Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS HUKUM UU JAMINAN PRODUK HALAL UNTUK PERKEMBANGAN BISNIS

UMKM DI INDONESIA

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

Salsabila Fakhriyyah Ar Raidah

NIM 8111418404

Fakultas Hukum

Universitas Negeri Semarang

2018
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................………….i

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1

B. Perumusan Masalah .................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 7

A Upaya Hukum dan Kendala yang Dihadapi oleh UMKM dalam

Menjalankan Jaminan Produk Halal………………………………………………….7

B Analisis Hukum UU Jaminan Produk halal untuk Pengembangan


Bisnis UMKM dari Perspektif UU No. 33 Tahun 2014………………………………

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 22

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA.. ............................................................................................. 24


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Makan makanan halal dan produk lainnya adalah hak dasar bagi setiap Muslim.
Ini tidak hanya terkait dengan keyakinan agama, tetapi juga dimensi kesehatan, ekonomi
dan keamanan. Misalnya sebuah negara dengan populasi mayoritas Muslim seperti
Indonesia, tanpa diminta, negara harus melindungi warga negara dalam memenuhi hak-
hak dasar warga negara mereka. Selaras dengan itu, pelaku bisnis (produsen) juga harus
memberikan perlindungan kepada konsumen. Untuk tujuan ini, diperlukan peran negara
yang lebih aktif dalam pengaturan sistem ekonomi yang digariskan dalam strategi yang
dilakukan oleh pemerintah / negara dalam menjalankan perdagangan / bisnis instrumen
termasuk melalui regulasi.
Makanan halal didefinisikan sebagai makanan apa pun yang dapat dikonsumsi
oleh manusia dan diizinkan dalam hukum Islam dan makanan ini bukan makanan tidak
sah yang disebutkan oleh Allah dalam Al Qur'an telah dinyatakan "Halal" oleh MUI.
Produk halal kini menjadi tren konsumsi di seluruh dunia, baik di negara-negara
Muslim dan non-Muslim. Tidak kurang dari USD650 juta dalam transaksi produk halal
terjadi setiap tahun. Fokusnya adalah pada sertifikasi halal karena konsumen, terutama
Muslim, membutuhkan jaminan bahwa makanan yang mereka beli benar-benar halal.
Kualitas barang yang dijual harus dijamin kelompok. Dalam membahas masalah 1 -
elemen kontrak atau Aqad, 2 - elemen moral konsumerisme, Halal (sah) atau Haram
(melanggar hukum) status dan 3 - elemen Syariah. Anggota suatu produk sangat penting
bagi konsumen Muslim karena yurisprudensi Islam juga menghubungkan konsumerisme
yang berkaitan dengan klaim agama. Oleh karena itu, setiap undang-undang atau
peraturan yang dirancang harus mempertimbangkan klaim ini.
Produk halal tercantum dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal dalam Pasal 1 ayat (2), yaitu: "Produk Halal adalah produk yang
telah dinyatakan sah sesuai dengan hukum Islam" Mengacu pada artikel itu, definisi
makanan, non-makanan, dan jasa adalah kebutuhan dasar bagi manusia. Keberadaannya
sangat krusial dalam kehidupan sehari-hari.
Islam memandu pengikutnya untuk hanya mengkonsumsi makanan dan minuman
yang halal dan baik. Halal adalah hal mendasar bagi konsumen Muslim. Bagi kaum
Muslim, dasar hukumnya jelas. Dalam Al-Qur'an Q.S al-Maidah ayat: 3, secara eksplisit
dan kategoris jenis makanan adalah halal dan haram. Seperti larangan makan bangkai
(selain ikan dan belalang), darah, daging babi, daging hewan yang disembelih dengan
nama selain Allah, pengorbanan hewan untuk berhala, daging hewan tersedak, dipukul,
ditebang, menanduk / disambar binatang buas, kecuali ketika itu disembelih dengan nama
Tuhan. Keberlakuan UU No. 33 tahun 2014, menyebabkan lembaga yang memiliki
wewenang untuk mengeluarkan sertifikasi halal, yaitu MUI akan bergeser ke lembaga
untuk Badan Jaminan Produk Halal (BPJPH), meskipun fungsi dan peran MUI masih
diakui karena itu adalah mitra kerja BPJPH.
Untuk konsumen Muslim, jaminan halal dari suatu produk / layanan adalah hal
yang sangat penting dari keberadaannya. Karena mengkonsumsi makanan halal
merupakan tatanan agama yang mutlak karena umat Islam Islam tidak hanya fokus pada
aspek materi, dan juga tidak hanya berfokus pada aspek bodybuilding saja tetapi Islam
juga memperhatikan hal-hal yang mempengaruhi moral, jiwa (kepribadian) dan perilaku.
Kehalusan suatu produk dipertimbangkan konsumen Muslim utama untuk
mengkonsumsinya. Orang Muslim pasti akan merasa tenang dan aman jika produk
produsen benar-benar memiliki jaminan halal.
Undang-undang tentang jaminan produk halal yang disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat pada 25 September 2014 adalah payung hukum bagi masyarakat
Indonesia tentang produk makanan, obat-obatan, dan kosmetik yang sudah dimulai sejak
lama dan telah ditunda beberapa kali. Dalam Pasal 4 huruf (a) Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyatakan bahwa "hak
konsumen" adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan atau jasa ". Artikel ini menunjukkan bahwa setiap konsumen,
termasuk Konsumen Muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia,
memiliki hak untuk mendapatkan barang-barang yang aman dan halal untuk
dikonsumsi.Satu pemahaman yang aman untuk konsumen Muslim adalah bahwa barang
tersebut tidak bertentangan dengan aturan agama, dalam arti halal.
Aturan-aturan ini didukung oleh undang-undang dan peraturan lain UU no. 33
tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, UU
No.7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Halal.
Pengaturan Halal Food adalah hal yang penting dalam konteks Muslim Indonesia.
Di Indonesia makanan halal diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal. Undang-undang ini secara jelas mengatur bahwa masuk, beredar
dan memperdagangkan produk di Indonesia harus bersertifikat halal. Pelaku usaha yang
telah memperoleh sertifikat halal harus mencantumkan label halal pada kemasan atau
bagian-bagian tertentu dari suatu produk. Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ditegaskan bahwa pelaku usaha dilarang
memproduksi dan / atau memperdagangkan barang dan / atau memberikan layanan yang
tidak mengikuti ketentuan produksi halal, sebagaimana tercantum dalam label " halal ".
Sertifikasi halal adalah fatwa yang ditulis oleh MUI yang menyatakan kehalalan suatu
produk sesuai dengan hukum Islam melalui pemeriksaan rinci oleh LP POM MUI. UKM
memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian di Indonesia, yaitu untuk fasilitas
masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, untuk meningkatkan tingkat ekonomi
masyarakat, pendapatan devisa.
Sertifikat halal merupakan kewajiban, sehingga produk makanan yang tidak
memiliki sertifikat halal tidak dapat didistribusikan di Indonesia, baik yang diproduksi di
Indonesia maupun di luar negeri. Kedua, pengusaha yang mencapai sertifikasi halal harus
mencantumkan label halal pada paket, di area tertentu pada paket produk. Label halal
sangat penting mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim atau sekitar 87%
dari total populasi. Hal ini juga penting untuk memastikan konsumen Muslim tidak
melanggar hukum agama mereka dalam hal mengkonsumsi materi yang jelas-jelas
dilarang tetapi rumitnya penanganan label halal mengakibatkan keengganan UKM untuk
mengurus halal produk mereka karena hal-hal di atas hambatan seperti yang dialami
UKM, akhirnya menjadi masalah dan menjadi penting untuk dibahas tentang bagaimana
menemukan solusi agar keberadaan UU No. 33 tahun 2014 tidak mencegah UMKM dari
jaminan produk halal dan dapat terus tumbuh.
Perhatian pada pentingnya pelabelan halal di Indonesia sekarang sedang
berkembang. Dengan cepat menjadi kekuatan pasar baru dan pengidentifikasi merek dan
sekarang bergerak ke pasar mainstream, mempengaruhi dan mengubah presepsi tentang
bagaimana bisnis harus dilakukan, termasuk membentuk sudut pandang pemasaran.
Masalahnya adalah, tidak semua Muslim memiliki pengetahuan yang cukup untuk
mengetahui apakah makanan dan barang yang akan mereka konsumsi benar-benar halal.
Pasal 4 huruf (c) dari UUPK juga menyatakan bahwa "konsumen berhak untuk
mengoreksi, membersihkan, informasi jujur tentang kondisi dan jaminan barang atau
jasa". Artikel ini memberikan pemahaman bahwa informasi yang diberikan oleh pabrikan
sudah benar dan telah diuji. Konsumen juga berhak mendapatkan informasi yang benar,
jelas dan jujur tentang kondisi dan jaminan barang dan / atau jasa. Sehubungan dengan
produk dinyatakan sah, produsen harus menjamin halal dengan terlebih dahulu
mengirimkan inspeksi kepada pejabat yang berwenang dan telah menyatakan halal.
Tulisan ini akan membahas tiga masalah utama mengenai bagaimana upaya
hukum dan kendala yang dihadapi oleh UKM dalam mengamankan jaminan produk
halal, bagaimana analisis hukum dari jaminan produk halal untuk pengembangan bisnis
UKM dari perspektif UU No. 33 tahun 2014 dan bagaimana prosesnya semua makanan
dan minuman mendapat sertifikasi dari pemerintah

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah upaya hukum dan kendala yang dihadapi UMKM dalam mendapatkan
jaminan produk halal ?
2. Bagaimanakah analisis hukum tentang jaminan produk halal bagi perkembangan
bisnis UMKM dari perspektif UU No. 33 Tahun 2014?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Upaya Hukum dan Kendala yang Dihadapi oleh UMKM dalam Menjalankan
Jaminan Produk Halal

Indonesia adalah negara dengan populasi penduduk terbesar ke-5 serta


penduduk Muslim terbesar merupakan peluang pasar potensial untuk konsumsi produk
makanan, obat-obatan dan kosmetik untuk bisnis negara mereka sendiri dan dari luar
negeri. Selama beberapa dekade terakhir ini, pasar agama telah memasuki fase baru yang
dicirikan oleh bentuk-bentuk regulasi, sertifikasi, dan standardisasi baru dalam skala
global. Indonesia memiliki populasi 240 juta orang (BPS, 2010), dan 87% penduduknya
beragama Islam. Dengan populasi Muslim yang sangat besar, Indonesia adalah pasar
potensial untuk produk halal. Saat ini Indonesia telah memasuki era Global Value Chain.
Salah satu hal penting dalam era Global Value Chain yang perlu dikejar adalah jaminan
halal dari bahan baku yang digunakan dalam setiap proses produksi. Hal ini disebabkan
oleh beberapa alasan, yaitu: pertama, penduduk Indonesia didominasi Muslim dan ini
bisa menjadi pasar potensial. Kedua, kesadaran agama komunitas Muslim di Indonesia
semakin baik, sehingga dalam mengkonsumsi produk, terutama makanan dan minuman,
diperlukan legalisasi dalam bentuk jaminan produk halal. Ketiga, Indonesia memiliki
banyak UKM yang memainkan peran penting dalam menggerakkan roda perekonomian
Indonesia. Menurut data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
(2013), jumlah usaha mikro adalah 98,79%, jumlah usaha kecil adalah 1,11%, dan jumlah
usaha menengah adalah 0,09%, tetapi tidak semua dari mereka memiliki kemampuan
untuk menjamin bahwa produk mereka adalah halal. Keempat, konsumen yang bukan
Muslim menganggap bahwa setiap produk halal memiliki kualitas tinggi, aman dan
higienis. Kelima, peran norma dan agama dianggap sebagai faktor keputusan untuk
pelaksanaan jaminan produk halal (Kordnaeij et al., 2013). Namun pada kenyataannya
tidak semua pengusaha mampu mencari jaminan produk halal, terutama UKM karena
beberapa alasan termasuk kurangnya bantuan, kurangnya sosialisasi, persyaratan rumit
dan lain-lain. Oleh karena itu, pemerintah sebagai lembaga tertinggi yang bertanggung
jawab atas keberlanjutan UKM di Indonesia harus memberikan bantuan dan
memudahkan UMKM untuk mendapatkan jaminan produk halal.
Pemerintah dapat bekerja sama dengan Lembaga Sertifikasi Halal baik di
dalam maupun di luar negeri. Saat ini ada tiga belas negara di Asia yang sangat peduli
dengan label halal dan validitas sertifikasi mereka telah diakui oleh LPPOM MUI yaitu
Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Jepang, Taiwan, India, Hong Kong, Thailand,
Filipina, Vietnam, Srilanka. Jika ada produk yang beredar secara internasional terutama
di Asia, perlu menyertakan 13 (tiga belas) logo halal dari beberapa negara yang berbeda.
Ini adalah pemberian berbagai logo halal yang saat ini menjadi tantangan utama bagi
industri halal di Indonesia, terutama UKM.
Pemerintah Indonesia melalui LPPOM-MUI menentukan beberapa
persyaratan dalam proses mengajukan permohonan sertifikat halal, Pengusaha harus
memahami persyaratan dan Mengikuti pelatihan sistem jaminan halal dan
menerapkannya pada produk, Menyelesaikan beberapa dokumen, termasuk: daftar
produk, bahan dan dokumen daftar, matriks produk, panduan sistem jaminan halal,
diagram alur proses, daftar alamat fasilitas produksi, bukti sosialisasi kebijakan halal,
bukti pelatihan internal dan bukti audit internal yang mendaftarkan sertifikasi halal
Melakukan pemantauan pra-audit dan pembayaran kontrak sertifikasi, pemantauan Audit
Paska Audit memiliki izin distribusi untuk PIRT / MD dan memiliki izin distribusi MD
untuk produk-produk berisiko tinggi.
Semua persyaratan ini harus disiapkan oleh pelaku usaha kecuali izin edar MD dari
BPOM dan IUI / IUMK dari BPPTPM / Kabupaten (Maryati, dkk, 2016). Untuk
mendapatkan izin distribusi MD berdasarkan peraturan BPOM, pengusaha harus
memenuhi persyaratan berikut:
1. Pengusaha harus memiliki IUMK Izin Usaha atau IUI dari pemerintah daerah sesuai
dengan Pedoman Pelaksanaan IUMK (2015),
2. Melakukan pengujian produk ke laboratorium terakreditasi,
3. Mengajukan izin edar untuk MD ke POM Republik Indonesia sebanyak 2
4. Isi formulir aplikasi MD, lampirkan lampiran dan sertakan label desain / label produk.
Hal ini dilakukan agar pengusaha dapat memahami kebutuhan akan sertifikasi makanan
halal yang terakreditasi, karena saat ini ada banyak produk makanan dan minuman baik
lokal maupun impor yang memiliki logo halal tetapi tidak memiliki ketertelusuran yang
jelas dan valid (Maryati et al, 2016). Menurut Kepala LPPOM MUI Provinsi Kalimantan
Barat (Nora Idiawatik, 2016) mengatakan bahwa tingkat produk bersertifikat halal di
Indonesia masih rendah. Meskipun jumlah pelaku usaha yang mengajukan permohonan
sertifikasi halal cukup banyak, tetapi karena berbagai alasan, sertifikat tidak dapat
dikeluarkan. Secara umum, ini terjadi karena pelaku bisnis, terutama UMKM, belum
memiliki pemahaman yang benar tentang bagaimana aliran produksi produk.
Hasil penelitian oleh Maryati, dkk (2016) menunjukkan bahwa dari keseluruhan tingkat
kesulitan dan kendala dalam memperoleh label halal, 30% dari total UMKM di Indonesia
menyatakan bahwa persyaratannya rumit karena banyaknya dokumen yang memiliki
harus dipenuhi dan dilampirkan, terutama ketika mengelola IUI, sementara beberapa
UKM manajemen masih lemah. Hal ini tidak sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor
98 tahun 2014 yang menjelaskan bahwa izin usaha untuk pelaku U di beberapa industri
makanan dan minuman, terutama skala usaha mikro dan kecil, mayoritas masih belum
melakukan sertifikasi halal.
Keterbatasan lain adalah ketersediaan fasilitas dan infrastruktur, terutama
laboratorium yang hanya tersedia di ibu kota provinsi dan hanya beberapa kota besar. ini
membuat biaya pengujian laboratorium produk halal sangat mahal. Sebanyak 16,7% dari
pengusaha UMKM di Indonesia menghasilkan di rumah dan sebagian yang lain telah
menghasilkan di tempat yang terpisah dari rumah mereka, namun, masalah keamanan dan
jaminan bahwa produk halal tidak dapat dijamin, terutama jika pengusaha tersebut bukan
Muslim Menurut Maryati , dkk (2016), diketahui bahwa 100% pengusaha UMKM tidak
memiliki pabrik yang layak (lokasi produksi).
Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah tantangan e-commerce. Saat
ini kami memasuki era global pemasaran di mana upaya pemasaran dapat dilakukan
dengan menggunakan kemajuan teknologi informasi. Di satu sisi, produsen dan pemasar
difasilitasi dalam melakukan kegiatan bisnis mereka terutama selama promosi, serta
konsumen juga difasilitasi dalam mendapatkan produk mereka. Hanya saja Indonesia
masih belum memiliki regulasi yang secara khusus mengatur, mengawasi dan menjamin
produk halal dalam transaksi e-commerce, terutama jika lini pembeliannya sederhana,
yaitu dari produsen langsung ke konsumen, tanpa ada pihak yang menyaring. Ini adalah
catatan untuk BPJPH dalam memantau produk melalui e-commerce.
Selain itu, kepastian dan kejelasan tentang periode proposal dan manajemen hingga
penerbitan jaminan produk halal juga sangat penting karena selain efisiensi biaya, juga
merupakan pedoman bagi Lembaga Inspeksi Halal (LPH) dalam melaksanakan inspeksi
ke UMKM industri yang merupakan pendukung jaminan produk halal. Jangka waktu
harus secara jelas dinyatakan dalam Peraturan Pelaksana. Beberapa pernyataan tentang
batas waktu dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) perlu ditinjau dan
diklarifikasi.

Secara global, konsumen Muslim prihatin tentang sejumlah masalah mengenai daging
dan produk daging seperti substitusi daging babi, plasma darah yang tidak dideklarasikan,
penggunaan bahan-bahan yang dilarang, casing usus babi dan metode penyembelihan
non-halal. Secara teknis, ada tiga kategori yang menjadi kendala dalam pengelolaan
produk halal di Indonesia menurut Maryati, dkk (2016), yaitu:
Sebuah. a. Kendala peralatan; Kendala peralatan yang dimaksud di sini masih banyak
pelaku usaha yang mengandalkan bagian dari proses produksi menggunakan alat-alat
yang digunakan bersama, seperti mesin penggiling daging. Penjual bakso dan produk
makanan lainnya dari daging, pabrik daging dilakukan di pasar tradisional. Ini sulit untuk
memastikan bahwa peralatan penggilingan tidak digunakan untuk daging non-halal,
termasuk tempat penjualan daging sapi yang terletak dekat dengan babi. Kondisi ini
memungkinkan untuk menggunakan pisau atau peralatan lain secara bersamaan,
b. Kendala material yang digunakan; di hadapan bahan untuk produksi, banyak temuan
sulit dilacak. Materi yang dipertanyakan tidak memiliki informasi yang jelas tentang
siapa dan di mana mereka diproduksi. Khusus untuk produk roti atau kue dan bumbu
yang digunakan untuk restoran makanan.
c. Dalam bisnis yang menggunakan bahan baku daging hewan, masalah utama terjadi
selama proses penyembelihan.

B. Analisis Hukum UU Jaminan Produk halal untuk Pengembangan Bisnis UMKM


dari Perspektif UU No. 33 Tahun 2014

Tujuannya adalah untuk membantu pemerintah, praktisi dan akademisi dalam


memahami upaya untuk menerapkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal pada
produk-produk UMKM yang beredar di pasar domestik dan luar negeri.
UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal adalah dasar dari undang-undang
dan peraturan tertulis yang berlaku di Indonesia yang mengatur jaminan produk halal.
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, istilah
"halal" itu sendiri mengandung maksud sebagai perlindungan hukum bagi penganut Islam
tentang menggunakan dan / atau mengkonsumsi berbagai produk baik makanan,
minuman, obat-obatan dan lain-lain.
Menurut Jimly Asshiddiqie, UU No. 33 tahun 2014 adalah undang-undang
yang berlaku khusus. Karena kekhususan hukum, kapasitas pengikatan hanya materi,
yang hanya berlaku secara internal dan kategoris. Dilihat dari aspek hukum, sertifikasi
dan pelabelan produk halal pada makanan, minuman, obat-obatan dan lain-lain adalah
penting karena meningkatnya permintaan dan kesadaran konsumen akan produk halal,
Di era globalisasi ekonomi, sertifikasi dan pelabelan halal semakin
dibutuhkan sebagai sarana bersaing secara kompetitif dengan produk luar negeri,
terutama dalam hal menciptakan lebih banyak nilai dan keunggulan produk. Dengan
sertifikasi halal, produsen dapat menjelajahi pasar yang lebih luas (LPPOM MUI,
2011:11).
Sertifikat halal memiliki potensi untuk melawan masalah negatif yang dapat
mempengaruhi penjualan produk. Sertifikat halal juga dianggap sebagai solusi tepat
untuk memberikan rasa nyaman dan aman bagi konsumen Muslim (LPPOM MUI, 2011:
29). Jadi dapat disimpulkan bahwa "halal" adalah syarat utama bagi konsumen muslim
dalam mengkonsumsi suatu produk, terutama makanan. Satu produk halal ditentukan dari
kecocokan bahan baku, proses ke infrastruktur dan fasilitas transportasi yang digunakan
dalam proses produksi dari hulu ke tahap hilir, yaitu kedatangan produk ke konsumen.
Secara empiris, kita sering menemukan bahwa ada banyak konsumen yang ragu untuk
membeli suatu produk jika belum mendapat sertifikasi halal dari LP POM MUI, sehingga
produsen sulit untuk meyakinkan konsumen bahwa produk tersebut benar-benar halal dan
aman untuk dikonsumsi. Dalam hal kepentingan perusahaan, keberadaan sertifikasi halal
dapat menjaga kredibilitas, komitmen dan kepercayaan publik, terutama dari negara-
negara yang didominasi Muslim (LPPOM MUI, 2011: 28).
Sertifikasi halal sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor. 18
Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, harus dicari. Sertifikat ini berfungsi sebagai bukti dari pihak
yang berkompeten untuk menyatakan produk benar-benar halal. Namun, komitmen untuk
menjaga produk halal dari perusahaan jauh lebih penting dan menentukan, meskipun
dengan sertifikat halal yang dikombinasikan dengan SJH, perusahaan dapat menunjukkan
kepada pihak lain bahwa perusahaan telah secara resmi dan secara hukum diverifikasi
dan dijamin halal (LPPOM MUI, 2011: 23).
Produk halal saat ini memiliki pangsa pasar yang besar dan berkembang. Hal
ini disebabkan karena pertumbuhan populasi Muslim adalah 1,8 miliar pada tahun 2015
dan Asia Pasifik mendominasi pasar dengan berkontribusi USD 594 miliar pada tahun
2016, dengan basis konsumen yang besar di banyak negara seperti Pakistan, Indonesia,
Bangladesh dan India dengan populasi Muslim tertinggi (Cooper, 2017).
Proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia mencakup beberapa
langkah, yaitu:
Sebuah. Pendaftaran;
b. Pelaksanaan Audit Sertifikasi Halal;
c. Rapat Auditor Halal LPPOM MUI;
d. Pertemuan Komisi Fatwa MUI;
e. Penerbitan Sertifikat Halal.
Melihat persyaratan dan tahapan proses sertifikasi halal yang panjang dan
sulit, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, terutama untuk pengusaha UMKM,
sebagai berikut:
Sebuah. Sosialisasi Penerapan Sistem Jaminan Halal
Penyebaran penerapan Sistem Jaminan Halal kepada wirausahawan dilakukan melalui
dialog tentang pentingnya menerapkan sistem jaminan halal dalam pengembangan bisnis
produk makanan dan pemahaman tentang besarnya potensi pasar produk yang telah
bersertifikat halal. .
b. Identifikasi Jenis Produk yang akan Disertifikasi
Jelaskan kepada wirausahawan tentang jenis-jenis produk yang dapat disertifikasi. Jika
jenis produk mengandung bahan baku kritis sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI, harus
terlebih dahulu menjalani uji laboratorium. Dalam hukum Islam apa yang dikatakan halal
bukan hanya zat, tetapi juga mulai dari proses produksi dari hulu ke hilir harus bebas dari
zat yang dilarang oleh hukum Islam. Penyimpanan produk halal tidak boleh dekat dengan
produk halal, artinya penyimpanan produk halal harus terpisah dari produk non-halal.
Demikian juga, peralatan yang digunakan untuk memproses produk halal tidak boleh
digunakan bersama dengan produk non-halal.
c. Identifikasi Bahan Baku dari Produk yang akan Disertifikasi
Jelaskan kepada wirausahawan tentang bagaimana mengidentifikasi bahan mentah yang
digunakan selama proses produksi. Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada
materi yang termasuk dalam daftar isu-isu kritis dari LPPOM MUI atau tidak. Bahan-
bahan yang termasuk dalam daftar bahan penting LPPOM MUI harus dipastikan dengan
status halal mereka dengan memeriksa apakah ada sertifikasi halal pada bahan mentah
atau tidak. Jika materinya tidak terdaftar sebagai sertifikat halal, maka itu harus dicek lagi
jika prosesnya panjang atau pengadaan materialnya dicampur dengan najis atau tidak.
d. Identifikasi Aliran Proses Produksi
Jelaskan kepada pengusaha tentang identifikasi aliran proses produksi dilakukan dengan
tujuan untuk mengidentifikasi aliran proses dalam pembuatan produk sehingga setiap
langkah proses dari bahan baku ke produk jadi memenuhi persyaratan Sistem Jaminan
Halal.
e. Penerapan Sistem Jaminan Halal Teknis
Jelaskan kepada pengusaha tentang 11 kriteria yang harus dipertimbangkan oleh majikan
dalam menangani sertifikat produk halal
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem halal telah mencakup sektor bisnis paling penting di Indonesia, namun
banyak perusahaan masih memiliki pengetahuan yang tidak memadai dalam memahami
konsep dan praktik Halal. Administrasi untuk mendapatkan sertifikasi halal sangat
penting, selain menjunjung tinggi berkah Islam, ia juga memelihara makanan dan
minuman serta obat-obatan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah sebagai Firman Tuhan
yang disebutkan di atas. Dalam hal pendaftaran untuk mendapatkan label halal dari
pemerintah, manajer perusahaan harus memenuhi persyaratan dan melaksanakan tahapan
yang disediakan oleh LPPOM MUI.
Di Indonesia sendiri lembaga yang berwenang untuk mensertifikasi produk
halal adalah MUI. Adapun barang-barang impor dari luar negeri yang akan masuk ke
Indonesia, MUI memiliki beberapa lembaga yang telah diakui di luar negeri untuk
memperoleh sertifikasi halal, antara lain yang disebutkan di atas. Setelah berbentuk
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Jadi lembaga
yang berwenang untuk mensertifikasi produk halal adalah MUI. Undang-undang ini
terdiri dari 68 artikel yang mengharuskan semua produk makanan, minuman dan obat-
obatan yang beredar di Indonesia untuk memperoleh sertifikasi halal.

Kita dapat mendeskripsikan materi yang menjadi subjek penelitian ini, tentu
saja masih banyak kekurangan dan kelemahan, karena mereka kurang memiliki
pengetahuan dan kurangnya referensi atau referensi yang berkaitan dengan judul proposal
ini. Penulis banyak berharap pembaca yang budiman, memberikan kritik dan saran yang
membangun untuk proposal yang sempurna kepada penulis dalam penulisan proposal di
kesempatan berikutnya. Semoga tulisan penelitian ini bermanfaat bagi penulis khususnya
juga pembaca yang budiman pada umumnya. Ulasan seperti kali ini, semoga bermanfaat
bagi Anda dan juga menginspirasi.
DAFTAR PUSTAKA

A.H. Mustafa Afifi Consumer Protection Of Halal Products In Malaysia 2014 , Middle-East
Journal of Scientific Research 13(Approaches of Halal and Thoyyib for Society, Wellness
and Health): 22-28, 2013 ISSN 1990-9233
Al-Fanjari , Ahmad Syauqi, Nilai Kesehatan Dalam Syari’at Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996
Aminuddin , Muh Zumar. Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan
Thailand. Jurnal Shahih. V0l. 1 No. 1, 2016.
Asri , Legal Protection To The Consumer On Non Halalcertificate Products 2016 ,Jurnal IUS
Kajian Hukum dan Keadilan, Vol IV , Nomor 2 , , hlm 2-21 , Agustus 2016
Fathimah, Ema, Zailia, Siti , Jaminan Produk Halal Bagi Perlindungan Konsumen Telaah
Ruujph (Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal) Dalam Perspektif Hukum
Ekonomi Islam 2017 , Jurnal Muamalah, Vol 3 No 1, 2017.
Hasan , Kn. Sofyan, 2015, Formulasi Hukum Dan Pentingnya Jaminan Kepastian Hukum Produk
Pangan Halal Dalam Hukum Nasional ,Jurnal Kajian Syari'ah dan Masyarakat , vol 15 no
2 (2015): nurani
Imam Salehudin , Marketing Impact of Halal Labeling toward Indonesian Muslim Consumer’s
Behavioral Intention Based on Ajzen’s Planned Behavior Theory: Policy Capturing Studies
on Five Different Product Categories 2011 , ASEAN Marketing Journal, Vol. 3, No. 1,
June 2011 Presented partially in the 5th International Conference on Business and
Management Research, 2010
Konoras , Abdurrahman , Jaminan Produk Halal di Indonesia Perspektif Hukum Perlindungan
Konsumen , Jogjakarta , Rajawali
Kristianti. M. Rahmasari, L, Website sebagai Media Pemasaran Produk-Produk Unggulan
UMKM di Kota Semarang, Jurnal Analisis Manajmen, Vol. 13, No. 2: 186-196, 2015
Mashudi , M , MEMBUMIKAN HUKUM ISLAM PROGRESIF: Respons Konsumen Muslim
terhadap Undang-Undang Jaminan Produk Halal 2017 , International Jurnal Ihya’ Ulum
al-Din , Vol 19, No 1 (2017)
Mohayidin , Mohd Ghazali Consumers' Preferences Toward Attributes Of Manufactured Halal
Food Products 2014 ,Journal of International Food & Agribusiness Marketing Volume
26, Issue 2 , 2014.
Nakyinsige , Khadijah Halal Authenticity Issues In Meat And Meat Products 2012 , Meat
Science
Volume 91, Issue 3, Pages 207-214, July 2012.
Paju, PurwantiJaminan Sertifikat Produk Halal Sebagai Salah Satu Perlindungan Terhadap
Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen 2016 , Lex Crimen Vol. V/No. 5/July/2016.
Rasyid, tengku harunur,2010 , raising the awareness of halal products among indonesian
consumers: issues and strategies , Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE)
Volume 1, Nomor 1, ISSN 2087 - 409X, Juli 2010.
Suketi , Fatmasari The Influence Halal Label And Personal Religiousity On Purchase Decision
On Food Products In Indonesia , International Journal of Business, Economics and Law,
Vol. 4, Issue 1 (June) ISSN 2289-1552, 2014.

Anda mungkin juga menyukai