Disusun oleh :
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
BAB I PENDAHULUAN
1.3. TUJUAN
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dengan
baik tentang etika bisnis dalam islam yang menyangkut:
1. Sumber islam.
2. Islam dan etika bisnis serta tanggung jawab social.
3. Penegasan-penegaasan dalam Islam sehubungan dengan aturan dalam
berbisnis.
4. Prinsip-prinsip etika bisnis dalam islam.
BAB II PEMBAHASAN
Restoran ini menyajikan makanan khas Indonesia seperti nasi goreng, mi goreng,
kwetiau goreng, dan masih banyak lagi. Saat ini sudah terdapat lebih dari 50 gerai
di kota-kota di Indonesia.
Isu mengenai penggunaan angciu (arak) dan minyak babi di restoran “S” ternyata
masih merebak. Meskipun sudah dibantah oleh manajemen “S”, kabar fiktif itu
terus bergulir di media sosial.
Inilah kisah dosen akuntansi salah satu universitas negeri tentang restoran “S”
yang tidak memiliki sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.
“Ada kerabat yang mau beli franchise “S”. Tapi ketika mau bikin kontrak
perjanjian, ternyata pihak pemilik franchise mewajibkan penggunaan angciu
(arak) dan minyak babi dalam beberapa masakan,” ujarnya.
Hal itu dikomentari oleh teman saya yang ikut saat mau bikin kontrak perjanjian.
“Lho, itu kan haram?” protesnya.
Tapi, kata Prof, jawaban pemilik franchise sungguh arogan dan mencengangkan.
Menurut pemilik franchise, “S” mewajibkan menunya menggunakan minyak babi
dan angciu. ”Di sini (“S”) wajib pakai itu. Lagian kita gak pakai label halal kok.
Kalau gak mau ya sudah,” ujar pihak “S” sebagaimana diungkap Prof. Sementara
PT “SS” selaku perusahaan yang membawahi restoran ini membantah hal
tersebut.
“Isu yang berkembang itu tidak benar. Minyak-minyak kami memakai brand-
brand halal. Semua makanan kami halal,” kata Operational Manager “S”, Namun
ia membenarkan bahwa sampai saat ini perusahaan belum mempunyai sertifikasi
halal dari MUI.
Saat ini perusahaan sedang mengumpulkan sertifikat-sertifikat dari para supplier.
“Supplier kita kan banyak, kita sedang kumpulkan sertifikatnya sebagai syarat
mengurus ke MUI,” katanya.
Majelis Ulama Indonesia melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) membenarkan restoran “S”
belum mengantongi sertifikat halal.
“Maka, bersama ini disampaikan bahwa MUI melalui Lembaga Pengkajian
Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia belum pernah
melakukan pemeriksaan atas produk makanan/minuman dan atau mengeluarkan
sertifikat halal untuk restoran “S” dimanapun,” tulis MUI disitus resminya.
Kemudian pertanyaan yang muncul adalah, apakah pemilik bisnis “S” salah?
Yang salah utamanya adalah bila ada pebisnis Muslim yang tutup mata dan tetap
mengambil bisnis ini. Lebih salah lagi adalah para Muslim yang sudah tahu info
ini tetapi juga tutup mata dan makan di sana. Karena itu, informasi ini hendaknya
tidak untuk diri sendiri. Kabarkan kepada saudara Muslim di seluruh Nusantara
dan Internasional akan haramnya “S”. Dalam hubungan itu, ada sebuah kisah
nyata. Dikisahkan ada seorang ustadz senior dari Indonesia duduk di rumah
makan di negara Singapura. Dia kemudian didatangi oleh pelayan rumah makan
tersebut. Melihat jenggot panjang tamunya, pelayan menyapa, “Apakah bapak
Muslim?” tanya pelayan kepada tamunya.“Ya, saya Muslim,” jawab ustadz.
“Maaf, di sini restoran pakai bahan bahan yang mengandung babi. Bapak
sebaiknya makan di restoran sebelah yang halal 100%,” saran si pelayan. “Terima
kasih,” jawab ustadz yang kemudian berdiri dan pindah ke restoran sebelah.
Kembali ke negeri kita. Meski Muslim di negeri ini mayoritas, tetap tidak bisa
memaksa pihak pengusaha rumah makan harus memakai label halal dan atau
harus seperti yang kaum Muslimin inginkan.
Umat Islam sendiri yang harus mawas diri, saling menasihati, mana halal dan
mana haram (juga meragukan karena bercampur antara yang halal dengan yang
haram) sebagai tanda kedewasaan keimanan kita.
Sementara itu untuk para pengusaha restoran yang menggunakan barang-barang
yang haram dalam pandangan Islam, hendaklah mencantumkan label
mengandung babi atau mengandung arak dan seterusnya pada rumah makannya.
ANALISIS KASUS
Dari kasus yang ada menunjukkan bahwa etika bisnis belum dijalankan
secara maksimal dilihat dari etika promosi maupun keadilan konsumen. Sebagai
pebisnis harusnya memenuhi prinsip-prinsip bisnis yang baik. Keadilan dalam
konsep pemenuhan hak konsumen berkaitan dengaan transaksi antara pebisnis
dengan konsumen harus menerapkan berbagai norma moral dan etika yang
berlaku dalam masyrarakat yang meliputi kebenaran, kejujuran, dan keadilan
sehingga kalau tidak terjadi keadilan kepada konsumen, pebisnis harus
bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Konsumen pun haarus jeli dalam
memilih makanan untuk dikonsumsi, perhatikan predikat halal apakah tertera
dalam produk tersebut atau masih belum mendapat sertifikat halal dari MUI.
Guna melindungi konsumen yang muslim, MUI juga harus menghimbau restoran
atau rumah makan yang belum mengantongi sertifikat halal agar segera
mengajikan sertifikat halal. Untuk masyarakat muslim sebaiknya lebih berhati-
hati dan menahan diri terlebih dahulu sampai sertifikat halal dikeluarkan.