Ramai-ramai
Merampok Negara
Marwan Batubara
Kwik Kian Gie
Dr. Frans Hendra Winarta, SH., MH.
Dr. Ahmad Erani Yustika
Dr. M. Fadhil Hasan
Dr. Hendri Saparini
Aviliani
© Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi buku ini
tanpa seizin penerbit
Skandal BLBI:
Ramai-ramai
Merampok Negara
Penerbit
Haekal Media Center
Januari 2008
Judul Buku:
Skandal BLBI:
Ramai-ramai Merampok Negara
Penulis:
Marwan Batubara, dkk
Penyusun Naskah:
Wahyutama, Shalihan Edwar
M. Ikrar Dinata, Deni Wigunadi
Penyunting Naskah:
Wahyutama, Shalihan Edwar
Gumanti
Desain Cover:
Tim Haekal Media Center
Penerbit:
Haekal Media Center
HP. 0816 23 0065, 0856 9765 3043
E-mail: haekal_mc@yahoo.co.id
Cetakan Kedua, Maret 2008
ISBN: 978-979-15667-5-9
Kata
Pengantar
Sri-Edi Swasono (Guru Besar Fakultas Ekonomi UI)
vii
Mengapa skenario global sejahat ini dapat berjalan begitu lancar? Ada
macam-macam jawaban dan penjelasan. Di dalam pengantar ini tidak
semuanya dapat dikemukakan. Namun yang paling pokok adalah hilangnya
patriotisme, nasionalisme, dan rasa berdaulat dari kepemimpinan nasional
kita dan tentu pula bersamaan dengan itu adalah mengganasnya globalisme-
imperialisme masing-masing dengan derivat-derivatnya. Satu sama lain
saling berkaitan dan saling menumbuhkan sinergisme kemalapetakaan.
Pemerintahan negara yang adigang-adigung-adiguna nepotistik, yang
mengabaikan meritokrasi dan tuntutan profesionalisme the right man in the
right place merupakan awal segala malapetaka. Orang-orang medioker pun
bisa masuk ke dalam pemerintah dan menikmati kewenangan dan kekuasaan
siap pakai. Dari sinilah kecerdikan dan kelicikan globalisme-imperialistik
memperoleh peluang lebih besar untuk melaksanakan skenario perampokan
dan penjarahan.
Dari dimensi lain, berkaitan dengan kejahatan akbar di atas, barangkali
menyangkut pula persistensi budaya minder bangsa bekas rakyat terjajah ini,
yang sebagiannya cenderung untuk mudah dirayu dan dipecah-belah, maka
jadilah itu. Belahan pertama adalah mereka yang kurang memiliki percaya diri,
lalu mengundang kembalinya penjajahan baru, yang hanging-loose, yang masa
bodoh terhadap masa depan bangsa dan negara, yang di masa doeloe disebut
sebagai kelompok Co (NICA). Belahan yang lain adalah mereka yang teguh
cita-cita, tetap bertahan dalam mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatan nasional, demi kebebasan, kebesaran dan kejayaan bangsa dan
negaranya, yang doeloe kita kenal sebagai kelompok nasionalis Republikein.
***
Dengan latar belakang aneka absurditas di atas, yang bukan misteri atau
ilusi fiktif, maka terbentuklah ketertundukan birokrasi (barangkali juga
ketertaklukkan) untuk melaksanakan perintah orang yang ditakuti (IMF),
ibarat kerbau dicocok hidung. Mengawali serangkaian kebijakan bunuh diri
(series of suicidal policy) adalah sikap yang dengan serta merta melaksanakan
perintah IMF untuk melikuidasi 16 bank tanpa persiapan dan pertimbangan
matang tentang segala akibatnya pada awal November 1997, semata-mata
karena merasa tak berdaulat lagi, lalu menerima begitu saja hasil evaluasi dan
rekomendasi IMF/LoI 31 Oktober 1997.
viii
IMF jelas tidak berpengalaman dengan psikologi dan alam pikiran
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kebijaksanaan melikuidasi 16 bank
itu, yang oleh IMF semula diharapkan dapat memulihkan kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan, pastilah meleset. Akibatnya malahan
direspon oleh masyarakat secara sebaliknya. Masyarakat justru makin ragu,
makin dirongrong oleh uncertainties, lalu makin melakukan penarikan (rush)
dan pengalihan dana (bank-run) secara besar-besaran.
Perbankan Indonesia, yang lebih mengenal dan sangat berpengalaman
menangani psikologi masyarakat Indonesia, mestinya berani menolak saran
IMF ini. Namun keminderan terhadap IMF membuat para otoritas moneter
kita mudah tunduk dan takluk sebagai the “yes man”.
Evaluasi dan rekomendasi IMF ternyata tidak saja keliru, tetapi malah
merupakan penyulut bagi makin meluasnya ketidakseimbangan antara
penarikan dan penerimaan (mismatch) perbankan. Makin banyak, bahkan
nyaris menyeluruh, terjadi saldo debet negatif pada giro-giro mereka di
Bank Indonesia.
Presiden Soeharto terperangkap pada skenario logis sebab-akibat ini,
diteror secara sistematis untuk lebih terjerumus. Dengan kenyataan kausal
terjadinya pembengkakan saldo debet di perbankan, maka pada tanggal 12
Desember 1997, Presiden Soeharto menyetujui Bank Indonesia menempuh
kebijakan pengganti saldo debet bank-bank dengan SBPUK (Surat
Berharga Pasar Uang Khusus) supaya tidak terjadi lagi likuidasi bank.
Namun, sebagaimana bisa diduga dari pengalaman-pengalaman
perbankan Indonesia masa lalu yang ringkih terhadap spekulasi dan
ketidakpastian, krisis justru makin memuncak, saldo debet makin meluas
dan berkelanjutan. Istana Negara makin terteror, tergiring ke arah jurang
pelumpuhan kegiatan ekonomi, meskipun harapan yang ada cukup rasional,
yaitu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada perbankan. Para
pembantu Presiden tiarap, membiarkan Presiden tergencet dalam
kesendirian.
***
Dalam situasi krisis mismatch itu maka dikucurkanlah mekanisme kliring
baru, yaitu BLBI (Bantuan Likuidasi Bank Indonesia), berdasarkan
keputusan Rapat Kabinet 3 September 1997 yang dipimpin Presiden
ix
Soeharto, sebagai dana talangan pemerintah lewat Bank Indonesia untuk
perbankan yang bersaldo debet.
Tahap pertama BLBI (3 September 1997 29 Juni 1999) ditetapkan
sebesar Rp 144,536 triliun (kemudian membengkak menjadi Rp 164,536
triliun).
Pada tanggal 15 Januari 1998, kita semua melihat Camdessus sedekap
bersilang-tangan di dada, disertai sikap congkak seorang mandor mengawasi
Presiden Soeharto menandatangani LoI. Presiden Soeharto mestinya tak
seharusnya off-guarded semacam itu, mestinya tidak dibiarkan terteror
sedahsyat itu, mengingat Prof. Widjojo Nitisastro berada tidak jauh berdiri
di situ.
Kelanjutan dari LoI itu adalah Keputusan Presiden No. 26/1998
tentang jaminan pemerintah untuk membayar seluruh kewajiban
perbankan, sebesar Rp 57,779 triliun, suatu program penjaminan yang
acapkali disebut sebagai blanket guarantee. Pemerintah melakukan
penjaminan melewati dana talangan dari Bank Indonesia yang kemudian kita
kenal dengan BLBI tahap kedua. Malapetaka yang besar mulai dari sini,
ibarat Lucifer turun ke bumi menyebar moral hazards, serba menggelembung
dan fiktif.
Kemudian, sebagai tindak lanjutnya, pemerintah pun mendirikan
BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) berdasar Keputusan
Presiden No. 27/1998 untuk mengalihkan program penjaminan. BPPN
gagal total, suatu badan korup penuh dengan persekongkolan bisnis makelar
jahat.
Maka lengkaplah skenario penjerumusan, suatu skenario disempowerment
untuk menumbuhkan dependensi Indonesia kepada kekuatan asing,
khususnya kepada IMF, yaitu tatkala pemerintahan bangsa ini menurut saja
terhadap ide obligasi rekap (BLBI tahap ketiga) dan rekayasa MSAA (Master
Settlement of Acquisition Agreement). MSAA di samping tidak masuk akal dan
tidak adil terhadap negara, juga sangat bertentangan dengan sistem hukum
Indonesia, antara lain yang berkaitan dengan release and discharge yang
mengabaikan supremasi hukum publik (pidana) terhadap hukum privat
(perdata). Seperti dikatakan oleh Kwik Kian Gie berkali-kali dalam berbagai
fora, ketika draft MSAA dimintakan legal opinion dari Kantornya Kartini
Mulyadi/Fred Tumbuan dan opini mereka menyatakan bahwa MSAA
x
melanggar sistem hukum Indonesia khususnya UU Perbankan, ahli hukum
berkebangsaan AS, yang diperkirakan suruhan IMF, dengan congkaknya
bilang ”...Then you change your law...”, suatu arogansi in optima forma tiada tara.
MSAA menginjak-injak UU Perbankan dan banyak menteri termasuk
Menteri Keuangan dan Menko, bahkan Presiden, ikut menginjak-injak UU
Perbankan. Presiden menerbitkan SKL atas dasar MSAA. Sementara itu
DPR-MPR ibaratnya mengamini semuanya ini. Lebih memalukan lagi,
ketika dibuat perjanjian (MSAA) antara obligor berkewarganegaraan
Indonesia dengan pemerintah Indonesia, perjanjian itu dibuat dalam bahasa
Inggris, bukan dalam bahasa nasional. Lagi-lagi, di sinilah, di dalam
pemerintahan kita, absurditas bertemu dengan mediokritas.
***
Pengantar saya ini hanyalah mempertegas betapa (maaf) mediokernya
para otoritas moneter kita yang telah dengan mudah terdikte oleh resep-
resep keliru IMF dalam penanganan krisis moneter. Dengan resep-resep
IMF itu justru krisis malahan memuncak, padahal secara teoretis kita
mestinya cukup paham dan andal untuk menolak, bahkan bisa dengan tegas
menuding dan memprotes kekonyolan dan ”kenorakan” teori-teori IMF,
yang kami sebut sebagai fallacious orthodox macro-economics. Kami memprotes
keras, protes ini disusun oleh the ”Eight Musketeers” (yaitu Oppusunggu,
Hartojo Wignjowijoto, Amin Aryoso, Dimyati Hartono, Farid
Prawiranegara, Arie Suta, Ichsanuddin Noorsy, dan saya sendiri, Sri-Edi
Swasono), setelah ditandatangani oleh sejumlah banyak anggota DPR, kami
kirimkan kepada Mr. Horst Koehler (IMF Chairman of Executive Board)
dan Mr. D. Wolfensohn (President of the World Bank) pada pertengahan
tahun 2001, dengan tembusan kepada Bank Indonesia, Menteri Keuangan,
DPR, dan lain-lain.
Resep-resep IMF untuk Indonesia bukan saja berdasar teori-teori
konvensional ortodoks yang menjerumuskan, yang serba generik yang tidak
akan cocok untuk local specifics Indonesia, tetapi sangat tegas terarah kepada
kepentingan IMF sendiri. Bantuan dana IMF yang disertai pendiktean-
pendiktean (forceful instructions) bukan diarahkan kepada efektivitas
pembiayaan pembangunan, tetapi untuk perbaikan neraca pembayaran dan
pengamanan rutinitas pembayaran utang luar negeri Indonesia.
***
xi
Saudara Marwan Batubara selalu konsisten dengan sikap patriotik dan
nasionalistiknya. Tahun lalu dengan keras ia menentang ”asingisasi”, ia
melawan melalui berbagai fora, khususnya melalui bukunya Tragedi dan Ironi
Blok Cepu, menggambarkan ketertekuklututan kita pada tekanan asing,
menyerahkan peluang emas anak cucu kita kepada EXXON.
Sekarang para kelompok Republikein, termasuk di sini Sdr. Marwan
Batubara dan kawan-kawannya, sekali lagi memberikan data dan informasi
tentang betapa jahatnya penjarahan, perampokan, serta konspirasi para
penyamun BLBI terhadap kelangsungan hidup bangsa ini dan terhadap
generasi mendatang, melalui buku ini. Konspirasi global untuk
melumpuhkan dan menguasai perekonomian Indonesia sebenarnya tidak
akan berhasil bila tidak didukung oleh konspirator-konspirator Indonesia,
oleh orang-orang kelompok Co baru yang dengan suka cita menjadi
komprador atau kaki tangan asing, yang ideologically disempowered atau lengah
misi, ataupun barangkali memang benar-benar medioker.
Saya ingin Saudara Marwan dan teman-temannya perlu meniti
kemungkinan untuk melakukan operasi darurat, antara lain: pertama,
mengupayakan ”membekukan” dana curian (BLBI) yang disembunyikan di
perbankan luar negeri. Ini tidak mudah, sikap luar negeri pun tidak memihak
Indonesia. Saya bisa pertemukan dengan para tracers profesional kenalan
saya untuk melacak dana curian itu sebagaimana mereka telah berhasil
melacak dan menemukan dana haram Presiden Ferdinand Marcos. Bila dana
curian itu tidak dapat ditarik, maka diatur agar dapat ”dibekukan”. Jumlah
yang sama yang ”dibekukan” itu membuka jalan bagi negara untuk dapat
mencetak uang baru sejumlah yang sama. Kedua, bunga obligasi rekap yang
harus dibayar negara seharusnya segera dihentikan saja, paling tidak segera
diturunkan rate-nya bertahap-tahap dan menjadi nol dalam waktu singkat,
sehingga negara bebas dari beban rekaannya sendiri.
Bila baru-baru ini kita baca headlines besar-besaran di front pages surat-
surat kabar seperti antara lain, ”Interpelasi BLBI: Awas DPR Dibeli
Konglomerat Hitam”, dan ”Hanya Dari Satu Obligor BLBI Negara
Dirugikan Rp 100 Triliun Lebih”, dan seterusnya dan seterusnya, hanyalah
lagu lama yang sejak dulu kita pekikkan dan sekarang diteriakkan ulang oleh
tokoh-tokoh DPR yang bangun kesiangan.
xii
Saya menyambut hadirnya buku yang ditulis Saudara Marwan Batubara
dkk ini dengan gembira, moga-moga buku ini bisa memberi pencerahan
kepada banyak kalangan yang selama ini tidak menyadari adanya skenario
pelumpuhan nasional terhadap Indonesia.
Saya pun menyambut baik sikap Presiden SBY yang terang-terangan
menyatakan (dua hari yang lalu) tentang adanya upaya pihak-pihak tertentu
yang menghalangi pemerintah untuk mencuci piring kotor setelah ramai
”berpesta BLBI” dan Presiden nampak bertekad maju terus membersihkan
yang kotor-kotor itu.
xiii
Pengantar
Penulis
Marwan Batubara (Anggota DPD RI Provinsi DKI Jakarta)
xv
1
rekap Rp 431,6 triliun) . Bahkan, dalam skenario terburuk (seperti misalnya
jika pemerintah terus melakukan penjadwalan ulang terhadap utang-utang
tersebut), beban yang harus dibayar dapat mencapai Rp 2.000 triliun.
Membengkaknya jumlah utang negara itu sendiri terutama diakibatkan
oleh kebijakan pengucuran obligasi rekapitalisasi (OR) perbankan, yang tak
lain merupakan upaya lanjutan penyelamatan dan penyehatan bank-bank
nasional di saat krisis setelah kebijakan BLBI. Total dana yang dikucurkan
dalam kebijakan ini mencapai sekitar Rp 431 triliun, yang disuntikkan
pemerintah melalui penerbitan obligasi (surat utang). Karena diberikan
dalam bentuk obligasi, maka jumlah dana yang harus dibayarkan pemerintah
pun menjadi jauh lebih besar, sebagai akibat tambahan bunga obligasi yang
harus dibayarkan (yang nilainya bahkan lebih besar dari nilai pokoknya, yaitu
paling tidak sekitar Rp 600 triliun, dengan cicilan sekitar Rp 40-50 triliun tiap
tahunnya).
Beban pembayaran utang yang fantastis tersebut pada akhirnya
berujung pada minimnya kemampuan APBN dalam mengongkosi berbagai
kebutuhan negara. Berbagai pos pengeluaran terpaksa harus dipangkas
untuk menyesuaikan diri dengan kondisi keuangan APBN yang pas-pasan.
Sasaran paling mudah untuk penghematan tersebut, lagi-lagi adalah rakyat.
Anggaran berbagai pos kesejahteraan sosial, seperti pendidikan, kesehatan,
subsidi listrik, dan BBM harus ditekan semaksimal mungkin agar tidak
mengganggu kemampuan negara dalam membayar utang.
Minimnya anggaran negara juga memaksa pemerintah setiap tahunnya
harus menjual sejumlah aset untuk menutup defisit anggaran. Padahal,
penjualan berbagai aset ini pun umumnya tidak menghasilkan keuntungan
maksimal, karena harga jualnya yang jauh di bawah pasar. Hal ini sendiri
memang sesuatu yang sulit dihindarkan, mengingat penjualan aset-aset
1
Menurut perhitungan tim interpelator BLBI, jumlah dana yang dikeluarkan
pemerintah untuk rangkaian program penyehatan perbankan adalah sebesar
minimal Rp 702,5 triliun yang terdiri dari BLBI senilai Rp 144,5 triliun, obligasi
rekap Rp 425,5 triliun, program penjaminan Rp 73,8 triliun, dana talangan Rp 4,9
triliun, dan dana rekening 502 Rp 53,8 triliun. Sedangkan, berdasarkan jawaban
Presiden atas interpelasi BLBI, total biaya penyehatan perbankan selama periode
1997-2004 adalah sebesar Rp 640,9 triliun yang terdiri dari BLBI Rp 144,5 triliun,
program penjaminan Rp 53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp 20 triliun, dan
program rekapitalisasi Rp 422,6 triliun.
xvi
negara tersebut umumnya dilakukan untuk mengejar target penerimaan
negara dalam waktu yang relatif singkat. Obral aset pun menjadi pilihan
yang paling mudah untuk diambil pemerintah.
Penjualan aset-aset negara ini bahkan memiliki dampak yang lebih
buruk dalam jangka panjang. Patut diingat, bahwa aset-aset negara
merupakan penyumbang rutin bagi pemasukan negara dalam APBN.
Sehingga, dengan dijualnya aset-aset tersebut, maka negara sesungguhnya
juga kehilangan potensi penerimaannya di masa mendatang (future earning).
Sumber penerimaan negara setiap tahunnya akan berkurang. Dengan
demikian, Indonesia akan semakin terjebak dalam lilitan paceklik ekonomi,
karena himpitan beban utang yang harus dibayar di satu sisi bertemu dengan
terlucutinya sumber-sumber penerimaan negara di sisi yang lain.
Berbagai situasi sulit ini merupakan warisan segelintir orang di masa lalu
yang melakukan KKN dan secara sembrono menyimpangkan ratusan triliun
rupiah uang negara dalam skandal BLBI. Karena itu, sangat wajar jika pihak-
pihak yang terlibat dalam skandal BLBI dimintakan
pertanggungjawabannya atas kesalahan yang mereka lakukan, baik secara
perdata dengan mengembalikan uang negara yang telah mereka kuras,
maupun secara pidana dengan menjalani hukuman yang sepantasnya, sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Ironisnya, penyelesaian kasus ini tidak pernah dapat dilakukan secara
tuntas, meskipun telah melalui empat periode pemerintahan (Habibie, Gus
Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono). Masing-masing
pemerintahan justru mengeluarkan kebijakan kontroversial yang
merendahkan supremasi hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat.
Misalnya saja, pemerintahan Habibie yang memulai pola penyelesaian kasus
BLBI melalui out of court settlement (penyelesaian di luar jalur pengadilan),
pemerintahan Megawati yang menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2002
tentang release and discharge yang memberi ampunan penuh bagi obligor, dan
pemerintahan SBY yang menjanjikan pemberian Surat Keterangan Penyelesaian
Kewajiban (SKPK) bagi obligor yang melunasi utangnya (sehingga akan
mengesampingkan kasus pidana yang dilakukannya).
Kini, pemerintahan SBY dikabarkan tengah berupaya melakukan
penuntasan skandal BLBI dengan mengusut kembali kasus sejumlah
obligor. Dua nama yang kerap disebut adalah Soedono Salim dan Sjamsul
xvii
Nursalim. Kasus keduanya memang melibatkan jumlah uang yang sangat
besar, yaitu masing-masing Rp 52 triliun dan Rp 27 triliun. Keduanya diusut
terkait dugaan penggelembungan nilai aset yang mereka serahkan ke BPPN
sebagai pelunasan utang-utang mereka. Penggelembungan nilai aset ini
menyebabkan tingkat pengembalian uang negara dari penyelesaian kasus
BLBI menjadi sangat rendah.
Langkah pemerintah yang melakukan pengusutan terhadap kasus kedua
obligor besar BLBI tersebut tentu layak didukung. Meski demikian, kita
berharap penyelesaian kasus BLBI kali ini dapat dilakukan berdasarkan
hukum secara serius, tuntas, dan benar-benar berjalan adil. Kita tidak
menginginkan pemerintah kembali mengulang kesalahan pada masa-masa
sebelumnya, yaitu ketika pemerintah tidak bersikap tegas dan justru terus
menerus mengakomodasi kepentingan obligor, bahkan dengan melanggar
ketentuan hukum yang berlaku sekalipun. Terlebih, kita juga tidak ingin
penyelesaian kasus ini justru dijerumuskan dalam perangkap ketidakpastian hukum
sehingga menjadi sarana permainan para politisi untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Selain itu, pemerintah juga harus menyelesaikan kasus-kasus obligor
lain yang hingga kini belum jelas statusnya. Terakhir (saat tulisan ini
disusun), terdapat delapan obligor yang masih belum menyelesaikan
kewajibannya, dengan nilai total kewajiban sebesar Rp 2,54 triliun (menurut
perhitungan Depkeu, disamping sejumlah Rp 9,36 triliun yang dinyatakan
tak akan terbayar/default). Dari kedelapan obligor tersebut, satu orang
diantaranya (Agus Anwar), bahkan buron ke Singapura dan telah berganti
kewarganegaraan. Sangat disayangkan, pada kenyataannya sikap pemerintah
terhadap delapan obligor ini tidak tegas, setidaknya hingga tulisan ini
disusun.
Dalam kaitan itu, buku ini sesungguhnya merupakan wujud dari
ketidakpuasan dan protes kami terhadap penanganan kasus BLBI selama ini
yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Dengan banyaknya uang
negara yang telah terhamburkan, pemerintah tidak dengan tegas menindak
koruptor BLBI dan melakukan penegakan hukum. Para pengemplang BLBI
justru menikmati berbagai kemudahan hingga sebagian mereka kini telah
kembali bertengger sebagai orang-orang terkaya di Indonesia.
Untuk itu, melalui buku ini kami berupaya menyusun rangkaian
peristiwa di seputar skandal BLBI dan proses penyelesaiannya dalam sebuah
xviii
kerangka yang diharapkan cukup memadai agar peristiwa ini dapat lebih
mudah dimaknai, dan dengan demikian juga dapat secara lugas disikapi.
Atas tersusunnya buku ini, kami sampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada para kontributor yang telah
menyumbangkan pikirannya: Bapak Kwik Kian Gie, Dr. Frans Hendra
Winarta, S.H., M.H., Dr. Fadhil Hasan, Dr. Ahmad Erani Yustika, Dr.
Hendri Saparini, dan Ibu Aviliani. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya
juga kami sampaikan kepada Prof. Dr. Sri-Edi Swasono yang telah berkenan
memberikan kata pengantarnya untuk buku ini. Kami beruntung, dalam
kesibukan mereka yang luar biasa, para intelektual lintas generasi ini masih
bersedia meluangkan waktunya untuk berpartisipasi dalam penyusunan
buku ini.
Tak lupa, juga kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Faisal Ba'asyir
atas diskusi dan masukan yang diberikan serta Badan Pemeriksa Keuangan
RI (BPK RI) yang telah menyediakan data-data yang sangat kami perlukan
untuk penulisan buku ini. Ucapan yang sama kami tujukan kepada Saudara
Djoko Retnadi atas kesediaannya memberi penjelasan seputar kebijakan
obligasi rekapitalisasi dalam beberapa kesempatan.
Kami juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada
sejumlah sahabat yang telah konsisten melakukan advokasi skandal BLBI,
seperti antara lain Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch
(ICW), Patra M. Zen (YLBHI), Munarman (Tim Pembela Muslim/ TPM),
Chandra T. Wijaya dan Bagus Satrianto (Iluni UI Jakarta) dan Ismed Hasan
Putro (Masyarakat Profesional Madani/ MPM).
Harapan kami, buku ini dapat bermanfaat dalam memberi pemahaman
kepada masyarakat luas tentang duduk persoalan BLBI dan implikasi-
implikasi yang diakibatkannya. Termasuk pula bagi rekan-rekan di DPD RI,
khususnya di PAH IV (bidang APBN dan tindak lanjut hasil audit BPK)
tempat dimana kami bertugas. Meskipun, tentu saja terdapat banyak
kekurangan dalam buku ini, mengingat pengetahuan kami yang terbatas,
disamping kompleksnya permasalahan BLBI itu sendiri.
Akhirnya, melalui buku ini, kami berharap dapat menggugah kesadaran
berbagai pihak atas masih terus berlangsungnya ketidakadilan demi
ketidakadilan dalam penyelesaian kasus BLBI, sehingga kita bertanggung
jawab untuk melakukan segala upaya sesuai dengan kemampuan, untuk
xix
meluruskan berbagai kesalahan tersebut. Pemerintah dan DPR pun
bertanggung jawab untuk mengoreksi berbagai keputusan yang salah terkait
kasus ini. Termasuk diantaranya adalah meluruskan kebijakan obligasi rekap
(OR), dengan menghentikan pembayaran bunganya yang selama ini telah
menjadi beban APBN setiap tahun.
Kepada masyarakat, kami menghimbau partisipasi Anda dalam
berbagai gerakan dan aksi untuk mendesak dituntaskannya penyelesaian
kasus BLBI. Kepada pemerintah dan para penyelenggara negara, kami menuntut
Anda untuk segera menuntaskan penyelesaian kasus BLBI yang sudah berlangsung
selama satu dekade ini secara konsisten, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan
berkeadilan.
xx
Daftar Isi
Kata Pengantar
Sri-Edi Swasono...............................................................................................vii
BAB 1
Definisi dan Pengertian BLBI
Marwan Batubara...............................................................................................1
BAB 2
Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI
Marwan Batubara ............................................................................................13
BAB 3
Korupsi dan Penyelewengan BLBI
Marwan Batubara ............................................................................................25
xxi
BAB 4
Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI
Marwan Batubara ............................................................................................49
BAB 5
Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan
Mengabaikan Hukum
Marwan Batubara ............................................................................................61
BAB 6
Inpres No. 8/2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan
Marwan Batubara ............................................................................................99
BAB 7
Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap
Uang Rakyat
Marwan Batubara ..........................................................................................119
BAB 8
Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
Marwan Batubara ..........................................................................................157
BAB 9
Kejahatan Obligor Menjarah BLBI
Marwan Batubara ..........................................................................................175
BAB 10
Peran BI dan BPPN dalam Skandal BLBI
Marwan Batubara ..........................................................................................223
BAB 11
Peran IMF dalam Kasus BLBI
Marwan Batubara ..........................................................................................243
BAB 12
BLBI: Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi
Marwan Batubara ......................................................................................... 261
xxii
BAB 13
Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara
Kwik Kian Gie ................................................................................................299
BAB 14
MSAA dan Drama Penerbitan R & D
Kwik Kian Gie ................................................................................................303
BAB 15
Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan
Kejanggalan MSAA
Frans Hendra Winarta ...................................................................................307
BAB 16
Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI
Ahmad Erani Yustika dan M. Fadhil Hasan ...................................................313
BAB 17
Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar
Kerugian
Hendri Saparini..............................................................................................331
BAB 18
Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank
dengan “Political Will” Pemerintah
Aviliani ...........................................................................................................343
Penutup
Rakyat Menggugat Skandal BLBI
Marwan Batubara ..........................................................................................351
Referensi ....................................................................................................375
xxiii
Bab 1
DEFINISI DAN
PENGERTIAN BLBI
Marwan Batubara
Setelah lebih dari satu dekade berlalu dan melewati empat era
pemerintahan, kasus korupsi BLBI hingga kini tidak kunjung terselesaikan
secara tuntas. Padahal, kasus yang melibatkan persekongkolan jahat antara
pengusaha, banyak pihak penyelenggara pemerintahan, dan IMF ini, telah
merugikan negara setidaknya Rp 138,4 triliun (jumlah penyimpangan dalam
penyaluran BLBI menurut audit BPK). Angka ini belum lagi
memperhitungkan kerugian dari kebijakan pengucuran obligasi
rekapitalisasi perbankan yang memakan biaya sekitar Rp 431 triliun
(ditambah dengan bunga obligasi rekap sekitar Rp 600 triliun yang angkanya
masih terus bertambah seiring dengan penundaan pembayaran utang yang
dilakukan pemerintah). Akibat penyimpangan dan korupsi pada berbagai
rangkaian kebijakan tersebut, negara dan rakyat harus menanggung beban
cicilan pembayaran utang dalam APBN, yang bunganya saja dapat mencapai
Rp 50 triliun per tahun.
Namun, sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut, kita perlu terlebih
dahulu membahas beberapa pengertian dasar tentang apa yang disebut
Definisi dan Pengertian BLBI / 1
sebagai BLBI, agar dapat memahami letak permasalahan kasus ini dengan
lebih baik.
Definisi BLBI
Mantan Gubernur Bank Indonesia Prof. Dr. Soedradjad Djiwandono
pada sebuah tulisannya mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) sebagai fasilitas yang diberikan BI untuk menjaga kestabilan sistem
pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena
ketidakseimbangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada
bank-bank baik jangka pendek maupun panjang (Soedradjad Djiwandono,
“Permasalahan BLBI”, www.pacific.net.id).
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami dua hal pokok sebagai
berikut. Pertama, BLBI merupakan sebuah fasilitas khusus yang diberikan
BI kepada pihak perbankan. Kedua, pemberian BLBI dimaksudkan untuk
menanggulangi masalah yang dihadapi perbankan akibat adanya
ketidakseimbangan antara dana yang diterima dengan kewajiban
pembayaran yang harus dikeluarkannya.
Menurut Soedradjad, bantuan likuiditas dari BI kepada pihak
perbankan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Namun, istilah BLBI
baru dipergunakan secara khusus sejak 1998 untuk merujuk pada bantuan
likuiditas yang diberikan BI kepada pihak perbankan di saat terjadinya krisis
moneter dan krisis ekonomi di Indonesia. Istilah BLBI sendiri diambil dari
istilah liquidity supports, yang dipergunakan dalam letter of intent (LoI) antara
IMF dengan pemerintah Indonesia dan dinyatakan sebagai bagian dari
program pemulihan ekonomi.
Soedradjad juga menyatakan, BLBI dibedakan dengan fasilitas BI
lainnya seperti KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) berdasarkan aspek
tujuan pengucurannya. Jika BLBI ditujukan untuk mengatasi kondisi
likuiditas perbankan dalam situasi krisis, maka KLBI ditujukan untuk
membantu perbankan dalam menyukseskan program-program
pembangunan ekonomi yang dicanangkan pemerintah seperti
pembangunan rumah sederhana, peningkatan hasil pertanian, mendorong
pertumbuhan UKM, dan sebagainya.
Marwan Batubara
Marwan Batubara
JUMLAH
POTENSI
PENYALURAN
NO URAIAN KERUGIAN
BANK (dalam %
NEGARA
juta Rp)
(dalam juta Rp)
I SALDO DEBET
1. BBO 10 6,175,250 6,175,250 100
2. BBKU 13 5,474,776 5,474,776 100
3. BDL 13 6,161,001 6,161,001 100
4. BTO 1 352,142 352,142 100
Jumlah I 37 18,163,169 18,163,169 100
II FASILITAS SALDO DEBET
1. BBO 3 30,065,401 30,065,401 100
2. BBKU 11 4,265,753 4,265,753 100
3. BDL 0 - -
4. BTO 2 18,134,741 18,134,741 100
Jumlah II 16 52,465,895 52,465,895 100
III NEW FASDIS
1. BBO 0 - -
2. BBKU 2 634,691 634,691 100
3. BDL 0 - -
4. BTO 3 29,891,277 29,891,277 100
Jumlah I 5 30,525,968 30,525,968 100
IV FSBPUK
1. BBO 8 15,165,818 15,165,818 100
2. BBKU 11 5,587,906 5,587,906 100
3. BDL 0 - -
4. BTO 3 7,477,757 7,477,757 100
Jumlah I 22 28,231,481 28,231,481 100
V DANA TALANGAN RUPIAH
1. BBO 1 680,496 - 0
2. BBKU 0 - -
3. BDL 15 5,335,003 142,903 2.68
4. BTO 0 - -
Jumlah I 16 6,015,499 142,903 2.38
VI DANA TALANGAN VALAS
1. BBO 5 5,599,982 5,599,982 100
2. BBKU 9 1,357,862 1,357,862 100
3. BDL 3 392,932 171,468 43.64
4. BTO 3 1,783,298 1,783,298 100
Jumlah I 20 9,134,074 8,912,610 97.58
Total 144,536,086 138,442,026 95.78
JUMLAH TEMUAN
NO NAMA BANK
(dalam juta Rp)
I BBO
1. Bank Centris Internasional 294.634
2. Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) 24.472.424
3. Bank Deka 105.668
4. Bank Hokindo 202.317
5. Bank Istimarat 60.743
6. Bank Modern 666.583
7. Bank Pelita 1.066.308
8. Bank Subentra 515.738
9. Bank Surya 281.196
10. Bank Umum Nasional (BUN) 5.093.545
II BTO
1. Bank Central Asia (BCA) 15.818.750
2. Bank Danamon 13.803.739
3. Bank Nusa Nasional/BNN 1.192.494
4. Bank PDFCI 982.222
5. Bank Tiara Asia 2.216.691
III BBKU
1. Bank Aken 127.322
2. Bank Asia Pacific (ASPAC) 850.467
3. Bank Baja Internasional 17.683
4. Bank Central Dagang (BCD) 1.554.565
5. Bank Dagang dan Industri (BDI 215.033
6. Bank Danahutama 88.282
7. Bank Dewa Rutji 459.580
8. Bank Ficorinvest 305.682
9. Bank Indonesia Raya (BIRA) 3.659.486
10. Bank Intan 103.458
11. Bank Lautan Berlian 18.103
12. Bank Papan Sejahtera 539.434
13. Bank Pesona (d/h Bank Utama) 2.042.095
14. Bank Putra Surya Perkasa (PSP) 1.875.575
15. Bank Sewu 494.891
16. Bank Tata 348.526
17. Bank Umum Sertivia 911.002
18. Bank Upindo 633.708
Marwan Batubara
Sumber: I Putu Gede Arysuta, sebagaimana dimuat dalam Laporan “Position Paper
Penyelesaian Hukum Kasus BLBI”, Indonesia Corruption Watch, 2006.
Marwan Batubara
Tabel 1
Status Penyelesaian PKPS
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Selesai secara administratif :
- Membayar tunai tanpa PKPS 22 bank
- Ikut PKPS & Memperoleh SKL 22 bank
Sub-total 44 bank
2. Tidak selesai & diproses lebih lanjut:
- Ikut PKPS tetapi tidak memperoleh SKL 9 bank
- Tidak ikut PKPS dan tidak memperoleh SKL 12 bank
Sub-total 21 bank
----------
Total 65 bank
Tabel 2
Daftar Penerima Surat Keterangan Lunas
Tabel 3
Daftar Peserta MRNIA yang Tidak Memperoleh SKL
Berdasarkan laporan BPK, nilai JKPS PSP empat bank yang mengikuti
pola MRNIA tersebut adalah Rp 23,842 triliun. Namun, pelaksanaan PKPS
tidak seluruhnya sesuai dengan perjanjian, terutama dilihat dari penyerahan
sebesar Rp 259,785 miliar tersebut, maka hak tagih BPPN atas sisa
piutangnya di PT HP telah beralih kepada pembeli PN tersebut.
Dengan demikian, BPPN tidak lagi memiliki hak tagih kepada PT HP
atau Ho Kiarto dan Ho Kianto selaku PS Bank Hokindo. BPPN pun
kemudian tidak mengeluarkan SKL kepada keduanya, sehingga tidak ada
kepastian hukum pula mengenai PKPS Bank Hokindo.
Uraian tentang status penyelesaian PKPS MRNIA di atas menunjukkan
betapa tidak kooperatifnya 5 orang PSP yang menjadi obligor keempat bank
tersebut, sehingga recovery rate yang diperoleh dari aset-aset yang mereka
serahkan sebagai pelunasan JKPS sangat rendah, yaitu hanya 9,75% (lihat
tabel berikut).
Tabel 4
Recovery Rate PKPS 4 Obligor MRNIA
No. Nama PSP JKPS (Rp Jt) Recv. (Rp Jt) Recv. Rate (%)
1. Usman Admadjaja 12.532.749 1.905.933 15,21%
2. Ho Kianto/Ho Kiarto 297.571 45.201 15,19%
3. Kaharudin Ongko 8.347.882 103.026 1,23%
4. Samadikun Hartono 2.663.873 269.585 10,12%
Total 23.842.075 2.323.745 9,75%
Dengan rendahnya recovery rate JKPS dan tidak keluarnya SKL bagi para
obligor, pemerintah memang telah melakukan langkah-langkah lanjutan,
seperti pengalihan kepada Tim Pemberesan BPPN, maupun upaya-upaya
hukum. Yang jelas, patut dicatat bahwa kerugian negara dari kelima obligor
ini lebih dari Rp 20 triliun. Namun dua dari 5 orang tersebut, seperti
Tabel 5
Status Penyelesaian APU
No. Status APU Jumlah Bank Jumlah PS PKPS Awal PKPS Reform.
1. A 2 2 35.694 -
2. B 14 14 6.740.193 4.552.193
3. C 5 5 2.138.440 1.456.913
4. D 8 8 8.099.132
5. E 1 1 1.317.595
Jumlah 18.331.054 6.009.106
Dari tabel di atas dapat dirangkum hal-hal yang masih menggantung dan
bermasalah sebagai berikut:
· Ada 8 bank dengan 9 orang Pemegang Saham (PS) yang mengikuti
PKPS APU Reformulasi namun tidak menyelesaikan kewajibannya
sampai tanggal 30 April 2004. Kedelapan BDP tersebut kemudian
dialihkan kepada Tim Pemberesan BPPN (TP-BPPN);
· Ada 8 bank dengan 8 PS yang tidak mengikuti PKPS Reformulasi
dan tidak menyelesaikan kewajibannya, yaitu: Bank Metropolitan
(dengan PSP Santoso Sumali), Bank Intan (Fadel Muhammad),
Bank Namura (Baringin P dan Joseph J), Bank Bahari (Santoso
Sumali), Bank PSP (T. Gondokusumo), Bank Tata Internasional
(Hengki W), Bank Aken (IM Sudirta/IG Darmawan) dan Bank
Umum Sertivia (David Nusa Wijaya/Tarunodjojo).
Tabel 6
Daftar Peserta APU yang Tidak Memperoleh SKL
Tabel 7
Daftar Peserta MRNIA yang Berm asalah
Tabel 8
Daftar Peserta APU yang Dialihkan Kasusnya ke TP -BPPN
Tabel 10
Daftar Obligor Non PKPS yang Bermasalah
Tabel 12
Pengadilan atas 16 Orang Tersangka BLBI
Tabel 13
Obligor yang Belum Menyelesaikan Kewajibannya
Tabel 14
Beberapa Versi Perhitungan JKPS
Penutup
Kita telah mencatat bahwa lembaga-lembaga peradilan dan lembaga-
lembaga negara telah menghasilkan keputusan yang sebagian besar jauh dari
prinsip-prinsip hukum dan keadilan, sehingga merugikan keuangan negara
hingga ratusan triliun rupiah. Sebagian besar koruptor, yang telah
menghisap uang rakyat tersebut, dibiarkan bebas berkeliaran, lari ke luar
negeri dengan hasil korupsinya, dan kembali menguasai aset-asetnya yang
dahulu dinyatakan bangkrut (sebagian mereka bahkan juga kini masuk
dalam daftar orang-orang terkaya di Indonesia).
Hukuman pengadilan memang sempat dijatuhkan pada beberapa
obligor, namun jumlahnya tidak banyak dan vonisnya pun tidak setimpal
dengan kejahatan dan kerugian negara yang ditimbulkannya. Kalaupun ada
yang divonis berat seperti penjara seumur hidup atau puluhan tahun,
umumnya mereka telah lebih dulu “melarikan diri” atau “diberi kesempatan
berobat ke luar negeri”, sehingga tidak pernah kembali ke Indonesia. Ini
adalah sebagian kenyataan dari carut-marutnya penanganan skandal BLBI
oleh lembaga peradilan Indonesia yang korup.
Carut-marut hukum penanganan skandal BLBI semakin lengkap ketika
Presiden sebagai kepala negara, didukung oleh para menteri kabinet terkait,
mengeluarkan Inpres No.8/2002 tentang release and discharge. Dengan Inpres
ini, para tersangka tindak pidana korupsi BLBI dinyatakan bebas dari segala
bentuk tuntutan/gugatan pidana atas kejahatannya merampok ratusan
triliun rupiah uang rakyat.
Inpres No.8/2002 merupakan suatu bentuk rekayasa sistematis dan
manipulatif, serta skandal besar yang dilakukan oleh Presiden Megawati
bersama para menterinya (termasuk diantara yang menjabat saat itu
Boediono selaku Menteri Perekonomian, Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai Menko Polkam, Jusuf Kalla sebagai Menko Kesra, dan Yusril Ihza
Mahendra sebagai Menteri Sekretaris Negara). Mereka telah
menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk membebaskan para
pelaku tindak pidana yang telah merugikan rakyat dan melanggar berbagai
Marwan Batubara
TENTANG
Menimbang:
1. Bahwa dalam ragka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA
pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/2001
tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001, Badan Penyehatan Perbankan Nasional telah
melakukan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan debitur yang
berbentuk perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master of
Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan/atau Perjanjian Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta Pengakuan Utang/APU);
2. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut dalam huruf a, maka terhadap debitur yang
kooperatif dalam melaksanakan perjanjian dimaksud perlu diberikan jaminan kepastian
hukum dan bagi yang tidak menandatangani atau tidak melaksanakan perjanjian dimaksud
perlu diberikan tindakan hukum yang tegas dan konkret.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, dan
sesuai dengan Keputusan Sidang Kabinet Gotong Royong tanggal 7 Maret 2002, maka
dipandang perlu untuk mengeluarkan Instruksi Presiden;
Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana diubah dengan Perubahan
Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/2001
tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001;
MENGINSTRUKSIKAN:
Kepada:
1. Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan
Sektor Keuangan;
2. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia;
3. Para Menteri Anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan;
4. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara;
5. Jaksa Agung Republik Indonesia;
6. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
7. Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Untuk:
PERTAMA:
Mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham
dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional
berdasarkan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA,
MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU, dengan berpedoman pada kebijakan sebagai
berikut:
1. Kepada para Debitur yang telah menyelesaikan kewajiban Pemegang Saham, baik yang
berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU, diberikan bukti
penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum
sebagaimana diatur dalam perjanjian-perjanjian tersebut;
KEDUA:
Pemberian bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan sebagimana dimaksud dalam
Diktum PERTAMA angka 1, dilakukan oleh Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional setelah
mendapat persetujuan dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan Menteri Negara
Badan Usaha Milik Negara.
KETIGA:
Melaksanakan Instruksi Presiden ini sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab dan
melaporkan secara berkala atau sewaktu-waktu kepada Presiden.
Dikeluarkan di Jakarta
Pada Tanggal 30 Desember 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Marwan Batubara
Pengertian Obligasi
Obligasi dalam dunia keuangan merupakan suatu pernyataan utang dari
penerbit obligasi kepada pemegang/pembeli obligasi beserta janji untuk
membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada tanggal
jatuh tempo pembayaran tertentu. Dalam obligasi tersebut, dapat juga
dicantumkan identitas pemegang obligasi dan pembatasan atas tindakan
hukum yang dilakukan oleh penerbit obligasi. Obligasi umumnya
diterbitkan untuk jangka waktu tetap (di atas 10 tahun).
Atau secara singkat dapat dinyatakan, obligasi adalah utang tetapi dalam
bentuk sekuriti. Penerbit obligasi merupakan peminjam atau debitur,
pemegang obligasi adalah pemberi pinjaman atau kreditur, sedangkan
kupon obligasi adalah bunga pinjaman yang harus dibayar oleh debitur
kepada kreditur.
Istilah obligasi dan surat utang dibedakan penggunaannya berdasarkan
skala jumlah utang yang diterbitkan. Istilah obligasi biasanya digunakan
untuk penerbitan surat utang dalam jumlah besar yang ditawarkan secara
luas kepada publik, sedangkan “surat utang” digunakan untuk penerbitan
surat utang dalam skala kecil yang biasanya ditawarkan kepada sejumlah kecil
investor. Selain itu dikenal pula istilah surat perbendaharaan, yaitu suatu
sekuriti yang berpenghasilan tetap dengan masa jatuh tempo 3 tahun atau
kurang.
Penerbitan obligasi dapat dilakukan oleh berbagai kalangan, dengan
syarat harus mengikuti prosedur penerbitan yang ketat. Penerbit obligasi
antara lain adalah: 1) lembaga internasional, misalnya ADB, EIB, dsb., 2)
pemerintah negara, baik dalam mata uang sendiri (misalnya Surat Utang
Negara, SUN) atau mata uang asing (sovereign bond), 3) lembaga pemerintah
(agency bonds), dan 4) perusahaan (obligasi swasta). Proses yang umum
Bagaimana OR Bekerja
Penyehatan bank menggunakan instrumen obligasi dilakukan karena
pemerintah tidak mempunyai uang tunai untuk melakukan rekapitalisasi
bank-bank yang modalnya sudah negatif. Perlu dicatat, menurut kaidah
hukum perbankan maupun menurut undang-undang yang berlaku, bank
yang modalnya sudah mencapai titik sedemikian rendah atau malah negatif,
sebenarnya dapat dianggap bangkrut. Namun, karena berbagai
pertimbangan, seperti untuk menghindari gejolak atau kerusuhan yang
mungkin timbul dari para nasabah yang banknya dilikuidasi, atau untuk
memulihkan kodisi ekonomi yang carut marut, maka pemerintah memilih
tidak menutup bank-bank tersebut. Yang dilakukan adalah dengan
mempertahankannya hidup lewat instrumen OR.
OR atau surat utang yang diterima bank-bank dari pemerintah, akan
menjadi aset riil bagi bank, karena OR mempunyai nilai nominal, bunga, dan
tanggal jatuh tempo yang definitif. Disamping itu, sebagai pemegang
obligasi, bank akan menerima pembayaran bunga dari pemerintah secara
berkala, dalam hal ini setiap tiga bulan, sehingga akan menjadi sumber
pendapatan rutin bagi bank-bank tersebut. Ringkasnya, untuk menyehatkan
dan mencapai posisi kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) pada titik
tertentu (8%), bank memperoleh tambahan suntikan aset rill berupa OR
dan juga tambahan pemasukan rutin berupa pembayaran bunga OR
dari pemerintah.
Dengan adanya suntikan OR berikut bunga OR yang diterima, maka
akan diperoleh perbaikan kinerja bank secara bertahap sebagai berikut:
Tabel 1
Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah dalam APBN Perubahan
tahun 2004 (miliar Rp)
Keterangan Jumlah
PENERIMAAN PEMERINTAH
Penerimaan pemerintah dari perpajakan 407,558.2
Penerimaan hibah dari luar negeri 278,0
Jumlah Penerimaan 407.836,2
PENGELUARAN PEMERINTAH
Pengeluaran rutin Pemerintah Pusat 173.529,0
Pengeluaran Daerah 129.712,0
Pengeluaran pembangunan 61.450,0
Pembayaran bunga utang dalam negeri 38.111,0
Pembayaran bunga utang luar negeri 24.375,0
Pembayaran cicilan pokok utang dalam negeri 25.456,0
Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri 46.491,0
Jumlah Pengeluaran 499.124,0
Surplus/Defisit (Pemerintah kekurangan dana) -91.287,8
Tabel 2
Distribusi Obligasi Rekap periode 2000 2002
14. Standard Chartered Bank 76,343 0.02 43,741 0.01 860,736 0.23
15. Bank Artha Graha 285,691 0.07 1,228,436 0.31 513,834 0.14
19. BPD - Jawa Tengah 389,422 0.09 389,422 0.10 380,933 0.10
20. Bank Victoria International 164,062 0.04 744,933 0.19 327,468 0.09
Sumber : Laporan publikasi bank, diolah oleh Grup Riset Bank BRI
Dikutip dari buku ”Obligasi Rekapitalisasi Perbankan : Geneologi, Masalah dan
Solusi”, Djoko Retnadi, dkk.
Jumlah utang negara sampai bulan Juni 2007 mencapai US$ 145,1 miliar
atau ekuivalen Rp 1.313,3 triliun, yang terdiri dari pinjaman luar negeri
sebesar US$ 59,1 miliar atau Rp 534,7 triliun dan Surat Berharga Negara
(SBN) Rupiah sebesar US$ 86 miliar atau Rp 715,3 triliun, serta surat
berharga valuta asing US$ 7 miliar atau ekuivalen Rp 63,4 triliun (lihat Tabel
3). Lebih dari setengah nilai SBN sebesar Rp 715,3 triliun awalnya adalah
OR.
Sementara itu, profil jatuh tempo utang menunjukkan bahwa
konsentrasi utang jatuh tempo berada dalam periode waktu sampai dengan
tahun 2010 (lihat Grafik di bawah ini).
Tabel 4
Profil Utang Dalam Negeri Pemerintah (triliun Rp)
Tabel 5
Besar Beban Bunga Utang dalam APBN 2002-2008 (triliun Rp)
Upaya Pengurangan OR
Untuk menunjukkan beratnya beban OR terhadap APBN, kita dapat
merujuk kepada hasil kajian internal BPPN yang dilakukan pada tahun 2003.
Dengan total pembayaran pokok obligasi rekap sebesar sekitar Rp 400
triliun, jumlah kumulatif bunga OR yang harus dibayar pemerintah adalah
Rp 670 triliun. Beban ini diperoleh dengan catatan pemerintah
mengembalikan OR secara tunai sesuai dengan masa tenornya. Namun
kalau pemerintah tidak mampu membayar sesuai masa jatuh tempo OR,
maka pemerintah akan melakukan roll-over atau reprofiling, yaitu jumlah pokok
OR tidak dibayar pada saat jatuh tempo, sehingga beban bunganya semakin
membengkak. Sebagai contoh, jika semua OR di roll-over dalam satu termin
saja, maka jumlah seluruh kewajibannya akan melebihi Rp 2.000 triliun. Hal
ini jelas sangat membebani rakyat pembayar pajak.
Mengingat besarnya beban dan ketidakadilan di atas, Kantor Menneg
BAPPENAS pernah membuat kajian bersama Tim PASPORP (Pengkajian
Penutup
Krisis ekonomi bukan saja mewariskan utang yang sangat besar bagi
negara tetapi juga mengakibatkan puluhan juta rakyat harus hidup lebih
susah. Karena itu, sudah seharusnya kondisi ini menjadikan para elit
kekuasaan bekerja secara optimal untuk mengatasi krisis, hidup prihatin
bersama rakyat, menggalang solidaritas untuk meringankan beban kaum
miskin, serta menghasilkan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.
Dalam konteks kebijakan yang berpihak kepada rakyat, hal itu dapat
dilakukan, salah satunya dengan mengoreksi kebijakan OR.
Namun, ternyata kita saksikan rasa kebersamaan, solidaritas, dan
kepekaan terhadap penderitaan rakyat telah kian memudar. Jangankan
membantu, sebagian pejabat justru terlibat KKN, meloloskan obligor BLBI,
menerbitkan SKL, dan menyimpangkan kebijakan program OR.
Kita juga saksikan banyaknya orang miskin bukan hal yang merisaukan
lembaga internasional seperti IMF. Mereka justru menggunakan kemiskinan
dan pinjaman dana sebagai alat untuk memaksakan kehendak mereka
Notes:
1) Assumed exchange rate for conversion (IDR/USD) is 9.240,00
2) Non-tradable Securities are held by Bank Indonesia.
3) These bonds were issued for guarantee program financing.
4) This bond was issued to replace SU-001 and SU-003. Its effective date is August 1, 2003.
5) This bond was issued to replace indexed face value of SU-002 and SU-004. Its effective
date is January 1, 2006.
6) The nominal amount of this bond is Rp9,97 trillions, but the amount that has been used is
Rp3.097 billions.
Marwan Batubara
Obligor BLBI
Dapat dinyatakan, sebagian besar obligor BLBI merupakan biang kerok
utama pengurasan uang negara dalam skandal BLBI. Obligor melakukan
berbagai kecurangan pada saat sebelum krisis, saat menerima bantuan BLBI,
maupun pada proses penyelesaian kewajiban pemegang saham di bawah
pengawasan BPPN.
Sebelum terjadinya krisis moneter, telah terdapat beberapa kecurangan
yang dilakukan obligor, baik pada saat menarik dana masyarakat maupun
pada saat penyalurannya. Pada saat penarikan dana, obligor melakukan
kecurangan dengan memanipulasi profil dan kinerja bank dalam rangka
mempromosikan banknya secara besar-besaran. Pada saat penyaluran,
mereka memberikan/menyalurkan kredit pada kelompok/unit usahanya
Penutup
Dampak skandal BLBI adalah diwariskannya beban utang dan bunga
obligasi ratusan triliun kepada sebagian besar rakyat miskin di Indonesia saat
ini dan puluhan tahun yang akan datang. Malapetaka ini bersumber dari
perilaku KKN yang dilakukan oleh sekelompok pengusaha dan penguasa
masa lalu, mencakup sebagian besar obligor BLBI, Soeharto dan kroninya,
oknum-oknum pejabat BI dan BPPN, hingga IMF dan Bank Dunia. Yang
menyakitkan, sebagian besar dari mereka kini masih menikmati hidup bebas
dan berkecukupan atau bahkan lebih kaya dibanding sebelumnya.
Kita berharap masyarakat dapat memahami masalah ini secara jelas,
sehingga dapat bergerak menuntut ditegakkannya hukum dan keadilan bagi
pelaku skandal yang merugikan negara dan rakyat ini. Kepada para pelaku,
terutama para obligor pengemplang uang negara, kita menuntut hati nurani
dan kesadarannya untuk bertanggungjawab kepada rakyat atas
perbuatannya!
Marwan Batubara
Pada uraian sebelumnya, telah diungkapkan bahwa hasil audit BPK dan
BPKP menemukan sejumlah penyelewengan dan penyimpangan pada
praktik pengucuran dana BLBI. Menurut kedua lembaga audit negara
tersebut, penyelewengan terjadi baik dalam hal penyaluran maupun
penggunaan dana BLBI. Akibat penyimpangan tersebut, negara mengalami
potensi kerugian hingga Rp 138,4 triliun atau 95,78% dari Rp 144,5 triliun
yang dikucurkan.
Pada kasus BLBI lainnya, yaitu Program Penjaminan Pemerintah,
lembaga audit independen seperti Ernst & Young dan Hans Tuanakotta &
Mustofa juga menemukan penyimpangan dalam pelaksanaan program ini.
Hasil audit yang mereka lakukan menemukan bahwa dari 216 klaim
antarbank senilai Rp 12 triliun, hanya ada 11 klaim (senilai Rp 1,075 triliun)
yang eligible (layak) dibayarkan dengan dana Program Penjaminan.
Berbagai fakta ini menunjukkan bahwa BLBI yang diberikan
pemerintah kepada pihak perbankan dalam kenyataannya tidak
Tabel 1
Tabel 1
Posisi pemegang saham Unibank sebelum 21 Agustus 2000
Marwan Batubara
Betapapun licik dan curangnya para obligor, skandal BLBI tak akan
terjadi (atau setidaknya dapat diminimalisasi skala kerugiannya) jika sistem
dijalankan dengan baik oleh pemerintah selaku pemegang otoritas. Namun,
pada kenyataannya, justru institusi-institusi pemerintah yang berwenang
dalam penyaluran BLBI seperti Bank Indonesia dan BPPN, turut
memperparah bocornya keuangan negara. Bahkan, indikasi penyelewengan
juga sangat kental dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pada kedua
instansi tersebut.
Berikut merupakan uraian ringkas tentang peran masing-masing
institusi pemerintah, yaitu BI dan BPPN, dalam mendorong terjadinya
penyimpangan BLBI.
Bank Indonesia
Terlepas dari kenyataan bahwa pemerintahan Soeharto pada masa BLBI
dikucurkan merupakan pihak yang sangat berkuasa dan bisa mengendalikan
- Rp 5 milyar
13 Agus 2003 Rp 2,5 milyar
Oknum Anggota DPR
13 Agus 2003 Rp 6 milyar
Bantuan untuk Amandemen UU
Pejabat di 13 Agus 2003 Rp 10 milyar BI
Hukum
Direktorat 13 Agus 2003 Rp 1,5 milyar
Rp 68,5
Hukum BI Jumlah Rp 25 milyar
milyar
29 Agus 2003 Rp 10 milyar Mantan Direktur
29 Agus 2003 Rp 10 milyar Mantan Direktur
29 Agus 2003 Rp 10 milyar Mantan Direktur
Jumlah Rp 30 milyar
BLBI
Tersangka/ Laporan BI
Terdakwa Disclaimer
Penerima (3 tersangka)
1. PS
RDG I
20 Maret 03
Direktorat Hukum 2. HB
3. HS
Rp. 15 M
Tanpa dipertanggungjawabkan
Tabel 3
Daftar Pejabat BI Penerima Bantuan Dana YPPI
Marwan Batubara
Tabel 1
Rekapitulasi Butir-Butir Kebijakan Letter of Intent IMF
Kebijakan
No Bidang Kebijakan
Baru Pengulangan Lanjutan Jumlah
1. Restrukturisasi Perbankan 171 57 99 327
2. Restrukturisasi Utang Perusahaan 56 20 38 114
3. Desentralisasi 22 2 17 41
4. Lingkungan 12 - 33 45
5. Fiskal 76 36 57 169
6. Perdagangan Luar Negeri 18 27 37 82
7. Deregulasi dan Investasi 19 25 12 56
8. Reformasi Hukum 31 11 17 59
9. Pinjaman dan Pemulihan Aset 75 23 33 131
10. Kebijakan Moneter dan Bank Sentral 44 48 13 105
11. Privatisasi dan BUMN 39 20 61 120
12. Jaring Pengaman Sosial 8 4 14 36
13. Lain Lain 11 6 9 25
Total 582 297 440 1301
Sumber : Bappenas 2002, sebagaimana dikutip dalam buku ”Strategi Pembangunan
Indonesia Pasca IMF”, Syamsul Hadi dkk., Jakarta: Granit, 2004.
Penutupan 16 Bank
Resep kebijakan IMF lainnya yang menuai bencana adalah penutupan
16 bank swasta nasional. Rencana penutupan beberapa bank tersebut
dibahas dalam Rapat Dewan Moneter dan dilaporkan kepada Presiden pada
akhir Oktober 1997. Presiden menyetujui penutupan 16 bank dilaksanakan
pada tanggal 1 November 1997.
Rencana penutupan bank dimuat dalam Memorandum on Economic and
Financial Policies kepada IMF tanggal 31 Oktober 1997. Dalam
memorandum dinyatakan bahwa hal tersebut merupakan keputusan
bersama pemerintah dengan technical assistance dari IMF, World Bank dan
ADB untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada sistem
keuangan/perbankan.
Namun, rencana penutupan bank ternyata tidak dilakukan dengan
persiapan yang matang, seperti mempersiapkan bank pengganti untuk
menjamin pembayaran dana nasabah yang disimpan pada bank yang
dilikuidasi. Akibatnya, masyarakat panik dan berbondong-bondong
menarik simpanan mereka dari bank-bank nasional secara besar-besaran.
Selain menimbulkan kepanikan, penutupan bank juga menjatuhkan
kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Likuidasi bank
ditangkap masyarakat sebagai sinyal gawatnya masalah yang tengah dihadapi
sistem finansial negara.
Penarikan uang besar-besaran dari perbankan ini pada akhirnya
menyebabkan peredaran rupiah meningkat drastis. Nilai rupiah jatuh,
tingkat inflasi melambung, dan daya beli masyarakat merosot.
Penutup
Seperti diuraikan di atas, skandal BLBI ternyata tidak hanya melibatkan
pelaku dalam negeri, namun juga IMF sebagai lembaga keuangan
internasional yang bertugas “membantu” Indonesia saat terjadinya krisis.
Peran IMF bahkan sangat dominan mengingat lembaga inilah yang
merekomendasikan (atau bahkan mendesakkan) sejumlah program
pemulihan ekonomi yang dijalankan pemerintah. Termasuk dalam program
Marwan Batubara
1
Untuk kelengkapan informasi, kami sertakan pula (pada lampiran 2) daftar 40
”Orang Terkaya Indonesia” versi majalah Forbes, edisi Desember 2007, yang terbit
beberapa hari sebelum buku ini dicetak. Jika dibandingkan dengan daftar yang dirilis
oleh Globe Asia seperti dijelaskan di atas, maka ditemukan adanya perubahan posisi
nomor urut orang-orang kaya tersebut. Menurut Forbes, Aburizal Bakrie adalah
orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan sekitar Rp 50 triliun, menggantikan
posisi Budi Hartono yang ditempatkan sebagai peringkat 1 terkaya versi Globe Asia.
Selain itu, Forbes mencatat Sukanto Tanoto sebagai peringkat 2 terkaya (Rp 43
triliun), yang menurut versi Globe Asia berada pada posisi 6. Perubahan posisi
dalam nomor urut ini, secara umum terjadi karena meningkatnya harga komoditas
yang menjadi portofolio bisnis masing-masing pengusaha, seperti CPO, batubara,
kertas, dan sebagainya. Dalam uraian selanjutnya, angka-angka dari Globe Asia yang
akan dirujuk.
Atang Latief
Atang Latief memiliki kewajiban sebesar Rp 447,45 miliar berdasarkan
APU Awal yang ditandatangani. Namun, pemerintah hanya menerima
pembayaran kewajiban sebesar Rp 134,75 miliar (recovery rate 30,11%) dari
Atang, sehingga negara dirugikan sekitar Rp 312 miliar. Saat ini, Atang
masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia (peringkat 94) dengan
kekayaan sekitar Rp 1 triliun.
Usman Admadjaja
Usman Admadjaja adalah pemilik Bank Danamon yang mempunyai
kewajiban utang sebesar Rp 12,53 triliun berdasarkan perjanjian PKPS
MRNIA. Dari dana tunai dan aset yang diserahkan, BPPN hanya
memperoleh pembayaran sebesar Rp 1,095 triliun dari Usman. Sehingga,
negara dirugikan sebesar Rp 11,30 triliun. Sementara, Usman termasuk
dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan Rp 799 miliar.
Kemiskinan
Hari Anti Pemiskinan Sedunia, yang jatuh pada tanggal 17 Oktober
2007, diperingati secara luas di seluruh dunia, termasuk di Jakarta dan
berbagai daerah di Indonesia. Peringatan umumnya dihadiri oleh ribuan atau
bahkan puluhan ribu orang yang turun ke jalan, pusat-pusat keramaian atau
lapangan terbuka. Penyelenggaraan kampanye anti pemiskinan ini antara
lain dimaksudkan untuk menggalang kebersamaan dan dukungan
masyarakat luas demi penghapusan kemiskinan dalam rangka mencapai
tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs).
Definisi Kemiskinan
Definisi mengenai kemiskinan amat beragam. Beberapa lembaga
mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Yang lain mengartikan lebih luas dengan memasukkan dimensi-dimensi
sosial dan moral. Selain itu ada juga yang menafsirkan kemiskinan sebagai
ketidakberdayaan sekelompok masyarakat di bawah suatu sistem
pemerintahan yang menyebabkan mereka berada pada posisi yang sangat
lemah dan tereksploitasi. Yang terakhir ini dikenal dengan sebutan
kemiskinan struktural.
Namun, secara umum, ketika orang berbicara mengenai kemiskinan,
maka yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini
seseorang dikategorikan miskin apabila tidak mampu memenuhi standar
minimum kebutuhan pokoknya agar dapat hidup secara layak. Karena itu,
kemiskinan jenis ini disebut dengan kemiskinan konsumsi.
=================================
Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan terjadi karena sistem ekonomi yang salah,
pemerintahan yang salah kelola, dan merajalelanya
praktik KKN.
Kemiskinan bertambah akibat tidak jelasnya pengaturan
institusional, lemahnya political will dan keberpihakan
para pengambil keputusan, serta dominannya tekanan dan
kepentingan asing, penguasa korup dan pemilik modal.
Di bawah ideologi neoliberal, IMF dan Bank Dunia
menjadi penekan pengintegrasian semua negara ke dalam
perekonomian global. IMF dan Bank Dunia
memperangkap banyak negara ke dalam jerat utang dan
sekaligus memaksa dijalankannya program penyesuaian
struktural berupa deregulasi di hampir semua sektor,
liberalisasi ekonomi dan keuangan, perdagangan bebas,
devaluasi mata uang, privatisasi BUMN, dan
pengurangan belanja publik.
Program Pemerintah
Diakui bahwa saat ini pemerintah telah menyusun berbagai program
untuk mengatasi kemiskinan yang pelaksanaannya berada dibawah
koordinasi Departemen Pekerjaan Umum. Program dimaksud adalah
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang secara
operasional dilakukan melalui Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) dan Program Peningkatan Kecamatan (PPK).
Untuk tahun 2007, PNPM Departemen PU dianggarkan sebesar Rp 1,7
triliun, sedangkan pada tahun 2008, naik menjadi Rp 2,1 triliun. Meski
demikian, sangat disayangkan 90% anggaran program ini berasal dari utang
kepada ADB, walaupun masa pengembaliannya berjangka waktu 30 tahun.
Disamping itu, juga layak dipertanyakan efektifitas program ini, karena
ternyata sejak P2KP dimulai pada tahun 1999 (Tahap I) hingga saat ini
belum terlihat hasil nyatanya dalam menekan angka kemiskinan.
Pada tahun 2008 mendatang, sama seperti tahun-tahun sebelumnya,
pemerintah juga menyiapkan PNPM dan Jaringan Pengaman Sosial (JPS)
sebagai upaya untuk menekan angka kemiskinan. Kedua program ini
diarahkan untuk menyerap tenaga kerja, antara lain melalui proyek-proyek
pembangunan jalan dan waduk.
Pada tahun 2008, pemerintah juga menargetkan jumlah penduduk
miskin sebesar 37,81 juta orang, atau 17,19% dari 220 juta penduduk.
Sedangkan, pada tahun 2009, target jumlah penduduk miskin adalah 18,8
juta orang. Target-target ini ditetapkan pemerintah ditengah kenaikan harga
minyak dunia dan tidak tercapainya sejumlah target ekonomi nasional.
Pemerintah, melalui Bappenas, untuk tahun 2008 juga memproyeksikan
3 (tiga) skenario garis dan angka kemiskinan, yang dikaitkan dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi sebagai berikut:
· Pertumbuhan 6,6%, garis kemiskinan Rp158.000/bulan: angka
kemiskinan 17,17%;
Penutup
Kemiskinan merupakan masalah genting dan serius yang kita hadapi.
Jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sangat besar dan
berpotensi menjadi sumber berbagai masalah sosial yang dapat meledak
setiap waktu. Dari satu pemerintah ke pemerintah lain kita dapati bahwa
mereka menjadi objek kampanye para calon penguasa, namun nasib mereka
tidak banyak berubah dan populasinya tetap tinggi. Malah ada penguasa
yang tega ”merekayasa” standar dan kriteria kemiskinan dengan tujuan agar
jumlah mereka terlihat turun atau minimal tidak bertambah.
Sebaliknya, kita mencatat bahwa GDP negara (Rp 3.531 triliun-2007)
dan APBN (Rp 746 triliun-2007) terus meningkat, serta ekonomi juga terus
tumbuh. Namun hal ini terjadi dalam kondisi ketidakmerataan dan
Resume
IMF dengan gegabah menutup 16 bank. Akibatnya rush besar-besaran
yang membuat BI terpaksa menghentikannya dengan Rp 144 trilyun, yang
notabene banyak yang disalah gunakan.
Sejak awal hukum kita memang sudah diperkosa dan diinjak oleh
Dana Moneter Internasional (IMF) yang didukung sepenuhnya oleh
hampir semua menteri, kecuali satu orang.
Bayangkan, para bankir pengutang BLBI menggunakan uang
masyarakat yang dipercayakan kepada bank miliknya melampaui yang
dibolehkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan. Dalam Pasal 49 Ayat (2) butir (b), Pasal 50, dan Pasal 50A jelas
disebutkan bahwa pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK)
dapat diancam pidana bila ada kesengajaan pihak pengelola bank tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan
bank terhadap ketentuan BMPK.
Namun, IMF memerintahkan untuk menyelesaikannya secara perdata
melalui perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan aset (MSAA) yang
dirancang oleh ahli hukum Amerika yang masih ingusan. Maka, ditulisnya
dalam bahasa Inggris, dan bahasa Inggrisnya juga kacau, tidak profesional.
Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA / 307
Tenggara pertama yang mengalami krisis. Tetapi di pertengahan tahun 1998
rupiah mulai terserang akibat pertukaran floating teratur dengan pertukaran
floating bebas, sehingga International Monatery Fund (IMF) turun tangan
dengan memberikan bantuan sebesar 23 miliar dolar AS. Bantuan IMF tidak
membangkitkan nilai rupiah, malahan makin terpuruk karena ketakutan dari
kebanyakan perusahaan untuk melunasi utangnya dalam dolar Amerika dan
tingginya permintaan (demand) terhadap dolar Amerika.
Pemerintah gagal menstabilkan nilai rupiah, Presiden Soeharto terpaksa
turun dari puncak kekuasaan dengan desakan dari mahasiswa dan mau tidak
mau pemerintah harus didikte oleh IMF, antara lain dengan memberikan
dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang
mengalami masalah likuiditas.
Krisis moneter kemudian diplesetkan dan dijadikan kambing hitam oleh
para bankir dan pengusaha sebagai penyebab dari collapse-nya sektor
perbankan. Padahal Giro Wajib Minimum (dana minimum yang harus
disimpan di Bank Indonesia) mengalami saldo negatif tidak serta merta
diakibatkan oleh krisis moneter, melainkan karena pemberian kredit yang
melampaui Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) kepada anak-anak
perusahaan (subsidiary companies) si pemilik bank yang merupakan suatu
tindak pidana. Mengingat pada tahun 1998 pemerintah mengeluarkan
kebijakan kontroversial “Paket Oktober” (Pakto) 1998 mengenai liberalisasi
perbankan yang melahirkan ratusan bank dalam waktu singkat. Siapapun
diberikan kebebasan mendirikan bank tanpa melihat latar belakang dan
keahliannya.
Banyak opini yang mengatakan bahwa krisis moneter merupakan Act of
God atau dalam bahasa hukumnya dikenal dengan istilah force majeure, yang
berarti suatu keadaan yang tidak dapat diprediksi (unpredictable) yang
menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam
suatu perjanjian. Perlu diketahui bahwa krisis moneter melanda Indonesia
pada tahun 1998 dan bermula di Thailand pada tahun 1997. Oleh karena itu,
krisis moneter seharusnya dapat diprediksi (predictable) sebab terjadi lebih
dulu di Thailand. Dengan demikian, krisis moneter tidak dapat
dikategorikan sebagai Act of God, sebagaimana pernah terjadi di Meksiko
dan Argentina di awal tahun 90-an.
308 / Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA
Setelah BLBI dikucurkan, diharapkan sektor perbankan kembali pulih.
Namun pada kenyataannya bantuan BLBI menjadi boomerang bagi
pemerintah. Dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank tidak dapat
dikembalikan, bahkan dilakukan penyimpangan dalam penggunaannya.
Laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2000 mencatat
bahwa ditemukan penyimpangan dana BLBI sebesar Rp 84 triliun atau
58,70% dari total jumlah BLBI sebesar Rp 144 triliun.
Pemerintah kemudian menyusun skema MSAA dan MRNIA dengan
harapan dapat memperoleh kembali dana BLBI dengan cara menjual
kembali aset-aset dari obligor dan debitur MSAA ataupun MRNIA.
Ternyata nilai dari aset-aset yang diserahkan oleh obligor dan debitur kepada
pemerintah tidak sesuai dengan utangnya. Sebagai contoh, Salim Group.
Kelompok usaha milik Soedono Salim ini mengaku seluruh asetnya yang
diserahkan pada tahun 1998 bernilai Rp 52 triliun setelah dihitung oleh
konsultan BPPN yakni Lehman Brothers, PT Danareksa dan PT Bahana tanpa
melakukan Financial Due Diligence terlebih dahulu. Pada tahun 2000, aset
Salim Group dinilai kembali oleh PricewaterhouseCoopers dan ternyata
hanya bernilai antara Rp 12 triliun sampai Rp 20 triliun.
Anehnya, pemerintah harus menanggung kekurangan dari aset Salim
Group sebesar Rp 30 triliun, sedangkan apabila terdapat kelebihan dari hasil
penjualan aset akan dikembalikan kepada Salim Group. Sungguh tidak adil
jika negara harus menanggung kewajiban obligor, karena ujung-ujungnya
rakyat yang menderita dengan adanya kenaikan BBM, pajak, bahan pangan,
dan tentunya penurunan daya beli.
Pemerintah kemudian melakukan blunder dengan memberikan Surat
Keterangan Lunas (SKL) kepada Salim Group yang jelas-jelas belum
menyelesaikan kewajibannya. Patut dipertanyakan apakah motif dari
pemerintah dengan menerbitkan SKL kepada “pengemplang”, padahal saat
itu Tim Bantuan Hukum yang dibentuk oleh Komite Kebijakan Sektor
Keuangan (KKSK) menyarankan pemerintah untuk tidak menerbitkan
SKL kepada obligor kakap yang belum tuntas menyelesaikan kewajibannya.
Menjadi pertanyaan besar mengapa pemerintah tidak berusaha untuk
menguasai aset Salim Group yang dimiliki saat ini, padahal Pasal 1131 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa segala kebendaan si
berutang baik yang ada sekarang maupun akan datang menjadi jaminan
Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA / 309
utang. Dengan demikian, pemerintah seharusnya dapat mengambil alih aset
Salim Group yang dimilik saat ini seperti Indofood, BCA dan bahkan baru-
baru ini dikabarkan akan mengakuisisi saham London Sumatera Plantation.
Ditambah dengan aset-aset di luar negeri yaitu India, Singapura, Malaysia,
dan Singapura.
Belakangan ini Salim Group kembali menjadi perhatian dalam penjualan
aset Sugar Group Companies. Soedono Salim, Anthoni Salim, dan Andree
Halim diduga telah melakukan tindak pidana penggelapan dengan
menjaminkan aset-aset Sugar Group Companies kepada Marubeni Corporation
pada tahun 1999, 2000, dan 2001. Padahal saat itu Sugar Group Companies
termasuk salah satu aset yang diserahkan kepada pemerintah yang secara
hukum dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah. Tindakan tersebut disinyilar
dilakukan untuk memperoleh kembali aset-asetnya (buy back) dengan harga
murah. Tanpa bantuan otoritas hal tersebut tidak mungkin dilakukan.
Kejadian ini secara langsung maupun tidak langsung akan mengganggu
iklim investasi Indonesia yang mengakibatkan investor asing enggan untuk
berinvestasi di Indonesia.
Apabila pemerintah tidak segera mengusut secara tuntas kasus
penyimpangan dana BLBI, merevisi kembali SKL yang diberikan kepada
obligor yang wanprestasi dan mengusut kasus Sugar Group Companies,
maka jangan heran apabila Indonesia akan diberi label sebagai negara “antah
berantah”. Karena tidak ada satupun negara di dunia yang melindungi warga
negaranya yang mempunyai utang yang begitu banyak yang merugikan
negara dan diberikan fasilitas dalam melakukan usahanya bahkan dalam
melakukan ekspansi dalam rangka memperlebar imperium bisnisnya.
Setelah diberi privilege seperti BLBI dan usaha kembali masih saja
mempraktikkan cara business lama dengan menggunakan atau memperalat
pejabat untuk mencapai tujuannya.
Kerugian yang dialami negara akibat dari BLBI diperkirakan mencapai
Rp 600 triliun. Sangat memperihatinkan apabila pemerintahan SBY hanya
berdiam diri dan tidak mengambil tindakan konkret untuk menuntaskan
kasus BLBI. Seandainya pemerintah dapat menuntaskan kasus BLBI, maka
tidak mustahil bagi pemerintah untuk mengantar bangsa ini keluar dari krisis
yang berkepanjangan. Uang sebesar Rp 600 triliun dapat digunakan untuk
menutupi utang luar negeri, menambah anggaran pendidikan, membangun
310 / Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA
infrastruktur, dan lain-lain yang dapat menggerakkan roda perekonomian
bangsa.
Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh bangsa
Indonesia dan diharapkan pemimpin di generasi yang mendatang nantinya
untuk lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan, sehingga tidak terjebak
dalam kondisi seperti ini yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA / 311
Bab 16
TINJAUAN
KELEMBAGAAN
KASUS BLBI
Gambar 1
Gambar 2
Tabel 1
Beberapa Koruptor BLBI yang Kabur
Jika ditelisik dari kasus BLBI ini, maka terdapat beberapa motif dari
tindakan curang tersebut. Pertama, tindakan curang oleh pihak perbankan
(penerima BLBI). Motif ini dilakukan dengan cara: (i) secara sengaja tidak
mengembalikan bantuan likuiditas; (ii) menunda pembayaran bantuan
likuiditas dengan beberapa alasan, misalnya belum adanya kecukupan
likuiditas di perbankan; dan (iii) menggunakan dana BLBI tersebut untuk
keperluan di luar kesepakatan. Ketiga motif tersebut semuanya terbukti di
lapangan, di mana banyak pihak penerima BLBI yang mangkir melakukan
pembayaran, bahkan sebagian kabur ke luar negeri. Seperti tertera pada
Tabel 1, terdapat beberapa pengutang BLBI yang kabur ke luar negeri,
bahkan terdapat di antaranya yang sampai meninggal dunia. Sementara itu,
yang mengulur-ulur waktu pembayaran dapat dikatakan semua penerima
BLBI melakukan hal yang tersebut akibat ketiadaan rincian regulasi yang
disusun oleh BI. Sedangkan yang sengaja memanfaatkan dana BLBI untuk
Tabel 2
Dugaan Penyimpangan Penggunaan BLBI oleh 10 BBO dan 18
BBKU
Penyimpangan Jumlah
Digunakan pembayaran pinjaman sub-ordinasi sebelum tahun 1997 38,1
Membayar kewajiban Bank Umum yang tidak dapat dibuktikan 426,4
Membayar kewajiban pada grup terkait 8.988,6
Membayar transaksi surat berharga 2.814,7
Membayar pihak ketiga melanggar ketentuan 7.699,2
Membayar kontrak derivatif/kerugian negara karena kontrak derivatif 10.320,3
lama yang jatuh tempo
Penempatan baru di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) atau 6.395,3
pelunasannya yang tidak sesuai ketentuan
Ekspansi kredit merealisasikan kelonggaran tarif 9.960,0
Biaya investasi rekruitmen personalia dan lain-lain 71,4
Membiayai over head bank 133,3
Biaya lain yang menyimpang 10.525,9
Jumlah 54.561,8
Sumber: Bank Indonesia, dalam Yuntho dan Rahayu, 2006:8
Kedua, perilaku curang yang dilakukan oleh pemberi otoritas, dalam hal
ini BI. Dengan ketiadaan kelembagaan yang mumpuni menyebabkan
pengawasan bisa lebih longgar. Pada posisi ini, kesempatan untuk
melakukan tindakan menyimpang menjadi lebih terbuka. Motif dari
tindakan curang ini adalah dengan menjalin kerjasama yang saling
menguntungkan dengan penerima bantuan. Lebih lanjut, salah satu ekses
dari hal ini adalah munculnya perbedaan jumlah dana yang seharusnya
diterima oleh BI dan yang wajib dibayarkan oleh penerimaan dana.
Tabel 3
Tiga Versi Jumlah Utang Obligor BLBI (dalam juta rupiah)
Versi Depkeu
Obligor BLBI Versi Obligor Versi BPK
Default Akhir
Adhisaputra dan James 511.256 87.603 87.603 303
(Namura Internusa)
Atang Latief (Bira) 1.066.563 190.702 175.010 155.727
Ulung Bursa (Lautan Berlian) 2.207.233 455.330 424.657 424.656
Omar Putihrai (Tamara) 741.827 159.141 159.141 159.141
Lidia Mochtar (Tamara) 787.517 189.039 1.093 189.039
Marimutu Sinivasan (Putra) 3.244.168 881.273 791.427 790.557
Agus Anwar (Pelita) 810.155 577.812 577.812 577.182
Total 9.368.719 2.540.900 2.216.743 2.297.235
Sumber: Diolah dari laporan BPK, 30/10/2006; dalam Tempo, 5 - 11 Maret 2007
Sebagai catatan tambahan, dari potensi bantuan yang dibayar pun juga
belum terdapat kepastian kapan akan dilakukan pembayaran bantuan
likuiditas tersebut. Di pihak lain, BPK yang berpijak pada audit yang telah
dilakukannya, mencatat secara keseluruhan bantuan likuiditas yang harus
dibayarkan oleh penerima bantuan adalah sebesar Rp 2,3 triliun. Jumlah ini
sedikit lebih kecil dari perhitungan oleh Departemen Keuangan. Namun,
Penutup
Deskripsi di atas memberikan pengetahuan bahwa kebijakan BLBI yang
dilansir pemerintah pada saat krisis ekonomi 1997/1999 sebetulnya
mengalami persoalan, baik secara substansial maupun teknis. Dalam
pendekatan ekonomi kelembagaan, persoalan tersebut dapat
dikelompokkan dalam tiga level. Pertama, secara substantif kebijakan BLBI
kurang dapat dibenarkan karena dua hal: (1) krisis kepercayaan perbankan
tidak mesti harus diatasi dengan penyaluran likuiditas, tetapi mencari akar
dari krisis kepercayaan tersebut; dan (ii) secara teknis BLBI diberikan kepada
bank-bank yang jelas telah melakukan banyak penyimpangan, seperti
pelanggaran legal lending limit. Kedua, akibat ketidakjelasan aturan main yang
dibuat oleh BI bagi penerima dana BLBI menjadikan maraknya perilaku
moral hazard. Perilaku menyimpang itu antara lain dilakukan dengan jalan
memanfaatkan dana BLBI bagi kepentingan di luar kesepakatan, mengulur-
1
Mafia Berkeley adalah kelompok ekonom yang berkuasa hampir 40 tahun sejak
pemerintahan Soeharto, Habibie, Megawati, dan SBY
Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will" Pemerintah / 345
Tabel 1
Hasil Audit BLBI
Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will" Pemerintah / 347
Melihat runtutan penyelesaian BLBI nampaknya sulit untuk dapat
diusut tuntas, apalagi BPPN sudah dibubarkan, dan masalah penilaian aset
kembali secara hukum sulit dibuktikan, yaitu bahwa nilai penjualan aset oleh
BPPN terlalu rendah atau nilai dari aset yang diserahkan lebih rendah dari
yang seharusnya. Karena pada masa itu, kondisi dianggap tidak normal
sehingga nilai wajar tidak dapat dijadikan patokan, termasuk penetapan
auditor.
Sebenarnya ada cara lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk
memperbaiki komposisi pengeluaran APBN dan digunakan sebagai
stimulus ekonomi. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan negosiasi
bank-bank rekap, terkait dengan bunga obligasi rekap.
348 / Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will" Pemerintah
· Bank Pembangunan Daerah: di antaranya BPD Daerah Istimewa
Aceh, BPD Sumatera Utara, BPD Bengkulu, BPD Lampung, BPD
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa
Timur, BPD Kalimantan Barat, BPD Sulawesi Utara, BPD Maluku,
BPD Nusa Tenggara Barat and BPD Nusa Tenggara Timur.
Di dalam perjalanannya, sebagian dari penerima obligasi rekap telah di-
merger dengan yang lain, ada yang sebagian telah di lunasi oleh pemerintah,
sehingga obligasi rekap dan saat ini masih sebesar Rp 400 triliunan dengan
jatuh tempo waktu sebagai berikut: obligasi rekapitalisasi yang akan jatuh
tempo pada tahun 2003 sebesar Rp33,23 triliun, tahun 2004 Rp76,98 triliun,
2005 (Rp67,37 triliun), 2006 (Rp83,26 triliun), 2007 (Rp94,02 triliun), 2008
(Rp106,75 triliun) dan tahun 2009 Rp111,3 triliun. Namun dengan
keterbatasan keuangan negara, maka obligasi yang jatuh tempo telah di-
reprofiling/diperpanjang hingga tahun 2020.
Pada saat itu dengan adanya dana rekap, hampir semua bank menjadi
milik pemerintah. Akan tetapi dalam perjalanannya sebagian bank-bank
tersebut telah didivestasi, dan menjadi milik asing. Saat ini yang
mendominasi bank berskala besar dan masih memiliki obligasi rekap cukup
besar adalah Temasek (Singapura), Khazanah (malaysia), dan Faralon.
Sedangkan, pemerintah hanya memiliki saham minoritas, bahkan ada yang
tidak lagi terdapat saham pemerintah.
Karena pemerintah tidak menjadi mayoritas, maka menurut peraturan,
pemerintah bukan sebagai pengendali, sehingga bank-bank tersebut
walaupun masih ada obligasi rekap tetapi tidak masuk keuangan negara yang
harus diperiksa oleh BPK. Hal ini menjadi rancu, karena nilai divestasinya
sangat rendah, tetapi konsekuensi pemerintah untuk membayar bunga
obligasi dan pencairan pokok obligasi juga besar. Setiap tahun bunga
obligasi rekap yang harus dibayar pemerintah dari APBN berkisar antara 35
sampai 40 triliun. Hal ini menjadi tidak fair, karena dalam kurun waktu 2
tahun keuntungan yang diperoleh bank yang telah di-take overasing dapat
menutup biaya divestasi, tetapi di sisi lain pemerintah masih terus harus
membayar bunga obligasi rekap.
Oleh karena itu, apabila pemerintah menginginkan jumlah significant
perolehan dana APBN, tidak ada salahnya untuk melakukan negosiasi
terkait dengan bunga obligasi rekap yang sebaiknya tidak lagi dibayarkan,
Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will" Pemerintah / 349
karena pada awal negosiasi dengan IMF, dana talangan tersebut tidak
mempunyai konsekuensi bunga, tetapi dalam praktik malah menimbulkan
beban tinggi. Hitung saja selama 8 tahun bila rata-rata beban bunga Rp 40
triliun, maka selama delapan tahun APBN telah menyumbang bank-bank
rekap sebesar Rp 320 triliun, yaitu setengah dari pokok obligasi. Dalam hal
ini apabila pemerintah tidak berupaya melakukan negosiasi, akan sulit untuk
menyelesaikan pokok obligasi rekap sampai kapanpun.
Dari tulisan ini, maka berbagai pihak tidak hanya fokus pada
penyelesaian BLBI yang walaupun secara hukum dalam Undang-Undang
No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas secara eksplisit menyebutkan,
"Debitor-debitor yang melanggar hukum harus diproses secara hukum dan proses
penyelesaian utangnya tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku".
Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 secara tegas menyebutkan, "Kepada
debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia menyelesaikan kewajibannya
kepada BPPN baik dalam rangka MSAA diambil tindakan hukum yang tegas dan
konkret, yang dilaksanakan secara terkoordinasi antara Ketua BPPN, Kepala
Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia".
Dengan demikian berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut
pemerintah diberikan mandat segera mengusut para obligor yang belum
melaksanakan kewajibannya kepada pemerintah. Bukan sebaliknya
melepaskan obligor yang belum menyelesaikan kewajibannya. Selain itu ada
yang sangat significant untuk dilakukan pemerintah yaitu melakukan negosiasi
obligasi rekap terutama terkait dengan beban bunga obligasi rekap. Semua
itu hanya membutuhkan political will yang besar dari pemerintah,
sehingga masalah ini tidak selalu menjadi bola panas dari satu rezim
ke rezim yang lain.
350 / Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will" Pemerintah
Penutup
RAKYAT
MENGGUGAT
SKANDAL BLBI
Marwan Batubara
Seperti telah diuraikan dalam buku ini, penyelesaian kasus BLBI secara
tuntas selalu menemui berbagai masalah karena tidak tegasnya pemerintah
maupun aparat hukum dalam menindak para obligor BLBI. Alasan utama
yang sering dikemukakan adalah bahwa pemerintah memprioritaskan
pengembalian uang negara dari obligor (atau bahwa obligor adalah
pengusaha andal yang akan menolong ekonomi negara), sehingga merasa
perlu untuk memberi berbagai kemudahan kepada mereka dalam melunasi
utang-utangnya.
Karena itu pula, proses hukum yang dijalani oleh para pengemplang
BLBI selama ini sangat jauh dari memadai. Meskipun telah nyata-nyata
bersalah, sebagian besar obligor BLBI justru tidak pernah menjalani proses
pengadilan, tidak dicekal untuk keluar masuk wilayah Indonesia, dan bahkan
dibebaskan dari segala tuntutan pidana hanya dengan membayar sebagian
kecil utang-utangnya.
Ketidaktegasan Pemerintah
Pemerintahan pada masa Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya,
melalui sejumlah menteri kabinetnya, justru memberikan sambutan kepada
4 obligor BLBI di Istana (Kompas, 7 Februari 2006). Para obligor itu adalah
Atang Latief (diwakili menantunya, Lukman Astanto), Ulung Bursa, James
Januardi, dan Omar Putihrai. Penerimaan para obligor BLBI ini di Istana
tentu saja merupakan penghormatan yang berlebihan sekaligus tidak wajar
bagi para obligor yang sudah berstatus sebagai tersangka korupsi tersebut.
Apalagi mengingat, sebagai catatan, pada bulan yang sama Presiden SBY
sempat menolak permintaan resmi sejumlah tokoh nasional (antara lain Try
Sutrisno, Amien Rais, Wiranto, Dradjad Wibowo, Marwah Daud, dan lain-
lain) untuk bertemu dalam rangka menyampaikan aspirasi terkait sengketa
Blok Cepu.
Presiden Yudhoyono memang sempat membantah peristiwa tersebut
sebagai bentuk penyambutan pemerintah atau penggelaran karpet merah
bagi para koruptor BLBI. Menurut Presiden, kedatangan para debitur BLBI
KKN BPPN
Perilaku KKN pula yang ditunjukkan BPPN sehingga menyebabkan
pengembalian uang negara dari penyelesaian kasus ini tidak terlaksana
optimal. BPPN menerima penyerahan aset dengan harga yang telah
digelembungkan, memberikan SKL kepada sejumlah obligor meskipun
baru melunasi sebagian kecil kewajibannya, merestrukturisasi sejumlah aset
dengan menghabiskan uang besar, dan selanjutnya mengobral aset eks
obligor tersebut dengan harga sangat murah. Ironisnya, pembeli aset-aset itu
tak lain adalah obligor atau pihak-pihak yang terkait dengannya. Contoh
terbaru untuk hal ini adalah penjualan aset bekas milik Humpuss Group (PT
Timor Putra Nasional) oleh BPPN, yang ternyata dibeli oleh PT Vista Bella
Pratama yang tak lain merupakan perusahaan terafiliasi Humpuss juga.
Prospek Penyelesaian
Inkonsistensi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam
menyelesaikan skandal BLBI akhirnya membuat prospek penyelesaian
Kepada Yth.
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia
Jakarta
Perihal : Pengajuan Hak Interpelasi
Dengan Hormat,
Mencermati permasalahan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), negara telah melakukan investasi/danal ebih dari
Rp. 702,5 triliun yang hingga saat ini belum memperlihatkan upaya penyelesaian yang
efektif.
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) dengan cara menandatangani kesepakatan yaitu MSAA (Master
Settlement and Acquisition Agreement), MRNIA (Master Refinancing and Note
Issuance Agreement), APU sebagai mekanisme penyelesaian masalah KLBI dan
BLBI justru menambah beban utang negara didalam APBN sebesar Rp 50-60 triliun
per tahun yang diperkirakan berakhir hingga 2033. Padahal pada saat yang sama
rakyat masih menghadapi berbagai kesulitan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
primernya. Apabila dana sebesar itu dialokasikan untuk program-program :
pengentasan kemiskinan melalui pembangunan sarana dan prasarana pedesaan,
pendidikan dan kesehatan bagi rakyat, tentu jutaan rakyat miskin akan dapat
meningkat kesejahteraannya.
Berdasarkan pengamatan tersebut di atas dan sebagai bagian dari komitmen
kabangsaan dan kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia serta demi
kewajiban dan tanggung jawab atas tugas, fungsi dan sumpah sebagai wakil rakyat,
maka dengan ini kami mengajukan interpelasi sebagai salah satu hak yang dimiliki
oleh Anggota Dewan.
Terlampir nama-nama dan tanda tangan hak interpelasi kami sampaikan, atas
perhatian, kerja sama dan dukungan semua pihak disampaikan terima kasih.
Hormat kami,
Para Interpelator.
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan berupa pinjaman
yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas
pada saat terjadinya krisis ekonomi 1997/1998 di Indonesia. Skema ini tidak lepas dari
resep IMF dalam mengatasi krisis ekonomi.
I. DASAR HUKUM
1. UUD Negara RI tahun 1945, Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia
adalah Negara hukum, maka tak satupun pelanggaran hukum yang dapat
lulus dari jeratan hukum.
2. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 23 ayat (1) bahwa APBN sebagai wujud
dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
3. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 23E ayat (2) Hasil Pemeriksaan
Keuangan Negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan
kewenangannya; ayat (3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindak lanjuti oleh
Lembaga Perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.
4. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 27 ayat (1) bahwa setiap warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
5. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 28D bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
12. Undang-undang No.10 Tahun 1998, Pasal 37A ayat (3) menyebutkan:
bahwa dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank,
badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta
wewenang lain yaitu huruf (a) s/d huruf (n).
13. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 4 Undang-undang No. 31 Tahun
1999 secara tegas menyebutkan bahwa “Pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana.” UU No. 31 tahun 1999.
Realitas sosial yang ditimbulkan oleh kasus KLBI dan BLBI merupakan salah
satu faktor yang menimbulkan dampak negatif terhadap struktur dan pranata
sosial bangsa kita. APBN yang seharusnya untuk memperbaiki kualitas hidup
rakyat justru menjadi beban dan tanggungan rakyat melalui subsidi
pemerintah kepada obligor BLBI. Trend meningkatnya rakyat hidup miskin,
timbulnya kecemburuan, kesenjangan, dan ketidakadilan sosial merupakan
gambaran, begitu rapuh, resisten, dan lemahnya kualitas hidup berbangsa
dan bernegara yang selama ini menjadi pengikat kita menjadi satu bangsa
dengan cita-cita besar. Masyarakat kembali harus bersabar, menunggu dan
menunda menikmati pembangunan sarana dan prasarana, pendidikan dan
kesehatan gratis.
(3) Sejauhmana konsistensi, perkembangan dan hasil penegakan hukum bagi para
obligor yang dilakukan oleh pemerintah? Langkah hukum apa yang sedang dan
akan diambil oleh pemerintah terhadap para obligor, dirinci berdasarkan nama
dan bank /perusahaannya ? Sejauh mana kemajuan penanganan obligor yang
belum menuntaskan kewajibannya, sebagaimana audit BPK di atas?
(4) Berapa seharusnya uang negara yang wajib dikembalikan oleh para obligor?
Bagaimana realisasi pengembalian uang negara berdasarkan program PKPS,
mengingat telah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 8/2002?
(5) Bagaimana tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat dengan memberi
fasilitas yang berlebihan atau mengampuni para obligor tanpa melalui proses
hukum?
(6) Bagaimana strategi pemerintah dalam mengembalikan potensi kerugian negara
sebesar Rp 138,4 triliun dana eks-BLBI sesuai audit BPK tahun 2000?
(7) Berapa sesungguhnya jumlah utang negara terkait dengan program KLBI, BLBI
dan seluruh rangkaian penyehatan perbankan? Apakah bunga yang dibebankan
kepada APBN sebesar kira-kira Rp 50-60 triliun tersebut benar-benar utang
negara atau utang swasta yang diambil alih oleh negara ? Berapa lama lagi utang
ini harus ditanggung oleh negara ?
Demikian hak interpelasi ini kami ajukan sebagai bentuk kepedulian dan empati kami
terhadap rakyat yang mengalami ketidakadilan dan kesengsaraan yang nyata.
Buku
Arief, Sritua, Negeri Terjajah Menyingkap Ilusi Kemerdekaan, Yogyakarta, Cet. I, Resist
Book, 2006.
Atraiyyah, Hamdar, Meneropong Kemiskinan Telaah Perspektif Al Quran, Cet I, Pustaka
Pelajar, 2007.
Baswir, Revrisond, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, Cet, I, Pustaka Pelajar,
2006.
Baswir, Revrisond et.al., Terjajah di Negeri Sendiri, Cetakan Pertama, Jakarta, Elsam
April 2003.
Danaher, Kevin, 10 Alasan Bubarkan IMF dan Bank Dunia, Yogyakarta, CPRC, 2005.
Furubotn, Eirik dan Rudolf Richter. 2000. Institutions and Economic Theory: The
Contribution of the New Institutional Economics. The University of Michigan Press.
Ann Arbor. USA
Gie, Kwik K., Pemberantasan Korupsi untuk Memperoleh Kemandirian, Kemakmuran,
Kesejahteraan dan Keadilan, Edisi III.
_______, Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar, Cet.I, Jakarta, Kompas,
2006.
/ 375
_______, Pikiran Yang Terkorupsi, Cet.1, Jakarta, Kompas, 2006
Hadi, Syamsul et.al., Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF, Jakarta, Granit, 2004.
Khor, Martin, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, Yogyakarta, CPRC, 2002.
Khudori, Lapar: Negeri Salah Urus!, Cet.I Yogyakarta, Resist Book, 2005.
Mintorahardjo, Sukowaluyo, BLBI Simalakama Pertaruhan Kekuasaan Presiden
Soeharto, Cet. I, Riset-Riset Ekonomi Sosial Indonesia, 2001.
Mubyarto, Ekonomi Terjajah, Pustep, UGM, 2005.
Nasution, Anwar. 2002. The Indonesian Economic Recovery From The Crisis in
1997 1998. Journal of Asian Economics. 13: 157 180
Pincus, Jonathan R. & Jeffrey A. Winters, Membongkar Bank Dunia, Jakarta,
Djambatan 2004.
Rao, J. Mohan et.al., Arbitrase Utang Penyelesaian Menyeluruh Masalah Utang Luar Negeri
Indonesia, Jakarta, Cet.I, INFID, 2003.
Scabrook, Jeremy, Kemiskinan Global Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme,
Yogyakarta, Cet.I, Resist Book, 2006
Subagja, Guntur et.al., Mari Menjual Negara, Jakarta, Global Mahardika Netama,
2002.
Subagja, Guntur, Politik & BLBI : Kumpulan Artikel Pengamat dan Wartawan, x-Biz,
Jakarta, 2000
Winters, Jeffrey A., Dosa-Dosa Politik Orde Baru, Jakarta, Djambatan, 1999.
Laporan
376 /
Yuntho, Emerson dan Muji Rahayu. 2006. Penyelesaian Hukum Kasus BLBI. Position
Paper. Indonesia Coruption Watch. Jakarta
Zulverdi, Doddy, et. al. 2007. Bank Portofolio Model and Monetary Policy in
Indonesia. Journal of Asian Economics. 18: 158 - 174
Majalah
Surat Kabar
378 /
Investor Daily, “Ary Sutha Tak Tahu Perbedaan Aset Obligor BLBI”, 14 September
2007.
Investor Daily, “Kemiskinan, Masalah Tiada Akhir”, 22 September 2007.
Investor Daily, “42 Anggota DPR Ajukan Interpelasi BLBI”, 28 September 2007.
Investor Daily, “Memangkas Angka Kemiskinan”, 19 Oktober 2007.
Investor Daily, ”Masalah Kemiskinan Belum Teratasi”, 23 Oktober 2007.
Investor Daily, “Penyelesaian Hukum Lebih Jelas, DPR Sepakat Interpelasi BLBI”, 05
Desember 2007.
Jawa Pos, edisi 31 Januari 2006
Jurnal Nasional, “Penilaian Aset Obligor BLBI Tidak Konsisten”, 20 Juli 2007.
Jurnal Nasional, “MoU BPK-Kejagung untuk Buru Koruptor BLBI”, 03 Agustus
2007.
Jurnal Nasional, “Kejagung Periksa Kwik dan Bambang Subianto”, 07 September
2007.
Jurnal Nasional, “Tiga Obligor BLBI Segera Diperiksa”, 30 November 2007.
Jurnal Nasional, “DPR Sepakati Interpelasi BLBI”, 05 Desember 2007.
Kompas, ”BPK: Penyelesaian BLBI Untungkan Konglomerat, Bebani APBN”, 07
Juni 2003.
Kompas, ”Pemburu Koruptor Sudah Disiapkan”, 04 Juli 2007.
Kompas, ”Ormas Diingatkan Untuk Sesuai Koridor Hukum”, 05 Juli 2007.
Kompas, ” Mimpi dari Permukiman Kumuh”, 13 Juli 2007
Kompas, ” Pemerintah Tidak serius”, 17 Juli 2007
Kompas, ”Tim Khusus Diminta Fokuskan Kasus BLBI”, 18 Juli 2007.
Kompas, ”Jaksa Agung Berjanji Tak Main-Main”, 19 Juli 2007.
Kompas, Edisi 23 Juli 2007
Kompas, ”Rakyat Miskin Tuntut Akses Pendidikan Murah tetapi Berkualitas”, 30
Agustus 2007.
Kompas, ”Tetapkan Data Penduduk Miskin”, 05 September 2007.
/ 379
Kompas, ”DPR Setujui Interpelasi”, 05 Desember 2007.
Kompas, ”Pemerintah Akan Menjawab Interpelasi DPR”, 08 Desember 2007
Kompas, ”Anthony Salim Diperiksa”, 07 Desember 2007
Neraca, “Harus Ada Deadline Buat Kejagung Mengusut Kasus BLBI”, 25
September 2007.
Neraca, “Kejaksaan Targetkan Penyelesaian Tiga Kasus Kakap BLBI”, 29 Juni 2007.
Neraca, “Pengusutan Kasus BLBI Jangan Tebang Pilih”, 09 Juli 2007.
Neraca, “Menunggu Hasil Babak Baru Penyelesaian BLBI”, 23 Juli 2007.
Neraca, “PPATK Belum Terima Permintaan Kejagung Soal BLBI”, 24 Juli 2007.
Neraca, “Perebutan Aset PT GPA Vs Salim Group Tampilkan Saksi Ahli”, 25 Juli
2007.
Neraca, “30 Obligor Kakap Masih Bandel”, 27 Juli 2007.
Neraca, “Soal BLBI Kejagung Baru Periksa Saksi”, 31 Juli 2007.
Neraca, “Permak Dukung Jaksa Agung Usut Tuntas BLBI”, 02 Agustus 2007
Neraca, “Pelajar Mendesak Jaksa Agung Prioritaskan Kasus BLBI”, 10 Agustus
2007.
Neraca, “Saksi Tak Kooperatif Diancam Pidana Korupsi” , 14 Agustus 2007.
Neraca, “Satu Dasawarsa Krisis Satu Dasawarsa BLBI”, 21 Agustus 2007.
Neraca, “Kemiskinan Bukan Persoalan Angka Statistik”, 24 Agustus 2007.
Neraca, “Pengusutan MSAA Akan Menguak Kejahatan Konglomerat Pengguna
BLBI”, 28 Agustus 2007.
Neraca, “Antara Pengentasan Kemiskinan & Pemberdayaan Usaha Kecil”, 01
September 2007.
Neraca, “Penyerahan Saham-saham Obligor ke BPPN Harus Free and Clear”, 01
September 2007.
Neraca, “Pemerintah dan BI Harus Bertanggung Jawab”, 13 September 2007.
Neraca, “Kemiskinan Ekonomi dan Spiritual”, 09 Oktober 2007.
Neraca, “DPR: Perpanjang Penyelidikan Untuk Tuntaskan 6 Kasus BLBI”, 01
November 2007.
380 /
Neraca, “Kasus BLBI Jangan Jadi Isu Politik Pemilu”, 12 November 2007.
Neraca, “Presiden Peduli Dengan Pengusutan kasus BLBI”, 13 November 2007.
Neraca, “Hakim Menangkan Gugatan Sugar Terhadap Grup Salim”, 15 November
2007.
Neraca, “Kejagung Perlu Tindak Lanjuti Pelanggaran MSAA”, 27 November 2007.
Neraca, “Kasus BLBI, Kejahatan Keuagan Sangat Serius”, 28 November 2007.
Neraca, “Pengungkapan Kasus BLBI Mulai 'Diganjal' DPR”, 29 November 2007.
Neraca, “Panja DPR Bingung Terhadap Proses BLBI”, 01 Oktober 2007.
Neraca, “Sekali Lagi BLBI & Penjualan BCA (1)”, 01 Oktober 2007.
Neraca, “Sekali Lagi BLBI & Penjualan BCA (2)”, 02 Oktober 2007.
Neraca, “Laksamana: BCA Sesuai Prosedur”, 02 Oktober 2007.
Neraca, “Interpelasi Kasus BLBI Akhirnya Bergulir di DPR”, 02 Oktober 2007.
Neraca, “Satu Dasawarsa Krisis Satu Dasawarsa BLBI”, 23 Oktober 2007.
Neraca, “Kasus GPA dan salim Tunggu Kepastian Hakim”, 25 Oktober 2007.
Neraca, “Kejgung Perpanjang Peneylidikan Kasus BLBI”, 30 Oktober 2007.
Neraca, “Interpelasi Kasus BLBI Disetujui Secara Aklamasi”, 05 Desember 2007.
Neraca, “Anthony Salim Diperiksa Kejagung 12 jam”, 07 Desember 2007.
Neraca, “Interpelasi BLBI: Mengurai Benang Yang Terlanjur Kusut”, 07 Desember
2007.
Rakyat Merdeka, “Pemberi BLBI Layak Dikerangkeng”, 11 Mei 2007.
Rakyat Merdeka, “Penuntasan BLBI Molor Rakyat Tekor”, 04 Juni 2007.
Rakyat Merdeka, “Seperti Tong Kosong Nyaring bunyinya”, 04 Juni 2007.
Rakyat Merdeka, “Gara-gara BLBI Harga-harga Mahal”, 04 Juni 2007.
Rakyat Merdeka, “Kejaksaan Agung Siapkan 35 Jaksa untuk Kasus BLBI”, 06 Juni
2007.
Rakyat Merdeka, “Penyelesaiannya Jangan Setengah-setengah”, 19 Juni 2007.
Rakyat Merdeka, “Kejagung Ngotot Pidanakan Pengemplang BLBI”, 19 Juni 2007.
Rakyat Merdeka, “Dimulai, Jihad Melawan Koruptor BLBI”, 02 Juli 2007.
/ 381
Rakyat Merdeka, “Melihat Keterlibatannya Dengan 3 Poin”, 13 Juli 2007.
Rakyat Merdeka, “Perry: Selisih Nilai Aset Salim Banyak Faktor”, 20 Juli 2007.
Rakyat Merdeka, “Bukan Hanya Salim Group, Di Bawahnya Juga Diusut”, 20 Juli
2007.
Rakyat Merdeka, “Pelajaran Mahal Krisis Ekonomi Indonesia”, 23 juli 2007.
Rakyat Merdeka, “2 Boneka Konglomerat Dibakar” , 25 Juli 2007.
Rakyat Merdeka, “Kepastian Hukum Dan Kenyamanan Harus Dijamin”, 27 Juli
2007.
Rakyat Merdeka, “Data-data Lama Dan Tersirat Kasus BLBI Akan Dibuka”, 27 Juli
2007.
Rakyat Merdeka , “Tidak Ada Kata Terlambat Buat SBY-JK”, 03 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Peran Bank Sentral Dalam BLBI”, 06 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Kasus BLBI Jangan Jadi Ajang Balas Dendam”, 10 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka , “Maling Kelas Teri Ditangkap Maling BLBI Kok Nggak”, 10
Agustus 2007.
Rakyat Merdeka , “Tafsir BLBI dari Rejim ke Rejim”, 13 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Jampidsus Ancam Para Saksi BLBI”, 14 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Kami Akan Panggil Jaksa Agung”, 25 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Belum Saatnya dong Dipanggil”, 25 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Lha, Kok Obligor BLBI Belum Ada Diperiksa”, 25 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Etika Hukum Penyelesaian Kasus BLBI”, 30 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka , “Ditemukan Bukti Awal ”, 30 Agustus 2007.
Rakyat Merdeka, “Kasus BLBI, Kepastian Hukum Untuk Keadilan”, 31 Agustus
2007.
Rakyat Merdeka, “Tangkap & Penjarakan Obligor BLBI Yang Jarah Uang Rakyat”,
03 September 2007.
Rakyat Merdeka, “BLBI, Maaf Ya Bukan ATM”, 03 September 2007.
Rakyat Merdeka, “Pemerintah Jangan Ragu Penjarakan Obligor Bermasalah”, 06
September 2007.
382 /
Rakyat Merdeka, “Salim Group Dinyatakan Bersalah Melanggar MSAA”,14
November 2007.
Rakyat Merdeka, “Kasus BLBI, Hendarman Incar Bekas Gubernur BI”, 15
November 2007.
Rakyat Merdeka, “Usut Dari Obligor BLBI Terbesar”, 05 Desember 2007.
Rakyat Merdeka, “Anthony Salim Diperiksa Jaksa Tutup Mulut”, 07 Desember 2007.
Rakyat Merdeka , “BLBI dan Janji Manis SBY-JK”, 07 Desember 2007.
Rakyat Merdeka, “Masih Utang 300 Miliar, Sita Harta Nursalim”, 10 Desember
2007.
Republika, ”Saksi Kasus BLBI Banyak Mangkir”, 14 Agustus 2007.
Republika, ”Kwik Minta Kejakgung Periksa Boediono Terkait BLBI”, 6 September
2007.
Republika, ”Paripurna DPR tunda Voting Interpelasi BLBI”, 28 November 2007
Republika, ”DPR Loloskan Interpelasi BLBI”, 05 Desember 2007.
Seputar Indonesia, ”Kasus BLBI Ditangani 35 Tim Jaksa Khusus”, 17 Juli 2007.
Seputar Indonesia, ”Menguak Kembali Pengemplang Dana BLBI”, 20 Juli 2007.
Seputar Indonesia, ”DPR Loloskan Interpelasi BLBI”, 05 Desember 2007.
Seputar Indonesia, ”Syamsul Nursalim Juga Dibidik”, 07 Desember 2007.
Suara Karya, ”Pengusutan Sulit Karena Banyak Kepentingan”, Jumat 25 Mei 2007.
Suara Karya, ”Penuntasan Kasus BLBI”, 4 Juli 2007.
Suara Karya, ”Penggelembungan Aset Obligor Adalah Perbuatan Pidana”, 24 Juli
2007.
Suara Karya , ”JAM Pidsus: Tim Jaksa Tak Bisa Dipengaruhi”, 10 Agustus 2007.
Suara Karya , ”Kemiskinan Kian Parah, Pemerataan Dilupakan”, 14 Agustus 2007.
Suara Karya , ”BLBI dan Kepastian Hukum”, 15 Agustus 2007.
Suara Karya, ”Kemiskinan dalam Pembangunan”, 22 Agustus 2007.
Suara Karya, ”Kemiskinan Serius, Pemerintah Harus Kejar Pertumbuhan
Berkualitas”, 22 Agustus 2007.
/ 383
Suara Karya, ”Menyibak Tabir 'penjajahan' Baru”, 18-19 Agustus 2007.
Suara Karya, “Boediono Perlu Diminta Keterangam”, 7 September 2007.
Suara Karya, ”GOWA: Ada Rekayasa Untuk Kepentingan Tertentu”, 7 September
2007.
Internet
Media Indonesia Online, ”Pemilihan Jaksa Kasus BLBI Harus Transparan”, 24 Mei
2007.
Media Indonesia Online, ”Kejagung Diminta Tuntaskan Kasus BLBI”, 25 Mei 2007.
Tempo Interaktif, ”Pengutang BLBI Menyerahkan Diri” , 27 Januari 2006.
Tempo Interaktif, ”Menkeu Siap Berkoordinasi Temukan Obligor BLBI”, 19 Mei 2007.
384 /
Tentang
Penulis
Dr. Ahmad Erani Yustika, Ekonom Senior INDEF (Institute for
Development of Economics and Finance Indonesia) dan Ketua Program
Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya Malang. Meraih gelar Sarjana Ekonomi di Universitas
Brawijaya Malang. Sedangkan gelar master dan doktornya diraih di Goettingen
University, Jerman, dalam bidang studi Ekonomi Kelembagaan.
Aviliani, Ekonom Senior INDEF dan Pengajar Pasca Sarjana Sekolah Tinggi
Ilmu Administrasi-Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN). Menamatkan
studi S1 pada Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Atma Jaya (1985), dan S2
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (1995). Saat
ini sedang menyelesaikan studi S3 pada program Doktor Manajemen Bisnis-
Institut Pertanian Bogor. Selain itu, aktif sebagai Anggota Dewan Pakar
Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dan pengurus Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jakarta.
Dr. Fadhil Hasan, pendiri dan Direktur INDEF. Meraih Sarjana Ekonomi
Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Master of Science dari Department of
Economics Iowa State University (AS) dan gelar doktor di Department of
Agricultural Economics University of Kentucky (AS) dengan spesialisasi di
bidang Perdagangan Internasional, Pemasaran, Kebijakan Pertanian dan
Perbankan. Kini bekerja sebagai peneliti dan konsultan pada berbagai lembaga
/ 385
seperti Pusat Studi Pembangunan IPB, Smeru Research Institute, Department
of Agricultural Economics University of Kentucky, World Bank dan USAID.
Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H., advokat dan pemilik kantor hukum
Frans Winarta & Partners. Memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Katolik Parahyangan, gelar Magister Hukum (dalam
bidang hukum pidana) di Universitas Indonesia, dan gelar Doktor Ilmu
Hukum di Universitas Padjadjaran. Tercatat sebagai anggota berbagai
organisasi nasional maupun internasional diantaranya IKADIN (Ikatan
Advokat Indonesia), YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia),
International Bar Association, American Chamber of Commerce, dan
International Court of Arbitration-International Chamber of Commerce
(ICC) Paris.
386 /