Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. H.
Muhammad Djakfar, SH., M.Ag yang telah membimbing dan segenap bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
untuk para pembaca. Bahkan penulis berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 18 September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i
BAB I ......................................................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ................................................................................................ 2
1.3 TUJUAN PENULISAN.................................................................................................. 2
BAB II ....................................................................................................................................... 3
2.1 Pengertian dan Kriteria Halal ...................................................................................... 3
2.2 Konsep Halal dalam Islam ............................................................................................ 4
2.3 Tujuan Labelisasi Dan Sertifikasi Halal ...................................................................... 5
2.4 Pembinaan, Pengawasan dan Koordinasi Produk Halal ............................................ 6
2.5 Lembaga Perlindungan Konsumen .............................................................................. 7
2.6 Landasan Yuridis ........................................................................................................... 9
2.7 Perkembangan Industri ............................................................................................... 13
BAB III.................................................................................................................................... 16
3.1 KESIMPULAN ............................................................................................................. 16
3.2 SARAN .......................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dalam konteks perekonomian sering kali kita menjumpai istilah konsumen. Konsumen
adalah kegiatan menggunakan produk atau jasa tertentu. Dewasa ini terdapat istilah yang mirip
yaitu konsumtif. Konsumtif sudah menjadi gaya hidup yang sedang marak terjadi saat ini.
Konsumtif biasanya disandingkan dengan istilah konsumerisme namun konsumerisme
mengandung makna yang lebih condong mengacu pada memenuhi kebutuhan sesuai apa yang
dibutuhkan. Namun jika kata konsumtif mengacu pada mengonsumsi segala sesuatu yang
kurang dibutuhkan yang bertujuan untuk mencapai kepuasan yang maksimal saja. Hal ini tentu
bertentangan dengan islam yang dianjurkan agar tidak mengonsumsi barang secara berlebihan
karena itu mencerminkan sifat boros dan harus diperhatikan konsep halal baik zatnya maupun
cara memperolehnya1.

Beralih pada topik halal, Indonesia yang sebagian masyarakat beragama islam ini telah
melek akan produk halal. Oleh karena itu pemerintah juga harus melindungi masyarakat agar
aman mengkonsumsi produk halal. Mahwiyah (2010) menyimpulkan bahwa label halal
memiliki efek signifikan sebesar 54,7%. Studi menunjukkan efek moderat dari halal pelabelan
pada keputusan pembelian konsumen. (Iranita 2011) menunjukkan bahwa label halal diyakini
sudah lulus uji materi dan alat bantu untuk produk tertentu tidak mengandung unsur haram.
Sementara dalam keputusan pembelian 50% dari koresponden telah dipengaruhi oleh keluarga
dan belum menaruh perhatian ke halal pelabelan yang tercantum dalam paket. Namun, halal
pelabelan pada makanan diyakini tidak menimbulkan bahaya kesehatan2. Maka dari itu
standarisasi halal itu penting bagi masyarakat terutama masyarakat muslim.

1
(Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis, Malang, UIN-Maliki Press, 2016) hal 226
2
(Muhamad Rafi Siregar & Azhar Alam, Halal Label on Food Products By MUI (Indonesian Ulama Council) and
Students Purchasing Decision Of Faculty of Bussiness and Economic Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Journal of Islamic Economic Laws, Volume 1 Nomor 1, July 2018) halaman 4.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Standarisasi Halal di Indonesia?

2. Mengapa UU tentang pangan diganti dengan UU jaminan produk halal?

3. Bagaimana Perkembangan Industri halal di Indonesia?

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Untuk mengetahui satandarisasi halal di Indonesia.

2. Untuk mengetahui Mengapa UU tentang pangan diganti dengan UU jaminan produk halal.

3. Untuk mengetahui perkembangan industri halal di Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Kriteria Halal


Al-Qur’an telah menetapkan konsep halal haram yang berhubungan dengan transaksi
yang mencakup akuisisi, disposisi, dan semacamnya. Menurut ahmad, semua hal yang
berhubungan dengan harta benda hendaknya dilihat dan dihukumi halal atau haram. Dulu pada
jaman jahiliyah pra Islam masyarakatnya menganggap riba dan jual beli itu sama, padahal
keduanya sangatlah berbeda. Lalu islam menegaskan bahwa memperbolehkan jual beli dan
mengharamkan riba. Riba dalam bentuk apapun tida diperbolehkan karena mengandung unsur
kedzaliman kepada orang lain sehingga tidak menciptakan keadilan atau merugikan salah satu
pihak3. Sebagaimana Allah berfirman pada surah Al-Baqoroh (2:168)

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan adalah
musuh nyata bagimu4”

Yang dimaksud halalan thayyiban adalah adalah makanan yang boleh dikonsumsi
secara syariat dan baik dalam tubuh atau secara medis. Makanan yang dikatakan halal apabila
halal kandungan zatnya, halal memperolehnya dan halal pengolahannya. Yang masing-masing
diuraikan sebagai berikut :

a) Halal zatnya, Pada dasarnya makanan halal dikonsumsi kecuali ada dalil yang
melarangnya5. Mengapa terdapat makanan yang diharamkan oleh Allah, itu karena
terdapat unsur yang dapat merugikan manusia itu sendiri jika mengkonsumsinya dan
segala sesuatu yang datang dari Allah bagaimanapun kita harus mengikutiNya.
b) Halal cara memperolehnya, makanan halal dapat berubah menjadi haram jika
memperolehnya dengan cara yang salah misal mencuri, riba, gharar dan sebagainya.
Sebaiknya kita harus memperolehnya dengan cara yang baik seperti menjual, jasa,
bertani, berternak dan sebagainya. Adapun yang melarang adalah hukum itu sendiri
karena akan merugikan salah satu pihak.
c) Halal cara mengolahnya, banyak makanan halal yang berubah menjadi haram karena
salah mengolahnya. Misal seperti anggur yang dioleh menjadi arak, ayam yang mati

3
(M Abdul Mannan,Teori dan Praktik Ekonomi Islam, Yogyakarta, PT Dana Bakti Wakaf, 1995), hal 164
4
QS, Al-Baqarah, 2:168
5
(T Ibrahim, Pemahaman Al-Quran dan Hadist, Solo, PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004) hal 13

3
karena tidak disembelih. Halalan thayyiban menurut Al-Qur’an dan Hadist adalah
makanan yang baik. Baik dalam arti bermanfaat dan tidak mengganggu kesehatan
tubuh. Kriteria baik dapat dilihat dari seberapa banyak kandungan gizi didalamnya, jika
dikira cukup maka makanan itu baik. Sedangkan yang dimaksud tida mengganggu
kesehatan adalah tidak menjijikan, tida busuk (rusak) dan tidak mengakibatkan
kerusakan tubuh6. Seperti firman Allah :
“Dan Allah menghalalkan bagi mereka yang baik dan mengharamkan bagi mereka
segala yang buruk”7.
2.2 Konsep Halal dalam Islam
Menurut Mustaq Ahmad semua hal yang berhubungan dengan harta hendanya
dihukumi atas halal dan haram. Dulu pada masa pra islam masyarakat jahiliyah memyamakan
konsep jual beli dan riba sampai pada Islam datang dan membedakan diantara keduanya. Riba
diharamkan dalam bentuk apapun karena mengandung unsur ketidakadilan. Semua larangan
itu berdasarkan pada satu prinsip yakni “jangan ada ketidak adilan dan jangan ada penipuan
dalam segala aktifitas bisnis yang dilakukan oleh siapapun”8. Dalam islam meraih harta harus
linier antara proses, niat dan sarana yang digunakan. Jika seorang mempunyai niat baik untuk
mencari harta namun proses yang digunakan itu bertentangan dengan syariat maka hal tersebut
akan sia-sia. Karena barang yang dihasilkan akan tidak barokah dan barang yang dihasilkan
akan haram hukumnya. Oleh karena itu pencucian hati yang dihasilkan melalui ibadah ritual
seseorang hendaknya bisa menyucikan niat dan metode (cara) mereka dalam mencari nafkah
dan penghasilan9. Islam adalah agama yang universal yang mengatur segala yang dapat
membimbing manusia agar bisa hidup layak dan bahagia dengan ridha Allah SWT. Konsep
suka sama suka antar pihak merupakan panduan Al-Quran dalam setiap perniagaan10.
“Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah diperbolehkan sepanjang tidak ada
dalil yang mengharamkannya”. Dalam konteks tersebut konsep halal haram sangatlah jelas
dalam bisnis. Kendati demikian segala bentuk inovasi dalam muamalah diperbolehkan selama
tidak bertentangan dengan agama11.

6
(Ibrahim, pemahaman) hal 14-15
7
QS. Al-Araf, 7:156
8
(Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis, Malang, UIN-Maliki Press, 2016) hal 230
9
(Muhammad Djakfar, Agama, Etika dan Ekonomi Wacana Menuju Pengembangan Ekonomi Rabbaniyah,
Malang, UIN-Maliki Press, 2007) hal 148-149
10
(Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis, Malang, UIN-Maliki Press, 2016) hal 231
11
(Faisal Badroen dan Suhendra, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta, Kencana Media Group dan UIN Jakarta
Press, 2007) hal 169-170

4
Dalam konteks investasi, pebisnis muslim diperintahkan agar berinvestasi modalnya
pada bisnis yang halal walaupun akan menghasilkan laba yang lebih kecil jika dibandingkan
dengan berinvestasi kepada wilayah-wilayah yang diharamkan. Konsep tersebut sama seperti
konsep kapitalis yang berorientasi kepada keuntungan yang sebesar-besarnya. Akibatnya,
sistem ini lebih mengutamakan tuntunan bisnis daripada tuntunan etis. Yang mana
mendahulukan kepentingan proft daripada kepentingan moral. Dalam islam hal ini sangat
diharamkan karena masalah moral dan kehalalan sangat ditekankan karena merupakan prasarat
untuk meraih harta yang barokah. Barokah sendiri adalah satu karunia yang tida bisa dipantau
(invisible blessing). Artinya tidak bisa dikalkulasikan maupun digambarkan. Barokah
bergantung pada perilaku manusia, jika manusia cenderung berlaku baik dalam berperilaku
bisnis secara konstan atau terus menerus maka niscaya akan mendapat keuntungan yang
barokah dan harta yang barokah niscaya akan memberikan kebahagiaan dan ketenangan hati
bagi pemiliknya12.
Bukankah pada dasarnya manusia akan kembali pada Allah selaku pencipta sekaligus
pemilik kehidupan, agar manusia dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatan didunia.
Maka manusia harus berperilaku seperti Rosulullah SAW tanpa terkecuali tentang bisnis.
Bisnis pariwisata termasuk didalamnya dapat dijadikan aplikasi nilai ekonomi dalam dinia
riil.13
2.3 Tujuan Labelisasi Dan Sertifikasi Halal
Ada beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan diberlakukannya labelisasi dan
sertifikasi halal dalam dunia industri saat ini.
a. Jumlah penduduk Indonesia yang yang mayoritas beragama islam yang berpotensi
besar terhadap produk halal. Apabila produk lokal tida bisa menerapkan sisitem
produksi halal maka peluang itu akan diambil oleh bangsa barat yang telah
menerapkan produksi halal. Beberapa konsumen muslim berkecenderungan tertarik
pada produk luar karena telah menggunakan label halal dan sertifikasi halal yang dapat
dipertanggung jawabkan.
b. Karena belum meluasnya sistem produksi halal didalam negeri, maka banyak produk
impor dari malaysia dan Singapura telah masuk ke sebagian kawasan Indonesia dan
apabila tida segera diatasi maka akan mematikan produk lokal.

12
(Muhammad Djakfar, Agama, Etika dan Ekonomi Wacana Menuju Pengembangan Ekonomi Rabbaniyah,
Malang, UIN-Maliki Press, 2007) hal 149-151
13
(Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal Prespektif Multidimensi, Malang, UIN-Maliki Press, 2007) hal 140

5
c. Meningkatnya kesadaran akan pentingnya engkonsumsi produk halal merupakan
tantangan yang harus direspon cepat oleh pemerintah dan pelaku usaha. Sebagai
contoh produk luar negeri yang telah membanjiri Indonesia telah menggunakan label
halal. Sedangkan produk Indonesia sendiri yang dikirim keluar negeri tidak
mempunyai label halal. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya pedoman atau informasi
tentang pentingnya labelisasi produk halal.
d. Disamping itu dengan diberlakukannya era persaingan bebas seperti AFTA pada tahun
2003 dan telah dicantumkan ketentuan halal dalam KODEX yang didukung oleh
WHO dan WTO maka produk nasional harus bisa meningkatkan daya saing pada
pasar dalam negeri maupun luar negeri.
e. Ada sekitar 1,5 juta produsen makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik dan
sebagainya namun hanya kurang dari seribu saja yang yang menggunakan labelisasi
dan sertifikat halal. Hal tersebut disebabkan karena belum siapnya pemerintah dalam
menyediakan fasilitas untuk menunjang tuntutan pasar.
Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa tujuan labelisasi dan sertifikasi halal
bertujuan untuk memenuhi tuntutan pasar secara universal. Jika sudah terpenuhi maka para
konsumen muslim tidak perlu ragu lagi untuk mengkonsumsi produk yang dibutuhkan.
2.4 Pembinaan, Pengawasan dan Koordinasi Produk Halal
Dalam rangka pelaksanaan pembinaan, pengawasan dan koordinasi pemerintah perlu
mengadakan pengaturan pembinaan dan pengendalian sebagai berikut.
1. Pembinaan dan pengawasan pelaku usaha dibidang penerapan jaminan produk halal
dilakukan oleh Departemen Agama.
2. Pengawasan halal terhadap produk makanan, minuman, kosmetik dan sebagainya yang
berasal dari dalam maupun luar negeri dilakukan oleh badan penyidik.
3. Koordinasi jaminan produk halal dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi.
Tugas pokok dan fungsi pembinaan produk halal Direktorat Urusan Agama Islam ialah
merumuskan bimbingan dan penyuluhan atau pengawasan dibidang makanan, minuman, obat,
kosmetik dan sebagainyaberdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan Direktur Jendral dan
fungsinya sebagai berikut14 :
1. Memimpin pelasanaan tugas dan fungsi pembinaan produk halal.
2. Menyiapkan bahan bimbingan dan penyuluhan atau pengawasan terhadap beberapa
produk.

14
(Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis, Malang, UIN-Maliki Press, 2016) hal 241

6
3. Mengadakan pelayanan, verivikasi, sertifikasi dan keterangan halal bagi beberapa
produk.
4. Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan sektor yang terkait dengan produksi halal.
5. Mengendalikan perlindungan dan pembinaan produksi halal.
6. Melakukan penyelidikan terhadap produksi halal yang bermasalah.
7. Pengendalian terhadap kehalalan produksi, impor dan peredaran produksi halal.
8. Memberikan perlindungan terhadap konsumen dan produsen halal.
Dalam rangka pengawasan maka pemerintah perlu mengadakan pengaturan lebih lanjut
sebagai berikut :
1. Departemen Agama dalam hal petunjuk tentang bahan baku, bahan tambahan proses
produksi dan peredaran makanan halal.
2. Departemen pertanian dalam proses penyediaan bahan baku yang berasal dari hewan
dan tumbuhan.
3. Depertemen perindustrian dalam hal pembinaan produksi.
4. Departemen keseha.tan dalam hal penetapan persyaratan yang berhubungan dengan
kesehatan dan periklanan.
5. Departemen perdagangan dalam hal penetapan persyaratan impor bahan baku, bahan
tambahan dan bahan makanan penolong makanan halal.
Pelasanaan pengawasan oleh pemerintah dilakukan dengan cara preventif dan
pengawasan khusus15 :
1. Pengawasan preventif dilakukan Menteri Agama dan dapat bekerja dengan menteri lain
yang terkait.
2. Pengawasan di lab produk tentang jaminan produk halal dilakukan oleh Menteri
Agama.
3. Pengawas khusus dalam hal tertentu dilakukan oleh menteri agama bersama-sama oleh
menteri yang terkait.
2.5 Lembaga Perlindungan Konsumen
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang kehidupan masyarakat,
telah memungkinkan para pelaku usaha untuk memproduksi dan memasarkan berbagai macam
barang atau jasa serta memperluar arus gerak transaksi penawaran baik dalam maupun luar
negeri agar memberikan kemudahan bagi konsumen untuk memilih barang/ jasa yang
dibutuhkan. Disamping itu tingkat pengetahuan, kesadaran dan kemampuan konsumen untuk

15
(Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis, Malang, UIN-Maliki Press, 2016) hal 242

7
menentukan pilihan atas barang atau jasa yang memenuhi persyaratan kehalalan, keamanan,
keselamatan, dan kenyamanan masih perlu ditingkatkan. Dalam kondisi lemah konsumen bisa
dimanfaatkan pelaku usaha untuk mencari untung yang sebesar-besarnya16. Oleh karena itu
untuk meningkatkan perlindungan konsumen perlu dilakukan pemberdayaan melalui lembaga.
Berikut lembaga perlindungan konsumen :
A. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
BPKN adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan
perlindungan konsumen untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen
(wise consumerism). Badan ini dibentuk untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah sebagai upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Sesuai
dengan Keppres nomor 150 tahun 2004 BPKN mulai beroperasi pada tanggal 5 Oktober 2004.
Pembentukan lembaga ini merupakan tinda lanjut dari UU No 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen dan Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 2001 tentang BPKN itu
sendiri. pemberlakuan pengaturan BPKN ini menunjukan adanya perhatian pemerintah untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen17. BPKN mempunyai beberapa misi antara lain :
1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan
kebijakan dibidang perlindungan konsumen.
2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku dibidang perlindungan konsumen.
3. Melakukan penelitian terhadap barang dan jasa yang menyangkut keselamatan
4. konsumen.
5. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
6. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan terhadap konsumen.
7. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat.
8. Melaukan survei yeng menyangkut kebutuhan konsumen18.
B. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
Dalam upaya melindungi konsumen masyarakat berperan aktif dalam hal lembaga ini.
LPKSM ini harus terdaftar pada pemerintah agar menjadi suatu perizinan. LPKSM ini adalah
lembaga non pemerintah yang telah terdaftar guna melindungi konsumen. Keberadaannya

16
( Burhanuddin, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen. Malang, UIN-Maliki Press, 2011) hal 55-56
17
(Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Rajawali Pers, 2004) hal 196.
18
BPKN talah menetapkan tugas dan tata kerjanya sesuai keputusan ketua BPKN No. 02/BPKN/ Kep/ 12/2004.

8
sangat strategis karene dapat menyuarakan kepentingan konsumen juga badan ini mempunyai
hak gugat (legal standing) dalam konteks ligitasi kepentingan konsumen di Indonesia. Tugas
LKPSM ini adalah sebagai berikut
 Menyebarkan informasi untuk meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban.
 Memberikan nasihat pada konsumen yang membutuhkannya.
 Bekerja dengan substansi terkait.
 Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya.
 Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat.

2.6 Landasan Yuridis


Didalam makalah ini penulis akan menjelaskan landasan yuridis sebelum dan sesudah
diamandemen yakni meliputi :

SEBELUM DI AMANDEMEN

A. UU Nomer 7 Tahun 1996 Tentang Pangan


didalam Undang-undang No 7 tahun 1996 terdapat beberapa pasal berkaitan dengan
masalah kehalalan produk pangan yaitu dalam bab label dan iklan pangan pasal 30 dan 34.
Berbunyi:
Pasal 30
1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia pangan
yang dikemas untuk mendagangkan wajib mencamtumkan label halal pada, didalam,
dan/atau dikemasan pangan.
2) Label sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat sekurang-kurangnya keterangan
mengenai :
a. Nama produk
b. Daftar bahan yang digunakan
c. Berat bersih atau isi bersih
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi
e. Keterangan tentang halal
f. Tanggal kadaluarsa
Pasal 34
1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang
diperdagangkan adalah sesuai dengan sesuai dengan persyaratan agama atau

9
kepercayaan tertentu, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan
persyaratan agama atau kepercayaan tertentu.
Dalam ketentuan ini benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan
pangan tida dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan yang digunakan, bahan tambahan
pangan bahkan mencakup pula proses pembuatan.

B. Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan


pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No 69 pasal 3 ayat 2, pasal 10
dan 11.
Pasal 3 ayat 2
Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya : Nama produk, daftar nama bahan, berat
bersih, nama/ alamat piha yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia.
Pasal 10
1. Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal
bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib
mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.
2. Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan bagian yang
terpisahkan dari label.19

Pasal 11

1. Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 10


ayat 1 setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas
kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksa terlebih dahulu
pangan tersebut pada Lembaga Pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan berdasarkan pedoman
dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan
pertimbangan dan saran lembaga keamanan yang memiliki kompetensi dibidang
tersebut.20

19
(Anton Apriyantono, Panduan Belanja dan Konsumsi Halal, Jakarta : Khairul Bayan, 2003) hal 27-31
20
Ibid 32

10
C. Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 Tentang Perubahan atas Kepmenkes No
82/Menkes/SK/I/1996 Tentang pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan.

Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) ini memuat perubahan penting dari


sebelumnya. Kelihatannya perubahan ini sebagai konsekwensi adanya SKB tiga lembaga yakni
Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan MUI. Pasal- pasal yang berubah dan sekaligus
relevan dengan masalah sertivikasi halal adalah:

Pasal 8

Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan


“Halal” wajib siap diperiksa oleh petugas dan tim gabungan MUI dan direktorat jendral
pengawas makanan dan obat yang ditunjuk oleh Dirrektur Jendral.

Pasal 10

1. Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dan hasil pengujian


laboratorium sebagaimana dimaksud pasal 9 dilakukan evaluasi oleh tim MUI.
2. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat 1 disampaikan kepada komisi fatwa MUI
untuk memperoleh fatwa.
3. Fatwa MUI sebagaimana dimasud ayat 2 berupa pemberian sertifikat halal bagi yang
memenuhi syarat atau berupa penolakan.

Pasal 11

Persetujuan pencantuman tulisan “Halal” diberikan berdasarkan fatwa dari komisi fatwa MUI

Pasal 12

1. Berdasarkan fatwa MUI, Direktur Jenderal memberikan:


a. Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat “halal”.
b. Penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat “halal”.
2. Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b diberikan secara tertulis kepada
pemohon disertai alasan.21

SETELAH DI AMANDEMEN

A. Undang-Undang RI No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

21
(Anton Apriyantono, Panduan Belanja dan Konsumsi Halal, Jakarta : Khairul Bayan, 2003) hal 34-35

11
Pasal 4

Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersetifikat halal.

Pasal 15

Auditor Halal sebagaimana dilakukan LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) bertugas:

a. Memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;


b. Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;
c. Memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
d. Meneliti lokasi Produk;
e. Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;
f. Memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
g. Memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan
h. Melaporkan hasil pemeriksaaan dan/atau pengujian kepada LPH22

Pasal 24

Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib:

a. Memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;


b. Memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak
halal.
c. Memiliki penyelia halal; dan
d. Melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH.

Pasal 25

Pelaku usaha yang telaj memperoleh Sertifikat halal wajib:

a. Mencantumkan Label Halal terhadap Produk yang telah mendapat Sertifikat Halal;
b. Menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal;
c. Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak
halal;
d. Memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku Sertifikat Halal berakhir; dan

22
(Undang-undang Jaminan Produk Halal. 2015. Jakarta: Sinar Grafika) Pasal 4 dan 15.

12
e. Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH23.

PERBEDAAN SEBELUM DAN SESUDAH DI AMANDEMEN

Perbedaan yang sangat jelas terletak pada sertifikasi halal yang tercantum sesudah
diamandemen. Pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 hanya sebatas label pangan saja, lalu
pada Undang-undang nomor 33 tahun 2014 disebutkan harus wajib terdapat sertifikat halal.
Ketentuan bersifat imperatif ini tidak hanya terhadap produk impor yang masuk, beredar dan
diperdagangkan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan juga produk
yang dihasilkan atau diproduksi didalam negeri yang beredar atau diperdagangkan di wilayah
NKRI wajib bersertifikasi halal. Dibandingkan dengan konsep dan aturan hukum pangan
tentang jaminan produk halalbagi yang dipersyaratkan yang terkandung maknanya sebagai
ketentuan fakultatif. Maka dalam UU Nomer 33 tahun 2014 ditentukan sebagai suatu
kewajiban untuk dipenuhi.

Sertifikasi halal memiliki dampak positif dan signifikan terhadap norma subjektif.
Penelitian Prabowo (2015) dan Cedomir (2016) mengenai sertifikasi halal berdampak kuat
pada niat pembelian dibenarkan. Awan et al. (2015) berpendapat bahwa, niat pembelian
konsumen meningkat jika produk memiliki label halal dan sertifikat juga terbukti. Halal untuk
Muslim adalah wajib24.

2.7 Perkembangan Industri


Industri halal mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa tahun ini. Gaya
hidup halal yang identik dengan umat Muslim tersebar hingga ke berbagai negara, bahkan ke
negara-negara dengan penduduk muslim minoritas. Halal biasanya hanya dikaitkan dengan hal-
hal terkait kebendaan saja. Namun demikian, dalam Islam halal mencakup perbuatan dan
pekerjaan atau biasa disebut dengan Muamalah. Produk dan jasa halal dipilih oleh umat Muslim
sebagai bentuk ketaatan terhadap hukum Shariah Islam. Meskipun halal sangat berkaitan
dengan umat Muslim, bukan berarti konsumen produk halal hanya berasal dari umat Islam saja.
Konsumen produk halal yang berasal dari negara dengan penduduk muslim minoritas
mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun belakangan. Salah
satunya adalah Rusia yang berada di peringkat 9 sebagai konsumen makanan halal di dunia
dengan capaian $ 37 Miliar pada tahun 2015 (State of The Global Islamic Economy,

23
(Undang-undang Jaminan Produk Halal. 2015. Jakarta: Sinar Grafika) Pasal 24-25
24
(Nafisah Arinalhaq. Purchase Intention On Halal Culinary Fast Food In Yogyakarta. Jurnal Ekonomi dan Studi
Pembangunan. Volume 18 Nomor 2. Oktober 2017) 116-123

13
2016/2017). Kualitas produk halal, atau biasa dikenal dengan Halalan Thoyyiban, menjadi
alasan umat non Muslim untuk menggunakan produk-produk halal (Samori, Salleh, & Khalid,
2016) karena terdapat jaminan kebersihan, keamanan, dan kualitas produk untuk keseluruhan
rantai produksi (from farm to plate).

Perkembangan Industri halal mengalami perkembangan pesat pada beberapa sektor


antara lain: makanan halal, keuangan, travel, fashion, kosmetik dan obat-obatan, media dan
hiburan, serta sektor lain seperti healthcare dan pendidikan. Survei yang dilakukan di 76 negara
yang terdiri dari 57 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan 16 negara non OKI
menunjukan bahwa sektor keuangan dan makanan halal memiliki kontribusi yang lebih besar
dibandingkan dengan sektor yang lain. Dengan potensi pendapatan mencapai $ 1,9 Triliun pada
tahun 2021, industri makanan halal menjadi perhatian utama para pelaku usaha di berbagai
negara, misalnya Malaysia. Pengembangan produk makanan halal menjadi fokus perhatian
pemerintah Malaysia sehingga selama tiga tahun berturut-turut Malaysia berada di peringkat
pertama untuk produsen makanan halal.

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia
mencapai 237,6 juta jiwa dengan populasi umat Muslim mencapai 207 jiwa atau sekitar 87
persen. Dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia memiliki potensi pasar
yang besar bagi industri halal dunia. Indonesia menduduki di peringkat pertama untuk
konsumen produk makanan halal yaitu sebesar $154,9 Miliar. Namun demikian, pemerintah
Indonesia belum dapat memaksimalkan potensi pasar tersebut karena Indonesia masih berada
pada peringkat 10 untuk kategori produsen makanan halal.

Berdasarkan data BPS, terdapat sekitar 57 juta Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) di Indonesia dan yang telah memiliki sertifikat halal jumlahnya masih sangat sedikit.
Berdasarkan data Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku lembaga yang berwenang
mengeluarkan sertifikasi halal, pada periode 2014-2015 telah terbit sertifikat halal nasional
untuk 6.231 perusahaan dan UMKM. Sedangkan untuk perusahaan yang berasal dari luar
negeri, MUI telah menerbitkan sertifikat halal untuk 683 perusahaan yang artinya masih ada
jutaan UMKM yang belum melaksanakan sertifikasi halal. Oleh karena itu, pemerintah harus

14
mampu memaksimalkan penerbitan sertifikat halal untuk UMKM guna meningkatkan
pendapatan industri halal di Indonesia terutama dari sektor makanan halal25.

25
(Faqiyatul Mariya & Annisa Hakim Purwantini, Model Perkembangan Industri Halal Food, Muqtasid, Vol 9
No.1, 25 Juni 2018) hal 2-4.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Semua hal yang berhubungan dengan harta benda hendaknya dilihat dan dihukumi halal
atau haram dan yang dimaksud halalan thayyiban adalah adalah makanan yang boleh
dikonsumsi secara syariat dan baik dalam tubuh atau secara medis. Makanan yang dikatakan
halal apabila halal kandungan zatnya, halal memperolehnya dan halal pengolahannya. Pada
dasarnya segala bentuk muamalah adalah diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang
mengharamkannya”. Dalam konteks tersebut konsep halal haram sangatlah jelas dalam bisnis.
Kendati demikian segala bentuk inovasi dalam muamalah diperbolehkan selama tidak
bertentangan dengan agama.
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia
mencapai 237,6 juta jiwa dengan populasi umat Muslim mencapai 207 jiwa atau sekitar 87
persen. Dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia memiliki potensi pasar
yang besar bagi industri halal dunia. Namun sertifikat yang dimiliki UMKM masih sangat
sedikit sehingga pemerintah masih mempunyai tanggungan yang besar untuk menjadikan
Indonesia sebagai produsen halal food yang mencukupi.
3.2 SARAN
Pemerintah seharusnya menindaklanjuti tentang Sertifikat Halal dimana masih banyak
UMKM belum terdaftar agar Indonesia bisa menjadi produsen halal terbesar didunia. Karena
Indonesia merupakan konsumen halal product terbesar terutama dibidang makanan halal.
Pemerintah juga harus bisa mengawasi berbagai produk dan memberikan jaminan halal
didalamnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Djakfar, Muhammad. 2016. Hukum Bisnis. Malang: UIN-Maliki Press.


Abdul, M Mannan. 1995. Teori dan Praktik Ekonomi Islam. Yogyakarta : PT Dana Bakti
Wakaf.
T Ibrahim. 2004. Pemahaman Al-Quran dan Hadist. Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Djakfar, Muhammad. 2007. Agama, Etika dan Ekonomi Wacana Menuju Pengembangan
Ekonomi Rabbaniyah. Malang: UIN-Maliki Press.
Badroen, Faisal dan Suhendra. 2007. Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta: Kencana Media Group
dan UIN Jakarta Press.
Burhanuddin. 2011. Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen. Malang: UIN-Maliki Press.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Rajawali
Pers.
Apriyantono, Anton. 2003. Panduan Belanja dan Konsumsi Halal, Jakarta : Khairul Bayan.
Undang-undang Jaminan Produk Halal. 2015. Jakarta: Sinar Grafika.
Djakfar, Muhammad. 2007. Pariwisata Halal Prespektif Multidimensi. Malang : UIN-Maliki
Press.
Muhamad Rafi Siregar & Azhar Alam, Halal Label on Food Products By MUI (Indonesian
Ulama Council) and Students Purchasing Decision Of Faculty of Bussiness and Economic
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Journal of Islamic Economic Laws, Volume 1 Nomor
1, July 2018
Faqiyatul Mariya & Annisa Hakim Purwantini, Model Perkembangan Industri Halal Food,
Muqtasid, Vol 9 No.1, 25 Juni 2018
Nafisah Arinalhaq. Purchase Intention On Halal Culinary Fast Food In Yogyakarta. Jurnal
Ekonomi dan Studi Pembangunan. Volume 18 Nomor 2. Oktober 2017

17

Anda mungkin juga menyukai