Anda di halaman 1dari 3

Mere(i)butkan Sertifikasi Halal

Oleh : Ardiansyah Michwan*

Mengikuti perkembangan pembahasan RUU tentang Sistem Jaminan Halal


oleh para anggota DPR akhir-akhir in menarik perhatian kita semua. Betapa tidak,
berbagai kalangan ingin dilibatkan dalam proses sertifikasi halal. Mulai dari ormas
sosial keagamaan, departemen agama, sampai fraksi-fraksi di DPR, yang
mempunyai pandangan masing-masing tentang sertifikasi halal. Ini seolah-olah
merebutkan sekaligus meributkan sertifikasi halal yang selama ini sudah
dijalankan oleh LP POM MUI.
Terkesan semua pihak ingin mendapatkan jatah dari “kue besar” bernama
Sertifikat Halal (SH). Berbagai kalangan ingin maju ke depan, menyatakan diri
kepeduliannya akan kepentingan agama mayoritas di negeri ini, bahwa mereka lah
yang merasa paling pantas dan paham akan Halal, bukan pihak lain. Semoga
begitulah niatan adanya. Dan jika memang seperti itu niatnya, mari dibicarakan
dengan baik, bergandengan tangan, berbagi tugas, untuk suatu pencapaian yang
lebih baik. Urusan SH bukan hanya urusan horizonyal, tapi adalah urusan
vertikal, yang pasti tanggungjawabnya bukan main-main.
Pertanyaan mendasar yang harus mereka jawab adalah apakah mereka paham
dan mengerti betul esensi dari pangan halal? Semestinya kita tidak boleh terjebak
dalam isu ini, karena esensi utama dari re(i)but ini adalah bagaimana memberikan
keamanan dan ketentraman pada umat.
Urgensi mengkonsumsi pangan halal bagi konsumen muslim telah
dicantumkan dalam Al-Qur’an-sebagai rujukan tertinggi, yang tertuang dalam
Al-Baqarah: 172, yaitu : “Wahai orang yang beriman! Makanlah diantara rezeki
yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepadaNya saja kamu menyembah.” Ironisnya, sebagai negara
dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, mayoritas konsumennya masih belum
memiliki kesadaran yang baik soal makanan halal.
Kesadaran menjadi harapan yang disandarkan pada konsumen muslim di
Indonesia. Karena dengan kesadaran konsumen yang tinggi-lah, diharapkan akan
mendorong produsen untuk lebih peduli akan pangan halal. Dimana pada
akhirnya diharapkan kehalalan menjadi hal yang mutlak bagi produsen untuk
semua jenis produk yang ditujukan bagi konsumen muslim. Produsen harus lebih
hati-hati, lebih terbuka, dan jujur akan produknya. Sekali saja produsen berbuat
kealpaan akan berdampak terhadap produk yang dihasilkan, hilangnya
kepercayaan konsumen. Dampak lebih jauh dapat terjadi boikot produk yang

1
diragukan kehalalannya.

Label dan iklan pangan


Saat kita memutuskan makanan apa yang akan kita konsumsi, kita akan
memastikan terlebih dahulu informasi dasar yang tertera pada label kemasan
pangan, apakah baik, aman, dan boleh dikonsumsi atau tidak. Pernahkan kita
memperhatikan dengan teliti labelnya secara keseluruhan, terutama daftar
ingredients-nya sebelum kita konsumsi?
Dengan membaca label dan iklan produk pangan, kita dapat memutuskan
apakah pangan tersebut dapat kita konsumsi atau tidak. Jika tercantum lambang
SH didalam labelnya, artinya memang sudah aman, dan konsumen dimudahkan
dalam hal ini. Tapi jika belum ada, karena masih menjadi samar, artinya
walaupun belum ada label SH tapi masih mungkin halal, maka konsumen harus
melihat dan meneliti informasi ingredient-nya, apakah ada bahan yang meragukan
kehalalannya atau tidak? Hal ini tentu tidak mudah, karena tidak semua konsumen
paham arti dari bahan-bahan tersebut. Maka hal sebaiknya dilakukan jika ragu
adalah meninggalkannya, artinya tidak membeli produk tersebut. Hal ini
tentunya merugikan produsen.
Pasal 30 ayat 2 ketentuan Label dan Iklan Pangan pada Undang-undang
Pangan RI No 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa label pangan
minimal mencantumkan nama produk, daftar ingredient yang digunakan, berat
bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau
memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal serta
tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.
Terlepas dari kontroversi badan apakah yang berhak memberikan SH, penulis
berpendapat bahwa informasi ingredient sangat mutlak diperlukan agar konsumen
muslim bisa menentukan produk yang bisa dikonsumsinya. Implikasi lain bagi
konsumen adalah jika terdapat bahan mencurigakan kehalalannya, konsumen dapat
membuat pengaduan dan pelaporan produk-produk makanan yang diduga
mengandung bahan haram dan jika terbukti bersalah maka produsen dapat
dihukum dengan hukuman yang layak.
Negara-negara maju misalnya Jepang-dimana saat ini penulis tinggal, label
atau iklan pangan ditulis lengkap dan jelas sehingga konsumen dengan mudah
mendapatkan informasi produk yang dikonsumsinya. Konsumen muslim dengan
mudah dapat menghubungi nomor bebas pulsa yang tertera pada label, seandainya
konsumen ingin menanyakan status ingredient yang digunakan. Dalam waktu
yang singkat, diperoleh informasi apakah produk pangan mengandung bahan yang

2
mencurigakan kehalalannya atau tidak.
Pertanyaan muncul, mengapa Indonesia tidak melaksanakan aturan pelabelan
yang ketat, kemudian diikuti dengan pengawasan yang yang optimal dari lembaga
yang memberitkan perijinan tentang label pangan.
Penyempurnaan sistem label dan iklan pangan yang sudah ada sehingga
setiap konsumen dengan mudah membaca dan membedakan mana produk yang
dapat dikonsumsinya. Kejujuran pedagang dan pengelola jasa makanan dalam
menjelaskan ke konsumen jika ada yang bertanya. Jika sistem ini bisa
dilaksanakan dengan baik, kita tidak perlu lagi mempermasalahkan label halal/
haram pada produk makanan.

Jaminan kehalalan
Sampai saat ini jaminan kehalalan yang sudah dilakukan oleh LP POM
MUI-sebagai lembaga pengayom umat muslim di Indonesia, perlu tetap didukung
agar konsumen muslim terhindar dari pengusaha tidak jujur.
Menurut penulis, jika ada lembaga pemeriksa lain yang kredibel juga tidak
menjadi masalah, sepanjang lembaga tersebut telah melalui audit sebagai lembaga
sertifikasi yang profesional. MUI membatasi hanya bekerja secara profesional
pada komisi fatwa, lembaga sertifikasi mana saja silakan meminta fatwa MUI
apakah suatu produk layak diberikan sertifikat halal atau tidak.
Selanjutnya ormas, LSM, dan MUI, dapat bertindak lebih jauh yaitu upaya
penyadaran konsumen muslim agar tidak "buta" tentang pangan halal. Tugas
substansi ini lebih utama dan mulia dilakukan ketimbang mere(i)butkan siapa yang
berhak tentang SH. Tugas pendidikan ini dapat pula melibatkan berbagai
komponen masyarakat agar sosialisasi pangan halal benar-benar dapat dirasakan
oleh konsumen muslim.

*Peneliti di Tohoku University, Sendai, Jepang dan Departemen Gizi Masyarakat,


FEMA-IPB.

Anda mungkin juga menyukai