DI SUSUN OLEH :
Ismed Magij (20203010089
Sadila Agustina
Elvionita Dwi Cahyani
Muhammad Burhannudin H
Nadhif Achmad Faris
Maulana Yusuf Al-faruq
Wardatul Chamro’ Towavia
Desi Anawati Sultoni
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan kepada
kami dalam menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tanpa rahmat dan
pertolongan-Nya, kami tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi agung Muhammad
SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua termasuk pembaca dan penulis dari makalah ini.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
1
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan Pembahasan...................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN..........................................................................................3
2.1 Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja..........................................3
2.2 Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja................................................4
2.3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Islam.......................................4
2.4 Manfaat Kesehatan dan Keselamatan Kerja dalam Islam.........................9
2.5 Landasan Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Islam..........6
BAB 3 PENUTUP.................................................................................................11
3.1 Saran........................................................................................................11
3.2 Kesimpulan.............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................13
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
tersebut juga menyebabkannya ridha terhadap ketentuan Allah. Keikhlasan dalam bekerja
menghindarkan diri dari penyebab kelalaian dan bahaya kerja.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam KBBI bekerja secara etimologi ialah melakukan suatu pekerjaan (perbuatan). Dan
secara terminologi, arti bekerja adalah suatu perbuatan, usaha, tindakan, atau aktivitas manusia
yang dilakukan dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhan hidup atau mencapai suatu tujuan
tertentu. Namun secara umum bekerja dalam Islam dapat diartikan seluruh perbuatan atau usaha
manusia baik yang ditujukan untuk dunianya maupun yang ditujukan untuk akhiratnya.[1]
Sistem ekonomi Islam memandang bekerja sebagai bentuk kebaikan. Apabila seseorang bekerja
dengan baik maka telah dipandang berbuat kebaikan dan hasil pekerjaannya dinilai baik secara
materil maupun imateril. Dengan bekerja, manusia bisa memberi manfaat bagi dirinya sendiri
maupun orang lain. Apalagi bisa mengerjakan kewajiban yang lain. Allah menciptakan segala
kenikmatan melalui berbagai macam sumber daya alam. Dan bekerja adalah suatu kewajiban
juga dalam hal memanfaatkan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya untuk kebahagiaan
manusia itu dan beribadah kepada-Nya. Dan Allah juga tidak memaksakan manusia untuk
bekerja diluar kemampuannya.[2] Hal ini diterangkan dalam surah Al-Baqarah ayat 286 yang
berbunyi:
َ َسبَتْ َو َعلَ ْي َها َما ٱ ْكت
سبَت َ س َع َها لَ َها َما َك ً اَل يُ َكلِّفُ ٱهَّلل ُ نَ ْف
ْ سا ِإاَّل ُو
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan)
yang dikerjakannya”(QS. 2:286)
Selain itu juga, bekerja harus didasari dengan keyakinan bahwa pekerjaan ialah amanah
yang harus dipikul dan dikerjakan secara tuntas.
Manusia diciptakan dengan sifat yang merasa tidak pernah puas. Dari itu, manusia disini
selalu memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi setiap harinya. Maka dari itu dengan bekerja
secara bersungguh-sungguh bisa memenuh semua kebutuhan tersebut. Mungkin awalnya berja
harus menjadi paksaan, namun kemudian bekerja menjadi kebiasan bahkan menjadi sebuah
kebanggaan.
Allah menciptakan dunia dan seisinya dengan bentuk adanya sekarang, serta dengan
1
posisinya terhadap matahari yang berotasi sekali dalam sehari dan berevolusi sekali dalam
setahun.[3] Akibatnya adanya siang dan malam sehingga manusia bisa melakukan pekerjaan
pada saat siang hari dan bisa beristrahat pada malam hari.Semua itu Allah menciptakan untuk
makhluknya dengan tujuan agar makhluknya bisa bersyukur dengan terus menerus kepadanya.
Hal ini diterangkan dalam surah Al-Qhasas ayat 73 yang berbunyi:
Artinya: “Dan sebagian rahmat-Nya, Dia jadikan untuk kamu malam dan siang supaya
kamu beristirahat padanya dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya dan agar kamu
bersyukur.”
Sudah jelas dari tafsir ayat ini bahwa Allah menciptakan adanya siang dan malam agar
kira bisa mencari sebagian karunia-Nya pada siang hari dan beristirahat pada malam harinya.
Semua ini adalah karunia Allah kepada hamba-hamba-Nya agar mereka mengetahui kekuasaan-
Nya dan dengan itu semua mereka akan selalu bersyukur yang tiada henti kepada-Nya.
Selain itu, dalam Al-Qur’an juga terpapar tentang menghormati kewajiban yang 5 yaitu
sholat wajib 5 waktu termasuk juga sholat jum’at bagi laki-laki bahkan ketika sedang bekerja
sekalipun. Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 10 yang berbunyi:
َض ِل هَّللا ِ َو ْاذ ُك ُروا هَّللا َ َكثِي ًرا لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحون ِ ش ُروا فِي اَأْل ْر
ْ َض َوا ْبتَ ُغوا ِمنْ ف ِ َصاَل ةُ فَا ْنت
َّ ت ال ِ ُفَِإ َذا ق
ِ َضي
Artinya:”Apabila telah ditunaikan shalat (jum’at) itu, maka silahkanlah kamu bertebaran
di muka bumi ini; dan carilah karunia Allah serta ingat/sebutlah asma Allah itu sebanyak-
banyaknya, supaya kamu beruntung.”
Islam menempatkan bekerja sebagai ibadah untuk mencari rezeki dari Allah guna
menutupi kebutuhan hidupnya. Bekerja untuk mendapatkan rezeki yang halalan thayiban
termasuk kedalam jihad di jalan Allah yang nilainya sejajar dengan melaksanakan rukun Islam.
Dengan demikian bekerja adalah ibadah dan menjadi kebutuhan setiap umat manusia. Bekerja
1
yang baik adalah wajib sifatnya dalam Islam.
Rasulullah, para nabi dan para sahabat adalah para profesional yang memiliki keahlian
dan pekerja keras. Mereka selalu menganjurkan dan menteladani orang lain untuk mengerjakan
hal yang sama. Profesi nabi Idris adalah tukang jahit dan nabi Daud adalah tukang besi
pembuat senjata. Jika kita ingin mencontoh mereka maka yakinkan diri kita juga telah
mempunyai profesi dan semangat bekerja keras.
Dalam bahasa Arab penggunaan memberi dan menerima sesuatu yang mereka Dengan demikian
dalam masyarakat atau pekeja, akan tejalin sikap kebersamaan dan saling tolong menolong antar
para pekeja yang terhimpun didalamriya. Dalam onsep Islam keja bukanlah sekedar hak, tapi
lebih merupakan kewajiban. Tidak ada jalan lain dalam upaya pemilikan kecuali dengan jalan
keqa(QS. 53:39). Perintah untuk kerja sangat tegas, dimana dengan bekerja seseorang akan eksis
tidak hanya dihadapan sesamaaya (masyarakat), namun lebih dari itu yakni di hadapan Allah dan
Raniluhah (QS. 9:105).
”Sebaik-baik »iakanan yang kamu makan adalah yang be rasal dari usahamu sendiri, dan anak-
anakmu termasuk hasil usahamu juga”. (HH. Bukahir dan Turmudzi).
“Makanan terbaik bagi seseorang adalah yang diperoleh dari keraj fft fn tangannya sendiri ,
sungguh Nabi Allah Daud maLan dari hasil kerja- nya sendi f’f ”. (HR. Bukhari dan Ahmad).
1
2.4 Tata cara bekerja dalam islam
Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa bekerja akan membuat seseorang lebih dicintai
oleh Allah SWT. Dari Ibnu Umar ra bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang
mu’min yang bekerja dengan giat”. (HR. Imam Tabrani) Kemudian dalam hadis lain juga
dikemukakan bahwa dengan bekerja, dapat membuat kita terhindar dari azab neraka.“Pada
suatu saat, Saad bin Muadz Al-Anshari berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad SAW baru
kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat tangan Sa’ad yang melepuh, kulitnya gosong
kehitam-hitaman karena diterpa sengatan matahari. Rasulullah bertanya, ‘Kenapa tanganmu?’
Saad menjawab, ‘Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah
keluarga yang menjadi tanggunganku.” Kemudian Rasulullah SAW mengambil tangan Saad
dan menciumnya seraya berkata, ‘Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api
neraka'” (HR. Tabrani)
Namun begitu, tidak semua pekerjaan mulia di mata Allah. Pekerjaan yang diridhai oleh
Allah adalah pekerjaan yang dilandasi oleh adab dan etika tertentu, yakni:
1. Diniatkan Ikhlas Karena Allah SWT (Lillahi Ta’ala)
Tidak hanya ibadah yang harus diniatkan semata-mata karena mengharap ridha dari Allah
SWT, akan tetapi dalam bekerja juga harus meluruskan niat yang hanya boleh ditujukan semata-
mata untuk ridha Allah SWT. Artinya kita memahami bahwa bekerja tidak melulu soal mencari
kegiatan, uang dan keuntungan tapi lebih daripada itu, adalah kewajiban seorang manusia kepada
Allah SWT untuk bekerja, untuk mencari nafkah, serta untuk menunaikan kewajiban-kewajiban
Islam yang lainnya, seperti zakat, infak dan shodaqah.
1
pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja,
dia itqan pekerjaannya.“ (HR. Thabrani).
Selain menjaga etika atau akhlak, seroang muslim juga wajib untuk tetap memegang teguh
prinsip-prinsip syariah dalam pekerjaan yang digelutinya. Semakin pesatnya kemajuan jaman,
prinsip-prinsip syarah dalam bekerja memang akan semakin sulit karena berkaitan dengan
kemajuan, keuntungan dan penghasilan lebih dari pekerjaan yang kita lakukan namun hal ini
menjadi tantangan bagi iman seorang pekerja supaya senantiasa meningkatkan keimanan dan
mempertahankan kehalalan suatu pekerjaan serta meninggalkan hal-hal yang haram.
Dengan memegng teguh prinsip-prinsip syariah, kita akan terhindar dari dosa dan harta yang kita
dapatkan akan lebih berkah tentunya. Prinsip syariah ini terbagi menjadi beberapa kelompok.
1
Pertama dari sisi dzat atau substansi dari pekerjaannya, seperti dengan tidak memporduksi
barang yang haram, tidak menyebarluaskan kefasadan (seperti pornografi dan permusuhan), riba,
risywah dan lainnya.
Kemudian yang kedua dari sisi penunjang yang tidak terkait langsung dengan pekerjaan, seperti
menutup aurat, menjaga pandangan, menghindari ikhtilat antara laki-laki dengan perempuan, dan
lainnya.
6. Menghindari Syubhat
Syubhat adalah sesuatu yang kehalalan dan keharamannya masih diragukan dan samar yang
berasal dari internal maupun eksternal. Contohnya seperti pemberian dari pihak luar yang
terdapat indikasi memiliki kepentingan khusus di luar keprofesionalan, kemudian seperti
bermitra kerja atau bekerja sama dengan pihak-pihak yang secara umum telah diketahui
kedzliman atau pelanggarannya terhadap syariah.
Sebuah hadis mengisahkan tentang syubhat, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Halal itu jelas
dan haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat. Maka barang siapa
yang terjerumus dalam perkara yang syubhat, maka ia terjerumus pada yang
diharamkan…” (HR. Muslim).
Persaingan dalam pekerjaan pasti bisa saja terjadi namun perlu diingat ukhuwah islamiyah antara
sesama muslim adalah wajib hukumnya untuk senantiasa kita jaga dan pererat. Hal-hal yang
sekiranya akan menimbulkan ketidak harmonisan atau bahkan perpecahan di tengah-tengah
kaum muslimin harus dihindari agar Islam tetap satu dan sesama Muslim tetap memiliki
hubungan silaturahmi yang baik.
Menurut Ibnu Khaldun rezeki dan nafkah adalah sama, yaitu penghasilan atau keuntungan yang
berguna dan bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan (Ibnu Chaldun, 1963: 107). Hakekat
pengertian rezeki dan nafkah adalah manakala seseorang mendapatkan sesuatu yang
1
dipergunakan dengan hemat dan cermat, tidak boros, serta disesuaikan dengan pokok-pokok
keperluan hidup sebagai manusia, maka ia merasakan nikmatnya sebagaimana dijelaskan dalam
sabda Rosulullah SAW: “Sesuatu barang yang kamu miliki (yang sesungguhnya) ialah apa-apa
yang telah kamu makan hingga habis, atau apa-apa yang telah kamu pakai hingga ia rusak, atau
apa-apa yang telah kamu berikan (zakat) dengan dikeluarkan dari tanganmu” (Ibnu Chaldun,
1963: 100). Namun demikian ada rezeki yang didapat hanya dengan jalan berusaha, berikhtiar
dan bekerja, apakah dengan kerja keras ataupun tidak dan seberapa besar yang diperoleh
seseorang tergantung usaha yang dilakukannya. Oleh karena itu rezeki bisa diperoleh apabila
seseorang terjun ke lapangan pekerjaan (ma'asyi/’amal), sebab kerja seorang muslim yang sesuai
dengan ketentuan Islam merupakan sumber utama keuntungan, pendapatan, maupun
pembentukkan modal.
Makna Kerja dalam Islam Dalam al-Qur’ān digunakan beberapa istilah yang berarti kerja: ‘amal
(kerja), kasb (pendapatan), sakhkhara (untuk mempekerjakan atau mengguna), ajr (upah atau
penghargaan), ibtighā’a fadl Allah (mencari keutamaan Allah) (Al-Fārūqī dkk., 1995: 93).
Dalam hadiś banyak menyebut kata amal dengan arti kerajinan tangan atau perbuatan jasmaniah
pada umumnya. Dan dalam ayat al-Qur’ān banyak penggunaan kata “iman” diikuti dengan kata
“amal shaleh” yang berarti bahwa iman yang tertanam dalam hati hanya akan berarti apabila
membuahkan perbuatan lahiriah yang nyata sesuai dengan tuntunan iman itu sendiri. Dalam
pandangan Yusuf Qardhawi kerja adalah segala usaha maksimal yang dilakukan manusia, baik
melalui gerak tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan, baik dilakukan secara perorangan
ataupun secara kolektif, baik untuk pribadi maupun untuk orang lain (Qardhawi, 1997: 104).
Oleh sebab itu pekerja dapat dikelompokan menjadi dua, pekerja khas dan musytarak. Pekerja
khas (pekerja tetap) adalah seorang yang bekerja pada satu majikan dalam jangka waktu tertentu
dan tidak boleh bekerja pada pihak lain. Sedangkan pekerja musytarak (pekerja serabutan)
adalah orang yang bekerja pada beberapa majikan dan bebas untuk bekerja dengan siapa saja
(Al-Zuhailī, t.th., juz. V: 3845). Selain itu pekerjaan pejabat negara juga termasuk ’amal. Ibnu
Taimiyah meriwayatkan pada suatu waktu seorang ulama besar bernama Abu Muslim Al-
Khaulani masuk ke tempat Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan mengucapkan “assalamu’alaika
ayyuha al-ajīr”. Mendengar ucapan salam tersebut orang disekitar memperingatkannya agar
mengucapkan “ayyuha al-amīru”. Namun teguran tersebut tidak merubah pendirian Abu Muslim,
sebab ia berpendapat bahwa kepala negara termasuk ajīr, orang yang bekerja untuk kepentingan
1
orang lain dengan mendapatkan imbalan upah (Ibnu Taimiyah, 1419H: 11). Istilah ‘kerja’ dalam
Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga
dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tidak
mengenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai
unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya
untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat maupun negara tanpa menyusahkan dan menjadi
beban bagi orang lain.
Adapun kerja atau amal dalam pengertian yang khusus yaitu melakukan pekerjaan atau usaha
yang menjadi salah satu unsur terpenting dan titik tolak bagi proses seluruh kegiatan ekonomi.
Kerja dalam makna yang khusus menurut Islam terbagi menjadi kerja yang bercorak jasmani
(fisikal) dan kerja yang bercorak aqli/fikiran (mental). ini mengindikasikan bahwa kerja dalam
Islam meliputi segala bidang ekonomi yang dibolehkan oleh syarak sebagai balasan dari upah
atau bayaran, baik kerja itu bercorak jasmani (fisikal) seperti buruh, pertanian, pertukangan dan
sebagainya atau kerja bercorak aqli (mental) seperti pegawai negeri, guru/dosen dan sebagainya
sebagaimana dalam hadiś Rosulullah SAW: ”Tidak ada yang lebih baik bagi seseorang yang
makan sesuatu makanan, selain makanan dari hasil usahanya sendiri. Dan sesungguhnya
Nabiyullah Daud as, selalu makan dan hasil usahanya”(Abi Abdillaht.th, juz. II: 6). Dengan
demikian kerja dan amal sesungguhnya mempunyai terjemahan yang sama meskipun masyarakat
mengenalnya dari sudut yang berbeda. Amal seringkali diberi makna pada tindakan atau kerja
kebajikan; sedangkan kerja dikategorikan pada tindakan manusia yang menghasilkan upah atau
gaji dalam bentuk uang maupun material dan sebagainya yang bersifat ekonomi untuk menjaga
kelangsungan hidup bagi diri sendiri atau orang-orang yang di bawah tanggungjawabnya.
Berdasarkan pada uraian tersebut dapat ditarik pengertian bahwa kerja mencakup segala macam
pekerjaan yang menghasilkan imbalan jasa baik berbentuk kegiatan jasmaniah materiil seperti
kerajinan tangan, atau yang berbentuk kegiatan fikiran seperti perwalian negara/jabatan-jabatan
keahlian, dan atau bentuk spiritual. Tegasnya, segala macam usaha yang bersifat materiil atau
moral menurut pandangan Islam merupakan ’amal (kerja) (Basyir, 1987: 24).
ة إلىZذ الطفولZ من،روفZ والظZاتZع األوقZوت في جمیZل العیش یتطلب القZا یجعZ مم،امZیة تتطلب الطعZ والرجل ھو طبیعتھ الشخص:ملخص
راضZZو ألغZZذه األرض ھZZیاء على ھZZعة من األشZZ وخلق مجموعة واس،مرحلة البلوغ وھكذا دوالیك حتى تصل إلى سن الشیخوخة رغم ذلك
اإلنسان توفیر ضمان من المفید لھ القوت.
هّٰللا
ِ َوقُ ِل ا ْع َملُوْ ا فَ َسيَ َرى ُ َع َملَ ُك ْم َو َرسُوْ لُهٗ َو ْال ُمْؤ ِمنُوْ ۗنَ َو َستُ َر ُّدوْ نَ اِ ٰلى ٰعلِ ِم ْال َغ ْي
َب َوال َّشهَا َد ِة فَيُنَبُِّئ ُك ْم بِ َما ُك ْنتُ ْم تَ ْع َملُوْ ۚن
1
Terjemahan
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-
Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui
yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Tafsir Ringkas Kemenag RI
Dan katakanlah, kepada mereka yang bertobat, “Bekerjalah kamu, de-ngan berbagai pekerjaan
yang mendatangkan manfaat, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, yakni memberi
penghargaan atas pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin juga akan
menyaksikan dan menilai pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan, yakni meninggal dunia
dan pada hari kebangkitan semua makhluk akan kembali kepada Allah Yang Mengetahui yang
gaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan di dunia,
baik yang kamu tampakkan atau yang kamu sembunyikan.”
BAB III
PENUTUP