Anda di halaman 1dari 10

JAMINAN PRODUK HALAL DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

Inna Putri Istiqomah


Tasyha Anugerah

Abstrak
Indonesia terkenal dengan penduduk yang meyoritas beragam Islam, dan juga memiliki
tingkat konsumsi yang tinggi. Dengan begitu, kehalalan suatu produk menjadi suatu hal yang
sangat penting dan kebutuhan utama bagi konsumen yang beragama Islam. Kehalalan suatu
produk bukan hanya dari segi produk makanan dan minuman, tetapi dari segala aspek produk
yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti obat-obatan, kosmetik, dan barang -
barang lainnya. Sehingga sangat diperlukan suatu payung hukum untuk melindungi
konsumen dari produk yang tidak terjamin kehalalannya. Kata halal berasal dari kata halla,
yahillu, hillan yang berarti membebaskan, melepaskan, memecahkan, memebubarkan, dan
membolehkan. Halal dimaknai segala sesuatau yang menyebabkan seseorang tidak dihukum
jika menggunakannya. Namun, sebelum munculnya UU JPH, telah ada beberapa peraturan
Perundang-Undangan yang mengatur mengenai makan yang diperjualbelika di pasar.
Kemudian setelah itu muncullah MUI yang diberi kewenangan untuk memberikan tanda
kehalaln pada suatu makan atau minuman. Namun itu belum secara menyeluruh dan belum
adanya kepastian hukum, maka pada tahun 2014 lahirlah peraturan Perundang-Undangan
yang mengatur Jamian Proouk Halal pada produk yang akan diperdagangkan, yaitu UU JPH.

Kata Kunci Konsumen, Produk Halal, UU Jaminan Produk Halal.

PENDAHULUAN

Indonesia dengan penduduk muslim yang mayoritas, membuat produk halal di negara
ini membutuhkan perhatian yang besar. Karena kehalalan suatu produk menjadi suatu hal
yang sangat penting dan kebutuhan utama bagi konsumen yang beragama Islam. Kehalalan
suatu produk bukan hanya dari segi produk makanan dan minuman, tetapi dari segala aspek
produk yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti obat-obatan, kosmetik, dan
barang -barang lainnya.
Melihat dari penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim, menjadikan produk halal
sangat menunjang perekonomian Indonesia. Bahkan pada tahun ini produk halal telah
menjadi pusat perhatian pemerintah, seperti kata Presiden Jokowi pada acara peluncuran
Halal Park “Kita jadikan industry halal sebagai motor pertumbuhan ekonomi, ladang
kreativitas, dan produktivitas generasi-generasi muda kita, agar bisa menjadikannya sebagai
sumber kesejahteraan umat.”
Dalam agama Islam telah diatur mengenai hal yang halal dan haram. Sehingga
mengosumsi produk yang halal merupakan sebuah kewajiban bagi masyarakat muslim.
Menggunakan atau mengosumsi produk halal juga merupakan ibadah. Dengan demikian
suatu produk sangat penting untuk dapat menjamin kehalalannya, dikarenakan suatu
konsumsi itu akan ada kaitannya dengan ibadah kepada Allah. Kewajiban untuk mengosumsi
produk halal telah Allah sebutkan dalam Al-Qur’an pada surat Al-Maidah ayat 88 yang
artinya “Makanlah makanan yang halal lagi baik.” Karena sejatinya produk yang terjamin
kehalalannya terhindar dari kemudharatan atau hal yang buruk.
Untuk menjamin kehalalan suatu produk, maka diperlukan suatu sertifikasi atau tanda
halal dari produk itu. Namun, perkembangan teknologi telah menciptakan aneka produk
olahan yang kehalalannya diragukan. Banyak dari bahan-bahan haram tersebut yang
dimanfaatkan sebagai bahan baku, bahan tambahan,atau bahan penolong pada berbagai
produk olahan, karena dianggap lebih ekonomis. Akibatnya kehalalan dan keharaman sebuah
produk seringkali tidak jelas karena bercampur aduk dengan bahan yang diragukan
kehalalanya.hal ini menyababkan berbagai macam produk olahan menjadi syubhat atau
meragukan dan tidak jelas status kehalalannya.1
Oleh karena itu, hadirnya pranata hukum yang mapan, sentral, humanis, progesif,
akamodatif dan tidak diskriainatif2 sangat diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat
Indonesia, terutama masyarakat muslim.
Sebelum masuk pada pembahasan mengenai UU Jaminan Produk Halal di Indonesia,
akan dibahas terlebih dahulu mengenai konsep halal. Kata halal berasal dari kata halla,
yahillu, hillan yang berarti membebaskan, melepaskan, memecahkan, memebubarkan, dan
membolehkan. Halal dimaknai segala sesuatau yang menyebabkan seseorang tidak dihukum
jika menggunakannya.3

1
Nur Fatimah, Jaminan produk halal di Indonesia bagi konsumen Muslim, Jurnal Likuid no. 1, Vol. 1, 2021, H.
44.
2
Nur Fatimah, Jaminan produk halal di Indonesia bagi konsumen Muslim, Jurnal Likuid no. 1, Vol. 1, 2021, H.
45.
3
Zulkarnain Andar, Analisis Undang-Undangn Jamina Produk Halal dan cipta kerja, Tesis Universitas Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2021, H. 19

2
Menurut MUI, sesuatu itu dinyatakan halal jika terpenuhi kehalalan zatnya, halal cara
memperolehnya dan halal cara memprosesnya. Kemudian dalam UU No.3 Tahun 2014
tentang jaminan produk halal disebutkan bahwa:
1. Produk halal adalah barang atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat,
kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang
gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
2. Sedangkan Produk halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan
syariat Islam.
3. Jaminan Produk Halal adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang
dibuktikan dengan Sertifikat Halal.4

Sedangkan konsep produk halal menurut UU JPH adalah produk yang telah
dinyatakan halal sesuai syariat Islam dan jaminan produk halal adalah kepastian hukum
terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikasi halal.5

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengaturan Produk Halal sebelum UU Jaminan Produk Halal


Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH),
pemerintahan Indonesia telah memberikan perlindungan terhadap konsumen muslim
dari produk yang tidak halal melaluli:
1. UU No. 18 Tahun 2012 tantang pangan, bahwasannya negara
berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan
konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang.
Keamana pangan yang dimaksudkan adalah menjaga pangan tetap aman,
higenis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat.
2. Pasal 105 UU Pangan, Mengenai promosi/iklan label halal terhadap
produk pangan maka produsen/pelaku usaha harus
mempertanggungjawabkan sekali kehalalan atas produk tersebut.
Demikian pula terkait dengan iklan Pangan yang menyebutkan kehalalan
produk pangan setiap orang wajib bertanggung jawab atas kebenarannya.

4
Zulkarnain Andar, Analisis Undang-Undangn Jamina Produk Halal dan cipta kerja, Tesis Universitas Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2021, H. 22
5
Nur Fatimah, Jaminan produk halal di Indonesia bagi konsumen Muslim, Jurnal Likuid no. 1, Vol. 1, 2021, H.
46.

3
3. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang secara eksplisit
memberikan rambu-rambu secara umum dalam memproduksi, mengolah,
serta mendistribusikan makanan dan minuman hasil teknologi rakayasa
genetikyang diedarkan terjamin agar aman bagi manusia, dan lingkungan.
4. UU No. 8 Tahun 19999 tentang Perlindungan kosumen, asas dari
perlindungan konsumen meliputi asas manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
5. PP No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan, Pasal 10 ayat (1)
PP Label dan Iklan Pangan menyatakan bahwa; Setiap orang yang
memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut
halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan
tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada
Label. Pencantuman keterangan halal atau tulisan “halal” pada label
pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau
memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan
(mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam. Penggunaan bahasa
atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin, harus digunakan
bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin.
6. Inpres Tahun 1991 tentang peningkatan pembinaan dan pengawasan
produksi dan peredaran makanan olahan, Instruksi Presiden tersebut antara
lain menyatakan bahwa masyarakat perlu dilindungi dari produk dan
peredaran makanan yang tidak memenuhi syarat terutama dari segi mutu,
kesehatan, keselamatan dan keyakinan agama.

Dari peraturan Perundang-Undangan diatas, telah diketahui bahwasanya, suatu


produk yang diperjualbelikan sangatlah penting untuk menjaga keamanan serta
kualitasnya. Keamanan dengan maksud tidak bertentangan dengan keyakinan,
maupun keamanan secara biologis, yang tidak merusak lingkungan. Sehinggga
sangatlah ddiperlukan suatu hukum yang dapat benar-benar mengawasi dan
mengawal suatu produk untuk kepentingan dan keamanan konsumen.

Sebelum dikeluarkannya UU Jaminan Produk Halal, pada tahun 1989,


labelisasi halal terhadap produk pangan di Indonesia telah dimulai sejak akhir tahun
1976 oleh Kementerian Kesehatan. Tepatnya pada tanggal 10 November 1976 semua

4
makanan dan minuman yang mengandung babi maupun turunannya harus
memberikan identitas bahwa makanan tersebut mengandung babi. Hal ini diatur
dalam Surat Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
280/Men.Kes/Per/XI/76 mengenai Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada
Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi. Bagi produsen makanan yang
menggunakan babi maupun turunannya harus mencantumkan tanda peringatan pada
wadah atau bungkus baik dicetak maupun direkatkan pada kemasan. Tanda peringatan
harus memuat dua unsur yaitu adanya gambar babi serta tulisan “MENGANDUNG
BABI” yang diberi warna merah dan berada di dalam kotak persegi merah.

Pada 6 Januari 1989 dibentuklah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan,


dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Lembaga ini berdiri
berdasarkan Surat Keputusan MUI Nomor Kep./18/MUI/I/1989 yang memiliki tugas
utama untuk mengadakan pemeriksaan terhadap produk yang beredar dan melakukan
sertifikasi halal. Dalam implementasinya, MUI baru bisa mengeluarkan sertifikat
halal pada tahun 1994, lima tahun setelah terbentuknya LPPOM. Sehingga suatu
produk akan diberi tanda dengan bentuk sertifikasi halal6 yang dikeluarkan oeh MUI
apabila telah memenuhi kriteria kehalalan. Pemegang otoritas menerbitkan sertifikasi
halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang saat ini secara teknis ditangani oleh
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika LP POM. Dalam proses
dan pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI melakukan kerja sama dengan
beberapa lembaga dan kementerian serta sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Khusus dengan BPOM, LPPOM MUI bekerja sama dalam pencantuman sertifikat
halal MUI pada kemasan untuk produk yang beredar di Indonesia.7 LPPOM MUI juga
telah membuat Ketentuan Sistem Jaminan Halal melalui suratnya Nomor SK
13/Dir/LPPOM MUI/III/13 tanggal 31 Maret 2013. Sistem Jaminan Halal diharapkan
perusahaan dapat menghasilkan produk yang benar-benar terjamin kehalalannya.

2. Undang-Undang Jaminan Produk Halal


Dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam, maka perhatian pada
kehalalan suatu produk sangat diperlukan. Pemerintahan memerlukan suatu sarana

6
Sertifikasi halal adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh MUI Pusat atau Provinsi tentang halalnya suatu
produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika yang diproduksi oleh perusahaan setelah diteliti dan
dinyatakan halal oleh LPPOM MUI. Nama lain Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan
kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam.
7
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal, Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2015, h. 15.

5
penting untuk mengawal produk yang halalan thoyyyiban, maka dihadirkanlah suatu
pranata hukum yang mapan, sentral, humanis, progresif, akamodatif dan tidak
diskriminatif yakni dengan hadirnya Undang- Undang Jaminan Produk Halal.Setelah
melewati proses yang panjang akhirnya DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor
33 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH). Undang-undang tersebut digagas oleh
DPR RI periode tahun 2004-2009 dan kemudian dibahas oleh DPR RI bersama
pemerintah pada periode 2009-2014.
UUJPH tidak hanya ditujukan untuk memberikan perlindungan dan jaminan
kepada konsumen semata dengan pemberian sertifikasi halal. Produsen juga menuai
manfaat dari UU ini yaitu dengan adanya kepastian hukum terhadap seluruh barang
yang diproduksi, sehingga UUJPH akan berdampak positif bagi dunia usaha. Jaminan
produk halal untuk setiap produk juga dapat memberikan manfaat bagi perusahaan,
mengingat produk yang bersertifikat halal akan lebih dipilih dan digemari konsumen
sehingga dapat meningkatkan penjualan. Hal ini bukan saja diminati oleh muslim
tetapi juga masyarakat non muslim, karena masyarakat non muslim beranggapan
bahwa produk halal terbukti berkualitas dan sangat baik untuk kesehatan tubuh
manusia.8
Jaminan produk halal secara teknis kemudian dijabarkan melalui proses
sertifikasi. Sebelumnya sertifikasi halal bersifat voluntary, sedangkan dalam Undang-
Undang Jaminan Produk Halal menjadi mandatori. Karena itu, semua produk yang
masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal
dan berlabel halal. Dan bukan hanya perusahaan besar yang harus memohon
sertifikasi halal dan label halal namun juga industri dan pengusaha kecil. Hal inilah
yang menjadi pembeda utama dengan produk perundang-undangan sebelumnya.9
Dengan adanya kepastian hukum pada Jaminan Produk Halal ini
mendatangkan berbagai menfaat terutama bagi konsumen dan juga produsen. Manfaat
bagi konsumen antara lain, yaitu terlindunginya konsumen muslim dari mengosumsi
pangan, obat- obatan, dan kosmetika yang tidak halal. Perasaan batin konsumen akan
tenang, Ketika semua produk yang dierjual belikan telah ada yang mengawasi tentang
kehalalannya. Dan manfaat bagi produsen antara lain adalah, sebagai pertanggung
jawaban terhadap konsumen, meningkatkan kepercayaan terhadap konsumen, sebagai
8
Ma’ruf Amin, Fatwa Produk Halal Melindungi dan Menentramkan, Jakarta: Pustaka Jurnal Halal, 2010, h. 79.
9
Bintan Dzumiroh dan Nurhasanah, Dampak Positif Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal Dalam Menciptakan Sistem Jaminan Produk Halal Di Indonesia, Jurnal Syar’ie, Vol. 3, No. 2,
2020, h. 202.

6
alat pemasaran dan mampu meningkatkan citra perusahaan dan pelaku usaha untuk
memperluas area jaringan pemasaran.
Ada beberapa factor penting dalam Dibentuknya UU mengenai Jaminan
Produk Halal yaitu:
1. Peraturan Perundang-Undangan belum bisa memberikan kepastian hukum
dan jaminan hukum khusus bagi konsumen. Dan peraturannya hanya
mengatur mengenai pangn belum mencakup untuk obaat-obatan, kosmetik
dan produk lainnya.
2. Tidak ada kepastian pada intuisi mana hukum ini ditegakkan.
3. Peredaran dan produk di pasar domestik makin sulit dikontrol akibat
meningkatnya teknologi pangan, rekayasa teknomoli, bioteknologi, dan
proses kimia biologis.
4. Belum adanya tanda halal secara resmi yang diterapkan oleh pemerintah
5. Sistem informasi produk halal belum sesuai dengan tingkat pengetahuan
dan kebutuhan masyarakat.

3. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal


Hadirnya UU JPH adalah sebagai paying hukum (umbrella act) bagi
pengaturan produk halal. Dalam memberikan JPH pada suatu produk ada proses yang
sangat Panjang, pengaturan yang menjangkau kehalalan suatu produk dari hulu
sampai hilir. Yang kemudian proses itu disingkat menjadi PPH (Proses Produk Halal).
PPH didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk
mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.
Penanggungjawab sistem jaminan halal dilakukan oleh pemerintah yang
diselenggarakan Menteri Agama dengan membentuk Badan Penyelenggara JPH
(BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri
Agama. BPJPH memiliki kewenangan sebagai berikut: a. merumuskan dan
menetapkan kebijakan JPH; b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
JPH; c. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk; d.
melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri; e. melakukan
sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal; f. melakukan akreditasi terhadap
LPH (lembaga penjamin halal g. melakukan registrasi Auditor Halal; h. melakukan

7
pengawasan terhadap JPH; i. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan j. melakukan
kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.10
Dalam melaksanakan wewenangnya BPJPH bekerja sama dengan
Kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Kerja sama BPJPH dengan LPH dilakukan untuk
pemeriksaan dan/atau pengujian produk. Kerja sama BPJPH dengan MUI dilakukan
dalam bentuk sertifikasi Auditor Halal, penetapan kehalalan produk; akreditasi LPH.11
UUJPH memberikan mandat bahwa BPJPH harus dibentuk paling lambat 3
(tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Peraturan pelaksanaan
Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan, namun sampai sekarang Peraturan Pelaksana
UUJPH ini belum juga dibuat. Kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar
dan diperdagangkan di wilayah Indonesia mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak
Undang-undang ini diundangkan. Sebelum kewajiban bersertifikat halal berlaku, jenis
Produk yang bersertifikat halal diatur secara bertahap.

KESIMPULAN
Dengan penduduk yang mayoritas adalah Muslim, maka diperlukan perhatian
yang besar dan khusus mengenai kehalaln suatu produk yang beredar dipasaran.
Dengan begitu, sebelum dikeluarkannya UU Jaminan Produk Halal, labelisasi halal
terhadap produk pangan di Indonesia telah dimulai sejak akhir tahun 1976 oleh
Kementerian Kesehatan. Kemudian Pada 6 Januari 1989 dibentuklah Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM
MUI). Dengan tugas mengadakan pemeriksaan terhadap produk yang beredar dan
melakukan sertifikasi halal. Dalam implementasinya, MUI baru bisa mengeluarkan
sertifikat halal pada tahun 1994. Dan kemudian akhirnya DPR mengesahkan Undang-
Undang Nomor 33 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH). Undang-undang tersebut
digagas oleh DPR RI periode tahun 2004-2009 dan kemudian dibahas oleh DPR RI
bersama pemerintah pada periode 2009-2014. Dibentuknya UU JPH ini memiliki
barbagai latar belakang ataupun factor-faktor penting yang mendasirinya. UU JPH
juga memiliki kekuatan hukum yang pasti, kejelasan dalam pertanggung jawabannya

10
Pasal 6 UUJPH
11
Pasal 10 UUJPH

8
dan Lembaga yang menjalankannya, inilah yang menjadi pembeda antar UU JPH
denga peraturan Perundang-Undangan sebelumnya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Apap Nazihah dan Bambang Samsul Arifin, The Impact of Food on MuslimsSpiritual
Development, Jurnal UIN Sunan Gunung Djati. Vol. 2 No. 1, 2020.
Asrorun Ni’am Sholeh, Halal Jadi Tren Global, Jurnal GATRA, 2015.
Bintan Dzumiroh dan Nurhasanah, Dampak Positif Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal Dalam Menciptakan Sistem Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, Jurnal Syar’ie, Vol. 3, No. 2, 2020.
Hasan, K.N.S., Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan, Jurnal
Dinamika Hukum, 2014.
Ma’ruf Amin, Fatwa Produk Halal Melindungi dan Menentramkan, Jakarta: Pustaka Jurnal
Halal, 2010.
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal,
Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal,
Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Nur Fatimah, Jaminan produk halal di Indonesia bagi konsumen Muslim, Jurnal Likuid no. 1,
Vol. 1, 2021.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Zulkarnain Andar, Analisis Undang-Undangn Jamina Produk Halal dan cipta kerja, Tesis
Universitas Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2021.

10

Anda mungkin juga menyukai