Anda di halaman 1dari 19

SERTIFIKASI PRODUK PANGAN HALAL DI INDONESIA

(PERSPEKTIF YURIDIS HUKUM ISLAM)

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Dyah Ochtorina Susanti., S.H., M.Hum.

Muhammad Erfan Muktasim Billah, S.H.I., M.H.I.

OLEH:

ANDHIKA PERMANA FIRDAUS

(190710101178)

HUKUM ISLAM (A)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM
2020/2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan


hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Sertifikasi Produk Pangan Halal Di Indonesia (Perspektif
Yuridis Hukum Islam) ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi


tugas ibu Dyah Ochtorina Susanti dan bapak Erfan Muktasim Billah pada
mata kuliah Hukum Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Sertifikasi Produk Pangan Halal Di
Indonesia (Perspektif Yuridis Hukum Islam) bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu Dyah Ochtorina Susanti


dan bapak Erfan Muktasim Billah, selaku dosen Hukum Islam yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya menyadari akan makalah yang telah saya tulis ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jember, 10 Juni 2021

Andhika Permana Firdaus

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Metode Penulisan 3

BAB II PEMBAHASAN 4

2.1 Prinsip Halal dalam Hukum Islam 4

2.2 Pengaturan Sertifikasi Produk Pangan Halal di Indonesia

2.3 Implikasi Sertifikasi Produk Pangan Halal di Indonesia

10

BAB III PENUTUP 13

3.1 Kesimpulan 13

3.2 Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 14

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam sudah mengatur bahwa pemeluk agama Islam (muslim)
diwajibkan untuk selalu mengonsumsi segala sesuatu yang halal. Terlebih
lagi saat produk yang dikonsumsi tersebut masuk ke dalam tubuh, seperti
produk makanan, minuman, obat-obatan, dan sebagainya. Allah SWT
memerintahkan dalam Q.S. Al Baqarah ayat 168 yang artinya,
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan,
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Ayat tersebut secara jelas dan tegas merupakan perintah Allah SWT kepada
manusia (muslim) untuk makan segala sesuatu yang halal dan baik.
Sehingga mengkonsumsi yang halal itu merupakan kewajiban bagi setiap
muslim.1
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat
ditinggalkan dalam kehidupan seharihari. Tanpa makan dan minum yang
cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan
aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan
kesehatan baik jasmani dan rohani. Akan tetapi, kegiatan mengkonsumsi
suatu bahan pangan bagi seorang muslim tidak hanya sekedar untuk
memenuhi rasa lapar tetapi lebih dari itu yaitu bentuk ibadah kepada Sang
Khaliq.2
Berkembangnya ilmu pengetahuan serta teknologi disaat ini ikut
pengaruhi proses pembuatan pangan. Misalnya dengan terdapatnya
teknologi rekayasa genetika, hibridisasi, akumulasi bahan perona, pengawet,
perasa, serta sebagainya membuat asal, bahan, proses, serta hasil ataupun
produk pangan menjadi rumit untuk didetetapkan kehalalan ataupun

1
Anton Apriyantono, LPPOM Harus diperkuat, Jurnal Halal, No. 99, Th. XVI Tahun 2013,
h. 48.
2
Pujiati Utami, Sertifikasi Halal Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Produk Olahan
Komoditas Pertanian Unggulan Daerah. Agritech: Jurnal Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah Purwokerto, Vol. 13, No. 1, 2011, h. 87.

Hal. 1
keharamannya. Tidak hanya itu, proses berikutnya seperti pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian
produk, dapat menjadi titik kritis kehalalan sesuatu produk pangan.
Sehingga dengan demikian diperlukan sesuatu pengetahuan dan keahlian
yang mencukupi dengan berpedoman pada syariat agama Islam buat bisa
memastikan kehalalan sesuatu produk pangan.
Pengaturan terkait makanan halal sejatinya telah diatur dalam Pasal
1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan, yang dimana pada pasal tersebut menyatakan bahwa, Makanan halal
merupakan makanan yang dibuat ataupun diolah tanpa adanya pencampuran
bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi bagi umat Muslim.4
Pengaturan lebih lanjut, juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut UU JPH).
Sehingga adanya sertifikasi halal dalam produk pangan adalah
sebuah kewajiban bagi pemerintah untuk mengakomodir perihal tersebut.
Namun pada saat ini, sertifikasi ataupun ciri halal masih menjangkau
sebagian kecil produk santapan yang tersebar. Bersumber pada sertifikasi
LPPOM MUI, pada tahun 2011 sampai 2018, cuma 69. 985 produk yang
telah terverifikasi halal dari 727. 617 produk yang dibuat oleh industri. 3
Sementara itu sertifikasi halal bisa pula dikatakan selaku etika bisnis yang
sepatutnya dicoba oleh produsen buat menjamin kehalalan sesuatu produk
yang diperjual- belikan.
Berdasarkan uraian singkat diatas, dalam makalah ini penulis akan
membahas mengenai Sertifikasi Produk Pangan Halal di Indonesia
(Perspektif Yuridis Hukum Islam).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Prinsip Halal dalam Hukum Islam?
2. Bagaimana Pengaturan Sertifikasi Halal di Indonesia?
3. Bagaimana Implikasi dari adanya Sertifikasi Halal di Indonesia?

3
Indah Susilowati et al., The Economic and Sharia Value of Moslem’s Awareness for Halal
Food in Indonesia”, Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi dan
Pembangunan, Vol. 19, No. 1, 2018, h. 12.

Hal. 2
1.3 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan yuridis-normatif. Penuulisan makalah ini juga menggunakan
data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, jurnal, buku,
website dan lainnya. Untuk mencari data sekunder, penulisan makalah ini
menggunakan teknik studi pustaka dalam mengolah bahan untuk menunjang
dan memperkuat argumentasi penulisan ini.

Hal. 3
BAB II

PERMBAHASAN

2.1 Prinsip Halal dalam Hukum Islam


Secara Bahasa, kata “halal” berasal dari Bahasa Arab yang sudah
diserap menjadi Bahasa Indonesia. Halal berasal dari kata “halla”yang
berarti diizinkan, dibolehkan, atau tidak dilarang, dan lawan kata dari
haram.8 Halal adalah sesuatu yang diperkenankan atau boleh dikonsumsi,
yang terlepas dari ikatan larangan, dan diizinkan oleh pembuat syari‟ah
untuk dilakukan. Sedangkan haram adalah sesuatu yang dilarang oleh
pembuat syari‟ah dengan larangan yang pasti, di mana orang yang
melanggarnya akan dikenai hukuman di akhirat, dan ada kalanya dikenai
hukuman juga di dunia.4
Halal dapat diketahui melalui dalil yang menghalalkannya secara
tegas dalam Al-Qur‟an atau Sunnah, dan dapat juga diketahui bahwa tidak
ada satu dalilpun yang mengharamkan atau melarangnya. Artinya segala
sesuatu yang dijadikan Allah, selama tidak ada larangan dari-Nya adalah
halal dan boleh dimanfaatkan, walaupun tidak ditegaskan kehalalannya
dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Dengan demikian segala sesuatu yang
ditegaskan kehalalannya, atau tidak ditegaskan tetapi tidak ada larangan,
termasuk dalam wilayah halal atau mubah.5
Berasaskan kepada penjelasan yang didasari kepada nas-nas al-
Quran, al-Hadith, Qiyas dan kaedah fiqhiyyah di atas, para ulama telah
menyusun beberapa prinsip umum sebagai asas penentuan halal dan haram
sesuatu jenis makanan. Penentuan tersebut adalah seperti berikut:
1. Hukum asal bagi segala jenis makanan adalah halal kecuali ada dalil
yang menunjukkan makanan tersebut haram seperti babi, anjing dan
seumpamanya. Berdasarkan prinsip ini, mana-mana makanan yang tidak
4
Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbanu Pers, 2002), h. 13.
5
Harun Nasution, dkk. Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 289-
290.

Hal. 4
dinyatakan sebarang dalil halal atau haramnya adalah tergolong sebagai
halal.
2. Semua binatang ternakan yang biasanya diternak oleh manusia halal
dimakan sama ada jinak atau liar adalah halal, manakala haiwan yang
dikategorikan sebagai haiwan buas sama ada jinak atau liar adalah
haram.
3. Makanan yang dimakan oleh orang Arab dan menjadi adat kebiasaan
mereka adalah halal selagi mana tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Manakala makanan yang tidak dimakan oleh mereka kerana menjijikkan
atau dianggap jijik adalah haram.
4. Semua haiwan buas yang mempunyai taring yang kuat digunakan untuk
menyerang mangsanya dan semua burung yang berkuku tajam adalah
haram. Seperti anjing, serigala, beruang, kucing, gajah, harimau belang,
harimau kumbang, monyet, helang dan seumpamanya.
5. Semua haiwan yang digalakkan dan disunatkan oleh Rasulullah untuk
dibunuh adalah haram dimakan, serta binatang yang mempunyai sengat
dan beracun seperti ular, kala jengking, gagak, helang, tikus.
6. Semua binatang kecil dan serangga seperti semut, lalat, lipas dan
sebagainya adalah haram kerana menjijikkkan. Semua jenis serangga
atau binatang kecil dan halus yang berkeliaran di atas bumi dan
dipandang jijik seperti semut, lalat, kutu, lipas dan seumpamanya adalah
haram.
7. Haiwan yang lahir hasil kacukan (daripada) binatang yang halal dan
haram adalah haram.
8. Haiwan laut yang hanya hidup dalam air adalah halal, manakala haiwan
yang hidup dua alam di darat dan air adalah haram, seperti katak dan
buaya.
9. Setiap makanan dan minuman yang mengandungi racun atau merbahaya
adalah haram. Demikian juga dengan makanan yang najis atau
bercampur dengan benda-benda yang haram atau haiwan yang
kebanyakan makanannya berupa benda-benda yang najis adalah haram.

Hal. 5
Segala makanan yang memudaratkan, beracun, kotor dan memudaratkan
jika dimakan adalah haram.
10. Setiap minuman yang memabukkan sama ada sedikit atau banyak adalah
haram.
11. Semua tumbuh-tumbuhan yang hidup di dalam air dan di darat sama ada
melata di bumi atau tidak, halal dimakan buah, daunnya, batang dan
akar selagi ia memberi manfaat dan faedah kepada tubuh badan dan
tidak memberi kemudaratan.6
Prinsip-prinsip di atas menunjukkan bahawa asas utama dalam
menentukan makanan halal dan haram adalah bercirikan makanan yang
bersih, baik dan berkhasiat. Namun begitu ini tidak bermaksud ciri-ciri
lainnya diketepikan atau tidak diambil kira tambahan pula terdapat banyak
khilaf ulama di dalam prinsip penentuan ini sendiri. Hal ini berlaku kerana
terdapat beberapa metode sandaran lain yang digunakan untuk menentukan
prinsip-prinsip tersebut, seperti al-ijma’, al-qiyās, maṣlaḥah mursalah, sadd
al-dharāi’, ‘uruf, qawl al-ṣaḥābī dan seumpamanya selain daripada
menggunakan al-Quran dan as-Sunnah sebagai rujukan utama.
2.2 Pengaturan Sertifikasi Produk Pangan Halal di Indonesia
Masuknya pengaturan terkait sertifikasi halal makanan di Indonesia
dapat dikatakan sebagai perwujudan perlindungan hak konsumen khususnya
masyarakat Muslim. Muslim sendiri berdasarkan syariat Islam telah
mengatur ajaran dan memperintahkan kepada umatnya untuk memakan
makanan yang halal. Kebersihan, kesucian, baik maupun buruk suatu
makanan selalu berkaitan dengan hukum halal dan haram.7 Adanya
sertifikasi serta labelisasi halal bukan saja bertujuan memberi ketentraman
batin pada umat Islam tetapi juga ketenangan berproduksi bagi produsen.8

6
Buang, A. H., & Hamidon, S. F., Halal, Haram dan Syubhah dalam Makanan dari
Perspektif Syariah dan Undang-Undang, Albasirah Journal, Vol. 6, No. 1, 2016, 55-56.
7
Muhammad Syarif Hidayatullah, Sertifikasi dan Labelisasi Halal Pada Makanan dalam
Perspektif Hukum Islam (Perspektif Ayat Ahkam), YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum
dan Hukum Islam, Vol. 11, No. 2, 2020, h. 3.
8
Panji Adam Agus, Kedudukan Sertifikasi Halal Dalam Sistem Hukum Nasional Sebagai
Upaya Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Islam, Amwaluna: Jurnal Ekonomi dan
Keuangan Syariah, Vol. 1, No. 1, 2017, h. 21.

Hal. 6
Pengaturan tentang produk halal di Indonesia dapat ditemukan di
dalam instrumen berikut, yang dibagi ke dalam dua periode, pertama,
periode sebelum UU JPH:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen


2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 69 tentang Label dan Iklan Pangan
5. Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman
dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Panganan Halal
6. Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga
Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal.
Kedua, setelah UU JPH:
7. Undang Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang Undang Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Jaminan
Produk Halal.
Ketentuan tentang produk halal diatur sedemikian rupa, dari hulu
hingga ke hilir di dalam UU JPH. Pada pokoknya UU JPH terbagi ke dalam
beberapa bab, yaitu:
1. Ketentuan umum;
2. Penyelenggaraan jaminan produk halal;
3. Bahan dan proses produk halal;
4. Pelaku usaha;
5. Tata cara memperoleh sertifikat halal;
6. Kerja sama internasional;
7. Pengawasan;
8. Peran serta masyarakat; dan
9. Ketentuan pidana.

Hal. 7
Pasal 1 angka 5 menyebutkan “Jaminan Produk Halal yang
selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu
produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal.” 9 Kemudian yang dimaksud
dengan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai
dengan syariat Islam.10
Salah satu karateristik yang paling menonjol dalam UU JPH adalah
sifatnya yang mandatory atau wajib. Hal ini terlihat dari bunyi Pasal 4
“Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia
wajib bersertifikat halal.”11 Dengan demikian dapat dipahami bahwa
pengaturan sertifikasi dan labelisasi produk halal bersifat wajib (Mandatory)
karena setiap produk yang diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat
halal.
Namun ada pengecualian bagi ketentuan mandatory UU JPH. Hal ini
bisa dilihat dari Pasal 26 ayat (1) yang menyebutkan “Pelaku usaha yang
memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari
mengajukan permohonan sertifikat halal”.12 Bagi pelaku usaha sebagaimana
disebutkan di atas wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada
produknya.13
Hal penting lainnya yang dibahas dalam UU JPH dan membedakan
UU JPH dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya adalah
dibentuk dan diaturnya tentang Lembaga BPJPH (Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal). Pasal 5 ayat (1) menyebutkan “Pemerintah
bertanggung jawab dalam menyelenggarakan Jaminan Produk Halal.” 14
Kemudian ayat (2) menyatakan “Penyelenggaraan JPH sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.”15 Kemudian pada ayat
(3) menyebutkan “Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana
9
Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
10
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
11
Pasal 4 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
12
Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
13
Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
14
28 Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal
15
29 Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal

Hal. 8
dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri.”16
Dalam melaksanakan wewenang tersebut BPJPH bekerja sama
dengan:17 (1) kementrian dan/atau lembaga terkait, sesuai dengan tugas dan
fungsi kementrian dan/atau Lembaga terkait;18 (2) LPH, dilakukan untuk
pemeriksaan dan/atau pengujian produk;19 (3) MUI, dilakukan dalam bentuk
sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk, dan akreditasi LPH.20
Selain BPJPH terdapat juga Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). LPH
merupakan Lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau
pengujian terhadap kehalalan produk.21 LPH dapat didirikan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat. Dalam UU JPH juga diatur tentang auditor
halal yang mana diartikan sebagai orang yang memiliki kemampuan
melakukan pemeriksaan kehalalan produk.22
Selain BPJPH, LPH, dan auditor halal, Lembaga selanjutnya yang
terlibat adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI dalam
penyelenggaraan JPH mempunyai peran dalam bidang-bidang berikut:
1. Melakukan sertifikasi terhadap auditor halal;
2. Menetapkan kehalalan produk berdasarkan fatwa halal tertulis;
3. Melakukan akreditasi terhadap LPH; dan
4. Menerbitkan fatwa haram terhadap sumber bahan produk
(makanan).
Kemudian UU JPH juga membahas tentang proses dan sertifikasi
produk halal. Pada Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa lokasi, tempat, dan
alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan

16
30 Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal
17
31 Pasal 7 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
18
32 Pasal 8 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
19
33 Pasal 9 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
20
34 Pasal 10 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
21
35 Pasal 1 ayat (8) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal
22
36 Pasal 1 ayat (9) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal

Hal. 9
penyajian produk tidak halal.23 UU JPH mengatur proses sertifikasi dan
labelisasi halal, secara khusus pengaturannya ditetapkan dalam Bab V
tentang Tata Cara Memperoleh Sertifikat Halal. Bab ini terdiri dari atas 8
bagian sekaligus tahapan, yaitu: (1) pengajuan permohonan; (2) Penetapan
LPH; (3) Pemeriksaan dan Pengujian; (4) Penetapan Kehalalan Produk; (5)
Penerbitan Sertifikat Halal; (6) Label Halal; (7) Pembaruan Sertifikat Halal;
dan (8) Pembiayaan.
2.3 Implikasi Sertifikasi Produk Pangan Halal di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang memiliki keunggulan komparatif
sebagai negara agraris dan maritim yang menjadi potensi perekonomian
yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi kegiatan bernilai tambah.
Produk-produk halal memiliki tingkat pertumbuhan rata-rata tujuh persen
per tahun, serta tumbuhnya kesadaran konsumen muslim terhadap produk-
produk halal dan meningkatnya jumlah penduduk muslim yang mencapai
1,8 milliar jiwa dari 6 milliar jiwa penduduk dunia. Dengan perkembangan
di atas, produsen dan pelaku bisnis halal telah memiliki rencana ekspansi
pasar secara internasional, termasuk untuk ekspansi pasar produk halal
Indonesia.24
Selain itu, Indonesia merupakan negara Konsumsi Halal Food
Peringkat 1 di dunia. (Thomson Reuters, 2018). Berdasarkan catatan Global
Islamic Economy Report 2018/2020, belanja penduduk muslim global pada
produk dan jasa sektor ekonomi halal mencapai lebih dari USD 2,2 triliun
pada tahun 2018. Indonesia menempati peringkat pertama sebagai
konsumen terbesar produk halal pada sektor makanan dan minuman, yaitu
dengan jumlah pengeluaran sektor sebesar USD 170 miliar.25
Produk halal Indonesia memiliki peluang besar, untuk dapat bersaing
dengan negara lain. Para pelaku usaha, baik produsen maupun eksportir

23
37 Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal
24
Dwi Purnomo, Strategi Pengembangan Agroindustri Halal Dalam Mengantisipasi Bisnis
Halal Global, (Institut Pertanian Bogor: Disertasi, 2011).
25
Shahbandeh, M, “Top Five Global Muslim Consumer Food Expenditure 2017 By
Country”, dalam https://www.statista.com/statistics/737162/global-muslim-food-and-
beverage-market/, diakses pada 10 Juni 2021 pukul 19.00

Hal. 10
Indonesia, yang telah mengantongi sertifikat halal maka produk-produk
mereka akan lebih mudah diterima oleh konsumen produk halal di negara
lain hanya dengan melihat label halal yang tercantum pada produk mereka.
Sebagai contoh, jika seorang konsumen produk halal di negara lain yang
ingin membeli makanan kalengan dan terdapat dua pilihan makanan kaleng
yang sejenis, maka konsumen tersebut akan cenderung memilih produk
yang telah mencantumkan label halal karena mereka merasa mendapat
jaminan bahwa produk yang akan dikonsumsinya benar-benar halal dan
baik. Untuk daging hewan misalnya, penyembelihannya dilakukan dengan
memotong leher hewan tersebut dengan tujuan mengambil dagingnya.
Penyembelihan secara Islam diartikan sebagai penyembelihan sesuai syariat
Islam. Daging yang dihasilkan dari penyembelihan secara Islam
menghasilkan daging yang kaya rasa, lembut, aman dan higienis. Hal ini lah
yang membuat selain konsumen muslim pun menjadi tertarik akan produk
dengan jaminan halal.26
Kebijakan sertifikasi halal memiliki manfaat ekonomis dan sangat
strategis untuk mengoptimalkan captive market. Penerapan kewajiban
sertifikasi halal bagi pelaku usaha dengan mengantongi sertifikasi halal
produk yang dijajakan tanpa disadari berdampak positif terhadap
perkembangan perekonomian di Indonesia. Dalam perspektif makro,
kehalalan sebuah produk tetap menjadi tren di banyak negara di dunia.
Apalagi, dengan jumlah penduduk muslim di Indonesia yang mencapai 87%
dari total penduduk, potensinya amatlah besar.
Implikasi positif lainnya dari mandatori halal adalah terbukanya
lapangan kerja baru. Sebab, dengan kewajiban bersertifikat halal, maka
kebutuhan SDM pendukung terlaksananya jaminan produk halal (JPH) tentu
jumlahnya besar. Di antaranya adalah kebutuhan auditor halal yang
merupakan unsur penting dan harus ada dalam LPH (Lembaga Pemeriksa
Halal). Auditor halal nantinya akan menjadi profesi yang cukup menarik.
Hal ini tentu ini akan menjadi positif bagi perkembangan halal di Indonesia
dan dunia.
26
Warta Ekspor, Jurnal Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. Ditjen
PEN/WRT/56/VII/2015, h. 9.

Hal. 11
Sertifikasi halal juga bisa menaikkan pamor ekspor karena saat ini
lembaga tersebut sudah terakreditasi ISO dan bekerja sama dengan negara-
negara muslim lain. Hal ini bisa memudahkan produk yang mengantongi
sertifikasi halal berperan di perdagangan global. Target penjualan produk
bersertifikat halal harus di ekspor ke luar negeri. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan cara memperbanyak akses dan kerja sama dengan negara
OKI dan Timur Tengah. Satu keuntungan bagi para pengusaha Indonesia
adalah bahwa Sistem Jaminan Halal MUI telah diadopsi oleh hampir
seluruh Lembaga Halal di dunia, mulai dari Asia, Australia, Eropa, hingga
Amerika dan Afrika. Jadi sertifikasi halal Indonesia sudah bisa diterima di
banyak Negara.27

27
Warto, W., & Samsuri, S, Sertifikasi Halal Dan Implikasinya Bagi Bisnis Produk Halal di
Indonesia. Al Maal: Journal of Islamic Economics and Banking, Vol. 2, No. 1, 2020. h.
110.

Hal. 12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sertifikasi halal menjadi kewajiban negara untuk memproteksi hak-
hak konsumen Muslim dari mengkonsumsi makanan, obat-obatan dan
kosmetika yang berasal dari jenis dan zat yang haram. Oleh karena itu perlu
regulasi yang lebih jauh dan tegas untuk dapat menjangkau hak-hak
konsumen Muslim. Hal ini urgen untuk dilakukan mengingat tidak semua
umat Muslim paham bahwa apa yang mereka konsumsi belumlah halal
menurut hukum syariat.
Disamping itu perlu juga untuk memberikan pemahaman, penegasan
serta pengetahuan terhadap produsen untuk menjaga hak-hak konsumen
Muslim. Sebagai negara dengan basis umat Islam terbesar di dunia sudah
selaiknya para produsen lebih mementingkan tercapainya keamanan dan
kenyamanan terhadap konsumen Muslim. Hal yang paling penting untuk
diketahui bagi para produsen adalah bahwa sertifikasi dan labelisasi halal
bukan hanya untuk keamanan bagi konsumen Muslim, melainkan juga
memberikan keuntungan ekonomis bagi produsen.
3.2 Saran
Untuk menumbuhkembangkan potensi bisnis halal di Indonesia,
dibutuhkan beberapa strategi sebagai upaya akselerasi optimalisasi,
diantaranya;
1. Pemerintah harus turun tangan dan berperan maksimal untuk ikut
membantu mengembangkan potensi bisnis halal di Indonesia.

Hal. 13
2. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
(UU JPH) harus bisa menjadi alat yang bisa mengakomodir dan
menyesuaikan dinamika bisnis halal di Indonesia.
3. Adanya pengembangan SDM dan industri halal yang kuat.
4. Menjadikan sertifikasi halal sebagai bagian dari exellent service
(pelayanan prima).

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Nasution, Harun dkk. 1992. Ensiklopedia Islam Indonesia.
Jakarta: Djambatan.
Qaradhawi, Yusuf. 2002. Halal dan Haram. Jakarta: Rabbanu Pers.

Jurnal:
Agus, Panji Adam. “Kedudukan Sertifikasi Halal Dalam Sistem Hukum
Nasional Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Dalam Hukum
Islam”, Amwaluna: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah, Vol. 1,
No. 1: 21, 2017.
A. H., Buang & Hamidon, S. F., “Halal, Haram dan Syubhah dalam
Makanan dari Perspektif Syariah dan Undang-Undang”, Albasirah
Journal, Vol. 6, No. 1: 55-56, 2016.
Apriyantono, Anton. “LPPOM Harus diperkuat”, Jurnal Halal, No. 99, Th.
XVI: 48, Tahun 2013.
Hidayatullah, M. Syarif. “Sertifikasi dan Labelisasi Halal Pada Makanan
dalam Perspektif Hukum Islam (Perspektif Ayat Ahkam)”,
YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Vol. 11, No.
2: 3, 2020.
Susilowati, Indah et al., “The Economic and Sharia Value of Moslem’s
Awareness for Halal Food in Indonesia”, Jurnal Ekonomi

Hal. 14
Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi dan Pembangunan, Vol.
19, No. 1: 12, 2018.
Utami, Pujiati. “Sertifikasi Halal Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas
Produk Olahan Komoditas Pertanian Unggulan Daerah”, Agritech:
Jurnal Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purwokerto,
Vol. 13, No. 1: 87, 2011.
Warta Ekspor, “Jurnal Kementrian Perdagangan Republik Indonesia”,
Ditjen PEN/WRT/56/VII: 9, 2015.

Warto, W., & Samsuri, S. “Sertifikasi Halal Dan Implikasinya Bagi Bisnis
Produk Halal di Indonesia”, Al Maal: Journal of Islamic Economics
and Banking, Vol. 2, No. 1: 110, 2020.

Disertasi:
Purnomo, Dwi. 2011. Strategi Pengembangan Agroindustri Halal Dalam
Mengantisipasi Bisnis Halal Global. Institut Pertanian Bogor:
Disertasi.

Website:
Shahbandeh, M. (2017, November). Top Five Global Muslim Consumer
Food Expenditure 2017 By Country, diakses 10 Juni 2021,
https://www.statista.com/statistics/737162/global-muslim-food-and-
beverage-market/.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

Hal. 15

Anda mungkin juga menyukai