Anda di halaman 1dari 33

SHIFATUL INSAN

“Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas EAS Pendidikan agama islam”

Pembimbing :
DINI ULUWIYAH, S.AG.,M.PD
Disusun Oleh :
Cici Azzahra Putri (10120858)
Dwi Cahya (10120859)
Golan Ramadhan (10120869)
M. Dandi fadil S. (1010864)
Shayshay Salma Salsabilla (10120855)
Tharisya Inda Vardellina (10120870)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI STIE STEMBI


BANDUNG PROGRAM MANAJEMEN S1
2022
Jl. Buah Batu No.26,RT,03 / RW 07, Burangrang ,Kota Bandung, Jawa Barat 40262
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur selalu dipanjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah
melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya yang tak pernah dapat terhitung. Berkat kuasa dan
ijin-Nya pula makalah ini dapat dikerjakan dan diselesaikan sebagaimana mestinya. Tak lupa
shalawat serta salam tetap tercurah limpahkan kepada junjungan alam dan suri tauladan umat
muslim yakni Nabi Muhammad SAW. Yang telah mengajarkan kita semua bagaimana cara
menjalani kehidupan yang baik dan cara beribadah yang baik.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas EAS Pendidikan agama islam, dan untuk
menambah ilmu wawasan untuk kami yang mengerjakan dan untuk pembaca. Dan atas
amanah yang telah diberikan kepada kami tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:

DINI ULUWIYAH, S.AG.,M.PD.

Dan kepeda semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini, kami ucapkan terima
kasih banyak atas bantuan dan dukungannya, semoga Allah Swt. Membalas kebaikan dengan
balasan yang berlipat ganda dan tidak terhingga.

Bandung,Mei 29

Kelompok 5
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Manusia adalah makhluk hidup yang terbentuk dari banyak sifat yang
membentuknya, secara umum sifat manusia terbagi dalam 2 kelompok besar yaitu
sifat kebaikan dan sifat keburukan. Kedua sifat ini selalu menyertai manusia dalam
kehidupan manusia yang akan membawa manusia kedalam kebenaran ataupun
kesesatan, kebahagiaan atau kesedihan.
Sifat manusia sangat ditentukan oleh intensitas dan efektivitas usahanya dalam
melakukan tadzkiyatun nafs. Mengapa? Karena tidak dapat dipungkiri bahwa
manusia diciptakan dengan membawa dua potensi yang berseberangan. Allah
telah mengilhamkan ke dalam jiwanya yaitu fujur /dosa dan ketakwaan. Dalam dua
jalan tersebut tentunya tidak terlepas dari jalan kebaikan dan keburukan yang pastinya
akan berakhir pada kesuksesan atau kerugian, semoga dari sifat sifat yang timbul
selalu berorientasi kepada penyucian jiwa Oleh karena itu manusia ditutut untuk bisa
mensucikan jiwanya karena dengan kesucian jiwanya manusia akan mencapai kepada
kesuksesan dunia dan akhirat.
Tujuan intruksi umum
1. Memahami dua jalan yang diberikan Allah kepada manusia melalui jiwanya.
2. Memahami bahwa untuk meningkatkan kualitas taqwa ia harus beribadah
dengan senantiasa mensucikan jiwa.
3. Termotivasi untuk meninggalkan sifat buruk yang membawa kepada maksiat.
Tujuan intruksi khusus
1. Dengan mempelajari sifat-sifat manusia dapat memahami dan membedakan
jalan kebaikan dan keburukan
2. Manusia dapat mengetahui sifat sifat manusia yang menjadi jalan kesuksesan dan
kegagalan.sehingga bisa menentukan langkah hidupnya
BAB II
PEMBAHASAN
Di dalam pembahasan madah Nafsul Insan, kita sudah mengetahui bahwa Allah Ta’ala
telah mengilhamkan kepada jiwa manusia jalan-jalan kefasikan (al-fujur) dan jalan ketakwaan
(at-taqwa).
َ ‫س َّواهَا فََأ ْل َه َم َها فُ ُج‬
‫ورهَا َوتَ ْق َواهَا‬ ٍ ‫َونَ ْف‬
َ ‫س َو َما‬
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya
(jalan) kejahatan dan ketakwaannya…” (QS. As-Syams, 91: 7 – 8)
Buya Hamka menjelaskan makna ayat di atas sebagai berikut.
“Diberilah setiap diri itu ilham oleh Tuhan, mana jalan yang buruk, yang berbahaya, yang
akan membawa celaka supaya janganlah ditempuh, dan bersamaan dengan itu diberinya pula
petunjuk mana jalan yang baik, yang akan membawa selamat dan bahagia dunia dan akhirat.
Artinya, bahwa setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan kesanggupan menerima
Ilham dan petunjuk. Semua orang diberitahu mana yang membawa celaka dan mana yang
akan selamat. Itulah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya Ayat selanjutnya menegaskan,
‫ساهَا‬ َ ‫قَ ْد َأ ْفلَ َح َمنْ زَ َّكاهَا َوقَ ْد َخ‬
َّ ‫اب َمنْ َد‬
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang
mengotorinya.”  (QS. As-Syams, 91: 9-10)
Dari ayat-ayat Allah Ta’ala di atas kita mengetahui bahwa manusia terbagi menjadi dua
kelompok. Pertama, mereka yang senantiasa melakukan tazkiyah (penyucian jiwa). Kedua,
mereka yang senantiasa melakukan tadsiyah (pengotoran jiwa).

2.1 Jiwa Manusia Diberi Dua Jalan


Sebagaimana allah berfirman Qs Al- Balad :10

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan[1578], Dan allah memperjelas lagi di
Qs As-Syams :8 bahwa jalan yang akan ditempuh yaitu jalan kebaikan dan keburukan.
Sebagaimana allah berfirman Qs As-Syams :8

Artinya : maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya
Ibn Abbas menafsirkan kata “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha,” bahwa Allah
mengajarkan manusia (‘arrafaha) tentang jalan fasik, dan jalan takwa. Tidak jauh
berbeda, Mujahid juga menafsirkan kata alhamaha sebagai ‘arrafaha; bahwa Allah
memperkenalkan jalan taat dan jalan maksiat bagi manusia. Penafsiran serupa juga
dinyatakan oleh al- Farra’, namun ada juga ulama yang melakukan penafsiran berbeda.
Diriwayatkan dari Muhammad ibn Ka‘ab, ia berkata: “Apabila Allah menghendaki
kebaikan bagi seorang hamba, maka diilhamkan kebaikan baginya sehingga ia berbuat
baik. Sebaliknya, jika Allah menghendaki keburukan terhadap seseorang, maka
diilhamkan lah keburukan dalam jiwanya sehingga ia berbuat jahat.” Pendapat yang
serupa juga diriwayatkan oleh al-Dhahhak, menurutnya bersumber dari Ibn Abbas
2.1.2 Jalan benar (takwa): Membersihkan jiwa

a. Definisis takwa (membersihkan jiwa )


Menurut Ibnu Qayyim berkata, “Hakikat takwa adalah menaati Allah atas
dasar iman dan ihtisab, baik terhadap perkara yang diperintahkan atau pun perkara
yang dilarang. Oleh karena itu, seseorang melakukan perintah itu karena imannya,
yang diperintahkan-Nya disertai dengan pembenaran terhadap janji-jani-Nya. Dengan
imannya itu pula, ia meninggalkan yang dilarang Allah dan takut terhadap ancaman-
Nya Takwa dalam Alquran memiliki tiga makna yaitu:
1) Takut kepada Allah dan pengakuan superioritas Allah. Hal ini seperti kalam-Nya
yang artinya, “Dan hanya kepada-Ku lah kamu harus bertakwa. (Al-Baqarah:
41).
2) Bermakna taat dan beribadah, sebagaimana kalamnya yang berarti, “Hai orang-
orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah denan sebenar-benar
takwa.” (Ali-Imran: 102).
3) Dengan makna pembersihan hati dari noda dan dosa. Maka inilah hakikat dari
makna takwa, seain pertama dan kedua. Sebagaimana firman allah dalam Qs.
Asy-syam 9.

Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,


(Qs. Asy-syam9.)
Mensucikan diri sama dengan membersihkan jiwa. Menurut bahasa Tazkyatun
nafs terdiri dari dua kata: attazkiyah dan an nafs, attazkiyah bermakna at-tathiir,
yaitu penyucian atau pembersihan. Karena itulah zakat, yang satu akar dengan
kata at-tazkiyah disebut zakat karena ia kita tunaikan untuk membersihkan dan
menyucikan harta dan jiwa. Adapun kata an-nafs ( bentuk jamak dari anfus an
nufus, berarti jiwa dan nafsu. Dengan demikian tazkiyatun nafs berarti penyucian
jiwa atau nafsu. Namun tazkiyatun nafs tidak hanya memiliki maka penyucian. At-
tazkyah juga memiliki makna an namuww. Yaitu, tumbuh maksudnya, tazkiyatun
nafs itu juga berarti menumbuhkan jiwa kita agar bisa tumbuh sehat dengan
memiliki sifat-sifat yang baik/terpuji.Dari tinjauan bahasa diatas, bias kita simpulkan
bahwa takziyatun nafs itu pada dasanya melakukan dua hal”.
Pertama, menyucikan jiwa kita dari sifat –sifat (aklaq) yang buruk / tecela
(disebut pula takhalli sepeti kufur, nipaq, riya, hasad, junub, sombong,
pemarah, rakus, suka memperturutan hawa nafsu .
Kedua, menghiasinya iwa yang telah kita sucikan tersebut denggan sifat
siat (ahlaq) yag baik terpuji disebut pula tahaliyy, seperti ikhlas, tawakal, jujur,
juhud, cinta dan kasih sayang. Manusia bertaqwa adalah manusia yang selalu
membersihkan atau menyucikan harta dan jiwanya dari berbagai noda dan kotoran
atau sering disebut dengan (tazkiatun nafs) Berikut ini merupakansifat sifat manusia
yan dikelompokan kedalam kelompok orang orang yang menyucikan jiwa.
1.1.1 BERSYUKUR
Bersyukur adalah suatu perbuatan yang bertujuan untuk berterima kasih atas segala
limpahan nikmat yang telah Allah SWT berikan.
Hal ini tiada lain karena kita menyadari bahwa seluruh kenikmatan yang dirasakan
selama ini adalah berasal dari Allah Ta’ala.

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Hal ini tiada lain karena kita menyadari bahwa seluruh kenikmatan yang dirasakan selama ini
adalah berasal dari Allah Ta’ala.
ِ‫َو َما بِ ُك ْم ِمنْ نِ ْع َم ٍة فَ ِمنَ هللا‬
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-
Nahl, 16: 53)
Kenikmatan tersebut tak terhingga banyaknya,
ُ ‫َوِإنْ تَ ُعد ُّْوا نِ ْع َمةَ هللاِ الَ ت ُْح‬
‫ص ْوهَا‬
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan
jumlahnya.” (QS. An-Nahl, 16: 18)
Maka seorang mu’min hendaknya tidak lepas dari sikap syukur ini, karena kehidupan ibarat
roda yang berputar yang harus dihadapi dengan dua sikap: syukur atau sabar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ َوِإنْ َأ‬،ُ‫ه‬gَ‫ ًرا ل‬g‫انَ َخ ْي‬gg‫ َك َر فَ َك‬g‫ش‬
ُ‫ابَ ْته‬g‫ص‬ َ ‫ ِإنْ َأ‬،‫س َذلِ َك َِأل َح ٍد ِإالَّ لِ ْل ُمْؤ ِم ِن‬
َ ُ‫ابَ ْته‬g‫ص‬
َ ‫ َّرا ُء‬g‫س‬ َ ‫ع ََجبًا َِأل ْم ِر ا ْل ُمْؤ ِم ِن إنَّ َأ ْم َرهُ ُكلَّهُ لَهُ َخ ْي ٌر َولَ ْي‬
ُ‫صبَ َر فَ َكانَ َخ ْيراً لَه‬
َ ‫ض َّرا ُء‬َ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal
ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan,
dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila
tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan
baginya.” (HR. Muslim)
Banyak bersyukur adalah sifat para nabi. Nabi Nuh ‘alaihis salam dipuji oleh Allah Ta’ala
karena sifat mulia ini,
َ ‫ِإنَّهُ َكانَ َع ْبدًا‬
‫ش ُك ْو ًرا‬
“Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Isra’, 17: 3)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menginginkan dirinya menjadi hamba yang bersyukur.
Untuk itulah beliau selalu melaksanakan shalat malam hingga kedua kakinya bengkak.
Manakala ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, ”Mengapa Anda melakukan ini, padahal
Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang dulu maupun yang akan datang?” Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
َ ‫َأفَالَ َأ ُك ْونُ َع ْبدًا‬
‫ش ُك ْو ًرا‬
”Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim),
1.1.2 BERSABAR (SHABUR)
Sebelumnya sudah disebutkan bahwa ada dua sikap yang tidak bisa lepas dari kehidupan
seorang mu’min, yaitu syukur dan sabar, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Oleh karena itu sikap sabar menjadi sebuah keniscayaan
bagi seorang mu’min.
Syaikh Yusuf Al Qaradawi dalam bukunya As-Shabru fil Quran membagi sabar menjadi enam
macam, yaitu :
1. Sabar Menerima Cobaan Hidup. Seperti lapar, haus, rasa sakit dan kerugian harta.
Mengenai hal ini Allah Ta’ala berfirman,
ٌ‫صيبَة‬ َ ‫صابِ ِرينَ الَّ ِذينَ ِإ َذا َأ‬
ِ ‫صابَ ْت ُه ْم ُم‬ َّ ‫ش ِر ال‬
ِّ َ‫ت َوب‬ ِ ُ‫ص ِّمنَ اَأل َم َوا ِل َواألنف‬
ِ ‫س َوالثَّ َم َرا‬ ِ ‫َولَنَ ْبلُ َونَّ ُك ْم بِش َْي ٍء ِّمنَ ا ْل َخوفْ َوا ْل ُج‬
ٍ ‫وع َونَ ْق‬
َ‫قَالُوا ِإنَّا هَّلِل ِ َوِإنَّا ِإلَ ْي ِه َرا ِجعُون‬
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-
orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:
‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun’” (QS. Al-Baqarah, 2: 155 – 156)
2. Sabar dari Keinginan Hawa Nafsu. Yakni keinginan kepada segala macam kenikmatan
hidup, kesenangan dan kemegahan dunia. Segala keinginan tersebut harus kita
kendalikan dengan kesabaran agar tidak menyebabkan lalai dari mengingat Allah
Ta’ala,
ِ ‫م عَنْ ِذ ْك ِر هَّللا ِ َو َمنْ يَ ْف َع ْل َذلِكَ فَُأولَِئكَ ُه ُم ا ْل َخا‬gْ ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تُ ْل ِه ُك ْم َأ ْم َوالُ ُك ْم َواَل َأ ْواَل ُد ُك‬
َ‫سرُون‬
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang
merugi.” (QS. Al-Munafiqun, 63: 9)
3. Sabar dalam Taat Kepada Allah Ta’ala.Yakni bersungguh-sungguh menghadapi
rintangan yang menggoda, baik dari dalam maupun dari luar diri kita, seperti rasa
malas, mengantuk dan kesibukan yang menyita waktu untuk beribadah.
‫س ِميًّا‬ ِ ‫ت َواَأْل ْر‬
ْ ‫ض َو َما بَ ْينَ ُه َما فَا ْعبُ ْدهُ َو‬
َ ُ‫اصطَبِ ْر لِ ِعبَا َدتِ ِه َه ْل تَ ْعلَ ُم لَه‬ ِ ‫س َما َوا‬
َّ ‫َر ُّب ال‬
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka
sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui
ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam, 19: 65)
4. Sabar dalam Berdakwah. Hal ini sebagaimana dinasihatkan oleh Luqman kepada
anaknya yang disebutkan di dalam Al-Qur’an,
‫صابَ َك ِإنَّ َذلِ َك ِمنْ ع َْز ِم اُأْل ُمو ِر‬
َ ‫اصبِ ْر َعلَى َما َأ‬ ِ ‫صاَل ةَ َوْأ ُم ْر بِا ْل َم ْع ُر‬
ْ ‫وف َوا ْنهَ َع ِن ا ْل ُم ْن َك ِر َو‬ َّ ‫يَا بُنَ َّي َأقِ ِم ال‬
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”  (QS.
Luqman, 31: 17)
5. Sabar dalam Perang. Allah Ta’ala berfirman,
َ‫م تُ ْفلِ ُحون‬gْ ‫صابِ ُروا َو َرابِطُوا َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك‬ ْ ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا‬
َ ‫اصبِ ُروا َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 200)
6. Sabar dalam Pergaulan. Salah satu prinsip yang diajarkan Islam dalam pergaulan
disebutkan di dalam ayat berikut,
َ ‫سى َأنْ تَ ْك َرهُوا‬
‫ش ْيًئا َويَ ْج َع َل هَّللا ُ فِي ِه َخ ْي ًرا َكثِي ًرا‬ َ ‫وف فَِإنْ َك ِر ْهتُ ُموهُنَّ فَ َع‬
ِ ‫َاش ُروهُنَّ بِا ْل َم ْع ُر‬
ِ ‫َوع‬
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisa’, 4: 19)

1.1.3 Berhati Lembut (Awwah)


Mengenai makna al-awwah, di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan beberapa riwayat,
diantaranya:
ُ ‫ يَا َر‬:‫س قَا َل َر ُج ٌل‬
‫ َما‬،ِ ‫سو َل هَّللا‬ ٌ ِ‫سلَّ َم َجال‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ بَ ْينَ َما َر‬:‫شدَّا ِد ْب ِن ا ْل َها ِد قَا َل‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ َ ‫عَنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن‬
َ َ‫ “ا ْل ُمت‬:‫اَأْل َّواهُ؟ قَا َل‬
}‫ {ِإنَّ ِإ ْب َرا ِهي َم أل َّواهٌ َحلِي ٌم‬:‫ قَا َل‬،”ُ‫ض ِّرع‬
Dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had mengatakan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sedang duduk, seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah makna al-
awwah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:  “ Orang yang sangat lembut
hatinya. Allah Ta’ala telah berfirman: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat
lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah : 114)
Dalam berbagai riwayat lain yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim disebutkan bahwa al-
awwah artinya: sangat lembut hatinya lagi banyak berdoa, penyayang, mempunyai keyakinan,
orang yang beriman lagi banyak bertaubat, orang yang suka bertasbih (shalat), orang yang
memelihara diri, yakni seseorang yang berbuat dosa secara sembunyi-sembunyi, lalu ia
bertobat dari dosanya itu dengan sembunyi-sembunyi pula.
Dalam riwayat yang disampaikan dari Al-Hasan Ibnu Muslim disebutkan,
ٌ‫ ِإنَّهُ َأ َّواه‬:‫ فَقَا َل‬،‫سلَّ َم‬ َ ُ‫َأنَّ َر ُجاًل َكانَ يُ ْكثِ ُر ِذ ْك َر هَّللا ِ َوي‬
َ ‫ فَ َذ َك َر َذلِ َك لِلنَّبِ ِّي‬،‫سبِّ ُح‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
Bahwa pernah ada seorang lelaki yang banyak berzikir dan bertasbih kepada Allah. Kemudian
perihalnya diceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasul bersabda:
“Sesungguhnya dia awwahun (orang yang berhati lembut).”
Adapula riwayat dari Ibnu Abbas yang menyebutkan:

ِ ‫ تَال ًء لِ ْلقُ ْر‬:‫ “ َر ِح َم َك هَّللا ُ ِإنْ كنتَ َأَل َّواهًا”! يَ ْعنِي‬:‫ فَقَا َل‬،‫سلَّ َم َدفَنَ َميِّتًا‬
‫آن‬ َ ‫َأنَّ النَّبِ َّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengubur jenazah seseorang, lalu beliau
bersabda: ‘Semoga Allah merahmati engkau, sesungguhnya engkau adalah orang yang
awwah.’ Yakni banyak membaca Al-Qur’an.”
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS.
At-Taubah: 114) Yang dimaksud dengan awwah ialah faqih (memahami agama).
Berkaitan dengan konteks surat At-Taubah ayat 114 di atas, Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir
mengatakan bahwa pendapat yang paling utama ialah yang mengatakan bahwa al-awwah
artinya banyak berdoa, ini sesuai dengan konteks, karena Allah Ta’ala telah menyebutkan
bahwa Ibrahim tidak sekali-kali memintakan ampun kepada Allah untuk bapaknya, melainkan
karena dia telah berjanji akan melakukannya buat bapaknya.
Makna yang manapun yang kita pilih, sungguh semuanya adalah sifat-sifat yang baik yang
menjadi ciri orang-orang yang melakukan tazkiyah.
1.1.4 Kasih Sayang (Rahiimun)
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia. (QS. Al-Baqarah, 2: 143) Kedua sifat ini pun dinisbatkan oleh Allah
Ta’ala kepada pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang- orang mukmin.” (QS.
At-Taubah, 9: 128)
1.1.5 Suka Bertaubat (Awwah)
Manusia adalah makhluk yang lemah. Mereka -tanpa kecuali- seringkali berbuat khilaf dan
salah. Namun di dalam ajaran Islam, orang yang baik itu bukanlah orang yang tidak pernah
berbuat khilaf dan salah; akan tetapi menurut Islam orang yang baik itu adalah orang yang jika
terlanjur berbuat salah ia segera bertaubat kepada Allah Ta’ala.
Bahkan salah satu ciri orang bertakwa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah:
‫ص ُّروا َعلَ ٰى َما فَ َعلُوا‬
ِ ُ‫وب ِإاَّل هَّللا ُ َولَ ْم ي‬ ُّ ‫ستَ ْغفَ ُروا لِ ُذنُوبِ ِه ْم َو َمنْ يَ ْغفِ ُر‬
َ ُ‫الذن‬ َ ُ‫شةً َأ ْو ظَلَ ُموا َأ ْنف‬
ْ ‫س ُه ْم َذ َك ُروا هَّللا َ فَا‬ َ ‫َوالَّ ِذينَ ِإ َذا فَ َعلُوا فَا ِح‬
َ‫َو ُه ْم يَ ْعلَ ُمون‬
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri,
mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi
yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran, 3: 135)
Disebutkan pula di dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik , bahwa
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ‫ُك ُّل بَنِي آ َد َم َخطَّا ٌء َو َخ ْي ُر ا ْل َخطَّاِئيْنَ التَّ َّوابُون‬
“Setiap anak Adam (manusia) pasti sering berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang
berbuat kesalahan adalah yang mau bertaubat.” (H.R. Ibnu Majah no. 4251 dan lainnya).
Oleh karena itu, seseorang yang ingin mentazkiyah jiwanya hendaknya berupaya memiliki
sifat awwab ini. Mereka selalu sadar terhadap kekurangan dan kesalahan yang diperbuatnya,
lalu segera mengiringinya dengan taubat disertai keyakinan bahwa Allah Ta’ala akan
mengampuni dosa-dosanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ضلَّهُ فِى َأ ْر‬
‫ض فَالَ ٍة‬ َ ‫ َوقَ ْد َأ‬، ‫سقَطَ َعلَى بَ ِعي ِر ِه‬
َ ‫هَّللا ُ َأ ْف َر ُح بِت َْوبَ ِة َع ْب ِد ِه ِمنْ َأ َح ِد ُك ْم‬
“Sesungguhnya Allah itu begitu bergembira dengan taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan
seseorang di antara kalian yang menemukan kembali untanya yang telah hilang di suatu
tanah yang luas.” (HR. Bukhari no. 6309 dan Muslim no. 2747).
1.1.6 Bersikap Lemah lembut (awwah )
Mengenai makna al-awwah, di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan beberapa riwayat,
diantaranya:
:‫ َما اَأْل َّواهُ؟ قَا َل‬،ِ ‫سو َل هَّللا‬
ُ ‫ يَا َر‬:‫س قَا َل َر ُج ٌل‬
ٌ ِ‫سلَّ َم َجال‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ بَ ْينَ َما َر‬:‫شدَّا ِد ْب ِن ا ْل َها ِد قَا َل‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ َ ‫عَنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن‬
}‫ {ِإنَّ ِإ ْب َرا ِهي َم أل َّواهٌ َحلِي ٌم‬:‫ قَا َل‬،”ُ‫ض ِّرع‬
َ َ‫“ا ْل ُمت‬
Dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had mengatakan bahwa ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sedang duduk, seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah makna
al-awwah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:  “ Orang yang sangat
lembut hatinya. Allah Ta’ala telah berfirman: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang
sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah : 114)
Dalam berbagai riwayat lain yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim disebutkan bahwa al-
awwah artinya: sangat lembut hatinya lagi banyak berdoa, penyayang, mempunyai keyakinan,
orang yang beriman lagi banyak bertaubat, orang yang suka bertasbih (shalat), orang yang
memelihara diri, yakni seseorang yang berbuat dosa secara sembunyi-sembunyi, lalu ia
bertobat dari dosanya itu dengan sembunyi-sembunyi pula.
Dalam riwayat yang disampaikan dari Al-Hasan Ibnu Muslim disebutkan,
ٌ‫ ِإنَّهُ َأ َّواه‬:‫ فَقَا َل‬،‫سلَّ َم‬ َ ُ‫َأنَّ َر ُجاًل َكانَ يُ ْكثِ ُر ِذ ْك َر هَّللا ِ َوي‬
َ ‫ فَ َذ َك َر َذلِ َك لِلنَّبِ ِّي‬،‫سبِّ ُح‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
Bahwa pernah ada seorang lelaki yang banyak berzikir dan bertasbih kepada Allah. Kemudian
perihalnya diceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasul bersabda:
“Sesungguhnya dia awwahun (orang yang berhati lembut).”
Adapula riwayat dari Ibnu Abbas yang menyebutkan:
‫ تَال ًء لِ ْلقُ ْرآ ِن‬:‫“ر ِح َم َك هَّللا ُ ِإنْ كنتَ َأَل َّواهًا”! يَ ْعنِي‬
َ :‫ فَقَا َل‬،‫سلَّ َم َدفَنَ َميِّتًا‬ َ ‫َأنَّ النَّبِ َّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengubur jenazah seseorang, lalu beliau
bersabda: ‘Semoga Allah merahmati engkau, sesungguhnya engkau adalah orang yang
awwah.’ Yakni banyak membaca Al-Qur’an.”
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS.
At-Taubah: 114) Yang dimaksud dengan awwah ialah faqih (memahami agama).
Berkaitan dengan konteks surat At-Taubah ayat 114 di atas, Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir
mengatakan bahwa pendapat yang paling utama ialah yang mengatakan bahwa al-awwah
artinya banyak berdoa, ini sesuai dengan konteks, karena Allah Ta’ala telah menyebutkan
bahwa Ibrahim tidak sekali-kali memintakan ampun kepada Allah untuk bapaknya, melainkan
karena dia telah berjanji akan melakukannya buat bapaknya.
Makna yang manapun yang kita pilih, sungguh semuanya adalah sifat-sifat yang baik yang
menjadi ciri orang-orang yang melakukan tazkiyah.
1.1.7Selalu bersikap Jujur ( Shadiqun)
Mereka yang mentazkiyah jiwanya, pasti akan berusaha menghiasi dirinya dengan
kejujuran, sebagaimana diperintahkan oleh Allah Ta’ala,
َّ ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو ُكونُوا َم َع ال‬
َ‫صا ِدقِين‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian
bersama orang-orang yang jujur (benar)!” (QS At-Taubah: 119) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun memeritahkan kepada umatnya untuk bersikap jujur.
‫ق َحتَّى يُ ْكت ََب‬َ ‫ص ْد‬ ِّ ‫ق َويَت ََح َّرى ال‬ ُ ‫ص ُد‬ْ َ‫ق َي ْه ِدى ِإلَى ا ْلبِ ِّر َوِإنَّ ا ْلبِ َّر يَ ْه ِدى ِإلَى ا ْل َجنَّ ِة َو َما َيزَ ا ُل ال َّر ُج ُل ي‬
َ ‫الص ْد‬
ِّ َّ‫ْق َفِإن‬
ِ ‫صد‬ ِّ ‫َعلَ ْي ُك ْم بِال‬
‫ب َويَت ََح َّرى‬ ُ ‫صدِّيقًا َوِإيَّا ُك ْم َوا ْل َك ِذ َب فَِإنَّ ا ْل َك ِذ َب يَ ْه ِدى ِإلَى ا ْلفُ ُجو ِر َوِإنَّ ا ْلفُ ُجو َر يَ ْه ِدى ِإلَى النَّا ِر َو َما يَزَ ا ُل ال َّر ُج ُل يَ ْك ِذ‬ ِ ِ ‫ِع ْن َد هَّللا‬
‫ا ْل َك ِذ َب َحتَّى يُ ْكت ََب ِع ْن َد هَّللا ِ َك َّذابًا‬
“Kalian wajib berlaku jujur. Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan
(ketakwaan) dan sesungguhnya ketakwaan akan mengantarkan kepada surga. Jika seseorang
senantiasa berlaku jujur dan selalu berusaha untuk jujur maka akan dicatat di sisi Allah
sebagai orang yang shiddiiq (yang sangat jujur). Kalian harus menjauhi kedustaan.
Sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan kepada perbuatan dosa dan sesungguhnya
dosa itu akan mengantarkan kepada neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan selalu
berusaha untuk berdusta, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang kadzdzaab
(suka berdusta).” (HR Al-Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607/6637)
Bersikap jujur tidaklah mudah; ia membutuhkan kekuatan iman yang prima. Diantara upaya
melatih kejujuran adalah dengan cara zuhud terhadap dunia dan menahan diri dari mengikuti
orang-orang yang ingkar; hal ini karena kedustaan biasanya berawal dari sikap cinta kepada
dunia. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
‫ َوال َكفُّ عَنْ َأه ِْل ال ِملَّ ِة‬،‫الز ْه ِد فِي ال ُّد ْنيَا‬ َّ ‫ِإنْ َأ َردْتَ َأنْ تَ ُك ْونَ َم َع ال‬.
ُّ ِ‫ فَ َعلَ ْي َك ب‬، َ‫صا ِدقِيْن‬
“Apabila engkau ingin bersama orang-orang yang jujur, maka engkau wajib berzuhud
terhadap dunia dan menahan diri dari (mengikuti) orang kafir.” (Tafsiir Ibnu Katsir IV/234).
1.1.8 Terpercaya (Aminun )
Yakni dapat diandalkan karena jujur dan tidak suka berbuat curang atau menipu. Sifat ini
adalah sifat para rasul. Dalam sirah nabawiyah kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi gelar al-amin, karena memiliki sifat amanah dan
terpercaya. Di dalam Al-Qur’an pun dapat kita temukan beberapa ayat dimana para rasul
menyipati dirinya sebagai al-amin. Nabi Nuh berkata kepada kaumnya,
ٌ‫سو ٌل َأ ِمين‬
ُ ‫ ِإنِّي لَ ُك ْم َر‬. َ‫َأال تَتَّقُون‬.
“Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan
(yang diutus) kepadamu” (QS. Al-Syu’ara, 26 : 106-107).
Nabi Nuh mengatakan hal tersebut di atas sebagai bentuk keheranannya atas kesyirikan yang
dilakukan kaumnya, padahal sudah dilarang olehnya dan dia termasuk orang yang dikenal
terpercaya dan tidak pernah dicurigai oleh kaumnya.[3]
Nabi Hud mengatakan pula seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nuh,
ٌ‫سو ٌل َأ ِمين‬
ُ ‫ ِإنِّي لَ ُك ْم َر‬. َ‫َأال تَتَّقُون‬.
“Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan
(yang diutus) kepadamu” (QS. Al-Syu’ara’, 26: 124-125).
Pada ayat yang lain, Nabi Hud disebutkan sebagai pemberi nasehat yang dapat dipercaya,
ٌ‫ص ٌح َأ ِمين‬
ِ ‫ت َربِّي َوَأنَا لَ ُك ْم نَا‬ َ ‫ ُأبَلِّ ُغ ُك ْم ِر‬. َ‫سو ٌل ِمنْ َر ِّب ا ْل َعالَ ِمين‬
ِ ‫سااَل‬ ُ ‫سفَا َهةٌ َولَ ِكنِّي َر‬ َ ‫َيا قَ ْو ِم لَ ْي‬
َ ‫س بِي‬
“Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi aku ini adalah utusan dari
Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan Aku
hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS. Al-A‘raf, 7: 67-68)
Hal yang sama dilakukan pula oleh Nabi Salih, Nabi Luth dan Nabi Syu’aib, mereka
mengingatkan kaumnya tentang sifat jujur dan terpercaya yang telah dikenal sejak dahulu.
Di samping nabi-nabi yang telah disebutkan di atas, nabi yang juga disifati sebagai al-amin
adalah Nabi Musa. Bahkan ia disebutkan dua kali sebagai al-amin dalam Al-Qur’an. Pertama,
disebutkan pada surat al-Dukhan ayat 18.
ٌ‫سو ٌل َأ ِمين‬
ُ ‫ َأنْ َأدُّوا ِإلَ َّي ِعبَا َد هَّللا ِ ِإنِّي لَ ُك ْم َر‬.‫سو ٌل َك ِري ٌم‬
ُ ‫ َولَقَ ْد فَتَنَّا قَ ْبلَ ُه ْم قَ ْو َم فِ ْرع َْونَ َو َجا َء ُه ْم َر‬.
 “Sesungguhnya sebelum mereka telah kami uji kaum Fir’aun dan telah datang kepada
mereka seorang Rasul yang mulia  (dengan berkata): “Serahkanlah kepadaku hamba-hamba
Allah (Bani Israil yang kamu perbudak). Sesungguhnya Aku adalah utusan (Allah) yang
dipercaya kepadamu”.
Sedangkan kata al-amin kedua yang diberikan kepada Nabi Musa berkaitan dengan penilaian
salah seorang putri Nabi Syu’aib kepada Nabi Musa,
ُّ ‫ستَْأ َج ْرتَ ا ْلقَ ِو‬
ُ‫ي األ ِمين‬ ْ ‫ستَْأ ِج ْرهُ ِإنَّ َخ ْي َر َم ِن ا‬ ِ َ‫قَالَتْ ِإ ْحدَا ُه َما يَا َأب‬
ْ ‫تا‬
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya’” (QS. Al-Qashshas, 28 : 26).
Putri Nabi Syu’aib mensifati Nabi Musa sebagai al-amin karena akhlak Nabi Musa yang
menjaga pandangannya ketika berjalan dengan wanita. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan
bahwa Umar, Ibnu Abbas, Syuraih Al-Qadi, Abu Malik, Qatadah, Muhammad ibnu Ishaq, dan
lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan bahwa tatkala wanita itu
mengatakan: karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja
(pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya, maka ayahnya bertanya, “Apakah
yang mendorongmu menilainya seperti itu?” Ia menjawab, “Sesungguhnya dia dapat
mengangkat batu besar yang tidak dapat diangkat kecuali hanya oleh sepuluh orang laki-laki.
Dan sesungguhnya ketika aku berjalan bersamanya, aku berada di depannya, namun ia
mengatakan kepadaku, “Berjalanlah kamu di belakangku. Jika aku salah jalan, beri tahulah
aku dengan lemparan batu kerikil, agar aku mengetahui jalan mana yang harus kutempuh.’”
Itulah diantara sifat-sifat mulia yang harus kita wujudkan dalam rangka melakukan tazkiyah
kepada jiwa kita, dan bagi siapa saja yang mau melakukannya tentu akan menjadi orang yang
muflihun (beruntung).
‫قَ ْد َأ ْفلَ َح َمنْ زَ َّكاهَا‬
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)…”  (QS. As-Syams, 91: 9)

1.1.9 Akan Memperoleh Keuntungan


Orang-orang yang senantiasa mensucikan jiwanya maka allah akan memberikan
keberuntungan yang sangat besar karena dirinya telah berbuat kebaikan dan senantiasa
menjauhi sesuatu yang dilarangnya.
Sebagaimana dalam firman allah Qs Ali-imran :104

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar
[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.

2.1 Jalan Salah (Fujur): Mengotori Jiwa


a. Definisi fujur (mengotori jiwa )
Menurut kamus besar bahasa indonesia Fujur memiliki arti dalam kelas nomina atau
kata benda sehingga fujur dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda
yang dibendakan. Menurut para ulama Sedangkan at-tadsiyah atau pengotoran jiwa
adalah menenggelamkan jiwa kedalam dosa dan kemaksiatan. Ibnul qayyim al jauziyah
menafsirkan sungguh merugi orang yang menyembunyikan, merendahkan dan menghinakan
jiwanya dengan kemaksiatan kepada Allah Sedangkan jiwa kita akan menjadi kotor
apabila kita membiarkan sifat-sifat tidak terpuji bersarang di dalamnya, di antara sifat-sifat
tidak terpuji itu adalah: fujur adalah perbuatan buruk dan perilaku yang bertentangan
dengan syariat. Perbuatan yang menyalahi syariat atau perikemanusiaan (perbuatan maksiat)
Sebagaimana Firman allah Qs Asyams : 10

Artinya : dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (Qs Asyams : 10)
Demikian berita yang Allah sampaikan didalam kitabNya. Merugilah orang yang
mengotori jiwanya dengan noktah-noktah hitam berbagai bentuk dosa dan maksiat
kepada Allah subhanahu wata’ala. Allah mendahului pernyataan ini sebelumnya
dengan bersumpah dengan jiwa, ini merupakan indikasi yang menunjukkan akan pentingnya
perkara jiwa itu, yang semestinya seorang hamba memiliki perhatian yang ekstra terhadap
kondisi jiwanya. Menjaga jiwanya agar jernih tidak menjadi keruh oleh karena
kemaksiatan dan pelanggaran terhadap rambu-rambu kehidupan yang telah ditetapkan oleh
Rabb alam semesta. sungguh kemaksiatan merupakan sebab terbesar yang akan menjadikan
hati ternoda sehingga sifat kejernihannya berubah menjadi keruh. Bila jiwa telah keruh, maka
ia akan mendorong pemiliknya untuk melakukan berbagai keburukan perilaku dan tindakan.
Setan pun tidak tinggal diam melihat kondisi jiwa manusia yang demikian ini. Setan semakin
bersemangat dalam membantu pemilik jiwa tersebut untuk terus menyambung kekeruhan
jiwa yang melahirkan tindakkan buruk yang juga akan semakin menambah kekeruhannya.
Bahkan, bukan hanya setan yang ikut andil dalam membatu dirinya namun juga dari
kalangan manusia yang memiliki jiwa-jiwa yang sama-sama kotornya pun ikut serta
menambah semakin kotornya jiwa. Ketika jiwa-jiwa yang kotor yang saling
membantu untuk meningkatkan kekeruhannya telah berkumpul, maka akan melahirkan
seabreg kemaksiatan yang serupa atau dalam bentuk tindakan dan perilaku buruk yang
lainnya.
2.1.1 Memperturutkan sifat Tergesa-Gesa (‘Ajulan)
Allah Ta’ala menyebutkan tentang hal ini dengan firman-Nya,
َ ‫َو َكانَ اِإْل ْن‬
‫سانُ ع َُجواًل‬
“Dan manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al-Isra, 17:11)
Di dalam Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu disebutkan bahwa yang dimaksud manusia itu
mempunyai sifat tergesa-gesa yaitu apabila ia menginginkan sesuatu sesuai dengan kehendak
hatinya, maka tertutuplah pikirannya untuk menilai apa yang diinginkannya itu, apakah
bermanfaat bagi dirinya, ataukah merugikan. Hal itu semata-mata didorong oleh sifat-sifat
tergesa-gesa untuk mencapai tujuannya, tanpa dipikirkan dengan pemikiran yang matang
terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya manusia itu tertarik pada keadaan
lahiriah dari sesuatu tanpa meneliti hakikat dan rahasia dari sesuatu itu lebih mendalam.[1]

Berkenaan dengan sifat tergesa-gesa ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َّ ‫التََّأن ِّي ِمنَ هللاِ َو ال ُع ْجلَةُ ِمنَ ال‬
‫ش ْيطَا ِن‬
“Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu
berasal dari setan.” (HR. Abu Ya’la dan Baihaqi).

2.1.2 Berkeluh kesah

Sebagaimana firman allah Qs Al- Maarij : (19-20)


Artinya : Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia
ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,( Qs Al- maarij :19-20)
Manusia suka berkeluh kesah ketika mendapatkan musibah seperti kemiskinan, sakit,
hilangnya sesuatu yang dicintai baik harta, istri maupun anak dan tidak menyikapinya
dengan sikap sabar dan ridha kepada taqdir Allah. Mereka juga tidak menginfakkan harta
yang Allah berikan kepadanya dan tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya.
Dia berkeluh kesah ketika mendapatkan kesusahan dan menjadi kikir ketika mendapatkan
kesenangan. [2]
2.1.3 Tidak Mau Berbuat Baik (Kikir)
Manakala manusia selalu terpaut hatinya kepada dunia dimana orientasi hidupnya adalah
kesenangan materi, maka pastilah mereka akan selalu berlomba-lomba mengejar
perbendaharaan dunia untuk berbangga diri dan bermegah-megahan. Inilah yang
menyebabkan mereka bersifat kikir dan jiwanya menjadi kotor karenanya. Mereka tidak sadar
hakikat harta dan kekayaan sebagai pemberian dan titipan Allah Ta’ala.
‫سانُ قَتُو ًرا‬ ِ َ‫شيَةَ اِإْل ْنف‬
َ ‫اق َو َكانَ اِإْل ْن‬ َ ‫قُ ْل لَ ْو َأ ْنتُ ْم تَ ْملِ ُكونَ َخ َزاِئنَ َر ْح َم ِة َربِّي ِإ ًذا َأَل ْم‬
ْ ‫س ْكتُ ْم َخ‬
“Katakanlah: ‘Kalau seandainya kamu menguasai khazanah rahmat Tuhanku, niscaya
khazanah itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya’. Dan adalah manusia itu sangat
kikir“. (QS. Al-Isra’, 17: 100 )
Di dalam Tafsir At-Thabari disebutkan bahwa menurut Ibnu Abbas, qaturan artinya adalah
bakhilan (bakhil/kikir).[5]
Di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perilaku kekikiran ini disebut pula dengan
istilah as-syuhhu, yang digolongkan oleh beliau sebagai bagian dari as-sab’ul mubiqat (tujul
hal yang menghancurkan).
:‫ َما ِه َي؟ قَا َل‬،ِ ‫سو َل هَّللا‬ُ ‫ يَا َر‬:‫ت» قِي َل‬ ِ ‫س ْب َع ا ْل ُموبِقَا‬
َّ ‫«اجتَنِبُوا ال‬ْ :‫سلَّ َم قَا َل‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ ُ ‫ َأنَّ َر‬،َ‫عَنْ َأبِي ُه َر ْي َرة‬
ُ‫ َوقَ ْذف‬،‫ف‬ ِ ‫ َوَأ ْك ُل َم‬،‫ َوَأ ْك ُل ال ِّربَا‬،ِّ‫س الَّتِي َح َّر َم هَّللا ُ ِإاَّل بِا ْل َحق‬
ِ ِ‫ال ا ْليَت‬
ِ ‫ َوالت ََّولِّي يَ ْو َم ال َّز ْح‬،‫يم‬ ِ ‫ َوقَ ْت ُل النَّ ْف‬،‫ َوالش ُُّّح‬،ِ ‫«الش ِّْر ُك بِاهَّلل‬
ِ ‫ت ا ْل ُمْؤ ِمنَا‬
‫ت‬ ِ ‫ت ا ْل َغافِاَل‬ َ ‫»ا ْل ُم ْح‬
ِ ‫صنَا‬
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu  beliau berkata, “Rasullullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Jauhillah tujuh kehancuran yang dapat menimpa kalian.’
Lalu (shahabat) bertanya, ‘Apakah itu wahai Rasulullah?’ Lalu beliau menjawab,
‘Menyekutukan Allah, kikir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah, memakan riba,
memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh zina wanita mukminat yang suci.”
(HR. an-Nasa`i).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan orang bakhil adalah orang yang menahan (hartanya) dengan tidak menunaikan (hak
dan kewajiban) yang berkaitan dengan harta yang dimilikinya tersebut. Sedangkan orang kikir
(as-syuhhu) adalah orang yang tamak/rakus terhadap apa-apa yang sebenarnya bukan
miliknya, dan tentu saja ini lebih parah dari bakhil, karena orang yang kikir itu selalu
berambisi terhadap apa-apa yang dimiliki oleh orang lain, dan dirinya tidak menjalankan apa-
apa yang Allah wajibkan kepadanya, seperti zakat, berinfak, dan hal-hal lain yang sudah
selayaknya dia lakukan (dengan harta yang dimilikinya). (Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Alfa, Juz ke-2, halaman 234)
Perilaku as-syuhhu (kikir) disebut pula dapat menyebabkan pertumpahan darah dan
mencederai kehormatan sesama manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ْ‫ َح َملَ ُه ْم َعلَى َأن‬،‫ُّح َأ ْهلَ َك َمنْ َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم‬
،‫سفَ ُكوا ِد َما َء ُه ْم‬ َّ ‫ فَِإنَّ الش‬،‫ُّح‬ َّ ‫ َواتَّقُوا الش‬،‫ظ ْل َم ظُلُ َماتٌ يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة‬
ُّ ‫ فَِإنَّ ال‬،‫ظ ْل َم‬
ُّ ‫ِإيَّا ُك ْم َوال‬
‫ست ََح ُّلوا َم َحا ِر َم ُه ْم‬
ْ ‫َوا‬
“Berhati-hatilah kalian terhadap perbuatan dzalim, karena sesungguhnya dzalim itu
merupakan kegelapan yang paling gulita kelak di hari kiamat. Dan berhati-hatilah kalian dari
sifat kikir, karena sifat kikir telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Sifat kikir
pulalah yang telah membuat mereka tega menumpahkan darah dan menghalalkan
kehormatan sesama mereka.” (HR Muslim)
2.1.4. Kufur
Kufur artinya mengingkari atau menduakan allah sebagaimana
fieman allah Qs.Ibrahim :34

Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu
mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat
mengingkari(nikmatAllah).(Qs.Ibrahim:34)
2.1.5 Pendebatan

Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini
bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak
membantah.
2.1.6 Pembentah

sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya,
manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (QS. Al-Kahfi, 18:54)

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini sebagai berikut, “Sesungguhnya Kami telah
menjelaskan dan menerangkan di dalam Al-Qur’an ini berbagai perkara secara rinci, agar
mereka tidak sesat dari perkara yang hak dan agar mereka tidak menyimpang dari jalan
petunjuk. Akan tetapi, sekalipun dengan adanya keterangan dan penjelasan ini yang
membedakan antara perkara yang hak dan perkara yang batil, manusia itu banyak
membantah, suka menentang, dan bersikap oposisi terhadap perkara yang hak dengan
mengikuti perkara yang batil, kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan
Allah memperlihatkan kepadanya jalan menuju keselamatan.” Salah satu contoh perilaku
jadalan adalah apa yang ditunjukkan oleh seorang Quraisy bernama Abdullahbin Az-
Zab’ari.
Sewaktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan di hadapan orang
Quraisy surat Al-Anbiya ayat 98 yang artinya: “Sesungguhnya kamu dan yang kamu
sembah selain Allah adalah kayu bakar Jahannam.”, bertanyalah ia kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keadaan Isa yang disembah orang Nasrani,
apakah beliau juga menjadi kayu bakar neraka Jahannam seperti halnya sembahan-
sembahan mereka? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam dan
merekapun mentertawakannya; lalu mereka menanyakan lagi mengenai mana yang lebih
baik antara sembahan-sembahan mereka dengan Isa ‘alaihissalam.
Pertanyaan-pertanyan mereka ini hanyalah mencari perbantahan saja, bukan untuk
mencari kebenaran.
2.1.7 Zalim

Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu
mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari
(nikmatAllah).
Manusia menyanggupi amanat yang ditawarkan kepadanya - apabila
dikerjakan akan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan akan disiksa- karena
itulah ia disebut jahula, karena tidak mengetahui kemampuan dirinya sendiri.
Berkata Ibnu Abbas tentang makna dzaluman jahulan.
2.1.8 Jahil

Sebagaimana firman allah Qs Al-Ahzab :72


ArtinyaSesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh, Qs Al-Ahzab :72

Artinya Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, (Qs. Al- Asr :3)

Dari sifat sifat tersebut dapat diarik kesimpulan bahwa sesuatu yang sifatnya baik
maka nantinhya akan membawa manusa kedalam sebuah keseksesan atau
keberhasikan menjadi seoarng haba dimuka bmi. ini tetapi jikalau manusia memiliki
jalan yang buruk maka konsekuensoiya manusia tersebut akan mengalami kerugian yang
sagat bear kaena telah mengotor jiwa yag seharusnya disucikan.
2.1.9 lalai (ghafilan).

Sifat lalai yang dimaksud disini adalah lengah atau tidak memperhatikan apa yang
seharusnya diperhatikan untuk kebaikan diri sendiri. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali
ayat yang menyebutkan tentang hal ini. Diantaranya disebutkan bahwa manusia akan celaka
gara-gara lengah dari memahami ayat-ayat Allah, tidak memperhatikan kekuasaan-Nya,
dan tidak mau mendengarkan berbagai perintah dan larangan-Nya.
ِ ‫وب ال يَ ْفقَهُونَ بِها َو لَ ُه ْم َأ ْعيُنٌ ال يُ ْب‬
ْ َ‫صرُونَ بِها َو لَ ُه ْم آذانٌ ال ي‬
َ‫س َمعُون‬ ِ ‫َو لَقَ ْد َذ َرْأنا لِ َج َهنَّ َم َكثيراً ِمنَ ا ْل ِجنِّ َو اِإْل ْن‬
ٌ ُ‫س لَ ُه ْم قُل‬
َ‫ض ُّل ُأولِئ َك ُه ُم ا ْلغافِلُون‬ ِ ‫بِها ُأولِئ َك َكاَأْل ْن‬
َ ‫عام بَ ْل ُه ْم َأ‬
“Dan sesungguhnya Kami ciptakan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari bangsa jin
dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi mereka tidak mempergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) mereka tidak
mempergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai
telinga (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-
orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 7:179)
Penyebab manusia berada dalam kondisi ghafilan adalah karena mereka hanya mengilmui
urusan dunia. Mereka memandang persoalan hidup ini secara pragmatis, yakni
memandangnya menurut kegunaan dan manfaat yang lahir saja. Mereka mengetahui
tentang hidup ini hanyalah yang nampak di depan mata, seperti bercocok tanam, berdagang,
bekerja dan yang lain yang berhubungan dengan urusan dunia.[3] Hal ini menyebabkan
mereka lalai terhadap kehidupan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
َ‫يَ ْعلَ ُمونَ ظا ِهراً ِمنَ ا ْل َحيا ِة ال ُّد ْنيا َو ُه ْم َع ِن اآْل ِخ َر ِة ُه ْم غافِلُون‬
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia ini; sedang mereka
lalai tentang (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Rum , 30:7)
Mereka merasa puas dengan kehidupan dunia, tidak percaya kepada hari akhirat dan
melalaikan ayat-ayat Allah Ta’ala,
‫ضوا بِا ْل َحيَا ِة ال ُّد ْنيَا َوا ْط َمَأنُّوا بِ َها َوالَّ ِذينَ ُه ْم عَنْ آيَاتِنَا َغافِلُونَ ُأولَِئ َك َمْأ َوا ُه ُم النَّا ُر بِ َما‬
ُ ‫ِإنَّ الَّ ِذينَ ال يَ ْر ُجونَ لِقَا َءنَا َو َر‬
َ‫سبُون‬ ِ ‫َكانُوا يَ ْك‬
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan
dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan
(kehidupan itu) dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya di
neraka, karena apa yang telah mereka lakukan.” (QS. Yunus, 10: 7 – 8)
Kotornya jiwa menyebabkan mereka dikuasai oleh setan seperti dikuasainya tubuh manusia
oleh virus atau kanker yang ganas, na’udzubillahi min dzalik…
َ ‫ش ْيطَانُ فََأن‬
ِ ‫سا ُه ْم ِذ ْك َر هَّللا‬ َّ ‫ست َْح َو َذ َعلَ ْي ِه ُم ال‬
ْ ‫ا‬
“Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah.” (QS. Al-
Mujadilah, 5:19)
Jika mereka tidak segera men-tazkiyah jiwanya, mereka akan tetap dalam kondisi seperti
itu, sementara hari penghisaban telah hampir datang,

َ‫سابُ ُه ْم َو ُه ْم فِي َغ ْفلَ ٍة ُم ْع ِرضُون‬ ِ ‫ا ْقتَ َر َب لِلنَّا‬


َ ‫س ِح‬
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka
berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).” (QS. Al-Anbiya’, 21:1).
Imam Asy-Syaukani menjelaskan pengertian ghaflah (lalai) dalam ayat ini dengan
menyatakan: “Pengertiannya mereka berada dalam kelalaian oleh dunia dan berpaling dari
akhirat tidak bersiap-siap dengan kewajiban mereka berupa iman kepada Allah dan
melaksanakan kewajiban serta menjauhi semua larangan” (Fathu al-Qadir 3/566)
2.1.10 Melampaui batas (thaghiyan).

Sifat melampaui batas disini maksudnya adalah melampaui/melanggar rambu-rambu


perintah dan larangan Allah Ta’ala. Mereka menyimpang  dari ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala melalui seruan para rasul.
Allah Ta’ala berfirman,
ْ ‫ َأنْ َرآهُ ا‬ ‫سانَ لَيَ ْط َغى‬
‫ستَ ْغنَى‬ َ ‫كَاَّل ِإنَّ اِإْل ْن‬
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat
dirinya serba cukup.” (QS. Al-‘Alaq, 96: 6-7)
Allah menyesali manusia karena banyak mereka yang cenderung lupa diri sehingga
melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas, yaitu kafir kepada Allah dan
sewenang-wenang terhadap manusia. Kecenderungan itu terjadi kepada mereka merasa
sudah berkecukupan. Dengan demikian, ia merasa tidak perlu beriman, dan karena itu ia
berani melanggar hukum-hukum Allah. Begitu juga karena sudah merasa berkecukupan, ia
merasa tidak butuh orang lain dan merasa berkuasa, dan karena itu ia akan bertindak
sewenang-wenang terhadap orang lain itu.[4]
Diantara contoh sikap orang-orang yang melampaui batas yang disebutkan di dalam Al-
Qur’an adalah sikap para pemilik kebun yang enggan menyisihkan sebagian hasil panennya
untuk fakir miskin. Mereka pergi untuk memanen hasil kebunnya di pagi hari dengan
berbisik-bisik untuk menghindari orang-orang miskin. Padahal Allah Ta’ala telah
memusnahkan kebun-kebun mereka itu di malam harinya. Maka pada saat mereka melihat
kebun-kebunnya yang telah musnah ini, barulah mereka sadar terhadap perilaku melampaui
batas yang telah mereka kerjakan.

َ ‫قَالُوا يَا َو ْيلَنَا ِإنَّا ُكنَّا‬


َ‫طا ِغين‬
“Mereka berkata: ‘Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang
melampaui batas’”. (QS. Al-Qalam, 68: 31)
Contoh lain sifat thagiyan adalah apa yang ditunjukkan oleh Fir’aun la’natullahi ‘alaih
yang selalu berbuat kejam dan bengis serta sangat durhaka dan sombong. Allah Ta’ala
mengutus Musa kepadanya agar ia mau bertaubat menyucikan jiwanya, mengikuti petunjuk
Allah Ta’ala, dan takut kepada-Nya, namun ia malah membangkang dan berlaku sombong.
Bahkan mendakwa diri sebagai tuhan yang paling tinggi.
َ‫) فَقُ ْل َه ْل لَك‬١٧( ‫) ْاذه َْب ِإلَى ِف ْرع َْونَ ِإنَّهُ طَ َغى‬١٦(  ‫س طُ ًوى‬ ِ ‫) ِإ ْذ نَادَاهُ َر ُّبهُ ِبا ْل َوا ِدي ا ْل ُمقَ َّد‬١٥( ‫سى‬ ُ ‫َه ْل أتَاكَ َح ِد‬
َ ‫يث ُمو‬
)٢٢( ‫س َعى‬ ْ َ‫) ثُ َّم َأ ْدبَ َر ي‬٢١( ‫صى‬
َ ‫) فَ َك َّذ َب َو َع‬٢٠( ‫) فََأ َراهُ اآليَةَ ا ْل ُك ْب َرى‬١٩( ‫) َوَأ ْه ِديَ َك ِإلَى َربِّ َك فَت َْخشَى‬١٨( ‫ِإلَى َأنْ تَ َز َّكى‬
( ‫) ِإنَّ فِي َذلِ َك لَ ِع ْب َرةً لِ َمنْ يَ ْخشَى‬٢٥( ‫) فََأ َخ َذهُ هَّللا ُ نَ َكا َل اآل ِخ َر ِة َواألولَى‬٢٤( ‫) فَقَا َل َأنَا َربُّ ُك ُم األ ْعلَى‬٢٣( ‫ش َر فَنَادَى‬
َ ‫فَ َح‬
)٢٦
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) kisah Musa? Ketika Tuhan memanggilnya
(Musa) di lembah suci yaitu lembah Thuwa; “Pergilah engkau kepada Fir’aun!
Sesungguhnya dia telah melampaui batas (dalam kekafiran), maka katakanlah (kepada
Fir’aun), “Adakah keinginanmu untuk membersihkan diri (dari kesesatan), dan engkau
akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar engkau takut kepada-Nya?” Lalu (Musa)
memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Tetapi dia (Fir´aun) mendustakan dan
mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Kemudian dia
mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru (memanggil kaumnya). (seraya)
berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” Maka Allah menghukumnya dengan azab
di akhirat dan azab di dunia. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi
orang yang takut (kepada Allah).” (QS. An Nazi’at, 79: 15-26).
2.1.9 ingkar (kafuran).

Allah Ta’ala telah membimbing manusia ke jalan kebenaran dengan mengutus kepada
mereka para rasul-Nya. Akan tetapi sebagian besar manusia malah mengingkarinya.
‫سبِي َل ِإ َّما شَا ِك ًرا َوِإ َّما َكفُو ًرا‬
َّ ‫ِإنَّا َه َد ْينَاهُ ال‬
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada
pula yang kafir.” (QS. Al-Insan, 76: 3).
Diantara bentuk perbuatan kufur yang mereka lakukan adalah menjadikan makhluk-
makhluk -yang merupakan hamba-hamba Allah- menjadi bagian dari Allah Ta’ala,
ٌ‫سانَ لَ َكفُو ٌر ُمبِين‬
َ ‫َو َج َعلُوا لَهُ ِمنْ ِعبَا ِد ِه ُج ْز ًءا ِإنَّ اِإْل ْن‬
“Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-
Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata.” (QS. Az-Zukhruf,
43: 15).
Mereka menjadikan berhala-berhala, jin, malaikat, pohon-pohon dan batu-batu sebagai
tempat meminta pertolongan. Akan tetapi ketika mereka ditimpa marabahaya yang
mengncam jiwanya dimana mereka tidak dapat meminta tolong kecuali kepada-Nya,
barulah mereka menyeru-Nya dengan sungguh-sungguh. Namun setelah selamat, mereka
kembali berpaling dari-Nya.
‫سانُ َكفُو ًرا‬ ْ ‫ض َّل َمنْ تَ ْدعُونَ ِإاَّل ِإيَّاهُ فَلَ َّما نَ َّجا ُك ْم ِإلَى ا ْلبَ ِّر َأع َْر‬
َ ‫ضتُ ْم َو َكانَ اِإْل ْن‬ َ ‫الض ُّر فِي ا ْلبَ ْح ِر‬ َّ ‫َوِإ َذا َم‬
ُّ ‫س ُك ُم‬
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru
kecuali Dia, maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan
manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (QS. Al-Israa, 17: 67).
Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫سيَِّئةٌ بِ َما قَ َّد َمتْ َأ ْي ِدي ِه ْم فَِإنَّ اِإْل ْن‬
‫سانَ َكفُو ٌر‬ َ ‫َوِإنَّا ِإ َذا َأ َذ ْقنَا اِإْل ْن‬
ِ ُ‫سانَ ِمنَّا َر ْح َمةً فَ ِر َح بِ َها َوِإنْ ت‬
َ ‫ص ْب ُه ْم‬
“Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami, dia
bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan
perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia
itu amat ingkar (kepada nikmat).” (QS. As-Syura, 42: 48)
Dengan sifat inilah, manusia menjadi kotor jiwanya. Jika diberi kekayaan, dikaruniai
kesenangan hidup, kesejahteraan jasmani, perasaan aman sentosa, mereka senang dan
gembira atas karunia tersebut, bahkan sering menimbulkan perasaan angkuh dan takabur.
Tetapi sebaliknya apabila mereka ditimpa kemiskinan, penyakit, musibah yang bermacam-
macam berupa banjir, kebakaran akibat dosa dan maksiat yang dikerjakannya, mereka
mengingkari semua karunia yang telah diberikan Allah kepadanya, lupa akan karunia itu,
malah mereka lupa mengerjakan kebaikan.
Kafuran adalah sifat syaithan. Hal ini ditegaskan oleh Allah Ta’ala,
‫ش ْيطَانُ لِ َربِّ ِه َكفُو ًرا‬
َّ ‫َو َكانَ ال‬
“…dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra, 17: 27)
Syaithan mengingkari nikmat Allah dan tidak mau mensyukurinya, bahkan setan itu
memangkang tidak mau menaati perintah Allah, malah menggoda manusia agar berbuat
maksiat.
KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai