Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Halal adalah sebuah konsep aturan prinsip agama Islam, yang digunakan

untuk menyatakan bahwa sesuatu hal diijinkan atau dilarang untuk dikonsumsi

oleh Muslim dengan dasar dari Al-Qur’an, hadist, atau ijtihad (kesepakatan

ulama) (Salehudin, 2010). Konsep halal diberikan apresiasi yang tinggi karena

produk halal dianggap sebagai produk yang lebih sehat, lebih bersih, dan lebih

lezat (Burgmann, 2007). Konsep halal ini tidak hanya populer di antara

Muslim, tetapi juga di masyarakat dunia secara umum dan mulai diterapkan

pada berbagai jenis produk seperti pada makanan, minuman, obat-obatan,

toiletries, kosmetika, dan bahkan pada penerapan ilmu keuangan (Lada dkk.,

2009).

Perintah untuk menggunakan hanya yang halal dan tidak menyentuh

barang yang haram bagi umat Muslim telah tertuang jelas dalam kitab suci Al-

Qur’an. Allah SWT berfirman, “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal

lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti

langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang

nyata bagimu.” (Al-Qur’anul Karim, Al-Baqarah, 2:168). Hal ini dikuatkan

dengan sabda Rasululloh SAW, “Perkara yang halal itu jelas dan yang haram

itu jelas, sedangkan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang tersamar

(meragukan) dan banyak orang tidak mengetahuinya. Maka siapa yang

menghindari perkara-perkara yang meragukan, iapun telah membersihkan

1
kehormatan dan agamanya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara-perkara

yang meragukan, iapun bisa terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti

penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang dan nyaris

terjerumus di dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Thayyarah (2013)

mengemukakan bahwa terdapat lebih banyak lagi ayat dalam Al-Qur’an yang

berisi larangan memakan bahan makanan tertentu, yang secara luas diterapkan

dalam konsumsi makanan, minuman, obat-obatan, maupun kosmetika.

Masyarakat Muslim terbagi dalam tiga jenis segmen konsumen

berdasarkan kecenderungannya terhadap produk syariah yaitu syariah loyalist,

floating mass, dan conventional loyalist (Karim dan Affif, 2005). Masyarakat

syariah loyalist memiliki kesetiaan (loyalitas) terhadap produk halal, bahkan

dapat membatalkan pembelian apabila produk yang dipilihnya ternyata terbukti

tidak halal. Floating mass membuat keputusan pembelian setelah

mempertimbangkan banyak hal dari banyak sudut pandang dan memilih

produk dengan hasil evaluasi terbaik. Masyarakat dalam golongan floating

mass memiliki kemungkinan untuk memakai produk halal dan produk

konvensional secara bersamaan. Produk konvensional yang dimaksud di sini

adalah produk-produk yang belum jelas kehalalannya ataupun yang sudah jelas

haram. Sedangkan pada conventional loyalist, kehalalan produk sama sekali

2
tidak menjadi bahan pertimbangan pembelian produk. Mereka dimungkinkan

memilih produk halal hanya apabila produk tersebut terbukti memiliki kualitas

yang lebih baik dibandingkan produk konvensional. Walaupun pengelompokan

semacam ini dikembangkan dalam ruang lingkup keuangan syariah, tetapi

dapat juga diaplikasikan ke industri syariah yang lain (Karim dan Affif, 2005).

Pada pemilihan kosmetika, perbedaan ini semakin terasa karena terkadang

konsumen tidak terlalu memperhatikan kehalalan dari kosmetika yang

digunakannya. Hal ini sejalan juga dengan penelitian dan fokus pembahasan

produk halal selama ini lebih terkonsentrasi pada makanan dan minuman halal

(Zarif dkk., 2013). Konsumen kosmetika menjadi tidak terlalu peduli tentang

status kehalalan produk kosmetika yang digunakannya. Dengan pola pikir

demikian, konsumen pada umumnya menjadi tidak peduli terhadap kehalalan

produk kosmetika yang digunakan, walaupun pada pembelian produk lain

seperti makanan, minuman, atau obat-obatan konsumen tersebut bisa saja lebih

selektif. Padahal, menurut pendapat dari beberapa imam besar yang diakui

dalam Islam, penggunaan bahan haram dalam suatu produk hanya diijinkan

apabila ada dalam kondisi darurah. Kondisi darurah di sini mengandung

pengertian situasi dimana seseorang tidak memiliki makanan atau minuman

halal apapun yang bisa dikonsumsi, dan yang tersedia hanya yang telah difatwa

haram oleh hukum Islam. Tidak dikonsumsinya barang haram tersebut

dikhawatirkan akan melemahkan atau membahayakan orang tersebut (Zarif

dkk., 2013), atau kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan akan dapat

mengancam keselamatan jiwa manusia (MUI, 2000). Pengertian seperti ini

didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah

3
hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang

(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam

keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak

(pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Qur’anul Karim, Al-Baqarah,

2:173).

Dalam pengertian darurah seperti di atas, produk kosmetika seperti

apapun tidak dapat dikategorikan dalam darurah, karena tidak memiliki aspek

yang sifatnya penting untuk penyelamatan jiwa manusia dan yang harus

digunakan tanpa ada pilihan lain. Dengan demikian, produk kosmetika

sebenarnya tidak boleh digunakan oleh umat Muslim tanpa kepastian status

halal (Zarif dkk., 2013).

Perbedaan respon terhadap obat halal dan obat konvensional sedikit-

banyak dipengaruhi oleh pengetahuan konsumen tentang ilmu syariah dan

seberapa usaha yang dikeluarkan seorang muslim untuk mempelajari hal

tersebut (Zarif dkk., 2013). Dalam bidang sosial, hal ini disebut dengan literasi

halal, yaitu kemampuan seseorang untuk membedakan yang halal dan yang

haram berdasarkan seberapa baik pemahamannya terhadap hukum Islam

(hukum syariah) (Salehudin, 2010). Perbedaan ilmu dan guideline dalam

mengkaji ilmu syariah nantinya akan dapat membuat perbedaan dalam sudut

pandang masing-masing konsumen hingga akhirnya akan ada perbedaan dalam

niatan dan perilakunya (Zarif dkk., 2013).

Seiring dengan berjalannya waktu manusia mempunyai kebutuhan dan

keinginan akan pangan dan obat – obatan untuk digunakan dalam kehidupan

4
sehari – hari. Perkembangan pangan serta obat – obatan kian hari kian pesat.

Banyak yang berlomba – lomba memanfaatkan sumber daya alam untuk bisa

dijadikan sebagai bahan konsumsi. Namun dengan berbagai penemuan –

penemuan tersebut dapat menimbulkan hal yang bersimpangan dalam hukum

Islam. Hal ini perlu dilakukan pengkajian secara mendalam.

B. Tujuan

1. Meningkatkan pemahaman mengenai makanan minuman dan obat –

obatan serta kosmetik yang halal serta haram menurut hukum Islam

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Halal

Kata halal, secara etimologi berasal dari kata halla-yahullu-hallan wa


halalan wa hulalan yang berarti melepaskan, menguraikan, membubarkan,
memecahkan, membebaskan dan membolehkan. Sedangkan secara terminologi,
kata halal mempunyai arti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas
atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya.
Halal didefinisikan sebagai sesuatu yang dibenarkan (tidak dilarang)
penggunaan atau pemakaiannya. Menurut al-Qur’an, semua makanan yang
baik dan bersih adalah halal.
Sedangkan haram adalah segala sesuatu yang di larang oleh syariat
untuk dikonsumsi, dan apabila tetap dikonsumsi akan mendapatkan dosa
kecuali dalam keadaan terpaksa, serta banyak sekali madhratnya dari pada
hikmanya, sebagai contoh mengkonsumsi darah yang mengalir ini di haramkan
karena itu kotor dan dihindari oleh manusia yang sehat, disampaing itu ada
dugaan bahwa darah tersebut dapat menimbulkan bahaya sebagaimana halnya
bangkai.
Secara umum, kaidah halal menurut Alserhan (2011) dapat
diklasifikasikan menjadi berbagai tingkatan, yaitu:
1. Halal (permissible)
a. Wajib, atau perintah. Kegagalan melaksanakan suatu hal yang wajib akan
mendapat dosa. Wajib dapat disebut sebagai Core Halal (inti dari halal).
Dengan demikian, seseorang yang tidak melaksanakan hal wajib tidak
dapat digolongkan sebagai orang yang patuh terhadap syariah.
b. Mandoob, atau disarankan, hal yang disukai, tetapi tidak harus dilakukan.
Orang yang tidak melaksanakan mandoob tidak mendapat dosa. Mandoob
dapat disebut sebagai Supplementary Halal (pelengkap) dan lebih baik
dilaksanakan jika memungkinkan.

6
c. Makrooh, atau dibenci, hal yang disarankan untuk tidak dilaksanakan.
Pelaksanaan hal makrooh tidak menyebabkan dosa, kecuali apabila
perbuatan makrooh tersebut memicu perbuatan dosa lain. Oleh karena itu,
perbuatan makrooh sebaiknya dihindari sejauh mungkin.
2. Mushtabeh, atau diragukan. Hal mushtabeh sebaiknya dihindari oleh Muslim
karena dimungkinkan haram atau memicu kepada hal yang haram.
3. Haram, atau dilarang dan tidak diijinkan. Pelaksanaan hal yang haram akan
mendapatkan dosa.

B. Pengertian Thayyib (baik)

Kata thayyib menurut al-Isfahani, menunjukkan sesuatu yang benar-


benar baik. Bentuk jamak dari kata ini adalah thayyibât yang diambil dari
derivasi thaba-yathibu-thayyib-thayyibah dengan beberapa makna, yaitu: zaka
wa thahara (suci dan bersih), jada wa hasuna (baik dan elok), ladzdza (enak),
dan halal (halal).
Menurut al-Isfahani, pada dasarnya, kata ini berarti sesuatu yang
dirasakan enak oleh indra dan jiwa, atau segala sesuatu selain yang
menyakitkan dan menjijikkan. Sedangkan Ibnu Taimiyah menerangkan dalam
kitab Majmu’ Fatawa bahwa yang dimaksud dengan thayyib adalah yang
membuat baik jasmani, rohani, akal dan akhlak manusia. Menurutnya, lawan
dari kata thayyib ini adalah khabits (bentuk jamaknya khabaits) yaitu sesuatu
yang menjijikkan dan dapat merusak fisik, psikis, akal dan akhlak seseorang.

C. Contoh Produk Halal

Makanan halal dari segi jenis ada tiga :


1. Berupa hewan yang ada di darat maupun di laut, seperti
kelinci, ayam, kambing, sapi, burung, ikan.
2. Berupa nabati (tumbuhan) seperti padi, buah-buahan,
sayur-sayuran dan lain-lain.
3. Berupa hasil bumi yang lain seperti garam.

7
Makanan yang halal dari usaha yang diperolehnya, yaitu :
 Halal makanan dari hasil bekerja yang diperoleh dari usaha
yang lain seperti bekerja sebagai buruh, petani, pegawai,
tukang, sopir, dll.
 Halal makanan dari mengemis yang diberikan secara
ikhlas, namun pekerjaan itu halal , tetapi dibenci Allah
seperti pengamen.
 Halal makanan dari hasil sedekah, zakat, infak, hadiah,
tasyakuran, walimah, warisan, wasiat, dll.
 Halal makanan dari rampasan perang yaitu makanan yang
didapat dalam peperangan (ghoniyah).

Minuman halal menurut jenisnya ada tiga, yaitu :


 Halal minuman yang dihasilkan oleh hewani seperti susu
sapi, madu, minyak sawit, dll.
 Halal minuman yang dihasilkan oleh tumbuhan seperti juice
wortel, juice jeruk, juice anggur, juice tomat, juice avokad,
dll.

D. Contoh Produk Haram

 Binatang-binatang yang mati tanpa penyembelihan adalah yang mati


karena :
1. dicekik,
2. dipukul dengan keras,
3. dijatuhkan kepalanya lebih dahulu,
4. dilukai dengan tanduk, atau
5. dimakan oleh binatang liar.
 Semua minuman yang memabukkan atau apabila diminum menimbulkan
mudharat dan merusak badan, akal, jiwa, moral dan aqidah seperti arak,
khamar, dan sejenisnya
 Binatang - binatang yang diharamkan dalam Al – Qur’an seperti babi,
Segala hewan yang bertaring, Segala jenis burung yang bercakar tajam/
burung pemangsa, anjing, dan lain – lain

8
 Darah hewan
 Segala produk baik itu obat maupun kosmetik yang berasal apa yang telah
diharamkan diatas.

E. Vaksin dalam Pandangan Hukum Islam dan Kesehatan

Para ulama dalam berijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-


masalah kontemporer pasti tidak pernah menghasilkan keputusan ijma’yyah
‘amiyyah (kesepakatan umum), melainkan khlafiyyah (perbedaan pendapat
diantara mereka). Bentuk khilafiyyah yang paling ekstrim adalah halal atau
haram. Tidak terkecuali mengenai vaksinasi-imunisasi. Dalam Ilmu Fikih
memang terdapat adagium “Man laa ya’lamu khilaafiyyatan laa ya’lamu
raaihatal fiqhi” (Barang siapa tidak mengenal perbedaan pendapat,
sesungguhnya ia tidak mengenal baunya Fikih). Baunya saja tidak mengetahui,
apalagi ilmu fikihnya itu sendiri.
Disebutkan bahwa materi yang digunakan sebagai bahan vaksin ada dua
macam:
a. bahan alami, antara lain: enzim yang berasal dari babi, seline janin bayi,
organ bagian tubuh seperti: paru-paru, kulit, otot, ginjal, hati, thyroid,
thymus, dan hati yang diperoleh dari aborsi janin. Vaksin polio terbuat dari
babi; atau campuran dari ginjal kera, sel kanker manusia, dan cairan tubuh
hewan tertentu antara lain serum dari sapi atau nanah dari cacar sapi, bayi
kuda atau darah kuda dan babi, dan ekstrak mentah lambung babi, jaringan
ginjal anjing, sel ginjal kera, embrio ayam, dan jaringan otak kelinci.
b. Bahan yang berasal dari unsur kimia antara lain: merkuri, formaldehid,
aluminium, fosfat, sodium, neomioin, fenol, dan aseton.

Efek pemberian vaksinasi terhadap balita [bayi umur lima tahun ke


bawah, selanjutnya cukup disebut balita] berdasar laporan-laporan resmi secara
garis besar ada dua macam:
a. Berbahaya. Conggres Amerika Serikat (AS) membentuk “The National
Chilhoodvaccib injury act” berkesimpulan vaksinasi menyebabkan luka dan
kematian. Dr. Wiliam Hay berkomentar, “tidak masuk akal memikirkan

9
bahwa anda menyuntikkan nanah ke dalam tubuh anak kecil dan dengan
proses tertentu akan meningkatkan kesehatannya. WHO [World Health
Organization], yaitu organisasi kesehatan dunia menemukan bahwa anak
yang divaksinasi campak memiliki peluang 15 kali lebih besar unuk
diserang campak. Banyak penelitian medis mencatat kegagalan vaksinasi.
Campak, gabag, polio, gondong juga terjadi di pemukiman penduduk yang
diimunisasi
b. Bermanfaat. Disimpulkan bahwa imunisasi merupakan sebab utama
penurunan jumlah penyakit. Dicatat oleh ‘The Brithis Association for the
Advancement of Science” menemukan bahwa di Amerika Serikat dan
Enggris mengalami penurunan penyakit sebanyak 80 % hingga 90 %.
Umumnya di Indonesia seperti kita alami, dulu ketika masih kecil yang
bekas-bekasnya masih jelas hingga sekarang, benar adanya menjadikan ada
imunitas dalam tubuh kita. Jadi secara real (nyata), imunisasi ada
menfaatnya bagi kesehatan.

Pro Versus Kontra: Haram versus Halal Tentang Vaksinasi

Para ulama, pemikir, mujtahid ada yang menghukumi haram terhadap


tindakan vaksinasi-imunisasi. Argumen yang diajukan antara lain memasukkan
barang najis dan racun ke dalam tubuh manusia. Manusia iu merupakan
mahluk yang paling mulia dan memiliki kemampuan alami melawan semua
mikroba, virus, serta bakteri asing dan berbahaya. Berbeda dengan orang kafir
yang berpendirian manusia sebagai makluk lemah, sehingga perlu vaksinasi
untuk meningkatkatkan imunitas pada manusia.

Solusi yang diajukan untuk meningkatkan kekebalan balita adalah


menghindari tindakan vaksinasi-imunisasi pada balita maupun manusia pada
umumnya, selanjutnya menerapkan syariat tahnik kepada balita, yaitu
memasukkan kurma yang telah dikunyah lembut atau madu ke dalam rongga
mulut si bayi ketika melaksanakan upacara ‘aqiqah pada hari ke tujuh dari
kelahiran anak. Tahnik dipandang sebagai vaksinasi-imunisasi. Perlu
ditambahkan bahwa pada zaman Nabi tidak ada anak yang divaksinasi dan

10
kenyataannya juga sehat-sehat dan banyak yang berumur panjang. Artinya
umur harapan hidup rata-rata sejak zaman Rasulullah dan zaman sekarang
kurang lebih sama.
Kelompok kedua mengatakan bahwa vaksinasi-imunisasi adalah halal.
Pada prinsipnya vaksinasi-imunisasi adalah boleh alias halal karena; (1)
vaksinasi-imunisasi sangat dibutuhkan sebagaimana penelitian-penelitian di
bidang ilmu kedokteran, (2) termasuk dalam keadaan darurat, (3) sesuai dengan
prinsip kemudahan syariat di saat ada kesempitan atau kesulitan.

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,


daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (QS al-Baqarah/2 : 172).

Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa memakan yang mestinya
haram seperti memakan daging babi yang telah dimasak menjadi halal ketika
memang tidak ada makanan selain itu, selagi ia memakannya secukupnya,
yaitu untuk menyambung hidup, bukan dalam arti memakan daging babi dalam
berbagai olahan kuliner sehingga mendatangkan aneka macam aroma, rasa, dan
citarasa untuk berpestaria dalam hal makan-memakan. Harap diingat bahwa
ada saja seorang muslim yang tampaknya hidup di perkotaan, tinggal di asrama
mewah tetapi ia dalam keadaan darurat terus menerus, yaitu makanan harian
selalu mengandung unsur babi dan alkohol sarana mabuk. Dia itu seperti
seorang muslim studi di luar negeri di negara sekuler yang jauh dari suasana
Islam. Dalam keadaan demikian, ia boleh saja makan harian sebagaimana
mereka dari penduduk asli non muslim makan. Setelah ia selesai studi dan
pulang ke kampung halaman, keadaan menjadi normal, ia harus kembali hanya
makan yang halal. Dengan demikian, secara analogis vaksinasi-imunisasi yang
bahan-bahan alaminya najis boleh dilakukan terhadap keluarga muslim lantaran
belum ada faksin yang sepenuhnya dari benda-benda halal dan suci, dari najis.

11
F. Kosmetika Halal

Kosmetika halal adalah kosmetika yang dalam metode pembuatan dan


alat-bahan yang digunakan tidak mengandung hal yang dilarang untuk
dikonsumsi oleh syariat Islam. Menurut Musyawarah Nasional VI Majelis
Ulama Indonesia No. 2/MUNAS VI/MUI/2000, diantara bahan-bahan yang
dilarang tersebut adalah yang mengandung bagian organ manusia (misalnya
lemak manusia, plasenta, darah, cairan amniotik, dan lain sebagainya).
Kosmetika yang mengandung alkohol dari industri pembuatan khamr
(minuman yang memabukkan) juga haram untuk digunakan, namun apabila
bahan yang digunakan adalah dari hasil industri non-khamr (baik yang
merupakan hasil sintesis kimiawi dari petrokimia ataupun hasil industri
fermentasi non-khamr) hukumnya adalah mubah, apabila secara medis tidak
membahayakan (MUI, 2009).
Hal-hal yang diharamkan untuk digunakan sebagai bahan pembuatan
kosmetika antara lain:
1. Bahan yang berasal dari hewan yang haram menurut syariah Islam
(misalnya anjing, babi).
2. Bahan yang berasal dari bangkai atau hewan halal yang dipotong tidak
sesuai dengan hukum syariah.
3. Bahan GMO (Genetically Modified Organism) yang berasal atau telah
terkontaminasi dengan hewan yang haram sesuai hukum syariah.
4. Mengandung bahan yang berbahaya bagi pemakai.

Sementara bahan yang halal untuk digunakan menurut Rejab (2013)


antara lain:
1. Bahan yang berasal dari hewan darat yang halal dan dipotong sesuai
hukum syariah Islam.
2. Bahan yang berasal dari hewan perairan.
3. Bahan yang berasal dari hewan darat yang halal yang dipanen ketika
hewan tersebut masih hidup (kulit, bulu, dan lainnya).

12
4. Bahan yang berasal dari tanaman, kecuali apabila telah tercemar dengan
bahan haram dan/atau ekstraksi enzim.
5. Bahan yang berasal dari mikroorganisme kecuali apabila telah tercemar
dengan bahan haram dan/atau ekstraksi enzim.
6. Bahan yang berasal dari tanah dan air dan produk-produk yang
dihasilkannya, kecuali telah tercemar oleh bahan haram.
7. Bahan yang diproduksi secara sintetik, kecuali yang telah tercemar oleh
bahan haram. Untuk memudahkan konsumen dalam membedakan
produk kosmetika yang halal dan yang haram, masing-masing negara
pada umumnya memiliki regulasi khusus untuk memberi labelisasi halal.

Di Indonesia, lembaga yang memiliki otoritas tersebut adalah Lembaga


Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
dengan Sistem Jaminan Halal (SJH). Sistem Jaminan Halal adalah sistem
manajemen terintegrasi yang disusun, diterapkan, dan dipelihara untuk
mengatur bahan, proses produksi, produk, sumber daya manusia, dan prosedur
dalam rangka menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai persyaratan
LPPOM MUI dalam HAS 23000:1 Kriteria Sistem Jaminan Halal.
Nantinya implementasi SJH akan dinilai oleh LPPOM MUI melalui
proses audit dan hasilnya akan dinyatakan dalam status implementasi SJH dan
sertifikat SJH (Sertifikat Halal) (MUI, 2013). Untuk produk yang telah
memiliki sertifikat halal, dalam kemasan produknya harus dicantumkan logo
halal dari MUI.

Gambar 1. Logo Sertifikat Halal MUI (MUI, 2007)

G. Obat Halal

13
Mencari dan memilih obat yang halal adalah wajib bagi setiap umat Islam
dan meninggalkan yang haram juga suatu kewajiaban. Antara isu halal dan
haram dalam medis menjadi menjadi topik diskusi hangat.
Dalam Islam obat-obatan yang diharamkan adalah obat-obatan yang
mengandung benda-benda najis dan benda-benda yang diharamkan oleh Allah
swt, yaitu alkohol, babi serta zat-zat yang berbahaya bagi tubuh. Secara umum
obat-obatan yang tersedia biasa dalam bentuk larutan (sirup, elixis, tetesan),
sirup antibiotik pada anak, serta emulsi (obat luar dan obat dalam). Diantaranya
ada obat tertentu yang mengandung alkohol, seperti sirup atau obat batuk,
kandungannya sekitar 1-55 persen.
Selain alkohol ada juga obat yang mengandung babi, komponen babi
yang diapaki biasanya adalah gelatin (diambil dari kulit atau tulang babi) yang
digunakan sebagai emulgator, serta lemak yang digunakan sebagai penolong
atau tambahan dalam reaksi kimia yang biasa disebut enzim. Obat ini biasa
dalam bentuk kapsul, pil tablet, dan obat-obatan dalam bentuk lainnya.
Obat jenis lain yang mengandung bahan yang memabukkan adalah obat
bius. Obat bius adalah zat yang dapat menyebabkan orang yang
menggunakannya kehilangan kesadaran, dan dapat menjadi racun dalam
tubuh. Obat bius biasa dipakai untuk operasi dengan tujuan untuk
menghilangkan rasa sakit dan takut. Namun obat bius banyak disalahgunakan
sehingga menjadi racut bagi yang pemakainya, jenis obat ini seperti morfin,
heroin, opinium, dan kokain.
Obat-obatan yang halal harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Tidak mengandung bahan dari hewan yang tidak halal atau tidak disembelih
secara syar`i.
2. Tidak mengandung bahan yang dihukum sebagi najis menurut syari`at.
3. Aman untuk diambil, tidak beracun, tidak merusak atau memabukkan dan
tidak membahayakan kesehatan.
4. Tidak disedia, diproses atau diproduksi menggunakan peralatan yang
tercemar najis berdasarkan hukum syari`at.

14
Para ulama berbeda pendapat tentang obat halal dan obat haram,
sebagian mereka berpendapat bahwa apabila seseorang yang sakit dan hanya
dapat disembuhkan melalui obat-obat yang mengandung bahan yang
diharamkan adalah boleh, karena berpegang pada kebutuhan akan obat adalah
sama dengan kebutuhan akan makanan yang berhubungan dengan jiwa
seseorang sehingga bisa disebut darurat. Namun bagi mereka yang tidak
membolehkan dengan kebutuhan makan, sebagaimana dalam hadis
nabi, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan penyembuhan kalian dari apa-apa
yang diharamkan untuk kalian”.
Sedangkan menurut al Ghazali, “Bahwa semua hal yang dilarang adalah
dibolehkan kecuali dalam keadaan darurat”. Yusuf Qordlowi mensyaratkan
tentang bolehnya mengkonsumsi makanan haram sebagai pengobatan yaitu
“adanya bahaya yang mengancam jiwa seseorang, tidak ditemukan obat lain
yang sama fungsinya serta direkomendasi oleh dokter ahli terutama muslim
dan terpercaya”.

15
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

 Sesuatu yang halalan thayyiban haruslah berupa sesuatu yang baik, bukan
menurut ukuran manusia tetapi menurut ukuran Allah. Halal dan thayyib
juga harus berkonotasi terhadap ketaqwaan terhadap Allah, serta harus
dikonsumsi atau digunakan dengan cara yang telah disyariatkan.
 Barang haram adalah barang yang kotor, bagi jasmani maupun bagi rohani.
Barang haram tidak hanya akan mengotori dan menyakiti tubuh fisik,
tetapi juga akan mengotori jiwa dan mempengaruhi akhlaq dan
mendatangkan penyakit hati.
 Ada pendapat yang menyatakan bahwa vaksin itu halal dan haram. Vaksin
haram karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk hidup yang sudah
mempunyai antibodi secara otomatis yang dilakukan oleh tubuh manusia
itu sendiri. Vaksin juga terbuat dari bahan-bahan yang diharamkan seperti
yang telah dijelaskan pada bab pembahasan.
 Vaksin dinyatakan halal karena ada penelitian bahwa 80%-90% manusia
yang divaksin lebih kebal akan penyakit. Dengan demikian, secara
analogis vaksinasi-imunisasi yang bahan-bahan alaminya najis boleh
dilakukan terhadap keluarga muslim lantaran belum ada vaksin yang
sepenuhnya dari benda-benda halal dan suci, dari najis.
 Dalam Islam obat-obatan yang diharamkan adalah obat-obatan yang
mengandung benda-benda najis dan benda-benda yang diharamkan oleh
Allah swt, yaitu alkohol, babi serta zat-zat yang berbahaya bagi tubuh.
Secara umum obat-obatan yang tersedia biasa dalam bentuk larutan (sirup,
elixis, tetesan), sirup antibiotik pada anak, serta emulsi (obat luar dan obat
dalam). Obat jenis lain yang mengandung bahan yang memabukkan adalah
obat bius. Obat bius adalah zat yang dapat menyebabkan orang yang

16
menggunakannya kehilangan kesadaran, dan dapat menjadi racun dalam
tubuh.
 Kesimpulan dari makalah ini bahwa bahwa semua hal yang dilarang adalah
dibolehkan dalam keadaan darurat, boleh menggunakan sesuatu yang
diharamkan sesuai dengan kemudahan dalam pelaksaan syariat Islam
menurut QS al-Baqarah/2 : 172.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M, Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat, Yogyakarta: Gajah Mada,
1991.
Ahmad, Wahid, Halal Dan Haram Dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, cet
III, 2003.
KA.Syamsul dkk, Fikih Kedokteran Malaysia: PTS Millennia, 2012.
Maslehuddin, M, Islamic Yurisprudence And The Rule Of Necessety And Need,
terj. A. Tafsir, Bandung: Pustaka, cet I, 1985.
Qordlowi, Yusuf, Halal Wa Haram Fil Islam, Surakarta: Era Intermedia, cet III,
2003.
Thobieb Al-Asyhar dan A. Zubaidi, Bahaya Makanan Haram, Jakarta: Al-
Mawardi Irama, cet 1, 2002.

18

Anda mungkin juga menyukai