Anda di halaman 1dari 17

Etika Bisnis dalam Perspektif Islam

Untuk Memenuhi Tugas 4 Islam Disiplin Ilmu

Disusun oleh:

Bayu Nugraha Libriansyah 10090315132

Hamzah 10090315147

Ginda Bintang Pratama Putra 10090315161

Kelas B

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG


2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi
seluruh alam semesta.
Kami menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Namun berkat bantuan
dan dorongan serta bimbingan dari dosen mata kuliah Islam Disiplin Ilmu serta berbagai bantuan
dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Saya berharap dengan penyusunan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun
sendiri dan bagi para pembaca umumnya.
Akhir kata kami berharap semoga makalah istilah ini dapat memberikan manfaat terhadap
pembaca.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebanyakan orang tidak senantiasa sadar akan fungsi etika. Salah satu sebabnya, etika
menjadi bagian yang integral dari pribadi seseorang sehingga tidak lagi dipersoalkan oleh yang
bersangkutan dan artinya sekali memikirkan etika yang dimilikinya, kecuali bila ia merasa
bahwa dalam hubunganya dengan orang lain etika tersebut mendapat tantangan, ada saat tertentu
kita pasti berhadapan dan berinteraksi dengan orang yang memiliki etika yang dimilikinya.

Bisnis telah menjadi aspek penting dalam hidup manusia. Sangat wajar jika Islam memberi
tuntunan dalam bidang usaha. Usaha mencari keuntungan sebanyak-banyaknya bahkan ditempuh
dengan cara tidak etis telah menjadi kesan bisnis yang tidak baik. Etika bisnis sangat urgen untuk
dikemukakan dalam era globalisasi yang terjadi di berbagai bidang dan kerap mengabaikan nilai-
nilai etika dan moral. Oleh karenanya, Islam sangat menekankan agar aktivitas bisnis tidak
semata-mata sebagai alat pemuas keinginan tetapi lebih pada upaya menciptakan kehidupan
seimbang disertai perilaku positif bukan destruktif. Penulisan makalah ini bertujuan mengkaji
etika bisnis dari sudut pandang Al Qur’an dalam upaya membangun bisnis Islami menghadapi
tantangan bisnis di masa depan. Kesimpulannya, Bisnis dalam perspektif Al Qur’an disebut
sebagai aktivitas yang bersifat material sekaligus immaterial. Suatu bisnis bernilai jika secara
seimbang memenuhi kebutuhan material dan spiritual, jauh dari kebatilan, kerusakan dan
kezaliman. Akan tetapi mengandung nilai kesatuan, keseimbangan, kehendak bebas,
pertanggung-jawaban, kebenaran, kebajikan dan kejujuran.

Al Qur’an sebagai sumber nilai, telah memberikan nilai-nilai prinsipil untuk mengenali
perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an khususnya dalam bidang bisnis.
Awalnya, etika bisnis muncul ketika kegiatan bisnis kerap menjadi sorotan etika. Menipu,
mengurangi timbangan atau takaran, adalah contoh- contoh konkrit kaitan antara etika dan bisnis.
Fenomena-fenomena itulah yang menjadikan etika bisnis mendapat perhatian yang intensif
hingga menjadi bidang kajian ilmiah yang berdiri sendiri. (George, 1986: 43). Bisnis telah ada
dalam sistem dan struktur dunianya yang baku untuk mencari pemenuhan hidup. Sementara,
etika merupakan disiplin ilmu yang berisi patokan-patokan mengenai apa-apa yang benar atau
salah, yang baik atau buruk, sehingga dianggap tidak seiring dengan sistem dan struktur bisnis
(Rahardjo,1995:2).Kesangsian-kesangsian inilah yang melahirkan mitos bisnis amoral atau tak
beretika.

Bukanlah seorang muslim terbaik dan terhormat memiliki kekayaan dan hebat yang memiliki
kekayaan berlimpah dan kedudukan tinggi di maysarakatnya, tapi muslim yang terbaik dan hebat
adalah muslim yang paling indah ahlak dan budi pekertinya, muslim yang menjadikan muslim
lainya lainya merasa tenang, tenteram dan nyaman hatinya saat bersamanya. 1 Demikian pula
dengan kehormatan dan kewibawaan kita di hadapan sesame bukan karena banyaknya harta yang
kita miliki, bukan pula karena tingginya kedudukan, akan tetapi terletak pada budi pekerti yang
baik maka itulah yang membuat orang lain segan dan menghargai kita, begitupun dalam konteks
berbisnis kita membutuhkan sebuah etika, agar orang merasa nyaman. Karena ada pula muslim
yang tidak menerapkan etika dalam berbisnis, penerapan nilai- nilai islam yang hanya mengejar
keuntungan semata, dia tidak memikirkan sebuah keberkahan dan ridoh dari sang khalik..Yang
mebedakan islam dengan non muslim dalam berbisnis ialah kalau islam melihat juga dari sisi
keberkahan dalam berbisnis, maka banyak muslim berbisnis berhasil karena penerapan nilai-nilai
islam di dalamnya yang di terapkan dalam aktipitas usaha sehari-harinya sedangkan non muslim
berbisnis dia hanya mencari keuntungan semata, karna kadang tanpa memerhatikan dari segi
etikanya karna barometernya keberhasilan itu hanya mencapai keuntunggan sebanyak-
banyaknya.

1
Haryanto Al- fandi, Etika Bermuammalah berdasarkan Alquran dan Sunnah, (Jakarta: Amzah,
2011) hlm. 1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja sumber islam yang dijadikan sebagai landasan etika bisnis?
2. Bagaimana hubungan islam dan etika bisnis serta tanggung jawab sosial?
3. Bagaimana aturan bisnis yang beretika dalam islam?
4. Apa saja prinsip-prinsip etika bisnis dalam islam?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui etika bisnis dalam perspektif islam
2. Untuk mengetahui nilai – nilai prinsip etika bisnis dalam perspektif islam
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bisnis Dalam Islam

Etika dipahami sebagai seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia (a code or set of
principles which people live). Berbeda dengan moral, etika merupakan refleksi kritis dan
penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini
berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk dan
apa alasan pikirnya, merupakan lapangan etika. Perbedaan antara moral dan etika sering kabur
dan cendrung disamakan. Intinya, moral dan etika diperlukan manusia supaya hidupnya teratur
dan bermartabat. Orang yang menyalahi etika akan berhadapan dengan sanksi masyarakat berupa
pengucilan dan bahkan pidana.Bisnis merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan
manusia. Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi manusia, bisnis juga dihadapkan pada pilihan-
pilihan penggunaan factor produksi. Efisiensi dan efektifitas menjadi dasar prilaku kalangan
pebisnis. Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi
tidak begitu mendapat tempat. Ekonom klasik banyak berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak
terkait dengan etika. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah
mencari keuntungan ekonomis belaka. Atas nama efisiensi dan efektifitas, tak jarang, masyarakat
dikorbankan, lingkungan rusak dan karakter budaya dan agama tercampakkan.

Perbedaan etika bisnis islam dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian
ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini
dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan.
Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal yang
memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan tidak
diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi,
akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk
memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan.
Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap
perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang, dan
agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al Qur’an terdapat
peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan dengan
cara halal (QS: 2;275) ”Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba”. Islam
menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat strategis di tengah kegiatan
manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah SAW:
”Perhatikan oleh mu sekalian perdagangan, sesungguhnya didunia perdagangan itu ada sembilan
dari sepuluh pintu rezeki”.

Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi
diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak.
Seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami
yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya, dan akan
membukakan pintu rezeki, dimana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut,
akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis dan moralis.
Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran (QS: Al Ahzab;70-71).
Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha senantiasa terbuka dan transparan
dalam jual belinya ”Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada
kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga” (Hadits). Akhlak yang lain
adalah amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap,
dengan menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalah nya
dari unsur yang melampaui batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat
dipercaya, sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya ”Tidak ada
iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada agama bagi
orang yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah (tempatnya di surga)
bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada” (Hadits).

Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka kunci rezeki
dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah mempermudah pergaulan, mempermudah
urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal. ”Allah mengasihi orang yang lapang dada
dalam menjual, dalam membeli serta melunasi hutang” (Hadits).Konsekuen terhadap akad dan
perjanjian merupakan kunci sukses yang lain dalam hal apapun sesungguhnya Allah memerintah
kita untuk hal itu ”Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (QS: Al- Maidah;1), ”Dan
penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34).
Menepati janji mengeluarkan orang dari kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah ”Tanda-
tanda munafik itu tiga perkara, ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika
dipercaya ia khianat” (Hadits).

2.2 Prinsip Bisnis Dalam Islam

Prinsip Bisnis di dalam Islam yaitu rukun tijarah. Rukun tijarah ada 3 macam,

A. Sigah (sigat)

Sigat berarti bentuk transaksi atau penyerahan barang (ijab) oleh penjual kepada pembeli
dengan imbalan sejumlah uang sebagai penjualan, dan penerimaan barang (kabul) oleh pembeli
dari penjual dengan penyerahan sejumlah uang sebagai pembelian. Ijab Kabul bisa dilakukan
secara tunai, tulisan dan delegasi. Aqid berarti pelaku akad atau pelaku transaksi (orang yang
terkait dengan perdagangan). Manqudh anh berarti benda yang diperdagangkan itu, baik berupa
uang atau benda yang dihargakan dengan uang itu. (Ensklopedi Hukum Islam jilid 2: 1996:
1826). Adapun ulama mazhab Hanafi berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu sigah
al-aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad, menurut mereka, tidak termasuk
rukud akad akan tetapi syarat akad karena menurut mereka yang dikatakan rukun itu adalah suatu
esensi yang berada dalam akad itu sendiri, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad
di luar esensi akad.

Sigah al-Aqd merupakan rukun akad yang terpenting. Karena melalui pernyataan inilah
diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad (aqid). Sigah al-Aqd ini diwujudkan
melalui ijab dan Kabul. Dalam kaitannya dengan ijab dan Kabul ini, ulama fikih mensyaratkan :

a) tujuan pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami dari pernyataan itu jenis akad yang
dikehendaki, karena akad-akad itu sendiri b)berbeda dalam sasaran dan hukumnya,
b) antara ijab dan kabul terdapat kesesuaian,
c) pernyataan ijab dan kabul itu mengacu kepada suatu kehendak masing-masing pihak
secara pasti, tidak ragu-ragu (Ensklopedi Hukum Islam Jilid 1: 1996 : 1986).
Ijab kabul bisa terbagi dalam 3 bentuk :,

a) perkataan,
b) tulisan,
c) perbuatan,
d) Isyarat.

Ijab kabul berbentuk perkataan yang sering diucapkan, “Saya jual buku ini dengan harga Rp.
5000,” dan pihak lainnya menyatakan kabul dengan perkataan, “Saya beli buku itu dengan harga
Rp. 5000.” Pernyataan ijab dan kabul melalui tulisan juga demikian, dan harus memenuhi ketiga
syarat diatas.

Pernyataan ijab dan kabul melalui perbuatan adalah melakukan perbuatan yang menunjukan
kehendak untuk melakukan suatu akad. Misalnya, di pasar swalayan, seseorang mengambil
barang tertentu dan membayar harganya ke kasir sesuai dengan harga yang tercantum pada
barang tersebut. Perbuatan tersebut sudah menunjukan kehendak kedua belah pihak (pembeli dan
penjual) untuk melakukan akad jual beli. Jual beli seperti ini di dalam fikih disebut dengan bai’
al-mu’atah (jual beli dengan saling memberi (Ensklopedi Hukum Islam Jilid 1: 1996: 64). Ulama
mazhab Syafi’I dalam kaul qadim (pendapat yang pertama) tidak membolehkan akad seperti ini.
Karena menurut mereka kehendak kedua belah pihak yang berakad harus dinyatakan secara jelas
melalui perkataan ijab dan qabul. Sedangkan Ulama Mazhab Syafi’I dalam kaul jaded (pendapat
baru) seperti Imam Nawasi membolehkan jual beli seperti ini telah menjadi kebiasaan
masyarakat di berbagai wilayah Islam.

Selanjutnya, suatu akad juga dapat dilakukan melalui Isyarat yang menunjukan secara jelas
kehendak pihak-pihak yang melakukan akadisyarat Misalnya, isyarat yang ditunjukkan oleh
orang bisu yang tidak dapat menulis. Dalam kaitan ini, ulama fikih juga membuat kaidah, yaitu
“Isyarat yang jelas dari orang bisu sama dengan penjelasan lisan”. Artinya, jika orang dapat
memberikan isyarat yang sudah menjadi kebiasaan baginya, dan isyarat itu menunjukan suatu
akad. Maka isyarat tersebut sama posisinya dengan penjelasan melalui lisan orang yang dapat
berbicara secara langsung (Ensklopedi Hukum Islam Jilid 1: 1996:65)

B. Aqid,
Aqid ialah pihak-pihak yang melakukan akad. Umumnya aqid telah cakap bertindak
(mukalllaf) atau jika objek akad itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap
bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu, suatu akad yang dilakukan
orang gila dan anak kecil yang belum mumayiz secara langsung, hukumnya tidak sah. Tetapi,
jika dilakukan oleh wali mereka, dan sifat akad yang dilakukan wali ini memberi manfaat bagi
orang yang diampunya, maka akad itu hukunya sah.

C. Ma’qud ‘anh.

Manqudh adh yaitu objek akad yang diakui oleh syarak. Untuk objek akad ini disyaratkan
pula berbentuk harta, dimiliki oleh seseorang, bernilai harta menurut syarak. Oleh sebab itu, jika
objek akad itu sesuatu yang tidak benilai harta dalam islam, maka akadnya tidak sah, seperti
khamar. Di samping itu, jumhur ulama fikih selain ulama mazhab hanafi menyatakan bahwa
barang najis seperti anjing, babi, bangkai, dan darah tidak dapat dijadikan objek akad, karena
barang najis. Termasuk syarat ke dalam syarat kedua ini, menurut Muustafa Ahmad Az-Zarqa,
adalah memperjualbelikan harta wakaf. Akibat hukum dari akad jual beli adalah berpindahnya
kepemilikan objek jual beli dari penjual kepada pembeli. Harta wakaf bukanlah merupakan hak
milik yang dapat diperjualbelikan, karena harta wakaf itu milik bersama kaum muslimin, bukan
milik pribadi seseorang.

Berbeda halnya dengan akad sewa-menyewa harta wakaf. Hal ini dibolehkan, karena
harta wakaf itu tidak berpindah tangan secara utuh kepada pihak penyewa. Objek akad juga
harus ada dan dapat diserahkan ketika berlangsungnya akad karena memperjualbelikan sesuatu
yang belum ada dan tidak mampu diserahkan hukumnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasullulah Saw yang menyatakan bahwa tidak boleh memperjualbelikan barang yang tidak
(belum) ada. (HR. Bukhari dan Muslim). Namun demikian, ulama fikih mengecualikan beberapa
bentuk akad yang barangnya belum ada, seperti seperti jual beli pesanan (ba’I as-Salam), istisna,
ijarah, dan musaqah (transaksi antara pemilik kebun dan pengelolanya). Alasan pengecualian ini
adalah akad-akad seperti ini amat dibutuhkan masyarakat dan telah menjadi adat kebiasaan (urf).

2.3 Etika Bisnis Dalam Islam

Islam merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara
menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika
bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor
produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa,
kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik menyangkut hak milik dan
hubungan sosial. Aktivitas bisnis merupakan bagian integral dari wacana ekonomi. Sistem
ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi lain, seperti
kapitalisme dan sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak begitu
tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Keringnya kedua sistem itu dari wacana
moralitas, karena keduanya memang tidak berangkat dari etika, tetapi dari kepentingan (interest).
Kapitalisme berangkat dari kepentingan individu sedangkan sosialisme berangkat dari
kepentingan kolektif.

Bisnis syariah merupakan implementasi/perwujudan dari aturan syari’at Allah. Sebenarnya


bentuk bisnis syari’ah tidak jauh beda dengan bisnis pada umumnya, yaitu upaya
memproduksi/mengusahakan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan konsumen. Namun
aspek syariah inilah yang membedakannya de ngan bisnis pada umumnya. Sehingga bisnis
syariah selain mengusahakan bisnis pada umumnya, juga menjalankan syariat dan perintah Allah
dalam hal bermuamalah. Untuk membedakan antara bisnis syariah dan yang bukan, maka kita
dapat mengetahuinya melalui ciri dan karakter dari bisnis syariah yang memiliki keunikan dan
ciri tersendiri. Beberapa cirri itu antara lain:

1. Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran
merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan
kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan
seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya”
(H.R. Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R.
Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para
pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
2. Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah. Nilai ruhiyah adalah kesadaran setiap manusia
akan eksistensinya sebagai ciptaan (makhluq) Allah yang harus selalu kontak dengan-Nya
dalam wujud ketaatan di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada tiga aspek paling tidak nilai
ruhiyah ini harus terwujud , yaitu pada aspek : (1) Konsep, (2) Sistem yang di berlakukan, (3)
Pelaku (personil).
3. Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram. Seorang pelaku bisnis syariah
dituntut mengetahui benar fakta-fakta (ta hqiqul manath) terhadap praktek bisnis yang Sahih
dan yang salah. Disamping juga harus paham dasar-dasar nash yang dijadikan hukumnya
(tahqiqul hukmi).
4. Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi. Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian
antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga
pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material.
5. Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat. Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat
keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di
lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam
konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan, memang berupa harta.
6. Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya.
Namun lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya. Untuk
mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah
dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika bisnis atau apapun yang kita
lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.
7. Etika bisnis dapat ditinjau dari sisi etika pendirian perusahaan, etika manajemen, etika
produksi, etika pemasaran atau marketing, etika menejer, etika karyawan, dan etika
konsumsi. Diasumsikan karena entitas, lembaga, institusi dan mukalaf (orang yang
bertanggung jawab) dalam islam tidak dapat dipisahkan, etika pribadi sebagai seorang
muslim yang mukalaf yang memiliki kewajiban selaku muslim berlaku juga pada
perusahaan, lembaga dan organisasi.

Beberapa macam etika bisnis yang ditinjau ,diantaranya :

a) Etika pendirian perusahaan

Umumnya dalam mendirikan perusahaan dalam islam yaitu dilandaskan beberapa etika, yaitu
hanya mendirikan bisnis dengan niat karena Allah dan menjalankannya sesuai dengan syariat
islam, menjadikan perusahaan sebagian dari fungsi amar makruf nahi munkar demi
kemashlahatan umat dan menjadikan perusahaan dengan fungsi sosial sesuai ketentuan syariat
islam.

b) Etika manajemen
Dalam perusahaan, pihak yang bertanggung jawab pada kegiatan bisnis adalah manajemen
sehingga sukar untuk memisahkan manajemen dan perusahaan. Perusahaan harus memiliki etika
yang dilaksanakan dan dipertanggung jawabkan oleh manjemen, pemilik, dan mereka yang
terlibat didalamnya seperti yang disyariatkan dalam islam. Etika yang harus diperhatikan
majemen yaitu, memberikan informasi yang lengkap dan benar, mendengarkan keluhan
pelanggan, tidak menjual barang yang rusak atau kadaluwarsa, tidak menjual barang haram,
memberikan hak konsumen berupa keamanan, menciptakan lingkungan atau budaya budaya
bisnis berdasarkan syariat, menerapkan manjemen yang jujur dan amanah sesuai syariat,
membayar kewajiban (pajak, zakat, infak dan sedekah) serta mematuhi semua perintah Allah dan
pemerintah.

c) Etika produksi

Memproduksi adalah usaha perusahaan yang menggunakan manusia dan mesin untuk
menukarkan bahan – bahan dan bagian kepada produk yang boleh dijual. Bermula dari proses
produksi lagi para pengusaha harus berpegang pada nilai – nilai dan etika yang luhur untuk
mengelakkan kesalahan seperti penyedian produk yang tidak berkualitas, produk atau prosesnya
yang mencemarkan alam sekitar dan juga penjualan produk yang membahayakan kon sumen.

d) Etika pemasaran atau marketing

Pemasaran adalah suatu kegiatan yang terus menerus berlaku didalam masyarakat dan
diharuskan untuk memenuhi kebutuhan tiap individu. Kegiatan pemasaran perlu dikelola dengan
metode 4P (produk, price, promosi dan place.

e) Etika menejer

Etika menejer merupakan standar perilaku yang memandu menejer dalam melakukan
aktivitas mereka. Dalam pandangan islam, sseorang menejer harus menjadi penerima manajemen
yang amanah, memperlakun bawahan sesuai dengan nilai islam, mengharagai keyakinan
karyawan lain, membentuk iklim tim yana islami dan tidak melakukan manipulasi dalam bentuk
apapun.

f) Etika karyawan
Dalam hubungan kerja, banyak nilai – nilai norma yang harus titanam dan dijaga. Dalam
pandangan islam seorang karyawan harus bekerja secara ikhlas dan dianggap ibadah, jujur dan
amanah, mematuhi pemimpin, dan rela bekerja sama dengan tim lain.

g) Etika konsumsi

Pola konsumsi dalam islam harus menjamin agar konsumsi itu akan melahirkan serta dapat
menciptakna jiwa yang sehat dan tentram, menciptakan akhlak yang mulia. Islam menganjurkan
untuk membelanjakan uang agar dapat berputar untuk kemajuan perekonomian. Islam
menganjurkan sifat filantropik berupa kegiatan infak, wakaf dan sedekah.

2.4 Aktivitas Bisnis yang dilarang oleh Islam

Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim


haruskomitmen dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang
pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yangdiharamkan oleh
syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu melakukan usaha yang
mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak halal atau mengandung bahan tak
halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau semua yang berhubungan dengan dunia gemerlap
seperti night club discotic cafe tempat bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang
menghentak, suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-A’raf;32. QS: Al
Maidah;100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan.

Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal.Praktik riba yang
menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS: Al
Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis yang tidak
transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar kemungkinan akan
merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk dinikmati oleh orang lain serta
mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi adalah perbuatan tercela dan mendapat
ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34 –35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk
tujuan yang tidak bermanfaat dan berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang
melampaui batas. Kesemua sifat tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana
dalam penggunaan harta dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31).
Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalamAl-Qur’an
surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian kamu dengan cara
yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair Rasulullah mencela perbuatan
tersebut : ”Barangsiapa yang melakukan monopoli maka dia telah bersalah”, ”Seorang tengkulak
itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang yang melakukan monopoli itu dilaknat”. Monopoli
dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya
dengan berbagai cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk
memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar. Rasulullah
bersabda : ”Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk memahalkan harga, niscaya Allah
akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka kelak di hari kiamat”.

Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat
menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan.
Allah berfirman dalam QS:Al-Isra;35: ”Dan sempurnakanlah takaran ketika kamu menakar dan
timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda ”Apabila kamu menjual maka jangan
menipu orang dengan kata-kata manis”.

Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang dilakukan
sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang dalam ajaran Islam.
Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat dikelompokkan sebagai
berikut :

A. Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukanoleh penjual
seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang artis yang memberikan
testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak mengkonsumsinya.
B. Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan di media
televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor, atau kita dengarkan
lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.
C. Eksploitasi wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun produk
lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya dianggap menarik. Atau
dalam suatu pameran banyak perusahaan yang menggunakan wanita berpakaian minim
menjadi penjaga stand pameran produk mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu
pembeli agar melakukan pembelian terhada p produk mereka.Model promosi tersebut dapat
kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam sebagai agama yang menyeluruh
mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian yang
lain.
D. Demikian pula pada proses jual beli harus dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian
utama. Jika penguasa ingin mendapatkan rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai
pedagang tentu ingin dinaikkan derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti
syari’ah Islam secara menyeluruh, termasuk ’etika jual beli’.

BAB III

KESIMPULAN

Etika bisnis adalah norma-norma atau kaidah etik yang dianut oleh bisnis, baik sebagai
institusi atau organisasi, maupun dalam interaksi bisnisnya dengan “stakeholders”nya. Prinsip
Rasulullah dalam berniaga/berbisnis ada 3 hal, yaitu jujur, saling menguntungkan kedua pihak,
hanya menjual produk yang bermutu tinggi. Hal-hal yang Dilarang dalam Berbisnis antaralain:
Bisnis yang mengandung modus penipuan, mengandung unsur Riba, mempejual-belikan barang
haram, Bisnis yang barang daganganya belum pasti, begerak dalam perjudian, bergerak dalam
perdagangan manusia & seksual

Hal-hal yang Dianjurkan dalam Berbisnis antaralain: menggunakan niat yang tulus,
Alquran dan Hadist sebagai pedoman berbisnis, meneladani akhlak Rasulullah, melakukan jual-
beli yang halal. Membangun Etika dalam Bisnis dapat kita lakukan dengan cara-cara berikut,
yaitu mengenal diri untuk merumuskan tujuan, mendeteksi etika apa yang paling sering Anda
abaikan, pelatihan etika bisnis pada diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

http://cara-muhammad.com/perilaku/cara-berdagang-rasulullah-saw/

http://ikutizaman.blogspot.co.id/2014/06/beberapa-hal-yang-dilarang-dalam.html

https://windaswarpandhani.wordpress.com/2015/11/01/indikator-prinsip-dan-cara-membangun-
etika-bisnis-dalam-organisasi/

http://bisnisi.com/pengertian-definisi-tujuan-dan-fungsi-etika-bisnis/

Anda mungkin juga menyukai