Anda di halaman 1dari 10

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….1
BAB 1 : PENDAHULUAN2
Latar Belakang2
Rumusan Masalah2
BAB 2 : PEMBAHASAN3
Pengertian Hukum Adat 3
Ciri-ciri Hukum Adat4
Hukum Adat dalam masyarakat5
Dampak Pembangunan Politik Hukum bagi Hukum Adat di Indonesia6

BAB 3 : PENUTUP8
Kesimpulan 8
DAFTAR PUSTAKA 9

1
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Sistem ekonomi yang berkembang dengan kekuatan pasar dan menurunnya


peran negara, tidak menutup kemungkinan akan terjadi persaingan sangat ketat antar
pengusaha terutama dalam menarik konsumen (Zomrotin, 1997). Pada posisi yang
sama produsen dan konsumen harus dapat bertindak secara rasional, yakni
memaksimalkan keuntungan bagi produsen dan manfaat mengkonsumsikan barang
dan jasa bagi konsumen. Produsen dan konsumen diasumsikan bahwa mereka
mengetahui informasi pasar. Akan tetapi hal ini tidaklah mudah, karena yang terjadi
justru pola konsumsi konsumen ditentukan oleh produsen melalui kekuatan promosi.
Pengusaha dengan bebas dapat menghasilkan produknya, sehingga konsumen sangat
tergantung bahkan fanatik terhadap merk tertentu. Dari sudut pandang ekonomi,
produsen sebagai penghasil barang dan konsumen sebagai pengguna barang, akan
berbeda halnya dengan aspek sosiologis, dimana hubungan produsen dengan
konsumen semakin renggang, akibat dari sistem pasar bebas. Hal ini disebabkan
konsumen tidak mengetahui dengan jelas siapa yang memproduksi barang yang
mereka peroleh.
A. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah arti Konsumen?
2. Apakah prinsip perlindungan konsumen?
3. Bagai?
B. TUJUAN
1. Agar dapat mengetahui arti konsumen.
2. Agar dapat menyebutkan prinsip perlindungan konsumen.
3. Agar dapat mengetahui bagaimana Hukum Adat dalam masyarakat.

2
PEMBAHASAN

HUKUM ADAT DI INDONESIA

A. PERLINDUNGAN KONSUMEN
Mengartikan konsumen secara sempit seperti halnya sebagai orang yang
mempunyai hubungan kontraktual pribadi dengan pelaku usaha atau penjual adalah
cara pendefinisian konsumen yang paling sederhana.
Suatu perkembangan yang sangat luar biasa pesatnya yaitu pertumbuhan dan
perkembangan dunia usaha baik itu dalam skala nasional maupun intenasional. Jika
pada masa lalu pihak pelaku pelaku usaha dipandang sebagai pihak yang sangat
berjasa dalam pemenuhan semua keperluan manusia, dan juga pelaku usaha dianggap
sebagai pihak yang mampu memajukan perekonomian suatu Negara1.
Perlindungan konsumen bertujuan untuk memberikan kenyamanan antara
pelaku usaha dengan konsumen dengan cara mengatur hubungan yang harmonis
antara keduanya, dalam kegiatan bertransaksi sering sekali terjadi kesalahan, salah
satunya adalah penjual produk yang rusak atau cacat.
Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral
tersebut, termasuk dalam masalah ekonomi. Islam mengatur perilaku manusia
dalam memenuhi kebutuhannya, Islam mengatur bagaimana manusia dapat
melakukan kegiatan-kegiatan dalam bisnis yang membawa manusia berguna bagi
kemaslahatan. Berdasarkan hal itu, Islam turut memberikan jalan bagi manusia untuk
melakukan berbagai improvisasi dan inovasi melalui sistem dan teknik dalam
perdagangan2.
Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk/jenis sebagaimana yang dimaksud
dalam UUPK, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh
konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut adalah
sebagai berikut: Pertama, pihak yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang
membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui
oleh konsumen. Kedua, apabila produk yang merugikan konsumen tersebut
diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, kerena UUPK tidak
mencakup pelaku usaha diluar negeri. Ketiga, apabila produsen maupun importir dari

1
Aulia Muthiah, PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK CACAT DALAM PERSPEKTIF
FIQIH JUAL BELI, Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran, 18, Nomor 2, Desember 2018, Hlm. 211-232.
2
M. Yusri, KAJIAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM, hlm : 3

3
suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen
membeli barang tersebut3.
Batasan konsumen dalam UUPK dan hak-hak konsumen yang diadopsi di
dalamnya masih memerlukan pengkajian lebih mendalam. Hal ini dikerenakan
banyaknya golongan yang tidak tercakup sebagai konsumen, sedangkan ia juga harus
dilindungi, seperti badan hukum, badan usaha, barang yang tidak ditawarkan dalam
masyarakat dan batasan-batasan yang samar.
Perlindungan konsumen terhadap makanan halal sepertinya kurang mendapat
perhatian. Berdasarkan hasil penelitian YLKI pengaduan yang berkaitan dengan
makanan halal sangat sedikit. Namun sedikitnya pengaduan terhadap makanan halal
bukan berarti umat Islam Indonesia tidak peduli kepada makanan dan minuman yang
tidak halal beredar dengan bebas tanpa sertifikasi halal.Selama ini umat Islam
Indonesia percaya kepada MUI terhadap produk halal.
Dalam regulasi bisnis, perlindungan konsumen muslim terhadap produk halal
tidak saja berupa labelisasi halal yang tertuang dalam Undang-Undang Pangan. Akan
tetapi harus memiliki integritas hukum ekonomi lainnya, sehingga ada jaminan
pelaksanaan labelisasi halal. Hal ini sangat terkait dengan hal-hal yang bersifat bisnis,
seperti perjanjian perdagangan, distribusi, periklanan, kemasan, kelalaian dan
penyalahgunaan labelisasi halal. Perlindungan konsumen muslim kemungkinan dapat
disamakan dengan perlindungan konsumen pada umumnya di Indonesia dengan
memberlakukan UU yang memuat perlindungan konsumen yang terdapat pada
Hukum Ekonomi Indonesia.
Dikarenakan labelisasi halal berhubungan erat dengan pelaksanaan hukum
Islam, maka Hukum perlindungan Konsumen di Indonesia setidaknya menyerap
unsur-unsur, nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat dalam Hukum Islam terutama
yang sangat erat hubunganya dengan perlindungan konsumen, labelisasi halal dan
regulasasi bisnis produk- produk halal dalam ekonomi Islam4.
B. PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM REGULASI BISNIS ISLAM
Prinsip yang fundamental dalam Ekonomi Islam yang ingin dicapai adalah
terbentuknya hasil-hasil produksi yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosial dan
kemaslahatan. Kegiatan produksi dilakukan berdasarkan tingkat kebutuhan manusia,
yaitu: (1) Kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan tempat tinggal; (2)
3
Ahmadi Miru, Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), 11.
4
Slamet Mujiono, Perlindungan Konsumen Regulasii Bisnis, JEBI (Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam), 1, No.1,
Januari-Juni 2016 konsumen, hlm:68

4
Kebutuhan sekunder seperti barang mewah dan lainnya (Syauqi Ahmad Dunya,
1994). Islam lebih mengutamakan memproduksi barang primer terlebih dahulu setelah
terpenuhi baru memproduksi barang sekunder.
Kegiatan produksi harus melakukan proses produksi barang atau jasa yang
dipandang Islam halal dan baik. Artinya dilarang membuat barang haram atau
mengandung komponen barang yang dilarang, satu contoh memproduksi barang
tekstil dari babi, anjing, membuat makanan dari arak atau mendirikan tempat
prostitusi termasuk produksi yang memperdagangkan aurat dan susila seperti
pembuatan film yang mempertontonkan aurat.
Untuk melindungi konsumen proses produksi harus dilakukan dengan adil
dalam proses produksi mengandung arti: 1) Jujur dalam pengolahan dari proses bahan
baku hingga menjadi barang jadi. 2) Tidak dibenarkan dalam proses produksi
melakukan kegiatan monopoli atau penimbunan barang sehingga proses distribusi
barang ke konsumen terhambat. "Dan janganlah kamu memakan harta dari sebahagian
kamu dengan jalan batil." (Q.S al-Baqarah: 188)5.
Sekarang ini telah tumbuh kesadaran masyarakat tentang perlunya
perlindungan konsumen yang dimulai di negara-negara maju. Apabila di masa- masa
lalu pihak industriawan yang dipandang sangat beijasa bagi perkembangan
perekonomian negara mendapat perhatian sangat besar, maka dewasa ini perlindungan
terhadap konsumen lebih mendapat perhatian sesuai dengan semakin meningkatnya
perlindungan terhadap hak asasi manusia6.
Islam hanya mengatur prinsip-prinsipnya saja, semua kegiatan muamalah
dapat dilakukan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut dan tidak
merugikan pihak lain. Berbicara tentang etika bisnis, kita hams merujuk kepada
prinsip-prinsip ekonomi Islam. Dalam hal ini Islam menetapkan prinsip-prinsip
perekonomian sebagai berikut:
a. Islam menentukan berbagai macam kerja yang halal dan yang haram, tetapi
hanya kerja yang halal saja yang dipandang sah oleh Islam.
b. Kerjasama kemanusiaan yang bersifat gotong royong dalam usaha
memenuhi kebutuhan harus dikembangkan.

5
Ari Efendi dan Hamid, Edy Suandi. Pengantar Teori Konsumen dan Harga. Yogyakarta : BPFE. Universitas
Islam Indonesia, 2001.
6
E. Saefullah, Product Liability Tanggung Jawab Prodwen di Era Perdagangan Bebas, (Jurnal Hukum Bisnis,
Volume 5, 1998), hal.34.

5
c. Nilai keadilan dalam kerjasama kemanusiaan harus selalu ditegakkan7.
Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia pada awalnya didorong oleh
ikhtiar pemasyarakatan produk-produk dalam negeri pada tahun 1970-an. Tuntutan
perlindungan konsumen yang menjadi isu pada saat itu adalah adanya kepastian
terlindunginya masyarakat Indonesia dari mutu produk. Hal itu berangkat dari suatu
kenyataan bahwa produk dalam negeri nisbi kualitasnya. Di tengah struktur
masyarakat yang semakin kompleks dan saling ketergantungan terdapat berbagai
aspek permasalahan kehidupan masyarakat konsumen berkembang semakin serius,
hal itu perlu ditangani dan membutuhkan profesionalisme kelembagaan dan hukum
(Imam Baehaqie dan Zaim Saidi, 991). Dengan dasar pemikiran tersebut maka
kehadiran lembaga konsumen yang mengakomodir hak-hak dan keluhan- keluhan
konsumen dapat disalurkan sekaligus diperjuangkan. Di Indonesia gerakan konsumen
diawali dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang berkantor di
Jakarta, pada bulan Mei 1973. Organisasi ini bergerak atas dasar pengabdian kepada
kehidupan manusiawi.
Sesudah pembentukan YLKI yang belum lagi berumur 2 tahun, telah diikuti
pertemuan- pertemuan perlindungan konsumen internasional. Dari hasil pertemuan-
pertemuan inilah YLKI mendapatkan bentuk dan arah perlindungan konsumen di
Indonesia (Munir Fuady, 1994). Lahirnya gelombang gerakan konsumen di Indonesia
pada tahun 1970 (terutama kelahiran YLKI terlihat sejak semula usaha perlindungan
konsumen merupakan imbas atau pengaruh dari perjuangan dan gerakan konsumen di
Eropah dan Amerika Serikat yang sejak lama diperjuangkan8.
Perlindungan konsumen muslim melalui jalur lembaga perlindungan
konsumen selama ini sifatnya baru berupa kasuistik. Adanya BPOM MUI dan
terbentuknya undang- undang tentang makanan yang halal dan haram bukan berarti
hak-hak konsumen muslim untuk mendapat produk halal sudah terpenuhi, karena
untuk membuktikan apakah produk yang dikonsumsi di masyarakat halal atau haram
masih sulit bagi konsumen muslim. Selama ini konsumen muslim percaya kepada
informasi dari produsen, penjual, promosi dan label halal dan komposisi yang
tercantum pada kemasan produk9.
7
Ahmad Azhar Bashir, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1992), hal.13-14.
8
Monzer khaf. Ekonomi Islam Telaah Analitik Terhadap Fungsi Islam. Penerjemah. M. Nastangin. Yogyakarta :
Amal Bakti Wakaf. 1997.
9
Ibrahim idham dkk. Laporan Akhir Tim Penelitian Terhadap Perlindungan Konsumen atas Kelalaian
Produsen. Jakarta : BPHN Departemen Kehakiman RI, 1992

6
C. PERAN NEGARA DALAM PENGATURAN DAN PERLINDUNGAN
KONSUMEN MUSLIM DI INDDONESIA
Indonesia Negara adalah institusi yang sangat dibutuhkan (al-wajibat) untuk
mengatur segala kebutuhan masyarakat, termasuk di dalamnya kebutuhan pangan. Ibn
Taimiyah bepandangan, bahwa tugas negara adalah melakukan kebaikan dan
mencegah kemungkaran (al amru bi al- ma’ruf wa al-nahyi’an al-munkar).
Untuk melaksanakan tugas Negara tersebut maka dibentuklah Lembaga-
lembaga negara. Menurut al-Mawardi, bahwa peran dasar negara adalah
mempromosikan apa yang baik dan mencegah apa yang buruk (al-amru bi al-ma’ruf
wa al- nahyi ‘an al-munkar). Untuk mewujudkannya, secara teknis bahwa negara
dalam Islam harus dapat melembagakan ketetapan-ketetapan untuk mengawasi
penerapan al-amru bi al- ma’ruf wa al-nahyi ‘an al-munkar tersebut.
Sedangkan dalam negara kesatuan, tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Namun
demikian, karena sistem pemerintahan Indonesia salah satunya menganut asas negara
kesatuan yang didesentralisasikan, ada tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri,
sehingga menimbulkan hubungan timbal bailk yang melahirkan adanya hubungan
kewenangan dan pengawasan.
Sementara itu, hubungan antara Islam dengan negara telah dimulai setelah
hijrah, dimana Islam disebarkan secara terbuka, dan Rasul mengatur hubungan antara
Islam dengan umat agama lainnya di Madinah. Kedudukan Muhammad sebagai Rasul
yang berkewajiban menyampaikan ajaran kepada umatnya, tentu berkaitan dengan
stabilitas, kerukunan, ekonomi, dan sosial masyarakatnya. Secara politis, hubungan
antara Islam dan negara telah lama masuk dalam ranah perdebatan para pemikir tata
negara Islam. Dan secara umum hubungan Islam dan negara dapat dibedakan menjadi
tiga paradigma, yaitu paradigm integralistik (integrallistic paradigm), para dig- ma
simbiotik (symbiotic paradigm), serta para- digma sekularistik (secularistic
paradigm)10.

PENUTUP

KESIMPULAN

10
Mabarroh Azizah, Peran Negara dalam Perlindungan Konsumen Muslim di Indonesia, Vol. 4 No. 2 Juli- Des
2021

7
Perlindungan terhadap konsumen merupakan salah satu kajian hukum yang
paling dinamis baik dari sisi hukum positif maupun hukum Islam. Hal ini disebabkan
karena perlindungan konsumen bersinggungan langsung dengan aktifitas
perekonomian yang berkembang secara signifikan seiring dengan perkembangan
zaman dan kemajuan teknologi. Interaksi konsumen dengan pelaku usaha adalah
dalam jual beli, sehingga dalam hal hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha
memerlukan suatu aturan yang biasa disebut dengan fiqih jual beli. Konsep tentang
perlindungan konsumen di dalam kajian fiqih jual beli tidak disebutkan secara jelas,
akan tetapi prinsip-prinsip perlindungan konsumen dapat kita temukan di dalam
sumber- sumber hukum Islam seperti Al-Qur’an dan hadis yaitu perilaku Nabi
Muhammad Saw dalam menjalankan parktik dagangnya.
Proses menjalankan transaksi jual beli seringkali kita temukan kesalahan baik
dari pihak pelaku usaha ataupun konsumen, salah satu yang sering terjadi adalah
ketika konsumen mendapati barang yang sidah belinya ternyata mengalami kerusakan
atau cacat. Pada dasarnya Fiqih sebagai suatu tuntunan melarang Semua pelaku usaha
untuk menjual barangnya yang cacat, tanpa menjelaskan kepada pembeli tentang
kecacatan barang dagangan tersebut. Sehingga solusi yang ditawarkan fiqih jual beli
dalam permasalahan ini adalah dengan cara melakukan hak khiyar aibi dimana
ketentuannya adalah konsumen boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila
pada barang tersebut terdapat suatu kecacatan, yang mengurangi kualitas barang atau
mengurangi harganya. Namun jika konsumen sudah mengetahui kecacatan suatu
produk tersebut kemudian dia ridha dengan hal tersebut maka akad jual beli tetap bisa
dilanjutkan.

DAFTAR PUSTAKA

8
Muthiah, Aulia, PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK CACAT DALAM
PERSPEKTIF FIQIH JUAL BELI, Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran, 18, Nomor
2, Desember 2018, Hlm. 211-232.

Yusri, M, KAJIAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM


PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, hlm : 3

Miru, Ahmadi , Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta: Raja Grafindo,
2004), 11

Mujiono, Slamet, Perlindungan Konsumen Regulasii Bisnis, JEBI (Jurnal Ekonomi dan
Bisnis Islam), 1, No.1, Januari-Juni 2016 konsumen, hlm:68

Ari Efendi dan Hamid, Edy Suandi. Pengantar Teori Konsumen dan Harga. Yogyakarta :
BPFE. Universitas Islam Indonesia, 2001.

E. Saefullah, Product Liability Tanggung Jawab Prodwen di Era Perdagangan Bebas,


(Jurnal Hukum Bisnis, Volume 5, 1998), hal.34.

Bashir, Ahmad Azhar , Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dalam Berbagai Aspek Ekonomi
Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hal.13-14.

Khaf, Monzer . Ekonomi Islam Telaah Analitik Terhadap Fungsi Islam. Penerjemah. M.
Nastangin. Yogyakarta : Amal Bakti Wakaf. 1997.

Ibrahim idham dkk. Laporan Akhir Tim Penelitian Terhadap Perlindungan Konsumen atas
Kelalaian Produsen. Jakarta : BPHN Departemen Kehakiman RI, 1992

Azizah, Mabarroh , Peran Negara dalam Perlindungan Konsumen Muslim di Indonesia, Vol.
4 No. 2 Juli- Des 2021

9
10

Anda mungkin juga menyukai