Dapat diketahui bahwa mukmin yang kuat lebih disukai Allah ketimbang mukmin yang
lemah, dan mukmin yang kuat tersebut secara fisik adalah mukmin yang sejati. Sebab itu, Al-
Qur’an mendorong manusia untuk mengembangkan pendidikan kesehatan lingkungan, dan tujuan
dari pendidikan kesehatan lingkungan tersebut tidak saja untuk menghasilkan mukmin yang sehat,
tetapi juga untuk memperkokoh keyakinan terhadap keagungan Allah sebagai Pencipta lingkungan
(Taufik, 2007).
Pengkajian terhadap kesehatan lingkungan dalam Islam tidak bisa lepas dari kajian tentang
tujuan penetapan syariat (maqâshid al-syarî’ah). Riyadi menjelaskan bahwa Islam telah
menetapkan tujuan penetapan syariat di bumi. Di antaranya adalah untuk memelihara agama (hifzh
al-dîn), akal (hifzh al-‘aql), jiwa (hifzh al-nafs), harta (hifzh al-mâl), dan keturunan umat manusia
(hifzh al-nasl). Jasad manusia merupakan milik dan ciptaan Allah yang dianugerahkan kepada
manusia untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sebab itu, Allah SWT memerintahkan
manusia untuk menjaga kesehatan dan kebersihan fisik, dan memerintahkan manusia untuk
menjaga kesehatan mental dan jiwanya. Kesehatan manusia dapat diwujudkan dalam beberapa
dimensi, yakni jasmaniah material melalui keseimbangan nutrisi, kesehatan fungsional organ, dan
kesehatan pikiran; serta kesehatan ruhani yang disembuhkan oleh dimensi spiritual keagamaan
(Efendy, 2018).
Menurut M. Quraish Shihab, mufasir asal Indonesia dan penulis Tafsir al-Mishbah,
menyatakan bahwa al-Qur’an memberikan isyarat mengenai alam dan lingkungan dalam konteks
kependidikan dengan menjadikan lingkungan sebagai objek atau bahan belajar yang pada
gilirannya dapat mendorong perilaku yang positif dalam menyikapi alam dan lingkungan sebagai
bahan bacaan dan objek belajar. Dengan demikian, Islam memberikan masukan dalam pendidikan
kesehatan lingkungan melalui perilaku hidup sebagai seorang Muslim yang taat, sehingga tujuan
penciptaan manusia sebagai khalifah Allah dalam penjagaan alam dan lingkungan dapat terealisasi
dengan benar (Quraish Shihab, 1996).
Pemeliharaan kesehatan dalam Islam terletak pada kehidupan yang bersih, aktif, tenang,
moderat, adil, proporsional, seimbang, dan alami. Jangan melakukan sesuatu dengan mengabaikan
kebutuhan diri. Sehingga menjaga kesehatan manjadi hal penting yang harus dilakukan oleh
manusia agar tercipta kehidupan yang bermakna dan berguna bagi diri sendiri maupun masyarakat
sekitar. Dengan hal tersebut kehidupan seseorang akan lebih berarti dan berkualitas.
Kebersihan sangat diperhatikan dalam Islam baik secara fisik maupun jiwa, baik secara
tampak maupun tidak tampak. Dianjurkan pula agar memelihara dan menjaga sekeliling
lingkungan dari kotoran agar tetap bersih. Dalam pandangan Yusuf al-Qardhawi ia menyebutkan
bahwa perhatian al-sunnah al-nabawiyyah terhadap kebersihan muncul dikarenakan beberapa
sebab (Al Qaradlawi and Firdaus, 1997), yaitu:
1) Sesungguhnya kebersihan adalah sesuatu yang disukai Allah SWT. Sebagaimana dalam
firmannya dalam QS. al-Baqarah ayat 222:
2) Kebersihan adalah cara untuk menuju kepada kesehatan badan dan kekuatan. Sebab hal itu
merupakan bekal bagi tiap individu. Disamping itu, badan adalah amanat bagi setiap
muslim. Dia tidak boleh menyianyiakan dan meremehkan manfaatnya, jangan sampai dia
membiarkan badannya diserang oleh penyakit.
3) Kebersihan itu adalah syarat untuk memperbaiki atau menampakkan diri dengan
penampilan yang indah yang dicintai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
4) Kebersihan dan penampilan yang baik merupakan salah satu penyebab eratnya hubungan
seseorang dengan orang lain. Ini karena orang sehat dengan fitrahnya tidak menyukai
sesuatu yang kotor dan tidak suka melihat orang yang tidak bersih.
Kebersihan sangat erat hubungannya dengan kesehatan. Karenanya dengan kebersihan dan
kesehatan dapat terwujud individu dan masyarakat yang sehat jasmani, rohani, dan sosial, sehingga
mampu menjadi umat pilihan dan khalifah Allah untuk memakmurkan bumi. Kesehatan
merupakan salah satu rahmat dan karunia Allah yang sangat besar yang diberikan kepada umat
manusia, karena kesehatan adalah modal pertama dan utama dalam kehidupan manusia. Tanpa
kesehatan manusia tidak dapat melakukan kegiatan yang menjadi tugas serta kewajibannya yang
menyangkut kepentingan diri sendiri, keluarga dan masyarakat maupun tugas dan kewajiban
melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.
Pola hidup sehat mencakup tata cara seseorang menjalani kehidupan dengan mengisi
hidupnya dengan aturan yang telah disyariatkan oleh agama Islam dan telah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW, baik cara hidup maupun cara makan dan sebagainya. Oleh sebab itu, pola hidup
sehat yang ada dalam Al-Qur’an dan yang dicontohkan Nabi Muhammad perlu untuk ditiru dan
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, agar dalam hidup seseorang menjadi lebih baik dan
bermakna serta bermanfaat.
B. LINGKUNGAN
Ilmu pengetahuan tentang lingkungan bukanlah suatu yang terpisah dari ilmu-ilmu agama
Islam. Alhasil, Pendidikan Agama Islam memiliki tanggungjawab yang sama besar dibandingkan
dengan pendidikan lainnya, dalam mengabdi pada perbaikan kualitas kehidupan manusia secara
lahir dan batin. Pendidikan Agama Islam pun dituntut mengembangkan respon yang seimbang
dalam menghadapi persoalan-persoalan yang berkembang di dunia sekarang ini, termasuk di
dalamnya persoalan pelestarian lingkungan.
1. Definisi Lingkungan Berdasarkan Konsep Islam
Term lingkungan dalam al-Qur’an disebutkan dalam bentuk yang variatif, seperti al-
‘alamin (spesies), al-sama’ (ruang waktu), al-ard (bumi) dan al-bi’ah (lingkungan). Varian-varian
yang disebutkan dalam al-Qur’an ini pada prinsipnya mengilustrasikan tentang spirit “rahmatan li
al-‘alamin”, dimana lingkungan tidak saja diafiliasikan pada bumi tetapi mencakup semua alam,
seperti planet bumi, ruang angkasa dan angkasa luar. Konsep ini tentunya mengacu pada
pentingnya pemeliharaan keseimbangan ekosistem di bumi dan sekaligus juga memiliki hubungan
dengan ekosistem yang ada di luar bumi. Kewajiban pemeliharaan atas lingkungan tidak hanya
terhadap bumi melainkan juga lingkungan planet lainnya (Abdillah, 2001).
Lingkungan dalam bahasa arab dikenal dengan istilah fikih lingkungan hidup (fiqhul
bi`ah). Jika ditelisik dari sisi semantik, terdiri dari dua kata (kalimat majemuk; mudhaf dan mudhaf
ilaih), yaitu kata fiqh dan al-bi`ah. Secara bahasa “Fiqh” berasal dari kata Faqiha-Yafqahu-Fiqhan
yang berarti al-‘ilmu bis-syai`i (pengetahuan terhadap sesuatu) al-fahmu (pemahaman) (Abadi,
2005). Sedangkan kata “Al-Bi`ah” dapat diartikan dengan lingkungan hidup, yaitu: kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.
Maka Fiqh al-bî’ah merupakan regulasi norma-norma hukum Islam yang mengatur
perilaku dan tindakan manusia yang berhubungan dengan konservasi lingkungan hidup.
Sebagaimana diketahui, bahwa krisis ekologis sebagian besar dilatarbelakangi tindakan manusia.
Dalam konteks inilah letak signifikansi merumuskan paradigma fiqh al-bî’ah berbasis kecerdasan
naturalis untuk mengatur kaidah baik-buruk atau halal-haram yang akan menjadi patokan penilaian
tindakan manusia terhadap lingkungan, sehingga dengan cara ini, umat Islam akan mampu
menghadirkan sebuah pendekatan religius yang mendasarkan diri pada Alquran, Hadits dan Ijtihad
dalam memandang persoalan lingkungan hidup (Zuhdi, 2014)
Dari pengertian di atas, dapat diambil pengertian bahwa fikih lingkungan (fiqhul bi`ah)
adalah ketentuan-ketentuan Islam yang bersumber dari dalil-dalil yang terperinci tentang prilaku
manusia terhadap lingkungan hidupnya dalam rangka mewujudkan kemashlahatan penduduk bumi
secara umum dengan tujuan menjauhkan kerusakan yang terjadi (Zulaikha, 2014).
Lingkungan merupakan kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber
daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah
maupun di dalam lautan. Dengan lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik (Muspiroh,
2014), sebagai berikut:
1) Komponen abiotik / lingkungan mati
Lingkungan abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim,
kelembaban, cahaya, topografi, bunyi. Secara terperinci, komponen abiotik merupakan
keadaan fisik dan kimia di sekitar organisme yang menjadi medium dan substrat untuk
menunjang berlangsungnya kehidupan organisme tersebut. Beberapa contoh komponen
abiotik adalah air, udara, cahaya matahari, tanah, iklim.
2) komponen biotik/lingkungan hidup
Segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme
(virus dan bakteri). Lingkungan hidup, sering disebut sebagai lingkungan, adalah istilah
yang dapat mencakup segala makhluk hidup dan tak hidup di alam yang ada di Bumi atau
bagian dari Bumi, yang berfungsi secara alami tanpa campur tangan manusia yang
berlebihan.
Konsep lingkungan versi Islam dalam pengertian luas merupakan upaya merevitalisasi misi
asal ekologi, “back to basic ecology”. Pemahaman ekologi dikembalikan pada esensinya dimana
ekologi dipersepsi sebagai hubungan timbal balik antara komponen yang ada dalam ekosistem.
Dengan kata lain tidak terbatas hanya komponen manusia dan ekosistemnya, melainkan seluruh
komponen dalam ekosistem. Seluruh komponen dalam ekosistem diperhatikan kepentingannya
secara proporsional, tidak ada yang dipentingkan dan tidak ada pula yang diterlantarkan. Maka
lingkungan pada prinsipnya merupakan suatu sistem yang saling berhubungan satu dengan yang
lainnya, sehingga pengertian lingkungan hampir mencakup semua unsur ciptaan Allah SWT.
Itulah sebabnya lingkungan hidup termasuk manusia dan perilakunya merupakan unsur
lingkungan yang sangat menentukan.
2. Al-Qur’an Mengenai Lingkungan Hidup
Secara rinci dalam Al-Qur`an sudah digambarkan secara rinci tentang pelestarian
lingkungan hidup (Zulaikha, 2014). Secara sub pokok masing-masing disebutkan dalam
pembahasan berikut:
a) Melestarikan lingkungan hidup merupakan manifestasi keimanan. QS. Al-A’raf [7]: 85.
b) Merusak lingkungan adalah sifat orang munafik dan pelaku kejahatan. QS. Al-Baqarah [2]:
205.
c) Semesta merupakan anugerah Allah untuk manusia.QS. Luqman [31]: 20, QS. Ibrahim
[14]: 32-33.
d) Manusia adalah khalifah untuk menjaga kemakmuran lingkungan hidup.QS. Al-An’am
[6]: 165.
e) Kerusakan yang terjadi di muka bumi oleh karena ulah tangan manusia. QS. As-Syuura
[42]: 30, QS. Al-A’raf [7]: 56.
Dari ayat ini diberikan paparan landasan etika lingkungan hidup (Sururi, 2014), sebagai
berikut:
1) Penciptaan alam (segala isinya) tiada lain hanya oleh Allah swt., tidak ada satu kata atau
sikap pun yang mengarah kepada menduakan kekuasaan-Nya dengan kata lain pengakuan
akan Tauhid.
2) Tiada sesuatu yang sia-sia di bumi ini, semua memberikan manfaat bagi semua makhluk,
maka manusia sebagai hamba Allah seharusnya selalu menjaga hubungan baik dengan
Penciptanya.
3) Dengan pernyataan dalam point kedua tersebut, seharusnya manusia menghormati
lingkungan hidup guna keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Oleh karena itu,
manusia seharusnya mampu menanamkan rasa tanggungjawab terhadap lingkungan hidup
agar kelestarian alam tetap terjaga.
Maka menurut Muhammad Idrus (2015) dalam “Islam dan Etika Lingkungan”,
sebagaimana dikutip (Harahap, 2015), dengan jurnal “Etika Islam Dalam Mengelola Lingkungan
Hidup”, ada 3 (tiga) tahapan dalam beragama secara tuntas dapat menjadi sebuah landasan etika
lingkungan dalam perspektif Islam, yaitu:
1) Ta`abbud. Bahwa menjaga lingkungan adalah meupkan impelementasi kepatuhan kepada
Allah. Karena menjaga lingkungan adalah bagian dari amanah manusia sebagai khalifah.
Bahkan dalam ilmu fiqih menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan berstaus
hukum wajib karena perintahnya jelas baik dalam Al Qur`an maupun sabda Rasulullah
Saw. Menurut Ali Yafie masalah lingkungan dalam ilmu fiqih masuk dalam bab jinayat
(pidana) sehingga jika ada orang yang melakukan pengrusakan terhadap lingkungan dapat
dikenakan sangsi atau hukuman.
2) Ta`aqquli. Perintah menjaga lingkungan secara logika dan akal pikiran memiliki tujuan
yang sangat dapat difahami. Lingkungan adalah tempat tinggal dan tempat hidup makhluk
hidup. Lingkungan alam telah didesain sedemikian rupa oleh Allah dengan keseimbangan
dan keserasiaanya serta saling keterkaitan satu sama lain. Apabila ada ketidak seimbangan
atau kerusakan yang dilakukan manusia. Maka akan menimbulkan bencana yang bukan
hanya akan menimpa manusia itu sendiri tetapi semua makhluk yang tinggal dan hidup di
tempat tersebut akan binasa.
3) Takhalluq. Menjaga lingkungan harus menjadi akhlak, tabi`at dan kebiasaan setiap orang.
Karena menjaga lingkungan ini menjdi sangat mudah dan sangat indah manakala
bersumber dari kebiasaan atau keseharian setiap manusia sehingga keseimbangan dan dan
kelestarian alam akan terjadi dengan dengan sendirinya tanpa harus ada ancaman hukuman
dan sebab-sebab lain dengan iming-imning tertentu.
Etika lingkungan merupakan pedoman tentang cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang
didasari atas nilai-nilai positif untuk mempertahankan fungsi dan kelestarian lingkungan. Untuk
menciptakan lingkungan yang bersih dan Islami, Islam juga memiliki etika terhadap lingkungan
yang berdasarkan pada kerangka konseptual (Abdurrahman, 2012), yang meliputi:
1) Tauhid
Etika lingkungan berbasis tauhid yaitu kesadaran secara spiritual yang terwujud dalam
interaksi antar sistem ekologi yang ada. Lingkungan dioptimalkan sebagai sarana untuk
sampai pada Allah swt. Lingkungan sebagai sarana mengingat Allah, karena segala yang
ada di bumi temasuk didalamnya lingkungan merupakan ciptaan Allah swt yang
merupakan manifestasi Allah SWT. Dengan kesadaran ini, seseorang akan memperlakukan
lingkungan dengan arif dan bijaksana, melihat alam sebagai partner bukan musuh. Semua
unsur lingkungan memiliki nilai dan manfaat sehingga menuntut kita untuk berbuat baik
kepada lingkungan. Tauhid tidak dapat dipisahkan dengan aspek lain yang mendorong
manusia mempertanggungjawabkan segala perilakunya. Manusia dilahirkan sebagai
khalifah di muka bumi, maka ia harus mampu memelihara dan melestarikan lingkungan.
2) Ibadah
Segala sesuatu dinilai ibadah dengan syarat memulainya dengan niat yang ikhlas oleh
karena itu kegiatan memelihara lingkungan harus dilandasi dengan tujuan beribadah
kepada Allah SWT. Manusia diciptakan oleh Allah swt itu beribadah kepada-Nya,
sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Dzariyat: 56:
ِ اْلنْس إََِّل لِي عب ُد ِْ وما خلَ ْقت
ون ُ ْ َ َ ِْ اْل َّن َو ُ َ ََ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-
Ku.”
3) Pengetahuan (‘ilm)
Islam menempatkan ilmu pada tempat yang tinggi dan orang yang berilmu akan selalu
ditinggikan oleh Allah SWT. Konsep ilmu yang dimaksud dalam etika lingkungan Islam
yaitu tanda-tanda alam yang harus dikaji dengan menggunakan ilmu pengetahuan.
Sehingga dapat dilakukan pemeliharaan lingkungan dan pencegahan kerusakan lingkungan
dengan perilaku yang tepat.
4) Memanfaatkan dan Memelihara
Manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki tanggungjawab untuk mengolah,
memanfaatkan dan melestarikan lingkungan. Pengaturan lingkungan yang dilakukan
manusia akan berpengaruh terhadap masa depan generasi yang akan datang.
5) Amanah dan Keseimbangan
Allah SWT telah memberikan informasi spiritual kepada manusia untuk bersikap ramah
terhadap lingkungan. Manusia harus selalu menjaga lingkungan agar tidak rusak, tercemar
bahkan menjadi punah, sebab apa yang Allah SWT berikan kepada manusia semata-mata
merupakan suatu amanah. Manusia harus memperlakukan lingkungan sebagai amanah dari
Allah swt dan mendayagunakannya dengan seimbang.
6) Keindahan
Dalam kegiatan mengolah, memanfaatkan dan melestarikan lingkungan manusia harus
memperhatikan estetika dan keindahan. Gunung yang hijau, air laut yang tampak indah
membiru dan sungai yang jernih jangan sampai terkontaminasi oleh berbagai macam polusi
yang dapat merusak dan membahayakan manusia dan habitat flora dan fauna yang hidup
di dalamnya.
7) Halal dan haram
Lingkungan harus dikontrol oleh dua konsep yaitu halal (menguntungkan) dan haram
(membahayakan). Jika diteliti secara cermat, haram mencakup segala sesuatu yang bersifat
merusak bagi manusia dan lingkungan. Dan segala sesuatu yang menguntungkan bagi
manusia dan lingkungannya tanpa menimbulkan keburukan adalah halal.
Pandangan yang telah disampaikan oleh Umar Ibnu Khaththab RA tentang konsep
pengelolaan lingkungan merupakan bentuk manifestasi ajaran Islam yang bersumber dari Al-
Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW tentang pengelolaan lingkungan. Prinsip-prinsip ajaran
ini dapat dieksplorasi untuk mendidik masyarakat dan meningkatkan kesadaran tentang
lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam (La Fua, 2014). Konsep Islam menegaskan bahwa
segala sesuatu di ekosistem ini adalah makhluk ciptaan Allah SWT dan mereka semua tunduk di
dihadapan Allah SWT sebagaimana firman-Nya:
ً ُض َو َم ْن فِّي ِّه َّن َو ِّإ ْن ِّم ْن َش ْيءٍ ِّإ ََّّل يُ َس ِّب ُح ِّب َح ْم ِّد ِّه َو َٰلَ ِّك ْن ََّل تَفْقَ ُهونَ ت َ ْسبِّي َح ُه ْم ۗ ِّإنَّهُ َكانَ َح ِّلي ًما َغف
ورا ُ ت ُ َس ِّب ُح لَهُ ال َّس َم َاواتُ ال َّس ْب ُع َو ْاْل َ ْر
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan
tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti
tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (QS. Al-
Israa': 44).
Oleh karena itu, menurut Yûsuf Qardhâwî beberapa konsep lingkungan hidup dalam Islam
antara lain sebagai berikut. Pertama, penanaman pohon dan penghijauan. Kedua, pembajakan
tanah dan pemupukan menghidupkan lahan yang mati. Ketiga, menjaga kebersihan. Keempat,
menjaga sumber kekayaan alam. Kelima, menjaga kesehatan manusia. Keenam, ramah terhadap
lingkungan. Ketujuh, menjaga lingkungan dari perusakan. Kedelapan, menjaga keseimbangan
lingkungan. Dapat dilihat bahwa undang-undang yang bersandar pada hukum Islam memiliki
kepedulian terhadap berbagai masalah lingkungan. Secara otomatis, Islam menegaskan larangan
bagi siapapun yang hendak mencemari dan merusak lingkungan. Gagasan al-Qardhâwî
menunjukkan bahwa Islam memberikan perhatian terhadap pemeliharaan alam secara lengkap,
mulai dari penanaman pohon, pemanfaatan tanah secara bijak, melestarikan kekayaan alam,
mengaja kesehatan dan kebersihan diri dan lingkungan, dan menjaga keseimbangan dan ramah
terhadap lingkungan dengan tidak merusaknya (Efendy, 2018).
Sebagai sebuah sistem, lingkungan harus tetap terjaga keteraturannya sehingga sistem itu
dapat berjalan dengan teratur dan memberikan kemanfaatan bagi seluruh anggota ekosistem.
Manusia sebagai makhluk yang sempurna, yang telah diberikan akal budi (akal dan hati nurani)
ini manusia mestinya mampu mengemban amanat untuk menjadi pemimpin sekaligus wakil Tuhan
di muka bumi. Sebagai pemimpin, manusia harus bisa memelihara dan mengatur keberlangsungan
fungsi dan kehidupan semua makhluk, sekaligus mengambil keputusan yang benar pada saat
terjadi konflik kepentingan dalam penggunaan atau pemanfaatan sumberdaya alam. Pengambilan
keputusan ini harus dilakukan secara adil, bukan dengan cara memihak kepada individu atau
kelompok makhluk tertentu, akan tetapi mendholimi atau mengkhianati individu atau kelompok
makhluk lainnya dalam komunitas penghuni bumi. Untuk itulah manusia dituntut untuk dapat
mengembangkan akhlaq (perilaku yang baik) terhadap lingkungan.
Apabila doktrin ini dikaitkan dengan metode hukum Islam yaitu 5 (lima) konsep pokok
(al-Dharuriyah al-Khamsah) seperti dijelaskan sebelumnya, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta, maka pemeliharaan atas kelima kemaslahatan pokok ini terkait langsung
dengan pemeliharaan terhadap lingkungan (Abrar, 2012), sebagai berikut:
1) Konsepsi Islam tentang kewajiban memelihara lingkungan adalah sama dengan dengan
kewajiban memelihara lima tujuan pokok agama. Sederhananya dapat dikatakan bahwa
lingkungan adalah prasyarat untuk mewujudkan tujuan pokok agama. Menjaga sholat
adalah salah satu bentuk perwujudan dari memelihara agama. Lingkungan yang bersih
sebagai infrastruktur untuk menjalankan sholat juga merupakan salah satu faktor yang
menentukan sah atau tidaknya sholat seseorang. Apabila lingkungan tercemari, baik berupa
air untuk berwudhu’ atau tempat untuk melaksanakan sholat kotor dan sebagainya, maka
secara otomatis pemeliharaan terhadap agama pun sudah terabaikan Dalam konteks
keberadaan lingkungan sebagai pra syarat pemeliharaan tujuan pokok agama dapat dibaca
dari Kaedah Fiqih yang menjelaskan “maala yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa al-wajib”
(sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia juga menjadi wajib)
artinya memelihara lingkungan adalah wajib dalam rangka memelihara agama.
2) Kewajiban pemeliharaan terhadap jiwa sebagai tujuan pokok agama juga terkait langsung
dengan kewajiban memelihara lingkungan. Maka kewajiban untuk memelihara lingkungan
pada dasarnya adalah kewajiban untuk memelihara jiwa manusia. Sehubangan dengan
perintah ini, Allah SWT melarang untuk melakukan pembunuhan dan eksploitasi
lingkungan. “Siapa yang membunuh seorang manusia dan membuat kerusakan di muka
bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya Dan siapa yang
memelihara kehidupan manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan
manusia seluruhnya” (QS. Al-Maidaah: 32).
3) Berkaitan dengan pemeliharaan jiwa, Islam juga memerintahkan untuk memelihara akal
sebagai tujuan pokok. Perhatian agama terhadap kesehatan akal sangat terkait dengan
kondisi tubuh yang sehat (al-aqlu al-salim fi jism al-salim/akal yang baik terletak pada
tubuh yang sehat). Jawaban praktis adalah lingkungan yang bersih. Kondisi lingkungan
yang bersih, baik dan tidak tercemar adalah faktor utama dalam membentuk kesehatan
yang baik. Dengan begitu kewajiban atas pemeliharaan lingkungan sama halnya dengan
kewajiban pemerliharaan terhadap akal.
4) Memelihara keturunan sebagai tujuan Agama sekaligus dengan bentuk kualitas yang
terjamin. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-nisa ayat 9, lingkungan dengan
segala sumber daya yang dimilikinya merupakan potensi besar untuk keberlangsungan
hidup manusia. Merusak lingkungan dengan mengeksploitasinya tanpa perhitungan, akan
merusak kehidupan dan penghidupan generasi selanjutnya. Oleh sebab itu memelihara
lingkungan sama wajibnya dengan memelihara keturuanan.
5) Eksploitasi alam merupakan salah satu bentuk pengerusakan terhadap harta, karena alam
adalah karunia Tuhan untuk kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia. Air, pohon-
pohonan, mineral bumi dan segala jenisnya menjadi harta kekayaan yang tak terhingga dan
diberikan untuk kebutuhan makhlukNya.
Menurut ajaran Islam, permasalahan tersebut di atas, tidaklah sulit untuk mencari jalan
pemecahannya sekiranya manusia taat atas petunjuk Allah SWT. Manusia harus menyadari bahwa
segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta ini adalah milik Allah SWT (QS. al-Maa’idah ayat
117). Tetapi Allah SWT dengan kasih sayangnya telah memberikan hak kepada manusia untuk
menfaatkan alam ini dengan sebaik-baiknya dan mengolah sumbernya untuk kemakmuran
manusia (QS. al-Baqarah 29). Sebagai makhluk yang memperoleh hak menggunakan alam ini,
manusia haruslah mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur oleh pemiliknya yaitu Allah SWT.
Manusia tidak berhak memanfaatkan dan menggunakan alam ini secara sembarangan dan
bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah SWT (Efendy, 2018).
Sebagai agama dengan spirit rahmatan li al-‘alamin Islam meletakkan pemeliharaan
lingkungan sebagai basis terhadap pemeliharaan tujuan pokok agama. Kemashlahatan lingkungan
tidak hanya berimplikasi positif terhadap pemeliharaan kelangsungan hidup manusia tetapi juga
untuk lingkungan itu sendiri. Oleh karena itu, Islam di kenal 3 (tiga) macam bentuk pelestarian
lingkungan (Mangunjaya, 2013), sebagai berikut:
1) Dengan cara ihya'. Yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini
seseorang mematok lahan untuk dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan
pribadinya. Orang yang telah melakukannya dapat memiliki tanah tersebut. Mazhab Syafi’i
menyatakan siapapun berhak mengambil manfaat atau memilikinya, meskipun tidak
mendapat izin dari pemerintah. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, beliau
berpendapat, Ihya' boleh dilakukan dengan catatan mendapat izin dari pemerintah yang
sah. Imam Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah. Akan tetapi,
beliau menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak daerahnya.
2) Dengan proses igta'. Yakni pemerintah memberi jatah pada orang-orang tertentu untuk
menempati dan memanfaatkan sebuah lahan. Adakalanya untuk dimiliki atau hanya untuk
dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu.
3) Dengan cara hima. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu area untuk dijadikan
sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan umum. Dalam konteks
dulu, hima difungsikan untuk tempat penggembalaan kuda-kuda milik negara, hewan,
zakat dan lainnya. Setelah pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai hima, maka lahan
tersebut menjadi milik negara. Tidak seorang pun dibenarkan memanfaatkannya untuk
kepentingan pribadinya (melakukan ihya'), apalagi sampai merusaknya.
SOAL-SOAL LATIHAN
LEMBAR JAWABAN
SOAL-SOAL LATIHAN
BAB XII
1.
2.
3.
4.
5.
DAFTAR PUSTAKA