Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ISLAM DAN PERSOALAN HIDUP DAN KERJA


DOSEN PENGAJAR : NURBIAH, S.Ag., M.M

Di Susun Oleh :
1. DESTIA MAHARANI (20011221)
2. DWI NURYANA (20011224)
3. TITI AISYAH (20011247)
4. YENI OKTAFIANI (20011250)

POLITEKNIK AISYIYAH PONTIANAK


PRODI DIII KEBIDANAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, puji syukur senantiasa kita ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karunia yang telah di berikan, kami dapat menyusun makalah mengenai “Islam
dan Persoalan Hidup dan Kerja” sebagai tugas mata kuliah AIK. Makalah ini merupakan
hasil membaca berbagai referensi yang telah saya lakukan sebelumnya. Makalah yang kami
susun bertujuan agar para pembaca dapat lebih memahami mengenai persoalan hidup serta
kerja. Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dan bermakna serta
bermanfaat dalam proses belajar dan dalam proses belajar dan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari lubuk hati yang paling dalam, kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih belum
sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran sangat kami harapkan. Terima kasih
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………….i
Daftar Isi…………………………………………………………………..ii
BAB I Pendahuluan………………………………………………………..1
A. Latar Belakang……………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………..2
C. Tujuan………………………………………………………………2
BAB II Pembahasan……………………………………………………….3
1. Islam dan Persoalan Hidup dan Kerja………………………………3
a. Hakikat Hidup dan Kerja………………….………………………3
b. Rahmat Allah Terhadap Orang yang Rajin Bekerja……………....4
c. Aklhak Dalam Bekerja……………………………………………5
d. Keharusan Profesionalisme Dalam Bekerja………………………6
2. Hakikat Hidup …………………………………………………….…7
3. Implikasi Kerja Dalam Kehidupan…………………….…………….9
4. Wawasan Islam Tentang Kerja………………………………………9
a. Etos Kerja Dalam Perspektif Islam………………….……………..9
b. Tujuan Kerja Dalam Wawasan……………………………………10
c. Kerja dan Martabat Hidup…………………………………………11
d. Nilai-nilai Ibadah Dalam Islam……………………………………12
BAB III Penutup………………………………………………………….14
A. Kesimpulan…………………………………………………………14
B. Saran………………………………………………………………..14
Daftar Pustaka…………………………………………………………….15
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari kebutuhan ekonomi
seperti kebutuhan makan, minum,handphone, tas, rumah, kendaraan dan lain
sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut kita harus bekerja. Agama islam
yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum
muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan
juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan
dengan kerja. Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk
menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa
menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-
rel yang telah ditetapkan Alquran dan Hadist. Dalam makalah ini akan membahas
tentang hakekat hidup dan kerja, rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja,
akhlak dalam bekerja, keharusan profesionalisme dalam bekerja, hakikat hidup,
implikasi kerja dalam kehidupan, etos kerja dalam perspektif Islam, tujuan kerja
dalam wawasan Islam, kerja dan martabat hidup, nilai-nilai ibadah dalam kerja.
Persoalan hidup yang semakin hari semakin kompleks, tuntutan hidup yang
menghimpit, persaingan ekonomi, terbatasnya waktu luang, menjadi indikator
manusia menjadi robot. Sejak bangun pagi sampai tidur kembali akan terisi oleh
rutinitas yang akan selalu diulang setiap harinya. Akan tetapi yang menjadi masalah
jika rutinitas tersebut tidak dilandasi oleh niat yang benar, akan menjadi semacam
tekanan batin manusia yang membawa manusia menjadi mesin bernyawa. Jelaslah
bahwa manusia membutuhkan ibadah dan ketaatan. Berbagai penyakit jiwa banyak
merajalela di zaman sekarang. Hal ini disebabkan manusia jauh dari ibadah. Ada
semacam kebutuhan yang kosong yang belum terpenuhi dan hal tersebut adalah
beragama. Sedangkan beragama erat kaitannya dengan iman dan komitmen dengan
aqidah yang diajarkan. Banyak anggapan yang salah mengenai iman dan aqidah
keagamaan yang bisa mengurangi dan melambatkan produksi dan prestasi kerja atau
menghalangi pertumbuhan dan perkembanggannya. Kesalahan tersebut timbul akibat
persepsi yang salah tentang iman. Iman akan mengurangi perasaan bebas seseorang
atau orang yang beriman tidak lagi mementingkan pekerjaan untuk kehidupan di
dunia dan akibatnya 1 masyarakat menjadi rugi 2 dan mengalami kemunduran,
anggapan yang salah tersebut disebabkan kurangnya pengertian tentang agama dan
iman.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hakekat hidup dan kerja dalam Islam?


2. Seperti apa rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja?
3. Bagaimana akhlak dalam bekerja menurut Islam?
4. Bagaimana keharusan profesionalisme dalam bekerja menurut Islam?
5. Seperti apa hakikat hidup?
6. Bagaimana Implikasi kerja dalam kehidupan?
7. Bagaimana etos kerja dalam perspektif Islam
8. Apa tujuan kerja dalam wawasan Islam?
9. Bagaimana kerja dan martabat hidup?
10.Seperti apa nilai-nilai ibadah dalam kerja?

C. Tujuan

1. Menjelaskan hakekat hidup dan kerja dalam Islam


2. Menjelaskan rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja
3. Menjelaskan akhlak dalam bekerja menurut Islam
4. Menjelaskan keharusan profesionalisme dalam bekerja menurut Islam
5. Menjelaskan hakikat hidup
6. Menjelaskan implikasi kerja dalam kehidupan
7. Menjelaskan etos kerja dalam kehidupan
8. Menjelaskan tujuan kerja dalam wawasan Islam
9. Menjelaskan kerja dan martabat hidup
10.Menjelaskan nilai-nilai ibadah dalam kerja
BAB II
PEMBAHASAN

1. Islam dan Persoalan Hidup dan Kerja


Hakekat hidup dan kerja, rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja, akhlak
dalam bekerja, keharusan professionalisme dalam bekerja.
a. Hakikat hidup dan kerja
Dalam diri manusia terdapat apa yang disebut dengan nafs sebagai potensi
yang membawa kepada kehidupan. Dalam pandangan Al-Qur’an, nafs
diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta
mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Allah swt. Katakana
dalam surat Al-Syams ayat 7-8 “Demi Nafs serta penyempurnaan ciptaannya,
Allah mengilhamkan kepadanya kejahatan dan ketaqwaan”. Allah
mengilhamkan, berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat
menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk
melakukan kebaikan dan keburukan. Meskipun nafs berpotensi positif dan
negative, namun diperoleh pula isyaratkan bahwa pada hakekatnya potensi
positif manusia lebih kuat dari pada potensi negetifnya. Hanya saja daya tarik
keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Untuk itu manusia dituntut agar
memelihara kesucian nafsnya. Firman Allah dalam surat Al-Syams ayat 910
”Sungguh beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan merugilah
orang-orang yang mengotorinya”. Kecenderungan nafs lebih kuat untuk
kebaikan dipahami dari isyarat ayat, misalnya terdapat dalam surat Al-Baqarah
ayat 286 “Allah tidak membebani seseorang, tetapi sesuai dengan
kesanggupan nya”. Nafs memperoleh ganjaran dari apa yang diusahakannya,
dan memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya”. Selain nafs, dalam diri
manusia juga terdapat qalb yang sering diterjemahkan hati. Seperti
dikemukakan di atas, bahwa nafs ada dalam diri manusia, qalbu pun demikian,
hanya saja qalb yang merupakan wadah dipahami dalam arti alat, sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 179 “Mereka mempunyai qalb, tetapi
tidak digunakan untuk memahami”. Selain kata qalb dalam Al-Qur’an juga
terdapat kata fu’ad, seperti dalam firman-Nya dalam surat Al-Nahl “Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu maka Dia memberimu (alat) pendengaran, (alat) penglihatan serta hati,
agar kamu bersyukur (mempergunakannya memperoleh pengetahuan)
”Kemudian manusia juga memiliki ruh, sebagaimana firman-Nya dalam surat
al-Isra’ ayat 85 “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah Ruh
adalah urusan Tuhanku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit”. Ada yang
berpendapat, bahwa ruh itu sama dengan nyawa, tetapi apa bedanya manusia
dengan orang utan, monyet dan binatang yang lain? Dalam surat Al-
Mu’minun dijelaskan bahwa dengan ditiupkannya ruh, maka menjadilah
makhluk ini khalq akhar (makhluk yang unik), yang berbeda dengan makhluk
lain. Karena manusia memiliki ruh lah ia mudah menerima wahyu dari Allah
swt. Mempelajari wahyu dikatakan santapan rohani, bukan santapan nyawa.
Manusia berpotensi mendapatkan hidayah karena mempunyai roh. Selain
memiliki nafs, qalb, dan ruh manusia juga memiliki ‘aql. Kata ‘aql dalam al-
qur’an menggunakan bentuk kata kerja masa kini dan lampau. Dari segi
bahasa, kata ini dapat diartikan tali pengikat, penghalang. ‘Aql merupakan
sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam
kesalahan atau berbuat dosa. Allah berfirman dalam surat Al-An’am ayat 151
“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang nampak atau
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
kecuali demi kebenaran, itulah wasiat Allah kepadamu agar kamu ber’aqal
(dapat memahaminya)” Menurut Hamka, dalam bukunya Falsafah Hidup,
Islam sangat memuliakan ‘aql, maka dari itu Islam adalah agama yang
menjunjung tinggi ‘aql. Orang yang dapat menempatkan dirinya merasa terikat
pada aturan-aturan Allah dalam firman-firman-Nya, maka itulah sebenarnya
orang-orang yang ber’aqal. Seorang muslim dalam aktifitas kehidupnya dapat
menggunakan ‘aqalnya jauh dari perbuatan keji, ruhnya banyak berisikan
wahyu Allah, hatinya jadi tentram sehingga dirinya terkendali kejalan yang
diridhoi Allah, terhindar dari langkah-langkah syetan yang buruk.
Demikianlah hakekat hidup manusia dengan berbagai potensi yang terdapat
dalam dirinya untuk melaksanakan pekerjaan.

b. Rahmat Allah Terhadap Orang Yang Rajin Bekerja


Umar bin Khattab khalifah ke dua setelah Abu bakar siddiq berkata “Aku
benci orang berpangku tangan, tanpa ada aktifitas kerja, baik kerja untuk dunia
atau untuk kepentingan di akhirat kelak. Dalam hal ini khalifah umar sangat
menghargai dan menyenangi orang yang rajinbekerja dan beraktifitas sebagai
muslim yang ta’at, Umar selalu mendorong umat Islam untuk memiliki
semangat bekerja dan beramal, serta menjauhkan diri dari sifat malas.
Rasulullah bersabda “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari lemah
pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang dan
dikendalikan orang lain. Dan akau berlindung kepada-Mu dari siksa kubur,
dan dari fitnah (ketika hidup dan mati) (H.R Bukhari dan Muslim). Orang
muslim yang akan berhasil dalam hidupnya adalah kemampuannya
meninggalkan perbuatan yang melahirkan kemalasan/tidak produktif dan
digantinya dengan amalan yang bermanfa’at. Sabda Rasulullah Saw dari Abu
Hurairah “Sebaik-baik Islamnya seseorang adalah meninggalkan perbuatan
yang tidak bermanfa’at” (HR. Tarmidzi). Bekerja bagi seorang muslim adalah
dalam rangka mendapatkan rezki yang halal dan memberikan manfa’at yang
sebesar-besarnya bagi masyarakat sebagai ibadahnya kepada Allah swt.
Firman-Nya : “Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu
dimuka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-
banyaknya agar kamu beruntung” (al-Jmu’ah: 10. )Dalam pandangan Islam
bekerja merupakan bagian dari ibadah, maka aplikasi dan implementasinya
perlu diikat dan dilandasi oleh akhlak/etika, yang senantiasa disebut etika
profesi. Etika/akhlaq yang mencerminkan sifat terpuji, yaitu shiddiq,
istiqamah, futhanah, amanah dan tablig. Dari uraian diatas dapat difahami
bahwa seorang muslim yang akan mendapat kasih sayang dari Allah swt
adalah apabila orang itu jauh dari sifat malas, senang melakukan kegiatan-
kegiatan yang bermanfa’at, rajin bekerja, tidak menyia-nyiakan waktu,
menyadari bahwa semua aktifitas yang dilakukan adalah dalam rangka
beribadah kepada Allah Swt

c. Akhlak Dalam Bekerja


Seorang muslim dalam bekerja selalu berhati-hati dan terbuka pikirannya
kepada keindahan ciptaan Allah. Dia menyadari bahwa Allah lah yang
mengontrol segala urusan dunia dan kehidupan manusia. Dia mengenal tanda-
tanda kekuasaan-Nya, senantiasa berdzikir dan tawakal kepada-Nya.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya
malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertawakal yaitu
orangorang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (sambil berkata) Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini
dengan sis-sia, maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari api neraka” (Ali
Imran ayat 190-191). Dalam bekerja dia tulus dan patuh kepada Allah dalam
keadaan bagaimanapun, tidak boleh melampaui batas, selalu ta’at mengikuti
bimbingan Allah meskipun tidak sesuai dengan keinginannya. Dia
bertanggung jawab menjalankan kewajiban pekerjaan yang telah ditetapkan
untuknya. Bila ia mendapatkan kendala, segera mencari penyebabnya dan siap
memikul semua konsekwensinya. Dia memahami sabda Rasul Saw “Betapa
indahnya urusan orang Islam seluruh urusan (kerjanya) adalah baik bagi
dirinya. Jika ia mengalami kemudahan ia bersyukur dan yang demikian itu
baik bagi dirinya jika ia mengalami kesulitan ia menghadapinya dengan sabar
dan tabah dan itupun juga baik bagi dirinya” (HR. Bukhari). Akhlak seorang
muslim dalam bekerja menemukan kemudahan selalu bersyukur, ketika
menghadapi kesulitan dia tabah dan sabar . Mudah dan sulit baginya sama,
karena semua itu adalah untuk menguji kekuatan imannya. Pada sa’atnya ia
mendapatkan kesalahan dalam bekerja, menyimpang dari ketentuan Allah dan
Rasul-Nya, ia segera bertobat, segera ingat akan Tuhannya, menghentikan
segala kesalahannya dan memohon ampun atas kekeliruannya. “Sesungguhnya
orang-orang yang bertaqwa bila dalam dirinya timbul perasaan was-was dari
setan, mereka segera ingat kepada Allah, maka waktu itu juga mereka melihat
kesalahan-kesalahannya” (Al-A’raf :201) Demikianlah akhlak seorang muslim
dalam bekerja.
d. Keharusan Profesionalisme Dalam Bekerja
Profesional berarti berkualitas, bermutu dan ahli dalam satu bidang
pekerjan yang menjadi profesinya. Suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh
seseorang yang memang ahlinya, tentu akan mendapatkan hasil yang bermutu
dan baik. Sebaliknya suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang yang
bukan profesinya, akan mendapatkan hasil yang tidak bermutu dan bahkan
akan berantakan. Sabda Rasul Saw “Bila menyerahkan suatu urusan kepada
yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran”. Menurut sabda Rasul ini,
seseorang dalam bekerja, apapun pekerjaannya, kalau ingin mengharapkan
hasil yang berkualitas dan baik, maka dia harus profeisinal/ahli dalam
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya itu. Ahli dalam bekerja, berarti
menguasai ilmu pengetahuan yang berhubungan langsung dengan
pekerjannya. Seorang pekerja yang bekerja dalam dunia pertanian, tentu dia
harus berilmu tentang tanaman, pemupukan, pengairan dan lain-lain. Dia harus
mengerti, memahami dan menghayati secara mendalam segala yang menjadi
tugas dan kewajibannya dalam pertanian. Sifat kreatifitas dan kemampuan
melakukan berbagai macam inovasi yang bermanfa’at tentang pertanian akan
muncul dalam dirinya. Tentunya kreatif dan inovatif hanya mungkin akan
dimiliki manakala seseorang selalu berusaha untuk menambah berbagai ilmu
pengetahuan, peraturan, dan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan
apapun bentuk pekerjanya. Sebagai seorang guru (pengejar) dituntut harus ahli
dalam ilmu keguruan jangan setengah-setengah tapi belajar terus belajar
tentang profesi keguruan sampai akhir hayatnya. Firmam Allah dalam surat
Al-Baqarah 208 ”Hai orang yang beriman, masuklah kamu kedalam
kedamaian Islam secara menyeluruh, dan janganlah kamu ikuti langkah-
langkah setan, karena setan itu adalah musuhmu yang nyata”. Tersirat dalam
ayat ini, bahwa aktifitas apapun yang dilakukan menuntut pelakunya untuk
berilmu secara mendalam dan menyeluruh (kaffah) sesuai dengan profesinya.
Orang beriman diminta untuk memasukkan totalitas dirinya kedalam wadah
islam secara menyeluruh, sehingga semua kegiatannya berada dalam wadah
islam/kedamaian. Ia damai dengan dirinya, keluarganya, seluruh manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam raya semuanya. Wadah Islam secara
menyeluruh yang dimaksud juga penguasaan ilmu islam secara menyeluruh
sehingga mampu melaksanakan aktifitas Islam dengan berkualitas dan
bermutu.

2. Hakikat Hidup
Dunia laksana fatamorgana. Sebagian orang tidak jarang terkecoh dengan
gemerlap dunia dan lupa hakikat hidup yang hakiki. Padahal Allah telah
mengingatkan dalam Al-Qur’an, yang artinya : “Ketauhilah, bahwa sesungguhnya
kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalui Ikan, perhiasan
dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya
harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani,
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian
menjadi hancur. Karena asyik dengan kehidupan dunia, manusia sering mengidap
hubb al-dunya (cinta dunia) dan karahiyat al-maut (takut mati). Ketika dari hari ke
hari hidup demikian super sibuk sejak bangun hingga tidur dan bangun kembali di
shubuh hari. Ketika kegiatan demi kegiatan begitu padat, berkeliling dari satu
tempat ke tempat lain, dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Hidup yang tidak jarang
disertai pertaruha, perebutan, konflik, dan ketegangan yang melebihi takaran.
Bahkan manakala hidup begitu penuh pergaulatan seolah tak pernah berujung dan
bermuara dalam sejuta ambisi yang terus membara. Mencari nafkah, menjalankan
profesi, mengemban mandat rakyat, berniaga, dan apapun yang dilakukan harus
memiliki nilai ibadah dan kekhalifahan, bukan sekedar pekerjaan rutin dan
duniawi semata-mata. Apapun yang kita lakukan dari hal yang sehari-hari
(yaumiyah) sampai ke urusan-urusan besar seperti berniaga, berpolitik, dan
seterusnya (mu’amalat-dunyawiyyat) harus bermakna dan berfungsi ibadah serta
dalam rangka menjalankan kekhalifahan untuk memakmurkan dunia. Karena itu
setiap langkah kita jika dilandasi ibadah dan fungsi kekhalifahan tidak akan sia-
sia, selalu manfaat dan bermakna. Hidup hanya disini dan saat ini, tidak ada hidup
di akhirat setelah kematian. Hidup hanya mencari kesenangan dan bermegah-
megahan dengan perhiasan dunia belaka, tanpa arah dan tujuan yang pasti. Hidup
hanya silau dengan keindahan dan kejayaan duniawi semata. Mereka bahkan
menganggap kehidupannya yang makmur secara duniawi, banyak dikarunia anak,
harta, dan kekuasaan merasa diridhoi Tuhan, sehingga tanpa beriman pun
hidupnya sejahtera di dunia. Anak-anak, harta, kekuasaan, dan apapun yang ada di
dunia ini, jika tak pandai-pandai dimaknai dan disyukuri, akan menjadi fitnah dan
melalaikan manusia dari fondasi,fungsi, dan tujuan hidup yang hakiki
sebagaimana dilakukan mereka yang ingkar.

3. Implikasi Kerja Dalam Kehidupan


Al- qur’an menyerukan pada semua manusia yang memiliki kemampuan fisik
untuk bekerja dalam usaha mencari sarana hidup untuk dirinya sendiri. Tak
seorang pun dalam situasi normal, dibolehkan untuk meminta-minta atau menjadi
beban bagi kerabat dan Negara sekalipun. Al-Qur’an sangat menghargai mereka
yang berjuang untuk mencapai dan memperoleh karunia Allah. Apa yang disebut
karunia Allah ini adalah meliputi segala macam sarana kehidupan. Rasulullah
Saw., menyatakan bahwasanya orang yang mencari nafkah hidupnya untuk
dirinya sendiri dan untuk saudaranya yang tidak yang beribadah sepanjang waktu,
lebih baik dari saudaranya yang tidak bekerja.

4. Wawasan Islam Tentang Kerja


a. Etos Kerja Dalam Perspektif Islam
Etos kerja termasuk salah satu diantara global narrative, pembicaraa global.
Salah satu diantara ciri sumber daya manusia (SDM) yang diharapkan oleh
negara-negara maju dan berkembang adalah warga yang memiliki etos kerja
tinggi. Dalam manajemen industri, ada empat parameter yang biasanya
digunakan untuk melihat seseorang atau kelompok memiliki etos kerja atau
tidak. Pertama, bagaimana pandangan seseorang tentang kerja. Orang yang
memiliki etos kerja tinggi dan baik pasti mempunyai pandangan bahwa kerja
sebagai hal yang mulia. Karena sebagai hal yang mulia, dia menghargai kerja.
Kedua, ada atau tidak adanya semangat untuk melakukan pekerjaan, semangat
bekerjaatau menyelesaikan pekerjaan. Orang-orang yang mempunyai etos
kerja baik, apabila ditugasi untuk melakukan pekerjaan akan tumbuh
semangatnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu dengan baik. Ketiga, adalah
adanya upaya untuk menyempurnakan suatu kerja agar menjadi lebih
produktif. Dia tidak hanya melakukan sesuatu pekerjaan berdasarkan
semangat atau perintah saja, tetapi berusaha menjadikan cara kerja, model
kerja, atau sistem kerja menjadi lebih baik dan bernilai produktif. Keempat,
adanya kebanggaan dapat melakukan pekerjaan yang menjadi tugasnya. Dia
merasa bangga dan puas kalau dapat melakukan pekerjaan itu dengan baik.
Bagaimana islam memandang kerja? Dalam kajian tasawud, posisi manusia
terhadap kerja dapat dibagi kedalam dua kategori atau dua tipe. Pertama,
adalah orang yang berada di maqom tajrid, artinya orang-orang yang posisinya
sudah tidak lagi membutuhkan kerja. Beberapa faktor yang menyebabkan
seseorang tidak membutuhkan kerja misalnya karena usia yang sudah lanjut.
Kedua, yaitu orang yang berada pada maqom ikhtiyar, masih memerlukan
usaha. Mengapa? Sebab dia masih membutuhkan rumah, kendaraan, baju
baru, menyekolahkan anak, dan berbagai kebutuhan lain. Oleh sebab itu, jika
ada orang yang masih menginginkan makan enak, tetapi tidak mau bekerja
pada dasarnya dia menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Mestinya dia
berada pada maqom ikhtiyar tetapi menjadikan diri di maqom tajrid. Islam
sebagai agama yang mempunya konsep mengenai sesuatu kehidupan bahagia
(way of life) memberi petunjuk bahwa bekerja adalah sesuatu yang harus
dilakukan. Nabi menjelaskan yang menyangkut etos kerja ada yang dalam
bentuk fi’liyah atau ‘amaliyah (tindakan/perbuatan). Dalam bentuk ungkapan
lisan misalnya Nabi pernah bersabda dalam sebuah hadist yang diriwayatkan
oleh Abu Syaikh dalam kitab Ats-Tsawab atau Abu Nuaim dalam kitab
Hilyatul Auliya’, atau Imam Baihaqi dalam Syu’bul Imam. Nabi menyatakan
ada empat prinsip kerja yang menyebabkan seseorang akan menemui Allah
dalam keadaan gembira. Pertama, Man thalaba d-dunya halalan, “Orang yang
mencari kekayaan dunia (kerja) dengan secara halal”. Artinya, pekerjaannya
halal dan caranya juga halal. Sebab ada pekerjaan halal tetapi caranya tidak
halal. Kedua, kata Nabi adalah wata’affufan ‘ain lmas’alah, “bekerja demi
menjaga diri jangan sampai meminta-minta”, agar tidak mengemis, menjadi
tanggungan orang lain atau menjadi beban orang lain. Ketiga, Wasa’yan ‘ala
‘iyalihi, “bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya”. Dan keempat,
Wa ta’aththufan ala jarihi, “karena rasa kasih sayang terhadap tetangganya”.
Mungkin tetangganya membutuhkan bantuan karena itu dia kerja lembur agar
bisa membantu tetangganya. Orang yang bekerja atas dasar empat prinsip
diatas : kerjanya halal, menjaga diri jangan sampai hidup dari meminta-minta,
bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga, dan demi membantu tetangga.
b. Tujuan Kerja Dalam Wawasan
Kerja apapun asal halal nilainya jauh lebih berharga daripada tidak kerja,
menganggur. Menurut Islam, ada tiga tujuan dasar kerja. Pertama, mencukupi
kebutuhan hidup diri dan keluarga. Kebutuhan diri dan keluarga yang sudah
tercukupi dengan baik dengan begitu akan mengurangi dorongan untuk
meminta-minta atau dorongan untuk melakukan hal-hal yang dapat
menjerumuskan diri pada tindakan tidak terpuji. Kedua, untuk memberikan
kemaslahatan atau kesejahteraan bagi masyarakat luas, termasuk kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kalau pada tujuan pertama mungkin seseorang
mudah mengatasi, hasil kerja itu tidak sebatas untuk kebutuhan diri dan
keluarga, tetapi harus ada yang digunakan untuk mengembangkan
kemaslahatan umum. Ketiga, untuk meningkatkan mutu pengabdian dan
ketaatan kepada Allah. Atau dalam bahasa yang sederhana, untuk
meningkatkan kualitas ibadah. Misalnya bekerja agar bisa menunaikan ibadah
haji, shadaqoh, menjadi donatur pembangunan masjid, madrasah, dan lain-
lain.
c. Kerja Dan Martabat Hidup
Kadang orang tidak mau melakukan pekerjaan karena gengsi, misalnya
sarjana gengsi berjualan bakso. Pekerjaan ini dianggap dana’ah, dianggap
rendah dan tidak sesuai dengan martabat dirinya. Akan tetapi, dalam
pandangan ‘Umar tersebut, sarjana yang menjual bakso jauh lebih mulia
ketimbang sarjana yang hanya meminta bantuan orang tua atau menyusahkan
teman-temannya. Persepsi demikian menunjukkan betapa besarnya pengaruh
kerja dalam pandangan Islam kaitannya dengan penilaian terhadap derajjjaaat
seseorang. Sahabat senior Nabi melihat bahwa kerja sebagai upaya untuk
mengangakat martabat hidup tidak mengurangi kedudukannya sebagai sahabat
yang mempunyai tempat khusus di hadapan Nabi. Dalam masyarakat modern
maupun tradisional masalah pekerjaan menjadi suatu yang diperhatikan.
Orang yang tidak memiliki pekerjaan akan dipandang remeh. Sebaliknya,
orang yang sudah memiliki pekerjaan bisa menjaga atribut kediriannya dan
mengangkat martabat hidupnya. Kerja, dengan demikian, menjadi parameter
keberhasilan seseorang dalam kehidupannya. Dari pembahasan di atas, ajaran
Islam baik secara qauliyah maupun fi’liyah mengapresiasi bahwa untuk
menjadi muslim yang baik standar umumnya adalah punya pekerjaan. Kalau
tidak bekerja karena suatu udzur, misalnya sakit atau fisik tidak
memungkinkan, menjadi pengecualian. Tetapi Islam menegaskan : Inna l-Laha
yuhibbu l-‘abda lmuhtarif. “Tuhan menyukai hambanya yang memiliki
pekerjaan”. Ini merupakan tema penting yang patut dipikirkan dalam
mempersiapkan generasi muda di masa mendatang. Ada satu pandangan, the
world view, yang harus ditanamkan kepada generasi muda bahwa “kerja
sebagai suatu kegiatan yang mulia”.

d. Nilai-nilai Ibadah Dalam Islam


Membicarakan nilai-nilai ibadah dalam kerja memerlukan ukuranukuran
tertentu apakah kerja itu bisa menilai ibadah atau tidak. Islam menghendaki
agar ibadah bisa built-in dengan kerja, dan sebaliknya kerja yang bernilai
ibadah. Ada dua syarat yang dapat dijadikan ukuran bekerja dengan benar
dalam Islam: Pertama, benar dariaspek niatnya (shabibun fi n-niyat). Niatlah
yang menetukan amal atau kerja seseorang. Kedua, benar dari apek
pelaksanaan (shabibun fi t-tabsbil), bagaimana menghasilkan pekerjaan. Kerja
yang mempunyai nilai ibadah harus dimulai dari niat yang benar dan
pelaksanaannya (bentuk kerjanya) juga benar. Bentuk dan cara kerja yang
dibenarkan syara’ dapat dilihat dari dua aspek, yaitu pekerjaan yang tidak
menyimpang dari aturan syara’ dan tidak melalaikan terhadap tugas-tugas
keagamaan (hubungan manusia dengan Tuhannya). Ada tujuh aktivitas /
pekerjaan yang pahalanya akan selalu mengalir pada orang yang
mengerjakannya meskipun dia sudah berada di kubur atau setelah dia
meninggal dunia. Man ‘allama ‘ilma : Orang yang mengajarkan ilmu Man
karo nahro : Orang yang mengalirkan sungai baik untuk irigasi pertanian atau
kepentingan masyarakat sekitarnya Man hafaro bi’ro : Orang yang menggali
sumur atau pengadaan air bersih Man ghorosa nakhlan : Orang yang menanam
kurma. Dalam konteks Indonesia bisa diartikan tanaman produktif yang
memberi manfaat kepada orang lain (untuk konsumsi buah-buahan, kelestarian
lingkungan, obat, makanan sehat, dan lain-lain) Au bana masjidan : Orang
yang membangun masjid atau sarana peribadatan dan sarana umum lainnya
Au warratsa mushafan : Orang yang mewariskan atau mewakafkan mushaf Al-
Qur’an. Dalam kitab Hilyatu l-Awliya’ karya Abu Nu’aim, pengertian mushaf
bukan sekedar fisik, tetapi juga orang yang mengajarkannya pada orang lain.
Au taroka walada yastaghfirulahu ba’da mautihi : Orang yang mendidik anak
secara baik sehingga saat orang tuanya meninggal dia mendoakannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik,
psikologis, maupun sosial. Selain itu, kerja adalah aktivitas yang mendapat dukungan
sosial dan individu itu sendiri. Manusia diwajibkan untuk berusaha, bukan menunggu
karena Allah tidak menurunkan harta benda, iptek dan kekuasaan dari langit
melainkan manusia harus mengusahakannya sendiri. Manusia harus menyadari betapa
pentingnya kemandirian ekonomi bagi setiap muslim. Kemandirian atau ketidak
ketergantungan kepada belas kasihan orang lain ini mengandung resiko, bahwa umat
Islam wajib bekerja keras. Dan syarat itu adalah memahami konsep dasar bahwa
bekerja merupakan ibadah. Dengan pemahaman ini, maka akan terbangun etos kerja
yang tinggi. Tujuan bekerja menurut Islam ada dua, yaitu memenuhi kebutuhan
sendiri dan keluarga, dan memenuhi ibadah dan kepentingan sosial. Islam menjunjung
tinggi nilai kerja, tetapi Islam juga memberi balasan dalam memilih jenis pekerjaan
yang halal dan haram.

B. Saran
Bekerja dengan sunguh-sunguh merupakan mencirikan seorang muslim yang taat
kepada Allah Swt. Allah tidak merubah nasib suatu kaum selain kaum itu merubah
nasibnya sendiri, kehidupan kita tidak terlepas dari kebutuhan-kebutuhan sandang dan
pangan. Untuk memperoleh itu semua kita harus bekerja untuk memperoleh kondisi
ekonomi yang baik, Islam sudah memberikan penjelasan bagaimana cara bekerja
secara sungguh-sungguh dan professional. Marilah kita bekerja dengan
sungguhsungguh untuk mendapatkan rahmat dan ridho Allah Swt dan memperoleh
rezeki yang halal.
DAFTAR PUSTAKA

Listafariska putra, Dinamika Kehidupan Religius, Jakarta, 2000 KH.


Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2002 Dr.
Haedar Nashir, Ibrah Kehidupan, Yogyakarta, 2012 Prof. Dr. Muhammad Mutawalli asy-
Sya’rawi, Jiwa dan Semangat Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1992 Drs. M. Thalib,
Pedoman Wiraswasta dan manajemen Islami, CV. Pustaka Mantiq, Solo, 1992 Eki-
blogger.blospot.co.idi2013/02/bekerja-dalam-panduan-islam.html?m=

Anda mungkin juga menyukai