Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PRINSIP ISLAMIC ENTREPRENEURSHIP

DOSEN PENGAMPU:

SULHANI,S.Sy.,M.H

DI SUSUN OLEH :

Tilla Nilla Sari (105230106)

Destia Dwi Kartika (105230122)

Akmal Al farisi (105230148)

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN
THAHA SYAIFUDDIN JAMBI
2024
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat, kewirausahaan menjadi salah
satu kekuatan utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan inovasi di seluruh dunia.
Namun demikian, di tengah kompleksitas lingkungan bisnis kontemporer, aspek etika dan
nilai-nilai moral seringkali terabaikan dalam upaya memperoleh keuntungan. Di sinilah
keunikan dan relevansi Islamic entrepreneurship muncul, membawa konsep-konsep etika
dan nilai-nilai Islam ke dalam dunia bisnis.

Islamic entrepreneurship bukanlah sekadar strategi bisnis alternatif, melainkan merupakan


sebuah paradigma yang merangkul prinsip-prinsip etika dan ajaran Islam dalam semua
aspek kegiatan bisnis. Dalam konteks ini, prinsip-prinsip Islam seperti Tawhid (keyakinan
akan kesatuan Allah), Halal dan Haram (yang menentukan batasan-batasan yang diterima
dan tidak diterima), serta keterlibatan dalam kegiatan sosial dan pemberdayaan ekonomi,
menjadi landasan utama dalam pengembangan model bisnis yang berkelanjutan.

Makalah ini bertujuan untuk mendalami prinsip-prinsip Islamic entrepreneurship, menggali


kekhasan dan implikasinya dalam praktik bisnis, serta mengeksplorasi kontribusinya
terhadap pemberdayaan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan menyoroti
prinsip-prinsip tersebut, makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih
mendalam tentang bagaimana bisnis dapat dijalankan dengan berlandaskan pada nilai-nilai
Islam, serta bagaimana hal ini dapat menjadi instrumen penting dalam membangun
ekonomi yang lebih adil dan berkeberlanjutan.

Melalui pembahasan tentang prinsip-prinsip dasar Islamic entrepreneurship, konsep-konsep


bisnis Islami, penerapan praktik bisnis yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, serta tantangan
dan peluang yang dihadapi dalam menerapkan Islamic entrepreneurship di era globalisasi,
diharapkan makalah ini dapat memberikan pandangan yang komprehensif dan mendalam
mengenai peran dan pentingnya Islamic entrepreneurship dalam konteks bisnis modern.

Dengan demikian, pemahaman yang lebih baik tentang prinsip-prinsip ini dapat
memberikan inspirasi bagi para pengusaha, praktisi bisnis, akademisi, serta pemangku
kepentingan lainnya untuk menerapkan pendekatan yang berkelanjutan, etis, dan berbasis
nilai-nilai Islam dalam menjalankan bisnis mereka

1
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kewirausahaan

Salah satu permasalahan yang sangat urgent dan berpengaruh terhadap semua
lini kehidupan manusia adalah ekonomi. Untuk menjawab permasalahan itu, berbagai teori
dan strategi dimunculkan salah satunya lewat entrepreneurship (kewirausahaan).
Entrepreneurship menjadi kajian dan praktik menarik karena dianggap dapat menimalisir
permasalahan-permasalahan kehidupan yang dihasilkan dari ekonomi, sehingga menjadi
sangat sentral dalam kehidupan dan pembangunan suatu bangsa. Keberadaan kewirausahaan
bagi suatu negara dapat menentukan gerak dinamika pembangunan yang dilakukan.
Secara umum, Kewirausahaan Islam (Islamic Entrepreneurship) adalah gabungan dua kata
dari kata kewirausahaan dan Islam. Kewirausahaan berasal dari padanan kata
entrepreneurship (bahasa Inggris), unternehmer (bahasa Jerman), dan ondernemen (bahasa
Belanda). Pada bahasa Indonesia disebut dengan kewirausahaan. Istilah kewirausahaan
berasal dari terjemahan entrepreneurship, yang memiliki arti sebagai the backbone of
economy, yaitu syaraf pusat perekonomian atau sebagai tailbone economy yaitu
pengendalian perekonomian suatu bangsa.1

Konsep kewirausahaan pertama kali diperkenalkan oleh seorang ekonom di Prancis yang
bernama Richard Cantillon sekitar tahun 1755. Kata kewirausahaan (entrepreneurship)
sendiri berasal dari kata entrependre dalam bahasa Prancis yang berarti melakukan sesuatu.
Cantillon menyatakan bahwa seorang entrepreneur adalah seseorang yang mampu membeli
beberapa faktor produksi pada harga tertentu, dengan tujuan untuk mengkombinasikan
mereka dalam bentuk tertentu.2

1
Suryana.”Kewirausahaan Kiat dan Proses Menuju Sukses”.(Jakarta: Salemba Empat,2014).
2
Aditi, Bunga, & Pentana,Sopi.”Modul Ajar Kewirausahaan dan Pengembangan UMKM”.( Medan Perdana
Medika,2018).

2
2.2 Prinsip-prinsip Islamic Entrepreneurship

A. Tauhid

Tauhid adalah prinsip pertama dan utama Islamic Entrepreneurship. Tauhid merupakan
komponen penting dalam Islamic Entrepreneurship, selain sebagai fondasi utama dalam
kehidupan dan esensi keyakinan manusia. Tauhid termasuk sistem pandangan hidup yang
menegaskan satu kesatuan terpadu dan tunggal manunggal dalam semua aspek hidup dan
kehidupan. Semua yang ada, berasal dan bersumber pada satu Tuhan saja, yang menjadi
asas kesatuan ciptaan-Nya dalam berbagai bentuk, jenis maupun kehidupannya, yakni
hanya Allah SWT, tidak ada sekutu apapun.(QS. Al-Ikhas 112: 1-4).

Tauhid mempunyai hakikat sebagai ide-ide yang bekerja untuk keadilan,solidaritas, dan
pembebasan dalam berbagai bidang kehidupan, baik ekonomi,sosial, politik budaya dan
sebagainya. Konsekuensi logis dari pandangan dunia Tauhid adalah bahwa menyetujui
kondisi masyarakat yang banyak kontradiksi dan diskriminasi sosial, serta meluluskan
pengkotak-kotakan dalam masyarakat sebagai perbuatan syirik.Tauhid merupakan inti dari
ajaran Islam yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril (QS.
Ali Imran 3: 64) dan misi utama para nabi dan rasul dalam mendakwahkan ajaran-ajarannya
kepada umat manusia.Tauhid adalah konsep kunci yang merangkum jalan hidup Islam dan
menghadirkan esensi dari peradaban Islam.

Dengan tauhid yang baik pula, pelaku kewirausahaan melakukan aktivitas ekonomi dengan
senantiasa sadar bahwa pertanggungjawaban yang hakiki adalah pertanggungjawaban kelak
di akhirat. Pondasi yang kuat ini, diharapkan agar setiap pelaku ekonomi dapat memahami
dan melaksanakan nilai-nilai Islam dalam aktivitas ekonomi secara benar, lalu meyakini
bahwa ekonomi islam merupakan bagian tidak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan
dengan Islam itu sendiri. Dengan kata lain, berbagai aktivitas ekonomi baik itu produksi,
konsumsi, penukaran, dan distribusi diikatkan pada prinsip Ilahiah dan bertujuan Ilahi.
Maka ketika seorang muslim bekerja, ataupun berdagang akan merasa bahwa dengan
amanah itu ia sedang beribadah kepada Allah SWT sebagai cerminan takwa. Semakin
bertambah kebaikannya amalnya, semakin bertambah pula taqwa dan taqorrub-nya kepada
Allah SWT.

3
setidaknya ada dua peranan tauhid bagi kehidupan seorang muslim entrepreneur, yaitu:
Pertama, tauhid memerdekakan manusia dari perbudakan kepada selain Allah SWT, baik
benda maupun makhluknya. Tauhid menundukkan hati serta menyerahkan dan
menghinakan diri di hadapan Allah SWT. Tauhid memerdekakan hidup manusia dari
kekuasaan Fir‘aun, pendeta, dan dukun yang menuhankan diri. Kedua, tauhid membentuk
kepribadian yang kokoh. Tauhid membentuk hidup dan pengalaman seseorang menjadi
istimewa. Orientasi hidupnya jelas, ia tidak mempercayai tuhan, kecuali Allah SWT.
Kepadanya ia menghadap, baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian. Ia berdoa
kepadanya baik dalam keadaan lapang maupun sempit.3

B. Khilafah

Khalifah secara umum berarti wakil tuhan di bumi (QS. Al- Baqarah 2: 30). Definisi
luasnya bermakna sebagai amanah dan tanggung jawab manusia terhadap apa-apa yang
telah dikuasakan kepadanya, baik dalam bentuk sikap maupun perilaku manusia terhadap
Allah SWT, sesama manusia, dan alam semesta. Sedangkan arti sempit, khalifah berarti
tanggung jawab manusia untuk mengatur sumber daya yang dikuasakan Allah kepadanya
guna mewujudkan maslahah maksimum dan mencegah kerusakan di muka bumi.

Prinsip khilafah sebagai representasi Tuhan bahwa manusia adalah pemimpin (khalifah) di
muka bumi ini dengan dianugerahi segenap potensi mental dan spiritual, serta disediakan
kelengkapan sumber daya alam atau materi yang dapat dimanfaatkan dalam rangka untuk
sustainibilitas atau keberlangsungan hidupnya. Fungsi utamanya adalah untuk menjaga
keteraturan interaksi (mu‘amalah) antar pelaku bisnis, agar dapat meminimalisir kekacauan,
persengketaan, dan keributan dalam aktivitas mereka.Agar kekacauan dan keributan dapat
dihilangkan atau dikurangi lewat komitmen untuk menyeru berbuat baik dan mencegah dari
perbuatan jahat (QS. Al-Hajj 22: 41). Karena setiap manusia di muka bumi akan
bertanggung jawab atas semua perbuatan yang dilakukan di dunia dan akan diperhitungkan
pada hari pembalasan.Sehingga segala perlakuan manusia dalam rangka memakmurkan
bumi mestilah tunduk sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Kepemilikan,

3
Siswanto, A. “The Power of Islamic Entrepreneurship: Energi Kewirausahaan Islami.” (Jakarta:
Amzah.2016).

4
pemanfaatan sumber alam mesti dalam batas sewajarnya tidak membuat kerusakan dan
melampaui batas (QS. AlBaqarah 2: 30).

Untuk mengemban sebuah misi, khalifah berbuat sesuai ajaran Tuhan dan berfungsi sebagai
wakil-wakil Tuhan di muka bumi. Manusia diberi keleluasaaan memilah berbagai alternatif
penggunaan sumber-sumber daya tersedia. Karena ada milyaran khalifah di muka bumi,
dengan kemampuan berbeda- beda sehingga secara instingtif diperintah untuk hidup
bersama, bekerjasama, dan saling memanfaatkan keterampilan masing- masing agar dapat
mengeksploitasi sumber-sumber daya itu secara adil, efisien dan efektif sehingga terwujud
kesejahteraan (falah) yang menjadi tujuan utama aktivitas ekonomi Islam. Tujuan ini hanya
dapat tercapai apabila sumber-sumber daya itu digunakan dengan penuh tanggung jawab
dan dalam batas-batas yang diperbolehkan syariah dalam simpul maqashid.4

prinsip-prinsip Islam yang menjadi dasar dari misi kekhalifahan manusia sebagai berikut:
Pertama, tauhid. Dengan berlandaskan tauhid, manusia (termasuk pelaku ekonomi dan
kewirausahaan) harus menyakini bawha semua yang ada di bumi, termasuk sumber daya
alam dan manusia, adalah milik Allah semata dan segala tingkah laku dan aktivitas yang
dijalankan harus senantiasa didasarkan pada tauhid. Kedua, keseimbangan. Para pelaku
ekonomi hendaknya jangan memperhatikan kesejahteraan pihak-pihak tertentu saja, tetapi
harus berlaku adil kepada semua golongan. Pelaku ekonomi dituntut kesadarannya untuk
turun tangan membantu yang membutuhkan sekaligus memberikan aksi yang nyata
sehingga pasar menjadi hidup. Ketiga, kehendak bebas. Prinsip ini mengandung makna
bahwa Allah tidak hanya memiliki kekuasaan dan kebebasan mutlak, tetapi mempunyai
sifat rahman dan rahhim (pengasih dan penyayang). Allah membebaskan manusia untuk
memilih antara kebaikan dan keburukan. Begitu juga dalam bidang ekonomi, manusia
diberi kebebasan memilih untuk menjalankan ekonomi yang baik sehingga menghasilkan
maslahah dan falah, atau memilih jalan yang sebaliknya. Dari sinilah tanggung jawab
manusia sebagai individu dan masyarakat, serta kesadaran sosial5

4
Aravik, H., & Hamzani, A. Etika Perbankan Syariah: Teori dan Implementasi.”(Sleman:Deepublish.2021).
5
Machmud, A. (2017). “Ekonomi Islam Untuk Dunia yang Lebih Baik” (Jakarta: Salemba Empat.2017)

5
C. Adil

Allah telah menciptakan dan merancang ciptaan-Nya termasuk alam semesta dan alamnya,
serta manusia dalam proporsi yang seimbang. Jika ada penyimpangan dari keseimbangan
ini, seluruh sistem makhluk mungkin runtuh atau berfungsi dengan buruk, termasuk dalam
aktivitas ekonomi yang dilakukan manusia Islam menyebutkan keadilan adalah tujuan
universal yang ingin dituju dalam keseimbangan yang sempurna.

Sedangkan tujuan utama umat Islam adalah terciptanya keadilan dalam berbagai aspek
termasuk kewirausahaan yang merupakan bagian dari masyarakat yang adil, sehat dan
bermoral. Islam mengharapkan terciptanya perekonomian yang energik, bertujuan,
sejahtera dan adil di mana setiap anggota masyarakat mendapatkan imbalan yang menjadi
hak mereka. Prinsip adil merupakan pilar penting dalam Islamic Entrepreneurship.
Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh al-Quran sebagai misi utama para Nabi yang
diutus Allah bahkan menempatkan keadilan selevel dengan kebajikan dan ketakwaan.Maka,
dalam khazanah Islam, keadilan merupakan norma utama dalam seluruh aspek kehidupan
termasuk dunia ekonomi.

Hal ini dapat ditangkap dalam pesan al-Qur‘an yang menjadikan adil sebagai tujuan agama.
Seseorang yang hidup menurut hukum Allah harus berbuat adil tidak hanya kepada diri
sendiri tetapi juga kepada alam sekitarnya .Perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap
orang, tanpa pandang bulu. Maka dari itu Kemestian berlaku adil dalam kewirausahaan
mesti ditegakan di dalam keluarga dan masyarakat muslim itu sendiri. Bahkan kepada
orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku adil.Keadilan juga diartikan sebagai
suatu bentuk yang dapat menghilangkan adanya kesenjangan yang terjadi dalam lingkungan
kondisi perekonomian sosial antar manusia, meskipun dalam Islam tidak mengakui adanya
kesamaan ekonomi dalam masyarakat dan mengakui mengenai kesenjangan sosial ekonomi
pada manusia supaya manusia lebih giat berusaha.

D. Penghapusan Riba

Secara Bahasa Arab, riba digunakan dalam arti meningkatkan, memperluas, membengkak,
menggemukkan dan bersuka ria dan lain sebagainya. Dalam bahasa Inggris riba disebut
usury, yang bermakna pengambilan bunga atas pinjaman uang secara berlebihan, sehingga

6
cenderung mengarah kepada eksploitasi atau pemerasan. Sedangkan bunga merupakan
jumlah tambahan yang dibayarkan/diterima dari jumlah pokok menurut kesepakatan karena
jangka waktu yang dilampirkan.Dengan demikian riba atau bunga pada prinsipnya sama.
Islam dengan lantang melarang riba karena Islam menentang setiap bentuk eksploitasi dan
mendukung sistem ekonomi yang bertujuan mengamankan keadilan sosio ekonomi yang
luas. Bahkan berurusan dengan transaksi berbasis riba berarti mendeklarasikan perang
dengan Allah dan Rasul-Nya.Untuk itu, Islam melaknat berbagai bentuk eksploitasi,
khususnya ketidakadilan dimana pemberi pinjaman dijamin mendapatkan pengembalian
positif tanpa mempertimbangkan risiko yang diperoleh peminjam, atau dengan kata lain,
peminjam menanggung semua jenis risiko. Dengan asumsi bahwa kekayaan yang dimiliki
individu sebenarnya merupakan amanah Allah SWT, sebagaimana kehidupan seseorang,
maka amanah kekayaan merupakan hal yang sakral. Maka apabila kekayaan itu diambil
secara tidak pantas, berarti ada ketidakadilan yang menodai kesucian manusia.

Riba dianggap sebagai kenaikan atau kelebihan atas pokok atau, lebih tepatnya, surplus
yang ditetapkan atas hutang. Dalam teori ekonomi modern, laba juga dilihat sebagai nilai
surplus atau sisa atas pembayaran kontraktual atau hanya selisih antara pendapatan dan
biaya, tentu saja ini tidak benar dalam syariah. Eksistensi riba juga tidak sesuai dengan
sistem nilai Islam, yang melarang semua bentuk pencarian kekayaan yang tidak bisa
dibenarkan. Riba yang merepresentasikan keuntungan keuangan yang tidak setara dan
karena itu tidak dibenarkan, adalah berbeda dari perdagangan, yang menghasilkan
pertukaran nilai yang setara. Dengan menghilangkan riba, tiap pihak dalam akad akan
mendapatkan imbalan yang adil dan setara, dimana pada akhirnya akan mengarah kepada
distribusi penghasilan yang setara dan kemudian kepada sistem ekonomi yang lebih adil.

Penghapusan riba menjadi penting karena Islam memberikan perhatian pada pelaksanaan
hak dan kewajiban pribadi. Dengan penghapusan riba berarti mampu mengakhiri terjadinya
penindasan dan eksploitasi khsusnya pada tenaga kerja, dan berbagai eksploitasi sumber
daya alam yang melampaui batas, demi berlangsungnya keberlanjutan ekonomi yang
maksimal bagi generasi akan datang. Sehingga memperoleh jaminan paling tidak ukuran
tingkat konsumsi minimum yang terjada dan adanya kepastian suatu sistem harga yang
berlandaskan aturan yang adil secara aspek sosial ekonomi. Riba terlarang dan sangat

7
ditentang sebab bersifat eksploitatif dan buruk bagi perekonomian dan kewirausahaan
diharamkan untuk melakukan praktek seperti ini, karena Islam menghendaki setiap
pencapaian kemakmuran materiil harus berbasis pada aturan-aturan ilahiyah, seperti lewat
produksi dan jasa yang sesuai dengan standar moral Islam, tidak memperlebar kesenjangan
sosial lewat konsumsi yang melampaui batas, dan tidak merusak lingkungan fisik dan moral
generasi sekarang dan akan datang.

E. Maslahah

Maslahat berasal Bahasa Arab dari kata al-islah yang artinya damai dan tentram. Kata
damai sendiri berorientasi pada materi sedangkan tentram berorientasi pada im-materi.
Secara etimologi, maslahah adalah turunan dari kata shaluha-yashluhu-shâlih yang berarti
(baik). Dalam pengertian umum, maslahah berarti kesejahteraan. Lawan dari maslahat
adalah mafsadat dari fasada yafsudu, artinya sesuatu yang merusak dan tidak baik.
Maslahat kadang- kadang disebut pula dengan ishtilah “as- taslahah”, yang berarti mencari
yang baik. Maslahat juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Maslahah adalah konsep terpenting dalam pengembangan Islamic Entrepreneurship. Para
ulama telah jauh-jauh hari menempatkan maslahah sebagai pinsip utama dalam syariah.
Mulai dari sebagai formulasi ekonomi Islam dan perumusan fatwa-fatwa serta produk
keuangan lainnya. Penempatan maslahah sebagai prinsip utama, karena mashlahah
merupakan konsep yang paling penting dalam syariah. Selain itu, konsep maslahah dari
aspek agen ekonomi, memberikan kepuasan yang lebih kepada mereka, karena adanya nilai
berkah yang selalu diupayakan secara terus-menerus dalam setiap aktivitas ekonomi.
Maslahah adalah tujuan dari syariah Islam. Kemaslahatan itu adalah terwujudkan dan
terpeliharanya lima komponen pokok yaitu agama (al-din), jiwa (al-nafs), akal (al-‘aql),
keturunan dan kehormatan (al-ard), dan harta (al-mal). Kehadiran lembaga-lembaga
perbankan dan keuangan syari‘ah juga berdasarkan kepada mashlahah. Inovasi zakat
produktif dan wakaf tunai juga didasarkan kepada maslahah. Pendeknya semua aktivitas
dan perilaku dalam perekonomian acuannya adalah maslahah. Jika di dalamnya ada
kemaslahatan, maka hal itu dibenarkan dan dianjurkan oleh syari‘ah. Sebaliknya jika di
sana ada kemudaratan dan mufsadah, maka prakteknya tidak dibenarkan, seperti ihtikar,

8
najasy,spekulasi valas dan saham, gharar, judi, dumping, dan segala jenis yang
mengandung riba lainnya.

F. Falah

Falah bermakna sebagai kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaan dan kemenangan
dalam hidup. Istilah falah menurut Islam diambil dari kata-kata al-Qur‘an yang sering
dimaknai sebagai keberuntungan jangka panjang dunia dan akhirat, sehingga tidak hanya
memandang aspek material namun justru lebih ditekankan pada aspek spiritual.

Falah merupakan konsep keberkahan dalam praktek kewirausahaan dan tujuan final praktek
berekonomi. Keberkahan fungsi sebagai pemikat material bagi individu untuk mengikuti
perilaku yang dibenarkan. Konsep falah menyatakan bahwa perilaku yang benar, yakni
perilaku yang diridhai Allah SWT, akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda.
Semakin baik prilaku, semakin besar kehadiran berkahnya. Konsep ini menekankan bahwa
seseorang yang membelanjakan kekayaannya karena Allah, tidak akan menyebabkan
hartanya berkurang tetapi justru bertambah. Tindakan semacam ini akan membuat
pelakunya mendapatkan banyak pahala. Konsep ini menciptakan korelasi positif antara
perilaku dengan kemakmuran sistem.

Pembangunan kewirausahaan atas dasar semangat dan motivasi untuk mewujudkan falah
yang kemudian diinternalisasikan dalam wujud nilai–nilai dan prinsip Islamic
Entrepreneurship menjadi sebuah keharusan. Sikap rasional berbasis ajaran Islam akan
memotivasi setiap pelaku bisnis dan wirausaha untuk mencari dan menemukan informasi
yang tepat agar dapat meraih falah. Informasi dapat berasal dari dua sumber, yakni fakta
empiris (ayat kauniyah) dan pemberitahuan langsung dari sang pencipta alam semesta (ayat
quliyah). Tujuan Islamic Entrepreneurship adalah untuk meraih kesejahteraan manusia (al-
falah) yang dicapai melalui pengorganisasian sumber-sumber alam berdasarkan kooperasi
dan partisipasi. Tiga unsur utama dalam kajian ekonomi Islam yaitu: al-falah yakni
kesejahteraan; resources atau sumber- sumber daya, dan kooperasi dan partisipasi.
Kesejahteraan dengan melaksanakan sistem ekonomi Islam merupakan implementasi
sistem yang menganut dan memasukkan nilai-nilai, dogma, norma, dan ajaran islam
(variable keimanan) sebagai unsur yang fundamental dalam mencapai kesejahteraan.

9
Variabel keimanan tersebut dijadikan tolak ukur dalam menentukan tindakan ekonomi yang
mengelola faktor produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa sebelum
memasukkannya ke dalam sirkulasi hukum pasar. Sehingga terwujud keselarasan dan
keseimbangan antara kepentingan personal, kelompok dengan hukum pasar yang di
formulasikan melalui berbagai hasil kebijakan lembaga sosial ekonomi masyarakat dan
negara dalam bentuk kebijakan yang berasaskan nilai-nilai keimanan. Sehingga terwujud
suatu stimulasi dan sosialisasi ekonomi komprehensif yang dapat mengantarkan Individu
dan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan yang baik dan terhormat (hayatan
toyyibah) dunia dan akhirat.

10
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat, kewirausahaan menjadi salah satu
kekuatan utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan inovasi di seluruh dunia. Namun
demikian, di tengah kompleksitas lingkungan bisnis kontemporer, aspek etika dan nilai-nilai
moral seringkali terabaikan dalam upaya memperoleh keuntungan. Di sinilah keunikan dan
relevansi Islamic entrepreneurship muncul, membawa konsep-konsep etika dan nilai-nilai Islam
ke dalam dunia bisnis.

Islamic entrepreneurship bukanlah sekadar strategi bisnis alternatif, melainkan merupakan


sebuah paradigma yang merangkul prinsip-prinsip etika dan ajaran Islam dalam semua aspek
kegiatan bisnis. Dalam konteks ini, prinsip-prinsip Islam seperti Tawhid (keyakinan akan
kesatuan Allah), Halal dan Haram (yang menentukan batasan-batasan yang diterima dan tidak
diterima), serta keterlibatan dalam kegiatan sosial dan pemberdayaan ekonomi, menjadi
landasan utama dalam pengembangan model bisnis yang berkelanjutan.

Makalah ini mendalami prinsip-prinsip Islamic entrepreneurship, menggali kekhasan dan


implikasinya dalam praktik bisnis, serta mengeksplorasi kontribusinya terhadap pemberdayaan
ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan menyoroti prinsip-prinsip tersebut, makalah
ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana bisnis dapat dijalankan
dengan berlandaskan pada nilai-nilai Islam, serta bagaimana hal ini dapat menjadi instrumen
penting dalam membangun ekonomi yang lebih adil dan berkeberlanjutan.

Dalam pembahasan prinsip-prinsip dasar Islamic entrepreneurship, seperti tauhid, khilafah, adil,
penghapusan riba, maslahah, dan falah, dapat disimpulkan bahwa Islamic entrepreneurship
mengajak para pelaku bisnis untuk bertindak dalam kerangka nilai-nilai Islam yang
mengedepankan keadilan, keseimbangan, tanggung jawab sosial, dan keberkahan dalam setiap
tindakan ekonomi.

11
Daftar Pustaka

Machmud, A. (2017). Ekonomi Islam Untuk Dunia yang Lebih Baik. Jakarta: Salemba Empat.

Aravik, H., & Hamzani, A. (2021). Etika Perbankan Syariah: Teori dan Implementasi. Deepublish.

Siswanto, A. (2016). The Power of Islamic Entrepreneurship: Energi Kewirausahaan Islami.


Jakarta: Amzah

Suryana. (2014). Kewirausahaan Kiat dan Proses Menuju Sukses. Jakarta: Salemba Empat.

Aditi, Bunga, & Pentana,Sopi (2018).”Modul Ajar Kewirausahaan dan Pengembangan UMKM”.
(Medan Perdana Medika,

12

Anda mungkin juga menyukai