Anda di halaman 1dari 25

SHIFATUL INSAN

“Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas EAS Pendidikan agama islam”

Pembimbing :
DINI ULUWIYAH, S.AG.,M.PD

Disusun Oleh :
Cici Azzahra Putri (10120858)
Dwi Cahya Lestari (10120859)
Golan Ramadhan (10120869)
M. Dandi fadil S. (1010864)
Shayshay Salma Salsabilla (10120855)
Tharisya Inda Vardellina (10120870)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI STIE STEMBI BANDUNG


PROGRAM MANAJEMEN S1
2022

Jl. Buah Batu No.26,RT,03 / RW 07, Burangrang ,Kota Bandung, Jawa Barat 40262
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur selalu dipanjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah
melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya yang tak pernah dapat terhitung. Berkat kuasa dan
ijin-Nya pula makalah ini dapat dikerjakan dan diselesaikan sebagaimana mestinya. Tak lupa
shalawat serta salam tetap tercurah limpahkan kepada junjungan alam dan suri tauladan umat
muslim yakni Nabi Muhammad SAW. Yang telah mengajarkan kita semua bagaimana cara
menjalani kehidupan yang baik dan cara beribadah yang baik.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas EAS Pendidikan agama islam, dan untuk menambah
ilmu wawasan untuk kami yang mengerjakan dan untuk pembaca. Dan atas amanah yang telah
diberikan kepada kami tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

DINI ULUWIYAH, S.AG.,M.PD.

Dan kepeda semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini, kami ucapkan terima
kasih banyak atas bantuan dan dukungannya, semoga Allah Swt. Membalas kebaikan dengan
balasan yang berlipat ganda dan tidak terhingga.

Bandung,Mei 29

Kelompok 5
DAFTAR ISI

Contents
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A Latar belakang.....................................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................2
2.1 Jiwa Manusia Diberi Dua Jalan.............................................................................................................2
2.1.1 Jalan benar (takwa): Membersihkan jiwa.......................................................................................3
2.1.1.1 Bersysukur...............................................................................................................................5
2.1.1.2 Bersabar...............................................................................................................................6
2.1.1.3 Berhati Lembut (Awwah)........................................................................................................8
2.1.1.4 Kasih Sayang (Rahiimun)........................................................................................................9
2.1.1.5 Suka Bertaubat (Awwah)...................................................................................................9
2.1.1.6 Bersikap Lemah lembut.........................................................................................................10
2.1.1.7 Selalu bersikap Jujur ( Shadiqun)..........................................................................................11
2.1.1.8 Terpercaya (Aminun )............................................................................................................12
2.1.2 Jalan Salah (Fujur): Mengotori Jiwa.....................................................................................14
2.1.2.1 Memperturutkan sifat Tergesa-Gesa (‘Ajulan).......................................................................15
2.1.2.2 Berkeluh kesah.......................................................................................................................15
2.1.2.3 Tidak Mau Berbuat Baik (Kikir)...........................................................................................16
2.1.2.4 Kufur.....................................................................................................................................17
2.1.2.5 Pendebatan.............................................................................................................................18
2.1.2.6 Pembentah............................................................................................................................18
2.1.2.7 Zalim......................................................................................................................................19
2.1.2.8 Melampaui batas (thaghiyan).................................................................................................19
KESIMPULAN.........................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................22
BAB 1

PENDAHULUAN
A Latar belakang
Manusia adalah makhluk hidup yang terbentuk dari banyak sifat yang
membentuknya, secara umum sifat manusia terbagi dalam 2 kelompok besar yaitu sifat
kebaikan dan sifat keburukan. Kedua sifat ini selalu menyertai manusia dalam
kehidupan manusia yang akan membawa manusia kedalam kebenaran ataupun
kesesatan, kebahagiaan atau kesedihan.
Sifat manusia sangat ditentukan oleh intensitas dan efektivitas usahanya dalam
melakukan tadzkiyatun nafs. Mengapa? Karena tidak dapat dipungkiri bahwa
manusia diciptakan dengan membawa dua potensi yang berseberangan. Allah telah
mengilhamkan ke dalam jiwanya yaitu fujur /dosa dan ketakwaan. Dalam dua jalan
tersebut tentunya tidak terlepas dari jalan kebaikan dan keburukan yang pastinya akan
berakhir pada kesuksesan atau kerugian, semoga dari sifat sifat yang timbul selalu
berorientasi kepada penyucian jiwa Oleh karena itu manusia ditutut untuk bisa
mensucikan jiwanya karena dengan kesucian jiwanya manusia akan mencapai kepada
kesuksesan dunia dan akhirat.
Tujuan intruksi umum
1. Memahami dua jalan yang diberikan Allah kepada manusia melalui jiwanya.
2. Memahami bahwa untuk meningkatkan kualitas taqwa ia harus beribadah
dengan senantiasa mensucikan jiwa.
3. Termotivasi untuk meninggalkan sifat buruk yang membawa kepada maksiat.
Tujuan intruksi khusus
1 Dengan mempelajari sifat-sifat manusia dapat memahami dan membedakan
jalan kebaikan dan keburukan
2 Manusia dapat mengetahui sifat sifat manusia yang menjadi jalan kesuksesan
dan kegagalan.sehingga bisa menentukan langkah hidupnya
BAB II

PEMBAHASAN
Di dalam pembahasan madah Nafsul Insan, kita sudah mengetahui bahwa Allah Ta’ala
telah mengilhamkan kepada jiwa manusia jalan-jalan kefasikan (al-fujur) dan jalan ketakwaan
(at-taqwa).
‫س َو َما َسوَّاهَا فََأ ْلهَ َمهَا فُجُو َرهَا َوتَ ْق َواهَا‬
ٍ ‫َونَ ْف‬
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya
(jalan) kejahatan dan ketakwaannya…” (QS. As-Syams, 91: 7 – 8)
Buya Hamka menjelaskan makna ayat di atas sebagai berikut.
“Diberilah setiap diri itu ilham oleh Tuhan, mana jalan yang buruk, yang berbahaya, yang akan
membawa celaka supaya janganlah ditempuh, dan bersamaan dengan itu diberinya pula
petunjuk mana jalan yang baik, yang akan membawa selamat dan bahagia dunia dan akhirat.
Artinya, bahwa setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan kesanggupan menerima
Ilham dan petunjuk. Semua orang diberitahu mana yang membawa celaka dan mana yang akan
selamat. Itulah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya Ayat selanjutnya menegaskan,
َ َ‫قَ ْد َأ ْفلَ َح َم ْن زَ َّكاهَا َوقَ ْد خ‬
‫اب َم ْن َدسَّاهَا‬
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang
mengotorinya.” (QS. As-Syams, 91: 9-10)
Dari ayat-ayat Allah Ta’ala di atas kita mengetahui bahwa manusia terbagi menjadi dua
kelompok. Pertama, mereka yang senantiasa melakukan tazkiyah (penyucian jiwa). Kedua,
mereka yang senantiasa melakukan tadsiyah (pengotoran jiwa).

2.1 Jiwa Manusia Diberi Dua Jalan

Sebagaimana allah berfirman Qs Al- Balad :10


Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan[1578], Dan allah memperjelas lagi di Qs As-
Syams :8 bahwa jalan yang akan ditempuh yaitu jalan kebaikan dan keburukan.
Sebagaimana allah berfirman Qs As-Syams :8

Artinya : maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya
Ibn Abbas menafsirkan kata “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha,” bahwa Allah mengajarkan
manusia (‘arrafaha) tentang jalan fasik, dan jalan takwa. Tidak jauh berbeda, Mujahid
juga menafsirkan kata alhamaha sebagai ‘arrafaha; bahwa Allah memperkenalkan jalan taat
dan jalan maksiat bagi manusia. Penafsiran serupa juga dinyatakan oleh al- Farra’, namun ada
juga ulama yang melakukan penafsiran berbeda. Diriwayatkan dari Muhammad ibn Ka‘ab, ia
berkata: “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka diilhamkan
kebaikan baginya sehingga ia berbuat baik. Sebaliknya, jika Allah menghendaki keburukan
terhadap seseorang, maka diilhamkan lah keburukan dalam jiwanya sehingga ia berbuat
jahat.” Pendapat yang serupa juga diriwayatkan oleh al-Dhahhak, menurutnya bersumber
dari Ibn Abbas

2.1.1 Jalan benar (takwa): Membersihkan jiwa


a. Definisis takwa (membersihkan jiwa )
Menurut Ibnu Qayyim berkata, “Hakikat takwa adalah menaati Allah atas dasar iman
dan ihtisab, baik terhadap perkara yang diperintahkan atau pun perkara yang dilarang. Oleh
karena itu, seseorang melakukan perintah itu karena imannya, yang diperintahkan-Nya
disertai dengan pembenaran terhadap janji-jani-Nya. Dengan imannya itu pula, ia
meninggalkan yang dilarang Allah dan takut terhadap ancaman-Nya Takwa dalam Alquran-
memiliki tiga makna yaitu:
1. Takut kepada Allah dan pengakuan superioritas Allah. Hal ini seperti kalam-Nya
yang artinya, “Dan hanya kepada-Ku lah kamu harus bertakwa. (Al-Baqarah: 41).
2. Bermakna taat dan beribadah, sebagaimana kalamnya yang berarti, “Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah denan sebenar-benar takwa.” (Ali-
Imran: 102).
3. Dengan makna pembersihan hati dari noda dan dosa. Maka inilah hakikat dari makna
takwa, seain pertama dan kedua. Sebagaimana firman allah dalam Qs. Asy-syam 9

Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (Qs.


Asy-syam9.)

Mensucikan diri sama dengan membersihkan jiwa. Menurut bahasa Tazkyatun


nafs terdiri dari dua kata: attazkiyah dan an nafs, attazkiyah bermakna at-tathiir, yaitu
penyucian atau pembersihan. Karena itulah zakat, yang satu akar dengan kata at-
tazkiyah disebut zakat karena ia kita tunaikan untuk membersihkan dan menyucikan harta
dan jiwa. Adapun kata an-nafs ( bentuk jamak dari anfus an nufus, berarti jiwa dan nafsu.
Dengan demikian tazkiyatun nafs berarti penyucian jiwa atau nafsu. Namun tazkiyatun
nafs tidak hanya memiliki maka penyucian. At-tazkyah juga memiliki makna an
namuww. Yaitu, tumbuh maksudnya, tazkiyatun nafs itu juga berarti menumbuhkan
jiwa kita agar bisa tumbuh sehat dengan memiliki sifat-sifat yang baik/terpuji.Dari
tinjauan bahasa diatas, bias kita simpulkan bahwa takziyatun nafs itu pada dasanya
melakukan dua hal”.
Pertama, menyucikan jiwa kita dari sifat –sifat (aklaq) yang buruk / tecela
(disebut pula takhalli sepeti kufur, nipaq, riya, hasad, junub, sombong, pemarah,
rakus, suka memperturutan hawa nafsu .
Kedua, menghiasinya iwa yang telah kita sucikan tersebut denggan sifat siat
(ahlaq) yag baik terpuji disebut pula tahaliyy, seperti ikhlas, tawakal, jujur, juhud, cinta
dan kasih sayang. Manusia bertaqwa adalah manusia yang selalu membersihkan atau
menyucikan harta dan jiwanya dari berbagai noda dan kotoran atau sering disebut dengan
(tazkiatun nafs) Berikut ini merupakansifat sifat manusia yan dikelompokan kedalam
kelompok orang orang yang menyucikan jiwa.

2.1.1.1 Bersysukur

Bersyukur adalah suatu perbuatan yang bertujuan untuk berterima kasih atas segala
limpahan nikmat yang telah Allah SWT berikan.
Hal ini tiada lain karena kita menyadari bahwa seluruh kenikmatan yang dirasakan selama ini
adalah berasal dari Allah Ta’ala.

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Hal ini tiada lain karena kita menyadari bahwa seluruh kenikmatan yang dirasakan selama ini
adalah berasal dari Allah Ta’ala.

ِ‫َو َما بِ ُك ْم ِمنْ نِ ْع َم ٍة فَ ِمنَ هللا‬


“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl,
16: 53)
Kenikmatan tersebut tak terhingga banyaknya,
ُ ‫َوِإنْ تَ ُعد ُّْوا نِ ْع َمةَ هللاِ الَ ت ُْح‬
‫ص ْوهَا‬
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan
jumlahnya.” (QS. An-Nahl, 16: 18)
Maka seorang mu’min hendaknya tidak lepas dari sikap syukur ini, karena kehidupan ibarat roda
yang berputar yang harus dihadapi dengan dua sikap: syukur atau sabar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ُ‫ابَ ْته‬R‫ص‬
‫ َّرا ُء‬R‫ض‬ َ ‫ َوِإنْ َأ‬،ُ‫ش َك َر فَ َكانَ َخ ْي ًرا لَه‬ َ ‫ ِإنْ َأ‬،‫س َذلِ َك َِأل َح ٍد ِإالَّ لِ ْل ُمْؤ ِم ِن‬
َ ُ‫صابَ ْته‬
َ ‫س َّرا ُء‬ َ ‫ع ََجبًا َِأل ْم ِر ا ْل ُمْؤ ِم ِن إنَّ َأ ْم َرهُ ُكلَّهُ لَهُ َخ ْي ٌر َولَ ْي‬
ُ‫صبَ َر َف َكانَ َخ ْيراً لَه‬
َ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini
tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia
bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa
kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR.
Muslim)
Banyak bersyukur adalah sifat para nabi. Nabi Nuh ‘alaihis salam dipuji oleh Allah Ta’ala
karena sifat mulia ini,
َ ‫ِإنَّهُ َكانَ َع ْبدًا‬
‫ش ُك ْو ًرا‬
“Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Isra’, 17: 3)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menginginkan dirinya menjadi hamba yang bersyukur.
Untuk itulah beliau selalu melaksanakan shalat malam hingga kedua kakinya bengkak. Manakala
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, ”Mengapa Anda melakukan ini, padahal Allah telah
mengampuni dosa-dosa Anda yang dulu maupun yang akan datang?” Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab:
َ ‫َأفَالَ َأ ُك ْونُ َع ْبدًا‬
‫ش ُك ْو ًرا‬
”Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim),

2.1.1.2 Bersabar
Sebelumnya sudah disebutkan bahwa ada dua sikap yang tidak bisa lepas dari kehidupan
seorang mu’min, yaitu syukur dan sabar, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Oleh karena itu sikap sabar menjadi sebuah keniscayaan
bagi seorang mu’min. Syaikh Yusuf Al Qaradawi dalam bukunya As-Shabru fil Quran membagi
sabar menjadi enam macam, yaitu :
1. Sabar Menerima Cobaan Hidup. Seperti lapar, haus, rasa sakit dan kerugian harta.
Mengenai hal ini Allah Ta’ala berfirman,
‫صابِ ِرينَ الَّ ِذينَ ِإ َذا‬ َّ ‫ش ِر ال‬ ِّ َ‫ت َوب‬ ِ ُ‫ص ِّمنَ اَأل َم َوا ِل َواألنف‬
ِ ‫س َوالثَّ َم َرا‬ ِ ‫َولَنَ ْبلُ َونَّ ُك ْم ِبش َْي ٍء ِّمنَ ا ْل َخوفْ َوا ْل ُج‬
ٍ ‫وع َونَ ْق‬
َ‫صيبَةٌ قَالُوا ِإنَّا هَّلِل ِ َوِإنَّا ِإلَ ْي ِه َرا ِجعُون‬ َ ‫َأ‬
ِ ‫صابَ ْت ُه ْم ُم‬
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi
raaji’uun’” (QS. Al-Baqarah, 2: 155 – 156)
2. Sabar dari Keinginan Hawa Nafsu. Yakni keinginan kepada segala macam kenikmatan
hidup, kesenangan dan kemegahan dunia. Segala keinginan tersebut harus kita kendalikan
dengan kesabaran agar tidak menyebabkan lalai dari mengingat Allah Ta’ala,
ِ ‫م عَنْ ِذ ْك ِر هَّللا ِ َو َمنْ يَ ْف َع ْل َذلِكَ فَُأولَِئكَ ُه ُم ا ْل َخا‬Rْ ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تُ ْل ِه ُك ْم َأ ْم َوالُ ُك ْم َواَل َأ ْواَل ُد ُك‬
َ‫سرُون‬
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang
yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun, 63: 9)
3. Sabar dalam Taat Kepada Allah Ta’ala.Yakni bersungguh-sungguh menghadapi
rintangan yang menggoda, baik dari dalam maupun dari luar diri kita, seperti rasa malas,
mengantuk dan kesibukan yang menyita waktu untuk beribadah.
‫س ِميًّا‬ ِ ‫ت َواَأْل ْر‬
ْ ‫ض َو َما بَ ْينَ ُه َما فَا ْعبُ ْدهُ َو‬
َ ُ‫اصطَبِ ْر لِ ِعبَا َدتِ ِه َه ْل تَ ْعلَ ُم لَه‬ ِ ‫س َما َوا‬
َّ ‫َر ُّب ال‬
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya,
maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu
mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam,
19: 65)
4. Sabar dalam Berdakwah. Hal ini sebagaimana dinasihatkan oleh Luqman kepada anaknya
yang disebutkan di dalam Al-Qur’an,
‫صابَ َك ِإنَّ َذلِ َك ِمنْ ع َْز ِم اُأْل ُمو ِر‬
َ ‫اصبِ ْر َعلَى َما َأ‬ ِ ‫صاَل ةَ َوْأ ُم ْر بِا ْل َم ْع ُر‬
ْ ‫وف َوا ْنهَ َع ِن ا ْل ُم ْن َك ِر َو‬ َّ ‫يَا بُنَ َّي َأقِ ِم ال‬
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah).”  (QS. Luqman, 31: 17)
5. Sabar dalam Perang. Allah Ta’ala berfirman,
َ‫م تُ ْفلِ ُحون‬Rْ ‫صابِ ُروا َو َرابِطُوا َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك‬ ْ ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا‬
َ ‫اصبِ ُروا َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya
kamu beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 200)
6. Sabar dalam Pergaulan. Salah satu prinsip yang diajarkan Islam dalam pergaulan
disebutkan di dalam ayat berikut,
َ ‫سى َأنْ تَ ْك َرهُوا‬
‫ش ْيًئا َويَ ْج َع َل هَّللا ُ ِفي ِه َخ ْي ًرا َكثِي ًرا‬ َ ‫وف فَِإنْ َك ِر ْهتُ ُموهُنَّ فَ َع‬
ِ ‫َاش ُروهُنَّ ِبا ْل َم ْع ُر‬
ِ ‫َوع‬
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisa’, 4: 19)

2.1.1.3 Berhati Lembut (Awwah)


Mengenai makna al-awwah, di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan beberapa riwayat,
diantaranya:
ُ ‫ يَا َر‬:‫س قَا َل َر ُج ٌل‬
‫ َما‬،ِ ‫سو َل هَّللا‬ ٌ ِ‫سلَّ َم َجال‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ بَ ْينَ َما َر‬:‫شدَّا ِد ْب ِن ا ْل َها ِد قَا َل‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ َ ‫عَنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن‬
َ َ‫ “ا ْل ُمت‬:‫اَأْل َّواهُ؟ قَا َل‬
}‫ {ِإنَّ ِإ ْب َرا ِهي َم أل َّواهٌ َحلِي ٌم‬:‫ قَا َل‬،”ُ‫ض ِّرع‬
Dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had mengatakan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sedang duduk, seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah makna al-awwah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:  “ Orang yang sangat lembut hatinya. Allah
Ta’ala telah berfirman: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya
lagi penyantun.” (QS. At-Taubah : 114)
Dalam berbagai riwayat lain yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim disebutkan bahwa al-
awwah artinya: sangat lembut hatinya lagi banyak berdoa, penyayang, mempunyai keyakinan,
orang yang beriman lagi banyak bertaubat, orang yang suka bertasbih (shalat), orang yang
memelihara diri, yakni seseorang yang berbuat dosa secara sembunyi-sembunyi, lalu ia bertobat
dari dosanya itu dengan sembunyi-sembunyi pula.
Dalam riwayat yang disampaikan dari Al-Hasan Ibnu Muslim disebutkan,
ٌ‫ ِإنَّهُ َأ َّواه‬:‫ فَقَا َل‬،‫سلَّ َم‬ َ ُ‫َأنَّ َر ُجاًل َكانَ يُ ْكثِ ُر ِذ ْك َر هَّللا ِ َوي‬
َ ‫ فَ َذ َك َر َذلِ َك لِلنَّبِ ِّي‬،‫سبِّ ُح‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
Bahwa pernah ada seorang lelaki yang banyak berzikir dan bertasbih kepada Allah. Kemudian
perihalnya diceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasul bersabda:
“Sesungguhnya dia awwahun (orang yang berhati lembut).”
Adapula riwayat dari Ibnu Abbas yang menyebutkan:

ِ ‫ تَال ًء لِ ْلقُ ْر‬:‫ “ َر ِح َم َك هَّللا ُ ِإنْ كنتَ َأَل َّواهًا”! يَ ْعنِي‬:‫ فَقَا َل‬،‫سلَّ َم َدفَنَ َميِّتًا‬
‫آن‬ َ ‫َأنَّ النَّبِ َّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengubur jenazah seseorang, lalu beliau
bersabda: ‘Semoga Allah merahmati engkau, sesungguhnya engkau adalah orang yang awwah.’
Yakni banyak membaca Al-Qur’an.”
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-
Taubah: 114) Yang dimaksud dengan awwah ialah faqih (memahami agama).
Berkaitan dengan konteks surat At-Taubah ayat 114 di atas, Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir
mengatakan bahwa pendapat yang paling utama ialah yang mengatakan bahwa al-awwah artinya
banyak berdoa, ini sesuai dengan konteks, karena Allah Ta’ala telah menyebutkan bahwa
Ibrahim tidak sekali-kali memintakan ampun kepada Allah untuk bapaknya, melainkan karena
dia telah berjanji akan melakukannya buat bapaknya.
Makna yang manapun yang kita pilih, sungguh semuanya adalah sifat-sifat yang baik yang
menjadi ciri orang-orang yang melakukan tazkiyah.

2.1.1.4 Kasih Sayang (Rahiimun)


Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia. (QS. Al-Baqarah, 2: 143) Kedua sifat ini pun dinisbatkan oleh Allah Ta’ala
kepada pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang- orang mukmin.” (QS. At-
Taubah, 9: 128)

2.1.1.5 Suka Bertaubat (Awwah)


Manusia adalah makhluk yang lemah. Mereka -tanpa kecuali- seringkali berbuat khilaf
dan salah. Namun di dalam ajaran Islam, orang yang baik itu bukanlah orang yang tidak pernah
berbuat khilaf dan salah; akan tetapi menurut Islam orang yang baik itu adalah orang yang jika
terlanjur berbuat salah ia segera bertaubat kepada Allah Ta’ala.
Bahkan salah satu ciri orang bertakwa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah:
‫ص ُّروا َعلَ ٰى َما فَ َعلُوا‬
ِ ُ‫وب ِإاَّل هَّللا ُ َولَ ْم ي‬ ُّ ‫ستَ ْغفَ ُروا لِ ُذنُوبِ ِه ْم َو َمنْ يَ ْغفِ ُر‬
َ ُ‫الذن‬ َ ُ‫شةً َأ ْو ظَلَ ُموا َأ ْنف‬
ْ ‫س ُه ْم َذ َك ُروا هَّللا َ فَا‬ َ ‫َوالَّ ِذينَ ِإ َذا فَ َعلُوا فَا ِح‬
َ‫َو ُه ْم يَ ْعلَ ُمون‬
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri,
mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran, 3: 135)
Disebutkan pula di dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik , bahwa
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ‫ُك ُّل بَنِي آ َد َم َخطَّا ٌء َو َخ ْي ُر ا ْل َخطَّاِئيْنَ التَّ َّوابُون‬
“Setiap anak Adam (manusia) pasti sering berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang
berbuat kesalahan adalah yang mau bertaubat.” (H.R. Ibnu Majah no. 4251 dan lainnya).
Oleh karena itu, seseorang yang ingin mentazkiyah jiwanya hendaknya berupaya memiliki sifat
awwab ini. Mereka selalu sadar terhadap kekurangan dan kesalahan yang diperbuatnya, lalu
segera mengiringinya dengan taubat disertai keyakinan bahwa Allah Ta’ala akan mengampuni
dosa-dosanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ضلَّهُ فِى َأ ْر‬
‫ض فَالَ ٍة‬ َ ‫ َوقَ ْد َأ‬، ‫سقَطَ َعلَى بَ ِعي ِر ِه‬
َ ‫هَّللا ُ َأ ْف َر ُح ِبت َْوبَ ِة َع ْب ِد ِه ِمنْ َأ َح ِد ُك ْم‬
“Sesungguhnya Allah itu begitu bergembira dengan taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan
seseorang di antara kalian yang menemukan kembali untanya yang telah hilang di suatu tanah
yang luas.” (HR. Bukhari no. 6309 dan Muslim no. 2747).

2.1.1.6 Bersikap Lemah lembut


Mengenai makna al-awwah, di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan beberapa riwayat,
diantaranya:
َ َ‫ا اَأْلوَّاهُ؟ ق‬s‫ َم‬،ِ ‫ول هَّللا‬
:‫ال‬s َ ِ ‫و ُل هَّللا‬s‫ا َر ُس‬s‫ بَ ْينَ َم‬:‫ا َل‬sَ‫ا ِد ق‬sَ‫ َّدا ِد ْب ِن ْاله‬s‫ ِد هَّللا ِ ْب ِن َش‬sْ‫ع َْن َعب‬
َ s‫ا َر ُس‬sَ‫ ي‬:ٌ‫ ل‬sُ‫ا َل َرج‬sَ‫ الِسٌ ق‬s‫لَّ َم َج‬s‫ ِه َو َس‬sْ‫لَّى هَّللا ُ َعلَي‬s‫ص‬
}‫ {ِإ َّن ِإب َْرا ِهي َم ألوَّاهٌ َحلِي ٌم‬:‫ قَا َل‬،”ُ‫ضرِّ ع‬ ْ
َ َ‫“ال ُمت‬
Dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had mengatakan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sedang duduk, seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah makna al-awwah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “ Orang yang sangat lembut hatinya. Allah
Ta’ala telah berfirman: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi
penyantun.” (QS. At-Taubah : 114)
Dalam berbagai riwayat lain yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim disebutkan bahwa al-
awwah artinya: sangat lembut hatinya lagi banyak berdoa, penyayang, mempunyai keyakinan,
orang yang beriman lagi banyak bertaubat, orang yang suka bertasbih (shalat), orang yang
memelihara diri, yakni seseorang yang berbuat dosa secara sembunyi-sembunyi, lalu ia bertobat
dari dosanya itu dengan sembunyi-sembunyi pula.
Dalam riwayat yang disampaikan dari Al-Hasan Ibnu Muslim disebutkan,
ٌ‫ ِإنَّهُ َأوَّاه‬:‫ال‬
َ َ‫ فَق‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ‫ فَ َذ َك َر َذل‬،ُ‫َأ َّن َر ُجاًل َكانَ يُ ْكثِ ُر ِذ ْك َر هَّللا ِ َويُ َسبِّح‬
َ ‫ك لِلنَّبِ ِّي‬
Bahwa pernah ada seorang lelaki yang banyak berzikir dan bertasbih kepada Allah. Kemudian
perihalnya diceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasul bersabda:
“Sesungguhnya dia awwahun (orang yang berhati lembut).”
Adapula riwayat dari Ibnu Abbas yang menyebutkan:
ِ ْ‫ تَال ًء لِ ْلقُر‬:‫ك هَّللا ُ ِإ ْن كنتَ َأَلوَّاهًا”! يَ ْعنِي‬
‫آن‬ َ ‫ “ َر ِح َم‬:‫ فَقَا َل‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َدفَنَ َميِّتًا‬ َّ ِ‫َأ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengubur jenazah seseorang, lalu beliau
bersabda: ‘Semoga Allah merahmati engkau, sesungguhnya engkau adalah orang yang awwah.’
Yakni banyak membaca Al-Qur’an.”
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-
Taubah: 114) Yang dimaksud dengan awwah ialah faqih (memahami agama).
Berkaitan dengan konteks surat At-Taubah ayat 114 di atas, Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir
mengatakan bahwa pendapat yang paling utama ialah yang mengatakan bahwa al-awwah artinya
banyak berdoa, ini sesuai dengan konteks, karena Allah Ta’ala telah menyebutkan bahwa
Ibrahim tidak sekali-kali memintakan ampun kepada Allah untuk bapaknya, melainkan karena
dia telah berjanji akan melakukannya buat bapaknya.
Makna yang manapun yang kita pilih, sungguh semuanya adalah sifat-sifat yang baik yang
menjadi ciri orang-orang yang melakukan tazkiyah.

2.1.1.7 Selalu bersikap Jujur ( Shadiqun)


Mereka yang mentazkiyah jiwanya, pasti akan berusaha menghiasi dirinya dengan
kejujuran, sebagaimana diperintahkan oleh Allah Ta’ala,
َ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو ُكونُوا َم َع الصَّا ِدقِين‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama
orang-orang yang jujur (benar)!” (QS At-Taubah: 119) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun memeritahkan kepada umatnya untuk bersikap jujur.
ِ ‫َب ِع ْن َد هَّللا‬ َ ‫ق َحتَّى يُ ْكت‬ َ ‫ص ْد‬
ِّ ‫ق َويَت ََحرَّى ال‬ ُ ‫ق يَ ْه ِدى ِإلَى ْالبِ ِّر َوِإ َّن ْالبِ َّر يَ ْه ِدى ِإلَى ْال َجنَّ ِة َو َما يَزَ ا ُل ال َّر ُج ُل يَصْ ُد‬ َ ‫ق فَِإ َّن الصِّ ْد‬ ِ ‫ص ْد‬ ِّ ‫َعلَ ْي ُك ْم بِال‬
‫ب َحتَّى‬ َ ‫ ِذ‬s‫ رَّى ْال َك‬s‫ ِذبُ َويَتَ َح‬s‫ ُل يَ ْك‬s‫ َزا ُل ال َّر ُج‬sَ‫ا ي‬ss‫ار َو َم‬
ِ َّ‫ُور َوِإ َّن ْالفُجُو َر يَ ْه ِدى ِإلَى الن‬ِ ‫ب يَ ْه ِدى ِإلَى ْالفُج‬ َ ‫ب فَِإ َّن ْال َك ِذ‬
َ ‫صدِّيقًا َوِإيَّا ُك ْم َو ْال َك ِذ‬ ِ
‫َب ِع ْن َد هَّللا ِ َك َّذابًا‬
َ ‫يُ ْكت‬
“Kalian wajib berlaku jujur. Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan
(ketakwaan) dan sesungguhnya ketakwaan akan mengantarkan kepada surga. Jika seseorang
senantiasa berlaku jujur dan selalu berusaha untuk jujur maka akan dicatat di sisi Allah sebagai
orang yang shiddiiq (yang sangat jujur). Kalian harus menjauhi kedustaan. Sesungguhnya
kedustaan itu akan mengantarkan kepada perbuatan dosa dan sesungguhnya dosa itu akan
mengantarkan kepada neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan selalu berusaha untuk
berdusta, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang kadzdzaab (suka berdusta).” (HR
Al-Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607/6637)
Bersikap jujur tidaklah mudah; ia membutuhkan kekuatan iman yang prima. Diantara upaya
melatih kejujuran adalah dengan cara zuhud terhadap dunia dan menahan diri dari mengikuti
orang-orang yang ingkar; hal ini karena kedustaan biasanya berawal dari sikap cinta kepada
dunia. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
‫ف ع َْن َأ ْه ِل ال ِملَّ ِة‬ ُّ ِ‫ فَ َعلَ ْيكَ ب‬، َ‫ِإ ْن َأ َردْتَ َأ ْن تَ ُكوْ نَ َم َع الصَّا ِدقِ ْين‬.
ُّ ‫ َوال َك‬،‫الز ْه ِد فِي ال ُّد ْنيَا‬
“Apabila engkau ingin bersama orang-orang yang jujur, maka engkau wajib berzuhud terhadap
dunia dan menahan diri dari (mengikuti) orang kafir.” (Tafsiir Ibnu Katsir IV/234).

2.1.1.8 Terpercaya (Aminun )


Yakni dapat diandalkan karena jujur dan tidak suka berbuat curang atau menipu. Sifat ini
adalah sifat para rasul. Dalam sirah nabawiyah kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi gelar al-amin, karena memiliki sifat amanah dan terpercaya.
Di dalam Al-Qur’an pun dapat kita temukan beberapa ayat dimana para rasul menyipati dirinya
sebagai al-amin. Nabi Nuh berkata kepada kaumnya,
ٌ‫سو ٌل َأ ِمين‬
ُ ‫ ِإنِّي لَ ُك ْم َر‬. َ‫َأال تَتَّقُون‬.
“Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang
diutus) kepadamu” (QS. Al-Syu’ara, 26 : 106-107).
Nabi Nuh mengatakan hal tersebut di atas sebagai bentuk keheranannya atas kesyirikan yang
dilakukan kaumnya, padahal sudah dilarang olehnya dan dia termasuk orang yang dikenal
terpercaya dan tidak pernah dicurigai oleh kaumnya Nabi Hud mengatakan pula seperti apa yang
dikatakan oleh Nabi Nuh,
ٌ‫سو ٌل َأ ِمين‬
ُ ‫ ِإنِّي لَ ُك ْم َر‬. َ‫َأال تَتَّقُون‬.
“Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang
diutus) kepadamu” (QS. Al-Syu’ara’, 26: 124-125).
Pada ayat yang lain, Nabi Hud disebutkan sebagai pemberi nasehat yang dapat dipercaya,
ٌ‫ص ٌح َأ ِمين‬
ِ ‫ت َربِّي َوَأنَا لَ ُك ْم نَا‬ َ ‫ ُأبَلِّ ُغ ُك ْم ِر‬. َ‫سو ٌل ِمنْ َر ِّب ا ْل َعالَ ِمين‬
ِ ‫سااَل‬ ُ ‫سفَا َهةٌ َولَ ِكنِّي َر‬ َ ‫َيا قَ ْو ِم لَ ْي‬
َ ‫س بِي‬
“Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi aku ini adalah utusan dari
Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah
pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS. Al-A‘raf, 7: 67-68)
Hal yang sama dilakukan pula oleh Nabi Salih, Nabi Luth dan Nabi Syu’aib, mereka
mengingatkan kaumnya tentang sifat jujur dan terpercaya yang telah dikenal sejak dahulu.
Di samping nabi-nabi yang telah disebutkan di atas, nabi yang juga disifati sebagai al-amin
adalah Nabi Musa. Bahkan ia disebutkan dua kali sebagai al-amin dalam Al-Qur’an. Pertama,
disebutkan pada surat al-Dukhan ayat 18.
ٌ‫سو ٌل َأ ِمين‬
ُ ‫ َأنْ َأدُّوا ِإلَ َّي ِعبَا َد هَّللا ِ ِإنِّي لَ ُك ْم َر‬.‫سو ٌل َك ِري ٌم‬
ُ ‫ َولَقَ ْد فَتَنَّا قَ ْبلَ ُه ْم قَ ْو َم فِ ْرع َْونَ َو َجا َء ُه ْم َر‬.
 “Sesungguhnya sebelum mereka telah kami uji kaum Fir’aun dan telah datang kepada mereka
seorang Rasul yang mulia  (dengan berkata): “Serahkanlah kepadaku hamba-hamba Allah
(Bani Israil yang kamu perbudak). Sesungguhnya Aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya
kepadamu”.
Sedangkan kata al-amin kedua yang diberikan kepada Nabi Musa berkaitan dengan penilaian
salah seorang putri Nabi Syu’aib kepada Nabi Musa,
ُّ ‫ستَْأ َج ْرتَ ا ْلقَ ِو‬
ُ‫ي األ ِمين‬ ْ ‫ستَْأ ِج ْرهُ ِإنَّ َخ ْي َر َم ِن ا‬ ِ َ‫قَالَتْ ِإ ْحدَا ُه َما يَا َأب‬
ْ ‫تا‬
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya’” (QS. Al-Qashshas, 28 : 26).
Putri Nabi Syu’aib mensifati Nabi Musa sebagai al-amin karena akhlak Nabi Musa yang
menjaga pandangannya ketika berjalan dengan wanita. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan
bahwa Umar, Ibnu Abbas, Syuraih Al-Qadi, Abu Malik, Qatadah, Muhammad ibnu Ishaq, dan
lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan bahwa tatkala wanita itu mengatakan:
karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah
orang yang kuat lagi dapat dipercaya, maka ayahnya bertanya, “Apakah yang mendorongmu
menilainya seperti itu?” Ia menjawab, “Sesungguhnya dia dapat mengangkat batu besar yang
tidak dapat diangkat kecuali hanya oleh sepuluh orang laki-laki. Dan sesungguhnya ketika aku
berjalan bersamanya, aku berada di depannya, namun ia mengatakan kepadaku, “Berjalanlah
kamu di belakangku. Jika aku salah jalan, beri tahulah aku dengan lemparan batu kerikil, agar
aku mengetahui jalan mana yang harus kutempuh.’”
Itulah diantara sifat-sifat mulia yang harus kita wujudkan dalam rangka melakukan tazkiyah
kepada jiwa kita, dan bagi siapa saja yang mau melakukannya tentu akan menjadi orang yang
muflihun (beruntung).
‫قَ ْد َأ ْفلَ َح َمنْ زَ َّكاهَا‬
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)…”  (QS. As-Syams, 91: 9)

2.1.2 Jalan Salah (Fujur): Mengotori Jiwa


a. Definisi fujur (mengotori jiwa )
Menurut kamus besar bahasa indonesia Fujur memiliki arti dalam kelas nomina
atau kata benda sehingga fujur dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua
benda yang dibendakan. Menurut para ulama Sedangkan at-tadsiyah atau pengotoran
jiwa adalah menenggelamkan jiwa kedalam dosa dan kemaksiatan. Ibnul qayyim al
jauziyah menafsirkan sungguh merugi orang yang menyembunyikan, merendahkan dan
menghinakan jiwanya dengan kemaksiatan kepada Allah Sedangkan jiwa kita akan
menjadi kotor apabila kita membiarkan sifat-sifat tidak terpuji bersarang di dalamnya, di
antara sifat-sifat tidak terpuji itu adalah: fujur adalah perbuatan buruk dan perilaku yang
bertentangan dengan syariat. Perbuatan yang menyalahi syariat atau perikemanusiaan
(perbuatan maksiat)
Sebagaimana Firman allah Qs Asyams : 10

Artinya : dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (Qs Asyams : 10)
Demikian berita yang Allah sampaikan didalam kitabNya. Merugilah orang yang mengotori
jiwanya dengan noktah-noktah hitam berbagai bentuk dosa dan maksiat kepada Allah
subhanahu wata’ala. Allah mendahului pernyataan ini sebelumnya dengan bersumpah
dengan jiwa, ini merupakan indikasi yang menunjukkan akan pentingnya perkara jiwa itu,
yang semestinya seorang hamba memiliki perhatian yang ekstra terhadap kondisi jiwanya.
Menjaga jiwanya agar jernih tidak menjadi keruh oleh karena kemaksiatan dan
pelanggaran terhadap rambu-rambu kehidupan yang telah ditetapkan oleh Rabb alam
semesta. sungguh kemaksiatan merupakan sebab terbesar yang akan menjadikan hati
ternoda sehingga sifat kejernihannya berubah menjadi keruh. Bila jiwa telah keruh, maka ia
akan mendorong pemiliknya untuk melakukan berbagai keburukan perilaku dan tindakan.
Setan pun tidak tinggal diam melihat kondisi jiwa manusia yang demikian ini. Setan
semakin bersemangat dalam membantu pemilik jiwa tersebut untuk terus menyambung
kekeruhan jiwa yang melahirkan tindakkan buruk yang juga akan semakin menambah
kekeruhannya. Bahkan, bukan hanya setan yang ikut andil dalam membatu dirinya namun
juga dari kalangan manusia yang memiliki jiwa-jiwa yang sama-sama kotornya pun ikut
serta menambah semakin kotornya jiwa. Ketika jiwa-jiwa yang kotor yang saling
membantu untuk meningkatkan kekeruhannya telah berkumpul, maka akan melahirkan
seabreg kemaksiatan yang serupa atau dalam bentuk tindakan dan perilaku buruk yang
lainnya.

2.1.2.1 Memperturutkan sifat Tergesa-Gesa (‘Ajulan)


Allah Ta’ala menyebutkan tentang hal ini dengan firman-Nya,
َ ‫َو َكانَ اِإْل ْن‬
‫سانُ ع َُجواًل‬
“Dan manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al-Isra, 17:11)
Di dalam Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu disebutkan bahwa yang dimaksud manusia itu
mempunyai sifat tergesa-gesa yaitu apabila ia menginginkan sesuatu sesuai dengan kehendak
hatinya, maka tertutuplah pikirannya untuk menilai apa yang diinginkannya itu, apakah
bermanfaat bagi dirinya, ataukah merugikan. Hal itu semata-mata didorong oleh sifat-sifat
tergesa-gesa untuk mencapai tujuannya, tanpa dipikirkan dengan pemikiran yang matang terlebih
dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya manusia itu tertarik pada keadaan lahiriah
dari sesuatu tanpa meneliti hakikat dan rahasia dari sesuatu itu lebih mendalam.

Berkenaan dengan sifat tergesa-gesa ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َّ ‫التََّأن ِّي ِمنَ هللاِ َو ال ُع ْجلَةُ ِمنَ ال‬
‫ش ْيطَا ِن‬
“Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal
dari setan.” (HR. Abu Ya’la dan Baihaqi).

2.1.2.2 Berkeluh kesah


Sebagaimana firman allah Qs Al- Maarij : (19-20)
Artinya : Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah,( Qs Al- maarij :19-20)
Manusia suka berkeluh kesah ketika mendapatkan musibah seperti kemiskinan, sakit,
hilangnya sesuatu yang dicintai baik harta, istri maupun anak dan tidak menyikapinya dengan
sikap sabar dan ridha kepada taqdir Allah. Mereka juga tidak menginfakkan harta yang Allah
berikan kepadanya dan tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya. Dia berkeluh
kesah ketika mendapatkan kesusahan dan menjadi kikir ketika mendapatkan kesenangan.

2.1.2.3 Tidak Mau Berbuat Baik (Kikir)


Manakala manusia selalu terpaut hatinya kepada dunia dimana orientasi hidupnya adalah
kesenangan materi, maka pastilah mereka akan selalu berlomba-lomba mengejar perbendaharaan
dunia untuk berbangga diri dan bermegah-megahan. Inilah yang menyebabkan mereka bersifat
kikir dan jiwanya menjadi kotor karenanya. Mereka tidak sadar hakikat harta dan kekayaan
sebagai pemberian dan titipan Allah Ta’ala.
‫سانُ قَتُو ًرا‬ ِ َ‫شيَةَ اِإْل ْنف‬
َ ‫اق َو َكانَ اِإْل ْن‬ َ ‫قُ ْل لَ ْو َأ ْنتُ ْم تَ ْملِ ُكونَ َخ َزاِئنَ َر ْح َم ِة َربِّي ِإ ًذا َأَل ْم‬
ْ ‫س ْكتُ ْم َخ‬
“Katakanlah: ‘Kalau seandainya kamu menguasai khazanah rahmat Tuhanku, niscaya khazanah
itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya’. Dan adalah manusia itu sangat kikir“. (QS.
Al-Isra’, 17: 100 )
Di dalam Tafsir At-Thabari disebutkan bahwa menurut Ibnu Abbas, qaturan artinya adalah
bakhilan (bakhil/kikir).
Di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perilaku kekikiran ini disebut pula dengan
istilah as-syuhhu, yang digolongkan oleh beliau sebagai bagian dari as-sab’ul mubiqat (tujul hal
yang menghancurkan).
‫ «الش ِّْر ُك‬:‫ َما ِه َي؟ قَا َل‬،ِ ‫سو َل هَّللا‬ُ ‫ يَا َر‬:‫ت» قِي َل‬ ِ ‫س ْب َع ا ْل ُموبِقَا‬
َّ ‫«اجتَنِبُوا ال‬ْ :‫سلَّ َم قَا َل‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ُ ‫ َأنَّ َر‬،َ‫عَنْ َأبِي ُه َر ْي َرة‬
ِ ‫صنَا‬
‫ت‬ َ ‫ َوقَ ْذفُ ا ْل ُم ْح‬،‫ف‬ ِ ِ‫ َوَأ ْك ُل َما ِل ا ْليَت‬،‫ َوَأ ْك ُل ال ِّربَا‬،ِّ‫س الَّتِي َح َّر َم هَّللا ُ ِإاَّل بِا ْل َحق‬
ِ ‫ َوالتَّ َولِّي يَ ْو َم ال َّز ْح‬،‫يم‬ ِ ‫ َوقَ ْت ُل النَّ ْف‬،‫ َوالش ُُّّح‬،ِ ‫بِاهَّلل‬
ِ ‫ت ا ْل ُمْؤ ِمنَا‬
‫ت‬ ِ ‫»ا ْل َغافِاَل‬
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu  beliau berkata, “Rasullullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda, ‘Jauhillah tujuh kehancuran yang dapat menimpa kalian.’ Lalu
(shahabat) bertanya, ‘Apakah itu wahai Rasulullah?’ Lalu beliau menjawab, ‘Menyekutukan
Allah, kikir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah, memakan riba, memakan harta anak yatim,
lari dari peperangan, menuduh zina wanita mukminat yang suci.” (HR. an-Nasa`i).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan orang bakhil adalah orang yang menahan (hartanya) dengan tidak menunaikan
(hak dan kewajiban) yang berkaitan dengan harta yang dimilikinya tersebut. Sedangkan orang
kikir (as-syuhhu) adalah orang yang tamak/rakus terhadap apa-apa yang sebenarnya bukan
miliknya, dan tentu saja ini lebih parah dari bakhil, karena orang yang kikir itu selalu berambisi
terhadap apa-apa yang dimiliki oleh orang lain, dan dirinya tidak menjalankan apa-apa yang
Allah wajibkan kepadanya, seperti zakat, berinfak, dan hal-hal lain yang sudah selayaknya dia
lakukan (dengan harta yang dimilikinya). (Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Alfa, Juz ke-2, halaman 234)
Perilaku as-syuhhu (kikir) disebut pula dapat menyebabkan pertumpahan darah dan mencederai
kehormatan sesama manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ْ‫ َح َملَ ُه ْم َعلَى َأن‬،‫ُّح َأ ْهلَ َك َمنْ َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم‬
،‫سفَ ُكوا ِد َما َء ُه ْم‬ َّ ‫ فَِإنَّ الش‬،‫ُّح‬ َّ ‫ َواتَّقُوا الش‬،‫ظ ْل َم ظُلُ َماتٌ يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة‬
ُّ ‫ فَِإنَّ ال‬،‫ظ ْل َم‬
ُّ ‫ِإيَّا ُك ْم َوال‬
‫ست ََح ُّلوا َم َحا ِر َم ُه ْم‬
ْ ‫َوا‬
“Berhati-hatilah kalian terhadap perbuatan dzalim, karena sesungguhnya dzalim itu merupakan
kegelapan yang paling gulita kelak di hari kiamat. Dan berhati-hatilah kalian dari sifat kikir,
karena sifat kikir telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Sifat kikir pulalah yang
telah membuat mereka tega menumpahkan darah dan menghalalkan kehormatan sesama
mereka.” (HR Muslim)

2.1.2.4 Kufur
Kufur artinya mengingkari atau menduakan allah sebagaimana
fieman allah Qs.Ibrahim :34

Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan
kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.
Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari(nikmatAllah).
(Qs.Ibrahim:34)
2.1.2.5 Pendebatan

Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini
bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.

2.1.2.6 Pembentah

sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya,
manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (QS. Al-Kahfi, 18:54)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini sebagai berikut, “Sesungguhnya Kami telah menjelaskan
dan menerangkan di dalam Al-Qur’an ini berbagai perkara secara rinci, agar mereka tidak sesat
dari perkara yang hak dan agar mereka tidak menyimpang dari jalan petunjuk. Akan tetapi,
sekalipun dengan adanya keterangan dan penjelasan ini yang membedakan antara perkara yang
hak dan perkara yang batil, manusia itu banyak membantah, suka menentang, dan bersikap oposisi
terhadap perkara yang hak dengan mengikuti perkara yang batil, kecuali orang-orang yang
diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah memperlihatkan kepadanya jalan menuju keselamatan.”
Salah satu contoh perilaku jadalan adalah apa yang ditunjukkan oleh seorang Quraisy
bernama Abdullahbin Az-Zab’ari.
Sewaktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan di hadapan orang Quraisy
surat Al-Anbiya ayat 98 yang artinya: “Sesungguhnya kamu dan yang kamu sembah selain Allah
adalah kayu bakar Jahannam.”, bertanyalah ia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang keadaan Isa yang disembah orang Nasrani, apakah beliau juga menjadi kayu bakar
neraka Jahannam seperti halnya sembahan-sembahan mereka? Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam terdiam dan merekapun mentertawakannya; lalu mereka menanyakan lagi
mengenai mana yang lebih baik antara sembahan-sembahan mereka dengan
Isa ‘alaihissalam. Pertanyaan-pertanyan mereka ini hanyalah mencari perbantahan saja,
bukan untuk mencari kebenaran.
2.1.2.7 Zalim

Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan
kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.
Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmatAllah).
Manusia menyanggupi amanat yang ditawarkan kepadanya - apabila dikerjakan akan
mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan akan disiksa- karena itulah ia disebut jahula,
karena tidak mengetahui kemampuan dirinya sendiri. Berkata Ibnu Abbas tentang makna
dzaluman jahulan.

2.1.2.8 Melampaui batas (thaghiyan)


Sifat melampaui batas disini maksudnya adalah melampaui/melanggar rambu-rambu
perintah dan larangan Allah Ta’ala. Mereka menyimpang  dari ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah Ta’ala melalui seruan para rasul.
Allah Ta’ala berfirman,
ْ ‫ َأنْ َرآهُ ا‬ ‫سانَ لَيَ ْط َغى‬
‫ستَ ْغنَى‬ َ ‫كَاَّل ِإنَّ اِإْل ْن‬
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya
serba cukup.” (QS. Al-‘Alaq, 96: 6-7)
Allah menyesali manusia karena banyak mereka yang cenderung lupa diri sehingga melakukan
tindakan-tindakan yang melampaui batas, yaitu kafir kepada Allah dan sewenang-wenang
terhadap manusia. Kecenderungan itu terjadi kepada mereka merasa sudah berkecukupan.
Dengan demikian, ia merasa tidak perlu beriman, dan karena itu ia berani melanggar hukum-
hukum Allah. Begitu juga karena sudah merasa berkecukupan, ia merasa tidak butuh orang lain
dan merasa berkuasa, dan karena itu ia akan bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain itu.
Diantara contoh sikap orang-orang yang melampaui batas yang disebutkan di dalam Al-Qur’an
adalah sikap para pemilik kebun yang enggan menyisihkan sebagian hasil panennya untuk fakir
miskin. Mereka pergi untuk memanen hasil kebunnya di pagi hari dengan berbisik-bisik untuk
menghindari orang-orang miskin. Padahal Allah Ta’ala telah memusnahkan kebun-kebun
mereka itu di malam harinya. Maka pada saat mereka melihat kebun-kebunnya yang telah
musnah ini, barulah mereka sadar terhadap perilaku melampaui batas yang telah mereka
kerjakan.
َ ‫قَالُوا يَا َو ْيلَنَا ِإنَّا ُكنَّا‬
َ‫طا ِغين‬
“Mereka berkata: ‘Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang
melampaui batas’”. (QS. Al-Qalam, 68: 31)
Contoh lain sifat thagiyan adalah apa yang ditunjukkan oleh Fir’aun la’natullahi ‘alaih
yang selalu berbuat kejam dan bengis serta sangat durhaka dan sombong. Allah Ta’ala mengutus
Musa kepadanya agar ia mau bertaubat menyucikan jiwanya, mengikuti petunjuk Allah Ta’ala,
dan takut kepada-Nya, namun ia malah membangkang dan berlaku sombong. Bahkan mendakwa
diri sebagai tuhan yang paling tinggi.
ْ‫) فَقُ ْل َه ْل لَ َك ِإلَى َأن‬١٧( ‫) ْاذه َْب ِإلَى فِ ْرع َْونَ ِإنَّهُ طَ َغى‬١٦(  ‫س طُ ًوى‬ ِ ‫) ِإ ْذ نَادَاهُ َربُّهُ بِا ْل َوا ِدي ا ْل ُمقَ َّد‬١٥( ‫سى‬ ُ ‫َه ْل أتَا َك َح ِد‬
َ ‫يث ُمو‬
‫) فَ َحش ََر فَنَادَى‬٢٢( ‫س َعى‬ ْ َ‫) ثُ َّم َأ ْدبَ َر ي‬٢١( ‫صى‬َ ‫) فَ َك َّذ َب َو َع‬٢٠( ‫) فََأ َراهُ اآليَةَ ا ْل ُك ْب َرى‬١٩( ‫) َوَأ ْه ِديَكَ ِإلَى َربِّكَ فَت َْخشَى‬١٨( ‫تَزَ َّكى‬
ِ ‫) فََأ َخ َذهُ هَّللا ُ نَ َكا َل‬٢٤( ‫) فَقَا َل َأنَا َربُّ ُك ُم األ ْعلَى‬٢٣(
)٢٦( ‫) ِإنَّ فِي َذلِكَ لَ ِع ْب َرةً لِ َمنْ يَ ْخشَى‬٢٥( ‫اآلخ َر ِة َواألولَى‬
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) kisah Musa? Ketika Tuhan memanggilnya (Musa) di
lembah suci yaitu lembah Thuwa; “Pergilah engkau kepada Fir’aun! Sesungguhnya dia telah
melampaui batas (dalam kekafiran), maka katakanlah (kepada Fir’aun), “Adakah keinginanmu
untuk membersihkan diri (dari kesesatan), dan engkau akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar
engkau takut kepada-Nya?” Lalu (Musa) memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar.
Tetapi dia (Fir´aun) mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha
menantang (Musa). Kemudian dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru
(memanggil kaumnya). (seraya) berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” Maka Allah
menghukumnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia. Sungguh, pada yang demikian itu
terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Allah).” (QS. An Nazi’at, 79: 15-26).
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa moral menurut pandangan islam
yang dalam membentuk insan kamil merupakan suatu manusia yang mempunyai kepribadian
seorang muslim yang diartikan sebagai identitas yang dimiliki seseorang sebagai ciri khas
keseluruhan tingkah laku baik yang ditampilkan dalam tingkah laku secara lahiriyah maupun
sikap batinya. Insan kamil sendiri merupakan suatu sosok manusia yang mempunyai kepribadian
muslim yang sempurna. Insan berarti menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara
langsung mengarah pada totalitas, bukan berarti fisiknya namun dari segi sifatnya. Sedangkan
kata yang berarti sempurna, hal ini digunakan untuk menunjukkan pada zat dan sifat.

Dalam hal ini kepribadian muslim merupakan suatu yang lebih abstrak atau suatu yang
terlihat lagi dari pada kedewasaan rohaniah. Dan dijelaskan pula tentang konsep moral menurut
islam, ciri-ciri Insan kamil, proses pembentukan Insan kamil, penerapan moral menurut islam
untuk membentuk insan kamil, hanya ditujukan supaya manusia bisa belajar akan penting prilaku
yang baik dan bisa membentuk kepribadian yang lebih bai
DAFTAR PUSTAKA

AL- QUR'ANUL KARIM WA TAFSIRU. (n.d.). Jilid VII, 462.

AL-QUR'ANUL KARIM WA TAFSIRU. (n.d.). Jilid X, 722.

AL-QUR'ANUL KARIM WA TAFSIRU. (n.d.). Jilid V, 444.

Andirja, F. (n.d.). Melawan Lupa. Sifat Sifat Manusia.

AR, M. Y. (2005). Keagungan Sifat Manusia Dibawah Tuntunan Al-Qur'an. Pejuang, Bekasi: Tsaqafah.

At-Thabari, T. (n.d.). Shifatul Insan. Golden Sotf.

Harun, D. A. (1994). MENGENAL FASE FASE KEJADIAN KEHIDUPAN DAN SIFAT SIFAT MANUSIA MENURUT
AL-QUR'AN. Jakarta Pusat: KALAM MULIA.

Jalalain, T. (n.d.). Mengenal Sifatul Insan. Sifatul Insan, 427.

Tarbawiyah. (2018). Shifatul Insan. PENGERTIAN SHIFATUL INSAN.

Anda mungkin juga menyukai