2023
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat tak terhingga,
pertolongan yang terbentang luas bagi hambanya, bumi yang tesusun rapih oleh gunung- gunung
sebagai pasaknya dan yang menciptakan langit tiada ujungnya.
Secara sadar kami akui, bahwa penyusunan makalah ini barangkali belum mencapai
target yang diharapkan. Hal ini terjadi bukan faktor kesengajaan namun karena keterbatasan dan
kekurangan yang dimiliki oleh kami dan juga sebagai manusia biasa, maka dengannya segala
bentuk kesalahan akan selalu hadir kapan dan dimanapun manusia berada. Makalah ini dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Ahlak.
Permohonan maaf kami sampaikan kepada seluruh rekan-rekan khususnya kepada dosen
pengampu mata kuliah ini, yakni Drs. H. Achmad Ghalib, M.Ag , apabila di dalam makalah ini
belum mencapai titik yang maksimal.
Penyusun berharap makalah ini bermanfaat bagi pembaca, serta dapat membantu bagi
perkembangan mahasiswa di masa yang akan datang. Sekali lagi kami ucapkan banyak terima
kasih kepada seluruh pihak yang sudah membantu, semoga Allah Swt membalas semua kebaikan
yang telah diberikan. Aamiin.
Kelompok 11
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG..........................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................................4
C. TUJUAN PENULISAN........................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..............................................................................................................................6
A. PENGERTIAN.....................................................................................................................6
BAB III..........................................................................................................................................22
PENUTUP.....................................................................................................................................22
A. KESIMPULAN...................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................23
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia diciptakan oleh Allah Swt dalam dua dimensi jiwa. Ia memiliki karakter,
potensi, orientasi, dan kecenderungan yang sama untuk melakukan hal-hal positif dan
negatif. Inilah salah satu ciri spesifik manusia yang membedakannya dari makhluk-
makhluk lainnya sehingga manusia dikatakan sebagai makhluk alternatif. Artinya,
manusia bisa menjadi baik dan tinggi derajatnya dihadapan Allah atau sebaliknya, ia pun
bisa menjadi jahat dan jatuh terperosok pada porsi yang rendah dan buruk seperti hewan,
bahkan lebih rendah dari hewan.
Dua dimensi jiwa manusia, yaitu positif dan negatif senantiasa saling menyaingi,
mempengaruhi, dan berperang. Islam sebagai agama yang haq memberikan tuntunan
kepada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memiliki dan
menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan,
tazkiyat atau penyucian jiwa, dan tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori
jiwa. Oleh karena itu, mak alah ini akan membahas tentang tazkiyatun-nafs, khususnya
yaitu mujahadah dan riyadhah.
B. RUMUSAN MASALAH
4
C. TUJUAN PENULISAN
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
1. Tazkiyat Al-nafs
Tazkiyat secara etimologis mempunyai dua makna yaitu penyucian dan
pertumbuhan. Demikian pula maknanya secara istilah. Zakatun-nafsi artinya penyucian
(tathahhur) jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisasikan (tahaqquq) berbagai
maqam padanya, dan menjadikan asma’ dan sifat sebagai akhlaqnya (takhalluq).
Tazkiyat an-nafs secara singkat berarti membersihkan jiwa dari kemusyrikan dan
cabang-cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan tauhid dan cabang-cabangnya,
dan menjadikan nama-nama Allah yang baik sebagai akhlaknya, disamping ‘ubudiyah
yang sempurna kepada Allah dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah.
Semua itu melalui peneladanan kepada Rasulullah saw.
Tazkiya an-nafs (membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas yang diemban
rasulullah saw. pengertian tersebut dapat dilihat dalam kitab-kitab tafsir. Sebagaimana
Allah Berfirman dalam Surah Al-Jumu’ah :2 “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah).
dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”
6
Dengan demikian, pengertian tazkiyat an-nafs berhubungan erat dengan soal
akhlak dan kejiwaan, serta dalam islam berfungsi sebagai pola pembentukan manusia
yang berakhlak baik dan bertakwa kepada Allah. Karenanya, siapapun yang
mengharapkan Allah dan hari akhir, mesti memperhatikan kebersihan jiwanya. Allah juga
menjadikan kebahagiaan seorang hamba tergantung kepada tazkiyah an-nafs. Hal ini di
sebutkan dalam al-Qur’an setelah disebutkannya sebelas sumpah secara beruntun. Suatu
keistimewaan yang tidak dimiliki hal lain.
Tahaqquq terdiri atas hal-hal antara lain: tauhid, ubudiyah, ikhlas, shidiq kepada
allah, zuhud, tawakkal, mahabbatullah, khauf, raja’, taqwa, wara’, syukur, sabar, taslim,
ridha, taubat, muraqabah dan musyahadah (ihsan).
2. Mujahadah
Mujahadah menurut bahasa berasal dari kata Jahada, seakar dengan kata Jihad,
artinya bersungguh-sungguh agar sampai kepada tujuan. Secara lebih luas, mujahadah
adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu (keinginan-
keinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya jiwa menjadi suci bersih bagaikan
kaca yang segera dapat menangkap apa saja yang bersifat suci, sehingga ia berhak
memperoleh pelbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya.
7
Dengan demikian, mujahadah merupakan tindakan perlawanan terhadap nafsu,
sebagaimana usaha memerangi semua sifat dan perilaku buruk yang ditimbulkan oleh
nafsu amarahnya, yang lazim disebut mujahadah al-nafs. Berkaitan dengan ini, Allah
Swt. berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Ankabut: 69)
Dalam dunia tasawuf, kata jihad diartikan dengan memerangi hawa nafsu.
Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. bahwa memerangi hawa nafsu itu lebih berat dan
lebih besar daripada memerangi orang-orang kafir. Jika kita telusuri dari sudut pandang
normatifnya, jelas karena agama sangat menganjurkan lelaku atau amaliah ini. Sampai-
sampai, Nabi Saw menyebutnya sebagai jihad akbar (al-jihad al-akbar), yang nilainya
lebih utama dibanding jihad memerangi orang-orang kafir (qital) yang disebut oleh beliau
sebagai jihad kecil (al-jihad al-asghar).
Jika kita menilik secara hakiki, nafsu-diri, atau disebut sebagai hawa nafsu,
merupakan “poros kejahatan” (ma’wa kulli syarrin). Karena, nafsu-diri memiliki
kecenderungan untuk mencari pelbagai kesenangan, masa bodoh terhadap hak-hak yang
harus ditunaikan, serta abai terhadap kewajiban-kewajiban. Siapa pun yang gemar
menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya, maka sesungguhnya ia telah
tertawan dan diperbudak oleh nafsunya itu. Inilah kenapa Nabi Saw menegaskan bahwa
jihad melawan nafsu lebih dahsyat daripada jihad melawan musuh (qital).
Sebabnya adalah, nafsu itu digemari, disenangi, dicintai, dan segala hal yang
mengarah kepada nafsu pastilah menyenangkan. Sehingga, jihad melawan hawa nafsu
adalah jihad melawan hal-hal yang kita senangi, yang kita cintai. Sebaliknya, jihad
8
melawan orang-orang kafir adalah jihad melawan sesuatu (manusia, makhluk) yang kita
musuhi, kita benci. Bahkan Rasulullah SAW setelah kembali dari satu peperangan besar
bersabda kepada sahabat-sahabatnya:
C. Riyadhah
Tujuan riyadhah bagi seorang sufi adalah untuk mengontrol diri, baik jiwanya
maupun badannya, agar roh tetap suci. Karena itu, riyadhah haruslah dilakukan secara
sungguh-sungguh dan penuh dengan kerelaan. Riyadhah yang dilakukan dengan
kesungguhan dapat menjaga seseorang dari berbuat kesalahan, baik terhadap manusia
ataupun makhluk lainnya, terutama terhadap Allah Swt. Dan bagi seorang sufi riyadhah
amerupakan sarana untuk mengantarkan dirinya lebih lanjut pada tingkat kesempurnaan,
yaitu mencapai hakekat.
1. Bertobat
Ia harus menyesal atas dosa-dosanya yang lalu dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi
sembari melafalkan dzikir dan wirid-wirid tertentu. Untuk memantapkan tobatnya ia
harus zuhud. Ia mulai menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai serta fokus
beribadah.
2. Wara’.
Ia harus menjauhkan dirinya dari perbuatan syubhat dan tidak memakan makanan
atau minuman yang tidak jelas kedudukan halal-haramnya.
9
3. Faqir.
Ia harus menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak
meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.
4. Sabar.
Bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Allah yang berat dan menjauhi
larangan-larangan-Nya, tetapi juga sabar dalam menerima musibah berat yang
ditimpakan Allah.
5. Tawakal.
Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari
esok karena bagi seorang sufi cukup apa yang ada untuk hari ini karena esok belum
tentu masih hidup.
6. Ridha.
Ia tidak menentang cobaan dari Allah, bahkan menerimanya dengan sepenuh hati.
Karena itu, seorang sufi tidak menyimpan perasaan benci kepada siapa pun karena
semua yang terjadi adalah bagian dari kehendak Allah.
10
B. KONSEP TAZKIYAT AL-NAFS
1.Menurut Persepektif Para Tokoh Sufi
a. Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali, dalam melakukan tazkiyatun nafs terdapat tiga tahapan yang
harus dilalui seseorang agar dapat menjalankannya. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
1. Takhaliyatal-Nafs
Takhalliyat al-nafs seringkali disebut juga dengan takhalliyat as-siir yang berarti
pengosongan jiwa dari akhlak tercela. Proses ini mencakup mengidentifikasi dan
menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada dalam diri seseorang, seperti keegoisan,
kebencian, dengki, dan sebagainya.
Ini dilakukan dengan mengendalikan pikiran dari pemikiran-pemikiran yang negatif dan
mengarahkan perhatian kepada Allah. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan perhatian
dan konsentrasi pada Allah. Melalui proses takhalliyat al-nafs, seseorang dapat
melepaskan diri dari pikiran-pikiran yang negatif, perhatian dari duniawi, dan
mengarahkan perhatian kepada Allah.
2. Tahalliyatal-Nafs
Tahalliyat al-nafs adalah tahap kedua dalam proses tazkiyatun nafs setelah takhalliyat al-
nafs, yaitu pengisian jiwa dengan sifat-sifat terpuji setelah mengosongkannya dari sifat-
sifat tercela. Proses ini mencakup mengisi jiwa dengan sifat-sifat yang positif seperti
kebaikan, kerendahan hati, kesabaran, ketekunan dan lain-lain, yang diterima oleh Allah
sebagai sifat yang mulia.
11
Seseorang juga harus memperkuat komitmen untuk mempraktikkan sifat-sifat terpuji ini,
dan berusaha untuk mengekang sifat-sifat buruk yang mungkin muncul lagi. Dalam
proses tahalliyat al-nafs, seseorang harus belajar tentang sifat-sifat yang dicintai Allah,
dan berusaha untuk mengintegrasikan sifat-sifat tersebut dalam diri. Tujuan dari proses
ini adalah untuk memperbaiki akhlak seseorang dan mencapai kedekatan dengan Allah.
3. Tajalliyatal-Nafs
Tajalliyat al-nafs adalah tahap akhir dalam proses tazkiyatun nafs. Tajalliyat berarti
“tersingkapnya hijab” atau “penyingkapan” yang merujuk pada pengungkapan sesuatu
yang sebelumnya tersembunyi atau terbatas. Dalam konteks tazkiyatun nafs, tajalliyat
berarti tersingkapnya batasan yang memisahkan manusia dari Allah, sehingga cahaya dan
kebesaran Allah dapat dilihat dengan jelas dalam jiwa seseorang.
Menurut Al-Ghazali, tajalliyat al-nafs adalah tahap akhir dari proses spiritual yang
dicapai setelah melewati tahap takhalliyat dan tahalliyat. Dalam tahap ini, seseorang akan
merasakan kedekatan yang sangat erat dengan Allah, di mana seseorang dapat melihat
cahaya Allah dan merasakan kehadiran-Nya dalam hidupnya. Dengan tajalliyat,
seseorang dapat mencapai kedamaian jiwa, kedekatan dengan Allah, dan kesempurnaan
spiritual.
Pada pembahasan ini Ibnu Qayyim alJauziyah menyebutkan tentang nafs yang selalu
menunjukkan kepada kejahatan dan hawa nafsu. Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata:
maka seorang hamba dalam menyikapi pelemah nafs (seperti dosa) harus melihat empat
hal, yaitu perintah dan larangan, dan memandang hukum dan qadha. Maka Dia (Ibnu
Qayyim alJauziyah) melihat kepada sumber kejahatan, dalam konteks ayat yang
menerangkan an-Nafs al-Ammarah bi as-Suu’ (nafsu yang senantiasa menyuruh kepada
12
kejahatan). Melihat faedah nafsu tersebut jahil dan zalim, dan dari kezaliman dan
kejahatan itu muncul semua perkataan dan perbuatan yang jelek.
Barangsiapa yang berbuat jahil dan zalim, maka, dia tidak mempunyai keinginan untuk
berbuat lurus dan adil sama sekali. Oleh karena itu, setiap orang wajib mencurahkan
segenap tenaganya untuk mencari ilmu yang bermanfaat yang dapat mengeluarkannya
dari sifat zalim. Namun demikian kejahilannya lebih banyak daripada pengetahuannya
dan kezalimannya lebih besar daripada keadilannya.
Pembicaran konsep tazkiyatun nafs ini, berawal dari asumsi bahwa terdapat hubungan
yang erat antara ajaran Islam dengan jiwa manusia. Tazkiyatun nafs merupakan salah
satu unsur penting dalam Islam yang untuk itulah nabi Muhammad dibangkitkan
sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
ُهَو اَّلِذ ْي َبَع َث ِفى اُاْلِّم ّٖي َن َر ُسْو اًل ِّم ْنُهْم َيْتُلْو ا َع َلْيِهْم ٰا ٰي ِتٖه َو ُيَز ِّك ْيِه ْم َو ُيَع ِّلُم ُهُم اْلِكٰت َب َو اْلِح ْك َم َة َوِاْن َك اُنْو ا ِم ْن َقْبُل َلِفْي َض ٰل ٍل ُّم ِبْيٍۙن
Artina : “Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari
kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan
(jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun
sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-jumuah:2)
Tazkiyatun nafs berhubungan erat dengan usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Dasar argumentasinya, bahwa Allah tidak bisa didekati oleh orang yang jiwanya
tidak suci, karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Suci, yang hanya bisa didekati oleh
orang yang berjiwa suci pula. Oleh karenanya, tingkat kedekatan (qurb), pengenalan
(ma'rifat) dan tingkat kecintaan (mahabbat) manusia terhadap-Nya sangat bergantung
pada kesucian jiwanya.
Dalam Al-Quran kata kerja tazkiyah digunakan sebanyak dua belas kali. Biasanya Allah
merupakan subjek dan ummat manusia menjadi objek. Kebanyakan ayat ini berpesan
13
bahwa rahmat dan bimbingan Allahlah yang menyucikan dan memberkati umat meskipun
manusia mempunyai peranan penting tehadap hal itu. 178 Di antara kata tazkiyah itu
tedapat dalam ayat Al-Quran yang berbunyi:
Artinya : “sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu) (9), Dan sungguh
rugi orang yang mengotorinya.(10)” (Qs. As-syams:9-10)
Tentang makna tazkiyatun nafs, para mufassir mempunyai pandangan yang berbeda-
beda:
1. Tazkiyah dalam arti para rasul jika dipatuhi, akan menyebabkan jiwa mereka tersucikan
dengannya.
2. Tazkiyah dalam arti mensucikan manusia dari syirik, karena syirik itu dipandang oleh al-
quran sesuatu yang bersifat najis
4. Tazkiyah dalam arti mengangkat manusia dari martabat orang munafik ke martabat
mukhlisin.
Tazkiyah dimaksudkan sebagai cara untuk memperbaiki seseorang dari tingkat yang
rendah ke tingkat yang lebih tinggi didalam hal sikap, sifat, kepribadian dan karakter.
Semakin sering manusia melakukan tazkiyah pada karakter kepribadiannya, semakin
Allah membawanya ke tingkat yang lebih tinggi.
Hakikat Mujahadah dan Hakikat Riyadhah adalah dua konsep dalam agama Islam yang berkaitan
dengan upaya spiritual dan pengembangan diri.
14
1.Hakikat Mujahadah:
Mujahadah merupakan istilah dalam Islam yang mengacu pada upaya atau perjuangan seseorang
untuk mengatasi hawa nafsu, mengendalikan dorongan-dorongan negatif, dan meningkatkan
kualitas spiritualnya. Mujahadah berasal dari kata "jahada" yang berarti berjuang atau berusaha
dengan sungguh-sungguh.
Hakikat Mujahadah melibatkan perjuangan internal seseorang untuk mengatasi hawa nafsu dan
cenderung melibatkan usaha-usaha seperti menjaga perilaku yang baik, menahan diri dari godaan
dosa, memperkuat iman dan ketakwaan, dan meningkatkan ibadah. Mujahadah juga dapat
melibatkan perjuangan melawan kelemahan pribadi, seperti sifat-sifat buruk, kebiasaan negatif, atau
sikap yang tidak baik.
2. Hakikat Riyadhah:
Riyadhah adalah istilah dalam Islam yang mengacu pada praktik-praktik spiritual yang bertujuan
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Riyadhah berarti berlatih atau melatih, dan dalam konteks
spiritual, mencakup upaya seseorang untuk memperdalam hubungannya dengan Tuhan melalui
ibadah dan aktivitas-aktivitas yang membantu memperkuat iman dan keimanan.
Hakikat Riyadhah melibatkan praktik-praktik keagamaan yang teratur dan disiplin, seperti shalat,
puasa, membaca Al-Quran, dzikir, berdoa, dan amalan-amalan lainnya. Riyadhah juga melibatkan
latihan rohani untuk mengembangkan sifat-sifat positif, seperti kesabaran, ketekunan, kejujuran, dan
kasih sayang.
Baik Mujahadah maupun Riyadhah merupakan bagian dari upaya individu untuk meningkatkan
kualitas spiritual dan mendekatkan diri kepada Allah. Kedua konsep ini mendorong umat Muslim
untuk berjuang dalam perbaikan diri secara pribadi dan berusaha mengamalkan ajaran agama dalam
kehidupan sehari-hari.
15
16
D. MACAM-MACAM MUJAHADAH DAN RIYADHAH
Pelaksanaan mujahadah diperlukan adanya seorang shaykh untuk membimbing para murid. Al-
Ghazali mengungkapkan bahwa seorang murid memerlukan syaykh dan guru yang semestinya
diikuti untuk dia mendapat panduan ke arah jalan yang betul. Sesungguhnya jalan agama itu
cukup sukar sekali, sedangkan jalan-jalan syaiton amat banyak pula. Oleh karena itu barang
siapa yang tidak ada shaykh maka syaitan akan memandu kemana arah jalannya. Berdasarkan
penelitian terhadap berbagai-berbagai aliran dan ungkapan para sufi, Ibnu Khaldun merumuskan
bahwa mujahadah terbagi kepada tiga jenis yang berbeda. Yaitu Mujahadah al-Taqwa,
Mujahadah al-Istiqomah dan Mujahadah al-Kashf wa al-Ittila. Adapun sumber lain membagi
mujahadah ke dalam beberapa macam, yakni :
17
1) Tasyaffu' dan Istigosah 3) Dianjurkan mengadakan
pembacaan buku wahidiyah
1) Pembukaan 5) Sambutan-sambutan
4) Prakata panitia
g. Mujahadah Khusus adalah mujahadah yang dilakukan secara khusus, misalnya niat
sebelum melaksanakan perkerjaan yang baik.
h. Mujahadah Non stop adalah mujahadah yang dilakukan secara terus menerus dalam
waktu yang mujahadah yang sudah ditentukan.
18
i. Mujahadah Momenti/Waktiya adalah mujahadah yang dilaksanakan pada waktu
tertentu yang diintruksikan oleh pengurus pusat
19
2. Adapun macam-macam dari riyadlah, yaitu:
Upaya melatih dirinya untuk berbuat baik dengan cara berusaha memahami perbuatan
yang dilakukannya, berbuat dengan sikap yang ikhlas, tidak tercampur dengan sikap riya,
dan memperbanyak melakukan kebenaran dalam pergaulan, baik terhadap Allah,
terhadap sesama manusia maupun lingkungan hidupnya.
Upaya agar selalu tetap berkonsentrasi terhadap Allah ketika melaksanakan suatu
perbuatan baik, sehingga tidak terpengaruh lagi oleh lingkungan sekelilingnya,
penglihatan dan pendengarannya tidak terpengaruh lagi oleh sesuatu yang ada di
sekelilingnya, kecuali hanya menuruti tuntunan kata hatinya.
c. Riyadlah orang khowasul khowas (nabi, rasul) Berbuat baik untuk mendapatkan
kesaksian Allah dan ma'rifat atau kebersatuan dengan Allah. Kebersatuan dengan Allah
berbeda dengan istilah penyatuan menurut paham wujudiah. Kebersatuan berarti bersatu
dengan Allah dalam keadaan wujud masih berbeda, yaitu Allah tetap Al-Khalik dan
manusia yang bersatu tetap makhluk.
Selain itu, terdapat pendapat yang berbeda tentang mujahadah, yaitu: Di dalam Al-Qur'an
Surat Al-Muzzammil Ayat 5:
Adapun bagi manusia biasa, untuk mempersiapkan "temperatur" jiwa ini dicapai dengan
riyadlah atau latihan mental spiritual, latihan ini pada dasarnya dan lahirnya memang
latihan fisik, tapi latihan ini memiliki imbas khusus terhadap rohani manusia.
20
Riyadlah sendiri itu bermacam-macam tergantung tariqah yang dianutnya:
21
E. CHARACTER BUILDING MENURUT ISLAM DAN BARAT
Konsep karakter building, atau pembangunan karakter, adalah proses pengembangan dan
pemahaman nilai-nilai moral, etika, dan kepribadian yang bertujuan untuk membentuk individu
yang baik, berintegritas, dan bertanggung jawab. Konsep karakter building dapat berbeda-beda
tergantung pada sudut pandang budaya dan agama yang dianut. Berikut adalah gambaran umum
tentang konsep karakter building dalam Islam dan Barat:
Islam:
Dalam Islam, karakter building didasarkan pada ajaran-ajaran Al-Quran dan Hadis, yang
mengarahkan individu untuk mengembangkan karakter yang kuat, baik, dan bertaqwa kepada
Allah. Beberapa prinsip karakter building dalam Islam meliputi:
1. Ketulusan (Ikhlas): Menekankan pentingnya melakukan segala tindakan dengan niat yang
tulus dan semata-mata untuk mendapatkan keridhaan Allah.
2. Kesabaran (Sabr): Mendorong individu untuk menghadapi tantangan dan kesulitan dengan
ketenangan, kesabaran, dan pengharapan kepada Allah.
3. Keadilan (Adil): Memperlihatkan sikap adil dalam berinteraksi dengan orang lain, tanpa
memihak atau mendiskriminasi.
4. Kedermawanan (Sedekah): Mendorong individu untuk berbagi kekayaan dan sumber daya
mereka dengan orang-orang yang membutuhkan.
Dalam konteks Barat, karakter building sering dikaitkan dengan pemahaman moral dan etika
yang berdasarkan pada tradisi filsafat dan pemikiran Barat. Beberapa nilai yang sering
ditekankan dalam konsep karakter building di Barat meliputi:
2. Keadilan: Memperlihatkan sikap yang adil, menghormati hak-hak individu, dan menghindari
diskriminasi.
22
3. Ketulusan: Menunjukkan integritas pribadi dan jujur dalam berhubungan dengan orang lain.
4. Rasa Empati: Mendorong kemampuan untuk memahami dan merasakan emosi orang lain,
serta berperilaku dengan kepedulian terhadap kebutuhan dan perspektif mereka.
5. Kerja Keras: Mengembangkan sikap kerja keras, disiplin, dan tekun untuk mencapai tujuan
pribadi dan masyarakat.
Perlu diingat bahwa karakter building dapat bervariasi dalam konteks budaya dan individu, dan
tidak semua aspek karakter building dalam Islam dan Barat dapat disajikan dalam rangkaian
yang singkat ini. Namun, kedua tradisi tersebut menekankan pentingnya nilai-nilai moral dan
etika dalam pembangunan karakter yang baik.
23
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mujahadah dan riyadhah memiliki peran yang penting dalam mengembangkan karakter
dan spiritualitas seseorang dalam Islam. Dalam upaya mujahadah, individu berusaha
mengendalikan hawa nafsu, meningkatkan pengetahuan agama, dan meningkatkan
kualitas ibadah mereka. Sementara itu, riyadhah melibatkan pengkhususan dalam
hubungan dengan Al-Quran, pelaksanaan puasa dengan tujuan spiritual, dan mengisolasi
diri dalam ibadah seperti i'tikaf. Melalui mujahadah, individu dapat membangun karakter
yang kuat dengan mengendalikan dorongan negatif dalam diri mereka, seperti amarah,
keinginan berlebihan, atau kecemburuan. Mujahadah juga membantu dalam memperoleh
pengetahuan agama yang lebih dalam dan memperdalam kualitas ibadah, yang semuanya
berkontribusi pada pengembangan spiritual yang positif. Riyadhah, di sisi lain, membantu
individu dalam memperdalam hubungan mereka dengan Al-Quran, sumber petunjuk dan
pedoman dalam agama Islam. Melalui membaca, mempelajari, dan merenungkan ayat-
ayat suci Al-Quran, individu dapat mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang
ajaran-ajaran Islam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Riyadhah juga
melibatkan pelaksanaan puasa dengan tujuan spiritual yang kuat
Secara keseluruhan, melalui mujahadah dan riyadhah, individu dapat membangun
karakter yang kuat, meningkatkan pengembangan spiritual mereka, dan mengarahkan
kehidupan mereka sesuai dengan ajaran Islam. Dengan adanya upaya pribadi ini,
diharapkan individu dapat mencapai keseimbangan spiritual, moral, dan etika yang lebih
baik, serta menjadi individu yang lebih baik dalam masyarakat.
24
DAFTAR PUSTAKA
Al Aziz, S., Moh. Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang)
Al Jauziyah, Ibnu Qayyim,. 1421. Madarid As Salikin, Baina manazi Al Jauzi Al Jauziyahi
Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in. Beirut: Daar Ihya Ath-Thurath Al Jauziyah Al - ‘Arabi.
Cetakan I.
Imam Fakhr Razi, Tafsir Al-Kabir, (Beirut, Dar Ihya At-Turats Al-Arabir tth),
Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maragh, (Beirut, Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi),
Al Ghazali, Imam. Ihya ‘Ulumuddin. Semarang : Karya Toha Putra. Juz 3, tth
Dahlan dan Muhtarom. 2018. Menjadi Guru yang Bening Hati (Strategi Mengelola Hati di Abad
Modern). Yogyakarta : Deepublish
25