Anda di halaman 1dari 10

Etos Kerja Dalam Pandangan Islam

I. Pendahuluan

Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa
menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara
melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam,
iman banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian
dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang.

Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak rendah.
Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal spiritual tetapi juga
program aksi.

Artikel ini sendiri akan melihat pertama, kerja sebagai manifestasi program
mewujudkan tujuan hidup di muka bumi yakni mencari Ridha Allah dengan
mewujudkan diri sebagai khalifah di muka bumi. Kedua, karakteristik pekerjaan di
masa datang yang diperlukan umat Islam.

II. Manifestasi Mencari Ridha Allah

Sebenarnya umat Islam termasuk beruntung karena semua pedoman dan panduan
sudah terkodifikasi. Kini tinggal bagaiman menterjemahkan dan mengapresiasikannya
dalam kegiatan harian, mingguan dan bulanan. Jika kita pandang dari sudut bahwa
tujuan hidup itu mencari Ridha Allah SWT maka apapun yang dikerjakannya, apakah
di rumah, di kantor, di ruang kelas, di perpustakaan, di ruang penelitian ataupun
dalam kegiatan kemasyarakatan, takkan lepas dari kerangka tersebut.

Artinya, setiap pekerjaan yang kita lakukan, dilaksanakan dengan sadar dalam
kerangka pencapaian Ridha Allah. Cara melihat seperti ini akan memberi dampak,
misalnya, dalam kesungguhan menghadapi pekerjaan. Jika seseorang sudah meyakini
bahwa Allah SWT sebagai tujuan akhir hidupnya maka apa yang dilakukannya di
dunia tak dijalankan dengan sembarangan. Ia akan mencari kesempurnaan dalam
mendekati kepada Al Haq. Ia akan mengoptimalkan seluruh kapasitas dan
kemampuan inderawi yang berada pada dirinya dalam rangka mengaktualisasikan
tujuan kehidupannya. Ini bisa berarti bahwa dalam bekerja ia akan sungguh-sungguh
karena bagi dirinya bekerja tak lain adalah ibadah, pengabdian kepada Yang Maha
Suci. Lebih seksama lagi, ia akan bekerja – dalam bahasa populernya – secara
profesional.

Apa sebenarnya profesional itu ? Dalam khasanah Islam mungkin bisa dikaitkan
dengan padanan kata ihsan. Setiap manusia, seperti diungkapkan Al Qur’an,
diperintahkan untuk berbuat ihsan agar dicintai Allah. Kata Ihsan sendiri merupakan
salah satu pilar disamping kata Iman dan Islam. Dalam pengertian yang sederhana,
ihsan berarti kita beribadah kepada Allah seolah-olah Ia melihat kita. Jikalau kita
memang tidak bisa melihat-Nya, tetapi pada kenyataannya Allah menyaksikan setiap
perbuatan dan desir kalbu kita. Ihsan adalah perbuatan baik dalam pengertian sebaik
mungkin atau secara optimal. Hal itu tercermin dalam Hadis Riwayat Muslim yang
menuturkan sabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala
sesuatu. Karena itu jika kamu membunuh, maka berihsanlah dalam membunuh itu dan jika
kamu menyembelih, maka berihsanlan dalam menyembelih itu dan hendaknya seseorang
menajamkan pisaunya dan menenangkan binatang sembelihannya itu.

Menurut Nurcholis Madjid, dari konteks hadis itu dapat disimpulkan bahwa ihsan
berarti optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin,
bahkan sesempurna mungkin. “Penajaman pisau untuk menyembelih” itu merupakan
isyarat efisiensi dan daya guna yang setinggi-tingginya. Allah sendiri mewajibkan
ihsan atas segala sesuatu seperti tercermin dalam Al Qur’an. Yang membuat baik,
sebaik-baiknya segala sesuatu yang diciptakan-Nya. (32:7). Selanjutnya Allah juga
menyatakan telah melakukan ihsan kepada manusia, kemudian agar manusia pun
melakukan ihsan. Dan carilah apa yang dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dunia, dan berbuat ihsanlah kepada orang
lain sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu , dan janganlah kamu berbuat kerusakan
di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(28:77).

Dari keterangan hadis dan uraian Al Qur’an jelaslah bahwa setiap Muslim harus
menjadi seorang pekerja yang profesional. Dengan demikian ia melaksanakan salah
satu perintah Allah untuk berbuat ihsan dan juga mensyukuri karunia Allah berupa
kekuatan akal dan fisiknya yang diberikan sebagai bekal dalam bekerja. Mengabaikan
potensi akal dan fisik ini atau tidak “menajamkannya” bisa bermakna tidak
mensyukuri nikmat dan karunia Ilahi Rabbi.

III. Karakteristik pekerjaan mendatang


Berbagai trend telah memperlihatkan bahwa bentuk pekerjaan mendatang tak hanya
mengandalkan fisik tetapi juga otak. Al Qur’an dalam berbagai ayat sudah mengajak
manusia untuk berpikir, membandingkan dan menggunakan akal dalam menghayati
kehidupan dan mengarungi samudera kehidupan. Peter Drucker, salah seorang pakar
manajemen, tahun 1960-an sudah memperingatkan akan datangnya “Knowledge
Society”.

Dalam masyarakat jenis ini banyak bentuk kegiatan ekonomi dan pekerjaan dilakukan
berdasarkan kepadatan pengetahuan. Ia memberi contoh mengetik. Dulua dengan
memencet tuts orang bisa membuat kalimat, tetapi sekarang dengan adanya komputer
sebelum memencet tuts harus dimiliki serangkaian pengetahuan cara bekerja perangkat
lunaknya.

Pakar manajemen lainnya seperti Charles Handy, Michael Hammer atau Gary Hamel
ataupun futurolog seperti John Naisbit dan Alvin Tovler sudah meramalkan jauh-jauh
hari akan datangnya jenis pekerjaan otak ini. Dalam ungkapan Handy, aset sebuah
organisasi tidak lagi terletak pada properti atau benda-benda fisik lainnya tetapi pada
sumber daya manusia. Dan inti dari sumber daya manusia itupun adalah otaknya.

Sebenarnya kalau kita cermat, Al Quran sudah mengisyaratkan akan lahirnya


masyarakat pengetahuan itu dengan ungkapan di ayat pertama, Iqra. Hanya tinggal
manifestasi saja bagaimana Iqra itu menjadi jalan kehidupan umat Islam, bukan sebagai
jargon yang yang dilafalkan.Membumikan istilah Iqra itulah merupakan tantangan
umat Islam sehingga tidak ketinggalan dalam budaya masyarakat pengetahuan.

Mengutip istilah Deputi PM Anwar Ibrahim, umat Islam itu harus mampu
menyumbangkan bagi peradaban yang hidup di dunia, sejajar dengan peradaban
lainnya. Dengan demikian etos kerja harus merupakan bagian dari tradisi umat Islam,
bukan tradisi masyarakat lain.

IV. Kesimpulan

Seruan akan etos kerja dalam Islam sebenarnya sudah banyak diungkapkan brebagai
ayat Al Quran atau diuraikan hadis. Kini saatnya menyadari makna al ihsan itu
sehingga dari kesadaran yang berdasarkan pengetahuan itu akan lahir sebuah budaya
yang melihat pekerjaan sebagai manifestasi pengabdian kepada Allah SWT.
ETHOS KERJA

PENDAHULUAN
Sudah menjadi kewajiban manusia sebagai makhluk yang memiliki banyak
kebutuhan dan kepentingan dalam kehidupannya untuk bekerja guna memenuhinya.
Seorang Muslim haruslah menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat.
Tidaklah semata hanya berorientasi pada kehidupan akhirat saja, melainkan pula untuk
memikirkan kepentingan keduniaan. Untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia
dan akhirat maka wajiblah seorang muslim untuk bekerja.

Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis,
maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang. Seseorang layak
untuk mendapatkan redikat yang terpuji seperti potensial, aktif, dinamis, produktif
atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia
benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, Al
Qur’an diturunkan sebagai “ruhan min amrina”,  yakni spirit hidup ciptaan Allah,
sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung padam, agar aktivitas hidup
manusia tidak tersesat.
Dalam al-Qur’an maupun Sunnah banyak ditemukan literatur yang
memerintahkan seorang muslim untuk bekerja dalam rangka memenuhi dan
melengkapi kebutuhan duniawi. Salah satu perintah Allah kepada umatNya untuk
bekerja termaktub dalam surat at-Taubah : 105 yang artinya “Dan katakanlah :
"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib
dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".
Islam adalah ajaran yang mendorong umatnya untuk memiliki semanagat
bekerja dan beramal, serta menjauhkan diri dari sifat malas, rasulullah SAW bersabda,
“Ya Allah aku belindung kepada-Mu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir,
hilangnya kesadaran, terlilit utang, dan dikendalikan orang lain dan aku berlindung kepadaMu
dari siksa kubur, dan fitnah (ketika) hidup dan mati. (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam
hadis lainnya, rasulullah SAW bersabda “Carilah oleh kalian semua rezeki di muka bumi”
(HR. Thabrani).1[2]
Bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan salah satu identitas manusia,
sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja
menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya

1
sebagai hambaAllah yang mengelola seluruh alam sebagai bentuk dari cara dirinya
menysukuri kenikmatan dari Allah SWT.
Apabila bekerja itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang
enggan bekerja, malas dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi diri untuk
menyatakan keimanan dalam bentuk amal kreatif, sesungguhnya dia itu melawan
fitrah dirinya sendiri, menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia, untuk
kemudian runtuh dalam kedudukan yang lebih hina dari binatang.
Cirri penting dan utama dari orang-orang mukmin yang aka berhasil dalam
hidupnya adalah kemampuannya untuk meninggalkan perbuataan yang melehirkan
kemalasan dan digantinya dengan amalanyang bermanfaat. Sebagaimana Rasulullah
SAW bersabda “dari Abu Hurairah bersabda Rasulullah , “ Sebaik-baiknya Islam seorang
adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi) 2[3]

PEMBAHASAN
Pengertian Etos Kerja Islam
Secara etimologis (bahasa) kata “etos” berarti semangat kerja yg menjadi ciri
khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Sedangkan kata “kerja” berarti
sesuatu yg dilakukan untuk mencari nafkah 3[4]. Atau istilah yang terdiri dari dua kata ;
Etos dan Kerja. Etos sendiri berasal dari Bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti sikap,
kepribadian, watak, karakter, cara berbuat, keyakinan atas sesuatu dan persepsi
terhadap nilai bekerja . Dengan kata lain, Etos adalah norma serta cara diri
mempersepsi, memandang dan meyakini sesuatu. Adapun kerja adalah sesuatu yang
setidaknya mencakup tiga hal ; (1) Dilakukan atas dorongan tanggung jawab, (2)
Dilakukan karena kesengajaan dan perencanaan dan (3) Memiliki arah dan tujuan yang
memberikan makna bagi pelakunya.4[5]
Sedangkan etos kerja dalam makna yang luas berarti menyangkut akan akhlak
dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja
sangat tergantung dari cara melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan
hakikat bekerja. Dalam Islam, iman banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain,
kerja yang merupakan bagian dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang. Idealnya,
semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak rendah. Ungkapan iman
sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal spiritual tetapi juga program aksi. 5[6]
Etos kerja Islam pada hakikatnya merupakan bagian dari konsep Islam tentang
masnusia karena etos kerja adalah bagian dari proses eksistensi diri manusia dalam
lapangan kehidupannya yang amat luas dan kompleks. Dalam (QS. Al- Baqarah : 30-33

2
3
4
5
dan QS. Hud : 61)6[7] telah dijelaskan bahwa manusia diangkat Tuhan menjadi wakil-
Nya di muka bumi agar manusia dapat memakmurkannya.7[8]
Etos kerja adalah rajutan nilai-nilai yang membentuk kepribadian seseorang
dalam bekerja. Etos kerja pada hakikatnya dibentuk dan dipengaruhi oleh system nilai-
nilai yang dianut oleh seseorang dalam bekerja, yang kemudian membentuk semangat
yang membedakannya, antara yang satu dan yang lainnya. Etos kerja Islam dengan
demikian meruakan refleksi pribadi seorang khalifah yang bekerja dengan bertumpu
pada kemampuan konseptual yang dimilkinya, bersifat kerdil dan inovatif. 8[9]
Etos kerja setidaknya mencakupi beberapa unsur penting :9[10]
1.      Etos kerja itu bersumber dan berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang tertanam
dalam jiwa seseorang. Itulah sebabnya menjadi sangat penting untuk menyeleksi setiap
nilai yang akan kita tanamkan dalam jiwa kita. Maka seorang muslim harus bisa –dan
tentu saja mau- mengisi jiwanya dengan nilai-nilai Islam, sehingga pada saat ia
mengekspresikan dan mewujudkan kerja nyatanya ia selalu melandasinya pada
semangat untuk melakukan perbaikan dan menghindarkan nilai-nilai fasad.
2.      Etos kerja adalah bukti nyata yang menunjukkan pandangan hidup seseorang yang
telah mendarah daging. Pandangan hidup yang benar tentu saja akan melahirkan etos
kerja yang lurus. Begitu pula sebaliknya
3.      Etos kerja menunjukkan pula motivasi dan dorongan yang melandasi seseorang
melakukan kerja dan amalnya. Semakin kuat dan kokoh etos kerja itu dalam diri
seseorang, maka semakin kuat pula motivasinya untuk bekerja dan beramal.
4.      Etos kerja yang kuat akan mendorong pemiliknya untuk menyiapkan rencana yang
dipandangnya dapat menyukseskan kerja atau amalnya
5.      Etos kerja sesungguhnya lahir dari tujuan, harapan dan cita-cita pemiliknya. Harapan
dan cita-cita yang kuatlah yang akan meneguhkan etos kerjanya. Cita-cita yang lemah –
walaupun di jalan yang benar- hanya akan melahirkan etos kerja yang lemah pula.

B. Karakteristik Etos Kerja Seorang Muslim


Prinsipnya segala apa yang kerjakan oleh seorang muslim adalah bernilai ibadah
di sisi Allah SWT apabila diniatkan untuk meraih ridha-Nya. Termasuk di dalamnya
rangka mencari rizki, menimba ilmu, dan lain sebagainya. Maka sungguh beruntung
sebagai seorang muslim yang apabila ia niatkan segala perbuataannya hanya untuk
meraih ridhaNya. Bekerja untuk mencari fadhilah karunia Allah, menjebol kemiskinan,
meningkatkan taraf hidup dan martabat serta harga diri adalah merupakan nilai ibadah

6
7
8
9
yang esensial, karen Nabi bersabda : “Kemiskinan itu sesungguhnya lebih mendekati
kepada kekufuran”.
Maka, melakukan segala aktifitas dengan diniatkan ibadah merupakan cirri
utama dari etos kerja seorang muslim. Hal ini dikarenakan memang manusia
diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT, “dan
tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepadaKu”.
Disamping itu pula, sebagai seorang muslim, maka budaya kerja islami bertumpu pada
akhlakul karimah, umat Islam akan menjadikan akhlak sebagai energy batin yang terus
menyala dan mendorong setiap langkah kehidupannya dalam koridor jalan yang lurus.
Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib,
maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya
bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal
ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat
individual, dimana individulah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal
masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan
umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut
dengan fardhu kifayah,sehingga lebih menjamin terealisasikannya kepentingan umum
tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral.
Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-
masing, dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam
ukuran kepentingan umum.
Cirri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tamapak
dalam kehidupan sehari-hari yang tentuya berlandaskan pada suatu keyakinan yang
sangat mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Salah satu esensi
dan hakikat dari etos kerja adalah cara seorang menghayati, memahami, cara bekerja
dengan baik.
Adapun prinsip utama seorang muslim dalam bekerja ialah:10[11]
1.      Kerja, aktifitas, ‘amal dalam Islam adalah perwujudan rasa syukur kita kepada ni’mat
Allah SWT. (QS. Saba’ [34] : 13)

Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-
hambaKu yang berterima kasih.

2.      Seorang Muslim hendaknya berorientasi pada pencapaian hasil yang baik bagi
kehidupan dunia dan akhirat. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al-
Baqarah [002] : 201

10
 dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka".
3.      Dua karakter utama yang hendaknya kita miliki: al-qawiyy (kuat) dan al-amiin (dapat
dipercaya). Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Qashash [28] : 26

salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja
(pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".

Lafadz “Al-qawiyy” merujuk kepada : reliability, dapat diandalkan. Juga berarti,


memiliki kekuatan fisik dan mental (emosional, intelektual, spiritual). Sedangkan lafadz
“al-Amiin merujuk kepada integrity, satunya kata dengan perbuatan alias jujur, dapat
memegang amanah.
4.      Kerja keras. Ciri pekerja keras adalah sikap pantang menyerah; terus mencoba hingga
berhasil. Kita dapat meneladani ibunda Ismail a.s. Sehingga seorang pekerja keras tidak
mengenal kata “gagal” (atau memandang kegagalan sebagai sebuah kesuksesan yang
tertunda). Oranfg yang bekerja keras dikelompokkan sebagai mujahid di sisi Allah SWT.
Hal ini sesuai dengan pesan RAsulullah SAW dala sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, yang artinya “Sesungguhnya Allah mencintai hanba-Nya yang bekerja
dan terampil. Barang siapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka ia serupa
dengan seorang mujahid di jlan Allah”. (HR. Ahmad), sebaliknya Islam mengutuk
perbuatan malas-malasan.11[12]
5.      Kerja dengan cerdas. Cirinya: memiliki pengetahuan dan keterampilan; terencana;
memanfaatkan segenap sumberdaya yang ada. Seperti yang tergambar dalam kisah
Nabi Sulaeman a.s.
Jika etos kerja dimaknai dengan semangat kerja, maka etos kerja seorang Muslim
bersumber dari visinya: meraih kebaikan baik di dunia dan juga di akhirat. Jika etos
kerja difahami sebagai etika kerja; sekumpulan karakter, sikap, mentalitas kerja, maka
dalam bekerja, seorang Muslim senantiasa menunjukkan kesungguhan. maka etos kerja
kaum Muslim selayaknya memperhatikan kualitas pekerjaannya. Ini artinya, dalam
bekerja karakteristik spiritual tetap terjaga dan terpelihara yakni pekerjaan itu
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.Tanggung jawab terhadap kerja berarti
kesiapan untuk bertanggung jawab di hadapan Yang Mutlak karena kerja adalah saksi
bagi semua tindakan manusia.
Apapun yang ingin kita capai harus melalui sebuah proses kerja dan ‘amal. Dan
bila para pengusung panji kedurhakaan pada Allah Azza wa Jalla juga bekerja dengan
sangat keras untuk memperbanyak pengikutnya, lalu mengapa kita –para pengusung
panji ketundukan pada Allah- tidak bekerja keras pula –setidaknya dengan ‘kekerasan’

11
yang sama dengan mereka bila kita tidak mampu (baca : mau) bekerja lebih keras
memperbanyak kafilah orang-orang yang berserah diri kepada Allah ?
Hal ini tentu saja semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa Islam sebagai
satu-satunya agama yang haq adalah agama yang menjadikan kerja dan ‘amal sebagai
salah satu bagian pentingnya. Anda bahkan tidak bisa disebut sebagai seorang mu’min
bila iman Anda hanya sebatas hati dan ucapan, namun tidak dibuktikan dalam wujud
perbuatan.
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan
moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam memuliakan setiap
pekerjaan yang baik, tanpa mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau
otot, pekerjaan halus atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara
moral di hadapan Allah. Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama,
berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif secara
sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan skala prioritas
dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian yang
mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap
Berdasarkan itu semua, maka hajat setiap muslim untuk meningkatkan kualitas
kerja dan ‘amalnya tentu semakin besar dan mendesak. Dan untuk mewujudkan hal
itu, seorang muslim tentu saja harus mempunyai etos kerja yang kokoh dan kuat yang
kemudian mendorongnya untuk bekerja dan beramal sebaik mungkin hingga
menghadap Allah SWT.

KESIMPULAN
Manusia adalah makhluk sosial. Interaksi sosial merupakan kegiatan yang sudah
menjadi kelaziman yang mewarnai kehidupan semua insan. Tidaklah bisa seorang
hidup tanpa adanya variasi hidup dan intervensi dari berbagai pihak. Tidak bisa
dibayagkan ketika hidup hanya dipenuhi dengan satu warna saja. Dalam rangka
memenuhi dan mewarnai hidup itu maka hendaklah seorang muslim khususnya harus
melakoni berbagai macam aktivitas keduniawian yang tentunya tidak berseberangan
dan linear dengan ajaran syariat agama Islam serta tidak meniggalkan dan
melanggarkan norma-norma dan nilai yang terkandung dalam agama Islam.
Karakteristik dari etos dalam bekerja yang harus dimiliki oleh seorang muslim
sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya memberikan gambaran dan tujuan
tentang bagaimana seorang muslim harus bermuamalah serta menunjukan
bahwasanya Islam memberikan aturan-aturan serta batasan-batasan yang semuanya
bertujuan membimbing manusia dan mendorong manusia menjadi seorang muslim
yang benar (shalih) dan juga yang membenarkan (muslih).

Anda mungkin juga menyukai