Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Kedudukan Sertifikasi Halal Dalam Sistem Hukum


Nasional Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Dalam
Hukum Islam

Oleh:
Darajat Ali Firdaus
1173020030

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020

i
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha


Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah


berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Bandung, April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................ii

Daftar Isi...............................................................................................................iii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah1...................................................................................3
C. Tujuan........................................................................................................3
D. Sistematika Penulisan................................................................................3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Klasifikasi makanan dan minuman halal...................................................5


B. Sistem Jaminan Halal................................................................................6
C. Kedudukan Sertifikasi Halal Dalam Sistem Hukum Nasional Sebagai
Upaya Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Islam.............................7

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sikap konsumen di Indonesia cenderung sensitif terhadap suatu
produk makanan atau minuman, kedudukan soal halal dan haram memang
harus menjadi dasar pertimbangan dalam menyikapi era globalisasi yang
berkaitan dengan kompetisi antar produsen yang mempunyai ambisi besar
untuk meraih keuntungan ekonomi dengan pasaran produknya.
Dalam Islam mengajarkan untuk mengkonsumsi makanan yang
halal dan baik sebagaimana dalam al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 88
dijelaskan:

َ‫ي َأنتُم بِِۦه ُم ۡؤ ِمنُون‬ ْ ُ‫وا ِم َّما َر َزقَ ُك ُم ٱهَّلل ُ َح ٰلَاٗل طَيِّبٗ ۚا َوٱتَّق‬
ٓ ‫وا ٱهَّلل َ ٱلَّ ِذ‬ ْ ُ‫َو ُكل‬

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya .(QS. Al-Maidah : 88).

Menurut ayat di atas manusia diperintah supaya mengkonsumsi


makanan yang halal dan baik, banyak sekali makanan yang halal tapi
kualitas kurang terjaga, makanan yang berkualitas itu selain halal juga
bergizi, baik dari kebersihan maupun kandungan yang terdapat dalam
makanan tersebut karena dengan makanan yang halal dan bergizi manusia
dapat menjalani dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Untuk
memelihara jiwa dan menjamin kehidupannya, agama Islam
mensyariatkan kewajiban memperoleh sesuatu yang menghidupinya
2

berupa hal-hal yang dharuri berbentuk makanan, minuman, pakaian dan


tempat tinggal.1
Dengan demikian, konsep halal menjadi hal terpenting yang harus
diperhatikan khususnya pada produsen muslim. Konsep halal itu sendiri
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 114. Yaitu:

َ‫ُوا نِ ۡع َمتَ ٱهَّلل ِ ِإن ُكنتُمۡ ِإيَّاهُ ت َۡعبُ ُدون‬ ۡ ‫وا ِم َّما َر َزقَ ُك ُم ٱهَّلل ُ َح ٰلَاٗل طَيِّبٗ ا َو‬
ْ ‫ٱش ُكر‬ ْ ُ‫فَ ُكل‬

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah
kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja
menyembah. .(QS. Al-Maidah : 87)

Sertifikat halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI


yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam.
Dalam upaya memenuhi harapan masyarakat muslim khususnya terhadap
kepastian kehalalan produk makanan. Bagi produsen yang mendaftarkan
produknya perlu melalui tahapan proses yang ditetapkan oleh LPPOM.
Dan dari lembaga tersebut, kemudian akan mengutus tim audit atau
auditor LPPOM yang mana akan melakukan pemeriksaan terhadap produk
produsen yang didaftarkan. Proses yang dilalui untuk mendapatkan
sertifikat tersebut juga tidaklah mudah. Melalui beberapa tahapan
kualifikasi oleh tim yang bertugas dari LPPOM, kemudian data yang di
dapatkan di serahkan untuk mendapatkan verivikasi oleh MUI. Setelahnya,
apabila semua data yang di berikan sesuai dengan ketentuan dalam
prosedur sertifikat halal maka dikeluarkanlah sertifikat halal tersebut oleh
MUI kepada pihak produsen

B. Rumusan Masalah

1
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama Semarang, Cet.ke-1,
1994, hal.313 4
3

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan


dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut,
1. Apa prinsip islam terhadap produksi dan konsumsi halal?
2. Bagaimana ruang lingkup jaminan kehalalan dalam proses
produksi?
3. Bagaimana pelaksanaan sistem sertifikasi jaminan halal produk?

C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka tujuan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut,
1. Untuk mengetahui prinsip islam terhadap produksi dan konsumsi
halal.
2. Untuk mengetahui ruang lingkup jaminan kehalalan dalam proses
produksi.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem sertifikasi jaminan halal
produk.

D. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara umum dari penelitian ini
secara menyeluruh perlu adanya sistematika penulisan yang dibuat oleh
penulis. Dengan demikian, sistematika penulisan yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan gambaran umum secara keseluruhan serta bentuk
metodologis dari penulis yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB III : PEMBAHASAN
Bab ini membahas mengenai Sistem Sertifikasi Jaminan Halal Produk di
Indonesia.
BAB IV : PENUTUP
4

Bab ini merupakan rangkaian akhir dari penulisan makalah yang meliputi:
kesimpulan, Implikasi dan saran. Sedangkan pada akhir makalah ini berisi
daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat hidup.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Klasifikasi makanan dan minuman halal

Halal dalam makanan terdapat dua katagori pengertian yaitu halal


dalam mendapatkannya dan halal dzat atu substansi barangnya.Halal
dalam mendapatkannya maksudnya adalah kebenaran dalam mencari dan
memperolehnya, tidak dengan cara yang bathil dan tidak pula dengan cara
yang haram. Makanan yang pada dasarnya atau dzatnya halal namun cara
memperolehnya dengan cara haram tidak dapat dikategorikan makanan
halal. Beberapa cara memperoleh dengan jalan haram seperti : hasil riba,
mencuri,menipu, hasil judi, hasil korupsi, dan perbuatan haram lainnya. 2
Dalam Al-qur‟an pada surat Al-Baqarah ayat 173 dijelaskan ada beberapa
pokok makanan yang haram, yaitu :

‫ير َو َم~~ٓا ُأ ِه~ َّل بِِۦه لِ َغ ۡي~ ِر ٱهَّلل ۖ ِ فَ َم ِن‬ ۡ ۡ


ِ ~‫ِإنَّ َما َح~ َّر َم َعلَ ۡي ُك ُم ٱل َم ۡيتَ~ةَ َوٱل~ َّد َم َولَ ۡح َم ٱل ِخ‬
ِ ‫نز‬
‫َّحي ٌم‬
ِ ‫ور ر‬ ٞ ُ‫اغ َواَل َع ٖاد فَٓاَل ِإ ۡث َم َعلَ ۡي ۚ ِه ِإ َّن ٱهَّلل َ َغف‬ ُ ۡ
ٖ َ‫ٱضط َّر َغ ۡي َر ب‬
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 173).

Ayat tersebut menerangkan bahwa makanan yang diharamkan ada


empat macam, yaitu :3

2
Thobieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian
Rohani, Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, Cet. ke-1, hal. 97-100
6

a. Bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati


dengan tidak disembelih, termasuk di dalamnya hewan yang mati
tercekik, dipukul, jatuh atau diterkam oleh hewan buas kecuali
yang sempat menyembelihnya.
b. Darah, maksudnya adalah darah yang mengalir dari hewan yang
disembelih.
c. Daging babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram baik
darah, daging, tulang dan seluruh bagian tubuh babi.
d. Binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah

Sedangkan minuman yang diharamkan adalah semua bentuk


khamer.Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 90 :

‫نص~~ابُ َوٱَأۡل ۡز ٰلَ ُم‬


َ ‫~~و ْا ِإنَّ َم~~ا ۡٱل َخمۡ~~ ُر َو ۡٱل َم ۡي ِس~~ ُر َوٱَأۡل‬
ٓ ُ‫ين َءا َمن‬ َ ‫ٰيََٓأيُّهَ~~ا ٱلَّ ِذ‬
َ ‫ٱجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُكمۡ تُ ۡفلِح‬
‫ُون‬ ۡ َ‫س ِّم ۡن َع َم ِل ٱل َّش ۡي ٰطَ ِن ف‬ ٞ ‫ِر ۡج‬
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan. .(QS. Al-Maidah : 90)

B. Sertifikasi Jaminan Halal

Sistem jamianan halal adalah suatu jaringan kerja dimulai dari


komitmen manajemen ouncaj dan prosedur-prosedur yang disusun saling
terhubung, diterapkan dan dipelihara untuk menghasilkan produk halal,
menghindari kontaminasi terhadap produk halal dan menjamin tidak
adanya penyimpangan pada proses pengembangan atau reformasi.
Adapun manfaat sitem jaminan halal, sebagai berikut:

3
Qamaruddin Shaleh, et. Al., Ayatul Ahkam Ayat-ayat larangan dan Perintah dalam
AlQur’an Pedoman Menuju Akhlak Muslim, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2004, hal. 476-
477
7

a) Menjamin kehalalan produk selama berlakunya sertifikaat Halal


MUI
b) Timbulnya kesadaran internal dan perusahaan memiliki pedoman
kesinambungan proses produksi halal.
c) Memberikan jaminan bagi masyarakat.
d) Mencegah kasus ketidakhalalan produk bersertifikat halal.

C. Kedudukan Sertifikasi Halal Dalam Sistem Hukum Nasional Sebagai

Upaya Perlindungan Konsumen Dalam Hukum IslamSistem


hukum Indonesia sebagai sebuah sistem aturan yang berlaku di negara
Indonesia adalah sistem aturan sedemikian rumit dan luas, yang terdiri dari
unsur-unsur hukum, dimana di antara unsur hukum yang satu dengan yang
lain saling bertautan, saling mempengaruhi serta saling mengisi. Oleh
karenanya membicarakan satu bidang atau unsur atau subsistem hukum
yang berlaku di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari yang lain, sehingga
mirip dengan tubuh manusia, unsur hukum bagaikan satu organ yang
keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari organ yang lain.4
Istilah sistem berasal dari perkataan systema dalam bahasa Latin,
Yunani yang artinya keseluruhan yang terdiri bermacammacam bagian.
Secara umum sistem didefinisikan sekumpulan elemen-elemen yang saling
berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu di dalang lingkungan
yang kompleks.5
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal (atau diseingkat UUJPH) disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
tepat pada tanggal 25 September 2014. Undang-Undang ini diharapkan
dapat memberikan solusi bagi masyarakat dan dunia usaha dalam rangka
perlindungan terhadap konsumen dan sekaligus menjadi payujng hukum
berbagai macam jenis produk halal pada produk makanan, minuman, obat,
4
Bisri, I. (2012). Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-prinsip & implementasi Hukum di
Indonesia. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
5
Is, M. S. (2015). Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: Kencana.
8

kosmetik, produk kimia, produk biologi, dab produk rekayasa genetik.


Pemerintah yang dimotori oleh Departemen Agama dan berbagai lembaga
masyarakat mendukung sepenuhnya penerapan UUJPH ini. Dengan
diberlakukannya UUJPH ini diharapkan produk-produk Indonesia dapat
bersaing serta mutu dan kualitas dengan produk asing dan dapat diminati
oleh konsumen terutama konsumen yang beragama Islam baik konsumen
lokal maupun asing.
Ada tiga kekuatan berlakunya UUJPH, yaitu: pertama, kekuatan
berlaku yuridis (juristische geltung). Undangundang mempunyai kekuatan
berlaku yuridis apabila persyaratan formal terbentuknya undang-undang
itu telah terpenuhi. Menurut Hans Kelsen kaidah hukum mempunyai
kekuatan berlaku apabila penetapannya didasarkan atas kaidah yang lebih
tinggi tingkatannya. Suatu kaidah hukum merupakan sistem kaidah secara
hierarchies. Di dalam grundnorm (norma dasar) terdapat dasar berlakunya
semua kaidah yang berasal dari satu tata hukum. Dari grundnorm itu hanya
dapat dijabarkan berlakunya kaidah hukum dan bukan isinya. Pembahasan
mengenai berlakunya hukum berhubungan dengan das sollen, sedangkan
das sein berhubungan dengan pengertian hukum. Ketentuan hukumnya
berdiri kukuh di antara dua kaki, yakni ranah das sein dan das sollen.
Kedua, kekuatan berlaku swosiologis (soziologische geltung).
Berlakunya atau diterimanya hukum di dalam masyarakat sama sekati
tidak terkait dari kenyataan apakah peraturan hukum itu terbentuk menurut
persyaratan formal atau tidak. Sehingga yang ditekankan dalam hal ini
adalah kenyataan di dalam masyarakat. kekuatan berlakunya hukum dalam
masyarakat ini ada 2 (dua) macam: (1) menurut teori kekuatan
(nachtstheorie), hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila
dipaksakan berlakunya oleh penguasam terlepas dari diterima ataupun
tidak oleh warga masyarakat; (2) menurut teori pengakuan
(anerkennungstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis
apabila diterima dan diakui warga masyarakat.
9

Ketiga, kekuatan berlaku secara filosofis (fiosofische geltung).


Hukum mempunyai kekutan berlaku filosofis apabila kaidah hukum
tersebut sesuai dengan cita hukum (rechtsidee) 6 sebagai nilai positif yang
tertinggi. Menurut Stammler, cita hukum berfunsgi sebagai “bintang
pemadu” (leitstern) bagi terciptanya cita-cita masyarakat. Meskipun
merupakan “titik akhir” yang tidak mungkin dicapai, cita hukum
bermanfaat karena pada satu sisi ia dapat menguji hukum yang berlaku,
dan pada sisi lain dapat mengarahkan hukum positif yang mengatur tata
kehidupan masyarakat dengan sanksi pemaksa menjadi sesuatu yang adil.
Cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolak ukur bersifat regulatis
yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak adil, tetapi
sekaligus berfungsi sebagai dasar konstitutif yang menentukan bahwa
tanpa cita hukum maka hukuk kehilangan maknanya sebagai hukum.
Berkaitan dengan sertifikasi halal ini, maka ilosofis pranata hukum
yang mendasarinya adalah: a) Dominan agama adalah al-Qur’an dan al-
Hadits; b) sedangkan pada dominan hukum positif didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan terakhir Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kedudukan sertifikasi
halal dalam sistem hukum Nasional di Indonesia mempunyai kedudukan
yang sentral, karena sertifikasi halal termaktub dalam Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang secara sistem
hukum merupakan bagian dari sistem hukum, yaitu substansi hukum yang
mempunyai kekuatan hukum dan kepastian hukum serata bersifat
imperatif. Dan hal ini sebagai upaya perlindungan konsumen dalam
hukum Islam.

6
Sumardi, A. (2009). Porf. Mr. Soediman Kartohadiprodjo tentang Pancasila Sebagai
Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Jakarta
10

Fatwa adalah pertimbangan hukum Islam yang dikeluarkan oleh


mufti atau ulama, baik secara individu maupun kolektif sebagai jawaban
atas pertanyaan yang diajukan atau respons terhadap masalah yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sekalipun kerap dianggap tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat (ghair mulzimah), fatwa
mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam memberikan
pertimbangan hukum keagamaan kepada masyarakat muslim dari dahulu
hingga sekarang. Dalam konteks masyarakat Indonesia, fatwa-fatwa yang
dilahirkan oleh lembaga keagamaan, termasuk Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mempunyai pengaruh yang tidak kecil.7
Kedudukan fatwa halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
dasarnya sama seperti fatwa ulama pada umumnya, yaitu terkait dengan
lembaga yang menghasilkan fatwa tersebut, yaitu ulama yang tergabung
MUI khususnya dalam Komisi Fatwa MUI. Dalam Islam, kedudukan
ulama terkait dengan keistimewaan yang mereka miliki di antaranya
sebagai ahli waris para nabi (warâtsah al-anbiyâ) sebagaimana dinyatakan
dalam hadis Nabi Saw berikut ini:

Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan
dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa
mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak (H.R Abub
Daud).

Berdasarkan uraian di atas, maka fatwa halal yang dihasilkan oleh


MUI ditaati dan dipatuhi oleh pemerintah dan umat Islam. Pemerintah
mematuhinya seperti tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang

7
Sholeh, M. A. (2016). Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia:
Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa. Jakarta: Emir Cakrawala.
11

ada. Wahiduddin Adams dalam disertasinya menyimpulkan bahwa


sejumlah fatwa MUI dapat diserap dalam peraturan perundangundangan
negara kita dengan beberapa pola.
Ketaatan pemerintah terhadap fatwa halal MUI terlihat dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebijakan-kebijakan
yang dibuat pemerintah berkaitan dengan persoalan kehalalan pangan. Hal
ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,
UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dan terakhir Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal. Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1999 tentang “Label dan Iklan Pangan” Pasal 11 ayat (2) disebutkan,
“Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama
dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang
memiliki kompetensi di bidang tersebut”. Dalam penjelasannya disebutkan
bahwa lembaga keagamaan dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Dengan demikian, MUI diakui sebagai lembaga keagamaan yang
berkompeten dalam memutuskan kehalalan pangan. Maka, fatwanya yang
berkaitan dengan hal tersebut, yaitu Fatwa Halal diakui dan menjadi
rujukan pemerintah.8
Selanjutnya, dalam Pasal 11 dan 12 ditegaskan bahwa lebilisasi
halal itu hanya dapat dilakukan beradasarkan “Sertifikasi Halal” yang
dikeluarkan oleh MUI. Hal ini terlihat dari kedua pasal tersebut. Dalam
Pasal 11 ditegaskan bahwa persteujuan pencantuman tulisan “Halal”
diberikan berdasarkan Fatwa dari Komisi Majelis Ulama Indonesia.
Kemudian dalam Pasal 12 ayat (1) disebutkan bahwa beradasarkan “Fatwa
dari Majelis Ulama Indonesia Direktur Jenderal memberikan persetujuan

8
Sopa. (2013). Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia: Studi Atas Fatwa Halal MUI
Terhadap Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika . Jakarta: Gaung Persada Press Group
(GP Press).
12

bagi yang memperoleh sertifikat “HALAL” dan penolakan bagi yang tidak
memperoleh sertifikat “HALAL”.
Fatwa Halal juga dipatuhi oleh produsen pangan. Pihak produsen
umumnya menanggapi positif keberadaan sertifikasi halal tersebut.
Darwies Ibramim, direktur pengembangan usaha PT Indofood Sukses
Makmur, memberikan penlaian pentingnya Sertifikat Halal karena bagi
perusahaannya sertifikat itu mempunyai arti yang strategis lantara
mayoritas konsumen produknya adalah umat Islam. Oleh karena itu,
pihaknya sudah mengusulkan adanya Sertifikat Halal itu kepada
Departemen Agama dan Departemen Kesehatan pasca isu lemak babi tang
terjadi pada tahun 1988.
Sertfikat Halal juga dipatuhi oleh konsumen yang mayoritas
beragama Islam. Hal ini terlihat jelas dalam kasus lemak babi 1988 dan
Ajinomoto tahu 2000. Dalam kedua kasus tersebut, jelas terlihat peran
ulama dalam menentramkan umat melalui fatwa yang dikeluarkannya.
Dengan demikian, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) telah memainkan perannya sebagai pemberi fatwa
kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta
sebagaimana disebutkan dalam Wawasan Majelis Ulama Indonesia dan
Pedoman Dasar MUI (Pasal 4) meskipun pada hakikatnya fatwa ulama itu
tidak mengikat sebagaimana keputusan Pengadilan Agama dan Undang-
Undang.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka di bawah ini dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Kedudukan sertifikasi halal dalam sistem hukum Nasional di
Indonesia mempunyai kedudukan yang sentral, karena sertifikasi halal
termaktub dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal yang secara sistem hukum merupakan bagian dari sistem
hukum, yaitu substansi hukum yang mempunyai kekuatan hukum dan
kepastian hukum serata bersifat imperatif. Dan hal ini sebagai upaya
perlindungan konsumen dalam hukum Islam.
Fatwa halal yang dihasilkan oleh MUI ditaati dan dipatuhi oleh
pemerintah dan umat Islam. Pemerintah mematuhinya seperti tercermin
dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Ketaatan pemerintah
terhadap fatwa halal MUI terlihat dalam peraturan perundangundangan
yang berlaku dan kebijakankebijakan yang dibuat pemerintah berkaitan
dengan persoalan kehalalan pangan. Hal ini tercermin dalam Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dan terakhir Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama Semarang,
Cet.ke-1, 1994

hobieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani dan


Kesucian Rohani, Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, Cet. ke-1

Qamaruddin Shaleh, et. Al., Ayatul Ahkam Ayat-ayat larangan dan Perintah
dalam AlQur’an Pedoman Menuju Akhlak Muslim, Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro, 2004,

Bisri, I. (2012). Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-prinsip & implementasi Hukum


di Indonesia. Jakarta: Raja Grapindo Persada.

Is, M. S. (2015). Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: Kencana.

Sumardi, A. (2009). Porf. Mr. Soediman Kartohadiprodjo tentang Pancasila


Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Jakarta

Sholeh, M. A. (2016). Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia:


Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa. Jakarta: Emir Cakrawala.

Sopa. (2013). Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia: Studi Atas Fatwa Halal
MUI Terhadap Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika . Jakarta:
Gaung Persada Press Group (GP Press).

iv

Anda mungkin juga menyukai