Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

BEKERJA DAN BISNIS DALAM PANDANGAN ISLAM

Makalah ini Disusun Sebagai Bahan Diskusi Mata Kuliah Kewirausahaan

Dosen Pengampu: Dr. Prilla Kurnia Ningsih, Lc., ME.Sy

Disusun Oleh:

Yudina Nurhaliza 11210860000109

Fadhli Naufal F 11210860000089

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan


rahmat, karunia, serta taufik dan hidayahnya lah kami dapat menyelesaikan makalah
berjudul “Bekerja dan Bisnis Dalam Pandangan Islam”. Sholawat serta salam kami
curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang kita nanti-nantikan
syafa’atnya di yaumul akhir nanti. Dan tak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Prilla Kurnia Ningsih yang telah memberi tugas makalah ini sehingga
penulis mempunyai banyak ilmu.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
banyak pihak yang dengan tulus memberikan banyak doa, saran, dan kritik sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakannya terbetasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dunia Pendidikan. Terima Kasih.

Tangerang Selatan, 21 Maret 2023

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................2
1.3 Tujuan Pembahasan.........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan Bekerja dan Bisnis dalam Islam...................................................................3
2.2 Etos Kerja dan Profesionalisme Kerja dalam Islam........................................................7
2.3 Tujuan Bekerja dalam Islam............................................................................................13
2.4 Sifat dan Karakter yang Dibutuhkan Seorang Pebisnis Syariah......................................15
2.5 Mekanisme Berbisnis Secara Syariah..............................................................................24
2.6 Beberapa Prinsip Bersaing Dalam Bisnis Syariah Secara Sehat.....................................26
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................31
3.2 Saran................................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................33

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bekerja merupakan kegiatan manusia untuk mendapatkan sesuatu sebagai
imbalan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sendiri, baik untuk
kepentingan pribadi maupun keluarga, bahkan untuk kepentingan masyarakat.
Bekerja merupakan fitrah dan sekaligus merupakan salah satu identitas
manusia, sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman dan tauhid
dapat meningkatkan martabat manusia sebagai hamba Allah yang mengelola
seluruh alam sebagai bentuk dari curahan mensyukuri nikmat-Nya. Apabila
bekerja itu merupakan fitrah manusia, jelaslah bahwa manusia yang enggan
bekerja, malas dan tidak menyatakan keinginan dalam bentuk amal yang kreatif,
sesungguhnya dia melawan fitrah dirinya sendiri dan menurunkan derajatnya
sebagai manusia ke tingkat lebih hina dari pada hewan.
Dalam Islam, bekerja merupakan perintah dari Allah. Apalagi kerja yang
bertujuan mengharap ridha Allah, ia bernilai ibadah. Dalam hal ini, Islam sangat
memandang rendah kepada ummat yang bersikap bermalas-malasan dan tidak
mau bekerja. Karena hal itu merupakan sifat mazmumah (tercela). Banyak
himbauan yang tersirat dalam al-Qur’an dan hadis Nabi Saw, supaya umatnya
menjadi umat yang rajin, cekap dan tangkas bekerja guna memproduksi kebaikan
dan kebajikan sebanyak mungkin. Karena tiada yang dapat dihandalkan dari umat
ini kecuali hasil kerja dan budaya dalam rangka menjadikan umat ini kuat dan
diperhitungkan. Karena kelemahan mental dan fisik, kelemahan hati, otak dan
otot tidak mampu menghasilkan amal kebajikan yang berkualitas tinggi.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan bekerja dan bisnis dalam islam?
2. Apa saja etos kerja dan profesionalisme kerja dalam islam?
3. Apa saja tujuan bekerja dalam islam?
4. Apa saja sifat dan karakter yang dibutuhkan seorang pebisnis syariah?
5. Bagaimana mekanisme berbisnis secara syariah?
6. Apa saja prinsip bersaing dalam bisnis syariah secara sehat?

1.3 Tujuan Pembahasan


1. Mengetahui kedudukan bekerja dan bisnis dalam islam
2. Mengetahui etos kerja dan profesionalisme kerja dalam islam
3. Mengetahui tujuan bekerja dalam islam
4. Mengetahui sifat dan karakter yang dibutuhkan seorang pebisnis syariah
5. Mengetahui mekanisme berbisnis secara syariah
6. Mengetahui beberapa prinsip bersaing dalam bisnis syariah secara sehat

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kedudukan Bekerja dan Bisnis dalam Islam


Sesungguhnya Islam telah memerintahkan kaum muslimin untuk bekerja dan
berusaha untuk memelihara dan melastarikan bumi, untuk mencari karunia dan
rezeki Allah darinya. Sedemikian pentingnya kerja ini, sehingga Islam
mengidentikkan kerja itu dengan nilai kehidupan, kerja adalah hidup, demikian
ajaran Islam. Dengan ungkapan lain, dalam agama Islam diajarkan bahwa tidak
ada guna seorang itu hidup tanpa kerja. Dengan demikian, bagi orang-orang
yang masih dapat produktif haruslah terus bekerja, tidak dibenarkan bemalas-
malasan.
Islam itu sangat memotivasi umatnya untuk kerja, karena dengan bekerja umat
itu menjadi maju dan bermartabat tinggi, dengan kerja agama Islam diakui
eksistensinya, dengan kerja umat Islam dapat membantu orang lain. Kerja adalah
sumber kehidupan, media kehidupan, dan reason kehiduan, tanpa kerja umat
akan terkebelakang, tanpa kerja negara akan mundur. Oleh karena itu, Islam
sangat mendorong umat untuk kerja keras. Sejauh itu, kerja adalah media
kemajuan sektor ekonomi Islam, yang menjadi masa depan umat.
Allah berfirman “Dan katakanlah, “bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat
pekerjaanmu, begitu juga Rasul-nya dan orang-orang beriman, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” Sesungguhnya
Islam menetapkan bahwa kerja itu adalah ibadah, yang menjadi bagian dari
melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, bukan sunat yang boleh dilakukan
atau tidak.
Para Nabi, bersamaan dengan ketinggian derajat mereka, semua bekerja sesuai
dengan caranya masing-masing. Adam berusaha di sektor pertanian, Nuh
berusaha di sektor perdagangan, Idris di sektor tekstil, Ibrahim di sektor

3
pertenunan. Dawud di sektor perbesian, Musa di sektor seni tulis dan sebi lukis,
dia menulis Taurat dengan tangannya sendiri, dan semua mereka juga
memelihara ternak. Sesungguhnya Nabi saw menjelaskan bahwa kerja itu adalah
termasuk bagian media usaha yang paling mulia. Rasul saw pernah ditanya:
“Usaha apa yang paling baik? Atau paling afdhal”. Nabi menjawab: “kerja
seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual-beli yang baik.” Rasul saw
telah menempatkan kerja itu sama dengan jihad fi sabilillah.
Sekaitan dengan kerja ini, seorang mukmin tidak boleh mencukupkan diri
pada kerja itu sendiri, tetapi hendaklah ia berkeinginan dan bertekad untuk
menyempurnakan pekerjaannya tersebut, dan mengerahkan kemampuannya itu
untuk membuat pekerjaan lebih baik dan lebih rapi. Karena ia berkeyakinan
bahwa Allah selalu mengawasi pekerjaannya, dan Tuhannya tersebut tidak akan
meredhoi pekeraannya itu kecuali dilaksanakan dalam bentuk yang sempurna
dan rapih. Pekerjaan sempurna dan rapi inilah yang dilakukan oleh Nabi untuk
umatnya, kaum muslimin. Selanjtnya, dalam hukum Islam tidak ada perbedaan
mendasar antara kerja laki-laki dan kerja perempuan. Tetapi, yang
membedakannya adalah watak kejadian dari masing-masing laki-laki dan
perempuan itu, berupa kondisi-kondisi tertentu, yakni kondisi sosial para
perempuan yang menuntut untuk menciptaan kaidah-kaidah tertentu untuk
pekerjaannya dalam sebagian pekerjaan dan waktu.
Syariat Islam ketika membolehkan kerja, ia tidak membedakan antara laki-
laki dan perempuan, nash-nash yang datang menjelaskan tentang keadaan kerja
bersifat mutlak dalam pengertiannya, dan syariat mengakui hak-hak tersendiri
bagi perempuan, baik ia telah menikah atau belum menikah.
Umpamanya, ibadat yang tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan;
demikian juga pekerjaan-pekerjaan dan usaha-usaha duniawiyah berupa jual-
beli, sewa-menyewa, syirkah, belajar mengajar, dan berusaha, tidak ada beda
antara laki-laki dan perempuan, baik dasar haknya, hasil-hasil sebagai efek
pekerjaannya, maupun syarat-syaratnya.

4
Islam membolehkan perempuan sekuat tenaga melakukan pekerjaan yang
dibenarkan syariat yang dapat memperbaiki keadaan atau kondisi hidupnya,
tanpa menafikan kodratnya sebagai perempuan. Hak bekerja bagi perempuan
tidak dibatasi, kecuali untuk memelihara kehormatannya sendiri, dan
memeliharanya dari hal-hal yang dapat membuat hilangnya rasa malu
perempuan tersebut, dan menjauhi dari semua yang bertentangan dengan akhlak
yang mulia dan tetap melaksanakan kewajiban-kewajiban rumah tangganya,
menyangkut anak-anaknya, suami dan rumahnya tersebut, karena inilah yang
bersifat asli atau kewajiban utama dari kehidupannya.
Filosofis kebolehan perempun bekerja adalah bernajak dari adanya pembagian
kerja yang bersifat alami. Ada pekerjaan-pekerjaan yang perempuan lebih pantas
mengerjakannya ketimbang laki-laki, sebagaimana juga ada pekerjaan-pekerjaan
yang laki-laki lebih pantas melakukannya ketimbang perempuan. Hal itu semua,
untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan sedapat mungkin.
Pada masa Rasul, ada banyak hal yang menunjukkan bahwa perempuan itu
bekerja dalam berbagai lapangan kerja, umpamanya pekerjaan mereka di bidang
tenun atau sulam pakain atau anyam tikar, mengobati orang sakit dan terluka,
dan lain-lain. Sallamah binti al-Hur mengembala kambing untuk keluarganya,
dan ia berkata: Rasul Allah melalui aku pada awal Islam, dan aku sedang
mengembala kambing, lalu Rasul menyanya: “Ya Sallamah, dengan apa engkau
bersyahadat? Aku menjawab: “Aku bersyahata (bersaksi) bahwa tidak ada tuhan
kecuali Allah, dan Susungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, lalu Nabi
tersenyum dan tertawa kecil. Rasul ternyata tidak melarangan Sallamah
mengembala binatang, walaupun ia adalah seorang perempuan, suatu data yang
jelas tentang kebolehan perempuan bekerja. Kemudian Ummu Kaltsum binti Ali
ibn Abi Thalib bekerja sebagai bidan bayi (qabilah), yang sering membantu
persalinan perempuan dan merawatnya. Demikian juga Salma isteri Abu Rafi’,
adalah bidan bayi Mariyah al-Qibtihiyah, isteri Nabi Muhammad saw.
Kemudian, perempuan bekerja sebagai perawat umpamanya Rafidah binti Sa’ad
al-Aslamiyah, dia bekerja membalut luka Sa’ad bin Mu’adz pada hari

5
peperangan Khandaq, dan ia memiliki kemah khusus di Masjid untuk mengobati
orang-orang sakit dan para korban.
Terkait dengan hal di atas, muncul pertanyaan: Apakah boleh perempuan
keluar rumah untuk bekerja. Secara tekstual atau hukum ashli bahwa nafkah
perempuan itu, baik anak maupun isteri, adalah kewajiban suami. Allah
berfirman dalam surat an-Nisa` ayat 34, yang artinya: “Laki-laki (suami) itu
pemimpin bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkansebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka
(laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya....” Atas dasar ini, maka tidak
ada perbedaan pendapat ulama, bahwa nafkah isteri itu adalah kewajiban bagi
suami. Ibn Hajar al-‘Asqalani te;ah memperkuat pendapat ini, dengan
mengatakan bahwa “Telah terjadi ijma’ atas kewajiban suami memberi nafqah
isteri”.
Banyak sekali nash yang menjelaskan bahwa nafkah isteri itu adalah
kewajiban bagi suami. Hal ini dimaksudkan, supaya isteri memiliki waktu yang
luas untuk melakukan pekerjaan yang lebih besar, yaitu mengatur urusan rumah
tangga, mendidik anak-anak dan mengelola manajemen rumah tangga, yang
menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan perempuan adalah yang utama berada
di wilayah rumah. Oleh karena itu, Islam membolehka perempuan untuk tidak
berjihad, shalat jum’at, mengantar jama’ah, dan lain sebagainya yang menjadi
pekerjaan di luar wilayah rumah. Islam pada prinsipnya tidak menyuruh
perempuan bekerja di lapangan-lapangan kehidupan umum untuk usaha materi,
tetapi juga tidak melarangnya. Dalam kaidah fiqih, hal ini masuk dalam wilayah
al-ibahah al-ashliyah, tetapi dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh nash,
yang sejalan dengan maqashid asy-syari’ah, yaitu menolak kemudharatan dan
mendatangkan kemanfaatan.
Dalam Islam, dengan demikian, perempuan kerja di luar rumah tidaklah
dilarang, terutama apabila perempuan itu butuh dengan untuk bekerja, dan
keluarganya juga butuh dengan bekerjanya perempuan tersebut, baik karena ia
membiayai keluarga sedangkan ia tidak atau belum bersuami, mauun karena

6
penghasilan suaminya itu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
keluargaya. Dalam konteks ini, Yusuf al-Qardhawi mengatakan, yang artinya:
Peremouan kerja di luar rumah tidaklah diharamkan oleh syara’, tidak ada hak
seseorang mengharamkannya tanpa ada nash syara’ yang keberadaannya shahih
tsubut dan shahi ad-dilalah. Hukum asal segala sesuatu dan pekerjaan yang
bersifat adat adalah kebolehan, sebagaimana telah diketahui... bahwa perempuan
kerja pada hukum asalnya adalah boleh, dan bahkan terkadang memang dituntut
untuk kerja itu.

2.2 Etos Kerja dan Profesionalisme Kerja dalam Islam


A. Pengertian Etos Kerja
Pengertian makna “etos” disebutkan bahwa ia berasal dari bahasa
Yunani (ethos) yang bermakna watak atau karakter. Secara lingkupnya,
pengertian etos ialah karakteristik dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan,
dan seterusnya, yang bersifat khusus tentang seorang individu atau
sekelompok manusia. Dari perkataan “etos” terambil pula perkataan “etika”
dan “etis” yang merujuk kepada makna “akhlaq” atau bersifat “akhlaqi”,
yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu
bangsa. (webster, 1980) Juga dikatakan bahwa “etos” berarti jiwa khas suatu
kelompok manusia.
Etos dapat didefinisikan secara sederhana sebagai watak dasar dari
suatu masyarakat. Perwujudan etos dapat dilihat dari struktur dan norma
sosial masyarakat itu. Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi
landasan perilaku diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terpancar
dalam kehidupan masyarakat. Karena etos menjadi landasan bagi kehidupan
manusia, maka etos juga berhubungan dengan aspek evaluatif yang bersifat
menilai dalam kehidupan masyarakat.
Adapun definisi kerja, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai kegiatan melakukan sesuatu. El-Qussy seperti dikutip oleh Ahmad
Janan Asifuddin mengemukakan bahwa kegiatan atau perbuatan manusia ada

7
dua jenis. Pertama, perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan mental,
dan kedua tindakan yang dilakukan dengan secara tidak sengaja. Jenis
pertama mempunyai ciri kepentingan, yaitu untuk mencapai maksud atau
mewujudkan tujuan tertentu. Sedangkan jenis kedua adalah gerakan random
(random movement) seperti terlihat pada gerakan bayi kecil yang tampak
tidak beraturan, gerakan refleksi dan gerakan-gerakan lain yang terjadi tanpa
dorongan kehendak atau proses pemikiran.
Menurut Sarsono, Konfusionisme memiliki konsep tersendiri
berkenaan dengan orang-orang yang aktif bekerja, yang ciri-cirinya antara
lain; 1. Etos kerja dan disiplin pribadi; 2. Kesadaran terhadap hierarki dan
ketaatan; 3. Penghargaan pada keahlian; 4. Hubungan keluarga yang kuat; 5.
Hemat dan hidup sederhana; 6. Kesediaan menyesuaikan diri.
Beberapa indikasi dan ciri-ciri dari etos kerja yang terefleksikan dari
pendapat-pendapat tersebut di atas, secara universal cukup menggambarkan
segisegi etos kerja yang baik pada manusia, bersumber dari kualitas diri,
diwujudkan berdasarkan tata nilai sebagai etos kerja yang diimplementasikan
dalam aktivitas kerja. Kerja sendiri dalam islam memiliki nilai yang sangat
tinggi, dibeberapa hadist nabi mengatakan sebaik-baiknya orang adalah yang
makan hasil kerja dengan tanganya sendiri, bahkan ada sebuah hadist qudsi
yang menerangkan bahwa ada dosa yang hanya bisa dihapus dengan cara
mencarikan nafkah untuk keluarga dan orang yang ditanggungnya. Tentu
kerja yang dimaksud adalah kerja yang maksimal dan memiliki etos kerja
yang tinggi.
Pada hakikatnya setiap muslim diminta untuk bekerja meskipun hasil
pekerjaannya belum dapat dimanfaatkan olehnya, oleh keluarganya atau oleh
masyarakat, juga meskipun tidak satu pun dari makhluk Allah, termasuk
hewan dapat memanfaatkannya. Ia tetap wajib bekerja karena bekerja
merupakan hak Allah dan salah satu cara mendekatkan diri kepada-Nya.
Bekerja diminta dan dibutuhkan, walaupun hasil kerja itu tidak bisa
dimanfaatkan oleh seorang pun. Islam tidak meminta penganutnya sekedar

8
bekerja, tetapi juga meminta agar mereka bekerja dengan tekun dan baik
yakni dapat menyelesaikannya dengan sempurna. Untuk mencapai
ketekunan dalam bekerja, salah satu pondasinya adalah amanah dan ikhlas
dan berusaha semaksimal mungkin dengan prinsip melakukan yang terbaik
dan bertawakkal serta dibentengi oleh etika mulia dan hanya berharap
mendapatkan keberkahan Allah swt. atas usaha yang dilakukannya di dunia
dan kelak di akhirat mendapat ganjaran pahala. Dalam bekerja seorang
muslim harus mempunyai etos kerja islami yang antara lain adalah:
1. Profesional, Setiap pekerjaan yang dilakukan seorang muslim harus
dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh hasil yang terbaik.
Tentu saja untuk mencapai profesionalisme harus didukung dengan sarana
yang ilmiah, modern dan canggih.
2. Tekun. Seorang muslim tidak hanya sekedar bekerja, tetapi juga
menekankan agar bekerja dengan tekun dan baik yaitu dapat
menyelesaikannya dengan sempurna karena itu merupakan kewajiban setiap
muslim.
3. Jujur dalam bekerja bukan hanya merupakan tuntutan melainkan juga
ibadah. Seorang muslim yang dekat dengan Allah akan bekerja dengan baik
untuk dunia danm akhirat.
4. Amanah dalam bekerja adalah suatu perbuatan yang sangat mulia dan utama.
5. Kreatif. Orang yang hari ini sama dengan hari kemarin dianggap merugi,
karena tidak ada kemajuan dan tertinggal oleh perubahan. Terlebih lagi
orang yang hari ini lebih buruk dari kemarin dianggap orang yang celaka,
karena berarti akan tertinggal jauh dan sulit lagi mengejar. Orang yang
beruntung hanyalah orang yang hari ini lebih baik dari kemarin, berarti
selalu ada penambahan. Inilah sikap perubahan yang diharapkan selalu
terjadi pada setiap muslim, sehingga tidak akan pernah tertinggal, dia selalu
antisaifatif terhadap perubahan, dan selalu siap menyikapi perubahan.

9
Ada 10 karakter etos kerja seorang muslim, karakter sersebut adalah:
1) Memiliki jiwa kepemimpinan
Manusia adalah khalifah di bumi, dan pemimpin berarti mengambil
peran secara aktif untuk mempengaruhi orang lain, agarorang lain tersebut
dapat berbuat baik sesuai keinginanya. Sekaligus kepemimpinan berarti
kemampuan untuk mengambil posisi sekaligus memainkan peran (role),
sehingga kehadiran dirinya memberikan pengaruh pada lingkunganya.
Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai personalitas tinggi.
Dia larut dalam keyakinanya tetapi tidak segan untuk menerima kritik,
bahkan mengikuti yang terbaik
2) Selalu berhitung
Rasulullah bersabda ‘bekerjalah untuk duniamu seakan hidup
selamanya dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan engkau akan mati
besok, senada dengan hadist sayidina umar berkata: maka hendaklah kamu
menghitung dirimu sendiri, sebelum datang hari dimana engkau akan
diperhitungkan. Hal senada juga terdapat dalam firman allah hendaklah
kamu menghitung diri hari ini untuk mempersiapkan hari esok (Qs:
59:18).Seorang muslim harus melihat resiko dan memplaning apa yang akan
dilakukan agar konsisten, tepat waktu dan bisa mendapatkan hasil yang
memuaskan.
3) Menghargai waktu
Kita sangat hafal dengan ayat al-quran tentang makna dan pentingnya
waktu, sebagaimana dalam surat al-ash ayat 1-3. Waktu adalah rahmat yang
tiada terhitung nilainya, dan konsekwensi logisnya adalah menjadikan waktu
sebagai wadah produktivitas. Ada semacam bisikan dalam jiwa jangan
lewatkan sedetik pun kehidupan ini tanpa memberi arti.. Ajaran islam adalah
ajaran yang riil, bukan sebagai ajaran yang mengawang-ngawang, bukan
pula bahan konsumsi diskusi konsep lapuk di atas meja seminar. Tetapi dia
merupakan ayat-ayat amaliyah, suatu agama yang menuntut pengamalan ayat
–ayat dalam bentuk yang senyata-nyatanya, melalui gerakan bil haal. Oleh

10
sebab itulah disadari oleh setiap muslim bahwa memang apa yang akan di
raih pada waktu yang akan datang ditentukan oleh caranya mengada pada
hari ini what we are going tomorrow we are becoming today.
4) Tidak pernah merasa puas dengan berbuat baik (positif improvement)
Merasa puas di dalam berbuat kebaikanadalah tand a-tanda kematian
kreatifitas. Sebab itu sebagai konsekwensi logisnya, tipe seorang muslim
akan tampak dari semangat juangnya, yang tak mengenal lelah, tidak ada
kamus menyerah pantang surut apalagi terbelenggu dalam kemalasan yang
nista. Dengan semngat ini, seorang muslim selalu berusaha untuk mengambil
posisi dan memainkan peranya yang dinamis dan kreatif.
5) Hidup berhemat dan efisien
Hidup berhemat dan efisien adalah dua sifat yang bagus bagi seorang
muslim, orang yang berhemat adalah orang yang mempunyai pandangan
jauh kedepan (future outlook), bukan hemat selalu di identikkan dengan
menumpuk harta kekayaan, sedangkan orang yang efisien di dalam
mengelola setiap resources yang di milikinya, dia menjauhkan dari sifat yang
tidak produktif dan mubazir.
6) Memiliki jiwa wiraswasta (entreprenership)
Memilik semangat wiraswata yang tinggi, tahu memikirkan segala
fenomena yang ada di sekitarnya, merenung dan kemudian bergelora
semangatnya untuk mewujudkan setiap perenungan batinya dalam bentuk
yang nyata dan realistis, nuraninya sangat halus dan tanggap terhadap
lingkungan dan setiap tindakanya diperhitungkan dengan laba rugi, manfaat
dan mudharatnya (entrepreneurship). Dalam sabda Rasulullah sesungguhnya
Allah sangat cinta kepada seorang mukmin yang berpenghasilan.
7) Memiliki jiwa bertanding dan bersaing
Semangat bertanding merupakan sisi lain bagi seorang muslim yang
tangguh, melalui lapangan kebajikan dan meraih prestasi. Harus disadari
dengan penuh keyakinan yang mendalam bahwa keuletan dan kegigihan
adalah fitrah diri setiap pribadi manusia, sehingga sikap malas dan

11
kehilangan semangat berkompetisi adalah kondisi melawan fitrah
kemanusianya, dan menghianati misi sebagai seorang khalifah di dunia ini.
8) Memiliki kemandirian (independent)
Keyakinan akan nilai tauhid penghayatanya terhadap ikrar iyyaka
na’budu, menyebabkan setiap pribadi muslim yang memiliki semangat jihad
sebagai etos kerjanya, adalah jiwa merdeka. Semangat semacam ini
melahirkan sejuta kebahagiaan yang diantaranya adalah kebahagiaan untuk
memperolah hasil dan usaha atas karsa dan karya yang dibuahkan dari
dirinya sendiri. Dia merasa risih apabila memperoleh sesuatu dengan gratis,
merasa tidak tak bernilai apabila menikmati sesuatu tanpa bertegang otot
bermandikan keringat. Kemandirian bagi dirinya adalah lambang perjuangan
sebuah semangat yang mahal harganya.
9) Haus untuk memiliki sifat keilmuan
Setiap pribadi muslim diajarkan untuk mampu membaca environment
dari yang mikro (dirinya sendiri) sampai pada yang makro (universe) dan
bahkan memasuki ruang yang lebih hakiki yaitu metafisik. Dari rasa haus
keilmuan ini akan menimbulkan sifat kritis, semangat membara dan selalu
belajar lebih baik.
10) Berwawasan Makro – Universal
Dengan memiliki wawasan makro, seorang muslim menjadi manusia
yang bijaksana. Mampu membuat pertimbangan yang tepat ,serta setiap
keputusanya lebih mendekati tingkat presisi (ketepatan) yang terarah dan
benar. Seorang muslim tidak hanya berkewajiban pada ibadah-ibadah yang
mahdoh saja tetapi dia juga memiliki tanggung jawab yang lain dari
ekonomi, sosial, kemasyarakatan lain yang bersifat kesalihan sosial. Salah
satu hadist Rasulullah tidak beriman sesorang yang tidur kekenyangan
sementara tetangganya kelaparan (HR. Bukhari). Inilah salah satu hadist
dalam sosial ekonomi.

12
2.3 Tujuan Bekerja dalam Islam
Bekerja merupakan salah satu amal saleh yang menjadi kewajiban setiap umat
Islam. Tentunya, Islam menganjurkan dan mewajibkan manusia untuk bekerja
dan mencari rezeki yang halal dan baik. Bekerja dalam Islam merupakan usaha
yang dilakukan dengan serius dengan cara mengerahkan semua tenaga dan
pikiran. Tujuan bekerja dalam Islam tidak hanya semata-mata untuk
mendapatkan uang, tetapi menjadi salah satu bentuk atau cara menjalankan
perintah Allah SWT. Pasalnya, bekerja dalam Islam adalah aktivitas yang
bernilai ibadah. Maka dari itu, setiap Islam harus mengerti dan memahami
tujuan bekerja itu sendiri.
Islam sangat tidak menyukai pengangguran dan menyukai orang-orang yang
mau bekerja keras. Secara fiqih, bekerja mencari nafkah adalah wajib,
sedangkan berpangku tangan hukumnya adalah haram. Seseorang yang
menganggur, berarti tidak memanfaatkan anugerah yang telah diberikan Allah
SWT. Pasalnya, secara fitrah, manusia adalah makhluk sempurna yang memiliki
beragam potensi. Anjuran untuk bekerja ini sebagaimana yang disebutkan dalam
sebuah hadis, artinya:
"Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban
beribadah." (HR. Thabrani dan Baihaqi).
"Sungguh aku marah kepada orang yang nganggur, yang tidak melakukan
amal dunia maupun amal akhirat" (HR. at-Thabrani).
Dalam Islam, rezeki memang menjadi urusan Allah dan sebagai hamba-Nya,
umat manusia diwajibkan untuk selalu berusaha sekuat tenaga untuk mencari
rezeki yang halal. Bekerja merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan
setiap orang. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam salah satu surah
Alquran, artinya:
"Makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-
Mu’minun [23]: 51).

13
Bekerja bukan hanya semata-mata mencari uang untuk makan. Lebih dari itu,
bekerja dalam Islam memiliki beberapa tujuan, antara lain: Salah satu tujuan
bekerja dalam Islam adalah beribadah. Bekerja untuk mendapatkan rezeki yang
halalan thayiban termasuk jihad di jalan Allah SWT. Bekerja dalam Islam
memiliki nilai yang sejajar dengan melaksanakan rukun Islam. Dengan
demikian, maka bekerja adalah ibadah dan menjadi kebutuhan setiap umat
manusia. Rasulullah SAW sendiri mengajarkan umatnya untuk selalu bekerja
keras dan memiliki etos kerja yang tinggi. Hal ini yang kemudian sebaiknya
dilakukan umat muslim saat bekerja. Berikut beberapa tujuan lainnya dalam
bekerja menurut islam:
1) Meraih Ridha Allah Swt.
Ridha adalah mempercayai dengan sungguh-sungguh bahwa apa yang
menimpa kita baik suka maupun duka adalah yang terbaik menurut Allah.
Bekerja dalam Islam bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi
untuk menghambakan diri kepada Allah Swt. dan meraih ridha dariNya. Semua
aktivitas seorang muslim di dunia ini seyogyanya diarahkan untuk meraih rida
Allah Swt.
2) Menolak Kemunkaran.
Syaikh al-Faqih Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
menjelaskan, “Al-Munkar adalah sesuatu yang diingkari dan dilarang/dicegah
dalam syariat berupa ragam kemaksiatan, seperti kekufuran, kefasikan,
kemaksiatan, dusta, gibah, namimah, dan lainnya.” (Syarah Riyadh ash-Shalihin
hlm. 406, cet. I Muassasah ar-Risalah 2013 M/1434 H, Damaskus – Syiria)
Kemunkaran dapat terjadi pada seseorang yang menganggur. Sebab ada bisikan
hawa nafsu dan syahwat yang dapat menjerumuskannya kedalam kemungkaran.
Seseorang yang mengisi waktunya untuk bekerja berarti telah berhasil menghalau
sifat malas dan menghindari dampak negatif pengangguran.
3) Kepentingan Amal Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, artinya sesama manusia akan saling
membutuhkan satu sama lain. Kita tidak bisa hidup sendirian, pastinya

14
membutuhkan orang lain. Islam mengajarkan umatnya untuk beramal sosial atau
bersedekah sesuai kemampuan yang dimiliki. Bagi seorang muslim yang bekerja,
tenaga dan hasil pekerjaannya dapat digunakan untuk berzakat, bersedekah dan
berinfaq.
4) Memberi Nafkah Keluarga
Allah SWT telah menetapkan hak dan kewajiban yang di antaranya adalah
wajibnya seorang suami memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya
dengan cara yang baik. Para ulama sepakat bahwa nafkah yang diberikan oleh
suami kepada istri dan anak-anaknya adalah kewajiban individu. Seorang suami
sebagai kepala keluarga berkewajiban memberikan nafkah lahir dan batin. Untuk
memberikan kehidupan yang layak kepada anak dan isterinya, maka seorang
suami harus rajin bekerja keras.

2.4 Sifat dan Karakter yang Dibutuhkan Seorang Pebisnis Syariah


A. Sifat yang harus Dimiliki Oleh Seorang Pebisnis Syariah
Perilaku atau etika dalam berwirausaha terutama bagi seorang muslim
sangat diperlukan sebagai investasi dan dapat memberikan keuntungan dan
mendapatkan jaminan kehidupan di dunia maupun di akhirat. Sebagai figur
wirausaha dalam ekonomi islam, Nabi Muhammad SAW merupakan suri
tauladan yang paling baik diantara banyaknya para pebisnis sukses saat ini.
Nabi Muhammad SAW mengajarkan nilai kesadaran akan pentingnya
sebuah etika, kejujuran dan perinsip-prinsip islam lainya. Jauh sebelum
adanya prinsip manajemen sebagai suatu disiplin ilmu yang dikemukakan
oleh Frderick W. Taylor dan Henry Fayol, Nabi Muhammad SAW Sendiri
telah memberikan contoh kepada manusia tentang cara-cara berwirausaha
yang berpegang pada nilai kebenaran, kejujuran, sikap Amanah, serta tetap
memperoleh keuntungan.
Oleh sebab itu, agar dalam wirausaha umat muslim tidak menyimpang
dan beretika, maka perlu mengetahui strategi atau cara berbisnis
berlandaskan ahklak Nabi Muhammad SAW Antara lain:

15
1) As-Siddiq atau jujur, jika seseorang sudah memiliki sifat jujur maka ia akan
cenderung memiliki sikap integritas yang baik, rasulullah sendiri memiliki
sifat As-Sidiq beliau dikenal dengan pribadi yang sangat jujur. Jika dalam
dunia wirausaha saat ini kita sebut sebagai branding. Seperti sabda rasulullah
“hendaklah kalian jujur (benar) karena kejujuran mengantarkan kepada
kebaikan”. Maka dari itu kejujuran menjadi sangat penting karena
merupakan bentuk dari kesungguhan dan ketepatan (mujahadah dan itqan).
2) Amanah, atau dapat dipercaya. Memiliki sifat amanah akan membentuk
kredibilitas yang tinggi dan sikap penuh tanggung jawab pada setiap diri
seorang muslim. Sifat amanah memainkan peranan yang fundamental dalam
ekonomi dan bisnis, karena tanpa kredibilitas dan tanggung
jawab ,kehidupan ekonomi dan bisnis akan hancur.
3) At-Tabligh atau dapat menyampaikan, Wirausaha yang efektif merupakan
kempuan menyampaikan komunikasi. Dalam sudut pandang kewirausahaan
berbasis syariah, tuhan telah memberikan kemampuan Istimewa pada
manusia, tentu sudah sepantasnya manusia juga memilih jalan hidup yang
istimewa dengan kemampuan yang dimilikinya. Allah SWT berfirman dalam
Q.S. Al-Ahzab:39: “Orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah,
mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang
(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat
perhitungan”.
4) Al-fatanah atau cerdas, sifat ini harus dimiliki oleh para penggelut
wirausaha. Pengusaha yang cerdas merupakan pengusaha yang memiliki
kemampuan dalam memahami, menghayati, dan mengenal tugas dan
tanggung jawab usahanya dengan baik. Artinya bahwa dalam melakukan
kegiatan-kegiatan wirausaha harus dilakukan berlandaskan sifat kecerdasan,
yakni dengan memanfaatkan potensi akal dan fikran yang ada dalam
mencapai suatu tujuan.

16
B. Karakter yang harus Dimiliki Oleh Seorang Pebisnis Syariah
Karakteristik entrepreneur terdiri atas sifat, pandangan, maupun
kepedulian terkait kegiatan tersebut. Karakteristik-karakteristik utama dalam
konsep kewirausahaan Islami, antara lain: (Kholifah 2020):
1. Taqwa

Ketaqwaan adalah bentuk keimanan seorang muslim kepada Allah


SWT. Taqwa merupakan salah satu karakter utama yang harus ada dalam
kegiatan kewirausahaan Islami. Ketaqwaan menjadi kunci bagi para
pengusaha muslim dalam meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Terkait
ketaqwaan, Allah SWT berfirman dalam surat Ash-Shaff ayat 10-11 sebagai
berikut:

Surat Ash-Shaff ayat 10 dan 11 di atas mengandung makna dan arti


tentang keimanan seseorang kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW
sebagai Rasul-Nya. Dalam melaksanakan kegiatan kewirausahaan, seluruh
aspek dalam usaha tersebut perlu berlandaskan taqwa, kegiatan tersebut akan
mendapatkan kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat. Tanpa keberadaan
taqwa ini, maka kegiatan tersebut akan sulit memperoleh rida Allah SWT.
Tanpa rida dari Allah SWT, kegiatan tersebut akan sulit mencapai
kebahagiaan hakiki di dunia maupun di akhirat.

17
2. Mengutamakan Konsep Halal
Konsep halal berarti diperbolehkan menurut syari’at Islam, dan
merupakan salah satu konsep utama yang dijunjung oleh agama Islam.
Dalam Alquran, Allah SWT berfirman kepada seluruh manusia untuk selalu
mengutamakan dan memprioritaskan kehalalan segala sesuatu yang
diperoleh ataupun dilakukan. Konsep halal ini juga berlaku dalam berbagai
bidang kehidupan, salah satunya di bidang kewirausahaan. Dalam
kewirausahaan Islami, seluruh kegiatan usaha diharuskan untuk melandasi
aktivitasnya dengan konsep halal, dari hulu hingga ke hilir. Tujuan dari
prioritas halal ini adalah untuk menjauhkan umat Islam dari hal-hal yang
dilarang (haram) oleh ajaran agama Islam. Allah berfirman dalam surat Al-
Maidah ayat 88 dan Surat Al-Baqarah ayat 168, yang berbunyi:

Dalam kedua ayat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep


halal merupakan konsep esensial dalam kehidupan. Dengan mengutamakan
pada konsep halal, seseorang dapat dikatakan bertaqwa kepada Allah SWT.
Konsep halal merupakan konsep yang baik, dan segala hal yang
bertentangan dengannya adalah hal yang buruk dan dilarang oleh syari’at
Islam. Selain itu, Islam juga mengajarkan untuk selalu bekerja keras dalam
memperoleh segala sesuatu melalui cara dan bentuk yang halal. Melalui
jalan inilah kewirausahaan dapat berkembang dengan baik, yakni dengan

18
menerapkan konsep halal di dalam usahanya. Perpaduan antara kerja keras
dan penghasilan yang halal akan memberikan keberkahan bagi semua orang
yang terkait dengan usaha tersebut. Jika konsep halal ini mampu
diimplementasikan dalam bidang kewirausahaan dan diikuti etos kerja yang
baik, maka tidak menutup kemungkinan bahwa usaha tersebut mampu untuk
mencapai keberhasilan di dunia dan akhirat.
3. Tidak Berlebihan atau Berfoya-Foya
Agama Islam memerintahkan seluruh umat manusia untuk selalu
menjalankan hidup sesuai aturan syari’at, serta menikmati seluruh
keberkahan dalam hidup secara cukup dan tidak berlebihan, atau bahkan
menyia-nyiakannya. Allah berfirman dalam surat AlA’raf ayat 31, yang
berbunyi:

Surat al-A’raf ayat 31 di atas menunjukkan bahwa manusia dianjurkan


untuk selalu memiliki rasa kecukupan, dan tidak berlebihan dalam segala
sesuatu. Ayat di atas mencontohkan dalam konteks pakaian dan makanan,
dimana manusia diharapkan makan maupun minum dan berpakaian
secukupnya tanpa berlebihan. Dalam konteks kewirausahaan, kegiatan usaha
juga diharapkan mampu untuk melakukan segala sesuatu dalam kecukupan.
Tidak diperkenankan untuk berlebihan ataupun menyia-nyiakan hasil usaha
yang diperoleh. Terdapat beberapa langkah yang dapat ditempuh terkait hal
ini, sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Ghazali. Seorang wirausaha
diharapkan untuk tidak mengambil terlalu banyak laba, ataupun terlalu
banyak hutang-piutang. Wirausahawan justru diharapkan mampu untuk

19
membina tenaga kerja, berzakat dan infaq, serta meningkatkan kesejahteraan
bersama. Hal-hal inilah yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW
serta sesuai dengan ajaran agama Islam.
4. Mengutamakan Ibadah Kepada Allah SWT
Segala bentuk pekerjaan yang dilakukan oleh umat Islam dengan niat
menjalankan perintah Allah SWT merupakan bentuk ibadah. Dengan
demikian, ibadah merupakan salah satu prioritas yang harus mampu
dilaksanakan oleh setiap orang muslim. Tidak terkecuali di bidang
kewirausahaan, dimana Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh
mengenai kegiatan usaha yang dapat dijadikan saluran ibadah. Dalam
berwirausaha, Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya mengenai
sikap-sikap yang diperlukan dalam menunjang kegiatan kewirausahaan
sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Sikap-sikap tersebut antara lain
yaitu jujur (shiddiq), dapat dipercaya (amanah), komunikatif (tabligh), serta
cerdas/bijaksana (fathonah).
Allah SWT hanya akan menerima segala bentuk tindakan yang terpuji.
Terkait prioritas ini pula, Allah SWT berfirman dalam surat Al-Jumu’ah ayat
10 yang berbunyi:

Melalui ayat Q.S. Al-Jumu’ah di atas, Allah SWT telah memberikan


perhatian khusus kepada kegiatan kewirausahaan sebagai salah satu kegiatan
prioritas setelah menunaikan salat, yang merupakan bentuk ibadah kepada
Allah SWT. Kegiatan kewirausahaan yang dilaksanakan tetap harus dengan
aturan dan ketentuan sesuai syari’at Islam. Dianjurkan pula dalam
berwirausaha untuk selalu mengingat kepada Allah SWT, sehingga para

20
pelaku kegiatan tersebut akan memperoleh keberuntungan dan keberhasilan
dalam usaha-usahanya.
5. Menghindari Perbuatan Riba
Agama Islam menentang keberadaan riba dan segala bentuk perbuatan
yang melaksanakan riba, beserta pelaku-pelakunya. Riba dipandang sebagai
nilai yang amoral atau tidak bermoral, sehingga menghindarkan diri dari
perbuatan ini juga menjadi salah satu karakteristik kewirausahaan Islami.
6. Keinginan Untuk Berbuat Baik Kepada Sesama Makhluk
Agama Islam mengajarkan tentang kebaikan melalui aturanaturan serta
tuntunan dalam Alquran dan al-Hadis. Salah satu bentuk kebaikan yang
paling diutamakan adalah adanya niat atau keinginan untuk berbuat baik
kepada sesama manusia.
Beberapa bentuk kebaikan yang selama ini diajarkan oleh agama Islam
terkait dengan kewirausahaan adalah berupa zakat, infak, dan sedekah.
Masing-masing dari ketiga kegiatan ini bertujuan untuk membantu sesama
yang lebih membutuhkan, dengan pemberian bantuan terutama secara materi
seperti uang ataupun harta benda lainnya. Baik zakat, infaq, maupun sedekah
merupakan perbuatan terpuji yang dipandang mulia oleh Allah SWT, dan
akan mampu mendatangkan kemenangan bagi siapa saja yang
menunaikannya. Tidak hanya kepada manusia, perbuatan baik ini juga harus
dilakukan kepada makhluk hidup yang lain seperti tumbuh-tumbuhan dan
hewan. Kepedulian terhadap lingkungan, baik kepada tumbuhan maupun
hewan juga termasuk dalam bentuk ibadah kepada Allah SWT. Hal ini
disebabkan karena melimpahnya rahmat Allah SWT kepada seluruh
manusia, dengan keberadaan lingkungan sebagai tempat hidup yang nyaman
dan membahagiakan. Sebagai bentuk rasa syukur, maka manusia perlu untuk
melestarikan lingkungan kehidupannya pula. Dengan kepedulian manusia
kepada lingkungan, maka kebersihan dan kesehatan lingkungan akan dapat
tercapai. Situasi ini akan mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan
harmonis.

21
7. Berwawasan Luas
Seorang muslim dan wirausaha sangat membutuhkan wawasan yang
luas, terutama karena Allah SWT berfirman kepada manusia untuk menuntut
ilmu dan menjelaskan mengapa wawasan yang luas itu penting.
Dalam kewirausahaan sendiri, wawasan yang luas tentu akan
memberikan dampak positif terutama dalam perkembangan usaha pada skala
tertentu. Seorang wirausaha dengan pengalaman dan wawasan yang luas
akan mampu untuk mendatangkan keberhasilan serta pencapaian lain dengan
usahanya. Selain itu, wawasan ini juga mampu untuk meminimalisir semua
jenis resiko, sekaligus membaca peluang untuk mengembangkan usaha
tersebut. Ilmu adalah hal yang mutlak harus dimiliki dan dikuasai oleh para
pelaku kegiatan kewirausahaan.
8. Proaktif
Salah satu karakter yang menonjol dari seorang wirausaha ini adalah
proaktif, suka mencari informasi yang berhubungan dengan dunia yang
digelutinya agar dia bisa membuat strategi untuk menghadapi persaingan
pasar seperti segmenting, targeting, dan positioning yang banyak dibahas
dalam manajemen pemasaran.
9. Produktif
Salah satu karakter kunci sukses menjadi seorang wirausaha adalah
selalu ingin mengeluarkan uang untuk hal-hal yang produktif, dalam artian ia

22
memiliki ketelitian, kecermatan, dan penuh perhitungan dalam memutuskan
pengeluaran.
10. Pemberdaya
Karakter lain yang juga dimiliki oleh seorang wirausaha muslim
adalah pemberdaya atau memberdayakan orang lain. Bagi seorang wirausaha
muslim, hal tersebut merupakan suatu kewajiban sebagaimana disebutkan
dalam hadist Nabi Muhammad SAW berikut: “Setiap kalian adalah
pemimpin dan setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas
kepemimpinannya” (Muttafaqun ‘Alaih)
11. Suka Memberi
Seorang wirausaha berbasis syariah umumnya mempunyai karakter
suka memberi, salah satu cara yang dilakukannya yaitu dengan
memperbanyak sedekah. Bagi mereka, setiap rezeki yang diterima harus ada
sebagian yang dibagikan kepada orang-orang yang kurang beruntung secara
ikhlas, karena hal tersebut dapat menambah kualitas dan kuantitas rezekinya
dan hidupnya penuh berkah.
12. Rendah Hati
Seorang wirausaha yang berbasis syariah menyadari bahwa
keberhasilan yang dicapainya bukan sepenuhnya karena kehebatannya
melainkan juga karena pertolongan Allah. Mereka meyadari adanya janji
Allah, sehingga selalu bersyukur, dan rendah hati, sehingga Allah pun
mempermudah segala urusan bisnisnya. Sikap rendah hati ini nampak dari
kebiasaannya menolong wirausaha pemula yang belajar kepadanya, cara
kerjanya membina dan mengembangkan kemampuan karyawannya.
13. Kreatif
Seorang wirausaha juga mempunyai karakter kreatif, yaitu mampu
menangkap dan menciptakan peluang-peluang bisnis yang bisa
dikembangkan. Di tengah persaingan bisnis yang ketat sekalipun seorang
wirausaha tetap mampu menangkap dan menciptakan peluang baru untuk
berbisnis, sehingga ia tidak pernah kawatir kehabisan lahan.

23
14. Inovatif
Seorang wirausaha juga mempunyai karakter inovatif yaitu mampu
melakukan pembaruan-pembaruan dalam menangani bisnis yang
ditanganinya, sehingga bisnis yang dilakukannya tidak pernah usang dan
selalu dapat mengikuti perkembangan zaman.

Seorang wirausaha yang sukses bukanlah wirausaha yang memiliki


keuntungan berlimpah, tetapi wirausaha yang mampu mengelola hartanya
dengan baik dan selalu menyedekahkan sebagian hartanya pada orang yang
membutuhkan. Etika-etika tersebut di atas dapat menjadi landasan utama
seseorang untuk melaksanakan kegiatan kewirausahaan Islami.

2.5 Mekanisme Berbisnis Secara Syariah


Mekanisme atau sistem berbisnis secara syariah yaitu ada beberapa tahapan :
1. Terdapat Akad
Agama Islam sangat memperhatikan akad, tidak hanya akad ijab qabul
pernikahan saja, tetapi juga akad transaksi jual beli. Tanpa akad yang jelas,
sebuah transaksi bisnis hukumnya dapat berubah menjadi haram dalam Islam.
Misalnya dalam akad perbankan, Islam tidak mengenal istilah bunga tetapi
menggunakan konsep akad bagi hasil. Padahal jika dilihat, kedua produk
perbankan tersebut sama sama mengambil keuntungan. Hanya saja akad
transaksi di awal berbeda. Sehingga dalam aktivitas berdagang, harus ada
akad jual beli sesuai dengan prinsip muamalah yang telah diatur dalam Islam.
Hal ini bertujuan untuk memperkuat perjanjian antara penjual dan pembeli.
2. Halal
Salah satu perbedaan bisnis konvensional dan syariah adalah terkait
hukum halal dan haram. Mungkin dalam bisnis konvensional tidak terdapat
batasan produk yang boleh dijual. Namun sesuai hukum bisnis syariah, tidak
seluruh produk dapat diperjualbelikan.

24
Dalam transaksi syariah, jenis produk halal dijadikan obyek jual beli
adalah produk dengan kandungan intrinsik halal (tidak mengandung babi,
minuman keras, narkoba, dan sebagainya. Selain itu, produk juga harus
didapat dengan cara halal, bukan barang curian, hasil korupsi, atau barang
selundupan.
3. Tidak Mengandung Unsur Gharar, Maysir dan Riba
Islam telah mengatur secara jelas praktik jual beli dan produk yang
mengandung unsur riba (bunga), maisir (perjudian), dan gharar
(ketidakjelasan) dilarang jelas oleh Islam.
Hal tersebut dikarenakan ketiga hal tadi berpotensi merugikan salah
satu pihak. Padahal dalam Islam, setiap manusia wajib bersikap adil dan tidak
dzalim terhadap sesamanya dalam bermuamalah.

Selain itu, asas dari transaksi syariah didasarkan pada prinsip syariat yang
berbeda dari prinsip kapitalis yang pada hakekatnya hanya untuk kepentingan
pribadi, keuntungan atau laba, serta tanpa dibebani tanggung jawab sosial dan
nilai-nilai ilahiah atau etika. Dalam kaitan dengan hal itu, PSAK mengajukan
lima asas atau prinsip berikut yang harus mendasari setiap transaksi syariah.

1) Ukhuwah atau persaudaraan


Ini berarti transaksi bisnis dilakukan berdasarkan harmonisasi kepentingan
dan kemanfaatan semua pihak yang dilkukan secara gotong-royong dan
tolong-menolong. Mendapat keuntungan diatas kerugian orang lain tidak
dibenarkan, orang lain harus dianggap sebagai saudara. Interaksi dengan
masyarakat dilakukan dalam lingkuangan saling mengenal (ta’aru), saling
memahami keberadaan dan kepentingan masing-masing (tafahum), saling
menolong (ta’awun), saling menjamin (takaful), serta saling bersinergi dan
beraliansi (tahaful).
2) ‘Adalah atau keadilan
Berarti kita harus melakukan setiap transaksi sesuai dengan aturan dan
ketentuan syariat. Karena hanya ketentuan syariat universal yang berpedoman

25
pada ketentuan Allah yang indipenden kepada semua yang ada (ashshamad)
dapat melahirkan keadilan dimana menempatkan sesuatu sesuai tempat dan
mengunakan sesuatu sesuai fungsinya yang sebenarnya.
3) Maslahah atau kemaslahatan
Ini adalah ukuran yang harus dijadikan dasar dalam menentukan boleh-
tidaknya suatu transaksi dilakukan. Pengertiannya adalah transaksi yang
dilakukan harus membawa atau menghasilkan kebaikan seluruh manusia dan
alam. Transaksi tidak boleh sama sekali membawa kemudharatan dan
kebaikannya harus melampaui kemudharatannya.
4) Tawazun atau keseimbangan
Ini bermakna bahwa transaksi atau kegiatan ekonomi harus dilakukan
secara seimbang dengan ukuran material dan spiritual, antara dunia dengan
akhirat, sektor uang dan sektor riil, serta harus seimbang antara kerja dengan
hasil.
5) Syumuliah atau universalisme
Islam dan Rasulullah diutus untuk seluruh dan sekalian alam. Artinya,
ajaran yang dibawanya akan dapat menjamin kebahagiaan hakiki semua pihak
baik muslim maupun nonmuslim tanpa membedakan suku, agama, warna
kulit, dan golongan. Islam harus menjadi rahmat bagi sekalian alam, tidak
untuk perorangan, Negara, suku, dan agama tertentu.

2.6 Beberapa Prinsip Bersaing dalam Bisnis Syariah Secara Sehat


Salah satu unsur hukum Islam adalah muamalah atau hukum ekonomi Islam,
berbisnis merupakan aktivitas manusia dalam mendapatkan rezeki secara halal,
sehingga tidak bisa dipisahkan dari upaya munculnya persaingan dalam bisnis.
Rasulullah saw., memberikan contoh bagaimana bersaing dengan baik. Ketika
berdagang, Rasul tidak pernah melakukan usaha untuk menghancurkan
pesaingnya.
Islam sebagai agama yang besar dan diyakini paling sempurna telah
mengajarkan konsep-konsep unggul lebih dulu, akan tetapi para pengikutnya

26
kurang memperhatikan dan tidak melaksanakan ajaran- ajaran Islam
sebagaimana mestinya. Umat Islam seharusnya dapat menggali inner dynamics
sistem etika yang berakar dalam pola keyakinan yang dominan. Karena ternyata
banyak prinsip bisnis modern yang dipraktekkan perusahaanperusahaan besar
dunia sebenarnya telah diajarkan oleh Nabi muhammad SAW. Perusahaan-
perusahaan besar dunia telah menyadari perlunya prinsip-prinsip bisnis yang
lebih manusiawi seperti yang diajarkan oleh ajaran Islam, yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW, yaitu:
1) Customer Oriented
Dalam bisnis, Rasulullah selalu menerapkan prinsip customer oriented, yaitu
prinsip bisnis yang selalu menjaga kepuasan pelanggan (Afzalur Rahman,
1996 :19). Untuk melakukan prinsip tersebut Rasulullah menerapkan kejujuran,
keadilan, serta amanah dalam melaksanakan kontrak bisnis. Jika terjadi
perbedaan pandangan maka diselesaikan dengan damai dan adil tanpa ada unsur-
unsur penipuan yang dapat merugikan salah satu pihak. Dampak dari prinsip
yang diterapkan, para pelanggan Rasulullah SAW tidak pernah merasa dirugikan.
Tidak ada keluhan tentang janji-janji yang diucapkan, karena barang-barang yang
disepakati dalam kontrak tidak ada yang dimanipulasi atau dikurangi. Untuk
memuaskan pelanggan ada beberapa hal yang selalu Nabi perintahkan. Beberapa
hal tersebut antara lain, adil dalam menimbang, menunjukkan cacat barang yang
diperjual belikan, menjauhi sumpah dalam jual beli dan tidak mempraktekkan
apa yang disebut dengan yaitu memuji dan mengemukakan keunggulan barang
padahal mutunya tidak sebaik yang dipromosikan, hal ini juga berarti
membohongi pembeli. Selain itu prinsip customer oriented juga memberikan
kebolehan kepada konsumen atas hak Khiyar (meneruskan atau membatalkan
transaksi) jika ada indikasi penipuan atau merasa dirugikan (A.W. Muslich, 2010
: 215). Konsep Khiyar ini dapat menjadi faktor untuk menguatkan posisi
konsumen di mata produsen, sehingga produsen atau perusahaan manapun tidak
dapat berbuat semenamena terhadap pelanggannya.

27
2) Transparansi
Prinsip kejujuran dan keterbukaan dalam bisnis merupakan kunci
keberhasilan. Apapun bentuknya, kejujuran tetap menjadi prinsip utama sampai
saat ini. Transparansi terhadap kosumen adalah ketika seorang produsen terbuka
mengenai mutu, kuantitas, komposisi, unsur-unsur kimia dan lain-lain agar tidak
membahayakan dan merugikan konsumen. Prinsip kejujuran dan keterbukaan ini
juga berlaku terhadap mitra kerja. Seorang yang diberi amanat untuk
mengerjakan sesuatu harus membeberkan hasil kerjanya dan tidak
menyembunyikannya. Transparansi baik dalam laporan keuangan, mapuun
laporan lain yang relevan.
3) Persaingan Yang Sehat
Islam melarang persaingan bebas yang menghalalkan segala cara karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah Islam. Islam memerintahkan
umatnya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, yang berarti bahwa persaingan
tidak lagi berarti sebagai usaha mematikan pesaing lainnya, tetapi dilakukan
untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi usahanya. Rasululllah SAW
memberikan contoh bagaimana bersaing dengan baik dengan memberikan
pelayanan sebaik-baiknya dan jujur dengan kondisi barang dagangan serta
melarang kolusi dalam persaingan bisnis karena merupakan perbuatan dosa yang
harus dijauhi. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Baqarah ayat 188 :

Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang


lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian

28
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.”
Juga disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW berikut ini :

Arinya : “Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: Laknat


Allah terhadap penyuap dan penerima suap di dalam hukum. (HR. Ahmad, Abu
Dawud, dan Tirmizi).”

4) Fairness
Terwujudnya keadilan adalah misi diutusnya para Rasul. Setiap bentuk
ketidakadilan harus lenyap dari muka bumi. Oleh karena itu, Nabi Muhammad
SAW selalu tegas dalam menegakkan keadilan termasuk keadilan dalam
berbisnis. Saling menjaga agar hak orang lain tidak terganggu selalu ditekankan
dalam menjaga hubungan antara yang satu dengan yang lain sebagai bentuk dari
keadilan. Keadilan kepada konsumen dengan tidak melakukan penipuan dan
menyebabkan kerugian bagi konsumen. Wujud dari keadilan bagi karyawan
adalah memberikan upah yang adil bagi karyawan, tidak mengekploitasinya dan
menjaga hakhaknya.
Dalam pemberian upah, Nabi Muhammad SAW telah mengajarkannya
dengan cara yang sangat baik yaitu memberikan upah kepada pekerja sebelum
kering keringatnya (HR. Ibnu Majah dari Umar). Selain itu bentuk keadilan
dalam berbisnis adalah memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor)
belum mampu membayar. Hal ini dicontohkan Rasulullah SAW dalam hadits
Beliau :

29
Artinya : “Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada
hari kiamat), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi
orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya. (HR.
Ibnu Majah).”
Selain itu bentuk keadilan dalam bisnis adalah bahwa bisnis yang
dilaksanakan bersih dari unsur riba karena riba mengakibatkan eksploitasi dari
yang kaya kepada yang miskin. Oleh karena itu Allah dan RasulNya
mengumumkan perang terhadap riba. Larangan riba ini disebutkan dalam QS. Al
Baqarah ayat 278 ;

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan


tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman.”

BAB III

30
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Masih banyak umat Islam yang lemah dalam penguasaan ekonomi dan
ketergantungan ekonomi yang sangat tinggi kepada pihak lain serta aktivitas
ekonomi yang tidak benar mengisyaratkan perlunya membangun mental
entrepreneurship yang berlandaskan ajaran Islam. Beberapa anjuran dalam
Alquran maupun suri tauladan Nabi Muhmmad perlu diteladani dan
diimplementasikan agar umat Islam dapat mendayagunakan seluruh potensi
yang dimiliki untuk berwirausaha atau entrepreneurship. Segala sesuatu yang
dikerjakan memerlukan usaha dan keja keras untuk mendapatkanya begitupun
juga mencari rezeki, diperlukan usaha-usaha untuk mendapatkanya. Umat Islam
perlu membekali dirinya dengan keterampilan dan mempunyai landasan akhlak,
karena berbisnis menjadi dua hal yang berjalan secara simultan. Bagi umat Islam
tidak dianjurkan untuk bersikap boros, menghambur-hamburkan harta, serta
berlebih-lebihan. Apabila mendapatkan keuntungan dari hasil usahanya yang
besar seyogyanya dapat dimanfaatkan dengan bijaksana dan dapat membantu
orang-orang yang membutuhkan.

3.2 Saran
Demikianlah makalah tentang Bekerja dan Bisnis dalam Pandangan Islam
ini kami buat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kewirausahaan. Semoga apa
yang kami paparkan dan jelaskan dapat bermanfaat bagi kami penulis dan
pembaca. Makalah ini kami buat dengan segenap hati agar pembaca dapat
mengerti dan paham atas apa yang kami sampaikan. Meskipun kami ingin
kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini, tetapi pada kenyataannya masih
banyak kekurangan yang perlu kami perbaiki. Hal ini dikarenakan akibat masih
minimnya pengetahuan dari kami. Oleh karena itu, kritik dan saran dari Ibu
Prilla, selaku dosen pengampu Mata Kuliah Kewirausahaan ataupun pembaca,
kami sangat mengharapkannya sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya agar

31
bisa lebih baik lagi. Semoga makalah ini juga dapat bermanfaat dan dijadikan
salah satu referensi untuk teman – teman yang sedang meneliti atau mengerjakan
makalah dengan tema yang sama, yaitu Bekerja dan Bisnis dalam Pandangan
Islam. Aamiin. Terima kasih.

32
DAFTAR PUSTAKA

Widyastuti, Sri. 2019. Implementasi Etika Islam dalam Dunia Bisnis. CV IRDH :
Malang.

Sholiha, Imroatus. 2018. Bisnis Dalam Pandangan Islam. Situbondo.

Saputra, Muhammad Nur Adnan. 2021. Karakter Enterpreneur Dalam Islam.


Yogyakarta.

Jannah, Miftachul. 2018. Kewirausahaan Dalam Perspektif Islam. Surabaya.

https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/06/02/bisnis-syariah#:~:text=Bisnis
%20syariah%20adalah%20kegiatan%20usaha,pada%20aktivitas%20jual
%20beli%20saja

Norvadewi. 2015. Bisnis dalam Perspektif Islam. Samarinda.

http://sriwijayazone.com/kedudukan-dan-arti-penting-kerja-dalam-islam

https://www.merdeka.com/jateng/tujuan-bekerja-dalam-islam-lengkap-beserta-
hukumnya-kln.html

https://www.bacaanmadani.com/2022/06/tujuan-bekerja-dalam-islam.html

Kirom, Cihwanul. 2018. Etos Kerja dalam Islam. Jawa Timur.

33

Anda mungkin juga menyukai