Anda di halaman 1dari 5

Machine Translated by Google

Jurnal Produk dan Riset Halal


©
Hak Cipta oleh Pusat Riset dan Pengembangan Produk Halal Universitas Airlangga

KONSEP HALAL DAN THAYYIB DAN


PENERAPANNYA DI INDONESIA

KONSEP HALAL DAN THAYYIB BESERTA IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

Muhammad Cholil Nafis1

1Kepala Departemen Advokasi Majelis Ulama Indonesia,


Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

*email: cholil.nafis@uinjkt.ac.id

ABSTRAK

Masalah halal dan haram dianggap oleh umat Islam sebagai konsep dasarnya. Kata halal berasal dari kata Arab,
diperbolehkan (dalam arti apa yang diizinkan dalam syariah). Bagi umat Islam, dasar setiap perbuatan haruslah
ibadah, yaitu beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kegiatan makan juga merupakan sarana ibadah dengan
aturan dan tata cara sesuai syariat. Al-Qur'an mengatakan makan tidak hanya cukup halal tetapi harus thayyib.
Oleh karena itu, jaminan kehalalan produk menjadi penting. Kemajuan luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang makanan, obat-obatan dan kosmetik semakin berkembang. Kondisi ini mempengaruhi banyak
hal dalam pengolahan dan penggunaan bahan baku. Untuk menjaga makanan muslim dari cemaran haram,
terutama dari bahan dasarnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menjadi pionir dalam memperoleh sertifikasi
Halal.
Di Indonesia, upaya untuk memberikan sertifikat halal memakan waktu seperempat abad. MUI telah diberikan
sertifikat Halal untuk memastikan akses negara terhadap makanan, minuman, dan bahan halal. MUI juga telah
menetapkan standar halal menurut hukum Islam. Pemeriksaan dan kajian kemudian dilakukan untuk mengeluarkan
fatwa dan kemudian diterbitkan sertifikat halal. Proses sertifikasi halal belum maksimal di Indonesia karena politik
belum terintegrasi dan sarana dan prasarana belum memadai.

Kata kunci: konsep halal, jaminan produk, sertifikasi halal

ABSTRAK

Permaslahan halal dan haram merupakan konsep pokok. Kata halal berasal dari kata dalam Bahasa Arab yang
bermakna diperbolehkan (dalam arti apa yang diperbolehkan dalam syariah). Bagi umat Islam, dasar dari setiap
tindakan wajib ibadah, yaitu beribadah kepada Allah. Kegiatan makan juga merupakan sarana ibadah dengan
aturan dan prosedur sesuai dengan syariah. Kitab Suci Al-Qur'an
menjelaskan bahwa kegiatan mengkonsumsi sesuatu tidak cukup berhenti pada konsep halal, tetapi juga thayyib.
Oleh karena itu, jaminan produk halal menjadi penting. Kemajuan luar biasa dalam sains dan teknologi di bidang
makanan, obat-obatan, dan kosmetik terus meningkat. Kondisi ini mempengaruhi banyak hal dalam pengolahan
dan penggunaan bahan-bahan dasar. Untuk menjaga makanan muslim dari kontaminasi haram, khususnya dari
bahan-bahan dasar, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menjadi pelopor dalam memperoleh sertifikasi halal. Di
Indonesia, upaya memberikan sertifikat halal telah memakan waktu seperempat abad. MUI telah memberikan
sertifikat halal untuk memastikan akses negara ke makanan, minuman dan bahan halal. MUI juga telah menetapkan
standar halal menurut hukum Islam. Pemeriksaan dan studi dilakukan untuk mengeluarkan fatwa dan kemudian
dilanjutkan dengan sertifikat halal. Proses sertifikasi halal di Indonesia masih belum maksimal karena kondisi politik
yang tidak terintegrasi dan sarana dan prasarana yang tidak memadai.

Kata kunci: Konsep halal, jaminan produk, sertifikasi halal

1
Machine Translated by Google

2 Jurnal Riset dan Produk Halal Volume 2 Nomor 1, Mei 2019


MC Nafis.

PERKENALAN

Masalah halal dan haram dianggap oleh umat Islam sebagai dasar belajar Islam untuk penerapan iman. Sebaiknya
seorang muslim menghindari hal-hal yang menimbulkan kecurigaan (syubhat) untuk memastikan kedudukannya menurut
syariat Islam. Maksud dari kehati-hatian dalam bekerja, mengkonsumsi dan menggunakan barang adalah agar manusia
menjadi muslimah yang taat (abid) dan ingin diterima segala amal perbuatannya oleh Allah SWT. yang tidak paham dengan
ajaran Islam. Seringkali, halal hanya tentang makan dan minum makanan atau minuman yang diperbolehkan dalam Islam.
Islam meyakini bahwa halal mencakup makna yang lebih luas meliputi tingkah laku, perbuatan, ucapan, sikap, pakaian,
kosmetik, obat-obatan, dan sebagainya. Para Fuqaha berpendapat bahwa halal dan haram adalah apa yang difirmankan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengertian ini, Allah memberikan keputusan bagi manusia melalui Rasul-Nya (al-Saadi on
Tayseer Al-Kareem Al-Rahman fee Tafseer Kalaam Il-Mannan). Ini soal tugas kepada hamba, termasuk ketentuan agama.
Allah dan Rasul-Nya berhak membuktikan hukumnya, apakah itu halal atau haram.

Yusuf al-Qaradawi mengatakan bahwa Allah memberikan penilaian kepada hamba-Nya, sehingga siapa yang membuktikan
putusan itu di luar batas Allah.
Berdasarkan Mu’jam Lugaah al-Fuqahaa’ oleh Qala’ji dan Quneibi, kata halal berasal dari kata boleh dalam arti
diperbolehkan dalam syariat. al-Jurjani dalam Ta'rifaat mengatakan, halal adalah penaklukan. Istilahnya adalah apa yang
tidak menghukum perbuatan atau melancarkan syariat untuk dilakukan. Al-Samani dalam Qawathi' al-Adillah fi Ushul al-Fiqh
mengatakan bahwa haram adalah apa yang harus dilakukan, dan halal adalah apa yang harus dia lakukan, dan jaiz tidak
dihukum dengan apa yang dia lakukan dan tidak dihargai dengan apa yang dia lakukan. Dengan demikian, definisi halal
berdasarkan Alquran dan Hadits sangat sederhana dan jelas. Semua yang baik untuk tubuh, pikiran dan jiwa adalah halal.
Sebaliknya, segala sesuatu membawa kerugian (bahaya) bagi kesehatan: tubuh, pikiran dan jiwa adalah haram (Tafsir al-
Qur'an al-'Adhim). Dalam Pedoman Teknis Produksi Halal yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama, pangan adalah
komoditas yang akan dikonsumsi atau dikonsumsi oleh manusia, serta bahan yang digunakan dalam produksi makanan
dan minuman. Sedangkan halal diperbolehkan menurut ajaran Islam.

Kesimpulannya, halal adalah hal yang diperbolehkan oleh syariah untuk dilaksanakan, digunakan, atau diusahakan,
karena telah kehilangan hambatan yang mencegahnya atau unsur-unsur yang ditimbulkannya dengan mendapatkannya
dengan baik dan dengan kompromi antara pihak, dan bukan melalui hasil metode yang dilarang.

IDEA HALAL DAN THOYYIB

Bagi umat Islam, dasar setiap perbuatan haruslah ibadah, yaitu beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Allah berfirman: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah” (adz-Dzariat: 56). Kegiatan makan juga
merupakan sarana ibadah dengan aturan dan tata cara sesuai syariat. Al-Qur'an mengatakan makan tidak hanya cukup
untuk halal tetapi harus baik juga. Hal ini terlihat dari beberapa ungkapan kata halal dalam beberapa ayat Al-Qur'an yang
selalu diikuti dengan kata-kata kebaikan. Seperti yang saya sebutkan: “Wahai manusia, makanlah yang baik-baik yang ada
di bumi, dan jangan mengikuti jejak setan, karena dia adalah musuh yang nyata bagimu” (al-Baqarah 2: 168). “Makanlah
semua yang kamu kerjakan dengan baik, dan bertakwalah kepada Allah, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang' (al-Anfal: 69). “Makanlah semua yang telah Allah berikan kepadamu sebagai pelipur lara dan syukurilah nikmat
Allah jika kamu beribadah kepada-Nya” (an-Nahl: 114). “Dan makanlah apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai
pelipur lara dan bertakwalah kepada Allah yang dengannya kamu beriman”. (al-Maidah: 88)
Dalam ayat-ayat tersebut kata “Halal” menjadi dasar perintah memakan makanan dan minuman yang halal dan baik
karena tidak semua makanan halal itu baik. Al-Saadi on Tayseer Al-Kareem Al-Rahman fee Tafsir Kalaam Il-Mannan
menjelaskan dari Surat al-Baqarah 168 bahwa surat dari ayat ini adalah seruan yang ditujukan kepada semua manusia,
mukmin dan non mukmin. Muhammad Ali al-Sabouni dalam Shafwat al-Tafsir membenarkan ayat tersebut dengan
pemahaman yang sama bahwa ayat tersebut bersifat umum, artinya semua manusia mengkonsumsi pembenaran Allah
bagi mereka.
Imam Malik mengatakan bahwa kata baik berarti halal, seperti menguatkan kata halal. Dari sudut pandang Imam
Malik, jelas bahwa Halal dan Tayyib bertemu dalam satu pengertian sebagai penekanan.
Menurut Abu Bakar Ibnu al-Arabi, yang baik adalah kebalikan dari yang ganas, yang berarti buruk, kemudian ditambahkan
arti yang baik bagi yang bersangkutan: Pertama, apa yang pantas bagi badan atau badan dan terasa nikmat. Kedua, apa
yang dianalisis Allah (al-Arabi pada Ahkam al-Qur'an).
Hafiz Ibnu Katheer menjelaskan bahwa kata yang baik dalam ayat ini yang nikmat bagi manusia tidak membahayakan
jiwa dan raga. Yang baik juga dapat diartikan sebagai makanan dan minuman yang baik, mengandung gizi yang baik bagi
kesehatan jika dikonsumsi atau tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya atau berbahaya bagi tubuh.

©Hak Cipta oleh Pusat Riset dan Pengembangan Produk Halal Journal of Halal Product and Research
E-ISSN: 2654-9778; P-ISSN: 2654-9409
Machine Translated by Google

3 Jurnal Riset dan Produk Halal Volume 2 Nomor 1, Mei 2019


MC Nafis.

Pada dasarnya semua makanan dan minuman yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran, buah-buahan dan
hewan adalah halal kecuali beberapa yang mengandung toksin yang berbahaya bagi manusia. Prinsip umumnya adalah tidak
ada larangan konsumsi makanan halal karena vonisnya, semuanya pada asalnya halal. Al-Quran menjelaskan beberapa hal
yang dilarang. Yang Mahakuasa berkata: “Dia hanya melarang bagimu bangkai, darah, daging babi, dan apa yang telah
dipersembahkan kepada selain Allah. Tetapi barang siapa yang terpaksa [karena kebutuhan], tidak menginginkan [itu] atau
melanggar [batasnya], tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (al-Baqarah
173).
Mereka adalah tubuh, darah, babi dan hewan yang disembelih untuk mereka yang memiliki nama selain Allah, dicekik,
dipukuli, dijatuhkan, dan ditahbiskan, dan diserang oleh binatang buas, untuk hewan yang disembelih dan hewan yang
disembelih diberikan kepada berhala. Minuman haram adalah setiap jenis minuman yang memabukkan baik yang diolah dari
makanan halal maupun yang tidak halal (Abdul Malik Kamal dalam Fiqhu al-Sunnah li an-Nisaa'). Ada makanan yang halal
untuk dirinya sendiri, namun terkadang haram karena faktor pengobatan dari luar (untuk orang lain).
Makanan halal adalah semua makanan yang halal secara materi. Makanan haram adalah semua makanan yang diharamkan
secara materi. Adapun yang halal dalam cara memperolehnya adalah nyata dalam mencari dan memperolehnya, bukan dengan
cara yang haram dan bukan pula dengan cara yang salah. Karena makanan terkadang halal sendiri, haram karena cara
diperolehnya yang haram, seperti: riba, pencurian, penipuan, suap, korupsi dan perbuatan haram lainnya.

JAMINAN PRODUK HALAL

Pedoman Perlindungan Konsumen (PBB) tahun 1985 menyatakan bahwa "Konsumen di mana pun, di semua negara,
memiliki hak sosial dasar." Hak dasar tersebut dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang jelas, benar dan adil, hak atas
ganti rugi dan hak atas kebutuhan dasar manusia (Nasution 2001).
Oleh karena itu, menjadi hak dasar masyarakat dunia untuk mengetahui dan memperoleh makanan, minuman dan barang-
barang yang sesuai dengan kepercayaannya dan difasilitasi oleh negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 membebankan kepada Negara jaminan kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-
masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, jaminan kehalalan produk kepada umat Islam
Indonesia merupakan bagian dari hak dasar masyarakat yang harus difasilitasi oleh negara karena kehalalan konsumsi dan
penggunaan umat Islam adalah bagian dari ibadah. Jaminan kehalalan produk menjadi penting mengingat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang luar biasa di bidang pangan, obat-obatan dan kosmetik semakin berkembang. Banyak yang
dipengaruhi oleh pergeseran pengolahan dan penggunaan bahan baku dari yang semula sederhana dan alami menjadi
pengolahan dan penggunaan bahan mentah yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan.

Perlu diketahui bahwa sebelum berkembangnya teknologi pengolahan makanan cepat saji seperti sekarang, konsep
keharaman masyarakat masih merupakan produk yang sangat sederhana. Masalah halal atau haramnya makanan atau
minuman hanya terkait ada atau tidaknya zat yang mengandung babi atau alkohol. Makanan atau minuman yang bebas dari
kedua pasal tersebut dianggap halal. Namun kini, teknologi pengolahan makanan telah berkembang dan berubah dari sudut
pandang tersebut karena produksi makanan untuk barang konsumsi tidak hanya bergantung pada bahan utama, tetapi juga
membutuhkan bahan tambahan.
Pengolahan produk melalui penggunaan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan pencampuran
Halal dan Haram secara sengaja atau tidak sengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kemurnian produk,
diperlukan kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia,
teknik industri, biologi, farmasi dan pemahaman syariah.

Riyaz dan Khadry (2004) juga menyatakan bahwa dalam produksi produk Halal harus menerapkan konsep tiga nol,
yaitu bebas batas, bebas cacat dan bebas risiko (Prabowo dan Abdur Rahman 2016). Artinya, bahan baku tidak boleh
terkandung dalam bahan dan produk primer dan tambahan di semua lini produksi, termasuk pengotor tidak boleh mencemari
bahan yang diperlukan untuk menghasilkan produk halal. Konsekuensinya, tidak boleh ada produk yang menghasilkan produk
haram (bebas cacat) mengingat besarnya risiko yang ditanggung perusahaan jika ada klaim produk yang dilarang dan benar.
Jika ini diterapkan, tidak ada risiko (risk free) yang ditanggung perusahaan.

Memastikan produk Halal penting untuk mencapai hak-hak konsumen dan memenuhi kewajiban produsen. Produsen
harus memastikan bahwa proses produksinya menerapkan cara produksi yang Halal dan baik, artinya benar dan baik untuk
memasok bahan baku hingga siap dikonsumsi konsumen. Untuk memastikan hal tersebut, bahan baku harus aman dari
cemaran biologi, kimia, fisik dan haram. Proses produksi harus menggunakan alat dan tempat yang bersih dan terhindar dari
najis. Penggunaan bahan tambahan yang digunakan dalam produksi juga harus sesuai dengan ketentuan yang diizinkan
olehnya.

Untuk menjaga makanan muslim dari cemaran haram dari bahan dasarnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi
pionir dalam memperoleh sertifikasi Halal. Hasil ini

©Hak Cipta oleh Pusat Riset dan Pengembangan Produk Halal Journal of Halal Product and Research
E-ISSN: 2654-9778; P-ISSN: 2654-9409
Machine Translated by Google

4 Jurnal Riset dan Produk Halal Volume 2 Nomor 1, Mei 2019


MC Nafis.

diperoleh dari saat penelitian Tari Susanto menemukan bahwa adanya produk babi dalam banyak produk makanan
dan minuman. Penemuan ini dipublikasikan di Canopy Bulletin pada Januari 1988 dan menjadi populer saat
diberitakan oleh media. Dalam hal ini, penjualan produk makanan dan minuman turun hingga 80% sehingga
menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi nasional dan menimbulkan kemarahan umat Islam di Indonesia.
Situasi membaik setelah pemerintah menyetujui sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh MUI (Girindra 2008).

MUI telah tertarik apakah produk tersebut mengandung unsur-unsur dasar dari bahan haram, dan bukan
masalah faktor eksternal haram, yang berarti bahwa metode ini tidak sesuai dengan hukum Islam. Artinya unit
informasi terkonsolidasi hanya mengkaji unsur dasar makanan, minuman, barang hasil produksi dan kegunaan
lainnya, tetapi tidak mengkaji bagaimana barang diperoleh.

Dalam standar MUI, produk Halal adalah produk yang memenuhi persyaratan Halal menurut syariat Islam:
(1) Tidak mengandung babi dan komponen turunan babi; (2) Tidak mengandung bahan yang diharamkan seperti
bahan yang berasal dari organ tubuh manusia, darah, kotoran dan lain-lain; (3) Semua bahan yang berasal dari
hewan halal yang disembelih sesuai dengan tata cara syariat Islam; (4) Semua bahan yang berasal dari hewan
halal harus digunakan dan disembelih menurut syariat Islam, semua tempat penyimpanan, fasilitas perawatan,
dan tidak boleh digunakan untuk pengangkutan babi. Jika pemindahan didahului dengan penggunaan babi atau
rami lainnya, maka harus dibersihkan dengan cara yang sesuai dengan hukum Islam; (5) Semua makanan dan
minuman yang tidak mengandung alkohol (Depag 2003).
Untuk menjamin keabsahan produk, MUI mengeluarkan fatwa, Fatwa tersebut dapat diterbitkan sehingga
sertifikat Halal dapat diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan dan penilitian. Auditor melakukan penelitian, audit
terhadap pabrik (perusahaan) yang mensyaratkan sertifikasi Halal. Pengujian yang dilakukan meliputi: (i)
pemeriksaan menyeluruh terhadap bahan produk, baik bahan baku maupun bahan unggulan; (2) Periksa manual
pada pembelian bahan produk. Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa di laboratorium, terutama untuk bahan-
bahan yang diduga tidak murni atau mengandung najis untuk mendapatkan hasil. Hasil pemeriksaan dan audit
Lembaga Evaluasi Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika kemudian dituangkan dalam sebuah catatan dan berita
acara. Rekaman itu kemudian disampaikan kepada Majelis Fatwa Majelis Ulama untuk memutuskan putusan
(MUI 2008).
Untuk menjamin kehalalan produk yang telah mendapatkan sertifikat halal, MUI menyatakan jika dikemudian
hari ditemukan produk tersebut mengandung barang mentah atau najis, sertifikat halal yang dikeluarkan oleh
Majelis Ulama dibatalkan.
Untuk menjamin kehalalan produk, MUI mencoba mengintegrasikan kedua konsep tersebut menjadi “halal
yang baik” dalam bentuk teori dan praktik. Cara pembuktian keabsahan kalimat baik berupa obat-obatan,
kosmetika, makanan maupun minuman, dengan mengirimkan tenaga ahli untuk memeriksa tempat pembuatan
produk mulai dari bahan baku hingga proses dan prosedur, sehingga mengetahui dengan pasti apa yang dimaksud
dengan kalimat tersebut. dimuat dalam isi produk mulai dari proses bahan baku dimasak, dan dari pembelian
hingga barang.
Di Indonesia, upaya untuk memberikan sertifikat halal memakan waktu seperempat abad. Namun, dalam
jangka waktu yang lama, perkembangannya tidak sehebat Malaysia dan Thailand.
Daya saing Indonesia dalam pengembangan industri pertanian Halal Asia Tenggara berada di urutan kelima, lebih
tinggi dari Filipina saja. Indonesia unggul hanya pada faktor potensi pasar, sistem sertifikasi halal, lembaga
sertifikasi, dan ketersediaan bahan baku. Sementara infrastruktur logistik, komitmen dan kebijakan pemerintah,
serta kemampuan advokasi internasional dan domestik, Indonesia berada di bawah negara lain.

Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, namun
efektivitas implementasi kebijakan masih relatif rendah atau belum terlaksana. Hal ini disebabkan belum
beroperasinya Lembaga Jaminan Produk Halal karena peraturan pemerintah belum final. Implementasi kebijakan
penanganan makanan halal belum banyak disosialisasikan kepada masyarakat, terutama bagi industri makanan
sebagai produsen utama.

KESIMPULAN

Implementasi ajaran Islam terkait dengan implementasi yang dekat dengan halal dan jauh dari haram.
Halal adalah sesuatu yang diperbolehkan dan Haram adalah sesuatu yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, adanya ketaatan wajib diikuti dengan perintah yang ditetapkan oleh Allah SWT dan menjauhi
segala larangan.
Makanan, minuman dan barang dalam Islam mengandung unsur ibadah yang erat hubungannya dengan
masalah halal dan haram. Meskipun Alquran menjelaskan banyak hal yang pada dasarnya tabu untuk dikonsumsi,
namun dalam praktiknya Indonesia dan beberapa negara menggunakan sertifikasi Halal karena memang demikian

©Hak Cipta oleh Pusat Riset dan Pengembangan Produk Halal Journal of Halal Product and Research
E-ISSN: 2654-9778; P-ISSN: 2654-9409
Machine Translated by Google

5 Jurnal Riset dan Produk Halal Volume 2 Nomor 1, Mei 2019


MC Nafis.

berdasarkan prinsip kehati-hatian. Ini adalah ekspektasi dari banyaknya barang produksi yang menggunakan bahan baku atau
campuran barang yang mengganggu atau tidak bersih.
Indonesia telah berpartisipasi dalam konvensi internasional, UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan negara.
MUI telah diberikan sertifikat Halal untuk memastikan akses negara terhadap makanan, minuman, dan bahan halal. MUI juga
telah menetapkan standar halal menurut hukum Islam. Pemeriksaan dan kajian kemudian dilakukan untuk mengeluarkan fatwa
dan kemudian diterbitkan sertifikat halal. Sertifikasi halal belum maksimal di Indonesia karena politik belum terintegrasi dan
sarana dan prasarana belum memadai.

REFERENSI

al-Arabi, Abu Bakr Muhammad bin Abdullah Ibn, Ahkam al-Qur'an Volume 2/32. Beirut (KWT): Dar al
Fikr.
al-Jarjani, Ali Muhammad bin Ali. 1405. At-Ta'reefat, Tahqiq oleh Ibrahim al-Abiari, Beirut (KWT): Dar
al-Kuttab al-Arabi. Bagian 1/124
al-Saadi, Abdul Rahman bin Nasser. 2000/1420. Tayseer Al-Kareem Al-Rahman biaya Tafsir Kalaam Il-Mannan. Bagian 1
halaman 288, edisi 1. Muassasah al-Risalah
al-Samani, Abi al-Muzaffar Mansour bin Mohammed bin Abdul-Jabbar. Qawathi' al-Adillah fi Ushul al
Fiqh. Bagian 1 Halaman 10. Beirut (KWT): Dar al-Kut al-Ulum.
al-Sabouni, Muhammad Ali, Shafwat al-Tafsir Volume 1/113. Beirut (KWT): Dar al-Fikr.
[Depag] Departemen Agama Republik Indonesia. 2003. Panduan Sertifikat Halal. Jakarta (ID):
Departemen Agama.
Girindra A. 2008. LPPOM MUI, dari Sertifikasi menuju Labelisasi Halal. Jakarta (ID): Pustaka Jurnal
Halal.
Ismail, Abi al-Fidaa bin 'Umar bin Kharj, 1420/1999. Tafsir al-Qur'an al-'Adhim. Bagian 1 Halaman 487.
Dar al-Taiba.
Kamal, Abdul Malik bin Sayed Salem. Fiqh al-Sunnah li an-Nisaa': 493.
[MUI] Majelis Ulama Indonesia. 2008. Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia. Jakarta
(ID): MUI.
Nasution Az. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Yogyakarta (ID): Diadit Media.
Prabowo S, Abd Rahman A. 2016. Sertifikasi halal sektor industri pengolahan hasil pertanian, Forum
Penelitian Agro Ekonomi 34(1): 63.
Riaz NM, Chaudry MM. 2004. Produksi makanan halal. Florida (AS): CRC Press LLC.
Qala'ji MR, Quneibi MS. Mu'jam Lugaah al-Fuqahaa'. Beirut (KWT): Dar al-Kutab al-Arabi, tahun 1405:
1/183.

©Hak Cipta oleh Pusat Riset dan Pengembangan Produk Halal Journal of Halal Product and Research
E-ISSN: 2654-9778; P-ISSN: 2654-9409

Anda mungkin juga menyukai