HUKUM BEROBAT
Bentuk dan Jenis Pengobatan
Secara garis besar, dilihat dari hukumnya, pengobatan dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu pengobatan yang dihalalkan dan yang
diharamkan. Pengobatan yang dihalalkan, yang tidak bertentangan dengan
syarak, meliputi 3 kategori:
a. Pengobatan secara medis, yang secara ilmiyah dapat dipertanggungjawabkan .
b. Pengobatan nabawi, yang secara jelas teksnya disebutkan dalam al-Qur'an
maupun hadits, seperti pengobatan dengan madu, habah sauda' (jinten
hitam) air zamzam, ruqyah dengan membacakan al-Quran bagi orang
yang kesurupan dan kemasukan jin dll.
Pengobatan tradisional, seperti dengan jamu, refleksi, dan obat-obatan
tradisional yang lainnya (dengan bahan yang halal dan tidak merusak).
Sakit dalam al-Quran
Sakit disebutkan dalam al-Quran dengan kata al-maradh ( ) ,
yang dalam berbagai bentuknya disebutkan 25 kali. Berbagai jenis penyakit
disinggung dalam al-Quran, seperti al-Akmaha (buta), al-Abrasha (sopak),
al-Am (buta), dan al-araj (pincang). Sebagian kata tersebut berhubungan
dengan sakit hati (al-qulub), dan yang lain dengan sakit phisik.
Penyembuhan/pengobatan dalam al-Quran digunakan kosa kata al-Syif,
diulang sebanyak 6 kali, menurut sebagian mufassir bersifat komprehensif,
mencakup seluruh jenis penyakit (li bayn al-jins), bukan sebagiannya saja
(l li al-tabdh). Dasarnya adalah ayat al-Quran:
(38:(6) ) ... ...
Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab (Q.s. alAn'm (6):38)
Ada sementara anggapan berdasarkan ayat di atas bahwa segala sesuatu
mencakup semua macam jenis obat untuk semua penyakit, baik jasmani
maupun rohani. Al-Jauziyah termasuk yang berpendapat demikian,
menurutnya seluruh ayat al-Quran berfungsi sebagai obat. Semua jenis
penyakit, baik phisik maupun psikis, ditunjukkan jalan pengobatan dan
pencegahannya bagi yang memiliki pemahaman dan ilmunya.
Klaim di atas dalam satu sisi mengandung kebenaran sesuai dengan
penegasan ayat al-Quran di atas, tetapi jika sampai pada jabaran detail dan
menyangkut aplikasi praktisnya mengenai berbagai penyakit fisik seperti
kanker, jantung, kulit, merupakan kesimpulan berlebihan dan perlu diuji
kebenarannya. Tetapi dari segi psikis, bagi orang yang sakit dengan membaca
dan menghayati al-Quran jiwanya akan tenang, lapang dada, sabar,
optimistis, tidak suka mengeluh, bagi yang sakit atau sehat akan menambah
kekuatan, ketenangan dan kerelaan, yang semua itu merupakan sebab dan
sarana kesembuhan. Hal ini sejalan dengan penegasan ayat al-Quran 'Syif'
lim fi al-Shudr' seperti dinyatakan dalam ayat:
(57:(10) )
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q.s.
Ynus (10):57)
Upaya preventif yang terdapat dalam al-Quran cukup menonjol, antara
lain, dapat digali dari hikmah anjuran thahrah yang mencakup kesucian
phisik dan non-phisik, meliputi pakaian, tempat tinggal, jalan, dan segala
sarana dan pra-sarana kehidupan manusia, juga kesucian hati, jiwa, lahir dan
batin.
Anjuran Berobat
Sudah menjadi sunnatullah, jika makhluk yang bernyawa, manusia dan
hewan, sakit dengan berbagai cara akan berusaha mengupayakan
penyembuhan. Dalam teks hadis Nabi banyak riwayat yang berisi anjuran
untuk berobat. Dalam konteks makna hakiki dan batasan global, Tuhan
adalah satu-satunya Maha Penyembuh, tidak ada yang dapat menyembuhkan
kecuali penyembuhan-Nya. Al-Quran mengutip ucapan Nabi Ibrhim
menyebutkan:
(80 :(26) )
Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkannya (Q.s. al-Syu'ar'
(26):80).
Ayat ini menekankan agar orang yang sakit mengupayakan sehat sebagai
anjuran agama, dan bahwa Penyembuh yang hakiki adalah Allah.
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Dzahabi menyatakan, tindakan
penyembuhan penyakit secara medis merupakan perbuatan baik dan terpuji,
yang juga sejalan dengan pesan Nabi: Lakukanlah penyembuhan secara
medis. Banyak hadits Nabi menganjurkan berobat, antara lain:
( )
...
( )
kalimat berita. Juga dalam Hadis fi'liyyah dan taqrriyyah disebutkan bahwa
Nabi pernah berobat untuk dirinya sendiri, serta menyuruh keluarga dan
sahabatnya agar berobat ketika sakit.
Batasan teknis tentang pengobatan dalam sumber ajaran Islam
hanya diberikan secara global dan konteksnya umum. Tema ini termasuk
bidang ijtihdiyyah yang jabaran praktis dan pengembangannya diserahkan
kepada ahlinya, dikategorikan dalam bidang yang terkandung dalam Hadis
tentang mengawinkan pohon kurma. Ini sekaligus menunjukkan ada bidang
yang bukan merupakan otoritas Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang
rasul.
Ulama sepakat bahwa berobat mesti kepada ahlinya, dilarang kepada
yang tidak ahli, tidak berpengetahuan dan berpengalaman tentang
pengobatan. Sebagai landasan awal yang sering dijadikan argumen para
ulama untuk menentukan hukum berobat adalah ayat al-Quran yang
mengutip ucapan Nabi Ibrhm dalam Q.s. al-Syu'ar/26:80 di atas. Ayat ini
sering difahami terkandung perintah agar berobat melalui sunnatullah
sebagai anjuran agama, meyakini bahwa Penyembuh yang hakiki adalah
Allah. Dalam menafsirkan ayat ini, al-Dzahabi menyatakan bahwa tindakan
penyembuhan penyakit secara medis merupakan perbuatan baik dan terpuji,
sejalan dengan pesan Nabi: berobatlah.
Secara umum, perintah berobat ini oleh fukaha dipahami berbeda,
antara hukum wajib, sunnah, atau sekadar imbauan. Mayoritas fukaha
berpendapat, perintah tersebut hanya bernilai mubah, sedangkan menurut
sebagian ulama Ashhb al-Syfii dan Ashhb Ahmad menunjukkan wajib,
sebagian ulama Syfiiyyah menyatakan sunnah, dan sebagian ulama
Hanbilah menyatakan makruh.
Menurut Majlis Majma' al-Fiqh al-Islmi pada Muktamar ke-7 di
Jiddah, 7-14 Mei 1992 menetapkan hukum berobat meliputi empat hukum:
wajib, sunnah, mubah, dan makruh. Wajib berlaku jika tidak berobat akan
mengancam jiwa, salah satu tubuhnya, atau membuatnya menjadi lemah,
atau penyakitnya akan membaha-yakan atau menularkan kepada orang lain.
Sunnah, jika tidak berobat akan membuatnya lemah namun tidak sampai
membahayakan sebagaimana di atas. Mubah jika tidak sampai membuat
kesakitan seperti di atas. Makruh, jika melakukannya justru akan mendatangkan kesulitan-kesulitan baru.
Ibn Taimiyyah dan ulama lain cenderung memahami hukum berobat
bersifat fleksibel dan kondisional, secara khusus dan kasuistik dapat berlaku
lima hukum taklifi: haram, makruh, mubah, sunnah (mustahab), dan kadangkadang bisa wajib. Hukum tersebut tergantung pada illat, tetap bertahan
hidup atau tidaknya jika berobat, juga berdasarkan pada kadar sakit serta
pengaruh obat, dapat disembuhkan atau tidak, dan lain-lain, seperti batasan
wajibnya mengkonsumsi bangkai karena darurat.
Di kalangan ulama klasik terdapat perbedaan pendapat mengenai
hukum berobat yang secara khusus diperhadapkan dengan tawakkal, lebih
baik yang mana, berobat atau tidak. Pada prinsipnya mereka sepakat bahwa
berobat diperbolehkan, namun menyangkut sisi keutamaannya ada
perbedaan, sebagian mereka berpendapat berobat lebih utama, dasarnya
antara lain, ketika Nabi sakit beliau senantiasa melakukan pengobatan. Di
untanya begitu saja, Nabi menyuruhnya agar mengikatnya dulu, setelah itu
bertawakkal. Nabi bersabda:
( )
"Aku memilih bersabar, tapi aku tetap takut pakaianku tersingkap saat
ayan, mintalah kepada Allah agar saat ayan, pakaianku tidak akan
tersingkap". Maka Rasulullah saw berdoa untuknya. (HR. al-Bukhari dan
Muslim).
Dari dua pandangan kontradiktif di atas, nampaknya yang kuat adalah
yang menganjurkan berobat. Dalil tentang perlunya berobat sangat banyak,
baik alam bentuk sunnah qauliyyah maupun filiyyah. Dalil-dalil yang
menguatkan tidak perlunya berobat dapat dipahami, antara lain, Nabi dalam
menyampaikan pesannya sangat sesuai dengan kondisi dan siapa yang
dihadapi, beliau sangat bijaksana dengan mendahulukan skala prioritas,
seperti pesan Nabi kepada Ummi Zufar, seorang wanita tua yang menderita
epilepsi disarankan lebih membangun jiwa kesabarannya, jika dilakukan
maka surga balasannya. Namun, terhadap sejumlah orang yang dapat dinilai
beruswia produktif dianjurkan berobat.
Konteks perintah berobat di sini bersifat umum, tidak dipilah yang
sifatnya modern atau tradisional, dan dengan metode apa saja. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa anjuran berobat adalah mencakup semua
spesialisasi medis dalam mengobati penderita, baik dengan obat-obatan,
operasi, penyinaran, fisioterapi, pijatan, dan lain-lain maupun dengan metode
tradisional atau alternatif. Hal ini sejalan dengan pernyataan al-Syaukni (w.
1255 H.) bahwa Hadis di atas juga menunjukkan dibolehkannya mencari
pengobatan alternatif, bagi pasien penderita suatu penyakit kronis jika dokter
telah mengvonis bahwa penyakitnya tidak ada obatnya dan tidak dapat
disembuhkan secara medis, agar tidak menyerah, tetapi terus berusaha
mencari penyembuhan dengan cara yang lain. Perintah tersebut juga berarti
anjuran untuk menggunakan obat yang sudah diakui berpengaruh pada
proses penyembuhan, baik berdasarkan pada kebiasaan atau hasil penelitian
ilmiah.
Sedangkan pengobatan yang haram, pengobatan yang menyimpang dari
Syariah, seperti menggunakan sihir, dukun, meminta bantuan jin. Anggapan
dan keyakinan sebagian orang bahwa jin dapat dimintai bantuan untuk
pengobatan masih mengundang permaslahan, karena alamnya berbeda.
Tuhan mencela orang yang datang meminta tolong pada jin, seperti
dinyatakan dalam al-Quran:
(6:)
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia
meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka
jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan (Q.s. Jin (72):6)
Sebab turun ayat di atas, menurut satu riwayat dinyatakan, ada di antara
orang-orang Arab bila mereka melintasi tempat yang sunyi, mereka minta
perlindungan kepada jin yang mereka anggap menguasai tempat itu.
Secara umum, perintah (al-Amr) berobat oleh para ulama dipahami
berbeda, apakah bernilai wajib, sunnah, atau sekadar imbauan. Mayoritas
ulama berpendapat, perintah tersebut hanya bernilai mubah, sedangkan
menurut sebagian ulama Ashhb al-Syfii dan Ashhb Ahmad perintah
tersebut menunjukkan wajib, sebagian ulama Syfiiyyah menyatakan sunnah,
yang benar-benar ahli dalam bidang terkait, maka tak seorang ulama pun
yang mengatakan sunnah, apalagi mewajibkannya. Menyangkut kepastian
dan kemungkinan tertolong, dalam konteks kemajuan teknologi seperti
dewasa ini, melalui pengetahuan dan ditunjang dengan alat yang canggih,
hampir semua jenis penyakit sudah dapat disimpulkan dengan tepat sehingga
hukum berobat juga dapat ditentukan dengan mudah.
Di kalangan ulama masa lalu terdapat perbedaan pendapat mengenai
berobat yang secara khusus diperhadapkan dengan tawakkal, lebih baik yang
mana, berobat atau tidak? Mereka sepakat bahwa berobat diperbolehkan,
namun menyangkut sisi keutamaan ada perbedaan, sebagian mereka
berpendapat berobat lebih utama, dasarnya, ketika Nabi sakit beliau
senantiasa melakukan pengobatan. Sebagian yang lain menyatakan tidak
berobat adalah lebih afdhal. Mereka adalah kalangan sufi yang dalam
menentukan hukum berobat dipengaruhi unsur sufistik, seperti maqam
syukur, sabar, tawakkal, ridh, dan lain-lain, yang menurut mereka maqam
tersebut lebih tinggi dari maqm yang masih terkait dengan hukum
kausalitas. Pendirian demikian, menurut Ibn al-Atsr, adalah sifat auliy
(para wali) yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Karena
berpendirian berobat tidak wajib dan lebih afdhal bersikap pasrah, maka jika
sakit mereka tidak berobat, cukup berserah diri tanpa berusaha
mengobatinya, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Ayyb, Ab Bakr, Ubaiy bin
Kab, Ab Dzarr, Umar bin 'Abd al-Azz, dan lain-lain. Juga didukung dengan
hadits-hadits yang menegaskan bahwa menderita sakit itu menghapuskan
dosa-dosa. Nabi menghargai sikap seorang wanita hitam bernama Ummu
Zufar yang memilih tidak berobat dari sakit epilepsi yang dideritanya, cukup
dengan sabar dan lebih memilih surga yang dijanjikan daripada berdoa untuk
kesembuhannya.
Dalam menghadapi vonis bahwa penyakitnya sudah tidak ada harapan
disembuhkan, maka secara teologis yang dibangkitkan adanya keyakinan
bahwa penyakit berikut kesembuhannya mutlak berada di tangan Allah.
Sementara berobat merupakan salah satu bentuk usaha dan ikhtiar yang telah
Allah anugerahkan. Seorang muslim tidak boleh berputus asa dari rahmat dan
pertolongan Allah. Bahkan, seyogyanya optimis untuk sembuh dengan izin
Allah. Hendaknya para dokter dan keluarganya terus memberi sugesti dan
support bagi pasien. Selalu memperhatikan kondisinya dan berusaha
meringankan penyakit jasmani maupun rohani yang tengah dideritanya,
terlepas apakah pasien bakal sembuh atau pun tidak.
Mayoritas ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa berobat
hukumnya mubah (boleh). Sementara ulama Syafi'iyah, al-Qadhi, Ibnu Aqil
dan Ibn al-Jauzi dari kalangan ulama Hanbali berpendapat hukumnya
mustahab (sunnah). Berdasarkan sabda Nabi saw:
( )
"Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia
telah menetapkan bagi setiap penyakit obatnya, maka janganlah berobat
dengan perkara yang haram" (HR. Abu Dawud).
dan minum, demikian juga menjauhkan diri dari hal-hal yang sifatnya
merusak dengan doa minta sehat dan dijauhkan dari segala hal yang
membahayakan. Jadi, berusaha dulu baru tawakkal, seperti dimaksudkan
dalam hadits Nabi, berasal dari Anas dinyatakan:
( )
Seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah: 'Apakah aku ikat unta itu dan
kemudian bertawakkal atau membiarkannya tidak ditambatkan baru
tawakkal?' Nabi Bersabda: Ikatlah dia dan (baru) bertawakkal (HR. alTurmudzi).
Batasan-batasan dalam Berobat
Dinyatakan dalam hadits Nabi, agar berobat dengan yang halal, dilarang
menggunakan cara atau obat yang dilarang, sebagaimana dinyatakan dalam
hadits Nabi:
( )
'Allah yang menurunkan penyakit dan Dia juga yang menjadikan setiap
penyakit dan obatnya, berobatlah, dan jangan berobat dengan yang
haram' (HR Ab Dwd).
:
}
( { )
dokter ahli akan lebih cepat sembuh, ada dua pendapat, antara yang
membolehkan dan yang mengharamkannya.
Pada umumnya ulama menyatakan bahwa larangan berobat dengan yang
haram ini juga meliputi sesuatu yang najis, dikecualikan kencing unta yang
menurut sebagian ulama, antara lain, al-Zuhri (w. 230 H.) membolehkannya
untuk pengobatan dan ia tidak melihat hal itu berbahaya. Tentang argumen
hukum bolehnya menggunakan kencing unta sebagai obat, sebagian ulama
menilai karena darurat atau pengkhususan sebagai pengecualian (istitsn).
Sebagian ulama menilai pembolehan itu karena dianggap tidak najis, sebab
air kencing binatang yang halal dimakan dagingnya tidak najis, pembolehan
itu menunjukkan ketidak-najisannya. Hadis tentang berobat dengan air
kencing unta lihat catatan kaki no. 94, Bab II, h.62. Mengenai hukumnya,
ulama mazhab berbeda pendapat. Kalangan fukaha Syfi'iyyah dan Hanbilah
menyatakan haram karena najis. Mlikiyyah membolehkannya karena
menilainya tidak najis (suci), mengikuti ketentuan hukum pada hewan yang
suci. Sedangkan ulama Hanfiyyah menetapkan bahwa semua jenis air
kencing adalah najis, baik dari binatang yang halal dagingnya atau tidak,
sedangkan penggunaan air kencing unta untuk obat, sungguhpun najis tetapi
diperbolehkan karena darurat.
Untuk mengkompromikan dua pendapat kontradiktif di atas, dapat
diarahkan pada konteks al-mm wa al-Khshsh, pengharaman
menggunakan khamar bersifat umum, sedangkan pembolehan menggunakan
kencing unta bersifat khusus dan pengecualian.
Berobat Dengan Bahan Haram
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa berobat dianjurkan dalam
banyak Hadis namun dilarang dengan yang haram (bi harm atau bi almuhar-ram). Misalnya disebutkan:
{ }
()
...
)...
Barang siapa yang meminum racun untuk bunuh diri maka dia akan
meminumnya di tangannya meminumnya di neraka Jahannam kekal
abadi selama-lamanya di dalamnya (HR. al-Bukhri dan al-Baihaqi
dari Ab Hurairah).
Sebab, jika seseorang mengkonsumsi morfin melebihi dosis dan
menyalahgunakannya akan berakibat buruk pada fisiologi tubuh,
menyebabkan ketergantungan fisik dan psikis, bahkan jika over dosis dapat
mematikan, padahal benda tersebut dalam praktik kedokteran dengan dosis
yang tepat berfungsi sebagai obat bius (pati rasa). Itulah sebabnya istilah yang
populer digunakan adalah penyalahgunaan obat. Adapun khamar, sesuai
dengan Hadis, bukan obat, mengkonsumsinya seberapa pun kadarnya,
bahkan sekalipun untuk tujuan pengobatan, hukumnya haram, sebagaimana
disebutkan dalam hadits nabi:
(
{ )
Thriq bin Suwaid (atau Suwaid bin Thriq dalam riwayat lain) alHadlrami, bertanya kepada Nabi saw tentang khamar, Nabi
melarangnya, atau membenci menggunakannya, ia berkata, saya
membuatnya untuk obat, Nabi menjawab: itu (khamar) bukan obat
tetapi penyakit" (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan al-Turmudzi)
Juga dalam Hadis lain:
Dari Aisyah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Setiap minuman yang
memabukkan adalah haram" (HR. Al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi, alNasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Rasulullah saw bersabda: sesuatu yang banyaknya memabukkan maka
sedikitnya haram" (HR. Ahmad dari Jabir bin Abdillah dan Aisyah, alThabarani dari Aisyah dan Ibnu Umar, dan al-Turmudzi dan Abdillan bin
Ibnu Umar).
Hadis yang melarang menggunakan khamar untuk obat menunjukkan
larangan keras. Bahkan, Nabi pernah menganjurkan membunuh peminum
khamar yang berargumen untuk melawan udara dingin di daerahnya.
Larangan keras meminum khamar juga nampak pada sanksi pidana
peminumnya berupa hukuman cambuk atau mati. Dalam Hadis itu
diterangkan, bila sekali minum diperintahkan dicambuk, jika sampai diulang
3 atau 4 kali dihukum mati.
( )
{
:
)
(
Dari Aisyah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Setiap minuman yang
memabukkan adalah haram" (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Turmudzi, alNasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Mengenai sifat memabukkan ini dijelaskan oleh Umar bin al-Khaththb
yang disampaikan dari atas mimbar Nabi (Madinah), dia berkata:
( )
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata
bagimu (Qs. al-Baqarah (2):168).
3. Tidak terindikasi menggunakan cara syirik, seperti melalui bertapa di
tempat tertentu, memasang jimat, mengharuskan mendatangi makam
keramat tertentu untuk meminta bantuan dan pertolongan yang di kubur.
Perbuatan demikian termasuk bentuk kemusyrikan, pelakunya diancam
tidak akan diampuni dosanya, seperti disebutkan dalam al-Quran:
(48 :(4) { )
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(QS. an-Nisa (4):48)
4. Bila terindikasi menggunakan cara-cara yang diharamkan, misalnya
pengobatan yang mengharuskan mengkonsumsi yang diharamkan, seperti
makan daging babi, daging anjing, darah, dan yang diharamkan dalam
batasan syariat Islam sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas.
Memperhatikan hadits-hadits di atas dinyatakan bahwa setiap Allah swt
menurunkan penyakit, maka sudah pasti ada obatnya yang juga Allah
turunkan, obat itu bukan dari barang yang haram secara syar'i. Hal ini sejalan
dengan ayat al-Quran:
}
145 :(6) { )
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang
dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang".(Qs. al-An'am :145)
Izin Dari Pasien dalam Tindakan Medis
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa berobat disyariatkan dalam
Islam, berdasarkan pada ayat al-Qur'an dan As-Sunnah. Di samping itu,
berobat juga termasuk anasir menjaga keselamatan jiwa (hifzh al-Nafs) yang
merupakan salah satu dari lima perkara asasi yang harus dijaga. Hukum
berobat itu sendiri berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan orangnya.
Pengobatan baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari pihak
pasien jika termasuk yang sempurna akalnya, jika kurang akal atau belum
berakal seperti anak-anak maka harus meminta izin kepada walinya sesuai
dengan tingkatan wali yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Sejalan
dengan hukum-hukum syariat yang membatasi hak-hak wali sebatas perkara
yang mendatangkan manfaat dan maslahah serta menghilangkan kesulitan
dari orang yang berada di bawah kewaliannya. Jika keputusan wali yang tidak
memberi izin berobat secara meyakinkan akan mendatangkan mudarat bagi
orang yang berada si bawah kewaliannya, maka keputusan itu boleh
diabaikan. Hak kewalian berpindah kepada wali-walinya yang lain. Jika tidak
ada, maka diserahkan kepada pemerintah.
Pemerintah berhak mewajibkan beberapa orang tertentu untuk berobat,
misalnya jika penyakit yang diderita tersebut adalah penyakit menular,
pengobatan preventif dan pencegahan. Dalam keadaan gawat darurat (ICU)
yang membahayakan keselamatan jiwa pasien tidak perlu meminta izin
kepada yang bersangkutan.
Proses pemeriksaan atau diagnosis penyakit harus melalui persertujuan
pasien tanpa ada unsur paksaan. Juga disyaratkan pemeriksaan tersebut tidak
menimbulkan efek samping yang lebih berbahaya. Tidak boleh melakukan
pemeriksaan jika pasien kurang akal atau belum berakal meskipun dengan
persetujuan walinya.
Seluruh fungsi otaknya berhenti total, dan para ahli medis menetapkan
bahwa tidak ada harapan otaknya berfungsi kembali. Atau lambat laun
fungsi otaknya berhenti.
{ )