Anda di halaman 1dari 17

ETOS KERJA DALAM ISLAM

A. Pendahuluan
Agama diturunkan di dunia ini untuk membawa rahmat bagi umat manusia,
misi ini diperuntukkan kepada seluruh lapisan masyarakat, sebagaimana tertuang
dalam (Al-Hujurat :13) dengan harapan agar menjadi umat yang kuntum khaira
umah ukhrijat linnasi (Ali Imran: 104). Dengan memotivasi untuk menjadi
pemberontak terhadap kemiskinan, kemunafikan, membuat kekhilafahan dalam
peradaban umat manusia. Rasul mengajarkan tangan yang di atas lebih baik dari
tangan yang di bawah, mukmin yang kuat lebih di cintai daripada mukmin yang
lemah. Allah SWT. Lebih menyukai mukmin yang bekerja keras. Ini merupakan
indikator bahwa Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk membangun etos
kerja yang Islami yang dapat membawa keselamatan di dunia dan akhirat.
Namun bila ditilik fenomena saat ini. Di negara-negara maju banyak para
pekerja keras mereka siang malam malang melintang mencari nafkah untuk meng-
hidupi dirinya dan berusaha berprestasi, mengumpulkan harta sebanyakbanyaknya,
namun setelah mendapat yang diinginkan dengan perolehan uang yang banyak tidak
mencapai kepuasan sebagai bukti tatanan kehidupan ekonomi semakin melebar antara
kaya dan miskin, dominasi tekhnologi komunikasi telah melebar merampas nilai-nilai
budaya lokal yang plural, budaya global telah mewarnai gaya hidup bangsa ini, seperti
gaya suporter pertandingan sepakbola, yang ditiru etos kerja yang tak membawa
keberkahan hidup seperti para suporter wajahnya dicoreng-coreng, begitu ada seorang
wanita yang mempertontonkan auratnya mereka begitu bangga dengan apa yang
dilakukan ia mengira semangat yang dilakukan dapat membawa keberkahan, para
pemuda melakukan pentas sex, melakukan penyalahgunaan obat terlarang, laki-laki
menyerupai wanita begitu juga wanita menyerupai laki-laki. Sehingga umat Islam
kehilangan identitas diri karena etos kerja yang dibangun keluar dari aturan Allah
SWT.
Ini menunjukkan bahwa antara keinginan Allah dan RasulNya berbeda jauh
dengan kenyataan kondisi masyarakat ini. Manusia seringkali tidak sejalan dengan
petunjuk Allah SWT. Maka dalam melakukan tugas hidup ini etos kerja yang
dibangun tidak membawa kemuliaan dan keagungan pada sendiri dan dihadapan
Allah SWT, sehingga walaupun kekayaan melimpah ruah dengan fasilitas yang
lengkap tetap mengalami penderitaan kekeringan spiritual.
PENGERTIAN ETOS KERJA

A. Pengertian Etos
Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepriba-
dian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki
oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat, etos di bentuk oleh
berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dalam
etos tersebut ada semacam semangat untuk menyempurnakan segala sesuatu dan
menghindari kerusakan (fasad), sehingga setiap pekerjaannya diarahkan untuk
mengurangi bahkan menghilangkan sama sekali cacat dari hasil pekerjaan. Sikap
demikian di kenal dalam Islam aspek ikhsan yang ditemukan dalam Al-Quran
kata itqan yang berarti proses pekerjaan yang sangat bersungguh, akurat, dan
sempurna (An-Naml :88) akibatnya, seorang muslim yang memiliki kepribadian
Qurani pastilah akan menunjukkan etos kerja yang bersikap dan berbuat serta
menghasilkan segala sesuatu secara sangat sungguh-sungguh dan tidak pernah
mengerjakan sesuatu setengah hati. Dengan etos kerja yang bersumber dengan
keyakinan Qurani ada semacam keterpanggilan yang sangat kuat dari lubuk hati,
Aku ini seorang muslim, aku ini wakil Tuhan di muka bumi, apakah pantas kerja
setengah-setengah, apakah pantas seorang khalifah menun-jukkan hasil kerja yang
tidak berkualitas. Bila Allah berbuat ikhsan juga. Sebagaimana firman Allah
SWT, dan berbuat baiklah (ikhsan) sebagaimana Allah telah berbuat baik
(ikhsan) kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka bumi),
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang berbuat kerusakan (Al-
Qasas: 77).

B. Pengertian Kerja
Makna kerja bagi seorang muslim adalah sesuatu upaya yang sungguh-
sungguh, dengan mengerjakan seluruh aset, pikir dan zikir untuk
mengaktualisasikan arti dirinya sebagai bahagian dari hamba Allah yang terbaik
bagi masyarakat yang terbaik dalam Al-Quran diuraikan : Sesungguhnya, kami
telah menciptakan apa yang dilangit dan yang ada di bumi sebagai perhiasan
baginya, supaya kami, menguji, mereka siapakah yang terbaik amalnya. (Al-
Kahfi : 7).
Ayat ini mengetuk hati setiap pribadi muslim untuk mengaktualisasikan etos
kerja dalam bentuk mengerjakan segala sesuatu dengan kualitas yang tinggi,
mereka sadar bahwa untuk berjumpa dengan Allah dengan hanya melakukan
perbuatan amal sebagaimana firmannya ;
......Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya
dia mengerjakan amal saleh dan jangan dia mempersekutukan Tuhan dalam
beribadah dengan sesuatu apapun (Al-Kahfi : 10).
Ada sebuah yang menarik di simak kisah pada suatu saat, Saad bin Muadz al-
Ansyari berkisah bahwa ketika Nabi saw. Baru kembali dari perang Tabuk, beliau
melihat tangan Saad yang melepuh kulitnya gosong kehitam-hitaman karena
diterpa sengatan matahari kanapa tanganmu? Rasulullah saw. bertanya: karena
aku me-ngolah tanah dengan cangkul ini tidak untuk mencari nafkah keluarga
yang menjadi tanggunganku. Rasullulah saw, mengambil tangan Saad dan
menciumnya seraya berkata, inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api
neraka. Dalam riwayat lain, setelah mencium tangan seorang pekerja beliau
bersabda hasdzihi yadun yuhi-bbuhullahu wa rasulullahu, inilah yang dicintai
Allah dan RasulNya. (At-Tabrani).
Bahwa dalam etos kerja yang Islami ada semacam kandungan spirit atau
semangat untuk mengubah sesuatu menjadi lebih bermakna lebih dalam orang
yang mempunyai etos kerja ia tidak mungkin membiarkan dirinya untuk
menyimpang atau membiarkan penyimpangan yang akan membinasakan
kebaikan.

Sabda Rasullah:
Barangsiapa di antara kamu melihat terjadinya kemungkaran hendaklah kamu
cegah dengan tangan, apabila tidak sanggup dengan tangan, hendaklah dengan
lidah dan apabila tidak sanggup dengan lidah, cegahlah dengan hati, tetapi yang
terakhir ini adalah selemah-lemah iman (HR. Muslim).

Etos kerja muslim semangat untuk menapaki jalan lurus dengan mengambil
peran pemimpin sebagai pemegang amanah termasuk para hakim harus
berlandaskan pada etos kerja yang diridhoi oleh Allah SWT (jalan lurus).
Sebagaimana Daud di amanat pertanggungjawaban untuk mengambil keputusan
secara adil dan berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Berkaitan dengan ini
Allah SWT mendekritkan Maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami
dengan adil dan janganlah kamu me-nyimpang dari kebenaran dan petunjuk
(pimpinlah) kami ke jalan yang benar. (Shaad: 22).
Etos kerja Islam mempunyai implikasi pada setiap manusia untuk selalu
konsisten terhadap ajaran Al-Quran dan Al-Hadist walaupun dalam keadaan
gembira atau susah untuk mengejar dan memburu sebagai manusia yang bertaqwa
bila hal ini bisa dilakukan, maka tidak ada adanya penindasan kekerasan,
kerusuhan, perpecahan, perusakan, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan
pelanggaran HAM dan KKN.
Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk
bisa menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung
dari cara melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja.
Dalam Islam, iman banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang
merupakan bagian dari amal tidak lepas dari kaitan iman seseorang. Idealnya,
semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak rendah. Ungkapan
iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal spiritual tetapi juga program
aksi.
Artikel ini sendiri akan melihat pertama, kerja sebagai manifestasi program
mewujudkan tujuan hidup di muka bumi yakni mencari Ridha Allah dengan
mewujudkan diri sebagai khalifah di muka bumi. Kedua, karakteristik pekerjaan
di masa datang yang diperlukan umat Islam.

B. Manifestasi Mencari Ridha Allah
Sebenarnya umat Islam termasuk beruntung karena semua pedoman dan panduan sudah
terkodifikasi. Kini tinggal bagaimana menterjemahkan dan menerapkan dalam kegiatan
sehari-hari. Jika kita pandang dari sudut bahwa tujuan hidup itu mencari Ridha Allah SWT
maka apapun yang dikerjakannya, apakah di rumah, di kantor, di ruang kelas, di
perpustakaan, di ruang penelitian ataupun dalam kegiatan kemasyarakatan, takkan lepas dari
kerangka tersebut, artinya: setiap pekerjaan yang kita lakukan, dilaksanakan dengan sadar
dalam kerangka pencapaian Ridha Allah. Cara melihat seperti ini akan memberi dampak,
misalnya, dalam kesungguhan menghadapi pekerjaan. Jika seseorang sudah meyakini bahwa
Allah SWT sebagai tujuan akhir hidupnya maka apa yang dilakukannya di dunia tak
dijalankan dengan sembarangan. Ia akan mencari kesempurnaan dalam mendekati kepada Al
Haq. Ia akan mengoptimalkan seluruh kapasitas dan kemampuan inderawi yang berada pada
dirinya dalam rangka mengaktualisasikan tujuan kehidupannya. Ini bisa berarti bahwa dalam
bekerja ia akan sungguh-sungguh karena bagi dirinya bekerja tidak lain adalah ibadah,
pengabdian kepada Yang Maha Esa. Lebih seksama lagi, ia akan bekerja dalam bahasa
populernya secara profesional.
Apa sebenarnya profesional itu ? Dalam khasanah Islam mungkin bisa dikaitkan
dengan padanan kata ihsan. Setiap manusia, seperti diungkapkan Al- Quran, diperintahkan
untuk berbuat ihsan agar dicintai Allah. Kata Ihsan sendiri merupakan salah satu pilar
disamping kata Iman dan Islam. Dalam pengertian yang sederhana, ihsan berarti kita
beribadah kepada Allah seolah-olah Ia melihat kita. Jikalau kita memang tidak bisa melihat-
Nya, tetapi pada kenyataannya Allah menyaksikan setiap perbuatan dan desir kalbu kita.
Ihsan adalah perbuatan baik dalam pengertian sebaik mungkin atau secara optimal.
Hal itu tercermin dalam Hadis Riwayat Muslim yang menuturkan sabda Rasulullah
SAW : Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu. Karena itu jika kamu
membunuh, maka berihsanlah dalam membunuh itu dan jika kamu menyembelih, maka
berihsanlan dalam menyembelih itu dan hendaknya seseorang menajamkan pisaunya dan
menenangkan binatang sembelihannya itu.
Menurut Nurcholis Madjid, dari konteks hadis itu dapat disimpulkan bahwa ihsan
berarti optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin, bahkan
sesempurna mungkin. Penajaman pisau untuk menyembelih itu merupakan isyarat efisiensi
dan daya guna yang setinggi-tingginya. Allah sendiri mewajibkan ihsan atas segala sesuatu
seperti tercermin dalam Al Quran. Yang membuat baik, sebaik-baiknya segala sesuatu yang
diciptakan-Nya. (32:7).
Selanjutnya Allah juga menyatakan telah melakukan ihsan kepada manusia, kemudian
agar manusia pun melakukan ihsan. Dan carilah apa yang dianugerahkan kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dunia, dan
berbuat ihsanlah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu , dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan. (28:77).
Dari keterangan hadis dan uraian Al Quran jelaslah bahwa setiap Muslim harus
menjadi seorang pekerja yang profesional. Dengan demikian ia melaksanakan salah satu
perintah Allah untuk berbuat ihsan dan juga mensyukuri karunia Allah berupa kekuatan akal
dan fisiknya yang diberikan sebagai bekal dalam bekerja. Mengabaikan potensi akal dan fisik
ini atau tidak menajamkannya bisa bermakna tidak mensyukuri nikmat dan karunia Ilahi
Rabbi.

C. Karakteristik pekerjaan mendatang
Berbagai trend telah memperlihatkan bahwa bentuk pekerjaan mendatang tidak hanya
mengandalkan fisik tetapi juga otak. Al Quran dalam berbagai ayat sudah mengajak manusia
untuk berpikir, membandingkan dan menggunakan akal dalam menghayati kehidupan dan
mengarungi samudera kehidupan. Peter Drucker, salah seorang pakar manajemen, tahun
1960-an sudah memperingatkan akan datangnya Knowledge Society.
Dalam masyarakat jenis ini banyak bentuk kegiatan ekonomi dan pekerjaan dilakukan
berdasarkan kepadatan pengetahuan. Ia memberi contoh mengetik. Dulunya dengan
memencet tuts orang bisa membuat kalimat, tetapi sekarang dengan adanya komputer
sebelum memencet tuts harus dimiliki serangkaian pengetahuan cara bekerja perangkat
lunaknya.
Pakar manajemen lainnya seperti Charles Handy, Michael Hammer atau Gary Hamel
ataupun futurolog seperti John Naisbit dan Alvin Tovler sudah meramalkan jauh-jauh hari
akan datangnya jenis pekerjaan otak ini. Dalam ungkapan Handy, aset sebuah organisasi
tidak lagi terletak pada properti atau benda-benda fisik lainnya tetapi pada sumber daya
manusia. Dan inti dari sumber daya manusia itupun adalah otaknya.
Sebenarnya kalau kita cermat, Al Quran sudah mengisyaratkan akan lahirnya
masyarakat pengetahuan itu dengan ungkapan di ayat pertama, Iqra. Hanya tinggal
manifestasi saja bagaimana Iqra itu menjadi jalan kehidupan umat Islam, bukan sebagai
jargon yang yang dilafalkan.Membumikan istilah Iqra itulah merupakan tantangan umat
Islam sehingga tidak ketinggalan dalam budaya masyarakat pengetahuan.
Mengutip istilah Deputi PM Anwar Ibrahim, umat Islam itu harus mampu menyumbangkan
bagi peradaban yang hidup di dunia, sejajar dengan peradaban lainnya. Dengan demikian etos
kerja harus merupakan bagian dari tradisi umat Islam, bukan tradisi masyarakat lain.
Sering muncul pernyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki etos kerja yang rendah.
Secara sosiologis kita harus mengakui bahwa umat Islam merupakan bagian terbesar dari
bangsa ini. Bertolak dari realita ini, umat Islam Indonesia dengan ajaran Islamnya merupakan
kelompok yang pertama kali bertanggungjawab terhadap pembinaan dan pengembangan etos
kerja bangsa tercinta.
Etos kerja yang rendah ini, ber-implikasi menempatkan umat Islam dalam ekonomi.
Kelompok terbesar dari bangsa ini sering dikalahkan dalam bidang ekonomi oleh kelompok
minoritas tanpa rnelalui perebutan kekuasaan, tetapi cukup melalui solidaritas antara sesama
mereka. Untuk melakukan perbaikan ekonomi ini, etos kerja yang tinggj perlu dimiliki,
seperti peningkatan sumber daya manusia.

Padahal Rasulullah yang menjadi tokoh sentral umat Islam adalah seorang pengemban
amanah yang luar biasa universal dan multikomplek. Beliau seorang pemimpin negara,
Kepala rumah tangga, narasumber dari berbagai permasalahan umat, seorang pengusaha,
Abdul yatama (bapak dari banyak anak asuh) dll. Seluruh amanah tersebut sangat mustahil
dapat terselesaikan tanpa didukung dengan etos kerja yang baik. Maka saat kita berbicara
tentang etos kerja Islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi contoh
bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya.

D. Konsep Kerja dalam Islam
Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang
gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (al-
Quran Surat At-Taubah ayat 105)
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka mengubah
apa yang ada pada dirinya. (al-Quran Surat Ar-Radu ayat 11). dan bahwasannya seorang
manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (al-Quran Surat Al-
Najm ayat 39).
Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu,
sesuatu amalan atau pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat
penting serta patut untuk diberi perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain
memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu
merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak,
apakah masuk golongan ahli surga atau sebaliknya. Istilah kerja dalam Islam bukanlah
semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan
menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal
lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur
kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Islam menempatkan kerja atau amal sebagai kewajiban setiap muslim. Kerja bukan
sekedar upaya mendapatkan rezeki yang halal guna memenuhi kebutuhan hidup, tetapi
mengandung makna ibadah seorang hamba kepada Allah, menuju sukses di akhirat kelak.
Oleh sebab itu, muslim mesti menjadikan kerja sebagai kesadaran spiritualnya.
Dengan semangat ini, setiap muslim akan berupaya maksimal dalam melakukan
pekerjaannya. la berusaha menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaan yang menjadi
tanggungjawabnya dan berusaha pula agar setiap hasil kerjanya menghasilkan kualitas yang
baik dan memuaskan. Dengan kata lain, ia akan menjadi orang yang terbaik dalam
setiap bidang yang ditekuninya. Ada dua tahapan yang harus dilakukan seseorang agar
prestasi kerja meningkat dan kerjapun bernilai ibadah.
1. Kerja Ikhlas : Betapa banyak para pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya dengan
tekun, cerdas, gigih dan penuh tanggungjawab namun jauh dari nilai-nilai keikhlasan
akhirnya menjadi petaka. Bekerja dengan dilandasi keikhlasan adalah suatu keharusan
agar materi dari hasil kerja didapat sementara pahala diraih. Sesuai dengan doa yang
seringkali dibaca fiddunya hasanah wafil akhiroti hasanaDan katakanlah :
Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan (al-Quran Surat At-Taubah ayat 105)
2. Kerja keras dan cerdas : Ukuran kerja keras adalah kesempatan berbuat, tanpa
pamrih, bekerja maksimal dan Kepasifan dalam menghadapi pekerjaan membatasi
seseorang tidak berusaha meningkatkan kemampuan profesionalismenya.
Profesionalisme biasanya dijadikan ukuran dalam peningkatan prestasi di setiap
pekerjaan. Dalam mengerjakan sesuatu, seorang muslim selalu melandasinya dengan
mengharap ridha Allah. Ini berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu
dengan sembrono, sikap seenaknya, dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan
ini, optimalisasi nilai hasil kerja berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan
dengan etos kerja, yaitu melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna
mungkin atau seoptimal mungkin
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka
mengubah apa yang ada pada dirinya. (al-Quran Surat Ar-Radu ayat 11).
dan bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya. (al-Quran Surat Al-Najm ayat 39).
Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan
tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang
lain. Oleh karena itu, kategori ahli Syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Quran
bukanlah orang yang mempunyai pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu
perusahaan/instansi sebagai manajer, direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan
sebagainya. Tetapi sebaliknya Al-Quran menggariskan golongan yang baik lagi beruntung
(al-falah) itu adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur
katanya, memelihara pandangan dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab
sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya.
Golongan ini mungkin terdiri dari pegawai, supir, tukang sapu ataupun seorang yang
tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sifat-sifat di ataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan
dan kedudukan seseorang di dunia dan di akhirat kelak. Jika membaca hadits-hadits
Rasulullah SAW tentang ciri-ciri manusia yang baik di sisi Allah, maka tidak heran bahwa
diantara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka yang
memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan
sunnah yang banyak dan seumpamanya.

E. Etos Kerja Rasulullah Sebagai Uswah
Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan.
Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih
keridaan Allah SWT.Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Saad bin Muadz Al-
Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Saad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman
seperti terpanggang matahari. Kenapa tanganmu?, tanya Rasul kepada Saad. Wahai
Rasulullah, jawab Saad, Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul
itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku. Seketika itu beliau
mengambil tangan Saad dan menciumnya seraya berkata, Inilah tangan yang tidak akan
pernah disentuh api neraka.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat
Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat
kemudian bertanya, Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat
digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya. Mendengar itu Rasul pun
menjawab, Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi
sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu
adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-
minta, itu juga fi sabilillah. (HR Ath-Thabrani).
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah
ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja.
Bukankah Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya?
Kisah di awal menggambarkan betapa besarnya penghargaan Rasulullah SAW
terhadap kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan
agama. Demikian besarnya penghargaan beliau, sampai-sampai dalam kisah pertama,
manusia teragung ini rela mencium tangan Saad bin Muadz Al-Anshari yang melepuh
lagi gosong. Rasulullah SAW, dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada umatnya
bahwa bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan
para sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun
hasanah; teladan yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja
islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan berbicara tentang etos
kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-
peran dalam hidupnya. Ada lima peran penting yang diemban Rasulullah SAW, yaitu :
1. Sebagai Rasul. Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut
beliau harus berdakwah menyebarkan Islam; menerima, menghapal, menyampaikan,
dan menjelaskan tak kurang dari 6666 ayat Alquran; menjadi guru (pembimbing) bagi
para sahabat; dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik permasalahan
umat-dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
2. Sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah masyarakat heterogen. Tatkala
memegang posisi ini Rasulullah SAW harus menerima kunjungan diplomatik
negara-negara sahabat. Rasul pun harus menata dan menciptakan sistem hukum
yang mampu menyatukan kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur
perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.
3. Sebagai panglima perang. Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin
pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai panglima perang beliau harus
mengorganisasi lebih dari 53 pasukan kaveleri bersenjata. Harus memikirkan strategi
perang, persedian logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya.
4. Sebagai kepala rumahtangga. Dalam posisi ini Rasul harus mendidik,
membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab-lahir batin-terhadap para istri
beliau, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang
sangat perhatian terhadap keluarganya. Di tengah kesibukannya Rasul pun masih
sempat bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
5. Sebagai seorang pebisnis. Sejak usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah
mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang saat ini meliputi
Syria, Jordan, dan Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit
dalam perjalanan bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan
pemain pemain senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun
merupakan titik keemasan entrepreneurship Rasulullah SAW terbukti dengan
terpikatnya konglomerat Mekah, Khadijah binti Khuwailid, yang kemudian
melamarnya menjadi suami. Afzalurrahman dalam bukunya, Muhammad Sebagai
Seorang Pedagang (2000: 5-12), mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam
perjalanan bisnis ke berbagai negeri seperti Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau
mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun. Adalah
kenyataan bila Rasulullah SAW mampu menjalankan kelima perannya tersebut
dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik
itu yang Muslim maupun non-Muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang
paling berpengaruh.
Para sahabat juga memberikan contoh bagaimana mereka bersikap mandiri, selama
sesuatu itu bisa dia kerjakan sendiri maka dia tidak akan meminta tolong orang lain
untuk mengerjakannya. Contohnya, ketika mereka menaiki unta dan ada barangnya
yang jatuh maka mereka akan mengambilnya sendiri tidak meminta tolong lain.
1. Memenuhi kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya adalah
kewajian bagi seorang muslim, hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
:) (
.
Rasulullah saw bersabada, Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia
menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. (HR. Ahmad, Abu
Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal yang harus diutamakan, baru kemudian
pada lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang lebih luas.
2. Kepentingan seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya,
sebagaimana disebutkan dalam hadist berikut :
:

Dari Anas, Rasulullah saw bersabda, Tidaklah seorang mukmin menanam tanaman,
atau menabur benih, lalu burung atau manusia atau hewan pun makan darinya
kecuali pasti bernilai sedekah baginya. (HR Bukhari)
Dalam era modern ini banyak sekali pekerjaan kita yang bisa bernilai sebagai amal
jariyah. Misalnya kita membuat aplikasi atau tekhnologi yang berguna bagi umat
manusia. Karenanya umat Islam harus cerdas agar bisa menghasilkan pekerjaan-
pekerjaan yang bernilai amal jariyah.
3. Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam sangat menghargai pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita
yakin tidak akan pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan
untuk bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa
dilihat dari hadist berikut :
:
,
Dari Anas RA, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, Jika hari kiamat terjadi,
sedang di tanganmu terdapat bibit tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat
menanamnya, maka tanamlah (HR Bukhari dan Muslim).[3]


Ciri - Ciri Etos Kerja Islami
Dan dalam batas-batas tertentu, ciri-ciri etos kerja islami dan ciri-ciri etos kerja tinggi
pada umumnya banyak keserupaannya, utamanya pada dataran lahiriahnya. Ciri-ciri
tersebut antara lain :
1. Baik dan Bermanfaat
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat
bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan
mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok.
2. Kemantapan atau perfectness
Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca:
Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami yang berarti pekerjaan
mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan
dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus
menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.
3. Kerja Keras, Tekun dan Kreatif.
Kerja keras, yang dalam Islam diistilahkan dengan mujahadah dalam maknanya yang
luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah istifragh ma fil wusi, yakni
mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap
pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi
sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala
sumber daya yang diperlukan, tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta
mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah
ridhai.
4. Berkompetisi dan Tolong-menolong
Al-Quran dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal
shalih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qurani yang
bersifat amar atau perintah, seperti fastabiqul khairat (maka, berlomba-lombalah
kamu sekalian dalam kebaikan. Oleh karena dasar semangat dalam
kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka
wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan
tetapi, untuk saling membantu (taawun).
5. Objektif (Jujur)
Sikap ini dalam Islam diistilahkan dengan shidiq, artinya mempunyai kejujuran dan
selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan dengan nilai-nilai yang benar
dalam Islam. Tidak ada kontradiksi antara realita dilapangan dengan konsep kerja
yang ada. Dalam dunia kerja dan usaha kejujuran ditampilakan dalam bentuk
kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan waktu, janji, pelayanan, mengakui
kekurangan, dan kekurangan tersebut diperbaiki secara terus-menerus, serta menjauhi
dari berbuat bohong atau menipu
6. Disiplin atau Konsekuen
Selanjutnya sehubungan dengan ciri-ciri etos kerja tinggi yang berhubungan dengan
sikap moral yaitu disiplin dan konsekuen, atau dalam Islam disebut dengan amanah.
Sikap bertanggungjawab terhadap amanah merupakan salah satu bentuk akhlaq
bermasyarakat secara umum, dalam konteks ini adalah dunia kerja. Allah
memerintahkan untuk menepati janji adalah bagian dari dasar pentingnya sikap
amanah.Janji atau uqud dalam ayat tersebut mencakup seluruh hubungan, baik dengan
Tuhan, diri sendiri, orang lain dan alam semesta, atau bisa dikatakan mencakup
seluruh wilayah tanggung jawab moral dan sosial manusia. Untuk menepati amanah
tersebut dituntut kedisiplinan yang sungguh-sungguh terutama yang berhubungan
dengan waktu serta kualitas suatu pekerjaan yang semestinya dipenuhi.
7. Konsisten dan Istiqamah
Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran sehingga
menghasilkan sesuatu yang maksimal. Istiqamah merupakan hasil dari suatu proses
yang dilakukan secara terus-menerus. Proses itu akan menumbuh-kembangkan suatu
sistem yang baik, jujur dan terbuka, dan sebaliknya keburukan dan ketidakjujuran
akan tereduksi secara nyata. Orang atau lembaga yang istiqamah dalam kebaikan akan
mendapatkan ketenangan dan sekaligus akan mendapatkan solusi daris segala
persoalan yang ada. Inilah janji Allah kepada hamba-Nya yang konsisten/istiqamah.
8. Percaya diri dan Kemandirian
Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang
merdeka, karena jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam penjara nafsunya sendiri,
sehingga dia tidak pernah mampu mengaktualisasikan aset dan kemampuan serta
potensi ilahiyah yang ia miliki yang sungguh sangat besar nilainya. Semangat
berusaha dengan jerih payah diri sendiri merupakan hal sangat mulia posisi
keberhasilannya dalam usaha pekerjaan.
9. Efisien dan Hemat
Agama Islam sangat menghargai harta dan kekayaan. Jika orang mengatakan bahwa
agama Islam membenci harta, adalah tidak benar. Yang dibenci itu ialah
mempergunakan harta atau mencari harta dan mengumpulkannya untuk jalan-jalan
yang tidak mendatangkan maslahat, atau tidak pada tempatnya, serta tidak sesuai
dengan ketentuan agama, akal yang sehat dan urf (kebiasaan yang baik). Demi
kemaslahatan harta tersebut, maka sangat dianjurkan untuk berperilaku hemat dan
efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang dicapai juga maksimal. Namun sifat
hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan sifat yaitu kikir atau bakhil.
Sebagian ulama membatasi sikap hemat yang dibenarkan kepada perilaku yang
berada antara sifat boros dan kikir, maksudnya hemat itu berada di tengah kedua sifat
tersebut. Kedua sifat tersebut akan berdampak negatif dalam kerja dan kehidupan,
serta tidak memiliki kemanfaatan sedikit pun, padahal Islam melarang sesorang untuk
berlaku yang tidak bermanfaat.







F. Kesimpulan

Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah
ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja.
Bukankah Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepadaNya
Seorang muslim dalam mengerjakan sesuatu selalu melandasinya dengan mengharap
ridha Allah. Ini berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sembrono,
sikap seenaknya, dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil
kerja berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan
pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin. Allah
mewajibkan atas segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya, Yang membuat segala sesuatu
yang Dia ciptakan sebaik-baiknya. (QS. As-Sajdah ayat 7).
Selain itu muslim pun dalam dianjurkan mengerjakan sesuatu secara sungguh-
sungguh dan teliti sehingga rapi, indah, tertib dan bersesuaian dengan yang lain dari bagian-
bagiannya. Allah SWT berfirman, Seni ciptaan Allah yang membuat dengan teliti (atqana)
segala sesuatu (QS. An-Naml ayat 88).












Daftar Pustaka
http://evaluasihasil.blogspot.com/2012/12/etos-kerja-dalam-islam.html
http://soeharnoismail.wordpress.com/2012/11/21/makalah-hadist-tentang-etos-kerja-dalam-
islam/
http://www.youtube.com/results?search_query=etika+kerja+profesional&sm=3
http://mujihadin87.blogspot.com/2013/02/makalah-etos-kerja.html

Anda mungkin juga menyukai