Anda di halaman 1dari 219

c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

a 4600 b
c Tradisi Islam d

Para Sufi Perusahaan

Sering kita dengar pernyataan bahwa etos dalam bisnis merupakan


ciri asasi, atau sifat dasar, dari jiwa kewirausahaan. Pengertian etos
ini mengarah kepada adanya keyakinan yang kuat akan harga
atau nilai sesuatu yang menjadi bidang kegiatan usaha atau bisnis.
Yang pertama-tama harus ada dalam etos bisnis ini ialah keyakinan
yang teguh dan mendalam tentang nilai penting dan penuh arti
dari suatu bisnis. Dengan kata lain, seseorang disebut sebagai
mempunyai etos bisnis, jika padanya ada kcyakinan yang kuat
bahwa bisnisnya bermakna penuh bagi hidupnya.
Unsur keyakinan dalam bisnis ini umumnterkait dengan
masalah kesadaran tentang makna dan tujuan hidup. Jadi, seorang
pelaku bisnis adalah seseorang yang melihat bidang usahanya
sebagai kelanjutan dari makna dan tujuan hidupnya. Memang,
dibanding dengan makna dan tujuan hidup itu sendiri, bisnis hanya
bernilai alat atau jalan untuk mencapai tujuan. Tapi, karena dalam
keyakinannya tersebut kaitan bisnis dengan makna dan tujuan
hidupnya demikian kuat, maka ia tidak menyikapinya dengan
setengah hati.
Karena itu, etos bisnis biasanya terjalin erat dengan kepercayaan.
Sejak Weber membeberkan tesisnya tentang etika Protestan dalam
kaitan dengan pertumbuhan kapitalisme (biar pun sebagai temuan
ilmiah tentu tidak sepi dari pro-kontra), kajian demi kajian (seperti
Robert N. Bellah — Tokugawa Religion, Clifford Geertz — Peddlers
and Princes, dan Peter Gran — Islamic Roots of Capitalism) umumnya
memberi kesan kuat tentang adanya kaitan antara bisnis dan ko­
mitmen keagamaan. Bahkan mungkin dengan kesalehan, yang

a 4601 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

melandasi adanya keteguhan makna dan tujuan hidup dalam nilai-


nilai bisnis, seperti kesediaan menderita (sementara).
Seorang pelaku bisnis sejati “tidak takut melarat” untuk semen­
tara, karena ia yakin melalui usahanya ia akan menjadi “kaya” di
belakang hari. Seorang kiai, misalnya, sering menasehati para santri­
nya, “Kalau ingin kaya, janganlah takut miskin.” Takut miskin
kemudian enggan bertindak adalah justru salah satu penyebab
kemiskinan.
Karena itu, seorang pelaku bisnis selalu memiliki kesediaan
untuk menunda kesenangan sementara, demi kebahagiaan yang
lebih besar di belakang hari. Penundaan kesenangan (deference of
gratification) berjalan sejajar dengan sikap hidup hemat dan tidak
konsumtif. Maka pepatah klasik populer “hemat pangkal kaya”
adalah benar. Jadi, asketisme atau zuhud, baik perorangan maupun
kemasyarakatan, diperlukan dalam etos bisnis demi kesuksesannya
sendiri.
Zuhud merupakan the characteristic spirit, prevalent tone of
sentiment, of a people or community. Ungkapan “You may lose the
battle, but you should win the war”, “Wani ngalah duwur wekasane”,
“Lebih baik mandi keringat dalam latihan daripada mandi darah
dalam pertempuran”, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang
ke tepian; Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian,”
dan lain sebagainya, adalah dalil-dalil yang sangat bersangkutan
dengan etos bisnis. Ini semua menunjukkan adanya sikap hidup
berpandangan jauh ke depan, dan tidak menjadi tawanan kekinian
dan kedisinian. Maka “aji-aji mumpung” bukanlah etos bisnis sejati,
malah tidak sehat.
Terutama di zaman modern ini, sangat diperlukan pandangan
strategis, tidak semata taktis, dalam semangat pandangan hidup yang
“future oriented”. Ini berarti bahwa seorang pelaku bisnis mempunyai
sikap penuh harapan kepada masa depan. Harapan adalah sumber
energi pribadi, dan putus harapan adalah juga pemupus energi
pribadi. Sebuah pepatah Arab mengatakan, “Alangkah sempitnya
hidup ini seandainya tidak karena lapangnya harapan.”

a 4602 b
c Tradisi Islam d

Sebagai kebalikan putus asa, harapan adalah pendorong bagi


adanya langkah-langkah awal atau inisiatif. Karena itu, seorang yang
berpengharapan tidak pernah menghadapi jalan buntu. Kesulitan
apa pun tentu ada jalan keluarnya. Jika banyak tidak dapat diraih,
maka yang sedikit pun diterima dan dimanfaatkan sebagai-baiknya.
Tidak ada pikiran “all or nothing” yang kekanak-kanakan itu.
Karena itu, dalam beberapa hal diperlukan sikap “puas” (Arab:
qanā‘ah), tanpa puas diri dan merasa tak perlu kepada yang lain
(Arab: istighnā).
Seorang yang tidak berputus asa juga orang yang berani menem­
puh risiko. Ia tidak akan mencari selamat dengan tidak berbuat.
Kata orang (dalam bahasa Inggris), “To avoid criticism, say nothing,
do nothing and be nothing”. Seorang pelaku bisnis selalu berusaha
untuk menjadi “something”, “somebody” daripada “nothing”,
“nobody”, dengan keberanian menempuh risiko. Salah satu prinsip
yurisprudensi Islam menyebutkan, “Jika dua bahaya dihadapi, maka
harus ditempuh salah satu yang lebih ringan.” Jadi, tidak boleh
ditinggalkan tanpa perbuatan. Tapi, pada waktu yang sama seorang
pelaku bisnis adalah orang yang “tahu diri” secara “pas”, yakni tanpa
melebihkan diri sehingga menjadi sombong, atau mengurungkan
diri sehingga menjadi rendah diri dan kurang bersyukur kepada
Tuhan. Ia tidak “rendah diri”, tapi “rendah hati”. Karena itu, jika
mengalami sukses ia tidak mengklaim “kredit” atau pengakuan
hanya untuk dirinya sendiri semata, dan jika mengalami kegagalan
ia tidak menjadi nelangsa dan kehilangan harapan. Sebab, semua itu
tidak seluruhnya manusia sendiri yang menentukan, melainkan ada
juga campur tangan Yang Gaib. Jadi, ia terus melakukan “ikhtiyār”
(Arab, artinya, memilih kemungkinan yang terbaik).
Karena itu, seorang pelaku bisnis tidak bekerja setengah-se­
tengah: Ia selalu berusaha melakukan pekerjaannya dengan ‘itqān
(meneliti seluruh bagian terkaitnya dengat cermat, sehingga peker­jaan
mendekati kesempurnaan). Jangan sampai seperti dikatakan orang
(Inggris), “For the want of a nail the shoe was lost, for the want of a shoe
the horse was lost, for the want of a horse the battle was lost.” Syair Arab

a 4603 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

mengatakan, “Jangan engkau mengabaikan barang kecil dan remeh,


sebab boleh jadi darah tertumpaah karena ujung-ujung jarum.”
Sebagaimana dalam keberhasilan ruhani diperlukan sikap
istiqāmah (teguh secara konsisten), bisnis pun memerlukan
keteguhan dan konsistensi. Kepribadian yang predictable akan
melancarkan pergaulan bisnis, karena melandasi sifat amānah
(dapat dipercaya karena jujur). Sebaliknya, kepribadian yang
temperamental dan sulit diduga perubahannya dari suatu situasi
ke situasi lain akan dengan sendirinya mempersulit tumbuhnya
pergaulan yang produktif.
Karena itulah dari segi spritualnya, seorang pelaku bisnis
sejati menemukan kebahagiaan dalam kerja. Baginya, kerja adalah
“modal” eksistensi dirinya (“aku bekerja, maka aku ada”), sebab ia
yakin bahwa manusia tidak mendapatkan apa-apa kecuali yang ia
kerjakan. Maka, dalam bekerja itu, dalam kegagalan pun ia tetap
merasakan kebahagiaan. Sedangkan jika ia berhasil dengan baik, ia
akan memperoleh “double rewards”, berupa kebahagiaan kerja itu
sendiri dan keberhasilannya memperoleh sukses, sejalan dengan
sabda Nabi saw tentang orang yang melakukan ijtihād (kerja penuh
kesungguhan): jika benar ia dapat pahala ganda, dan jika keliru ia
masih dapat pahala tunggal.
Karena dimensi keagamaan inilah, bisnis berjalan sejajar dengan
kesungguhan dan dedikasi. Ia tidak dapat dilakukan sambil lalu.
Dikaitkan dengan makna dan tujuan hidup, semakin seseorang
bersungguh-sungguh (Arab: juhd, jihād, ijtihād, mujāhadah),
scmakin ia diharap menemukan jalan menuju tujuan hidupnya.
Begitu pula kebalikannya, semakin setengah hati, semakin pula
tujuan tak tercapai. Bisnis yang berpandangan religius seperti ini
bukanlah mengada-ada. Bacalah misalnya buku The Corporate
Mystics (Para Sufi Perusahaan) yang menandaskan bahwa dewasa
ini memang banyak perusahaan dipimpin oleh para Sufi, dalam
arti nilai-nilai keruhanian telah mempengaruhi begitu mendalam
etos kerja para pemimpin perusahaan. [v]

a 4604 b
c Tradisi Islam d

Prestasi, bukan Prestise

Setialp kali memperingati tahun baru, orang umumnya menunggu


tengah malam sebagai pergantian tahun, karena dalam sistem
penanggalan syamsiyah atau penanggalan matahari pergantian itu
memang terjadi tepat pada pukul 24.00. Sementara pergantian hari
dan tanggal dalam sistern kalender Islam ialah maghrib, karena
menggunakan sistern penanggalan qamariyah.
Sistem penanggalan Islam yang kemudian dikenal dengan ka­
lender Hijriah itu dimulai dengan peristiwa hijrah — yaitu peristiwa
berkenaan dengan kepindahan Rasulullah saw dan para sahabat
beliau dari Makkah ke Yatsrib, yang kemudian diubah namanya
oleh Rasulullah menjadi Madinah, lebih lengkap lagi, Madīnat
al-Nabī atau Madīnat al-Rasūl.
Sedangkan yang menetapkan Hijrah itu sendiri sebagai per­
mulaan kalender Islam bukanlah Nabi, melainkan Umar ibn
Kaththab, sahabat Nabi dan juga khalifah kedua yang dikenal
mempunyai banyak reputasi dan pelopor dalam beberapa hal.
Misalnya, dialah yang pertama kali menciptakan kantor di dalam
sistem masyarakat Islam.
Hal lain yang dirintis oleh Umar ialah penetapan Hijrah ini
sebagai permulaan kalender Islam melalui suatu masyawarah. Pada
mulanya dalam musyawarah tersebut muncul bermacam-macam
pendapat dan perdebatan. Salah satunya ialah bahwa tahun Islam
dimulai dengan kelahiran Nabi Muhammad. Usul itu sangat
masuk akal, sebab bukankah sering terjadi dalam tradisi umat
manusia, menghormati orang yang sangat berpengaruh dengan
cara menjadikan hari kelahirannya sebagai permulaan perhintungan

a 4605 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

tahun atau kalender. Itulah yang terjadi dengan tahun Masehi


(tahun Kristen). Dalam bahasa Arab lebih banyak digunakan
istilah Mīlādī, yang artinya tahun kelahiran, yaitu kelahiran Nabi
Isa al-Masih.
Usul agar tahun Islam dimulai dengan kelahiran Nabi
Muhammad ditolak oleh Umar. Singkat cerita di dalam proses
musyawa­rah itu akhirnya disepakati bahwa kalender Islam dimulai
dengan hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Ini mempu­
nyai makna yang sangat besar. Kita mengetahui bahwa Hijrah
itu suatu kegiatan atau aktivitas. Kelahiran bukanlah kegiatan,
melainkan sesuatu yang diterima secara pasif. Lagi pula kalau kita
memperingati sesuatu dan dikaitkan dengan seseorang, dengan
sendirinya mengisyaratkan bahwa di situ ada unsur pemujaan. Kalau
toh bukan pemujaan, setidak-tidaknya ada unsur pengagungan
terhadap orang lain.
Ketika Umar menolak usul perhitungan kalender Islam yang
dimulai dengan kelahiran Nabi Muhammad, argumen beliau adalah
bahwa Muhammad ibn Abdullah itu lahir belum menjadi nabi.
Dia hanya seorang manusia biasa. Beliau menjadi nabi atau rasul
sejak usia empat puluh. Dan pada waktu menjadi rasul pun beliau
tidak sekaligus menciptakan prestasi, melainkan memerlukan waktu
yang cukup lama, suatu proses yang sangat sulit selama tiga belas
tahun di Makkah.
Sulitnya perjuangan beliau itu terekam di dalam al-Qur’an, mi­
sal­nya dalam surat al-Dluhā [93]: 1-11. Surat ini turun di Makkah,
artinya sebelum terjadi Hijrah.

“Demi cahaya pagi yang gemilang. Dan demi malam bila sedang
hening. Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak membencimu.
Dan sungguh, yang kemudian akan lebih baik bagimu daripada yang
sekarang. Dan Tuhanmu kelak memberimu apa yang menyenangkanmu.
Bukankah dia mendapatimu sebagai piatu, lalu Ia melindungi. Dan
Dia mendapatimu tak tahu jalan, lalu Ia memberi bimbingan. dan
Dia mendapatimu dalam kekurangan, lalu Ia memberi kecukupan.

a 4606 b
c Tradisi Islam d

Karenanya, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang kepada anak


yatim. Dan orang yang meminta, janganlah kamu bentak. Dan nikmat
Tuhanmu hendaklah kamu siarkan.”

Banyak tafsir yang mengatakan bahwa yang dijanjikan oleh


Tuhan di dalam surat al-Dluhā itu ada dalam pernyataan, “dan
Tuhanmu kelak memberimu apa yang menyenangkanmu” (walasawf-
a yu‘thī-ka rabbuk-a fatardlā). Tuhan akan memherikan sesuatu
dan pada waktu itu kamu akan bahagia. Itulah kemenangan-
kemenagan yang realisainya terjadi setelah Hijrah. Dan memang
Nabi kemudian wafat pada tahun Hijrah sebagai Nabi yang paling
sukses dalam sejarah umat manusia.
Hampir semua kajian mengenai nabi-nabi masa lalu menga­
takan bahwa di antara nabi yang paling besar adalah Nabi Musa.
Umat Islam mengakui bahwa Nabi Musa adalah salah satu dari
“Ulū al-‘Azm”, artinya mereka yang berkemauan keras. Ada lima
nabi dianggap “Ulū al-‘Azm”, yaitu Nabi Muhammad, Ibrahim,
Musa, Isa, dan Nuh. Dari semua nabi itu yang hersenjata hanya
Muhammad dan Musa. Musa ditugaskan oleh Allah untuk
membebaskan Bani Israil dari penindasan Fir’aun di Mesir dan
membawa mereka ke tanah leluhur mereka (tanah leluhur Ibrahim),
yaitu Kanaan atau Palestina. Musa berhasil membawa Bani Israil
keluar dari Mesir, tetapi tidak berhasil membawa ke Kanaan, karena
ia meninggal ketika Bani Israil tinggal menyeberang Sungai Yordan,
masuk ke Kanaan.
Sekarang bandingkan prestasi Nabi Muhammad dengan pres­
tasi Nabi Musa. Setelah Nabi Musa membawa kaumnya dari Mesir
ke Palestina, Bani Israil harus menunggu ratusan tahun untuk bisa
menguasai sepenuhnya tanah Palestina itu melalui tangan Nabi
Daud. Daud inilah yang merebut Yerusalem, yang kemudian di
atas salah satu bukitnya didirikan Bait Maqdis atau Masjid Aqsha
oleh anaknya, yaitu Nabi Sulaiman, yang mulai dibangun 966 SM,
480 tahun setelah keluar dari Mesir.

a 4607 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Bandingkan dengar Nabi Muhammad. Ketika Nabi wafat,


hampir seluruh Jazirah Arabia telah takluk di bawah Nabi. Apalagi
kalau kita teruskan ke masa para sahabat. Begitu Rasulullah
wafat dan digantikan oleh Abu Bakar, yang terakhir ini bertugas
menyelesaikan penguasaan terhadap seluruh Jazirah Arabia. Dan
ketika Umar menjadi khalifah, dia memperluasnya sehingga
meliputi daerah-daerah yang pada waktu itu dianggap sebagai
daerah pusat peradaban manusia.
Dalam Bahasa Yunani, daerah-daerah pusat peradaban itu
disebut sebagai Oikoumene (daerah yang berperadaban, al-
dā’irah al-ma‘mūrah, yaitu daerah-daerah Syiria, Mesir, dan Persi
(berintikan kawasan Nil-Amudarya) dan kemudian meluas ke
sebelah Barat sampai ke Atlantik, dan ke sebelah Timur sampai ke
Gurun Gobi. Bayangkan saja. Pada waktu itu Persi adalah salah
satu dari super-power dunia, selain Byzantium. Keberhasilan Umar
merebutnya merupakan suatu wujud kesuksesan luar biasa sebagai
kelanjutan dari kesuksesan Nabi.
Oleh karena itu, titik-balik dari perjalanan dan perjuangan
Rasulullah saw itu tidak bisa lain adalah peristiwa Hijrah. Kalau
kemudian Umar menetapkan Hijrah sebagai permulaan perhi­
tungan kalender Islam, bisa ditafsirkan bahwa Umar lebih memen­
tingkan prestasi daripada prestise. Artinya, faktor keturunan tidak
dianggap penting, yang penting adalah apa yang bisa ia lakukan.
Dan itulah yang Islami, sebab agama Islam tidak mengenal per­
timbangan kebaikan berdasarkan keturunan karena Islam bukan
agama feodalisme.
Dalam hal ini Allah berfirman,

“Belumkah diberitakan apa yang ada dalam kitab-kitab Musa? Dan


tentang Ibrahim yang memenuhi janji. Seseorang yang memikul suatu
beban tidak akan memikul beban orang lain. Bahwa yang diperoleh
manusia hanya apa yang diusahakannya. Bahwa usahanya akan
terlihat. Kemudian ia akan diberi balasan pahala yang sempurna,”
(Q 53:36-41).

a 4608 b
c Tradisi Islam d

Dalam jargon sosiologi modern, Islam adalah agama yang


mengajarkan achievement-orientation (orientasi hasil kerja), dan
bukan prestige-orientation (orientasi prestise), seperti anak siapa,
datang dari mana, berbahasa apa, warna kulitnya bagaimana, dan
sebagainya. [v]

a 4609 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

a 4610 b
c Tradisi Islam d

Etos Hijrah

Pelajaran pertama yang bisa dipetik dari keputusan Umar menja­


dikan Hijrah Rasul sebagai permulaan perhitungan kalender Islam
ialah suatu peneguhan bahwa agama Islam lebih mementingkan
prestasi kerja. Penting sekali memahami etos Hijrah ini, justru
karena Hijrah adalah suatu aktivitas dan gerak, sehingga Islam
adalah agama yang sangat menghargai gerak dan dinamika.
Agama ini selalu dilukiskan sebagai jalan. Istilah-istilah seperti
syarī‘ah, tharīqah, manhaj, maslak — yaitu, kata-kata lain dari
agama — semua berarti jalan. Dan salah satu korelasi yang paling
kuat dengan pengertian jalan adalah gerak. Orang yang berada di
jalan harus bergerak. Orang yang berhenti di jalan berarti menyalahi
sifat dasar dari jalan itu sendiri. Oleh karena itu, orang Islam harus
bergerak, harus dinamis; dan itu dinyatakan dalam etos Hijrah.
Rasulullah sangat menghargai orang yang bergerak (tetapi tidak
berarti bahwa Nabi menghargai kehidupan nomaden — kehidupan
yang berpindah-pindah secara terus-menerus. Justru kehidupan
nomaden atau badui itu tidak dihargai oleh Islam).
Tentang etos hijrah, etos gerak dan dinamis ini, ada sebuah
firman Allah swt yang lebih merupakan suatu janji,

“Dan barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah, di bumi ini banyak


tempat clan rezeki yang melimpah,” (Q 4: 100).

Ayat ini menegaskan siapa yang berpindah dengan tujuan sabīl-i


’l-Lāh, dengan tujuan kebenaran menuju kepada Allah swt, dia
akan menemukan kebebasan.

a 4611 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Contoh tentang hal di atas banyak sekali di zaman sekarang.


Imam Khomeini, misalnya, karena ditindas oleh Syah Iran, ia
pindah ke Irak. Di negeri ini dia mendapatkan (sedikit) kebebasan.
Namun, rezim Irak kemudian juga takut, maka di sana ia ditindas
pula, dan kemudian pindah lagi ke Prancis. Di negeri ini Khomeini
memperoleh fasilitas, keluasan, dan kebebasan, termasuk kebebasan
mengajarkan konsep-konsep politiknya. Pidato-pidatonya direkam,
dan rekaman tersebut dikirim ke Iran, yang kemudian menjadi
permulaan dari revolusi Iran.
Pelarian-pelarian politik sekarang banyak yang melarikan diri
ke Barat, karena di sana mereka bebas. Negeri-negeri Barat seperti
Amerika, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, dan lain-lainnya selalu
memberikan fasilitas kepada pelarian politik, meskipun mungkin
mereka tidak setuju dengan ideologinya.
Tetapi perlu dicatat, bahwa itu bukanlah gejala modern. Di zaman
kejayaan Islam dulu, hal semacam itu juga sering ter­jadi. Orang-orang
yang tertindas di negeri-negeri bukan-Islam lari ke negeri Islam. Ketika
orang-orang Kristen yang fanatik mengejar-ngejar orang Yahudi untuk
dipaksa masuk agama Kristen, karena memang ada problem teologis
antara Kekristenan dan Keyahudian, yaitu tuduhan bahwa yang
membunuh Nabi Isa dulu adalah orang Yahudi, maka orang-orang
Yahudi itu lari ke seluruh dunia Islam untuk meminta perlindungan,
termasuk ke Istanbul yang pada waktu itu sudah menjadi ibukota dari
Turki Utsmani. Oleh karena itu, sampai sekarang di Istanbul masih
ada perkampungan Yahudi yang berbahasa Spanyol.
Begitulah, Allah menjanjikan bahwa orang yang pindah demi
kebenaran akan mendapatkan kemudahan yang banyak, rezeki
dan keluasan atau kebebasan, seperti bunyi ayat di atas. Lahirnya
Amerika adalah juga karena adanya orang-orang Eropa yang
mencari kebebasan. Mereka lari karena penindasan yang terjadi di
Eropa pada waktu itu.
Imam Syafi’i, seorang ahli fiqih klasik — yang mazhabnya
diikuti sebagian besar kaum Muslim di Indonesia — pernah me­
nulis syair yang bagus tentang ini,

a 4612 b
c Tradisi Islam d

Pergilah, maka kamu akan men­da­patkan ganti dari yang kamu


tinggalkan,
lihatlah kayu yang wangi itu (kayu cendana), di tempatnya sendiri
hanyalah kayu bakar saja!

Maksudnya, banyak orang yang mungkin tidak berharga kalau


masih berada di tempatnya sendiri, dia akan berharga kalau pindah
ke tempat lain. Banyak orang yang bisa membuat kreativitas dan
karya-karya besar justru setelah mereka pindah. Sebaliknya, jarang
sekali orang yang bisa menjadi besar di tempatnya sendiri, karena
terkungkung oleh masyarakat dan budayanya sendiri.
Jadi, Hijrah memang merupakan suatu cara untuk memperoleh
pelajaran dari Allah dengan memperhatikan masyarakat-masyarakat
yang jauh. Itulah sebabnya mengapa umat Islam dulu sangat dinamis.
Mereka mengembara ke seluruh muka bumi, dan menemukan
ber­bagai hal yang kemudian dirangkum menjadi ramuan untuk
peradaban Islam. Peradaban Islam adalah peradaban yang sangat
kosmopolitan, dalam arti bahwa unsur-unsur peradabannya di­
ambil dari seluruh umat manusia.
Berkaitan dengan Hijrah ini, yang juga patut direnungkan
ialah bahwa sesampainya di Madinah, Rasulullah mengubah nama
kota itu dari Yatsrib (orang Yunani waktu itu mencatatnya sebagai
Yatsrobah) menjadi Madinah. Madīnah berarti kota, akan tetapi
secara etimologis, madīnah bermakna tempat peradaban. Oleh
karena itu, hijrah juga merupakan suatu titik-balik dari proses
perjuangan Nabi yang semula di Makkah lebih banyak dipusatkan
kepada pendidikan pribadi-pribadi, di Madinah mulai diwujudkan
dalam konteks sosial menjadi sebuah peradaban, atau bahasa
Arabnya, madīnah. Dengan demikian, Hijrah juga merupakan
perlambang, bahwa pada akhirnya tujuan sosial dalam beragama
adalah menciptakan kehidupan yang beradab.
Madīnah, dalam bahasa Arab, sama dengan polis dalam bahasa
Yunani. Ketika Kaisar Constantin mcmbuat kota baru untuk
ibukota Romawi, dan ia menemukannya di tepi selat Bosphorus,

a 4613 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

ia pun memberi nama Constantinopolis (Kota Constantin) yang


sekarang menjadi Istambul. Seandainya Rasulullah dulu berbahasa
Yunani, maka Madinah akan memperoleh nama Prophetopolis,
Kota Nabi.
Dari polis inilah kemudian terambil kata-kata politik, sehingga
dari perkataan politik itu sendiri sudah tergambar konsep kehidup­
an teratur sebuah kota. Tidak mengherankan jika yang dilakukan
pertama kali oleh Rasulullah adalah mendirikan sebuah negara.
Negara yang didirikan Nabi itu mula-mula adalah sebuah negara
kota (city state), kemudian diperluas meliputi seluruh Jazirah
Arabia. Wilayah itu kelak bahkan diperluas lagi oleh para sahabat
menjadi suatu imperium dunia, yang jauh lebih luas, dibandingkan
kekaisaran Romawi atau Byzantium dalam zaman keemasannya.
Perkataan lain untuk peradaban dalam bahasa Arab, selain
madanīyah, ialah hadlārah, yang satu akar kata dengan hādlir.
Hadlārah adalah konsep kehidupan menetap di suatu kota untuk
menciptakan kehidupan yang teratur, bukan kehidupan nomad
atau berpindah-pindah.
Hadlārah merupakan lawan dari badāwah, yang artinya
daerah kampung (tetapi bukan kampung seperti di negeri kita,
melainkan kampung di padang pasir, yaitu orang-orang yang pola
kehidupannya berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain;
karena itu padang pasir dalam bahasa Arab juga disebut bādiyah).
Dari kata badāwah itulah diambil perkataan badawī, kemudian
menjadi badui, artinya orang kampung dengan konotasi orang
yang tidak begitu terpelajar.
Pandangan mengenai peradaban inilah yang menjadikan agama
Islam, dalam tinjauan sosiologis, sering disebut sebagai agama yang
berorientasi urban. Islam adalah agama kota, agama kehidupan yang
teratur. Dan melalui hijrah itulah, Nabi membangun masyarakat
madani, yang berciri cgalitarianisme, pcnghargaan berdasarkan
prestasi bukan prestise, keterbukaan partisipasi seluruh anggota
masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan,
bukan berdasarkan keturunan. [v]

a 4614 b
c Tradisi Islam d

Kebebasan Ruhani

Pembicaraan tentang kebebasan ruhani bersangkutan dengan usaha-


usaha penuh kesungguhan atau mujāhadah manusia melepaskan
diri dari kungkungan jasmani. Sejajar dengan kenyataan diri pribadi
manusia yang tersusun dari kenyataan jasmani, nafsani, dan ruhani
(raga, jiwa, dan sukma), mujāhadah itu juga berjenjang sejak dari
inisiasi lahiri sampai ke pengalaman batini. Tetapi pembicaraan
tentang yang ruhani atau batini adalah pembicaraan tentang
kenyataan tinggi (kasunyatan adiluhung atau high reality), sehingga
memerlukan metaforika atau “masal” (al-matsal). Metaforika
tertinggi hanya dipunyai oleh Allah swt, yang dalam al-Qur’an
disebutkan dalam istilah al-matsal al-a‘lā, sebab Allah adalah
Kenyataan Mahatinggi. Dalam Kitab Suci disebutkan bahwa Allah
memiliki al-matsal al-a‘lā itu di seluruh langit dan di bumi, dan
Dia adalah Mahatinggi dan Mahabijaksana (Q 30:27).
Metaforika digunakan karena berkenaan dengan suatu kenya­
taan tinggi, apalagi dengan Tuhan yang merupakan Kenyataan
Mutlak, bahasa manusia tidak akan mampu menggambarkan dan
menjelaskan. Setiap penjelasan lisan melalui ungkapan kebahasaan
tidak akan dapat menggapai hakikat kenyataan tinggi itu. A. Yusuf
Ali, dalam komentarnya terhadap keterangan Kitab Suci itu, mem­
beri komentar sebagai berikut: “Keagungan Allah dan sifat-sifat
Allah berada di atas semua nama yang pernah kita berikan. Bahasa
manusia tidak cocok untuk menyatakan itu semua. Dalam tingkat
kita yang sekarang, kita hanya dapat membentuk beberapa gagasan
tentang itu dengan jalan perumpamaan dan tamsil. Tapi sekalipun
demikian, paling jauh yang dapat kita pikirkan ialah kekurangan

a 4615 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

kita tentang hakikat yang sebenarnya, sebab Allah lebih tinggi


dan lebih bijaksana daripada segala yang tertinggi dan yang paling
bijaksana yang dapat kita pikirkan”.
Maka demikian pula dengan kebebasan ruhani, hal itu tidak
dapat dibicarakan kecuali dengan membuat ungkapan-ungkapan
perumpamaan, metaforika, dan masal. Ungkapan-ungkapan itu
tidak dapat lain dari ungkapan-ungkapan pinjaman dari kenyataan
lahiri. Ekspresi terbaik bagi ungkapan serupa itu biasanya ada dalam
karya-karya sastra kaum Sufi, seperti misalnya untaian syair-syair
Masnawi (Masnavi-ye Ma’navi — “Kaplet Ruhani”).
Masalah kebebasan ruhani, pembicaraan tidak terbatas hanya
pada kalangan khusus kaum Sufi malalui wacana-wacana esoterik
dan ekslusif. Karena kebebasan ruhani merupakan salah satu hakikat
pokok kebahagiaan abadi, maka setiap orang berkepentingan dengan
masalah ini, dan usaha penjelasannya juga dapat dilakukan oleh
siapa saja, dengan sendirinya terutama oleh mereka yang ahli dari
kalangan para ulama. Berikut ini adalah percobaan membicarakan
masalah itu, dengan bahan dari para ahli yang tidak semuanya
mengaku Sufi, tapi punya perhatian mendalam tentang masalah
kebebasan ruhani itu.
Kebebasan ruhani tidak dapat difapami kecuali dalam konteks
pembebasannya dari kungkungan jasmani. Dalam suatu ungkapan
yang sudah amat baku dan luas dikenal, kebebasan ruhani ialah
pertama-tama dengan mengalahkan hawa nafsu. Istilah “hawa
nafsu” itu sendiri berasal dari kata-kata Arab hawā al-nafs yang
berarti “keinginan diri-sendiri”. Dalam bahasa kontemporer, hawa
nafsu sejajar sekali dengan apa yang dikatakan dalam kata-kata
Inggris vested interest. Penting sekali dimengerti bahwa hawa nafsu
atau vested interest itu dapat sangat membelenggu manusia, seperti
dimaksudkan dalam ungkapan “tyrany of vested interest”.
Kebebasan adalah unugerah Tuhan yang pertama sejak zaman
primordial. Ketika Adam dan Hawa dipersilakan Tuhan untuk
masuk ke dalam surga — suatu metafora kebahagiaan abadi
— Tuhan juga mempersilakan mereka berdua “makan” (merasakan

a 4616 b
c Tradisi Islam d

kebahagiaan) surgawi itu dengan bebas, semau mereka. Tetapi


bersamaan dengan itu juga dipesan untuk tidak mendekati sebuah
pohon terlarang, sebab dengan mendekatinya maka mereka akan
masuk dunia gelap (zulm) yang menghapuskan kebahaginan.
Kebetulan dalam bahasa Arab, perkataan “hawā” itu sendiri
sebagai kata kerja, artinya “jatuh”. Karena itu, perkataan “hawā”
dan “nafs” dalam makna esoteriknya selain berarti “keinginan”
dan “diri-sendiri”, juga berarti “kejatuhan” dan “diri-sendiri”.
Maka menahan hawa nafsu adalah juga menahan diri sendiri dari
keja­tuhan, dengan tetap senantiasa menyadari kehadiran Tuhan.
Mena­han diri dari kejatuhan itu merupakan persyaratan pokok guna
mem­per­oleh kebebasan ruhani yang membawa kebahagiaan abadi,
yang dimasalkan dalam kehidupan surgawi (lihat Q 79:40-41,

“Adapun orang yang senantiasa takut (sadar dan waspada) akan


kedudukan (kehadiran) Tuhannya dan menahan diri dari kejatuhan
(hawā), maka sesungguhnya surga itulah tempat menetapnya”.

Kisah langit dalam Kitab Suci itu dengan jelas menggambarkan


kebahagiaan hakiki Adam dan Hawa sebagai manusia primordial,
dan menggambarkan pula kejatuhannya karena melanggar batas
kebebasan yang dianugerahkan itu dengan kegagalannya menahan
diri. Karena itu kebahagiaan akan terwujud dalam kebebasan
ruhani dari belenggu nafsu jasmani, dan kebahagiaan itu adalah
sesungguhnya wujud hakiki manusia sesuai dcngan “design” Ilahi
yang dikenal dengan fitrah yang membawa kahanifan. Sebuah syair
melukiskan hal ini,

Yā khādim-a ’l-jism-i, kam tasyqā bi-khidmat-ihī?


Fa-anta bi ’l-rūh-i lā bi-l-jism-i insan-u
(Wahai pelayan raga, betapa engkau menderita dengan layananmu
itu!?
Sebab engkau adalah manusia karena sukma, bukan karena raga).

a 4617 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Makna syair itu adalah peringatan tentang kemungkinan


orang menjadi pelayan (khadam) dorongan jasmani, yang
berakibat pembelengguan diri dan perampasan kebebasannya.
Adanya kemungkinan itu juga digambarkan dalam sebuah syair
yang hampir-hampir membentuk sebuah “tongue twister” namun
memiliki makna mendalam yang relevan. Syair itu menyangkut
seorang pecinta bernama Isma’il yang datang mengetuk rumah
kekasihnya yang bernama Asma. Sampai lelah tangan Isma’il
mengetuk pintu namun tidak dibukakan juga, hanya terdengar
teriakan Asma meminta kesabaran, dan yang dirundung kecintaan
yang membara telah kehabisan kesabaran:

Tarad-tu ’l-bāb-a hattā kallamatnī, wa-lammā kallāmatnī kallamanī,


fa-qālat yā Ismā‘īl-u ishabr, fa-qul-tu aya ‘Sma’ila shabrī
(Aku ketuk pintu sampai lenganku lelah, dan setelah lenganku lelah
ia pun bicara padaku. Ia berkata, “hai Ismail, sabarlah!” Dan aku
jawab, “Hai Asma, telah habis sabarkU!”)

Apa yang dilukiskan dalam syair itu sejalan dengan wisdom


po­pular bahwa cinta itu buta dan memperbudak. Sebaliknya,
keben­cian juga membuat orang buta terhadap segi-segi kebaikan
sasaran kebenciannya. Inilah bahaya sikap-sikap berlebihan,
yang kebanyakan orang tidak menyadarinya. Dalam sikap-sikap
berlebihan itulah kita dapat kehilangan kesadaran tujuan yang
adil dan wajar. Beberapa syair “cinta” memberikan ilustrasi tentang
masalah ini:

Wa ‘ayn-u ‘l-ridlā ‘an kull-i ‘ayb-in kalīlat-un,


ka-mā anna ‘ayn-a ‘l-shukht-i tubdī ’l-musāwiy-a
(Mata kecintaan akan tumpul terhadap cacat kekurangan,
seperti mata kebencian akan selalu melihat keburukan)

Cinta yang membelenggu dan memperbudak itu ialah cinta


jasmani, yang karena itu juga berhakikat penurutan kepada hawa

a 4618 b
c Tradisi Islam d

nafsu, sedikit ataupun banyak. Oleh karena itu, kebebasan ruhani


pada khususnya dan kebebasan itu an sich pada umumnya tidak
akan diperoleh kecuali jika orang mampu membebaskan diri dari
dikte dorongan rendah biologisnya. Keadaan serupa itu manuntut
kemampuan meningkatkan diri kepada cinta ilahi. [v]

a 4619 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

a 4620 b
c Tradisi Islam d

Bahaya Kemiskinan

Kita masih jauh dari kemakmuran negara-negara maju! Bahkan di


antara negara-negara Asia Tenggara pun kita masih tergolong yang
termiskin dan terkebelakang. Namun, melihat hasil yang telah
dicapai oleh bangsa kita, terutama perbaikan-perbaikan yang sedang
dijalankan lewat proses reformasi dalam segala bidang yang sedang
dirintis oleh pemerintah di bawah Presiden KH Abdurrahman
Wahid, itu semua melandasi harapan kita bagi masa depan yang
lebih baik, yaitu masa depan Indonesia yang lebih makmur, lebih
terbuka, lebih adil, dan lebih demokratis.
Dari pengalaman yang sejauh ini telah berlangsung, kita
membuktikan kebenaran peringatan Nabi saw bahwa kemiskinan
akan menyeret manusia kepada sikap-sikap mengingkari kebe­
nar­an. Kemiskinan akan membuat manusia terhalang dari
usaha-usaha peningkatan dirinya menuju kepada harkat dan
martabat kemanusiaannya yang lebih tinggi. Kemiskinan dan
kemelaratan membuat seseorang lebih terpusat kepada usaha-usaha
mempertahankan hidup jasmaninya, sehingga kemiskinan dan
kemelaratan membuatnya terhalang dari perhatian kepada tingkat
kehidupan yang lebih mulia, yaitu kehidupan ruhani, kehidupan
untuk memenuhi dorongan naluri manusia guna kembali (inābah)
kepada Tuhan, sebab Tuhanlah Sumber segala kebahagiaan, asal-
muasal segala yang ada. Tuhanlah pangkal keberadaan kita semua.
Dialah tujuan keberadaan kita semua.
Berdasarkan pandangan ini, memberantas kemiskinan dengan
upaya meningkatkan taraf hidup kaum miskin adalah bagian tidak
langsung dari kesertaan membimbing mereka ke arah tingkat hidup

a 4621 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

yang lebih tinggi, lebih fitri, dan lebih mendekat kepada harkat
dan martabat manusia, sejalan dengan desain (rencana) agung
Ilahi. Dengan demikian, mengusahakan dan memperjuangkan
perbaikan hidup lahiri adalah bagian yang tak terpisahkan dari
usaha peningkatan hidup ruhani.
Dan jika benar bahwa kemelaratan dapat menjadi penghalang
dari kemampuan menghayati kehidupan yang lebih tinggi, dan
lebih mampu menerima serta meresapi kebenaran, maka sebaliknya
dapat pula diharapkan bahwa kemakmuran akan memberi kesem­
patan lebih baik untuk meningkatkan seseorang kepada dataran
hidup yang lebih tinggi, yang lebih mendekati rida Ilahi. Dengan
demikian, setiap usaha dan perjuangan meningkatkan taraf hidup
sesama manusia juga berarti usaha dan perjuangan mengantarkan
manusia kepada sesuatu yang lebih bermakna dan lebih memenuhi
rasa tujuan hidup yang mendalam dan hakiki.
Manusia adalah jagad kecil, atau suatu “mikrokosmos”, yang
menjadi cermin dari jagad besar, “makrokosmos”, yang meliputi
seluruh alam semesta. Manusia adalah puncak ciptaan Tuhan,
yang dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah atau wakil-Nya.
Oleh karena itu, setiap perbuatan yang membawa perbaikan
manusia, oleh sesama manusia sendiri, mempunyai nilai kebaikan
dan keluhuran kosmis, menjangkau batas-batas jagad raya,
menyimpan makna kebenaran dan kebaikan universal, suatu nilai
yang berdimensi kesemestaan seluruh alam.
Dan karena manusia itu, dalam analisis terakhir, terdiri atas
individu-individu atau kenyataan-kenyataan perorangan yang tidak
terbagi-bagi, maka masing-masing perorangan itu menjadi “instansi”
pertanggungjawaban terakhir dan mutlak dalam pengadilan
Hadirat Ilahi di akhirat nanti. Masing-masing perorangan itu
pulalah yang akhirnya dituntut untuk menampilkan diri sebagai
makhluk moral yang bertanggung jawab, yang akan memikul segala
amal perbuatannya tanpa kemungkinan mendelegasikannya kepada
pribadi yang lain (Q 6:94; 31:33; 2:48).

a 4622 b
c Tradisi Islam d

Oleh karena itu, nilai seorang pribadi adalah sama dengan nilai
kemanusiaan universal, sebagaimana nilai kemanusiaan universal
adalah sama dengan nilai kosmis seluruh alam semesta. Karena itu
pula agama mengajarkan bahwa barang siapa membunuh seseorang
tanpa dosa, maka pembunuhan itu bagaikan membunuh seluruh
umat manusia, begitu pula mereka yang merusak bumi, dan
barang siapa menolong hidup seorang manusia, maka bagaikan ia
menolong hidup seluruh umat manusia (Q 5:32).
Jadi, harkat dan martabat setiap perorangan, atau pribadi
manusia, harus dipandang dan dinilai sebagai cermin, wakil,
atau representasi harkat seluruh umat manusia. Penghargaan dan
penghor­matan kepada harkat masing-masing manusia secara
pribadi adalah suatu amal kebajikan yang memiliki nilai kemanu­
siaan universal. Demikian pula sebaliknya, pelanggaran dan penib­
dasan kepada harkat dan martabat seorang pribadi adalah tindak
kejahatan kepada kemanusiaan universal, suatu dosa kosmis — dosa
yang amat besar.
Harkat dan martabat pribadi itu, tentu saja, harus dimulai
dengan pemenuhan keperluan hidup primernya, berupa sandang,
pangan, dan papan. Tetapi juga perlu disadari bahwa terpenuhinya
segi kehidupan lahiri tidaklah akan dengan sendirinya berarti
mengantar manusia kepada dataran kehidupan yang lebih tinggi.
Kehidupan material dan kemakmuran hanyalah salah satu prasarana
— meskipun amat penting, jika bukan yang paling penting — bagi
pencapaian kehidupan yang lebih tinggi. Dengan meminjam
ungkapan kaum Sufi, “Hanya orang yang mampu berjalan di tanah
datar yang bakal mampu mendaki bukit.”
Namun justru ibarat orang yang mampu berlari di tanah datar,
tapi belum tentu tertarik untuk mendaki bukit, demikian pula
halnya dengan orang yang telah terpenuhi kehidupan lahiriahnya,
belum tentu ia tertarik untuk meningkatkan dirinya ke dataran peri
kehidupan yang lebih tinggi. Mungkin ia malah merasa puas hanya
dengan berlari-lari dan berputar-putar di tanah datar. Sungguh, justru
yang banyak kita jumpai ialah adanya mereka yang memandang

a 4623 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

pemenuhan kehidupan lahiriah sebagai tujuan akhir, dan menjadi


titik ujung cita-cita hidupnya. Dalam bahasa sehari-hari, orang seperti
itu biasanya disebut materialis atau bersemangat kebendaan.
Oleh karena itulah, agama-agama senantiasa memberi
peringatan, jangan sampai kita terpedaya oleh kehidupan duniawi,
kehidupan rendah, kehidupan material, sehingga kita lupa akan
kehidupan yang lebih bermakna, yang lebih berarti dan lebih
bernilai. Agama memperingatkan bahwa harta kekayaan — juga
anak dan keturunan — adalah “fitnah” atau percobaan dari Tuhan
kepada kita. Janganlah kita biarkan diri kita terbuai, terpukau, dan
terkecoh oleh keberhasilan lahiriah, kemudian kita melupakan,
mengabaikan, dan meninggalkan sesuatu dalam kehidupan ini yang
nilainya lebih tinggi dan lebih agung daripada segi-segi lahiriah dan
jasmaniah (Q 8:28). Oleh karena itu, sebagai “fitnah” atau ujian dari
Tuhan, harta dan keturunan harus diarahkan dan digunakan untuk
memperkuat usaha menuju makna hidup yang lebih hakiki.
Termasuk keberhasilan dalam kehidupan lahiriah itu ialah
keberhasilan dalam memperoleh kekuasaan politik. Kekuasaan politik
bukanlah tujuan akhir perjalanan hidup kita menuju kehahagiaan,
baik pribadi maupun bersama. Kekuasaan politik hanyalah sarana
untuk mempermudah mencapai tujuan itu. Karena itu junjungan
kita Nabi Muhammad saw pun, setelah berhasil membebaskan
Makkah dari kaum musyrik Quraisy, diperintahkan oleh Tuhan
untuk bertasbih memuji-Nya dan memohon ampun kepada-Nya.
Yaitu, untuk meningkatkan diri kepacla dataran nilai kehidupan yang
lebih hakiki, sebagai kelanjutan dari kesuksesan beliau meletakkan
prasarana kehidupan sosial-politik (Q 110:1-3)
Demikianlah, sekarang kita mengerti di mana bahaya dari
kemiskinan. Tetapi kita juga tahu bahwa keberhasilan dalam
kehidupan material bukanlah tujuan akhir. Tujuan kita adalah
dataran kehidupan yang lebih hakiki, yang lebh bermartabat, dan
akhirnya lebih ruhani! [v]

a 4624 b
c Tradisi Islam d

Spiritualitas Bisnis

Bagi banyak orang mungkin membicarakan korelasi nilai keruha­


nian dengan bisnis sering dianggap berlebihan. Walaupun, setiap
nilai keruhanian sudah tentu mempunyai korelasi — khususnya
berbentuk pengaruh penguatan dan peneguhan — dengan semua
bidang kegiatan dalam kehidupan, termasuk bidang bisnis. Karena
itu tulisan ini bertujuan tidak lebih daripada percobaan membuat
hal yang sudah jelas itu menjadi lebih jelas, dengan memilih tema-
tema keruhanian yang diperkirakan paling erat terkait dengan
persoalan bisnis.
Dalam kajian ilmiah modern, khususnya di bidang ilmu-ilmu
sosial yang bersangkutan dengan agama (sosiologi agama), kita
ketahui adanya tesis Max Weber tentang “Etika Protestan” yang
mengatakan bahwa kemajuan ekononii Eropa Barat adalah berkat
ajaran asketisme (zuhud) dalam ajaran Calvin.
Pangkalnya aclalah doktrin bahwa bahagia dan sengsara sudah
ditentuknn Tuhan, dan bahwa kebahagiaan bukanlah karena amal
perbuatan seseorang melainkan karena kemurahan (grace) Tuhan
semata. Tanda adanya kemurahan Tuhan bagi seseorang ialah
kesuksesannya dalam hidup dunia ini.
Kaum Calvinis menerima panggilan Ilahi (call) untuk be­kerja
keras namun tetap berhemat terhadap harta yang berhasil dikum­
pulkan, karena hidup mewah bukanlah tujuan. Ajaran kerja keras dan
asketisme ini, menurut Weber, mengakibatkan terjadinya akumulasi
modal, menuju kapitalisme. Itu semua mendorong rasionalitas yang
dikombinasikan dengan aktivisme, pangkal peradaban modern
sekarang, yang kata Weber unik hanya di Barat.

a 4625 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Kritik terhadap tesis Weber ada pada berbagai tingkat. Yang


terpenting, kritik itu ditujukan kepada klaim terlalu jauh bahwa
unsur-unsur positif bagi kemajuan hanya ada dalam masyarakat
Protestan Eropa Barat. Weber mempelajari berbagai agama
penting dan besar secara tuntas (kecuali tentang Islam yang sangat
minimal), hanya untuk menyimpulkan bahwa semua agama
selain Protestantisme, khususnya Calvinisme, tidak cocok bagi
modernitas.
Tetapi bukti-bukti empirik sekarang dengan jelas menunjukkan
hal yang sebaliknya. Tidak saja masyarakat Kristen non-Protestan,
seperti Prancis dan Italia yang Katolik, terbukti berkembang
menjadi negara yang sangat maju. Bahkan sebuah negara non-
Kristen pun, yaitu Jepang yang Shintois-Budhis, berhasil mencapai
tingkat kemajuan yang dalam bidang-bidang tertentu melebihi
Eropa Barat dan Amerika. Pemimpin rasialisme Nazi Jerman,
Adolf Hitler, mengakui kemajuan Jepang, sekutu Jerman, namun
menilainya sebagai imitasi. Kemajuan Jepang, menurut Hitler,
hanyalah berkat tiruannya kepada peradaban Arya dari Eropa,
sehingga seandainya Eropa dan Amerika runtuh maka, kata Hitler,
dapat dipastikan Jepang akan ikut runtuh.
Pengandaian Hitler masih dapat ditunggu bukti kebenarannya,
namun perkembangan saat ini menunjukkan bahwa sebenarnya
Jepang maju oleh dorongan dinamis pola budaya dan sistem
etikanya sendiri yang berakar dalam agama Tokugawa, sebagaimana
dibahas oleh Robert Bellah. Kemudian kemajuan Jepang sekarang
dengan cepat sedang disusul oleh bangsa-bangsa Asia Timur
lainnya, yang dulu — sebelum krisis yang melanda bangsa-bangsa
Asia — dikenal sebagai NIC’s (Newly Industrializing Countries) dan
juga sering disebut Little Dragons (Naga-naga kecil) karena dasar
kemajuannya dianggap berada dalam etika Konfusianisme (ular
naga adalah binatang mitologi kepercayaan Cina itu). Kemudian


Adolf Hitler, Mein Kampf (New Delhi: A.B.C. Publishing House, 1968),
h. 244.

a 4626 b
c Tradisi Islam d

disusul oleh berbagai kajian tentang masyarakat-masyarakat


lain yang memiliki sistem etika seperti digambarkan Weber dan
membawa kepada kemajuan ekonomi seperti komunitas Jainisme
dan kaum Farsi di India, kaum Bazari di Iran, kaum Ismaili di
Eropa Timur, dan bahkan kaum Santeri di Jawa. (Yaitu oleh Clifford
Geertz, Peddlers and Princes [Chicago: The University of Chicago
Press, 1963]).
Semuanya menyimpulkan bahwa kemajuan modern seperti di
Eropa Barat dapat diwujudkan oleh masyarakat-masyarakat lain di
seluruh dunia, berdasarkan pandangan-pandangan etis yang ada
dalam agama atau budaya mereka masing-masing.
Sebuah contoh kritik yang prinsipil terhadap tesis Weber
ialah seperti yang dilakukan oleh Marshall Hodgson, seorang
sarjana besar kajian budaya Islam dari Universitas Chicago. Dalam
bukunya, The Venture of Islam, ia menjelaskan salah satu tujuan
karyanya itu, yang sekaligus merupakan kritik terhadap Max Weber
berkaitan dengan hubungan nilai-nilai Islam dan bisnis.
Apa yang dikemukakan Hodgson pantas kita renungkan sejalan
dengan kenyataan bahwa Islam menjadi kepercayaan pribadi karena
ia merupakan agama golongan terbesar masyarakat Indonesia
— hal-hal yang diperkirakan paling menopang pengembangan
pola bisnis pasca krisis moneter.
Sebagai negara kawasan Pasifik Barat, Indonesia beruntung
menjadi bagian dari masyarakat dengan laju kemajuan ekonomi
yang diperkirakan akan berkembang di masa-masa mendatang.
Tetapi secara relatif, dibanding dengan tetangga-tetangga dekatnya,
Indonesia adalah yang paling terkebelakang, berlipat ganda lebih
terkebelakang daripada Thailand dan Malaysia, apalagi Singapura.
Karena itu tantangan bangsa Indonesia ialah bagaimana mengejar
ketertinggalannya itu, yang agaknya tidak akan dapat dilakukan
kecuali jika berhasil menggali inner dynamics sistem etika yang ber­
akar dalam pola keyakinan yang dominan. Semata-mata berdasar­
kan kenyataan historis, sosiologis, dan demografis, kaum Muslim
adalah yang paling depan menghadapi tantangan itu.

a 4627 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Berikut ini sebuah percobaan untuk mendapatkan nilai-nilai


etis keagamaan yang dapat mendukung proses tumbuhnya bisnis
dan kesuksesannya.
Dari sudut agama, pangkal kesuksesan dalam semua bidang
kegiatan ialah ihsān. Nilai keruhanian ini melandasi kesungguhan
dan dedikasi, menuju kepada optimalisasi kerja sehingga mengha­
silkan sesuatu yang sebaik-baiknya.
Ini bukanlah anjuran untuk perfeksionisme, melainkan optima­
lisme. Perfeksionisme tidak dianjurkan, karena tingkat kesempur­
naan tidaklah mungkin dicapai manusia. Kesempurnaan adalah
kemutlakan, dan kemutlakan adalah ketunggalan atau keesaan.
Semua itu hanya ada pada Allah, Tuhan Maha Pencipta, Mahaesa
dan Mahakuasa. Ini berbeda dengan optimalisme, yaitu suatu
semangat untuk melakukan kegiatan dengan maksud mencapai
tujuan dan hasil yang sebaik mungkin. Dan ungkapan “sebaik
mungkin” mengacu kepada pengertian keadaan baik yang setinggi-
tingginya, yang dimungkinkan oleh kemampuan manusia. Jadi
batas kemampuan manusia adalah batas tingkat kebaikan yang
diusahakannya itu.
Untuk mencapai nilai optimal, agama memberi petunjuk agar
kita tanamkan dalam diri kita etos ihsān, yang secara harfiah berarti
bekerja sebaik-baiknya. Dalam bidang keruhanian murni, Nabi
saw memberi petunjuk, “ihsān ialah bahwa engkau menyembah
Tuhan seolah-olah engkau melihat Tuhan itu”. (Hadis: Rasulullah
saw ditanya tentang ihsān, lalu beliau jawab),

“Yaitu hendaknya engkau menyembah Allah seolah-olah engkau


melihat-Nya; dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka (ketahuilah)
Dia itu melihat engkau,” (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ibn Majah,
dan Ahmad).

Jadi beribadat dengan ihsān ialah beribadat yang diliputi usaha


mengoptimalkan hasil dan efek ibadat itu, yaitu sedalam-dalamnya
menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup, seolah-olah melihat

a 4628 b
c Tradisi Islam d

Tuhan itu. Sedangkan dalam bidang yang lebih teknis duniawi,


petunjuk Nabi saw ialah, Allah mewajibkan kita berbuat sebaik-
baiknya dalam segala hal, sehingga jika kita harus menyembelih
binatang pun hendaknya kita asah pisau setajam-tajamnya agar
binatang itu tidak menderita. Sebuah hadis yang amat terkenal,

“Sesungguhnya Allah mengharuskan berbuat sebaik-baiknya atas segala


sesuatu. Maka jika membunuh, hendaknya kamu membunuh dengan
sebaik-baiknya, dan jika kamu menyembelih binatang, maka lakukan
dengan sebaik-baiknya dan hendaknya salah seorang dari antara
kamu mengasah tajam pisaunya dan mengusahakan agar binatang
sembelihannya itu tidak menderita,” (HR Muslim, Tirmidzi, Nasa’i,
Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, Darimi).

Ini adalah isyarat agar kita selalu berusaha berbuat baik secara
optimal.
Pada tingkat keruhanian yang lebih tinggi, ihsān adalah suatu
bentuk perbuatan “meniru” pekerti atau akhlak Tuhan. Sebuah
hadis yang populer di kalangan kaum Sufi menyebutkan adanya
sabda Nabi agar kita meniru pekerti Tuhan. Salah satu pekerti
Tuhan yang harus ditiru itu ialah “berbuat sebaik-baiknya” atau
ihsān, sebagaimana difirmankan dalam al-Qur’an,

“Dia yang membuat sebaik-baiknya (ahsana) segala sesuatu yang


diciptakan-Nya,” (Q. 32:7).

Dalam Kitab Suci juga disebutkan bahwa Allah mencipta dengan


itqān (membuat sesuatu teliti dan teratur),

“Itulah ciptaan Allah yang telah membuat segala sesuatu dengan teliti
dan teratur (atqana),” (Q 27:88). [v]

a 4629 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

a 4630 b
c Tradisi Islam d

Masih Spiritualitas Bisnis

Dalam uraian mengenai spiritualitas bisnis pekan lalu, kita me­


nya­dari bahwa adanya kombinasi antara ihsān dan itqān dalam
pola kerja dan kegiatan akan menghasilkan kesungguhan atau
mujāhadah. Allah menjanjikan kepada siapa saja yang bersungguh-
sungguh bahwa Dia akan menunjukkannya jalan kepada-Nya,
yakni, mencapai nilai yang setinggi-tingginya. Dan nilai tertinggi
yang bakal diperoleh seseorang dengan menempuh jalan Allah ialah
takwa, yaitu kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam segenap aspek
kehidupan, sebagaimana dihasilkan oleh ihsān dalam beribadat.
Ketakwaan sebagai hasil dari ihsān ini, dari segi keruhanian ini
jelas akan mempunyai dampak besar dalam (misalnya) perilaku
ekonomi, seperti kita sudah lihat dalam etos bisnis seperti diteliti
tradisi Weberian.
Dengan takwa ini, seseorang menjadi penuh energi, memiliki
keteguhan kepribadian atau berkarakter kuat, tidak gampang putus
asa atau tergoda dan senatiasa penuh harapan kepada Allah. Dengan
takwa itu pula seseorang akan terbimbing ke arah perilaku yang
benar dan baik, karena ia yakin hahwa Allah senantiasa mengetahui,
mengawasi dan memperhitungkan segala amal perbuatannya,
sementara Allah tidak akan berkenan (tidak rida) kepada hal-hal
yang palsu dan jahat. Adanya harapan kepada Allah membuat
seseorang berjiwa teguh, dan adanya bimbingan ke arah akhlak
mulia menjadikannya kuat berpegang kepada amanat. Kedua
kualitas itu mempertinggi kemampuan mencari dan menemukan
jalan keluar dari kesulitan, suatu asas yang amat penting bagi
kesuksesan di segala bidang.

a 4631 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Kualitas-kualitas tersebut merupakan wujud nyata “uluran


tangan Allah” (the hand of God). Sebab secara ajaran keagamaan,
“uluran tangan” itu memang dijanjikan Allah kepada orang yang
bertakwa dan dengan teguh mengandalkan diri atau tawakal
kepada-Nya:

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah maka Dia ciptakan baginya jalan


keluar (dari kesulitan), dan Dia anugerahkan kepadanya rezeki secara
tidak terduga; barangsiapa bertawakal kepada Allah maka cukuplah
Dia (Allah) bagi orang itu,” (Q 65:2-3).

Juga dijanjikan:

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah maka Dia akan ciptakan baginya


kemudahan dalam segala urusannya,” (Q 65:4).

Sehingga, dari semuanya itu kita dapat memahami mengapa al-


Qur’an disebut sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,
dan mengapa mereka yang bertakwa itu dijanjikan sebagai
orang-orang yang bakal mendapatkan falāh, yaitu kebahagiaan,
keberuntungan, dan kesuksesan.
Kalau pekan lalu kita melihat nilai asasi dari ihsān, maka
sebenarnya nilai asasi ihsān juga merupakan pangkal-tolak bagi
berbagai nilai budi luhur yang langsung atau tidak langsung
diajarkan agama, dan akan berdampak positif kepada kepemimpinan
dan kewirausahaan. Karena dari sudut pertimbangan keimanan
atau keruhanian semua tindakan manusia, termasuk tindakan
memimpin dan berwirausaha, tidak lain adalah sarana untuk
meraih nilai yang lebih tinggi, yaitu nilai keruhanian itu sendiri,
maka budi luhur tidak boleh diperlakukan hanya sebagai alat atau
piranti untuk mencapai kesuksesan lahiri. Pada dirinya sendiri,
budi luhur bernilai sebagai tujuan, tidak sekadar bernilai alat atau
piranti. Ketulusan dalam menempuh hidup berbudi luhur hanya
absah jika budi luhur itu tidak dipandang sebagai perantaraan

a 4632 b
c Tradisi Islam d

untuk mencapai suatu tujuan yang nilainya lebih rendah, seperti


kesukesan material semata, melainkan sebagai tujuan yang dalam
dirinya sendiri terkandung sesuatu yang membahagiakan. Kalau
pun harus dipandang sebagai perantaraan, maka budi luhur harus
ditempuh sebagai jalan ke arah tujuan yang lebih tinggi, yaitu
rida atau perkenan Allah. Kesejatian dalam berbudi luhur hanya
terwujud dengan cara pandang seperti itu.
Walaupun begitu tidaklah berarti bahwa kita harus menafikan
efek positif nilai-nilai budi luhur bagi kegiatan sehari-hari. Di atas
telah kita bicarakan ihsān dan takwa — dua dari nilai-nilai tertinggi
dalam amalan hidup keberagamaan — yang membawa dampak
positif kepada kehidupan nyata.
Sebanding dengan itu setiap nilai budi luhur berdasarkan ihsān
dan takwa akan juga membawa dampak yang baik bagi kehidupan
sehari-hari. Kebanyakan nilai budi luhur tidak bersifat cepat
menghasilkan (quick yielding), tetapi jika kita menepatinya dengan
penuh konsistensi maka efek positifnya dalam kehidupan sehari-
hari sangat besar. Dalam ungkapan pendek, jika kita mengejar
akhirat maka dunia akan kita dapat, namun tidak pernah dan tidak
akan terjadi sebaliknya.
Untuk dapat menempuh hidup berbudi luhur, kita perlu
kepada adanya ikatan batin yang tulus kepada nilai-nilai budi
luhur itu. Lebih lanjut, ikatan batin yang tulus itu perlu kepada
keterlibatan nyata diri kita dalam pengamalan segi-segi praktis
budi luhur itu.
Berikut ini kita akan coba membahas beberapa saja nilai-nilai
budi luhur yang diperkirakan langsung berdampak positif kepada
kepemimpinan dan kewirausahaan:
Hemat. “Janganlah kamu menyia-nyiakan (harta). Mereka
yang menyia-nyiakan harta adalah saudara-saudara setan....”,
begitu diajarkan dalam Kitab Suci (Q 17:26-27). Maka kita harus
hemat dengan harta, dan tidak menggunakannya kecuali untuk
sesuatu yang benar-benar bermanfaat, baik untuk diri sendiri
maupun untuk orang lain. Sikap berhemat akan mempertinggi

a 4633 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

kemampuan kita untuk mencukupi diri sendiri dan menjadi


independen, tidak tergantung kepada orang lain. Keadaan mandiri
adalah unsur penting sekali bagi pengukuhan kehormatan diri,
juga untuk menopang keikhlasan dalam beribadat kepada Tuhan.
Tentang kemandirian pribadi itu, sebuah kitab mengutip beberapa
sabda Nabi saw, “Sebaik-baik dukungan takwa kepada Allah ialah
harta,” “Kemiskinan bagi para Sahabatku adalah kebahagiaan, dan
kekayaan bagi seorang beriman di akhir zaman adalah kebahagiaan,”
dan “Kehormatan orang beriman ialah kemandiriannya dari
orang lain.” (Hadis-hadis ini dikutip oleh Kiai Shalih Umar dari
Pesantren Darat, Semarang, dalam kitabnya Tarjuman Sabīl al-
‘Abīd ‘alā Jawharat al-Tawhīd). Sudah tentu harta kekayaan yang
dimaksudkan ialah yang digunakan secara benar, bukan untuk
hidup mewah dan berlebihan.
Keadilan dan Kejujuran. Keadilan dan kejujuran adalah nilai
keagamaan yang paling mendekati takwa:

“Jangan sekali-kali kebencian suatu golongan membuat kamu tidak adil!


Berbuatlah adil, itulah yang paling dekat kepada takwa,” (Q 5:8).

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu semua orang-orang


yang tegak-lurus dengan kejujuran, sebagai saksi-saksi untuk Allah,
sekalipun mengenai dirimu sendiri, kedua orangtua, dan sanak-
keluarga...,” (Q 4:135).

Salah satu makna keadilan ialah meletakkan sesuatu pada ternpatnya,


seperti yang dimaksudkan ungkapan Jawa “papan empan”. Maka
wujud perlakuan adil meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang­
tua dan sanak keluarga seperti termuat dalam firman itu ialah, meng­
hindarkan diri dari perbuatan yang melibatkan pertentangan kepen­
tingan (conflict of interest), dengan mengutamakan kepentingan yang
merupakan amanat umum melalui jabatan dalam pemerintahan,
misalnya, dan mengesampingkan kepentingan diri sendiri, kedua
orangtua dan sanak keluarga tersebut.

a 4634 b
c Tradisi Islam d

Kita mengetahui bahwa nilai ini mutlak diperlukan dalam


sistem kehidupan sosial, ekonomi, dan politik modern, yang adil,
terbuka, dan demokratis. Keadilan adalah amanat rakyat, yang
diperingatkan oleh Allah untuk ditunaikan kepada yang berhak,
yaitu rakyat, dalam sebuah firman,

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu sekalian untuk menunaikan


amanat-amanat kepada yang berhak, dan jika kamu menjalankan
pemerintahan antara manusia, maka jalankanlah pemerintahan itu
dengan adil. Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik yang memberi
peringatan kepada kamu tentang hal itu (keadilan). Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat,” (Q 4:58).

Akhirnya, Kerja Keras. Sepanjang ajaran Islam, kerja adalah


hakikat keberadaan manusia. Jika ada ungkapan filsafat modern,
“aku berpikir maka aku ada”, semangat al-Qur’an mengajarkan,
“aku bekerja maka aku ada”. Karena itu manusia diperintahkan,

“Bekerjalah kamu semua, maka Allah, rasul-Nya, dan masyarakat


beriman akan menyaksikan pekerjaanmu itu,” (Q 9:105).

Juga ditegaskan bahwa,

“Manusia tidak akan memperoleh suatu apa pun kecuali yang ia


usahakan,” (Q 53:39).

Dalam bekerja itu kita hendaknya tidak segan menghadapi


kesulitan, sebab setiap kesulitan tentu akan membawa kemudahan.
Juga setiap kesempatan atau waktu luang hendaknya digunakan
untuk bekerja keras dan tetap berusaha mendekatkan diri kepada
Tuhan, antara lain melalui kewaspadaan akhlak dan moral (Q
94:8). Waktu luang tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa guna, sebab
pengangguran adalah bencana kerusakan. [v]

a 4635 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

a 4636 b
c Tradisi Islam d

Kepribadian Muslim

Ibn Qayyim al-Jawziyah mengemukakan tentang adanya tiga ting­


kat golongan manusia, yaitu budak murni, budak yang mempe­
rjuangkan kemerdekaannya, dan orang yang merdeka murni.
Budak murni adalah orang yang dikuasai oleh jasmani atau
raganya, yang diperhamba oleh nafsu dan syahwatnya, serta kecen­
derungan rendahnya. Sementara budak yang memperjuangkan
kemerdekaan atau kebebasannya ialah yang berjuang untuk
membebaskan dirinya dengan berbagai cara yang diberikan oleh
tuannya (pemilik budak itu). Sedang orang merdeka murni adalah
mereka yang berhasil mengalahkan syahwat, nafsu, dan kecen­
derungan rendahnya itu, sehingga semuanya tunduk kepada orang
itu, patuh, dan berada di bawah kekuasaan dan perintah dirinya,
dan ini dapat dicapai hanya dengan takwa kepada Tuhan.
Pembagian Ibn Qayyim itu sejajar dengan konsep tentang
tiga jenjang perjuangan pribadi menuju kesempurnaan. Jenjang
pertama pada kejatuhan diri seperti yang dialami Adam dan Hawa
karena kalah oleh nafsu yang mendorong (“nafsu amarah”) kepada
kejahatan (al-nafs al-ammārah bi al-sū’). Perjuangan itu meningkat
ke jenjang kedua, yaitu jenjang kesadaran disertai penuh penyesalan
akan kejahatan diri, menggapai tingkat “nafsu lawamah” (al-
nafs al-lawwāmah), yang merupakan jenjang kedua. Selanjutnya
perjuangan itu meningkat kepada jenjang ketiga, ketika seseorang
mencapai tingkat kebebasan ruhani yang membawa kepada kebaha­
giaan surgawi seperti awal pertama Adam dan Hawa masuk surga.
Inilah jenjang “nafsu mutma’inah” (al-nafs al-muthma’innah),
yang dalam al-Qur’an disebutkan akan didapatkan seseorang yang

a 4637 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

mampu menunjukkan sikap rela-serela-relanya kepada Tuhan,


sehingga orang itu pun direlai dan direlakan oleh-Nya.
Inilah sebetulnya makna “islām”, yaitu sikap orang yang pasrah
diri kepada Tuhan (aslam-a wajh-ahu li ’l-Lāh), yang kemudian
dimanifestasikan dalam perbuatan baik kepada sesama manusia, yaitu
ihsān (wa-huwa muhsin-un — homo sacra res homini — manusia suci
berbuat suci kepada manusia). Maka tanpa “islām” dan “ihsān” itu
dalam makna asasinya itu kebebasan ruhani tidak akan tercapai.
Jenjang terakhir ini dilukiskan dalam sebuah syair, yang seka­
li­pun dapat diibaratkan pisau bermata dua, namun tetap menun­
jukkan makna kemestian manusia melakukan islām seperti dimak­
sud, yaitu sikap pasrah sempurna kepada Tuhan. Disebut pisau
bermata dua, sebab jika salah mengerti, sikap pasrah total itu dapat
mengecoh menjadi fatalisme atau sikap “nerimo” (istilah Jawa) yang
justru tidak dibenarkan agama. Syair itu demikian:

Mā li al-‘ibād-i ‘alay-hi haqq-un wājib-un, kallā, wa lā sa‘y-un


laday-hi da’i’-u. In ‘udzdziba fa-bi-‘adli-hi, au nu‘ima, fa-bi-fadlli-hi
wa-huwa ’l-karīm-u ’l-wasī‘-u
(Pada hamba [manusia] tidak ada hak wajib atas Dia, sama sekali!
Dan tidak pula suatu usaha sia-sia di sisi-Nya. Jika mereka diazab
maka karena keadilan-Nya, dan jika dianugerahi kebahagiaan maka
karena kemurahan-Nya, dan Dia adalah Maha Pemurah dan Maha
Lapang).

Dengan sendirinya menempuh ketiga jenjang itu merupakan


perjuangan pembebasan ruhani yang tidaklah mudah. Seperti
semua kejayaan yang selalu menuntut pengorbanan, jenjang-
jenjang itu diperoleh melalui kesungguhan usaha dan konsistensi
atau istiqāmah menempuh jalan (maslak), yang diungkapkan dalam
kata-kata jihād, ijtihād, dan mujāhadah. Sekalipun nilai ultimate
ketiga jenjang juhd itu hakikatnya sama, namun kata-kata jihād,
ijtihād, dan mujāhadah itu menunjukkan hakikat tingkat-tingkat
perjuangan sulit manusia, sejak dari tingkat jasmani, terus ke

a 4638 b
c Tradisi Islam d

nafsani dan berakhir ke jenjang ruhani (raga, jiwa, dan sukma).


Ini pula yang dinyatakan dalam istilah-istilah kesufian tentang
jenjang-jenjang “nafsu amarah” ke “nafsu lawamah” dan berakhir
padu “nafsu mutma’inah” yang jika disusun dan dikembangkan
dapat menjadi suatu nalar mengenai psikologi kepribadian manusia,
yang memang telah banyak dikembangkan oleh para Sufi.
Berkaitan dengan kepribadian muslim itu, ada ayat dalam
al-Qur’an yang menarik kita renungkan: yaitu al-Qur’an surat al-
Furqān/25:63-74, yang merrggambarkan bagaimana kepribadian
muslim itu yang merupakan buah dari kebebasan ruhani. Pertama-
tama disebutkan dalam ayat itu bahwa hamba-hamba Tuhan
Yang Maha Pengasih (‘ibād al-Rahmān) itu ialah mereka yang jika
berjalan di atas bumi, berjalan dengan rendah hati. Dan jika diajak
berbicara oleh orang-orang yang bodoh, mereka menjawab atau
mengucapkan “salām!” (damai).
Mereka itu rajin beribadat kepada Allah. Mereka menyadari
bahwa dirinya selalu terancam oleh kesengsaraan, maka dengan
tulus memohon kepada Allah untuk dihindarkan daripadanya.
Dalam menggunakan harta, mereka itu tidak bersikap boros, juga
tidak kikir, melainkan pertengahan antara keduanya.
Mereka tulus dalam beribadat kepada Allah semata (tidak
melakukan syirik, yang dapat memecah tujuan hidup hakikinya),
dan menghormati hak hidup orang lain yang memang dilindungi
oleh Allah itu, dan senantiasa menjaga kehormatan dirinya. Mereka
tidak membuat kesaksian palsu, dan jika bertemu dengan hal-hal
yang tidak berguna, mereka menghindar dengan harga diri.
Kemudian, jika diingatkan akan ajaran-ajaran Tuhan, mereka
tidak bersikap masa bodoh, seolah-olah tuli dan buta. Mereka juga
mempunyai tanggung jawab keluarga yang tinggi (mencintai teman
hidupnya, yaitu suami atau istri, serta anak-keturunannya). Mereka
mempunyai rasa tanggung jawab sosial, dengan keinginan kuat,
yang dinyatakan dalam doa kepada Allah, untuk dapat melakukan
sesuatu yang bersifat kepemimpinan, yakni sikap hidup dengan
memperhatikan kepentingan orang banyak.

a 4639 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Kalau kita renungkan lebih mendalam, maka penuturan dalam


Kitab Suci itu bersangkutan dengan rasa kemanusiaan yang amat
tinggi dari kaum beriman. Karena rasa kemanusiaan itu mereka
tidak sombong, sedemikian rupa bahkan ketika harus berurusan
dengan orang “bodoh” pun tidak kehilangan kesabaran, tetapi malah
mengharapkan kebaikan atau kedamaian atau kesentosaan (salām)
untuknya. Seolah-olah dia mengatakan, “Ya, barangkali kita memang
tidak bisa bertemu pendapat sekarang. Akan tetapi semogalah kita
tetap damai, aman, dan sentosa dalam pergaulan kita.”
Tidak secara berlebihan ataupun berkekurangan dalam menggu­
nakan hartanya adalah jenis rasa kemanusiaan dan tanggung jawab
sosial yang tinggi. Sebab jika berlebihan, seperti yang terjadi pada
gaya hidup konsumerisme dan “demonstration effect”, hal itu akan
mengundang masalah sosial. Akan tetapi begitu pula sebaliknya, kalau
orang hanya menumpuk kekayaan tanpa mau menggunakannya:
kelancaran ekonomi masyarakat akan terganggu.
Rasa kemanusiaan itu juga dicerminkan dalam sikap menghor­
mati hak hidup orang lain serta dalam menjaga kehormatan diri
sendiri. Kesaksian palsu adalah tindakan yang amat tak bertanggung
jawab, karena akan mencelakakan orang lain, maka tidak akan
dilakukannya. Bahkan jika harus berurusan dengan hal-hal yang
muspra, seperti “gosip” omong-kosong lainnya, ia akan menolak
untuk terlibat, karena ia hendak menjaga harga dirinya. Rasa
kemanusiaannya yang tinggi itu juga membuatnya bersikap serius
dalam keinginan belajar dan menemukan kebenaran. Dan juga
menunjukkan “genuine concern” terhadap kebahagiaan keluarganya,
begitu pula masyarakatnya. Itulah kepribadian muslim yang
digambarkan al-Qur’an, sebagai buah dari kebebasan ruhani.

“Mereka itulah yang akan dibalas dengan martabat yang tinggi (di surga)
atas kesabaran dan ketabahan mereka; di sana mereka akan disambut
dengan salam dan kedamaian. Tinggal selamanya di dalamnya, tempat
tinggal dan tempat istirahat yang indah,” (Q 25: 75-76). [v]

a 4640 b
c Tradisi Islam d

Dari Etos Jamaah


kepada Keadilan

Ada indikasi bahwa istilah Ahli Sunnah wal Jamaah (Ahl al-Sunnah
wa al-Jamā‘ah) merupakan parafrase dari istilah al-Sunnah al-
Jamā‘ah sebagaimana dimaksudkan oleh Abu Musa al-Asy’ari.
Sekurangnya istilah-istilah itu menunjukkan adanya ilham yang
sama, yaitu kerinduan kepada persatuan menyeluruh dan usaha
mengakhiri berbagai pertikaian antara sesama anggota umat. Etos
jamaah sebagai ideologi merupakan gejala yang semakin menguat
pada saat itu.
Perjanjian Madinah yang ada dalam pikiran Abu Musa itu
hanya­lah salah satu dari sekian banyak dokumen kenabian (maksud­
nya, yang dibuat oleh Nabi sendiri atau di bawah bimbingan
beliau). Karena kedudukannya sebagai contoh nyata sunnah Nabi,
kumpulan dan pembukuan naskah-naskah dokumen itu menjadi
genre paling awal dari literatur hadis. Sudah tentu al-Qur’an
adalah literatur utama dan pertama dalam Islam, sejak dari zaman
Nabi dan seterusnya. Tetapi, berbeda dari yang biasa kita pahami
sekarang, literatur kedua setelah al-Qur’an itu pada masa-masa
pertama sejarah Islam bukanlah kumpulan hadis seperti yang
kini kita kenal — yang baru terwujud pada abad ketiga Hijriah
— melainkan koleksi naskah dokumen-dokumen kenabian.
Dokumen-dokumen itu dipandang mencerminkan Sunnah atau
keteladan Nabi, khususnya dalam masalah kemasyarakatan.
Di samping dokumen-dokumen tertulis Nabi seperti naskah-
naskah perjanjian itu, juga amat penting kumpulan pidato-pidato
(salah satu kumpulan itu ialah kitab Khutbat al-Rasūl [Pidato-

a 4641 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

pidato Rasul], hasil kompilasi Muhammad al-Khatib, Cairo: Dar


al-Fadlilah, 1373 H). Misalnya, jelas sekali bahwa pidato beliau
yang amat terkenal, “Pidato Perpisahan” (Khuthbat al-Wadā‘),
merupakan salah satu rujukan utama kaum Muslim dalam mencari
contoh dan pedoman dari Nabi saw dalam menghadapi masalah-
masalah sosial.
Setelah dokumen dan pidato, yang juga termasuk paling dini
dalam literatur Islam ialah catatan biografi (sīrah) Nabi, sebagaimana
dirintis oleh Ibn Ishaq (w. +150 H/767 M) dan diteruskan oleh Ibn
Hisyam (w. 218 H/833 M atau 213 M/828 M). Dengan demikian,
pengumpulaan dokumen, pidato, dan biografi Nabi itu merupakan
usaha pertarna umat Islam dalam mengonsolidasi sumber-sumber
ajaran Islam. Dari kumpulan dokumen-dokumen tertulis, pidato-
pidato, dan sīrah itulah umat Islam paling dini memahami Sunnah
atau keteladanan Nabi, setelah beliau wafat. Semangat dan cakupan
Sunnah itu bersifat menyeluruh, dan memberi gambaran tentang
dasar-dasar etik dan moral Nabi dalam menghadapi masalah-
masalah kemasyarakatan.
Kalau Abu Musa al-Asy’ari — sebagai orang pertama yang
berpidato di depan umum tentang pentingnya ajaran jamaah
— adalah seorang pendukung Ali, maka mungkin dapat dipandang
sebagai ironi bahwa yang sekarang dinamai kaum Sunnah dan
Jama’ah adalah “lawan” atau “kebalikan” dari kaum Syi’ah,
kelanjutan kelompok Ali. Ini dapat diterangkan dengan cukup
mudah, dan semua itu mempunyai logika sendiri sesuai dengan
konteks sejarah masing-masing. Ketika Ali tidak melakukan apa-apa
untuk mengusut pembunuhan Utsman, ia sebenarnya sudah mulai
dituduh melanggar prinsip al-sunnah al-jamā‘ah yang diteladankan
Nabi.
Akan tetapi, mungkin persoalannya memang tidak sederhana.
Untuk banyak orang, Ali yang terkenal jujur dan saleh pasti tidaklah
lalai dari kewajiban menegakkan keadilan. Hanya saja persoalan
politik masih belum mengizinkan, dan agaknya ia berusaha
menyelesaikan krisis itu dengan arbitrase, dengan mengikuti

a 4642 b
c Tradisi Islam d

prinsip al-sunnah al-jamā‘ah. Itulah yang ia perintahkan atau


pesankan melalui wakilnya, Abu Musa. Namun Mu’awiyah dalam
arbitrase itu, melalui wakilnya, merobek-robek prinsip al-sunnah
al-jamā‘ah, akibatnya Ali, terutama “bekas” para pengikutnya
yang terkecewakan oleh arbitrase itu, yakni kaum Khawarij, lebih
menekankan prinsip keadilan.
Bagi mereka ini, dasar pandangannya bukanlah semangat yang
terkandung dalam ungkapan al-sunnah al-jamā‘ah, melainkan
dalam ungkapan al-sunnah al-‘adillah (teladan yang adil dari Nabi
saw). Kedua ungkapan itu digunakan oleh Abu Musa dalam pidato
arbitrasenya. Terjadilah pergeseran dari tekanan kepada persatuan
(jamā‘ah) kepada keadilan (‘adālah). Maka, keadilan menjadi etos
utama para pewaris kelompok Ali, baik yang tetap setia (kaum
Syi’ah) maupun yang kemudian membelot (kaum Khawarij).
Sedangkan etos jamā‘ah, yaitu semangat persatuan dan ketertiban
dengan tekanan kepada status quo, merupakan etos lawan-lawan
Ali.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Sunnah pada saat mulanya
merupakan gambaran tentang keteladanan (uswah) Nabi saw
secara keseluruhan. Oleh karena itu, perhatian kepada unsur-unsur
keteladanan Nabi yang lebih mendetail, seperti yang menyangkut
masalah-masalah peribadatan, belum muncul secara kuat. Perhatian
kepada masalah-masalah peribadatan tentu saja ada, tetapi terbatas
kepada usaha-usaha pribadi. Mungkin genre literatur hadis ini
yang merupakan hakikat utama usaha-usaha pribadi pengumpulan
hadis yang paling dini (dikenal sebagai shuhuf, jamak dari
shahīfah). Sayang sekali bahwa shuhuf ini hilang, meskipun naskah
sekundernya ada yang masih tersisa, seperti, misalnya, Shahīfah
Hammam ibn Munabbih (w. 110 H/719 M), seorang pengikut dan
murid Abu Hurairah (w. 58 11/677 M) yang berasal dari Yaman.
Dari pembimbingnya itu Hammam mencatat sebanyak 138 hadis,
dan dipercayai sebagai catatan hadis yang paling mula-mula.
Gerakan shuhuf merupakan awal dari sederetan gerakan yang
mendorong pergeseran dari pandangan kepada Sunnah sebagai

a 4643 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

keteladanan Nabi yang lebih menyeluruh ke pandangan kepada


hadis yang lebih detail dan ad hoc. Dan seiring dengan pergeseran
itu ialah pergeseran pandangan sebagian besar umat Islam dari
masalah-masalah prinsipil dan menyeluruh dalam ajaran Islam ke
masalah-masalah yang lebih rinci dan khusus, yang kelak menjadi
ciri pandangan keagamaan fiqih. Berkaitan dengan ini orang dapat
mempertanyakan, mengapa umat Islam begitu akrab dengan
hadis-hadis tentang peribadatan misalnya, dan melupakan berbagai
dokumen perjanjian tertulis Nabi serta berbagai pidato beliau
dan kitab-kitab biografi (sīrah) yang mencerminkan keteladanan,
Sunnah atau uswah beliau yang bersifat lebih menyeluruh.
Jadi, di antara yang memulai usaha menarik perhatian masya­
rakat kepada Sunnah Nabi (dalam artian al-sunnah al-jamā‘ah,
keteladanan mempersatukan) di atas adalah Khalifah Ali (lewat
utusannya, Abu Musa al-Asy’ari). Namun, setelah terjadi pergeseran
perhatian kelompok Ali dari etos persatuan ke etos keadilan, maka
yang berikutnya yang lebih besar memperhatikan etos persatuan
atau jamaah adalah justru lawan-lawan Ali dari kalangan Bani
Umayyah atau kelompok Umawi. Ini mungkin dapat dimengerti,
mengingat bahwa kelompok Umawi akhirnya secara politik
menjadi “pemenang”, dan menikmati kedudukan sebagai penguasa
dunia Islam yang berkembang sangat pesat. Ekspedisi-ekspedisi
pembebasan yang selama empat tahun kekhalifahan Ali tertunda,
diteruskan oleh Mu’awiyah dengan kegairahan yang tidak kalah
tingginya dari masa-masa sebelumnya, khususnya masa Umar. [v]

a 4644 b
c Tradisi Islam d

Gerakan Jamaah dan Sunnah

Setelah al-Qur’an, hadis mempunyai peran yang sangat penting


dalam sejarah perkembangan Islam, khususnya di bidang pemi­
kiran. Hampir seluruh umat Islam sekarang ini memandang bahwa
sumber untuk memahami ajaran Islam ialah al-Qur’an dan hadis.
Pandangan ini menguat dengan sangat jelas oleh adanya gerakan-
gerakan pemurnian atau pembaruan. Para tokoh pemurnian dan
pembaruan itu umumnya memulai gerakannya dengan seruan
kembali kepada al-Qur’an dan hadis, atau kepada Kitab dan
Sunnah. Di balik seruan itu terdapat pengertian bahwa pemahaman
dan pengalaman Islam oleh sebagian (besar) kaum Muslim sekarang
ini sudah tidak murni, dan telah menyimpang dari Kitab dan
Sunnah. Dari sudut pandang itulah kita harus memahami makna
seruan kembali kepada al-Qur’an dan hadis (Sunnah) tersebut.
Kita gunakan istilah “gerakan” dalam judul, karena kegiatan
di sekitar hadis memang merupakan gerakan yang dinamis. Etos
itu menyangkut usaha pengumpulan, penulisan atau pembukuan,
penyaringan dan penggunaan bahan-bahan hadis sebagai sumber
ajaran Islam, khususnya di bidang hukum. Gerakan tersebut
bersifat dinamis, karena terjadi dalam konteks usaha umat Islam
pada awal pertumbuhannya, ketika mengadakan konsolidasi, baik
politik maupun keagamaan. Dan konsolidasi itu dengan sendirinya
mengandung unsur-unsur ketegangan setuju-tidak setuju, sejalan
dengan kekuatun tarik-menarik antara berbagai kelompok
kepentingan yang ada pada saat itu.
Konsolidasi itu mesti terjadi, karena umat Islam pada beberapa
dasawarsa pertama tersebut dilanda perpecahan politik dan perti­

a 4645 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

kaian berdarah. Mula-mula adalah suatu kelompok orang Arab di


Yamamah (Nejed sekarang), yang menolak untuk tunduk kepada
Khalifah di Madinah setelah Nabi saw wafat. Mereka berpendapat
bahwa “islām” (dalam arti tunduk secara lahiriah kepada kekuasaan
Nabi, seperti diisyaratkan oleh sebuah ayat suci tentang sikap
orang-orang Arab tertentu [Q 49:14]) hanya berlaku selama
Nabi masih hidup. Terhadap para pemberontak itu Abu Bakar
melakukan penindakan tegas — sekalipun mula-mula banyak
pembesar Madinah menentangnya, termasuk Umar ibn Khaththab
— dan korban pun banyak berjatuhan. Namun rupanya peristiwa
ini merupakan hikmah, karena perang Yamamah tersebut maka
muncul desakan untuk segera membukukan al-Qur’an, mengingat
demikian banyak para pembaca (qurrā’) dan penghafal (huffāzh)
Kitab Suci yang gugur.
Hanya selama dua tahun Abu Bakar menjalankan tugas sebagai
Khalifah Rasul. Sebelum wafat ia berpesan agar umat mengangkat
Umar sebagai penggantinya, hal mana diterima oleh hampir semua
sahabat. Pemberian wasiat dilakukan oleh Abu Bakar karena ia
khawatir akan terulang lagi pertikaian seperti pada hari-hari setelah
Nabi saw wafat — sehingga jenazah Nabi baru dimakamkan setelah
tiga hari, suatu hal yang menyalahi pesan beliau sendiri agar jenazah
selekasnya dikebumikan.
Selama duabelas tahun Umar memerintah dengan efektif dan
efisien, suatu pola pemerintahan yang menggabungkan antara
pendekatan kekerasan dan kelembutan. Selama kekhalifahan Umar
itulah terjadi ekspedisi-ekspedisi pembebasan (fath) sebagian besar
daerah Timur Tengah yang kini menjadi kawasan Islam dan Arab
(karena kemudian menggunakan bahasa Arab, kecuali Persia atau
Iran). Karena kehebatannya itu, Umar dipandang oleh banyak
kaum Muslim, khususnya kalangan Sunni, sebagai teladan penguasa
yang benar, adil dan jujur, juga kreatif (dia banyak merintis
pendirian lembaga-lembaga keislaman — awwal-u man dawwan-
a al-dawāwīn ­— seperti bayt al-māl, al-kharaj atau pajak tanah,
dan lain-lain). Tidak mengherankan apabila banyak orang, seperti

a 4646 b
c Tradisi Islam d

Michael Hart, memasukkan Umar ke dalam kelompok seratus


tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia.
Keadaan yang sangat baik itu mulai terganggu pada paruh
kedua kekhalifahan Utsman ibn Affan. Tokoh ini dipilih dari
antara enam orang yang ditunjuk oleh Umar untuk melakukan
musyawarah tentang siapa yang akan menggantikannya. Umar
menunjuk “panitia enam” itu dalam pembaringan menjelang wafat,
karena luka-luka oleh seorang Persi yang menyamar dan menaruh
dendam kepada Umar atas kekalahan negerinya. Sama dengan
wasiat yang dilakukan Abu Bakar sebelumnya, tindakan Umar itu
pun dilandasi oleh kekhawatiran kalau-kalau umat Islam berselisih
keras tentang siapa yang akan memimpin mereka.
Utsman menjadi Khalifah selama dua belas tahun. Enam tahun
yang pertama ia menjalankan kebijakan yang cukup baik, dengan
mencontoh dan melanjutkan kebijakan pendahulunya, Umar.
Akan tetapi, enam tahun kedua ia mulai menunjukkan berbagai
kelemahan, dan berakhir dengan fitnah (bencana besar, khususnya
dalam bentuk perang saudara) pertama dalam Islam, yang berakibat
pada diri Ali ibn Abi Thalib, kemenakan dan menantu Nabi,
seorang pahlawan Islam sejak dari muda. Sekarang banyak pihak,
terutama di bawah pimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, menuntut
agar perkara pembunuhan Utsman diusut dan para pelakunya
dihukum secara setimpal dan adil. Namun penyelesaian politik
mengalami jalan buntu, dan masing-masing yang bertikai segera
mengangkat senjata terhadap lainnya. Maka, terjadilah peristiwa
Shiffin yang terkenal, ketika diusahakan tahkīm (arbitrase) antara
pihak Ali (diwakili Abu Musa al-Asy’ari) dan pihak Mu’awiyah
(diwakili oleh Amr ibn al-Ash).
Di samping cerita yang sudah umum diketahui tentang bagai­
mana pihak Ali kalah “secara diplomatik” oleh pihak Mu’awiyah,
ada satu hal penting sekali yang patut kita renungkan di sini, yaitu
ketika Abu Musa al-Asy’ari melakukan tugasnya untuk menengahi
kedua kelompok yang bertikai itu, ia kemukakan perlunya semua
pihak berpegang kepada al-Qur’an dan “kepada sunnah yang adil dan

a 4647 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

meliputi semua, tidak memecah-belah” (al-sunnah al-‘adillah wa al-


jāmi‘ah ghayr al-mufarriqah). Yang amat penting kita perhatikan dalam
ungkapan Abu Musa sebagai wakil Ali ini ialah ide yang terkandung
dalam perkataan “al-sunnah” (teladan dari nabi sebagai preseden
kebijaksanaan) dan “al-jāmi‘ah” (yang bersifat menggabungkan
semua, yakni, mempersatukan), dan di samping “al-‘adillah” (yang
adil) dan “ghayr al-mufarriqah” (tidak memecah-belah).
Yang dimaksudkan dengan Sunnah Nabi yang mempersatukan
dan tidak memecah belah itu ialah Perjanjian Madinah, yang makna
dan semangatnya mempersatukan seluruh kaum Muslim dalam
gabungannya dengan penduduk Madinah lainnya yang bukan-
Muslim, khususnya kaum Yahudi. Dokumen yang terkenal di
kalangan sarjana sebagai Konstitusi Madinah itu antara lain memuat
ketentuan pembagian tugas dan tanggung jawab sccara merata antara
berbagai kelompok, yang meliputi kaum Muhajirin dan Anshar serta
kaum Yahudi dengan masing-masing suku atau komunitasnya.
Istilah-istilah “al-jāmi‘ah” dan “ghayr al-mufarriqah” itu, kalau
kita perhatikan lebih saksama, adalah refleksi dari firman Allah,

“Berpeganglah kamu dengan tali (ajaran) Allah jamī‘-an (yakni,


semuanya, secara bersatu), dan janganlah kamu berpecah-belah (wa-lā
tafarraqū),” (Q 3:103).

Dari situ tampak jelas bahwa bibit paling mula-mula dari semangat
dan pandangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah ialah kerinduan yang
amat mendalam kepada persatuan dengan mengikuti teladan
Nabi saw. Dan itu pada urutannya adalah akibat pengalaman-
pengalaman perpecahan dan pertumpahan darah yang traumatis,
yang kelak juga mucul dalam berbagai paham yang khas “Sunni,”
yaitu tekanan yang berat kepada ketertiban dan keamanan (al-tartīb
wa al-amn). Dalam pandangan ini tidak ada kejahatan yang lebih
besar daripada tindakan memberontak (al-bayhy) dan membuat
kekacauan (al-fawdlā’). [v]

a 4648 b
c Tradisi Islam d

Orientalisme-Oksidentalisme
(Bagian pertama dari dua tulisan)

Pembicaraan tentang orientalisme dan oksidentalisme akan sulit


terhindar dari nuansa polemis. Orientalisme sebagai suatu disiplin
telah muncul di kalangan orang Barat (orang oksidental), sedangkan
oksidentalisme baru muncul hanya belakangan ini saja di kalangan
orang Timur (orang oriental). Almarhum Prof. Harun Nasution
menggagasi kajian budaya Barat di IAIN Jakarta, dan Hassan Hanafi
dari Mesir menulis buku komprehensif tentang kajian Timur.
Secara perkamusan, orientalisme diterangkan sebagai “Scholarly
knowledge of eastern cultures, languages, and people” (Pengetahuan
akademis tentang budaya, bahasa dan bangsa-bangsa Timur).
Sebaliknya, oksidentalisme sebagai disiplin ilmu harus diartikan
tidak lain sebagai “pengetahuan akademik tentang budaya, bahasa
dan bangsa-bangsa Barat”. Karena asumsinya yang mau melakukan
kajian oksidentalisme ialah “orang Timur,” maka dapat diduga
bahwa disiplin itu belum tumbuh dan berkembang dengan
kukuh, dan baru dalam tahapan rintisan, jika bukan hanya sekadar
gagasan.
Keadaan yang belum banyak menjanjikan itu berasal dari
masih lemahnya tradisi keilmuan bangsa-bangsa Timur, nisbi jauh
di belakang bangsa-bangsa Barat. Tetapi dengan contoh rintisan
Hassan Hanafi lewat bukunya Oksidentalisme, kini mulai dirasakan
perlunya penggagasan oksidentalisme secara lebih bersungguh-
sungguh. Jika diperhatikan sedikit lebih mendalam, dorongan
melakukan kajian budaya Barat itu ada dalam dua arah: pertama,
untuk memahami secara kritis budaya Barat itu sendiri, dan kedua,

a 4649 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

untuk membantu menghilangkan situasi saling salah paham antara


Barat dan Timur. Yang terakhir itu penting sekali, mengingat
bahwa situasi saling salah paham itu sudah lama terjadi, lebih-lebih
dengan adanya “orientalisme” yang telah tumbuh dan berkembang
ratusan tahun, dengan puncaknya berupa tesis Huntington tentang
perbenturan peradaban (clash of civilization).
Persoalan pertama berkenaan dengan orientalisme dan
oksidentalisme ialah istilah dan pengertian “orient” dan “oksiden”
itu sendiri: “Barat” dan “Timur” sesungguhnya tidak mempunyai
realita obyektif, kecuali jika dibatasi sebagai cara pengenalan
arah angin yang nisbi (sebab sesuatu ada di barat atau di timur,
dengan scndirinya, tergantung kepada kedudukan orang yang
memandangnya). Dan dalam bahasa Arab, kata-kata “syarq”
untuk “timur” semata berarti “terbit”, dan kata-kata “gharb” untuk
“barat” berarti terbenam. Karena itu untuk “timur” juga digunakan
kata-kata “masyriq” (tempat terbit [matahari]), dan untuk “barat”
digunakan kata-kata “maghrib” (tempat terbenam (matahari]), hal
mana semuanya adalah nisbi belaka, tidak mutlak.
Lebih-lebih pada masa ketika sudah diperoleh kemantapan
pengetahuan bahwa bumi itu bulat (dan konon alam semesta
juga bulat), maka arah angin pada hakikatnya menjadi mustahil.
Cukup menarik bahwa hal itu telah ditegaskan oleh al-Razi,
scorang penafsir klasik al-Qur’an, atas ayat Q 24: 35 “...sebab
yang berpendapat bahwa bumi bulat tidak memandang adanya
timur dan barat pada dua tempat tertentu; sebaliknya, setiap negeri
mempunyai timur dan baratnya sendiri.”
Dalam istilah “orientalisme” dan “oksidentalisme” terkandung
pengertian “timur” dan “barat” sebagai konsep geo-kultural dan
geo-politik. Jika kita amati sejarah berbagai bangsa, atau bahkan
pandangan kultural dan politik mereka sampai sekarang, kita akan
temukan jenis-jenis konsep geo-kultural dan geo-politik yang sepadan
dengan kelaziman kontemporer di Eropa dan Amerika (mungkin
juga masih ada pada orang-orang Australia dan Selandia Baru) untuk
mengenali diri mereka sebagai “Barat” dan lainnya “Timur”. Orang

a 4650 b
c Tradisi Islam d

Jawa, misalnya, membagi manusia, khususnya di Asia Tenggara ini,


menjadi “Jawa” dan “Sabrang,” dengan konotasinya sendiri. Orang
Cina terkenal sekali dengan pandangan mereka tentang “Negeri
Tengah” (Tiongkok) dan “Orang Tengah” (Tionghoa) dengan klaim
kuat atas sentralitas negeri dan bangsa mereka, sementara orang
lain, dengan sendirinya, bagi mereka adalah “orang pinggiran” atau
“periferal”, juga dengan segala konotasinya.
Orang Arab, khususnya penduduk Makkah pada masa sebelum
Islam, mempunyai konsep geo-kultural yang sedikit-banyak sepadan
dengan yang lain. Mereka dahulu, seperti banyak bangsa-bangsa
Timur Tengah, menganut keagamaan pemujaan (dewa) Matahari,
yang disebut Syamas. Mereka menyembahnya saat “dewa” itu
menampakkan diri, yaitu saat matahari itu terbit di timur. Dalam
posisi itu serta-merta mereka melihat diri mereka ada di pusat
jagad, dengan negeri-negeri di sebelah kiri dan kanan mereka, yang
masing-masing di sebelah utara dan selatan. Mereka sebut negeri
sebelah utara itu “Syam” (Kiri), meliputi seluruh waayah Syiria, dan
yang sebelah selatan “Yaman” (Kanan), meliputi seluruh wilayah
Jazirah Arabia sebelah selatan. Dengan sendirinya kota Makkah,
yang juga disebut sebagai Umm al-Qurā (ibu negeri, metropolis)
adalah pusat semuanya itu. Pandangan geo-kultural orang Arab
Makkah itu bertahan sampai sekarang, dan nama-nama negeri
Syam dan Yaman juga bertahan tanpa rasa keberatan.
Pandangan geo-kultural Arab Makkah itu, sebagaimana telah
diisyaratkan, adalah bagian dari gejala umum kultus matahari
sebagai “Sol Invictus” (Matahari yang tak terkalahkan). Sisa kultus
itu ialah pandangan hari pekan pertama sebagai “Hari Matahari”
(Sunday), yang berarti juga “Hari Tuhan” (Do Minggos). Sisa lain
ialah kata-kata “orientasi” yang berarti “mencari arah,” dalam hal
ini mencari arah timur, arah matahari terbit.
Kaum Yahudi mungkin tidak menganut paham geo-kultural,
karena mereka tidak pernah berkuasa atas suatu negeri dan
menguasai suatu wilayah geografis secara berarti dalam jangka
waktu yang cukup lama. Tetapi mereka menganut paham kultural-

a 4651 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

keagamaan yang sangat dikotomis, yang membagi umat manusia


atas diri mereka sendiri sebagai “bangsa pengemban perjanjian
(dengan Tuhan)” (B’nai B’rith — The Children of the Covenant),
sedangkan semua manusia lain adalah “gentile”, tidak saja dalam arti
“bangsa” seperti makna menurut aslinya dalam bahasa Ibrani, tapi
juga dalam isyaratnya yang bernada merendahkan bangsa-bangsa
selain bangsa Yahudi. Mereka di masa Israel kuna memandang
semua orang lain secara moral jahat dan kotor. Kaum Mormon
mengoper pandangan itu untuk menyebut selain mereka sendiri
sebagai gentile. Dan sungguh menarik bahwa sebagian kaun Muslim
India menyebut orang lain juga sebagai gentile (lihat, Encyclopedia
Americana, CD Rom 1999, s.v. “Gentile”).
Umat Islam memang juga mempunyai pandangan geo-kultural
dan geo-politik yang kurang-lebih sebanding. Pertama-tama ialah
pembagian manusia secara garis besar menjadi kaum “mukmin”
(mereka yang percaya kepada kebenaran, khususnya kebenaran
Ilahi), dan kaum “kafir” (mereka yang menolak kebenaran). Jika
kedua istilah itu masih berada dalam lingkup pandangan keagamaan
maka istilah-istilah dār al-Islām (negeri Islam) atau dār al-salām
(negeri damai) berhadapan dengan dār al-harb (negeri perang) jelas
merupakan pandangan geo-kultural dan geo-politik. Pandangan
itu muncul dengan kuat saat-saat kejayaan Islam di bidang politik
dan militer, tidak lama setelah wafat Nabi saw.
Selanjutnya, umat manusia baru saja terbebaskan dari tatanan
dunia yang secara geo-politik dibagi menjadi dua secara amat
mengancam, yaitu “Dunia Bebas” dan “Dunia Komunis”. Memang
ada usaha untuk menetralkan pandangan geo-kultural yang
mengancam itu, dengan diperkenalkannya pengertian “Dunia
Ketiga”, bersama dengan “Dunia Pertama” (“Dunia Bebas”) dan
“Dunia Kedua” (“Dunia Komunis”). Usaha yang dipelopori
Indonesia itu berpcngaruh besar sekali pada suasa geo-politik global,
namun konsep dikotomis “Dunia Bebas” dan “Dunia Komunis”
tetap sangat dominan, sampai runtuhnya “Dunia Komunis”. [v]

a 4652 b
c Tradisi Islam d

Orientali.sme-Oksidentalisme
(Bagian kedua dari dua tulisan)

Sebenarnya pandangan geo-kultural “Barat” dan “Timur”


yang berkembang pada bangsa-bangsa Eropa tidaklah terlalu
anch. Melalui tesis Huntington, sangat terasa adanya semangat
kemenangan (triumphalism) pada Amerika, khususnya dan “Barat”
umumnya, setelah keruntuhan Uni Soviet. Inti tesis Huntington
tentang perbenturan peradaban itu tidak akan jauh dari sudut
pandang semangat kemenangan “Barat” melawan “Semua yang
lain” (the West against the Rest).
Tetapi kalau dicermati lebih lanjut, “Barat” dan “Timur” mengan­
dung pengertian bermacam-macam yang tidak terlalu sederhana.
Dalam lingkungan bangsa-bangsa Eropa sendiri, “Barat” adalah Eropa
Barat dan perluasan politik mereka di luar Eropa, yaitu Amerika Utara
dan Australia-Selandia Baru. Secara etnis, wilayah-wilayah itu dihuni
penduduk dengan dominasi bangsa-bangsa Anglo-Saxon, sekalipun
juga terdapat bangsa-bangsa Latin seperti Italia, Prancis, Spanyol, dan
Portugal. Secara ekonomi, “Barat” adalah negeri-negeri (paling) maju,
kecuali Spanyol dan Portugal yang masih setaraf dengan “Timur” dari
“Dunia Ketiga”. Oleh karena itu, dalam lingkungan Eropa proper
“Timur” adalah Eropa Timur, yang penduduknya dominan bangsa-
bangsa Slav. Dan karena budaya Eropa (Barat) sering didefinisikan
sebagai budaya Yunani-Romawi (Greco-Roman), maka negeri Yunani,
sekalipun secara geografis terletak di Eropa sebelah (paling) timur,
namun dianggap bagian dari “Barat”.
Jadi “Timur” dan “Barat” adalah konsep geo-kultural dan
geo-politik yang subyektif. Lebih dari itu, dalam banyak konteks,

a 4653 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

konsep itu juga mengandung makna yang tidak dapat dibenarkan,


karena ada unsur perendahan (pejorative). Jika orang Jawa menyebut
orang lain “Sabrang”, maka maksudnya tidak semata orang itu
berasal dari “seberang”, yakni, “Luar Jawa”, tapi juga dalam makna
tersirat seperti ungkapan, “ora Jawa” (tidak Jawa), hal itu mirip
dengan makna tersirat dalam perkataan “gentile” sebagaimana telah
disinggung di depan, juga perkataan Ibrani “qoyim”.
Berkaitan dengan konsep “Timur” dan “Barat” tersebut, makna
tersirat yang negatif itu ada dalam istilah “Oriental”, yang dalam
banyak hal mengandung isyarat tentang kelompok manusia yang
berbudaya rendah, aneh, eksotik, terbelakang, dan seterusnya. Dari
sudut pandang bangsa-bargsa yang kebetulan memang saat ini meru­
pakan bangsa-bangsa paling maju, isyarat merendahkan itu tentunya
tidak perlu mengherankan. Dari antara sekian banyak refleksi­nya
ialah sikap Wiil Bailey, chief executive Bank ANZ, yang pada 1989
mengucapkan kata-kata peringatan kepada orang Australia bahwa
mereka akan segera menjadi “white servants to Asian tourists”.
Padangan stereotipikal tentang dunia Timur oleh orang-orang
Barat dan dunia Barat oleh orang-orang Timur memang tidak dapat
seluruhnya terhindarkan. Tetapi jika kita kembalikan bahwa Barat
dan Timur adalah milik Tuhan, dan bahwa manusia Barat dan
manusia Timur adalah manusia yang sama dan tunggal (ummah
wāhidah), maka seharusnya hal itu tidak terjadi.
Dalam Kitab Suci al-Qur’an, disebutkan bahwa Allah adalah
pemilik barat dan timur (Q 2:115), Pangeran (Rabb) dua timur
dan dua barat (Q 55:17), bahkan Dia adalah Pangeran banyak
timur dan banyak barat (Q 70:40). Oleh karena itu memilah-milah
dengan isyarat kenegatifan antara “Barat” dan “Timur” adalah
bentuk penyimpangan dari pesan Ilahi. Bahkan penegasan bahwa
Allah adalah pemilik timur dan barat, terjadinya dalam kerangka
penegasan bahwa,

“... ke mana pun kamu menghadap, di sana Wajah Tuhan, sesungguhnya


Allah itu Mahaluas (meliputi) dan Maha Mengetahui,” (Q 2:115).

a 4654 b
c Tradisi Islam d

Dalam semangat ajaran yang sama, al-Qur’an menggambarkan


bahwa sumber kebenaran Ilahi tidak bersifat timur ataupun barat,
melainkan universal, berlaku untuk semua dan serba meliputi
semua. Keterangan metaforik itu terbaca dalam firman yang
melukiskan bahwa,

“Allah adalah Cahaya seluruh langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-


Nya itu ialah bagaikan sebuah relung yang di dalamnya ada lampu,
yang lampu itu terletak dalam kaca. Kaca itu seakan bintang gemerlap,
yang dinyalakan dari pohon zaitun yang diberkati, yang tidak bersifat
timur tidak pula bersifat barat. Minyaknya hampir-hampir menyala
sekalipun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah memberi
petunjuk ke arah cahaya-Nya siapa pun yang Dia kehendaki. Dan
Allah membuat berbagai perumpamaan bagi manusia. Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu,” (Q 24:35).

Jadi digambarkan bahwa ke mana pun kita menghadap di


sana Wajah Allah, Sang Kebenaran (al-Haqq), sebab kebenaran
itu sendiri pada hakikatnya tidak mengenal lingkungan barat dan
timur. Dan dijanjikan bahwa Allah akan membimbing siapa pun
yang dikehendaki oleh-Nya, atau orang itu menghendaki-Nya
melalui ijtihad, menuju cahaya kebenaran itu. Itu semua berarti
bahwa kita umat manusia yang beriman kepada Tuhan harus
mencari kebenaran itu di mana pun ia berada, di timur ataupun di
barat, demi meraih rida Allah. Dari perspektif ini, kiranya cukup
jelas bahwa stigmatisasi “barat” dan “timur” adalah tidak sejalan
dengan semangat ajaran Tuhan. Istilah “barat” dan “timur” harus
digunakan sekadar sebagai kenyamanan dalam menentukan lokasi
dan arah, dan seharusnya tidak lebih dari itu.
Maka dapatlah dilihat bagaimana istilah-istilah “orientalisme”
dan “oksidentalisme” adalah suatu bentuk salah nama (misnomer),
suatu designasi tak layak pakai, untuk suatu studi budaya kemanu­
siaan. Dalam pandangan kemanusiaan universal, suatu bentuk

a 4655 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

budaya atau peradaban, khususnya pada tingkat generalnya yang


cukup tinggi, adalah milik seluruh umat manusia.
Terutama “orientalisme,” riwayat pertumbuhan dan perkembang­
an disiplin itu yang sangat parokialistik dan bahkan kolonialistik,
adalah suatu skandal dalam studi budaya. Saat ini pendapat itu
sudah cukup umum dianut oleh kalangan intelektual dan ilmuwan
yang berkesudahan. Edward Said, seorang Palestina (Kristen
Anglikan) yang ahli sastra Inggris dan juru bicara perjuangan rakyat
Palestina di Amerika, adalah pengkritik pedas dan komplet terhadap
orientalisme, khususnya semangat parokialismenya yang angkuh
dan yang kental berwawasan kolonialistik itu. Said menegaskan sifat
universal suatu budaya sebagai hasil urun dan pinjam-meminjam
segala bangsa dan umat. “You can always do samething. Anyway,
there’s no such thing as a pure unmediated culture, any more than
there’s a pure unmediated self. All people, all cultures, are hybrid,”
(Time, 21 Juni 1993).
Maka, karena merupakan milik Allah yang diliputi oleh hikmah
Rabbaniyah-Nya, timur maupun barat adalah ayat-ayat Allah yang
harus diperhatikan, diamati, dipahami, dan digali hikmah-kearifan
yang ada di dalamnya. [v]

a 4656 b
c Tradisi Islam d

Negeri yang Aman

“Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya malam hari


dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha, yang di sekitarnya telah Kami
berkati, untuk Kami perlihatkan kepadanya beberapa tanda Kami.
Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat (segalanya),” (Q 17:1).

Beberapa hari lalu kita memperingati Isra’-Mi’raj Nabi Muhammad


saw. Peristiwa ini terjadi pada saat-saat kesedihan Nabi karena
meninggalnya dua pelindung beliau, istrinya Siti Khadijah dan
pamannya Abu Thalib. Sehingga perjalanan ini merupakan suatu
pelipur lara dari tahun kesedihan Nabi (‘āmm huzn). Di samping
itu, dari sudut keagamaan, perjalanan (isrā’) ini pun bermakna
lambang risalah baru yang diberikan kepada umat manusia.
Ayat di atas menjelaskan perjalanan Nabi dari Masjid Haram
(Ka’bah) di Makkah ke Masjid Aqsha di Madinah. Dalam tafsir
Yusuf Ali ditulis bahwa pada saat itu Ka’bah belum lagi bersih dari
berhala, sementara Masjid Aqsha di Yerussalem masih merupakan
reruntuhan setelah dihancurkan oleh Kaisar Titus pada 70 M (dan
baru dibangun kembali, serta selesai pada masa Amir Abdul Malik
pada 68H).
Oleh karena itulah, banyak ahli tafsir yang berpendapat bahwa
Masjid Aqsha yang sebenarnya ialah sidrat al-muntahā atau al-bayt
al-ma‘mūr, yaitu suatu alam ruhani tempat para malaikat beribadat.
Jadi, bukan masjid yang terletak di Yerusalem sebagaimana yang
dipahami sekarang ini. Lebih-lebih dihadapkan pada kenyataan
bahwa Yerusalem sampai saat itu merupakan tempat yang sangat
kacau, di mana konflik politik dan pertumpahan darah seperti tidak

a 4657 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

ada habis-habisnya — padahal Masjid Aqsha dikatakan dalam ayat


itu, bāraknā hawl-ahu (ditaburi berkah).
Namun, ada pula ahli tafsir yang mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan bask bāraknā hawl-ahu itu ialah secara spritual.
Artinya, bisa saja sebuah negeri kacau-balau, tetapi secara ruhani
masih tetap diberkati. Mereka itulah para ahli tafsir, yang nota bene
merupakan mayoritas, yang berpendapat bahwa Masjid Aqsha ialah
yang ada di Yerusalem.
Baiklah, masalah ini kita urut dari sejarah perjalanan isrā’
Nabi Muhammad saw dari Makkah, dan minggu depan kita akan
bicarakan mengenai Yerusalem. Pertanyaannya, mengapa ketika
melakukan isrā’, Nabi berangkat dari Makkah? Alasanya, pertama-
lama, tentu saja karena Nabi sendiri adalah orang Makkah. Tetapi,
ada makna lain yang lebih mendalam, yaitu bahwa Makkah melam­
bangkan permulaan dari ajaran tauhid, ajaran tentang Ketuhanan
Yang Maha Esa. Makkah, seperti disebutkan dalam al-Qur’an,
adalah rumah suci atau tempat ibadah yang pertama kali dibangun
untuk umat manusia,

“...bahwa Rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia


ialah yang di Bakkah (Makkah), yang telah mendapat berkah dan
menjadi petunjuk bagi semesta alam,” (Q 3:96).

Pemahaman tentang masa lalu memang bisa tercampur antara


sejarah, teologi, dan legenda. Teologinya ialah pernyatan ayat al-
Qur’an tadi. Sejarahnya ialah bahwa memang di antara semua
tempat ibadat, Makkah termasuk yang paling antik, sehingga
al-Qur’an sendiri menyebutnya sebagai rumah yang antik, al-
bayt al-‘athīq atau rumah yang sangat tua (Q 22:29). Sedangkan
legendanya ialah bahwa, misalnya, lulu Nabi Adam turun di tempat
itu. Legenda ini dikaitkan dengan adanya pelabuhan Makkah, yaitu
Jeddah yang berarti nenek, karena di situ terdapat makam nenek
umat manusia, yaitu Hawa, kemudian juga dikaitkan dengan
bukit yang ada di Arafah yang terkenal sebagai “bukit jodoh,”

a 4658 b
c Tradisi Islam d

karena konon ketika Adam dan Hawa diusir dari surga akibat
pelanggarannya mendekati pohon khuldi, keduanya terpisah dan
saling mencari-cari, dan kemudian bertemu di bukit Arafah itu.
Lalu ada hadis yang diriwayatkan oleh Amr ibn Ash yang
menyatakan bahwa Allah mengutus Jibril kepada Adam dan Hawa
dan berkata kepada keduanya, “Dirikanlah untuk-Ku sebuah
rumah suci!” Lalu Jibril membuat rencana itu (maka Jibril adalah
arsitek Ka’bah). Dan ternyata (rencana) bentuk bangunan rumah
suci itu sangat sederhana, yaitu kubus (cubic), sehingga kemudian
disebut Ka’bah. Maka, mulailah Adam menggali, sementara
Hawa memindahkan tanah, sehingga bertemu air. Lalu ada suara
memanggil dari bawahnya “Cukup untukmu wahai Adam!”
maksudnya sekian saja penggalian itu. Setelah selesai pembangunan
rumah itu, Allah memberi wahyu kepadanya “Hendaknya engkau
tawaf, mengelilinginya, dan difirmankan kepadanya: ‘Engkau, adalah
manusia pertama dan ini adalah rumah suci yang pcrtama’”.
Kemudian generasi pun berganti sampai saatnya Nabi Nuh
menunaikan haji ke sana. Generasi beriktunya ialah ketika Nabi
Ibrahim yang mengangkat fondasi Ka’bah itu dengan referensi
ayat al-Qur’an,

“Dan ingatlah, Ibrahim dan Isma’il mengangkat dasar-dasar Rumah


itu (sambil berdoa): ‘Tuhan terimalah ini dari kami Engkaulah Maha
Mendengar, Mahatahu,’” (Q 2:127).

Dengan demikian, Nabi Ibrahim dan Ismail bukanlah pembangun


Ka’bah, tetapi “pembangun kembali”, karena ayat al-Qur’an itu
berbunyi wa-idz yarfa‘u Ibrāhīm-u ’l-qawā‘id-a itu menunjukkan
bahwa fondasi Ka’bah tersebut sudah ada di dalam, dan Ibrahim
hanya meneruskannya. Fakta tersebut mudah saja divisualisasikan
karena negeri Arab memang merupakan negeri gurun yang
sangat keras terhadap bangunan. Pasir seringkali menghancurkan
bengunan-bangunan, apalagi waktu itu “semennya” masih berupa
tanah, sehingga mudah hancur.

a 4659 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Menurut Ibn Ishaq, seorang penulis sejarah Islam yang paling


awal (abad ke-2 H), setelah ia mengumpulkan bahan dari berbagai
sumber, ia sampai pada kesimpulan bahwa ternyata banyak nabi
yang menunaikan haji ke Makkah, termasuk Nabi Musa. Bahkan
banyak pula orang yang beragama Yahudi menunaikan haji ke
Makkah. Namun, ketika Makkah dalam perkembangan sejarah
berikutnya menjadi pusat berhala, orang-orang itu pun berhenti
naik haji ke sana, karena jelas bahwa secara teologis Makkah sudah
mengalami polusi akidah. Nabi Muhammad sendiri diutus ke sana
ketika Makkah menjadi pusat berhala. Konon ada sekitar 360-an
berhala yang terdapat di dalam Ka’bah waktu itu.
Artinya, bahwa bangunan yang dibuat oleh Adam itu sempat
menghilang dari muka bumi, bahkan ketika Ibrahim membawa
putranya, Isma’il dan ibunya Hajar ke Makkah, di sana sama sekali
tidak ada apa-apa lagi. Hanya saja sejak semula Ibrahim telah diberi
tahu bahwa dulu di situ ada rumah suci. Setelah Ibrahim mendirikan
kembali Ka’bah, dan kemudian diteruskan oleh Isma’il, Makkah pun
menjadi ramai. Namun, pada suatu saat di sana terjadi peperangan
yang sangat hebat. Makkah dibumihanguskan. Mata air zamzam pun
sempat hilang. Kelak, yang menemukannya kembali adalah Abdul
Muthalib, kakek Nabi Muhammad saw, melalui sebuah mimpi.
Dalam kaitan penjelasan Makkah sebagai pusat keagamaan sejak
zaman kuna, ada sebuah buku yang sangat secara hipotesis menarik
berjudul Bible Come from Arabia. Buku itu mengindikasikan bahwa
dilihat dari pendekatan geografi, nama-nama tempat yang terdapat
dalam Alkitab itu jauh lebih mencocoki Makkah dan sekitarnya
dari­pada Yerusalem dan sekitarnya, karena di situ ada peranan
Ibrahim.
Makkah memang merupakan tempat yang sangat unik.
Perhatihanlah bahwa dari semua agama, yang bisa menguasai tanah
sucinya hanyalah Islam. Hampir setmua agama tidak meguasai
sendiri tanah sucinya. Maka sebutan Makkah sebagai al-balad a1-
amīn dalam Q 95:3 memang benar: yaitu suatu negara yang aman,
yang tidak bisa dimasuki orang lain. [v]

a 4660 b
c Tradisi Islam d

Yerusalem

Yerusalem (al-Quds) adalah kota yang sangat tua. Dan sekarang


telah menjadi kota suci tiga agama: Yahudi, Kristen dan Islam, dan
disebut al-Harām al-Syarīf (Tempat Suci yang Mulia), khususnya
pada dataran di atas bukit Moria dalam kawasan kota lama yang
dikelilingi tembok besar dan tinggi. Perjalanan panjang kota ini pun
penuh dengan konflik. Tempat yang mulanya merupakan rumah
suci agama Yahudi — yang disebut Bayt Allāh (juga The Solomon
Temple [Haykāl Sulaymān]) — pun sudah dua kali mengalami
penghancuran, pertama oleh Raja Nebuchadnezzar dari Babilonia
(587 SM), dan kedua oleh Kaisar Titus dari Romawi (70 M). Dan
mengenai kedua peristiwa tersebut terekam dalam Q 17:4-8.
Sejak itu bangsa Yahudi tidak mempunyai rumah sucinya,
tinggal Tembok Ratap (Wailing Wall) saja — untuk mengenang
nasib — yang kemudian menjadi tempat ziarah dan ibadah, dan
kini merupakan tempat yang paling suci bagi orang yang beragama
Yahudi. Sampai saat ini sebagai rumah suci agama Yahudi, bekas
Haykāl Sulaymān itu tidak pernah dibangun lagi. Dan Orang
Yahudi pun kehilangan Bayt Allāh-nya, sehingga nantinya pusat
agama Yahudi pun bergeser dari Bayt Allāh itu ke sinagog-sinagog
yang menyebar ke seluruh muka bumi.
Ketika Kaisar Titus menghancurkan rumah suci itu, mereka
pun dilarang tinggal di Kanaan (Palestina Selatan) dan Yerusalem,
sehingga orang Yahudi menjadi mulai hidup dalam diaspora,
terlunta-lunta tanpa tanah air dan menyebar ke seluruh dunia (al-
Qur’an lagi-lagi merekam peristiwa ini dalam Q 3:112), sampai
mereka mengumpulkan kembali kekuatan dan mencoba melawan

a 4661 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Romawi pada 132 M, tetapi peristiwa ini malah menjadikan


kaum Yahudi ditindas secara lebih kejam lagi oleh Kaisar pada
waktu itu, Hadrian melalui Jendral Severus, sehingga darah orang-
orang Yahudi sampai mengalir seperti sungai dan harga budak di
pasaran mcrosot karena banjir lelaki dan perempuan Yahudi yang
diperbudak dan diperjualbelikan.
Kekaisaran Romawi selanjutnya pada 135 M menginginkan
melenyapkan bangsa dan agama Yahudi dengan membangun
sebuah kota kecil di pusat Yerusalem, yang disebut Aelia Capitolina
yang berarti kota kecil untuk Dewi Aelia, berhala bangsa Roma.
Di Bukit Moria tempat bekas Haykāl Sulaymān itu pun dibangun
pula patung yang menghadap dewi berhala itu, patung yang
didedikasikan kepada Dewa Jupiter. Kemudian di Golgota didirikan
pula kuil untuk berhala Venus sebagai penghalang perkembangan
agama Kristen, yang pada waktu itu mulai tumbuh. Keadaan ini
terus berlangsung hingga akhir abad ketiga Masehi.
Pada abad keempat Kaisar Konstantine masuk agama Kristen,
dan menjadikan agama Kristen sebagai agama kekaisaran Romawi
pada 313 M. Yerusalem pun kini dikuasai oleh agama Kristen,
dan ditandai dengan berdirinya banyak gereja, di antaranya
yang terkenal Gereja The Holy Sepulcher (Keluarga Suci) yang
disebut oleh orang Arab sebagai Kanīsat a1-Qiyāmah (“Gereja
Kebangkitan” [Isa al-Masih menurut kepercayaan Kristen, setelah
mati dan dikubur tiga hari lalu bangkit naik ke langit]), setelah
sebelumnya dihancurkan terlebih dahulu bangunan-bangunan
yang didirikan Kaisar Hadrian (pada 326). Gereja ini dibangun
oleh Ratu Helena, ibunda Kaisar, dan menjadi tempat paling suci
bagi agama Kristen di Yerusalem. Dan setelah itu Gereja ini pun
beberapa kali mengalami penghancuran dan pembangunan kembali
sejalan dengan penguasa-penguasa Yerusalem.
Ada cerita yang menarik mengenai Gereja Sepulchre ini, yaitu
ketika Khalifah Umar ibn Khaththab datang ke Yerusalem untuk
menandatangani Dokumen Aelia (Mītsāq Ailiyā) yang dicatat oleh Ibn
Khaldun: “Umar ibn al-Khaththab masuk Bayt Maqdis dan sampai

a 4662 b
c Tradisi Islam d

ke Gereja Qumaman (Qiyāmah) lalu berhenti di plazanya. Waktu


sembahyang pun datang, maka ia katakan kepada Patriakh, ‘Aku
hendak sembahyang’. Jawab Patriakh, ‘Sembahyanglah di tempat
Anda.’ Umar menolak kemudian sembahyang pada anak tangga
yang ada pada gerbang gereja itu sendirian. Setelah selesai dengan
sembahyangnya, ia berkata kepada Patriakh, ‘Kalau seandainya
aku sembahyang di dalam gereja, maka tentu kaum Muslim kelak
sesudahku akan mengambilnya dan berkata, ‘Di sini dahulu Umar
sembahyang!’. Dan (selanjutnya) Umar menulis (perjanjian) untuk
mereka bahwa pada tanggal itu tidak boleh ada jamaah sembahyang
[di tempat itu] dan tidak pula akan dikumandangkan azan padanya.
Kemudian Umar berkata kepada Patriakh: ‘Sekarang tunjukkan aku
tempat yang di situ aku dapat mendirikan sebuah masjid.’ Patriakh
berkata, ‘Di atas Karang Suci (Shakhrah) yang di situ dahulu Allah
pernah berbicara kepada Nabi Ya’qub.’ Umar mendapati di atas
karang itu banyak darah (di samping sampah dan kotoran), maka ia
pun mulailah membersihkannya dan mengambil darah itu dengan
tangannya sendiri dan mengangkatnya dengan bajunya sendiri.
Semua kaum Muslim mengikuti jejaknya, sampai sampah itu bersih,
dan ketika itu juga kemudian ia perintahkan untuk didirikan masjid
di situ.”
Pada saat Umar itu pusat kota suci dibagi-bagi menjadi satu
sektor Yahudi, dua sektor Kristen (Armenia dan Ortodoks —
karena mereka tidak bisa disatukan), dan (tanpa disebut sektor) satu
areal yang lebih luas untuk Islam. Kelak di tempat Islam tersebut
didirikanlah dua bangunan dalam komplek yang disebut Masjid
Aqsha, yaitu oleh Khalifah Abdul Malik ibn Marwan Qubbat al-
Shakhrah atau The Dome of The Rock (pada 72 H/691 M) yang
pernah menjadi kiblat pertama Islam, dan tempat Nabi Muhammad
menjejakkan kaki beliau menuju Sidrat al-Muntahā dalam peristiwa
mi‘rāj; dan sebuah masjid yang didirikan oleh Khalifah al-Walid
ibn Abdul Malik.
Mengikuti tafsir konvensionail, yaitu yang sekarang ini dianut
oleh sebagian besar umat Islam, memang ada indikasi bahwa

a 4663 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

sesungguhnya yang membuat Masjid Aqsha begitu penting


adalah Abdul Malik ibn Marwan, walaupun ini sampai sekarang
masih menjadi polemik. Ibn Taimiyah, misalnya, tidak menyukai
pendapat itu. Jelas Masjid Aqsha itu amat penting, karena dia
merupakan kiblat yang pertama. Pada waktu masih di Makkah,
Nabi bersembahyang menghadap Yerusalem. Tetapi karena tampak­
nya pada saat yang bersamaan juga ingin menghadap Ka’bah,
maka beliau pilih arah selatan Ka’bah sehingga dengan demikian
menghadap Ka’bah dan Yerusalem sekaligus. Namun, ketika beliau
pindah ke Madinah hal itu tidak bisa dilakukannya lagi, maka
terpaksalah beliau menghadap ke utara (ke Yerusalem) di mana
Ka’bah berada di belakangnya.
Posisi membelakangi Ka’bah ini membuat Nabi tidak merasa
tenteram. Maka beliau memohon kepada Allah supaya diizinkan
pindah kiblat. Dan doa Nabi dikabulkan. Maka pindahnya kiblat
ke Makkah itu disebabkan doa Nabi. Kalau saja Nabi tidak berdoa,
umat Islam sampai sekarang ini tetap menghadap Yerusalem.

“Kami melihat mukamu menengadah ke langit; maka akan Kami


arahkan engkau ke Kiblat yang kau sukai; arahkanlah wajahmu ke
Masjid Haram, dan di mana pun kamu berada arahkanlah wajahmu
ke sana,” (Q 2:144).

Demikianlah Yerusalem, dengan sejarahnya yang penuh kon­


flik telah menjadi tempat suci dari tiga agama: Yahudi, Kristen
dan Islam. Yerusalem pun menjadi lambang pertemuan dari tiga
agama monoteis yang berakar pada agama Ibrahim. Walaupun
akhirnya ketiga agama ini mempunyai persamaan dan perbedaan
secara teologis, perbedaan dan persamaan itu tidaklah menghalangi
kita bersama untuk menjalin kerukunan hidup beragama untuk
mencapai pertemuan bersama, yang al-Qur’an menyebutnya
dengan kalimat-un sawā’ (Q 3:64) sebagai sama-sama agama tauhid
dalam tradisi Ibrahim. [v]

a 4664 b
c Tradisi Islam d

Tentang Argumen Kalam

Kalau kita melihat sejarah pemikiran Islam, maka unsur yang paling
berpengaruh dalam falsafah ialah Neoplatonisme — khususnya
ajaran dari Plotinos, seorang filsuf Mesir abad ketiga Masehi. Dialah
yang memperkenalkan pemikiran mengenai The One (“Yang Satu”),
melanjutkan tradisi Platonis yang berbicara mengenai The Good
(“Yang Baik”): Suatu tema yang sangat dekat dengan agama-agama
(lihat, Frederick Copleston, Religion & The One, Philosophies East
and West, 1982).
Hal menarik dari Neoplatonisme ini ialah segi spritualitasnya,
yang oleh orang Islam dilihat sebagai cocok dengan konsep tauhid,
dan menjadi suatu ajaran yang bisa mempertemukan realitas
transenden dari kebenaran agama-agama. Konsep mengenai “Yang
Satu” inilah yang menjadikan banyak pemikir Islam klasik menyukai
Plotinus. Tetapi orang Arab sendiri ternyata tidak menyadari me­
nge­nai ajaran Neoplatonisme itu. Bahkan nama Plotinus pun
jarang muncul. Yang paling bayak muncul ialah Aristoteles, yang
dianggap sebagai “Guru Pertama”. Arsitotelianisme inilah yang
nantinya banyak mempengaruhi falsafah dengan alirannya falsafah
masaiyah (peripatetik).
Di pesantren Aristoteles populer lewat logikanya yang disebut
al-manthiq al-Aristhī. Para kiai yang menguasai ilmu manthiq ini
biasanya sangat pandai dalam berdebat. Ini artinya para kiai itu
ternyata banyak yang Aristotelian.
Persis di sinilah ironisnya al-Ghazali, yang wafat pada I111
M. Dia mencurahkan seluruh pikirannya untuk menghancurkan
falsafah dengan Tahāfat al-Falāsifah-nya (Kerancuan Pemikiran Para

a 4665 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Filsuf ). Tetapi anehnya al-Ghazali sendiri justru sangat Aristotelian.


Bukan saja karena dia pengagum manthiq, melainkan juga karena
dia mengarang banyak buku yang mernpergunakan pendekatan
manthiq.
Itulah sebabnya Ibn Taimiyah kelak mengkritik keras al-
Ghazali. Menurutnya, al-Ghazali ini ibarat mau membunuh ular,
cuma dipukul ekornya, sedangkan kepalanya masih tetap hidup.
Dalam pandangan Ibn Taimiyah, kepala dari falsafah ialah logika
Arsitoteles. Oleh karena itulah, Ibn Taimiyah mengarang sebuah
buku yang seolah-oleh merupakan kelanjutan dari buku karya
al-Ghazali, yaitu buku untuk menghancurkan logika Arsitoteles
berjudul Kitāb al-Radd ‘Alā al-Mathhīqīyīn (Kitab Jawaban
terhadap Para Ahli Manthiq). Salah satu substansi pemikiran yang
diserangnya ialah konsep universal. Misalnya silogisme ini: Semua
manusia akan mati, Aristotels adalah manusia, maka Aristoteles
akan mati.
Klaim para filsuf, rumusan “semua manusia akan mati”
itu adalah universal. Artinya suatu kebenaran yang tidak bisa
dibantah lagi, karena memang “semua manusia akan mati!” Akan
tetapi, menurut Ibn Taimiyah, hal itu bukan universal melainkan
partikular, sebab kita bisa mengatakan “semua manusia akan mati”
setelah melihat “manusia-manusia yang mati” — setelah melihat
partikulasi yang banyak — kemudian diambil kesimpulan, atau
diabstraksikan bahwa “semua manusia akan mati”.
Menurut pandangan Ibn Taimiyah, itu tetap saja partikular,
bukan universaL Karena itulah kemudian Ibn Taimiyah berusaha
menghancurkan falsafah. Dan sesuai dengan prinsip realismenya
ini, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa, “Kenyataan itu sebenarnya
berada di luar, dan tidak di dalam pikiran!” Menyangkut paham
epistemologi ini Muhammad Iqbal menyebut Ibn Taymiyah sebagai
“Bapak Empirisme”.
Jalaluddin al-Suyuthi, salah seorang penulis kitab tafsir yang
terkenal, al-Jalālayn, termasuk di antara ulama yang juga gencar
memerangi dan ingin menghancurkan manthiq. Ia menulis buku

a 4666 b
c Tradisi Islam d

mengenai bagaimana menyelamatkan manthiq, dengan membela


adanya segi-segi common-sense yang harus diselamatkan dari
logikanya Aristoteles (sebuah pandangan yang sangat maju, dan
baru berkembang pesat lewat falsafah bahasa pada abad pertengahan
abad ini). Sayang sekali bahwa buku karangan al-Suyuthi ini
kurang, atau bahkan tidak terkenal di kalangan pesantren. Berbeda
dengan tafsirnya yang sangat masyhur, dan sering dikutip.
Dari yang dibahas di atas, maka ada dua corak pemikiran
falsafah yang berpengaruh dalam Islam, yaitu Neoplatonisme,
yang kelak akan muncul secara ekspresif dalam tasawuf (dengan
falsafahnya isyrāqiyah), dan Aristotelianismc yang muncul dalam
falsafah dan ilmu kalam. Argumen-argumen kalam juga bercorak
rasionalistik. Apalagi Ilmu Kalam memang dipelopori oleh kalangan
Mu’tazilah. Bahkan al-As y’ari, penentang rasionalisme Mu’tazilah
pun menggunakan corak berpikir rasional ini dalam argumen-
argumennya.
Ketika dia membela peranan yang kecil sekali dari akal, misalnya,
dia juga memakai argumen-argumen rasional. Tidak heran apabila
al-Asy’ari kemudian sangat kontroversial. Bahkan dalam masa
seratus-duaratus tahun setelah ia meninggal, pemikirannya masih
kontroversial. Lawan kontroversinya adalah kaum Hanbali. Dan
kontroversial itu menunjukkan bahwa dia tidak diterima begitu
saja. Baru belakangan al-Asy’ari diterima dunia Islam, yaitu lewat
pcmikiran al-Ghazali.
Argumen-argumen kalam memang banyak sekali dipengaruhi
falsafah, tetapi juga banyak yang irasional. Bahkan menurut Wiiliam
Lane Craig, scorang filsuf agama kontemporer dalam bukunya The
Kalam Cosmological Argument (1979), Kalam merupakan kontribusi
Islam paling orisinil kepada dunia pemikiran manusia, dan dewasa
ini ikut mempengaruhi wacana mengenai kosmologi baru.
Di antara argumen-argumen kalam itu, yang dianggap sangat
orisinil ialah argumen mustahilnya rentetan waktu ke belakang
tanpa penghabisan. Argumen ini untuk membuktikan bahwa alam

a 4667 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

ada permulaannya. Sebetulnya argumen ini juga lahir dalam rangka


melawan paham falsafah mengenai keabadian alam.
Dikatakan bahwa mata rantai yang terus ke belakang tanpa
penghabisan adalah mustahil. Segala sesuatu yang ada, harus ada
habisnya. Maka, artinya, alam harus mengenal waktu. Yang tidak
ada habisnya itu hanya Allah, karena Allah itu timeless, tidak terikat
oleh ruang dan waktu. Memang benar alam ini cliciptakan Tuhan
dari tidak ada menjadi ada. Tetapi di sini ada masalah abadi ke
belakang atau tidak; dan itu menyangkut masalah konsep waktu.
Waktu adalah perbedaan relatif dari dua benda yang bergerak
dengan kecepatan yang berbeda. Oleh karena itu, waktu tidak ada
kecuali kalau ada benda. Jadi sebelum ada alam, tidak ada waktu.
Jikalau waktu diciptakan bersama terciptanya benda, maka berarti
alam ini tidak abadi. Artinya, alam ini diciptakan bersama waktu,
dan itu berarti alam ada permulaanya. Inilah argumen kosmologi
kalam yang memberikan sumbangan pada paham penciptaan dalam
falsafah agama dewasa ini.
Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan bahwa ternyata banyak
sekali pikiran-pikiran para ahli ilmu kalam yang relevan untuk kita
dewasa ini. Bukan hanya rasionalisme Mu’tazilah dan pemikiran
falsafah, seperti sudah dikemukakan oleh para modernis Islam,
tetapi juga pemikiran al-Ghazali dan al-Asy ari, yang dewasa ini
juga telah menyumbang argumen kalam dalam wacana falsafah
agama. Oleh karena itu, sangatlah absurd apabila kita — orang-
orang Islam yang serius ini — tidak mengenal pemikiran mereka.
Apalagi, argumen kalam ini sekarang sudah sering disebut dalam
buku-buku mutakhir mengenai falsafah agama. [v]

a 4668 b
c Tradisi Islam d

Jalan Lurus

Dalam shalat, salah satu bacaan paling penting adalah al-Fātihah,


yang puncaknya memohon petunjuk pada Allah: ihdinā al-shirāth
al-mustaqīm (tunjukilah kami jalan yang lurus). Permohonan
ini menandakan bahwa kita tidak tahu jalan yang lurus itu yang
mana. Kalau kita berdoa memohon ditunjukkan jalan yang lurus,
tetapi merasa sudah tahu, itu sombong namanya. Karena itulah
dalam agama — misalnya dalam tasawuf — kita diajarkan tahallī
(mengosongkan diri) sehingga tidak ada pretensi, dan siap untuk
didikte hanya oleh Tuhan.
Sebelum meminta petunjuk kita membaca iyyā-ka na‘bud-u
(hanya kepada Engkau kami menyembah). Menurut kaum sufi,
ayat ini mengindikasikan bahwa kita masih merasa atau masih
sempat mengaku kalau kita menyembah Tuhan. Ini artinya, kita
mengklaim bahwa pekerjaan menyembah itu ada pada kita; kita
aktif menyembah Tuhan dengan mengharap pahala. Inilah yang
disebut ‘ibādat al-‘ābidīn. Yang demikian ini memang tidak salah,
tetapi dilihat dari segi keruhanian, tingkatnya masih bersifat
lahiriah. Karena itu harus diteruskan dengan wa iyyā-ka nasta‘īn
(dan kepada Engkau aku mohon pertolongan), yang berarti bahwa
kita tidak mampu dan karena itu melepaskan klaim kita dalam
beribadah.
Oleh karena itulah, terutama dalam perspektif tasawuf shalat
bukan diartikan sebagai kita telah menyembah Tuhan, tetapi
Tuhan-lah yang telah menggerakkan kita untuk shalat. Ini berkaitan
erat dengan lā hawl-a wa lā quwwat-a illā bi ‘l-Lāh-i ’l‘alīyi ’l-‘azhīm
(tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah), termasuk

a 4669 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

dalam kita menyembah itu. Karena itulah kita memohon kepacla


Allah agar kita digerakkan untuk bisa berbuat baik. Inilah yang
disebut ‘ibādat al-shālihīn, ibadahnya orang-orang shalihin, orang
yang sudah tidak lagi mengklaim bahwa dia berbuat baik, sebab
sebenarnya Tuhan-lah yang menggerakkannya. Pada tingkat ini
orang menjadi ikhlas, pasrah, tawakal kepada Allah. Dan inilah
sebetulnya Islam dalam arti yang sebenarnya: yaitu sikap pasrah
hanya kepada Allah. Maka menarik apa yang dikatakan Rabi’ah
Adawiyah dalam sebuah syairnya yang terkenal.

Ya Tuhan
Kalau aku menyembah Engaku hanya karena takut neraka-Mu
Masukkanlah saja aku ke neraka
Kalau aku menyembah Engkau karena ingin surga-Mu
Bakar saja surga itu untukku
Tapi kalau aku menyembah karena rida-Mu
Maka terimalah aku.

Inilah pencerahan dalam keberagamaan seperti diajarkan


dalam tasawuf, yaitu keberhasilan keluar dari kegelapan menuju
pada terang, atau cahaya. Kalau kita baru sampai pada iyyā-ka
na‘bud-u berarti kita masih mengklaim diri kita mampu dan aktif
menyembah. Tetapi kalau sudah wa iyyā-ka nasta‘īn, maka kita
lebur. Menyatu dengan Tuhan. Persis seperti pemaknaan ini, ihram
dalam haji, terutama pada laki-laki, dengan memakai pakaian terdiri
dari dua potong kain putih, dan bahan yang kasar dan sederhana
sebenarnya merupakan upacara melepaskan pretensi dan klairn,
melepaskan simbol dan melepaskan topeng yang berupa pakaian.
Idealnya di hadapamn Allah memang tanpa pakaian, telanjang.
Tetapi itu tidak mungkin karena dapat menimbulkan kekacauan.
Makanya diganti dengan pakaian ihram yang serba sederhana dan
apa adanya. Inilah pasrah. Dan justru itu yang lebih tinggi nilai
spiritualnya daripada yang punya pretensi.

a 4670 b
c Tradisi Islam d

Orang yang pasrah kepada Allah tidak pernah mengklaim bahwa


dia yang berbuat baik. Kalaupun ternyata ada kebaikan, al-hamd-u
li ’l-Lāh, yaitu Allah yang diberi kredit. Ucapan al-hamd-u li ’l-Lāh
adalah untuk memupus egoisme dan kesombongan kita. Supaya
diingat bahwa dosa makhluk yang pertama adalah kesombogan,
yaitu ketika iblis menolak untuk sujud kepada Adam. Dia ingkar
dan sombong, dengan begitu dia termasuk orang yang kafir.
Kesombongan adalah dosa kesetanan. Rasulullah pernah bersabda,
tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat seberat
atom dari perasaan sombong.
Perlu diberi catatan di sini mengenai sifat sombong (al-
mutakabbir) Allah dalam asmaul husna, yang kita malah diperintah
meniru­nya. Memang kita harus punya juga sifat sornbong, tapi
porsi­nya tidak besar, hanya sampai pada tingkat kita punya harga
diri. Ini yang disehut ta‘affuf (perwira), yaitu orang yang tidak mu­
dah merendahkan diri pada orang lain, apalagi sampai meminta
belas kasihan. Perwira artinya punya harga diri, tetapi tidak boleh
sornbong.
Oleh karena itu zikir dalam agama sebenarnya merupakan
suatu bentuk penyadaran bahwa kita hanyalah makhluk yang
tidak mempunyai harga apa-apa, kecuali dengan pengakuan Allah
sendiri.

“Barang siapa mencari kemuliaan dan kekuatan, kepunyaan Allah


segala kemuliaan dan kekuatan. Kepada-Nya naik kata yang baik;
dan Dia-lah yang mengangkat amal yang baik. Tetapi mereka yang
merencanakan kejahatan, akan mendapat azab yang mengerikan. Dan
rencana mereka akan sia-sia,” (Q. 35: 10).

Inilah yang menjadi pokok dalam agama, yaitu kesediaan


untuk menyesuaiakan keberadaan diri di bawah cahaya kesadaran
akan kehadiran Tuhan dalam hidup, yang berarti kesediaan untuk
menjalani hidup itu dengan standar akhlak yang setingi-tingginya.
Dan ini terjadi dengan melakukan hal-hal yang sekiranya akan

a 4671 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

mendapatkan perkenan atau rida Tuhan, yaitu amal saleh, tindakan-


tindakan bermoral dan berprikemanusiaan. Dalam semangat
kesadaran akan adanya Tuhan Yang Mahahadir dan Mahatahu itu,
hidup berakhlak bukan lagi masalah kesediaan, tetapi keharusan.
Sementara itu, dalam analisa selanjutnya, hidup berakhlak seseorang
pada hakikatnya bukanlah untuk “kepentingan” Tuhan, melainkan
justru untuk kepentingan orang itu scndiri, sesuai dengan tabiat
alamiah atau fitrah kejadiannya sebagai manusia. Karena itu, jika
kita menolak pesan Tuhan itu, maka hendaknya kita ketahui
bahwa Dia, sebagai pemilik dan penguasa langit dan bumi, adalah
Mahakaya (tidak perlu kepada siapa pun), dan Maha Terpuji
(perbuatan baik ataupun buruk kita tidak menambah ataupun
mengurangi atribut yang Mahakuasa itu) (Q 4:131).
Relevan sekali dengan pandangan ini adalah kutipan dari A.
Yusuf Ali dalam memberi penjelasan tentang makna yang amat
fundamental firman Ilahi itu. Katanya:

Eksistensi Tuhan adalah eksistensi yang mutlak. Ia tidak tergantung


kepada siapa pun atau apa pun yang lain. Ia berhak atas segala pujian,
karena Ia adalah segala kebaikan dan terdiri dari setiap keutamaan
yang mana pun. Penting menekankan hal ini untuk menunjukkan
bahwa hukum akhlak manusia bukan hanya perkara perintah
transendental tetapi benar-benar berpijak kepada kebutuhan-
kebutuhan esensial umat manusia sendiri. Karena itu, jika teori-teori
aliran pikiran tertentu seperti Behaviorisme terbukti sepenuhnya, hal
itu tidak berpengaruh sedikit pun kepada Islam. Standar etis yang
tertinggi diajarkan Islam tidak sebagai perintah-perintah dogmatis,
tapi karena bisa dibuktikan merupakan kelanjutan dari kebutuhan
tabiat alami munusia dan hasil pengalaman manusia. (A. Yusuf Ali,
h. 222, cat. 641).

Karena pesan Tuhan itu tidak lain adalah kelanjutan wajar


tabiat alami manusia, maka pesan itu pada prinsipnya sama untuk
sekalian umat manusia dari segala zaman dan tempat. Pesan itu

a 4672 b
c Tradisi Islam d

adalah universal sifatnya, baik secara temporal (untuk segala zaman)


maupun secara spasial (untuk segala tempat). Oleh karena itu
terdapat kesatuan esensial semua pesan Tuhan, khususnya pesan
yang disampaikan kepada umat manusia lewat agama-agama
“samāwī” (“berasal dari langit”, yaitu mempunyai Kitab Suci yang
diwahyukan Tuhan kepada seorang Nabi atau Rasul). [v]

a 4673 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

a 4674 b
c Tradisi Islam d

Sikap terhadap Alam

Islam mengajarkan suatu sikap kosmologis — pandangan tentang


cara melihat alam — yang sangat positif, berbeda dengan pandangan
kosmologi India misalnya, seperti yang diwarisi agama Hindu dan
Budha. Al-Qur’an menyatakan dengan tegas bahwa alam ini benar,
“Allah menciptakan langit dan bumi dengan sebenarnya,” (Q 29:44).
Jelas ini merupakan suatu deklarasi yang sangat positif tentang alam.
Bahkan ketika dinyatakan dalam bentuk negatif pun, substansinya
tetap positif, seperti dapat dibaca dalam firman Allah, mengenai
alam yang tidak diciptakan “secara main-main” (Q 21:16), tidak
pula “secara sia-sia,” (Q 38:27).
Pandangan al-Qur’an ini berbeda dengan pandangan India
yang melihat alam ini sebagai mayapada — di mana keberadaan
alam itu dianggap bersifat semu, sehingga pengalaman hidup pun
dianggap serba-semu. Pengalaman hidup yang semu ini dalam
bahasa Sansekerta disebut samsara, yang kemudian kita ambil-alih
menjadi kata sengsara. Arti samsara sebetulnya bukan sengsara
sebagaimana biasa kita pahami, melainkan bahwa pengalaman
manusia itu sifatnya adalah semu. Idenya ingin menekankan bahwa
suatu pengalaman yang semu tidak mungkin akan memberikan
kebahagiaan.
Pandangan kosmologi seperti ini menghasilkan satu doktrin
bahwa kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan “lari” dari dunia
ini. Maka lalu ada doktrin tentang bertapa, yang dalam bahasa
Arab disebut rahbāniyah, suatu sikap hidup yang dilarang dalam
agama Islam. Kenapa? Karena pandangan Islam mengenai dunia
ini adalah optimis dan positif. Itulah sebabnya yang dikehendaki

a 4675 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

oleh agama Islam terhadap dunia ialah keterlibatan yang positif,


dan bukan lari dari dunia.
Sebagai kelanjutan dari pandangan tersebut, maka lahir suatu
asumsi dasar bahwa alam ini penuh dengan hikmah atau makna.
Menarik sekali bahwa dalam bahasa Yunani alam disebut cosmos,
yang artinya adalah harmonis, lawan dari chaos (kacau). Persis
seperti yang dinyatakan al-Qur’an, “...Tak akan kaulihat dalam
ciptaan (Allah) Yang Maha Pemurah yang tak seimbang; balikkanlah
pandanganmu sekali lagi, tampak olehmu ada yang cacat?,” (Q 67:3).
Bahkan dalam ayat berikutnya kita ditantang, “Kemudian ulanglah
pandanganmu sekali lagi; pandangan(mu) akan berbalik kepadamu,
letih dan membingungkan,” (Q 67:4). Keserasian dan keharmonisan
alam ini memang merupakan cermin dari Penciptanya sendiri. Oleh
karena itu disebutkan dalam ayat itu, sebagai “Ciptaan al-Rahmān”,
ciptaan Tuhan yang Mahakasih.
Jika dalam bahasa Yunani digunakan perkataan cosmos, yang
artinya serasi, lawan dari chaos, maka dalam bahasa Arab digunakan
perkataan ‘alam, yang satu akar kata dengan ‘ilm-un dan ‘alāmat-
un. Sebab alam ini sebenarnya merupakan ‘alāmah (pertanda) dari
adanya Tuhan, yang di tempat lain disebut juga sebagai āyāt, yang
juga berarti pertanda.
Dalam al-Qur’an banyak sekali perintah agar kita mempelajari
alam ini. Adapun kegunaannya yang paling tinggi ialah menyadari
adanya Tuhan, dan mengakui keagungan-Nya. Sehingga dilukiskan
bahwa semua alam ini adalah alam yang muslim, atau alam yang
islām. Setelah selesai menciptakan langit dan bumi, Allah berfirman
kepada alam ini, “Hai kamu berdua [ruang waktu dan materil
datang kepada-Ku dengan taat, atau terpaksa; ruang waktu dan
materi (langit dan bumi) pun menjawab, ‘Ya Tuhan, kami datang
dengan sukarela”’.
Seluruh alam ini, adalah alam yang tunduk kepada Tuhan, yang
dalam bahasa agama kita disebut islām. Maka kalau orang menjadi
islām, maka berarti ia menjadi tunduk kepada Tuhan. Hal mana
sebetulnya dia mengikuti hukum alam ini sendiri. Karena itu, kalau

a 4676 b
c Tradisi Islam d

dia tidak tunduk kepada Tuhan, dia melawan hukumnya sendiri,


dan itu akan menimbulkan kesengsaraan.
Perintah-perintah Allah dalam al-Qur’an untuk memperhatikan
alam ini seenarnya tidan lain ialah agar kita mengambil kesimpulan,
bahwa kalau seluruh alam saja tunduk kepada Allah, mengapa
manusia tidak? Karena itulah alam ini juga disebut sebagai āyāt,
petunjuk yang menjadi sumber pelajaran agar kita bisa bersama-
sama dengan alam tunduk kepada Allah swt.
Di kalangan orang-orang Arab ada suatu legenda — dikatakan
legenda karena memang tidak bisa dibuktikan secara historis —
bahwa yang membangun Ka’bah adalah Adam. Ketika Adam diusir
dari surga dia merasa sangat sedih. Dan di antara sekian banyak
yang disedihkan ialah karena dia tidak lagi bisa ikut dengan para
malaikat mengelilingi ‘arsy (lihat, Q 39:75). Setelah turun ke bumi
Adam tidak bisa lagi ikut mereka. Lalu seolah Tuhan menghibur,
“Baiklah, kamu memang tidak bisa lagi ikut thawāf mengelilingi
‘arsy-Ku, tetapi Aku punya ide. Aku buatkan kamu ‘arsy dalam
bentuk miniatur, yaitu Ka’bah. Dan kamu boleh kelilingi Ka’bah
yang nilainya sama dengan para malaikat yang kelilingi ‘arsy”.
Seluruh alam itu thawāf. Rembulan thawāf mengelilingi bumi,
bumi thawāf mengelilingi matahari; matahari dengan seluruh tata
suryanya thawāf mengelilingi galaksinya; dan seluruh alam raya
akhirnya thawāf di sekitar ‘arsy. Karena itu dalam istilah para filsuf,
alam ini adalah ‘āsyiq, dan Tuhan adalah ma‘syūq; alam ini adalah
yang merindukan Tuhan, mencari Tuhan, terus berputar-putar, dan
Allah adalah ma‘syūq-nya. Oleh karena itu, thawāf adalah ibadah
yang meniru gerak dari seluruh alam. Dan dengan thawāf itu, kita
menyatu dengan seluruh alam ini.
Dulu pemahamaan orang-orang musyrik Makkah mengenai
alam ini tidak saintifik. Misalnya saja mereka dulu berpendapat
bahwa suatu saat rembulan dan matahari bisa berbenturan. Maka
Tuhan membantah, tidak, karena semuanya sudah berjalan menurut
aturannya sendiri, dan sesuai dengan taqdīr Tuhan. Taqdīr dalam
istilah al-Qur’an sebenarnya lebih banyak mengacu kepada hukum

a 4677 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

alam yang pasti. Maka berbuat sesuai dengan taqdīr, itu tidak lain
adalah berbuat secara alamiah, yaitu menurut hukum-hukum yang
mengatur alam ini. Dan ini memang tidak bisa dihindari. Oleh
karena itu, taqdīr lalu menjadi pasti dan tidak bisa kita taklukkan.
Artinya, kita harus tunduk kepada hukum alam yang diberikan oleh
Allah itu. Pemahaman Islam terhadap hal ini telah melahirkan apa
yang disebut sains — yang nanti menjadi perintis sains modern.
Sementara yang disebut sunnat-u ’l-Lāh dalam al-Qur’an lebih
mengarah kepada hukum yang menguasai sejarah umat manusia
— walaupun keduanya itu memang bisa diganti-ganti. Di sinilah
ada peranan akal.
Dalam agama Islam, akal menjadi sangat penting karena akal
inilah yang akan menjadi taruhan manusia untuk bisa memahami
alam. Itu sebabnya al-Qur’an sendiri memerintahkan kita supaya
berpikir, memahami alam ini. [v]

a 4678 b
c Tradisi Islam d

Silaturahim

Dalam akhir shalat kita membaca al-tahīyah yang berarti tegur sapa
dengan penuh hormat. Tegur sapa dengan penuh penghormatan
ini tidak semata tertuju kepada Allah (al-tahīyat-u ’l-shalawāt-u
’l-thayyibāt-u li ’l-Lāh), akan tetapi juga kepada Nabi (al-salāmu
‘lay-ka ayyuha ’l-nabīy-u wa rahmat-u ’l-Lāh-i wa barakāt-uh). Tegur
sapa kepada Tuhan beremanasi atau berpancar kepada tegur sapa
kita kepada Nabi yang mengajari kita jalan yang lurus — seperti
kita sudah bahas minggu lalu. Terakhir, kita menegur sapa diri kita
sendiri dan sesama kita, al-salāmu ‘alay-na wa ‘alā ‘ibād-i ’l-Lāh-i
’l-shālihīn. Karena itu sehari-hari kita mengucapkan al-salām-u
‘alay-kum, salam untuk kalian semua.
Sebenarnya yang lebih dulu memberikan tegur sapa kepada
Nabi adalah Allah, inna ’l-Lāh-a wa malā’ik-atahu yushallūn-a ‘alā
’l-nabī (Allah dan malaikat itu bertegur sapa dengan shalawat pada
nabi), baru kemudian kita dianjurlcan bertegur sapa kepada Nabi
juga. Ini semua menunjukkan adanya hierarki dari eksistensi ruhani:
Mula-mula dari Allah, memancar kepada Nabi, dan kemudian
memancar kepada kita semua.
Oleh karena itu, meskipun bersyukur itu adalah kepada Allah
— mengucap al-hamad-u li ’l-Lāh berarti memberi kredit kepada
Allah — tetapi Nabi pernah mengatakan, “Barang siapa yang tidak
berterima kasih pada sesama manusia, dia tidak berterima kasih pada
Allah.” Dan al-Qur’an memberi petunjuk kalau kita memberi
sesuatu agar tidak mengharapkan balasan apa pun, meski hanya
berupa ucapan terima kasih. “Kami memberi makan kepada kamu
karena Allah semata; kami tidak mengharapkan balasan dan terima

a 4679 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

kasih dari kamu,” (Q 76:9). Ini dari pihak yang memberi. Bagi
pihak yang menerima, wajib mengucapkan terima kasih karena
merupakan bagian dari terima kasih kepada Allah.
Dimensi vertikal yang berupa memelihara hubungan baik
dengan Allah (habl-un min-a ’l-Lāh) harus diselaraskan dengan
hubungan sesama manusia (habl-un min-a ’l-nās) dengan silaturahim
(tali cinta kasih), yaitu memelihara cinta kasih antarsesama manusia.
Dan berbuat baik kepada orangtua adalah awal dari silaturahim.
Beberapa ayat al-Qur’an, bisa dikemukakan di sini.

“Dan Tuhanmu telah memutuskan bahwa hendaknya kamu sekalian


tidak beribadat kecuali kepada-Nya saja, dan bahwa hendaknya kamu
berbuat baik kepada kedua orangtua...,” (Q 17: 23).
“Dan Kami berpesan kepada manusia hendaknya berbuat baik kepada
kedua orangtua...,” (Q 29: 8).
“Dan Kami berpesan kepada manusia tentang kedua orangtuanya:
ibunya mengandungnya dalam kesusahan demi kesusahan, berpisah
setelah dua tahun; maka hendaknya engkau (manusia) bersyukur
kepada-Ku dan kepada orangtuamu. Kepada-Ku-lah tempat
kembalimu,” (Q 31:41).

Dalam hal kepada ibu, misalnya, ada bagian anatomis yang


disebut rahm (cinta kasih) tempat kita dulu dikandung. Tempat
itu disebut rahm karena tidak ada cinta kasih yang lebih murni
daripada cinta kasih ibu kepada anaknya. Hal ini menyebabkan
porsi kewajiban anak berbuat baik kepada ibu tiga kali lebih besar
dibanding kepada bapak. Istilah silaturahim kemudian diperluas
cakupannya menjadi seluruh keluarga dan seluruh umat manusia.
Karena itu kalau kita zikir betul kepada Allah, kita juga harus
silaturahim, harus rnemelihara cinta kasih kepada sesama manusia.
Di sinilah kita melihat kaitan antara silaturahim dengan ihsān.
Ihsān adalah penghayatan yang sedalam-dalamnya akan kehadir­
an Tuhan: Ketika kita menyembah kepada Tuhan seolah-olah kita
melihat-Nya (al-ihsān-u huwa an ta‘bud-a ’l-Lāh-a ka-anna-ka

a 4680 b
c Tradisi Islam d

tarā-hu). Dalam hadis ini memang seolah-olah dibolehkan kita


mempunyai bayangan tentang Tuhan karena kita tidak mungkin
berpikir secara abstrak murni. Tetapi yang perlu ditekankan adalah
bahwa gambaran kita tentang Tuhan tidak boleh dimutlakkan,
apalagi menggambar Tuhan sebagai bayangan kita yang pada
akhirnya Tuhan seperti ciptaan kita sendiri. Inilah yang dinamakan
berhala. Karenanya bayangan tentang Tuhan harus diyakini bukan
sebagai yang sebenarnya; itu ada hanya karena keterbatasan kita.
Ucapan lā ilāh-a illā ’l-Lāh (tiada Tuhan selain Allah), yang ditiada­
kan adalah Tuhan dalam bayangan kita, sebab Tuhan “wa-lam yakun
lahū kufuw-an ahad, “Dan tak ada apa pun seperti Dia,” (Q 112:
4). Meskipun demikian, Allah memiliki nama-nama yang bagus,
wa li l-Lāh-i ’l-asmā’-u ’l-husnā, Allah mempunyai nama-nama yang
bagus dan memintalah kepada-Nya melalui nama-nama itu.
Al-Asmā’ al-husnā yang 99 itu kemudian seolah menjadi
jendela-jendela bagi kita untuk masuk secara khusus masuk kepada
pengalaman Allah sesuai dengan pengalaman subyektif kita. Kalau
kita dalam kondisi kekurangan rezeki maka kita masuk melalui al-
Razzāq dan meminta kepada Allah untuk memberikan rezeki. Kalau
kita berada dalam dosa maka kita masuk melalui al-Ghaffār untuk
meminta ampunan kepada-Nya, dan begitu seterusnya. Dengan
begitu kita mempunyai channel khusus yang mengintensifkan
zikir kita sesuai dengan pengalaman kita. Tetapi Nabi mengatakan
bahwa zikir yang paling baik adalah lā ilāh-a illā ’l-Lāh, meniadakan
semuanya dan pasrah kepada Allah sama sekali. Inilah tauhid. Zikir
yang membawa kepada tauhid ini, di samping bersifat lahiriah,
bisa juga bersifat khafī.
Dilihat dari namanya yang khafī, rahasia, sebenarnya zikir ini
merupakan sesuatu yang sangat rahasia, sangat pribadi, berada
dalam lubuk hati masing-masing. Dalam bahasa Arab hal itu
disebut lubb, dan itu hisa tidak berbahasa, tanpa bahasa, karena
yang penting adalah mengahayati kehadiran Tuhan dalam diri kita.
Rasakanlah bahwa Allah sendiri berfirman, bahwa Allah lebih dekat
kepada kita daripada urat leher kita sendiri.

a 4681 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Ada sebuah hadis yang secara ringkas mengatakan bahwa ketika


Nabi berkata seclang menunggu orang yang akan masuk surga,
datang kepadanya seorang sederhana. Abdullah ibn Amr sebagai
anak muda yang cerdas dan saleh merasa penasaran dengan orang
tersebut yang tampaknya disebut Nabi bakal masuk surga. Ketika
Abdullah mengikuti dan sampai di rumahnya, ia minta izin untuk
menginap dengan alasan sedang bertengkar dengan ayahnya. Orang
itu mempersilakannya. Setelah memperhatikan selama tiga hari tiga
malam, Abdullah kecewa karena tidak menemukan sesuatu yang
istimewa. Karena itu kemudian ia minta izin pulang dan dengan
jujur mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak bertengkar dengan
ayahnya. Ia menginap karena terdorong rasa penasaran kepada
orang itu yang namanya disebut Nabi bakal masuk surga, tetapi
tidak ada yang istimewa kecuali setiap membalikkan badan dalam
tidur selalu menyebut Allah.
Dengan kerendahan hati orang itu mengatakan bahwa itulah
dia. Tetapi kalau memang ucapan Abdullah itu serius, dia sendiri
tidak tahu sebabnya. Hanya saja, ia memang selalu ingat kepada
Allah di mana pun dan kapan pun, dan tidak pernah merasa iri hati
kepada siapa pun, termasuk kepada orang yang sedang beruntung.
Abdullah mengatakan bahwa iri hati inilah yang berat buat kita.
Iri hati digambarkan dalam hadis sebagai api yang membakar
kebaikan orang, seperti api membakar kayu bakar kering. Seperti
dikatakan hadis, “Jauhilah perasaan dengki karena kedengkian itu
akan menghabiskan kebaikanmu seperti api yang membakar kayu
bakar kering.” Begitu sulitnya menghilangkan dengki, maka kita
diajari memohon pertolongan kepada Allah supaya dijauhkan dari
dengki dan bahayanya. [v]

a 4682 b
c Tradisi Islam d

Mereka itu tidak Sama

Para pemimpin Islam sering mengemukakan: Islam adalah agama


toleran, yang menghargai agama-agama lain. Banyak dukungan
ajaran untuk pandangan ini. Akan tetapi, yang amat diperlukan
dewasa ini — apalagi di tengah banyak amuk massa yang sering
mengatasnamakan agama untuk konflik-konflik sosial — ialah
sosialisasi pandangan toleransi tersebut sehingga diketahui,
dimengerti, dihayati, dan diamalkan oleh semua lapisan umat
Islam. Sekalipun ajaran tersebut lebih berat pada segi keharusan
normatif, yang dalam banyak hal pelaksanaannya sangat tergantung
pada kenyataan, namun kesadaran mengenai hal tersebut akan
menghasilkan tindakan yang berbeda daripada jika orang tidak
menyadarinya sama sekali.
Dari sudut ajaran Islam, kerukunan umat beragama merupakan
akibat wajar dari sistem keimanannya. Nabi Muhammad saw
diperintahkan oleh Allah untuk menegaskan bahwa beliau bukan
pertama di kalangan para utusan Allah (Q 46:9). Juga ditegaskan
bahwa Nabi Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, yang
sebelumnya telah lewat rasul-rasul lain (Q 3:144). Oleh karena itu,
Nabi saw juga menegaskan bahwa agama para rasul itu semuanya
adalah satu dan sama, sekalipun syariatnya berbeda-beda.
Kesatuan agama para nabi dan rasul itu, sebagaimana disebutkan
dalam al-Qur’an, adalah karena semua berasal dari pesan atau
ajaran Allah (Q 42:13). Jadi, sudah seharusnya kita menghormati
keberadaan agama-agama itu tanpa membeda-bedakannya. Justru
perasaan berat untuk bersatu dalam agama itu disebutkan sebagai
sikap kaum musyrik, penyembah berhala (kaum pagan). Sedangkan

a 4683 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

perbedaan anatarberbagai agama itu hanyalah dalam bentuk-bentuk


jalan (syir‘ah atau syarī‘ah) dan cara (minhāj) menempuh jalan itu.
Perbedaan tersebut hendaknya tidak menjadi halangan, tetapi
menjadi pangkal berlomba-lomba menuju kebaikan. Manusia tidak
perlu mempersoalkan perbedaan itu, sebab kelak di Hari Kemudian
Allah akan menjelaskan tentang itu semua (Q 5:48).
Lebih jauh disebutkan dalam al-Qur’an bahwa Allah telah
meng­utus rasul kepada setiap umat di muka bumi, tanpa kecuali,
dan semua rasul itu mengajarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta
perlawanan kepadu tirani. Manusia dipersilakan mengembara di
laumi dan melihat sendiri, serta meneliti bagaimana akibat mereka
yang menolak kebenaran. Juga disebutkan dalam al-Qur’an bahwa
setiap kelompok manusia atau bangsa mempunyai penunjuk jalan
kebenaran, dan tidak ada satu umat pun yang padanya tidak pernah
tampil seorang pembawa peringatan (lihat, Q 16:36; 13:7; 35:24;
40:78). Karena setiap bangsa pernah menampilkan utusan Tuhan,
maka jumlah mereka banyak sekali dan tidak semuanya diceritakan
dalam al-Qur’an (Q 40:78). Menurut Nabi saw. sendiri, jumlah
para rasul Allah itu sepanjang masa dan di seluruh muka bumi
mencapai 315 atau sekitar itu.
Setiap Muslim wajib percaya kepada nabi dengan semua ajaran­
nya dalam Kitab-kitab Suci, tanpa membeda-bedakan seorang pun
di antara mereka (Q 2:136). Memang suatu kenyataan yang tidak
dapat diingkari bahwa tidak semua ajaran dan Kitab-kitab para
nabi itu telah terpelihara dengan baik sepanjang masa, sehingga
memang ada kemungkinan mengalami pengubahan-pengubahan
tidak sah oleh tangan-tangan manusia. Akan tetapi, lepas dari soal
itu, al-Qur’an diturunkan pertama-tama adalah untuk mendukung
kebenaran Kitab-kitab Suci yang ada di tangan umat manusia dan
melindunginya (Q 5:48), dan untuk meluruskan mana yang telah
menyimpang karena ulah manusia itu (Q 2:185).
Pada dasarnya al-Qur’an tetap mengakui bahwa Kitab-kitab
Suci yang lalu itu mengandung kebenaran yang harus dijalankan
oleh para pengikutnya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kaum

a 4684 b
c Tradisi Islam d

Yahudi dan Kristen untuk dengan sungguh-sungguh menjalankan


ajaran yang ada dalam Kitab Suci mereka masing-masing (Q 5:44,
47). Bahkan Allah menjanjikan bahwa jika mereka menjalankan
ajaran Kitab Suci masing-masing, maka rezeki dan kemakmuran
akan dilimpahkan “dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka,”
(Q 5:66).
Menurut Ibn Taimiyah, kewajiban orang Yahudi dan Kristen
menjalankan ajaran Kitab Suci mereka itu berlaku sepanjang masa,
jika mereka tidak pindah agama (misalnya ke dalam Islam). Ibn
Taimiyah juga berpendapat bahwa sampai sekarang Kitab-kitab
Suci Taurat dan Injil itu masih banyak mengandung kebenaran.
Perubahan, menurutnya, hanya terjadi pada hal-hal yang bersifat
berita (seperti berita tentang bakal tampilnya Nabi Muhammad
saw) dan beberapa perintah saja.
Lebih jauh lagi, menurut Ibn Taimiyah, golongan terbanyak
kaum Salaf menganut pandangan bahwa ajaran dalam Kitab-kitab
Suci itu berlaku juga untuk umat Islam, selama persoalannya tidak
dengan jelas di-naskh oleh al-Qur’an. Oleh karena itu, umat Islam
sebaiknya mempelajari Kitab-kitab Suci itu, meski dengan sikap
kritis terhadap hal-hal yang berbeda dengan al-Qur’an. Itulah
yang dilakukan oleh para ulama Salaf, seperti Ibn Taimiyah dan
Syahristani.
Berpangkal dari berbagai pandangan asasi mengenai toleransi
Islam ini, al-Qur’an mengajarkan bahwa umat Islam harus
menghormati semua pengikut Kitab Suci (ahl al-kitāb). Sama
halnya dengan semua kelompok manusia, termasuk umat Islam
sendiri, di antara kaum pengikut Kitab Suci itu ada yang tulus dan
ada yang tidak. Dari mereka ada yang memusuhi kaum beriman,
tapi juga ada yang menunjukkan sikap persahabatan yang tulus.
Dalam al-Qur’an disebutkan terutama kaum Nasrani sebagai yang


lihat, dalam kitabnya, al-Jawāb al-AShahīh li-man Baddal-a Dīn al-
Masīh, 4 jilid (Beirut: Mathabi’ al-Majcl al-Tijariyah, tanpa tahun), jilid 1,
hh. 371-375.

a 4685 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

paling dekat rasa cintanya kepada kaum beriman, karena di antara


mereka ada pendeta-pendeta dan rahib-rahib, dan mereka tidak
sombong (Q 5:82).
Bahkan al-Qur’an memperingatkan hendaknya kaum beriman
tidak melakukan generalisasi terhadap Ahli Kitab berkenaan dengan
sikap spesifik mereka. Di antara golongan penganut Kitab Suci
ada umat yang konsisten, yang senantiasa membaca ajaran-ajaran
Allah di tengah malam dan beribadat, beriman kepada Allah
dan Hari Kemudian, melakukan amar makruf nahi munkar dan
bergegas dalam berbagai kebaikan. Al-Qur’an menyebut mereka
itu tergolong orang-orang yang saleh, dan menegaskan bahwa
kebaikan apa pun yang mereka lakukan tidak akan ditolak. Bunyi
lengkap terjemahan ayatnya,

“Mereka — ahli Kitab itu — tidaklah sama. Di antaranya ada golongan


yang lurus, membaca ajaran-ajaran Allah pada waktu malam, dan
bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, dan
menganjurkan yang baik dan melarang yang jahat, dan mereka bergegas
dalam berbagai kebajikan. Mereka tergolong orang-orang yang saleh. Apa
pun kebajikan yang mereka kerjakan, mereka tidak akan diingkari. Allah
Mahatahu tentang orang-orang yang bertakwa,” (Q 3:113-115).

Demikianlah, agama telah mengajarkan kita suatu sikap toleran


terhadap umat beragama lain. Nabi saw sendiri, sementara beliau
keras kepada kaum musyrik, namun menjaga pergaulan yang sangat
baik dengan kaum Nasrani yang lurus. Terhadap mereka al-Qur’an
mengatakan bahwa kaum beriman tidak boleh berdebat kecuali
dengan cara yang lebih baik, dari segi cara maupun isinya. Dan
terhadap mereka itu pula, kaum beriman tidak dilarang untuk
bergaul dengan baik dan bersikap jujur (Q 29:46; 60:8). [v]

a 4686 b
c Tradisi Islam d

Damailah di Bumi

Dalam al-Qur’an ada firman Allah, “Kamu adalah umat terbaik,


dilahirkan untuk segenap manusia, menyuruh orang berbuat benar
dan melarang perbuatan mungkar serta beriman kepada Allah...,”
(Q 3:110). Di sini kaum Muslim disebut sebagai “umat terbaik”.
Di sisi lain kaum Muslim disebut juga sebagai “umat penengah”
atau “umat yang berimbang”, seperti dikatakan dalam al-Qur’an,
“Demikianlah Kami jadikan kamu suatu umat yang berimbang,
supaya kamu menjadi saksi atas segenap bangsa...,” (Q 2:143).
Islam adalah agama penengah, yang umatnya adalah wasīth,
yaitu orang yang berdiri di tengah, yang bisa memberi penilaian
secara adil. Menjadi agama penengah yang menegakkan keadilan
membuat Islam menjadi agama yang bercorak dinamis, yang dilam­
bangkan dengan: jihad di satu segi, tetapi sekaligus kelembutan-
dalam-kedamaian di segi lain. Dalam Islam keduanya itu tidak bisa
dipisahkan: Kita berjihad untuk menciptakan kedamaian; tetapi
juga kita harus menempuh kedamaian untuk mencapai tujuan-
tujuan yang lebih tinggi, khususnya dalam mewujudkan keberadaan
kita di dunia ini, “supaya menjadi saksi atas segenap bangsa”.
Itu sebabnya, kita mendapati dalam al-Qur’an gambaran me­
ngenai surga itu ialah kedamaian, disebutkan, “Mereka di sana tidak
mendengar cakap kosong, dan tiada mengandung perbuatan dosa,
selain mengatakan, ‘salām! salām!’ (damai, damai),” (Q 56:25-26).
Tetapi menjadi umat penengah itu sulit; menjadi saksi atas
umat manusia itu tidaklah mudah, bahwa itu dapat terjadi begitu
saja, taken for granted, karena itulah kita berdoa setiap kali dalam
sembahyang: “ihdi-nā ’l-shirāth-a ’l-mustaqīm” (Tunjukilah kami ke

a 4687 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

jalan yang lurus). Jalan apa itu? Yaitu “Jalan mereka yang telah Kauberi
segala kenikmatan, bukan (jalan) mereka yang mendapat murka, dan
bukan mereka yang sesat jalan,” (Q. 1: 6,7). Siapakah yang mendapat
murka? Yaitu mereka yang hanya dapat menggunakan kekerasan,
mereka yang sengaja melanggar hukum Allah. Siapakah yang sesat?
Yaitu mereka yang hanya bisa memaafkan, dan membiarkan yang
terjadi biar terjadi, karena kurangnya kepedulian. Umat Islam
harus bisa berdiri di tengah-tengah antara sikap tegas dan keras
tanpa pengampunan, dan kelembutan ketidakpedulian. Bisa
mewujudkan keseimbangan dalam takarannya yang tepat, inilah
yang sulit. Maka setiap kali kita memohon kepada Allah, supaya
diberikan petunjuk.
Kutipan surat al-Syūrā/42: 38-43 berikut dapat menggambarkan
bagaimana umat Islam harus bertindak seimbang dan adil di muka
bumi ini. Renungan atas ayat ini juga bisa memberikan kearifan
tindakan bagi kita dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang
dihadapi umat Islam, dalam kaitan dengan kerumitan hubungan
antaragama yang sedang kita hadapi. Kita kutip terlebih dahulu
terjemah ayat al-Qur’annya:

“Dan mereka yang memenuhi seruan Tuhan dan mendirikan shalat,


dan persoalan mereka dimusyawarahkan antara sesama mereka, dan
mereka infakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Dan bila ada perbuatan sewenang-wenang menimpa mereka, mereka
membela diri. Balasan atas suatu kejahatan, adalah kejahatan yang
setimpal. Tetapi barang siapa dapat memberi maaf dan menciptakan
perdamaian, maka balasannya dari Allah. Sungguh, Ia tak menyukai
orang yang berbuat zalim. Tetapi sungguh barang siapa membela diri
setelah dianiaya, tak ada alasan menyalahkan mereka. Kesalahan
hanyalah pada mereka yang menganiaya manusia, dan melanggar
batas di bumi tanpa sebab. Bagi mereka itulah azab yang pedih. Tetapi
sungguh, barang siapa mau sabar dan memberi maaf, sungguh itulah
sikap yang terbaik,” (42: 38-43).

a 4688 b
c Tradisi Islam d

Mari kita renungkan ayat ini: Ayat ini dimulai dengan perka­
taan mereka yang memenuhi seruan Tuhan, mendirikan shalat,
dan memusyawarahkan atas apa saja masalah yang dihadapi.
Musya­warah dalam ayat ini mendapatkan perhatian utama, sebagai
prinsip kehidupan sosial-politik yang benar, mulai dari rumah
tangga atau keluarga, kehidupan bermasyarakat, hingga hubungan
kenegaraan. Musyawarah pun menjadi kata kunci surat tersebut
(surat al-Syūrā, surat mengenai musyawarah). Prinsip musyawarah
ini juga yang telah dipraktikkan secara sangat ekspresif oleh Nabi
saw, sehingga dapat menjadi model bagi kaum Muslim untuk
mengerti kehidupan modern mengenai demokrasi, sesuai dengan
asas partisipatif-egaliter.
Tetapi, jika musyawarah ini tidak bisa dicapai, dan kaum
Muslim — hak-hak pribadi maupun kolektifnya — merasa
diinjak-injak, maka kaum Muslim diperbolehkan bertahan dan
membalas demi membela kebenaran. “Balasan atas suatu kejahatan,
adalah kejahatan yang setimpal”. Tetapi dalam membela diri, dan
membalas atas hak-hak pribadi maupun kolektif yang diinjak-injak
itu, kaum Muslim diingatkan tidak boleh melebihi dari kezaliman
yang dideritanya, sehingga menjadi bentuk balas-dendam.
Karena itulah, menghindari bentuk balas dendam yang dapat
menimbulkan kezaliman, al-Qur’an memberi jalan keluar, bahwa
yang ideal itu bukan balas dendam tetapi mengikuti cara yang
lebih baik ke arah kerukunan kembali dengan orang-orang yang
melakukan pelanggaran. Inilah langkah moral terbaik dari ajaran
agama, yang membalik sikap permusuhan menjadi persahabatan
dan persaudaraan, yang penuh dengan maaf dan rasa kasih
sayang. Dari segi agama, Allah lebih meridai sikap persahabatan,
persaudaraan, maaf dan rasa kasih sayang itu daripada permusuhan
dan balas dendam tak berkesudahan. “Barang siapa dapat memberi
maaf dan menciptakan perdamaian, maka balasannya dari Allah”.
Walaupun al-Qur’an juga menegaskan “Barang siapa membela diri
setelah dianiaya, tak ada alasan menyalahkan mereka. Kesalahan
hanyalah pada mereka yang menganiaya manusia, dan melanggar

a 4689 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

batas di bumi tanpa sebab. Bagi mereka itulah azab yang pedih”.
Tetapi tetap, pada akhirnya, “Sungguh, barang siapa mau sabar dan
memberi maaf, sungguh itulah sikap yang terbaik”.
Maka dari itu menjadi orang Islam yang menegakkan “jalan
tengah” — sebagai saksi, sebagai umat terbaik — itu sulit. Sebab
kita harus tahu, kapan harus membela diri dengan menghancurkan
musuh yang telah menganiaya kita, tapi kita juga harus tahu,
kapan harus bersabar dan memaafkan. Inilah yang harus kita
minta setiap hari kepada Allah swt sebanyak 17 kali melalui rakaat-
rakaat sembahyang wajib kita, “ihdinā ’l-shirāth-a ’l-mustaqīm
(Tun­jukilah kami ke jalan yang lurus)”. Menurut ajaran agama,
memper­tahankan diri itu boleh, membalas boleh, tapi membalas
dengan berlebihan itu zalim. Dan dari sejarah kita belajar, setiap
pembalasan cenderung sering berlebihan. Daripada membalas
berlebihan, agama mengajarkan lebih baik berdamai. Kalau kita
hanya menonjolkan yang keras, maka Allah memperingatkan
jangan-jangan kamu nanti zalim, tapi kalau kita hanya bisa me­
maafkan, akibat ketidakpedulian kita pada persoalan kezaliman
yang sesungguhnya, maka kita nanti terjerembab dalam kelembekan
moral, dan hukum tidak berjalan dalam masyarakat, sehingga
masyarakat ditandai oleh tidak adanya hukum yang menegakkan
pembeda antara yang benar dan salah.
Maka kita petik hikmah ayat di atas, bahwa bersabar dan
memberi maaf memang lebih berat dijalankan, daripada memperla­
kukan orang dengan kasar dan keras untuk membalas dendam,
dengan menghukum mereka yang bersalah. Sebab menurut al-
Qur’an, bersabar dan memberi maaf itu adalah bentuk keberanian,
pemecahan masalah yang paling tinggi dan mulia. Karena itu adalah
bagian dari fitrah manusia; sehingga dalam suasana Idul Fitri ini,
ketika kita kita kembali kepada kesucian asal, kita-kita pun kembali
kepada dār-u ’l-salām (Dārussalām), kampung perdamaian, Pacem in
Terris, sehingga dapat tercapailah damai di bumi, dan berbahagialah
seluruh umat manusia. [v]

a 4690 b
c Tradisi Islam d

Hubungan Orangtua dan Anak


(Bagian pertama dari dua tulisan)

Ada hal yang amat menarik dalam al-Qur’an, yaitu bahwa qadlā
(keputusan atau “dekrit”) Tuhan tentang kewajiban manusia
menghormati ibu-bapaknya diberikan sebagai persoalan nomor
dua setelah kewajiban bertauhid atau tidak menyembah kepada
sesuatu apa pun selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Keputusan
itu juga diikuti dengan pesan-pesan agar manusia jangan sampai
berucap kasar kepada ibu-bapaknya itu jika salah seorang atau
kedua-duanya telah mencapai usia lanjut, dan hendaknya senantiasa
bersikap lemah-lembut, penuh kesopanan dan kasih sayang kepada
keduanya sebagaimana keduanya sudah mendidiknya sewaktu
kecil. Keputusan dan pesan Ilahi itu kemudian ditutup dengan
penegasan bahwa Dia lebih tahu tentang isi hati manusia. Jika ia
adalah seorang manusia yang baik dengan bukti melaksanakan
keputusan dan pesan Tuhan berkenaan dengan ibu-bapak itu, maka
Dia akan mengampuninya dan menerima sikapnya untuk kembali
atau taubat kepada-Nya (Q 17:23-25).
Di tempat lain dalam Kitab Suci juga dipesankan agar perbuatan
baik manusia kepada kedua orangtuanya itu terutama ditujukan
kepada ibunya, sebab dia inilah yang telah mengandungnya dengan
penuh penderitaan, dan baru berpisah dalam sapihan setelah paling
tidak lewat duat tahun. Kemudian diserukan kepada manusia
agar bersyukur kepada Tuhan serta berterima kasih kepada kedua
orangtua, disertai peringatan bahwa semua manusia akan kembalii
kepada-Nya. Dalam firman itu sendiri juga ditegaskan bahwa
sekalipun manusia harus berbuat baik kepada ibu-bapaknya, namun

a 4691 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

bila kedua orangtua memaksakan sesuatu yang tidak dapat diterima


kebenarannya, seperti, misalnya, sikap mempersekutukan Tuhan
atau syirik, maka mereka tidak boleh ditaati, meski dengan tetap
bersikap sebaik-baiknya kepada mereka selama hidup di dunia ini.
Dalam semuanya itu seseorang harus meneladani golongan yang
mengarahkan dirinya kepada Tuhan, sebab semua orang akan
kembali kepada-Nya dan Dia akan memaparkan segala sesuatu yang
telah pernah dilakukannya dalam hidup di dunia (Q 31:14-15).
Dari apa yang telah dikemukakan itu dapat disimpulkan bahwa
kewajiban seseorang kepada ibu-bapaknya adalah nomor dua dan
paling penting setelah kewajiban beribadat kepada Allah semata.
Kewajiban berbuat baik kepada orangtua itu didasarkan kepada
kenyataan bahwa seorang manusia menjadi seperti adabnya di dunia
ini sebagian adalah berkat didikan orangtuanya, baik pendidikan
sebelum lahir atau “pre-natal” seperti yang dilakukan ibu terhadap
janin yang dikandungnya, maupun pendidikan setelah lahir seperti
yang diberikan oleh ibu dan bapak secara bersama-sama. Dari doa
yang diajarkan dalam al-Qur’an agar kita memohon kasih-sayang
Allah untuk ibu-bapak kita “sebagaiamana keduanya telah mendidik
kita di masa kecil”, dapat ditarik pelajaran bahwa mendidik anak
itulah yang menjadi tugas pokok orangtua. Tugas itu sedemikian
rupa sehingga anugerah kasih-sayang Tuhan yang dimohonkan
seseorang untuk ibu-bapaknya dikaitkan dengan tingkat atau
kadar bagaimana keduanya melaksanakan kewajiban itu. Dengan
perkataan lain, tinggi-rendahnya nilai kasih-sayang Ilahi yang
dimohonkan untuk ibu-bapak itu adalah tergantung kepada tinggi-
rendahnya nilai pendidikan yang telah diberikan kepadanya. Hal
itu dapat berarti bahwa jika ibu-bapak mengabaikan pendidikan
anak maka mereka berdua tidak berhak untuk mendapatkan kasih
Ilahi yang dimohonkan anaknya.
Sudah tentu “pendidikan” di sini harus dipahami dalam makna­
nya yang luas dan mendalam. Di atas telah dijelaskan bahwa sebab
utama seseorang harus berbuat baik kepada ibunya ialah karena
ibunya itu telah mengandungnya dengan susah-payah selama

a 4692 b
c Tradisi Islam d

sembilan bulan, kemudian baru menyapihnya setelah dua tahun. Jadi


semata-mata mengandung bayi itu sendiri kemudian merawatnya
segera setelah lahir adalah wujud paling penting dan paling tinggi
daripada pendidikan. Oleh karena itu tidak seotang pun terbebaskan
dari kewajiban berbuat baik kepada ibunya. Semata-mata kenyataan
bahwa al-Qur’an menyebutkan perkara ibu mengandung dan
menyusui itu secara eksplisit sudah menunjukkan betapa pentingnya
hal itu menjadi perhatian setiap orang.
Dalam bahsa Arab, sebagaimana digunakan dalam al-Qur’an,
pengertian “pendidikan” itu dinyatakan dalam kata-kata “tarbiyah”,
yang makna kebahasaannya ialah “meningkatkan” atau “membuat
sesuatu lebih tinggi”. Pengertian pendidikan menurut al-Qur’an
ini mengandung pra-anggapan bahwa dalam diri manusia terdapat
bibit-bibit kebaikan. Bibit-bibit itu dapat dikembangkan (dilakukan
“tarbiyah” kepadanya), tapi dapat juga terhambat, tersumbat dan
mungkin mati jika tidak dikembangkan. Dalam idiom keagamaan,
bibit-bibit naluri kebaikan itu disebut “fitrah”, yang dapat diberi
pemaknaan sebagai “kemanusiaan primordial yang suci”. Karena
kemanusiaan “primordial” ini merupakan inti kewujudan manusia,
maka ia adalah abadi (“perenial”). Artinya, manusia selama-lamanya,
sejak mula-mula sekali diciptakan Allah sampai akhir zaman,
memendam dalam dirinya bibit-bibit kebaikan, yang senan­tiasa
mendorongnya untuk berbuat baik. Manusia akan merasa­kan
kebahagiaan sejati jika ia berhasil menyalurkan dorongan batin­
nya yang suci itu, dan akan mengalami kesengsaraan sejati jika ia
gagal.
Dorongan untuk berbuat baik itu menumbuhkan kesadaran
barakhlak mulia. Artinya, manusia memiliki dalam dirinya
kesadaran menempuh hidup dalam akhlak mulia (al-akhlāq al-
karīmah) atau budi luhur. Perangai manusia disebut “khuluq”
(dalam bentuk mufrad) atau “akhlāq” (dalam bentuk jamak),
karena bersangkutan dengan hakikat penciptaan (khalq) Sang Maha
Pencipta (al-Khāliq) untuk manusia sebagai “makhlūq”-Nya. Jadi
“akhlāq” atau budi pekerti adalah hakikat dan sifat kedirian manusia

a 4693 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

yang paling mendalam dan asasi. Inilah sesungguhnya yang disebut


“fithrah”, yang arti kebahasaannya adalah sama dengan “khilqah”,
yakni keadaan dan sifat asli dan suci “penciptaan” Ilahi.
Bibit-bibit kebaikan itu sendiri, sebagaimana telah disinggung,
terdapat dalam diri manusia yang paling mendalam secara abadi,
dan tidak akan ada perubahan (atau pengubahan) selama lamanya
(Q 30:30). Ada sebuah penegasan dari Nabi saw bahwa setiap anak
dilahirkan dalam fitrah atau bibit kesucian, dan ibu-bapaknyalah
yang mungkin akan menyimpangkan fitrah itu dari jalannya yang
lurus. [v]

a 4694 b
c Tradisi Islam d

Hubungan Orangtua dan Anak


(Bagian kedua dari dua tulisan)

Minggu lalu sudah kita lihat bahwa, ibu-bapak sebagai yang


berpotensi menyelewengkan anaknya dari garis fitrahnya, sebab
kedua orangtua adalah titik persambungan (interface) antara anak
dengan lingkungan sosial-budaya yang ada. Apa yang dididikkan
orangtua kepada anaknya sebagian besar berasal dari bahan-bahan
yang ada dalam lingkungan sekitarnya. Bahan-bahan itu diperoleh
melalui pewarisan turun-temurun dalam bentuk adat kebiasaan
atau melalui informasi dari tempat lain dalam suatu masa hidup
kedua orangtua tersebut. Jadi, peran pendidikan punya sangkutan
dengan kesediaan belajar; orangtua, atau siapa saja, akan mampu
menjalankan tugas mendidik dengan baik, kalau punya pengetahuan
yang memberinya deretan pilihan atau alternatif. Semakin banyak
titik pilihan atau alternatif itu semakin baik, yang berarti keluasan
pandangan dan wawasan. Itulah sebabnya pendidikan yang baik
cenderung tumbuh dalam lingkungan keluarga yang baik, asalkan
hubungan orangtua dan anak berlangsung secara wajar.
Jika hubungan orangtua dan anak berlangsung secara tidak
wajar — seperti keadaan yang sangat menggejala di zaman sekarang
— maka anak akan berkembang menyimpang dari fitrahnya, dan
tumbuh dalam kesulitan hidup. Keadaan yang menyengsarakan itu
dengan sendirinya juga menjadi tanggungan (dan tanggung jawab)
orangtua. Berkenaan dengan inilah dalam al-Qur’an ada peringatan
bahwa anak itu, sama halnya dengan harta, adalah “fitnah” (artinya,
“ujian” dari Tuhan) kepada manusia (Q 8:28). Dalam pengertian
“ujian” itu terkandung makna bahwa jika seseorang mampu

a 4695 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

menempuhnya dan “lulus”, maka ia akan merasakan keberuntungan


dan kebahagiaan. Jadi anak, seperti harta, dapat menjadi sumber
kebahagiaan hidup, sebagaimana setiap orang mendambakannya.
Tapi dalam pengertian “ujian” itu terkandung pula makna bahwa
jika seseorang tidak mampu menempuhnya dan “gagal”, maka,
sebagimana halnya dengan setiap kegagalan dalam ujian, akan
berakibat perasaan derita, nestapa. Perasaan kurang berharga akan
muncul, dan semuanya itu berujung dengan kesengsaraan.
Juga terdapat peringatan bahwa anak, seperti juga harta,
adalah “perhiasan” hidup di dunia, sedangkan amal kebaikan yang
akan langgeng atau berlangsung terus (dinamakan “al-bāqiyāt al-
shālihāt”) adalah lebih hakiki dan lebih baik sebagai harapan untuk
kebahagiaan (Q 18:46). Sejajar denga pengertian “ujian” tadi, dalam
pengertian “perhiasan” itu terkandung makna sesuatu yang indah
dan menyenangkan. Maka anak dapat tumbuh dengan “indah” dan
menyenangkan bagi orang lain, khususunya orangtuanya sendiri.
Tetapi pengertian “perhiasan” juga mengandung makna sesuatu
yang tidak terlalu hakiki atau esensial sehingga, seperti dialami
banyak orang, dapat mengecoh atau tampil sebagai barang palsu.
Anak pun begitu, sama dengan kekayaan, dapat berubah menjadi
suatu “milik” yang palsu yang menyusahkan.
Maka jika orangtua berhasil mendidik anaknya dengan baik,
anak itu akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang saleh.
Jadi termasuk “al-bāqiyāt al-shālihāt”, yang menurut Nabi saw
merupakan “aset” seseorang sebagai jaminan terus tumbuhnya
kebahagiaan setelah kematian. Tapi kalau orangtua gagal mendidik
anaknya, dan anak itu benar-benar tumbuh menjadi “fitnah” dan
bagaikan “perhiasan” palsu, maka anak itu menurut gambaran al-
Qur’an berkenaan dengan anak Nabi Nuh as yang durhaka, adalah
“wujud kepribaclian amal-perbuatan yang tidak baik”, yakni anak
jahat atau “wujud kepribaclian jahat”. Suatu pelajaran dalam al-
Qur’an yang disangkutkan dengan kisah Nuh dengan anaknya
adalah demikian:

a 4696 b
c Tradisi Islam d

“Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: ‘Ya Tuhanku,


sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji
Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-
adi}nya.’ Allah berfirman: ‘Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah
termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan),
sesunguhnya dia adalah wujud kepribadian amal-perbuatan yang
tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu
yang tidak kamu mengetahui (hakekat)-nya. Sesungguhnya Aku
memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang
yang tidak berpengetahuan.’ Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku berlindung kepada Engkau dan memohon kepada Engkau sesuatu
yang aku tidak mengetahui (hakekat)-nya. Sekiranya Engkau tidak
memberi ampun dan menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku
akan termasuk orang-orang yang merugi,”’ (Q 11:45-47).

Sesungguhnya banyak sekali petunjuk Kitab Suci tentang


pendi­dikan serta hal-hal yang berkenaan dengan hubungan
antara orangtua dan anak. Semuanya berkisar sekitar tanggung
jawab orangtua kepada anaknya dan kewajiban anak terhadap
kedua orangtuanya. Hubungan yang saling bermanfaat dan saling
membahagiakan antara orangtua dan anak secara timbal-balik
dapat diwujudkan asalkan kita memperhatikan benar-benar ajaran
agama yang berkaiatan. Cukuplah sebagai bahan renungan pokok
bahwa kewajiban beribadat hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha
Esa, scmata. Dan bahwa kasih sayang Ilahi yang dimohonkan
anak untuk kedua orangtuanya dikaitkan dan sebanding, dengan
bagaimana ibu-bapak itu mendidiknya di masa kecil.
Mengakhiri tulisan ini, ada baiknya dikemukakan beberapa
peringatan lain dalam al-Qur’an yang menyangkut anak, orangtua,
dan keluarga:

“Sekali-kali bukanlah hartamu dan bukan pula anak-anakmu yang


mendekatkan kamu kepada Kami (Allah) sedikit pun, kecuali jika
orang-orang itu beriman dan mengerjakan amal-amal saleh. Mereka

a 4697 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

itulah yang bakal memperoleh balasan berlipat ganda atas apa yang
telah mereka kerjakan. Mereka aman sentosa dalam ruang-ruang tinggi
di surga,” (Q 34:37).

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu


dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.
Mengawasi neraka itu malaikat-malaikat yang kasar lagi keras, yang
tidak mendurhakai Allah berkenaan dengan apa yang diperintahkan
kepada mereka, dan mereka selamanya mengerjakan apa yang
diperintahkan itu,” (Q 66:6).

“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan waspadalah (bersiap­


lah) terhadap hari seorang orangtua tidak dapat menolong anaknya
dan seorang anak tidak dapat menolong orangtuanya sedikut pun juga.
Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali
kehidupan di dunia memperdayakan kamu, dan janganlah penipu
memperdayakan kamu dalam taat kepada Allah,” (Q 31:33). [v]

a 4698 b
c Tradisi Islam d

Fondasi dalam Etika Islam

Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa tujuan para Rasul Allah ialah


mewujudkan masyarakat berketuhanan (rabbānīyūn — Q 3:79),
yaitu masyarakat yang para anggotanya dijiwai oleh semangat
men­capai rida Allah, melalui perbuatan baik bagi sesamanya dan
kepada seluruh makhluk. Inilah dasar pandangan etis keagamaan.
Dan scluruh pemikiran bidang-bidang etika (sosial, politik,
antaragama, lingkungan, biomedis, bisnis, dan seterusnya) — dari
sudut pandang keagamaan — haruslah dibangun dari dasar ini.
Makna rabbāniyah itu adalah sama dengan “berkeimanan” dan
“berketakwaan” atau lebih sederhananya, “beriman” dan “bertakwa”
— atau “imtak” akronim yang sekarang populer. Dari sudut
pandang sistem paham keagamaan, iman dan takwa adalah fondasi
(Arab: asās) yang benar bagi semua segi kehidupan manusia.

“Manakah yang terbaik? Mereka yang mendirikan bangunannya


atas dasar takwa dan keridaan Allah, ataukah yang mendirikan
bangunannya di atas tanah pasir di tepi jurang lalu runtuh bersamanya
ke dalam api neraka?,” (Q 9:109).

Implikasi dan ramifikasi Ketuhanan Yang Maha Esa ini, jika kita
mencoba mengidentifikasinya, kurang lebih akan mengahasilkan
nilai-nilai berikut, yang bolehlah kita sebut fondasi untuk etika
Islam — yang harus menjadi dasar normatif dari apa pun yang
akan kita bangun atas nama Islam, yaitu bahwa manusia tidak
dibenarkan memutlakkan sesuatu apa pun selain Tuhan Yang
Maha Esa itu sendiri. Mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai

a 4699 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

yang mutlak berarti menyadari bahwa Tuhan tidak dapat dijangkau


oleh akal manusia. Maka Tuhan tidak dapat diketahui, tetapi dapat
diinsyafi sedalam-dalamnya keberadaannya. Dialah asal dan tujuan
hidup manusia, dengan konsekuensinya bahwa manusia harus
membaktikan seluruh hidupnya demi memperoleh perkenan atau
rida-Nya.
Di sini, tidak memutlakkan sesuatu apa pun selain Tuhan Yang
Maha Esa berarti tidak menjadikan sesuatu selain dari Dia scbagai
tujuan hidup. Dalam wujudnya yang minimal, contoh menjadikan
sesuatu selain Tuhan sebagai tujuan hidup adalah sikap pamrih,
tidak ikhlas.
Pandangan hidup yang berorientasi ketuhanan ini terkait
erat dengan pandangan bahwa manusia adalah puncak ciptaan
Tuhan, yang diciptakan-Nya dalam sebaik-baik kejadian. Manusia
berkedudukan lebih tinggi daripada ciptaan Tuhan mana pun
di seluruh alam, malah lebih tinggi daripada alam itu sendiri.
Tuhan telah memuliakan manusia. Oleh karena itu, manusia
harus menjaga harkat dan martabatnya itu, dengan tidak bersikap
menempatkan alam atau gejala alam lebih tinggi daripada dirinya
sendiri (lcwat mitologi alam atau gejalanya), atau menempatkan
seseorang, atau diri sendiri, lebih tinggi daripada orang lain (lewat
tirani atau mitologi terhadap sesama manusia).
Mengenai manusia: Pada hakikatnya, manusia diciptakan sebagai
makhluk kebaikan (fithrah), oleh karena itu masing-masing pribadi
manusia harus berpandangan baik kepada sesamanya dan berbuat
baik untuk sesamanya. Sebaliknya, sebagai ciptaan yang lebih rendah
daripada manusia, alam ini disediakan oleh Tuhan bagi kepentingan
manusia untuk kesejahteraan hidupnya, baik yang bersifat spiritual
maupun yang bersifat material. Alam diciptakan Tuhan sebagai
wujud yang baik dan nyata (tidak semu), dan dengan hukum-
hukumnya yang tetap, baik yang berlaku dalam kesejahteraannya
yang utuh maupun yang berlaku dalam bagiannya secara spesifik.
Oleh karena itu, manusia harus mengamati alam raya ini dengan
penuh apresiasi, baik dalam kaitannya dengan keseluruhannya yang

a 4700 b
c Tradisi Islam d

utuh maupun dalam kaitannya dengan bagiannya yang tertentu,


semuanya sebagai “manifestasi” Tuhan (perkataan Arab “‘alam”
memang bermakna asal “manifestasi”), guna menghayati keagungan
Tuhan Yang Maha Esa, sebagai dasar kesejahteraan spiritual.
Dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala spesifiknya,
manusia dapat menemukan patokan dalam usaha memanfaatkannya
(sebagai dasar kesejahteraan material, melalui ilmu pengetahuan
dan teknologi). Dengan prinsip itu, manusia dapat mengemban
tugas membangun dunia ini dan memeliharanya sesuai dengan
hukum-hukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara utuh
(tidak hanya dalam bagiannya secara parsial semata), demi usaha
mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Di sinilah letak relevansi
keimanan untuk wawasan lingkungan, atau environmentalism.
Di atas segala-galanya, manusia juga hartts senantiasa berusaha
menjaga konsistensi dan keutuhan orientasi hidupnya yang luhur
(menuju perkenan Tuhan Yang Maha Esa), dengan senantiasa
memelihara hubungan dengan Tuhan, dan dengan perbuatan
baik kepada sesama manusia. Perbuatan baik kepada sesama
manusia yang dilakukan dengan konsisten, tujuan luhurnya adalah
menuju rida-Nya, bukan semata-semata dengan mengikuti dan
menjalankan segi-segi formal lahiriah ajaran agama, seperti ritus
keagamaan. Simbolisme tanpa substansi adalah muspra, jika bukan
kesesatan itu sendiri.
Oleh karena itu, manusia harus bekerja sebaik-sebaiknya
sesuai bidang masing-masing, menggunakan setiap waktu lowong
secara produktif dan senantiasa berusaha menanamkam kesadaran
Ketuhanan dalam dirinya. Manusia dalam pandangan Tuhan
tidak memperoleh apa-apa kecuali yang ia usahakan sendiri, tanpa
menanggung kesalahan orang lain. Ini berarti manusia harus
manyadari bahwa semua perbuatannya, baik dan buruk, besar dan
kecil, akan dipertanggungjawabkan dalam Pengadilan Ilahi di Hari
Kemudian, dan manusia akan menghadapi Hakim Mahaagung,
mutlak sebagai pribadi-pribadi, sebagaimana ia juga adalah seorang
pribadi ketika Tuhan menciptakannya pertama kali.

a 4701 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Oleh karena itu, karena iman, manusia menjadi bebas dan


memiliki dirinya sendiri secara utuh (tidak mengalami fragmentasi),
sebab ia tidak tunduk kepada apa pun selain kepada Sang Kebenaran
(al-Haqq, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa). Ini dinyatakan dalam
kegiatan ibadah yang hanya ditujukan kepada Tuhan semata, tidak
sedikit pun kepada yang lain, karena sadar akan Kemahaagungan
Tuhan. Namun, dengan iman ini manusia juga hidup penuh
tanggung jawab, karena sadar akan adanya Pengadilan Ilahi itu
kelak. Ini secara amaliah dinyatakan dalam sikap memelihara
hubungan yang sebaik-baiknya dengan sesama manusia berwujud
persaudaraan, saling-menghargai, tenggang-menenggang dan
saling-membantu, karena sadar akan makna penting usaha menye­
barkan perdamaian (salām) antara sesamanya.
Perbedaan antara sesama manusia harus didasari sebagai keten­
tuan Tuhan, karena Dia tidak menghendaki terjadinya susunan
masyarakat yang monolitik. Pluralitas yang sehat justru diperlukan
sebagai kerangka adanya kompetisi ke arah berbagai kebaikan,
sehingga perbedaan yang sehat merupakan rahmat bagi manusia.
Dan melandasi semua itu ialah keyakinan dan kesadaran bahwa
Tuhan adalah Mahahadir, menyertai dan bersama setiap individu di
mana pun ia berada, dan Mahatahu akan segala perbuatan individu
itu, serta tidak akan lengah sedikit pun untuk memperhitungkan
amal-perbuatannya, biar sekecil apa pun.
Akhirnya, memang selalu ada kesenjangan antara yang
normatif dan historis dalam sejarah perwujudan nilai-nilai Islam
seperti di atas. Tetapi, inilah kurang lebih identifikasi sendi-sendi
pokok pandangan hidup berdasarkan iman itu. Kesemua nilai
tersebut berdasarkan Kitab Suci dan Sunnah Nabi, dan harus
menjadi bagian dari sumber etis seorang Muslim dalam semua
kegiatan. Yang normatif melandasi yang historis, yang historis akan
memperlihatkan apakah yang normatif itu telah berjalan dalam
masyarakat. [v]

a 4702 b
c Tradisi Islam d

Sembilan Asas Akhlak Mulia

Para ulama dan muballigh seringkali mengutip sabda Nabi saw


bahwa beliau diutus “hanyalah untuk melengkapkan berbagai
keluhuran akhlak”, Dalam sabda lain beliau menegaskan bahwa
“yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga ialah
takwa kepada Allah dan keluhuran akhlak”, dan bahwa “tidak ada
sesuatu apa pun yang lebih berat timbangannya daripada keluhuran
akhlak”. Kutipan sabda Nabi saw ini menggambarkan betapa
sentralnya masalah akhlak — tingkah laku kita di dunia ini.
Pengertian akhlak dapat kita telusuri dari makna kebahasaan
perkataan Arab “akhlāq” itu sendiri (bentuk jamak dari “khuluq”,
yang pengertiannya tercantum dalam al-Qur’an sebagai pujian
kepada Nabi saw bahwa beliau “berada pada khuluq yang agung,”
(Q 68:4) yakni berakhlak sangat mulia. Maka teladan akhlak
mulia itu, sebagaimana kaum Muslim sepenuhnya menyadari,
ialah Rasulullah, Muhammad saw. Al-Qur’an memang menyebut
Nabi saw sebagai teladan yang baik berkenaan dengan akhlak mulia
yang berasaskan kesadaran akan kehadiran Allah dalam hidup,
dengan senantiasa berharap kepada-Nya dan kepada kebahagiaan
di Hari Kemudian (Q 33:21). Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa
keteladanan yang baik serupa itu juga tersedia untuk umat manusia
(Q 60:6).
Makna kebahasaan “akhlāq” atau “khuluq” itu sendiri sudah
meng­isyaratkan kepada pengertian yang mendasar itu, yang
satu akar kata dengan “khalq” (penciptaan), “khāliq” (pencipta),
dan “makhlūq” (ciptaan). Dengan demikian, istilah “akhlāq”
atau “khuluq” mengacu kepada pandangan dasar Islam bahwa

a 4703 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

manusia diciptakan dalam kebaikan, kesucian, dan kemuliaan,


sebagai “sebaik-baik ciptaan” (ahsan-u taqwīm). Manusia harus
memelihara kebaikan, kesucian, dan kemuliaan itu, dengan
beriman kepada Allah dan berbuat baik kepada sesamanya. Jika
tidak dapat memeliharanya, manusia dapat jatuh martabatnya
menjadi serendah-rendah makhluk (Q 95: 4-6).
Kita semua mengetahui bahwa kesucian asal manusia itu di­
nama­kan fitrah (fithrah). Al-Qur’an menyebutkan bahwa fitrah
adalah dasar keruhanian manusia untuk mampu menangkap ajaran
kebenaran dari Tuhan. Dengan perkataan lain, ajaran Tuhan,
berupa agama yang suci (hanīf), adalah kelanjutan atau pemenuhan
fitrah manusia yang suci itu. Dari sinilah kita peroleh pengertian,
me­ngapa Nabi saw menegaskan bahwa beliau tidaklah diutus me­
lain­kan untuk melengkapkan berbagai keluhuran akhlak. Dari
sudut lain, kita dapat memahami akhlak dalam pengertian dasar
tersebut dengan mengaitkannya dengan “perjanjian primordial”
antara manusia dan Tuhan. Disebut “primordial”, karena terjadi
sebelum kelahiran di dunia. Dalam al-Qur’an digambarkan bahwa
sebelum kita, umat manusia, lahir ke dunia ini sebagai “anak-cucu
Adam”, kita dipanggil oleh Allah dan dimintakan persaksian bahwa
Allah adalah Pangeran (Rabb) kita dan kita membenarkannya (Q
7:172).
Konsekuensi perjanjian primordial itu ialah, manusia lahir di
dunia dengan mambawa kecenderungan ruhani untuk tunduk
dan berbakti kepada Allah serta kerinduan kembali kepada-Nya
dengan penuh pasrah dan rela (ridlā). Kerinduan kembali kepada
Allah adalah bentuk mutlak kerinduan kembali ke asal. Setiap
makhluk, khususnya manusia, sangat merindukan untuk dapat
kembali ke asal. Seperti anak yang berhasil kembali ke pangkuan
ibundanya, setiap keberhasilan kembali ke asal selalu menimbulkan
kebahagiaan yang tinggi. Dan setingi-tinggi kehahagiaan itu ialah
keberhasilan kembali kepada Asal segala asal, yaitu Allah swt.
Oleh karena itu disebutkan dalam al-Qut’an bahwa ingat
kepa­da Allah, suatu bentuk sikap kembali, akan menimbulkan

a 4704 b
c Tradisi Islam d

ketenteraman batin (Q 13:28), dan bahwa jiwa yang tenang ialah


yang berhasil kembali kepada Allah dengan rela kepada-Nya dan
karena itu Allah pun rela kepada jiwa itu (Q 89:27-30). Sebaliknya,
orang yang gagal kembali ke asal, dalam hal ini ke Tuhan, dalam
peristilahan agama disebut “kesesatan” (dlalālah), suatu ungkapan
kebingungan dan keadaan tidak tahu arah (“kehilangan orientasi”)
dengan segala perasaan jiwa dan pengalaman batin yang sama sekali
tidak membahagiakan.
Kembali kepada Tuhan jelas menuntut berbagai konsekuensi
dalam tingkah laku kita di dunia. Karena kembali kepada Tuhan
merupakan kemestian akibat adanya perjanjian primordial, dan
karena perjanjian primordial itu, pada urutannya, merupakan
pangkal fitrah manusia yang suci, kemudian fitrah itu sendiri
mewujud dalam kerinduan jiwa dan sukma kepada kebaikan,
kesucian, dan kebenaran (manusia sebagai makhluk hanīf), maka
gerak perjalanan kembali kepada Tuhan itu menyatakan diri dalam
akhlak mulia.
Jadi, berakhlak mulia adalah tindakan memenuhi kemestian
kemanusiaan primordial yang suci, karena itu bersifat alamiah
dan wajar, memberikan rasa tenteram, aman, dan sentosa, unsur-
unsur pokok kebahagiaan. Tuntutan tindakan nyata itu membuat
kebajikan (al-birr) tidak dalam bentuk-bentuk kesalehan formal,
seperti “menghadap ke timur dan ke barat”. Menarik sekali
merenungkan makna mendalam firman Allah berikut (dalam
terjemahan):

“Bukanlah kebajikan bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah


timur dan barat, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah orang
yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kita-
kitab, nabi-nabi; dan yang mendermakan harta yang dicintai kepada
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang dalam
perjalanan, para peminta-minta dan orang yang dalam perbudakan;
dan (kebajikan) ialah orang yang menegakkan sembahyang dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janji apabila

a 4705 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,


penderitaan, dan dalam saat bahaya. Mereka itulah orang-orang yang
benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa,” (Q 2:177).

Firman tersebut meneguhkan bahwa kebajikan — dasar akhlak


mulia atau budi pekerti luhur, yang dalam firman itu disebut
sebagai “orang-orang yang benar dan bertakwa” — adalah asas
kehidupan beragama. Asas itu dapat diperinci: (1) Asas iman kepada
Allah, sebagai asal dan tujuan hidup, yang mutlak senantiasa hadir
beserta manusia di mana pun dan kapan pun; (2) Asas kesadaran
pertangungjawaban mutlak di Hari Kemudian atas segala tingkah
laku di dunia; (3) Asas kepercayaan kepada adanya makhluk gaib,
khususnya para malaikat, yang selalu mengawasi tingkah laku
sehari-hari manusia; (4) Asas kesediaan menerima ajaran kebenaran
universal seperti termuat dalam Kitab-kitab Suci dan dibawakan
oleh para nabi sepanjang sejarah umat manusia di masa lalu; (5)
Asas kesadaran sosial, dengan memperhatikan nasib sesama manusia
dalam masyarakat luas; (6) Asas memenuhi kewajiban beribadat
kepada Allah, dengan kesadaran penuh sebagai hamba Allah yang
harus tunduk dan pasrah (islām) kapada-Nya; (7) Asas kesadaran
fungsi sosial dari harta kekayaan, bahwa semuanya itu adalah
amanat Allah; (8) Asas kesetiaan kepada janji dan perjanjian sesama
manusia (dalam hal ini, secara syraiat, termasuk hukum-hukum
kenegaraan); dan (9) Asas ketabahan menghadapi kesulitan hidup,
penuh harapan kepada Allah, tidak putus asa.
Kesembilan asas tersebut adalah asas kehidupan orang-orang
yang berakhlak mulia — orang-orang yang benar — yang menurut
al-Qur’an mereka itulah orang-orang yang bertakwa. [v]

a 4706 b
c Tradisi Islam d

Dari “Syajarah” ke “Sejarah”

Dalam percakapan sehari-hari kita sering mendengar keluhan atau


kritikan, bahwa masyarakat kita kurang memiliki kesadaran sejarah.
Di balik keluhan kritikan itu tersirat keberatan tertentu terhadap
akibat tiadanya, atau rendahnya, kesadaran sejarah. Dengan begitu
— juga dengan sendirinya — tersirat harapan terhadap sesuatu yang
baik jika ada kesadaran sejarah, apalagi kesadaran itu cukup tinggi.
Pertanyaannya ialah apakah benar ada madlarat dalam tiadanya
kesadaran sejarah, dan ada manfaat dalam adanya kesadaran itu?
Sekalipun jawabnya menyangkut suatu truisme sederhana (tentu
saja “ya, ada!”), tapi untuk keperluan argumen yang hendak
diajukan di sini, pertanyaan ini diajukan dengan kemungkinan
melihat jawabnya secara kritis.
Jika benar ada madlarat dalam tiadanya kesadaran sejarah, dan
ada manfaat dalam adanya kesadaran itu, dapatkah hal itu ditunjuk
secara nyata? Pertanyaan ini dirasa mempunyai keabsahan karena
konsep manusia tentang “sejarah” itu sendiri tidak satu, atau tidak
sekaligus satu, melainkan bermacam-macam, atau berkembang dari
satu konsep ke konsep lain sepanjang waktu. Misalnya, mungkin
konsep kita di Indonesia tentang “sejarah” bisa ditelusuri dengan
melihat kata-kata “sejarah” itu. Perkataan Indonesia “sejarah”
adalah pinjaman dari perkataan Arab syajarah yang berarti “pohon”
— dalam hal ini ialah “pohon keluarga” atau “family tree”, yang
mengacu kepada skema hubungan vertikal dan horizontal anggota-
anggota keluarga yang bertalian darah atau nasab, kekerabatan atau
semendo, ke atas (nenek moyang) dan ke bawah (anak cucu), serta
ke samping kanan dan kiri (pertalian semendo).

a 4707 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Di zaman modern ini pengetahuan tentang “sejarah” dalam


arti “pohon keluarga” itu dipandang sebagai tidak lagi relevan.
Zaman modern ditandai dengan hubungan fungsional yang lebih
berdasarkan kepada pencapaian prestasi (achievement), dan sangat
kurang berdasarkan kualitas-kualitas kenisbatan (ascriptive) seperti
masalah keturunan. Tapi, dalam masyarakat feodal, pengetahuan
tentang “sejarah” dalam artian itu memang sangat penting;, karena
kehormatan dan gengsi seseorang dalam masyarakat ditentukan,
atau dipengaruhi, oleh persoalan siapa keturunan siapa.
Ada juga masyarakat yang karena pertimbangan tuntutan hidup
tertentu, baik natural maupun sosial, melihat pentingnya kesadaran
“sejarah” dalam artian itu. Misalnya, masyarakat-masyarakat Timur
Tengah, seperti bangsa Arab dan Bani Israel, memandang amat
penting kesadaran tentang rentetan (Arab: silisilah) keturunan dalam
“pohon nasab” karena dua pertimbangan: pertama, pertimbangan
yang diakui, tidak terlalu jauh berbeda dari pertimbangan feodal:
bahwa kehormatan seseorang ditentukan oleh garis keturunannya;
kedua, yang tidak sadar diakui namun muncul dalam kenyataan
sosial, kesadaran tentang “sejarah” dalam arti pohon keluarga itu
mencegah seseorang jatuh ke dalam kemungkinan kawin dengan
keluarga dekat sendiri, yang secara naluri mereka sadari bahayanya
bagi kesehatan keturunan, yang dapat memperlemah daya tahan
tubuh mereka dalam kehidupan kerasnya alam padang pasir (Tentang
ini, ingat kaum Amish di berbagai tempat di Amerika Serikat).
Untuk sejumlah alasan, kaum Mormon di Amerika memandang
pengetahuan tentang “pohon keluarga” itu amat penting, dan untuk
itu di Salt Lake City, pusat keagamaan mereka, dibangun pusat data
dan informasi silsilah dan pohon nasab atau familiy tree itu. Usaha
kaum Mormon itu ternyata memberi faedah juga kepada suatu
cabang ilmu kedokteran modern, karena menyediakan kemudahan
untuk penelitian penyakit keturunan. Misalnya, Dr. Michael
Vincent, mampu memecahkan misteri sebuah penyakit misterius
yang dapat membuat seseorang mati mendadak tanpa diketahui
sebabnya. Melalui proses penelitian ilmiah yang panjang, Dr.

a 4708 b
c Tradisi Islam d

Vincent mengetahui hakekat penyakit jantung “Long QT” (internal


denyut jantung yang panjang secara tidak biasa dari permulaan Q
ke ujung T) dan merupakan penyakit keturunan.
Dengan menggunakan syajarah keturunan yang ada di pusat
informasi silsilah Mormon tersebut, Dr. Vincent berhasil menelusuri
dan mengidentifikasi pangkal penyakit itu pada seseorang tokoh
nenek moyang banyak sekali orang Amerika, yang tokoh itu hidup
ratusan tahun yang lalu. Berdasarkan temuannya itu ia kini berhasil
memberi peringatan dini kepada banyak sekali orang, sehingga
ke­matian misterius secara mendadak dapat dicegah. Jadi, ilmu
syajarah ternyata tidak hanya berfaedah utnk memuasakn ego kaum
feodal dan mereka yang percaya kepada eugenics. Ilmu syajarah juga
bermanfaat, dan dapat dipertanggungjawabkan, paling tidak jika
kita batasi persoalannya kepada bidang keahlian seperti yang ada
pada Dr. Michael Vincent itu.
Dalam bahasa Arab, di samping perkataan syajarah ada per­
kataan tārīkh, yang digunakan dalam bahasa Arab ntuk menunjuk
kepada pengertian perkataan “sejarah” dalam bahasa kita. Mene­
lusuri makna kebahasaan istilah tārīkh ini pun dirasa cukup ber­
manfaat, karena dari situ juga dapat tersingkap rentetan konsep
tentang sejarah, yang penting bagi kita.
Secara etimologis, perkataan “tārīkh” mempunyai makna “penen­
tuan tanggal atau titi mangsa” suatu kejadian. Sejarah disebut tārīkh
karena suatu kejadian, apalagi kejadian besar, tidaklah berlangsung
dalam suatu kekosongan ruang dan waktu. Penuturan tentang
suatu kejadian tanpa menyebut zharaf atau dimensi ruang dan
waktunya akan hanya menghasilkan suatu dongeng atau mitologi,
sesuatu yang barangkali masih berguna namun “tidak ilmiah”.
Maka, kalau dalam konsep syajarah segi ruang dan waktu hidup
dan tampilnya seorang tokoh atau kejadian yang menyangkut tokoh
itu tidak begitu penting, karena yang penting ialah “kemurnian”
dan “keluhuran” darah keturunan. Dalam konsep tārīkh justru
masalah dimensi ruang dan waktu sangat penting, dalam banyak
hal lebih penting daripada kualitas darah seorang tokoh. Kalau

a 4709 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

konsep syajarah masih amat dekat dengan dongeng dan mitologi


(perhatikan betapa banyak orang yang mengaku atau dianggap
keturunan Nabi Muhammad saw di seluruh dunia Islam!), maka
konsep tārīkh adalah lebih ilmiah, yang melibatkan pembuktian
atau sekurangnya penafsiran obyektif.
Bahkan suatu kejadian yang dari bukti-bukti lain diketahui
benar-benar pernah berlangsung dalam ruang dan waktu tertentu
pun dapat berubah menjadi sebuah dongeng atau mitologi jika
penuturannya tidak disertai dengan kesadaran yang tegas tentang
dimensi ruang dan waktunya itu. Misalnya, dalam masyarakat
banyak sekali disebut tokoh-tokoh panutan yang dianggap amat
penting, kebanyakan penuturannya terdengar menjadi lebih
merupakan dongeng dan mitologi, karena penutur bersangkutan
tidak memiliki pengetahuan, apalagi kesadaran, tentang dimensi
ruang dan waktu tokoh tersebut.
Merosotnya suatu kenyataan sejarah menjadi penuturan
dongeng dan mitologi diperkuat oleh ramuan cerita menakjubkan
yang tidak historis, karena jelas tidak masuk akal. Cerita tentang
Syaikh Abdu1 Qadir al-Jailani misalnya, di kalangan tertentu
masyarakat kita menjadi tidak lebih daripada dongeng dan mitologi,
karena penceritaannya dilakukan tanpa disertai kesadaran tentang
dimensi ruang dan waktu tokoh besar kesufian itu. Padahal Syaikh
Sufi ini benar-benar pernah hidup dalam sejarah, yakni dalam ruang
dan waktu yang dapat ditentukan dengan cukup pasti — hidup di
Baghdad pada 1077-1166 — dan dengan pengalaman-pengalaman
hidup seperti layaknya orang yang hidup nyata dalam ruang dan
waktu. Oleh karena itulah diperlukan kesadaran sejarah. [v]

a 4710 b
c Tradisi Islam d

Tentang Kesadaran Sejarah

Tokoh-tokoh besar suatu masyarakat — apalagi jika masyarakat


itu belum cukup maju — sering diperlakukan dalam persepsi kedo­
ngengan dan mitologis. Oleh karena itu, sering terjadi sikap-sikap
memutlakkan dan mensakralkan sesuatu yang dianggap sebagai
berasal dari tokoh tersebut, biasanya dalam bentuk wawasan atau
pikiran.
Maka, apabila kita berbicara tentang “kesadaran sejarah”, itu
tidaklah sama dengan kemampuan mengingat dan menghafal
keja­dian-kejadian dan tokoh-tokoh masa lalu saja. Juga tidak
sama dengan sekadar kemampuan mengingat dan menceritakan
kejadian atau tampilnya tokoh, lengkap dengan keterangan tentang
kapannya dan di mananya. Kesadaran sejarah ialah kesadaran bahwa
suatu peristiwa, atau tampilnya tokoh masa lalu, selalu terwujud
dalam hubungan dinamik dengan faktor ruang dan waktu, karena
itu tidak dapat dipandang dan dinilai sebagai hal yang berdiri
sendiri.
Akibat logis dari kesadaran sejarah itu ialah sikap penisbian
terhadap kejadian dan tokoh masa lalu, dengan selalu memandangnya
secara kritis dan dinamis, serta membukanya untuk dapat dipersoal­
kan, dan terus-menerus dipersoalkan kembali. Dengan kesadaran
itu, sejarah dapat menjadi sumber pelajaran berharga bagi suatu
masyarakat: Kemampuan melihat adanya hubungan dinamis antara
kejadian-kejadian, atau tokoh-tokoh masa lalu, dengan dimensi
ruang dan waktu yang mempunyai tuntutan-tuntutan tersendiri
akan menyajikan suatu kerangka acuan yang subur dan absah utuk
mencari pemecahan masalah sekarang dan menghadapi tantangan

a 4711 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

masa depan. Sebaliknya, setiap pemutlakan akan membawa ke jalan


buntu dalam mencari pemecahan masalah sekarang dan menghadapi
masa depan, karena hilangnya daya kritis dan kemampuan untuk
belajar serta menarik pelajaran dari sejarah itu.
Kesadaran sejarah mengasumsikan adanya suatu hukum sejarah
yang obyektif dan tetap, tidak berubah; sebab, penarikan pelajaran
dari kejadian masa lalu dengan sendirinya mengasumsikan adanya
suatu pola yang dapat diulang dan dipergunakan untuk ruang
dan waktu lain, jika faktor-faktor pembentuknya sama. Dengan
kata lain, penarikan pelajaran dari sejarah mengisyaratkan adanya
keperluan mengembangkan generalisasi yang bebas titi mangsa
(dateless generalizations). Misalnya, tentang apa yang dapat terjadi
dalam perubahan budaya, generalisasi serupa itu tidak dapat begitu
saja diambil dari disiplin lain an sich mana pun, tetapi generalisasi
itu perlu untuk meneliti apa yang secara bebas titi mangsa penting
dari kejadian-kejadian budaya manusia yang berlangsung dalam
ruang dan waktu.
Sama dengan tuntutan riset ilmiah mana pun, generalisasi
se­ru­pa itu mengharuskan adanya pandangan perbandingan
(compa­rative perspectives) secukupnya. Pandangan perbandingan
itu sendiri mengasumsikan kemampuan menarik nuktah-nuktah
persa­maan dan perbedaan dari berbagai peristiwa dalam berbagai
ruang dan waktu itu. Tanpa ada pandangan perbandingan itu, suatu
penarikan pelajaran dari sejarah menjadi mustahil — disebabkan
oleh pandangan bahwa sejarah bersifat unik untuk ruang dan
waktunya sendiri, tanpa kemungkinan adanya persamaan, apalagi
pengulangan, untuk ruang dan waktu lain. Itu berarti bahwa sejarah
akan menjadi disiplin mati, yang mungkin masih tetap punya
segi-segi menarik namun dalam pengertian eksotik, seperti segi
menariknya tarian kuda kepang bagi turis Jepang.
Walaupun begitu, seperti telah dikemukakan dalam tulisan
minggu lalu berkenaan dnegan konsep tārīkh, suatu peristiwa justru
disebut peristiwa sejarah karena diketahui ruang dan waktunya.
Dengan demikian, maka generalisasi bebas titi mangsa, juga

a 4712 b
c Tradisi Islam d

penarikan persamaan dan perbedaan di atas, tidak dapat dilakukan


secara mutlak. Generalisasi itu masih tetap mengandung segi-segi
kenisbian, sehingga juga tidak mungkin menghasilkan pengetahuan
eksakta seperti generalisasi dalam disiplin ilmu kebendaan (fisika,
kimia, dan lain-lain). Oleh karena itu, kajian sejarah tetap bersifat
idiografik, karena suatu peristiwa sejarah yang bersifat “khas” itu
juga berarti merupakan suatu “idiom” atau bersifat idiomatik,
sehingga harus dipahami dan dipelajari pada dirinya sendiri.
Sifat idiomatik peristiwa sejarah adalah karena mustahilnya
peristiwa itu dipahami lepas dari konteks ruang dan waktu. Suatu
peristiwa kesejarahan tidak semata-mata merupakan sebuah
“contoh” (dalam pengertian kata-kata Inggris sample), juga bukan
semata-mata merupakan bahan mentah untuk generalisasi bebas titi
mangsa (dateless generalizations). Maka, seseorang yang mengetahui
sejarah masyarakat atau daerah tertentu tidak dengan sendirinya tahu
sejarah masyarakat atau daerah lain, kecuali dengan lebih dahulu
secara khusus mempelajari masyarakat atau daerah lain itu.
Dengan begitu, suatu generalisasi kesejarahan adalah generalisasi
yang masih tetap harus memperhatikan masalah ruang dan waktu.
Oleh karena itu, tidak seperti generalisasi dari penelitian dalam
dunia benda-benda, generalisasi kesejarahan yang dengan sendirinya
selalu oleh seseorang harus selalu diterima dengan sebuah catatan
subyektif. Akibatnya, meskipun generalisasi itu tetap diperlukan
sebagai syarat kemungkinan menarik pelajaran dari sejarah, namun
tetap tidak dapat diulang, atau diterapkan secara mutlak. Dengan
begitu, generalisasi sejarah tetap mengandung kenisibian.
Jika segi kenisbian generalisasi atau kesimpulan “hukum sejarah”
itu tidak diakui dan disadari, maka yang dikhawatirkan dari persepsi
mitologis kepada sejarah seperti diuraikan di atas akan terjadi juga;
yaitu timbulnya sikap-sikap dogmatis, absolutistik. Jadi, sekalipun
ada “hukum sejarah”, namun tidak sepenuhnya sebanding dengan
“hukum alam”. Mungkin saja “hukum sejarah” itu bersifat pasti,
tidak mengenal perubahan, namun karena menyangkut variabel
yang begitu luas dan banyak, maka pengetahuan manusia tentang

a 4713 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

hukum itu akan sebanding dengan batas penguasaannya kepada


sejumlah variabel yang sedemikian banyak itu. Dengan begitu,
pengetahuan yang dihasilkannya akan mengandung kelunakan —
sebagai suatu soft science — dan itu bukan kelemahan. Oleh karena
itu, hukum sejarah dalam al-Qur’an, misalnya, disebut sunnat-u
’l-Lāh yang secara harfiah berarti “tradisi Allah”, yang sekalipun
dijamin tidak akan berubah namun pemahamannya olah manusia
mungkin tidak akan pernah mencapai kepastian. Sedangkan untuk
hukum obyek-obyek fisik, al-Qur’an menyebutnya taqdīr atau
taqdīr-u ’l-Lāh — kepastian Allah — sebagaimana sedikit-banyak
terbukti dalam ilmu-ilmu eksakta. Oleh karena itu, mengeksakkan
masalah kesejarahan, baik yang lalu, kini, dan nanti, akan menyalahi
keterangan Tuhan itu.
Kesimpulannya sudah jelas: kita memang perlu menanamkan
kesadaran sejarah dalam masyarakat. Suatu bangsa akan sulit
ber­kembang jika kesadaran itu tidak ada atau lemah. Ini karena
melalui kesadaran sejarah itulah kita dapat melakukan akumulasi
pengalaman kemanusiaan — suatu pendekatan yang “ekonomis”
atau hemat untuk menumbuhkan kebudayaan dan peradaban.
Tapi, untuk tujuan itu, masalah kemutlakan dan kenisbian yang
menyangkut pengalaman hidup manusia dalam sejarah tetaplah
harus diingat. Bahaya kemandekan perkembangan, karena tidak
adanya kemampuan mengambil pelajaran dari sejarah, sama
besar­nya dengan bahaya pemutlakan pengambilan pelajaran itu.
Selan­jutnya, kesadaran sejarah juga menuntut adanya konsistensi
pemikiran yang juga berarti memerlukan jenis keahlian khusus.
Seperti dikatakan dalam sebuah ungkapan bijak, “Kalau suatu
perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah saat
kehancurannya”. [v]

a 4714 b
c Tradisi Islam d

Dinaniika Pertumbuhan
Intelektual

Terdapat kaitan antara pengkajian mengenai pertumbuhan intelek­


tual dalam Islam dan masalah taqlīd (taqlid) serta ijtihād (ijtihad).
Meskipun masalah taqlid dan ijtihad merupakan sesuatu yang
lebih banyak digeluti oleh kalangan ahli fiqih, terutama berkenaan
dengan hukum, namun sebetulnya masalah ini menyangkut
keseluruhan aspek pengembangan tradisi intelektual.
Taqlid adalah suatu mekanisme pewarisan dan pengakuan
otoritas masa lampau, yaitu pada orang-orang yang lebih dahulu
dari kita, yang menghasilkan akumulasi pcngalaman dan informasi.
Hampir seluruh segi kehidupan kita mengandung unsur taqlid.
Yang tidak dibenarkan adalah taqlidisme, artinya — taqlid sebagai
isme tertutup, seperti kecenderungan menyucikan masa lampau,
atau menyucikan orang-orang terdahulu. Korelasi dari taqlidisme
itu dengan sendirinya adalah sikap tertutup dan konservativisme.
Kita bahas masalah taqlid dan ijtihad ini dengan beberapa
ilustrasi.
Mesir, misalnya, bisa menjadi pusat intelektualisme Islam karena
memiliki Universitas al-Azhar. Dan umat Islam patut bersyu­kur, karena
ketika bangsa Mongol menjarah dunia Islam dan menghancurkan
Baghdad, eskalasinya tidak sampai ke Mesir. Dengan demikian,
Mesir masih bisa, dan berhasil, meneruskan tradisi intelektual
Islam. Akan tetapi, karena para ulama pada masa belakangan tidak
sanggup mengembangkan pemahaman baru terhadap hukum-hukum
Islam, maka ketika Mesir mengalami perubahan menjadi negara
modern, orang Mesir lari kepada pilihan yang paling gampang,

a 4715 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

yaitu mengadopsi hukum Batat. Inilah gejala yang sekarang melanda


seluruh dunia Islam, akibat tidak berkembangnya lagi fiqih. Tentang
ini, Turki dapat menjadi contoh yang lebih ekspresif.
Kita menunjuk Turki sebagai bangsa bukan Barat yang pertama
kali berusaha menjadi modern. Namun, kenyataan menunjukkan,
sampai sekarang Turki belum berhasil menjadi modern. Turki
tetap merupakan Dunia Ketiga. Sementara, kalau dari segi kultural
dikontraskan dengan Jepang, maka afinitas kultural antara orang
Islam dan orang Barat itu jauh lebih dekat daripada dengan orang
Jepang. Tetapi, Jepang ternyata lebih berhasil menjadi modern
daripada Turki yang Islam. Dan dengan hasil yang menakjubkan,
mereka jauh melampaui Turki, sehingga menimbulkan suatu perta­
nyaan; Apa yang terjadi dengan orang Islam? Apa yang salah?
Sebetulnya ini berkaitan dengan taqlid dan ijtihad. Pada orang
Turki ada suatu keterputusan kultural dengan masa lampaunya,
yang disimbolkan dengan keputusan Kemal Attaturk menggantikan
huruf Arab, sebagai medium penulisan bahasa Turki Utsmani,
dengan huruf Latin. Akibatnya orang Turki sekarang ini — yaitu
orang Turki modern — tidak lagi bisa menggali dan memahami
warisan budaya mereka sendiri. Semuanya harus dimulai lagi dari
nol.
Jadi, orang Turki sekarang menjadi tawanan kekinian dan
kedisinian, dalam arti bahwa untuk menengok ke belakang mereka
tidak bisa lagi, atau tertutup, akibat dari penggantian huruf tadi,
dan untuk menengok ke depan mereka harus menghadapi bangsa
Eropa yang sudah sedemikian kompetitifnya. Akibatnya, Turki
mengalami kemiskinan intelektual. Kita tidak pernah mendengar
sedikit pun karya-karya besar dari orang Turki modern.
Sementara, Jepang terus memelihara kontinuitas tradisi. Arti­
nya, ada tradisi taqlid pada orang Jepang. Meskipun orang Jepang
menjadi modern dan bahkan sekarang ultramodern, tetapi mereka
tidak terputus dari masa lampaunya. Dan itu juga disimbolkan
dalam soal huruf, bahwa mereka tidak pernah berpikir untuk
mengganti huruf Jepang dengan huruf Latin. Oleh karena itu,

a 4716 b
c Tradisi Islam d

orang Jepang menengok masa lampau dengan penuh konfidensi


dan kebanggaan.
Kemodernan bagi orang Jepang menjadi bagian daripada ke­
jepangan. Sementara, di Turki kemodernan masih dilambangkan
dengan bagaimana mengganti sorban dengan topi, dan mengganti
huruf Arab dengan huruf Latin. Di Turki kemodernan belum dan
tidak pernah menjadi keturkian, malah merupakan sesuatu yang
asing. Tampaklah bahwa taqlig dan ijtihad itu mengandung masalah
kontinuitas hudaya. Taqlid (dan bukan taqlidismc) merupakan
bagian dari cara untuk memelihara kontinuitas budaya ini.
Cukup banyak metode mengenai ijtihad itu, misalnya al-
mashālih al-mursalah, yaitu kepentingan umum, istihsān, istishlāh,
dan istishhāb. Semuanya merupakan pertimbangan-pertimbangan
atau variabel-variabel yang bisa digunakan untuk melakukan
ijtihad. Oleh karena itu, terkenal sekali di kalangan ahli fiqih
bahwa tindakan pemimpin yang efektif itu, maksudnya pemerintah
untuk rakyatnya, harus didasarkan kepada kepentingan umum,
al-mashlahah al-‘āmmah. Ini memang kontroversi, sebab kalau
kita melakukan istihsān, yaitu pertimbangan kepentingan umum
secara independen, maka kita akan menjadi penetap hukum yang
independen dan berarti kita “menyaingi Tuhan”.
Namun, sesungguhnya tidak demikian. Meskipun ijtihad meru­
pakan suatu kebebasan, tetapi sebetulnya kebebasan yang terbatas.
Keterbatasannya itulah yang disebut taqlid, yaitu menerima nash,
memperhatikan apa yang telah menjadi semangat dari agama.
Dan itu yang menjadi dasar validitas suatu hasil ijtihad. Jadi,
ijtihad bukanlah kebebasan berpikir yang mutlak. Jika ada yang
mendalilkan kebebasan berpikir itu melalui ijtihad, maka itu tidak
betul, bahkan tidak konsisten dengan sifat ijtihad itu sendiri. Ini
karena ijtihad adalah suatu kegiatan intelektual dalam Islam, yang
harus tetap berada dalam koridor keislaman — karena itulah
diperlukan otentisitas secara tekstual maupun historis. Artinya, bisa
dirujuk secara jelas dan otentik dalam arti nash maupun historis,
yaitu kekayaan intelektual kita dalam sejarah.

a 4717 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Maka, ijtihad adalah suatu keharusan, tetapi keharusan itu


harus bersifat otentik, artinya harus ada basis untuk melakukan
suatu ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad dikaitkan dengan taqlid.
Ijtihad merupakan suatu jenis kebebasan, tetapi kebebasan yang
terbatas. Dan karena ijtihad itu ada sangkut pautnya dengan
dinamika dan pertumbuhan, maka ijtihad adalah suatu keharusan
yang alami.
Apabila kita memahami secara lebih luas hadis Nabi yang
mengatakan bahwa barang siapa berijtihad dan benar mendapat dua
pahala, dan barang siapa berijtihad dan salah mendapat satu pahala,
maka the forms of ideas-nya — mengikuti istilah falsafah Plato
— adalah pertumbuhannya, sebab alternatif dari pertumbuhan
adalah kemandekan. Jadi, masalah taqlid dan ijtihad mempunyai
kaitan yang langsung dengan dinamika pertumbuhan intelektual
dalam Islam. [v]

a 4718 b
c Tradisi Islam d

Kembali kepada Kesucian

Tujuan puasa adalah mencapai derajat takwa. Ini dikatakan dalam


sebuah ayat al-Qur’an yang memerintahkan orang yang beriman
untuk berpuasa (Q 2:183).
Istilah takwa ini sering diartikan sebagai “takut kepada Allah”.
Penerjemahan ini tentu saja benar, tetapi ada segi lain yang sangat
penting, yang juga termuat dalam makna terdalam kata takwa ini,
yaitu segi kesadaran akan yang Ilahi (rabbāniyah), yaitu pengalaman
dan perasaan akan kehadiran yang Ilahi, yang digambarkan dalam
banyak ayat al-Qur’an, di antaranya yang menegaskan bahwa “Milik
Allah timur dan barat: ke mana pun kamu berpaling, di situlah
kehadiran Allah...,” (Q 2:115).
Pengalaman akan kehadiran Allah inilah yang menggambarkan
fenomena mengenai orang yang beriman, yang “... apabila disebut
nama Allah, tergetar hatinya dan bila ayat-ayat-Nya dibacakan
kepada mereka, bertambah kuat keimanannya...,” (Q 8:2).
Orang yang beriman adalah orang-orang yang konsisten berpe­
gang teguh pada agama. Mereka dijanjikan oleh Allah kebahagiaan
hidup “... mereka yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’, kemudian
tetap berpegang teguh (pada agama), mereka tak perlu khawatir, tak
perlu sedih,” (Q 46:13). Al-Qur’an menyebut, inilah orang-orang
yang menjadikan takwa — pengalaman akan kehadiran Yang
Ilahi itu — dan keridaan Allah sebagai asas hidup mereka. Allah
mengatakan, “Manakah yang terbaik? Mereka yang mendirikan
bangunannya atas dasar takwa dan keridaan Allah, ataukah yang
mendirikan bangunannya di atas tanah pasir di tepi jurang lalu
runtuh bersamanya ke dalam api neraka ...,” (Q 9:109).

a 4719 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Dalam jangka panjang tujuan puasa adalah menjadikan takwa


ini sebagai asas dan pandangan hidup yang benar. Ayat di atas
menegaskan bahwa asas hidup yang selain takwa dan keridaan
Allah itu salah, yang diibaratkan dengan orang yang “mendirikan
bangunan di atas tanah pasir di tepi jurang lalu runtuh bersamanya
ke dalam api neraka”.
Tentang takwa ini, menarik melihat bahwa takwa adalah keseja­
jaran “iman” dan “tali hubungan dengan Allah” — yang merupakan
dimensi vertikal hidup yang benar. Karena itu pengertian takwa
bersifat ruhaniah, yang masih harus diterjemahkan dalam segi-segi
konsekuensial yang mengikutinya (misalnya dalam kaitan iman
dan amal saleh, yang disimbolkan dalam takbīrat al-ihrām dalam
shalat yang bersegi keruhanian, dan salām yang bersegi komitmen
sosial).
Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah/2 ayat 2-4, digambarkan
lima ciri dari orang yang bertakwa ini: yaitu (1) Mereka yang
beriman kepada yang gaib; (2) mendirikan shalat; (3) menafkahkan
sebagian rezeki; (3) yang beriman kepada wahyu yang telah Allah
sampaikan (al-Qur’an) dan wahyu sebelum al-Qur’an; dan (5)
mereka yang yakin akan Hari Akhirat.
Kelima ciri takwa ini adalah an sich ciri dari orang yang ber­
iman. Dari kelima unsur yang menjadi ciri ketakwaan itu, unsur
pertama, beriman kepada yang gaib, mendapatkan peneguhan
utama dalam ibadah puasa, karena puasa adalah ibadah yang
paling pribadi, personal, private, tanpa kemungkinan bagi orang
lain sepenuhnya melihat, mengetahui, apalagi menilainya. Seperti
dikatakan dalam sebuah hadis qudsi, menuturkan firman Allah,
“... Puasa adalah untuk-Ku semata, Akulah yang menanggung
pahalanya”. Jadi seperti juga takwa yang bersifat ruhani, puasa itu
juga harus diawali atau berpangkal pada ketulusan niat yang juga
private. Sehingga dikatakan oleh Sakandari dalam kitab al-Hikam,
bahwa amal perbuatan adalah bentuk lahiriah yang tampak mata,
dan ruhnya ialah adanya rahasia keikhlasan (yang amat private) di
dalamnya.

a 4720 b
c Tradisi Islam d

Kembali ke takwa, maka pangkal takwa adalah keimanan yang


mendalam kepada Allah dan kesadaran tanpa ragu sama sekali akan
kehadiran-Nya dalam hidup dan segala kegiatan manusia. Sehingga
puasa sebagai ibadah yang sangat private ini merupakan latihan dan
sekaligus peragaan kesadaran ketuhanan: peragaan akan pengalaman
kehadiran Yang Ilahi. Inilah tujuan pokok puasa yang kemudian
melimpah kepada nilai-nilai hidup yang menjadi konsekuensinya,
yang menjadikan adanya hikmah kemanusiaan dari ibadah puasa
ini, sebuah hikmah yang dilatih dengan “menahan diri”, makna
literal dari shiyām atau shawm, dari puasa itu sendiri.
Maka dengan menanggung derita sementara ini (dengan
menahan diri jasmani, nafsani dan ruhani) ada proses penyucian
yang akan memperkuat segi-segi kelemahan manusiawi (apalagi
“manusia adalah pembuat kesalahan”, erare humanum est, begitu
kata pepatah Latin). Kelemahan manusiawi yang amat mencolok
adalah kecenderungannya mengambil hal-hal jangka pendek, karena
daya tariknya, dan lengah terhadap akibat buruk jangka panjang
(lihat, Q 75:20). Terhadap hal kelemahan manusiawi ini, Tafsir
Yusuf Ali mengatakan, “Manusia suka tergesa-gesa dan segala yang
serba tergesa-gesa. Dengan alasan ini ia menyandarkan imannya
pada hal-hal yang fana, yang datang dan pergi, dan mengabaikan
segala yang sifatnya lebih abadi, yang datangnya perlahan-lahan,
yang tujuannya yang sebenarnya baru akan terlihat sepenuhnya di
akhirat kelak”.
Karena itulah puasa dapat dipandang sebagai bulan suci, dan
bulan penyucian diri pribadi yang ada secara berkala. Melalui bulan
suci dan penyucian ini diharapkan kita dapat membersihkan kembali
diri dari kekotoran kezaliman selama bulan-bulan sebelumnya.
Bulan puasa ini adalah rahmat Allah yang memberi jalan berkala
untuk lepas dari alam inferno, alam neraka, alam sengsara dalam
kehidupan manusia (mengikuti bahasa Dante, penyair Abad
pertengahan yang menulis buku syair Divina Comedia), memasuki
alam penyucian, purgatorio, dengan jalan pertobatan dan latihan-
latihan keruhanian selama sebulan puasa ini, untuk suatu tujuan

a 4721 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

paradiso, lahir kembali dalam alam surgawi, yang dalam bahasa


Islam disebut fitrah. Paradiso (bahasa Latin, bahasa Arabnya
firdaws) adalah surga: hidup bahagia, penuh kedamaian. “Dan
Allah memanggil ke tempat tinggal yang damai; Ia akan membimbing
siapa saja yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus,” (Q 10:25).
Memang, salah satu segi kebahagiaan hidup ialah tegaknya nilai-
nilai kemanusiaan, yang intinya ialah kedamaian ini.
Dalam tafsir atas Q 10: 25 ini, Abdullah Yusuf Ali mengatakan,
“...Daripada segala kesenangan dalam kehidupan benda yang serba
fana dan tiada pasti ini, ada lagi kehidupan yang lebih luhur. Ke
sana Tuhan selalu menyerukan. Itulah yang disebut tempat yang
damai. Di sana tak ada rasa takut, tak ada rasa kecewa dan tak ada
rasa duka. Dan semua dipanggil, dan mereka akan dipilih, mereka
yang mencari keridaan Allah, bukan yang mencari keuntungan
dunia kasar.” Oleh karena itulah surga disebut juga Dār al-Salām,
“Negeri Perdamaian”, di mana penghuninya saling menyapa dengan
ucapan, “Damai, damai!” (Salām, salām!).
Orang yang menjalankan ibadah puasa sesuai dengan tuntunan,
dengan sendirinya akan dapat mengembalikan jiwanya kepada
kesucian atau alam paradiso, yakni kebahagiaan karena lepas dari
dosa. [v]

a 4722 b
c Tradisi Islam d

Surga Kaum Beriman

“Dan sampaikan berita gembira kepada mereka yang beriman dan


berbuat baik, bahwa bagi mereka tersedia taman-taman surga...,”
(Q. 2: 25)

Surga adalah simbol kebahagiaan (sa‘ādah) bagi kaum beriman,


yang juga merupakan hal yang hakiki bagi kemanusiaan. Meskipun
sering dengan ilustrasi yang berbeda, dalam setiap agama terdapat
penggambaran mengenai surga ini, termasuk lawannya neraka, yang
merupakan simbol kesengsaraan manusia (syaqāwah).
Menurut al-Qur’an, manusia kelak memang akan terbagi dalam
dua kelompok, yakni yang sengsara (syaqī), dan yang bahagia (sa‘īd).

“Tatkala tiba waktu tak seorang pun dapat berbicara kecuali dengan
izin-Nya: dari antara mereka ada yang malang, dan ada yang senang.
Adapun mereka yang malang dalam api neraka; di sana mereka hanya
mengeluarkan napas dan mengerang. Mereka tinggal di dalamnya
sepanjang waktu selama ada langit dan bumi; kecuali jika Tuhanmu
menghendaki (lain), karena Tuhan melaksanakan apa yang direncanakan-
Nya. Adapun mereka yang senang tinggal di dalamnya sepanjang waktu
selama ada langit dan bumi; kecuali jika Tuhanmu menghendaki (lain);
suatu karunia tiada putus-putusnya,” (Q 11:105-108).

Ayat ini menegaskan surga sebagai tempat bagi orang yang


berba­hagia, dan neraka sebagai tempat bagi orang yang sengsara.
Orang beriman yang dikaruniai surga ini, digambarkan akan
mendapatkan kebahagiaan yang tak berkesudahan, tinggal di

a 4723 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

dalamnya selama-lamanya (khālidīn-a fīhā), yang berbeda dengan


kebahagiaan dalam hidup di dunia sekarang ini, yang selalu
berubah-ubah setiap saat.

“Barangsiapa mengerjakan amal kebaikan, laki-laki ataupun perem­


puan, dan dia beriman, pasti akan Kami beri ia kehidupan baru, suatu
kehidupan yang baik dan bersih, dan akan kami balas dengan pahala
yang sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan,”
(Q 16:97).

Sedangkan orang yang ingkar kepada kebenaran dan berbuat jahat,


Allah mengancam baginya dengan kesengsaraan yang besar,

“Adapun bagi mereka yang fasik, kediamannya api neraka; setiap


kali mereka ingin keluar daripadanya, mereka dipaksa kembali ke
dalamnya, dan dikatakan kepada mereka: ‘Rasakan azab api yang
dulu kamu dustakan,’” (Q 32:20-21).

Dalam permikiran Islam, pernah diperdebatkan apakah surga


dan neraka — pengalaman kebahagiaan dan kesengsaraan itu
— bersifat jasmani atau ruhani? Jawaban atas pertanyaan ini telah
menimbulkan masalah penafsiran, yang itu tergantung pada cara
membaca al-Qur’annya secara harfiah atau secara maknawiah
yang mendalam di balik kata-kata yang tersurat. Mereka yang
memahami teks suci secara harfiah, pengertian akan kebahagiaan
dan kesengsaraan itu bersifat fisik. Dan memang hampir seluruh
keterangan dan pelukisan mengenai surga dan neraka dalam al-
Qur’an dan Sunnah digambarkan sebagai pengalaman kebahagiaan
dan kesengsaraan yang serba-fisik. Walaupun ada juga beberapa
keterangan dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang memberi isyarat
bahwa pengalaman kebahagiaan dan kesengsaraan itu tidak fisik,
melainkan ruhani.
Berkaitan dengan penafsiran yang bisa timbul ini, menarik
mengikuti pendapat Ibn Rusyd, seorang filsuf klasik Andalusia, yang

a 4724 b
c Tradisi Islam d

mencoba memahami pelukisan kebahagiaan dan kesengsaraan ini


berdasarkan alamat pembicaraannya, sesuai dengan tingkat-tingkat
pengetahuan kemanusiaannya. Ia membagi manusia dalam tiga
tingkat, dari rendah, menengah, hingga tinggi, berkaitan dengan
pengetahuan: yaitu pertama, tingkat manusia yang umum (the
commons), al-khithābīyūn, yaitu mayoritas publik yang meyakini
kebenaran lewat dalil-dalil retorika atau ceramah (khithābah);
kedua, kaum khawāsh, orang-orang khusus (the specials), Ibn Rusyd
menyebutnya dengan ahl al-jadal, kaum dialektis, terutama ahli-ahli
ilmu kalam (teolog) yang tingkatan mereka lebih tinggi dari orang
awam, tetapi lebih rendah dari ahl al-burhān, yang merupakan
tingkat manusia ketiga, al-burhānīyūn, kaum demonstratif, yaitu
falasifah, orang-orang yang karena bakatnya mampu mencapai
pengetahuan hikmah, pengetahuan kearifan.
Meskipun pendekatan Ibn Rusyd ini mengesankan elitis,
tetapi memang kenyataannya dalam masyarakat ada orang-orang
tertentu yang jumlahnya tidak banyak, yang sanggup memahami
kebenaran-kebenaran hakiki lewat metode penyeberangan (i‘tibār)
dari makna-makna teks (nashsh) yang harfiah itu kepada makna-
makna yang ada di balik teks itu, misalnya di balik alegori, metafor,
atau perumpamaan.
Maka, bagi golongan ini, seluruh keterangan mengenai
kebaha­giaan dan kesengsaraan itu — yang berbentuk pelukisan
kehidupan di surga dan neraka — adalah metafor-matafor, atau
merupakan makna kiasan (majāz) saja, yang untuk mendapatkan
makna sebenarnya seseorang memerlukan i‘tibār (penyeberangan),
lewat penafsiran alegoris atau metaforis, yang dalam falsafah Islam
dikenal dengan takwil (ta’wīl). Dan bukan kebetulan, kalau al-
Qur’an pun meneguhkan penafsiran alegoris atau metaforis ini
(penafsiran tamtsīlī), seperti dalam ayat berikut, “Dan sudah Kami
jelaskan kepada manusia di dalam al-Qur’an ini berbagai macam
perumpamaan...,” (Q 17:89).
Persis di sinilah, ada isyarat dalam al-Qur’an tentang tamsil-
ibarat surga dan neraka.

a 4725 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

“Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang yang bertakwa


— yang di bawahnya sungai-sungai mengalir, kebahagiaan dan
keteduhannya tiada hentinya. Itulah balasan bagi yang bertakwa, dan
balasan bagi yang tak beriman api neraka,” (Q 13:35).

“Perumpamaan taman surga, yang dijanjikan kepada orang yang ber­tak­


wa; di dalamnya terdapat sungai-sungai yang airnya tak pernah payau;
dan sungai-sungai air susu yang rasanya tiada berubah; dan sungai-sungai
air anggur yang lezat bagi mereka minum; dan sungai-sungai madu
yang murni dan bersih. Dan di dalamnya terdapat bagi mereka berbagai
macam buah-buahan, serta rahmat dari Tuhan mereka. Samakah
mereka dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman air
mendidih, sehingga isi perut mereka tercabik-cabik?,” (Q 47:15).

Dalam contoh dua ayat tersebut, pelukisan tentang surga dan


neraka itu disebut sebagai tamsil-ibarat. Penafsiran semacam inilah
yang dilakukan terutama oleh para filsuf dan Sufi. Dan lebih-lebih
dewasa ini, penafsiran mengenai perumpamaan-perumpamaan
al-Qur’an telah menghasilkan kajian mengenai semiotika al-
Qur’an, seperti ditunjukkan oleh Ian Richard Netton, seorang ahli
pemikiran tasawuf dewasa ini.
Sebuah ayat lain menuturkan,

“Allah menjanjikan kepada orang beriman, laki-laki dan perempuan,


taman-taman surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka
tinggal di sana selama-lamanya, dan kediaman yang indah di taman-
taman bahagia yang abadi, dan keridaan Allah yang lebih besar. Itulah
kemenangan yang gemilang,” (Q 9: 72).

Dalam menafsirkan ayat ini Sayyid Quthub, dalam tafsirnya Fī


Zhilāl al-Qur’ān, mengatakan, “Surga dengan segala kenikmatan
yang ada di dalamnya tidaklah berarti apa-apa, dan akan menjadi
tidak seberapa di depan hebatnya keridaan Allah. Dan keridaan
Allah itulah yang akbar”. [v]

a 4726 b
c Tradisi Islam d

Malam Penentuan

“Sungguh, telah Kami turunkan (wahyu) ini pada malam yang Agung.
Dan apa yang akan menjelaskan kepadamu apa Malam yang Agung
itu? Malam yang Agung lebih baik dari seribu bulan. Ketika itu para
malaikat dan ruh turun dengan izin Tuhan, menjalankan setiap
perintah. Damai! Inilah, sampai terbit fajar,” (Q 97:1-5).

Salah satu momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh kaum


beriman dalam bulan Ramadan ini adalah Laylat al-Qadr (secara
populer dilafalkan “lailatul-qadar”). Secara harfiah, Laylat al-Qadr
berarti “Malam Penentuan” atau “Malam Kepastian”, jika kata-kata
qadr dipahami sebagai sama asal dengan kata-kata taqdīr. Akan
tetapi, ada juga yang mengartikan Laylat al-Qadr dengan “Malam
Kemahakuasaan”, yakni kemahakuasaan Tuhan, jika kata-kata qadr
dipahami sebagai sama asal dengan kata-kata al-Qādir, yang artinya
“Yang Mahakuasa”, salah satu sifat Tuhan.
Dalam al-Qur’an penyebutan dan gambaran ringkas tentang
Laylat al-Qadr ini dikaitkan dengan malam diturunkannya al-
Qur’an, yaitu dalam surat al-Qadr, di mana disebutkan bahwa
Allah menurunkan al-Qur’an pada Laylat al-Qadr yang nilainya
lebih baik daripada seribu bulan atau sekitar delapan puluh tahun
(kurang lebih umur maksimal manusia). Disebutkan demikian,
karena pada malam itu para malaikat turun, begitu juga Ruh (yang
dalam hal ini ialah Ruh Kudus atau Jibril, malaikat pembawa wahyu
Tuhan). Mereka turun dengan membawa ketentuan tentang segala
perkara bagi seluruh alam, khususnya umat manusia. Malam itu
adalah suatu kedamaian, hingga terbit fajar.

a 4727 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Muhammad Asad, dengan merujuk kepada al-Zamakhsyari


(seorang otoritas klasik), memberi makna bahwa istilah “rūh”
dalam al-Qur’an sering digunakan dalam pengertian “wahyu Ilahi”,
karena wahyu itu, seperti halnya ruh atau jiwa, memberi kehidupan
kepada hati yang mati dalam kebodohan (tidak tahu yang benar
atau yang palsu), dan dalam agama wahyu itu mempunyai fungsi
seperti ruh untuk badan. Asad juga menerangkan, dengan merujuk
kepada al-Thabari, al-Zamakhsyari, al-Razi, dan Ibn Katsir, bahwa
perkataan “rūh” yang secara harfiah berarti “jiwa” (atau “sukma”)
ini jelas me­nun­jukkan pengertian “wahyu Ilahi” yang disampaikan
kepada Nabi Muhammad saw, yaitu al-Qur’an, yang dianugerahkan
untuk membimbing manusia kepada kehidupan ruhani yang lebih
intensif.
Yang dimaksud dengan ungkapan bahwa Allah menurunkan
al-Qur’an pada Laylat al-Qadr itu, menurut Ibn Abbas sebagaimana
dikutip dalam tafsir Ibn Katsir, ialah diturunkannya al-Qur’an
dalam bentuk keseluruhannya secara utuh dan sempurna dari
Lawh Mahfūzh (“Loh Mahfuzh” — Papan Yang Terjaga) ke Bayt
al-‘Izzah. (Wisma Kemuliaan) di langit terendah (langit dunia),
lalu diturunkan kepada Nabi saw secara rinci menurut kejadian-
kejadian historis masa beliau selama dua puluh tiga tahun. Malam
diturunkannya al-Qur’an juga disebutkan di bagian lain dalam
al-Qur’an sebagai Malam yang diberkati (Laylat al-Mubārakah),
yang juga ada dalam bulan Ramadan (Q 44:3).
Dengan pengertian itulah, Laylat al-Qadr memang merupakan
“Malam Penentuan” dan “Malam Kemahakuasaan Allah”. Ini jelas
sekali jika dikaitkan dengan apa arti kehadiran al-Qur’an bagi
umat manusia. Sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, khususnya
sejarah agama-agama, al-Qur’an tidak hanya mempengaruhi dan
membawa perubahan kepada kaum Muslim saja, melainkan secara
langsung atau tidak langsung juga mempengaruhi dan membawa
perubahan kepada seluruh peradaban umat manusia.
Tentang itu, ada penafsiran mistis yang menarik sekali, yang
dikemukakan oleh Abdullah Yusuf Ali, berkaitan dengan hikmah

a 4728 b
c Tradisi Islam d

perbedaan pandangan tentang kapan sebenarnya Laylat al-Qadr


itu dalam bulan Ramadan. Ia lebih menafsirkannya sebagai
momen mistis. Apalagi jika disebut bahwa malam itu lebih baik
daripada seribu bulan, yang dapat diartikan tidak secara harfiah,
melainkan sebagai simbolisasi bahwa Laylat al-Qadr itu “mengatasi
waktu” (transcends time), karena sebagai Malam Penentuan dan
Malam Kemahakuasaan Tuhan yang telah melenyapkan gelapnya
kebodohan, dengan Wahyu-Nya, dalam semua perkara.
Untuk pandangannya ini, dan sebagai pengantar kepada terje­
mah dan komentarnya kepada surat al-Qadr, Yusuf Ali menggu­bah
syair yang indah sekali:

Memang penuh berkah Malam Kekuatan itu!


Ketika Berkah Wahyu Allah menembus
Kegelapan jiwa manusia!
Segala Kekuatan dari dunia Ilahi,
Menyampaikan Pesan Ampunan yang penuh pengertian yang
dalam,
Atas perintah Allah, dan memberkahi setiap ceruk
Dan sudut hati!
Semua keributan
Menjadi tenang dalam pengaruh Kedamaian sempurna,
Sampai Malam fana ini digantikan oleh/Hari gemilang dalam dunia
abadi!

Dari semua momen dalam hidup manusia, tentu ada satu


momen yang menentukan hidup seseorang sepanjang umurnya.
Momen itu dapat disebut sebagai “Momen Penentuan”, sebanding
dengan Laylat al-Qadr, bagi pribadi bersangkutan. Momen itu selalu
dibarengi dengan suasana damai dan bahagia, yang merupakan
dampak keruhanian karena merasakan hadirnya kebenaran yang
ditemukan, dan karena itu, akan mempengaruhi seluruh hidupnya
sepanjang umur.

a 4729 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Laylat al-Qadr, yang disebutkan dalam al-Qur’an, adalah


“Momen Penentuan” bagi manusia dan kemanusian universal.
Bersamaan dengan itu, sebagai malam mistis penuh berkah ke­
ruhanian yang hening dan damai, Laylat al-Qadr dalam bulan
Ramadan dapat mewujudkan suasana batin pribadi yang suci
dan damai, sebagai pertanda “intervensi Ilahi” kepada pribadi
bersangkutan, berupa keyakinan yang diperbarui dan diperteguh,
mungkin bahkan ditemukan untuk pertama kali dalam hidup,
tentang kebenaran dan kesucian.
Oleh karena itu, agama memberi arahan, agar setiap pribadi,
dalam bulan suci Ramadan yang penuh berkah ini, mencari Laylat
al-Qadr yang mungkin dianugerahkan Allah khusus baginya
— sama dengan turunnya para malaikat dan “ruh” kepadanya
yang membawa segala petunjuk kebenaran Ilahi dan kedamaian
hidup selama-lamanya. Laylat al-Qadr yang demikian itu, sebagai
“malam penentuan” dan “malam kemahakuasaan Tuhan”, memang
mengatasi sang waktu, karena kebahagiaan yang diwujudkannya
adalah abadi. Dan dapat sangat pribadi, sehingga saatnya pun dapat
berbeda-beda dari seseorang ke orang lain. Oleh karena itulah, Nabi
saw tidak menyebutkan kapan tepatnya malam itu. [v]

a 4730 b
c Tradisi Islam d

Renungan Ramadan

Menjelang Hari Raya Lebaran 1420


Bertepatan dengan Hari Natal 1999
Menjelang Tahun Baru 2000

Berikut ini adalah renungan. Dan dibuat hanya sebagai renungan,


bukan statement apa pun, termasuk politik, sekalipun mungkin
berdampak ke sana. Dan karena renungan adalah sejenis ungkapan
uneg-uneg, maka ia dapat sangat pribadi, dengan keluguan seperti
adanya dalam hati sanubari.
Ramadan adalah bulan suci dan penyucian (Purgatoria), salah
satu wujud kasih Allah kepada umat manusia. Puasa Ramadan
disyariatkan untuk memberi kesempatan manusia membersihkan
diri dari kegelapan dosa (zhulm, kezaliman), sebab dosa itu
mengotori hati yang terang (nūrānī) sehingga menjadi gelap
(zhulmānī). Dalam keadaan berhati zhulmānī itu manusia terseret
keluar dari kebahagiaan “Paradiso” kesucian asal (fithrah), dan
tercampak ke dalam kesengsaraan “Inferno” kegelapan dosa.
Alam “Purgatorio” Ramadan memberi kesempatan manusia
berlatih menahan diri dari kejatuhan ke lembah nafsu melanggar
larangan Tuhan. Pelanggaran itu telah dilakukan oleh kakek-
neneknya, Adam dan Hawa, yang membuat keduanya jatuh dari
martabat kemanusiaan suci, dan terusir dari Paradiso. Sekalipun
kedua insan pertama itu kemudian diampuni Tuhan karena teguh
menjalankan “kalimat-kalimat”-Nya, namun mereka menurunkan
anak cucu yang kesucian prirnordialnya selalu terancam rusak oleh

a 4731 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

keserakahan hawa nafsunya. Maka, setiap orang berpotensi untuk


jatuh martabat.
Latihan menahan diri (shiyām, puasa) di alam “Purgatorio”
Ramadan bersumbu pada latihan untuk sepenuhnya menghayati
kehadiran Tuhan dalam hidupnya yang paling pribadi (private).
Dalam semangat makna “Allah beserta kita” (inna ’l-Lāh-a
ma‘anā atau immanu El), manusia menemukan kesucian asalnya
yang hilang, dan kembali ke fitrah (‘īd al-Fithr, atau “Idul
Fitri”). Ia pun terlahir lagi dalam kesucian, pulang ke asal dalam
kebahagiaan “Paradiso”. Atas hidayah Allah, manusia mendapat
kebahagiaan primordialnya, maka ia bersyukur kepada-Nya, dengan
mengagungkan dan memuji-Nya (takbīr dan tahmīd).
Kesucian manusia yang fitri adalah kesucian pribadi, namun
berkonsekuensi sosial. Kesucian pribadi tidak bermakna apa-
apa tanpa sikap suci kepada sesama manusia. Budaya “rumah
terbuka” (open house) dalam Lebaran adalah konsekuensi adanya
“hati terbuka” (open heart) kepada sesama. Inilah salah satu wujud
rahmat-an li ’l-‘ālamīn, kasih Allah bagi sekalian alam, tujuan
universal kerasulan Nabi Muhammad saw. Itulah pula “agape”,
misi utama Nabi Isa al-Masih as, yang kelahirannya sekitar 2.000
tahun yang lalu kini sedang diperingati.
Maka, sentimentalitas “Milenium III” memang dapat
dipahami. Bagi sebagian besar orang, sentimentalitas itu muncul
karena angka “2.000” yang menarik, dengan rumusan eksotik
“Y2K” (Year 2 Kilos). Dari sudut pandang ketiga agama Semitik,
Islam menerimanya sebagai tahun dalam “Tārīkh Masehi” (Tārīkh
Kristen) atau “Tārīkh Mīlādī” (Tārīkh Kelahiran), karena dihitung
dari sekitar kelahiran Nabi Isa al-Masih as. Dan datangnya abad
21 Masehi dalam tiga bulan akan disusul oleh datangnya tahun
21 (1421) Hijri.
Kaum Nasrani mempercayai tahun 2000 sebagai “Tahun
Tuhan” (Anno Domini, AD), karena yang terjadi 2.000 tahun
lalu adalah kelahiran Tuhan. Kesadaran itu memang baru muncul
pada Abad Pertengahan, sekitar 800 tahun setelah Hijrah Nabi

a 4732 b
c Tradisi Islam d

(Britannica), tapi kemudian tumbuh dan berkembang dengan


makna keruhaniannya yang mendalam.
Kaum Yahudi tidak beriman kepada Isa al-Masih, baik sebagai
nabi maupun (apalagi) sebagai Tuhan, karena itu menerima tahun
2000 hanya sebagai “Tārīkh Umum” (Common Era, C.E.), tanpa
sentimentalitas apa-apa. Sikap seperti itu juga sedikit banyak ada
pada masyarakat dunia di luar kalangan kaum-kaum Muslim dan
Nasrani, seperti misalnya secara umum pada masyarakat India,
Cina, dan Jepang, sekalipun tanpa stigma keagamaan seperti pada
kaum Yahudi. Karena itu, bagi mereka sentimentalitas “Milenium
III” hanya berguna untuk hal-hal di luar soal keagamannya, seperti
pemanfaatan komersial dan sekadar kesempatan berhura-hura.
***

Bagi kita, sentimentalitas “Milenium III” Masehi, dalam gabungan­


nya dengan semangat fitrah kemanusiaan in optima forma Hari
Raya 1420 Hijri, menyediakan kondisi kejiwaan untuk melakukan
renungan yang lebih mendalam. Masih dalam satu garis konsisten
dengan agape seperti dalam surat Paulus kepada penduduk
Korintus, dan dengan kesucian fitrah dalam Hari Raya, renungan
pertama agaknya harus sekitar masalah keadilan.
Kita mulai dengan bersyukur kepada Allah swt bahwa bangsa
kita telah dibimbing memasuki masa reformasi menuju demokrasi.
Pemilihan umum yang lalu menjadi tonggak perkembangan politik
nasional yang amat bersejarah, demikian pula Sidang Umum MPR
yang menghasilkan terbentuknya jajaran pimpinan nasional secara
demokratis. Alhamdulillah, bangsa kita benar-benar telah memulai
zaman barunya, zaman demokrasi.
Namun ibarat “tiada gading yang tak retak”, demokrasi kita
mengandung beberapa segi kelemahan yang boleh jadi dapat
meng­ancam kelangsungannya. Isu “politik uang” merebak dengan
dahsyat pada saat-saat menjelang dan selama Sidang Umum, suatu
kejahatan berpolitik yang tak termaafkan. Syukur bahwa keman­
dirian anggota MPR terbukti dapat menepisnya, dan tertepis pula

a 4733 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

usaha-usaha campur tangan pihak luar dalam menggolkan tokoh


partisan mereka.
Cacat lain demokrasi kita yang sangat mengkhawatirkan ialah
maraknya “mob politics” (terjemahkan saja, “politik tawuran”).
Beberapa kelompok tidak terlatih, atau tidak tahan, untuk
menyelesaikan persoalan politik melalui “wacana akal”, dan lari
ke ancaman tawuran fisik dengan mengandalkan “kekuatan
otot”. Keadaban politik (political civility) melemah, digantikan
oleh kekerasan adu kekuatan fisik masal. “Politik tawuran”
barangkali bukan kejahatan, tapi jelas merupakan keterbelakangan
(backwardness) dan ketertinggalan (underdevelopment). Sekali lagi,
Alhamdulillah, kita sudah memulai demokrasi, namun sayangnya
masih berupa demokrasi terkebelakang (backward democracy) dan
demokrasi tertinggal (underdeveloped democracy).
Boleh dikata pembangunan bangsa (nation building) sempat
tertunda selama dua atau tiga dasawarsa, khususnya dalam arti
pengembangan kebebasan dan demokrasi. Dalam suasana tanpa
kebebasan, anggota masyarakat tumbuh tanpa mampu menduga
atau mengetahui apa kehendak sesamanya dengan jujur dan apa
adanya. Akibatnya ialah tumbuhnya suasana masyarakat dengan
tingkat saling percaya yang rendah (low trust society). Maka, mob
polilics atau politik tawuran, seperti halnya gejala tawuran dalam
banyak kalangan masyarakat, merebak menjadi pilihan yang
gampang dalam menyelesaikan pertikaian.
Gus Dur terpilih secara demokratis sebagai presiden, yang
bagi banyak kalangan disertai harapan bahwa politik tawuran
segera berakhir. Dan harapan itu ternyata mewujudkan. Negara,
khususnya ibukota sendiri, segera menjadi cukup tenang dan aman,
pangkal harapan masyarakat umum.
Tetapi semua itu harus ditebus dengan harga cukup mahal.
Kemampuan mengatasi politik tawuran tidak mungkin tanpa lebih
dahulu dilakukan pendekatan-pendekatan rekonsiliasi, kompromi,
akomodasi, dan pendamaian (appeasement) berbagai pihak yang
bertikai. Akibatnya, beberapa agenda reformasi yang menjadi

a 4734 b
c Tradisi Islam d

prioritas utama bangsa tampak tertunda-tunda. Misalnya, dalam


krisis ekonomi yang bagi banyak kalangan merupakan “padanan
moral kalah perang” (moral equivalent of losing war) terkesan
bahwa pemerintah kurang “greget” dalam usaha mengatasinya.
Justru orang mulai bicara tentang tidak adanya kepekaan dalam
usaha menanggulangi krisis yang mencekam itu, dengan indikasi
bercokolnya tokoh-tokoh yang menurut “rahasia umum” masyara­
kat adalah di antara yang paling bertanggungjawab atas keadaan
negara yang menyedihkan ini. Sebagian mereka itu malah telah
terdokumentasi dengan jelas sebagai “aktor intelektualis” permulaan
kezaliman rezim yang lalu, dan menjadi penikmat besar hasil-hasil
politik kotornya.
Gus Dur adalah pemimpin pilihan rakyat, merupakan tokoh
dengan wawasan yang luas dan kemampuan pribadi yang amat
besar. Oleh karena itu, rakyat tidak bersedia, dan tidak tahan,
melihat kejadian bila sampai Gus Dur gagal. Kemampuannya yang
luar biasa untuk membuat dobrakan dan terobosan menjadi sumber
harapan yang tinggi. Hari-hari pertama kepresidenannya telah
ditandai oleh tindakan pendobrakan dan penerobosan itu, baik
nasional maupun internasional. Sambutan cukup hangat datang
dari banyak pihak, diikuti berbagai janji dukungan dan bantuan.
Namun, untuk terwujudnya secara nyata semua hal yang positif
itu, persoalan tidak tergantung hanya kepada Gus Dur. Tindakan
yang sifatnya praktis, nyata, dan menyentuh bumi harus dilakukan
oleh para pembantunya dalam pemerintahan. Tetapi tekanan
yang amat besar kepada kompromi, akomodasi, rekonsiliasi, dan
pendamaian telah menempatkan Gus Dur dalam posisi kurang
mampu memilih pembantu yang cakap dan berwibawa. Ditambah
dengan kurangnya komunikasi yang efektif antara keseluruhan
aparat pemerintahan. Gus Dur seperti terjebak dalam lingkungan
pembantu yang kurang bergairah dan mutlak memerlukan pem­
berdayaan lebih besar.
Gus Dur menunjukkan keinginan kuat melakukan perbaikan.
Namun Gus Dur mungkin harus diingatkan, atau malah diper­

a 4735 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

ingatkan, bawa gaya pribadi Gus Dur yang dalam banyak hal
lain memang sangat mempan dan tepat, namun dalam hal usaha
perbaikan jajaran pemerintahan nasional itu terbukti menimbulkan
suasana tegang yang tidak perlu.
Berkenaan dengan itu, Gus Dur perlu segera memulai penataan
kembali kehidupan bernegara, khususnya yang menyangkut
masalah politik dan ekonomi, sehingga menjadi lebih rasional,
terbuka, dan menerima pengujian kemampuan pribadi. Seperti
diungkapkan dalam akronim “KKN”, korupsi dan semua bentuk
kecurangan akan tumbuh subur oleh adanya kolusi, kroniisme, dan
nepotisme, yaitu gejala-gejala yang tumbuh subur dalam masyarakat
tertutup dan tidak rasional.
Persoalan terbesar lain bangsa kita ialah lemahnya kekuasaan
hukum. Ketika semua persoalan mudah dikompromikan (“dapat
diatur”), maka tegaknya hukum adalah korban utamanya. Kesung­
guhan kita hidup bernegara akan mudah diukur dari sejauh mana
kita menegakkan supremasi hukum. Semua perolehan usaha
pembangunan telah terbukti hancur berantakan karena lemahnya
kekuasaan hukum itu. Gus Dur dituntut untuk memberi perhatian
yang lebih serius kepada masalah ini.
Sementara kita bersyukur bahwa gejala tawuran di ibukota
nisbi reda, kita prihatin akan apa yang terjadi di Aceh dan Ambon,
serta berbagai tempat lain. Gus Dur dan jajaran pemerintahannya
harus melakukan komunikasi terbuka untuk mengatasi ancaman
disintegrasi bangsa, sebagaimana untuk mengatasi masalah nasional
lainnya.
Akhirnya, seperti telah terbaca, renungan ini harus berujung
kepada harapan semoga Gus Dur dan pemerintahannya sukses dalam
menjalankan tugas. Semoga Gus Dur dianugerahi kesehatan dan
kekuatan lahir batin untuk memimpin bangsa ini menuju keadaan
yang lebih baik dan lebih maju. Semoga Gus Dur, dan kita semua,
mendapat bimbingan Allah ke arah jalan yang lurus, yaitu jalan
mereka yang mendapat anugerah kebahagiaan, bukan jalan mereka
yang mendapat murka, bukan pula jalan mereka yang sesat. Amin.

a 4736 b
c Tradisi Islam d

Selamat Berpuasa, semoga diterima oleh Allah swt, Tuhan Yang


Maha Esa.
Selamat Hari Natal dan Pacem in Terris, berkat kelahiran Nabi
Isa al-Masih.
Selamat Tahun Baru 2000, memasuki Milenium III, dengan
penuh harapan.
Selamat Hari Raya, Min-a ’l-‘ā’idīn wa ’l-Fā’izīn, maaf dan
bahagia lahir-batin. [v]

Nurcholish Madjid
Warga negara

a 4737 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

a 4738 b
c Tradisi Islam d

Pidato Kemanusiaan

Pada saat berada di Arafah Nabi berpidato, yang kemudian dikenal


sebagai Khuthbat al-Wadā‘ (Pidato Perpisahan). Pidato ini meru­pa­
kan salah satu peristiwa puncak dalam sejarah Islam. Bahkan, kalau
dicermati secara lebih mendalam, pidato tersebut berisi tentang
perikemanusiaan. Oleh karena itu, keberhasilan kita memahami
dan menangkap makna dan semangat Pidato Perpisahan itu adalah
bagian sangat penting dari usaha kita memahami dan menangkap
pesan-pesan kemanusiaan dalam agama. Sebaliknya, kegagalan
dalam hal itu akan sama dengan kegagalan menangkap bagian
yang sangat sentral dalam ajaran agama, yang bahkan dapat menje­
rumuskan seorang pemeluk kepada praktik keagamaan yang kering,
tanpa makna kemanusiaan, dan karena itu juga berarti tanpa makna
pesan-pesan Ketuhanan yang paling mendalam: Bahwa dalam
keberagamaan selalu ada kaitan organik antara segi vertikal (habl-un
min-a ’l-Lāh) dalam ibadah dengan segi horizontal (habl-un min-a
’l-nās) dalam kerja-kerja kemanusiaan.
Dalam Pidato Perpisahan itu, pertama-tama Nabi menegaskan
bahwa manusia mempunyai hak-hak asasi. “Wahai sekalian umat
manusia, tahukah kamu dalam bulan apa kamu ini, dalam hari
apa kamu ini, dan di negeri apa kamu ini?” Mereka menjawab,
“Kita semua ada dalam hari yang suci, bulan yang suci, dan tanah
yang suci”. Nabi melanjutkan, “Oleh karena itu ingatlah bahwa
hidupmu, hartamu, dan kehormatanmu itu suci seperti sucinya
hari dan bulanmu ini, di negeri yang suci ini, sampai kamu datang
menghadap Tuhan, dan karena itu tidak boleh dilanggar”. Dalam

a 4739 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

versi lain, kemudian Nabi bersabda sambil berteriak, “Apakah sudah


saya sampaikan?” “Ya, Nabi! Engkau telah sampaikan”.
“Sekarang dengarkanlah aku. Dengarkanlah aku. Kamu
akan hidup tenang. Ingatlah, kamu tidak boleh menindas orang
(diucapkan sampai tiga kali), tidak boleh berbuat zalim kepada
orang lain, dan harta seseorang itu tidak boleh diambil orang lain
kecuali dengan cara sukarela!”
Dari sini jelas bahwa sudah sejak dini Islam menanamkan nilai
harkat kemanusiaan. Maka tidak aneh kalau dalam dokumen-
dokumen mengenai renaisans, orang Barat mengetahui penghor­
matan kepada manusia itu justru berasal dari Islam. Pada zaman
renaisans, ada seorang filsuf, pemikir kemanusiaan dari Italia
bernama Giovanni Pico Della Mirandola. Ketika diminta berorasi
ilmiah di hadapan para pemimpin gereja, ia mengatakan bahwa
ia mengetahui tentang harkat dan martabat manusia dari orang-
orang Arab Muslim. Adalah seorang bernama Abdullah ketika
ditanya tentang apa yang paling dihormati di muka bumi, dia
menjawab “manusia adalah makhluk Tuhan yang tertinggi”.
Setelah itu Pico kemudian menguraikan paham kemanusiaannya
— yang pada dasarnya menjadi inti dari agama Islam, sebagai
agama kemanusiaan.
Salah satu pesan lain Nabi dalam Pidato Perpisahan itu adalah
mengenai wanita. “Bertakwalah kepada Allah berkenaan dengan
wanita, mereka mempunyai hak atas kamu, dan kamu mempunyai
hak atas mereka”. Bahwa hak laki-laki dan perempuan adalah sama,
tidak memandang perempuan sebagai properti seperti pandangan
jahiliah sebelum Islam. Persamaan demikian juga ditegaskan dalam
al-Qur’an, “Mereka adalah pakaian untuk kamu dan kamu adalah
pakaian untuk mereka,” (Q 2:187). Jadi, antara pria dan wanita
— suami dan istri — saling menjadi pakaian, yang merupakan
proteksi dan sekaligus hiasan.
Menurut bahasa al-Qur’an, “pakaian itu ialah untuk rnemelihara
badanmu terutama kehormatanmu terutama sebagai perhiasan,”
(Q 7:26). Maka, maksud suami dan istri saling menjadi pakaian

a 4740 b
c Tradisi Islam d

dalam konsep al-Qur’an itu adalah saling melindungi dan saling


menjaga kehormatannya. Karena itu istri atau suami tidak boleh
dengan mudah membocorkan rahasia rumah tangga, dan harus
saling menjaga nama baik. Nabi memperingatkan, “Jangan boleh
ada orang yang tidur di tempat tidurmu kecuali kamu dan istrimu,
dan janganlah istrimu mengizinkan orang yang tidak kamu sukai
masuk rumahmu”.
Masuk rumah orang haruslah dari depan dengan mengetuk
pintu dan memberikan salam, “Janganlah kamu masuk rumah
yang bukan rumahmu sebelum kamu minta izin dan memberikan
salam,” (Q 24:27). Itu pun masih harus menunggu izin dari yang
empunya rumah. “Dan kalau kamu tidak bisa diizinkan masuk,
maka kamu harus pergi,” (Q 24:28). Masuk rumah orang boleh
boleh asal selonong saja, ada aturannya, sebab dalam konsep agama
Islam rumah adalah suci.

“... Dan terhadap perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan


tidak setia dan curang, nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di
tempat tidur dan pukullah (sedikit). Tetapi bila sudah kembali setia,
janganlah kamu mencari-cari alasan mempersulit mereka...,” (Q. 2:
233).

Artinya memberi jaminan hidup nafkah dan pakaian yang benar.


Dalam masalah ini diatur sedemikian rupa karena, seperti dijelaskan
dalam sebuah hadis, “kamu mengambil wanita itu dengan amanat
Allah, dan kamu dibenarkan bergaul sebagai suami-istri karena
kalimat Allah”.
Kemudian Nabi mengatakan, “Barang siapa menerima amanat
hendaklah menunaikannya kepada yang berhak”. Contoh terbaik
penunaian amanat adalah yang dilakukan Nabi sendiri, ketika
menjadi orang terakhir dalam hijrah. Hal ini dilakukan karena
Nabi ingin mengembalikan semua barang titipan kepada yang
berhak. Sebagaimana diketahui bahwa Nabi sesuai dengan gelarnya
al-Amīn, orang yang dapat dipcrcaya, menjadi semacam bankir,

a 4741 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

tempat orang-orang kaya Makkah menitipkan barang-barang ber­


harga meskipun mereka musuh Nabi. Tetapi karena dalam suasana
begitu tegang dan ada orang yang ingin membunuh Nabi, maka
yang mengembalikan barang-barang titipan adalah Ali ibn Abi
Thalib dengan cara sangat rahasia. Berdasarkan fakta ini, tidaklah
dibenarkan merampok harta orang kafir.
Kemudian Nabi berkata, “Sudah saya sampaikan, ya?” sampai
tiga kali. Semua menjawab, “Ya, Nabi, engkau telah sampaikan”.
Setelah menyampaikan khutbah ini, sore harinya turun firman
Allah, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu
dan telah Kucukupkan untukmu nikmat-Ku dan telah Aku ridai
Islam sebagai agamamu,” (Q 5:3). Dan selang delapan puluh hari
kemudian beliau wafat.
Dari pidato Nabi itu jelas bahwa puncak dari keagamaan adalah
perikemanusiaan. Itulah yang harus ditangkap ketika orang pergi
haji, karena haji tidak lain merupakan demonstrasi kemanusiaan
universal, semua orang, kaya-miskin, tua-muda, laki-perempuan,
hitam-putih, tidak ada bedanya. Haji merupakan ritus keagamaan
yang sangat tegas menekankan masalah persamaan. Haji adalah
drama kemanusiaan yang luar biasa. Dan makna ini harus bisa
ditangkap, karena hanya dengan begitulah haji kita nanti akan
menjadi haji mabrur. Dan oleh karena begitu pentingnya isi Pidato
Perpisahan Nabi ini, Nabi berpesan kepada yang hadir untuk
menyampaikan kepada yang tidak hadir. [v]

a 4742 b
c Tradisi Islam d

Haji Mabrur

Di kalangan kaum Sufi terdapat sebuah dongeng yang menggambar­


kan tentang haji mabrur. Konon ada sepasang suami-istri, yang
tidak terlalu kaya, bersusah payah menabung untuk pergi haji.
Saat pergi haji tiba mereka mengadakan perjalanan ke Makkah
dengan berjalan kaki dan naik unta. Ketika melewati sebuah
kampung yang sangat miskin, mereka menyaksikan adanya anak-
anak kecil terkena busung lapar. Tak urung suami-istri itu pun iba
dan akhirnya memberikan semua bekal kepada orang di kampung
itu. Bagi mereka, haji memang merupakan perintah Tuhan, tetapi
kepentingannya hanya untuk mereka berdua. Sementara ada orang
satu kampung yang menurut mereka lebih membutuhkan, maka
tabungan bertahun-tahun itu pun mereka berikan untuk menolong.
Dengan sendirinya, mereka berdua tidak jadi pergi haji, lalu pulang
kembali ke rumah.
Sampai di rumah ternyata sudah ada orang yang tidak dikenal
menunggu. Setelah memberi salam, orang itu mengucapkan,
“Selamat datang dari haji yang mabrur!” Suami-istri itu protes,
karena keduanya tidak merasa pergi haji, mengingat semua ongkos
perjalanan sudah mereka berikan kepada orang yang lebih membu­
tuhkan. Orang tak dikenal itu berkata, “Itulah haji mabrur!” Ia
pun menghilang.
Ini memang sebuah dongeng, yang boleh jadi hanya cerita
belaka. Tetapi ada pesan moral di balik cerita ini, yang menyampai­
kan bahwa sebenarnya yang lebih penting adalah memperhati­kan
kemanusiaan, dan itu yang harus menjadi tujuan dari ibadah pergi
haji. Haji mabrur tidak menyangkut masalah teknis, melainkan

a 4743 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

ruhani, yaitu kemampuan menangkap makna terdalam dari agama,


yakni pesan-pesan kemanusiaan.
Apakah haji mabrur itu? Dalam sebuah hadis sahih disebutkan
bahwa “Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga”. Haji
mabrur merupakan sesuatu yang sangat berharga dan karena itu
menjadi tujuan setiap orang yang beriman. Biasanya pertanyaan apa
sebenarnya haji mabrur itu dijawab dengan: haji yang memenuhi
segala persyaratan fiqih! — artinya dikerjakan dengan sungguh-
sungguh.
Dilihat dari segi bahasa, mabūr berarti baik. Ini mengacu
kepada perkataan Arab untuk baik, yang salah satunya adalah al-
birr (misalnya berbuat baik kepada orangtua istilah Arabnya birr-u
’l-wālidayn). Kata birr ini misalnya dipakai dalam al-Qur’an, “Kamu
tidak akan memperoleh kebajikan (birr) kecuali kamu mendermakan
sebagian dari hartamu yang kamu cintai,” (Q 3:92). Ayat ini tegas
sekali, bahwa apa yang disebut kebajikan adalah kepedulian sosial.
Semua ajaran Islam memang dirancang untuk memperkuat hubung­
an pribadi dengan Allah dan sekaligus memperkuat aspek konseku­
ensialnya berupa hubungan baik dengan sesama manusia. Contoh
selain haji, misalnya perintah shalat, yang selalu terkait dengan
perintah zakat. Ayat mengenai sembahyang dan menderma selalu
bergandengan seperti, “dirikanlah ssalat dan tunaikanlah zakat,”
(Q 2:43), “mereka yang menegakkan shalat dan menunaikan zakat,”
(Q 5:55), dan seterusnya. Baik dalam bentuk perintah maupun
dalam bentuk deskripsi mengenai orang-orang beriman, shalat
tidak pernah dipisahkan dengan zakat.
Keterkaitan hubungan pribadi dengan Allah dan aspek konse­
kuensialnya berupa hubungan baik dengan sesama manusia juga
tecermin dalam makna shalat itu sendiri yang dimulai dengan
takbīrat-u ’l-ihrām dan diakhiri dengan salām. Takbīrat-u ’l-ihrām
adalah takbir sebagai lambang pengharaman semua kegiatan selain
ingat kepada Allah, atau yang dalam istilah lain sering disebut habl-
un min-a ’l-Lāh, hubungan dengan Allah sebagai lambang dari
iman, takwa dan scbagainya. Sedangkan salām, dengan anjuran

a 4744 b
c Tradisi Islam d

menengok ke kanan dan ke kiri, merupakan lamhang ajaran ke­


bajikan bahwa kalau kita benar di dalam shalat maka kita harus
mempunyai perhatian kepada masyarakat di sekeliling kita. Istilah
yang sering dipakai untuk menyebut hal ini adalah habl-un min-a
’l-nās, hubungan dengan sesama manusia yang merupakan lambang
dari amal saleh, yang wujud keibadatannya adalah mengeluarkan
zakat dan bersedekah.
Begitu juga dengan Idul Adha — yang akan kita rayakan
bebe­rapa hari mendatang — kita diperintahkan untuk mengingat
kembali pengalaman Ibrahim yang sangat berjasa dalam mengem­
bangkan paham monoteisme, Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
segala pengorbanannya. Salah satu pengorbanan Ibrahim adalah
ketika dia diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya
tercinta, Isma’il, seorang anak yang sudah lama dinanti-nantikan
sampai usia tua. Tetapi tiba-tiba setelah anaknya cukup dewasa,
Allah memerintahkan supaya ia dsembelih, dikorbankan sebagai
ujian dari Allah. Setelah Ibrahim betul-betul ingin mencoba
melaksanakan perintah (setelah keduanya [Ibrahim dan Isma’il]
itu pasrah [aslama], memasrahkan dirinya dan ditelentangkan,
kemudian hampir saja Ibrahim memotong leher anaknya, kemu­
dian ditegur oleh Tuhan, “Ibrahim cukup sekian, kamu sudah
mem­buk­tikan dirimu sebagai orang yang setia kepada Tuhan!”
(lihat, Q 37:103-105).
Inilah habl-un min-a ’l-Lāh, yaitu mencintai Tuhan di atas se­
gala-galanya. Jadi berkorban menyembelih binatang merupakan
tindakan sombolik mencontoh Ibrahim dan menirunya dalam
menghayati hubungan yang setia dan mendalam secara vertikal
dengan Allah. Meskipun demikian, al-Qur’an mengingatkan bahwa
yang sampai kepada Tuhan itu bukanlah darah atau daging korban
itu, melainkan takwa yang ada di dalam dada. “Yang sampai kepada
Allah bukan daging atau darahnya, melainkan yang sampai kepada-
Nya ketakwaan kamu...,” (Q 22:37). Dan berkorban menyembelih
binatang sendiri bertujuan sosial, yaitu memberi makan dengan
daging korban kepada orang-orang miskin.

a 4745 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Secara keseluruhan, haji juga berdimensi vertikal dan horizontal


sekaligus. Kenyataannya bahwa sebagian besar ritual haji adalah
tindakan-tindakan memperingati pengalaman Ibrahim, Hajar,
dan Isma’il. Ketiga orang tersebut sangat berjasa dalam meletakkan
dasar-dasar tauhid. Maka, sebenarnya, dimensi haji yang terutama
adalah vertikal, tetapi efek yang diharapkan darinya sangat
horizontal. Inilah yang dimaksudkan dalam haji mabrur: adanya
keterkaitan antara segi vertikal (habl-un min-a ’l-Lāh) dalam ibadah,
dengan segi horizontal (habl-un min-a ’l-nās) dalam kerja-kerja
kemanusiaan.
Seluruh ajaran agama, kalau coba divisualisasikan akan ber­
bentuk kerucut yang puncaknya adalah perikemanusiaan. Ini juga
yang merupakan puncak dari seluruh pengalaman Nabi dalam
Haji — yang hanya beliau lakukan satu kali — seperti terlihat
dalam Pidato Perpisahan di Arafah (yang akan kita bahas minggu
depan, insya Allah), sehingga turun ayat yang terakhir mengenai
kesem­purnaan agama Islam. “Hari ini Ku-sempurnakan agamamu
bagimu dan Ku-cukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan
Islam menjadi agamamu,” (Q 5:3). Pesan-pesan perikemanusiaanlah
yang seharusnya ditangkap oleh orang pergi haji, sehingga ketika
pulang ia seharusnya memiliki perikemanusiaan lebih tinggi: Itulah
haji yang mabrur! [v]

a 4746 b
c Tradisi Islam d

Tarekat:
Jalan kepada Allah

Membicarakan mengenai tarekat, ada firman Allah yang dijadikan


dalil oleh kaum tarekat: “wa an law istaqāmū ‘alī ’l-tharīqat-i la-
asqaynā-hum mā’-an ghadaq-an (kalau saja mereka mengikuti tarekat,
maka pasti Kami siramkan pada mereka air yang melimpah),” (Q
72:161). Perkataan tarekat dalam firman tersebut menunjuk pada
agama secara keseluruhan, bukan hanya suatu wujud atau institusi
keagamaan seperti yang kita kenal sekarang sebagai “tarekat”.
Secara harfiah tarekat berarti jalan, sama dengan syariat
(syarī‘ah), yaitu jalan setapak menuju oase yang dalam bahasa Arab
disebut jannah — biasa diterjemahkan sebagai surga. Bagi orang di
daerah padang pasir, oase adalah lambang kehidupan yang paling
ideal karena suatu kehijauan di tengah kegersangan yang luar
biasa. Jalan setapak menuju oase itu disebut syariah, dan kemudian
dipakai sebagai metafor, agama adalah jalan menuju kebahagiaan,
menuju surga. Ada banyak kosa kata yang dapat diartikan dengan
jalan, seperti sabīl, manhaj, atau minhāj, suluk, atau maslak, nusuk,
atau mansak. Agama memang selalu digambarkan sebagai jalan
— sama dengan marga atau dharma dalam bahasa Sansekerta, atau
tao dalam bahasa Cina.
Dalam perkembangannya, karena ada tekanan-tekanan di
dalam apresiasi keagamaan dan sesuai dengan perkembangan
sejarah, istilah-istilah tersebut mengalami sedikit pergeseran makna.
Seperti syarī‘ah yang lebih menunjuk kepada jalan yang bersifat
lahiri, hukum, dan tharīqah menjadi lebih bersifat batini.

a 4747 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Al-Qur’an banyak menggunakan air sebagai simbol kehidupan.


Mā’-an ghadaq-an (air yang melimpah) dalam firman di atas berarti
kehidupan bahagia, lahir dan batin. Dalam sistem agama lain, air
juga dijadikan sebagai simbol kehidupan, seperti digambarkan
dalam cerita tentang Nabi Musa yang mau bertemu dengan Nabi
Khidlir. Ketika Nabi Musa ditanya oleh para pengikutnya tentang
siapa yang lebih hebat darinya, ia menjawab tidak ada. Mendengar
kesombongan Nabi Musa, Tuhan marah dan berkata, “Ada yang
lebih hebat dari kamu!”
“Di mana dia?”
“Cari saja di tepi laut!”
Ketika Nabi Musa mencari dan beristirahat di sebuah batu,
bekal ikan yang sudah digoreng ternyata hidup kembali dan
masuk ke laut. Ini seperti diceritakan dalam surat al-Kahf adalah
pertemuan antara dua air yang kemudian menjadi landasan kaum
tarekat sebagai tempat ideal untuk berzikir.
Di tempat ini Nabi Musa mendapatkan orang yang tidak
begitu mengesankan. Ketika ditanya apakah dia yang dikatakan
lebih hebat darinya, Nabi Khidlir menjawab tidak tahu. Karena
merasa penasaran dan untuk mengetahui lebih jauh siapa dia, Nabi
Musa meminta untuk ikut dengannya. Dengan tegas Nabi Khidlir
menolak karena yakin Nabi Musa tidak akan tahan melihat tingkah
lakunya nanti. Tapi dengan janji tidak akan macam-macam, hanya
ikut tunduk saja tanpa protes, akhirnya Nabi Musa diizinkan ikut
juga.
Mereka kemudian menyeberangi selat dan naik perahu. Di
tengah perjalanan ketika melihat perahu, perahu itu dirusak. Nabi
Musa tidak tahan melihat kejahatan itu dan protes. Dengan enak
orang itu menjawab, “Kan sudah saya bilang kalau kamu tidak
akan tahan mengikuti aku”. Ketika sampai di pantai dan bertemu
dengan anak-anak yang sedang bermain riang, diambil salah satu
dari mereka, dan ditempeleng sampai mati. Nabi Musa marah
sekali dan berkata, “aqatal-ta nafs-an zakīyat-an bi-ghayr-i nafs-
in” (apakah engkau mebunuh seorang jiwa yang suci bersih tanpa

a 4748 b
c Tradisi Islam d

kesalahan seperti ini?) (Q 18:74). Lagi-lagi orang itu dengan tenang


berkata, “Kan sudah saya bilang kalau kamu tidak akan tahan ikut
aku”. Kernudian Nabi Musa minta maaf.
Sampai di sebuah desa dan keduanya sudah lapar dahaga,
tetapi tidak seorang pun menjamu mereka walau sudah diminta.
Meskipun demihian, ketika melihat rumah yang mau roboh, Nabi
Khidlir mengajak Nabi Muaa untuk memperbaikinya. Dengan
dalih perlakuan orang desa yang tidak bersahabat tadi, Nabi Musa
keberatan untuk memperbaiki rumah itu.

“Protes yang ketiga. Dan inilah saatnya kita harus berpisah karena
kamu tidak tahan mengikuti aku. Tetapi sebelum berpisah saya akan
menerangkan dulu mengapa saya melakukan itu semua. Tentang
perahu itu, saya merusaknya karena di seberang sana sedang menunggu
perampok-perampok yang akan merampasnya. Jadi saya rusak supaya
tidak dirampas oleh perampok-perampok itu. Tentang anak kecil
yang sedang bermain itu, saya membunuhnya karena saya mendapat
wahyu dari Tuhan bahwa ketika besar nanti ia akan durhaka kepada
kedua orangtuanya, padahal kedua orangtuanya itu saleh. Jadi saya
bunuh dengan harapan nanti Allah akan menggantinya dengan anak
yang saleh. Sedangkan rumah yang mau roboh tadi, di dalamnya ada
harta yang tersimpan untuk anak-anak yatim yang sekarang sedang
berada di kota. Jadi rumah itu kita bangun agar harta itu tetap utuh
sampai saatnya anak yatim itu dewasa, dan bisa memanfaatkannya,”
(Q 18:78-82).

Cerita di atas sering dipandang sebagai cerita konflik atau kete­


gangan antara lahiri yang tidak sanggup menerobos orientasi batin.
Maka pencerahan yang dimaksud adalah dalam arti penembusan
batas, ‘ibrah, i‘tibār, tingkah laku atau tindakan menyeberang.
Maksudnya, orang mestinya tidak berhenti pada aspek lahir
tetapi mencoba memahami apa yang ada di sebelahnya. Hal demi­
kian penting mengingat agama sebenarnya merupakan sistem
simbol; orang baru akan mengerti dengan benar jika sanggup

a 4749 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

menyeberangi simbol-simbol itu. “Fa-‘tabir-ū yā ūli ’l-abshār


— Karena itu menyeberanglah wahai orang-orang yang mempunyai
pikiran mendalam,” (Q 59: 2). “Wamā ya‘qil-uhā illā ’l-‘ālimūn
— Tidak ada yang bisa memahami secara rasional kecuali mereka
yang berpengalaman.” (Q 29:43).
Sebagai wawasan pencerahan, dalam tarekat zikir itu mempu­
nyai kedudukan sangat penting. Zikir sebenarnya adalah seluruh
tingkah laku kita yang berhubungan dengan Tuhan. Itulah sebabnya
kenapa zikir yang paling baik adalah zikirnya alam raya maskipun
kita tidak memahaminya.

“Bertasbih memuji Tuhan seluruh langit dan bumi begitu juga


penghuni-penghuninya, tidak ada sesuatu pun kecuali mesti bertasbih
memuji Tuhan, tapi kamu tidak paham tasbih mereka.” (Q 17:44).

Bertasbihnya bumi, langit, dan seisinya kepada Tuhan menun­


jukkan bahwa sebenarnya zikir merupakan suatu pekerjaan yang
sangat alami karena merupakan bagian dari kebaktian. Itulah
kenapa Ahmad Hasan dalam al-Furqān selalu menerjemahkan
takwa dengan bakti. Keterikatan manusia dengan Tuhan melalui
perjanjian primordial sebelum lahir (Q 7:171), secara alami me­
nuntut manusia untuk berbakti.
Pengakuan Tuhan sebagai rabb berkonsekuensi pada bakti kita
kepada-Nya meskipun pengakuan tersebut terjadi dalam alam ruhani
yang berarti kita tidak menyadarinya. Jangankan yang ruhani, yang
nafsani saja sebagian besar kita tidak sadar. Dan hampir sebagian
besar dari hidup kita ditentukan oleh yang tidak sadar ini. [v]

a 4750 b
c Tradisi Islam d

Dari Sunnah ke Hadis

Para penguasa Umawi di Damaskus menghadapi tantangan untuk


menjaga persatuan dan kesatuan seluruh wilayah Islam yang
terbentang dari Gurun Gobi di Timur sampai Andalusia di Barat.
Mereka pun secara tepat menyadari bahwa fondasi persatuan dan
kesatuan itu ialah keamanan dan ketertiban berdasarkan kejelasan
dan kepastian hukum. Oleh karena ketentuan-ketentuan al-Qur’an
lebih banyak bersifat garis besar, maka itu memerlukan perincian.
Dan demi legitimasinya, perincian itu harus juga berasal dari sumber
suci, yaitu agama, dan ini berarti harus dari Nabi Muhammad saw
sendiri atau para sahabat beliau.
Adalah untuk memperoleh kepastian itu, kaum Umawi sangat
berkepentingan untuk memastikan pula harakat teks al-Qur’an.
Naskah Kitab Suci itu sendiri sudah baku, karena telah dibukukan
dengan teliti sejak zaman Abu Bakar. Kaum Umawi mungkin
merasa beruntung dipandang dari sudut persoalan legitimasi
politik mereka yang disangkutkan dengan al-Qur’an, karena
anggota kabilah mereka sendiri, yaitu Khalifah Utsman, yang telah
melakukan tindakan politik tegas untuk menstandarkan penulisan
al-Qur’an itu (sehingga sekarang kita mewarisi al-Qur’an versi
mushhāf ‘Utsmānī). Terbukalah kesempatan bagi kaum Umawi
untuk meneruskan dan menyempurnakan usaha standarisasi al-
Qur’an, kali ini tidak lagi dalam penulisannya, melainkan dalam
bagaimana membacanya. (Ini penting, karena abjad Arab, sama
dengan abjad-abjad Semitik lainnya, hanya menuliskan huruf mati
atau konsonan, tanpa harakat atau vokalisasi, sehingga menjadi

a 4751 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

sumber masalah perihal bagaimana membacanya dengan benar


— ingat ungkapan harian, “tulisan Arab gundul”).
Ketika Abdul Malik ibn Marwan menjadi Khalifah (65-86
H/685-705 M) — Abdul Malik ibn Marwan adalah yang mendirikan
Kubah Karang, Qubbat al-Shakhrah, atau the Dome of the Rock di
Yerusalem atau Bayt Maqdis, sebagai monumen kemenangan dan
keunggulan umat Islam — ia mempunyai seorang pendukung
bernama al-Hajjaj ibn Yusuf. Tokoh ini terkenal sangat keras
dan kejam, dan dialah yang berhasil menumpas pemberontakan
Abdullah ibn al-Zubayr di Makkah (dan Ka’bah hancur oleh
bombardemennya). Al-Hajjaj kemudian ditunjuk sebagai gubernur
Irak. Tokoh ini berjasa dalam usaha menstandarkan pembacaan al-
Qur’an. Ia perintahkan kepada seorang sarjana, Nashr ibn Ashim,
untuk merintis penggunaan tanda-tanda baca atau harakat.
Lebih lanjut, tampaknya ide tentang jamaah sebagai etos
persatuan umat itu tetap beredar di kalangan masyarakat Islam,
karena memang persoalan politik belum terselesaikan. Wafatnya Ali
(40 H/661 M) masih diteruskan oleh adanya klaim kekhalifahan
oleh anaknya, Hasan. Tapi masa keimaman atau kekhalifahan
Hasan ibn Ali hanya enam tahun. Ia kemudian melepaskan
klaim (tanazzul) kekhalifahannya, dan menyerahkannya kepada
Mu’awiyah yang kemudian menjadi satu-satunya penguasa Islam.
Maka, tahun 41 Hijri disambut oleh umat Islam sebagai “tahun
persatuan” (‘ām al-jamā‘ah). Ini mengingatkan umat Islam kepada
masa “keemasan” kekhalifahan “dua pemimpin” (al-syaykhāni),
yaitu Abu Bakar dan Umar.
Tetapi keadaan yang menyenangkan itu tidak lama berlangsung.
Bertubi-tubi umat Islam terseret ke dalam fitnah atau bencana
perang saudara. Dua yang paling penting, yaitu fitnah yang ke­
mudian memuncak pada peristiwa Karbala dengan terbunuhnya
Husayn ibn Ali, saudara Hasan, dan pemberontakan Abdullah ibn
Zubayr yang sudah disinggung di atas. Jadi umat Islam memang
senantiasa merindukan persatuan berdasarkan paham jamaah.

a 4752 b
c Tradisi Islam d

Adalah Marwan ibn al-Hakam yang selalu berusaha memelihara


etos jamaah itu, sekalipun agaknya karena secara politik ia sangat
berkepentingan, yaitu konsolidasi kekuasaan Umawi. Mengikuti
contoh Utsman yang sering menggunakan hadis, Mu’awiyah
menuliskan hadis Nabi saw dan mengutipnya dalam khutbah atau
pidatonya. Ini mendorong Marwan ibn al-Hakam untuk juga
menuliskan hadis, dan menghasilkan buku kumpulan hadis yang
cukup besar. Rasanya cukup jelas bahwa motif utama Marwan
dalam mengumpulkan hadis itu ialah untuk memberi landasan
bagi etos jamaah yang ia usahakan tetap hidup.
Perhatian yang semakin besar kepada hadis itu diteruskan dan
dikembangkan oleh Abdul Aziz, anak Marwan, dan oleh Abdul
Malik, anak Marwan juga, yang telah disinggung tadi. Setelah itu
proses diteruskan dan dimantapkan oleh Umar ibn Abdul Aziz.
Masa kekhalifahannya yang sangat pendek (98-101 H/717-720 M)
ditandai oleh perhatiannya yang besar kepada masalah hadis, dan
ia perintahkan Ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M), seorang
sarjana di Madinah yang mula-mula bersikap oposisi terhadap rezim
Damaskus, untuk meneliti lebih lanjut segala cerita tentang Nabi
saw khususnya yang beredar di Madinah dan sekitarnya, sekaligus
untuk dibukukan.
Berdasarkan itulah al-Zuhri dipandang oleh kebanyakan ulama
sebagai perintis penelitian, penulisan, dan pembukuan hadis yang
sistematis. Sejak itu bermunculan kegiatan penuturan dan pencatatan
hadis, sehingga mencapai keadaan yang mengkhawatirkan, karena
banyak terjadi pemalsuan. Inilah yang mengundang perhatian
para sarjana, dipelopori oleh Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w.
203 H, pendiri madzhab Syafi’i), untuk melakukan seleksi dan
evaluasi secara kritis perbendaharaan hadis. Rintisan al-Syafi’i itu
disambut oleh seluruh masyarakat, dan metodologinya dijadikan
dasar usaha-usaha baru dan ekstensif penuturan dan pembukuan
hadis. Dan dari situ pula lahir koleksi hadis yang dianggap standar,
yaitu “Enam Buku” (al-Kutub al-Sittah), oleh Bukhari, Muslim, Ibn
Majah, al-Nasa’i, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi. Keseluruhan proses

a 4753 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

terwujudnya “Enam Buku” itu berlangsung selama sekitar seratus


tahun, sejak awal abad ketiga sampai awal abad keempat Hijri.
Jika kita simak sejarah pertumbuhan pengumpulan hadis
dan orientasinya sebagai sumber kedua untuk memahami ajaran
(khususnya hukum) Islam, tampak ada kesejajaran prosesnya
dengan proses konsolidasi kekuasaan kaum Umawi. Dengan
perkataan lain, hadis tumbuh sebagai bagian dari sistem ideologi
politik Umawi. Dan bersama dengan itu juga paham yang kini
dikenal sebagai paham Sunni berkaitan erat dengan konsolidasi
kaum Umawi.
Narnun tidak boleh kita lupakan bahwa konsolidasi paharn
Sunni justru memuncak pada zaman Abbasi, khususnya masa ke­
khalifahan Harun al-Rasyid (147-194 H/764-809 M). Ini dapat
disebut sebagai ironi kedua dalam sejarah pertumbuhan paham
Sunni, sebab revolusi Abbasiah — yang menumbangkan rezim
Umawi —digerakkan oleh etos keadilan (‘adālah) seperti ada pada
kaum Syi’ah dan Khawarij, bukan oleh etos persatuan (jamā‘ah)
pada kaum Sunni Umawi. Karena kaum Syi’ah dan Khawarij adalah
sumber dan tulang punggung gerakan Abbasiah itu. Tetapi setelah
revolusi itu sendiri berhasil dan kaum Abbasi mulai melakukan
konsolidasi di Baghdad, kaum Syi’ah dan Khawarij justru dising­
kirkan dan dianggap sebagai kekuatan subversif (ingatlah kasus
Harun al-Rasyid memanggil al-Syafi’i — yang saat itu ada di Yaman
— untuk datang ke Baghdad dan diancam hukuman mati karena
dituduh hersimpati kepada kaum Syi’ah).
Jadi, paham Sunni dan keilmuan tentang hadis mula-mula
adalah bagian dari susunan mapan. Namun kita sekarang mewarisi
sumber hikmah yang besar, berupa kitab-kitab kumpulan hadis,
asalkan kita mampu menangkap makna dan semangatnya yang
lebih luas dan prinsipil. [v]

a 4754 b
c Tradisi Islam d

Relativitas Waktu
(Bagian pertama dari dua tulisan)

Persoalan waktu adalah persoalan yang sangat abstrak. Dalam


agama Islam persoalan ini terefleksikan dalam sebuah hadis yang
mungkin agak aneh, “Janganlah kami mengutuk waktu, karena
waktu itu adalah (milik) Tuhan.” Artinya sesuatu yang terwujud
itu selalu dikenali dalam konsep ruang dan waktu, misalnya dunia
(dari perkataan Arab, dunyā, artinya tempat yang terdekat). Dunia
adalah konsep ruang, sedangkan konsep waktunya ialah ūlā, seperti
dalam firman, “wa-la ’l-ākhirat-u khayr-un laka min-a ’l-ūlā”.
Gejala semacam itu sebenarnya sejalan dengan bahasa-bahasa
lain. Dalam bahasa Latin, misalnya, ada konsep waktu yaitu yang
disebut saeculum, maka ada istilah secular yang artinya masa kini.
Konsep ruangnya adalah mundus, maka ada istilah mondial, yang
artinya dunia. Saeculum itu padanannya ūlā, yaitu waktu yang
pertama, lawan dari al-ākhirah. Maka ungkapan dunia-akhirat itu
sebenarnya sedikit tidak simetris, sebab dunia merupakan konsep
spasial, sedangkan akhirat merupakan konsep temporal.
Jadi “kenyataan” itu bisa dikenali sebagai konsep ruang (special
concept) ataupun konsep waktu (temporal concept), bahasa Arabnya,
dunyā dan ūlā. Perkataan al-dunyā yang artinya “yang terdekat” itu
sebetulnya bentuk feminin dari al-adnā. Al-Adnā adalah bentuk
maskulinnya. Mengapa gendernya feminin? Ada kecenderungan
dalam bahasa Arab bahwa hal-hal yang besar selalu diiasosiasikan
pada perempuan: matahari perempuan, surga-neraka perempuan,
langit perempuan, dunia perempuan, dan lain-lain. Ini gejala

a 4755 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

bahasa, tetapi penting diperhatikan karena kemungkinan ada motif


kultural di dalamnya.
Alasan lain mengapa perkataan al-dunyā itu mengambil
bentuk gender feminin adalah sebagai berikut: al-hayāt al-dunyā
(hidup yang terdekat) lawan dari al-hayāt al-ākhirah (hidup yang
kemudian). Ini konsep spasial atau konsep ruangnya, sedangkan
konsep temporalnya adalah al-ulā. Al-ūlā inilah yang persis
merupakan lawan dari al-ākhirah. Al-ūlā adalah bentuk feminin
dari al-awwal. Maka kalau mau simetris betul dari segi bahasa,
istilahnya bukan dunia-akhirat, tetapi ūlā-akhirat, keduanya sama-
sama konsep temporal. Hanya perlu digarisbawahi bahwa manusia
hidup di dunia ini jauh lebih sadar dari segi ruang. Sedangkan untuk
yang akan datang, setelah mati, karena tidak tahu ruangnya, maka
kesadaran itu lebih tampak pada konsep waktu.
Dalam bahasa Latin, saeculum, yang dari situ diambil perkataan
secular, artinya persoalan-persoalan sekarang. Tetapi kalau sudah
menjadi paham sekularisme, itu artinya suatu paham yang tidak
mengakui adanya hal yang akan datang. Kemudian konsep
ruang­nya ialah mundus. Jadi alam raya ini disebut saeculum atau
mundus.
Dalam agama Hindu ada konsep samsara yang menunjuk pada
ruang dan waktu (dunia) tetapi yang tidak riil. Karena menurut
orang Hindu, dunia ini palsu (maya). Samsara artinya sesuatu yang
maya atau merupakan bayangan, sehingga pengalaman hidup di
dunia ini dianggap tidak sejati, dan karena itu membelenggu. Ketika
masuk ke bahasa Indonesia menjadi sengsara, suatu persepsi yang
sebetulnya agak pesimis kepada dunia. Ibarat orang yang tidur
bermimpi buruk, maka untuk lepas dari kegiatan — walaupun
palsu — ia harus kembali sadar. Analog dengan itu, dalam agama
Hindu, pengalaman kita semuanya ini palsu. Dan untuk bisa
lepas dari kepalsuan ini harus keluar dari dunia, yaitu dengan cara
bertapa.
Dalam al-Qur’an surat al-Jātsiyah (45) ayat 24, kaum ateis
disebut al-dahrīyūn, yaitu kaum yang menolak adanya hidup setelah

a 4756 b
c Tradisi Islam d

hidup sekarang. Inilah satu-satunya ayat yang menyinggung adanya


kelompok yang sekarang disebut ateis. Bunyi ayat itu, “Mereka
berkata, tidak ada kehidupan kecuali di dunia ini saja, di situlah
kita mati dan hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali
waktu...,” (Q 45:24).
Ini merupakan paham pemutlakan waktu yang sebetulnya
bukanlah menuju kepada ateisme tetapi sekularisme, suatu paham
yang mengatakan tidak ada kehidupan kecuali waktu sekarang.
Tetapi memang kemudian kaum sekularis sendiri dekat sekali
dengan ateisme dalam pengertian yang lebih lanjut, yaitu ketika
mereka secara mutlak berpegang kepada waktu, dan meniadakan
peranan Tuhan. Lalu al-Qur’an mengatakan, “... Tapi mereka tidak
mempunyai pengetahuan mengenai hal itu, kecuali mereka hanya
menduga-duga saja,” (Q 45:24).
Konsep al-Qur’an yang juga penting mengenai waktu ialah
bahwa Tuhan menciptakan langit dan bumi selama enam hari.
Enam hari adalah waktu. Secara sederhana waktu adalah fungsi
dari hubungan antara dua benda yang bergerak dengan kecepatan
berbeda. Misalnya, waktu yang ditunjukkan oleh detik ke detik, ke
jam, ke hari, ke bulan, ke tahun, itu sebetulnya tidak lain adalah
fungsi dari hubungan antara bumi dan matahari yang bergerak
secara berbeda. Jadi ukuran waktu kita ialah bumi dan matahari.
Artinya, kalau kita pergi ke Mars, semua konsep waktu kita di sini
menjadi buyar. Jam kita tidak berlaku, meskipun masih bergerak,
sebab ia menunjukkan waktu di bumi.
Dan karena waktu adalah fungsi dari hubungan antara dua
benda yang bergerak secara berbeda, maka waktu tidak mungkin
tanpa benda. Oleh karena itu Einstein mengatakan bahwa semua
kenyataan ini berdimensi empat, yaitu dimensi panjang, tinggi,
lebar (untuk membentuk suatu kubus), dan dimensi waktu. Tidak
ada benda tanpa waktu. Dan karena waktu hanya suatu dimensi
saja dari kenyataan, maka teori-teori pun muncul bahwa sebetulnya
waktu itu relatif. Oleh karena itu secara teoretis orang itu bisa jalan-

a 4757 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

jalan ke waktu masa lampau ataupun masa depan melalui apa yang
dalam pseudo-ilmiah disebut, “time tunel” (lorong waktu).
Maka salah satu cara memahami Isra’ Mi’raj-nya Nabi Muhammad
secara ilmiah ialah bahwa beliau lepas dari kungkungan waktu fisik,
dan masuk ke “time tunel” itu. Karena itu beliau berjalan-jalan ke masa
lampau, dan bertemu dengan semua nabi di Masjid Sulaiman, Haikal
Sulaiman (Solomon Temple) di Yerusalem. Orang Arab menyebutnya
Masjid Aqsha, artinya masjid yang sangat jauh, yaitu maksudnya
sangat jauh dari Makkah. Sebetulnya ukuran jauh dari Makkah itu
gejala geokultural, karena memang orang Makkah yang menyebut
Masjid Aqsha. Namun semua bangsa mempunyai geokultural. Orang
Arab menganggap bahwa semuanya berpusat di Makkah; orang Jawa
menganggap bahwa semunya berpusat di Gunung Tidar, di sebelah
Magelang. Orang Inggris mengatakan bahwa kita hidup di Timur
Jauh, maksudnya ialah jauh dari London. Itu artinya kita menjadi
korban dari geokulturalnya orang Inggris.
Di dalam Isra’ Nabi Muhammad saw itu, beliau bertemu dengan
semua nabi dan sembahyang bersama di Masjid Aqsha, masjidnya
Nabi Sulaiman yang dibangun 1.500 tahun sebelum zaman Nabi
Muhammad, yang sudah dihancurkan oleh Nebuchadnezzar pada
abad ke-7 SM. Jadi setelah berdiri selama 200 tahun, dihancurkan
oleh Nebuchadnezzar, dan kemudian dibangun lagi oleh Herod
menjadi “The Second Temple” sekitar tahun-tahun kelahiran Nabi
Isa al-Masih; tapi kemudian dihancurkan lagi oleh Kaisar Titus,
pada 70 M. Artinya ketika Nabi melakukan Isra’-Mi’raj, masjid
itu sudah tidak ada, malah sudah menjadi tempat pembuangan
sampah. Semua buku sejarah Yerusalem menceritakan hal itu. [v]

a 4758 b
c Tradisi Islam d

Relativitas Waktu
(Bagian kedua dari dua tulisan)

Mengapa ada cerita di dalam hadis, Nabi Muhammad saw waktu


itu sembahyang di Masjid Aqsha bersama seluruh nabi, dan beliau
menjadi imam. Pertama, tidak mungkin Nabi Muhammad bertemu
dengan semua nabi di zaman lalu yang berjumlah 124.000 orang,
atau dengan rasul yang berjumlah 313 orang (menurut hadis),
sebab semuanya sudah mati. Keterangannya hanyalah bisa dipahami
secara pseudo-ilmiah; bahwa Nabi kembali ke waktu lampau dan
bertemu dengan mereka semua. Sebab nanti ketika naik ke langit,
ia bertemu lagi dengan Nabi Musa, Ibrahim, dan seterusnya.
Terlepas apakah itu punya makna metaforik atau bukan,
yang jelas itu menunjukkan adanya persoalan waktu. Karena itu,
menurut al-Qur’an, waktu memang relatif atau nisbi. Misalnya,
ketika al-Qur’an menyebut bahwa Tuhan menciptakan langit dan
bumi dalam enam hari, tapi ada keterangan bahwa hari itu bisa sama
dengan seribu tahun atau 50 ribu tahun di dunia. Hal-hal semacam
itu tidak boleh ditangkap secara harfiah. Semuanya relatif.
Di sini sebetulnya terdapat argumen yang mendukung bahwa
memang ada kemajuan dari agama Nabi Musa ke Nabi Muhammad.
Kalau Injil Nabi Isa (Perjanjian Baru) hanya sedikit isinya, hal itu
karena Injil masih banyak “menumpang” pada Perjanjian Lama.
Oleh karena itu orang Kristen tidak bisa meninggalkan Perjanjian
Lama. Kalau kita melihat Perjanjian Lama seperti dalam Kitab
Kejadian, memang tidak ada keterangan bahwa hari di situ adalah
metafor. Hari, ya, hari, begitu saja, yang kemudian menghasilkan
konsep enam hari itu.

a 4759 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa Tuhan menciptkana alam


raya enam hari, tetapi enam hari di situ bukan dalam arti enam
hari sekarang. Itu adalah metafor. Juga mengenai relativitas waktu.
Waktu itu panjang, tapi kalau sudah dijalani pendek sekali. Karena
itu dalam al-Qur’an disebutkan bahwa semua pengalaman hidup
orang yang sudah mati seolah-olah akan diputar kembali, “seperti
kejapan mata saja”. Hidup ini memang sangat pendek, sehingga
nanti kalau mau mati, banyak orang yang minta diberi waktu l.agi.
Semacam penyesalan untuk bisa berbuat baik. Padahal al-Qur’an
mengatakan, kalau ajal sudah sampai tidak akan dimajukan barang
sedikit pun atau diakhirkan.
Ada beberapa ayat berkaitan dengan itu. Misalnya yang paling
dramatis ialah,

“Dan belanjakanlah, dermakanlah, sedekahkanlah bagian dari yang


telah Kami karuniakan kepadamu sebelum datang kematian dari
kamu, lalu mereka berkata, ‘Mengapakah tidak Engkau mundurkan
kematianku pada suatu masa yang dekat sehingga kami bisa sempat
bersedekah, dan kami menjadi orang-orang yang baik’. Allah tidak akan
menunda-nuda seseorang kalau sudah sampai ajalnya,” (Q 63:10).

Jadi permohonan mereka ibarat nasi menjadi bubur. Ini pen­


ting kita ingat karena kadang-kadang kita dikecoh oleh waktu.
Misal­nya, mentang-mentang masih muda, berbuat semaunya,
tahu-tahunya besok mati. Bukankah banyak kasus orang yang
mati mendadak. Mati tidaklah bisa diramal, seperti ditegaskan
al-Qur’an, “Tak seorang pun mengetahui apa yang dia kerjakan
besok secara pasti, dan tidak seorang pun mengetahui di mana dia
meninggal.” Bung Tomo, di tengah-tengah desingan peluruh, tidak
mati. Matinya malah di Makkah. Khalid ibn Walid yang begitu
hebat sebagai jenderal, matinya bukan di medan perang, tetapi di
tempat tidur.
Sekali lagi yang sering mengecoh kita ialah waktu; yaitu bahwa
kita sering menunda-nunda, maka Nabi bersabda, “Gunakanlah

a 4760 b
c Tradisi Islam d

lima sebelun yang lima itu sendiri datang.” Apa itu? “Pertama, masa
mudamu sebelum masa tuamu; kedua, sehatmu sebelum sakitmu;
ketiga, kayamu sebelum miskinmu; keempat, sempatmu sebelum
sempitmu (sibukmu); dan kelima, hidupmu sebelum matimu”.
Kemudain datang hari kiamat. Kalau kiamat memang masih
lama, lalu di dalam kubur apa yang terjadi? Banyak yang mengatakan
akan ada siksa kubur, tetapi itu hadis. Karena itu banyak yang mem­
persoalkannya, sebab di dalam al-Qur’an diisyaraktkan bahwa
orang mati itu seperti sedang tidur nyenyak. Karena itu dalam surat
Yāsīn ada ilustrasi hahwa ketika orang-orang mati dibangkitkan,
mereka protes, siapa yang membangunkan kita dari tidur nyeyak
ini. “Celaka, siapa yang mcmbangunkan kita dari tidur nyenyak kita
ini? Inilah yang dijanjikan Allah, dan ternyata para rasul itu benar,”
(Q 36:52).
Mereka protes karena mula-mula tidak percaya adanya hari
kiamat, dan di situ disebut “tidur nyenyak”. Dan ini menyangkut
soal relativitas waktu tadi. Tetapi jangan membayangkan bahwa
kalau kita mati, kita bisa tidur nyenyak milyaran tahun sambil
menunggu hari kiamat. Karena waktu itu relatif, maka bisa saja
terjadi bahwa sekarang kita mati, besoknya kiamat. Artinya tidak
sempat menikmati tidur yang kita bayangkan beribu-ribu tahun
ini. Mati itu sendiri digambarkan sebagai kiamat kecil atau qiyāmah
shughrū; sedangkan kiamat besar atau qiyāmah kubrā menyangkut
jagat raya.
Ada cerita seven sleepers (tujuh orang yang tertidur) dalam
surat al-Kahf/18 ayat 25. Cerita tentang tujuh orang yang tidur
itu sebenarnya menggambarkan tettang kematian, atau tentang
relativitas waktu juga. Mereka tinggal di gua selama 300 tahun
ditambah 9 hari. Mundur sedikit ke ayat 19 surat al-Kahf, di situ
dinyatakan, “Dan demikianlah Kami bangunkan mereka supaya
mereka saling bertanya, salah seorang di antara mereka bertanya
berapa lamakah kamu tinggal?” Mereka rnenjawab satu hari atau
satu setengah hari, padahal mereka tinggal ratusan tahun. Ini juga

a 4761 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

merupakan indikasi tentang relativitas waktu. Waktu 300 tahun


terasa sehari, atau satu setengah hari.
Sekali lagi, waktu terasa panjang sebelum kita jalani. Menunggu
besok itu lama, tetapi kalau tidak ditunggu, kok besok lagi, besok
lagi. Ini berarti bahwa waktu juga sangat psikologis. Orang yang
bepergian biasanya merasakan betapa lamanya perjalan; tetapi
pulangnya tidak terasa, tahu-tahu sudah sampai.
Dalam surat al-Nahl/16 ayat 77 dinyatakan, bahwa perkara
kiamat bagaikan kedipan mata atau bahkan lebih pendek daripada
kedipan mata. Kemudian dalam surat al-Qamar/54 ayat 50, “Dan
urusan-Ku (urusan Tuhan itu, artinya perintah-Nya, keputusan-Nya
dan sebagainya) itu hanya satu kali, bagaikan kedipan mata”. Oleh
karena itu seruan kembali kepada Tuhan juga disangkut-pautkan
dengan mendadaknya peristiwa-peristiwa yang akan menimpa kita,
dan waktu itu tidak lagi bisa berbuat apa-apa.
Peristiwa kiamat juga termasuk peristiwa yang tidak bisa di­
ra­mal­kan. Artinya, ia bisa datang secara mendadak. Dan ini juga
sebetulnya menyangkut soal waktu. Maka sekali lagi betapa relatif­
nya waktu. Justru karena itu kita tidak bisa sembrono dengan
waktu. Dalam bahasa Arab ada ungkapan, “Waktu itu bagaikan
pedang, kalau kamu tidak sanggup mematahkannya, dia akan
mematahkan kamu”.
Definisi mengenai waktu banyak dikemukakan para filsuf:
waktu adalah fungsi dari hubungan antara dua benda yang bergerak
dengan kecepatan berbeda. Karena itu waktu tidaklah ada kalau
tidak ada benda; maka sebelum alam raya ini ada, waktu tidak
ada. Ini sebenarnya perselisihan lama yang pernah diangkat oleh
al-Ghazali dalam polemiknya terhadap para filsuf Islam lain. Dialah
yang mengatakan bahwa para filsuf itu kafir karena menganggap
alam ini qadīm atau tanpa wuktu permulaan. Kesulitannya ialah,
apa yang disebut waktu? Kalau waktu itu ada bersama benda, maka
sebelum itu tidak ada waktu, sehingga benda itu memang abadi,
dalam bahasa Arabnya qadīm, artinya abadi ke belakang. Lawannya
adalah baqā’, abadi ke depan.

a 4762 b
c Tradisi Islam d

Ungkapan bahwa lawh al-mahfūzh diciptakan Allah seribu


tahun atau ribuan tahun sebelum alam raya, itu berarti mengukur
lawh al-mahfūzh dengan ukuran alam raya, sehingga tidak simetris.
Persoalan berikutnya, karena Allah mencampuri urusan manusai,
apakah itu berarti Dia turun dalam ruang dan waktu? Ini persoalan
yang pelik. Ilmuwan seperti Newton tidak percaya bahwa Tuhan
menciptakan alam raya kemudian juga mengaturnya. Menurut
Newton, Tuhan itu seperti pembuat jam, ketika jam selesai dibuat
maka dia biarkan jalan sendiri. Alam raya ini pun jalan sendiri.
Ini menjadi bahan polemik dalam sejarah pemikiran Islam karena
menyangkut masalah siapa sebenarnya khāliq atau pencipta itu.
Sebab, kalau ada sesuatu yang bisa berjalan sendiri, itu berarti dia
mempunyai fungsi sebagai khāliq sehingga Allah tidak menjadi
Maha Esa. Maka kemudian Allah itu tidak pernah lepas dari
intervensinya kepada kehidupan kita. Tetapi ini adalah persoalan
falsafah yang begitu rumit dan telah menimbulkan banyak
kontroversi dan perdebatan. [v]

a 4763 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

a 4764 b
c Tradisi Islam d

Naluri Kembali Ke Asal

Naluri manusia untuk berbakti melahirkan naluri keinginan untuk


kembali ke asal. Dalam pandangan para filsuf Muslim, bukan
hanya menusia yang ingin kembali ke asal, tetapi semua alam
ini. Keinginan alam untuk kembali ke asal mencari Tuhan ini
menyebabkan ada gerak berputar. Semua alam bergerak berputar,
seperti rembulan berputar mengelilingi bumi, bumi mengelilingi
matahari, matahai mengelilingi bima sakti dan sebagainya. Inilah
thawāf. Sebenarnya thawāf dalam haji adalah meniru thawāf-nya
alam. Thawāf adalah gerak untuk mencari kembali ke asal. Hajar
aswad kemudian dijadikan simbol permulaan, dan akhirnya innā
li ’l-Lāh-i wa innā ilayh-i rāji‘ūn (kita semuanya dari Allah dan
kembali kepada-Nya).
Semuanya ingin kembali, kita juga begitu. Kita merindukan
ibu, kita sekelurga merindukan kampung halaman, oleh karena
itu ada gerak mudik setiap tahun, seperti pada setiap Idul Fitri.
Secara psikologis, mudik tiap tahun itu tidak dapat dibendung
karena merupakan naluri manusia. Mudik bukan semata tradisi di
Indonesia, apalagi hanya tradisi pembantu. Di Amerika saja tradisi
mudik saat thanksgiving day luar biasa.
Sebetulnya haji juga merupakan gerak ke asal karena manusia
mempunyai konsep sentralitas yang menjadi latar belakang konsep
tentang tanah suci. Tanah suci mewakili sentralitas dan Ka’bah
hanya sebagai simbol sentralitas dari keputusan yang kita anggap
sebagai bayt Allāh (rumah Tuhan). Karena itu sebenarnya dengan
zikir kita kembali kepada Tuhan. Laksana bayi yang tenteram berada
dalam dekapan ibunya, dengan zikir seolah-olah kita pun didekap

a 4765 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Tuhan sehingga menjadi tenteram, alā bi dzikr Allāh tathma’inn


al-qulūb (ketahuliah bahwa dengan mengingat Allah, maka hati
menjadi tenteram) [Q 13:30]). Maka kalau pergi ke Makkah
dan terharu melihat Ka’bah itu adalah psikologi dari orang yang
menemukan asal, psikologi dari orang yang merasa kembali ke
sentral (center).
Sebenarnya seluruh ibadat kita adalah untuk ingat Tuhan dalam
arti di atas. Memang “mengigat Tuhan” itu kemudian disistematisir
melalui zikir formal seperti yang diajarkan oleh tarekat, tetapi itu
semata institusionalisasi dari budaya zikir. Karena lukisan zikir
dalam al-Qur’an adalah suatu kegiatan yang tidak mengenal tempat
dan waktu, qiyām-an wa qu‘ūd-an wa ‘alā junūb-ihim (pada waktu
berdiri pada waktu duduk dan pada waktu berbaring [Q 3:191]),
tidak ada henti. Perintah shalat adalah perintah untuk berzikir,
aqim al-shalāh li-dzikrī (tegakkanlah salat supaya kamu ingat
kepada-Ku [Q 20:13]). Semua pekerjaan kita menjadi zikir asal
kita tarik dimensinya dari kita kepada Tuhan. Inilah yang namanya
al-shirāth al-mustaqīm (jalan lurus); tidak harus lurus horizontal
tetapi juga lurus vertikal, karenanya sering juga diterjemahkan
dengan tegak lurus.
Penyebutan jalan lurus, menurut Buya Hamka, karena merupa­
kan jarak antara dua tempat yang paling dekat dan yang jalannya
paling dekat. Disebut jalan lurus adalah juga dengan maksud
tersedianya banyak jalan bagi orang yang ingin kembali kepada
Tuhan, meskipun sebagian jalan itu mennyimpang.
Kalau orang tidak bisa kembali kepada asal sama saja dengan
orang yang keluar rumah dan tidak bisa pulang, itulah sesat (tidak
bisa kembali ke asal). Bisa dibayangkan kalau kita keluar rumah
tetapi tiba-tiba tidak tahu jalan pulang dan gelap di mana-mana,
itu menimbulkan kesengsaraan (dlalālah). Karena itu secara khusus
kita berdoa dalam al-Fātihah, “ghayr al-maghdlūb-i ‘alayhim wa-lā
al-dlūllīn — bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan jalan
mereka yang sesat”. Menurut Ibn Taimiyah, Tuhan masih bisa

a 4766 b
c Tradisi Islam d

memaafkan orang yang sesat, tetapi tidak ada maaf bagi orang yang
dimurkai karena dia sendiri yang tidak mau kembali.
Ingat kepada Allah yang disebut zikir sebenarnya lebih merupa­
kan sikap batin daripada sikap lahir.

“Wadzkur rabbak-a fī nafs-ika tadlarru‘-an wa khīfat-an wa dūn-a


al-jahr-i min al-qawl bi al-ghudūw-i wa al-āshāl.
(Berzikirlah kepada Tuhanmu dalam dirimu dengan penuh haru dan
takut dan tidak dengan mengeraskan suara baik pagi maupun petang,
dan janganlah kamu termasuk mereka yang lalai pada Tuhan),” (Q
7:205).

Perasaan takut di sini dalam arti merasakan keagungan Tuhan.


Karena itu sangat tepat kalau dikatakan bahwa sebetulnya zikir
adalah suatu cara untuk menyadarkan kita bahwa Tuhan hadir
dalam hidup kita. Karena memang Tuhan beserta kita di mana pun
kita berada, “huwa ma‘akum ayna mā kuntum” (Dia beserta kamu
di mana pun kamu berada), “wa li Allāh al-masyriq wa al-maghrib
fa-ayna mā tuwallū fatsamma wajhu Allāh” (Barat dan Timur itu
milik Tuhan maka ke mana pun kamu menghadap di sanalah
wajah Tuhan [Q 2:115]). Ayat ini menegaskan bahwa Tuhan
Mahahadir. Itulah sebabnya kenapa ketika Abu Bakar ketakutan
hampir ketahuan oleh orang Quraisy dalam persembunyiannya
di gua Tsur, dengan tenang Nabi berkata: “lā tahzan inna Allāh
ma‘anā” (jangan khawatir karena Allah beserta kita).
Kedekatan Tuhan dengan kita mestinya tidak membuat kita
lupa kepada Tuhan sebagai asal dan tujuan hidup, innā li Allāh
wa innā ilayh-i rūji‘ūn. Lupa kepada Tuhan berarti kita dijadikan
Tuhan lupa kepada diri kita sendiri. Peringatan Allah, “walā takūnū
ka al-ladzīna nasū Allāh fa-ansāhum anfusahum” (janganlah kamu
seperti mereka yang lupa pada Allah maka Allah pun membuat
mereka lupa akan diri mereka sendiri), metafor yang dipergunakan
untuk melukiskan orang dalam posisi ini adalah al-dlulumāt, orang
yang berada dalam kegelapan. Ibarat sebuah nūr, agama kemudian

a 4767 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

mengeluarkan orang dari kegelapan kepada terang. Terang ini


diperlukan untuk kebahagiaan.
Berada dalam kegelapan adalah kesengsaraan yang amat-sangat,
karena itu mestinya kita tidak lupa kepada Tuhan dan kepada diri
sendiri. Maka Allah mengingatkan, “ud‘u rabbakum tadlarru‘an wa
khufyah” (berdoalah kepada Tuhanmu dengan penuh haru, dan
dengan rahasia [Q 7:55]). Perlu digarisbawahi di sini bahwa zikir
sebenarnya merupakan masalah pribadi, masalah pribadi antara
kita dengan Allah. Dengan merujuk kepada ayat di atas, sebenarnya
penggunaan loud speaker dalam berzikir adalah problem, atau lebih
tegasnya tidak boleh. Al-Qur’an mengajarkan kita supaya khusyu’
dengan penuh haru dan penuh privacy dalam berzikir, karena hanya
dengan begitu kita akan merasakan kehadiran Tuhan. Meskipun
benar efek kebersamaan dalam zikir berpengaruh secara psikologis,
tetapi yang paling penting dalam zikir adalah dalam hati. Itu yang
disebut zikir khafī.
Dilihat dari namanya yang khafī, rahasia, sebenarnya zikir ini
merupakan sesuatu yang sangat rahasia, sangat pribadi, berada
dalam lubuk hati masing-masing. Dalam bahasa Arab hal itu
disebut lubb, dan itu bisa tidak berbahasa, tanpa bahasa, karena
yang penting adalah menghayati kehadiran Tuhan dalam diri kita.
Rasakanlah bahwa Allah sendiri berfirman, bahwa Allah lebih dekat
kepada kita daripada urat leher kita sendiri. [v]

a 4768 b
c Tradisi Islam d

Falsafah Orang Pagan?

Ketika para filsuf diserang dan dituduh bahwa mereka mengikuti


falsafah dari orang-orang pagan (musyrik) Yunani, mereka
mengatakan, “Tidak! Kami ini sebenarnya mengikuti Aristoteles;
dan Aristoteles itu adalah gurunya Dzu al-Qarnayn, seorang tokoh
tauhid, yang disebut dalam al-Qur’an surat al-Kahfi (18): 83-98;
oleh karena itu, dengan mengikuti falsafah, kami juga mengikuti
ajaran tauhid!”
Dzu al-Qarnayn secara harfiah berarti “Orang yang bertanduk
dua” (penguasa dari dua zaman). Siapakah dia, al-Qur’an tidak
memberi penjelasan lebih lanjut. Secara salah kaprah orang biasanya
menyebut Raja Alexander (Iskandar) dari Makedonia — yang hebat
itu — sebagai “Iskandar Dzu al-Qarnayn”. Ia disebut hebat, karena
selalu menang dalam penyerbuan ke mana-mana, bahkan sampai ke
India, dan memberi nama kepada anak benua itu dengan sebutan
India dan menyebut sungai di sana sebagai Indus.
Orang-orang Timur Tengah pada masa klasik memang ba­
nyak yang berpendapat bahwa Iskandar Yang Agung (The Great
Alexander) itu adalah Dzu al-Qarnayn, seperti yang diceritakan
dalam surat al-Kahfi (18): 83, “Mereka bertanya kepadamu tentang
Dzu al-Qarnayn. Katakanlah, ‘Akan kuceritakan kepada kamu
tentang dia.’”
Kalau kita baca cerita Dzu al-Qarnayn dalam surat al-Kahfi itu,
maka Dzu al-Qarnayn itu sebenarnya adalah tokoh tauhid. Tetapi
Ibn Taimiyah, dalam rangka menentang para filsuf, mengatakan
bahwa Dzu al-Qarnayn dalam al-Qur’an itu bukanlah Iskandar
Yang Agung. Iskandar itu, kata Ibn Taimiyah, adalah seorang

a 4769 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

musyrik penyembah bintang (penganut agama Yunani Kuna). Dia


adalah murid Aristoteles, yang belajar padanya pada usia 13 (belajar
dari 342-340 SM). Iskandar menjadi raja pada usia 19 tahun, dan
meninggal pada usia sangat muda pada 23 tahun, dengan warisan
kerajaan sangat besar membentang dari kawasan Yunani Kuna
hingga India — yang kelak setelah kematiannya disebut sebagai
daerah berkebudayaan Helenisme.
Mitos bahwa para filsuf senang menghubungkan Dzu al-
Qarnayn yang disebut dalam al-Qur’an sebagai Iskandar yang
Agung. Guru filsuf besar Yunani itu menunjukkan bahwa, menurut
para filsuf, antara agama dan falsafah sebenarnya tidak ada masalah.
Apalagi Aristoteles itu adalah guru Dzu al-Qarnayn yang namanya
disebut dalam al-Qur’an, yang digambarkan sebagai tokoh yang
menegakkan tauhid. Walaupun mengenai Dzu al-Qarnayn ini
dibantah oleh Ibn Taimiyah.
Memang, dalam bidang falsafah, di antara para pemikir falsafah
Yunani, yang paling dikagumi oleh orang-orang Arab Muslim
terutama adalah Aristoteles. Karena itulah dia disebut sebagai al-
mu‘allim al-awwal (guru yang pertama). Kelak ada guru yang kedua,
yaitu al-Farabi. Dan dari mereka — juga sebelumnya al-Kindi
— muncullah kelompok besar pemikir Muslim yang mendalami
falsafah, sebagai salah satu dari empat disiplin ilmu tradisional
keislaman (tiga lainnya: fiqih, kalam, dan tasawuf ).
Dalam bahasa memang disebut kata falsafah, tetapi jelas
perkataan falsafah bukanlah asli Arab. Ia adalah pengaraban dari
kata Yunani, philosophia, yang berarti cinta kepada kearifan.
Dalam bahasa Arab terdapat pula istilah yang digunakan sebagai
padanan dari falsafah itu, yaitu al-hikmah. Oleh karena itu, para
filsuf juga disebut sebagai al-hukamā’, jamak dari al-hakīm, yang
artinya “orang yang arif ” atau “orang yang cinta kepada kearifan”.
Dalam bahasa Indonesia sering digunakan kata “kebijaksanaan”
untuk kearifan itu, dan agak rancu, karena kata kebijaksanaan bisa
merupakan terjemahan dari kata Inggris policy.

a 4770 b
c Tradisi Islam d

Satu hal yang sangat penting disadari, falsafah itu muncul


sebagai hasil interaksi intelektual antara orang-orang Arab Muslim
yang keluar dari jazirah Arabia dengan orang-orang yang mereka
bebaskan di daerah-daerah sekitarnya (yang terjadi memang
pembebasan [fath], dan bukan penaklukan). Akibat pembebasan
ini, seluruh kegiatan intelektual di daerah-daerah yang dibebaskan
itu pun terus berkembang pesat. Bahkan orang Islam sendiri ikut
tertarik mempelajari ilmu-ilmu Yunani (Helenisme).
Hal itu, secara menyeluruh, pernah dibahas oleh De Lacy
O’Leary, How Greek Science Passed to the Arabs. Pada waktu
itu, hampir semua daerah Kristen Romawi di Afrika Utara dan
Asia Barat memang jatuh ke dunia Islam. Tetapi mereka tetap
bisa menjalankan agama dan ilmunya tanpa hambatan. Bahkan
kekhalifahan di Damaskus dan Baghdad sangat mendukung
penerjemahan bahan-bahan ilmu Yunani dan Helenisme itu ke
dalam bahasa Arab, dan kemudian mengembangkannya dalam
lingkungan dan pandangan dunia keislaman.
Ada yang menarik tentang penduduk kota Harran — sebuah
kota yang mempunyai banyak filsuf, berada di Mesopotamia Utara
yang tidak menjadi Kristen pada masa Romawi tetapi memper­
tahankan agama Yunani kuna, yaitu menyembah bintang; Supaya
diakui oleh orang-orang Islam, mereka kemudian menyebut dirinya
sebagai al-shābi’ūn, karena dalam al-Qur’an ada firman Allah yang
berbunyi,

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang


Nasrani dan orang-orang Shabi’un, siapa saja yang beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian serta berbuat kebajikan, bagi mereka pahala
dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan
tidak pula mereka akan bersedih hati,” (Q 2:62).

Juga ayat yang maknanya sama (Q 5: 69). Maka, supaya termasuk


dalam ayat tersebut, mereka pun menyebut diri sebagai al-shābi’ūn.
Dan memang kemudian orang Islam melindungi mereka. Bahkan

a 4771 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

kemudian mereka berfungsi sebagai nara sumber bagi orang-


orang Islam dalam mempelajari falsafah dan ilmu Yunani dan
Helenisme.
Apa yang disebut pada waktu itu sebagai falsafah sebetulnya
mirip dengan apa yang sekarang disebut ilmu pengetahuan umum.
Dengan demikian termasuk juga di dalamnya lcedokteran, ilmu
kimia, ilmu alam, astronomi, bahkan juga musik dan puisi.
Tegasnya, yang dimaksud dengan falsafah waktu itu ialah suatu
pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan intelektual, berbeda
dengan agama yang diperoleh melalui wahyu.
Masalah yang kemudian dibahas ialah seberapa jauh intelek
tersebut murni, karena itu kemudian ada gradasinya. Yang paling
murni intelek (‘aqliyah) adalah metafisika, yang betul-betul hanya
berdasarkan kepada deduksi intelektual, dan karena itu orang Arab
menyebutnya al-falsafah al-ūlā (falsafah pertama). Sedangkan yang
paling tidak murni ‘aqliyah-nya ialah, misalnya, kedokteran dan
ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu alam. Ini karena disiplin-disiplin
tersebut lebih banyak berdasar kepada empirisisme.
Di antara semua falsafah itu, yang paling banyak ditentang waktu
itu adalah metafisika (al-falsafah al-ūlā) itu. Sedangkan kedokteran,
sekadar menyebut contoh, dikatakan misalnya oleh Ibn Taimiyah
sebagai wajib dipelajari, sama wajibnya dengan mempelajari fiqih,
karena mempunyai manfaat bagi orang banyak. [v]

a 4772 b
c Tradisi Islam d

Pengalaman Mistik
Kaum Sufi

Minggu lalu, Prof. Annemarie Schimmel —seorang tokoh kaliber


dunia, ahli Islam dari Jerman — menyampaikan tiga orasi ilmiah
mengenai Tasawuf (Sufisme) di Jakarta. Kunjungannya disambut
dengan penuh minat oleh para pecinta Tasawuf. Oleh karena
itu, ada baiknya jika kita sedikit merefleksikan arti tasawuf dan
kehidupan kaum Sufinya dalam orientasi keagamaan kita.
Nabi Muhammad saw sering disebut sebagai seorang Rasul
yang paling berhasil dalam mewujudkan misi sucinya. Bukti
yang biasa dipakai untuk mendukung penilaian itu ialah hal-hal
yang bersifat sosial-politik, khususnya dalam bentuk keberhasilan
ekspansi-ekspansi militer. Dan Nabi Muhammad saw, sama halnya
dengan beberapa Nabi yang lain seperti Musa dan Dawud as, adalah
seorang “Nabi Bersenjata” (Armed Prophet), sebagaimana dikatakan
oleh sosiolog terkenal, Max Weber.
Oleh karena kenyataan itu, ada sementara ahli yang hendak
mereduksi misi Nabi Muhammad saw sebagai tidak lebih daripada
suatu gerakan reformasi sosial, dengan program-program seperti
pengangkatan martabat kaum lemah (khususnya kaum perempuan
dan budak), penegakan kekuasaan hukum, usaha mewujudkan
keadilan sosial, tekanan kepada persamaan umat manusia (egalita­
rianisme), dan lain-lain. Dalam pandangan mereka yang parsial itu,
Nabi Muhammad saw tidak bisa disamakan dengan Nabi Isa al-
Masih, karena ajaran Nabi Muhammad tidak banyak mengandung
kedalaman keruhanian pribadi. Mereka berpendapat bahwa Nabi
Muhammad saw lebih mirip dengan Nabi Musa as dan para Rasul

a 4773 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

dari kalangan anak turun Nabi Ya’qub (yang bergelar Isra-El), yang
mengajarkan tentang betapa pentingnya berpegang kepada hukum-
hukum Taurat (Talmudic Law).
Padahal, di samping segi sosial-politik itu, Islam — seperti
ditunjukkan dalam al-Qur’an — juga banyak menegaskan penting­
nya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam dan mengarah
kepada pribadi. Justru sudah menjadi kesadaran para sarjana Islam
sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalah agarna pertengahan
(wasath), yakni antara di satu pihak agama Yahudi yang legalistik
dan banyak menekankan orientasi kemasyarakatan itu dan, di pihak
lain, agama Kristen yang spiritualistik dan sangat memperhatikan
kedalaman olah serta pengalarnan ruhani serta membuat agama
itu lembut. Seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah, “Syariat Taurat
didominasi oleh ketegaran, dan Syariat Injil didominasi oleh
kelembutan; sedangkan Syariat al-Qur’an menengahi dan meliputi
keduanya itu”.
Maka, sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus antara kedua
agama pendahulunya itu, Islam mengandung ajaran-ajaran hukum
dengan orientasi kepada masalah-masalah tingkah laku manusia
secara lahiriah seperti pada agama Yahudi, tapi juga mengandung
ajaran-ajaran keruhanian yang mendalam seperti pada agama
Kristen. Bahkan sesungguhnya antara keduanya itu tidak bisa
dipisahkan, meskipun bisa dibedakan. Artinya, ketika seorang
Muslim dituntut untuk tunduk kepada suatu hukum tingkah laku
lahiriah, ia diharapkan, malah diharuskan, menerimanya dengan
ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya. Ia harus merasakan
ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalani komitmen
spiritutlnya. Kenyataan ini tecermin dalam susunan kitab-kitab
fiqih, yang selalu dimulai dengan bab penyucian (thahārah) sebagai
awal perjalanan penyucian batin. Walaupun tetap ada kemungkinan
orang mengenali mana yang lebih lahiriah, dan mana pula yang
batiniah.
Sebenarnya, sudah sejak zaman Rasulullah saw sendiri terdapat
kelompok para Sahabat Nabi yang lebih tertarik kepada hal-hal

a 4774 b
c Tradisi Islam d

yang bersifat lebih batiniah itu. Disebut-sebut, misalnya, kelompok


ahl al-Shuffah, yaitu sejumlah Sahabat yang memilih hidup sebagai
faqīr dan sangat setia kepada masjid. Tidak heran bahwa kelompok
ini, dalam literatur kesufian, sering diacu sebagai teladan kehidupan
saleh di kalangan para Sahabat.
Al-Qur’an sendiri juga memuat berbagai firman yang merujuk
kepada pengalaman spiritual Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua
kali pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan Malaikat
Jibril dan Allah. Yang pertama ialah pengalaman beliau ketika
menerima wahyu pertama di gua Hira’, di atas Bukit Cahaya (Jabal
Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman beliau dengan perjalanan
malam (isrā’) dan naik ke langit (mi‘rāj) yang terkenal itu. Kedua
pengalaman Nabi itu dilukiskan dalam Kitab Suci demikian:

Demi bintang ketika sedang tenggelam


Sahabatmu sekalian itu tidaklah sesat ataupun menyimpang
Dan ia tidaklah berucap karena menurutkan keinginan
Itu tidak lain adalah ajaran yang diwahyukan
Diajarkan kepadanya oleh Jibril yang kuat perkasa
Yang bijaksana, dan yang telah menampakkan diri secara sempurna
Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala
Kemudian ia pun mendekat, dan menghampiri
Hingga sejarak kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi
Lalu Tuhan wahyukan kepada hamba-Nya apa yang diwahyukan-Nya
Tidaklah jiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri
Apakah kamu semua akan membantahnya tentang yang ia saksikan?
Padahal sungguh ia telah menyaksikan pada lain kesempatan
Yaitu di dekat Pohon Sidrah (Lotus), di alam penghabisan
Di sebelahnya ada Surga tempat kediaman
Ketika Pohon Sidrah itu diliputi cahaya tak terlukiskan
Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan tidak pula salah arah
Sungguh ia telah menyaksikan tanda-tanda Tuhannya yang Agung
tak terkira.
(Q 53:1-18)

a 4775 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Bagi kaum Sufi, pengalaman Nabi dalam Isra’-Mi’raj itu


adalah sebuah contoh puncak pengalaman ruhani. Justru ia adalah
pengalaman ruhani yang tertinggi, yang hanya bisa dipunyai oleh
seorang Nabi. Namun kaum Sufi berusaha untuk meniru dan
mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala,
dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Hal ini
dikarenakan inti pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan
situasi diri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana
ia “bertemu” dengan Zat Yang Mahatinggi itu.
“Pertemuan” dengan Tuhan, dengan sendirinya, juga merupakan
puncak kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah hadis sebagai
“sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata”. Hal ini karena
dalam pertemuan tersebut segala rahasia kebenaran “tersingkap”
(kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur serta sirna
(fanā) dalam Kebenaran. Oleh karena itu, Ibn Arabi, misalnya,
melukiskan “metode” atau tharīqah-nya sebagai perjalanan ke arah
penyingkapan Cahaya Ilahi, melalui pengunduran diri (khalwah)
dari kehidupan ramai.
Hidup dengan “pengunduran diri” dan sikap penuh kepasrahan
tersebut memang bisa mengesankan kepasifan dan eskapisme.
Akan tetapi, sebagai dorongan hidup bermoral, pengalaman mistis
kaum Sufi sebetulnya merupakan suatu kedahsyatan. Karena itulah
ajaran Tasawuf juga disebut sebagai ajaran akhlak. Dan akhlak yang
hendak mereka wujudkan ialah yang merupakan “tiruan” akhlak
Tuhan, sesuai dengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh,
“Berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Allah”. [v]

a 4776 b
c Tradisi Islam d

Menjadi Oposisi Itu


Terhormat

Melihat perkembangan masyarakat sekarang ini, rupanya kita


masih dikuasai oleh kerangka berpikir “feodalisme absolut”, yang
wujudnya antara lain, adanya dambaan menjadi priyayi. Anak
dikirim ke sekolah supaya suatu saat dapat menjadi priyayi, menjadi
“wong pangkat”.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan sekalipun ide tentang
oposisi sudah ditanamkan sejak beberapa tahun lalu, tetapi ketika
momen itu tiba, misalnya dalam Sidang Umum MPR yang lalu,
tidak mendapat responsi yang wajar. Ternyata masih banyak orang
yang ingin menjadi priyayi: masuk kabinet, mendapat pangkat,
dan seterusnya. Apalagi dalam keadaan di mana ada kesejajaran
yang sangat mengkhawatirkan di negeri kita ini: antara jabatan
dan kekayaan. Menjabat berarti menjadi kaya. Godaan menjabat
itu menjadi gabungan antara godaan takhta dan harta.
Melihat gejala yang sangat mengkhawatirkan ini, sudah se­
harusnya kita terus-menerus menanamkan kembali ide mengenai
oposisi sampai tiba saatnya di mana seseorang merasa terhormat
menjadi oposisi; merasa terhormat berada di luar pemerintahan;
dan merasa terhormat tidak mempunyai derajat atau pangkat
seperti yang dipahami dalam masyarakat yang dijiwai oleh feodalis­
me absolut itu.
Oposisi tidak perlu dipahami sebagai sikap menentang (to
oppose memang berarti menentang), sebab dalam oposisi kita ada
pula segi to support-nya, sehingga dalam konteks politik, oposisi

a 4777 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

lebih merupakan kekuatan penyeimbang, suatu check and balance,


yang bisa membuat perasaan-perasaan tersumbat tersalurkan.
Pada dasarnya, perlunya oposisi bisa dimulai dengan suatu
postulat yang sederhana sekali, yaitu bahwa masalah sosial dan
politik tidak bisa dipertaruhkan dengan iktikad baik pribadi —
betapa pun klaim orang itu mempunyai iktikad baik, sebab yang
dipertaruhkan adalah kehidupan orang banyak. Dan kalau sesuatu
itu sudah bersifat sosial yang menyangkut orang banyak, maka itu
harus dipersepsi, dipahami, dan dipandang sebagai persoalan yang
terbuka, di mana partisipasi menjadi suatu bentuk keharusan. Salah
satu bentuk partisipasi adalah oposisi, yakni suatu kegiatan sosial-
politik yang mengingatkan, jangan sampai kita menjadi korban
yang fatal untuk suatu kenyataan yang sederhana: bahwa manusia
itu selalu bisa salah.
Kini kita sudah berhasil memasuki tahap paling penting
dalam kehidupan sosial-politik, yaitu memasuki transisi menuju
demokrasi. Tetapi, dibandingkan dengan tahap-tahap sebelumnya,
ini merupakan tahap paling sulit, karena menuntut banyak sekali
persyaratan, yang apabila kita renungkan akan terdengar sebagai
klise, bahkan streotipe, seperti misalnya perlunya kedewasaan politik,
kesanggupan menerima perbedaan, dan menyelesaikan perbedaan
itu di dalam batas-batas keadaban politik, bahkan keadaban itu
sendiri. Seperti pluralisme misalnya — yang merupakan kondisi
paling penting bagi demokrasi — suatu rumusan pernah saya baca,
“Pluralisme haruslah dipahami sebagai ‘pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban’ (genuine engagement of diversities
within the bonds of civility)”.
Artinya, pluralisme adalah suatu tatanan masyarakat di mana
kita harus bersedia untuk terlibat dalam keanekaragaman, dan
menyelesaikan persoalan itu dengan suatu keadaban. Oleh karena
itu, ironi yang cukup mengkhawatirkan dalam perkembangan
politik kita dalam rangka demokrasi ini adalah meluasnya mob-
politics (politk tawurnn). Ketika orang tidak biasa, atau belum
terlatih, menyelesaikan suatu dengan wacana akal, ia lari ke okol.

a 4778 b
c Tradisi Islam d

Daripada berdebat susah-susah, dengan kemungkinan kalah, sudah


tawuran saja!
Padahal, demokrasi tidak bisa didukung oleh mob-politics
seperti itu. Memang, mob-politics bukan suatu kejahatan — tidak
seperti money politics — tetapi jelas itu merupakan keterbelakangan
politik, suatu keadaan yang kurang maju. Dan kita tidak usah
berkecil hati dengan penilaian seperti itu, karena kita ini memang
bangsa baru. Keindonesiaan merupakan suatu produk modern,
yang masih harus kita bentuk.
Demokrasi Indonesia masih dalam proses pertumbuhan. Dan
dalam proses seperti ini, demokrasi — suatu hal yang juga masih
abstrak bagi kebanyakan kita — bukanlah suatu kategori statis,
melainkan suatu kategori dinamis yang tumbuh melalui peng­
alaman yang jelas sekali mengandung persoalan coba-salah dan
coba-salah. Salah satu kelemahan Pak Harto, ia merupakan tipe
orang yang tidak bersedia menerima risiko salah, sehingga cara
berpikirnya “jangan ambil risiko”, dan akibatnya seluruh kesalahan
terakumulasi dan meledak setelah 30-an tahun, sampai tidak bisa
terkontrol.
Oleh karena itu, yang sekarang kita alamai, dengan pemerintahan
Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, adalah suatu
demokrasi di mana unsur coba-salahnya dominan, dan salahnya
memang terlihat banyak sekali. Maka, upaya yang dapat kita
lakukan sekarang dengan oposisi adalah bagaimana agar kesalahan
itu tidak fatal, khususnya agar tidak membatalkan seluruh proses
demokratisasi ini.
Dengan demikian tepat sekali, yang kita maksudkan dengan
oposisi bukanlah oposisi seperti dalam masyarakat atau negara yang
menganut sistem parlementer, yang agaknya obsesi partai oposisi di
situ adalah menjatuhkan pemerintah. Saya kira, oposisi kita tidak
demikian. Kiranya kita perlu memberi apresiasi kepada founding
fathers kita bahwa mereka mencoba mencontoh Amerika Serikat,
yaitu suatu sistem politik yang dipimpin oleh kabinet presidensil

a 4779 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

periodik (di Amerika 4 tahun, di Indonesia 5 tahun). Artinya,


pemerintah tidak bisa dijatuhkan di tengah jalan.
Lalu apa peran oposisi itu dalam kaitan dengan kemungkinan
menyudahi suatu pemerintahan? Yang paling dramatis adalah jika
sampai terjadi impeachment, tetapi yang normal adalah memastikan
bahwa dalam periode yang akan datang suatu pemerintahan yang
tidak kredibel tidaklah perlu dipilih lagi.
Karena kita baru bereksperimen dengan demokrasi, yang nota­
bene belum ada contohnya dalam sejarah kita, maka janganlah kita
berharap bahwa semua hal akan selesai dengan segera. Kita harus
bersabar dan bersedia menunda kesenangan sementara, termasuk
dalam menilai kepemimpinan presiden kita.
Kita harus selalu ingat, inilah presiden yang pertama kali terpilih
secara demokratis, dengan pemilunya yang pertama kali jujur, dalam
suatu bangsa yang besar, yang kalau melihat ukurannya saja begitu
besar (sama dengan dari London sampai Teheran, yang meliputi
seluruh Eropa Barat-Timur plus Timur Dekat). Kita juga berhasil
berproses dari sistem otoriter Orde Baru ke sistem demokrasi yang
begitu aman. Dan Gus Dur adalah presiden pertama yang secara
sadar memperjuangkan pluralisme dan toleransi, yang pertama
sadar akan antikekerasan, dan juga yang pertama sadar bahwa dia
mewakili masyarakat secara keseluruhan, walaupun banyak juga
kekurangannya.
Nah, persis di sinilah peran oposisi, yakni bagaimana bisa
me­minimalkan segi-segi kekurangan Gus Dur itu, hingga tibanya
pemilu yang akan datang, dengan prinsip menunda kesenangan.
Memang menyenangkan menjatuhkan presiden, tetapi dengan itu
kita menanam benih konflik yang tidak akan habis-habis.
Oleh karena itu, kesimpulannya: orang tidak bisa mengem­
bangkan demokrasi, jika tidck terbiasa berpikir alternatif. Untuk
itulah, salah satu yang diperlukan adalah lembaga oposisi, yang
sebetulnya hanyalah kelembagaan dari suatu kecebderungan yang
selalu ada dalam masyarakat, yaitu adanya kelompok yang tidak
setuju kepada hal yang mapan.

a 4780 b
c Tradisi Islam d

Dengan adanya kelembagaan oposisi, akan ada pendewasaan


politik dan percepatan proses demokratisasi. Bisa saja kita secara
optimistis membiarkan proses itu berlangsung secara alami.
Tetapi, sesuatu yang dibiarkan menurut proses alam, biasanya
tidak terkontrol, karena itulah harus ada deliberation, kesengajaan,
tidak boleh by accident, atau secara kebetulan. Dan melihat visi
perkembangan politik Indonesia di masa depan, menjadi oposisi
adalah suatu pekerjaan yang sangat terhormat. [v]

a 4781 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

a 4782 b
c Tradisi Islam d

Pikiran Geo-Politik

Pikiran geo-politik untuk membagi dunia menjadi dua, yaitu dunia


sendiri dan dunia yang lain, adalah pikiran yang umum dimiliki
oleh bangsa-bangsa yang mengalami kompleks superioritas. Dulu,
misalnya, bangsa Yunani selalu membagi dunia sebagai oikoumene
dan di luar oikoumene. Oikoumene berarti daerah berperadaban.
Orang Arab menterjemahkannya menjadi al-dā’irah al-ma‘mūrah,
yang intinya adalah kawasan berperadaban yang terbentang dari
sungai Nil di Mesir sampai sungai Oxus di Asia Tengah.
Dulu orang Arab pun menyebut Egypt (Mesir) dengan sebutan
Mishr, berasal dari bahasa Arab yang berarti kota, the civilized,
dengan pengandaian bahwa yang lainnya, atau di luar Mesir, adalah
uncivilized (tidak berperadaban), karena Mesir pada waktu itu
memang merupakan ibukota dunia. Apabila dari zaman klasik kita
mendengar kisah Nabi Ibrahim pergi ke Mesir, kemudian juga Nabi
Ya’qub yang menemui anaknya, Nabi Yusuf yang menjadi menteri
pangan di Mesir, maka kepergian semacam itu bisa dibandingkan
dengan sekarang dengan pergi ke Amerika atau Eropa!
Begitu juga di Cina ada “Tiongkok”. Tiongkok memiliki
makna negeri tengah, yang dalam istilah itu tersirat pengertian
bahwa yang lainnya hanya daerah pinggiran. Dengan geo-politik
itu mereka mengklaim bahwa daerah tengah boleh menaklukkan
daerah pinggiran. Kemudian, orang Yahudi, meskipun secara
politik dan ekonomi tidak pernah dominan, tetapi mereka
mengklairn sebagai bangsa pilihan. Oleh karena itu muncul pula
kecenderungan membagi umat manusia menjadi dua juga, yaitu
Yahudi sebagai bangsa pilihan (the chosen people) dan gentile. Secara

a 4783 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

etimologis perkataan gentile berarti asing, tetapi oleh Yahudi diberi


konotasi sebagai orang bukan Yahudi yang tidak beradab, kafir,
dan sebagainya.
Begitulah, terdapat kecenderungan bahwa suatu bangsa yang
merasa sedang berada di atas (superior) membagi dunia menjadi
dua. Dan sekarang orang Barat juga berada dalam mind set seperti
itu, bahwa dunia ini hanya dua, yaitu The West and The Rest (Barat
dan yang lainnya, yaitu yang bukan-Barat). Huntington, misalnya,
ketika mengatakan bahwa akan ada benturan peradaban (the clash
of civilization), dalam analisis terakhirnya ia mengatakan bahwa
benturan itu adalah antara Barat dan yang lainnya (between the
West and the Rest). Sekali lagi, mentalitas seperti ini sangat umum
terjadi pada bangsa-bangsa yang mengalami superioritas, baik
superioritas itu ril maupun fiktif (contoh superioritas yang fiktif
ialah yang terjadi pada bangsa Yahudi).
Ketika umat Islam merasa superior di dunia, mereka pun serta
merta membagi dunia menjadi Dār al-Islām dan Dār al-Harb.
Di sini menarik untuk melihat bahwa Dār al-Islām dikontraskan
dengan Dār al-Harb (kawasan perang). Yang dimaksud dengan
Dār al-lslām adalah lawan dari kawasan perang, yaitu kawasan
damai. Dalam perkataan Dār al-Islām itu terselip pengertian damai.
Kemudian ada pengertian Dār al-Shulh yaitu kawasan damai yang
merupakan kawasan perjanjian — artinya daerah-daerah yang
mempunyai perjanjian dengan Islam.
Karena istilah Dār al-Islām dan konsep-konsep di sekitar itu
lebih merupakan produk fiqih, dan merupakan suatu pemikiran
geopolitis dan geostruktural, maka tidak aneh bahwa pengertiannya
bersifat situasional. Dalam al-Qur’an, tidak ada istilah Dār al-Islām.
Juga tidak ada istilah Dār al-Harb. Tetapi itu bukan hal yang aneh,
sebab misalnya istilah fiqih, syariat, kalam, hikmah (falsafah) dan
tasawuf, dalam pengertian seperti yang ada dalam masyarakat
sekrang ini, juga tidak terdapat dalam al-Qur’an. Demikianlah,
istilah Dār al-Islām muncul sebagai hasil kreativitas pemikiran umat
Islam dalam meresponi perkembangan sejarah, tanpa ada contoh

a 4784 b
c Tradisi Islam d

langsungnya dalam al-Qur’an. Semua itu merupakan konsekuensi


logis dari ciri Islam klasik, yaitu kesuksesan di bidang politik.
Ketika Rasulullah wafat, seluruh jazirah Arab telah tunduk
ke dalam Islam. Memang sempat ada sedikit krisis, yaitu dengan
adanya pemberontakan dari Yamamah (daerah Riyad sekarang)
di zaman Abu Bakar, tetapi itu bisa segera diatasi. Dan setelah itu
terjadilah ekspansi-ekspansi militer dan politik ke seluruh daerah
kawasan Timur Tengah sampai dalam waktu kurang lebih 100
tahun, sehingga daerah kawasan Islam meliputi kawasan yang
terbentang dari Lautan Atlantik sampai Gurun Gobi. Maka,
tantangan umat Islam waktu itu adalah mengatur masyarakat. Tidak
heran bila ilmu Islam yang mula-mula muncul adalah fiqih. Dan
bersamaan dengan itu muncul pula konsep geopolitis. seperti yang
tcrccrmin dalam istilah Dār l-Islām dan Dār al-Harb itu.
Akan tetapi, konsep-konsep geo-politik dalam Islam tidak
semata-mata dalam arti lokasi, sebab juga terkait dengan suatu
kualitas, yaitu damai dan perang. Jadi berbeda dengan konsep
geo-politis Barat sekarang ini yang lebih berkonotasi lokasi: seperti
The West and The Rest. Oleh karena itu penting memahami apa dan
bagaimana ajaran Islam mengenai damai dan perang.
Dalam al-Qur’an tidak ada konsep Dār al-Islām, yang ada
ialah Dār al-Salām, itu pun sebetulnya merupakan ilustrasi tentang
surga (Q 6:125-127; 10:25). Dari segi kebahasaan, Dār al-Salām
berarti negeri yang damai, sama dengan al-balad al-amīn, nama lain
untuk Makkah, juga sama dengan Urusyalim (Yerusalem), nama
asli dari bahasa Suryani atau Arami untuk kota al-Quds atau Bayt
al-Maqdis di Palestina, di mana berdiri Masjid Aqsha; juga dengan
Shanti Niketan, nama lembaga pendidikan Rabindranath Tagore
yang terkenal itu, yang semuanya mengidam-idamkan masyarakat
yang aman tenteram dan penuh kedamaian.
Nah persis di sini, al-Qur’an menggambarkan surga sebagai
tempat yang penuh kedamaian. Dalam al-Qur’an terdapat
firman,

a 4785 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

“Maka, barang siapa Allah menghendakinya untuk diberi hidayah,


dibuatlah dadanya lapang untuk menerima al-islām. Dan barang siapa
Dia kehendaki untuk disesatkan, maka dibuatlah dadanya sempit dan
seakan-akan naik ke langit. Demikianlah Allah menetapkan kekotoran
atas mereka yang tidak mau beriman. Dan inilah jalan Tuhanmu,
dalam keadaan tegak-lurus. Sungguh Kami telah rincikan berbagai
bukti (āyāt) untuk kaum yang bersedia merenungkan. Bagi mereka ini
ada Dār al-Salām di sisi Tuhan mereka, dan Dia adalah Pelindung
mereka berkenaan dengan segala sesuatu yang mereka kerjakan,” (Q
6:125127).

Lalu ada juga firman,

“Allah mengajak kepada Dār al-Salām dan membimbing siapa pun


yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus,” (Q 10:25).

Di dua tempat inilah perkataan Dār al-Salām yang sangat populer


itu terdapat dalam al-Qur’an.
Seandainya Indonesia bisa menjadi sebuah negara superior,
mungkin kita akan menciptalcan juga suatu geo-politik. Orang
Jawa saja, yang belum super, telah membuat suatu geo-politik:
bahwa dunia ini berpusat di Jawa, sedangkan yang lainnya hanya
daerah pinggiran (seberang). Oleh karena itulah, ada istilah-istilah
seperti Hamengkubuwono, Pakubuwono, dan Paku Alam, yang
semuanya mengindikasikan suatu geo-politik bahwa Jawa adalah
pusat dari bumi ini! [v]

a 4786 b
c Tradisi Islam d

Sedikit tentang
Pendidikan Islam

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah pendi­


dikan. Petunjuk Kitab Suci maupun Sunnah Nabi dengan jelas
meng­anjurkan para pemeluk Islam untuk meningkatkan kecakapan
dan akhlak generasi muda. Hal ini karena pendidikan adalah sebuah
penanaman modal manusia untuk masa depan, dengan membekali
generasi muda dengan budi pekerti yang luhur dan kecakapan yang
tinggi.
Tentang pendidikan budi pekerti luhur, al-Qur’an mengingatkan
agar semua orang memelihara diri sendiri dan keluarga dari azab
neraka, yakni dengan menanamkan takwa kepada Allah dan budi
pekerti luhur. Ini karena, menurut sabda Nabi, tidak ada sesuatu
yang lebih banyak memasukkan manusia ke dalam surga daripada
takwa kepada Allah dan budi pekerti luhur. Beliau bersabda, “Yang
terbanyak memasukkan ke surga ialah takwa kepada Allah dan budi
pekerti luhur,”— Hadis, dikutip dari kitab Bulūgh al-Marām.
Dan Kitab Suci al-Qur’an mengingatkan kaum Muslim agar
waspada untuk tidak meninggalkan keturunan yang lemah, yang
akan menimbulkan kekhawatiran. Allah berfirman,

“Hendaklah mereka waspada kalau sampai meninggalkan di belakang


mereka anak turun yang lemah, yang mereka khawatirkan. Bertakwalah
mereka itu kepada Allah, dan hendaklah berkata dengan perkataan
yang benar,” (Q 4:9).

a 4787 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Terhadap firman itu Ibn Katsir dalam kitabnya memberi ulasan


dengan antara lain mengutip sebuah hadis, “Engkau meninggalkan
ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada
meninggalkan mereka dalam keadaan papa dan meminta-minta
kepada manusia,” — HR Bukhari.
Usaha mencegah jangan sampai kita mewariskan keturunan
yang lemah (yang dalam hadis itu terutama “lemah” dalam arti
ekonomi, yakni, miskin) tidak hanya dengan mewariskan harta
kekayaan, hal mana adalah wajar saja. Tetapi, khususnya di zaman
modern dengan pola ekonomi industri seperti sekarang, usaha itu
dilakukan dengan membekali generasi muda dengan kecakapan-
kecakapan yang diperlukan, sehingga mereka mampu tampil
sebagai sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.
Untuk perkara kecakapan ini pun Nabi saw memberi teladan
bagaimana menghargai para ahlinya sesuai dengan konteks zaman
beliau (Timur Tengah 15 abad yang lalu), suatu bentuk kecakapan
yang amat berharga ialah kepandaian memanah (menembak dengan
panah), karena kecakapan itu sangat diperlukan untuk perang dan
besar sekali peranannya untuk memperoleh kemenangan. Sebuah
hadis menggambarkan betapa Nabi saw amat menghargai para ahli
panah, dengan sabda beliau, Rasulullah saw bersabda, dan beliau
berada di atas mimbar, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan sedapat-dapatmu,” — Q 8:60, dan “ketahuilah bahwa
kekuatan ialah panahan, ketahuilah bahwa kekuatan ialah panahan,
ketahuilah bahwa kekuatan ialah panahan,” — HR Muslim.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah bakal memasukkan
surga tiga orang berkat satu batang anak panah, pembuatnya yang
dengan membuat anak panah itu menghendaki kebaikan, orang yang
menyediakan bahannya, dan orang yang melemparkan (menembakkan)
anak panah itu”. Beliau juga bersabda, “Memanahlah kamu dan
menungganglah [kuda]. Dan kamu memanah adalah lebih aku
sukai daripada kamu menunggang kuda. Apa pun yang dilakukan
seseorang untuk bersantai adalah palsu kecuali menembakkan anak
panah dengan busurnya, melatih kudanya, dan bergaul mesra

a 4788 b
c Tradisi Islam d

dengan istrinya. Semua itu termasuk kebenaran. Dan barang siapa


melupakan keahlian memanah setelah diajari maka ia telah kufur
[tidak bersyukur] atas apa yang diajarkan kepadanya itu,” —HR
Ahmad.
Kutipan-kutipan dari Kitab Suci dan Sunnah Nabi itu dapat
disimpulkan bahwa tujuan utama pendidikan ialah pendidikan
moral atau akhlak dan pengembangan kecakapan atau keahlian.
Mengenai akhlak, prinsip dan permasalahannya adalah sama untuk
seluruh umat manusia sepanjang masa. Tetapi mengenai keahlian,
terdapat perbedaan keperluan manusia dari tempat ke tempat yang
lain, dan dari zaman ke zaman yang lain. Maka sudah tentu jenis
keahlian yang diperlukan di zaman modern ini berbeda dengan
yang diperlukan di zaman sebelumnya. Dan adanya keahlian
modern memerlukan usaha pendidikan modern.
Tantangan pertama dan utama terhadap usaha di atas, yakni
mengembalikan pendidikan Islam ke pangkuan umat, ialah
masalah warisan kolonial. Dan jika disebut “warisan kolonial”
tidaklah berarti hanya hal-hal yang sengaja diperbuat oleh kaum
kolonial untuk melemahkan umat Islam, tapi juga responsi umat
Islam sendiri terhadap kolonialisme itu yang meskipun patriotik
namun agaknya harus dibayar dengan ongkos yang mahal. Dalam
hal ini umat Islam tidak saja ‘kalah dahulu” oleh umat-umat yang
lain. Umat Islam juga kalah dalam bidang “linkage” internasional,
karena belum satu pun negara Islam tampil sebagai negara
modern sebanding dengan, misalnya, Jepang yang Shinto/Budhis.
Lemahnya “linkage” ini berdampak kepada kesulitan relatif umat
Islam mengembangkan pendidikan modern di Indonesia, sebuah
negeri dengan penduduk mayoritas Muslim.
Sesungguhnya umat Islam Indonesia mulai sedikit dapat
beranjak dari belenggu warisan kolonial sejak Kabinet Natsir pada
1950. Melalui kabinet itu Menteri Agama A. Wahid Hasyim dan
Menteri Pendidikan Bahder Johan membuat terobosan di bidang
pendidikan, dengan keputusan hendak mengadakan kurikulum
pengetahuan umum untuk madrasah-madrasah dan pengetahuan

a 4789 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

agama untuk sekolah-sekolah. Dua dasawarsa terakhir ini memperli­


hatkan dampak kebijakan pendidikan itu dengan adanya gerak
konvergensi antara “pendidikan umum” dan “pendidikan agama”.
Tetapi usaha umat Islam mengejar ketertinggalannya oleh
umat-umat lain sesama warga negara dapat diibaratkan mengejar
bayangan: semakin cepat dikejar, semakin cepat pula menjauh.
Keadaan itu dapat diatasi hanya jika dilakukan usaha-usaha ekstra
keras. Salah satunya ialah dengan pancingan peningkatan mutu
secara cepat melalui usaha-usaha pendidikan unggulan. Dengan
risiko kemungkinan dinilai, atau dituduh, elitis atau kurang populis,
keadaan umat Islam sekarang ini membuat usaha pendidikan
unggulan menjadi semacam “fardlu kifayah”: tidak seluruh umat
diharuskan melakukannya, cukup sebagian saja. Tetapi jika tidak
ada sema sekali yang melakukannya, maka seluruh umat terbebani
pertanggungjawaban.
Karena retorika-retorika politiknya sendiri, umat Islam
Indonesia sering terbuai oleh bayangan sebagai golongan mayoritas.
Tapi ilmu-ilmu sosial membuktikan bahwa perjalanan sejarah umat
manusia tidak terutama ditentukan oleh jumlah orang (mayoritas),
melainkan oleh kualitas sumber daya manusianya. Nabi saw
bersabda, “Manusia adalah barang tambang dalam kebaikan dan
keburukan: mereka yang baik dalam Jahiliyah adalah yang baik dalam
Islam jika mereka mengerti,” — HR Ahmad dan lain-lain.
Sabda Nabi saw itu adalah gambaran yang jelas tentang penting­
nya memperhatikan kualitas bahan manusia, khususnya dalam
usaha pendidikan. Dilihat sebagai proses “input-output”, hasil
suatu usaha pendidikan akan tergantung kepada siapa yang masuk
untuk diolah. Jika bahan manusianya (calon anak didiknya) unggul,
keluarannya pun akan unggul, insya Allah. Meskipun mendidik
manusia tidak serupa dengan proses mekanis, namun analogi itu
dapat dipertimbangkan. [v]

a 4790 b
c Tradisi Islam d

Pemulihan Krisis Bangsa


(Bagian pertama dari tiga tulisan)

Bertitik-tolak dari keberhasilan gerakan reformasi, sudah sepatutnya


kita semua, tanpa kecuali, ikut melibatkan diri dalam usaha bersama
mencari jalan memperbaiki keadaaan secara menyeluruh. Logika
gerakan reformasi ialah kritik terhadap bentuk keadaaan yang sedang
berlaku, dan usaha mendapatkan bentuk keadaan yang lebih baik.
Karena logika itu, maka suatu reformasi tidak mungkin dimulai
dari nol atau ketiadaan, betapa pun radikal dan fundamentalnya
perbaikan yang diusahakan. Justru keberhasilan gerakan reformasi
harus dipandang sebagai kelanjutan wajar dan alamiah dari
tingkat kemajuan masyarakat dan dinamika perkembangannya.
Maka pandangan yang hendak mempertahankan status quo
dengan sendirinya akan tampil sebagai penghalang reformasi,
sebab pandangan itu merupakan suatu bentuk pengingkaran
terhadap logika perkembangan masyarakat yang terus maju dan
meningkat.
Berikut adalah renungan normatif mengenai etika politik yang
diperlukan untuk mengatasi berbagai krisis bangsa yang kita hadapi
sekarang ini.
Pada dasarnya, hakikat bangsa, negara dan masyarakat kita
adalah hasil akumulasi pengalaman pembinaan dan pengembangan
sejak masa lalu yang jauh. Unsur-unsur asasi format kenegaraan
kita mula-mula diletakkan oleh para pendiri negara. Dari hasil
usaha mereka itulah kita sekarang mewarisi nilai-nilai asasi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai asasi itu, sebagai­
mana wajarnya, tercantum sebagai dasar-dasar negara dalam

a 4791 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Mukadimah konstitusi kita, yang perangkat nilai itu lazim disebut


Pancasila, dan konstitusi itu pun dikenal sebagai UUD 1945.
Itulah nilai-nilai pijakan kita bersama dalam usaha membina
dan mengembangkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
dalam suatu stuktur politik yang kita pilih dan tetapkan dalam
Konstitusi, dengan kemungkinun pengembangan dan perbaikan
terus-menerus.
Suatu hal yang patut kita terima dengan penuh syukur kepada
Tuhan ialah kesepakatan bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi
ter­buka. Lepas dari kenyataan rumusan dan pengkalimatan for­
mal­nya sebagaimana terpateri dalam Mukadimah UUD 1945,
masing-masing nilai yang lima itu, menciptakan suatu pandangan
sosial-politik yang potensial sama, dan selaras antara semua anggota
masyarakat, mengikuti common sense masing-masing pribadi.
Pandangan sosial-politik yang dihasilkan itu semua absah belaka,
sepanjang tidak secara kategoris melawan dan mengahalangi jiwa
dan semangat titik-temu kebaikan bersama antara semua golongan,
tanpa diskriminasi atau pembedaan satu dari yang lain secara tidak
benar. Justru paham kemanusiaan universal juga menghendaki
agar kita percaya kepada kebaikan bersama yang dihasilkan oleh
dinamika wacana umum dan bebas, dengan mempertaruhkannya
kepada bimbingan hati nurani kemanusiaan universal itu. Karena
itu pikiran-pikiran regimenter yang menghendaki penyeragaman
pandangan masyarakat melalui kegiatan indoktrinasi artifisial
adalah suatu gejala yang timbul hanya dari tiadanya kepercayaan
kepada kebaikan kemanusiaan, dan kepada dinamika pertumbuhan
dan perkembangannya ke arah yang lebih baik, dalam suasana
kebebasan yang wajar.
Dalam kenyataan sosiologis-historis, feodalisme dan paternalis­
me adalah pangkal pikiran-pikiran regimenter, demikian juga
pan­dangan yang negatif-pesimis kepada kemanusiaan. Karena itu
penafsiran dan penjabaran nilai-nilai asas kenegaraan dan kema­
sya­ra­katan dalam Mukadimah UUD 1945 itu harus dibiarkan
terbuka terhadap dinamika perkembangan masyarakat. Maka tidak

a 4792 b
c Tradisi Islam d

dibenarkan adanya penafsiran dan penjabaran dalam rumusan-


rumusan yang dibuat “sekali dan untuk selamanya”, oleh perorangan
atau kelompok dengan klaim kewenangan atau otoritas eksklusif.
Otoritanianisme dalam pikiran akan datang dengan sendirinya
berkolerasi kuat dengan otoritarianisme dalam kehidupan sosial-
politik dan penyelenggaraan kekuasaan. Dalam pengalaman
kenegaraan semua bangsa, termasuk bangsa kita, otoritarianisme
itu terbukti merupakan sumber malapetaka nasional. Di samping
itu, suatu nilai asasi yang dijabarkan secara otoriter “sekali untuk
selamanya” akan menjelma menjadi sebuah ideologi tertutup. Dan
sebuah ideologi yang tertutup, karena logika internalnya sendiri
yang tertutup, akan dengan sendirinya terancam untuk menjadi
ketinggalan zaman, tidak relevan dengan kenyataan-kenyataan
hidup yang secara dinamis terus berkembang secara terbuka.
Untuk prinsip bimbingan hidup (guiding principle), yang di­
per­lukan oleh sebuah masyarakat bebas dan merdeka ialah kesetia­
an kepada kesucian hati nurani. Dan karena suara hati nurani
selamanya bersifat individual, maka kesetiaan kepada hati nurani
melibatkan perlindungan kepada kebebasan hati nurani (freedom
of conscience). Dalam urutannya, kebebasan hati nurani mengambil
bentuk nyata dalam kebebasan beragama. Sebab dengan ajaran
agama, melalui keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, kesucian hati nurani dikukuhkan. Agama menanamkan
keimanan dan ketakwaan dalam dada, yang merupakan milik
pribadi yang bersangkutan yang paling mendalam dan berharga,
karena bersangkutan dengan kesadarannya akan makna dan tujuan
hidupnya. Keimanan dan ketakwaan yang ada di dalam dada itu
merupakan wewenang suci Tuhan untuk mengetahui, mengukur
dan menilainya, dan sama sekali bukan wewenang sesama manusia.
Semua pandangan prisipil itu diisyaratkan dalam nilai pertama
Mukadimah UUD 1945, yang secara amat tepat oleh Bung
Hatta disebut prinsip yang menyinari nilai-nilai yang lain dalam
Mukadimah itu. Oleh karena itu pengusikan dan pengingkaran hak
individu dan sosial manusia karena pandangan keagamaan (karena

a 4793 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

mengatakan, “Pangeran kami ialah Tuhan Yang Maha Esa”), adalah


pelanggaran terhadap prinsip kebebasan nurani. Sebaliknya, demi
kebebasan nurani itu maka masyarakat dan negara berkewajiban
menjaga keutuhan semua pranata keagamaan seperti biara, gereja,
sinagog, dan masjid, karena pranata atau institusi keagamaan adalah
sarana dan tempat ditanamkannya keimanan kepada Tuhan (untuk
dasar pandangan-pandangan ini, lihat Q 22:40).
Dengan latar belakang adanya memori kolektif tentang ber­ba­gai
bentuk pertentangan sosial dan kultural masa lampau, keper­luan
kepada pengembangan sikap dan pandangan kemanusiaan yang
positif-optimis itu menjadi salah satu urgensi nasional. Masya­
rakat yang bahagia dengan kebebasan dan kemerdekaannya ialah
masyarakat yang didukung oleh adanya jalinan hubungan kasih
Ilahi yang suci (rahmah, agape) yang merupakan kelanjutan dari
cinta kearifan kemanusiaan horizontal (mawaddah, philos) dan cinta
tingkat permulaan atas dasar pertimbangan-pertimbangan bentuk
lahiriah (mahabbah, eros). Dalam semangat cinta-kasih Ilahi itu
terlahir sikap penghargaan yang tulus dan pandangan penuh harapan
kepada sesama manusia. Karena fitrah dari Sang Khalik, setiap jiwa
manusia adalah makhluk kesucian, kebaikan dan kebenaran sebelum
terbukti sebaliknya. Penyimpangan dari fitrah harus dipandang
sebagai faktor pengaruh negatif dari luar dirinya, yang sempat
merusak fitrah itu akibat kelemahan kemakhlukannya.
Karena faktor fitrah itu, maka setiap orang harus dijamin hak­
nya untuk menyatakan pendapat. Tapi karena unsur kelemahan
kemakhlukannya itu, maka setiap orang dituntut untuk cukup
merasa rendah hati agar melihat kemungkinan dirinya salah, dan
agar bersedia mendengarkan dan memperhatikan pendapat orang
lain. Interaksi positif dalam semangat optimisme kemanusiaan
antara hak diri pribadi untuk menyatakan pendapat dan kerendahan
hati mendengarkan pendapat orang lain itu melahirkan ajaran dasar
musyawarah. [v]

a 4794 b
c Tradisi Islam d

Pemulihan Krisis Bangsa


(Bagian kedua dari tiga tulisan)

Pada dasarnya prinsip musyawarah tidak akan berjalan produktif


tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, yang dalam tatanan
modern kehidupan bermasyarakat dan bernegara dilembagakan antara
lain dalam kebebasan akademik dan kebebasan pers. Tapi prinsip
musyawarah itu juga akan dirusak oleh sikap-sikap absolu­tistik dan
keinginan mendominasi wacana karena tidak adanya perasaan cukup
rendah hati untuk melihat kemungkinan orang lain berada di pihak
yang lebih baik atau lebih benar. Musyawarah yang benar, adalah
musyawarah yang terjadi atas dasar kebebasan dan tanggung jawab
kemanusiaan: dasar tatanan masyarakat dan negara demokratis.
Sehingga demokrasi, sebagaimana dikehendaki oleh logika
musya­warah itu sendiri, senatiasa menuntut dari masing-masing
pihak yang bersangkutan untuk bersedia dengan tulus bertemu
dalam titik-kesamaan kebaikan bagi semua, dalam semangat
memberi dan mengambil yang dijiwai oleh pandangan kemanusiaan
yang optimis dan positif. Oleh karena itu pula demokrasi dengan
musyawarah yang benar sebagai landasannya itu tidak akan ter­
wujud tanpa pandangan persamaan manusia atau egalitarianisme
yang kuat dan akan kandas oleh adanya stratifikasi sosial yang kaku
dan a priori dalam sistem-sistem paternalistik dan feodalistik.
Kebebasan asasi untuk menyatakan pendapat dengan sendiri­
nya berakibat kepada adanya dua kebebasan asasi yang lain, yaitu
kebebasan berkumpul dan kebebasan berserikat. Keinginan untuk
berkumpul dengan sesama (le desire d’etre ensemble) adalah naluri
manusia sebagai makhluk sosial. Keinginan berkumpul adalah juga

a 4795 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

merupakan keinginan untuk menyatakan pendapat secara ber­sama


dan mewujudkan maksud pendapat itu dalam kegiatan bersama.
Justru keinginan berkumpul dalam suatu tatanan sosial yang
mengakui dan mendukung kebebasan berpendapat, adalah prasarana
penyatuan pendapat pribadi-pribadi melalui proses memberi dan
mengambil secara positif. Maka keinginan berkumpul dapat
dipandang sebagai bentuk pertama lembaga permusyawaratan.
Keinginan mewujudkan pandangan bersama itu dalam ke­rang­ka
kegiatan tersusun atau terorganisasi menuntut adanya kebe­basan
asasi untuk berserikat. Masyarakat manusia terdiri dari pribadi-
pribadi dengan minat dan perhatian yang beraneka ragam. Keaneka­
ragaman akan menjadi pangkal adanya interaksi sosial yang subur dan
produktif, selama mendapat penyaluran yang wajar dan dibimbing
oleh komitmen para pribadi anggota masyarakat kepada nilai-nilai
luhur kemanusiaan. Sebaliknya, keseragaman artifisial melalui
penggiringan dan mobilisasi masyarakat dalam sistem monolitik
tidak saja memangkas potensi-potensi kreatif dalam masyarakat,
tapi juga menghasilkan perasaan tersumbat yang sewaktu-sewaktu
dapat meledak menjadi kekuatan yang dsstruktif.
Sekalipun pembentukan suatu serikat dapat dibuat untuk
menampung aspirasi dan kegiatan di luar masalah politik seperti
masalah keagamaan, budaya, seni, ekonomi, dan seterusnya, serikat
politik selamanya merupakan bentuk penting kebebasan asasi ke­
tiga itu. Dengan serikat politik yang bebas, dan yang dibentuk
ka­rena panggilan tanggung jawab yang tulus dan murni kepada
masyarakat dan negara, suatu unsur penting lain dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang sehat akan terwujud: yaitu unsur
pengawasan dan pengimbangan. Komitmen individual masing-
masing orang kepada nilai-nilai luhur, yang merupakan prakondisi
pertama masyarakat yang sehat, menuntut realisasi konkretnya
berupa komitmen dan perilaku sosial dalam hidup bersama. Pada
urutannya, demi mencegah terjadinya penyimpangan, baik sadar
maupun tidak sadar, komitmen dan perilaku sosial itu harus terbuka
kepada pengawasan oleh sesama anggota masyarakat.

a 4796 b
c Tradisi Islam d

Disebabkan oleh kelemahan pribadi manusia yang membuatnya


secara potensial menjadi tawanan dikte situasi, posisi dan lingkungan­
nya, pengawasan sosial yang bebas adalah satu-satunya yang tersisa
untuk menjaga jangan sampai masyarakat luas menjadi korban.
Semua pihak harus menerima dengan rela ketentuan-ketentuan
yang diperlukan untuk membuat suatu pengawasan sosial menjadi
benar-benar efektif. Bentuk ketentuan-ketentuan itu ialah aturan-
aturan dan hukum yang harus dihormati dan ditaati oleh semua
anggota masyarakat.
Komitmen pribadi kepada nilai-nilai hidup yang luhur akan
tidak bermakna apa-apa jika yang bersangkutan tidak mewujudkan
secara nyata dalam tindakan hidup pribadi sehari-hari. Oleh karena
itu komitmen pribadi kepada nilai-nilai luhur dapat diseder­hana­kan
sebagai ketaatan pribadi itu kepada aturan-aturan dan hukum-
hukum yang dinyatakan berlaku untuk setiap orang. Tidak ada
suatu bagian dari aturan dan hukum yang terlalu kecil untuk ditaati,
dan tidak ada seorang pun yang cukup besar untuk dibenarkan
melanggar aturan dan huktim itu, atau untuk mengklaim dispensasi
dari ketentuan yang berlaku. Semua anggota masyarakat harus
tunduk dan patuh kepada hukum dengan sikap teguh, konsekuen,
berdisiplin, dan penuh kesabaran dan ketabahan. Sekali suatu
ketentuan aturan atau hukum ditawar untuk dilanggar, maka
prinsip rule of law sudah dirusak, betapapun kecilnya ketentuan
aturan yang dilanggar itu, biar pun misalnya, “sekadar” ketentuan
harus berhenti pada lampu merah di jalan!
Tegaknya hukum dan peraturan sebagai salah satu tujuan
pengawasan dan pengimbangan ang berjalan secara efektif itu,
dalam penyelenggaraan kenegaraan modern mengharuskan
adanya diferensiasi antara berbagai lembaga kenegaraan menurut
kekhususan bidangnya, terutama kekhususan bidang eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Tugas utama sistem pemerintahan, dan
yang menjadi tolok-ukur keberhasilan dan kegagalannya, ialah
kemampuan memelihara ketertiban, atau mengatur dan menyele­
saikan pertentangan yang terjadi dalam masyarakat. Tetapi

a 4797 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

ketertiban itu sendiri memerlukan parameter-parameter, berupa


peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan hukum. Maka
dalam menjalankan tugasnya menegakkan ketertiban, pemerintah
secara keseluruhan berkewajiban memperhatikan agar parameter-
parameter itu dipegang teguh dan dilaksanakan dengan taat.
Oleh karena kekuasaan itu sendiri, khususnya kekuasaan
ekse­kutif, memiliki fasilitas dan prasarana untuk melanggar
keten­tu­an dengan dampak yang amat luas kepada kehidupan
masyarakat (“power tends to corrupt”), maka sistem pengawasan
dan pengimbangan harus ada terlebih dahulu, dan terutama,
diciptakan antara ketiga unsur kekuasaan itu sendiri, yaitu unsur-
unsur eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Pengawasan dan pengimbangan yang efektif akan terwujud jika
masing-masing dari ketiga unsur kekuasaan itu independen satu dari
yang lain, dan berkebebasan untuk melaksanakan pengawasan dan
pengimbangan satu sama lain. Secara khusus, berkenaan dengan
usaha penegakan hukum dan peraturan, sistem peradilan yang
independen dan berfungsi secara penuh merupakan jaminan kelem­
bagaan yang paling kuat bagi tegaknya hukum dan peraturan itu.
Sebaliknya, sistem peradilan yang tidak dapat lepas dari pengaruh
pemerintahan eksekutif, juga pengaruh luar mana pun, adalah salah
satu jaminan paling pasti untuk runtuhnya ketentuan hukum dan
peraturan. [v]

a 4798 b
c Tradisi Islam d

Pemulihan Krisis Bangsa


(Bagian ketiga dari tiga tulisan)

Dalam hubungan interaktif antara ketiga unsur kekuasaan — unsur


eksekutif, yudikatif dan legislatif — badan legislatif dituntut untuk
benar-benar memenuhi fungsinya sebagai perwujudan kedaulatan
rakyat. Badan legislatif yang berfungsi penuh karena absah melalui
pemilihan umum yang bebas, terbuka dan demokratis, merupakan
faktor pengimbang dan pengawas kepada keseluruhan proses dan
strukttur politik yang terjadi, sebagai realisasi dari kedaulatan
rakyat.
Kedaulatan rakyat adalah inti dari partisipasi umum rakyat
dalam kehidupan bernegara. Dan adanya kesempatan melakukan
partisipasi umum secara efektif adalah wujud sebenarnya dari
kebebasan dan kemerdekaan. Oleh karena itu, seluruh cita-cita
kemasyarakatan dan kenegaraan sebagaimana dinyatakan dalam
nilai-nilai kesepakatan luhur dalam Mukadimah UUD 45, akan
sirna tak bermakna tanpa adanya partisipasi umum rakyat. Bahkan
kedaulatan negara dalam hubungannya dengan negara-negara
lain pun adalah kelanjutan kedaulatan rakyat itu. Hal ini terbukti
dengan nyata sekali dalam saat-saat kritis negara menghadapi
ancaman. Pemerintahan mana pun akan akhirnya bersandar kepada
rakyat untuk menanggulangi ancaman kepada negara, dan dalam
keadaaan yang sulit itu akan tampil dengan nyata siapa sebenarnya
kalangan anggota masyarakat luas yang benar-benar berkepentingan
kepada keselamatan bangsa dan negara.
Karena itu kedaulatan politik tidak mempunyai nilai yang ber­
makna tanpa kedaulatan di bidang-bidang lain, khususnya di bidang

a 4799 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

ekonomi. Sesungguhnya, kedaulatan ekonomi inilah yang diharapkan


lahir dari adanya keadilan sosial, yang merupakan tujuan sebenarnya
kita dalam bernegara. Sebab dengan adanya keadilan sosial akan
tumbuh rasa ikut-punya, dan rasa ikut-serta oleh semua. Pelajaran
paling pahit dari pengalaman kita bernegara masa-masa terakhir
ini muncul karena diabaikannya nilai keadilan sosial, dibiarkannya
praktik-praktik kezaliman sosial berjalan dengan bebas dan merajalela.
Kesalahan dalam politik ekonomi dan pembangunan Orde Baru,
sekalipun tidak dapat diramalkan dengan pasti sebelumnya,
telah berujung dengan hancurnya kedaulatan rakyat dan negara
berhadapan dengan tekanan dunia luar. Sekalipun kerugian akibat
kesalahan tersebut menimpa dunia luar yang bersangkutan itu sendiri
juga, namun yang paling parah ialah kerugian yang menimpa rakyat,
pendiri, pembentuk dan pemilik negara yang sebenarnya.
Pada titik ini ide reformasi membentuk lingkaran penuh dan
sempurna. Reformasi itu bertitik-tolak dari komitmen masing-
masing pribadi kepada nilai kehidupan yang luhur, dan berakhir
dengan komitmen kita semua kepada usaha mewujudkan keadilan
sosial, dengan ketegasan memperhatikan kepentingan hidup rakyat
secara nyata. Demi itu semua, pembangunan ekonomi harus diubah
dari pola dan orientasi yang terlalu lebar membuka kerawanan
ter­hadap kedaulatan rakyat menjadi pola dan orientasi ekonomi
rakyat patriotik. Kita harus mulai dengan sungguh-sungguh
memperhatikan segenap potensi nasional kita, baik dalam artian
sumber daya manusia maupun dalam artian sumber daya alam.
Kita harus menjadikan potensi-potensi nyata itu sebagai modal dan
pangkal pembangunan ekonomi rakyat patriotik. Pembangunan
ekonomi nasional harus diubah arahnya sedemikian rupa sehingga
lebih berpijak kepada kenyataan-kenyataan nasional kita yang
sebenarnya, dan tidak mengembara mengikuti gelombang fantasi,
khayal dan iming-iming dunia luar, yang ternyata telah berakhir
dengan ancaman kedaulatan kita.
Ketangguhan ekonomi rakyat itu akan terwujud apabila kita
mampu secara mandiri mengolah kekayaan alam kita, dengan

a 4800 b
c Tradisi Islam d

tingkat kreativitas setinggi-tingginya. Kemandirian ekonomi


nasional diwujudkan dengan andalan ekonomi pertanian rakyat
yang maju dan modern, dan dengan basis industri rakyat. Dalam
sistem ekonomi global — suatu hal yang tidak dapat dihindari —
hanya dengan ketangguhan ekonomi nasional itu kita akan mampu
bersaing secara sehat, dengan hasil akhir kemenangan untuk semua,
tanpa merugikan pihak mana pun juga. Dan dengan ketangguhan
ekonomi nasional itu pula, kita akan Iebih terlindung dari unsur
destruktif keserakahan para petualang ekonomi internasional.
Mengakhiri rentetan ini, ada baiknya kita merefleksikan juga
mengenai arti Pancasila dalam keseluruhan yang sudah kita lihat.
Pancasila adalah sebuah ideologi modern. Hal itu tidak saja karena
ia diwujudkan dalam zaman modern, tapi juga lebih-lebih lagi
karena ia ditampilkan oleh seorang atau sekelompok orang dengan
wawasan modern, yaitu para bapak pendiri Republik Indonesia, dan
dimaksudkan untuk memberi landasan filosofis bersama (common
philosophical ground) sebuah masyarakat plural yang modern, yaitu
Masyarakat Indonesia.
Sebagai produk pikiran modern, Pancasila adalah sebuah ideo­
logi yang dinamins, tidak statis, dan memang harus dipandang de­
mikian. Watak dinamis Pancasila itu membuatnya sebagai ideologi
terbuka. Dalam hal perumusan formalnya, Pancasila tidak perlu lagi
dipersoalkan. Demikian pula kedudukan konstitusionalnya sebagai
dasar kehidupan bernegara dan bermasyarakat dalam pluralitas
Indonesia, juga merupakan hal yang final (untuk meminjam
ungkapan Kiai Haji Ahmad Shiddiq, mantan Ra’is Amm Nahdlatul
‘Ulama (NU). Namun dari segi pengembangan prinsip-prinsipnya
sehingga menjadi aktual dan relevan bagi masyarakat yang senantiasa
tumbuh dan berkembang, Pancasila tidak bisa lain kecuali mesti
dipahami dan dipandang sebagai ideologi terbuka yang dinamis.
Oleh karena itu tidak mungkin ia dibiarkan mendapat tafsiran
sekali jadi untuk selama-lamanya (once for all). Pancasila juga tidak
mengizinkan adanya badan tunggal yang memonopoli hak untuk
menafsirkannya. Otoriterianisme dalam sejarah selalu dimulai oleh

a 4801 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

seseorang atau sekelompok orang yang mengaku sebagai pemegang


kewenangan tunggal di suatu bidang yang menguasai kehidupan
orang banyak, khususnya bidang ideologi politik.
Kemestian logis akibat deretan argumen itu ialah bahwa
ma­sya­rakat dengan keanekaragamannya harus diberi kebebasan
meng­ambil bagian aktif dalam usaha-usaha menjabarkan nilai-nilai
ideologi nasional itu, dan mengaktualkannya dalam kehidupan
masyarakat. Setiap usaha menghalanginya akan menjadi sumber
malapetaka, tidak saja bagi negara dan masyarakat Indonesia
sebagai masyarakat majemuk, tetapi juga bagi ideologi nasional itu
sendiri sebagai titik-tolak pengembangan pola hidup bersama. Jadi
Pancasila memang harus menjadi ideologi terbuka, sesuai dengan
rancangannya untuk landasan kehidupan sosial-politik Indonesia
yang plural dan modern.
Suatu fase kemantapan nasional amat penting telah terjadi
di negeri kita berkenaan dengan kefinalan Pancasila ini, yaitu
diterimanya ideologi itu sebagai asas bagi kehidupan bermasyarakat
dan bernegara dalam konteks pluralisme dan keterbukaan. Pancasila
sebagai sebuah ideologi terbuka, itu berarti ia tidak memberikan
penafsiran secara detail dan nyata “sekali untuk selamanya”, tanpa
bisa diubah-ubah. Jadi ia tidak mengizinkan adanya indoktrinasi
— yang telah diperlihatkan contohnya dalam negeri-negeri
komunis sebagai kegagalan total, maupun di masa Orde Lama
dan Orde Baru. [v]

a 4802 b
c Tradisi Islam d

Perubahan Masyarakat

Dalam dua abad ini telah terjadi perubahan besar pada umat
manusia yaitu peralihan sejarah dari zaman agraris ke zaman
teknis. Meskipun perubahan yang sudah terjadi, benar-benar
masih terbatas kepada dunia Barat, khususnya Eropa barat laut
dan keturunan mereka di Amerika Utara dan Australia, namun
dampaknya meliputi seluruh muka bumi, kecuali daerah-daerah
yang sanagat terpencil saja.
Memang Zaman Teknis (Technical Age) sekarang ini masih tetap
merupakan kelanjutan zaman sebelumnya, yaitu Zaman Agraris
(yang sudah dimulai oleh bangsa Sumeria di lembah Furat-Dajlah
[Eufrat-Tigris], Mesopotamia, yaitu Irak sekarang ini). Tetapi secara
radikal berbeda dengan Zaman Agraris ini, Zaman Teknis (yang juga
sering disebut Zatnan Modern) mengenal pola perubahan menurut
garis deret ukur (perkalian) sedangkan dalam Zaman Agraris pola
perubahan itu menrut garis deret hitung (pertambahan). Hal ini
perlu kita sadari untuk memahami hakikat perubahan dahsyat yang
kini sedang kita alami.
Negara kita, Indonesia, berada dalam kondisi perubahan yang
amat khusus, yaitu, pertama, dalam kaitannya dengan perubahan
mondial, negeri kita sedang berubah dari pola masyarakat agraris
ke masyarakat teknis. Kedua, perubahan itu secara sengaja dan
sadar dipacu dan didorong untuk dapat terjadi secepat-cepatnya
dan sebesar-besarnya, dan inilah kenyataan asasi reformasi.
Karena itu kenyataan perubahan sekarang ini harus dihadapi
sebagai “given”, dan harus ditetapkan “strategi” menghadapinya
itu. Setiap perubahan sosial adalah juga berarti perbenturan pola-

a 4803 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

pola hidup sosial tertentu. Dan perbenturan itu tidak bisa tidak
tentu akan mengakibatkan berbagai krisis pada berbagai tingkat
kehidupan. Contohnya perang saudara di Amerika Serikat pada
abad yang lalu, yang merupakan perbenturan antara Utara yang
industrial (teknis) dan Selatan yang pertanian (agraris).
Zaman Teknis muncul di Barat melalui proses yang panjang
dan landai, yaitu sejak Zaman Renaissance akibat perkenalan Barat
dengan peradaban Islam, diteruskan ke Zaman Pencerahan — yang
bukti-buktinya semakin banyak juga merupakan akibat perkenalan
dengan Islam lebih lanjut, khususnya di bidang pandangan keaga­
maan dan kemanusiaan — lalu Zaman Teknis itu sendiri dengan
titik awal di Inggris. Karena prosesnya yang panjang dan landai itu
maka krisis yang diderita olah Barat akibat perubahan zaman di sana
terbentang dalam waktu yang panjang pula dan secara nisbi tidak
mengagetkan (ini tidak berarti dalam bentuk-bentuk tertentunya
tidak mengerikan, seperti terjadinya perang-perang keagamaan
yang berkepanjangan dan juga PD I dan II).
Maka dibanding dengan pengalaman Barat itu, pengalaman
krisis kita dapat lebih mengagetkan (shocking) dengan dampak yang
lebih berat. Sebab perubahan kita dari pola masyarakat agraris ke
pola industrial adalah “mendadak”, tanpa pendahuluan seperti
di Barat. Sementara itu, jika kita gunakan sudut pandang Alvin
Toffler yang memperkenalkan istilah “gelombang”, kita bangsa
Indonesia sekarang ini, seperti juga banyak bangsa yang lain,
sedang mengalami perbenturan tiga gelombang sekaligus; yaitu
perbenturan antara pola hidup sosial agraris sebagai gelombang
pertama dengan pola hidup sosial industrial sebagai gelombang
kedua, ditambah mulai tumbuh dan berkembangnya pola hidup
sosial zaman informatika di kota-kota besar. Oleh karena itu
dampak krisis yang timbul juga lebih besar daripada yang terjadi
di Barat.
Mengingat hal-hal tersebut, perhatian harus kita arahkan ke­
pada besarnya krisis akibat perubahan sosial yang ada di sekitar:
Deprivasi Relatif, yaitu perasaan teringkari, tersisihkan pada orang

a 4804 b
c Tradisi Islam d

dan kalangan tertentu dalam masyarakat kita akibat tidak dapat


mengikuti laju perubahan dan kesulitan menyesuaikan diri dengan
perubahan itu; Dislokasi, yaitu perasaan tidak punya tempat dalam
tatanan sosial yang sedang berkembang. Dalam wujudnya yang
amat nyata, dislokasi ini dapat dilihat pada krisis-krisis yang dialami
kaum marginal di kota-kota besar akibat urbanisasi; Disorientasi,
yaitu perasaan tidak mempunyai pegangan hidup akibat yang
ada selama ini tidak lagi dapat dipertahankan karena terasa tidak
cocok. Disorientasi ini membuat yang bersangkutan sulit mengenali
diri sendiri (kehilangan identitas). Perubahan masyarakat akan
mendorong orang yang mengalami krisis-krisis tersebut ke arah
pandangan yang serba-negatif kepada susunan mapan, dengan sikap-
silcap tidak percaya, curiga, bermusuhan, melawan, dan sebagainya.
Maka perubahan sosial dengan krisis-krisis yang ditimbulkannya
itu, jika tidak ditangani dengan baik, akan menciptakan lahan yang
subur bagi gejala-gejala seperti radikalisme, fanatisme, sektarianisme,
fundamentalisme, eksklusivisme, seperti sudah mulai kita lihat
tanda-tandanya sekarang.
Maka yang diperlukan dalam masa-masa perubahan masyarakat
yang besar seperti sekarang ini ialah: Pertama, pengertian secukup­
nya akan hakikat perubahan zaman sekarang ini dalam dimensi
globalnya. Ini penting karena banyak sekali hal-hal yang terjadi di
Tanah Air sesungguhnya merupakan kelanjutan, atau mempunyai
keterkaitan dengan apa yang terjadi di dunia secara keseluruhan. Jika
kita bicara tentang demokrasi, keadilan sosial, pemerintahan yang
bersih, keharusan memberantas korupsi, misalnya, kita sesungguhnya
juga bicara tentang nilai-nilai yang diterima, dipahami, dihayati dan
dicoba laksanakan di mana saja di dunia, sehingga dengan sendirinya
menimbulkan berbagai bentuk keterkaitan. Maka dari itu kita harus
dapat mengantisipasi adanya sikap seperti “ikut-campur” tertentu
dari dunia internasional, yang sesunguhnya banyak (jelas tidak
semua) dari hal itu menunjukkan kepedulian yang positif (meski
ada juga kemungkinan ikut campur).

a 4805 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

Kedua, pengertian yang cukup lengkap tentang budaya bangsa


sendiri, sehingga dapat diduga, atau malah mengetahui secara lebih
persis, titik-titik singgung antara pola budaya nasional dengan pola
budaya global itu. Persinggungan antara segi-segi tertentu budaya
nasional dengan pola budaya global, dalam kerangka perubahan
masyarakat, boleh jadi akan menghasilkan pola kontak yang
simbiosis, saling mendukung dan saling menguntungkan, tapi juga
boleh jadi mengakibatkan perbenturan yang menimbulan krisis-
krisis. Maka pengetahuan tentang titik-titik singgung ini diharap
dapat menjadi antisipasi atas krisis yang muncul akibat perubahan
masyarakat yang cepat dan besar itu.
Ketiga, akomodasi positif kepada perubahan, karena perubahan
itu sendiri adalah suatu kemestian. Sikap ini dapat diwujudkan
dengan mengembangkan pada diri pemimpin di masa ini sikap-
sikap terbuka, menghargai pendapat lain, bebas, berpikir positif,
inklusi­vistik (bersemangat persatuan dan kesatuan), demokratis dan,
sedapat mungkin, “predictable”, sehingga terbina hubungan loyalitas
yang positif dan tulus karena dilandasi semangat partisipasi. [v]

a 4806 b
c Tradisi Islam d

Korupsi

Gunnar Myrdal, seorang ahli ekonomi Swedia pemenang hadiah


Nobel, memasukkan negeri kita, Indonesia, ke dalam kelompok
negeri-negeri berkembang, yang ia sebut sebagai kelompok “negara-
negara lunak” (soft states). Sebutan itu kurang enak didengar, dan
pernah menjadi bahan kontroversi. Tetapi tak ada salahnya untuk
menelaah kembali maksud penilaian Myrdal itu sebagai cermin
bagi kita, dan meneliti kenyataan-kenyataan yang ada.
Yang dimaksud Myrdal sebagai “lunak” itu ialah tidak adanya
disiplin sosial. Di sini kita membicarakan mengenai kelemahan dan
kesewenangan yang bisa, dan malah memang telah disalahgunakan
untuk keuntungan pribadi oleh orang-orang yang mempunyai
kekuatan ekonomi, sosial, politik. Kesempatan penyalahgunaan
dalam ukuran besar itu terbuka untuk kelas atasan, tetapi orang
dari anak tangga paling bawah pun sering mendapatkan pula
kesempatan itu untuk keuntungan-keuntungan kecil. Myrdal
menyebut gejala ini sebagai “korupsi”, yang tclah begitu mengakar
dalam budaya bangsa kita.
Jika benar bahwa untuk setiap keberhasilan tentu ada ongkosnya,
maka sebagai salah satu “ongkos” menjadi bangsa merdeka ialah meng­
gantikan tenaga-tenaga penjajah dengan tenaga-tenaga sendiri dalam
mengatur negeri, dan itu juga berarti pergantian tenaga ahli dan
berpengalaman oleh yang kurang ahli dan kurang berpengalaman.
Keadaan kurang ahli dan tiadanya pengalaman itu mempunyai
akibat kepada mundurnya produktivitas. Mundurnya produktivitas
berjalan seiring dengan membengkaknya personalia, dan ini, pada
urutannya, diiringi dengan turunnya gaji bila dikukur dari nilai

a 4807 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

rilnya. Digabung dengan kebiasaan menjalankan administrasi


“menurut kebijaksanaan”, dan ditambah dengan kaum politisi yang
setelah kemerdekaan berkedudukan penting karena memegang
kekuasaan, rendahnya gaji pegawai negeri dalam nilai rilnya ikut
membuka pintu bagi praktik-praktik korupsi. Myrdal secara khusus
menyebut negeri kita Indonesia, yang disebutnya bebas dari korupsi
di zaman kolonial Belanda, tetapi kemudian menjadi negeri yang
paling korup beberapa lama setelah kemerdekaan.
Efek paling buruk meningkatnya korupsi ialah menyebarnya
sikap sinis dalam kalangan masyarakat luas, serta turunnya ke­
mauan untuk bertahan melawan godaan menerima suap pada
semua lapisan birokrasi. Korupsi juga mengintroduksi elemen tak
rasional dalam perencanaan dan pelaksanaan rencana (misalnya
pembangunan) dengan meyimpangkan rencana itu.
Karena sudah sedemikian kompleksnya kenyataan tentang
ko­rupsi itu, dan sedemikian rusaknya dampak-dampak yang
diha­sil­kannya, maka menurut Myrdal, tidak ada jalan bagi usaha
membe­rantas korupsi selain daripada kemauan politik yang kuat
dan keteladanan pemimpin. Kemauan politik yang kuat dan
keteladanan pemimpin itu harus berjalan seiring dan bersama-sama.
Tanpa keteladanan, apa pun seruan dan tindakan seorang pemimpin
akan tidak pernah berwibawa, karena tidak otentik. Sebaliknya,
dengan hanya keteladanan saja, tanpa kemauan politik yang kuat,
kepemimpinan seorang pemimpin tidak akan efektif. Maka dari
itu, menurut Myrdal, orang menyalahkan Nehru berkenaan dengan
pesatnya korupsi di India. Meskipun Nehru mempunyai keteladanan
— karena ia adalah benar-benar seorang pemimpin yang bersih dan
patriotik — namun ia tidak bersedia menindak tegas korupsi yang
diketahuinya sendiri merajalela di negerinya.
Alasannya ialah, karena dengan meneriakkan adanya korupsi
itu keras-keras, maka masyarakat dikesankan secara salah sebagai
hidup dalam alam korupsi, sehingga mungkin justru mendorong
keberanian orang banyak untuk melakukan korupsi sendiri.
Mungkin Nehru benar, tetapi keengganannya untuk menggunakan

a 4808 b
c Tradisi Islam d

wibawa pribadinya yang hebat itu, dan memenuhi tuntutan


umum untuk dengan tegas memberantas korupsi di tingkat atas,
sebagaimana dikataan oleh banyak kawan terdekatnya sendiri,
adalah kesalahan Nehru yang serius.
Berbeda dengan Nehru ialah Rajaratnam dari Singapura.
Republik pulau ini dinilai Myrdal sebagai satu-satunya dari kalangan
negeri-negeri di Asia Selatan dan Tenggara, jika bukan negeri-negeri
berkembang, yang relatif bebas dari korupsi dan tidak termasuk
negara lunak. Myrdal melihatnya sebagai antara lain berkat tipe
kepemimpinan Rajaratnam, salah seorang tokoh politik.
Ada pendapat sementara para ahli yang mengatakan bahwa
korupsi adalah suatu sistem politik, yang bisa diarahkan oleh mereka
yang berkuasa dengan tingkat ketepatan yang bisa ditenggang. Maka
berkat kemauan politik yang keras, pemimpin seperti Rajaratnam
itu dalam memberantas korupsi ditambah dengan keteladanan diri
dan keluarganya yang bersih, maka Singapura akhirnya berhasil
memiliki pemerintahan yang bersih, yang kemudian mempertinggi
semangat rakyatnya untuk membangun. Sebab salah satu dampak
positif adanya pemerintahan yang bersih ialah pemerataan beban
tangung jawab dan rasa keadilan, yang selanjutnya mempetinggi
rasa ikut punya rakyat terhadap negara dan pernerintahan.
Jika untuk memberantas korupsi yang membawa demoralisasi
itu diperlukan kemauan politik yang kuat serta keteladanan
pemimpin, maka secara langsung tersangl:ut pula masalah etika.
Tekad memberantas korupsi dan keteguhan hati sendiri untuk
tidak korup adalah problem etika. Sebab di dalamnya tersirat
proses mencari dan memutuskan mana yang benar dan mana yang
salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kata lain,
sikap itu melibatkan “pola kehidupan yang tindakan itu sendiri
merupakan bagiannya”. Sehingga ketentuan ini akan membawa
kepada pernyataan etis, “Jika Anda tidak mau memberantas
korupsi, apakah Anda sebenarnya setuju dengan korupsi? Dan
jika Anda setuju dengan korupsi, maka apakah tidak berarti Anda
setuju dengan suatu pola hidup yang menyeluruh yang di situ

a 4809 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

korupsi merupakan bagian, dan meliputi pula penipuan, merusak


kepercayaan orang, dan sikap tidak menghormati perasaan,
harapan, dan keinginan orang lain?
Karena suatu keputusan mengenai korupsi, memberantasnya
atau tidak, mengikutinya atau menolak, membiarkannya atau
menghalangi, bahkan peduli kepadanya atau tidak peduli, adalah
sesungguhnya pilihan antara nilai-nilai, maka setiap pilihan
tindakan etis yang posisif adalah tindakan yang bertangung jawab,
yaitu pertama-tama tanggung jawab orang yang bersangkutan
kepada hati nuraninya. Kemudian, tanggung jawab kapada
nurani itu adalah kelanjutan tangung jawab kepada Tuhan. Sebab
perbuatan baik manusia bukanlah “untuk kepentingan” Tuhan
(sekalipun justru harus dilakukan demi Tuhan). Melainkan untuk
kepentingan manusia itu sendiri sebagaimana perbuatan jahatnya
tidaklah akan merugikan Tuhan melainkan akan merugikan
manusia bersangkutan sendiri. [v]

a 4810 b
c Tradisi Islam d

Tiga Tahap Perkembangan


Keindonesiaan

Keindonesiaan mengenal tiga tahap perkembangan utama. Dengan


menggunakan jargon perpolitikan populer kita, ketiga tahap itu
ialah “Orde Lama”, Orde Baru”, dan “Orde Reformasi”.
Sudah tentu tokoh sentral Orde Lama ialah Bung Karno. Dialah
ynag pertama kali menghadapi tantangan mewujudkan secara nyata
wawasan kebangsaan modern Indonesia. Dalam banyak hal dia
berhasil (Indonesia bersatu, dan tumbuh menjadi “coporate nation”
yang paling teguh di kalangan bangsa-bangsa baru). Namun tidak
mungkin mengingkari kegagalan Bung Karno, yang sistemnya
menjerumuskan bangsa kepada malapetaka politik Gestapu/PKI
1965. Terbayang bahwa mungkin sesungguhnya Bung Karno agak
terlambat menyadari belum adanya prasarana sosial-budaya guna
menopang sebuah konsep kenegaraan modern. Untuk mengatasinya
secara mendesak Bung Karno mencanangkan agenda “nation
building”, tetapi menemui kemandekan akibat titik-tolaknya yang
tidak tetap (terlalu banyak bersandar kepada unsur Marxisme
dengan bayak mengingkari “main stream” Keindonesiaan yang
lebih meliputi seluruh wilayah budaya Indonesia, yaitu budaya
Keislaman).
Pak Harto sebagai tokoh sentral Orde Baru mencoba mengatasi
persoalan warisan Bung Karno itu, dengan menggabungkan antara
pandangan hirarkis militer yang berpola ketaatan garis komando
atasan kepada bawahan yang ketat di satu pihak, dan konsep strati­
fikasi sosial budaya Jawa yang berpola ketaatan paternalistik serba
tertutup di pihak lain. Sekalipun Pak Harto bersikap sangat pilih-

a 4811 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

pilih terhadap budaya Jawa yang hendak digunakannya (sehingga


juga banyak gejala perlawanan kepadanya atas nama segi lain
budaya Jawa, seperti yang dilakukan oleh Warsito, Permadi dan
Subadio Sastrosatomo), namun sistem Orde Baru ternyata efektif
selama tiga dasawarsa. Karena pilihan titik-tolak sosial-budayanya
yang cukup eksklusif itu (yakni, berat Jawa dan militer), maka
sistem Pak Harto banyak sekali mengakibatkan marginalisasi
berbagai kelompok kemasyarakatan (social communities), baik yang
bersifat keagamaan, kedaerahan, kesukuan, dan seterusnya. Rasa
ikut punya kelompok-kelompok itu sangat lemah, dan semakin
lemah mengikuti perpanjangan masa kekuasaan Orde Baru, sampai
akhirnya Orde itu runtuh. Dengan begitu Pak Harto pun tidak
sepenuhnya berhasil mewujudkan cita-cita pembentukan sebuah
“modern nation state” Indonesia. Tanpa mengingkari berbagai segi
keberhasilannya di bidang lain, namun cukup jelas bahwa obsesi
Pak Harto kepada pembangunan ekonomi telah membuatnya
mengabaikan agenda “nation building” yang telah dimulai
Bung Karno. Dengan kata lain, sistem Pak Harto runtuh akibat
pembangunan bangsa yang tertunda (“delayed nation building”).
Orde Reformasi baru menginjak tahap permulaan yang sangat
dini, sehingga yang dihadapi sekarang ialah realisasi agenda-agenda
reformasi itu sejak saat ini dan seterusnya. Modal dasar untuk reali­
sasi agenda-agenda itu dapat dikata sudah ada di tangan, khususnya
dalam bentuk kebebasan-kebebasan asasi seperti menyatakan
pendapat, berkumpul dan berserikat. Tantangannya ialah, pertama,
bagaimana menangkal kemungkinan sabotase dan usaha pembatalan
modal dasar itu, kemudia, kedua, bagaimana mengukuhkan dan
membinanya. Karena kebebasan-kebebasan asasi (fundamental-
freedoms) adalah landasan penting demokratisasi, maka diperlukan
suatu bentuk komitmen yang lebih mendalam kepada nilai-nilai
itu, yang menghendaki adanya persepsi kepadanya sebagai nilai-
nilai prinsipil, bukan sekadar nilai-nilai proseduril.
Nilai-nilai itu berpangkal dari kebebasan nurani. Yaitu kebebas­
an dari setiap bentuk pemaksaan, sekalipun pcmaksaan yang dilaku­

a 4812 b
c Tradisi Islam d

kan atas nama kebenaran mapan (estabilished truth), sesuatu yang


jelas benar dan baik. Seorang manusia harus dibiarkan dengan
kesediaan menanggung risikonya sendiri, juga baik dan buruk,
bahagia dan sengsara. Sebab yang benar jelas berbeda dari yang
salah, yang sejati jelas berlainan dari yang palsu. Manusia, dalam
suasana kebebasan dan kejujuran hati nuraninya, akan mampu
membedakan, menangkap dan mengikuti mana yang benar dari
yang salah, yang sejati dari yang palsu.
Dalam persimpangan jalan pertumbuhan dan perkembangan
bangsa kita yang amat penting sekarang ini, prinsip-prinsip kebe­
basan nurani dalam semangat kemanusiaan universal tersebut di
atas sungguh harus mulai menjadi acuan serius bagi seluruh lapisan
masyarakat. Prinsip-prinsip itu merupakan dasar dan titik-tolak
bagi segenap usaha mengembangkan dan menegakkan kesadaran
akan hak-hak asasi dan demokrasi, sejalan dengan tekad dan cita-
cita bangsa sebagaimana didambakan dalam proses reformasi itu.
Tidak seorang pun dari kita yang boleh dibiarkan menyisihkan hak
istimewa untuk dirinya sehingga terbebas dari kewajiban memenuhi
tuntutan nilai-nilai reformasi itu. Hak dan kewajiban setiap pribadi
warga negara adalah sama. Hak seseorang terhadap yang lain adalah
kewajiban orang lain itu, dan kewajiban seseorang terhadap orang
lain aclalah hak orang bersangkutan.
Seperti halnya nilai luhur tidak dengan sendirinya terwujud
dalam masyarakat tanpa kesungguhan mengusahakannya, maka
demikian pula hak-hak asasi itu juga tidak akan terwujud tanpa
pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga yang memiliki komitmen
dan ketulusan batin tmtuk memperjuangkannya. Maka kini,
dalam simpang jalan perjalanan bangsa kita ini, tindak lanjut
logis dari pembangunan bangsa yang amat prinsipil antara lain
ialah memperjuangkan hak-hak asasi sebagaiaman dikehendaki
reformasi. Berkaitan dengan sumber-sumber kekuasaan, dalam
masyarakat secara minimal harus ditegakkan hak-hak yang tak
terpisahkan dari perikehidupan yang sentosa, yaitu hak-hak pribadi
untuk hidup dan memperolah jaminan keamanan atas hidupnya itu;

a 4813 b
c Karya Lengkap Nurcholish Madjid d

hak-hak pribadi untuk tidak disiksa, baik fisik maupu mental; hak-
hak pribadi untuk memperoleh pengadilan yang tidak memihak,
yang fair; hak-hak pribadi untuk tidak mengalami penangkapan
dan penahahan sewenang-wenang.
Pelanggaran atas hak-hak pribadi tersebut akan merupakan
pelanggaran hak asasi yang paling telanjang. Pelanggaran atas hak-
hak itu juga merupakan penyelewengan yang paling gawat dari
cita-cita reformasi. Dan karena hak-hak itu ada dalam konteks
kekuasaan, maka usaha melindungi dan menegakkannnya memer­
lukan sistem dan tatanan kekuasaan yang adil, yang fair, yang tidak
memihak kepada kepentingan diri sendiri dan golongan. Yaitu
sistem kekuasaan yang tidak terpengaruh oleh perasaan suka-tidak-
suka. Yaitu suatu kekuasaan yang sanggap menegakkan keadilan
sekalipun terkena kepada diri sendiri.
Mewujudkan beberapa prinsip yang mendasari kebebasan
nurani di atas sangat mendesak, dan diharapkan dapat terwujud
dalam era reformasi ini. [v]

a 4814 b
c Tradisi Islam G
F d

FatSoen

a 2515 E
D 4599 b

Anda mungkin juga menyukai