Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

HUKUM BISNIS
JAMINAN PRODUK HALAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGEMBANGAN
BISNIS

DOSEN PEMBIMBING
Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, S.H.,M.Ag
NIDK. 8822233420

Disusun oleh :

Hukum Bisnis C
Farikha Alfa Firyanti (18510184)
Waktu Pelaksanaan :

Kamis, pukul 06.30-08.10 WIB

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2020
KATA PNGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Jaminan Produk Halal dan Implikasinya Terhadap
Pengembangan Bisnis” dengan tepat waktu dan tanpa halangan yang berarti. Makalah ini disusun
dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah yaitu Hukum Bisnis yang dibimbing oleh
Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, S.H.,M.Ag.
Makalah ini berisi pembahasan tentang konsep Islam tentang makanan halal, jaminan
produk halal, sertifikasi halal, labelisasi halal, dan implikasi jaminan produk halal terhadap
pengembangan bisnis. Penyusunan makalah ini melibatkan banyak pihak, oleh karena itu penulis
ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang berkontribusi dalam menyelesaikan pembuatan
makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, tak lupa penulis ucapkan permohonan maaf apabila ada
kesalahan kata atau penulisan. Untuk itu, penulis mengharapkan adanya kritik maupun saran
yang membangun untuk memperbaiki makalah ini.

Malang , 8 Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................2

1.3 Tujuan...............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3

2.1 Konsep Islam Tentang Makanan Halal.................................................................................3

2.2 Jaminan Produk Halal..........................................................................................................9

2.3 Sertifikasi Halal................................................................................................................11

2.4 Labelisasi Halal................................................................................................................20

2.5 Implikasi Jaminan Produk Halal Terhadap Pengembangan Bisnis.........................................22

BAB III PENUTUP................................................................................................................28

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................29

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di era milenial seperti saat ini, tingkat perkembangan teknologi yang sangat pesat
mengubah berbagai bidang dalam kehidupan. Salah satu yang terkena dampak dalam hal
ini adalah dalam bidang ekonomi. Dengan adanya perkembangan teknologi yang sangat
pesat, tingkat perkembangan bisnis saat ini tidak hanya terbatas pada lini nasional saja,
melainkan saat ini sudah merambah menuju pasar internasional. Dengan adanya
perkembangan yang berlaku, saat ini tidak terdapat lagi sekat pembatas antar negara
dalam memasarkan produk mereka.
Perkembangan ekonomi yang mulai merambah kepada sistem pasar bebas ini juga
turut dirasakan dampaknya dalam bisnis produk halal, di mana sejak tahun 2010, bisnis
halal mulai mengalami peningkatan yang cukup signifikan di berbagai sektor. Dengan
adanya hal tersebut, Indonesia sebagai negara dengan tingkat penduduk muslim terbesar
di dunia sering kali menjadi sasaran empuk bagi para pelaku bisnis terutama bisnis halal.
Sikap masyarakat Indonesia yang masih cenderung ke arah konsumtif membuat
Indonesia lebih berperan sebagai big market dibandingkan dengan player. Hal ini cukup
miris dan berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa Indonesia yang seharusya bisa
memanfaatkan keadaan sebagai negara dengan mayoritas muslim justru kalah lincah
dengan negara yang penduduk muslimnya termasuk minoritas, seperti Inggris, Jepang,
dan Tiongkok yang telah terlebih dahulu mampu membaca potensi besar di bidang
produk halal.
Oleh sebab itu, pemerinyah mengeluarkan peraturan terkait dengan jaminan produk
halal bagi para pelaku usaha lokal aar lebih mampu meningkatkan daya saing yang
dimiliki, untuk dapat bersaing dengan pelaku usaha dari luar negeri dengan cara
memiliki jaminan produk halal pada produk yang dipasarkan yang direalisasikan dengan
adanya sertifikasi halal dan label halal yang sah pada kemasan produk. Hal tersebut dapat
memberikan nilai tambah bagi produk dan memberikan rasa nyaman pada masyarakat
dalam menggunakan produk tersebut. Namun, pada realitanya masih terdapat berbagai
masalah-masalah teknis yang menyebabkan perkembangan bisnis halal di Indonesia
masih belum begitu begitu memadai.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep Islam tentang makanan halal ?
2. Bagaimana jaminan produk halal di Indonesia ?
3. Bagaimana sertifikasi Islam yang ada di Indonesia ?
4. Bagaimana labelisasi halal di Indonesia ?
5. Bagaimana implikasi jaminan produk halal terhadap pengembangan bisnis ?

1.3 Tujuan
Makalah ini disusun sebagai penambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis
sendiri serta para pembaca mengenai konsep Islam tentang makanan halal, jaminan
produk halal, sertifikasi halal, labelisasi halal, dan implikasi jaminan produk halal
terhadap pengembangan bisnis di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Islam Tentang Makanan Halal


2.1.1 Pengertian Makanan Halalan Thoyyiban
Makanan merupakan segala hal yang bersumber dari hayati maupun air,
baik yang melalui olahan maupun tidak, yang difungsikan sebagai makanan atau
minuman yang baik untuk dikonsumsi manusia, mencakup bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, maupun barang lainnya yang dipakai dalam proses
penyiapan, pengolahan, serta pembuatan makanan maupun minuman.1
Makanan halal merupakan pangan jenis pangan yang di dalamnya tidak
terdapat barang yang haram atau tidak diperkenankan untuk dikonsumsi oleh
umat Islam, baik yang berhubungan dengan bahan baku pangan, bahan tambahan
pangan, bahan bantu, maupun bahan penolong hanya yang proses pengolahannya
sesuai ketentuan hukum dalam agama Islam. 2 Sementara, makanan halalan
thayyiban merupakan makanan yang diperbolehkan untuk dikonsumsi
berdasarkan syari’at dan baik bagi tubuh dari segi kesehatan (medis).3
Di dalam Al Qur’an, makanan dan minuman yang diharamkan berupa
bangkai, darah, babi, dan daging dari hewan yang disembelih atas nama selain
Allah, serta khamar atau minuman yang memabukkan.4

2.1.2 Syarat dan Kriteria Makanan Halal


Di dalam menentukan makanan halal, terdapat 3 kriteria yang seharusnya
dipenuhi, yaitu halal, thoyyib, dan bergizi. Kriteria halal yang telah ditetapkan
oleh LPPOM-MUI sangat umum dan erat hubungannya dengan persoalan teknis
dalam pemeriksaan. Dalam memeriksa suatu makanan, diperlukan adanya standar
yang dijadikan dasar dalam pemeriksaan, mulai dari bahan baku yang digunakan,
bahan penolong, bahan tambahan, proses produksi, hingga jenis kemasan.
Penelusuran berbagai hal tersebut tidak hanya sekedar asal muasal dari bahan
1
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013), 109
2
Panji Adam Agus Putra, “Kedudukan Sertifikasi Halal dalam Sistem Hukum Nasional Sebagai Upaya
Perlindungan Konsumen dalam Hukum Islam”, Anwaluna, (Bandung) Vol. 1 No. 1, Januari 2017, 150
3
Sulhan Abu Fitra, “Makanan Menentukan Kualitas Generasi dan Peradaban”, Jurnal Halal, No. 113, 2015, 30
4
Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah
(Edisi Revisi), (Malang: UIN Maliki Press, 2016), 227

3
tersebut dari babi atau tidak, melainkan juga terkait dengan cara penyembelihan,
cara penyimpanan, dan metode yang digunakan dalam proses produksi.5
Yang termasuk ke dalam syarat terkait produk yang halal dalam syari’at
Islam adalah :
1. Tidak mengandung babi dan bahan yang ebrasal dari babi.
2. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan, seperti bahan-bahan yang
berasal dari organ manusia, kotoran, darah, dan sebagainya.
3. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata
cara yang berlaku dalam syari’at Islam.
4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tata cara pengolahan, dan
transportasinya tidak diperkenankan digunakan untuk babi. Apabila pernah
digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya, maka terlebih
dahulu harus dibersihkan dengan tata cara dan ketentuan yang sesuai dengan
syari’at Islam.
5. Semua makanan yang tidak mengandung khamar.6
Makanan dikatakan halal paling tidak diharuskan untuk memenuhi 3
kriteria, yaitu :7
1. Halal dzatnya
Yang dimaksud dengan makanan yang halal dzatnya adalah makanan yang
pada dasarnya halal untuk dikonsumsikan dikarenakan tidak terdapat dalil
yang mengharamkannya.
2. Halal cara perolehannya
Makanan yang pada dasarnya halal dapat berubah menjadi haram jika dalam
perolehannya menggunakan cara yang tidak sah. Oleh karena itu, dalam
memperoleh makanan yang halal, kita dianjurkan untuk menggunakan cara
yang dibenarkan dalam syari’at Islam. Di antara cara tersebut adalah dengan
bertani, berdagang, menjadi pekerja bangunan, atau menjual jasa, dan
sebagainya.
3. Halal cara pengolahannya

5
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk Halal, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), 95
6
Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Produk Halal, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2008), 2
7
Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah
(Edisi Revisi), (Malang: UIN Maliki Press, 2016), 227-229

4
Makanan yang pada dasarnya halal dapat berubah menjadi haram jika dalam
cara pengolahan dari makanan tersebut tidak sesuai dengan tuntunan dari
syari’at Islam yang berlaku. Contoh dari keharaman yang disebabkan dari
pengolahan makanan tersebut adalah kambing yang mati tanpa disembelih,
anggur yang diolah menjadi khamar, bakso yang diolah dengan menggunakan
lemak babi.adapun terkait ajaran yang menganjurkan kita untuk
mengkonsumsi makanan yang thayyiban (yang disebut dalam Al Qur’an dan
hadits) adalah makanan yang baik. Baik yang dimaksud di sini adalah
bermanfaat dan tidak menimbulkan gangguan kepada tubuh manusia. kriteria
baik dapat dilihat dari seberapa besarnya kandungan gizi dan vitamin yang
terdapat di dalam makanan tersebut. Jika makanan tersebut di dalamnya
mengandung gizi serta vitamin yang memberikan manfaat dan mencukupi
keperluan tubuh manusia, maka makanan tersebut tergolong pada jenis
makanan yang baik. Sedangkan terkait dengan makanan yang tidak
mengganggu kesehatan dijelaskan bahwa makanan tersebut tidak menjijikkan,
tidak membusuk (rusak), dan tidak menimbulkan efek buruk bagi kesehatan
tubuh manusia.

2.1.3 Dasar Hukum Makanan Halal


Dalam Al Qur’an, Allah memerintahkan kepada manusia untuk
mengkonsumsi makanan maupun minuman yang bukan hanya halal melainkan
juga baik. Semagaimana yang terdapat dalam QS. Al Maidah ayat 88 :
َ‫ى أَنتُم بِِۦه ُم ْؤ ِمنُون‬ ۟ ُ‫وا ِم َّما َر َزقَ ُك ُم ٱهَّلل ُ َح ٰلَاًل طَيِّبًا ۚ َوٱتَّق‬
ٓ ‫وا ٱهَّلل َ ٱلَّ ِذ‬ ۟ ُ‫َو ُكل‬

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-
Nya.” (QS Al Maidah ayat 88).8
Pada ayat tersebut, Allah memberikan perintah kepada hamba-Nya supaya
mereka memakan rezeki yang halal dan baik yang telah dikaruniakan Allah
kepada mereka. Halal dalam konsep ini mengandung pengertian halal dari segi
bendanya dan halal dari segi cara perolehannya. Sementara baik yang dimaksud
dalam hal ini adalah dari segi manfaatannya, yaitu yang memberikan manfaat dan

8
Kementerian Agama RI, At-Thayyib Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemahan Per Kata, (Bekasi:
Cipta Bagus Segara, 2011), 122

5
maslahat bagi tubuh, mengandung, gizi, vitamin, protein, dan sebagainya.
Makanan yang tidak baik, selain tidak mengandung gizi juga hanya akan merusak
tubuh apabila dikonsumsi.9
Ayat tersebut memerintahkan kepada manusia untuk memakan yang halal
lagi baik. Yang dimaksud ayat tersebut pengertianyya tidak hanya terbatas pada
produk makanan semata, akan tetapi juga berlaku pada produk lainnya, seperti
kosmetik, obat-obatan, dan produk pemakaian lainnya yang juga harus halal.
Namun, di era saat ini dengan tingkat perkembangan teknologi yang sangat pesat,
proses pengolahan makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan telah
menggunakan proses produksi yang kompleks yang menyebabkan banyaknya
jenis bahan yang terkandung, sehingga permasalahan terkait makanan, minuman,
obat, kosmetika, sertaproduk gunaan halal tidak seimbang, yang mengakibatkan
sulitnya penetapan kehalalan dari suatu produk halal.10

2.1.4 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Produk Halal


Berdasarkan Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia No. 4 Yahun 2003
tentang Standarisasi Fatwa Halal menetapkan beberapa ketentuan yang berkenaan
dengan produk halal di antaranya :11
1. Khamar
a. Khamar merupakan srgala yang memabukkan, baik berupa minuman,
makanan, maupun lainnya. Hukumnya dalam Islam adalah haram.
b. Minuman yang termasuk khamar yaitu minuman yang mengandung
alcohol (C2H5OH) dengan kadar minimal 1%.
c. Minuman yang termasuk khamar tergolong najis.
d. Minuman yang mengandung ethanol di bawah 1% sebagai hasil
fermentasi yang direkayasa termasuk haram, tetapi tidak tergolong najis.
e. Minuman keras yang dibuat dari air perasan tape dengan kandungan
ethanol minimal 1% termasuk golongan khamar.
f. Tape dan air tape tidak termasuk khamar, kecuali apabila memabukkan.
2. Ethanol, fusel oil, ragi, dan cuka
9
Musyfikah Ilyas, “Sertifikasi dan Labelisasi Produk Halal Prespektif Maslahat”, Al Qadau, (Makasar) Vol. 4
No. 2, 2017, 359
10
Ibid
11
Krisnawati Ayu Prabandewi, “Pemberian Label Halal pada Produk Tanpa Sertifikasi Halal (Studi Kasus di
Roti Erou, Pule, Jatipurno, Kabupaten Wonogiri)”, Skripsi, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah (Mu’amalah)
IAIN Surakarta. Surakarta. 2020, 26-30

6
a. Ethanol merupakan senyawa murni yang bukan berasal dari industry
khamar tergolong suci.
b. Penggunaan ethanol yang merupakan senyawa murni yang bukan berasal
dari industry khamar untuk proses produksi industry pangan hukumnya :
1.) Mubah, apabila dalam hasil akhir produknya tidak terdeteksi.
2.) Haram, apabila dalam hasil akhir produknya terdeteksi.
c. penggunaan khamar yang merupakan senyawa murni yang berasal dari
industry khamar untuk proses produksi hukumnya haram.
d. Fusel oil yang bukan berasal dari khamar tergolong halal dan suci.
e. Fusel oil yang berasal dari khamar tergolong haram dan najis.
f. Komponen yang dipisahkan secara fisik dari fusel oil yang berasal dari
khamar hukumnya haram.
g. Komponen yang dipisahkan secara fisik dari fusel oil yang berasal dari
khamar dan direaksikan secara kimiawi yang menyebabkan adanya
perubahan menjadi senyawa baru hukumnya halal dan suci.
h. Cuka yang berasal dari khamar, baik yang terjadi dengan sendirinya
maupun maupun melalui rekayasa, hukumnya halal dan suci.
i. Ragi yang dipisahkan dari proses pembuatan khamar setelah dicuci, yang
menyebabkan hilangnya rasa, warna, dan bau khamar, hukumnya halal
dan suci.
3. Pemotongan hewan
a. Orang yang diperkenankan untuk menyembelih hewan adalah orang yang
beragama Islam dan akil baligh.
b. Penyembelihan dianggap sah apabila dilakukan dengan :
1.) Membaca basmalah saat menyembelih.
2.) Menggunakan alat potong yang tajam.
3.) Memotong sekaligus hingga putus saluran pernafasan atau
tenggorokan (hulqun), saluran makanan (mari’), dan kedua urat nadi
(wadajain).
4.) Pada saat pemotongan, hewan yang akan dipotong masih dalam
keadaan hidup.
c. Pada dasarnya pemingsanan hewan (stunning) hukumnya mubah, dengan
syarat tidak menyakiti hewan yang bersangkutan dan setelah dilakukan
stunning statusnya masih hidup (hayat mustaqimah).

7
d. Pemingsanan secara mekanik dengan menggunakan listrik, secara
kimiawi, maupun cara lain yang sekiranya menyakiti hewan, hukumnya
tidak diperbolehkan.
4. Masalah penggunaan nama dan bahan
a. Tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan nama dan/atau symbol-
simbol makanan/minuman yang mengarah kepada kekufuran dan
kebatilan.
b. Tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan nama dan/atau symbol-
simbol makanan/minuman yang mengarah kepada nama-nama
benda/barang yang diharamkan terutama babi dan khamar, kecuali yang
telah menjadi tradisi (‘urf) dan dapat dipastikan bahwa tidak mengandung
unsur-unsur yang diharamkan, seperti nama bakso, bakmi, bakwan,
bakpia, bakpao.
c. Tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan bahan campuran bagi
komponen makanan/minuman yang mengakibatkan timbulnya rasa/aroma
(flavour) benda-benda maupun binatang yang diharamkan, seperti mie
instan asa babi, bacon flavour, dan sebagainya.
d. Tidak boleh mengkonsumsi makanan/minuman yang menggunakan nama-
nama makanan/minuman yang diharamkan, seperti whisky, brandy, beer,
dan sebagainya.
5. Media pertumbuhan
a. Mikroba yang tumbuh dan berasal dari media pertumbuhan yang suci dan
halal juga tergolong halal dan mikroba yang tumbuh dan berasal dari
media pertumbuhan yang najis dan haram juga tergolong halal.
b. Produk microbial yang langsung dikonsumsi yang menggunakan bahan-
bahan yang haram dan najis dalam media pertumbuhannya, baik pada
skala penyegaran, skala pilot plant, dan tahap produksi, dihukumi haram.
c. Produk microbial yang digunakan untuk membantu proses memproduksi
produk lain yang akan dikonsumsi secara langsung dengan menggunakan
bahan-bahan yang najis dan haram dalam media pertumbuhannya,
dihhukumi haram.
d. Produk konsumsi yang menggunakan produk microbial harus ditelusuri
kehalalannya hingga pada tahap proses penyegaran mikroba.

8
6. Masalah kodok
Yang menjadi pertimbangan dalam masalah kodok adalah factor lingkungan,
di mana Nabi Muhammad pernah bersabda terkait larangan membunuh
kodok, sehingga hukum membunuh dan memakan kodok adalah haram.
7. Masalah lain-lain
a. Masalah sertifikat halal yang kadaluwarsa
1.) Untuk daging impor, batasnya adalah per pengapalan (shipment)
sepanjang tidak rusak. Untuk daging local, biasanya maksimal 6
bulan.
2.) Untuk flavour impor dan local, biasanya maksimal 1 tahun.
3.) Untuk bahan-bahan lain baik yang impor maupun local, biasanya
batasannya maksimal 6 bulan.
b. Masalah Lembaga sertifikat halal luar negeri
Perlu adanya standar akreditasi terkait dengan SOP dan fatwanya. Apabila
diragukan kebenarannya, maka perlu untuk diteliti ulang.
c. Masalah mencuci bekas babi/anjing :
1.) Caranya dengan di-sertu (dicuci menggunakan air sebanyak 7 kali
salah satunya dengan tanah/debu atau penggantinya yang mempunyai
daya pembersih yang sama).
2.) Suatu peralatan tidak boleh dipergunakan bergantian antara produk
babi dan non babi meskipun telah melalui proses pencucian.

2.2 Jaminan Produk Halal


2.2.1 Pengertian Jaminan Produk Halal
Menurut Undang-Undang Jaminan Produk Halal pasal 1 ayat 2, dan 5
produk halal merupakan produk yang sudah dinyatakan halal sesuai dengan
hukum syari’at Islam dan jaminan produk halal merupakan suatu kepastian
hukum terkait dengan kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan adanya
sertifikasi halal.12 Dalam pengertian lain disebutkan bahwa jaminan produk halal
merupakan suatu usaha yang terstruktur dan sistematis agar makanan yang

12
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

9
dikonsumsi tersebut terjamin halal, baik dari segi dzar, proses, maupun
tambahannya.13
2.2.2 Asas Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal
Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 pasal 2 dijelaskan bahwa,
dalam penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia harus berasaskan
kepada :
1. pelindungan;
2. keadilan;
3. kepastian hukum;
4. akuntabilitas dan transparansi;
5. efektivitas dan efisiensi;
6. profesionalitas.14

2.2.3 Tujuan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal


Berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal pasal 3, tujuan dari adanya penyelenggaraan jaminan
produk halal adalah sebagai berikut :
1. Memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian terkait
ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan
menggunakan produk.
2. Meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan
menjual produk halal.15

2.2.4 Landasan Hukum Jaminan Produk Halal di Indonesia


1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan
Pangan.

13
Muhammad Aziz, “Prespektif Naqashid Al-Syariah dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di
Indonesia Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, Al
Hikmah, Vol. 7 No. 2, September 2017, 79
14
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
15
Ibid

10
3. Kepmenkes Nomor. 924/Menkes/SK/VIII/1996 Tentang Perubahan atas
Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan “halal”
pada Label Makanan.16
4. UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal,

2.2.5 Ketentuan Pidana terkait Jaminan Produk Halal


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal, ketentuan pidana terkait adanya pelanggaran dalam hal
penyelenggaraan jaminan produk halal dijelaskan dalam pasal 56 dan 57, di mana
pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh
sertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 25b dilakukan pidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000. sementara pada pasal 57 dijelaskan bahwa setiap orang yang
terlibat dalam penyelenggaraan proses jaminan produk halal yang tidak menjaga
kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan pelaku
usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000.17

2.3 Sertifikasi Halal


2.3.1 Pengertian Sertifikasi Halal
Sertifikasi halal merupakan fatwa tertulis dari MUI yang memberikan
pernyataan halal terkait suatu produk sesuai dengan syari’at Islam yang berlaku
melalui pemeriksaan yang mendetail oleh LPPOM MUI. Sertifikasi halal
merupakan suatu syarat untuk memperoleh izin dalam pencantuman label halal
yang terdapat pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang,
dalam hal ini BPOM.18
Dalam pengertian lain disebutkan bahwa sertifikat halal merupakan surat
keterangan yang dikeluarkan oleh MUI, baik yang berada di pusat maupun
provinsi tentang kehalalan suatu produk makanan, minuman, kosmetik, dan obat-

16
Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah
(Edisi Revisi), (Malang: UIN Maliki Press, 2016), 252-254
17
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
18
Dharu Triasih, dkk, “Kajian Tentang Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terhadap Produk Makanan
Bersertifikat Halal”, Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Vol. 18 No. 2, Desember 2016, 217

11
obatan yang diproduksi oleh suatu perusahaan setelah dilakukan penelitian dan
dinyatakan halal oleh LPPOM-MUI. Pemegang otoritas dalam penerbitan
sertifikasi produk halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara teknis
ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika
(LPPOM).19
Sertifikasi halal di Indonesia memiliki kedudukan yang sentral, hal ini
dikarenakan sertifikasi halal tercantum dalam UU No. 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal, di mana hal tersebut termasuk ke dalam sistem hukum,
yaitu substansi hukum yang memiliki kekuatan hukum dan kepastian hukum. Hal
ini dilakukan sebagai upaya perlindungan bagi konsumen dalam hukum Islam.20

2.3.2 Manfaat Sertifikasi Halal


Beberapa manfaat terkait dengan pengadaan sertifikasi halal adalah sebagai
berikut :
1. Sertifikat halal menjamin keamanan produk yang dikonsumsi
Untuk memperoleh sertifikat halal, harus melalui tahapan yang ketat,
dimulai dari awal produk tersebut diproses hingga produk tersebut terjual,
hal-hal tersebut tidak terlepas dari penilaian untuk dapat memperoleh
sertifikasi halal. Prosedur sertifikasi halal yang ketat, membuat kita
memiliki keyakinan bahwa produk yang dibeli terjamin kehalalannya dan
untuk dikonsumsi atau digunakan. Dengan memiliki sertifikasi halal yang
dikeluarkan oleh lembaga yang terpercaya, tentu hal tersebut dapat
meningkatkan keamanan dan kepercayaan masyarakat akan produk yang
bersangkutan.
2. Sertifikat halal memiliki Unique Selling Point (USP)
Unique selling point/unique selling propotition merupakan salah satu konsep
di dalam pemasaran yang memberikan perbedaan antara satu produk dengan
produk yang lain melalui sertifikasi halal yang dimiliki oleh suatu produk
memiliki USP yang tinggi. Hal ini berarti produk yang memiliki sertifikat
halal mempunyai suatu keuntungan kompetitif, sehingga mampu membuat
produk bersangkutan menjadi lebih diperhitungkan di mata konsumen.
19
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk Halal, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), 115
20
Panji Adam Agus Putra, “Kedudukan Sertifikasi Halal dalam Sistem Hukum Nasional Sebagai Upaya
Perlindungan Konsumen dalam Hukum Islam”, Anwaluna, (Bandung) Vol. 1 No. 1, Januari 2017, 161

12
Produk yang telah memiliki logo halal pada kemasannya mempunyai unique
selling point sebagai suatu strategi penjualan yang memiliki nilai tersendiri
dan bercitra positif di mata para konsumen.
3. Sertifikat halal memberikan ketenteraman batin bagi masyarakat
Sertifikasi halal memberikan ketenteraman dan keamanan lahir batin bagi
para konsumen. Bagi masyarakat yang menyadari pentingnya produk halal,
akan merasa khawatir ketika menemui suatu produk yang akan dibeli dan
pada kemasannya belum terdapat label halal yang disahkan MUI. Hal ini
dikarenakan mereka merasa yakin bahwa tanda kehalalan adalah hal yang
penting bagi suatu produk agar dirasa aman untuk dikonsumsi atau
dipergunakan.
4. Sertifikat halal memberikan keunggulan komparatif
Meski istilah halal saat ini tidak lagi sekedar menjadi isu agama semata dan
sudah berkembang menjadi bahasa perdagangan global. Namun, nilai-nilai
halal yang sesungguhnya mencakup makna yang suci, bersih, murni, etika
kerja, tanggung jawab, kejujuran. Produk halal bahkan telah memunculkan
nilai untuk memenuhi aspek hukum syari’at, aman, bergizi, sehat, peri
kemanusiaan, pantas, dan ramah lingkungan.
5. Sertifikat halal memberikan perlindungan terhadap produk dalam negeri dari
persaingan global
Di era pasar bebas, Indonesia dipastikan menjadi pasar yang poteensial bagi
para pelaku usaha. Jumlah penduduk dan wilayah geografis yang
membentang dari Sabang sampai Merauke sudah pasti akan membutuhkan
berbagai macam kebutuhan konsumsi. Pasar ini menjadi kekuatan yang
besar apabila dapat dipenuhi oleh produk dalam negeri. Namun, apabila
produk lokal tidak mampu memberikan jaminan kualitan bagi konsumen,
maka produk luar negeri yang sejenis akan segera mengambil alih pasar
tersebut.
6. Sertifikasi halal menghadirkan sistem dokumentasi dan administrasi
perusahaan yang lebih baik
Kelemahan industri kecil dan menengah berbasis hasil pertanian terutama
adalah masalah administrasi dan manajemen usaha. Usaha yang bermula
dari jenis usaha sampingan rumah tangga sering kali menerapkan pola
pengelolaan rumah tangga yang tidak dicatat dengan rapi. Dengan kondisi

13
tersebut, sering kali tidak terdapat pengarsipan dan ketertelusuran dokumen
apabila diperlukan. Penerapan sistem jaminan halal mempersyaratkan
adanya penerapan sistem dokumentasi, sehingga para pelaku usaha dapat
terbantu dalam meningkatkan pengelolaan usaha yang dimiliki dengan
penerapan prinsip-prinsip manajemen yang modern.
7. Sertifikat halal menjadi tiket untuk menembus pasar global
Produk yang memiliki sertifikasi halal akan memiliki kesempatan untuk
memasarkan produknya di negara muslim lainnya, selain di tanah air,
contohnya seperti ke negara Malaysia. Selain bersaing dengan produk dalam
negeri, produk-produk halal dalam negeri juga mampu untuk bersaing
dengan produk luar negeri. Hal ini dikarenakan tidak semua dari produk luar
negeri telah mempunyai label halal.21

2.3.3 Tata Cara Pengajuan Permohonan Serifikasi Halal


Pengajuan permohonan sertifikasi halal bagi para pelaku usaha adalah
sebagai berikut :22
1. Permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha secara tertulis kepada
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
2. Permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan dokumen :
a. Data pelaku usaha;
b. Nama dan jenis produk;
c. Daftar produk dan bahan yang digunakan;
d. Proses pengolahan produk.

2.3.4 Proses dan Tata Cara Pemeriksaan Produk


Proses dan tata cara pemeriksaan dan pengauditan produk makanan halal
dengan tujuan memperoleh sertifikasi halal dimulai dari penyampaian surat
LPPOM-MUI kepada perusahaan yang akan diperiksa, terkait dengan jadwal
audit maupun pemeriksaan dan persyaratan administrasi lainnya. Pada waktu
yang telah ditetapkan oleh tim auditor yang dilengkapi dengan surat tugas
identitas diri, tim tersebut kemudian akan mengadakan pemeriksaan ke lokasi

21
Warto dan Samsuri, “Sertifikasi Halal dan Implikasinya bagi Bisnis Produk Halal di Indonesia”, Al Maal,
(Tangerang) Vol. 2 No. 1, Juli 2020, 103-105
22
Mardani, Hukum Islam dalam Hukum Positif Indonesia, (Depok: PT Radja Grafindo Persada, 2018), 53

14
perusahaan. Selama pemeriksaan berlangsung, produsen dimintai bantuan untuk
memberikan informasi yang jujur dan terbuka.23
Pemeriksaan produk halal meliputi; manajemen produsen dalam menjamin
kehalalan suatu produk (sistem jaminan halal), pemeriksaan dokumen-dokumen
spesifikasi yang memaparkan asal-usul bahan, komposisi pembuatannya, dan
spesifikasi halal pendukungnya, dokumen pengadaan dan penyimpanan bahan,
formulasi produk, serta dokumen pelaksanaan halal secara keseluruhan.
Pengambilan contoh hanya untuk bahan yang diindikasikan mengandung pangan
yang haram.24

2.3.5 Penetapan Kehalalan Produk


Ketentuan dalam penetapan kehalalan bagi suatu produk adalah sebagai
berikut :25
1. Penetapan kehalalan produk diakui oleh MUI.
2. Penetapan kehalalan produk sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (1)
dilakukan dalam sidang fatwa halal.
3. Sidang fatwa halal MUI, mengikutsertakan pakar, unsur kementerian atau
lembaga, dan/atau instansi terkait.
4. Sidang fatwa halal, memutuskan kehalalan produk paling lambat 30 hari kerja
sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
5. Keputusan penetapan halal produk, ditandatangani oleh MUI.
6. Keputusan penetapan halal produk, disampaikan kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai dasar penerbitan
sertifikasi halal.

2.3.6 Penerbitan Sertifikasi Halal


Ketentuan dalam penerbitan sertifikasi halal dari suatu produk adalah
sebagai berikut :26

23
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013), 118
24
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013), 109
25
Mardani, Hukum Islam dalam Hukum Positif Indonesia, (Depok: PT Radja Grafindo Persada, 2018), 53
26
Ibid

15
1. Dalam hal sidang fatwa halal, penetapan halal pada produk yang dimohonkan
pelaku usaha, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)
menerbitkan sertifikat halal.
2. Dalam hal sidang fatwa halal sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 33
ayat (2) menyatakan bahwa produk tidak halal, Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH) mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada
pelaku usaha disertai dengan alasan pengembalian tersebut.
3. Sertifikat halal, diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH) paling lambat 7 hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan
produk diterima dari MUI.
4. Penerbitan sertifikat halal, wajib dipublikasikan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menetapkan bentuk
label halal yang berlaku secara nasional. Pelaku usaha yang telah memperoleh
sertifikat halal wajib mencantumkan label halal pada kemasan produk di bagian
tertentu dari produk dan/atau tempat tertentu pada produk. Pencantuman label
halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan
dirusak. Pelaku usaha yang melakukan pencantuman label halal tidak sesuai
dengan ketentuan akan dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan,
peringatan tertulis, atau pencabutan sertifikat halal.27
Sertifikat halal berlaku selama 4 tahun sejak sertifikat tersebut diterbitkan
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), kecuali apabila
terdapat perubahan komposisi pada produk. Pelaku usaha wajib melakukan
perpanjangan sertifikat halal paling lama 3 bulan sebelum masa pemberlakuan
sertifikat halal berakhir. Biaya sertifikat halal ditanggung oleh pelaku usaha,
untuk pelaku usaha mikro dan kecil biaya sertifikasi dapat ditanggung oleh pihak
lain (pasal 42).28

2.3.7 Ketentuan yang Ditetapkan MUI bagi Penerima Sertifikat Halal

27
Musyfikah Ilyas, “Sertifikasi dan Labelisasi Produk Halal Prespektif Maslahat”, Al Qadau, (Makasar) Vol. 4
No. 2, 2017, 365
28
Syafrida, “Sertifikat Halal pada Produk Makanan dan Minuman Memberi Perlindungan dan Kepastian Hukum
Hak-Hak Konsumen Muslim”, Jurnal Hukum, (Jakarta) Vol. 7 No. 2, 167

16
Aturan yang telah dibuat dan ditetapkan tertuang dalam kebijakan dan
prosedur sistem jaminan halal. Kriteria sistem jaminan halal, yaitu :29
1. Kebijakan halal merupakan suatu komitmen tertulis untuk menghasilkan suatu
produk halal secara konsisten, sesuai dengan proses bisnis perusahaan.
2. Tim manajemen halal merupakan sekelompok orang yang memiliki tanggung
jawab terhadap perencanaan, implementasi, evaluasi, dan perbaikan di suatu
perusahaan.
3. Pelatihan merupakan suatu kegiatan dalam rangka meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk mencapai tingkat kompetensi
yang diinginkan.
4. Bahan yyang digunakan dalam proses produksi meliputi bahan baku, bahan
tambahan, dan bahan penolong.
5. Produk pada industri pengolahan merupakan produk yang dilakukan
pendaftaran untuk memperoleh sertifikat halal.
6. Fasilitas produksi merupakan semua lini produksi peralatan pembantu yang
digunakan untuk memproduksi suatu produk, baik yang dimiliki sendiri
ataupun menyewa dari pihak lain yang mencakup bangunan, ruangan, mesin,
peralatan pembantu, mulai dari penyiapan bahan, proses utama, hingga
penyimpanan produkharus digunakan untuk produk yang halal.
7. Prosedur tertulis (untuk aktivitas) merupakan tata cara dari pelaksanaan suatu
aktivitas yang dilakukan dapat berupa prosedur atau SOP (Standar Operating
Procedure), instruksi kerja, spesifikasi, standar, jadwal.

2.3.8 Permasalahan Sertifikasi Halal


Pada saat ini terdapat banyak permasalahan yang dihadapi terkait dengan
sertifikasi halal. Hal ini dikarenakan masalah sertifikasi halal tersebut merupakan
sesuatu yang masih relatif baru. Masyarakat, terutama umat Islam belum
menyadari terkait pentingnya sertifikasi halal sehingga banyak kendala yang
masih harus dihadapi untuk merealisasikannya. Permasalahan tersebut di
antaranya adalah :30
1. Kelembagaan

29
Modul Pelatihan Sistem Jaminan Halal Majelis Ulama Indonesia
30
Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah
(Edisi Revisi), (Malang: UIN Maliki Press, 2016), 256-261

17
Berdasarkan perjalanan sejarah pemberlakuan sertifikasi halal di Indonesia,
KPPOM MUI sebagai lembaga yang memelopori pemberian sertifikat halal
yang pertama dan masih dianggap satu-satunya di Indonesia, maka sering kali
LPPOM MUI dituding sebagai lembaga yang melakukan monopoli terhadap
pengeluaran sertifikat halal di Indonesia. Pada kenyataannya anggapan
tersebut tidak sepenuhnya benar, karena pada dasarnya sertifikat halal
diberikan atas dasar voluntir, bukan kewajiban. Apalagi, LPPOM MUI yang
sekarang, bukan hanya LPPOM MUI pusat, tetapi juga terdapat LPPOM MUI
daerah, di mana masing-masing daerah mempunyai otoritas sendiri-sendiri
yang tidak akan tergantung pada LPPOM MUI pusat. Meskipun demikian,
mengingat permenkes mengenai pencantuman label halal harus melalui
BPOM dan MUI, maka terkait adanya monopoli ini dapat dikatakan ada
benarnya juga. Padahal, sebenarnya, apabila terdapat pihak yang ingin
memelopori pendirian lembaga pemeriksa kehalalan di luar LPPOM MUI
yang bekerja sama dengan MUI, gal tersebut dirasa dapat dilakukan karena
secara UU dan PP tidak melanggar peraturan yang berlaku. Nampaknya
selama ini tidak terdapat peraturan yang secara eksplisit yang memberikan
keharusan dalam pemeriksaan kehalalan dilakukan hanya oleh LPPOM MUI.
2. Standar
Salah satu permasalahan besar yang dihadapi oleh dunia industri pangan di
Indonesia yang berkaitan dengan sertifikasi halal adalah tidak adanya standar
yang rinci terkait dengan penunjukkan bahan yang boleh dan tidak boleh
untuk dipergunakan serta sistem manajemen yang harus diterapkan. Untuk
saat ini, yang telah diatur hanya terkait dengan petunjuk mendapatkan
sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI. Hal tersebut juga masih
bersifat umum. Demikian pula standar untuk lembaga sertifikasi halal juga
belum terdapat peraturan yang jelas dalam pelaksanaan regulasinya. Di
samping standar auditorial halal, standar sistem jaminan halal, standar
personil yang akan melakukan akreditasi, dan standar akreditasi lembaga
sertifikasi halal.
3. Mutual Recognition
Tidak sebatas bahan yang dikonsumsi yang harus memenuhi standarisasi
halal. Namun juga lembaga yang melakukan tugas sertifikasi halal yang harus
memenuhi standar. Ketiadaan standar yang jelas bagi lembaga sertifikasi halal

18
seringkali mengalami kesulitan dalam menetapkan pengakuan suatu sertifikat
halal. Tanpa adanya suatu standar maka penilaian pengakuan sertifikat pada
akhirnya bersifat subyektif dan berujung pada pemenuhan kepentingan bisnis
semata. Dalam kenyataan, diluar negri ada ratusan lembaga yang seringkali
tidak diketahui reputasinya. Bahkan terdapat sebagian yang hanya dijalankan
oleh 1 atau 2 orang saja. Apabila kenyataan yang ada seperti itu, maka akan
sulit untuk menilai kelayakan suatu sertifikat halal yang dikeluarkan apabila
kompetensinya masih belum jelas. Adanya standar yang diberlakukan bagi
lembaga sertifikasi halal, tanpa terkecuali bagi para auditornya akan sangat
membantu terkait penilaian dan pengakuan sertifikat halal yang dikeluarkan
oleh suatu lembaga tertentu. Apabila standar-standar tersebut diberlakukan
secara internasional, maka bagi yang telah menerapkan perlu diberlakukan
akreditasi oleh lembaga yang berwenang. Dengan standar yang berlaku secara
internasional maka memberikan kemudahan untuk memperoleh mutual
recognition di antara lembaga-lembaga sertifikasi halal yang tersebar di
berbagai negara di seluruh dunia.
4. Persaingan Global
Salah satu pertimbangan terkait alasan ditetapkannya MUI untuk terjun
menangani sertifikasi halal melalui LPPOM MUI adalah agar sertifikasi halal
tidak dijadikan sebagai lahan bisnis, khususnya pada tahap-tahap awal
pengembangan sistem sertifikasi halal. Hal tersebut terbukti benar
dikarenakan hingga saat ini sejak tahun 1994, belum terdapat kenaikan tarif
biaya sertifikasi halal yang ditetapkan oleh LPPOM MUI. Di samping biaya
yang relatif murah apabila dibandingkan dengan biaya sertifikasi untuk kasus
lain seperti HACCP, GMP, dan ISO 9000. Berbeda dengan kebanyakan
lembaga, sertifikasi halal di luar negeri sering dijadikan sebagai lahan bisnis.
Akibatnya sering terjadi persaingan yang sehat maupun tidak sehat.
Persaingan sehat seringkali dilakukan secara tidak berimbang, misalnya bagi
mereka yang tidak berada di negara maju, lebih mudah untuk mendapatkan
ISO karena dukungan dana dan motivasi bisnis memungkinkan mereka untuk
mempunyai dana yang cukup. Dengan modal tersebut, cukup banyak lembaga
sertifikasi halal dari negara maju berkeliling dunia melalui sertifikasi halal
produk-produk yang akan diekspor ke negara-negara yang masyarakatnya
mayoritas muslim termasuk Indonesia. Lembaga sertifikasi halal yang

19
berorientasi sosial bisa kalah dalam persaingan tersebut. Misalnya, dengan
belum ditetapkannya standar yang berlaku global untuk lembaga sertifikasi
halal maka penyimpanan, atau ketidaksesuaian standar halal yang ditetapkan,
dapat terjadi dalam sertifikat ini.
5. Mekanisme Sertifikat Halal
Standar-standar yang diperlukan dalam rangka sertifikasi halal pada dasarnya
tidak sulit untuk dibuat, sekalipun memerlukan waktu. Bahkan yang tersulit
adalah menetapkan mekanisme sertifikasi halal itu sendiri karena terdapat
banyak pihak yang berkepentingan di samping harus memenuhi persyaratan
keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan yang terpenting dapat diterima oleh
semua pihak. Masing-masing pihak ingin pihaknya yang memiliki peranan
penting. Namun demikian, bagaimanapun permasalahan yang berlaku, hal
tersebut tetap harus ditemukan solusinya.

2.4 Labelisasi Halal


labelisasi halal merupakan pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan
produk untuk menunjukkan bahwa produk yang bersangkutan berstatus sebagai produk
halal.31 Pengertian lain menyebutkan bahwa labelisasi halal merupakan perixinan
pemasangan kata halal pada kemasan produk dari suatu perusahaan yang dilakukan oleh
BPOM. Pencantuman label halal pada kemasan produk makanan yang dikeluarkan oleh
BPOM didasarkan kepada rekomendasi dari MUI berdasarkan dari hasil pemeriksaan
yang dilakukan oleh LPPOM MUI.32
Label sebagai informasi memiliki fungsi, yaitu mengubah perilaku konsumen
terhadap produk, mengkoordinasi preferensi konsumen serta meningkatkan keamanan
pangan (food safety) dari suatu produk, dan sebagai jaminan bahwa negara sedang
melakukan pertimbangan terkait kepentingan konsumen (cunsemur interest). Sehingga,
tujuan dari adanya label adalah sebagai informasi bagi konsumen dalam membantunya
mengidentifikasi produk makanan yang paling sesuai dengan pilihan mereka.33
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan, label merupakan setiap keterangan terkait dengan pangan yang berbentuk

31
Warto dan Samsuri, “Sertifikasi Halal dan Implikasinya bagi Bisnis Produk Halal di Indonesia”, Al Maal,
(Tangerang) Vol. 2 No. 1, Juli 2020, 101
32
Ibid
33
Musyfikah Ilyas, “Sertifikasi dan Labelisasi Produk Halal Prespektif Maslahat”, Al Qadau, (Makasar) Vol. 4
No. 2, 2017, 367

20
gambar, tulisan, kombinasi dari keduanya, atau bentuk lain yang dicantumkan dalam
pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau menjadi bagian dari kemasan.34
Sehingga, dalam peraturan tersebut di pasal 10 ayat 1 dijelaskan bahwa setiap orang
yang memproduksi atau memasukkan makanan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan dan memberikan pernyataan bahwa produk makanan tersebut halal
untuk dikonsumsi bagi umat Islam, maka perusahaan memiliki tanggung jawab atas
kebenaran dari pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan
halal pada label kemasan.35 Kriteria label yang dimaksud dalam hal ini adalah label yang
tidak mudah lepas dari kemasan, tidak mudah luntur atau rusak, serta diletakkan pada
bagian kemasan pada produk makanan yang mudah untuk dilihat dan dibaca.36

Persyaratan dari label pangan di antaranya juga harus memuat keterangan sekurang-
kurangnya adalah sebagai berikut :37
1. Nama pabrik.
2. Daftar jenis bahan yang digunakan.
3. Berat bersih atau isi bersih.
4. Nama dan alamat dari pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam
wilayah Indonesia.
5. Tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Terdapat beberapa tujuan yang penting untuk dicapai dengan adanya pemberlakuan
labelisasi dan sertifikasi halal dalam dunia industri.
1. Mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam merupakan potensi pasar yang
sangat besar terutama bagi produk-produk halal. Apabila produk yang ada di dalam
negeri belum mampu untuk melakukan penerapan terkait dengan sistem produksi
halal, maka hal tersebut akan dimanfaatkan oleh produk dari negara lain yang telah
terlebih dahulu melakukan penerapan dalam sistem produksi halal. Pada saat ini,
konsumen muslim yang terdapat di beberapa daerah lebih cenderung tertarik kepada
produk yang berasal dari luar negeri. Hal ini dikarenakan produk luar negeri tersebut
telah melakukan produksi menggunakan label dan sertifikasi halal yang telah
terakreditasi dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

34
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013), 113
35
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan
36
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013), 113
37
Ibid

21
2. Dikarenakan sistem produksi halal di Indonesia yang masih pada taraf yang rendah,
maka produk luar negeri seperti makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, dan
produk halal lainnya akan menjadi ancaman bagi daya saing produk yang terdapat di
dalam negeri, baik di pasar lokal, nasional, maupun pasar bebas. Saat ini, produk
yang berasal dari Singapura dan Malaysia telah masuk ke sebagian daerah yang ada
di Indonesia barat, tengah, dan timur serta apabila masalah tersebut tidak segera
diatasi, akan mematikan pasar produk dalam negeri.
3. Meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya untuk mengkonsumsi dan
menggunakan produk halal merupakan tantangan yang harus direspon oleh
pemerintah dan pelaku usaha yang terdapat di Indonesia. Sebagai contoh dari hal ini
adalah pasar dalam negeri saat ini telah dibanjiri dengan produk luar negeri yang
memiliki label halal. Sementara, produk Indonesia yang diekspor ke berbagai negara
yang mayoritas masyarakatnya muslim tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan
produk-produk tersebut tidak mencantumkan label halal. Hal ini terjadi dikarenakan
kurangnya informasi dan pedoman serta minimnya pengetahuan di kalangan pelaku
usaha untuk melakukan proses produksi sesuai dengan standar produksi halal.
4. Di samping itu, dengan mulai diberlakukannya era persaingan bebas dan telah
dicantumkan ketentuan halal oleh KODEX dan didukung oleh WHO dan WTO,
maka produk-produk dalam negeri harus meningkatkan daya saingnya pada pasar
dalam negeri maupun internasional.
5. Dari sekitar 1,5 juta produsen terkait makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, dan
produk halal lainnya, kurang dari seribu produsen yang menggunakan label dan
sertifikasi halal. Hal tersebut disebabkan karena belum siapnya pemerintah dalam
memberikan penyediaannya terkait fasilitas yang sesuai dengan tuntutan pasar yang
ada. Dikarenakan kondisi tersebut terjadi kecenderungan pada pelaku usaha untuk
mendirikan pabrik di Malaysia maupun Singapura, hal tersebut dilakukan agar para
pelaku usaha tersebut dapat memperoleh label dan sertifikat halal dari pemerintah
yang bersangkutan. Meskipun, untuk memperoleh hal tersebut di Singapura, rata-rata
para pelaku usaha perlu untuk mengeluarkan dana sebesar 500 dolar lebih, dan untuk
memperoleh label harus mengeluarkan dana sebesar 2-3 sen dolar per bungkus.38

2.5 Implikasi Jaminan Produk Halal dalam Pengembangan Usaha

38
Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah
(Edisi Revisi), (Malang: UIN Maliki Press, 2016), 238-240

22
Dengan adanya penetapan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal, sistem penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia akan
mengalami perubahan. Sertifikat halal bagi produk yang masuk, beredar, dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia ini bersifat wajib yang sesuai dengan pasal 4 dalam
UUJPH. Meskipun demikian, para pelaku usaha masih berjuang meningkatkan daya
saingnya terhadap pelaku usaha asing. Hal ini dikarenakan pada faktanya perkembangan
pasar halal dunia diproyeksikan bernilai 3 triliun dolar pada tahun 2023, sehingga
negara-negara muslim (mayoritas muslim seperti Indonesia) berusaha untuk
memanfaatkan potensi ini. Pada saat ini, Malaysia masih mendominasi pasar tersebut,
dengan label halalnya yang dikelola oleh negara.39
Saat ini, populasi umat Islam berjumlah lebih dari 1,6 miliar jiwa atau sekitar
23,4% dari total penduduk dunia dan Indonesia memberikan kontribusi sebesar 12,7%
dari total muslim dunia. Hal tersebut membuat Indonesia menjadi negara muslim terbesar
di seluruh dunia. Pada tahun 2010, penganut Islam di Indonesia sekitar 205 juta jiwa atau
88,1% dari jumlah penduduk sebesar 237 juta jiwa. Sebagai negara yang mayoritas
berpenduduk muslim, Indonesia perlu untuk memperhatikan kebutuhan warganya dalam
mengkonsumsi produk yang halal. Perhatian tersebut salah satunya dapat melalui
pemberian jaminan halal atas produk yang dikonsumsi sesuai dengan ketentuan syari’at
yang berlaku. Namun, fakta tersebut berbanding terbalik dengan kondisi pertumbuhan
halal di Indonesia. Indonesia selama ini masih menjadi big market bukan player dalam
industri halal global. Peran Indonesia dalam industri halal global masih tertinggal jauh
dari negara-negara lain yang notabenenya masyarakat beragama Islam menjadi minoritas
di negara tersebut. Inggris yang berpusat di London mendeklarasikan dirinya sebagai
pusat keuangan syari’ah di Barat, Tiongkok dinobatkan sebagai pengekspor baju muslim
terbesar di Timur Tengah (dengan omset 28 miliar dolar), Korea dengan misinya sebagai
destinasi utama pariwisata halal, UAE dengan Dubai sebagai ibu kota ekonomi syari’ah,
Thailand dengan misi pusat dapur halal dunia, dan Malaysia dengan visinya menjadi
pusat industri halal dan keuangan syari’ah global di 2020. Faktor tersebut sekaligus
menghadirkan fenomena baru bahwa pada era milenial ini, ekonomi syari’ah telah
menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Negara-negara seperti Inggris, Tiongkok,
Jepang, Thailand, Malaysia telah menyadari lebih awal dan merespon hal tersebut
dengan segala political will sebagai bagian dari perwujudan visi misinya. Ekonomi

39
Istikomah, “Peluang dan Tantangan Implementasi UUJPH (Studi Analisis atas UU No. 33 Tentang Jaminan
Produk Halal)”, At-Tasharruf, Vol. 1 No. 1, April 2019, 22-23

23
syari’ah pada saat ini menjadi kesempatan bisnis yang menjanjikan untuk menumbuhkan
perekonomian bagi suatu negara. Indonesia dalam hal ini masih cenderung lambat dalam
merespon.40
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat pertumbuhan industri
halal di negara-negara yang berposisi sebagai player, yaitu :
1. Adanya pencanangan pengembangan industri halal pada program negara.
2. Political will yang sangat kuat ditambah dengan adanya dukungan penuh dari
pemerintah secara konsisten.
3. Adanya pembentukan badan khusus/komite nasional yang bertugas untuk melakukan
akselerasi dan koordinasi lintas kementerian/otoritas dengan strategi dan program
yang jelas dalam memberikan dukungan terkait pengembangan investasi swasta.
4. Adanya fokus tertentu dalam melaksanakan dan mengembangkan endowment yang
merupakan comparative advantage bagi suatu negara.
5. Adanya program yang menyeluruh mencakup reformasi struktural, pemerintah,
ekonomi , dan keuangan maupun pandangan dari masyarakat.
Dengan mulai deberlakukannya UUJPH di Indonesia di satu sisi menjadi salah
satu langkah yang ditempuh pemerintah dalam rangka mengejar ketertinggalan Indonesia
dalam mengambil bagian di perindustrian halal global. Pada dasarnya, Indonesia
mempunyai potensi sektoral usaha mikro yang sangat melimpah. Dari sektor pertanian
Indonesia mempunyai 220 komoditi yang 50 di antaranya mempunyai keunggulan
komparatif dalam pangsa pasar global ditinjau dari segi kualitas, seperti kelapa sawit,
karet kering, kopra, minyak kelapa, dan sebagainya. 41 Hal ini dapat menjadi peluang
yang menjanjikan bagi Indonesia apabila mampu memaksimalkan potensi sektor
pertanian. Sertifikat halal pada kelima puluh komoditas unggul pertanian tentu akan
menjadi nilai tambah bagi Indonesia dalam mendongkrak pertumbuhan industri halal
Indonesia di pasar dunia.
Di sektor kelautan, Indonesia mempunyai kurang lebih 16 juta ha potensi
pengembangan. Dari jumlah tersebut, baru 1,5 juta ha yang dilakukan pemanfaatan.
Peluang produk kelautan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan,
baik dalam maupun luar negeri. Dari tahun 2010 ke tahun 2014 terjadi peningkatan yang
signfikan terhadap tingkat konsumsi ikan dalam negeri. Fakta tersebut menjadi peluang
40
Bank Indonesia, Kebijakan Bank Indonesia dalam Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syari’ah, (Jakarta:
Departemen Ekonomi dan Keuangan Syari’ah, 2019), 4-5
41
Bank Indonesia, Usaha Mikro Islami, Seri Ekonomi dan Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Departemen Ekonomi
dan Keuangan Syari’ah-Bank Indonesia, 2016), 18

24
yang menjanjikan bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya dari negara lain,
bahkan Indonesia akan mampu mendominasi industri halal global jika pemerintah
mampu melakukan optimalisasi dari potensi yang ada.
Selain peluang yang besar, penerapan UUJPH juga dihadapkan dengan berbagai
macam tantangan. Undang-undang ini memberikan kewajiban bagi seluruh barang yang
beredar untuk bersertifikat halal. Hal tersebut berarti pemberian sertifikasi halal tidak
hanya pada makanan dan bahan makanan. Kosmetik, obat-obatan, barang elektronik
seluruhnya harus memiliki sertifikasi halal. UUJPH memang mempunyain peluang dan
potensi yang sangat besar apabila hal tersebut dapat diterapkan pada produk makanan.
Namun, akan menjadi sulit untuk diterapkan apabila hal tersebut berhubungan dengan
kosmetik, obat-obatan, maupun produk farmasi. Proses produksi obat-obatan merupakan
suatu proses yang kompleks melalui berbagai proses kimiawi dan sebagainya. Proses
dalam sintesis obat, pembuatan vaksin, dan sediaan farmasi sangat rumit, mahal,
kompleks, dan ketat. Bahan aktif, eksipien, bahan penolong obat yang sangat banyak,
variatif, dan kompleks. Bahan baku farmasi dan obat-obatan Indonesia 90% merupakan
barang yang diimpor dari Tiongkok, Korea, India, dan Amerika. Sehingga dengan
adanya hal-hal tersebut, UUJPH dirasa akan sulit untuk diterapkan dalam bisnis farmasi
dan obat-obatan.
UUJPH juga dihadapkan pada persoalan biaya terkait adanya pengajuan
sertifikasi halal. Dalam pasal 44 ayat 1 UUJPH menjelaskan bahwa biaya sertifikasi halal
dibebankan kepada para pelaku usaha yang melakukan pengajuan permohonan sertifikasi
halal.
Hal tersebut dapat memberikan dampak pada meningkatnya tingkat beban biaya
yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha yang melakukan pengajuan terkait
permohonan sertifikat halal. Pembebanan biaya yang dirasa terlalu berat bagi pelaku
usaha, tentunya akan mematikan keberlangsungan dari suatu unit usaha.42
Meskipun terdapat berbagai tantangan yang harus dihadapi dalam pelaksanaan
UUJPH, terdapat berbagai implikasi positif yang dapat diperoleh terkait adanya UUJPH
melalui adanya sertifikasi halal dalam pengembangan bisnis halal di Indonesia.
Kebijakan sertifikasi halal memiliki manfaat ekonomis dan sangat strategis untuk
memaksimalkan captive market. Penerapan kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku usaha
dengan memiliki sertifikasi halal produk yang dijajakan tanpa disadari memiliki dampak

42
Istikomah, “Peluang dan Tantangan Implementasi UUJPH (Studi Analisis atas UU No. 33 Tentang Jaminan
Produk Halal)”, At-Tasharruf, Vol. 1 No. 1, April 2019, 23-25

25
positif terhadap perekonomian Indonesia. Dalam prespektif makro, kehalalan suatu
produk tetap menjadi suatu tren di berbagai negara di dunia. Apalagi, dengan jumlah
penduduk beragama Islam di Indonesia yang mencapai 87% dari total penduduk, potensi
pasar halal akan sangat besar. Perlu adanya kesadaran bersama terkait pentingnya
pengoptimalan captive market yang ada di depan mata, hal ini bertujuan supaya pihak
luar tidak mengambil manfaat dari peluang tersebut dan produk halal dapat didorong ke
arah sana.
Implikasi positif lainnya dari mandatori halal adalah terbukanya lapangan
pekerjaan baru. Hal ini dikarenakan dengan adanya kewajiban bersertifikat halal, maka
kebutuhan SDM pendukung pelaksanaan jaminan produk halal tentu berjumlah besar. Di
antaranya terkait kebutuhan auditor halal yang menjadi unsur penting dan harus ada
dalam Lembaga Pemeriksaan Halal (LPH). Auditor halal nantinya akan menjadi profesi
yang cukup menjanjikan. Hal ini tentu akan menjadi sesuatu yang positif bagi
perkembangan halal di Indonesia dan dunia.
Sertifikasi halal juga dapat meningkatkan pamor ekspor. Hal ini dikarenakan
lembaga bersangkutan telah terakreditasi ISO dan telah bekerja sama dengan negara-
negara muslim lain. Hal ini dapat memberikan kemudahan bagi suatu produk yang
memiliki sertifikasi halal untuk berperan di perdagangan global. Target penjualan dari
produk yang memiliki sertifikasi halal harus diekspor ke luar negeri. Hal tersebut dapat
diberlakukan dengan cara meningkatkan kerja sama dengan negara OKI dan Timur
Tengah. Suatu keuntungan yang dimiliki oleh pelaku usaha dari Indonesia adalah sistem
jaminan halal MUI telah diadopsi oleh hampir seluruh lembaga halal yang ada di dunia,
mulai dari Asia, Australia, Eropa, Amerika, dan Afrika. Sehingga sertifikasi halal
Indonesia dapat diterima di berbagai negara.
Menurut Ketua Komite Tetap Timur Tengah dan Organisasi Kerja sama Islam
(OKI) Kamar Dagang dan Industri, Fachry Thaib, isu halal merupakan salah satu
tantangan produk yang berasal dari Indonesia sebagai negara dengan penduduk beragama
Islam terbesar di dunia. Saat ini ekspor Indonesia ke Timur Tengah berada pada kisaran
4,8% dari total ekspor nasional. Angka ini diperkirakan akan mengalami kenaikan yang
signifikan apabila keseluruhan produk yang diekspor oleh Indonesia telah memiliki
sertifikasi halal. Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Komite Timur Tengah
dan OKI Mohammad Bawazeer menyatakan bahwa pengusaha Indonesia memiliki
kesempatan yang harus dimanfaatkan agar dapat menembus pasar negara muslim. Hal ini
berkaitan dengan kerja sama antara Kadin Indonesia yang telah bekerja sama dengan

26
Islamic Chamber of Commerce, Industry and Agriculture yang merupakan Kamar
Dagang dan Industri Pertanian di bawah OKI. Proses sertifikasi halal oleh negara-negara
anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) dikoordinasikan oleh lembaga ini. Produk
yang lolos sertifikasi halal pada negara yang bekerja sama dengan ICCIA akan lebih
dipermudah untuk masuk ke negara tujuan.
Sertifikat halal sangat diperlukan bagi produsen yang ingin produknya mampu
menembus pasar global terutama pada kawasan negara muslim Timur Tengah. Sebelum
taken contract jual beli para importir dari kawasan Timur Tengah selalu menanyakan
terkait aspek kehalalan produk yang dibuktikan dengan adanya sertifikasi halal. Untuk
kepentingan pemasaran dari produk tersebut, selain telah mendapatkan akreditasi SNI
ISO atau IEC 17065: 2012, LPPOM MUI telah terakreditasi The United Arab Emirates
Scheme (UEA.S 2055:) for Halal Product dan memperoleh sertifikat Emirates Autorithy
for Standardization Metrology (ESMA). Berdasarkan sertifikat tersebut produk halal
Indonesia dapat diterima di negara-negara Timur Tengah.
Selain itu, tingginya potensi ekonomi Islam, pada tahun 2023 diprediksi akan
mencapai 3 triliun dollar atau sekitar Rp 45.000.000.000.000.000. tingginya potensi
tersebut dapat dijadikan sebagai peluang bisnis halal yang besar bagi Indonesia. Menurut
data Indikator Global Ekonomi Islam 2018-2019, saat ini Indonesia masih berada pada
posisi 10 dalam peringkat ekonomi syari’ah dunia. Menurut data yang sama, di tahun
2017, masyarakat Indonesia mencatat pengeluaran sebesar US$ 218,8 miliar (di atas Rp
3.000 triliun) pada sektor ekonomi Islam.
Potensi besar yang dimiliki oleh bisnis halal akan menjadi sebuah langkah bagi
Indonesia dalam melakukan pemasaran pada produk-produknya. Sehingga Indonesia
tidak hanya menjadi negara konsumen terbesar produk halal global, tetapi juga dapat
menjadi produsen terbesar produk halal dunia. Regulasi yang mewajibkan sertifikat halal
akan memberikan dukungan terhadap ekspor produk Indonesia.
Salah satu pasar potensial yang ingin ditembus oleh pemerintah Indonesia adalah
negara-negara di Timur Tengah, terutama Arab Saudi, hal ini disebabkan pada saat
musim haji 200.000 WNI berada di sana. Apabila dihitung dari pemenuhan kebutuhan
haji, ekspor halal Indonesia ke Arab Saudi dan negara-negara di Timur Tengah dapat
mengalami pertumbuhan hingga mencapai 5%.43

43
Warto dan Samsuri, “Sertifikasi Halal dan Implikasinya bagi Bisnis Produk Halal di Indonesia”, Al Maal,
(Tangerang) Vol. 2 No. 1, Juli 2020, 108-110

27
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Makanan halalan thayyiban merupakan makanan yang diperbolehkan untuk
dikonsumsi berdasarkan syari’at dan baik bagi tubuh dari segi kesehatan (medis).
Terdapat kriteria yang harus dipenuhi terkait makanan halal, yaitu halal dari segi dzatnya,
halal cara perolehannya, dan halal cara pengolahannya. Jaminan produk halal merupakan
suatu usaha yang terstruktur dan sistematis agar makanan yang dikonsumsi tersebut
terjamin halal, baik dari segi dzar, proses, maupun tambahannya. Dalam mewujudkan
jaminan produk halal bagi para konsumen, pemerintah menerbitkan UU No. 33 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang mengatur terkait mekanisme perolehan
jaminan produk halal bagi para pelaku usaha dengan cara melakukan pengajuan terkait
sertifikasi halal dan labelisasi halal. Sertifikasi halal merupakan pengakuan kehalalan
suatu produk yang dilakukan oleh BPJPH berdasarkan fatwa tertulis dari MUI. Sementara
labelisasi halal merupakan pencantuman tulisan halal pada kemasan produk untuk
menunjukkan bahwa produk yang bersangkutan berstatus sebagai produk halal. Implikasi
JPH terhadap pengembangan bisnis di Indonesia dirasa sangat baik. Dengan adanya JPH,
para pelaku usaha diharapkan lebih mampu bersaing dengan pelaku usaha asing yang
mulai merambah ke pasar dalam negeri dan para pelaku usaha memiliki nilai tambah dan
mampu lebih meyakinkan konsumen akan kehalalan produk yang dimiliki. Indonesia
memiliki peluang besar dalam pengembangan bisnis di pasar halal dunia, terutama pada
sektor pertanian dan kelautan. Tantangan yang harus dihadapi oleh para pelaku usaha ke
depannya terkait dengan ketatnya persaingan pasar halal dunia, sulitnya pengaplikasian
UUJPH pada bidang farmasi, obat-obatan, kosmetik, dan otomotif, serta adanya biaya

28
yang dibebankan kepada pelaku usaha dalam pengurusan sertifikasi halal yang membuat
para pelaku usaha merasa keberatan dalam memenuhi biaya tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Muhammad, Prespektif Naqashid Al-Syariah dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk


Halal di Indonesia Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal, Al Hikmah, Vol. 7 Nomor 2, September 2017
Bank Indonesia, Kebijakan Bank Indonesia dalam Pengembangan Ekonomi dan Keuangan
Syari’ah, Jakarta: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syari’ah, 2019
Bank Indonesia, Usaha Mikro Islami, Seri Ekonomi dan Keuangan Syari’ah, Jakarta:
Departemen Ekonomi dan Keuangan Syari’ah-Bank Indonesia, 2016
Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Produk Halal, Jakarta: Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2008
Djakfar, Muhammad, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional
dengan Syariah (Edisi Revisi), Malang: UIN Maliki Press, 2016
Fitra, Sulhan Abu, Makanan Menentukan Kualitas Generasi dan Peradaban, Jurnal Halal,
Nomor 113, 2015
Ilyas, Musyfikah , Sertifikasi dan Labelisasi Produk Halal Prespektif Maslahat, Makassar: Al
Qadau, Vol. 4 Nomor 2, 2017
Istikomah, Peluang dan Tantangan Implementasi UUJPH (Studi Analisis atas UU No. 33
Tentang Jaminan Produk Halal), Jember: At-Tasharruf, Vol. 1 Nomor 1, April 2019
Kementerian Agama RI, At-Thayyib Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemahan Per
Kata, Bekasi: Cipta Bagus Segara, 2011
Mardani, Hukum Islam dalam Hukum Positif Indonesia, Depok: PT Radja Grafindo Persada,
2018
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk Halal,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015
Modul Pelatihan Sistem Jaminan Halal Majelis Ulama Indonesia
Prabandewi, Krisnawati Ayu, “Pemberian Label Halal pada Produk Tanpa Sertifikasi Halal
(Studi Kasus di Roti Erou, Pule, Jatipurno, Kabupaten Wonogiri)” Skripsi, Jurusan Hukum
Ekonomi Syari’ah (Mu’amalah) IAIN Surakarta, Surakarta, 2020
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan

29
Putra, Panji Adam Agus, Kedudukan Sertifikasi Halal dalam Sistem Hukum Nasional
Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen dalam Hukum Islam, Bandung: Anwaluna,
Vol. 1 Nomor 1, Januari 2017
Syafrida, Sertifikat Halal pada Produk Makanan dan Minuman Memberi Perlindungan dan
Kepastian Hukum Hak-Hak Konsumen Muslim, Jakarta: Jurnal Hukum, Vol. 7
Nomor 2, tt
Triasih, Dharu, dkk, Kajian Tentang Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terhadap Produk
Makanan Bersertifikat Halal, Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Vol. 18 Nomor 2,
Desember 2016
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
Warto dan Samsuri, Sertifikasi Halal dan Implikasinya bagi Bisnis Produk Halal di
Indonesia, Tangerang: Al Maal, Vol. 2 Nomor 1, Juli 2020
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013

30

Anda mungkin juga menyukai