Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TASAWUF

TASAWUF DALAM BISNIS

MARTA ASNAWI
13660072

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
2016

1 | Ta s a w u f D a l a m B i s n i s

A. PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan terbesar bangsa ini salah satunya adalah permasalahan di bidang
ekonomi. Semenjak krisis moneter pada than 1997, sampai saat ini belum terlihat tanda-tanda
adalah perbaikan di bidang itu kea rah yang lebih baik. Berbagai masalah yang di hadapi Negara
ini seperti kemiskinan, pengangguran, kelaparan, dan lain-lain. Hal itu semua dapat menjadi
beberapa indicator lemahnya sebuah bangsa. Padahal salah satu indikasi kemajuan peradaban
manusia dalam suatu Negara diukur melalu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
bahkan ekonomi. Semakin maju perkembangan kehidupan suatu bangsa, semakin maju pula
perkembang ekonomi di suatu negara tersebut, dan juga sebaliknya.
Kondisi ekonomi Indonesia yang carut marut tersebut tentunya akan berdampak pada
masalah yang sangat serius bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa. Hal ini diindikasikan
dengan melambungnya harga barang-barang kebutuhan, inflasi yang tinggi, membengkaknya
jumlah pengangguran dan kemiskinan yang berujung pada meningkatnya tingkat kriminalitas
(korupsi, perampokan, pencurian, penipuan, pembunuhan dll.) merupakan sebuah pemandangan
nyata yang kita saksikan di negeri Indonesia. Ironis memang, sebuah negeri yang kaya dengan
sumber daya alam harus mengalami kisah seperti ini.
Ajaran agama dan nilai moral seolah tidak lagi mempan membendung berbagai tindak
kriminal tersebut dan menghindarkan umat manusia dari kecenderungan berkhianat,
menyimpang dan berdusta. Nasihat agama sepertinya tak berbekas, para tokoh agama kehilangan
wibawa, moral dan ritual ibadah juga mandul dan tidak memberi pengaruh pada perilaku
keseharian. Seharusnya setiap ibadah mampu mampu merubah perilaku dan mental yang lebih
baik. Sebagaimana yang dipesankan Allah melalui ayatNya tentang shalat:
Sesungguhnya shalat itu mampu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
munkar. (QS. Al-Ankabut/29: 45)
Beribu-ribu umat Islam baik pegawai negeri maupun karyawan swasta menunaikan shalat
bahkan hampir seluruh masjid perkantoran dan perindustrian. Tiap waktu shalat tidak pernah sepi
dari jamaah, acara kerohanian yang berupa kajian agama, dzikir berjamaah, istighosah, renungan
dan mabit mereka lakukan, namun catatan kejahatan agama, moral dan kemanusiaan tetap saja
tidak berkurang. Aksi kriminalitas sosial dan agama makin marak, bahkan korupsi, kolusi, suap,
sogok (risywah), pungli, dan money politics, termasuk penyelundupan, illegal loging
2 | Ta s a w u f D a l a m B i s n i s

(pembalakan liar), illegal fishing (pencurian ikan), illegal mining (penambangan liar) makin
subur.
Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja bila bangsa ini ingin menjadi bangsa yang
beradab. Keadaan seperti ini harus dicari akar permasalahannya. Persoalan yang pelik ini bukan
saja menjadi tanggungjawab negara dan pemerintah sebagai pengayom masyarakat an sich,
tetapi juga keharusan bagi kita sebagai masyarakatmaka segenap bangsa Indonesia harus dapat
memulihkan kembali kehidupan ekonomi dan bisnisnya dengan turut berkontribusi dalam upaya
pengentasan kemiskinan, pembukaan kesempatan kerja, dan peningkatan kualitas masyarakat
yang melek teknologi dan informasi (IT Literacy) bila bangsa ini ingin menjadi suatu bangsa
yang disegani, dihormati dan bermartabat.
Dengan demikian, perkembangan bisnis merupakan indikator kemajuan atau kemunduran
suatu bangsa. Sebagai bangsa yang ingin maju tentu saja kita berharap kehidupan bisnis di negeri
ini dapat segera pulih dan bergariah kembali. Kegairahan kehidupan bisnis akan membawa
keuntungan semua pihak yang terlibat, seperti produsen, distributor, pemasok, karyawan,
konsumen, perbankan, pemerintahan dan masyarakat luas.1

B.

ETIKA BERBISNIS DALAM ISLAM


Berbicara masalah etika, maka tidak bisa dilepaskan dari tingkah laku keseharian yang

biasa kita kerjakan. Hal ini cukup beralasan mengingat etika merupakan perangkat aturan yang
berisi tentang nilai-nilia moral (kebaikan) yang penting untuk difahami dan diaplikasikan dalam
setiap aktivitas sehari-hari. Etika senantiasa berhubungan dengan boleh dan tidaknya sesuatu
harus dikerjakan atau dijalankan. Dalam lingkungan masyarakat, kita acapkali mendengar
bahkan menyaksikan sendiri, bahwa seseorang akan dianggap tidak memiliki etika manakala
seseorang tersebut memerankan atau melakukan sesuatu yang tidak lazim, atau dalam pengertian
yang lebih detail adalah dianggap bertentangan dengan asas kepantasan umum seperti melanggar
norma dan sejenisnya. Masyarakat akan menilai bahwa sesuatu yang dilakukan seseorang adalah
tidak baik atau tidak pantas dan sebutan sejenisnya tatkala masyarakat menganggap bahwa apa
yang dilakukan seseorang tersebut dinilai keluar dari norma dan tradisi yang umum berlaku di

1 Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, Penerbit Kencana, Bogor, 2003, hal. 181

3 | Ta s a w u f D a l a m B i s n i s

masyarakat setempat. Oleh karena itu, etika menjadi penting sebagai guideline yang harus
difahami manusia dalam kaitannya dengan aktivitias yang mereka lakukan.
Bisnis merupakan salah satu di antara sekian cara untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Sebagaian pakarseperti dikutip Quraish Shihabmendefinisikan bisnis atau ilmu ekonomi
sebagai ilmu mengenai perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan uang
dan membelanjakannya.2 Pendorong bagi kegiatan ini adalah kebutuhan dan keinginan manusia
yang tidak mungkin diperolehnya secara mandiri. Selama ini tidak sedikit orang yang memahami
bisnis adalah bisnis, yang tujuan utamanya adalah memperoleh keuntungan sebanyakbanyaknya, dan ini memang dibenarkan dalam Islam. Karena dilakukannya bisnis memang untuk
mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah).
Prinsip ekonomi klasik yang mengendalikan modal sekecil mungkin dan mengeruk
keuntungan sebesar mungkin ternyata telah menjadikan para pelaku bisnis menghalalkan segala
cara untuk meraih keuntungan, mulai dari cara memperoleh bahan baku, bahan yang digunakan,
tempat produksi, tenaga kerja, pengelolaannya, dan pemasarannya dilakukan seefektif dan
seefisien mungkin. Hal ini tidak mengherankan jika para pelaku bisnis jarang memperhatikan
tanggung jawab sosial dan mengabaikan etika bisnis.
Etika bisnis dalam studi Islam selama ini kajiannya didasarkan pada Al-Quran. Faisal
Badroen mendeskripsikan etika bisnis sebagai seperangkat nilai baik, buruk, salah, dan benar
dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas. 3 Menurutnya, etika bisnis
mempunyai prinsip dan norma di mana para pelaku bisnis harus komit padanya dalam
bertransaksi, berperilaku, dan berelasi guna mencapai tujuan-tujuan bisnisnya dengan selamat.
Etika bisnis dapat berarti juga etika manajerial atau etika organisasional yang disepakati oleh
sebuah perusahaan. Etika bisnis juga dapat diartikan sebagai pemikiran atau refleksi tentang
moralitas dalam ekonomi dan bisnis, yakni refleksi tentang perbuatan baik, buruk, benar dan
salah, terpuji, tercela, wajar, tidak wajar, pantas, tidak pantas dari perilaku seseorang dalam
berbisnis atau bekerja.4

2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat,
Penerbit Mizan, Bandung, Edisi Kedua, 2013, hal. 530
3 M. Fajar Hidayanto, Etika Bisnis dalam Islam (Book Review Faisal Badroen), Jurnal Ekonomi
Islam La_Riba, Vol. I. No. 1, Juli 2007, hal. 145
4 Ibid.

4 | Ta s a w u f D a l a m B i s n i s

Dalam pandangan Islam, setiap orang yang akan melakukan bisnis, apalagi dia orang
yang beriman, maka haruslah memperhatikan aturan ataupun etika yang terdapat dalam Islam.
Seorang mukmin yang berbisnis janganlah sampai melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan syariat. Menurut Rahmat Hanna, Rasulullah banyak memberikan petunjuk
mengenai etika bisnis, di antaranya ialah5; pertama, prinsip esensial dalam bisnis ialah kejujuran.
Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah
sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Beliau bersabda:
Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia
menjelaskan aibnya. (HR. Quzwani)
Kejujuran Nabi Muhammad dalam bertransaksi dilakukan dengan cara menyampaikan
kondisi riil barang dagangannya. Ia tidak menyembunyikan kecacatan barang atau
mengunggulkan barang dagangannya, kecuali sesuai dengan kondisi barang yang dijualnya.
Praktek ini dilakukan dengan cara yang wajar dan dengan bahasa yang santun. Beliau tidak
menggunakan sumpah untuk meyakinkan apa yang dikatakannya, termasuk menggunakan nama
Tuhan.
Kedua, taawun (tolong-menolong). Dalam Islam, berbisnis tidak hanya mengejar
keuntungan saja (profit oriented), tapi juga harus memperhatikan sikap taawun (tolongmenolong) antar sesama sebagai implikasi sosial bisnis. Ketiga, tidak melakukan sumpah palsu.
Nabi Muhammad sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam
melakukan transaksi bisnis. Nabi bersabda:
Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya
tidak berkah. (HR. Bukhari)
Keempat, bisnis dilakukan atas dasar suka rela atau tanpa paksaan. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu. (Q.S. Annisa: 29).
Dan kelima, bisnis dalam Islam harus bersih dari unsur riba. Allah jelaskan dalam ayatNya:

5 Rahmat Hanna, Etika Bisnis dalam Islam, Makalah, hal. 1

5 | Ta s a w u f D a l a m B i s n i s

Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman.
(Q.S. Al-Baqarah: 278)
Sementara menurut M. Quraish Shihab paling tidak dalam Islam ada empat prinsip
pokok yang harus diperhatikan dalam setiap aktivitasnya, termasuk di dalamnya adalah aktivitas
bisnis.6 Keempat prinsip pokok tersebut ialah tauhid, keseimbangan, kehendak bebas dan
tanggung jawab.
Menurutnya, prinsip tauhid akan mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi
(bisnis) untuk meyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman tangannya adalah
milik Allah, yang antara lain diperintahkan oleh Pemiliknya agar diberikan (sebagiannya) kepada
yang membutuhkan. Allah berfirman:
Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang diberikan-Nya kepada kamu.
(QS. Annur: 33)
Dalam pandangan Islam, harta kekayaan bahkan segala sesuatu adalah milik Allah. Jika
diamati, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan uang atau harta kekayaan, tidak lain
kecuali hasil rekayasa manusia dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Allah. Di samping
itu, keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi
terdapat juga partisipasi orang lain atau masyarakat. Makanya wajar, jika Allah memerintahkan
manusia untuk menyisihkan sebagian dari apa yang ada di genggaman tangannya demi
kepentingan masyarakat umum.
Banyak ayat Al-Quran maupun hadis yang mendorong umat Islam untuk
mengembangkan harta dengan semangat etos kerja yang tinggi guna memperoleh harta kekayaan
secara halal.
Dorongan utama seorang muslim untuk bekerja adalah bahwa aktivitas yang dilakukan
guna memperoleh harta, dalam pandangan Islam merupakan bagian dari ibadah. Karena
termasuk nilai ibadah tersebutlah, maka aktivitas perolehan harta yang dilakukan haruslah
dengan prinsip kehati-hatian sehingga terlepas dari perihal perbuatan yang dapat merugikan
orang lain dan usaha yang haram, semisal adanya unsur riba, (Al-Baqarah: 273-281), perjudian,
jual beli barang yang dilarang, atau haram (Al-Maidah: 90-91), mencuri, merampok,
6 M. Quraish Shihab, Op. Cit., hal. 539

6 | Ta s a w u f D a l a m B i s n i s

penggosoban (Al-Maidah: 38), curang dalam takaran atau timbangan (Al-Muthaffifin: 1-6),
melalui cara-cara yang bathil dan merugikan (Al-Baqarah: 188), dan melalui suap menyuap. Di
samping itu juga, usaha perolehan harta yang dilakukan tidak menyebabkan pelakunya menjadi
lalai akan kewjiban-kewajiban syari yang lain, misalnya melupakan dzikrullah (tidak ingat
kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya) (Al-Munafikun: 9), melupakan shalat dan zakat (anNur: 37), serta kewajiban-kewajiban lainnya terkait hubungan yang bersifat transenden maupun
kehidupan sosial.7
Prinsip keseimbangan mengantarkan kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan
pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Allah menjelaskan melalui
firman-Nya:
Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja di antara kamu. (QS. AlHasyr: 7)
Dari sini juga datang pemahaman tentang larang penimbunan dan pemborosan. Nabi
bersabda:
Barang siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan tujuan menaikkan
harga, maka ia telah berlepas diri dari Allah juga berlepas diri darinya. (HR. Abu Daud)
Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskan pemerintah untuk
mengontrol harga, bahkan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar
bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah oleh seluruh anggota
masyarakat. Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkan oleh manusia (pelaku
bisnis) demi terlaksananya keadilan baik secara individu maupun kolektif.
Dalam perkembangannya etika bisnis dipengaruhi oleh setidaknya tiga hal, yaitu
filsafat, kebudayaan dan agama. Pengaruh filsafat terhadap etika bisnis sangat besar, karena etika
itu merupakan bagian dari filsafat. Kebudayaan juga berpengaruh dalam etika bisnis, karena
pelaku bisnis biasanya memiliki kebudayaan tertentu, termasuk di bidang bisnis. Lalu agama
berpengaruh pula dalam etika bisnis, terutama bagi pelaku bisnis yang beragama. Kalau pelaku
bisnis itu beragama Islam, maka etika bisnis Islam tentu berpengaruh pada kehidupan bisnis
mereka.8
C. BISNIS DAN TASAWUF
7 Sofyan Zefry, Konsep Harta dalam Islam, Kajian terhadap Peran Harta dalam Aktivitas
Bisnis Berbasis Syariah, Makalah, hal. 23
8 Sudirman Tebba, Op. Cit., hal. 184

7 | Ta s a w u f D a l a m B i s n i s

Etika bisnis dalam Islam dipengaruhi oleh tasawuf, suatu ilmu yang mempelajari cara dan
jalan bagi orang untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Sebab untuk mendekatkan diri
dengan Allah orang Islam harus menjauhi akhlak yang tercela dan mengamalkan akhlak yang
terpuji.
Tasawuf juga menghendaki pelaksanaan syariat, sebab tasawuf dan syariat tidak boleh
dipisahkan satu sama lain, apalagi dipertentangkan. Seperti yang dikatakan Imam Malik,
Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq Barang siapa berfikih tanpa
bertasawuf maka dia fasik Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada
hakikat.
Tasawuf merupakan aspek esoteric (batiniah), sedang syariat adalah aspek eksoteris (lahiriyah)
Islam. Kedua aspek Islam ini saling terintegrasi. Karena itu, orang Islam yang bersyariat harus
mengamalkan tasawuf. Sebaliknya orang yang bertasawuf harus pula melaksanakan syariat.
Dalam syariat terdapat ajaran tentang hubungan sesama manusia di segala bidang kehidupan,
termasuk bisnis.
Kahf seperti dikutip Tarigan mendefinisikan kegiatan produksi sebagai usaha manusia
untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana
untuk mencapai tujuan hiduap sebagaimana yang digariskan dalam agama Islam, yaitu
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan kata lain, produksi dalam Islam tidak semata-mata
ditujukan untuk memperoleh keuntungan belaka seperti yang terdapat dalam sistem ekonomi
kapitalis. Dalam perspektif Islam, yang paling utama tampaknya adalah pada hal kemanfaatan.
Bagaimana barang atau jasa yang dihasilkan dapat melahirkan sebesar-besarnya manfaat bagi
kemanusiaan.9 Sedangkan tujuan distribusi adalah mempertemukan kepentingan konsumen dan
produsen dengan tujuan kemaslahtan umat. Ketika konsumen dan produsen memiliki motif
utama yaitu memenuhi kebutuhan maka distribusi sepatutnya melayani kepentingan ini dan
memperlancar segala usaha menuju pencapaian tersebut.10
Distribusi barang-barang haram menurut agama Allah pasti tidak akan membawa berkah
bagi kesejahteraan masyarakat, bahkan sebaliknya berjalan dengan kehancuran. Amerika yang
disebut sebagai Negara adidaya misalnya, dalam system pertahanannya ternyata tidak sanggup
9 Azhari Akmal Tarigan, Tafsir ayat-ayat ekonomi, sebuah eksplorasi melalui kata-kata kunci
dalam al-Quran, Cipta Pustaka Media Perintis Bekerjasama dengan Prodi Ekonomi Islam
Fakultas Syariah IAIN Sumut, 2012, hal.179
10 Ibid., hal. 198

8 | Ta s a w u f D a l a m B i s n i s

untuk menahan laju kehancuran masyarakatnya melalui permabukan (lewat alcohol), kehilangan
kesadaran (lewat narkoba), obesitas (kegemukan, lewat lemak babi dan pola makan yang
tamak), nasab keluarga yang tidak jelas (lewat free sex), tingginya angka bunuh diri dan
kriminalitas (material oriented), dan sebagainya.11
Islam mengatur perdagangan, dan perilaku masyarakat yang mengharamkan khamr, daging
babi, narkoba, pelacuran, dan sebagainya; secara empiris bagi Negara yang benar-benar
melaksanakannya maka akan terhindar dari gangguan orang mabuk di jalan, ketularan penyakit
menular lewat perzinahan, dan seterusnya. Pejabat yang dengan kewanangannya telah
menghambat laju keruntuhan suatu bangsa dengan beribadah melalui pemberlakuan software
Islami yakni aturan sosial Islam ke masyarakat, jauh lebih berjasa jika dibandingkan dengan ahli
ibadah formal dalam masjid atau seorang syuhada dalam medan perang. Karena dampak
sosialnya yang jauh lebih luas dan penyelamatan kehormatan dan jiwa manusia yang demikian
banyak.12
Suatu perdagangan akan memenuhi standar Ilahiah bila terdapat beberapa ketentuan
berikut; jelas barangnya (azas keterbukaan), jelas kuantitasnya, suka sama suka (bukan tipu
daya), dan tidak mencari keuntungan berlebihan (nilainya relative dan sangat tergantung kondisi
masyarakat).

Keterlibatan Negara
Negara memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen dengan cara membuat aturan dan
sanksinya serta eksekusi dari sanksi tersebut. Mereka bisa menuntut ganti rugi terhadap produsen
barang yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan. Seorang negarawan atau pejabat yang
berkuasa untuk membuat undang-undang atau peraturan hendaknya menyadari bahwa dalam hal
perdagangan terdapat pintu masuk untuk melakukan amal shaleh atau peribadatan sosial yang
dampak sosial dan politiknya sangat luas, baik bagi kemaslahatan umat maupun pembelaan
terhadap berjalannya aturan Allah di permukaan bumi. Distribusi barang-barang haram menurut
agama Allah tidak akan membawa berkah bagi kesejahteraan masyarakat.

11 Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Op. Cit., hal. 46


12 Ibid., hal. 47

9 | Ta s a w u f D a l a m B i s n i s

D. PENTINGNYA ETIKA DALAM BISNIS


Selain kita berhubungan dengan manusia (hablum minannas) kita juga harus menjalin
hubungan dengan Sang Khaliq (hablum minallah), sehingga dalam setiap tindakan kita merasa
ada yang mengawasi yakni Allah SWT. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap
muslim dalam berbisnis. Hal ini karena bisnis dalam Islam tidak semata mata orientasi dunia
tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka
persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
Fakta ini umumnya dipengaruhi oleh prinsip ekonomi yang bebas nilai. Argumentasi ini
diperkuat dengan asumsi bahwa pasar yang kompetitif tidak akan pernah menjadikan aspek
moral sebagai pertimbangan penting, melainkan aspek produksi dan efisiensilah yang menjadi
aspek krusial. Di sini pengusaha atau para pemilik modal dituntut tidak sekedar harus
mempunyai komitmen untuk menjalankan bisnisnya sesuai dengan aturan main yang ada, akan
tetapi mempunyai tanggungjawab moral dan sosial terhadap lingkungan kerja dan sekitarnya.
Lebih tepatnya, usaha yang dikembangkan pelaku usaha dalam bidang apa pun tidak serta merta
hanya memikirkan keuntungan semata, melainkan bisa membawa nilai manfaat bagi pekerja dan
masyarakat.

.
E.

LANDASAN SUFISTIK
Esensi agama Islam adalah moral13, yakni moral antara seorang hamba dengan

Tuhannya, antara seorang dengan dirinya, antara dia dengan orang lain, termasuk anggota
masyarakat dengan lingkungannya. Moral yang terjalin antara seorang hamba dengan Tuhannya
menegasikan berbagai moral yang buruk, seperti tamak, rakus, gila harta menindas,
mengabdikan diri kepada selain Khaliq, membiarkan orang lain yang lemah atau berkhianat.
Sementara moral seseorang dengan dirinya melahirkan tindakasn positif dalam dirinya, seperti
menjaga kesehatan jiwa dan raga, menjaga fitrah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruh dan
jasmaninya. Adapun moral terhadap orang lain atau anggota masyarakat akan melahirkan
13 Abdul Muhaya, Peranan Tasawuf dalam menanggulangi Krisis Spiritual, dalam Amin
Syukur dan Abdul Muhaya (Pengantar), Spiritual dan Krisis, Pustaka Pelajar, 2001,
Yogyakarta, hal. 23

10 | T a s a w u f D a l a m B i s n i s

keharmonisan, kedamaian dan keselarasan dalam hidup yang dapat mencegah, mengobati
berbagai krisis spiritual moral dan budaya.
Tasawuf yang ajarannya mengenai moral/akhlak yang hendaknya diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal. 14 Menurut Ibnu Khaldun
seperti dikutip Ali Yafie, pola dasar tasawuf adalah kedisiplinan beribadah, konstentrasi tujuan
hidup menuju Allah untuk mendapatkan ridha-Nya, dan upaya membebaskan diri dari
keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau
kesenangan duniawi lainnya. 15
Ajaran yang terdapat dalam tasawuf, menurut Amin Syukur, meliputi takhalli, yaitu
penyucian diri dari sifat-sifat tercela, yang dilakukan dengan penghayatan, keimanan dan ibadah,
latihan sungguh-sungguh terhadap nafs dan muhasabah. Kemudian tahalli, yaitu menghiasi dan
membiasakan diri dengan sikap perbuatan terpuji, dan tajalli, yaitu tersingkapnya Nur Ilahi
(Cahaya Tuhan), atau terbukanya hijab serta mampu membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk seiring dengan sirnanya sifat-sifat kemanusiaan pada diri manusia.16
Ada beberapa nilai moral dalam konsep kerja dan bisnis Islam dalam perspektif tasawuf
yang dapat diterjemahkan dalam bentuk aplikasi etos kerja, yakni: pertama, adanya keimanan
atau keyakinan bahwa tujuan manusia dalam melakukan pekerjaan adalah beribadah kepada
Allah dan memakmurkan kehidupan dengan mengelola bumi beserta isinya. Allah menjelaskan
dalam firman-Nya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku
tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka
memberi Aku makan. (QS. Adz-Dzariyat: 56-57)
Kedua, bahwa kerja adalah usaha untuk mewujudkan keseimbangan antara pemenuhan
kebutuhan jiwa dan jasmani (QS. Al-Qashash: 77). Menurut Hamka, keseimbangan antara jiwa
dan jasmani adalah suatu yang mutlak. Kalau jiwa dalam kondisi sehat, maka dengan sendirinya
akan terpancar bayangan kesehatan pada mata yang darinya memancar nur yang gemilang timbul
dari sukma yang tiada sakit. Demikian juga kesehatan badan yang akan membukakan pikiran,
14 Ali Yafie, Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Marifah, dalam Budhy Munawar Rahman
(Editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Paramadina, 1995, hal. 181
15 Ibid., hal. 182
16 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka Pelajar,
2012, Yogyakarta, hal. 2

11 | T a s a w u f D a l a m B i s n i s

kecerdasan akal, menyebabkan kebersihan jiwa seseorang. Menurutnya, pengendalian diri


terhadap timbulnya sakit jiwa dan badan diperlukan pemeliharaan kesehatan yang berupa:
bergaul dengan orang-orang yang beriman, membiasakan pekerjaan berfikir, menahan syahwat
dan marah, bekerja dengan teratur dan menimbang sebelum mengerjakan, serta mengoreksi aib
sendiri.17
Ketiga, bahwa bekerja keras adalah untuk mendapatkan rezeki disertai dengan tawakkal
dan takwa kepada Allah (QS. Al-Mulk: 15). Keempat, bekerja atau usaha haruslah dilakukan
dengan cara yang halal dan menghindari cara yang haram (QS. Al-Maidah: 100). Kelima, bekerja
haruslah menghindari cara-cara ribawi (QS. Al-Baqarah: 278-279). Keenam, tidak bekerja sama
dengan musuh Islam (QS. At-Taubah: 71). Ketujuh, memiliki keyakinan bahwa seluruh materi di
dunia ini hanya milik Allah, seorang manusia hanya bertugas sebagai khalifah (QS. Al-Hadid: 7).
Kedelapan, menjaga kepemilikan materi haruslah dilakukan dengan jalan yang halal (QS. AnNisa: 5). Kesembilan, adanya keharusan memiliki sifat amanah, jujur, dan paham akan segala
aspek perdagangan (QS. Al-Baqarah: 117).
Salah satu ajaran yang terdapat dalam tasawuf ialah zuhud. Zuhud selama ini dipahami
sebagian orang sebagai sikap anti dunia, atau kehidupan yang jauh dari gemerlapan dunia,
kehidupan yang menyepi dari keramaian dan hirup pikuk kesibukan dunia. Banyak yang mengira
kalau zuhud adalah meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan
yang halal.
Zuhud bukanlah meninggalkan kenikmatan dunia, bukan berarti mengenakan pakaian
lusuh, dan bukan berarti miskin. Zuhud juga bukan berarti hanya duduk di masjid, beribadah dan
beribadah saja tanpa melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Akan tetapi zuhud merupakan salah
satu sikap untuk menjaga jarak dari dunia, artinya kita menjadikan dunia sebagai sarana untuk
beribadah, menggapai kebahagiaan di akhirat, dan bukan menjadikannya sebagai tujuan hidup.
Zuhud adalah hilangnya ketergantungan hati terhadap harta, bukan berarti sepi dari harta. Di sini
zuhud berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak
merasa bersediah karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. 18 Karena kehidupan dunia
hanyalah sementara, sesuai dengan firman Allah: Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya

17 Hamka, Tasawuf Modern, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1996, hal. 225


18 Amin Syukur, Tasawuf di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hal. 3

12 | T a s a w u f D a l a m B i s n i s

sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan
teraniaya sedikitpun. (QS. Annisa: 77).
Dengan demikian sikap zuhud melahirkan sikap menahan diri memanfaatkan harta untuk
kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan saja aset ilahiyah yang
mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga sebagai aset sosial dan mempunyai tanggung jawab
pengawasan

aktif

terhadap

pemanfaatan

harta

dalam

masyarakat.

Zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam diri sendiri, terutama dalam
menghadapi gemerlapnya materi. Dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti
qanaah (menerima apa yang telah ada/dimiliki), tawakkal (pasrah kepada Allah Swt.),
wara yaitu menjaga diri agar jangan sampai makan barang yang meragukan (syubhat), sabar,
yakni tabah menerima keadaan dirinya baik keadaan itu menyenangkan, menyusahkan dan
sebagainya, syukur, yakni menerima nikmat dengan hati lapang, dan mempergunakan sesuai
dengan fungsi dan proporsinya.
Yang perlu diketahui bahwa sifat-sifat itu merupakan bekal menghadapi kenyataan
hidup ini bukan menjadikan seseorang pasif, seperti tidak mau berusaha mencari nafkah, ekslusif
dan menarik diri dari keramaian dunia, tetapi sebaliknya, sebab seorang muslim hidup di dunia
ini membawa amanah, yakni membawa fungsi kekhalifahan, yang berarti sebagai pengganti
Tuhan, pengelola, pemakmur, dan yang

meramaikan dunia ini. Sifat-sifat tersebut merupakan

sikap batin dalam menyikapi keadaan masing-masing individu. Setiap manusia diwajibkan
berikhtiar untuk menjadikan dirinya lebih baik dari keadaan sekarang.

F. PENUTUP
Islam mengajarkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan untuk bekerja.
Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta
kekayaan, dan salah satu ragam bekerja adalah berbisnis sebagai usaha atau mata pencaharian
(maisah) dengan cara dan mekanisme perolehan yang halal dan sesuai dengan aturan main-Nya.
Bila masing-masing pelaku bisnis memperhatikan, memahami dan menyadari serta
mengaktualisasikan praktek-praktek bisnis yang berlandaskan pada nilai-nilai esoteris Islam,
antara pedagang dan pembeli, antara produsen dan konsumen, antara pemilik modal dan
13 | T a s a w u f D a l a m B i s n i s

pelaksananya, disertai dengan aturan-aturan hukum yang jelas dan pemahaman tentang etika
berbisnis yang terdapat pada diri mereka, maka dapat dipastikan akan tercipta suatu kondisi
bangsa yang dijanjikan Allah sebagai Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

14 | T a s a w u f D a l a m B i s n i s

DAFTAR PUSTAKA
Muhaya, Abdul. Peranan Tasawuf dalam menanggulangi Krisis Spiritual, dalam Amin
Syukur dan Abdul Muhaya (Pengantar), Spiritual dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),
2001
Yafie , Ali. Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Marifah, dalam Budhy Munawar Rahman
(Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Paramadina), 1995
Tarigan , Azhari Akmal, Tafsir ayat-ayat ekonomi, sebuah eksplorasi melalui kata-kata
kunci dalam al-Quran, Cipta Pustaka Media Perintis Bekerjasama dengan Prodi Ekonomi Islam
Fakultas Syariah IAIN Sumut, 2012
Sastrahidayat, Ika Rochdjatun. Membangun Etos Kerja dan Logika Berfikir Islami,
(Malang: UIN-Malang Press), 2009
Hidayanto, M. Fajar. Etika Bisnis dalam Islam (Book Review Faisal Badroen), Jurnal
Ekonomi Islam La_Riba, Vol. I. No. 1, Juli 2007

15 | T a s a w u f D a l a m B i s n i s

Anda mungkin juga menyukai