Anda di halaman 1dari 14

ISLAM, PERSOALAN HIDUP DAN KERJA

Dosen Pembimbing

Rohmat Suprapto, S.Ag, MSI

Anggota Kelompok 4 :

1. Dyah Retno Kusumawardani (A2A020030)


2. Nur Syafitri Salma Nisa (A2A020031)
3. Poppy Nuri Sita (A2A020032)
4. Milatul Aulia (A2A020033)
5. Shelly Fitrian Aliffah (A2A020034)
6. Sherly Kurnia Sari (A2A020035)
7. Heny Chorneilia Agustin (A2A020036)

PROGAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

TAHUN AJARAN 2020/2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hakekat hidup dan kerja, Allah mengilhamkan, berarti memberi
potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap ma’na baik dan
buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan
keburukan. Meskipun nafs berpotensi positif dan negative, namun
diperoleh pula isyarat bahwa pada hakekatnya potensi positif manusia
lebih kuat dari pada potensi negetifnya. Hanya saja daya Tarik keburukan
lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Untuk itu manusia dituntut agar
memelihara kesucian nafsnya. Firman Allah dalam surat al-Syams ayay 9-
10. Rahmat Allah Terhadap orang yang rajin bekerja, Dalam pandangan
Islam bekerja merukapan bagian dari ibadah, maka aplikasi dan
implementasinya perlu diikat dan dilandasi oleh akhlak/etika, yang
senantiasa disebut etika profesi. Etika/akhlaq yang mencerminkan sifat
terpuji, yaitu Shiddiq, istiqamah, futhanah, amanah dan tablig.
Akhlak dalam bekerja, Seorang muslim dalam bekerja selalu
berhati-hati dan terbuka pikirannya kepada keindahan ciptaan Allah. Dia
menyadari bahwa Allah lah yang mengontrol segala urusan dunia dan
kehidupan manusia. Dia mengenal tanda-tanda kekuasaan-Nya, senantiasa
berzikir dan tawakal kepada-Nya.
Keharusan profesionalisme dalam bekerja, Profesonal berarti
berkualitas, bermutu dan ahli dalam satu bidang pekerjan yang menjadi
profesinya. Suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang yang
memang ahlinya, tentu akan mendapatkan hasil yang bermutu dan baik.
Sebaliknya suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang yang bukan
profesinya, akan mendapatkan hasil yang tidak bermutu dan bahkan akan
berantakan.
Etika kerja islami menurut PHIWM ada Bekerja Islami Etika Kepada
Allah SWT, Bekerja Islami Etika Kepada Manusia, Bekerja Islami Etika
Kepada Pribadi yaitu
Salah satu sifat yang melekat dan tidak terpisahkan dari makhluk
yang bernama manusia adalah sifat insaniyah atau sosial. Karakter/sifat
sosial inilah yang menjadikan manusia harus simpati, empati dan
bermanfaat untuk manusia yang lain, termasuk dalam bekerja (ikhtiar).
Oleh sebab itu Rasululullah SAW menganjurkan kita untuk bertindak yang
indah dalam mencari rezeki, bertindak dengan Ihsan, tidak mengambil hak
orang lain, dan merugikan orang lain.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hakekat hidup dan kerja ?
2. Bagaimana rahmat Allah terhadap orang yang rajin berkerja ?
3. Apa akhlak dalam bekerja ?
4. Bagaimana keharusan profesionalisme dalam bekerja ?
5. Apa etika kerja islami menurut PHIWM ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hakekat hidup dan kerja,
2. Untuk mengetahui rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja,
3. Untuk mengetahui akhlak dalam bekerja,
4. Untuk mengetahui keharusan profesionalisme dalam bekerja,
5. Untuk mengetahui etika kerja islami menurut PHIWM.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakekat Hidup dan Kerja


Nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi
menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan.
Allah SWT. Katakana dalam surat al-Syamsayat 7-8.
“Demi Nafs serta penyempurnaan ciptaanNya, Allah mengilhamkan
kepadanya kejahatan dan ketaqwaan”
Allah mengilhamkan, berarti memberipotensi agar manusia melalui
nafs dapat menangkap ma’na baik dan buruk, serta dapat mendorongnya
untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Meskipun nafs berpotensi
positif dan negative, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakekatnya
potensi positif manusia lebih kuat dari pada potensi negetifnya. Hanya saja
daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Untuk itu
manusia dituntut agar memelihara kesucian nafsnya. Firman Allah
dalamsurat al-Syamsayay 9-10. ”Sungguh beruntunglah orang-orang
yang menyucikannya dan merugilah orang-orang yang Mengotorinya”
Kecendrungan nafs lebih kuat untuk kebaikan dipahami dari isyarat
ayat, misalnya terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 286 “Allah tidak
membebani seseorang, tertapi sesuai dengan kesanggupannya. Nafs
memperoleh ganjaran dari apa yang diusahakannya, dan memperoleh
siksa dari apa yang diusahakannya”
Selain nafs, dalam diri manusia juga terdapat qalb yang sering
diterjemahkan hati. Seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs ada dalam
diri manusia, qalb pun demikian, hanya saja qalb yang merupakan wadah
dipahami dalam arti alat, sebagaimana firman Allah dalam surat al-
A’rafayat 179 “Mereka mempunyai qalb, tetapi tidak digunakan untuk
memahami”.
Selain kata qalb, dalam al-qur’an juga terdapat kata fu’ad, seperti
dalam firman-Nya dalam surat al-Nahl “Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu maka Dia
membirimu (alat) pendengaran, (alat) penglihatan serta hati, agar kamu
bersyukur (mempergunakannya memperoleh pengetahuan)”.
Kemudian manusia juga memiliki ruh, sebagaimana firman-Nya
dalam surat al-Isra’ ayat 85 “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh,
katakanlah Ruh adalah urusan Tuhanku, kamu tidak diberi ilmu kecuali
sedikit”.
Ada yang berpendapat, bahwa ruh itu sama dengan nyawa, tetapi
apa bedanya manusia dengan orang utan, monyet dan binatang yang lain?.
Dalam surat al-mu’minun dijelaskan bawa dengan ditiupkan nyaruh, maka
menjadilah makhluk ini khalqakhar (makhluk yang unik) yang berbeda
dengan makhluk lain. Karena manusia memiliki ruh lahia mudah
menerima wahyu dari Allah SWT. Mempelajari wahyu dikatakan santapan
rohani, bukan santapan nyawa. Manusia berpotensi mendapatkan hidayah
Karena mempunyairoh. Selain memiliki nafs, qalb, dan ruh manusia juga
memiliki ‘aql. Kata ‘aql dalam al-qur’an menggunakan bentuk kata kerja
masa kini dan lampau. Dari segi bahasa, kata ini dapat diartikan tali
pengikat, penghalang.
‘Aql merupakan sesuatu yang mengikat atau menghalangi
seseorang terjerumus dalam kesalahan atau berbuat dosa. Allah berfirman
dalam surat al-An’am ayat 151 “ …” dan janganlah kamu mendekati
perbuatan keji, baik yang Nampak atau tersembunyi, dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali demi kebenaran, itulah
wasiat Allah kepadamu agar kamu ber’aqal (dapat memahaminya)”
Menurut Hamka, dalam bukunya Falsafah Hidup, Islam sangat
memuliakan ‘aql, maka dari itu Islam adalah agama yang menjunjung
tinggi “aql. Orang yang dapat menempatkan dirinya merasa terikat pada
aturan-aturan Allah dalam firman-firman-Nya, maka itulah sebenarnya
orang-orang yang ber’aqal. Seorang muslim dalam aktifitas kehidupnya
dapat menggunakan ‘aqalnya jauh dari perbuatan keji, ruhnya banyak
berisikan wahyu Allah, hatinya jadi tentram sehingga dirinya terkendali
kejalan yang diredhai Allah, terhindar dari langkah-langkah syetan yang
buruk. Demikianlah hakekat hidup manusia dengan berbagai potensi yang
terdapat dalam dirinya untuk melaksanakan pekerjaan.
B. Rahmat Allah Terhadap Orang yang Rajin Bekerja.
Umar bin Khattab khalifah kedua setelah Abu Bakar Siddiq
berkata “Aku benci orang berpangku tangan, tanpa ada aktifitas kerja,
baik kerja untuk dunia atau untuk kepentingan di akherat kelak”
Dalam hal ini khalifah Umar sangat menghargai dan menyenangi
orang yang rajin bekerja dan beraktifitas. Sebagai muslim yang ta’at,
Umar selalu mendorong umat Islam untuk memiliki semangat bekerja dan
beramal, serta menjauhkan diri dari sifat malas. Rasulullah bersabda : “Ya
Allah aku berlindung kepada-Mu dari lemah pendirian, sifat malas,
penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang
lain. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dan dari fitnah
(ketika hidup dan mati)”. (H.R Bukhari dan Muslim).
Orang muslim yang akan berhasil dalam hidupnya adalah
kemampuannya meninggalkan perbuatan yang melahirkan
kemalasan/tidak produktif dan digantinya dengan amalam yang
bermanfa’at. Sabda Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah “Sebaik-baik
Islamnya seseorang adalah meninggalkan perbuatan yang tidak
bermanfa’at”. (HR. Tarmizi)
Bekerja bagi seorang muslim adalah dalam rangka mendapatkan
rezki yang halal dan memberikan manfa’at yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat sebagai ibadahnya kepada Allah swt. Firman-Nya : “Apabila
shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu
beruntung”. (al-Jmu’ah: 10).
Dalam pandangan Islam bekerja merupakan bagian dari ibadah,
maka aplikasi dan implementasinya perlu diikat dan dilandasi oleh
akhlak/etika, yang senantiasa disebut etika profesi. Etika/akhlaq yang
mencerminkan sifat terpuji, yaitu Shiddiq, istiqamah, futhanah, amanah
dan tablig. Dari uraian diatas, dapat difahami, bahwa seorang muslim
yang akan mendapat kasih saying dari Allah swt. Adalah apabila orang itu
jauh dari sifat malas, senang melakukan kegiatan-kegiatan yang
bermanfa’at, rajin bekerja, tidak menyia-nyiakan waktu, menyadari bahwa
semua aktifitas yang dilakukan adalah dalam rangka beribadah kepada
Allah SWT.
C. Akhlak Dalam Bekerja.
Seorang muslim dalam bekerja selalu berhati-hati dan terbuka
pikirannya kepada keindahan ciptaan Allah. Dia menyadari bahwa Allah
lah yang mengontrol segala urusan dunia dan kehidupan manusia. Dia
mengenal tanda-tanda kekuasaan-Nya, senantiasa berzikir dan tawakal
kepada-Nya.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih
bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang bertawakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk ataud alam keadaan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata) Ya Tuhan kami,
tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sis-sia, maha suci Engkau,
maka peliharalah kami dari api neraka” (Ali Imran ayat 190-191).
Dalam bekerja dia tulus dan patuh kepada Allah dalam keadaan
bagaimanapun, tidak boleh melampaui batas, selalu ta’at mengikuti
bimbingan Allah meskipun tidak sesuai dengan keinginannya. Dia
bertanggungjawab menjalankan kewajiban pekerjaan yang telah ditetapkan
untuknya. Bila ia mendapatkan kendala, segera mencari penyebabnya dan
siap memikul semua konsekwensinya. Dia memahami sabda Rasul Saw.
“Betapa indahnya urusan orang Islam. Seluruh urusan (kerjanya) adalah
baik bagi dirinya. Jika ia mengalami kemudahan, ia bersyukur, dan yang
demikian itu baik bagi dirinya, jika ia mengalami kesulitan, ia
menghadapinya dengan sabar dan tabah, dan itupun juga dirinya”. (HR.
Bukhari).
Akhlak seorang muslim dalam bekerja menemukan kemudahan
selalu bersyukur, ketika menghadapi kesulitan dia tabah dan sabar. Mudah
dan sulit baginya sama, karena semua itu adalah untuk menguji kekuatan
imannya. Pada sa’atnya ia mendapatkan kesalahan dalam bekerja,
menyimpang dar iketentuan Allah dan Rasul-Nya, ia segera bertobat,
segera ingatakan Tuhannya, menghentikan segala kesalahannya dan
memohon ampun atas kekeliruannya. “Sesungguhnya orang-orang yang
bertaqwa bila dalam dirinya timbul perasaan was-was dari setan, mereka
segera ingat kepada Allah. Maka waktu itu juga mereka meliha
tkesalahan-kesalahannya”. (al-A’raf :201). Demikianlah akhlak seorang
muslim dalam bekerja.
D. Keharusan profesionalisme dalam bekerja
Profesonal berarti berkualitas, bermutu dan ahli dalam satu bidang
pekerjan yang menjadi profesinya. Suatu pekerjaan yang dilaksanakan
oleh seseorang yang memangahlinya, tentu akan mendapatkan hasil yang
bermutu dan baik. Sebaliknya suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh
seseorang yang bukan profesinya, akan mendapatkan hasil yang tidak
bermutu dan bahkan akan berantakan. Sabda Rasul Saw. “Bila
menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah
kehancuran”.
Menurut sabda Rasul ini, seseorang dalam bekerja, apapun
pekerjaannya, kalau ingin mengharapkan hasil yang berkualitas dan baik,
maka dia harus profeisinal/ahli dalam pekerjaan yang menjadi
tanggungjawabnya itu.
Ahli dalam bekerja, berarti menguasai ilmu pengetahuan yang
berhubungan lansung dengan pekerjannya. Seorang pekerja yang bekerja
dalam dunia pertanian, tentu dia harus berilmu tentang tanaman,
pemupukan, pengiran dan lain-lain. Dia harus mengerti, memahami dan
menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan
kewajibannya dalam pertanian. Sifat kreatifitas dan kemampuan
melakukan berbagai macam inovasi yang bermanfa’a ttentang pertanian
akan muncul dalam dirinya. Tentunya kreatif dan inovatif hanya mungkin
akan dimiliki mana kala seseorang selalu berusaha untuk menambah
berbagai ilmu pengetahuan, peraturan, dan informasi yang berhubungan
dengan pekerjaan apapun bentuk pekerjanya.
Sebagai seorang guru (pengejar) dituntut harus ahli dalam ilmu
keguruan, jangan setengah-setengah, tapi belajar, terus belajar tentang
profesi keguruan sampai akhir hayatnya. Firmam Allah dalam al-Baqarah :
208 ”Hai orang yang beriman, masuklah kamu kedalam kedamaian /Islam
secara menyeluruh, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan,
karena setan itu adalah musuhmu yang nyata”
Tersirat dalam ayat ini, bahwa aktifitas apapun yang dilakukan
menuntut pelakunya untuk berilmu secara mendalam dan menyeluruh
(kaffah) seuai dengan profesinya.
Orang beriman diminta untuk memasukkan totalitas dirinya
kedalam wadah islam secara menyeluruh, sehingga semua kegiatannya
berada dalam wadah islam/kedamaian. Ia damai dengan dirinya,
keluarganya, seluruh manusia, binatang, tumbuh tumbuhan dan alam raya
semuanya. Wadah islam secara menyeluruh yang dimaksud juga
penguasaan ilmu islam secara menyeluruh sehingga mampu melaksanakan
aktifitas islam dengan berkualitas dan bermutu.
E. Etika Kerja Islami Menurut PHIWM
1. Bekerja Islami Etika Kepada Allah SWT.
Tujuan utama dari bekerja (ikhtiar) adalah mencari ridha
Allah swt, karena dengan ridho dari Allah SWT, ikhtiar yang kita
lakukan akan terasa mudah dan menuai barakah. Oleh sebab itu,
mendahulukan pahala Allah sebelum keuntungan duniawi dengan
balutanraja’(harapan) dan syukur adalah kunci ridha Allah SWT,
sebagaimana firman Allah SWT :

َ ‫فَا ْبتَ ُغوا ِعن َد هَّللا ِ ال ِّر ْز‬


ُ‫ق َوا ْعبُدُوهُ َوا ْش ُكرُوا لَه‬
" Maka carilah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan
bersyukurlah kepada-Nya." (QS.al-Ankabuut :17)

2. Bekerja Islami Etika Kepada Manusia


Salah satu sifat yang melekat dan tidak terpisahkan dari
makhluk yang bernama manusia adalah sifat insaniyah atau sosial.
Karakter/sifat social inilah yang menjadikan manusia harus
simpati, empati dan bermanfaat untuk manusia yang lain, termasuk
dalam bekerja (ikhtiar). Oleh sebab itu Rasululullah SAW
menganjurkan kita untuk bertindak yang indah dalam mencari
rezeki, bertindak dengan Ihsan, tidak mengambil hak orang lain,
dan merugikan orang lain. Allah SWT berfirman :
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagian mudari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan. (QS.al-Qashash :77)
Mengenai bekerja dengan Ihsan Rasulullah SAW bersada :

)‫إن هللاً ي ُِحبُّ ِمنَ ْالعا َ ِم ِل إ َذا َع ِم َل َأ ْن يُحْ ِسنَ (رواه البيهقي‬
َّ

Sesungguhnya Allah SWT mencintai orang yang bekerja dengan


Ihsan (HR al-Baihaqy.)

Ayat al-Qur’an dan Hadis di atas memberikan informasi


kepada kita tentang pentingnya bekerja dengan Ihsan (baik),
bermanfaat dan tidak merugikan orang lain.

3. Bekerja Islami Etika Kepada Pribadi


Kehalalan zat rizki yang kita makan serta keshahihan rizki
yang peroleh adalah kunci utama keberkahan dari pekerjaan yang
kita lakukan. Efek dari halal dan baiknya rizki yang kita dapatkan
akan berdampak pada pribadi kita dan keluarga kita, jangan sampai
kita member makan diri sendiri dan keluarga tercampur dengan
yang haram dan syubhat. Rasulullah SAW bersabda :
“Dari Abu Abdullah an-Nu’man bin Basyir berkata, dia
mendengar Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya yang halal
itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya
terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui
oleh kebanyakan orang. Barang siapa yang menghindarkan diri
dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya. Barang siapa yang terjerumus dalam perkara
syubhat, maka ia bias terjatuh pada perkara
haram."(HR.Bukhari& Muslim)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kerja (’amal) menurut konsep Islam adalah segala yang dilakukan
oleh manusia yang meliputi kerja untuk dunia dan kerja untuk akhirat.
Islam mewajibkan kerja kepada seluruh umat-Nya tanpa melihat darajat,
keturunan, warna kulit dan sebagainya karena manusia adalah sama di sisi
Allah, yang membedakan antara satu dengan lainya adalah taqwanya.
Islam tidak menyukai kepada penganggur, pengemis dan pribadi yang
menggantungkan kebutuhan diri dan keluarganya pada orang lain. Bekerja
dengan azam mengabdikan diri kepada Allah dengan menyadari dan
menghayati bahwa manusia adalah hamba Allah, maka sudah seharusnya
setiap muslim mengabdikan dirinya kepada Allah dengan mengikuti
perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Bekerja hanya pada
lapangan pekerjaan yang halal saja dan tidak bertentangan dengan
ketentuan syariah. Bekerja secara perfect (amanah dan ikhlas). Bekerja
dengan amanah berarti bekerja dengan penuh tanggung jawab terhadap apa
yang menjadi tugasnya. Bekerja dengan ikhlas berarti bekerja dengan
penuh kerelaan dan dengan kesucian hati untuk mencari keridhoan Allah.
Dan Istifragh ma fi al-wus’i (bekerja dengan tekun dan baik). Ketekunan
adalah suatu sifat yang amat diperlukan oleh seseorang pekerja, mereka
akan dapat meningkatkan kemampuannya jika tekun dalam menjalankan
tugasnya. Pemerintah ”berdasarkan mashlahah al-mursalah” boleh
memaksa warga untuk bekerja atau bekerja pada lapangan tertentu, seperti
wajib bakti pada masyarakat bagi para dokter yang baru saja
menyelesaikan pendidikannya. Bekerja dengan semangat kerjasama dan
musyawarah. Sikap saling membantu antara satu sama lain akan
menimbulkan suasana bekerja yang aman, gembira serta akan
meningkatkan hasil dan mutu kerja. Selain itu hendaklah diwujudkan satu
budaya musyawarah, bertukar pikiran, mengkaji masalah yang ada dan
juga untuk menghadapi masalah yang mungkin timbul. Musyawarah
seperti ini akan meningkatkan rasa persaudaraan dan dengan sendirinya
pula meningkatkan rasa tanggungjawab bersama.
B. Saran
Demikian makalah yangk kami buat, semoga pembahasan
makalah ini dapat membantu dan bermanfaat untuk pembaca. Dan kami
berharap adanya kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan tugas
selanjutnya. Sekian dan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

M. Dawan Raharjo, Etika Ekonomi dan Manajemen, PT. Nara Wacana,


Yogyakarta, 1990, hlm.50

Ali – Sumanto Alkindi, Bekerja Sebagai Ibadah: Konsep Memberantas


Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan Umat, CV. Aneka, Solo,
1997

KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Gema Insani Press, Jakarta,
2002, hlm. 2 – 26

Prof. Dr. Muhammad Mutawalli asy – Sya’rawi, Jiwa dan Semangat Islam, Gema
Insani Press, Jakarta, 1992, hlm. 36 – 38

Drs. M. Thalib, Pedoman Wiraswasta dan Manajemen Islami, CV. Pustaka


Mantiq, Solo, 1992, hlm. 18 – 20

Dr. H. Buchari Aima, Ajaran Islam Dalam Bisnis, CV. Alfabeta, Bandung, 1994,
hlm. 12

Al – Sumanto Alkindhi, Ibid, hlm. 43 0 47

Ibid, hlm.80 – 110

Efendi, Rustam. 2008. Produksi Dalam Islam. Yogyakarta: Magistra Insania Press

Hasan, M. Tholchan. 2000. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta: Listafariska


Putra.

https://suaramuhammadiyah.id/2018/06/21/3-etika-bekerja-islami/

Anda mungkin juga menyukai