Anda di halaman 1dari 34

Tugas Akhir Mata Kuliah

Manajemen Pemasaran Syariah

PENGGUNAAN LABEL HALAL PADA PRODUK KONSUMSI MASYARAKAT UNTUK


MELINDUNGI KEAMANAN DAN MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT
TERHADAP PRODUK UMKM

Muhammad Suffian Efendi

041711433011

PROGRAM STUDI S1 EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di


dunia, dengan jumlah yang mencapai 204,8 juta jiwa penduduk dan menjadi mayoritas,
menjadikan pasar Indonesia menjadi pasar konsumen muslim yang sangat besar.1
Terlebih lagi dalam hal syariat mengenai konsumsi, kehalalan suatu produk menjadi
kebutuhan wajib bagi setiap konsumen, terutama konsumen muslim. Baik itu produk
berupa pangan, obat-obatan dan juga barang-barang konsumsi lainnya.

Jaminan akan produk halal menjadi hal yang penting dan harus mendapatkan
perhatian dari pihak industri maupun negara. Negara harus bisa memfasilitasi dan
mengakomodir halal-tidaknya produk di Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
bahwa Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan mewujudkan kesejahteraan umum.

Jaminan mengenai produk halal harus dilakukan sesuai dengan asas


perlindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan trasparansi, efektifitas dan
efisiensi, serta profesionalitas. Jaminan penyelenggaraan produk halal bertujuan
memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk
halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk halal, serta
meningkatkan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual
produk halal.2

1 Charity, May Lim. (2017). Jaminan Produk Halal Di Indonesia (Halal Products Guarantee In Indonesia).
Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 N0. 01, 99 – 108
2 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
Dalam Industri, berbagai produk diolah melalui berbagai macam teknik dan
metode pengolahan baru dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga menjadi produk yang siap dipasarkan untuk dikonsumsi masyarakat di
seluruh dunia. Namun, perlu diingat bahwa sebagian besar produk industri ini khususnya
UMKM mayoritas belum menerapkan sistem sertifikasi halal. Sertifikat halal adalah fatwa
tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk pangan sesuai dengan syariat islam
dengan adanya logo atau label halal, bertujuan untuk kepastian hukum bagi konsumen.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat
nasional, regional, internasional, dan global, produk Indonesia terindikasi bahan yang
mengandung atau terkontaminasi unsur haram.

Dalam teknik pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan


seringkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan
tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam.

Masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk dalam sistem perdagangan


nasional maupun internasional mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan
perlindungan terhadap konsumen muslim di seluruh dunia, sekaligus sebagai strategi
menghadapi persaingan global dengan berlakunya sistem pasar bebas. Negara-negara
sekuler pun turut berkomitmen serius untuk memproduksi barang-barang halal, dan
terkadang justru lebih terjamin dibanding produksi yang dilakukan oleh negara-negara
Islam.3 Di India pelaksanaan sertikasi produk halal mengalami perkembangan yang baik
serta penerimaan yang positif dari masyarakat setempat.4 Negara Jepang juga memiliki
perhatian yang sangat serius terhadap tren halal. Salah satu indikasinya yaitu dengan
digelarnya acara Japan Halal Expo yang memuat produk halal buatan Jepang.5

3
Afroniyati, Lies. (2014). Analisis Ekonomi Politik Sertifikasi Halal Oleh Majelis Ulama Indonesia. Jurnal
Kebijakan & Administrasi Publik JKAP Vol 18, No 1. 37-52.
4 Yasmin Saeed and James Ondracek, “Dakota Halal Processing: A Case Study and Halal Food

Management Framework”, Delhi Business Review, Vol.5 No.2, July – December 2004, pp.33-45
5 Japan Halal Expo 2015, Jurnal Halal No. 113/Mei-Juni Th.XVIII 2015, h. 18.
Upaya positif terhadap masalah kehalalan terutama terkait makanan, obat-obatan,
dan produk konsumsi lainnya telah dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan
diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan. Namun, peraturan-peraturan
tersebut dibuat secara parsial, tidak konsisten, terkesan tumpang tindih, dan tidak sistemik
sehingga secara teknis belum dapat dijadikan payung hukum yang kuat dan secara
spesifik dapat mengikat terhadap persoalan kehalalan produk kepada produsen maupun
jaminan kepada konsumen. Ditambah lagi aturan-aturan tersebut masih bersifat sukarela
(voluntary) dan bukan sebagai kewajiban (mandatory). Hal inilah yang menyebabkan
belum ada jaminan kepastian hukum yang mengatur tentang produk halal, dan juga masih
rendahnya kesadaran UMKM untuk segera mengurus sertifikasi dan labelisasi halal pada
produknya, padahal kebutuhan akan jaminan produk halal menjadi sangat mendesak
terutama dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen dan kancah perdagangan
global.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH)


seharusnya semakin mempertegas betapa mendesaknya persoalan halal-haram dalam
proses produksi dari pelaku usaha hingga sampai di tangan konsumen dan dikonsumsi
oleh konsumen, dimana terdapat pula peran pihak perantara seperti distributor sebelum
sampai ke tangan konsumen akhir.

Adanya UUJPH bertujuan agar konsumen mendapatkan kepastian hukum


terhadap produk makanan dan barang konsumsi mereka pilih dan bagi pelaku usaha,
hadirnya UUJPH memberikan panduan bagaimana mengolah, memproses, memproduksi,
dan memasarkan produk kepada masyarakat konsumen, serta bagaimana membuat
informasi produk halal kepada konsumen. Dengan adanya pengaturan tersebut, semakin
mempertegas betapa mendesaknya persoalan halal-haram dalam rantai produksi dari
pelaku usaha hingga sampai ke tangan konsumen dan merupakan wujud nyata negara
dalam melindungi konsumen.6

6
Charity, May Lim. (2017). Jaminan Produk Halal Di Indonesia (Halal Products Guarantee In Indonesia).
Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 N0. 01, 99 – 108
Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UUJPH) tidak hanya ditujukan untuk
memberikan perlindungan dan jaminan kepada konsumen semata dengan pemberian
sertifikasi halal dan juga label halal pada suatu produk, namun produsen dalam hal ini
UMKM juga mendapat manfaat dari undang-undang ini yaitu dengan adanya kepastian
hukum pada seluruh barang yang diproduksi, sehingga undang-undang tersebut akan
berdampak positif bagi dunia usaha. Untuk itu, RUUJPH sangatlah diperlukan disamping
terbitnya Peraturan Pemerintah yang memberikan otoritas kepada MUI untuk melakukan
sertifikasi halal melalui LPPOM MUI dan Komisi fatwa.

Produk yang bersertifikat dan berlabel halal akan lebih diminati dan dipilih
konsumen sehingga dapat meningkatkan penjualan. Hal tersebut bisa dijadikan strategi
UMKM untuk mendongkrak produk dan penjualannya, karena produk yang bersertifikat
dan berlabel halal tidak hanya diminati oleh konsumen muslim, tetapi juga masyarakat non
muslim yang beranggapan bahwa produk halal baik untuk kesehatan, higienis dan
berkualitas.

Dari latar belakang diatas, karya tulis ini akan membahas lebih lanjut mengenai
sertifikasi dan labelisasi halal untuk UMKM di Indonesia.
BAB II

ANALISIS

2.1 HALAL DAN KRITERIA HALAL

Halal dalam bahasa (Arab: ‫ حالل‬ḥalāl; diperbolehkan) adalah segala objek atau
kegiatan yang diperbolehkan untuk digunakan atau dilaksanakan. Secara etimologi kata
halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas dari atau tidak terikat
dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau bisa juga diartikan sebagai segala
sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.

Dalam konteks barang konsumsi atau pangan, makanan halal adalah makanan
yang boleh dikonsumsi, diproduksi dan dikomersialkan. Makanan haram adalah makanan
yang tidak boleh dikonsumsi. Sementara pengertian haram, adalah sesuatu yang dilarang
oleh syari’at untuk dilakukan. Orang yang melanggar, akan dikenai sanksi di akhirat juga
siksaan di dunia. Kehalalan produk konsumsi menjadi hal yang sangat penting untuk
eksistensi produk dan juga menjaga rasa keamanan konsumen. Mayoritas penduduk
Indonesia yang berpenduduk muslim meyakini bahwa suatu produk terutama pangan akan
terjaga kualitasnya jika telah mendapat sertifikasi halal. Disinilah peran LPPOM-MUI
(Lembaga Pengkajían Pangan Obat-Obatan dan Kosmetíka Majelís Ulama Indonesía) dan
pemerintah sebagai otoritas yang bertanggungjawab memfasilitasi dan mengakomodir
keamanan dan kenyamanan konsumen.

Halal adalah kriteria mutu utama produk konsumsi dalam Islam. Pangan yang
halal aman untuk dimakan, tidak ada bahan pengawet atau bahan berbahaya, sehat yaitu
segar dan nyaman tidak berpenyakit.

Halal bila pendekatannya dari segi hasil dan proses, maka halal adalah produk
yang tidak memberi mudharat pada diri sendiri dan atau orang lain bila dikonsumsi,
didapat dan atau dibuat melalui suatu proses yang mengikuti aturan hukum Islam yaitu Al
Qur’an & Hadits.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, produk


halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. UUJPH ini
menjamin kehalalan produk konsumsi di Indonesia.

Kriteria Halal

a. Halal Zatnya

Halal zatnya adalah makanan yang pada dasarnya halal dikonsumsi karena tidak
ada dalil yang melarangnya. Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dan at-Tarmizi
(H.R Ibnu Majah No3358 dan at-Tarmizi No1648) Rasulullah bersabda :

“ Barang halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitabnya, dan barag haram adalah
apa yang diharamkan Allah menurut kitabnya, dan sesuatu yang tidak dijelaskan maka
barang itu termasuk yang dimaafkan oleh-Nya”

Hadis tersebut menjelaskan bahwa makanan apapun pada dasarnya halal


dikonsumsi, kecuali ada larangan yang menjelaskan tentang haramnya barang tersebut
yang menegaskan bahwa makanan itu haram untuk dikonsumsi oleh muslim.

Permasalahannya adalah justru mengapa makanan itu diharamkan. Dalam hal ini,
seringkali akal manusia kesulitan untuk memberi jawaban yang pasti, karena pada
hakikatnya hanya Allah lah yang maha mengetahui. Dan pastinya makanan diharamkan
karena akan berdampak tidak baik untuk manusia, karena itu segala yang datang dari
Allah ialah wajib dipatuhi.
b. Halal Cara Memperolehnya

Makanan yang semula halal akan berubah menjadi haram apabila perolehannya
dengan cara yang tidak baik dan tidak sah. Oleh sebab itu untuk memperoleh makanan
yang halal hendaknya menggunakan cara yang dibenarkan oleh syariat islam. Di
antaranya adalah dengan cara bertani, berdagang, menjadi pekerja bangunan, atau
menjual jasa, dan lain-lainnya, Allah Swt berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 29:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka diantara kamu”. QS AnNisa’ ayat 29.

Hal ini mengindikasikan, walaupun makanan yang diperoleh halal zatnya, namun
karena cara mendapatkannya dengan cara yang haram, maka makanan tersebut berubah
menjadi haram hukumnya. Adapun alasan pengharaman itu, antara lain karena telah
terjadi perampasan hak manusia oleh seseorang yang tidak mempunyai hak yang
dilakukan dengan cara melawan hukum. Menurut hukum syariat, sanksi bagi pelakunya
adalah akan mendapatkan dosa dan siksa kelak di akhirat di hadapan Allah.

c. Halal Cara Pengolahannya

Banyak sekali makanan halal yang bisa dikonsumsi akan tetapi, makanan-
makanan itu dapat berubah menjadi haram apabila cara mengolahnya tidak sesuai dengan
tuntunan syariat islam. Contoh lembu yang mati tanpa disembelih, anggur yang diolah
menjadi minuman keras yang memabukkan. Adapun ajaran yang menganjurkan agar kita
mengonsusi makanan yang halalan-thayyiban ialah makanan yang halal lagi baik.

Baik dalam artian, bermanfaat dan tidak merusak. Kriteria baik dapat dilihat dari
seberapa banyak kandungan gizi dan vitamin yang ada didalam makanan atau barang
konsumsi tersebut. Apabila mengandung gizi dan vitamin yang bermanfaat dan
mencukupi untuk kesehatan tubuh, makanan tersebut masuk dalam kategori baik. Seperti
pada firman Allah :

“... Dan (Allah) menghalalkan bagi segala yang baik dan mengharamkan mereka
segala yang buruk ...”

2.2 LABELISASI DAN SERTIFIKASI

Pengertian Label dan Sertifikasi


Label erat hubungannya dengan pemasaran. Label sebagai media penyampai
informasi produk kepada konsumen. Label biasanya berupa tanda pada bagian kemasan
yang menempel pada produk. Menurut (Stanton,et.al (1994) terdapat tiga macam label
yaitu :

1. Brand label, ialah nama merek yang diberikan pada produk atau dicantumkan pada
kemasan.

2. Descriptive label, ialah label yang memberikan informasi obyektif mengenai pengguna,
konstruksi atau pembuatan, perawatan dan kinerja produk, serta karakteristik yang
beruhubungan dengan produk.

3. Grade label, ialah label yang mengidentifikasi penilaian kualitas produk dengan suatu
huruf, angka maupun kata.

Menurut (Kotler, 2003) fungsi label, yaitu Identifies (mengidentifikasi),


Grade(nilai/kelas), Describe (memberikan keterangan), dan Promote (mempromosikan).
Sedangkan Labelisasi merupakan pemberian tanda atau cap pada suatu produk tertentu.

Sedangkan sertifikasi adalah suatu penetapan yang diberikan oleh suatu


organisasi profesional terhadap pihak tertentu yang menunjukkan bahwa pihak tersebut
mampu untuk melakukan suatu pekerjaan, tugas spesifik, dan memenuhi kriteria-kriteria
yang dipersyaratkan.

Labelisasi Halal

Labelisasi halal adalah pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan
atau produk yang menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk
halal (Rangkuti, 2010). Label halal tersebut dapat dicantumkan pada sebuah kemasan
apabila produk tersebut telah mendapatkan sertifikat halal oleh LPPOM MUI. Sertifikasi
dan labelisasi halal bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan
terhadap konsumen, serta meningkatkan daya saing produk dalam negeri.
Sertifikat halal7 adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh otoritas terkait
tentang halalnya suatu produk konsumsi setelah diteliti dan dinyatakan halal. Otoritas yang
menerbitkan sertifikasi produk halal di Indonesiaadalah Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang secara teknis ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Sertifikasi halal kini tidak hanya untuk
produk makanan dan minuman saja, namun telah digunakan sebagai quasi co-brand
(misalnya Asuransi Halal/Asuransi Syariah).8

Labelisasi dan juga sertifikasi merupakan hal yang sangat penting bagi produsen
barang konsumsi, tak terkecuali produsen berbasis UMKM (Usaha Mikro Kecil
Masyarakat). Labelisasi dan sertifikasi halal merupakan dua hal yang berbeda namun
memiliki hubungan satu sama lain dan tak dapat dipisahkan.

Labelisasi halal ialah pemberian cap, pencantuman tulisan atau pernyataan halal
pada kemasan barang atau produk untuk menunjukkan bahwa produk tersebut berstatus
sebagai produk halal. Sedangkan sertifikasi halal ialah diterbitkannya sertifikat halal
apabila produk konsumsi tersebut memenuhi kriteria dan persyaratan halal. Sertifikat halal
ini dikeluarkan oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk melaksanakannya yaitu
LPPOM-MUI. Tujuan dari sertifikasi halal sendiri ialah sebagai pengakuan secara legal dan
formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal dan menjamin
konsumen akan kehalalannya.

Setiap pelaku bisnis manapun yang menginginkan produknya terdapat label halal
haruslah memiliki sertifikat halal, tanpa sertifikat halal MUI tersebut izin pencantuman label

7
Sertifikat halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk berdasarkan syariat
Islam.
8
Jonathan A.J. Wilson, Jonathan Liu. (2010). Shaping the Halal into a brand?. Journal of Islamic Marketing,
Vol. 1 Issue: 2, 107-123, https://doi.org/10.1108/17590831011055851
halal tidak akan diberikan pemerintah dan pelabelan halal tanpa sertifikasi merupakan
tindakan yang ilegal dan melanggar hukum

2.3 FUNGSI, MANFAAT DAN TUJUAN LABELISASI DAN SERTIFIKASI HALAL

Bagi konsumen, serifikasi dan labelisasi halal berfungsi :

1. Terlindunginya konsumen muslim dari produk konsumsi yang tidak halal

Konsumen akan menjadi waswas ketika kehalalan produk dipertanyakan jika


tidak terdapat logo halal yang telah disahkan oleh LPPOM MUI. Konsumen meyakini
bahwa kehalalan sebagai tanda penting bagi suatu produk aman dikonsumsi atau
digunakan.

2. Terjaminnya perasaan tenang konsumen akan suatu produk


3. Mempertahankan jiwa raga dari kemudharatan akibat produk haram
4. Sertifikasi dan labelisasi halal akan memberikan kepastian dan perlindungan hukum
terhadap konsumen

Sedangkan bagi pelaku usaha, sertifikasi dan labelisasi halal mempunyai peran
yakni :

1. Sebagai pertanggungjawaban produsen kepada konsumen, mengingat masalah halal


merupakan bagian dari prinsip syariat islam.
2. Meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen

Sertifikasi dan labelisasi halal dari MUI atau lainnya sangat berguna untuk
membangun kepercayaan kepada konsumen kita. Produsen harus memastikan
produk telah mengikuti pembuatan sertifikasi halal resmi dari LPPOM MUI.

3. Meningkatkan citra dan daya saing

Unique Selling Point atau Unique Selling Proposition merupakan salah satu
konsep pemasaran yang membedakan produk dengan pesaing. Dengan adanya
sertifikasi dan labelisasi halal, tingkat USP menjadi meningkat

4. Sebagai alat pemasaran dan memperluas area jaringan pemasaran


Dengan sertifikasi halal ini, produsen bisa bersaing dan mendapatkan
kesempatan meraih pasar global produk halal. Memperluas pemasaran bisnis ke
pasar negara muslim lainnya.

5. Memberikan keuntungan pada produsen dengan meningkatkan omset produksi dan


penjualan

Beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan diberlakukannya sertifikasi dan


labelisasi halal dalam dunia industri :

1. Jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam merupakan potensi


pasar yang sangat besar bagi produk-produk halal. Apabila produk dalam negeri
belum mampu menerapkan sistem produksi halal, maka pasar akan dimanfaatkan
oleh produk asing atau negara lain yang telah menerapkan sistem produksi halal
karena sudah diproduksi dengan menggunakan label dan sertifikasi halal yang
terjamin dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Konsumen, khususnya
konsumen muslim tentunya akan memilih produk yang berlabel dan bersertifikat halal.
Karena dalam penelitian menunjukkan label halal dan agama pribadi berpengaruh
signifikan terhadap keputusan pembelian dengan R Square 0,485.9

2. Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengonsumsi dan


mengunakan produk halal merupakan tantangan yang harus direspons oleh
Pemerintah dan pelaku usaha Indonesia. Para pelaku usaha selain harus inovatif
juga harus proaktif dengan perkembangan perdagangan bebas dengan
memperhatikan unsur syariat.

3. Belum familiarnya sistem produksi halal di dalam negeri dan masuknya produk
konsumsi asing yang telah bersertifikat dan berlabel halal menjadi ancaman bagi
daya saing produk dalam negeri, baik di pasar lokal, nasional maupun pasar global.
Saat ini produk halal dari luar negeri sudah gampang ditemui dan apabila tidak segera
diatasi dan dibatasi akan dapat mematikan pasar produk dalam negeri.

9
Sukesti, Fatmasari. (2014). The Influence Halal Label And Personal Religiousity On Purchase Decision On
Food Products In Indonesia. International Journal of Business, Economics and Law, Vol. 4, Issue 1. 150-153
2.4 UMKM, LABELISASI DAN SERTIFIKASI HALAL, DAN SERBA-SERBINYA

UMKM sangat berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Mulai


dari pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan juga berperan dalam
mendistribusikan hasil-hasil pembangunan nasional. Sejauh ini UMKM telah memberikan
kontribusi pada (PDB) Produk Domestik Bruto sebesar 57-60% dengan tingkat penyerapan
tenaga kerja mencapai 97% dari seluruh tenaga kerja nasional (Profil Bisnis UMKM oleh
LPPI dan BI tahun 2015). Sehingga potensi UMKM sendiri tidak bisa dikesampingkan.

UMKM juga telah terbukti tidak terpengaruh dan tahan terhadap krisis. Saat krisis
pada periode tahun 1997-1998, hanya UMKM yang mampu dan tetap berdiri kokoh. Data
Badan Pusat Statistik pasca krisis ekonomi tahun 1997-1998 jumlah UMKM tidak
berkurang, justru makin meningkat, bahkan mampu menyerap 85 juta hingga 107 juta
tenaga kerja sampai tahun 2012. Dalam perkembangannya, UMKM di Indonesia
mengalami peningkatan dari tahun-ketahun. Hal tesebut didukung oleh semangat jiwa
kreatifitas dan inovasi yang diperlihatkan para pelaku ekonomi tersebut perlu didukung
dengan keamanan dan kenyamanan terutama konsumen yang beragama muslim dengan
sertifikasi dan labelisasi halal. 10

Untuk memperoleh Halal Labelling, UMKM haruslah mengajukan sertifikasi halal


ke MUI. Namun, sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia ini dinilai
belum terlalu diminati oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) seiring
kurangnya pemahaman mengenai manfaat sertifikat tersebut. Wakil Direktur Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI)
Muti Arintawati mengatakan inisiatif pelaku UMKM untuk memproses sertifikasi halal masih
rendah dan masih menganggap sertifikasi tersebut tidak begitu penting. Dilansir dari
Republika Online, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI
Lukmanul Hakim mengatakan saat ini animo dan minat masyarakat dalam menggunakan
produk halal terus mengalami peningkatan. Namun, hal tersebut tidak sejalan dengan

10
Kompasiana.com, Sinergitas UMKM dan Sertifikasi Halal MUI
pemberian sertifikasi halal bagi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Ketidakseimbangan tersebut menjadi perhatian bersama antar stakeholder yakni,
pemerintah, pelaku UMKM dan pihak terkait.11

Data LPPOM MUI pusat tahun 2016 mengeluarkan sebanyak 1.789 sertifikasi
untuk 65.594 produk di 1.335 perusahaan. Adapun, dari data seluruh LPPOM MUI pada
Januari - Oktober 2017, tercatat ada 1.516 label untuk 52.982 produk di 1.169 perusahaan
yang diterbitkan. Jumlah tersebut rata-rata didominasi oleh perusahaan besar dan hanya
sekitar 30% yang merupakan pelaku UMKM. Kebanyakan memang perusahaan besar
karena konsumen mereka lebih peduli untuk produk berlabel halal. Direktur LPPOM MUI
juga menambahkan pada tahun 2017, sertifikasi halal UMKM masih sedikit sekitar 12 ribu
yang sudah tersertifikasi. Berdasarkan data BPS dan Kementerian Koperasi juga ada
empat juta UMKM, artinya belum ada 10 persen UMKM yang mendapatkan sertifikasi
halal.

DATA SERTIFIKASI HALAL LPPOM MUI PUSAT

PERIODE 2012 - OKT 2017

TAHUN JUMLAH PERUSAHAAN JUMLAH SERTIFIKAT HALAL JUMLAH PRODUK

2012 626 653 19830

2013 913 1092 34634

2014 960 1310 40684

2015 1052 1404 46260

2016 1335 1789 65594

Okt-17 1169 1516 52982

11
Republika Online, LPPOM MUI : Sertifikasi Halal UMKM Masih Minim
TOTAL 6055 7764 259984

*) Data per tanggal 11 Oktober 2017


Pelaku UMKM dinilai masih enggan mengajukan sertifikasi sebab tidak
mengetahui peluang pasar yang bakal tercipta setelahnya. Padahal, label halal sebuah
produk UMKM akan memudahkan pelaku untuk merger dengan perusahaan besar,
maupun untuk ekspor yang istilahnya akan membangun dan meningkatkan nilai ekonomi
produk UMKM itu sendiri.

Deputi Produksi dan Pemasaran Kemenkop UKM I Wayan Dipta mengungkapkan


alasan lain mengapa masih banyak pelaku UMKM yang masih enggan melakukan
sertifikasi halal. Yaitu pengurusan sertifikasi dan labelisasi halal yang masih rumit dan
memakan proses yang lama. Meski begitu, Kemenkop akan terus membantu UMKM dari
sisi lain untuk mengurus sertifikasi halal yaitu dengan melakukan pembicaraan dengan
Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar proses dan kriteria sertifikasi
halal bagi UMKM dapat disederhanakan.

Untuk biaya sertifikasi, LPPOM menetapkan biaya Rp 2,5 juta untuk proses
administrasi pemeriksaan hingga dikeluarkan sertifikat dan label halal oleh MUI, itu
mencakup seluruh elemen industri. Selama ini tugas LPPOM MUI mencakup pemeriksaan
produk yang mengajukan sertifikasi. Setelahnya dilanjutkan dengan audit oleh tim fatwa
MUI hingga kemudian mengeluarkan label. Untuk poengusaha kecil, terdapat 11 syarat
yang harus dipenuhi, misalnya memastikan produk yang digunakan halal, peralatan
higienis, dan komitmen menggunakan bahan yang sama saat mengajukan permohonan
serta pencatatan penyediaan bahan.

Dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) pun berkomitmen
untuk tetap memberikan bantuan dana kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) yang ingin melakukan sertifikasi halal. Kemenkop memberikan bantuan dana
maksimal sebesar Rp 2,5 juta untuk tiap UMKM. Bantuan sertifikasi diberikan agar kualitas
produk UMKM di Indonesia bisa meningkat. Bantuan sertifikasi halal tidak hanya dilakukan
oleh pemerintah pusat. Sejumlah pemerintah daerah juga terus mendorong pelaku UMKM
mendapatkan label halal pada produknya.

Sertifikasi bagi usahawan besar (industri) selama ini dibiayai oleh perusahaan
yang bersangkutan. Sedangkan khusus untuk pelaku usaha yang merupakan usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM), biaya sertifikasi halal diusulkan hanya sebesar 10 persen.
Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 44 UU No.33 Tahun 2014, bagi pelaku usaha UMKM,
biaya sertifikasi halal bisa difasilitasi dari sumber atau pihak lain yang sah seperti
pemerintah atau pihak swasta. Jadi, bisa disimpulkan untuk UMKM sendiri biaya untuk
sertifikasi dan labelisasi sendiri sebenarnya sudah disubsidi hampir sekitar 90% dari total
biaya, UMKM bahkan bisa mendapatkan sertifikasi halal secara gratis dengan proaktif
menjalin kerjasama dengan pihak-pihak terkait.

Pada Pasal 4 UU No.33 Tahun 2014 menyebutkan, bahwa produk yang akan
masuk, beredar, dan diperdagangkan diwilayah Indonesia nantinya wajib bersertifikat
halal. Kewajiban (mandatory) sertifikasi halal Undang-undang Jaminan Produk Halal
(UUJPH) tersebut akan mulai berlaku pada 17 Oktober 2019 nanti. Dengan adanya UU
tersebut, sanksi tegas akan diterapkan atas kelalaian menjaga kehalalan produk yang
telah memperoleh Sertifikat Halal dari LPPOM MUI selaku otoritas yang berwenang.

Menurut Ketua Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Sukoso,


produk yang beredar di Indonesia itu wajib bersertifikat halal. Tentunya untuk produk yang
berbahan baku halal. Jika produk yang tidak halal, tidak perlu mengajukan sertifikat halal.
Namun, pelaku usaha tersebut harus memberikan keterangan dan penjelasan kepada
konsumen bahwa produk mereka tidak halal.

Kewajiban (mandatory) sertifikasi halal ini tidak akan memberatkan para pelaku
usaha khususnya UMKM. Dalam UU memang tidak disebutkan secara jelas terkait
pembiayaan pembuatan sertifikat halal tersebut. Namun, hal tersebut nantinya akan
tertuang dalam rancangan Peraturan Pemerintah (PP) yang saat ini tinggal menanti
ditandatangani pemerintah.

Saat ini, rancangan Peraturan Pemerintah (PP). BPJPH saat ini belum bisa
melaksanakan tugas terkait penerbitan sertifikat halal sebab RPP terkait UU JPH belum
dikeluarkan pemerintah, namun sudah taraf final dan tinggal menunggu untuk
ditandatangani pemerintah. Sudah empat tahun sejak Undang-Undang Jaminan Produk
Halal (UUJPH) diundangkan dan UU tersebut belum bisa maksimal dijalankan. Sebab,
Peraturan Pemerintah (PP) yang diamanatkan terbit dua tahun sejak UU Nomor 33 Tahun
2014 dikeluarkan, hingga saat ini belum juga terbit atau di taken pemerintah. Pasal 65
UUJPH mengamanatkan agar dua tahun setelah UU tersebut diundangkan, Presiden
harus menerbitkan Peraturan Pemerintah. Maksud dari terbitnya PP tersebut ialah
pemberian wewenang kepada LPPOM MUI secara maksimal ini agar dunia usaha tetap
berjalan dan tidak dirugikan. Naantinya MUI akan melaksanakan mandatory sertifikasi
halal dan perlu adanya penguatan kelembagaan sehingga pemerintah juga harus
membantu.12

Dalam UU No.33 Tahun 2014 disebutkan, bahwa BPJPH berhak menerbitkan dan
menarik sertifikat halal dan label halal pada suatu produk. Selama masa transisi hingga 17
Oktober 2019 nanti, pekerjaan sertifikasi halal masih dilakukan oleh LPPOM MUI.
Selanjutnya, penerbitan sertifikat halal akan dilakukan oleh BPJPH. Dalam melaksanakan
tugasnya, BPJPH akan bekerja sama dengan kementerian atau lembaga terkait, Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH), dan MUI.

Untuk itu, diharapkan melalui UU 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
(JPH) dan RPP yang baru dapat memberikan jalan bagi pelaku UMKM. Koordinasi LPPOM
MUI pusat dan provinsi akan terus ditingkatkan. Di sisi lain peran UMKM cukup signifikan

12
News website resmi LPPOM MUI (www.halalmui.org)
dalam pergerakan ekonomi nasional. Dalam konteks menjaga ketahanan pangan nasional,
selama ini sektor UMKM mampu menjadi penopang dan bertahan pada roda
perekonomian saat terjadi krisis ekonomi. Sudah seharusnya perhatian ke UMKM bukan
hanya tugas pemerintah, tetapi perusahaan besar BUMN dan swasta, mulai dari
kemudahan fasilitas, pemberian modal serta program UMKM binaan. Untuk itu, diperlukan
sinergi dari berbagai pihak, baik pengusaha maupun pemerintah dan pihak terlait lainnya.

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang sudah memiliki sertifikat halal
dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama
Indonesia (MUI) nantinya akan diberi pendampingan oleh Aladdin Street. Aladdin Street
merupakan platform e-commerce yang bekerja sama dengan LPPOM MUI supaya produk-
produk UMKM tersebut bisa go Internasional. Aladdin Street mempunyai persyaratan bagi
UMKM yang ingin produknya go Internasional. Syaratnya ialah kemasan, food safety,
higienis dan lain-lain harus baik dan memenuhi standar Internasional.13

Tak bisa dipungkir kesadaran umat muslim saat ini terhadap produk-produk halal
sangat besar. Hal tersebut membuat para pelaku UMKM ikut mendukung dengan
berusaha mendapatkan sertifkasi halal dari MUI. Ketika UMKM berhasil mendapatkan
sertifikat halal dari MUI secara otomatis akan sekaligus mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat khususnya konsumen muslim.

Oleh karena itu, Dengan adanya sertifikat halal, masyarakat akan lebih merasa
tenang saat membeli produk konsumsi karena produk yang belum punya sertifikat halal
dapat menimbulkan keraguan, apakah produk konsumsi tersebut dapat membahayakan,
dan mengandung zat yang haram. Sehingga hadirnya sertifikat dan labelisasi ini akan
melindungi masyarakat agar selalu dapat mengkonsumsi produk dengan aman, bergizi,
beragam, dan seimbang. Disisi lain sertifikasi halal tersebut dapat meningkatkan potensi
UMKM karena sudah mendapat kepercayaaan dari masyarakat muslim, kemudian target

13
Republika Online, UMKM Bersertifikat Halal MUI akan dapat Pendampingan
pasar akan semakin besar, mampu bersaing di negara-negara luar dan pastinya
meningkatkan nilai ekonomi. Apalagi di Indonesia hasil penelitian menunjukkan bahwa
muslim di Indonesia sadar dan memiliki sikap positif terhadap produk halal yang secara
positif mempengaruhi niat mereka untuk membeli produk halal tersebut.14

2.5 PERSYARATAN SERTIFIKASI HALAL MUI

Persyaratan Sertifikasi Halal MUI (halalmui.org)15

HAS 23000 idalah dokumen yang berisi persyaratan sertifikasi halal LPPOM MUI.
HAS 23000 terdiri dari 2 bagian, yaitu Bagian 1 tentang Persyaratan Sertifikasi Halal :
Kriteria Sistem Jaminan Halal (HAS 23000:1) dan Bagian 2 tentang Persyaratan Sertifikasi
Halal : Kebijakan dan Prosedur (HAS 23000:2).

Bagi perusahaan yang ingin mendaftarkan sertifikasi halal ke LPPOM MUI, baik
industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong Hewan (RPH), restoran,
katering, dapur, maka harus memenuhi persyaratan sertifikasi halal yang tertuang dalam
dokumen HAS 23000.

HAS 23000:1 KRITERIA SISTEM JAMINAN HALAL (SJH)

1. Kebijakan Halal

Top Management harus menetapkan Kebijakan Halal dan mensosialisasikan


kebijakan halal kepada seluruh pemangku kepentingan (stake holder) perusahaan.

2. Tim Manajemen Halal

14
Arshia Mukhtar, Muhammad Mohsin Butt. (2012). Intention to choose Halal products: the role of religiosity.
Journal of Islamic Marketing, Vol. 3 Issue: 2, 108-120, https://doi.org/10.1108/17590831211232519
15 Website resmi LPPOM MUI (www.halalmui.org)
Top Management harus menetapkan Tim Manajemen Halal yang mencakup
semua bagian yang terlibat dalam aktivitas kritis serta memiliki tugas, tanggungjawab dan
wewenang yang jelas.

3. Pelatihan dan Edukasi

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis pelaksanaan pelatihan. Pelatihan


internal harus dilakukann minimal setahun sekali dan pelatihan eksternal harus dilakukan
minimal dua tahun sekali.

4. Bahan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan produk yang disertifikasi dilarang


menggunakan bahan haram atau najis. Perusahaan harus mempunyai dokumen
pendukung untuk semua bahan-bahan yang digunakan.

5. Produk

Karakteristik/profil sensori produk tidak boleh memiliki kecenderungan bau atau


rasa yang mengarah kepada produk haram atau yang telah dinyatakan haram
berdasarkan fatwa MUI. Nama produk atau merk yang didaftarkan untuk disertifikasi tidak
boleh menggunakan nama yang mengarah pada sesuatu yang diharamkan atau ibadah
yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Produk pangan retail dengan merk sama yang
beredar di Indonesia harus didaftarkan seluruhnya untuk sertifikasi, tidak boleh jika hanya
didaftarkan sebagian.

6. Fasilitas Produksi

a. Industri pengolahan: (i) Fasilitas produksi harus menjamin bebas kontaminasi silang
dengan bahan/produk yang haram/najis; (ii) Fasilitas produksi dapat digunakan
secara bergantian untuk menghasilkan produk yang disertifikasi dan produk yang
tidak disertifikasi selama tidak mengandung bahan yang berasal dari babi atau
turunannya, namun harus ada prosedur yang menjamin tidak terjadi kontaminasi
silang.

b. Restoran/Katering/Dapur: (i) Dapur hanya dikhususkan untuk proses produksi halal;


(ii) Fasilitas dan peralatan penyajian hanya dikhususkan untuk menyajikan produk
halal.

c. Rumah Potong Hewan (RPH): (i) Fasilitas RPH hanya dikhususkan untuk proses
produksi daging hewan halal; (ii) Lokasi RPH harus terpisah secara nyata dari RPH
atau peternakan babi; (iii) Jika proses deboning dilakukan di luar RPH, maka harus
dipastikan karkas hanya berasal dari RPH halal; (iv) Alat penyembelih harus
memenuhi persyaratan.

7. Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis mengenai pelaksanaan aktivitas


kritis, yaitu aktivitas pada rantai produksi yang dapat mempengaruhi status kehalalan
produk. Aktivitas kritis seperti seleksi bahan baru, pembelian bahan, pemeriksaan bahan
datang, formulasi produk, produksi, pencucian fasilitas produksi dan peralatan pembantu,
penyimpanan dan penanganan bahan dan produk, transportasi, pemajangan (display),
aturan pengunjung, penentuan menu, pemingsanan, penyembelihan, disesuaikan dengan
proses bisnis perusahaan (industri pengolahan, RPH, restoran/katering/dapur). Prosedur
tertulis aktivitas kritis ini dapat terintegrasi dengan prosedur sistem yang lain.

8. Kemampuan Telusur (Traceability)

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menjamin kemampuan


telusur produk yang telah disertifikasi berasal dari bahan yang memenuhi kriteria (disetujui
LPPOM MUI) dan diproduksi di fasilitas produksi yang memenuhi kriteria (bebas dari
bahan babi atau turunannya).
9. Penanganan Produk yang Tidak Memenuhi Kriteria

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menangani produk yang


tidak memenuhi kriteria, yaitu tidak menjualnya ke konsumen yang mempersyaratkan
produk halal dan jika terlanjur dijual maka harus ditarik dari pasar.

10. Audit Internal

Perusahaan harus mempunyai sistem prosedur tertulis audit internal pelaksanaan


SJH. Audit internal dilakukan setidaknya enam bulan sekali dan dilaksanakan oleh auditor
halal internal yang kompeten dan juga independen. Hasil dari audit internal disampaikan
ke LPPOM MUI dalam bentuk laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.

11. Kaji Ulang Manajemen

Top Management atau wakilnya harus melakukan pengkajian ulang manajemen


minimal satu kali dalam satu tahun, dengan tujuan untuk menilai efektifitas penerapan SJH
dan merumuskan perbaikan berkelanjutan.

2.6 PROSEDUR SERTIFIKASI HALAL MUI

Prosedur Sertifikasi Halal MUI (halalmui.org)16

Bagi perusahaan atau industri yang ingin memperoleh sertifikat halal LPPOM MUI,
baik industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong Hewan (RPH), dan
restoran/katering/dapur, harus melakukan pendaftaran sertifikasi halal dan memenuhi
persyaratan sertifikasi halal. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilewati oleh
perusahaan atau industri yang akan mendaftar proses sertifikasi halal :

1. Memahami semua persyaratan sertifikasi halal dan mengikuti pelatihan SJH

16
Website resmi LPPOM MUI (www.halalmui.org)
Perusahaan harus memahami semua persyaratan sertifikasi halal yang tercantum
dalam HAS 23000. Selain itu, perusahaan juga harus mengikuti pelatihan Sistem Jaminan
Halal (SJH) yang diadakan LPPOM MUI, baik berupa pelatihan reguler maupun pelatihan
online (e-training).

2. Menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH)

Perusahaan harus menerapkan SJH sebelum melakukan pendaftaran sertifikasi


halal, seperti penetapan kebijakan halal, penetapan Tim Manajemen Halal, pembuatan
Manual SJH, pelaksanaan pelatihan, penyiapan prosedur terkait SJH, pelaksanaan
internal audit dan kaji ulang manajemen.

3. Menyiapkan dokumen sertifikasi halal

Perusahaan harus menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk


sertifikasi halal, seperti daftar produk, daftar bahan dan dokumen bahan, daftar
penyembelih (khusus RPH), matriks produk, Manual SJH, diagram alir proses produksi,
daftar alamat fasilitas produksi, bukti sosialisasi kebijakan halal produk, bukti pelatihan
internal dan bukti audit internal.

4. Melakukan pendaftaran sertifikasi halal (upload data)

Pendaftaran sertifikasi halal dilakukan secara online di sistem Cerol melalui


website resmi www.e-lppommui.org. Perusahaan melakukan upload data sertifikasi hingga
selesai, baru dapat diproses oleh LPPOM MUI.

5. Melakukan monitoring pre-audit dan pembayaran akad sertifikasi

Setelah melakukan upload data sertifikasi, perusahaan melakukan monitoring pre-


audit dan pembayaran akad sertifikasi. Monitoring pre audit disarankan dilakukan setiap
hari untuk mengetahui adanya ketidaksesuaian pada hasil pre-audit. Pembayaran akad
sertifikasi dilakukan dengan mengunduh akad di Cerol, membayar biaya akad dan
menandatangani akad, untuk kemudian melakukan pembayaran di Cerol dan disetujui oleh
Bendahara LPPOM MUI melalui email ke : bendaharalppom@halalmui.org.

6. Pelaksanaan audit

Audit bis dilaksanakan apabila perusahaan sudah lolos pre-audit dan akad sudah
disetujui. Audit dilaksanakan di semua fasilitas yang berkaitan dengan produk yang akan
disertifikasi.

7. Melakukan monitoring pasca audit

Setelah melakukan upload data sertifikasi, perusahaan melakukan monitoring


pasca audit. Monitoring pasca audit sangat disarankan dilakukan setiap hari untuk
mengetahui adanya ketidaksesuaian pada hasil audit, dan jika terdapat ketidaksesuaian
agar nantinya dilakukan perbaikan.

8. Memperoleh Sertifikat halal

Perusahaan dapat mengunduh softcopy Sertifikat halal di Cerol. Sertifikat halal


yang asli dapat diambil di kantor LPPOM MUI Jakarta atau akan dikirim ke alamat
perusahaan. Sertifikat halal berlaku selama 2 (dua) tahun.

Prosedur sertifikasi halal secara umum bisa dilihat dari gambar berikut
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Halal dalam bahasa adalah segala objek atau kegiatan yang diperbolehkan untuk
digunakan atau dilaksanakan. Dalam konteks konsumsi, ialah barang yang
diperbolehkan atau tidak dilarang untuk dikonsumsi. Halal adalah kriteria mutu utama
produk konsumsi dalam Islam. Halal sudah menjadi kewajiban bagi konsumen
khususnya konsumen muslim karena menjamin barang konsumsi yang higienis,
aman, tidak membahayakan dan bermanfaat bagi manusia. Kriteria halal yakni halal
zatnya. Halal cara memperolehnya, dan halal cara pengolahannya.

2. Label merupakan tanda yang melekat pada suatu produk. Sedangkan sertifikasi
adalah suatu penetapan yang diberikan oleh suatu organisasi profesional terhadap
pihak tertentu yang menunjukkan bahwa pihak tersebut mampu untuk melakukan
suatu pekerjaan, tugas spesifik, dan memenuhi kriteria-kriteria yang dipersyaratkan.
Labelisasi halal ialah pemberian cap atau tanda bahwa produk yang bersangkutan
telah ditetapkan halal yang dapat dibuktikan dengan sertifikat halal. Sertifikat halal
adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh otoritas terkait tentang halalnya suatu
produk konsumsi setelah diteliti dan dinyatakan halal. Otoritas yang menerbitkan
sertifikasi produk halal di Indonesia adalah MUI yang secara teknis ditangani oleh
LPPOM MUI.

3. Peraturan mengenai produk halal telah tertuang pada UU no 33 tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal (UUJPH) dimana 5 tahun setelah UU tersebut semua harus
sudah tersertifikasi tidak terkecuali UMKM. Faktanya masih banyak UMKM di
Indonesia yang belum bersertifikasi dan berlabel halal (kurang dari 10% dari jumlah
total UMKM). Hal itu dikarenakan masih terdapat anggapan bahwa sertifikasi halal
belum berpengaruh dan pemrosesan sertifikat tersebut dirasa memakan waktu lama.
Padahal banyak sekali manfaat yang bisa diterima UMKM bila produknya bersertifikat
dan berlabel halal, seperti menambah kepercayaan konsumen untuk melindungi
konsumen terhadap produk makanan dan minuman yang tidak halal, memberikan
rasa aman dan nyaman bagi konsumen untuk mengkonsumsi produk konsumsi,
karena tidak ada keraguan bahwa produk tersebut terindikasi dari hal-hal yang
diharamkan sesuai syariat Islam, meningkatkan daya saing dan juga omset usaha.

4. Produsen (dalam hal ini UMKM) dapat mengajukan permohonan sertifikat halal ke
sekretariat LPPOM MUI dengan mengisi form online, mendaftarkan seluruh produk,
lokasi produksi, pabrik pengemasan dan tempat makan, produk yang dijual, toko,
dapur serta gudang. Bagi Rumah Potong Hewan (RPH) mendaftarkan tempat
penyembelihan. Form yang sudah diisi beserta dokumen pendukungnnya
dikembalikan ke sekretariat. LPPOM MUI memeriksa kelengkapann berkas dan bila
belum lengkap perusahaan atau industri harus melengkapi. LPPOM MUI melakukan
audit melalui tim auditor melakukan pemeriksaan ke lokasi produsen pada saat
memproduksi produk. Hasil pemeriksaan dan hasil laboratorium akan dievaluasi
dalam rapat auditor LPPOM MUI. Hasil audit yang belum memenuhi persyaratan,
akan diberitahukan kepada perusahaan dan dikembalikan untuk melakukan
perbaikan. Jika telah memenuhi persyaratan, auditor membuat laporan untuk diajukan
pada sidang Komisi Fatwa MUI. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan
audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan sertifikasi dan hasilnya
dikembalikan kepada produsen. Sertifikat halal akan dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia setelah ditetapkan status kehalalanya oleh Komisi Fatwa MUI.

3.2 SARAN

1. Masyarakat sebagai konsumen, terutama konsumen muslim harus cermat dan cerdas
ketika memilih dan juga membeli produk konsumsi dengan melihat logo halal pada
kemasan produk, karena masih banyak produk konsumsi yang beredar dimasyarakat
belum berlogo halal MUI atau logo Halal MUI diragukan kebenarannya. Dan jika
konsumen masih ragu pada kehalalan produk, konsumen bisa mengecek pada
webside MUI (halalmui.org) produk apa sajayang sudah bersertifikasi halal.
2. UMKM dalam memperdagangkan suatu produk harus beritikad baik tidak hanya
mengejar keuntungan tetapi juga harus mengindahkan hak-hak konsumen termasuk
hak-hak konsumen muslim terhadap produk halal. Untuk mendapatkan sertifikat dan
label halal UMKM dapat mengajukan permohonan sertifikat halal melalui LPPOM
MUI. Hal ini bukan hanya melindungi konsumen, namun dapat memberikan manfaat
bagi UMKM seperti perluasan pasar, lebih dipercaya konsumen, meningkatkan omset
dan juga daya saing produk.

3. Perlunya sosialisasi tentang (UUJPH) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014


tentang Jaminan Produk Halal oleh lembaga pemerintah terkait kepada pelaku usaha
khususnya UMKM dan masyarakat, karena 5 tahun setelah berlakunya undang-
undang ini (akhir tahun 2019) semua produk yang beredar dimasyarakat harus
bersertifikat halal dan produk yang non halal harus diberikan tanda tidak halal pada
kemasan produk, sehingga dengan kehadiran UUJPH tersebut lebih memberi jaminan
Perlindungan dan kepastian hukum hak-hak konsumen muslim terhadap produk yang
halal.

4. Perlunya percepatan dan kepastian hukum tetap dengan Rancangan Peraturan


Pemerintah sebagai penguat UUJPH. Sebagaimana kita ketahui UUJPH akan
semakin efektif dengan aturan tambahan yaitu PP yang hanya tinggal di taken oleh
pemerintah.

3.3 TEMUAN

1. Halal merupakan kriteria mutu utama produk konsumsi dalam Islam. Halal sudah
menjadi kewajiban bagi konsumen khususnya konsumen muslim karena berbagai
macam kebermanfaatannya. Kriteria halal yakni halal zatnya, halal cara
memperolehnya, dan halal cara pengolahannya. Dalam hal produk konsumsi,
semua proses dari awal seperti perolehan dan pemilihan bahan baku hingga
sampai ke tangan konsumen tidak boleh satupun tercampur dengan unsur haram.
2. Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UUJPH) Nomor 33 tahun 2014 selama ini
hanya bersifat sukarela (voluntary), dalam perundangan tersebut telah disepakati
pada pasal 65 bahwa 2 tahun setelah UUJPH terbit, akan ada Peraturan
Pemerintah (PP) yang akan menguatkan UUJPH tersebut, salah satunya ialah
kewajiban (mandatory) sertifikasi halal untuk semua produk halal pada 5 tahun
setelah UUJPH diterbitkan. Namun, hingga kini Peraturan Pemerintah tersebut
belum diterbitkan atau belum di taken pemerintah, walaupun PP itu sendiri sudah
tahap final. Alasan belum dikeluarkannya PP tersebut ialah banyaknya
kepentingan antar kementrian dan pihak terkait. Menurut Dirjen Peraturan
Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana, terdapat tiga cara
untuk membatalkan pasal 65 JPH yaitu dengan cara diamandemen, judicial
review, atau penerbitan Perpu. Langkah yang paling ideal ialah judicial
review karena untuk amandemen akan memakan waktu yang lama, dan untuk
Perpu harus ada unsur darurat. Padahal, jika PP tersebut diterbitkan akan
memeberikan kepastian hukum yang sangat kuat disamping UUJPH yang
tujuannya sendiri untuk kemaslahatan bersama.

3. Sertifikasi dan labelisasi halal untuk UMKM di Indonesia masih rendah atau minim,
Faktanya masih banyak UMKM di Indonesia yang belum bersertifikasi dan
berlabel halal (kurang dari 10% dari jumlah total UMKM). Hal itu dikarenakan
masih terdapat anggapan bahwa sertifikasi halal belum berpengaruh dan
pemrosesan sertifikat tersebut dirasa memakan waktu lama. Indonesia harus
segera berbenah akan hal ini, pentingnya sosialisasi dan koordinasi antar
stakeholder, menjadi sebuah kunci untuk bersaing di pasar global produk halal.
Bukan tidak mungkin negara-negara lain yang mayoritas non muslim (sekuler)
akan terjun dan menguasai pasar produk halal dunia.

4. Sertifikasi dan labelisasi bagi produk UMKM nantinya akan mempengaruhi pilihan
konsumen dalam memilih produk konsumsi. Karena menurut penelitian yang
dilakukan Fatmasari Sukesti pada jurnalnya yang berjudul “The Influence Halal
Label And Personal Religiousity On Purchase Decision On Food Products In
Indonesia” menunjukkan label halal dan agama pribadi berpengaruh signifikan
terhadap keputusan pembelian dengan R Square 0,485. Artinya di Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama islam, tentunya konsumen akan memilih
produk konsumsi yang terjamin kehalalannya, higienis, terpercaya, dan memiliki
berbagai macam manfaat bagi tubuh. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya label
dan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indinesia (MUI)
DAFTAR PUSTAKA

Adam, Panji. (2017). Kedudukan Sertifikasi Halal Dalam Sistem Hukum Nasional Sebagai Upaya
Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Islam. Amwaluna, Vol. 1 No. 1, 150-165.

Afroniyati, Lies. (2014). Analisis Ekonomi Politik Sertifikasi Halal Oleh Majelis Ulama Indonesia.
Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik JKAP Vol 18, No 1. 37-52.

Arshia Mukhtar, Muhammad Mohsin Butt. (2012). Intention to choose Halal products: the role of
religiosity. Journal of Islamic Marketing, Vol. 3 Issue: 2, 108-120,
https://doi.org/10.1108/17590831211232519

Azizah, Mabarroh. (2017). Instrumen Labelisasi Dan Sertifikasi Halal Sebagai Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen Muslim Dalam Wacana Hukum Ekonomi Islam Di Indonesia. Jurnal
Al-‘Adl, Vol. 10 No. 2, 138-153.

Charity, May Lim. (2017). Jaminan Produk Halal Di Indonesia (Halal Products Guarantee In
Indonesia). Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 N0. 01, 99 – 108.

Hasan, Sofyan. (2014). Kepastian Hukum Sertifikasi Dan Labelisasi Halal Produk Pangan. Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 14, 227-238.

Jonathan A.J. Wilson, Jonathan Liu. (2010). Shaping the Halal into a brand?. Journal of Islamic
Marketing, Vol. 1 Issue: 2, 107-123, https://doi.org/10.1108/17590831011055851.

Sukesti, Fatmasari. (2014). The Influence Halal Label And Personal Religiousity On Purchase
Decision On Food Products In Indonesia. International Journal of Business, Economics
and Law, Vol. 4, Issue 1. 150-153.

Syafrida. (2017). Sertifikat Halal Pada Produk Makanan Dan Minuman Memberi Perlindungan Dan
Kepastian Hukum Hak-Hak Konsumen Muslim. ADIL: Jurnal Hukum, Vol. 7 No.2, 159-174.

Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 518 Tahun 2001 Tanggal 30 Nevember 2001 Tentang
Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal Menteri Agama Republik
Indonesia
UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

Sumber Online :

www.halalmui.org

www.depkop.go.id

www.bps.go.id

www.bsn.go.id

www.goukm.id

www.republika.co.id

www.kompasiana.com

www.kalimantan.bisnis.com

Anda mungkin juga menyukai