Anda di halaman 1dari 4

PRAKTIK IHTIKAR DALAM PERDAGANGAN

Retno Siti Anggraini


SYA. 155031
Ekonomi Syariah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong
Email : retno97anggraini@gmail.com

PENDAHULUAN
Dalam dunia ekonomi khususnya dalam aktivitas perdagangan yang menjadi subjek atau
pelaku di dalamnya yakni penjual dan pembeli. Kegiatan transaksi yang terjadi antara penjual dan
pembeli terdapat dua unsur yang di peroleh oleh masing-masing yakni keuntungan bagi penjual dan
kepuasan bagi pembeli.
Keuntungan merupakan tujuan yang ingin didapatkan oleh sebagian besar pedagang. Yang
melatarbelakangi tujuan tersebut ialah kebutuhan akan biaya hidup yang semakin tinggi serta
prinsip tak mau dan takut menerima kerugian, inilah yang menjadi penyebab tingginya tingkat
optimisme pedagang untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Islam tidak pernah menetapkan jumlah atau presentase tertentu atas keuntungan dari suatu
jual beli. Yang hanya digariskan oleh Islam adalah tidak ada penzaliman yang juga berarti tidak ada
pihak yang dizalimi. Selain itu, sudah jelas bahwa Allah swt. telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah: [2]: 275). Kemudian dalam ilmu ekonomi konsep
keuntungan sama dengan konsep harga, jika harga tinggi maka keuntungan yang didapatkan oleh
produsen yaitu pedagang juga tinggi. Sebaliknya jika harga turun, maka keuntungan berada di pihak
konsumen yaitu pembeli [ CITATION Bah18 \l 1057 ]. Kemudian dalam Islam juga tidak
membenarkan praktik di dalam mencari keuntungan dengan membenarkan segala cara untuk
mendapatkan keuntungan yang besar termasuk di dalamnya bentuk penimbunan barang dagangan
(ihtikar) [ CITATION Afi10 \l 1057 ] . Oleh karena itu, pelaku ekonomi hanya diperkenankan
mengambil keuntungan yang baik dan wajar.

IHTIKAR DALAM ISLAM


Dalam Islam diajarkan nilai-nilai dasar ekonomi yang bersumber pada ajaran tauhid. Islam
lebih dari sekadar nilai-nilai dasar etika ekonomi seperti keseimbangan, kesatuan, tanggung jawab
dan keadilan, tetapi juga memuat keseluruhan nilai-nilai yang fundamental serta norma-norma yang
substansial agar dapat diterapkan di dalam kehidupan masyarakat. Umer Chapra menjelaskan
bahwa pembangunan ekonomi Islam dibangun berdasarkan nilai-nilai dan moral serta mengacu
pada tujuan syariat (maqashid al-syari’ah) yaitu memelihara iman (faith), hidup (life), nalar
1
(intellent), keturunan (posterity), dan kekayaan (wealth) [ CITATION Ari11 \l 1057 ]. Dapat
disimpulkan bahwa dalam konsep ini menjelaskan hendaknya pembangunan ekonomi Islam
dibangun berawal dari suatu kepercayaan atau keyakinan yaitu iman dan diakhiri dengan kekayaan.
Kemudian jika berbicara mengenai perdagangan tentu akan mengacu pada dunia bisnis dan
dalam hal ini para pelaku yakni pedagang di tuntut untuk memahami bagaimana etika bisnis yang
baik dalam berdagang sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Hal ini diperlukan karena merupakan
salah satu kunci dalam memperoleh keberhasilan berbisnis dengan berdasarkan prinsip-prinsip
syariah [ CITATION Muk16 \l 1057 ]. Menurut Yusuf al-Qaradawi, terdapat empat ciri-ciri utama
norma dan etika dalam bisnis Islam, yakni ketuhanan, etika, kemanusiaan dan sikap pertengahan
[ CITATION Ahm13 \l 1057 ]. Etika bisnis secara umum Hadimulyo berpendapat bahwa, etika
bisnis mempunyai prinsip-prinsip yaitu hal-hal yang menyangkut apa-apa yang boleh dan tidak
boleh, yang baik dan tidak baik dilakukan dalam berbisnis, yang bersifat normatif. Sedangkan etika
bisnis dalam perpektif Islam adalah penerapan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersumber pada
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dalam dunia bisnis [ CITATION Abd10 \l 1057 ].
Etika merupakan moral dan nilai-nilai yang berkenaan dengan akhlak, perilaku atau
tindakan seseorang atas sesuatu. Sesuai dengan pemaparan mengenai etika bisnis Islam, seorang
pedagang haruslah menerapkan prinsip kejujuran, kemanusiaan, dan ketuhanan. Ini perlu diterapkan
karena jual beli atau berdagang bukan hanya semata-mata untuk memperoleh keuntungan duniawi
saja melainkan keuntungan dunia dan akhirat. Prinsip kejujuran dan kemanusiaan dalam
perdagangan yakni tidak adanya kecurangan serta tindakan yang menyimpang dalam berdagang
yang dapat merugikan masyarakat yang bertindak sebagai konsumen atau pembeli.
Pemaparan mengenai etika bisnis dalam Islam telah diuraikan, kemudian bagaimana dengan
ihtikar ?. Ihtikar adalah mengambil keuntungan lebih diatas keuntungan normal dengan cara
menjual lebih sedikit barang dengan harga yang lebih tinggi. Secara spesifik mazhab Syafi’i dan
Hanbali mendefinisikan ihtikar sebagai menimbun barang yang telah dibeli pada saat harga
bergejolak tinggi untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi pada saat dibutuhkan oleh
penduduk setempat atau lainnya [ CITATION Adi15 \l 1057 ]. Menimbun barang maksudnya
adalah membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran, dan Islam
mengharamkan seseorang melakukan hal ini. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan
siska yang sangat pedih di hari kiamat yang tertera dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 34-35
[ CITATION Ain15 \l 1057 ].
Ihtikar dalam ilmu ekonomi secara umum disebut monopoli pasar. Menurut madzab Maliki,
ihtikar atau monopoli adalah penyimpanan barang oleh produsen yakni pedagang baik makanan,
pakaian dan segala barang yang merusak pasar [ CITATION Muh16 \l 1057 ]. Merujuk dari
pendapat ini dapat diambil kesimpulan bahwa tindakan penimbunan barang (ihtikar) tidak hanya
2
berfokus pada satu jenis barang melainkan sesuatu barang kebutuhan yang sangat diperlukan akan
tetapi persediannya terbatas di pasaran. Dalam sistem perekonomian, ihtikar berkaitan dengan
hukum ekonomi yaitu apabila permintaan meningkat yang diikuti dengan sedikitnya persediaan
barang maka harga akan mengalami peningkatan. Kondisi seperti ini para pedagang menjual
barangnya dengan harga yang lebih tinggi dari harga normal yang kemudian mendapatkan
keuntungan yang lebih tinggi pula dari biasanya. Pihak yang akan menerima kerugian adalah
pembeli karena kondisi ini akan dirasa serba kesulitan dan kekurangan [ CITATION Moc10 \l 1057
].
Fenomena ihtikar merupakan salah satu problem yang cukup sering terjadi dalam kegiatan
ekonomi. Perilaku ini adalah cara yang dilakukan dalam perdagangan yang sangat tidak bermoral
dan tidak mencerminkan nilai-nilai Islam, karena perilaku ini menimbulkan mudharat bagi
kehidupan manusia, diantaranya yaitu menimbulkan kesusahan bagi masyarakat dalam
mendapatkan kebutuhan yang bersifat pokok serta merupakan tindakan eksploitasi atas golongan
tertentu. Ihtikar dilakukan melainkan atas dasar keinginan dari pedagang untuk memperoleh
keuntungan maksimal dan dalam waktu yang instan tanpa memikirkan dampaknya bagi masyarakat.
Perilaku seperti ini tentulah tidak benar apabila dilakukan, baik itu dalam keadaan terpaksa
sekalipun. Hanya terdapat satu pihak yang diuntungkan yakni pedagang yang terdapat unsur riba
dan penipuan.

PENUTUP
Dengan adanya artikel ini diharapkan dapat menjadi tambahan wawasan mengenai ekonomi
Islam (syariah). Ihtikar merupakan tindakan yang sangat merugikan dalam sistem perekonomian
serta menimbulkan ketidaksempurnaan sebuah mekanisme pasar. Dalam ilmu ekonomi secara
umum ihtikar disebut sebagai monopoli pasar yang dimana hanya terdapat satu pedagang saja yang
menguasai pasar dan bertindak sebagai penentu harga suatu barang yang tujuannya adalah untuk
meningkatkan keuntungan. Mengambil keuntungan dalam perdagangan boleh-boleh saja akan tetapi
tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dengan cara yang tidak lazim serta dapat
mengekploitasi masyarakat tertentu.
Sudah jelas bahwa Islam melarang adanya tindakan seperti ini, selain merugikan pihak
pembeli tentu saja merugikan juga untuk pihak penjual yang mungkin tidak dirasa secara nyata,
yaitu berupa dosa atas penipuan dan riba serta ketidak halalan atas rezeki yang diperoleh. Oleh
sebab itu, penerapan dan pemahaman mengenai etika bisnis Islam sangat diperlukan bagi pedagang.

3
DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Saiful. (2018). Untuk Menggapai Karunia Tuhanmu. Yogyakarta: Deepublish.


Baidowi, A. (2016). Etika Bisnis Perspektif Islam. Jurnal Hukum Islam.
Haris, Abd. (2010). ETIKA HAMKA Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius. Yogyakarta:
LKIS Yogyakarta.
Karim, Adiwarman A. (2015). Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Muslim, M. B. (2010). Ihtikâr dan dampaknya terhadap dunia ekonomi. Jurnal Studi Al-Qur'an,
6(1), 1-14.
Rahmi, A. (2015). Mekanisme Pasar dalam Islam. Jurnal Ekonomi Bisnis dan Kewirausahaan
(JEBIK), 4(2).
Rajafi, Ahmad. (2013). Masa Depan Hukum Bisnis Islam di Indonesia Telaah Kritis Berdasarkan
Metode Ijtihad Yusuf Al-Qaradawi. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.
Samad, Mukhtar. (2016). Etika Bisnis Syariah Berbisnis Sesuai Dengan Moral Islam. Yogyakarta:
Penerbit dan Percetakan Sunrise.
Wahyuni, A. (2010). Penimbunan barang dalam perspektif hukum Islam. Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu
Ekonomi Syariah, 2(2).
Wajdi, M. B. N. (2016). Monopoli Dagang Dalam Kajian Fiqih Islam. AT-Tahdzib: Jurnal Studi
Islam dan Muamalah, 4(2), 81-99.

Anda mungkin juga menyukai