DISUSUN OLEH:
KELOMPOK
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
PEMBAHASAN
Sumber : www.halalmui.org
Sebagai penanda terhadap produk yang telah dinyatakan halal,
LPPOM MUI telah menetapkan logo halal standar terhadap produk yang
telah memiliki sertifikat halal sebagaimana dituangkan dalam Surat
Keputusan Direktur LPPMU MUI No. SK10/Dir/ LP POM MUI/XII/07
tentang Logo LPPOM MUI. Namun logo standar yang ditetapkan LPPOM
MUI pada level implementasi dimaknai berbeda-beda oleh pelaku usaha
sehingga di pasaran mudah sekali ditemukan bentuk dan jenis logo halal
pada produk pangan yang beredar di pasaran tetapi bentuk, ukuran, dan
penempatannya tidak sama. Kenyataan ini tentu saja berpotensi
membingungkan konsumen. Hal ini dapat dipahami karena adanya
multiinterpretasi bersumber dari kebijakan LPPOM MUI sendiri dengan
tidak memberikan acuan dan ketentuan secara ketat dalam
memformulasikan syarat dan standar pencantuman logo. Dalam No.
SK10/Dir/LP POM MUI/XII/07 tentang Logo LPPOM MUI misalnya
tidak ditemukan penjelasan tentang ukuran logo, ukuran dan jarak garis
tepi lingkaran dalam dengan garis tepi lingkaran luar, jenis huruf (font),
warna logo yang harus dipasang/ditempel, posisi penempatan nomor
sertifikat oleh pelaku usaha pada produk yang akan mereka pasarkan.
Pengaturan teknis dan rigid ini penting agar pelaku usaha lebih disiplin
dan konsumen memperoleh kepastian hukum.
b) Produk Hukum Pangan Halal Luar Negeri
:
Masalah Utama Isu Halal Di Malaysia
Masalah utama isu halal di Malaysia adalah dari sudut perundangan
karena Malaysia tidak mempunyai Akta Halal yang terpakai ke seluruh
negara. Sehubungan dengan itu pihak kerajaan pada penguraian keuangan
yang dibutuhkan tahun 2010 mengumumkan satu Akta Halal bagi tujuan
penyelarasan dan pemantapan yan diperuntukan undang-undang mengenai
proses, prosedur serta pemantauan pensijilan halal. Namun, begitu hingga
saat ini akta yang berkenaan masih belum diuraikan dan disahkan di
Parlemen untuk dijadikan undang-undang. Masalah utama yang menjadi
penghalang dalam pembuatan akta ini ialah persoalan yang berkaitan
dengan perlembagaan di mana persoalan halal berkaitan dengan agama
Islam, maka hal tersebut terletak di bawah bidang kuasa negeri. Oleh yang
demikian pembuatan suatu undang-undang di peringkat persekutuan
seperti Akta Halal ini yang menyentuh sesuatu di bawah bidang kuasa
negeri akan menimbulkan isu perlembagaan.
4. STANDARDISASI PANGAN HALAL DAN SISTEM JAMINAN
PANGAN HALAL
Persoalan kehalalan sebuah produk merupakan persoalan yang pelik
dan tidak dapat dipandang mudah. Ia memerlukan kajian laboratorium
yang mendalam untuk memastikan bahan baku, proses pembuatan, media
bahkan hingga kemasannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya
standarisasi halal. Standarisasi halal ini memiliki fungsi untuk
memberikan kepastian, perlindungan, dan ketenangan konsumen, terutama
umat Islam, dari mengkonsumsi suatu produk yang haram. Hal ini
merupakan salah satu hak konsumen yang dilindungi dalam Undang-
undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Salah satunya adalah pada pasal 4 (a) disebutkan bahwa hak
konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. Pasal ini menunjukkan bahwa
setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas
konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman
dikonsumsi olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi konsumen
muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah
agamanya, alias halal. Selanjutnya, dalam pasal yang sama point (c)
disebutkan bahwa konsumen juga berhak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Hal ini
memberikan pengertian bahwa keterangan halal yang diberikan oleh
perusahaan haruslah benar, atau telah teruji terlebih dahulu. Dengan
demikian, perusahaan tidak dapat serta merta mengklaim bahwa
produknya halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah
ditentukan. Standarisasi produk halal juga sangat dibutuhkan oleh para
produsen untuk menarik minat konsumen Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Ia juga penting untuk meningkatkan daya
saing serta untuk kebutuhan ekspor, terutama untuk tujuan negara-negara
muslim. Wujud dari standarisasi halal bagi produsen adalah ia harus
memiliki sertifikat halal. Namun, disini terdapat permasalahan dalam
pembuatan sertifikat halal. Yang mana para produsen merasa diberatkan
dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat
tersebut. Selain itu, hal tersebut menimbulkan terhambatnya pertumbuhan
investasi di industri makanan, terutama bagi usaha skala kecil dan
menengah (UKM).
Dalam hal penetapan Standarisasi halal yang memiliki wewenang
penuh adalah MUI (Majelis Ulama Indonesia), Karena lembaga tersebut
merupakan lembaga yang menaungi umat Islam dan telah berkompeten
selama lebih dari 15 tahun, salah satunya adalah dibidang penetapan halal
tidaknya suatu produk pangan ataupun obat-obatan. Penetapan standarisasi
halal tersebut dilakukan dengan mengeluarkan fatwa, yang berupa fatwa
produk halal. Dalam pengadaan kegiatan sertifikasi halal tidak hanya
dilakukan oleh MUI saja, namun juga melibatkan Depag (Departemen
Agama) dan Depkes (Departemen Kesehatan). Sertifikat halal itu
ditandatangani oleh ketiga lembaga tersebut, karena dua lembaga lainnya
yaitu Depag dan Depkes merasa berwenang juga dalam pengawasan
pengaturan produk pangan. Terdapat pula beberapa landasan hukum
berkaitan dengan standarisasi halal, antara lain UU No. 7/1996 tentang
Pangan dan PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Sistem
Jaminan Halal adalah suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan
dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga
kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM
MUI.
Untuk menghindari kemungkinan adanya ketidak halalan atau haram,
maka perlu ditetapkan sistem jaminan halal yang harus dipedomani dalam
berproduksi untuk menghasilkan produk yang halal dan thayyib. Untuk
menjamin agar produk yang dihasilkan terjamin kehalalannya, maka perlu
ada komitmen dari pelaku usaha untuk menyusun, menetapkan dan
menerapkan Rencana Sistem Jaminan Produksi Halal (RSJPH). RSJP
harus mencakup materi-materi utama. Diantaranya yaitu, pernyataan
kebijakan halal, yaitu suatu pernyataan dari pimpinan tertinggi perusahaan
yang menunjukkan komitmennya untuk menetapkan dan memelihara
standar sistem jaminan produksi halal dalam rangka mencapai produk
yang terjamin kehalalannya secara terus menerus. Usaha inilah yang
disebut dengan standar halal. Sistem Jaminan Halal merupakan bagian tak
terpisahkan dalam proses sertifikasi halal. Sertifikat Halal merupakan
langkah yang berhasil dijalankan sampai sekarang. Syarat kehalalan
produk tersebut meliputi:
Tidak mengandung babi dan bahan bahan yang berasal dari babi
Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti; bahan
yang berasal dari organ manusia, darah, dan kotoran-kotoran.
Semua bahan yang berasal dari hewan yang disembelih dengan syariat
Islam.
Semua tempat penyimpanan tempat penjualan pengolahan dan
transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi; jika pernah digunakan
untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu
dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat.
Setiap produsen yang mengajukan sertifikasi halal bagi produknya
harus melampirkan spesifikasi dan Sertifikat Halal bahan baku, bahan
tambahan, dan bahan penolong serta bahan aliran proses. Surat keterangan
itu bisa dari MUI daerah (produk lokal) atau lembaga Islam yang diakui
oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan
turunannya. Setelah itu, tim auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan
dan audit ke lokasi produsen yang bersangkutan serta penelitian dalam
laboratorium yang hasilnya dievaluasi oleh rapat tenaga ahli LPPOM MUI
yang terdiri dari ahli gizi, biokimia, pangan, teknologi pangan, teknik
pemrosesan, dan bidang lain yang berkait. Bila memenuhi persyaratan,
laporan akan diajukan kepada sidang Komisi Fatwa MUI untuk
memutuskan kehalalan produk tersebut. Tidak semua laporan yang
diberikan LPPOM MUI langsung disepakati oleh Komisi Fatwa MUI.
Terkadang, terjadi penolakan karena dianggap belum memenuhi
persyaratan. Dalam kerjanya bisa dianalogikan bahwa LPPOM MUI
adalah jaksa yang membawa kasus ke pengadilan dan MUI adalah hakim
yang memutuskan keputusan hukumnya.
Sertifikat halal berlaku selama dua tahun, sedangkan untuk daging
yang diekspor sertifikat diberikan pada setiap pengapalan. Dalam rentang
waktu tersebut, produsen harus bisa menjamin kehalalan produknya.
Proses penjaminannya dengan cara pengangkatan Auditor Halal Internal
untuk memeriksa dan mengevaluasi Sistem Jaminan Halal (Halal
Assurance System) di dalam perusahaan. Auditor Halal tersebut
disyaratkan harus beragama Islam dan berasal dari bagian terkait dengan
produksi halal. Hasil audit oleh auditor ini dilaporkan kepada LPPOM
MUI secara periodik (enam bulan sekali) dan bila diperlukan LPPOM
MUI melakukan inspeksi mendadak dengan membawa surat tugas.
Prinsip-prinsip yang ditegakkan dalam operasional Sistem Jaminan
Halal adalah:
1. Maqoshidu syariah
Pelaksanaan SJH bagi perusahaan yang memiliki SH MUI
mempunyai maksud memelihara kesucian agama, kesucian pikiran,
kesucian jiwa, kesucian keturunan, dan kesucian harta.
2. Jujur Perusahaan
Harus jujur menjelaskan semua bahan yang digunakan dan proses
produksi yang dilakukan di perusahaan di dalam Manual SJH serta
melakukan operasional produksi halal sehari-hari berdasarkan apa yang
telah ditulis dalam Manual SJH.
3. Kepercayaan LPPOM
Memberikan kepercayaan kepada perusahaan untuk menyusun sendiri
Manual SJH nya berdasarkan kondisi nyata internal perusahaan.
4. Sistematis
SJH didokumentasikan secara baik dan sistematis dalam bentuk
manual SJH dan arsip terkait agar bukti-bukti pelaksanaannya di
lingkungan perusahaan mudah untuk ditelusuri.
5. Disosialisasikan
Implementasi SJH adalah merupakan tanggungjawab bersama dari
level manajemen puncak sampai dengan karyawan, sehingga SJH harus
disosialisasikan dengan baik di lingkungan perusahaan.
6. Keterlibatan key person
Perusahaan melibatkan personal-personal dalam jajaran manajemen
untuk memelihara pelaksanaan SJH.
7. Komitmen manajemen
Implementasi SJH di perusahaan dapat efektif dilaksanakan jika
didukung penuh oleh top manajemen. Manajemen harus menyatakan
secara tertulis komitmen halalnya dalam bentuk kebijakan halal.
8. Pelimpahan wewenang
Manajemen memberikan wewenang proses produksi halalnya kepada
auditor halal internal.
9. Mampu telusur
Setiap pelaksanaan fungsi produksi halal selalu ada bukti dalam
bentuk lembar kerja yang dapat ditelusuri keterkaitannya.
10. Absolut
Semua bahan yang digunakan dalam proses produksi halal harus pasti
kehalalannya. SJH tidak mengenal adanya status bahan yang berisiko
rendah, menengah atau tinggi terhadap kehalalan suatu produk.
11. Spesifik
Sistem harus dapat mengidentifikasi setiap bahan secara spesifik
merujuk pada pemasok, produsen, dan negara asal. Ini berarti bahwa setiap
kode spesifik untuk satu bahan dengan satu status kehalalan.
Karena itu dalam prakteknya, penerapan sistem jaminan halal dapat
dirumuskan untuk menghasilkan suatu sistem yang ideal, yaitu zero limit,
zero defect dan zero risk (three zero concept). Artinya material haram
tidak boleh ada pada level apapun (zero limit), tidak memproduksi produk
haram (zero defect), dan tidak ada resiko merugikan yang diambil bila
mengimplementasikan sistem ini (zero risk). Total Quality Management
didefinisikan sebagai sebuah sistem dimana setiap orang didalam setiap
posisi dalam organisasi harus mempraktekkan dan berpartisipasi dalam
manajemen halal dan aktivitas peningkatan produktivitas. Manajemen
halal bermula dan berakhir dengan pendidikan yang kontinyu
(Apriyantono, 2005).
5. PELANGGARAN REGULASI HALAL
Kasus Pelanggaran Regulasi Halal
1. Kasus PT Ajinomoto
2. Kasus konspirasi penipuan produk daging halal oleh Midamar Corp. dan
Islamic Services of America
Industri halal saat ini telah menjadi trend sendiri dalam masyarakat
dunia, bukan hanya dari kalangan Muslim saja tetapi dari berbagai
penganut agama lain. Industri halal merupakan salah satu sektor yang
mendukung tegaknya ekonomi Islam di Indonesia selain lembaga
perbankan. Industri halal ini masuk ke dalam sektor riil perekonomian
Indonesia yang saat ini sedang berkembang. Permintaan akan makanan
halal global, tak hanya dari kaum Muslimin saja, namun juga datang dari
kaum non-Muslim. Hal ini memberikan sebuah dorongan besar untuk
industri halal. Label halal dalam berbagai industri ini semakin dicari
karena berkualitas baik. Baik itu dari sisi kesehatan, maupun kebersihan.
Karena kualitas itu pula, dapat digarisbawahi bahwa saat ini produk
halal bisa digunakan siapa saja. Maka, sasaran produk halal bukan hanya
komunitas Muslim, tapi juga non-Muslim. Di pasar global, Kawasan
ASEAN dan Kawasan Timur Tengah-Afrika Utara (MENA) adalah
konsumen utama dengan total konsumen lebih dari satu miliar jiwa.
Dengan potensi yang besar itu, indonesia bisa tikut berkompetisi sehat
sekaligus tetap berkooperasi dalam pemasaran produk halal. Selain
Negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Negara dengan penduduk
Muslim minoritas juga dapat dibidik sebagai target pasar yang potensial.
Salah satu contoh Negara yang potensial adalah Amerika Serikat. Imarat
Consultants dalam laporannya yang berjudul An Overview of the Global
Halal Market melaporkan bahwa sari seluruh konsumen yang membeli
produk makanan berlogo kosher, 16 persennya adalah konsumen Muslim.
Konsumen Muslim di Amerika secara total mengeluarkan 16 Milyar US
Dollar setiap tahunnya untuk membeli produk kosher karena ketiadaan
atau terbatasnya produk makanan dan minuman halal yang di jual di pasar
makanan dan minuman di Amerika Serikat. Keterbatasan produk makanan
dan minuman halal juga terjadi di Inggris. Hanya 0,5 persen dari produk
daging halal yang dijual di supermarket padahal kebanyakan konsumen
muslim yang berasal dari Negara Asia berbelanja di supermarket. Hal
tersebut mengindikasikan peluang pasar yang terbentang lebar untuk
produsen makanan dan minuman halal di Indonesia untuk masuk ke pasar-
pasar potensial tersebut.
KESIMPULAN
Makanan halal adalah makanan yang dibolehkan oleh agama dari segi
hukumnya dan makanan tersebut dapat diolah dengan baik dan benar
menurut agama. Minuman halal adalah minuman yang dibolehkan oleh
agama dari segi hukumnya dan minuman tersebut dapat diolah dengan
baik dan benar menurut agama. Pangan halal adalah Pangan yang memiliki
cita rasa baik, sanitasi higine baik dan kandungan gizinya yang baik.
Pangan yang baik berkaitan dengan jaminan bahwa pangan yang
diproduksinya bergizi, rasanya enak, warnanya menarik, teksturnya baik,
bersih, bebas dari hal-hal yang membahayakan tubuh seperti kandungan
mikroorganisma patogen, komponen fisik, biologis, dan zat kimia
berbahaya. Baik (Thayyib) adalah lezat, baik, sehat dan menentramkan.