Anda di halaman 1dari 14

Artikel Pentingnya Industri Halal Bagi Bangsa dan Negara

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Islam


Dosen Pengampu : Harun Al Rasyid, BS., M

Disusu Oleh :
Salma Kholis Arjunawati NPM : 21601082215

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
AKUNTANSI
2018
Pentingnya Industri Halal Bagi Bangsa dan Negara

Dewasa ini industri halal telah menjadi objek populer dan tren terkini dalam
dunia bisnis internasional. Bahkan beberapa tahun ini cukup menjadi perhatian para
pelaku bisnis maupun para konsumen itu sendiri. Sebenarnya sejak jaman Rasulullah
dahulu sudah menerapkan industri halal yang mana pada saat Rasulullah berhijarah
dari Makkah ke Madinah, Beliau menyatukan kaum Muhajjirin dan Kaum Anshor
untuk menjadi saudara dan membuat kebijakan – kebijakan fiscal dalam mengatur
perekonomian suatu negara yang halal dan tayyib dengan melarang memiliki
sifat bukhl (pelit), isrof (berlebihan), risywah (suap) dan lain sebagainya. Juga
pembahasan seputar hukum perdagangan atau jual beli, syirkah (kerjasama
bisnis), syina’ah (industri), az-zara’ah (bertani) dan lain sebagainya, juga larangan
terhadap praktek qimar (judi), riba, tadlis fil bai’ (menyembunyikan cacat dalam jual
beli), ghabn fahisy (penipuan) dan lain sebagainya. Hukum-hukum demikian adalah
hukum-hukum Islam mengenai pemanfaatan kepemilikan, baik pembelanjaan harta
(infaq) maupun pengembangan harta (tanmiyah).
Bagi warga Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim mungkin
saat mengkonsumsi makanan yang halal thoyyiban menjadi dasar utama pilihannya
ketika mau di konsumsi, wajar jika seiring dengan pertumbuhan pelanggan muslim,
kesadaran akan produk halal semakin meningkat.
Tingginya permintaan domestik akan produk halal dan terbukanya pasar Asean
dan internasional mendorong industri halal nasional perlu memperhatikan bukan hanya
sisi merek tetapi juga bagaimana produk sampai ke tangan pelanggan. Namun, menurut
Global Islamic Economy Report 2016/2017, Indonesia menempati peringkat ke 10.
Jauh tertinggal dari Malaysia yang berada di posisi pertama dari berbagai indicator
yang ada (GIER, 2017). Hal ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk
mengembangkan industri halal dari segi kualitas maupun kuantitas.
PENGERTIAN HALAL

Kata halal dikutip dari Alquran yakni “halalan thayyiban” , asal katanya “halla”
atau “al-hill” yang berarti lepas dan tidak terikat. Secara etimologi kata halal berarti
hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena terlepas dari ketentuan-ketentuan yang
melarangnya atau segala sesuatu yang terbebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.
Sedangkan kata thayyib berarti lezat, baik, sehat, menenteramkan. Thayyib berarti
makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kedaluwarsa), atau bercampur
benda najis. Istilah halalan thayyiban bukan hanya mencakup makanan minuman saja
namun meliputi semua hal yang terkait dengan sesuatu yang dikonsumsi oleh manusia
baik secara zatnya maupun hakikatnya.

Menurut Abdul Mannan sesuatu yang halal dan baik itu bukan dilihat dari hasil.
Namun lebih kepada proses atau cara mendapatkan rezeki tersebut dan melakukannya
harus dengan cara yang halal dan tidak melanggar hukum.

Sedangkan menurut al-Qurtuby bahwa sesuatu yang halal dan baik adalah yang
dapat menghilangkan mudarat atau terbebasnya dari bahaya, sehingga jika kita
mengonsumsi sesuatu secara berlebihan dan mengakibatkan marabahaya terhadap
kesehatan, maka hal tersebut termasuk ke dalam kategori haram atau dilarang.

Artinya halal dan thayyib adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan baik
untuk mendapatkan harta dan untuk menggunakannya harus ada aspek tersebut.

PENGERTIAN INDUSTRI HALAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Menurut Misri (1993), industri halal atau industri dalam perspektif islam adalah
disiplin yang menyelidiki aktivitas manusia berdasarkan syariah dalam hal
mengumpulkan, menggunakan, dan mengelola sumber daya untuk keuntungan umat
manusia dan memperolehnya berkat dari Allah SWT. Di sisi lain, ada pula yang
mendefinisikan industri halal secara ekonomi sebagai sebuah upaya untuk mengelola
sumber daya secara kolektif.

RUANG LINGKUP INDUSTRI HALAL

Produk halal, panganan halal, bahan makan halal dan sistem syari'ah telah
menarik banyak perhatian di kalangan anggota Organisasi negara-negara Konferensi
Islam (OKI). Telah diperkirakan bahwa nilai perdagangan produk halal di pasar global
mencapai lebih dari $ US 600 miliar dan perdagangan akan terus meningkat pada 20
hingga 30 persen per tahun. Pasar potensial untuk produk halal adalah populasi Islam
dunia, yang merupakan urutan 1600 juta orang-orang. Dari jumlah ini, Indonesia
memberikan kontribusi 180 juta; India, 140 juta; Pakistan, 130 juta; Timur Tengah, 200
juta; Afrika, 300 juta; Malaysia, 14 juta dan Amerika Utara, 8 juta. Tampaknya,
ketersediaan produk halal masih terbatas; sebagai konsekuensinya, untuk memenuhi
permintaan konsumen beberapa negara Islam bahkan harus mengimpor barang halal
dari negara-negara non-Muslim.
Misalnya, negara-negara Timur Tengah mengimpor daging halal dari negara-
negara non-Muslim, terutama dari Australia dan Brasil (Sungkar, 2007). Maka, ini
adalah pasar yang menggiurkan dan ada peluang bisnis besar untuk makanan halal di
pasar domestik dan internasional. Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia
memiliki potensi untuk menjadi tidak hanya pasar utama tetapi juga produsen utama
produk halal. Oleh karena itu, penulisan artikel ini akan menjadi bantuan berharga
untuk membantu menilai kemampuan Indonesia dalam merebut peluang pasar dalam
perdagangan makanan halal global. Sejumlah besar Muslim tidak selalu membuat
keputusan untuk membeli makanan halal. Menjadi seorang Muslim tidak menjamin
bahwa perilaku seseorang akan selalu Islami, terutama dalam mengkonsumsi makanan
halal. Filosofi dan pelaksanaan syari'ah Islam, sampai taraf tertentu, dibangun melalui
pembelajaran individu dan sosialisasi, yaitu dalam pendidikan formal dan informal. Ini
adalah pengalaman pendidikan agama yang juga akan menentukan tingkat kesadaran
perilaku konsumen makanan halal.
Hasil studi tentang perilaku konsumen makanan halal diharapkan dapat memberikan
wawasan dan pengetahuan yang berharga dan untuk membantu meramalkan
permintaan makanan halal, serta untuk membantu merumuskan strategi pasar yang
tepat untuk pengusaha makanan halal. Jika Indonesia ingin meningkatkan pertumbuhan
ekonominya dengan berinvestasi dan mengembangkan produk halal, maka diperlukan
studi perilaku Muslim sebagai konsumen produk halal. Sejauh mana umat Islam
Indonesia peduli dengan produk halal belum diketahui. Sangat menarik untuk
mempelajari apa kriteria untuk menilai makanan halal dalam hal persepsi konsumen,
apakah makanan halal hanya merujuk pada konten makanan atau apakah itu juga
termasuk persiapan makanan dan sebagainya. Selain itu, akan sangat berharga untuk
mengetahui sejauh mana tingkat religiusitas menentukan kesadaran makanan halal dan
mempengaruhi perilaku konsumen.

PRINSIP INDUSTRI HALAL

Industri halal memiliki prinsip sebagai berikut (Mohamed, S.B et al.,2016)

1. Kepemilikan

Pemilik harus sadar akan peran mereka sebagai hamba Allah dan khalifahnya
(pemimpin) yang bertanggung jawab untuk melestarikan alam. Dalam memainkan
peran ini, mereka harus jujur, bertanggung jawab dan memiliki integritas tinggi
sehingga produk yang dihasilkan bermanfaat bagi semua orang di dunia ini dan akhirat.
Yang paling penting adalah bagi mereka untuk memastikan bahwa setiap langkah
dalam proses pembuatannya dimulai dari pengumpulan modal sesuai syariah. Pemilik
juga harus bisa jadi pemimpin dan menjadi panutan bagi orang lain. Allah SWT telah
mencerahkan kita tentang ini sebagai berikut: "Dan saya tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali untuk menyembah-Ku" (Surah al-Dhariyat: 56). "Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: „Sesungguhnya aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi ... "(Surah al-Baqarah: 30) "Lalu Kami jadikan kamu
berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat
itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui "(Surah
al-Jathiyah: 18).

2. Kapitalisasi

Kapitalisasi sektor manufaktur harus berasal dari sumber daya halal. Ini berarti harus
bebas dari bunga (riba), curang, mencuri dan sebagainya. Allah SWT telah melarang
umat Islam untuk melakukan dosa-dosa ini Kitab suci Al-Quran: "Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al Baqarah: 275) "Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan
jalan yang bathil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim
supaya kamu dapat memakan sebagian darpada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui "(QS al-Baqarah: 188).

3. Pekerja

Pekerja adalah sumber daya manusia yang harus mematuhi perannya sebagai hamba
Allah. Mereka harus memegang teguh aqidah, syari'ah, dan moralitas selain
menciptakan hubungan baik dengan Allah SWT, orang lain dan lingkungan. Mereka
harus jujur, dapat dipercaya dan bertanggung jawab serta berlatih bekerja tim untuk
kesuksesan di dunia ini dan akhirat. Selain itu, pemahaman mereka harus melihatnya
bahwa bekerja di sektor manufaktur adalah bagian bentuk ibadah yang akan diberi
penghargaan tinggi di akhirat. Serta pengusaha harus terus melatih pekerjanya agar
memiliki moral dan sikap yang baik, berpengetahuan dan terampil.
4. Tempat

Lokasi industri harus bersih serta lingkungan sekitarnya harus dibangun sedemikan
rupa untuk menjadi lingkungan yang baik, positif dan bebas dari tindakan-tindakan
yang berdosa.

5. Alat dan Peralatan

Untuk memproduksi produk yang halal, taharah, dan barakah, maka perlu dipastikan
juga bahwa alat dan peralatan yang digunakan juga harus halal, taharah, dan barakah.
Harus dipastikan bahwa alat dan peralatan yang digunakan memenuhi syari‟ah, bersih
dan bebas dari „kotor‟.

6. Material

Sama halnya dengan alat dan peralatan, untuk memproduksi produk yang halal,
taharah, dan barakah maka harus dipastikan juga bahwa material yang digunakan
dalam meproduksi produk tersebut merupakan material yang halal, taharah, dan
barakah.

7. Proses

Manusia memiliki tanggung jawab untuk mengelola segala sesuatu dimuka bumi ini
secara efektif sehingga bermanfaat tidak hanya bagi kehidupannya dimuka bumi
namun juga kehidupan manusia di akhirat kelak. Dengan begitu proses yang dilakukan
harus berdasarkan best practice dan perencanaan yang matang sehingga dapat
menghasilkan budaya kerja yang baik berdasarkan moralitas, kerjasama, dan kualitas
produk.

8. Dokumentasi

Dokumentasi ini diperlukan untuk merekam segala jenis bentuk aktivitas yang
dilakukan dalam proses bisnis industri dan dapat digunakan sebagai referensi 16 bagi
pihak-pihak lain yang memerlukan seperti pihak otoritas, pekerja, staf administrasi,
dan pekerja umum lainnya. Dokumentasi yang dimaksud diantaranya adalah informasi
utama seperti pemaparan visi, misi, bagan organisasi, tata tertib dan peraturan, proses
kerja dan informasi lainnya. Dokumentasi ini harus merefleksikan konsep dan prinsip
managemen Islam yang didasari oleh tauhid, kesadaran manusia sebagai khalifah,
moralitas dan kualitas produk.

9. Produk

Produk memiliki dampak utama pada konsumen, sehingga dalam Islam diharuskan
produk memiliki kualitas yang baik dan memenuhi syari’ah, taharah, dan barakah.
Produk yang dihasilkan tidak hanya memberikan manfaat bagi kehidupan konsumen di
dunia saja, namun diharapkan juga dapat memberikan manfaat bagi kehidupan akhirat
konsumen kelak. Perusahaan harus mampu menjangkau aspek spritual, fisikal,
emosional dan potensi intelektual yang dimiliki oleh manusia sehingga harus fokus
untuk memenuhi kualitas produk dan memperhatikan bahwa sesungguhnya produk
yang dihasilkannya ini tidak hanya dievaluasi oleh manusia sebagai calon konsumen
produknya melainkan juga oleh Allah SWT.

PERILAKU KONSUMEN
Perilaku konsumen, seperti perilaku lainnya, dipengaruhi oleh karakteristik
budaya, sosial, pribadi dan psikologis. Faktor budaya diasumsikan dominan dalam
mempengaruhi niat dan perilaku konsumen. Hal ini diklaim dalam beberapa literatur
bahwa agama adalah elemen budaya kunci yang menentukan perilaku dan keputusan
untuk membeli (Assadi, 2003; Esso dan Dibb, 2004; Delener, 1994; Babakus, 2004;
Cornwell, 2005). Dikutip Cloud (2000), Fam et. al (2004) menyatakan bahwa agama
dapat digambarkan sebagai “... ekspresi kebiasaan dari interpretasi kehidupan, yang
berhubungan dengan perhatian dan nilai-nilai utama. Agama kelembagaan meresmikan
ini ke dalam sistem yang dapat diajarkan kepada setiap generasi”. “Islam lebih dari
sekedar agama karena mengendalikan cara-cara masyarakat dan faktor-faktor yang
terkait dengan keluarga, pakaian, kebersihan dan etika” (Fam, 2004). Orang beragama
memiliki sistem nilai yang berbeda dari orang yang tidak beragama.
Sementara itu, religiositas adalah sejauh mana komitmen seseorang terhadap
agamanya (dikutip Johnson et al., 2001, Mokhlis (2006). Religiusitas sangat penting
karena menentukan kognisi dan perilaku individu (Sitasari, 2008). Sangat mungkin
bahwa religiusitas akan mengatur perilaku individu, termasuk perilaku sebagai
konsumen makanan halal .Sebuah agama dapat mempengaruhi perilaku dan perilaku
konsumen secara umum (Delener, 1994, Pettinger, 2004), terutama dalam keputusan
untuk membeli makanan dan dalam membangun kebiasaan makanan (Bonne, 2007)
Seperti juga dinyatakan oleh Schiffman dan Kanuk (1997), adalah bahwa keputusan
untuk membeli tergantung pada identitas agama (dikutip dalam Shafie dan Othman,
2006).
Kontrol agama pola konsumsi makanan adalah dalam hal pembatasan makanan
tertentu: Yahudi , misalnya, dilarang makan daging babi, dan daging sapi dilarang
untuk orang Hindu, Muslim dilarang makan daging babi, darah, dan hewan yang belum
dibunuh dengan cara yang ditentukan oleh syari'ah w, dan mereka tidak boleh minum
minuman beralkohol. Muslim memiliki kewajiban agama untuk mengkonsumsi
makanan halal (Bonne et al., 2007).

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUNCULNYA INDUSTRI HALAL


TERHADAP PERILAKU KONSUMSI MAKANAN HALAL

1. Pertama, bahwa kesadaran Muslim menjadi factor utama terhadap munculnya


industri halal terhadap perilaku konsumsi makanan halal. Misalkan, di Banten
kesadaran tentang makanan halal dan haram cukup tinggi, terutama dalam
memilih makanan yang perlu diproses lebih lanjut sebelum dimakan, barang-
barang seperti daging, ikan dan sayuran. Mereka secara konsisten
menempatkan prioritas tinggi pada masalah halal ketika mereka membeli
makanan, membeli daging, atau memilih restoran.
2. Kedua, peran pemerintah untuk mempromosikan dan mengendalikan perilaku
keagamaan dalam hal konsumsi makanan halal dianggap sedikit tidak peka.
Sebagian besar responden mengklaim bahwa hukum agama perilaku dan
pemimpin agama memaksa keputusan mereka untuk mengkonsumsi makanan
halal.
3. Ketiga, skor korelasi Pearson, antara tingkat religiusitas individu dan konsumsi
makanan halal menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat religiusitas
responden, semakin besar perhatian mereka untuk mengkonsumsi makanan
halal (r = 0,565). Karena tingkat religiusitas responden juga dipengaruhi oleh
pengalaman religius dan latar belakang pendidikan mereka, responden dengan
pendidikan pesantren cenderung memiliki lebih banyak kontrol dan
kekhawatiran tentang konsumsi makanan halal mereka. Namun, skor korelasi
tingkat pendidikan dan perilaku konsumen makanan halal sangat lemah (r =
0,012), yang berarti tidak ada hubungan paralel antara pendidikan responden
dan kecenderungan mereka mengonsumsi makanan halal. Itu tidak berarti
bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin menjadi perhatian
mereka untuk memastikan bahwa makanan yang mereka makan sesuai dengan
persyaratan halal. Selain itu, itu (predalisa untuk makanan halal) tidak
tergantung pada tingkat religiusitas responden; responden cenderung pertama
untuk mengontrol dan memastikan keluarga mereka makan makanan halal
sebelum kewajiban agama terkait lainnya. Ini adalah fitur yang mencolok
bahwa mereka yang memiliki tingkat religiusitas tertinggi sangat mungkin
mengingatkan para pemimpin agama mereka tentang kewajiban mereka untuk
mengkonsumsi makanan halal.
4. Keempat, kriteria paling penting untuk makanan halal bagi responden Muslim
di Banten adalah bahwa makanan mereka harus bebas dari daging babi dan
alkohol; sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak begitu
penting. Namun, sejumlah responden masih percaya bahwa label halal pada
kemasan makanan dan di restoran adalah penting. Label halal dari MUI lebih
dipercaya daripada label halal lainnya. Proses dan prosedur panjang dalam
memperoleh sertifikasi halal dianggap mahal, dan karena itu, usaha kecil dan
menengah enggan mendaftarkan produk mereka. Sebagian besar responden
menyatakan bahwa harga produk halal yang lebih tinggi tidak akan mengurangi
jumlah pembelian produk makanan halal. Meskipun dirasakan oleh umat Islam
di wilayah Banten bahwa peran MUI di wilayah Banten cenderung terbatas, dan
cenderung memiliki koordinasi yang buruk dengan Departemen Kesehatan dan
Departemen Agama tentang hal-hal halal, dan bahwa ada ketidaksepakatan
antara MUI dan Departemen Agama tentang institusi mana yang dapat
mengeluarkan sertifikat halal, terlepas dari semua penyebab ketidaknyamanan
ini, beberapa responden antusiasme terhadap dukungan halal MUI dan label
tidak berkurang ketika datang untuk memilih dan membeli makanan halal.

STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI HALAL INDONESIA

Dalam rangka pengembangan industri halal, pemerintah membangun kawasan


industri halal bukan hanya pada industri makan minum (mamin) dan kosmetik saja,
namun lebih dari itu. Kebijakan tersebut dengan dibentuknya UU JPH (Jaminan Produk
Halal) Nomor 33 Tahun 2014 yang diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014. Dalam
undang-undang tersebut ditegaskan bahwa produk yang masuk dan diperdagangkan di
wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, pemerintah bertanggung jawab
dalam menyelenggarakan JPH. Namun, dalam implementasinya pelaksanaan UU JPH
masih belum maksimal. Sehingga dalam persaingan industri halal, Indonesia masih
tertinggal dengan negara lain seperti Malaysia.

Terkait implementasi UU JPH Nomor 33 Tahun 2014 yang belum maksimal,


perlu dilakukan strategi baru guna mengembangkan industri halal tersebut. Sebelum
diterapkan strategi dan trik pengembangannya, maka perlu dilihat terlebih dahulu
permasalahan yang terdapat pada aspek pengembangan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian Aam Rusdiayana seorang peneliti SMART


Indonesia mengatakan bahwa permasalahan yang sering terjadi dalam pengembangan
industri halal di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi lima aspek. Yaitu kebijakan,
produksi, sosialisasi, infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM). Berdasarkan
permasalahan tersebut maka strategi dan upaya pengembangannya jelas terarah, yakni
peningkatan SDM melalui peningkatan kesadaran masyarakat khususnya di tingkat
produsen dan konsumen akan pentingnya sertifikat halal, pemenuhan infrastruktur
serta gencarnya sosialisasi terhadap kebijakan pemerintah yang diiringi dengan
terpenuhinya produk halal. Jika upaya-upaya strategis untuk mengembangkan industri
halal tersebut dilakukan secara efektif dan efisien besar kemungkinan potensi industri
halal dapat memberi dampak positif terhadap perekonomian Indonesia.
PENUTUP

Kesimpulan

Industri halal atau industri dalam perspektif islam adalah disiplin yang
menyelidiki aktivitas manusia berdasarkan syariah dalam hal mengumpulkan,
menggunakan, dan mengelola sumber daya untuk keuntungan umat manusia
dan memperolehnya berkat dari Allah SWT. Di sisi lain, ada pula yang
mendefinisikan industri halal secara ekonomi sebagai sebuah upaya untuk
mengelola sumber daya secara kolektif.
Sebenarnya sejak jaman Rasulullah dahulu sudah menerapkan industri
halal yang mana pada saat Rasulullah berhijarah dari Makkah ke Madinah,
Beliau menyatukan kaum Muhajjirin dan Kaum Anshor untuk menjadi saudara
dan membuat kebijakan – kebijakan fiscal dalam mengatur perekonomian suatu
negara yang halal dan tayyib dengan melarang memiliki
sifat bukhl (pelit), isrof (berlebihan), risywah (suap) dan lain sebagainya. Juga
pembahasan seputar hukum perdagangan atau jual beli, syirkah (kerjasama
bisnis), syina’ah (industri), az-zara’ah (bertani) dan lain sebagainya, juga
larangan terhadap praktek qimar (judi), riba, tadlis fil bai’ (menyembunyikan
cacat dalam jual beli), ghabn fahisy (penipuan) dan lain sebagainya. Hukum-
hukum demikian adalah hukum-hukum Islam mengenai pemanfaatan
kepemilikan, baik pembelanjaan harta (infaq) maupun pengembangan harta
(tanmiyah).
Saran
Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT, atas terselesaikannya
penulisan artikel ini yang semoga mamperluas cakrawala pengetahuan kita dan
bermanfaat bagi kita semua. Mungkin artikel ini jauh dari kesempurnaan untuk
itu kami membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan resume ini. Kami mohon maaf apabila penulisan resume yang
kami buat terdapat kesalahan karena kami masih dalam tahap belajar.
DAFTAR PUSTAKA

Syihab, B. Muhammad. 2013. Sejarah Penerapan Ekonomi Islam. The Journal of


Alfazarizi.
Ulum, Bahrul. 2018. Pentingnya Produk Halal di Negara Muslim dan Non Muslim.
Jakarta. Kompasiana.
Annonimous. 2018. Pengembangan Industri Halal. Radar Tasikmalaya.
https://www.radartasikmalaya.com/67094-2/. Diakses tanggal 28 Juni 2018.
Soesilowati, S. Endang.,dkk. 2009. Center for Economic Research. Jakarta. The
Paper Research.
P, Anton. 2017. As Mentioned by: The Previous Ministry of Agriculture. Yogyakarta.
Antara News.
Annonimous. 2006. Indonesia International Halal Exhibition. Jakarta.
http://www.mastic.gov. my/servlets/sfs. Diakses tanggal 28 Juni 2018.
President Speech. (2007). Special Keynote Address of President Susilo Bambang
Yudhoyono at the opening ceremony of the 3rd World Islamic Economic Forum: Islam
and the Challenge of Modernization in Kuala Lumpur, Malaysia, 28 May 2007.
http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2007/05/28/655. html. Diakses tanggal
28 Juni 2018.
Assadi, Djamchid. (2003). Do religions influence customer behavior? Confronting
religious rules and marketing concepts. Cahiers du CEREN 5: 2–13.
Esso, Nittin and S Dibb. (2004). Religious influences on shopping behaviour: an
exploratory study. Journal of Marketing Management, 20 (7–8): 683–712.
Delener, Nejdet. (1994). Religious contrasts in consumer decision behaviour patterns:
their dimensions and marketing implications (Abstract). European Journal of
Marketing, 28 (5): 36–53.
Babakus, Emin and T Bettina Cornwell, Vince Mitchell, Bodo Schlegelmilch. (2004).
Reactions to unethical consumer behavior across six countries. Journal of Consumer
Marketing, 21(4): 254–263.
Cornwell, Bettina and Charles Chi Cui, Vince Mitchell, Bodo Schlegelmilch, Anis
Dzulkiflee, Joseph Chan. (2005). A cross-cultural study of the role of religion in
consumers’ ethical positions. International Marketing Review, 22 (5): 531–546.
Sitasari. (2008). Preferensi atribut dan perilaku konsumen kartu kredit syariah.
Mokhlis, Safiek. (2006). The Effect of Religiosity on Shopping Orientation: an
exploratory study in Malaysia. Journal of American Academy of Business, 9 (1): 64-
74.
Fam, K.S., Waller, D.S., & Erdogan, B.Z. (2004). The Influence of Religion on Attitudes
towards the Advertising of Controversial Product, European Journal of Marketing,
38(5/6): 537-555.
Pettinger, C and M Holdsworth, M Gerber. (2004). Psycho-social influences on food.
Shafie, S and NMd Othman. (2006). Halal certification: an international marketing
issues and challenges. http://www.ctw-congress.de/ifsam/download/track_ 13/
pap00226.pdf. Diakses tanggal 28 Juni 2018

Anda mungkin juga menyukai