukum untuk
melaksanakan 10 langkah sebagai berikut:
1. Menuntaskan penyelesaian kasus BLBI secara hukum
melalui proses yang objektif, berkeadilan, dan berpihak pada
kepentingan publik, serta di sisi lain bebas dari konspirasi,
negosiasi-negosiasi rahasia, deal-deal politik, dan
pemboncengan kepentingan-kepentingan tertentu yang
menjadikan para obligor/debitur sebagai objek pemerasan
belaka. Kasus BLBI harus dituntaskan sekali untuk
selamanya, once forever!

360 / Rakyat Menggugat Skandal BLBI


Pemerintah dan DPR harus menjaga diri, aparatnya, dan semua
pihak terkait dari sikap KKN yang memanfaatkan kasus BLBI
untuk kepentingan picik semata (demi uang), sehingga
penyelesaian kasusnya terombang-ambing dalam perangkap
ketidakpastian hukum.
2. Mencabut Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang release and
discharge dan meninjau ulang seluruh perangkat kebijakan
lainnya terkait penyelesaian kewajiban BLBI yang tidak adil
dan hanya memberi keuntungan sepihak bagi obligor.
Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang release and discharge selama ini
menjadi hambatan bagi dilakukannya pengusutan tuntas terhadap
pelanggaran hukum yang dilakukan obligor BLBI. Pemerintah juga
harus meninjau ulang MSAA, MRNIA, APU, pemberian
SKL/SKPK, dan kebijakan lain terkait penyelesaian kasus BLBI
yang hanya menguntungkan obligor secara sepihak.
3. Menuntut IMF untuk bertanggung jawab atas manipulasi
dan tekanan yang dilakukannya terhadap Pemerintah
Indonesia di saat krisis, sehingga menyebabkan lahirnya
berbagai kebijakan yang justru menghancurkan sendi-sendi
perekonomian Indonesia.
Diantara dosa besar yang harus dipertanggungjawabkan IMF itu
adalah memaksakan pengucuran obligasi rekap ratusan triliun
rupiah kepada perbankan, mendesak divestasi saham pemerintah di
bank-bank rekap dalam waktu singkat (sehingga harga jualnya
sangat rendah), dan penutupan 16 bank tanpa persiapan (sehingga
memicu terjadinya krisis perbankan). Termasuk pula, keterlibatan
oknumnya dalam konspirasi pembelian aset perbankan dengan
harga murah.
4. Menciptakan terobosan untuk mempercepat proses
penyelesaian kasus BLBI dengan membentuk Pengadilan
Ad Hoc dan menerbitkan PP atau Perpu yang mengatur
pemberlakuan asas pembuktian terbalik bagi pelaku
korupsi.

Rakyat Menggugat Skandal BLBI / 361


Kasus-kasus korupsi BLBI dapat disidangkan secara khusus
melalui Pengadilan Ad Hoc untuk mempercepat pengungkapan
dan penyelesaian kasus ini. Para pengemplang BLBI, yang kini
masih berlindung di balik berbagai celah hukum, juga perlu dijerat
dengan asas pembuktian terbalik.
5. Mendesak Jaksa Agung agar segera menuntaskan skandal
korupsi BLBI dan menyeret pelaku-pelakunya ke pengadilan
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pelaku-pelaku korupsi BLBI harus diseret ke pengadilan agar ada
keputusan hukum yang tegas dan jelas tentang status mereka.
Proses penyelesaian di tingkat perdata selama ini tidak boleh
menghapus aspek tindak pidana yang dilakukan para obligor dalam
menyalahgunakan BLBI ketika terjadi krisis.
6. Menyita aset dan kekayaan obligor yang hingga kini tidak
menyelesaikan kewajibannya.
Hal ini wajar dilakukan, terutama kepada mereka yang dengan
sengaja mangkir, untuk menjamin kembalinya uang negara yang
telah mereka nikmati. Apalagi, sejumlah obligor kini diketahui telah
berhasil menjadi orang-orang terkaya di Indonesia.
7. Mengusut tuntas dan mengadili semua pejabat negara yang
terlibat dalam berbagai penyimpangan yang terjadi dalam
kasus BLBI, mulai dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan
pengucuran, hingga penggunaan BLBI.
Pengusutan harus dilakukan setuntas-tuntasnya kepada semua
pejabat negara yang terlibat, mencakup pemerintah, BPPN,
maupun BI, sehingga masing-masing pihak dapat dituntut
pertanggungjawabannya sesuai dengan porsi kesalahan yang
dilakukan.
8. Mengupayakan seoptimal mungkin pengembalian uang
negara yang telah terkucur melalui BLBI dan berbagai
kebijakan penggelontoran uang negara lainnya ke sektor
perbankan di saat krisis.
Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan menuntut kekurangan
pembayaran sejumlah obligor BLBI yang nilai asetnya ternyata jauh
362 / Rakyat Menggugat Skandal BLBI
lebih rendah dari nilai aset yang tercantum ketika aset itu
diserahkan.
9. Melakukan upaya untuk menghentikan pemberian subsidi
bagi pihak perbankan melalui penghentian pembayaran
bunga obligasi rekap.
Mengingat pengucuran obligasi rekap merupakan kebijakan
darurat untuk menyelamatkan bank di saat krisis, maka, setelah
krisis berlalu dan bank pun telah meraup laba, tidak selayaknya bank
terus menikmati penghasilan cuma-cuma tiap tahun melalui
pembayaran bunga obligasi rekap. Apalagi, sebagian dari bank-
bank tersebut telah dikuasai asing atau pengusaha swasta yang
membelinya secara konspiratif dan berkolaborasi dengan IMF.
10. Menghentikan divestasi saham-saham pemerintah pada
bank-bank rekap, sampai obligasi rekap yang berada pada
bank bersangkutan berhasil ditarik seluruhnya oleh
pemerintah.
Pemerintah harus menghentikan proses divestasi atas saham-
sahamnya di bank-bank rekap, kecuali dengan harga jual yang
sebanding dengan obligasi rekap yang telah dikucurkan atau
obligasi rekap tersebut telah berhasil ditarik keluar seluruhnya oleh
pemerintah.
Secara khusus, kami pun menghimbau para obligor untuk
menggunakan hati nuraninya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya
secara hukum serta mengembalikan uang negara yang telah dinikmatinya
kepada pemerintah. Berhentilah membebani rakyat Indonesia dengan
pembayaran kewajiban utang yang bahkan tidak sedikitpun mereka rasakan!!
Disamping itu, kami menuntut pemerintah untuk membuka mata atas
kondisi kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar rakyat Indonesia saat
ini dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat
miskin, seperti antara lain:
· Melaksanakan program pembangunan ekonomi, sosial, dan politik
secara nyata, terencana, komprehensif dan berkesinambungan
untuk memberdayakan dan mengangkat derajat hidup masyarakat
miskin, termasuk di dalamnya menciptakan kesempatan kerja dan

Rakyat Menggugat Skandal BLBI / 363


kemudahan berusaha seluas-luasnya bagi kelompok masyarakat
kecil
· Membuat kebijakan anggaran yang berpihak pada rakyat miskin,
seperti memprioritaskan alokasi anggaran untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat (khususnya pendidikan,
kesehatan, dan subsidi penggunaan energi) sesuai dengan amanat
UUD 1945
· Menetapkan kriteria kemiskinan secara layak dan proporsional, dan
tidak merendah-rendahkan standar kemiskinan hanya untuk
mengakali angka kemiskinan sesungguhnya yang telah demikian
terpuruk
· Merevisi atau bahkan mencabut berbagai kebijakan, undang-
undang dan peraturan yang baik secara langsung maupun tidak
langsung menjadi sumber pemiskinan, termasuk berbagai kebijakan
yang berpihak pada kepentingan pemodal
Pemerintah juga harus mampu mempraktikkan keteladanan di depan
rakyatnya dengan tampil secara sederhana, menjauhkan diri dari berbagai
macam seremoni yang menghambur-hamburkan uang negara, serta
menunjukkan komitmen tinggi untuk bekerja keras demi kepentingan
rakyat banyak. Hanya dengan demikian, rakyat Indonesia dapat yakin bahwa
pemimpinnya berpihak dan berdiri bersama mereka, dan bukannya terus
melayani kepentingan para konglomerat dan pemilik modal, baik orang,
lembaga-lembaga maupun negara asing.
Pada akhirnya, kita ingatkan kembali bahwa skandal penyelewengan
BLBI dan obligasi rekap telah menimbulkan persoalan besar berupa
ketidakadilan dan ketimpangan distribusi APBN secara berkepanjangan.
Untuk itu, semua orang yang mengaku beriman sudah sepantasnya
melakukan perbuatan konkret melawan ketidakadilan, kezaliman, dan
penindasan yang sangat keji ini. Mereka yang berdiam diri, serta bahkan di
saat yang sama justru menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan
pribadi dan golongannya, jelas bukan orang yang pantas menyandang
predikat tersebut!

364 / Rakyat Menggugat Skandal BLBI


Lampiran 1
Skema Pejabat Pemerintah yang Bertugas Pada Rangkaian
Kebijakan terkait BLBI

Sumber: Laporan BPK No.34G/XII11/2006


Rakyat Menggugat Skandal BLBI / 365
Lampiran 2
Surat Pengajuan Interpelasi Anggota DPR RI

Jakarta, 18 September 2007

Kepada Yth.
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia
Jakarta
Perihal : Pengajuan Hak Interpelasi

Dengan Hormat,
Mencermati permasalahan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), negara telah melakukan investasi/danal ebih dari
Rp. 702,5 triliun yang hingga saat ini belum memperlihatkan upaya penyelesaian yang
efektif.
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) dengan cara menandatangani kesepakatan yaitu MSAA (Master
Settlement and Acquisition Agreement), MRNIA (Master Refinancing and Note
Issuance Agreement), APU sebagai mekanisme penyelesaian masalah KLBI dan
BLBI justru menambah beban utang negara didalam APBN sebesar Rp 50-60 triliun
per tahun yang diperkirakan berakhir hingga 2033. Padahal pada saat yang sama
rakyat masih menghadapi berbagai kesulitan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
primernya. Apabila dana sebesar itu dialokasikan untuk program-program :
pengentasan kemiskinan melalui pembangunan sarana dan prasarana pedesaan,
pendidikan dan kesehatan bagi rakyat, tentu jutaan rakyat miskin akan dapat
meningkat kesejahteraannya.
Berdasarkan pengamatan tersebut di atas dan sebagai bagian dari komitmen
kabangsaan dan kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia serta demi
kewajiban dan tanggung jawab atas tugas, fungsi dan sumpah sebagai wakil rakyat,
maka dengan ini kami mengajukan interpelasi sebagai salah satu hak yang dimiliki
oleh Anggota Dewan.
Terlampir nama-nama dan tanda tangan hak interpelasi kami sampaikan, atas
perhatian, kerja sama dan dukungan semua pihak disampaikan terima kasih.
Hormat kami,
Para Interpelator.

366 / Rakyat Menggugat Skandal BLBI


HAK INTERPELASI ANGGOTA DPR-RI TERHADAP
PENYELESAIAN KASUS KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA
DAN BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA

Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua

Pimpinan dan rekan-rekan Anggota DPR-RI yang kami hormati,

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan berupa pinjaman
yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas
pada saat terjadinya krisis ekonomi 1997/1998 di Indonesia. Skema ini tidak lepas dari
resep IMF dalam mengatasi krisis ekonomi.

Untuk mengatasi krisis ekonomi tersebut, khususnya melalui program penyehatan


parbankan, negara telah mengeluarkan investasi/dana yang setidaknya berjumlah Rp
702,5 triliun. Investasi ini terdiri dari BLBI senilai Rp 144,5 triliun, obligasi rekapitalisasi
perbankan Rp 425,5 triliun, program penjaminan Rp 73,8 triliun, dana talangan Rp 4,9
triliun dan dana rekening 502 Rp 53,8 triliun. Obligasi rekapitalisasi tersebut termasuk
untuk bank-bank BUMN Rp 280 triliun dan bank-bank swasta Rp 145,5 triliun.
Berdasarkan audit investigasi BPK pada tahun 2000, Bank Indonesia telah
menyalurkan investasi/dana BLBI kepada 48 bank per 29 Januari 1999 sebesar Rp
144,5 triliun. Terhadap investasi/dana BLBI tersebut BPK menemukan
penyimpangan, kelemahan sistem dan kelalaian yang menimbulkan potensi kerugian
negara sebesar Rp 138,4 triliun atau 95,78% dari total jumlah BLBI yang telah
disalurkan (posisi 29 Januari 1999). Disamping penyimpangan penyaluran juga
ditemukan penyimpangan penggunaan BLBI, antara lain digunakan untuk melunasi
pinjaman subordinasi, melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya, membayar kewajiban kepada pihak-pihak terkait, transaksi
surat berharga, melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayai
kontrak derivatif baru, membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam aktiva
tetap dan membiayai overhead bank umum.
Potensi penyimpangan uang negara ratusan triliun rupiah tersebut menyisakan
persoalan pertanggungjawaban yang tidak jelas. Potensi penyimpangan tersebut
memperlihatkan kuatnya indikasi pelanggaran tindak pidana dan atau perbuatan yang
merugikan keuangan negara. Namun patut disesalkan karena hingga saat ini kasus
BLBI belum dapat diselesaikan secara tuntas. Upaya hukum yang telah dilakukan
hanya setengah hati. Rakyat yang tidak tahu sebab-akibat kasus BLBI harus menuai
getirnya menanggung beban pembayaran melalui APBN, sementara orang yang
diduga melakukan penyimpangan masih bebas berkeliaran bahkan membawa
jarahannya kabur ke luar negeri.

Rakyat Menggugat Skandal BLBI / 367


Beban tersebut masih belum termasuk beban yang muncul sebagai akibat dari
pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) di masa lalu, baik dalam bentuk
KLBI program pangan melalui Bulog maupun KLBI yang disalurkan melalui bank-bank
BUMN. Masalah tersebut hingga saat ini masih belum jelas duduk perkara dan
pertanggungjawaban publiknya. Penjarahan uang rakyat melalui institusi perbankan
seperti mark up, pelanggaran BMPK, penyimpangan BLBI dan KLBI merupakan
kejahatan perbankan yang justru harus dibayar mahal oleh rakyat miskin sekalipun
melalui APBN.
Demi keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam sila ke-5 dari Pancasila : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, sebagai tanggung jawab kolektif bagi setiap warga negara, atas nama
bangsa dan seluruh rakyat Indonesia, sebagai representasi elemen dan institusi
demokrasi, kami merasa terpanggil untuk mengajukan interpelasi sesuai dengan
prinsip-prinsip konstitusi, diharapkan pengajuan hak interpelasi dapat menguraikan
benang kusut yang ada sekaligus menuntaskan permasalahan-permasalahan yang
tidak kunjung selesai, menolak ketidakadilan yang dibuat oleh segelintir warga negara
yang rakus dan tidak berperikemanusiaan, mengajukan hak interpelasi sesuai
dengan prinsip-prinsip konstitusi sebagai berikut :

I. DASAR HUKUM

1. UUD Negara RI tahun 1945, Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia
adalah Negara hukum, maka tak satupun pelanggaran hukum yang dapat
lulus dari jeratan hukum.

2. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 23 ayat (1) bahwa APBN sebagai wujud
dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

3. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 23E ayat (2) Hasil Pemeriksaan
Keuangan Negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan
kewenangannya; ayat (3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindak lanjuti oleh
Lembaga Perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.
4. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 27 ayat (1) bahwa setiap warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
5. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 28D bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.

368 / Rakyat Menggugat Skandal BLBI


6. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 33 ayat (4) Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.
7. Ketetapan MPR-RI Nomor VIII/MPR RI/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme.

8. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR RI/2001 tentang Laporan Pelaksanaan


Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh
Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001.
9. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR RI/2002 tantang Rekomendasi Atas
Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA
pada sidang tahunan MPR RI tahun 2002.
10. Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR RI/2003.
11. Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional.

12. Undang-undang No.10 Tahun 1998, Pasal 37A ayat (3) menyebutkan:
bahwa dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank,
badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta
wewenang lain yaitu huruf (a) s/d huruf (n).
13. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 4 Undang-undang No. 31 Tahun
1999 secara tegas menyebutkan bahwa “Pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana.” UU No. 31 tahun 1999.

14. Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1999 tentang Badan Penyehatan


Perbankan Nasional (BPPN). Merupakan landasan hukum bagi BPPN
untuk mencegah kerusakan sektor ekonomi yang lebih buruk dengan
menjalankan fungsi penyehatan perbankan dan mengelola aset perbankan
bermasalah.
15. Instruksi Presiden No. 8/2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian
Hukum kepada Debitur yang telah Menyelesaikan Kewajibannya atau
Tindakan Hukum kepada Debitur yang belum menyelesaikan
Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham
(PKPS).

Rakyat Menggugat Skandal BLBI / 369


II. PERATURAN TATA TERTIB DPR-RI TENTANG HAK INTERPELASI, PASAL 171 :
Bahwa prasyarat untuk mengajukan hak interpelasi bagi anggota DPR RI
adalah sekurang-kurangnya 13 orang Anggota sudah dapat mengajukan usul
kepada DPR RI untuk menggunakan hak interpelasi tentang kebijakan
Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
masyarakat dan bernegara.

III. ASPEK SOSIAL-BUDAYA

Realitas sosial yang ditimbulkan oleh kasus KLBI dan BLBI merupakan salah
satu faktor yang menimbulkan dampak negatif terhadap struktur dan pranata
sosial bangsa kita. APBN yang seharusnya untuk memperbaiki kualitas hidup
rakyat justru menjadi beban dan tanggungan rakyat melalui subsidi
pemerintah kepada obligor BLBI. Trend meningkatnya rakyat hidup miskin,
timbulnya kecemburuan, kesenjangan, dan ketidakadilan sosial merupakan
gambaran, begitu rapuh, resisten, dan lemahnya kualitas hidup berbangsa
dan bernegara yang selama ini menjadi pengikat kita menjadi satu bangsa
dengan cita-cita besar. Masyarakat kembali harus bersabar, menunggu dan
menunda menikmati pembangunan sarana dan prasarana, pendidikan dan
kesehatan gratis.

IV. ASPEK EKONOMI

Dari sisi sustainabilitas anggaran, pengeluaran untuk menyehatkan


perbankan tersebut telah menimbulkan tambahan beban fiskal berupa bunga
surat utang negara sekitar Rp 50-60 triliun per tahun, dan dipertanyakan
sampai kapan hal ini berakhir menjadi beban negara.
Dari sisi pemerataan ekonomi dan pembangunan, seharusnya beban bunga
tersebut dapat digunakan untuk membiayai program pengentasan
kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Beban fiskal yang harus dibayar
tersebut juga merupakan pengalihan dana yang seharusnya dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Selain itu, langkah penyelesaian program penyehatan perbankan telah
mengakibatkan berpindahnya kepemilikan perusahaan/aset nasional kepada
pihak asing. Sebagai contoh, enam dari 10 bank terbesar di Indonesia
kepemilikan mayoritasnya sudah berada di pihak asing, sehingga proses
intermediasi perbankan menjadi tidak maksimal dalam mendorong
pertumbuhan sektor riil.

370 / Rakyat Menggugat Skandal BLBI


V. ASPEK HUKUM
Secara Hukum Pidana, pada azasnya barang siapa yang terbukti bersalah
melakukan kejahatan harus dijatuhi hukuman-geen straf zonder shculd.
Pelanggaran BMPK merupakan pelanggaran Undang-undang No. 10 tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan,
yang dijabarkan dalam peraturan-peraturan Bank Indonesia. Di dalam ketentuan
hukum tersebut mengenai pelanggaran BMPK bukan ketentuan pidana secara
umum. Hal ini sesuai dengan azas hukum yang menyatakan ketentuan yang
khusus mengenyampingkan yang umum lex generalis lex specialis. Meskipun
kerugian korban telah disubstitusi, unsur pidananya tetap harus diselesaikan
secara hukum.
Pelanggaran BMPK dan berbagai penyelewengan perbankan yang dilakukan
oleh para pemilik bank, termasuk oleh apa yang disebut konglomerat hitam,
serta kesalahan pengawasan oleh otoritas pengawas perbankan adalah
merupakan bentuk kejahatan perbankan. Padahal, Undang-undang Nomor 10
tahun 1998 memberikan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun.dan
denda paling banyak Rp 200 milyar terhadap tindak pidana perbankan. Ternyata
Undang-undang tersebut belum dilaksanakan secara konsisten.
Permasalahan pelanggaran BMPK diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 31/177/Kep/Dir, pada tanggal 31 Desember 1998.
Keputusan Direksi ini mengatur bahwa suatu bank wajib menyusun dan
menyampaikan rencana penyelesaian (action plan) masing-masing untuk
pelanggaran dan/atau pelampauan BMPK, apabila action plan tersebut tidak
dilaksanakan maka bank tersebut dapat dikenai sanksi administratif dan sanksi
pidana.
Upaya menindak para obligor KLBI dan BLBI hingga saat ini masih terkendala
oleh lemahnya penegakan hukum. Aparat penegak hukum pun tidak berdaya
untuk memproses hingga ke pengadilan, apalagi dengan maraknya praktek
mafia peradilan. Tindakan para obligor yang merugikan keuangan negara
semestinya juga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Undang-
undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
telah direvisi menjadi UU No. 31 Tahun 1999 berisi klausul ancaman yang sangat
berat bagi pelaku kejahatan korupsi. Apabila implikasi korupsi menimbulkan
kerugian sedemikian besar dan literal dalam kehidupan masyarakat, maka
pelakunya memungkinkan diancam hukuman mati. Proses pidana harus
dijalankan terhadap koruptor dan pelaku KKN yang telah mengeruk uang negara.
Masalah BLBI perlu dilihat sebagai suatu kejadian yang berkesinambungan yang
telah terjadi sejak 10 tahun yang lalu dan dilaksanakan oleh Pemerintah dari
Presiden Soeharto sampai sekarang dan juga telah melibatkan MPR, DPR, BPK,
dan MA.

Rakyat Menggugat Skandal BLBI / 371


Melalui pendekatan out-of-court settlement, pemerintah melaksanakan program
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dalam bentuk MSAA,
MRNIA, dan APU. Sesuai audit BPK tentang Hasil Pemeriksaan Penyelesaian
Kewajiban
Pemegang Saham, No. 34G/XII/11/2006 tanggal 30 November 2006, PKPS
dilaksanakan berdasarkan beberapa dasar hukum sebagai berikut.
Pada tahun 1998, dikeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1998 tentang
Tugas dan Kewenangan BPPN. Sejak tahun 1999, program PKPS didasarkan
pada kewenangan yang dimiliki oleh BPPN dalam PP 17/1999.
Selanjutnya, Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (UU Propenas) yang antara lain menyebutkan: (i)
pemberian insentif bagi debitur yang belum menandatangani MSAA. (ii)
pengenaan penalti bagi debitur yang tidak menandatangani MSAA atau cidera
janji. (iii) pemberian jaminan kepastian hukum bagi debitur yang menandatangani
MSAA. Sementara itu, Ketetapan MPR RI No. X/MPR/2001, menetapkan bahwa
pemerintah perlu konsisten melaksanakan MSAA dan MRNIA.
Pelaksanaan program PKPS tersebut kemudian berlanjut dengan pemberian
Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh BPPN kepada 21 obligor, yang didasarkan
pada Inpres 8/2002. SKL ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kepastian
hukum bagi para obligor yang sudah memperoleh SKL. Argumennya adalah SKL
tersebut merupakan produk hukum dari sebuah pemerintahan yang sah.
Sebagian kalangan memandang SKL tersebut tidak dapat mensubstitusi secara
hukum, apabila terdapat unsur perbuatan pidana yang dilakukan oleh obligor.
Argumennya adalah pengembalian aset negara tidak menghapuskan unsur
tindak pidananya.

Keputusan Mahkamah Agung No. 03 G/Hum/2003 tentang Wewenang Presiden


Memberikan Kepastian Hukum Kepada Obligor BLBI Yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya Dan Meneruskan Proses Hukum Yang Belum Menyelesaikan
Kewajibannya.
Perlu dicatat bahwa, audit BPK No. 34G/XII/11/2006 tersebut juga menyebutkan
bahwa SKL dapat ditinjau kembali, diperbaiki dan atau disempurnakan apabila
ditemukan terdapat kekeliruan dan atau kesalahan di dalam pembuatan SKL.
Selain obligor yang memperoleh SKL, terdapat juga obligor yang: (i) dianggap
selesai tetapi tidak memperoleh SKL, (ii) tidak memperoleh SKL, (iii) tidak selesai
PKPS-nya, (iv) dialihkan ke Tim Pemberesan BPPN, (v) sedang dalam
penyelidikan Kejaksaan Agung, dan (vi) masih menunggu Keputusan Mahkamah
Agung. Terhadap obligor-obligor tersebut hingga kini tidak jelas langkah
penyelesaian yang diambil oleh pemerintah.

372 / Rakyat Menggugat Skandal BLBI


Mengingat beban negara sebagai akibat program penyehatan perbankan akan
terus ditanggung negara dalam jangka waktu yang sangat panjang, DPR
berpandangan perlu adanya terobosan hukum untuk menyelesaikan masalah ini
dalam waktu sesegera mungkin. Selain itu terdapat inkonsistensi hukum dalam
proses penyelesaian PKPS. Apalagi selama ini terdapat inkonsistensi hukum
dalam proses penyelesaian PKPS tersebut. Sebagai misal, terdapat obligor yang
belum tuntas meyelesaikan kewajibannya, namun sama sekali tidak dilakukan
proses penegakan hukum terhadapnya. Seyogyanya pemerintah perlu
memberikan perhatian kepada upaya penegakan hukum.

DPR RI sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat, sesuai kewenangan konstitusionalnya


berhak meminta penjelasan kepada Presiden RI melalui penggunaan hak interpelasi
sebagai berikut:
(1) Bagaimana sikap politik dan hukum pemerintah terhadap kebijakan dan
implementasi kebijakan dalam penyelesaian kewajiban pemegang saham yang
meliputi kasus-kasus KLBI, BLBI, rekapitalisasi perbankan dan seluruh rangkaian
program penyehatan perbankan, termasuk program penjaminan dan dana
talangan?
(2) Apa sikap pemerintah terhadap obligor yang belum memenuhi kewajibannya
kepada negara atau apa yang disebut konglomerat hitam ?

(3) Sejauhmana konsistensi, perkembangan dan hasil penegakan hukum bagi para
obligor yang dilakukan oleh pemerintah? Langkah hukum apa yang sedang dan
akan diambil oleh pemerintah terhadap para obligor, dirinci berdasarkan nama
dan bank /perusahaannya ? Sejauh mana kemajuan penanganan obligor yang
belum menuntaskan kewajibannya, sebagaimana audit BPK di atas?

(4) Berapa seharusnya uang negara yang wajib dikembalikan oleh para obligor?
Bagaimana realisasi pengembalian uang negara berdasarkan program PKPS,
mengingat telah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 8/2002?
(5) Bagaimana tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat dengan memberi
fasilitas yang berlebihan atau mengampuni para obligor tanpa melalui proses
hukum?
(6) Bagaimana strategi pemerintah dalam mengembalikan potensi kerugian negara
sebesar Rp 138,4 triliun dana eks-BLBI sesuai audit BPK tahun 2000?

(7) Berapa sesungguhnya jumlah utang negara terkait dengan program KLBI, BLBI
dan seluruh rangkaian penyehatan perbankan? Apakah bunga yang dibebankan
kepada APBN sebesar kira-kira Rp 50-60 triliun tersebut benar-benar utang
negara atau utang swasta yang diambil alih oleh negara ? Berapa lama lagi utang
ini harus ditanggung oleh negara ?

Rakyat Menggugat Skandal BLBI / 373


(8) Apakah upaya Pemerintah dalam menyelesaikan utang-utang tersebut?
Diharapkan pemerintah memaparkan upaya penegakan hukum terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
(9) Apakah pemerintah sependapat bahwa kasus KLBI, BLBI, dan seluruh rangkaian
program penyehatan perbankan harus tuntas 100% sebelum akhir Agustus
2008?
(10) Bagaimana pendapat Pemerintah terhadap Inpres No. 8/2002 tentang
Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang telah
Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur Yang
Belum Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham (PKPS), yang telah mendapat kekuatan hukum dari
Mahkamah Agung?

Demikian hak interpelasi ini kami ajukan sebagai bentuk kepedulian dan empati kami
terhadap rakyat yang mengalami ketidakadilan dan kesengsaraan yang nyata.

Wassalammu'alaikum Wr. Wb.


Jakarta, 18 September 2007
Kami Para Pengusul (terlampir).

374 / Rakyat Menggugat Skandal BLBI


Referensi

Buku

Arief, Sritua, Negeri Terjajah Menyingkap Ilusi Kemerdekaan, Yogyakarta, Cet. I, Resist
Book, 2006.
Atraiyyah, Hamdar, Meneropong Kemiskinan Telaah Perspektif Al Quran, Cet I, Pustaka
Pelajar, 2007.
Baswir, Revrisond, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, Cet, I, Pustaka Pelajar,
2006.
Baswir, Revrisond et.al., Terjajah di Negeri Sendiri, Cetakan Pertama, Jakarta, Elsam
April 2003.
Danaher, Kevin, 10 Alasan Bubarkan IMF dan Bank Dunia, Yogyakarta, CPRC, 2005.
Furubotn, Eirik dan Rudolf Richter. 2000. Institutions and Economic Theory: The
Contribution of the New Institutional Economics. The University of Michigan Press.
Ann Arbor. USA
Gie, Kwik K., Pemberantasan Korupsi untuk Memperoleh Kemandirian, Kemakmuran,
Kesejahteraan dan Keadilan, Edisi III.
_______, Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar, Cet.I, Jakarta, Kompas,
2006.

/ 375
_______, Pikiran Yang Terkorupsi, Cet.1, Jakarta, Kompas, 2006
Hadi, Syamsul et.al., Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF, Jakarta, Granit, 2004.
Khor, Martin, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, Yogyakarta, CPRC, 2002.
Khudori, Lapar: Negeri Salah Urus!, Cet.I Yogyakarta, Resist Book, 2005.
Mintorahardjo, Sukowaluyo, BLBI Simalakama Pertaruhan Kekuasaan Presiden
Soeharto, Cet. I, Riset-Riset Ekonomi Sosial Indonesia, 2001.
Mubyarto, Ekonomi Terjajah, Pustep, UGM, 2005.
Nasution, Anwar. 2002. The Indonesian Economic Recovery From The Crisis in
1997 1998. Journal of Asian Economics. 13: 157 180
Pincus, Jonathan R. & Jeffrey A. Winters, Membongkar Bank Dunia, Jakarta,
Djambatan 2004.
Rao, J. Mohan et.al., Arbitrase Utang Penyelesaian Menyeluruh Masalah Utang Luar Negeri
Indonesia, Jakarta, Cet.I, INFID, 2003.
Scabrook, Jeremy, Kemiskinan Global Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme,
Yogyakarta, Cet.I, Resist Book, 2006
Subagja, Guntur et.al., Mari Menjual Negara, Jakarta, Global Mahardika Netama,
2002.
Subagja, Guntur, Politik & BLBI : Kumpulan Artikel Pengamat dan Wartawan, x-Biz,
Jakarta, 2000
Winters, Jeffrey A., Dosa-Dosa Politik Orde Baru, Jakarta, Djambatan, 1999.

Laporan

Batunanggar, 2. 2006. Fasilitas Pembiayaan Darurat vs BLBI. Paper yang versi


singkatnya sudah dipublikasikan di Investor Daily. 2 Februari
Hasil Pemeriksaan Penjualan Aset Eks Pemegang Saham Bank dalam Rangka
Pemeriksaan Atas Laporan Pelaksanaan Tugas BPPN, BPK, Jakarta, 2006.
Laporan BPK Nomor : 34G/XII/11/2006 Tanggal 30 Nopember 2006
Laporan BPK Nomor : 06/01/Auditama II/AI/VII/2000 Tanggal 31 Juli 2000

376 /
Yuntho, Emerson dan Muji Rahayu. 2006. Penyelesaian Hukum Kasus BLBI. Position
Paper. Indonesia Coruption Watch. Jakarta
Zulverdi, Doddy, et. al. 2007. Bank Portofolio Model and Monetary Policy in
Indonesia. Journal of Asian Economics. 18: 158 - 174

Majalah

Forbes Asia, “Indonesia's 40 Richest” , December 24, 2007.


Gatra, “Kolaborasi BK-KPK Bongkar Perkara”, 29 November-5 Desember 2007.
Globe Asia, ”150 Wealthiest Indonesiaans”, 7 Agustus 2007.
Tempo, “Kasus BLBI Perburuk Citra Indonesia”, 25 Juli 2007.
Tempo, Edisi 5 11 Maret 2007

Surat Kabar

Bisnis Indonesia, ”Dana Antikemiskinan 2008 Naik”, 06 Agustus 2007.


Bisnis Indonesia, ”Tim Antikemiskinan Janjikan Perbaikan”, 09 Agustus 2007.
Bisnis Indonesia, ”Masalah BLBI atau Kehancuran Keuangan Negara”, 11 September
2007.
Indopos, ” Skandal BLBI Masih Misteri”, 21 Mei 2007.
Indopos, ” Babak Baru Penanganan Korupsi BLBI”, 29 Juni 2007.
Indopos, ”Makin Serius Bidik BLBI”, 31 juli 2007.
Indopos, ”Lagi, Kejagung Periksa Mantan Pejabat BPPN”, 31 Agustus 2007.
Indopos, ”Kemiskinan, Konflik, dan Perdamaian Global”, 24 September 2007.
Indopos, ”SP3 Soedrajad Bisa Dibatalkan”, 15 November 2007.
Indopos, ”Ditekan IMF, BCA Dijual Murah” 12 Desember 2007.
Investor Daily, ”Disiapkan, Jerat Baru Pengemplang BLBI ”, 08 Maret 2007.
Investor Daily, ”Penyelesaian BLBI Berlanjut”, 22 Maret 2007.
/ 377
Investor Daily, ”BPK dan DPR Desak Pemerintah Tuntaskan BLBI”, 03 April 2007.
Investor Daily, ”Buron BLBI beli Aset di Singapura Rp 1,5 T”, 17 April 2007.
Investor Daily, ”Keluarga Hendra Rahardja Bangun Kerajaan Bisnis di Hong Kong”,
26 April 2007.
Investor Daily, ”Ahli Waris Hendra Rahardja Akan Diselidiki”, 27 April 2007.
Investor Daily, ”Aset Koruptor Pasti Kembali”, 28-29 April 2007.
Investor Daily, ”PU Anggarkan Rp 1,9 T untuk Atasi Kemiskinan”, 28-29 April 2007.
Investor Daily , ”Perjanjian RI-Singapura Percepat Penyelesaian BLBI”, 05-06 Mei
2007.
Investor Daily , ”Jangan Sampai Ada Skenario Pengalihan Kasus BLBI”, 26 Mei 2007.
Investor Daily , ”Kasus Anthony Salim Diusulkan Masuk Panja”, 29 Mei 2007.
Investor Daily, ”DPR Panggil Penilai Independen Tentukan BLBI”, 29 Mei 2007.
Investor Daily, ”DPR Bentuk Panja BLBI Tangani 8 Obligor”, 21 Juni 2007.
Investor Daily, ”Jaksa Agung Prioritaskan Pengusutan Tiga Kasus BLBI”, 29 Juni
2007.
Investor Daily, ”Pendidikan Murah Masih Impian”, 22 Juli 2007.
Investor Daily, ”BPK Siapkan Data BLBI Untuk Kejakgung”, 26 Juli 2007.
Investor Daily, ”Papua Daerah Termiskin”, 04-05 Agustus 2007.
Investor Daily, ”Nyali Menyelesaikan BLBI”, 07 Agustus 2007.
Investor Daily, “Peluang Menggugat IMF”, 08 Agustus 2007.
Investor Daily, ”ADB: Kesenjangan Kaya-Miskin Kian Lebar”, 09 Agustus 2007.
Investor Daily, ”Rumah Bagi Rakyat Miskin”, 24 Agustus 2007.
Investor Daily, “Australia Akan Ekstradisi Dua Terpidana BLBI”, 25-26 Agustus
2007.
Investor Daily, ”Arwin Rasyid Diperiksa Kejagung Kasus BLBI”, 31 Agustus 2007.
Investor Daily, “Kwik: Mantan Menko dan Menkeu Terlibat BLBI”, 08 September
2007.

378 /
Investor Daily, “Ary Sutha Tak Tahu Perbedaan Aset Obligor BLBI”, 14 September
2007.
Investor Daily, “Kemiskinan, Masalah Tiada Akhir”, 22 September 2007.
Investor Daily, “42 Anggota DPR Ajukan Interpelasi BLBI”, 28 September 2007.
Investor Daily, “Memangkas Angka Kemiskinan”, 19 Oktober 2007.
Investor Daily, ”Masalah Kemiskinan Belum Teratasi”, 23 Oktober 2007.
Investor Daily, “Penyelesaian Hukum Lebih Jelas, DPR Sepakat Interpelasi BLBI”, 05
Desember 2007.
Jawa Pos, edisi 31 Januari 2006
Jurnal Nasional, “Penilaian Aset Obligor BLBI Tidak Konsisten”, 20 Juli 2007.
Jurnal Nasional, “MoU BPK-Kejagung untuk Buru Koruptor BLBI”, 03 Agustus
2007.
Jurnal Nasional, “Kejagung Periksa Kwik dan Bambang Subianto”, 07 September
2007.
Jurnal Nasional, “Tiga Obligor BLBI Segera Diperiksa”, 30 November 2007.
Jurnal Nasional, “DPR Sepakati Interpelasi BLBI”, 05 Desember 2007.
Kompas, ”BPK: Penyelesaian BLBI Untungkan Konglomerat, Bebani APBN”, 07
Juni 2003.
Kompas, ”Pemburu Koruptor Sudah Disiapkan”, 04 Juli 2007.
Kompas, ”Ormas Diingatkan Untuk Sesuai Koridor Hukum”, 05 Juli 2007.
Kompas, ” Mimpi dari Permukiman Kumuh”, 13 Juli 2007
Kompas, ” Pemerintah Tidak serius”, 17 Juli 2007
Kompas, ”Tim Khusus Diminta Fokuskan Kasus BLBI”, 18 Juli 2007.
Kompas, ”Jaksa Agung Berjanji Tak Main-Main”, 19 Juli 2007.
Kompas, Edisi 23 Juli 2007
Kompas, ”Rakyat Miskin Tuntut Akses Pendidikan Murah tetapi Berkualitas”, 30
Agustus 2007.
Kompas, ”Tetapkan Data Penduduk Miskin”, 05 September 2007.

/ 379
Kompas, ”DPR Setujui Interpelasi”, 05 Desember 2007.
Kompas, ”Pemerintah Akan Menjawab Interpelasi DPR”, 08 Desember 2007
Kompas, ”Anthony Salim Diperiksa”, 07 Desember 2007
Neraca, “Harus Ada Deadline Buat Kejagung Mengusut Kasus BLBI”, 25
September 2007.
Neraca, “Kejaksaan Targetkan Penyelesaian Tiga Kasus Kakap BLBI”, 29 Juni 2007.
Neraca, “Pengusutan Kasus BLBI Jangan Tebang Pilih”, 09 Juli 2007.
Neraca, “Menunggu Hasil Babak Baru Penyelesaian BLBI”, 23 Juli 2007.
Neraca, “PPATK Belum Terima Permintaan Kejagung Soal BLBI”, 24 Juli 2007.
Neraca, “Perebutan Aset PT GPA Vs Salim Group Tampilkan Saksi Ahli”, 25 Juli
2007.
Neraca, “30 Obligor Kakap Masih Bandel”, 27 Juli 2007.
Neraca, “Soal BLBI Kejagung Baru Periksa Saksi”, 31 Juli 2007.
Neraca, “Permak Dukung Jaksa Agung Usut Tuntas BLBI”, 02 Agustus 2007
Neraca, “Pelajar Mendesak Jaksa Agung Prioritaskan Kasus BLBI”, 10 Agustus
2007.
Neraca, “Saksi Tak Kooperatif Diancam Pidana Korupsi” , 14 Agustus 2007.
Neraca, “Satu Dasawarsa Krisis Satu Dasawarsa BLBI”, 21 Agustus 2007.
Neraca, “Kemiskinan Bukan Persoalan Angka Statistik”, 24 Agustus 2007.
Neraca, “Pengusutan MSAA Akan Menguak Kejahatan Konglomerat Pengguna
BLBI”, 28 Agustus 2007.
Neraca, “Antara Pengentasan Kemiskinan & Pemberdayaan Usaha Kecil”, 01
September 2007.
Neraca, “Penyerahan Saham-saham Obligor ke BPPN Harus Free and Clear”, 01
September 2007.
Neraca, “Pemerintah dan BI Harus Bertanggung Jawab”, 13 September 2007.
Neraca, “Kemiskinan Ekonomi dan Spiritual”, 09 Oktober 2007.
Neraca, “DPR: Perpanjang Penyelidikan Untuk Tuntaskan 6 Kasus BLBI”, 01
November 2007.

380 /
Neraca, “Kasus BLBI Jangan Jadi Isu Politik Pemilu”, 12 November 2007.
Neraca, “Presiden Peduli Dengan Pengusutan kasus BLBI”, 13 November 2007.
Neraca, “Hakim Menangkan Gugatan Sugar Terhadap Grup Salim”, 15 November
2007.
Neraca, “Kejagung Perlu Tindak Lanjuti Pelanggaran MSAA”, 27 November 2007.
Neraca, “Kasus BLBI, Kejahatan Keuagan Sangat Serius”, 28 November 2007.
Neraca, “Pengungkapan Kasus BLBI Mulai 'Diganjal' DPR”, 29 November 2007.
Neraca, “Panja DPR Bingung Terhadap Proses BLBI”, 01 Oktober 2007.
Neraca, “Sekali Lagi BLBI & Penjualan BCA (1)”, 01 Oktober 2007.
Neraca, “Sekali Lagi BLBI & Penjualan BCA (2)”, 02 Oktober 2007.
Neraca, “Laksamana: BCA Sesuai Prosedur”, 02 Oktober 2007.
Neraca, “Interpelasi Kasus BLBI Akhirnya Bergulir di DPR”, 02 Oktober 2007.
Neraca, “Satu Dasawarsa Krisis Satu Dasawarsa BLBI”, 23 Oktober 2007.
Neraca, “Kasus GPA dan salim Tunggu Kepastian Hakim”, 25 Oktober 2007.
Neraca, “Kejgung Perpanjang Peneylidikan Kasus BLBI”, 30 Oktober 2007.
Neraca, “Interpelasi Kasus BLBI Disetujui Secara Aklamasi”, 05 Desember 2007.
Neraca, “Anthony Salim Diperiksa Kejagung 12 jam”, 07 Desember 2007.
Neraca, “Interpelasi BLBI: Mengurai Benang Yang Terlanjur Kusut”, 07 Desember
2007.
Rakyat Merdeka, “Pemberi BLBI Layak Dikerangkeng”, 11 Mei 2007.
Rakyat Merdeka, “Penuntasan BLBI Molor Rakyat Tekor”, 04 Juni 2007.
Rakyat Merdeka, “Seperti Tong Kosong Nyaring bunyinya”, 04 Juni 2007.
Rakyat Merdeka, “Gara-gara BLBI Harga-harga Mahal”, 04 Juni 2007.
Rakyat Merdeka, “Kejaksaan Agung Siapkan 35 Jaksa untuk Kasus BLBI”, 06 Juni
2007.
Rakyat Merdeka, “Penyelesaiannya Jangan Setengah-setengah”, 19 Juni 2007.
Rakyat Merdeka, “Kejagung Ngotot Pidanakan Pengemplang BLBI”, 19 Juni 2007.
Rakyat Merdeka, “Dimulai, Jihad Melawan Koruptor BLBI”, 02 Juli 2007.
/ 381
Rakyat Merdeka, “Melihat Keterlibatannya Dengan 3 Poin”, 13 Juli 2007.
Rakyat Merdeka, “Perry: Selisih Nilai Aset Salim Banyak Faktor”, 20 Juli 2007.
Rakyat Merdeka, “Bukan Hanya Salim Group, Di Bawahnya Juga Diusut”, 20 Juli
2007.
Rakyat Merdeka, “Pelajaran Mahal Krisis Ekonomi Indonesia”, 23 juli 2007.
Rakyat Merdeka, “2 Boneka Konglomerat Dibakar” , 25 Juli 2007.
Rakyat Merdeka, “Kepastian Hukum Dan Kenyamanan Harus Dijamin”, 27 Juli
2007.
Rakyat Merdeka, “Data-data Lama Dan Tersirat Kasus BLBI Akan Dibuka”, 27 Juli
2007.
Rakyat Merdeka , “Tidak Ada Kata Terlambat Buat SBY-JK”, 03 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Peran Bank Sentral Dalam BLBI”, 06 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Kasus BLBI Jangan Jadi Ajang Balas Dendam”, 10 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka , “Maling Kelas Teri Ditangkap Maling BLBI Kok Nggak”, 10
Agustus 2007.
Rakyat Merdeka , “Tafsir BLBI dari Rejim ke Rejim”, 13 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Jampidsus Ancam Para Saksi BLBI”, 14 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Kami Akan Panggil Jaksa Agung”, 25 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Belum Saatnya dong Dipanggil”, 25 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Lha, Kok Obligor BLBI Belum Ada Diperiksa”, 25 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Etika Hukum Penyelesaian Kasus BLBI”, 30 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka , “Ditemukan Bukti Awal ”, 30 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Kasus BLBI, Kepastian Hukum Untuk Keadilan”, 31 Agustus
2007.
Rakyat Merdeka, “Tangkap & Penjarakan Obligor BLBI Yang Jarah Uang Rakyat”,
03 September 2007.
Rakyat Merdeka, “BLBI, Maaf Ya Bukan ATM”, 03 September 2007.
Rakyat Merdeka, “Pemerintah Jangan Ragu Penjarakan Obligor Bermasalah”, 06
September 2007.

382 /
Rakyat Merdeka, “Salim Group Dinyatakan Bersalah Melanggar MSAA”,14
November 2007.
Rakyat Merdeka, “Kasus BLBI, Hendarman Incar Bekas Gubernur BI”, 15
November 2007.
Rakyat Merdeka, “Usut Dari Obligor BLBI Terbesar”, 05 Desember 2007.
Rakyat Merdeka, “Anthony Salim Diperiksa Jaksa Tutup Mulut”, 07 Desember 2007.
Rakyat Merdeka , “BLBI dan Janji Manis SBY-JK”, 07 Desember 2007.
Rakyat Merdeka, “Masih Utang 300 Miliar, Sita Harta Nursalim”, 10 Desember
2007.
Republika, ”Saksi Kasus BLBI Banyak Mangkir”, 14 Agustus 2007.
Republika, ”Kwik Minta Kejakgung Periksa Boediono Terkait BLBI”, 6 September
2007.
Republika, ”Paripurna DPR tunda Voting Interpelasi BLBI”, 28 November 2007
Republika, ”DPR Loloskan Interpelasi BLBI”, 05 Desember 2007.
Seputar Indonesia, ”Kasus BLBI Ditangani 35 Tim Jaksa Khusus”, 17 Juli 2007.
Seputar Indonesia, ”Menguak Kembali Pengemplang Dana BLBI”, 20 Juli 2007.
Seputar Indonesia, ”DPR Loloskan Interpelasi BLBI”, 05 Desember 2007.
Seputar Indonesia, ”Syamsul Nursalim Juga Dibidik”, 07 Desember 2007.
Suara Karya, ”Pengusutan Sulit Karena Banyak Kepentingan”, Jumat 25 Mei 2007.
Suara Karya, ”Penuntasan Kasus BLBI”, 4 Juli 2007.
Suara Karya, ”Penggelembungan Aset Obligor Adalah Perbuatan Pidana”, 24 Juli
2007.
Suara Karya , ”JAM Pidsus: Tim Jaksa Tak Bisa Dipengaruhi”, 10 Agustus 2007.
Suara Karya , ”Kemiskinan Kian Parah, Pemerataan Dilupakan”, 14 Agustus 2007.
Suara Karya , ”BLBI dan Kepastian Hukum”, 15 Agustus 2007.
Suara Karya, ”Kemiskinan dalam Pembangunan”, 22 Agustus 2007.
Suara Karya, ”Kemiskinan Serius, Pemerintah Harus Kejar Pertumbuhan
Berkualitas”, 22 Agustus 2007.

/ 383
Suara Karya, ”Menyibak Tabir 'penjajahan' Baru”, 18-19 Agustus 2007.
Suara Karya, “Boediono Perlu Diminta Keterangam”, 7 September 2007.
Suara Karya, ”GOWA: Ada Rekayasa Untuk Kepentingan Tertentu”, 7 September
2007.

Internet

Media Indonesia Online, ”Pemilihan Jaksa Kasus BLBI Harus Transparan”, 24 Mei
2007.
Media Indonesia Online, ”Kejagung Diminta Tuntaskan Kasus BLBI”, 25 Mei 2007.
Tempo Interaktif, ”Pengutang BLBI Menyerahkan Diri” , 27 Januari 2006.
Tempo Interaktif, ”Menkeu Siap Berkoordinasi Temukan Obligor BLBI”, 19 Mei 2007.

384 /
Tentang
Penulis
Dr. Ahmad Erani Yustika, Ekonom Senior INDEF (Institute for
Development of Economics and Finance Indonesia) dan Ketua Program
Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya Malang. Meraih gelar Sarjana Ekonomi di Universitas
Brawijaya Malang. Sedangkan gelar master dan doktornya diraih di Goettingen
University, Jerman, dalam bidang studi Ekonomi Kelembagaan.

Aviliani, Ekonom Senior INDEF dan Pengajar Pasca Sarjana Sekolah Tinggi
Ilmu Administrasi-Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN). Menamatkan
studi S1 pada Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Atma Jaya (1985), dan S2
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (1995). Saat
ini sedang menyelesaikan studi S3 pada program Doktor Manajemen Bisnis-
Institut Pertanian Bogor. Selain itu, aktif sebagai Anggota Dewan Pakar
Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dan pengurus Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jakarta.

Dr. Fadhil Hasan, pendiri dan Direktur INDEF. Meraih Sarjana Ekonomi
Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Master of Science dari Department of
Economics Iowa State University (AS) dan gelar doktor di Department of
Agricultural Economics University of Kentucky (AS) dengan spesialisasi di
bidang Perdagangan Internasional, Pemasaran, Kebijakan Pertanian dan
Perbankan. Kini bekerja sebagai peneliti dan konsultan pada berbagai lembaga

/ 385
seperti Pusat Studi Pembangunan IPB, Smeru Research Institute, Department
of Agricultural Economics University of Kentucky, World Bank dan USAID.

Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H., advokat dan pemilik kantor hukum
Frans Winarta & Partners. Memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Katolik Parahyangan, gelar Magister Hukum (dalam
bidang hukum pidana) di Universitas Indonesia, dan gelar Doktor Ilmu
Hukum di Universitas Padjadjaran. Tercatat sebagai anggota berbagai
organisasi nasional maupun internasional diantaranya IKADIN (Ikatan
Advokat Indonesia), YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia),
International Bar Association, American Chamber of Commerce, dan
International Court of Arbitration-International Chamber of Commerce
(ICC) Paris.

Dr. Hendri Saparini, Managing Director ECONIT Advisory Group.


Menamatkan SI di Fakultas Ekonomi UGM, kemudian menyelesaikan S2
dalam bidang International Development Policy dan S3 dalam bidang
International Political Economy (keduanya di University of Tsukuba, Jepang).
Saat ini juga tercatat sebagai pengajar Ekonomi Magister Manajemen UGM,
MM Fakultas Studi Pembangunan ITB dan Program Doktor pada Fakultas
Ekonomi UMS.

Kwik Kian Gie, Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi (1999-2000)


dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
BAPPENAS (20012004). Sempat pula menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI
pada tahun 1999. Lahir di Juwana (Jawa Tengah) pada 11 Januari 1935.
Menempuh pendidikan di Nederlandsche Economiche Hogeschool,
Rotterdam, Belanda (1963). Merupakan salah satu tokoh utama reformasi yang
hingga kini aktif menyebarkan pemikirannya melalui kolom analisis ekonomi
di berbagai media massa. Juga merupakan pendiri dari Institut Bisnis dan
Informatika Indonesia (IBII).

Marwan Batubara, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mewakili


Provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Teknik Elektro Universitas
Indonesia dan S2 di bidang Computing pada Monash University (Australia).
Mantan General Manager PT Indosat ini sekaligus merupakan Pendiri dan
Pembina Serikat Pekerja Indosat (2000-2003) yang menggalang aksi penolakan
terhadap divestasi Indosat. Pada tahun 2004 terpilih sebagai anggota DPD RI
melalui pemilihan umum pertama yang diselenggarakan untuk memilih
anggota DPD.

386 /

Anda mungkin juga menyukai