Anda di halaman 1dari 9

KESEHATAN MENURUT AL-QUR’AN

DOSEN PENGAMPU : Dr. H Nadirsah Hawari, Lc.,MA

Disusun oleh :

Sarah Dwi Safitri / 2161020057

FAKULTAS ADAB

ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI LAMPUNG

TAHUN AJARAN 2021/2022


PEMBAHASAN

KESEHATAN

Islam menetapkan rujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal,
jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan
kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa lslam amat kaya dengan tuntunan kesehatan.
Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk menunjuk tentang
pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam.

1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;

2. Afiat.

Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kara majemuk sehat afiat. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata "afiat" dipersamakan dengan "sehat". Afiat diartikan
sehat dan kuat, sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan baik segenap
badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit). Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda
dengan pengertian dalam tinjauan ilmu kesehatan, yang memperkenalkan istilah-istilah
kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kesehat masyarakat.Walaupun Islam mengenal hal-hal
tersebut, sejak dini per lu digarisbawahi satu hal pokok berkaitan dengan kesehatan, yaitu
melalui pengertian yang dikandung oleh kata afiat.

Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda, kendati
diakui tidak jarang hanya di sebut salah satunya karena masing-masing kata tersebut dapat
mewakili makna yang di kandung oleh kata yang tidak disebut. Pakar bahasa Al-Quran dapat
memahami dari ungkapan sehat walafiat baliwa kata sehat berbeda dengan kata afiat, karena
wa yang berarti "dan" adalah kata penghubung yang sekaligus menunjukkan adanya
perbedaan antara yang disebut pertama (sehat) dan yang disebut kedua (afiat). Nah, atas dasar
itu dipahami adanya perbedaan maknu di antara keduanya.

Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw. ditemukan sekian
banyak doa, yang mengandung permohonan afiat, di samping permohonan memperoleh
sehat. Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai perlindungan Allah untuk
hamba-Nya dari segala ma cam bencana dan tipu daya. Perlindungan itu tentunya tidak dapat
diperoleh secara sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-Nya.
Maka kata afiat dapat diartikan sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan
tujuan penciptannya. Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan,
agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat maupun
membaca tanpa menggunakan kacamata, tetapi mata yang afiat adalah yang dapat melihat
dan memba objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandang dart objek-objek yang
terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.

1
Kesehatan Fisik

Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan d kenal berbagai jenis kesehatan,
yang diakui pula oleh pakar-pakar Islam.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun
1983 merumuskan kesehatan sebagai "ketahanan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial yang di
miliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan
(tuntunan-Nya), dan memelihara serta mengembangkannya" Memang banyak sekali tuntunan
agama yang merujuk kepada ketiga jenis kesehatan itu. Dalam konteks kesehatan fisik,
misalnya ditemukan sabda

Nabi Muhammad Saw:

‫ا ن لجسد ك علي ك حقا‬

Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu.

Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas
beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya terganggu.
Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fink dimulai dengan meletakkan prinsip:

‫الوقاية خير من العالج‬

Pencegahan lebih baik daripada pengobatan

Karena itu, dalam konteks kesehatan ditemukan sekian banyak petunjuk Kitab Suci dan
Sunnah Nabi Saw. yang pada dasarnya mengarah pada upaya pencegahan. Salah satu sifat
manusia yang secara tegas dicintai Allah adalah orang yang menjaga kebersihan. Kebersihan
digandengkan dengan taubat dalam surat Al-Baqarah (2): 222

‫ا ن ا هلل تحب ا لتو بين وتحب المتطهر ين‬

Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat, dan senang kepada orang yang
membersihkan diri

Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan


kesehatan fisik. Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw, adalah:

‫و ثتا بك فطهر و ا لر جز فا هجر‬

Dan bersihkan pakaianmu dan tinggalkan segala macam kekotoran (QS Al-Muddatstsir
[74]: 4-5).

2
Perintah tersebut berbarengan dengan perintah menyam paikan ajaran agama dan
membesarkan nama Allah Swt. Terdapat hadis yang amat populer tentang kebersihan yang
berbunyi:

‫النظافة من اإليمان‬

Kebersihan adalah bagian dari iman.

Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if Kendati begitu, terdapat sekian
banyak hadis lain yang men dukung makna tersebut, seperti sabda Nabi Saw:

‫ رواه البخاري‬- ‫لبنات بضع وسبعون شعبـة أعالها قول ال إله إال هللا وأدناها إماطة األذى عن طريق‬

Iman, terdiri dari tujuh puluh sekian cabang, puncaknya adalah keyakinan bahwa "Tiada
Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan" (HR
Bu khari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi, larangan
bernapas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang tidak mengalir atau di
bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam dalam konteks
menjaga kesehatan. Bahkan sebelum dunia mengenal karantina, Nabi Muhammad Saw telah
menetapkan dalam salah satu sabdanya,

‫إذا سمعتم بالطاغون بأرض فالتدخلوهـا وإذا وقع بأرض وأنتم فيها فالتخرجوامتها‬

‫ستق عليه عن أسامة بن زيـد‬

Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah mengunjungi


daerah itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya.

Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama penyakit: Al-ma'idat
bait adda'. Dan karena itu ditemukan banyak sekali tuntutan-baik dari Al-Quran maupun
hadis Nabi Saw-yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya. Al-Quran juga
mengingatkan, Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan, Allah tidak senang
kepada orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31). Penjabaran peringatan itu
dijelaskan oleh Rasulullah Saw dengan sabdanya,

‫شرا من بــن حـيـب ابن آدم لقيمات يقمن صلبه فإن كان المحالة ما ماال آدمی و‬

‫ولة طعامه وثلث لشراب وثلث لنفسه‬

‫روم بن محمد و بر جان وحسه المرادي عن معدام و معدی کرب‬

Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam lebih buruk daripada perut.
Cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun
harus dipe nuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga lagi un tuk minumannya,
dan sepertiga sisanya untuk pernapasannya (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).

3
Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan maupun ilmuwan,
berpendapat bahwa jenis makanan dapat memengaruhi mental manusia. Al-Harali (wafat
1232 M) menyimpulkan hal tersebut setelah membaca firman Allah yang mengharamkan
makanan dan minuman tertentu karena makanan dan minuman tersebut rijs.

‫إال أن يكون ميتة أود ما مشفوحا أو لحم خنزير فإنه رجس‬

Kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang meng alir, atau daging babi,
karena sesungguhnya semua itu kotor (QS Al-An'âm [6]: 145).

Kata rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau kebobrokan mental. Pendapat
serupa dikemukakan antara lain oleh seorang ulama kontemporer Syaikh Taqi Falsafi dalam
bukunya, Child between Heredity and Education, yang mengutip pendapat Alexis Carrel
dalam bukunya, Man the Unknown. Carrel, peraih hadiah Nobel bidang kedokteran ini,
menulis bahwa pengaruh campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas
jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum diadakan
eksperimen dalam waktu yang memadai. N mun, tidak dapat diragukan bahwa perasaan
manusia dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan. Para ulama sering mengaitkan
penyakit dengan siksa Allah. Al-Bigada lam tafsirnya mengenai surat Al-Fatiha
mengemukakan sabda Nabi Saw

‫مل سوط هللا سية األرض يؤدب بـه عبـاده‬

Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia mendidik han ba-hamba-
Nya.

Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang pada dasarnya berarti
menghindar dari siksa Allah di dunia dan di akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat
pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan bahwa
makanan yang kotor mengali batkan penyakit. Seorang yang makan makanan kotor pada
hakikatnya me langgar perintah Tuhan, sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia
yang harus dihindari oleh orang yang bertakwa.

Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar berobat pada saat ditimpa
penyakit.

‫ان هللا لم برات داء إال أنزل معه دواء ع واء عير داء واحد وهو الصري تاره بوده و در مرحل من ستار خرید‬

Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula
obat penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (HR. Abu Daud dan At-Tirmidn
dari sahabat Nabi, Usamah bin Syuraik).

4
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan berobat, maka
prinsip-prinsip pokok yang diangkat dari Al-Quran dan hadis cukup untuk dijadikan dasar
dalam upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat dikemukakan persoalan
transplantasi, baik dari donor hidup maupun donor yang telah meninggal dunia.

Beberapa prinsip dan kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan
topik bahasan ini dapat mem bantu menemukan pandangan Islam dalam persoalan dimaksud.
Prinsip-prinsip dimaksud antara lain adalah:

1. Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal. kesehatan, dan harta benda
umat manusia.

2. Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allab yang dianugerahkan-Nya
untuk dimanfaatkan, bukan un tuk disalahgunakan atau diperjualbelikan.

3. Penghormatan dan hak-hak asasi yang dianugerahkan Nya mencakup seluruh manusia,
tanpa membedakan ras atau agama.

4. Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang hidup, maupun yang telah wafat.

5. Jika bertentangan kepentingan antara orang yang hidup dan orang yang telah wafat,
maka dahulukanlah kepen tingan orang yang hidup.

Dari prinsip-prinsip ini, banyak ulama kontemporer menetapkan bahwa transplantasi


dapat dibenarkan selama tidak diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia yang hidup
maupun yang mati terjaga sepenuhnya. Salah satu jaminan tidak adanya pelecehan adalah
izin dari pihak keluarga Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang
kebanyakan (awam) bahwa setelah si penerima donor sehat, ia mungkin dapat
menyalahgunakan kesehatannya, dan ini dapat mengakibatkan dosa, terutama bagi pemilik
organ (jenazah), atau orang yang mengizinkan. Alasan ini, pada ha kikatnya tidak
sepenuhnya dapat diterima. Kemurahan dan keadilan Tuhan mengantar-Nya untuk tidak
menuntut pertang gungjawaban dari seseorang terhadap sesuatu yang tidak di keriakannya
secara sadar, karena hakikat manusia bukan organ dan jasmaninya:

‫اناهلل ال ينظر إلى أجسامكم وال صوركم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم‬

Allah tidak memandang kepada jasad dan rupa kamu, tetapi memandang hati dan
perbuatan kamu.

Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim. Di samping itu,
izin yang diharuskan itu, telah dapat mengurangi kalau enggan berkata "menghilangkan
kekhawatiran di atas. Kalau niat pemberi izin untuk membantu sesama manusia, dan dia
menduga keras bahwa bantuan ter sebut tidak akan disalahgunakan, maka kalaupun ternyata
dugannnya keliru, maka ia bebas dari dosa. Sebaliknya, jika yang memberi izin sudah
menduga keras akan terjadinya penyalahgunaan, maka tentu saja ia tidak terbebaskan dari
dosa. Di sini terlihat pula peranan izin.

5
Dapat ditambahkan bahwa Al-Quran menegaskan bahwa, "Barang siapa yang
menghidupkan seseorang, maka dia bagai kan menghidupkan manusia semuanya..." (QS
Al-Ma'idah

(5): 32). "Menghidupkan di sini bukan saja yang berani memelihara kehidupan, tetapi juga
dapat mencakup-upaya memperpanjang harapan hidup" dengan cara apa pun yang tidak
melanggar hukum. Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat Al-Quran dipahami dalam
konteks peristiwa paling mutakhir dalam bidang kesehatan.

Namun, dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya hanyalah "sebab",
sedangkan penyebab sesung guhnya di balik sebab atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti
ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan Al-Quran dalam surat Al-Syu'ara' (26): 80,

‫وإذا مرضت فهو يشفين‬

Apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan

Kesehatan Mental

Nabi Saw, juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang terjadi karena gangguan
mental. Seseorang datang mengeluh kan penyakit perut yang diderita saudaranya setelah
diberi abat berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi Saw. bahwa,
"Perut saudaramu berbohong" (HR Bukhari).

Al-Quran Al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit jiwa. Mereka yang lemah
iman dinilai Al-Quran sebagai orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya

Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk bahwa sebagian kompleks kejiwaan tercipta
pada saat janin masih berada di perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks (pertemuan
sperma dan ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam buaian.

Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar menciptakan suasana
tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada saat bayi berada dalam kandungan, seba
gaimana memerintahkan kepada para orangtua untuk mem perlakukan anak-anak mereka
secara wajar. Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang digendong,
kemudian membasahi pakaian Nabi Ihunya merenggut bayi tersebut dengan kasar. Namun
Nabi menegurnya dengan bersabda,

‫تهال يا أم الفضل إن هذه الغرفة الماء يظهرها فاي شي تريل هذا الغار عن قلبه‬

Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar Pakaian ini dapat
dibersihkan dengan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau
renggut dengan kasar)?

6
Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, sebagian kompleks kejiwaan yang
diderita orang dewasa, dapat diketahui penyebab utamanya pada perlakuan yang diterima nya
sebelum dewasa.

Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan In lam tentang penyakit-penyakit


mental mencakup banyak hal yang boleh jadi tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan
yang modern.

Dalam Al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fi qulubihim maradh.

Kata qalb atau qulub dipahami dalam dua makna, yaitu akal dan hati. Sedang kata maradh
biasa diartikan sebagai penyakit. Secara rinci pakar bahasa Ibnu Paris mendefinisikan kata
tersebut sebagai "segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas
keseimbangan/kewajaran dan meng antar kepada terganggunya fisik, mental, bahkan kepada
tidak sempurnanya amal seseorang".

Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak ke arah berlebihan, dan
dapat pula ke arah kekurangan. Dari sini dapat dikatakan bahwa Al-Quran memperkenal
rangan. Dari sini dapat dikatakan adanya penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang
penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan menimpa akal.

Penyakit-penyakit akal yang di sebabkan bentuk berlebihan adalah semacam kelicikan,


sedangkan yang bentuknya karena kekurangan adalah ketidaktahuan akibat kurangnya
pendidik an. Ketidaktahuan ini dapat bersifat tunggal maupun ganda. Seseorang yang tidak
tahu serta tidak menyadari ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit akal
berganda. Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya pada keraguan dan
kebimbangan.

Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan ber tingkat-tingkat. Sikap angkuh,
benci, dendam, fanatisme, loba, dan kikir yang antara lain disebabkan bentuk keberlebihan
eseorang. Sedangkan rasa takut, cemas, pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena
kekurangannya. Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah mereka
yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti bunyi firman Allah dalam surat Al-
Syu'ara' (26): 88 89:

‫ه إال من أتى هللا بقلب سليميو م ال ينفع ما ل و ال بنو ن‬

Pada hari (akhirat) harta dan anak-anak tidak berguna, (tetapi yang berguna tiada lain)
kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat.

Sumber yang didapat dari buku Wawasan Al-Qur’an Tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan
Umat, M. Quraish Shihab Pakar Tafsir Indonesia, hal. 241-251

Anda mungkin juga menyukai