Anda di halaman 1dari 18

KONSEP, PERKEMBANGAN, PELUANG, DAN TANTANGAN

MAKANAN HALAL DI KUDUS JAWA TENGAH

Disusun Oleh :

Adam Darmaji (202211669)

Email: 202211669@std.umk.ac.id

ABSTRAK

Teks ini membahas tentang pentingnya makanan halal dalam Islam dan kebutuhan
untuk memilih makanan yang sehat menurut ajaran agama. Di daerah Kudus,
masyarakat perlu lebih jeli dalam memperhatikan aspek kehalalan dan kesehatan
makanan. Meskipun ada beberapa orang yang masih mengkonsumsi makanan
yang tidak berlabel halal, ada juga faktor ekonomi yang mempengaruhi pilihan
mereka. Masyarakat di Kudus lebih mengutamakan cita rasa makanan daripada
kehalalannya. Namun, dalam Islam, makanan halal memiliki nilai spiritual dan
mencerminkan akhlak yang baik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
deskriptif kuantitatif untuk menganalisis kontribusi sektoral terhadap
perekonomian di Kabupaten Kudus. Selain itu, teks juga menjelaskan konsep
makanan halal, standar makanan halal, standar makanan thayyib, perkembangan
makanan halal di Kudus, dan peluang industri makanan halal di Kudus.

PENDAHULUAN

Sebagai makhluk hidup manusia pasti membutuhkan makanan. Manusia


membutuhkan makanan untuk mengembangakan jasmani dan rohani dalam
memilih makanan yang baik, sebagai umat islam hendaklah kita memilih makanan
yang sehat menurut Islam. Dalam ajaran Islam banyak peraturan yang berkaitan
dengan makanan, dari mulai mengatur makakan yang halal dan haram, etika
(adab) makanan, sampai mengatur identitas dan kualitas makanan yang akan
dikonsumsi. Melihat banyaknya produk-produk makanan yang beredar disekitar
kita seharusnya kita harus lebih selektif dalam menentukan makanan.

Masyarakat khususnya di daerah Kudus hendaknya lebih jeli melihat


aspek kehalalan dan kesehatannya. Terlebih kita sebagai umat muslim karena hal
ini berupa perintah al-Quran dalam surah al-Ma’idah ayat 88 yang artinya “Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan
kepada mu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
Fenomena yang terjadi mengenai perspektif masyarakat dalam mengkonsumsi
makanan halal memang sudah pernah diangkat oleh sebagian orang. Ditemukan
bahwasanya masyarakat masih mengkonsumsi makanan yang tidak berlabel halal
dikarenakan mereka percaya dengan hanya melihat produknya maka tidak
masalah untuk dikomsumsi. Pada penelitian ini ditemukan bahwa bukan hanya
kepercayaan masyarakat saja akan tetapi juga faktor ekonomi yang dihadapi.
Karena makanan yang tidak di kemas dengan ada label halal maka makanan
tesebut bisa lebih murah di banding dengan makanan yang dikemas dengan baik,
seperti makanan yang bermerek dan dikemas dengan baik dan
mempunyai label halal.

Dalam memilih makanan, kebanyakan masyarakat di daerah Kudus lebih


mengutamakan cita rasa makanan dan kurang memperdulikan kehalalannya.
Sejalan dengan ajaran syariah Islam konsumen Muslim menghendaki agar
produk-produk yang akan dikonsumsi terjamin kehalalannya dan kesuciannya.
Dalam ketentuan halal, haram, thayyib, dan syubhat terkandung nilai spritual serta
mencerminkan keluhuran budi pekerti dan akhlak seseorang. Oleh karenanya,
syariah Islam menaruh perhatian yang sangat tinggi dalam menentukan makanan
mimunan itu halal, haram, atau meragukan (syubhat).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif, yang


bertujuan untuk menggambarkan atau menjelaskan kondisi aktual suatu wilayah
dengan menggunakan data yang disajikan dalam analisis kontribusi sektoral
terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) di Kabupaten Kudus.
Penelitian ini akan menganalisis peran masing-masing sektor dalam
perekonomian Kabupaten Kudus untuk mengetahui sektor mana yang
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian di wilayah
tersebut.

KONSEP MAKANAN HALAL DI KUDUS

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan setiap aspek kehidupan


umatnya. Semua aktivitas manusia diatur dengan baik dalam Islam, termasuk
dalam hal makanan. Islam memberikan petunjuk yang jelas bahwa segala sesuatu
yang memberikan manfaat diperbolehkan, sementara yang membawa mudharat
dilarang. Salah satu hal yang diatur dalam Islam adalah makanan, yang sangat
penting bagi kehidupan sehari-hari manusia. Memakan makanan halal setiap hari
memiliki dampak positif, seperti meningkatkan akhlak yang baik, memperbaharui
hati, memperkuat doa, dan bermanfaat bagi pikiran dan tubuh. Secara bahasa
kuliner dapat "Makanan" memiliki arti dalam bahasa Arab sebagai "tha'am",
"aklun", dan "ghidha'un", yang mengacu pada merasakan atau memasukkan
sesuatu ke dalam perut melalui ekspresi. Istilah "ghidza" juga digunakan dalam
bahasa Indonesia untuk menggambarkan asupan gizi. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, "kuliner" merujuk pada segala bentuk yang bisa dicicipi dan
dikonsumsi, seperti nasi, lauk-pauk, dan sebagainya. Secara umum, "makanan"
dalam istilah umum dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang bisa dikonsumsi,
baik berasal dari darat maupun dari laut. Makanan halal, dalam konteks syariat
Islam, merujuk pada makanan yang diperbolehkan untuk dikonsumsi sesuai
dengan ajaran Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW (Shihab Q.M, 2020).

Kata ”halal” dan ”haram” terdapat di istilah Alquran dan ini dipergunakan
dalam berbagai daerah menggunakan konsep tidak selaras, dan sebagiannya
berkaitan dengan makanan serta minuman. kedua istilah tadi jua digunakan pada
Hadist Nabi Saw. Halal secara bahasa, dari sebagian pendapat, dari dari akar kata
‫ل‬9‫ الح‬yang adalah ‫ة‬9‫ اإلباح‬adalah sesuatu yang dibolehkan dari syariat. Al-Jurjani
menulis, kata ”halal” asal asal kata ‫ الحل‬yang berarti ” terbuka” (‫(الفتح‬. Secara kata,
berarti setiap sesuatu yang tidak dikenakan sanki penggunaannya atau sesuatu
perbuatan yang dibebaskan syariat buat dilakukan.” berdasarkan Abû Ja‘far al-
Thabârî (224-310 H), lafaz halâl berarti terlepas atau terbebas.

Kuliner yang dikonsumsi haruslah halal dan thayyib. Makanan halal dan
thayyib dapat dipahami dari segi bahasa dan istilah. Kata "thayyib" memiliki arti
"lezat", "baik", "sehat", "paling utama", dan "menenteramkan" secara etimologis.
Dalam konteks makanan, menurut beberapa pakar tafsir, thayyib berarti makanan
yang bebas dari kotoran zat dan tidak rusak atau tercemar oleh benda-benda
haram. Pendapat lain mengartikannya sebagai makanan yang enak dan
mengundang selera, serta tidak membahayakan fisik dan akal. M. Quraish Shihab
menyimpulkan dari pendapat para ahli tafsir bahwa makanan yang thayyib adalah
makanan yang sehat, proporsional (tidak berlebihan), aman untuk dikonsumsi, dan
tentunya halal.

Standar Makanan Halal

Untuk mengatasi permasalahan yang muncul akibat maraknya produk non


halal di Indonesia, pemerintah telah mengimplementasikan standar halal dalam
bentuk Manual Sistem Jaminan Halal. Manual ini diterbitkan oleh Lembaga
Pengawasan Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(LPPOM-MUI). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ramlan dan Nahrowi
(2014), Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan sebuah sistem yang
menggabungkan, mengaitkan, dan mengintegrasikan konsep-konsep syariat Islam
yang berkaitan dengan halal dan haram, etika bisnis dan manajemen, prosedur dan
mekanisme kerja, serta implementasi dan evaluasi.

a. Kebijakan Halal
Kebijakan halal adalah sebuah pernyataan tertulis yang dikeluarkan oleh
perusahaan yang berkaitan dengan aktivitas produksi makanan halal. Perusahaan
diharapkan untuk secara rinci menjelaskan komitmen mereka dalam menjaga
konsistensi produksi makanan halal, termasuk dalam proses pengadaan,
penggunaan, pengolahan, penyajian, dan pemasaran produk yang ditawarkan.b.
Tim Manajemen Halal

Manajemen puncak bertanggung jawab untuk membentuk tim manajemen halal.


Tim ini adalah sebuah struktur organisasi internal yang bertugas mengelola semua
fungsi dan kegiatan manajemen yang terkait dengan produksi produk halal. Dalam
menjalankan tugasnya, tim manajemen halal dapat melibatkan semua bagian
perusahaan yang terkait dengan sistem dan proses produksi halal..

c. Pelatihan dan Edukasi

Perusahaan perlu menyelenggarakan pelatihan bagi semua anggota yang terlibat


dalam Sistem Jaminan Halal. Pelatihan ini harus melibatkan semua personel yang
pekerjaannya berpotensi mempengaruhi status kehalalan produk. Posisi pekerjaan
yang memiliki potensi dampak terhadap status kehalalan produk harus
ditempatkan pada karyawan yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan
pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang dimiliki. Ada dua jenis pelatihan
yang dilakukan, yaitu pelatihan internal dan pelatihan eksternal. Pelatihan internal
adalah pelatihan yang diselenggarakan oleh perusahaan setidaknya satu kali dalam
setahun. Sedangkan pelatihan eksternal adalah pelatihan yang diselenggarakan
oleh Lembaga Pengawas Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika atau Majelis
Ulama Indonesia (LPPOM MUI), minimal dua tahun sekali. Hal ini bertujuan
untuk memastikan bahwa semua anggota tim memiliki pemahaman yang memadai
tentang kebutuhan dan persyaratan dalam menjaga kehalalan produk.

d. Bahan

Bahan baku, bahan tambahan, dan bahan pendukung yang digunakan dalam
pembuatan produk yang disertifikasi harus bebas dari barang yang haram dan
najis. Dalam hal ini, kecuali untuk bahan-bahan yang tidak kritis atau bahan yang
dapat dibeli secara ritel, perusahaan harus memiliki dokumen pendukung untuk
semua bahan yang digunakan dalam proses produksi. Hal ini bertujuan untuk
memastikan bahwa semua bahan yang digunakan memenuhi persyaratan halal dan
tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

e. Produk

Produk yang ditawarkan oleh perusahaan harus memiliki karakteristik yang tidak
menunjukkan kecenderungan bau atau rasa yang mengarah kepada produk haram
atau yang telah dinyatakan haram oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Selain
itu, perusahaan juga dilarang menggunakan nama dan merek produk yang
menggunakan nama yang dilarang dalam syariat Islam. Hal ini bertujuan untuk
menjaga agar produk yang ditawarkan sesuai dengan prinsip-prinsip halal dan
tidak menimbulkan kebingungan atau keraguan terkait status kehalalannya.

f. Fasilitas Produksi

Rumah Makan harus memenuhi ketentuan-ketentuan terkait fasilitas produksi


sebagai pendukung dalam proses produksi dan pemasaran produknya. Salah
satunya adalah menjaga agar dapur hanya digunakan untuk produksi makanan
halal. Selain itu, fasilitas dan peralatan yang ada juga hanya boleh digunakan
untuk aktivitas memproduksi makanan halal. Hal ini penting untuk memastikan
bahwa semua langkah dalam proses produksi dilakukan dengan memenuhi standar
halal yang ditetapkan.

Standar Makanan Thayyib

Makanan atau minuman yang dikategorikan sebagai halal seharusnya


mudah dikenali oleh masyarakat dan harus diawasi oleh badan yang ditetapkan
oleh pemerintah. Jika hal ini tidak dilakukan, dapat berdampak pada situasi yang
tidak diinginkan, seperti masih adanya sensitivitas terhadap isu halal dan haram.
Meskipun suatu makanan secara visual dianggap halal, namun jika unsur thayyib
(kebaikan, kesucian, kebersihan) diabaikan, makanan tersebut dapat berubah
menjadi haram. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa aspek halal dan
thayyib diperhatikan dengan baik dalam pengawasan dan regulasi makanan oleh
badan yang berwenang.

Berikut ini merupakan penjabaran dari beberapa kriteria makanan thayyib


diantaranya yaitu:

a. Kebersihan dan Kesucian

Makanan dan minuman yang halal memerlukan perhatian pada berbagai aspek,
termasuk proses pembuatan atau penyediaan, kebersihan, kesucian, konten, alat
masak, dan tempat. Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan untuk
memastikan makanan halal adalah sebagai berikut:

1. Makanan tidak berasal dari hewan yang dilarang dan harus disembelih sesuai
dengan syariat Islam.

2. Makanan tidak mengandung bahan yang haram dan najis, seperti minyak babi,
bangkai, alkohol, atau narkoba.

3. Proses pembuatan, alat yang digunakan, dan bahan-bahan yang digunakan


harus bebas dari bahan najis dan haram.

4. Makanan tidak boleh bercampur dengan bahan najis dan haram, baik dalam
proses penyediaan, pengolahan, maupun penyimpanan.

Dalam menjaga kehalalan makanan dan minuman, penting untuk memastikan


bahwa semua ketentuan ini terpenuhi agar dapat memenuhi persyaratan makanan
halal.

b. Sumber Makanan

Sumber-sumber pangan merupakan anugerah dari Allah SWT yang memenuhi


kebutuhan jasmani dan rohani manusia. Pendapatan, penghasilan, dan pencarian
hidup merupakan bentuk sumber rezeki yang terkait dengan makanan dan
minuman yang dikonsumsi. Jika sumber rezeki berasal dari hal-hal yang haram
atau meragukan, maka makanan yang dihasilkan dianggap haram. Contoh sumber
rezeki yang haram meliputi korupsi, riba, pencurian, suap, dan lain sebagainya.
Mayoritas umat Islam sudah mengetahui dan memahami larangan-larangan dalam
syariat Islam terkait dengan tindakan-tindakan tersebut. Tindakan-tindakan yang
dilarang ini tidak hanya berdampak pada makanan, tetapi juga pada sandang dan
papan, yaitu kebutuhan pokok lainnya.

c. Tidak Merusak Fisik dan Mental

Makanan dan minuman yang halal pada dasarnya dianggap baik, namun menurut
penjelasan al-Ghozali, kebaikan tersebut bersifat relatif dan dapat bervariasi
tergantung pada kondisi fisik dan mental setiap individu. Penjelasan ini
mendorong manusia untuk menjadi bijaksana dalam memilih makanan yang
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kesehatan masing-masing. Sebagai contoh,
bagi seseorang yang menderita diabetes, konsumsi makanan atau minuman yang
mengandung gula berlebihan dianggap merugikan dan harus dihindari. Meskipun
pada dasarnya makanan tersebut halal dan baik, status hukumnya menjadi haram
ketika dikonsumsi oleh orang dengan kondisi kesehatan tersebut karena dapat
membahayakan kesehatannya.

d. Tidak Mengandung Syubhat

Dalam konteks ini, syubhat mengacu pada ketidakjelasan atau keraguan terkait
status kehalalan suatu produk. Saat ini, kita sering menemui makanan atau
minuman yang status kehalalannya diragukan. Syubhat dapat muncul karena
keraguan dalam proses persiapan, pengolahan, pemrosesan, penyajian, dan faktor-
faktor lainnya, bukan karena jenis makanan itu sendiri. Selain itu, dengan adanya
perkembangan teknologi di era globalisasi, industri makanan melakukan berbagai
rancangan, inovasi, dan percobaan yang membuat penentuan status hukumnya
menjadi sulit (Thabrani, 2018).

PERKEMBANGAN MAKANAN HALAL DI KUDUS

Menurut data Indonesian Halal Watch (IHW), terdapat sekitar 119 juta unit mikro,
kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Namun, sebanyak 96 persen dari
jumlah tersebut belum memiliki sertifikat halal. Isu polemik muncul terkait
dengan implementasi Undang-Undang No. 33 tahun 2014 yang menetapkan
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai badan yang
bertanggung jawab dalam penerbitan sertifikasi halal. Namun, hingga saat ini,
regulasi ini belum dilengkapi dengan auditor halal yang resmi. Sebagai respons
terhadap masalah ini, pemerintah kemudian mengembalikan mandat sertifikasi
halal kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan saran dari Omnibus
Law (islamtoday.id, 2020). Untuk mendukung perkembangan industri halal,
Presiden Jokowi telah meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia
(MEKSI) periode 2019-2024. Pada tahun 2019, pemerintah Indonesia mulai
melaksanakan proyek pembangunan Kawasan Industri Halal Modern di Cikande
dengan luas lahan 500 hektar. Selain itu, Kementerian Perindustrian juga terlibat
dalam pembangunan kawasan industri halal di Batamindo Industrial Park, Bintan
Industrial Estate, dan Jakarta Industrial Estate. Bank Indonesia (BI) telah
mengusulkan lima strategi untuk mewujudkan Agenda Ekonomi Syariah di
Indonesia, yaitu meningkatkan daya saing, meningkatkan sertifikasi,
meningkatkan koordinasi, meningkatkan publikasi, dan meningkatkan kerja sama.
Selain itu, BI juga perlu memperbaharui basis data mengenai informasi halal
domestik agar program pemerintah dapat dilaksanakan dengan tepat. Meskipun
pariwisata halal telah sukses, industri halal Indonesia masih memerlukan upaya
keras untuk mencapai keberhasilan tersebut. Hal ini penting agar Indonesia tidak
hanya menjadi konsumen industri halal, tetapi juga dapat menjadi produsen
seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Pemerintah perlu secara cepat
menyelesaikan permasalahan dan polemik terkait peraturan undang-undang serta
pelaksanaannya, termasuk masalah potensi maladministrasi dalam UU Jaminan
Produk Halal, kesiapan Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJH),
permasalahan tenaga auditor halal, dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-
obatan, dan Kosmetika Halal (LPH). Di Jawa Tengah, terdapat potensi yang
sangat besar untuk pertumbuhan dan pengembangan UMKM, termasuk UMKM
halal. Namun, ada beberapa tantangan yang menghadang di sepanjang jalan
tersebut. Dalam era perdagangan bebas dan perekonomian global, UMKM
dihadapkan pada tuntutan untuk menghasilkan produk yang berkualitas,
kompetitif, dan memiliki daya saing tinggi. Konsumen saat ini semakin cerdas
dan kritis, baik di pasar nasional maupun internasional. Mereka tidak hanya
menginginkan produk dengan standar mutu yang tinggi, tetapi juga mengharapkan
perlindungan terhadap kesehatan, lingkungan, serta memperhatikan aspek sosial,
budaya, dan agama.

Oleh karena itu, kehalalan produk bukan hanya menjadi isu yang terkait dengan
agama, terutama Islam, tetapi juga telah menjadi bagian dari realitas bisnis dan
perdagangan. Untuk tetap bersaing, UMKM halal perlu memastikan bahwa
produk mereka memenuhi standar kehalalan, serta memperhatikan aspek-aspek
lain yang menjadi kebutuhan dan harapan konsumen. Referensi: Borzooei, M., &
Asgari, A. (2013). The Importance of Halal Food Market. World Applied Sciences
Journal, 24(3), 314-318. Makanan ringan adalah jenis makanan yang tidak
termasuk nasi dan biasanya dikonsumsi sebagai camilan di antara waktu makan.
Makanan ringan juga dikenal sebagai kudapan atau snack. Untuk memastikan
kualitas makanan tersebut, beberapa faktor perlu diperhatikan, termasuk
ketersediaan zat gizi yang diperlukan dalam makanan dan upaya pencegahan
kontaminasi dengan zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan. Makanan yang
dianggap sehat atau aman untuk dikonsumsi harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:

a. Sesuai dengan komposisi makanan yang diinginkan, memenuhi standar dalam


proses pembuatannya, dan layak untuk dikonsumsi.

b. Tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme atau partikel kecil yang dapat


menyebabkan penyakit atau benda-benda tidak hidup yang mengotori makanan,
baik selama proses pembuatan maupun penanganannya.

c. Tidak mengandung zat kimia berbahaya atau tidak rentan terhadap kerusakan
yang disebabkan oleh zat kimia tertentu, serta tidak mengalami perubahan akibat
aktivitas enzim atau kerusakan yang disebabkan oleh tekanan, pembekuan,
pemanasan, pengeringan, dan proses serupa.
d. Bebas dari parasit dan organisme mikroskopis yang dapat menyebabkan
penyakit bagi mereka yang mengonsumsinya.

PELUANG MAKANAN HALAL DI KUDUS

1.Industri Halal Merupakan Kebutuhan dan Gaya Hidup.

Industri halal menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat Muslim di seluruh dunia dan
memiliki potensi untuk berkontribusi dalam pemulihan ekonomi global serta menjadi
katalisator untuk berbagai nilai tambah. Pertumbuhan pasar global untuk produk halal,
termasuk melibatkan banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) halal,
telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
ekonomi halal nasional, mencapai jumlah sebesar US$ 3,8 miliar per tahun. Peluang
untuk peningkatan permintaan dalam industri halal di seluruh dunia semakin meningkat
seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk Muslim di dunia. Diperkirakan bahwa
total jumlah penduduk Muslim akan meningkat dari 1,6 miliar jiwa pada tahun 2010
menjadi 2,2 miliar jiwa pada tahun 2030 (Kementerian Keuangan, 2021). Konsumsi halal
telah menjadi bagian dari gaya hidup dan budaya masyarakat Muslim di berbagai negara.
Ini dilakukan sebagai bentuk pemenuhan syariat agama yang melibatkan aspek
kebersihan dan kehigienisan. Masyarakat Muslim tidak hanya puas dengan pemenuhan
kebutuhan primer, tetapi juga terus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan ekspresi
dan spiritualitas mereka. Gaya hidup halal mencakup peningkatan kesadaran halal tidak
hanya di kalangan Muslim, tetapi juga di antara masyarakat umum. Fenomena ini terlihat
dalam pemilihan konsumen untuk memilih makanan halal, mengenakan pakaian
Muslimah, berwisata ke destinasi yang ramah Muslim (Muslim-friendly), atau
menggunakan produk-produk syariah dalam transaksi. Gaya hidup halal didasarkan pada
kesadaran bahwa halal bukan hanya perintah agama, tetapi juga memiliki manfaat yang
baik bagi kehidupan.
Hal ini membuka peluang baru di sektor industri halal. Kebutuhan sehari-hari seperti
kuliner, fashion, farmasi, dan pariwisata menjadi bidang bisnis halal yang menarik dan
menjanjikan.
1. Beragam Variatif Produk Halal
Peningkatan preferensi masyarakat terhadap produk halal telah berdampak pada
semakin beragamnya produk halal yang tersedia di pasaran. Hal ini disebabkan oleh
jumlah penduduk yang besar dan peningkatan pendapatan masyarakat Muslim, yang
mendorong permintaan akan produk halal yang semakin tinggi. Keragaman produk halal
ini bertujuan untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat.
Industri halal yang memiliki beragam variasi dapat dilihat dalam sektor makanan halal,
sektor farmasi, sektor busana muslim, sektor kosmetik, dan sektor wisata halal. Pasar
untuk produk-produk ini tumbuh pesat sekitar tujuh persen setiap tahun di negara-
negara besar di Asia seperti Indonesia, China, Pakistan, dan India. Bahkan di negara-
negara Eropa, meskipun merupakan wilayah minoritas Muslim, daya beli terhadap
produk halal cenderung meningkat, sehingga nilai pasar produk halal mengalami
pertumbuhan yang signifikan (Kementerian Perindustrian, 2021). Indonesia merupakan
pasar terbesar di dunia untuk makanan dan minuman halal, seperti yang dinyatakan
dalam State of Global Islamic Economy Report 2019. Pada tahun 2019, Indonesia
menghabiskan USD 173 miliar untuk konsumsi makanan halal, yang menunjukkan
potensinya yang signifikan sebagai pasar global untuk industri makanan halal. Potensi
industri fesyen Muslim di Indonesia juga tidak kalah signifikan. Industri fesyen Muslim
telah mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dari tahun ke tahun. Pada tahun
2019, nilai ekspor sektor fesyen Muslim mencapai USD 9,2 miliar, menyumbang 9,8%
dari total ekspor industri manufaktur. Di pasar domestik, konsumsi produk fesyen muslim
telah mencapai USD 20 miliar, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 18,2% (Redaksi FIN
2019). Indonesia berada di peringkat ketiga dalam Top 10 Modest Fashion dan Top 10
Fashion Muslim Consumer Markets, dengan total pengeluaran sebesar USD 21 miliar,
seperti yang dinyatakan dalam State of Global Islamic Economy Report 2019. Pandemi
COVID-19 menyebabkan penurunan industri halal pada tahun 2020 dibandingkan
dengan tahun 2019. Namun, hal ini tidak berlaku bagi konsumsi produk kosmetik halal.
Konsumsi produk kosmetik halal mengalami peningkatan positif sebesar 0,71 persen
menurut data Tabel Konsumsi Kosmetik Indonesia Tahun 2019-2020. Konsumsi produk
kosmetik halal di Indonesia mencapai USD 4,19 miliar dari total konsumsi kosmetik
global sebesar USD 66 miliar menurut State of The Global Islamic Report 2020/2021.
Peningkatan ini bisa dikaitkan dengan perubahan gaya hidup yang lebih sehat, di mana
produk kosmetik halal dianggap lebih aman untuk digunakan. Selama masa pandemi
COVID-19, industri farmasi lebih fokus pada produksi obat dan vitamin. Sementara itu,
produksi obat-obatan lainnya mengalami penurunan, kemungkinan disebabkan oleh
kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi vitamin guna meningkatkan daya
tahan tubuh (kontan.co.id:2020). Saat ini, perusahaan- Perusahaan farmasi sedang
mempersiapkan diri untuk memperoleh sertifikasi halal. Hingga bulan Oktober 2019,
sekitar 25,7% atau 53 perusahaan farmasi telah memperoleh sertifikat halal. Jumlah
produk farmasi yang telah bersertifikat halal, termasuk obat dan vaksin, mencapai 2.586
produk. Salah satu alasan utama mengapa sertifikasi halal dalam industri farmasi di
Indonesia masih tergolong lambat adalah karena sebagian besar bahan baku obat masih
diimpor, sekitar 95%, terutama dari Tiongkok, India, Amerika, dan Eropa. Meskipun
demikian, terdapat peluang yang besar untuk pengembangan obat halal di Indonesia,
terutama dengan adanya Rumah Sakit Syariah yang mengutamakan penggunaan produk
farmasi bersertifikat halal. Saat ini, sekitar 500 rumah sakit menjadi anggota Majelis
Ulama Kesehatan Islam (MUKISI), di mana 22 di antaranya telah memperoleh sertifikasi
syariah (18 RS Islam dan 4 RS Pemerintah), dan 65 rumah sakit sedang dalam proses
pendampingan untuk menjadi Rumah Sakit Syariah.

Dampak pandemi COVID-19 terhadap sektor pariwisata sangat signifikan. Selain


mengakibatkan penurunan pendapatan, industri ini juga mengalami penurunan mata
pencaharian bagi pelaku usaha dalam jangka waktu yang panjang. Kunjungan wisatawan
internasional mengalami penurunan sekitar 20%-30% pada tahun 2020 dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, dengan kerugian sekitar USD 200 miliar - USD 300 miliar.
Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) melaporkan penurunan pendapatan
potensial dari wisatawan asing sebesar USD 4 miliar (60 triliun rupiah) sejak Januari
hingga April 2020. Di sektor perhotelan, potensi kehilangan pendapatan mencapai
sekitar 30 triliun rupiah, dengan tingkat hunian kamar turun sebesar 25%-50%. Dalam 31
provinsi, sebanyak 1.642 hotel harus ditutup sebagai akibat dari dampak pandemi ini.
3. Peraturan Perundang-Undangan.

Sebagai otoritas hukum, pemerintah memiliki kekuasaan untuk menghasilkan dan


melaksanakan undang-undang yang berkaitan dengan pengembangan industri
halal di Indonesia. Pada tahun 2014, UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal (JPH) disahkan oleh pemerintah. UU ini terdiri dari 68 pasal yang
menegaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah
Indonesia wajib memiliki sertifikat halal.

Tujuan utama dari UU ini, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 3, adalah untuk
memberikan perlindungan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan
Produk Halal kepada masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk.
Selain itu, UU ini juga bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah bagi pelaku
usaha dalam memproduksi dan menjual produk halal. Undang-undang dan
peraturan perundang-undangan yang ada memberikan manfaat baik bagi
konsumen maupun produsen dalam industri halal. Bagi konsumen, keberadaan
undang-undang ini memberikan rasa nyaman dalam menggunakan dan
mengonsumsi barang dan jasa yang tersedia di pasar, karena mereka tidak perlu
meragukan kehalalan produk tersebut. Bagi produsen, undang-undang ini
memberikan motivasi dan dorongan untuk terlibat dalam bisnis halal, karena
menjadi salah satu syarat penting dalam mengembangkan usaha mereka.Beberapa
peraturan perundang-undangan yang secara tidak langsung mendukung produksi
dan peredaran produk halal adalah sebagai berikut:

a. Ketentuan mengenai peredaran dan penandaan makanan yang mengandung


bahan dari babi diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan R1, No.
280/Menkes/Per/XI/76.

b. Pencantuman tulisan halal pada label makanan diatur oleh Keputusan Bersama
Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Menkes/SKB/85.

c. Instruksi Presiden No. 2 tahun 1991 mengenai peningkatan pembinaan dan


pengawasan produksi dan peredaran makanan olahan.

d. Keputusan Menteri Pertanian No. 413/Kpts/TM/310/7/1992 mengenai


pemotongan hewan potong dan penanganan daging serta hasil ikutannya.

e. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SWVEII/1996


merupakan keputusan bersama antara Departemen Kesehatan, Departemen
Agama, dan MUI.
Tanggapan terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan tersebut
sangat menggembirakan. Tidak menutup kemungkinan bahwa akan muncul
regulasi baru yang mendukung Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal.
Harapannya, akan ada peraturan baru yang terkait dengan industri halal di
Indonesia sehingga potensi industri halal dapat berkembang secara optimal.

Potensi industri halal di Indonesia sangat besar, terutama karena jumlah penduduk
muslim yang signifikan. Hal ini memiliki dampak positif pada beberapa sektor
industri halal di Indonesia, seperti sektor makanan halal, keuangan syariah, wisata
halal, dan busana muslim. Mari kita eksplorasi potensi dari masing-masing sektor
tersebut.

Sektor makanan halal memiliki potensi yang sangat besar karena merupakan
kebutuhan dasar bagi umat muslim. Karena jumlah penduduk muslim yang tinggi
di Indonesia, potensi pasar makanan halal di negara ini sangat menjanjikan. Pada
tahun 2019, konsumsi makanan halal di Indonesia mencapai USD 173 miliar,
menjadikan Indonesia sebagai pasar terbesar makanan dan minuman halal di
dunia menurut Laporan State of Global Islamic Economy 2019.

Dukungan pemerintah juga menjadi faktor penting dalam mengembangkan


industri makanan halal di Indonesia. Hal ini terlihat melalui pembentukan Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang diamanatkan oleh Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. BPJPH didirikan
pada tanggal 27 Oktober 2017 dan berada di bawah Kementerian Agama.
Keberadaan BPJPH telah mengubah sistem jaminan produk halal di Indonesia dari
sukarela menjadi wajib. Tujuan dari perubahan ini adalah untuk memberikan
keamanan dan kenyamanan kepada konsumen muslim serta mendorong
pertumbuhan industri makanan halal di Indonesia (Aziz, dkk, 2019).
Dalam kesimpulannya, potensi industri halal di Indonesia sangatlah besar. Sektor
makanan halal, dengan dukungan pemerintah dan pasar yang menjanjikan,
merupakan salah satu sektor utama yang memiliki potensi pertumbuhan yang
signifikan. Dengan adanya kebutuhan dasar untuk makanan halal dan jumlah
penduduk muslim yang besar, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pusat
industri halal yang berkembang pesat.

TANTANGAN MAKANAN HALAL DI KUDUS

Salah satu tantangan internal yang dihadapi oleh Indonesia adalah kurangnya
kesadaran halal di kalangan masyarakat. Kesadaran halal ini terkait dengan
pengetahuan, pemahaman, dan tingkat keagamaan masyarakat. Oleh karena itu,
diperlukan upaya sosialisasi yang lebih intensif dari pihak terkait untuk
memberikan pemahaman dan kesadaran tentang gaya hidup halal kepada
masyarakat, terutama dalam mengonsumsi produk halal. Hal yang sama berlaku
untuk sosialisasi kepada pengusaha UMKM, terutama yang bergerak di sektor
industri halal, baik itu produk barang maupun jasa.

Kementerian Agama Kudus telah menetapkan target untuk menerbitkan satu juta
sertifikat halal tahun ini bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
melalui skema deklarasi halal mandiri atau selfdeclare. Namun, belum semua
produk UMKM di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah memiliki sertifikasi halal.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Murianews, pada 31 Desember 2022
terdapat sekitar 27.200 pelaku usaha di Kota Kretek. Namun, tidak semuanya
merupakan pelaku UMKM di sektor makanan dan minuman yang memerlukan
sertifikasi halal. Beberapa di antaranya adalah pelaku UMKM di sektor kerajinan
tangan yang tentunya tidak memerlukan sertifikasi halal.

KESIMPULAN
Dalam Islam, memilih makanan halal adalah penting untuk menjaga
kesehatan jasmani dan rohani. Di daerah Kudus, masyarakat perlu lebih sadar
akan pentingnya memilih makanan yang halal dan sehat. Meskipun masih ada
beberapa orang yang tidak memperhatikan hal ini, faktor ekonomi juga
memainkan peran dalam pemilihan makanan. Kebanyakan masyarakat di Kudus
lebih mengutamakan cita rasa makanan daripada kehalalannya. Namun, dalam
ajaran Islam, makanan halal memiliki nilai spritual dan mencerminkan akhlak
yang baik.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Kudus untuk meningkatkan


kesadaran akan makanan halal dan thayyib. Selain itu, pemerintah perlu
mendukung pengembangan industri makanan halal di Kudus dengan menerapkan
peraturan perundang-undangan yang memadai dan memberikan insentif kepada
produsen makanan halal. Dengan demikian, akan terbuka peluang besar bagi
industri makanan halal di Kudus, yang dapat memberikan kontribusi signifikan
terhadap perekonomian daerah dan memenuhi kebutuhan konsumen yang
semakin meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2021). “Pemerintah Terus Upayakan
Pemulihan Ekonomi namun tetap waspada dengan pandemic covid”, Kementerian
Keuangan. Com.

https://islamtoday.id/news/20200207103 337-6511/ironi-negeri-muslimterbesar-tapi-
hanya-konsumenproduk-halal/
State of Global Islamic Economy Report. (2019). State of Global Islamic Economy Report
2019/20. New York: Thomson Reuters

Anda mungkin juga menyukai