Konsumerisme merupakan hasil dari kapitalisme awal dan perkembangan budaya
kapitalis pada paruh pertama abad ke-20. Meski demikian, aspek konsumerisme abad ke-18 juga dapat diukur dengan munculnya banyak toko dan metode pemasaran baru. Konsumerisme merumuskan tujuan hidup mereka sebagian melalui perolehan barang yang jelas-jelas tidak mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konsumerisme juga menjadi ciri khas masyarakat yang mencari identitasnya. Konsumerisme modern lebih terfokus pada keinginan tanpa akhir dan menjadi sumber kejahatan seperti keserakahan, kesombongan, kecemburuan, dan obsesi materialisme. Konsumerisme dapat diringkas menjadi empat dimensi yaitu individualisme, pluralisme, hedonisme, dan konsumerisme yang bertujuan untuk terus menerus menkonsumsi dari generasi ke generasi. Konsumerisme, yang merupakan sumber penting tren di antara banyak orang pada dunia modern, dapat diringkas menjadi empat dimensi yaitu :
a. Individualisme mengacu pada keinginan individu untuk melampirkan nilai yang
sangat tinggi pada tindakan mereka sendiri bersama dengan hak untuk memilih pendapat mereka sendiri tentang “kebenaran abadi” dan untuk menggantikan “guru” atau “yang tercerahkan” dalam menemukan apa yang mereka inginkan (keinginan) dibandingkan dengan apa yang mereka butuhkan (kebutuhan). b. Pluralisme mencakup pola-pola sikap terhadap masyarakat, sebagai anggota dari berbagai kelompok sosial, sedemikian rupa sehingga setiap individu memiliki hak untuk memiliki pendekatannya sendiri terhadap “kebenaran” sepanjang dikaitkan dengan kemajemukan dunia. c. Hedonisme mencakup tindakan, sikap, dan keinginan individu yang terobsesi dengan pemuasan keinginan, kenikmatan yang mewakili prestise, pencarian kesenangan dan waktu luang. Contoh paling jelas adalah seperti membeli barang lebih banyak, makan makanan lebih banyak, dan lain sebagainya. d. Romantisisme menunjukkan seberapa jauh individu berpaling dari apa yang merekap anggap sebagai dunia yang tidak menarik untuk memikirkan kesenangan yang lebih besar yang dapat ditawarkan skenario imajinatif. Dunia seni mereka yang imajiner, ilusi, menekankan keunikan individu, ekspresi diri dan pengalaman diri, disertai oleh prinsip etika pengembangan diri yang menolak gagasan tentang status bersama yang dimiliki oleh semua manusia. Etika dapat diartikan sebagai ciri-ciri, tingkah laku, dan prinsip moral yang mengatur atau mempengaruhi perilaku dan nilai-nilai individu maupun kelompok. Dalam Islam, etika memiliki arti serupa dengan al-akhlak yang mencakup perilaku, sifat, hal-ihwal, attitude, perangai, budi pekerti dan karakter yang tertanam dalam jiwa manusia. Konsumsi adalah proses sosial budaya, dan ekonomi dalam memilih barang, dan proses ini mencerminkan peluang maupun kendala modernitas. Dalam lingkup konsumsi, masalah etika sering dikaitkan dengan perawatan lingkungan, risiko kesehatan dan keselamatan, perdagangan yang adil, kondisi tenaga kerja, kesejahteraan hewan, dan hak asasi manusia. Perilaku konsumsi muslim dipengaruhi oleh ajaran konsumsi dalam Islam dan harapan akan pahala untuk kehidupan selanjutnya (akhirat) karena seorang muslim memandang hidup akan berlanjut dan kematian hanya sebagai transisi dari dunia sementara ke dunia yang abadi. Aturan mengenai konsumsi dikendalikan oleh 5 prinsip (Mannan, 1992) & (Suprayitno, 2005) , yaitu: 1. Prinsip keadilan, mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari rezeki yang halal dan tidak dilarang hukum. 2. Prinsip kebersihan, tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah tentang makanan, harus baik untuk dikonsumsi, tidak kotor dan menjijikan sehingga dapat merusak selera. 3. Prinsip kesederhanaan, mengatur perilaku manusia mengenai makanan dan minumah dengan sikap yang tidak berlebih-lebihan. 4. Prinsip kemurahan hati, tidak ada bahaya maupun dosa ketika mengkonsumsi sesuatu yang halal yang disediakan Allah SWT karena kemurahan hati-Nya. 5. Prinsip moralitas, seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan mengucapkan terimakasi kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian akan terasa kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi kebutuhan fisiknya. Hal ini menjadi penting karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia. 1. Prioritas Kebutuhan Menurut pandangan Islam, kebutuhan konsumsi manusia dapat dibagi menjadi tiga tahap utama, yaitu daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Daruriyyat adalah kebutuhan yang mutlak diperlukan untuk kehidupan manusia, sedangkan hajiyyat tidak berpengaruh pada kehidupan manusia jika tidak terpenuhi. Oleh karena itu, konsumen harus mempertimbangkan kebutuhan dan keterjangkauan masing-masing dalam melakukan praktek konsumsi sehari-hari. Hal ini sesuai dengan ajaran Allah dalam Al-Quran, yang mengajak manusia untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi sesuatu. 2. Melestarikan dan menjaga Maqashid Syariah Maqashid Syariah terdiri dari dua kata, yaitu “maqashid” yang berarti kesengajaan atau tujuan, dan “al-syariah” yang berarti jalan menuju sumber air atau sumber pokok kehidupan. Menurut Wahbah Az-Zuhaili, maqashid Syariah mencakup makna-makna serta sasaran-sasaran yang disimpulkan pada semua hukum atau pada kebanyakannya, atau tujuan dari syariat serta rahasia-rahasia yang ditetapkan Syari’ (Allah SWT) pada setiap hukum- hukumnya. Ada lima aspek maqashid Syariah yang berkaitan dengan konsumsi, yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta. Setiap elemen ini memiliki kaitan dengan konsumsi dalam Islam, seperti memelihara agama dengan membayar zakat atau bersedekah, memenuhi kebutuhan utama untuk menjaga jiwa dengan makanan dan minuman yang halal, dan tidak mengkonsumsi minuman keras untuk menjaga akal. Pada elemen keturunan, Islam mensyariatkan pernikahan dan larangan berzina, sementara pada elemen terakhir, individu dilarang mengkonsumsi harta yang tidak halal dan tidak mengambil yang bukan haknya seperti mencuri dan korupsi. 3. Mematuhi prinsip halal dan haram Kata halal berasal dari kata dalam bahasa Arab yaitu halla’, yahillu, hillan, dan wahalalan yang artinya diperbolehkan oleh hukum Islam. Dalam terminologi Islam, halal berarti sesuatu yang harus, yang diinzinkan oleh Allah SWT dan hukum Islam. Halal merupakan sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah SWT untuk dikerjakan oleh manusia. Sedangkan berlawanan dengan kata halal, kata haram dapat diartikan sebagai sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT untuk dilakukan dengan larangan yang tegas. Setiap individu yang melanggarnya maka akan dihadapkan dengan siksaan Allah di Akhirat. Bahkan juga terancam mendapatkan sangsi di Dunia (Qaradhawi,2014). Islam telah memberikan aturan yang jelas mengenai sesuatu yang diperbolehkan atau dilarang yang merupakan pedoman bagi kehidupan manusia. Azzah Kamri dalam Mustafar & Borhan(2013) menyatakan bahwa semua muslim harus mengonsumsi barang dan jasa yang halal juga baik serta menghindari barang dan jasa yang tidak diperbolehkan serta juga tidak mengikuti spesifikasi Islam. 4. Kualitas konsumsi Secara umum, kualitas dalam Islam tidak hanya dilihat dari aspek produktivitas, tetapi juga melibatkan pertanyaan tentang moralitas dan karakter pengembangan. Dalam pandangan Islam, aspek materi dan spiritual harus digabungkan agar mencapai ridha Allah SWT. Kualitas juga diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dalam hal penyampaian layanan dan kemampuan untuk memenuhi persyaratan atau standar yang telah ditetapkan dalam hal produksi. Namun, kualitas juga harus disertai dengan nilai-nilai etik seperti sopan, tepat waktu, kecepatan dan ketepatan tanpa cacat. Dalam konteks ekonomi Islam, kepuasan dikenal dengan maslahah yang dapat diartikan sebagai terpenuhinya kebutuhan fisik dan spiritual. Kepuasan seseorang tidak hanya didasarkan pada kuantitas jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi, tetapi juga didasarkan pada kuantitas manfaat nilai ibadah yang didapatkan dari barang atau jasa yang dikonsumsinya. Saat ini, masyarakat terbujuk untuk mengkonsumsi barang atau jasa tanpa memperhatikan fungsi utamanya, hanya karena harga yang mahal atau karena ingin menunjukkan status sosial. Islam mengajarkan agar kita memilih barang atau jasa yang baik atau thoyyiban, yaitu yang tidak hanya halal, tetapi juga berkualitas dan memiliki nilai-nilai etik yang baik. Kualitas yang dimaksudkan adalah sebagaimana yang sering disebutkan dalam Al-Quran yaitu kata yang sering beriringan dengan halal, yaitu thoyyiban (baik). 5. Memperhatikan kemaslahatan individu dan masyarakat Maslahah dapat dipahami sebagai kebutuhan untuk menyeimbangkan antara manfaat bagi individu dan untuk kepentingan umum, dengan tujuan penyelarasan maqashid Syariah. Mohd Salleh Ahmad berpendapat bahwa maslahah adalah tujuan-tujuan yang tertuang dalam hukum Islam berdasarkan prinsip membawa manfaat dan menolak kerugian. Ditinjau dari tujuan konsumen konvensional yang ingin memaksimalkan kepuasannya, hal ini dipandang berbeda dengan sudut pandang dalam Islam, terutama dalam hal Maslahah karena seorang muslim menjadikan aspek keridhaan Allah sebagai tujuan utama. Selain itu, kemaslahatan bagi masyarakat bisa dilakukan melalui penerapan tanggung jawab sosial berdasarkan nilai-nilai seperti kebajikan dan keadilan yang tergambar dalam kewajiban umat Islam dalam berzakat menurut keuntungan yang dimiliki atau diperoleh dari kekayaan alam. Hal ini secara tidak langsung akan mempersempit jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin. Sikap sosial ini juga akan mampu membersihkan hati dan jiwa manusia dari unsur -unsur negatif, seperti pelit, dendam, tamak dan cemburu. 6. Praktik moderasi Menurut Health, praktik yang mendemonstrasikan konsumsi barang pribadi yang berlebihan mengdapatkan dua jenis masalah. Pertama, berkaitan dengan persaingan yang melibatkan konsumen karena menyangkut perolehan barang pribadi dengan nilai status tinggi seperti mobil, rumah, pakaian, serta perangkat elektronik. Walaupun barang-barang tersebut berguna karena dapat memenuhi fungsi dan menyelesaikan tugas tertentu, tetapi pembelian kembali barang-barang tersebut dan dengan jumlah yang besar akan berkaitan dengan status sosial seseorang. Kategori barang ini termasuk kedalam barang posisional. Kebiasaan konsumsi yang terstruktur pada barang-barang posisional dapat dianggap sebagai suatu masalah jika membawa konsumen ke dalam persaingan yang membebani diri sendiri juga orang lain yaitu persaingan dimana tidak ada pemenang yang nyata. Masalah kedua yaitu kasus kegagalan pasar. Pasar diarahkan pada produk-produk yang termasuk dalam kategori barang kering berukuran sedang seperti pakaian, mobil, serta perangkat elektronik. Pasar dianggap kurang tepat dalam menanggapo permintaan jenis barang lain seperti jembatan, pabrik penyaringan air, barang tidak berwujud seperti pengetahuan, serta barang alami seperti udara bersih. Hal ini karena pasar bertumpu pada sistem hak milik pribadi.