Anda di halaman 1dari 266

ISLAMIC

ENTREPRENEURSHIP
Konsep Berwirausaha
Ilahiyah

Dr. Kabul Wahyu Utomo, M.Si


Rizqon Halal Syah Aji, Ph.D
Havis Aravik, M.SI, MM
ISLAMIC ENTREPRENEURSHIP
Konsep Berwirausaha Ilahiyah

Penulis : Dr. Kabul Wahyu Utomo, M.Si


Rizqon Halal Syah Aji, Ph.D
Havis Aravik, M.SI, MM

Editor : ...................

Diterbitkan oleh:
Penerbit EDU PUSTAKA
Anggota IKAPI
Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang
All-Rights Reserved

ISBN:
Hal. xvi + 250, Uk. 15,5 x 23 cm
Cetakan Pertama, 2021

Pemasaran:
Jl. Haji Karim No. 70 Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880
Telefaks. (021-70300534)
Email: penerbitedupustaka@gmail.com
Kata Sambutan

Prof. Dr. Ir. Arissetyanto Nugroho, MM


Ketua Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia Jakarta (YPPIJ)

Kesuksesan wirausaha dalam pandangan Islam bukan dilihat dari banyaknya


keuntungan atau harta yang didapatkan, akan tetapi bagaimana usaha yang
dilakukan itu benar-benar menambah kedekatan (kebarakahan) dan keridhoan
dari Allah SWT, karena kewirausahaan dalam pandangan Islam dianggap
ibadah, maka sudah tentu akan menimbulkan semangat yang tinggi, optimisme
yang berkelanjutan bagi pelakunya karena mereka beranggapan wirausaha itu
akan mendatangkan pahala dan kesuksesan sebab hal itu adalah pemberian
dari Allah SWT. Islam mengajarkan bahwa wirausaha merupakan sebuah
ibadah jika dilaksanakan sesuai dengan kaidah syariat.
Dalam Islam memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit
terkait konsep kewirausahaan (entrepreneurship), namun diantara keduanya
mempunyai kaitan yang cukup erat; memiliki ruh atau jiwa yang sangat dekat,
meskipun bahasa teknis yang digunakan berbeda. Dalam Islam digunakan
istilah kerja keras, kemandirian (biyadihi). Setidaknya terdapat beberapa ayat
al-Quran maupun hadis yang dapat menajadi rujukan tentang semangat kerja
keras dan kemandirian ini “Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan
dengan cucuran keringatnya sendiri, ‘amalurrojuli biyadihi (HR. Abu Dawud)”

iii
Bagi pengusaha muslim, mereka akan mencamkan dalam hati mereka
bahwa Allah tidak melihat kepada hasil usahanya tetapi pada proses yang
telah mereka lakukan. Jika mereka berhasil atau sukses mereka mendapatkan
keuntungan dunia dan akhirat, dan jika mereka belum sukses mereka tetap
mendapatkan keuntungan akhirat akibat kesabaran dan ketawakkalannya.
“Tangan di atas lebih baik dari tangan dibawah”; “Al yad al ulya khairun
min al yad al sulfa” (HR Bukhari dan Muslim) dengan bahasa yang sangat
simbolik ini Nabi mendorong umatnya untuk kerja keras supaya memilki
kekayaan, sehingga memberikan sesuatu pada orang lain) atuzzakah (Qs.
Nisa:77) Manusia harus membayar zakat (Allah mewajibkan manusia untuk
bekerja keras agar kaya dan dapat menjalankan kewajiban membayar zakat).”
Dalam sebuah ayat Allah mengatakan, “Bekerjalah kamu, maka Allah
dan orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan kamu “ (Qs. At-Taubah:
105). Oleh karena itu, apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah
kamu di muka bumi dan carilah karunia (Rizki) Alloh (Qs. Al Jumuah : 10)
Bahkan Sabda Nabi, “Sesungguhnya bekerja mencari rizki yang halal itu
merupakan kewajiban setelah shalat fardhu” (HR Tabrani dan Baihaqi) Nash
ini jelas memberikan isyarat agar manusia bekerja keras dan hidup mandiri.
Bekerja keras merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip bekerja
kerasadalah suatu langkah nyata yang dapat menghasilkan kesuksesan (rezeki),
tetapi harus melalui proses yang penuh dengan tantangan (resiko). Dalam
sejarahnya Nabi Muhammad SAW, istrinya dan sebagian besar sahabatnya
adalah para pedagang dan entrepreneur mancanegara yang piawai. Beliau
adalah prakktisi ekonomi dan sosok tauladan bagi umat. Sebenarnya tidaklah
asing dikatakan bahwa mental entrepreneur inheren dengan jiwa umat islam itu
sendiri. Bukanlah Islam adalah agama kaum pedagang, disebarkan keseluruh
dunia setidaknya sampai abad ke 13 M, oleh para pedagang muslim.
Kreatifitas perdagangan yang dilakukan, Nabi Muhammad SAW dan
sebagian besar sahabat telah mengubah pandangan dunia bahwa kemuliaan
seseorang bukan terletak pada kebangsawanan darah, tidak pula pada jabatan
yang tinggi, atau uang yang banyak, melainkan pada pekerjaan. Oleh karena
itu, Nabi Muhammad SAW juga bersabda “Innalloha yuhibbul muhtarif ”
(sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang bekerja untuk mendapatkan
penghasilan). Umar bin Khattab mengatakan sebaliknya bahwa “ Aku benci
salah seorang diantara kalian yang tidak mau bekerja yang menyangkut urusan
dunia”. Enterpreneurship atau kewirausahaan merupakan aktivitas yang sudah

iv Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


lama dilakukan manusia bahkan dari sejarah terlihat sudah ada sejak abad
sebelum masehi.
Namun demikian istilah enterpreneur atau kewirausahaan merupakan
sebuah istilah yang tidak asing di era revolusi industri 4,0 Pemikiran tentang
kewirausahaan dimaknai secara bergantian akibat adanya perubahan yang
tidak dapat diduga (seperti perdagangan internasional, permintaan, persaingan
sebagai mekanisme temuan, dan peluang). Perubahan ini memberikan
pemikiran konseptual baru tentang kewirausahaan. Berkaitan dengan
pengertian dan konsep kewirausahaan, Islam sebagai agama yang mengatur
kehidupan manusia secara universal juga banyak membicarakannya, walaupun
tidak membahas secara spesifik tentang kewirausahaan.
Tentu saja demikian, karena Islam dengan kitab pegangannya Al Qur’an
bukan merupakan kitab ilmu pengetahuan (since) akan tetapi kitab tanda
– tanda (sign) yang banyak memberikan perumpamaan, tanda – tanda dan
petunjuk secara umum tentang seluruh aspek kehidupan manusia di dunia.
Sebagai sebuah agama yang sempurna yang tidak saja berbicara akhirat tetapi
juga tentang kehidupan di dunia, tentu saja Islam tidak akan melewatkan hal
ini.
Ini dapat terlihat dari isi ajarannya dan apa yang telah dicontohkan oleh
Nabi Muhammad SAW. Bagaimanakah Islam memandang enterpreneuship
dan apakah bedanya dengan konsep enterpreneur barat? Islam adalah agama
syumul (sempurna) yang merangkumi segala aspek kehidupan duniawi dan
ukhrawi.
Islam juga merupakan agama fitrah yang telah ditegaskan oleh Allah
dalam Al Qur’an: “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagi kamu agamamu
dan Aku telah cukupkan nikmatKu kepadamu dan Aku telah ridhakan
Islam itu menjadi agama untuk kamu. Maka, barang siapa yang terpaksa
karena kelaparan (memakan benda-benda yang diharamkan) sedang ia
tidak cenderung hendak melakukan dosa (maka bolehlah ia memakannya),
karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mengasihani”. (Al-
Maidah,5: 3)
Kesempurnaan Islam bukan hanya meliputi hal-hal keduniaan melainkan
juga meliputi tatacara penghidupan yang baik sebagaimana yang telah
digariskan oleh Allah SWT. Al-Quran dan Hadits merupakan sumber rujukan
utama dan merupakan panduan terbaik dalam mendidik manusia dalam
menjalani kehidupan yang lebih baik dan sempurna. Selain itu, Allah telah

Kata Sambutan v
memberikan kelebihan kepada manusia yaitu setiap manusia dianugerahi akal
fikiran agar digunakan sebaik mungkin untuk mencapai tujuan hidup yaitu
pengabdian kepada sang Khaliq (penciptanya).
Allah berfirman dalam Al Qur’an surat Az Zariyaat: “Dan (ingatlah)
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mereka menyembah
dan beribadat kepadaKu. Aku tidak sekali-kali menghendaki sebarang rezeki
pemberian daripada mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka
memberi makan kepadaKu. Sesungguhnya Allah saja yang nsure rezeki (kepada
sekalian makhlukNya dan Dialah sahaja) yang mempunyai kekuasaan yang
tidak terhingga, lagi yang Maha kuat kukuh kekuasaanNya”. (Az-Dzariyaat,
51: 56-58)
Islam juga telah menganjurkan umatnya agar tidak meletakkan kehidupan
duniawi semata-mata. Segala perlakuan manusia semasa di dunia ini akan
dihitung dan dipertanggungjawabkan secara satu-persatu di akhirat kelak
walaupun sebesar zarah sekalipun.
Bagaimanapun, Islam tidak menganjurkan umatnya untuk meninggalkan
kehidupan dunia demi mengejar kehidupan akhirat begitu juga sebaliknya.
Allah menyukai manusia yang seimbang kedua-duanya dari segi rohani dan
jasmani. Allah telah mengaruniakan sebahagian nikmat untuk kehidupan
manusia di dunia ini dan nikmat terbesarnya akan diberikan ketika di akhirat
kelak.
Ekonomi Islam atau Ekonomi berbasis Syariah adalah sebuah sistem
ekonomi yang memiliki tujuan utama untuk kesejahteraan umat. Sistem
ekonomi syariah berpedoman penuh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hukum-hukum yang melandasi prosedur transaksinya sepenuhnya untuk
kemaslahatan masyarakat, sehingga tidak ada satu pihak yang merasa
dirugikan. Kesejahteraan masyarakat dalam Ekonomi Islam tidak hanya diukur
dari aspek materilnya, namun mempertimbangkan dampak sosial, mental dan
spiritual individu serta dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan.
Negara kita Indonesia tidak membatasi warga negaranya untuk
berwirausaha, justru sangat mendukung berkembangnya entrepreneur dengan
kebijakan pemerintah yang membuka peminjaman skala mikro atau makro
pada bank-bank milik BUMN. Dalam Islam, berdagang atau bisnis atau
wirausaha sangat dianjurkan, karena nabi kita pun seorang wirausahawan.
Ada suatu nilai yang terkandung dalam islam terkait wirausaha, yakni jujur
dan amanah serta berbisnislah yang wajar dan tidak melampaui batas. Islam
sendiri menganjurkan umatnya untuk menjadi kaya. Maka dari itu dengan

vi Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


berwirausaha menurut risalah Nabi Muhammad SAW berarti kita mencintai
suri tauladan kita.
Dalam sejarahnya Nabi Muhammad, istrinya dan sebagian besar
sahabatnya adalah para pedagang dan entrepreneur mancanegara yang
piawai. Beliau adalah praktisi ekonomi dan sosok tauladan bagi umat. Bahkan,
sebagian besar kehidupan Rasulullah SAW sebelum menjadi utusan Allah
adalah sebagai seorang pengusaha (wirausahawan).
Beliau memulai merintis karir pada usiah 12 tahun dan memulai usahanya
sendiri setelah berumur 17 tahun. Pekerjaan ini beliau tekuni hingga menjelang
usia mendekati kerasulan (lebih kurang hingga usia 37 tahun). Dengan
demikian Beliau telah berprofesi sebagai wirausahawan selama lebih kurang
25 tahun melebihi masa kerasulan yang hanya lebih kurang 23 tahun.
Oleh karena itu, sebenarnya tidaklah asing jika dikatakan bahwa mental
entrepreneurship inheren dengan jiwa umat Islam itu sendiri. Bukankah Islam
adalah agama kaum pedagang, disebarkan ke seluruh dunia setidaknya sampai
abad ke -13 M, oleh para pedagang muslim. Dari aktivitas perdagangan yang
dilakukan, Nabi dan sebagian besar sahabat telah mengubah pandangan dunia
bahwa kemuliaan seseorang bukan terletak pada darah kebangsawanannya,
tidak pula pada jabatan yang tinggi, atau uang yang banyak, melainkan pada
pekerjaan.
Nabi juga bersabda “Innallaha yuhibbul muhtarif ” (sesungguhnya Allah
sangat mencintai orang yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan). Umar
Ibnu Khattab mengatakan sebaliknya bahwa, “Aku benci salah seorang di
antara kalian yang tidak mau bekerja yang menyangkut urusan dunia.
Keberadaan Islam di Indonesia juga disebarkan oleh para pedagang.
Di samping menyebarkan ilmu agama, para pedagang ini juga mewariskan
keahlian berdagang khususnya kepada masyarakat pesisir. Di wilayah
Pantura pulau Jawa, misalnya, sebagian besar masyarakatnya memiliki basis
keagamaan yang kuat, kegiatan mengaji dan berbisnis sudah menjadi satu
istilah yang sangat akrab dan menyatu sehingga muncul istilah yang sangat
terkenal yaitu jigang (ngaji dan dagang). Sejarah juga mencatat sejumlah
tokoh Islam Nusantara terkenal yang juga sebagai pengusaha tangguh, Abdul
Ghani Aziz, Agus Dasaad, Djohan Soetan, Perpatih, Jhohan Soelaiman, Haji
Samanhudi, Haji Syamsuddin, Niti Semito, dan Rahman Tamin.
Apa yang tergambar di atas, setidaknya dapat menjadi bukti nyata bahwa
etos bisnis yang dimiliki oleh umat Islam sangatlah tinggi, atau dengan kata lain
Islam dan berdagang ibarat dua sisi dari satu unsur mata uang. Benarlah apa

Kata Sambutan vii


yang disabdakan oleh Nabi “Hendaklah kamu berdagang karena di dalamnya
terdapat 90 bahagian pintu rizki”.
Spirit Universtas Trilogi yang mempunyai visi Teknososiopreneur
merupakan kesatuan orang-orang yg memiliki kemauan yang besar untuk
bekerja mandiri, memiliki keberanian menanggung risiko, memiliki kapabilitas
dalam mengolah sumberdaya ekonomi secara inovatif, kolaboratif dan lestari
guna serta memberi nilai tambah bagi masyarakat berupa produktifitas dan
efisiensi kolektif yang tinggi, untuk hidup layak dan mandiri. Semangat
ini searah dengan nilai-nilai yang terkandung dalam jiwa kewirausahaan
yang diusung oleh Islam. Sehingga kesepadanan jiwa dan spirit antara
Teknososiopreneur yang dimiliki oleh Universitas Trilogi dengan jiwa
interpreneurshift Islam sejalan secara kongkruen (sepadan dan sebangun).
Buku ini sangat menarik untuk di baca, sebab buku ini melengkapi literasi
tentang kewirausahaan Islami yang masih belum banyak dipublikasikan. Oleh
karena itu saya harapkan pembaca dapat membaca buku ini dengan seksama
agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bisa dicermati.

viii Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Kata Pengantar

Entrepreneurship sampai saat ini dianggap sebagai solusi ideal terhadap


keterpurukan ekonomi, pengangguran, maupun krisis lainnya. Entreprenuership
merupakan disiplin ilmu, seni dan keterampilan memanfaatkan berbagai
peluang, dengan kreativitas dan inovasi yang dimiliki, bersaing, berjuang dan
sampai pada menikmati hasil usaha dengan rasa puas dan bersyukur atas segala
yang telah berhasil di dapatkan.
Islam sebagai agama yang senantiasa menjadi petunjuk kepada jalan
yang lurus (sirat al-mustaqiin) dan rahmat al-lil alamiin mengharuskan setiap
umatnya untuk berusaha, menggali dan memanfaatkan berbagai sumber daya
alam yang tersedia (QS. As-Sajadah [32]: 27, Abasa [80]: 25, Ar-Rad [13]:
3-4, Al-Maidah [5]: 96, Ar-Rahman [55]: 24, An-Nahl [16]: 14, Nuh [71]: 19-
20) sebagai mengimplementasikan visi dan misi khalifah dan Abdullah yang
diamanahkan Allah SWT kepada-Nya. Maka menjadi entrepreneurship bagian
dari ibadah kepada Allah SWT. Selain itu, pentingnya Islamic Entrepreneurship
diharapkan rizki yang menumpuk akan menetes ke bawah sehingga mampu
membawa kemakmuran bagi kaum dhuafa khususnya dan bernilai keberkahan
bagi si penyantun (QS. Al-Qalam [68]: 17-33, Al-Baqarah [2]: 261-274)). Sebab
orang muslim tidak dibenarkan menumpuk-numpuk harta dan menghitung-
hitungnya sehingga menyebabkan lalai (QS. At-Takatsur [102]: 1-8, Ali Imran

ix
[3]: 14, Al-Hadid []: 20), ia wajib mengeluarkan hak bagi kaum fakir miskin
sesuai dengan tuntutan syariah (QS. At-Taubah [9]: 34-35, Al-An’am [6]: 152,
Al-Furqan [25]: 67, Al-Isra’ [17]: 26-27).
Entrepreneurship merupakan kegiatan mulia, telah dilakukan sejak
zaman Nabi-Nabi Allah SWT hingga Nabi Muhammad SAW. Imam
Syafi’i menyatakan bahwa pencaharian yang paling baik adalah berbisnis
(berwirausaha). Senada dengan itu, Al-Mawardhi menyatakan bahwa mata
pencaharian yang paling baik ialah pertanian, berwirausaha (berdagang), dan
kerajinan. Maka tidak berlebihan jika kemudian aktivitas berwirausaha sangat
ditekankan oleh Rasulullah S.A.W. Tujuannya agar umatnya tidak berpangku
tangan, dan berharap dengan berdoa saja. Berdoa tanpa usaha tidak bernilai
apa-apa.
Buku Islamic Entrepreneurship; Konsep Berwirausaha Ilahiyah
merupakan salah satu motivasi sekaligus ikhtiar penulis mengenalkan konsep
berwirausaha secara Islam. Dengan harapan dapat menjadi rujukan dan
solusi terhadap berbagai problema-problema entrepreneurship, khususnya di
era revolusi 4.0 dan Society 5.0.
Buku ini dibagi menjadi 15 (Lima Belas) Bab. Bab Pertama, membahas
konsep dasar Islamic Entrepreneurship. Di dalamnya dibahas definisi Islamic
Entrepreneurship, pandangan Ahli Terhadap Entrepreneurship, Unsur-Unsur
Islamic Entrepreneurship, Teori Terbentuknya Entrepreneurship, Keuntungan
dan Kelemahan Menjadi Entrepreneur dan Manfaat Menjadi Islamic
Entrepreneurship.
Bab kedua, membahas tentang Prinsip Islamic Entreprenuership.
Di dalamnya dibahas Tauhid, Khilafah, Adil, Penghapusan Riba,
Maslahah, dan Falah. Bab Ketiga, membahas tentang karakteristik Islamic
Entreprenuership. Di dalamnya dibahas definisi Karakter dan Karakteristik
Islamic Entrepreneurship. Bab keempat, membahas membangun jiwa Islamic
Entrepreneurship. Di dalamnya dibahas Jiwa Islamic Entrepreneurship, Ciri-
ciri Islamic Entrepreneurship, Bakat Entrepreneur, dan Menumbuhkan Jiwa
Islamic Entrepreneurship.
Bab kelima, membahas tentang Profil Islamic Entrepreneurship. Di
dalamnya dibahas Profil Entrepreneur, Macam-macam Profil Entrepreneur,
dan Model Islamic Entrepreneurship. Bab keenam, membahas tentang
Motivasi Islamic Entrepreneurship. Di dalamnya dibahas Definisi Motivasi,
Teori-Teori Motivasi dan Motivasi Islamic Entrepreneurship. Bab Ketujuh,

x Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


membahas tentang Komunikasi Islamic Entrepreneurship. Di dalamnya
dibahas Defenisi Komunikasi Entrepreneur, Komponen Komunika, Macam-
Macam Komunikasi, Tujuan dan Fungsi Komunikasi dan Urgensi Komunikasi
Islamic Entrepreneurship.
Bab Kedelapan, membahas tentang Kepemimpinan Islamic
Entrepreneurship. Di dalamnya dibahas Defenisi Kepemimpinan, teori dan
Pemimpin Entrepreneur dan Jiwa Kepemimpinan Islamic Entrepreneurship.
Bab Kesembilan membahas tentang Mengembangkan Kreativitas Dan
Inovasi Islamic Entrepreneurship. Di dalamnya membahas Esensi Kreativitas
Entrepreneur , Esensi Inovasi Entrepreneur, Kreativitas dan Inovasi Sebagai
Kebutuhan Entrepreneur, Sumber-Sumber Kreativitas dalam Pengelolaan
Usaha, dan Perspektif Islam Terhadap Kreativitas dan Inovasi.
Bab Kesepuluh membahas tentang Pemasaran Islamic Entrepreneurship.
Di dalamnya dibahas Definisi Pemasaran Entrepreneur, Fungsi dan Tujuan
Pemasaran Entrepreneur, Dimensi Pemasaran Entrepreneur, Bauran
Pemasaran Entrepreneur dan Pemasaran Syariah Sebagai Pondasi Islamic
Entrepreneurship. Bab kesebelas membahas tentang Business Plan Islamic
Entrepreneurship. Di dalamnya dibahas definisi Business Plan, Tujuan dan
manfaat Business Plan, Kegiatan Business Plan dan Faktor-Faktor Penyebab
Kegagalan Business Plan.
Bab duabelas membahas tentang Etika Islamic Entrepreneurship. Di
dalamnya dibahas Definisi Etika Islamic Entrepreneurship, Prinsip-Prinsip
Etika Islamic Entrepreneurship, dan .Komponen Penting dalam Etika Islamic
Entrepreneurship. Bab ketiga belas membahas tentang Corporate Social
Responsibility Dalam perspektif Islam. Di dalamnya dibahas Definisi Corporate
Social Responsibility, manfaat Corporate Social Responsibility, Corporate Social
Responsibility Pada Perusahaan di Indonesia dan Perspektif Islam Terhadap
Corporate Social Responsibility.
Bab keempat belas membahas tentang Franchise Dalam Perspektif
Islam. Di dalamnya dibahas Definisi Franchise, Kriteria dan Jenis Franchise,
Keuanggulan dan Kekurangan Membeli Franchise, Cara Tepat Membeli
Franchise, Franchise di Indonesia dan Perspektif Islam terhadap Franchise .Bab
kelima belas membahas E-Commerce Dalam Perspektif Islam. Di dalamnya
dibahas Definisi E-Commerce, Keunggulan dan Kekurangan E-Commerce dan
Perspektif Islam terhadap E-Commerce.

Kata Pengantar xi
Lewat kata pengantar ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
seluruh komponen yang telah membantu mulai dari proses pembuatan,
pengeditan, sampai terselesainya buku ini. Tidak lupa kepada Penerbit Edu
Pustaka yang berkenan menerbitkan karya sederhana ini. Semoga Allah
membalas budi baik dengan pahala di sisi-Nya. Mudah-mudahan buku ini
bermanfaat dan dapat menambah khazanah keilmuan khususnya dalam bidang
Kewirausahaan.

Jakarta, Juli 2021

Tim Penulis

xii Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Daftar Isi

Kata Sambutan................................................................................. iii


Kata Pengantar................................................................................ ix
Daftar Isi........................................................................................... xiii

Bab 1 Konsep Dasar Islamic Entrepreneurship................... 1


A. Definisi Islamic Entrepreneurship............................... 1
B. Pandangan Ahli Terhadap Entrepreneurship............... 6
C. Unsur-Unsur Islamic Entrepreneurship....................... 10
D. Teori Terbentuknya Entrepreneurship......................... 12
E. Keuntungan dan Kelemahan Menjadi Entrepreneur.... 13
F. Manfaat Menjadi Islamic Entrepreneurship................ 14

Bab 2 Prinsip Islamic Entrepreneurship................................ 17


A. Tauhid....................................................................... 17
B. Khilafah.................................................................... 22
C. Adl............................................................................ 25
D. Penghapusan Riba..................................................... 28
E. Maslahah................................................................... 30
F. Falah......................................................................... 31

xiii
Bab 3 Karakteristik Islamic Entrepreneurship.................... 35
A. Definisi Karakter....................................................... 35
B. Karakteristik Islamic Entrepreneurship....................... 36
Bab 4 Membangun Jiwa Islamic Entrepreneurship............. 49
A. Jiwa Islamic Entrepreneurship.................................... 49
B. Ciri-Ciri Islamic Entrepreneurship.............................. 53
C. Bakat Entrepreneur.................................................... 56
D. Menumbuhkan Jiwa Islamic Entrepreneurship........... 58

Bab 5 Profil Islamic Entrepreneurship................................... 65


A. Profil Entrepreneur.................................................... 65
B. Macam-Macam Profil Entrepreneur........................... 70
C. Model Islamic Entrepreneurship................................. 76

Bab 6 Motivasi Islamic Entrepreneurship.............................. 79


A. Definisi Motivasi....................................................... 79
B. Teori-Teori Motivasi................................................... 81
C. Motivasi Islamic Entrepreneurship............................. 84

Bab 7 Komunikasi Islamic Entrepreneurship....................... 93


A. Definisi Komunikasi Entrepreneur............................. 93
B. Komponen Komunikasi............................................. 95
C. Macam-Macam Komunikasi...................................... 98
D. Tujuan dan Fungsi Komunikasi.................................. 100
E. Urgensi Komunikasi Islamic Entrepreneurship........... 101

Bab 8 Kepemimpinan Islamic Entrepreneurship................. 109


A. Definisi Kepemimpinan............................................. 109
B. Teori Kepemimpian Entrepreneur.............................. 111
C. Kepemimpinan Islamic Entrepreneurship................... 115

Bab 9 Mengembangkan Kreativitas dan Inovasi Islamic


Entrepreneurship............................................................. 121
A. Esensi Kreativitas Entrepreneur.................................. 121
B. Esensi Inovasi Entrepreneur....................................... 126
C. Kreativitas dan Inovasi Sebagai
Kebutuhan Entrepreneur............................................ 130

xiv Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


D. Sumber-sumber Kreativitas dalam
Pengelolaan Usaha..................................................... 133
E. Perspektif Islam Terhadap Kreativitas dan Inovasi...... 134

Bab 10 Pemasaran Islamic Entrepreneurship......................... 139


A. Definisi Pemasaran Entrepreneur............................... 139
B. Fungsi dan Tujuan Pemasaran Entrepreneur............... 141
C. Dimensi Pemasaran Entrepreneur.............................. 143
D. Bauran Pemasaran Entrepreneur................................ 144
E. Pemasaran Syariah Sebagai Pondasi Islamic
Entrepreneurship....................................................... 149

Bab 11 Business Plan Islamic Entrepreneurship................... 151


A. Definisi Business Plan................................................ 151
B. Tujuan dan Manfaat Business Plan............................. 155
C. Kegiatan Business Plan.............................................. 157
D. Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Business Plan....... 157

Bab 12 Etika Islamic Entrepreneurship................................... 159


A. Definisi Etika Islamic Entrepreneurship...................... 159
B. Prinsip-Prinsip Etika Islamic Entrepreneurship........... 164
C. Komponen Penting dalam Etika
Islamic Entrepreneurship........................................... 166

Bab 13 Corporate Social Responsibility dalam


Perspektif Islam................................................................ 173
A. Definisi Corporate Social Responsibility..................... 173
B. Manfaat Corporate Social Responsibility.................... 177
C. Corporate Social Responsibility pada
Perusahaan di Indonesia............................................ 178
D. Perspektif Islam Terhadap Corporate Social
Responsibility............................................................ 181

Bab 14 Franchise dalam Perspektif Islam................................ 187


A. Definisi Franchise...................................................... 187
B. Kriteria dan Jenis Franchise....................................... 190
C. Keunggulan dan Kekurangan Membeli Franchise....... 195

Daftar Isi xv
D. Cara Tepat Membeli Franchise................................... 199
E. Franchise di Indonesia............................................... 201
F. Perspektif Islam Terhadap Franchise.......................... 204

Bab 15 E-Commerce dalam Perspektif Islam........................... 209


A. Definisi E-Commerce................................................. 209
B. Keunggulan dan Kekurangan E-Commerce................ 212
C. Perspektif Islam Terhadap E-Commerce..................... 215

Daftar Pustaka................................................................................. 219


Glosarium.......................................................................................... 239
Indeks ............................................................................................... 245
Biodata Penulis................................................................................ 247

xvi Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


BAB 1
Konsep Dasar Islamic
Entrepreneurship

A. Definisi Islamic Entrepreneurship


Salah satu permasalahan yang sangat urgent dan berpengaruh terhadap
semua lini kehidupan manusia adalah ekonomi. Untuk menjawab permasalahan
itu, berbagai teori dan strategi dimunculkan salah satunya lewat entrepreneurship
(kewirausahaan). Entrepreneurship menjadi kajian dan praktik menarik karena
dianggap dapat menimalisir permasalahan-permasalahan kehidupan yang
dihasilkan dari ekonomi, sehingga menjadi sangat sentral dalam kehidupan
dan pembangunan suatu bangsa. Keberadaan kewirausahaan bagi suatu negara
dapat menentukan gerak dinamika pembangunan yang dilakukan.
Secara umum, Kewirausahaan Islam (Islamic Entrepreneurship) adalah
gabungan dua kata dari kata kewirausahaan dan Islam. Kewirausahaan
berasal dari padanan kata dari entrepreneurship (bahasa Inggris), unternehmer
(bahasa Jerman), dan ondernemen (bahasa Belanda). Pada bahasa Indonesia
disebut dengan kewirausahaan. Istilah kewirausahaan berasal dari terjemahan
entrepreneurship, yang memiliki arti sebagai the backbone of economy, yaitu
syaraf pusat perekonomian atau sebagai tailbone economy yaitu pengendalia
perekonomian suatu bangsa (Suryana, 2013).
Secara bahasa, kewirausahaan (entreprenuership) dimaknai sebagai nilai
penting untuk memulai suatu usaha (start up phase) atau sebuah proses dalam
mengerjakan sesuatu yang baru (creative) dan berbeda (Innovative). Secara

1
istilah, entreprenuership merupakan sebuah usaha kreatif untuk menjadikan
sesuatu yang tidak ada menjadi ada agar dapat menghasilkan value dan bisa
dinikmati setiap orang (Yuliana, 2017).
Kata wirausaha adalah padanan dua kata wira dan usaha, wira berarti
mandiri, berani bertanggung jawab, dan teladan atau contoh. Sedangkan usaha
berarti kemauan keras memperoleh manfaat atau melakukan suatu kegiatan
usaha atas sebuah tujuan (Idri, 2015). Menurut Justin G. Longenecker, Carlos
W. Moore, (2000) Wirausaha merupakan seorang pembuat keputusan, yang
dapat membantu terbentuknya sistem ekonomi perusahaan secara bebas.
Pendorong perubahan, inovasi, dan kemajuan perekonomian di masa yang
akan datang atau orang-orang yang punya kemampuan dalam mengambil
risiko dan guna mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Hisrich dan Peter, (1979) menambahkan, wirausaha merupakan seseorang
(person) yang berani mengambil risiko-risiko dan memiliki perberbedaan dari
kebanyakan orang yang mensuplai modal yang berharap keuntungan tetap,
serta berbeda pula dengan pemodal (kapitalis) yang mensuplai modal pada
saat bersamaan melakukan eksploitasi terhadap pihak-pihak yang terlibat
(Frinces, 2010).
Dengan demikian, entrepreneurship punya makna luas,tidak saja tentang
seseorang atau setiap orang, yang mampu melihat dan menangkap berbagai
peluang usaha, kemudian dibentuk menjadi lahan bisnis dengan cara
memberikan waktunya secara totality guna menciptakan peluang usaha atau
bisnis. Setelah tercipta peluang usaha atau bisnis wirausahawan akan berusahat
sekuat tenaga menjaga ladang bisnisnya, mengembangkan ladang bisnisnya
atau bisa jadi memperbanyak cakupan bisnisnya sejalan dengan motivasi utama
berwirausaha (Alfianto, 2012).
Entrepreneurship adalah karakter mental dan jiwa yang berusaha untuk aktif
selalu dalam dunia usaha guna memuncullkan kreativitas dan inovasi usaha
sehingga menghasilkan pendapatan secara kontinu dalam setiap kegiatan usaha
yang dilaksanakan. Pelakunya disebut usahawan. Kewirausahaan diartikan
juga watak, gairah, perilaku dan kecakapan seseorang dalam mengatur usaha
dan praktek yang menjurus pada usaha mencari, menciptakan, menerapkan
cara kerja, teknologi dan produk baru yang berbasis pada keridhohan-Nya,
sebab segala hal yang dilakukan bermuara pada dan kembali kepada-Nya.
Sebagaimana lahir-mati, takdir dan rezeki semuanya mutlak menjadi ranah
kekuasaan absolut dan menjadi instrumen di luar rasionalitas manusia (Fauzan,
2014). Oleh karena itu, setiap muslim hanya diperintahkan untuk senantiasa

2 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


berusaha, melakukan berbagai kegiatan menghasilkan sesuatu dengan
senantiasa berharap mendapatkan ridha-Nya dengan cara mengeluarkan
kepribadian takwa, yakni melaksanakan segala perintah-Nya dan berusaha
sekuat tenaga untuk dapat menjauhi segala larangan Allah SWT.
Kewirausahaan sering disebut dengan entrepreneur. Kata entrepreneur
secara umum muncul dari kata entreprende dari bahasa Prancis, yang artinya
melakukan (to undertake) atau mencoba (trying) (Frinces, 2010), petualang,
pengambil risiko, kontraktor, pengusaha (orang yang mengusahakan suatu
pekerjaan tertentu), dan pencipta yang menjual hasil ciptaannya (Hilyati, 2013).
Enterprenuer, yakni orang yang pandai atau berbakat dalam menghasilkan
produk baru (new product), membuat kebijakan tentang produksi baru (new
production), mengatur pelaksanaan penyediaan produk baru, dan menawarkan
serta mengatur pembiayaan operasinya. Oleh karena itu, entrepreneur dimaknai
sebagai seseorang yang menyukai perubahan, menaklukkan berbagai temuan
usaha dapat mengidentifikasi dirinya serta membedakannya dengan orang lain,
menciptakan nilai tambah, serta memenuhi dan mewujudkan nilai manfaat
bagi diri dan orang lain. Jadi secara sederhana, entrepreneur adalah panggilan
untuk setiap orang yang memiliki kreativitas, inovatif, dan daya juang tinggi
dalam mengkonsep dan mengimplementasikan kemadirian usaha ataupun
bisnis yang dijalankan guna mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya
sehingga dapat bermanfaat bagi diri dan orang lain (Juliana, 2013).
Richard Cantillon (1755) salah seorang ekonom Prancis yang pertama
kali mengenal istilah entrepreneur. Menurutnya, entrepreneur adalah “agent
who buys mens of production at certain prices in order to combine them”. Kurang
lebih seratus tahun kemudian, muncul seorang ekonom yaitu J.B. Say (1803)
yang mempopulerkan konsep entrepreneurship. Menurutnya, entrepreneurship
merupakan agen yang dapat menggabungkan berbagai alat- alat produksi serta
menemukan nilai produksinya. Dengan kata lain ia memiliki kemampuan
mengelola sumber-sumber daya yang dimiliki secara baik dan benar dari
tingkat produktifitas terendah sampai lebih tinggi. Disamping itu ia mampu
membawa orang lain bersama-sama membangun produktifitas, sehingga
seorang entrepreneur juga harus memiliki kemampuan leadership yang
mumpuni (Darwis, 2016).
Entreprenuership (Kewirausahaan) juga diartikan sebagai konsep yang
sangat kompleks, dan dapat dijelaskan dengan berbagai perspektif yang
berbeda. Wirausaha condong kepada sifat avonturisme, yaitu suatu sifat yang
selalu terdorong untuk melakukan hal-hal baru dan menantang dengan

Bab 1: Konsep Dasar Islamic Entrepreneurship 3


keyakinan yang dimilikinya. Sehingga yang dapat membuat seseorang itu dapat
menjadi wirausaha (entrepreneur) atau tidak adalah perbuatan dan tindakan
yang dilakukannya. Bukan bawaan, bakat, apalagi sifat-sifatnya. Seorang
wirausahawan (entrepreneur) merupakan seseorang yang punya visi dan intuisi
realistik sekaligus implementator handal khususnya dalam penguasaan hal-hal
yang mendetail guna mewujudkan visi pribadi maupun organisasinya.
Sedangkan Islam berasal dari: salima yang berarti selamat. Dari itu
terbentuk aslama yang berarti menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Dari
kata aslama itulah tercipta kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Maka
orang yang memeluk Islam artinya adalah orang yang menyerahkan diri
kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-ajaran-Nya. Secara terminologis
dapat dikatakan Islam merupakan agama wahyu berlandaskan pada tauhid
atau keesaan Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai
utusan-Nya yang terakhir dan diperuntuhkan kepada seluruh manusia, di
mana pun dan kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia (Misbahuddin, 2011).
Secara komprehensif, Islam dimaknai dalam enam pengertian, yaitu:
Pertama, Islam adalah serangkaian amal ibadah yang menjadi rukun Islam,
yaitu syahadat, shalat, puasa pada bulan Ramadhan, zakat, dan melaksanakan
haji ke Baitullah. Kedua, Islam ialah berserah diri dengan tauhid, tunduk
kepada-Nya dan mematuhi segala perintah-Nya, serta menyalamatkan diri dari
perbuatan syirik dan orang-orang musyrik (QS. Ali Imran [3]: 83, 19, Luqman
[32]: 22 dan al-Baqarah [2]: 132-133).
Ketiga, Islam adalah jalan hidup (way of life), peraturan yang bersifat
integral yang mengatur hidup dan kehidupan, serta dasar akhlak yang mulia
yang dibawa Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat manusia
(QS. Ali Imran [3]: 85). Keempat, Islam adalah kumpulan peraturan yang
diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, baik peraturan yang berbentuk akidah,
akhlak, ibadah maupun muamalah (QS. Al- Maidah [5]: 67). Kelima, Islam
adalah jawaban terhadap tiga masalah yang dihadapi umat manusia, meliputi
masalah hubungan manusia dengan tuhan (hablu minallah), manusia dengan
sesama manusia (hablu minanash) dan manusia dengan alam sekitar (hablu minal
alam) (QS. Hud [11]: 1). Keenam, Islam adalah pedoman hidup. Dengan kata
lain, Islam adalah petunjuk dalam semua aspek kehidupa umat manusia, obat
mujarab untuk memperbaiki masyarakat, dan jalan yang lurus bagi orang-orang
yang bersedia untuk mengikutinya (QS. Asy-Syu‘ara [26]: 52-53) (Siswanto,
2016).

4 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Jadi ketika kata kewirausahaan dan Islam digabung menjadi
kewirausahaan Islam (Islamic Entrepreneurship) dapat dipahami sebagai sebuah
usaha kreatif dalam membangun suatu value dari asalnya belum ada menjadi
ada dan dapat dinikmati orang banyak sesuai dengan ajaran Islam. Wirausaha
Islam adalah suatu proses menciptakan barang dan jasa lewat kegiatan usaha
yang disertai dengan semangat, kreativitas, inovasi, manajemen, keterampilan
komunikasi guna mendapatkan hal-hal baru dan berbeda, serta dapat
menghasilkan keuntungan sesuai dengan aturan-aturan Islam.
Pada pengertian lain, wirausaha Islam adalah seorang muslim yang
mempunyai semangat untuk mandiri dalam memulai suatu usaha/bisnis,
mampu menemukan peluang- peluang usaha dan berani menghadapi risiko
apapun dalam usahanya tersebut. Maka dalam konsepsi Islam, ketika seorang
muslim membuka usaha atau menjadi wirausaha, harga dirinya tidak turun
tetapi sebaliknya dapat meningkat. Selanjutnya, dari aspek penghasilan,
mempunyai usaha sendiri dapat memberikan tambahan penghasilan atau
bisa jadi jauh besar dan banyak jika dibandingkan dengan menjadi seorang
pegawai. Karena dengan menjadi wirausaha selalu punya ide yang banyak
dalam menjalankan aktivitas usahanya. Bahkan telinga, mulut, dan mata bisa
jadi sumber inspirasi dalam menangkap setiap peluang yang ada. Dengan
melihat atau mendengar sesuatu jadi terpikir dan terbersit sebuah ide untuk
menghasilkan sesuatu dan dapat dijual. Untuk itu, motivasi untuk maju dan
semakin besar akan selalu melekat dalam hati seorang pangusaha (Nuranisa,
2018).
Islam sebagai agama rahmatan lil alamiin dan petunjuk kepada jalan
yang lurus (sirat al-mustaqim) memiliki pandangan yang positif terhadap
entrepreneur atau wirausaha. Dalam pandangan Islam, seorang muslim sangat
di anjurkan untuk melakukan upaya mencari rezeki atau penghasilan termasuk
berwirausaha dengan cara menjelajah ke segala penjuru (QS. Al-Mulk [67]:
15), bertebaranlah di muka bumi (QS. Al-Jumu‘ah [62]: 10), karena Allah SWT
akan melapangkan (QS. Al-Isra‘ [17]: 30), akan memberi jalan keluar (QS. An-
Ankabut [20]: 69), dan menjamin rezekinya (QS. Hud [11]: 6).
Setiap muslim dilarang terlena dengan kehidupan dunia yang sementara
(QS. Ar-Ra‘d [13]; 26), dan tidak iri terhadap penghasilan orang lain (QS. An-
Nisa‘ [4]: 32). Sebab segala prestasi yang di dapatkan di dunia akan dinilai
sesuai dengan apa yang telah dilakukan (QS An-Najm [53]: 39-40). Untuk itu,
setiap muslim harus bekerja hanya untuk mendapatkan penilaian dari Allah
SWT dan Rasul-Nya (QS. At-Taubah [9]: 105) dan untuk Allah semata (QS.

Bab 1: Konsep Dasar Islamic Entrepreneurship 5


Al-Insyiqaq [84]: 6), dengan cara selalu bersyukur atas segala nikmat (QS.
Al-Kautsar [108]: 1), agar Allah SWT berkenan menambah nikmat tersebut,
bukan sebaliknya memberikan azab (QS. Ibrahim [14]: 7).
Memilih berbisnis dengan cara yang diatur oleh Islam berarti
mengedepankan Qur‘an dan Sunnah sebagai pedoman dasar yang memiliki
prinsip-prinsip secara global dan spesifik. Pelaksanaan hukum-hukum
syariat Islam melalui ijtihad dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia
yang terus berkembang seiring dengan perubahan zaman dan teknologi.
Berbisnis secara syariat Islam dimaknai sebagai pelaksanaan bisnis yang selalu
mempertimbangkan nilai-nilai yang menjamin kesuksesan dan kelanggengan
suatu bisnis, karena bisnis bagi umat Islam merupakan bagian dari ibadah
kepada Allah SWT (Nuranisa, 2018).
Nabi Muhammad SAW merupakan contoh terbaik bagi seluruh umat
manusia dalam berwirausaha (Entreprenuers). Beliau sejak usia 7 tahun
sudah mulai berwirausaha, bahkan sejak usia dua belas tahun beliau telah
terbiasa mengembalakan ternak dan mendapatkan upah. Entreprenuership
(kewirausahaan) yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW adalah berdagang.
Motivasi berdagang awalnya karena di dorong paman beliau, Abu Thalib
supaya dapat melepaskan diri dari beban keluarga. Dorongan ini seketika
menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai pedagang ulung yang punya
integritas unik dan berbeda dengan para pedagang lainnya (Siswanto, 2016).

B. Pandangan Ahli Terhadap Entrepreneurship


Pandangan para ahli terhadap kewirausahaan (Entrepreneurship) sangat
berbeda-beda. Menurut pandangan ahli ekonomi, wirausahawan merupakan
orang yang mengombinasikan faktor-faktor produksi, misalnya sumber
daya alam (SDA), tenaga kerja/sumber daya manusia (SDM), material,
dan peralatan serta lainnya guna meningkatkan nilai tambah dan yang lebih
tinggi dari sebelumnya. Sedangkan menurut ahli manajemen, wirausahawan
merupakan setiap orang yang punya keahlian dalam menggunakan dan
mengombinasikan berbagai sumber daya, misalnya keuangan (money), bahan
mentah (materials), tenaga kerja (labours), keterampilan (skill), dan informasi
(information), guna mendapatkan produk baru, proses produksi baru, bisnis
baru, dan organisasi usaha baru, sehingga dapat menciptakan kekayaan dan
kemakmuran melalui penciptaan lapangan kerja, penghasilan dan produk yang
diperlukan masyarakat (Suryana, 2014).

6 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Kasmir, (2014) menyatakan bahwa arti wirausahawan (entrepreneur) ialah
orang yang berjiwa berani dan mau mengambil risiko untuk membuka usaha
dalam berbagai kesempatan. Berjiwa berani mengambil risiko bermakna
bermental mandiri dan berani untuk memulai usaha, tanpa ada rasa takut
atau cemas termasuk dalam kondisi tidak pasti sekalipun. Buchari Alma,
(2006) mengemukakan bahwa seorang wirausaha merupakan orang yang
melihat adanya peluang kemudian menciptakan sebuah organisasi untuk
memanfaatkan peluang tersebut. Definisi wirausaha di sini minitikberatkan
kepada setiap orang yang dapat memulai suatu bisnis baru. Sedangkan proses
kewirausahaan termasuk semua kegiatan, fungsi dan tindakan untuk mengejar
dan memanfaatkan peluang yang ada dengan menciptakan suatu organisasi.
Jose Carlos Jarillo-Mossi dalam Subur, (2007) melihat bahwa wirausaha
merupakan seseorang yang mampu mendeksi adanya peluang, mengejar dan
memanfaatkan peluang yang sesuai dengan situasi dirinya, dan yakin bahwa
kesuksesan adalah segala sesuatu yang dapat diraih. Artinya, kewirausahaan
adalah untuk setiap orang dan setiap orang berpotensi untuk menjadi wirausaha.
Menurut Kamus Istilah Ekonomi, wirausahawan merupakan orang yang
memiliki kemampuan untuk mengelola suatu aktivitas produksi, melalui dari
merencanakan, mengatur, melaksanakan proses produksi, hingga menanggung
risiko (Rochaety, 2013). Kewirausahaan merupakan gairah, watak, perilaku,
dan kemampuan setiap orang dalam menjalankan usaha atau kegiatan yang
mengarah pada upaya mencari, menciptakan serta menerapkan cara kerja,
teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka
memberikan pelayanan yang lebih baik dan/atau memperoleh keuntungan
yang lebih banyak (Rusdiana, 2014). Al-Fonsus Mardani, (2012) yang
mengemukakan pengertian kewirausahaan sebagai proses mengidentifikasi,
mengembangkan dan membawa visi ke dalam kehidupan. Visi tersebut,
menurutnya bisa berupa gagasan inovatif, peluang, dan cara yang lebih baik
dalam melaksanakan sesuatu. Hasil akhir dari proses itu adalah penciptaan
upaya baru yang dibentuk pada kondisi risiko atau ketidak pastian usaha.
Adapun Islamic Entrepreneurship dimaknai sebagai serangkaian kegiatan
kewirausahaan pada berbagai bentuk yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas),
kepemilikan harta (barang/jasa), termasuk profit, namun dibatasi pada
cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).
Dalam pengertian lain, dimaknai sebagai sebuah proses berusaha melihat dan
membaca peluang serta mempraktekkannya serta senantiasa berpedoman
kepada aturan-aturan agama Islam.

Bab 1: Konsep Dasar Islamic Entrepreneurship 7


Dari berbagai pengertian di atas, meskipun belum ada perspektif yang
sama tentang kewirausahaan (entrepreneurship) maupun Islamic entrepreneurship,
namun memiliki esensi yang sama, yakni merujuk pada sifat, karakter, watak
dan ciri-ciri yang melekat pada setiap orang yang memiliki kemauan keras
untuk melaksanakan gagasan inovatif ke dalam dunia usaha secara riil dan
dapat mengembangkannya secara kontinu dan penuh ketangguhan (Aprijon,
2013).
Jadi dapat dipahami bahwa Islamic Entrepreneurship adalah sikap mental
dan sifat jiwa setiap orang yang ingin selalu aktif dalam berusaha memajukan
karya dan kegiatan usahanya dalam bingkai Islam. Di dalamnya memuat
berbagai kemampuan seperti kreatif dan inovatif yang dapat dijadikan dasar
kuat dan sumber daya untuk menciptakan peluang guna menuju kesuksesan.
Maka dari itu wirausahawan dalam arti sebenarnya bukan sekedar berbinis
dan berdagang, namun juga harus memiliki visi pengembangan individu
dalam mengarungi kehidupan bahkan lebih luas lagi untuk mengembangkan
kemandirian bangsa, sekaligus tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan
agama (Darwis, 2016).
Pada abad ke-20 muncul definisi wirausaha sebagai inovator, yaitu individu
yang mengembangkan sesuatu yang khas. Konsep inovasi dan kebaharuan
menjadi bagian komprehensif dalam kewirausahaan, dimana tugas utama
wirausaha tidak hanya mampu menciptakan dan mengkonseptualisasikan suatu
hal baru, melainkan juga mengerti seluruh kekuatan dalam lingkungan kerja
(work environment). Selain itu, sesuatu yang baru tidak saja berupa produk baru,
tetapi dapat terdiri atas produk baru hingga sistem distribusi maupun metode
pengembangan struktur organisasi yang baru (Slamet, Franky, Hatti Karunia
Tanjung Sari, 2016). Untuk itu, di dunia modern sekarang, wirausahawan
dimaknai sebagai setiap orang yang mengawali dan melaksanakan usahanya
sendiri, mengorganisasi dan membangun perusahaan, bahkan sejak revolusi
industri (Rusdiana, 2014).
Entreprenuership ada apabila setiap orang mau dan berani mewujudkan
dan mengembangkan usaha-usaha serta ide-ide barunya. Proses kewirausahaan
antara lain adalah semua fungsi, aktivitas dan tindakan yang berkolerasi dengan
perolehan peluang dan penciptaan organisasi usaha (Suryana, 2013). Secara
umum fungsi dan peran wirausaha dapat dilihat melalui dua pendekatan, yaitu
secara mikro dan makro. Secara mikro, wirausaha memiliki dua peran; sebagai
inovator atau penemu dan planner atau perencana. Sebagai inovator, seorang
wirausaha menciptakan dan menemukan sesuatu yang baru seperti produk

8 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


baru (new product), teknologi baru (new technology), cara-cara baru, Ide-ide baru
(new image), organisasi usaha baru (new business organization) dan lain-lain.
Sebagai perencana (planner), wirausaha berusaha mengkonsep tindakan
dan usaha baru, merencanakan strategi usaha baru, merencanakan ide-ide
dan peluang dalam meraih sukses, menciptakan organisasi perusahaan baru,
dan lain sebagainya. Kedua peran ini saling terhubung satu dengan lainnya
dalam merealisasikan tujuan wirausaha mencapai sukses. Sehingga tidak hanya
menggunakan satu peran dan meninggalkan peran lainnya. Peran wirausaha
merupakan penanggung risiko dan ketidakpastian, mengombinasikan sumber-
sumber ke dalam cara baru dan berbeda untuk menciptakan nilai tambah dan
usaha-usaha baru (Rusdiana, 2014).
Secara makro, peran wirausaha merupakan melahirkan kemakmuran,
memeratakan kekayaan, dan kesempatan kerja yang berfungsi sebagai mesin
pertumbuhan perekonomian suatu negara. Peran ini bersifat umum yang
sesungguhnya menjadi tugas bersama antara pemerintah, pengusaha, dan
masyarakat. Kalau fungsi dan peran secara mikro bersifat internal yang
berkaitan dengan perusahaan, maka fungsi dan peran secara makro lebih
bersifat eksternal yang berkenaan dengan masyarakat (Idri, 2015).
Irfan Fahmi, (2013) menambahkan bahwa peran dan fungsi mendasar
dari wirausaha adalah:
a. Mampu memberi semangat dan motivasi. Di sini dengan kewirausahaan
hal yang sulit sekalipun akan mampu diwujudkan menjadi kenyataan.
Dengan kata lain, segalanya dapat dilakukan atau direaliasikan dengan
semangat dan motivasi.
b. Mampu memanifestasikan mimpi. Dengan kewirausahaan berbagai
mimpi harus mampu diwujudkan. Sehingga yang tadinya hanya menjadi
seorang karyawan dan tidak mampu direalisasikan, maka setelah dengan
kewirausahaan mimpi akan menjadi kenyataan.
c. Mampu menggugah inspirasi. Dengan kewirausahaan maka bisa
memberikan gambaran berbagai persoalan yang dapat diselesiakan.
d. Merekomendasikan nilai positif dalam pembangunan. Secara tidak
langsung dengan kewirausahaan akan memberikan sumbangan yang
sangat besar terhadap bangsa dan negara. Dengan kewirausahaan dapat
terbuka lapangan kerja yang banyak dan dapat menyerap banyak tenaga
kerja. Sehingga dapat meminimalisasi jumlah pengangguran atau bahkan
hilang.

Bab 1: Konsep Dasar Islamic Entrepreneurship 9


C. Unsur-Unsur Islamic Entrepreneurship
Hilyati Milla, (2013) menyatakan bahwa hakikat dari Entreprenuership
merupakan mewujudkan nilai tambah di pasar lewat proses pengkombinasian
sumber daya dengan berbagai cara baru dan berbeda supaya dapat bersaing.
Maka dalam usaha menghasilkan wirausaha yang sukses. Beberapa hal perlu
dipedomani sebagai unsur penting dalam berwirausaha, antara lain;
Pertama, Percaya diri (confidence), yakni sikap dan keyakinan seseorang
dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugasnya. Seorang wirausaha
Islam harus punya sikap ini, percaya akan kemampuan yang dimilikinya untuk
mencapai kesuksesan di masa depan. Dengan kepercayaan diri, maka dapat
menyelesaikan pekerjaan secara sistematis, terencana, efektif dan efisien.
Percaya diri adalah modal utama menjadi seorang wirausaha, keyakinan
terhadap produk yang dibuat dapat menumbuhkan sikap optimisme yang tinggi
sehingga aktivitas usaha yang dijalankan tanpa didasari rasa ragu sedikitpun.
Selain itu, sebagai seorang muslim harus menyakini bahwa rezeki setiap
makhluk sudah diatur oleh Allah SWT. Maka tugas manusia adalah menjalani
dan mencarinya dengan tetap tidak melupakan kehidupan akhirat (QS. Al-
Qashash [28]:77).
Kedua, Berorientasi pada tujuan (goal oriented). Dalam setiap kegiatan
orientasi tujuan merupakan hal yang penting. Maka seorang wirausaha
Islam harus memilikinya dalam bentuk selalu mengutamakan tugas (duty)
dan hasil (result) (QS. At- Taubah [9]: 105 dan Al-Insyiqaaq [84]: 6). Ketiga,
mau berspekulasi (want to speculate), karena seorang wirausaha merupakan
orang yang berani menanggung risiko, menyukai usaha-usaha menantang
untuk mencapai kesuksesan dan professional menjalankannya. Rasulullah
SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah senang apabila salah seorang di antara kamu
mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dilakukan secara professional.” (HR. Baihaqi)
Keempat, Kepemimpinan (Leadership). Seorang wirausaha muslim yang
berhasil selalu mempunyai sifat kepemimpinan, kepeloporan dan keteladanan.
Ia ingin selalu tampil berbeda, menjadi yang pertama dan utama, lebih
menonjol serta teladan bagi orang-orang di sekitarnya. Kepemimpinan adalah
fitrah tercantum jelas dalam al-Qur‘an dimana manusia diamanahi Allah untuk
menjadi khalifah Allah (wakil Allah) di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Tugas khalifah adalah mewujudkan kemakmuran dan kesejahreaan dalam
hidup dan kehidupan yang meliputi, membangun, mengelola, dan memelihara
bumi sebagai upaya untuk menunjang kelancaran tugas melaksanakan ibadah-

10 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


ibadah kepada Allah SWT (QS. Hud [11]: 61). Eksistensi kepemimpinan
memiliki landasan syar‘i dan „aqli sebagaimana tercermin dalam surah Al-
Fur‘qan [25]: 74, dan An-Nisa‘ [4]: 59 (Aravik, H., & Hamzani, 2021).
Kelima, Fokus ke masa depan (future oriented). Seorang Islamic Entrepreneurs
yang fokus ke masa depan merupakan orang yang memiliki perspektif dan
pandangan ke masa depan, selalu mencari peluang, tidak cepat puas dengan
keberhasilan dan niat berwirausaha tulus ikhlas hanya mengharapkan ridha
Allah SWT. Dalam surah al-Hasyr [59]: 19 Allah memerintahkan untuk
mempersiapkan hari esok dengan sebaik-baiknya lewat perencanaan yang baik
dan berlandaskan iman dan takwa. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa
yang niatnya untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan
dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun
akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya hanya untuk
menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup,
akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah
ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi).
Nana Herdiana Abdurrahman, (2013) melihat bahwa pada aspek lain,
unsur-unsur penting dari wirausaha yang sangat krusial dan saling terkait, serta
bersinergi satu dengan lainnya tidak terpisahkan, yaitu:
1. Unsur daya pikir (The Element of thinking power). Dimana daya pikir
yang dimiliki seseorang, pengetahuan, kepandaian, intelektual, kognitif
meningkatkan tingkat penalaran. Taraf pemikiran yang dipunyai
seseorang adalah modal awal bagi setiap wirausaha untuk menuju
kesuksesan.
2. Unsur ketrampilan (The Elemen of Skill). Dimana seorang wirausaha
tidak mungkin bisa hanya mengandalkan berfikir saja. Karya hanya
berwujud jika ada tindakan. Ketrampilan merupakan tindakan raga untuk
melaksanakan suatu kerja. Hasil kerja itulah yang dapat diwujudkan
dalam sebuah karya, baik berupa produk atau jasa. Ketrampilan
dibutuhkan oleh siapa saja, termasuk kalangan pebisnis profesional.
3. Unsur sikap mental maju (The element of advanced mental attitude).
Dimana sukses hanya dapat dicapai bila terjadi sinergi antara pemikiran,
ketrampilan, dan sikap mental maju. Sikap mental inilah menjadi syarat
mutlak keberhasilan seseorang.
4. Unsur intuisi (The element of Intuition). Dimana intuisi berperan penting
terutama membangkitkan motivasi. Intuisi adalah sesuatu yang abstrak,
sulit digambarkan dan acapkali menjadi kenyataan.

Bab 1: Konsep Dasar Islamic Entrepreneurship 11


D. Teori Terbentuknya Entrepreneurship
Entrepreneurship merupakan sebuah disiplin ilmu, seni dan keterampilan
mengelola berbagai keterbatasan sumber daya, informasi, dan dana yang
tersedia untuk menegakkan hidup, mengejar nafkah, atau mendapatkan posisi
puncak dalam pekerjaan (Bahri, 2018). Maka sebagai sebuah disiplin ilmu,
setidaknya ada tiga teori terbentuknya wirausaha, antara lain:
Pertama, Teori life path change. Dimana banyak orang yang menjadi
wirausaha justru tidak melalui proses yang direncanakan. Antara lain
disebabkan oleh: (a) Negative displacement. Dimana seseorang menjadi
wirausaha disebabkan kondisi yang tidak baik atau kurang menguntungkan
seperti, tertekan, terhina, perceraian, atau karena tidak terkoneksi dengan
dunia kerja. (b) Being between things. Dimana seseorang menjadi wirausaha
disebabkan pilihan. Seperti orang-orang yang baru keluar dari ketentuan
atau sekolah yang tidak siap memasuki dunia kerja sedangkan mereka harus
bertahan hidup. (c) Having positive pull. Dimana seseorang menjadi wirausaha
karena di dukung orang lain misalnya mitra, investor, pelanggan atau mentor
sehingga mendorong keberaniannya untuk masuk dan menjadi wirausaha.
Kedua, Teori goal directed behavior. Teori ini memperlihatkan bila seseorang
terbersit hatinya menjadi wirausaha, maka motivasinya dapat terlihat dari
langkah-langkahnya dalam mencapai tujuan (goal directed behavior). Diawali dari
dorongan need, kemudian goal directed behavior, hingga tercapai tujuan. Dari kaca
mata teori need dan motivasi tingkah laku, seperti mendapatkan kesempatan
berusaha, sampai mendirikan dan melegalkan usahanya merupakan goal directed
behavior. Sedangkan goal tujuannya adalah mempertahankan dan memperbaiki
kelangsungan hidup berwirausaha.
Ketiga, teori outcome expectancy. Teori ini merupakan teori yang berbasis
pada keyakinan seseorang mengenai hasil yang akan diperolehnya jika
melaksanakan suatu perilaku tertentu, yaitu perilaku yang menunjukkan
keberhasilan. Seseorang mengukur bahwa keberhasilannya dalam
melaksanakan tugas-tugas tertentu akan mendapatkan imbalan dengan nilai
tertentu pula. Imbalan ini dapat berupa insentif kerja yang dapat diperoleh
dengan segera atau dalam jangka waktu tertentu bahkan panjang. Karenanya
apabila seseorang menyakini bahwa profesi wirausaha dapat memberikan
insentif yang sesuai dengan harapannya maka dia akan berjuang untuk
memenuhi harapannya dengan menjadi wirausaha (Sadeli, 2011).

12 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Sedangkan pada aspek pendekatan, apakah wirausaha itu muncul karena
dilahirkan (is borned) atau dibentuk/dicetak (is made), menampakkan dua
pendekatan, yakni; klasikal dan event studies. Pendekatan klasikal memberikan
gambaran bahwa wirausaha dan ciri-ciri pembawaannya muncul sejak
lahir (innate) dan menjadi wirausahawan tidak dapat dipelajari. Sedangkan
pendekatan event studies menggarisbawahi bahwa banyak faktor yang dapat
menghasilkan wirausaha seperti faktor lingkungan. Oleh karena itu, wirausaha
dapat diciptakan dan bukan dilahirkan (Cahyani, 2016).

E. Keuntungan dan Kelemahan Menjadi Entrepreneur


Wirausaha adalah sebuah profesi yang sangat menjanjikan perbaikan
hidup dan kehidupan setiap orang tanpa terkecuali. Dengan wirausaha,
setiap orang muslim dapat memberikan kontribusi nyata bagi perbaikan
ekonomi dan pembangunan bangsa, khususnya di Indonesia. Menurut
Buchari Alma, (2006) keuntungan menjadi wirausaha sangat banyak
diantaranya adalah:
1. Terbuka peluang mencapai tujuan yang diharapkan.
2. Terbuka peluang untuk memperlihatkan kemampuan serta potensi
seseorang secara penuh dan bebas.
3. Terbuka peluang untuk mendapatkan manfaat dan keuntungan secara
maksimal atau tanpa batas.
4. Terbuka peluang untuk dapat menolong masyarakat dengan usaha-usaha
yang konkrit dan nyata.
5. Terbuka kesempatan untuk menjadi bos. Sedangkan kelemahannya
adalah:
a. Pendapatan yang tidak pasti dan memikul beban risiko yang banyak.
b. Bekerja keras dan waktu/jam kerjanya panjang bahkan tidak bisa
diprediksi.
c. Kualitas kehidupan bisa sangat rendah sampai usaha yang
dilaksanakan berhasil, sebab dia harus berhemat.
d. Tanggung jawab sangat besar dalam aktivitas usaha yang dijalankan,
banyak keputusan yang harus dibuat meskipun tidak menguasai
permasalahan.

Bab 1: Konsep Dasar Islamic Entrepreneurship 13


F. Manfaat Menjadi Islamic Entrepreneurship
David McClelland seorang pakar binis menyebutkan bahwa syarat suatu
negara dapat mencapai derajat kesejahteraan diperlukan minimal 2% wirausaha
(entreprenuer) dari keseluruhan jumlah penduduk (Frinces, 2010). Oleh karena
itu, wirausaha memiliki beberapa manfaat yang dapat diperoleh ketika seorang
yang menerjunkan diri ke dunia wirausaha dan menjadi wirausahawan antara
lain: (1). Dapat membuka lapangan kerja baru, (2). Sebagai pembangkit
pembangunan lingkungan, (3). Sebagai teladan, pribadi mumpuni, berakhlak,
jujur, berani dan bermanfaat bagi banyak orang, (4). Hormat pada hukum dan
peraturan yang ada, (5). Membimbing karyawan menjadi pribadi mandiri,
disiplin, jujur dan tekun, serta (6). Menjaga kelestarian lingkungan, baik dalam
hubungan persahabatan maupun kepemimpinan (Alfianto, 2012). Sedangkan
Nurpeni, (2010) manfaat berwirausaha diantaranya Menambah daya tampung
tenaga kerja, sebagai generator pembangunan, sebagai teladan bagi segenap
masyarakat, dan berusaha membantu orang lain.
Z. Heflin Frinces, (2010) terdapat setidaknya 4 (empat) alasan mengapa
para wirausaha (entrepreneurs) penting dan bermanfaat yaitu: (a) Untuk
mendayagunakan faktor-faktor produksi seperti tanah, modal, teknologi,
informasi dan berbagai sumber daya manusia (SDM) di dalam memproduksi
tugas-tugas yang efektif (producing effective tasks). (b) Mengidentifikasi
berbagai probabilitas di dalam lingkungan dengan meningkatkan aktivitas
yang akan memberikan manfaat kepada setiap orang (beneficial to everyone).
(c) Untuk memilih pendekatan yang terbaik dalam mendayagunakan semua
faktor produksi agar supaya meminimalkan pemborosan di dalam berbagai
kegiatan kewirausahaan (minimize wastage in entrepreneurial activities). (d) Untuk
kemanfaatan generasi mendatang (benefit of the future generation).
Islam sangat menghargai kerja keras bersemangat secara mandiri dan
melarang hidup pasrah, berpangku tangan, berputus asa, pengangguran, dan
mengemis. Para Nabi yang menjadi manusia terbaik pilihan Allah SWT,
termasuk orang-orang yang mau bekerja keras seperti Nabi Adam adalah
seorang petani, Nabi Nuh adalah seorang tukang kayu, Nabi Daud AS
merupakan seorang pengrajin daun kurma yang giat bekerja. Nabi Idris AS
adalah seorang penjahit, yang terkenal dermawan dimana selalu menginfakkan
kelebihan hartanya. Nabi Zakaria, AS adalah seorang tukang kayu yang
handal. Sedangkan Nabi Musa AS adalah seorang penjaga domba yang
digembalakan di padang rumput dan Nabi Muhammad SAW terkenal sebagai

14 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


pengusaha sukses yang sebelumnya sebagai pengembala domba milik orang-
orang Mekkah (Farid, 2017).
Untuk itu, membangkitkan semangat wirausaha harus dapat menunjukkan
hasil dan manfaatnya yeng lebih besar dari pada apa yang diperolehnya sebagai
pegawai gajian, dengan demikian mendorong semangat keinginan dan cita-cita
berwirausaha. Maka, bagi seorang muslim berwirausaha sangat bermanfaat
antara lain: Pertama, berwirausaha merupakan bagian dari kewajiban yang
diperintahkan Allah SWT, dimana Islam menciptakan hubungan langsung
antara bekerja dan perwujudan ketaatan seseorang terhadap Allah. Keduanya
sama-sama penting dan perlu. Seseorang yang menghabiskan seluruh waktunya
melaksanakan ritualitas ibadah dan menyandarkan kebutuhan sehari-hari
kepada kemurahan orang lain, bukan termasuk seorang muslim yang baik.
Begitu pula yang menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk bekerja semata.
Allah telah berjanji dalam firman-Nya, “Mereka itu balasannya adalah ampunan
dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai sedang mereka
kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang yang beramal.” (QS. Ali
Imran [3]: 136). Kedua, berwirausaha sangat menentukan martabat seorang
manusia. Rasullah SAW, menekankan pentingnya martabat, nilai pribadi,
dan harga diri. Martabat setiap muslim dapat diraih apabila memperoleh
penghasilan sendiri secara halal, setidaknya untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri. “Tidak ada makanan yang lebih baik untuk dimakan oleh seseorang kecuali
apa yang dihasilkan dengan jerih payahnya sendiri.”.
Ketiga, Berwirausaha yang halal merupakan sumber penghasilan yang
baik. Sebaliknya, bisnis yang haram adalah sumber kehidupan yang buruk.
Bahkan, jika semua norma dilanggar dan semua etika moral dilabarak,
kita akan menempati bumi Allah dengan peran sebagai baik. Allah SWT
berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka
bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat
sedikitlah kamu bersyukur.” (QS. Al-A‘raf [7]:10. Keempat, berwirausaha atau
berbisnis merupakan sarana untuk melayani kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Islam memandang masyarakat muslim sebagai salah satu kesatuan ekonomi
dan sosial esensial. Secara ekonomi, manusia memang menunjukkan
ketergantungan. Rasulullah SAW meminta kita untuk bekerja secara
jujur, berkualitas, dan mandiri karena akan menguntungkan kita dan juga
masyarakat. Rasul bersabda, “Bekerjalah dengan kedua tanganmu sendiri karena
itu akan menguntungkan bagimu sebagaimana kamu telah beramal (untuk sesama).”
(H.R. Al-Bukhari dan Muslim). Kelima, berwirausaha tidak hanya ikhtiar

Bab 1: Konsep Dasar Islamic Entrepreneurship 15


demi memajukan standar ekonomi dan sosial seseorang, tetapi juga bertujuan
untuk memajukan seluruh masyarakat. Karenanya, untuk mendapatkan
rezeki, kita harus saling bekerjasama. Setelah rezeki diperoleh, hak kaum
miskin ditunaikan, sekaligus memberdayakan potensi yang mereka miliki agar
kehidupan ekonomi mereka meningkat (Fadillah, 2015).

16 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


BAB 2
Prinsip Islamic
Entrepreneurship

A. Tauhid
Tauhid adalah prinsip pertama dan utama Islamic Entrepreneurship. Tauhid
merupakan komponen penting dalam Islamic Entrepreneurship, selain sebagai
fondasi utama dalam kehidupan dan esensi keyakinan manusia. Tauhid
termasuk sistem pandangan hidup yang menegaskan satu kesatuan terpadu
dan tunggal manunggal dalam semua aspek hidup dan kehidupan. Semua yang
ada, berasal dan bersumber pada satu Tuhan saja, yang menjadi asas kesatuan
ciptaan-Nya dalam berbagai bentuk, jenis maupun kehidupannya, yakni hanya
Allah SWT, tidak ada sekutu apapun [QS. Al-Ikhas [112]: 1-4).
Tauhid adalah istilah Islam-Arab yang sering diterjemahkan Bahasa
Inggris sebagai “monoteisme”; keyakinan pada Satu Tuhan sebagai lawan dari
dualisme, Politeisme atau Ateisme (Badawi, 1991). Tauhid memiliki makna
pengesaan bahwa hanya Allah SWT sebagai Tuhan; Pencipta alam semesta
serta segala isinya (QS. Al-An‘am [8]: 2). Sedangkan cara pengesahannya
melalui pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah SWT semata,
tidak ada sesuatupun yang layak di sembah selain Allah dan tidak ada pemilik
langit, bumi dan segala isinya, selain dari pada Allah SWT (QS al- Baqarah
[2]: 107).
Tauhid ini menetapkan hukum mengenai aturan hubungan antara
manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia lainnya (habl-minallah

17
wa habl min an-nas) (Salleh, 2013). Esensi tauhid merupakan penyerahan diri
secara paripurna kepada kehendak Ilahi, baik dalam aspek ibadah maupun
muamalah, dalam rangka merealisasikan pola kehidupan yang sejalan dengan
kehendak Allah semata. Tauhid menjadi standar seluruh konsep dan aktifitas
umat Islam, baik pada bidang ekonomi, politik, sosial, budaya maupun
pertahanan dan keamanan serta lingkungan.
Pandangan dunia Tauhid mewajibkan setiap manusia hanya takut pada
satu kekuatan saja, yaitu kekuatan Allah SWT, selain Dia hanya kekuatan palsu
dan tidak mutlak. Tauhid menggaransi kebebasan manusia dan memuliakan
hanya semata kepada-Nya, bukan yang lain. Pandangan ini mendorong
manusia untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan,
belenggu, dan kenistaan serta dominasi manusia atas manusia. Karena Tauhid
menyiratkan tanggung jawab seseorang di hadapan Allah dan keyakinan akan
kebangkitan dan kehidupan kekal, yang sifatnya bergantung pada tindakan
seseorang saat berada di bumi (Badawi, 1991).
Tauhid mempunyai hakikat sebagai ide-ide yang bekerja untuk keadilan,
solidaritas, dan pembebasan dalam berbagai bidang kehidupan, baik ekonomi,
sosial, politik budaya dan sebagainya. Konsekuensi logis dari pandangan
dunia Tauhid adalah bahwa menyetujui kondisi masyarakat yang banyak
kontradiksi dan diskriminasi sosial, serta meluluskan pengkotak-kotakan dalam
masyarakat sebagai perbuatan syirik (Sabara, 2016). Tauhid merupakan inti
dari ajaran Islam yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril (QS. Ali Imran [3]: 64) dan misi utama para nabi dan rasul
dalam mendakwahkan ajaran-ajarannya kepada umat manusia (Afrizal,
2018). Tauhid adalah konsep kunci yang merangkum jalan hidup Islam dan
menghadirkan esensi dari peradaban Islam.
Tauhid merupakan hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan
manusia, karena manusia diciptakan hanya untuk mentauhidkan Allah SWT.
Oleh karena itu, hubungan antara manusia dengan tuhan, atau sebaliknya,
memberi pemahaman bahwa bumi, langit serta alam semesta dengan segala
isinya tidaklah diciptakan secara kebetulan dan tanpa perencanaan yang
matang, serta tidak diciptakan dengan sia-sia, melainkan memiliki tujuan
(QS. Al-Mu‘minun [23]: 115). Melainkan Allah SWT sebagai satu- satunya
penciptanya dengan berbagai hikmat yang tersirat disebaliknya. Sehingga
hikmat inilah yang menjadikan manusia bernilai dan berarti di alam dunia.
Maka manusia dituntut untuk beribadat mentaati tuhan yang satu dengan
dikaruniai kuasa ikhtiar, berfikir dan lainya. Tauhid bukan hanya mengakui

18 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


kebenaran tetapi termasuk juga sambutan aktif kepadanya (QS. Ali Imran
[3]: 191).
Tauhid menjadi upaya mensucikan Allah dari persamaan dengan
makhluk. Dengan mentauhidkan Allah SWT, setiap manusia akan selamat
dari kekekalan neraka jahanam (QS. Al- Maidah [5]: 72), berkesempatan
mendapatkan ampunan atas seluruh dosa (QS. An-Nusa‘[4]: 48), dan akan
dimenangkan dari musuh-musuhnya dan menjadi berkuasa (QS. An-Nur
[24]: 55, Ar-Rum[30]: 47). Dengan keyakinan tuhid, setiap orang akan
berkeyakinan bahwa berbagai sumber daya yang ada di bumi adalah buatan
dan hak milik Allah SWT semata, sedangkan manusia hanya diberi amanah
untuk memiliki, mengelola, dan memanfaatkan untuk kesejahteraan dan
sifatnya sementara waktu saja. Selain itu, seluruh aktivitas manusia di dunia
termasuk dalam aktivitas ekonomi diawasi oleh Allah SWt dan akan dimintai
pertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah di hari akhir nanti.
Manusia sesuai fitrahnya adalah makhluk yang bertauhid; mengakui
keesaan Tuhan dan mengabdi kepada-Nya. Pengabdian tersebut bukanlah
suatu kebetulan, melainkan itulah tujuan diciptakan manusia (Arroisi, 2019).
Oleh karenanya, dengan tauhid yang baik, orang-orang yang berhikmat pada
kewirausahaan harus mau dan mampu menjadikan landasan ketauhitan dalam
setiap aktivitasnya. Kewirausahaan diletakkan dalam pandangan tauhid yang
mengintegrasikan teologi, kosmologi, dan antropoligi dalam bingkai ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam kegiatannya.
Berdasarkan persepsi tersebut, maka dengan Tauhid segala bentuk
monopoli dan dominasi kekuatan ekonomi pada orang-orang tertentu atau satu
kelompok saja dapat diantisipasi dan diminimalisir. Atas dasar ini pulalah al-
Quran membatalkan dan melarang melestarikan tradisi masyarakat Jahiliyah,
yang mengkondisikan kekayaan hanya beredar pada kelompok tertentu saja,
firman Allah pada surah al-Hasyr [59] ayat 7 yang artinya: “Supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. Ayat ini juga
menjadi dalil bersifat umum atas tidak boleh monopoli pada berbagai praktik
ekonomi yang berorientasi untuk mendapatkan keuntungan semata, tanpa
mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih luas.
Dengan tauhid yang baik pula, pelaku kewirausahaan melakukan
aktivitas ekonomi dengan senantiasa sadar bahwa pertanggungjawaban yang
hakiki adalah pertanggungjawaban kelak di akhirat. Pondasi yang kuat ini,
diharapkan agar setiap pelaku ekonomi dapat memahami dan melaksanakan
nilai-nilai Islam dalam aktivitas ekonomi secara benar, lalu meyakini bahwa

Bab 2: Prinsip Islamic Entrepreneurship 19


ekonomi islam merupakan bagian tidak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan
dengan Islam itu sendiri. Dengan kata lain, berbagai aktivitas ekonomi baik itu
produksi, konsumsi, penukaran, dan distribusi diikatkan pada prinsip Ilahiah
dan bertujuan Ilahi. Maka ketika seorang muslim bekerja, ataupun berdagang
akan merasa bahwa dengan amanah itu ia sedang beribadah kepada Allah
SWT sebagai cerminan takwa. Semakin bertambah kebaikannya amalnya,
semakin bertambah pula taqwa dan taqorrub-nya kepada Allah SWT (Masrizal
et al., 2019).
Ayat-ayat al-Quran yang terkait dengan tauhid dalam melaksanakan
aktivitas kewirausahaan seperti; “Katakanlah (Muhammad); Dia-lah Allah,
yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan Dia.” (Q. S. Al-Ikhlas [112]: 1- 4). Dalam konteks ini, berusaha
atau bekerja, surah al-Ikhlash [112]: 1-4 tersebut dapat memberikan spirit
kepada seseorang, bahwa segala bentuk usaha yang dilakukan manusia harus
tetap bergantung kapada Allah dan menyakini bahwa setiap yang hidup pasti
diberikan Allah rezeki dan hanya Allah yang menentukan rezeki (QS. Al-
Huud: 6) serta mengakui kekuasaan Allah yang mutlak dan kekuasaan yang
ada pada manusia itu nisbi serta ditentukan oleh Allah yang memberi dan
mengambil kembali kekuasaan itu dari siapa saja yang dikehendaki-Nya (QS.
Ali Imran: 29) (Suhadi, 2015). Karena hakikat penciptaan manusia sebagai
makhluk yang paling sempurna (QS. Al-Hijr [15]:29, Al Israa‘ [17]: 70, dan
At-Tin [95]: 4), diserahi tugas untuk beribadah kepada-Nya (QS. Adz-Dzariyat
[51]: 56) dan menjadi khalifah (QS. Al-Baqarah [2]: 30) pada kehidupan dunia
semata-mata hanya dalam kerangka pengabdian kepada Sang Maha Pencipta.
Maka kehidupan dunia ditentukan oleh dua aspek yang sangat dominan, yaitu
aspek ekonomi (kewirausahaan) dan aspek agama. Maka aspek ekonomi lebih
dominan dibanding dengan aspek agama.
Tauhid dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai sebuah prinsip keadilan
yang menolak semua kontradiksi yang ada. Tauhid juga sebagai pondasi
dari semua prinsip-prinsip kegiatan manusia yang berkaitan dengan politik,
ekonomi, sosial dan kebudayaan (Rehmana, 2000). Tauhid menghapus ketidak
pedulian, kekhawatiran dan keserakahan serta menerima persamaan, dan
kemerdekaan. Dengan prinsip tauhid dapat membebaskan manusia dari
kesengsaraan, kemelaratan dan diskriminasi melalui pertumbuhan moral.
Sistem nilai dan norma yang akan mengantarkan perilaku umatnya, dalam
membentuk kepribadian, perilaku dan sikap kaum muslim yang selalu condong

20 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


kepada persoalan-persoalan kemanusiaan, keadilan, kebaikan, dan kejujuran,
dengan kekuatan tersebut maka Islam akan menjadi suatu kekuatan ideologi
yang mampu menciptakan suatu tatanan sosial yang lebih maju, beradab dan
manusiawi.
Tauhid akan mengarahkan manusia pada relegiusitas ekonomi.
Religiusitas ekonomi merupakan proyeksi akidah, syariah, dan moral dalam
kegiatan ekonomi. Ketiga dimensi itu menyatu dalam pandangan dunia (world-
view) Islam (Choudhury, 1998). Religiusitas ekonomi mengarahkan praktek
ekonomi yang sesuai dengan Alqur‘an dan Sunnah seperti kesejahteraan
ekonomi dalam rangka norma moral Islam (QS. Al-Baqarah [2]: 60; Al-Maidah
[5]: 87-88, dan Al-Jumu‘ah [62]: 10), persaudaraan dan keadilan universal
(QS. Al-Hujurat [49]: 13, dan Al-A‘raf [7]: 158), distribusi pendapatan dan
kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An‘am [6]: 125, An-Nahl [16]: 7, dan
Az-Zukhruf [43]: 32), dan kebebasan individu dalam konteks kemaslahatan
sosial (QS. Ar-Ra‘d [13]: 36, Luqman [31]: 22).
Konsep tauhid menjadi body of knowlodge dasar ekonomi, dalam tataran
ini, dikenal dengan nama teologi ekonomi Islam. Teologi ekonomi Islam yang
berbasiskan tauhid tadi, mengajarkan dua ajaran pokok utama yaitu: Pertama,
Allah menyediakan sumber daya alam sangat banyak untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang semuanya milik Allah SWT (QS al-Baqarah [2]:
284; al-Maidah [5]: 17; al-Hadid [57]: 7). Manusia hanya dianugerahi amanat
untuk mengatur, mengelola, mengambil manfaat, dan menjaga kelestariannya
(Choudhury, 1998) sebagai bagian dari peran kekhalifahan, manusia dapat
memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya.
Dalam pandangan teologi Islam, sumber daya itu, merupakan nikmat Allah
yang tak terhitung (tak terbatas) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bisa
menghitungnya.” (QS. Ibrahim [14]: 34).
Kedua, Tauhid sebagai landasan ekonomi Islam berarti bahwa segala
sumber daya yang tersedia di alam semesta ini adalah buatan dan milik Allah
secara absolut (mutlak dan hakiki). Hanya Allah yang mengatur segala sesuatu,
termasuk mekanisme hubungan antar manusia, sistem dan perolehan rezeki.
Manusia hanya sebagai pemegang amanah (trustee) yang bertugas mengelola
berbagai sumber daya itu dengan tujuan untuk mendapatkan kemakmuran dan
kesejahteraan kehidupan manusia secara adil.
Sumber daya alam, flora, dan fauna ditundukkan Allah SWT sebagai
sumber manfaat ekonomi bagi umat manusia (QS. Al- An‘am [6]: 142-145, dan

Bab 2: Prinsip Islamic Entrepreneurship 21


An-Nahl [16]: 10-16). Maka dalam mengelola sumber daya itu, manusia wajib
mematuhi aturan Allah dalam bentuk syariah Islam. Konsekuensi sebagai
pemegang amanah, maka setiap harta yang dipunyai individu terdapat hak-
hak orang lain yang mesti dikeluarkan sesuai dengan perintah Allah, baik
berbentuk zakat, infaq dan sedekah dan cara-cara lain demi terlaksananya
pendistribusian pendapatan yang sejalan dengan prinsip persaudaraan umat
manusia (Aravik, H., 2020).
Agus Siswanto, (2016) merinci setidaknya ada dua peranan tauhid bagi
kehidupan seorang muslim entrepreneur, yaitu: Pertama, tauhid memerdekakan
manusia dari perbudakan kepada selain Allah SWT, baik benda maupun
makhluknya. Tauhid menundukkan hati serta menyerahkan dan menghinakan
diri di hadapan Allah SWT. Tauhid memerdekakan hidup manusia dari
kekuasaan Fir‘aun, pendeta, dan dukun yang menuhankan diri. Kedua,
tauhid membentuk kepribadian yang kokoh. Tauhid membentuk hidup dan
pengalaman seseorang menjadi istimewa. Orientasi hidupnya jelas, ia tidak
mempercayai tuhan, kecuali Allah SWT. Kepadanya ia menghadap, baik
dalam kesendirian maupun dalam keramaian. Ia berdoa kepadanya baik dalam
keadaan lapang maupun sempit.

B. Khilafah
Khalifah secara umum berarti wakil tuhan di bumi (QS. Al- Baqarah [2]:
30). Definisi luasnya bermakna sebagai amanah dan tanggung jawab manusia
terhadap apa-apa yang telah dikuasakan kepadanya, baik dalam bentuk sikap
maupun perilaku manusia terhadap Allah SWT, sesama manusia, dan alam
semesta. Sedangkan arti sempit, khalifah berarti tanggung jawab manusia untuk
mengatur sumber daya yang dikuasakan Allah kepadanya guna mewujudkan
maslahah maksimum dan mencegah kerusakan di muka bumi (P3EI, 2015)
Khilafah adalah kesadaran fundamental seseorang terhadap amanah
dan tangungjawab yang Allah SWT diberikan kepadanya di muka bumi (QS.
Al-Baqarah [2]: 30) dengan misi untuk memakmurkan bumi dan bertanggung
jawab kepada Allah SWT tentang pengelolaan sumber daya yang dibebankan
kepadanya (Tahir, 1995) dan mengatur kehidupan dunia sesuai petunjuk Allah
SWT. Allah SWT memberikan bumi ini dengan tujuan untuk dimakmurkan
oleh manusia dan dijadikan manusia menguasai bumi dan isinya (QS. Al-
An‘am [6]: 165). Mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup
dan kehidupan yang meliputi membangun, mengelola dan memelihara bumi

22 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


sebagai upaya untuk menunjang kelancaran tugas pelaksanaan ibadah kepada
Allah SWT (QS. Hud [11]: 61).
Untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah, manusia
wajib tolong-menolong dan saling bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan
kewirausahaan yang bertujuan untuk beribadah pada Allah. Selain itu, manusia
dibekali dengan berbagai kelebihan dari makhluk yang lain, seperti manusia
diciptakan Allah dalam sebagai-baiknya bentuk (At-Tin [95]: 4), Manusia
dimuliakan Allah (QS. Al-Israa‘ [17]: 70), Manusia memiliki kelebihan dalam
akal dan ilmu pengetahuan (QS. Al- Baqarah [2]: 31), manusia sebagai makhluk
beragama (QS. Ar- Rum [30]: 30), memiliki program hidup (QS. Al-Baqarah
[2]: 210), memiliki kehendak dan dituntut tanggungjawab (QS. Ath- Thur [52]:
21), dan manusia mempunyai kesadaran moral (QS. Asy-Syams [91]: 7-8).
Prinsip khilafah sebagai representasi Tuhan bahwa manusia adalah
pemimpin (khalifah) di muka bumi ini dengan dianugerahi segenap potensi
mental dan spiritual, serta disediakan kelengkapan sumber daya alam
atau materi yang dapat dimanfaatkan dalam rangka untuk sustainibilitas
atau keberlangsungan hidupnya. Fungsi utamanya adalah untuk menjaga
keteraturan interaksi (mu‘amalah) antar pelaku bisnis, agar dapat meminimalisir
kekacauan, persengketaan, dan keributan dalam aktivitas mereka (Alfaqiih,
2017). Agar kekacauan dan keributan dapat dihilangkan atau dikurangi lewat
komitmen untuk menyeru berbuat baik dan mencegah dari perbuatan jahat
(QS. Al-Hajj [22]: 41). Karena setiap manusia di muka bumi akan bertanggung
jawab atas semua perbuatan yang dilakukan di dunia dan akan diperhitungkan
pada hari pembalasan (Salleh, 2013). Sehingga segala perlakuan manusia
dalam rangka memakmurkan bumi mestilah tunduk sepenuhnya kepada
kehendak Allah SWT. Kepemilikan, pemanfaatan sumber alam mesti dalam
batas sewajarnya tidak membuat kerusakan dan melampaui batas (QS. Al-
Baqarah [2]: 30) (Syamsuri, 2016).
Sebagai khalifah Allah di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 30),
manusia dituntut untuk bekerja sebagai tuntutan fardu atas setiap manusia
tanpa membeda-bedakan satu atas lainnya (QS. Al-Hujurat [49]: 13), guna
mencapai kebahagiaan individu dan masyarakat (QS. At-Taubah [9]: 105)
dengan senantiasa berlandaskan pada akidah Islamiyah (QS. Al-Asr [103]:
1-3), sehingga mendapatkan kompensasi dan keharusan membayarnya sebelum
keringat kering (QS. Al-Qashash [28]: 27-28), tidak dengan cara riba (QS.
Al-Baqarah [2]: 275) apalagi memonopoli untuk kepentingan segelintir orang
(QS. Al-Hasyr [59]: 7).

Bab 2: Prinsip Islamic Entrepreneurship 23


Dengan bekerja termasuk berwirausaha seseorang akan menjadi produktif.
Sehingga tugas khalifah manusia dapat dijalankan. Banyak ayat al-Qur‘an dan
hadis Nabi yang mendorong umat Islam untuk bekerja mencari nafkah secara
halal (QS. Al-Baqarah [2]: 267, At-Taubah [9]: 105, dan Al- Jumu‘ah [62]:
10). Prinsip ini terbagi atas gaji individual harus sebanding dengan jumlah
dan kategori pekerjaan yang mereka kerjakan maksudnya apa yang mereka
kerjakan sebanding dengan gaji atau upah yang mereka terima (Choudhury,
1983). Oleh karena itu, setiap kali seseorang memperoleh penghasilan lebih
besar daripada yang menjadi haknya karena masukan dari tenaga kerja dan
sumber daya lainnya, yang menghasilkan pendapatan ini, ia melakukan apa
yang dikenal sebagai ‘rububiyyah’, yaitu kepemilikan perseorangan atas alat-
alat produksi. Karena pemikiran ekonomi Islam berpandangan bahwa pada
dasarnya semua alat produksi adalah milik Tuhan, manusia hanya sebagai
orang yang diserahi amanah (Choudhury, 1983). Kerja yang produktif adalah
kerja yang menghasilkan kemaslahatan dan berujung pada kebahagiaan (falah).
Individu harus kreatif, penuh semangat dan bekerja efisien serta produktif
merupakan tindakan terpuji.
Amir Machmud, (2017) menyatakan bahwa prinsip-prinsip Islam yang
menjadi dasar dari misi kekhalifahan manusia sebagai berikut: Pertama,
tauhid. Dengan berlandaskan tauhid, manusia (termasuk pelaku ekonomi dan
kewirausahaan) harus menyakini bawha semua yang ada di bumi, termasuk
sumber daya alam dan manusia, adalah milik Allah semata dan segala tingkah
laku dan aktivitas yang dijalankan harus senantiasa didasarkan pada tauhid.
Kedua, keseimbangan. Para pelaku ekonomi hendaknya jangan memperhatikan
kesejahteraan pihak-pihak tertentu saja, tetapi harus berlaku adil kepada
semua golongan. Pelaku ekonomi dituntut kesadarannya untuk turun tangan
membantu yang membutuhkan sekaligus memberikan aksi yang nyata sehingga
pasar menjadi hidup. Ketiga, kehendak bebas. Prinsip ini mengandung makna
bahwa Allah tidak hanya memiliki kekuasaan dan kebebasan mutlak, tetapi
mempunyai sifat rahman dan rahhim (pengasih dan penyayang). Allah
membebaskan manusia untuk memilih antara kebaikan dan keburukan.
Begitu juga dalam bidang ekonomi, manusia diberi kebebasan memilih untuk
menjalankan ekonomi yang baik sehingga menghasilkan maslahah dan falah,
atau memilih jalan yang sebaliknya. Dari sinilah tanggung jawab manusia
sebagai individu dan masyarakat, serta kesadaran sosial (social awarenes).
Untuk mengemban sebuah misi, khalifah berbuat sesuai ajaran Tuhan
dan berfungsi sebagai wakil-wakil Tuhan di muka bumi. Manusia diberi

24 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


keleluasaaan memilah berbagai alternatif penggunaan sumber-sumber daya
tersedia. Karena ada milyaran khalifah di muka bumi, dengan kemampuan
berbeda- beda sehingga secara instingtif diperintah untuk hidup bersama,
bekerjasama, dan saling memanfaatkan keterampilan masing- masing agar
dapat mengeksploitasi sumber-sumber daya itu secara adil, efisien dan efektif
sehingga terwujud kesejahteraan (falah) yang menjadi tujuan utama aktivitas
ekonomi Islam. Tujuan ini hanya dapat tercapai apabila sumber-sumber daya
itu digunakan dengan penuh tanggung jawab dan dalam batas-batas yang
diperbolehkan syariah dalam simpul maqashid (Aravik, H., 2020).

C. Adl
Allah telah menciptakan dan merancang ciptaan-Nya termasuk alam
semesta dan alamnya, serta manusia dalam proporsi yang seimbang. Jika
ada penyimpangan dari keseimbangan ini, seluruh sistem makhluk mungkin
runtuh atau berfungsi dengan buruk, termasuk dalam aktivitas ekonomi
yang dilakukan manusia (Adnan Abd Rashid & Arifin Mamat, 2013). Islam
menyebutkan keadilan adalah tujuan universal yang ingin dituju dalam
keseimbangan yang sempurna (Zakiyah, 2017). Sedangkan tujuan utama
umat Islam adalah terciptanya keadilan dalam berbagai aspek termasuk
kewirausahaan yang merupakan bagian dari masyarakat yang adil, sehat
dan bermoral. Islam mengharapkan terciptanya perekonomian yang energik,
bertujuan, sejahtera dan adil di mana setiap anggota masyarakat mendapatkan
imbalan yang menjadi hak mereka.
Prinsip adil merupakan pilar penting dalam Islamic Entrepreneurship.
Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh al-Quran sebagai misi utama para
Nabi yang diutus Allah (QS. Al-Hadid [57]:25) bahkan menempatkan keadilan
selevel dengan kebajikan dan ketakwaan (QS. Al-Maidah [5]: 8). Maka, dalam
khazanah Islam, keadilan merupakan norma utama dalam seluruh aspek
kehidupan termasuk dunia ekonomi. Hal ini dapat ditangkap dalam pesan
al-Qur‘an yang menjadikan adil sebagai tujuan agama. Seseorang yang hidup
menurut hukum Allah harus berbuat adil tidak hanya kepada diri sendiri tetapi
juga kepada alam sekitarnya (QS. Asy-Syuura [42]: 17) (Muslehuddin, 2000).
Perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang, tanpa pandang bulu.
Maka dari itu Kemestian berlaku adil dalam kewirausahaan mesti ditegakan di
dalam keluarga dan masyarakat muslim itu sendiri. Bahkan kepada orang kafir
pun umat Islam diperintahkan berlaku adil (Maghfur, 2016). Keadilan juga

Bab 2: Prinsip Islamic Entrepreneurship 25


diartikan sebagai suatu bentuk yang dapat menghilangkan adanya kesenjangan
yang terjadi dalam lingkungan kondisi perekonomian sosial antar manusia,
meskipun dalam Islam tidak mengakui adanya kesamaan ekonomi dalam
masyarakat dan mengakui mengenai kesenjangan sosial ekonomi pada manusia
supaya manusia lebih giat berusaha (Nurfaqih & Fahmi, 2018).
Dengan demikian, keadilan dalam Islam merupakan konseptualisasi
pembentukan nilai moral dan sosial yang menunjukkan keadilan,
keseimbangan, dan kesederhanaan. Implikasinya bagi perilaku individu
adalah bahwa seseorang seharusnya tidak melanggar batasan orang lain, dan
harus memberikan kepada orang lain, dirinya apa-apa yang menjadi haknya
(Iqbal & Mirakhor, 2012). Tuntutan-tuntutan yang dibebankan al-Qur‘an
terhadap individu-individu untuk menegakkan keadilan sangat luar biasa
dan mentransendenkan semua ikatan sosial. Meskipun keadilan merupakan
sesuatu yang harus diperjuangkan demi diri sendiri, lebih penting lagi, ia
harus ditegakkan dengan memperhatikan hak-hak orang lain apakah risikonya
bagi seseorang atau komunitasnya (QS. An-Nisa‘[4]: 135). Demikian penting
keadilan dalam al-Qur‘an, sehingga dianggap sebagai salah satu alasan Allah
menciptakan bumi (QS al-Jaatsiyah [45]: 22).
Implementasi lain keadilan dalam aktivitas kewirausahaan adalah berupa
aturan prinsip interaksi maupun transaksi yang mengharuskan menjauhi
berbagai transaksi mengandung riba (QS. al-Baqarah [2]: 275, 278; Ali Imran
[3]: 130), mengandung Maysir (QS. al-Baqarah [2]: 219, al-Maidah [5]:90),
dan mengandung Gharar (an-Nisa‘ [4]: 29) (Suhadi, 2015). Karena Islam tidak
menginginkan suatu keadaan yang dapat menjerumuskan manusia kepada
kesengsaraan, kekacauan, dan fitnah di kalangan masyarakat. Islam melarang
perampasan hak oleh si kuat terhadap si lemah. Hal ini sangat bertentangan
dengan sunatullah, dan akan memutuskan hubungan antara yang satu dengan
lainnya. Akan timbul rasa dengki, iri hati, dendam, kebencian, dan permusuhan
dalam masyarakat. Bahkan banyak dari perintah-perintah al-Qur‘an yang
muncul dalam bentuk yang sangat keras bersumber dari perhatian yang amat
dalam terhadap keadilan bagi penjahat maupun korbannya (QS. al-Maidah
[5]: 45, an-Nahl [16]: 126).
Komponen keadilan ekonomi dalam masyarakat Islam adalah:
1) Kesamaan kebebasan dan peluang bagi semua anggota masyarakat untuk
menikmati sumber daya alam yang tersedia, melimpah dan tidak terbatas
(Baqir al-Hasani & Abbas Mirakhor, 1998). Kebebasan bermakna orang
tidak dihalang-halangii oleh orang lain untuk mengombinasikan karya

26 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


kreatifnya dengan berbagai sumber daya yang tersedia. Kesempatan
bermakna situasi yang memungkinkan setiap individu untuk mencoba
semua hal. Sukses atau tidaknya upaya seseorang tergantung pada
usaha dan kemampuannya. Kesetaraan kesempatan harus dijaga secara
kolektif. Kesetaraan akses ke sumber daya dan kesetaraan mendapatkan
peluang dalam Islam di dasarkan pada pandangan bahwa sumber
daya alamiah bukan ciptaan manusia tetapi dianugerahkan oleh Allah
SWT bagi seluruh anggota masyarakat, dan karena itu, kebebasan dan
peluang untuk menggunakan sumber daya ini wajib didistribusikan secara
merata kepada semua orang (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011). Karena
Islam mengakui bahwa individu adalah aktor rasional, namun dalam
Islam penyebab utama kemiskinan dipandang berbeda. Kelangkaan tidak
dianggap penting dalam menjelaskan kemiskinan dalam Islam. Penyebab
utama kemiskinan adalah ketidakadilan yang diciptakan dari korupsi,
mal-distribusi kekayaan dan pendapat serta sampah yang menyertainya
(Askari & Arfaa, 2007).
2) Keadilan dalam bertransaksi. Islam mengkonsep bahwa aturan transaksi
di pasar mencakup pengaturan sumber suplai dan permintaan bagi factor
dan produk yang sesuai syariah sebelum mereka memasuki pasar, aturan
prilaku berlandas syariah bagi pembeli dan penjual, dan proses penawaran
harga yang bebas dari berbagai factor yang diharamkan oleh syariah.
Aturan yang berkaitan dengan peanwaran dan permintaan bukan hanya
mengatur kebolehan produk untuk diminta dan ditawar, tetapi juga
menelisik jauh ke arah fenomena ini. Tidak semua permintaan atas
produk dianggap sah, dan tidak semua tindakan menyuplai produk ke
pasar di izinkan. Aturan prilaku individu dalam pasar di desain untuk
menjamin transaksi yang adil. Prilaku-prilaku buruk seperti penipuan,
manipulasi, praktik monopoli, koalisi, dan kombinasi semua tipe tersebut
di kalangan penjual dan pembeli, menjual produk dengan harga dibawah
standar, tindakan dumping, penimbunan dan menawar tanpa bermaksud
membeli, kesemuanya adalah tindakan yang dilarang. Bahkan berbagai
bentuk prilaku yang mengarah kepada terjadinya hak kepemilikan tanpa
melalui proses kerja yang benar merupakan hal yang dilarang (Iqbal,
Zamir; Mirakhor, 2011).
3) Keadilan distributif merupakan mekanis di mana kebebasan dan
ekuitas yang setara direkonsiliasikan tanpa saling melanggar masing-
masing pihak. Islam menilai bahwa kemiskinan dan kesenjangan bukan

Bab 2: Prinsip Islamic Entrepreneurship 27


disebabkan oleh kelangkaan atau kekurangan sumber daya, atau berkiatan
ketidaksingkronan mode produksi, dan distribusi, melainkan akibat
penghamburan, kemewahan, pemborosan, dan pengabaian pembayaran
apa yang sebenarnya menjadi hak milik masyarakat. Islam tidak ragu-ragu
menganggap bahwa semua individu terhubung dengan standar kehidupan
tertentu; jadi memenuhi hak orang miskin adalah persoalan kesetaraan
dan keadilan, bukan soal kedermawanan belaka (Iqbal, Zamir; Mirakhor,
2011).

D. Penghapusan Riba
Secara Bahasa Arab, riba digunakan dalam arti meningkatkan,
memperluas, membengkak, menggemukkan dan bersuka ria dan lain sebagainya
(Ahmed, 2013). Dalam bahasa Inggris riba disebut usury, yang bermakna
pengambilan bunga atas pinjaman uang secara berlebihan, sehingga cenderung
mengarah kepada eksploitasi atau pemerasan (Umam, 2018). Sedangkan
bunga merupakan jumlah tambahan yang dibayarkan/diterima dari jumlah
pokok menurut kesepakatan karena jangka waktu yang dilampirkan (Ahmad
& Humayoun, 2011). Dengan demikian riba atau bunga pada prinsipnya sama.
Islam dengan lantang melarang riba (QS. Ar-Rum [30]: 39, An-Nisa‘ [4]: 160-
161, Al-Baqarah [2]: 278-279) karena Islam menentang setiap bentuk eksploitasi
dan mendukung sistem ekonomi yang bertujuan mengamankan keadilan
sosio ekonomi yang luas. Bahkan berurusan dengan transaksi berbasis riba
berarti mendeklarasikan perang dengan Allah dan Rasul-Nya (QS. Al- Baqarah
[2]: 279) (Ahmad & Humayoun, 2011). Untuk itu, Islam melaknat berbagai
bentuk eksploitasi, khususnya ketidakadilan dimana pemberi pinjaman dijamin
mendapatkan pengembalian positif tanpa mempertimbangkan risiko yang
diperoleh peminjam, atau dengan kata lain, peminjam menanggung semua
jenis risiko. Dengan asumsi bahwa kekayaan yang dimiliki individu sebenarnya
merupakan amanah Allah SWT, sebagaimana kehidupan seseorang, maka
amanah kekayaan merupakan hal yang sakral. Maka apabila kekayaan itu
diambil secara tidak pantas, berarti ada ketidakadilan yang menodai kesucian
manusia (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011).
Riba dianggap sebagai kenaikan atau kelebihan atas pokok atau, lebih
tepatnya, surplus yang ditetapkan atas hutang. Dalam teori ekonomi modern,
laba juga dilihat sebagai nilai surplus atau sisa atas pembayaran kontraktual
atau hanya selisih antara pendapatan dan biaya (Nur, 2008), tentu saja ini

28 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


tidak benar dalam syariah. Eksistensi riba juga tidak sesuai dengan sistem
nilai Islam, yang melarang semua bentuk pencarian kekayaan yang tidak bisa
dibenarkan. Riba yang merepresentasikan keuntungan keuangan yang tidak
setara dan karena itu tidak dibenarkan, adalah berbeda dari perdagangan, yang
menghasilkan pertukaran nilai yang setara. Dengan menghilangkan riba, tiap
pihak dalam akad akan mendapatkan imbalan yang adil dan setara, dimana
pada akhirnya akan mengarah kepada distribusi penghasilan yang setara dan
kemudian kepada sistem ekonomi yang lebih adil (Iqbal, Zamir; Mirakhor,
2011).
Riba bertentangan dengan kodrat kehidupan manusia di muka bumi,
menciptakan konflik dan merusak kerjasama. Riba bertentangan dengan
sifat lingkungan produksi yang dicirikan oleh ketidakpastian hasil. Dengan
demikian, segala kontrak dan transaksi keuangan-sebagai bentuk kontrak
tertentu-harus mematuhi prinsip syariah dan hanya berlaku jika tidak
mengandung riba (Rahman, 2017), ketidakpastian (gharar), perjudian (maisir)
dan kegiatan yang dilarang (non-halal) (Pesendorfer, 2016). Secara luas riba
dapat hidup laten di dalam sistem ekonomi yang berwujud diskriminatori,
eksploitatori dan predatori yang berarti dapat hidup di dalam suatu sistem
ekonomi subordinasi, kapitalistik, neo-liberalistik dan hegemonik imperialistic
(Kalsum, 2014).
Penghapusan riba (prohibilition of Riba) dipahami bahwa riba menjadi
faktor penghambat kesejahteraan ekonomi di masyarakat. Penghapusan dan
penghilangan riba sangat tegas dan jelas dalam al-Qur'an seperti:”Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS. Ali
Imran [3]: 130). Penghapusan riba merupakan sebuah penolakan tegas terhadap
risiko finansial tambahan yang ditetapkan dalam transaksi uang maupun jual
beli yang dibebankan kepada satu pihak saja yang tentu saja akan merugikan
praktek perniagaan seperti kewirausahaan, sedangkan pihak lainnya terjamin
keuntungannya. Inilah yang disebut praktek ekonomi mendzalimi satu sama
lain yang jelas diharamkan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Riba itu
sekalipun dapat menyebabkan bertambah banyak, tetapi akibatnya akan berkurang.”
(HR. Ahmad). Dalam hadits lain: “Rasulullah SAW melaknat pemakan riba,
pemberinya, penulisnya, kedua saksinya, mereka semua sama.” (HR. Muslim).
Penghapusan riba dapat dimaknai secara secara sempit maupun secara
luas. Secara sempit, penghapusan riba bermakna penghapusan riba yang
terjadi dalam utang piutang maupun jual beli. Jadi, dalam konteks ini bunga

Bab 2: Prinsip Islamic Entrepreneurship 29


yang merupakan riba dalam utang piutang secara mutlak harus dihapuskan
dari perekonomian. Demikian pula berbagai bentuk transaksi jual beli yang
menimbulkan riba, misalnya transaksi-transaksi yang spekulatif, tanpa
pengukuran (valuation) yang jelas, juga harus dilarang. Secara luas penghapusan
riba bermakna sebagai penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang
menimbulkan kedzaliman atau ketidakadilan (P3EI, 2015).
Penghapusan riba bertujuan dalam rangka membangun prinsip tauhid
dan persaudaraan Riba dalam Islam tidak berarti bunga atas modal pinjaman
saja. Tetapi termasuk ke dalamnya setiap adanya peningkatan klaim induvidu
atau neagra terhadap kekayaan atau kepemilikan yang melampau batasan
keabsahan yang dibolehkan menurut Ilsam, yang kemudian dibatasan tersebut
menjadi bahan pertimbangan pula bagi segala jenis penguasaan terhadap
kepemilikan alat-alat produksi (Choudhury, 1986).
Penghapusan riba menjadi penting karena Islam memberikan perhatian
pada pelaksanaan hak dan kewajiban pribadi. Dengan penghapusan riba berarti
mampu mengakhiri terjadinya penindasan dan eksploitasi khsusnya pada
tenaga kerja, dan berbagai eksploitasi sumber daya alam yang melampaui batas,
demi berlangsungnya keberlanjutan ekonomi yang maksimal bagi generasi
akan datang. Sehingga memperoleh jaminan paling tidak ukuran tingkat
konsumsi minimum yang terjada dan adanya kepastian suatu sistem harga
yang berlandaskan aturan yang adil secara aspek sosial ekonomi (Choudhury,
1986). Riba terlarang dan sangat ditentang sebab bersifat eksploitatif dan
buruk bagi perekonomian dan kewirausahaan diharamkan untuk melakukan
praktek seperti ini, karena Islam menghendaki setiap pencapaian kemakmuran
materiil harus berbasis pada aturan-aturan ilahiyah, seperti lewat produksi dan
jasa yang sesuai dengan standar moral Islam, tidak memperlebar kesenjangan
sosial lewat konsumsi yang melampaui batas, dan tidak merusak lingkungan
fisik dan moral generasi sekarang dan akan datang.

E. Maslahah
Maslahat berasal Bahasa Arab dari kata al-islah yang artinya damai dan
tentram. Kata damai sendiri berorientasi pada materi sedangkan tentram
berorientasi pada im-materi. Secara etimologi, maslahah adalah turunan dari
kata shaluha-yashluhu-shâlih yang berarti (baik). Dalam pengertian umum,
maslahah berarti kesejahteraan. Lawan dari maslahat adalah mafsadat dari
fasada yafsudu, artinya sesuatu yang merusak dan tidak baik. Maslahat kadang-

30 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


kadang disebut pula dengan ishtilah “as- taslahah”, yang berarti mencari yang
baik. Maslahat juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung
manfaat.
Maslahah adalah konsep terpenting dalam pengembangan Islamic
Entrepreneurship. Para ulama telah jauh-jauh hari menempatkan maslahah
sebagai pinsip utama dalam syariah. Mulai dari sebagai formulasi ekonomi
Islam dan perumusan fatwa-fatwa serta produk keuangan lainnya. Penempatan
maslahah sebagai prinsip utama, karena mashlahah merupakan konsep
yang paling penting dalam syariah. Selain itu, konsep maslahah dari aspek
agen ekonomi, memberikan kepuasan yang lebih kepada mereka, karena
adanya nilai berkah yang selalu diupayakan secara terus-menerus dalam
setiap aktivitas ekonomi (Aravik, H., 2020). Maslahah adalah tujuan dari
syariah Islam. Kemaslahatan itu adalah terwujudkan dan terpeliharanya lima
komponen pokok yaitu agama (al-din), jiwa (al-nafs), akal (al-‘aql), keturunan
dan kehormatan (al-„ard), dan harta (al-mal).
Kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syari‘ah juga
berdasarkan kepada mashlahah. Inovasi zakat produktif dan wakaf tunai juga
didasarkan kepada maslahah. Pendeknya semua aktivitas dan perilaku dalam
perekonomian acuannya adalah maslahah. Jika di dalamnya ada kemaslahatan,
maka hal itu dibenarkan dan dianjurkan oleh syari‘ah. Sebaliknya jika di sana
ada kemudaratan dan mufsadah, maka prakteknya tidak dibenarkan, seperti
ihtikar, najasy, spekulasi valas dan saham, gharar, judi, dumping, dan segala
jenis yang mengandung riba lainnya (Asriaty, 2015).

F. Falah
Falah bermakna sebagai kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaan dan
kemenangan dalam hidup. Istilah falah menurut Islam diambil dari kata-kata
al-Qur‘an yang sering dimaknai sebagai keberuntungan jangka panjang dunia
dan akhirat, sehingga tidak hanya memandang aspek material namun justru
lebih ditekankan pada aspek spiritual (al-Baqarah [2]:5, 201, Ali Imran [3]:104,
130, at-Taubah [9]:88, al-Qashash [28]:67, Thaha [20]: 64, al-Mukminun [23]:1,
al-A‘la [87]:14 dan asy-Syam [91]:9, Al-Maidah [5]: 90, Al-A‘la [87]: 14, Al-
Mu‘minun [23]: 1-9, Asy- Syams [91]: 9, Al-Jumu‘ah [62]: 9).
Falah merupakan konsep keberkahan dalam praktek kewirausahaan
dan tujuan final praktek berekonomi. Keberkahan fungsi sebagai pemikat
material bagi individu untuk mengikuti perilaku yang dibenarkan. Konsep falah

Bab 2: Prinsip Islamic Entrepreneurship 31


menyatakan bahwa perilaku yang benar, yakni perilaku yang diridhai Allah
SWT, akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda. Semakin baik prilaku,
semakin besar kehadiran berkahnya. Konsep ini menekankan bahwa seseorang
yang membelanjakan kekayaannya karena Allah, tidak akan menyebabkan
hartanya berkurang tetapi justru bertambah. Tindakan semacam ini akan
membuat pelakunya mendapatkan banyak pahala. Konsep ini menciptakan
korelasi positif antara perilaku dengan kemakmuran sistem (Iqbal, Zamir;
Mirakhor, 2011).
Pembangunan kewirausahaan atas dasar semangat dan motivasi untuk
mewujudkan falah yang kemudian diinternalisasikan dalam wujud nilai–nilai
dan prinsip Islamic Entrepreneurship menjadi sebuah keharusan. Sikap rasional
berbasis ajaran Islam akan memotivasi setiap pelaku bisnis dan wirausaha
untuk mencari dan menemukan informasi yang tepat agar dapat meraih falah.
Informasi dapat berasal dari dua sumber, yakni fakta empiris (ayat kauniyah)
dan pemberitahuan langsung dari sang pencipta alam semesta (ayat quliyah).
Tujuan Islamic Entrepreneurship adalah untuk meraih kesejahteraan
manusia (al-falah) yang dicapai melalui pengorganisasian sumber-sumber alam
berdasarkan kooperasi dan partisipasi. Tiga unsur utama dalam kajian ekonomi
Islam yaitu: al-falah yakni kesejahteraan; resources atau sumber- sumber
daya, dan kooperasi dan partisipasi. Kesejahteraan dengan melaksanakan
sistem ekonomi Islam merupakan implementasi sistem yang menganut dan
memasukkan nilai-nilai, dogma, norma, dan ajaran islam (variable keimanan)
sebagai unsur yang fundamental dalam mencapai kesejahteraan.
Variabel keimanan tersebut dijadikan tolak ukur dalam menentukan
tindakan ekonomi yang mengelola faktor produksi, konsumsi dan distribusi
barang dan jasa sebelum memasukkannya ke dalam sirkulasi hukum pasar.
Sehingga terwujud keselarasan dan keseimbangan antara kepentingan personal,
kelompok dengan hukum pasar yang di formulasikan melalui berbagai hasil
kebijakan lembaga sosial ekonomi masyarakat dan negara dalam bentuk
kebijakan yang berasaskan nilai-nilai keimanan. Sehingga terwujud suatu
stimulasi dan sosialisasi ekonomi komprehensif yang dapat mengantarkan
Individu dan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan yang baik dan
terhormat (hayatan toyyibah) dunia dan akhirat.
Pondasi Islamic Entrepreneurship di atas tiada lain agar konsep Islam
sebagai sebagai agama rahamatan lil alamiin (QS. Al-Baqarah [2]: 107) dapat
segera terwujud, yang di dalamnya terdapat keharusan membina setiap muslim
untuk hidup yang baik (QS. al-Nahl [16]: 97) dan hidup sejahtera (QS. al-

32 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Hajj [22]: 77), pemberian kemudahan dan pengentasan kemiskinan (QS al-
Baqarah [2]: 185), menciptakan kemakmuran bersama (QS. al-A’raf [7]: 96,
58), memelihara iklim cinta dan kasih sayang (QS. Maryam [19]: 97), dan
memastikan kebebasan dari korupsi moral (QS. al-Anfal [8]: 73; al-Rum [30]:
41), kelaparan dan ketakutan (QS. al-Nahl [16]: 112; al-Quraysh [106]: 4), dan
ketegangan mental (QS. al-Ra’d [13]: 28) (Borhan & Sa’ari, 2002).

Bab 2: Prinsip Islamic Entrepreneurship 33


34 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah
BAB 3
Karakteristik Islamic
Entrepreneurship

A. Definisi Karakter
Pada berbagai teori baik pendidikan, ekonomi, maupun sosial budaya
dinyatakan bahwa karakter merupakan sesuatu yang perlu dimiliki oleh
seseorang guna mencapai sesuatu yang diinginkan. Karakter dari kata latin
Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang bermakna tools for making, to engrave,
dan pointed stake. Kata ini mulai digunakan kembali dalam bahasa Prancis
caractere pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi
character, sebelum menjadi bahasa Indonesia karakter. Karakter mengandung
pengertian (1) Kualitas positif yang dimiliki seseorang, sehingga membuatnya
menarik dan atraktif, (2) reputasi seseorang, dan (3) seseorang yang memiliki
kepribadian yang eksentrik (Bayu, 2015).
Karakter adalah watak, sifat atau tabiat. Karakter pada umumnya
ditujukan pada sifat suatu obyek mahluk hidup, terutama manusia. Karakter
merupakan bagian dari pembahasan ilmu-ilmu sosial seperti psikologi,
antropologi atu sosiologi. Pada ilmu psikologi pada umumnya terbatas pada
manusia sebagai individu (perseorangan). Istilah karakter dalam psikologi
digunakan kepada integrasi kebiasaan, sentimen dan ideal yang membuat
tindakan seseorang relatif stabil dan dapat diramalkan. Menurut antropologi,
karakter biasanya dikaitkan dengan sifat suatu kelompok yang dipengaruhi
oleh nilai-nilai budaya atau posisi-posisi sosialnya dalam sebuah struktur

35
masyarakat. Jika karakter menunjuk pada integrasi kebiasaan, sentimen
dan ideal yang berpengaruh terhadap tindakan seseorang yang relatif stabil,
tentunya karakter tersebut bersumber dari sebuah konsep ideal tentang
kepribadian yang integratif, menunjuk pada satu sikap dan reaksi positif
tertentu dalam menghadapi permasalahan kehidupan (Wazir, 2013).
Karakter berhubungan dengan kualitas, reputasi dan kepribadian, maka
karakter mengandung ciri-ciri khusus seperti percaya diri, watak dari percaya
diri adalah keyakinan, ketidaktergantunga, individualis dan optimis. Mau
mengambil risiko, menyukai tantangan, memiliki jiwa kepemimpinan dalam
wujud, mampu memimpin, mudah berinteraksi dengan banyak orang, dan
dapat menerima saran dan kritik dari bawahan. Pada konteks kekinian karakter
memiliki posisi yang sangat penting dan strategis.
Sebagaimana Scalia menunjukkan bahwa karekter harus menjadi fondasi
bagi kecerdasan dan pengetahuan (brains and learning). Sebab kecerdasan
dan pengetahuan (termasuk informasi) dapat diperjualbelikan. Dan telah
menjadi pengetahuan umum bahwa di era knowledge economy abad ke-21 ini
knowledge is power. Untuk membangun karakter perlu proses. Dimulai dari
perenungan mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral)
dan di dukung dengan aksi nyata sehingga menjadi praktis, refleksi, dan
praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi costum
(kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang (Bayu, 2015).
Karakter berhubungan dengan kemauan. Perpaduan antara karakter
dan kemampuan ini tampak pada empat unsur pokok, yaitu: Pertama,
Kemampuan (hubungannya dengan skill) antara lain: (a). Dalam membaca
peluang, (b). Dalam berinovasi, (c). Dalam mengelola, (d). Dalam menjual.
Kedua, Keberaniannya (hubungannya dengan karakter) antara lain: (a). Dalam
mengatasi ketakutannya, (b). Dalam mengendalikan risiko, (c). Untuk keluar
dari zona nyaman. Ketiga, Keteguhan hati (hubungannya dengan karakter)
antara lain: (a). Persistent (Gigih, pantang menyerah), (b). Determinasi (teguh
akan keyakinannya), (c). Kekuatan akan pikirannya (power of mind) bahwa
setiap orang juga bisa. Keempat, Insipirasi sebagai cikal bakal untuk menemukan
peluang (hubungannya dengan experiences) (Wazir, 2013).

B. Karakteristik Islamic Entrepreneurship


Karakteristik Islamic Entreprenuer dapat diartikan sebagai hal-hal yang
berelasi dengan ciri khas, watak, prilaku, tabiat, serta sikap orang terhadap

36 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


perjuangan hidup untuk mencapai keberhasilan lahir dan batin yang sejalan
dengan nilai-nilai Islam. Karakteristik Islamic Entreprenuer pada umumnya
terlihat pada waktu ia berkomunikasi dalam rangka mengumpulkan informasi
saat menjalin hubungan dengan para relasi bisnisnya, penuh dengan adab,
akhlak dan sopan santun. Memiliki semangat besar dan keinginan untuk
senantiasa berinovasi, melaksanakan tanggung jawab sebaik-baiknya, dan
berani mengambil risiko karena berkemauan kuat untuk maju. Untuk itu,
seorang Islamic Entrepreneuer untuk selalu bersikap optimis dan berpikiran positif
serta kreatif dalam menghadapi berbagai keadaan dalam lingkungan usaha
yang sangat dinamis dan merubah setiap saat sesuai dengan perkembangan
zaman (Indarto & Santoso, 2020).
Jadi karakteristik entreprenuer memiliki peran utama dalam melahirkan
sikap mental seseorang, daya inovasi, kreativitas, keberanian, ketekunan,
semangat kerja keras, daya juang yang bersatu dengan pengetahuan
keterampilan dan kewaspadaan menentukan keberhasilan usaha (Indarto &
Santoso, 2020). Oleh karena itu, karakteristik entreprenuer adalah bagian penting
dari pendidikan kecakapan hidup (life skills).
Yuyun Suryana, (2013) menyatakan bahwa karakter merupakan sikap
dasar. Setidaknya ada 10 (sepuluh) sikap dasar wirausaha, seperti:
1. Visioner (visionary), yaitu mampu melihat jauh ke depan.
2. Bersikap positif (positive), yaitu selalu berpikir positif sehingga dapat
menjadikan tantangan menjadi peluang (opportunity)
3. Percaya diri (confiden).
4. Asli (genuine).
5. Berpusat pada tujuan (goal oriented).
6. Tahan uji (resistent).
7. Siap menghadapi risiko (ready to face a risk).
8. Kreatif menangkap peluang (creative).
9. Menjadi pesaing yang baik (healthy competitor).
10. Pemimpin yang demokratis (democratic leader) Dengan cakupan yang tidak
terpisahkan, antara lain:
(1) Acihiecvement orientation bermakna kemampuan menetapkan sasaran
kerja dan startegi pencapaiannya.
(2) Impact an Influence bermakna kemampuan menyakinkan orang lain
baik secara lisan maupun tulisan.
(3) Analiytical thinking bermakna kemampuan mengelolah dan
mengintrepretasikan data atau informasi.

Bab 3: Karakteristik Islamic Entrepreneurship 37


(4) Conceptual thinking bermakna kemampuan mengolah dan
mengintreprestasikan data atau informasi.
(5) Initiative bermakna kemampuan menyakinkan diri sendiri dalam
kegiatan organisasi (Suryana, 2013).

M. Tohar, (2000) membagi wirausahawan menjadi tiga, yaitu wirausaha


andal atau pengusaha yang baik, wirausaha tangguh, dan wirausaha unggul.
Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri. Pertama, wirausaha andal atau
pengusaha yang baik. Wirausaha andal atau pengusaha yang baik, memiliki
karakteristik sebagai berikut:
(a) Punya rasa percaya diri dan sikap mandiri untuk mendapatkan penghasilan
dan keuntungan melalui perusahaannya.
(b) Berkeinginan dan dapat mencari dan memenangkan peluang usaha yang
menguntungkan dan melakukan apa saja yang bermanfaat.
(c) Berkeinginan dan dapat bekerja keras dan tekun dalam menghasilkan
barang dan jasa serta mencoba cara kerja yang efisien.
(d) Berkeinginan dan dapat berkomunikasi, tawar-menawar, dan
bermusyawarah dengan berbagai pihak demi kemajuan usahanya.
(e) Menjalankan usahanya dengan terencana, jujur, hemat, dan disiplin.
(f) Menyayangi kegiatan usahanya, lugas dan tangguh tetapi luwes dalam
melindungi, dan
(g) Berusaha mengenal dan mengendalikan lingkungan serta menggalang
kerja sama yang saling menguntungkan dengan berbagai pihak.

Kedua, wirausaha tangguh. Wirausaha tangguh memiliki karakteristik,


yaitu:
1) Berfikir dan bertindak strategis dan adaptif terhadap perubahan dalam
berusaha mencari peluang keuntungan termasuk yang mengandung risiko
yang agak besar dalam mengatasi masalah.
2) Selalu berusaha untuk mendapatkan keuntungan melalui berbagai
keunggulan untuk memuaskan pelanggan.
3) Berusaha mengenal dan mengendalikan kekuatan dan kelemahan
perusahaan serta meningkatkan kemampuan dengan sistem pengendalian
intern.
4) Selalu berikhtiar meningkatkan keahlian dan kecakapan sumber daya dan
perusahaan terutama dengan pembinaan motivasi dan semangat kerja
sama serta menumpukan permodalan.

38 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Ketiga, wirausaha unggul. Wirausaha unggul memiliki karakteristik,
antara lain: (a) Berani mengambil risiko serta dapat mempertimbangkan dan
berusaha menghindarkannya, (b) Selalu berusaha memenuhi dan mendapatkan
karya bakti yang lebih baik bagi langganan, pemilik, pemasok, tenaga kerja,
masyarakat, bangsa, dan negara, (c) Antisipatif terhadap perubahan dan
akomodatif terhadap lingkungan, (d) Kreatif mengejar dan merebut peluang
pasar, meningkatkan produktivitas, dan efisien, dan (e) Selalu berusaha
menaikkan tingkat keunggulan dengan mitra pengusaha melalui jalur investasi
baru di segala bidang.
Sedangkan entreprenuer dianggap berhasil, apabila memenuhi karakteristik
berikut ini; (1) Inisiatif, maksudnya melakukan sesuatu sebelum diminta
atau terdesak keadaan, (2) Asertif, maksudnya menghadapi masalah secara
langsung dengan orang lain atau meminta orang lain mengerjakan apa yang
harus mereka kerjakan, (3) Melihat dan bertindak berbasis peluang, maksudnya
menangkap peluang khusus untuk memulai bisnis baru, mencari dukungan
keuangan, lahan, ruang kerj, dan bimbingan, (4) Orientasi efisiensi, maksudnya
mencari dan menemukan cara untuk mengerjakan sesuatu dengan lebih cepat
atau dengan lebih sedikit biaya, (5) Perhatian pekerjaan dengan kualitas tinggi,
maksudnya keinginan untjuk menghasilkan atau memasarkan produk atau
jasa dengan kualitas tinggi, (6) Perencanaan yang sistematis, maksudnya
menguraikan pekerjaan yang besar menjadi tugas-tugas atau sasaran-sasaran
kecil, mengantisipasi hambatan dan menilai alternatif, (7) Pemantauan,
maksudnya mengembangkan atau menggunakan prosedur untuk memastikan
bahwa pekerjaan dapat diselesaikan atau sesuai dengan standar kualitas
yang ditetapkan, (8) Komitmen terhadap pekerjaan, maksudnya melakukan
pengorbanan pribadi atau bisnis yang luar biasa untuk menyelesaikan
pekerjaan. Bergandengan tangan bersama karyawan dan bekerja di tempat
karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan, dan (9) Menyadari pentingnya
dasar-dasar hubungan bisnis, maksudnya melakukan tindakan agar tetap
memiliki hubungan dekat dengan pelanggan. Memandang pribadi sebagai
sumber bisnis. Menempatkan jasa baik jangka panjang di atas keuntungan
jangka pendek (Riant, 2009).
Adapun calon wirausaha termasuk wirausahawan muslim, Ian C
MacMillan and Rita Gunther McGrath, (2000), memberikan masukan perlu
memiliki minimal tujuh karakter, antara lain.

Bab 3: Karakteristik Islamic Entrepreneurship 39


1. Action oriented.
Seorang entrepreneur terbiasa untuk bertindak secepatnya, sekalipun
situasinya tidak pasti (uncertain). Prinsip yang dianut adalah see and do.
Terhadap berbagai risiko mereka berprinsip bukan untuk menyingkir atau
dihindari, melainkan dilawan dan ditaklukkan dengan berbagai keahlian
dan tindakan.
2. Berpikir simpel.
Seorang entreprenuer berprinsip bahwa dunia boleh saja berubah serumit
mungkin, mereka akan senantiasa belajar menyederhanakannya. Dan
meskipun berilmu tinggi, mereka tidak akan menghendaki pekerjaan
yang kompleks. Mereka selalu melihat persoalan dengan pikiran jernih
dan menyelesaikan masalah satu demi satu secara bertahap.
3. Mereka selalu mencari peluang-peluang baru.
Seorag entreprenuer akan selalu mencari peluang-peluang usaha baru, baik
dengan cara membuat produk-produk baru, harga-harga baru dan lain-
lain.
4. Mengejar peluang dengan disiplin tinggi.
Seorang entreprenuer tidak hanya cermat, punya mata tajam melihat
peluang, dan punya penciuman kuat terhadap sebuah peluang, melainkan
juga mereka bergerak ke arah itu. Peluang tidak saja dicari, diciptakan,
dibuka, dan diperjelas. Karena entreprenuer melakukan investasi dsn
menanggung risiko, maka seorang entreprenuer harus punya disiplin tinggi.
Maka entreprenuers sukses bukanlah pemalas atau penunda pekerjaan.
Mereka ingin pekerjaannya cepat selesai, dan apa yang terbersit dalam
pikiran dapat dikerjakan secepatnya. Mereka beradu dengan waktu.
Apalagi sebuah peluang pada suatu waktu tertentu menjadi peluang,
pada waktu lain belum tentu masih menjadi peluang. Ketika kesempatan
itu hilang, belum tentu akan kembali lagi. Setiap gagasan brilliant dan
inovasi biasanya harus dibangun dari bawah dan disusun seluruh mata
rantai nilainya (value chain).
5. Hanya mengambil peluang yang terbaik.
Cara penilaian peluang tersebut ada pada nilai-nilai ekonomis yang
terkandung didalamnya, masa depan yang lebih cerah, kemampuan
menunjukkan prestasi, dan perubahan yang dihasilkan. Semua itu
biasanya dikaitkan dengan “rasa suka” terhadap objek usaha atau
kepercayaan bahwa dia “mampu” merealisasikannya. Pada akhirnya,

40 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


sukses yang diraih setiap orang ditentukan oleh keberhasilan orang itu
dalam memilih.
6. Fokus pada eksekusi.
Seorang entreprenuer bukan yang bergulat dengan pikiran, merenung
atau menguji hipotesis, melainkan orang yang fokus pada tindakan.
Mereka tidak mau berhenti pada eksploitasi pikiran atau berputar-putar
dalam pikiran penuh keraguan. “Manusia dengan entrepreneur mindset
mengeksekusi, yaitu melakukan tindakan dan merealisasikan yang
dipikirkan daripada menganalisa ide- ide baru sampai mati”
Apakah itu peluang bisnis yang benar-benar baru, atau peluang dari
bisnis yang sama. Untuk bisnis-bisnis yang baru, mereka akan selalu
belajar, membuat jaringan dari bawah dan menambah landscape atau scope
usahanya. Sedangkan dalam bisnis yang sama, mereka akan selalu tekun
mencari alternatif-alternatif baru.
7. Memfokuskan energi setiap orang pada bisnis yang digeluti.
Seorang entreprenuer tidak bekerja sendirian melainkan dalam sebuah tim.
Dia mengerahkan segala potensi baik tenagan maupun pikiran setiap
orang, baik dari internal maupun eksternal perusahaan. Mereka membuat
jaringan bersama daripada mengeksekusi impian sendiri. Ibarat seorang
orkestraktor atau dirigen musik, dia mengumpulkan pemusik-pemusik
yang ahli dalam memainkan instrumen-instrumen yang berbeda-beda
untuk menghasilkan nada-nada musik yang disukai penonton. Untuk
itu, dia harus memiliki kemampuan mengumpulkan orang, membangun
jaringan, memimpin, menyatukan gerak, memotivasi, dan berkomunikasi

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa karakter yang dimiliki


wirausaha umumnya memiliki perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan
karakter yang dimiliki orang pada umumnya. Seorang wirausaha umumnya
memiliki keberanian dalam mengambil risiko yang telah diperhitungkan.
Wirausaha tidak gampang menyerah, selalu membuat inovasi untuk meraih
kesuksesan dalam menghadapi persaingan. Seorang wirausaha biasanya
mempunyai kepercayaan diri yang kuat, mandiri, energik, tekun, pekerja
keras, serta proaktif. wirausaha juga seorang yang inovatif, kreatif dan memiliki
fleksibilitas yang tinggi.
Sikap dan perilaku entreprenuer menjadi sangat penting dalam kehidupan
masyarakat. Sikap dan perilaku wirausaha akan tumbuh dan berkembang,
manakala karakteristik dari pribadi wirausaha telah terinternalisasi dengan

Bab 3: Karakteristik Islamic Entrepreneurship 41


kokoh dalam pribadi setiap peserta didik. Sehingga dengan terinternalisasinya
karakteristik wirausaha akan melahirkan sikap dan perilaku wirausaha, yang
pada akhirnya akan dapat melahirkan generasi-generasi wirausaha yang
semakin banyak (Fatimah, 2013).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa entreprenuer memiliki beberapa
karakteristik berikut ini:
a. Punya keinginan untuk mengambil tanggung jawab. Dimana seorang
entreprenuer tidak akan melihat tanggung jawab sebagai masalah atau
beban, namun adalah sebuah tahapan yang terjadi dengan sendirinya
dalam proses mencapai tujuan.
b. Mengambil risiko menangah. Dimana seorang wirausaha, meskipun
suka mengambil risko, namun senantiasa mengambil jenis rikiko tingkat
menengah.
c. Percaya diri. Ia sangat percaya bahwa inisiatif merupakan bibit kreativitas
dan benih inovasi dalam mencapai kemajuan.
d. Berhasrat untuk mengetahui umpan balik secepatnya.
e. Enerjik
f. Berorientasi pada masa depan
g. Ketrampilan berorganisasi
h. Menilai prestasi lebih tinggi daripada uang (Slamet, Franky, Hatti Karunia
Tanjung Sari, 2016)

Seorang entreprenuer tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri,


tetapi berorientasi agar segala usaha dan kegiatannya memberi manfaat bagi
orang lain. Bahkan bagi bangsanya, menciptakan lapangan pekerjaan bagi
orang lain, serta mendidik para pekerjanya agar dapat mandiri. Karakter
wirausaha ini sering disebut sebagai pejuang atau wirausaha yang berkarakter
iman dan takwa, yang senantiasa menjalankan usahanya dalam koridor akhlak
untuk mencapai keridhaan Allah SWT (Siswanto, 2016) dimana seluruh usaha-
usaha yang dilakukannya menghasilkan maslahat dan mengandung falah.
Zimmerer dalam Suryana, (2013) menggambarkan bahwa terdapat
delapan karakteristik kewirausahaan, antara lain sebagai berikut:
a. Desire for responsibility, bermakna punya rasa tanggung jawab terhadap
usaha yang dilakukannya, sehingga akan selalu mawas diri
b. Preference for moderate risk bermakna selalu berusaha menghindari berbagai
macam risiko, baik risiko kecil maupun risiko yang berat.

42 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


c. Confidence in their ability to success bermakna punya kepercayaan diri untuk
memperoleh kesuksesan.
d. Desire for immediate feedback yaitu selalu berkemauan terhadap umpan balik
dengan segera.
e. High level of energy bermakna punya motivasi dan kerja keras untuk
mewujudkan cita-cita demi masa depan yang lebih baik.
f. Future orientation bermakna punya tujuan, perspektif dan wawasan jauh
ke depan.
g. Skill at organizing bermakna punya kompetensi dalam mengorganisasikan
sumber daya guna menciptakan nilai tambah.
h. Value of achievement over money bermakna lebih mengapresiasi prestasi
yang telah dicapai daripada uang atau keuntungan finansial.

Harimurti Subanar (2001) mengatakan bahwa sifat karakteristik wirausaha


di antaranya:
1. Memiliki tanggung jawab pribadi.
2. Dinamis dan mampu memimpin.
3. Memiliki sikap optimis atas suatu peluang.
4. Mampu meminimalisir risiko.
5. Gigij dan ulet, bertekad-penuh percaya diri.
6. Enerjik dan cerdas.
7. Mampu melihat peluang.
8. Kebutuhan untuk berprestasi.
9. Kreatif dan inovatif.
10. Mampu mempengaruhi orang lain.
11. Mandiri dan tidak tergantung pada orang lain.
12. Berinisiatif untuk maju.
13. Bersikap positif terhadap setiap perubahan.
14. Terbuka atas saran dan kritik yang membangun.
15. Selalu melihat/mengarahkan orientasinya ke masa depan.
16. Bergegas dalam menangkap suatu pengertian

Mc Cillend dalam Yuyus Suryana dan Kartib Bayu, (2015) mengajukan


konsep Need for Achievement (N-Ach) dalam konsep entreprenuership. Menurutnya
ada 6 (enam) karakteristik yang dimiliki mereka yang memiliki N-Ach, yaitu:

Bab 3: Karakteristik Islamic Entrepreneurship 43


1). Lebih menyukai pekerjaan dengan risiko yang realistis.
2). Bekerja lebih giat dalam tugas-tugas yang memerlukan kemampuan
mental.
3). Imbalan uang bukan tujuan dari bekerja keras.
4). Berorientasi pada pekerjaan yang menuntut pencapaian pribadi (personal
achievement).
5). Memperlihatkan kinerja maksimal dalam kondisi yang memberikan
umpan balik yang jelas positif.
6). Cenderung berfikir ke masa depan dan punya pemikiran jauh ke depan
(jangka panjang).

Arman Hakim Nasution, Bustanul Aripin, dan Mokh. Suef (2007)


mengungkapkan bahwa karakteristik yang harus ada pada seorang entreprenuer,
adalah:
a). Achievement orientation, bermakna keahlian menetapkan sasaran kerja dan
strategi pencapaiannnya.
b). Impact at influence, bermakna keahlian menyakinkan orang lain baik secara
lisan maupun tulisan.
c). Analytical thinking, bermakna keahlian mengola dan menginterpretasikan
data atau informasi.
d) Conceptual thinking, bermakna keahlian menarik kesimpulan atas informasi
terhadap masalah.
e). Initiative, bermakna keahlian menghadirikan diri sendiri dalam kegiatan
organisasi.
f). Slef confidence, bermakna keahlian menyakinkan diri sendiri atas tekanan
lingkungan.
g). Interpersonal understanding, bermakna keahlian dalam mengerti sikap,
minat, dan perilaku orang lain.
h). Concern for oder, bermakna keahlian menangkap dan mencari kejelasan
informasi tugas.
i). Information seeking, bermakna keahlian dalam menggali informasi yang
dibutuhkan.
j). Team cooperation, bermakna keahlian dalam bekerjasama dan berperan
dalam kelompok.
k). Expertise, bermakna keahlian dalam menggunakan dan mengembangkan
kemampuan.

44 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


l). Customer service arientation, bermakna keahlian dalam menemukan dan
menjawab kebutuhan konsumen.
m). Developing others, bermakna kemauan untuk mengembangkan teman kerja
secara sukarela.

Selanjutnya Zimmerer dalam Mallongi, (2020) merumuskan manfaat


entrepreneur atau kewirausahaan, sebagai berikut. Pertama, Berpeluang dan
kebebasan mengendalikan nasib sendiri. Dengan menjadi entrepreneur dapat
mencapai peluang hidup yang diinginkan. Seseorang yang berwirausaha akan
selalu mencoba memenangkan hidup serta memungkinkan untuk menjadikan
lahan bisnisnya untuk mencapai cita-cita yang diinginkan. Kedua, Memberi
peluang melakukan perubahan dimana proses mendorong perubahan ini sangat
penting untuk menyeimbangkan kepedulian terhadap masalah ekonomi dan
sosial di lingkungan masyarakat untuk mendorong menuju ke tahap kehidupan
maksimal dan jauh lebih baik lagi.
Ketiga, Memberi peluang untuk mencapai potensi diri sepenuhnya.
Seorang wirausaha mamahami bahwa tidak ada perbedaan antara bekerja
dan menyalurkan hobi, keduanya sama saja, bahkan dalam dunia bisnis. Bisnis
bagi seorang wirausahawan merupakan instrumen aktualisasi diri. Oleh karena
itu, keberhasilan berwirausaha merupakan suatu hal yang ditentukan oleh
kreativitas, antusiasme, inovasi, dan visi secara mandiri. Keempat, Berpeluang
untuk meraih keuntungan seoptimal mungkin. Keuntungan merupakan
motivasi penting mendirikan usaha. Kelima, Berpeluang untuk berperan aktif
dalam masyarakat dan mendapatkan pengakuan atas usahanya. Keenam,
Berpeluang melakukan sesuatu yang disukai dan menumbuhkan rasa senang
dalam mengerjakannya.
Sedangkan dalam perspektif Islam karakter entreprenuer harus dimiliki
seorang muslim adalah sebagai berikut:
1. Menjaga nilai-nilai agama
Seorang wirausaha muslim harus selalu menjaga dan menerapkan nilai-
nilai agama dalam praktek bisnis yang dijalankan. Nilai-nilai agama
tersebut terwujud dalam akhlak yang baik (akhlak al-karimah) seperti
jujur, amanah, fathanah, tabliqh, selalu berhusnudzon (Yuliana, 2017).
Maka orang akan senang bermitra dan berbisnis dengannya. Praktek
seperti ini sudah dilaksanakan Rasulullah SAW ketika menjalankan bisnis
Khadijah. Rasulullah SAW memperlihatkan karakter sesungguhnya dari

Bab 3: Karakteristik Islamic Entrepreneurship 45


seorang wirausaha. Dengan karakter tersebut, Rasulullah SAW tidak saja
untung besar dalam setiap perdagangan yang dilakukan, melainkan lebih
dari itu, mendapatkan tempat terhormat dan istimewa dari Khadijah
sebagai pemilik modal dan rekan-rekan bisnis lainnya. Untuk itu, seorang
wirausaha wajib hukumnya punya pemahaman komprehensif hukum-
huum bisnis termasuk halal dan haram sebuah bisnis.
Seorang entrepreneur syariah mesti mengetahui benar fakta-fakta
(tahqiqul manath) terhadap praktik bisnis yang shahih maupun salah, dan
harus mengerti dasar-dasar nash yang dibuat hukum (tahqiqul hukmi),
serta selalu berpijak pada nilai-nilai ruhaniyah dalam aktivitas bisnis
yang dijalankan. Selain itu, hendaknya memerhatikan tatanan muamalah
yang telah ditetapkan dalam Islam. Norma-norma etis yang sudah ada
sejak zaman Rasulullah dan terumuskan dengan baik dalam praktek
kehidupan setelahnya telah memberikan manfaat yang sangat bernilai
bagi normalnya siklus perdagangan (Mallongi, 2020).
2. Berorientasi Halal dan Pelayanan
Seorang wirausaha muslim harus berprinsip lebih baik merugi daripada
melakukan perbuatan tidak terpuji. Para pengusaha semaksimal mungkin
harus menghindarkan pertentangan, apalagi yang akan menyebabkan
putus hubungan. Semua tuntutan dari relasi sampai tingkat tertentu harus
dilayani dengan penuh kebahagiaan dan toleransi. Harus dicari win-win
solution pada setiap persengketaan. Cepat ganti barang baru, jika ada
tuntutan yang benar. Semua ini untuk menjaga nama baik dan reputasi
perusahaan. Segala tindakan tidak berakhlak, curang, tidak jujur, tidak
menepati janji, akan menurunkan martabat bisnis, sedangkan martabat
atau reputasi adalah sesuatu yang wajib perjuangkan setiap entreprenuer,
yang akan menjadi competitive advantage, keunggulan bersaing yang abadi,
dan bisa jadi kemenangan selama-lamanya (Zamzam, H. F., & Aravik,
2020).
3. Termotivasi memberi kebaikan pada orang lain.
Seorang muslim pasti termotivasi apabila berhasil bisnisnya, makin
kaya dan makin banyak usahanya, maka makin banyak orang yang
ikut menikmati hasil usaha dan keberhasilannya (Yuliana, 2017).
Dengan memberi seorang muslim melaksanakan perintah agama untuk
menutup peluang bagi kemiskinan (QS. Al-Mulk [67]: 15), dan tidak
akan mengalami kelaparan (QS. Thaha [20]: 18-19). Sehingga usaha
yang dilakukannya memberikan manfaat bagi banyak orang, di samping

46 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


kewajiban fundamental yang harus dikeluarkan dari zakat, infak, sedekah,
dan wakaf, serta amalan-amalan baik lainnya. Karena di setiap harta
orang kaya terdapat hak orang fakir, miskin, dan sebagainya (QS. Al-Isra‘
[17]: 20, Adz-Dzariyat [51]: 19 dan Rum [30]: 38).
4. Berorientasi ketaatan kepada Allah SWT
Seorang entreprenuer muslim dalam melaksanakan aktivitas bisnisnya
harus berorientasi pada ketaatan kepada Allah SWT (QS. Adz-Dzariyat
[51]: 56). Orientasi ini didapatkan dengan menjalankan bisnis yang
dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan
Allah SWT. Hal itu terwujud jika bisnis selalu mendasarkan pada aturan-
Nya dan menjauhi berbagai larangan-larangan-Nya.
5. Selalu inovatif dan kreatif dalam usahanya
Seorang entreprenuer muslim harus inovatif dan kreatif seiring dengan
perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang terus berubah.
Selalu berorientasi ke masa depan. Kecerdasan dalam membaca trend
masyarakat, dan kecepatan merebut peluang merupakan solusi untuk
memelihara kelangsungan usahanya.
6. Mampu menggunakan waktu dengan baik dan produktif.
Orang-orang yang sukses dalam berbisnis, hampir pasti adalah mereka
yang pandai memanfaatkan waktu dengan baik. Sebagaimana istilah
entreprenuer sendiri dimaknai sebagai orang yang berusaha menggunakan
waktunya dengan menanggung risiko dalam menjalankan kegiatan bisnis.
Maka setiap wirausaha muslim harus menggunakan waktu dengan sebaik-
baiknya dan jangan sampai disia-siakan. Al-Qur‘an telah mengingatkan
tentang bahaya orang-orang yang tidak pandai memanfaatkan waktu
sebagai orang yang merugi (QS. Al-Asr [103]: 1-3).
6. Menjalin kerjasama dengan pihak lain.
Manusia sebagai makhluk sosial mesti menggalakkan kerjasama untuk
mewujudkan tujuan bersama. Kerjasama adalah penggabungan banyak
kekuatan sehingga pekerjaan berat menjadi lebih ringan dan yang sulit
menjadi lebih mudah. Hendaknya entreprenuer muslim berpikir bagaimana
agar keuntungan dapat dimiliki secara bersama. Semakin banyak yang
memperoleh keuntungan akan semakin baik. Kunci awal dalam menjalin
kerjasama merupakan aspek kejujuran dan keadilan bagi para pelaku
transaksi (Yuliana, 2017).
Karakter wirausaha muslim diawali dengan pembentukan sikap yang
sangat memengaruhi perilaku dalam melakukan interaksinya dengan

Bab 3: Karakteristik Islamic Entrepreneurship 47


lingkungan bisnis. Pembentukan sikap ini bertitik tolak dari akhlak Islam
yang merupakan konsep tentang penggambaran ideal seorang muslim
menyangkut cara pandangnya terhadap kehidupan. Oleh karenanya,
setiap muslim harus menyakini bahwa segala yang ada di dalam semesta
ini, termasuk harta adalah milik Allah dan manusia hanyalah bertugas
untuk mengelolanya. Orang yang bertugas dalam mengelola sudah pasti
harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pemiliknya dan tidak
boleh melanggarnya (QS An-Najm [53]: 31) (Wazir, 2013).

Dari penjelasan di atas dapat di mengerti bahwa karakteristik wirausaha


Islam atau Islamic entrepreneur merupakan komponen yang sangat penting,
yang berhubungan erat dengan sikap mental, daya jelajah, kerativitas, inovasi,
ketekunan, semangat bekerja keras, rasa pantang menyerah, dan tidak puas
terhadap keberhasilan sehingga senantiasa mencoba untuk mendapatkan
sesuatu yang terbaik, dengan tetap waspada terhadap sesuatu yang buruk,
mau bertanggung jawab dan selalu melihat peluang untuk keberhasilan dirinya,
orang lain dan masyarakat. Karakter wirausaha merupakan sikap positif dan
berhubungan erat dengan sikap mental dan jiwa yang memberikan arah dan
tujuan terhadap sesuatu yang ingin dicapai.

48 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


BAB 4
Membangun Jiwa Islamic
Entrepreneurship

A. Jiwa Islamic Entrepreneurship


Islamic Entrepreneurship pada hakikatnya sifat, ciri dan watak seseorang
muslim yang memiliki kemauan dalam merealisasikan gagasan inovatif ke
dalam dunia nyata dan kreatif. Oleh karena itu, jiwa wirausaha bagi seornag
muslim sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing, mendorong untuk
mendirikan dan mengelola usaha secara profesional. Jiwa wirausaha dimaknai
sebagai kepandaian maupun bakat untuk mengenal, menemukan, menyusun
operasi pengadaan, mengatur permodalan dan memasarkan produk baru
sebagai sumber tenaga dan semangat hidupnya. Menunjukkan pula sikap
dan pengharapan seseorang sebagai bentuk keterpautan hati kepada yang
diinginkannya yang akan terjadi di masa depan (Wijayanti, 2018).
Dengan kata lain, jiwa entreprenuer adalah orang yang sumber tenaga
dan semangat hidupnya selalu memproduksi dan memasarka produk baru.
Maka untuk menjadi seorang berwirausaha, hal yang paling mendasar yang
harus dilakukan atau dimiliki setiap individu muslim adalah memiliki jiwa
kewirausahaan dalam dirinya. Dengan adanya jiwa kewirausahaan itu sendiri
merupakan keyakinan yang kuat akan harga atau nilai sesuatu yang menjadi
bidang kegiatan usaha atau bisnis yang ada dalam dirinya (Madjid, 2002).
Menurut Buchari Alma, (2006) jiwa entreprenuer merupakan keutuhan
yang terjadi dari perasaan batin dan angan-angan dan menjadi sumber atau

49
spirit dalam menerobos sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan
barang dan jasa. Jiwa entreprenuer ada dalam setiap orang yang mempunyai
kemampuan kreatif dan inovatif serta yang menyukai perubahan,
pembaharuan, kemajuan dan tantangan (Suryana, 2013). Jiwa entreprenuer
adalah jiwa kemandirian untuk mencari sebuah sumber penghasilan dengan
membuka usaha ataupun menyalurkan kretifitas yang dimiliki seseorang
untuk kemudian dijadikan untuk mencari penghasilan, jiwa entreprenuership
ditanamkan sejak seseorang mulai sadar bahwa uang itu penting dan seseorang
tersebut memiliki keterampilan atau seseuatu hal seperti barang atau jasa yang
bisa dijual, seseorang akan belajar untuk lebih mandiri, berfikir kritis, dan maju
apabila ditanamkan jiwa kewirausahaan sejak dini (Suryana, 2013). Dengan
indikator seperti percaya diri, optimisme, disiplin, komitmen, berinisiatif,
motivasi, memiliki jiwa kepemimpinan, suka tantangan, memiliki tanggung
jawab dan human relationship.
Muhammad Rapii, (2019) menyatakan bahwa seseorang yang berjiwa
wirausaha setidaknya memiliki kepribadian yang kuat, yaitu (1) Kepercayaan
dan pengendalian diri pada saat mereka sedang melaksanakan pekerjaan, (2)
selalu mencari kegiatan, (3) mampu meneguhkan hati, (4) memenej pekerjaan
berdasarkan tujuan, (5) penganalisisan kesempatan, pemikiran yang kreatif
dan objektif, (7) mampu memecahkan persoalan.
Sedangkan menurut teori yang banyak dianut para pengembang
menyatakan bahwa jiwa entreprenuership itu bisa dibangkitkan melalui
pembelajaran dan pelatihan. Orang-orang yang tadinya tidak memiliki jiwa
entreprenuer, setelah melalui pendidikan dan pelatihan bisa menjadi orang-
orang yang hebat dan tangguh (Fatimah, 2013), sangat potensial menatap
masa depan yang didalam kepribadianya telah terinternalisasikan nilai-nilai
kewirausahaan, yakni kepribadian yang memiliki tindakan kreatif sebagai nilai,
gemar berwirausaha, tegar dalam berbagai tindakan, percaya diri, memiliki
self determination atau lucus of control, berkemampuan mengelolah risiko,
menganggap waktu sangat berharga serta memiliki motivasi yang kuat, dan
karakter itu semua telah menginternal sebagai nilai-nilai yang diyakini benar
(Hasanah, 2015).
Menurut Yuyun Suryana dan Kartib Bayu, (2015) jiwa entrepreneur
terdapat pada setiap insan, berarti setiap insan memiliki kreativitas dan
mempunyai tujuan tertentu, serta berusaha untuk mencapai keberhasilan
dalam hidupnya. Namun, terkadang dijumpai bahwa daya ciptanya kurang
terealisasi, kalaupun terealisasikan tetapi kurang maksimal dan mampu untuk

50 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


menjualnya atau kurang maksimal menumbuhkan daya tarik masyarakat luas,
bahkan tujuan yang ingin dicapainya lebih mengarah kepada sesuatu yang
bersifat negatif, sehingga sering menimbulkan suasana yang kurang kondusif
dan positif.
Padahal tanpa disadari kita adalah penjual tetapi tidak semua dari kita
memiliki jiwa wirausaha salesmanship. Hal ini terlihat berikut ini:
1. Politikus harus memasarkan dirinya ke partai. Bila masih dalam partainya
dia wajib berusaha memengaruhi para pengikutnya.
2. Karyawan atau tenaga kerja harus menjual tenaga kepada pekerjaan
salesmanship dengan cara harus menjaga posisinya setelah tercapai sesuatu.
3. Peminjam uang harus mampu meyakinkan banker pada rencana
penggunaan dana sehingga tergambar jelas bahwa ia mampu melunasi
utangnya.
4. Ahli hukum harus menjual ide keadilan yang menguntungkan terdakwa
untuk kasus langganannya di depan hakim dan juri, bahkan bila dia tahu
kasusnya itu merupakan berfaedah kecil.
5. Jika seorang lelaki berniat menikah dia harus menjual dirinya kepada
pilihannya, untuk tujuan itu sebagai halangan, kerap kali wanita jual
mahal.
6. Setiap hari pekerja menjual caranya kepada majikan walaupun bentuk
dari salesmanship ini tidak sesukar yang harus dikerjakan oleh orang yang
menjual caranya dalam suatu pekerjaan seharga $ 5.000 setahun.

Dengan demikian, untuk menjadi entreprenuer yang berhasil, persyaratan


utama yang harus dimiliki adalah memiliki jiwa dan watak entreprenuership. Jiwa
dan watak entreprenuership tersebut dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan,
atau kompetensi. Kompetensi itu sendiri ditentukan oleh pengetahuan dan
pengalaman usaha. Karena seseorang entreprenuer adalah seseorang yang
memiliki jiwa dan kemampuan tertentu dalam berkreasi dan berinovasi. Ia
adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu
yang baru dan berbeda atau kemampuan kreatif dan inovatif. Kemampuan
kreatif dan inovatif tersebut secara riil tercermin dalam kemampuan dan
kemauan untuk memulai usaha, kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang
baru, kemauan dan kemampuan untuk mencari peluang, kemampuan dan
keberanian untuk menanggung risiko dan kemampuan untuk mengembangkan
ide dan meramu sumber daya (Mashud, 2016).

Bab 4: Membangun Jiwa Islamic Entrepreneurship 51


Di samping jiwa entreprenuer, unsur penting dari wirausaha yang sangat
penting dimiliki karena saling terhubung antara satu sama lain, yaitu: Pertama,
Unsur daya pikir (kognitif). Daya pikir, pengetahuan, kepandaian, intelektual,
atau kognitif mencirikan tingkat penalaran, taraf pemikiran yang dimiliki
seseorang. Daya pikir merupakan sumber dan awal kelahiran kreasi dan
temuan baru serta—yang terpenting—ujung tombak kemajuan suatu umat.
Kedua, Unsur keterampilan (psikomotorik). Mengandalkan berpikir saja
belumlah cukup untuk dapat mewujudkan suatu karya nyata. Karya hanya
terwujud jika ada tindakan. Keterampilan merupakan suatu tindakan raga
untuk melakukan suatu kerja. Dari hasil kerja itulah baru dapat diwujudkan
suatu karya, baik berupa produk maupun jasa (Yusanto & Widjajakusuma,
2002). Ketiga, Unsur sikap mental (afektif). Daya pikir dan keterampilan
belumlah dapat menjamin kesuksesan. Sukses hanya bisa diraih jika terjadi
sinergi antara pemikiran, keterampilan , dan sikap mental maju. Sikap mental
inilah yang dalam banyak hal justru menjadi penentu keberhasilan seseorang.
dan Keempat, Unsur kewaspadaan atau intuisi. Jika ditelusuri lebih jauh,
sebenarnya ada faktor yang lain di samping pemikiran, keterampilan, dan
sikap mental yang juga menentukan keberhasilan seseorang (Yusanto & Krebet
Widjajakusuma, 2002).
Jiwa entreprenuer perlu ditumbuhkembangkan karena semakin makmur
suatu negara semakin banyak orang yang terdidik dan banyak pula orang
menganggur, maka semakin dirasakan pentingnya dunia entreprenuer.
Pembangunan akan semakin berhasil bila ditunjang oleh entreprenuers yang
dapat membuka dan menyiapkan lapangan kerja karena kemampuan
pemerintah sangat sedikit dan terbatas. Pemerintah tidak akan bisa menggarap
semua aspek pembangunan karena sangat banyak membutuhkan anggaran
belanja, personalia, dan pengawasan (Hasmidyani et al., 2018).
Jiwa entreprenuer membuat seseorang mudah terbentuk menjadi tenaga
marketing tangguh, peka terhadap perubahan lingkungan dan sigap menangkap
berbagai peluang pasar yang terbuka untuk menghasilkan produk yang
dapat ditawarkan di pasar dan masyarakat (Amirudin & Emmanuel, 2012).
Pembentukan jiwa entreprenuer dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal (dari dalam diri). Faktor ini dapat berupa sifat-sifat personal,
sikap, kemauan dan kemampuan individu yang dapat memberi kekuatan
individu untuk berwirausaha. Sedangkan faktor eksternal (dari luar diri).
Faktor ini dapat berupa unsur dari lingkungan sekitar seperti lingkungan

52 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


keluarga, lingkungan dunia usaha, lingkungan fisik, lingkungan sosial ekonomi
dan sebagainya (Bari, 2018).
Islam sangat mendorong entreprenuer pada umatnya. Bagi seorang muslim,
jiwa entreprenuership mesti sudah menjadi bagian dari hidup dan kehidupannya.
Islam memerintahkan kepada pemeluknya supaya bekerja dan beramal,
sebagaimana disebutkan dalam al-Quran: “Bekerjalah kamu, maka Allah,
Rasulnya dan orang beriman, akan melihat pekerjaanmu. “ (QS at Taubah [9]: 105).
Disebutkan pula: “Apabila kamu telah melaksanakan shalat, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi dan carilah rezeki Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya
agar kamu beruntung.” (QS al Jumuah [62]: 10) (Zamzam, H. F., & Aravik,
2020).
Kegiatan entreprenuer ketika dikaitkan dengan iman dalam al-Qur‘an
menunjukkan bahwa relasi antara iman dan kegiatan wirausaha bagaikan
hubungan antara akar tumbuhan dan buahnya. Ditegaskan al-Qur‘an bahwa,
amal-amal yang tidak disertai iman tidak akan berarti di sisi-Nya. (QS. al-
Furqan [25]: 23). Manusia diperintahkan agar berwirausaha (mencari kelebihan
karunia Allah) dilakukan setelah melakukan shalat dan dalam artian tidak
mengesampingkan dan tujuan keuntungan yang hakiki yaitu keuntungan
yang dijanjikan Allah (QS. Al-Jumu‘ah [62]: 9-10). Oleh karena itu, meskipun
mendorong melakukan kerja keras atau bisnis, al-Qur‘an menggarisbawahi
bahwa dorongan yang harus lebih besar adalah mendapatkan apa yang berada
di sisi Allah (QS. Ali Imran [3]: 14).
Atas dasar hal ini maka, pandangan orang yang melakukan praktek
entrepreneur harus dapat melampaui masa kini, dan masa akan datang. Dengan
demikian visi masa akan datang dalam entrepreneur merupakan etika pertama
dan utama yang digariskan al-Qur‘an, sehingga pelaku-pelakunya tidak sekedar
memburu keuntungan sementara yang akan segera habis dan bermasa waktu,
melainkan juga harus berorientasi pada masa akan datang, yakni dunia akhirat,
dunia yang abadi dan kekal selama-salamanya (Zamzam, H. F., & Aravik,
2020)

B. Ciri-Ciri Islamic Entrepreneurship


Nana Herdiana Abdurrahman, (2013) menyebutkan bahwa setidaknya
terdapat tujuh ciri yang menjadi identitas dan melekat pada diri seorang
entreprenuer termasuk Islamic Entrepreneurship. Pertama, kepemimpinan.
Kepemimpinan merupakan faktor utama bagi seorang entreprenuer. Dengan

Bab 4: Membangun Jiwa Islamic Entrepreneurship 53


kelebihan di bidang kepemimpinan, seorang entreprenuer akan fokus
memperhatikan orientasi pada sasaran, hubungan kerja, personal, dan
efektivitas. Pemimpin yang fokus pengembangan karier stafnya, disenangai
bawahan, dan senantiasa ingat pada sasaran yang akan dicapai.
Kedua, inovasi. Seorang entreprenuer, sebagai inovator harus merasakan
gerakan ekonomi di masyarakat. Ia selalu mengantisipasi masalah-masalah
yang muncul dari gerakan ekonomi tersebut dengan penggunaan inovasi.
Ketiga, cara pengambilan keputusan. Seorang entreprenuer, keberhasilannya
ditentukan dalam mengambil sebuah keputusan. Salah dalam pengambilan
keputusan, akan berakibat buruk terhadap keberhasilan usaha.
Keempat, sikap tanggap terhadap perubahan. Sikap tanggap wirausahawan
terhadap perubahan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain. Setiap
perubahan oleh seorang wirausahawan dianggap mempunyai peluang yang
dapat menjadi masukan dan rujukan dalam pengambilan keputusan.
Kelima, bekerja ekonomis dan efisien. Seorang entreprenuer melakukan
aktivitasnya dengan gaya cerdas (smart) bukan bergaya seorang mandor
atau bos. Ia banting tulang, ekonomis dan efisien, guna mendapatkan hasil
maksimal dan memuaskan.
Keenam, visi masa depan. Seorang entreprenuer sangat bervisi ke masa
depan. Visi pada hakikatnya merupakan pencerminan komitmen-komitmen
konsistensi yang menjadi fokus seorang entreprenuer untuk mencapai target-
target yang dibuat. Ketujuh, sikap terhadap risiko. Seorang entreprenuer adalah
penentu risiko dan penanggung risiko. Tidak takut menghadapinya, bahkan
menjadi sebuah tantangan yang wajib dituntaskan.
Sedangkan menurut studi yang dilakukan di AS terhadap para pelaku
usaha kecil, ditemukan setidaknya ada 9 ciri wirausaha yang berhasil, yang
dibagi ke dalam tiga kategori:
1). Ciri proaktif, bermakna seorang entreprenuer mempunyai inisiatif yang
tinggi dan asertif
2). Ciri orientasi prestasi, bermakna entreprenuer dapat melihat kesempatan/
peluang dan bertindak langsung, orientasi efisiensi, menekankan
pekerjaan dengan kualitas tinggi, perencanaan yang sistematis, dan
melakukan monitoring
3). Ciri komitmen, bermakna entreprenuer memiliki komitmen yang tinggi
terhadap pekerjaan dan menyadari pentingnya hubungan bisnis yang
mendasar.

54 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


William D. Bygrave, (1997) dalam karyanya The Portable MBA in
Intrepreneurship menggambarkan ciri wirausahawan sukses dan berhasil sebagai
berikut:
1. Dream, bermakna seorang entreprenuer miliki visi bagaimana keinginannya
terhadap masa depan pribadi dan bisnisnya serta mempunyai kemauan
untuk mewujudkan mimpinya itu.
2. Decisiveness, bermakna seorang entreprenuer dapat membuat keputusan
secara cepat dan tepat dengan penuh perhitungan.
3. Doers, bermakna seorang entreprenuer dapat menindaklanjuti keputusan-
keputusan yang telah dibuat dengan cepat dan tidak menunda-nunda
kesempatan yang dapat dimanfaatkan.
4. Determination, bermakna seorang entreprenuer dapat melaksanakan kegiatan
dengan penuh perhatian, rasa tanggung jawabnya tinggi dan tidak mau
menyerah walaupun dihadapkan pada rintangan dan hambatan.
5. Dedication, bermakna seorang entreprenuer mempunyai dedikasinya
tinggi dan terkadang sampai lupa hubungan dengan keluarganya untuk
sementara waktu, bekerja tak kenal lelah, dan semua perhatian dicurahkan
pada bisnisnya.
6. Devocation, bermakna seorang entreprenuer sangat mencintai bisnisnya
sedemikian rupa sehingga mendorong dirinya mencapai keberhasilan
yang sangat efektif untuk menjual produk yang ditawarkannya.
7. Details, bermakna seorang entreprenuer sangat fokus terhadap faktor-faktor
kritis secara rinci yang dapat menghambat kegiatan usahanya.
8. Destiny, bermakna seorang entreprenuer sangat bertanggung jawab terhadap
nasib dan tujuan yang hendak dicapainya, bebas, dan tidak tergantung
pada orang lain.
9. Dollars, bermakna seorang entreprenuer tidak mengutamakan pencapaian
kekayaan, motivasinya bukan memperoleh uang melainkan uang
dianggap ukuran kesuksesan.
10. Distribute, bermakna seorang entreprenuer sangat bersedia mendistribusikan
kepemilikan bisnisnya kepada orang-orang kepercayaannya. Orang-orang
kepercayaan ini adalah orang-orang yang kritis dan mau diajak mencapai
sukses dalam bidang bisnis.

Jadi dari paparan di atas dapat diklasifikasikan kepribadian dari seorang


entreprenuer yang sukses antara lain:

Bab 4: Membangun Jiwa Islamic Entrepreneurship 55


1) Mempunyai emosi untuk membayangkan keberhasilan dari setiap tujuan
usahanya.
2) Berani menanggung risiko baik risiko kegagalan maupun risiko sukses
dari usaha yang dikerjakannya.
3) Ulet dan pekerja keras. Ia berprinsip bahwa hanya dengan ulet dan bekerja
keraslah usahanya dapat berkembang jauh dan bermanfaat bagi orang
lain.
4) Bersemangat dan gesit dalam berusaha
5) Percaya pada dirinya sendiri. Ia selalu meyakini dirinya dalam
menjalankan usaha-usaha terutama yang masih asing baginya. Ia selalu
tidak mudah putus asa dan menyerah setiap ada kegagalan dan kendala
dalam menjalankan usahanya.
6) Berusaha meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya. Seorang
entreprenuer yang sukses tidak pernah merasa puas. Dia selalu merasa
kurang sehingga senantiasa tertantang untuk dapat mengasah dan
meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.
7) Memiliki kecakapan untuk memimpin. Minimal menjadi pemimpin bagi
dirinya khusnya ketika harus mengambil keputusan yang terkait dengan
usahanya.
8) Seorang pembaharu (innovator). Seorang entreprenuer berpikiran jauh
kedepan dan sangat kreatif dalam melihat suatu peluang usaha yang baru.
9) Pemburu keberhasilan. Seorang entreprenuer merasa bahwa keberhasilan
bukan sekedar keuntungan finansial tetapi lebih kepada keberhasilan kerja
atas apa-apa yang telah dikerjakannya.

C. Bakat Entrepreneur
Nana Herdiana Abdurrahman, (2013) mengemukakan bahwa ada enam
bakat yang lazim dimiliki seorang entreprenuer, yaitu: Pertama, kemampuan
dan rasa percaya diri (willlingness and self confidence). Modal utama seorang
bakat adalah keberanian yang tinggi dan percaya diri. Mereka mempunyai
keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan tekad dan keebranian yang kuat,
akan mampu mengatasi segala persoalan di lapangan. Dalam membereskan
sebuah persoalan mereka cenderung tidak mau menerima sesuatu dalam
kondisi apa adanya atau dalam keadaan yang belum tuntas. Mereka sangat
yakin bahwa segala sesuatu tugas dan pekerjaan dapat diselesaikan secara
tuntas sesuai dengan rencana dan dorongan nurani.

56 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Kedua, fokus pada sasaran (goal setting). Seorang wirausaha ketika pertama
kali terjun ke dunia bisnis, maka pencapaian pertama dan utama adalah berdiri
usahanya. Sasaran kedua adalah bertahan hidup dan tidak mati (survive).
Sasaran berikutnya adalah usaha tersebut mampu tumbuh, berkembang dan
bermanfaat bagi lingkungannya serta menjadi ladang amal yang tidak ada
putus-putusnya dan tidak menjadikan dirinya lalai terhadap perintah Allah
SWT (QS. An- Nur [24]: 37).
Ketiga, pekerja keras (hard worker). Seorang wirausaha harus termotivasi
untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan dorongan nurani dan
keinginannya. Yang dikejar adalah kepuasan batin, tidak merasa dibatasi
oleh dimensi ruang dan waktu, tetapi lebih berorientasi terhadap hasil kerja
atau suatu karya yang ingin dicapai. Pentingnya Kerja keras bukan saja
dilakukan pada saat memulai usaha, tetapi juga terus dilakukan walaupun
sudah berhasil. Lakukan perbaikan terus menerus dan jangan berputus asa.
Allah SWT berfirman: Ibrahim berkata: “tidak ada orang yang berputus asa dari
rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat” (QS. Al-Hijr [15]: 56).
Ayat di atas menunjukkan kepada seluruh umat bahwa Allah SWT
sangat membenci orang-orang yang berputus asa dengan menyamakannya
kedalam golongan orang-orang yang sesat. Jadi tidak menjadi jaminan bahwa
setiap muslim akan selamanya mulia dihadapan Allah atas manusia-manusia
yang lain di muka bumi ini, terlebih bagi mereka yang suka berputus asa atas
rahmat-Nya ((Nuranisa, 2018).
Keempat, berani mengambil risiko (risk taking). Seorang entreprenuer
percaya bahwa setiap usaha, baik baru maupun yang telah berjalan lama akan
berhadapan dengan berbagai risiko. Risiko akan selalu ada tanpa diprediksi
dengan pasti. Ia harus belajar dari hal-hal yang pernah terjadi sebelumnya.
Berbagai kejadian yang merugikan sebagai dampak dari timbulnya risiko telah
memberikan pelajaran yang sangat berharga kepadanya. Oleh karena itu, di
dalam al-Qur‘an banyak kisah-kisah untuk dapat menjadi pelajaran bagi setiap
muslim sehingga mau mengambil risiko dalam segala yang dilakukan (QS.
Al-A‘raf [7]: 176, Yusuf [12]: 7).
Kelima, berani mengambil tanggung jawab (accountability). Seorang
entreprenuer kebanyakan berusaha sekuat tenaga untuk mencapai keberhasilan
atau tidak ingin dinilai gagal ketika tidak mampu mencapai sasarannya. Guna
mengukur tingkat kinerjanya, para wirausahawan biasanya menggunakan
beberapa tolak ukur, antara lain; kemampuan usahanya bertahan hidup,
kemampuan untuk berkembang dan besarnya hasil yang diperoleh serta tingkat

Bab 4: Membangun Jiwa Islamic Entrepreneurship 57


pertumbuhan usahanya. Islam sangat mengajarkan untuk mengutamakan
sikap tanggung jawab. Hal ini terbukti dari banyaknya ayat-ayat Al-Quran
yang membahas konsep tanggung jawab. Mulai dari tanggung jawab manusia
terhadap Sang Khalik, tanggung jawab terhadap orang tua, pasangan, dan
sesama muslim lainnya, termasuk dalam berwirausaha (QS. An-Naml [27]:
18, Al-Mudtastsir [74]:38, Yaasiin [36]: 12, Ali Imran [3]: 159 dan Ath-Thalaq
[65]: 7).
Keenam, inovasi (innovation). Inovasi merupakan sikap mampu
memperkenalkan barang baru, jasa, atau teknologi, dan untuk mengembangkan
pasar baru (Amirudin & Emmanuel, 2012). Seorang Islamic entreprenuer harus
senantiasa berinovasi. Mereka selalu melakukan sesuatu dengan cara berbeda
atau justru belum pernah dilakukan orang lain atau generasi sebelumnya, atau
bahkan memasukan ide lama ke dalam pola baru, untuk menghasilkan sesuatu
yang menguntungkan dan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungan.
Pada konteks sekarang, sederet orang-orang hebat dan besar lahir karena
memiliki jiwa wirausaha di dalam dirinya dan dikembangkan tanpa pernah
merasa kalah sebelum mencoba. Lihatlah Bill Gates adalah seorang manusia
yang bahkan sekolahnya saja tidak selesai, namun prestasinya dapat melewati
banyak sekali manusia sekolahan. Cory Aquino adalah seorang perempuan
biasa yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tetapi berhasil mengubah
wajah dan sejarah Filipina. Anthony Robbins adalah seorang anak muda
yang berpenyakit sejak lahir, namun menjadi kaya raya karena bangkit dan
kemudian ‘membagi‘ ilmu kebangkitannya kepada orang lain. Kenji Eno
adalah anak muda belum berusia 30 tahun yang putus sekolah saat SMU,
sekarang oleh Business Week disebut sebagai bintang asia ‘dewa‘ industri game
((Tim Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Nor Formal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional,
2010).

D. Menumbuhkan Jiwa Islamic Entrepreneurship


Menciptakan para muslim entreprenuer tidaklah semudah membalik telapak
tangan, apalagi masyarakat Indonesia masih cenderung memilih pekerjaan
dari jalur pegawai negeri ataupun swasta. Artinya entrepreneur belum menjadi
pilihan utama. Maka secara tidak langsung, pendidikan formal maupun non
formal di Indonesia masih belum menjurus pada wirausahawan. Hal ini karena
entreprenuer belum menjadi alternatif dan solusi negara dalam memecahkan

58 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


krisis multidimensional yang melanda. Apalagi dalam keluarga, orang tua
sebagian besar lebih bahagia dan merasa berhasil dalam mendidik anak-
anaknya jika anak-anaknya dapat menjadi pegawai pemerintah atau BUMN
maupun karyawan swasta yang jumlah penghasilannya jelas dan continue setiap
bulannya. Pendidikan di Indonesia juga membentuk peserta didik menjadi
karyawan atau bekerja di kantor atau perusahaan. Masyarakat di Indonesia
cenderung lebih percaya diri bekerja pada orang lain daripada berusaha sendiri
(Subur, 2007).
Apalagi dalam konteks sekarang, dimana angka pengangguran bukannya
semakin berkurang, tetapi setiap hari jumlahnya semakin bertambah dan terus
bertambah setiap tahunnya. Hal ini menjadi ancaman atau bahaya nyata dan
serius untuk dapat ditanggulangi segera, serta harus diupayakan solusinya
secepat mungkin. Tuntutan persaingan global pasar bebas, lapangan kerja
yang semakin kompetitif menunjukkan semakin perlunya membentuk sumber
daya manusia berkualitas, yang berjiwa wirausaha agar siap bersaing di pasar
gelobal (Rapii, 2019). Untuk itu, membangun jiwa entrepreneurship sangat
mendesak dan harus dimulai dari adanya kesadaran bahwa jiwa entrepreneurship
dapat ditumbuhkan melalui berbagai cara dan strategi. Entrepreneur bukan
semata-mata masalah bakat (meskipun bakat tetap merupakan faktor penting),
tetapi juga sebuah semangat, perjuangan dan keinginan yang kuat untuk
mewujudkannya dan esensi dari entrepreneurship adalah menciptakan nilai
tambah di pasar melalui proses pengkombinasian sumber daya dengan cara-
cara yang baru dan berbeda supaya dapat bersaing. Nilai tambah itu bisa
diciptakan melalui cara-cara sebagai berikut:
a. Pengembangan teknologi baru (developing new technology),
b. Penemuan pengetahuan baru (discovering new knowledge),
c. Perbaikan produk (barang dan jasa) yang sudah ada (improving existing
products or services),
d. Penemuan cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa
yang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit (finding different
ways of providing more goods and services with fewer resources).

Entrepreneurship adalah aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan


kesejahteraan masyarakat dalam arti tingkat hidup yang lebih baik lagi.
Maka langkah awal menjadi entrepreneur yakni dengan menumbuhkan jiwa
entrepreneurship. Islam sangat mendorong umatnya untuk berwirausaha. Karena
itu, sudah sewajarnya setiap muslim memiliki jiwa entrepreneurship, bahkan

Bab 4: Membangun Jiwa Islamic Entrepreneurship 59


sudah seharusnya menjadi bagian dari kehidupan. Islam mengajarkan kepada
umatnya supaya bekerja dan beramal (QS. At-Taubah [9]: 105). Penilaian
pekerjaan tersebut akan menentukan posisi dihadapan Allah dan Rasul-Nya.
Oleh sebab itu, setiap muslim harus bekerja sesuai dengan nilai-nilai Islam
dan perintah bekerja dan berwirausaha tercover jelas dalam al- Qur‘an surah
al-Jumu‘ah [62]: 10 agar mendapatkan rezeki dari Allah SWT sebagai sebuah
sumber penghasilan (Siswanto, 2016).
Megawati & Farida (2018) menyatakan bahwa banyak cara yang bisa
dilakukan untuk membangkitkan jiwa entrepreneurship, misalnya:
1) Pendidikan formal (Formal education)
Viktor Kiam, seorang pakar enterpreneur, berpendapat bahwa jiwa
enterpreneur perlu diberikan kepada anak sejak dibangku sekolah, karena
filosofi enterpreneurship bisa melatih anak lebih bisa mandiri, teliti melihat
peluang, sehingga punya daya cipta yang lebih kreatif (Wijayanti, 2018).
Saat ini banyak sekolah atau perguruan tinggi telah menyajikan program
atau mata kuliah enterpreneurship. Dengan Pendidikan enterpreneurship
dapat menghasilkan lebih banyak sikap positif terhadap kewirausahaan,
perasaan kontrol yang lebih baik, dan sosial yang lebih tinggi dalam
persetujuan kewirausahaan (Ardiani & Putra, 2020).
Pendidikan enterpreneurship adalah upaya yang dilakukan pemerintah
untuk memutus pengangguran sekaligus meningkatkan minat
berwirausaha. Walaupun demikian, pendidikan entrepreneurship masih
belum mendapat perhatian serius, dari dunia pendidikan, masyarakat,
apalagi pemerintah. Banyak praktisi pendidikan yang tidak akurat dan
abai dalam memperhatikan aspek-aspek penumbuhan mental, sikap,
dan prilaku enterpreneur peserta didik, baik di sekolah kejuruan maupun
profesional sekalipun. Karena pada umumnya orientasi mereka, hanya
pada upaya-upaya menyiapkan tenaga kerja yang siap pakai bukan
mampu menciptakan pekerjaan (Subur, 2007).
Hingga saat ini semua perguruan tinggi di Indonesia diwajibkan
untuk memasukkan mata kuliah kewirausahan di dalam kurikulumnya.
Kewirausahaan dijadikan sebagai sebuah mata pelajaran pilihan
atau sebuah mata kuliah utama (a majoring course). Perguruan tinggi
menawarkan kewirausahaan sebagai bidang akademik yang memainkan
sebuah peran yang penting di dalam masa depan kehidupan yang baik
di masyarakat (Frinces, 2010). Pendidikan enterpreneurship bila didekati
dari aspek teoritis terdiri dari membentuk sikap, perilaku, dan pola pikir

60 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


seorang enterpreneurship. Dengan demikian diharapkan para lulusan
perguruan tinggi mampu dijadikan investasi oleh negara dalam usaha
peningkatan taraf ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (Harsono,
2015).
Program pengembangan jiwa entrepreneurship telah diproyeksikan
Presiden Republik Indonesia pada bulan Juli 1995. Selanjutnya,
diluncurkan berbagai program rintisan pengembangan jiwa entrepreneurship
di kalangan mahasiswa. Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), KKN-
Usaha dan Cooperative Education (Co-op) yang diluncurkan beberapa saat
setelah pencanangan Presiden tersebut, telah banyak menghasilkan
alumni yang terbukti lebih kompetitif di dunia kerja. Hasil-hasil karya
inovasi mahasiswa melalui PKM potensial tersebut ditindaklanjuti secara
komersial menjadi sebuah embrio bisnis berbasis Ilmu Pengetahuan,
Teknologi dan Seni (Ipteks) (Banu, 2009).
Sumaryanto, (2012) menyampaikan bahwa setidaknya ada empat
program rintisan yang telah diujicobakan di beberapa perguruan tinggi
untuk melatih mahasiswa berjiwa entrepreneur, antara lain:
1. Kuliah kewirausahaan secara terstruktur.
Kuliah kewirausahaan ini hendaknya dilakukan tidak hanya mengacu
pada landasan teori saja. Melainkan memasukkan unsur-unsur
pendidikan karakater di dalamnya.
2. Kuliah kerja nyata-usaha.
Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) ini perlu dilaksanakan dengan
tujuan memberikan pemahaman kepada mahasiswa mengenai
praktek kewirausahaan secara langsung.
3. Magang kewirausahaan.
Program ini dilaksanakan dengan konsep untuk memberikan
bekal pengalaman kepada setiap mahasiswa agar dapat berlatih
secara langsung kepada pengusaha-pengusaha di lingkungan
sekitar. Program ini bertujuan supaya dapat melatih kemampuan
mahasiswa dalam pemahaman bebrapa risiko yang akan dihadapi
saat berwirausaha dan bagaimana cara pemecahannya.
4. Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
Program ini dikonsep sebagai tindaklanjut dari program Karya
Alternatif Mahasiswa (KAM). Para mahasiswa yang telah
mempelajari ilmu pengetahuan tentang dasar-dasar entrepreneurship
dapat didorong untuk menciptakan produk- produk baru.

Bab 4: Membangun Jiwa Islamic Entrepreneurship 61


2) Seminar-seminar kewirausahaan (Entrepreneurship seminars)
Untuk dapat meningkatkan jiwa entrepreneurship maka diperlukan suatu
tindakan nyata, dalam hal ini misalnya mengikuti kegiatan seminar,
pelatihan, diskusi, maupun magang usaha. Kegiatan ini dimaksudkan
agar minat usaha tidak hanya sebatas keinginan, melainkan pada
tahap merealisasikan keinginan tersebut. Oleh karena itu, pada sebuah
penelititian dijelaskan, bahwa jalan pintas menjadi seorang pengusaha
adalah menjadi pewaris, namun kemungkinannya keci. Maka dapat diatasi
dengan mengikuti kegiatan-kegiatan entrepreneurship. Sehingga tanpa
disadari kegiatan seperti seminar atau magang dapat membentuk aspek
moril seseorang, dalam hal ini emosinya terhadap bisnis menjadi lebih
kuat. Tentu dengan perasaan tersebut akan dimungkinkan melahirkan
tindakan lain, seperti belajar, bertanya, diskusi, mencari produk, dan
sebagainya. Apalagi seminar-seminar tersebut di isi oleh pakar-pakar
wirausaha yang kompeten, dan sudah memulai berwirausaha dalam
hitungan tahun dan berhasil.
3) Kewirausahaan dari diri (Entrepreneurship from self)
Secara teori jiwa entrepreneur dapat pahami dari konsep diri yang membuat
individu mampu mengerti dan menerima kelebihan maupun kekurangan
fisik maupun psikis, dapat berhubungan dengan lingkungan secara positif.
Individu dengan konsep diri positif akan merasa yakin dan percaya diri
bahwa usaha dan kerja keras yang dilakukan akan membawa suatu
keberhasilan di masa akan datang (Eka Ananta et al., 2014). Dari
kesadaran tersebut, akan terbangun jiwa wirausaha yang benar-benar
keluar dari dalam dirinya, sehingga dalam melaksanakannya penuh
totalitas, ikhlas dan tulus, tidak terpaksa atau dipaksa.
4) Pelatihan (training)
Entrepreneurship bisa dipelajari meskipun ada orang-orang tertentu
memiliki bakat dalam hal berwirausaha. Pelajaran entrepreneurship dapat
diperoleh dari program pelatihan entrepreneurship. Pelatihan tersebut
sangat penting untuk membangkitkan jiwa-jiwa pengusaha yang handal,
tangguh, inovatif dan kreatif serta tahan terhadap berbagai tekanan dalam
melaksanakan aktivitas usaha yang akan dirintis (Bari, 2018). Program
pelatihan entrepreneur bertujuan untuk (1) membangun soft skill atau
karakter entrepreneur; (2) menumbuh kembangkan entrepreneur baru yang
punya pola pikir pencipta lapangan kerja; (3) membidik pertumbuhan,
perkembangan atau terbentuknya kelembagaan (unit) pengelola program

62 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


entrepreneurship; dan (4) membidik terbentuknya model pembelajaran
entrepreneurship (Rapii, 2019).
Hasil penelitian Hamdan, (2019) memperlihatkan bahwa salah satu
cara untuk menumbuhkembangkan jiwa entrepreneurship pada pemuda
diperlukan usaha konkret yang terprogram dalam kurikulum dan pelatihan
kelompok belajar masyarakat entrepreneurship. Karena pembekalan dan
penanaman jiwa entrepreneur pada pemuda yang umumnya hanya lulusan
SMA atau Perguruan Tinggi belum bisa memotivasi diri mereka untuk
melakukan kegiatan entrepreneurship. Apalagi pengalaman yang didapatkan
dari bangku sekolah atau kuliah banyak yang belum dapat ditindak lanjuti
setelah lulus, sehingga belum mampu melahirkan entrepreneur baru yang
menguasai Sistem Informasi (IT) yang dapat menghasilkan lapangan kerja
sekaligus dapat menyerap tenaga kerja.
5) Pengalaman (experience)
Pengalaman adalah guru terbaik. Berbagai survei membuktikan
bahwa banyak wirausahawan sukses karena didasari pengalaman yang
membuatnya punya jiwa dan watak entrepreneurship. Oleh karenanya,
agar dapat menjadi entrepreneur yang sukses, syarat utamanya adalah
punya jiwa dan watak entrepreneurship. Jiwa dan watak entrepreneurship
sangat dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan, atau kompetensi.
Kompetensi sangat ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman (Rapii,
2019).
Pada titik ini membangun jiwa entrepreneurship muslim bisa
dilakukan dengan cara memberikan pendidikan pada mereka baik
melakukan penerapan pendidikan di rumah atau dilingkungan
keluarga, di lingkungan sosial atau masyarakat maupun pendidikan di
sekolah harus dengan mengedepankan proses pembangunan karakter
kewirausahaan itu sendiri. Membangun sosok Muslim yang berjiwa
entrepreneur dapat dilaksanakan lewat cara-cara yang tepat dan akurat
sehingga upaya pembangunan tersebut tidak sia-sia. Dan upaya itu
bisa dilakukan dengan cara orang tua di rumah, tokoh masyarakat di
lingkungan sosial si anak berada, dan juga guru-guru di sekolah ikut serta
berperan memposisikan diri sebagai pendidik yang mampu memberikan
bimbingan dan arahan positif, bukan sekedar memaksakan kehendaknya.
Dengan mengedepankan cara pembelajaran yang penuh dengan ketulusan
dan kelembutan tentunya ranah afektif khususnya generasi muda kaum

Bab 4: Membangun Jiwa Islamic Entrepreneurship 63


muslimin akan lebih tersentuh dan selanjutnya membekas kuat dalam
sanubari entrepreneur muslim (Nuranisa, 2018).

Selain ayat Alqur‘an di atas dan tidak terhitung banyak pula hadits yang
mendorong pengembangan semangat entrepreneurship. Misalnya, “Hendaklah
kamu berdagang karena di dalamnya terdapat Sembilan puluh persen pintu rezeki”
(HR. Ahmad). “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap transaksi jual beli
yang mabrur (dibenarkan)” (HR. Ahmad dan Al-Bazzar). Energi entrepreneurship
bersumber pula pada praktek kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai suri
tauladan umat Islam sebagai pedagang yang unggul sehingga tidak ada alasan
bagi umat Islam untuk tidak mencontoh beliau dalam berwirausaha. Begitu
juga praktik para sahabat yang kebanyakan berprofesi sebagai pedagang seperti
Abu Hanifah sebagai salah satu ahli fiqh terkemuka adalah seorang pedagang
ulung yang memiliki jiwa wirausaha yang tinggi. Tradisi itu dilanjutkan oleh
murid-muridnya seperti Abu Yusuf dan Al-Syaibani, hingga diaplikasikan
dalam sebuah teori dan praktik yang menghasilkan sistem ekonomi Islam yang
mampu mengantarkan umat Islam ke gerang kemakmuran (Siswanto, 2016).

64 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


BAB 5
Profil Islamic
Entrepreneurship

A. Profil Entrepreneur
Entrepreneur dimaknai sebagai seseorang yang mampu menghasilkan atau
menciptakan nilai tambah melalui pematangan ide-idenya dan menyatukan
sumber daya yang dimilikinya serta mewujudkannya (Winarno, 2011). Maka
entrepreneurship, muncul apabila seseorang individu berani mengembangkan
usaha-usaha dan ide-ide barunya dan mengimplementasikan (Hilyati, 2013).
Dalam pengertian berbeda, entrepreneur merupakan seseorang atau sekelompok
orang yang dapat menerobos sistem ekonomi yang telah ada dengan cara
mempromosikan barang dan jasa yang baru, dengan memperkenalkan bentuk
organisasi baru atau mengolah bahan baku baru.
Dalam arti lain, entrepreneur disebut sebagai orang yang berani berjuang
secara mandiri dengan cara mencurahkan segenap sumber daya dan upaya
meliputi keahlian mengidentifikasi produk baru, menentukan cara produksi
baru, mengatur operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya,
serta mengatur permodalan operasinya untuk menghasilkan sesuatu yang
bernilai lebih tinggi. Dengan demikian, entrepreneur adalah suatu proses atau
suatu aktivitas usaha yang dilakukan seseorang bertujuan untuk memperoleh
keuntungan sesuai dengan keinginan dan harapan, melalui cara memproduksi,
ataupun menjual barang atau jasa (Megawati, 2018).

65
Perbedaan antara entrepreneur dengan pengusaha adalah. Kalau entrepreneur
adalah seorang pembuat keputusan yang dapat membantu terwujudnya sistem
ekonomi perusahaan yang bebas. Sebagian besar perangsang perubahan,
inovasi dan kemajuan di perekonomian datang dari para entrepreneur; maka
entrepreneur orang sering dikenal sebagai orang yang punya kemampuan untuk
mengambil risiko dan mempercepat pertumbuhan ekonomi (Nuranisa, 2018).
Sedangkan seorang pengusaha merupakan seorang yang menggabungkan
sumber daya, tenaga kerja, bahan baku, serta aset lain untuk menghasilkan nilai
yang le-bih besar dari sebelumnya, juga seorang yang menge-nalkan perubahan,
inovasi, dan tantangan baru.
Imam Mashud, (2016) menyatakan bahwa entrepreneur merupakan orang-
orang yang punya kepandaian melihat dan menilai kesempatan-kesempatan
bisnis; mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk
mengambil tindakan yang tepat, mengambil keuntungan serta memiliki sifat,
watak dan kemauan untuk mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia
nyata secara kreatif dalam rangka memperoleh kesuksesan dan meningkatkan
pendapatan. Intinya, seorang entrepreneur merupakan orang-orang yang punya
karakter entrepreneur dan dapat menerapkan hakikat entrepreneurship dalam
hidupnya.
Setiap profesi sedikit banyak akan memengaruhi profil kepribadian dari
orang yang menggeluti profesi tersebut. Demikian pula halnya dengan profesi
wirausaha. J. Timmons dan kawan-kawan pernah melakukan riset tentang
ciri-ciri pribadi wirausaha, dan mendapatkan daftar berikut ini:
1. Komitmen total, ketetapan hati, dan tekun
2. Dorongan untuk mencapai hasil dan berkembang.
3. Berorientasi kepada peluang dan tujuan.
4. Mengambil inisiatif dan tanggung jawab pribadi.
5. Penyelesaian masalah terus menerus.
6. Realisme dan rasa humor.
7. Mencari dan memakai umpan balik.
8. Pengendalian diri dalam diri sendiri.
9. Mencari dan mengambil risiko yang diperhitungkan.
10. Tidak membutuhkan status dan kekuasaan
11. Pribadi yang utuh dan andal.

Machfoedz, Mas’ud dan Machfoedz, (2015) mengklasifikasikan bahwa


seorang wirausaha dapat ditunjukkan dalam wujud profil pribadi seperti

66 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


sebagai berikut: Pertama, entrepreneur senantiasa menginginkan prestasi
prima; Kedua, entrepreneur berani menjalani pekerjaan yang disertai risiko
dengan mengkalkulasi besar kecilnya risiko. Ketiga, entrepreneur punya sifat
kepemimpinan yang muncul secara alami dan cepat mengidentifikasi berbagai
masalah yang perlu segera diselesaikan. Keempat, entrepreneur memperoleh
kepuasan dalam lambang- lambang keberhasilan diluar dirinya seperti senang
dipuji hasil usahanya bukan dirinya.
Kelima, entrepreneur secara fisik senantiasa tampak lincah dan berbadan
sehat (semangat). Mereka mampu bekerja melebihi jam kerja rata-rata yang
dilakukan orang lain ketika merintis usaha. Keenam, entrepreneur punya rasa
percaya diri tinggi dan tidak diragukan kemampuan dan kecakapannya.
Ketujuh, entrepreneur senantiasa menghindari sifat cengeng dalam membentuk
pribadi mandiri dan mencari kepuasan diri, karena mereka termotivasi oleh
kebutuhan untuk mewujudkan prestasi diri. Kedelapan, entrepreneur mencari
kepuasan diri.
Moko P. Astamoen, (2008) melihat bahwa profil entrepreneur yang berhasil
sukses dapat diuraikan dibawah ini:
a) Sehat rohani dan jasmani
Entrepreneur sukses memiliki fisik yang kuat. Mereka mampu bekerja
untuk waktu lama. Beberapa wirausaha sukses malah menyatakan bahwa
penyakit yang pernah mereka derita justru pergi ketika mereka mulai
menjalankan aktivitas bisnis mereka.
b) Ada kebutuhan mendasar untuk mengendalikan dan mengarahkan
Para entrepreneur sedikit sulit berkiprah dalam struktur organisasi
tradisional. Mereka tidak ingin ada kekuasaan diatas mereka. Mereka
percaya mereka bisa melakukan sesuatu lebih baik dari orang lain. Namun
ini bukab berati keinginan untuk menguasai orang lain. Mereka senang
menciptakan dan melaksanakan strategi-strategi.
c) Percaya diri
Para entrepreneur sangat percaya diri terhadap apa yang mereka anggap
mungkin. Mereka menangani masalah secara langsung dan tanpa
membuang waktu. Selama memegang kontrol, mereka akan gigih
mengejar tujuan-tujuan mereka.
d) Tidak pernah berhenti beraktifitas
Tidak adanya kegiatan tampaknya membuat para wirausaha tidak sabar,
tegang dan tidak tenang. Mereka tampaknya selalu ingin mengerjakan
sesuatau.

Bab 5: Profil Islamic Entrepreneurship 67


e) Kewaspadaan yang tinggi
Saat merencanakan, mengambil keputusan, dan bekerja, para entrepreneur
sukses punya pandangan umum tentang keseluruhan situasi yang
mereka hadapi. Mereka punya kesadaran terhadap dampak yang akan
ditimbulkan oleh setiap tindakan yang mereka lakukan.
f) Realities
Para entrepreneur menerima hal-hal sebagaimana adanya. Mereka mungkin
idealis atau mungkin juga tidak, tetapi jelas bukan seseorang yang tidak
realities.
g) Kemampuan membuat konsep yang hebat
Para entrepreneur punyakemempuan intelektual unik cepat
mengindentifikasi hubungan-hubungan antar fungsi atau antar hal
dalam situasi yang kompleks dan membingungkan. Mereka menemukan
masalah dan mencari solusi lebih cepat dari orang laindi sekitar mereka.
h) Kebutuhan yang rendah akan status
Para wirausaha yang sukses menemukan kepuasan dalam simbol-simbol
kesuksesan eksternal. Mereka senang ketika ada yang memuji bisnis
mereka, tetapi seringkali malu jika langsung dipuji secara individual.
i) Pendekatan yang obyektif terhadap hubungan interpersonal
Para entrepreneur umumnya menghindari keterlibatan interpersonal dalam
bisnis. Mereka menjaga jarak psikologi. Bahkan mereka bisa tidak ragu-
ragu untuk memutuskan hubungan demi mencapai tujuan.
j) Emosi yang stabil
Para entrepreneur memiliki control diri yang baik, mampu mengatasi
kecemasan dan tekanan dari masalah bisnis atau problem-problem
lahir dalam hidup. Kemunduran dan kegagalan akan membuat mereka
tertantang, bukan patah harapan.
k) Senang pada tantanagan, bukan risiko
Para wirausaha bukanlah pengajar atau penghindar risiko. Mereka
memilih situasi yang hasilnya bisa mereka pengaruhi. Mereka sangat
termotivasi oleh tantanganyang mereka anggap menarik. Mereka tidak
bertindak sebelum memperhitungkan risikonya.

Menurut Agus Siswanto, (2016) profil entrepreneur muslim adalah insan


yang ramah, tetapi tidak lemah, serius, tetapi akrab dan tidak kaku, perhitungan,
namun tidak pelit, penyantun, namun mengajak bertanggung jawab, disiplin
tetapi pengertian, mendidik, dan mengayomi, kreatif dan energik, tetapi hanya

68 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


untuk kebaikan, dan selalu memikirkan prestasi tetapi bukan untuk dirinya
sendiri. Kesenangannya adalah meminta maaf serta memberi bantuan dalam
rangka mengagungkan karunia Allah SWT dan menghargai jasa atau prestasi
orang lain.
Jadi profil entrepreneur dapat dirangkum sebagai berikut:
1) Mengejar Prestasi
Entrepreneur bercirikan selalu mengharapkan prestasi prima. Untuk itu
mereka lebih memili bekerja dengan pakar ketika menghadapi masalah
dan berfikir cermat serta fokus pada visi jangka panjang tentang bisnis.
2) Berani Mengambil Risiko
Entrepreneur berani menjalani pekerjaan dalam berbagai risiko dengan
memperhitungkan besar kecilnya risiko. Mereka sadar bahwa prestasi
hebat hanya mungkin dicapai jika mereka bersedia menerima risiko
sebagai konsekuensi terwujudnya tujuan.
3) Mampu Memecahkan Masalah
Entrepreneur merupakan orang yang punya jiwa kepemimpinan yang
muncul secara alami dan pada umumnya lebih cepat mengetahui
permasalahan yang perlu diatasi.
4) Rendah Hati
Entrepreneur mendapatkan kepuasan dalam lambang- lambang
keberhasilan yang di luar dirinya. Mereka senang usaha yang mereka
bangun dipuji orang,namun mereka menolak apabila pujian yang
ditujukan kepada mereka.
5) Bersemangat
Entrepreneur secara fisik senantiasa tampak lincah dan berbadan sehat.
Mereka dapat bekerja melebihi jam kerja rata-rata yang dilakukan orang
lain ketika merintis usaha.
6) Memiliki Rasa Percaya Diri
Entrepreneur merupakan orang yang memilki percaya diri yang sangat
tinggi dan tidak meragukan kecakapan dan kemampuannya. Mereka
berfikir bahwa tindakan mereka akan dapat mengubah kejadian dan
percaya bahwa mereka adalah pemimpin bagi mnereka sendiri.
7) Menghidari Sifat Cengeng
Entrepreneur senantiasa menghindari sifat cengeng dalam membentuk
pribadi mandiri sehingga kadang mengalami kesulitan membentuk ikatan
emosional yang kental dengan konsekuensi kurang terjalinya hubungan
akrab dengan kawan atau anggota keluarganya.

Bab 5: Profil Islamic Entrepreneurship 69


8) Mencari Kepuasaan Diri
Entrepreneur termotivasi oleh kebutuhan untuk mendapatkan prestasi
diri tinggi, mereka kurang berminat tehadap struktur organisasi. Mereka
mengabaikan kegiatan manjemen organisasi tradisional sehingga pada
umumnya mengalami kesulitan dengan waktu kerja apabila bekerja untuk
suatu perusahaan.

B. Macam-Macam Profil Entrepreneur


Menurut Yuyun Suryana, (2013) terdapat tiga peran dalam melihat
profil entrepreneur, antara lain: Pertama, Kewirausahaan Rutin (Wirt), yaitu
entrepreneur yang melakukan kegiatan sehari- harinya cenderung menekankan
pada pemecahan masalah dan perbaikan standar prestasi tradisional.
Fungsi wirausaha rutin adalah mengadakan perbaikan-perbaikan terhadap
standar tradisional, bukan penyusunan dan pengalokasian sumber- sumber.
Entrepreneur ini berusaha untuk menghasilkan barang, pasar, dan teknologi.
misalnya seorang pegawai atau manajer. Entrepreneur rutin dibayar dalam
bentuk gaji.
Kedua, Kewirausahaan Arbitrase, yaitu entrepreneur yang selalu mencari
peluang melalui kegiatan penemuan (pengetahuan) dan pemanfaatan
(pembukaan). Misalnya,bila tidak terjadi keseimbangan dalam penawaran
dan permintaan pasar, maka ia akan membeli dengan murah dan menjualnya
dengan mahal. Kegiatan entrepreneurship ini tidak perlu melibatkan pembuatan
barang dan tidak perlu menyerap dana pribadi entrepreneur, kegiatannya adalah
spekulasi dalam memanfaatkan perbedaan harga jual dan harga beli. Ketiga,
Kewirausahaan Inovatif, yaitu entrepreneur dinamis yang menghasilkan ide-
ide dan kreasi-kreasi baru yang berbeda, ia merupakan promotor, tidak saja
dalam memperkenalkan teknik dan produk baru, tetapi juga dalam pasar dan
sumber pengadaan (pembekalan), peningkatan teknik manajemen, dan metode
distribusi baru. Ia mengadakan proses dinamis pada produk, proses, hasil,
sumber pembekalan, dan organisasi yang baru
Ada beberapa alasan orang untuk berwirausaha, antara lain untuk
mencari nafkah maupun menambah pendapatan, untuk memperoleh status
maupun ingin dikenal dan bertemu orang banyak, memberikan pelayanan pada
masyarakat, dan untuk mandiri dan lebih produktif. Semua alasan tersebut
itulah yang mendorong orang untuk berwirausaha. Dalam menjalankan

70 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


suatu usaha bisnis, entrepreneur harus punya skill (kemampuan) sebagai modal
utama entrepreneur dalam menjalankan usahanya, Tekad (kemauan) juga harus
dimiliki oleh wirausahawan, karena jika tidak ada tekad maka usaha tidak akan
berjalan dengan baik, Selain itu, modal juga harus dimiliki oleh wirausahawan
sebagai aspek penunjang usaha dalam memulai suatu usaha. Target dan tujuan
marketing juga sangat diperlukan seorang entrepreneur dalam memulai dan
menjalankan suatu usaha. Serta tempat berwirausaha merupakan aspek yang
juga harus dimiliki dan menunjang dalam berwirausaha dan menjadi bahan
pertimbangan yang penting (Megawati, 2018).
Agus Siswanto, (2016) merinci setidaknya ada tujuh sebab seseorang
terjun menjadi wirausaha, antara lain: Pertama, ingin cepat kaya. Seseorang
yang terjun ke dunia kewirausahaan biasanya seorang pengusaha yang ulet
dan yakin bahwa hanya dengan berwirausaha kekayaan bisa didapatkan
lebih cepat. Kedua, Ingin bebas dan tidak diatur oleh orang lain. Alasan
ini biasanya ada pada mereka yang memiliki jiwa yang ingin bebas serta
mengekspresikan minat dan kemampuan. Pekerjaan rutin di kantor sangat
tidak membahagiakan dirinya sementara tantangan dan inivasi menjadi
bagian dari kehidupannya. Ketiga, ingin mewujudkan ide, gagasan, atau
ilmu dengan leluasa. Mereka yang terjun ke dunia kewirausahaan karena
memiliki ide-ide kreatif yang tidak tertampung oleh perusahaan apabila ia
bekerja sebagai pegawai.
Keempat, keadaan mendesak. Menjadi wirausaha adalah solusi karena
tidak ada peluang untuk bekerja sehingga berwirausaha menjadi pilihan
yang harus dijalani. Kelima, penghasilan yang tidak terbatas. Banyak yang
menyatakan bahwa bekerja sebagai pegawai, seseorang akan memiliki gaji
yang terbatas karena ditentukan oleh kantor. Sementara itu, menjadi seorang
wirausaha, pendapatan sesuai dengan kreativitas dan kerja kerasnya sehingga
penghasilannya tidak terbatas. Keenam, Ingin mandiri. Kemandirian yang
diharapkan dalam berwirausaha adalah dalam hal kebebasan waktu kerja
dan juga bebas dalam mengatur keuangan. Ketujuh, memperoleh kepuasan
atau kebanggaan tersendiri. Kewirausahaan itu muncul saat seseorang punya
minat untuk berwirausaha, minat berwirausaha adalah suatu ketertarikan yang
muncul dalam diri seseorang atas kegiatan entrepreneur dan keinginan agar
dapat terlibat dalam kegiatan entrepreneurship.
Adapun profil wirausahawan dapat dilihat pada beberapa model
entreprenuer berikut ini:

Bab 5: Profil Islamic Entrepreneurship 71


1. Women Entreprenuer (Wirausaha perempuan)
Perempuan sangat berperan dalam pemenuhan ekonomi keluarga,
namun peran mereka bidang ekonomi seringkali terabaikan dan masih kurang
diperhitungkan (Kancana & Lestari, 2016). World Bank (2011) menyatakan
bahwa di hampir semua negara, perempuan lebih berpeluang untuk banyak
terlibat dalam aktivitas produktivitas rendah dibandingkan laki-laki. Akibat dari
perbedaan dalam pekerjaan perempuan dan laki-laki tersebut menyebabkan
terjadi disparitas dalam pendapatan di segala bentuk aktivitas ekonomi, seperti
pertanian, entrepreneurship, dan manufaktur (Sumantri et al., 2013).
Pada era kesetaraan gender banyak perempuan yang terjun ke dalam
bidang bisnis. Alasan mereka menekuni bidang bisnis ini didukung oleh faktor-
faktor antara lain ingin memperlihatkan kemampuan prestasinya, ketidakadilan
dalam struktur penggajian, membantu ekonomi rumah tangga, frustasi
terhadap pekerjaan sebelumnya, ditinggal oleh pasangan, dan sebagainya.
Islam sama sekali tidak pernah menganggap perempuan hanya sebagai
penganggur, atau harus di rumah saja, seperti yang dituduhkan sejumlah
kalangan. “Sebaik-baik canda seorang Muslimah di rumahnya adalah bertenun,”
demikian sabda Nabi Muhammad SAW yang menekankan agar perempuan
juga harus tekun berkarya.
Bahkan sejak dulu banyak perempuan Islam yang menduduki jabatan
strategis dalam bisnis seperti Khadijah RA, terkenal sebagai wanita pebisnis
yang sukses dan terus melanjutkan bisnisnya setelah menjadi istri Rasulullah
SAW, Roidhoh istri Abdullah bin Mas‘ud sebagai pencari nafkah keluarga, dan
Asyifah sebagai kepala pasar di Madinah. Di Indonesia profil women Islamic
entreprenuership dapat dilihat pada sosok misalnya Oki Setiana Dewi yang
sukses dalam bisnis fashion muslimah, Dian Pelangi atau Dian Wahyu Utama
yang bergelut dalam bidang desainer dan pemilik beberapa gerai toko busana
muslim, Medina Zein, seorang pengusaha Jannah Corporation, dan Diajeng
Lestari, seorang pengusaha startup busana muslim serta masih banyak lagi.

2. Minority Entreprenuer (Wirausaha minoritas)


Kaum minoritas tidak banyak punya kesempatan kerja di lapangan
pemerintahan. Melihat itu, mereka beralih menekuni aktivitas bisnis dalam
kehidupan sehari-hari. Begitu juga para perantau dari daerah tertentu
yang menjadi kelompok minoritas pada suatu daerah, mereka memilih
mengembangkan bisnis. Kegiatan bisnis mereka ini makin lama makin

72 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


berkembang dan maju, dan mereka kemudian membentuk organisasi minoritas
di kota-kota tertentu. Selain itu, seringkali kelompok minoritas merasa
mayoritas melakukan diskriminasi baik langsung maupun tidak langsung.
Karena frustasi, banyak minoritas membuat lingkungan yang cocok dengan
kebutuhan dan membiarkan mereka bebas untuk bertindak, berkreasi dan
berkembang. Keinginan ini terwujud dengan entrepreneur. Maka sekarang dapat
dijumpai minoritas banyak di dunia bisnis (Malinda, 2012).

3. Immigrant Entreprenuers (Wirausaha imigran)


Para imigran yang memasuki suatu daerah biasanya sulit untuk
memperoleh pekerjaan formal. Mereka kemudian terjun dalam pekerjaan-
perkerjaan non formal seperti mulai berdagang kecil-kecilan sampai
berkembang menjadi perdagangan tingkat menengah. Sifat utama yang dimiliki
kaum imigran di berbagai negara adalah tahan banting, kerja keras, berani
menghadapi berbagai tantangan dan risiko, serta kemauan untuk beradaptasi
dengan lingkungan asing. Sifat-sifat tersebut tercermin salah satunya dari
keputusan mereka untuk keluar dari negaranya dan mencoba mencari nafkah
di negara lain yang memiliki risiko, ketidakpastian yang jauh lebih besar serta
berbagai potensi permaslahan yang lebih pelik.

4. Part Time Entreprenuers (wirausaha paruh waktu)


Tidak sedikit kita temui wirausaha yang berhasil memulai usahanya secara
paruh waktu saat mereka tengah menjalani sebuah pekerjaan. Memulai bisnis
untuk mengisi waktu luang atau part time adalah pintu gerbang supaya dapat
berkembang menjadi usaha besar. Bekerja part time sangat bijak karena tidak
harus mengorbankan pekerjaan lain, misalnya seorang pegawai kantoron yang
ingin mencoba mengembangkan hobinya berdagang atau mengembangkan
hobinya. Hobi ini pada akhirnya dapat mendatangkan keuntungan yang
menjanjikan.

5. Home-Based Entreprenuers (Wirausaha rumah tangga)


Home-based entrepreneurs adalah kegiatan entrepreneur yang dilaksanakan
Ibu Rumah Tangga (IRT) yang aktivitas bisnisnya dari rumah. Seperti ibu-ibu
bisa membuat kue dan aneka masakan, kemudian mengirim kue-kue ke toko
eceran di sekitar tempatnya. Akhirnya usaha tersebut berkembang dan maju.

Bab 5: Profil Islamic Entrepreneurship 73


Usaha catering banyak dimulai dari rumah tangga khususnya ibu-ibu yang
pandai memasak. Selanjutnya berkembang melayani pesanan untuk pesta
ulang tahun, pernikahan dan sebagainya.
Usaha rumah tangga memiliki fleksibilitas. Pemilik dan aktivitas usahanya
banyak bergantung pada ketersediaan waktu luang anggota keluarga. Apalagi
dengan kemajuan teknologi dan komunikasi telah menjadikan rumah sebagai
salah satu kantor elektronik atau etalase elektronik seperti e-commerce bagi
entrepreneur yang menjalankan usaha online. Bahkan sejak Covid-19 melanda
berbagai negara termasuk di Indonesia, home based Entrepreneurs makin
menjamur, dan mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

6. Family-Owned Business (Wirausaha keluarga)


Orang tua memengaruhi penentuan anak dalam pilihan karier sebagai
seorang pengusaha. Niat orang tua untuk menjadikan anak-anak mereka
entrepreneur memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi anak-anak dalam
memilih karier sebagai entrepreneur (Ardiani & Putra, 2020). Selain itu, terdapat
pandangan bahwa pengusaha lahir berdasarkan faktor keturunan (Christanti,
2016).
Di Indonesia, usaha banyak juga dimiliki oleh keluarga. Keluarga dapat
membuka berbagai jenis dan cabang usaha. Dimulai oleh bapak setelah usaha
berkembang dan maju, maka membuka cabang baru yang dikelola oleh ibu.
Masing-masing usahanya ini bisa dikembangkan atau dipimpin oleh anak-anak
keturunan. Dalam keadaan susahnya lapangan kerja saat ini maka kegiatan
semacam ini perlu dikembangkan. Umumnya usaha keluarga yang berhasil
memiliki nilai-nilai kekeluargaan dan asas kejujuran yang tinggi. Namun
demikian, salah satu permasalahan yang sering dapat berakibat pada kegagalan
usaha ini adalah ketika tiba waktunya suksesi kepemimpinan. Contoh usaha
keluarga yang ada di Indonesia seperti Soempoerna, PT. Indofood Sukses
Makmur, PT Djarum, Kalla Group dan Bakrie Group.

7. Copreneurs
Coprenurs dibuat dengan cara menciptakan pembagian pekerjaan yang
didasarkan atas keahlian masing-masing orang. Orang-orang yang ahli di
bidang ini diangkat menjadi penanggung jawab divisi-divisi tertentu dari bisnis
yang sudah ada (Alma, 2006).

74 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


8. Wirasutri
Wirasutri merupakan entrepreneur yang dikembangkan suami istri.
Dimana banyak suami istri yang mendirikan bisnis bersama dan mengelolanya
bersama-sama. Faktor yang mendorong suami istri membangun bisnis ini
adalah agar mereka dapat bekerja bersama-sama sejalan dengan komitmen
untuk membangun mahligai rumah tangga dan keluarga yang cita-citakan.
Hasil penelitian dari Linda Ariany Mahastanti & Yeterina Widi Nugrahanti,
(2010) memperlihatkan bawa ada peran yang sangat signifikan antara suami
dan istri dalam pengelolaan usaha sehingga berkembang cukup baik

9. Wirausaha korban PHK


Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam suatu perusahaan dapat terjadi
saat suatu perusahaan mengalami pailit atau kebangkrutan atau kejadian-
kejadian lainnya sehingga tidak mampu memenuhi gaji karyawannya. Bagi
korban PHK yang tidak mendapatkan pekerjaan lagi banyak yang mencoba
membangun usaha untuk dapat memperoleh penghasilan dengan cara
mempergunakan keahlian maupun pengalaman yang dimiliki selama bekerja.
Wirausaha korban PHK ini semakin banyak muncul sejak pandemi Covid-19
melanda berbagai Negara termasuk Indonesia. Mereka mulai merintis usaha
dari berjualan online maupun offline.

10. Wirausaha sosial


Wirausaha sosial adalah mereka yang memiliki jiwa sosial dan
menggunakan keahliannya untuk memulai sebuah usaha sebagai solusi
pemecahan masalah-masalah sosial yang ada di lingkungannya. Dengan kata
lain, kegiatan pemanfaatan sumber daya secara optimal untuk melakukan
kegiatan kewirausahaan dengan dilandasi adanya sikap memperhatikan
terhadap kondisi sosial lingkungan (Nurfaqih & Fahmi, 2018).
Di Indonesia contoh wirausaha sosial ini seperti Smash (Sistem Online
Manajemen Sampah) sebuah platform terpadu untuk berbagai pengelolaan
sampah yang mengkoneksi sampai ke bank sampah di lingkungan masyarakat
serta memfasilitasi secara aktif kesadaran masyarakat akan pentingnya
membuang sampah pada tempatnya.

Bab 5: Profil Islamic Entrepreneurship 75


C. Model Islamic Entrepreneurship
Kegiatan entrepreneurship dalam Islam bukanlah menjadi sesuatu yang
baru. Keduanya bagaikan dua buah sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Nabi Muhammad SAW, istrinya dan para sahabat nabi pun juga melakukan
kegiatan wirausaha. Meskipun dalam bentuk kajiannya tidak ditemukan
adanya aturan-aturan yang mengatur tentang kewiraushaan dalam ekonomi
Islam secara eksplisit. Rasulullah Saw bersabda: “Hendaklah kamu melakukan
perdagangan karena didalam perdagangan tersebut terdapat 90 pintu rezeki yang dapat
terbuka” (Nurfaqih & Fahmi, 2018).
Entrepreneurship adalah proses terus-menerus dalam menghasilkan
kekayaan, dan proses menghasilkan sesuatu yang baru dan memiliki value
dengan cara mengerahkan seluruh tenaga dan waktu serta usaha, mengambil
risiko keuangan, psikis dan sosial, dan mendapatkan hasil dalam bentuk
keuangan, kepuasan pribadi dan kebebasan (Hardana, 2018). Entrepreneurship,
muncul apabila seseorang tidak takut mengembangkan usaha-usaha dan ide-
ide barunya (Hilyati, 2013). Maka ada empat model yang memicu munculnya
kewirausahaan, antara lain:

1. Inovasi (Innovation)
Entrepreneur merupakan seorang inovator yang peka terhadap perubahan-
perubahan (Darwis, 2016). Maka Islamic Entrepreneur harus ada di garda
terdepan sebagai orang yang memiliki inovasi terutama dalam menghadapi
perubahan global. Secara umum faktor personal yang mendorong lahirnya
inovasi berbisnis bisa karena: (a) keinginan berprestasi. Keinginan tersebut
tampak dalam wujud tindakan untuk melakukan sesuatu lebih baik dan efisien
dibandingkan sebelumnya (Yuliana, 2017), (b) adanya sifat penasaran, (c)
berani menanggung risiko dengan penuh perhitungan untuk mulai mengelola
bisnis demi mendapatkan laba (Nuranisa, 2018), (d) faktor pendidikan dan
faktor pengalaman.
Sedangkan faktor lingkungan yang medorong lahirnya inovasi, yaitu:
(a) adanya peluang, (b) pengalaman, dan (c) kreativitas. Kesemuanya itu
terjadi karena memiliki rasa percaya diri, berinisiatif, punya motif berprestasi,
berwawasan jauh kedepan, punya jiwa kepemimpinan dan tidak takut
mengambil risiko dengan penuh perhitungan (Aprijon, 2013).

76 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


2. Pemicu (Triggering Event)
Faktor personal yang menjadi pemicu seseorang kemudian beralih
menjadi entrepreneur adalah: (a) ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang ada
sekarang, (b) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), (c) terpaksa karena tidak
ada pekerjaan lain, dan lain- lain. Sedangkan Faktor faktor lingkungan yang
mendorong menjadi pendorong melaksanakan aktivitas bisnis adalah: (a)
sumber-suber yang bis adi manfaatkan, misalnya tabungan, modal, warisan,
memiliki bangunan yang strategis, (b) mengikuti training-training bisnis, kursus
bisnis, dan seterusnya

3. Pelaksanaan (Implementation)
Faktor personal yang mendorong pelaksanaan dari sebuah bisnis adalah
sebagai berikut: (a) siap mental secara total, (b) adanya manajer pelaksana
sebagai tangan kanan, pembantu utama, (c) adanya kemauan yang tinggi
terhadap bisnis, (d) adanya visi, pandangan jauh ke depan untuk mendapatkan
keberhasilan.

4. Proses Pertumbuhan (Growth)


Faktor yang mendorong proses pertumbuhan sebuah bisnis adalah: (a) tim
kompak dalam menjalankan usaha sehingga semua rencana dan pelaksanaan
operasional dapat berjalan lancar dan produktif, (b) strategi mantap sebagai
produk dari tim yang solid dan kompak, (c) produk yang istimewa dan dapat
di banggakan. Misalnya aspek kualitas makanan, lokasi usaha, manajemen,
personalia dan sebagainya.
Entrepreneurship merupakan sebuah proses yang menyertai sebuah usaha
dimana pelakunya (entrepreneur) berani menanggung risiko baik berupa modal,
waktu, atau komitmen karrier dalam rangka menyediakan nilai produktifitas
tertentu dengan berbasis pada manajemen yang baik. Lebih dari itu entrepreneur
tidak hanya bisa dipahami dalam konteks bisnis secara sempit, namun juga
bisa masuk ke dalam bidang-bidang yang lain seperti pendidikan, kedokteran,
arsitektur, pekerjaan sosial dan lain sebagainya (Darwis, 2016)
Menurut Dwi Prasetyani, (2020) terdapat empat bentuk dari
kewirausahaan, antara lain: Pertama, Entrepreneurship, adalah bentuk
kewirausahaan yang memiliki kegiatan pengolahan sumber daya yang dimiliki,
dalam tujuan untuk mencari keuntungan dari peluang tambahan nilai dari
sumber daya tersebut. Pelaku entrepreneurship disebut sebagai entrepreneur

Bab 5: Profil Islamic Entrepreneurship 77


atau wirausaha. Entrepreneur juga memiliki beberapa keunggulan komparatif
dibandingkan konglomerasi. Entrepreneur memiliki kekuatan legitimasi moral
dalam penciptaan lapangan kerja baru, serta peningkatan kesejahteraan. Hal
ini utamanya disebabkan oleh target entrepreneur merupakan masyarakat
dengan perekonomian menengah ke bawah. Selain itu, entrepreneur juga
memiliki pengelolaan sumber daya dan kemampuan manajemen yang baik,
mampu beradaptasi, serta memiliki visi bisnis yang maju.
Kedua, Intrapreneurship, adalah bentuk kewirausahaan dimana seseorang
yang bekerja pada badan tertentu memberikan gagasan baru kemudian
mengembangkannya, sehingga mereka memperoleh tambahan nilai dari
gagasan tersebut. Pelaku intrapreneurship disebut sebagai intrapreneur. Posisi
intrapreneur dalam suatu perusahaan mampu memberikan cooperative advantage
bagi perusahaan tersebut baik secara internal maupun eksternal. Unsur kunci
dalam intrapreneurship antara lain kemampuan memimpin sesuai budaya
perusahaan, terutama untuk mendukung kemampuan pengambilan keputusan
perusahaan. Selain itu, posisi ini juga dapat menciptakan jiwa intrapreneur baru
dalam institusi tersebut sehingga akan mampu mengembangkan perusahaan
sekaligus menguasai pasar sektor tertentu.
Ketiga, Technopreneurship, adalah bentuk kewirausahaan yang
mengutamakan perpaduan dari entrepreneurship beserta kemampuan
manajerialnya, dengan kemajuan teknologi dalam rangka menciptakan inovasi
teknologi yang memiliki nilai jual. Pelaku technopreneurship sering disebut
sebagai technopreneur.
Keempat, Sociopreneurship, adalah bentuk kewirausahaan yang secara
khusus mengutamakan pada pemenuhan sumber daya yang dimanfaatkan
sebagai solusi masalah-masalah sosial, sehingga mampu memberikan
pengaruh kepada masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.
Pelaku sociopreneurship sering disebut sebagai sociopreneur. Sociopreneurship atau
kewirausahaan social merupakan kegiatan bisnis dengan orientasi misi sosial
yang diikuti dengan kepentingan komersiil. Sociopreneur terbagi menjadi 2 sifat
utama, yakni komersiil yang menekankan pada laba/profit sert filantropis
yang menekankan pada tujuan sosial tertentu. Sociopreneur mulai dikenal
sejak kemunculan Grameen Bank dan La Fageda yang berhasil memberdayakan
masyarakat miskin serta memiliki keterbelakangan mental di negara-negara
seperti Bangladesh dan Spanyol. Sociopreneur merupakan salah satu bentuk
kewirausahaan yang menerapkan nilai-nilai sosial dan dapat mengurai masalah
sosial-ekonomi secara perlahan-lahan (Prasetyani, 2020).

78 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


BAB 6
Motivasi Islamic
Entrepreneurship

A. Definisi Motivasi
Motivasi merupakan proses untuk mencoba membujuk dan mendorong
agar orang mau bekerja bertindak secara tertentu. Motivasi menyangkut
reaksi berantai, dimulai dari kebutuhan yang dirasakan. Selanjutnya timbul
kemauan besar yang hendak digapai, kemudian menumbuhkan usaha-usaha
untuk merealisasikannya yang pada akhirnya timbul pemuasan kebutuhan
tersebut. Motivasi adalah hal penting untuk diperhatikan dalam perusahaan,
karena dapat memengaruhi prestasi kerja para pegawai yang ada di lingkungan
perusahaan tersebut. Motivasi ini adalah komponen utama bagi manajer,
sebagaimana pengertian manajer harus bekerja dengan dan melalui orang
lain. Manajer perlu mengerti orang-orang berperilaku tertentu agar dapat
memengaruhinya untuk bekerja sesuai dengan yang diinginkan organisasi
(Handoko, 2012).
Motivasi merupakan suatu faktor yang mendorong seseorang untuk
melaksanakan suatu kegiatan tertentu. Motivasi sering kali diartikan pula
sebagai faktor pendorong perilaku seseorang. Maka untuk memotivasi
seseorang diperlukan pemahaman tentang bagaimana proses terbentuknya
motivasi (Abdurrahman, 2013). Istilah motivasi kadang-kadang dipakai
bergantian dengan istilah-istilah, seperti kebutuhan (need), keinginan (want),

79
dorongan (drive), atau impuls. Sedangkan motivasi seseorang ini tergantung
pada kekuatan motivasi itu sendiri.
Secara etimologi motivasi berasal dari kata latin “Movere” yang berarti
dorongan atau daya pengerak. Motivasi hanya diberikan kepada manusia saja,
khususnya kepada para bawahan atau pengikut (Sunyoto, 2012). Motivasi juga
berasal dari kata motif, yakni sesuatu yang menggerakkan atau mendorong
seseorang melakukan suatu kegiatan, yang berhubungan dengan jawaban
pertanyaan mengapa tingkah laku seseorang demikian. Motivasi dapat pula
diartikan faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu
(Manullang, M, 2011).
Menurut Jerald Greenberg dan Robert A. Baron (2003) motivasi adalah
serangkaian proses yang membangkitkan (arouse), mengarahkan (direct), dan
menjaga (maintain) perilaku manusia menuju pada pencapaian tujuan (purpose).
Membangkitkan berkaitan dengan dorongan atau energi di belakang tindakan.
Motivasi berangkaian dengan pilihan yang dilakukan orang lain dan arah
perilaku mereka.
Motivasi diartikan suatu kumpulan kekuatan tenaga yang berasal baik
dari dalam maupun luar individu yang memulai sikap dan menetapkan bentuk,
arah, serta intensitasnya. Dengan tujuan untuk memengaruhi kinerja pegawai.
Bila motivasi tinggi dengan didukung kekuatan tinggi maka kinerja pegawai
juga tinggi dan sebaliknya. Hanya saja yang menjadi permasalahan adalah
apabila motivasi tinggi tetapi tanpa didukung oleh kemampuan yang cukup,
maka pada prinsipnya pegawai tersebut memiliki minat yang tinggi namun
kemampuan kurang (Ambar, 2009).
Artinya, untuk setiap individu sebenarnya mempunyai motivasi yang
mampu menjadi spirit dalam mengarahkan dan menumbuhkan semangat
dalam bekerja. Spirit yang dimiliki oleh seseorang tersebut dapat bersumber dari
dirinya (intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik), dimana kedua bentuk tersebut
akan lebih baik jika dua-duanya bersama-sama ikut menjadi pendorong
motivasi seseorang (I. Fahmi, 2016). Dimana setiap orang cenderung untuk
melaksanakan sesuatu karena dimotivasi orang lain dengan berbagai cara,
seperti pemberian insentif yang bersifat finansial maupun non finansial, seperti
pemberian pengakuan atas prestasi kerjanya, dan memberikan penghargaan
kepada orang lain (Purwanto, 2011).
Sondang P Siagian, (2012) melihat bahwa ketika berbicara motivasi
mengandung, maka ada tiga komponen sangat penting yang perlu diketahui
setiap orang, yaitu:

80 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


a. Pemberian motivasi terkait langsung dengan usaha pencapaian tujuan
dan berbagai sasaran organisasi. Termaktub pada pandangan ini bahwa
dalam tujuan dan sasaran organisasi telah tercakup tujuan dan sasaran
pribadi para anggota organisasi yang diberikan motivasi tersebut.
b. Motivasi adalah proses keterhubungan antara usaha dengan perumusan
kebutuhan tertentu. Dengan kata lain, motivasi merupakan kesediaan
untuk mengarahkan usaha tingkat tinggi untuk mencapai tujuan
organisasi. Akan tetapi kesediaan membimbing usahanya sangat
tergantung pada kemampuan seseorang dalam memuaskan berbagai
kebutuhannya.
c. Kebutuhan adalah keadaan internal seseorang yang menyebabkan hasil
usaha tertentu menjadi menarik. Artinya suatu kebutuhan yang belum
terpuaskan pada gilirannya menimbulkan ketegangan dan dorongan
tertentu dalam diri seseorang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
seseorang pekerja yang termotivasi sesungguhnya berada pada suasana
ketegangan. Untuk menghilangkan ketegangan itu seseorang melakukan
sesuatu.

Jadi dapat dipahami bahwa motivasi membahas tentang bagaimana


cara mendorong semangat kerja seseorang, agar semangat bekerja dengan
memberikan secara optimal kemampuan dan keahliannya guna mencapai
tujuan. Motivasi tergantung pada diri seseorang untuk melakukan sesuatu
secara lebih baik dan bisa dipengaruhi dorongan dari luar (eksternal) agar
mau melaksanakan sesuatu. Motivasi menjadi penting karena melalui motivasi
ini diharapkan seseorang dapat bekerja keras dan antusias demi mencapai
produktivitas yang tinggi (Sunyoto, 2012).

B. Teori-Teori Motivasi
Motivasi adalah masalah kompleks. Tidak ada seperangkat petunjuk
yang mudah dan dapat menjamin seseorang mampu membangkitkan dan
meningkatkan motivasi seseorang. Upaya meningkatkan dan mempertahankan
motivasi memperlukan perjuangan tanpa henti (Wibowo, 2015).
Berikut ini akan diuraikan beberapa teori-teori motivasi dari para ahli
manajemen berikut ini:

Bab 6: Motivasi Islamic Entrepreneurship 81


1. Achievement Motivation Theory David Mc Clelland
Achievement Motivation Theory (ATM) atau teori prestasi merupakan
sebuah teori dalam bidang motivasi yang menitiktekankan pada kebutuhan
untuk berprestasi (needs for achievement), kebutuhan untuk berafiliasi (needs for
affiliation), dan kebutuhan untuk kekuasaan (needs for power). Asumsi teori ini
bahwa seseorang mempunyai motivasi untuk berprestasi apabila memiliki
kemauan untuk melakukan suatu karya yang berprestasi dan dapat lebih baik
dari prestasi karya orang lain. (Abdurrahman, 2013).

2. Equity Theory J. Stacy Adam


Teori ini menitiktekankan pada asumsi bahwa seseorang akan cenderung
membandingkan antara, (1) masukan- masukan yang mereka berikan pada
pekerjaannnya dalam bentuk pendidikan, pengalaman, latihan dan usaha,
dengan (2) hasil-hasil (penghargaan-penghargaan) yang mereka terima, seperti
juga mereka membandingkan balas jasa yang diterima seseorang lain dengan
yang diterima dirinya untuk pekerjaan yang sama. Teori ini juga memahami
bahwa ego manusia selalu mendambakan keadilan terutama dalam pemberian
hadiah maupun hukuman terhadap setiap perilaku yang relatif sama (Zamzam
& Aravik, 2017).

3. Teori X dan teori Y Douglas Mc Gregor


Teori motivasi ini menekankan pada serangkaian asumsi, mengenai
sifat manusia, yang dinamakan teori X dan teori Y. Teori X mendasarkan pada
sisi negatif, dan Teori Y mendasarkan pada sisi positif. Menurut teori ini, rata-
rata pekerja itu malas, tidak suka bekerja dan kalau bisa akan menghidarinya.
Karena dasarnya tidak suka bekerja maka harus dipaksa dan dikendalikan,
diperlakukan dengan hukuman dan diarahkan untuk pencapaian tujuan
organisasi. Maka menurut teori ini, rata-rata pekerja lebih tertarik dan senang
bila dibimbing, berusaha menghindari tanggung jawab, mempunyai ambisi
kecil, kemamuan dirinya diatas segalanya.

4. Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) Clayton P. Alderfer


Menurutv teori ini, motivasi muncul karena tiga kebutuhan, yaitu: (1)
Existence Needs. Kebutuhan ini berkaitan dengan fisik dari eksistensi seseorang,

82 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


misalnya makan, minum, pakaian, bernapas, gaji, keamanan kondisi kerja,
dan tunjangan. (2) Relatedness Needs. Kebutuhan interpersonal, yakni kepuasan
dalam berinteraksi dalam lingkungan kerja. (3) Growth Needs. Kebutuhan untuk
meningkaykan dan pribadi. Ini berkolerasi dengan kecakapan dan kemampuan
seseorang.

5. Expectancy Theory Victor H. Vroom


Teori ini berpendapat bahwa motivasi adalah akibat dari suatu hasil
yang ingin dicapai oleh seseorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa
tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya,
bila seseorang menginginkan sesuatu, dan jalan nampaknya terbuka untuk
memperolehnya, maka yang bersangkutan akan berusaha mendapatkannya
(Siagian, 2012).

6. Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow


Teori motivasi ini menyakini bahwa seseorang yang tidak terpenuhi
kebutuhannya akan menunjukkan perilaku kecewa, sebaliknya, jika kebutuhan
seseorang terpenuhi maka seseorang tersebut akan menunjukkan perilaku yang
gembira sebagai manifestasi dari rasa puasnya. Dari sini dapat diartikan bahwa
kebutuhan adalah fundamen yang mendasari perilaku seseorang. Seorang
pemimpin di perusahaan tidak akan memahami perilaku seseorangnya tanpa
mengerti kebutuhannya.
Pada hakikatnya manusia mempunyai lima kebutuhan yang secara
hierarki bergerak dari tingkat kebutuhan yang paling sederhana atau mendesak,
hingga kepada tingkat kebutuhan yang lebih canggih. Kebutuhan pertama
yaitu kebutuhan paling dasar bagi manusia adalah kebutuhan fisiologi
seperti makanan, minuman, dan tempat perlindungan (rumah). Kebutuhan
berikutnya adalah kebutuhan akan keselamatan mencakup pengakuan,
senioritas, berserikat, dan jaminan pekerjaan. Selanjutnya kebutuhan untuk
merasa diakui dan dihargai keberadaannya atau diterima oleh kelompok
dan lingkungannya. Berikutnya kebutuhan penghargaan (self esteem Need)
seperti status, titel, pengakuan, dan promosi. Dan yang terakhir atau yang
tertinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri (self actualization) seperti pemenuhan
keinginan dan pencapaian terhadap sesuatu yang tinggi (Wibowo, 2015).

Bab 6: Motivasi Islamic Entrepreneurship 83


7. Dual Structure Theory Frederick Herzberg
Menurut teori ini, faktor-faktor yang menyebabkan seorang termotivasi
atau berkomitmen untuk melakukan sesuatu secara serius adalah sifat dasar
kerja itu sendiri dan imbalan yang diperoleh secara instrinsik dan langsung
dari kinerja kerja (Zamzam & Aravik, 2017).

C. Motivasi Islamic Entrepreneurship


Motovasi merupakan bagian penting dalam perilaku wirausaha.
Pencapaian tujuan usaha bisnis dengan efisien dan efektif tergantung secara
luas pada motivasi yang ada pada entrepreneur sendiri (Farid, 2017). Untuk
itu, motivasi entrepreneur merupakan faktor penting yang menyumbang peran
besar pada keberhasilan usaha seseorang. Entrepreneur membutuhkan motivasi
dengan tujuan untuk menumbuhkan dan mendorong kemauan untuk maju
dalam mengembangkan ide kreatif untuk menghasilkan sesuatu yang dapat
menciptakan dan menjual produk atau barang serta jasa.
Motivasi entrepreneur dapat digunakan sebagai modal utama dalam
meningkatkan kemampuan diri. Rendahnya motivasi berwirausaha akan
berdampak pada menurunnya upaya pengembangan diri (Maryani et al.,
2018). Motivasi berwirausaha adalah seluruh daya penggerak di dalam diri
seorang entrepreneur yang menimbulkan kegiatan entrepreneur yang menjamin
kelangsungan dari kegiatan entrepreneur dan memberi arah pada kegiatan
entrepreneur tersebut sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasi.
Sebagai seorang yang merajut dan mengumpulkan semua sumber
daya yang dibutuhkan baik tenaga, uang, manusia, model bisnis, strategi
dan kemampuan untuk mengambil risiko, maka seorang entrepreneur sangat
memerlukan motivasi, sebuah dorongan dari dalam diri (internal) maupun dari
luar (eksternal) untuk menuntaskan semua cita-cita yang ingin dicapai. Motivasi
usaha yang kuat tertanam dalam jiwa individu merupakan syarat yang harus
ada. Motivasi merupakan suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang
mendorong orang tersebut untuk melaksanakan sesuatu, termasuk menjadi
young entrepreneur (Pujiastuti, 2013).
Ratnawati & Kuswardani, (2010) menyatakan bahwa motivasi
berwirausaha adalah keadaan yang mendorong, menggerakkan dan
mengarahkan keinginan individu untuk melakukan kegiatan kewirausahaan,
dengan cara mandiri, percaya pada diri sendiri, berorientasi ke masa depan,

84 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


berani mengambil risiko, kreatif dan menilai tinggi hasrat inovasi. Motivasi
berwirausaha adalah dorongan atau usaha dari dalam diri individu untuk men-
ciptakan kegiatan dengan melihat adanya peluang tersebut dengan melakukan
suatu kegiatan yang inovatif, antisipatif, inisiatif, dan pengambil risiko serta
mengarah kepada profit atau keuntungan.
Baum, J. R., Frese, M., & Baron, (2007) menjelaskan bahwa motivasi
dalam kewirausahaan meliputi motivasi yang diarahkan untuk mencapai
tujuan kewirausahaan, seperti tujuan yang melibatkan pengenalan dan
eksploitasi terhadap peluang bisnis. Motivasi untuk mengembangkan usaha
baru diperlukan bukan hanya oleh rasa percaya diri dalam hal kemampuannya
untuk berhasil, namun juga oleh kemampuannya dalam mengakses informasi
mengenai peluang entrepreneurship.
Motivasi entrepreneur ibarat tenaga dorongan yang menyebabkan seseorang
melakukan suatu kegiatan berwirausaha. Motivasi di analogikan sebagai
penggerak seseorang untuk melakukan aksi. Motivasi entrepreneur berupa
pertimbangan-pertimbangan yang mendorong seseorang untuk melakukan
kegiatan kewirausahaan (Prihantoro, 2016). Oleh karenanya, sikap dan
motivasi merupakan bagian yang saling berkaitan berkaitan dalam keseluruhan
organisasi kepribadian individu. Sikap dan motivasi memiliki hubungan
yang timbal balik dan akan menunjukkan kecenderungan berprilaku untuk
memenuhi tercapainya pemuas kebutuhan. Dalam motivasi untuk memenuhi
karakter yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha, yaitu:
1). Pekerja Keras (Hard Worker).
Kerja keras adalah modal dasar keberhasilan seseorang. Hampir semua
succesful start up butuh workaholics. Entrepreneur sejati tidak pernah lepas
dari kerjanya, bahkan saat tertidur pun otaknya bekerja dan berfikir
tentang bisnisnya. Salah satu elemen penting dalam keberhasilan kerja
keras adalah berserah diri kepada Allah SWT, dengan selalu berdoa
kepada- Nya. Kerja keras yang diiringi dengan doa akan memperoleh
kesuksesan (QS. Ali Imran [3]: 159).
2). Tidak Pernah Menyerah (Never Serrender)
Seorang wirausaha sejati pantang menyerah. Selalu punya semangat
untuk maju. Biasanya orang-orang seperti inilah banyak berhasil dalam
kehidupan. Lihatlah Colonel Sanders pendiri Kentucky Fried Chicken
yang mendapatkan penolakan sampai 1.009 kali ketika pertama kali mulai
menjual ayam goreng dengan resep khususnya, atau Werner von Braun
yang melakukan 65.121 kali penelitian dan percobaan menerbangkan

Bab 6: Motivasi Islamic Entrepreneurship 85


roket, semua gagal, atau Charles Dickens yang mengirim ratusan artikel
ke media massa, namun tidak pernah berhasil dimuat. Mereka tidak
menyerah. Kini Sanders tercatat rekor dunia dengan menu ayamnya.
Warner tercatat sebagai penemu roket, dan Charles Dickens adalah
penulis dunia terkemuka (Bayu, 2015).
3). Memiliki Semangat (Spirit)
Seorang entrepreneur harus berani tampil beda dan memiliki semangat
lebih dalam berwirausaha. Masalah dan tantangan harus dihadapi dan
dijadikan obat untuk menjadi lebih baik dan lebih mampu lagi, serta
kegagalan yang dialami harus dijadikan koreksi dan evaluasi untuk
perbaikan di masa depan untuk bangkit dan bangkit lagi. Semangat
tersebut harus didukung dengan antara lain: a). Kemauan kuat untuk
berkarya dengan semangat mandiri. b). Berani membuat keputusan yang
tepat dan tidak takut mengambil risiko. c). Kreatif dan inovatif. d). Tekun,
teliti, dan produktif, dan, e). Berkarya dengan spirit kebersamaan dan etika
bisnis yang sehat (Bayu, 2015).
4). Memiliki Komitmen (Committed) yang tinggi.
Seorang entrepreneur harus punya komitmen tinggi dalam meraih
kesuksesan. Komitmen terhadap pekerjaan yang digeluti terus sampai
mendapatkan hal yang bernilai, bagi dirinya maupun orang lain.

Secara garis besar setidaknya ada tiga alasan utama ketika seseorang
memutuskan untuk menjadi wirausahawan dan mulali membangun perusahaan
untuk menjadi pemilik usaha, mengejar ide dan mendapatkan kepuasan
finansial sebagai berikut, (1) Menjadi pemilik usaha: Menjadi pemilik usaha
merupakan alasan utama akan tetapi tidak berarti bahwa menjadi seorang
wirausahawan adalah seseorang yang sulit bekerjasama atau sulit untuk
menerima otoritas. Sebaliknya banyak entrepreneur mau menjadi boss untuk
diri sendiri karena memiliki ambisi untuk mempunyai perusahaan sendiri atau
frustrasi terhadap pekerjaaan mereka. Ketika menjadi pemilik usaha tidak lain
realisasi pencapaian personal atau professional,
(2) Mengejar ide baru: Alasan lainnya seseorang menjadi entrepreneur adalah
mengejar ide pribadi. Ada beberapa orang yang memiliki ide baru untuk produk
dan jasa dan memiliki keinginan untuk mewujudkan ide baru tersebut. Para
entrepreneur yang berasal dari seorang eksekutif korporasi biasanya memiliki
ide yang relevan dengan perusahaan namun perusahaan tersebut menolak ide
tersebut. Akibatnya, banyak ide yang baik namun tidak dapat dilaksanakan

86 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


sehingga para pengagas ide tersebut memilih untuk keluar perusahaan,
membangun perusahaan sendiri demi merealisasikan ide tersebut menjadi
kenyataan, (3) Kepuasan finansial: Motivasi mengejar kepuasan finansial
dengan menjadi seorang entrepreneur merupakan sebuah motivasi sekunder.
Menjadi seorang entrepreneur bertujuan guna memperoleh kebebasan finansial
dibandingkan menjadi seorang eksekutif korporasi. Kebebasan finansial adalah
sebuah konsekuensi ketika sebuah wirausahawan dijalankan dan mendapatkan
keuntungan (Gurmilang, 2015).
Untuk dapat terjun dan menjadi pelaku wirausaha, seseorang harus dapat
memotivasi dirinya. Setidaknya terdapat beberapa pendekatan untuk dapat
memotivasi seseorang agar mau berwirausaha, yaitu: Pertama, dengan paksaan
(by force). Melalui perintah atau instruksi bersifat memaksa. Pada awalnya,
bisa jadi subyek melakukan tugas itu lebih di dasarkan pada rasa takut, ketika
menolak tugas tersebut. Kedua, Pendekatan kedua dapat dilakukan dengan
persuasi (persuasion), baik melalui cerita-cerita menarik, sehingga subyek dapat
terpikat dan atas kemauan sendiri meniru gambaran keberhasilan orang lain.
Ketiga, pendekatan stimulasi (stimulation), lewat gambaran dan petunjuk,
sehingga subyek akan tertarik dan muncul inisiatif sendiri untuk melakukan
kegiatan usaha yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Selain itu, motif berprestasi yang perlu dikembangkan seorang
wirausaha. Motif berafiliasi juga perlu diperhatikan. Wirausaha harus pandai
meningkatkan kemampuan manajerial, menggerakkan orang lain dengan
sebaik baiknya, yaitu yang dilandasi dengan hubungan antar sesama yang
baik. Nickels, W. G., McHugh, J. M., & McHugh, (1997) menyatakan bahwa
ada empat komponen yang memotivasi individu supaya berani untuk terjun
berwirausaha yaitu:
a. Kesempatan (Chance).
Kesempatan untuk berbagi mimpi merupakan daya tarik yang sangat
besar. Mungkin tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk
bekerja dalam organisasi kompleks di masa sekarang. Akan tetapi, mereka
mungkin memiliki inisiatif dan dorongan untuk bekerja dalam jam kerja
panjang yang dituntut oleh kewirausahaan.
b. Laba (Profit).
Laba adalah alasan penting untuk menjadi seorang wirausahawan.
Dengan laba sebagai motivasi, seorang wirausaha bebas dari standarisasi-
standarisasi yang dibuat perusahaan terhadap dirinya. Dengan
berwirausaha, seorang wirausaha menentukan sendiri besar gaji yang

Bab 6: Motivasi Islamic Entrepreneurship 87


harus diberikan kepada dirinya, bukan atas standar yang dibuat orang
lain.
c. Kemerdekaan (Independence).
Banyak wirausahawan tidak menikmati bekerja untuk orang lain.
Beberapa dari mereka berhasil menemukan kebahagiaan dan kepuasan
diri ketika memulai bisnis mereka sendiri. Dengan berwirausaha
seseorang dapat merdeka secara finansial. Apalagi gaji (salary) dari
seorang pekerja ada batasaya atau standarnya tentu saja tidak memuaskan
dan cenderung menghasilkan disparitas antara satu dengan lainnya.
Bahkan ketika seorang pekerja berprestasi lebih dengan menghasilkan
profit berlebih bagi perusahaan bahkan sampai ratusan milyar, tetap
saja semuanya kembali kepada perusahaan sedangkan pekerja hanya
mendapatkan bonus atau kenaikan gaji yang tidak seberapa. Maka dengan
berwirausaha seseorang dapat mengantur keuangan sendiri, dan besar
kecil penghasilan yang didapatkannya setiap hari. Tentu saja ini menjadi
motivasi berlebih untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi seseorang.
Dengan ini, seorang wirausaha bebas dari supervisi dan aturan birokrasi
yang dibuat perusahaan atau orang lain, serta secara mandiri mengatur
dan melaksanakan konsep atau ide ataupun pekerjaan yang dibuatnya
sendiri, bebas dari intervensi pihak manapun.
d. Tantangan (Challenge).
Banyak orang yakin bahwa wirausahawan adalah pecandu kesenangan
yang tumbuh subur dan berkembang dengan mengambil risiko.
Akan tetapi wirausahawan lebih banyak mencari pencapaian pribadi
dibandingkan Kekuasaan. Dengan berwirausaha, seseorang tertantang
untuk mencapai satisfying way of life tanpa terikat dengan pekerjaan-
pekerjaan yang sama dan membosankan setiap hari.

Motivasi berwirausaha selain pendapat Nickels, W. G., McHugh, J.


M., & McHugh, (1997) di atas, juga di dorong oleh kebutuhan dasar yang
menjadi kebutuhan hidupnya (dorongan fisiologis) baik sandang, pangan
maupun papan, bisa juga karena dorongan keluarga untuk meniti karir sebagai
wirausaha dan orang tua menjadi konsultan pribadi bagi ide-ide usaha yang
akan dilaksanakan. Ada juga yang menjadi wirausaha karena tidak mau
tergantung dengan orang lain baik secara finansial maupun psikologis.
Dengan berwirausaha dirinya menjadi bebas, tidak terikat dan mandiri.
Berwirausaha juga lahir karena hobby. Lewat hobby seseorang menyalurkan

88 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


berbagai keinginan untuk menciptakan barang atau jasa yang menghasilkan
bagi konsumen. Biasanya berwirausaha model ini tahan banting dan dapat
bertahan hidup dalam kondisi sesulit apapun, karena usaha yang dijalankan
dilakukan penuh dedikasi, kepuasan, dan kebahagiaan.
Suryana, (2013) melihat ada beberapa alasan yang memotivasi seseorang
untuk menjadi wirausaha, yaitu: Pertama, alasan keuangan. Alasan ini misalnya
keinginan untuk memburu rezeki, menjadi kaya, mendapatkan pendapatan
tambahan, atau menjamin stabilitas keuangan di kemudian hari. Kedua, alasan
sosial. Alasan ini misalnya, keinginan untuk meningkatkan status, menjadi
contoh bagi orang tua atau orang lain, dan bertemu dengan banyak orang.
Ketiga, alasan pelayanan. Alasan ini misalnya, ingin memberikan pekerjaan
kepada masyarakat, menambah ekonomi keluarga dan masa depan anak-
anak, dan membagiakan kedua orang tua. Keempat, alasan pribadi. Alasan
ini misalnya, ingin hidup mandiri dan tidak tergantung dengan orang lain,
terobsesi menjadi atasan, memiliki keinginan yang diperjuangkan dan menguji
kemampuan diri.
Sedangkan Buchari Alma, (2006) menjelaskan bahwa motif berwirausaha
terutama dalam bidang perdagangan adalah sebagai berikut:
1). Berdagang buat cari untung.
Mencari laba merupakan motivisi utama seseorang dalam berdagang.
Demi tujuan ini, kadangkala banyak yang menghalalkan segala cara,
seperti penjual buah-buahan berusaha memasukkan buah yang sudah
rusak atau busuk ke dalam bukungsan dan ditimbang tanpa sepengetahuan
pembeli. Oleh karena itu, perilaku tersebut menjadikan profesi bergadang
menjadi tidak elite dan menjadi pekerjaan rendah dan dianggap rendah.
2). Berdagang adalah hobi.
Konsep berdagang adalah hobi, kebanyakan dianut oleh para pedagang
dari Padang dan Cina. Mereka menekuni dunia perdagangan dalam
keseharian kehidupan mereka.Bahkan mental berdagang menjadi salah
satu ciri khas dan semangat hidup mereka. Begitu juga masyarakat Tegal
dengan Warteg Tegalnya yang sudah semakin menjamur di berbagai kota
di Indonesia.
3). Berdagang adalah Ibadah
Bagi orang Islam, aktivitas berniaga sebenarnya sangat tinggi derajatnya,
Rasulullah SAW adalah seorang pedagang, sahabat Nabi banyak menjadi
pedagang, dan berdagang merupakan salah satu ibadah penting dihadapan
kepada Allah SWT. Dengan berdagang seseorang akan memperoleh

Bab 6: Motivasi Islamic Entrepreneurship 89


penghasilan yang memungkinkannya dapat makan, berpakaian, bertempat
tinggal, memberi nafkah kepada keluarganya, dan menjalankan berbagai
ibadah lainnya secara baik.
Dari hasil berdagang inilah seseorang dapat melaksanakan berbagai
aktivitas ibadah lainnya seperti menunaikan zakat, memberi bersedekah
dan berinfak untuk kepentingan pembangunan umat Islam secara
keseluruhan. Karenanya setiap pelaku usaha dalam Islam dianjurkan
untuk senantia berniat melakukan perkejaannya dalam rangka
melaksakan sunnatullah. Seperti dijelaskan di dalam surat At-Taubah
[9] ayat 105: “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-
Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata,
lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Seorang muslim entrepreneur tidak akan pernah meninggalkan Allah
dalam setiap pekerjaannya, sebab apapun yang kita lakukan tanpa
keridhaan (izin) Allah, tidak akan pernah kita mendapatkan hasil yang
membahagiakan. Karenanya pengusaha muslim apabila memperoleh
keberhasilan (untung) dia tidak akan dihinggapi sifat arogan (sombong),
sebab ia yakin dan percaya bahwa keberhasilan yang di dapatkannya tidak
lain adalah rahmat dan izin dari Allah. Sebaliknya apabila seseorang
tertimpa kemalangan (rugi) tidak akan kecewa dan frustrasi, sebab dirinya
yakin dan percaya bahwa Allah belum meridhainya untuk sukses, sehinga
kegagalan yang menimpanya tidak membuatnya malas dan terpuruk,
melainkan akan bangkit untuk menggapai kejayaan (Kamaluddin, 2019).
4). Berdagang adalah kebaikan
Al-Qur‘an menyebutkan bahwa harta kekayaan yang didapatkan seseorang
sering diistilahkan dengan al-khayr (kebaikan) sehingga mencarinya
dengan cara berwirausaha misalnya, dianggap sama dengan mencari
kebaikan (QS. al- Baqarah [2]: 21). Untuk itu, seorang wirausaha pantang
berbohong, menyembunyikan cacat barangnya, menipu, bersumpah
palsu, dan tindakan keji lainnya.
5) Berdagang adalah panggilan hati
Berdagang sebagai panggilan hati, maknanya adalah ada semacam
panggilan dari hati nurani bagi setiap muslim untuk senantiasa
memperbaiki diri, mencapai prestasi tertinggi dan tampil sebagai bagian
dari umat terbaik (khairu ummah). Oleh karenanya, Islam mendorong
umatnya untuk gemar berusaha apapun jenis usahanya asal bukan

90 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


yang diharamkan Allah. Karena pekerjaan yang dilakukan seseorang
merupakan panggilan hati. Panggilan langsung dari Allah SWT agar
manusia mencari keuntungan dari apa yang diciptakan Allah SWT (QS.
An-Nahl [16] ayat 14).
6) Berdagang adalah kehormatan
Dengan berdagang seseorang dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan
keluarga. Allah memerintahkan agar orang-orang beriman senantiasa
menjaga diri dan keluarganya termasuk dengan cara memenuhi
kebutuhannya di dunia. Dengan terpenuhinya kebutuhan secara benar,
mereka akan dapat beribadah kepada Allah dengan benar pula sehingga
di akhirat kelak terhindar dari siksa nereka (QS. At-Tahkim [66]: 6).

Konsep motivasi dalam Islam sangat komprehensif dan berimbang


yang mencakup dimensi material dan spiritual. Islam menganggap kerja
sebagai bagian dari ibadah yang dilakukan dengan niat baik dan sesuai
dengan lingkungannya. Niat menjadi standar dan motivasi karena Tuhan
mengetahui setiap perilaku, tidankan bahkan niat setiap individu (QS. Yunus
[10]: 61). Prilaku dan perbuatan tersebut akan dicatat (QS. Qaf [50]: 17-18) dan
akan dimintai pertanggungjawabkan di akhirat kelak (QS. Al-Israa [17]: 36).
Sehingga bagi seorang muslim, motivasi berusaha termasuk berwirausaha di
dasarkan atas niat, tidak hanya mendapatkan imbalan dari hasil pekerjaannya,
melainkan juga mendapatkan imbalan kelak di akhirat.
Pada hari kiamat catatan amal atau prestasi manusia itu akan diberikan
kepada masing-masing orang untuk diperlihatkan apakah catatan prestasi
amal mereka berada di pihak mereka ataupun catatan amal mereka malah
menunjukkan kekelaman hidup mereka di akhirat. Semua anggota tubuh akan
menjadi saksi dan tidak ada yang bisa menghindar darinya (QS. Fushshilat [41]:
20). Oleh karenanya, setiap aktivitas yang dibuat harus dilandasakan kepada
sikap dan perilaku yang bersifat memiliki pengetahuan, dalam arti paham
dan mengetahui apakah perbuatan tersebut benar atau salah, baik atau buruk,
bermanfaat atau mudharat, termasuk dalam berwirausaha, dan motivasi yang
terkandung dalam berpraktek wirausaha.
Untuk itu, bekerja adalah bagian dari ibadah dan status ibadah adalah
wajib, status hukum bekerja adalah wajib, kewajiban bersifat individual atau
fardhu ain yang tidak bisa didelegasikan ke orang lain. Karena berkaitan dengan
pertanggung jawaban amal yang bersifat individual, di mana individulah yang

Bab 6: Motivasi Islamic Entrepreneurship 91


kelak akan mempertanggungjawabkannya. Ada dua syarat pokok agar aktivitas
bekerja bernilai ibadah. Pertama, ikhlas, yaitu mempunyai motivasi untuk
berbuat baik yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan serta sejalan dengan
agama yang tujuan memperoleh ridha Allah (QS. Al-Baqarah [2]: 207 dan
265). Kedua, benar (shawab), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang
diajarkan oleh agama melalui Rasullah SAW untuk pekerjaan ubudiah (ibadah
khusus) dan tidka bertentangan dengan ketentuan agama dalam hal muamalah
(ibadah umum) (QS. Ali Imran [3]: 31 dan Al-Hasyr [59]: 10) (Siswanto, 2016).
Selain itu, etos kerja merupakan jihad dimana menuntut kesabadaran
dan kontinuitas kerja, bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang unggul
dari kesabaran para pesaing. Semua itu disokong dengan keuletan untuk
murabathah, yakni pantang meninggalkan pekerjaan sebelum selesai (Ali Imran
[3]: 200). Ia anti terhadap berbagai bentuk ketidakcermatan dan memanajemen
waktu secara cermat dan baik serta menampik ketidakprofesionalan dalam
mengatur sumber daya yang ada. Ia menolak setiap perasaan dan sikap
malas, kurang serius, tergantung pada kemampuan orang lain, dan bahkan
mengambil prestasi orang lain (QS. Al-Baqarah [2]: 188). Dengan etos kerja
sebagai jihad, maka setiap muslim diupayakan bisa mengukir prestasi tinggi
dengan penuh semangat, selanjutnya secara pasti dapat mengembalikan harga
dirinya sehingga disegani oleh umat lain, sebab kemuliaan seorang muslim
adalah milik Allah SWT dan Utusan-Nya serta orang-orang beriman (QS.
Al- Munafiqun [63]: 8) (Siswanto, 2016).

92 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


BAB 7
Komunikasi Islamic
Entrepreneurship

A. Definisi Komunikasi Entrepreneur


Seorang entrepreneur sangat membutuhkan keahlian komunikasi. Karena
sekalipun punya produk terbaik, konsep layanan prima dan ide-ide kreatif,
namun bila tidak dikomunikasikan dengan benar dan baik kepada orang lain,
maka itu menjadi tidak profitabel. Komunikasi adalah dasar bagi seorang
entrepreneur untuk menyampaikan pesan, mendekati pelanggan, memimpin
karyawan dan memotivasi mereka supaya mengerjakan apa yang diperintahkan
secara cepat, tepat dan efektif. Penelitian membuktikan bahwa adanya
hubungan langsung antara komunikasi dengan produktivitas. Karyawan akan
bekerja secara lebih efektif dan dengan kepuasan kerja maksimal, apabila
mereka mengerti bukan hanya kebutuhannya sendiri tetapi juga kebutuhan
kelompok maupun organisasi perusahaannya secara total (Farid, 2017).
Secara bahasa komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatus, dari
asal kata communis. Kata communis bermakna “berbagi” atau “menjadi milik
bersama” yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau
kesamaan makna. Komunikasi merupakan salah satu komponen penting
dalam melaksanakan entrepreneurship. Hal ini terjadi karena seorang entrepreneur
adalah seorang leader yang sudah pasti harus dapat mendirect bawahannya
guna menggapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, kemampuan melakukan
komunikasi akan membantu seseorang menjadi entrepreneur yang unggul.

93
Seorang entrepreneur harus memahami dengan baik bagaimana menyusun kata-
kata yang mampu membentuk suatu arti atau makna, bagaimana mengubah
suatu situasi menjadi lebih menarik dan menyenangkan, bagaimana mengajak
konsumen untuk berperan aktif dalam diskusi mengenai produk yang dimiliki,
mampu menyelipkan humor yang mampu menghidupkan suasana, serta
memilih media komunikasi yang tepat baik tertulis maupun lisan.
Jadi, komunikasi terjadi bila antara orang-orang yang terlibat dalam
komunikasi memiliki kesamaan mengenai suatu hal yang dikomunikasikan.
Jelasnya, apabila seseorang paham tentang sesuatu yang di katakan orang
lain kepadanya maka komunikasi dapat berlangsung. Secara sederhana dari
pengertian ini dapat dilihat bahwa tujuan dari komunikasi adalah untuk
membangun kesamaan arti antara pengirim pesan dan penerima pesan. Dengan
adanya kesamaan arti ini, maka dua orang atau lebih individu bisa saling
mengirimkan informasi dan mendefinisikan serta memahami realita masing-
masing, sehingga aktivitas manusia bisa terlaksana (Yudhi & Maharani, 2013)
presentation in class and in oral examination. Based on research, found that
the competence of students is relatively low. Also found that there is a different
degree of the competence among the students in the different departments. The
indicators of interpersonal communication competence are (1.
William C. Himstreet, (1981), komunikasi merupakan sebuah proses
transfer informasi antar individu melalui suatu sistem yang biasa (lazim),
baik dengan simbol-simbol, sinyal-sinyal, maupun perilaku atau tindakan.
Komunikasi diartikan sebagai sebuah proses karena merupakan sesuatu
yang sedang terjadi dan selalu bergerak. Komunikasi adalah suatu sistem
bahwa dalam komunikasi terdapat beberapa aspek-aspek yang saling terkait.
Seperti halnya komunikasi dalam keluarga, maka orang-orang yang ada dalam
keluarga adalah bagian dari sistem. Simbol dalam komunikasi bisa menyangkut
bahasa dan perilaku non-verbal lainnya, seperti seni dan musik.
Makna merupakan inti dari komunikasi. Makna tidak begitu saja kita
ambil dari apa yang kita alami, melainkan dibentuk dalam proses komunikasi.
Kita berbicara dengan orang lain untuk memperjelas apa yang dipikirkan,
bagaimana cara menginterpretasi perilaku non-verbal orang lain. Dari
komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat
dimengerti oleh pihak lain. Namun, komunikasi hanya akan berjalan baik jika
pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh si penerima pesan tersebut
(Yudhi & Maharani, 2013)presentation in class and in oral examination. Based
on research, found that the competence of students is relatively low. Also

94 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


found that there is a different degree of the competence among the students
in the different departments. The indicators of interpersonal communication
competence are (1.
Komunikasi memengaruhi kerjasama antar pelaku usaha, pemasaran
produk atau jasa, penjualan produk atau jasa, dan kualitas produk atau
jasa. Dengan istilah lain, entrepreneur harus mempunyai keahlian dalam
berkomunikasi secara baik. Efek dari komunikasi yang tidak tepat bagi pelaku
usaha dapat terlihat pada produktivitas yang menurun, strategi bisnis dapat
berantakan yang tentu saja dapat berimbas pada bisnis lain, kinerja pegawai
yang tidak maksimal, efisiensi rendah, perbedaan persepsi dari para pelaku
usaha, hingga berujung pada hilang kepercayaan konsumen (consumer trust)
yang diakibatkan karena ketiadaan inovasi dan pelayanan yang tidak maksimal,
hasil dari komunikasi yang buruk.

B. Komponen Komunikasi
Komunikasi digunakan oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa
saja serta dalam situasi dan kondisi bagaimana saja. Dalam dunia kerja,
komunikasi menjadi bagian penting, sebab komunikasi yang dilakukan tidak
secara baik akan berdampak sangat luas terhadap aktivitas organisasi, misalnya
permusuhan antar karyawan, dan sebaliknya komunikasi yang dilakukan secara
baik akan meningkatkan saling pemahaman dan pengertian, kerjasama, disiplin
kerja dan kepuasan kerja. Mengingat orang-orang yang berkerjasama dalam
sebuah organisasi untuk menggapai tujuan organisasi adalah sekelompok
sumber daya manusia dengan banyak karakter dan motivasi, maka komunikasi
yang terbuka mesti diterapkan secara baik. Karyawan harus mempunyai
keahlian komunikasi yang baik akan bisa mendapatkan dan mengelaborasikan
tugas yang diembannya, sehingga meningkatkan kinerjanya (Rapareni, 2013).
Setidaknya ada 8 (delapan) komponen penting dalam komunikasi yang
antara satu dengan lainnya saling berkaitan, yakni antara lain:

1. Lingkungan komunikasi
Pada lingkungan komunikasi setidaknya punya 3 (tiga dimensi), yaitu
(a) Fisik, merupakan ruang di mana aktivitas komunikasi berlangsung secara
nyata atau berwujud. (b). Sosial-psikologis, misalnya tata relasi status di antara
pihak yang terlibat, peran yang mereka jalankan dan aturan budaya masyarakat

Bab 7: Komunikasi Islamic Entrepreneurship 95


di komunikasi dilaksanakan. Lingkungan atau konteks ini mencakup rasa
persahabatan atau permusuhan, formalitas atau informalitas, serius atau senda
gurau. (c). Temporal (waktu), mencakup waktu dalam hitungan jam, hari, atau
sejarah di mana komunikasi berlangsung (Hermawan, 2012).

2. Sumber-penerima
Sumber (source), biasa disebut sebagai pengirim (sender), penyandi
(encoder), komunikator (communicator), pembicara (speaker) atau originator.
Sedangkan penerima disebut tujuan (destination), komunikate (communicate),
penyandi balik (decoder) atau khalayak (audience), pendengar (listener), atau
penafsir (interpreter), merupakan orang yang menerima pesan dari sumber atau
menjadi orang yang menjadi tujuan informasi.
Sumber dan penerima sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan
untuk menegaskan bahwa setiap orang yang terlibat dalam komunikasi adalah
sumber (atau pembicara), sekaligus penerima (atau pendengar). Ketika anda
berbicara, menulis, atau memberikan isyarat tubuh, anda mengirimkan pesan.
Mendengarkan, membaca, membaui, dan sebagainya, anda menerima pesan
dengan. maknanya ketika anda mengirimkan pesan, anda juga menerima
pesan, dan begitu juga sebaliknya.

3. Enkoding-Dekoding
Enkoding atau penyandingan disebut tindakan menghasilkan pesandan
dekoding atau pemecah sandi sebagai tindakan menerima pesan. Pelakunya
disebut enkoder (pembicara atau penulis) dan dekoder (pendengar atau pembaca).
Enkoding-dekoding merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh
karena itu, ketika seseorang berbicara (enkoding), maka juga menyerap
tanggapan dari pendengar (dekoding).

4. Kompetensi komunikasi
Kompetensi komunikasi dimaknai sebagai memiliki kemampuan yang
meliputi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan sikap (attitude)
yang sesuai dalam mengelola pertukaran pesan verbal dan non verbal
berdasarkan patokan-patokan tertentu. Sedangkan tiga ukuran kompetensi,
adalah: pemahaman terhadap proses komunikasi dalam berbagai konteksnya,

96 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


kemampuan perilaku komunikasi verbal dan non verbal secara tepat, dan
berorientasi pada sikap positif terhadap komunikasi.
Dengan kompetensi komunikasi, perilaku komunikasi (verbal dan non
verbal) dapat tepat sesuai dengan peraturan- peraturan komunikasi yang
berlaku, dan membantu mencapai tujuan komunikasi. Oleh karena itu,
dengan meningkatkan kompetensi, seseorang akan memiliki banyak alternatif
berperilaku (Rapareni, 2013). Makin banyak seseorang paham dan mengerti
tentang komunikasi, maknanya semakin tinggi kompetensinya, makin banyak
pilihan, yang dipunyai untuk melakukan komunikasi sehari-hari. Proses ini
sama dengan proses mempelajari perbendaharaan kata dimana semakin banyak
kata yang dimengerti, maka semakin tinggi kompetensi perbendaharaan
katanya, artinya semakin banyak cara yang dimiliki untuk mengekspresikan
diri.

5. Pesan (message)
Pesan merupakan isi atau maksud yang akan berikan oleh satu pihak
kepada pihak lain melalui media/saluran di mana pesan diberikan kepada
komunikan. Pesan disebut produk fisik yang sebenarnya dari sumber-enkoder
atau source-encoder. Apabila seseorang berbicara, maka isi pembicaran
tersebut adalah pesan (Budyatna, 2012). Secara umum pesan komunikasi
dapat memiliki banyak bentuk. Misalnya, kita mengirimkan dan menerima
pesan melalui salah satu atau kombinasi tertentu dari panca indra. Walaupun
kita menganggap pesan selalu dalam bentuk verbal (lisan atau tertulis), ini
bukanlah satu-satunya jenis pesan. Ada pesan nonverbal (tanpa kata atau
isyarat, gerak dan mimik). Seperti, pakaian yang kita kenakan, cara berjalan,
berjabatan tangan, menggelengkan kepala, menyisir rambut, duduk dan
tersenyum. Pendeknya, segala hal yang kita ungkapkan dalam melakukan
sebuah komunikasi (Hermawan, 2012). Paling tidak ada tiga factor yang perlu
untuk dipertimbangkan di dalam pesan; (a) kode pesan atau message code, (b)
isi pesan atau message content, dan (c) pengelolaan pesan atau message treatment
(Budyatna, 2012).

6. Saluran (channel)
Saluran komunikasi merupakan media yang dilewati pesan. Komunikasi
jarang sekali berlangsung melalui hanya satu saluran. Umumnya kita
menggunakan dua, tiga, atau empat saluran yang berbeda secara simultan.

Bab 7: Komunikasi Islamic Entrepreneurship 97


Misalnya, dalam interaksi tatap muka kita berbicara dan mendengarkan
(saluran suara), tetapi kita juga memberikan isyarat tubuh dan menerima
isyarat ini secara visual (saluran visual). Dalama arti lain, saluran adalah alat
yang diaplikasikan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.
Saluran boleh jadi merujuk pada bentuk pesan yang disampaikan kepada
penerima, baik itu saluran verbal ataupun nonverbal.

7. Umpan Balik (Feedback)


Umpan balik merupakan informasi yang dikirimkan balik ke sumbernya.
Umpan balik bisa berasal dari diri sendiri ataupun orang lain. Bila anda
menyampaikan pesan, misalnya dengan cara berbicara kepada orang lain anda
juga mendengar diri anda sendiri. Artinya, anda menerima umpan balik dari
pesan anda sendiri. Anda mendengar apa yang anda katakan, anda merasakan
gerakan anda, anda melihat apa yang anda tulis. Selain umpan balik sendiri
ini, anda mendapat umpan balik dari orang lain. (Hermawan, 2012).

8. Gangguan
Gangguan (noise) merupakan gangguan dalam komunikasi yang
mendistorsi pesan. Gangguan itu dapat menghalangi penerima dalam
menerima pesan dan sumber dalam mengirimkan pesan. Gangguan ini dapat
berwujud gangguan fisik (ada orang lain berbicara), psikologis (pemikiran yang
sudah ada di kepala kita), atau semantik (salah mengartikan makna) (Tim
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013).

C. Macam-Macam Komunikasi
Setiap orang tidak dapat dilepaskan dari dunia komunikasi, mulai dari
bangun tidur hingga akan tidur kembali. Sebelum berangkat kerja atau sekolah,
banyak kegiatan komunikasi dilakukan, seperti mendengarkan radio atau
musik melalui HP atau android, menonton acara televisi, membaca koran,
tabloid, atau majalah, atau berinteraksi dengan anggota keluarga (Purwanto,
2011).
Komunikasi pada prinsipnya terbagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu;
pertama, Komunikasi vertikal merupakan komunikasi yang dilancarkan dari
atas ke bawah (downward communication) dan sebaliknya dari bawah ke atas

98 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


(upward communication) atau dengan kata lain komunikasi yang dilancarkan
oleh pihak atasan kepada bawahan atau sebaliknya dari bawahan kepada
atasan (two way traffic communication). Karena komunikasi berhubungan erat
dengan masalah manusia dengan manusia (man to man), maka sukses tidaknya
sebuah komunikasi sangat tergantung pada frame of reference orang-orang yang
terlibat di dalamnya.
Jenis komunikasi ini biasanya meliputi (1) aktivitas yang berkaitan
dengan pekerjaan, sesuatu yang sedang terjadi di pekerjaan, seberapa jauh
pencapaian, sesuaatu yang masih harus dilakukan, dan masalah lain yang
sejenis; (2) masalah yang berkaitan dengan pekerjaan dan pertanyaan yang
belum terjawab; (3) beragam gagasan untuk perubahan dan saran- saran
perbaikan; dan (4) perasaan yang berkaitan dengan pekerjaaan mengenai
organisasi, pekerjaan itu sendiri, pekerja lainnya, dan masalah lain yang serupa
(Evelina & Angeline, 2014).
Kedua, Komunikasi horizontal adalah komunikasi yang menunjukkan
adanya pertukaran informasi ke samping, yaitu mengalir sesuai dengan
prinsip fungsional diantara orang-orang yang sama didalam suatu organisasi
(Swandhana, 2017). Komunikasi yang dilaksanakan secara mendatar antara
anggota staf dengan anggota staf, pekerja dengan pekerja dan sebagainya. Guna
memecahkan problema yang timbul akibat proses komunikasi dengan jalur
seperti itu adalah tugas Public Relation Officer (Kepala Hubungan Masyarakat).
Maka antara komunikasi vertikal dengan komunikasi horizontal sering kali
terjadi komunikasi diagonal.
Ketiga, Komunikasi diagonal atau komunikasi lintas saluran adalah
penyampaian informasi rekan sejawat yang melewati batas-batas fungsional
dengan individu yang tidak menduduki posisi atasan atau bawahan mereka.
(Kuswandini & Lestari, 2019).
Komunikasi internal ini bukan saja terjadi dalam tiga kontek, melainkan
dapat pula terjadi secara personal (personal communication) dan secara kelompok
(group communication).

1) Komunikasi personal (personal communication)


Komunikasi personal adalah komunikasi antar dua orang yang dapat
berlangsung secara tatap muka (face to face communication) dan komunikasi
bermedia (mediated communication). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
melaksanakan komunikasi personal tatap muka adalah sebagai berikut:

Bab 7: Komunikasi Islamic Entrepreneurship 99


a. Bersikap empati dan simpati sangat penting dilakukan
b. Menampilkan diri sebagai komunikator terpercaya
c. Bertingkah laku sebagai pembimbing, bukan pendorong
d. Kemukakanlah fakta dan kebenaran
e. Berbicaralah dengan bahasa yang mengajak, bukan menyuruh apalagi
mendikte
f. Jangan bersikap super atau menyombongkan diri
g. Jangan mengkritik
h. Jangan emosional dan berbincanglah secara meyakinkan

2) Komunikasi kelompok (group communication)


Komunikasi kelompok merupakan komunikasi antar seseorang dengan
sekelompok orang dalam situasi tatap muka. Komunikasi ini terbagi menjadi
dua, yaitu:
a. Komunikasi kelompok kecil
Komunikasi ini merupakan komunikasi antara manajer atau seorang
administrator dengan sekelompok pekerja yang memungkinkan
terdapatnya kesempatan bagi salah seorang untuk memberikan saran
atau tanggapan secara verbal.
b. Komunikasi kelompok besar
Komunikasi ini merupakan kelompok komunikasi yang dilakukan dalam
skala besar. Oleh karena itu, karena jumlahnya banyak, maka situasi
komunikasi bisa saja tidak terdapat kesempatan untuk memberikan
tanggapan secara verbal.

D. Tujuan dan Fungsi Komunikasi


Setiap proses komunikasi mempunyai tujuan dan fungsi untuk efisiensi
dan efektivitas. Tujuan dari komunikasi adalah membangun atau menciptakan
pemahaman atau pengertian bersama. Saling memahami dan mengerti bukan
berarti harus menyetujui tapi mungkin dengan komunikasi terjadi suatu
perubahan sikap, pendapat, perilaku atau perubahan secara sosial (Henny
Novita Rumono et al., 2014).
Tim Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, (2013) tujuan
dan fungsi komunikasi yang terpenting adalah:

100 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


1. Supaya menjadi tahu dan memberitahukan, seperti antar hubungan
pergaulan sehari-hari, surat edaran, pengumuman, pemberitahuan dan
sebagainya.
2. Mengukur masukan (input) atau hasil (output) atau suatu pola pemikiran,
seperti umpan balik (feedback), tanggapan atas pendapatan, evaluasi
anggaran, penilaian rencana dan sebagainya.
3. Mengarahkan atau diarahkan, misalnya manajer mengarahkan sumber
tenaga, material, uang, mesin (kepada suatu tujuan), rapat kerja, seminar,
penataran latihan kerja, juklak (petunjuk pelaksanaan), juknis (petunjuk
teknis) dan sebagainya.
4. Memengaruhi dan dipengaruhi, misalnya motivasi, persuasi, stimulasi
dan sebagainya.
5. Mengandung beberapa fungsi insidental, atau netral: yang secara
tidak langsung memengaruhi tercapainya tujuan dan hubungan dalam
pergaulan sosial.

Sedangkan menurut Agus Hermawan, (2012) tujuan atau motif


berkomunikasi ada empat macam. Walaupun demikian motif atau tujuan
ini tidak perlu dikemukakan secara sadar, pihak-pihak yang terlibat pun juga
tidak perlu menyepakati tujuan komunikasi mereka. Tujuan dapat disadari
ataupun tidak, dapat dikenali ataupun tidak. Selanjutnya, meskipun tekonologi
komunikasi berubah, tujuan komunikasi pada dasarnya tetap sama. Adapun
tujuan itu adalah: (a) menyangkut penemuan diri (personal discovery). Dimana
ketika anda berkomunikasi dengan orang lain, anda belajar mengenal diri
sendiri dan orang lain. (b) berhubungan dengan orang lain (membina dan
memelihara hubungan dengan orang lain). (c) untuk menyakinkan kita agar
mengubah sikap dan perilaku. (d) untuk bermain dan menghibur diri dan
orang lain.

E. Urgensi Komunikasi Islamic Entrepreneurship


Komunikasi menjadi kebutuhan dasar manusia. Tujuan komunikasi
adalah bagaimana memengaruhi orang atau pihak lain (Budyatna, 2012).
Dalam pandangan Islam sendiri komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi
yang Islami, yaitu komunikasi yang berlandaskan akhlakul karimah.
Komunikasi yang berakhlakhul karimah berarti komunikasi yang bersumber
pada Al-Qur‘an dan Hadits (Ubaidillah, 2016).

Bab 7: Komunikasi Islamic Entrepreneurship 101


Islam memperkenalkan bahwa komunikasi merupakan bagian dari fitrah
manusia. Untuk mengetahui bagaimana manusia seharusya berkomunikasi.
Al-Qur‘an memberikan kata kunci (key concept) yang berhubungan dengan hal
itu. Bahkan menempatkan komunikasi sebagai bagian dari akidah dan akhlak.
Allah SWT menciptakan manusia dengan fungsi dasar untuk berkomunikasi
(QS. Ar-Rahman [55]: 4). Rasulullah SAW melakukan komunikasi baik dalam
bentuk tertulis maupun lisan (QS. Al- Qalam [68]: 4).
Komunikasi mempermudah seseorang terutama dalam hubungan dengan
manusia (habluminannas). Dengan komunikasi, manusia dapat menunjukkan
identitas dirinya, membuat relasi dalam interaksi sosial, dan memperkuat
kepribadiannya. Para pakar komunikasi sepakat dengan para psikolog bahwa
kegagalan berkomunikasi akan dapat berakibat buruk terhadap individual
maupun sosial. Secara sosial, kegagalan komunikasi dapat mencegah saling
pengertian, mencegah terjalinnya kerja sama, mencegah terjadinya toleransi,
dan merintangi pelaksanaan norma-norma sosial di masyarakat (Muslimah,
2016).
Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk mendahulukan
akhlak dalam bersikap dan berprilaku dalam komunikasi. Komunikasi yang
disertai dengan sifat pemaaf, suka mengajak pada kebenaran, berpaling dari
orang-orang bodoh dan suka berlindung kepada Allah SWT dari godaan
setan yang terkutuk merupakan hal utama (QS. Al- A‘raaf [7]: 199-201).
Selain itu, Islam juga menekankan kepada setiap muslim untuk menjaga lidah
ketika berkomunikasi. Lidah bahkan bisa lebih tajam dari sebilah pedang.
Dari lidah ini seseorang bisa ditinggikan martabatnya, atau justru terjerumus
pada kehinaan. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau (kalau tidak dapat)
hendaklah diam saja” (HR. Bukhari dan Muslim). Komunikasi yang bertujuan
untuk mencela, menghina, menyombongkan diri, berkata buruk dan kasar
sangat terlarang dan tidak sesuai dengan karakter dan identitas seorang muslim.
Maka wirausaha muslim wajib hukumnya untuk menghindari komunikasi
seperti itu, dalam situasi apapun termasuk ketika sedang marah kepada
konsumen. Penerapan komunikasi dalam berbagai aspek, termasuk dalam
konteks wirausaha terdapat dalam ayat-ayat Al- Qur‘an seperti QS An-Nahl
[16]: 125, Al-Baqarah [2]: 83, Ali- Imran [3]: 154, An-Naba [78]: 2-3, Al-Furqan
[25]: 63, Fushshilat [41]: 33, An-Nisa‘ [4]: 154, Al-Ankabut [29]: 460 dan masih
banyak lagi lainnya. Ayat-ayat diatas memberikan penegasan tentang esensi
komunikasi dari pra, proses sampai kepada tahap pelaksanaannya.

102 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika berkomunikasi
langsung dan menjadi standar utama seorang muslim entrepreneur, antara lain:

1. Qaulan kariimah (perkataan mulia)


Seorang muslim entrepreneur harus berkata yang baik tidak boleh berkata-
kata hina, menjelek-jelekkan, mengolok-olah hingga menyakiti orang lain (QS.
Al-Isra‘ [17]: 23). Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberikan
jaminan kepadaku (untuk menjaga) kejahatan lisan yang berada di antara dua tulang
rahangnya, dan kejahatan kemaluan yang berada di antara kedua kakinya, niscaya
aku akan memberikan jaminan surga kepadanya” (HR al-Bukhari).

2. Qaulan ma'rufan (Perkataan yang baik)


Qaulan Ma'rufan bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan
menimbulkan kebaikan (maslahat).Perkataan yang sesuai dengan status
sosial yang berlainan, tidak menciderai perasaan, serta pembicaraan yang
mengandung kemaslahatan. Seorang muslim entrepreneur pantang berkata buruk
dan sia-sia, tidak bermanfaat dan menimbulkan mudharat (QS. An-Nisa [4]:
8, Al-Baqarah [2]: 263).

3. Qaulan Sadidan (Perkataan yang lurus dan benar).


Seorang muslim entrepreneur harus berkata yang lurus dan benar bukan
batil, selalu berada pada koridor kebenaran, tidak kurang ajar, tidak berbohong,
tidak menipu apalagi merekayasa atau memanipulasi fakta untuk kepentingan-
kepentingan sempit dirinya (QS. Al-Ahzab [33]: 70-71). Allah SWT menyuruh
seluruh manusia untuk selalu bertakwa yang diikuti dengan perkataan yang
benar. Maka kelak Allah akan membalikkan amal-amal kamu, mengampuni
dosa kamu, siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya niscaya ia akan
mencapai keberuntungan yang besar.

4. Qaulan Balighan (Perkataan yang tepat dan membekas pada jiwa).


Seorang muslim entrepreneur harus berkomunikasi dengan kata-kata yang
tepat sasaran, efektif, mudah dipahami dan to the point dan tidak berbelit-belit
atau bertele-tele. Tidak boleh seorang pemimpin menjadikan bawahannya
bingung menerjemahkan apa yang disampaikannya (QS. An-Nisa‘ [4]: 63).
Muslim entrepreneur harus menyesuaikan pembicaraan dengan sifat-sfiat

Bab 7: Komunikasi Islamic Entrepreneurship 103


khalayak yang dihadapi sesuai dengan frame of reference and field of experience.
Bila perlu pesan yang disampaikan disesuaikan dengan kadar intelektualitas
komunikan dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka
(Muslimah, 2016).

5. Qaulan Layyinan (Perkataan yang lemah lembut)


Seorang muslim entrepreneur dalam aktivitas bisnisnya dilakukan dengan
perkataan yang lemah lembut dengan suara enak di dengar, tidak menjustifikasi
atau menghakimi, memanggil dengan panggilan terbaik dan disukai, penuh
keramahan, sehingga dapat menyentuh hati setiap konsumen. Tidak boleh
membentak terutama ketika sedang memberikan arahan dan wejangan kepada
bawahannya (QS. Thoha [20]: 44).
Komunikasi yang tidak mendapat respek dari komunikan adalah
komunikasi yang disertai dengan sikap dan perilaku yang tidak bersahabat,
dengan nada bicara tinggi dan emosional. Model berkomunikasi seperti ini
sangat buruk, selain tidak menghargai orang lain, juga tidak etis dalam sudut
pandangan agama. Dalam sudut pandang komunikasi, komunikasi demikian,
selain tidak komunikatif, juga menjadikant komunikan dapat mengambil jarak
yang disebabkan adanya perasaan takut di dalam dirinya.
Islam memerintahkan supaya menggunakan komunikasi yang lemah
lembut kepada siapa pun tanpa terkecuali. Dalam lingkungan apapun,
komunikator idealnya berkomunikasi pada komunikan dengan cara lemah
lembut, jauh dari pemaksaan dan permusuhan. Dengan berkomunikasi seperti
itu, selain memunculkan rasa persahabatan, juga menstimulus komunikan
menjadi pendengar yang baik (Muslimah, 2016).

6. Qaulan Maisuran (Perkataan yang mudah)


Seorang muslim entrepreneur harus berkata dengan perkataan yang mudah
dan gampang dimengerti atau mudah dicernah dan dipahami, khususnya
kepada pegawai-pegawai atau konsumennya (QS. Al-Isra‘ [17]: 28). Karena
berinteraksi dengan konsumen yang beraneka ragam, suku, bangsa, dan
jenjang pendidikan. Perkataan yang diucapkan harus mengandung sikap
empati terhadap lawan bicara, yang menyenangkan, memberikan harapan,
dan mengandung nilai kebaikan.

104 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


7. Qaulan Tsaqilan (Perkataan yang penuh makna)
Seorang muslim entrepreneur harus berkata yang berbobot, penuh makna
dan nilai, bukan perkataan yang sia-sia, mengandung hoax, atau buruk lainnya.
Artinya, perkataan tersebut harus mampu dimaknai, direnungkan, serta
menghasilkan keberhasilan bagi yang merenungkannya (QS. al- Muzzammil
[73]: 5): Disamping itu, sikap dalam berkomunikasi. Ada hal-hal lain yang
juga perlu diperhatikan seorang entrepreneur supaya akan terlihat kemuliaan
akhlak dan budi pekerti, Pertama, Berbicara yang baik. Seorang entrepreneur
harus mampu menjaga lisannya dengan berbicara yang baik-baik saja. Allah
SWT Berfirman: “dan berkatalah kalian semua kepada manusia dengan perkataan
yang baik” (QS. Al-Baqarah [2]: 83). Setiap perkataan baik maupun buruk selalu
hadir malaikat untuk mencatatnya (QS. Qaf [50]: 18).
Setiap muslim entrepreneur harus berfikir terlebih dahulu sebelum
berbicara, mulai dari isi pembicaraan, dampak yang ditimbulkan, apakah
mendatangkan kebaikan atau keburukan, serta respon dari audien yang diajak
bicara, senang atau tidak dan sebagainya. Rasulullah SAW sudah menekankan
bahwa berkata yang baik saja atau lebih baik diam sebagai cerminan dari
pribadi muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Berkata baik
bermakna hasil perkataan tersebut mengandung manfaat, berguna tidak saja
bagi dirinya maupun orang lain, serta tidak menyakiti perasaan orang lain.
Kedua, Memiliki rasa malu. Malu adalah karakter pribadi muslim yang
utama. Malu ditempatkan sebagai bagian dari keimanan seorang muslim.
Bahkan Ketika seseorang tidak lagi memilikinya atau rasa malu sudah terlepas
dari dirinya, maka dipersilahkan untuk berbuatlah sesukanya. Allah SWT
berfiman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan
dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang- orang yang lalai.” (QS. Al-A‘raf [7]: 179).
Ketiga, Bersabar. Dalam aktivitas bisnis memungkinkan setiap orang akan
bersentuhan dengan berbagai kepentingan, dengan watak dan kepribadian
berbeda-beda. Oleh karena itu, seorang muslim entrepreneur harus mampu
menahan kesabarannya, termasuk sabar dalam menghadapi musibah, sabar
dalam melaksanakan perintah Allah, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar-

Bab 7: Komunikasi Islamic Entrepreneurship 105


sabar lainnya. Rasulullah SAW bersabda: “Mukmin yang bergaul dengan manusia
dan sabar atas ganggungan mereka lebih dan tidak sabar atas gangguan mereka”. (HR.
Ibnu Majah dan Tirmidzi). Sabar merupakan perbuatan mulia (QS. As-Syura
[42]: 43), orang yang mampu melakukannya akan mendapatkan kesempurnaan
pahala tanpa batas dan surga (QS. Az-Zumar [39]: 10, Al-Furqan [25]: 75),
serta mendapatkan ampunan dan pahala yang besar (QS. Hud [11]: 11).
Keempat, Qanaah. Seorang muslim entrepreneur harus selalu memiliki
perasaan merasa cukup dengan rezeki yang diberikan Allah SWT kepadanya.
Tidak kecewa dan benci apabila rezeki yang didapatkan kurang atau bahkan
berfikir buruk dan menempuh cara-cara batil supaya mendapatkan hasil
maksimal yang justru bertentangan dengan ajaran agama. Allah SWT
berfirman: “Tiada sesuatu yang melata di bumi melainkan ditangan Allah rezekinya,
dan Dia mengetahiu tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya
,Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS. Hud [11]: 6).
Rasulullah SAW telah bersabda: “Bukanlah orang kaya itu yang banyak hartanya,
melainkan yang kaya jiwanya (hatinya).” (HR. Bukhari dan Muslim). Pada hadits
yang lain Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh beruntung orang-orang yang masuk
Islam, mendapatkan rezeki secukupnya, dan ia merasa cukup dengan apa yang telah
Allah berikan kepadanya.” (H.R Muslim).
Kelima, Wara. Seorang muslim entrepreneur harus mau menjauhi segala
barang yang bersifat syubhat, baik dalam produk yang dibuat, maupun pada
aktivitas bisnis yang dijalankan. Syubhat bermakna sesuatu yang belum atau
tidak dapat dipastikan kehalalan atau keharamannya (berada di antara halal
dan haram). Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang menjauhi syubhat berarti
ia membersihkan diri dan agamanya. Siapa yang mendekati syubhat, dikhawatirkan
termasuk pada hal haram.” (HR. Muttafaqa‘ Alaih).
Keenam, Suka menolong. Seorang muslim entrepreneur tidak boleh hanya
berorientasi pada keuntungan. Membantu konsumen yang sedang kesusahan
atau kesulitan merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan. Termasuk dari
sifat suka menolong adalah tidak menceritakan aib atau catat barang dagangan
pesaing. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang menutupi aib orang mukmin,
maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan tetap menolong
hamba-Nya selama hamba- Nya itu suka menolong saudaranya.” (HR. Muslim).
Ketujuh, Kuat dan tahan banting. Seorang wirausaha harus kuat dan
tahan banting, tidak mudah putus asa dengan keadaan yang ada dan senantiasa
percaya bahwa rahmat Allah SWT sangat dekat, dan Allah SWT tidak akan
pernah meninggalkan hamba-Nya yang senantiasa berusaha dan bersyukur,

106 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


serta senantiasa mau menggunakan segala potensi yang ada pada dirinya untuk
menjemput rezeki Allah SWT. Allah SWT berfirman: “Janganlah berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum
kafir.” (QS. Yusuf [12]: 8-7).
Kedelapan, Pemaaf dan tidak pendendam. Seorang wirausaha harus
memiliki sifat mau memaafkan kesalahan dan tidak menyimpan rasa dendam
kepada siapapun, karena sifat seperti itu merupakan bagian dari ciri orang
bertakwa. Allah SWT berfirman: “dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS. Ali Imran [3]: 134). Pada surah lain: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma`ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”
(QS. al-A’raf [7]: 199).
Komunikasi yang bagus dan benar bukanlah komunikasi yang penuh
kamuflase, pencitraan atau polesan apalagi retorika dan dilakukan dengan cara
tidak ikhlas. Banyak teori tentang kecerdasan emosional (emotional intelligence)
telah mendorong orang untuk mampu berbicara dengan sopan, satun, manis,
memukau, dan menarik perhatian lawan bicara. Namun demikian ternyata
banyak pula orang yang melakukan itu untuk mencapai maksud-maksud
tertentu yang justru merugikan orang lain. Islam menyebut tindakan seperti
itu sebagai sikap munafik, dan jauh dari jiwa dan karakter pribadi muslim yang
beriman dan bertakwa kepada Allah SWT (Farid, 2017).

Bab 7: Komunikasi Islamic Entrepreneurship 107


108 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah
BAB 8
Kepemimpinan Islamic
Entrepreneurship

A. Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan komponen penting dalam gerak laju organisasi
penting sebagai kemampuan untuk mengarahkan dan meyakinkan bawahan
atau staf agar secara suka rela melakukan aktivitas kerjasama dalam mencapai
tujuan. Kepemimpinan seringkali dianggap sebagai driver. Kepemimpinan
melukiskan relasi antara pemimpin dengan yang dipimpin dan bagaimana
pemimpin menuntun follower akan menentukan sejauhmana follower mencapai
tujuan atau keinginan pimpinan.
Kepemimpinan ada pada posisi penting dan strategis karena menjadi
lokomotif bagi segenap sumber daya yang ada dalam organisasi atau perusahaan
dalam mencapai tujuan (goals). Kepemimpinan tidak sama dengan pimpinan.
Pimpinan merupakan seseorang yang tugasnya memimpin sehingga pimpinan
dapat juga disebut manajer, sedang kepemimpinan adalah bakat atau watak
yang idealnya dimiliki oleh setiap pemimpin atau manajer. Kepemimpinan
merupakan aktivitas memengaruhi perilaku orang lain, atau seni memengaruhi
perilaku manusia baik individu maupun kelompok (Mahmuddin, 2014).
Kepemimpinan disebut leadership dalam bahasa Inggris dan zi‟amah
atau Imamah dalam bahasa Arab (Charis et al., 2020). Kepemimpinan adalah
kekuasaan untuk memengaruhi seseorang untuk melaksanakan atau tidak
melaksanakan sesuatu. Untuk itu, kepemimpinan memerlukan penggunaan

109
kemampuan secara aktif untuk memengaruhi orang lain dan menggapai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Kepemimpinan dapat terlaksana tanpa
perlu terikat aturan-aturan yang ada. jika kepemimpinan dibatasi tata aturan
birokrasi, atau dihubungkan dengan suatu orginisasi tertentu. Hal tersebut
diartikan sebagai manajemen (Nurhayati, 2012).
Secara stuktural kepemimpinan dimaknai sebagai proses pemberian
motivasi supaya orang-orang yang dipimpin melakukan aktivitas atau pekerjaan
sesuai dengan program yang telah ditetapkan. Kepemimpinan juga bermakna
usaha-usaha mengarahkan, membimbing dan memengaruhi orang lain, supaya
pikiran dan aktivitasnya tidak melenceng dari tugas pokok masing- masing.
Adapun dalam konteks non-struktural kepemimpinan bermakna sebagai proses
memengaruhi pikiran, perasaan, tingkah laku, dan mengerahkan seluruh
fasilitas guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama (Nurhayati,
2012). Sehingga pemimpin dalam melaksanakan kepemimpinanan dituntut
tidak hanya sekedar melaksanakan fungsi kepemimpinan melainkan
memberikan pelayanan kepada setiap bawahannya. Supaya mereka merasakan
kehadiran seorang pemimpin sebagai rekan kerja yang biasa saling menghargai
bukan seorang pemimpin yang hanya memberikan tugas dan memerintahkan
bawahan untuk bekerja tanpa memikirkan kondisinya (Bahruddin et al., 2019).
Menurut Veithzal Rivai, (2003) pada hakekatnya kepemimpinan juga
berarti: Pertama, Proses memengaruhi dan memberi contoh dari pemimpin
kepada bawahannya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Kedua, Seni
memengaruhi dan menggerakkan orang dengan cara kepatuhan, kepercayaan,
kehormatan dan kerja sama yang bersemangat dalam mencapai tujuan
bersama. Ketiga, Kemampuan untuk memengaruhi, memberi inspirasi dan
mengarahkan tindakan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.
Keempat, Melibatkan tiga hal yaitu pemimpin, pengikut dan situasi
tertentu. Kelima, Kemampuan untuk memengaruhi suatu kelompok supaya
mencapai tujuan. Sumber pengaruh dapat forman atau tidak formal. Pengaruh
formal diartikan jika seseorang pemimpin memiliki posisi manajerial di dalam
sebuah organisasi. Sedangkan sumber pengaruh tidak formal muncul dari
luar struktur organisasi formal. Dengan demikian seseorang pemimpin dapat
muncul dari dalam organisasi atau karena ditunjuk secara formal.
Dari berbagai paparan di atas, dapat dipahami bahwa kepemimpinan
adalah pengaruh antara pribadi yang dijalankan dalam situasi tertentu, serta

110 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa
tujuan tertentu. Kepemimpinan merupakan suatu proses dalam mencurahkan
segala kemampuan seseorang untuk memengaruhi, menggerakkan,
membimbing, serta mengarahkan orang lain dengan memanfaatkan daya,
dana, sarana, dan tenaga yang tersedia untuk mencapai tujuan tyang telah
ditetapkan.
Menurut E. A. Locke, (2001) konsep kepemimpinan, berimbas pada
tiga macam, yaitu (1) Kepemimpinan menyangkut orang lain, bawahan atau
pengikut, kemauan mereka untuk menerima arahan dari pemimpin. Apabila
tidak ada pengikut, maka tidak akan ada pula pemimpin. Tanpa bawahan
semua kualitas kepemimpinan seorang atasan akan menjadi tidak berguna.
Disini tersirat makna bahwa para pemimpin yang efektif harus tahu dan paham
bagaimana membangkitkan inspirasi dan menjalin relasi dengan pengikutnya.
(2) Kepemimpinan merupakan suatu proses, agar bisa memimpin. Pemimpin
harus melakukan sesuatu, kepemimpinan bukan hanya sekedar menduduki
suatu posisi otoritas. (3) Kepemimpinan harus “memikat” orang lain untuk
mengambil tindakan. Pemimpin memikat para pengikutnya lewat berbagai cara
seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model sebagai
panutan, penetapan sasaran, memberi reward and punishment, restrukturisasi
organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi.

B. Teori Kepemimpian Entrepreneur


Seorang entrepreneur mesti mempunyai sifat kepemimpinan, kepeloporan,
keteladanan. Ia senantiasa menampilkan produk dan jasa-jasa baru dan berbeda
sehingga bisa menjadi pelopor baik dalam proses produksi maupun marketing
serta memanfaatkan perbedaan sebagai nilai tambah (Pujiastuti, 2013).
Menurut G.R. Terry dalam Abbas (2009) ada 8 (delapan) teori
kepemimpinan, yaitu:

1. The Theory Autocratic


Menurut teori ini, kepemimpinan didasarkan atas perintah- perintah dan
pemaksaan terhadap bawahannya. Seorang pemimpin melakukan pengawasan
yang ketat terhadap semua pekerja staf, agar dapat berjalan secara efisien.
Pemimpin yang menerapkan teori otokratis, pada dasarnya selalu ingin tampil
sendiri dan berambisi untuk menguasai dan merajai setiap situasi. Dengan

Bab 8: Kepemimpinan Islamic Entrepreneurship 111


kekuasaan dan kekuatan yang keras, ia memberikan perintah-perintah yang
harus dipatuhi dan diikuti oleh staf atau bawahannya.
Pemimpin yang menerapkan teori otokratis, dalam pengambilan
keputusan atau pembuatan kebijakan organisasi, dibuat sendiri tanpa
berkonsultasi dengan para anggotanya. Ia memberikan perintah-perintah
yang dipaksakan dan harus dipatuhi oleh anggota kelompoknya. Dia tidak
pernah memberikan informasi medetail tentang rencana kerja yang akan
datang, dan hanya memberitahukan langsung langkah- langkah yang harus
dilakukan segera oleh sitafnya untuk melaksanakan kebijakan yang telah
diambilnya. Dalam teori otokratis, seorang pemimpin memberikan pujian atau
kritik kepada anggotanya didasarkan pada inisiatif sendiri, untuk kepentingan
sendiri dan bukan untuk kepentingan organisasi.

2. Teori psikologis (the psychological theories)


Teori ini memperlihatkan bahwa fungsi seorang pemimpin adalah
mengembangkan sistem motivasi terbaik, untuk memberi stimulus supaya
bawahan atau staf bersedia bekerja. Pemimpin menstimulus bawahannya agar
mereka bekerja ke arah pencapaian sasaran organisasi maupun untuk tujuan-
tujuan pribadi. Kepemimpinan yang dapat memotivasi orang lain, akan sangat
mementingkan aspek-aspek psikis manusia, seperti; pengakuan, kepastian,
emosional, memperhatikan kebutuhan dan keinginan staf, penghargaan,
kegairahan kerja, minat, suasana hati, dan sebagainya.

3. Teori suportif (the supportive theories)


Teori ini beranggapan bawha para pengikut ngin berusaha sebaik-
baiknya dan pemimpin dapat membimbing mereka dengan sebaik-baiknya
melalui tindakan-tindakan tertentu. Untuk maksud tersebut, pemimpin
menciptakan suatu lingkaran kerja yang membantu mempertebal kemauan
setiap anggota kelompoknya, untuk melaksanakan pekerjaan sebaik
mungkin, berkenan bekerjasama dengan pihak lain, mau meningkatkan
skillnya dan memiliki motivasi yang kuat untuk mewujudkan tujuan
organisasi. Teori ini sering dikenal dengan teori partisipatif atau teori
kepemimpinan demokratis.

112 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


4. Teori sosiologis (the sociological theories)
Pada teori ini, kepemimpinan dianggap sebagai usaha- usaha untuk
melancarkan hubungan antar relasi dalam suatu organisasi. Melalui teori
ini penyelesaian konflik organisasi dapat diatasi antar anggota kelompok,
guna tercapainya kerjasama yang baik. Pemimpin menentukan tujuan-tujuan
dengan menyertakan para pengikut dalam pengambilan keputusan terakhir.
Pemimpin menetapkann tujuan dan petunjuk yang diperlukan bagi staf untuk
melakukan setiap tindakan, berkaitan dengan kepentingan organisasinya.
Setiap anggota kelompok mengetahui hasil apa, keyakinan apa, dan kelakukan
apa yang diharapkan dari mereka oleh pemimpin dan kelompoknya. Pemimpin
diharapkan dapat mengambil tindakan-tindakan korektif apabila terdapat
sesuatu yang salah atau menyimpang dalam organisasi.

5. Teori laissez faire (the theory laissez faire)


Kepemimpinan laissez faire ditampilkan oleh seorang tokoh ketua dewan
yang sebetulnya tidak mampu mengurus, dan dia menyerahkan semua
tanggung jawab kepada bawahannya atau anggota organisasinya. Dalam
prakteknya, seorang pemimpin yang menerapkan teori laissez faire biasanya
tidak memiliki ketrampilan teknis. Sedangkan kedudukan sebagai pemimpin
dimungkinkan oleh sistem nepotisme ataupun penyuapan. Jika dia memiliki
ketrampilan teknis, namun disebabkan oleh karakternya yang lemah dan tidak
berpendirian atau tidak berprinsip, maka semua itu akan mengakibatkan tidak
adanya kontrol dan kewibawaan dirinya.
Dalam kepemimpinan laissez faire, seorang pemimpin tidak memiliki
kemampuan mengkoordinasikan semua pekerjaan, dan tidak mempunyai
kekuatan menciptakan suasana kerja yang kooperatif. Akibatnya, suatu
organisasi labil, kocar-kacir, atau identik dengan kapal yang kehilangan
nakhodanya. Pemimpin yang menerapkan prinsip laissez faire pada intinya
bukanlah seorang pemimpin dalam pengertian yang sebenarnya.

6. Teori kelakukan pribadi (the theory personal behavior)


Kepemimpinan akan muncul berdasarkan kualitas-kualitas atau pola
kelakuan para pemimpinnya. Teori ini menjelaskan, bahwa seorang pemimpin
senantiasa mengambil tindakan yang sama dalam setiap situasi yang dihadapi.

Bab 8: Kepemimpinan Islamic Entrepreneurship 113


Dengan kata lain, seorang pemimpin harus mampu bersikap fleksibel, memiliki
daya elastis tinggi, karena sebagai pemimpin harus mampu mengambil langkah-
langkah elegan terhadap suatu masalah dan semua kalangan. Penyelesaian
masalah sosial tidak akan pernah identik dalam rentang waktu yang berbeda.
Pola tingkah laku pemimpin tersebut berkaitan dengan; (a). Bakat dan
kemampuannya, (b). Situasi dan kondisi yang dihadapi, (c). keinginan untuk
memecahkan dan memutus permasalahan yang muncul dan, (d). Derajat
supervisi dan ketajaman evaluasi.

7. Teori sifat (the theory of characteristic)


Pemimpin dalam teori ini mengedepankan beberapa hal seperti; memiliki
inteligensia tinggi, banyak inisiatif, energik, memiliki kedewasaan emosional,
memiliki daya persuasive, memiliki kepercayaan diri, peka, kreatif, memberikan
partisipasi sosial yang tinggi dan sebagainya.

8. Teori situasi (the theory of situation)


Teori ini menjelaskan bahwa, seorang pemimpin harus memiliki daya
lentur/fleksibel, tidak kaku, dan mudah menyesuaikan diri terhadap berbagai
tuntutan situasi dan zamannya. Kepemimpinan dalam teori situasi harus
bersifat 'multi-dimensional', agar mampu melibatkan dan menyesuaikan
diri terhadap situasi yang cepat berubah. Teori ini memiliki landasan dasar,
bahwa kepemimpinan terdiri atas tiga elemen dasar yaitu; pemimpin, pengikut,
dan situasi. Situasi dianggap sebagai elemen penting karena situasi dapat
memengaruhi pemimpin dan orang yang dipimpinnya.
Ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber lahirnya masalah-masalah
di masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum. Pemimpin
merupakan pahlawan (hero), idola (idol), dan insan kamil (rausyan al-fikr), tanpa
pemimpin umat manusia dapat mengalami disorientasi dan alienasi. Ketika
masyarakat menginginkan sosok pemimpin, maka seorang yang mengerti
akan kenyataan masyarakatlah yang layak memikul amanah kepemimpinan.
Pemimpin tersebut harus dapat memimpin masyarakat menuju kesempurnaan
yang sesungguhnya (Mu‘min, 2016).
Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang bisa mengelola atau
mengatur organsasi secara efektif dan mampu melaksanakan kepemimpinan
secara efektif pula. Untuk itu pemimpin harus betul-betul dapat menjalankan
fungsinya sebagai seorang pemimpin. Karena pemimpin dalam suatu organisasi

114 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


mempunyai peran penting, tidak saja secara internal organisasi bersangkutan,
namun juga dalam menghadapi berbagai pihak eksternal organisasi yang
kesemuanya dimaksudkan untuk meningkatkan keahlian organisasi dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Peran tersebut dapat klasifikasikan
dalam tiga bentuk, yaitu yang bersifat interpersonal, informasional, dan dalam
kancah pengambilan keputusan (Sutrisno, 2014)

C. Kepemimpinan Islamic Entrepreneurship


Kepemimpinan adalah sifat dan prilaku untuk memengaruhi para
bawahannya agar mereka mampu bekerja sama sehingga membentuk jalinan
kerja yang harmonis dengan pertimbangan aspek efisien dan efektif untuk
mencapai tingkat produktivitas kerja. Hughes, R.L., Ginnett, R.C. and Curphy,
(2002) menyatakan bahwa kepemimpinan bukan posisi tertentu, melainkan
sebuah proses kompleks yang melibatkan interaksi antara pemimpin,
lingkungan eksternal, dan bawahan. Berdasarkan pernyataan ini, maka
kepemimpinan diartikan sebagai proses memengaruhi kelompok terorganisasi
yang mengarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Kepemimpinan sangat penting dalam entrepreneur. Karena kepemimpinan
merupakan proses menuntun perilaku orang lain untuk mencapai tujuan, maka
tindakan ini menjadikan orang lain bertindak dengan mengikuti arah tertentu.
Entrepreneur yang berhasil merupakan orang yang berhasil memimpin para
bawahannya dengan baik. Islam memiliki nilai-nilai yang harus dimiliki oleh
seorang entrepreneur yang pada dirinya melekat jiwa kepemimpinan. Ia harus
mengarahkan sumber daya manusia di sekelilingnya untuk mencapai tujuan
bisnisnya secara efektif dan efisien. Jiwa kepemimpinan yang berdasarkan
nilai-nilai Islam akan menjadi kekuatan bagi dirinya dalam mengembangkan
bisnis (Siswanto, 2016).
Pemimpin dalam melaksanakan kepemimpinannya tidak hanya berfokus
pada kebijakan dan wewenangnya dalam menjalankan tugas. Namun,
pemimpin harus memiliki kecerdasan dalam menyusun rencana guna mencapai
tujuannya. Termasuk memiliki kecerdasan evaluasi. Kecerdasan ini sangat
diperlukan untuk mengevaluasi dari rencana yang dibuat. Sesuai dengan
firman Allah dalam Qs. Al-Hasyr [59] ayat 18, “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Bab 8: Kepemimpinan Islamic Entrepreneurship 115


Pemimpin dalam bidang entrepreneurship harus memiliki social perception,
yaitu kecakapan dalam melihat dan memahami perasaan, sikap dan kebutuhan
untuk memenuhi tugas kepemimpinannya. Memiliki ability in abstract thinking
(kemampuan berpikir abstrak) terutama dalam melihat pesaing, produk yang
akan dipasarkan, membaca masa depan bisnis, respon customer, dan sebagainya,
serta memiliki emosional stability (keseimbangan emosional), tidak mudah stress,
putus asa dan marah terhadap realita yang tidak sesuai. Selain itu, harus mampu
membina wawasan (vision) kepada para karyawan-karyawannya. Menjadi
perancangan (planning) dalam setiap usaha yang dilakukan. Memotivasikan
orang bawahan(motivate subordinate) dan membimbing (guiding) sampai mampu,
serta menjadi model (rolemodel) (Oktradiksa, 2015).
Kepemimpinan dalam Islam berarti kegiatan memimpin, mengarahkan,
dan menunjukkan jalan kepada Allah SWT. Berparadigma pada etika
religiusitas dalam segala perilaku dan proses kepemimpinannya (Mardiana,
2016). Aktivitas ini tiada lain untuk menanamkan kemampuan mereka
sendiri ke dalam lingkungan orang-orang yang memimpin dalam upaya untuk
mencapai ridha Allah SWT dalam hidupnya di dunia dan di akhirat. Dalam
hal ini Allah berfirman dalam surah Al-A‘raf [7]: 43: “dan Kami mencabut rasa
dendam dari dalam dada mereka, di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kami ke (surga) ini. Kami tidak akan
mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami. Sesungguhnya rasul-
rasul Tuhan kami telah datang membawa kebenaran.” Diserukan kepada mereka,
“Itulah surga yang telah diwariskan kepadamu, karena apa yang telah kamu kerjakan”.
Pemimpin merupakan khalifatun fil ardh maknanya pemimpin di muka
bumi yang bertugas untuk menjaga, memelihara, memakmurkan, dan
menjalankan tugasnya sebagai manusia (QS. Az-Dzariyat [54]: 56), yang
berfungsi liya‟budun (beribadah dan mentauhidkan Allah SWT), dan wa la
nusyrika bihi syaian (tidak menyekutukan-Nya, atau membuat sekutu dengan
Allah swt sesuatu yang lain selain Allah SWT). (Bahruddin et al., 2019).
Kriteria pemimpin yang sukses adalah: Pertama, ketika seorang pemimpin
disenangi dan disayangi oleh anak buahnya. Organisasi yang nakhodai akan
berjalan dengan lancar jika kepemimpinannya mendapat respek dari anak
buahnya lewat rasa senang dan disayangi. Kedua adalah pemimpin yang bisa
menampung aspirasi anak buahnya. Selain disenangi, pemimpin yang baik
juga terbuka terhadap kritik dari anak buahnya. Ada sebuah Hadist berbunyi:
“Jika allah bermaksud menjadikan seorang pemimpin yang berhasil maka, allah
akan menjadikan para pembantunya itu orang-orang yang baik.”(HR Nasa‘i). Para

116 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


pembantunya pada hadits ini adalah orang-orang yang baik, maka bawahan
akan mendukungnya, akan tetapi apabila pemimpin melakukan tindakan
yang tidak baik, maka anak buah akan mengoreksinya. Di sinilah urgensi
mekanisme tausiyah, mekanisme saling koreksi-mengoreksi dan menasehati.
Ketiga adalah pemimpin yang selalu mengajak anak buahnya
bermusyawarah. Seorang pemimpin selain harus terbuka terhadap kritikan,
juga harus mengajak anak buahnya bermusyawarah dalam berbagai persoalan.
Dengan bermusyawarah pemimpin dan anak buah dapat saling bertukar
pendapat dan pemikiran. Di sana ada penghargaan yang tersirat dari seorang
pemimpin untuk menerima masukan-masukan dari anak buah sehingga dapat
memberi dampak positif bagi berjalannya kepemimpinannya (Charis et al.,
2020).
Adapun sifat kepemimpinan Islamic Entreprenuer adalah sebagai berikut:
Pertama, berani. Seorang islamic entrepreneur harus berani. Berani untuk memulai
bisnis walaupun dengan nol modal. Karena bisnis tidak harus dimulai dengan
uang, melainkan dengan ide dan bagaimana merealisasikan gagasan tersebut
menjadi uang. Keberanian bagi seorang islamic entrepreneur akan tumbuh jika
ia mampu menyikapi risiko kegagalan dengan bijak. Selain itu, keberanian
juga akan tumbuh bila ia menyakini bahwa satu-satunya modal sesungguhnya
melekat pada dirinya merupakan karunia dari Allah SWT dan bersyukur atas
itu semua yang diaplikasikan dalam ketaatan dan kejujuran dalam berbisnis.
Kedua, tumbuh bersama (ukhuwah). Nilai ukhuwah haruslah
menjadi sesuatu yang melekat dalam jiwa islamic entrepreneur, terutama
dalam kaitannya dengan jiwa kepemimpianan yang melekat pada seorang
wirausaha. Hal itu karena pada dasarnya tidak ada seorang pun yang tidak
membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, seorang islamic entrepreneur
harus menyadari bahwa kebersamaan dengan orang lain dalam hal apa saja
merupakan sebuah nilai positif bagi dirinya. Realisasi spirit ukhuwah ini
dapat diwujudkan dalam bentuk saling mengasihi dan menyayangi sesama
saudara mukmin, saling memberi bantuan dan pertolongan dalam memenuhi
segala kebutuhan, saling berkunjung, saling menjaga nama baik, kehormatan
dan harga diri, serta saling mendoakan dan memohon ampunan kepada Allah
SWT (QS. Al-Hasyr [59]: 10).
Ketiga, Pembelajar. Islamic entrepreneur dituntut untuk selalu aktif mengejar
berbagai ketertinggalan yang ada pada dirinya, terutama yang berhubungan
dengan hokum-hukum syar’i dalam praktek perdagangan yang menjadi
concern dirinya. Maka seorang islamic entrepreneur yang menjadi pembelajar

Bab 8: Kepemimpinan Islamic Entrepreneurship 117


akan senantiasa melihat fenomena kehidupan, termasuk fenomena alam
dalam berusaha sebagai sebuah dinamika yang selalu berubah dalam
berbagai kemungkinan, seperti mengalami untung, rugi, atau impas. Sebagai
seorang pembelajar, maka masa depan merupakan visi dan misi dalam gerak
langkahnya, serta keterbukaan merupakan sikap dan keharusan dalam melihat
keberlanjutan kepemimpinan, di dalamnya mau menerima kritik, saran dan
masukan yang konstruktif bagi perbaikan-perbaikan selanjutnya (Siswanto,
2016).
Keempat, Teladan. Setiap islamic entrepreneur dituntut untuk dapat
merealiasikan tujuan utama Islam, yakni mewujudkan masyarakat Islam
sebagai Khaira Ummah, sebaik-baiknya ummat, yang menyeru kepada kebaikan
dan mencegah dari kemunkaran (QS. Ali Imran [3]: 10), dan Ummatan Wahidah,
umat yang satu (QS. Al-Baqarah [2]: 213) dalam bingkai Baldatun thayyibah
wa rabbun ghafur; negeri subur, makmur, adil dan aman (Q.S. Saba' [34]:15).
Maka segala bentuk, sifat, sikap dan prilaku yang melekat pada dirinya
dan aplikasikan dalam aktivitas interaksi dengan manusia lain harus dapat
menjadi teladan. Sebagaimana yang sudah dicontohkan Rasulullah SAW yang
menjadi uswatun hanasah (teladan yang baik) (QS. Al-Ahzab [33]: 21). Teladan
tersebut tercermin dari selalu berkata benar (Shiddiq), dapat dipercaya (amanah),
punya kapasitas kecerdasan dan profesionalitas (fathanah), menyampaikan
segala yang ada pada dirinya tanpa mengurai sedikitpun (tabliqh) dan teguh
pada kebenaran (istiqamah).
Jika suri teladan tidak ada pada seorang pemimpin, dari mana bawahan
dapat meniru, mencontoh, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Ini
membuktikan keteladanan merupakan da‟wah bil hal. Keteladanan dalam
entrepreneur dapat diwujudkan dengan melakukan pembelajaran secara langsung
dengan cara terjun ke lapangan untuk memberdayakan kewirausahaan
masyarakat atau bawahannya, berinteraksi langsung dengan anak buah
dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi organisasi. Dengan
turun langsung pemimpin akan dapat memperlihatkan secara on the spot nilai-
nilai dan perilaku seperti apa yang harus dipraktikkan bawahan. Dengan
itu, pemimpin juga dapat mengasah kemampuan baik pada aspek knowledge,
skill, dan experience bawahan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan organisasi
(Hayana & Wahidmurni, 2019).
Kelima, Adil. Islamic entrepreneur dituntut untuk berlaku adil dalam arti
yang sebenarnya, tidak pilih kasih, berat sebelah, melainkan menempatkan
segala sesuatu pada tempatnya atau sesuai porsinya. Sikap adil menjadi

118 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


cerminan dari keimanan seseorang. Seorang pemimpin yang mampu bersikap
adil akan tercipta stabilitas keamanan pada orang-orang yang dipimpinnya.
Dalam konteks Negara misalnya, akan jauh dari kekacauan dan kekerasaan
yang berkepanjangan (QS. Hud [11]: 116-119). Ganggungan atas keamanan
negara tetap terkendali dan terjaga untuk membangun program peningkatan
ekonomi rakyat (QS. An-Nisa‘ [4]: 58).
Untuk menjalankan keadilan, seorang pemimpin dituntut mempunyai
sifat-sifat kepemimpinan penunjang lainnya seperti pengetahuan (knowledge),
kearifan (wisdom), kesabaran (patience), kesederhanaan (simplicity) dan sifat
terpuji (commendable nature) lainnya, sehingga dalam dirinya memang terdapat
suatu otoritas yang memungkinkan dirinya menjalankan kepemimpinann yang
adil tersebut (Mahmuddin, 2014). Dengan demikian, tugas seorang pemimpin
merupakan tugas besar dan mulia, dan tugas ini tidak dapat dipikul sembarang
orang, karena selain tugasnya yang berat, juga tanggung jawab menggerakkan
dan memengaruhi orang lain secara baik dan suka rela. Tanggung jawab
pemimpin dalam Islam tidak hanya ada dunia dan melainkan sampai ke
akhirat, termasuk kepemimpinan dalam entrepreneur.

Bab 8: Kepemimpinan Islamic Entrepreneurship 119


120 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah
BAB 9
Mengembangkan
Kreativitas dan Inovasi
Islamic Entrepreneurship
A. Esensi Kreativitas Entrepreneur
Kreativitas adalah kemampuan seseorang agar dapat memikirkan
dan mengembangkan gagasan-gagasan baru, model-model baru dalam
memandang permasalahan dan peluang, sehingga muncul solusi kreatif.
Kreativitas disebut juga berfikir kreatif atau berfikir inovatif. Jika dihubungkan
dengan kemampuan individu, kreativitas diartikan sebagai daya cipta ibarat
mengarang lagu, membuat lukisan, menciptakan produk atau teknologi baru,
dan menyusun teori baru (Ananta et al., 2014).
Kreativitas merupakan aktivitas kognitif yang memanifestasikan versi
baru dalam memandang sebuah masalah atau situasi. Kreativitas tidak spesifik
kepada melahirkan hal-hal baru yang bersifat praktis, tetapi bisa jadi hanya
merupakan sebuah gagasan-gagasan baru. Sebagai gagasan-gagasan baru
kadang kala juga tidak dapat menjamin penyelesaian masalah (problem solving)..
Oleh karenanya, perspektif ini lebih menekankan kreativitas pada cara melihat
yang baru terhadap suatu persoalan atau situasi, dan bukan pada sebuah karya
baru yang memiliki nilai kegunaan praktis (Ananta et al., 2014).
Secara definisi kreativitas merupakan aktivitas kognitif atau proses
berpikir untuk mendapatkan gagasan-gagasan baru dan berguna atau new ideas
and useful. Kreativitas dipahami sebagai inisiatif terhadap sebuah produk atau
proses yang bermanfaat, benar, tepat, dan bernilai terhadap sebuah tugas yang

121
lebih bersifat heuristic yaitu sesuatu yang merupakan pedoman dan petunjuk
yang akan menuntun untuk memahami, dan mempelajari, atau menemukan
hal-hal yang baru.
Atribut orang kreatif ialah terbuka terhadap pengalaman, suka
memperhatikan, memandang sesuatu dengan cara pandang yang berbeda
atau tidak biasa, kesungguhan menerima dan merekonsiliasi sesuatu yang
bertentangan dengan sesuatu, toleran terhadap perbedaan, bijak dalam
mengambil keputusan, berpikir sebelum bertindak, percaya diri, tidak menjadi
subjek dari standar dan kendali kelompok, berani mengambil risiko yang
diperhitungkan, gigih, peka terhadap persoalan, lancar-kemampuan untuk
mengenerik gagasan-gagasan yang banyak, fleksibel, keaslian, tanggap terhadap
perasaan, terbuka terhadap fenomena yang belum jelas, motivasi, bebas dari
rasa takut gagal, berpikir dalam imajinasi dan selektif (Hadiyati, 2012).
Berpikir kreatif sama seperti daya imajinasi. Daya imajinasi terbagi atas
dua bagian. Daya imajinasi sintetik dan kreatif. Imajinasi sintetik berfungsi
sebagai penyusun konsep-konsep lama, ide atau rancangan lama menjadi satu
kombinasi baru berdasarkan bahan yang telah ada berdasarkan pengalaman
(experience),, pendidikan (education) dan pengamatan (observation). Sedangkan
Imajinasi kreatif berfungsi mengaitkan kemampuan pikiran individu yang
terbatas bersentuhan dengan alam kecerdasanya yang tak terbatas, sehingga
menghasikan gagasan dasar yang benar-benar baru (Ananta et al., 2014).
Kreativitas adalah proses yang bisa dikembangkan dan ditingkatkan.
Akan tetapi, kemampuan ini tidak sama antara satu orang dengan lainnya.
Kemampuan dan bakat merupakan dasarnya, tetapi pengetahuan dari
lingkungannya dapat juga memengaruhi kreativitas seseorang. Selama ini ada
asumsi yang salah terhadap orang kreatif. Ada yang asumsi bahwa hanya orang
jenius atau pintar saja yang mempunyai kreativitas. Kreativitas bukanlah suatu
bakat misterius yang diperuntukkan hanya bagi segelintir orang. Mengingat
kreativitas adalah cara pandang yang kadangkala dilakukan justru secara tidak
logis. Proses ini melibatkan hubungan antar banyak hal dimana orang lain
kadang-kadang tidak atau belum memikirkannya.
Dengan kata lain, kreativitas adalah suatu aktivitas yang mendatangkan
hasil yang sifatnya baru, berguna dan dapat dimengerti. Kreativitas menekankan
pada tiga kemampuan, yaitu berkaitan dengan kemampuan mengkombinasi,
kemampuan memecahkan masalah, kemampuan secara operasional yang
kreatif. Kreativitas merupakan sebuah kemampuan untuk mengembangkan
gagasan-gagasan baru dan mendapatkan cara-cara baru dalam memecahkan

122 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


masalah untuk menjadi peluang bisnis (Muslikh, 2013). Inti dari kreativitas
adalah bisa menemukan kebaruan dan berani mengatasi persoalan dengan
gemilang. Dalam kreativitas inilah pribadi seseorang selalu berpikiran positif
untuk mendapatkan hal yang baru dengan menciptakan prases (sistem) dan
produk. Semuanya nanti akan menemukan konsep atau cita kreatif pada
seseorang (Sunarto, 2018).
Cornwall, (1996) menyatakan bahwa kreativitas adalah kekuatan untuk
menumbuhkan gagasan-gagasan baru dan mendeteksi cara-cara baru dalam
melihat persoalan dan peluang dengan cara berbeda. Sedangkan inovasi
merupakan kemampuan untuk mendapatkan solusi kreatif terhadap persoalan
dan peluang guna memperkaya kehidupan. Kreativitas merupakan sesuatu
yang baru bagi diri sendiri dan tidak mesti baru bagi orang lain atau dunia
pada umumnya.
Komponen krusial dalam kreativitas adalah pembangkitan gagasan,
dimana aspek ini dikategorikan menjadi dua macam, secara individu dan
kelompok. Ciri dari berpikir kreatif dan individu yang dikatakan kreatif,
diantaranya didasarkan pada;
1. Mencoba Mengutarakann gagasan-gagasan orisinal dengan membuat
hubungan baru diantara hal-hal yang sudah dimengerti dan diketahui.
2. Memandang serius sesuatu yang tidak disangka
3. Meninjau karakterisik pribadi seperti keluwesan dan spontanitas dalam
pemikiran
4. Kerja keras untuk membentuk ide-ide supaya orang lain dapat melihat
nilai dalam dirinya.
5. Tidak hanya berpuas hati dengan hanya menghasilkan ide- ide kreatif
saja.

Deden A Wahab Sya’roni, (2012) menyatakan bahwa ciri orang-orang


kreatif adalah mampu mengeskplorasi situasi dan persoalan-persoalan yang
sebelumnya tidak diperhatikan orang lain. Ciri lainnya mempunyai kemampuan
untuk membangkitkan ide-ide dan masalah-masalah yang dicapainya dari
banyak sumber, termasuk cenderung memiliki banyak alternatif terhadap
masalah atau subyek tertentu. Disamping hal tersebut bahwa ciri orang kreatif
seringkali menentang hal-hal yang bersifat klise dan ia tidak terhalang oleh
kebiasaan-kebiasaan yang terkadang menghambat berfikir kreatif. Selain
itu, biasanya mempunyai keahlian dalam mengefektifkan dan menimba dari

Bab 9: Mengembangkan Kreativitas dan Inovasi Islamic Entrepreneurship 123


kekuatan-kekuatan emosional di alam bawah sadar yang dimilikinya termasuk
juga memiliki keluwesan yang tinggi dalam pemikiran dan tindakan.
Menurut Diandra, (2019) ciri orang kreatif adalah memiliki kemampuan
untuk mengkombinasikan sesuatu yang sudah ada menjadi baru. Kreatifitas
semacam ini sangat ditekankan dalam berbisnis khususnya pada bisnis yang
memproduksi produk dan jasa. Tidak perlu mengeluarkan sesuatu yang baru
seperti penemuan baru (invention), karena itu sudah pasti sulit dijumpai pada
masa sekarang. Maka kreativitas dapat fokus pada hal-hal yang sudah ada.
Selanjutnya, di sempurnakan atau di kombinasikan dengan sesuatu yang sudah
ada sehingga menghasilkan barang yang baru dan berbeda.
Pada konteks entrepreneurship, mengerti dan paham terhadap kreativitas
(daya cipta) akan menghasilkan dasar yang kuat dalam membuat modul atau
perangkat tentang entrepreneurship. Peran sentral dalam entrepreneurship adalah
mampu secara serius untuk menciptaka (to create or to innovate) sesuatu yang
baru,seperti: sebuah organisasi baru, sudut pandangan baru tentang pasar,
nilai-nilai corporate baru, proses-proses manufacture baru, atau produk-produk
dan jasa-jasa baru, cara-cara baru dalam mengelola sesuatu, dan cara-cara baru
dalam mengambil keputusan (Hadiyati, 2012).
Kreativitas adalah konsep relevan yang sangat dibutuhkan tidak saja
bagi entrepreneur pemula, melainkan bagi bisnis dan kegiatan bisnis itu sendiri.
Kreativitas adalah sumber utama bagi semua organisasi dalam menciptakan
daya saing terutama yang concern terhadap growth (pertumbuhan) dan change
(perubahan). Kreatif itu memunculkan sesuatu yang tadinya tidak ada menjadi
ada dan memiliki nilai. Suatu kreatif akan bertahan dan dibutuhkan oleh
banyak orang apabila selalu dilakukan inovasi terhadap hasil-hasil kreativitas
itu sehingga sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Sukoasih, 2010). Potensi
kreatifitas dalam entrepreneurship mesti dipupuk, digali sumber dan tipenya
sehingga memberikan manfaat bagi pelaku usaha dan dapat menghasilkan
gagasan-gagasan baru dalam kegiatan entrepreneurship. Gagasan-gagasan baru
yang muncul dalam kegiatan entrepreneurship adalah sumbangsih dari pemikiran
kreatif, imajinatif, inovatif, dan terkadang penuh dengan kegilaan, dengan kata
lain out of the box (Diandra, 2019).
Ciputra adalah legenda dalam bidang properti yang termasuk salah
satu tokoh bisnis yang sukses di Indonesia, pernah berkata, bangsa maju
adalah bangsa yang kreatif. Sedangkan kreatif berarti suatu hasil daya khayal
yang diwujudkan. Kreativitas itu tidak bisa dipaksakan, apalagi menyontek
kreativitas orang lain (Sukoasih, 2010).

124 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Salah satu teknik untuk menggali kreativitas yang tersembunyi adalah;
pertama, teknik sumbang saran (brainstorming). Sumbang saran merupakan
bagian penting dari proses interaksi diantara sekelompok kecil orang dengan
dengan struktur sangat kecil dengan tujuan supaya menghasilkan gagasan-
gagasan baru, inovatif dan kreatif dalam jumlah besar. Kedua, forced association,
yaitu menggali kreativitas dengan cara menekankan pada usaha untuk
melaksanakan penggabungan dari kerangka-kerangka acuan yang berbeda,
yang diidentifikasikan sebagai sumber kreativitas murni. Teknik ini dapat
dilakukan dengan menuliskan kata-kata yang berhubungan dengan persoalan
yang sedang dihadapi. Kemudian menyusun suatu daftar yang sama tentang
kata-kata yang berhubungan dengan bidang yang berbeda sekali dengan bidang
persoalan yang dihadapi tersebut. Dan anggota-anggota dari suatu kelompok
kemudian berusaha keras untuk melihat apakah hubungan kata-kata dari
daftar pertama dengan daftar kedua akan menghasilkan suatu gagasan baru
yang berguna atau tidak.
Ketiga, morphological analysis, yaitu; suatu aktivitas dengan cara menandai,
selanjutnya menyusun daftar dan menghitung, serta membuat parameter
kumpulan seluruh perlengkapan yang mungkin untuk mencapai suatu
kemampuan fungsional. Apabila sesuatu ini menyangkut persoalan teknis,
maka teknik ini akan menjadi tugas yang rumit, tetapi apabila berhubungan
dengan persoalan manajemen, maka teknik akan menjadi lebih sederhana.
Keempat, rapid prototyping. Teknik ini lebih mengedepankan proses menghasilkan
model dari gagasan yang memungkinkan entrepreneur menemukan kelemahan
gagasan tersebut sehingga perbaikan rancangannya dapat dilakukan.
Rapid prototyping mengubah gagasan-gagasan supaya menjadi model riil
yang memperlihatkan kelemahan gagasan aslinya. Teknik ini memakai tiga
cara yang dikenal dengan istilah 3R, Rough (kasar), Rapid (cepat), dan Right
(benar). Setiap ide dikonsep dalam model sederhana dan kasar dari suatu
gagasan. Selanjutnya mengalami penyempurnaan secara cepat, dan akhirnya
menjadi model utuh dan benar. Sabar, teliti dan telaten adalah kunci utama
dalam menjalankan 3R. Seperti yang telah dilakukan Thomas Alfa Edison
yang berhasil menciptakan lampu pijar dengan melalui proses percobaan dan
penyempurnaan sebanyak ratusan kali.
Kelima, bionics. Teknik ini dipergunakan untuk menggali kreativitas yang
tersembunyi terutama dalam inovasi teknis. Teknik meneliti tentang bagaimana
cara kerja organ-organ makhluk hidup dalam memanifestasikan sesuatu,
kemudian mengaplikasikan cara kerja tersebut dengan menggunakan peralatan

Bab 9: Mengembangkan Kreativitas dan Inovasi Islamic Entrepreneurship 125


untuk mendapatkan hasil yang sama. Keenam, mind mapping, yaitu teknik
grafis yang mendorong pemikiran kedua sisi otak manusia yang secara visual
memperagakan berbagai macam relasi di antara ide-ide, dan meningkatkan
kemampuan untuk melihat masalah dengan cara berbeda dan dari berbagai
aspek (Purhantara, 2012).
Sedangkan sumber kreativitas berasal dari dalam (internal) dan dari
luar (eksternal). Sumber kreatifitas yang berasal dari internal, yaitu motivasi,
Pendidikan, wawasan, ide atau gagasan, Inovasi, daya imajinasi, dan semangat
pantang menyerah disaat terjepit. Sementara sumber kreativitas dari luar
(eksternal) banyak berasal dari lingkungan hidup dimana pelaku usaha tersebut
tinggal dan berinteraksi serta budaya. Kreativitas berdasarkan budaya dapat
disebarluaskan lewat aktivitas penguatan kelembanganan, penambahan nilai
tambah dan daya saing produk, hingga akses utama kepada sumber permodalan
dan pasar. Baik yang berasal dari pihak internal maupun eksternal, karena
kreativitas sama-sama menghasilkan karya yang berdaya saing dan berguna
dalam pengembangan entrepreneurship (Diandra, 2019).

B. Esensi Inovasi Entrepreneur


Menyajikan sebuah ide saja tidaklah cukup. Berfikir kreatif telah
berkembang menjadi sebuah keterampilan bisnis inti (a core bussines skill)
dan para entrepreneur menjadi pelopor dalam hal mengembangkan serta
menerapkan (berinovasi) (Deden A Wahab Sya’roni, 2012). Inovasi merupakan
daya untuk menerapkan gagasan-gagasan kreatif tersebut terhadap persoalan
dan peluang yang ada untuk meningkatkan dan memperkaya kehidupan orang.
Dalam hal ini sebuah inovasi haruslah dapat diterima oleh pasar (Slamet,
Franky, Hatti Karunia Tanjung Sari, 2016). Inovasi lebih dari sekedar ide
yang baik. Namun bagian dari tindak lanjut dari sebuah ide yang makin
dimatangkan konsepnya dan selanjutnya diaplikasikan dan diimplementasikan.
Oleh karena itu inovasi adalah kombinasi dari kreativitas, gagasan dan visi,
serta dedikasi untuk mengaplikasikan dan mengimplementasikan gagasan yang
telah terumuskan sebelumnya.
Inovasi merupakan suatu proses untuk mengubah kesempatan menjadi
gagasan yang dapat dipasarkan. Inovasi lebih dari sekadar gagasan yang
baik. Suatu gagasan murni memegang peranan penting, dan fikiran yang
kreatif mengembangkannya menjadi gagasan berharga. Meski demikian
terdapat perbedaan antara sebuah ide yang timbul semata dari spekulasi dan

126 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


gagasan yang merupakan hasil pemikiran, riset, pengalaman dan kerja yang
disempurnakan. Dengan demikian inovasi merupakan sebuah kombinasi visi
untuk menciptakan sebuah gagasan yang baik dan keteguhan serta dedikasi
untuk mempertahankan konsep melalui aplikasi dan implementasi.
Inovasi dipandang sebagai kreasi dan aplikasi serta implementasi
“kombinasi baru‘. Terminologi kombinasi baru ini dapat merujuk kepada
produk dan jasa, proses kerja, pasar, kebijakan dan sistem baru. Dalam inovasi
dapat menghasilkan nilai tambah, baik pada organisasi maupun masyarakat
luas. Karenanya sebagian besar definisi dari inovasi meliputi pengembangan
dan implementasi sesuatu yang bernilai baru. Istilah baru bukan berarti original
tetapi lebih ke newness (kebaruan). Arti kebaruan ini, bahwa inovasi merupakan
aktivitas mengkreasikan dan mengimplementasikan sesuatu menjadi satu
kombinasi. “Kebaruan” juga terkait dimensi ruang dan waktu. “Kebaruan”
terikat dengan dimensi ruang. Artinya, bahwa suatu produk atau jasa akan
dilihat sebagai sesuatu yang baru di suatu tempat, akan tetapi bukan menjadi
barang baru lagi di tempat yang lain.Karena dimensi jarak ini telah dijembatani
oleh kemajuan teknologi informasi yang sangat dahsyat sehingga dimensi jarak
dipersempit. Implikasinya, ketika suatu penemuan baru diperkenalkan kepada
suatu masyarakat tertentu, maka dalam waktu yang singkat, masyarakat
dunia akan mengetahuinya. Dengan demikian ‘kebaruan‘ relatif lebih bersifat
universal. ‘Kebaruan‘ terikat dengan dimensi waktu. Artinya, kebaruan di
jamannya (Deden A Wahab Sya’roni, 2012).
Inovasi sebagai sebuah konsep dibagi menjadi tiga bagian yaitu: inovasi
organisasi (organizational innovation), tingkat inovasi (innovativeness) dan
kemampuan untuk inovasi (capasity to innovate). Tingkat inovasi organisasi
(organizational innovativeness) merupakan tingkat dimana pengembangan dan
implementasi gagasan yang mewakili kapabilitas perusahaan. Selanjutnya
dikatakan bahwa tingkat inovasi (innovativeness) lebih merupakan aspek budaya
organisasi yang mencerminkan tingkat keterbukaan terhadap gagasan baru.
Kemampuan untuk inovasi (capasity to innovate) adalah kemampuan organisasi
untuk mengadopsi atau mengimplementasikan gagasan baru, proses dan
produk baru (Muslikh, 2013).
Prinsip-prinsip inovasi ada dua, yaitu prinsip keharusan dan prinsip
larangan. Prinsip keharusan diantaranya keharusan menganalisis peluang,
keharusan memperluas wawasan, keharusan untuk bertindak efektif, dan
keharusan untuk tidak berpikir yang muluk-muluk. Adapun prinsip larangan
yakni larangan untuk berlagak pintar, larangan untuk rakus, dan larangan

Bab 9: Mengembangkan Kreativitas dan Inovasi Islamic Entrepreneurship 127


untuk berpikir terlalu jauh kedepan. Sedangkan proses inovasi dimulai dari
adanya persoalan/tantangan dalam kehidupan yang dihadapi oleh manusia,
kemudian berpikir menciptakan sesuatu yang baru untuk mengatasi persoalan/
tantangan yang ada, melakukan uji coba dan hasil pemikiran tersebut,
menyempurnakan hasil uji coba dan mewujudkan hasil inovasi, serta ditutup
dengan memperbanyak hasil inovasi (Megawati, 2018).
Suryana, (2013) menyebutkan ada empat jenis cara berinovasi yang
dapat dilakukan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut, diantaranya dengan
mengkreasi atau membuat penemuan baru dengan cara atau proses baru dimana
cara ini belum pernah dilakukansebelumnya, dengan mengembangkan sebuah
produk atau jasa model lama, duplikasi atau proses peniruan namun diberikan
penambahan-penambahan kreatif agar lebih baik lagi, dan menggunakan cara
sintetis yaitu memadukan konsep ataupun model lama dengan model yang
baru menjadi hal baru menggunakan metode yang baru.
Dalam konteks perusahaan, inovasi sangat penting maka tanpa adanya
inovasi perusahaan niscaya tidak akan bertahan lama. Hal ini disebabkan
kebutuhan, keinginan, dan permintaan pelanggan berubah-ubah. Pelanggan
tidak selamanya akan mengkonsumsi produk yang sama. Pelanggan tentu akan
mencoba mencari alternatif produk lain dari perusahaan lain yang dirasakan
dapat memuaskan kebutuhan dan keinginannya. Untuk itulah diperlukan
adanya inovasi terus menerus. Agar perusahaan dapat terus berkembang
dan berdiri dengan usahanya. Inovasi adalah sesuatu yang berkenaan dengan
barang, jasa atau gagasan yang dirasakan baru oleh seseorang. Meskipun
gagasan tersebut telah lama ada tetapi ini dapat dikatakan suatu inovasi bagi
orang yang baru melihat atau merasakannya (Hadiyati, 2012).
Inovasi-inovasi yang dapat dilakukan perusahaan misalnya: (a). Inovasi
produk seperti barang, jasa, ide dan tempat. (b). Inovasi manajemen dalam
bentuk proses kerja, proses produksi, keuangan pemasaran, dan sebagainya.
Dalam melakukan inovasi perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a). Menganalisis peluang, b). Apa yang harus dilakukan untuk memuaskan
peluang, c). Sederhana dan terarah, d). Di awali dengan yang kecil dan
sederhana, dan e). Kepemimpinan (Hadiyati, 2012).
Keeh, et.al (2007) dalam Hadiyati, (2012) memperlihatkan bahwa inovasi
menjadi sangat penting karena berikut ini:

128 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


1. Teknologi selalu berubah dengan sangat cepat seiring lahirnya produk baru
(new product), proses dan layanan baru dari pesaing, dan ini mendorong
usaha entrepreneur untuk bersaing dan sukses. Maka perusahaan harus
selalu dapat menyesuaikan diri dengan inovasi teknologi baru tersebut.
2. Efek perubahan lingkungan terhadap siklus hidup produk semakin
pendek, maknanya produk atau layanan lama otomatis akan digantikan
dengan yang baru dalam waktu cepat, dan ini bisa terjadi karena ada
pemikiran kreatif yang menimbulkan inovasi.
3. Konsumen makin cerdas dan dapat menuntut lebih kepada perusahaan
guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam pemenuhan kebutuhan
tersebut mereka menuntut produser agar dapat menghasilkan kualitas
produk, pembaruan produk, dan harganya. Maka dari itu, skill inovatif
sangat dibutuhkan untuk dapat memuaskan kebutuhan konsumen
sekaligus menjaga konsumen tidak pindah ke produsen lain.
4. Pasar dan teknologi yang senantiasa berubah dengan cepat, gagasan
yang bagus akan makin mudah ditiru, dan ini membutuhkan metode
penggunaan produk, proses yang baru dan lebih baik, dan layanan lebih
cepat secara terus menerus.
5. Inovasi dapat menghasilkan pertumbuhan lebih cepat, meningkatkan
segmen pasar, dan menciptakan posisi korporat yang lebih baik

Dari berbagai pendapat di atas dapat dipahami bahwa inovasi adalah


suatu ide, hal-hal yang praktis, metode, cara, barang-barang buatan manusia,
yang diamatia atau dirasakan sebagai sesuatu yang baru bagi seseorang atau
sekelompok orang (masyarakat). Inovatif bisa diartikan hasil dari suatu
kreativitas yang tiada henti. Inovasi itu mengubah sesuatu sehingga memiliki
nilai tambah dan menjadi lebih menarik dan baik/indah.
Sementara faktor pendukung keberhasilan inovasi sebagai berikut:
1. Harus berorientasi pasar.
Banyak inovasi yang hanya ingin memecahkan persoalan dan tidak
mempunyai keunggulan bersaing di pasar. Hubungan inovasi dengan
pasar yang di dalamnya ada 5C, yaitu competitor, competition, change of
competition, change driver dan customer behavior.
2. Mampu meningkatkan nilai tambahan perusahaan.
Ada nilai tambah tukar (value added) yang dapat menjadi pendongkrak
pertumbuhan dan perkembangan perusahaan

Bab 9: Mengembangkan Kreativitas dan Inovasi Islamic Entrepreneurship 129


3. Memiliki unsur efisiensi dan efektivitas.
Tanpa 2E yaitu faktor efiseiensi dan faktor efektivitas dari sebuah inovasi
yang ditemukan maka inovasi tersebut tidak mempunyai makna atau
dampak signifikan bagi keberlangsungan perusahaan
4. Harus sesuai dengan visi dan misi perusahaan
Inovasi harus sesuai dengan visi dan misi perusahaan supaya tidak
menyimpang dari arah pertumbuhan usaha yang telah ditetapkan
5. Harus bisa ditingkatkan lagi.
Inovasi mesti bisa di inovasikan lagi sehingga terjadi inovasi berkelanjutan
(continuous improvement) sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan
perusahaan supaya dapat menjadi lebih baik dan lebih berkembang dari
sebelumnya (Hendro, 2011).

C. Kreativitas dan Inovasi Sebagai Kebutuhan Entrepreneur


Kreatif dan inovatif adalah kunci untuk selalu berkembang dan
mengikuti perkembangan zaman. Melalui kedua hal ini seseorang akan
selalu memiliki sikap dan perilaku untuk selalu berprestasi. Entrepreneurship
itu sangat terikat dengan kreativitas dan inovasi. Tanpa itu entrepreneur
tidak akan dapat berkembang maju. Bahkan kreativitas dan inovasi sudah
menjiwai entrepreneurship (Edwar, 2017). Munculnya kreativitas dan inovasi
dalam berwirausaha dikarenakan adanya masalah atau tantangan yang perlu
dicarikan solusi lewat pemikiran baru yang komprehensif dan progresif.
Kreativitas merupakan kemauan menciptakan dan menghasilkan sesuatu
yang mengharuskan terjadi pemusatan perhatian, kemauan, kerja keras dan
ketekunan.
A. Roe; dalam bukunya Psychological Approaches to Creativity in Science,
New York University dalam Frinces, (2010) menyebutkan bahwa syarat-syarat
orang yang kreatif yaitu:
1. Terbuka terhadap pengalaman (openness to experience).
2. Pengamatan melihat dengan cara yang biasa dilakukan (observanvce seeing
things in unusual ways).
3. Keinginan (curiosity)
4. Toleransi terhadap ambiguitas (tolerance of apporites)
5. Kemandirian dalam penilaian, pikiran dan tindakan (independence in
judgemnet, thought and action)
6. Memerlukan dan menerima otonomi (needing and assuming autonomy)

130 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


7. Kepercayaan terhadap diri sendiri (self reliance)
8. Tidak sedang tunduk pada pengawasan kelompok (not being subject to group
standart and control).
9. Ketersediaan untuk mengambil risiko yang diperhitungakan (willing to
take calculated risks).

Sedangkan Slamet, Franky, Hatti Karunia Tanjung Sari, (2016)


menyatakan bahwa seorang wirausaha harus melatih cara berfikir mereka
dengan cara yang berbeda, “think out of the box”. Mereka membuat pernyataan
yang dapat diajukan dalam menerapkan cara berfikir kreatif, antara lain;
a. Selalu bertanya; “adakah cara lain yang lebih baik?”
b. Menentang rutinitas dan kebiasaan bahkan tradisi.
c. Berimajinasi tinggi.
d. Menghasilkan banyak ide, latihlah menemukan berbagai solusi untuk
sebuah permasalahan.
e. Lihatlah permasalahan dalam perspektif berbeda
f. Senantiasa sadar bahwa sebuah persoalan tidak hanya punya satu
penyelesaian.
g. Melihat masalah sebagai suatu batu loncatan untuk sukses.
h. Mengaitkan ide yang tidak berhubungan masalah untuk menghasilkan
solusi kreatif.
i. Melihat kesalahan yang terjadi sebagai pengalaman yang berharga.
j. Tidak melarang untuk melakukan kesalahan.
k. Melihat persoalan dari banyak sudut pandang yang lebih luas, lalu fokus
ke penyelesaiannya.

Hasil penelitian Suryana, (2013) terhadap 115 usaha kecil unggulan di


Kabupaten Bandung menunjukkan, bahwa kreativitas dan inovasi sangat
penting dalam proses pertumbuhan usaha mereka. Perwujudan kemampuan
untuk berkreasi maupun berinovasi, nampak pada perkembangan usaha
mereka. Pada umumnya pelaku usaha kecil itu mengalami pertumbuhan
melalui tiga tahap yaitu: (1). Tahap imitasi dan duplikasi, (2). Tahap duplikasi
dan pengembangan, dan (3). Tahap menciptakan sendiri baik yang berkaitan
dengan barang maupun jasa.
Entrepreneurship merupakan usaha kreatif yang dibangun berdasarkan
inovasi untuk mendapatkan sesuatu yang baru, punya nilai tambah, memberi
manfaat, menciptakan lapangan pekerjaan, dan hasilnya berguna bagi orang

Bab 9: Mengembangkan Kreativitas dan Inovasi Islamic Entrepreneurship 131


lain. Maka perlu di pahami bahwa walaupun dalam implementasi menerapkan
gagasan kreatif dan inovatif hampir tidak terbatas oleh ruang dan waktu,
akan tetapi hendaknya gagasan-gagasan tersebut tetap mendasarkan pada
kebutuhan pasar yang ada. Sebaik dan sehebat apapun gagasan kreatif bila
tidak mempertimbangkan kebutuhan, maka hanya akan menjadi mimpi yang
tidak pernah akan terwujud. Suatu hasil pemikiran inovasi yang dibutuhkan
merupakan kemampuan seorang entrepreneur yang biasa menciptakan produk
baru atau bisa menambahkan nilai guna/nilai manfaat terhadap suatu produk
dan menjaga mutu produk dengan tetap memperhatikan kebutuhan pasar
(market oriented) sehingga laku dijual. Dengan bertambahnya nilai guna atau
manfaat pada sebuah produk, maka meningkat pula daya jual produk tersebut
di mata konsumen, karena adanya peningkatan nilai ekonomis bagi produk
tersebut bagi konsumen.
Entrepreneur merupakan orang yang mempunyai jiwa dan kemampuan
tertentu dalam berkreasi dan berinovasi. Mempunyai kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different)
atau kemampuan kreatif dan inovatif. Kemauan dan kemampuan-kemampuan
tersebut diperlukan terutama untuk: Pertama, melakukan proses/teknik baru
(the new technik), Kedua, mendapatkan produk atau jasa baru (the new product
or new service), Ketiga, memperoleh nilai tambah baru (the new value added),
Keempat, merintis usaha baru (new businesess), yang berorientasi pasar, dan
Kelima, mengembangkan organisasi baru (the new organization).
Roger Van Oech, (2008) bukunya Whack on the side of the Head (2008)
mengindentifikasi 10 kunci mental dari kreativitas (mental tock of creativity),
antara lain: Pertama, seaching for the one “right” answer yaitu berusaha untuk
menemukan suatu asumsi hanya satu jawaban yang benar atau satu pemecahan
yang benar dalam memecahkan suatu masalah. Ia tidak terbiasa dengan
beberapa jawaban atau pandangan yang berbeda. Kedua, focusing on “being
logical”, yaitu terfokus pada berfikir logika tidak bebas menggunakan berfikir
non logika khususnya dalam berimajinasi berfikir kreatif, padahal dalam
berkreasi kita dapat berfikir bebas tentang segala sesuatu yang berbeda dan
bebas pula menggunakan berfikir non logika khususnya dalam fase berfikir
kreatif (to thing something different and to freely use nonlogical thinking, especially in
the imaginative phase of the creative process).
Ketiga, Blindy following the rules, yaitu berlindung pada aturan yang berlaku
(kaku). Kreativitas sangat tergantung pada kemampuan untuk selalu tidak

132 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


kaku pada aturan, sehingga dapat melihat cara-cara baru untuk mengerjakan
sesuatu (new ways of doing things).
Keempat, constantly being practical adalah terikat pada kehidupan praktis
semata yang membatasi ide-ide kreatif. Kelima, Viewing play as frivolous.
Melihat aktivitas bermain sebagai hal yang tidak berguna. Padahal, anak-
anak dapat belajar dari bermain, yaitu denganc ara menciptakan cara-cara
baru dalam memandang sesuatu yang lama dan belaajr tentang apa yang
boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Entrepreneur dapat belajar
dengan menggunakan pendekatan baru dan penemuan baru. Kreativitas
dapat diciptakan apabila entrepreneur mau belajar dari bermain. Seorang yang
memandang permaianan sebagai hal yang tidak berguna cenderung membatasi
berfikir kreatif.

D. Sumber-sumber Kreativitas dalam Pengelolaan Usaha


Saat ini persaingan antar perusahaan menjadi semakin ketat sehingga para
pelaku bisnis semakin dituntut untuk kritis dalam pemilihan dan penerapan
strategi agar dapat mengembangkan usaha dan memenangkan persaingan
tersebut. Entrepreneur dapat memanfaatkan banyak sumber untuk mendapatkan
gagasan-gagasan baru dan kreatif dalam menjalankan usahanya, meliputi; para
pelanggan, barang dan jasa yang dihasilkan, saluran distribusi, pemerintah,
serta kegiatan research & development. Pertama, Para pelanggan merupakan hal
yang harus menjadi pusat perhatian, jika seseorang ingin memulai sebuah
usaha atau meningkatkan kualitas usahanya. Entrepreneur dapat memperoleh
info dari pelanggan baik secara formal maupun informal. Secara formal
maupun informal, pelanggan maupun calon pelanggan dapat diminta untuk
menceritakan tentang produk atau jasa apa sajakah yang mereka inginkan atau
perlukan dalam mengatasi berbagai kebutuhan mereka.
Kedua, barang dan jasa yang dihasilkan oleh entrepreneur harus selalu
dimonitor dan dievaluasi dibadingkan dengan barang dan jasa yang dihasilkan
oleh pesaing. Wirausaha perlu memiliki sebuah metode monitoring dan evaluasi
formal untuk dapat melakukan analisis terhadap situasi di pusat saat ini dan
menemukan cara-cara untuk memperbaiki kualitas barang dan jasa secara
terus-menerus.
Ketiga, saluran distribusi. Melalui anggota saluran distribusi wirausaha
dapat memperoleh informasi mengenai respon pelanggan atas produk di pasar
sehingga memunculkan ide-ide kreatif untuk dapat memenuhi kebutuhan

Bab 9: Mengembangkan Kreativitas dan Inovasi Islamic Entrepreneurship 133


pelanggan secara lebih tepat dan memuasakan. Selain itu, wirausaha dapat
pula memperoleh ide kreatif cara-cara mendistribusikan produk melalui
pengalaman anggota saluran distribusi saat memasarkan produk.
Keempat, Pemerintah. Pemerintah merupakan sumber krativitas dalam
mengelola usaha. Lewat regulasi yang dibuat pemerintah, wirausaha
dapat menemukan ide-ide kreatif memenuhi berbagai regulasi yang dibuat
pemerintah. Seperti keharusan mempunyai alat pemadam kebakaran di setiap
lantai gedung. Wirausaha dapat menangkap peluang tersebut, menjadi sumber
baru dalam pengelolaan usaha.
Kelima, R&D. Kegiatan R & D dapat dilakukan di berbagai skala usaha,
baik itu untuk usaha rumahan yang tengah menguji resep makanan dalam
kemasan yang diproduksi hingga usaha besar kelas dunia seperti perusahaan
Microsoft yang melakukan pengembangan software baru atau McDonald‘s
yang tengah mengembangkan menu Happy Meal baru (Slamet, Franky, Hatti
Karunia Tanjung Sari, 2016).
Beberapa contoh keberhasilan inovasi dan kreativitas dalam bidang
minuman adalah Teh Botol Sosro dan dalam bidang obat cair herbal adalah
Tolak Angin produksi PT Sido Muncul. Teh Botol Sosro merupakan contoh
pelopor dan kesuksesan seorang pengusaha minuman tradisional. Adapun
Tolak Angin merupakan contoh pelopor dan kesuksesan pengusaha obat
cair herbal (Prabowo & Kis, 2015). Oleh karenanya, kemampuan untuk
melakukan inovasi dan kreatif sangat penting agar menciptakan keunggulan
bersaing, kemampuan inovasi dan kreatif dapat meningkatkan keunggulan
bersaing. Maka pembelajaran antisipatif akan menghasilkan kompetensi
untuk mendorong berbagai inovasi yang akan menciptakan keunggulan
bersaing (Mulyana & Sutapa, 2014). Kreativitas dan inovasi adalah sesuatu
yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya dan menjadi sesuatu yang wajib
dimiliki seorang entrepreneur. Karena seorang entrepreneur yang inovatif dikenal
mempunyai keahlian menggabungkan imajinasi dan pikiran kreatif secara
sistematis, terkonsep dan logis. Kombinasi itu menjadi bekal utama bagi
keberhasilan dan kesuksesan dalam berwirausaha (Megawati, 2018).

E. Perspektif Islam Terhadap Kreativitas dan Inovasi


Kreativitas dan inovasi adalah jantung, inti, atau rahasia entreprenuership.
Entrepreneurs yang berhasil dan sukses dilatarbelakangi kemampuan berfikir
kreatif dan inovatif. Kreativitas merupakan kemampuan berfikir baru dan

134 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


berbeda terhadap sesuatu yang sudah ada. Sedangkan keinovasian merupakan
melakukan sesuatu yang baru dan berbeda dari biasanya. Inovasi merupakan
suatu gagasan, praktek atau obyek yang dipahami sebagai sesuatu yang baru
oleh seorang individu, sehingga inovasi tersebut dapat dipandang sebagai
suatu upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Hakikat entrepreneurship adalah
kemampuan berfikir sesuatu yang baru dan berbeda (thinking new things and
different) (Suryana, 2014).
Entrepreneur menjadi salah satu jalan bagi umat Islam untuk melakukan
aktivitas bisnis dan bertransaksi. Konsep dan aturan mainnya telah diatur
dalam al-Qur‘an dan Hadits. Al-Quran dan Hadits sebagai petunjuk dan
pedoman hidup manusia, telah memberikan panduan lengkap bagi para
entrepreneur untuk bekerja dan menikmati hasil pekerjaannya. Bekerja
dalam Islam menjadi bagian tidak terpisahkan dari ibadah kepada Allah
dan orang yang bekerja berhak masuk surga. Penghargaan Islam terhadap
pekerja dan kemauan seseorang untuk bekerja tidak saja sebagai motivasi
agar menghasilkan pekerjaan yang baik dan bernilai di hadapan Allah SWT,
melainkan lebih dari itu setiap hasil pekerjaan seseorang akan dipertanggung
jawabkan di hadapan-Nya (Bahri, 2018).
Islam mewajibkan setiap muslim tanpa terkecuali, khususnya yang
mempunyai tanggungan untuk bekerja. Bekerja menjadi sebab pokok seseorang
mempunyai harta kekayaan. Sebagaimana Allah SWT firman dalam surah
Al Mulk [67]:15: “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki Nya”. Dan hanya
kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Rasulullah SAW “Dari Miqdam ra. Dari Rasulullah Saw, beliau bersabda:
Seseorang yang makan dari hasil usahanya sendiri, itu lebih baik. Sesungguhnya
Nabi Daud as makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Al-Bukhori). Hadits ini
memperlihatkan bahwa bekerja atau berusaha adalah perbuatan terpuji dan
sangat mulia di hadapan Allah dan dalam ajaran Islam. Apalagi seseorang
yang mampu menerapkan dan menciptakan sesuatu dengan tangannya sendiri
sebagaimana pengertian dari inovasi. Islam sangat respek terhadap seseorang
yang bekerja dengan tangannya sendiri, baik untuk mencukupi kebutuhan diri
sendiri maupun yang menjadi tanggungannya. Sebagaimana telah dicontohkan
Nabi Dawud, salah satu pengrajin daun kurma untuk di buat keranjang dan
dikenal juga sebagai pembuat baju besi.
Islam memahami kreativitas dan inovasi merupakan fitrah bagi setiap
Insan. Hal ini dijelaskan dalam surah Ali Imran [3]: 190-191. “Sesungguhnya

Bab 9: Mengembangkan Kreativitas dan Inovasi Islamic Entrepreneurship 135


dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami
dari siksa neraka”.
Sehingga sudah menjadi fitrah sejak masa awal kelahiran manusia
telah menunjukkan kecenderungan untuk bekerja sebagai upaya memenuhi
hajat hidup. Karenanya, manusia sering kali disebut dengan animal laboraus
(binatang bekerja). Dan dari masa ke masa, bentuk usaha manusia terus
mengalami perubahan dan perkembangan yang dimulai dari zaman batu
hingga era modern dewasa ini. Disinilah dibutuhkan motivasi kerja dan inovasi
kerja dalam rangka menekuni masing-masing bidang keahliannya. Hal ini
dikarenakan penempatan Islam terhadap pekerjaan sebagai sesuatu yang
memilki sisi ibadah.
Inilah sebabnya mengapa Rasulullah Saw, secara tegas melarang sikap
meminta-minta sebagaimana yang disabdakan beliau: ―Telah menceritakan kepada
kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari ‘Uqail dari Ibnu
Syihab dari Abu ‘Ubaid sahayanya ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa dia mendengar Abu
Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; “Sungguh, seorang dari kalian yang memanggul
kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia meminta
kepada orang lain, baik orang lain itu memberinya atau menolaknya” (HR. Bukhari).
Perintah untuk melakuan kreativitas dan inovasi terdapat juga dalam
surah Al-A'raf [7]: 10; Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di
muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat
sedikitlah kamu bersyukur”. Ayat ini menjelaskan bahwa umat manusia (umat
islam) telah diberikan sumber-sumber kehidupan, berupa segala hal untuk
mencukupi kebutuhan hidup. Dalam kaitannya dengan berbagai sumber yang
ada di alam ini yang bisa diolah dan dimanfaatkan sebaik mungkin oleh
manusia. Pengelolahan sumber daya alam tersebut hanya bisa dilakukan
apabila tidak seseorang mempunyai kreativitas dan inovasi. Apalagi misi
agama Islam adalah mengembangkan rahmat kepada manusia, alam dan
lingkungan hidup (QS al-Anbiyaa‘ [21]: 107), tidak mungkin tercapai tanpa
sumbangsih pemikiran yang menghasilkan kreativitas dan inovasi manusia
sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah [2]: 30) dan Abdullah (QS. Adz-Dzariyat
[51]: 56). Untuk itu, alam semesta mengandung banyak hikmah (QS. Shaad
[38]: 27), langit dan bumi beserta isinya tidak dengan bermain-main (QS.

136 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Ad-Dukhan [44]:38), binatang ternak yang sangat bermanfaat (QS. An-Nahl
[16]: 5), dan .alam sebagai tempat bernaung dan memenuhi kebutuhan (QS.
An-Nahl [16]: 81). Kesemuanya menjadi daya dukung bagi manusia untuk
mengeluarkan kreativitas dan inovasinya.
Pada konteks bisnis Inovasi menjadi bagian tak terpisahkan dari mental
seorang pebisnis. Seorang pebisnis memiliki keharusan untuk mampu menjadi
sosok yang inovatif dalam melahirkan gagasan-gagasan dan strategi guna
mengembangkan usaha bisnis yang dimiliki. Mental inovatif tersebut pada
akhirnya akan dimunculkan pada karya-karya inovasi sebagai hasil dari produk
bisnis atau layanan jasa untuk konsumen (Aisyah, 2017).
Dalil yang menjelaskan tentang inovasi terdapat dalam QS. al-Ra‘d
[13]: “Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”. Maka tekun, ulet dan
pantang menyerah serta berputus asa harus menjadi sifat dasar wirausaha
dalam membangkitkan kreativitas dan inovasinya. Allah SWT berfirman
dalam surah Al-Muzammil [73]: 8, “Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah
kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” Di ayat lain Allah dengan tegas melarang
orang yang berputus asa dengan mengambil kata-kata Nabi Ya‘qub kepada
anak- anaknya dalam surah Yusuf [12]:87, “Hai anak-anakku, pergilah kamu,
maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir”.
Biasanya faktor yang dapat menghambat munculnya kreativitas dan
inovasi seorang beriman adalah dorongan hawa nafsu dan bisikan setan yang
menjadikannya hidup malas, berputus asa, dan takut maju serta gagal (QS.
[12]: 5, [17]: 53), suka tergesa-gesa mengerjakan sesuatu, cepat puas dan ingin
cepat selesai (QS. Al-Anbiyah [21]: 37), suka melampaui batas (QS. Al-Alaq
[96]: 6), pelupa dan tidak terkonsep (QS. Al- Baqarah [2]: 44), suka menuruti
nafsunya (QS. Ali Imran [3]: 14), suka bermega-mega dan sombong terhadap
keberhasilan (QS. At-Takasur [102]: 1), ingkar terhadap Allah sehingga tidak
mendapatkan hikmah dan tidak pandai bersyukur (QS. Al-Adiyat [100]: 6)
dan dzalim serta bodoh (QS. Al-Ahzab [33]: 72). Padahal sudah jelas bahwa
kewajiban setiap manusia untuk bekerja keras menghasilkan sesuatu sehingga
dapat bermanfaat.
Bahkan Islam menempatkan bahwa di sisi Allah dan paling dicintai oleh
Allah adalah orang yang mampu melaksanakan segala sesuatu yang bermanfaat
bagi manusia lainnya, yaitu orang-orang yang berakal (QS. Az-Zumar [29]: 18),

Bab 9: Mengembangkan Kreativitas dan Inovasi Islamic Entrepreneurship 137


senantiasa merendakan hati dan bersedia saling nasehat- menasehati dalam
kebenaran (al-haq) dan kesabaran (al- shabar) pada setiap langkah perjalanan
hidupnya (QS. al-Ashr [103]: 1-3), beriman dan mengerjakan amal shaleh (QS.
al- A‘raaf [7]: 42,), bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa (QS. Ali Imran
[3]: 102, An-Nisa‘ [4]: 1, al-Hasyr [59]: 18, al-Maidah [5]: 27, al-Anfal [8]: 29),
mau berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan di mana saja berada (QS. al-
Baqarah [2]: 148), serta menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak berguna (QS.
al- Mu‘minun [23]: 1-3). Sehingga berwirausaha dengan semangat krativitas
dan inovasi menjadi jalan bagi setiap muslim untuk menjadi insan kamil yang
mampu mewujudkan hasanah fi dunya wa hasanah fi al-akhirat serta terhindar
dari Azab api neraka (QS. Al-Baqarah [2]: 201) tidak hanya bagi dirinya
melainkan bagi orang lain.

138 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


BAB 10
Pemasaran Islamic
Entrepreneurship

A. Definisi Pemasaran Entrepreneur


Bagi seorang calon entrepreneur, konsep pemasaran seringkali dianggap
hayalan dan hanya dilakukan oleh perusahaan besar. Padahal konsep
pemasaran adalah salah satu unsur penting dalam membangun brand yang
dimiliki oleh calon entrepreneur. Promosi sebagai bagian penting dari pemasaran
seringkali dipandang sebagai kurang penting. Calon entrepreneur telah banyak
menghabiskan sebagian besar sumber daya yang dimilikinya guna membangun
produk atau jasanya, penghitungan harga mulai dari biaya pembuatan sampai
penetapan harga jual dan tempat menjual.
Karena promosi sering dilupakan maka saat berinteraksi dengan
konsumen, brand kesulitan memperkenalkan dirinya, membangun kesan
positif sampai memelihara kesan yang diinginkan kepada konsumen
(Gurmilang, 2015). Apalagi kebanyakan pelaku usaha memandang bahwa
dengan melakukan usaha penjualan, mereka telah menjalankan fungsi
pemasaran. Padahal usaha penjualan sesungguhnya merupakan bagian
kecil‖ dari pemasaran. Penjualan tidak sama dengan pemasaran (Slamet,
Franky, Hatti Karunia Tanjung Sari, 2016). Untuk itu, penting bagi seorang
calon entrepreneur untuk mengenal dan mengerti konsep-konsep komunikasi
pemasaran yang akan menjadi pintu penghubung antara brand yang dimilikinya
dengan konsumen yang ada.

139
Entrepreneurship berhubungan sangat erat dengan pemasaran, karena
pemasaran adalah bagian dari entrepreneurship. Entrepreneurship berkaitan
dengan pemanfaatan peluang yang di ikuti keberanian untuk mengambil
risiko dan membutuhkan tindakan yang penuh perhitungan dalam melakukan
eksekusi terhadap peluang tersebut, dan pengelolaan sumber daya secara kreatif
dan inovatif untuk memperoleh keuntungan. Sedangkan pemasaran adalah
ilmu dan seni mengeksplorasi, menciptakan dan memberikan nilai untuk
memenuhi kebutuhan target pasar (Hendarsyah, 2020). Selain itu, konsep
marketing entrepreneurial adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai,
kemampuan (ability) dan perilaku seseorang entrepreneur dalam menghadapi
berbagai persoalan yang terkait dalam usaha mendapatkan peluang usaha
yang dilakukan.
Secara umum, marketing entrepreneurial merupakan fungsi organisasi dan
seperangkat proses untuk membuat, berkomunikasi dan memberikan nilai
kepada pelanggan dan untuk mengelola relasi dengan pelanggan dengan cara
yang menguntungkan organisasi dan para pemangku kepentingan, dan yang
ditandai dengan inovasi, proaktif mengambil risiko, dan mungkin dilakukan
tanpa sumber daya saat ini dikendalikan (Amirudin & Emmanuel, 2012). Selain
itu, marketing entrepreneurial adalah aspek pemasaran yang menitikberatkan
pada kebutuhan terciptanya dan dikembangkannya jaringan yang mampu
mendukung perusahaan, meliputi suplier, manajer, investor, penasehat, asosiasi
dagang, pemerintah lokal dan otoritas publik yang penting bagi konsumen dan
juga kesuksesan bisnis (Harini et al., 2017).
Pendekatan marketing entrepreneurial adalah pendekatan konsep yang
tepat ditinjau dari keterbatasan sumber daya dan permasalahan yang ada
pada UMKM. Pendekatan marketing entrepreneurial pengusaha kecil mampu
menciptakan suatu kondisi usaha yang lebih terarah terkait dengan usaha
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Aspek penting dari pemasaran ini
diteliti dalam konteks usaha kewirausahaan untuk melihat bagaimana teori
pemasaran sesuai dengan praktek kewirausahaan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kotler et al., (2010) yang menyebutkan bahwa konsep pemasaran
yang dijalankan oleh entrepreneur menunjukkan perbedaan dari konsep yang
dikemukakan dalam pemasaran konvensional.
Konsep pemasaran yang selama ini dilaksanakan dalam perusahaan besar
dan dengan banyaknya teks buku yang menjadi asal dari konsep dan studi
kasus, maka sudah waktunya untuk mempelajari proses pemasaran dalam

140 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


konteks perusahaan kecil untuk menghasilkan pemahaman tentang marketing
entrepreneurial yang disesuaikan dengan segala keterbatasannya.
Kreativitas dan inovasi dalam pengembangan produk atau jasa
merupakan bagian tidak terpisahkan dari kegiatan pemasaran khususnya
entrepreneurship yang sukses dan tidak melalui kegiatan penelitian yang hati-hati
tentang kebutuhan konsumen. Skala aktivitas entrepreneurial yang paling banyak
digunakan, yang dikemukakan oleh Carson, D., Cromie, S., Mc. Gowan, P.
and Hill, (2007), didasarkan pada dimensi perilaku seperti pengambilan risiko,
inovasi dan respon proaktif. Inovasi entrepreneurial meliputi penyesuaian dalam
upaya pendekatan pasar. Kegiatan yang dilakukan meliputi: mendekati segmen
pasar baru dengan jasa tertentu, atau meningkatkan jasa ke konsumen yang
ada dengan kata lain, penyesuaian tambahan dan inovatif yang menciptakan
keunggulan kompetitif.
Biasanya marketing entrepreneurial menggunakan teknik interaktif seperti
pemasaran dari mulut ke mulut. Komunikasi berita dari mulut ke mulut
di antara entrepreneur dan pemilik usaha kecil menjadi sumber utama dari
ide inovatif dan menjadi hal yang penting dalam proses inovatif karena
memainkan peran penting dalam penggunaan produk dan jasa baru dari
konsumen. Komunikasi personal informal adalah sebuah aspek pemasaran
kewirausahaan (Andharini, 2012).

B. Fungsi dan Tujuan Pemasaran Entrepreneur


Pemasaran adalah salah satu kegiatan dalam perekonomian yang
membantu dalam menciptakan nilai ekonomi. Nilai ekonomi itu sendiri
menentukan harga barang dan jasa. Faktor penting dalam menciptakan nilai
tersebut adalah produksi, pemasaran, dan konsumsi. Pemasaran menjadi
penghubung antara kegiatan produksi dan konsumsi. Pada pemasaran
wirausaha ada beberapa fungsi, yakni: Pertama, fungsi melakukan pertukaran
seperti fungsi penjualan dan fungsi pembelian, kedua, fungsi melakukan
kegiatan fisik barang seperti menggudangkan barang dan mengangkut barang,
dan ketiga, fungsi memberikan fasilitas atau kemudahan-kemudahan, seperti
memberikan permodalan, menanggung risiko, dan sebagainya. Secara perinci,
fungsi pemasaran adalah sebagai berikut:
1. Fungsi merchandising, yaitu usaha untuk mendekatkan barang dari
produsen ke konsumen, dengan asumsi bahwa barang itu sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan konsumen dan dipromosikan.

Bab 10: Pemasaran Islamic Entrepreneurship 141


2. Fungsi buying, yaitu melaksanakan pembelian terlebih dahulu. Dimana
barang yang akan dijual harus dibeli terlebih dahulu ke sumber-sumber
pemasok baru, selanjutnya dijual dengan mengambil keuntungan yang
tidak terlalu tinggi.
3. Fungsi selling, yaitu melakukan penjualan langsung yang menghasilkan
kepuasan bagi konsumen. Penjualan ini dilakukan dengan banyak strategi
promosi supaya barang yang dijual dapat diketahui konsumen. Fungsi ini
sangat penting dalam pemasaran.
4. Fungsi grading and standardzation, yaitu memilah-milah barang agar
dihimpun menjadi satu kelompok yang memenuhi standar tertentu.
Misalnya, pedagang buah- buahan memisahkan buah yang besar dan
bagus menjadi buah spesial yang harganya lebih mahal dari buah yang
kecil.
5. Fungsi storage and warehousing, yaitu penyimpanan dan penggudangan.
Barang adakalanya perlu dimasukkan ke dalam gudang menunggu masa
penjualan atau perlu disimpan di tempat-tempat pendinginan agar tidak
cepat rusak atau busuk.
6. Fungsi pengangkutan (transport), yaitu barang yang akan dipasarkan perlu
diangkut ke tempat lain. Untuk itu, seorang entrepreneur harus punya atau
bahkan menyewa alat transportasi guna memudahkan pengangkutan
komoditas yang dibeli ataupun akan dijualnya.
7. Fungsi pembelanjaan (financing), yaitu pemodalan untuk menggerakkan
usaha. Pengusaha membutuhkan pemodalan dari pinjam-meminjam
melalui perbankan atau memperoleh barang dari pemasok.
8. Fungsi komunikasi (communication), yaitu fungsi untuk melancarkan
kegiatan bisnis dengan menjalin komunikasi yang baik antara perusahaan
dan pelanggan atau antara sesama keryawan dalam perusahaan.
9. Fungsi pengambilan risiko (risk taking). Dalam kegiatan usaha selalu saja
terjadi kemungkinan adanya risiko, seperti risiko kebakaran, pencurian,
dan sebagainya. Seorang wirausaha dapat mengambil asuransi untuk
berbagai risiko yang dipertanggungkan (Idri, 2015).

Sedangkan tujuan dari pemasaran pada prinsipnya sama dengan tujuan


pemasaran itu sendiri, yaitu:
a. Konsumen potensial mengetahui secara detail produk yang kita hasilkan
dan perusahaan dapat menyediakan semua permintaan mereka atas
produk yang dihasilkan.

142 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


b. Perusahaan dapat memaparkan secara komprehensif semua kegiatan
yang berhubungan dengan pemasaran. Kegiatan pemasaran ini meliputi
berbagai kegiatan, mulai dari penjelasan mengenai produk, desain produk,
promosi produk, mengiklankan produk, komunikasi kepada konsumen,
sampai pengiriman produk agar sampai ke tangan konsumen secara tepat
dan cepat.
c. Mengenal dan mengetahui konsumen dengan baik sehingga produk tepat
dengan konsumen dan dapat terjual dengan sendirinya (Hermawan,
2012).

C. Dimensi Pemasaran Entrepreneur


Entrepreneur merupakan seorang pembuat keputusan yang membantu
terbentuknya sistem ekonomi perusahaan yang bebas. Sebagian besar
pendorong perubahan, inovasi, dan kemajuan perekonomian berasal dari para
wirausaha, orang- orang yang memiliki kemampuan untuk mengambil risiko
dan mempercepat pertumbuhan ekonomi (Irawan, 2007). Pemasaran dengan
berbagai dimensi di dalamnya sangat penting dan menjadi satu kesatuan tidak
terpisahkan dengan perilaku entrepreneur.
Adapun dimensi pemasaran wirausaha adalah sebagai berikut: Pertama,
Innovativeness merupakan dimensi inovasi dalam marketing entrepreneurial.
Dimana entrepreneur memainkan peran strategis tidak hanya dalam produk
dan jasa, tetapi juga dalam mencari solusi kreatif dan unik termasuk
mengembangkan teknologi baru yang akan melayani metode eksekutif dan
fungsi organisasi.
Kedua, Proactiveness adalah memimpin dan merintis pasar dalam hal
menciptakan produk baru (new product) dan mengadopsi teknologi baru serta
membawa dinamisme untuk pendekatan pemasaran bisnis. Ketiga, Opportunity
focus adalah mengenai fokus kesempatan. Dimana perusahaan dengan
perspektif marketing entreprenuerial memiliki kesadaran yang lebih baik dalam
menyaring dan mengevaluasi peluang sejalan dengan strategi sekarang dan
posisi mereka di pasar.
Keempat, Resource Leveraging adalah memanfaatkan sumber daya dari
internal dan eksternal sumber daya. Kelima, Calculated Risk Taking adalah dalam
marketing entrepreneurial menunjukkan bahwa mengkonsumsi usaha berisiko
diperhitungkan dan menjadi perintis dalam menemukan inovasi proaktif
adalah kualitas penting. Keenam, Customer Intensity adalah pemahaman akan

Bab 10: Pemasaran Islamic Entrepreneurship 143


pemenuhan kebutuhan konsumen yang akan datang atas permintaan produk
yang belum ada. Ketujuh, Value Creation dimana ada dua cara utama penciptaan
nilai, yaitu meningkatkan manfaat dari penawaran nilai bagi pelanggan dan
mengurangi biaya akuisisi, penggunaan dan distribusi dari produk dan jasa
yang ditawarkan oleh perusahaan kepada pelanggan (Amirudin & Emmanuel,
2012)

D. Bauran Pemasaran Entrepreneur


Bauran pemasaran adalah strategi mencampur kegiatan-kegiatan
marketing, agar dicari kombinasi maksimal sehingga mendatangkan hasil
yang paling memuaskan (Alma, 2006). Bauran pemasaran berperan dalam
menunjang produktivitas, memberikan kepuasan kepada konsumen serta
meningkatnya profit perusahaan dengan penggabungan berbagai unsur dalam
pemasaran.
Bauran pemasaran wirausaha atau Entrepreneur marketing mix berisi empat
komponen yang dikenal sebagai 4 P atau marketing mix, yaitu product (produk),
pricing (penetapan harga), place (tempat), dan promotion (promosi), dalam
perkembangan selanjutnya ditambah dengan 3 P, yaitu People (orang), Physical
Evidence (sarana fisik) dan Proces (proses). Adapun bauran pemasaran dalam
wirausaha antara lain:

1. Product (Produk)
Produk merupakan sesuatu yang memenuhi apa yang pelanggan butuhkan
atau inginkan dan menjadi titik sentral dari kegiatan marketing (Alma, 2006).
Pentingnya suatu produk bukan terletak pada kepemilikannya secara fisik,
akan tetapi pada jasa yang diberikan kepada pembeli (Pasigai, 2009). Dengan
produk inilah perusahaan pertama-tama memenuhi need & want konsumen.
Maka wirausaha harus dapat memastikan bahwa konsumen menghendaki
produk-produk yang berkualitas, penampilan yang menarik, dan memuaskan.
Maka wirausaha harus mampu memacu inovasi produk, riset, pengembangan
dan pengendalikan secara berkesinambungan terhadap produk yang dihasilkan.
Selain itu, wirauasaha dan perusahaan harus memerhatikan bauran produk
(product mix) dari product line mereka, dan mengerti cara memosisikan produk
tersebut, cara menggunakan merek tersebut, cara menggunakan sumber daya
perusahaan, dan cara mengatur bauran produk agar masing-masing produk

144 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


saling melengkapi (Hartono, 2012). Pada sisi lain, entreprenuer juga harus
memperhatikan mutu atau kualitas produk, penampilan, pilihan yang ada,
gaya, merek, pengemasan, ukuran, jenis, jaminan, dan pelayanan.
Produk dan merek menjadi tugas utama entrepreneur dalam pengembangan
pasar supaya dapat dikenal secara luas, kemudian dikonsumsi konsumen
secara rutin. Jika belum terlalu dikenal, perlu dilakukan branding untuk dapat
menciptakan persepsi unik, serta ikatan emosional antara produk dengan
konsumen. Jika ini dapat tercipta dengan baik dalam benak konsumen tentu
produk tersebut akan selalu melekat dan menjadi rujukan utama. Untuk itu,
seorang wirausahawan harus melakuan berbagai terobosan, kreativitas dan
inovasi terhadap varian produk dan merek yang dibuatnya.

2. Price (Harga)
Harga adalah banyaknya uang yang dibayarkan oleh pelanggan untuk
produk tersebut. Harga sangat penting mengingat hal tersebut menentukan
keuntungan perusahaan (Alma, 2006). Entreprenuer di dalam menentukan
harga harus bijak, terutama dalam menyangkut potongan harga, pembayaran
ongkos kirim, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan harga. Bila perlu,
entrepreneur melakukan pertimbangan dengan melihat informasi, fakta, dan
analisis di lapangan. Entrepreneur harus mempertimbangkan berbagai faktor
sebelum menentukan harga seperti: (a) biaya barang dan jasa. (b) permintaan
dan penawaran pasar. (c) antisipasi volume penjualan produk dan jasa. (d)
harga pesaing, (e) kondisi ekonomi, (f) lokasi usaha, (g) fluktuasi musiman, (h)
faktor psiklogis pelanggan, (i) bunga kredit dan bentuk kredit, (j) sensitivitas
harga pelanggan (elastisitas permintaan).
Penetapan harga yang dilakukan wirausaha akan memengaruhi
kemampuan bersaing dengan wirausaha lain dan kemampuan membeli
konsumen. Harga yang tinggi sering dianggap pelanggan berkorelasi
positif dengan kualitas yang juga tinggi. Tujuan penetapan harga adalah
memaksimalkan penjualan dan penetrasi pasar, mempertahankan kualitas
atau differensiasi

3. Promotion (Promosi)
Promosi merupakan salah atau variable dalam bauran pemasaran yang
penting sekali dilaksankan perusahaan khususnya dalam memasarkan produk
jasa. Kegiatan promosi tidak saja berfungsi menjadi alat komunikasi perusahaan

Bab 10: Pemasaran Islamic Entrepreneurship 145


dengan konsumen, tetapi lebih dari itu sebagai alat untuk memengaruhi
konsumen dalam kegiatan pembelian atau penggunaan jasa yang sejalan
dengan keinginan dan kebutuhannya.
Kegiatan promosi dapat dilakukan dengan cara langsung bertatap
muka dengan (calon) konsumen atau sering dikenal dengan istilah personal
selling ataupun melalui media cetak atau elektronik lewat periklanan atau
menggunakan publisitas atau publikasi seperti seminar. Promosi terdiri
dari elemen- elemen seperti iklan, public relations, dan promosi penjualan.
Iklan mencakup komunikasi apapun yang dibayar, mulai dari iklan televise,
radio, internet sampai media cetak dan billboard. Public relations adalah saat
komunikasi tidak dibayar secara langsung dan mencakup press release, perjanjian
sponsor, pameran dan seminar (Hartono, 2012).
Dalam era keterbukaan ini dimana batas-batas ruang sudah mulai
ditinggalkan peran faktor promosi yang terkait dengan ruang yang sangat
luas mulai memperlihatkan pengaruh dominannya. Dominasi faktor promosi
diindikasikan dari luasnya penyebaran suatu jenis produk yang ada kalanya
dapat menekan pengaruh ketiga faktor lainnya (Andharini, 2012).

4. Place (Tempat)
Penetrasi pasar perusahaan tidak dapat maksimal tanpa didukung
tempat atau saluran distribusi yang baik untuk menjual jasa yang ditawarkan
kepada konsumen, karena lokasi yang tidak strategis dapat mengurangi minat
konsumen dalam berhubungan dengan perusahaan tersebut. Maka, place
merujuk pada penyediakan produk tersebut pada sebuah tempat yang nyaman
bagi pelanggan untuk mengaksesnya. Tempat strategis, menyenangkan, aman
dan efisien merupakan tempat yang menarik bagi konsumen, untuk mencapai
tempat sasaran yang baik maka dapat dilakukan dengan jalan:
Pertama, memperbanyak saluran distribusi baik saluran distribusi
langsung maupun tidak langsung. Saluran distribusi langsung merupakan
penyalurkan barang-barang yang dibeli konsumen secara langsung ke tempat
tinggal konsumen. Supaya konsumen tidak perlu lagi memikirkan masalah
pengangkutan barang yang dibelinya. Pada sisi wirausahawan juga mendapat
keuntungan berupa kontak langsung karena para wirausahawan akan
memahami gaya hidup, perkiraan penghasilan, status sosial dan sebagainya

146 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


dari konsumen yang membeli produk mereka. Dengan informasi tersebut
para wirausahawan dapat diketahui dengan pasti jenis-jenis kebutuhan yang
lain dari konsumen yang mungkin dapat ditawarkannya secara langsung
ataupun dikemudian hari. Sedangkan saluran distribusi tidak langsung, dimana
wirausahawan dapat menggunakan pihak luar sebagai penyalur atau pedagang
perantara (middle man) yang bertugas mendistribusikan barang-barangnya.
Kedua, memperluas dan memperbanyak segmentasi atau cakupannya,
misanyal segmen lokal, regional, nasional dan internasional. Ketiga, menata
penampilan tempat usaha, misalnya tata etalase dan posisi produk. Keempat,
memakai cara penyampaian barang seefisien mungkin. Kelima, Mengubah-
ubah persediaan dari gudang yang satu ke gudang/tempat yang lain.

5. People
Faktor manusia yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung
dalam aktivitas penyampaian produk di pasaran sangat penting. Faktor ini
tidak dapat dikesampingkan, bahkan termasuk salah satu yang utama. Elemen
dari orang adalah pegawai perusahaan, konsumen, dan konsumen lain. Segala
tindak tanduk karyawan, cara berpakaian karyawan dan penampilan karyawan
memiliki pengaruh terhadap keberhasilan penyampaian jasa. Karyawan harus
diberi pengarahan, dan pelatihan, agar dapat melayani konsumen sebaik-
baiknya (Alma, 2006). Dengan kata lain, people ini berhubungan dengan apa
yang membedakan kualitas sumber daya manusia (tenaga kerja) yang ada dan
karakteristik pelanggan yang dimiliki suatu perusahaan dengan perusahaan
pesaing.

6. Physical Evidence
Sarana fisik (Physical Evidence), termasuk salah satu hal nyata yang
ikut serta memengaruhi keputusan konsumen untuk mau membeli dan
menggunakan produk atau jasa yang ditawarkan. Termasuk dalam bagian dari
sarana fisik seperti lingkungan atau bangunan fisik, peralatan, perlengkapan,
logo, warna dan barang-barang lainnya. Misalnya, untuk penjualan jasa
transportasi, konsumen akan memperhatikan kondisi mobil yang digunakan,
untuk jasa hotel konsumen akan melihat tampilan hotel, kamar, dan berbagai
fasilitas yang terdapat di dalamnya (Alma, 2006).

Bab 10: Pemasaran Islamic Entrepreneurship 147


7. Process
Proses (Process) merupakan semua prosedur aktual, mekanisme, dan
aliran aktivitas yang digunakan untuk menyampaikan jasa. Elemen proses ini
memiliki arti sesuatu untuk menyampaikan jasa. Proses dalam jasa adalah
faktor utama dalam bauran pemasaran jasa seperti pelanggan jasa akan senang
merasakan sistem penyerahan jasa sebagai bagian jasa itu sendiri. Dengan kata
lain, process berhubungan erat bagaimana produk diproduksi dan disampaikan
kepada pelanggan, bagaimana layanan dan kemudahan akses yang didapat
pelanggan dari suatu perusahaan. Kemampuan menyelesaikan itu semua, akan
menentukan keberlanjutan bisnis yang dijalankan.
Pemasaran banyak dipahami sebagai seni daripada ilmu, maka seorang
ahli pemasaran sangat bergantung pada ketrampilan pertimbangan dalam
membuat kebijakan alih-alih berorientasi pada ilmu tertentu. Pandangan ahli
ekonomi terhadap pemasaran adalah dalam menciptakan waktu dan tempat
dimana produk diperlukan atau diiinginkan lalu meneyrahkan produk tersebut
untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen (konsep pemasaran)
(Hermawan, 2012)
Seorang entrepreneur harus mencoba segala kreativitasnya untuk mencapai
apa yang diinginkan. Tentu saja segala upaya ini harus berjalan secara legal tidak
menggunakan cara-cara yang tidak terpuji, sebab kegiatan-kegiatan yang tidak
terpuji seperti penyogokan, penyelundupan, korupsi, kolusi, dan nepotisme,
akhirnya akan tercium juga dan akan berbalik menjadi bumerang yang akan
menghancurkan wirausaha sendiri (Alma, 2006). Sebagai sebuah pekerjaan
mulia, wirausaha dapat menjadi alternatif dalam pemilihan pekerjaan yang
bisa dilakukan siapa saja dengan latar belakang pendidikan apa saja, tanpa
membutuhkan keahlian-keahlian khusus seperti jenis pekerjaan tertentu.
Menjadi wirausaha menjadikan seseorang dapat memecahkan berbagai
problema ekonomi dan keuangan secara mandiri, menjadi pemikir kreatif
terhadap berbagai produk dan merek yang dibuat, bersikap percaya diri dalam
mengendalikan kerja dan pekerjaan, meyakini atas dasar MBO (Management By
Objectives), serta bekerja keras secara terus menerus tanpa mengenal lelah dan
pantang menyerah. Sehingga tidak mengherankan apabila wirausaha dianggap
sebagai pendukung dalam maju dan mundurnya perekonomian sebuah negara.
Dengan berwirausaha seseorang mempunyai kebebasan dalam berkarya. Maka
ketika seseorang memiliki kemauan dan keinginan serta siap untuk menjadi
wirausaha, bearti dia mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, dan

148 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


tidak perlu mengandalkan orang lain atau perusahaan lain untuk mendapatkan
pekerjaan (Ranto, 2007)

E. Pemasaran Syariah Sebagai Pondasi Islamic


Entrepreneurship
Pemasarana merupakan bagian penting dari entreprenuer. Karena di
dalamnya mengharuskan memperkenalkan suatu produk kepada konsumen.
Dalam konteks perusahaan pemasaran menjadi salah satu fungsi yang penting
dalam perusahaan, dimana dengan pemasaran yang tepat dapat menentukan
volume penjualan dan posisi produk di pasar. Ada empat pilar yang menjadi
tumpuan dari pemasaran, yaitu: target pasar, kebutuhan pelanggan, pemasaran
terintegrasi dan profitabilitas (Hendarsyah, 2020). Penguasaan market leader
sangat tergantung pada kemampuan untuk memanfaatkan strategi pemasaran
perusahaan misalnya: (a). bagaimana mempromosikan suatu harga produk, (b).
bagaimana strategi harga dengan pesaing yang ada, (c). bagaimana kebijakan
promosinya, (d). bagaimana proses distribusi yang tepat, dan (e). bagaimana
mengenal lingkungan pasar dan lain sebagainya (Hartono, 2012).
Pemasaran syariah adalah suatu disiplin bisnis strategis yang mengarahkan
proses penciptaan, penawaran, dan perubahan value, dari suatu inisiator kepada
stakeholders-nya yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad dan
prinsip-prinsip muamalah (bisnis) dalam Islam. Kegiatan pemasaran mesti
berlandaskan pada spirit beribadah hanya kepada Allah SWT semata, dengan
cara berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan kesejahteraan bersama,
dalam bingkai ukhuwah islamiyah.
Pemasaran syariah merupakan pondasi dari berwirausaha. Setiap Islamic
Entreprenuers wajib melaksanakan aturan-aturan syariah dalam praktek
wirausaha. Seperti sebagai berikut: Pertama, Promosi harus menggunakan kata-
kata yang lembut. Seorang pemasar harus bersikap ramah dalam melakukan
promosi (QS. al-Nahl [16]: 125, Thaha [20]: 44). Kedua, Pemasaran wirausaha
dilaksanakan secara sopan santun. Sebagaimana perintah Alqur‘an bahwa
orang yang beriman diperintahkan untuk bermurah hati, sopan dan bersahabat
saat melakukan praktik bisnis dengan sesama manusia (Q.S. al-Hijr [15] 88,
Luqman [31]: 18-19). Ketiga, Bersikap professional dalam promosi seperti
bersikap adil dalam promosi (QS. al- An‘am [6]: 152, Al-Isra‘ [17]: 35),
terhadap orang yang tidak seagama (Al-Nahl (16): 90, Al-Mumtahanah (60): 8).

Bab 10: Pemasaran Islamic Entrepreneurship 149


Keempat, Transparan seperti tidak menjual produk-produk bathil (An- Nisa[4]:
29), realistis tidak bersifat eksklusif, fanatis, anti modernitas, dan kaku serta
bertanggungjawab (QS. Al-Hasyr [59]:18).
Kelima, posisi konsumen diletakkan sejajar sebagai mitra kerja bukan
sebagai “sapi perah”, yang dapat dimanfaatkan untuk terus membeli
produknya. Keenam, posisi pesaing bukan dianggap sebagai pihak yang harus
dikalahkan atau bahkan dimatikan. Pesaing adalah mitra dalam mewujudkan
aplikasi ekonomi dan perbankan syariah di lapangan dan bukan sebagai lawan
yang harus dihindari atau dimusnahkah. Ketujuh, Budaya kerja yang diciptakan
dalam pemasaran bank syariah berbeda dengan institusi konvensional. Budaya
kerja berpedoman pada sifat Rasulullah SAW, yaitu shiddiq (kejujuran),
fathonah (kompeten atau cerdas), amanah (bertanggung jawab), dan tabligh
(mampu menyebarluaskan) (Aravik, H., & Hamzani, 2021).
Pemasaran syariah yakin dan percaya bahwa setiap perbuatan yang
dilakukan seseorang termasuk dalam aktivitas entrepreneur akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak di akhirat. Oleh karena itu,
marketing syariah sudah sepatutnya mengutamakan nilai-nilai akhlak dan etika
moral dalam melaksanakan aktivitas bisnisnya. Marketing syariah menjadi
penting dan sebagai panduan baku bagi para tenaga pemasaran termasuk
dalam bidang entrepreneur untuk melakukan penetrasi pasar. Pemasaran
(Marketing), sejatinya tidak sebatas menjual produk barang atau jasa.
Pemasaran (Marketing) merupakan komponen penting dan komprehensif serta
perlu implementasi yang didukung prinsip-psinsip syariah dan sudah menjadi
keharus aktivitasnya dilakukan sesuai koridor Islam. Tidak boleh ada praktik-
praktik penyimpangan, manipulasi dan merugikan orang lain, karena model
bisnis sepert itu, sudah pasti tidak akan berjalan lama dan tidak akan berkah,
sementara sebagai seorang muslim yang menyakini akan kehidupan akhirat
puncak dari aktivitas bisnis adalah menggapai falah (kebahagiaan dunia dan
akhirat) bukan keuntungan semata (Zamzam, H. F., & Aravik, 2020).

150 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


BAB 11
Business Plan Islamic
Entrepreneurship

A. Definisi Business Plan


Menemukan gagasan atau ide bisnis adalah anugrah terindah yang tidak
terhingga karena dalam kenyataannya tidak gampang menemukan gagasan
atau ide bisnis. Akan tetapi, jika gagasan atau ide bisnis hanya sebatas angan-
angan, maka tetap saja tidak akan dapat direalisasikan dalam kenyataan
(Nuranisa, 2018). Salah satu kunci sukses memulai usaha adalah adanya
kemampuan menuangkan ide bisnis yang cemerlang, kreatif dan inovatif.
Ide bisnis harus memiliki nilai ekonomi menjulang yang diwujudkan dalam
rencana yang realistis dan matang.
Rencana bisnis berisi tentang apa yang mesti dikerjakan dalam suatu
bisnis ke depan meliputi alokasi sumber daya, perhatian pada faktor-faktor
kunci dan mengolah persoalan-persoalan dan peluang yang ada. Sumber ide
bisa di dapatkan di mana-mana, bisa dari sumber-sumber informasi seperti
buku maupun internet dengan berbagai macam topik dan bahasan mengenai
peluang usaha, kebutuhan dan keinginan konsumen, lingkungan yang dihadapi,
maupun situasi pesaing, dukungan maupun kebijakan pemerintah.
Rencana bisnis itu laksana sebuah peta dan kompas untuk menjalankan
bisnis. Melalui sebuah perencanaan yang matang seseorang dapat menetapkan
tujuan utama bisnis, skala prioritas, dan menetapkan target yang ingin dicapai.

151
Dengan memiliki rencana bisnis yang baik ada peluang besar bisnis yang
dijalankan dapat sukses dan berhasil.
Rencana bisnis setidaknya memiliki tiga fungsi dasar yaitu: Pertama,
Menetapkan proyek masa depan. Kedua, Menetapkan seberapa baik sasaran
telah terpenuhi. Ketiga, Mendapatkan uang (Meilani & Sutrisno, 2015).
Walaupun demikian, ada juga yang menyakini bahwa business plan cuma
sebatas formalitas saja karena tanpa business plan pun kegiatan usaha tetap
dapat dijalankan dengan maksimal. Akan tetapi, rencana bisnis pada prinsipnya
merupakan komponen penting karena menjadi alat bantu untuk menjadi
pedoman sekaligus panduan dan alat pencari dukungan investor terutama yang
baru akan memulai sebuah bisnis, atau yang akan atau sedang mengembangkan
bisnis (Rimiyati & Munawaroh, 2016).
Renaca bisnis atau usaha adalah alat untuk memastikan bahwa sebuah
bisnis atau usaha dijalankan dengan baik dan benar, yang mencakup pemilihan
kegiatan yang akan dijalankan, bagaimana menjalankan, dan komponen-
komponen lainnya yang akan membantu tercapainya tujuan usaha. Renacan
usaha merupakan langkah pertama dalam berwirausaha untuk mengantisipasi
faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan untuk menghadapi setiap tantangan
dalam menjalankan usaha (Hasmidyani et al., 2018). Oleh karenanya, David
H. Bangs, Jr. (1995) dalam Buchari Alma, (2006) bahwa, para pengusaha
yang tidak mampu membuat perencanaan bisnis sama dengan merencanakan
kegagalan. Ungkapan ini benar adanya, sebagaimana hasil pengalaman para
pemilik usaha kecil yang mau menyediakan sedikit waktu untuk mendalami
semua strateginya, menggunakan seluruh informasi untuk menguji kebenaran
pendapatnya, dan cukup pandai mengenali kekurangan-kekurangan dirinya
merupakan pengusaha yang tidak akan mengalami kegagalan.
Edward E.Bewayo, (2015) dalam risetnya memperlihatkan bahwa
rencana usaha merangkum dengan lengkap dan rapi apa yang mesti
dilakukan pengusaha: mulai dari mereka melakukan riset pasar, selanjutnya
memproyeksikan penjualan dan meningkatkan modal, mengumpulkan tim
manajemen, dan lain-lain. Pilihan untuk memberi penekanan pada rencana
usaha tampaknya menggambarkan bahwa kesuksesan dalam berwirausaha
seharusnya lebih banyak daripada apa yang pengusaha lain lakukan.
Business Plan adalah langkah pertama yang harus disiapkan dengan
asumsi dapat digunakan untuk menggali, menumbuhkan gagasan atau ide
bisnis dan menuangkannya dalam sebuah kegiatan usaha bisnis. Business
Plan didefinisikan sebagai keseluruhan proses tentang apa-apa yang akan

152 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


dikerjakan pada masa yang akan datang, dengan tujuan mencapai apa yang
telah ditetapkan. Menjadi sangat penting, karena perencanaan usaha adalah
pedoman kerja bagi seorang entrepreneur. Secara umum, perencanaan usaha
mengatur semua komponen mulai dari proses kegiatan usaha, produksi,
pemasaran, penjualan, perluasan usaha, keuangan usaha, pembelian, tenaga
kerja, dan penyediaan sekaligus pengadaan peralatan (Supriyanto, 2012).
Business plan merupakan dokumen tertulis yang harus direncanakan oleh
pengusaha yang meliputi semua komponen yang relevan baik dari internal
dan eksternal dalam mengawali usaha baru (Hisrich, D.R., Peters, M.P. and
Dean, 2008).
Menurut Bygrave (1994) dalam Buchari Alma, (2006) bahwa Business
Plan merupakan dokumen yang disediakan oleh entrepreneur sesuai pula
dengan pandangan penasihat profesional yang di dalamnya berisi secara rinci
tentang masa lalu, keadaan sekarang dan kecenderungan masa depan dari
sebuah perusahaan. Isinya mencakup analisis tentang manajerial, keadaan
fisik bangunan, karyawan, produk, sumber permodalan, informasi tentang
jalannya perusahaan selama ini dan posisi pasar dari perusahaan. Business
plan berisi juga tentang rincian profit, neraca prusahaan, proyeksi aliran kas
untuk dua tahun yang akan datang serta memuat pandangan dan gagasan dari
anggota tim manajemen. Hal ini berkenaan dengan strategi tujuan perusahaan
yang hendak dicapai. Business plan dikonsep dalam bentuk jangka pendek
ataupun jangka panjang yang pertama kali diikuti untuk tiga tahun berjalan.
Business plan adalah rencana perjalanan atau road map yang akan diikuti oleh
entrepreneur. Business plan seakan-akan menjawab pertanyaan: Where am I now?
Where am I going? How will I get there? (Setiarini, 2013).
Pengertian lain business plan merupakan rencana-rencana tentang apa
yang dikerjakan dalam suatu bisnis ke depan meliputi alokasi sumberdaya,
perhatian pada faktor-faktor kunci dan mengolah persoalan-persoalan dan
peluang yang ada. Banyak orang berpikir bahwa perencanaan bisnis hanya
untuk sebuah kegiatan bisnis yang baru berjalan atau sebuah proposal yang
ditujukan untuk mendapatkan pinjaman dana ke pihak perbankan atau sebuah
strategi bagaimana memperoleh investor baru dalam bisnis yang dijalankan.
Padahal tidak sederhana itu, perencanaan bisnis menjadi penting untuk
suatu bisnis yang sedang berjalan. Bisnis membutuhkan perencanaan untuk
pertumbuhan yang optimis dan pengembangan-pengembangan dengan skala
prioritas. Perencanaan Usaha/Bisnis sendiri merupakan suatu hasil pemikiran,

Bab 11: Business Plan Islamic Entrepreneurship 153


dimana isi dari perencanaan harus mampu mendukung pencapaian tujuan-
tujuan perusahaan/bisnis (Supriyanto, 2012).
Business plan merupakan dokumen tertulis yang berisi rencana
perusahaan/pengusah untuk memanfaatkan peluang-peluang usaha (business
opportunities) yang terdapat di lingkungan eksternal perusahaan, di dalamnya
dijelaskan keunggulan bersaing (competitive advantage) usaha, serta berbagai
langkah yang harus ditempuh supaya dapat menjadikan peluang usaha
tersebut menjadi sebuah bentuk usaha nyata dan bermanfaat. Selain itu,
business plan dapat disebut sebagai selling document yang menerangkan
sebuah daya tarik dan harapan sebuah bisnis kepada investor atau penyandang
dana (Setiarini, 2013).
Jadi dapat dipahami bahwa business plan adalah suatu dokumen yang
berisi keyakinan akan kemampuan sebuah bisnis untuk menjual barang
atau jasa dengan menghasilkan keuntungan yang memuaskan dan menarik
bagi penyandang dana, sekaligus sebagai suatu pegangan untuk mengetahui
sesuatu sejak awal, baik sulit maupun mudah, sekaligus sebagai antisipasi
terhadap hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya tentang dalam penetapan
produk, penetapan nama produk, proses produksi, jalur distribusi yang
dipilih, orang-orang yang akan diajak kerjasama dan strategi promosi.
Khusus pada usaha berskala kecil, lokasi usaha berada ditempat strategis
sehingga mudah dikenal masyarakat, kesemuanya itu dapat dibuat dalam
rencana bisnis (Nurpeni, 2010).
Alasan lain sebuah rencana bisnis punya peran penting bagi perusahaan
khususnya dalam pengembangkan bisnis karena rencana bisnis adalah alat
untuk mendapatkan pendanaan dari penyandang dana bagi usaha yang
dijalankannya. Sehingga rencana bisnis sangat bermanfaat tidak hanya bagi
perusahaan baru, akan tetapi juga sangat berguna bagi berbagai jenis usaha,
termasuk perusahaan non-laba sebagai cara untuk merencanakan tujuan jangka
menengah dan jangkan panjang (Meilani & Sutrisno, 2015).
Buchari Alma, (2006) menyebut ada 5 alasan mengapa harus disiapkan
business plan yaitu:
1. Business plan merupakan satu blueprint, yang akan disertakan dalam
operasional bisnis. Ini dapat membantu tetap kreatif berkonsentrasi pada
tujuan yang telah dibuat sebelumnya.
2. Business plan merupakan alat untuk mencari dan mendapatkan dana,
sehingga berhasil dan sekaligus alat komunikasi untuk dapat mengajak
orang lain, pemasok, konsumen, dan penyadang dana. Tersedianya

154 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


business plan dapat membuat mereka paham dan mengerti tujuan dan
cara operasional bisnis.
3. Dengan business plan dapat memahami langkah-langkah praktis
menghadapi dunia persaingan dan membuat promosi, sehingga menjadi
lebih efektif dan efisien. Bahkan seseorang seolah-olah sebagai seorang
manajer.
4. Dengan business plan pengawasan menjadi jauh lebih mudah terutama
dalam operasionalnya, sehingga diketahui apakah sesuai atau tidak
dengan rencana yang telah disusun sebelumnya.

B. Tujuan dan Manfaat Business Plan


Bussiness plan sejak awal di konsep untuk merancang stategi dan rencana
awal sebuah kegiatan bisnis. Sebuah kegiatan bisnis akan susah berkembang
dan maju apabila digerakkan tanpa adanya rencana ataupun rancangan bisnis.
Untuk itu penting sekali bagi seorang entrepreneur untuk dapat menyusun
sebuah rencana bisnis supaya kegiatan bisnis yang dijalankan nanti lebih
terarah dan terorientasi dengan benar dan dapat mencapai kesuksesan (Aries
Suprapto & Rusdi, 2018).
Untuk itu tujuan dari penyusunan business plan adalah: Pertama,
menerangkan bahwa anda merupakan pemilik dan pemegang inisiatif dalam
membuka usaha baru. Disana anda yakin akan mendapatkan keberhasilan
dari usaha ini dan sekaligus mesti menyakinkan orang lain bahwa usaha yang
dijalankan itu tidak akan merugi apabila mereka mau bekerjasama. Dengan
adanya kerjasama dengan banyak pihak diharapkan usaha akan berkembang
dan maju pesat. Adapun bantuan tersebut dapat berupa pinjaman melalui bank
maupun pinjaman dari pihak lain yang potensial.
Kedua, sebagai media untuk menyusun dan membentuk kerjasama dengan
perusahaan-perusahaan lain yang sudah ada dan saling menguntungkan.
Seperti dari para produsen yang dapat diharapkan memasok barang buat
prusahaan ataupun perusahaan-perusahaan yang jauh lebih besar memberi
pekerjaan atau kontrak yang dapat dikerjakan oleh perusahaan anda. Ketiga,
dapat mengajak orang-orang tertentu yang potensial atau memiliki keahlian
untuk bergabung bekerja sama dengan anda, untuk menduduki posisi kunci
dalam perusahaan, sekaligus dapat berhati-hati menerima orang- orang tertentu
yang bisa saja menjerumuskan perusahaan.

Bab 11: Business Plan Islamic Entrepreneurship 155


Keempat, sebagai sumber rujukan ketika akan melakukan merger dan
akuisisi. Contohnya, ketika anda menjual atau membeli perusahaan maka
sudah pasti membaca terlebih dahulu business plan yang disusun supaya
dapat memberi keyakinan lebih tentang prospek dari merger atau akuisi yang
dilakukan. Kelima, Menjamin adanya fokus tujuan dari berbagai personil yang
ada dalam perusahaan. Sebab sebuah perusahaan akan terus bertumbuh makin
lama makin komplek dengan berbagai peluang dan tantangan di dalamnya
sehingga business plan menjadi syarat utama bagi setiap orang untuk tetap
berpijak ke arah yang benar (Alma, 2006).
Sedangkan manfaat business plan antara lain sebagai jembatan antara
gagasan dan realitanya, menyajikan gambaran yang jelas dari apa yang hendak
dilakukan oleh entrepreneur tersebut, berisi komentar-komentar mengenai
sasaran dan strategi yang diartikulasikan secara tepat dan jelas untuk dipakai
di lingkungan internal perusahaan sekaligus sebagai dokumen penjualan yang
akan dibagikan kepada pihak eksternal. Dengan adanya business plan dapat
mengembangkan jiwa entrepreneur yang bisa ditanamkan sedini mungkin,
sehingga bermanfaat untuk peluang entrepreneur dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Karakter entrepreneur dapat terasah dengan business plan yang
matang, yang secara langsung akan memengaruhi pola pikir entrepreneur dalam
persaingan dunia usaha (Setiarini, 2013).
Menurut Supriyanto, (2012) manfaat business plan sebagai berikut:
a. Menuntun jalannya aktivitas usaha.
b. Mengamankan kelangsungan hidup usaha.
c. Mengelaborasi kemampuan manajerial di bidang usaha.
d. Menjadi pedoman dan petunjuk bagi pimpinan perusahaan di dalam
menjalankan kegiatan usahanya.
e. Dapat menyadari berbagai hal-hal yang dapat terjadi dalam kegiatan
usaha.
f. Sebagai alat dan media berkomunikasi dalam kegiatan usaha.
g. Sebagai alat untuk memperkecil risiko kegiatan usaha.
h. Dapat memperbesar peluang untuk menggapai laba lebih besar.
i. Dapat mempermudah mendapatkan pinjaman kredit modal usaha dari
bank
j. Sebagai pedoman dan petunjuk di dalam pengawasan dari kegiatan usaha
yang dijalankan.

156 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


C. Kegiatan Business Plan
Business plan merupakan sebuah selling document yang berisi tentang daya
tarik dan harapan sebuah bisnis kepada penyandang dana atau investor yang
potensial. Jadi,business plan adalah dokumen tertulis yang sengaja disiapkan
oleh entrepreneur yang berisi tentang gambaran atau keterangan semua unsur
yang relevan, baik internal maupun eksternal untuk memulai suatu kegiatan
usaha.
Di sini seorang entrepreneur diharapkan dapat menggarap perencanaan
kegiatan usaha jangka pendek dan sekaligus dapat merumuskannya supaya
dapat mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkannya. Menurut
Supriyanto, (2012) perencanaan usaha semestinya mencakup berbagai jenis
kegiatan usaha, sebagai berikut:
a. Mempelajari dan meramalkan masa depan kegiatan usaha.
b. Menentukan sasaran beserta fasilitas yang diperlukan dalam kegiatan
usaha.
c. Membuat program kerja dan perhitungan kegiatan usaha
d. Menentukan prosedur kerja di dalam kegiatan usaha.
e. Menentukan rencana anggaran kegiatan usaha.
f. Membuat kebijaksanaan kegiatan usaha.

Seorang wirausaha harus mampu melirik peluang usaha yang akan


ditawarkan kepada konsumen, baik berupa produk barang dagangan, servis
jasa, kombinasi produk dan jasa, atau konsep lain yang berpotensi tinggi.
Kemampuan melihat itu semua, akan sangat mendukung keberlanjutan dari
usaha yang dijalankan.

D. Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Business Plan


Saat pembuatan business plan ada beberapa faktor yang mesti dihindari
supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, antara lain: Pertama, Proyeksi
finansial dilandaskan pada standar dan norma yang telah kadaluarsa. Padahal
standar keuangan itu bersifat dinamis, berubah-ubah dari waktu ke waktu tidak
boleh baku apalagi sudah kadaluarsa. Kedua, Proyeksi bisnis yang dibuat sangat
tidak realistis dan sangat sulit untuk dijalankan, meskipun terlihat menarik dan
menjanjikan. Misalnya gagasan pembuatan bisnis warung internet (warnet) di
daerah yang jaringan listriknya terbatas atau masih sering bermasalah. Ketiga,

Bab 11: Business Plan Islamic Entrepreneurship 157


Memerlukan teknologi canggih yang sangat rumit dan sulit. Sehingga susah
dioperasikan dan mencari operator yang mampu mengoperasikannya juga
susah dan tentu saja menghambat keberlangsungan bisnis (Latifah et al., 2013).
Buchari Alma, (2006) menyatakan bahwa terjadinya kegagalan dari
business plan karena dilatarbelakangi dari beberapa faktor:
a. Tujuan yang dibuat perusahaan tidak masuk akal, pengusaha kurang
mempunyai tanggung jawab.
b. Pengusaha tidak mempunyai pengalaman dalam perencanaan bisnis.
c. Pengusaha tidak peka dalam menangkap ancaman dan kelemahan
bisnisnya sendiri.
d. Konsumen tidak mengharapkan adanya barang dan jasa yang ditawarkan
oleh perusahaan tersebut.

Sedangkan Sadeli, (2011) merangkum beberapa faktor-faktor yang


menjadi penyebab gagalnya sebuah usaha adalah:
1). Tidak kompeten, tidak mempunyai kemampuan dan pengetahuan dalam
manajerial dan pengelolaan usaha menjadi faktor utama yang membuat
perusahaan menjadi tidak sehat dan berhasil.
2). Tidak mempunyai pengalaman terutama kemampuan memvisualisasikan
kegiatan usaha, kemampuan mengkoordinasikan, ketrampilan mengeloala
sumber daya manusia, maupun kemampuan mengintegrasikan operasi
perusahaan.
3). Tidak mampu mengendalikan keuangan
Banyak kegagalan entrepreneur baru, terutama pengusaha-pengusaha kecil
gagal karena tidak mampu membedakan mana uang perusahaan dan
mana uang keluarga. Mencampuradukkan dana yang dimiliki dengan
dana perusahaan menjadikan pemilik a kesulitan untuk memantau
kemajuan perusahaan yang dikelola. Bahkan terkadang muncul nafsu
untuk membelanjakan uang yang dimilki yang notabene merupakan milik
perusahaa, jelas saja berpotensi menggerogoti laju keuangan perusahaan.
4). Lokasi yang tidak strategis dan memadai untuk menjalankan usaha
5). Kurangnya pengawasan peralatan
6). Sikap yang profesional dalam berusaha
7). Ketidak mampuan dalam melakukan peralihan/transisi kewirausahaan.

158 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


BAB 12
Etika Islamic
Entrepreneurship

A. Definisi Etika Islamic Entrepreneurship


Kebutuhan sebuah bisnis yang berpredikat baik dan bermoral adalah
dambaan setiap orang yang terlibat langsung dalam kegiatan bisnis. Sebagai
makhluk ekonomi, manusia sedari awal menghendaki tercukupi berbagai
kebutuhan, baik dalam bentuk sandang, pangan maupun papan. Baik
kebutuhan bersifat primer, sekunder maupun tersier. Untuk itu, perlu bisnis
yang baik supaya terpenuhi semua kebutuhan itu. Bisnis baik hanya keluar dari
aturan baik. Dengan aturan bisnis yang baik akan terwujud dunia bisnis yang
penuh dengan keamanan dan kenyamanan serta berujung pada kesejahteraan
semua pelaku bisnis. Aturan dalam kegiatan bisnis dipelukan agar dapat
tercipta hubungan yang baik diantara pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan
bisnis dan hubungan yang baik itu akan memperlanacar kegiatan bisnis yang
dilakukan (Salimi, 2016). Aturan yang mengatur itu semua disebut dengan
etika.
Etika entrepreneur dalam istilah lebih populernya adalah etika bisnis,
merupakan konsep penting yang harus dipahami para pelaku bisnis, dan orang-
orang yang ingin menerjunkan diri pada aktivitas bisnis. Ketiadaan etika akan
membangun konflik dan ketidakharmonisan (Zamzam, H. F., & Aravik, 2020).
Telah menjadi kemestian bagi perusahaan/organisasi dalam menjalankan
proses usahanya harus mengedepankan etika dengan tujuan supaya perusahaan

159
mempunyai citra dan kualitas yang baik dihadapan konsumen. Peran etika
sangat mendukung kemajuan dan perkembangan perusahaan, karena etika
adalah norma dan nilai yang wajib terus dijaga demi kebaikan bersama dan
perusahaan sudah seharusnya menjadikan itu sebagai sebuah standar baku
dalam menggerakkan roda bisnisnya (Aravik, H., & Hamzani, 2021). Menjaga
etika bertujuan untuk menangui reputasi perusahaan.
Secara umum persoalan etika ini senantiasa dihadapi para manajer
dalam kegiatan entrepreneur, namun mesti selalu dijaga secara berkelanjutan,
sebab reputasi sebagai perusahaan yang etis tidak dibentuk dalam semalam,
tapi terbentuk dalam jangka panjang bahkan bisa puluhan tahun. Dan ini
adalah aset yang tak ternilai sebagai goodwill bagi sebuah perusahaan (Aqli,
2016). Komitmen dan menjunjung tinggi etika harus dapat dilakukan setiap
stakeholder perusahaan, baik sebagai pihak internal perusahaan seperti unsur
pimpinan, tim manajemen, investor dan karyawan, maupun dari eksternal
stakholder seperti konsumen, kelompok-kelompok yang berhubungan dengan
perusahaan, organisasi buruh, pihak pemasok, pemerintah, kreditor, sampai
kepada masyarakat umum.
Etika bisnis atau entrepreneur merupakan pemikiran atau refleksi tentang
moralitas dalam ekonomi dan bisnis. Moralitas berarti aspek baik dan
buruk, terpuji atau tercela, dan oleh karenanya diperbolehkan atau tidak
dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan
manusia dan kegiatan ekonomis yang menjadi bidang perilaku manusia yang
penting (Fauzan & Nuryana, 2014). Etika kewirausahaan menyangkut usaha
membangun kepercayaan antara anggota masyarakat dengan perusahaan,
dan ini merupakan elemen sangat penting buat suksesnya suatu bisnis dalam
jangka panjang. Etika bisnis sangat memengaruhi hubungan antara pihak-
pihak yang terkait, misalnya hubungan antara pimpinan dengan bawahan,
antara penjual dengan pembeli, antara produksen dengan konsumen serta
bermaksud membantu kedua belah pihak untuk bertindak secara bebas dalam
aktivitas bisnis tetapi dapat dipertanggung jawabkan.
Faisal Badroen, (2007) menjelasakan bahwa etika kewirausahaan atau
bisnis adalah seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar dan salah dalam
dunia bisnis yang berbasis pada prinsip-prinsip moralitas. Dalam arti lain
etika bisnis bermakna seperangakat prinsip dan norma di mana para pelaku
bisnis harus berkomitmen padanya dalam bertransaksi, berprilaku dan berelasi
guna mencapai tujuan bisnisnya dengan selamat. Selain itu etika bisnis juga
bermakna refleksi tentang sikap dan prilaku baik, buruk, tercela, benar, salah,

160 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


wajar, pantas dan tidak pantas dari perilaku seseorang dalam berbisnis atau
bekerja.
Untuk itu, etika wirausaha dianggap sebagai standar-standar nilai
yang menjadi pedoman atau acuan sebuah perusahaan dalam pengambilan
keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik (Sumaryati, 2014). Maka
dengan memetakan pola relasi dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa
prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam sutu pola hubungan yang bersifat
interaktif. Relasi ini tidak hanya berlaku dalam satu Negara, tetapi meliputi
berbagai Negara yang terintegrasi dalam relasi perdagangan dunia yang
nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia ini
menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang
melingkupi dunia usaha sangat jauh tertinggal dari pertumbuhan dan
perkembangan di bidang ekonomi (Sumaryati, 2014).
Etika entrepreneur adalah ilmu mengenai bagaimana tata cara seorang
pengusaha dalam berperilaku didalam suatu usahanya (Abdullah & Helmarini,
2021). Dengan kata lain, etika entrepreneur merupakan adat sopan santun, adat
kebiasaan dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan entrepreneurship. Oleh
karena itu, seorang entrepreneur mesti mempunyai:
1. Budi pekerti yang baik.
2. Rasa sopan santun dalam kegiatan entrepreneurship.
3. Tatakrama di dalam segala tindakan dan perbuatan waktu berwirausaha.
4. Mempunyai tanggung jawab yang tinggi pada kegiatan usahanya.
5. Bersikap jujur dan benar sesuai dengan profesi usahanya (Aqli, 2016).

Dari pengertian tersebut dapat di mengerti bahwa etika entrepreneurship


merupakan pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis
yang berisi tata aturan yang mengatur pelaku-pelaku bisnis yang bertujuan agar
saling menguntungkan dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Oleh
karena itu, kunci suksesnya suatu usaha adalah bagaimana mengedepankan
etika dan kejujuran dalam usaha, kepercayaan mempunyai peranan yang
sangat besar dalam membesarkan usaha.
Etika kewirausahaan dapat dipelajari dan dapat diterapkan. Rhenald
Kasali, (2010) menyatakan bahwa ada hal-hal penting yang perlu digarisbawahi
agar bisnis yang dijalankan sesuai dengan standar etis, antara lain: Pertama,
berlaku jujur dalam menjalankan kegiatan bisnis, meliputi seluruh aspek usaha,
aspek produksi sesuai standar kualitas, aman bila dikonsumsi, dan memenuhi
persyaratkan hukum. Jujur dapat diartikan terbuka, seperti menyebutkan

Bab 12: Etika Islamic Entrepreneurship 161


kekurangannya. Kedua, mentaati tata nilai. Dalam melakukan kegiatan bisnis
ada tata nilai yang berlaku universal dan harus dijalankan. Contohnya nilai
sama-sama untung (win-win). Saling menghormati, saling memberi tahu,
adil dan santun. Ketiga, Walk the Talk, bermakna konsisten dengan apa yang
dilakukan dengan apa yang diucapkan. Orang hendaknya bekerja keras untuk
mendapatkan hasil yang baik.
Bisnis berlaku etis demi kepentingan bisnis itu sendiri. Perilaku etik
berguna untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis. Banyak
semboyan baru yang mempropagandakan pentingnya menerapkan etika dalam
berbisnis, seperti ethics pay (etika membawa untung), good business is ethical
business, dan sebagainya. Bahkan telah diusahakan untuk menunjukkan secara
empiris bahwa perusahaan yang mempunyai standar etis tinggi tergolong juga
perusahaan yang sukses. Kendati tidak ada jaminan mutlak, pada umumnya
perusahaan yang etis adalah perusahaan yang mencapai sukses (Fauzan, 2014).
Untuk menjaga terlaksananya etika ini, maka di dalam perusahaan
dapat dilakukan menyusun “credo” perusahaan. Kemudian dikembangkan
kode etika di dalam perusahaan secara tertulis, tidak terlalu rinci tapi cukup
memuat hal-hal yang minimum saja seperti menyangkut tata sopan santun,
keselamatan kerja, kesehatan, konflik, keamanan, kerahasiaan, kegiatan politik
dalam perusahaan, melestarikan lingkungan, dan sebagainya. Mendorong
karyawan agar taat pada peraturan, adakan pelatihan-pelatihan, umumkan jika
ada kejanggalan/pelanggaran etika, ciptakan budaya perusahaan yang nyata
diikuti/dibiasakan berlaku terus menerus (Alma, 2006)
Rusdiana, (2014) merangkum etika wirausaha sebagai berikut:
1) Wirausaha merupakan kegiatan dan kebiasaan yang bersifat baik, Dimana
wirausaha bertugas mewujudkan kenyataan hidup yang berdasar dari
kebiasaan baik dalam berwirausaha.
2) Memfokuskan pikiran untuk selalu maju, artinya wirausaha selalu
melatih dan membiasakan diri berprakarsa baik, Dan percaya diri dalam
mengerjakan kebaikan dan memajukan daya saing.
3) Kebiasaan mempebaiki watak, artinya wirausaha berupaya untuk selalu
berpikir, bersikap tegas untuk bertindak maju, berpikir terbuka secara
benar, dan teliti.
4) Membuang sikap kebiasaan berpikir buruk, artinya entrepreneur harus
membersihkan cara berpikirnya, membuang kebisaan untuk selalu
berpikir negatif.

162 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


5) Kebiasaan berprakarsa, artinya wirausahawan sebaiknya membiasakan
diri dalam mengembangkan berprakarsa dalam melakukan pengelolaan
usaha, memberikan saran atau argumentasi yang baik.
6) Yakin kemampuan sendiri, artinya wirausahawan harus menanamkan
sifat percaya diri, mempunyai keyakinan dan beriman kepada Allah
SWT, serta menamkan nilai dan moral kehidupan di dalam kegiatan
berwirausaha.
7) Membersihkan sikap tidak percaya akan buatan produk sendiri.
Entrepreneur tidak boleh mempunyai sikap ragu dan takut akan hasil
produknya sendiri terutama dalam hal-hal yanng bersifat sebuah
hambatan.
8) Mempunyai sikap keyakinan serta niat atau mau dalam berupaya dan
merancang perencanaan berikutnya. Dimana wirausaha mengembangkan
usahanya dengan cara mengikuti prinsip kewirausahaan.

Urgensi etika bisnis dapat dipandang dari dua segi antara lain: (1), segi
sosial seruan kepada semua orang yang berkompetisi di pasar. (2): segi moral
dalam konteks pasar bebas etika bisnis sangat diperlukan sebagai jaminan agar
kompetisi berjalan baik dan sehat menurut moral. Secara lazim tuntutan moral
dapat dirumuskan dengan cara positif dan negatif. Secara positif kompetisi
bisnis harus berjalan dengan semangat kejujuran dan secara negatif dalam
kompetisi bisnis orang dilarang merugikan orang lain (Murwadji, 2016). Selain
itu, etika bisnis sangat penting untuk menjaga loyalitas stakeholder dalam
membuat keputusan-keputusan perusahaan dan dalam memecahkan persoalan
perusahaan karena semua keputusan perusahaan sangat memengaruhi dan
dipengaruhi oleh stakeholder adalah semua individu atau kelompok yang
berkepentingan atau berpengaruh terhadap perusahaan (Murwadji, 2016).
Pada aspek UMKM penerapan etika bisnis sangat penting karena
berdampak pada enam aspek kemajuan bisnis seperti aspek pemasaran,
manajemen dan SDM, hukum, sosial, dampak lingkungan, dan finansial.
Etika bisnis sangat berpengaruh positif terhadap tanggung jawab perusahaan
terutama pada lingkungan sosial. Etika bisnis sangat berpengaruh pada
keberhasilan dan keuntungan perusahaan modern, dan perannya akan
meningkat di masa depan. Tegasnya etika bisnis adalah faktor yang signifikan
dalam memengaruhi keberhasilan bisnis dan citra perusahaan (Mutmainnah,
2019).

Bab 12: Etika Islamic Entrepreneurship 163


B. Prinsip-Prinsip Etika Islamic Entrepreneurship
Etika bisnis itu memelihara suasana menyenangkan, menimbulkan rasa
saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra
pribadi dan perusahaan. Sedangkan berbisnis dengan etika bisnis adalah
menerapkan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika
bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-
prinsip dan aturan-aturan. Jadi intinya adalah bagaimana kita mengontrol
diri kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka
dan toleransi (Sumaryati, 2014). Oleh karena itu, menurut Riant, (2009) ada
beberapa prinsip etika bisnis yang wajib dipahami dan diimplementasikan
dalam aktivitas bisnis, yaitu:
Pertama, Prinsip otonomi. Otonomi merupakan sikap dan kemampuan
manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang
dianggap baik untuk dilakukan. Untuk bertindak secara otonom menurut
pribadi diandaikan adanya kebebasan untuk mengambil keputusan dan
bertindak berdasarkan keputusan itu, di sini diharapkan bahwa ia akan menjadi
pengusaha/manajer yang bertindak secara etis. Prinsip otonomi dibatasi oleh
tanggung jawab dan komitmen profesi Pemerintah boleh campur tangan untuk
keselamatan umum (Abdullah & Helmarini, 2021). Islam sangat menjunjung
tinggi prinsip otonom dengan memberikan kebebasan kepada setiap orang
untuk bertindak dengan syarat tidak melanggar nilai-nilai agama. Bahkan Islam
meminta setiap orang untuk senantiasa pada kebenaran setiap yang dilakukan
(QS. Al-Maidah [5]: 8).
Kedua, Prinsip kejujuran. Kejujuran adalah nilai hidup yang bersifat
universal. Seorang manusia terletak pada kemampuannya untuk mewujudkan
harapan dan cita-citanya, Prestasi dalam mencapai keberhasilan menjadi
bermakna jika dilandasi kejujuran. Jujur dalam berwirausaha artinya mau dan
mampu mengatakan sesuatu sebagaimana adanya (Nugraheni, 2017). Banyak
ayat Alqur‘an yang memerintahkan untuk berlaku jujur seperti: perintah untuk
bersama orang-orang yang benar (QS. At-Taubah [9]: 119), Orang yang tidak
jujur adalah orang yang tidak beriman (QS. An-Nahl [16]: 105), dan Allah
mengetahui orang yang jujur dan berdusta (QS. Al-Ankabut [29]: 3)
Kejujuran dalam berdagang dilakukan untuk menjaga kepercayaan orang
lain. Prinsip kejujuran akan melahirkan berbagai sikap yang terpuji, yaitu: tidak
menutupi cacat barang yang di jual, tidak melakukan penipuan dalam jual beli,
tidak melakukan gharar (transaksi fiktif) dalam jual beli, tidak mengambil riba

164 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


dan tidak melakukan perbuatan sumpah agar barang yang dijual laku (Fauzan
& Nuryana, 2014). Dalam dunia bisnis kejujuran ditemukan wujudnya dalam
berbagai aspek: seperti kejujuran dalam memenuhi syarat-syarat perjanjian
dan kontrak, kejujuran dalam menawarkan barang dan jasa dengan mutu yang
baik, kejujuran dalam hubungan kerja di perusahaan, seperti tidak menipu dan
menghisap tenaga kerja yang tergantung padanya, memperhatikan kebutuhan
mereka, dan sebagainya
Ketiga, prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan prinsip berbuat baik
(beneficence). Kedua prinsip ini berintikan prinsip moral sikap baik kepada orang
lain. Atas dasar prinsip ini dapat dibangun semua prinsip moral lainnya, seperti:
kejujuran tanggung jawab, keadilan, dan sebagainya. Perwujudan prinsip ini
mengambil dua bentuk yaitu: (1), secara aktif dan maksimal menuntut kita
semua berbuat hal yang baik bagi orang lain. (2), secara aktif dan minimal
menuntut agar kita tidak berbuat jahat kepada orang lain.
Keempat, prinsip keadilan. Prinsip ini menuntut kita agar memperlakukan
orang lain sesuai dengan haknya, sesuai dengan aturan yang berlaku. Berlaku
adil bermakna bersedia untuk mengakui kesalahan, dan perlihatkan komitmen
keadilan, persamaan perlakuan individual dan toleran terhadap perbedaan,
jangan bertindak melampaui batas atau mengambil keuntungan yang tidak
pantas dari kesalahan atau kemalangan orang lain (Abdullah & Helmarini,
2021). Begitu juga perusahaan harus bersikap adil kepada pihak-pihak yang
terkait dengan sistem bisnis. Contohnya, upah adil kepada karyawan sesuai
kontribusinya, pelayanan sama kepada konsumen, dan sebagainya (Sumaryati,
2014).
Prinsip keadilan mencakup pada keseimbangan dan tanggung jawab.
Keseimbangan di dunia dan diakhirat. Dengan berlaku adil seorang pebisnis
semaksimal mungkin akan menghindarkan diri dari berbagai perbuatan
haram, menjauhi perkara-perkara dan barang-barang yang subhat. Prinsip
keadilan akan melahirkan keseimbangan dalam kehidupan, tidak menimbun
barang sehingga tidak akan mengakibatkan kelangkaan barang dan akhirnya
menyebabkan harga naik. Hal ini hanya mementingkan pihak-pihak tertentu
dan untuk memperoleh keuntungan yang banyak. Orang yang mendatangkan
barang dagangan untuk dijual selalu akan memperoleh rezki, dan orang yang
menimbun barangnya akan dilaknat oleh Allah.
Prinsip keadilan adalah melaksanakan tanggung jawab. Prinsip
ini bermakna bahwa dengan keadilan seseorang akan memiliki empati
kepada orang lain sehingga ia akan mempertanggungjawabkan segala

Bab 12: Etika Islamic Entrepreneurship 165


perbuatannya, dan dihadapan Allah SWT setiap amal manusia akan dimintai
pertanggungjawaban (Fauzan & Nuryana, 2014). Keadilan adalah nilai-nilai
moral yang sangat ditekankan dalam al-Qur‘an. Dalam al-Qur‘an tidak kurang
dari seratus ungkapan yang memasukkan gagasan keadilan, baik dalam kata-
kata yang bersifat langsung ataupun tidak langsung.Konsepsi Islam mengenai
keadilan merujuk pada ketentuan al-Qur‘an yang memerintahkan orang supaya
berbuat keadilan (al-'adl) dan kebajikan (al-Ihsan) (QS. an-Nahl [51]: 90).
Keadilan sering kali diletakkan sederajat dengan kebajikan dan ketakwaan
(QS Al-Maidah [5]:8) serta memerintahkan kepada manusia agar berlaku adil
dalam segala hal, terutama kepada mereka yang sedang diamanahi kekuasaan
dan mereka yang senantiasa berhubungan dengan transaksional bermuamalah
dan berniaga seperti melarang transaksi yang mengandung unsur riba (QS.
al-Baqarah [2]: 275, 278; Ali 'Imran [3]:130), maysir (QS. al-Baqarah [2]: 219,
al-Maidah [5]:90), dan Gharar (an-Nisa‘ [4]: 29).
Kelima, Prinsip hormat kepada diri sendiri. Prinsip ini berarti ada
kewajiban moral untuk menghargai diri sendiri yang sama bobotnya dengan
menghargai orang lain, wajib membela dan mempertahankan kehormatan
diri apabila martabat sebagai manusia dilanggar. Pada sisi perusahaan, harus
memelihara nama baiknya dengan menerapkan prinsip jujur, tidak berniat
jahat, dan melakukan prinsip keadilan sehingga mendatangkan apresiasi yang
baik dari lingkungan (Sumaryati, 2014). Adapun dalam Islam, terdapat tiga
ajaran yang mampu mewujudkan harga diri dan kehormatan seseorang, yaitu;
kemuliaan diri („izzah), kehormatan diri (muru‟ah), dan „iffah (menahan diri),
kesemuanya itu dapat di dapatkan seseorang dengan bertakwa (QS. Al-Hujurat
[49]: 14), berlomba-lomba dalam berbuat baik (QS. Al-Baqarah [2]: 148) dan
menjaga dari perbuatan buruk (QS. An Nuur [24]: 33)

C. Komponen Penting dalam Etika Islamic Entrepreneurship


Ma‘mun Mu’min, (2016) mengajukan delapan komponen dasar yang
harus menjadi pijakan baku dan dijunjung tinggi para pelaku dan praktisi
bisnis antara lain:

1. Berasaskan kepada kejujuran


Kejujuran merupakan keutamaan atau sikap moral pertama sekaligus
terpenting yang harus dimiliki oleh para pebisnis sebagai makhluk beretika.

166 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Seorang pebisnis disebut orang jujur apabila semua perkataan yang diucapkan,
termasuk janji- janjinya sesuai dengan fakta dan tindakannya, yakni menepati
janji-janjinya. Pebisnis yang jujur tentu akan menganggap kebohongan sebagai
sesuatu yang tabu untuk dilakukan, sebab kejujuran kerap dirasakan sebagai
sesuatu yang sangat mahal (Mu’min, 2016).

2. Memegang teguh kepercayaan


Kepercayaan merupakan keutamaan yang sudah seharusnya melekat
pada setiap pelaku bisnis. Kepercayaan senantiasa bersifat timbal balik. Bila
pebisnis percaya kepada orang lain, maka sebaliknya akan mendapatkan hal
yang sama, baik dari karyawan, mitra bisnis maupun pelanggan (Mu’min,
2016).

3. Bertanggung jawab
Tanggungjawab adalah sikap terhadap tugas yang membebani seorang
pebisnis dan karyawan atau staf. Pebisnis yang bertanggungjawab pastilah orang-
orang yang selalu bersedia dimintai dan memberikan pertanggungjawaban
atas pelaksanaan tugas dan kewajiban, termasuk jika mereka lalai dalam
pelaksanaan tugas dan tanggungjawab. Pebisnis yang bertanggung- jawab selalu
siap menjadi good risk-taker (Mu’min, 2016).

4. Mempunyai keberanian moral


Keberanian moral selalu berkaitan dengan kemampuan intelektual
untuk menentukan penilaian sendiri terhadap sesuatu. Pebisnis yang memiliki
keberanian moral selalu menjadikan dirinya sendiri sebagai pijakan bagi kaum
yang lemah, atau yang mederita terutama dihadapan tindakan dan perilaku
kelompok kuat atau pihak yang berkuasa yang sewenang-wenang dan menindas
(Mu’min, 2016).

5. Memiliki fairness
Fairness merupakan rasa adil, dan sikap sportif atau sportifitas. Seorang
pebisnis bisa dikategorikan sebagai seorang yang mempunyai keutamaan ini
apabila pebisnis tersebut selalu bersedia memberikan apa yang patut diberikan
kepada pihak lain, apakah karyawan, pemasok dan pelanggan dalam kaitannya
dengan hak (Mu’min, 2016).

Bab 12: Etika Islamic Entrepreneurship 167


6. Bertindak realistis dan kritis
Seorang pebisnis harus berlaku riil dalam tanggungjawabnya. Pebisnis
harus membuka mata fisik dan mata pikiran terhadap realita yang ada, baik
yang menyangkut perusahaan atau usahanya maupun menyangkut kondisi riil
pegawainya. Dengan cara seperti itu seorang pebisnis yang baik secara moral
akan melaksanakan tanggung-jawabnya dengan baik. Seorang pebisnis harus
bersikap realitis dalam tutur kata dan tindakannya, bukan bersembunyi dibalik
ungkapan- ungkapan yang kabur maknanya (Mu’min, 2016).

7. Rendah hati
Harus digaris bawahi bahwa sikap moral dan rendah hati tidak ada
sangkut pautnya dengan rasa sungkan kepada atasan atau rekan kerja yang
lebih tua usianya, enggan untuk membela suatu pendirian atau merendahkan
diri ke kuasa pimpinan. Seseorang melihat dirinya sendiri apa adanya, apakah
sebagai karyawan, manajer atau sebagai pimpinan puncak sebuah bisnis.
Dalam konteks bisnis, sikap rendah hati merupakan kekuatan batin yang
membuat semua pihak yang terlibat untuk melihat diri dan menampilkan
dirinya apa adanya (Mu’min, 2016).

8. Mempunyai rasa hormat


Rasa hormat sangat dibutuhkan seorang pebisnis. Rasa hormat itu harus
ditujukan kepada diri sendiri dan orang lain. Hormat terhadap diri sendiri dan
orang lain atau sesama berarti bahwa manusia wajib memperlakukan dirinya
sendiri dan orang lain sebagai yang bernilai (Mu’min, 2016).

Sudaryono, (2015) menambahkan bahwa dalam menciptakan etika bisnis,


ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
Pertama, pengendalian diri. Artinya, pelaku bisnis dan pihak yang terkait
harus mampu mengendalikan diri mereka untuk tidak mengambil apapun dari
siapa pun dan dalam bentuk apa pun. Di samping itu, pelaku bisnis sendiri
tidak mendapatkan keuntungan dengan main curang, menekan pihak lain,
dan menggunakan keuntungan meski keuntungan merupakan hak bagi pelaku
usaha, namun penggunaannya harus memperhatikan kondisi masyarakat
sekitar.
Kedua, pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility). Pelaku
bisnis di sini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan

168 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


hanya memberi sumbangan, melainkan lebih jauh lagi. Kesempatan yang
dimiliki pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga tinggi sewaktu excess
demand harus menjadi perhatian dan kepedulian dengan tidak memanfaatkan
kesempatan itu untuk meraup keuntungan berlipat ganda. Jadi dalam
keadaan excess demand, pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan
memanifestasikan tanggung jawabnya terhadap masyarakat sekitarnya.
Ketiga, mempertahankan jati diri dan tidak mudah terombang-ambing
oleh pesatnya perkembangan informasi teknologi. Dimana informasi harus
dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian terhadap golongan lemah dan
tidak kehilangan budaya akibat transformasi informasi dan teknologi.
Keempat, menciptakan persaingan yang sehat. Persaingan dalam dunia
bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan
tersebut tidak mematikan yang lemah, tetapi sebaliknya, harus terdapat jalinan
yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah ke bawah sehingga
perkembangan perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap
perkembangan perusahaan di sekitarnya.
Kelima, menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Pelaku bisnis
dituntut untuk tidak mengeksploitasi lingkungan dan keadaan saat sekarang
semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan
di masa yang akan datang walaupun saat ini merupakan kesempatan untuk
memperoleh keuntungan besar.
Keenam, menghindari sifat 5 K (katabelece, kongkalikong, koneksi, kolusi, dan
komisi). Jika pelaku bisnis mampu menghindarinya maka tidak akan terjadi
korupsi, manipulasi, dan segala permainan curang dalam dunia bisnis.
Ketujuh, mampu menyatakan yang benar itu benar. Artinya, kalau pelaku
bisnis memang tidak layak untuk menerima kredit, karena persyaratan tidak
terpenuhi, jangan menggunakan katabelece, dan koneksi, serta melakukan
kongkalikong dengan data yang salah. Jangan memaksa diri untuk melakukan
kolusi serta memberikan komisi kepada pihak terkait.
Kedelapan, menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha
kuat dan golongan pengusaha lemah. Untuk menciptakan kondisi bisnis yang
kondusif harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat
dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang
bersama dengan pengusaha lain yang sudah besar dan mapan. Selama ini
kepercayaan itu hanya ada di antara golongan kuat. Sekarang sudah waktunya
memberikan kesempatan kepada golongan menengah untuk berkembang dan
berkiprah dalam dunia bisnis.

Bab 12: Etika Islamic Entrepreneurship 169


Kesembilan, konsekuensi dan konsisten kepada aturan main yang
telah disepakati bersama. Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan
tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan
konsisten dengan etika tersebut. Kesepuluh, menumbuhkan kesadaran dan rasa
mempunyai atas apa yang telah disepakati. Jika etika ini telah dimiliki semua
pihak, jelas akan memberikan ketentraman dan kenyataman dalam berbisnis
(Sudaryono, 2015)
Kesebelas, perlu adanya etika bisnis yang dituangkan dalam hukum
positif yang berupa peraturan perundang- undangan. Hal ini untuk menjamin
kepastian hukum dari etika bisnis, seperti proteksi terhadap pengusaha lemah.
Pelaku bisnis yang bermoral dan beretika sangat diharapkan semua pihak,
apalagi dengan semakin pesatnya globalisasi dan liberalisasi ekonomi saat ini.
Mempraktikkan bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara
bisnis yang sopan, santun dan bermartabat sehingga kehidupan bisnis
menjadi menyenangkan karena semua pelaku bisnis yang terlibat dapat
saling menghormati dan menghargai. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap
kehidupan berkantor, sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana
kita tergabung dalam organisasi. Itu berupa senyum sebagai apresiasi yang
tulus dan terima kasih, tidak menyalah gunakan kedudukan, kekayaan, tidak
lekas tersinggung, kontrol diri sangat baik, bersikap toleran dengan perbedaan
dan status sosial, dan tidak memotong pembicaraan orang lain (Sudaryono,
2015).
Perilaku etik penting untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah
bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik
lingkup makro maupun mikro. Dalam perspektif makro, pertumbuhan suatu
negara tergantung pada market system yang berperan lebih efektif dan efisien
daripada command system dalam mengalokasikan barang dan jasa. Sementara
dalam perspektif mirko, Iingkup perilaku etik identik dengan kepercayaan
atau trust. Terdapat rantai relasi di mana supplier, perusahaan, konsumen,
karyawan saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada
Iingkup makro. Tiap mata rantai penting dampaknya untuk selalu menjaga
etika, sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga
dengan baik (Sumaryati, 2014).
Prinsip dasar etika bisnis Islam adalah permissibility of things, di mana
segala sesuatu diperbolehkan atau boleh dikerjakan kecuali ada hal-hal yang
dilarang oleh ajaran Islam. Bisnis dalam Islam atau Tijarah (to bussines) ialah
at-tasharrufu fi ra'sil mali thalaban lirribhi (membelanjakan dengan maksud untuk

170 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


mendapatkan keuntungan. Dalam al-Qur‘an terma tijarah ditemui sebanyak
delapan kali dan tijaratuhum sebanyak satu kali. Bentuk tijarah terdapat dalam
surat al-Baqarah [2]: 282, an- Nisa [4]: 29, at-Taubah [9]: 24, an-Nur [24]: 37,
Fatir [35]: 29, as-Shaff [61]: 10, pada surat al-Jum‘ah [62]: 11 (disebut dua
kali). dan Tijaratuhum pada surat al-Baqarah [2]: 16.
Ayat-ayat ini memberikan pemahaman akan petunjuk transaksi yang
menguntungkan dan perniagaan yang terhormat dan bermanfaat, sehingga
pelaku yang menjalankannya akan mendapatkan keuntungan besar dan
keberhasilan yang kekal. Perniagaan dijalankan tetap pada koridor keimanan,
keikhlasan amal kepada Allah SWT dan berjihad dengan sepenuh jiwa dan
harta dengan menyebarkan agama agama dan meninggikan kalimat-Nya.
Dengan demikian etika bisnis Islam merupakan aktivitas bisnis yang berbasis
pada aturan-aturan ilahiah dan bertujuan untuk selalu mengingat Allah
dalam rangka beribadah dan menghasilkan maslahah tidak hanya bagi dirinya
sendiri maupun orang lain, serta terjauhkan berbagai tindakan-tindakan yang
merugiakan orang lain (Zamzam, H. F., & Aravik, 2020).

Bab 12: Etika Islamic Entrepreneurship 171


172 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah
BAB 13
Corporate Social
Responsibility dalam
Perspektif Islam
A. Definisi Corporate Social Responsibility
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan sebuah konsep dimana
organisasi, khususnya perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial kepada
konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam
segala aspek operasional perusahaan (Aziz, 2013). Social responsibility adalah
perilaku korporasi yang menekankan tidak hanya pada aspek ekonomi dan
hukum, melainkan menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai dan
harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial (Fauzi, 2020)
Irham Fahmi, (2015) menyatakan bahwa CSR merupakan komitmen
perusahaan atau dunia bisnis untuk dapat memberi kontribusi lebih dalam
pengembangan ekonomi berkelanjutan dengan memperlihatkan tanggungjawab
sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan (equilibrium)
antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sedangkan
The World Business Council for Sustainable Development melihat CSR sebagai
komitmen perusahaan untuk memberikan kontribusi lebih dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga
karyawan, komunitas lokal, dan komunitas secara keseluruhan dalam rangka
meningkatkan kualitas kehidupan. Menurut International Finance Corporation
CSR merupakan komitmen dunia bisnis atau usaha untuk memberikan
kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama

173
dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas
untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi
bisnis maupun pembangunan (Rahmat, 2017). Sedangkan Institute of Chartered
Accountants, England and Wales menyatakan bahwa CSR adalah garansi bahwa
organisasi-organisasi pengelola bisnis dapat memberikan dampak positif bagi
masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang
saham (shareholders) mereka.
Canadian Government mendefinisikan dengan kegiatan usaha yang
mengintegrasikan ekonomi, lingkungan dan sosial ke dalam nilai, budaya,
pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan
secara transparan dan bertanggung jawab agar dapat mewujudkan masyarakat
yang sehat dan berkembang (Rahmat, 2017). Oleh karena itu, secara sederhana,
CSR dapat didefinisikan sebagai suatu konsep yang mengharuskan perusahaan
untuk dapat memenuhi dan memperhatikan kepentingan para stakeholder
dalam kegiatan operasinya mencari keuntungan. Stakeholder yang di maksud
diantaranya adalah para share holder, karyawan (buruh), customer, komunitas
lokal, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lain sebagainya
(Aziz, 2013). CSR berhubungan erat dengan “pembangunan berkelanjutan”,
di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan
aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan
faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus
berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk
jangka panjang (Kristanto, 2012).
CSR dalam perspektif filsafat moral di bidang ekonomi bisnis pada
dasarnya adalah perwujudan perasaan etik perusahaan untuk mewujudkan sifat
altruistic korporasi. Perasaan etik yang semula bersifat individual ini saat ini
telah berkembang menjadi sebuah tuntutan global dalam dunia bisnis (Fauzi,
2020). CSR adalah eskalasi kualitas kehidupan dengan cara masyarakat mampu
menanggapi keadaan sosial yang ada, dan dapat menikmati, memanfaatkan
serta memelihara lingkungan hidup. Sekaligus sebagai bagian dari proses
penting dalam pengaturan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan
bisnis dari stakeholders baik secara internal (pekerja, shareholders dan penanam
modal) maupun ekstemal (kelembagaan pengaturan umum, anggota-anggota
masyarakat, kelompok masyarakat sipil dan perusahaan lain) (Ernawan et
al., 2016).
Dengan demikian CSR termasuk bagian dari komitmen usaha perusahaan
untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi lebih

174 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


bagi peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup
karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat luas terutama
yang ada di sekitar lokasi perusahaan. Sebab secara internal, perusahaan
bertanggung jawab juga kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas
dan pertumbuhan. Tanggung jawab perusahaan kepada investor karena investor
telah menginvestasikan sumber daya yang dimilikinya guna mendukung
berbagai aktivitas operasional perusahaan. Perusahaan perlu memperoleh
laba yang optimal dalam jangka Panjang serta senantiasa mencari peluang
bagi pertumbuhan di masa depan untuk menjamin kesejahteraan investor di
masa sekarang maupun masa mendatang.
Selain bertanggungjawab sosial secara internal kepada pemegang saham,
perusahaan juga bertanggungjawab terhadap karyawan. Karena hanya
dengan kerja keras, kontribusi, serta pengorbanan merekalah perusahaan
dapat menjalankan berbagai macam aktivitasnya serta meraih kesuksesan.
Perusahaan berkewajiban untuk memberikan kompensasi yang adil serta
memberikan peluang pengembangan dan jenjang karir bagi karyawannya. Tentu
saja hubungan antara karyawan dengan perusahaan ini harus berdasarkan
kepada prinsip relasi yang saling menguntungkan. Artinya perusahaan harus
memberikan kompensasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, tetapi
pada aspek lain pihak karyawan juga diharuskan untuk memberikan kontribusi
maksimal bagi kemajuan perusahaan ((Sudarsana, 2018).
Jadi dapat dipahami bahwa CSR atang tanggung jawab sosial adalah
wujud partisipasi dunia usaha dalam pembangunan berkelanjutan untuk
mengembangkan program kepedulian perusahaan kepada masyarakat
sekitar melalui penciptaan dan pemeliharaan keseimbangan antara mencetak
keuntungan, fungsi-fungsi sosial, dan pemeliharaan lingkungan hidup. Dengan
perkataan lain, CSR dikembangkan dengan koridor Tri Bottom Line yang
mencakup sosial, ekonomi, dan lingkungan. Contoh sederhana pelaksanaan
CSR adalah dengan menghasilkan produk aman, tidak berbahaya bagi
kesehatan, dan ramah terhadap lingkungan; seperti membuat sumur resapan;
penyaluran limbah produksi dengan baik; dan pembatasan penggunaan AC
dan listrik, serta membuat hutan hijau.
Setidaknya ada 6 (enam) kecenderungan utama dan semakin menegaskan
pentingnya CSR. Yaitu: Pertama, semakin meningkat disparitas antara golongan
kaya dan golongan miskin. Kedua, kedudukan negara yang makin berjarak
dengan rakyatnya. Ketiga, semakin mengemukanya arti kesinambungan.
Keempat, semakin masifnya pandangan kritis dan resistensi dari publik, bahkan

Bab 13: Corporate Social Responsibility dalam Perspektif Islam 175


yang bersifat anti-perusahaan. Kelima, tren ke arah transparansi. Keenam,
semakin banyak harapan-harapan terwujudnya kehidupan sejahtera dan
manusiawi khususnya pada era milenium baru (Soim, 2014).
Tanggung jawab sosial merupakan pelaksanaan tuntutan etika oleh
organisasi, dalam kaitannya dengan tuntutan lingkungan atau pihak-pihak yang
berkaitan dengan organisasi. Karena bagaimana pun dunia usaha merupakan
bagian dari komunitas masyarakat dan memiliki tanggung jawab sosial yang
sama dengan masyarakat. Realita yang terjadi, peran dunia usaha lebih banyak
hanya sebatas memberikan dukungan dana secara seadanya atau sukarela
sukarela (voluntary) dan kedermawanan (philanthropy) sehingga berbagai
kegiatan yang dilakukan masyarakat tidak banyak memberikan manfaat nyata
bagi kehidupan mereka. Hal ini banyak menimbulkan rasa kecewa baik dari
pihak masyarakat maupun pemerintah dimana peran dunia usaha sangat
sedikit dalam kehidupan sosial dan bahkan terdapat kecenderungan bahwa
pelaksanaan CSR yang ada hanya berorientasi pada segelintir kepentingan
masyarakat atau bahkan kepentingan semata konsumen mereka.
Untuk meminimalisir permasalahan tersebut diperlukan sokongan
pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab dalam menjaga kelangsungan
hidup masyarakat. Peran pemerintah dalam relasi dengan perusahaan
diperlukan bukan sebagai pihak pengatur atau pengendali tetapi lebih
merupakan pihak yang berperan sebagai mitra. Peran pemerintah diperlukan
tidak saja sebagai pembuat kebijakan, melainkan juga sebagai fasilitator dan
dinamisator bagi dunia usaha dalam melaksanakan tanggung jawab sosial
terhadap masyarakat.
Jadi CSR merupakan sebuah konsep bahwa organisasi, terutama
perusahaan mempunyai suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan,
pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional
perusahaan. Oleh karena itu, CSR merupakan inti dari etika bisnis, dimana
perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban finansial seperti kepada
pemegang saham atau shareholder tetapi juga kewajiban – kewajiban terhadap
pihak pihak lain yang jangkauannya lebih luas yaitu: konsumen, karyawan,
komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
Dalam arti lain, CSR merupakan kunci keberlanjutan relasi perusahaan dalam
jangka panjang dan sangat penting dilakukan apapun bisnisnya. Perusahaan
yang menerapkan CSR secara kontinu dan konsisten sepanjang waktu akan
menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat (sense of belongings) terhadap
kehadiran perusahaan tersebut (Nadapdap & Hutabarat, 2017).

176 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


B. Manfaat Corporate Social Responsibility
Ada banyak manfaat yang akan diterima dengan menerapkan CSR,
antara lain:

1. Manfaat bagi perusahaan


Manfaat utama yang diterima perusahaan apabila menerapkan CSR
adalah munculnya citra positif dari masyarakat akan kehadiran perusahaan
di lingkungannya. Kegiatan perusahaan dalam jangka panjang dianggap
sebagai suatu kontribusi nyata bagi masyarakat. Selain dapat membantu
perekonomian masyarakat, perusahaan juga dianggap membantu
dalam mewujudkan keadaan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Konsekuensinya, perusahaan justru akan memperoleh tanggapan yang
positif setiap kali akan menawarkan sesuatu kepada masyarakat. Perusahaan
dipercaya tidak sekadar menawarkan produk untuk dibeli masyarakat, tetapi
juga menawarkan sesuatu yang dapat membawa perbaikan bagi kehidupan
masyarakat. Manfaat jangka panjang adalah ketika perusahaan menemukan
potensi lain di daerah tersebut, maka masyarakat dan pemerintah di sana
mudah mendukung eksistensi perusahaan tersebut (Irham Fahmi, 2015).

2. Manfaat bagi masyarakat


Berbagai manfaat yang dapat dirasakan masyarakat adalah tersalurkannya
beberapa kepentingan masyarakat dan masyarakat mendapatkan pandangan
baru mengenai relasi perusahaan dan masyarakat yang barangkali selama ini
hanya sekedar dipahami sebagai relasi antara produsen dengan konsumen,
atau relasi antara penjual dengan pembeli saja. Masyarakat mempunyai
perspektif baru bahwa relasi antara masyarakat dan dunia bisnis perlu
diarahkan untuk kerjasama yang saling menguntungkan bagi kedua belah
pihak. Relasi masyarakat dan dunia bisnis tak lagi dipahami sebagai relasi
antara pihak yang mengeksploitasi dan pihak yang tereksploitasi, melainkan
relasi kemitraan dalam membangun masyarakat dan lingkungan yang lebih
baik. Tidak hanya pada sektor perekonomian, melainkan pada sektor lain
seperti sosial, pembangunan, dan lain-lain.

Bab 13: Corporate Social Responsibility dalam Perspektif Islam 177


3. Manfaat bagi pemerintah
Manfaat bagi pemerintah sangat jelas. Pemerintah tidak hanya
sebagai wasit yang harus menetapkan aturan main dalam relasi masyarakat
dengan dunia bisnis, tetapi juga memberikan sanksi bagi pihak-pihak yang
melanggarnya. Pemerintah akan mendapatkan patner dalam mewujudkan
masyarakat, serta sebagian tugas pemerintah dapat dijalankan oleh anggota
masyarakat, dalam hal ini perusahaan atau organisasi bisnis ((Saefullah, 2010).

C. Corporate Social Responsibility pada Perusahaan di


Indonesia
Pada saat ini CSR makin marak diperdebatkan banyak pihak baik dari
lembaga korporasi, birokrasi, maupun kelompok-kelompok masyarakat
atau Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). CSR merupakan komitmen untuk
mensejahterakan masyarakat dan lingkungan melalui aktivitas bisnis yang
dilakukan oleh organisasi/perusahaan (Wiguna & Rahanatha, 2016) Intinya
bagaimana dengan CSR tersebut, masyarakat dapat berdaya baik secara
ekonomi, sosial, dan budaya sehingga perusahaan dapat terus berkembang
secara berkelanjutan (sustainability). Dalam konteks ini, CSR lebih diartikan
sebagai investasi jangka panjang bagi perusahaan yang melaksanakannya
(Badaruddin, 2008).
CSR mengacu pada keharusan organisasi untuk dapat melindungi dan
memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat, terutama pihak-pihak yang
berkepentingan (stakeholder), lingkungan alam, serta kesejahteraan. Michael
Porter, Christensen dan Rosa Beth Moss Kanter dari Harvard Business School
berhasil membuktikan bahwa program-program CSR yang bersinergi dengan
strategi perusahaan dapat memberikan dampak yang jauh lebih besar kepada
masyarakat dan perusahaan sendiri (Ghafur, 2018). CSR menjadi sebuah alat
yang memberi kesempatan bagi perusahaan untuk melengkapi keterbatasan
sumber daya yang dimiliki pemerintah yang secara konvensional berperan
dalam mensejahterakan secara nasional.
Perusahaan sudah semestinya mempunyai tanggung jawab terhadap
lingkungan, masyarakat, konsumen, pemegang saham dan sebagainya
dalam operasional perusahaan. CSR sangat terkait dengan “pembangunan
berkelanjutan”, di mana ada pendapat bahwa sebuah perusahaan dalam
melaksanakan kegiatannya harus mendasarkan keputusannya tidak semata-
mata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden

178 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


melainkan juga harus berdasarkan atas realita sosial dan lingkungan, baik untuk
jangka pendekt maupun jangka panjang. Oleh karena itu, CSR merupakan
wujud perhatian perusahaan terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan yang
didasari tiga prinsip dasar yang meliputi profit, people dan planet (3P).
Pertama, Profit, perusahaan sebagai sebuah lembaga usaha yang
berorientasi kepada profit oriented, maka perusahaan harus selalu fokus untuk
mencari keuntungan ekonomi dan menjamin kelangsungan hidup perusahaan
sehingga perusahaan dapat terus beroperasi dan berkembang. Kedua, People,
guna menjamin kelangsungan hidup dan meningkatkan daya saing perusahaan,
perusahaan harus mempunyai perhatian terhadap kesejahteraan karyawan dan
manusia yang merupakan aset berharga dalam organisasi maupun negara.
Wujud program CSR yang berorientasi sosial atau people adalah pemberian
beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan
dan kesehatan. Ketiga, Planet, perhatian terhadap lingkungan hidup dan
keberlanjutan keragaman hayati bisa dilakukan melalui pelaksanaan program
penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan
permukiman, dan pengembangan pariwisata.
Secara umum pelaksanaan CSR banyak berorientasi korporat dengan
tujuan antara lain; membangun citra perusahaan, meningkatkan loyalitas
konsumen, mencapai kesuksesan financial, meningkatkan saham, menaikan
penjualan, dan meminimalisir konflik antara perusahaan dengan lingkungan
sosialnya. Sehingga CSR menjadi strategi pemasaran dan manajemen yang
cukup intens dilakukan oleh perusahaan hingga saat ini.
Pandangan sosial ekonomi (Sosioeconomics View) menyatakan bahwa
kalangan bisnis selayaknya memiliki tanggung jawab yang lebih. Setidaknya
ada 4 (empat) pikiran pikiran dari pandangan ini, yaitu:
1) Bahwa perusahaan bertanggung jawab tidak hanya sebatas menciptakan
laba, melainkan harus terjun langsung pada urusan menjaga dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
2) Bahwa perusahaan bukan pihak independen yang hanya berkewajiban
terhadap pemegang sahamnya.
3) Bahwa perusahaan sudah semestinya mempunyai tanggung jawab moral
kepada masyarakat yang lebih luas, baik untuk urusan sosial, hukum, dan
berbagai masalah perpolitikan.
4) Bahwa perusahaan wajib melakukan hal-hal baik dan benar serta
bermanfaat bagi masyarakat dalam menjalankan usahanya (Sudarsana,
2018).

Bab 13: Corporate Social Responsibility dalam Perspektif Islam 179


Pelaksanaan CSR di Indonesia, sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan
Chief Executive Officer (CEO) sehingga kebijakan CSR tidak secara otomatis
akan sesuai dengan visi dan misi perusahaan. Hal ini memberikan gambaran
bahwa apabila CEO mempunyai kesadaran yang tinggi akan tanggung
jawab sosial, maka besar kemungkinan CSR dapat terlaksana dengan baik,
sebaliknya apabila CEO tidak mempunyai kesadaran otomatis pelaksanaan
CSR hanya akan menjadi seremonial belaka. Akan tetapi, di era global dan
digital seperti saat ini, dimana informasi mudah diakses maka, akan sulit bagi
sebuah perusahaan untuk dapat bertahan lama apabila melanggar etika bisnis
karena kekuatan dalam dunia bisnis bukan lagi menjadi monopoli individu
atau perusahaan tertentu. Konsumen, masyarakat, LSM dan sebagainya
dengan dukungan akses internet yang ada serta meningkatnya tuntutan
akan transparansi, membuat pelaku bisnis harus hati-hati. Terpaksa atau
tidak, mereka wajib melaksanakan etika bisnis dalam bentuk tanggung jawab
sosial supaya bisnis tidak kolaps karena ditinggal konsumen dan hilangnya
kepercayaan para pemegang kepentingan (stakeholder).
Tanggung jawab perusahaan yang tinggi sangat diperlukan karena dengan
mewajibkan perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk usaha
sosial kemasyarakatan diharapkan dapat ikut memberdayakan masyakarat
secara sosial dan ekonomi. Namun pewajiban dalam suatu Undang-undang
dapat melahirkan multi tafsir yang menyebabkan tujuan menjadi tidak
tercapai. Di antara permasalahan yang mesti ditegaskan adalah perusahaan
apa saja yang wajib melaksanakan tanggung jawab sosial, sanksi apa saja yang
mungkin dapat dikenakan apabila tidak melaksanakan kewajiban tersebut,
sistem pelaporan dan standar kegiatan yang termasuk dalam kategori kegiatan
tanggung jawab sosial (Fauzi, 2020).
Paling tidak ada 4 (empat) pola atau model CSR biasa diterapkan
perusahaan di Indonesia yaitu:
1. Keterlibatan langsung. Perusahaan dapat menjalankan program CSR
secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau
menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa melalui perantara.
2. Melalui Yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan dapat
mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau grupnya. Model
ini banyak diadopsi dari negara maju.
3. Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan dalam menyelenggarakan CSR
melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi non-pemerintah,
instansi pemerintah, universitas atau media massa.

180 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


4. Bergabung bergabung atau mendukung dalam suatu konsorsium.
Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota (Fauzi, 2020).

Indikator sukses atau tidaknya CSR dapat dilihat dari, yaitu: Pertama,
secara umum, dapat dilihat dari capaian nilai etika yang dikandungnya seperti
turut menegakkan social justice, sustainability dan equality. Kedua, secara sosial,
dapat dinilai dari tinggi rendahnya legitimasi sosial korporasi di hadapan
stakeholder sosialnya. Ketiga, secara bisnis, dapat dilihat dari meningkatnya nilai
saham akibat peningkatan corporate social image. Keempat, secara teknis, dapat
dilihat dari capaian program hasil evaluasi teknis lapangan (Fahmi, 2015)

D. Perspektif Islam Terhadap Corporate Social


Responsibility
Islam sebagai way of life memberikan pedoman dan panduan kepada
seluruh umatnya untuk beradaptasi dan terus berkembang dalam setiap
lintasan zaman. Pada konteks bisnis Islam memperbolehkan umatnya untuk
berinovasi dalam bermuamalah, akan tetapi tidak dalam akidah, ibadah dan
akhlaq. Dalam menjalankan bisnisnya manusia harus mendasarkan pada
filosofi dasar al-Qur‘an dan Sunah. Bahkan menjadi dasar pijakan bagi seluruh
pelaku khususnya dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya.
Pada konsep syariah sangat terlihat bahwa Ikatan relasi antara institusi
dengan lingkungannya jauh lebih kuat dibandingkan dengan konsep
konvensional. Hal ini karena pada sistem syariah ikatan itu didasarkan
pada dasar-dasar relijius. Dimana yang menjadi patokannya adalah
pertanggungjawaban atas segala aktivitasnya adalah untuk mencapai ridha
Allah semata. Pada akhirnya hubungan dan tanggungjawab antara manusia
dengan Allah ini akan melahirkan kontrak religius yang lebih kuat dan bukan
sekedar kontrak sosial (Fiqri & Yaman, 2019).
CSR dalam perspektif Islam tidak hanya dilaksanakan sebagai langkah
untuk mencegah dampak negatif yang muncul dari perusahaan, CSR melekat
dalam seluruh kegiatan yang dilakukan perusahaan. Aktivitas perusahaan
sudah seharusnya dilaksanakan berbasis pada aturan-aturan agama Islam dan
didasari dengan konsep tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman
dan rukun Islam (Ully, 2012). Tanggung jawab sosial merujuk pada kewajiban-
kewajiban sebuah organisasi untuk melindungi dan memberi kontribusi kepada
masyarakat di mana perusahaan berada.

Bab 13: Corporate Social Responsibility dalam Perspektif Islam 181


Sebuah organisasi memikul tanggung jawab sosial dalam tiga domain
yaitu pada pelaku organisasi, pada lingkungan alam, dan pada kesejahteraan
sosial secara umum. Tanggung jawab sosial sangatlah harus dijalankan, karena
hal itu akan berdampak pada image organisasi atau perusahaan di mata
lingkungannya. Dalam Alquran, surah al-Baqarah [2]:177) memerintahkan
untuk mengedepankan nilai-nilai sosial di masyarakat (Siregar, 2016).
Konsep ini tentu saja sejalan dengan konsep CSR. Selain itu, Islam memiliki
prinsip pertanggungjawaban yang seimbang dalam segala bentuk dan ruang
lingkupnya, antara jiwa dan raga, antara individu dan keluarga, antara
individu dan sosial, dan antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang
lain (Darmawati, 2014)
Pada surah Surat an-Nisa‘ [4]: 85 menegaskan bahwasannya manusia
yang menebarkan kebaikan kepada manusia lainya suatu hari ia akan
mendapat kebaikan pula dan begitu pula sebaliknya manusia yang menebar
benih keburukan kepada manusia lainya maka suatu hari ia akan mendapat
keburukan pula. Di ibaratkan perusahaan yang mempunyai citra yang baik
dimata masyarakat maka perusahaan akan dipilih oleh masyarakat dalam hal
produknya demikian pula perusahaan yang mempunyai citra yang buruk maka
produk yang dihasilkan perusahaan akan dihindari masyarakat (Siregar, 2016).
CSR adalah realisasi dari konsep ajaran ihsan dalam agama Islam sebagai
puncak dari ajaran etika yang sangat mulia. Ihsan adalah melaksanakan
perbuatan baik yang dapat memberikan kemanfaatan kepada orang lain demi
mendapatkan ridho Allah SWT. Disamping itu, CSR adalah implikasi dari
ajaran kepemilikan dalam Islam. Allah SWT merupakan pemilik mutlak
(haqiqiyah) sedangkan manusia hanya sebatas pemilik sementara (temporer)
yang berfungsi sebagai penerima amanah. CSR rupanya selaras dengan
perspektif Islam tentang manusia yang bersangkut paut dengan dirinya sendiri
dan lingkungan sosial, dapat dipresentasikan dengan empat aksioma yaitu
kesatuan (tauhid), keseimbangan (equilibrum), kehendak bebas (free will) dan
tanggung jawab (responsibility) (Darmawati, 2014).
Pelaksanaan CSR dalam Islam termasuk salah satu upaya meminimalisir
persoalan-persoalan sosial yang mungkin terjadi di masyarakat dengan cara
mendorong produktivitas masyarakat dan menjagaa tetap terjadi keseimbangan
distribusi kekayaan di masyarakat. Islam mengharuskan sirkulasi kekayaan
terjadi untuk semua kalangan masyarakat dan meminimalisir sirkulasi
kekayaan terjadi hanya pada segelintir orang (QS. Al-Hasyr [59]: 7) (Siregar,
2016).

182 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Tanggungjawab etis praktik CSR dalam pelaporan terutama pada
pengungkapan aktivitas-aktivitas CSR kepada masyarakat sangat penting
dilakukan. Karena sesuai dengan prinsip-prinsip mendasar yang membentuk
filosofi kebajikan lingkungan dan telah dilaksanakan secara holistik oleh Nabi
Muhamad SAW merupakan keyakinan akan adanya saling ketergantungan
di antara makhluk ciptaan Allah. Karena Allah SWT menciptakan alam
semesta ini secara terukur, baik kuantitatif maupun kualitatif . Hal ini sesuai
dengan (QS. Al-Qamar [54]: 49) dan dalam kondisi yang seimbang. Sesuai
juga dengan QS. Al-Hadid [57]: 7. Pada ayat ini tampak nyata terdapat sifat
saling ketergantungan antara makhluk hidup adalah sebuah fitrah dari Allah
SWT. Berdasarkan prinsip ini maka konsekuensinya adalah jika manusia
merusak atau mengabaikan salah satu bagian dari ciptaan Allah SWT, maka
alam secara keseluruhan akan mengalami penderitaan yang pada akhirnya juga
akan merugikan manusia. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT: “Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar-Rum [30]: 41) (Siregar, 2016).
Titik tekan dari CSR adalah para pelaku bisnis atau pihak perusahaan
diharuskan untuk bersikap transparan dan tidak kontradiksi secara disengaja
antara ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya. Mereka dituntut tepat janji,
tepat waktu, mengakui kelemahan dan kekurangan (tidak ditutup-tutupi),
selalu memperbaiki kualitas barang atau jasa secara berkesinambungan serta
tidak boleh menipu dan berbohong. Pelaku bisnis atau pihak perusahaan harus
mempunyai amanah dengan menampilkan sikap keterbukaan, kejujuran,
pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal,
apalagi berhubungan dengan pelayanan masyarakat. Pelaku bisnis atau
pihak perusahaan mesti berani membuat skala prioritas kebutuhannya yang
terpenting. Kebutuhan-kebutuhan itu tidak hanya diorientasikan untuk jangka
pendek, tetapi juga jangka panjang dalam menggapai ridha Allah SWT (Aziz,
2013)
Tanggung jawab sosial tercermin pulah pada kewajiban untuk
melaksanakan rukun Islam ketiga, yakni mengeluarkan zakat, dan instrument
sunnah lainnya seperti infak, sedekah dan wakaf. Melalui pengumpulan
instrumen-instrumen ini dapat dibangun masyarakat sejahtera (QS. Ali-Imran,
[3]: 92). Lewat kewajiban menginfakkan sebagian harta untuk orang lain (QS
al-Baqarah [2]:245). Untuk itu, Islam memiliki sumbangsih yang sangat besar,
guna berpartisipasi dalam pembangunan untuk dapat meningkatkan taraf

Bab 13: Corporate Social Responsibility dalam Perspektif Islam 183


hidup dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan Islam termasuk yang pertama
kali meletakkan asas dan aturan yang indah tersebut dalam sejarah manusia.
Oleh karena itu, CSR menjadi pintu masuk bagi pelaku bisnis atau perusahaan
untuk membangun relasi yang baik dengan stakholders yang ada di sekitarnya,
demi mewujudkan kebahagiaan bersama dalam ikatan saling bantu dan tolong
menolong dalam kebaikan.
CSR menjadi penting karena, dalam syariah setiap harta kekayaan yang
dimiliki oleh seseorang, ada hak orang lain yang harus diberikan kepadanya,
yaitu hak orang yang meminta- minta dan orang miskin. Ketidakpedulian
terhadap mereka bahkan digelari sebagai pendusta agama (QS. Al-Ma‘un [107]:
1-3). Karena itu, dalam pandangan syariah, pembangunan ekonomi tidak boleh
hanya berpusat dan beredar pada kelompok dan golongan tertentu saja (QS
Al-Hasyr [59]: 7), tetapi harus dapat menyebar, meluas dan merata berdasarkan
prinsip ekonomi yang berkeadilan, sehingga tidak memunculkan kesenjangan
sosial ekonomi yang makin menajam, karena akan dapat mengganggu
keseimbangan hidup masyarakat itu sendiri (Aravik, 2016).
Wujud pelaksanaan CSR dalam perspektif Islam semata- mata untuk,
antara lain: Pertama, pelaksanaan CSR dilaksanakan dalam rangka untuk
mengesakan Allah SWT (QS. Muhammad [47]: 19). Kedua, pelaksanaan CSR
bertujuan untuk menyakini bahwa semuanya adalah saudara dan memiliki
kedudukan yang sama meskipun berbeda suku bangsa (QS. Al-Hujurat [49]:
13). Ketiga, pelaksanaan CSR adalah wujud untuk saling tolong-menolong dan
berbuat baik sehingga akan tercipta masyarakat yang sejahtera dan harmonis
(QS. Al-Maidah [5]: 2, Al-Baqarah [2]: 148). Keempat, pelaksanaan CSR adalah
implementasi dari toleransi dan bebas menjalankan ajaran agama masing-
masing (QS. Al-Kafirun [109]: 1-6). Kelima, pelaksanaan CSR adalah untuk
menuju pada sikap selalu istiqomah dalam kebaikan/teguh pendiriannya dan
tidak melampaui batas (QS. Hud [11]: 112). Keenam, pelaksanaan CSR adalah
wujud dari berlaku adil dan selalu memperjuangkan kebenaran (QS. An-Nisa
[4]: 58). Ketuju, pelaksanaan CSR adalah bagian dari mengembangkan pola
pikir dengan mempertimbangkan kebaikan atau keburukan tentang suatu hal
tertentu/ijtihad (QS. Al-Baqarah [2]: 219).
CSR merupakan komitmen perusahaan untuk dapat bersinergi dengan
stakeholder baik internal maupun eksternal perusahaan sekaligus komitmen
akan keberlanjutan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia
(SDM). Dalam perspektif Islam, alam merupakan pemangku kepentingan
yang relevan, alam adalah faktor yang memengaruhi kinerja perusahaan.

184 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Dengan daya dukung alam, maka perusahaan dapat beroperasional secara
maksimal demi mencapai tujuan finansial. Dan sebaliknya, ketidakmampuan
daya dukung alam akan berpengaruh terhadap pencapaian finansial korporasi.
Perhatian atas sumber daya alam dalam Islam direpresentasikan dalam
ayat-ayat Al-Quran. Salah satunya Surat Al Baqarah [2] ayat 11 yang pada
intinya menyatakan, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka Bumi”.
Aktivitas kepedulian sosial tersebut diamanahkan dalam Surat Al-Hadid
[57] ayat 18, “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah, pria dan wanita, dan
meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan
kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak”.

Bab 13: Corporate Social Responsibility dalam Perspektif Islam 185


186 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah
BAB 14
Franchise dalam
Perspektif Islam

A. Definisi Franchise
Franchise (waralaba) merupakan sebuah model bisnis yang terbukti
berhasil dan banyak pengusaha menggunakannya (Sulistyaningsih, 2017).
Walaupun demikian, dalam kepustakaan hukum Indonesia, istilah waralaba
(franchise) tidak dikenal. Hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga
waralaba sejak awal tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat
Indonesia. Namun karena pengaruh globalisasi, maka franchise juga masuk
dalam tatanan hukum dan budaya masyarakat Indonesia. Istilah franchise
selanjutnya menjadi istilah yang sangat familiar, khususnya dalam masyarakat
bisnis Indonesia dan menarik perhatian banyak pihak untuk mendalaminya
(M. M. Rivai, 2012).
Kata franchise yang dikenal dengan waralaba, asalnya dari bahasa Prancis
yang berarti hak istimewa (privelege) atau kemerdekaan (freedom). Sedangkan
waralaba berasal dari kata “wara” (lebih atau istimewa) dan “laba” (untung),
sehingga waralaba berarti usaha yang memberikan labah lebih atau istimewa.
Waralaba merupakan suatu cara pendistribusian barang dan jasa kepada
konsumen atau masyarakat, yang dijual kepada pihak lain yang berminat.
Pemilik dari cara ini dikenal pewaralaba (franchisor), sedangkan pembeli
disebut penerima waralaba (franchisee) (M. M. Rivai, 2012). Dengan demikian
Franchisee merupakan badan usaha atau perorangan yang diberikan atau

187
menerima hak untuk memanfaatkan dan menggunakan hak atas kekayaan
intelektual atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh franchisor (Achmadi, 2007).
Andrian Sutedi, (2008) mengartikan waralaba merupakan suatu
pola kemitraan usaha antara perusahaan yang mempunyai merek dagang,
sistem manajemen, keuangan, dan pemasaran yang telah baik, yang disebut
pewaralaba (franchisor), dengan perusahaan/individu yang mau memanfaatkan
atau menggunakan merek dan sistem milik pewaralaba, disebut terwaralaba
(franchisee). Kompensasi yang diterima adalah pewaralaba harus memberikan
bantuan teknis, manajemen, dan marketing kepada terwaralaba serta membayar
sejumlah biaya (fee) kepada pewaralaba. Relasi kemitraan usaha yang dibuat
kedua belah pihak dikukuhkan dalam suatu perjanjian lisensi/waralaba.
Menurut Retno Djohar Juliani, (2014) franchising atau waralaba yaitu
suatu sistim marketing atau distribusi barang atau jasa, dimana sebuah
perusahaan induk atau franchisor menyerahkan kepada individu atau
perusahaan lain atau franchise yang berskala kecil atau menengah, berupa
hak-hak istimewa untuk melaksanakan suatu sistem usaha tertentu dengan cara
yang sudah ditentukan selama waktu tertentu dan di suatu tempat tertentu pula.
Sedangkan Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 1997 menyatakan
bahwa waralaba (franchise) merupakan suatu perikatan di mana salah satu
pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan
suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut
dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang atau jasa. Selain itu,
menurut Peraturan Menteri Industri dan Perdagangan Indonesia No 259/
MPP/Kep/7/1997, franchise merupakan suatu perikatan di mana pihak yang
satu diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh pihak lain
dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak
lain dalam rangka untuk mempersiapkan dan atau menjual barang dan atau
jasa (Malik, 2007).
Amerika lewat International Franchise Association (IFA) menjelaskan
bahwa franchise sebagai hubungan kontraktual antara franchisor dengan
franchisee, di mana franchisor mempunyai kewajiban menjaga kepentingan
secara kontinyu pada bidang usaha yang dijalankan oleh franchisee. Sedangkan
menurut British Franchise Association franchise didefinisikan sebagai garansi
lisensi kontraktual antara satu orang (franchisor) dengan pihak lain (franchisee)
dengan: Pertama, Mengijinkan franchisee menjalankan usaha dalam waktu

188 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


(periode) tertentu pada bisnis yang menggunakan merek milik franchisor. Kedua,
Mewajibkan franchisor untuk melatih dan mengontrol secara kontinyu selama
periode perjanjian. Ketiga, Mewajibkan franchisor untuk menyediakan asistensi
terhadap franchisee pada bidang bisnis yang dijalankan. Keempat, Meminta
kepada franchisee untuk membayarkan sejumlah franchise fee atau royalti secara
periodik selama masa kerjasama waralaba (Sudarmiatin, 2011).
Jadi dari berbagai pengertian di atas dapat dipahami bahwa waralaba
(franchise) merupakan pola kemitraan usaha atau hubungan bisnis antara
pemilik merek, produk maupun sistem operasional dengan pihak kedua yang
berupa pemberian izin dari pemakaian merek, produk dan sistem operasional
dalam jangka waktu yang telah di tentukan. Dengan kata lain, franchise
merupakan bentuk kesepakatan bisnis atau usaha yang menggunakan prinsip
kemitraan, atau sebuah perusahaan yang sudah mapan baik itu dari segi sistem
manajemennya, keuangannya maupun dari marketingnya serta adanya merek
dari produk perusahaan yang sudah dikenal oleh masyarakat luas, dengan
perusahaan ataupun individu yang memakai merek dari produk maupun
sistem.
Sedangkan menurut Dewi Astuti, (2005) franchise adalah suatu relasi
kontraktual franchisor dengan franchisee dimana franchisor menawarkan dan
wajib memelihara kepentingan yang terus menerus pada usaha franchisee
dalam bidang-bidang pengetahuan dan pelatihan. Franchisee melaksanakan
operasionalisasi dibawah merek/nama dagang yang sama, format dan prosedur
dimiliki atau dikendalikan oleh franchisor dan franchisee telah melakukan suatu
investasi didalamnya dengan sumber dananya sendiri.
Para pihak yang terlibat dalam waralaba dijelaskan pada Pasal 1 ayat
(2) dan (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2007
tentang Waralaba yang menyebutkan bahwa pemberi waralaba (Franchisor)
merupakan orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak
untuk memanfaatkan atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada
penerima waralaba. Sedangkan penerima waralaba (Franchisee) adalah orang
perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba
untuk memanfaatkan atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi
waralaba (Novairi Dari, Anki, 2011).
Untuk melaksanakan franchising dibuat sejenis kontrak antara pihak
franchisor dan pihak franchisee. Format dalam kontrak ini berisi rencana
marketing, prosedur aliran-aliran dokumen, pelaksanaan bantuan dan usaha
pengembangan bisnis. Kontrak franchising ini disebut pula license agreement

Bab 14: Franchise dalam Perspektif Islam 189


atau franchise contract. Merek dagang adalah aset berharga bagi franchisor. Maka
berbagai faktor-faktor bentuk bangunan dan disain yang spesifik, disain perabot
dan perlengkapan serta formula dan resep-resep makanan sangat dirahasiakan
dan tetap menjadi milik franchisor. Aset-aset itu adalah hak paten bagi franchisor
(Alma, 2006).
Sedangkan hal-hal yang dapat diminta franchisee kepada franchisor adalah:
a. Brand name seperti logo, peralatan, dan lain-lain. Franchisor mempunyai
aturan juga tentang tampilan/display perwakilan toko (shopfront) dengan
baik dan detail
b. Sistem dan manual operasional bisnis. Franchisor mempunyai Standar
Operasi Prosedur (SOP) yang sistematis, praktis serta mudah dimengerti
dan diterapkan, serta tertuang dalam bentuk tertulis
c. Dukungan dalam beroperasi. Karena franchisor mempunyai pengalaman
yang lebih luas serta sudah membina banyak franchisees, dan sudah
seharusnya mempunyai kemampuan untuk memberi dukungan bagi
franchisee yang baru.
d. Pengawasan (monitoring). Franchisor melakukan minitoring terhadap
franchisee untuk memastikan, bahwa sistem yang disediakan dapat
dijalankan dengan baik dan benar serta secara konsisten
e. Penggabungan promosi (joint promotion). Ini berkaitan dengan unsur
pertama yaitu masalah sosialisasi brand name.
f. Pemasokan. Ini berlaku bagi franchise tertentu, misalnya franchise bagi
makanan dan minuman di mana franchisor juga merupakan supplier bahan
makanan/minuman. Kadang-kadang franchisor juga memasok mesin-
mesin atau peralatan yang diperlukan. Franchisor harus ikut membantu
franchisee untuk mendapatkan sumber dana modal dari investor (fund
supply) seperti bank misalnya, meskipun itu jarang sekali (Dzuluqy, 2019).

B. Kriteria dan Jenis Franchise


Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
2007, kriteria sebuah usaha disebut waralaba jika memenuhi kriteria sebagai
berikut: Pertama, mempunyai identitas khusus. Usaha yang diwaralabakan
harus mempunyai identitas khusus atau ciri khas usaha yang tidak dipunyai
produk sejenis lainnya dan tidak mudah diplagiasi. Dengan ciri khas ini, maka
konsumen biasanya cenderung memilihnya sebagai tolak ukur pemilihan

190 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


investasinya. Misalnya, sistem manajemen, cara pemasaran unik, outlet serta
pelayanan dan cara penjualan.
Kedua, Jelas dan terbukti telah memberikan keuntungan. Pewaralaba
sudah berjalan kurang lebih lima tahun dan dapat membuktikan bahwa usaha
yang diwaralabakan telah membukukan keuntungan dan mengalami kemajuan.
Hal ini dibuktikan dengan adanya gerai yang dimiliki dan dioperasikan sendiri
oleh pewaralaba. Sudah tentu bahwa usaha yang diwaralabakan bukan usaha
yang baru berdiri, tetapi merupakan usaha yang telah mapan, karena memiliki
sistem bisnis dan merek yang telah diakui eksistensinya di masyarakat.
Sehingga pewaralaba sudah mempunyai tips-tips tertentu dalam menyikapi
berbagai persoalan yang ditemukan dalam perjalanan usaha sehingga tetap
mampu bertahan dan terus berkembang dan bersaing dengan yang lain.
Ketiga, Mempunyai standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa
yang ditawarkan dan dibuat secara tertulis. Pewaralaba memiliki standar secara
tertulis (Standard Operational Procedure/SOP) yang mengatur segala sesuatu
yang berhubungan dengan operasionalisasi usaha waralaba dari waktu ke
waktu. SOP ini sifatnya baku, dan mudah dipahami dengan baik sampai ke
level terbawah. Keempat, Mudah diajarkan dan diaplikasikan. Bentuk usaha
yang diwaralabakan dapat diajarkan dan diaplikasikan kepada terwaralaba
sesuai dengan SOP yang ditetapkan. Dengan demikian berdasarkan SOP
yang digunakan siapapun dapat mengoperasikan waralaba. Jadi setiap
terwaralaba yang belum mempunyai pengalaman mengenai usaha sejenis dapat
menjalankan dengan mudah sesuai dengan arahan dan bimbingan pewaralaba.
Kelima, adanya dukungan yang berkesinambungan. Pewaralaba
memberikan dukungan operasional sebelum terwaralaba memulai usahanya
atau pada masa persiapan dan pada saat usaha mulai berjalan. Dukungan
diberikan secara terus-menerus sesuai dengan perjanjian waralaba yang telah
disepakati. Meskipun tanggung jawab penuh operasional waralaba berada
di tangan terwaralaba, pewaralaba tetap memberikan dukungan penuh agar
terwaralaba meriah sukses.
Keenam, Mempunyai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang telah
terdaftar. Hak Kekayaan Intelektual seperti merek, hak cipta, hak paten dan
rahasia dagang, telah didaftarkan dan memiliki sertifikatnya atau sedang
dalam proses pendaftaran di instansi berwenang. HKI yang telah terdaftar
memberikan kemudahan dan perlindungan serta rasa aman bagi terwaralaba
dalam menjalankan usahanya, apalagi jika nilai investasi yang ditanamkan

Bab 14: Franchise dalam Perspektif Islam 191


dalam bisnis waralaba terbilang besar (Slamet, Franky, Hatti Karunia Tanjung
Sari, 2016).
Aktiva P. Nayla, (2014) menyatakan bahwa waralaba memiliki kriteria-
kriteria sebagai berikut: Pertama, Bermodal Besar. Karena waralaba harus
membeli merek sekaligus sistem usaha, di mana merek tersebut telah dikenal
luas oleh pasar. Sistem usaha ini dimungkinkan akan sangat menjanjikan bila
dijalankan. Di Indonesia sendiri banyak sekali waralaba yang bermodal besar,
di antaranya ayam bakar Wong Solo, McDonald‘s, Indomaret, KFC (kentucky
fried chicken), dan sebagainya.
Kedua, Memiliki Sistem yang Sangat Menjanjikan. Dimana setiap
waralaba yang telah memiliki sertifikat merek secara resmi, baik nama usaha
maupun bahan baku yang digunakan, bisa dipastikan memiliki sistem yang
sangat menjanjikan. Sistem ini telah teruji secara bertahun-tahun dan terbukti
dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pemiliknya.
Ketiga, Memiliki laporan Keuangan yang Accountable. Karena laporan
keuangan yang dibuat oleh akuntan publik terpercaya dan dipekerjakan dari
dalam oleh pihak pewaralaba (franchisor). Fungsi utama dari laporan keuangan
adalah untuk menunjukkan laba usaha dari transaksi-transaksi keuangan yang
terjadi setiap hari kepada pembeli waralaba.
Keempat, Memberlakukan Standard Operational Procedure (SPO). SOP ini
bertujuan supaya tercipta kesamaan standar, kualitas rasa, warna, tampilan,
penyajian, dan pelayanan di antara cabang-cabang waralaba yang sejenis.
Kelima, menyediakan dan memberikan pelatihan karyawan sampai mahir.
Tujuan utama dari pelatihan ini adalah untuk menjaga agar usaha waralaba
yang dijalankan tidak keluar dari sistem, sehingga balik modalnya cepat dan
dapat memberikan keuntungan yang konsisten bagi pembeli waralaba setiap
bulannya.
Keenam, Menyediakan Peralatan dan Bahan Makanan dengan Kualitas
Terbaik. Hal ini tentu bertujuan agar pembeli waralaba tidak perlu-ribet setelah
membeli waralaba, Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk mengoptimalkan
omzet dan keuntungan, karena kualitas barang atau jasa yang dijual senantiasa
terjaga.
Sedangkan usaha bisnis waralaba dilihat dari persepktif jenisnya, dibagi
menjadi dua jenis, yaitu waralaba format bisnis dan waralaba format distribusi
pokok. Pertama, waralaba format bisnis. Pada bentuk waralaba ini, pemegang
waralaba (franchisee) mendapatkan hak untuk memasarkan dan menjual

192 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik dengan
menggunakan standar operasional dan pemasaran dari franchisor.
Pada bentuk ini, ada tiga jenis waralaba, yakni: (a). waralaba format
pekerjaan. Waralaba yang menggerakkan roda usahanya berupa format
pekerjaan yang sebenarnya membeli dukungan untuk usahanya sendiri, seperti
bisnis penjualan jasa penyetelan mesin mobil dengan merek waralaba tertentu.
Bentuk usaha waralaba seperti itu biasanya paling mudah dan membutuhkan
modal yang tidak banyak karena tidak menggunakan tempat dan perlengkapan
yang berlebihan. (b). format usaha, ini termasuk bisnis waralaba yang paling
berkembang pesat. Bentuknya berupa toko eceran yang menyediakan barang/
jasa atau restoran cepat saji (fast food). Akan tetapi, biaya yang diperlukan
waralaba format ini cukup besar karena membutuhkan tempat usaha dan
peralatan-peralatan khusus. (c). format investasi, ciri utama bentuk ini adalah
besarnya usaha, khususnya besarnya investasi yang dibutuhkan. Contohnya.
Usaha hotel dengan memakain nama dan standar sarana pelayanan hotel
franchisor.
Kedua, waralaba format distribusi pokok. Disini franchisee memperoleh
lisensi untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi
yang spesifik. Franchisor juga dapat memberikan franchisee wilayah tertentu, di
mana franchisee wilayah mendapat hak untuk menjual kepada sub-franchisee di
wilayah geografis tertentu. Franchisee itu bertanggung jawab atas beberapa atau
seluruh marketing sub-franchisee, melatih dan membantu sub-franchisee baru,
dan melakukan pengendalian dukungan operasi, serta program penagihan
royalty (Sutedi, 2008).
Sedangkan menurut Camelia Malik, (2007) pada dasarnya franchise
dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu: Pertama, Product Franchises atau
Distributorship Franchises. Product franchising merupakan di mana franchisee
mendistribusian produk-produk franchise yang diproduksi oleh franchisor
dengan menggunakan lisensi yang bersifat eksklusif maupun non eksklusif.
Seringkali juga terjadi bahwa franchisee diberi hak istimewa untuk memasarkan
produk franchisor di suatu wilayah tertentu. Di sini franchisee membayar kepada
franchisor atas pemberian hak tersebut untuk menjual merek dagang produk-
produk itu baik dengan cara membeli beberapa jumlah produk atau dengan
cara membayar sejumlah biaya atas pemberian hak untuk menjual barang-
barang tersebut.
Di dalam product franchises, franchisor berperan sebagai pembuat produk-
produk tersebut. Selain franchisor mendapatkan pembayaran dari franchisee

Bab 14: Franchise dalam Perspektif Islam 193


untuk biaya franchisenya, franchisor juga mendapatkan pembayaran untuk
penjualan produknya ke pihak franchisee. Di sini, franchisee berperan sebagai
distributor produk franchisor. Jenis franchise ini masih diwakili oleh industri
otomotif yang menjual produk- produk otomotifnya melalui dealer ke seluruh
dunia. Contoh product franchises adalah perusahaan minuman Coca Cola,
Pepsi, dan lain-lain (Juliani, 2014). Kemudian, industri minuman ringan
tersebut menjual formula rahasianya dan menyuplai produknya kepada industri
lokal untuk memproduksi minuman ringan yang sesuai dengan standar yang
diberikan franchisor. Biasanya produk yang mereka jual mempunyai bentuk dan
rasa yang sama di seluruh daerah. Dalam franchise ini, franchisor merupakan
satu-satunya pemilik dari formula rahasia itu (ingredient) dan franchisee akan
membayar untuk mendapatkan formula rahasia (ingredient) itu.
Kedua, Business Format Franchises atau Chain-Style Franchises. Business
format franchising adalah jenis franchise yang paling banyak dikenal oleh
masyarakat. Business format franchises merupakan pemberian sebuah lisensi
oleh seseorang kepada pihak lain, lisensi tersebut memberikan hak kepada
penerima Waralaba untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang atau
nama dagang Pemberi Waralaba, dan untuk menggunakan keseluruhan paket,
yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seseorang
yang sebelumnya belum terlatih menjadi terampil dalam bisnis dan untuk
menjalankannya dengan bantuan yang terus-menerus atas dasar-dasar yang
telah ditentukan sebelumnya (Dzuluqy, 2019). Sederhananya, franchisor
memberikan lisensi kepada seseorang atau perusahaan untuk membuka gerai-
gerai yang menjual berbagai macam produk franchisor. Franchisor memberikan
lisensi metode bisnis yang dibentuk dan dibangun dengan menggunakan merek
dagang tertentu. Franchisor juga menyediakan bantuan kepada pihak franchisee
dalam menjalankan bisnisnya sesuai dengan manual pengoperasian bisnis yang
diberikan franchisor.
Sebagai imbalan dari penggunaan merek dagang yang dimiliki franchisor,
maka franchisee wajib mengikuti cara-cara standar pengoperasian dan berada
di bawah pengawasan franchisor dalam yang berkaitan dengan bahan- bahan,
desain tempat usaha, persyaratan para karyawan, dan lain-lain. Selain itu,
franchisee juga wajib membayar biaya royalti kepada pihak franchisor. Contoh
dari business format franchising adalah restoran fast food dan hotel, serta restoran
siap saji misalnya: Kentucky Fried Chicken, Mc Donald (Juliani, 2014).

194 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Ketiga, Manufacturing Plant Franchises atau Processing Plant Franchises. Untuk
jenis franchise ini, franchisor memberitahukan know-how atau formula rahasia
(ingredient) yang digunakan dalam proses produksi serta tata cara pembuatan
produk. Selanjutnya franchisee akan memproduksi dan mendistribusikan
produk tersebut sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh franchisor dan
juga menggunakan merek yang sama dengan yang dimiliki oleh franchisor.
Contohnya adalah distribusi komponen kendaraan bermotor (Juliani, 2014).

C. Keunggulan dan Kekurangan Membeli Franchise


Transaksi waralaba tidak dapat dikategorikan sebagai suatu perjanjian
yang simultan. Pewaralaba dan terwaralaba tidak dapat secara menyeluruh
dan tepat memastikan keuntungan dan kerugian yang akan ditimbulkan.
Oleh karena itu, sebagai suatu transaksi yang berjangka panjang dibandingkan
transaksi sehari-hari yang berlangsung sesaat, bisnis waralaba lebih
mengandung risiko bagi kedua belah pihak (Sutedi, 2008).
Pertama, dari sisi Pewaralaba (Franchisor). Keuntungan bagi franchisor
untuk mewaralabakan bisnisnya adalah;
a. Usahanya dapat cepat berkembang, tetapi dengan menggunakan modal
dan motivasi dari franchisee
b. Kecilnya modal untuk memperluas usaha karena sebagian besar modal
ditanggung oleh franchisee.
c. Dana cukup banyak bisa dihemat karena adanya promosi dan pelayanan
yang bersama.

Sedangkan kerugian bagi franchisor dalam bisnis waralaba adalah;


a). Bisa menghacurkan reputasi franchisor jika franchisee yang dipilih
ternyata tidak tepat.
b). Jika ada kenaikan dari segi biaya, biasanya franchisor tidak mudah untuk
menyakinkan franchisee.
c). Mengingat ikatan waralaba biasanya untuk jangka waktu yang lama,
maka apabila franchisor ingin mengakhiri perjanjian waralaba secara
sepihak, misalnya karena ada kejadian yang tidak terantisipasi, tidak
mudah mengakhiri perjanjian waralaba tanpa alasan-alasan yang sah
(Sutedi, 2008).

Bab 14: Franchise dalam Perspektif Islam 195


Kedua, dari sisi Franchisee. Ada beberapa keuntungan yang dapat
diraih franchisee dalam sistem waralaba secara umum, yaitu;
a. Modal yang diperlukan untuk usaha waralaba lebih sedikit
dibandingkan dengan usaha mandiri yang independen.
b. Kerapkali tidak harus memiliki pengetahuan tentang bisnis yang akan
digeluti karena franchisor melakukan pelatihan.
c. Risiko bisnis berkurang karena nama dan produk franchisor sudah
dikenal dan mempunyai goodwill. Hal ini karena adanya bantuan
dan dukungan usaha terus-menerus yang diberikan franchisor dalam
menjalankan bisnis.
d. Adanya hak untuk mengelola bisnis yang sudah mapan dan memiliki
identitas atau merek dagang yang legal dan populer sehingga
tidak harus mengembangkan ide dan citra produk atau jasa yang
memerlukan waktu dan tenaga.
f. Franchisee hanya memerlukan proses belajar yang singkat, tujuan yang
terarah, serta kekuatan dalam kegiatan promosi yang efisien.
g. Produk atau jasa yang sudah terkenal serta merek dagang yang sudah
besar.
h. Memperoleh pendampingan manajemen dan dukungan promosi.
i. Adanya kemudahan melakukan pinjaman kepada investor atau pihak
ketiga, bila waralabanya sudah teruji di pasar.
j. Memiliki sistem pemasaran yang telah teruji dan jejaring yang luas

d). Risiko kegagalan bisnis yang relatif kecil (Sutedi, 2008).


Retno Djohar Juliani, (2014) merilis setidaknya ada delapan keuntungan
menggunakan sistem franchise: (1) Produk yang tersedia. (2) Harga
sudah standar. (3) Model pelayanannya sama. (4) Mutu produk atau jasa
sama. (5) Memperoleh pelatihan kerja. (6) Merek sudah dipatenkan.
(7) Daerah pemasaran atau tempat usaha sudah ditentukan. (8) Biaya
promosi ditanggung oleh kelompok franchise.

Dengan berbagai keuntungan yang telah dijelaskan, tidak mengherankan


waralaba menjadi lirikan pengusaha-pengusaha baru untuk mengembangkan
ladang bisnisnya.

196 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Adapun Kerugian bagi franchisee adalah;
1). Meski usaha milik sendiri, kebijakan umumnya masih ditentukan oleh
franchisor sehingga untuk membentuk sistem yang baku memerlukan
proses yang birokratis
2). Biasanya franchisor mengontrol berbagai aspek pengoperasian bisnis,
bahkan terlalu membatasi
3). Untuk mendapatkan hak waralaba, franchisee harus mempertimbangkan
sumber dana untuk pembayaran royalty yang tinggi.
4). Keberhasilan dari setiap unit waralaba individu tergantung pada
bekerjanya perusahaan induk (franchisor) (Sutedi, 2008).

Selain itu, kerugian terlihat pada, antara lain:


a). Jenis produk yang ditawarkan relative terbatas dan sangat tergantung
kepada prestasi franchisor.
b). Harus membayar uang imbalan yang sangat besar.
c). Tidak sepenuhnya bebas, karena harus mematuhi pedoman dan prosedur
yang ditetapkan franchisor.
d). Kadangkala diwajibkan mencapai tingkat prestasi tertentu (misalnya:
jumlah penjualan) yang terlalu tinggi.
e). Manajemen usahanya dikendalikan oleh franchisor atau pemberi waralaba
(Juliani, 2014).

Robert L. Purvin, Jr dalam Franchise Fraud, menyatakan bahwa


sekurangnya delapan alasan mengapa pengusaha memlih untuk mewaralabakan
usahanya, alasan-alasannya adalah: (1) There is rapad business expansion
(pengembangan/perluasan usaha secara cepat); (2) Capital formation comes
from frachisees whoprovide the capital for their own operations (modal sepenuhnya
berasal dari penerima waralaba); (3) The typical franchisor receives a percentage
of gross revenues and does not incur risk for the profit or loss of the franchise locations
(pemberi waralaba menerima persentase atas penghasilan penerima waralaba
tanpa menanggung kerugian penerima waralaba); (4) Franchisees provide self-
motivated branch management with a vested interest in the success of the franchise
(penerima waralaba membentuk sendiri manajemen operasional usahanya).

Bab 14: Franchise dalam Perspektif Islam 197


(5) The franchise pays for training and management training actually becomes a profit
center for the franchisor (penerima waralaba membayar seluruh biaya pelatihan
yang diselenggarakan oleh pemberi waralaba ini berarti pemberi waralaba
dapat memperoleh pengahsilan lebih dari kegiatan pelatihannya tersebut); (6)
The franchising of the company product or service makes actual system expansion a profit
center (waralaba membentuk sistemnya sendiri sebagai pencari laba); (7) The
capital formation from franchising is off balance sheet in other words since the franchisor
is not borrowing the capital to build the branch operation, no liability hits the balance
sheet and consequently franchise businesses frequently have very positive debt/equity
ratios (rasio keuangan ekuitas yang positif, karena tidak perlu mengeluarkan
modal yang besar); (8) The ultimate benefit is that the franchisor who usually receives
a percentage of gross revenue, instead of percentage of profit can be profitable even when
the branches are losing money (pemberi waralaba memperoleh penghasilan dari
hasil penjualan dan bukan keuntungan penerima waralaba) (Trisna, 2018).
Menurut Sudarmiatin, (2011) sisi negatif dari sistem franchise bagi
franchisee adalah: Pertama, Control. Sistem franchise tidak memberikan kebebasan
penuh kepada franchisee karena franchisee terikat perjanjian harus mengikuti
sistem dan metode yang telah dibuat oleh franchisor. Karena penetapan harga,
jenis produk maupun kualitas layanan dalam bisnis franchise telah ditetapkan
secara baku (terstandard) oleh franchisor Mc Donald, sehingga franchisee tidak
bisa membuat keputusan sepihak dalam menjalankan bisnisnya.
Kedua, Price. Membeli bisnis franchise membutuhkan investasi relatif
besar, bahkan franchisee sering kali tidak memiliki pilihan untuk mengurangi
biaya. Di samping lokasi toko, franchisee harus pula membayar franchisee
fee, royalty, dan kontribusi promosi kepada franchisor serta memodifikasi
kontrak dari waktu ke waktu. Walaupun risiko gagal rendah, tetapi untuk dapat
mensukseskan bisnis ini perlu kecermatan dan kehati-hatian dalam memilih
franchisor dan jenis usahanya.
Ketiga, Conflict. Adanya risiko franchisor melanggar perjanjian yang telah
disepakati dengan suatu alasan. Bilamana franchisee tidak membekali dirinya
dengan pengetahuan yang cukup sebelum bergabung dalam bisnis franchise,
maka dia akan mudah percaya dengan janji-janji franchisor tanpa melakukan
investigasi kepada franchisee lain di bawah naungan franchisor yang sama. Dalam
kondisi seperti ini ada peluang bagi franchisor yang nakal untuk mengeruk
keuntungan sepihak.
Dengan demikian, tampak bahwa bentuk bisnis franchise banyak
membantu dan menguntungkan, seperti bantuan manajemen termasuk bantuan

198 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


pemasaran dan bantuan pelatihan bagi karyawan sehingga technical knowledge
pun dapat diperoleh dari franchisor dan tidak ada masalah dengan manajemen
operasionalnya. Hal lain yang penting adalah franchisee tidak usah memulai
bisnisnya dari nol karena merk produk franchise sudah mempunyai pasar atau
dikenal. Yang menjadi pertimbangan hanyalah biaya start-up yang cukup mahal
(Astuti, 2005). Maka kegagalan dalam berbisnis waralaba terjadi karena tiga
aspek, yaitu aspek keuangan, manajemen dan aspek pemasaran. Ketiga aspek
tersebut saling berhubungan dan secara sederhana bahwa usaha yang sehat
adalah yang menghasilkan keuntungan (Widuri et al., 2014).

D. Cara Tepat Membeli Franchise


Konsep bisnis waralaba akhir-akhir ini telah menjadi salah satu pusat
perhatian sebagai bentuk terobosan pengembangan usaha. Mengingat
usaha yang diwaralabakan adalah usaha- usaha yang telah teruji dan sukses
dibidangnya, sehingga dianggap dapat menjamin mendatangkan keuntungan,
faktor ini yang kemudian menjadi magnet untuk menarik animo masyarakat
secara luas. Melalui konsep waralaba seseorang tidak perlu memulai usaha
dari nol, karena telah ada sistem yang terpadu dalam waralaba, yang
memungkinkan seorang penerima waralaba menjalankan usaha dengan baik.
Akan tetapi memilih franchise perlu kehati-hatian karena ada pula franchisee
yang terpaksana menutup usahanya. Memilih franchisor berikut produk/jasanya
perlu dipertimbangkan dengan masak, terutama isi ikatan perjanjian antara
hak dan kewajiban serta prospek keberhasilan penjualannya
Menurut Slamet, Franky, Hatti Karunia Tanjung Sari, (2016) agar
wirausaha sukses berwaralaba, terdapat beberapa langkah yang sebaiknya
dilakukan. Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Mengevaluasi diri sendiri.
Keberhasilan usaha waralaba tidak terlepas dari diri sang wirausaha. Hal
ini menyangkut kesukaan, ketidaksukaan, sifat, cita-cita, pengalaman,
risiko, dan lain-lain. Usaha waralaba memiliki banyak aturan yang
kerapkali dapat membatasi kreativitas dan inovasi wirausaha. Selain itu,
dalam berbisnis, seseorang harus menyesuaikan pilihan investasi pada
bidang usaha yang benar – benar diminati dan kuasai, baik dari segi
pengetahuan, target pasar serta rencana promosi dan pengelolaannya.
Menjalankan bisnis haruslah dinikmati sebagai bagian dari aktifitas yang
menyenangkan sekaligus wadah untuk menuangkan ide – ide kreatif yang

Bab 14: Franchise dalam Perspektif Islam 199


selama ini tidak bisa dieksperesikan di perusahaan atau tempat bekerja
lainnya.
Steve Jobs pernah berkata, bahwa kesuksesan terjadi karena kita
mencintai apa yang kita kerjakan. Tak terkecuali dalam bisnis, cintailah
pilihan bisnis anda dan jalanilah sebagai bagian dari passion. Kebebasan
dan keleluasaan untuk menuangkan minat, ide dan passion adalah salah
satu alasan utama kenapa orang memilih untuk berbisnis.
2. Meneliti pasar
Usaha waralaba tidak selamanya menjadimin keberhasilan. Wirausaha
harus meneliti pasar, yang terkait dengan profil pelanggan dan pilihan
lokasi. Bidang usaha waralaba juga tidak semata-mata hanya musiman
atau mode belaka, tetapi memiliki keberlanjutan usaha di masa
mendatang.
3. Mempertimbangkan pilihan waralaba
Wirausaha sebaiknya juga tetap memperhatikan berbagai pilihan waralaba
dari aneka publikasi seperti majalah yang berkaitan dengan waralaba,
pameran waralaba dan web waralaba.
4. Memperoleh salinan dokumen waralaba yang diminati. Meskipun tidak
ada jaminan sukses, karakteristik berikut dapat membuat waralaba hidup
dan berkembang, yaitu:
a. Konsep atau pendekatan pemasaran yang unik
Konsep bisnis yang ditawarkan pewaralaba berbeda dibandingkan
bisnis yang ditawarkan pesaing sejenis.
b. Profitabilitas
Pewaralaba harus memiliki catatan mengenai profit, demikian juga
terwaralaba
c. Merek dagang yang terdaftar
Nama merek yang tidak lazim tidak akan diakui jika merek dagang
tidak terdaftar dan tidak terlindungi.
d. Sistem bisnis yang berjalan
Pewaralaba telah memiliki SOP (System Operation Prosedure) yang
menjadi pedoman dalam menjalankan usaha.
e. Program pelatihan yang mapan.
Salah satu kelebihan waralaba adalah pelatihan yang diberikan
kepada terwaralaba. Hal ini harus dengan mudah diajarkan

200 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


f.Terjangkau
Dengan investasi yang relatif terjangkau oleh terwaralaba, seharusnya
terwaralaba tidak mengambil utang dalam jumlah besar ketika
memberi waralaba. Utang yang terlalu besar dapat mematikan usaha
sejak awal.
g. Hubungan yang positif dengan terwaralaba
Pewaralaba semestinya memperlakukan terwaralaba sebagai mitra
usaha yang sepadan. Perlakuan ini akan menjamin usaha waralaba
berjalan lancar dan sukses.
5. Berbicara dengan terwaralaba yang telah eksis
Cara paling efektif untuk mengetahui reputasi sesungguhnya dari
pewaralaba adalah berbicara langsung dengan terwaralaba yang telah
eksis dan telah berhubungan minimal satu tahun. Hal yang dibicarakan
menyangkut aspek positif dan negatif dari pewaralaba.
6. Bertanya kepada waralaba dengan pertanyaan yang kritis Berbagai
pertanyaan sulit diajukan kepada pewaralaba menyangkut budaya
organisasi, input terwaralaba ke dalam sistem, rencana pengembangan
di masa depan, rencana strategis, laba yang diharapkan dan hal-hal krusial
lainnya.
7. Membuat pilihan
Serangkaian survei yang telah dilakukan menjadi dasar yang cukup
memadai untuk memilih waralaba yang cocok.

E. Franchise di Indonesia
Konsep waralaba atau franchise muncul sejak 200 tahun sebelum Masehi.
Saat itu seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk
mendistribusikan produk-produk makanan dengan merk tertentu. Sebenarnya
waralaba dengan pengertian yang dikenal saat ini berasal dari Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat waralaba mulai dikenal ketika perusahaan-perusahaan bir
memberikan lisensi kepada perusahaan-perusahaan kecil sebagai upaya untuk
mendistribusikan produk mereka. Sistem waralaba di Amerika Serikat pertama
kali dimulai pada tahun1851 M (Dzuluqy, 2019).
Zaman franchise modern baru dimulai pada akhir tahun 1940-an dan
awal tahun 1950-an. Hal ini terlihat dari berkembangnya Mc Donalds‘s (1955),
Carvel Ice Cream (1945), Jhon Robert (1955), Kentucky Fried Chicken (1952),

Bab 14: Franchise dalam Perspektif Islam 201


dan lain- lain (Trisna, 2018). Pada mulanya sistem ini berupa pemberian
lisensi bagi penggunaan nama pada industri minuman (coca cola), kemudiann
berkembang pada sistem pemasaran pada industri mobil (General-Motors).
Kemudian sistem waralaba ini dikembangkan oleh produsen bahan bakar,
yang memberikan hak waralaba kepada pemilik pom bensin sehingga terbentuk
jaringan peyediaan untuk memenuhi suplai bahan bakar dengan cepat dan
makin booming di Amerika Serikat sekitar tahun 60- 70an (Dzuluqy, 2019).
Di Indonesia, pertumbuhan waralaba (Franchise) berawal dari masuknya
waralaba asing yang berbasis restauran cepat saji (fast food) pada tahun 80-90an.
Kentucky Fred Chicken (KFC), Mc Donalds, Burger King, Wendys, Pizza
Hut, dan Swensen Ice Cream adalah sebagian dari jejaring waralaba asing
yang sangat kondang (Hastuti, 2006). Hingga tahun 1992 jumlah perusahaan
waralaba di Indonesia mencapai 35 perusahaan, 6 di antaranya adalah
perusahaan waralaba lokal dan sisanya 29 adalah waralaba asing.
Perkembangan waralaba asing dari tahun ke tahun sangat pesat yaitu
sebesar 710% sejak tahun 1992 hingga tahun 1997, sedangkan perkembangan
waralaba lokal hanya meningkatkan sebesar 400% (dari sejumlah 6 perusahaan
menjadi 30 perusahaan). Namun sejak krisis moneter tahun 1997, jumlah
perusahaan waralaba asing mengalami penurunan pertumbuhan sebesar
9.78% dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2001. Sebaliknya waralaba lokal
mengalami peningkatan pertumbuhan rata-rata sebesar 30%. Pada tahun
2001 jumlah waralaba asing tumbuh sebesar 8.5% sedangkan waralaba lokal
meningkat 7.69% dibanding tahun 2000 (Sudarmiatin, 2011). Salah satunya
bisnis lokal berwujud waralaba adalah Es Teller 77 (Slamet, 2011)
Pada tahun 1991 berdiri Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) sebagai
wadah yang menaungi pewaralaba dan terwaralaba. Diharapkan dengan
berdirinya AFI ini dapat tercipta industri waralaba yang kuat dan dapat menjadi
pendorong utama dalam pertumbuhan ekonomi nasional yang berbasiskan
usaha kecil dan menengah. Usaha Franchise (waralaba) merupakan jenis usaha
yang dikecualikan tunduk pada UU No.5/1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ada dua hal penting untuk ini
yaitu (1) apakah franchisee (terwaralaba) dilarang mengalihkan know how (yang
diterimanya) kepada pihak lain dan (2) guna mencegah terwaralaba bertindak
curang memanfaatkan know how yang diperoleh dari franchisor (pewaralaba),
haruskah perjanjian waralaba mengatur bahwa setelah perjanjian berakhir,
terwaralaba dilarang melakukan usaha yang sama (Dzuluqy, 2019).

202 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Dilihat dari segi hukum positif, maka usaha frenchise (waralaba) telah
diberikan wadah oleh Undang-Undang (UU) nomor 9 Tahun 1995, sehingga
keberadaan bentuk kerjasama ini telah dilegalkan (Hastuti, 2006). Pelaksanaan
teknis waralaba di Indonesia diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.16/1997
tentang Waralaba (PP No.16/1997) dan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Pada tahun 2007 Pemerintah
menerbitkan PP No. 42/2007 tentang Waralaba dan disusul dengan Permendag
No. 31/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Peraturan tersebut secara
jelas dan gamblang menyebutkan berbagai kriteria perusahaan waralaba yang
wajib dipatuhi oleh semua franchisor (Sudarmiatin, 2011).
Dalam PP ini dinyatakan bahwa waralaba (Franchise) adalah hak khusus
yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem
bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau
jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan
oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Pemberi waralaba (Franchisor)
adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk
memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada
penerima waralaba. Sedangkan Penerima Waralaba (Franchisee) merupakan
orang perseorangan atau badan usaha yang diberi hak oleh Pemberi Waralaba
untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi
Waralaba (Slamet, 2011)
Pertumbuhan franchise di Indonesia semakin meningkat. Pada tahun
2009 pertumbuhannya mencapai sekitar 15% yaitu menjadi Rp 93,15 triliun
dibandingkan tahun 2008 yaitu senilai Rp 81 triliun. Sementara itu, penetrasi
waralaba di Indonesia adalah mencapai jumlah sekitar 750 merek yang terdiri
dari sekitar 40 ribu gerai dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Berikut adalah beberapa bidang usaha di Indonesia yang sudah
menggunakan system franchise:
1. Automotive, yang meliputi auto variation, auto accessory, car wash
franchise, car dealer franchise.
2. Course & Education, yang meliputi kids education franchise, university,
college, course, playgroup franchise.
3. Entertainment, yang meliputi entertainment franchise, family recreation
franchise, movie rental franchise, family karaoke franchise.
4. Fashion, Style, Apparel & Jewelry, yang meliputi fashion franchise, apparel,
life style related franchise.

Bab 14: Franchise dalam Perspektif Islam 203


5. Fast Food & Bakery, yang meliputi fast food franchise, pizza franchise,
burger, bakery and cake franchise.
6. Health Centre Spa, yang meliputi medical store franchise, spa, salon, body
care, skin centre franchise.
7. Household & Hotels, yang meliputi hotel, apartment, household supplier &
furniture franchise.
8. Laundry Services, yang meliputi dry cleaning franchise
9. Real estate & Property, yang meliputi property & real estate broker,
apartement, real estate dealer franchise.
10. Restaurant & Cafe, yang meliputi restauran, cafe outlet, steak house.
11. Retail, Outlet & Minimart, yang meliputi consumer goods, retail chain store,
outlet & mini mart franchise
12. Tour & Travel, yang meliputi travel burreau, tour-travel agent, honeymoon &
romantic gateway franchise (Sudarmiatin, 2011).

F. Perspektif Islam Terhadap Franchise


Bisnis Franchise hakikatnya telah lama dikenal dalam ekonomi Islam
dengan nama syirkah atau musyarakah (kerjasama). Kerjasama dilaksanakan
untuk mendapatkan keuntungan sesuai kesepakatan awal atas waktu
tertentu (sesuai perjanjian). Prinsip dalam Franchise terdapat keterbukaan
(transparansi) dan kehati-hatian yang tertuang dalam prinsip ekonomi islam
yaitu gharar (ketidak pastian atau ketidakjelasan) dan tidak diperkenankan
mengaplikasikannya terhadap dunia bisnis (Ghufron & Fahmiyah, 2019).
Dalam hal ini bisnis Franchise tergolong syirkah inan, yakni sebuah konsep
kerja sama antara dua orang atau lebih dalam permodalan untuk melakukan
suatu usaha bersama dengan cara membagi untung atau rugi sesuai dengan
jumlah modal masing-masing dan keuntungan dengan sistem mudharabah
atau bagi hasil (Dzuluqy, 2019)
Hal ini dapat dipahami bahwa dengan adanya perjanjian franchising,
maka secara otomatis antara franchisor dan franchisee terbentuk hubungan
kerja sama untuk waktu tertentu (sesuai dengan perjanjian). Kerja sama
tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan antara kedua belah
pihak dengan cara kerjasama baik dalam bentuk pemberian izin menggunakan
merek dan resep dagang tertentu, atau kerjasama dalam pembinaan keahlian
tenaga kerja. Ada juga kerja sama di mana salah satu pihak mengeluarkan
tenaga dan pihak lain hanya mengeluarkan modal usaha dengan perjanjian

204 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


keuntungan akan dibagi sesuai kesepakatan. Dalam operasional kegiatan
waralaba juga diterapkan prinsip keterbukaan, kejujuran dan kehati-hatian
(Firdawati, 2011). Oleh karena itu, sistem waralaba tidaklah bertentangan
dengan ekonomi islam pada umumnya. Di dalamnya terdapat adanya
kemitraan usaha dan kesepakatan antara kedua belah pihak. Islampun
mengajarkan selalu untuk bermitra dalam menjalankan bisnis. Agar tidak hanya
mendapat keuntungan materi saja. Nabi Muhammad SAW telah melaksanakan
praktek kerjasama dengan Sayyidah Khodijah (yang kemudian menjadi istri
beliau) Dengan menjual barang dagangan milik Sayyidah Khodijah kemudian
Nabi Muhammad memperoleh upah atas apa yang dikerjakan (Ghufron &
Fahmiyah, 2019).
Kejujuran yang dimilki membuat Nabi Muhammad menjadi Pengusaha
sukses yang diperoleh setelah bermitra Sayyidah Khodijah. Dalam Islam
praktek kerjasama yang dilakukan tersebut terkenal dengan sebutan syirkah
yakni perserikatan antara kedua belah pihak dan keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan bersama. Jadi berbisnis sistem waralaba dalam Islam bukanlah
sistem baru yang tidak dikenal sebelum. Akan tetapi, bagi seorang muslim
dalam kerjasama hal yang harus menjadi patokan adalah harus mengedepankan
kemaslahatan umat dalam hal muamalah (Ghufron & Fahmiyah, 2019).
Adapun alasan kokrit waralaba dikategorikan sebagai bagian dari bentuk
syirkah adalah:
1. Waralaba adalah kerjasama yang saling menguntungkan, berarti bisnis
waralaba memang dapat dikatakan kategori dari syirkah dalam hukum
Islam.
2. Terdapat prestasi bagi penerima waralaba, hal ini sama dengan syirkah.
3. Terdapat barang, jasa dan tenaga memenuhi salah satu syarat syirkah.
4. Terdapat dua orang atau lebih yang bertransaksi, sepakat, hal tertentu,
ditulis (dicatat) dan oleh sebab tertentu sesuai dengan syarat syirkah

Untuk menciptakan sistem bisnis waralaba yang islami, diperlukan sistem


nilai syariah sebagai filter moral bisnis yang bertujuan untuk menghindari
berbagai penyimpangan moral bisnis (moral hazard). Filter tersebut adalah
dengan komitmen menjauhi tujuh pantangan MAGHRIB, yakni: (1) Maysir,
maksudnya tidak boleh melaksanakan aktivitas bisnis yang mengandung maysir,
yaitu segala bentuk spekulasi judi (gambling) yang mematikan sektor riil dan
tidak produktif. (2) Asusila, maksudnya tidak boleh melaksanakan aktivitas
bisnis yang mengandung asusila, yaitu praktik usaha yang melanggar kesusilaan

Bab 14: Franchise dalam Perspektif Islam 205


dan norma sosial. (3) Gharar, maksudnya tidak boleh melaksanakan aktivitas
bisnis yang mengandung gharar, yaitu segala transaksi yang tidak transparan
dan tidak jelas, sehingga berpotensi merugikan salah satu pihak. (4) Haram,
maksudnya tidak boleh melaksanakan aktivitas bisnis yang mengandung haram,
yaitu obyek transaksi dan proyek usaha yang diharamkan syariah. (5) Riba,
maksudnya tidak boleh melaksanakan aktivitas bisnis yang mengandung riba,
yaitu segala bentuk distorsi mata uang menjadi komoditas dengan mengenakan
tambahan (bunga) pada transaksi kredit atau pinjaman. (6) Ihtikar, maksudnya
tidak boleh melaksanakan aktivitas bisnis yang mengandung ihtikar,yaitu
penimbunan dan monopoli barang dan jasa untuk tujuan permainan harga.
(7) Berbahaya, tidak boleh melaksanakan aktivitas bisnis yang menciptakan
bahaya, yaitu segala bentuk transaksi dan usaha yang membahayakan individu
maupun masyarakat serta bertentangan dengan kemaslahatan (Dzuluqy, 2019)
Menurut Abdullah Taufik, (2019)literary and artistic works, the images of
extraordinary value as a result of the development of\r science and technology.
The franchise system contains an abstract wealth that has high economic value
such as, images or good name (good will, Perjanjian waralaba dalam pandangan
syari`ah mensyaratkan adanya pemenuhan syarat dan Rukunnya, pada
umumnya aturan aturan perjanjian yang dijadikan landasan wararalaba tidak
jauh beda dengan ketentuan syari`ah,hanya yang perlu mendapat perhatian
khusus adalah unsur objek dari sebuah perjanjian yang disebut dengan Ma`qud
alaih dalam syaria`a,pada perjanjian waralaba obyek perjanjian bukanlah suatu
benda melainkan hak yang bernilai ekonomis yaitu terakumulasi dalam Hak
Kekayaan Intelektual (HKI). Terhadap Hak Kekayaan Intelektual, Hukum
Islam memandang bahwa HKI, termasuk salah satu dari Huquq al-Maliyah
(Hak Kekayaan) sehingga dapat dijadikan sebagai obyek perjanjian (Ma`qud
Alaih) baik secara akad Mu`awwadhoh (Komersial) ataupun Tabarru`at (Non
Komersial), dengan ketentuan HKI tersebut memenuhi unsur legalitas hukum
positif dan keberadaannya dilindungi oleh Negara.
Senada dengan itu, perjanjian waralaba adalah perjanjian formal. Hal
tersebut dikarenakan perjanjian waralaba disyaratkan untuk dibuat secara
tertulis. Hal ini diperlukan sebagai bentuk perlindungan bagi kedua belah
pihak yang terlibat dalam perjanjian waralaba. Hal ini sesuai dengan surah
Al-Baqarah [2]: 282,”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah

206 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah
akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang- orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi- saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi
itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu (Budi, 2007)

Bab 14: Franchise dalam Perspektif Islam 207


208 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah
BAB 15
E-Commerce dalam
Perspektif Islam

A. Definisi E-Commerce
Kemajuan teknologi telah menyebabkan terjadinya perubahan budaya
dan kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga melahirkan model-model hubungan
baru, termasuk dalam dunia bisnis. Salah satu media andalannya adalah
melalui E- Commerce (Electronik Commerce) (Sukmayanti, 2020). E- commerce
merupakan suatu bentuk perdagangan yang memiliki ciri khas tersendiri
(Andreas et al., 2019), seperti situs-situs jual beli online seperti Shopee,
Tokopedia, Blibli, Bukalapak dan Lazada (Kholijah, 2020).
E-commerce atau Electronic Commerce terdiri dari dua suku kata yaitu
Electronic dan Commerce. Secara bahasa Electronic adalah semua alat yang
berhubungan dengan teknologi dan dunia elektronika, sedangkan Commerce
adalah perniagaan atau perdagangan (Sara & Fitryani, 2020). Secara istilah
E-commerce adalah sebuah mekanisme transaksi yang menggunakan jaringan
komunikasi elektronik seperti internet yang digunakan banyak negara baik maju
maupun berkembang, dan aktivitasnya tidak dapat lagi dibatasi dengan batasan
geografis dan dapat meningkatkan efisiensi serta kecepatan penyelenggaraan
bisnis (Wulandari, 2017).
Menurut Robert V. Kozinets, Kristine De Valck, Andrea C. Wojnicki,
(2010) e-commerce sebagai proses pembelian, penjualan, dan pentransferan atau
pertukaran produk baik barang dan jasa, maupun informasi melalui jaringan

209
komputer atau sumber internet. Salah satu keuntungan penggunaan sumber
internet adalah pengiriman data dan informasi yang lebih cepat antara orang-
orang yang terlibat, dalam hal ini yang dimaksud adalah pihak penjual dan
pembeli.
Sedangkan menut Laudon, K., (2009) e-commerce adalah transaksi bisnis
yang dilakukan dengan menggunakan internet dan web dan memenuhi dua
syarat yaitu seluruh transaksi dilakukan dengan teknologi media digital terutama
pada transaksi yang terjadi melalui internet dan web, serta adanya perpindahan
mata uang pada saat transaksi tersebut terjadi. E-commerce sebagai suatu
cara untuk melakukan aktivitas perekonomian dengan infrastruktur internet
memiliki jangkauan penerapan yang sangat luas. Dengan internet, maka, setiap
orang dapat melakukan aktivitas apapun termasuk aktivitas ekonomi. Secara
garis besar, e-commerce diterapkan untuk melaksanakan aktivitas ekonomi
business-to-business, business-to consumer, dan consumer-to-consumer (Santoso,
2016).
Business-To-Business (B2B). B2B merupakan transaksi secara elektronik
antara entitas atau obyek bisnis yang satu ke obyek bisnis lainnya, disebut juga
transaksi antar perusahaan. Transaksi yang digunakan adalah EDI dan email
untuk pembelian barang dan jasa, informasi maupun konsultasi (Samad, 2019).
Karakteristik dari bisnis model B2B antara lain:
(a) Trading partners sudah diketahui dan umumnya mempunyai relasi yang
cukup lama. Informasi hanya dipertukarkan dengan partner tersebut.
Karena sudah mengenal lawan komunikasi, maka jenis informasi yang
dikirimkan dapat disusun sesuai dengan kebutuhan dan kepercayaan.
(b) Pertukaran data berlangsung berulang-ulang dan secara berkala, misalnya
setiap hari, dengan format data yang sudah disepakati bersama.
(c) Pelaku bisa berinisiatif mngirimkan data tanpa harus menunggu
parternya.

Business-To Consumer (B2C). mempunyai karakteristik berikut ini: (a)


Informasi disebarkan ke umu, karena bersifat terbuka untuk umum; (b) Layanan
servis diberikan bersifat umum dan masyarakat umum dapat menikmatinya
secara ramai; (c) Servis diberikan berdasarkan permohonan. Konsumen
melakukan inisiatif dan produser harus siap memberikan respon sesuai dengan
permohonan; (d) Pendekatan client/server sering digunakan dimana diambil
asumsi client (consumer) menggunakan sistem yang minimal (berbasis Web)
dan processing diletakkan di sisi server. Ada beberapa kategori yang termasuk

210 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


B2C diantaranya adalah portal, retail online, content providers, transaksi pialang,
jasa provider, dan komunitas provider (Samad, 2019).
Consumer to Consumer (C2C) adalah tradisi bisnis secara elektronik
yang dilakukan antar konsumen dalam memenuhi kebutuhan tertentu dan
pada waktu tertentu pula, segmentasi konsumen ke konsumen ini sifatnya
lebih khusus karena transaksi dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang
memerlukan transaksi. Internet yang telah dijadikan sebagai sarana tukar
menukar informasi tentang produk baik mengenai harga, kualitas dan
pelayanannya (Santoso, 2016).
E-Commerce dikenal juga dengan istilah online shopping adalah pelaksanaan
perniagaan berupa transaksi penjualan, pembelian, pemesanan, pembayaran,
maupun promosi suatu barang dan/atau jasa dilakukan dengan memanfaatkan
komputer dan saran komunikasi elektronik digital atau telekomunikasi data.
E-commerce disebut juga sebagai Market Place Online yaitu jasa tempat perantara
antara penjual dan pembeli di dunia maya yang dibuat agar mempermudah
penjual dan pembeli tersebut bertransaksi walau keduanya tersebut berada pada
tempat yang terpisah (Aisyah & Achiria, 2019).
Pada pengertian lain, E-commerce adalah bentuk transaksi bisnis yang
lebih praktis tanpa perlu kertas (paperless) serta dapat dilakukan melintasi
batas negara, tidak bertemunya secara langsung para pihak yang melakukan
transaksi yakni penjual dan pembeli (face to face) dengan menggunakan media
internet (Khoiriyah, 2018).
E-Commerce merupakan bagian dari e-business, di mana cakupan
e-business lebih luas, tidak hanya sekedar perniagaan tetapi mencakup juga
pengkolaborasian mitra bisnis, pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan
dll. Selain teknologi jaringan World Wide Web (WWW), E-Commerce juga
membutuhkan teknologi basis data atau pangkalan data (database), e-surat atau
surat elektronik (e-mail), dan bentuk-bentuk teknologi non komputer lainnnya
seperti sistem pengiriman barang, dan alat pembayaran untuk e-Commerce
(Kholijah, 2020)..
Hakikat dari e-commerce adalah; transaksi antara dua belah pihak; terdapat
pertukaran barang, jasa atau informasi; internet menjadi media utama dalam
proses atau mekanisme perdagangan; dan pelaksanaan transaksi perdagangan
melalui mekanisme pemesanan secara elektronik (on line orders) (Iska, 2010).
Maka e-commerce telah mengubah paradigma klasik dengan menumbuhkan
model-model interaksi antara produsen dan konsumen di dunia virtual. Sistem
e-commerce dirancang mulai dari pembelian, pemeriksaan dan pengiriman.

Bab 15: E-Commerce dalam Perspektif Islam 211


karena itu, ketersediaan informasi yang benar dan akurat mengenai konsumen
dan perusahaan dalam ecommerce merupakan prasyarat mutlak (Khoiriyah,
2018).
E-commerce tidak hanya suatu mekanisme penjualan barang atau
jasa melalui medium internet, melainkan juga terhadap terjadinya sebuah
transformasi bisnis yang mengubah cara pandang perusahaan dalam
melakukan aktivitas usahanya. Membangun dan mengimplementasikan sebuah
sistem e-commerce bukanlah merupakan proses instant, tetapi merupakan
transformasi strategi dan sistem bisnis yang terus berkembang sejalan dengan
perkembangan perusahaan dan teknologi (Santoso, 2016).
Jadi dapat dipahami bahwa e-commerce merupakan suatu transaksi
komersial yang dilakukan antar penjual dan pembeli atau dengan pihak lain
dalam hubungan perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah barang,
pelayanan atau peralihan hak. Transaksi komersial ini ada di dalam media
elektronik (media digital) yang tidak memerlukan pertemuan para pihak yang
bertransaksi secara fisik dan keberadaan media ini di dalam public network atau
sistem yang berlawanan dengan private network (sistem tertutup) (Khoiriyah,
2018).

B. Keunggulan dan Kekurangan E-Commerce


E-Commerce merupakan salah satu hasil dari penerapan internet pada
bidang ekonomi. Transaksi barang maupun jasa semakin menjamur seiring
dengan semakin banyak pengguna internet yang memanfaatkan media sosial
(instagram, facebook, twitter, youtube, whatshap) untuk melakukan transaksi
(Kurniawati, 2019). Bahkan pasar online saat ini dianggap sebagai salah
satu pasar modern yang paling banyak diminati oleh berbagai kalangan,
Negara, dan berbagai latar belakang lainnya. Melalui online transaksi jual
beli produk menjadi sangat tinggi bila dibandingkan transaksi di luar online.
Karena e-commerce mendatangkan keuntungan yang banyak bagi pelaku
bisnis terutama pelaku bisnis yang mempunyai modal terbatas atau bahkan
tidak ada modal sama sekali untuk melakukan promosi (Sara & Fitryani,
2020). Kemudahan order melalui desktop, kemudahan dalam mengetahui
ketersediaan produk, cepatnya proses jual-beli dan customer memiliki posisi
tawar yang tinggi terhadap perusahaan dengan demikian menuntut pelayanan
perusahaan dengan demikian menuntut pelayanan perusahaan menjadi lebih
baik (Santoso, 2016).

212 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Hadirnya e-commerce memungkinkan terciptanya persaingan yang sehat
antara perusahaan kecil, menengah dan besar dalam merebut pangsa pasar
(Khoiriyah, 2018), dapat memudahkan dan mengurangi biaya operasional
untuk memberikan layanan publik kepada konsumen dengan kualitas yang
lebih baik, memberikan tingkat harga yang lebih rendah, tingkat variasi harga
yang lebih rendah jika dibandingkan dengan jalur pemasaran konvensional,
transaksi dapat berjalan secara efektif dan efisien serta pelanggan dapat
membeli produk kapan dan di mana saja (Afdila & Ferdian, 2020), tersedia
banyak kesempatan untuk mendapatkan pelanggan baru, meningkatkan
mutu layanan, menarik dan melayani konsumen sampai tanpa batas waktu
(Muhammad, 2020).
Pada disisi harga biaya administrasi maupun akomodasi dapat
diminimalkan, sehingga tidak jarang ditemui banyak produk dengan harga
onlineyang lebih murah dibandingkan dengan harga di store (Kurniawati,
2019). Selain itu, e- commerce mempunyai kemampuan untuk menjangkau lebih
banyak pelanggan dan lebih efisien waktu karena konsumen dapat mengakses
secara terus menerus; e-commerce mendorong kreatifitas pihak penjual dan
pendistribusian informasi secara cepat dan tepat, e-commerce dapat menciptakan
efisiesni tinggi, murah serta informatif; dan e- commerce dapat meningkatkan
kepuasan pelanggan (Sudarmanto, 2020).
Sedangkan sisi kekurangan dari e-commerce adalah ada potensi kejahatan
berupa penipuan, pembajakan kartu kredit (carding), pentransferan dana illegal
dari rekening tertentu, dan sejenisnya sangatlah besar karena sistem keamanan
(security) infrastruktur e-commerce masih lemah (Khoiriyah, 2018). Beberapa
kejahatan yang sering terjadi dalam e-commerce seperti; (a) kerahasiaan pesan,
(b) keutuhan pesan (produk yang dipesan tidak sesuai dengan produk yang
ditawarkan), (c) barang belum sampai ke tangan penerima (ketidaktepatan
waktu menyerahkan barang atau pengiriman barang), (d) keabsahan pelaku
transaksi, terkait dengan kesalahan dalam pembayaran, (e) keaslian pesan
agar bisa dijadikan barang bukti, dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan
kesepakatan sebelumnya. Hal-hal lain terjadi pula karena penjual mengaku
belum menerima pembayaran dari pembeli, sedangkan kenyataanya pembeli
sudah mengirim pembayarannya untuk seluruh barang. Kecurangan yang
dilakukan pembeli, seperti memberikan identitas palsu, menggunakan kredit
orang lain, tidak pengirimkan pembayaran dari transaksi yang telah disepakati,
dan lain sebagainya (Santoso, 2016).

Bab 15: E-Commerce dalam Perspektif Islam 213


Sebagai marketplace, harus tersedia sistem sortir komoditas yang
dipasarkan dalam e-commerce; Meningkatkan jumlah sumber daya manusia di
bidang legal information engineers untuk mengantisipasi kemungkinan dampak
buruk transaksi e- commerce. Enkripsi yang digunakan dalam keamanan
informasi harus secara baik dan benar untuk mengubah informasi menjadi
kode yang tidak seorang pun dapat menggunakannya kecuali pengguna yang
diizinkan bahkan orang lain tidak dapat mengaksesnya (Sudarmanto, 2020).
Pada aspek lain e-commerce telah mendorong konsumen untuk
berperilaku konsumtif, media ini mampu mempengaruhi konsumen untuk
berbelanja, tampilan yang menarik, mewah, dan canggih dari suatu website
dengan kata-kata yang bersifat persuasif, produk yang terlihat berkualitas, harga
yang bersaing dan murah, kemudahan transaksi yang ditawarkan, serta tawaran
diskon besar-besaran menjadikan konsumen ketagihan untuk berbelanja (Afdila
& Ferdian, 2020).
Ada beberapa komponen dalam e-commerce yaitu: Pertama, Internet;
termasuk internet, intranet, dan extranet. Internet adalah pondasi ecommerce
dan pembawa informasi bisnis komersial. Kedua, Pengguna e-commmerce;
termasuk konsumen personal dan bisnis. Konsumen bisnis bisa terdiri dari
para staf, kekayaan, barang, dan produksi. Ketiga, Authentication Authority:
Authentication Authority (CA) adalah kuasa yang diakui oleh hukum, dan
bertanggungjawab terhadap pengedaran dan mengurus sertifitat digital dan
memfasilitasi semua pihak yang termasuk di dalam perdagangan online untuk
saling mengenal satu sama lain.
Keempat, Pusat distribusi, adalah pihak yang bertanggungjawab
mengirimkan barang yang tidak bisa dikirimkan secara online kepada konsumen
untuk menjaga aliran yang baik. Kelima, Bank online, yang menyediakan bisnis
tradisional bank kepada pihak penjual dan pembeli seperti penyelesaian, dan
jasa perputaran waktu. Keenam, Administrasi aktifitas komersial, temtarna
terdiri dari departemen industri, kustom, pajak, dan perdagangan (Samad,
2019). Sedangkan pihak yang terlibat dalam e-commerce adalah a) Penyedia
jasa Internet (Internet Service Provider/ISP). ISP merupakan pemilik ruang
elektronik yang disebut website/keybase yang terdiri dari site yang satu dengan
lainnya dapat dibedakan. ISP dipasarkan melalui penyalur jasa internet. b)
Pengembang (intellectual agent), yaitu pelaku bisnis yang mengadakan kontrak
langsung dengan ISP. ISP dan pengembang ini harus online 24 jam sehari dan
tujuh hari dalam seminggu agar dapat dikunjungi customer dengan mudah. c)
Customer atau pemakai (Samad, 2019).

214 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


C. Perspektif Islam Terhadap E-Commerce
Islam mewajibkan setiap orang yang akan terjun ke dunia usaha, harus
mengetahui hal-hal yang dapat mengakibatkan jual beli itu sah atau fasid. Ini
dimaksudkan agar mu‘amalah berjalan sah dan segala sikap dan tindakannya
jauh dari kerusakan yang tidak dibenarkan (Santoso, 2016)where buyers and
sellers meet face to face. Now the transaction has been switched into cyber-
spaced transaction, where the trading transactions are conducted through
social networking, computers, mobile phones, etc. Such Transactions are
called online trading transactions (e-commerce. E-Commerce dalam konteks
ini, jelas merupakan suatu bentuk transaksi kontemporer yang belum pernah
ada dan dilaksanakan pada awal masa Islam, sehingga tidak ada tertuang
aturannya secara konkrit dalam al- Quran dan Sunnah Nabi saw, sehingga
menjadi wilayah ijtihadi para ulama. Dalam konsep Islam, segala sesuatu yang
berbentuk interaksi sesama manusia (muamalah) pada dasarnya dibolehkan,
selama tidak terdapat dalil yang menentukan keharamannya, sebagaimana
tertuang dalam kaedah hukum: “Hukum asal segala sesuatu dalam bidang
muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya” (Iska, 2010).
Untuk itu, konsep jual-beli dalam fikih muamalah yang dianggap sepadan
dengan konsep e-commerce adalah konsep jual-beli al-salam (Bai‟ al-salam). Bai‟
al-salam merupakan jual beli yang pemberian barangnya ditunda sedangkan
harga barang dibayarkan segera.. Dasar hukum bai‘ as-Salam diperbolehkan
berdasarkan QS Al-Baqarah [2]:282]: “Hai orang-orang yang beriman apabila
kamu melakukan jual beli tidak secara tunai untuk waktu tertentu maka tuliskanlah”.
Sabda Rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari Ibn Abbas: “Siapa yang melakukan jual-beli salam, hendaklah melakukannya
dengan takaran dan timbangan yang jelas, sampai batas waktu tertentu”.
Berdasarkan ayat al-Qur‘an dan hadits ini, maka secara prinsip bentuk
transaksi jual beli antara al-salam dengan e- commerce adalah sama, yakni sama-
sama berbentuk pesanan yang penyerahan barangnya ditangguhkan, sedangkan
pembayarannya sama-sama tunai. Kendati pada al-salam pembayarannya
secara konvensional, yakni langsung berbentuk uang tunai, sesuai dengan
kondisi peradaban yang ada pada waktu itu, sedangkan "tunai" dalam sistem
pembayaran pada e- commerce dengan memakai media e-mail dan credit card
(kartu kredit) secara on line (Muhammad, 2020).
Apabila e-commerce dilihat sebagaimana perdagangan dalam Islam,
maka dapat dianalogikan bahwa pertama penjualnya adalah merchant

Bab 15: E-Commerce dalam Perspektif Islam 215


(Internet Service Provider atau ISP), sedangkan pembelinya akrab dipanggil
customer. Kedua, obyeknya adalah barang dan jasa yang ditawarkan (adanya
pemesanan seperti dalam transaksi al-salam) dengan berbagai informasi,
profile, mencantumkan harga, terlibat gambar barang, serta status resminya
perusahaan. Dan ketiga, adanya sighat (ijab-qabul) dilakukan dengan payment
gateway yaitu sistem/software pendukung (otoritas dan monitor) bagi acquirer,
serta berguna untuk service online (Santoso, 2016).
Prinsip transaksi e-commerce diperbolehkan dalam Islam asalkan dalam
pelaksanaannya sesuai dengan prinsip Islam yaitu terhindar dari riba, gharar,
maisir, haram, penipuan, dan sebagainya (Kurniawati, 2019). Pada e-commerce
terdapat Encryption (penggunaan sandi), Digital Signatures (tanda tanga digital),
Digital certificates and certificate authorities, Secure Socket Layer (SSL), yang
mengharuskan pemegangnya amanah. Sebagaimana diperintahkan Islam,
termasuk jabatan atau pekerjaan merupakan bentuk amanah yang harus
dijalankan (Kholijah, 2020).
Seperti firman Allah dalam surat An- Nisa’ [4] ayat 58: “Sungguh, Allah
menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila
kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan
adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh,
Allah Maha Mendengar, Maha Melihat”. Selain itu, selama kontrak tersebut
sesuai dengan hukum Islam, semua transaksi online akan membuat hidup
lebih mudah, jadi ini bukan masalah. Adapun strategi promosi melalui
periklanan dan lain-lain, hal ini untuk menarik perhatian konsumen. selama
tidak melanggar aturan-aturan syariah seperti curang, manipulasi dan bisnis
terlarang lainnya maka dapat diperbolehkan (Sukmayanti, 2020).
Selanjutnya, ada lima tahap yang harus dilakukan untuk mengetahui
validitas transaksi e-commerce, yaitu: Pertama, mengajukan kontrak (at-
taaqut). Disini kedua belah pihak wajib sama-sama mengecek empat pillar
yang mengikat kontrak, yaitu: sighat (ijab qabul), dimana kedua belah pihak
yang melakukan transaksi, barang yang akan diperjualbelikan, dan ungkapan
yang harus disepakati. Apabila pemilik produk tidak dapat hadir, maka agen
yang mewakilkan harus benar-benar memastikan bahwa perusahaan tersebut
ada dan nyata. Untuk barang yang menjadi objek transaksi, selain syarat yang
berlaku pada objek pada umumnya, dalam e- commerce, dimana transasksi
dilakukan via internet, maka barang itu juga harus tersedia di pasar global.
Kedua, memastikan validitas (shiha). Selama proses validitas, kontrak
yang dibuat harus bebas dari komponen bunga (riba), ketidak pastian (gharar),

216 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


penipuan, dan pemaksaan, atau salah satu dari jenis perjudian (maisir). Ketiga,
Implementasi/pelaksanaan (Nafath). Dalam tahap ini, ada dua hal utama yang
harus dilakukan: (a). Orang yang menawarkan produk merupakan pemilik
produk itu sebenarnya dan memiliki hak penuh terhadap barang tersebut. (b).
Barang yang diperjualbelikan harus terbebas dari semua hutang-piutang.
Keempat, Mengikat (llzham). Dimana kedua pihak harus menandatangani
kontrak yang mengikat. Sebelum menandatangani kontrak, pembeli harus
memeriksa perusahaan (penjual) dan produk yang dijual melalui agen atau
pihak lain. Hal ini dilakukan karena konsumen tidak bisa melihat secara
langsung kondisi barang, dan website bisa selalu dikembangkan. Setelah
menandatangani kontrak, pembeli harus menyimpan copy dari kontrak tersebut
untuk menghindari penipuan (manipulasi). Kelima, Pengiriman. Pada tahap
akhir ini kedua belah pihak harus saling menukar antara barang dan harga yang
harus dibayarkan. Pada umunmya, e-commerce menggunakan kartu kredit,
namun muslim harus menghindari pemakaian kartu kredit yang mengandung
riba, dan mencari alternatif pembayaran yang lain, seperti pembayaran melalui
bank. Setelah mendapatkan produk, konsumen harus juga memeriksa dan
mengkonfirmasikan apakah barang yang diterima sudah sesuai dengan kondisi
dan spesifikasi yang telah disepakati. Dalam Islam, ada beberapa opsi yang
dilakukan apabila hal ini terjadi, yaitu dengan khiyar.
Keenam, Pembayaran untuk transaksi e-commerce. Pembayaran e-commerce
pada umunmya dengan kartu kredit. Dalam Islam, jika diasumsikan bahwa
penggunaan kartu kredit adalah halal, maka pembeli harus membayar
harga secara keseluruhan sebelum tanggal yang ditentukan. Masalah utama
dalam keabsahan e-commerce menurut pandangan Islam adalah dimana
konsumen hanya membayar 15% dari syarat minimum, sementara bank yang
mengeluarkan akan menagih sebesar 2% setiap bulan dari neraca yang ada.
Solusi terbaik dari Islam untuk masalah tersebut adalah dengan murabahah
(Samad, 2019).
Islam menerima e-commerce sebagai metode baru atau teknologi
untuk memfasilitasi transaksi ekonomi. Lebih lanjut, Islam tidak melarang
e-commerce, sebaliknya, Islam pada dasarnya mendukung e-commerce sebagai
salah satu cara untuk melakukan bisnis karena sebenarnya, transaksi tradisional
yang dilakukan dengan tatap muka kini bisa dilakukan Via komputer dalam
satu majelis. Tidak kalah penting dalam menjalankan transaksi e-commerce
adalah perspektif moral yang mengacu pada penjual yang bertanggungjawab.

Bab 15: E-Commerce dalam Perspektif Islam 217


Mengingat e-commerce dilakukan melalui aktivitas komputer dan
jaringan, maka terdapat beberapa kondisi yang harus diteliti lebih lanjut
untuk memastikan keabsahan transaksi. Pertama, harus ada kejelasan
dalam komunikasi dan produk yang ditawarkan harus diperlihatkan atau
dideskripsikan dengan jelas, misalnya dengan gambar produk yang ditampilkan
dengan jelas di layar komputer dengan spesifikasi detail, harga, cara
pengiriman, dan cara pembayaran juga harus dijelaskan dengan rinci. Kedua,
kedua belah pihak harus menerima pesan untuk memperoleh konfirmasi dalam
kesepakatan (termasuk kontrak). Ketiga, harus ada kesinambungan dalam
komunikasi tersebut, baik melalui pesan atau konsultasi antara keduanya via
e-mail (Samad, 2019).

218 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Daftar Pustaka

Abdullah, M. I., & Helmarini. (2021). Nilai-Nilai Ajaran Islam Dan Etika
Wirausaha Dalam Pendidikan Kewirsusahaan. Jurnal Economic Edu, 1(2),
83–89. http://jurnal.umb.ac.id/index.php/ecoedu/article/view/1358
Abdurrahman, N. H. (2013). Manajemen Bisnis Syariah & Kewirausahaan.
Bandung: Pustaka Setia.
Achmadi. (2007). Analisis Pengaruh Faktor Ukuran, Usia, Dan Pertumbuhan
Perusahaan Terhadap Strategi Kewirausahaan Dalam Franchising. Value
Added: Majalah Ekonomi Dan Bisnis, 4(1), 1–15. https://jurnal.unimus.
ac.id/index.php/vadded/article/view/672
Adnan Abd Rashid, & Arifin Mamat. (2013). Educational View of the Islamic
Leadership : Are the Islamic Leaders Performing Their Responsibilities ?
International Journal of Humanities and Social Science, 3(3), 178–185.
Afdila, & Ferdian. (2020). Pengaruh E-Commerce terhadap Perilaku Konsumen
dalam Perspektif Ekonomi Syariah. Al-Muqayyad, 3(2), 180–192. https://
doi.org/https://doi.org/10.469 63/jam.v3i2.285
Afrizal, L. H. (2018). Rubūbiyah dan Ulūhiyyah Sebagai Konsep Tauhid
(Tinjauan Tafsir, Hadits dan Bahasa). Tasfiyah, 2(1), 41. https://doi.
org/10.21111/tasfiyah.v2i1.2482

219
Ahmad, A., & Humayoun, A. A. (2011). Islamic banking and prohibition of
Riba/interest. African Journal of Business Management, 5(5), 1763–1767.
https://doi.org/10.5897/AJBM10.723
Aisyah. (2017). Inovasi Dalam Perspektif Hadis. Jurnal TAHDIS, 8(1), 90–101.
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/tahdis/article/view/4009
Aisyah, L., & Achiria, S. (2019). Usaha Bisnis E-commearce Perspektif
Ekonomi Islam (studi pada bisnis @lisdasasirangan). Ad-Deenar: Jurnal
Ekonomi Dan Bisnis Islam, 3(2), 187–200. https://doi.org/10.30868/
ad.v3i2.507
Alfaqiih, A. (2017). Prinsip-Prinsip Praktik Bisnis Dalam Islam Bagi Pelaku
Usaha Muslim. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 24(3), 448–466. https://
doi.org/10.20885/iustum.vol24.iss3.art6
Alfianto, E. A. (2012). Kewirausahaan : Sebuah Kajian Pengabdian Kepada
Masyarakat. Jurnal Heritage, 1(2), 33–42. https://jurnal.yudharta.ac.id/
v2/index.php/HERITAGE/article/view/837
Alma, B. (2006). Kewirausahaan; Menumbuhkan Jiwa Wirausaha bagi Mahasiswa
dan Masyarakat Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Ambar, T. S. R. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Graha Ilmu.
Amirudin, & Emmanuel, R. (2012). Penerapan Tujuh Dimensi Pemasaran
Dalam Entrepreneur Marketing Di Indonesia. Kajian Ilmiah Mahasiswa
Manajemen, 1(5), 1–6. http://journal.wima.ac.id/index.php/Kamma/
article/view/322
Andharini, S. N. (2012). Pemasaran Kewirausahaan Dan Kinerja Usaha Mikro
Kecil Dan Menengah. Jurnal Ekonomika Bisnis, 03(02), 121–130. https://
doi.org/10.22219/jekobisnis.v3i2.2235
Andreas, R., Andini, P. R., & Rulanda, S. P. (2019). Islamic Perspective
In Consumers Protecting Of E-Commerce Transactions In Indonesia.
Ikonomika, 4(1), 60–70. https://doi.org/10.24042/febi.v4i1.3898
Aprijon. (2013). Kewirausahaan dan Pandangan Islam. Menara Riau; Jurnal
Ilmu Pengetahuan Dan Pengembangan Masyarakat Islam, 12(1), 1–11. http://
ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/Menara/article/view/406
Aqli, R. (2016). Etika Wirausaha dan Pengelolaan Wirausaha Menurut Ajaran
Agama Islam. Jurnal Qolamuna, 1(2), 305–322. https://ejournal.stismu.
ac.id/ojs/index.php/qolamuna/article/view/20

220 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Aravik, H., & Hamzani, A. (2021). Etika Perbankan Syariah: Teori dan
Implementasi. Deepublish.
Aravik, H., H. F. Z. (2020). Filsafat ekonomi Islam : ikhtiar memahami nilai esensial
ekonomi Islam. Kencana Prenada Media Group.
Aravik, H. (2016). Ekonomi Islam: Konsep, Teori dan Aplikasi serta Pandangan
Pemikiran Ekonomi Islam dari Abu Ubaid sampai al-Maududi. Empat Dua
Intranspublishing.
Ardiani, W., & Putra, R. (2020). Faktor-Faktor Penguat Minat Berwirausaha
Mahasiswa Universitas Harapan Medan. Maker: Jurnal Manajemen, 6(1),
20–30. https://doi.org/10.37403/mjm.v6i1.134
Aries Suprapto, H., & Rusdi, M. (2018). Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
(Abdimas) Ikip Siliwangi Pelatihan Pembuatan Proposal Rencana Bisnis
(Business Plan) Bagi Siswa Madrasah Tsanawiyah Nurul Hikmah Dan
Smp Al-Ihsan Guna Meningkatkan Kemampuan Berwirausaha. Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat (Abdimas), 01(2), 81–88.
Arroisi, J. (2019). Tauhid dalam Surat Al-Fatihah. 4(1), 1–36.
Askari, H., & Arfaa, N. (2007). Social safety net in Islam: The case of Persian
Gulf oil exporters. British Journal of Middle Eastern Studies, 34(2), 177–202.
https://doi.org/10.1080/13530190701427925
Asriaty. (2015). Penerapan Mashlahah Mursalah Dalam Isu-Isu Kontemporer.
Madania, 19(1), 1–12. https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/
madania/article/view/29
Astamoen, M. P. (2008). Entrepreneurship dalam Perspektif Kondisi Bangsa
Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Astuti, D. (2005). Kajian Bisnis Franchise Makanan Di Indonesia. Jurnal
Manajemen Dan Kewirausahaan (Journal of Management and Entrepreneurship),
7(1), 83–98. https://doi.org/10.9744/jmk.7.1.pp.83-98
Aziz, A. (2013). Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Etika Islami Untuk
Dunia Usaha. Bandung: Alfabeta.
Badaruddin. (2008). Perusahaan Terhadap Masyarakat Melalui Pemanfaatan Potensi
Modal Sosial : Alternatif Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Indonesia Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Sosiologi Perkotaan.
Universitas Sumatera Utara.

Bab 15: Daftar Pustaka 221


Badawi, J. A. (1991). The Application of Tawheed in the Natural and Social
Order. Humanomics, 7(1), 5–18. https://doi.org/10.1108/eb006110
Badroen, F. (2007). Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Prenada Media Group.
Bahri, B. (2018). Kewirausahaan Islam: Penerapan Konsep Berwirausaha dan
Bertransaksi Syariah dengan Metode Dimensi Vertikal (Hablumminallah)
dan Dimensi Horizontal (Hablumminannas). Maro: Jurnal Ekonomi
Syariah Dan Bisnis, 1(2), 67–86. http://jurnal.unma.ac.id/index.php/
Mr/index
Bahruddin, E., Rubayah, D. W., Asmahasanah, S., Ibn, U., & Bogor, K. (2019).
Peran Kepemimpinan Dalam Mengembangkan Karakter Kepercayaan Diri
Peserta Didik Untuk Berbisnis. 10(1), 51–59.
Banu, S. H. B. (2009). Pengembangan Jiwa Kewirausahaan di Kalangan Dosen
dan Mahasiswa. Jurnal Ekonomi Bisnis, 14(2), 114–122. BB Siswoyo -
Jurnal Ekonomi Bisnis, 2009 - fe.um.ac.id
Baqir al-Hasani & Abbas Mirakhor. (1998). Essays on Iqtishad: The Islamic
Approach to Economic Problems. Nur.
Bari, A. (2018). Menumbuhkan Entrepreneurship Dikalangan Mahasiswa.
Al-Iman: Jurnal Keislaman Dan Kemasyarakatan, 2(2), 182–203. http://
ejournal.kopertais4.or.id/madura/index.php/aliman/article/view/4435
Baum, J. R., Frese, M., & Baron, R. A. (2007). The psychology of entrepreneurship.
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Bayu, Y. S. K. (2015). Kewirausahaan; Pendekatan Karakteristik Wirausaha Sukses.
Jakarta: Prenada Media Group.
Bewayo, E. E. (2015). The overemphasis on business plans in entrepreneurship
education: Why does it persist? Journal of Small Business and Entrepreneurship
Development, 3(1), 1–7.
Borhan, J. T. Bin, & Sa’ari, C. Z. B. (2002). Economic Functions Of The State:
An Islamic Perspective. Jurnal Usuluddin, 16, 75–90.
Budi, P. (2007). Perspektif Hukum Islam Terhadap Bisnis Waralaba (Franchise).
Jurnal Ilmiah Hukum Dan Dinamika Masyarakat, 4(0854), 216–223.
Budyatna, M. (2012). Komunikasi Bisnis Silang Budaya. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Bygrave, W. D. (1997). The Portable MBA in Entrepreneurship. New York: John
Willey & Sons, Inc.

222 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Cahyani, U. E. (2016). Konsep Kewirausahaan Dalam Konteks Pilihan Karir
Seorang Muslim. At-Tijaroh; Jurnal Ilmu Manajemen Dan Bisnis Islam,
2(2), 216–129. https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.24952/tijaroh.
v2i2.533
Carson, D., Cromie, S., Mc. Gowan, P. and Hill, J. (2007). Marketing And.
Entrepreneurship in SMEs – An Innovative Approach. London : Prentice. Hall.
Charis, M., Ammar, M., Wijokongko, D., & Al-Hafizd, M. F. (2020). Kategori
Kepemimpinan dalam Islam. Jurnal Edukasi Non Formal, 1(2), 171–189.
Choudhury, M. A. (1983). Principles of Islamic Economics. Middle Eastern
Studies, 19(1), 93–103. https://doi.org/10.1080/00263208308700535
Choudhury, M. A. (1986). Contributions to Islamic Economic Theory; A Study in
Social Economics. St. Martin Press.
Choudhury, M. A. (1998). Studies in Islamic Social Sciencies. St. Martin’s Press,
Inc. and MacMillan Press Ltd.
Christanti, A. (2016). Pembentukan Sikap Dan Intensi Kewirausahaan Di
Sentra Industri Produk Roti Dan Kue Rungkut Lor, Surabaya. Agora, 4(1),
242–248. http://publication.petra.ac.id/index.php/manajemen-bisnis/
article/view/4249
Cornwall, N. S. Z. & J. (1996). Essentials of Entrepreneurship and Small Business
Management. New Jersey: Prentice Hall International Inc.
Darmawati. (2014). Corporate Social Responsibility Dalam Perspektif Islam.
Mazahib, 13(2), 125–138.
Darwis, M. (2016). Pendidikan Entrepreneurship Dalam Perspektif Global.
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam, 9(2), 112–128. https://ejournal.
iaisyarifuddin.ac.id/index.php/tarbiyatuna/article/view/240
Deden A Wahab Sya’roni, J. J. S. (2012). Kreativitas dan inovasi Penentu
Kompetensi Pelaku Usaha Kecil. Jurnal Manajemen Teknologi, 11(1), 1–17.
https://repository.unikom.ac.id/25017/
Diandra, D. (2019). Menggali potensi kreatifitas dalam kewirausahaan.
Prosiding, 4(1), 80–85. http://prosiding.unirow.ac.id/index.php/
SNasPPM/article/view/278
Dzuluqy, S. (2019). Bisnis Waralaba Dalam Perspektif Hukum Ekonomi
Syari’ah. Tahkim; Jurnal Hukum Dan Syariah, 15(1), 25–40. https://doi.
org/DOI: http://dx.doi.org/10.33477/thk.v15i1.856

Bab 15: Daftar Pustaka 223


E. A. Locke. (2001). Social Psychology and Organizational Behavior. Jhon Wiley
and Sons, New York.
Edwar, M. (2017). Kreativitas Inovasi Kewirausahaan dan Kurikulum. Jurnal
Media Wahana Ekonomika, 14(1), 1–9. jurnal.univpgri-palembang.ac.id ›
article › download%0A
Eka Ananta, R., Djalali, A., & Farid, M. (2014). Minat Wirausaha, Konsep
Diri Dan Kreativitas. Jurnal Psikologi Tabularasa, 9(1), 48–57.
Ernawan, E. R., Manajemen, P. S., & Pasundan, U. (2016). Tanggungjawab
Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dalam Perspektif
Kebijakan Pembangunan Pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian, 6(2),
155–173. https://doi.org/10.21082/akp.v6n2.2008.155-173
Evelina, L. W., & Angeline, M. (2014). Komunikasi Vertikal dan Horizontal
dalam Membentuk Gaya Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal: Studi
pada Binus University. Humaniora, 5(1), 445. https://doi.org/10.21512/
humaniora.v5i1.3044
Fadillah, N. (2015). Menumbuhkan jiwa entrepreneurship muslim yang sukses.
Eksis, X(1), 81–94. http://ejournal.stiedewantara.ac.id
Fahmi, I. (2016). Manajemen Kinerja Teori dan Aplikasi. Alfabeta.
Fahmi, Irfan. (2013). Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta.
Fahmi, Irham. (2015a). Etika Bisnis; Teori, Kasus, dan Solusi. Bandung: Alfabeta.
Fahmi, Irham. (2015b). Manajemen Kinerja Teori dan Aplikasi. Alfabeta.
Farid. (2017). Kewirausahaan Syariah. Jakarta: Prenada Media Group.
Fatimah, S. (2013). Menumbuhkan Jiwa Wirausaha Muda dalam Pembelajaran
Ekonomi. Jurnal Criksetra, 3(4), 1–8. https://repository.unsri.ac.id/10337/
Fauzan. (2014). Hubungan Religiusitas dan Kewirausahaan; Sebuah Kajian
Empiris dalam Perspektif Islam. Jurnal Ekonomi Modernisasi, 10(2), 147–
157. https://doi.org/https://doi.org/10.21067/jem.v10i2.779
Fauzan, F., & Nuryana, I. (2014). Pengaruh Penerapan Etika Bisnis Terhadap
Kepuasan Pelanggan Warung Bebek H. Slamet Di Kota Malang. Jurnal
Ekonomi MODERNISASI, 10(1), 38. https://doi.org/10.21067/jem.
v10i1.774
Fauzi, A. (2020). Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Penanaman Modal. DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu Hukm, 5(2), 146–163.
https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.30596/dll.v5i2.4369

224 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Fiqri, M., & Yaman, Y. (2019). Pengungkapan Corporate Social Responsibility
(CSR) sesuai dengan Prinsip Ekonomi Syariah. Jurnal Ilmiah Al-Tsarwah,
2(2), 170–182. https://doi.org/10.30863/al-tsarwah.v2i2.290
Frinces, Z. H. (2010). Pentingnya Profesi Wirausaha di Indonesia. Jurnal
Ekonomi Dan Pendidikan, 7(1), 34–57. https://doi.org/DOI: 10.21831/
jep.v7i1.576
Ghafur, A. (2018). Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Iqtishodiyah : Jurnal
Ekonomi Dan Bisnis Islam, 4(1), 50–59. https://doi.org/10.36835/
iqtishodiyah.v4i1.74
Ghufron, M. I., & Fahmiyah, I. (2019). Konsep Waralaba Perspektif Ekonomi
Islam. Amwaluna: Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Syariah, 3(1), 133–148.
https://doi.org/10.29313/amwaluna.v3i1.4287
Greenberg, J. A. R. A. B. (2003). Behavior in Organization International Edition.
Prentice Hall.
Gurmilang, A. (2015). Komunikasi Pemasaran Sebagai Metode Promosi untuk
Usaha Kecil Menengah. Jurnal Widyakala, 2(2), 125–140. https://doi.org/
DOI: https://doi.org/10.36262/widyakala.v2i1.16
Hadiyati, E. (2012). Kreativitas Dan Inovasi Pengaruhnya Terhadap Pemasaran
Kewirausahaan Pada Usaha Kecil. Jurnal Inovasi Dan Kewirausahaan, 1(3),
135–151.
Hamdan, H. (2019). Model Pengembangan Kreativitas dan Inovasi dalam
Membentuk Entrepreneur di Era Ekonomi Digital. Jurnal Manajemen Dan
Kewirausahaan, 7(1), 59–68. https://doi.org/10.26905/jmdk.v7i1.2548
Handoko, T. H. (2012). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia.
Penerbit BPFE.
Hardana, A. (2018). Model Pengembangan Kewirausahaan Di Perguruan
Tinggi. Al-Masharif: Jurnal Ilmu Ekonomi Dan Keislaman, 6(2), 31. https://
doi.org/10.24952/masharif.v6i2.1146
Harini, C., Darsin, & Praptono, S. (2017). Pengembangan pemasaran
kewirausahaan dalam upaya meningkatkan kinerja perekonomian
UMKM dI Kota Semarang. Prosiding SNATIF, 4(1), 1–12.
Harsono, S. B. (2015). Membidik Mahasiswa Sebagai Calon Wirausahawan.
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 25(2), 34–45. http://journals.ums.ac.id/
index.php/jpis/article/view/1534

Bab 15: Daftar Pustaka 225


Hartono, H. (2012). Pengaruh Strategi Pemasaran Terhadap Peningkatan
Penjualan Pada Perusahaan” Dengan Menetapkan Alumni dan
Mahasiswa Universitas Bina Nusantara Sebagai Objek Penelitian. Binus
Business Review, 3(2), 882–897. https://journal.binus.ac.id/index.php/
BBR/article/view/1271
Hasanah. (2015). Entrepreneurship Membangun Jiwa Entrepreneur Anak Melalui
Pendidikan Kejuruan. Misvel Aini Jaya.
Hasmidyani, D., Fatimah, S., & Firmansyah, F. (2018). Mengembangkan Jiwa
Kewirausahaan Generasi Muda Melalui Pelatihan Penyusunan Rencana
Usaha. MITRA: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat, 1(1), 32–47. https://doi.
org/10.25170/mitra.v1i1.13
Hastuti, O. I. (2006). Aspek Hukum Perjanjian Wiralaba (Franchise). Hukum
Dan Dinamika Masyarakat, 4(1), 27–38. https://doi.org/DOI: http://
dx.doi.org/10.36356/hdm.v4i1.359
Hayana, N., & Wahidmurni, W. (2019). Kepemimpinan Kyai Dalam
Memberdayakan Kewirausahaan Santri. J-MPI (Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam), 4(1), 1. https://doi.org/10.18860/jmpi.v4i1.7223
Hendarsyah, D. (2020). Pemasaran Digital Dalam Kewirausahaan.
IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita, 9(1), 25–43. https://doi.
org/10.46367/iqtishaduna.v9i1.209
Hendro. (2011). Dasar-Dasar Kewirausahaan. Jakarta: Erlangga.
Henny Novita Rumono, Setyabudi, D., & Pradekso, T. (2014). Hubungan
Intensitas Komunikasi Orangtua-Anak Dan Kelompok Referensi Dengan
Minat Memilih Jurusan Ilmu Komunikasi Pada Siswa Kelas Xii. Jurnal
Ilmu Komunikasi, 05(2), 1–11.
Hermawan, A. (2012). Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Erlangga.
Hilyati, M. (2013). Pendidikan Kewirausahaan; Sebuah Alternatif Mengurangi
Pengangguran Terdidik dan Pencegahan Korupsi. Al-Ta’lim Journal, 20(3),
465–471. https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.15548/jt.v20i3.44
Hisrich, D.R., Peters, M.P. and Dean, A. S. (2008). Entrepreneurship. 7th Edition.
New York: McGraw-Hill.
Hughes, R.L., Ginnett, R.C. and Curphy, G. J. (2002). Leadership: Enhancing
the Lessons of Experience. 4th Edition. McGraw-Hill/Irwin, Boston.

226 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Ian C MacMillan and Rita Gunther McGrath. (2000). The Entrepreneurial
Mindset: Strategies for Continuously Creating Opportunity in an Age of
Uncertainty. USA : Harvard Business school Press.
Idri. (2015). Hadis Ekonomi : Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi. Jakarta:
Prenada Media Group.
Indarto, & Santoso, D. (2020). Karakteristik Wirausaha, Karakteristik Usaha
Dan Lingkungan Usaha Penentu Kesuksesan Usaha Mikro Kecil Dan
Menengah. Jurnal Riset Ekonomi Dan Bisnis, 13(1), 54–69. https://doi.
org/DOI: http://dx.doi.org/10.26623/jreb.v13i1.2202
Iqbal, Zamir; Mirakhor, A. (2011). An Introduction to Islamic Finance: Theory and
Practice. John Wiley & Sons.
Iqbal, Z., & Mirakhor, A. (2012). Financial Inclusion : Islamic Finance
Perspective. Journal of Islamic Business and Management, 2(1), 35–64.
https://doi.org/10.12816/0004974
Irawan, A. (2007). Kewirausahaan UKM Pemikirandan Pengalaman. Malang:
Graha Ilmu.
Iska, S. (2010). E-Commerce Dalam Perspektif Fikih Ekonomi. Juris, 9(2),
121–132.
JOHANNA PESENDORFER, O. L. (2016). Islamic Banking and Finance
As an Ethical Alternative: a Systematic Literature Review. ACRN
Oxford Journal of Finance and Risk Perspectives, 5(2), 42–64. https://doi.
org/10.31235/osf.io/jb5z9
Juliana, W. (2013). Rahasia Sukses Muslimah Enterpreneur; Berbisnis Sekaligus
Beribadah Agar Sukses Dunia-Akhirat. Jakarta: Gramedia.
Juliani, R. D. (2014). MERINTIS USAHA MELALUI BISNIS FRANCHISE.
Jurnal Universitas Panandaran, 4(2), 1–8. https://jurnal.unpand.ac.id/
index.php/dinsain/article/view/124
Justin G. Longenecker, Carlos W. Moore, J. W. P. (2000). Small Business
Management : An Entrepreneurial Emphasis. Cincinnati, Ohio : Thomson
South-Western.
Kalsum, U. (2014). Riba dan Bunga Bank dalam Islam; Analisis Hukum dan
Dampaknya Terhadap Perekonomian Umat. Jurnal Al-’Adl, 7(2), 67–83.
U Kalsum - Al-’Adl, 2014 - ejournal.iainkendari.ac.id

Bab 15: Daftar Pustaka 227


Kamaluddin. (2019). Pendidikan kewirausahaan dalam pandangan islam. Jurnal
An-Nahdhah, 1(1), 302–310. http://eprints.Walisongo.Ac.Id/7149/3/
BAB II.Pdf
Kancana, S., & Lestari, P. (2016). Model Komunikasi Pemasaran Untuk
Pemberdayaan Perempuan Pada Sektor Informal Di Yogyakarta. Jurnal
Aspikom, 6(2). https://doi.org/DOI: http://dx.doi.org/10.24329/
aspikom.v2i6.94
Kasali, R. (2010). Modul Kewirausaha Untuk Program Strata 1. Jakarta: Hikmah.
Kasmir. (2014). Kewirausahaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Khoiriyah, U. (2018). E-Commerce dalam Hukum Islam: Studi Analisis Atas
Pandangan Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo. Istidlal: Jurnal
Ekonomi Dan Hukum Islam, 2(2), 120–135. https://doi.org/10.35316/
istidlal.v2i2.112
Kholijah, S. (2020). Transaksi E-Commerce dalam Perspektif Ekonomi
Syariah. Eksyda, 1(1), 101–114.
Kotler, P., Pemasaran, M., Millenium, E., & Prenhallindo, P. T. (2010). Daftar
Pustaka Philip Kotler, 2002, Manajemen Pemasaran, Edisi Millenium, Jilid 2, PT
Prenhallindo, Jakarta Philip Kotler dan Gary Amstrong, 1997, Prinsip-Prinsip
Pemasaran, Erlangga, Jakarta. 119–120.
Kristanto, D. (2012). Menyusun Business Plan dalam Rangka Pengembangan
Usaha. Ekonomi Dan Kewirausahaan, 12(1), 58–66.
Kurniawati, A. D. (2019). Transaksi E-Commerce dalam Perspektif Islam.
El-Barka: Journal of Islamic Economics and Business, 2(1), 90. https://doi.
org/10.21154/elbarka.v2i1.1662
Kuswandini, E., & Lestari, P. (2019). Komunikasi Organisasi Pimpinan
Cabang Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (Pc Ippnu) Sleman. Jurnal
Pendidikan Sosiologi.
Latifah, L., Yuliana, C., & W. P., A. P. (2013). Kewirausahaan dan manajemen
inovasi perencanaan bisnis. Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya Malang.
Laudon, K., T. (2009). E-Commerce: Business, Technology, Society. Prentice
HallHigher Education.
Linda Firdawati. (2011). Perjanjian Waralaba Menurut Hukum Islam. Asas,
3(v), Vol.3, No.1.

228 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Machfoedz, Mas’ud dan Machfoedz, M. (2015). Kewirausahaan Suatu
Pendekatan Kontemporer. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Machmud, A. (2017). Ekonomi Islam Untuk Dunia yang Lebih Baik. Jakarta:
Salemba Empat.
Madjid, N. (2002). Entrepenuer. Bandung: Republika.
Maghfur, I. (2016). Membangun Ekonomi Dengan Prinsip Tauhid. Jurnal
Malia, 7(2), 213–240.
Mahmuddin. (2014). Kepemimpinan Dakwah. Jurnal Dakwah Tabligh, 15(2),
177–187. https://doi.org/https://doi.org/10.24252/jdt.v15i2.347
Malik, C. (2007). Implikasi Hukum Adanya Globalisasi Bisnis Franchise.
Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 14(1), 97–113. https://journal.uii.ac.id/
IUSTUM/article/view/1055
Malinda. (2012). Faktor-faktor-yang-mempengaruhi-seseoran.pdf. Jurnal
Manajemen Maranatha, 1(1), 105–117.
Mallongi, M. (2020). Transformasi Entrepreneur Syariah Di Era Industri
4.0. Al-Tafaqquh: Journal of Islamic Law, Fakultas Agama Islam UMI, 1(2),
161–172. https://doi.org/DOI: http://dx.doi.org/10.33096/al-tafaqquh.
v1i2.67
Manullang, M, dan M. A. M. (2011). Manajemen Personalia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Mardani, A. F. (2012). Membentuk Jiwa Wirausaha. Jakarta: Kompas Media
Nusantara.
Mardiana, A. (2016). Praktik Kepemimpinan Islam pada Organisasi Bisnis
di Kota Gorontalo. Al-Buhuts, 12(1), 80–100. https://doi.org/10.30603/
ab.v12i1.922
Maryani, I., Mustofa, A., & Septian Emma Dwi, J. (2018). Efektivitas
Pendampingan Kelompok Dalam Meningkatkan Motivasi Berwirausaha
Peternak Sapi Perah. JPPM (Jurnal Pengabdian Dan Pemberdayaan
Masyarakat), 2(1), 7. https://doi.org/10.30595/jppm.v2i1.2059
Mashud, I. (2016). Membangun Jiwa Wirausaha Siswa Melalui Kegiatan
Jual Beli (Analisis Kegiatan Market Day Sekolah Dasar Islam YAKMI
Kota Tangerang). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pendidikan, 501–510.
https://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/snip/article/view/8970/6530

Bab 15: Daftar Pustaka 229


Masrizal, M., Mujahidah, S. H., Millatina, A. N., & Herianingrum, S. (2019).
Nilai Dan Fondasi Pembangunan Ekonomi Dalam Islam. IQTISHADIA:
Jurnal Ekonomi & Perbankan Syariah, 6(1), 13. https://doi.org/10.19105/
iqtishadia.v6i1.2275
Megawati, L. E. F. (2018). Strategi menumbuhkan jiwa kewirausahaan yang
kreatif dan inovatif. Proceeding of National Conference on Asbis, 296–302.
http://e-prosiding.poliban.ac.id/index.php/asbis/article/view/305
Meilani, M. T., & Sutrisno, R. (2015). Model Disain Rencana Bisnis UKM
Konveksi di Kabupaten Bandung. Prosiding Irons, 205–2010.
Misbahuddin, J. (2011). Konsep Al-Islam Dalam Al-Qur’an. Jurnal Al- Ulum,
11(2), 283–310.
Mu’min, M. (2016). Revitalisasi Etika Bisnis Dalam Membangun Sistem
Perekonomian Yang Beradab. BISNIS : Jurnal Bisnis Dan Manajemen Islam,
3(1), 18. https://doi.org/10.21043/bisnis.v3i1.1467
Muhammad Ismail Yusanto & Muhammad Krebet Widjajakusuma. (2002).
Menggagas Bisnis Islami. Bandung: Gema Insani Press.
Muhammad, M. M. (2020). Transaksi E-Commerse Dalam Ekonomi Syariah.
El-Iqthisadi : Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Dan Hukum,
2(1), 76. https://doi.org/10.24252/el-iqthisadi.v2i1.14021
Mulyana & Sutapa. (2014). Peningkatan Kapabilitas Inovasi, Keunggulan
Bersaing dan Kinerja melalui Pendekatan Quadruple Helix: Studi Pada
Industri Kreatif Sektor Fashion. Jurnal Manajemen Teknologi, 13(3), 304–
321. https://doi.org/10.12695/jmt.2014.13.3.5
Murwadji, T. (2016). Etika Bisnis sebagai Dasar “Pertanggungjawaban Sosial
dan Lingkungan” Perbankan. Jurnal Hukum Positum, 1(1), 1–22. https://
doi.org/10.35706/positum.v1i1.520
Muslehuddin, M. (2000). Philosophy of Islamic Law and The Orientalist; A
Comparative Study of Islamic Legal System. Islamic Publications Ltd.
Muslikh. (2013). Upaya Mengembangkan Kreativitas untuk Meningkatkan
Daya Saing dan Kinerja Bisnis UMKM (Studi Empiris Pada Usaha Mikro
dan Kecil di DKI Jakarta). JP Journal & Proceeding Feb Unsoed, 3(1), 1–10.
http://jp.feb.unsoed.ac.id/index.php/sca-1/article/view/250
Muslimah. (2016). Etika komunikasi dalam persfektif islam. Sosial Budaya,
13(2), 115 – 125.

230 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Mutmainnah, D. (2019). Pelatihan Etika Bisnis Dan Pemasaran Bagi
Paguyuban Umkm Semolowaru Surabaya. Seminar Nasional Penelitian
Dan Pengabdian Masyarakat, 6–12. http://snp2m.unim.ac.id/index.php/
snp2m/article/view/403
Nadapdap, B., & Hutabarat, S. M. D. (2017). Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan: Antara Kewajiban Dan Kesukarelaan. Jurnal Yuridis,
2(1), 111–134. http://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/Yuridis/article/
view/164/136
Nayla, A. P. (2014). Komplet Akuntansi untuk UKM dan Waralaba. Yogyakarta:
Laksana.
Nickels, W. G., McHugh, J. M., & McHugh, S. M. (1997). Understanding
Business. USA: McGraw Hill Comp. Inc.
Novairi Dari, Anki, A. B. A. (2011). Kaya Raya dengan Waralaba. Jakarta: Kata
Hati.
Nugrahanti, L. A. M. & Y. W. (2010). Peranan Wanita Pendamping Suami
Menjalankan Bisnis Keluarga Dalam Pengembangan Bisnis Studi Industri
Kecil Kerupuk Di Tuntang. Jurnal Siasat Bisnis, 14(1), 43–59.
Nugraheni, S. (2017). Penerapan Pembelajaran Kewirausahaan Berbasis Etika
Bisnis Untuk Meningkatkan Kejujuran Siswa Kelas Xi Perbankan Smk
Cendekia Madiun. Gulawentah:Jurnal Studi Sosial, 2(2), 102. https://doi.
org/10.25273/gulawentah.v2i2.1897
Nur, E. (2008). Riba Versus Profit in An Exchange Economy: Conceptual
Foundations for Stable Financial System in Islamic Perspectives. 7th
International Conference on Islamic Economics And. http://www.kantakji.
com/media/163535/file541.pdf
Nuranisa. (2018). Sistem Kewirausahaan Islam. IQRA : Jurnal Ilmu Kependidikan
& Keislaman, 2(1), 45–52. http://jurnal.unismuhpalu.ac.id/index.php/
IQRA/article/view/282
Nurfaqih, M. I., & Fahmi, R. A. (2018). Social Entrepreneurship
(Kewirausahaan Sosial) dalam Perspektif Ekonomi Islam. Working Paper
Keuangan Publik Islam, 1(8), 1–15.
Nurhayati, T. (2012). Hubungan Kepemimpinan Tranformasional dan Motivasi
Kerja. Edueksos, 1(2), 77–92. https://syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.
php/edueksos/article/view/380

Bab 15: Daftar Pustaka 231


Nurpeni. (2010). Analisis Tentang Kendala Ibu Rumah Tangga Enggan
Berwirausaha di Kelurahan Umban Sari Kecamatan Rumbai Kota
Pekanbaru. Jurnal Ilmiah Ekonomi Dan Bisnis, 7(2), 1–5.
Oech, R. von. (2008). A Whack on the Side of the Head How You Can Be More.
Business Plus.
Oktradiksa, A. (2015). Analisis Persepsi Leadership Dan Kewirausahaan
Dalam Mencapai Visi Teacherprenuership Dan Entrepreneurship (Studi
Kasus Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Magelang). Cakrawala, X(1), 106–127.
P3EI. (2015). Ekonomi Islam. Raja Grafindo Persada.
Prabowo, R. E., & Kis, I. (2015). Membangun Jiwa Wirausaha Sebagai Upaya
Meningkatkan Daya Saing. Prosiding Seminar Nasional Dan Call for Papers,
1–11. http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/292704
Prasetyani, D. (2020). Kewirausahaan Islami. Surakarta: CV. Djiwa Amarta
Press.
Prihantoro, W. S. G. (2016). Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan, Motivasi
Berwirausaha Dan Lingkungan Keluarga Terhadap Sikap Mental
Kewirausahaan. Economic Education Analysis Journal, 5(2), 18–23.
Pujiastuti, E. E. (2013). Peran Penting Jiwa Kewirausahaan dalam
Mengembangkan Usaha Baru Pasca Bencana. Konferensi Nasional II:
Media,Bisnis,Dan Perdamaian FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta 13 November
2013, November, 23–44.
Purhantara, W. (2012). Menciptakan Organisasi yang Kreatif. Jurnal Economia,
8(2), 153–163. https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.21831/
economia.v8i2.1225
Purwanto, D. (2011). Komunikasi Bisnis. Jakarta: Erlangga.
Rahman, F. N. (2017). Theory of Islamic Financial System and Economic
growth. Journal of Creative Writing, 3(1), 66–82. http://jocw.
discinternational.org/index.php/jocw/article/view/42/46
Rahmat, B. Z. (2017). Corporate Social Responsibility Dalam Perspektif Etika
Bisnis Islam. Amwaluna: Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Syariah, 1(1),
98–115. https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i1.2099
Ranto, B. (2007). Kewirausahaan. Jakarta: Grafindo Persada.

232 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Rapareni, Y. (2013). Analisis Pengaruh Kompetensi Komunikasi, Kecerdasan
Emosional, dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Radio
Republik Indonesia Palembang. Jurnal Ekonomi Dan Informasi Akuntansi
(Jenius), 3(1), 35–59.
Rapii, M. (2019). Mengukur Potensi Wirausaha pada Program Pelatihan. JMK
(Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan), 4(2), 126–135. https://doi.org/
http://dx.doi.org/10.32503/jmk.v4i2.487
Ratnawati, D., & Kuswardani, I. (2010). Kematangan Vokasional dan Motivasi
Berwirausaha Pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jurnal
Psikohumanika, 3(1), 1–8.
Rehmana, A. (2000). An Islamic Utopian A Political Biography of Ali Shariati.
I.B.Tauris.
Riant, N. (2009). Memahani Latar Belakang Pemikiran Entrepreneurship Ciputra.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Rimiyati, H., & Munawaroh, M. (2016). Pengaruh Penerapan Nilai-Nilai
Kewirausahaan Islami Terhadap Keberhasilan Usaha (Studi Pada
Pengusaha UMKM Muslim Di Kota Yogyakarta). Jurnal Manajemen
Bisnis, 7(2), 130–157.
Rivai, M. M. (2012). Pengaturan Waralaba di Indonesia; Perspektif Hukum
Bisnis. Jurnal Liquidity, 1(2), 159–166. https://www.academia.
edu/2287480/Pengaturan_Waralaba_Di_Indonesia_Perspektif_Hukum_
Bisnis
Rivai, V. (2003). Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Robert V. Kozinets, Kristine De Valck, Andrea C. Wojnicki, S. J. S. W. (2010).
Networked Narratives: Understanding Word-of-Mouth Marketing in
Online Communities. Journal of Marketing, 74(2), 71–89. https://doi.org/
https://doi.org/10.1509/jm.74.2.71
Rochaety, E. ; & R. T. (2013). Kamus Istilah Ekonomi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Rusdiana. (2014). Kewirausahaan; Teori dan Praktek. Bandung: Pustaka Setia.
Sabara. (2016). Pemikiran Teologi Pembebasan Ali Syari’ati. Balai Penelitian
Dan Pengembangan Agama Makassar, 20, 212–233.
Sadeli. (2011). Model Penciptaan Wirausaha Mandiri. Jurnal Administrasi
Bisnis, 8(2), 1–13.

Bab 15: Daftar Pustaka 233


Saefullah, E. T. S. & K. (2010). Pengantar Manajemen. Jakarta: Prenada Media
Group.
Salleh, M. S. (2013). Philosophical Foundations of Islamic Development:
Khursid Ahmad’s Conception Revisited. International Journal of Education
and Research, 1(7).
Samad, T. F. (2019). Konsep E-Commerce Perspektif Ekonomi Islam.
Tasharruf: Journal Economics and Business of Islam, 4(1), 59. https://doi.
org/10.30984/tjebi.v4i1.882
Santoso, S. (2016). Sistem Transaksi E-Commerce Dalam Perspektif Kuh
Perdata Dan Hukum Islam. Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 4(2), 217–246.
https://doi.org/10.21274/ahkam.2016.4.2.217-246
Sara, K. D., & Fitryani, F. (2020). Peran Kewirausahaan Dan E-Commerce
Terhadap Perkembangan Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (Umkm)
Dalam Perspektif Islam. Jurnal EMA, 5(2), 66–77. https://doi.
org/10.47335/ema.v5i2.53
Setiarini, S. E. (2013). Business Plan Sebagai Implementasi Kewirausahaan
Pada Pembelajaran Ekonomi Di Sma. Jurnal Pendidikan Ekonomi Dinamika
Pendidikan, 8(2), 146–155. https://doi.org/10.15294/dp.v8i2.3370
Siagian, S. P. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Singer, P. (1979). Practical Ethics. Cambridge University Press.
Siregar, B. G. (2016). Penerapan Corporate Social Responsibility (Csr)
Dalampandangan Islam. JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah), 14(2), 135.
https://doi.org/10.31958/juris.v14i2.303
Siswanto, A. (2016). The Power of Islamic Entrepreneurship: Energi Kewirausahaan
Islami. Jakarta: Amzah.
Slamet, Franky, Hatti Karunia Tanjung Sari, M. Le. (2016). Dasar-Dasar
Kewirausahaan; Teori dan Praktik. Jakarta: PT. Indeks.
Slamet, S. R. (2011). Waralaba (Franchise) di Indonesia. Lex Jurnalica, 8(2),
127–139. https://media.neliti.com/media/publications/18075-ID-
waralaba-franchise-di-indonesia.pdf
Soim, M. (2014). Agama dan Tanggung Jawab Sosial. Hikmah, VIII(2), 53–
62. http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/Hik/article/
viewFile/46/37

234 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Subur. (2007). Islam dan Mental Kewirausahaan; Studi Tentang Konsep dan
Pendidikannya. Insania; Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, 12(3),
341–354. https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.24090/insania.
v12i3.258
Sudarmanto, H. L. (2020). Pendekatan Hukum Dalam Mengatasi Masalah
E-Commerce Di Indonesia. Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah
Hukum Dan Keadilan, 11(1), 37. https://doi.org/10.32493/jdmhkdmhk.
v11i1.5607
Sudarmiatin. (2011). Praktik Bisnis Waralaba (Franchise) di Indonesia, Peluang
Usaha dan Investasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu
Manajemen pada Fakultas Ekonomi Disampaikan dalam Sidang Terbuka
Senat Universitas Negeri Malang (UM) Tanggal 28 April 2011.
Sudarsana. (2018). Tinjauan Teoritis Tentang Implementasi Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan |. Dialektika Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 2(1), 83–103.
https://jurnal.uns.ac.id/dmjs/article/view/23322/17012
Sudaryono. (2015). Pengantar Bisnis; Teori dan Contoh Kasus. Yogyakarta: Andi
Offset.
Suhadi, M. (2015). ImplementasiPrinsip Islam dalam Aktivitas
Ekonomi:Alternatif Mewujudkan Keseimbangan Hidup. Jurnal Penelitian,
9(1), 67–92. https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/jurnalPenelitian/
article/view/851
Sukmayanti, A. (2020). Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Akad Pada
E-Commerce Study Kasus Tokopedia. Ar-Ribhu, 3(2), 107–119.
Sukoasih, H. (2010). Bisnis Sambil Jadi Karyawan; 6 Jurus Menuju Bisnis yang
Sukses. Jakarta: Bumi Aksara.
Sulistyaningsih, P. (2017). Sistem Bagi Hasil Dalam Perjanjian Waralaba
(Franchise) Perspektif Hukum Islam. Jurnal Novelty, 8(1), 137–156.
https://doi.org/DOI: http://dx.doi.org/10.26555/novelty.v8i1.a5530
Sumantri, B., Fariyanti, A., Winandi, R., & Agribisnis, D. (2013). Faktor-
Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kinerja Usaha Wirausaha Wanita:
Suatu Studi pada Industri Pangan Rumahan di Bogor. Jurnal Manajemen
Teknologi, 12(3), 252–277.
Sumaryanto. (2012). Pembinaan Mahasiswa Menuju Wirausawan yang Unggul.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Bab 15: Daftar Pustaka 235


Sumaryati, A. (2014). Etika Bisnis pada Kewirausahaan dalam Konteks
Filsafat. Media Ekonomi & Teknolgi Informasi, 22(1), 1–14. http://publikasi.
dinus.ac.id/index.php/media/article/view/920/0
Sunarto, S. (2018). Pengembangan Kreativitas-Inovatif Dalam Pendidikan
Seni Melalui Pembelajaran Mukidi. Refleksi Edukatika : Jurnal Ilmiah
Kependidikan, 8(2), 107–113. https://doi.org/10.24176/re.v8i2.2348
Sunyoto, D. (2012). Sumber Daya Manusia; Praktek Penelitian. Yogyakarta: CAPS
(Center for Academic Publishing Service).
Supriyanto, -. (2012). Business Plan Sebagai Langkah Awal Memulai Usaha.
Jurnal Ekonomi Dan Pendidikan, 6(1), 73–83. https://doi.org/10.21831/
jep.v6i1.590
Suripto Suripto, Moh Salimi, N. N. (2016). Etika bisnis berbasis pendidikan
karakter. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pendidikan, 438–445. https://
jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/snip/article/view/8961
Suryana. (2014). Kewirausahaan Kiat dan Proses Menuju Sukses. Jakarta: Salemba
Empat.
Suryana, Y. (2013). Kewirausahaan, Pendekatan Karakteristik Wirausahawan
Sukses. Jakarta: Prenada Media Group.
Sutedi, A. (2008). Hukum Waralaba. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sutrisno, E. (2014). Manajemen Sumber Daya Manusia. Kencana Prenada Media
Group.
Swandhana, H. (2017). Peranan Komunikasi Horizontal Dalam Peningkatan
Kinerja Pada Prime Sauce. Performa: Jurnal Manajemen Dan Start-Up Bisnis,
2(2), 228–234.
SYAMSURI, S. (2016). Paradigma Pembangunan Ekonomi; Satu Analisis
Tinjauan Ulang Dari Perspektif Ekonomi Islam. ISLAMICONOMIC:
Jurnal Ekonomi Islam, 7(2). https://doi.org/10.32678/ijei.v7i2.42
Tahir, S. (1995). Islamic Perspectives on Economic Development. The Pakistan
Devlopment Review, 34(4).
Taufik, A. (2019). Perjanjian Waralaba Dalam Perspektif Bisnis Syari`Ah.
Qawãnïn: Journal of Economic Syaria Law, 2(1), 20–36. https://doi.
org/10.30762/q.v2i1.1045
Tim Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Modul

236 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Pembelajaran Kewirausahaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembelajaran
dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
Tim Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Nor Formal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional.
(2010). Modul 1 Jiwa Kewirausahaan. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Kursus dan Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Nor Formal
dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional.
Tohar, M. (2000). Membuka Usaha Kecil. Yogyakarta: Kanisius.
Trisna, N. (2018). Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Franchisee Dalam
Perjanjian Franchise (Waralaba). Ius Civile: Refleksi Penegakan Hukum Dan
Keadilan, 2(1), 13–26. http://jurnal.utu.ac.id/jcivile/article/view/547
Ubaidillah, A. (2016). Konsep dasar komunikasi untuk kehidupan. Al-Ibtida’,
4(2), 30–54.
Ully, A. (2012). Penerapan Prinsip-Prinsip Islam Dalam Pengaturan Corporate
Social Responsibility Di Indonesia. Law Reform, 7(2), 121. https://doi.
org/10.14710/lr.v7i2.12413
Umam, K. (2018). Pelarangan Riba Dan Penerapan Prinsip Syariah Dalam
Sistem Hukum Perbankan Di Indonesia. Mimbar Hukum - Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 29(3), 391. https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/
article/view/28436
Wazir. (2013). Pengkarakteran Wirausaha Muslim. ISLAMICONOMIC: Jurnal
Ekonomi Islam, 4(1), 1–12. https://doi.org/DOI : 10.32678/ijei.v4i1.10
Wibowo. (2015). Manajemen Kinerja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Widuri, B., Saleh, A., Indonesia, A., Manusia, F. E., & Pertanian, F. T. (2014).
Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha p ada Outlet Ayam Goreng
Waralaba dan Mandiri. Manajemen IKM, 9(2), 179–194. http://journal.
ipb.ac.id/index.php/jurnalmpi/
Wiguna, I., & Rahanatha, G. (2016). Pengaruh Tanggung Jawab Sosial Di
Bidang Sosial, Ekonomi, Dan Lingkungan Terhadap Citra Yayasan Green
School. None, 5(3), 251006.
Wijayanti, R. (2018). Membangun Entrepreneurship Islami dalam Perspektif
Hadits. Cakrawala, 13(1), 35. https://doi.org/10.31603/cakrawala.
v13i1.2030

Bab 15: Daftar Pustaka 237


William C. Himstreet, W. M. B. (1981). Business Communications: Principles and
Methods. Kent Publishing Company.
Winarno. (2011). Pengembangan Sikap Entrepreneurship dan Intrapreneurship.
Jakarta: Penerbit Indeks.
Wulandari, D. N. (2017). Etika Bisnis E-Commerce Berdasarkan Maqashid
Syariah Pada Marketplace Bukalapak.Com. Jmm Unram - Master of
Management Journal, 6(1). https://doi.org/10.29303/jmm.v6i1.21
Yudhi, A., & Maharani, A. (2013). Faktor-Faktor Pendukung Kompetensi
Komunikasi Interpersonal: Studi Kasus pada Mahasiswa Tingkat Pertama
di Universitas Paramadina. Jurnal Ilmu Komunikasi, 6(1), 25–44. https://
doi.org/10.24002/jik.v6i1.205
Yuliana, E. (2017). Kewirausahaan dalam Perspektif Islam. Ta’dib, 15(2),
29–44. https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.37216/tadib.v15i2.183
Zakiyah, K. (2017). Peran Negara Dalam Distribusi Kekayaan (Perspektif
Ekonomi Islam). AL-FALAH : Journal of Islamic Economics, 2(1), 37.
https://doi.org/10.29240/jie.v2i1.88
Zamzam, H. F., & Aravik, H. (2020). Etika Bisnis Islam Seni Berbisnis Keberkahan.
Deepublish.
Zamzam, F., & Aravik, H. (2017). Manajemen SDM Berbasis Syariah. Bogor:
CV. RWTC Success.

238 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Glosarium

Analiytical Thinking: Entrepreneur yang punya kemampuan mengelolah dan


mengintrepretasikan data atau informasi.
Bai' al-salam: Jual beli yang pemberian barangnya ditunda sedangkan harga
barang dibayarkan segera.
Business Plan: Keseluruhan proses tentang hal-hal yang akan dikerjakan pada
masa yang akan datang, dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Business-To-Business (B2B): Transaksi secara elektronik antara entitas atau
obyek bisnis yang satu ke obyek bisnis lainnya, disebut juga transaksi
antar perusahaan.
Conceptual thinking: Entrepreneur yang memiliki karakter mampu menarik
kesimpulan atas informasi terhadap masalah.
Concern for oder: Entrepreneur yang punya kemampuan menangkap dan mencari
kejelasan informasi tugas.
Confidence in their ability to success: Entrepreneur yang memiliki Karakter
kepercayaan diri untuk memperoleh kesuksesan.
Consumer to Consumer (C2C): Tradisi bisnis secara elektronik yang dilakukan
antar konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada
saat tertentu pula.

239
Copreneurs: Entrepreneur yang muncul dengan cara menciptakan pembagian
pekerjaan yang didasarkan atas keahlian masing-masing orang.
Corporate Social Responsibility (CSR): Komitmen perusahaan untuk berkontribusi
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para
karyawan perusahaan, keluarga karyawan, komunitas lokal, dan
komunitas secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas
kehidupan.
Customer service arientation: Entrepreneur yang mempunyai kemampuan
menemukan dan memenuhi kebutuhan konsumen.
Desire for immediate feedback: Entrepreneur yang memiliki karakter selalu
menginginkan umpan balik dengan segera.
Desire for responsibility: Entrepreneur yang memiliki karakter punya rasa
tanggungjawab terhadap usaha yang dilakukannya, sehingga akan selalu
mawas diri.
Developing others: Wirausaha memiliki karakter bersedia mengembangkan
teman kerja secara sukarela.
E-commerce: Transaksi bisnis yang dilakukan dengan menggunakan internet
dan web dan memenuhi dua syarat yaitu seluruh transaksi dilakukan
dengan teknologi media digital terutama pada transaksi yang terjadi
melalui internet dan web, serta adanya perpindahan mata uang pada saat
transaksi tersebut terjadi
Entrepreneurship: Sikap mental dan sifat jiwa yang selalu aktif dalam usaha
untuk memajukan karya baktinya dalam rangka upaya meningkatkan
pendapatan di dalam kegiatan usahanya
Expertise: Entrepreneur yang mempunyai kemampuan menggunakan dan
mengembangkan keahlian.
Family-Owned Business: Entrepreneur yang muncul dari keluarga
Franchisee: Badan usaha atau perorangan yang diberikan atau menerima hak
untuk memanfaatkan dan menggunakan hak atas kekayaan intelektual
atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh franchisor
Future orientation: Entrepreneur yang memiliki orientasi dan perspektif dan
wawasan jauh ke depan.

240 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Having positive pull: Menjadi entrepreneur karena adanya dukungan dari orang
lain seperti dari mitra, investor, pelanggan atau mentor yang mendorong
keberanian untuk masuk menjadi entrepreneur.
High level of energy: Entrepreneur yang memiliki semangat dan kerja keras untuk
mewujudkan keinginannya demi masa depan yang lebih baik.
Home-Based Entreprenuers: Entrepreneur yang muncul dari rumah tangga yang
didominasi oleh ibu-ibu rumah tangga yang pandai membuat kue dan
aneka masakan
Immigrant Entreprenuers: Entrepreneur yang muncul dari kalangan imigran (kaum
pendatang)
Impact at influence: Entrepreneur yang memiliki karakter mampu menyakinkan
orang lain baik secara lisan maupun tulisan.
Information seeking: Kemampuan menggali informasi yang dibutuhkan.
Initiative: Entrepreneur yang memiliki kemampuan menghadirikan diri sendiri
dalam kegiatan organisasi.
Interpersonal understanding: Entrepreneur yang memiliki kemampuan memahami
sikap, minat, dan perilaku orang lain.
Islam: Agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang
terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan kapan pun,
yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Jiwa wirausaha: Keutuhan yang terjadi dari perasaan batin dan angan-angan
dan menjadi sumber atau spirit dalam mendobrak sistem ekonomi yang
ada dengan memperkenalkan barang dan jasa.
Karakteristik: Sesuatu yang berhubungan dengan ciri khas, watak, prilaku,
tabiat, serta sikap orang terhadap perjuangan hidup untuk mencapai
keberhasilan lahir dan batin
Keadilan: Suatu bentuk yang dapat menghilangkan adanya kesenjangan yang
terjadi dalam lingkungan kondisi perekonomian sosial antar manusia.
Kepemimpinan: Bakat atau sifat yang seharusnya dimiliki oleh setiap pemimpin
atau manajer
Khalifah: Wakil tuhan di bumi yang diberi amanah dan tanggung jawab dalam
berhubungan dengan Allah, sesama, dan alam semesta.

Bab 15: Glosarium 241


Market Place Online: Jasa tempat perantara antara penjual dan pembeli di dunia
maya yang dibuat agar mempermudah penjual dan pembeli tersebut
bertransaksi walau keduanya tersebut berada pada tempat yang terpisah
Marketing Entrepreneurial: Aspek pemasaran yang menitikberatkan pada
kebutuhan terciptanya dan dikembangkannya jaringan yang mampu
mendukung perusahaan, meliputi suplier, manajer, investor, penasehat,
asosiasi dagang, pemerintah lokal dan otoritas publik yang penting bagi
konsumen dan juga kesuksesan bisnis.
Minority Entreprenuer: Entrepreneur yang muncul dari kalangan minoritas
Motivasi: Kumpulan kekuatan tenaga yang berasal baik dari dalam maupun
luar individu yang memulai sikap dan menetapkan bentuk, arah, serta
intensitasnya
Negative Displacement: Menjadi entrepreneur karena sesuatu kondisi yang kurang
menguntungkan misalnya, tertekan, terhina, perceraian, atau karena tidak
terakses dalam dunia kerja
Online Shopping: Pelaksanaan perniagaan berupa transaksi penjualan,
pembelian, pemesanan, pembayaran, maupun promosi suatu barang
dan/atau jasa dilakukan dengan memanfaatkan komputer dan saran
komunikasi elektronik digital atau telekomunikasi data.
Openness To Experience: Syarat yang harus dimiliki orang kreatif yaitu
keterbukaan terhadap pengalaman
Part Time Entreprenuers: Entrepreneur yang muncul dari pekerja yang
memanfaatkan waktu lowong atau part time dan mayoritas didorong
untuk mengembangkan hobinya untuk berdagang atau mengembangkan
suatu hobi yang menarik.
Pimpinan: Orang yang tugasnya memimpin
Preference For Moderate Risk: Sikap entrepreneur yang selalu berusaha menghindari
berbagai macam risiko, baik risiko kecil maupun risiko yang berat.
Qaulan Balighan: Perkataan yang tepat dan membekas pada jiwa
Qaulan kariimah : Perkataan yang mulia.
Qaulan Layyinan: Perkataan yang lemah lembut
Qaulan Ma’rufan: Perkataan yang baik
Qaulan Maisuran: Perkataan yang mudah
Qaulan Sadidan: Perkataan yang lurus dan benar.

242 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Qaulan Tsaqilan: Perkataan yang penuh makna
Riba: Pengambilan bunga atas pinjaman uang dengan berlebihan, sehingga
cenderung mengarah kepada eksploitasi atau pemerasan.
Skill at organizing: Memiliki keterampilan dalam mengorganisasikan sumber
daya untuk menciptakan nilai tambah.
Slef confidence: Kemampuan menyakinkan diri sendiri atas tekanan lingkungan.
Tailbone economy: Pengendalia perekonomian suatu bangsa
Tauhid: Suatu sistem pandangan hidup yang menegaskan satu kesatuan
dan tunggal manunggal dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan
semua yang ada, berasal dan bersumber pada satu Tuhan saja, yang
menjadi asas kesatuan ciptaan-Nya dalam berbagai bentuk, jenis maupun
kehidupannya, yakni hanya Allah SWT, tidak ada sekutu apapun.
Team Cooperation: Kemampuan bekerjasama dan berperan dalam kelompok.
The Backbone of Economy: Syaraf pusat perekonomian
Value of Achievement Over Money: Kemampuan lebih menghargai prestasi yang
telah dicapai daripada uang atau keuntungan finansial.
Women Entreprenuer: Entrepreneur yang berasal dari kalangan perempuan.

Bab 15: Glosarium 243


244 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah
Indeks

A 197, 198, 199, 200, 202, 203, 204,


205, 206, 209, 210, 211, 212, 214,
Adil 21, 24, 25, 27, 29, 30, 118, 119, 149, 216, 217, 220, 223, 228, 230, 236,
162, 165, 166, 167, 175, 184, 207, 239, 240, 242, 247
216 Business Plan v, 151, 152, 153, 155, 157,
Adl 25 221, 228, 234, 236, 239
Allah SWT iii, iv, 3, 5, 6, 10, 11, 14, 15,
17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 27, 28, C
32, 42, 47, 57, 60, 69, 85, 89, 91,
92, 102, 103, 105, 106, 107, 116, Corporate Social Responsibility v, 173,
117, 135, 137, 149, 163, 166, 171, 177, 178, 181, 223, 224, 225, 232,
182, 183, 184, 241, 243 234, 237, 240

B E
Berani 2, 5, 7, 8, 10, 14, 37, 57, 65, 67, E-commerce 74, 209, 210, 211, 212, 213,
69, 73, 76, 77, 85, 86, 87, 117, 122, 214, 215, 216, 217, 218
123, 183 Entrepreneurship iii, iv, 1, 2, 3, 8, 59, 60,
Bisnis 2, 3, 5, 6, 7, 15, 23, 32, 39, 41, 45, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 70, 71, 72,
46, 47, 48, 49, 53, 54, 55, 57, 61, 76, 77, 78, 85, 93, 116, 124, 126,
62, 66, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 130, 135, 140, 141, 161, 222, 224
75, 76, 77, 78, 84, 85, 86, 88, 95, Etika Islamic Entrepreneurship v, 159,
105, 106, 115, 116, 117, 123, 124, 164, 166
126, 133, 135, 137, 140, 142, 143,
148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, F
155, 157, 158, 159, 160, 161, 162, Falah 24, 25, 31, 32, 42, 150
163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, Franchise v, 187, 188, 190, 195, 197, 199,
170, 171, 173, 174, 176, 177, 178, 201, 202, 203, 204, 221, 222, 226,
179, 180, 181, 183, 184, 187, 189, 229, 234, 235, 237
190, 191, 192, 193, 194, 195, 196,

245
H 76, 77, 78, 84, 85, 87, 118, 140,
141, 158, 160, 161, 163, 223, 225,
Hak Kekayaan Intelektual 191, 206 228, 230
Halal 7, 15, 24, 29, 46, 106, 217 Khilafah iv, 22
Haram 7, 15, 46, 106, 165, 206, 216 Komunikasi 5, 74, 93, 94, 95, 96, 97, 98,
Harga 5, 15, 27, 30, 40, 49, 70, 92, 117, 99, 100, 101, 102, 104, 107, 111,
139, 141, 144, 145, 149, 165, 166, 139, 142, 143, 145, 146, 154, 209,
169, 198, 206, 211, 213, 214, 215, 210, 211, 218, 230, 237, 242
216, 217, 218, 239 Kreativitas iii, 2, 3, 5, 37, 42, 45, 50, 71,
Hukum Islam 205, 216 76, 88, 121, 122, 123, 124, 125,
126, 129, 130, 131, 132, 134, 135,
I 136, 137, 145, 199
Ibadah iii, 4, 6, 10, 11, 15, 17, 18, 23, 47,
89, 90, 91, 92, 135, 136, 181 M
Islamic Entrepreneurship iii, iv, v, 1, 5, 7, Maslahah 22, 24, 30, 31, 171
8, 10, 14, 17, 25, 31, 32, 35, 36, 49, Motivasi iv, 2, 5, 9, 11, 12, 32, 38, 43, 45,
53, 58, 65, 76, 79, 84, 93, 101, 109, 50, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 87,
115, 121, 139, 149, 151, 159, 164, 88, 91, 92, 95, 101, 110, 112, 122,
166, 234 126, 135, 136, 195

J N
Jiwa iv, 2, 8, 31, 36, 48, 49, 50, 51, 52, 53, Nabi Muhammad Saw 4, 241
58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 69, 71,
75, 76, 78, 84, 103, 107, 115, 117, P
132, 156, 171, 182, 224, 230, 240,
242 Pemasaran produk 95
Profil Entrepreneur iv, 65, 70
K
T
Karyawan 9, 14, 39, 59, 93, 95, 116, 147,
153, 160, 162, 165, 167, 168, 170, Tauhid 4, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 30, 181,
173, 174, 175, 176, 179, 192, 194, 182, 241
199, 240 Teladan 2, 10, 14, 118
Kerja 2, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 14, 24, 27, 30,
37, 38, 39, 43, 44, 45, 51, 52, 53, W
54, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 66, Wirausaha 2, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,
67, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 78, 79, 14, 15, 32, 37, 38, 39, 41, 42, 43,
81, 83, 84, 85, 87, 91, 92, 93, 95, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53,
98, 101, 102, 110, 112, 113, 115, 54, 57, 58, 59, 62, 64, 66, 67, 68,
125, 127, 128, 130, 136, 147, 148, 70, 71, 73, 75, 76, 78, 84, 85, 87,
150, 153, 157, 162, 164, 165, 168, 88, 89, 90, 91, 102, 106, 107, 117,
175, 196, 204, 240, 241, 242 131, 133, 134, 137, 141, 142, 143,
Kewirausahaan 1, 5, 6, 7, 8, 9, 14, 19, 20, 144, 145, 148, 149, 157, 161, 162,
23, 24, 25, 26, 29, 30, 31, 32, 42, 163, 199, 241
45, 49, 50, 60, 61, 62, 63, 71, 75, Women Entreprenuer 72, 243

246 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


Biodata Penulis

KABUL WAHYU UTOMO


Kabul lahir di Kebumen, Jawa tengah pada 13 Juli
1975. Kabul adalah anak sulung dari 4 bersaudara.
Masa kecilnya sampai SMA dihabiskan di Kebumen.
Kabul menempuh pendidikan di SD Inpres/SD
Negeri 3 Pejagoan, SMP Negeri 1 dan SMA Negeri 1
Kebumen. Tahun 1993, Kabul melanjutkan studinya
selama 3,5 tahun di Jurusan Manajemen, FEB
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Lulus S1, Kabul belajar bisnis,
manajemen dan pengelolaan perusahaan dari Ayahnya. Pada tahun 1999,
panggilan hati untuk terus belajar membawanya studi S2 di Program Magister
Sains, Program Studi Manajemen, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Setelah menyelesaikan pendidikan S2 pada tahun 2001, Kabul memulai
karirnya sebagai dosen dan dipercaya mengajar di beberapa Perguruan Tinggi
Swasta di Yogyakarta dan kota-kota di sekitarnya. Kabul menjadi dosen
tetap di STIE Putra Bangsa Kebumen (sekarang Universitas Putra Bangsa
Kebumen). Kemudian, pada akhir 2003, Kabul memutuskan untuk memulai
karirnya di Jakarta dengan menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Keuangan dan Perbankan Indonesia (STEKPI). Saat mengabdi sebagai Dosen
Universitas Trilogi (d/h STEKPI). Pada tahun 2016 Kabul melanjutkan
studinya dan berhasil meraih gelar Doktor dengan menyelesaikan Pendidikan
Doktor Manajemen di Program Doktor, Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

247
Kabul juga diamanahkan untuk mengemban beberapa jabatan struktural
di kampus sebagai Wakil Ketua Bidang Akademik STIE Putra Bangsa Kebumen
(Sekarang Universitas Putra Bangsa Kebumen) tahun 2001. Kemudian
menjadi Kasubag pada tahun 2004. Di Universitas Trilogi (d/h STEKPI)
menjabat sebagai Pelayanan Pembelajaran. Setelah tiga bulan kemudian, Kabul
dipromosikan menjadi Kabag. Humas dan Kerjasama merangkap jabatan
sebagai Kabag. kemahasiswaan dan Perpustakaan.
Oktober 2016, Kabul dipercaya menjadi Wakil Direktur Magister
Manajemen di Universitas Trilogi. Tiga bulan kemudian Kabul diangkat
menjadi Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas
Trilogi menggantikan pejabat sebelumnya hingga akhir masa jabatan selesai.
Selesai masa jabatan Wakil Rektor, amanah baru diberikan kepada Kabul
untuk menjadi Ketua Prodi program Magister Manajemen merangkap Ketua
Program Studi Manajemen (S1) Universitas Trilogi dan mengawal proses
Akreditasi S2-MM hingga selesai.
Pada Tahun 2019, Kabul diangkat menjadi Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis merangkap sebagai Dekan Fakultas Bio Industri Universitas Trilogi. Setelah
menjabat sebagai Dekan selama 3 bulan, Kabul kembali diamanahkan menjadi
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Trilogi hingga
saat ini. Selain aktif sebagai dosen, Kabul juga aktif meneliti dan mengembangkan
konsep VIEWS (Value, Integrity, Entrepreneurship, Wisdom, dan Sincerely) dan menjadi
narasumber di beberapa seminar, workshop, maupun webinar.

RIZQON HALAL SYAH AJI


Adalah Dosen tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Lahir di Brebes, pada 5 April 1979 dari Ayah KH.
Tajuddin Noor dan Ibu Hj. Toinah. Bergabung dengan
UIN Jakarta pada tahun 2011 dan bertugas mengampu
mata kuliah rumpun ilmu kuantitatif pada program
studi Ekonomi Islam. Kemudian pada tahun 2015
mutasi ke Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan bergabung dengan Program Studi
Ekonomi Pembangunan. Pada tahun 2016, Rizqon diberi tanggung jawab
sebagi sekretaris program Studi Ekonomi Pembangunan. Jenjang pendidikan
formal Strata-1 ditempuhnya di Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta sebagai
Mahasiswa Jurusan Matematika Terapan dengan konsentrasi Statistika terapan

248 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah


dan pada akhir studinya ia dikukuhkan Menjadi Wisudawan Terbaik Pertama
tingkat Universitas pada tahun 2005.
Ketika duduk sebagai mahasiswa matematika (2003), Ia memegang
amanah sebagai Ketua Badan Pekerja Ikatan Himpunan Mahasiswa Statistika
Indonesia (IHMSI). Perjalanan pendidikan formalnya dilanjutkan pada
program Magister Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan di Universitas
Indonesia dan lulus pada tahun 2009 di bawah bimbingan pakar Ekonometrik
Indonesia yakni Prof. Dr. I Gusti Ngurah Agung. Seiring dengan kesibukannya
di perkuliahan tingkat Magister, Ia banyak berguru seputar riset kuantitatif
khususnya untuk survei dan jejak pendapat umum di Lembaga Pendidikan
Pengembangan Penelitian Ekonomi Sosial (LP3ES), di bawah mentor langsung
pioner Survei Politik Indonesia yakni KH. Enceng Shobirin Nadj sekaligus
sebagai Direktur Center for the Study of Development and Democracy (CESDA).
Pada tahun 2005, ia juga merintis lembaga survei bersama mentornya yang
diberi nama Lembaga Survei Swamedia Research & Communication (SRC) hingga
sang mentor wafat (2020). Ia meneruskan pendidikan pada tingkat Doktoral
(2017) di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) pada disiplin Ilmu Ekonomi
dan Lulus pada tahun 2020. Pada Tahun 2020 juga, Rizqon bergabung dengan
Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia Jakarta (YPPIJ/Universitas
Trilogi) sebagai staf khusus Yayasan di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Ir.
Arissetyanto Nugroho, sekaligus ditugaskan untuk mengajar mata kuliah
Metodologi Penelitian pada program studi Magister Manajemen. Banyak
karya-karya ilmiah yang telah ditorehnya dalam bidang Ilmu Ekonomi maupun
sosial pada jurnal Internasional maupun jurnal nasional bereputasi. Karya
terpopuler yang Ia tulis adalah buku dengan Judul Ansor dan Tantangan
Kebangsaan; Sebuah Refleksi Demografi Politik Dari Social Capital Menuju
Human Capital yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Republika (2015).

HAVIS ARAVIK
adalah Dosen tetap Sekolah Tinggi Ekonomi
dan Bisnis Syariah (Stebis) Indo Global Mandiri
Palembang. Lahir di Kuang Dalam Sumatera Selatan,
21 Juni 1984 dari pasangan H. Muhammad Tobri dan
Hj. Sukaiyati. Sejak mahasiswa hingga sekarang, aktif
dalam berbagai kegiatan seminar, lokakarya, training-
training dan melakukan penelitian, pengabdian kepada

Bab 15: Biodata Penulis 249


masyarakat serta publikasi ilmiah pada berbagai jurnal ilmiah baik nasional
maupun internasional yang terakreditasi Sinta maupun terindeks Scopus.
Beberapa buku yang telah berhasil diterbitkan antara lain; Ayat-Ayat
Ekonomi Syariah (Rafah Press, 2021), Politik Islam: Sejarah dan Pemikiran (PT.
Nasya Expanding Management, 2021), Etika Perbankan Syariah (Deepublish,
2021), Kamus Bahasa Kuang Dalam (CV. Intishar Publishing, 2020), Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam Klasik (Rafah Press, 2020), Etika Bisnis Islam; Seni
Berbisnis Keberkahan (Deepublish, 2020), Filsafat Ekonomi Islam; Ikhtiar
Memahami Nilai Esensial Ekonomi Islam (Kencana Prenada Media Group,
2020), Perekonomian Islam; Sejarah dan Pemikiran, (Kencana Prenada Media
Group, 2019). Mengenal Filsafat Umum (Rafah Press, 2018), Pengantar Studi
Islam; Ikhtiar Memahami Nilai-Nilai Ideal Ajaran Islam (Rafah Press, 2018),
Sejarah Pemikiran Ekonomi Kontemporer (Kencana Prenada Media Group, 2017),
Politik dan Ketatanegaraan Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer (Pustaka Reka
Cipta, 2017). Manajemen SDM Berbasis Syariah (CV. RWTC Success, 2017).
Kamus Bisnis Syariah (Deepublish, 2016), Ekonomi Islam (Empat Dua Intrans
Publishing, 2016), Ghazwul Fikri; Pola Baru Menyerang Islam (Noerfikr Offset,
2015), Sang Inspirator (Noerfikr, Offset, 2015), dan Islam Rahmatan lil Alamien
(Noerfikr Offset, 2015).
Mengedit beberapa karya seperti Iklim Organisasi Era Digital (Deepublish,
2020), Manajemen Analisis Jabatan (Deepublish, 2020), Pembangunan Hukum
Nasional Implementasi Cita Hukum Pancasila (Thafa Media, 2019), Asas-Asas
Hukum Islam (Thafa Media, 2018), Konstribusi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Indonesia, (CV. RWTC Success, 2017), Komunikasi Bisnis Teori dan Aplikasi (Noer
Fikri Offset, 2018), Perputaran Modal Kerja Dan Implikasinya Terhadap Penjualan
Dan Kinerja Profitabilitas PT. Semen Baturaja.(Pesero) Tbk (CV. RWTC Success,
2017). Untuk kenal lebih dekat dapat dihubungi email: havis@stebisigm.ac.id.

250 Islamic Entrepreneurship: Konsep Berwirausaha Ilahiyah

Anda mungkin juga menyukai