Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH MANAJEMEN PANGAN HALAL

PANGAN HALAL DAN ASPEK - ASPEKNYA

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK

Agung Widodo H0915004


Diah Ayu S N H0915021
Heni Widyastutik H0915032
Salsabiila Darin H0915074
Yasinta Apsarina H0915086

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama Ilmu


Pangan, persoalan kehalalalan produk makanan, minuman, kosmetik maupun
obat tidak lagi dipandang secara sederhana. Dengan rekayasa genetika dan
teknologi pangan saat ini, telah memungkinkan semua yang ada di muka bumi
ini dijadikan sebagai bahan baku makanan yang dikonsumsi manusia. Belum
lagi masalah produk dan bahan baku makanan import, terutama dari negeri
yang penduduknya mayoritas muslim. Sebagai negeri dengan penduduk
muslim terbesar yaitu 193.600.000 dari total jumlah penduduk 220 juta jiwa
atau 88 % (BPS,2007) sangatlah wajar jika pangan halal menjadi isu yang
cukup menarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Hal ini dikarenakan
semakin pesatnya perkembangan teknologi pangan terutama agroindustri
pangan olahan yang mengakibatkan penggunaan ingredient dalam pengolahan
pangan menjadi sangat bervariasi. Perkembangan penggunaan ingredient ini
didorong oleh kebutuhan akan ingredient dengan sifat-sifat tertentu yang
diinginkan dengan harga yang murah. Masalah yang kemudian timbul adalah
banyaknya ingredient pangan baik bahan baku utama maupun bahan aditifnya
yang sulit ditentukan kehalalan asal bahan pembuatnya. Padahal, kejelasan
suatu informasi suatu produk pangan sangat penting agar konsumen
mengetahui produk yang dikonsumsi tersebut adalah produk yang halal atau
tidak jelas ketentuan hukumnya (Apriyantono, 2005).

Dalam ajaran agama Islam memerintahkan umatnya agar memakan dan


menggunakan bahan-bahan yang halal thayyib. Dengan demikian halal-haram
bukanlah persoalan sederhana yang dapat diabaikan, melainkan masalah yang
penting dan mendapat perhatian besar dalam ajaran Islam. Mengkonsumsi
makanan yang halal dan thayyib merupakan aktualisasi kualitas pemahaman,
penghayatan dan pengamalan ajaran agama yang notabene merupakan salah
satu butir arah kebijakan pembangunan bidang agama. Oleh karenanya
pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan berupa jaminan,
perlindungan kepada umat beragama (umat Islam) terhindar dari bahaya
produk-produk yang haram bahkan syubhat serta memberikan pelayanan
bimbingan kepada pemberdayaan umat beragama (umat Islam) untuk
mengkonsumsi yang halal dan thayyib serta menghindari dari perilaku boros
(israf) dan berlebih-lebihan (tabzir) serta di luar kewajaran.

Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan juncto Peraturan


Pemerintah nomor 69 tahun 1999 tentang Iklan dan Label Pangan telah
mengamanatkan kewenangan kepada Departemen Agama (saat ini menjadi
Kementerian Agama) untuk menyusun Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan
Pangan Halal. Oleh karena itu disunlah kebijakan di bidang jaminan produk
halal sebagai asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana serta tujuan
dalam pelaksanaan jaminan produk halal yang merupakan bagian dari
Kebijakan Teknis Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah.
Balai Diklat Keagamaan Padang sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan yang mempunyai tugas
melaksanakan pendidikan dan pelatihan tenaga administrasi dan tenaga teknis
keagamaan, telah melaksanakan Diklat Pembina Produk Halal dalam wilayah
kerja meliputi Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau.
Diklat ini adalah salah satu Diklat teknis Keagamaan yang diadakan di Balai
Diklat Keagamaan Padang tahun 2013.

Disamping itu, dalam Al Quran yang merupakan pedoman utama umat


islam, Allah telah memberikan rambu-rambu yang jelas tentang perintah
makanan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah 168, Hai
manusia, makanlah segala sesuatu yang ada di bumi ini yang halal dan baik
dan jangan kamu mengikuti jejak setan karena sesungguhnya setan itu musuh
yang nyata bagimu. Serta di dalam Surat Al-Maidah ayat 88 Allah SWT
menyatakan bahwa Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa
yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang
kamu beriman kepada-Nya. Hal ini mengungkapkan bahwa seseorang
hendaknya mengkonsumsi makanan yang halal serta baik kandungan gizinya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Produk Pangan Halal ?
2. Bagaimana Hukum Syariah yang melandasi penentuan kehalalan suatu
produk pangan halal ?
3. Bagaimana penyikapan dan penanganan produk pangan yang masih
diragukan kehalalannya ?
4. Bagaimana Produk Hukum tentang Pangan Halal di Indonesia dan
perbandingannya dengan negara lain?
5. Bagaimana Standardisasi Pangan Halal dan Sistem Jaminan Pangan
Halal di Indonesia ?
6. Bagaimana penanganan kasus apabila terjadi suatu pelanggaran hukum
regulasi halal ?
7. Bagaimana potensi negara Inonesia dalam pasar pangan halal secara
global ?
C. Tujuan penulisan
1. Menambah pengetahuan tentang kehalalan suatu produk pangan
2. Mengetahui Hukum Syariah yang melandasi penentuan kehalalan
suatu produk pangan halal
3. Mengetahui cara penyikapan dan penanganan produk pangan yang
masih diragukan kehalalannya
4. Mengetahui tentang Produk Hukum tentang Pangan Halal di Indonesia
5. Mengetahui Standardisasi Pangan Halal dan Sistem Jaminan Pangan
Halal di Indonesia
6. Mengetahui cara penanganan kasus apabila terjadi suatu pelanggaran
hukum regulasi halal
7. Mengetahui potensi negara Inonesia dalam pasar pangan halal secara
global
8. Mengetahui makanan yang halal dan baik sesuai dengan dasar hukum
agama dan peraturan hukum suatu negara
9. Memahami pengertian makanan halal dan makanan haram
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pemahaman Pangan Halal


Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama Ilmu
Pangan, persoalan kehalalalan produk makanan, minuman, kosmetik
maupun obat tidak lagi dipandang secara sederhana. Dengan rekayasa
genetika dan teknologi pangan saat ini, telah memungkinkan semua yang
ada di muka bumi ini dijadikan sebagai bahan baku makanan yang
dikonsumsi manusia. Ketika teknologi pangan belum berkembang seperti
saat ini, dimana tidak ada atau tidak banyak makanan dan minuman olahan
yang beredar, masalah halal dan haramnya makanan dan minuman relatif
tidak serumit sekarang, walaupun dari segi syari permasalahan selalu ada,
terutama karena adanya perbedaan pendapat di antara para ulama.
Meskipun demikian, perbedaan pendapat tersebut relatif tidak banyak dan
relatif lebih mudah dipecahkan. Lain halnya pada keadaan sekarang,
dimana teknologi telah berkembang sedemikian rupa sehingga hal-hal
yang dulunya tidak ada menjadi ada dengan bantuan teknologi. Sebagai
contoh, dahulu orang membuat roti cukup dengan menggunakan bahan
dasar terigu, ragi dan air. Akan tetapi, sekarang tidak cukup hanya dengan
bahan utama itu saja, tetapi perlu ada tambahan bahan lainnya yang
disebut dengan bahan tambahan makanan seperti shortening (mentega
putih), perisa atau flavor (bahan untuk menimbulkan aroma dan rasa
tertentu), dan anticacking agent. Di antara bahan-bahan tambahan tersebut
banyak yang bagi orang awam tidak mengetahui asal usulnya, akan tetapi
bagi ahlinya telah diketahui bahwa di antara bahan tambahan makanan
tersebut (ambil contoh shortening) ada yang mengandung lemak babi atau
bahan yang dapat berasal dari lemak babi yang diperoleh melalui reaksi
kimia dengan menggunakan bahan awal salah satu komponen yang berasal
dari lemak babi. Sehingga, diperlukan usaha yang sangat keras untuk
mengetahui mana yang halal (tidak mengandung unsur babi) dan mana
yang tidak halal.
1. PENGERTIAN DAN HUKUM SYARIAH PANGAN HALAL

Pangan di dalam UU No 7 Tahun 1996 pasal 1 didefinisikan sebagai


segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumen muslim, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Dalam ajaran
(hukum) Islam, halal dan haram merupakan persoalan sangat penting dan
dipandang sebagai inti keberagaman karena setiap muslim yang akan
melakukan atau menggunakan, terlebih lagi mengkonsumsi sesuatu sangat
dituntun oleh agama untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan
keharamannya. Jika halal, ia boleh (halal) melakukan, mengunakan atau
mengkonsumsinya; demikian pula sebalikya. Pangan halal adalah pangan
yang jika dikonsumsi tidak mengakibatkan mendapat siksa (dosa). Atas
dasar itu, umat Islam sejalan dengan ajaran Islam, menghendaki agar
produk-produk yang dikonsumsi dijamin kehalalan dan kesuciannya.
Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik
merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib.Dalam khasanah
ilmu Islam, hukum asal segala sesuatu (benda) yang diciptakan Allah
adalah halal dan mubah. Tidak ada satu pun yang haram, kecuali ada
keterangan yang sah dan tegas tentang keharaman bahan tersebut. Hal ini
berbeda dengan kaidah perbuatan yang menuntut setiap apapun yang
dilakukan manusia dalam hal ini seorang muslim harus terikat dengan
hukum syara (wajib, sunah, mubah/boleh, makruh, haram). Sebagaimana
kaidah fiqh yang menyatakan Hukum asal bagi setiap benda/barang
adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya dan
Hukum asal bagi perbuatan manusia/muslim adalah terikat dengan
hukum syara/Islam (An-nabani,2001).
Setiap muslim yang akan melakukan atau menggunakan, terlebih
lagi mengkonsumsi sesuatu produk pangan sangat dituntun oleh agama
untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan keharamannya. Halal
berarti boleh, sedangkan haram berarti tidak boleh
(Qardhawi, 2000). Di dalam Quran Surat Al-Maidah ayat 3, Allah SWT
berfirman bahwa Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging
babi, binatang yang disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena
dicekik, yang (mati) karena dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas,
yang (mati) karena ditanduk, yang(mati) karena dimakan oleh binatang
buas, kecuali yang dapat kamu sembelih dan yang disembelih untuk
berhala. Jika halal, ia boleh (halal) melakukan, mengunakan atau
mengkonsumsinya; demikian pula sebalikya. Kata halalan, menurut bahasa
Arab berasal dari kata, halla yang berarti lepas atau tidak terikat.
Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat
dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang
melarangnya. Dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari
bahaya duniawi dan ukhrawi.
Syariat Islam adalah tata aturan agama Islam yang berdasarkan Al
Quran dan Al Hadist berkaitan dengan hubungan manusia dengan
tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan sesamanya.
Disamping Al Quran dan Al Hadist, sumber Syariat Islam yang lainnya
adalah Ijma Sahabat dan Qiyas. Termasuk makanan dan minuman halal
adalah (1) bukan terdiri dari atau mengandung bagian atau benda dari
binatang yang dilarang oleh syariat Islam untuk memakannya atau yang
tidak disembelih menurut Syariat Islam, (2) tidak mengandung sesuatu
yang dihukumi sebagai najis menurut Syariat Islam, (3) tidak mengandung
bahan penolong dan atau bahan tambahan yang diharamkan menurut
syariat Islam, (4) dalam proses, menyimpan dan menghidangkan tidak
bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana di atas atau benda yang dihukumkan sebagai
najis menurut syariat Islam (Tim Penerbit Buku Pedoman Pangan Halal,
2001).
Dalam ajaran Islam, makanan merupakan tolok ukur dari segala
cerminan penilain awal yang bisa mempengaruhi berbagai bentuk perilaku
seseorang. Untuk itu ajaran agama Islam memerintahkan umatnya agar
memakan dan menggunakan bahan-bahan yang halal thayyib. Dengan
demikian halal-haram bukanlah persoalan sederhana yang dapat diabaikan,
melainkan masalah yang penting dan mendapat perhatian besar dalam
ajaran Islam. Mengkonsumsi makanan yang halal dan thayyib merupakan
aktualisasi kualitas pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran
agama yang notabene merupakan salah satu butir arah kebijakan
pembangunan bidang agama. Oleh karenanya pemerintah berkewajiban
memberikan pelayanan berupa jaminan, perlindungan kepada umat
beragama (umat Islam ) terhindar dari bahaya produk-produk yang haram
bahkan syubhat serta memberikan pelayanan bimbingan kepada
pemberdayaan umat beragama (umat Islam) untuk mengkonsumsi yang
halal dan thayyib serta menghindari dari perilaku boros ( israf) dan
berlebih-lebihaan (tabzir) serta di luar kewajaran.

Setelah memerintahkan para hamba-Nya untuk mematuhi perintah-


Nya karena akan mendatangkan kebaikan bagi mereka, Allh melarang
mereka mengikuti langkah-langkah setan. Yang dimaksud langkah-
langkah setan adalah segala cara dan upaya setan untuk menyesatkan para
pengikutnya, seluruh maksiat yang ia perintahkan seperti kekufuran,
perbuatan fusq )keluar dari ketaatan kepada Allh Azza wa Jalla ) dan
perbuatan kezhaliman yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allh
Azza wa Jalla.[8] Di antara contoh langkah setan adalah mengharamkan
bahrah, sibah dan washlah[9] serta lainnya. Ini berdasarkan hadits
Iydzh bin Himr al-Mujsyi Radhiyallahu anhu dari Raslullh
Shallallahu alaihi wa sallam , beliau bersabda:

Allh berfirman: Sesungguhnya setiap harta yang Aku berikan kepada


hamba-Ku, maka itu adalah halal bagi mereka. Dan Aku menciptakan
hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus). Lalu setan mendatangi
mereka, dan menyeret (menyimpangkan) mereka dari agama mereka (yang
lurus), serta mengharamkan atas mereka yang Aku halalkan bagi mereka.
[HR. Muslim hadits no.2865]
2. PENANGANAN KEHALALAN PRODUK PANGAN YANG
MASIH DIRAGUKAN

Beberapa produk makanan dan minuman yang masih diragukan


kehalalannya
1.Angciu
Ang ciu sering sekali dipakai dalam mengolah Sea Food (masakan
ikan), Chinese Food (masakan Cina), Japanese Food (masakan Jepang),
Bakmi ikan, Bakso ikan, dll. Ang ciu ini bermanfaat untuk menghilangkan
bau amis pada masakan ikan, sekaligus mampu mempertahankan aroma
ikannya. Istilah dalam bahasa Inggris untuk ang ciu ini bermakna Red
Wine dan dalam bahasa Indonesia berarti anggur merah/arak merah. Oleh
karena merupakan arak (wine), maka dipastikan ang ciu ini harom
dikonsumsi oleh orang Islam.
2.Emulsifier E471
Emulsifier banyak jenisnya. Yang cukup terkenal dan sering dipakai
adalah Lesitin dan E-number (Exxx). Telah diketahui oleh banyak
ilmuwan di bidang peternakan, bahwa E471 adalah emulsifier yang berasal
dari Babi. Hal ini insya Allah dapat diketahui (dianalisis) dengan
menggunakan analisis PCR. Analisis ini cukup efektif dalam mendeteksi
kandungan babi dalam suatu bahan. Hampir dapat dipastikan apabila suatu
bahan makanan mengandung babi, maka tidak akan dapat lolos karena
yang dideteksi adalah DNA babi.
3. Lesitin
Lesitin merupakan salah satu bahan pengemulsi makanan. Bahan ini
dapat berasal dari bahan nabati (tumbuhan) dan dapat pula dari bahan
hewani.Bahan nabati yang paling sering dipakai dan disukai karena
kualitasnya adalah kedelai, sehingga digunakan istilah Soy Lechitine atau
Soya Lechitine (Soja Lechitine).Bahan hewani yang paling sering
dipergunakan adalah dari babi. Di samping karena kualitasnya yang paling
baik, juga karena harganya relatif murah.Hasil produk makanan yang
menggunakan lesitin babi sangat bagus, rasanya gurih, nikmat, teksturnya
lembut/ lunak, dll. Oleh karena teknologi makanan (bakery, dll) sudah
sedemikian maju, maka apabila lesitin yang dipakai oleh suatu perusahaan
berasal dari kedelai, maka mereka tidak akan mau ambil resiko produknya
tidak akan laku dijual (dihindari konsumen muslim dan para vegeterian).
Untuk itu, apabila mereka menggunakan kedelai, maka akan langsung
mencantumkan identitas kedelai untuk mendampingi lesitin. Sehingga
berhati-hatilah bila kita menjumpai suatu produk yang hanya ditulis
lesitin saja, tanpa embel-embel soja, soy, atau soya, karena bisa jadi
lesitin tersebut berasal dari babi.
4.Rhum
Rhum adalah salah satu derivat alkohol yang dapat digolongkan dalam
kelompok khamer. Rhum sering sekali terlibat dalam proses pembuatan
roti (bakery).Jenis rhum yang paling sering dipergunakan adalah rhum
semprot dan rhum oles (Toffieco, Jamaica, dll). Rhum amat sering pula
dipakai dalam pembuatan roti Black Forest.Di toko bahan roti, nama rhum
ini sedemikian harum, seharum baunya yang menyengat, sebagaimana
umumnya bahan lain yang berasal dari alkohol. Oleh karena termasuk
dalam kategori khamr, maka umat Islam dilarang menggunakan rhum ini.
5. Lard
Lard adalah istilah khusus dalam bidang peternakan untuk
menyebutkan lemak babi. Bahan ini sering sekali dimanfaatkan dalam
proses pembuatan kue/roti karena mampu membuat roti/kue menjadi lezat,
nikmat, renyah, lentur, dll.Oleh karena merupakan bahan yang berasal dari
babi, maka secara otomatis Lard ini dihukumi haram. Di Australia, salah
seorang dosen senior di Fakultas Peternakan UGM pernah menemukan
tulisan Lard dengan huruf Arab. Akan tetapi, tentunya meskipun ditulis
dengan huruf Arab, tidak serta merta menjadi Lard ini halal.
6. Daging dan Jerohan Impor
Hati-hati ketika membeli produk daging beku di supermarket (mall,
dll). Sebelum membeli daging, hendaklah kita tanyakan pada penjual
(penjaga/pramuniaganya), dari manakah daging beku tersebut
berasal.Pemerintah negara Swizerland tidak mengijinkan Syariat Islam
maupun Yahudi dalam penyembelihan ternak diterapkan. Untuk itu,
karena ternak (sapi, kambing, dll) tidak disembelih sebagaimana Syariat
Islam, maka daging tersebut menjadi harom dimakan.Lain hal dengan New
Zealand (Selandia Baru). Di negara tersebut Syariat Islam dalam
penyembelihan telah ditegakkan. Namun sayangnya, seringkali jerohannya
tidak terawasi dengan baik dan sering bercampur dengan produk harom.
7. Cokelat Impor
Ketika kita mendapatkan oleh-oleh cokelat dari teman yang pulang
dari luar negeri terkadang kita sering terlalu senang dan kurang berhati-
hati. Tanpa membaca ingredients-nya (bahan baku), maka kita sering
langsung menyantapnya. Tentunya bukan cokelatnya yang diharomkan!
Akan tetapi, seringkali di beberapa negara di Eropa dan Amerika,
produsen pembuat cokelat sering mencampurkan alkohol, brandy, dll.
Padahal kesemuanya itu jelas termasuk dalam kelompok khamr yang
diharamkan bagi umat Islam. Untuk itu, apabila kita temukan dalam daftar
ingredients-nya ada bahan yang harom, maka selaku umat Islam yang taat
pada Syariat Islam, maka makanan tersebut harus kita tinggalkan (tidak
kita santap).
8. Roti Black Forest
Mutiara Dahlia, M.Kes, dosen program Tata Boga Universitas Negeri
Jakarta, dalam resep standarnya, penggunaan rhum memang tak dapat
dielakkan. Black Forest merupakan jenis kue yang menggunakan rhum
dalam kadar paling tinggi dibandingkan jenis kue lainnya, yaitu sekitar 50
cc.
3. PRODUK HUKUM PANGAN HALAL DI INDONESIA
a) Produk Hukum Pangan Halal Indonesia

Hubungan agama dan negara di Indonesia dalam penanganan


sertifikasi produk halal dapat dilacak dari ketentuan produk perundang-
undangan. Di antaranya adalah Undang-undang Nomor Nomor 7 Tahun
1996 tentang Pangan, Undang-undang Nomor Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, serta yang terbaru Undang-
undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Jika
dicermati aturan yang ada dalam UU Undang-undang Nomor 7 Tahun
1996 tentang Pangan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun
1999 Tentang Label dan Iklan Pangan di atas dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
a. ketentuan Mengenai Kehalalan Sebuah Produk Cukup Dengan Keterangan
Bahwa Produk Tersebut Halal. Keterangan Itu Dicantumkan Sendiri Oleh
Produsen. Hal Itu Juga Hanya Bersifat Fakultatif, Bukan Keharusan.
b. Tidak Perlu Ada Lembaga Khusus Yang Mensertifikasi Produk Halal.
Produsen sendiri yang Mencantumkan Keterangan Halal Itu Pada
produknya. Selanjutnya UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal. UU ini (selanjutnya disebut UU JPH) merupakan produk peraturan
perundang-undangan yang paling kongrit dan komprehensif mengenai
sertifikasi produk halal, karena memang merupakan UU khusus mengenai
masalah tersebut. Keluarnya UU ini dapat dikatakan sebagai era baru
penanganan sertifikasi halal di Indonesia. Beberapa ketentuan UU No 33
tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal antara lain pasal 4 yang
menyatakan bahwa Produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di
Indonesia wajib bersertifikat halal. Selanjutnya Pasal 5 ayat (1) UU JPH
mengamanatkan dibentuknya Badan penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH) yang menurut ayat (5) ketentuan mengenai fungsi, tugas, dan
susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden. Wewenang
BPJPH antara lain merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH,
menetapkan norma, standard, prosedur dan kriteria JPH, menetapkan dan
mencabut sertifikat halal pada produk luar negeri serta melakukan
registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri. Namun Sampai
penelitian ini dilakukan BPJPH belum terbentuk.
Mekanisme Sertifikat Halal
Pada level global, LPPOM MUI aktif menjalin kerja sama dengan
lembaga sertifikasi halal internasional. LPPOM MUI memprakarsai World
Halal Food Council (WHFC) atau Dewan Halal Pangan Dunia. Kongres
WHFC 2004 memantapkan langkah-langkah dengan keluarnya
kesepakatan antar lembaga sertifikasi halal untuk membuat standar
pemeriksaan halal yang sama untuk seluruh negara anggota Dewan Halal
Dunia. Standar halal MUI dan auditor halal LPPOM MUI telah menjadi
pedoman di Indonesia dan menjadi rujukan pada 43 lembaga sertifikasi
halal luar negeri di 23 negara.

Sumber : www.halalmui.org
Sebagai penanda terhadap produk yang telah dinyatakan halal,
LPPOM MUI telah menetapkan logo halal standar terhadap produk yang
telah memiliki sertifikat halal sebagaimana dituangkan dalam Surat
Keputusan Direktur LPPMU MUI No. SK10/Dir/ LP POM MUI/XII/07
tentang Logo LPPOM MUI. Namun logo standar yang ditetapkan LPPOM
MUI pada level implementasi dimaknai berbeda-beda oleh pelaku usaha
sehingga di pasaran mudah sekali ditemukan bentuk dan jenis logo halal
pada produk pangan yang beredar di pasaran tetapi bentuk, ukuran, dan
penempatannya tidak sama. Kenyataan ini tentu saja berpotensi
membingungkan konsumen. Hal ini dapat dipahami karena adanya
multiinterpretasi bersumber dari kebijakan LPPOM MUI sendiri dengan
tidak memberikan acuan dan ketentuan secara ketat dalam
memformulasikan syarat dan standar pencantuman logo. Dalam No.
SK10/Dir/LP POM MUI/XII/07 tentang Logo LPPOM MUI misalnya
tidak ditemukan penjelasan tentang ukuran logo, ukuran dan jarak garis
tepi lingkaran dalam dengan garis tepi lingkaran luar, jenis huruf (font),
warna logo yang harus dipasang/ditempel, posisi penempatan nomor
sertifikat oleh pelaku usaha pada produk yang akan mereka pasarkan.
Pengaturan teknis dan rigid ini penting agar pelaku usaha lebih disiplin
dan konsumen memperoleh kepastian hukum.
b) Produk Hukum Pangan Halal Luar Negeri

Produk Hukum Halal Thailand


Dalam hal sertifikasi halal, terutama dalam hal makanan Thailand
tidak kalah dibandingkan Indonesia, bahkan dalam hal-hal tertentu lebih
unggul dari pada Indonesia. Sebagai gambaran di Thailand setidaknya ada
dua lembaga kajian halal, yaitu Halal Standard Institute of Thailand dan
The Halal Science Center Thailand. Yang terakhir ini adalah lembaga yang
berada di Fakultas Science Terapan di Universitas Chulalongkorn
University, salah satu universitas tertua di Thailand. HSC-CU membangun
jaringan dan kerjasama denganlaboratorium sains halal lain di dunia untuk
kepentingan umat dan ilmu pengetahuan. Selain itu, HSC-CU telah
berperan aktif memimpin Working Group on Halal Products and Services
(HAPAS) dalam kerangka Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle
(IMTGT). Lembga ini semakin terkenal, terutama di dunia Islam.
Sertifikasi halal di Thailand ditangani oleh Central Islamic Council of
Thailand
(CICOT) atau Syaikhul Islam of Thailand, sebuah lembaga yang menaungi
seluruh keislaman di Thailand. Lembaga ini diakui oleh negara. Halal
Standard Institute of Thailand adalah lembaga di bawah CICOT yang
menangani persoalan sertifikasi halal. Mekanisme sertifikasi halal adalah
sebagai berikut:
Sumber : Aminuddin, 2016
Persamaan hubungan agama dan negara dalam sertifikasi halal antara
Indonesia
dan Thailand antara lain:
a. Bukan negara agama Meskipun didominasi oleh Islam, namun Indonesia
bukanlah negara Islam. Oleh karena bukan negara agama sebenarnya
Indonesia maupun Thailand tidak berkewajiban untuk menangani
persoalan tehnis yang berkaitan dengan ajaran agama, seperti sertifikasi
halal dan haram. Bahkan seandainya negara tidak mendukung, asal tidak
melarang saja sudah cukup. Namun nampaknya kedua negara sama-sama
aktif dalam mendukung gagasan maupun gerakan sertifikasi halal.
b. Akrab dengan nilai-nilai agama Meskipun sama-sama bukan negara
agama, baik Thailand maupun Indonesia sangat kental dengan nilai-nilai
agama. Kedekatan kedua negara ini dengan nilai-nilai spiritual nampaknya
menjadikan gerakan halal lebih bisa diterima. Tiap-tiap agama pasti
memiliki pantangan, baik berupa tingkah laku maupun benda/barang.
Perbedaan antara Indonesia dan Thailand dalam kaitannya dengan
penanganan sertifikasi halal antara lain:
a. Motivasi, Bagi umat Islam Thailand, sertifikasi halal adalah untuk
melindungi umat Islam dari mengkonsumsi barang haram, karena secara
umum memang sulit untuk mendapatkan yang halal. Dengan adanya
sertifikasi halal, umat Islam Thailand memiliki panduan untuk
memperoleh barang-barang halal ditengah melimpahnya barang tidak
halal. Maka sebenarnya hubungan negara dan agama dalam hal ini bersifat
saling memanfaatkan dan saling menguntungkan. Sedangkan di Indonesia,
kesadaran akan produk halal sudah menjadi bagian dari kebutuhan
kehidupan masyarakat yang mayoritas muslim, sehingga sangat mudah
untuk menemukan produk halal di Indonesia. Bahkan lebih mudah untuk
mendapatkan yang halal dari pada yang haram. Namun di tengah-tengah
melimpahnya produk halal, tidak jarang muncul produk halal, terutama
yang dihasilkan oleh pabrik moderen. Masyarakat tidak mudah mengenali
halal haramnya. Maka orientasi sertifikasi halal di Indonesia didominasi
oleh motivasi untuk melindungi masyarakat muslim sendiri. Bagi negara
Thailand yang sudah terbiasa dengan produk-produk tidak halal, terutama
babi, produk halal bisa dikatakan pendatang.
b. Peran negara
Sertifikasi halal di Indonesia maupun Thailand pada awalnya
merupakan gerakan civil society. Namun dalam perkembangan terakhir
Indonesia mengalami pergeseran. Jika selama ini sertifikasi halal ditangani
oleh LPPOM MUI yang merupakan lembaga swadaya masyarakat, sejak
lahirnya UU Jaminan Produk Halal, penanganan sertifikasi menjadi
wewenang negara melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH) yang merupakan lembaga negara Hal ini berarti peran civil
society berkurang, bahkan terpinggirkan. MUI memang masih memiliki
kewenangan untuk menetapkan halal dan haram.
Sedangkan kewenangan Thailand relatif tetap. Sampai sekarang masih
dipegang oleh CICOT atau Syaikhul Islam, semacam MUI Thailand.
Sampai saat ini belum ada rencana untuk diambil alih oleh negara. Dilihat
dari jumlah umat Islam di Thailand, nampaknya persoalan sertifikasi halal
tetap akan menjadi gerakan civil society. Di bidang yang lain, seperti
masjid dan lembaga pendidikan Islam, semuanya ditangani oleh swasta
Sedangkan Indonesia, karena Islam dan negara seolah telah menjadi satu,
merupakan hal yang biasa ketika negara mengurusi persoalan keislaman
dan keagamaan lainnya. Namun dilihat dari sudut pandang civil soceity,
kebijakan penanganan sertifikat halal oleh lembaga negara kurang tepat.
Produk Hukum Halal Malaysia
Beberapa langkah telah diambil untuk mempromosikan Malaysia
sebagai hab halal global antaranya dengan penganjuran Pameran Halal
Antarabangsa Malaysia (MIHAS), pembangunan Taman Halal
Antarabangsa Malaysia (MIHAP) dan mewujudkan hab halal di peringkat
negeri seperti di Labuan, Serkam, Melaka dan Tanjung Manis Sarawak.
Dalam hal ini, pensijilan halal adalah satu langkah untuk
memperkembangkan pasaran produk halal untuk membantu pengguna
mendapatkan produk yang halal, selamat dan berkualiti. Sijil halal
Malaysia yang dikeluarkan oleh Jabatan Kemajuan Islam Malaysia atau
JAKIM merupakan satu logo halal yang sangat dipercayai di peringkat
antarabangsa. Dalam konteks Malaysia, terdapat pelbagai usaha telah
dilaksanakan berkaitan produk halal dan di antaranya ialah penganjuran
Pameran Halal Antarabangsa Malaysia Keempat atau (MIHAS) 2007 iaitu
pameran perdagangan terbesar di dunia bagi produk dan perkhidmatan
halal. Sebanyak 97 syarikat antara bangsa dari 26 negara memenuhi 105
gerai pameran yang disediakan mankala 409 gerai lagi diisi oleh 327
syarikat tempatan2 . Selain daripada itu, pada tahun 2004 Malaysia telah
mengeluarkan standard Halal MS1500:2004 yang dikatakan pertama
seumpamanya di dunia yaitu garis panduan bagi industri makanan
mengenai penyediaan dan pengendalian makanan halal atau peraturan asas
produk makanan serta perdagangan atau perniagaan makanan3 . Dari
aspek undang-undang, terdapat peruntukan di bawah beberapa akta atau
enakmen yang menyentuh mengenai aspek penguatkuasaan dan
perlaksanaan.
Di Malaysia, pensijilan halal bermaksud Sijil Pengesahan Halal (SPH)
yang dikeluarkan oleh badan-badan yang berautoriti seperti JAKIM dan
JAIN yang merupakan badan tunggal pensijilan halal Malaysia 23yang
diiktiraf24 oleh kerajaan. Pensijilan halal juga merujuk kepada proses
produk yang dipohon dari sudut pengurusan, penyembelihan, kebersihan,
kawalan kualiti,32 penyimpanan, penghantaran dan sebagainya
berdasarkan kepada Hukum Syarak dan garis panduan yang ditetapkan
bermula seawal proses dari ladang hinggalah ke meja makan from farm to
table33 atau from breeding to retailing34. Proses pensijilan ini adalah
untuk melihat rantaian proses sesuatu produk untuk mengenalpasti sumber
produk sehinggalah penjualan produk kepada pengguna. Aliran Proses
Pensijilan Halal

:
Masalah Utama Isu Halal Di Malaysia
Masalah utama isu halal di Malaysia adalah dari sudut perundangan
karena Malaysia tidak mempunyai Akta Halal yang terpakai ke seluruh
negara. Sehubungan dengan itu pihak kerajaan pada penguraian keuangan
yang dibutuhkan tahun 2010 mengumumkan satu Akta Halal bagi tujuan
penyelarasan dan pemantapan yan diperuntukan undang-undang mengenai
proses, prosedur serta pemantauan pensijilan halal. Namun, begitu hingga
saat ini akta yang berkenaan masih belum diuraikan dan disahkan di
Parlemen untuk dijadikan undang-undang. Masalah utama yang menjadi
penghalang dalam pembuatan akta ini ialah persoalan yang berkaitan
dengan perlembagaan di mana persoalan halal berkaitan dengan agama
Islam, maka hal tersebut terletak di bawah bidang kuasa negeri. Oleh yang
demikian pembuatan suatu undang-undang di peringkat persekutuan
seperti Akta Halal ini yang menyentuh sesuatu di bawah bidang kuasa
negeri akan menimbulkan isu perlembagaan.
4. STANDARDISASI PANGAN HALAL DAN SISTEM JAMINAN
PANGAN HALAL
Persoalan kehalalan sebuah produk merupakan persoalan yang pelik
dan tidak dapat dipandang mudah. Ia memerlukan kajian laboratorium
yang mendalam untuk memastikan bahan baku, proses pembuatan, media
bahkan hingga kemasannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya
standarisasi halal. Standarisasi halal ini memiliki fungsi untuk
memberikan kepastian, perlindungan, dan ketenangan konsumen, terutama
umat Islam, dari mengkonsumsi suatu produk yang haram. Hal ini
merupakan salah satu hak konsumen yang dilindungi dalam Undang-
undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Salah satunya adalah pada pasal 4 (a) disebutkan bahwa hak
konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. Pasal ini menunjukkan bahwa
setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas
konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman
dikonsumsi olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi konsumen
muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah
agamanya, alias halal. Selanjutnya, dalam pasal yang sama point (c)
disebutkan bahwa konsumen juga berhak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Hal ini
memberikan pengertian bahwa keterangan halal yang diberikan oleh
perusahaan haruslah benar, atau telah teruji terlebih dahulu. Dengan
demikian, perusahaan tidak dapat serta merta mengklaim bahwa
produknya halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah
ditentukan. Standarisasi produk halal juga sangat dibutuhkan oleh para
produsen untuk menarik minat konsumen Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Ia juga penting untuk meningkatkan daya
saing serta untuk kebutuhan ekspor, terutama untuk tujuan negara-negara
muslim. Wujud dari standarisasi halal bagi produsen adalah ia harus
memiliki sertifikat halal. Namun, disini terdapat permasalahan dalam
pembuatan sertifikat halal. Yang mana para produsen merasa diberatkan
dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat
tersebut. Selain itu, hal tersebut menimbulkan terhambatnya pertumbuhan
investasi di industri makanan, terutama bagi usaha skala kecil dan
menengah (UKM).
Dalam hal penetapan Standarisasi halal yang memiliki wewenang
penuh adalah MUI (Majelis Ulama Indonesia), Karena lembaga tersebut
merupakan lembaga yang menaungi umat Islam dan telah berkompeten
selama lebih dari 15 tahun, salah satunya adalah dibidang penetapan halal
tidaknya suatu produk pangan ataupun obat-obatan. Penetapan standarisasi
halal tersebut dilakukan dengan mengeluarkan fatwa, yang berupa fatwa
produk halal. Dalam pengadaan kegiatan sertifikasi halal tidak hanya
dilakukan oleh MUI saja, namun juga melibatkan Depag (Departemen
Agama) dan Depkes (Departemen Kesehatan). Sertifikat halal itu
ditandatangani oleh ketiga lembaga tersebut, karena dua lembaga lainnya
yaitu Depag dan Depkes merasa berwenang juga dalam pengawasan
pengaturan produk pangan. Terdapat pula beberapa landasan hukum
berkaitan dengan standarisasi halal, antara lain UU No. 7/1996 tentang
Pangan dan PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Sistem
Jaminan Halal adalah suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan
dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga
kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM
MUI.
Untuk menghindari kemungkinan adanya ketidak halalan atau haram,
maka perlu ditetapkan sistem jaminan halal yang harus dipedomani dalam
berproduksi untuk menghasilkan produk yang halal dan thayyib. Untuk
menjamin agar produk yang dihasilkan terjamin kehalalannya, maka perlu
ada komitmen dari pelaku usaha untuk menyusun, menetapkan dan
menerapkan Rencana Sistem Jaminan Produksi Halal (RSJPH). RSJP
harus mencakup materi-materi utama. Diantaranya yaitu, pernyataan
kebijakan halal, yaitu suatu pernyataan dari pimpinan tertinggi perusahaan
yang menunjukkan komitmennya untuk menetapkan dan memelihara
standar sistem jaminan produksi halal dalam rangka mencapai produk
yang terjamin kehalalannya secara terus menerus. Usaha inilah yang
disebut dengan standar halal. Sistem Jaminan Halal merupakan bagian tak
terpisahkan dalam proses sertifikasi halal. Sertifikat Halal merupakan
langkah yang berhasil dijalankan sampai sekarang. Syarat kehalalan
produk tersebut meliputi:
Tidak mengandung babi dan bahan bahan yang berasal dari babi
Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti; bahan
yang berasal dari organ manusia, darah, dan kotoran-kotoran.
Semua bahan yang berasal dari hewan yang disembelih dengan syariat
Islam.
Semua tempat penyimpanan tempat penjualan pengolahan dan
transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi; jika pernah digunakan
untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu
dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat.
Setiap produsen yang mengajukan sertifikasi halal bagi produknya
harus melampirkan spesifikasi dan Sertifikat Halal bahan baku, bahan
tambahan, dan bahan penolong serta bahan aliran proses. Surat keterangan
itu bisa dari MUI daerah (produk lokal) atau lembaga Islam yang diakui
oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan
turunannya. Setelah itu, tim auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan
dan audit ke lokasi produsen yang bersangkutan serta penelitian dalam
laboratorium yang hasilnya dievaluasi oleh rapat tenaga ahli LPPOM MUI
yang terdiri dari ahli gizi, biokimia, pangan, teknologi pangan, teknik
pemrosesan, dan bidang lain yang berkait. Bila memenuhi persyaratan,
laporan akan diajukan kepada sidang Komisi Fatwa MUI untuk
memutuskan kehalalan produk tersebut. Tidak semua laporan yang
diberikan LPPOM MUI langsung disepakati oleh Komisi Fatwa MUI.
Terkadang, terjadi penolakan karena dianggap belum memenuhi
persyaratan. Dalam kerjanya bisa dianalogikan bahwa LPPOM MUI
adalah jaksa yang membawa kasus ke pengadilan dan MUI adalah hakim
yang memutuskan keputusan hukumnya.
Sertifikat halal berlaku selama dua tahun, sedangkan untuk daging
yang diekspor sertifikat diberikan pada setiap pengapalan. Dalam rentang
waktu tersebut, produsen harus bisa menjamin kehalalan produknya.
Proses penjaminannya dengan cara pengangkatan Auditor Halal Internal
untuk memeriksa dan mengevaluasi Sistem Jaminan Halal (Halal
Assurance System) di dalam perusahaan. Auditor Halal tersebut
disyaratkan harus beragama Islam dan berasal dari bagian terkait dengan
produksi halal. Hasil audit oleh auditor ini dilaporkan kepada LPPOM
MUI secara periodik (enam bulan sekali) dan bila diperlukan LPPOM
MUI melakukan inspeksi mendadak dengan membawa surat tugas.
Prinsip-prinsip yang ditegakkan dalam operasional Sistem Jaminan
Halal adalah:
1. Maqoshidu syariah
Pelaksanaan SJH bagi perusahaan yang memiliki SH MUI
mempunyai maksud memelihara kesucian agama, kesucian pikiran,
kesucian jiwa, kesucian keturunan, dan kesucian harta.
2. Jujur Perusahaan
Harus jujur menjelaskan semua bahan yang digunakan dan proses
produksi yang dilakukan di perusahaan di dalam Manual SJH serta
melakukan operasional produksi halal sehari-hari berdasarkan apa yang
telah ditulis dalam Manual SJH.
3. Kepercayaan LPPOM
Memberikan kepercayaan kepada perusahaan untuk menyusun sendiri
Manual SJH nya berdasarkan kondisi nyata internal perusahaan.
4. Sistematis
SJH didokumentasikan secara baik dan sistematis dalam bentuk
manual SJH dan arsip terkait agar bukti-bukti pelaksanaannya di
lingkungan perusahaan mudah untuk ditelusuri.
5. Disosialisasikan
Implementasi SJH adalah merupakan tanggungjawab bersama dari
level manajemen puncak sampai dengan karyawan, sehingga SJH harus
disosialisasikan dengan baik di lingkungan perusahaan.
6. Keterlibatan key person
Perusahaan melibatkan personal-personal dalam jajaran manajemen
untuk memelihara pelaksanaan SJH.
7. Komitmen manajemen
Implementasi SJH di perusahaan dapat efektif dilaksanakan jika
didukung penuh oleh top manajemen. Manajemen harus menyatakan
secara tertulis komitmen halalnya dalam bentuk kebijakan halal.
8. Pelimpahan wewenang
Manajemen memberikan wewenang proses produksi halalnya kepada
auditor halal internal.
9. Mampu telusur
Setiap pelaksanaan fungsi produksi halal selalu ada bukti dalam
bentuk lembar kerja yang dapat ditelusuri keterkaitannya.
10. Absolut
Semua bahan yang digunakan dalam proses produksi halal harus pasti
kehalalannya. SJH tidak mengenal adanya status bahan yang berisiko
rendah, menengah atau tinggi terhadap kehalalan suatu produk.
11. Spesifik
Sistem harus dapat mengidentifikasi setiap bahan secara spesifik
merujuk pada pemasok, produsen, dan negara asal. Ini berarti bahwa setiap
kode spesifik untuk satu bahan dengan satu status kehalalan.
Karena itu dalam prakteknya, penerapan sistem jaminan halal dapat
dirumuskan untuk menghasilkan suatu sistem yang ideal, yaitu zero limit,
zero defect dan zero risk (three zero concept). Artinya material haram
tidak boleh ada pada level apapun (zero limit), tidak memproduksi produk
haram (zero defect), dan tidak ada resiko merugikan yang diambil bila
mengimplementasikan sistem ini (zero risk). Total Quality Management
didefinisikan sebagai sebuah sistem dimana setiap orang didalam setiap
posisi dalam organisasi harus mempraktekkan dan berpartisipasi dalam
manajemen halal dan aktivitas peningkatan produktivitas. Manajemen
halal bermula dan berakhir dengan pendidikan yang kontinyu
(Apriyantono, 2005).
5. PELANGGARAN REGULASI HALAL
Kasus Pelanggaran Regulasi Halal

Meskipun telah diberlakukan Undang Undang tentang Sertifikasi


Kehalalan pangan, namun dalam beberapa tahun terakhir ini masih saja
terdapat kasus tentang pelanggaran regulasi tersebut, diantaranya yaitu :

1. Kasus PT Ajinomoto

Pada awal tahun 2000an berkembang kasus pelanggaran regulasi halal


oleh PT Ajinomoto terkait produk MSG perusahaan tersebut. Dari berita
yang tersebar diketahui bahwa pada awalnya PT Ajinomoto telah memiliki
sertifikat halal dari MUI, namun sertifikat tersebut hanya berlaku selama 2
tahun. Setelah masa berlaku sertifikat tersebut habis, PT Ajinomoto tidak
melakukan pemeriksaan lagi guna mendapat perpanjangan sertifikat halal
ke MUI. Bersamaan dengan hal tersebut mulai berkembang berita bahwa
dari hasil pengujian ulang MUI terhadap produk MSG tersebut diketahui
dalam salah satu proses produksi MSG PT Ajinomoto bersifat tidak halal.
Tidak berselang lama, akhirnya MUI melarang lisensi halal PT Ajinomoto
dan melarang distribusi produk MSG PT Ajinomoto serta menarik semua
produk yang telah terdistribusi ke pasar.

Sebelumnya bantahan dikemukakan PT Ajinomoto dalam siaran pers


yang ditandatangani oleh Department Manager PT Ajinomoto Indonesia,
Tjokorda Bagus Sudarta. Namun pada akhirnya Tjokorda melalui media
masa mengakui bahwa dalam pembuatan produknya menggunakan
bactosoytone yang diekstrasi dari daging babi untuk menggantikan
polypeptone yang biasa diekstrasi dari daging sapi. Diungkapkan juga
olehnya, alasan menggunakan bactosoytone itu karena lebih ekonomis,
namun penggunaan ekstrasi daging babi itu hanyalah sebagai medium dan
sebenarnya tidak berhubungan dengan produk akhir. Dalam siaran
persnya, Tjokorda mengatakan, untuk menghilangkan keresahan dan
menjaga ketenangan masyarakat dalam mengkonsumsi produk Ajinomoto,
maka pihaknya akan menarik secara serentak di seluruh Indonesia produk
MSG Ajinomoto yang telah beredar dalam kurun waktu dua hingga tiga
minggu terhitung mulai 3 Januari 2001. Jumlahnya sekitar 10 ribu ton.
Tjokorda mengatakan, setelah proses penarikan selesai dilaksanakan maka
pemasaran produk baru MSG Ajinomoto akan dipasarkan kembali setelah
mendapat sertifikat halal dari LP POM MUI. Akibat kasus ini, PT
Ajinomoto terpaksa harus memberi ganti-rugi pedagang dengan total nilai
sebesar Rp 55 milyar (gntrprwd, 2014). Meskipun dalam kasus tersebut
pihak PT Ajinomoto hanya menggunakan produk mengandung babi
tersebut sebagai medium, bagaimanapun juga hal itu telah mengurangi
kehalalan dari produk itu sendiri.

2. Kasus konspirasi penipuan produk daging halal oleh Midamar Corp. dan
Islamic Services of America

Pada tahun 2015 dua perusahaan Amerika yang berafiliasi untuk


mendistribusikan dan memberi sertifikat produk makanan halal mengaku
bersalah karena melakukan konspirasi untuk mengekspor produk-produk
daging sapi dengan label halal palsu untuk penjualan di Malaysia,
Indonesia, dan tempat-tempat lainnya (sebagian besar wilayah asia).
Midamar Corp. dan Islamic Services of America masing-masing mengaku
bersalah di pengadilan federal di Cedar Rapids, negara bagian Iowa, atas
konspirasi untuk membuat pernyataan keliru mengenai sertifikat-sertifikat
ekspor, menjual daging dengan label halal palsu dan melakukan penipuan,
di antara pelanggaran-pelanggaran lainnya. Midamar adalah distributor
makanan, sementara ISA memberi sertifikat halal kepada Midamar dan
produk-produk makanan dari perusahaan-perusahaan lain. ISA merupakan
salah satu dari sedikit organisasi yang diizinkan untuk memberi sertifikat
halal daging sapi untuk diimpor ke Malaysia, Indonesia, Kuwait, Arab
Saudi dan Uni Emirat Arab. Keduanya didirikan dan dioperasikan oleh
keluarga Aossey di kota Cedar Rapids, Iowa. Midamar, sebuah perusahaan
berusia 40 tahun yang dianggap sebagai pelopor makanan halal,
mengeluarkan pernyataan bahwa persetujuan mereka untuk mengaku
bersalah untuk menuntaskan semua tuduhan atas perusahaan-perusahaan
dan para eksekutifnya. Pendiri Midamar, Bill Aossey Jr., telah didakwa
karena memalsukan dokumen sebagai bagian dari skema untuk
mengekspor daging sapi ke Malaysia dan Indonesia yang tidak memenuhi
standar-standar penyembelihan hewan yang ketat di kedua negara tersebut.
Ketika proses pengakuan dilakukan, Bill Aossey Jr. berada dalam tahanan
federal menunggu hukuman dan dapat menghadapi hukuman penjara
beberapa tahun.

Beberapa produk Midamar berasal dari rumah pemotongan hewan di


negara bagian Minnesota yang tidak mendapat persetujuan dari Malaysia
atau Indonesia. Aossey memerintahkan para karyawan untuk mengganti
label rumah pemotongan tersebut dengan label palsu yang menunjukkan
daging tersebut berasal dari rumah pemotongan di Nebraska yang
bersertifikat halal. Jaksa penuntut menuduh Midamar menipu para
pelanggan dengan mengatakan bahwa ternak mereka disembelih oleh
tukang jagal Muslim khusus yang terlatih dan selalu membaca doa
sebelum proses penyembelihan. Midamar juga mengklaim bahwa mereka
tidak melakukan proses melumpuhkan hewan ternak yang dikenal dengan
"bolt stunning". Namun, pemasok utama Midamar ternyata menggunakan
proses ini dan tidak memiliki tukang jagal Muslim untuk menyembelih
ternak-ternak mereka (voaindonesia, 2015)

8. POTENSI INDUSTRI PANGAN HALAL INDONESIA

Industri halal saat ini telah menjadi trend sendiri dalam masyarakat
dunia, bukan hanya dari kalangan Muslim saja tetapi dari berbagai
penganut agama lain. Industri halal merupakan salah satu sektor yang
mendukung tegaknya ekonomi Islam di Indonesia selain lembaga
perbankan. Industri halal ini masuk ke dalam sektor riil perekonomian
Indonesia yang saat ini sedang berkembang. Permintaan akan makanan
halal global, tak hanya dari kaum Muslimin saja, namun juga datang dari
kaum non-Muslim. Hal ini memberikan sebuah dorongan besar untuk
industri halal. Label halal dalam berbagai industri ini semakin dicari
karena berkualitas baik. Baik itu dari sisi kesehatan, maupun kebersihan.

Thomas Reuters dalam laporannya yang berjudul State of the Global


Islamic Economy 2013 Report melaporkan bahwa total pengeluaran
global dari konsumen Muslim untuk sektor makanan dan lifestyle
mencapai 1,62 triliun US Dollar pada tahun 2012 dan diperkirakan akan
mencapai 2,47 triliun US Dollar pada tahun 2018. Angka tersebut
menggambarkan besarnya potensi industri non keuangan syariah bagi
berbagai Negara dengan mayoritas penduduk Muslim, khususnya
Indonesia sebagai Negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di
dunia. Untuk total pengeluaran sektor makanan Indonesia menempati
peringkat pertama dengan total pengeluran sebesar 197 milyar us Dollar
atau sekitar 18 persen dari total pengeluaran global untuk sektor makanan.
Sedangkan untuk total pengeluaran sektor pakaian dan produk fashion dan
sektor pharmaceutical, Indonesia menempati peringkat ketiga. Dari data
tersebut dapat dikatakan bahwa industri makanan halal dan industri
pakaian (industri hijab) merupakan industri non keuangan syariah yang
paling potensial di Indonesia. Sebagai Negara dengan penduduk Muslim
terbanyak di dunia, sudah seharusnya Indonesia menjadi pusat industri
makanan dan minuman halal di dunia. Tingginya total pengeluaran global
pada sektor makanan halal yaitu 1.088 Milyar USD atau sekitar 17 persen
dari total pengeluaran global mengindikasikan terbuka lebarnya peluang
pasar untuk memasarkan produk makanan halal tidak hanya di dalam
negeri namun juga ke pasar Negara-negara dengan mayoritas penduduk
muslim. Selain itu, dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang
Jaminan Produk Halal (RUU JPH) pada tanggal 25 september 2014 juga
menjadi dorongan untuk para pengusaha dan produsen untuk bergerak
menuju pengembangan industri halal. Berdasarkan Undang-undang JPH,
terhitung tahun 2019, seluruh produk yang beredar wajib memiliki
sertifikat halal. Selain itu, sanksi akan diberlakukan bagi perusahaan yang
sudah memenuhi kriteria untuk sertifikasi halal namun mengulur waktu
untuk melakukan sertifikasi halal. Implementasi Undang-Undang JPH ini
secara potensial akan meningkatkan kepercayaan dunia terhadap jaminan
kehalalan produk Indonesia. Pangsa produk halal kini telah mencapai 11
persen secara global. Pasar yang besar ini masih didominasi produk
pangan, farmasi dan kesehatan, serta kosmetik. Maka, jaminan kualitas
karena itu yang akan diapresiasi konsumen.

Karena kualitas itu pula, dapat digarisbawahi bahwa saat ini produk
halal bisa digunakan siapa saja. Maka, sasaran produk halal bukan hanya
komunitas Muslim, tapi juga non-Muslim. Di pasar global, Kawasan
ASEAN dan Kawasan Timur Tengah-Afrika Utara (MENA) adalah
konsumen utama dengan total konsumen lebih dari satu miliar jiwa.
Dengan potensi yang besar itu, indonesia bisa tikut berkompetisi sehat
sekaligus tetap berkooperasi dalam pemasaran produk halal. Selain
Negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Negara dengan penduduk
Muslim minoritas juga dapat dibidik sebagai target pasar yang potensial.
Salah satu contoh Negara yang potensial adalah Amerika Serikat. Imarat
Consultants dalam laporannya yang berjudul An Overview of the Global
Halal Market melaporkan bahwa sari seluruh konsumen yang membeli
produk makanan berlogo kosher, 16 persennya adalah konsumen Muslim.
Konsumen Muslim di Amerika secara total mengeluarkan 16 Milyar US
Dollar setiap tahunnya untuk membeli produk kosher karena ketiadaan
atau terbatasnya produk makanan dan minuman halal yang di jual di pasar
makanan dan minuman di Amerika Serikat. Keterbatasan produk makanan
dan minuman halal juga terjadi di Inggris. Hanya 0,5 persen dari produk
daging halal yang dijual di supermarket padahal kebanyakan konsumen
muslim yang berasal dari Negara Asia berbelanja di supermarket. Hal
tersebut mengindikasikan peluang pasar yang terbentang lebar untuk
produsen makanan dan minuman halal di Indonesia untuk masuk ke pasar-
pasar potensial tersebut.

Akan tetapi, persaingan dengan Negara pengekspor bersertifikat halal


lainnya akan menjadi tantangan yang cukup penting untuk indonesia
sehingga perlu dilakukan pengkajian dengan baik. Pasar untuk produk
bersertifikat halal tidak hanya dibidik oleh Negara-negara dengan
mayoritas penduduk Muslim, tapi juga dibidik oleh Negara-negara lain.
Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru dan Kanada adalah contoh
Negara pengekspor produk bersertifikat halal dengan kualitas dan mutu
yang tinggi, terutama untuk produk pangan seperti daging, produk pangan
olahan kemasan dan makanan siap saji. Berdasarkan hal - hal tersebut
maka dapat dikatakan untuk bersaing dalam industri halal menjadi akan
menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Namun meskipun begitu,
dengan berbagai potensi dan peluang yang dimiliki sudah seharusnya
Indonesia dapat menjadi pusat Industri makanan dan minuman halal di
dunia. Terlebih lagi Indonesia memiliki MUI yang fatwa dan sertifikat
halalnya sudah diakui oleh dunia. Ditambah lagi dengan telah disahkannya
Undang-Undang Jaminan Produk Halal pada September 2014 kemarin
diharapkan mampu menjadi motor penggerak industri halal Indonesia.

KESIMPULAN

Makanan halal adalah makanan yang dibolehkan oleh agama dari segi
hukumnya dan makanan tersebut dapat diolah dengan baik dan benar
menurut agama. Minuman halal adalah minuman yang dibolehkan oleh
agama dari segi hukumnya dan minuman tersebut dapat diolah dengan
baik dan benar menurut agama. Pangan halal adalah Pangan yang memiliki
cita rasa baik, sanitasi higine baik dan kandungan gizinya yang baik.
Pangan yang baik berkaitan dengan jaminan bahwa pangan yang
diproduksinya bergizi, rasanya enak, warnanya menarik, teksturnya baik,
bersih, bebas dari hal-hal yang membahayakan tubuh seperti kandungan
mikroorganisma patogen, komponen fisik, biologis, dan zat kimia
berbahaya. Baik (Thayyib) adalah lezat, baik, sehat dan menentramkan.

Jaminan pangan halal dan baik adalah mutlak diperlukan untuk


meningkatkan daya saing produk pangan lokal Indonesia baik di dalam
maupun di luar negeri. Dengan mengetahui hukum-hukum makan halal
dan makanan yang haram. Maka dijadikan sebagai landasan dalam
menentukan makanan dan minuman dan cara mandapatkanya sehingga
kita dapat ladasan dalam pemilihan makanan dan minuman pada saat ini
dan seterusnya. Juga tak kalah pentingnya cara mandapatkan makanan
tersebut. agar makanan dan minuman yang kita makan sehari-hari
mendapat barokah serta nikmat dari Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahnya. 1978. Departemen Agama RI. Jakarta
Apriyantono. 2005. Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. Volume 23 No. 2. Desember 2005: 132 147
[BPS] Badan Pusat statistika. 2007. Laporan Tahunan.
http://gntrprwd.blogspot.co.id/2014/04/kasus-pelanggaran-produksi-
ajinomoto.html diakses pada tanggal 13 April 2017.
http://www.voaindonesia.com/a/dua-perusahaan-as-akui-bersalah-atas-konspirasi-
ekspor-halal/2955033.html diakses pada tanggal 13 April 2017.
Aminuddin, Muh. Zumar. 2016. Sertifikasi Produk Halal:
Studi Perbandingan Indonesia dan Thailand. Shahih.Vol.1, No.1. ISSN:
2527-8118.
Syarifuddin Hidayat, Asep Dan Mustolih Siradj. 2015. Sertifikasi Halal Dan
Sertifikasi Non Halal Pada Produk Pangan Industri. Ahkam.Vol. 25, No. 2.
Al-Asyhar, Thobieb, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan
Kesucian Rohani, PT. Al-Mawardi Prima, 2003
Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama,
Petunjuk Tekhnis Pedoman sistem Produksi Halal, Jakarta, 2003
Hasan, Zulkifli. 2007. UNDANG-UNDANG PRODUK HALAL DI MALAYSIA:
ISU PENGUATKUASAAN DAN PENDAKWAAN. Fakulti Syariah dan
Undang-undan, Universiti Sains Islam Malaysia

Anda mungkin juga menyukai