Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH HUKUM BISNIS

STANDARDISASI HALAL

Dosen Pengampu:

Farid Hidayat, S. H., M. S. I

Disusun Oleh:

Nabila Oktaviana {22108020124}

Alisya Putri {22108020114}

M. Laksa Fadlan Elyasa {22108020112}

Oktaviana Khairunnisa Riawan {22108020125}

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2023/2024

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Allhamdulilah segala puji dan syukur marilah kita haturkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan taufik serta hidayahnya sehingga kita dapat menyelesaikan makalah kami
yang berjudul “HUKUM BISNIS STANDARDIDASI HALAL”. Sholawat serta salam semoga
tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Semoga kelak kita mendapatkan syafaat
beliau diyaumul kiamah…amiin ya rabbal alamin.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua teman-teman yang turut serta membantu
dalam proses penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kami dan teman-
teman semua untuk menambah keilmuawan dan wawasan dalam bidang pendidikan. Terlepas
dari itu dengan segala kemampuan dan usaha yang telah kami lakukan agar makalah ini mudah
dipahami dan dimengerti. Kami sebagai pemakalah menyadari bahwasanya masih banyak
kekurangan oleh karena itu apabila ada kesalahan dalam makalah ini kami mohon maaf dan
kami akan memperbaiki secara beratahap berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan saran
dari pembaca.

Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat diterima dan apa yang telah kami
usahakan dapat bermanfaat bagi kita semua dan semoga dapat keberkahan dari Allah SWT,
Aamiin ya robbal alamiin. Atas segala perhatian kami ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 27 Februari 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3

BAB I: PENDAHULUAN ...........................................................................................................

A. Latar belakang ............................................................................................................... 4

BAB II: PEMBAHASAN ............................................................................................................

A. Pengertian dan Kriteria Halal…………………………….……………………………6


B. Tujuan Labelisasi dan Sertifikasi Halal………………….…………………………...10
C. Pembinaan, Pengawasan Dan Koordinasi Produki Halal…………………………….14
D. Prosedur Permohonan dan Pemeriksaan Produk Halal……………………………….16
E. Landasan Yuridis…………………………………………………….……………….18
F. Menganalisis Peraturan Dan Permasalahan Tentang Sertifikasi Halal………………19

BAB III: PENUTUP ....................................................................................................................

A. Kesimpulan ................................................................................................................. 21
B. Saran ............................................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 22

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang mayoritas berpenduduk muslim sehingga
menjamin kehalalan produk-produk yang beredar di masyarakat menjadi suatu
keharusan dan perhatian besar bagi pemerintah. Dengan besarnya kuantitas muslim
di Indonesia menjadikan pasar konsumen muslim yang sangat besar. Bagi umat
Islam sendiri, mengkonsumsi makanan yang halal merupakan kewajiban untuk
memenuhi perintah Allah SWT, hal itu tersurat dalam Al-Qurán surat Al-Maidah
ayat 88 yang artinya “Makanlah makanan yang halal lagi baik.” Akan tetapi dalam
era globalisasi, penetapan kehalalan suatu produk pangan tidak semudah saat
sebelum teknologi berkembang.

Memperhatikan penduduk yang mayoritas beragama Islam, maka


diperlukan adanya suatu jaminan dan kepastian terhadap kehalalan produk pangan
yang dikonsumsi oleh mereka. Jaminan kehalalan suatu produk pangan dapat
diwujudkan dalam bentuk sertifikat halal yang menyertai suatu produk pangan
sehingga produsen dapat mencantumkan logo halal pada kemasannya. Menanggapi
kebutuhan tersebut dan didorong tanggung jawab untuk melindungi masyarakat,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-
obatan, dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) pada 6 Januari 1989 sebagai upaya
untuk memberikan kepastian mengenai kehalalan suatu produk pangan, obat-
obatan, dan kosmetika. (Anton Apriyantono dan Nurbowo, 24).1

Jaminan produk halal untuk setiap produk juga dapat memberikan manfaat bagi
perusahaan, mengingat produk yang bersertifikat halal akan lebih dipilih dan
digemari konsumen sehingga dapat meningkatkan penjualan. Hal ini bukan saja
diminati oleh muslim tetapi juga masyarakat non muslim, karena masyarakat non

1
Fatimah Nur. “Jaminan Produk Halal Indonesia Terhadap Konsumen Muslim” Jurnal
Likuid, Volume I Nomor 01 Juli 2020 Halaman 44

4
muslim beranggapan bahwa produk halal terbukti berkualitas dan sangat baik untuk
kesehatan tubuh manusia.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Kriteria Halal

Produk halal menurut Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun


2014 adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan
syariat Islam. Produk halal adalah produk pangan, obat-obatan,
kosmetika dan produk lain yang jika dikonsumsi atau digunakan
tidak berakibat mendapatkan siksa (dosa) dan produk haram adalah
produk pangan, obat-obatan, kosmetika dan produk lain yang jika
dikonsumsi atau digunakan akan berakibat mendapat dosa dan
siksa (azab) dari Allah SWT.2

Dalam Islam penentuan kehalalan dan keharaman suatu


produk tidak dapat didasarkan hanya pada asumsi atau rasa suka
dan tidak suka. Halal dan haram harus diputuskan lewat suatu
pemahaman dan pengetahuan yang mendalam mengenai persoalan
agama dan persoalan yang akan ditentukan hukumnya.3 Masalah
pengharaman dan penghalalan sesuatu, termasuk dalam hal ini
adalah makanan, minuman dan produk lainnya yang dikonsumsi
oleh umat muslim merupakan kewenangan mutlak dari Allah SWT.
Sebagai umat-Nya maka hendaknya senantiasa menaati perintah
untuk senantiasa mengkonsumsi yang halal dan menjauhi yang
haram. Para pastur, pendeta, raja dan sultan tidak berhak untuk menentukan halal dan
haram suatu benda. Barangsiapa yang
bersikap demikian (artinya mereka menentukan hukum halal dan
haram terhadap manusia), maka berarti mereka itu melanggar dan
menentang hak Allah. Dan barangsiapa yang menerima dan

2
Departemen Agama RI, Pedoman Fatwa Produk Halal, (Jakarta, Departemen
Agama RI, 2003), h. 22
3
Ibid, h. 1

6
mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu
sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut musyrik.4

Diantara surat yang menyebutkan sesuatu yang halal untuk


dikonsumsi yakni tercantum dalam Surat Al-Maidah ayat 1 sebagai
berikut:5

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.


Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.

Selain itu tersebut juga dalam Surat Al-Maidah ayat 4, sebagai


berikut:6

4
Imam Al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram(Surabaya: Putra Pelajar, 2002), h.17
5
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ..........., h. 141
6
Ibid., h. 14

7
Artinya: Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang Dihalalkan bagi
mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan
(buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu
ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya
menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka
makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah
nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya) dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat
hisab-Nya.

Selanjutnya disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 173:7

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,


darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.

Adapun syarat kehalalan suatu produk yang dikonsumsi meliputi:


a. Halal dzatnya
b. Halal cara memperolehnya
c. Halal dalam memprosesnya
d. Halal dalam penyimpanannya

7
Ibid, h. 32

8
e. Halal dalam pengangkutannya
f. Halal dalam penyajiannya8

Suatu produk dapat dikatakan halal dzatnya apabila tidak


mengandung DNA babi dan bahan-bahan yang berasal tradisional
dari babi, tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan
seperti; bahan yang berasal dari organ tubuh manusia, darah, dan
kotoran-kotoran.

Cara memperoleh juga harus diperhatikan dan tidak boleh


melanggar ketentuan dalam agama. Hendaknya makanan, minuman
dan produk konsumsi lainnya diperoleh dengan cara yang halal,
bukan dari hasil mencuri atau menipu dan usaha yang tidak
diperbolehkan dalam Ajaran Islam.

Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan


dan proses pengangkutannya tidak boleh terkontaminasi dengan
bahan-bahan yang haram. Apabila sedikit saja tercampur dengan
bahan yang diharamkan dalam Islam maka tidak halal untuk
dikonsumsi.

Terakhir dalam penyajiannya juga tidak boleh memakai


perlengkapan makan yang mengandung bahan yang diharamkan
dalam Islam. Juga apabila dicampur dengan bahan lainnya yang
haram. Produk yang halal harus senantiasa dijaga agar tidak
terkontaminasi dengan produk yang tidak halal.

8
Departemen Agama RI, Tanya Jawab ..........., h. 17

9
B. Tujuan Labelisasi dan Sertifikasi Halal

a. Labelisasi Halal

Labelisasi adalah kata yang berasal dari dari Bahasa Inggris “label” yang
berarti “nama” atau memberi sedangkan dalam termonologi materi ini bagian dari
sebuah barang yang berupa keterangan (kata-kata) tentang barang tersebut atau
penjualanya.

Menurut Sunyoto, menyatakan bahwa label adalah bagian dari sebuah yang
berupa keterangan (kata-kata) tentang barang tersebut atau penjualanya, misalnya
produk Caladine Lotion untuk mengatasi gatal karena alergi pada kulit. Dilabelnya
tercantum informasi produk Caladine Lotion tentang berat netto, komposisi bahan,
cara pemakaian, cara penyimpangan, peringatan, nomor register produk, perusahaan
Caladine Lotion, yaitu PT.Yupharin Pharmaceuticals, Bogor, Indonesia.9

Sebuah label juga merupakan sarana informasi yang penting bagi para
konsumen. Ini juga meliputi informasi pada perawatan produk dan kegunaannya dan
mungkin bahkan memberikan informasi mengenai bagaimana membuang produk
tersebut.10

Secara garis besar terdapat tiga macam label, yaitu:

1) Brand Label, yaitu merek yang diberikan pada produk atau dicantumkan pada
kemasan.
2) Descrriptive Label, yaitu label yang memberikan informasi yang objektif
mengenai penggunaan, konstruksi/pembuatan, perhatian/perawatan, dan

9
Danang Sunyoto, Dasar-Dasar Manajemen Pemasaran Konsep Strategi Dan Kasus
(Yogyakarta:CAPS ,2012), h.124.

10
Justin G. Longenecker, Carlos W, Moore, dan J. William Petty, Kewirausahaan Manajemen
Usaha Kecil (Jakarta: Salemba Empat, 2001), h. 361

10
kinerja produk, serta karakteristik-karakteristik lainnya yang berhubungan
dengan produk.

3) Grade Label, yaitu label yang mengidentifikasi penilaian kualitas produk


(product’s judged quality) dengan suatu huruf, angka, atau kata.

Label mempunyai fungsi yaitu:

1) Identifies (identifikasi): label dapat mengenalkan mengenai produk.


2) Grade (nilai): label dapat menunjukan nilai atau kelas suatu produk.
3) Describe (memberikan keterangan): label akan menunjukan keterangan mengenai siapa
produsen dari suatu produk, dimana produk dibuat, kapan produk dibuat, apa komposisi
dari produk tersebut, bagaimana penggunaan produk secara aman.
4) Promote (mempromosikan): label akan mempromosikan lewat gambar dan produk
menarik.

Pemberian label dipengaruhi oleh penetapan, yaitu:

1) Harga unit (unit pricing); menyatakan harga per unit dari ukuran standar.
2) Tanggal kadaluarsa (open dating), menyatakan berapa lama produk layak dikonsumsi.

b. Sertifikasi Halal

Konsep halal mengacu pada barang dan jasa diproduksi dan disampaikan secara konsisten
dengan hukum Islam atau syariah. Hal ini untuk menghindari praktik dan produk yang
dilarang (haram) oleh ajaran Islam. Sementara halal paling sering dikaitkan dengan
produksi makanan dan industri pengolahan, itu juga berlaku berbagai bidang seperti
farmasi, produk kesehatan, pariwisata, kosmetik dan produk-produk kebersihan, logistik,
pengemasan dan lainnya. Hal ini menjadikan pentingnya sebuah bukti dan jaminan bahwa
produk tersebut halal untuk digunakan, yakni dengan adanya sertifikasi halal.
Sertifikasi halal adalah proses sertifikasi produk atau layanan sebagaimana yang disebutkan
sesuai dengan syariah. Dalam memberikan jaminan kepada konsumen muslim tentang
kualitas halal, sistem sertifikasi dan verifikasi halal dipandang sebagai elemen kunci.
Sertifikasi halal juga memberikan jaminan kepada semua konsumen muslim bahwa produk
tersebut mematuhi hukum syariah dan bagi non-Muslim bahwa produk halal adalah produk

11
berkualitas berdasarkan konsep Halalan Toyyiban (halal dan sehat) karena memadukan
Good Manufacturing Practies (GMP) dan HACCP.

Beberapa negara memiliki lembaga khusus yang menangani terkait sertifikasi halal
terhadap suatu produk di negaranya. Setiap negara memiliki regulasi tersendiri dalam
melakukan sertifikasi halal akan sebuah produk. Berikut ini adalah lembaga penjamin
sertifikasi halal yang berada di Indonesia, Malaysia dan beberapa institusi di negara lain.
Di Indonesia, sertifikasi halal merupakan bentuk legal yang dikeluarkan oleh Lembaga
Pengkajian, Obat-Obatan dan Kosmetika oleh Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI)
sebagai bentuk untuk menyatakan suatu produk sudah sesuai dengan syariat Islam.
Sertifikat halal ini dapat digunakan untuk pembuatan label halal pada sebuah produk.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan sertifikasi halal terhadap suatu produk sesuai
dengan hukum Islam dan dikeluarkan berdasarkan penilaian dan pengawasan oleh
LPPOM-MUI. Sertifikat halal adalah persyaratan untuk lisensi dari lembaga pemerintah
yang berwenang yakin Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM-RI) untuk
melampirkan label halal disetiap paket produk. Untuk mendapatkan sertifikat halal,
perusahaan harus mengatur dan menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH), yang menjamin
kelangsungan proses produksi halal selama memegang sertifikat. Sistem sertifikasi halal
yang dan sistem jaminan halal yang dirancang dan diterapkan oleh LPPOM-MUI juga telah
diakui dah bahkan diadopsi oleh lembaga sertifikasi halal diluar negeri, yang
kini telah mencapai 39 lembaga dari 23 negara.

Sedikit berbeda dengan Indonesia, Malaysia adalah salah satu negara yang sertifikasi
halalnya dikeluarkan oleh Pemerintah. Tidak seperti di negara lain, sertifikasi halal di
Malaysia disahkan oleh asosiasi Islam di Negara bagian masing-masing. Sertifikasi dan
logo halal Malaysia dikeluarkan oleh badan federal dan beberapa badan negara. Di tingkat
federal, otoritas untuk mensertifikasi produk Aam Slamet Rusydiana, Lina Marlina, Journal
of Economics and Business Aseanomics, 5(1) 2020, 69-85
72 dan layanan halal adalah Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) yang berada di
bawah Perdana Menteri.

12
JAKIM menangani proses sertifikasi halal untuk produk-produk untuk pasar domestic dan
pasar internasional. Logo Halal JAKIM adalah salah satu simbol kepatuhan halal yang
paling dikenal dan paling dihormati di dunia. Di tingkat negara bagian, otoritas sertifikasi
adalah Jabatan Agama Islam Negeri (JAIN) dan Majlis Agama Islam Negeri (MAIN) yang
diberi wewenang untuk mengeluarkan sertifikat halal untuk pasar domestic. Malaysia telah
meluncurkan beberapa standar untuk mengatur produk dan layanan halal. Malaysia telah
disebut sebagai contoh terbaik di dunia dalam pembenaran makanan halal oleh Codex
Alimentarius Commission yang bertanggung jawab dibawah PBB, untuk peraturan
persiapan makanan secara global. Malaysia dianggap sebagai model
panutan bagi pengembangan industri halal di dunia.

Kedua negara tersebut memiliki kesamaan dalam hal penduduk yang didominasi oleh
penduduk Muslim. Meskipun demikian, antara kedua negara tersebut memiliki perbedaan
dalam hal regulasi terkait sertifikasi jaminan produk halal. Sehingga, setiap negara
memiliki ciri khasnya tersendiri dalam melakukan otoritas tersebut. Selain LPPOM MUI
dan sekarang BPJPH (Indonesia) serta JAKIM (Malaysia), beberapa institusi yang
mengurusi sertifikasi halal di beberapa negara Asia antara lain: Majelis Ugama Islam
Singapura (MUIS), Muslim Professional Japan Association (MPJA), Taiwan Halal
Integrity Development Association (THIDA), Jamiat Ulama Halal Foundation (India), Asia
Pacific Halal Council Co Ltd (APHC) Hongkong, The Central Islamic Committee of
Thailand (CICOT), Halal Certification Agency (HCA) Vietnam, hingga Halal
Development Institute of the Philippines (HDIP).

Yang menggembirakan, di Eropa, Benua Amerika hingga Australia pun banyak lembaga
sertifikasi halal yang telah lama eksis. Lembaga sertifikasi halal di Eropa di antaranya:
Halal Food Council of Europe (HFCE) Belgia, Halal Quality Control (HQC) Jerman,
Instituto Halal de Junta Islamica Spanyol, World Halal Authority (WHA) Italia, Halal
Certification Europe (HCE) UK, hingga Halal Certification Services (HCS) di Swiss.
Sementara itu di Amerika terdapat Halal Food Council dan American Halal Foundation
(AHF) dan Islamic Dissemination Centre for Latin America (CDIAL) di Brazil. Adapun di

13
Australia terdapat lembaga sertifikasi halal Australian Halal Development & Accreditation
(AHDAA) dan Asia Pacific Halal Service (APHSNZ) di Selandia Baru.11

C. Pembinaan, Pengawasan dan Koordinasi produki halal

Terkait dengan kehalalan suatu produk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/ atau
memperdagangkan barang atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara
halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Keharusan adanya
keterangan halal dalam suatu produk dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang termasuk produk halal adalah barang atau jasa
yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi,
produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan
oleh masyarakat. Yang dimaksud produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal
sesuai dengan syariat Islam. Undang-undang produk halal telah mengatur secara jelas
bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib
bersertifikasi halal. Jadi memang pada dasarnya jika produk yang dijual tersebut adalah
halal, maka wajib bersertifikat halal.

Ada beberapa kewajiban bagi pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal
dan setelah memperoleh sertifikat tersebut, pelaku usaha yang mengajukan permohonan
sertifikat halal wajib:

1) Memberikan informasi secara benar, jelas dan jujur, memisahkan lokasi, tempat dan
alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistrbusian, penjualan
dan penyajian antara produk halal dan tidak halal.
2) Memiliki penyedia halal
3) Dan melakukan perubahan komposisi bahan kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH)

11
Rusydiana, Aam Slamet dan Lina Marlina, Analisis Sentimen terkait Sertifikasi Halal, Journal of
Economics and Business Aseanomics, Vol. 5, No. 1, 2020

14
Kemudian setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha wajib:

1) Mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal.
2) Menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal.
3) Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak
halal.
4) Memperbaharui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir, dan
melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.

Pelaku usaha yang tidak melakukan kewajibannya setelah memperoleh sertifikat halal,
dikenai sanksi administratif berupa:
1) Peringatan tertulis.
2) Denda administratif.
3) Pencabutan sertifikat halal.

Mengenai kewajiban mencantumkan label halal oleh pihak yang telah mendapatkan
sertifikat halal perlu diketahui bahwa bentuk label halal ini ditetapkan oleh BPJPH (Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal) dan berlaku nasional.

Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib mencantumkan label halal
pada:
1) Kemasan produk
2) Bagian tertentu dari produk
3) Tempat tertentu pada produk

Pencantuman label halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus dilepas
dan dirusak. Perlu diketahui bahwa pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk
yang telah memperoleh sertifikat halal dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
atau pidana denda paling banyak 2 Milyar.
Adapun yang termasuk bahan yang diharamkan menurut Undang-undang Produk halal
yaitu:

15
1) Bahan yang berasal dari hewan meliputi:
a) Bangkai.
b) Darah
c) Babi dan/atau.
d) Hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat.
2) Bahan yang berasal dari tumbuhan pada dasarnya halal kecuali memabukkan dan/atau
membahayakan kesehatan bagi orang yang mengkonsumsinya.
3) Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi,
proses biologi atau proses rekayasa genetik. Diharamkan jika proses pertumbuhan
dan/atau pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau terkontaminasi dengan bahan
yang diharamkan.

Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang
diharamkan dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikasi halal. Pelaku usaha
tersebut wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk. Jika pelaku usaha tidak
mencantumkan keterangan tidak halal, dikenai sanksi administratif berupa:

a) Teguran lisan
b) Peringatan Tertulis
c) Denda administratif.

Disini masyarakat tidak perlu khawatir karena bagi produk yang halal harus ada label
halalnya, sebaliknya produk yang berasal dari bahan dari yang diharamkan harus
mencantumkan keterangan tidak halal.12

D. Prosedur Permohonan dan Pemeriksaan Produk Halal


Tata cara memperoleh Sertifikat Halal13 diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat
Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan
kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh

12
Rabiah Z Harahap, PENGAWASAN DAN KOORDINASI SERTIFIKASI HALAL, DE LEGA
LATA, Volume 3 Nomor 1, Januari-Juni 2018

13
Pasal 29-39 UUJPH

16
LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan
MUI. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI
dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. BPJPH
menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI
tersebut. Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH,
kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan. Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh
Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan
sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.

17
E. Landasan Yuridis

Dasar Hukum Jaminan Produk Halal Indonesia sebagai negara yang bertugas mengayomi
masyarakat muslim dari produk-produk yang haram telah mengeluarkan beberapa
peraturan yang berkaitan dengan Jaminan Produk Halal yakni:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa pangan halal
adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk
dikonsumsi umat Islam baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan
pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah
melalui proses rekayasa genetik dan iradiasi pangan dan yang pengolahannya dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.

b. Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara
Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Nasional pasal 1 dijelaskan bahwa pangan halal
adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk
dikonsumsi Umat Islam dan pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam.

18
c. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
e. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
f. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
g. Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara
Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal
h. Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksanaan
Pemeriksaan Pangan Halal
i. Undang-Undang RI Nomor Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal14

F. Menganalisis Peraturan Dan Permasalahan Tentang Sertifikasi Halal

Masalah produk berstandar halal seharusnya sudah menjadi bagian integral yang tak
terpisahkan dari praktik perdagangan dan ekonomi global yang menuntut adanya
standar-standar dan kualitas baku internasional untuk mendapatkan kepercayaan dari
konsumen lintas negara. Dengan begitu aliran barang, jasa, modal, ilmu pengetahuan
antar negara menjadi makin mudah. Sebagai ikhtiar dan implementasi atas langkah
strategis melindungi umat dari serbuan berbagai peredaran produk pangan yang
mengandung bahan-bahan non halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) men-dirikan
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) melalui SK No.
018/MUI/I/1989 tertanggal 6 Januari 1989/26 Jumadil Awal 1409 H, lembaga ini
beranggotakan unsur ulama dan ilmuwan yang berkompeten dan sejumlah ahli bidang
pangan, kimia, biokimia, fikih Islam dan lain-lain. LPPOM MUI semula dimaksudkan
sebagai respon atas peredaran bahan pangan tertentu yang berasal dari babi. Isu “lemak
babi” ini menyulut gelombang protes yang cukup besar dari kalangan umat Islam. Di
sisi produsen, berdampak omzet penjualan produk bersangkutan kontan anjlok
drastis.DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 33 tentang Jaminan Produk Halal
(UUJPH). Undang-undang tersebut digagas oleh DPR RI periode tahun 2004-2009 dan
kemudian dibahas oleh DPR RI bersama pemerintah pada periode 2009-2014.Undang-

14
Suwardi, UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL SEBAGAI BENTUK INTERNALISASI
NILAI SYARI’AH DALAM HUKUM NASIONAL, JEBLR, Vol. 1, No. 2, November 2021

19
undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal memperkuat dan
mengatur berbagai regulasi halal yang selama ini tersebar di berbagai peraturan
perundang-undangan. Di sisi lain Undang-Undang Jaminan Produk Halal ini sebagai
payung hukum (umbrella act) bagi pengaturan produk halal.15

15
Hidayat, Asep Syarifuddin dan Mustolih Siradj, SERTIFIKASI HALAL DAN SERTIFIKASI NON HALAL
PADA PRODUK PANGAN INDUSTRI, Ahkam: Vol. XV, No. 2, Juli 2015

20
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam pandangan Islam persoalan memilih untuk mengkonsumsi yang halal
haram merupakan persoalan yang sangan penting, jika halal, ia boleh melakukan,
menggunakan atau mengkonsumsinya. Namun jika jelas keharamannya maka harus
dijauhkan dari seorang muslim. Sedemikian urgen kedudukan halal dan haram
hingga sebagai ulama menyatakan “Hukum Islam (fikih) adalah pengetahuan
tentang halal dan haram”. Hal tersebut secara jelas dinyatakan dalam Surat
alBaqarah/2: 168. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal memperkuat dan mengatur berbagai regulasi halal dan UU ini sebagai payung
hukum (umbrella act) bagi pengaturan produk halal. Pengaturan Jaminan Produk
Halal (JPH) dalam undang-undang ini mencakup berbagai aspek tidak hanya obat,
makanan, dan kosmetik akan tetapi lebih luas dari itu menjangkau produk kimiawi,
produk biologi, rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan,
atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Proses Produk Halal yang selanjutnya
disingkat PPH didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan
produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk. Jaminan produk halal secara
teknis kemudian dijabarkan melalui proses sertifikasi.

B. SARAN
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan
masih banyak memerlukan pembenahan. Oleh karena itu kami mengharap kepada segenap
pembaca yang budiman untuk memberikan masukan baik berupa kritik maupun saran, baik
secara lisan mapun secara tertulis. Kami akan dengan senang hati menerimanya. Harapan kami
semoga makalah ini menjadi manfaat. Aamiin.

21
DAFTAR PUSTAKA

Danang Sunyoto, Dasar-Dasar Manajemen Pemasaran Konsep Strategi Dan Kasus


(Yogyakarta:CAPS ,2012), h.124.
Departemen Agama RI, Pedoman Fatwa Produk Halal, (Jakarta, Departemen
Agama RI, 2003), h. 22
Fatimah Nur. “Jaminan Produk Halal Indonesia Terhadap Konsumen Muslim” Jurnal
Likuid, Volume I Nomor 01 Juli 2020 Halaman 44
Hidayat, Asep Syarifuddin dan Mustolih Siradj, 2015, SERTIFIKASI HALAL DAN
SERTIFIKASI NON HALAL PADA PRODUK PANGAN INDUSTRI, Vol. XV, No. 2

Imam Al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram (Surabaya: Putra Pelajar,
2002), h.17
Justin G. Longenecker, Carlos W, Moore, dan J. William Petty, Kewirausahaan
Manajemen
Usaha Kecil (Jakarta: Salemba Empat, 2001), h. 361
Pasal 29-39 UUJPH

Rabiah Z Harahap,2018, PENGAWASAN DAN KOORDINASI SERTIFIKASI HALAL,


DE LEGA LATA, Volume 3 Nomor 1

Rusydiana, Aam Slamet dan Lina Marlina, 2020, Analisis Sentimen terkait Sertifikasi
Halal, Journal of Economics and Business Aseanomics, Vol. 5, No. 1

Suwardi, 2021, UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL SEBAGAI


BENTUK INTERNALISASI NILAI SYARI’AH DALAM HUKUM NASIONAL, Vol. 1, No. 2

22

Anda mungkin juga menyukai