Anda di halaman 1dari 24

MODUL PERKULIAHAN

Pendidikan
Agama Islam
Kewajiban dan Hikmah Bekerja
---------------------------------------
__

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh


Semua Fakultas Semua 199101001 Tim Dosen PAI Universitas Widyatama
Prodi
13
Abstrak Kompetensi
Agama Islam sangat menghargai Mahasiswa mampu mengetahui,
orang-orang yang bekerja keras dan memahami dan menjelaskan
cerdas serta berhati-hati dalam hal Kewajiban bekerja dan hikmah
kepemilikan suatu benda atau barang. bekerja.
Boleh dikatakan bahwa seorang
muslim yang bekerja adalah orang
yang memiliki harga diri dan
kemuliaan dihadapan Allah Swt.
Allah telah berjanji kepada orang-
orang yang beriman dan melakukan
amal saleh (pekerjaan yang baik dan
benar serta proporsional), bagi
mereka ampunan dan ganjaran dari-
Nya. Sehingga bekerja itu adalah
suatu keharusan selagi itu tidak
melanggar syariat.
Latar Belakang

Islam adalah agama yang sarat dengan amal (kerja), sebab kualitas keyakinan kepada
Allah swt yang tertanam pada setiap muslim akan sangat ditentukan oleh kemampuan dalam
mengaktualisasikan ajaran Islam itu sendiri dalam praktek kehidupannya, maka dari itu dalam
Al-Qur`an kalimat amanu (beriman) selalu bergandengan dengan kalimat “amilu (bekerja).
Maksudnya adalah bahwa keimanan seseorang harus paralel dengan aktualisasi ajaran agama
dalam kehidupannya.

Dalam konteks Islam tentang perekonomian (iqtishodiyah), bekerja adalah modal dasar
ajaran Islam itu sendiri. Boleh dikatakan bahwa seorang muslim yang bekerja adalah orang
yang memiliki harga diri dan kemuliaan dihadapan Allah swt khususnya serta dihadapan
sesama manusia pada umumnya. Sebab bekerja adalah salah satu kegiatan ibadah yang dicintai
dan diridoi oleh Allah swt, seperti disebutkan dalam salah satu definisi bahwa ibadah yaitu:
“Nama yang mencakup segala bentuk yang dicintai serta diridoi Allah, baik ucapan, maupun
perbuatan baik yang nyata maupun yang tersembunyi.” (Fathul Majid: 14). Definisi tersebut
diperkuat dengan firman Allah Swt.: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Ad-Dzariat: 56).

Seseorang yang mengaku dirinya mukmin harus menanamkan keyakinan, bahwa


pekerjaan adalah sebagai kehormatan dan mediator yang diberikan Allah swt kepada makhluk-
Nya (manusia) untuk memenuhi segala macam kebutuhan dalam menjalani kehidupan. Dalam
pandangan Islam tidak ada perbedaan jenis pekerjaan selama pekerjaan itu nyata dan halal.
Islam memberikan batasan terhadap kebolehan menyangkut zat pekerjaan dan sistem untuk
melakukan pekerjaan. Karenanya, Islam memaknai sebuah pekerjaan secara komprehensip
yakni dari sisi sistem, aspek pertanggungjawaban (akuntabilitas), jaminan serta kesulitan dalam
pekerjaan.

Untuk itulah Islam mempunyai norma hukum dalam ketenagakerjaan, misalnya larangan
menghilangkan harta orang lain sehingga terjadinya kerugian dan Islam sekaligus mewajibkan
menggantinya kepada yang menghilangkan barang itu. Dengan demikian, orang yang
mengabaikan kewajiban harus mengganti kerugian orang lain baik materil maupun imaterial,
demikian pula halnya tentang sistem penggajian (pemberian upah), hukum orang yang
dinyatakan pailit dan seterusnya.

‘21 2 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
Sistematika Modul
Modul ini terdiri dari:
1. Bagian Muka
Berisi identitas mata kuliah dan tema bahasan.

2. Latar Belakang
Berisi mengeni Kewajiban dan Hikmah Bekerja.

3. Bagian Isi
Berisi mengenai pokok bahasan tentang Kewajiban dan Hikmah Bekerja.
4. Daftar Pustaka
Berisi mengenai sumber rujukan.

‘21 3 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
Bagian Isi

A. Hukum Ketenagakerjaan

Sedikitnya terdapat 360 ayat Al-Qur`an yang berbicara tentang bekerja dan 190 ayat
lainnya berbicara tentang bertaubat, yang keseluruhannya meliputi hukum ketenagakerjaan
menurut syari’ah. Allah memerintahkan kita untuk melakukan pekerjaan yang baik agar
memperoleh ganjaran dan ampunan-Nya. Dimensi pekerjaan yang baik (‘amilu as-shalihat)
sangat luas maknanya seluas misi Islam itu sendiri. Pekerjaan dalam Islam harus mengacu
kepada penegakan keadilan dan menjadi kebaikan (kemaslahatan) bagi seluruh alam. Oleh
sebab itu, makna kebaikan tidak hanya diartikan sempit dan parsial dengan diidentikkan pada
laba yang banyak, namun Islam memiliki sistem bekerja yang mengacu kepada norma yang
tidak saling merugikan.

B. Motivasi Kerja

Motivasi bekerja hanya semata-mata ditujukan untuk Allah sebagai wujud dari kesadaran
diri sebagai makhluk-Nya. Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan
melakukan amal shaleh, yaitu pekerjaan yang baik dan benar serta proporsional. Bagi mereka
ampunan dan ganjaran dari Allah swt. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl: 97.

Motivasi menjadi sangat penting, sebab secara naluriah manusia mengharap imbalan dari
apa yang dikerjakannya, sehingga seberat apapun pekerjaan yang dilakukan, seimbalan itu pula
yang akan dan harus diterimanya. Istilah imbalan yang disebutkan dalam ayat di atas tidak
hanya ditujukan kepada imbalan akhirat saja, akan tetapi tidak salah jika dikaitkan dengan
hukum dunia, yaitu seseorang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan apa yang
diusahakannya.

Motivasi dalam bekerja haruslah kuat membaja yang imbalannya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia secara material maupun spiritual (badaniah dan ruhaniah). Hal
ini dapat kita lihat dalam firman Allah Swt dalam QS. Al-Jumu’ah: 10. Pada yat tersebut
ditegaskan bahwa, melakukan usaha dan aktifitas kerja setelah melakukan shalat menunjukkan
keyakinan kita terhadap pemilik langit, bumi beserta isinya, sehingga tidak ada istilah
pesimistis dan apatis dalam jiwa seorang muslim ketika menghadapi berbagai tantangan dan
rintangan dalam melakukan usaha. Artinya, sebesar apapun kesulitan bahkan kegagalan yang

‘21 4 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
terjadi pada usaha tidak akan menjadikan putus asa, sebab kita telah yakin dengan rizki (Allah).
Maka, keseimbangan sangat penting dalam melakukan pekerjaan/usaha dan keseimbangan
setelah melakukan usaha. Dalam bekerja dibutuhkan ketenangan dan konsentrasi penuh,
sehingga pekerjaan yang dilakukan akan menghasilkan nilai maksimal, baik dalam
perencanaan (planning), pengaturan (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasn
(controlling).

C. Kewajiban Bekerja

Allah swt memerintahkan langsung kepada manusia untuk berkarya dimuka bumi ini
dalam rangka mencari karunia-Nya dengan bumi sebagai tempat sumber rizki itu. Sebagaimana
firman Allah dalam QS. Al-Mulk:15. Kemudian dalam QS. Al-A’raf: 10, QS. Al-Qashash: 77,
QS. An-Nisa: 32.
Rasulullah saw bersabda di dalam beberapa hadis berikut ini perihl bekerja:“Ya Allah,
berkahilah umatku di waktu paginya.” (H.R. Abu Dawud: 2606).
“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di
luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal
dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat
yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala
di balik amal yang selalu kontinyu. Lakukanlah ibadah (secara kontinyu) di waktu pagi
dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam.” (H.R.
Bukhari:39. Lihat penjelasan hadits ini di Fathul Bari).
“Tidak ada makanan yang lebih baik bagi seseorang melebihi makanan yang berasal
dari buah tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Dawud a.s. makan dari hasil
tangannya sendiri.” (H.R Bukhari).
”Bekerjalah untuk kepentingan duniamu seolah-olah engkau hidup selama-lamanya dan
bekerjalah untuk kepentingan akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok hari.” (H.R.
Ibnu Asakir)
”Rasulullah saw bersabda: Seseorang memikul seikat kayu di atas pungungnya, lalu dia
menjualnya, hal itu lebih baik daripada meminta kepada seseorang yang mungkin
memberi atau menolaknya.” (Muttafaq Alaih)

D. Jenis-Jenis Usaha dalam Islam

Beragam usaha yang dilakukan manusia dalam mencari karunia Allah swt dan Islam
memberikan solusi terbaik. Banyak macam jenis usaha peninggalan para nabi dan rasul serta
sekaligus pula menjadi suri tauladan pula bagi umat Islam dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Jenis-jenis usaha itu di antaranya, sebagai berikut :

‘21 5 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
1. Berdagang

Berdagang atau jual beli merupakan salah satu usaha yang baik dan pernah dilakukan oleh
Nabi Muhammad saw. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang yang
mana apabila berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat, apabila
berjanji tidak mengingkarinya, apabila membeli tidak mencela, apabila menjual
tidak berlebihan (dalam menaikkan harga), apabila berhutang tidak menunda-nunda
pelunasan dan apabila menagih hutang tidak memperberat orang yang sedang
kesulitan.” (HR. Al-Baihaqi).
“Pedagang yang senantiasa jujur lagi amanah akan bersama para nabi, orang-
orang yang selalu jujur dan orang-orang yang mati syahid.” (HR. Tirmidzi).
2. Kerajinan Tangan
“Tidak ada makanan lebih baik bagi seseorang, melainkan apa yang telah dihasilkan
oleh pekerjaan tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Dawud a.s. makan dari hasil
pekrjaan tangannya sendiri.” (HR. Bukhari).
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda:
“Bahwasannya Nabi Dawud adalah seorang tukang kayu, Nabi Idris seorang tukang
jahit, sedangkan Nabi Musa adalah seorang tukang gembala.” (H.R. Hakim).
3. Pertanian
“Tiada seorang muslim yang menebar benih atau menanam tanaman, kemudian
seekor burung, seorang manusia atau seekor binatang makan sebagian dari
padanya, malainkan dinilai sebagai sedekah baginya.” (H.R. Bukhari).
4. Peternakan
“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, kecuali pernah menggembala kambing.”
(H.R. Bukhari).
5. Jihad

“Dijadikan rizkiku dibawah naungan panahku.” (H.R. Ahmad), dan dalam QS. Al-
Muzammil:20.

5. Perburuan
“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia menggembalakan kambing.
Para sahabat bertanya: Termasuk engkau juga? Maka Beliau menjawab: "Ya, aku
pun mengembalakannya dengan upah beberapa qirat (keping dinar) milik penduduk
Makkah.” (H.R. Bukhari:2102).
Dalam hadis yang lain Rasulullah juga bersabda:
“Berilah kepada seorang buruh upahnya sebelum kering keringatnya.” (H.R. Ibnu
Majah).
“Rasulullah pernah berbekam dan memberikan upah kepada yang membekamnya,
sekiranya haram, tentunya Nabi tidak akan memberikannya”. (H.R. Bukhari).

‘21 6 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
E. Hikmah Bekerja

Pada prinsipnya berusaha dan berikhtiar dalam rangka mencari rizki dan karunia Allah
adalah wajib, akan tetapi Islam tidak mewajibkan memilih satu bidang usaha dan pekerjaan
tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang dapat memilih usaha sesuai dengan bakat,
keterampilan dan faktor lingkungan masing-masing selama tidak bertentangan dengan syari’at,
sebagaimana dalam kaidah hukum Islam dikatakan: “Asal dalam akad mu’amalah adalah
boleh, kecuali ada dalil/keterangan yang melarangnya.” (Al-Bayan: 230).

Kaidah ini mengandung arti bahwa dalam urusan keduniawian, pada dasarnya boleh,
tidak dilarang, kecuali ada keterangan atau dalil yang melarang. Oleh karena itu dalam urusan
keduniawian seharusnya mencari dalil yang melaran/mengharamkannya terlebih dahulu dan
bukan mencari dalil yang menghalalkan. Ada beberapa Hikmah Bekerja, yaitu:

1. Membina Ketentraman Dan Kebahagiaan

Nabi saw. bersabda: “Berbahagialah orang Islam, rizkinya berkecukupan dan senantiasa
menerima segala pemberian Tuhannya.” (H.R. Muslim).

2. Memenuhi Nafkah Keluarga

Nabi saw memberikan ancaman kepada keluarga yang menyia-nyiakan keluarganya dengan
dosa yang akan dipikulnya. “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa, jika ia menelantarkan
nafkah orang yang ditanggungnya.” (H.R. An-Nasa’i).

3. Sebagai Sarana Ibadah

Ibadah itu mencakup segala bentuk aktivitas yang berhubungan dengan sesama manusia
(habluminannas) yang aturannya diserahkan kepada manusia sepanjang tidak bertentangan
dengan aturan dan kaidah syari’at Islam. Salah satu bentuk yang nampak jelas dalam hal ini
adalah perniagaan, dimana seseorang tidak dapat melakukan perniagaan hanya seorang diri,
akan tetepi membutuhkan kerjasama dengan orang lain, sepanjang diperbolehkan syari’at.

4. Menolak Kemunkaran

Tujuan ideal berusaha dan bekerja termasuk berniaga di dalamnya adalah mencegah
kemunkaran, hal ini terjadi ketika seseorang tidak mempunyai pekerjaan, bahkan kefakiran
seseorang dapat menyeret kepada kekufuran. Oleh karena itu, bekerja dan berusaha dengan
jujur, adil dan makmur, pada intinya dapat mencegah kemunkaran, karena dengan adanya
pekerjaan dan usaha dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.

‘21 7 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
F. Etos Kerja

Etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap
serta persepsi terhadap nilai bekerja, dari kata ini lahir kata ethic yaitu pedoman, moral, dan
perilaku. Pada gilirannya kata ethic digunakan untuk kata bisnis, etika kedokteran, etika
keguruan dan sebagainya, yang memiliki arti pedoman atau ketentuan moral seorang usahawan,
dokter, guru, dan lain-lain.

Etika ini berhubungan dengan kejiwaan, maka hendaknya setiap muslim menjadikan
Islam sebagai dasar pijakan untuk melahirkan etos kerja muslim. Maka etos kerja itu menjadi
nilai amal shaleh, dalam arti amal yang sesuai dengan syari’at (aturan-aturan Islam).

1. Kerja Sebuah Keharusan

Penggunaan salah satu dari keempat daya (fisik, fikir, kalbu, hidup) yang dimiliki manusia,
betapapun sederhananya, dapat melahirkan kerja atau amal. Kita tidak dapat hidup dan
menjalankan tanpa menggunakan (paling sedikit) salah satu dari daya-daya itu. Oleh karena
itu, kerja adalah keniscayaan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kerja atau amal yang dituntut
oleh Allah bukan hanya asal kerja, tetapi kerja yang shaleh atau amal shaleh. Shalih berarti
yang sesuai, bermanfaat, juga memenuhi syarat-syarat dan nilai-nilainya.

2. Kerja yang shaleh

Seperti yang tersebut di atas, bahwa kerja yang shaleh adalah kerja yang sesuai, bermanfaat
dan memenuhi syarat serta nilai-nilainya, maka untuk mencapai hal tersebut, langkah-
langkah yang harus ditempuh antara lain:

a. Memahami latar belakang pendidikan

Seorang Muslim memiliki etos kerja berdasarkan disiplin ilmunya, pemulihan profesi
yang akan diperdalamnya merupakan panggilan jiwa, apa yang didapatkan dari hasil
belajar di lembaga-lembaga atau pelatihan. Hal itulah yang akan dijadikan pijakan
dalam dunia kerja dan masyarakat, karena ia dianggap ahli dalam bidangnya. Inilah di
antaranya yang disabdakan Nabi Muhammad saw: “jika sesuatu pekerjaan diserahkan
bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”

Profesionalisme adalah jiwa seorang muslim dalam etos kerja, sehingga setiap muslim
memiliki etos kerja yang kokoh, berpijak kepada ilmu pengetahuan yang dimilikinya
dan memiliki ruh Islam yang semata-mata bertujuan ibadah kepada Allah.

‘21 8 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
b. Tauhid sebagai spirit kerja

Semangat kerja seorang muslim diukur dari nilai ilahiyah yang dasarnya dari kalimat
laa Ilaaha Illallah, yang melahirkan sedikitnya tiga aspek, yaitu pertama, aspek
rububiyah di mana keyakinan dan kepercayaan, bahwa hanya Allah saja yang
mempunyai kekuasaan mencipta, mengatur dan memelihara serta menguasai alam
semesta. Maka, dari aspek ini tertanam pada setiap muslim atau pekerja muslim, bahwa
Allah adalah yang Maha Melindungi dari segala yang memiliki kekuatan di luar
kekuatan manusia. Kedua, aspek Uluhiyah, di mana kepercayaan dan keyakinan akan
ketuhanan Allah, di mana tiada Tuhan yang sesungguhnya kecuali Allah, yang tiada
syarikat bagi-Nya. Pengaruh yang muncul dari aspek ini bagi seorang pekerja muslim
adalah terbebasnya ketergantungan dalam bekerja selain ketergantungan kepada Allah
saja. Ketiga aspek ibadah, yaitu kepercayaan dan keyakinan bahwa hanya Allah saja
yang wajib diibadahi. Selain dari-Nya, tidak ada yang wajib diibadahi. Hal ini akan
menjadi pengaruh pada etos kerja seorang muslim, bahwa apapun yang dikerjakannya
bermuara kepada cinta dan rido Allah swt, sesuai dengan salah satu makna dari ibadah
yaitu “segala sesuatu yang dicintai dan diridoi Allah baik ucapan maupun perbuatan
yang nampak maupun yang tersembunyi”. Inilah perbedaan yang mendasar antara etos
kerja muslim dengan etos kerja manusia lainnya.

c. Sense of Belonging untuk Mencapai Keberkahan Hidup

Sense of Belonging diartikan rasa memiliki sebagai keterikatan, kebersamaan, atau


dengan kata lain dalam budaya masyarakat Indonesia rasa gotong royong. Setiap hak
manusia dilindungi oleh masyarakat yaitu keluarga, tetangga, kerabat, wilayah, negara,
dan seterusnya. Di sinilah perlunya kepemimpinan dari setiap masyarakat, ingat bahwa
setiap diri manusia adalah pemimpin, maka kita semua sebagai seorang muslim harus
memiliki keakraban terutama dalam masalah pekerjaan. Dengan kata lain hidup dengan
kebersamaan dikenal dalam ajaran Islam dengan istilah berjamaah. Langkah-langkah
menuju Sense of Belonging, yaitu:

1) Mencintai pekerjaan (yuhibbuhu), yaitu merasa betah dan senang dalam


melaksanakan pekerjaan masing-masing, tidak ada perasaan jemu, malas apalagi
perasaan tertekan.

‘21 9 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
2) Tekun (al-atqon), serius sungguh-sungguh dalam mengerjakan pekerjaan itu. Maka
timbul perasaan senang dan insya Allah pekerjaan itu akan membawa keberkahan,
sesuatu yang kita kerjakan dan dapat menghasilkan, maka Allah akan memberikan
imbalan sesuai dengan usaha dan aktivitas. Hasil yang dimaksud adalah:

a) Bersifat benda, rezeki namanya, harus dipelihara dengan infak, sedekah, dan
zakat.

b) Bersifat rasa, nikmat namanya, harus dipelihara dengan beribadah kepada Allah
sebagai wujud syukur kepada-Nya.

c) Bersifat karsa, rahmat pertolongan namanya, harus dipelihara dengan beramal


shaleh atau amal jasa.

d) Bersifat keturunan, dzurriyyah namanya, harus dipelihara dengan kerjasama,


“silaturahmi” dengan kata lain memperkuat jama’ah.

G. Ciri Etos Kerja Muslim

Seseorang yang memiliki dedikasi kerja yang tinggi akan tampak dalam sikap dan
perilakunya yang dilandasi oleh keyakinan, bahwa bekerja itu adalah ibadah. Adapun ciri-ciri
tersebut adalah:

1. Memiliki jiwa kepemimpinan (leadership), kunci sukses seorang pemimpin adalah:

a. Menghargai pekerjaan bawahan sekecil apapun pekerjaan itu.

b. Menciptakan suasana keakraban tapi dalam batas-batas tetap menjaga disiplin kerja
(profesionalisme) bukan like and dis-like, hal ini bisa dibangun dengan silaturahmi.

c. Tegas (bukan keras) dalam menegakkan disiplin, tetapi loyal yang tidak mengurangi
arti kedisiplinan.

2. Selalu Berhitung
“Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya dan
beribadahlah untuk akhiratmu, seolah-olah engkau akan mati esok hari.”
Umar bin Khatab berkata:
“Berhitunglah untuk dirimu sendiri, sebelum datang hari di mana engkau akan
diperhitungkan.”

‘21 10 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
Sejalan dengan firman Allah: Setiap langkah yang dilakukan penuh dengan perhitungan
yang matang akan menghasilkan sesuatu yang dapat diperkirakan. Komitmen pada janji dan
waktu merupakan ciri seorang muslim yang sejati. Hal tersebut dapat dibuktikan
kualitasnya melalui ibadah shalat yang dikerjakan secara konsisten lima kali dalam sehari
semalam dan melalui suara adzan sebagai miniatur dari penghargaan terhadap waktu.

3. Penghargaan Terhadap Waktu

Al-Qur`an dalam sejumlah ayat-ayatnya bersumpah dengan waktu yang menunjukkan


betapa berharganya waktu bagi seorang muslim. Waktu-waktu yang dilalui harus diisi
dengan kerja keras agar tidak merugi akibatnya. Contoh surat Al-Ashr yang artinya waktu
bahwa manusia dibuat rugi dengan berlalunya waktu kecuali mereka yang beriman dan mau
berkarya dengan karya-karya yang shaleh (pekerjaan yang bermanfaat dan baik).
Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa: 103.

Skala prioritas yang dapat dilakukan dalam mempergunakan waktu ialah bila ada dua
alternatif pekerjaan yang sama dan memiliki nilai yang sama pula, maka hendaknya dipilih
pekerjaan yang memakan waktu lebih singkat. Apabila ada pekerjaan yang mengandung
nilai tambah, maka pilihlah pekerjaan yang memiliki nilai tambah. Karena itu, shalat
berjamaah jauh lebih dianjurkan daripada shalat sendirian, karena waktu yang digunakan
untuk kedua shalat sama atau tidak jauh berbeda, akan tetapi nilai tambah berupa
ganjarannya untuk shalat berjamah adalah 27 kali lipat.

4. Kerja Sama

Pernyataan seorang muslim dalam shalat, iyyaka na’budu (hanya kepada Mu-lah kami
beribadah) yang dikemukakan dalam bentuk jamak (kami) ini, menunjukkan bahwa Islam
sangat mendorong kerja sama dalam melaksanakan ibadah, termasuk dalam melaksanakan
kerja. Itulah sebabnya shalat berjamaah lebih diutamakan daripada shalat sendirian. Nabi
saw selalu mempraktekkan pula dalam menyelesaikan pekerjaan dengan cara kerjasama.

5. Optimisme

Kerja harus dibarengi dengan optimisme dan harapan yang dikenal dalam ajaran Islam
dengan istilah roja’ akan bantuan Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah swt:

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu akan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah
kesulitan itu akan ada dua kemudahan.” (Q.S Al-Insirah: 5-6)

‘21 11 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
Ayat di atas menunjukkan dan menegaskan bahwa satu kesulitan akan dibarengi dengan
dua kemudahan. Karena itu ayat terakhir dari surat Al-Insyirah menyatakan: “Dan hanya
kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”

Allah juga berfirman:


“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan untuknya jalan
keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada diduga.” (QS. At-Thalaq: 2-3)
6. Tidak Pernah Puas Berbuat Kebaikan

Konsekuensi logis dari tidak merasa puas berbuat kebajikan, akan melahirkan semangat
tanpa henti, tidak mengenal lelah dan tidak terbelenggu oleh kemalasan. Ada prinsip pada
dirinya bahwa orang yang berani adalah orang yang mampu menundukkan dirinya dari sifat
malas, pengecut, dan rendah diri.

H. Faktor-Faktor Penghambat Etos Kerja

Etos kerja berkaitan erat dengan sistem pendidikan dan budaya, maka seorang muslim
etika pendidikan dan budayanya berpijak pada etika dan budaya Islam. Jika tidak berpijak pada
etika dan budaya Islam, akan muncul berbagai kejanggalan karena terkontaminasi oleh etika
dan budaya di luar Islam yang akan menjadi penghambat dalam menumbuhkan etos kerja. Di
bawah ini dikemukakan faktor-faktor penghambat etos kerja, yaitu:

1. Khurafat dan Tahayul Khurafat adalah suatu kepercayaan, keyakinan, pandangan dan
ajaran yang sesungguhnya tidak memiliki dasar dari agama tetapi diyakini bahwa hal
tersebut berasal dan memiliki dasar dari agama. Dengan demikian, bagi umat Islam, ajaran
atau pandangan, kepercayaan dan keyakinan apa saja yang dipastikan ketidakbenaranya
atau yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Al-Qur`an dan Hadis Nabi saw disebut
khurafat. Contoh meminta bukan kepada Allah, tetapi ke kuburan atau memakai azimat.

Sementara secara istilah, tahayul adalah kepercayaan terhadap perkara ghaib, yang
kepercayaan itu hanya didasarkan pada kecerdikan akal, bukan didasarkan pada sumber
Islam, baik Al-Qur`an maupun Al-Hadits. Seperti percaya kepada benda-benda tertentu
(keris, cincin pancawarna, tongkat, dan sebagainya), tempat-tempat tertentu (gunung,
pohon, kuburan), dan waktu-waktu tertentu (bulan safar, Rebo wekasan, Jumat kliwon, dan
sebagainya) semua itu dipercayai bisa mendatangkan manfaat atau mudharat/bahaya.
Percaya kepada khurafat dan tahayul adalah perbuatan syirik yang harus dijauhi.

‘21 12 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
2. Alon-Alon Asal Kelakon (pelan tapi pasti)

Alon-alaon asal kalakon (pelan-pelan tapi pasti) dalam etos kerja, kata-kata tersebut akan
menimbulkan ketimpangan, santai, malas karena akan tertanam prinsip ‘yang penting
tercapai tanpa memperhitungkan efesiensi’. Dalam persaingan dan jaman percepatan
(akselerasi) seperti sekarang ini, prinsip tersebut tidak dapat dipertahankan dalam konteks
etos kerja, karena pekerjaan masa kini akan menentukan hari esok.

3. Apatis

Apatis adalah sikap masa bodoh dan pasrah pada keadaan dan tidak ada usaha lain sebagai
alternatif. Sikap seperti ini akan melahirkan kerja yang santai, memandang mudah
pekerjaan, dan tidak sungguh-sungguh. Peribahasa mengatakan ‘barang siapa yang naik
mimbar tanpa persiapan, maka akan turun mimbar tanpa penghormatan’ maksudnya
melakukan suatu pekerjaan tanpa persiapan yang matang niscaya hasilnya mengecewakan.
Apatis adalah sikap/perilaku yang negatif dan kontraproduktif pada kinerja dan etos kerja.

4. Fatalistis (nrimo)

Pasrah, dalam arti menerima apa adanya tanpa ada usaha yang sungguh-sungguh untuk
menuju kepada perubahan, tentunya akan berbeda dalam konteks sabar. Sesorang yang
sabar adalah yang memiliki kekuatan bathin yang tangguh dan secara konsisten tidak
mengenal kata menyerah.

5. Mangan Ora Mangan Kumpul

Pada konteks budaya bangsa ini, merupakan nilai luhur yang menunjukkan simbol
keakraban, kekerabatan, dan kepedulian akan keluarganya. Akan tetapi, bila dikaitkan
dengan etos kerja, hal ini dapat mengakibatkan seseorang tergantung kepada tanah
kelahirannya, keluarganya dan sebagainya. Sehingga budaya yang demikian akan mengikat
seseorang, yang akhirnya tidak dapat meningkatkan taraf hidup. Sementara dalam budaya
etos kerja sangat memerlukan rasa merdeka untuk mengembangkan ide dan bakat, dan tidak
terikat oleh lingkungan, wilayah, keluarga dan golongan-golongan tertentu.

6. Salah Persepsi bahwa “kerja kasar itu hina”

Islam tidak membeda-bedakan bentuk kerja, antar kerja fisik dan kerja pikir (otak), yang
membedakannya adalah keuletan, kerja keras, dan kecintaan akan pekerjaan yang
ditekuninya. Pekerjaan apapun sah dilakukan selama pekerjaan itu halal dan tidak

‘21 13 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
merugikan orang lain. Dalam pandangan Islam meskipun pekerjaan itu kasar dan upahnya
kecil yang penting berkah. Artinya bisa memberikan manfaat bagi kehidupan.

I. Konsep Kepemilikan Dalam Islam

Islam memiliki pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonomi, pandangan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah Allah swt.
Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah
mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan-Nya. Sebagaimana yang
difirmankan Allah dalam QS. Al-Hadid: 7.

Juga dalam hadis Rasulullah saw bersabda:

“Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi Rabb-nya, hingga dia
ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa
mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan, dan dalam hal apa
(hartanya tersebut) ia belanjakan serta apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu yang
dimilikinya.” (HR. at-Tirmidzi).

2. Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut:

a. Harta adalah amanah Allah, manusia hanya memegang amanah, karena memang tidak
mampu mengadakan benda dari ketiadaan, dalam bahasa Einstein, manusia tidak
mampu menciptakan energi, yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu
bentuk energi ke bentuk energi lain. Pencipta awal semua energi adalah Allah swt.

b. Harta adalah perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan
baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan untuk memiliki,
menguasai dan menikmati harta (lihat QS. Ali Imran: 14), dan sebagai perhiasan hidup,
harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan (QS. Al-’Alaq:
6-7).

c. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama dalam soal cara mendapatkan dan
memanfaatkannya, apakah sesuai dengan cara Islam atau tidak (QS. Al-Anfal: 28).

d. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan
muamalah diantara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak dan shadaqah (QS.

‘21 14 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
At-Taubah: 41, 60 dan QS. Ali Imran: 133-134)

3. Kepemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha (amal) atau mata pencaharian
(ma’isyah) yang halal sesuai dengan aturan-Nya. Keterangan tentang wajibnya berusaha
dan dorongan untuk senantiasa melakukannya banyak disebut dalam Al-Qur`an maupun
hadis Nabi.

4. Dilarang mencuri harta tetapi harus berusaha atau bekerja secara halal dan tidak
menumpuk-numpuk harta kekayaan: Yang dapat melupakan kematian (QS. At-Takasur: 1-
2); Yang dapat melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-
Nya). (QS. Al-Munafikun:9); Yang dapat melupakan shalat dan zakat (QS. An-Nur:37);
Dilarang memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (QS. Al-Hasr:7).

5. Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti: Kegiatan riba (QS. Al-Baqarah: 273-281);
Perjudian, jual beli barang yang dilarang atau haram (QS. Al-Maidah:90-91); Mencuri,
merampok, penggasaban (QS. Al-Maidah :38); Curang dalam takaran dan timbangan (QS.
Al-Muthafifin:1-6); Melalui cara-cara bathil dan merugikan (QS. Al-Baqarah:188); Melalui
suap menyuap (H.R. Ahmad).

J. Hak Kepemilikan

1. Sebab-sebab Kepemilikan

Sebab-sebab hak kepemilikan seseorang terhadap barang atau benda menurut syariat
adalah:

a. Ihraz al-Mubahat, yaitu memiliki benda-benda yang boleh dimiliki atau menempatkan
sesuatu yang boleh dimiliki di suatu tempat yang boleh dimiliki, misalnya air yang
mengalir di sungai, rumput dan pohon, binatang buruan, ikan di laut dan lain-lain.

b. At-Tawalud min al-Mamluk yaitu, memperoleh benda karena beranak pinak, yaitu
segala yang lahir dari barang yang dimiliki menjadi hak yang memiliki benda itu,
misalnya anak binatang dari induknya.

c. Khalafiah yaitu memiliki barang dari jalan waris.

d. Uqud, yaitu memiliki barang yang diperoleh melalui transaksi jual beli, tukar menukar
barang, hibah, dan lain-lain.

‘21 15 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
Dari keempat cara memperoleh kepemilikian harta, faktor uqud yang akan menjadi
pembicaraan utama sebagai salah satu alasan menjadi rukun dalam jual beli, dimana
transaksi dipandang menjadi tidak sah kecuali dengan akad.

2. Hak Kepemilikan Melalui Jual Beli (Uqud)

Salah satu faktor kepemilikan adalah akad atau uqud. Istilah akad dikenal dalam dunia jual
beli atau perdagangan. Oleh sebab itu, dianggap perlu untuk menelusuri rukun dari pada
jual beli. Adapun rukun jual beli itu adalah:

a. Penjual; penjual harus memiliki harta yang akan dijualbelikan atau orang yang diberi
kuasa untuk menjualnya, orang dewasa dan tidak bodoh.

b. Pembeli; pembeli haruslah orang yang diperbolehkan membelanjakan harta, tidak boleh
orang bodoh dan anak kecil yang belum diizinkan untuk itu.

c. Barang yang dijual atau barang dagangan, harus mubah dan bersih serta dapat diterima
dan diketahui (walaupun hanya sifatnya) oleh pembeli.

Barang dagangan adalah salah satu rukun dalam jual beli, karena jika tidak ada barang yang
diperjualbelikan tidak sah dan hanya akan terjadi penjualan fiktif.

Di bawah ini adalah pendapat para ulama dalam persyaratan barang yang di-perjualbelikan.
Persyaratan barang yang diperjualbelikan menurut para ulama, adalah:
Imam Imam Imam Imam Sayyid
No Kriteria Barang
Syafi'i Hanafi Maliki Hambali Syabiq
1 Suci dan tidak najis √ √ √ √ √
2 Bermanfaat √ √ √ √ √
3 Dapat diserahkan √ √ √ √ √
4 Dalam kekuasaan √ √ √ √ √
5 Jelas zat dan harganya √ √ √ √ √
6 Berwujud √
7 Berhubungan dengan milik √
8 Tidak terlarang dijual √
9 Barang terpegang √

‘21 16 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
3. Transaksi

Transaksi adalah salah satu cara sahnya jual beli dalam perdagangan ada beberapa pendapat
berkaitan dengan transaksi, yaitu:

a. Pendapat Pertama

Tidak sah transaksi kecuali dengan shigat, yaitu bentuk perkataan (lafadz) yang
diucapkan oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli) ketentuan ini berlaku dalam
jual-beli, sewa-menyewa, hibah, nikah, wakaf, dan lain-lain. Menurut golongan ini,
shigat tetap harus dilakukan. Jika orang yang melakukan transaksi itu bisu, maka dapat
dilakukan dengan bahasa isyarat, dan jika dalam jarak jauh, maka bisa dilakukan dengan
tulisan (kitabah). Pendapat ini dianut oleh imam Syafi’i dengan berpedoaman pada Al-
Qur`an surat An-Nisa: 29.

Selain dilakukan dengan shigat, juga harus dilakukan dengan suka sama suka, sehingga
tidak sah jual beli yang dilakukan dengan cara paksa, baik penjual yang memaksakan
dengan barang jualannya atau pembeli dipaksa membeli.

Transaksi berbentuk ijab dan kabul dengan suatu ungkapan seperti ‘juallah kepadaku
dengan harga sekian’, kemudian penjual mengatakan ‘aku jual kepadamu’ atau dengan
mengatakan ‘jual kepadaku baju ini’ misalnya, kemudian memberikan barang tersebut
kepada pembeli.

b. Pendapat Kedua

Transaksi sah, jika dilakukan dengan perbuatan untuk hal-hal yang biasanya dilakukan
dengan perbuatan, seperti jual beli, wakaf, pendirian masjid, wakaf tanah dan lain-lain
Prinsip ini berlaku pula bagi ikatan yang berbentuk jasa, seperti majikan dengan buruh,
sehingga sebelum buruh itu bekerja, harus ada transaksi yang jelas antara kedua belah
pihak. Pembayaran upah dapat dilakukan sesuai dengan pekerjaan yang disepakati.
Pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, dan sebagian
madzhab Syafi’i.

c. Pendapat ketiga

Setiap akad itu sah dilakukan dengan cara apa saja yang menunjukkan kepada
maksudnya, baik perkataan maupun perbuatan, maka segala sesuatu yang dianggap jual
beli, maka itu adalah jual beli. Hal ini tidak mengikat pada lafadz atau perbuatan saja.

‘21 17 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
Misal, jual beli yang terjadi di pasar swalayan, di mana tidak jelas akad, yaitu antara
penjual yang memiliki barang dengan pembeli, akan tetapi pada prinsipnya bahwa
barang yang disimpan di etalase adalah barang yang dijual dan orang yang datang ke
sana kemudian memilihnya adalah orang yang mau membeli, dan itu di anggap sebagai
akad dan rela (Ya’qub, 1998:74).

Tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak (penjual dan pembeli), jual beli tidak sah,
bedasarkan kepada sabda Nabi saw: “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan
dengan suka rela.” (HR. Ibnu Majah).

4. Hukum Memilih (khiyar) dalam jual beli

Pilihan dalam jual beli diisyaratkan dalam beberapa masalah yaitu:

a. Memilih barang yang hendak dibeli boleh dilakukan selama pembeli dan penjual masih
berada di tempatnya untuk menentukan jadi atau tidaknya sebelum keduanya berpisah.
Rasulullah saw bersabda: “Dari Hakim bin Hizam dari Nabi saw bersabda:
Sesungguhnya penjual dan pembeli memliki hak khiyar (memilih) selama keduanya
belum berpisah,” (H.R. Bukhori).

b. Bila salah seorang penjual atau pembeli mensyaratkan jangka waktu tertentu untuk
pilihan (jadi atau tidaknya) lalu keduanya bersepakat, maka keduanya berhak untuk
memilih sampai batas waktu yang ditentukan, kemudian dilangsungkan jual beli itu. Hal
ini berdasarkan pada sabda Nabi saw: “Jual beli orang-orang Islam berlangsung
dengan keharusan mengindahkan syarat yang mereka sepakati.” (H.R. Abu Dawud).

c. Bila salah seorang di antara keduanya membohongi yang lainnya, seperti berdusta
tentang jumlah dan volume, seperti penjual mengaku ada 10 buah padahal 9 buah atau
mengaku barangnya ada 100 ml padahal hanya 80 ml, maka dalam hal ini pihak pembeli
berhak membatalkan jual beli. Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah saw: “Barang
siapa yang menjual kepadamu, maka katakanlah kepadanya tidak boleh menipu dalam
jual beli.” (H.R. Muslim).

d. Jika ternyata ada unsur penipuan, maka barang yang dibeli sebaiknya dikembalikan
kepada orang yang menipunya untuk meminta tambahannya atau membatalkannya.

e. Diserahkan kepada pembeli, apakah akan diteruskan/diterima atau dibatalkan bila pihak
penjual ternyata menipu dengan cara memperlihatkan yang baik dan menyembunyikan

‘21 18 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
yang buruk, atau menampakkan yang utuh dan menyembunyikan yang rusak.

f. Bila pada barang yang dijual terdapat cacat yang mengurangi nilai yang tidak diketahui
oleh si pembeli, meskipun ia setuju dengan barang itu pada waktu penawaran, maka
pihak pembeli mempunyai hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan jual beli
tersebut. Berdasarkan kepada sabda Nabi saw:
“Sesama muslim itu bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual sesuatu
kepada saudaranya barang cacat, kecuali dia menjelaskannya lebih dahulu
kepadanya (pembeli).” (H.R. Ahmad dan Ibn Majah:2237).
g. Penjual dan pembeli berselisih dalam hal harga, atau dalam sifat barang, kemudian
masing-masing melakukan sumpah, maka keduanya berhak mengadakan pilihan,
apakah jadi atau membatalkannya (H.R. Hakim).

K. Perniagaan Yang Halal Dalam Islam

1. Syirkah

a. Pengertian Syirkah

Menurut istilah, pengertian syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak
atau lebih yang telah bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan (seperti usaha perseroan).

b. Rukun dan Syarat Syirkah

Secara garis besar, terdapat tiga rukun syirkah sebagai berikut:

1) Dua belah pihak yang berakad harus memiliki kecakapan (ahliyah) dalam
pengelolaannya (tasharruf).

2) Objek akad yang disebutkan mencakup modal dan pekerjaan. Adapun persyaratan
pekerjaan atau benda yang boleh dikelola dalam syirkah harus halal dan
diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.

3) Akad atau shigat menjadi sah bila ada aktivitas pengelolaan syirkah/usaha
(tasharruf)

c. Macam-macam Syirkah

Syirkah terdiri dari empat macam, yaitu (1) syirkah `inan, (2) syirkah ‘abdan, (3)
syirkah wujuh, dan (4) syirkah mufawadhah.

‘21 19 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
1) Syirkah ‘Inan

Syirkah ‘inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal).

Syirkah dalam Islam hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.
Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang. Sementara
barang seperti rumah atau kendaraan yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan
modal, kecuali jika barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan
didasarkan pada kesepakatan yang dilakukan sebelumnya dan kerugian ditanggung
oleh masing-masing syarik (mitra syirkah) berdasarkan porsi modal. Jika masing-
masing modalnya 50%, masing-masing menanggung kerugian sebesar 50% juga.

2) Syirkah ‘Abdan

Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa memberikan kontribusi modal
(mal). Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian antara
keduanya, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri atas
beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang
dilakukan merupakan pekerjaan yang halal dan tidak boleh berupa pekerjaan haram.
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan yang telah diatur
sebelumnya, porsinya boleh sama atau tidak sama di antara syarik (mitra syirkah).

3) Syirkah Wujuh

Syirkah wujuh merupakan kerja sama karena didasarkan pada kedudukan,


ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh
adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja
(amal) dengan adanya pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).

4) Syirkah Mufawadhah

Syirkah mufawadhah merupakan syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah yang telah dijelaskan di atas. Syirkah
mufawadhah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah
yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh
dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan

‘21 20 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa
syirkah ‘inan, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufawadhah, atau
ditanggung oleh mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki jika berupa syirkah wujuh.

2. Mudhorobah

Kata mudharabah dalam istilah lain dinamakan dengan qiradh. Jadi mudharabah atau
qiradh adalah kesepakatan diantara dua belah pihak mengadakan kerjasama perdagangan,
satu pihak menyerahkan uangnya sebagai modal, sedang pihak lain menyerahkan tenaganya
sebagai andil. Keuntungan dan kerugian kedua belah pihak ditanggung menurut
kesepakatan bersama.

Akad Mudharabah merupakan akad yang ada dalam konsep ilmu syariah. Mudharabah
berasal dari kata adhdharbi fi ‘l-ardhi yang memiliki arti berpergian dalam urusan dagang.
Qirad sendiri memiliki arti potongan yang mengambil dari kata al-qardhu. Di mana sebuah
transaksi memang melakukan pemotongan sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan
memperoleh sebagian keuntungan akad mudharabah-nya. Islam membenarkan
mudharabah, karena menghendaki adanya kemudahan bagi manusia dalam usaha mencapai
kesejahteraan bersama. Betapa banyak orang memiliki keahlian (skill) di bidang tertentu,
tetapi tidak mempunyai modal. Maka, dengan adanya mudharabah, kesejahteraan bersama
dapat diciptakan.

Secara teknis, mudharabah merupakan akad kerja sama di bidang usaha baik antara pemilik
dana dan pengelola dana untuk dibuat sebuah usaha untuk dikelola bersama. Keuntungan
hasil usaha atau laba dibagi atas dasar kesepakatan baik pihak pertama maupun pihak kedua.
Namun, bila terjadi kerugian maka akan ditanggung oleh si-pemilik dana kecuali
disebabkan oleh pengelola dana itu sendiri.

Akad mudharabah memang biasa disebut sebagai suatu transaksi pendanaan atau investasi
yang menggunakan kepercayaan sebagai modal utamanya. Seperti halnya pemilik dana,
memang sengaja memberikan dana pada pengelola untuk diolah agar lebih bermanfaat dan
lebih menguntungkan. Dari pengertian dan sikap awalnya saja, akad ini membutuhkan rasa
percaya antara pihak yang terlibat. Dalam istilah ekonomi, mudharabah biasa disebut trust
financing yang memang bermodalkan keperayaan untuk membangun sebuah transaksinya.
Untuk lebih jelaskan perhatikan skema di bawah ini:

‘21 21 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
3. Muzara’ah

Muzara’ah adalah kerjasama antara perseorangan dngan kelompok atau antarperseorangan


dalam bidang pertanian. Hal ini sudah dipraktekkan pada zaman Nabi saw. Umar pernah
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw telah melakukan muamalah/kerjasama dengan
penduduk Khaibar yang hasilnya berupa buah atau biji-bijian (HR. Muttafaq Alaih)

Hukum perniagaan tersebut boleh (jaiz), bahkan bentuk kerjasama seperti ini diteruskan
sepeninggal Rasulullah saw. Muzara’ah tidak hanya terbatas pada bidang pertanian saja,
tapi diperbolehkan dalam bidang lain, seperti peternakan, perkebunan dan lainnya, dengan
syarat jelas akad perjanjian antara sipemilik dengan pengguna modal (yang mempunyai
keahlian).

4. Syuf’ah

a. Pengertian Syuf’ah dan Hukumnya

Syuf’ah secara bahasa diambil dari kata syaf’ yang artinya pasangan. Secara fikih
syuf’ah adalah hak yang tetap secara paksa bagi syarikat lama atas syarikat baru dengan
jalan ganti kerugian pada benda yang menjadi milik bersama. Rasulullah: “Tetangga
rumah lebih berhak dengan rumahnya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).

Ulama juga sepakat tentang tetapnya hak syuf’ah bagi sekutu yang belum melakukan
pembagian pada sesuatu yang dijual, baik berupa tanah, rumah maupun kebun.

b. Hikmah Syuf’ah

Hikmah disyari’atkan syuf’ah adalah untuk menghindari bahaya dan pertengkaran yang
mungkin sekali timbul. Hal itu, karena hak milik syaf’i terhadap harta yang dijual yang
hendak dibeli oleh orang lain menolak adanya madharat yang mungkin timbul dari
orang lain tersebut. Imam Syafi’i lebih memilih bahwa bahaya tersebut adalah bahaya
biaya pembagian, peralatan baru dan sebagainya. Ada yang mengatakan bahwa bahaya
tersebut adalah bahaya tidak baiknya persekutuan.

c. Objek Syuf’ah

Objek syuf’ah adalah tanah yang belum dibagi-bagi, diikuti pula dengan apa yang ada
di dalamnya berupa pepohonan dan bangunan. Jika tanahnya sudah dibagi-bagi, tetapi
masih ada perlengkapan yang diserikati antara beberapa tetangga, seperti jalan, air, dan
sebagainya, maka menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama bahwa

‘21 22 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
syuf’ah tetap berlaku. Hal ini berdasarkan mafhum sabda Rasulullah saw.: Ketika
batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah. Oleh
karena itu, jika jalan belum diatur, maka syuf’ah masih berlaku.
“Bahwa Nabi saw. menetapkan syuf’ah pada harta yang belum dibagi-bagi,
ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi
syuf’ah.” (HR. Bukhari).

L. Perniagaan Yang Haram

Jual beli yang haram atau transaksi yang haram pada dasarnya ada dua bagian, yaitu:

1. Haram karena dzatnya seperti menjual daging babi, anjing, dan lain-lain, yang keberadaan
barang yang dijual itu diharamkan untuk di konsumsi.

2. Haram karena sifatnya, adalah jual beli barang-barang yang halal pada asalnya, seperti
menjual ayam, beras, buah-buahan dan lain-lain, akan tetapi cara menjualnya tersifati
dengan sifat yang haram, seperti dengan cara menipu, mengurangi takaran,
menyembunyikan kecacatan dan lain-lain. Keduanya mempunyai nilai yang sama, haram.

Adapun jenis perniagaan yang diharamkan di antaranya:

a. Perjudian

Judi adalah usaha memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya melalui pertaruhan,


dengan berbagai metode sifatnya spekulatif. Dalam istilah Al-Qur`an judi dinamakan
maisir, artinya mengundi nasib. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Maidah: 90.

b. Najasy

Najasy secara bahasa berarti mempengaruhi. Kaitannya dalam dunia dagang adalam
mempengaruhi pembeli. Cara yang dilakukan pedagang di zaman Jahiliah untuk
melariskan dagangannya adalah dengan cara: (1) Memuji-muji dagangannya sendiri
supaya laris dan atau (2) Kolusi dengan teman-temannya yang pura-pura menawar
barang dengan harga tinggi agar orang lain merasa tidak kemahalan, kemudian
terpengaruh untuk membelinya (Ya’qub, 1998: 156). Rasulullah saw. melarang niaga
seperti ini sebagaimana sabdanya: “Rasulullah saw. melarang (jual beli) najasy
(penipuan).” (HR. Bukhari).

‘21 23 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id
c. Jual Kawin

Seorang pedagang terkadang dalam menjual dagangannya menggunakan cara-cara yang


tidak terpuji, seperti seorang penjual berkata “kalau saudara mau membeli barang ini,
maka saudara harus membeli barang yang itu”. Sebagaimana sabda Nabi saw:

“Rasulul melarang dua jual beli dalam satu akad jual beli.” (H.R. An-Nasa’i).

d. Jual Beli di dalam Masjid

Masjid adalah tempat sujud beribadah kepada Allah swt. Dalam hal ini, Rasulul
melarang berjualan di dalamnya, sebagaimana disabdakannya:

“Apabila kalian melihat orang yang berjualan atau membeli di masjid maka
katakan: 'Semoga Allah tidak memberikan keuntungan kepada perniagaanmu dan
apabila kalian melihat orang yang mengumumkan di masjid barang hilang, maka
katakan, 'Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu.” (H.R Ad-Darimi).

Daftar Pustaka

Nur, Tajudin dkk. (2018). Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi. Bandung: Unpad
Press.
Abdullah,M. Amin. (2012), Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Madjid, Nurcholish. (2010), Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina.
Paristiyanti, Nurwardani et.al., (2016), Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi,
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi
dan Pendidikan Tinggi, Jakarta.
Wahid,Abdurrahman. (2007), Islam Kosmopolitan. Jkarta: The Wahid Institut.

‘21 24 Pendidikan Agama Islam Biro Akademik dan Pembelajaran


Tim Dosen PAI Widyatama http://www.widyatama.ac.id

Anda mungkin juga menyukai