Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan
pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi
ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah
yang berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya : “Bekerjalah untuk duniamu seolah - olah kamu akan hidup selama-lamanya
dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”.(HR. Al
Baihaqi)
Amalan di dunia ini bukan semata-mata untuk kepentingan manusia secara
individual saja, tetapi untuk kemaslahatan seluruh manusia dan ketertiban kehidupan
manusia. Tidaklah pantas bagi manusia hidup di dunia ini sekedar untuk mengambil dan
tidak pernah memberi sesuatu hasil dari jerih payahnya. Kerja dan pekerjaan merupakan
suatu aspek kehidupan manusia guna mewujudkan kemakmuran hidupnya.
Bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan salah satu identitas manusia,
sehingga bekerja yang didasarkan prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan
fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabatnya sebagai Abdullah
(hamba Allah) yang mengelola seluruh alam sebagai bentuk dari cara dirinya
mensyukuri kenikmatan dari Allah Rabbul 'alamin. Di antara manusia ada yang enggan
bekerja dan berusaha dengan alasan bertawakal dan pasrah kepada allah SWT.
Menunggu rezeki dari langit. Mereka salah memahami ajaran Islam, pasrah kepada
Allah tidak berarti meninggalkan amal dan usaha yang merupakan sarana untuk
memperoleh rezeki. Dengan demikian sangat besar tuntutan untuk bekerja, tidak ada
alasan lagi bahwa kaum muslimin berada dalam kemunduran, pengangguran,
kemiskinan dan keterbelakangan. Terlihatnya realita kehidupan umat seperti
kemunduran, pengangguran, kemiskinan dan keterbelakangan ternyata melahirkan
sinyalemen bahwa keadaan umat yang demikian dikarenakan umat muslim tersebut
menderita kelemahan etos kerja.

1
Masalah etos kerja menjadi salah satu bahan pembicaran yang ramai di
masyarakat. Pembicaraan itu tidak jarang dalam suasana khawatir bahwa jika sebagai
bangsa atau umat muslim tidak dapat menumbuhkan etos kerja yang baik, maka
kemungkinan besar umat Islam akan tetinggal oleh umat non-Muslim yang telah maju
dan makmur. Dengan demikian perlu adanya kesadaran yang mendalam dalam pribadi
muslim untuk menumbuhkan semangat bekerja. Dengan cara pandang seperti ini,
sadarlah bahwa setiap muslim tidaklah akan bekerja hanya sekedar bekerja, asal
mendapat gaji, dapat surat pengangkatan atau sekedar menjaga gengsi supaya tidak
disebut sebagai pengangguran karena kesadaran bekerja secara produktif serta dilandasi
semangat tauhid dan tanggungjawab uluhiyah merupakan salah satu ciri khas karakkter
pribadi muslim.

B. RUMUSAN MASALAH
Pokok permasalahan dari pembahasan ini adalah :
1. Apa pengertian etos kerja islam?
2. Sebutkan 3 dimensi dalam etos kerja islam?
3. Jelaskan prinsip etos kerja islam?
4. Apa perbedaan etos kerja dengan etos kerja islam?

C. TUJUAN
Agar penulis dan pembaca mengetahui tentang etos kerja islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN
B.1 PENGERTIAN ETOS KERJA ISLAM
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etos adalah pandangan hidup yangg khas
dari suatu golongan sosial. Etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sesuatu yang
diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja.
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia susunan M.K. Abdullah, S.Pd
mengemukakan bahwa kerja adalah “perbuatan melakukan sesuatu, Kegiatan yang
bertujuan mendapatkan hasil”.Jadi, pengertian Etos Kerja adalah semangat kerja yg
menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok.
Sedangkan Etos Kerja Muslim dapat didefinisikan sebagai cara pandang yang
diyakini seorang muslim bahwa bekerja tidak hanya bertujuan memuliakan diri, tetapi
juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh dan mempunyai nilai ibadah yang luhur.
Etos Kerja merupakan totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresikan,
memandang, meyakini, dan memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong
dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high performance).
Etos Kerja Muslim didefenisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan
keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan
dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari
amal sholeh. Sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja
menunjukkan fitrah seorang muslim, melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya
sebagai hamba Allah yang didera kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok
yang dapat dipercaya, menampilkan dirinya sebagai manusia yang amanah,
menunjukkan sikap pengabdian .
Bekerja adalah fitrah dan merupakan salah satu identitas manusia, sehingga
bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan
fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba
Allah SWT.
Apabila bekerja itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang
enggan bekerja, malas dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi diri untuk
menyatakan keimanan dalam bentuk amal kreatif, sesungguhnya dia itu melawan fitrah
dirinya sendiri, dan menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia.

3
Setiap muslim selayaknya tidak asal bekerja, mendapat gaji, atau sekedar menjaga
gengsi agar tidak dianggap sebagai pengangguran. Karena, kesadaran bekerja secara
produktif serta dilandasi semangat tauhid dan tanggung jawab merupakan salah satu ciri
yang khas dari karakter atau kepribadian seorang muslim.
Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk menjadi pengangguran, apalagi
menjadi manusii yang kehilangan semangat inovatif. Karena sikap hidup yang tak
memberikan makna, apalagi menjadi beban dan peminta-minta, pada hakekatnya
merupakan tindakan yang tercela.
Seorang muslim yang memiliki etos kerja adalah mereka yang selalu obsesif atau
ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat yang merupakan bagian amanah dari Allah.

B.2 3 DIMENSI DALAM ETOS KERJA ISLAM


Seorang muslim yang memiliki etos kerja adalah mereka yang selalu obsesif atau
ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat yang merupakan bagian amanah dari Allah.
Dan cara pandang untuk melaksanakan sesuatu harus didasarkan kepada tiga dimensi
kesadaran, yaitu : dimensi ma’rifat (aku tahu), dimensi hakikat (aku berharap), dan
dimensi syariat (aku berbuat).

1) Etos Kerja: Dimensi Ma’rifat (Aku Tahu)


 Tahu siapa aku, apa kekuatan dan kelemahanku,
 Tahu apa pekerjaanku,
 Tahu siapa pesaingku dan kawanku,
 Tahu produk yang akan dihasilkan,
 Tahu apa bidang usahaku dan tujuanku,
 Tahu siapa relasiku,
 Tahu pesan-pesan yang akan kusampaikan

2) Etos Kerja: Dimensi Hakikat (Aku berharap)

Sikap diri untuk menetapkan sebuah tujuan kemana arah tindakan


dilangkahkan. Setiap pribadi muslim meyakini bahwa niat atau dorongan untuk
menetapkan cita-cita merupakan ciri bahwa dirinya hidup.

4
3) Etos Kerja: Dimensi Syariat (Aku Berbuat)

Pengetahuan tentang peran dan potensi diri, tujuan serta harapan-harapan


hendaklah mempunyai arti kecuali bila dipraktikkan dalam bentuk tindakan nyata
yang telah diyakini kebenarannya.

Yang membedakan semangat kerja dalam Islam adalah kaitannya dengan nilai
serta cara meraih tujuannya. Bagi seorang muslim bekerja merupakan kewajiban yang
hakiki dalam rangka menggapai ridha Allah. Sedangkan orang kafir bermujahadah
untuk kesenangan duniawi dan untuk memuaskan hawa nafsu.

B.3 PRINSIP ETOS KERJA ISLAM

Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip etos kerja
yang diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu harus dimiliki kaum beriman jika ingin
menghadap Allah dengan wajah berseri bak bulan purnama.

1) Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis
pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang
dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.
Analoginya, menjadi anggota DPR adalah halal. Tetapi jika jabatan DPR
digunakan mengkorupsi uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram.
Jabatan yang semula halal menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah
‘haram lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap
haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan
itu memang ‘haram lidzatihi’.
2) Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain
(ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang
lain. Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi
pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau
membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di
atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi
atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).

5
Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam
Islam. Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu
karena dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia
dan terhormat di mata Allah ketimbang meminta-minta.

3) Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi).


Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan,
dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang cukup
populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan
tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri,
keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu
Majah).

Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi


keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan
Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah
dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah
memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah
dan Rasul-Nya”.

4) Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala


jarihi). Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan
keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam
menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga
dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu
berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).

B.4 PERBEDAAN ETOS KERJA DAN ETOS KERJA ISLAM


Perbedaan antara etos kerja dengan etos kerja islami terletak pada Niatnya, Etos
kerja berupa semangat dan totalitas sikap dalam bekerja Sedangkan Etos kerja islami
merupakan semangat dan totalitas sikap dalam bekerja dan dilandasi dengan niatan
lillahita’ala sehingga pekerjaannya tersebut selain mendatangkan materi juga menjadi
amal.

6
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1) Etos kerja islami merupakan semangat dan totalitas sikap dalam bekerja dan
dilandasi dengan niatan lillahita’ala sehingga pekerjaannya tersebut selain
mendatangkan materi juga menjadi amal.
2) Dimensi dalam etos kerja islam ada 3 yaitu, dimensi ma’rifat (aku tahu), dimensi
hakikat (aku berharap), dan dimensi syariat (aku berbuat).
3) Terdapat 4 prinsip dalam etos kerja islam yaitu : bekerja secara halal, bekerja
demi menjaga diri sendiri, bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga, bekerja
untuk meringankan beban tetangga.
4) Perbedaan etos kerja dengan etos kerja islam adalah terletak di Niatnya.

7
DAFTAR PUSTAKA

http://uinpalembang.blogspot.com/2016/05/makalah-etos-kerja-dalam-perspektif.html

Anda mungkin juga menyukai