Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MATA KULIAH

AKHLAK TASAWUF

IBADAH SEBAGAI SARANA PENYUCIAN JIWA

Dosen pengampu:
MUH. Gito Saroso, S.Ag., M.Ag

Oleh:

1. Tuti Awaliyah : 11905089


2. Anisa : 11905076

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PONTIANAK
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada Baginda tercinta
kita Nabi Muhammad SAW. Yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat kelak.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT. Atas limpahan nikmat sehat-
NYA, baik berupa sehat fisik maupun akal pikiran. Terima kasih kepada bapak MUH.
Gito Saroso selaku dosen pembimbing mata kuliah Akhlak Tasawuf yang telah
memberikan tugas pembuatan makalah yang berjudul “ibadah sebagai sarana penyucian
jiwa”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini kami meminta maaf sebesar-besarnya. Demikian,
semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Pontianak, 15 oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang…………………………………………………………...4
B. Rumusan masalah………………………………………………………..4
C. Tujuan……………………………………………………………………4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ibadah Sebagai Sarana Penyucian Jiwa……………………..5
B. Tujuan Ibadah Sebagai Sarana Penyucian Jiwa…………………………5
C. Upaya Dalam Ibadah Sebagai Sarana Penyucian Jiwa………………….7
D. Metode Dalam Ibadah Sebagai Sarana Penyucian Jiwa………………...9
E. Pentingnya Ibadah Sebagai Sarana Penyucian Jiwa…………………….9
F. Hasil dari Ibadah Sebagai Sarana Penyucian Jiwa…………………….10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………..12
B. Saran……………………………………………………………………12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….13
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah maupun
batiniyah. Hal ini sesuai dengan  tata peribadahan  umat islam contohnya ketika akan
sholat maka kita harus berwudhu  membersihkan badan kita agar suci  sebagai syarat
sahnya sholat. Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi islam yang
memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniyah manusia yang dapat
menghidupkan kegairahan akhlak mulia. Jadi sejak awal ilmu tasawuf ini tidak bisa
lepas dari tazkiyatunal-nafs (penyucian jiwa).
Dalam Konteks inilah penyucian dapat dilakukan dengan proses tazkiyah al-nafs
yang dalam konsepsi tasawuf didasarkan pada asumsi bahwa jiwa manusia ibarat
cermin, sedangkan ilmu (hakikat) ibarat gambar yang menjadi objek, banyaknya gambar
yang tertangkap dan terangnya tangkapan gambar tersebut tergantung pada kadar
kebersihan cermin.

B. Rumusan Masalah
Adapun pembahasan yang akan kami bahas, yaitu:
A. Pengertian dari Ibadah Sebagai Sarana Penyucian Jiwa
B. Tujuan Ibadah Sebagai Sarana Penyucian Jiwa
C. Upaya Dalam Ibadah Sebagai Sarana penyucian Jiwa
D. Metode Dalam Ibadah Sebagai Sarana penyucian Jiwa
E. Pentingnya Ibadah Sebagai Sarana penyucian Jiwa

C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah memahami taskiyatun nafs serta masalah-
masalah yang terkait dengan Tazkiatun Nafs dan dalilnya serta mengetahui cara-cara
menyucikan diri dari sifat-sifat jelek dan kotoran-kotoran dalam diri manusia. Selain itu
untuk menambah wawasan, pengetahuan tentang fenomena-fenomena nyata yang
terjadi di sekitar kita.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ibadah Sebagai Sarana Penyucian Jiwa


Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk.
Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi
makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan
para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk
yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah
Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.

Dalam bahasa Arab, penyucian jiwa disebut sebagai tazkiyatun nafs, yang terdiri dari
dua kata: at-tazkiyah dan an-nafs. At-tazkiyah bermakna at-tath-hiir, yaitu penyucian
atau pembersihan. Dan karena itulah zakat, yang satu akar dengan kata at-
tazkiyah disebut zakat karena ia kita tunaikan untuk membersihkan/menyucikan harta
dan jiwa kita. Adapun kata an-nafs (bentuk jamaknya: anfus dan nufus) berarti jiwa atau
nafsu. Dengan demikian tazkiyatun nafs berarti penyucian  jiwa atau nafsu kita.
Namun at-tazkiyah tidak hanya memiliki makna penyucian. At-tazkiyah juga memiliki
makna an-numuww, yaitu tumbuh. Maksudnya, tazkiyatun nafs  itu juga berarti
menumbuhkan jiwa kita agar bisa tumbuh sehat dengan memiliki sifat-sifat yang
baik/terpuji.
Dari tinjauan bahasa diatas, bisa kita simpulkan bahwa tazkiyatun nafs itu pada
dasarnya melakukan dua hal. Pertama, menyucikan jiwa kita dari sifat-sifat (akhlaq)
yang buruk/tercela (disebut pula takhalliy – memakai kha’), seperti kufur, nifaq, riya’,
hasad, ujub, sombong, pemarah, rakus, suka memperturutkan hawa nafsu, dan
sebagainya. Kedua, menghiasi jiwa yang telah kita sucikan tersebut dengan sifat-sifat
(akhlaq) yang baik/terpuji (disebut pula tahalliy – memakai ha’), seperti ikhlas, jujur,
zuhud, tawakkal, cinta dan kasih sayang, syukur, sabar, ridha, dan sebagainya.

B. Tujuan Ibadah Sebagai Sarana Penyucian Jiwa


Berdasarkan makna diatas bahwa tazkiyatun nafs mempunyai tujuan untuk
membawa kualitas jiwa seseorang menjadi hamba Allah yang selalu taat beribadah
kepada Allah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rosulnya. Dengan nilai takwa maka
seseorang telah melakukan pembersihan jiwa, karena kebersihan jiwa tidak dapat
terlaksana tanpa ada rasa taqwa kepada Allah SWT. Hal ini telah Allah SWT sampaikan
melalui firmannya yang berbunyi :
‫خَاب َمن َدسَّاهَا‬
َ ‫ َوقَ ْد‬. ‫ قَ ْد أَ ْفلَ َح َمن زَ َّكاهَا‬. ‫ فَأ َ ْلهَ َمهَا فُجُو َرهَا َوتَ ْق َواهَا‬. ‫س َو َما َسوَّاهَا‬
ٍ ‫َونَ ْف‬
“ Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (perilaku) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang
menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya”  (QS. Asy-Syams/91 :
7-10)
Ayat ini menerangkan bahwa untuk membersihkan jiwa seseorang harus bertaqwa
kepada Allah SWT. Dalam ayat lain Allah berfirman :
‫ الَّ ِذي ي ُْؤتِي َمالَهُ يَتَ َز َّكى‬. ‫َو َسيُ َجنَّبُهَا ْاألَ ْتقَى‬
Dan orang yang paling bertakwa akan dijauhkan dari api neraka, yaitu orang yang
menginfakkan hartanya serta menyucikan dirinya. (QS. Al-Lail 92: 17-18).
Imam AL-Ghazali dalam ihya ulumudin mengatakan ada beberapa tujuan tazkiyatun
nafs sebagai berikut :
a. pembentukan manusia yang bersih akidahnya, suci jiwanya, luas ilmunya, dan
seluruh aktivitas hidupnya bernilai ibadah.
b. membentuk manusia yang berjiwa suci dan berakhlak mulia dalam pergaulan
dengan sesamanya, yang sadar akan hak dan kewajiban, tugas serta tanggung
jawabnya.
c. membentuk manusia yang berjiwa sehat dengan terbebasnya jiwa dari perilaku
tercela yang membahayakan jiwa itu sendiri.
d. membentuk manusia yang berjiwa suci dan berakhlak mulia, baik terhadap Allah,
diri sendiri maupun manusia sekitarnya.

C. Upaya Dalam Ibadah Sebagai Sarana Penyucian Jiwa


1.   Berikut ini upaya-upaya yang harus dilakukan dalam rangka tazkiyatun nafs
menurut ibnu tamiyyah yaitu :
a.  Iman dan Tauhid Kepada Allah SWT
Untuk memenuhi pilar pertama, seseorang harus melakukan pengesaan kepada
Allah (tauhid al-ibadah),  pengesaan dalam kepatuhan (tauhid al-inkiyad), pengesaan
total kepada syari’at-Nya dan memiliki rasa hina (tazalul) serta cinta kepada
Allah  (mahabbah).  Selanjutnya secara argumentative ibnu tamiyyah menjelaskan :
“ Hati seseorang tidak akan lepas dari ketergantungan dengan makhluk manakala dia
dapat menjadikan Allah sebagai pemimpinnya dan dia tidak menyembah kecuali hanya
kepada-Nya, tidak meminta kecuali kepada-Nya, tidak berserah diri kecuali kepada-
Nya, tidak bergembira kecuali kepada yang diridhoi-Nya,  tidak benci kecuali kepada
yang dimurkai dan di benci-Nya, tidak mengasihi kecuali yang dikasihi-Nya, tidak
memusuhi kecuali yang dimusuhi-Nya, tidak mencintai kecuali karena-Nya, tidak
membenci karena-Nya, tidak memberi kecuali karena-Nya, tidak menolak kecuali
karena-Nya. Manakala keikhlasan kepada agama Allah telah kuat, maka akan menjadi
sempurnalah ibadahnya kepada Allah dan ketidakterikatnya dengan makhluk serta
kesempurnaan ibadah dengan Allah maka dia akan terbebas dari sifat sombong dan
syirik yang mengotori keimanan dan ketauhidannya.”[4]
Tauhid dan iman kepada Allah merupakan tazkiyatun nafs yang utama sebagaimana
syirik merupakan pengotoran batin yang utama pula. Tazkiyatun nafs juga di lakukan
dengan malaksanakan amal-amal kebaikan sebagai perwujudan dari iman dan tauhid
kepada Allah.
b. Mengikuti Rasulullah
Tazkiyatun nafs dengan mengikuti rasulullah adalah mengikuti ucapan,
perbuatan, dan akhlanya karena semua kehidupan nabi rasulullah merupakan perbuatan
yang baik bagi tazkiyatun nafs. Kehadiran rosulullah dibumi merupakan anugerah bagi
manusia sebab tanpa kehadiran rosulullah manusia akan rusak dan tetap jahiliyah, selain
itu rasulullah juga membawa umat manusia kepada kesucian baik iman maupun akhlaq.
Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi :
َ‫ب َو ْٱل ِح ْك َمة‬ ۟ ُ‫ث فِي ِه ْم َر ُسواًۭل ِّم ْن أَنفُ ِس ِه ْم يَ ْتل‬
َ َ‫وا َعلَ ْي ِه ْم َءا ٰيَتِ ِهۦ َويُزَ ِّكي ِه ْم َويُ َعلِّ ُمهُ ُم ْٱل ِك ٰت‬ َ ‫لَقَ ْد َم َّن ٱهَّلل ُ َعلَى ْٱل ُم ْؤ ِمنِينَ إِ ْذ بَ َع‬
ٰ
‫ضلَ ۢ ٍل ُّمبِي ٍن‬ َ ‫وا ِمن قَ ْب ُل لَفِى‬ ۟ ُ‫َوإن َكان‬
ِ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
(QS Ali Imron Ayat 164)
            Dengan merujuk ayat-ayat di atas, ibnu taimiyyah memastikan bahwa mengikuti
rasulullah merupakan salah satu upaya untuk tazkiyatun nafs dengan cara mengikuti
ucapan, perbuatan, dan akhlaqnya sesuai dengan salah satu misi rasul yaitu mensucikan
umat manusia.
c.  Melaksanakan Kewajiban-kewajiban Agama
Seperti diketahui bahwa kewajiaban-kewajiban agama islam termasuk hal-hal
yang disunnahkan pada ujung-ujungnya adalah untuk tazkiyatun nafs manusia. Bahkan
semua perintah agama, wajib maupun sunnah, demikian pula larangan agama sangat
berpengaruh terhadap penyucian jiwa. Contoh kewajiban agama yang dapat mensucikan
jiwa adalah sholat, puasa, zakat, haji.
2.    Upaya-upaya tazkiyatun nafs menurut imam al-ghazali sebagai berikut :
a.  Mensucikan hati secara total dari selain Allah (tathir al-qalb bil kulliyah amma
siwalah)
b. Secara total zikir kepada Allah (al-istigraq bi dzirillah)
Fungsi dzikir adalah sebagai alat pencuci jiwa (tazkiyatun nafs). Al-ghazali mengatakan
sebagaimana yang dikutib oleh Musthafa Zuhri, menyebutkan tazkiyatun nafs
menghindari segala sifat-sifat yang tercela, guna menuju makrifat Allah SWT. Yang
dimaskud sifat-sifat tercela meliputi hasad, su’udzan, riya’, ghibah dll, sifat tercela
semacam itulah yang mendominasi batin dan perilaku manusia yang hendak dihilangkan
dengan dzikir kepada Allah. Sebab dzikrullah menempati sentra amaliah jiwa hamba
Allah yang beriman. Dzikir yang mengandung syifa’ itu mampu menenangkan perasaan
dan menenangkan qalbu. Sebagai hasil dari dzikir hati pun menjadi suci atau bersih
sehingga ia akan cenderung pada Allah Semata. Allah SWT berfirman :
َ َ‫قَ ْد أَ ْفلَ َح َمن تَ َز َّك ٰى َو َذ َك َر ٱ ْس َم َربِِّۦه ف‬
‫صلَّ ٰى‬
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),
dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. (QS Al-A’laa ayat 14-15)
Ayat ini mengingatkan bahwa kesucian hati itu menjadi bagian dari hidup orang
yang beriman, akan tetapi belum cukup hanya dengan mengetahui dan merasakan saja.
Hendaknya diikuti oleh pembersihan dengan terapi dzikrullah.
c.      Lebur (fana) kedalam zat Allah
Fana’ secara bahasa, berasal dari kata fayana, yang artinya musnah atau lenyap. Ibnu
Arabi memeberikan 2 pengertian tentang fana’ yaitu :
 Fana’ dalam pengertian mistik yaitu hilangnya ketidaktahuan dan tinggallah
pengetahuan sejati yang diperoleh melalui intuisi tentang
kesatuan esensial[5] keseluruhan itu.
 Fana’ dalam pengertian metafisika yaitu hilangnya bentuk-bentuk dunia fenomena
dan berlangsungnya substansi universal yang satu.
Abu Bakr Al-kalabadzi (w. 378/988 M) mendefinisikan fana’ dengan hilangnya semua
keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia,
sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar,
dan ia telah menghilangkan kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Fana’ mempunyai beberapa pengertian :
1.     Fana’ ash-shifat, yaitu Lenyapnya sifat tercela, berganti dengan baqa’ (tetapnya sifat
baik atau terpuji)
2.      Fana’ al-iradah yaitu Fana’nya manusia dari kehendakNya berganti dengan tetapnya
Tuhan pada dirinya.
3.      Fana’ an-nafs yaitu hilang kesadaran manusia terhadap dirinya berganti dengan
tetapnya kesadaran tentang Allah pada diri sufi.
Diantara tahapan paling dominan dalam fana’ adalah pemusnahan jiwa pendukung
kejahatan (An-Nafs Al-Ammarah), pemusnahan jiwa yang tercela (An Nafs Al-
Lawwamah), kemudian kedudukannya menjadi jiwa yang damai (An-nafs Al-
Muthma’innah).
Adapun upaya lain, yaitu:
1.      Tathahhur (upaya penyucian diri), Yaitu upaya membersihkan jiwa mulai dari
meninggalkan segala keburukan yang telah dilakukan di masa lalu. Upaya ini dimulai
dengan taubatan nashuha, yaitu taubat dan berjanji tidak akan mengulangi lagi segala
kesalahan yang telah dilakukan seperti mengotori jiwa, dan hati. Misalnya, berdusta,
khianat, mengingkari janji, hasud, riya’, dan lain sebagainya. Dengan cara
mengosongkan diri dari segala perilaku buruk tersebut, jiwa akan terasa kosong dari
penyakit-penyakit hati tersebut.

2.      Takhallaq (upaya menghiasi diri dengan akhlak al karimah), Setelah seseorang


berusaha mensucikan diri dari perbuatan kotor pada jiwanya, maka dia harus berupaya
mengisi kekosongan jiwanya itu dengan berbagai kebaikan dan akhlak yang mulia di
mata Allah. Semua sifat buruk yang telah di buang diganti dengan sifat baik seperti,
jujur, amanah, tawakal, sabar, tawadhu’, dan masih banyak sifat lain yang bermanfaat
bagi diri sendiri maupun orang lain, bahkan untuk kehidupan di dunia maupun di
akhirat.
3.      Tahaqquq (upaya merealisasikan kedudukan-kedudukan mulia atau biasa
disebut Maqomatul Qulub), Upaya ini merupakan puncak dari proses tazkiyatun nafs.
Karena cara terakhir ini merupakan jalan untuk mendekatkan diri pada Allah sedekat
mungkin, sehingga ia akan memperoleh tempat yang mulia disisi Allah. Cara ini tidak
mudah, karena harus melewati berbagai maqamat atau tingkatan dalam mendekatkan
diri pada Allah.[2]

Tingkatan itu di tentukan melalui seberapa besar usahanya untuk selalu dekat dengan
Allah dengan keistiqomahannya. Untuk istiqomah bukanlah hal yang mudah, karena itu
perlu kesabaran dan ketabahan yang luar biasa, dan hanya orang yang benar-benar kuat
imannya dan telah dipilih oleh Allah yang bisa melewati segala godaan yang
menghadangnya.

D. Metode Dalam Ibadah Sebagai Sarana Penyucian Jiwa


Metode-metode penyucian an-nafs yang harus dilakukan untuk mencapai
tingkatan kesucian hati sebagai berikut :
1. Metode Muhasabah (instropeksi). Kita melakukan perhitungan baik dan
buruk terhadap perbuatan yang sudah dilakukan
2. Metode Mu’aqabah (sanksi terhadap pelanggaran). Bila kita melakukan
keburukan kemudian kita mengecam diri kita, mempersoalkannya dan kemudian
menghukumnya
3. Metode Muhasanah (memperbaiki situasi masa kini) kita berjanji untuk
membiasakan perbuatan baik atau menghindari keburukan.
4. Metode Mujahadah (optimlisasi) kita berjuang keras untuk
mengoptalisasikan segala yang baik
5. Metode Istiqomah (disiplin) kita menjaga kesenambungan untuk terus
menerus dalam kebaikan.
6. Metode Muraqoba (merasakan pengawasan Allah)
7. Metode Mukasyafah  atau musyahadah (terbukanya tabir diri dengan
Allah.

E. Pentingnya Ibadah Sebagai Sarana Penyucian JIwa


Mengapa tazkiyatun nafs itu penting?
 Setidak-tidaknya ada tiga alasan mengapa tazkiyatun nafs itu penting. 
Alasan pertama, karena tazkiyatun nafs merupakan salah satu diantara tugas
Rasulullah saw diutus kepada umatnya. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Jumu’ah: 2:

“Dia-lah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan
mengajarkan mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Senada dengan itu, Allah SWT juga
berfirman dalam QS Al-Baqarah: 151: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan
nikmat Kami kepadamu), Kami telah mengutus kepadamu rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan
kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum
kamu ketahui.”

Dari kedua ayat diatas, kita bisa mengetahui bahwa tugas Rasulullah saw ada
tiga. Pertama, tilawatul aayaat: membacakan ayat-ayat Allah (Al-
Qur’an). Kedua, tazkiyatun nafs: menyucikan jiwa. Dan ketiga, ta’limul kitaab wal
hikmah: mengajarkan kitabullah dan hikmah.
Jelaslah bahwa salah satu diantara tiga tugas Rasulullah saw adalah tazkiyatun
nafs “menyucikan jiwa”. Tazkiyatun nafs itu sendiri identik dengan penyempurnaan
akhlaq, yang dalam hal ini Rasulullah saw bersabda tentang misi beliau diutus:
“Sesungguhnya aku ini diutus hanya untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.”
  Alasan kedua pentingnya tazkiyatun nafs adalah, karena tazkiyatun
nafs merupakan sebab keberuntungan (al-falah). Dan ini ditegaskan oleh Allah SWT
setelah bersumpah 11 kali secara berturut-turut, yang tidaklah Allah bersumpah
sebanyak ini secara berturut-turut kecuali hanya di satu tempat, yaitu dalam QS Asy-
Syams: 1-10:
 
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan
siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta
pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (potensi) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
 
Kemudian alasan ketiga pentingnya tazkiyatun nafs adalah, karena
perumpamaan tazkiyatun nafs adalah seperti membersihkan dan mengisi gelas. Jika
gelas kita kotor, meskipun diisi dengan air yang bening, airnya akan berubah menjadi
kotor. Dan meskipun diisi dengan minuman yang lezat, tidak akan ada yang mau minum
karena kotor. Tetapi jika gelasnya bersih, diisi dengan air yang bening akan tetap
bening. Bahkan bisa diisi dengan minuman apa saja yang baik-baik: teh, sirup, jus, dan
sebagainya.
Demikian pula dengan jiwa kita. Jika jiwa kita bersih, siap menampung kebaikan-
kebaikan. Tetapi jika jiwa kita kotor, tidak siap menampung kebaikan-kebaikan
sebagaimana gelas kotor yang tidak siap disi dengan minuman yang baik dan lezat.

F. Hasil dari penerapan tazkiyatun nafs

1.      Dhabtul-Lisan (lisan yang terkontrol)

Rasululloh menjadikan lurusnya lisan sebagai syarat bagi lurusnya hati, dan menjadikan
lurusnya hati sebagai syarat lurusnya iman. Membiasakan lisan untuk selalu dzikrulloh
daripada menyuarakan hal-hal yang tidak bermanfaat akan berakibat kerasnya hati. Jika
seseorang beriman kepada Allah dan hari akhir maka orang tersebut akan selalu berkata
yang baik dan bermanfaat, dan jika dia tidak bisa berkata baik dan bermanfaat maka dia
akan diam. Dengan begitu maka ia akan dapat mengontrol lisannya untuk selalu berkata
yang baik dan bermanfaat.
2.      Iltizam bi adabil ‘ilaqat (komitmen dengan adab-adab pergaulan)

Ada 4 macam klasifikasi manusia dalam pergaulan:

a.       Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat mengkonsumsi makanan


bergizi.  Ia dibutuhkan siang dan malam, jika orang lain membutuhkan maka mereka
akan mendatanginya. Dan jika urusannya selesai, maka mereka akan pergi, dan akan
kembali lagi jika mereka membutuhkannya lagi. Segolongan orang tersebut adalah para
ulama’, ahli ma’rifatullah, memahami perintah Allah, mengerti tipu daya musuh-musuh
Allah, dan memiliki ilmu tentang segala penyakit hati serta obatnya. Mereka adalah
orang-orang yang dekat dengan Allah, yang setia pada Allah, kitabNya, rasulNya, dan
seluruh makhluknya. Bergaul dengan mereka merupakan suatu keberuntungan yang
nyata.

b.        Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat mengkonsumsi obat. Ia di
butuhkan saat sakit, selama sehat tidak diperlukan bergaul dengan mereka. Mereka
adalah para profesional dalam urusan muamalat, bisnis, dan yang semisalnya. Bergaul
dengan mereka dapat melancarkan urusan ma’siyah kita.

c.          Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat mengkonsumsi


penyakit.Yaitu orang-orang yang bisa berdampak buruk bagi kehidupan seseorang.
Orang-orang seperti itu tidak akan membawa manfaat dunia maupun akhirat.

d.        Segolongan orang yang bergaul dengan mereka adalah kebinasaan total. Jika
ada seseorang yang tak sengaja mendatanginya pun sudah merupakan suatu kerugian.
Mereka ibarat racun. Golongan ini banyak sekali, mereka adalah ahli bid’ah dan
kesesatan, penghalang sunnah rasulullah penyeru pada perselisihan.
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk.
Dalam bahasa Arab, penyucian jiwa disebut sebagai tazkiyatun nafs, yang terdiri dari
dua kata: at-tazkiyah dan an-nafs. At-tazkiyah bermakna at-tath-hiir, yaitu penyucian
atau pembersihan. Tazkiyatun nafs mempunyai tujuan untuk membawa kualitas jiwa
seseorang menjadi hamba Allah yang selalu taat beribadah kepada Allah sesuai dengan
tuntunan Allah dan Rosulnya.
B. Saran
Mari kita menyucikan jiwa dan hati kita dari segala macam kejelekan dan sifat
tercela agar hati kita selalu menjadi hati yang tenang dan tentram serta senantiasa taqwa
dan dekat pada Allah karena Allah senang pada orang-orang yang taqwa dan senantiasa
menyucikan hatinya.
DAFTAR PUSTAKA

http://meriindryani.blogspot.com/2016/05/makalah-tazkiyatun-nafs.html

http://sunfilardi16.blogspot.com/2017/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

https://almanhaj.or.id/2267-pengertian-ibadah-dalam-islam.html

http://www.ikadi.or.id/article/sucikan-jiwa-dengan-ibadah

Anda mungkin juga menyukai