Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Pusat Jajan Serba Ada (Pujasera)

Menurut Sutedja (2006) Pujasera merupakan kepanjangan dari Pusat

Jajanan Serba Ada. Pada Pujasera terdapat ruangan tempat menjual makanan dan

minuman dan terdiri atas gerai-gerai makanan yang menyediakan pilihan beragam

makanan dari semua tingkatan yang terkoordinasi. Selain menyediakan makanan

dan minuman, Pujasera juga sering digunakan sebagai ruangan untuk

bersosialisasi dan beristirahat. Terdapat beberapa konsep dalam mengelola

Pujasera, yaitu konsep makanan cepat saji dan konsep pesan di meja makan.

Konsep "makanan cepat saji" adalah suatu konsep yang mengarahkan para

pengunjung untuk langsung memesan makanan atau minuman di gerai-gerai yang

siap melayani konsumen. Produk-produk yang ditawarkan adalah produk-produk

siap saji (maksimal 10 - 15 menit untuk produksi dan penyajian). Biasanya lebih

banyak di pusat perbelanjaan yang ramai dan di area perkantoran yang para

pengunjungnya mempunyai waktu terbatas.

Konsep "pesan di meja makan" adalah suatu konsep yang memanjakan para

pengunjung dengan pelayanan seperti di restoran. Pramusaji (waiter) yang

disediakan siap melayani pesanan pengunjung dengan cepat dan ramah. Produk-

produk yang disajikan juga terkadang membutuhkan waktu yang lama dalam

proses produksi hingga penyajian. Biasanya Pujasera dengan konsep ini berada di

pusat perbelanjaan yang dinamis.


2.1.2. Sertifikat Halal

Bagi masyarakat Indonesia kata halal menjadi sesuatu yang tidak asing.

Dengan penduduk mayoritas beragama Islam, membuat sertifikasi halal menjadi

kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh produk-produk yang beredar di pasar

Indonesia. Tanpa adanya sertifikasi halal membuat konsumen muslim meragukan

kandungan yang ada di dalam produk tersebut. Aman atau tidak untuk dikonsumsi

oleh konsumen yang beragama Islam. Oleh karena itu, sertifikasi halal dari MUI

saat ini menjadi syarat wajib yang harus dipenuhi oleh beberapa jenis produk yang

ada di Indonesia.

1. Manfaat Sertifikat Halal.3

Sertifikat halal MUI memiliki manfaat untuk menjadi jaminan bahwa

suatu produk halal baik dari kandungan bahan ataupun proses produksi.

Selain itu sertifikat halal MUI juga memiliki manfaat sebagai berikut:

a. Adanya Jaminan Kualitas

Mendapatkan sertifikat halal dari MUI bukan sesuatu yang mudah.

Selain harus memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi, untuk

mendapatkan sertifikat halal juga harus memenuhi proses pendaftaran

yang tidak mudah. Pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor juga

dilakukan secara menyeluruh. Dibutuhkannya izin SPP-IRT dan

BPOM menjadi contoh rumitnya pendaftaran sertifikat halal ini.

Meskipun untuk mendapatkan sertifikasi halal harus melalui proses

yang rumit, namun karena rumitnya proses tersebut, maka produk-

3
https://kledo.com/blog/cara-mendapatkan-sertifikal-halal-mui/#Cara_Mendapatkan_
Sertifikat_Halal_MUI diakses tanggal 16 Januari 2022
produk yang lolos sertifikat halal adalah produk yang terjamin

kualitasnya.

b. Meningkatkan Kepercayaan Konsumen

Konsumen tentu menginginkan produk dengan kualitas sebaik

mungkin, apalagi mereka telah mengeluarkan biaya untuk membeli

produk tersebut. Sertifikat halal menjadi jaminan yang akan

meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk yang dijual.

Konsumen tidak akan mempertanyakan kandungan pada produk

apakah memenuhi standar atau tidak ketika produk tersebut telah

memiliki sertifikat halal.

c. Produk Memiliki Unique Selling Point (USP)

Dengan adanya sertifikasi halal membuat produk telah memiliki

Unique Selling Point atau USP. Dengan begitu produk memiliki nilai

kompetitif yang akan menjadi daya tarik konsumen untuk

membelinya.

d. Mendapatkan Akses Pasar Global

Dengan adanya sertifikat halal membuat produk memiliki

kesempatan untuk mengakses pasar global, khususnya untuk yang

bergerak di bidang usaha produk halal. Dengan kesempatan akses

pasar global akan membuat produk di kenal di kalangan masyarakat

muslim dunia.

2. Syarat Sertifikat Halal


Berdasarkan persyaratan mengajukan sertifikasi halal MUI yang

ditetapkan oleh LPPOM MUI, berikut syarat yang harus dipenuhi untuk

mendapatkan sertifikasi halal dari MUI:

a. Kebijakan Sertifikat Halal

Penetapan Kebijakan Halal yang dilakukan oleh bagian

manajemen halal dan mensosialisasikan kebijakan halal kepada

seluruh pemangku kepentingan perusahaan.

b. Memiliki Tim Manajemen Halal

Penetapan Tim Manajemen Halal dilakukan oleh manajemen

tertinggi yang mencangkup seluruh bagian yang terlibat di dalam

aktivitas kritis serta memiliki tugas, tanggung jawab, dan

wewenang yang jelas.

c. Pelatihan dan Edukasi

Perusahaan yang mengajukan sertifikat halal harus memiliki

prosedur tertulis tentang pelaksanaan pelatihan. Perusahaan juga

harus melakukan pelatihan internal yang dilaksanakan minimal

satu tahun sekali dan pelatihan eksternal yang dilakukan minimal

dua tahun sekali.

d. Bahan

Dalam pembuatan produk bersertikasi halal bahan yang digunakan

tidak boleh berasal dari bahan yang haram ataupun najis. Untuk

menyatakan bahan tersebut, perusahaan harus memiliki dokumen

pendukung tentang semua bahan yang digunakan.

e. Produk
Karakteristik produk tidak boleh memiliki bau atau rasa yang

mengarah ke produk haram atau produk yang telah dinyatakan

haram oleh fatwa MUI. Selain itu, merk atau nama produk yang

didaftarkan ke MUI tidak boleh menggunakan nama yang

mengarah ke sesuatu yang diharapkan atau sesuatu yang tidak

sesuai syariat Islam.

2.1.3. Konsep Halal dan Haram

Kata halal diambil dari bahasa arab yang memiliki arti “di perbolehkan”.

Menurut Ali Bin Muhammad dalam Kitab Al Ta’rifat menjelaskan bahwa halal

berarti membebaskan, melepaskan, memecahkan dan membolehkan.4 Menurut

Abdul Azis ah Dahlan menyebutkan bahwa dalam hukum syar’i kata halal

memiliki dua pengertian. Pengertian pertama menunjukkan bahwa kata halal

menyangkut kebolehan menggunakan benda-benda atau apa saja untuk memenuhi

kebutuhan fisik, termasuk di dalamnya makanan, minuman, obat-obatan.

Pengertian kedua berkaitan dengan kebolehan memanfaatkan, memakan,

meminum, dan mengerjakan sesuatu yang kesemuanya ditentukan berdasarkan

nash.5

Disisi lain menurut Yusuf Qardhawi, kata halal (halāl, halaal) adalah istilah

bahasa Arab dalam agama Islam yang berarti "diizinkan" atau "boleh". Secara

etimologi, halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau

tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Menurut Abdul Aziz

Dahlan, halal dalam bahasa Arab berasal dari kata Halla, yahillu, hillan, yang
4
Al-Jurjani, ‘Ali bin Muhammad, Kitab al-Ta’rifat, Cet. III, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut,
1988, hlm. 92, dalam Sucipto, 2008, Halal dan Haram menurut Al Ghazali Dalam Kitab
Mau’idhotul Mukminin, IAIN Lampung. Hlm 2
5
Abdul Azis Dahlan, et.al. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I, Ikhtiar Baru van Hoeve,
Jakarta, 1996, Jld. II : 506, dalam Sucipto, 2008, Halal dan Haram menurut Al Ghazali Dalam
Kitab Mau’idhotul Mukminin, IAIN Lampung. Hlm 2
berarti membebaskan, melepaskan, memecahkan, membubarkan, dan

membolehkan. Menurut Asrina, secara etimologi halal yang berarti hal-hal yang

boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-

ketentuan yang melarangnya.

Dari definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa halal adalah sesuatu yang

diperbolehkan menurut ajaran agama yang telah diatur baik secara hukum syar‘i

nya disertai aturan-aturan didalamnya.

Haram secara bahasa memiliki pengertian sebagai sesuatu yang dilarang

mengerjakannya. Menurut ulama ushul fikih, terdapat dua definisi haram, yaitu

dari segi batasan dan esensinya serta dari segi bentuk dan sifatnya. Dari segi

batasan dan esensinya, Imam al-Ghazali merumuskan haram dengan “sesuatu

yang dituntut Syar‘i untuk ditinggalkan melalui tuntutan secara pasti dan

mengikat”. Dari segi bentuk dan sifatnya, Imam al-Baidawi merumuskan haram

dengan “sesuatu perbuatan yang pelakunya dicela.6

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia haram disebutkan memiliki beberapa

arti. 1. terlarang (oleh agama Islam), tidak halal. 2. suci, terpelihara, terlindung,

misalnya tanah haram di Mekkah adalah semulia-mulia tempat di atas bumi. 3.

sama sekali tidak; sungguh-sungguh tidak. Defenisi ini berkaitan dengan gaya

bahasa, misalnya; selangkahpun haram aku surut. 4. terlarang oleh undang-

undang; tidak sah.

Dari definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa haram adalah segala

sesuatu yang dilarang menurut ajaran agama yang telah diatur baik secara hukum

syar‘i nya maupun aturan-aturan didalamnya.


6
Abdul Azis Dahlan, et.al. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I, Ikhtiar Baru van Hoeve,
Jakarta, 1996, Jld. II : 506, dikutip dari http://repository.uin-suska.ac.id/6304/4/BAB
%20III.pdf, diakses tanggal 16 Januari 2022
Sedangkan pengertian makanan dan minuman halal sendiri merupakan

makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut agama Islam.

Berdasarkan Keputusan Menteri Agama R.I Nomor 518 Tahun 2001 Tentang

Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, menyebutkan

bahwa Pangan Halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan

haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, dan pengolahannya tidak

bertentangan dengan syariat Islam, bagi umat Islam persoalan makanan bukan

hanya harus sehat melainkan juga harus halal.

Dari pengertian tersebut diatas, penulis menyimpulkan bahwa makanan

halal adalah makanan yang diperbolehkan oleh agama, namun tidak semua

makanan yang baik adalah makanan yang diperbolehkan dimakan oleh ilmu

kesehatan. Makanan yang halal lagi baik inilah yang diperintahkan oleh Agama

untuk memakannya.

Sebagai lawan dari makanan halal, terdapat makanan haram. Makanan

haram adalah makanan yang tidak boleh dikonsumsi umat Islam sesuai aturan

Allah SWT dan rasul-Nya. Konsumsi makanan haram mendatangkan kerugian

bagi muslim di dunia dan akhirat. Dikutip dari buku Fiqih dari Udin Wahyudin,

dkk, mengonsumsi makanan haram juga akan mendatangkan sikap dan perilaku

tidak terpuji. Larangan mengkonsumsi makanan haram terdapat dalam beberapa

ayat Al Quran.7

Dari definisi makanan haram tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

makanan haram sendiri merupakan makanan yang dilarang keras untuk

dikonsumsi. Apabila tetap dikonsumsi, maka orang yang mengonsumsi makanan


7
Kristina, detiknews.com, 2021, Apa Arti Makanan Haram dalam Islam ? Ini penjelasannya.
Dikutip dari https://news.detik.com/berita/d-5606860/apa-arti-makanan-haram-dalam-islam-
ini-penjelasannya, diakses tanggal 16 Januari 2022
haram tersebut akan mendapatkan dosa. Berbanding terbalik dengan makanan

halal yang apabila dikonsumsi kita akan mendapatkan pahala. Status haram yang

diberikan terhadap suatu makanan atau minuman sendiri biasa merupakan

makanan dan minuman yang tidak baik untuk kesehatan jika dikonsumsi. Untuk

menghindarkan manusia mengonsumsi makanan yang tidak baik, maka

diberlakukanlah halal dan haram pada makanan. Namun meski makanan haram

tidak boleh dikonsumsi, apabila dalam keadaan darurat makanan haram tersebut

bisa dikonsumsi.

2.1.4. Kriteria Makanan dan Minuman Halal dan Haram dalam Perspektif

Islam

Makan dan minum merupakan hal yang pokok dalam kehidupan. Tanpanya

manusia tidak dapat melanjutkan hidup. Maka dari itulah makanan menjadi faktor

yang sangat penting. Dalam ada kriteria makanan yang di bagi menjadi 2 yaitu

makanan halal dan haram. Dalam kriteria tersebut dijelaskan dengan detail

makanan yang halal dan haram

Banyak orang yang meremehkan makanan yang halal dan haram. Padahal

halalnya makanan yang masuk ke dalam tubuh juga mempengaruhi kehidupan.

Sebelum membahas kriteria dan jenis makanan halal terlalu jauh. Berikut

beberapa kaidah yang harus kamu ketahui sebagai muslim.

Berdasarkan wahyu Allah dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 29 dan Al-

An'am [6] ayat 119: "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi

untukmu". (QS.2: 29) "Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya".

(QS. 6: 119)

Ayat pertama [2:29] mengartikan jika segala sesuatu baik yang berupa

makanan, minuman, pakaian yang ada di bumi adalah halal dan suci, kecuali yang

diharamkan dalam Al-Qur'an dan Al-hadits. (Lihat: Aisarut Tafasir, hlm. 39-40,

Taisirul Karimir Rahman, hlm. 48). Semakna dengan itu ayat kedua [6:119]

menerangkan jenis-jenis makanan yang diharamkan, yang menunjukkan bahwa

semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari'at berarti adalah

halal.

Seperti yang dibahas sebelumnya beberapa kaidah menjelaskan tentang

makanan halal. Berikut ini beberapa kriteria suatu makanan dan minuman menjadi

haram. Makanan dan minuman menjadi haram karena salah satu dari 5 hal

berikut;

1. Membawa mudharat pada badan dan akal.

2. Memabukkan, merusak akal, dan menghilangkan kesadaran.

3. Najis atau mengandung najis.

4. Menjijikkan menurut pandangan masyarakat.

5. Tidak diberi izin oleh syariat karena makanan/minuman tersebut milik

orang lain. Artinya haram mengonsumsinya tanpa izin pemiliknya.

Dari dua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam sangat

memikirkan kelangsungan hidup umatnya di dunia dan akhirat. Jadi sebelum

mengonsumsi makanan atau minuman terlebih dahulu memperhatikan label halal

pada kemasan makanan atau bahan dasar makanan tersebut haram atau halal.
Allah memerintahkan kita agar memperhatikan segala sesuatu yang kita

konsumsi baik aspek kehalalan, keamanan, maupun kandungan gizinya. “maka

hendaklah manusia itu memperhatikan barang – barang yang dikonsumsi dan

yang digunakannya (Q.S ‘Abasa 24). Oleh karena itulah dalam menjalankan

perintah, hendaknya setiap muslim memahami ketentuan halal haram makanan

yang dikonsumsinya, supaya tidak salah dalam memilih produk yang dikonsumsi.

Secara umum, pembahasan halal haram yang berkaitan dengan makanan,

minuman dan obat terbagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan zat bendanya. Adapun faktor

eksternal adalah faktor yang berkaitan dengan aspek lain di luar zat benda

tersebut. Pembagian lebih jelas mengenai hal ini diperlihatkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Pembagian Kriteria Makanan Haram

Sumber : https://wr4.uai.ac.id/sertifikasi-halal-atau-sertifikasi-haram/

2.1.5. Standar Halal Haram di Pusat Jajan Serba Ada


Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 2019 tentang

Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal,

disahkan tanggal 29 April 2019. Peraturan mengatur secara lebih detail mengenai

tata cara penyelenggaraan jaminan produk halal yang meliputi proses sertifikasi

halal, cakupan produk, peran dan kerja sama antar kementerian/instansi/lembaga

termasuk kerja sama internasional, tahapan implementasi serta pengawasan JPH.

Ruang lingkup jaminan produk halal disajikan pada Gambar 2.2. Beberapa hal

penting yang diatur dalam PP 31/2019 meliputi:

1. Kewajiban sertifikasi halal bagi produk yang masuk, beredar dan

diperdagangkan di wilayah Indonesia dan belum memiliki sertifikasi

halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kewajiban sertifikasi halal

dikecualikan terhadap produk yang berasal dari bahan non-halal, dan

terhadap produk tersebut pelaku usaha wajib memberikan keterangan

tidak halal (Pasal 2):

Gambar 2.2. Bagan Ruang lingkup Jaminan Produksi Halal

Sumber : https:// slideplayer.info/slide/3958642/


2. Tata Cara Proses Produk Halal. Berikut Gambar 2.3 merupakan

beberapa hal yang wajib diperhatikan pada produksi produk halal.

Gambar 2.3 Standar Rantai Produksi Produk Halal


Sumber : Penulis, 2022

Implementasi kewajiban sertifikasi halal dilakukan secara bertahap

dengan prioritas utama pada produk berupa makanan dan minuman serta

memperhatikan beberapa pertimbangan tertentu. Bagi produk yang telah

memiliki sertifikat halal sebelumnya, maka sertifikat halalnya

dinyatakan tetap berlaku sampai batas waktu yang ditentukan (Pasal 67,

72 dan 82).

Gambar 2.4. Kewajiban Sertifikasi Halal pada produk secara bertahap


Sumber : Penulis, 2022

2.1.6. Proses Sertifikasi Halal yang dikeluarkan oleh MUI

Sertifikasi halal merupakan pengakuan terhadap kehalalan suatu produk

yang diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)

berdasarkan fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Perusahaan yang

ingin memperoleh sertifikasi halal untuk produknya harus mengikuti prosedur

sesuai aturan yang berlaku. Pelaku usaha di Indonesia sangat banyak. Untuk

dapat berkembang dengan baik, pelaku usaha harus mengutamakan mutu produk.

Hal tersebut ditandai dengan adanya pengakuan dari lembaga resmi yang

berwenang. Ini merupakan salah satu tahap yang harus dilewati pelaku usaha agar

dapat melakukan perluasan pasar untuk produknya. Salah satu pengakuan tersebut

berupa jaminan kehalalan suatu produk. Sebuah produk disebut halal apabila telah

melewati prosedur sertifikasi produk yang dilakukan BPJPH. Dengan jaminan

halal, produk yang diedarkan di pasar akan mendapatkan peluang lebih besar

untuk dipilih oleh konsumen. Secara tidak langsung, hal ini membantu

pertumbuhan dan perkembangan usaha.

Hal yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah produsen atau pelaku usaha

akan berhubungan langsung dengan BPJPH dalam proses ini. Selanjutnya, BPJPH

menjadi lembaga resmi yang akan berkoordinasi dengan MUI dan Lembaga

Pemeriksa Halal (LPH) dalam menentukan halal tidaknya produk tersebut. LPH

dapat didirikan oleh instansi pemerintah, universitas, atau yayasan Islam. Di

dalam LPH ada sejumlah auditor halal yang telah mendapatkan sertifikasi dari

lembaga sertifikasi sehingga hasil rekomendasinya teruji.


Terkait dengan kehalalan suatu produk, Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) hanya

mengatur bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,

sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label.

Adapun terkait keharusan adanya keterangan halal dalam suatu produk,

dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal (UU Produk Halal) yang beberapa ketentuannya telah diubah,

dihapus, atau ditetapkan pengaturan baru dalam Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Yang termasuk produk dalam

UU Produk Halal adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,

minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa

genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh

masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang

telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.

Pada dasarnya produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah

Indonesia wajib bersertifikat halal. Jadi, jika produk yang dijual tersebut adalah

halal, maka wajib bersertifikat halal. Namun ada pengecualian bagi pelaku usaha

mikro dan kecil (UMK). Bagi pelaku UMK, kewajiban bersertifikat halal

didasarkan atas pernyataan pelaku UMK yang dilakukan berdasarkan standar halal

yang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Patut dicatat, ada beberapa kewajiban bagi pelaku usaha yang mengajukan

permohonan sertifikat halal dan setelah memperoleh sertifikat tersebut. Pelaku

usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal wajib:


a. Memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;

b. Memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,

penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian

antara produk halal dan tidak halal;

c. Memiliki penyelia halal; dan

d. Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.

Kemudian, setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha wajib:

a. Mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat

sertifikat halal;

b. Menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal

c. Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan,

penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian

antara produk halal dan tidak halal;

d. Memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal

berakhir; dan

e. Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.

Pelaku usaha yang tidak melakukan kewajibannya setelah memperoleh

sertifikat halal, dikenai sanksi administratif. Lebih lanjut mengenai kriteria, jenis,

besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam

Peraturan Pemerintah. Namun, dilansir dari Portal Resmi UU Cipta Kerja yang

dibuat oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tercatat hingga 25

November 2020, pemerintah belum merilis Rancangan Peraturan Pemerintah yang

mengatur lebih lanjut mengenai jaminan produk halal.


2.2. Analisis / Interpretasi Opini

Berdasarkan landasan teori diatas, maka Islam mewajibkan umat muslim

untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal. Makanan dan minuman

yang halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan haram atau

dilarang untuk dikonsumsi umat Islam dan pengolahannya tidak bertentangan

dengan syariat Islam. Makanan dan minuman yang halal menurut zatnya adalah

makanan yang memang memiliki status halal untuk dikonsumsi. Makanan dan

minuman halal tersebut telah ditetapkan kehalalannya berdasarkan aturan-aturan

didalam Agama.

Makanan dan minuman apapun yang secara kandungannya halal, akan

berubah menjadi haram jika proses pengelolaannya tidak dijalankan sesuai syariat

Islam. Sebagai contoh adalah daging sapi yang tidak melalui proses

penyembelihan yang sesuai syariat Islam. Sapi tersebut disembelih dengan tidak

mengatas namakan Allah SWT dan diperuntukkan untuk kegiatan penyembahan

selain terhadap Allah SWT. Jika sapi tidak disembelih sesuai syariat Islam, maka

dagingnya haram untuk dikonsumsi oleh umat muslim. Selain sapi yang tidak

disembelih dengan benar, ada juga contoh lainnya seperti anggur. Pada dasarnya

anggur merupakan jenis buah-buahan yang halal untuk dimakan atau diminum

sarinya. Namun jika anggur diproses untuk dijadikan minuman keras yang

beralkohol, maka anggur tersebut haram untuk diminum oleh kita. Minuman yang

memabukkan sendiri sudah jelas diharamkan dalam Islam. Karena dengan

minuman yang memabukkan dapat menimbulkan tindakan maksiat lainnya.


Bagi masyarakat Indonesia yang secara umum mayoritas beragama Islam

harus dapat mengetahui kehalalan suatu makanan dan minuman yang akan

dikonsumsi. Dalam hal ini makanan dan minuman yang khususnya disajikan oleh

suatu Restoran di Pusat Jajanan Serba Ada (Pujasera). Masalahnya adalah di

Indonesia tidak ada peraturan yang mengharuskan setiap restoran/ Pujasera harus

menyediakan makanan halal, tidak juga ada keharusan memeriksakan kehalalan

makanan yang disajikan di tempat tersebut.

Oleh karena itu penting bagi kita sebagai konsumen dan khususnya umat

muslim untuk mengetahui standar makanan dan minuman halal dan haram di

Pujasera sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam baik sebagai

contoh daging sapi, ayam, kambing, buah-buahan seperti apel, kurma, anggur, dan

lain sebagainya. Kemudian tidak memilih makanan dan minuman yang haram

seperti daging babi, bangkai, dan darah serta berbagai minuman yang memabukan

yaitu arak dan sebagainya. Atau dengan kata lain lebih mudahnya adalah dengan

melihat label halal di setiap toko makanan dan minuman yang terdapat di

Pujasera.

Disisi lain pengusaha Pujasera pun dalam menyajikan makanan dan

minuman yang disajikan kepada konsumen harus dapat menerapkan beberapa

kriteria sebagai berikut :

1. Melakukan serangkaian kegiatan untuk memperoleh memperoleh

sertifikat halal.

2. Mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat

sertifikat halal;
3. Menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal.

Anda mungkin juga menyukai