Anda di halaman 1dari 30

BAB XIV

HUKUM BEROBAT
Bentuk dan Jenis Pengobatan
Secara garis besar, dilihat dari hukumnya, pengobatan dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu pengobatan yang dihalalkan dan yang
diharamkan. Pengobatan yang dihalalkan, yang tidak bertentangan dengan
syarak, meliputi 3 kategori:
a. Pengobatan secara medis, yang secara ilmiyah dapat dipertanggungjawabkan .
b. Pengobatan nabawi, yang secara jelas teksnya disebutkan dalam al-Qur'an
maupun hadits, seperti pengobatan dengan madu, habah sauda' (jinten
hitam) air zamzam, ruqyah dengan membacakan al-Quran bagi orang
yang kesurupan dan kemasukan jin dll.
Pengobatan tradisional, seperti dengan jamu, refleksi, dan obat-obatan
tradisional yang lainnya (dengan bahan yang halal dan tidak merusak).
Sakit dalam al-Quran
Sakit disebutkan dalam al-Quran dengan kata al-maradh ( ) ,
yang dalam berbagai bentuknya disebutkan 25 kali. Berbagai jenis penyakit
disinggung dalam al-Quran, seperti al-Akmaha (buta), al-Abrasha (sopak),
al-Am (buta), dan al-araj (pincang). Sebagian kata tersebut berhubungan
dengan sakit hati (al-qulub), dan yang lain dengan sakit phisik.
Penyembuhan/pengobatan dalam al-Quran digunakan kosa kata al-Syif,
diulang sebanyak 6 kali, menurut sebagian mufassir bersifat komprehensif,
mencakup seluruh jenis penyakit (li bayn al-jins), bukan sebagiannya saja
(l li al-tabdh). Dasarnya adalah ayat al-Quran:
(38:(6) ) ... ...
Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab (Q.s. alAn'm (6):38)
Ada sementara anggapan berdasarkan ayat di atas bahwa segala sesuatu
mencakup semua macam jenis obat untuk semua penyakit, baik jasmani
maupun rohani. Al-Jauziyah termasuk yang berpendapat demikian,
menurutnya seluruh ayat al-Quran berfungsi sebagai obat. Semua jenis
penyakit, baik phisik maupun psikis, ditunjukkan jalan pengobatan dan
pencegahannya bagi yang memiliki pemahaman dan ilmunya.
Klaim di atas dalam satu sisi mengandung kebenaran sesuai dengan
penegasan ayat al-Quran di atas, tetapi jika sampai pada jabaran detail dan
menyangkut aplikasi praktisnya mengenai berbagai penyakit fisik seperti
kanker, jantung, kulit, merupakan kesimpulan berlebihan dan perlu diuji
kebenarannya. Tetapi dari segi psikis, bagi orang yang sakit dengan membaca
dan menghayati al-Quran jiwanya akan tenang, lapang dada, sabar,
optimistis, tidak suka mengeluh, bagi yang sakit atau sehat akan menambah

kekuatan, ketenangan dan kerelaan, yang semua itu merupakan sebab dan
sarana kesembuhan. Hal ini sejalan dengan penegasan ayat al-Quran 'Syif'
lim fi al-Shudr' seperti dinyatakan dalam ayat:

(57:(10) )
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q.s.
Ynus (10):57)
Upaya preventif yang terdapat dalam al-Quran cukup menonjol, antara
lain, dapat digali dari hikmah anjuran thahrah yang mencakup kesucian
phisik dan non-phisik, meliputi pakaian, tempat tinggal, jalan, dan segala
sarana dan pra-sarana kehidupan manusia, juga kesucian hati, jiwa, lahir dan
batin.
Anjuran Berobat
Sudah menjadi sunnatullah, jika makhluk yang bernyawa, manusia dan
hewan, sakit dengan berbagai cara akan berusaha mengupayakan
penyembuhan. Dalam teks hadis Nabi banyak riwayat yang berisi anjuran
untuk berobat. Dalam konteks makna hakiki dan batasan global, Tuhan
adalah satu-satunya Maha Penyembuh, tidak ada yang dapat menyembuhkan
kecuali penyembuhan-Nya. Al-Quran mengutip ucapan Nabi Ibrhim
menyebutkan:
(80 :(26) )
Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkannya (Q.s. al-Syu'ar'
(26):80).
Ayat ini menekankan agar orang yang sakit mengupayakan sehat sebagai
anjuran agama, dan bahwa Penyembuh yang hakiki adalah Allah.
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Dzahabi menyatakan, tindakan
penyembuhan penyakit secara medis merupakan perbuatan baik dan terpuji,
yang juga sejalan dengan pesan Nabi: Lakukanlah penyembuhan secara
medis. Banyak hadits Nabi menganjurkan berobat, antara lain:

( )

Sahabat bertanya, Ya Rasulullah saw., apakah kami mesti berobat? Nabi


menjawab: Berobatlah, sebab, Allah tidak menurunkan penyakit kecuali
juga menurunkan obatnya, diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan
dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya" (HR. Ahmad).
Dalam hadits Nabi di atas dan hadits yang lain, obat disebut daw',
penyakit disebut d'. Biasanya, perintah berobat dalam hadits qauliyyah dan
taqririyyah disampaikan dengan redaksi kata perintah ( )atau
berbentuk kalimat berita. Di samping itu, dijumpai pula keterangan bahwa
Nabi pernah berobat untuk dirinya sendiri, serta menyuruh keluarga dan
sahabatnya agar berobat ketika sakit.

Batasan teknis tentang pengobatan dalam sumber ajaran Islam hanya


diberikan secara global dan konteksnya umum. Bidang ini termasuk dalam
bidang ijtihdiyah, maka jabaran praktis dan pengembangannya diserahkan
kepada ahlinya, sebagaimana dikisahkan dalam hadits tentang mengawinkan
kurma, setelah seorang petani ahli dalam bidang pemutikan bunga korma
mengikuti saran Nabi yang dikiranya saran tersebut merupakan wahyu
Tuhan, ternyata hasilnya gagal panen. Mendapat laporan tersebut akhirnya
Nabi berkata:

...
( )



"Kalian lebih mengetahui urusan kalian" (HR Muslim)


Dan dalam hadits lain dinyatakan:



)









(

"Jika sesuatu itu menyangkut urusan duniamu maka itu bagian


(urusan) kalian, namun jika menyangkut urusan agama kalian maka
urusanku." (HR Ibn Mjah dan Ahmad)
Hadits ini menujukkan ada bidang yang bukan merupakan otoritasnya
sebagai seorang rasul, menyangkut yang bukan otoritasnya itu maka
penanganan teknisnya diserahkan kepada ahli di bidangnya. Dengan adanya
hadits ini di satu sisi dan banyak hadits yang menekankan agar berobat di sisi
lain, maka implikasinya terjadi perbedaan pandangan di kalangan ulama
tentang hukum berobat apakah termasuk soal duniawi yang tidak termasuk
dalam bagian dari syariah seperti dikemukakan oleh Ibn Khaldun, atau
termasuk bagian dari syariah sebagaimana dikemukakan oleh kebanyakan
ulama.
Hukum Berobat
Pada dasarnya berobat disyariatkan dalam Islam, disebutkan dalam alQuran dan as-Sunnah, baik sunnah qauliyyah (ucapan) maupun fi'liyyah
(perbuatan). Di samping itu, berobat untuk keselamatan jiwa merupakan
salah satu dari lima hal yang asasi harus dijaga. Hukum berobat dapat
berubah seiring dengan kondisi dan keadaan orangnya. Wajib jika tidak
dilakukan akan mengancam keselamatan jiwanya, dapat melumpuhkan salah
satu anggota badannya atau penyakit ayng dideritanya itu dapat menular
kepada orang lain, seperti orang yang terkena penyakit menular. Sunnah jika
tidak berobat akan melemahkan badan dan tidak menimbulkan dampak
seperti tersebut pada kondisi yang wajib di atas. Mubah jika tidak berobat
tidak berdampak seperti dua kondisi di atas. Makruh jika dengan berobat
akan berdampak lebih membahayakan baik pada diri sendiri, atau kepada
pihak lain.
Berobat berarti menggunakan obat atau cara tertentu atau mendatangi
orang yang bekerja mengobati, dengan cara tertentu secara tradisional
maupun medis dengan tujuan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit,
atau menyembuhkan seseorang dari penyakit tertentu. Dalam al-Quran,
secara ekplisit tidak terdapat anjuran berobat, tetapi dalam Hadis qauliyyah
banyak anjuran dengan redaksi kata perintah, seperti '" atau berbentuk

kalimat berita. Juga dalam Hadis fi'liyyah dan taqrriyyah disebutkan bahwa
Nabi pernah berobat untuk dirinya sendiri, serta menyuruh keluarga dan
sahabatnya agar berobat ketika sakit.
Batasan teknis tentang pengobatan dalam sumber ajaran Islam
hanya diberikan secara global dan konteksnya umum. Tema ini termasuk
bidang ijtihdiyyah yang jabaran praktis dan pengembangannya diserahkan
kepada ahlinya, dikategorikan dalam bidang yang terkandung dalam Hadis
tentang mengawinkan pohon kurma. Ini sekaligus menunjukkan ada bidang
yang bukan merupakan otoritas Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang
rasul.
Ulama sepakat bahwa berobat mesti kepada ahlinya, dilarang kepada
yang tidak ahli, tidak berpengetahuan dan berpengalaman tentang
pengobatan. Sebagai landasan awal yang sering dijadikan argumen para
ulama untuk menentukan hukum berobat adalah ayat al-Quran yang
mengutip ucapan Nabi Ibrhm dalam Q.s. al-Syu'ar/26:80 di atas. Ayat ini
sering difahami terkandung perintah agar berobat melalui sunnatullah
sebagai anjuran agama, meyakini bahwa Penyembuh yang hakiki adalah
Allah. Dalam menafsirkan ayat ini, al-Dzahabi menyatakan bahwa tindakan
penyembuhan penyakit secara medis merupakan perbuatan baik dan terpuji,
sejalan dengan pesan Nabi: berobatlah.
Secara umum, perintah berobat ini oleh fukaha dipahami berbeda,
antara hukum wajib, sunnah, atau sekadar imbauan. Mayoritas fukaha
berpendapat, perintah tersebut hanya bernilai mubah, sedangkan menurut
sebagian ulama Ashhb al-Syfii dan Ashhb Ahmad menunjukkan wajib,
sebagian ulama Syfiiyyah menyatakan sunnah, dan sebagian ulama
Hanbilah menyatakan makruh.
Menurut Majlis Majma' al-Fiqh al-Islmi pada Muktamar ke-7 di
Jiddah, 7-14 Mei 1992 menetapkan hukum berobat meliputi empat hukum:
wajib, sunnah, mubah, dan makruh. Wajib berlaku jika tidak berobat akan
mengancam jiwa, salah satu tubuhnya, atau membuatnya menjadi lemah,
atau penyakitnya akan membaha-yakan atau menularkan kepada orang lain.
Sunnah, jika tidak berobat akan membuatnya lemah namun tidak sampai
membahayakan sebagaimana di atas. Mubah jika tidak sampai membuat
kesakitan seperti di atas. Makruh, jika melakukannya justru akan mendatangkan kesulitan-kesulitan baru.
Ibn Taimiyyah dan ulama lain cenderung memahami hukum berobat
bersifat fleksibel dan kondisional, secara khusus dan kasuistik dapat berlaku
lima hukum taklifi: haram, makruh, mubah, sunnah (mustahab), dan kadangkadang bisa wajib. Hukum tersebut tergantung pada illat, tetap bertahan
hidup atau tidaknya jika berobat, juga berdasarkan pada kadar sakit serta
pengaruh obat, dapat disembuhkan atau tidak, dan lain-lain, seperti batasan
wajibnya mengkonsumsi bangkai karena darurat.
Di kalangan ulama klasik terdapat perbedaan pendapat mengenai
hukum berobat yang secara khusus diperhadapkan dengan tawakkal, lebih
baik yang mana, berobat atau tidak. Pada prinsipnya mereka sepakat bahwa
berobat diperbolehkan, namun menyangkut sisi keutamaannya ada
perbedaan, sebagian mereka berpendapat berobat lebih utama, dasarnya
antara lain, ketika Nabi sakit beliau senantiasa melakukan pengobatan. Di

kalangan kaum sufi dalam menentu-kan hukum berobat dipengaruhi unsur


sufistik, mereka berpendirian bahwa maqm syukur, sabar, tawakkal, rida,
dan lain-lain itu lebih tinggi dari maqm yang masih terkait dengan hukum
kausalitas, termasuk tindakan mengobati penyakit. Pendirian demikian,
menurut Ibn al-Atsr, adalah sifat auliy (para wali) yang menjauhkan diri
dari kehidupan duniawi. Karena berpendirian berobat tidak wajib dan lebih
utama bersikap pasrah, jika sakit mereka tidak berobat, cukup berserah diri
tanpa berusaha mengobatinya sama sekali, sebagaimana dilakukan oleh Nabi
Ayyb, Ab Bakr, Ubaiy bin Kab, Ab Dzarr, Umar bin Abd al-Azz, dan lainlain. Sikap dan pendirian mereka juga dilandasi penegasan Nabi yang
menyatakan bahwa menderita sakit itu menghapuskan dosa. Nabi menghargai
sikap seorang wanita tua berkulit hitam bernama Ummu Zufar yang memilih
tidak berobat dari sakit epilepsi (al-Shar') yang dideritanya, cukup dengan
bersabar dan lebih memilih surga yang dijanjikan bagi yang bersabar
menerima penyakitnya daripada meminta kesembuhan.
Sikap pasrah dan tawakkal total yang merupakan elemen faham
Jabariyah seperti di atas juga ditunjukkan oleh al-Ghazli yang dengan
kacamata sufistiknya ketika membahas tawakkal, secara ekstrim ia
menyatakan: Tidak berobat dalam kondisi apa pun adalah lebih utama.
Logika yang digunakan oleh kaum sufi karena berpendirian bahwa
maqm sabar, ridl, dan tawakkal terhadap ketentuan Allah, termasuk
menanggung pedihnya sakit dan tidak berusaha mengobatinya karena cinta
Allah (mahabbah Allh), jika kualitas rasa cinta sangat dalam maka
penderitaan phisik tidak terasakan. Kaum sufi yang merasa kualitas
kecintaannya kepada Allah sangat dalam, maka sakit yang dideritanya
disambut dengan suka cita, dianggap sebagai bentuk ekspresi kasih sayang
dan nikmat Tuhan kepada mereka. Sekadar gambaran analogi logis, jika
seseorang sangat mencintai seseorang, bila sang kekasih menyakitinya secara
phisik, maka tidak dirasa pedihnya sakit dikalahkan oleh cintanya yang besar
kepada kekasihnya itu, bahkan dalam kesempatan lain mungkin akan
merindukan untuk disakiti lagi.
Hal senada juga dinyatakan oleh al-Nawawi (621-676 H.) bahwa tidak
berobat karena tawakkal adalah lebih utama. Bahkan, dalam Hadis Syii
disebutkan, bagi orang yang sakit sangat dianjurkan untuk menanggung rasa
sakit dan diperbolehkan berobat ke dokter jika penyakitnya itu telah
mengancam jiwanya atau rasa sakitnya sudah tak tertahankan lagi. Menurut
faham mereka yang disemangati oleh nilai kesyahidan, berdasarkan Hadis,
bagi orang yang sakit yang melewatkan satu malam dan menanggung rasa
sakit akan mendapatkan pahala lebih besar dibandingkan dengan shalat
sepanjang tahun.
Menyikapi perbedaan pendapat di atas, al-Syaukni dan yang lain
berusaha menengahi dua pandangan tersebut dengan jalan men-tarjh, dan
tampaknya lebih diarahkan kepada kaum awam, bahwa berobat tidak berarti
menafikan tawakkal, seperti halnya menolak lapar dan haus dengan makan
dan minum, demikian juga menjauhkan diri dari hal-hal yang sifatnya
merusak dengan doa, minta sehat dan dijauhkan dari segala hal yang
membahayakan. Dalam konteks ini, bertawakkal dilakukan setelah berusaha,
seperti disebutkan dalam Hadis, ketika seseorang yang nampaknya
memahami bertawakkal berarti menafikan usaha dengan membiarkan

untanya begitu saja, Nabi menyuruhnya agar mengikatnya dulu, setelah itu
bertawakkal. Nabi bersabda:

( )

"Ikatlah dan bertawakkal" (HR. Ahmad, Ibn Hibban, dan al-Turmudzi


dari Anas bin Malik)
Dari sejumlah Hadis di atas sepintas nampak kontradiktif, antara
anjuran berobat dan bersabar di sisi lain, dilihat dari sisi lain hal ini justru
menunjukkan bahwa Nabi sangat bijak dalam menyampaikan setiap
pesannya, memperhatikan siapa yang dihadapi dan menawarkan prioritas
yang harus dipilih sejalan dengan kondisi obyektif, berobat diarahkan kepada
para Sahabatnya yang masih produktif seperti kepada Ubay bin Kab dan
bersabar ditujukan kepada yang tidak produktif lagi seperti kasus Ummi
Zufar.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berobat atau mencari
kesembuhan dari penyakit (at-Tadawi). Sebagian mengatakan bahwa berobat
merupakan perintah agama, hukumnya sunnah. Sebagian lainnya
mengatakan, bersabar (tidak berobat dan menahan sakitnya) adalah lebih
utama dan berobat tidak menjadi sunnah atau anjuran dalam agama.
Dalil yang digunakan oleh kelompok ulama menyatakan bahwa berobat
hukumnya sunnah, antara lain hadits Rasulullah saw:


















Dari Abi al-Darda', ia berkata. Rasulullah saw bersabda: bahwa Allah


yang menurunkan penyakit dan obatnmya, menjadikan setiap penyaklit
ada obatnya, berobatlah tetapi janganlah dengan yang haram" (HR.
Abu Dawud).
Rasulullah saw, sebagaimana terdapat dalam sejumlah hadits, juga
berobat dan berupaya untuk mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang
pernah menimpanya.
Kalangan ulama yang menganjurkan tidak berobat antara lain adalah anNawawi yang menyatakan bahwa bersabar dan bertawakkal kepada Allah swt
atas penyakit yang diberikannya adalah lebih utama. Sebagian lainnya
mengatakan bahwa orang yang tawakkalnya kuat tidak berupaya mencari
kesembuhan, sebaliknya orang yang tawakkalnya lemah mencari
kesembuhan.
Selain itu juga ada riwayat dalam hadits Nabi tentang, kisah seorang
wanita yang minta didoakan kesembuhan oleh Rasulullah saw., namun beliau
memberikan pilihan untuk bersabar dan mendapat pahala sabar.
Dari Atha bin Abi Rabah ra berkata, Ibnu Abbas ra berkata
kepadaku,"Maukah aku tunjukkan kamu seorang wanita ahli surga?". Aku
bilang,"Mau". "Inilah wanita hitam yang datang kepada Nabi saw
meminta,"Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan aku takut pakaianku
tersingkap saat datang ayanku. Mintakan kepada Allah untuk
kesembuhanku". Rasulullah saw menjawab,"Bila kamu mau, bersabarlah
maka kamu akan masuk surga. Tapi kalau tidak mau bersabar, aku akan
meminta kepada Allah agar kamu segera sembuh". Wanita itu menjawab,

"Aku memilih bersabar, tapi aku tetap takut pakaianku tersingkap saat
ayan, mintalah kepada Allah agar saat ayan, pakaianku tidak akan
tersingkap". Maka Rasulullah saw berdoa untuknya. (HR. al-Bukhari dan
Muslim).
Dari dua pandangan kontradiktif di atas, nampaknya yang kuat adalah
yang menganjurkan berobat. Dalil tentang perlunya berobat sangat banyak,
baik alam bentuk sunnah qauliyyah maupun filiyyah. Dalil-dalil yang
menguatkan tidak perlunya berobat dapat dipahami, antara lain, Nabi dalam
menyampaikan pesannya sangat sesuai dengan kondisi dan siapa yang
dihadapi, beliau sangat bijaksana dengan mendahulukan skala prioritas,
seperti pesan Nabi kepada Ummi Zufar, seorang wanita tua yang menderita
epilepsi disarankan lebih membangun jiwa kesabarannya, jika dilakukan
maka surga balasannya. Namun, terhadap sejumlah orang yang dapat dinilai
beruswia produktif dianjurkan berobat.
Konteks perintah berobat di sini bersifat umum, tidak dipilah yang
sifatnya modern atau tradisional, dan dengan metode apa saja. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa anjuran berobat adalah mencakup semua
spesialisasi medis dalam mengobati penderita, baik dengan obat-obatan,
operasi, penyinaran, fisioterapi, pijatan, dan lain-lain maupun dengan metode
tradisional atau alternatif. Hal ini sejalan dengan pernyataan al-Syaukni (w.
1255 H.) bahwa Hadis di atas juga menunjukkan dibolehkannya mencari
pengobatan alternatif, bagi pasien penderita suatu penyakit kronis jika dokter
telah mengvonis bahwa penyakitnya tidak ada obatnya dan tidak dapat
disembuhkan secara medis, agar tidak menyerah, tetapi terus berusaha
mencari penyembuhan dengan cara yang lain. Perintah tersebut juga berarti
anjuran untuk menggunakan obat yang sudah diakui berpengaruh pada
proses penyembuhan, baik berdasarkan pada kebiasaan atau hasil penelitian
ilmiah.
Sedangkan pengobatan yang haram, pengobatan yang menyimpang dari
Syariah, seperti menggunakan sihir, dukun, meminta bantuan jin. Anggapan
dan keyakinan sebagian orang bahwa jin dapat dimintai bantuan untuk
pengobatan masih mengundang permaslahan, karena alamnya berbeda.
Tuhan mencela orang yang datang meminta tolong pada jin, seperti
dinyatakan dalam al-Quran:

(6:)
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia
meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka
jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan (Q.s. Jin (72):6)
Sebab turun ayat di atas, menurut satu riwayat dinyatakan, ada di antara
orang-orang Arab bila mereka melintasi tempat yang sunyi, mereka minta
perlindungan kepada jin yang mereka anggap menguasai tempat itu.
Secara umum, perintah (al-Amr) berobat oleh para ulama dipahami
berbeda, apakah bernilai wajib, sunnah, atau sekadar imbauan. Mayoritas
ulama berpendapat, perintah tersebut hanya bernilai mubah, sedangkan
menurut sebagian ulama Ashhb al-Syfii dan Ashhb Ahmad perintah
tersebut menunjukkan wajib, sebagian ulama Syfiiyyah menyatakan sunnah,

dan sebagian ulama Hanbilah menyatakan makruh. Sedangkan menurut 4


mazhab, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah dan yang lain, hukum
berobat bersifat fleksibel dan kondisional, secara khusus dan kasuistik dapat
berlaku lima hukum taklifi: haram, makruh, mubah, sunnah (mustahab), dan
kadang-kadang bisa wajib. Hal itu tergantung pada illat, tetap bertahan
hidup atau tidaknya jika berobat, juga berdasarkan pada kadar sakit serta
pengaruh obat, dapat disembuhkan atau tidak, dan lain-lain, seperti batasan
wajibnya makan bangkai dalam keadaan darurat. Menurut Abdul Qadim
Zallum, bahwa hukum berobat adalah mandb, tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadis; pada satu sisi Nabi saw. menuntut umatnya
untuk berobat, sedangkan pada sisi lain ada qarinah (indikasi) bahwa
tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas yang berimplikasi hukum wajib,
termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien.
Dari lima hukum tentang berobat di atas, nampaknya yang paling kuat
hukum asalnya adalah mubah, dasarnya, sudah menjadi sunnatullah setiap
manusia, tanpa dibedakan agamanya, jika sakit akan berupaya mencari
kesembuhan, bahkan binatang pun melakukannya. Fleksibelitas hukum
berobat tergantung pada illat yang menyertainya, dampak dan keadaan
pasien serta hal terkait lainnya, misalnya:
1. Hukum berobat wajib jika seseorang terkena penyakit yang gawat dan
sudah ditemukan obatnya diyakini dapat menyembuhkan penyakit
tersebut, dengan meninggalkannya akan mengancam keselamatan
jiwanya atau dapat melumpuhkan salah satu anggota badannya atau
penyakit yang dideritanya itu dapat menular kepada orang lain, seperti
orang yang terkena penyakit menular jika tidak diobati akan
membahayakan atau mengancam jiwanya, atau dapat melumpuhkan
salah satu anggota badannya atau penyakit yang dideritanya itu dapat
menular kepada orang lain, seperti orang yang terkena penyakit
menular.
2. Hukum berobat sunnat jika dengan meninggalkannya akan
melemahkan badan dan tidak menimbulkan efek seperti tersebut pada
kondisi yang pertama tadi. Hukum berobat adalah sunnat jika dengan
meninggalkannya akan melemahkan badan dan tidak menimbulkan
efek seperti tersebut pada kondisi yang pertama tadi
3. Hukum berobat adalah mubah jika dengan meninggalkannya tidak
menimbulkan efek seperti yang tersebut pada dua kondisi di atas tadi.
4. Hukum berobat adalah makruh apabila dengan berobat justru
menimbulkan efek samping yang lebih berbahaya daripada penyakit
yang akan diobati.
5. Hukum berobat haram jika dipastikan melakukan pengobatan tidak
akan dapat menyembuhkan, tidak akan menjadi lebih baik, justru
hanya akan memperpanjang penderitaan, baik secara phisik maupun
menyusahkan secara ekonomi, bagi si penderita maupun keluarga.
Namun demikian ada yang berpendapat dalam keadaan apa pun tidak
berobat, bersabar dan tawakkal lebih afdhal. Seperti diungkapkan oleh alGhazali, jika baru pada tingkat diperkirakan atau dimungkinkan hasil
kesembuhannya, maka sikap pasrah (tawakkal) adalah lebih utama. Jika
telah jelas tidak dapat diharapkan sembuhnya sesuai hasil diagnosis orang

yang benar-benar ahli dalam bidang terkait, maka tak seorang ulama pun
yang mengatakan sunnah, apalagi mewajibkannya. Menyangkut kepastian
dan kemungkinan tertolong, dalam konteks kemajuan teknologi seperti
dewasa ini, melalui pengetahuan dan ditunjang dengan alat yang canggih,
hampir semua jenis penyakit sudah dapat disimpulkan dengan tepat sehingga
hukum berobat juga dapat ditentukan dengan mudah.
Di kalangan ulama masa lalu terdapat perbedaan pendapat mengenai
berobat yang secara khusus diperhadapkan dengan tawakkal, lebih baik yang
mana, berobat atau tidak? Mereka sepakat bahwa berobat diperbolehkan,
namun menyangkut sisi keutamaan ada perbedaan, sebagian mereka
berpendapat berobat lebih utama, dasarnya, ketika Nabi sakit beliau
senantiasa melakukan pengobatan. Sebagian yang lain menyatakan tidak
berobat adalah lebih afdhal. Mereka adalah kalangan sufi yang dalam
menentukan hukum berobat dipengaruhi unsur sufistik, seperti maqam
syukur, sabar, tawakkal, ridh, dan lain-lain, yang menurut mereka maqam
tersebut lebih tinggi dari maqm yang masih terkait dengan hukum
kausalitas. Pendirian demikian, menurut Ibn al-Atsr, adalah sifat auliy
(para wali) yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Karena
berpendirian berobat tidak wajib dan lebih afdhal bersikap pasrah, maka jika
sakit mereka tidak berobat, cukup berserah diri tanpa berusaha
mengobatinya, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Ayyb, Ab Bakr, Ubaiy bin
Kab, Ab Dzarr, Umar bin 'Abd al-Azz, dan lain-lain. Juga didukung dengan
hadits-hadits yang menegaskan bahwa menderita sakit itu menghapuskan
dosa-dosa. Nabi menghargai sikap seorang wanita hitam bernama Ummu
Zufar yang memilih tidak berobat dari sakit epilepsi yang dideritanya, cukup
dengan sabar dan lebih memilih surga yang dijanjikan daripada berdoa untuk
kesembuhannya.
Dalam menghadapi vonis bahwa penyakitnya sudah tidak ada harapan
disembuhkan, maka secara teologis yang dibangkitkan adanya keyakinan
bahwa penyakit berikut kesembuhannya mutlak berada di tangan Allah.
Sementara berobat merupakan salah satu bentuk usaha dan ikhtiar yang telah
Allah anugerahkan. Seorang muslim tidak boleh berputus asa dari rahmat dan
pertolongan Allah. Bahkan, seyogyanya optimis untuk sembuh dengan izin
Allah. Hendaknya para dokter dan keluarganya terus memberi sugesti dan
support bagi pasien. Selalu memperhatikan kondisinya dan berusaha
meringankan penyakit jasmani maupun rohani yang tengah dideritanya,
terlepas apakah pasien bakal sembuh atau pun tidak.
Mayoritas ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa berobat
hukumnya mubah (boleh). Sementara ulama Syafi'iyah, al-Qadhi, Ibnu Aqil
dan Ibn al-Jauzi dari kalangan ulama Hanbali berpendapat hukumnya
mustahab (sunnah). Berdasarkan sabda Nabi saw:



( )








"Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia
telah menetapkan bagi setiap penyakit obatnya, maka janganlah berobat
dengan perkara yang haram" (HR. Abu Dawud).

Juga berdasarkan pada beberapa hadits lainnya yang berisi perintah


berobat. Di antaranya, bekam yang dilakukan Rasulullah saw merupakan dalil
disyariatkannya berobat. Menurut ulama Syafi'iyah hukum berobat menjadi

mustahab bilamana dipastikan tidak begitu membawa perbaikan. Namun


bilamana dipastikan berguna maka hukumnya wajib.
Menghadapi penyakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya,
maka yang dilakukan, antara lain, dengan tetap meyakini bahwa penyakit
berikut kesembuhannya mutlak berada di tangan Allah. Berobat merupakan
salah satu bentuk usaha. Seorang muslim tidak boleh berputus asa dari
rahmat Allah, harus tetap optimis berharap atas kesembuhan penyakitnya
dengan izin Allah. Para dokter dan keluarga pasien seharusnya terus memberi
semangat dan sugesti kepada penderita, terus memperhatikan kondisi dan
meringankan penyakitnya, terlepas apakah penyakitnya akan sembuh atau
tidak. Hasil analisis dan diagnosis kedokteran tidak bersifat mutlak, dapat
saja salah atau berubah dan tidak menjadi kenyataan, disarankan selalu
berdoa agar keadaannya semakin baik.
Tawakkal Tidak Menafikan Berobat
Ibnul Qayyim al-jauziyah menyatakan, dalam hadits-hadits shahih
terdapat perintah berobat, dan berobat tidaklah menafikan tawakkal.
Sebagaimana makan karena lapar, minum karena dahaga, berteduh karena
panas dan menghangatkan diri karena dingin tidak menafikan tawakkal.
Tidak akan sempurna hakikat tauhid kecuali dengan menjalani ikhtiar yang
telah dijadikan Allah sebagai hukum kausalitas. Bahkan, meninggalkan
ikhtiar dapat merusak hakikat tawakkal. Sebab, orang yang meninggalkan
ikhtiar mengira bahwa tindakannya itu menambah kuat tawakkalnya.
Sebaliknya, meninggalkan ikhtiar merupakan kelemahan yang menafikan
tawakkal. Sebab, hakikat tawakkal adalah mengaitkan hati kepada Allah
dalam meraih sesuatu yang bermanfaat bagi hamba untuk dunia dan
agamanya serta menolak mudarat terhadap dunia dan agamanya. Tawakkal
ini harus disertai dengan ikhtiar, jika tidak, berarti ia telah menafikan hikmah
dan perintah Allah. Tidak selayaknya seseorang itu menjadikan
kelemahannya sebagai tawakkal dan menjadikan tawakkal sebagai
kelemahannya.
Sikap pasrah dan tawakkal total yang merupakan elemen faham
Jabariyah seperti di atas juga ditunjukkan oleh al-Ghazli yang dengan
kacamata sufistiknya ketika membahas tawakkal ia menyatakan: Tidak
berobat dalam kondisi apapun adalah lebih utama. Hal senada dinyatakan
oleh al-Nawawi bahwa meninggalkan berobat karena tawakkal adalah lebih
utama. Bahkan, dalam hadits Syii disebutkan, bagi orang yang sakit sangat
dianjurkan untuk menanggung rasa sakit dan diperbolehkan berobat ke
dokter jika penyakitnya itu telah mengancam jiwanya atau rasa sakitnya
sudah tak tertahankan lagi. Menurut faham mereka yang disemangati oleh
nilai kesyahidan dan kezuhudan, berdasarkan hadits Nabi, bagi orang yang
sakit yang melewatkan satu malam dan menanggung rasa sakit akan
mendapatkan pahala lebih besar dibandingkan dengan shalat sepanjang
tahun.
Menyikapi perbedaan pendapat di atas, al-Syaukni dan yang lain
berusaha menengahi dua pandangan tersebut dengan men-tarjih, dan
nampaknya lebih diarahkan kepada kaum awam, bahwa berobat tidak berarti
menafikan tawakkal, seperti halnya menolak lapar dan haus dengan makan

dan minum, demikian juga menjauhkan diri dari hal-hal yang sifatnya
merusak dengan doa minta sehat dan dijauhkan dari segala hal yang
membahayakan. Jadi, berusaha dulu baru tawakkal, seperti dimaksudkan
dalam hadits Nabi, berasal dari Anas dinyatakan:








( )




Seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah: 'Apakah aku ikat unta itu dan
kemudian bertawakkal atau membiarkannya tidak ditambatkan baru
tawakkal?' Nabi Bersabda: Ikatlah dia dan (baru) bertawakkal (HR. alTurmudzi).
Batasan-batasan dalam Berobat
Dinyatakan dalam hadits Nabi, agar berobat dengan yang halal, dilarang
menggunakan cara atau obat yang dilarang, sebagaimana dinyatakan dalam
hadits Nabi:



( )








'Allah yang menurunkan penyakit dan Dia juga yang menjadikan setiap
penyakit dan obatnya, berobatlah, dan jangan berobat dengan yang
haram' (HR Ab Dwd).

Juga disampaikan oleh Ibnu Masud:



Ibn Masud berkata: bahwa Allah tidak menjadikan penyembuhan kalian


dari sesuatu yang diharamkan.
Hadits serupa juga dinyatakan Nabi:






:









}
( { )

Ibnu Hibban meriwayatkan dalam shahihnya, dari Nabi saw, beliau


berkata: sesuangguhnya Allah tidak menjadikan penyembuhan umatku
dari bahan yang diharamkan (HR. ibn Hibban).
Menurut sebagian Ulama, yang dimaksud dengan al-Muharram dalam
hadits ini adalah khamar dan segala sesuatu yang membahayakan otak atau
dapat menghilangkan ingatan, termasuk zat-zat adiktif lain, seperti obat bius
(al-Mukhaddirt), ganja, mariwana, kokain, heroin, dan sebagainya). 'Illah
keharamannya karena unsur memabukkan yang ditengarai akan merusak
fungsi otak, melalaikan mengingat Allah, dan membahayakan tubuh.
Secara khusus, larangan menggunakan khamar sebagai obat atau bahan
obat dijelaskan dalam banyak hadits. Ketika seorang sahabat, Thriq bin
Suwaid al-Ju'fi berkilah menggunakannya untuk berobat, Nabi menjawab:
( )


"Itu bukanlah obat tetapi penyakit" (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dwd, alTurmudzi, dan Ibnu Mjah).

Berdasarkan hadits di atas ulama sepakat bahwa menggunakan khamar


untuk obat adalah haram. Namun jika dalam keadaan darurat ulama berbeda
pendapat. Mayoritas fuqaha (Mlik, al-Syfii, Hanbilah, dan sebagian
Hanafiyah) berdasarkan pendapat yang kuat, mereka berpendapat bahwa
menggunakannya untuk obat atau mencampurkannya dengan bahan lain
adalah haram. Sebagian ulama yang lain, di antaranya adalah pendapat yang
shahih dari kalangan Syfiiyyah, Abi Tsaur, dan salah satu pendapat
Hanafiyah menyatakan boleh menggunakan khamar untuk berobat dalam
keadaan darurat, demikian juga seluruh barang najis dan yang haram lainnya
meskipun tidak najis.
Di samping menggunakan kata al-Muharram, dalam hadits lain
digunakan kosa kata al-Khabts atau bentuk jamaknya al-Khubuts, seperti:

( )




Rasulullah saw melarang berobat dengan al-Khubuts" (Ahmad, Muslim,


Ibn Mjah, dan al-Turmudzi)
Dalam hadits lain dinyatakan:


)









(

Rasulullah saw melarang berobat dengan al-Khabits" (HR. Ahmad, Ibn


Mjah, dan Abu Dwd)
Ulama berbeda dalam memahami maksud al-Khubuts di sini. Wak
menyatakan yang dimaksud adalah racun. Sedangkan menurut Ibn al-Arabi,
kosa kata Arab al-Khubuts berarti sesuatu yang dibenci, jika dikaitkan dengan
ucapan maka maksudnya adalah menghardik, jika dikaitkan dengan
keyakinan keagamaan (millah) maka berarti kekufuran, jika dikaitkan dengan
makanan maka yang haram, dan jika dengan minuman adalah yang
membahayakan. Menurut ibn al-Qayyim al-Jauziyah, yang diharamkan di sini
meliputi apa saja yang diharamkan oleh syara juga yang dianggap jijik
menurut akal sehat. Sedangkan al-Khabts diharamkan karena najis, seperti
binatang yang tidak boleh dimakan, atau karena unsur memabukkan seperti
khamar, atau unsur membahayakan yang ditimbulkannya seperti racun. AlKhabits yang dimaksud adalah racun secara implisit disebutkan dalam hadits
Nabi, antara lain:


(










)

Dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw. melarang menggunakan


obat yang meracuni" (HR Ahmad, Muslim, Ibn Mjah, dan al-Turmudzi).
Al-Syfii menyebutkan pada satu saat membolehkan dan pada saat yang
lain mengharamkannya. Sebagian Ashhabnya menyatakan dalam dua
keadaan, membolehkannya jika untuk berobat, mengharamkannya jika untuk
hal yang tidak bermanfaat bagi pengobatan.
Disamping itu, dalam hadis Nabi terdapat larangan khusus
menggunakan media hewan tertentu sebagai media pengobatan, misalnya
kodok:



( { )



:



}
,

Ketika Nabi ditanya tentang penggunaan kodok untuk obat, Nabi


melarang membunuhnya, dan beliau bersabda: bahwa suara kodok
adalah tasbih" (HR al-Baihaqi).
Larangan membunuh kodok di sini mengandung pengertian dilarang
memanfaatkannya, karena prosesnya mesti dengan membunuhnya, termasuk
untuk tujuan pengobatan.
Berbagai pandangan tentang hukum berobat dengan khamar
dikemukakan fukaha. Mayoritas fuqaha (Mlik, al-Syfii, Hanbilah, dan
sebagian Hanfiyyah) berpendapat bahwa hukum menggunakan khamar
untuk obat atau mencampur-kannya adalah haram. Sebagian fukaha, di
antaranya pendapat yang shahih dari kalangan ulama Syfiiyyah, Ab Tsaur,
dan salah satu pendapat ulama Hanafiyyah membolehkannya dalam keadaan
darurat, demikian juga seluruh yang najis dan yang haram lainnya meskipun
tidak najis, diperbolehkan dalam keadaan darurat. Rumusan darurat yang
cukup representatif dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili, setelah mengemukakan dan mengkritik berbagai definisi, akhirnya merumuskan bahwa darurat
adalah datangnya kondisi bahaya atau kesulitan yang amat berat kepada diri
manusia, yang membuat dia kuatir akan terjadi kerusakan (dharar) atau
sesuatu yang menyakiti jiwa, anggota tubuh, kehormatan, akal, harta, dan
yang bertalian dengannya. Dalam kondisi demikian harus mengerjakan yang
diharamkan, atau meninggalkan yang diwajibkan, atau menunda waktu
pelaksanaannya guna menghindari kemudaratan yang diperkirakannya dapat
menimpa dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang ditentukan
olehnya.
Namun, sebagian fukaha tetap mengharamkannya kendati dalam
keadaan darurat, dengan argumen karena hukum berobat itu sendiri tidak
wajib, maka tidak boleh menggunakan yang haram untuk sesuatu yang tidak
wajib.
Di samping digunakan kata al-Muharram, dalam Hadis lain digunakan
kata al-Khabts atau bentuk jamaknya al-Khubuts. Ulama berbeda
memahami maksud kata al-Khubuts di sini. Wak (129187 H.)
memahaminya racun. Ibn al-Arabi memahaminya sesuatu yang dibenci, jika
dikaitkan dengan ucapan berarti menghardik, jika dikaitkan dengan
keyakinan keagamaan (millah) berarti kekufuran, jika dikaitkan dengan
makanan berarti yang haram, dan jika dengan minuman berarti yang
membahayakan. Menurut al-Jauziyyah, yang dilarang di sini meliputi apa saja
yang diharamkan oleh syara juga yang dianggap jijik menurut akal sehat.
Sedangkan al-Khabts adalah yang diharamkan karena najis, seperti binatang
yang diharamkan karena jenisnya, unsur memabukkan seperti khamar, atau
karena adanya unsur membahayakan yang ditimbulkannya seperti racun (alSumm), yang secara implisit disebutkan dalam Hadis di atas.
Adapun penggunaan obat-obatan yang terbuat atau mengandung bahan
yang diharamkan berdasarkan nash, seperti daging babi, bangkai, darah atau
binatang lain yang diharamkan, terdapat perbedaan pandangan fukaha,
sebagian ulama mengharamkannya secara mutlak, sebagian ulama
membolehkannya dengan dua syarat, ditentukan oleh dokter atau sejenisnya
yang ahli dan terpercaya, jujur, bertanggung jawab, dan beragama Islam, serta
tidak diperoleh obat lain kecuali yang diharamkan itu. Namun, jika menurut

dokter ahli akan lebih cepat sembuh, ada dua pendapat, antara yang
membolehkan dan yang mengharamkannya.
Pada umumnya ulama menyatakan bahwa larangan berobat dengan yang
haram ini juga meliputi sesuatu yang najis, dikecualikan kencing unta yang
menurut sebagian ulama, antara lain, al-Zuhri (w. 230 H.) membolehkannya
untuk pengobatan dan ia tidak melihat hal itu berbahaya. Tentang argumen
hukum bolehnya menggunakan kencing unta sebagai obat, sebagian ulama
menilai karena darurat atau pengkhususan sebagai pengecualian (istitsn).
Sebagian ulama menilai pembolehan itu karena dianggap tidak najis, sebab
air kencing binatang yang halal dimakan dagingnya tidak najis, pembolehan
itu menunjukkan ketidak-najisannya. Hadis tentang berobat dengan air
kencing unta lihat catatan kaki no. 94, Bab II, h.62. Mengenai hukumnya,
ulama mazhab berbeda pendapat. Kalangan fukaha Syfi'iyyah dan Hanbilah
menyatakan haram karena najis. Mlikiyyah membolehkannya karena
menilainya tidak najis (suci), mengikuti ketentuan hukum pada hewan yang
suci. Sedangkan ulama Hanfiyyah menetapkan bahwa semua jenis air
kencing adalah najis, baik dari binatang yang halal dagingnya atau tidak,
sedangkan penggunaan air kencing unta untuk obat, sungguhpun najis tetapi
diperbolehkan karena darurat.
Untuk mengkompromikan dua pendapat kontradiktif di atas, dapat
diarahkan pada konteks al-mm wa al-Khshsh, pengharaman
menggunakan khamar bersifat umum, sedangkan pembolehan menggunakan
kencing unta bersifat khusus dan pengecualian.
Berobat Dengan Bahan Haram
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa berobat dianjurkan dalam
banyak Hadis namun dilarang dengan yang haram (bi harm atau bi almuhar-ram). Misalnya disebutkan:

{ }

()

Bahwa Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, menjadikan


setiap penyakit ada obatnya, berobatlah, dan jangalah berobat dengan
yang haram' (HR. RAbu Dawud dari Abi al-Darda')
Mayoritas fukaha memahami kata al-Muharram di sini, adalah
khamar, termasuk zat-zat adiktif Psikotropika (al-Mukhaddirt) lain. 'Illah
keharamannya karena unsur memabukkan yang ditengarai akan merusak
fungsi otak, menghilangkan ingatan, melalaikan mengingat Allah, dan
membahayakan tubuh.
Nampaknya, kecenderungan Qiys haramnya psikotropika, khususnya
morfin adalah pada racun lebih tepat, sebagaimana terdapat larangannya
dalam nash Hadis:

...



)...

Barang siapa yang meminum racun untuk bunuh diri maka dia akan
meminumnya di tangannya meminumnya di neraka Jahannam kekal
abadi selama-lamanya di dalamnya (HR. al-Bukhri dan al-Baihaqi
dari Ab Hurairah).
Sebab, jika seseorang mengkonsumsi morfin melebihi dosis dan
menyalahgunakannya akan berakibat buruk pada fisiologi tubuh,
menyebabkan ketergantungan fisik dan psikis, bahkan jika over dosis dapat
mematikan, padahal benda tersebut dalam praktik kedokteran dengan dosis
yang tepat berfungsi sebagai obat bius (pati rasa). Itulah sebabnya istilah yang
populer digunakan adalah penyalahgunaan obat. Adapun khamar, sesuai
dengan Hadis, bukan obat, mengkonsumsinya seberapa pun kadarnya,
bahkan sekalipun untuk tujuan pengobatan, hukumnya haram, sebagaimana
disebutkan dalam hadits nabi:



(


{ )

Thriq bin Suwaid (atau Suwaid bin Thriq dalam riwayat lain) alHadlrami, bertanya kepada Nabi saw tentang khamar, Nabi
melarangnya, atau membenci menggunakannya, ia berkata, saya
membuatnya untuk obat, Nabi menjawab: itu (khamar) bukan obat
tetapi penyakit" (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan al-Turmudzi)
Juga dalam Hadis lain:



Dari Aisyah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Setiap minuman yang
memabukkan adalah haram" (HR. Al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi, alNasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)







Rasulullah saw bersabda: sesuatu yang banyaknya memabukkan maka
sedikitnya haram" (HR. Ahmad dari Jabir bin Abdillah dan Aisyah, alThabarani dari Aisyah dan Ibnu Umar, dan al-Turmudzi dan Abdillan bin
Ibnu Umar).
Hadis yang melarang menggunakan khamar untuk obat menunjukkan
larangan keras. Bahkan, Nabi pernah menganjurkan membunuh peminum
khamar yang berargumen untuk melawan udara dingin di daerahnya.
Larangan keras meminum khamar juga nampak pada sanksi pidana
peminumnya berupa hukuman cambuk atau mati. Dalam Hadis itu
diterangkan, bila sekali minum diperintahkan dicambuk, jika sampai diulang
3 atau 4 kali dihukum mati.

Keharaman suatu jenis makanan, minuman, termasuk obat-obatan


ditentukan adanya tiga aspek, yaitu:
1. Karena substansinya itu sendiri, contohnya babi, bangkai, darah, yang
disembelih bukan atas nama Allah, dalam bidang ini tidak perlu dicari lagi
alasannya diharamkan karena dalil pengharamannya bersifat Qathi.
2. Karena sifatnya, seperti memabukkan, misalnya keharaman khamar, jika
hilang sifatnya, hukumnya berubah menjadi halal.
3. Karena cara mendapatkannya, meski dari segi substansi bendanya halal
tetapi jika cara mendapatkannya haram, seperti dengan cara merampok,
mencuri, ghashab, menipu, dan yang sejenisnya maka hukumnya haram
pula.
Penggunaan obat-obatan yang terbuat atau mengandung bahan yang
diharamkan berdasarkan nash, seperti daging babi atau binatang lain yang
diharamkan, menurut sebagian ulama keharamannya itu secara mutlak,
sebagian ulama membolehkannya dengan dua syarat:
1. Ditentukan oleh dokter muslim yang ahli, terpercaya, jujur, dan
bertanggung jawab.
2. Tidak diperoleh obat lain kecuali yang diharamkan itu.
Hukum penggunaan khamar ini telah banyak disampaikan oleh
lembaga-lembaga fatwa, di antaranya, Majlis Tertinggi Urusan ke-Islaman
Mesir menyatakan bahwa larangan ini menunjukkan keharaman, yang paling
dikenal adalah khamar, kemudian segala jenis najis kecuali kencing unta
karena ada hadits yang membolehkannya. Larangan tersebut juga meliputi
barang najis, dikecualikan kencing unta yang menurut sebagian ulama, antara
lain, al-Zuhri membolehkannya untuk obat dan tidak melihatnya itu
berbahaya.
Hukum bolehnya di sini, bisa karena darurat atau pengkhususan tersebut
sebagai pengecualian. Sebagian ahli fikih menilai karena dianggap tidak najis,
sebab air kencing binatang yang boleh dimakan dagingnya adalah tidak najis,
pembolehan itu menunjukkan sucinya (tidak najis). Mengenai hukum minum
kencing unta sebagai obat, menurut ulama al-Syfi'iyyah dan al-Hanbilah
dinyatakan haram karena najis. Sedangkan Ulama Mlikiyyah
membolehkannya karena menilainya tidak najis (suci), mengikuti hukum
pada hewannya yang suci. Hanfiyyah menegaskan semua jenis air kencing
adalah najis, baik dari binatang yang halal dagingnya atau tidak, sedangkan
penggunaan air kencing unta untuk obat, sungguh pun najis tetapi
diperblehkan karena darurat.
Al-Baihaqi (384-456 H./1066 M.) menyatakan, jika hadits tentang
larangan berobat dengan benda najis di atas shahih, berarti, larangan berobat
dengan yang memabukkan dan yang haram tidak karena darurat.
Menurut sebagian Ulama, yang dimaksud dengan al-Muharram dalam
hadits ini adalah khamar dan segala sesuatu yang membahayakan otak atau
dapat menghilangkan ingatan, termasuk zat-zat adiktif lain, seperti obat bius
(al-Mukhaddirt), ganja, mariwana, kokain, Heroin, dan sebagainya). 'Illat
keharamannya karena unsur memabukkan yang ditengarai akan merusak
fungsi otak, melalaikan mengingat Allah, dan membahayakan tubuh.

Secara khusus, larangan menggunakan khamar sebagai obat atau


bahan obat dijelaskan dalam banyak hadits. Di antaranya, ketika Thriq bin
Suwaid al-Ju'fi berkilah menggunakannya untuk berobat, Nabi menjawab:
( )
}

"Itu bukanlah obat tetapi penyakit." (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dwd,
dan al-Turmudzi, dan Ibnu Mjah).
Atau dalam riwayat lain dinyatakan:


{
,

:
,
}



Ketika (Nabi) ditanya tentang khamar yng dibuat obat, Nabi


mengatakan: Itu (khamar) adalah penyakit, bukan obat. (HR. Ahmad)
Berdasarkan hadits di atas ulama sepakat menyatakan bahwa
menggunakan khamar untuk obat adalah haram. Namun jika dalam keadaan
darurat ulama berbeda pendapat. Mayoritas fuqaha (Mlik, al-Syfii,
Hanbilah, dan sebagian Hanafiyah) berdasarkan pendapat yang kuat
berpendapat bahwa menggunakannya untuk obat atau mencampurkannya
dengan bahan lain adalah haram. Sebagian ulama yang lain, di antaranya
adalah pendapat yang shahih dari kalangan Syfiiyyah, Abi Tsaur, dan salah
satu pendapat Hanafiyah menyatakan boleh menggunakan khamar untuk
berobat dalam keadaan darurat, demikian juga seluruh barang najis dan yang
haram lainnya meskipun tidak najis.
Di samping menggunakan kata al-Muharram, dalam hadits lain
digunakan kosa kata al-Khabts atau bentuk jamaknya al-Khubuts, seperti:

{



}

Rasulullah saw melarang berobat dengan al-Khubuts" (Ahmad, Muslim,


Ibn Mjah, dan al-Turmudzi)
Dalam hadits lain dinyatakan:

Rasulullah saw melarang berobat dengan al-Khabits" (HR. Ahmad,


Mjah, Dwd)
Ulama berbeda dalam memahami maksud al-Khubuts di sini. Wak
menyatakan yang dimaksud adalah racun. Sedangkan menurut Ibn al-Arabi,
kosa kata Arab al-Khubuts berarti sesuatu yang dibenci, jika dikaitkan dengan
ucapan maka maksudnya adalah menghardik, jika dikaitkan dengan
keyakinan keagamaan (millah) maka berarti kekufuran, jika dikaitkan dengan
makanan maka yang haram, dan jika dengan minuman adalah yang
membahayakan. Menurut al-Jauziyah, yang diharamkan di sini meliputi apa
saja yang diharamkan oleh syara juga yang dianggap jijik menurut
pertimbangan akal sehat. Sedangkan al-Khabts diharamkan karena najis,
seperti binatang yang tidak boleh dimakan, atau karena unsur memabukkan
seperti khamar, atau unsur membahayakan yang ditimbulkannya seperti
racun. Al-Khabits yang dimaksud adalah racun secara implisit disebutkan
dalam hadits Nabi, antara lain:













( )

Dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. melarang menggunakan


obat yang meracuni." (HR Ahmad, Muslim, Ibn Mjah, dan al-Turmudzi).
Al-Syfii menyebutkan pada satu saat membolehkan dan pada saat yang
lain mengharamkannya. Sebagian Ashhabnya menyatakan dalam dua
keadaan, membolehkannya jika untuk berobat, mengharamkannya jika untuk
hal yang tidak bermanfaat bagi pengobatan.
Adapun penggunaan obat-obatan yang terbuat atau mengandung bahan
yang diharamkan berdasarkan nash, seperti daging babi atau binatang lain
yang diharamkan, menurut sebagian ulama keharamannya itu secara mutlak,
sebagian ulama membolehkannya dengan dua syarat:
1. Ditentukan oleh dokter ahli yang terpercaya, jujur, bertanggung jawab, dan
beragama Islam.
2. Tidak diperoleh obat lain kecuali yang diharamkan itu.
Hukum penggunaan khamar ini telah banyak disampaikan oleh
lembaga-lembaga fatwa, di antaranya, Majlis Tertinggi Urusan ke-Islaman
Mesir menyatakan bahwa larangan ini menunjukkan keharaman. Yang paling
dikenal adalah khamar, kemudian segala jenis najis kecuali kencing unta
karena ada hadits yang membolehkannya. Larangan tersebut juga meliputi
barang najis, dikecualikan kencing unta yang menurut sebagian ulama, antara
lain, al-Zuhri membolehkannya untuk obat dan tidak melihatnya itu
berbahaya. Hukum bolehnya di sini, bisa karena darurat atau pengkhususan
tersebut sebagai pengecualian. Sebagian ahli fikih menilai bolehnya di sini
karena dianggap tidak najis, sebab air kencing binatang yang boleh dimakan
dagingnya adalah tidak najis, pembolehan itu menunjukkan sucinya (tidak
najis).
Mengenai hukum minum kencing unta sebagai obat, dalam mazhab alSyfi'iyyah dan al-Hanbilah dinyatakan haram karena najis. Sedangkan
Malikiyyah membolehkannya karena menilainya tidak najis (suci), mengikuti
hukum pada hewannya yang suci. Hanfiyyah menegaskan semua jenis air
kencing adalah najis, baik dari binatang yang halal dagingnya atau tidak,
sedangkan penggunaan air kencing unta untuk obat, sungguhpun najis tetapi
diperbolehkan karena darurat. Ini merupakan jabaran dari ulama berbeda
pendapat mengenai najis tidaknya air kencing ada yang menajiskannya ada
yang tidak)
Menurut sebagian Hanafiyah dan Syfiiyyah sebagaimana dituturkan
oleh Ibn Rusln diperbolehkan berobat dengan semua jenis najis kecuali
khamar, sebagaimana dinyatakan dalam hadits al-Araniyyin dalam alShahihain, Nabi menyuruh mereka agar meminum air kencing unta untuk
pengobatan.
Kebolehan menggunakan air kencing unta sebagai obat dalam hadits
tersebut dimungkinkan pada saat itu tidak ada obat lain, atau untuk
menunjukkan bahwa air kencing unta statusnya adalah suci. Di samping itu,
penggunaan urine unta ada nash yang membolehkan, terlepas dari
kemungkinan illatnya. Namun terhadap praktik therapi urine manusia, tidsak
ditemukan penjelasan ulama yang membolehkan. Sebagaimana dikutip oleh
al-Bukhari, al-Zuhri manyatakan:






(
)









Al-Zuhri mengatakan, tidak halal meminum urine manusia, karena


kerasnya, termasuk perbuatan dosa, bertentangan dengan perintah
Allah agar memakan makanan yang baik.
Menurutnya, larangan berobat dengan najis adalah jika tidak diperlukan,
yakni jika untuk itu masih ada obat lain yang suci yang dapat
menggantikannya, sehingga orang tidak perlu memakainya. Dari dua
pengertian kontradiktif di atas, satu sisi mengharamkan menggunakan
khamar bersifat umum, dan di sisi lain pembolehan menggunakan kencing
unta, bersifat khusus dan pengecualian.


{



:







Dari Nabi saw, beliau bersabda: bahwa Allah tidak menjadikan


penyembuh umatku dengan sesuatu yang diharamkan." (HR. Ibn
Hibban)







,

Ketika Nabi ditanya tentang penggunaan kodok untuk obat, Nabi


melarang membunuhnya" (HR. Abu Dawud)
Batasan tersebut dikecualikan dalam keadaan darurat, tidak ada
pengganti, maka mengkonsumsinya wajib. Adapun pengertian darurat
sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili, setelah mengemukakan
dan mengkritik berbagai definisi, akhirnya merumuskan bahwa darurat
adalah datangnya kondisi bahaya atau kesulitan yang amat berat kepada diri
manusia, yang membuat dia kuatir akan terjadi kerusakan (dharar) atau
sesuatu yang menyakiti jiwa, anggota tubuh, kehormatan, akal, harta, dan
yang bertalian dengannya. Dalam kondisi demikian harus mengerjakan yang
diharamkan, atau meninggalkan yang diwajibkan, atau menunda waktu
pelaksanaannya guna menghindari kemudaratan yang diperkirakannya dapat
menimpa dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang ditentukan
olehnya.
Menurut sebagian Ulama Hanafiyah dan Syfiiyyah sebagaimana
dituturkan oleh Ibn Rusln, diperbolehkan berobat dengan semua jenis najis
kecuali khamar, sebagaimana dinyatakan dalam hadits al-Araniyyin dalam
al-Shahihain, Nabi menyuruh mereka agar meminum air kencing unta untuk
pengobatan. Kebolehan menggunakan air kencing unta sebagai obat dalam
hadits tersebut dimungkinkan pada saat itu tidak ada obat lain, atau untuk
menunjukkan bahwa air kencing unta statusnya adalah suci. Menurutnya,
larangan berobat dengan najis adalah jika tidak diperlukan, yakni jika untuk
itu masih ada obat lain yang suci yang dapat menggantikannya, sehingga
orang tidak perlu memakainya. Dari dua pengertian kontradiktif di atas, satu
sisi mengharamkan menggunakan khamar bersifat umum, dan di sisi lain
pembolehan menggunakan kencing unta, bersifat khusus dan pengecualian.
Batasan Khamar

Dari semua jenis minuman, hanya khamar yang diharamkan. Khamar


adalah minuman yang memabukkan, sesuai dengan penjelasan Rasulullah
saw berdasarkan hadis:





)














(

Dari Ibn Umar, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Setiap yang


memabukkan adalah khamar (termasuk khaar) dan setiap memabukkan
adalah diharamkan (HR. Muslim, at-Turmudzi, Abu Dawud dan Ahmad)
Dari penjelasan Nabi di atas, sebagian ulama menyatakan bahwa
batasan khamar didasarkan atas sifatnya, bukan jenis bahannya, bahannya
bisa dari apa saja. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa keharamannya
karena zatnya, substansinya, termasuk taabbudi.
Menurut ulama yang menyatakan keharaman karena illat, karena
sifatnya yang memabukkan. 'Illat keharamannya karena unsur memabukkan
yang ditengarai akan merusak fungsi otak, menghilangkan ingatan,
melalaikan mengingat Allah, dan membahayakan tubuh. Hal tersebut juga
didasarkan pada sejumlah dalil hadis, seperti:





)











(

Dari Aisyah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Setiap minuman yang
memabukkan adalah haram" (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Turmudzi, alNasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Mengenai sifat memabukkan ini dijelaskan oleh Umar bin al-Khaththb
yang disampaikan dari atas mimbar Nabi (Madinah), dia berkata:


























( )





Selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya telah diturunkan hukum


yang mengharamkan khamar, yang terbuat dari salah satu lima unsur:
anggur, korma, madu, jagung dan gandum, dan Khamar itu adalah
sesuatu yang mengacaukan akal" (HR. al-Bukhari, Muslim, dan alNasai)
Sifat mengacaukan akal itulah yang dijadikan patokan. Sifat
mengacaukan akal itu juga dinyatakan dalam al-Quran sehingga membuat
seseorang menjadi tidak menyadari apa yang dibacanya seperti disebutkan
dalam ayat al-Quran:

....
(43 :(4) )
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan (Q.s. al-Nisa (4):43)
Dari uraian di atas, jika dilihat dari sudut pandang ilmu pengetahuan
maka dapat disimpulkan bahwa sifat memabukkan tersebut ada karena
adanya suatu zat dari suatu bahan yang menyerang syaraf yang

mengakibatkan ingatan terganggu. Maka mengacu pada definisi di atas maka


kelompok minuman yang disebut dengan minuman keras atau minuman
beralkohol (alcoholic beverages) termasuk khamar, tetapi tidak hanya
terbatas pada alkohol (etanol). Etanol memang merupakan komponen kimia
yang terbesar (setelah air) yang terdapat pada minuman keras, akan tetapi
etanol bukan satu-satunya senyawa kimia yang dapat menyebabkan mabuk,
banyak senyawa-senyawa lain yang terdapat pada minuman keras juga
bersifat memabukkan jika diminum pada konsentrasi cukup tinggi, misalnya
metanol, propanol, butanol. Secara umum, golongan alkohol bersifat narkosis
(memabukkan), demikian juga komponen-komponen lain yang terdapat pada
minuman keras seperti aseton, beberapa ester, dll. Apabila sudah termasuk
kedalam kelompok khamar maka sedikit atau banyaknya tetap haram, tidak
perlu lagi dilihat berapa kadar alkoholnya.
Secara umum, senyawa-senyawa organik mikromolekul dalam bentuk
murninya kebanyakan adalah racun. Apabila yang diharamkan adalah
etanolnya, maka dampaknya akan sangat luas karena banyak jenis makanan
dan minuman yang mengandung alkohol, baik terdapat secara alami (sudah
terdapat sejak bahan pangan tersebut baru dipanen dari pohon) seperti pada
buah-buahan, atau terbentuk selama pengolahan seperti kecap. Padahal,
meski mengandung alkohol buah-buahan segar dan kecap tidak menyebabkan
mabuk.
Pengharaman khamar adalah dalam konteks dikonsumsi (dimakan,
diminum, disuntikkan, dll). Karena itu, alkohol atau etanol murni (bahan
kimia alkohol atau etanol) yang digunakan untuk sterilisasi alat-alat
kedokteran, campuran obat, pelarut (pewarna, flavor, parfum, obat, dll), dan
yang digunakan di berbagai laboratorium.
Minuman beralkohol adalah termasuk minuman keras seperti bir, wine,
whiskey, rum, brandy, sampanye, dll, di mana minuman beralkohol atau
minuman keras ini adalah hanya salah satu jenis khamar saja. Kalau sudah
termasuk minuman beralkohol maka tidak perlu dilihat kadar alkoholnya lagi,
berapapun tetap haram.
Masalah alkohol dalam minuman sudah dibahas oleh MUI. Pada tanggal
30 September sampai dengan 1 Oktober 1993 MUI menyelenggarakan
Muzakarah Nasional tentang alkohol dalam minuman. Beberapa
kesimpulannya adalah sebagai berikut:
Minuman beralkohol adalah salah satu bentuk khamar.
1. Minuman beralkohol adalah minuman yang dibuat dengan cara fermentasi
dengan menggunakan sumber karbohidrat sebagai substrat, atau
minuman yang sengaja ditambahkan alkohol ke dalamnya. Termasuk ke
dalam minuman beralkohol adalah minuman keras kategori A, B dan C
(menurut definisi Depkes).
2. Berapa pun kadar alkohol minuman beralkohol maka hukumnya tetap
haram.
Dari hasil muzakarah yang melibatkan banyak ilmuwan dari berbagai
disiplin ilmu kemudian menyimpulkan bahwa yang diharamkan adalah
minuman beralkohol sebagai salah satu bentuk khamar, bukan alkoholnya
yang diharamkan.

Bahan-bahan kimia seperti alkohol, aseton, heksan, atau kloroform. Asal


hukum zat-zat ini adalah halal, akan tetapi jika digunakan untuk membuat
minuman yang memabukkan (alkohol dicampur dalam minuman misalnya,
maka minuman tersebut menjadi haram, demikian pula dengan kloroform,
jika kloroform digunakan untuk membius diri dengan tujuan supaya teler,
maka ia menjadi haram. Dengan demikian semua bahan kimia selama ia tidak
digunakan untuk membuat minuman yang memabukkan atau digunakan
untuk "fly" (mabuk narkotika) seharusnya halal. Sehingga alkohol yang
digunakan untuk sterilisasi alat-alat kedokteran, pereaksi kimia di lab-lab,
pelarut parfum, dll. adalah halal.
Kenajisan Khamar
Pada umumnya ulama berpendapat bahwa khamar termasuk najis. Jika
alkohol tidak sama dengan khamar maka status najis alkohol sama dengan
status najis bahan-bahan kimia lain yang sejenis yaitu tidak najis sehingga
dapat digunakan untuk pelarut parfum karena parfum tidak dimakan dan
alkohol tidak najis.
Selain kedua hadis di atas, banyak hadis-hadis lain yang menyebutkan
bahwa khamar tidak boleh dimanfaatkan. Memanfaatkan khamar atau hasil
sampingnya tidak diperkenankan. Jika diperkenankan, sama saja dengan
mengambil keuntungan dari khamar dan mendukung industri khamar.
Penggunaan Morfin
Adapun penggunaan morfin untuk bahan mati rasa dalam operasi di
rumah sakit. Dilihat dari sisi hukum Islam dapat dikiaskan dengan racun.
Hukum penyalahgunaannya adalah haram karena akan menimbulkan efek
adiktif (kecanduan), atau jika hingga over dosis akan dapat menimbilkan
kematian. Dalam hal ini morfin dapat dianggap sebagai obat, jika obat
dikonsumsi secara over dosis akan menjadi racun demikian juga dengan
morfin. Morfin dapat menjadi obat jika digunakan sebagai obat, tetapi bisa
menjadi racun jika dikonsumsi melebihi dosis. Itulah sebabnya istilah yang
populer digunakan adalah penyalahgunaan obat. Bendanya sendiri tidak
najis, tidak sama dengan khamar.
Morfin dan obat bius yang lain berbeda dengan khamar, ia termasuk
jenis racun (
) , sebagaimana dirumuskan oleh al-Mawardi meliputi 4

kategori, yaitu:
1. Jika dalam kadar sedikit dan banyaknya dapat mematikan, maka hukum
mengkonsumsinya haram, tercakup dalam ayat agar tidak membinasakan
diri.
2. Jika kadar banyak mematikan dan jika sedikit tidak, maka hukum
mengkonsumsinya haram dalam dosis yang banyak, baik untuk maksud
pengobatan atau lainnya.
3. Jika mengkonsumsi sedikit (kadar tertentu) saja akan bermanfaat dalam
pengobatan, hukumnya jaiz.

4. Jika mengkonsumsinya biasanya mematikan maka haram, dan jika


biasanya tidak mematikan maka hukumnya halal.
Pada jenis terakhir ini, Imam al-Syfii menyebutkan dengan dua
pendapat, pada satu saat membolehkan dan pada saat yang lain
mengharamkannya. Sebagian Ashhabnya lebih melihat pada tujuan
penggunaannya, boleh jika untuk berobat dan haram jika untuk hal yang tidak
bermanfaat bagi pengobatan.
Pengobatan Alternatif
Dalam pengalaman kehidupan insani dan merupakan fenomena yang
ada, beragam jenis pengobatan ada di masyarakat, baik modern maupun
tradisional. Kenyataan menunjukkan, banyak metode pengobatan telah
berhasil mengatasi pengobatan penyakit, baik yang medis maupun
tradisional. Namun demikian, dalam hal menentukan dan menentukan
hukum pengobatan alternatif perlu dilihat secara proporsional dan dikaitkan
dalam batasan akidah Islamiyah. Ulama telah membuat batasan bolehnya
melakukan pengobatan alternatif jika tidak bertentangan dengan syariat
Islam, dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Bila terindikasi adanya persembahan kepada selain Allah, misalnya bila
harus ada ketentuan menyembelih nyawa hewan tertentu untuk
dipersembahkan sebagai syarat tertentu. Dalam syariat Islam
diharamkan menyembelih hewan kecuali untuk dikonsumsi atau dalam
rangka ibadah tertentu seperti qurban, aqiqah, atau membayar dam
haji. Dengan demikian, maka penyembelihan hewan sebagai bentuk
ritual khusus termasuk terindikasi sebagai penyembelihan yang
tujuannya bukan karena Allah. Batasan ini tersirat dalam firman Allah:
}


(3:{ ) ....
Diharamkan bagimu bangkai, darah , daging babi, yang disembelih atas
nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya dan yang disembelih untuk berhala. ... (Qs. al-Maidah :
3)
2. Bila terindikasi menggunakan sarana jin. Penggunaan sarana khadam, jin,
atau nama-nama lain yang sejenis merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Di samping tidak ada contoh dari
Nabi, tindakan tersebut juga dikecam dalam al-Quran, antara lain, di
samping disebutkan Qs. al-Jin (72):6 di atas, juga dalam ayat yang lain
yang melarang mengikuti langkah-langkah setan, seperti disebutkan
dalam ayat:
}
(168 :(2) )

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata
bagimu (Qs. al-Baqarah (2):168).
3. Tidak terindikasi menggunakan cara syirik, seperti melalui bertapa di
tempat tertentu, memasang jimat, mengharuskan mendatangi makam
keramat tertentu untuk meminta bantuan dan pertolongan yang di kubur.
Perbuatan demikian termasuk bentuk kemusyrikan, pelakunya diancam
tidak akan diampuni dosanya, seperti disebutkan dalam al-Quran:

(48 :(4) { )
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(QS. an-Nisa (4):48)
4. Bila terindikasi menggunakan cara-cara yang diharamkan, misalnya
pengobatan yang mengharuskan mengkonsumsi yang diharamkan, seperti
makan daging babi, daging anjing, darah, dan yang diharamkan dalam
batasan syariat Islam sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas.
Memperhatikan hadits-hadits di atas dinyatakan bahwa setiap Allah swt
menurunkan penyakit, maka sudah pasti ada obatnya yang juga Allah
turunkan, obat itu bukan dari barang yang haram secara syar'i. Hal ini sejalan
dengan ayat al-Quran:
}


145 :(6) { )
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang
dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang".(Qs. al-An'am :145)
Izin Dari Pasien dalam Tindakan Medis
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa berobat disyariatkan dalam
Islam, berdasarkan pada ayat al-Qur'an dan As-Sunnah. Di samping itu,
berobat juga termasuk anasir menjaga keselamatan jiwa (hifzh al-Nafs) yang
merupakan salah satu dari lima perkara asasi yang harus dijaga. Hukum
berobat itu sendiri berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan orangnya.
Pengobatan baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari pihak
pasien jika termasuk yang sempurna akalnya, jika kurang akal atau belum

berakal seperti anak-anak maka harus meminta izin kepada walinya sesuai
dengan tingkatan wali yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Sejalan
dengan hukum-hukum syariat yang membatasi hak-hak wali sebatas perkara
yang mendatangkan manfaat dan maslahah serta menghilangkan kesulitan
dari orang yang berada di bawah kewaliannya. Jika keputusan wali yang tidak
memberi izin berobat secara meyakinkan akan mendatangkan mudarat bagi
orang yang berada si bawah kewaliannya, maka keputusan itu boleh
diabaikan. Hak kewalian berpindah kepada wali-walinya yang lain. Jika tidak
ada, maka diserahkan kepada pemerintah.
Pemerintah berhak mewajibkan beberapa orang tertentu untuk berobat,
misalnya jika penyakit yang diderita tersebut adalah penyakit menular,
pengobatan preventif dan pencegahan. Dalam keadaan gawat darurat (ICU)
yang membahayakan keselamatan jiwa pasien tidak perlu meminta izin
kepada yang bersangkutan.
Proses pemeriksaan atau diagnosis penyakit harus melalui persertujuan
pasien tanpa ada unsur paksaan. Juga disyaratkan pemeriksaan tersebut tidak
menimbulkan efek samping yang lebih berbahaya. Tidak boleh melakukan
pemeriksaan jika pasien kurang akal atau belum berakal meskipun dengan
persetujuan walinya.

Berobat Lemah Syahwat


Kebolehan menggunakan obat lemah syahwat dan pengobatannya harus
memenuhi persyaratan, yaitu:
1. Tidak menimbulkan efek samping yang lebih besar bahayanya, misalnya,
akan menimbulkan penyakit lain yang lebih parah atau kematian. Sebab
beberapa obat lemah syahwat dapat menimbulkan efek samping seperti
itu.
2. Tidak dengan bahan yang diharamkan, seperti khamar, najis dan daging
yang tidak halal dimakan.
3. Tidak sampai membuka aurat.

Bentuk dan Jenis Pengobatan


Secara umum, dilihat dari segi penggunaannya, pengobatan dapat dibagi
menjadi dua, pengobatan yang dihalalkan dan yang diharamkan. Pengobatan
yang dihalalkan adalah segala macam pengobatan yang tidak bertentangan
dengan Syariah. Kategori pengobatan yang dihalalkan, antara lain:
a. Pengobatan Nabi, meliputi sistem atau metode pengobatan yang
disebutkan dalam nash al-Qur'an maupun hadits, seperti pengobatan
dengan madu, habhah sauda' (jinten hitam), air zamzam, ruqyah dengan
membacakan al-Quran bagi pasien, dan lain-lain.

b. Pengobatan secara medis, dilakukan oleh tenaga medis yang profesional,


tamatan dari Fakultas kedokteran, secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
c. Pengobatan tradisional, seperti dengan jamu, pijat, kerok, refleksi, dan
obat-obatan tradisional dan lainnya yang menggunakan bahan atau cara
yang halal serta tidak membahayakan.
Pengobatan yang haram adalah pengobatan yang menyimpang dari Syariah,
seperti menggunakan bahan-bahan atau cara yang haram, atau menggunakan
cara yang mengandung unsur syirik atau yang sejenisnya.
Pengobatan Alternatif
Secara syar'i, pengobatan alternatif ada yang haram ada yang halal. Di
antara ciri-ciri pengobatan alternatif yang diharamkan adalah:
a. Jika terindikasi adanya persembahan kepada selain Allah, misalnya ada
persyaratan menyembelih hewan tertentu untuk persembahan. Dalam
ajaran Islam diharamkan menyembelih hewan kecuali untuk jenis ibadah
tertentu yang terbatas, seperti qurban, aqiqah, membayar dam haji, atau
untuk dikonsumsi.
2. Jika terindikasi menggunakan media jin atau yang sejenisnya. Ketika
beberapa orang laki-laki meminta perlindungan kepada jin, maka jin-jin
itu menambah dosa dan kesalahan.(Qs. al-Jin : 6))
3. Bila terindikasi menggunakan cara syirik, seperti dengan mempersyaratkan
melakukan semedi/bertapa di tempat tertentu, atau memasang jimat,
dengan mendatangi makam keramat tertentu.
4. Bila terindikasi menggunakan cara-cara yang diharamkan, misalnya
dengan meminta pasien meminum urine atau memakan makanan haram,
seperti babi, anjing, darah dan lainnya.

Eksperimen dengan Binatang


Secara umum eksperimen menggunakan media hewan adalah halal
sebagaimana dinyatakan oleh Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Dasarnya, antara lain, keumuman ayat al-Quran:
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Baqarah (2):29)
Namun demikian, eksperimen itu hendaklah dilakukan dengan metode
yang paling manusiawi dan tidak sampai menyiksa hewan-hewan tersebut.
Tidak ada larangan membedah hewan atau serangga, bahkan kepada
babi misalnya atau yang sejenisnya untuk tujuan penelitian ilmiyah yang

bermanfaat. Sebaiknya pembedahan dilakukan dengan menggunakan sarung


tangan karena kenajisannya. Namun demikian boleh menggunakan tangan
langsung dengan catatan tangan harus disucikan setelah selesai pembedahan.
Eksperimen dengan Manusia
Syaikh Abdullah bin Jibrin, menyatakan, jika efek samping yang timbul
akibat percobaan obat baru itu dapat dihilangkan dengan obat-obatan halal
lainnya serta dapat diringankan bekasnya oleh pabrik obat tersebut maupun
yang lainnya, maka hukumnya boleh. Sebab, bila diketahui bahwa efek
samping yang timbul sangat berbahaya dan tidak mungkin dihilangkan, tentu
saja tidak boleh digunakan meskipun dibayar dengan bayaran yang tinggi.
Berdasarkan firman Allah:
"Janganlah kamu bunuh dirimu sendiri."
Mengkarantina Penderita Penyakit Menular
Ulama sepakat membolehkan mengkarantina penderita penyakit
menular tertentu. Terhadap penderita HIV/AIDS tidak cukup alasan
mengkarantinakan penderita Sebab, penularan penyakit tersebut tidak terjadi
melalui pergaulan sehar-hari seperti karena terjadi komunikasi, persentuhan,
udara, makan atau minum bersama penderita, mandi bersama atau duduk
bersama, satu tempat makan atau bentuk-bentuk percampuran lainnya, tetapi
terjadi secara khusus melalui berbagai cara berikut:
1. Berhubungan seks dengan penderita bagaimanapun bentuknya.
2. Transfusi darah yang tercemar virus AIDS atau cara-cara tranfusi
lainnya.
3. Penggunaan jarum yang tidak steril, terutama di kalangan pengguna
obat terlarang, demikian pula dapat menular melalui pisau cukur.
4. Penularan melalui ibu yang terkena virus AIDS kepada bayinya ketika
hamil ataupun saat melahirkan.
Berdasarkan batasan di atas maka mengakarantinakannyha tidak cukup
beralasan, bahkan seharusnya diperlaukan dengan baik.
Penghentian Penggunaan Alat Bantu Medis
Jika seorang pasien telah dinyatakan meninggal dunia maka berlakulah
hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam syariat berkaitan dengan mayit,
yaitu apabila telah tampak pada seseorang dua tanda sebagai berikut:
1. Detak jantung dan tarikan nafasnya berhenti total, dan para ahli medis
menetapkan bahwa tidak ada harapan jantungnya berfungsi kembali.
2.

Seluruh fungsi otaknya berhenti total, dan para ahli medis menetapkan
bahwa tidak ada harapan otaknya berfungsi kembali. Atau lambat laun
fungsi otaknya berhenti.

Dalam kondisi demikian, dibolehkan melepaskan alat pacu jantung dari


pasien meskipun beberapa organ tubuh, seperti jantung misalnya, dalam
pantauan alat tersebut masih bekerja

Pengobatan dengan Beda Agama


Dalam praktik pengobatan sering pula terjadi seorang
muslim/muslimah diperiksa oleh dokter non-muslim, atau sebaliknya. Dari
perspektif hukum Islam mayoritas ulama secara umum membolehkannya,
berobat tidak mesti kepada sesama muslim. Dasarnya, antara lain, dari
pengalaman historis sudah sejak dahulu negara-negara muslim
mempekerjakan dokter-dokter Nasrani dan yang lain, dan nampaknya tidak
ada persoalan. Di samping itu, juga merujuk pada Sunnah Nabi saat bersama
Ab Bakr berhijrah ke Madinah meminta bantuan Abd Allh bin Ariqit
(Uraiqit) dari Bani al-Dzail (Kafir Quraisy) sebagai penunjuk jalan karena
kejujuran dan pengetahuannya yang baik tentang seluk-beluk jalan menuju
Madinah. Atas kerjanya itu, Nabi mengupahinya, sebagaimana disebutkan
dalam shaih al-Bukhari. Nabi juga pernah meminta bantuan Raja Habsyi yang
beragama Nasrani untuk keselamatan umat Islam yang berhijrah di
wilayahnya. Secara khusus Nabi pernah menyuruh Sad bin Ab Waqqsh
yang sakit datang berobat kepada al-Hrits bin Kaladah, seorang ahli
pengobatan ternama yang saat itu beragama Nasrani. Karena itu, ulama
mene-tapkan bahwa bermuamalah, termasuk hukum berobat kepada nonmuslim dibolehkan dalam ajaran Islam. Dalam hal ini agama tidak mengikat
hubungan-hubungan tersebut, yang terpenting amanah dan ahli, profesional,
loyal, serta terpercaya, bukan pada agama yang dianutnya.
Di antara tokoh yang mendukung dibolehkannya berobat kepada nonmuslim adalah Ibn Taimiyyat (661-728 H.) yang menyatakan jika seorang
Yahudi dan Nasrani ahli dalam bidang kedokteran dan dapat dipercaya, maka
boleh berobat kepadanya sebagaimana diperbolehkannya bermuamalah
dengan mereka. Bahkan, Rasyd Ridl secara ektrim menyatakan, orang
muslim wajib meminta nasihat dokter non-muslim dan wajib manaati saransarannya jika terbukti lebih ahli daripada dokter muslim yang ada. Namun
demikian menuerut Ibnu Taimiyyah, jika pada saat yang sama terdapat dokter
muslim yang juga profesional dan dapat dipercaya maka ia lebih diutamakan,
karena akan lebih terhindar dari kemungkinan adanya pengaruh negatif
akibat perbedaan agama.
Kebolehan mengikuti nasihat dokter non-muslim di sini menurut
para ulama juga meliputi cara dan jenis obat yang digunakan, selama tidak
mempergunakan yang diharamkan syara meskipun dengan argumen demi
penyembuhan, juga terhadap saran-sarannya yang menyangkut batasan
syar'i, seperti tentang diperbolehkan atau tidaknya menentukan rukhshah,
misalnya, agar mau berbuka puasa, meninggalkan shalat, dan sebagainya.
Hanya sebagian kecil ulama mengharamkan berobat kepada nonmuslim, dengan alasan untuk kehati-hatian. Di antaranya adalah Ahmad bin
al-Hasan (w. 227 H.) yang menyatakan makruh meminum obat yang berasal
dari orang musyrik. Al-Marwadzi menyatakan, Ahmad bin Hanbal (164241
H.) pernah melarangnya membeli apa saja yang dibuat oleh dokter Nasrani
karena dimungkinkan tercampur dengan sesuatu yang diharamkan. Tidak

ditemukan pernyataan ulama yang secara mutlak mengharamkan berobat


dengan non-muslim.
Dalam Hadits shahih terdapat sejumlah nash bolehnya me-ruqyah
(berobat) dengan orang kafir, atau sebaliknya diobati oleh non-muslim, di
antaranya:


{ )

Dari Abi Sa'id Al-Khudri ra. ia berkata:"Ada beberapa orang Sahabat


Rasulullah saw sedang berada dalam perjalanan. Mereka pergi ke salah
satu kampung Arab dan berharap agar boleh diterima sebagai tamu
penduduk kampung tersebut (tampaknya penduduk kampung itu adalah
orang-orang kafir atau orang-orang bakhil sebagaimana dijelaskan
oleh Ibnul Qayyim dalam buku Madarijus Salikin). Namun ternyata
penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka. Kemudian kepala
(suku) atau penghulu kampung kami disengat binatang berbisa. Mereka
sudah mengusahakan berbagai macam pengobatan namun tidak
mujarab. Salah seorang penduduk kampung itu berkata: "Bagaimana
jika kalian temui rombongan tadi, barangkali mereka memiliki sesuatu
yang dapat menyembuhkan? Penduduk kampung itu pun datang
menemui mereka lalu berkata: "Wahai rombongan yang mulia, kepala
kampung kami tersengat binatang berbisa, kami telah mengusahakan
berbagai macam pengobatan namun tidak manjur, apakah salah
seorang dari kalian ada yang memiliki sesuatu untuk
menyembuhkannya?" Salah seorang dari Sahabat menjawab: "Demi
Allah saya mampu meruqyahnya, kami tadi meminta kalian menerima
kami sebagai tamu namun kalian menolaknya, kami tidak akan
melakukannya hingga kalian memberi sesuatu imbalan kepada kami!".
Mereka pun sepakat memberi beberapa ekor kambing. Lalu ia pun
menemui ketua kampung tersebut dan menjampinya dengan
membacakan surat al-Fatihah. Akhirnya ketua kampung tersebut
sembuh dapat berjalan seperti sedia kala tanpa terasa sakit lagi. Mereka
pun diberi beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian. Salah
seorang anggota rombongan berkata: "Bagilah kambing-kambing itu"
sahabat yang meruqyah tadi menimpali: "Jangan bagikan dulu sebelum
kita laporkan kepada Rasulullah, kita ceritakan apa yang telah terjadi
dan kita menunggu apa perintah beliau". Mereka pun pulang menemui
Rasulullah saw dan menceritakan pengalaman tersebut. Setelah
mendengar kisah mereka itu Rasulullah saw bersabda: "Tahukah
engkau, bahwa al-Fatihah itu memang merupakan ruqyah." Kemudian
Nabi bersabda lagi: "Tindakan kalian benar, bagilah pemberian mereka

dan pastikan aku mendapatkan bagian bersama kalian, Nabi pun


tertawa." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Anda mungkin juga menyukai