Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH TENTANG ETOS KERJA ISLAMI DAN

ENTERPRENEURSHIP

NAMA : NURIYATUL AINUN NISA


NIM : 221001093
TUGAS : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS REKAYASA SISTEM


Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan
pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi
ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah
yang berkenaan dengan kerja ini.
Dalam suatu ungkapan dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di
bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik
dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.”
Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan
ungkapan-ungkapan tadi. Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk
menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa
menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel
yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah.

A) Pengertian Etos Kerja


Abu Hamid memberikan pengertian bahwa etos adalah sifat, karakter, kualitas hidup,
moral dan gaya estetika serta suasana hati seseorang masyarakat.
Kerja adalah suatu aktivitas yang menghasilkan suatu karya. Karya yang dimaksud,
berupa segala yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan, dan selalu berusaha
menciptakan karya-karya lainnya.

B) Hakekat Etos Kerja


Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta
keyakinan atas sesuatu.Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya
serta sistem nilai yang diyakininya.
Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal
mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para
hakim.

C) Prinsip Dasar Etos Kerja dalam Islam


1. Bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan) baik dari jenis pekerjaan maupun
cara menjalankannya. Dicontohkan orang yang berprofesi sebagai pedagang ikan di
pasar. Namun jika pedagang tersebut melakukan hal-hal yang tidak baik (membayakan
orang lain) misalkan menjual ikan berformalin, maka dapat dikatakan profesi yang
semula halal menjadi haram (‘haram lighairihi’). Berbeda dengan orang yang berprofesi
menjadi PSK. Mau dengan alasan apapun tetap profesi PSK adalah haram (‘haram
lidzatihi’)
2. Bekerja agar tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah).
Sebagai orang beriman dilarang menjadi beban orang lain (benalu). Rasulullah pernah
menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau
kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian
mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang
mengemis kepada orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).
3. Bekerja guna memenuhi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Karena memenuhi
kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain, tidak dapat diwakilkan, dan melaksanakannya
juga termasuk dalam jihad. Hadis Rasulullah menyebutkan “Tidaklah seseorang
memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu
yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali
dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).
4. Bekerja guna meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Islam
mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum
beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras
sikap tutup mata dan telinga dari segala penderitaan di lingkungan sekitar.
Terdapat pada Al-Qur’an :
“Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian
harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).

Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi mengabaikan nasib kaum
miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Qs Al-Ma’un: 1-3)

D) Sikap Kerja Keras


Bekerja adalah bagian pokok dari hidup, hidup untuk bekerja dan bekerja untuk hidup,
bekerja secara umum adalah semua aktifitas manusia untuk memperoleh/mencapai
sesuatu. Allah swt. menciptakan alam ini untuk manusia, dan diantara tugas manusia
adalah untuk menjadi khalifah.
Khalifah mengandung arti : pemimpin, mengolah, pemanfaat dan pelestari alam, fungsi
manusia untuk mengolah dan melestarikan alam inilah yang mengharuskan untuk
bekerja keras, sebab sebagian potensi alam baru dapat dimanfaatkan secara optimal
bila telah diolah oleh manusia (dikerjakan).
Kerja keras adalah usaha maksimal untuk memenuhi keperluan hidup di dunia dan di
akhirat disertai sikap optimis. Setiap orang wajib berikhtiar maksimal untuk memenuhi
kebutuhan hidup di dunia dan akhirat. Kebutuhan hidup manusia baik jasmani maupun
rohani harus terpenuhi. Kebutuhan jasmani antara lain makan, pakaian dan tempa
tinggal sedangkan kebutuhan rohani diantaranya ilmu pengetahuan dan nasehat.
Kebutuhan itu akan diperoleh dengan syarat apabila manusia mau bekerja keras dan
berdo’a maka Allah pasti akan memberikan nikmat dan rizki-Nya.
Bekerja atau berikhtiar merupakan kewajiban semua manusia. Karena itu untuk
mencapai tujuan hidup manusia harus bekerja keras terlebih dahulu. Dalam lingkup
belajar, kerja keras sangat diperlukan sebab belajar merupakan proses ang
membutuhkan waktu. Orang akan sukses apabila ia giat belajar, tidak bermalas-
malasan.
Intinya adalah semua manusia wajib berkerja keras. Nabi Daud adalah pandai besi,
Nabi Zakariya adalah tukang kayu, Nabi Muhammad SAW adalah pengembala hingga
akhirnya ia jadi pedangang yang berhasil.
Dalam hadis disebutkan :
       ‫ِـرتِ َك َكَأ َّن َك َتـ ُم ْوتُ َغـدً ا رواه الـبيهقى‬ ُ ‫ا ِْعـ َمـلْ لِـ ُد ْنـ َيا َك َكَأ َّن َك َتعِـ ْي‬
ْ ‫ش اَ َبـ ًدا َو‬
َ ‫اعـ َمـلْ اِل خ‬
Artinya : “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya dan
bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”.QS. HR. Al
Baihaqi
E) Komponen Dasar Etos Kerja
Komponen etos kerja sangat banyak jumlahnya, komponen tersebut tidak lain
merupakan penjabaran secara garis besar dari nilai-nilai pandangan hidup suatu
kelompok masyarakat tertentu.
Iman dan Taqwa
Yang dinamakan iman adalah meyakini di dalam hati, menyatakannya dengan lesan,
dan malaksanakannya dengan perbuatan.
Kata taqwa (al-taqwa) dan kata-kata kerja serta kata-kata benda yang dikaitkan
dengannya memiliki tiga arti, menurut Abdullah Yusuf Ali pertama, takut kepada Allah,
merupakan awal dari ke’arifan. Kedua, menahan atau menjaga lidah, tangan dan hati
dari segala kejahatan. Ketiga, ketaqwaan, ketaatan dan kelakuan baik.
Setiap pribadi muslim harus menyakini bahwa nilai iman dan taqwa akan terasa
kelezatannya apabila secara nyata dimanifestasikan dalam bentuk amal sholeh atau
tindakan kreatif dan prestatif. Iman dan taqwa merupakan energi batin yang memberi
cahaya pelita untuk mewujudkan identitas dirinya sebagai bagian dari umat yang
terbaik.
Dalam Al-qur’an banyak memuat ayat yang manganjurkan taqwa dalam setiap perkara
dan pekerjaan. Ayat-ayat tentang keimanan selalu diikuti dengan ayat-ayat kerja,
demikian pula sebaliknya. Ayat seperti “orang-orang yang beriman” diikuti dengan ayat
“dan mereka yang beramal sholeh”. Jika Allah SWT ingin menyeru kepada orang-orang
mukmin dengan nada panggilan seperti “Wahai orang-orang yang beriman”, maka
biasanya diikuti oleh ayat yang berorentasi pada kerja dengan muatan ketaqwaan, di
antaranya, “keluarkanlah sebagian dari apa yang telah kami anugerahkan kepada
kamu”, “janganlah kamu ikuti/rusakkan sedekah-sedekah (yang telah kamu keluarkan)
dengan olokan-olokan dan kata-kata yang menyakitkan” ; “wahai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah”.
Keterkaitan ayat-ayat tersebut memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar
utama etos kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan
petunjuknya. Memisahkan kerja dengan iman berarti mengucilkan Islam dari aspek
kehidupan dan membiarkan kerja berjalan pada wilayah kemaslahatannya sendiri,
bukan dalam kaitannya perkembangan individu, kepatuhan dengan Allah, serta
pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etos yang harus diikutsertakan
di dalamnya, oleh karena kerja merupakan bukti adanya iman dan parameter bagi
pahala dan siksa. Hendaknya para pekerja dapat meningkatkan tujuan akhir dari
pekerjaan yang mereka lakukan, dalam arti bukan sekedar mencari upah dan imbalan,
karena tujuan utama kerja adalah demi memperoleh keridhaan Allah SWT sekaligus
berkhidmat kepada umat. Prinsip inilah yang terutama dipegang teguh oleh umat Islam,
sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Niat (komitmen)
Pembahasan mengenai pandangan Islam tentang etos kerja barang kali dapat dimulai
dengan usaha menangkap makna sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat terkenal
bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai
pelakunya, jika tujuannya tinggi (tujuan mencari ridha Allah) maka iapun akan
mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (hanya bertujuan
memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat tujuan itu pulalah nilai
kerjanya tersebut.
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan dengan tinggi
rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Dan komitmen atau niat adalah suatu bentuk
pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai (value system) yang
dianutnya. Oleh karena itu komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan
batin bagi seseorang untuk mengerjakan sesuatu dengan sunggguh-sungguh.
Nilai-nilai etos kerja yang harus dijunjung tinggi :
· Kejujuran dan kesungguhan dalam menyelesaikan tugas
· Kebersamaan dalam kelompok. Yaitu mengutamakan kepentingan kelompok dari
pada kepentingan anggota kelompok.
· Menghindari persaingan dalam kelompok.
· Memandang teman-teman sekerja sebagai teman seperjuangan
· Keserasian organisasi, yaitu hubungan antar anggota organisasi baik pimpinan
dengan pimpinan, pimpinan dengan bawahan, bawahan dengan bawahan harus serasi
dan selaras. Semua anggota organisi wajib menjaga keserasian tersebut.

F) Ciri-ciri Orang yang Memiliki Etos Kerja yang Tinggi


Ciri-ciri orang yang memiliki semangat kerja, atau etos yang tinggi, dapat dilihat dari
sikap dan tingkah lakunya, diantaranya:
· Orientasi ke masa depan. Artinya semua kegiatan harus di rencanakan dan di
perhitungkan untuk menciptakan masa depan yang maju, lebih sejahtera, dan lebih
bahagia daripada keadaan sekarang, lebih-lebih keadaan di masa lalu. Untuk itu
hendaklah manusia selalu menghitung dirinya untuk mempersiapkan hari esok.
· Kerja keras dan teliti serta menghargai waktu. Kerja santai, tanpa rencana, malas,
pemborosan tenaga, dan waktu adalah bertentangan dengan nilai Islam, Islam
mengajarkan agar setiap detik dari waktu harus di isi dengan 3 (tiga) hal yaitu, untuk
meningkatkan keimanan, beramal sholeh (membangun) dan membina komunikasi
sosial.
Berdasarkan firman Allah :
‫ص ِر‬ ْ ‫َوا ْل َع‬
‫الص ْب ِر‬ َ ‫ص ْوا ِبا ْل َحقِّ َو َت َو‬
َّ ِ‫اص ْوا ب‬ َ ‫ت َو َت َوا‬ َّ ‫سانَ لَفِي ُخ ْس ٍرِإاَّل الَّذِينَ آ َم ُنوا َو َع ِملُوا‬
ِ ‫الصال َِحا‬ َ ‫ِإنَّ اِإْلن‬
Artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran. (Q.S. Al-Ashr: 1-3)
· Bertanggung jawab.
Semua masalah diperbuat dan dipikirkan, harus dihadapi dengan tanggung jawab, baik
kebahagiaan maupun kegagalan, tidak berwatak mencari perlindungan ke atas, dan
melemparkan kesalahan di bawah.
Artinya : Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika
kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri….(Q.S. Al-Isra’: 7)
· Hemat dan sederhana. Seseorang yang memiliki etos kerja yang tinggi, laksana
seorang pelari marathon lintas alam yang harus berlari jauh maka akan tampak dari
cara hidupnya yang sangat efesien dalam mengelola setiap hasil yang diperolehnya.
Dia menjauhkan sikap boros, karena boros adalah sikapnya setan.
· Adanya iklim kompetisi atau bersaing secara jujur dan sehat.
Setiap orang atau kelompok pasti ingin maju dan berkembang namun kemajuan
itu harus di capai secara wajar tanpa merugikan orang lain.

Artinya: Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.
Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada
pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah: 148)

G) Etika Etos Kerja dalam Islam


· Pertama, melakukan pekerjaan dengan baik.
Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu
menyembah.” (QS. Al-Baqarah [2] : 172).
Dalam Hadits Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang di antara kamu yang melakukan suatu
pekerjaan dengan baik (ketekunan).” (HR. Al Baihaqi).
Dalam memilih seseorang untuk diserahi suatu tugas, Rasulullah saw melakukannya
secara selektif, di antaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan, dan kedalaman
ilmunya. Beliau juga selalu mengajak mereka agar tekun dalam menunaikan pekerjaan.
· Kedua, takwa dalam melakukan pekerjaan.
Al-Quran banyak sekali mengajarkan kita agar takwa dalam setiap perkara dan
pekerjaan. Jika Allah SWT ingin menyeru kepada orang-orang mukmin dengan nada
panggilan seperti “wahai orang-orang yang beriman,” biasanya diikuti oleh ayat yang
berorientasi pada kerja dengan muatan ketakwaan.
“…. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah
kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah [2] : 197).
Kerja mempunyai etika yang harus selalu diikutsertakan di dalamnya, oleh karena kerja
merupakan bukti adanya iman dan parameter bagi pahala dan siksa. Hendaknya para
pekerja dapat meningkatkan tujuan akhirat dari pekerjaan yang mereka lakukan, dalam
arti bukan sekedar memperoleh upah dan imbalan, karena tujuan utama kerja adalah
demi memperoleh keridhaan Allah SWT sekaligus berkhidmat kepada umat. Etika
bekerja yang disertai dengan ketakwaan merupakan tuntunan Islam.
· Ketiga, adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah, tidak menipu,
merampas, mengabaikan sesuatu, dan semena-mena.
Pekerja harus memiliki komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk
menjalankan kewajiban-kewajiban Allah, seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja
dan selalu memperbaiki muamalahnya. Di samping itu, mereka harus mengembangkan
etika yang berhubungan dengan masalah kerja sehingga menjadi suatu tradisi kerja
yang didasarkan pada prinsip-prinsip agama.
· Keempat, adanya keterikatan individu terhadap diri dan kerja yang menjadi tanggung
jawabnya.
Sikap ini muncul dari iman dan rasa takut individu terhadap Allah. Kesadaran
ketuhanan dan spiritualitasnya mampu melahirkan sikap-sikap kerja positif. Kesadaran
bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun, serta akan menghisab seluruh
amal perbuatannya secara adil dan fair, kemudian akan membalasnya dengan pahala
atau siksaan di dunia.
Allah SWT berfirman:
“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari
sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang
mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,” (QS.
Al-Kahfi [18] : 2).
· Kelima, berusaha dengan cara halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Baik, mencintai yang baik, dan tidak menerima
(sesuatu) kecuali yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-
orang mukmin sesuatu yang diperintahkan kepada para utusan-Nya.” (H.R Muslim dan
Tirmidzi).
“Mencari yang halal adalah wajib bagi setiap muslim.” (H.R Ath Thabrani)
“Empat hal sekiranya ada pada diri anda maka sesuatu yang tidak ada pada diri anda
(dari hal keduniaan) tidak membahayakan anda, yaitu menjaga amanah, berbicara
benar, berperagai baik, dan iffah dalam hal makanan.” (HR. Ahmad dan Ath Thabrani)
· Keenam, dilarang memaksakan (memforsir) seseorang, alat-alat produksi, atau
binatang dalam bekerja.
Semua harus dipekerjakan secara proporsional dan wajar, misalnya tidak boleh
mempekerjakan buruh atau hewan secara zhalim. Termasuk didalamnya penggunaan
alat-alat produksi secara terus menerus. Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya
tubuhmu mempunyai hak atas dirimu.”
Para ahli fiqih telah menegaskan pentingnya kasih sayang terhadap para pekerja dan
hewan yang dipekerjakan. Mereka yang sadar amat memperhitungkan beban yang
semestinya dipikul oleh para pekerja. Mereka melarang membebani binatang diluar
kekuatannya. Mereka menyuruh para pekerja menurunkan barang-barang muatan dari
atas punggung hewan yang mengangkutnya jika sedang istirahat, agar tidak
membahayakan. Demikian pula terhadap alat-alat produksi.
·Ketujuh, Islam tidak mengenal pekerjaan yang mendurhakai Allah.
Dalam bekerja tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam seperti
memeras bahan-bahan minuman keras, sebagai pencatat riba, pelayan bar, pekerja
seks komersial (PSK), Narkoba, dan bekerja dengan penguasa yang menyuruh
kejahatan seperti membunuh orang dan sebagainya.
Rasulullah saw bersabda :
“Tidak ada ketaatan terhadap makhluk untuk mendurhakai Sang Pencipta.” (HR.
Ahmad bin Hambal dalam Musnad-Nya dan Hakim dalam Al Mustadraknya, kategori
hadits shahih).
·Kedelapan, kuat dan dapat dipercaya (jujur) dalam bekerja.
Baik pekerja pemerintah, swasta, bekerja pada diri sendiri, ataukah di umara, para
hakim, para wali rakyat, maupun para pekerja biasa, mereka adalah orang-orang yang
disebut “pegawai tetap”. Begitupun kelompok pekerja lain, seperti tukang sepatu,
penjahit, dan lainnya ; atau para pedagang barang-barang seperti beras; atau para
petani, mereka juga harus dapat dipercaya dan kuat, khususnya mereka mandiri dalam
kategori terakhir.
·Kesembilan, bekerja secara profesional (ahli).
Aspek profesionalisme ini amat penting bagi seorang pekerja. Maksudnya adalah
kemampuan untuk memahami dan melaksankan pekerjaan sesuai dengan prinsipnya
(keahlian). Pekerja tidak cukup hanya dengan memegang teguh sifat-sifat amanah,
kuat, berakhlaq dan bertakwa, namun dia harus pula mengerti dan menguasai benar
pekerjaannnya.
Umar ra. sendiri pernah mempekerjakan orang dan beliau memilih dari mereka orang-
orang yang profesional dalam bidangnya. Bahkan Rasulullah saw mengingatkan: “Bila
suatu pekerjaan tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (al-
Hadits)

H) Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW


Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu
Rasul melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti
terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai
Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan
cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu
beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang
tidak akan pernah disentuh api neraka”.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat
Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para
sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu
dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya.
Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan para
sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun
hasanah; teladan yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang
etos kerja islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan
berbicara tentang etos kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan berbicara
bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya. Ada lima peran penting
yang diemban Rasulullah SAW, yaitu :
1) Sebagai rasul. Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut
beliau harus berdakwah menyebarkan Islam, menerima, menghapal, menyampaikan,
dan menjelaskan tak kurang dari 6236 ayat. Alquran menjadi guru (pembimbing) bagi
para sahabat dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik permasalahan umat
dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
2) Sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah masyarakat heterogen. Tatkala
memegang posisi ini Rasulullah SAW harus menerima kunjungan diplomatik “negara-
negara sahabat”. Rasul pun harus menata dan menciptakan sistem hukum yang
mampu menyatukan kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur perekonomian,
dan setumpuk masalah lainnya.
3) Sebagai panglima perang. Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin
pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai panglima perang beliau harus
mengorganisasi lebih dari 53 pasukan kaveleri bersenjata. Harus memikirkan strategi
perang, persedian logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya. sebagai
kepala rumahtangga. Dalam posisi ini Rasul harus mendidik, membahagiakan, dan
memenuhi tanggung jawab-lahir batin-terhadap para istri beliau, tujuh anak, dan
beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap
keluarganya. Di tengah kesibukannya Rasul pun masih sempat bercanda dan menjahit
sendiri bajunya.
4) Sebagai seorang pebisnis. Sejak usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah
mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang saat ini meliputi Syria,
Jordan, dan Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam
perjalanan bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain
pemain senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik
keemasan entrepreneurship Rasulullah SAW terbukti dengan “terpikatnya” konglomerat
Mekah, Khadijah binti Khuwailid, yang kemudian melamarnya menjadi suami.
Adalah kenyataan bila Rasulullah SAW mampu menjalankan kelima perannya tersebut
dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik itu
yang Muslim maupun non-Muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling
berpengaruh, paling pemberani, paling bijaksana, paling bermoral, dan sejumlah paling
lainnya.

I) Produktivitas Kerja
Produksi dalam Islam harus dikendalikan oleh kriteria objektif maupun subjektif. Kriteria
objektif tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi uang.
Sedangkan kriteria subjektif dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi
etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah al-Qur`an dan as-Sunnah.
Ekonomi Islam memahami produksi itu sebagai sesuatu yang mubah dan jelas
berdasarkan as-Sunnah. Sebab, RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam pernah
membuat mimbar. Dari Sahal berkata, “Rasulullah telah mengutus kepada seorang
wanita, (kata beliau): ‘Perintahkan anakmu si tukang kayu itu untuk membuatkan
sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa duduk di atasnya.” (Riwayat Imam
Bukhari). Pada masa Rasulullah SAW, orang-orang biasa memproduksi barang, dan
beliau pun mendiamkan aktivitas mereka. Sehingga diamnya beliau menunjukkan
adanya pengakuan (taqrir) terhadap aktivitas berproduksi mereka.
Ada 3 prinsip sebagai konsep Islam dalam membina manusia menjadi muslim produktif,
duniawi dan ukhrawi
Yang pertama, mengubah paradigma hidup dan ibadah. Dalam Islam, hidup bukanlah
sekedar menuju kematian, karena mati hanyalah perpindahan tempat, dari dunia ke
alam baqa. Sedang hidup yang sesungguhnya adalah hidup menuju kepada kehidupan
yang abadi yakni, akhirat.
Yang kedua, memelihara kunci produktifitas, yaitu hati. Hati merupakan ruh bagi semua
potensi yang kita miliki. Pikiran dan tenaga tidak akan tercurahkan serta tersalurkan
dalam suatu bentuk ‘amalan shalihan (pruduktifitas) jika kondisi hati mati atau rusak.
Hati yang terpelihara dan terlindungi akan memancarkan energi pendorong untuk
beramal lebih banyak dan lebih berkualitas
Yang ketiga, bergerak dari sekarang. Prinsip bergerak dari sekarang ini menunjukan
suatu etos kerja yang tinggi dan semangat beramal yang menggebu
Dengan bekerja (beraktifitas), itulah kunci kebahagiaan (bisa menjadi kaya). Namun
demikian, beraktifitas atau bekerja harus sesuai dengan kehendak Allah SWT, sesuai
aturan main yang telah ditetapkan al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Sebab Allah,
Rasul Nya dan orang-orang beriman melihat karya nyata setiap orang. Artinya, kerja
dan hasil yang dikerjakan merupakan manifestasi (perwujudan) keyakinan seorang
muslim bahwa produktifitas bukan hanya untuk memuliakan dirinya atau untuk
menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai perwujudan amal saleh yang
memiliki nilai ibadah yang sangat luhur, dan bermanfaat bagi orang lain. Sebagaimana
hadis yang menyatakan, “Sebaik-baik kamu adalah yang memberikan manfaat kepada
orang lain”. HR. Bukhari.

J) Etos Kerja dalam Pendidikan


Dalam al-Qur’an dan al-hadits, konsep etos kerja dalam Islam mempunyai tiga
komponen penting yaitu ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib.
Secara terminologi beberapa ahli pernah mengajukan rumusan tentang konsep
pendidikan Islam. Dalam buku Crisis in Muslim Education, Syed Sajjad Husein dan
Syed Ali As-Raff menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang melatih
perasaan murid-murid dengan begitu rupa, sehingga dalam sikap hidup, tindakan,
keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan sadar akan nilai etis Islam.
Berikut ini adalah penjelasan tentang tiga komponen tersebut:
a. Ta’lim
Istilah ta’lim adalah kata dasar (masdar) dari kata kerja ‘allama yang berarti mengajar
atau mendidik. Penggunaan istilah ta’lim tersebut untuk menyatakan pendidikan dalam
Islam. Hal ini didasarkan pada penggunaan kata kerja ‘allama dalam beberapa surat
dalam al-Qur’an, antara lain dalam surat al-Alaq ayat 1-5, surat ar-Rahman ayat 13,
Surat al-Baqarah ayat 31.
Artinya :
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Tinjauan historis menunjukkan bahwa istilah mu’allim berarti orang yang melaksanakan
kerja ta’lim, yaitu sebagai pendidik, pengajar, atau guru telah dikenal sejak awal
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan.
Istilah ta’lim memberi pengertian sebagai proses memberi pengetahuan, pemahaman,
dan tanggung jawab dan pemahaman amanah sehingga terjadi pembersihan diri
(tazkiyah) dari segala kotoran dan menjadikan dirinya dalam kondisi siap untuk
menerima hikmah serta mempelajari segala sesuatu yang belum diketahui dan berguna
baginya.
b. Tarbiyah
Istilah tarbiyah merupakan bentuk dasar dari kata kerja rabbayang berasal dari kata
rabba – yarbuu dengan pengertian dasar “tumbuh dan berkembang”. Istilah ini baru
diperkenalkan sejak timbulnya usaha-usaha pembaharuan atau modernisasi pendidikan
Islam pada awal abad 20. Penggunaan kata tarbiyah untuk pendidikan Islam atas dasar
pemikiran bahwa kata tersebut mempunyai pengertian yang sama dengan kata rabb
yang merupakan salah satu dari nama Allah yang utama. Penggunaan istilah ini
didasarkan pada beberapa ayat al-Qur’an, misalnya Surat al-Isra’ ayat 24
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
Kata rabba dalam ayat tersebut mengandung pengertian pendidikan (dalam arti
pemeliharaan, pengasuhan dan bimbingan) dari orang tua kepada anak.
c. Ta’dib
Ta’dib merupakan bentuk masdar dari kata kerja addaba yang berarti mendidik, melatih,
memperbaiki juga memberikan tindakan. Tetapi para ahli yang kurang menyukai
penggunaan istilah ta’dib mengatakan bahwa kata adab tidak memiliki makna
konsisten. Ia bisa bermakna sangat luas, menyangkut ilmu dan kebudayaan seperti
pada masa awal Islam, juga bisa bermakna sangat sempit yang hanya terbatas pada
syair dan seluk beluknya pada masa bani Abbassiyah.
Dari paparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa etos kerja dalam Islam
pendidikan mempunyai berbagai pengertian, yaitu:
a. Proses memberi pengetahuan, pemahaman, dan tanggung jawab untuk mempelajari
segala sesuatu yang berguna dan belum diketahui.
b. Pemeliharaan, pengasuhan dan bimbingan dari orang tua kepada anak.
c. Mendidik, melatih, memperbaiki juga memberikan tindakan.
Semangat dan produktivitas kerja warga masyarakat dipengaruhi oleh etos kerjanya.
Etos kerja yang tinggi akan menghasilkan semangat dan produktivitas yang tinggi. Nabi
Muhammad Saw dalam beberapa haditsnya selalu menyampaikan agar umatnya
senantiasa bekerja keras dan semangat dalam menambah berbagai ilmu pengetahuan
dan ketrampilan.
Dari berbagai hadits yang telah yang ada, diketahui bahwa Nabi Muhammad Saw
menganjurkan umatnya untuk:
a) Bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup.
b) Mencari ilmu/belajar untuk meningkatkan kualitas diri, karena orang berilmu lebih
utama daripada orang yang tidak berilmu.
c) Mengajarkan ketrampilan pada anak-anak.
Berikut ini akan diuraikan masing-masing dari hal tersebut:
a. Bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup, tentu seseorang harus bekerja. Jenis pekerjaan
yang dilakukan biasanya dipengaruhi oleh pendidikan yang dimiliki. Untuk itu setiap
orang harus berupaya untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan sesuai dengan
minat dan bakatnya. Apabila itu sudah diperoleh, langkah berikutnya adalah
melaksanakan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya dengan sungguh-sungguh
dan bersemangat. Dengan etos kerja yang tinggi, didasari oleh pendidikan dan
ketrampilan yang cukup serta kesungguhan dalam bekerja, kemungkinan besar orang
akan mampu mencukupi kebutuhan hidupnya.
Namun perlu pula diingat bahwa dalam bekerja ada norma-norma agama yang harus
diikuti, antara lain halal dan thayib; seperti yang firman Allah Swt dalam surat al-Maidah
ayat 88,
Artinya: ” Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang AllahTelah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
Karena kita diperintahkan untuk makan makanan yang halal dan thayib dari segala
sesuatu yang Allah karuniakan kepada kita, maka dalam mencari dan mendapatkan
rizki Allah juga harus dengan cara yang halal dan thayib.
b. Mencari ilmu/belajar untuk meningkatkan kualitas diri.
Untuk meningkatkan kualitas diri salah satu caranya adalah dengan belajar atau
menuntut ilmu, yang itu bisa diperoleh melalui pendidikan. Keberhasilan seseorang
dalam belajar dipengaruhi antara lain oleh motivasi/dorongan untuk belajar yang kuat.
Motivasi adalah suatu keadaan yang kompleks dan kesiapsediaan dalam diri individu
untuk bergerak ke arah tujuan tertentu, baik disadari atau tidak disadari. Sukmadinata
(2004) menyebutkan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh guru untuk
meningkatkan motivasi belajar muridnya, antara lain yaitu:
· Menjelaskan manfaat dan tujuan dari pelajaran yang diberikan. Motivasi belajar murid
akan tumbuh bila ia betul-betul mengerti dan merasakan bahwa apa yang dia pelajari
jelas manfaat dan tujuannya.
· Memilih materi atau bahan pelajaran yang dibutuhkan murid, serta cara penyajiannya
yang bervariasi. Hal ini akan menarik minat murid, dan minat merupakan salah satu
bentuk motivasi.
· Memberikan kesempatan pada murid untuk sukses. Tugas, latihan, pertanyaan, dan
sebagainya hendaklah yang kira-kira bisa dikerjakan oleh semua murid. Kesuksesan
yang dicapai oleh murid akan mampu membangkitkan motivasi murid untuk terus
meningkatkan kemampuannya.
· Memberikan penghargaan, pujian dan ganjaran untuk keberhasilan murid. Hal ini akan
membuat murid senang dan bangga akan prestasinya. Rasa senang akan memotivasi
murid untuk terus belajar.
c. Mengajarkan ketrampilan pada anak-anak.
Ketrampilan sangat berguna bagi semua orang. Memiliki ketrampilan tertentu akan
membantu seseorang dalam kehidupannya. Untuk memperoleh ketrampilan yang
diinginkan, guru hendaknya memberikan kesempatan yang luas pada muridnya untuk
mempraktikkan ketrampilan yang sedang dipelajari. Pendidikan hendaknya tidak
memisahkan antara teori dan praktik, karena akan menjadikannya tidak efektif. Belajar
dengan menggunakan lebih dari satu indra akan lebih mudah diingat dan difahami oleh
murid. Hal ini sebagaimana slogan sepatu Nike yang menyatakan : “Praktekkan saja!
Anda belajar berbicara dengan berbicara. Anda belajar berjalan dengan berjalan. Anda
belajar bermain golf dengan bermain golf. Anda belajar mengetik dengan mengetik.
Anda belajar paling baik dengan mempraktikkannya”.

Anda mungkin juga menyukai