Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan
pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam
segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan
dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja
yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan
dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah
ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Manusia yang terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya.
Karenanya, Islam senantiasa memotivasi umatnya untuk terus bersemangat dalam
bekerja dan berusaha. Setiap muslim harus berusaha untuk mandiri, tidak
membebani orang lain, apalagi dengan meminta-minta setiap saat. Bekerja dalam
Islam bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan, tetapi juga bagian dari
pelaksanaan ibadah yang melahirkan kemuliaan. Dari Zubair bin Awwam,
Rasulullah SAW bersabda : “ Jika salah seorang dari kalian pergi membawa
kapaknya, lalu datang membawa seikat kayu bakar di punggungnya, lalu ia
menjualnya hingga Allah menyelamatkannya dari kehinaan. Maka yang demikian
itu jauh lebih baik dari ia meminta-minta pada orang lain (HR. Bukhori)
Kedua : Lemah dalam akal, karena seorang yang terlampau fakir akan
memusatkan pikiran dan perhatiannya pada kebutuhan makan dan minumnya saja.
Yang ada dalam benak dan fikiran hanya usaha apa yang harus dilakukan agar
bisa memakan sesuap nasi keesokan harinya . Ia nyaris tidak punya waktu untuk
mengasah otak, melatih akal, atau setidaknya menghadiri majelis-majelis ilmu.
Inilah yang pada jangka waktu yang lama akan melemahkan daya fikir dan
kemampuan akal seseorang.
Inilah yang harus kita sadari bersama, menanamkan semangat kerja sejak dini
dan meyakinkan bahwa pekerjaan pada hakikatnya adalah sebuah ibadah, yang
bukan hanya berbuah pahala tetapi juga menggugurkan dosa-dosa. Rasulullah
SAW bersabda : Barang siapa yang sore hari duduk kelelahan lantaran pekerjaan
yang telah dilakukannya, maka ia dapatkan sore hari tersebut dosa-dosanya
diampuni oleh Allah SWT. (HR Thabrani).
Setelah semangat dalam bekerja, tentu saja Islam juga mengingatkan kita
agar menjaga sumber penghasilan kita hanya dari yang halal saja. Begitu
banyak riwayat yang mengingatkan kita tentang bahayanya penghasilan yang
haram. Cukuplah kisah para istri salafus sholeh ini mengingatkan kita, dimana
mereka senantiasa berpesan pada sang suami saat melepasnya bekerja : “ kami
- anak istrimu- sanggup menahan lapar, tapi kami tak pernah sanggup
menahan api neraka, karenanya carilah rezeki yang halal suamiku “. Selamat
bekerja dan semoga berkah. Wallahu a’lam bisshowab
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan
manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun
hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus
besar bahasa Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja
adalah perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan
untuk mencari nafkah.
KH. Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim
adalah suatu upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan
zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba
Allah yang menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari
masyarakat yang terbaik atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan
bekerja manusia memanusiakan dirinya.
Lebih lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan
untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai
tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan
prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Sebagaimana dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an
menyatakan kata-kata iman yang diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja
dengan muatan ketaqwaan.
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari tinggi
rendahnya niat. Niat juga merupakan dorongan batin bagi seseorang untuk
mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu.
Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada
firman Allah SWT agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan
menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus
selalu diikut sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya
iman dan barometer bagi pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan
disampung mempunyai tujuan akhir berupa upah atau imbalan, namun harus
mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT. Prinsip inilah
yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka
bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi, jujur dan amanah,
kesesuaian upah serta tidak diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan
sesuatu dan semena-mena, pekerjaan harus mempunyai komitmen terhadap
agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan seperti bersungguh-sungguh
dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping itu mereka
harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja menjadi
suatu tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang
sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Etos kerja seorang
muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil
keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim.
Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia
diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-
nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil
dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami
ke jalan yang lurus.
Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah (1) Adanya
keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap
cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh
keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. (2) Berusaha
dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. (3) tidak memaksakan
seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus
dipekerjakan secara professional dan wajar. (4) tidak melakukan pekerjaan yang
mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal
lain yang diharamkan Allah. (5) Professionalisme dalam setiap pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman , Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta: IIIT
Indonesia, 2002.
http://agusrahmaniskandar.blogspot.com/2011/03/etika-berbisnis-menurut-ajaran-
islam.html
Mansur Hasan nasution. Lebih dekat dengan al-qur’an. (bandung:citapustaka
media perintis, 2009)
Marthon, Said Saad. Ekonomi Islam. Jakarta : Zikrul Hakim, 2004.
Muhammad, Lukman Fauroni. Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis. Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002.