Agama Islam sepanjang abad telah banyak memikat lebih dari jutaan manusia di dunia. Mereka berasal
dari berbagai bangsa yang tersebar seantero jagat. Islam mengubah pola hidup mereka dan
membentangkan tujuan paling agung untuk ditempuh. Islam pun menegakkan aturannya, baik untuk
kehidupan sosial atau kehidupan individu. Tak mungkin dipungkiri, agama yang memiliki kriteria ini
pasti memiliki prisnsip-prisip psikologi yang khas. Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa Islm telah
lama mengenal istilah Ilm Al-Nafs, Akhlak, dan Irfan yang kesemuanya memiliki keterkaitan kepada
kejiwaan.
Al-quran sebagaimana disebutkan dalam ayatnya menyebutkan bahwa firman-firman Tuhan adalah
penyembuh dan kasih sayang bagi mereka yang mempercayai. Karena itu boleh jadi banyak yang kita
tidak tahu apa saja yang sebut sehat jiwa atau normal dalam pandangan al-Qur’an, bisa saja apa yang kita
anggap norman tenyata wawasan al-Qur’an mengatakan bahwa termsuk mengidap penyakit jiwa. Dalam
sebuah riwayat Mas’adah bin Shadaqah meriwayatkan “Mempelajari Al-Qur’an menjadi cara untuk
menyembuhkan ruhani.” Bahkan Nabi bersabda “Al-Quran adalah hidangan Tuhan, sesuai dengan
kemampuan kalian, maka nikmatilah hidangan ini.”
Seputar kaitanya dengan muamalah, Al-Quran mengajarkan bagaimana sesama manusia untuk saling
menghargai dan menghormati sebagaimana yang tercatat dalam surat Al-Mujadalah, “Wahai orang yang
beriman jauhkan lah diri kalian dari prasangka buruk, karena itu bagain dari dosa. Dan janganlah
kalian saling mengumpat antar satu dengan yang lain, dan jangan kalian membenci antar kalian, suka
kah kalian memakan bangkai saudara kalian sendiri, pasti kalian tidak akan senang.”
Ayat di atas menggambarkan bagaimana kebencian dan segala sifat kejelekan yang ada di dalam hati
adalah perbuatan yang sangat pengecut, yaitu memakan daging saudara yang sudah menjadi mayat yang
notabennya tidak bisa berbuat apa-apa. Karena itu di samping untuk saling menghormati sesama manusia,
Islam juga mengetahui bagaimana dampaknya kesehatan mental bagi pemeluk Islam. Jika mental antar
sesama muslim bagus, maka jasmani dan sosialnya akan berjalan dengan baik.
Dalam sebuah hadits Nabi bersabda, “wahai umat muslim janganlah kalian saling membenci, saling
menghina, dan saling mengecilkan antar kalian, sesungguhnya Islam itu ada di sini (Rasul
mengisyaratkan dengan menunjukkan tiga kali ke dadanya).” Hadits ini menerangkan bahwa Islam bukan
sekedar ritual, tapi Islam juga penting dalam menjaga perasaan hati seseorang, Islam itu menjunjung
tinggi kejiwaan orang lain dan diri sendiri.
Di dalam Al-Quran beberapa ayat yang menunjukkan ketenangan jiwa dan ketentraman disandingkan
dalam beberapa bentuk yaitu :
1. Ka’bah, disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 95-96 “Siapa yang mendatangi Ka’bah niscaya
akan mendapatkan ketenangan.” Juga di surat lain bahwa Nabi Ibrahim berdoa memohon
kepada Tuhan untuk menjadikan kota Mekkah sebagai kota yang penuh berkah dan tentram
“Dan ingatlah ketika kami menjadikan Ka’bah sebagai tempat kembali yang penuh
ketntaraman bagi umat Islam.”
1
2. Ketentraman disandingkan dengan kenikmatan yang Allah berikan sebelumnya sebagaimana
disebutkan dalam surat Al-Quraisy “Ia yang telah mengenyangkan kalian dari rasa lapar dan
memberikan ketentraman dari rasa takut dan bahaya.”
3. Al-Quran menyandingkan kata ketentraman dan kebahagiaan sebagai ciri dari penghuni surga.
“Wajah-wajah itu dihari kelak cerah, ceria, gembira dan bahagia.”
Sedangkan dalam bukunya Abdul Mujib dan Yusuf Mudzkir kesehatan menurut islam yang
dkutip dari Musthafa fahmi, menemukan dua pola dalam mendefenisikan kesehatan mental:
1. Pola negatif (salaby), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari
neurosis (al-amhradh al-’ashabiyah) dan psikosis (al-amhradh al-dzihaniyah).
2. Pola positif (Ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam
penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosial.
Islam sebagai suatu agama yang bertujuan untuk membahagiakan dan meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, sudah barang tentu dalam ajaran-ajaranya memiliki konsep kesehatan
mental. Begitu juga dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah bertujuan untuk mendidik
dan memperbaiki dan membersihkan serta mensucikan jiwa dan akhlak.
Di dalam Al-Qur’an sebagai dasar dan sumber ajaran islam banyak ditemui ayat-ayat
yang berhubungan dengan ketenangan dan kebahagiaan jiwa sebagai hal yang prinsipil dalam
kesehatan mental. Ayat-ayat tersebut adalah:
Artinya: Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(keadaan nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Q.S. 3:
164)
Jiwa yang sehat adalah kondisi dimana semua fungsi organ tubuh manusia serta Qalbu manusia ada
dalam kondisi terbaiknya. Sesuai dengan sabda Rasulullah:
“Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia seringkali terperdaya dengannya, nikmat kesehatan
dan waktu luang”. (HR. Bukhari)
“Tidak ada salahnya seseorang memiliki kekayaan asalkan dia tetap bertakwa. Akan tetapi, bagi
orang yang bertakwa, kesehatan lebih baik daripada kekayaan. Selain itu, hati yang bahagia (thiib
an nafs) adalah bagian dari (kenikmatan) surga. (HR Ibnu Maajah)
Selain dari pemamaparan diatas masih ada indikasi-indikasi lain tentang bagaimana jiwa yang sehat
dalam konsep Islam diantaranya sebagai berikut :
2
Apabila seorang hamba Allah telah berhasil melakukan pendidikan dan pelatihan penyehatan,
pengembangan dan pemberdayaan jiwa maka ia dapat mencapai tingkat kejiwaan yang sempurna
yaitu :
3
Kecerdasan Rububiyah adalah kemampuan fitrah manusia yang salih diantaranya dalah sebagai
berikut :
a. Memelihara dan mejaga diri dari hal-hal yang dapat menghancurkan kehidupannya baik di bumi
maupun langit dan di akhirat (QS At-Taubah : 112)
b. Mendidik dan mengajar diri agar menjadi seorang hamba yang pandai menemukan esensi jati diri
dan esensi citra diri dengan kekuatan ilmu laduni (QS Al-kahfi : 65)
c. Memimpin dan membimbing diri jasmaniyah dan rohaniyah secara bersama-sama secara totalitas
untuk dapat tunduk dan patuh kepada allah serta dapat memberikan kerahmatan pada diridan
lingkungannya. Sesuai dengan apa yang ada dalam surah At-Tahrim : 6 “ wahai orang-orang
yang telah beriman peliharalah dirimu dari api neraka”.
d. Menyembuhkan dan menyucikan diri dari penyakit dan gangguan yang dapat `melemahkan
pikiran potensi diri, Qalbu dan inderawi di dalam memahami kebenaran-kebenaran hakiki dengan
melakukan pertaubatan dan perbaikan diri seutuhnya (QS An-Nisa : 108)
Pendidikan, pengajaran, pengawasan, dan kepemimpinan sangat berhasil adalah yang dimulai
dari dalam diri, karena esensi diri adalah alam kecil “ mikrokosmos dan pintu kecil itu merupakan
jalan untuk memasuki jalan besar “ makrokosmos” oleh karena itu Allah SWT berfirman.
“Mengapa kamu perinthkan orang lain untuk mengajarkan kebaikan, sedang kamu
melupakan dirimu sendiri, padahal kamu selalu membaca kitab ? mengapa kamu tidak berfikir
(QS Al-baqarah : 44)
4
Ada beberap indikasi bagi seseorang yang mendapatkan kecerdasan Rububiyah biasanya
memiliki kekuatan, kewibawaan dan otoritas yang sangat kuat dalam hal berikut :
- Menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, baik kedalam dirinya sendiri maupun
lingkungannya.
- Mempengaruhi dan mengajak hati nurani diri sendiri ataupun orang lain dan lingkungannya
untuk melakukan perbaikan dan perubahan yang positif pada perilaku, sikap dan lapang dada.
- Memberikan penyembuhan terhadap penyakit, baik penyakit yang bersifat psikologis,
spiritual, moral maupun fisik.
- Memberikan perawatan terhadap kualitas keimanan, keislaman, keihlsan dan ketauhidan baik
pada diri sendiri orang lain maupun lingkungannya.
Kecerdasan Ubudiyah adalah kemampuan fitrah manusia yang salih dalam mengaplikasikan ibadah
dengan tulus tanpa merasa terpaksa dan dipaksa, akan tetapi menjadikan ibadah sebagai kebutuhan
yang sangat primer dan merupakan makanan bagi rohani dan jiwanya.
Firman Allah SWT.
“ Adakah kamu hadir ketika yaqub kedatangan maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya “
apa yang kamu sembah sepeninggalku ? mereka menjawab : kami mnyembah tuhanmu dan tuhan
nenek moyangmu Ibrahim, ismail, dan ishaq yaitu tuhan yang maha esa dan kami hanya tunduk
dan patuh kepadanya “ (QS Al-Baqarah : 133)
Seseorang tidak akan mungkin dapat melakukan sekumplan ibadah dengan penuh rasa tulus,
lapang dada, dan semangat yang tinggi kecuali allah menganugerahkan kepadanya kecerdasan
ubudiyah. Setiap ia memperbanyak ibadahnya kepada allah maka terasa baginya semakin berkurang
ibadah itu. Ibarat seorang yang sangat dahaga dalam suatu perjalanan yang sangat jauh di tengah-
tengah teriknya matahari, seakin banyak minum semakin terasa dahaganya. Begitulah orang-orang
yang salih dalam melakukan ibadah di hadapan penciptanya.
Mengenai puasa selain puasa fardhu pada bulan ramadhan ada puasa-puasa sunnah yang selalu
beliau lakukan seperti :
5
E. Tersingkap Kecerdasan Khuluqiyah
Dalam makna etimologis kata “Khuluq” berasal dari kata “ Khulq” yang berarti tabiat, budi pekerti,
kebiasaan atau adat, keperwiraan, kejantanan, agama dan kemarahan
Kecerdasan Khuluqiyah adalah kemampuan fitrah manusia seorang yang salih dalam berperilaku,
bersikap dan berpenampilan terpuji sebagaimana Rasulullah SAW perkataan yang keluar dari lisan
mengandung kebenaran dan hikmah, tutur kata yang lembut sopan terlepas dari ugkapan-ungkapan
yang dapat mengandung cela dan celaka diri dari orang lain.
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai akhlak apabila telah memenuhi 2 syarat yaitu :
a. Perbuatan dilakukan dengan berulang-ulang, apabila suatu perbuatan hanya dilakukan sekali
saja maka perbuatan itu tidak dapat dikatakan sebagai akhlak.
b. Perbuatan timbul dengan dengan mudah tanpa dipikirkan atau diteliti lebih dalam sehingga ia
benar-benar menjadi sebuah kebiasaan. Firman Allah SWT “ sesungguhnya kamu benar-
benar memiliki akhlak yang agung” (QS Al-qalam : 4)
Selain itu Rasululah bersabda “ sesungguhnya aku telah diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia (HR Ahmad)
Seseorang yang telah menapak perjalanan puncak dari ketahuidan terhadap Allah SWT secara
implikatif dan empiric maka akhlak perilaku dan sikapnya senantiasa berorbitrasi dalam cahaya dan
sifatnya yang mulia dan suci. Ia akan berkata-kata, berbuat, bersikap, dan berpenampilan dengan dan di
dalam dan sifat-sifatnya.
Firman Allah SWT. “ dan Allah telah menciptakan kamu semua dan apa-apa yang kamu perbuat
(QS Ash- shafaat : 96)
Siapa saja yang telah mencapai tingkat ketahuidannya dengan kesabaran menjalankan perintah dan
menjahui segala larangannya dan menerima segala ujian, memelihara hak-haknya karena rasa takut serta
berbuat kebajikan dan kebaikan kepada Allah. Maka Allah akan senantiasa hadir dan bersemayam dalam
eksistensi diri, jatih diri dan citra dirinya.
Di dalam Hadits-Haditsnya, Rasulullah SAW. menjelaskan bahwa kesehatan dan kestabilan jiwa/mental
seseorang memiliki beberapa indikasi/tanda, di antaranya yang terpenting adalah:
Rasulullah bersabda:
“Siapa yang menyongsong pagi hari dengan perasaan aman terhadap lingkungan sekitar,
kondisi tubuh yang sehat, serta adanya persediaan makanan untuk hari itu maka seakan-akan
dia telah memperoleh seluruh kenikmatan dunia.” (HR. Tirmidzi).
6
b. Tidak Meminta-Minta Kepada Orang Lain (Merasa Berkecukupan).
Rasulullah SAW bersabda:
“demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya. Tindakan kalian mengambil seutas tali lalu
mengambil kayu bakar kemudian memikulnya di atas punggung adalah lebih baik (mulia serta
terhormat) ketimbang mendatangi seseorang lalu meminta-minta kepadanya, baik ia kemudian
diberi sedekah atau tidak” (HR. Bukhari).
c. Percaya Diri
“Janganlah kalian menghinakan diri kalian sendiri “para sahabat bertanya (dengan rasa
heran), “wahai Rasulullah saw. bagaimana mungkin kami akan menjadikan diri kami sendiri
hina?” Rasulullah menjawab, “seseorang mengetahui bahwa ada sebuah perintah Allah yang
wajib dia sampaikan (kepada orang banyak), namun dia tidak menyampaikannya.” Terhadap
orang yang seperti ini, pada hari kiamat kelak, Allah akan bertanya, “Apa yang telah
menyebabkanmu tidak menyampaikan hal ini dan itu?” Ia menjawab, “rasa takut terhadap
manusia.” Allah kemudian berkata, “kepada Ku lah engkau lebih pantas untuk takut.” (HR
Ibnu Majaah).