PENDAHULUAN
Halal adalah sebuah konsep aturan prinsip agama Islam, yang digunakan
untuk menyatakan bahwa sesuatu hal diijinkan atau dilarang untuk dikonsumsi
oleh Muslim dengan dasar dari Al-Qur’an, hadist, atau ijtihad (kesepakatan
ulama) (Salehudin, 2010). Konsep halal diberikan apresiasi yang tinggi karena
produk halal dianggap sebagai produk yang lebih sehat, lebih bersih, dan lebih
lezat (Burgmann, 2007). Konsep halal ini tidak hanya populer di antara
Muslim, tetapi juga di masyarakat dunia secara umum dan mulai diterapkan
toiletries, kosmetika, dan bahkan pada penerapan ilmu keuangan (Lada dkk.,
2009).
barang yang haram bagi umat Muslim telah tertuang jelas dalam kitab suci Al-
Qur’an. Allah SWT berfirman, “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
dengan sabda Rasululloh SAW, “Perkara yang halal itu jelas dan yang haram
itu jelas, sedangkan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang tersamar
yang meragukan, iapun bisa terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti
mengemukakan bahwa terdapat lebih banyak lagi ayat dalam Al-Qur’an yang
berisi larangan memakan bahan makanan tertentu, yang secara luas diterapkan
floating mass, dan conventional loyalist ( Karim dan Affif, 2005). Masyarakat
adalah produk-produk yang belum jelas kehalalannya ataupun yang sudah jelas
memilih produk halal hanya apabila produk tersebut terbukti memiliki kualitas
dapat juga diaplikasikan ke industri syariah yang lain (Karim dan Affif, 2005).
digunakannya. Hal ini sejalan juga dengan penelitian dan fokus pembahasan
produk halal selama ini lebih terkonsentrasi pada makanan dan minuman halal
(Zarif dkk., 2013). Konsumen kosmetika menjadi tidak terlalu peduli tentang
seperti makanan, minuman, atau obat-obatan konsumen tersebut bisa saja lebih
selektif. Padahal, menurut pendapat dari beberapa imam besar yang diakui
dalam Islam, penggunaan bahan haram dalam suatu produk hanya diijinkan
halal apapun yang bisa dikonsumsi, dan yang tersedia hanya yang telah difatwa
dkk., 2013), atau kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan akan dapat
mengancam keselamatan jiwa manusia (MUI, 2000). Pengertian seperti ini
hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah
2:173).
apapun tidak dapat dikategorikan dalam darurah, karena tidak memiliki aspek
yang sifatnya penting untuk penyelamatan jiwa manusia dan yang harus
sebenarnya tidak boleh digunakan oleh umat Muslim tanpa kepastian status
dan seberapa usaha yang dikeluarkan seorang muslim untuk mempelajari hal
tersebut (Zarif dkk., 2013). Dalam bidang sosial, hal ini disebut dengan literasi
halal, yaitu kemampuan seseorang untuk membedakan yang halal dan yang
mengkaji ilmu syariah nantinya akan dapat membuat perbedaan dalam sudut
pandang masing-masing konsumen hingga akhirnya akan ada perbedaan dalam
keinginan akan pangan dan obat – obatan untuk digunakan dalam kehidupan
sehari – hari. Perkembangan pangan serta obat – obatan kian hari kian pesat.
Banyak yang berlomba – lomba memanfaatkan sumber daya alam untuk bisa
Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Halal
lain-lain.
3. B
erupa hasil bumi yang lain seperti garam.
Makanan yang halal dari usaha yang diperolehnya, yaitu :
Halal makanan dari hasil bekerja yang diperoleh dari usaha yang lain seperti
bekerja sebagai buruh, petani, pegawai, tukang, sopir, dll.
Halal makanan dari mengemis yang diberikan secara ikhlas, namun pekerjaan
itu halal , tetapi dibenci Allah seperti pengamen.
Halal makanan dari hasil sedekah, zakat, infak, hadiah, tasyakuran, walimah,
warisan, wasiat, dll.
Halal makanan dari rampasan perang yaitu makanan yang didapat dalam
peperangan (ghoniyah).
Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa memakan yang mestinya
haram seperti memakan daging babi yang telah dimasak menjadi halal ketika
memang tidak ada makanan selain itu, selagi ia memakannya secukupnya,
yaitu untuk menyambung hidup, bukan dalam arti memakan daging babi dalam
berbagai olahan kuliner sehingga mendatangkan aneka macam aroma, rasa, dan
citarasa untuk berpestaria dalam hal makan-memakan. Harap diingat bahwa
ada saja seorang muslim yang tampaknya hidup di perkotaan, tinggal di asrama
mewah tetapi ia dalam keadaan darurat terus menerus, yaitu makanan harian
selalu mengandung unsur babi dan alkohol sarana mabuk. Dia itu seperti
seorang muslim studi di luar negeri di negara sekuler yang jauh dari suasana
Islam. Dalam keadaan demikian, ia boleh saja makan harian sebagaimana
mereka dari penduduk asli non muslim makan. Setelah ia selesai studi dan
pulang ke kampung halaman, keadaan menjadi normal, ia harus kembali hanya
makan yang halal. Dengan demikian, secara analogis vaksinasi-imunisasi yang
bahan-bahan alaminya najis boleh dilakukan terhadap keluarga muslim
lantaran belum ada faksin yang sepenuhnya dari benda-benda halal dan suci,
dari najis.
Kosmetika Halal
Obat Halal
Mencari dan memilih obat yang halal adalah wajib bagi setiap umat
Islam dan meninggalkan yang haram juga suatu kewajiaban. Antara isu halal
dan haram dalam medis menjadi menjadi topik diskusi hangat.
Dalam Islam obat-obatan yang diharamkan adalah obat-obatan yang
mengandung benda-benda najis dan benda-benda yang diharamkan oleh Allah
swt, yaitu alkohol, babi serta zat-zat yang berbahaya bagi tubuh. Secara umum
obat-obatan yang tersedia biasa dalam bentuk larutan (sirup, elixis, tetesan),
sirup antibiotik pada anak, serta emulsi (obat luar dan obat dalam). Diantaranya
ada obat tertentu yang mengandung alkohol, seperti sirup atau obat batuk,
kandungannya sekitar 1-55 persen.
Selain alkohol ada juga obat yang mengandung babi, komponen babi
yang diapaki biasanya adalah gelatin (diambil dari kulit atau tulang babi) yang
digunakan sebagai emulgator, serta lemak yang digunakan sebagai penolong
atau tambahan dalam reaksi kimia yang biasa disebut enzim. Obat ini biasa
dalam bentuk kapsul, pil tablet, dan obat-obatan dalam bentuk lainnya.
Obat jenis lain yang mengandung bahan yang memabukkan adalah obat
bius. Obat bius adalah zat yang dapat menyebabkan orang yang
menggunakannya kehilangan kesadaran, dan dapat menjadi racun dalam
tubuh. Obat bius biasa dipakai untuk operasi dengan tujuan untuk
menghilangkan rasa sakit dan takut. Namun obat bius banyak disalahgunakan
sehingga menjadi racut bagi yang pemakainya, jenis obat ini seperti morfin,
heroin, opinium, dan kokain.
Obat-obatan yang halal harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Tidak mengandung bahan dari hewan yang tidak halal atau tidak disembelih
secara syar`i.
2. Tidak mengandung bahan yang dihukum sebagi najis menurut syari`at.
3. Aman untuk diambil, tidak beracun, tidak merusak atau memabukkan dan
tidak membahayakan kesehatan.
4. Tidak disedia, diproses atau diproduksi menggunakan peralatan yang
tercemar najis berdasarkan hukum syari`at.
Para ulama berbeda pendapat tentang obat halal dan obat haram,
sebagian mereka berpendapat bahwa apabila seseorang yang sakit dan hanya
dapat disembuhkan melalui obat-obat yang mengandung bahan yang
diharamkan adalah boleh, karena berpegang pada kebutuhan akan obat adalah
sama dengan kebutuhan akan makanan yang berhubungan dengan jiwa
seseorang sehingga bisa disebut darurat. Namun bagi mereka yang tidak
membolehkan dengan kebutuhan makan, sebagaimana dalam hadis
nabi, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan penyembuhan kalian dari apa-apa
yang diharamkan untuk kalian”.
Sedangkan menurut al Ghazali, “Bahwa semua hal yang dilarang adalah
dibolehkan kecuali dalam keadaan darurat”. Yusuf Qordlowi mensyaratkan
tentang bolehnya mengkonsumsi makanan haram sebagai pengobatan yaitu
“adanya bahaya yang mengancam jiwa seseorang, tidak ditemukan obat lain
yang sama fungsinya serta direkomendasi oleh dokter ahli terutama muslim
dan terpercaya”.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sesuatu yang halalan thayyiban haruslah berupa sesuatu yang baik, bukan
menurut ukuran manusia tetapi menurut ukuran Allah. Halal dan thayyib
juga harus berkonotasi terhadap ketaqwaan terhadap Allah, serta harus
dikonsumsi atau digunakan dengan cara yang telah disyariatkan.
Barang haram adalah barang yang kotor, bagi jasmani maupun bagi rohani.
Barang haram tidak hanya akan mengotori dan menyakiti tubuh fisik,
tetapi juga akan mengotori jiwa dan mempengaruhi akhlaq dan
mendatangkan penyakit hati.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa vaksin itu halal dan haram. Vaksin
haram karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk hidup yang sudah
mempunyai antibodi secara otomatis yang dilakukan oleh tubuh manusia
itu sendiri. Vaksin juga terbuat dari bahan-bahan yang diharamkan seperti
yang telah dijelaskan pada bab pembahasan.
Vaksin dinyatakan halal karena ada penelitian bahwa 80%-90% manusia yang
divaksin lebih kebal akan penyakit. Dengan demikian, secara analogis
vaksinasi-imunisasi yang bahan-bahan alaminya najis boleh dilakukan
terhadap keluarga muslim lantaran belum ada vaksin yang sepenuhnya dari
benda-benda halal dan suci, dari najis.
Dalam Islam obat-obatan yang diharamkan adalah obat-obatan yang
mengandung benda-benda najis dan benda-benda yang diharamkan oleh
Allah swt, yaitu alkohol, babi serta zat-zat yang berbahaya bagi tubuh.
Secara umum obat-obatan yang tersedia biasa dalam bentuk larutan (sirup,
elixis, tetesan), sirup antibiotik pada anak, serta emulsi (obat luar dan obat
dalam). Obat jenis lain yang mengandung bahan yang memabukkan adalah
obat bius. Obat bius adalah zat yang dapat menyebabkan orang yang
menggunakannya kehilangan kesadaran, dan dapat menjadi racun dalam
tubuh.
Kesimpulan dari makalah ini bahwa bahwa semua hal yang dilarang adalah
dibolehkan dalam keadaan darurat, boleh menggunakan sesuatu yang
diharamkan sesuai dengan kemudahan dalam pelaksaan syariat Islam
menurut QS al-Baqarah/2 : 172.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M, Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat, Yogyakarta: Gajah Mada,
1991.
Ahmad, Wahid, Halal Dan Haram Dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, cet
III, 2003.
KA.Syamsul dkk, Fikih Kedokteran Malaysia: PTS Millennia, 2012.
Maslehuddin, M, Islamic Yurisprudence And The Rule Of Necessety And
Need, terj. A. Tafsir, Bandung: Pustaka, cet I, 1985.
Qordlowi, Yusuf, Halal Wa Haram Fil Islam, S urakarta: Era Intermedia, cet
III, 2003.
Thobieb Al-Asyhar dan A. Zubaidi, Bahaya Makanan Haram, Jakarta:
Al-Mawardi Irama, cet 1, 2002.